BULETIN KETENAGALISTRIKAN Dari Redaksi Perencanaan merupakan suatu hal yang vital dalam menjalankan suatu program atau kegiatan, tak terkecuali dengan programprogram ketenagalistrikan. Untuk mewujudkan visi ketenagalistrikan nasional, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diharuskan menyusun suatu perencanaan ketenagalistrikan nasional. Hal ini juga sesuai dengan amanat UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Untuk itu Pemerintah menyusun Draft Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang kali ini disusun perencanaan jangka menengahnya, yaitu dari tahun 2012 hingga 2031. Perencanaan ini meliputi besarnya bauran energi pembangkitan, total kapasitas pembangkit listrik, rasio elektrifikasi hingga potensi energi yang akan digunakan pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) dan PT PLN (persero) guna menyusun Rencana Umum Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL). Perencanaan yang matang memerlukan evaluasi dan pemantauan agar pelaksanaan perencanaan tersebut berjalan dengan rencana yang kita inginkan. Untuk memonitoring perencanaan program-program pembangkit listrik, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan di akhir tahun 2012 ini giat memantau proyek-proyek pembangunan ketenagalistrikan. Beberapa artikel pemantauan pembangkit listrik tersebut dapat dibaca dalam Buletin Ketenagalistrikan Edisi 32 Volume VIII ini , selain beberapa artikel menarik seputar ketenagalistrikan yang dihimpun oleh redaksi Buletin Ketenagalistrikan. Empat edisi Buletin Ketenagalistrikan Volume VIII di tahun 2012 telah selesai di susun. Tahun 2013 nanti, Volume IX tetap hadir memberikan informasi yang lebih menarik untuk anda baca. Untuk lebih menambah informasi seputar ketenagalistrikan kami membutuhkan saran, kritik, sekaligus kiriman artikel menarik dari anda melalui email
[email protected]. go.id. Akhirnya kami segenap redaksi Buletin Ketenagalistrikan mengucapkan selamat membaca dan sampai berjumpa tahun 2013.
2 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Susunan Redaksi Penanggung Jawab Suryanto Chandra
Redaktur
Husni Safruddin, Heru Setiawan, Totoh Abdul Fatah, Hinsa Silaen Hagni Surendro, Andi Winarno Sudarti, Wiwid Mulyadi, Jackson Frans, M Fathorrahman, Hari Dwi Wijayanto, Milan M Nainggolan, Pandu Satria Jati, Ahmad Amirrudin, Ery Nurcahyanto, David F Silalahi, Anggita Miftah Hairini, Dina Andriani, Ilham Budi, Elif Doka Marliska.
Penyunting/ Editor Rimawanti, Suwarno, Stefanus Wisnu W, Novan Akhirianto.
Desain Grafis/Fotografer Ajat Munajat, Agus Supriadi, Achmad Yusuf Hardono Tri Purwanti, Sahri Mahmud.
Sekretariat
Adar, Emi Tursilah, Asep Hidayat, Abdul Gofur, Novi Pravitasari.
BULETIN KETENAGALISTRIKAN DAFTAR ISI BERITA Dirjen Ketenagalistrikan Kunjungi PLTU 2 Jabar Pelabuhan Ratu
4
Dirjen Ketenagalistrikan Kunjungi PLTU Sumbar Teluk Sirih
5
Ditjen Ketenagalistrikan Sosialisaikan Draft RUKN 2012-2031
6
Menteri ESDM BUka CEPSI 2012
7
Menteri ESDM Resmikan PLTU Cirebon (1 x 660 MW)
9
Pameran Kelistrikan Indonesia 2012
11
Pelantikan Pejabat Eselon III dan IV di Lingkungan Ditjen Ketenagalistrikan
13
Forum Konsensus XIII : Perlunya Standar Kompetensi Agar Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
15
DPD RI Tinjau Kondisi Kelistrikan Bangka Belitung
17
Workshop Penanganan Tindak Kejahatan Ketenagalistrikan
43
Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat dalam Pemanfaatan dan Pemakaian Tenaga Listrik Tahun 2012
45
ARTIKEL Pentingnya Penyerdehanaan Struktur Tarif Tenaga Listrik
18
Analisa Risiko Dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Sektor Penyediaan Tenaga Listrik
20
Inspeksi Kebakaran di PLTD TELLO Sulawesi Selatan
31
Kondisi Kelistrikan Sumatera Bagian Utara
36
Subsidi Listrik, Siapa Pantas Menerima? Sudahkah Tepat Sasaran Sekilas Masalah Tenaga Kerja
39 41
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 3
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Dirjen Ketenagalistrikan Kunjungi PLTU 2 Jabar Pelabuhan Ratu
Foto-foto kunjungan Dirjen Ketenagalistrikan ke PLTU 2 Jabar Pelabuhan ratu. Sumber : DPP
Untuk memantau kemajuan pembangunan pembangkit tenaga listrik dalam Program Percepatan 10.000 MW Tahap I, Direktur Jenderal Ketenagalisrikan, Ir. Jarman, M.Sc pada Kamis (4/10) lalu melakukan kunjungan kerja ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Jawa Barat – Palabuhan Ratu. PLTU yang terletak di Desa Citarik, Kec. Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat ini berkapasitas 3x 350 MW. Sebelumnya pada tanggal 19Juli lalu Dirjen berkunjung ke PLTU 2Jatim–Pacitan(2 x 315 MW). Di lokasi PLTU, rombongan Dirjen Ketenagalistrikan meninjau kesiapan operasi beberapa fasilitas utama dan pendukung pembangkit seperti stacker reclaimer, instalasi turbin dan generator, control room pembangkit serta Gas-Insulated Switchgear (GIS). Berdasarkan laporan dari General Manager Pembangkitan Thermal Jawa Bali yang membawahi PLTU 2 Jabar – Palabuhan Ratu, diperoleh informasi bahwa saat ini sedang dilakukan proses backfeeding sejak tanggal 3 September 2012, setelah sebelumnya sempat mengalami keterlambatan akibat adanya tower transmisi yang rubuh dan dicuri. Dengan adanya kejadian tersebut, pihak PLTU Palabuhan Ratu telah melakukan penggantian tower dan penarikan jaringan transmisi telah selesai pada bulan Agustus 2012 dan energize pada 1 September 2012. Disela-sela kunjungan dilakukan juga tatap muka dan diskusi dengan jajaran PT PLN (Persero) untuk mendengar kemajuan pelaksanaan pembangunan PLTU 2 Jabar – Palabuhan Ratu dari General Manager Pembangkitan Thermal Jawa Bali dan Manager Proyek PLTU Palabuhan Ratu. Berdasarkan penuturannya, progress pembangunan telah mencapai 96%, namun karena kendala terlambatnya backfeeding,
4 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
maka jadwal operasi komersial mengalami keterlambatan selama 8 bulan, dimana unit 1 dijadwalkan pada April 2013, unit 2 pada Juli 2013, dan unit 3 pada Oktober 2013. ”Mengingat batubara yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk dalam kategori low rank coalyang mudah terbakar, maka diperlukan penanganan yang cermat dan hati-hati,” ungkap Dirjen saat memberikan pengarahan. Dirjen Ketenagalistrikan kemudian menegaskan bahwa kemunduran jadwal beroperasi komersialnya proyek ini memang tidak dapat dielakkan, tetapi hal tersebut hendaknya menjadi penyemangat untuk terus berusaha mengatasi permasalahan yang ada dan berusaha terus-menerus untuk mencari terobosan dalam mempercepat penyelesaian proyek sehingga nantinya proyek ini dapat beroperasi dengan baik, memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, dan tentunya bagi sistem kelistrikan Jawa Bali.
Penulis : Luky, ST
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Dirjen Ketenagalistrikan Kunjungi PLTU Sumbar Teluk Sirih Penulis : Ilham, ST
Dalam rangka mendorong tercapainya pelaksanaan pembangunan pembangkit Program 10.000 MW Tahap I dan memonitor kondisi sistem kelistrikan se-Sumatera, pada Selasa (23/10) lalu, Dirjen Ketenagalistrikan Ir. Jarman, M.Sc beserta Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Komunikasi dan Sosial Kemasyarakatan, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan dan Jajaran Ditjen Ketenagalistrikan melakukan kunjungan kerja ke PLTU Sumbar – Teluk Sirih 2x112 MW. Selain itu rombongan berkunjung ke kantor Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban (P3B) Sumatera Load Dispatch Centre (LDC) yang berlokasi di PLTG Pauh Limo. Kunjungan kerja tersebut merupakan agenda rutin dalam melihat kemajuan dan kesiapan pembangkit yang direncanakan dapat beroperasi di tahun 2012 dan 2013. Dalam kunjungan ke PLTU Sumbar – Teluk Sirih 2x112 MW, Dirjen Ketenagalistrikan melihat kondisi kemajuan pembangkit serta mendengarkan paparan GM Pembangkitan Sumatera II Syah Darwin Siregar dan Manager Proyek PLTU Teluk Sirih Arif Amiruddin. Dalam paparannya mereka menyampaikan bahwa saat ini progress proyek pembangkit adalah 93,18%. Selain itu dilaporkan bahwa pembangkit unit 1 dalam tahap persiapan backfeeding dan unit 2 dalam tahap boiler hydrostatic test. Dalam tatap muka dengan Jajaran PT PLN (Persero) dan kontraktor Proyek PLTU Teluk Sirih, Dirjen Ketenagalistrikan memberikan arahan untuk memastikan agar kontraktor beserta konsorsium dapat memenuhi jadwal operasi yang telah direncanakan. Apabila terdapat kendala, Dirjen
berharap agar dapat segera diselesaikan. Selepas itu rombongan melakukan kunjungan kerja ke LDC Sistem Kelistrikan Sumatera. Dalam lokasi tersebut Dirjen Ketenagalistrikan melihat peralatan LDC yang baru saja dioperasikan secara resmi pada bulan Februari lalu dan melihat load flow sistem kelistrikan Sumatera. Dalam arahannya Dirjen berpesan agar perlu adanya optimalisasi pembangkit non-BBM (PLTA, PLT Biomass dan PLTG dengan CNG). “Segera direalisasikan pengembangan jaringan transmisi 150 kV dan 275 kV agar evakuasi daya pembangkit non-BBM
dapat dioptimalkan,” ujar Dirjen. Ia berharap agar jajaran P3B Sumatera memperbaiki kualitas tegangan dan frekuensi. Mempertimbangkan bahwa pertumbuhan kebutuhan listrik di Sumatera sekitar 10% per tahun, Dirjen berharap perlu direncanakan pengembangan pembangkit tenaga listrik untuk kapasitas unit minimal 50 MW. Dalam kunjungan tersebut, Dirjen Ketenagalistrikan beserta jajaran PT PLN (Persero) yaitu Kadiv. Konstruksi Indonesia Barat, General Manager P3B Sumatera, General Manager PLN Wilayah Sumbar dan Manager Proyek PLTU Teluk Sirih juga berkesempatan untuk beramah tamah dengan Gubernur Sumatera Barat dan Walikota Payakumbuh untuk saling tukar menukar informasi terkait dengan pengembangan penyediaan tenaga listrik di Provinsi Sumatera Barat dan upaya untuk mempercepat pembangunannya.
Foto-foto Kunjungan Dirjen Ketenagalistrikan ke PLTU Sumbar Teluk Sirih Sumber : DPP
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 5
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Ditjen Ketenagalistrikan Sosialisasikan Draft RUKN 2012-2031 Penulis : Pandu Satria Jati B Sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bahwa Pemerintah menetapkan Rencana Umum Ketenagaistrikan Nasional (RUKN). RUKN diperlukan untuk dapat memetakan kondisi ketenagalistrikan di masa depan diperlukan perencanaan ketenagalistrikan yang baik dan dinamis serta mengakomodir berbagai variabel yang dominan terhadap perkembangan sektor ketenagalistrikan. “RUKN ini memperhatikan Kebijakan Energi Nasional (KEN), mengikutsertakan Pemerintah Daerah dan akan dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum ditetapkan oleh Pemerintah,” ujar Dirjen Ketenagalistrikan, Ir Jarman, MSc dalam Sosialisasi Draft RUKN di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan, Rabu (30/10). Draft RUKN ini berisikan tentang kebijakan ketenagalistrikan nasional, arah pengembangan penyediaan tenaga listrik ke depan, kondisi kelistrikan saat ini, rencana kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik untuk kurun waktu dua puluh tahun ke depan, potensi sumber energi primer di berbagai provinsi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik serta kebutuhan investasinya. RUKN yang akan ditetapkan ini menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah dalam penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) dan bagi pelaku usaha penyediaan tenaga listrik dalam menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). “Kami menyadari bahwa terkait ”data” kita mungkin satu dengan yang lain memiliki angka yang
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Agoes Triboesono (paling kanan) menyimak Sosialisasi Draft RUKN yang disampaikan oleh narasumber.
6 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
berbeda, namun kami telah melakukan langkah tepat dalam sinkronisasi data dengan Pemerintah Daerah beserta PT PLN (Persero) seluruh Indonesia dengan penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) tahun 2011” ujar Dirjen. Data masukan dari Pemerintah Daerah telah diakomodir dalam penyusunan draft RUKN, sehingga diharapkan hasil perencanaan masing-masing Provinsi seluruh Indonesia sudah sesuai dengan arah perencanaan ketenagalistrikan ke depan. Setelah sambutan Dirjen Ketenagalistrikan, draft RUKN 2012-2031 disampaikan oleh Kasubdit Penyiapan Program Ketenagalistrikan, Alihuddin Sitompul yang dimoderatori oleh Kasubdit Informasi Ketenagalistrikan dan Penyertaan Modal Pemerintah, Benhur. Draft RUKN sendiri dapat diunduh di website www.djlpe.esdm.go.id.
Kasubdit Penyiapan Program Ketenagalistrikan Alihuddin SItompul dan Kasubdit Informasi Ketenagalistrikan dan Penyertaan Modal Pemerintah Benhur menyampaikan draft RUKM(atas), Suasana Sosialisasi Draft RUKN (bawah)
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Menteri ESDM Buka Cepsi 2012 Penulis : Pandu Satria Jati B Senin (15/10) lalu bertempat di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Menteri ESDM Jero Wacik membuka The 19th Conference of the Electric Power Supply Industry (CEPSI) tahun 2012. Didampingi Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman, Direktur Utama PLN Nur Pamudji, serta Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrika Indonesia (MKI) Moch. Harry Jaya Pahlawan, Menteri ESDM memberikan sambutan dan membuka secara resmi event dua tahunan ini. Tahun ini Indonesia terpilih menjadi tuan rumah CEPSI setelah sebelumnya di tahun 2010 lalu kegiatan ini berlangsung di Taipei, Taiwan. Tahun 2014 rencananya CEPSI akan digelar di Seoul Korea Selatan. Dalam sambutannya Menteri ESDM mengatakan bahwa untuk berinvestasi ketenagalistrikan di Indonesia harus memenuhi empat syarat. Apabila keempat syarat tersebut mau dipenuhi oleh investor, Menteri berjanji akan mengawal investor tersebut paling depan untuk melistriki Indonesia. ” Saya dengan seluruh jajaran saya termasuk PLN , akan membantu semua, akan mempercepat seluruh urusan
Menteri ESDM JEro Wacik menyampaikan sambutan pembukaan CEPSI 2012 di Bali
Dirjen Ketenagalistrikan Jarman mengenalkan stan pameran Ditjen Ketenagalistrikan kepada Menteri ESDM Jero Wacik.
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 7
BULETIN KETENAGALISTRIKAN saudara dalam berinvestasi, saya akan menjadi orang nomor satu yang akan membantu saudara” ujar Menteri. Keempat syarat yang dimaksud Menteri ESDM adalah empat pilar pembangunan nasional, yaitu pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan penjagaan lingkungan hidup. Di sela-sela acara pembukaan CEPSI tersebut ditandatangani Letter of Intent (LoI) untuk bersamasama mengembangkan pusat listrik tenaga biomass berbahan bakar serpihan kayu di pulau Sumba NTT atau pulau lainnya. Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Utama PLN Nur Pamudji dan CEO GE Indonesia Handry Satriago. Selain itu dilakukan pula penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) antara anak perusahaan PLN yaitu Bright PLN Batam dengan PT Universal Batam Energi untuk pembangunan PLTG Tanjung Uncang 2×35 MW, serta Bright PLN Batam dengan PT Mitra Eenergi Batam perihal penambahan kapasitas PLTG Panaran 1 dengan combine cycle dan chiller. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Menteri ESDM Jero Wacik dan Dirjen Ketenagalistrikan Jarman.. Kegiatan CEPSI ini berlangsung dari Senin (15/10) hingga Jumat (19/10) dengan kegiatan utama dalah konferensi dan pameran produk-produk ketenagalistrikan. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan pemikiran guna menumbuh kembangkan industri ketenagalistrikan baik di Indonesia maupun lingkup internasional karena
forum ini dinilai sangat tepat untuk melakukan komunikasi, bertukar pikiran dan kerjasama diantara para eksekutif, pimpinan industri, profesional dan personil teknik dari seluruh dunia khususnya kawasan Asia Selatan dan Pasifik Barat.
Foto-foto suasana stan pameran Ditjen Ketenagalistrikan di Pameran CEPSI 2012 Bali Sumber : SLR
8 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Menteri ESDM Resmikan PLTU Cirebon (1x660 MW) Penulis : Pandu Satria Jati B
Menteri ESDM Jero Wacik menekan tombol secara simbolis saat peresmian PLTU Cirebon (1x 660 MW)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik pada Kamis 18/10) meresmikan beroperasinya PLTU Cirebon (1 x 660 MW). PLTU yang berlokasi pembangkit yang terletak 10 km sebelah timur Kota Cirebon ini merupakan salah satu Independent Power Producer (IPP) yang dibangun oleh konsorsium Indika Energy Tbk, Marubeni Corporation, Korea Midland Power
Company, dan Santan Co. Ltd. Didampingi oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman dan pejabat Eselon I dan II di lingkungan Kementerian ESDM, Menteri berangkat dari Jakarta pukul sembilan pagi menggunakan kereta api. Di dalam kereta, Menteri menyempatkan diri mengadakan rapat kerja bersama jajaran PT PLN (Persero). Dengan beroperasinya PLTU Cirebon 1 ini
PLTU Cirebon merupakan salah satu IPP yang dibangun oleh konsorsium ndika Energy Tbk, Marubeni Corporation, Korea Midland Power Company, dan Santan Co. Ltd
Suasana Peresmian PLTU Cirebon Kamis (18/10)
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 9
BULETIN KETENAGALISTRIKAN sistem kelistrikan Jawa-Bali akan meningkat. PLTU ini dilaporkan akan menambah pasokan listrik hingga 5.500 GWh per tahunnya. Dalam sambutannya Menteri menuturkan bahwa investasi untuk PLTU Cirebon ini mencapai USD 877 juta. “Menurut laporan yang saya terima, investasinya USD 877 juta, dan lapangan pekerjaan yang diciptakan ketika proyek 1.500 orang, saat operasi menjadi 300 orang,” ujarnya. Dalam sambutannya Menteri ESDM menyampaikan bahwa setiap tahun kebutuhan energi di Indonesia meningkat. “Setiap tahun kita memberli peralatan listrik baru, kebutuhannya listrik terus meningkat,” ujar Menteri. Hal ini menurutnya adalah karena pertumbuhan ekonomi rakyat. “Untuk itu diperlukan tambahan pasokan energi terus menerus,” ujar Menteri. Kebutuhan energi tersebut menurut Menteri dapat dicukupi oleh Indonesia karena negara kita kaya akan sumber daya energi. Menteri mengajak semua pihak untuk menggunakan energi baru dan terbarukan sebab Indonesia sangat kaya akan sumber tersebut. Menteri ESDM mengajak pengusaha untuk melihat potensi Cirebon. “Setelah ada PLTU ini, harus tumbuh industrinya,” ujar Menteri. Cirebon merupakan salah satu sentra industri dan berpotensi dalam hasil perikanan. “Para owner sudah mengatakan kepada saya, mau investasi lagi 1 x 1000 MW di Cirebon,” ujar Menteri. PLTU Cirebon dibangun di atas lahan seluas
150 ha. Proyek ini merupakan perintis dalam penggunaan teknologi boiler atau mesin pemanas superkritikal yang mampu mengolah batubara kalori rendah, yang banyak tersebar di Indonesia secara efisien. Untuk unloading batubara, PLTU itu dilengkapi jetty sepanjang 2 kilometer, 2 unloading crane dan conveyer, yang mampu mengangkut batubara hingga 1.300 ton per jam.
Sekjen ESDM Waryono Karno mendampingi Menteri ESDM menghadiri peresmian PLTU Cirebon
Menteri ESDM Jero Wacik menerima penjelasan mengenai maket PLTU Cirebon (1 x 660 MW)
10 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Pameran Kelistrikan Indonesia 2012 Penulis : Pandu Satria Jati B
Dalam rangka hari Listrik Nasional ke-67, PT Perusahaan Listrik negara (Persero) menggelar Pameran dan Seminar Kelistrikan Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Harmoni One, Batam, Kepulauan Riau pada tanggal 22-23 November 2012 lalu. Pameran yang bekerja sama dengan PT Pelayanan Listrik Nasional Batam dan Majalah Listrik Indonesia ini mengangkat tema ‘Forum Bisnis dan Peluang Investasi Kelistrikan’. Selain pameran kegiatan yang dibuka oleh Direktur Utama PT PLN (Persero) ini menggelar seminar bertema “Forum Bisnis dan Peluang Investasi Kelistrikan” yang diikuti para kontraktor listrik, mitra kerja, pabrikan hingga perbankan. Selepas pembukaan pameran dan seminar ini, dilakukan pula peresmian pengoperasian PLTMG Panaran 3×8,1 MW dan ground breaking proyek
MEB Combine Cycle Power Plant. PLTMG Panaran merupakan pembangkit listrik milik bright PLN Batam. Proyek EPC (Engineering Procurement & Construction) tersebut dikerjakan oleh Konsorsium PT Medco Power Indonesia, PT Dalle Engineering Construction dan PT Top Deal International dengan nilai kontrak Rp 179,8 milliar. “Saya berharap dengan masuknya 3 unit PLTMG ke dalam sistem kelistrikan bright PLN Batam dan dimulainya pembangunan proyek CCPP dan chiller MEB, ketersediaan daya listrik di Batam dan sekitarnya semakin meningkat, sehingga kontinuitas pasokan energi listrik kepada pelanggan menjadi lebih baik dan andal. Dengan semakin meningkatnya pasokan dan keandalan listrik di Batam, diharapkan dapat menarik investor dalam dan luar negeri ke Batam”, ujar Direktur
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 11
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Utama bright PLN Batam, Dadan Kurniadipura. Proyek ini adalah satu strategi bagi bright PLN Batam untuk memperkuat pembangkit milik sendiri disamping untuk menurunkan Biaya Pokok Produksi tenaga listrik dan merupakan bagian dari pembangunan pembangkit yang berkelanjutan dalam kurun waktu 2011-2016 di sistem Batam. Dalam kesempatan tersebut dilakukan penandatanganan MoU beberapa proyek pembangkit di Wilayah Sulut, Sulteng, Gorontalo, Bangka Belitung dan pusat listrik tenaga mini hydro (PLTM). Adapun pameran yang akan digelar di Ballroom Harmoni One Hotel Batam pada 22-23 November itu memiliki area seluas 2.000 meter persegi dan dihadiri berbagai perusahaan yang bergerak di sektor kelistrikan. Ditjen Ketenagalistrikan dan Setjen KESDM mendapat kesempatan juga untuk menampilkan berbagai kemajuan terkait
12 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
kelistrikan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Ditjen Ketenagalistrikan menyediakan KIOSK yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Foto-foto suasana Pameran dan Seminar Kelistrikan Indonesia 2012. Batam, 22-23 November 2012 Sumber : SLR
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Pelantikan Pejabat Eselon III dan IV di Lingkungan Ditjen Ketenagalistrikan Penulis : Pandu Satria Jati B
Jumat (30/11) ini, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan melantik sejumlah Pejabat Eselon III dan IV di Lingkungan Ditjen Ketenagalistrikan. Pelantikan tersebut dilaksanakan selepas Ibadah Sholat Jumat dengan menggabungkan pelantikan pejabat Ditjen Ketenagalistrikan dengan Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM. Hadir dalam pelantikan tersebut para pejabat Eselon II, III, dan IV, serta pejabat fungsional di lingkungan Direktorat jenderal Ketenagalistrikan. Hadir pula Dharma Wanita Ditjen Ketenagalistrikan, perwakilan dari unit-unit KESDM, serta istri pejabat yang dilantik.
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 13
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Foto-foto pelantikan pejabat Eselon III dan IV di lingkungan Ditjen Ketenagalistrikan pada Jumat (30/11)
Berikut nama-nama pegawai yang dilantik Jumat (30/11) Pejabat Eselon III NO
Nama
Jabatan Lama
Jabatan Baru
1.
Totoh Abdul Fatah, S.Si.
Kepala Sub Bagian Penyiapan Rencana dan Program
Kepala Bagian Rencana dan Laporan
2.
Husni Safruddin, S.T. , M.T.
Kepala Bagian Rencana dan Laporan
Kepala Sub Direktorat Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
3.
Ir Agus Sufianto
Kepala Sub Direktorat Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
Kepala Sub Direktorat Usaha Penunjang Ketenagalistrikan
Pejabat Eselon IV NO
Nama
Jabatan Lama
Jabatan Baru
1.
Ear Marison, S.T.
Inspektur Ketenagalistrikan Muda
Kepala Sub Bagian Penyiapan Rencana dan Program
2.
Erlien Irianawanty, S.E.
Kepala Seksi Pengawasan Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
Kepala Sub Bagian tata Usaha
3.
Slamet Riyadi, S.H.
Calon Perancang Peraturan Perundang-undangan
Kepala Sub Bagian Penyusunan Perundang-undangan
4.
Chusniarti Putri Budi Sedjati, S.Sos Kepala Sub Bagian tata Usaha
Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan
5
Ir. M. Fauzi Abdullah
Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan Pembangkitan Tenaga Listrik
Kepala Seksi Pengawasan Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
6
Wahyudi Joko Santoso,S.T., M.T.
Kepala Seksi tarif Tenaga Listrik dan Subsidi
Diperbantukan di Sekretariat Kabinet RI.
7.
Felix Rudianto, S.T
Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan
Kepala Seksi Bimbingan Usuaha
8.
Ir. Ridwan
Kepala Seksi Bimbingan Usaha
Kepala Seksi Harga Jual dan Sewa Jaringan Tenaga Listrik
9.
Ginanjar Indra Maulana, S.T.
Kepala Seksi Harga Jual dan Sewa Jaringan Tenaga Listrik
Kepala Seksi Tarif Tenaga Listrik dan Subsidi
14 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Forum Konsensus XIII : Perlunya Standar Kompetensi agar Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri Penulis : Anggita Miftah Hairani
Kebutuhan sumber daya manusia di bidang ketenagalistrikan di Indonesia begitu tinggi, namun beberapa kebutuhan terkadang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu standar kompetensi yang akan menjadi standar wajib sehingga Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Demikian disampaikan Dirjen Ketenagalistrikan Jarman ketika membuka Forum Konsensus XIII Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di Jakarta (2/12). Dirjen menyatakan perlunya membuat suatu
akselerasi untuk mengatasi kebutuhan tersebut. “Apakah dengan magang di perusahanperusahan supaya lulusan perguruan tinggi punya kompetensi dengan langsung terjun ke lapangan, atau perlu segera diperbanyak lembaga-lembaga sertifikasi sehingga kebutuhan akan tenaga-tenaga yang berkompetensi bidang tenaga listrik dapat terpenuhi,” ujar Dirjen. Ditambahkan Dirjen, pertumbuhan demand kelistrikan yang mencapai 9,5% per tahun tak lepas
Dirjen Ketenagalistrikan Jarman membuka Forum Konsensus XIII Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
Kasubdit Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Husni Safruddin menyampaikan sambutan ketua panita.
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 15
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
dari dampak pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,2% di tahun 2012. Akibatnya perlu dibangun infrastruktur ketenagalistrikan dari pembangkit yaitu sebesar 50 ribu MW per tahun. “Kapasitas terpasang sampai pertengahan tahun 43.500 MW. Diharapkan akhir tahun jadi 45 ribu MW. Dalam hitungan investasi setahun dibutuhkan sekitar 90 trilyun, sepertiganya yakni 30 trilyun untuk transmisi dan distribusi,” ungkap Dirjen. “Jangan sampai begitu banyak pekerjaan di bidang ketenagalistrikan terutama infrastruktur transmisi distribusi, tetapi banyak memakai tenaga luar. Kita harapkan tenaga Indonesia menjadi tenaga ahli di luar negeri,” lanjutnya. Forum Konsensus XIII dilaksanakan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 Permen ESDM Nomor 015 Tahun 2007. Dalam Permen itu dinyatakan bahwa konsep Standar Kompetensi yang disusun oleh Panitia Teknik serta tanggapan dan/atau masukan dari instansi dan masyarakat terkait dibahas dalam forum konsensus. Ini
Foto-foto suasana Forum Konsensus XIII Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang dilaksanakan di Jakarta (2/12)
16 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
bertujuan untuk mencapai konsensus menjadi rancangan standar kompetensi. Dalam forum ini, diundang instansi pemerintah terkait baik pusat maupun daerah, serta para stakehoulder yang terkait dengan Instalasi Transmisi tenaga listrik dan Distribusi tenaga listrik. Melalui sidang komisi dan sidang pleno, akhirnya ditetapkan konsep rancangan menjadi rancangan standar kompetensi tenaga teknik sebanyak 272 unit standar kompetensi. Ini terdiri dari Bidang Transmisi Tenaga Listrik Sub Bidang Pengoperasian dan Sub Bidang Pemeliharaan sebanyak 122 unit kompetensi serta Bidang Distribusi Tenaga Listrik Sub Bidang Pengoperasian dan Sub Bidang Pemeliharaan sebanyak 150 unit kompetensi.
BULETIN KETENAGALISTRIKAN DPD RI Tinjau Kondisi Kelistrikan Bangka Belitung Penulis : Pandu Satria Jati B
Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada Selasa (4/12) lalu meninjau kondisi kelistrikan di Provinsi Bangka Belitung. Komite yang membidangi pertanian dan perkebunan, perhubungan, kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya mineral, kehutanan dan lingkungan hidup, pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan daerah tertinggal, perindustrian dan perdagangan, penanaman modal, dan pekerjaan umum ini mengunjungi kantor Gubernur Bangka Belitung sebelum berdiskusi dengan jajaran PT PLN (Persero) wilayah Bangka Belitung. Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Suryanto Chandra didampingi Kepala Bagian Rencana dan Laporan Totoh Abdul Fatah hadir pula dalam pertemuan bersama dengan Gubernur dan direksi PT PLN Wilayah Bangka Belitung tersebut. Sesditjen menyampaikan bahwa pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM mendukung program kelistrikan propinsi Bangka Belitung dengan menyediakan anggaran di APBN untuk listrik perdesaan. Dalam laporannya, General Manager PLN Wilayah Bangka Belitung , Zulfarida Faluzy mengungkapkan bahwa dengan adanya kerjasama yang baik dengan pemerintah pusat dan derah, rasio desa berlistrik di Provinsi Babel bisa mencapai 100% pada tahun 2013 mendatang. Rasio elektrifikasi provinsi pemekaran Sumatera Selatan ini dilaporkan mencapai 71% dan ditargetkan mencapai 75% di akhir 2012 nanti. Dengan pertumbuhan ekonomi 20% per tahun, kelistrikan Bangka Belitung membutuhkan pasokan listrik yang besar. Saat ini sebagian besar listrik di pulau Bangka dan pulau Belitung
dipasok dari pembangkit listrik tenaga diesel yang boros dan kurang ramah lingkungan. Awal 2013 nanti, PLTU air anyir berkapasitas 60 MW akan masuk ke seistem Bangka Belitung. “Dengan masuknya proyek 10.000 MW Tahap I ini, diharapkan ketergantungan Bangka belitung akan PLTD dapat dikurangi,” ujar Aldan Djalil Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung. Tahun 2013 nanti, PLN Wilayah Bangka Belitung akan membangun kabel bawah laut yang menghubungkan Sumatera Selatan dengan Pulau Bangka. Setelah kabel dibangun nanti, diharapkan kondisi kelistrikan Bangka Belitung membaik, sebab kelebihan listrik di Sumatera dapat dimanfaatkan untuk melistriki pulau Bangka yang masih bergantung pada PLTD.
Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Suryanto Chandra (paling kanan) mendampingi rombongan DPD RI memantau pasokan energi dan listrik di Provinsi Bangka Belitung. Sumber : SLR
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 17
BULETIN KETENAGALISTRIKAN PENTINGNYA PENYEDERHANAAN STRUKTUR TARIF TENAGA LISTRIK Penulis : David F Silalahi Tarif tenaga listrik yang ada saat ini sangat beragam golongannya dan cukup menyulitkan calon pelanggan baru pada saat ingin menyambung listrik. Bayangkan ketika anda datang ke PLN, ingin menyambungkan listrik ke rumah anda yang baru, kemudian anda disuguhi pilihan golongan tarif listrik yang begitu banyak, ada 37 golongan tarif, terdiri dari 7 golongan dalam kelompok sosial, 6 golongan dalam kelompok rumah tangga, 6 golongan dalam kelompok bisnis, 8 golongan dalam kelompok industri, 7 golongan dalam kelompok pemerintah, dan 3 golongan dalam kelompok layanan khusus. Lebih jauh lagi, mari kita lihat golongan tarif listrik pada kelompok rumah tangga yang golongan tarif listrik dibagi menjadi enam, yaitu R1- daya 450 VA , R1-daya 900 VA, R1- daya 1.300 VA, R1- daya 2.200 VA, R2daya 2.200 VA s.d 6.600 VA, dan R3-daya diatas 6.600 VA. Tentu bagi calon pelanggan perlu diberi pemahaman tentang golongan tarif yang cukup rumit ini. Sebagai perbandingan, mari kita lihat sistem tarif listrik di Negara tetangga kita yang jauh lebih sederhana. Tarif listrik di Brunei Darussalam, hanya dibagi atas dua macam golongan, yaitu tarif rumah tangga (residential) dan tarif komersial (commercial/Industrial), perbedaan tarif per kWh nya terletak pada jumlah penggunaan tertentu, misalkan tariff 10 kWh pertama B$ 0,25 cent,tarif 60 kWh berikutnya sebesar B$ 0,15 cent, dan seterusnya. Tentu sangat mudah untuk dipahami. Tarif listrik yang diberlakukan di Brunei Darussalam adalah sebagai berikut :
TARIF LISTRIK DI BRUNEI DARUSSALAM ================================= Tariff A – Residential Tariff A is charged on residential using energy (kWH) meter. The changes rates are as follows: First 10 units – B$0.25 cent per unit Next 60 units – B$0.15 cent per unit Next 100 units – B$0.10 cent per unit Remaining units – B$0.05 cent per unit Tariff B – Commercial / Industrial
18 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Tariff B is harged on Commercial / Industrial premises. The charges rates are as follows: First 10 units x kVA x B$0.20 cent per unit Next 100 units x kVA x B$0.07 cent per unit Next 100 units x kVA x B$0.06 cent per unit Remaining units x B$0.05 cent per unit
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
SOSIAL S-1 / 220 VA (TR) S-2 / 450 VA (TR) S-2 / 900 VA (TR) S-2 / 1.300 VA (TR) S-2 / 2.200 VA (TR) S-2 /3.500 VA s.d 200 kVA (TR) S-3 > 200 kVA (TM) RUMAH TANGGA R-1 / 450 VA (TR) R-1 / 900 VA (TR) R-1 / 1.300 VA (TR) R-1 / 2.200 VA (TR) R-2 / > 3.500 s.d 5.500 VA (TR) R-3 / > 6.600 VA (TR) BISNIS B-1 / 450 VA (TR) B-1 / 900 VA (TR) B-1 / 1.300 VA (TR) B-1 / 2.200 s.d 5.500 VA (TR) B-2 / > 6.600 s.d 200 kVA (TR) B-3 / > 200 kVA (TM)
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
INDUSTRI I-1 / 450 VA (TR) I-1 / 900 VA (TR) I-1 / 1.300 VA (TR) I-1 / 2.200 VA (TR) I-1 / 3.500 s.d 14 kVA (TR) I-2 / > 14 kVA s.d 200 kVA (TR) I-3 / > 200 kVA (TM) I-4 / > 30.000 kVA (TT) PEMERINTAH P-1 / 450 VA (TR) P-1 / 900 VA (TR) P-1 / 1.300 VA (TR) P-1 / 2.200 s.d 5.500 VA (TR) P-1 / > 6.600 s.d 200 kVA (TR) P-2 / > 200 kVA (TM) P-3/ PJU (TR) TARIF TRAKSI, CURAH, KHUSUS T / > 200 kVA (TM) C / > 200 kVA (TM) L (Layanan Khusus) (TT/TM/TR)
Tabel 1. Tarif Tenaga Listrik PT PLN (Persero) (37 Golongan)
Tarif listrik Timor Leste juga sangat sederhana, hanya dibagi dalam dua golongan pelanggan listrik yaitu tarif bisnis dan tarif residensial. Sehingga dengan sangat mudah dapat dipahami oleh masyarakatnya. Demikian juga di Myanmar, tarif listrik yang diberlakukan hanya ada 7 golongan, dengan tarif flat untuk setiap kWh yang dipakai oleh pelanggan. Berikut adalah tarif listrik di Myanmar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga yang mewadahi aspirasi konsumen, berpendapat bahwa golongan pelanggan listrik di Indonesia sangat banyak dan membingungkan. Oleh sebab itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk mereview ulang golongan pelanggan tersebut. “Memang kalau dibandingkan struktur pentarifan di beberapa negara, struktur kita rumit,perlu direview dan dibenahi” ujar Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo (okezone.com, Sept
BULETIN KETENAGALISTRIKAN 2012) Kalangan akademisi juga menilai struktur tarif yang berlaku saat ini, yang dianggap rumit dan membingungkan. Konsorsium enam perguruan tinggi (UGM, ITB, UI, ITS, UNUD, dan UNDIP) dalam kajian tentang tarif tenaga listrik mengusulkan penyederhanaan struktur tarif listrik. Dalam rekomendasinya diusulkan agar struktru tarif listrik yang baru harus lebih sederhana sehingga mudah disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu perlu juga mempertimbangkan tarif listrik untuk kegiatan produktif, seperti industri, terutama industri kecil, mendapat insentif tarif lebih murah. Sementara kegiatan bersifat konsumtif, seperti rumah tangga mampu yang menggunakan Tabel 2. Tarif listrik di Myanmar
peralatan listrik untuk kenyamanan, dikenai tarif lebih mahal. Secara sederhana, tarif listrik hanya perlu dibagi ke dalam tiga golongan tarif, yaitu tarif tegangan tinggi, tarif tegangan menengah, dan tarif tegangan rendah. Namun ini masih sulit diterapkan di Indonesia, mengingat tingkat daya beli masyarakat Indonesia yang beragam dan masih adanya kebijakan subsidi listrik. Dengan kenyataan daya beli yang sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang juga beragam, maka memang masih diperlukan segmentasi yang dapat mencerminkan daya beli tersebut. Penulis mengusulkan struktur tarif baru sebanyak 17 golongan tarif yang menjadi bentuk penyederhanaan 37 golongan tarif yang ada saat ini sebagaimana tabel 3: Jika penyederhanaan tarif ini dapat benarbenar terlaksana, maka tarif baru tersebut perlu diarahkan pada kebijakan subsidi yang berkeadilan. Harus diakui bahwa struktur tarif listrik yang berlaku saat ini belum menggambarkan rasa keadilan, karena menyamaratakan penyebaran
subsidi kepada seluruh konsumen, baik kelas ekonomi bawah, menengah, maupun atas. Struktur tarif ini tidak sehat dan akan membebani negara terus menerus. Kelompok konsumen yang tidak layak diberikan subsidi harus diterapkan tarif non subsidi dan hanya kelompok konsumen yang tidak mampu saja yang diberikan subsidi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Subsidi listrik pun perlu dibatasi pada pemakaian jumlah tertentu. Sebagai contoh, kebutuhan minimum untuk rumah tangga sederhana dalam satu bulan adalah sebesar 60 kWh. Maka hanya subsidi hanya diberikan pada pemakaian 60 kWh tersebut, dengan anggapan bahwa jika konsumen rumah tangga menggunakan lebih dari 60 kWh, maka pemakaian selebihnya tersebut bukan lagi masuk dalam kebutuhan minimum, sehingga tidak perlu diberikan subsidi. Dengan demikian subsidi yang tepat sasaran dapat terlaksana (DFS).
Tabel 3. Usulan tarif baru
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 19
BULETIN KETENAGALISTRIKAN ANALISA RESIKO DALAM PROYEK KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DI SEKTOR PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Penulis : Andi Winarno I. PENDAHULUAN Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur. Dengan anggaran Pemerintah yang terbatas, ratusan triliun rupiah diharapkan akan datang dari sektor swasta dalam beberapa tahun kedepan untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan tekad dan semangat untuk mengatasi tantangan ini, terutama dengan menyediakan kerangka peraturan dan kelembagaan untuk menarik minat dari sektor swasta dalam berpartisipasi di proyekproyek infrastruktur dengan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPS). Beberapa dari inisiatif yang telah dilakukan Pemerintah adalah pembentukan lembagalembaga utama yang dapat mengatasi permasalahan infrastruktur KPS melalui pemberian dukungan fiskal. Pada bulan Desember 2009, Pemerintah mendirikan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PII) atau PII, yang juga dikenal sebagai Indonesia Infrastructure Guarantee Fund ( IIGF), sebuah badan usaha milik negara yang diberi tugas menyediakan penjaminan untuk mengurangi eksposur sektor swasta terhadap resiko kontraktual dari pihak pemerintah dalam proyek infrastruktur KPS. Resiko kontraktual tersebut pada dasarnya adalah kewajiban finansial pihak Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) sebagai entitas sektor publik di bawah kontrak KPS atau PPP (Public Private Partnership) yang mencakup pelanggaran kontrak serta perubahan peraturan dan perundangan. PII dan penjaminan infrastruktur ditujukan untuk membawa kenyamanan bagi investor swasta dan pemberi pinjaman, yang pada akhirnya diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan proyek KPS di Indonesia. Dalam rangka meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek infrastruktur sebagai upaya mendorong partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur, Jaminan Pemerintah dapat diberikan kepada proyek infrastruktur yang dilaksanakan berdasarkan skema kerjasama antara Pemerintah dengan badan usaha (KPS),
20 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden no. 67 tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha juncto Peraturan Presiden no. 13 tahun 2010 juncto Peraturan Presiden no. 56 tahun 2011, pemberian jaminan pemerintah dapat diberikan oleh Menteri Keuangan melalui BUMN yang didirikan oleh Pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan penjaminan infrastruktur (Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur/BUPI). Berdasarkan PP no.35/2009, PII didirikan sebagai BUPI melalui penanaman modal negara dengan tujuan menyediakan penjaminan untuk proyek-proyek infrastruktur dengan pola KPS. II. PT. PII PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), atau PII didirikan sebagai respon Pemerintah Indonesia terhadap kebutuhan akan adanya penjaminan terhadap resiko politik yang melekat pada investasi di bidang infrastruktur. Melalui penjaminan tersebut, diharapkan akan mendorong keikutsertaan pihak swasta yang lebih luas dalam pembangunan infrastruktur khususnya melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta/KPS (Public Private Partnership, PPP). Sebagai dasar pelaksanaan KPS, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 67/2005 tentang KPS dalam Penyediaan Infrastruktur, yang diubah dengan Perpres 13/2010. Perpres 13/2010 juncto Peraturan Presiden no. 56 tahun 2011 menyebutkan adanya dukungan kontinjen berupa Jaminan Pemerintah yang akan diberikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) kepada proyek KPS. Dukungan kontinjen atau jaminan tersebut diberikan Menkeu melalui suatu Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI). Untuk itu, PII yang merupakan BUPI dibentuk pada tanggal 30 Desember 2009 sebagai salah satu upaya Pemerintah mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, melalui penyediaan jaminan yang dilakukan dengan proses yang akuntabel, transparan dan kredibel. Disamping itu, kehadiran PII sebagai BUPI diharapkan akan mendorong masuknya pendanaan dari swasta
BULETIN KETENAGALISTRIKAN untuk sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek KPS yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund dari proyek-proyek infrastruktur. Secara ringkas, tujuan pembentukan PII adalah untuk: • Meningkatkan kelayakan kredit atas proyekproyek KPS infrastruktur melalui pemberian penjaminan atas resiko infrastruktur. • Meningkatkan tata kelola dan proses yang transparan dalam pemberian penjaminan atas resiko proyek infrastruktur yang terkait dengan tindakan dan tidak adanya tindakan pemerintah. • Memfasilitasi keberhasilan transaksi bagi PJPK (Kementerian, BUMN, Pemda) melalui penyediaan penjaminan bagi proyek KPS yang telah distruktur dengan baik. • Memagari (ring-fence) kewajiban kontinjensi Pemerintah dan meminimalkan kejutan langsung (‘sudden shock’) kepada APBN. PII bertindak sebagai Penjamin bagi sektor swasta atas berbagai resiko infrastruktur yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan atau tidak adanya tindakan Pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian finansial bagi proyek KPS infrastruktur, seperti keterlambatan pengurusan perijinan, lisensi, perubahan peraturan perundangan-undangan, ketiadaan penyesuaian tarif, kegagalan pengintegrasian jaringan/ fasilitas dan resikoresiko lainnya yang ditanggung atau dialokasikan ke pemerintah dalam masingmasing kontrak KPS. Kepemilikan PT PII adalah 100% milik Pemerintah dan didirikan dengan modal awal sebesar Rp. 1 triliun. Tambahan modal diharapkan akan diberikan di tahun mendatang, dan di tahun-tahun mendatang saat perusahaan menetapkan sendiri dan menetapkan prosedur operasi untuk mengelola penjaminan dan meningkatnya permintaan untuk penjaminan dengan meningkatnya jumlah proyek infrastruktur KPS. PT PII didirikan sebagai Badan Usaha Milik Negara, yang akan dijalankan dan berhasil mencapai peringkat yang ditargetkan menuju investment grade. Peringkat ini akan dipertahankan dan ditingkatkan melalui professional management of guarantees, keterlibatan lembaga multilateral peringkat AAA, dan kemitraan dengan lembaga multilateral dan bilateral lainnya dalam memberikan jaminan. Pembentukan dan operasionalisasi PT PII sedang didukung oleh lembaga multilateral termasuk
Bank Dunia. Bank Dunia menyiapkan Rp 1,5 triliun proyek untuk membantu PT PII, dan mengembangkan standar penilaian proyek dan standar operasional lainnya. Di masa depan, PT PII juga diharapkan untuk bermitra dengan lembaga keuangan lainnya dalam mengatur penjaminan. Pemberian penjaminan infrastruktur melalui PII diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden no. 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (“Perpres 78/2010”), dan Peraturan Menteri Keuangan no.260/ PMK.011/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (“PMK 260/2010”). III. STRUKTUR PROYEK KPS SECARA UMUM Berdasarkan Perpres 67/2005 juncto 13/2010 juncto 56/2011, PJPK adalah Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, dan untuk sektor infrastruktur yang menurut peraturan perundangundangan diselenggarakan atau dilaksanakan oleh BUMN/BUMD, maka PJPK proyek sektor tersebut adalah BUMN/BUMD. Perpres 67/2005 juncto 13/2010 tidak mengamanatkan bentukbentuk kerjasama atau Struktur KPS tertentu. Untuk keperluan penyusunan acuan ini, struktur KPS diklasifikasikan berdasarkan sifat dari pelayanan dan pembagian resiko yang termuat dalam kontrak KPS. Kedua kategori utama adalah kerjasama berbasis-penggunaan (Usage-based PPP), dan kerjasama berbasis ketersediaan ( Availability-based PPP). Struktur berbasis-penggunaan ( Usage-based PPP) Dalam struktur ini, lingkup penyediaan infrastruktur meliputi seluruh peran atau pekerjaan yang dimungkinkan untuk dilakukan oleh pihak swasta. Hal ini berarti (Badan Usaha) BU secara langsung menyediakan layanan infrastruktur kepada pengguna akhir, dimana PJPK dapat juga berperan sebagai regulator. Struktur ini kerap disebut juga sebagai model Konsesi (sebagaimana dikenal luas di Indonesia). Struktur ini umumnya ditemukan di sektor perhubungan (misal jalan tol, kereta api) dan sektor utilitas (misal air minum). Seperti terlihat dalam diagram di atas, PJPK secara kontraktual sepakat untuk memberikan suatu hak pengusahaan (konsesi) untuk penyediaan layanan infrastruktur secara keseluruhan selama periode
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 21
BULETIN KETENAGALISTRIKAN kontrak yang disepakati. Struktur berbasis-ketersediaan ( Availability-based PPP) Dalam struktur ini, lingkup penyediaan infrastruktur yang menjadi tanggung jawab BU hanya meliputi sebagian dari seluruh peran atau pekerjaan yang dimungkinkan untuk dilakukan pleh pihak swasta. Kebanyakan dari layanan jenis ini mencakup penyediaan unit pembangkit/ pemroses (‘fasilitas’), dan sebagian dari lingkup dapat mencakup penyediaan transmisi bahan baku untuk fasilitas atau konstruksi dan operasi dari fasilitas, atau distribusi output fasilitias menuju jaringan utama ke pelanggan. BU menerima pembayaran berkala dari PJPK selama periode kontrak atas ketersediaan layanan infrastruktur (termasuk biaya operasional yang ‘diteruskan’ atau pass-through ke PJPK). Karenanya, biasanya entitas yang menjadi PJPK adalah instansi utilitas publik (misal PLN untuk sektor listrik). Skema kontraktual tipe ini bisa berupa skema Build Operate Transfer (BOT BOT) atau Build Operate Own (BOO). Dalam kedua skema, BU biasanya bertanggung jawab atas desain, konstruksi, pembiayaan dan operasional dan pemeliharaan (O&M) dari fasilitas yang outputnya digunakan/dibeli oleh PJPK. Perbedaan di antara keduanya adalah, berlawanan dengan BOT, skema BOO tidak mengharuskan pihak swasta (BU) untuk mengalihkan aset ke sektor publik setelah kontrak KPS berakhir. IV. STRUKTUR KPS SEKTOR KELISTRIKAN Di sektor kelistrikan, KPS telah diterapkan hanya untuk bagian
pembangkitan listrik, melalui skema Pembangkit Listrik Swasta (Independent Power Producer atau “IPP”), dan bukan untuk bagian penyediaan layanan infrastruktur lainnya (seperti transmisi, distribusi, dan penagihan tarif). IPP umumnya menggunakan skema BOT atau BOO, maka dapat dikatakan bahwa proyek-proyek yang telah dilaksanakan menggunakan skema KPS berbasis ketersediaan (infrastruktur retail). BOT Kelistrikan Secara kontraktual, badan usaha swasta atau IPP bertanggung jawab atas desain, konstruksi, pembiayaan serta operasi dan pemeliharaan dari fasilitas pembangkit listrik (pembangkit). Tenaga listrik yang dihasilkan kemudian dijual oleh IPP kepada PLN sebagai badan usaha milik negara (juga sebagai PJPK) melalui sebuah perjanjian pembelian listrik (Power Purchase Agreement atau “PPA”). Seperti struktur BOT lainnya, pembangkit akan diserahkan kepada PJPK pada akhir masa kerjasama.
Gambar 2. Struktur berbasis-ketersediaan ( Availability-based PPP)
PLN sebagai pembeli tunggal listrik ( single off-taker) akan membayar atas listrik dari IPP secara berkala dengan dasar pembayaran ambilatau-bayar ( take-or-pay) selama masa perjanjian pembelian listrik. Sehingga kemampuan PLN dalam memenuhi kewajiban finansialnya ini selalu menjadi resiko utama yang perlu diperhatikan untuk skema ini.
Gambar 1. Struktur berbasis-penggunaan ( Usage-based PPP atau Konsesi)
22 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
BOO Kelistrikan Struktur Bangun Guna Milik (BOO) sebenarnya mirip dengan Bangun Guna Serah (BOT). Struktur ini telah diterapkan
BULETIN KETENAGALISTRIKAN pada proyek-proyek IPP PLN sebelumnya. Namun demikian, berdasarkan implementasi saat ini dan proyek-proyek yang telah berjalan, PLN lebih memilih struktur BOT sebagai upaya untuk mendapatkan fasilitas pembangkit pada saat ikatan perjanjian KPS berakhir. V. PENILAIAN RESIKO UNTUK PENJAMINAN INFRASTRUKTUR Acuan Alokasi Resiko Infrastruktur ini menyediakan 1) Kategori Resiko dan 2) Matriks Alokasi Resiko untuk dapat digunakan oleh PJPK dalam menyiapkan alokasi resiko untuk proyek KPS, yang berlaku sebagai basis bagi PJPK dalam menyiapkan usulan penjaminan ke PII. serta dapat berperan meningkatkan penerapan dari kerangka manajemen resiko suatu proyek KPS. Pada dasarnya, penjaminan infrastruktur oleh PII menjamin kewajiban finansial PJPK dalam suatu perjanjian KPS, dimana kewajiban ini timbul akibat resiko yang disebabkan oleh peristiwa penyebab ( triggering events) berikut: a.
tindakan atau tiadanya tindakan PJPK atau Pemerintah selain PJPK dalam halhal yang menurut hukum atau peraturan perundangan PJPK atau Pemerintah selain PJPK memiliki kewenangan atau otoritas untuk melakukan tindakan tersebut;
b.
kebijakan PJPK atau Pemerintah selain PJPK;
c.
keputusan sepihak dari Pemerintah selain PJPK;
d.
ketidakmampuan PJPK dalam melaksanakan suatu kewajiban yang ditentukan kepadanya oleh Badan Usaha berdasarkan Perjanjian Kerjasama ( breach of contract).
PJPK
resiko infrastruktur dalam suatu proyek KPS dibuat setelah mengevaluasi, antara lain, kesesuaian draft perjanjian KPS dengan prinsip alokasi resiko (yang tercermin didalam Acuan Alokasi Resiko Infrastruktur ini), seperti digambarkan dalam diagram berikut. Prinsip Alokasi lokasi Resiko Penentuan kewajiban PJPK dalam Perjanjian Kerjasama proyek KPS perlu memenuhi prinsip Alokasi Resiko. Alokasi resiko yang optimal penting demi memaksimalkan value for money. Prinsip yang lazim diterapkan untuk alokasi resiko adalah bahwa resiko sebaiknya dialokasikan kepada pihak yang relatif lebih mampu mengelolanya atau dikarenakan memiliki biaya terendah untuk menyerap resiko tersebut. Jika prinsip ini diterapkan dengan baik, diharapkan dapat menghasilkan premi resiko yang rendah dan biaya proyek yang lebih rendah sehingga berdampak positif bagi pemangku kepentingan proyek tersebut. Contoh penerapan prinsip tersebut di investasi KPS adalah sebagai berikut: • Resiko yang berdasarkan pengalaman sulit
atau
Keputusan PII dalam penyediaan penjaminan Gambar 4. Struktur BOO Kelistrikan
Gambar 3. Struktur BOT Kelistrikan
untuk dikendalikan pemerintah agar memenuhi asas efektivitas biaya, sebaiknya ditanggung pihak swasta • Resiko yang berada di luar kendali kedua belah pihak, atau sama-sama dapat dipengaruhi kedua belah pihak sebaiknya ditanggung bersama (kejadian kahar) • Resiko yang dapat dikelola pemerintah, karena posisinya lebih baik atau lebih mudah mendapatkan informasi dibandingkan swasta (resiko peraturan atau legislasi) sebaiknya ditanggung pemerintah
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 23
BULETIN KETENAGALISTRIKAN • Resiko yang walaupun sudah ditransfer, tetap memberikan eksposur kepada pemerintah atau PJPK (menghambat tersedianya layanan penting ke masyarakat), dimana jika Badan Usaha gagal memenuhi kewajiban maka pemerintah dapat mengambil alih proyek Kategori Resiko KPS Checklist Kategori Resiko KPS dikembangkan sebagai suatu daftar kelompok resiko yang generik, yang diharapkan dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi peristiwa-peristiwa resiko spesifik kepada setiap proyek KPS. Peristiwa-peristiwa resiko yang teridentifikasi tersebut dapat digunakan lebih jauh untuk tahapan penilaian resiko dan pengembangan matriks/strategi alokasi resiko. Kategori resiko ini tidak bermaksud untuk menjadi suatu daftar resiko yang kaku untuk setiap proyek KPS. Situasi dan kondisi spesifik dalam suatu proyek KPS perlu juga dipertimbangkan. 1. Resiko Lokasi adalah kelompok resiko dimana lahan proyek tidak tersedia atau tidak dapat digunakan sesuai jadwal yang sudah ditentukan dan dalam biaya yang diperkirakan, atau bahwa lokasi dapat menimbulkan suatu beban atau kewajiban bagi pihak tertentu. Dengan demikian, resiko-resiko yang termasuk kategori ini adalah: a. Resiko pembebasan lahan: resiko-resiko yang terkait proses pembebasan lahan yang dibutuhkan proyek, yang dapat melibatkan potensi tambahan biaya dan keterlambatan; b. Resiko ketidaksesuain lokasi lahan: resiko
Gambar 5. Kaitan Acuan Resiko PII dan Kerangka Regulasi Penjaminan Infrastruktur
24 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
bahwa lokasi lahan yang diusulkan tidak dapat digunakan untuk proyek, dimana penyebabnya dapat meliputi kontaminasi, penemuan artefak, keterlambatan/penolakan perolehan persetujuan perencanaan, status lahan, dan lainnya; c. Resiko lingkungan: resiko timbulnya kewajiban terhadap kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi (1) akibat aktifitas konstruksi dan operasi selama masa proyek, atau (2) dari aktifitas sebelum pengalihan lahan proyek dari PJPK kepada BU atau pihak sub-kontraktor. 2. Resiko Desain, Konstruksi dan Uji Operasi adalah resiko desain, konstruksi atau uji operasi suatu fasilitas proyek atau elemen dari prosesnya, dilakukan dengan cara yang menyebabkan dampak negatif terhadap biaya dan pelayanan proyek. Dengan demikian, resiko yang termasuk dalam kategori ini adalah: Resiko perencanaan: resiko bahwa penggunaan lokasi proyek yang diusulkan dalam perjanjian KPS dan, khususnya, konstruksi fasilitas yang dibangun tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku terkait perencanaan, tata guna lahan atau bahwa perijinan terlambat (atau tidak dapat) diperoleh atau, kalaupun diperoleh, hanya dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih besar dari yang diperkirakan; a. Resiko desain: resiko dimana desain dari BU tidak dapat memenuhi spesifikasi output yang ditentukan; b. Resiko penyelesaian: resiko dimana penyelesaian pekerjaan yang dibutuhkan suatu proyek dapat (1) terlambat sehingga penyediaan layanan infrastruktur tidak dapat dimulai sesuai Commercial Operation Date ( COD) yang sudah ditetapkan, atau (2) terlambat, kecuali biaya lebih besar harus dikeluarkan untuk mempertahankan COD yang sudah terjadwal, atau (3) terlambat karena perubahan/variasi yang terjadi; c. Resiko kenaikan biaya: resiko dimana pada tahap desain dan konstruksi, biaya realiasi proyek melebihi proyeksi biaya proyek;
BULETIN KETENAGALISTRIKAN d. Resiko uji operasi: resiko dimana uji operasi terlambat atau hasilnya tidak memenuhi spesifikasi PJPK atau pihak berwenang lainnya. 3. Resiko sponsor adalah resiko dimana BU dan/ atau sub-kontraktornya tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya kepada PJPK. 4. Resiko finansial adalah resiko-resiko terkait aspek kelayakan finansial proyek. Resiko-resiko tersebut dapat berupa: Resiko ketidakpastian pembiayaan: resiko bahwa pihak penyedia dana ( debt dan equity) tidak akan atau tidak dapat melanjutkan komitmen untuk menyediakan pendanaan proyek; a. Resiko parameter finansial: resiko yang disebabkan berubahnya parameter finansial (misalnya tingkat inflasi, nilai tukar, kondisi pasar) sebelum kontraktor sepenuhnya berkomitmen untuk proyek ini, berpotensi memberikan dampak buruk terhadap biaya proyek; a. Resiko struktur finansial: resiko bahwa struktur keuangan tidak cukup baik untuk memberikan hasil yang optimal sesuai porsi hutang dan ekuitas selama periode proyek dan karenanya dapat mengganggu keberlanjutan kelayakan proyek; a. Resiko asuransi: (i) bahwa resiko-resiko yang sebelumnya dapat diasuransikan ( insurable) pada tanggal penandatanganan sesuai dengan asuransi proyek yang telah disepakati tetapi kemudian menjadi uninsurable atau (ii) tetap insurable tetapi dengan kenaikan premi asuransi yang signifikan. 5. Resiko Operasional adalah resiko dimana proses penyediaan layanan infrastruktur sesuai kontrak atau suatu elemen dari proses tersebut (termasuk input yang digunakan atau sebagai bagian dari proses itu) akan terpengaruh dengan cara yang menghalangi BU dalam menyediakan layanan kontrak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dan/atau sesuai proyeksi biaya. Dengan demikian, resiko termasuk dalam kategori ini adalah: a. Resiko pemeliharaan: resiko dimana (i) realisasi biaya pemeliharaan aset proyek lebih tinggi/berubah dari biaya pemeliharaan yang diproyeksikan, atau (ii) terdapat dampak negatif akibat pemeliharaan tidak dilakukan dengan baik; b. Resiko cacat tersembunyi ( latent defect): resiko kehilangan atau kerusakan yang timbul akibat cacat tersembunyi pada fasilitas yang termasuk sebagai aset proyek; c. Resiko teknologi: resiko dimana (i) teknologi yang digunakan berpotensi gagal dalam
memberikan spesifikasi output yang diperlukan, atau (ii) perkembangan teknologi membuat teknologi yang digunakan menjadi usang (resiko keusangan teknologi); d. Resiko utilitas: resiko dimana (i) utilitas (misalnya air, listrik atau gas) yang diperlukan untuk operasi proyek tidak tersedia, atau (ii) keterlambatan proyek karena keterlambatan sehubungan dengan pemindahan atau relokasi utilitas yang terletak di lokasi proyek; e. Resiko sumber daya atau input: resiko kegagalan atau kekurangan dalam penyediaan input atau sumber daya (misalnya, batubara atau bahan bakar lainnya) yang diperlukan untuk operasi proyek, termasuk kekurangan dalam kualitas pasokan yang tersedia; f. Resiko hubungan industri: resiko setiap bentuk aksi industri - termasuk demonstrasi, larangan bekerja, pemblokiran, tindakan perlambatan dan pemogokan - yang terjadi dengan cara yang, secara langsung atau tidak langsung, berdampak negatif terhadap uji operasi, penyediaan layanan atau kelayakan proyek. 6. Resiko pendapatan ( revenue revenue) adalah resiko bahwa pendapatan proyek tidak dapat memenuhi proyeksi tingkat kelayakan finansial, karena perubahan yang tak terduga baik permintaan proyek atau tarif yang disepakati atau kombinasi keduanya. Karenanya, resiko termasuk dalam kategori ini adalah: a. Resiko permintaan: resiko bahwa realisasi permintaan penyediaan layanan secara tak terduga lebih rendah dari proyeksi; dan b. Resiko tarif: resiko bahwa tarif layanan lebih rendah dari proyeksi, karena: 1) penyesuaian tarif secara periodik tidak dilakukan sesuai rencana atau tingkat tarif disesuaikan lebih rendah dari proyeksi, atau 2) kesalahan estimasi tarif atau tidak terpenuhinya standar yang disyaratkan untuk permintaan penyesuaian tarif. 7. Resiko konektivitas jaringan adalah resiko terjadinya dampak negatif akibat perubahan dari kondisi jaringan saat ini atau rencana masa depan. Resiko yang termasuk dalam kategori ini adalah: a. Resiko konektivitas dengan jaringan eksisting: resiko bahwa akses ke jaringan eksisting tidak (akan) dibangun sesuai rencana; b. Resiko pengembangan jaringan: resiko bahwa jaringan tambahan yang dibutuhkan tidak (jadi) dibangun sesuai rencana; c. Resiko fasilitas pesaing: resiko bahwa dibangunnya fasilitas/infrastruktur serupa
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 25
BULETIN KETENAGALISTRIKAN yang kemudian menyaingi output penyediaan layanan sesuai kontrak. 8. Resiko interface adalah resiko dimana metode atau standar penyediaan layanan akan menghalangi atau mengganggu penyediaan layanan yang dilakukan sektor publik atau sebaliknya. Resiko ini termasuk ketika kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai/tidak cocok dengan yang dilakukan oleh BU, atau sebaliknya. 9. Resiko politik adalah resiko yang dipicu tindakan/tiadanya tindakan PJPK yang tidak dapat diprediksi sebelumnya yang merugikan secara material dan mempengaruhi pengembalian ekuitas dan pinjaman. Resiko yang termasuk kategori ini adalah: a. Resiko Mata Uang yang Tidak Dapat Dikonversi atau Ditransfer :resiko bahwa pendapatan/ profit dari proyek tidak bisa dikonversi ke mata uang asing dan/atau direpatriasi ke negara asal investor; b. Resiko pengambilalihan: resiko tindakan pengambilalihan aset proyek (termasuk nasionalisasi) oleh pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat memicu pengakhiran kontrak proyek. c. Resiko perubahan regulasi dan perundangan: resiko perubahan undang-undang, peraturan atau kebijakan yang merugikan proyek; d. Resiko sub-sovereign atau parastatal: resiko dimana suatu entitas milik/bagian dari pemerintah yang bertindak sebagai PJPK dalam proyek ini telah gagal untuk melakukan pembayaran kewajiban kontrak atau kewajiban material lainnya (misalnya karena keputusan sepihak); e. Resiko perijinan: resiko dimana perijinan yang diperlukan dari suatu otoritas pemerintah lainnya tidak dapat diperoleh atau, jika diperoleh, diperlukan biaya yang lebih besar dari proyeksi; f. Resiko perubahan tarif pajak: resiko perubahan tarif pajak yang berlaku (tarif pajak penghasilan, PPN) atau pajak baru yang dapat menurunkan pengembalian ekuitas yang diharapkan. 10. Resiko kahar (force majeure) adalah resiko terjadinya kejadian kahar yang sepenuhnya di luar kendali kedua belah pihak (misalnya bencana alam atau akibat manusia) dan akan mengakibatkan penundaan atau default oleh BU dalam pelaksanaan kewajiban kontraknya. 11. Resiko kepemilikan aset adalah resiko terjadinya peristiwa seperti kejadian kehilangan (misalnya hilangnya kontrak, force majeure),
26 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
perubahan teknologi, dan lainnya, yang menyebabkan nilai ekonomi aset menurun, baik selama atau pada akhir masa kontrak. VI. RESIKO KPS SEKTOR KELISTRIKAN BOT Kelistrikan Resiko untuk suatu proyek pembangkit listrik dengan kontrak BOT ( Build, Operate, Transfer). BU (umumnya dikenal sebagai IPP) menjual tenaga listrik kepada PLN sebagai pembeli ( off-taker) selama periode perjanjian jual beli listrik (PPA) dan akan menyerahkan unit pembangkit listrik kepada PLN setelah kontrak tersebut berakhir. 1. Site Risk a. Keterlambatan dan kenaikan biaya pembebasan lahan. Keterlambatan dan kenaikan biaya akibat ketidakjelasan dan proses pembebasan lahan yang berkepanjangan. Resiko permasalahan ini terletak pada Publik/Pemerintah, tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya penyediaan lahan oleh Pemerintah/PJPK sebelum proses pengadaan dilakukan. b. Lahan tidak dapat dibebaskan. Kegagalan perolehan lokasi lahan proyek karena proses pembebasan lahan yang sulit.Resiko permasalahan ini terletak pada Publik/ Pemerintah, tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya penyediaan lahan oleh Pemerintah/ PJPK sebelum proses pengadaan dilakukan. c. Kesulitan pada kondisi lokasi yang tak terduga. Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. d. Kerusakan artefak dan barang kuno pada lokasi. Resiko terletak di sektor swasta/ kontraktor. e. Pembongkaran. Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. f. Gagal menjaga keselamatan dalam lokasi. Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. g. Kondisi cuaca luar biasa. Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. h. Sengketa isu lingkungan. Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. 2. Resiko Desain, Konstruksi, dan Uji Operasi a. Kenaikan biaya akibat isu perencanaan b. Resiko design brief Keterlambatan dan kenaikan biaya akibat tidak jelasnya/tidak lengkapnya design brief c. Ekstra pekerjaan desain yang diminta operator d. Terlambatnya penyelesaian konstruksi dan mengembalikan akses lokasi e. Kenaikan biaya konstruksi f. Kesalahan desain
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Uji operasi teknis mengarah ke penemuan kesalahan desain g. Resiko Uji Operasi Kesalahan estimasi waktu/biaya dalam uji operasi teknis. Resiko permasalahan Desain, Konstruksi, dan Uji Operasi terletak di sektor swasta/kontraktor. 3. Resiko Sponsor a. Default kontraktor desain sebelum desain diselesaikan b. Kinerja subkontraktor yang buruk c. Default sub-kontraktor d. Default BU e. Default BU yang mengarah ke terminasi/stepin oleh financier f. Default sponsor proyek g. Default pihak sponsor (atau anggota konsorsium) Resiko permasalahan sponsor ini juga terletak di sektor swasta 4. Resiko Finansial a. Kegagalan mencapai financial close Ketidakmampuan mencapai financial close karena ketidakpastian kondisi pasar b. Resiko struktur finansial. In efisiensi karena struktur modal proyek yang tidak optimal c. Resiko nilai tukar mata uang Fluktuasi (non ekstrim) nilai tukar mata uang d. Resiko tingkat inflasi Kenaikan (non ekstrim) tingkat inflasi yang digunakan dalam estimasi life-cycle cost e. Resiko suku bunga Fluktuasi (non ekstrim) tingkat suku bunga f. Resiko asuransi 1 Cakupan asuransi untuk resiko tertentu tidak lagi tersedia dari penyedia asuransi di pasaranan g. Resiko asuransi 2 Kenaikan substansial tingkat premi terhadap estimasi awal. Resiko permasalahan finasial terletak di sektor swasta 5. Resiko Operasi a. Ketersediaan fasilitas (resiko swasta) b. Tidak tersedianya layanan (resiko swasta) c. Buruknya layanan (resiko swasta) d. Aksi industri 1 (resiko swasta) Aksi industri seperti mogok, larangan kerja, dan sebagainya oleh staf operator e. Aksi industri 2 (resiko swasta) Aksi industri seperti mogok, larangan kerja, dan sebagainya oleh sub kontraktor atau penyuplai f. Kenaikan biaya O & M (resiko swasta)Kesalahan estimasi biaya O & M g. Kesalahan estimasi biaya life cycle (resiko
swasta) h. Kenaikan biaya energi karena in efisiensi unit (resiko swasta) i. Tidak teraturnya ketersediaan utilitas (resiko swasta) j. Gangguan (down time) berkepanjangan (resiko swasta) k. Berkurangnya suplai bahan bakar (resiko Pemerintah) l. Menurunnya kualitas bahan bakar (resiko Pemerintah) m. Ketidakpastian ketersediaan bahan bakar (resiko Pemerintah) Ketidakpastian ketersediaan bahan bakar dapat diatasi dengan adanya kontrak suplai bahan bakar untuk jangka waktu yang lama. 6. Resiko Pendapatan a. Perubahan volume permintaan output proyek (resiko Pemerintah/PJPK) b. Pelanggan akhir gagal bayar (resiko Pemerintah/PJPK) c. Penyesuaian tarif periodik terlambat (resiko Pemerintah/PJPK) d. Tingkat penyesuaian tarif lebih rendah dari proyeksi (resiko Pemerintah/PJPK) e. Kesalahan perhitungan estimasi tarif (resiko swasta) 7. Resiko Konektivitas Jaringan a. Resiko jaringan 1 (resiko Pemerintah/PJPK) Ingkar janji otoritas untuk menjaga jaringan transmisi yang diperlukanResiko Jaringan 2 (resiko Pemerintah/PJPK) b. Ingkar janji otoritas untuk membangun fasilitas yang diperlukan 8. Resiko Interface (resiko Pemerintah/PJPK) Interface risk yaitu unabsorbed output in early operating years. Hal ini dapat diatasi dengan pemeliharaan jalur transmisi yang handal, dan perencanaan yang lebih baik. 9. Resiko Politik a. Mata uang asing tidak dapat dikonversi (resiko Pemerintah/PJPK) Mata uang asing tidak tersedia dan/atau tidak bisa dikonversi dari Rupiah Hal ini dapat diatasi dengan pembiayaan domestik, akun pembiayaan luar negeri, dan penjaminan dari bank sentral. b. Mata uang asing tidak dapat direpatriasi (resiko Pemerintah/PJPK) Mata uang asing tidak bisa ditransfer ke negara asal investor Hal ini dapat diatasi dengan pembiayaan domestik, akun pembiayaan luar negeri, dan penjaminan dari bank sentral. c. Resiko ekspropriasi (resiko Pemerintah/PJPK)
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 27
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Hal ini dapat ditanggulangi dengan mediasi, negosiasi, asuransi resiko politik, dan penjaminan Pemerintah. d. Perubahan regulasi (dan pajak) yang umum (resiko swasta) e. Perubahan regulasi (dan pajak) yang diskriminatif dan spesifik (resiko Pemerintah/ PJPK) f. Hal ini dapat ditanggulangi dengan mediasi, negosiasi, asuransi resiko politik, dan penjaminan Pemerintah. g. Keterlambatan perolehan persetujuan perencanaan (resiko Pemerintah/PJPK) Hanya jika disebabkan keputusan sepihak/ tidak wajar dari otoritas terkait Hal ini dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik tentang proses terkait. h. Gagal/terlambatnya perolehan persetujuan (selain perencanaan) (resiko Pemerintah/ PJPK) Hanya jika disebabkan keputusan sepihak/ tidak wajar dari otoritas terkait Hal ini dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik tentang proses terkait. i. Keterlambatan perolehan akses ke lokasi proyek (resiko Pemerintah/PJPK) Hanya jika disebabkan keputusan sepihak/ tidak wajar dari otoritas terkait Hal ini dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik tentang proses terkait. j. Resiko parastatal 1 (resiko Pemerintah/PJPK) Wanprestasi kewajiban kontrak PJPK sebagai off taker Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi resiko politik dan penjaminan Pemerintah k. Resiko parastatal 1 (resiko Pemerintah/PJPK) Privatisasi offtaker Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi resiko politik dan penjaminan Pemerintah l. Terminasi akibat default PJPK (resiko Pemerintah/PJPK) Hal ini dapat ditanggulangi dengan penjaminan Pemerintah 10. Force Majeure Risks a. Bencana alam (Resiko Bersama antara Pemerintah/PJPK dengan swasta) Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi, apabila memungkinkan. b. Force majeur politis (Resiko Bersama antara Pemerintah/PJPK dengan swasta) Peristiwa perang, kerusuhan, gangguan keamanan masyarakat
28 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi, apabila memungkinkan. c. Force majeur berkepanjangan (Resiko Bersama antara Pemerintah/PJPK dengan swasta) Jika diatas 6-12 bulan, dapat mengganggu aspek ekonomis pihak yang terkena dampak (terutama bila asuransi tidak ada) Dalam hal ini setiap pihak dapat mengakhiri kontrak KPS dan memicu prosedur pembayaran nilai terminasi proyek. 11. Resiko Kepemilikan Aset a. Resiko nilai aset turun (resiko swasta) Kebakaran, ledakan, dan sebagainya Hal ini dapat ditanggulangi dengan adanya asuransi b. Transfer aset setelah kontrak KPS berakhir (resiko swasta) Umumnya dalam struktur BOT kelistrikan, resiko spesifik yang ada adalah resiko pengalihan aset setelah berakhirnya perjanjian jual beli listrik (PPA). Resiko sektor spesifik lainnya adalah resiko pelanggaran kontrak oleh off-taker dan privatisasi off-taker. BOO Kelistrikan Resiko untuk suatu proyek pembangkit listrik dengan kontrak BOO ( Build, Operate, Own). BU (sebagai IPP) menjual tenaga listrik kepada PLN sebagai pembeli ( off-taker) selama periode perjanjian KPS dan akan tetap memegang kepemilikan aset setelah kontrak berakhir. 1. Site Risk a. Keterlambatan dan kenaikan biaya pembebasan lahan Keterlambatan dan kenaikan biaya akibat ketidakjelasan dan proses pembebasan lahan yang berkepanjangan Resiko permasalahan ini terletak pada Publik/ Pemerintah, tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya penyediaan lahan oleh Pemerintah/ PJPK sebelum proses pengadaan dilakukan. b. Lahan tidak dapat dibebaskan Kegagalan perolehan lokasi lahan proyek karena proses pembebasan lahan yang sulit. Resiko permasalahan ini terletak pada Publik/ Pemerintah, tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya penyediaan lahan oleh Pemerintah/ PJPK sebelum proses pengadaan dilakukan. c. Kesulitan pada kondisi lokasi yang tak terduga Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. Kerusakan artefak dan barang kuno pada lokasi Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor.
BULETIN KETENAGALISTRIKAN d. Pembongkaran Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. e. Gagal menjaga keselamatan dalam lokasi Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. f. Kondisi cuaca luar biasa Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. g. Sengketa isu lingkungan Resiko terletak di sektor swasta/kontraktor. 2. Resiko Desain, Konstruksi, dan Uji Operasi a. Kenaikan biaya akibat isu perencanaan b. Resiko design brief Keterlambatan dan kenaikan biaya akibat tidak jelasnya/tidak lengkapnya design brief c. Ekstra pekerjaan desain yang diminta operator d. Terlambatnya penyelesaian konstruksi dan mengembalikan akses lokasi e. Kenaikan biaya konstruksi f. Kesalahan desain Uji operasi teknis mengarah ke penemuan kesalahan desain g. Resiko Uji Operasi Kesalahan estimasi waktu/biaya dalam uji operasi teknis. Resiko permasalahan Desain, Konstruksi, dan Uji Operasi terletak di sektor swasta/ kontraktor. 3. Resiko Sponsor a. Default kontraktor desain sebelum desain diselesaikan b. Kinerja subkontraktor yang buruk c. Default sub-kontraktor d. Default BU Default BU yang mengarah ke terminasi/stepin oleh financier e. Default sponsor proyek Default pihak sponsor (atau anggota konsorsium) Resiko permasalahan sponsor ini juga terletak di sektor swasta 4. Resiko Finansial a. Kegagalan mencapai financial close Ketidakmampuan mencapai financial close karena ketidakpastian kondisi pasar b. Resiko struktur finansial In efisiensi karena struktur modal proyek yang tidak optimal c. Resiko nilai tukar mata uang Fluktuasi (non ekstrim) nilai tukar mata uang d. Resiko tingkat inflasi Kenaikan (non ekstrim) tingkat inflasi yang digunakan dalam estimasi life-cycle cost e. Resiko suku bunga Fluktuasi (non ekstrim) tingkat suku bunga f. Resiko asuransi 1
Cakupan asuransi untuk resiko tertentu tidak lagi tersedia dari penyedia asuransi di pasaranan g. Resiko asuransi 2 Kenaikan substansial tingkat premi terhadap estimasi awal Resiko permasalahan finasial terletak di sektor swasta 5. Resiko Operasi a. Ketersediaan fasilitas (resiko swasta) b. Tidak tersedianya layanan (resiko swasta) c. Buruknya layanan (resiko swasta) d. Aksi industri 1 (resiko swasta) Aksi industri seperti mogok, larangan kerja, dan sebagainya oleh staf operator e. Aksi industri 2 (resiko swasta) Aksi industri seperti mogok, larangan kerja, dan sebagainya oleh sub kontraktor atau penyuplai f. Kenaikan biaya O & M (resiko swasta) Kesalahan estimasi biaya O & M g. Kesalahan estimasi biaya life cycle (resiko swasta) h. Kenaikan biaya energi karena in efisiensi unit (resiko swasta) i. Tidak teraturnya ketersediaan utilitas (resiko swasta) j. Gangguan (down time) berkepanjangan (resiko swasta) k. Berkurangnya suplai bahan bakar (resiko Pemerintah) l. Menurunnya kualitas bahan bakar (resiko Pemerintah) m. Ketidakpastian ketersediaan bahan bakar (resiko Pemerintah) Ketidakpastian ketersediaan bahan bakar dapat diatasi dengan adanya kontrak suplai bahan bakar untuk jangka waktu yang lama. 6. Resiko Pendapatan a. Perubahan volume permintaan output proyek (resiko Pemerintah/PJPK) b. Pelanggan akhir gagal bayar (resiko Pemerintah/PJPK) c. Penyesuaian tarif periodik terlambat (resiko Pemerintah/PJPK) d. Tingkat penyesuaian tarif lebih rendah dari proyeksi (resiko Pemerintah/PJPK) e. Kesalahan perhitungan estimasi tarif (resiko swasta) 7. Resiko Konektivitas Jaringan a. Resiko jaringan 1 (resiko Pemerintah/PJPK) Ingkar janji otoritas untuk menjaga jaringan transmisi yang diperlukan b. Resiko Jaringan 2 (resiko Pemerintah/PJPK) Ingkar janji otoritas untuk membangun
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 29
BULETIN KETENAGALISTRIKAN fasilitas yang diperlukan 8. Resiko Interface (resiko Pemerintah/PJPK) Interface risk yaitu unabsorbed output in early operating years. Hal ini dapat diatasi dengan pemeliharaan jalur transmisi yang handal, dan perencanaan yang lebih baik. 9. Resiko Politik 1. Mata uang asing tidak dapat dikonversi (resiko Pemerintah/PJPK) Mata uang asing tidak tersedia dan/atau tidak bisa dikonversi dari Rupiah Hal ini dapat diatasi dengan pembiayaan domestik, akun pembiayaan luar negeri, dan penjaminan dari bank sentral. 2. Mata uang asing tidak dapat direpatriasi (resiko Pemerintah/PJPK) Mata uang asing tidak bisa ditransfer ke negara asal investor Hal ini dapat diatasi dengan pembiayaan domestik, akun pembiayaan luar negeri, dan penjaminan dari bank sentral. 3. Resiko ekspropriasi (resiko Pemerintah/PJPK) Hal ini dapat ditanggulangi dengan mediasi, negosiasi, asuransi resiko politik, dan penjaminan Pemerintah. 4. Perubahan regulasi (dan pajak) yang umum (resiko swasta) 5. Perubahan regulasi (dan pajak) yang diskriminatif dan spesifik (resiko Pemerintah/ PJPK) 6. Hal ini dapat ditanggulangi dengan mediasi, negosiasi, asuransi resiko politik, dan penjaminan Pemerintah. 7. Keterlambatan perolehan persetujuan perencanaan (resiko Pemerintah/PJPK) Hanya jika disebabkan keputusan sepihak/ tidak wajar dari otoritas terkait Hal ini dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik tentang proses terkait. 8. Gagal/terlambatnya perolehan persetujuan (selain perencanaan) (resiko Pemerintah/ PJPK) Hanya jika disebabkan keputusan sepihak/ tidak wajar dari otoritas terkait Hal ini dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik tentang proses terkait. 9. Keterlambatan perolehan akses ke lokasi proyek (resiko Pemerintah/PJPK) Hanya jika disebabkan keputusan sepihak/ tidak wajar dari otoritas terkait Hal ini dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik tentang proses terkait.
30 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
10. Resiko parastatal 1 (resiko Pemerintah/PJPK) Wanprestasi kewajiban kontrak PJPK sebagai off taker Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi resiko politik dan penjaminan Pemerintah 11. Resiko parastatal 1 (resiko Pemerintah/PJPK) Privatisasi offtaker Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi resiko politik dan penjaminan Pemerintah 12. Terminasi akibat default PJPK (resiko Pemerintah/PJPK) Hal ini dapat ditanggulangi dengan penjaminan Pemerintah 10. Force Majeure Risks 1. Bencana alam (Resiko Bersama antara Pemerintah/PJPK dengan swasta) Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi, apabila memungkinkan. 2. Force majeur politis (Resiko Bersama antara Pemerintah/PJPK dengan swasta) Peristiwa perang, kerusuhan, gangguan keamanan masyarakat 3. Hal ini dapat ditanggulangi dengan asuransi, apabila memungkinkan. 4. Force majeur berkepanjangan (Resiko Bersama antara Pemerintah/PJPK dengan swasta) Jika diatas 6-12 bulan, dapat mengganggu aspek ekonomis pihak yang terkena dampak (terutama bila asuransi tidak ada) Dalam hal ini setiap pihak dapat mengakhiri kontrak KPS dan memicu prosedur pembayaran nilai terminasi proyek. 11. Resiko Kepemilikan Aset Resiko nilai aset turun (resiko swasta) akibat adanya kebakaran, ledakan, dan sebagainya Hal ini dapat ditanggulangi dengan adanya asuransi Dalam struktur BOO Kelistrikan, resiko spesifiknya mirip dengan BOT kecuali disini tidak ada isu resiko penyerahan aset setelah berakhirnya perjanjian KPS. VII. PENUTUP Alokasi resiko pada proyek KPS dalam penyediaan tenaga listrik secara umum terdiri dari resiko lokasi, resiko desain, konstruksi, dan uji operasi, resiko operasi yang meliputi kuantitas dan kualitas output, resiko politik akibat perubahan regulasi dan perundangan (termasuk pajak), resiko pendapatan, resiko finansial, dan resiko sponsor akibat default BU ataupun default kontraktor. Disamping itu terdapat juga resiko pendapatan akibat perubahan permintaan.
BULETIN KETENAGALISTRIKAN INSPEKSI KEBAKARAN DI PLTD TELLO SULAWESI SELATAN
Gambaran Umum Sistem kelistrikan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat pada tahun 2012 merupakan sistem yang stabil dan handal yang memenuhi kriteria keandalan n-1, jika dilihat berdasarkan jumlah daya mampu sebesar 1384 MW dan besar beban puncak 650 MW sehingga apabila ada gangguan pada beberapa pembangkit tidak akan menimbulkan kekurangan pasokan daya ke sistem. Pada Tabel 1 dapat dilihat besarnya kontribusi pembangkit-pembangkit yang menyuplai sistem Sulawesi Selatan dan Barat.
Tabel.1 Pembangkit di Sistem Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
Sejak masuknya pasokan daya dari PLTU Jeneponto sebesar 200 MW dan rencana selesainya PLTU Barru 1 x 100 MW, PT. PLN (Persero) berencana untuk merelokasi beberapa PLTD yang ada di Sulawesi Selatan untuk ditempatkan didaerah lain yang masih membutuhkan pembangkit untuk memenuhi pasokan energy listriknya. Salah satu PLTD yang ada dalam rencana tersebut adalah PLTD Tello mesin SWD#2. Sejak masuknya pasokan daya dari PLTU Jeneponto sebesar 200 MW dan rencana selesainya PLTU Barru 1 x 100 MW, PT. PLN (Persero) berencana untuk merelokasi beberapa PLTD yang ada di
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 31
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Sulawesi Selatan untuk ditempatkan didaerah lain yang masih membutuhkan pembangkit untuk memenuhi pasokan energy listriknya. Salah satu PLTD yang ada dalam rencana tersebut adalah PLTD Tello mesin SWD#2. Kronologis PLTD Tello beralamat di Jl. Urip Sumoharjo KM.7, Makassar, mulai beroperasi pada tanggal tahun 1971. Tabel 2. Daftar pembangkit diesel dan gas di PLTD Tello
Pada saat ini PLTD Tello memiliki 4 unit pembangkit diesel sebagai berikut: Pada hari Rabu, 31 Oktober 2012 pukul 23.09 wita, telah terjadi padam meluas pada sistem kelistrikan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang diakibatkan oleh terjadinya kebakaran pada Trafo Step up dan Trafo PS mesin SWD #2 PLTD Tello. Kronologis dari terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut : 1.Kondisi operasi pembangkit yang ada di PLTD Tello sebelum terjadinya kebakaran, • Mesin Mitsubishi #1 dalam keadaan standby • Mesin Mitsubishi #2 dalam keadaan OFF • Mesin SWD #1 dalam keadaan standby • Mesin SWD #2 dalam keadaan OFF • Trafo Step Up dan Trafo PS untuk semua mesin
Gambar 1. Lokasi PLTD Tello Makassar, Sulawesi Selatan
32 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
dalam keadaan bertegangan (mendapat tegangan dari sistem) Pukul 23.09 wita terjadi kebakaran di Switch Gear (Trafo PS) dan Switch Yard (Trafo Step Up) mesin SWD #2. 2. PMT yang memproteksi Trafo Step UP Mesin SWD #2 mengalami kegagalan mekanik sehingga memaksa proteksi interbus pada tegangan 150 kV GI Tello untuk bekerja sehingga mengganggu sistem kelistrikan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. 3. Pada pukul 02.00 wita 1 November 2012 dilakukan pemulihan sistem secara bertahap sehingga pada 2 November 2012 sistem telah pulih kembali. Hasil dan Analisa Inspeksi Inspektur Ketenagalistrikan melaksanakan Inspeksi Ketenagalistrikan untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran di PLTD Tello yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian rekomendasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Berdasarkan keterangan yang di himpun oleh tim Inspektur Ketenagalistrikan diperoleh informasi mengenai letak titik api yang menimbulkan kebakaran pada Trafo Step Up dan Trafo PS mesin SWD#2 PLTD Tello yang dapat dilihat pada Gambar 2. Inspeksi dilakukan dengan metode pemeriksaan visual dan diskusi teknis dengan pegawai PLN proyek pembangkitan PLTD Tello untuk mendapatkan gambaran yang lengkap terhadap peristiwa yang terjadi. Untuk mendapatkan runtutan kejadian dan penyebab terbakarnya trafo step us trafo PS (Pemakaian Sendiri), dan panel pada SWD #2 PLTD Tello, maka inspeksi difokuskan pada penyebab terjadinya gangguan. Dari data-data yang didapatkan dilapangan dan hasil interview teknis dengan pihak yang berwenang di PLTD Tello, terdapat 2 (dua) hal yang menjadi titik perhatian yang diduga menyebabkan kebakaran pada trafo step up, PS dan panel pada SWD #2 PLTD Tello. Dua hal tersebut adalah : 1. Hubung singkat pada kabel 6,3 kV yang menguhubungkan trafo step up dengan trafo PS; Dari hasil interview dengan operator dan saksi mata pada saat kejadian, api mulai terlihat pada kabel duck kabel 6,3 kV yang menguhubungkan trafo step up 150/6,3 KV dengan trafo PS 6,3 kV/380V. Posisi dari kabel 6,3 kV tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah (yang ditandai dengan tanda lightning).
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Ruang
Mesin SWD#2
Mesin SWD#1
Mesin
Trafo PS SWD#2
Gardu Induk
Panel SWD#2
Trafo Step Up SWD#2
Trafo PS SWD#1
Panel SWD#1
Trafo Step Up SWD#1
Mesin Mitsubishi #2
Trafo PS Mit#2
Panel Mit#2
Trafo Step Up Mitsubishi #2
Mesin Mitsubishi #1
Trafo PS Mit#1
Panel Mit#1
Trafo Step UP Mitsubishi #1
Gambar 2. Denah Posisi terbakarnya Trafo pada PLTD Tello
Dari sistem proteksi, diketahui bahwa relai 50G (Overcurrent Ground) bekerja disisi 6,3 KV, hal ini mengindikasikan terjadi hubung singkat ke tanah.
Gambar 4. : (a) LA 150 KV yang patah akibat stres mekanik pada saat hubung singkat terjadi (b) Isolator 150 KV yang pecah berkeping-keping. Gambar 3. Trafo Step UP 150/6,3 KV SWD II: (a) tampak dari sisi tegangan 6,3 KV (b) tampak dari sisi tegangan 150 KV
Gambar 8. Single Line Diagram PLTD Tello
Jika dilihat dari foto saat kejadian terlihat bahwa isolasi pada kabel 6,3 KV terlihat telah terbakar habis isolasi pada keseluruhan isolasi kabel, hal ini menunjukan bahwa isolasi kabel tersebut terbakar dari dalam konduktor akibat dari arus hubung singkat yang mengalir pada konduktor bukan dan api yang membakar dari luar isolasi. Jika api luar yang membakar maka dari seksi kabel 6,3 KV yang menghubungkan trafo step up di swichyard dengan trafo PS yang berada pada rumah pembangkit (kurang lebih jarak 600m) seharusnya masih ditemukan beberapa seksi yang jauh dari titik kebakaran masih utuh, namun pada lokasi kejadian tidak ditemukan hal tersebut.
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 33
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Dari hasil interview, data sistem proteksi dan bukti visual di lapangan dapat diduga bahwa telah terjadi hubung singkat ke tanah pada kabel 6,3 KV. Hubung singkat yang terjadi pada kebel 6,3 kV tersebut ke tanah diduga dikarenakan kegagalan isolasi pada kabel 6,3 KV yang diduga disebabkan oleh penuaan yang terjadi pada isolasi kabel tersebut, hal ini ditambah dengan informasi bahwa instalasi PLTD Tello telah telah dipasang sejak tahun 1988 dan masa berlaku sertifikat laik operasi terakhir dari PLTD Tello sudah akan segera habis pada 29 Januari 2013. Karena lokasinya yang cukup dekat anatara lokasi api yang membakar kabel 6,3 KV maka trafo PS yang berada didekatnya ikut terbakar begitu juga beberapa panel yang di dekatnya.
Gambar 4. : (a) LA 150 KV yang patah akibat stres mekanik pada saat hubung singkat terjadi (b) Isolator 150 KV yang pecah berkeping-keping.
Gambar 6. : (a) dan (b) Panel yang ikut terbakar akibat hubung singkat
34 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Pada semua jenis isolasi, baik isolasi keramik, minyak dan kertas, tidak ada yang murni terdiri dari bahan isolasi 100%. Selalu terdapat partikelpartikel non isolatif kecil yang dapat berupa void udara, kandungan air, atau benda padat intrusif. Partikel-partikel ini memiliki kekuatan isolasi yang tidak sama dengan bahan isolasi utamanya. Akibatnya pada saat dibebani tegangan kerja, partikel pengotor ini sudah lebih dahulu mengalami tembus tegangan sementara isolasi utamanya masih mampu menahan tegangan tersebut. Fenomena inilah yang disebut partial discharge atau tembus sebagian atau peluahan sebagian. Partial Discharge pada awalnya terjadi pada satu atau beberapa void/partikel, namun seiring dengan berjalannya waktu, void-void tersebut akan saling terhubung dan membentuk jalur tembus isolasi. Jalur tembus isolasi ini akan semakin memanjang dan melebar seperti akar pohon dan akan memicu tembus tegangan pada void yang lain. Fenomena inilah yang disebut dengan treeing. Lama-kelamaan, treeing akan menghubungkan konduktor bertegangan dengan ground dan pada saat itulah terjadi breakdown atau kegagalan isolasi total. Fenomena treeing dijelaskan oleh ilustrasi gambar berikut:
Gambar 7.
2.
Fenomena Treeing Pada Isolasi
Kegagalan System Proteksi;
Jika terjadi gangguan seperti terbakarnya trafo step up, PS dan Panel seperti yang terjadi pada PLTD Tello, maka yang menjadi salah satu dugaan yang patut diambil adalah kegagalan sistem proteksi sehingga menyebabkan terbakarnya trafo dan kubikel yang berada pada PLTD Tello. Sistem proteksi gagal mengisolasi daerah gangguan dengan cepat sehingga menyebabkan gangguan hubung-singkat pada kabel 6,3 KV yang terjadi merusak dan membakar terafo dan panel di PLTD Tello. Dari informasi operator, pada saat gangguan terjadi relay 50G (Overcurrent to Ground) bekerja dan mengetripkan CB 150 KV feeder SWD #2, namun CB tersebut mengalamai failure atau fail to open, akibat dari CB tersebut fail
BULETIN KETENAGALISTRIKAN to open sistem proteksi 50BB (overcurrent Bus Bar) protection bekerja dan mengisolasi seluruh bus bar dengan membuka/mentripkan semua CB 150 KV yang berada pada sistem double busbar switchyard PLTD Tello. Hal ini dilakukan untuk mengamankan seluruh bus bar agar kerusakan tidak meluas. Akibat dari CB 150 KV feeder SWD #2 fail to open, yang memaksa 50 BB bekerja maka hubung singkat yang terjadi pada kabel 6,3 KV tidak dapat di isolasi secara cepat. Hal ini dikarenakan pada dasarnya ada time delay yang terjadi dari perintah trip 50G yang memerintahakan CB 150KV feeder SWD #2 untuk trip dan perintah 50 BB untuk mentripkan seluruh CB 150 KV di sistem double busbar switchyard PLTD Tello. Dengan tidak diisolasinya gangguan dengan cepat maka hubung singakt yang terjadi menyebabkan terbakrnya trafo Step up, PS dan panel pada SWD II. Melihat kejadian ini maka dapat disimpulkan bahwa relay proteksi mampu bekerja pada saat gangguan namun CB menglamai kerusakan (CB Failure) yang kemungkinan besar adalah karena kerusakan mekanik pada CB sehingga CB tidak mampu melaksanakan perintah relay 50 G untuk open. Dari fakta-fakta di atas, maka dapat diduga bahwa kebakaran yang terjadi akibat hubung singkat pada kabel 6,3 KV disebabkan kegagalan sistem proteksi untuk mengisolasi daerah gangguan dengan cepat akibat dari CB failure. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil inspeksi yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut, Kesimpulan : 1. Terbakarnya Trafo PS, Panel Switchgear dan Trafo Step Up Mesin SWD #2 pada PLTD Tello diduga akibat dari terjadinya oleh hubung singkat pada kabel 6,3 kV yang menghubungkan Trafo Step-Up ke Trafo PS, diduga akibat dari kegagalan isolasi pada kabel tersebut. 2. Sistem proteksi yang melindungi Trafo Step Up Mesin SWD #2 yang tidak bekerja secara optimal. Hal ini disebabkan oleh kegagalan mekanik pada CB feeder SWD #2, sehingga menyebabkan busbar protection (proteksi lapis kedua) bekerja dan mentripkan seluruh feeder yang terhubung pada busbar tersebut. 3. Bekerjanya proteksi busbar pada GI Tello menyebabkan terganggunya pasokan energi listrik pada sebagian sistem Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat selama 3 jam.
Rekomendasi : 1. Melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap instalasi kabel meliputi pengujian kabel untuk mengetahui kondisi kelayakan operasi kabel, termasuk instalasi pemakaian sendiri (PS). 2. Melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setting proteksi dan melakukan pengujian koordinasi sistem proteksi pada instalasi switchgear meliputi tegangan menengah (6,3 kV) dan tegangan tinggi (150 kV). 3. Untuk mencegah kegagalan mekanis, perlu dilaksanakan pengecekan secara berkala seluruh sistem mekanik pada sistem proteksi yang ada di PLTD Tello. 4. Untuk mengurangi dampak dan resiko kebakaran, perlu dipasang detektor panas dan pemadam api otomatis di dekat trafo dan untuk mencegah meluasnya api apabila terjadi kebakaran agar dibangun beton fire wall sebagai pemisah trafo. Penulis • Elif Doka Marliska (Inspektur Ketenagalistrikan Pertama) • Ario Panggi Pramono Jati, ST (Inspektur Ketenagalistrikan Pertama) • Mardi Tandibura, ST (Inspektur Ketenagalistrikan Pertama)
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 35
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Kondisi Kelistrikan Sumatera Bagian Utara
Gambar1. Kelistrikan Sumatera Utara (Sumber RUPTL)
Listrik merupakan kebutuhan primer saat ini dan merupakan komponen pokok dalam perkembangan suatu daerah. Kepastian ketersediaan pasokan energi listrik sangat dibutuhkan diseluruh wilayah di Indonesia untuk dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa ini, termasuk kepastian ketersediaan pasokan energi listrik di wilayah Sumatera bagian Utara. PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan penyedia listrik di wilayah Sumatera bagian Utara yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan energi listrik dan di wilayah Sumatera Utara dan Nagroe Aceh Darusallam berusaha untuk memenuhi kepastian pasokan energi listrik di wilayah tersebut. Unit PT. PLN (Persero) yang mempunyai kewajiban untuk menjamin pasokan energi listrik di wilayah sumatera bagian utara adalah PT. PLN (Persero) unit Wilayah Sumatera Utara, PT. PLN (Persero) Unit Wilayah Aceh dan PT. PLN (Persero) Unit Pengatur Beban Sumbagut. Ketiga unit tersebut saling berkoordinasi untuk menjaga ketersediaan pasokan energi listrik di wilayah sumatera bagian utara. Kondisi Saat Ini Dalam setiap sistem kelistrikan pastilah memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam mengatasi permasalahannya. Kondisi kelistrikan sumatera bagian utara saat ini memang kurang kondusif dengan selisih cadangan yang cukup kecil
36 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
dan potensi gangguan pada setiap pembangkit yang menyebabkan selalu menghantuinya defisit energi listrik di wilayah Sumatera bagian utara. Sumatera bagian utara merupakan bagian yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya akan memaksa terjadinya pertumbuhan beban puncak pada setiap tahunnya, berikut ini adalah tabel pertumbuhan beban puncak berdaasarkan informasi dari UPB Sumbagut, Tabel 1. Pertumbuhan Beban Puncak Wilayah Sumbagut (sumber PT. PLN (Persero))
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Pertumbuhan rata-rata beban puncak di wilayah Sumbagut sebesar 6 % dan pertumbuhan kelistrikan di wilayah Sumbagut sebesar 7%. Pertumbuhan tersebut termasuk rendah karena pasokan daya mampu yang rendah sehingga kebijakan pembatasan pemasangan instalasi konsumen yang baru diberlakukan agar tidak terjadi overload pada sistem.
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Beban Puncak Sumbagut Pada Bulan September 2012 Sistem Sumbagut di pasok oleh beberapa pembangkit dengan daya mampu sebesar 1.539 MW. Besar Daya mampu tersebut dirasa kurang menjamin ketersediaan pasokan energy listrik di wilayah Sumbagut karena tercatat beban puncak paling tinggi adalah sebesar 1.503 MW sehingga hanya tersedia cadangan 36 MW saja. Apabila salah satu unit pembangkit terbesar di wilayah Sumbagut mengalami gangguan atau dalam jadwal perawatan sehingga tidak beroperasi, maka akan berpotensi terjadi skema pemadaman bergilir di wilayah sumbagut. Tabel2. Unit Pembangkit di Wilayah Sumbagut (sumber PT. PLN (Persero))
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 37
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik di wilayah sumbagut tentunya Pemerintah bersama dengan PT. PLN (Persero) merencanakan untuk penambahan pasokan daya dengan membangun beberapa pembangkit di wilayah sumbagut. Tabel berikut ini adalah pembangkit yang akan dan sedang dalam proses pembangunan di wilayah sumbagut, Tabel 3. Pembangkit Baru di wilayah sumbagut
Dengan penambahan pembangkit baru diharapkan wilayah sumbagut akan bebas dari permasalahan kekurangan pasokan listrik. Solusi Saat Ini Sedikitnya cadangan daya yang tersedia membuat wilayah sumbagut sering mengalami defisit daya saat terjadi gangguan pada beberapa pembangkit. Pada tahun 2012 sampai bulan September tercatat sistem sumbagut telah mengalami defisit sebanyak 48 kali. Kondisi wilayah Sumbagut akan mengalami banyak defisit sepanjang belum masuknya pembangkit PLTU Nagan Raya yang di perkirakan akan masuk pada awal tahun 2013. Selama menunggu masuknya pasokan daya dari pembangkit baru, maka PT. PLN (Persero) melakukan langkahlangkah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
38 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Gambar3. Grafik kondisi kelistrikan wilayah Sumbagut (sumber PT. PLN (Persero)) Berikut adalah langkah-langkah yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero), a. Dari sisi suplai : • Memaksimalkan PLTD sewa di Aceh hingga tegangan maksimum 160 kV sehingga mengurangi rugi-rugi daya; • Melakukan perjanjian ulang dengan PT. Inalum untuk mentransfer daya sebesar 70 MW ke sistem saat beban puncak dengan ganti transfer daya ke PT. Inalum sebesar 70 MW saat beban rendah; • Optimalisasi pembangkit Excess Power; b. Dari sisi beban : • Beban industri dialihkan dari waktu beban puncak ke waktu beban rendah dengan cara melepaskan penyulang khusus industri pada waktu beban puncak; • Menghimbau agar konsumen pemilik genset memakai gensetnya pada waktu beban puncak. Langkah yang diambil oleh PT. PLN (Persero) merupakan solusi sementara agar tidak perlu dilaksanakan pemadaman bergilir pada konsumen tegangan rendah sehingga tidak menimbulkan ketegangan sosial. Kendati kondisi kelistrikan Sumbagut yang sering mengalami defisit, PT. PLN (Persero) wilayah Sumatera Utara akan tetap menerima pemasangan baru untuk tegangan rendah tetapi untuk pelanggan >53kVA akan menunda pemasangannya sampai ada pembangkit baru yang masuk sehingga pasokan listrik di wilayah sumbagut mengalami surplus. Penulis Elif Doka Marliska, ST Inspektur Ketenagalistrikan Pertama
BULETIN KETENAGALISTRIKAN SUBSIDI LISTRIK, SIAPA PANTAS MENERIMA? SUDAHKAH TEPAT SASARAN? Penulis : David F Silalahi
Beban subsidi listrik yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam APBN terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2011 lalu, jumlah subsidi listrik naik mencapai Rp 93,18 triliun. Jumlah ini berpuluh kali lipat jika dibandingkan dengan subsidi pada tahun 2000, yang besarnya hanya Rp 3,93 triliun. Peningkatan subsidi listrik ini terjadi diiringi pertumbuhan ekonomi yang pesat maupun pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga menambah kebutuhan konsumsi listrik masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat memang menjadi kebanggaan bagi Pemerintah, namun dengan bertambahnya konsumsi masyarakat, maka Pemerintah harus siap dengan resiko tambahan anggaran subsidi. Secara sederhana ini dapat dijelaskan dengan perhitungan subsidi yang berdasarkan pada volume konsumsi listrik dikalikan dengan selisih tarif yang dibayarkan masyarakat terhadap biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi listrik tersebut (BPP tenaga listrik). Tarif listrik yang ada saat ini masih belum cukup unutk menutupi BPP tenaga listrik. Dengan demikian tentu Pemerintah harus tetap mengalokasikan subsidi listrik dalam
Gbr 1. Realisasi Subsidi Tahun 2000 s.d 2011 (sumber : diolah dari LHP Audit BPK 2011)
APBN. Berikut ini adalah grafik realisasi subsidi listrik dari tahun 2000 hingga 2011. Saat ini semua masyarakat, khususnya yang menjadi pelanggan PLN, masih memperoleh subsidi. Hali ini terjadi karena tarif yang diterapkan pada pelanggan PLN, masih di bawah BPP tenaga listrik. Sehingga dengan sendirinya pelanggan tersebut memperoleh subsidi listrik. Sebagai contoh saja, mari kita lihat Gambar 1 yang menggambarkan 10 besar penerima subsidi listrik pada tahun 2011 berikut :
Gbr 2. 10 Besar Penerima Subsidi Tahun 2011 (sumber : diolah dari LHP Audit BPK 2011)
Berdasarkan Gambar 2 diatas, tampak bahwa subsidi terbesar itu yaitu Rp. 36,47 triliun (39% dari total subsidi Rp. 93,18 triliun), memang didistribusikan pada kelompok masyarakat tidak mampu, yang dalam kategori pelanggan PLN masuk pada golongan pelanggan rumah tangga 450 VA dan 900 VA. Jumlah pelanggan yang menikmati subsidi ini banyak sekali, yaitu 34,9 juta pelanggan. Jika disetarakan dengan jumlah penduduk, dengan asumsi per sambungan pelanggan PLN digunakan oleh 4 orang, maka ada sekitar 140 juta rakyat Indonesia yang menikmati subsidi ini. Ini tentu sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bahwa untuk penyediaan tenaga listrik Pemerintah menyediakan dana untuk “kelompok masyarakat tidak mampu”. Namun jika cermati lebih jauh, ternyata ada juga kelompok lain yang menerima subsidi listrik ini. Yaitu kelompok Industri (I3, I4, I2), kelompok bisnis (B2, B3), dan kelompok rumah tangga (daya diatas 1300 VA), masih masuk dalam 10 besar penerima subsidi. Inilah yang menunjukkan bahwa ada ketidaktepatan sasaran subsidi. Jika kita rincikan lagi, berapa sebenarnya subsidi yang dinikmati pelanggan rumah tangga? Kita ambil contoh, pelanggan R1 450VA,yang jumlahnya 19,8 juta pelanggan, tiap pelanggan hanya menerima rata-rata sekitar Rp. 80 ribu per bulan. Kita bandingkan dengan pelanggan bisnis B3, jumlahnya hanya 4,5 ribu pelanggan, namun menerima subsidi Rp. 77,2 juta per bulan. Berikutnya kita bandingkan lagi dengan pelanggan industri, pelanggan industri I3 daya >200 kVA, yang jumlahnya hanya 9,3 ribu pelanggan tiap
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 39
BULETIN KETENAGALISTRIKAN pelanggan industry golongan I3 ini menerima subsidi rata-rata sebesar Rp. 168 juta per bulan. Lebih ekstrim lagi jika kita bandingkan dengan pelanggan industry I4, yang jumlahnya hanya 55 pelanggan, tiap pelanggan menerima Rp. 10,9 milyar per bulan. Ternyata distribusi subsidi ini tidak sebanding dan jika dilihat dari subsidi per pelanggan, maka subsidi sebetulnya lebih banyak dinikmati oleh kelompok bisnis dan industri. Hitungan rinci subsidi per pelanggan ini disajikan dalam Tabel 1. Jika melihat realisasi subsidi tahun 2011 di atas, ternyata orang kaya dengan rumah mewahnya (golongan R3 6600VA ke atas) pun turut disubsidi. Demikian juga mal mewah, hotel mewah, apartemen mewah, yang masuk dalam golongan B3 >200 kVA pun masih menikmati subsidi. Jelas sekali terlihat bahwa kebijakan subsidi listrik saat ini belum tepat sasaran. Untuk sekedar perenungan kita, siapa sebenarnya yang pantas menerima subsidi? Mari kita lihat dasar hukum kebijakan subsidi listrik, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi maupun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengatakan bahwa Pemerintah menyediakan dana untuk “kelompok masyarakat tidak mampu”. Kedua Undang-Undang ini tegas sekali menyatakan bahwa dana yang disediakan, dalam bentuk subsidi, hanya untuk masyarakat yang tidak mampu. Dengan kenyataan bahwa tarif yang diterapkan saat ini melalui Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara masih memberi peluang bagi pelanggan mampu untuk turut menikmati subsidi, maka diperlukan perbaikan struktur tarif ini. Tabel 1. Subsidi listrik per pelanggan, golongan rumah tangga (R), bisnis (B), dan industri (I) (sumber : diolah dari LHP Audit BPK 2011)
40 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Pemerintah perlu melakukan suatu upaya untuk mendistribusikan subsidi listrik secara lebih tepat sasaran. Salah satu cara adalah rasionalisasi tarif listrik untuk memperbaiki struktur tarif. Perlu diatur sedemikian rupa agar tarif subsidi dan tarif non subsidi dapat diterapkan. Dengan rasionalisasi tarif maka, hanya bagi kelompok pelanggan tidak mampu yang diterapkan tarif subsidi, sedangkan untuk pelanggan lainnya dikenakan tarif non subsidi. Dalam melakukan rasionalisasi tarif tenaga listrik tentu saja pemerintah harus memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik, kepentingan dan kemampuan masyarakat, kaidah industri dan niaga yang sehat , biaya pokok penyediaan tenaga listrik, efisiensi pengusahaan, skala pengusahaan dan interkoneksi sistem dan tersedianya sumber dana untuk investasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Jika rasionalisasi tarif tenaga listrik dapat dilakukan, maka beban subsidi dalam APBN dapat dikurangi, dana yang dihemat dari pengurangan subsidi ini dapat dialokasikan untuk membangun infrastruktur listrik di Indonesia, sehingga tercapai pemerataan rasio elektrifikasi, sehingga semakin banyak daerah-daerah yang bisa menikmati listrik atau dapat juga dialokasikan untuk sektor kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya bermuara pada keberhasilan pembangunan nasional (DFS).
BULETIN KETENAGALISTRIKAN SEKILAS MASALAH TENAGA KERJA Penulis : Saraswati Widya Hapsari
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Keputusan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing. Jabatan-jabatan tersebut adalah sebagaimana pada Lampiran I tulisan ini. Dari hasil penelitian sementara, jabatan-jabatan tersebut didasarkan pada ISCO 1988. Penelusuran lebih lanjut, ternyata ISCO 1988 telah diganti dengan ISCO 2008. ISCO 1988 terdiri atas 10 kelompok besar yang dijabarkan lebih lanjut, sampai dengan 4 digit. Demikian pula halnya dengan ISCO 2008. ISCO08 adalah pembaharuan atas ISCO-88 yang telah diterima oleh ILO pada tanggal 6 Desember 2007 (Lampiran 2). Ada beberapa perbedaan antara ISCO-88 dengan ISCO-08, antara lain: • Kelompok 1 • Kelompok 4 • Kelompok 5 • Kelompok 6 Perbedaan selengkapnya penulis sajikan pada Lampiran 3. Belum diperoleh informasi secara pasti tentang penggunaan ISCO-88 dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut. Namun demikian adalah aneh bila instansi yang menangani masalah tenaga kerja dan notabene selalu berhubungan dengan ILO tidak menggunakan standar terbaru. Apakah mungkin ISCO-08 belum diratifikasi oleh Indonesia? Dalam implementasinya, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi dasar dalam penyusunan RPTKA oleh perusahaan yang bergerak di bidang usaha penyediaan maupun usaha penunjang tenaga listrik. NAMA JABATAN NO
Indonesia
Kode ISCO
1.
Direktur Personalia
1210
Personnal Director
2.
Manajer Hubungan Industrial
1232
Industrial Relation Manager
3.
Manajer Personalia
1232
Human Resource Manager
4.
Supervisor Pengembangan Personalia
1232
Personnal Development Supervisor
5.
Supervisor Perekrutan Personalia
1232
Personnal Recruitment Supervisor
6.
Supervisor Penempatan Personalia
1232
Personnel Placement Supervisor
7.
Supervisor Pembinaan Karir Pegawai
1232
Employee Career Development Supervisor
Inggris
Penata Usaha Personalia
4190
Personnel Declare Administrator
9.
Kepala Eksekutif Kantor
1210
Chief Executive Officer
10.
Ahli Pengembangan Personalia dan Karir
2412
Personnel and Careers Specialist
8.
11.
Spesialis Personalia
2412
Personnel Specialist
12.
Penasehat Karir
2412
Career Advisor
13.
Penasehat Tenaga Kerja
2412
Job Advisor
14.
Pembimbing dan Konseling Jabatan
2412
Job Advisor and Counseling
15.
Perantara Tenaga Kerja
2412
Employee Mediator
16.
Pengadministrasi Pelatihan Pegawai
4190
Job Training Administrator
17.
Pewawancara Pegawai
2412
Job Interviewer
18.
Analis Jabatan
2412
Job Analyst
19.
Penyelenggara Keselamatan Kerja Pegawai
2412
Occupational Safety Specialist
Keterangan: ISCO = International Standard Classification of Occupations
Resolution Concerning Updating the International Standard Classification of Occupations The Tripartite Meeting of Experts on Labour Statistics on Updating the International Standard Classification of Occupations (ISCO), Having been convened at Geneva by the Governing Body of the ILO and having met from 3 to 6 December 2007; Recalling the Resolution of the Fourteenth International Conference of Labour Statisticians, made on 6 November 1987, endorsing the International Standard Classification of Occupations, 1988 (ISCO-88); Recalling the request made by the Statistical Commission of the United Nations at its 34th session (March 2003) that the timetable for the revision of ISCO should meet the needs of the 2010 round of population and housing censuses; and Concurring that, whilst the basic principles and main structure of ISCO-88 remain valid, significant modifications reflecting experience gained in many countries using ISCO-88based classifications and new developments in the world of work, are necessary to allow ISCO to continue to be a useful model for the development of national classifications and a basis for international comparison and exchange of information classified by occupation; Recalling the recommendation adopted by the Seventeenth International Conference of Labour
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 41
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Statisticians in 2003 for the meeting to evaluate the work of the ILO to update ISCO-88 and to make appropriate recommendations on the results to the Governing Body; and Having examined the report to the Meeting describing the work of the International Labour Office on updating ISCO-88; Adopts, this sixth day of December 2007, the following resolution 1. The occupational classification system of major, sub-major, minor and unit groups shown in the Annex to this resolution is endorsed by the Meeting of Experts in Labour Statistics and is designated the International Standard Classification of Occupations, 2008 (ISCO-08). 2. ISCO classifies jobs. A Job is defined for the purposes of ISCO-08 as a set of tasks and duties performed, or meant to be performed, by one person, including for an employer or in self employment. 3. An occupation is defined as a set of jobs whose main tasks and duties are characterised by a high degree of similarity. A person may be associated with an occupation through the main job currently held, a second job or a job previously held. 4. Jobs are classified by occupation with respect to the type of work performed, or to be performed. The basic criteria used to define the system of major, submajor, minor and unit groups are the “skill level” and “skill specialization” required to competently perform the tasks and duties of the occupations. 5. In collecting and processing statistics classified by occupation (e.g. for use in fields such as labour market analysis, educational planning, human resource planning, occupational health and safety analysis, wages analysis, etc.), each country should endeavour to compile data that can be converted to the ISCO-08 system, to facilitate the international use and comparison of occupational information. 6. Countries should provide information to the ILO about how the groups defined in the classification (or classifications) of occupations used for national purposes can best be related to ISCO-08. 7. The Meeting of Experts notes that the ILO plans to: (a) publish ISCO-08 including definitions of the major, sub-major, minor and unit groups and an index of occupations in English, French and Spanish;
42 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
(b) provide a manual and training material on how to adapt ISCO-08 for use in national and regional settings; and provide training on a regional basis through a series of regional workshops; (c) ensure that, as the custodian of the International Standard Classification of Occupations (ISCO-08), it will have the capacity to provide the technical advisory services that will be needed particularly by the developing countries to ensure that national occupational classifications can be developed or improved correspondingly and be used effectively and reliably. ISCO-08 Structure, Group Titles and Codes Major Groups 1 Managers 2 Professionals 3 Technicians and associate professionals 4 Clerical support workers 5 Service and sales workers 6 Skilled agricultural, forestry and fishery workers 7 Craft and related trades workers 8 Plant and machine operators, and assemblers 9 Elementary occupations 0 Armed forces occupations ISCO 1988 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0.
ISCO 2008
Legislator, Senior Officials and Managers Professionals Technicians and Associate Professionals Clerks Service Workers and Shop and Market Sales Workers Skilled Agricultural and Fishery Workers Craft and Related Traders Workers Plants and Machine Operators and Assemblers Elementary Occupations Armed Forces
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0.
Managers Professionals Technicians and Associate Professionals Clerical Support Workers Service and Sales Workers Skilled Agriculture, Forestry and Fishery Workers Craft and Related Trades Workers Plant and Machine Operators, and Assemblers Elementary Occupations Armed Forces Occupations
BIODATA PENULIS Nama TTL Agama Alamat Jakarta Selatan
: : : :
Saraswati Widya Hapsari Jakarta, 11 April 1987 Islam Jl. Ampera Kavling Polri Blok BIII/No.89A Pasar Minggu,
Pendidikan Sarjana Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung 2009 Pengalaman • “Analisa Emisi Biogas di TPA Sarimukti”, Tugas AKhir, Jurusan Teknik Lingkungan Insitut Teknologi Bandung, 2009 • “Evaluation of Hazardous Waste and Oil Sludge Management of PT. Pertamina Depot Plumpang”, SHE Internship Report, PT. Pertamina Depot Plumpang, Jakarta, 2007 Karier • Engineer, PT. Kiani Pacific Nusantara, Bali, 2009 • Engineer, PT. Prakarsa Ekatama Advisory, Jakarta, 2009 – Sekarang • Anggota, Tim Nasional Penghematan Energi dan Air, Jakarta, 2009 – 2011 • Anggota, Masyarakat Kelistrikan Indonesia, Jakarta, 2012 – Sekarang
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Workshop Penanganan Tindak Pidana Ketenagalistrikan Penulis : Anggita Miftah H
Kasubdit Penyiapan Program Tenaga Listrik Alihuddin Sitompul memberikan presentasi pada Workshop Penanganan Tindak Pidana Ketenagalistrikan
Banyak kasus penggunaan listrik ilegal yang penyelesaiannya secara perdata berlarutlarut, dan ketika berakhir di pengadilan, PLN berada di posisi yang kalah. Sementara apabila kasus tersebut dibawa ke ranah hukum (penyidikan), PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) ketenagalistrikan mengalami kesulitan untuk meneruskan karena pencarian alat
bukti menemui jalan buntu. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan menyelenggarakan Workshop Penanganan Tindak Pidana Ketenagalistrikan di Jakarta pada Jumat (7/12). Workshop ini diselenggarakan dengan tujuan untuk menyamakan persepsi dalam penanganan pelanggaran dalam penggunaan
Dirjen Ketenagalistrikan Ir. Jarman, M.Sc. dalam sambutannya menegaskan pentingnya koordinasi antara petugas P2TL, PPNS, dan inspektur ketenagalistrikan
Peserta workshop berasal dari Dinas Pertambangan dan Energi, AKLI, Konsuil, PT PLN (Persero), Ketua Tim P2TL, serta inspektur ketenagalistrikan
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 43
BULETIN KETENAGALISTRIKAN tenaga listrik antara petugas P2TL (Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik) PLN dengan PPNS ketenagalistrikan. Peserta workshop berasal dari Dinas Pertambangan dan Energi, AKLI, Konsuil, PT PLN (Persero), Ketua Tim P2TL, serta para inspektur ketenagalistrikan. Dalam sambutannya, Dirjen Ketenagalistrikan Jarman menegaskan perlunya koordinasi antara P2TL dengan PPNS dan inspektur ketenagalistrikan. “Salah satu SOP (standard operating procedure-red) adalah kalau ada permasalahan, yang turun pertama kali adalah inspektur ketenagalistrikan. Kalau ada masalah tindak pidana, baru PPNS. Jadi PPNS baru turun setelah ada laporan dari inspektur,” ujar Dirjen. “Karena itulah saya menyambut baik workshop ini untuk menyamakan persepsi. Ini harus kita sosialisasikan juga di daerah karena di daerah juga ada inspektur dan PPNS,” lanjut Dirjen. Dirjen menambahkan PPNS bisa mengumpulkan barang bukti sehingga kejadian PLN kalah di pengadilan bisa dikurangi. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan telah dinyatakan bahwa selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung
44 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
Seorang peserta bertanya dalam sesi tanya jawab
jawabnya di bidang ketenagalistrikan, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan
BULETIN KETENAGALISTRIKAN Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat Dalam Pemakaian dan Pemanfaatan Tenaga Listrik Tahun 2012
Ketergantungan dalam pemakaian tenaga listrik pada saat ini sangat tinggi, tidak hanya untuk kebutuhan penerangan, tetapi juga untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kecenderungan pada saat ini, peningkatan kebutuhan energi listrik belum seimbang dengan peningkatan penyediaan energi listrik, dimana kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pendukungnya yang terlihat pada banyaknya daftar tunggu konsumen listrik untuk penyambungan listrik/pasang baru yang belum dapat dipenuhi. Hal tersebut dapat berdampak pada perilaku dan pemikiran masyarakat dalam pemanfaatan tenaga listrik hingga timbulnya permasalahan – permasalahan dibidang ketenagalistrikan khususnya permasalahan pemanfaatan tenaga listrik yang tidak diinginkan. Dari berbagai permasalahan terkait ketenagalistrikan, salah satu diantaranya adalah belum meratanya penyaluran listrik keseluruh masyarakat di tanah air. Meskipun demikian, masih terdapat sebagian masyarakat yang belum menunjukkan kepedulian yang maksimal akan arti pentingnya menjaga pasokan tenaga listrik, tercermin dari sikap hidup boros dalam menggunakan energi dan memanfaatkan tenaga
listrik yang tidak sesuai dengan peruntukkannya bahkan juga terdapat banyaknya masyarakat yang menggunakan listrik secara ilegal. Hal ini dapat memicu timbulnya permasalahan karena adanya interaksi dalam pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik, karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pemakaian tenaga listrik. Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik menjamin hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen listrik untuk berinteraksi dalam pemanfaatan tenaga listrik, dimana hak dan kewajiban pelaku usaha adalah menyediakan tenaga listrik yang handal, cukup dan aman, sedangkan konsumen mempunyai hak dan kewajiban untuk memanfaatkan listrik sesuai dengan peruntukannya secara efiesien. Namun demikian, masih banyak terjadi perselisihan antara pihak penyedia tenaga listrik yang dalam hal ini PLN dengan konsumen, serta masih kurangnya pelayanan oleh PLN. Untuk mengantisipasi masalah tersebut dan juga untuk menekan terjadinya susut non teknis (rugi-rugi bukan teknis/pemakaian listrik ilegal), maka Pemerintah c.q Direktorat
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 45
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Jenderal Ketenagalistrikan melalui Keputusan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Nomor 3312/23/600.1/2012 tanggal 9 Januari 2012 telah mengesahkan Keputusan Direksi (Kedir) PT PLN (Persero) Nomor: 1486.K/DIR/2011 tanggal 27 Desember 2011 sebagai pengganti Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 234.K/DIR/2008 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik, sebagai aturan dalam pelaksanaan operasi Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Disamping itu, upaya lain yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan melalui Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan selaku Pemerintah telah melaksanakan Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat dalam Pemakaian dan Pemanfatan Tenaga Listrik. Hingga tahun 2011 telah dilaksanakan beberapa daerah antara lain, yaitu : 1. Provinsi Sumatera Barat, Kota Padang; 2. Provinsi Bali, Kota Denpasar; 3. Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya; 4. Provinsi Sulawesi Utara, Kota Manado; 5. Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak; 6. Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari; 7. Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin; 8. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Kupang; 9. Provinsi Jawa Tengah, Kota Solo/Surakarta; 10. Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang. Pelaksanaan Sosialisasi Tahun 2012 Tujuan diselenggarakannya sosialisasi adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dalam mewujudkan kepeduliannya terhadap pemakaian dan pemanfaatan tenaga listrik secara benar, sehingga terwujudnya
46 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
peningkatan efektifitas dan efisiensi tenaga listrik. Untuk tahun anggaran 2012 ini, Sosialisasi telah dilaksanakan pada 3 lokasi, yaitu Provinsi Maluku, Kota Ambon, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Mataram; serta Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya. Sosialisasi yang dilaksanakan di Kota Ambon dan Palangkaraya di buka oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Ir. Satya Zulfanitra, M.Sc, sedangkan di Kota Mataram di buka oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Suryanto Chandra, SE. Materi yang disampaikan pada acara sosialisasi, antara lain : Peraturan dan kebijakan terkait tarif tenaga listrik dan subsidi listrik, mekanisme perhitungan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) dan subsidi listrik, proses penetapan tarif tenaga listrik, faktor-faktor yang mempengaruhi subsidi listrik, serta penerima subsidi listrik. Materi lain yang menyangkut Kebijakan Bidang Pelayanan Tenaga Listrik yang membahas hakhak konsumen listrik, tingkat Mutu Pelayanan Tenaga Listrik, penjelasan tentang Indikator, deklarasi, realisasi dan kompensasi Tingkat Mutu Pelayanan Tenaga Listrik, serta media Pengaduan pelanggan. Materi mengenai Keselamatan Ketenagalistrikan menjelaskan hal-hal yang terkait Keselamatan Ketenagalistrikan, antara lain : regulasi Keselamatan Ketenagalistrikan, Usaha Penunjang Ketenagalistrikan, Standardisasi Ketenagalistrikan (Produk, Sistem dan Instalasi tenaga listrik), Pemberlakuan SNI wajib,
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Standardisasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan, Perlindungan lingkungan hidup, dan Inspektur Ketenagalistrikan. Materi Hubungan Komersial Tenaga Listrik Materi menyampaikan tentang hal-hal terkait dengan hubungan komersial tenaga listrik antara lain, yaitu : • Regulasi terkait hubungan komersial tenaga listrik • Hak dan kewajiban pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik maupun konsumen • Implementasi tentang Penertiban Pemakaian Tenaga listrik • Himbauan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam melakukan pengawasan, pemanfaatan dan pemakaian tenaga listrik dengan baik dan benar. Materi Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) menyampaikan tentang hal-hal terkait dengan P2TL, yaitu: • Dasar hukum pelaksanaan P2TL • Tujuan P2TL • Perbandingan antara Keputusan Direksi PT PLN (Persero) No. 234.K/Dir/2008 dan No. 1486.K/Dir/2011 tentang P2TL • Pelaksanaan dan organisasi P2TL Materi terakhir mengenai Kondisi Kelistrikan Tiap Wilayah menjelaskan tentang kondisi kelistrikan wilayah terkait lokasi dimana pelaksanaan sosialisasi. Narasumber terdiri dari : 1. Ir. Albert Manurung, MM (Ditjen Ketenagalistrikan) 2. Winsisma Wansyaah, SH (Ditjen Ketenagalistrikan) 3. Drs. Tri Handoko, MA
(Ditjen Ketenagalistrikan) 4. Ginanjar Indara Maulana, ST, MBA (Ditjen Ketenagalistrikan) 5. Ir. Jisman P. Hutajulu, MM (Ditjen Ketenagalistrikan) 6. Ir. Ferry Triansyah (Ditjen Ketenagalistrikan) 7. Ir. Agus Sufianto (Ditjen Ketenagalistrikan) 8. Ir. Wirabumi kaluti (PLN Kantor Pusat) 9. Ir. Syawaluddin Sofyan, M. Sc (PLN Kantor Pusat) 10. Ir. Tomer L. Tobing (PLN Kantor Pusat) 11. Ir. Yulian Tamsir (PLN Wilayah Maluku & Maluku Utara) 12. Ir. Akbar Ali (PLN Wilayah Nusa Tenggara Barat) 13. Ir. Yuddi Setyo Wicaksono, MM (PLN Wilayah Kalselteng) Moderator terdiri dari: 1. Ir. Richard Ufie, MT (Universitas Pattimura) 2. Satriawan Sahak, SH, SU (Universitas Mataram) 3. Rohansyah (Kalteng Post) Peserta Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat dalam Pemakaian dan Pemanfatan Tenaga Listrik meliputi unsur Masyarakat Pelanggan PLN yang terdiri dari Golongan tarif rumah tangga, Bisnis, Industri dan Golongan tarif Sosial, AKLI, AKLINDO, REI, KADIN Daerah Kendari, Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, Forum Jurnalis, Pemkot, Pemkab, Pemprov, TNI, Polri dan Tokoh Masyarakat/ Pemuka agama
Desember 2012 | Edisi 32 Volume VIII | 47
BULETIN KETENAGALISTRIKAN
Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat dalam Pemakaian dan Pemanfatan Tenaga Listrik berjalan dengan baik dan lancar. Dalam pelaksanaan Sosialisasi, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan dibantu dan didukung oleh Pemerintah Daerah dan PT. PLN (Persero) Wilayah setempat. Dengan telah terlaksananya Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat dalam Pemakaian dan Pemanfatan Tenaga Listrik di beberapa Kota, Pemerintah berharap kedepan agar semakin sadarnya masyarakat akan pentingnya tenaga listrik dan semakin memahaminya akan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya, baik sebagai pelaku usaha
48 | Edisi 32 Volume VIII | Desember 2012
maupun pengguna usaha, memahami akan pentingnya listrik, serta keselamatan tenaga listrik. Disamping itu, pemerintah juga akan terus menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Masyarakat dalam Pemakaian dan Pemanfatan Tenaga Listrik di Kota lainnya. Penulis: Andi Kurniawan Inspektur Ketenagalistrikan