Bujang Raba Penyanga Kehidupan
Potret Pengelolaan Sumberdaya Alam di Lanskap Bujang Raba
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Matahari masih malu-malu menyembul dari balik bukit. Sisa embun di pucuk rerumputan menambah sejuk suasana pagi. Usai menjalankan ibadah subuh, Bakian menyeruput secangkir kopi yang telah disiapkan sang istri. Tak lama kemudian ia beranjak. Berganti pakaian, lengkap dengan topi dan sepatu gambir. Sebilah parang dan pisau sadap diselipkan di pinggang. Sebatang rokok mengepul di bibir kala lelaki paruh baya itu menyusuri jalan desa, kemudian menapaki jalan tanah menuju kebun karet miliknya. Sebuah ember hitam dalam genggaman menyertai perjalanan di pagi buta itu. Senyum sapa embun pagi yang masih menggigil kedinginan di pucukpucuk rerumputan, mendorongnya untuk melangkah lebih cepat. Siamang, burung-burung hutan dan kukuk ayam hutan saling bersahutan menyambut fajar dari tepi hutan.
Hutan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo
Begitu tiba di kebun, dengan terampil ia mulai menyadap pohon karet satu per satu. Sembari membeset batang karet, tangannya cekatan memindahkan getah hasil sadapan hari sebelumnya ke dalam ember hitam. Saking asyiknya bekerja, jam sepuluh pagi tidak terasa telah lewat. Pohon karet dalam kebun seluas satu hektar itu pun tuntas disadap. Ia bergegas pulang. Sepanjang perjalanan pulang, dipetiknya pakis, petai, jengkol, cabe yang berada di dalam kebun karet campur untuk menu santap siang. Sesekali terdengar suara bedebam. Itu pertanda buah durian yang masak telah jatuh dan harus dikumpulkan untuk dinikmati dan sebagian dijual di pasar desa. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, kehidupan yang bersahaja seperti itu terus berjalan di sejumlah desa di barat Kabupaten Bungo, Provinsi Jam-
1
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
bi. Kebun karet campur menjadi sumber penghidupan masyarakat yang diusahakan sejak 1900-an. Pola pertanian ini dikembangkan, karena mampu menggabungkan antara kepentingan ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Pohon karet dalam kebun campur itu akan meneteskan getah yang menjadi sumber ekonomi masyarakat. Selain menjadi gantungan ekonomi, lanskap kebun karet campur juga mempunyai fungsi sosial, budaya dan ekologi. Di dalamnya ada bermacam-macam tanaman yang dapat dimanfaatkan bersama seperti: a) pohon “sialang” (pohon tempat lebah madu bersarang), biasanya jenis pohon kedondong hutan dan jelmu, b) makanan dan sayuran seperti rebung, petai, jengkol, kabau, pakis, c) buah-buahan seperti durian, nangka, cempedak, bedaro/ lengkeng lokal, duku, langsat, embacang, kulun tunjuk, d) tanaman obat-obatan seperti pohon kasai, bedaro putih/ pasak bumi, e) kayu bahan pagar dan bangunan pondok seperti kempas, keranji, meranti, jelutung, kelat, sungkai, bambu, pelangas, rotan, f) kayu bakar dan g) sebagai areal pengembalaan hewan ternak (terutama pada musim bersawah). Sistem ini telah diujicoba oleh masyarakat sejak ratusan tahun lalu berdasarkan pengetahuan dan teknologi lokal mereka. Endapan pengalaman tersebut menjadi cikal bakal munculnya konsep agroforest karet di daerah ini. Secara ekologis hampir mendekati fungsi hutan sekunder atau tersier dengan kerapatan tajuk yang tinggi. Kondisi ini secara ekologis akan menjadi tempat hidup dan berkembang beberapa jenis hewan seperti tupai, macan dahan, landak, tapir, kubung, sedangkan di hutan dapat ditemukan beruang, harimau, landak, tupai,
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
2
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Dari kebun karet campur memberikan multi manfaat untuk masyarakat sekitarnya.
kubung. Jenis-jenis burung yang ditemukan di kebun karet di antaranya gagak hitam, bubut, enggang, murai, punai dan jenis pipit. Secara umum, sistem pertanian yang dikembangkan masyarakat dalam mengelola kebun karet seperti ini menunjang keberadaan kawasan hutan. Untuk kebutuhan kayu rumah tangga, misalnya, masyarakat tidak perlu mengambil dari kawasan hutan, namun bisa dicukupi dari kebun sendiri. Bahkan saat ini mereka merencanakan agar bisa menghasilkan kayu untuk masa depan dengan sistem pengembangan kebun karet campur. Secara lanskap kebun karet campur posisinya berada di bagian bawah kawasan hutan dan di atas perkebunan masyarakat. Dengan posisi ini bisa disebut kebun karet campur merupakan penyangga kawasan hutan.
LANDER RJ / KKI WARSI
Penataan ruang ini dibuat sedemikian rupa oleh masyarakat dan secara ekologis sangat menguntungkan. Di bagian bawah terdapat areal persawahan dan pemukiman. Untuk memproteksi kawasan hutan yang merupakan daerah tangkapan air, masyarakat menjadikan sejumlah kawasan sebagai hutan adat dan hutan lindung desa. Aturan pengelolaan bersandar pada aturan adat yang telah berlaku turun temurun serta aturan-aturan baru yang merupakan bagian dari dinamisasi aturan adat dan aturan negara. Sehingga ketika terbukanya kesempatan yang diberikan oleh negara untuk mengelola kawasan hutan, masyarakat mulai mengajukan hak kelola hutan desa. Diawali oleh Desa Lubuk Beringin di kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo, yang mengajukan hak kelola Hutan Desa di kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Langkah Lubuk Beringin ini diikuti oleh desa-desa lainnya, yaitu Senamat Ulu, Sangi Letung Dusun Buat, Laman Panjang dan Sungai Telang. Semua desa ini memperoleh hak kelola hutan desa di Bukit Panjang Rantau Bayur.
3
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
hasa Melayu Jambi, Bujang dapat diartikan sebagai pemuda dan Raba secara sempit bisa diartikan meraba, tapi secara luas bisa diartikan dengan mengkaji. Sehingga Bujang Raba bisa berarti pemuda yang selalu melakukan pengamatan terhadap alam di sekitarnya. Bujang Raba menempati posisi strategis. Ia berada tepat di Jantung yang menjadi nyawa penghubung antara Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di sebelah Barat, sementara bagian bawah terdiri dari Hutan Produksi Batang Ule, Hutan Adat, dan Hutan Lindung Desa serta Areal Penggunaan Lain (APL). Dari jantung Bujang Raba muncul sub DAS utama, seperti DAS Batang Bungo, Batang Pelepat, Batang Senamat yang mengalirkan air untuk Sungai Batanghari.
“Kemudian muncul istilah “Bujang Raba” yang merupakan singkatan dari Bukit Panjang (Bujang) dan Rantau Bayur (Raba)”
Kemudian muncul istilah “Bujang Raba” yang merupakan singkatan dari Bukit Panjang (Bujang) dan Rantau Bayur (Raba) sebagai sebagai sebutan untuk kawasan Hutan Lindung yang berjajar di sepanjang Bukit Barisan. Kawasan ini berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Bathin III Ulu dan Pelapat Kabupaten Bungo. Dalam ba-
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
4
Sebagai daerah yang berupa dataran tinggi dan perbukitan, lanskap Bujang Raba berfungsi sebagai hulu DAS dengan banyak mata air yang kemudian membentuk pola aliran dendritik (menyerupai serabut akar pohon). Dari sini kemudian mengalir ke sungai utama di daerah bawah atau bagian hilirnya yang berada di bagian Timur Pulau Sumatera. Kawasan ini merupakan daerah hulu sungai Batang Bungo, Batang Senamat dan Batang Pelepat dalam Sub-DAS Batangtebo dengan DAS utamanya adalah DAS Batanghari. Kawasan Lanskap ini punya peranan penting dalam sistem hidrologi untuk mengatur tata air dan pengendali erosi bagi daerah-daerah Pantai Timur Sumatera.
Bujang Raba, Tekanan yang Tak Kunjung Reda Kehadiran Perusahaan akan memicu terjadinya bencana ekologis, konflik dengan satwa, konflik lahan antara masyarakat.
Posisi Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur, tidak bisa hanya dipandang sebagai satu kawasan hutan lindung saja. Kawasan sekitarnya terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat di kawasan paling atas, kemudian Hutan Produksi Batang Ule, APL di bagian lain, serta Hutan Adat, dan Hutan Lindung Desa. Kawasan ini merupakan satu kesatuan bentang alam, sehingga kemudian diberi nama Lanskap Bujang Raba. Dari pemetaan yang dilakukan Warsi, Lanskap Bujang Raba berada dalam satu hamparan dengan luas mencapai 109 ribu hektar. Secara umum lanskap Bujang Raba bisa didefenisikan sebagai sebuah kawasan bentang alam dengan fungsi kawasan dan tipe hutan yang kompleks. Berbagai fungsi 5
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
hutan yang membentuk satu kesatuan kawasan dan berada di hulu DAS Bungo-Tebo ini meliputi Taman Nasional, Hutan Lindung, Hutan Produksi dan areal penggunaan lain. Tipe hutannya meliputi hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan bawah. Secara geografis kawasan lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur terletak di antara 101o 34’ sampai dengan 102o 04’ Bujur Timur dan di antara 01o 40’ hingga 01o 55’ Lintang Selatan. Fungsi utama lanskap Bujang Raba ini adalah untuk mempertahankan keberadaan kawasan hutan tersisa dalam berbagai model pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat serta dapat mengurangi
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
berbagai bencana alam yang berdampak dari hulu ke hilir. Kawasan lanskap Bujang Raba secara morfologi berupa kawasan perbukitan antiklinal yang memanjang dengan punggungan bukit yang sempit dan merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan di bagian barat Sumatera. Secara topografi kawasan lanskap Bujang Raba ini dominan berbukit dengan ketinggian antara 200 m hingga 1.700 m dpl, dengan kelas kemiringan lereng curam (> 40%). Secara geologis, kawasan Lanskap Bujang Raba sebagian besar tersusun dari bahan induk berumur pre-tersier yang terdiri dari batuan metamorf dan sedimen. Jenis tanah yang dominannya adalah Podzolik Merah Kuning (PMK) yang bersifat tanah kurang subur dan tingkat bahaya erosi yang tinggi. Jenis tanah lainnya adalah tanah alluvial dan granite sandstone Berdasarkan Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson, kawasan lanskap Bujang Raba memiliki tipe Iklim A (Sangat Basah) dengan Curah Hujan (CH) rerata 2.330 mm/tahun atau 140 mm/bulan. Curah Hujan maksimum berada pada bulan Januari (356 mm) dan minimum pada bulan AgustusSeptember (83 mm). Sedangkan hari hujan rata-rata 120 hari/tahun atau 10 hari/bulan.
Kawasan lanskap Bujang Raba juga menjadi salah satu bentang alam hutan hujan tropis tersisa di Pulau Sumatra. Berdasarkan gambaran tutupan lahannya, kawasan ini memiliki biodiversity yang cukup tinggi sebagai kawasan hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan bawah. Secara ekologis, selain sebagai hulu DAS, kawasan ini memiliki vegetasi khas kawasan hutan hujan tropis. Keadaan ini telah memberikan manfaat secara langsung bagi kawasan di daerah hilir dalam mempertahankan morfologi kawasan. Sebagai bagian dari Bukit Barisan yang mengarah ke timur Pulau Sumatera, kawasan ini juga menjadi benteng bagi pertahanan kondisi geo-morfologis kawasan di dataran rendah di Pantai Timur Sumatera. Apabila terjadi perubahan di daerah ini ia akan berdampak langsung bagi perubahan geo-morfologis kawasan di Pantai Timur tersebut. Tutupan hutan lanskap Bujang Raba relatif bagus, sedangkan di bagian luarnya lanskap ini terutama di bagian hilir, terjadi degradasi dan konversi yang tinggi dari dari kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor. Antara lain; (a) kebutuhan lahan bagi pertanian masyarakat dan perkebunan besar, (b) kebutuhan lahan bagi pemukiman akibat adanya pertambahan jumlah penduduk, (c) kebutuhan lahan bagi peningkatan PAD Kabupaten terutama dari sektor pertambangan yang mengalami masa trendnya sejak era pertengahan tahun 2000-an. Bujang Raba Penyanga Kehidupan
6
Satwa bisa hidup berdampingan asal ada saling penghargaan untuk habitatnya
Fungsi dan keberadaan Bujang Raba sangat mendukung sistem kehidupan masyarakat yang berada di dalam dan daerah sekitar. Ada delapan desa yang berintegrasi langsung dengan kawasan ini, yaitu Lubuk Beringin, Senamat Ulu, Aur Cino, Laman Panjang, Buat dan Sungai Telang di Kecamatan Bathin III Ulu, kemudian Batu Kerbau dan Baru Pelepat di Kecamatan Pelepat, dengan jumlah penduduk 7.679 jiwa. Selain itu terdapat tiga kelompok komunitas Orang Rimba yang berjumlah 168 jiwa yang tinggal di dalam kawasan ini. Bagi masyarakat sekitar, kawasan Bujang Raba memiliki arti yang sangat penting. Secara ekologis Bujang Raba berfungsi memitigasi bencana alam bagi pemukiman masyarakat yang berada di daerah hilir. Selain itu kawasan ini juga berfungsi sebagai tempat hidup beragam plasma nutfah yang bernilai konservasi tinggi. Berdasarkan kajian biodiversity yang dilakukan Warsi, di kawasan ini terdapat beragam jenis flora dan fauna yang sebagian berstatus dilindungi. Tercatat 22 jenis mamalia dari 14 famili (19 jenis di antara dilindungi, antara lain Harimau, Rusa, Ki7
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
jang, Tapir dan Beruang), dan tercatat 146 jenis burung dari 24 famili (43 jenis di antaranya dilindungi), beberapa jenis reptilia dan puluhan jenis ikan. Secara menyeluruh di antaranya memperlihatkan spesies yang memang memiliki habitat di hutan belantara. Hampir separuh dari spesies burung yang ada disana merupakan spesies yang patut dilestarikan secara global maupun nasional. Burung Sempudan Biru (Lophura ignita) yang ditemukan di kawasan ini, terdaftar sebagai salah satu spesies yang terancam punah dengan status rawan (Vulnerable). Sementara itu hampir seluruh spesies Elang (Accipitridae) terdaftar di dalam Appendiks CITES sebagai spesies yang harus dibatasi perdagangannya secara global. Serta Aviceda Jerdoni, Motacilla Cinerea dan Phylloscopus Borealis merupakan beberapa spesies burung migran yang ikut menghuni lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur. Keberadaan spesies tersebut secara status konservasinya dapat memperlihatkan lanskap Bujang Raba boleh disebut sebagai sebuah kawasan hutan yang masih ter-
Keberadaan Bujang Raba ini juga menjadi tambah penting bila diperhatikan pada daftar mamalia liar yang ditemukan di dalam kawasan lanskap ini. Hampir secara keseluruhan merupakan spesies yang penting dan menjadi indikator terhadap keberadaan suatu kawasan hutan. Di kawasan ini terdapat Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) spesies yang kondisi populasi di alamnya sangat kritis (Critically Endangered). Kondisi ini disebabkan oleh semakin kurangnya luasan kawasan hutan yang menjadi habitat utamanya sehingga menyebabkan seringnya terjadi konflik dengan manusia. Selain itu, lanskap Bujang Raba merupakan hutan yang dibangun oleh banyak jenis flora di dalamnya baik berupa pohon, Climber, Herba maupun spesies-spesies yang berumpun. Keberadaan flora tersebut dapat menyatakan adanya hutan yang bagus berupa hutan klimaks maupun tidak bagus yang berupa hutan sekunder dan semak belukar. Diperkirakan tercatat tak kurang dari 1.000 jenis flora yang didominasi oleh Dipterocarpaceae dan Sapotaceae (yang menjadi indikator kawasan hutan klimaks yang menggambarkan kondisi hutan yang relatif sangat baik) dan tercatat 4 jenis berkategori endemik dan dilindungi, yaitu Kantung Semar (Nepenthes spp.), Cendawan Muko Rimau (Rafflesia hasseltii) dan bunga bangkai (Amorphophallus spp) yang menjadi ”icon” Kabupaten Bungo. Keberadaan spesies flora yang ada di kawasan lanskap Bujang Raba memberikan nilai konservasi tersendiri bagi kawasan ini baik secara global maupun nasional. Karena spesies flora yang ditemukan dalam kawasan ini memberi gambaran kawasan ini kondisinya masih baik. Spesies dari family ini merupakan spesies yang bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat maupun bagi beberapa pihak yang berkepentingan terutama pihak-pihak yang memanen hasil hutan berupa kayu. Namun dari sudut keberadaan spesies secara konservasi. Spesies tersebut secara umum berada dalam keadaan terancam populasinya di alam. Sehingga perlindungan dan pelestarian sejumlah spesies tersebut sangat mendesak dilakukan. Selain pentingnya spesies bernilai ekonomi tinggi tersebut,
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
ALAIN COMPOST / KKI WARSI
sisa di ujung barat Bungo. Kawasan ini menjadi penting bagi keberadaan sejumlah spesies tersebut sebelum mengalami kepunahan. Sehingga penyelamatan kawasan ini perlu diperhatikan secara khusus dalam rangka menjadikannya sebagai rumah bagi spesies tersebut.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
8
Selama ini masyarakat dengan kearifan lokal mereka sudah menerapkan skema-skema pengelolaan yang berazazkan keberlangsungan dan lestari. Hal itu diawali masyarakat Batu Kebau yang pernah merasakan dampak bencana banjir pada 1980-an. Bencana itu disebabkan hutan di sekitar mereka habis ditumbangkan oleh perusahaan HPH. Peristiwa itu menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk memproteksi kawasan mereka melalui Hutan Adat dan Hutan Lindung Desa. Ketika keluar peraturan pemerintah untuk keterlibatan masyarakat mengelola kawasan hutan, lima desa sekitar sudah mengajukan hak kelola hutan desa yang merupakan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
“ Secara sosial lanskap Bujang Raba berperan untuk perlindungan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan, sekaligus sebagai resolusi konflik dalam pengelolaan sumber daya alam.”
9
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
Secara sosial lanskap Bujang Raba berperan untuk perlindungan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan, sekaligus sebagai resolusi konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Bagi Orang Rimba Bujang Raba merupakan rumah dan tempat hidup dan berpenghidupan. Kawasan ini menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan budaya mereka.
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Kantong Semar (Nepenthes sp.)
Kawasan Lanskap Bujang Raba juga memberikan nilai ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dengan mekanisme kelembagaan lokal dalam pemanfaatan HHBK yang ada, masyarakat mampu memberdayakan kemampuan mereka dalam memperkuat pengetahuan lokal yang mereka jalani dalam prinsip gotong royong dan sukarela. Mekanisme kelembagaan lokal yang sudah ada secara turun temurun itu akan memberikan kesejahteraan dan pendapatan ekonomi masyarakat. Selain itu, masyarakat menyadari bahwa hutan yang terjaga dengan baik akan memberikan dukungan bagi kehidupan mereka. Di antaranya pemanfaatan arus sungai untuk pembangkit listrik, pemanfaatan irigasi dan lain sebagainya.
Namun sayangnya, di bagian lain kawasan ini masih terus mengalami ancaman alihfungsi hutan menjadi Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit. Bahkan sebagian hutan produksi sudah beralih fungsi menjadi areal hutan tanaman industri atas nama PT Malaka Agro Perkasa dan PT. Mugitriman Internasional, serta perkebunan sawit skala besar di bawah bendera PT Sawit Harum Makmur. Kondisi ini kembali membuat resah masyarakat. Karena hal itu akan memicu terjadinya bencana ekologis, konflik dengan satwa, dan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Belum lagi hilangnya biodiversiti yang belum diketahui nilainya (tanaman obat), kemiskinan yang terus meningkat, pelanggaran HAM, peningkatan deforestasi dan degradasi yang berimplikasi pada peningkatan emisi. Kondisi itu juga bertentangan dengan target penurunan emisi oleh pemerintah sebesar 26 persen.
Masyarakat memanfaatkan potensi disekitar mereka untuk peningkatan ekonomi keluarga
Rafflesia Arnoldii
Google.com
LANDER RANA JAYA / KKI WARSI
ada pula spesies flora yang menjadi ikon dalam kegiatan-kegiatan konservasi alam seperti spesies dari Amorphophallus dan Rafflesia. Keduanya menjadi ikon konservasi secara nasional dalam dunia tumbuhan. Keberadaan kedua spesies tersebut, terutama Rafflesia sangat erat hubungannya dengan kondisi kawasan hutan yang masih bagus. Hal ini dikarenakan, Rafflesia memiliki tempat hidup yang spesifik dan tergantung kepada keberadaan tumbuhan inangnya dari genus Tetrastigma. Selain itu potensi keanekaragaman hayati ini juga bernilai sosial-ekonomi dan sosial-budaya bagi masyarakat setempat yang dimanfaatkan untuk kebutuhan bahan bangunan/papan, tali temali, pangan dan bahan obat-obatan tradisional.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
10
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Masyarakat memperlihatkan keseriusan mengelola kawasan ini dengan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang mengedepankan nilai keberlanjutan dan lestari. Tinggal menunggu sikap stekeholder lainnya yang berada di kawasan ini, semoga tetap mendukung upaya yang dilakukan masyarakat. Dari segala aspek, jelas kawasan ini sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat di sekitar dan hilirnya. Ini pula yang kemudian menginsipirasi masyarakat untuk menjadikan lanskap Bujang Raba sebagai model belajar untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
MS. Ka’ban (kiri) menteri kehutanan meresmikan Hutan Desa Lubuk Beringin 2009
11
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
Sebagai kawasan yang disiapkan sebagai kawasan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, kawasan lanskap Bujang Raba sudah dipastikan dapat menjadi kawasan yang mampu menjadi gudang karbon. Kondisi vegetasi kawasan hutan yang bagus dan kebun campur yang menutupi kawasan ini secara langsung dapat menjadi penyerap langsung dari polusi udara yang bersifat global. Sehingga dengan adanya trend pembangunan rendah karbon, secara regional dan nasional Kabupaten Bungo yang memiliki Kawasan Lanskap Bujang Raba dapat menjadi salah satu kabupaten yang menerapkan pembangunan rendah karbon yang berbasiskan pengelolaan kawasan hutan. Adanya potensi penyerapan karbon tersebut juga memberi peluang bagi kabupaten untuk mendapatkan peluang dalam mekanisme REDD+, baik yang bersifat fund-base ataupun marketbase. Peluang ini dapat dilakukan bila Kawasan lanskap Bujang Raba karena ia merupakan kawasan hutan yang menjadi satu kesatuan utuh bagi semua fungsi kawasan. Kesatuan itu dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan bagi masing-masing fungsi kawasan yang ada. Dengan adanya Kawasan lanskap Bujang Raba, Kabupaten Bungo bisa menjadi salah satu penyumbang oksigen bagi dunia secara global. Dan ini tentu merupakan salah satu nilai tambah bagi kabupaten Bungo dan Provinsi Jambi, utamanya bagi masyarakat yang mengelola kawasan ini secara baik. Akan menjadi suatu kebanggaan jika masyarakat bisa hidup makmur dari sumber dayanya sendiri.
Acara penyambutan mentri kehutanan pada penyerahan SK Areal Kerja Hutan Desa Lubuk Beringin
Bujang Raba, Pembangunan oleh Masyarakat yang Bersahaja dan Berdampak Luar Biasa Dari pengalaman mengelola kawasan yang sudah berlangsung turun temurun, sudah terlihat bagaimana upaya dan keseriusan masyarakat mengawetkan keanekaragaman hayati, meminimalisir konflik dan mencegah bencana ekologis. Diawali dengan inisiatif masyarakat untuk memproteksi kawasan, sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Padahal itu bukan perkara mudah, mengingat pada saat yang bersamaan masyarakat harus berhadapan dengan korporasi yang mengincar kawasan hutan tersisa. Masyarakat Batu Kerbau, misalnya, mengalokasikan lima kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan hutan adat dan hutan lindung desa. Pada saat itu kawasan tersebut juga telah diberikan hak oleh pemerintah pusat untuk mengelola HPH di sekitar desa. Banjir bandang pun menghampiri desa kala pohon-pohon ditumbangkan. Masyarakat pun berjuang untuk memproteksi kawasan ulayat mereka sebelum chainsaw menumbangkan semua pohon. Perjuangan ini diapresiasi oleh Bupati Bungo kala itu dengan keluarnya SK pengukuhan Hutan Adat Batu Kerbau disusul dengan lahirnya Peraturan Dae-
rah Kabupaten Bungo tentang Masyarakat Hukum Adat Datuak Sinaro Nan Putiah. Dengan SK dan perda ini ada titik terang untuk mengakui hak kelola rakyat di kawasan hutan. Perjuangan untuk mendapatkan hak kelola rakyat ini terus berlanjut, hingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang memberikan peluang pada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan. Masyarakat Lubuk Beringin menangkap peluang ini dan mengajukan hak pengelolaan hutan desa di kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau bayur pada 2009 silam. Kemudian disusul oleh desa-desa lain sekitarnya, yaitu Sungai Telang, Sangi Letung, Sungai Mengkuang dan Senamat Ulu. Pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini, dilakukan karena masyarakat sangat paham dengan kondisi hutan di sekitar mereka dengan segala konsekuensi pengelolaannya. Selain mengembangkan skema PHBM, masyarakat sekitar terus melBujang Raba Penyanga Kehidupan
12
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Bangga Mengelola Bujang Raba
akukan beragam kegiatan untuk mendukung kegiatan ini di antaranya, pengembangan ekowisata, pertanian sawah organik, pengembangan komoditas tanaman bertingkat dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Ekowisata Untuk mendukukung skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat, di kawasan ini juga dilakukan berbagai kegiatan pendukung. Antara lain melalui pengembangan potensi ekowisata. Kawasan Bujang Raba memiliki sejumlah tempat yang mampu menyejukkan jiwa dan menyegarkan pikiran. Jika kawasan ini dipertahankan dan dikelola dengan bijaksana, ia akan berpeluang menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat. Kegiatan ini dinilai bisa menguntungkan dengan sistem pengelolaan wisata alam.
Untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga sekaligus untuk mengurangi tekanan masyarakat pada kawasan hutan, Warsi saat ini mendorong masyarakat untuk melakukan pengembangan pertanian dengan skema komoditas bertingkat di desa-desa sekitar Lanskap Bujang Raba. Pengembangan sistem pertanian ini dilakukan pada kebun karet masyarakat yang sebagian besar belum tergarap secara optimal dan sebagian dalam kondisi semak belukar. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan kawasan ini dilakukan peremajaan dan pengayaan tanaman karet, kemudian di sela pohon karet dilakukan penanaman kakao. Sedangkan sebagai penutup tanah dikembangkan pula tanaman kapulaga/gardamunggu.
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Mengembangkan Potensi Desa
LANDER RJ / KKI WARSI
Pengembangan Komoditas Bertingkat
13
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
Kakao merupakan tanaman pertanian yang membutuhkan pelindung, begitu pula halnya dengan tanaman kapulaga. Kapulaga merupakan tanaman herbal yang membentuk rumpun, bentuknya seperti tumbuhan jahe. Tanaman ini dapat tumbuh mencapai ketinggian 2-3 meter. Pada umumnya kapulaga tumbuh di hutanhutan yang masih lebat. Dengan pola tanaman bertingkat, kapulaga akan tetap bisa tumbuh dengan baik. Saat ini masyarakat sudah menanam 2.000 batang
kakao dan 4.000 rumpun kalupaga. Komoditas bertingkat ini sedang gencar dikembangkan di Senamat Ulu, Mengkuang Laman Panjang, Lubuk Beringin dan Sengi Letung. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan bibit di daerah ini, penduduk kemudian mengembangkan pembibitan kakao. Saat ini sudah ada 10 ribu bibit yang siap ditanam. Dibutuhkan sekitar 50 rbu bibit untuk memenuhi kebutuhan bibit masyarakat di beberapa desa ini. Melalui pengembangan komoditi bertingkat, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus melakukan perluasan ektensifikasi lahan pertanian. Karena masyarakat berpeluang memiliki pendapatan dari beberapa komoditas sekalgus. Dalam siklus 2 minggu mereka memiliki pendapatan dari karet, kakao untuk penghasilan mingguan dan dan kapulaga untuk penghasilan bulanan. Tanaman bertingkat ini ditargetkan menjadi proyek percontohan untuk peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan, tanpa harus mengubah fungsi hutan.
Padi Sawah Organik Padi sawah merupakan sumber pangan masyarakat di sekitar Bujang Raba. Masyarakat mengembangkan pola pertanian padi sawah varietas lokal sekali setahun dengan masa tanam enam bulan, dengan sistem tanam organik. Pupuk untuk meningkatkan produksi padi berasal dari batang padi yang dibiarkan membusuk di areal persawahan. Kemudian ketika selesai membajak, areal sawah ditaburi kotoran sapi sisa dari biogas sebelum ditanami bibit padi. Untuk menjaga kualitas tanah, petani tidak menanam padi sepanjang tahun, namun dilakukan pergantian tanaman dengan menanam tanaman muda, baru kemudian di tanam padi kembali. Pola pertanian seperti ini terbukti mampu mempertahankan kesuburan tanah.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
14
Peningkatan Kapasitas Masyarakat Untuk menunjang kegiatan yang dikembangkan di sekitar Bujang Raba, tentu kapasitas masyarakat desanya juga perlu ditingkatkan. Terkait ini Warsi sudah melakukan berbagai kegiatan yaitu studi banding ke Kampoeng Wisata Cinangneng, Kecamatan Ciampea, Bogor. Disini masyarakat belajar bagaimana memandu wisatawan yang berkunjung. Selain itu studi banding juga menyinggahi lokasi Lembur Pancawati untuk belajar tentang pengembangan kosep ekowisata.
Potensi Lanskap Bujang Raba
15
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Sementara untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dari pengolahan hasil hutan non kayu, masyarakat diajak untuk berkunjung ke Kampung Lemah Duwur, Cimande, Kecamatan Caringin, Bogor, yang merupakan sentra kerajinan bambu. Perwakilan masyarakat sekitar Bujang Raba dan desa dampingan Warsi lainnya juga diikutsertakan dalam kegiatan kongres Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia yang berlangsung di Semarang. Pada kongres ini, masyarakat belajar untuk meningkatkan pendapatan mereka dari hasil hutan non kayu. Warsi juga mendorong masyarakat untuk meningkatkan pendapatan mereka dari sektor perkebunan karet dengan cara menghubungkan langsung masyarakat desa dengan pabrik karet salah satunya Bridgestoen, yang menampubng karet dari kebun karet campur masyarakat. Dengan cara ini, harga jual masyarakat jauh lebih tinggi dan masyarakat juga terus berupaya untuk meningkatkan mutu karet sadapan mereka dan memenuhi standar pabrik ban kelas dunia ini. Nilai tambah lainnya dari hutan yang terjaga adaah mempertahankan fungsi hutan sebagai penentral emisi karbon dioskida. Sehingga hutan akan sangat dihargai dan akan masuk perdagangan karbon. Untuk menyambut ini masyarakat juga harus bersiap, salah satunya adalah dengan memberikan pelatihan pengukuran kandungan karbon di kawasan hutan kepada masyarakat. Dengan pola pelatihan ini masyarakat akan memiliki pengetahuan yang memadai ketika pasar karbon diberlakukan. Masyarakat Senamat Ulu misalnya telah pelatihan penghitungan karbon di hutan desa mereka dengan menggunakan metoda RaCSA. Pelatihan ini ditujukan jika waktunya tiba dan ada pembeli karbon, masyarakat sudah paham dengan jumlah karbon yang ada di hutan mereka. Ini tentu bisa meningkatkan posisi tawar masyarakat dalam pasar karbon.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
16
Bujang Raba Terus Berbenah dan Kembangkan Potensi Kawasan di Barat Kabupaten Bungo ini, terus melakukan pembenahan dan pengembangan potensi yang dimiliki. Sebagai kawasan yang relatif jauh dari pusat pemerintahan kabupaten, masyarakat di Sekitar Bujang Raba tentu mengelami yang namanya keterbatasan dalam mengakses berbagai sarana publik seperti listrik dan juga pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar. Pada sisi lain masyarakat memiliki sejumlah potensi untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Di antaranya yang saat ini terus dikembangkan adalah biogas dan pembangkit listrik tenaga kincir air.
Biogas
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Mengembangkan sumber energi alternatif berupa biogas di dusun Senamat Ulu
17
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
Hampir 90 Persen masyarakat desa sekitar Bujang Raba masih menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan energi mereka. Berdasarkan analisis singkat yang dilakukan Warsi di Desa Senamat Ulu, masyarakat desa yang terdiri dari 260 KK menggunakan bahan bakar kayu dan gas. Rumah tangga yang menggunakan kayu murni berjumlah 52 kk dengan kebutuhan kayu 17 kg/hari, sedangkan rumah tangga yang menggunakan gas dan kayu bakar membutuhkan terdapat 208 KK dengan rincian kebutuhan 10 kg kayu/hari dan gas rata-rata 4 kg/ bulan atau setara Rp 34 ribu per bulan. Dengan angka ini bisa dikalkulasikan kebutuhan kayu pertahun masyarakat Senamat Ulu sekitar 1.097, 64 ton/tahun. Dengan angka ini dengan asumsi kandungan C kayu 50 % maka akan menghasilkan emisi karbon sebesar 2.012 ton CO2 pertahun. Bisa juga dibayangkan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan kayu di tahun-tahun mendatang. Ini baru perhitungan di satu desa, sedangkan desa-desa lain di sekitar Bujang Raba terdapat delapan desa dengan kebutuhan kayu dan emisi yang dihasilkan kurang lebih sama. Dengan kondisi ini sangat patut untuk dicarikan sumber energi alternatif lainnya. Den-
gan melihat potensi yang ada, sumber energi yang mungkin dikembangkan adalah pemanfaatan kotoran sapi. Kotoran sapi mengandung unsur kimia NH4 dan air kencingnya mengandung unsur kimia NH24. Kedua kandungan kimia merupakan senyawa pengemisi atmosfir bumi 23 kali lebih ganas dari karbondioksida, jika jika dibiarkan lepas ke udara. Namun sumber emisi ini bisa diolah menjadi biogas, sehingga memberikan manfaat ganda untuk masyarakat, pertama kotorannya tidak menimbulkan emisi, kedua bisa mengurangi konsumsi kayu bakar masyarakat. Selain itu, juga untuk mencegah berkembang biaknya berbagai penyakit, karena korotan sapi yang terbiarkan begitu saja sangat mungkin menjadi media berkembang biaknya berbagai jenis penyakit. Dari uji coba yang dilakukan Warsi dengan membangun instlasi biogas dengan modal awal senilai Rp 1,3 juta rupiah, dengan satu sapi per KK mampu mencukupi kebutuhan energi rumah tangga sepanjang hari, ini dengan perhitungan satu sapi yang menghasilkan 7 – 10 kg kotoran per hari. Jika cara ini berhasil didorong dan diaplikasikan, bisa dihitung berapa emisi karbon yang bisa dicegah akibat pembakaran kayu. Dan lebih penting lagi, bagi masyarakat sekitar ini tentu penghematan pengeluaran keluarga. Satu tabung gas isi 3 kg, di Desa Senamat Ulu diperdagangkan dengan harga Rp 25 ribu, plus biaya pengadaan kayu bakar. Dengan pengembangan biogas ini ada multimanfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat sekitar. Apalagi pembangunan model biogas ini dilakukan dengan teknologi sederhana sehingga bisa dilakukan langsung oleh masyarakat desa dengan bahan-bahan yang tersedia di sekitar mereka.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
18
Listrik dari PLTKA Dengan jarak lebih dari 50 km dari pusat pemerintahan Kabupaten, menyebabkan sebagian besar desa di sekitar Bujang Raba tidak mendapatkan pasokan energi listrik dari negara. Untuk itulah masyarakat secara swadaya memanfaatkan sumber energi yang ada di sekitar mereka, baik berupa Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA) ataupun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) tergantung dengan keberadaan air sungai di desa-desa sekitar Bujang Raba.
Jika dibandingkan dengan menggunakan mesin diesel untuk kebutuhan listrik, harga listrik dari air ini sangat murah. Saat ini harga solar di dusun sudah diatas Rp 10 ribu per liter, sedangkan satu mesin diesel membutuhkan enam liter BBM permalam untuk penerangan selama enam jam, dengan ini bisa diasumsikan biaya bahan bakar Rp 60 ribu per malam jika listrik disambungkan untuk lima rumah di sekitarnya maka masing-masing rumah mengeluarkan biaya sekitar Rp 12 ribu per malam atau Rp 360 ribu sebulan. Sangat berbeda jauh dengan menggunakan kincir air yang iurannya puluhan ribu rupiah. Bisa dibayangkan penghematan yang bisa dilakukan jika memanfaatkan listrik dengan sumber energi air sungai, selain ramah lingkungan juga hemat dan ini diyakini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Selain itu yang terpenting adalah sumber polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil dihilangkan. Namun ini hanya bisa terus berlangsung, selama hutan yang berada di sekitar masyarakat sebagai daerah tangkapan air terjaga dengan baik. Sehingga pasokan air sungai juga merata sepanjang tahun. Melihat potensi ini, bukan tidak mungkin pada suatu hari nanti listrik yang dihasilkan masyarakat ini bisa dijual ke perusahaan listrik negara (PLN), dan ini merupakan salah satu prospek untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. 19
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
Di Senamat Ulu misalnya terdapat empat unit Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA) dengan kapasitas 5 ribu kw per kincir. Satu kincir mampu menerangi 8 -14 rumah ada yang dengan iuran per bulannya sekitar Rp.20.000 - Rp.50.000,per KK tergantung dengan kapasitas listrik yang diterima masyarakat. Di Dusun Lubuk Beringin terdapat 3 unit PLTKA dengan kapasitas 5 ribu watt dengan iuran warga sekitar Rp 15 ribu per KK per bulan dengan kemampuan listrik menyala dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi.
Listrik Murah dari PLTKA/MH diwilayah Kecamatan Bathin III Ulu yang airnya bersumber dari kawasan Ekosistem Bujang Raba.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
20
Menyelamatkan Biodiversiti, Plasma Nutfah dan Sumber Pangan Dengan potensi yang dimilikinya, Bujang Raba merupakan sumber plasma nutfah dengan kekayaan yang sangat tinggi. Secara tradisonal masyarakat sudah memanfaatkan biodiversity di kawasan ini untuk beragam jenis obat, berdasarkan kearifan lokal yang telah turun temurun. Jika kawasan ini terselamatkan dengan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan, juga akan memberikan jaminan bagi kelangsungan ilmu dan tradisi lokal dengan bahan-bahan alam untuk penyembuhan berbagai penyakit. Tidak tertutup kemungkinan ini bisa dikembangkan dengan dukungan analisis dari laboratorium dan tenaga ahli sehingga hutan Indonesia yang dikenal sebagai penghasil berbagai jenis obat dapat terus dipertahankan. Dengan skema ini, bisa dijamin bahwa pengobatan akan jauh 21
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
ALAIN COMPOST / KKI WARSI
Orang Rimba butuh hutan untuk kelansungan hidup mereka.
lebih murah, jika dibandingkan bahan asal obat berasal dari luar negeri. Di kawasan bujang Raba juga ditemukan berbagai jenis pohon buah-buahan yang menjadi salah satu sumber pangan masyarakat sekitarnya. Apalagi di kawasan agroforest yang sudah diperkaya masyarakat dengan beragam tanaman buah, ini menjadi nilai tambah keberadaan kawasan bagi masyarakat sekitarnya. Tidak hanya masyarakat desa, kawasan Lanskap Bujang Raba juga menjadi sumber penghidupan Orang Rimba yang mendiami kawasan ini. Orang Rimba mendapatkan sumber pangannya dari hewan buruan, umbi dan buah-buahan yang ada dalam lanskap Bujang Raba. Dengan menjaga lanskap menjaga sumber kehidupan dan berpenghidupan serta sumber daya tradisional Orang Rimba. Bujang Raba Penyanga Kehidupan
22
Bujang Raba, Rumah Hangat untuk Semua Bujang Raba dengan keanekaragamannya yang dikandungnya dan dengan beragam model kelola yang diterapkan di kawasan ini, mulai dari yang berazazkan kearifan lokal (hutan adat, hutan lindung desa dan hutan desa), konservasi (taman nasional) dan perkebunan karet campur di kawasan APL hingga hadirnya korporasi PT Sawit Harum Makmur (sawit) yang tengah melakukan pembersihan lahan (land clearing), PT Malaka Agro Perkasa dan PT Mugi Triman (HTI) di kawasan Hutan Produksi. Tentu sangat diharapkan lahirnya kesepahaman untuk mengelola kawasan ini secara berkeadilan, berkelanjutan dan tidak menghancurkan sumber daya generasi masa depan yang menjadi gantungan hidup ribuan masyarakat disekitar dan hilirnya. Konversi dan degradasi di Lanskap Bujang Raba, harusnya sudah mulai dihentikan, dan beralih pada pengelolaan lestari. Sudah bisa ditebak, jika konversi
23
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
dan degradasi hutan berlanjut bencana ekologis sudah bisa dipastikan akan segara menyembangi. Banjir, longsor, kekeringan dan adalah bagian nyata yang terlihat langsung dari perusakan hutan. Di bagian lain dampak penghilangan hutan juga terus membayangi, perubahan musim akibat pengaruh perubahan iklim mulai dirasakan masyarakat. Untuk itu perlu melihat bahwa Lanskap Bujang Raba merupakan satu kesatuan. Sehingga dalam mengelolaannya juga harus memperhatikan banyak faktor sehingga kesatuan eksostem ini tidak terkoyak dan kemudian malah mendatangkan bencana ekologis bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan kawasan secara lestari menjadi pilihan, sehingga kawasan ini secara langsung dapat menjadi kawasan mitigasi bencana yang penting bagi kawasan pemukiman yang berada di daerah hilirnya. Melihat dari kondisi topografi, jenis tanah dan tingkat curah hujan
di kawasan ini, sangat perlu adanya kesepakatan para pihak yang terlibat dikawasan ini untuk memberikan andil dan perannya untuk mencegah bahaya ekologis bagi masyarakat disekitar dan hilirnya. Untuk itu, masingmasing stakelholder di kawasan ini harus menjalankan perannya dengan merujuk kepada pengelolaan kawasan yang lestari berkelanjutan. Masyarakat sebagai pelaku dan penerima dampaknya sudah jelas dengan perannya, terbukti dengan dialokasikannya kawasan-kawasan pengelolaan yang meliputi hutan adat, hutan lindung desa, hutan desa, agroforest dan lainnya. Lantas pertanyaanya apa peran yang akan dijalankan oleh pihak swasta yang mendapatkan izin di wilayah ini.
Warsi jelas mendorong pihak perusahaan untuk menetapkan sistem kelola yang menganut azaz-azas lestari dan berkelanjutan. Harapannya tentu kawasan kelola mereka di Bujang Raba dikeluarkan, namun jika ini tidak dipenuhi paling tidak perusahaan menjaga kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi (high conservation value forests/ HCVF), kemudian menyisakan koridor satwa dan tidak melakukan land clearing di batas kawasan Ekossitem Bujang Raba minimal dalam radius 100 meter. Dengan pola ini Bujang Raba tetap hangat untuk semua, masyarakat sekitar sejahtera, Orang Rimba hidup nyaman dan perusahaan bisa berjalan dengan baik.
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
24
Darma untuk Bujang Raba
Menyelamatkan Bujang Raba,
Untuk menjaga Bujang Raba tentu diperlukan dukungan dari semua pihak. Banyak pilihan untuk keikutsertaan dalam menjaga Bujang Raba. Menjalankan konsep pengelolaan yang lestari bagi stakeholder yang terlibat langsung di kawasan ini dan pihak luar juga bisa mengambil dukungan untuk keberlangsungan kawasan dan pohon yang ada di dalamnya, baik berupa pengasuhan pohon, menjadi member komunitas save Bujang Raba atau donasi langsung untuk pengelolaan kawasan. Partisipasi semua pihak akan sangat dinantikan. Selamatkan hutan kita sekarang atau anak cucu kita akan mengutuk kita tak berbuat untuk menyelamatkan penyangga kehidupan mereka.
Bagian terpenting untuk Penyelamatan masa depan Indonesia dan Dunia Bujang Raba menjadi tumpuan terakhir penyangga kehidupan komonitas Orang Rimba dan masyarakat sekitarnya, sekaligus menjadi bagian untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mempertahankan kawasan ini dan mengelolanya secara lestari dan berkelanjutan, merupakan salah satu langkah kongkrit untuk mendukung kebijakan presiden yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61/2011 tentang rencana aksi nasional penurunan gas rumah kaca. Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada 2020 dengan kemampuan sendiri, dan 41% melalui dukungan internasional. Target ini bisa dipenuhi jika pembangunan yang dikembangkan mengadopsi sistem pembanguann rendah karbon yang diantaranya adalah tidak melakukan alih fungsi kawasan hutan dan mempertahankan serta mengayakan tegakan pohon. Dengan langkah ini tentu akan semakin meningkatkan kemampuan hutan menyerap karbon diosida sekaligus mempertahankan cadangan
karbonnya. Secara sederhana bisa diukur potensi karbon di lanskap Bujang Raba, jika rata-rata cadangan karbon hutan Indonesia diperkirakan mencapai 250 ton per hektar, maka di Lanskap Bujang Raba terkandung sekitar 27,25 juta ton karbon. Ketika mekanisme pasar karbon berlaku, bisa dihitung nilai ekonomis Lanskap Bujang Raba dan ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Dengan kemampuannya ini, Lanskap Bujang Raba akan berjasa untuk masyarakat sekitar dan masyarakat global. Ini hanya akan berlaku jika para pihak yang terlibat dikawasan ini mendukung pola yang dikembangkan yang berazazkan keadilan dan keberlangsungan sumber daya. Tidak hanya masyarakat sekitar yang diuntungkan tetapi juga masyarakat global, menyelamatkan masa depan masyarakat Indonesia dan penduduk dunia, ketika pola ini diaposi dan dikembangkan di banyak tempat.
Untuk mengenal Bujang Raba lebih dekat atau ingin terlibat berpatisipasi untuk mendukung keberlangsungan Bujang Raba silahkan hubungi :
25
Bujang Raba Penyanga Kehidupan
HERIYADI ASYARI / KKI WARSI
KKI WARSI Jl. Inu Kertapati No 12 Kel. Pematang Sulur, Telanaipura, Kota Jambi 36124. PO BOX 117 Jbi. Telp +62 0741 66678-66695 Fax +62 0741 670509 email:
[email protected] Bujang Raba Penyanga Kehidupan
26
Bujang Raba Penyanga Kehidupan