arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
Kehidupan Berbelanja, Kehidupan Berkota Kristanti Dewi Paramita & Novelisa Sondang Delima
turis. Dikatakan terjepit karena tentu kami mau tak mau akan merasakan rutinitas kehidupan keseharian penduduk asli yang sesungguhnya, tanpa terlalu banyak euforia seorang turis yang segalanya merupakan pengalaman baru dan bersifat temporer. Walaupun begitu, perbedaan budaya yang nyata memberikan paradigma yang berbeda bagi kami dalam membaca fenomena-fenomena menarik yang terjadi di negara-negara ini dan membanding-bandingkannya satu dengan yang lain. Salah satu fenomena yang menarik bagi kami adalah suasana kawasan perbelanjaan di masing-masing negara. Tentu karena kegiatan jual-beli budaya dan kebiasaan sehari-hari di setiap negara secara tidak langsung mempengaruhi suasana berbelanja di pusat perbelanjaan tersebut. Kami ingin membaca kembali mengenai fenomena menarik yang kami temukan di tempattempat ini, bagaimana kawasan perbelanjaan saling berkaitan dengan suasana berbelanja. Dan, bagaimanakah sesungguhnya kawasan perbelanjaan sebagai Singapura
Baik sudah maupun belum, identitas Singapura sebagai surga belanja sudah nama pusat perbelanjaan yang mungkin tak terhitung banyaknya di Singapura. Pusat perbelanjaan menjadi magnet bagi para Singaporean, semua orang seperti berlomba-lomba menyebar membanjiri ruang-ruang di dalamnya. Bahkan di akhir minggu maupun hari-hari libur, bisa ditebak deretan pusat perbelanjaan di di antaranya berasal dari Indonesia. Dengan fungsi perkantoran dan perumahan yang hampir selalu diletakkan secara terintegrasi dengan fungsi perbelanjaan, kegiatan belanja sudah menjadi rutinitas dan sekaligus hiburan sehari-hari bagi individu Singapura. Berbelanja makin lama sudah menjadi gaya hidup utama yang melekat dalam identitas masyarakat Singapura yang tercermin dalam perilaku sehari-hari mereka.
Dari pengamatan kami, terasa bahwa yang begitu penting bagi dunia konsumerisme di Singapura adalah aspek kekinian. Saat pertama menginjak Singapura, saya mengamati bahwa ada sebuah retail pakaian, yang berskala menengah ke bawah, retail itu. melewatinya, namun sekarang, saya menyadari bahwa setiap mata pasti akan
5
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
yang terbaru”, “apa yang sedang ada di etalase toko”, “apa yang baru, bagus, dan bisa dibeli”. Perihal “terbaru” adalah topik utama di negara ini. Iklan di koran setiap pagi menampilkan produk-produk ponsel ‘terbaru’, produk-produk yang ‘banting harga’, produk-produk yang ‘baru’ rilis, dan lain-lain. Candu “terbaru” itu seakan sudah mendarah daging,memberikan efek konsumsi yang berkala dan cenderung berlebihan. “…Para konsumer berlomba-lomba dalam mendapatkan produkproduk baru, gaya hidup baru dan citra-citra baru. Manusia milenium baru ini beradu cepat untuk mendapatkan mode pakaian yang terbaru, demikian juga kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan gaya hidup dan rekreasi…” Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa manusia masa kini begitu mengutamakan kebutuhan yang berkaitan dengan gaya hidup, yang bisa mendongkrak citra mereka di depan khalayak. Dengan kata lain, bukan kebutuhan kebutuhan tersebut adalah kebutuhan manusia untuk dihargai dan diterima oleh orang lain (self esteem/ego needs dapat memicu hal-hal yang tidak wajar. “You work in a job you hate, to buy stuff that you don’t need, to impress people that you don’t like. Sadar atau tidak sadar, hal tersebut terjadi pada arsitektur komersial Singapura. Seluruh pusat perbelanjaan berlomba-lomba bersolek diri, membentuk massa dengan bentuk dan fasad yang terkesan megah dan luar biasa, disertai tata lampu yang paling mewah lengkap dengan banner yang paling menarik dari yang umumnya, yaitu ‘beberapa’ pengamen jalanan dan ‘beberapa’ penjual makanan ringan, yang seluruhnya terletak seakan ditata dan diatur keberadaannya, dengan pengawasan yang luar biasa ketat. Jadi, bagaimana perilaku berbelanja yang sesungguhnya, di ruang-ruang
Saat menjajak pusat perbelanjaan di Singapura, semua mata akan berkeliaran menjelajahi etalase yang dilewati. Memeriksa: “apa yang baru”. Interaksi sosial menjadi minim, dan pemaknaan terhadap ruang yang mewadahi dirinya juga menurun drastis. Arsitektur yang ada di depan mata tidak lagi menjadi salah satu aspek mengapa orang mendatangi pusat perbelanjaan. Itu sudah dikesampingkan sejak lama. Prioritas utama adalah hal-hal kebendaan, yang bisa dibeli dengan uang, yang bisa dimiliki, yang bisa dimasukkan ke dalam kantung-kantung belanjaan dan ditumpuk di lemari. Jadi, perspektif ruang membelok, bertransformasi menjadi sebuah katalog produk yang ‘wajib’ dibeli dan diperbarui setiap musimnya. Padahal, selain pusat perbelanjaan berupa bangunan raksasa, Singapura memiliki shopping strip yang sebenarnya sangat menarik keruangannya, detailnya, dan karena merupakan “surga belanja” berbagai macam brand ternama. Menilik dari “cap”-nya, seperti sudah pasti bahwa belanja memang menjadi “cap” Singapura. di pedestrian, dengan disejajari oleh kantung belanjaan yang dijinjing. Dari Tangs Starbucks atau Coffee Bean, dan begitu seterusnya. 6
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
Bagi saya, proses berpindah dari satu mal ke mal lainnya adalah salah satu hal yang patut dinikmati. Bagaimana fasad bangunan-bangunan tersebut saling berganti seiring dengan perpindahannya, bagaimana ruang pedestrian yang dibanjiri manusia macam-macam ras adalah salah satu atraksi mingguan yang menarik, atau bagaimana jalur berjalan kaki dimaknai sebagai salah satu pemetaan di otak. signage, dan keberadaan signage di Singapura adalah sebuah pencapaian yang sangat berhasil. Signages tersebut menyebutkan nama-nama mal sebagai landmark, menandai ‘pemaksaan’ secara tidak langsung untuk meracuni orang dengan brand dan melupakan pengalaman berjalan. Yang terpeta di otak adalah sebagai berikut: terdapat Starbucks dan Burger King. akan merk-merk dagang tertentu yang dipasarkan di tempat tersebut. Arsitektur landmark, bukan akan dinikmati keruangannya terhadap ruang luar, bukan ditujukan sebagai aspek arsitektur yang bisa komersial, dimana bangunan tersebut menjadi ‘yang paling baru’ di antara bangunan-bangunan di lingkungannya.
Sepertinya ada hukum tak tertulis yang berlaku di Singapura, ‘yang baru yang terpinggirkan, berganti menjadi ruang bagi berpasang-pasang kaki yang berderap seirama bagaikan robot, lengkap dengan kantung-kantung belanja di sisinya. Mereka datang dan pergi tanpa ada kesadaran ruang sosial atau partisipasi dengan sesamanya.
menjinjing kantung belanjaan 7
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
Sumber: Dokumentasi pribadi
kota keempat terbesar di Inggris ini lebih banyak berupa jalan besar dengan deretan toko di sisi-sisinya, atau berupa department store besar semacam Primark atau TJ Hughes yang menempati satu gedung tersendiri. Mari menilik salah satu shopping street Fargate. Berikut adalah gambaran singkat mengenai Fargate dari salah satu “..In the middle of the city centre Fargate is a popular pedestrian area offering a wealth of high street stores with an emphasis on fashion. Fargate is also a popular place for street entertainers, musicians and specialist markets. The Anglican cathedral is at one end and Town Hall square is at the other, linking Fargate with both Barkers Pool, and Surrey St – leading to the Winter Garden, Millennium Galleries and the train station…”
retail berbagai jenis yang sangat beragam, mulai dari retail sebuah toko yang hanya menjual kartu ucapan seperti Clifton. Tidak ada yang bersifat begitu megah disini. Bangunannya sederhana. Signage nama tokonya pun tidak begitu mewah maupun berlomba-lomba untuk menjadi yang paling 8
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
mencolok. Semuanya sederhana. Bagi pengunjung disediakan kursi-kursi dari Walaupun begitu keadaannya, daerah ini terasa begitu ‘hidup’. Begitu banyak yang dapat ditemui disini, dan selalu berganti setiap minggu. Yang menarik, tidak semua yang terjadi di daerah Fargate ini merupakan sesuatu yang sifatnya komersial. Dari kutipan di atas juga diketahui bahwa kawasan ini popular bagi seniman jalanan, musikus dan pameran-pameran khusus. Bahkan ketika pertama kali mengunjungi daerah ini, saat itu daerah tersebut sedang untuk ikut menandatangani petisi penolakan. memakai shampoo Herbal Essences, karena menggunakan binatang sebagai alat percobaan. Para relawan memasang balon besar berbentuk botol shampoo Herbal Essences yang diplesetkan namanya menjadi ‘Hurtful Essences’. Juga ada para relawan yang berkeliling mendatangi pengunjung Fargate dengan memakai kostum binatang seperti tikus dan kelinci (binatang yang sering serta berpartisipasi.
Bahkan—seperti yang terlihat di gambar di atas—tempat ini juga digunakan untuk menyatakan isu-isu yang cukup sensitif seperti isu-isu keagamaan. Walaupun, ketika saya melihat orang-orang yang membawa spanduk tentang Yesus tersebut, saya mengamati bahwa orang-orang yang lalu lalang di sekelilingnya seperti enggan untuk bergabung, bahkan cenderung menghindar. Bagaimanapun, ini menjadi contoh yang menarik bagaimana kawasan perbelanjaan tersebut seakan menjadi suatu ruang publik yang sangat dinamis dan begitu mengundang para pengunjungnya untuk bersama-sama menyajikan kehidupan berkota yang manusiawi, lengkap dengan segala emosi, keinginan maupun pendapat yang disampaikan satu sama lain.
9
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
Kutipan di bawah ini cukup menggambarkan konsumerisme akut yang melanda Singapura: quest for the attainment of material things or the imaginary world conjured up and made possible by things yet to be purchased. Weight training, diet centers, breast reduction, breast enhancement, cosmetic surgery, permanent eye make-up, liposuction, collagen into human consumer goods more suited for the “marketplace” than
Dapat dibayangkan, manusia-manusia ini hidup dalam dunia bayangan mereka sendiri. Hidup dalam bayangan akan ’kesempurnaan’. Kutipan di atas juga menyatakan, bahwa manusia berubah menjadi manusia yang terorientasi pada materi, yang kemudian berakibat pada keseimbangan masyarakat yang sehat. perbedaan suasana yang begitu nyata. Dapat dianalisis adanya dua perbedaan utama, yaitu perbedaan intensitas (terutama yang di kedua kawasan tersebut. , atau kegiatan yang melibatkan partisipasi publik, merupakan hal yang menurut kami cukup esensial karena merupakan salah satu kegiatan yang mengikutsertakan seluruh penduduk kota tanpa kecuali untuk menyatakan ekspresinya secara manusiawi. Selain itu, bentukan ruang belanja terasa mempengaruhi bentukan perilaku manusia di dalamnya. Misalnya ialah bagaimana etalase berkomunikasi dengan konsumennya, apakah diselesaikan dengan cara membagi ruang jual dan beli dalam jarak-jarak tertentu atau malah memungkinkan komunikasi sosial face-toface pada titik itulah pembatasan dimensi ruang sosial menjadi terpisah dan fokus konsumen terpaku hanya pada produk jual yang ditawarkan dan dipamerkan. Dan saat itulah, ruang komunal untuk berkomunikasi secara arsitektur beralih menjadi ‘ruang bisu’, atraksi visual hanya dilirik ketika “yang terbaru” sudah muncul. raksasa berupa mal, yang membentuk dunia tersendiri ketika masuk di dalamnya, terpisah dari lingkungan luarnya. Sebaliknya, Fargate menawarkan bentukan serupa dahan pohon, dimana toko-tokonya adalah daun yang tak terlepas dari dahan, selalu berkomunikasi dan terikat. Berkaca pada shopping street di Inggris, yaitu sebuah ruang publik raksasa yang dijadikan ajang ’berjual-beli’ dan berinteraksi antar-individu. Perdagangan dan transaksi berjalan apa adanya, casual, sehingga pencapaian pemaknaan berbelanja bukanlah sebuah aktivitas wajib yang harus dipenuhi secara rutin. produk dan tidak memaksa konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan.
10
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 1
Many architects and planners talk about space as a formal language – in terms of shape, size, patterns and aesthetics. This kind of thinking turns space into an abstraction precisely so that it can be controlled. formal descriptions and resists such control. The social actions and of that space as the walls that enclose it. In the words of the French this sense, space is deeply political not left-wing/right-wing political –
Sesuai dengan kutipan di atas, banyak arsitek dan perencana yang berusaha terjadi pada ruang-ruang pada kawasan perbelanjaan yang kami amati. Shopping street yang terencana dengan sangat indah, akurat dengan sistem yang luar biasa presisi, akan terasa hampa dan membosankan tanpa adanya yang memberikan makna sesungguhnya terhadap ruang tersebut. Begitu penting untuk memiliki makna ruang yang utuh, karena ruang tersebut akan mempengaruhi kehidupan baik secara perseorangan maupun kolektif. Hal-hal semacam inilah yang menurut kami seharusnya digarisbawahi, dan dijadikan dasar dalam menciptakan ruang belanja ataupun ruang publik lainnya. Kami merasa, era kapitalisme memiliki pengaruh dalam memenjarakan rasa berarsitektur, rasa ingin bersosialisasi, dan rasa kemanusiaan, yang kemudian mengalihkannya pada sebentuk perilaku konsumerisme. Mari kita bertanya,
Referensi How Consumerism Affects Society, the Economy, and Environment. http://www. verdant.net/society.htm
Winston. com
11