WHITEPAPER JANUARY 2017
BUILDING A CULTURE THAT EMBRACES THE CUSTOMER’S POINT OF VIEW Membangun Budaya Kepemimpinan yang lebih mengutamakan sudut pandang pelanggan sebagai dasar pengambilan keputusan di dalam perusahaan
By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
PENDAHULUAN Setiap perusahaan sebenarnya memiliki budaya. Memang pada umumnya orang-orang dalam sebuah perusahaan mudah menyetujui bahwa perusahaan mereka memiliki budaya dan budaya itu sangat penting. Tetapi biasanya mereka akan menghadapi kesulitan kalau diminta untuk memberikan definisi budaya perusahaan itu. Seringkali budaya perusahaan dikaitkan dengan tiga komponen utama yang hendak dicapai perusahaan, yaitu produktivitas, adaptabilitas, dan fleksibilitas. Masalahnya, banyak karyawan yang hanya mengenal budaya perusahaan atau nilai-nilai, Visi-Misi perusahaan melalui tulisan di dinding kantor yang mudah dibaca namun susah untuk memahami dan menerapkannya. Untuk itu ukuran keefektifan
budaya
perusahaan
tidak
hanya
didasarkan
pada
pencapaian
produktivitas hasil, tetapi juga pada proses kerjasama dan kemampuan perusahaan menyesuaikan dengan situasi lingkungan. Selain itu, komponen manusia yang menjalankan perusahaan juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kefektifan perusahaan. Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan perusahaan dan para bawahan, serta peran usaha berbagai pihak sangat menentukan keefektifan budaya perusahaan. William Ouchi, seorang profesor yang mendalami konsep Teori Z dalam perusahaan, menyatakan bahwa budaya perusahaan sebagai “symbol, ceremonies, and myths that communicate the underlying values and beliefs of that organization to its employees”. Artinya dalam membangun budaya perusahaan, pertama kali yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar setiap SDM yang ada dapat memahami
dan menghidupi dalam keseharian pekerjaanya terlebih dulu, sebelum manajemen mengkomunikasikannya ke pihak eksternal melalui marketing communication bahwa perusahaan memiliki budaya kerja yang baik.
Gambar 1. Culture and Customer Experience
Jadi budaya perusahaan yang ingin dibentuk harus melibatkan unsur employee engagement, atau semua pekerja saling mendukung dan bergandeng tangan mewujudkannya, sedemikian para pelanggan dapat merasakan budaya tersebut secara nyata. Bahkan kalua bisa kita dapat menerapkan konsep inclusive culture atau budaya perusahaan yang menganggap bahwa para pelanggan adalah sebuah bagian keluarga dari perusahaan sendiri. Ditambah lagi jika perusahaan mau melayani pelanggan secara customized, diperlakukan secara spesifik sesuai kebutuhannya masing-masing, maka hal ini akan membuat pelanggan merasakan mutual value yang kita berikan. Alhasil, pelanggan merasa diutamakan dan hasil dari inclusive culture dan mutual value ini adalah customer centricity, atau pelanggan akan semakin loyal, membeli lebih sering dan lebih banyak, juga akan merekomendasikan temannya untuk membeli di perusahaan kita.
Gambar 2. Inclusive Culture + Mutual Value Untuk mewujudkan customer centric culture atau budaya kerja berbasiskan pada kepentingan pelanggan tentu tidak semudah membalik telapak tangan, dibutuhkan langkah-langkah khusus yang harus dilakukan manajemen sedemikian setiap SDM di dalam perusahaan mampu melakukannya dengan semangat dan ikhlas dari dalam hatinya. Peran faktor komunikasi sangatlah penting, antara atasan ke bawahan dan sebaliknya, komunikasi antar kolega kerja. Peran founder sesekali untuk ikut meeting dan memberikan envision, menyamakan visi dan memberikan semangat agar semua bisa tergerak untuk mencapai visi secara bersama juga merupakan faktor yang tidak kalah penting. Ditambah lagi jika ada training orientasi budaya kerja bagi karyawan baru yang baru onboard di perusahaan, supaya tidak “tercemar” oleh karyawan lain yang sudah lama, maka faktor ini juga sangatlah penting. Jika perusahaan mampu menyediakan budget khusus untuk memberikan apresiasi bagi para karyawan, semisal seperti penghargaan untuk karyawan terbaik dari sisi service excellence, dari prestasi penjualan, dsb, maka budaya kerja berbasiskan pelanggan ini tidaklah mustahil untuk diciptakan.
Gambar 3. Establishing Customer Centric Culture
Selanjutnya untuk lebih jelas dan lebih dalam bagaimana mewujudkan customer centric culture, maka kita akan coba mempelajari indikator-indikator yang perlu dilaksanakan dan dievaluasi secara rutin tiap bulannya agar budaya kerja ini
tidak hanya berupa semangat sesaat yang bisa luntur, melainkan menjadi system kerja yang baku dan ada evaluasinya. Setidaknya ada 4 faktor penting yang perlu diperhatikan beserta indikatornya, di antaranya adalah sbb: 1. Corporate, terdiri atas: strategy & planning, brand & communication, organizational structure & operations 2. People, terdiri atas: coaching & training, deep vertical knowledge, recognition & reward 3. Solutions, terdiri atas: customer & partner collaboration, technical skill specialization, internalize of outsource 4. Technology,
terdiri
atas:
integration
&
collaboration,
effective
data
management, on-going analysis & reporting Masing-masing faktor dan indikatornya di atas akan dibahas tuntas di acara Strategic Forum, tanggal 26 Januari 2017.
Gambar 4. Indicator in Customer Centric Culture
Kembali ke pertanyaan mendasar, mengapa perusahaan harus menerapkan customer centricity, apa untungnya? Bukannya dengan product centricity saja sudah cukup? Mungkin pertanyaan ini akan dilontarkan oleh industri manufaktur yang memang punya kapasitas produksi jumlah besar untuk sekali membuat jenis produk tertentu. Bagaimana mungkin customer centricity dapat diterapkan di perusahaan selaku produsen barang?
Untuk menjawab hal ini, ada baiknya coba kita melihat diagram berikut: bahwa ada 2 sumbu, vertical dan horizontal, yang mewakili aspek kebutuhan pelanggan yang terpenuhi (customer need satisfied) dan aspek jumlah customer yang bisa dijangkau (customer reached). Semakin kita menerapkan customer centricity sesungguhnya jumlah customer yang kita bisa layani akan lebih sedikit jika jumlah SDM kita tetap sama jumlahnya, dibandingkan jika kita menerapkan product centricity. Namun di sisi lain, share of customer atau heart share kita akan semakin meningkat, yang membuat pelanggan tetap mencintai produk kita dan tidak mudah selingkuh ke kompetitor. Berbeda dengan perusahaan yang menerapkan product centricity yang memang akan mendapatkan market share yang tinggi, namun keadaan ini dengan cepat berubah jika ada competitor lain yang bisa menjual produk lebih bagus dengan harga lebih murah, karena pada dasarnya pelanggan itu mudah selingkuh. Sekarang tinggal kita yang pilih, apakah kita fokus pada heart share atau fokus pada market share? Apakah kita fokus pada profit margin yang tinggi tapi omsetnya tidak terlalu besar, ataukah kita fokus pada omset besar namun profit marginnya rendah? Apakah kita pilih strategi yang dilakukan Apple atau strategi yang dilakukan Samsung?
Gambar 5. Product vs Customer Centricity
Nah, jika kita memang mau memilih menerapkan customer centricity dengan catatan bahwa budaya kerja di dalam perusahaan kita sudah mendukung untuk hal
ini, maka selanjutnya strategi marketing yang bisa diterapkan untuk mewujudkan hal ini adalah sebagai berikut: 1. Mendefinisikan ulang siapa target pelanggan kita yang akan dilayani secara personal / customized, apakah sebagian pelanggan kelas atas diberlakukan seperti BCA Prioritas, ataukah semua pelanggan akan diberlakukan sama? 2. Belajar akan bagaimana cara pelanggan berpikir dan merasakan kualitas produk yang kita jual dan layanan yang kita berikan 3. Menyelaraskan proses kerja yang ada dengan bantuan kemajuan teknologi sedemikian lebih memenuhi kebutuhan pelanggan 4. Memetakan kembali customer journey atau proses dari awal kontak dengan perusahaan hingga terjadinya closing, lalu berupaya memotong proses tersebut agar lebih cepat dan tidak ribet 5. Meningkatkan engagement antar para karyawan dan karyawan dengan perusahaan dengan leadership yang baik 6. Melakukan transformasi budaya kerja dan menerapkan sistem reward & punishment ke karyawan 7. Menerapkan KPI (key performance indicator) berbasis customer centric dan mengukur setiap waktu 8. Menggali customer feedback dan mendesain kembali proses layanan yang mungkin masih dirasakan kurang oleh pelanggan Itulah delapan langkah strategi marketing yang bisa diterapkan perusahaan untuk menerapkan customer centricity. Materi ini akan dibahas lebih lengkap pada Strategic Forum 26 Januari 2017.
Gambar 6. Delivering Customer Centricity
Sebagai penutup dari pembahasan whitepaper kali ini, akan dibahas hal-hal apa saja yang harus disesuaikan di manajemen personalia (HRD), sebab strategi marketing di atas tidak akan bisa diterapkan dengan baik jika tidak didukung oleh departemen SDM. Yang pertama adalah hal terkait budget SDM dan remunerasi, bagaimana perusahaan yang selama ini menganggap budget SDM hanya untuk masalah penggajian saja, mencoba juga membuat budget untuk system reward, pengembangan professional seperti training, dan acara-acara kebersamaan antar karyawan yang bisa membangun budaya kerja berbasiskan pelanggan. Yang kedua adalah bagaimana memperbaiki system remunerasi, dimana karyawan tidak hanya digaji berdasarkan jam kerja, melainkan juga ada komponen prestasi kinerja atau berdasarkan hasil outcome yang diberikan ke perusahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan tunjangan / bonus / komisi produktivitas yang mereka hasilkan, artinya, gaji boleh kecil, namun bonus ini nilainya lebih besar sedemikian karyawan akan lebih semangat dalam melayani pelanggan.
Gambar 7. Shifting HR Management
Aspek ketiga adalah terkait bagaimana kisaran standar gaji dibuat bukanlah berdasarkan pendidikan terakhir atau posisi kerja sebelumnya, melainkan dibuat berdasarkan target pencapaian yang sudah berhasil dilakukan di tempat kerja sebelumnya, tentu harus disertai dengan bukti konkrit yang bisa ditunjukkan kepada
manajemen perusahaan tempat bekerjanya yang baru nantinya. Aspek keempat adalah terkait memberikan penghargaan (bukan secara finansial saja), melainkan penghargaan psikologis kepada tim yang berhasil menerapkan budaya kerja customer centricity, misal informasi “the best team of the month” yang dipampang di papan pengumuman kantor. Jadi bukan penghargaan kepada level individu saja, melainkan kepada tim. Aspek yang terakhir adalah terkait penilaian kinerja, bahwa penilaian kinerja karyawan tidak hanya dilakukan secara top-down saja, yaitu para atasan menilai para bawahannya, melainkan penilaian dilakukan 360 derajat, yaitu karyawan dinilai dari segala sisi, baik dari atasan, rekan kerja, pelanggan, maupun bawahannya sendiri jika ada.
PENUTUP Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “Building Customer Point of View
Culture”. Bahwa perusahaan bisa menerapkan budaya kerja berbasiskan pelanggan dengan langkah-langkah praktis dan terukur, sedemikian tercapai kondisi triple win, yaitu customer happy, employee happy, management happy. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!
ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.