Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan XXXI
BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE: ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL
PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Makalah ini Penulis susun dan persembahkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kepemimpinan di Bank Indonesia pada SESPIBI Angkatan XXXI Tahun 2013. Dalam keterbatasan waktu yang tersedia dalam program SESPIBI XXXI, Penulis berusaha untuk menghasilkan makalah yang dapat memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran yang signifikan untuk Bank Indonesia. Dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pimpinan Satuan Kerja yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti SESPIBI XXXI ini. Ucapan terima kasih juga Penulis haturkan kepada Direktur Program SESPIBI XXXI, Pimpinan dan seluruh Staf Departemen Sumber Daya Manusia, Ibu Eni V. Panggabean selaku pembimbing, kawan-kawan yang sangat inspiratif di program SESPIBI XXXI, khususnya Sdri. Yunita Resmi Sari, Sdri. Elisabeth Sukawati, Sdr. Yudi Permana, kawan-kawan di Tim Financial
Inclusion yang telah membantu penyediaan data dan referensi guna penyusunan makalah ini, dan para pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah berkontribusi sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Jakarta, 27 Juni 2013
ii
ABSTRAK Peran dan fungsi bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan bisa mengakibatkan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent development. Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat. Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent development, diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking, pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Dari sini dapat terlihat adanya sinergi dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan yang saling mendukung dalam rangka menjembatani permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dimana multilicense dan pengaturan pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan di daerah yang masih minim layanan perbankan dan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Kedua kebijakan ini juga akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan dan saran kepada Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengawasi dan mengatur perbankan nasional saat ini dan OJK pada waktunya. Selanjutnya disampaikan juga strategi yang dapat ditempuh oleh perbankan nasional, OJK dan BI untuk menjaga agar tujuan dan pelaksanaan kegiatan branchless banking dapat terlaksana secara benar, tepat dan terukur. Keyword: Branchless Banking
iii
EXECUTIVE SUMMARY Bank sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi utamanya bank yang sehat dan efisien. Perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, masih banyak penduduk Indonesia belum berbank baik menabung ataupun mendapat fasilitas pembiayaan. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening bank pada institusi keuangan formal (bank) dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai akses kredit. Lebih jauh, hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN. Disisi lain, sektor UMKM yang merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi kurang mendapat perhatian karena berbagai kendala. Sektor ini diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan pangsa mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia serta menyerap 97.2% dari total tenaga kerja. Ironisnya, pangsa kredit UMKM hanya 20% dari total kredit perbankan. Padahal tiga penelitian yang ada terkait UMKM mengungkapkan potensi pembiayaan perbankan untuk UMK masih cukup tinggi. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun 2018 tumbuh 6,5%, dan potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp1.588,42 triliun. Fakta dimaksud mengakibatkan rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP) maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap
GDP)
terendah
dikawasan.
Masyarakat
Indonesia
ternyata
lebih
banyak
memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal atau tidak menabung sama sekali.Fakta ini menjadi kendala untuk percepatan pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan maupun mendukung sustainability pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor yang menjadi penyebab terbatasnya layanan perbankan ke masyarakat diseluruh pelosok adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang berkepulauan. Perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut menjadi faktor penting seperti tergambar kecilnya indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 luasan wilayah. Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
iv
dimaksud, juga disebabkan rendahnya penghasilan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian, masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan. Selain itu, rendahnya pemahaman masyarakat tentang keuangan (financial literacy) dan belum tersedianya produk yang sesuai untuk kelompok masyarakat kecil menambah rumit persoalan. Untuk itu, perlu terobosan dan inovasi agar seluruh masyarakat dapat menikmati jasa layanan dari perbankan. Hal ini juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama di emerging economies melalui dengan apa yang dinamakan dengan kebijakan keuangan inklusif. Salah satunya melalui penerapan branchless banking. Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana
masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan atau sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau. Untuk menajwab persoalan dimaksud dan atas dasar fakta dan trend yang terjadi, Bank Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan meningkatakan jangkauan akses namun tanpa menimbulkan dampak negative yang berlebihan baik bagi perbankan sendiri, masyarakat maupun perekonomin. Kebijakan dimaksud ditekankan kepada penguatan ketahanan, daya saing, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis (multilisence). Sedangkan kebijakan dalam rangka perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan branchless banking. Kedua kebijakan ini juga didukung dengan penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk menyalurkan 20 persen dari total kredit untuk sektor UMKM secara gradual. Namun demikian, kebijakan dimaksud tidak serta merta dapat mencapai tujuan yang diharapkan, banyak kendala yang dihadapi seperti disebutkan diatas. Harapan agar kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM bukanlah pekerjaan mudah. Namun hal ini patut dilakukan mengingat berbagai landasan teori mendukung kearah tersebut diantaranya : •
Tujuan negara yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
v
•
Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dimana implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana
meningkatkan
kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan keadilan sosial (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. •
Pasal 27 ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
•
Pasal 28 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
•
Ketahanan Nasional, dimana kemiskinan yang disebabkan salah satunya karena rendahnya akses pada lembaga keuangan. Implementasi BB merupakan salah satu strategi pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan masyarakat, otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan Ketahanan Nasional.
•
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dimana untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi “orang yang kurang beruntung” dimanapun berada.
•
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
vi
•
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
•
Teori Pembangunan untuk Rakyat oleh Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan
untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat sendiri, maka makin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011). •
Teori Pengembangan UMKM oleh Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawankawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004).
•
Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran penting
dan
signifikan
dalam
pengentasan
kemiskinan,
mengurangi
perbedaan
pendapatan, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Karya tulis ini akan mencoba mengukur dan menganalisa efektivitas kebijakan yang dikeluarkan yaitu pengaturan multi-license dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas. Terdapat empat pokok permasalahan terkait kebijakan multi-license dan
branchless banking dimaksud dengan penekanan sebagai berikut: 1. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat. 2. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar akan semakin besar. 3. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul. 4. Tingkat kebehasilan kebijakan Branchless Banking dalam meningkatkan akses keuangan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan. Berbagai metode yang ada akan dimanfaatkan untuk menjawab rumusan permasalahan diatas, baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif seperti Metode Data Envelope Analysis (DEA) dan Matrix BCG untuk menjawab rumusan permasalahan pertama; dan Concentration Ratio Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
vii
(CR) serta Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk permasalahan yang ketiga. Prediksi peningkatan pengunaan jasa perbankan akan digunakan pendekatan regresi linear maupun logistik untuk menjawab permasalahan keempat. Sementara itu analia kuatitatif melalui konfirmasi dengan hasil penelitian yang ada dilakukan untuk menajwab permasalahan kedua. Kajian ini juga diperkuat dengan anlisa SWOT dari penerapan branchless banking dan multilicense sekaligus strategi untuk mengantisipasi ataupun memperkuatnya. Adapun analisa SWOT terkait kedua kebijakan dimaksud antara lain sebagai berikut : •
Strength : seperti perbankan local lebih mengenal nilai-nilai kedaerahan, kemampuan mengembangkan produk yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, kemampuan untuk bekerjasama dengan unit ekonomi lokal
•
Weaknesses : seperti tingkat efisiensi usaha yang masih rendah, tingginya suku bunga pinjaman khususnya kredit UMKM, masih kalahnya profesionalitas SDM, kurangnya inovasi produk dan jasa, pelayanan yang rigid dan formalitas dan kemampuan pengelolaan risiko dibidang mass market masih terbatas.
•
Opportunity : seperti masih luasnya pangsa pasar, menurunkan risiko likuiditas dengan mperoleh sumber dana retail baru, menurunkan risiko kredit dan melalui diversigikasi risiko dengan peningkatan kredit UMKM khususnya kredit mikro dan efisiensi.
•
Threat : seperti meningkatnya persiangan dengan ASEAN banking integration, meningkatnya risiko operasional serta risiko reputasi.
Adanya kebijakan branchless banking dan multilicense tentunya perlu diliat efektivitasnya melalui beberapa indicator, diantaranya a) Bertambahnya jumlah layanan bank. b) Tersedianya produk bank yang sesuai, c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun.
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan multilicense dan pembukaan jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dan kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Lebih jauh, kebijakan
multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional serta dapat meningkatkan penyaluran kredit bagi UMKM sekalgisu memudahkan bank memnuhi kewajiban untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20%.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iii EXECUTIVE SUMMARY ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 3 1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4 1.4 Metode Analisis ........................................................................................ 4 1.5 Alur Pikir ................................................................................................... 7 1.6 Pola Pikir ................................................................................................... 8 BAB 2. LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL .......................................... 10 2.1 Landasan Pemikiran .................................................................................. 10 2.2 Paradigma Nasional .................................................................................. 11 2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal ..................................................... 11 2.2.2 UUD NRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional .................... 11 2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual .......................... 12 2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional ................. 12 2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ..................... 12 2.3.2 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ..... 13 2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ……………….13 2.4 Landasan Operasional Perbankan .............................................................. 14 2.4.1 Jenis Bank ....................................................................................... 14 2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank .................................................... 14 2.5 Landasan Teori.......................................................................................... 15 2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan ...................................................... 16 2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat ................................................... 16 2.5.3 Teori Pengembangan UMKM .......................................................... 18 Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
ix
2.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 18 2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional .......................................................... 16 2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis ......................................................... 16 2.8 Implikasi Financial Inclusion ....................................................................... 17 2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat ............................. 17 2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional ......................................................... 17 2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion ...................................... 18 2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan ............................................ 18 2.11 Indikasi Keberhasilan ............................................................................... 19 BAB 3. KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN PERLUASAN JARINGAN KANTOR BANK .............................................................................................. 20 3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani .................................................. 22 3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan .... 23 3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat ...................................................... 23 3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan ...................................... 23 3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense ....................................................... 24 3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional ......................................................... 24 3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah .................... 25 3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) ............................................. 26 3.4.1 Modal Inti ....................................................................................... 27 3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking ............................................ 29 3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking .............................................. 31 BAB 4. ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH PENERAPAN KEBIJAKAN MULTILICENSE UNTUK MEMPERLUAS BASIS NASABAH BANK .......... 37 4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilicense, perluasan jariangan Kantor, dan BB di Indonesia ........................................................................................................ 38 4.1.1 Studi Empiris Multilicense Terkait Modal inti, Perluasan Jaringan Kantor, dan Tingkat Kejenuhan Bank........................................................ 38 4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi, serta Forecasting Pembiayaan UMKM (BCG Matrix) ............................................................................................ 46
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
x
4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan Dengan Tingkat Efisiensi Yang Timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense, Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi Branchless Banking ........... 58 4.1.4 Analisis Penerapan Branchless Banking Dalam Meningkatkan Jumlah Rekening.................................................................................................. 61 BAB 5. ANALISA SWOT PENERAPAN BRANCHLESS BANKING SETELAH KEBIJAKAN
MULTILICENSE DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERBANKAN NASIONAL ............. 64 5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN............. 64 5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan Regional................................................................................................... 64 5.1.2 Modal Inti ....................................................................................... 65 5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR) ......................................................... 66 5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia ............................................................ 68 5.2.1 BOPO Bank ..................................................................................... 69 5.2.2 Net Interest Margin ......................................................................... 69 5.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................................................... 70 5.3. Analisis SWOT Perbankan Nasional dalam Melaksanakan Kebijakan
Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy ......................... 73 5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan .......................... 73 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 75 6.1 KESIMPULAN ............................................................................................ 75 6.2 SARAN ..................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 76 LAMPIRAN .................................................................................................... 85
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012 ........................................................ 1 Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011 ....... 2 Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem Keuangan .......................................................... 11 Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) ............ 12 Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia ........................................ 21 Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan ............................ 21 Gambar 3.3 Pergeseran Distribudi Pendapatan Masyarakat Indonesia ......................... 22 Gambar 3.4 Presentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan ......................... 24 Gambar 3.5 Akses Kepada Jasa Tabungan ................................................................. 24 Gambar 3.6 Kontribusi UMKM Dalam Perekonomian Indonesia ................................. 25 Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti ............................................................ 27 Gambar 3.8 Analisis GAP Kebijakan Multilicense di Indonesia..................................... 28 Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan BUKU ........................ 29 Gambar 3.10 Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara Asia ................................. 30 Gambar 3.11 Model Branchless Banking .................................................................... 31 Gambar 3.12 Alur Bank-based Model ........................................................................ 35 Gambar 3.13 Alur Non-bank Based............................................................................ 35 Gambar 3.14 Alur Hybrid Model ................................................................................ 36 Gambar 4.1 Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia .................................. 39 Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia ................................. 43 Gambar 4.3 BCG Matriks Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia ................................. 44 Gambar 4.4 Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di Indonesia................................................................................................................... 46 Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan Kebijakan
Branchless Banking .................................................................................................... 46 Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia ................................ 48 Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia ....................................................... 52 Gambar 4.8 Forecast Total kredit dan Kredit UMKM di Indonesia ............................... 53 Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia ................................. 54 Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN............ 66 Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
xiii
Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN ............................................................. 66 Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011.................... 68 Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR, dan Modal Industri Perbankan Nasional ...... 68 Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional ...................... 69 Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 .................. 69 Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional .................................. 70 Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011 .................... 70 Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 ..................... 72 Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah ...................................... 73
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia dengan Negara Lain Tahun 2010 ............................................................................. 20 Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010 ................... 21 Tabel 3.3 Bank Based Model ...................................................................................... 33 Tabel 3.4 Non-Bank Based Model .............................................................................. 34 Tabel 4.1 Status persaingan Usaha Tingkat Provinsi .................................................... 45 Tabel 4.2 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 1 ................................................... 49 Tabel 4.3 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 2 ................................................... 50 Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK ........................................... 51 Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching untuk Fungsi Kredit................................... 56 Tabel 4.6 Matriks Transisi dan Matriks Durasi ............................................................. 57 Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Cooperation Ratio .......................... 59 Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61 Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61 Tabel 4.10 Hasil Perhitungan model regresi Logistik ................................................... 62 Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier ............................................................. 63 Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi ....................... 64
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853
xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga intermediasi, antara pihak yang kelebihan dana (supply unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (demand unit). Dana yang diterima bank dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan produktif, menyerap tenaga kerja, meningkatkan output dan pada akhirnya menggerakkan siklus perekonomian. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat memerlukan dukungan industri perbankan 1 yang sehat dan efisien. Dalam proses intermediasi, bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan sarana transmisi dari kebijakan moneter; sedangkan pada level mikro ekonomi, bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000). Keberadaan masyarakat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh perbankan, oleh karena itu, jumlah kantor bank di suatu wilayah harus memperhatikan tingkat populasi dan kepadatan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu wilayah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap jasa perbankan. Gambar 1.1 menunjukkan jumlah kantor bank dan jumlah bank perkapita di setiap provinsi di Indonesia.
Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012
Sumber: Statistik Perbankan, Bank Indonesia, diolah.
DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio jumlah bank perkapita tertinggi. Hal ini disebabkan karena provinsi tersebut merupakan ibukota negara dengan tingkat aktivitas 1
Sampai dengan saat ini sistem keuangan masih didominasi oleh perbankan dengan pangsanya dilihat dari sisi asset mencapai 75,8 persen. Sementara itu, kontribusi lembaga keuangan lainnya seperti asuransi hanya mencapai 10,1 persen, perusahaan pembiayaan sebesar 6,1 persen, dan lembaga keuangan lainnya memiliki pangsa asset kurang dari 5 persen. Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang “melek” lembaga keuangan lebih memilih perbankan, padahal di sisi lain apabila masyarakat membutuhkan pembiayaan atau ingin mencari outlet penempatan dananya, pasar modal atau asuransi dapat dijadikan sebagai pilihan.
1
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Bali dan DI Yogyakarta memiliki rasio jumlah bank perkapita tertinggi kedua dan ketiga setelah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena kedua Provinsi tersebut memiliki volume transaksi dan perputaran uang yang cukup tinggi mengingat banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung. Di sisi lain, banyak ProvinsiProvinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak namun hanya dilayani dengan sedikit kantor bank, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun industri perbankan memiliki perkembangan yang signifikan di Indonesia, akan tetapi, tingkat persebaran bank di Indonesia tidak merata. Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan tingkat kepadatan bank (bank density) di pulau-pulau besar di Indonesia.
Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011
Sumber: SEKDA-Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, 2011, diolah.
Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku, setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi. Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap 17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4 dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang 2
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
mendekati BI rate. Namun, ketika BI Rate stabil di kisaran 6.5 s.d 6.75% dan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) stabil di kisaran suku bunga penjaminan LPS, suku bunga kredit secara umum masih berada di atas 10%. Hal ini menujukkan sebuah anomali, dimana seharusnya suku bunga kredit berada di bawah 10%. Kondisi tersebut menyebabkan net interest margin perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6% atau tertinggi di kawasan ASEAN+5 2. Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan, daya saing perbankan, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis (multilisence). Sedangkan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui kebijakan yang mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah; dan melalui perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan
branchless banking (selanjutnya disingkat BB). 1.2.
Rumusan masalah Terdapat empat pokok rumusan permasalahan yang coba dibahas terkait dengan kebijakan branchless banking setelah multi license apakah merupakan ancaman dan
keuntungan bagi perbankan nasional. Keempat rumusan permasalahan di bawah ini untuk menganalisis sinergi dari kedua kebijakan dimaksud dengan penekanan kepada: 5. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB 3 oleh Bank Indonesia (BI) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan; khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). 6. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar diprediksi akan semakin mendorong perbankan untuk mengambil potensi tersebut, terutama dengan adanya kebijakan multilicense dan BB tersebut. Tingkat sinergi dari kedua kebijakan tersebut selanjutnya akan berdampak positif; tidak hanya terhadap industri perbankan dan perekonomian nasional; Namun dalam penulisan penelitian ini, akan dilihat lebih jauh apakah terjadi down-side effect atau ancaman yang mungkin timbul apabila tidak terjadi sinergi di antara kedua kebijakan tersebut. 7. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan
multilicense, pembukaan jaringan kantor dan implementasi BB, terhadap kondisi perbankan dan perekonomian Indonesia. Pengukuran peluang ini dilakukan dengan
2
Asean+5 terdiri dari negara Indonesia, Philipine, Thailand, Malaysia, Singapur dan Brunei, Kamboja,Laos, Myanmar dan Vietnam. 3 Kebijakan multilicense dan branchless banking (BB) tersebut akan dibahas secara mendalam di Bab 3.
3
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
membandingkan down-side effect atau ancaman dan sinergi antara kebijakan
multilicense dan BB tersebut. 8. Tingkat kebehasilan kebijakan branchless banking dalam meningkatkan akses keuangan terhadap perbankan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan. Dalam hal ini apabila tingkat keberhasilan BB tersebut menunjukan hasil yang kurang memuaskan, maka kebijakan BB tersebut dapat dipandang sebagai ancaman (down-
side effect) bagi perbankan nasional. 1.3
Tujuan Penelitian Karya tulis ini akan mengukur dan menganalisa kemampuan pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas sebagai bagian dari program inklusi keuangan,
dengan menjawab keempat
rumusan
permasalahan di atas. Dengan memiliki analisa yang komprehensif dari seluruh permasalahan dalam penelitian ini, karya tulis ini diharapkan mampu menjawab dampak positif berupa keuntungan atau kesempatan maupun ancaman (down-side effect) yang mungkin timbul dari kebijakan branchless banking dan multilicense terhadap perbankan dan perekonomian nasional. Penulisan penelitian ini mencoba menjelaskan pula critical
point yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi kedua kebijakan tersebut.
1.4
Metode Analisis Keempat rumusan pokok permasalahan di Sub Bab 1.2 di atas dapat dianalisa dengan menggunakan 4 analisa kuantitatif 4. Dua analisa kuantitatif (DEA dan Matrix BCG) yang pertama dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama dan kedua; dan analisa kuantitatif Concentration Ratio (CR) yang selanjutnya dianalisis lebih jauh dengan menggunakan metode Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk menjelaskan rumusan permasalahan yang ketiga; sementara rumusan permasalahan keempat dilakukan dengan metode regresi logistik dan lineaer . Alur anisa kuantitatif yang akan dibahas secara mendalam di Bab 4 dalam penulisan penelitian ini, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: 1. Menjawab
rumusan
permasalahan
pertama
(tingkat
urgensi
dari
dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB) a. Analisa kuantitatif mengenai perlunya diatur produk dan kegiatan perbankan secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh bank yang meliputi kapasitas modal inti, skala ekonomi dan struktur organisasi perusahaan dijelaskan 4
Analisa secara menyeluruh dengan menggunkaan analisa kuantitatif dapat diiukuti secara lengkap di Bab 4.
4
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
dengan
menggunakan
menggambarkan
Metode Data Envelope Analysis (DEA) 5.DEA ini
pentingnya
kebijakan
multilicense
(perijinan
berjenjang),
khususnya dalama pembukaan jaringan kantor bank dalam mendorong optimalnya pelayanan kantor bank kepada masyarakat Indonesia. b. Sebagai kelanjutan dari hasil yang diperoleh dari Analisa DEA di point 1 tersebut, dilakukan analisa kejenuhan bank (bank density 6) di seluruh wilayah Indonesia sebagai dasar untuk perlunya dilakukan kebijakan inovatif untuk perluasan pelayanan perbankan (antara lain kebijakan BB). Tingkat kejenuhan tersebut diukur menggunakan teknik Matrix BCG, yang dikembangkan oleh Boston
Consulting Group pada tahun 1970 7, berdasarkan economic of scale dan financial service coverage 8. 2. Membahas permasalahan kedua (Tingkat Pemetaan dan Potensi Pembiayaan UMKM Khususnya UMK) Dilakukan dengan Analisa BCG Matriks untuk tingkat kejenuhan layanan perbankan di suatu daerah tertentu. Hal ini dikonfirmasi pula dengan tiga hasil penelitian dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Bank Indonesia (penelitian berdasarkan household survey tahun 2010) dan forecasting kebutuhan kredit UMKM. 3. Merespon Permasalahan Ketiga (Tingkat Efisiensi dari Sinergi Pengaturan
Multilicense and BB) a. Dalam menjelaskan tingkat efisiensi yang mungkin timbul dari sinergi kebijakan
multilicense dan BB, dilakukan perhitungan ukuran penguasaan pangsa pasar kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan oleh kelompok bank, yang dikategorikan “besar” berdasarkan peraturan multilicense, terhadap total kredit dan DPK. Ukuran tersebut disebut dengan Concentration Ration (CR).
5
DEA merupakan studi empiris yang dapat digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan non parametik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris di Amerika Tengah. 6 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Tingkat kejenuhan tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Disamping itu, tingkat kejenuhan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 7 Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu axis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. 8 McKinnon (1973) dan Levine (1977) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004)
5
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
b. Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan menggunakan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan indeks yang secara umum diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar. Nilai HHI diukur sebagai jumlah dari kuadrat pangsa pasar perusahaan yang berkompetisi. Dalam hal ini, apabila dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU 9 (Bank Umum Kegiatan Usaha) bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat dikukur. Nilai HHI ini diharapkan dapat menjawab tngkat efisiensi yang dapat timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense dan implementasi BB, sebagaimana dirumuskan dalam perumusan masalah kedua di atas. 4. Menjelaskan tingkat keberhasilan Branchless Banking dalam meningkatkan probabilitas kepemilikan rekening tabungan dan estimasi peningkatan jumlah rekening tabungan tersebut, dengan melakukan analisa sebagai berikut: a. Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan akan digunakan model regresi logistik dengan melibatkan enam variabel prediktor sebagai indikator kepemilikan rekening. b. Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona kejenuhan bank.
9
Kebijakan Multilicense menggolongkan perbankan di Indonesia menjadi 4 (empat) sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha 1 s.d. 4. Penjelasan tentang hal ini dapat diikuti dengan lengkap di Bab 3.
6
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
1.5 Alur Pikir
KEBIJAKAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG DISPARITAS LAYANAN KEUANGAN PERBANKAN SECARA SPASIAL
PERBANKAN DI INDONESIA
KEBIJAKAN MULTILICENSE
PELUANG TINGKAT LAYANAN PERBANKAN DI DAERAH
KEBIJAKAN MULTILICENSE, BRANCHLESS BANKING
PENINGKATAN KINERJA DAN AKSES LAYANAN PERBANKAN
KESEJAHTERAAN MASYAKARAT
PERTUMBUHAN EKONOMI
TANTANGAN
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dibuat alur pikir seperti gambar diatas. Terdapat disparitas (perbedaan) layanan keuangan perbankan di Indonesia, terutama layanan keuangan yang masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan spasial ini mendorong Bank Indonesia untuk dapat meningkatkan layanan perbankan terutama di daerah luar Jawa. Kebijakan multilicense dan BB merupakan kebijakan yang tepat untuk keluar dari permasalah tersebut. hal ini disebabkan karena untuk membuka bank baru, terutama di luar Jawa, membutuhkan biaya yang besar. Dengan adanya branchless banking dan multilicense diharapkan kinerja dan akses layanan perbankan meningkat, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional.
7
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
1.6 Pola Pikir KEBIJAKAN BANK INDONESIA : 1. MULTILICENSE 2. BRANCHLESS BANKING (BB)
Subyek
PERLUASAN JARINGAN LAYANAN PERBANKAN
Seluruh bank di Indonesia yang meliputi supra struktur;. sub struktu dan infrastruktur.
Obyek
Metoda
Peraturan Perundangan; Perbankan: melalui perluasan jaringan layanan Masyarakat.: dengan meningkatnya
Legisasi dengan Perijinan berjenjang; branhless banking(BB) melalui bank & non bank-based
model; Edukasi dan Sosialisasi
Peningkatan (I) Performance (kinerja perbankan): Profitabilitas, Efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan. (II) Memperluas akses layanan perbankan dan penyaluran kredit
Pengaruh Lingkungan atau Lingkungan strategis: • Global: Masyarakat Dunia • Regional: Masyarakat Ekonomi Asean • Nasional: Industri perbankan dan keuangan nasional PELUANG : menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM tantangan dan kendala: (i) potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan disegmen UMKM yang menjadi pemicu antara efisiensi pemain lain atau mematikan pemain lain (ii) penurunan resiko kredit UMKM (TAMBAL SULAM KREDIT) (iii) Jumlah penduduk yang tersebar di luar Jawa (iv) Ketidakstabilan kondisi lingkungan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
KESEJAHTERAAN MASYAKARAT
PERTUMBUHAN EKONOMI
8
Pola pikir kajian ini dapat dijelaskan melalui bagan pola pikir diatas. Perluasan jaringan layanan perbankan dapat dilakukan melalui kebijakan multilicense (perijinan berjenjang) dan BB. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis nasabah dan memperluas jaringan unit layanan keuangan dengan melakukan beberapa metode. Kebijakan ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional. Selanjutnya, peluang kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Adapun tantangan untuk kedua kebijakan ini adalah terdapat potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Secara umum dapat disebutkan, bahwa dampak jangka pendek dari kedua kebijakan tersebut adalah peningkatan
performance, profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini telah terjaga dengan baik (Gambar 1.3), yang pada nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih khusus Bagan 1.5 dan 1.6 tersebut akan dijelaskan secara lebih mendalam di babbab selanjutnya dalam penulisan makalah ini.
Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem keuangan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
9
BAB 2 LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL
2.1
Landasan Pemikiran Sesuai Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Republik Indonesia, tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya, agar tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, diperlukan suatu strategi pembangunan nasional yang tepat, terukur serta terarah.
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) Tujuan Utama
KERANGKA KEUANGAN INKLUSIF
Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan & stabilitas sistem keuangan di Indonesia dgn menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Pengurangan Kemiskinan
Pemerataan Pendapatan
Stabilitas Sistem Keuangan
Masyarakatyang berdaya beli dan produktif Sistem Keuangan yang mudah diakses Kelompok Pekerja Migran dan Penduduk Daerah Terpencil
Kelompok Sasaran
Sangat Miskin Produk/Jasa Keuangan
Saluran
• • • • • •
Tabungan Kredit Asuransi Remitansi DanaPensiun Reksadana, dll
Miskin Bekerja/ Produktif
Tidak Miskin
Hampir Miskin Miskinir
Ketahanan Intermediasi Efisiensi
Keuangan Publik
Lembaga Keuangan (Bank & Lembaga Keuangan Non Bank)
Pemerintah
• • • • •
Subsidi Insentif Fiskal Bantuan Sosial BLT Jamkesmas, dll
Pilar Keuangan Inklusif
Strategi
Contoh Program
Edukasi Keuangan
Fasilitas Keuangan Publik
• Edukasi Pelajar, TKI, dan masyarakat lain • Kampanye Bersama
Pemetaan Informasi Keuangan • Financial Identity Number (FIN) • Credit Rating
Kebijakan / Peraturan Pendukung • Multilicensing • • Kebijakan • B ranchless banking • • Kebijakan kredit start -up •
Fasilitas Intermediasi & Distribusi
Perlindungan Konsumen
TabunganKu • Mediasi Perbankan Branchless banking • Transparansi Produk Kredit “Start-Up” Sertifikasi tanah
Sumber: Kantor Wakil Presiden RI, Strategi Nasional Keuangan Inklusif (Revisi), 2012
Namun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa layanan sektor keuangan formal. Salah satu upaya mengatasi hal ini, di beberapa Negara, khususnya negara yang tergabung dalam G20, dengan melaksanakan program
financial inclusion (selanjutnya disingkat FI) atau kebijakan keuangan inklusif. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
10
Framework besar kegiatan FI Indonesia dapat digambarkan secara garis besar pada Gambar 2.1. Dalam Gambar 2.1 dapat diikuti bahwa salah satu program dalam keuangan inklusif (FI) adalah kebijakan BB yaitu kegiatan layanan jasa perbankan dan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh bank dan telco tanpa melalui kantor bank
tapi
menggunakan teknologi dan pihak ketiga (agen) sehingga dapat meningkatkan akses keuangan masyarakat dan kelompok miskin produktif) dan UMKM.
2.2
Paradigma Nasional 2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang mencerminkan moral dan akhlak manusia Indonesia dan diyakini kebenarannya serta kesaktiannya. Dalam hal ini, implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan kemanusian yang adil dan beradab (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenangwenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. 2.2.2 UUD NKRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai sebuah negara hukum, maka seluruh penyelenggaraan negara diatur menurut hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum, maka semua orang memiliki kedudukan yang sama dan setara tanpa diskriminasi. Sehingga semua orang menjadi terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NKRI 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
11
Optimalisasi BB merupakan perwujudan dari amanat tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 tersebut yakni memajukan kesejahteraan umum yang berdasarkan keadilan sosial. Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat pasal 28 ayat (2) menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, salah satu caranya adalah dengan berbank. Dengan demikian pelaksanaan branchless banking sesuai dengan dasar konstitusional. 2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual Sudah jamak diketahui bahwa dalam mencapai tujuan nasional, bangsa Indonesia
menghadapi
berbagai
tantangan,
ancaman,
hambatan,
dan
gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia. Karena itu bangsa Indonesia membutuhkan Ketahanan Nasional yang tangguh, salah satunya melalui pendekatan kesejahteraan. BB dapat sebagai sarana agar setiap orang memperoleh haknya dalam mendapatkan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, aman, nyaman, dan terjangkau, tanpa mengurangi harkat dan martabatnya. Dalam konteks Ketahanan Nasional, maka ancaman kemiskinan yang juga disebabkan rendahnya akses pada lembaga keuangan, dapat dikurangi melalui implementasi BB. Karena itu BB merupakan salah satu strategi pengentasan kemiskinan, yang secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan selajutnya secara otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan Ketahanan Nasional.
2.3
Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional 2.3.1
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dalam arah RPJPN 2005-2025 disebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
12
dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi “orang yang kurang beruntung” dimanapun berada. 2.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional dan pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional. Sehingga menjadi tugas bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral (saat ini juga otoritas pengawas dan pengaturan perbankan) untuk mendukung semua upaya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Sesuai UU BI, tugas utama Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 8, yaitu: a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) Mengatur dan mengawasi Bank. Sementara, terkait pengaturan dan pengawasan bank, diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan nasional sebagai: a) Lembaga kepercayaan masyarakat dalam penghimpunan dan penyaluran dana; b) Pelaksana kebijakan moneter; c) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan adalah dengan menerapkan: a) Kebijakan untuk memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi); b) Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan c) Pengawasan bank yang mendorong bank tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 29 beserta penjelasannya, selanjutnya diatur kewenangan Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank 10. 2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatannya, perbankan
10
(1) Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank; (2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan; (3)Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision); (4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
13
dihimbau dan diwajibkan untuk ikut membantu proses peningkatan taraf hidup rakyat melalui bisnis yang dilakukan. Perbankan dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dana dan penyalur pinjaman kepada masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk melakukan hal tersebut. Untuk mewujudkannya secara lebih efisien, salah satunya melalui penerapan BB.
2.4
Landasan Operasional Perbankan 2.4.1 Jenis Bank Secara umum, jenis Bank berdasarkan fungsinya menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah: No 1
2
Jenis
Keterangan
Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Bank Perkreditan BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan Rakyat (selanjut-nya usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak disingkat BPR) memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum selain itu cakupan wilayah BPR juga lebih sempit dibandingkan dengan cakupan wilayah bank umum.
2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan UU, produk dan kegiatan usaha bank dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain: No
Jenis
Keterangan
1
Penghimpunan Dana
2
Penyaluran Dana
3
Trade Finance
Dilakukan dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito. Dilakukan dalam bentuk penyaluran dana pihak ketiga yang disimpan di bank melalui penyaluran kredit. Berkaitan dengan perdagangan internasional atau ekspor impor.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
14
4
5
6
7
Treasury
Kegiatan inti dalam bank yang berfungsi dan
bertanggung jawab untuk mengelola risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko kredit (dalam penempatan dana selain pada kredit dan pembelian surat berharga / investasi), risiko kepatuhan (compliance risk) yang terkait dengan treasury, dan risiko operasional yang terkait dengan fungsi treasury. Keagenan dan Ker-ja Keagenan produk keuangan dalam bentuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit sama asing di dalam dan luar negeri, antara lain agen reksadana, agen penjualan Surat Berharga Negara (selanjutnya disingkat SBN), bank kustodian, dan wali amanat. Sistem Pembaya-ran Antara lain penyelenggara kartu kredit, penerbitan kartu Auto Teller Machine (selanjutnya disingkat ATM), penerbitan kartu debet, kliring, inkaso, transfer, dan e-money.
E-banking
Jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik dan saluran komunikasi interaktif. Beberapa media E-banking, antara lain internet banking, SMS atau m-banking, phone banking, dan ATM.
2.5
Landasan Teori 2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan Pengalaman Grameen Bank di Bangladesh sejak awal tahun 70-an, menjadi dasar bagi Muhammad Yunus untuk menyatakan bahwa kemiskinan adalah penyangkalan terhadap semua hak asasi manusia. Grameen Bank yang dikenal sebagai bank untuk kaum miskin, hakikatnya adalah pelaksanaan FI yang luar biasa, karena diberikan khusus kepada perempuan pada suatu negara dimana perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Pengalaman itulah kemudian memunculkan tulisan yang saat ini sangat dikenal di dunia keuangan mikro, yaitu “akses terhadap lembaga keuangan adalah hak asasi manusia” (Yunus, 2007). FI yang salah satu kegiatannya dilakukan melalui BB, yang sebelumnya telah didahului dengan penerbitan kebijakan multilicense, pada dasarnya sama dengan grameen bank yang memberikan akses seluas-luasnya pada masyarakat untuk berbank.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
15
2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan untuk Rakyat,
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat sendiri, maka akan semakin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011). 2.5.3 Teori Pengembangan UMKM Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-kawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004).
2.6
Tinjauan Pustaka 2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Mendorong
Pertumbuhan
UMKM
Peran Perbankan Guna dan
Koperasi
dalam
rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional Dalam tulisannya, Sarwono Sudarto (2004) menyebutkan bahwa kendala pengembangan UMKM salah satunya adalah karena akses pembiayaan. Namun dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan solusi bagaimana membuka akses dimaksud dalam rangka mengembangkan UMKM. Dalam hal ini, BI menekankan kebijakan BB sebaagi salah satu cara untuk meningkatkan akses keuangan masyarakat.
2.7
Perkembangan Lingkungan Strategis Kondisi dunia yang semakin tanpa batas (borderless) membuat Indonesia tidak bisa bersifat eksklusif dari percaturan dunia yang ada dewasa ini. Masing masing negara saling membutuhkan mengingat terdapat perbedaan competitive advantage di masing-
masing negara. Di kawasan Asia, penerapan masyarakat ekonomi Asia maupun Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 16
perdagangan bebas diregional perlu disikapi hati-hati dan dimanfaatkan. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi agar bisa memanfaatkan peluang yang dihasilkan dari perubahan tersebut. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi dan masih besarnya masyarakat yang belum tersentuh jasa layanan bank di Indonesia tentunya menarik industri perbankan dari negara lain (asing) untuk masuk ke Indonesia sebagai negara dengan potensi market yang besar. Peluang yang bisa diperoleh dari perubahan lingkungan tersebut, antara lain adalah a) Dukungan masyarakat dunia yang tinggi (APEC dan G20) terhadap program FI; b) Peningkatan hubungan dagang Indonesia dengan negara mitra semakin membutuhkan layanan jasa perbankan; c) Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga perbankan sehingga mendorong terciptanya kebijakan strategis untuk meningkatkan akses keuangan dimaksud; d) Peningkatan kesempatan perbankan untuk melakukan ekspansi binisnya, e) lahirnya kebijakan yang integratif dan terpusat tentang FI. Adapun kendala yang bisa terjadi dari lingkungan strategis, antara lain: a) Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang mendorong meningkatnya tingkat kompetisi
di sistem keuangan dan perbankan nasional sebagai akibat masuknya
lembaga keuangan dan perbankan asing; b) Fakta luasnya jangkauan wilayah Indonesia yang harus dilayani menuntut adanya inovatif and strategic action; c) Rendahnya tingkat efisiensi sektor perbankan nasional jika akan membuka jaringan kantor baru, dan d) Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat (financial literacy).
2.8.
Implikasi Financial Inclusion melalui Branchless Banking 2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat Saat ini pendekatan pengentasan kemiskinan dengan penurunan tingkat pengangguran salah satunya dilakukan dengan pendekatan akses terhadap lembaga keuangan. Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran penting dan signifikan dalam pengentasan kemiskinan,
mengurangi
pertumbuhan perekonomian.
perbedaan 11
pendapatan,
dan
meningkatkan
Melihat kesenjangan pendapatan yang masih
lebar di Indonesia, maka akses terhadap lembaga keuangan sebagai alat untuk mempercepat pemerataan pendapatan menjadi relevan dan strategic untuk dilakukan.
11
Keterangan lebih detail lihat www.worldbank.org
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
17
2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional Data indeks Gini di Indonesia tahun 2012 sebesar 0,41 mengindikasikan kesenjangan pendapatan masih sangat tinggi, sehingga dibutuhkan suatu kebijakan nyata dalam mendukung percepatan pemerataan perekonomian, khususnya pemerataan pendapatan masyarakat. Kebijakan yang inovatif ini sangat diperlukan, mengingat apabila terdapat ketidakmerataan pendapatan masyarakat, maka akan mengganggu proses pembangunan nasional. Selanjutnya, disadari jika pembangunan nasional terhambat terhambat, hal ini berakibat pada lemahnya Ketahanan Nasional Indonesia. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu wujud keberhasilan pembangunan nasional adalah dengan menurunnya tingkat kemiskinan. Salah satu strategi untuk mengatasi kemisikinan tersebut adalah melalui pemerataan pendapatan
masyarakat
dengan
memperluas
akses
terhadap
lembaga
keuangan.
2.9
Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion Berdasarkan uraian di atas, disadari bahwa pelaksanaan kegiatan FI di Indonesia tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa persoalan strategis yang harus dicarikan solusinya. Beberapa pokok persoalan tersebut adalah:
terbatasnya
infrastruktur
lembaga
keuangan;
rendahnya
pemahaman
masyarakat tentang keuangan (financial literacy); Belum tersedianya produk yang sesuai untuk kelompok masyarakat kecil; Belum optimalnya kebijakan Pemerintah tentang FI, dalam hal ini Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan terpadu terkait dengan FI 12.
2.10
Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan Sesuai dengan pembukaan UUD1945 dan UU No. 17/2007 tentang RPJPN tersebut diatas, maka pembangunan perekonomian harus dapat menjamin kesempatan berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan dua landasan tersebut maka kebijakan perekonomian nasional juga harus mengutamakan kelompok masyarakat bawah (lemah) sehingga akses perbankan harus dibuka seluas-luasnya.
Hal ini sangat sesuai dengan target dari kegiatan FI yang
dilaksanakan oleh BI.
12
Pada Bulan Juli 2012, telah diterbitkan Strategi National Keuangan Inklusif (SNKI) dari Tim Percepatan Penanggulangan Kemisininan dari kantor Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun penerbitan SNKI tersebut masih bersifat soft launching, dan belum ditandatangani oleh Wapres RI maupun oleh Presiden Republik Indonesia.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
18
2.11
Indikasi Keberhasilan
Beberapa indikator dalam percepatan FI yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia adalah: a) Bertambahnya jumlah kantor bank. Dalam hal ini penambahan jumlah kantor bank difokuskan kepada daerah di luar Jawa dan Bali karena lebih dari 52% kantor bank berada di Jawa; b) Tersedianya produk bank yang sesuai, bank dituntut untuk dapat menyediakan produk bank yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa harus mengurangi prinsip kehati-hatian dan menyediakan layanan produk keuangan tersebut dengan harga yang terjangkau untuk rakyat miskin; c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening di bank. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa semikn banyak masyakarkat yang terlayani oleh perbankan; d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio yang saat ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi sebesar 0.41 di tahun 2012; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun; sehingga total jumlah penduduk misikin akan berkurang tahap demi tahap.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
19
BAB 3 KEBIJAKAN MULTILICENSE, PERLUASAN JARINGAN KANTOR DAN
BRANCHLESS BANKING 3.1
Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening bank pada institusi keuangan formal (bank). Selain itu kurang dari separuh penduduk Indonesia yang memiliki tabungan di bank dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai akses kredit melalui institusi keuangan formal (bank). Selebihnya masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal ataupun tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan dari segala jenis lembaga keuangan.
13
Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia dengan Negara Lain tahun 2010
Sumber: Bank Dunia dan IMF
Hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah kepemilikan rekening tabungan masih di bawah 50% total penduduk Indonesia. Saat ini yang hanya sekitar 19,6% masyarakat Indonesia berusia di atas 15 tahun yang mempunyai rekening tabungan. Sementara itu, jumlah rekening di Malaysia sudah 66,2%, Thailand
72,7%, Singapura 98,2% dan Indonesia hanya lebih baik dari
Kamboja. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN. Hal tersebut berdampak pada rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP), Jumlah depositor di perbankan per 1000
13
The World Bank 2009. Improving Access to Financial Services in Indonesia
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
20
penduduk dewasa, maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap GDP) yang relatif lebih rendah sebagaimana Tabel 3.1. Kredit UMKM baru mencapai 0,67%, masih jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand. Dana Pihak Ketiga (DPK) share terhadap GDP juga masih rendah yaitu sebesar 36,41%. Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang berkepulauan menjadi kendala melayani masyarakat daerah terpencil. Terbatasnya layanan perbankan ke beberapa daerah tersebut sejatinya juga tidak terlepas dari perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut. Hal ini terlihat pada indikator indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 serta rasio antara layanan perbankan dengan luasan wilayah sebagaimana Tabel 3.2. Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010
Sumber: Bank Dunia dan IMF
Di daerah Papua Barat dan Papua, sebuah layanan perbankan melayani radius lebih dari 1000 km2. Jarak yang jauh yang harus ditempuh masyarakat untuk menikmati layanan perbankan yang juga dipersulit dengan kondisi medan dan minimnya infrastruktur.
Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Berbagai Provinsi, Bank Indonesia, diolah
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
21
Disparitas layanan perbankan juga terjadi di tingkat kecamatan. Tingkat layanan perbankan di tingkat kecamatan yang tertinggi ada di Jakarta, rata-rata setiap kecamatan dilayani oleh 91 kantor bank. Sedangkan di Papua tingkat layanan perbankannya paling rendah, dimana satu kecamatan hanya dilayani oleh kurang dari satu kantor bank atau tidak semua kecamatan tersedia layanan perbankan. Disparitas layanan bank menyebabkan terciptanya kondisi financial exclusion bahkan mengarah kepada financial explotation.
Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Disparitas dalam pelayanan jasa keuangan tersebut selanjutnya menimbulkan kenaikan pendapatan dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang jauh lebih cepat dari pada kenaikan dari kelompok masyarakat terendah dan menengah (Gambar 3.3). Hal ini harus segera diatasi dengan kebijakan serta tindakan yang cepat dan strategik, khususnya dalam memperluas jaringan kantor perbankan nasional tanpa harus meningkatakan biaya overhead cost perbankan secara signifikan bagi perbankan namun dapat menjangkau masyarakat luas (outreach yang lebih luas). Gambar 3.3 Pergeseran Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
22
3.2
Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan 3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat Masyarakat masih merasakan hambatan
14
dalam memperoleh layanan jasa keuangan
formal dari perbankan. Selain keterbatasan fasilitas lembaga keuangan, juga disebabkan rendahnya penghasilan di pedesaan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian, masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers
yang sangat
membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan. 3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan Bank umum sebagai lembaga keuangan yang mendominasi sektor keuangan di Indonesia ternyata hanya melayani sebagian kecil keluarga di Indonesia. Sektor informal lebih banyak melayani masyarakat dibandingkan sektor perbankan. Dalam hal ini, sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan, dan masuk ke dalam kategori financially excluded atau penduduk yang terpinggirkan dari jasa tabungan. Berdasarkan survei PODES (tahun 2005) dan survei ATF (tahun 2007), jumlah layanan perbankan seperti keberadaan kantor bank komersil dan khususnya BPR (Gambar 3.4) yang seharusnya bisa menyentuh masyarakat kelas bawah masih sangat terbatas. Namun keberadaan bank komersil di daerah pedesaan menurut survei ATF hanya 25,9% walaupun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan survei Bank Dunia yang hanya menunjukan porsi sebesar 16,1%.
14
Beberapa faktor penghambat akses masyrakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain jauhnya jarak tempuh atau lamanya waktu yang diperlukan dari rumah kecabang bank atau ATM terdekat; persyaratan yang ditetapkan oleh bank khususnya untuk persyaratan identitas sulit dan memerlukan proses yang kompleks; besarnya biaya administrasi bulanan atau saldo minimum yang tinggi; produk seperti tabungan sederhana, kredit investasi atau asuransi kesehatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan; tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
23
Gambar 3.4 Persentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan
Sumber : Improving Access to Financial Services in Indonesia, Bank Dunia. 2009
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 2009, menunjukkan bahwa 38% penduduk Indonesia termasuk financially excluded. Presentase penduduk yang masuk
financially included namun menabung di sektor informal mencapai 18%, sehingga bila dijumlah dengan yang tidak memiliki perbankan adalah 56% penduduk tidak menggunakan jasa perbankan. Hal ini menutut adanya suatu kebijakan yang bersifat inovatif untuk meningkatkan akses layanan keuangan penduduk kepada perbankan melalui peningkatan kantor atau point-point layanan bank (Gambar 3.5).
Gambar 3.5
Akses kepada Jasa Tabungan
Sumber: meningkatkan akses terhadap jasa keuangan di Indonesia, Bank Dunia. 2009
3.3
Latar Belakang Kebijakan Multilicense dan Perluasan Jaringan Kantor 3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional Perbankan Indonesia masih menunjukkan adanya inefisiensi, dari sisi skala usaha, dimana struktur perbankan nasional memiliki rentang yang sangat lebar berdasarkan modal inti yang dimiliki. Struktur perbankan Indonesia saat ini didominiasi oleh 18 bank besar, dengan sebagian bank memiliki modal inti
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
24
dibawah Rp5 triliun; hal ini mengandung konsekuensi sebagian kecil bank Indonesia yang mampu beroperasi secara efisien. Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin (selanjutnya disingkat NIM). Saat ini net interest margin perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6 persen atau tertinggi di kawasan ASEAN-5; padahal sektor perbankan yang efisien sangat penting adalah merupakan sangat strategik dalam rangka mendorong perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Perkembangan
tersebut
apabila
dihubungkan
dengan
adanya
rencana
pembentukan Masyrakat Ekonomi Asean (selanjutnya disingkat MEA) pada tahun 2020, dimana akan dilakukan penghapusan pembatasan perdagangan jasa untuk semua sektor ekonomi yang tersisa, maka tingkat efisiensi sektorsektor utama termasuk sektor perbankan menjadi sangat mutlak dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai akibat meningkatnya persaingan yang mungkin timbul akibat terbentuknya MEA. Untuk itu perlu segregation pelayanan bank berdasarkan kekuatannya agar efisien dan berdampak positif bagi perbankan sendiri, ekonomi dan stabilitas dalam bentuk kebijakan perijinan berjenjang (multilicense). 3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagian besar pendudk Indonesia berusaha di sektor UMKM, maka perhatian kepada sektor UMKM menjadi suatu hal yang mutlak dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sektor UMKM merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Pada Krisis Asia 1998, sektor UMKM merupakan sektor yang dapat bertahan dibandingkan dengan sektor yang lebih besar.
Gambar 3.6 Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
25
Data Kementerian Koperasi dan UKM (2011) menunjukkan bahwa UMKM diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) (dengan menggunakan harga konstan tahun dasar 2011). Dari kontribusi sebesar 57,1% tersebut, 32%merupakan kontribusi usaha mikro, dan 10,99% merupakan kontribusi usaha kecil. Pangsa UMKM sendiri mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan dalam hal tenaga kerja, UMKM menyerap 97.2% dari total tenaga kerja di Indonesia (Gambar 3.6). Menyadari peran penting UMKM dalam perekonomian, dan berdasarkan UU No.20 tahun 2008 15 mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan
oleh
Bank
Umum
dan
Bantuan
Teknis
dalam
rangka
Pengembangan UMKM. Dalam ketentuan tersebut bank umum diwajibkan memberikan kredit/pembiayaan kepada UMKM sekurang-kurangnya 20% dari total kredit/pembiayaan bank. Batasan minimum ini akan diimplementasikan secara bertahap sampai dengan tahun 2018.
3.4
Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) Kebijakan Perijinan Berjenjang yang telah disebutkan di atas, mengatur perbankan nasional dengan melakukan penggolongan (segregration) perbankan Indonesia berdasarkan modal inti dan mengkaitkannya dalam kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh masing-masing individual bank. Dalam pembahasan mengenai kebijakan multilicense ini, pembahasan difokuskan pada perluasan jaringan kantor bank sebagai akibat dari terbatasnya layanan jasa keuangan oleh bank sebagaimana telah dibahas di atas.
15
Berdasarkan UU No.20 tahun 2008 tentang UMKM, usaha UMKM tersebut didefinisikan sebagai berikut: Usaha Mikro merupakan usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, dengan kriteria sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah); Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan Usaha Menengah merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai kriteria usaha menengah. Kriteria usaha menengah menurut UU ini adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
26
3.4.1 Modal Inti
Dalam upaya untuk memperluas jaringan layanan perbankan di wilayah Indonesia, salah satu kebijakan yang ditetapkan adalah dengan kebijakan perizinan berjenjang. Perizinan berjenjang terkait produk dan aktivitas disesuaikan dengan kapasitas permodalan setiap bank agar dapat beroperasi secara efisien dan ideal, seperti dalam Gambar 3.7. Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti Tier 4: 4 Bank
Modal Inti > Rp 30 Trilyun
Tier 3: 14 Bank
Modal Inti Rp 5-30 Trilyun
Tier 2: 38 Bank
Modal Inti Rp 1-5 Trilyun
Tier 1: 53 Bank
Modal Inti < Rp 1 Trilyun
Berdasarkan analisis gap diagram dibawah (Gambar 3.8), Bank Indonesia telah merumuskan kebijakan mengenai multilisence dengan beberapa pertimbangan: a) Perijinan jenis kegiatan usaha bank umum tidak dapat lagi diberikan sama untuk semua bank karena beragamnya kondisi bank; b) Perijinan jenis kegiatan usaha perlu diatur ulang berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank sesuai kemampuan modal dan kinerja; c) Penataan perijinan kegiatan usaha bank diharap juga dapat mewujudkan ketahanan struktur perbankan nasional yang kokoh dan berdaya saing; d) Pengaturan perijinan kegiatan usaha bank diarahkan untuk meningkatkan kapasitas tata kelola bank sehingga mempunyai kemampuan dalam mengendalikan risiko; e) Tantangan persaingan yang dihadapi perbankan nasional terutama menghadapi implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. f) Mewujudkan perbankan nasional yang mempunyai daya saing lokal, nasional dan regional serta penyediaan pembiayaan yang efisien; g) Meningkatkan fungsi intermediasi bank khususnya pembiayaan UMKM.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
27
Gambar 3.8 Analisis Gap Kebijakan Multilisence di Indonesia
1. Ketahanan perbankan 2. Peningkatan governance 3. Daya saing local, nasional dan regional 4. Penyediaan pembiayaan yang efisien 5. Intermedia, unbanked people 6 Kontribusi pada
Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup dalam perijinan berjenjang, antar lain (Gambar 3.9): a. Target nasabah, sebagai lending indikatif adalah: BUKU 1: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 70%; BUKU 2: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 60%; BUKU 3: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 40%; BUKU 4: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 30%; b. Izin atas produk/aktivitas dan pembukaan jaringan kantor. Dalam hal ini, semua bank umum kelompok usaha wajib memperoleh izin/persetujuan atas produk/aktivitas tertentu serta pembukaan jaringan kantor (seluruh jaringan kantor); c. Perluasan produk dan aktivitas. Bank dapat memperluas cakupan produk dan aktivitas dengan produk
dan aktivitas
BUKU lain sepanjang dapat
meningkatkan modal inti sesuai persyaratan; d. Jumlah Jaringan Kantor. Bank Umum Kelompok Usaha yang mempunyai modal inti lebih tinggi dapat memiliki jumlah jaringan kantor yang lebih banyak berdasar perhitungan theoretical capital; e. Bank Fokus. Bank dapat menjadi bank focus pada sector ekonomi/kegiatan tertentu dengan persetujuan pengawas.; f.
Kepemilikan perusahaan anak (konglomerasi). BUKU 1: Tidak diperkenankan; BUKU 2: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia. Maksimal sebesar 15% dari modal bank; BUKU 3: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 25% dari
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
28
modal bank. BUKU 4: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 35% dari modal bank. Sedangkan terkait dengan penyertaan dari bank Umum Konvensional kepada anak perusahaan yang berupa Bank Umum Syariah diatur dengan komposisi sebagai berikut: BUKU 1: Tidak Diperkenankan; BUKU 2: maksimal 20% dari modal Bank; BUKU 3: maksimal 30% dari modal Bank; BUKU 4 : maksimal 35% dari modal Bank.
Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank berdasarkan BUKU
Hal dimaksud diatas dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor berdasarkan Modal Inti Bank. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai kebijakan yang inovatif dalam memperluas jaringan kantor (point-point) layanan perbankan untuk menjawab keterbatasan kesediaan jasa perbankan sebagaimana disampaikan dalam Sub bab 3.2.2 mengenai keterbatasan kesediaan jasa perbankan.
3.5
Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan (ADB, 2000). Sementara, Leedladhar (2005) berpendapat bahwa inklusi keuangan adalah sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau. Upaya peningkatan inklusi keuangan ini merupakan salah satu target kebijakan diberbagai negara, terutama negara berkembang. Gambar 3.10 menunjukkan tingkat akses keuangan di Asia. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa tingkat akses keuangan di tiga negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia (Cina, India, dan Indonesia) kurang dari 50 persen.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
29
Dari ketiga negara tersebut, India memiliki tingkat akses keuangan tertinggi dengan tingkat sebesar 48 persen.
Gambar 3.10 Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara di Asia
Sumber: World Bank Composite Measure of Access to Finance 2007 Report; WRI population data; UNCTAD population data; AFI analysis and AFI -Tokyo, dalam Hannig (2009).
Secara umum, Honohan (2004) mengklasifikasikan hambatan-hambatan yang dihadapi masyarakat dalam mengakses jasa keuangan dalam 3 kelompok utama, yaitu: Hambatan harga (price barriers); Hambatan informasi (information barrier); dan Hambatan desain produk dan jasa (product and service design barriers). Di Indonesia sendiri, sektor perbankan memiliki pangsa pasar hingga mencapai 80% dari seluruh total pangsa pasar lembaga keuangan, namun, jumlah populasi unbanked 16, seperti yang telah disebutkan di Sub bab 3.2.2 sebelumnya. Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia, menyikapi hal ini, berbagai negara telah menerapkan beberapa instrumen untuk meningkatkan inklusi keuangan. Diantaranya melalui mobile banking, agent banking
(atau lazim dikenal sebagai branchless banking), state bank reforms, pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance), dan perlindungan konsumen (consumer
protection) melalui peningkatan transparansi, keadilan, dan “melek” finansial (financial literacy) konsumen. Sejalan dengan hal tersebut, kerangka dasar pembangunan dan program-program pro rakyat yang dicanangkan pemerintah sejak awal, didasarkan 16
Hasil survei World Bank (2010) menunjukkan bahwa 32 persen penduduk Indonesia tidak memiliki tabungan, baik di lembaga keuangan formal maupun di lembaga keuangan informal dan dapat dikelompokkan sebagai financially excluded dari segi tabungan. Dari segi pinjaman, hanya 60 persen penduduk yang memiliki akses terhadap kredit (yang terdiri dari 17 persen penduduk yang meminjam di lembaga keuangan bank dan 43 persen meminjam di lembaga keuangan non-bank informal), sementara sekitar 40 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap pinjaman (financially excluded dari sisi kredit).
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
30
kepada empat pilar utama: pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment dapat dipandang sebagai hal yang sangat tepat dan sesuai dengan kerangka dasar pemerataan hasil pembangunan guna mempercepat pencapaian keadilan sosial dan pengurangan kemiskinan. 17.
3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking Gambar 3.11 Model Branchless Banking (BB)
Sumber: diolah dari beberapa referensi model branchless banking
BB sebagai bagian dari program FI adalah saluran distribusi yang digunakan untuk memberikan jasa keuangan dan sistem pembayaran secara terbatas melalui unit khusus pelayanan keuangan (agen) tanpa harus melalui pendirian kantor fisik bank. Bank Indonesia pada tahun 2012 mengeluarkan kebijakan BB sebagai tindak lanjut kebijakan multilicense, yang telah dibahas di Sub Bab 3.4 di atas, sebagai salah satu strategi peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Dalam aplikasi BB tersebut terdapat dua model yang umum digunakan yakni
bank based model dan non-bank based model. Selain itu terdapat juga hybrid model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based model.
3.5.1.1 Bank Based Model dan Non Bank Based Model 17
Velix V. Wanggai, Meneguhkan Arah Pembangunan Yang berkeadilan: Safari Ramadhan Presiden SBY, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2012,
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
31
Dalam model ini, penyelenggara layanan adalah Bank. Bank menciptakan produk dan jasa keuangan, namun pendistribusian produk dan layanan tersebut dilakukan melalui retail agent yang mengelola semua atau hampir semua interaksi dengan nasabah. 18 Bank berperan penuh mulai dari proses perizinan awal, pelaksanaan operasional, pengelolaan financial dan sistem. Sementara, perusahaan telco berperan menyediakan jaringan/saluran infrastruktur untuk melakukan transaksi layanan perbankan. Perusahaan telco mendapatkan fee dari penggunaan jaringan oleh nasabah 19. Adapun jenis saluran distribusi layanan dibagi menjadi dua yakni melalui retail
agent dan mobile banking yang disediakan oleh bank, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Retail Agent (bank based model) Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyedikan jasa layanan keuangan (Tabel 3.3). Nasabah dapat melakukan penyetoran simpanan atau penarikan uang dan bahkan transfer dana. Dalam proses penyediaan jasa, retail agent melakukan komunikasi langsung dengan bank dengan menggunakan telepon genggam maupun terminal Point of Sale (POS) dalam bentuk EDC dan lainnya 20.
18
Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006 Setiap nasabah mempunyai hubungan kontraktual langsung dengan lembaga keuangan formal (bank) meskipun nasabah melakukan transaksi melalui retail agent atau MNO. Hubungan kontraktual ini dapat berupa account based maupun one off transaction. Layanan yang disediakan merupakan layanan jasa keuangan standar seperti: tabungan/simpanan, kredit dan remmitance/transfer. 20 Di beberapa negara, retail agent dapat menangani prosedur pembukaan rekening dan dalam beberapa kasus dapat mengidentifikasi dan menyediakan jasa pinjaman untuk nasabah. Retail agent mengecek dokumen identitas nasabah dan proses transaksi, mendebit atau mengkredit rekening nasabah jika itu adalah pembelian atau transfer dana antar rekening. Catatan elektronik dari transaksi akan ditransfer langsung ke bank atau dikelola oleh agent proses pembayaran yang menyelesaikan transaksi di antara rekening nasabah dan rekening penerima. 19
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
32
NASABAH Tahap 1: Nasabah meminta jasa keuangan
Contoh Jasa Ditawarkan: Mendeposit atau menarik dana dari akun emoney nasabah; transfer dana; pembayaran tagihan/ pa-jak; pengajuan dan pencairan pinjaman pembukaan rekening dan pengajuan apli-kasi credit card
Tabel 3. 3 Bank Based Model RETAIL AGENT Tahap 2: Retail agen mengecek ID nasabah dan memproses transaksi melalui infrastruktur bank (POS) atau payment processing agent Contoh Retail Agen: Outlet retail, organisasi social (LSM, MFIs, dll), kantor pos
BANK
Tahap 3: Bank mengkredit dan mendebit rekening bank nasabah dan pihak lain untuk transaksi Contoh pihak lain: termasuk retail agen (untuk deposit atau penarikan dana), penerima transfer dana (nasabah lain, perusahaan listrik, dirjen pajak)
Sumber: Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006
Dalam penunjukan retail agent oleh bank, ada dua jenis agen yang digunakan yaitu: 1). Super Agent: merupakan badan hukum dimana bank menjalin kerjasama untuk distribusi layanan keuangan. Badan hukum ini umumnya memiliki jaringan yang luas dan bisnis yang sudah berjalan. Super Agent yang dapat digunakan oleh bank diantaranya PT. Pos Indonesia, perusahaan distributor yang memiliki jaringan luas, dan perusahaan telekomunikasi; 2). Sub Agent: merupakan jaringan dari super agent yang tersebar di seluruh wilayah. Transaksi face to face dengan nasabah akan berlangsung dengan sub-agen. b.
Mobile Financial Services (non-bank based model) Layanan Mobile Financial Services (MFS) yang disediakan adalah mobile
banking, yang merupakan pengembangan dari layanan perbankan. Alur branchless
banking
dengan
menggunakan
bank
based
model
digambarkam Gambar 3.12. Penerapan bank based model di Indonesia dapat dijumpai dalam layanan mobile banking yang ditawarkan oleh sebagian besar bank yang beroperasi saat ini. Layanan mobile banking ini merupakan sarana penunjang transaksi bagi nasabah yang telah mempunyai rekening di bank tersebut 21.
21
Saat ini layanan mobile banking masih terbatas pada pengecekan saldo, transfer dana, pembelian barang dan bayar tagihan. Sedangkan untuk pembukaan rekening, penambahan simpanan dan pembukaan rekening tidak dapat dilakukan dalam mobile banking.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
33
Gambar 3.12 Alur Bank-based Model
Adapun penyelenggaran MFS (Tabel 3.4) melalui non-bank model adalah skema penyelenggaraan BB dimana seluruh proses perizinan dan operasional dilakukan oleh institusi non-bank.
Institusi tersebut
menyediakan jasa perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat langsung dalam operasional bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan kontraktual dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic
money (E-money). E-money merupakan nilai uang yang diukur dengan mata uang yang disimpan dalam bentuk elektronik dan dapat digunakan melakukan transaksi pembayaran yang diterima oleh entitas lain selain penerbit.
22
Tabel 3.4 Non-bank Based Model 23 NASABAH Tahap 1: Nasabah meminta jasa keuangan atau penjualan via hand phone atau smart card
22 23
RETAIL AGENT Tahap 2: Retail agen mengecek ID nasabah dan memproses transaksi mewakili non-bank, via hand phone atau smart card reader
The Bank for International Settlements (BIS, 1996), European Union (2008) Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
NONBANK Tahap 3: Nonbank meregister transaksi, mengupdate akun e-money (virtual) milik nasabaj dan pihak lain untuk transaksi. Nonbank mengelola akun nasabah individu.
BANK Tahap 4: Bank (secara umum) menyimpan dana dari penerbitan emoney non-bank, mewakili nonbank. Bank tidak memiliki hubungan dengan nasabah/retail agen.
34
Contoh Jasa Ditawarkan: Mendeposit/menarik dana dari akun emoney nasabah
(cash in and cash out); pembelian
barang;transfer dana;pencairan pinjaman/pembayaran angsuran dan pajak.
Contoh Retail Agen:
Department Store, supermarket,
penjual pulsa, usaha komersial lainnya
Contoh pihak lain: termasuk retail agen (untuk deposit, penarikan dana, atau pembelian barang), penerima transfer dana (nasabah lain, perusahaan listrik, dirjen pajak)
*ini merupakan praktek dari
operator mobile phone di Filipina
dan Kenya
Nasabah hanya bertransaksi dengan agen dengan menukarkan uang tunai atau mentransfer sejumlah nilai uang dalam bentuk electronic
record (rekening virtual). Rekening virtual ini disimpan dalam server nonbank seperti operator telekomunikasi dan atau penerbit stored value
card.
Saldo
dalam
rekening
tersebut
dapat
digunakan
untuk
bertransaksi. Selain itu, non-bank based model dapat berupa jaringan pembayaran (network payments) dimana nasabah bahkan pemerintah dapat melakukan pembayaran kepada pihak ketiga 24. Alur BB dengan menggunakan non-bank based model dapat dilihat dalam Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Alur Non-bank Based
Jenis e-money terdapat dua jenis yakni stored valued card dan mobile wallet yang ditawarkan oleh perusahaan telekomunikasi, dengan rincian sebagai berikut: 1) Stored Value Card (SVC) yang merupakan salah salah satu bentuk emoney yang menggunakan media plastic card, serupa dengan debit card milik 24
Diharapkan perkembangan branchless banking ke depan ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung program Pemerintah dalam penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan program-program yang bersifat subsidi lainnya.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
35
bank. SVC menggunakan teknologi magnetic stripe untuk menyimpan informasi dan dana 25. 2) Mobile Wallet merupakan salah satu bentuk e-money yang disediakan oleh operator telekomunikasi (mobile network operator atau MNO). Dalam aplikasi ini, konsumen menyetor atau mentransfer sejumlah dana dalam rekening virtual yang dikelola oleh
MNO.
Rekening virtual ini terhubung
dengan nomer telepon pemilik dan pelanggan tidak harus memiliki rekening bank.
Electronic value yang ada di dalam kartu telepon dapat digunakan
sebagai alat pembayaran dan alat transfer dana. 3.5.1.2 Model Hybrid Skema Hybrid Led adalah skema penyelenggaraan branchless banking di mana terdapat
kerjasama
antara
bank
dengan
institusi
non-bank
(operator
telekomunikasi, agen dan lainnya) dalam bentuk joint venture maupun partnership, untuk menyediakan layanan perbankan penuh bagi nasabah melalui telepon genggam.Dalam skema ini (Gambar 3.14), kedua belah pihak (bank dan telco) memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk menguasai pasar yang dituju. Di mana, jasa-jasa mobile wallet (jasa-jasa yang terkait dengan jaringan telekomunikasi seperti pengiriman uang melalui sms, pengisian saldo elektronik, dan sebagainya) menjadi tanggung jawab MNO, sementara, jasa-jasa mobile banking (terkait dengan pengelolaan simpanan atau tabungan, transfer antar rekening, pengecekan saldo tabungan, dan lain-lain) menjadi tanggung jawab dari bank 26. Gambar 3.14 Alur Hybrid Model
25
Meskipun demikian, SVC berbeda dengan debit card. Konsumen harus mengisi saldo kartu tersebut sebelum menggunakan kartu. Hal ini membatasi risiko overdraft, karena konsumen hanya dapat menggunakan dana sesuai dengan saldo yang diisi. 26 Dalam model ini juga terdapat interoperabilitas antar layanan yang diberikan MNO dan bank. Sebagai contoh, mesin ATM yang dikelola oleh bank dapat menjadi cashpoint bagi e-money yang diselenggarakan MNO.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
36
BAB 4 ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTI LICENSE (PERLUASAN JARINGAN KANTOR) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN NASIONAL Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 1 Pendahuluan, disadari bahwa Bank merupakan komponen yang penting dari sistem keuangan karena fungsi dan perannya dalam perekonomian. Fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran kredit mempunyai peranan penting bagi pergerakan roda perekonomian secara keseluruhan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan alat dalam menetapkan kebijakan moneter sedangkan pada level mikro ekonomi bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000). Peran dan fungsi Bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan Bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, Bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mempengaruhi alokasi sumber daya keuangan dengan cara yang paling efektif dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, sebagaimana telah diulas secara mendalam pada Bab 3, maka Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan dan daya saing perbankan, dan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan multilicense. Sedangkan kebijakan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor UMKM; serta melalui perluasan akses masyarakat terhadap layanan keuangan melalui
BB.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
37
4.1
Studi Empiris Kebijakan Multilisence, Perluasan Jaringan Kantor dan BB di Indonesia 4.1.1 Studi Empiris Multilicense terkait Modal Inti, Perluasan Jaringan Kantor dan Tingkat Kejenuhan Bank 4.1.1.1 Analisa Data Envelope Analysis (DEA) Dalam Sub Bab ini, analisa DEA menjawab perumusan masalah pertama mengenai tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense oleh BI (November, 2012) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan; khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM. Studi empiris untuk menganalisis modal inti perbankan dan kegiatan usaha ini dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dengan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA) 27. Metode DEA yang digunakan dalam analisis ini adalah metode DEA yang dikembangkan oleh Grigorian dan Manole (2005) dan Wezwel (2010). Metode DEA ini selanjutnya akan dilengkapi dengan analisa tingkat kejenuhan Bank. Dalam penyusunan makalah ini, disampaikan Analisa DEA yang telah dilakukan BI sebelum dikeluarkannya kebijakan multilicense yang diperdalam lebih lanjut dengan memasukan variable biaya tenaga kerja dan ratio biaya tenaga kerja terhadap total biaya. Analisis DEA untuk perbankan Indonesia dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja seperti yang tertera pada Gambar 4.1. Analisis tersebut melibatkan dua jenis input, yaitu input nominal dan input rasio. Input nominal yang digunakan adalah biaya tenaga kerja, aktiva tetap, dan dana pihak ketiga. Sedangkan input rasio yang digunakan adalah rasio biaya tenaga kerja terhadap total biaya, rasio aktiva tetap terhadap total aset, dan rasio dana pihak ketiga terhadap total aset. Skor efisiensi suatu bank berada dalam range skor DEA 0 sampai dengan 100. Semakin tinggi skor DEA suatu bank, maka semakin efisien bank tersebut. Metode DEA ini diestimasi untuk 120 bank di Indonesia.
27
DEA adalah merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan nonparametrik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris mengenai efisiensi perbankan domestik dan asing di Amerika Tengah.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
38
Gambar 4.1. Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia
Berdasarkan input nominal dan input rasio, kelompok bank yang paling efisien ditunjukkan oleh skor DEA antara 85-100. Untuk kelompok ini, modal inti perbankan yang efisien adalah sebesar Rp5,6 triliun. Sedangkan untuk level
moderate, dengan skor DEA 45-55, modal inti yang dimiliki perbankan pada level ini adalah Rp1 triliun. Selanjutnya, pendekatan kedua untuk menganalisis modal inti ini adalah dengan menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua model yang dianalisis dalam pendekatan ini, yaitu model empiris dan model pertumbuhan. Asumsi yang digunakan dalam estimasi model empiris adalah pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6–6,5%. Dengan asumsi ini, untuk mencapai pertumbuhan kredit perbankan total sekitar 22–23%, diperlukan rasio modal inti perbankan (rasio Tier-1) sekitar 11–13%. Model estimasi berupa model empiris ini mengacu pada model estimasi yang digunakan oleh Hagerty (2009), Bikker dan Hu (2001), Naceur dan Kandil (2007), dan Aydin (2008) dimana model estimasi merupakan model pertumbuhan kredit dari sisi demand dengan periode data 2003:1 - 2010:3. Hasil simulasi dengan menggunkan model empiris menghasilkan modal inti bank pada Tier-1 sebesar Rp2,12 triliun (untuk analisis pada seluruh bank) dan modal inti sebesar Rp0,95 triliun untuk bankbank di luar 14 bank besar. Sedangkan untuk pendekatan dengan modal pertumbuhan asumsi yang digunakan adalah: a) Pertumbuhan ekonomi 6–7% dan didukung pertumbuhan kredit minimum 21%; b) Analisis dilakukan pada bank kecil dengan modal kurang dari Rp1 triliun dengan total asset sebesar 10% dari seluruh asset perbankan; c) Bank kecil adalah homogen; d) Fungsi intermediasi 80% dan likuiditas bank yang optimal; e) ROA sebesar 2,7%; f) Laba tahun berjalan yang menjadi modal inti sebesar 50%. Hasil simulasi menunjukkan bahwa modal inti dari 71 bank yang menjadi sampel dalam estimasi ini akan meningkatkan modalnya memiliki modal inti sebesar Rp1 triliun pada tahun 2019/2020. Hasil simulasi dampak dilakukan terhadap Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
39
kondisi perbankan apabila kebijakan modal inti ini dilaksanakan. Dampak yang dianalisis dalam hubungannya dengan kegiatan usaha untuk masing-masing kelompok bank. Hasil simulasi menunjukkan bahwa bank pada Tier 1 merupakan kelompok bank yang akan terkena dampak paling signifikan terhadap kebijakan multilicense ini. Sedangkan untuk simulasi mengenai alokasi kredit produktif, apabila ditetapkan alokasi kredit minimal untuk masing-masing kelompok bank, maka terdapat beberapa bank yang saat ini belum memenuhi kriteria persentase minimal kredit produktif untuk masing-masing kelompok. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia belum memiliki tingkat modal inti yang efisien. Sehingga terdapat bank yang melakukan berbagai kegiatan usaha namun tidak didukung dengan modal inti yang sesuai. Hal ini menyebabkan perbankan di Indonesia dikatakan belum efisien. Oleh karena itu, perumusan masalah pertama pada Bab 1 telah dijawab dengan analisa tersebut di atas bahwa kebijakan multilicense sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi dan struktur perbankan nasional. Selanjutnya
untuk
mengatur
perbankan
di
Indonesia
dalam
rangka
meningkatkan efisiensi, maka perbankan Indonesia perlu diatur secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank. Namun pengaturan ini dapat menyebabkan adanya beberapa bank yang saat ini telah melakukan beberapa kegiatan usaha tidak lagi dapat melakukan kegiatan tersebut karena dianggap memiliki modal yang tidak mencukupi. Oleh karena itu, dalam hal kebijakan pengelompokan perbankan berdasarkan modal inti dan kegiatan usaha, perlu disusun sebuah mekanisme yang memungkinkan bank-bank yang dianggap tidak dapat melakukan suatu aktivitas usaha, untuk menyesuaikan 28
kegiatannya ataupun jumlah modalnya . 4.1.1.2 Analisa Tingkat Kejenuhan Bank (Bank Density) Sesuai dengan perumusan masalah pertama di Bab 1 dan tujuan penelitian dalam penulisan makalah ini, maka analisa DEA ini harus dilengkapi lebih jauh dengan analisa tentang pembukaan jaringan kantor. Dalam pembukaan jaringan kantor bank, perlu dipertimbangkan beberapa faktor agar keberadaan bank dapat memberikan manfaat yang optimal dan mendorong distribusi kantor 28
Sebagai contoh bagi bank yang produk dan jenis usahanya melampaui yang diperkenankan oleh BUKU dimana bank tersebut berada dapat meningkatkan modal intinya sehingga berada pada BUKU yang lebih tinggi dengan cakupan dan aktivitas usaha yang lebih luas, atau secara bertahap menghentikan produk dan aktivitasnya sesuai dengan aktivitas yang diperkenankan untuk BUKU dimana bank tersebut berada.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
40
layanan bank yang lebih merata. Diharapkan melalui analisa ini akan menguatkan jawaban untuk rumusan permasalahan pertama yang telah dijelaskan melalui metode DEA. Disparitas kantor layanan bank antar wilayah dapat mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap perbankan. Jika dibiarkan dengan skema kebijakan yang berlaku, dapat diduga layanan bank masih terkonsentrasi di pusat-pusat aktivitas ekonomi. Sehingga diperlukan insentif agar bank tertarik membuka layanan di wilayah underbanked. Jika perbankan bersedia masuk zona underbanked, maka fungsi bank sebagai agent
of development dan agent of services dapat lebih optimal. Rincian detail tentang analisa ini dapat diikuti di Lampiran 1. Seperti yang telah disebutkan di atas, analisa kuantitatif DEA, yang dilakukan untuk menjawab perumsusan masalah pertama yang menjadi alasan kuat dan strategik untuk mengeluarkan kebijakan multilicense, dilengkapi dengan analisa tingkat kejenuhan bank (bank density 29) dalam suatu daerah terkait dengan tingkat persaingan bank di daerah tersebut. McKinnon (1973) dan Levine (1997) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk. 30 Analisa tingkat kejenuhan bank dalam Sub Bab 4.1.1 ini merupakan hasil analisa yang telah dilakukan BI (November, 2012) dalam rangka penyusunan kebijakan multilicense dengan
ditambahkan variabel deposito dan giro sebagai komponen dari DPK (Dana Pihak Ketiga) untuk masing-masing Provinsi. Terdapat dua cara menghitung bank density. Kedua cara tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Kepadatan dari sisi spasial jangkauan pelayanan, yang diformulasikan dengan:
2. Kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanan, yang diformulasikan dengan:
29
Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Kepadatan bank dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Selain itu, kepadatan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya.
30
Ritonga et al (2004)
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
41
Semakin besar nilai bank density dari sisi spasial menunjukkan semakin padat jumlah kantor bank di setiap kilometer persegi wilayah. Sedangkan, semakin besar bank density dari sisi jangkauan pasar pelayanan, maka semakin banyak penduduk yang dilayani oleh bank di suatu wilayah. Kedua hal tersebut mengindikasikan tingkat persaingan yang tinggi di sektor perbankan. Tingkat persaingan yang tinggi dapat mengarah pada kejenuhan sektor perbankan di wilayah tersebut. Pengukuran tingkat kepadatan bank dapat pula dilihat dengan menggunakan pendekatan BCG matriks. Metode ini dikembangkan oleh Boston Consulting Group pada tahun 1970. Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life
cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu aksis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. Matriks yang dibentuk melalui analisis ini dapat dilihat pada Gambar 4.2. Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia
Selanjutnya Matriks BCG pada Gambar 4.3 menunjukkan matriks BCG untuk kepadatan bank di setiap provinsi di Indonesia. Matriks tersebut dibentuk dengan menggunakan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
42
sebagai sumbu tegak dan faktor Dana Pihak Ketiga (DPK) perkapita dan kredit perkapita sebagai sumbu mendatar. Nilai threshold pertumbuhan PDRB ditentukan dengan angka pertumbuhan PDRB nasional (harga berlaku), sedangkan nilai threshold faktor DPK perkapita dan kredit perkapita digunakan DPK perkapita dan kredit perkapita nasional. Gambar 4.3 BCG Matriks untuk Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia UNDERBANKED
EQUILIBRIUM RENDAH
Sumber:
EQUILIBRIUM MODERAT
OVERBANKED
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Propinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Utara Maluku Papua Papua Barat
Data PDRB Provinsi atas dasar harga berlaku 2010 dari BPS Data Penduduk hasil Sensus 2010 dari BPS Data DPK dan Kredit per Desember 2011 dari SEKDA
Berdasarkan Gambar 4.3, masih banyak provinsi di Indonesia yang berada di area underbanked. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya provinsi yang berada di kuadran kiri atas, yaitu sebanyak tiga belas provinsi. Ketiga belas provinsi tersebut memiliki akses yang rendah terhadap pelayanan jasa perbankan, namun potensi pertumbuhan ekonomi dan economies of scale yang dimiliki cukup tinggi. Sementara itu, terdapat sepuluh provinsi yang berada di area
overbanked (kuadran kanan bawah) dengan pelayanan jasa perbankan yang tinggi namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Masing-masing terdapat lima provinsi baik yang berada pada area low equilibrium banked dengan akses pelayanan jasa perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah maupun middle equilibrium banked dengan akses pelayanan jasa perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Provinsi untuk setiap katagori dalam matriks pada Gambar 4.3 dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
43
Tabel 4.1 Status Persaingan Usaha Tingkat Provinsi No
Underbanked
Equilibrium Rendah
Equilibrium Moderat
Overbanked
1
Lampung
Aceh
Papua
Kalimantan Timur
2
Jambi
Sulawesi Tenggara
Sumatera Utara
Kepulauan Riau
3
Papua Barat
DI Yogyakarta *)
Riau
Bali
4
Sulawesi Barat
Jawa Tengah *)
Kalimantan Tengah
Sulawesi Utara
5
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Banten
6
Nusa Tenggara Barat
Jawa Barat *)
7
Maluku Utara
Bangka Belitung
8
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
9
Gorontalo
Jawa Timur *)
10
Sulawesi Tengah
11
Sumatera Selatan
12
Maluku
13
Sumatera Barat
DKI Jakarta
Keterangan: *) cenderung overbanked
Dari berbagai studi mengenai kepadatan bank tersebut dapat dilihat bahwa distribusi kantor bank sangat terkait dengan tingkat kegiatan ekonomi di suatu daerah. Kegiatan ekonomi yang masih dominan berada di Jawa menjadi pull
factor
bagi bank untuk memperluas jaringan kantor di wilayah ini saja.
Sedangkan sebagian besar provinsi di luar Jawa masuk pada kategori
underbanked (Gambar 4.4). Pada kondisi ini, diperlukan kebijakan yang bersifat insentif sehingga mendorong perbankan untuk melayani di wilayah-wilayah
underbanked. Kebijakan ini tentu harus dilakukan oleh Bank Indonesia agar bank bisa menjalankan salah satu fungsinya, yaitu sebagai agent of
development.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
44
Gambar 4.4. Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di Indonesia
Sumber: Bank Indonesia, 2013
Dalam hubungannya dengan kebijakan branchless banking, maka matriks BCG pada Gambar 4.3 diadaptasi menjadi Gambar 4.5. Pada matriks tersebut dapat dilihat bahwa prioritas utama dari kebijakan branchless banking adalah daerah yang berada pada Kuadran IV atau daerah underbanked. Sedangkan prioritas kedua adalah daerah Kuadran III, atau daerah Low Equilibirum Banked. Daerah
Medium Equilibrium Banked atau Kuadran I adalah daerah menjadi prioritas ketiga dalam kebijakan ini. Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan Kebijakan Branchless Banking
Dengan hasil dari analisa DEA (Sub Bab 4.1.1.1) dan Analisa BCG Matriks (Sub Bab 4.1.1.2) yang telah dilakukan di atas, dapat diangap sebagai jawaban dari perumusan masalah pertama akan pentingnya kebijakan multilicense dan BB yang saling melengkapi satu sama lain; dimana dengan adanya sinergi kedua Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
45
kebijakan
tersebut,
masyarakat
(walaupun
berada
di
pedesaan)
akan
dimungkinkan untuk mendapatkan layanan keuangan dengan harga yang mudah, aman dan terjangkau sesuai dengan tujuan dari kegiatan Financial Inclusion (dijelaskan di Bab 2). 4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi serta Forecasting Pembiayaan UMKM (BCG Matrix) 4.1.2.1 Analisa Pemetaan dan Potensi Kredit UMKM Dalam menjawab perumusan masalah kedua seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam penulisan makalah ini, dilakukan pula pemetaan akses masyarakat yang bergerak dalam bidang UMKM khususnya UMK (Usaha Mikro Kecil) terhadap perbankan. Analisa ini dilakukan untuk melihat apakah ada potensi peningkatan akses keuangan kelompok masyarakat tersebut sebagai akibat kebijakan multilicense dan branchless banking. Dalam hal ini, Pemetaan dengan menggunakan BCG Matrix digunakan pula untuk memetakan kondisi pembiayaan UMKM di Indonesia saat ini. Metode yang digunakan sebelumnya dimodifikasi dengan mengubah sumbu X menjadi kredit UMK per kapita. Pemetaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.6. Berdasarkan analisa tersebut dapat dilihat bahwa di provinsi Lampung, Maluku, Jawa Timur, dan Sumatra Selatan merupakan provinsi yang masuk dalam katagori underbanked untuk pembiayaan UMKM. Sedangkan provinsi Bali, Papua, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta merupakan provinsi yang masuk dalam katogori overbanked dalam pembiayaan UMKM.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
46
Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia
Namun secara umum, pembiayaan UMKM masih dianggap sebagai pembiayaan yang masih memiliki potensi yang sangat besar. Hasil analisis potensi pasar bagi sektor UMKM yang dilakukan dalam penelitian ini dikonfirmasi pula dengan hasil estimasi yang telah dilakukan sebelumnya (tiga penelitian terdahulu). Ketiga penelitian tersebut dijelaskan dengan singkat sebagai berikut. a. Penelitian: Hasil Riset BTPN Estimasi potensi pasar ini dilakukan dengan menggunakan kajian DPNP tahun 2012. Menurut kajian tersebut, potensi pasar kredit UMK di Indonesia sebesar Rp1500 triliun. Potensi ini mencakup pembiayaan oleh bank konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dari potensi pasar sebesar Rp1500 triliun tersebut, baru sekitar Rp281,84 triliun pembiayaan yang telah disalurkan melalui kredit oleh bank umum maupun BPR. Angka ini baru mencakup 18,8 persen dari total potensi yang diperkirakan. Berdasarkan estimasi tersebut, maka masih ada potensi sebesar 81,2 persen atau sebesar Rp1.218,16 yang belum tergarap. Namun estimasi tersebut belum memperhitungkan UMKM yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Secara lengkap estimasi tesebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
47
Tabel 4.2 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 1 Potensi UMK
Total Kredit (Rp T)
Potensi UMK
Rp 1.500
Kredit UMK oleh BPR dan Bank Umum
Rp
Belum tergarap
Rp 1.218,16 (81,2%)
281,84
(18,8%)
Sumber : DPNP, Kajian Market Competition, Bank Indonesia – 2012 (Hasil diskusi dengan BTPN)
Studi tersebut juga mengestimasi pertumbuhan pembiayaan UMKM tahun 2018. Dengan mengasumsikan pertumbuhan kredit sebesar 20%, maka pada tahun 2018, jumlah minimum pembiayaan UMKM yang wajib disalurkan oleh perbankan diperkirakan mencapai Rp1.617,13 triliun. Angka ini diperoleh dengan menghitung 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Namun studi tersebut juga menggarisbawahi adanya kecenderungan bank untuk menyalurkan kredit kepada usaha Menengah dibandingkan UMK. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit kepada UMK. b. Penelitian dengan Data Kementrian Koperasi dan UKM Alternatif
kedua
estimasi
potensi
pasar
UMK
dilakukan
dengan
menggunakan data Kementrian Koperasi dan UKM. Berdasarkan data tersebut, potensi usaha mikro dan Kecil pada tahun 2011 masing-masing diperkirakan mencapai Rp761,28 triliun dan Rp261,32 triliun. Sementara total kredit UMK yang sudah disalurkan oleh bank umum dan BPR mencapai 27,56%, yaitu Rp261,45 triliun disalurkan oleh bank umum dan Rp20,39 triliun disalurkan oleh BPR (angka tersebut belum memperhitungkan UMK yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro
lainnya). Dengan
demikian, masih terdapat potensi pembiayaan kredit UMK oleh perbankan sekitar Rp740,71 triliun atau sekitar 72,44%. Hasil estimasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
48
Tabel 4.3 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 2 Potensi UMK
Total Kredit (Rp T)
Potensi UMK (data Kemenkop)
Rp1.022,55 (100,00%)
Usaha Mikro
Rp761,23
Usaha Kecil
Rp 261,32
Penyaluran Kredit UMK oleh Bank Umum dan BPR
Rp281,84 (27,56%)
Kredit Mikro
Rp112,73
Kredit Kecil
Rp169,11
Belum tergarap
Rp 740,71 (72,44%)
Usaha Mikro
Rp648,5
Usaha Kecil
Rp92,21
c. Penelitian Household Produktif Non-Pegawai Penelitian
ketiga
estimasi
potensi
pasar
UMK
dilakukan
dengan
menggunakan data Survei Rumah Tangga DPNP. Berdasarkan data survei ini, rumah tangga produktif non-pegawai adalah sebesar 57,63% dari total rumah tangga. Sementara itu, berdasarkan data BPS Agustus 2012, bukan angkatan kerja – sektor rumah tangga mencapai 33,6 juta penduduk. Dengan demikian, proyeksi potensi UMK mencapai 19,4 juta penduduk. Dari 19,4 juta penduduk tersebut, diasumsikan 75% merupakan potensi pangsa usaha Mikro dan 25% merupakan potensi pangsa usaha Kecil (mengacu kembali kepada data Kementrian Koperasi dan UKM, 2011). Besarnya skala UMK per penduduk adalah sebesar jumlah kredit per rekening saat ini, yaitu Rp16,93 juta per 1 unit usaha Mikro dan Rp144,35 juta per 1 unit usaha Kecil (data sampai dengan Desember 2012). Sehingga, besarnya potensi UMK dapat dihitung sebagai berikut: ditambah dengan Usaha Mikro: 75% x 19,4 juta penduduk x Rp16,93 juta = Rp245,88 triliun; Usaha Kecil: 25% x 19,4 juta penduduk x Rp144,35 juta = Rp698,80 triliun; sehingga Total potensi usaha: Rp245,88 triliun + Rp689,80 triliun = Rp944,68 triliun. Dengan memperhitungkan angka penyaluran kredit UMK oleh perbankan (bank umum dan BPR) sebesar Rp281,84 triliun, maka masih terdapat potensi pembiayaan UMK oleh perbankan sebesar Rp622,84 triliun atau 70,17% (belum memperhitungkan UMK yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro lainnya).
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
49
Ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwa potensi pembiayaan perbankan untuk UMK masih cukup tinggi (ketiga alternatif estimasi tersebut dirangkum pada Tabel 4.4). Potensi pasar kredit UMK masih sangat besar dan hanya kurang dari 30% yang baru tergarap, baik melalui pembiayaan oleh bank konvensional maupun BPR. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun 2018 akan tumbuh pada angka yang sama, yaitu 6,5%, dan usaha Mikro dan Kecil memiliki pangsa yang relatif sama, maka
potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai
Rp1.588,42 triliun. Walaupun demikian potensi ini lebih rendah dibandingkan dengan prediksi jumlah kredit UMKM yang disalurkan oleh perbankan pada tahun 2018 (Penelitian 1), yaitu Rp1.617,13 triliun (dengan asumsi pertumbuhan kredit 20% per tahun dan semua bank memenuhi ketentuan minimum penyaluran kredit kepada UMKM). Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK Alternatif Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Pendekatan Potensi UMK
Jumlah Potensi UMK (Rp T)
Hasil Riset BTPN
1500
Kementrian Koperasi dan UKM Pendekatan RT Produktif NonPegawai
1022,55 944,68
Jumlah Pembiayaan UMK oleh Bank Umum dan BPR (Rp T)
281,84
Potensi Pembiayaan UMK Rp T
%
1218,16
81,20
740,71
72,44
662,84
70,17
Analisis potensi kredit UMKM juga dilakukan dengan menggunakan BCG Matrix yang digunakan untuk mengukur tingkat kejenuhan kredit. Dalam analisis ini, pertumbuhan PDRB kembali menjadi sumbu Y, namun pada analisis ini sumbu X menunjukkan potensi UMK. Empat kuadran dalam analisis ini adalah: a) Kuadran 1: potensi tinggi, economic
of scale tinggi; b)Kuadran 2: potensi tinggi, economic of scale rendah; c) Kuadran 3: potensi rendah, economic of scale rendah; d) Kuadran 4: potensi rendah, economic of
scale tinggi. Hasil analisis yang dilakukan dapat diikuti dalam Gambar 4.7, menujukkan provinsi yang memiliki potensi tinggi dan economic of scale tinggi adalah Papua Barat dan Kalimantan Timur. Sedangkan provinsi yang termasuk ke dalam kuadran potensi rendah dan
economic of scale rendah adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Berdasarkan analisa BCG Matrix untuk pemetaan potensi pembiayaan UMKM di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan branchless banking, yang memungkinkan bank untuk memberikan layanan keuangan tanpa harus membangun Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 50
kantor fisik bank melainkan melalui point of service (agen), dimana pendiriannya tidak diperhitungkan dalam perluasan jaringan kantor dalam kebijakan multilicense, akan mendorong perbankan untuk mempunyai kecenderungan memberikan kredit UMK dalam menjalankan kegiatan usahanya. Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia
4.1.2.2 Studi Empiris Forecasting Total Kredit dan Kredit UMKM di Indonesia Melalui dua kebijakan tersebut, branchless banking dan multilicense, diharapkan perbankan Indonesia dapat menjadi sektor perbankan yang lebih kuat dan dapat meningkat outreach kepada masyarakat. Perbankan diharapkan dapat menjangkau
unbanked people dan meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Namun dengan adanya kedua kebijakan tersebut, maka muncul pula downside effect (ancaman) yang menyertainya. Dengan adanya kedua kebijakan tersebut, terdapat potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Hal ini disebabkan pangsa UMKM yang sebelumnya menjadi pasar bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bank dalam katagori BUKU 1 dan lembaga keuangan mikro. Untuk menganalisis hal tersebut lebih jauh lagi, maka dikembangkan sebuah model untuk menentukan kapan saatnya pangsa kredit UMKM tersebut telah jenuh dan potensi yang ada telah dapat terpenuhi. Model estimasi dilakukan dengan melakukan forecasting sederhana untuk jumlah total kredit. Untuk memperoleh hasil forecasting yang baik, maka beberapa model diestimasi Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
51
dan dibandingkan nilai forecast yang diperoleh dengan nilai total kredit aktual. Langkah ini disebut dengan forecasting ex-post. Dalam langkah ini, diperoleh beberapa model
forecasting. Dari beberapa model tersebut, dilakukan evaluasi untuk memilih tiga model terbaik dengan menggunakan ukuran-ukuran kebaikan forecast. Rata-rata hasil
forecasting ketiga model terbaik tersebut merupakan kandidat nilai forecast total kredit. Hasil forecast tersebut dievaluasi dengan menggunakan uji beda rata-rata, uji beda median, dan uji beda varian, untuk memastikan bahwa nilai total kredit hasil forecast secara statistik tidak berbeda dengan nilai total kredit aktual. Setelah model terbaik diperoleh, maka model tersebut digunakan untuk melakukan
forecast nilai total kredit sampai dengan tahun 2020. Nilai kredit UMKM diasumsikan sebesar 20% dari nilai total kredit (threshold 20% tersebut diatur dalam kebijakan
multilicense). Hasil estimasi nilai total kredit dan kredit UMKM dapat dilihat pada Gambar 4.8. Gambar 4.8 Forecast Total Kredit dan Kredit UMKM Indonesia
Setelah nilai foracast total kredit UMKM sampai dengan tahun 2020 dapat diperoleh, maka hasil ini dibandingkan dengan nilai potensi kredit UMKM yang telah diestimasi sebelumnya. Dari hasil analisis potensi kredit UMKM telah dapat diestimasi bahwa terdapat tiga alternatif nilai potensi kredit UMKM di Indonesia, yaitu Rp1.500 triliun, Rp1.022,55 triliun, dan Rp944,68 triliun. Dari ketiga alternatif tersebut, maka nilai Rp1.500 disebut sebagai threshold optimis, sedangkan Rp944,68 triliun merupakan
threshold pesimis. Nilai forecast total kredit UMKM kemudian dianalisis untuk mengetahui periode waktu kedua threshold tersebut dapat terlampaui. Hasil analisis yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.9. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
52
Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua threshold tersebut dapat dilampaui dalam waktu kurang dari 10 tahun semenjak PBI mengenai pembiayaan UMKM dikeluarkan. Dengan asumsi bahwa nilai potensi tersebut konstan, maka threshold pesimis akan dapat dilalui pada tahun 2016. Sedangkan untuk threshold optimis akan dapat dilampaui pada tahun 2019. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum threshold terlampaui, maka semua lembaga keuangan akan berusaha memanfaatkan potensi kredit UMKM yang tersedia. Hal ini menjawab rumusan permasalahan kedua di Bab 1 bahwa kebijakan multilicense dan branchless banking akan sangat membantu pembiayaan perbankan (seluruh BUKU dan BPR) kepada UMKM khususnya UMK sepanjang threshold belum terlampaui. Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia
Sumber: CEIC, diolah dan Estimasi Analisis Potensi Kredit UMKM oleh Bank Indonesia
Dalam penulisan penelitian ini, analisa di atas dilengkapi pula dengan memodelkan perekonomian dengan mengasumsikan adanya rezim tunggal (single regime) memiliki kelemahan, yaitu memberikan hasil pengukuran volatilitas yang relatif tidak fleksibel dan dianggap konstan sepanjang estimasi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengijinkan kemungkinan adanya model regime-switching (perpindahan rezim). Dalam model regime-switching, parameter estimasi berbeda untuk setiap rezim. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kemungkinan adanya mekanisme ekonomi yang menyebabkan variabel dependen mengalami perubahan (switching) selama proses estimasi. Walaupun rezim itu sendiri tidak dapat diobservasi, akan tetapi probabilitas terjadinya rezim tersebut dapat diestimasi berdasarkan suatu set informasi yang tersedia (Santoso, 2008).
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
53
Hamilton (1989) mengembangkan sebuah model Markov-switching untuk memodelkan data runtun waktu dengan kemungkinan adanya perubahan rezim. Setelah itu, berbagai pengembangan terhadap model Markov-switching banyak dilakukan. Sebuah model dengan structural break pada parameter dapat diformulasikan sebagai berikut (Kim dan Nelson dalam Santoso (2008):
, dengan Dimana
adalah variabel dependen,
adalah residual. Residual (
adalah vektor
variabel eksogen, dan
) daripersamaan conditional mean di atas, diasumsikan
berdistribusi normal yang dapat dituliskan sebagai berikut:
Apabila diasumsikan terdapat dua rezim, dimana rezim 1 (stabil) dan rezim 2 (volatil), maka conditional mean dari persamaan di atas adalah:
sedangkan, conditional variance-nya adalah sebagai berikut:
dimana,
adalah variabel random yang dapat dituliskan sebagai berikut: (stabil) atau
(volatil)
Pada persamaan conditional mean di atas, kondisi stabil ( parameter
dan
parameter β 2 dan
; sedangkan pada saat kondisi volatil (
) ditunjukkan oleh ) ditunjukkan oleh
. Menurut Kim dan Nelson (dalam Santoso, 2008), apabila S t
dapat diobservasi dan diketahui sebelumnya (a priori), maka persamaan conditional
mean dapat diestimasi dengan menggunakan variabel dummy. Namun, apabila S t merupakan rezim yang tidak dapat diobservasi (unobserved states) pada waktu t dan tidak diketahui a priori, maka model Markov-switching dapat digunakan untuk mengestimasinya. Dalam hal ini, untuk memodelkan S t tersebut, Hamilton (1994) menggunakan ordo pertama rantai Markov (first order Markov-chain). Dalam penelitian ini, model regime switching digunakan untuk mengestimasi faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan kredit. Dengan menggunakan metode ini, maka Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
54
akan dapat diketahui apakah ada perbedaan dalam permintaan kredit pada periode stabil, dan pada periode volatil. Persamaan conditonal mean yang diestimasi adalah sebagai berikut:
Dimana Outstanding Credit t
adalah tingkat pertumbuhan
domestik kredit, g t adalah pertumbuhan ekonomi, inf t adalah inflasi, t t adalah suku bunga pinjaman, dan gexe t adalah tingkat perubahan nilai tukar. Hasil estimasi Markov
Switching untuk persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.11, sedangkan matriks transisi dan matriks durasi dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching Model Dependen Variabel: Pertumbuhan Kredit Domestik Observasi: Januari 2002 - Januari 2013 Variabel
Koefisien
Standar Error
z-Statistik
Prob.
State 1: Kondisi Volatil C
0.05406
0.01169
4.62505
0.00000
Suka Bunga Pinjaman
-3.21611
0.81072
-3.96697
0.00010
Inflasi
-0.16958
0.10085
-1.68150
0.09270
Log(Sigma)
-5.02574
0.17814
-28.21227
0.00000
C
0.04413
0.01995
2.21215
0.02700
Suku Bunga Pinjaman
-2.99429
1.71000
-1.75105
0.07990
Inflasi
0.00830
0.16819
0.04933
0.96070
Log(Sigma)
-3.88684
0.09195
-42.27189
0.00000
1.69499 -2.43748
0.09010 0.01480
State 2: Kondisi Stabil
Parameter Matriks Transisi P11-C 1.28988 P21-C -2.44925 Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,BI, 2013
0.76099 1.00483
Dalam estimasi, variabel independen disimulasikan untuk mendapatkan hasil estimasi yang robust. Hasil estimasi juga menunjukkan variabel pertumbuhan nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi tidak secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan kredit domestik. Variabel yang mempengaruhi pertumbuhan kredit domestik dalam estimasi yang robust adalah suku bunga pinjaman dan inflasi. Dari hasil estimasi diperoleh nilai koefisien yang berbeda untuk dua kondisi yang diamati, yaitu kondisi stabil dan kondisi volatil. Pengaruh inflasi dan suku bunga pinjaman juga berbeda untuk dua kondisi tersebut. Pada kondisi stabil, pada α=10 persen, maka hanya suku bunga pinjaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
55
kredit domestik, sedangkan untuk kondisi volatil, suku bunga pinjaman dan inflasi berpengaruh terhadap pertumbuhan domestik kredit. Koefisien suku bunga pinjaman pada kondisi volatil lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien pada kondisi stabil. Hal ini menunjukkan bahwa suku bunga pinjaman memiliki kecenderungan efek negatif lebih tinggi pada kondisi volatil dibandingkan dengan kondisi stabil. Sedangkan nilai inflasi hanya secara signifikan dan negatif mempengaruhi pertumbuhkan domestik kredit pada kondisi volatil. Tabel 4.6 menunjukkan hasil estimasi transisi dan durasi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa probabilitas untuk tetap berada pada kondisi stabil, maupun kondisi volatil lebih tinggi dibandingkan dengan probabilitas untuk berpindah dari kondisi stabil – volatil, ataupun dari kondisi volatil – stabil. Probabilitas untuk berpindah dari kondisi stabil ke volatil juga lebih kecil dibandingkan dengan probabilitas untuk berpindah dari kondisi volatil ke stabil (0,0795 dibandingkan dengan 0.2159). Sedangkan ekspektasi perekonomian berada pada kondisi volatil adalah selama 4,6 bulan, dan berada pada kondisi stabil selama 12,6 bulan. Tabel 4.6
Matriks Transisi Probabilitas dan Durasi Matriks Transisi Probabilitas
State 1: Volatil
State 2: Stabil
State 1: Volatil
0.7841
0.2159
State 2: Stabil
0.0795
0.9205
Ekspektasi Durasi untuk Masing-Masing State
State 1: Volatil
4.632342
State 2: Stabil
12.57967
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013
4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan dengan Tingkat
Efisiensi
yang timbul
dari
Sinergi Pengaturan
Multilicense,
Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi BB 4.1.3.1 Pengukuran Efisiensi dengan Menggunakan Concentration Ratio Dalam penulisan makalah ini, tingkat efisiensi perbankan yang diukur dengan CR
31
menggunakan dua buah rasio
32
yaitu Net Interest Margin
31
Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. 32 Untuk memilih variable yang tepat dalam perhitungan CR digunakan pendekatan Granger Casuality. Apabila terdapat dua buah variabel X dan Y, kita tidak memliki informasi apakah variabel X mempengaruhi variabel Y
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
56
(NIM) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional). Kedua nilai tersebut dapat dibandingkan dengan perkembangan penguasaan pasar oleh bank besar di Indonesia, yang dalam hal ini merupakan bank yang berada pada BUKU 4. Hal ini untuk melihat apakah kenaikan penguasaan pasar oleh bank yang berada pada BUKU 4 diikuti dengan kenaikan nilai NIM dan BOPO. Apabila kenaikan penguasaan pasar oleh bank BUKU 4 diikuti dengan kenaikan nilai NIM dan BOPO, maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi perbankan Indonesia dipengaruhi oleh Bank BUKU 4, yang merupakan bank besar di Indonesia. Ukuran penguasaan pasar yang digunakan dalam analisis ini adalah pangsa kredit bank pada BUKU 4 terhadap total kredit, dan pangsa dana pihak ketiga terhadap total dana pihak ketiga. Ukuran tersebut disebut dengan consentration ratio (CR)
33
seperti ditunjukkan
pada Tabel 4.7
.
Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Concentration Ratio ataukah variabel Y mempengaruhi variabel X. Untuk dapat mengetahui mengenai arah hubungan antar variabel, maka diperlukan sebuah uji statistik. Salah satu uji yang digunakan secara luas adalah Granger Causality Test. Apabila ada dua persamaan sebagai berikut.
X t = α t + β1Yt −1 + β 2Yt −2 + β 3 X t −1 + β 4 X t −2 + et
(1)
Yt = δ t + γ 1Yt −1 + γ 2Yt −2 + γ 3 X t −1 + γ 4 X t −2 + et
(2)
Granger Causality Test dilakukan untuk mengetahui apakah variabel Y mempengaruhi variabel X. Apabila variabel Y mempengaruhi variabel X, maka lag dari variabel Y akan signifikan pada persamaan (1) . Apabila pada persamaan (2), lag variabel X tidak mempengaruhi variabel Y, maka dikatakan bahwa variabel Y secara unilateral Granger cause variabel X. Demikian pula sebaliknya, apabila pada persamaan (2) lag variabel X secara signifikan mempengaruhi variabel Y, namun pada persamaan (1) lag variabel Y tidak signifikan mempengaruhi X, maka dapat disimpulkan bahwa variabel X secara unilateral Granger cause variabel Y. Namun hasil pengujian dapat pula memberikan hasil lag variabel Y signifikan mempengaruhi variabel X pada persamaan (1) dan lag variabel X mempengaruhi variabel Y pada persamaan (2). Apabila hasil ini yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat dihasilkan adalah terdapat hubungan dua arah antara X dan Y. Sedangkan apabila kedua variabel tidak saling signifikan mempengaruhi, maka kesimpulan yang dapat dihasilkan adalah kedua variabel tersebut merupakan variabel yang independent. Ketiga variabel tersebut diestimasi dengan metode Granger Causality dengan lag 1 sampai dengan 12. Hasil estimasi Granger Causality menunjukkan bahwa ROA granger cause NIM dan BOPO, sedangkan NIM granger cause BOPO. Oleh karena itu, dalam estimasinya, BOPO akan menjadi variabel dependen. Sedangkan sebagai variabel independen adalah NIM, ROA, jumlah bank, loan to deposit ratio, total kredit, dan concentration ratio dari bank BUKU 4. Model dasar diestimasi dengan dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag.
33
Semula terdapat tiga variabel efisiensi yang digunakan, yaitu NIM, BOPO, dan return on asset (ROA). Untuk memilih variabel yang tepat untuk digunakan metode Granger Causality. Apabila terdapat dua buah variabel X dan Y, kita tidak memliki informasi apakah variabel X mempengaruhi variabel Y ataukah variabel Y mempengaruhi variabel X. Untuk dapat mengetahui mengenai arah hubungan antar variabel, maka diperlukan sebuah uji statistik. Salah satu uji yang digunakan secara luas adalah Granger Causality Test.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
57
CR-4 Kredit (%)
CR-4 DPK (%)
NIM
BOPO (%)
Dec-01
47.10
59.59
Dec-02
48.58
58.37
Dec-03
48.56
56.75
Dec-04
49.12
54.68
Dec-05
46.21
51.05
Dec-06
45.55
50.46
5.80
86.45
Dec-07
45.08
51.86
5.70
78.83
Dec-08
45.87
51.34
5.66
84.10
Dec-09
46.80
52.29
5.56
81.57
Dec-10
45.38
50.48
5.73
79.96
Dec-11
45.12
49.13
5.91
85.34
Dec-12
45.66
48.74
5.49
74.15
Jan-13
45.47
47.66
5.53
79.58
Feb-13
45.63
46.88
5.34
78.52
Mar-13
45.65
46.36
5.41
75.46
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,BI, 2013
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum efisiensi perbankan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai BOPO dan nilai NIM yang semakin menurun. Sedangkan nilai CR-4 untuk Kredit maupun DPK menunjukkan nilai yang relatif stabil semenjak tahun 2002, tanpa adanya peningkatan rasio yang sangat signifikan. Hal ini menunjukkan dugaan tidak adanya hubungan yang jelas antara
consentration ratio dengan efisiensi perbankan.
4.1.3.2 Pengukuran Efisiensi dengan Menggunakan HHI 34
Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan menggunakan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan indeks yang secara umum diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar. Nilai HHI diukur sebagi jumlah dari kuadrat pangsa pasar perusahaan yang berkompetisi. Apabila dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat diestimasi.
34
HHI adalah Herfindahl-Hirschman Index. HHI merupakan index yang digunakan sebagai ukuran konsentrasi pasar.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
58
Institusi
yang
menggunakan
nilai
HHI
sebagai
ukuran
dalam
pengambilan keputusan adalah US Departemen of Justice (USDOJ) dalam hal keputusan untuk pemberian ijin merger. USDOJ menganggap nilai indeks kurang dari 1500 menunjukkan pasar yang kompetitif, indeks 1500-2500 merupakan pasar yang terkonsentrasi secara moderat, dan nilai indeks lebih dari 2500 merupakan pangsa pasar yang sangat terkonsentrasi. Merger perusahaan yang meningkatkan nilai HHI lebih dari 200 nilai indeks dinilai akan menunjukkan adanya kemungkinkan monopoli pasar. Hasil estimasi HHI bank dengan ukuran konsentrasi kredit dan DPK dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9. Hasil estimasi HHI untuk Indonesia menunjukkan bahwa HHI Indonesia, baik dengan menggunakan kredit maupun menggunakan dana pihak ketiga, menunjukkan angka di atas 3000. Nilai HHI untuk Kredit menunjukkan nilai yang stabil, sedangkan untuk DPK menunjukkan angka HHI yang cenderung menurun. Walaupun demikian, apabila digunakan nilai USDOJ sebagai ukuran konsentrasi pasar, maka industri perbankan Indonesia merupakan pasar yang sangat terkonsentrasi. Dengan kebijakan multilisence yang telah dilaksanakan, maka pangsa pasar yang telah ada saat ini memiliki indikasi tidak akan mengalami perubahan. Sehingga sektor perbankan Indonesia merupakan sektor yang terkonsentrasi. Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia - Kredit Periode
Share terhadap Total Kredit BUKU 4
BUKU 3
BUKU 2
BUKU 1
HHI
Dec-01
47.10%
29.77%
17.72%
5.42%
3448
Dec-02
48.58%
30.10%
15.99%
5.33%
3550
Dec-03
48.56%
29.44%
16.65%
5.35%
3531
Dec-04
49.12%
30.03%
15.77%
5.08%
3589
Dec-05
46.21%
32.00%
16.81%
4.98%
3467
Dec-06
45.55%
32.54%
16.80%
5.11%
3442
Dec-07
45.08%
32.32%
17.51%
5.10%
3409
Dec-08
45.87%
31.51%
17.86%
4.76%
3438
Dec-09
46.80%
31.39%
16.96%
4.85%
3487
Dec-10
45.38%
32.97%
16.82%
4.84%
3452
Dec-11
45.12%
32.99%
16.95%
4.94%
3436
Dec-12
45.66%
32.23%
17.09%
5.02%
3441
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
59
Jan-13
45.47%
32.29%
17.20%
5.05%
3431
Feb-13
45.63%
32.07%
17.24%
5.06%
3433
Mar-13
45.65%
31.95%
17.32%
5.07%
3431
Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia - Kredit
Share terhadap Total Dana Pihak Ketiga Periode Dec-01 Dec-02 Dec-03 Dec-04 Dec-05 Dec-06 Dec-07 Dec-08 Dec-09 Dec-10 Dec-11 Dec-12 Jan-13 Feb-13 Mar-13
BUKU 4
BUKU 3 BUKU 2
59.59% 58.37% 56.75% 54.68% 51.05% 50.46% 51.86% 51.34% 52.29% 50.48% 49.13% 48.74% 47.66% 46.88% 46.36%
25.75% 25.76% 26.01% 26.77% 27.91% 26.51% 25.91% 27.59% 27.23% 29.20% 29.82% 30.12% 30.74% 30.85% 30.89%
11.18% 11.90% 12.94% 14.03% 16.15% 17.48% 17.04% 16.86% 16.17% 15.82% 16.15% 16.11% 16.30% 16.84% 17.18%
BUKU 1 3.49% 3.97% 4.30% 4.52% 4.89% 5.55% 5.19% 4.20% 4.31% 4.50% 4.91% 5.03% 5.31% 5.43% 5.57%
HHI 4351 4228 4083 3923 3670 3585 3678 3699 3756 3671 3587 3568 3510 3462 3430
Analisis efisiensi perbankan dalam hubungannya dengan consentration ratio juga dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika. Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. Terdapat tiga variabel efisiensi yang digunakan, yaitu NIM, BOPO, dan return on asset (ROA). Untuk memilih variabel yang tepat digunakan metode Granger Causality. Hasil estimasi Granger Causality menunjukkan bahwa ROA granger cause NIM dan BOPO, sedangkan NIM granger cause BOPO. Oleh karena itu, dalam estimasinya, BOPO akan menjadi variabel dependen. Sedangkan sebagai variabel independen adalah NIM, ROA, jumlah bank, loan to deposit ratio, total kredit, dan concentration ratio dari bank BUKU 4.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
60
4.1.4 Analisis penerapan branchless banking dalam meningkatkan jumlah Rekening 4.1.4.1 Probabilitas Peningkatan Kepemilikan Rekening Tabungan Untuk
menghitung
probabilitas
kepemilikan
rekening
tabungan
berdasarkan beberapa variabel digunakan model regresi logistik. Model ini menggunakan enam variabel prediktor sebagai indikator kepemilikan rekening. Hasil perhitungan dengan model regresi logistik ditunjukkan dalam Tabel 4.10 berikut ini. Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Model Regresi Logistik
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013
Semua prediktor yang dipergunakan, berpengaruh secara signifikan, ditunjukkan oleh nilai P>z yang kurang dari 5%. Peluang responden di desa untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden yang berada di kota, ditunjukkan dengan tanda negatif pada koefisien regresinya
(-.6327368).
Bagi
responden
yang
merasa
mudah
menjangkau lokasi bank, peluang untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden yang merasa sangat mudah menjangkau bank. Bagi responden yang merasa sulit menjangkau lokasi bank, peluang untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden yang merasa sangat mudah menjangkau bank. Peluang responden yang tidak memiliki usaha untuk memiliki rekening bank lebih kecil dibandingkan dengan responden yang memiliki usaha. Peluang responden yang berada di Jawa untuk memiliki rekening bank lebih besar dibandingkan dengan responden yang berada di luar Jawa. Peluang responden untuk memiliki rekening bank akan meningkat jika pengeluarannya semakin besar. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
61
4.1.4.2
Probabilitas Estimasi Peningkatan Rekening Tabungan Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona kejenuhan bank. Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013
Zona kejenuhan bank yang didasarkan pada studi Bank Indonesia sebelumnya, yang mengklasifikasi provinsi dalam wilayah underbanked,
low equilibrium banked, medium equilibrium banked dan over banked 35. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model regresi linier, ditunjukkan dalam Tabel 4.11. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, pengaruh penambahan jumlah jaringan layanan bank (traditional office dan agent banking) terhadap peningkatan jumlah rekening bank dihitung berdasarkan tingkat kejenuhan bank di setiap provinsi. Hasil estimasi penambahan rekening jika ada pertambahan jaringan layanan ditunjukkan dalam Tabel 4.12 Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia Bank, BI, 2013
35
Underbanked: Lampung, Jambi, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Maluku, Sumatera Barat. Low Eq. Bank: NAD, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kepulauan Bangka-Belitung, Bengkulu Medium Eq. Bank: Kalimantan Selatan, Kalumantan Tengah, Riau, Sumatera Utara, Papua Overbanked: seluruh Provinsi di Jawa, Bali, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
62
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model regresi linier menunjukkan bahwa penambahan jumlah rekening tabungan yang terbanyak akan terjadi di zona medium equilibrium bank, sedangkan yang terendah berada di zona low equilibrium bank. Hal ini juga mengindikasikan bahwa dari sisi economic of scale pertambahan jumlah jaringan bank selama ini sudah cukup rasional. Sebaliknya, jika ditinjau dari sisi peranan bank sebagai agent of development menunjukkan peranan bank dalam pengembangan jaringan layanan perlu lebih dioptimalkan.
BAB 5 Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
63
KONSEPSI KEBIJAKAN UNTUK MENDUKUNG EFEKTIFITAS KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN
BRANCHLESS BANKING
Sebelum dilakukan analisa kebijakan untuk mendukung kebijakan multilicense dan branchless
banking tersebut dan dengan didukung analisa perumusan masalah secara mendalam seperti yang telah disampaikan dalam Bab 4, dalam penulisan penelitian di Bab 5 ini akan dilakukan analisa SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity and Threat) tersebut dengan menggunakan hasil analisa yang diperoleh di Bab 4 tersebut dan terlebih dahulu menghubungkannya dengan perkembangan terakhir dari industri perbankan nasional dan regional yang dapat diperoleh datanya. Dengan melakukan analisa SWOT tersebut, penulisan makalah ini akan mencoba mengajukan beberapa alteranatif kebijakan yang dapat digunakan untuk menjawab perumusan masalah di Bab 1 Pendahuluan; yang selanjutnya dapat dipertimbangkan guna menjawab pertanyaan dalam penulisan makalah ini yaitu apakah kebijakan multilicense dan branchless banking akan memberikan dampak positive benefit (keuntungan) atau menimbulkan risiko (ancaman) terhadap industri perbankan nasional dan perekonomian Indonesia khsususnya.
5.1
Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN 5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan Regional Dari sisi asset, 5 bank terbesar di Indonesia (Mandiri, BRI, BCA, BNI, CIMB Niaga) masih unggul dibandingkan Filipina dan Vietnam, tetapi jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bank-bank terbesar dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal ini mengandung konsekuensi yang sangat mendalam terhadap peta kompetisi industri perbankan nasional terutama dengan rencana dibentuknya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) 36; dimana dengan MEA ini akan mengandung konsekuensi adanya QAB (Qualified Asean
Bank). Sampai dengan saat ini, apabila dikomparasi maka daya saing perbankan nasional masih rendah; hal ini dapat dipandang sebagai ancaman (threat) bagi perbankan nasional.
Bank-bank di Indonesia berada di “borderline” dibandingkan
dengan bank-bank di Singapura, Malaysia dan Thailand baik dilihat dari sisi modal, aset dan efisiensi (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2).
36
Pilar utama dan paling penting dari MEA ini adalah integrasi sektor perbankan. Untuk itu, pada tahun 2020 para
petinggi otoritas perbankan di ASEAN bersepakat bahwa semua negara ASEAN minimal memiliki 1 (satu) bank yang berkualitas pada tingkat ASEAN (Qualified ASEAN Banks-QAB). Dalam penetapan QAB tersebut, beberapa negara ASEAN mengusulkan bahwa pendekatan multilateral hanya dapat dilakukan dalam rangka penetapan kriteria QAB, sedangkan penetapan bank yang menjadi QAB dilakukan dengan pendekatan bilateral.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
64
Oleh karena itu, kesiapan perbankan Indonesia khususnya dari sisi permodalan, efisiensi dan daya saing perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh, di tengah kewajibannya untuk mematuhi aturan internasional dan tetap mempertahankan eksistensinya di pasar domestik. Persiapan sungguh-sungguh dari industri perbankan nasional dan BI sebagai otoritas pengawas dan pengaturan perbankan nasional 37 adalah mutlak untuk dilaksanakan guna memperkuat daya saing dan kemampuan perbankan nasional dalam memanfaatkan “new market” sebagai dampak terbentuknya MEA sebagai suatu
Oppurtunity (kesempatan). Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN
Sumber: diolah dari beberapa data, BI, 2013.
5.1.2 Modal Inti
Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN
Sumber: Bankscope, Bank Indonesia diolah (Desember 2011)
37
Kewenangan sebagai otoritas pengawas dan peraturan perbankan nasional akan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan di awal tahun 2014.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
65
Dibandingkan bank-bank dari negara ASEAN yang lain, modal inti 4 bank - tier 4 di Indonesia relatif kecil. Lebih dari separuh dari 12 Bank terbesar di ASEAN mempunyai modal inti di atas Rp50 Trilyun, bahkan 3 bank dari Singapura mempunyai modal inti lebih dari Rp150 trilyun. Sedangkan 4 bank terbesar di Indonesia modal intinya kurang dari Rp50 Trilyun. Keterbatasan (weakness) kapasitas modal (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2) yang dimiliki bank di Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi usaha dan efisiensi operasional; sehingga pada akhirnya akan mengurangi kemampuan bersaing industri perbankan nasional dengan QAB dari Negara-negara lain. Kelemahan (weakness) ini harus diatasi dan strategi kebijakan untuk meningkatkan kemampuan bersaing perbankan nasional melalui peningkatan modal inti dan melalui strategi peningkatan perluasan jaringan kantor; seperti di antaranya melalui kebijakan branchless banking dan multilicense tersebut. 5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan permodalan yang dimiliki oleh bank untuk untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kerugian dalam kegiatan operasional (perkreditan dan perdagangan surat- surat berharga). 38 Semakin tinggi nilai CAR, di atas nilai minimum, maka semakin besar kemampuan bank untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kerugian. Dari Gambar 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata CAR di tujuh negara tersebut berada di atas batas minimal ketentuan dalam BASEL II yakni 8%. Dari ketujuh negara tersebut dapat dilihat bahwa perbankan di India mempunyai CAR yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara itu CAR perbankan Indonesia masih berada di atas nilai minimum dan lebih tinggi dari Malaysia, Singapura, dan Hongkong. CAR dan modal inti industri perbankan nasional sendiri menunjukan trend yang meningkat sampai dengan kuartal 12013 (Gambar 5.4). Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya terdapat aspek kekuatan (strength) bagi perbankan nasional untuk menyalurkan kredit yang lebih besar dari pada tingkat kredit yang disalurkan saat ini, khususnya untuk melakukan penyaluran kredit UMKM yang relatif total nilai kredit per individu peminjamnya lebih kecil dan dapat mempunyai outreach (jangkauan) yang lebih luas terhadap kelompok masyarakat yang bergerak dalam sektor informal (UMK). 38
SE BI No 30/11/KEP/DIR, 30 April 1997
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
66
Untuk mempunyai kekuatan dengan jangkauan yang lebih luas tersebut adalah masih “sangat mungkin” dipertimbangkan guna diimplementasikan mengingat CAR yang masih tinggi dan ini sejalan dengan target dari bank sebagai
economic agent yang tentunya berusaha mendapatkan profit dan ROA yang lebih besar melalui penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya UMKM (NIM dan ROA perbankan nasional tampak masih sangat tinggi seperti terlihat pada Gambar 5.5). Kondisi ini dapat dipertimbangkan sebagai opportunity (kesempatan) bagi perbankan nasional.
Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013.
Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR dan Modal Industri Perbankan Nasional
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
67
Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
5.2
Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia 5.2.1. Biaya Operasional Pendapatan Operasional Bank Rasio Biaya Operasional – Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan rasio sederhana untuk melihat tingkat efisiensi operasional perbankan. Rasio ini membandingkan jumlah biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank dengan pendapatan operasional yang diterima oleh bank atau dengan kata lain melihat alokasi biaya terhadap pendapatan yang diterima. Semakin besar nilai rasio ini, maka bank tersebut dapat dikatakan semakin tidak efisien.
Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Dari Gambar 5.6 dan Gambar 5.7 menunjukkan perbankan Indonesia memiliki rasio BOPO yang relatif paling tinggi dibandingkan dengan beberapa negara yang lain. Hal ini Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 68
menunjukkan kelemahan (weakness) industri perbankan nasional;
kelemahan ini
dikarenakan kurang efisiennya bank dalam pengelolaan biaya operasionalnya. Jika melihat pada Gambar 5.7 di atas maka, perbankan di Singapura, Malaysia, dan Hongkong memiliki nilai BOPO yang relatif lebih rendah dikawasan. Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
5.2.2 Net Interest Margin (NIM) NIM merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola asset produktif untuk menghasilkan pendapatan bunga bunga bersih. Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan bahwa produktivitas asset untuk menghasilkan pendapatan bunga semakin tinggi sehingga kemungkinan kondisi bermasalah bank tersebut semakin kecil. 39 Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
*NIM untuk Singapura adalah NIM per Kuartal II Tahun 2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Pada Gambar 5.8 di atas, tampak bahwa nilai NIM Indonesia paling besar dibandingkan dengan beberapa negara lain. NIM yang tinggi ini dipicu oleh 39
SE BI No 6/23/DPNP
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
69
tingkat bunga pinjaman yang relatif tinggi dan spread antara pendapatan bunga dengan biaya bunga yang dibayarkan besar. Di satu sisi, hal ini menunjukan adanya Strength (kekuatan) bagi industri perbankan nasional; namun di sisi yang lain, hal ini juga menunjukan bahwa perbankan nasional menikmati profit yang lebih tinggi dan kurang memperhatikan bagaimana memberikan pelayanan keuangan kepada masyarakat yang lebih luas sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1 pada penelitian ini. Persepsi yang mengedepankan profit dengan kurang memperhatikan jumlah nasabah kecil tersebut dapat dipandang sebagai threat (ancaman) terhadap kelangsungan NIM tinggi itu sendiri karena ke depan dengan karaketristik perbankan yang cenderung memiliki DPK dengan jangka waku yang pendek (short
term liquidity) sehingga ke depan dapat diprediksikan untuk
mempertahankan NIM tinggi tersebut perbankan harusnya lebih menjangkau pembiayaan kepada UMKM. Dengan mengambil hasil analisa untuk menjawab perumusan masalah keempat dalam Bab 4, yang menunjukan terdapatnya probabilitas peningkatan yang signifikan dalam penambahan jumlah rekening dan penambahan DPK yang dapat dihimpun oleh industri perbankan nasional serta kesempatan yang besar dalam penyaluran kredit kepada sektor UMKM (hasil analisa masalah untuk perumusan masalah ketiga di Bab 4 Analisa) maka ke depan perbankan nasional dapat disarankan untuk mengunakan kebijakan branchless banking sebagai alternatif kegiatan perluasan kantor kepada sektor UMKM dan hal ini didukung pula dengan kebijakan multilicense yang memperbolehkan perluasan jaringan kantor dangan tidak memperhitungkan pendirian agent (branchless banking) tersebut dalam komponen kecukupan modal intinya. Hal ini merupakan
opportunity (kesempatan) bagi industri perbankan nasional. 5.2.3 Loan to Deposit Ratio
Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk menilai tingkat likuiditas suatu bank, dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan terhadap DPK yang dihimpun 40.
40
Semakin tinggi nilai LDR menunjukkan porsi penyaluran dana dari penghimpunan dana pihak ketiga adalah semakin besar.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
70
Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Berdasarkan Gambar 5.9 di atas, mayoritas negara memiliki rasio LDR yang seimbang berada pada kisaran 70% - 90%. LDR Thailand memiliki nilai yang terbesar dibandingkan dengan enam negara yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa porsi penyaluran dana masyarakat dengan menggunakan dana pihak ketiga yang dihimpun masih besar 41. Bank Indonesia berusaha mendorong pencapaian LDR ini dengan mengeluarkan peraturan GWM (Giro Wajib Minimum) – LDR 42 pada awal 2012. Hal ini diikuti pula dengan penerapan penyampaian informasi tentang seluruh komponen pembentukan biaya dalam suku bunga dasar kredit (SBDK) sehingga diharapkan dapat memberikan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah kepada masyrakat. Hal ini menunjukan perkembangan yang menggembirakan dimana SBDK dan Suku Bunga DPK Rupiah menunjukan perkembangan yang menurun sampai
dengan
kuartal
1-2013
(Gambar
5.10).
Selanjutnya
dengan
mengkombinasikannya dengan kebijakan branchless banking, perbankan nasional
diharapkan
dapat
memanfaatkan
kebijakan
tersebut
dengan
mempunyai jaringan yang lebih luas dalam menawarkan produk keuangan dengan harga yang lebih terjangkau kepada masyarakat (opportunity).
41
Nilai penyaluran dana melebihi nilai dana pihak ketiga yang dihimpun, sehingga kemungkinan bank menggunakan modal sendiri ataupun pinjaman untuk memberikan pinjaman semakin besar. 42 Peraturan GWM-LDR ini mempersyaratkan perbankan nasional untuk menyediakan GWM yang dipelihara di BI lebih besar apabila individu bank tersebut tidak dapat mencapai tingkat LDR yang dipersyaratkan. Di sisi yang lain, individu bank untuk meningkatkan CAR nya melalui peningkatan modal inti apabila LDR yang dicapai telah melebihi batas yang LDR yag dipersyaratkan.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
71
Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
5.3
Analisis SWOT dan Konsepsi Kebijakan dalam Melaksanakan Kebijakan Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy Dalam melakan analisa SWOT di Bab 5.3 ini, SWOT diolah dengan penekanan dari hasil analisa kualitatif dan kuantitatif yang telah dijelaskan di Bab 4 dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara jelas di Bab 1. Selanjutnya analisa, SWOT dapat disampaikan sebagai berikut: Strength
• • •
• • • •
Nilai-nilai lokal yang dipahami oleh bank-bank lokal dapat menjadi keuntungan dalam pengembangan kegiatan Branchless Banking. Kemampuan mengembangkan produk keuangan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di setiap daerah. Kemampuan membuat standar pelayanan nasabah yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan harian yang dilakukan masyarakat. Kemampuan melakukan mitigasi risiko kredit dan risiko operasional dengan memanfaatkan kelembagaan lokal yang ada di masyarakat. Kemampuan untuk bekerjasama dengan unit ekonomi lokal lebih tinggi. Telah mempunyai debitur UMKM Kebijakan BB ini akan mampu mengenalkan produk perbankan dengan relatif biaya yang rendah sebagai akibat adanya kebijakan SBDK.
Opportunity • • • • • • • • • • • •
Weakness •
Tingkat efisiensi usaha yang masih rendah menjadi hambatan dalam pengembangan usaha bagi perbankan nasional (comfort
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
Masih banyak pangsa pasar tersedia baik di nasional maupun regional (ASEAN). Kesempatan untuk memperluas pasar di tingkat ASEAN seiring dengan adanya ASEAN banking integration. Memperluas jaringan “keagenan” di seluruh pelosok tanah air. Kesempatan memperoleh sumber dana retail. Memperluas kredit UMKM khususnya kredit mikro. Memanfaatkan debitur UMKM yang ada menjadi calon agen. Menurunkan risiko likuiditas Diversifikasi kredit dan menurunkan risiko kredit Kesempatan menurunkan suku bunga kredit dengan peningkatan kompetisi. Saluran program bantuan pemerintah yang aman dan efisien Persaingan yang lebih sempurna. Kerjasama dengan LKM dan unit usaha lokal.
Threat •
ASEAN banking integration memudahkan bankbank asing (ASEAN) untuk masuk dan beroperasi di Indonesia
72
• • • • • • • • • •
zone) Masih tingginya biaya operasional Tingginya net interest margin (NIM) Tingginya suku bunga pinjaman khususnya kredit UMKM Masih kalahnya profesionalitas SDM perbankan nasional Kurangnya inovasi produk dan jasa Tidak adanya produk yang cocok untuk masyarakat kecil. Terlalu fokus pada nasabah besar Pelayanan yang rigid dan formalitas Kurangnya persaingan, pasar tidak sempurna khusunya sektor UMKM Kemampuan pengelolaan risiko dibidang mass market masih terbatas.
• • • • •
Berkembangnya shadow banking activity menawarkan kredit yang cocok Masuknya pemain asing non bank Salah strategy akan menjadi backfire karena keterbatasan kemampuan SDM dan salah penggunaan sistem informasi. Meningkatnya risiko operasional Meningkatnya risiko reputasi.
5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan Dengan membahas penguatan strategi SWOT di atas, dalam Sub Bab 5.3.1 ini, disampaikan pula penguatan strategi dalam sinergi kebijakan branchless banking dan multilicense guna meningkatkan tingkat akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang dapat diusulkan untuk masing-masing Aspek SWOT sebagai berikut: 1. Aspek Strength : yang harus dilakukan oleh perbankan nasional adalah melakukan standarisasi pelayanan yang didasarkan pada nilai-nilai lokal dari setiap kantor layanan (“agen”) sebagai “extended arms” (kepanjangan tangan) dari Bank. Strategi ini dapat meningkatkan daya saing sekaligus memitigasi risiko yang mungkin timbul baik dari technology risk maupun
operational risk. Hal ini dapat dilakukan oleh Bank Indonesia selaku regulator dengan mempersyaratkan peraturan atau kebijakan Branchless Banking yang mengedepankan peraturan yang detail dalam Standard Operating Procedure (SOP) untuk pengawasan dan pengaturan kegiatan agen. 2. Aspek Weaknesses: yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi operasional
seperti memanfaatkan dukungan teknologi. Hal ini
harus didukung dengan bisnis model yang tepat pula; serta ditunjang pula dengan peningkatan kemampuan risk management dibidang mass market. Dengan menyadari bahwa saat ini kegiatan Branchless Banking ini masih dalam proses uji coba (pilot project), hal ini harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh BI melalaui kebijakan dengan memberikan bentuk
business model yang paling cocok untuk kegiatan BB guna mendorong peningkatan akses keuangan masyarkat khususnya di pedesaan lebih cepat. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
73
3. Aspek Opportunity: yang perlu dilakukan adalah melakukan penetrasi pasar domestik yang masih sangat luas dengan meningkatkan kemampuan teknologi dan SDM serta memanfaatkan unit-unit usaha lokal sebagai agen. Proses Pilot Project BB yang sedang dilakukan oleh BI dengan melibatkan 5 (lima) bank yang telah disebutkan di atas harus dapat dilakukan secara mendalam dan lebih detail dalam waktu yang lebih cepat, mengingat besarnya pangsa pasar dan tingginya animo masyarakat berdasarkan temuan pilot project. Peraturan BB selanjutnya harus segera dikeluarkan mengingat MEA yang akan segera dilaksanaka di 2015. 4. Aspek Threat: yang harus dilakukan pertama kali adalah menjadi yang pertama, terjun terlebih dahulu mengembangkan branchless banking sehingga mampu menjadi technical barrier bagi bank-bank asing dari ASEAN (adanya MEA di 2015). Hal ini terutama harus didukung dengan kebijakan dan kegiatan peningkatan edukasi keuangan, pedlindungan nasabah (consumer protection) dan marketing campaign yang cocok degan melibatkan seluruh stakeholder (perbankan, masyarakat, regulator dan kementerian terkait).
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
74
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari uraian dari bab-bab diatas terkait permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan multilicense dan pembukaan jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas
layanan keuangan perbankan.
Kebijakan multilicense;
dan pengaturan
pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan didaerah yang masih minim layanan perbankan. Hal ini tampak jelas dan didukung dengan hasil analisa kuantitatif di Bab 4 untuk menjawab rumusan permasalahan pertama. Sehingga dapat disimpukan bahwa kebijakan multilicense dan branchless banking adalah merupakan keuntungan bagi perbankan dan perekonomian nasional. 2. Kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model regresi linier menunjukkan bahwa penambahan jumlah rekening tabungan yang terbanyak akan terjadi di zona medium equilibrium bank, sedangkan yang terendah berada di zona low equilibrium bank. Kesimpulan ini dapat dipandang sebagai kesimpulan yang sangat strategis dan hal ini didukung dengan hasil penelitian kuantitatif untuk menjawab rumusan permasalahan kedua dan ketiga di Bab 4 serta analisa kualitatif di Bab 5 sebelumnya. 3. Kebijakan multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM yang mempunyai potensi yang masih sangat luas (analisa untuk menjawab rumusan permalahan ketiga di Bab 4). Melalui kebijakan multilicense bank mendapatkan insentif untuk masuk ke daerahdaerah yang tingkat persaingannya masih rendah. Sedangkan dari sisi kebijakan branchless
banking, bank-bank akan dapat mendapatkan alternatif perluasan jaringan dan produk layanan (peningkatan jumlah rekening tabungan 43) melalui pemanfaatan teknologi mobile atau keagenan dengan biaya yang lebih efisien. 4. Kebijakan multilicense yang mewajibkan bahwa bank wajib menyalurkan 20% dari total kreditnya untuk UMKM dan branchless banking yang akan meningkatkan outreach perbankan kepada masyarakat underbanked dan unbanked diharapkan akan dapat
43
Hal ini didukung dengan analisa kuantitaif untuk menjawab rumusan permasalahan keempat yang telah disampaikan di Bab 4 sebelumnya.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
75
meningkatkan pembiayaan ke sektor UMKM. Namun akan muncul pula downside effect (ancaman) dalam bentuk potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Dengan asumsi bahwa nilai potensi pembiayaan UMKM konstan, dapat disimpulkan bahwa sebelum threshold terlampaui (analisa kuantitatif pemetaan dan potensi pembiayaan umkm di Bab 4 serta analisa kualitatif di Bab 5 sebelumnya) maka semua lembaga keuangan akan berusaha memanfaatkan potensi kredit UMKM yang tersedia. 5. Penurunan risiko kredit karena diversifikasi kredit melalui kredit UMKM. Hal ini dikarenakan ada learning curve yang harus dilalui oleh bank-bank yang baru pertama kali masuk melayani segmen UMKM. Pada tahap awal ini juga besar kemungkinan terjadinya praktek kredit tambal sulam pada UMKM dengan semakin banyaknya bank yang menawarkan kredit UMKM. Bank-bank yang baru melayani UMKM akan cenderung mengambil alih nasabah UMKM yang selama ini telah dilayani bank lain dibandingkan harus mencari nasabah UMKM yang benar-benar baru. Hal ini didukung dengan analisa kuantitatif tentang analisa potensi pembiayaan kredit UMKM di Bab 4). 6. Bank memperoleh sumber dana retail baru dan peningkatan pendapatan dengan nasabah dan debitur yang lebih luas. Kegiatan Branchless Banking dan Multilicense policy ini dapat dipandang sebagai “break through policy” dalam memanfaatkan kesempatan ini (analisa kuantitatif untuk rumusan permasalahan kedua dan ketiga di Bab 4 serta analisa kualitatif di Bab 5). 6.2 Saran Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, dapat disarankan untuk menerbitkan: 1. Peraturan-peraturan terkait dengan kebijakan multilicense dan branchless banking sebagai berikut: i.
Untuk menjawab kesimpulan 4 dan Rumusan Permasalahan dan hasil analisa 1 dan 4 di atas, perlu dibuat peraturan yang dapat “memitigasi atau mencegah risiko” dari “runtuhnya” lembaga-lembaga keuangan mikro (BPR, Koperasi, Lembaga Kredit Pedesaan dan lainnya serta BUKU 1) sebagai akibat kegiatan branchless banking (Bersifat: Mendesak dan harus diterbitkan dalam jangka pendek atau kurang dari 6 Bulan). Untuk mendorong BPR dan LKM terlibat dalam branchless banking, perlu dilakukan pembatasan kegiatan branchless banking, yaitu hanya diperbolehkan melakukan kegiatan dari sisi pengumpulan dana dan bukan dari sisi penyaluran kredit terlebih dahulu dalam jangka waktu 1 tahun pertama; Dalam kurun waktu 1 tahun tersebut, adalah suatu keharusan untuk regulator dan otoritas pengawas (BI s.d. akhir 2013 dan OJK mulai awal 2014) untuk memfasilitasi
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
76
pembentukan APEX Bank (Bank Umum dengan BPR dan lembaga keuangan mikro),
Linkage Program dan mendorong lembaga keuangan mikro sebagai agent bank. ii. Dalam menjawab permasalahan dan hasil analisa 1, dan 2 dan 4 serta merespon kesimpulan 1, 2, 3, 6 dan 7, untuk mendukung pencapaian penyaluran kredit kepada sektor mikro khususnya, maka dapat diusulkan untuk mengeluarkan peraturan pemberian “short term dan uncollaterised” loan (kredit harian, mingguan dan bulanan) setelah kurun waktu 1 tahun tersebut di atas dalam kegiatan branchless banking. Hal ini sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha mikro. (Bersifat: Moderat dan dapat diterbitkan dlm jangka waktu menengah: 1 s.d 3 thn). iii. Sementara untuk menanggapi rumusan permasalahan dan hasil analisa ke 3 dan kesimpulan ke 6, perlu segera diterbitkan pengaturan tentang keharusan kepada Bank untuk selalu melengkapi pemberian kredit UMKM dengan asuransi; khususnya mikro asuransi untuk pemberian kredit mikro. (Bersifat: Moderat dan dapat diterbitkan dlm jangka waktu menengah: 1 sd 3 thn). iv. Sebagai saran untuk hasil perumusan dan analisa ke 4 serta hasil kesimpulan ke 5, maka perlu dipertimbangkan untuk segera melaksanakan pilot project Financial Identity
Number (FIN) dalam rangka mengurangi assymetric information dan meningkatkan eligibilitas dari unbanked people kepada institusi perbankan. (Bersifat: Mendesak dan harus
diterbitkan dalam
jangka
pendek
atau kurang dari 6 bulan).
Perlu
dipertimbangkan kebijakan yang mempermudah proses merger dan akusisi oleh bank kelompok besar terhadap bank lain dalam kelompok yang lebih kecil sebagai konsekuensi kemungkinan . Dalam hal ini perlu juga dilakukan proses monitoring yang lebih dalam mengenai dampak branchless banking terhadap bank-bank kecil. v. Perlu diatur secara detail, mengenai edukasi dan perlindungan konsumen untuk terjaganya hak konsumen dalam melakukan kegiatan transaksi keuangan terbatas yang terkait dengan hak-hak konsumen dan kemungkinan terjadinya misconduct sebagai akibat teknologi yang digunakan oleh bank yang bersangkutan tidak atau kurang memenuhi persyaratan khususnya untuk masyarakat yang berada di sektor “informal dan pedesaan”. 1. Diusulkan untuk melakukan standarisasi yang mendasarkan pada nilai-nilai lokal dari setiap kantor layanan (agen) untuk kegiatan branchless banking (mendesak, jangkap pendek). 2. Diusulkan untuk melakukan sinergi antara Bank dengan BPR serta lembaga keuangan mikro lainnya misal menjadi agen dari Bank dalam kegiatan “Linkage” antara Bank, BPR dan lembaga keuangan mikro. (Moderate, Jangka Menengah, 1 s.d 3 tahun).
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
77
3. Disarankan untuk melakukan kegiatan kegiatan branchless banking secara bertahap, dimulai dengan menabung untuk kemudian dilanjutkan dengan pemberian kredit. (Jangka Panjang, 1 s.d 5 tahun). 4. Untuk meningkatkan efisiensi operasional dari proses pelayanan branchless banking khususnya untuk pelayanan simpanan maupun kredit perlu didukung dengan pemanfaatan teknologi sepenuhnya (Jangka Menengah, 1 s.d 3 tahun). 5. Peningkatan edukasi dan perlindungan konsumen untuk terjaganya hak konsumen masyarakat kecil (Jangka Panjang, ongoing, sustained and komprehensif). 6. Perlu diterbitkan kebijakan yang mempermudah proses merger dan akusisi oleh bank kelompok besar terhadap bank lain dalam kelompok yang lebih kecil (Pendek, saat ini s.d. 1 tahun). Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa branchless banking dan multilicense terbukti akan memberikan dampak positive atau keuntungan dari pada dipandang sebagai ancaman (down side effect) terhadap perbankan nasional dan perekonomian Indonesia. Selanjutnya, untuk mendukung dampak positif dari sinergi kebijakan branchless banking dengan
multilicense (perijinan berjenjang), masih sangat perlu dilakukan penelitian lanjutan yang melihat lebih jauh kemampuan Bank Kelompok 1 (BUKU 1), BPR, Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro lainnya dalam “berkompetisi” memberikan layanan keuangan sebagai akibat meningkatnya outreach Bank yang berada di kelompok besar (BUKU 2 s.d 4) dalam kegiatan
branchless banking tersebut.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
78
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Branchless Banking and Consumer Protection in Brazil. Washington: CGAP Aydin, B. 2008. Banking Structure and Credit Growth in Central and Eastern European Countries. IMF Working Papers, No.08/215. Bank Indonesia.2013. Presentasi Financial Inclusion. Jakarta. Bank Indonesia,Statistik Perbankan. berbagai tahun Bank of Pakistan. 2008. Branchless Banking Regulations: for Financial Institutions Desirous to undertake Branchless Banking. Islamabad, Pakistan: Bank of Pakistan. Bankable Frontier Associates. 2009. The Mzansi Bank Account Initiative in South Africa. Final Report. Bankable Frontier Associates. Bankable Frontier Associates. 2010. Consumer Experiences in Branchless Banking. Final Report. Bankable Frontier Associates. Basel Committee on Banking Supervision. 2005. Outsourcing in Financial Services. The Joint Forum. Switzerland: Bank for international Settlement. Bikker, JA., dan Haixia Hu. 2001. Cyclical patterns in profits provisioning and lending of banks and procyclicality of the new basel capital requirements. Research Series Supervision (discontinued), No.39. Netherlands Central Bank, Directorate Supervision. Boyd, C., Jacob, K. 2007. Mobile Financial Services and the Underbanked: Opportunies and challenges for M-Banking and M-Payment. Chicago: The Center of Financial Services Innovation. Chatain, PL., Harnandes-Coss, R., Borowlk, K., Zerzan, A., 2008. Integrity in Mobile phone
Financial Services : Measure for Mitigating Risk from Money Laundering and Terorist Financing. Washington: The World Bank.
Cohen, M., Hopkins, D., & Lee, J. 2008. Financial Education: A Bridge between Branchless Banking and Low-Income Clients. Working Paper No. 4. Washington: Microfinance Opportunities
Consultative Group To Assist The Poor. 2008. Notes on Regulation Of Branchless Banking in South Africa. Washington, D.C.: CGAP. Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Notes On Regulation Of Branchless Banking In India. Washington, D.C.: CGAP. Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Notes on Regulation Of Branchless Banking In Brazil. Washington, D.C.: CGAP. Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Technology program: Philippina. Country Note. Washington, D.C.: CGAP
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
79
Consultative Group to Assist The Poor. 2009. Notes on Regulation Of Branchless Banking in Brazil. Washington, D.C.: CGAP. Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Technology program: Mexico. Country Note. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Technology program: Brazil. Country Note. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group To Assist The Poor. 2010. Update On Regulation Of Branchless Banking In South Africa. Washington, D.C.: CGAP. Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Financial Access 2010: The State of Financial Inclusion Through the Crisis. Washington, D.C.: CGAP. Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Financial Access 2010: The State of Financial Inclusion Through the Crisis. Powerpoint Presentation. Washington, D.C.: CGAP. Dass, R., Pal, Sujoy. 2011. Adoption of Mobile Financial Services among Rural Under-Banked. India: India Institute of Management. Dias, D. & McKee, K. 2010. Protecting Branchless Banking Consumers: Policy Objectives and Regulatory Options. Washington: CGAP Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 2011. Penerapan Branchless Banking di Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia. Dittus, P and Michael, K. 2011. On Harnessing the Potential of Financial Inclusion. BIS Working Paper No:347. Switzerland: Bank for international Settlement. Ehrhardt C., dan Brigham F. 2005. Financial Management Theory and Practice, 11ed. USA: Thomson corporation. Faz, X., & Moser, T. 2013. Advancing Financial Inclusion through Use of Market Archetypes. Washington: CGAP Flaming, M., Prochaska, K., & Staschen, S. 2009. Diagnostic Report on the Legal and Regulatory Environment for Branchless Banking in Indonesia. Washington: CGAP Gitman, L J. 2009. Principles of Managerial Finance, 12ed. The Addison Wesley Publishing. Grigorian, DA., dan Vlad M. 2005. A Cross-Country Non-Parametric Analysis of Bahrain's Banking Sector. IMF Working Papers, No.05/117. Washington: IMF. Hagerty, J. 2009. Fannie and Freddie to Aid Mortgages Banks. The Wall Stresst Journal, 8 Oktober 2009. Hamilton, JD. 1989. A New Approach to the Economic Analysis of Nonstationary Time Series and the Business Cycle. Econometrica 57: 357-384. Hamilton, JD. 1994. Time Series Analysis. New Jersey: Princeton University Press. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
80
Hannig. A. 2009. Financial Inclusion Policies: An Overview of the Issues presented on seminar Alliance or Financial Inclusion. Tokyo. 31 March 2009 Hannig. A. 2009. The Financial Crisis-Opportunity for Financial Inclusion presents on Bank Indonesia 7th Annual International Seminar. Alliance for financial inclusion. 14 June 2009. Nusa Dua – Bali. Indonesia Honohan. P. 2004. Measuring Microfinance Access: Building on Existing Cross-Country Data. IFC. 2010. Mobile Banking in Indonesia: Assessing the Market Potential for Mobile Technology to Extend Banking to the Unbanked and Underbanked. Jakarta: IFC. Ivatory, G dan Mas, I. 2008. The Early Experience with Branchless Banking. Focus Note 46. Washington: CGAP. Kantor Wakil Presiden Indonesia, 2012. Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Jakarta. Kartasasmita, G. 1996. Teori Pembangunan. Jakarta Kendall, J, Mylenko, N, and Ponce A. 2010. Measuring Financial Access around the World. Policy Research Working Paper No: 5253. Washington: World Bank. Klein,, M and Colin M. 2011. Mobile Banking and Financial Inclusion: The Regulatory Lessons. Germany: Frankfrut School of Finance and Management. Konch, TW., dan Donald, SSM. 2000. Bank Management, edisi ke-empat. Orlando: The Dryden Press. Lauer, K., Dias, D., and Tarazi, M. 2011. Bank Agents: Risk Management, Mitigation, and Supervision. Washington: CGAP Levine, R. 1997. Napoleon, Bourses, and Growth in Latin America. Amerika : Research Department Publications. Lozano, DMA., Mandrile, M.2009. A New Agent Model for Branchless Banking in Colombia. Roma: IDLO. Lyman, TR., Ivatury, G., Staschen, S. 2006. Use of Agents in Branchless Banking for the Poor: Rewards, Risks, and Regulation. Washington : CGAP. Lyman, TR., Pickens, M., Porteus, D. 2008. Regulating Transformational Brancheless Banking: Mobile Phones and Other Technology to Increase Access to Finance. Washington: CGAP. Makin, P. 2009. Regulatory Issues around Mobile Banking. Consult Hyperion. OECD. Mas, I. 2009. The Economic of Branchless Banking. Majalah Innovations Volume 4 Issue 2. Mas, I., and Siedek, H. 2008. Banking through Networks of Retail Agents. Washington: CGAP McKinnon, R. 1973. Money and Capital in Economic Development. Washington: Brookings Institution MicroSave. 2011. Optimising Performance And Efficiency Series. E/M Banking Vol.III. Mahanagar,India. Microsave. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
81
Mohanty, Madhusudan dan Philip Turner. 2010. Banks and financial intermediation in emerging Asia: reforms and new risks. BIS Working Papers, No.313 Samy, BN dan Kandil, M. 2009. The impact of capital requirements on banks' cost of intermediation and performance: The case of Egypt. Journal of Economics and Business, vol.61(1), hal 70-89. Washington: Elsevier. Pramono, B, Yanuarti T, Purusitawati,PD , Tyas, Y, Emmy D.K.2006. Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia Santoso, B. 2008. Apakah Krisis Rupiah Dapat Diprediksi? Aplikasi Model Markov Switching. Dalam Abimanyu, Anggito dan M.H Imansyah (Ed.). Sistem Pendeteksian Dini Krisis Keuangan di Indonesia: Penerapan Berbagai Model Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Saunders, A dan Garnett, MM. 2008. Financial Institutions Management : A Risk Management Approach,edisi ke-enam. Mc Graw-Hill International Edition. New York: Mc Graw-Hill. Saxena, Amitabh. 2009. Accelerating Financial Inclusion through Innovative Channels-10 Obstacles for MFIs Launching Alternative Channels and What Can Be Done About Them. Boston: ACCION International SEKDA, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik (BPS). 2011 Subramanian, L, Dennis S, and Ashlesh S. 2009. Secure Branchless Banking. Montana: NSDR. Surat Edaran (SE) BI No 30/11/KEP/DIR Surat Edaran (SE) BI No 6/23/DPNP Triandari, SS dan Santoso, ATB. 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta :Salemba Empat Tarazi, M., Breloff, P. 2009. Scenarios for Branchless Banking in 2020. Washington: CGAP. Tarazi, M., Breloff, P. 2010. Nonbank E-Money Issuers: Regulatory Approaches to Protecting Customer Funds. Washington: CGAP. Tarazi, Michael and Paul Breloff. 2011. Regulating Banking Agents. Focus Note 68. Washington, D.C.: CGAP. Undang-undang (UU) No.10 Tahun 1998 Undang-undang (UU) No.12 Tahun 2011 Undang-undang (UU) No.20 Tahun 2008 Undang-undang (UU) No.23 Tahun 1999 Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1992 Wezel, T. 2010. Bank Efficiency Amid Foreign Entry: Evidence from the Central American Region. IMF Working Papers,No.10/95. Washington: IMF.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
82
Wanggai, VV. 2012. Meneguhkan Arah Pembangunan yang Berkeadilan. Jakarta: Kabinet Republik Indonesia.
Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853
83
LAMPIRAN 1 Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan Kebijakan Multilicense
Terkait dengan pembukaan jaringan kantor bank dalam kebijakan multilicense (perijinan berjenjang), terdapat beberapa prinsip yang dijadikan dasar kebijakan perijinan kantor, yaitu: Mendukung peningkatan ketahanan bank;
Meningkatkan daya saing dan efisiensi;
Meningkatkan fungsi intermediasi; dan Mendukung penerapan tata kelola yang baik Kebijakan multilicense menentukan kriteria dalam pembukaan jaringan kantor bank. Kriteria yang ditetapkan harus tetap merujuk pada keempat prinsip di atas. Empat aspek kriteria pembukaan jaringan kantor bank yaitu: 1. Tingkat Kesehatan Bank (TKS) TKS bank didasarkan pada penilaian Bank Indonesia (BI) dalam tiga periode terakhir. Dalam hal ini, hanya bank dengan peringkat komposit (PK) minimal 3 yang dapat mengajukan permohonan pembukaan jaringan kantor bank. 2. Alokasi modal inti berdasarkan theoretical capital Alokasi modal inti dihitung dari alokasi modal inti dasar (base theoretical capital) dan koefisien zona jaringan kantor bank. Dalam hal ini, terdapat dua ketentuan pengalokasian berdasarkan jenis bank, yaitu: a. Bank yang tergolong pada Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan 2 Alokasi modal inti dasar yang ditetapkan adalah Rp8 miliar (kantor cabang), Rp4 miliar (kantor cabang pembantu), Rp2,5 miliar (KCP mini), dan Rp1 miliar (kantor kas). b. Bank yang tergolong pada BUKU 3 dan 4 Alokasi modal inti dasar yang ditetapkan adalah Rp10 miliar (kantor cabang), Rp5 miliar (kantor cabang pembantu), Rp3,5 miliar (KCP mini), dan Rp2 miliar (kantor kas). 3. Pangsa kredit UMKM Pangsa kredit UMKM dijadikan sebagai variabel insentif dalam membuka jaringan kantor. Sebagai acuan, BI menetapkan threshold pangsa kredit UMKM sebesar 20 persen. Dalam hal ini, terdapat dua alternatif pembukaan kantor cabang berdasarkan threshold tersebut, yaitu: 85 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
a. Jika pangsa kredit UMKM mencapai 20 persen dan eligibel untuk dapat membuka kantor baru, maka bank akan diberikan insentif berupa penambahan jumlah kantor yang bisa dibuka sebesar 20 persen dari jumlah yang semula disetujui, maksimum sebesar rencana pembukaan kantor dalam Rencana Bisnis Bank (RBB). b. Jika pangsa kredit UMKM mencapai 20 persen, namun tidak eligibil untuk membuka kantor baru, maka bank diharuskan mengalokasikan sebagian atau seluruh laba bersihnya sebagai eligibilitas khusus untuk pembukaan jaringan kantor baru 44. 4. Pendekatan pengawasan (supervisory approach/SA) Dalam hal ini, BI menggunakan indikator efisiensi dan pemanfaatan laba bersih yang didasarkan hasil evaluasi RBB bank. Indikator efisiensi digunakan untuk menentukan jumlah kantor cabang yang dapat dibuka berdasarkan yang telah diajukan pada RBB. Dalam hal ini, BI akan menggunakan rasio kinerja Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Net
Interest Margin (NIM). Semakin rendah rasio BOPO dan NIM, maka bank akan diberikan insentif dalam pembukaan kantor cabang. Sebaliknya, semakin tinggi rasio BOPO dan NIM, maka jumlah kantor cabang yang dapat dibuka bank akan dibatasi. Setiap BUKU memiliki nilai threshold BOPO yang berbeda-beda. Walaupun demikian, ketentuan yang diberlakukan tetap mengikuti pola yang sama. Grafik 1.1 menjelaskan pola tersebut. Grafik 1.1 Proporsi Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan NIM dan BOPO NIM
Dilarang Membuka Jaringan Kantor 6% Area 2 (50%)
Area 3 (25%)
Area 1 (100%)
Area 2 (50%)
5%
TB1
TB2
BOPO
44
Dalam hal bank menggunakan eligibilitas khusus untuk membuka jaringan kantor baru, alokasi modal inti dasar yang digunakan adalah 120% dari alokasi modal inti dasar yang ditetapkan untuk eligibilitas positif.
86
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Pada Grafik 1.1, threshold NIM untuk setiap BUKU ditetapkan sama untuk setiap BUKU, yaitu 5 person dan 6 person. Keempat threshold yang ada kemudian membentuk 4 jenis area yang mengindikasikan jumlah jaringan kantor yang dimungkinkan untuk dibuka. Area dengan nilai persentase, merupakan area dimana bank dapat membuka kantor cabang sebanyak persentase tersebut terhadap RBB. Persentase tertinggi adalah 100 persen (Area 1), dimana bank dapat membuka kantor cabang sebanyak yang telah diajukan dalam RBB. Adapun threshold BOPO untuk masing-masing BUKU dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1
Threshold BOPO untuk Setiap BUKU BUKU
BUKU
BUKU
BUKU
1
2
3
4
TB 1
80%
77,5%
75%
70%
TB 2
85%
82,5%
80%
75%
Threshold
Pembagian Provinsi berdasarkan Kepadatan Bank Hasil analisis tingkat kepadatan bank dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun zona bank di daerah. Hasil analisis tingkat kepadatan bank yang telah dilakukan menempatkan setiap provinsi pada 6 kategori zona dengan derajat yang berbeda berdasarkan tingkat kepadatan setiap provinsi. Scoring atas kepadatan setiap provinsi bisa dijadikan dalam dalam menetapkan koefisien (Q). Jumlah modal dan tingkat efisiensi yang memadai bagi bank yang berekspansi jaringan akan mendorong perekonomian nasional. Wilayah ekspansi perbankan dibagi dalam enam zona. Zona 1-3 untuk menandakan wilayah padat, artinya kepadatan bank sudah cukup tinggi. Zona 4-6 untuk wilayah yang longgar, artinya bank yang ada di wilayah tersebut belum cukup banyak. Setiap zona menghasilkan koefisien dan diperhitungkan dalam estimasi untuk eligibilitas ekspansi. Variabel yang digunakan dalam penentuan koefisien zona ini antara lain pertumbuhan ekonomi, jumlah bank, intermediasi perbankan, dan dana bank yang beredar di zona tersebut. Semakin padat suatu zona, maka koefisiennya akan semakin besar. Tabel 1.2 dan Grafik 1.2 menunjukkan seluruh zona untuk perbankan Indonesia berikut dengan koefisien untuk masingmasing zona 87 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Tabel 1.2 Zona Bank dan Koefisien Zona
Koefisien
ZONA 1 Jakarta
5
Zona
Koefisien
Zona
Koefisien
Zona
ZONA 3
ZONA 5
ZONA 6
Kaltim
Aceh
Papua
ZONA 2
Kepri
Bali
3
Barat Sultra
Sulbar
Sumut
Kalbar
NTB
Yogyakarta
ZONA 4
Babel
Malut
Jateng
Papua
Bengkulu
Sulut
Lampung
Banten
4
Koefisien
1
NTT
0,5
Gorontal o
Jabar
Riau
Jatim
Kalten
2
Jambi
Sulteng
Sumbar
Maluku
g Kalsel Sulsel Sumsel
Grafik 1.2 Peta Persaingan Usaha Perbankan Indonesia
88 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Estimasi Theoretical Capital untuk Penambahan Kantor Cabang Perhitungan Theoretical Capital (TC) digunakan untuk melakukan analisis eligibilitas pembukaan kantor cabang di daerah. Dalam pendekatan TC, setiap kegiatan usaha dan produk dikaitkan dengan kapasitas modal. Berdasarkan perhitungan TC, maka bank yang ingin memperluas jaringan kantor harus mempertimbangkan modal inti yang dimiliki. Semakin besar modal inti yang dimiliki oleh suatu bank, maka kemampuan untuk memperluas jaringan kantor juga semakin besar. Kenaikan yang didasarkan atas pendekatan ini diharapkan akan mendorong efisiensi perbankan yang pada akhirnya akan mendorong daya saing dan tata struktur perbankan yang semakin besar dan kegiatan dan produk bank semakin banyak dan luas. Selain itu, modal bank juga digunakan untuk absorbsi resiko. Pada saat bank membuka jaringan kantor, maka bank wajib menyediakan alokasi modal yang jumlahnya ditetapkan menurut lokasi jaringan kantor. Penetapan alokasi modal untuk suatu jaringan kantor ditentukan berdasarkan tingkat persaingan usaha wilayah (zona) menurut analisis Bank Indonesia. Besarnya TC merupakan perkalian antara rata-rata nasional biaya pembukaan jaringan kantor dengan koefisien zona tertentu, atau dapat diformulasikan sebagai berikut:
TC p = B × Q p Dimana:
TC p B Qp
: Theoretical Capital di suatu provinsi : rata-rata biaya pembukaan kantor cabang secara nasional : Koefisien di suatu provinsi
89 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Hasil indikatif rata-rata biaya pembukaan jaringan kantor di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan NTB, Sulawesi, Maluku, dan Papua dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Indikatif Rata-rata Nasional Biaya Pembukaan Kantor Bank Rata-rata Biaya Pembukaan
Jenis Kantor Bank
(Rp Miliar)
Kantor Cabang
21,81
Kantor Cabang Pembantu
10,21
Kantor Kas
3,31
Berdasarkan rata-rata biaya indikatif pembukaan kantor cabang, maka modal yang diperlukan untuk membuka kantor akan dapat diketahui, dengan memperhitungkan koefisien (q) sebagai faktor pengali. Simulasi atas perhitungan Theoritical Capital pada beberapa wilayah dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Simulasi Perhitungan Theoretical Capital Pembukaan Kantor Cabang Zona
Provinsi
Theoretical Capital
Rata-rata Nasional Biaya Pembukaan Kantor (Rp Miliar)
Koefisien
(B)
(Q)
(TC)
(Rp Miliar)
1
DKI Jakarta
21,8
5
109
2
Jawa Tengah
21,8
4
87.2
3
Kepulauan Riau
21,8
3
65.4
4
Kalimantan Tengah
21,8
2
43.6
5
Aceh
21,8
1
21.8
6
Nusa Barat
21,8
0,5
10.9
Tenggara
Contoh analisis eligibilitas pembukaan kantor cabang adalah sebagai berikut: Modal inti Bank A (BUKU 1) Rp800 miliar, dengan PK TKS 2 Bank A saat ini memiliki: a.
13 kantor cabang (KC), yaitu 8 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah 90
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
b.
10 kantor cabang pembantu (KCP), yaitu 5 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah
c.
10 kantor kas (KK), yaitu 4 di DKI Jakarta dan 6 di Jawa Tengah
Apabila Bank A berencana membuka 1 KC lagi di Jawa Tengah, maka eligibilitasnya adalah: Jenis Kantor KC
KCP
KK
Provinsi
Rata-rata Biaya
1
DKI Jakarta
8
5
8
320
2
Jawa Tengah
8
4
5
160
1
DKI Jakarta
4
5
5
100
2
Jawa Tengah
4
4
5
80
1
DKI Jakarta
1
5
4
20
2
Jawa Tengah
1
4
6
24
Zona
Koefisien
Kantor Eksisting
Total Alokasi Modal Inti untuk jaringan kantor eksisting
Total TC
704
Alokasi modal yg dibutuhkan untuk buka 1 KC di Jateng = 1x8x4 = 32m Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulan bahwa modal inti Bank A mencukupi untuk alokasi modal kantor-kantor eksisting (modal inti (Rp800 miliar > modal inti untuk jaringan kantor eksisting (704 miliar)). Bank A masih memiliki sisa modal inti sebesar Rp96 miliar. Secara kuantitatif, Bank A dapat membuka kantor baru. Untuk membuka 1 KC di Jawa Tengah, Bank A memerlukan alokasi modal inti sebesar Rp32 miliar. Secara kuantitatif, Bank A dapat membuka kantor baru di Jawa Tengah (Rp32 miliar < Rp96 miliar). Bank A masih akan memiliki sisa alokasi modal inti sebesar Rp64 miliar. Berdasarkan analisis TC tersebut, maka alokasi modal untuk pembukaan jaringan kantor tidak boleh menyebabkan modal inti bank menjadi di bawah ketentuan yang berlaku. Apabila setelah dikurangi dengan alokasi modal untuk pendirian jaringan kantor bank, modal berkurang dari
ketentuan yang berlaku,
inti bank
permohonan tidak akan diproses kecuali bank
menambah modal sehingga modal inti bank memenuhi ketentuan yg berlaku. Selain itu, untuk menghindari pembukaan kantor bank hanya di daerah overbanked, maka perlu dirancang sebuah aturan untuk dapat memeratakan kantor bank di seluruh wilayah. Sebagai contoh, pembukaan 1 kantor cabang pada BUKU 3 dan BUKU 4 di zona tinggi (overbanked) wajib diikuti dengan pembukaan 2 kantor cabang di zona rendah (underbanked). Kebijakan ini disebut 91 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
juga dengan pola public service obligation (PSO). Pola PSO sangat sesuai untuk diterapkan karena pola ini terkait dengan fungsi bank sebagai agent of development. Berdasarkan berbagai kriteria tersebut, maka kondisi bank yang dapat melakukan perluasan jaringan kantor adalah bank yang dapat memenuhi keempat kriteria seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.5. Tabel 1.5. Indikator untuk Bank yang Akan Melakukan Perluasan Kantor Cabang TKS
TC
Efisiensi
Laba Bersih
UMKM
Min PK 3
Memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (+)
SA
SA
≥ 20%
1. Bank dapat membuka jarkan. 2. Mendapat insentif membuka jarkan sebesar 20% karena bank menyalurkan UMKM 3. Maksimal jumlah kantor sebesar rencana buka jarkan dalam RBB yg disetujui BI
Min PK 3
Memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (+)
SA
SA
< 20%
Bank dapat membuka jarkan namun tidak mendapat insentif perluasan jarkan
Min PK 3
Tidak memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (-)
SA
SA
≥ 20%
1. Bank dapat membuka jarkan apabila bersedia mengalokasikan sebagian laba bersih sebagai TC kantor baru dan sebagian lainnya untuk menutup TC negatif 2. TC dihitung sebesar 120% dari TC normal (penalty 20%)
Min PK 3
Tidak memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (-)
SA
SA
< 20%
Bank tidak dapat membuka jarkan, kecuali menambah modal intinya
Kesimpulan
92 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853