BPJS Dalam Nafas Nawaacita Tim Kajian Green Light Squad Universitas YARSI Afif Bangun Pilardi Presiden BEM Universitas YARSI Koordinator Isu Kesehatan BEM SI 2016
1. Pengertian BPJS BPJS merupaka singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS ada 2 macam yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam UU 40/2011 Tentang BPJS dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak (pasal 1 ayat (2)). BPJS merupakan badan hukum yang menyelenggarakan program Sistem Jaminan Sosial Nasional yang bergerak dalam bidang perasuransian, Maka oleh karena itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut serta mengawasi BPJS. Peserta dari BPJS adalah setiap orang yang berada di Indonesia termasuk warga negara dan warga negara asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan.
2. Prosedur BPJS Peserta BPJS terbagi 2 yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan bukan PBI. Untuk peserta PBI iuran bayaran ditanggung oleh pemerintah yang pesertanya dikategorikan sebagai warga fakir miskin dan orang yang tidak mampu. Sedangkan peserta bukan PBI adalah pekerja penerima upah beserta anggota keluarganya dan pekerja bukan penerima upah beserta anggota keluarganya. Pekerja penerima upah dan pekerja bukan penerima upah merupakan kategori yang 1
berbeda. Pekerja penerima upah adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah, seperti PNS, pejabat negara, anggota TNI, anggota POLRI, pegawai pemerintah non pegawai negeri (pegawai honorer, staf khusus, staf ahli), pegawai swasta dan pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah. Sedangkan pekerja bukan penerima upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri, seperti pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri atau pekerja lain yang memenuhi kriteria bukan penerima upah. Lalu ada juga bukan pekerja seperti investor, pemberi kerja, penerima pension dan bukan pekerja lain yang memenuhi kriteria bukan pekerja penerima upah. Bagi peserta PBI iuran sepenuhnya dibayar oleh pemerintah sedangkan bukan PBI seperti pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah, dan bukan pekerja harus membayar iuran tiap bulannya. Berdasarkan Perpres 111/2013 jenis iuran dibagi menjadi: 1. Iuran untuk peserta Pekerja Penerima Upah dibayar oleh Pemberi Kerja yang dipotong langsung dari gaji bulanan yang diterima oleh Pekerja Penerima Upah. 2. Iuran untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dibayar sendiri oleh peserta yang bersangkutan.
Cara mendaftar menjadi anggota BPJS berbeda-beda sesuai dengan kriteria, yaitu: 1. Untuk anggota BPJS untuk umum yaitu masyarakat datang ke kantor BPJS Kesehatan yang ada di tingkat kabupaten maupun provinsi. Setelah itu masyarakat mengisi formulir dengan membawa salah satu kartu identitas KTP, SIM, Kartu Keluarga, atau paspor. Setelah mengisi formulir maka calon peserta akan mendapatkan virtual account yang digunakan sebagai nomor transaksi untuk pembayaran iuran atau premi. Untuk bukan PBI untuk menjadi anggota BPJS Kesehatan harus membayar iuran atau premi terlebih dahulu untuk menjadi anggota BPJS, sedangkan untuk PBI setelah mendapat virtual account calon peserta resmi menjadi anggota BPJS Kesehatan tanpa perlu membayar iuran terlebih dahulu. 2. Untuk karyawan di perusahaan yang sebelumnya menggunakan Jamsostek cara mendaftarkan keanggotaan BPJS Kesehatan bisa melalui perusahaan dengan cara perwakilan perusahaan datang langsung ke kantor BPJS kemudian mengisi formulir dan setelah itu mendapat satu cara mendaftar anggota BPJS untuk karyawan dan umumirtual aaccount untuk seluruh karyawan di satu perusahaan. Setelah itu perwakilan perusahaan 2
membayarkan iuran per karyawan dikalikan jumlah karyawan. Setelah melakukan pembayaran iuran maka karyawan perusahaan telah resmi menjadi anggota BPJS Kesehatan dan tiap karyawan mendapatkan kartu BPJS Kesehatan. 3. Untuk TNI, POLRI, PNS, serta pengguna askes dengan cara secara sendiri maupun kolektif di kantor BPJS Kesehatan dengan menyertakan bukti kartu askes. Lalu iuran calon peserta akan dipotongkan dari gaji bulanan. Setelah pendaftaran selesai maka calon peserta telah resmi menjadi anggota BPJS Kesehatan dan akan mendapatkan kartu BPJS Kesehatan. Peserta kategori Pekerja Penerima Upah mulai 1 Juli 2015 yaitu pembayaran iuran 5% dari gaji perbulan. 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% oleh peserta. Pemberi kerja wajib membayar lunas iuran jaminan kesehatan seluruh peserta yang menjadi tanggung jawabnya pada setiap bulannya yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 setiap bulan. Jika tanggal 10 itu hari libur maka pembayarannya dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan untuk kategori Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja akan membayar iuran sebesar kemampuan dan kebutuhannya. Ada 3 tingkatan fasilitas yaitu: 1. Fasilitas 1 dikenai iuran Rp. 59.500 per orang dalam satu bulan; 2. Fasilitas 2 dikenai iuran Rp. 42.500 per orang dalam satu bulan; 3. Fasilitas 3 dikenai iuran Rp. 25.500 per orang dalam satu bulan. Namun iuran di atas tersebut direncanakan akan dinaikan pada tahun 2016. Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengusulkan, yaitu: 1. Fasilitas 1 dikenai iuran Rp. 80.000 per orang dalam satu bulan; 2. Fasilitas 2 dikenai iuran Rp. 50.000 per orang dalam satu bulan; 3. Fasilitas 3 dikenai iuran Rp. 25.500 per orang dalam satu bulan. (Sumber: SCTV)
Sistem tarif BPJS terbagi 2 kategori, yaitu: 1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) memakai sistem kapitasi dan non-kapitasi Dalam FKTP fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat nonspecialistik seperti Puskesmas atau klinik pratama. Sistem tarif kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang dibayar di muka setiap bulan kepada suatu fasilitas kesehatan yang besarannya didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan 3
tersebut, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Sedangkan sistem tarif non-kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang didasarkan pada jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. 2. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTP) memakai sistem tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG’s). Sistem INA-CBG’s adalah sistem pembayaran klaim secara paket, yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.
Penyakit Yang Ditanggung BPJS Berdasarakan Permenkes No. 5 tahun 2014 terdapat 145 penyakit yang ditanggung oleh BPJS. Namun ada beberapa penyakit yang tidak ditanggung dalam program JKN. Penyakit itu telah disebutkan dalam 16 poin besar, yaitu: 1) Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; 2) Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat darurat; 3) Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja; 4) Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; 5) Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dana tau estetik; 6) Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (memperoleh keturunan); 7) Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi); 8) Gangguan kesehatan atau penyakit akibat ketergantungan obat dana tau alcohol; 9) Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri; 10) Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin shem chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment/HTA); 11) Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen); 12) Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu; 13) Perbekalan kesehatan rumah tangga; 4
14) Pelayanan kesehatan yang sudah dijamin dalam program kecelakaan lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 15) Pelayanan kesehatan akibat bencana, kejadian luar biasa atau wabah; 16) Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan kesehatan yang diberikan.
3. Alur Pelayanan BPJS Alur pelayanan kesehatan BPJS dimulai dari Fasilitas Tingkat Pertama (FKTP) yaitu dimulai dari Puskesmas, klinik dokter pribadi serta klinik pratama (klinik swasta). Melalui FKTP nantinya peserta akan mendapatkan surat rujukan untuk ke rumah sakit. Dalam tahap selanjutnya disebut Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTP). Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan meliputi: A. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik mencakup: 1) Administrasi pelayanan; 2) Pelayanan promotif dan preventif; 3) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; 4) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; 5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; 6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis; 7) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; 8) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi. B. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup: 1. Rawat jalan yang meliputi: • Administrasi pelayanan; •
Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;
•
Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis;
•
Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
•
Pelayanan alat kesehatan implant;
•
Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis; 5
•
Rehabilitasi medis;
•
Pelayanan darah;
•
Pelayanan kedokteran forensic;
•
Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.
2. Rawat inap yang meliputi: • Perawatan inap non intensif; • Perawatan inap di ruang intensif. C. Pelayanan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
4. Sistem Tarif BPJS Sistem tarif BPJS terbagi 2 kategori, yaitu: 1) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) memakai sistem kapitasi dan nonkapitasi. Dalam FKTP fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat non-specialistik seperti Puskesmas atau klinik pratama. Sistem tarif kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang dibayar di muka setiap bulan kepada suatu fasilitas kesehatan yang besarannya didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan tersebut, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Sedangkan sistem tarif non-kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang didasarkan pada jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. 2) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTP) memakai sistem tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG’s). Sistem INA-CBG’s adalah sistem pembayaran klaim secara paket, yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pasal 60 no 1, per tanggal 1 januari 2014 PT asuransi kesehatan persero atau yang biasa disebut PT. Askes di bubarkan, dan di lebur untuk menjadi BPJS Kesehatan, mulai tanggal itu pula BPJS kesehatan mulai beroperasi, BPJS sendiri adalah badan yang berwenang untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional yang di harapkan dapat meningkatkan angka kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 6
Di sini BPJS kesehatan menerapkan sistem iuran bagi setiap peserta di mana di bagi menjadi berbagai kelas yaitu: a) Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh Pemerintah; b) Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua persen) dibayar oleh peserta; c) Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5% ( lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta; d) Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah; e) Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja; f) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah.
5. Tenaga Kesehatan Dengan sistem kapitasi, BPJS kesehatan berharap tenaga kesehatan tidak hanya mengobati pasiennya tetapi juga mencegah dan mengobati berdasarkan etiologinya, karena itulah pemerintah mewajibkan adanya dokter layanan primer untuk mendukung tujuan ini, DLP tetap bekerja di fasilitas layanan primer dan sifatnya tidak wajib. Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) kesehatan kementrian Usman Sumantri mengatakan “setelah menyelesaikan pendidikan profesi doktor dan internship, seorang dokter dapat memilih pilihan, melanjutkan dokter spesialis/ menempuh pendidikan spesialis dokter layanan primer. Staf khusus menteri kesehatan bidang peningkatan layanan Akmal Taher mengatakan “DLP nantinya akan menjadi penjaga gawang di layanan primer seperti mencegah orang sehat menjadi sakit, orang sakit bisa terdeteksi sejak dini, orang sakit tidak meningkat 7
menjadi penyakit dengan komplikasi. Dosen IKK FKUI, Dhanasari vidiawati : “sudah ada 17 FK dengan akreditasi A yang siap mendukung program DLP”. Tahap awal, pendidikan DLP akan memprioritaskan dokter yang sudah bekerja diatas 5 tahun. Menurut direktur utama RS Cipto Mangunkusumo, Dr.dr.Creresna. H. Soedjono, Sp.PD-Kger yang membedakan dokter spesialis, dokter umum, dan dokter layanan primer adalah kompetensi, area, dan pekerjaan. DLP dalam UU Pendidikan Kedokteran belum jelas apakah spesialis atau bukan.
UU Dikdok hanya
menyebutkan DLP setara dengan dr.spesialis, sementara surat tanda registrasi (STR) hanya diperuntukkan bagi dr.spesialis, tidak disebutkan untuk DLP. Rekomendasi peningkatan kualitas dokter layanan primer oleh fakultas kedokteran di Indonesia. Saat ini 38 FK terakreditasi A dan B menyelenggarakan Program CPD terstruktur bekerjasama dengan PDKI cabang dan dinas kesehatan/PT Askes/pengguna layanan dokter, sekaligus menjadi Pusat Pendidikan dan Pengembangan Dokter Keluarga (mendirikan Departemen Kedokteran Keluarga atau sub Departemen Kedokteran Keluarga).
Gambar. Bagan UU Dikdok 2013
8
PERMASALAHAN 1. Sistem tarif BPJS Baik sistem kapitasi maupun INA-CGB’s sama-sama tergolong sistem pembayaran Prospektif, yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan yang besarannya sudah ditetapkan sebelum layanan kesehatan diberikan. Sistem pembayaran alternatifnya adalah sistem pembayaran restropektif, yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan setelah layanan diberikan dan didasarkan pada aktivitas layanan diberikan. Meskipun ada sistem tarif non-kapitasi dalam BPJS Kesehatan, sistem ini hanya diterapkan pada FKTP yang memberikan layanan tertentu saja. Sistem tarif yang menjadi “aturan main” adalah sistem tarif prospektif. Sistem tarif prospektif menguntungkan BPJS Kesehatan, karena membuat mereka memiliki kapasitas untuk mengontrol dan menekan biaya klaim. Sesuai dengan penjelasan tarif di atas, maka dapat dikatakan bahwa sistem prospektif yang digunakan oleh BPJS Kesehatan merugikan fasilitas kesehatan karena menggunakan fasilitas dengan tarif rendah. Adanya kontradiksi antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan menimbulkan perdebatan antara sistem tarif kapitasi dan INA-CGB’s di fasilitas kesehatan yang menimbulkan kerugian di dunia fasilitas kesehatan. Adanya kontradiksi tersebut akhirnya menimbulkan masalah seperti adanya pelayanan yang buruk dan seadanya saja terhadap pasien BPJS. Pada dasarnya, ada 4 sistem pembiayaan jasa kesehatan yang ada saat ini, yaitu : 1. Sistem Pembiayaan Fee For Service Pada sistem pembiayaan fee for service, pembayaran jasa kesehatan berasal dari kantong orang itu sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada mekanisme pembiayaan ini, pasien cendrung berada di dalam posisi menerima sehingga sering terjadi penyimpangan seperti overutilisasi jasa kesehatan dimana sang dokter memberikan banyak pelayanan yang pada dasarnya tidak dibutuhkan, namun sengaja diberikan dengan tujuan agar semakin banyak layanan yang diberikan, maka pendapatanyang didapat dari layanan tersebut juga akan semakin besar.
2. Sistem Pembiayaan Kapitasi Kapitasi merupakan suatu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang dilakukan di muka berdasar jumlah tanggungan kepala per suatu daerah tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa 9
melihat frekuensi kunjungan tiap kepala tersebut. Misalnya saja setiap kepala di desa A ditetapkan biayanya sebesar Rp 10.000,- /bulan, bila sang dokter bertanggung jawab atas 500 kepala, maka ia akan menerima Rp 10.000,- x 500 / bulannya yaitu Rp 5.000.000,- . Biaya sebesar Rp 5.000.000,- inilah yang akan ia kelola untuk meningkatkan kualitas kesehatan di 500 warga tersebut, baik melaui tindakan pencegahan (preventive), pengobatan (curative) maupun rehabilitasi. Sehingga semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan / semakin banyak pasien yang sakit dan butuh pengobatan, biaya yang akan dipotong semakin banyak dan penghasilan sang dokter akan semakin sedikit. Pada sistem ini, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan yang dijalankan oleh PT.Askes 3. Sistem Pembiayaan Berdasar Gaji Pada sistem ini, sang dokter akan menerima penghasilan tetap di tiap bulannya sebagai balas jasa atas layanan kesehatan yang telah diberikan. Termasuk di dalamnya sistem pembayaran pada penyedia layanan kesehatan yang bekerja di instansi dimana dokternya dibayarkan berdasar gaji bulanan di instansi tersebut, bukan dari jenis layanan kesehatan yang diberikannya. 4. Sistem Reimbursement Sistem penggantian biaya kesehatan oleh pihak perusahaan berdasar layanan kesehatan yang dikeluarkan terhadap seorang pasien. Metode ini pada dasarnya mirip dengan fee for service, hanya saja dana yang dikeluarkan bukan oleh pasien, tapi pihak perusahaan yang menanggung biaya kesehatan pasien, namun berbeda dengan kapitasi karena metode ini melihat jumlah kunjungan dan jenis layanan yang diberikan oleh provider.
10
Dari pembahasan keempat sistem pembiayaan diatas, tentu saja setiap metodenya memiliki segi positif dan negative masing – masing. Hal tersebut dapat dirangkum sebagai berikut : Sistem Pembiayaan Fee For Service
Kapitasi
Gaji
Reimbursement
Kelebihan Penanganan yang diberikan dokter cendrung lebih maksimal dan tidak terkesan terbatas – batas
Kekurangan Sering terjadi moral hazard dimana provider akan sengaja secara berlebihan memberi layanan kesehatan dengan tujuan meningkatkan pendapatan dari layanan tersebut Kepastian adanya pasien Sering terjadi underutilisasi Jaminan pendapatan di awal tahun / (pengurangan layanan yang bulan diberikan) Kebanyakan dokter merasa Semakin efisien layanan, semakin banyak pendapatan dirugikan Bila peserta sedikit, dapat Dokter lebih taat prosedur Lebih menekankan pada merugikan dokter pencegahan dan promosi kesehatan · Dokter memperoleh pendapatan Sering terjadi kerjasama yang tetap tiap bulannya berdasar antara pihak provider dengan upah minimal yang telah ditentukan bagian lain untuk memperoleh pendapatan yang lebih banyak Dokter cendrung melakukan pelayanan kesehatan seadanya dan kurang optimal · Dokter akan melakukan penangan Sering terjadi pemalsuan dengan maksimal identitas dan dimanfaatkan · Biaya kesehatan datang dari pihak oleh pihak lain perusahaan sehingga pasien tidak Sering terjadi adanya perlu mengeluarkan biaya selain overutilisasi dari penyedia premi (bila ada premi) layanan kesehatan
Salah satu kekurangan dari system kapitasi adalah menimbulkan pengurangan layanan yang diberikan sehingga pasien tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal. Pihak rumah sakit akan memberikan pelayanan seminimal mungkin terhadap pasien. Akibatnya banyak pasien yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit. Contoh kasus pasien BPJS Kesehatan seorang anak berusia 6 bulan yang bernama Habibie Rezky Anandra mengalami pembengkakan limpa hati dan gangguan pernapasan paruparu saat menjalani perawatan di ICU RSUP. Habibie merupakan peserta BPJS Kesehatan namun pihak keluarga harus membayar uang sebesar 8juta untuk bisa masuk ke ruang perawatan 11
ICU. Ibu Habibie yang bernama Dessy Trisnawati mengatakan bahwa sehari semalam anaknya tidak ditangani. Saat masuk ibu Dessy langsung ditangani akan tetapi ketika ibu Dessy ditanyakan pembayaran dilakukan secara pribadi atau program BPJS seketika itu Habibie di diamkan sampai membuat tangan infusannya disemutin, malahan makin parah yaitu kedua tangan yang ditempatkan selang infus menjadi bengkak dan penuh cairan karena tidak mendapatkan pelayanan baik. Pihak keluarga juga mendapat perlakuan dan tanggapan buruk dari beberapa suster serta dokter yang bertugas di ICU. Tante dari Habibie bernama Shinta melakukan percakapan dengan seorang dokter, “saya cuma mau tahu gimana keadaan keponakan saya, tapi dokternya balas tanya sudah urus administrasi atau belum. Saya tanya lagi ke dokternya kenapa engga ditangani dulu, tapi dokternya malah jawab engga perduli,” ujarnya Shinta. Dokter tersebut enggan menangani Habibie yang sebagai peserta BPJS. “memangnya bayarnya pakai apa? Saya juga engga mau ngurus pasien yang kayak beginian (BPJS Kesehatan). Mendingan udah dibawa pulang aja, soalnya juga banyak pasien yang mau pakai ruang ICU ini” jelas Shinta menirukan ucapan tidak terpuji sang dokter. (sumber: Tribun Jakarta) Dalam kasus Habibie tersebut terjadi diskriminasi terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan. Pasalnya, karena masalah administrasi yang membuat pihak rumah sakit enggan melakukan pelayanan yang baik terhadap Habibie. Padahal semestinya Habibie sebagai peserta BPJS Kesehatan mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik yang menjadi kewajiban BPJS Kesehatan untuk menyediakannya. Lalu mengapa pihak RS. Fatmawati tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap Habibie? Pelayanan yang tidak baik yang didapatkan Habibie dikarenakan ia memakai program BPJS bukan membayar secara pribadi. Adanya pelayanan yang buruk dari pihak Rumah Sakit mengartikan bahwa adanya kontradiksi administrasi program BPJS Kesehatan dengan pihak Rumah Sakit. Kasus yang lain ialah terjadi di Batam di RS. Harapan Bunda. Seorang peserta BPJS tingkat I bernama Nanda Maulana (21). Sebelum ke Rumah Sakit, Nanda sebelumnya dibawah oleh ayahnya yang bernama Wisnu Edi Sadono warga Tiban ke klinik disekitar tempat tinggalnya. Dokter klinik menganjurkan agar Nanda dirujuk ke RS Harapan Bunda. Sampai di Rumah Sakit Nanda dilarikan ke UGD. Setelah mendapat pertolongan dokter di UGD, Nanda dianjurkan agar di rawat inap. Namun oleh petugas anaknya akan ditempatkan di pelayanan BPJS tingkat II dengan alasan pelayanan ruang tingkat I sudah penuh. Namun pernyataan petugas tersebut menuai protes oleh Wisnu yang tidak menerima jika anaknya di berikan fasilitas 12
tingkat II karena Nanda terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan tingkat I. Kenyataannya pihak Rumah Sakit berbohong, ternyata terdapat 3 kamar kosong di fasilitas tingkat I sehingga Wisnu mendesak agar anaknya diberikan kamar di fasilitas tingkat I. Akhirnya Nanda di rawat inap di fasilitas tingkat I namun sehari semalam ia tidak mendapat pemeriksaan oleh dokter spesialis. Wisnu menanyakan kepada suster tentang dokter spesialis dan suster tersebut mengatakan bahwa sebentar lagi dokter spesialis datang. Setelah menunggu seharian Nanda tidak juga mendapatkan penanganan oleh dokter spesialis dengan alasan bahwa dokter spesialis sedang membuka praktik di luar Rumah Sakit. Karena tak kunjung mendapatkan pelayanan yang memadai oleh pihak Rumah Sakit, akhirnya Wisnu membawa anaknya pulang. Sebelum pulang Wisnu dicegah oleh petugas Rumah Sakit bahwa pihak Rumah Sakit tidak bertanggung jawab jika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan terjadi. Namun Wisnu bersikukuh untuk membawa anaknya pulang. Pihak Rumah Sakit memberikan surat pernyataan kepada Wisnu bahwa pihak Rumah Sakit tidak bertanggung jawab jika terjadi persitiwa yang tidak diinginkan terjadi. Setelah menandatangani surat itu Wisnu akhirnya membawa anaknya pulang. (Sumber: BATAMTODAY.COM) Dalam pasal 2 UU 24/2011 Tentang BPJS berbunyi, bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas: a. Kemanusiaan; b. Manfaat;dan c. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam penjelasannya di dalam UU 24/2011 yang dimaksud dengan asas kemanusian adalah asas yang terkait dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat adalah asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah asas yang bersifat idiil. Dalam kasus Habibie dan kasus Nanda memperlihatkan bahwa BPJS belum maksimal dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. BPJS Kesehatan Yang Mengejar Profit Pemakaian sistem tarif prospektif oleh BPJS Kesehatan merupakan tanda bahwa BPJS mengejar profit. Dalam dunia bisnis setiap perusahaan akan mengejar profit dan menekan pengeluaran. Adanya sistem prospektif oleh BPJS Kesehatan membuat kerugian di masyarakat 13
sebagai peserta BPJS Kesehatan dan juga dalam dunia fasilitas kesehatan. Sebagai contoh banyaknya keluhan pasien yang tidak mendapatkan pelayanan oleh pihak Rumah Sakit seperti tidak mendapatkan kamar dikarenakan tidak ada kamar yang kosong sedangkan ternyata ada kamar kosong tetapi pihak Rumah Sakit tidak memberikan karena biaya yang di tanggung oleh BPJS Kesehatan tidak menguntungkan pihak Rumah Sakit dan malahan merugikan. Adanya obat yang tidak didapatkan oleh pasien dengan alasan obat tersebut tidak di klaim oleh BPJS, adanya pasien yang harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan giliran operasi, dan penanganan pasien yang tidak maksimal dikarenakan tarif tidak mencukupi. Semua permasalahan yang timbul dalam prakteknya berasal dari sistem tarif yang dilakukan oleh BPJS. Contoh lain ialah seorang pasien tidak mendapatkan obat dikarenakan obat yang ada tidak di klaim oleh BPJS. Jika pihak Rumah Sakit memberikan obat tersebut maka pihak Rumah Sakit akan mengalami kerugian. Permasalahan yang lain ialah adanya kamar kosong namun pihak Rumah Sakit mengatakan bahwa kamar sudah full. Ini merupakan trik dari Rumah Sakit agar kamar kosong tersebut tidak dipakai oleh pasien program BPJS dan agar dipakai oleh pasien yang membayar secara pribadi. Pasalnya, Rumah Sakit merupakan suatu lembaga yang juga mengincar profit sehingga lebih mengutamakan pasien yang membayar pribadi karena mendapatkan untung yang lebih dari pasien program BPJS. Ini adalah akibat kecilnya keuntungan yang diberikan BPJS terhadap Rumah Sakit dan bahkan tarif yang diberikan BPJS tidak mencukupi. Dalam praktinya banyak terjadi diskriminasi terhadap pasien yang memakai program BPJS. Dalam penanganan suatu kasus pun terkadang tidak maksimal dikarenakan tarif yang tidak mencukupi. Ini terjadi karena terdapat kesenjangan yang besar antara kelas Rumah Sakit dalam INA-CGB’s. Di awal tahun 2016 ini, BPJS yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan sistemnya yang bernama JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sudah menginjak usia kedua tahun. Tidak ada perayaan namun sebuah evaluasi. Apakah BPJS yang menggabungkan 4 badan penyelenggara asuransi kesehatan yakni Asabri, ASKES, TASPEN dan Jamsostek telah berjalan dengan baik? Lalu bagaimana sebenarnya alur dari tahapan APBN sampai ketangan penyelenggara jaminan kesehatan tersebut? APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) merupakan suatu daftar yang memuat perincian sumber-sumber pendapatan negara dan jenis-jenis pengeluaran Negara dalam jangka waktu satu tahun (1 Januari – 31 Desember) yang ditetapkan dengan undang-undang dan 14
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Fungsi APBN antara lain adalah fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilitas. Tentunya dengan BPJS ini, APBN memiliki pengaruh yang signifikan. Apalagi tujuan APBN juga memproses apa yang terjadi di Eksekutif yakni Kepresiden Republik Indonesia sendiri. Menurut Ita Hartati, AK, MBA dalam tulisannya di situs Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan (BPPK Kemenkeu), Dana Kapitasi yang masuk di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Dana APBN/BPJS ditransfer langsung ke rekening khusus Bendahara Dana Kapitasi di FKTP. Dana Kapitasi dapat langsung dipergunakan untuk pelayanan dan operasional di lapangan. Pembayaran Dana Kapitasi dari BPJS Kesehatan diakui sebagai Pendapatan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Dalam hal dana tersebut tidak habis digunakan pada tahun anggaran berkenaan, dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya. BPJS kesehatan menghimpun iuran yang dibayar oleh masyarakat yang telah mendaftarkan diri sebagai peserta program JKN. Selanjutnya BPJS, mendistribusikan anggaran jaminan kesehatan masyarakat secara kapitasi untuk mengoptimalkan pelayanan. Menurut data BPJS-Kesehatan.go.id di skala Nasional, tercatat sampai penghujung tahun 2015, peserta BPJS dengan iuran adalah 152 juta orang. Dengan Penerima Bantuan Iuran yaitu 87.006.370 peserta KIS PBI (Kartu Indonesia Sehat – Penerima Bantuan Iuran) terdapat 24.299.177 peserta KIS PBI yang belum mendapat NIK (Nomor Induk Kependudukan). Pemanfaatan NIK ini berfungsi untuk mempercepat proses registrasi peserta. Pertanyaan jika masih ada 24.299.177 peserta KIS PBI yang belum mendapat NIK, dengan sebanyak masyarakat tersebut belum mendapat pelayanan kesehatan dari pihak BPJS itu sendiri. Berikut adalah skema alokasi dana BPJS dari APBN.
15
Sesuai dengan Perpres nomor 111 tahun 2013, terdapat besaran iuran perbulan tertentu yang harus dibayar sesuai dengan jenis kepesertaan masing-masing dalam JKN sebagai berikut:
16
Menurut Direktur Eksekutif Jaminan Kesehatan Watch (Jamkes Watch), Iswan Abdullah, akar permasalahan adalah tak tercovernya pembiayaan rumah sakit oleh BPJS Kesehatan karena pelaksaaanya tak sesuai dengan semangat UU SJSN dan UU tentang Jaminan Kesehatan Nasional, sehingga program JKN Indonesia banyak permasalahannya. Pertama, Pemerintah tak sungguh-sungguh menjalankan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) yang ditandai dengan alokasi anggaran APBN hanya Rp. 20 triliun (dengan skala PBI = 86,4 juta orang). Padahal dengan Rp. 60 triliun seluruh Rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta sudah tercover dengan melaksanakan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu Negara mengalokasikan 5% APBN dan 10% APBD untuk kesehatan. Atau dengan opsi kedua, pemerintah mengalokasikan dari dana Fiskal sebesar Rp. 180 triliun sampai dengan Rp. 230 triliun. Dan Pemerintah harus bisa merevitalisasi BUMN produsen obat-obatan sehingga harga obat bisa menjadi lebih murah dan bisa melawan komersialisasi harga obat-obatan. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat beraktivitas dengan optimal. UUD 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Salah satunya adalah kesejahteraan kesehatan yang merupakan hak seluruh elemen masyarakat diseluruh Indonesia. Namun yang didapatkan adalah Pemerintah malahan mengalihkan tanggung jawab Negara kepada Rakyat. Pada APBN-P 2015, PBI BPJS pada APBN-P 2015 hanya sebesar Rp. 20,3 triliun. Angka tersebut didasarkan pada cakupan penduduk miskin yang mencapai 88,2 juta jiwa dengan nilai PBI Per-orang sebesar Rp. 19.225 perorang selama setahun. Bahkan didalam buku yang diterbitkan oleh WHO, Social Health Insurance; A Guidebook for Planning, ditegaskan agar subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada lembaga publik yang mengelola asuransi kesehatan harus diminimalkan sehingga independensi lembaga tersebut yang merupakan keunggulannya tetap terjaga. Target Pemerintah pada tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia telah menjadi peserta BPJS. Sebagaimana yang tertuang dalam UU, sanksi akan diberikan kepada mereka yang tidak mendaftar pada batas yang ditetapkan. Setiap peserta diwajibkan untuk membayar Iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mereka yang tidak masuk kategori miskin diwajibkan membayar minimal Rp. 25.500/bulan. Jika terlambat maka akan dikenakan denda 2% dari nilai Iuran. Bahkan nilai Iuran dan denda yang berlaku saat ini sewaktu-waktu dapat dinaikan oleh Pemerintah jika diminta oleh pihak BPJS. Padahal menurut UU No. 40 tahun 2004 tentang 17
Sistem Jaminan Sosial Nasional memiliki salah satu prinsip nirlaba, yakni BPJS tidak diperbolehkan mencari untung. Terkandung dua unsur yakni sebuah pemaksaan dan riba yang seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah kepada masyarakat Indonesia. Kehadiran BPJS ditengah-tengah masyarakat juga akan menjadi tameng untuk menutupi kelemahan Pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan yang prima kepada rakyatnya. Selama ini alokasi anggaran untuk bidang kesehatan amat minim dibandingkan dengan bidang lainnya. Pada APBN-P 2015, anggaran untuk Kementerian Kesehatan hanya Rp. 51,3 triliun atau 2,6 % dari belanja APBN-P yang mencapai Rp. 1,984 triliun. Bandingkan dengan biaya untuk membayar cicilan bunga utang pemerintah pada periode yang sama yang mencapai Rp. 155,7 triliun. Dampak dari rendahnya anggaran pemerintah di bidang kesehatan membuat pengembangan infrastruktur dan kualitas layanan keehatan menjadi sangat terbatas. Anggaran yang rendah membuat biaya operasional (capitation fee). Puskemas dan Rumah Sakit milik pemerintah menjadi sangat terbatas. Dampak lainnya, insentif bagi tenaga kesehatan sangat minimalis sementara beban kerja semakin besar. Sudah seharusnya pemerintah mengimplementasikan amanat UUD 1945 dengan sebaikbaiknya. Setelah mengkonsolidasi melakukan pelayanan yang terbaik dengan masyarakat. Apalagi BPJS ini merupakan program Nawacita Presiden Jokowi yang dibalut dengan Kartu Indonesia Sehat yang fungsi dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan JKN yang dijalankan oleh BPJS. Jika tidak ingin dikatakan riba dan menjunjung nirlaba yang merupakan salah satu prinsip SJSN seharusnya seluruh masyarakat Indonesia tidak dipungut biaya sedikitpun lalu dana APBN kesehatan bisa dioptimalisasikan.
3. Sistem BPJS Melahirkan Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa intinya pasien yang menggunakan program BPJS pelayananannya tidak baik yang disebabkan karena adanya kontradiksi antara sistem BPJS dengan fasilitas kesehatan. Hal yang inilah yang membuat terdapat banyak pelanggaran HAM. Hak kesehatan merupakan HAM yang dimiliki bagi setiap orang. Dalam pasal 28H ayat 3 (tiga) UUD’45 berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Jaminan sosial dalam UU nomor 40 18
tahun 2004 pasal 1 ayat (satu) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU nomor 24 tahun 2011 pasal 1 ayat 2 (dua) tentang BPJS, jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. BPJS adalah badan yang menyelenggarakan jaminan sosial yang dibentuk oleh negara, ini sesuai dengan bunyi pasal 34 ayat (3) UUD’45 yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 9 ayat 1 (satu) berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, maka ikut serta menjadi peserta BPJS Kesehatan merupakan wujud usaha dari seseorang untuk mempertahankan kehidupannya dalam hal kesehatan. Dalam kasus Habibie dan Kasus Nanda apakah hak jaminan sosial mereka terpenuhi sesuai dengan bunyi pasal 28H ayat 3 (tiga) UUD’45? Bahkan jika dilihat dari kasus Habibie dan kasus Nanda terlihat jelas bahwa hak kesehatan sebagai HAM sudah tidak terwujud. Dalam prakteknya juga terjadi diskriminasi antara pasien program BPJS Kesehatan. Alasan terjadinya diskriminasi terhadap pasien program BPJS Kesehatan karena masalah tarif yang tidak sesuai dengan yang diberikan BPJS terhadap fasilitas kesehatan. Padahal setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi yang dapat merugikannya. Seperti bunyi pasal 28I ayat 2 (dua) UUD’45 yaitu setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Seperti bunyi pasal 28I ayat 2 (dua) UUD’45 yaitu setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
19
Nawacita 1.Nawacita sebagai penentu kemenangan jokowi menjadi RI 1 Nawacita sebagai nafas perubahan yang di gaungkan oleh pak jokowi sebagai secercah harapan perubahan bagi Indonesia.konsep perubahan yang dibawa presiden jokowi dan wakil presiden jusuf kalla berhasil menghipnotis masyarakat Indonesia untuk memberikan suara terhadap beliau. 2.Nawacita sebagai nafas Kesejahterahan bagi Masyarakat Indonesia Menjaga Warga Negara bangsa adalah salah satu tugas dari permerintah,salah satunya dalam dunia kesehatan.uud 45 secara tegas “melindungi segenap bangsa Indonesia”dan “memajukan kesejahteraan umum”. Undang Undang No. 23 Tahun 1992 “Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat”.pemerintah ada kewajiban untuk menjaga kesehatan bagi warganya. Bunyu dari nawacita no 5 “Kami Akan Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia” yang terdiri: 1.Program “Indonesia pintar” melalui wajib belajar 12 tahun bebas pungutan 2.Program kartu “Indonesia sehat” melalui layanan kesehatan masyarakat 3.Program “Indonesia kerja”dan “Indonesia Sejahterah”melalui Reformasi Agraria 9 juta HA untuk Rakyat tani dan Buruh Tani,Rumah susun bersubsidi dan jaminan social BPJS adalah salah satu Implementasi dari nawacita no 5.dari hasil kajian yang telah di lakukan Koordinator isu kesehana BEM SI ternyata ada yang salah dalam penerapan sistemnya.banyak Pelaku dari dunia kesehatan yang berteriak atas Sistem BPJS yang “dinilai”tidak dapat mengakomodasi semua kebutuhan masyarakat di dunia kesehatan maupun dari pasiennya,tenaga kesehatanya dan fasilitas kesehatan.pelayanan kesehatan sebagai fokus masyarakat Karena di nilai sangat kurang. Kenaikan harga premi BPJS sebagai salah satu hal yang menyakitkan hati bagi masyarakat karena track record BPJS yang tidak bagus selama 2 tahun awal tidak memberikan pelayanan yang diharapkan.adanya perlakuan diskriminatif atas pemakai BPJS.banyak kondisi yang memaksa rumah sakit menolak rujukan atau mamaksakan jumlah perawatan di karenakan kurangnya fasilitas kesehatan tingkat primer dan membludaknya pasien anggota BPJS namun tidak sesuai dengan fasilitas kesehatan yang ada.seharusnya pemerintah menyiapkan semua sector di dunia kesehatan bila sudah siap baru masyarakat dialihkan ke BPJS.
20
Tenaga kesehatan Indonesia banyak yang protes terhadap system BPJS.banyaknya pengaturan terhdapa kondisi penyakit yang di derita pasien membuat dokter kesulitan dalam melakukan pemeriksaan dan penegakan diagnosis.penerimaan upah atas jeri payah seorang dokterpun tidak dihargai sesuai oleh system BPJS ini.bila upah yang di berikan tidak sesuai dengan disiplin ilmunya dan tidak di sejahterhakan tenaga kesehatanya maka cita cita dari nawacita akan hanya angan saja. Pelayanan Kesehatan sebagai salah satu hal yang disorot sangat serius oleh Masyarakat karena terjadinya tindak diskriminatif dan tidak maksimalnya pelayanan.ada sebuah contoh kasus.nona A datang kedokter dengan keluhan buang air besar >5x sehari konsistensi encer,namun dokter tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal karena di peraturan yang ada penyakit diare bisa di tanganni bila buang air besar sudah lebih dari 10x/hari.ini sebuah keadaan yang menyakitkan bagi masyarakat yang buta bagaimana disiplin ilmu dunia kedokteran.Masyarakat yang terpenting dapat di rawat dan diberi pelayanan kesehatan yang maksimal. Presiden sebagai Kunci dalam pemecahan permasalahan dalam BPJS.BPJS berada langsung di bawah komando presiden.fakta dan kegelisahan yang ada dimasyarakat sudah terpampang di depan mata. Maka dengan ini kami Koordinator isu kesehatan BEM SI BEM Univ.Yarsi menyampaikan 4 TUNTUTAN: 1. Mengubah sistem kapitasi menjadi sistem reimbursement atau free for service 2. Mengoptimalisasikan sosialisasi BPJS tentang prosedur kepada rakyat 3. Mewujudkan prinsip nirlaba 4. Memperluas kerjasama terhadap Rumah Sakit untuk bekerjasama dengan BPJS 5.Memberikan Kesejahterahan bagi Tenaga kesehatan Indonesia dengan Layak
21
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.
http://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2014/13 http://bpjskesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/588c8bcc7941c2b6d0187435dbcaba61.pdf http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/2b67b6556b028d910d2ee8df4245e886.pdf Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 Charles Normand & Acel Weber (1994), Social Health Insurance; A Guidebook for Planning WHO hlm 77
6. Laporan Pengelolaan Program Tahun 2014 dan Laporan Keuangan Tahun 2014 (auditan): http://bpjs.kesehatan.go.id/index.php/arsip/detail/367 7. Dana Kapitasi BPJS Kesehatan: Pelaksanaan dan Pertanggung jawabannya, situs Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan: http://bppk.kemenkeu.go.id 8. http://dokter-medis.blogspot.co.id/2014/01/undang-undang-no-23-tahun-1992tentang.html
22