BPJS dan Social Insurance...
BPJS dan Social Insurance dalam Islam Efi Syarifudin
Abstrak BPJS dibentuk berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang merupakan pelaksanaan dari UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Prinsip-prinsip operasional BPJS sejalan dengan qaidah fiqh tentang siyasah islamiyah yaitu adanya keberpijakan pemerintah terhadap kemaslahatan umat (tasharruful imam „alarraiyyah manutun bil mashlahah). Namun demikian terdapat kritik dari para ulama terkait operasionalnya yang masih menggunakan lembaga keuangan non-syariah. Fungsinya BPJS sebagai ta‟min al-ijtima‟iy pada unsur kontributornya dapat melibatkan lembaga amil zakat yang dapat diperankan sebagai; pemberi rekomendasi calon peserta tanggungan sosial dan sebagai kontributor dana peserta melalui sinergi dana premi berbasis filantropi. Kata Kunci: BPJS, at-Ta’min, Tabarru, SJSN
59
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
A. Pendahuluan Jaminan sosial merupakan hak bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan jaminan perlindungan terhadap ketidakmampuan mereka dalam menghadapi risiko kehidupan yang disebabkan oleh kemiskinan dan kekurangan lainnya. Terbentuknya negara kesejahteraan yang menciptakan perlindungan warga negara dalam mencapai kesejahteraan terefleksikan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia, yaitu ”Membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam rangka mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera tersebut, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat, juga mewujudkan tujuan yang diamanatkan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, maka pembangunan di bidang ekonomi harus didasarkan pada landasan ekonomi Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.1 Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menentukan mengenai hak 1Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Pembangunan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal. 189
60
Hukum
dalam
BPJS dan Social Insurance...
jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Selain itu, jaminan sosial dijamin pula dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tantang Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Hal ini diperkuat juga dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAP MPR Nomor X/MPR/2001 telah menugaskan kepada Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. Berdirinya lembaga BPJS adalah salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan jaminan sosial kepada masyarakatnya. Dalam kajian ekonomi Islam bahwa kemaslahatan umat harus menjadi landasan kebijakan pemerintah “Amr al-Imami fi shu‟un ar-ra„iyyati manutun bil-maslahah” atau dalam lafaz lain “Tasharruful imam „alarraiyyah manutun bil mashlahah”. Hal ini diperkuat oleh pandangan Al-Syathibi yang menyatakan bahwa kewajiban sosial itu terkait dengan kepentingan umum, artinya apabila suatu individu dalam masyarakat tidak mampu melaksanakan tugas tersebut, negaralah yang bertanggung jawab melaksanakannya2. B. Islam dan Jaminan Sosial Terselenggaranya jaminan sosial melekat sebagai kewajiban negara untuk kepentingan rakyatnya, terutama bagi warga yang mengalami masalah kesejahteraan sosial seperti yang diamanatkan secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan 2Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik dalamPemikiran Islam (Bandung: Nuansa) 2005, hal. 188
61
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
perundang-undangan lainnya. Kehadiran jaminan sosial semakin relevan, karena setiap bangsa selalu berhadapan dengan kenyataan dimana selalu ada sejumlah warga masyarakat, baik perorangan, kelompok, keluarga, maupun kesatuan komunitas tertentu, yang mengalami hambatan fungsi sosial dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mengalami risiko ketidakpastian dalam hidupnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan taraf kesejahteraan sosial. Hal ini lah yang kemudian menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan pokok warganya berdasarkan berdasarkan hukum dan nilai yang dianut suatu negara.3 Keberpihakan terhadap kesejahteraan rakyat oleh pemerintah merupakan bagian dari konsep negara kesejahteraan yang menurut Bagir Manan, negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi memikul tanggung jawab utama untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.4 Islam mengatur bagaimana untuk memberdayakan manusia secara ekonomi, sebagaimana secara eksplisit terdapat dalam spirit ibadah zakat, infaq, dan shadaqah. Jaminan sosial diperintahkan dalam Islam, sebagai bentuk keadilan diseluruh persoalan yang berhubungan dengan masyarakat. Menurut, Al-Qur’an tujuan utama Allah
3Afzalur
Rahman, Ensiklopedi Ilmu dalam Alqur‟an, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2007) hal. 225 4Bagir Manan, Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, (Lampung : Fakuktas Hukum UNILA, 1996), hal. 16
62
BPJS dan Social Insurance...
memberikan gambaran hidup mengenai pelaksanaan ajarannya adalah untuk kemaslahatan umat itu sendiri.5 Konsep jaminan sosial telah lahir sejak awal Islam di Madinah. Sebagai contoh adalah bahwa jauh sebelum negara-negara Eropa memiliki konsep pertanggungan bagi pengangguran (unemployment insurance) hingga akhir Abad ke-19, dunia Islam telah memilikinya sejak awal pembentukan masyarakat Islam di Madinah. Sebut saja dua yang utama diantaranya adalah: a. Sistem muakhoh6 yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad sebagai sistem jaminan sosial yang diberikan oleh kaum anshor terhadap kaum muhajirin yang memberikan jaminan kehidupan ekonomi sejak awal kedatangan muhajirin ke madinah yang belum memiliki kegiatan ekonomi; dan b. Komunitas suffah yang mendapatkan pertanggungan kehidupan dari sesama muslim di Madinah selama mereka belum mampu memberdayakan kehidupan ekonomi mereka secara layak. Mereka mendapatkan santunan harian dan ditempatkan tinggal di dekat rumah rasulullah SAW. Jaminan sosial berupa kebutuhan pertanggungan asuransi kesehatan, kebakaran dan kerugian seperti yang dipertanggungkan oleh asuransi modern belum dikenal dimasa awal Islam. Kondisi sosial pada masa awal Islam masuk di masyarakat Arab, jenis penyakit tidak 5Ziauddin Ahmad, Al-Qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan (Jakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal.1 6Sistem Muakhoh merupakan sistem pembagian kekerabatan yang mempertemukan muhajirin dan anshor. Sahabat anshor menjadi penjamin atas kehidupan ekonomi saudaranya dari muhajirin dengan cara memberikan jaminan asset ekonomi.
63
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
sekomplek saat ini dan biaya perawatan medis hampir tidak pernah menjadi persoalan karena konsep integrasi kesehatan melalui rumah sakit belum ada. Kebanyakan keluarga membangun rumahnya tanpa bantuan orang lain dan tidak memerlukan biaya bahkan untuk sebagian besar bahan bangunan. Karenanya, mudah dimengerti mengapa saat itu belum ada kebutuhan akan asuransi kesehatan, kebakaran dst.7 Sementara itu, asuransi untuk risiko penawanan dan pembunuhan merupakan kebutuhan di masa pemerintahan Rasulullah SAW. Berbagai skema jaminan sosial juga sudah mulai dibuat, meskipun masih bersifat fleksibel dan terbuka bagi perkembangan dan penyesuaian. Dalam pasal 3 konstitusi Kota Madinah pada tahun awal hijrah, asuransi seperti ini dinamakan ma‟aqil8 yaitu apabila seseorang menjadi tawanan perang, akan dijaminkan tebusanannya untuk memperoleh kebebasan. Di sisi lainnya, semua bentuk penyiksaan fisik atau pembunuhan akan ditebus dengan pembayaran kerusakan/kerugian (diyat). Nabi mengorganisasi asuransi ini berdasarkan prinsip saling tolong-menolong. Para anggota suku dapat menunjuk kepala bendahara dari sukunya sendiri dan setiap orang harus memberikan kontribusi sesuai kemampuannya. Jika bendahara dari suatu suku dianggap kurang cakap, suku-suku yang bersaudara atau berdekatan memiliki kewajiban memberi 7Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, Makalah Kegiatan Perkaderan Darul Arqom Paripurna (DAP) IMM Tahun 2008, diunduh melalui www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/IslamNegaraKesejahteraan.p df, hal. 9-10 8Disebutkan dengan istilah Al-Aqilah (diyat al-aqilah) dalam Syakir Sula, Ansuransi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal.82
64
BPJS dan Social Insurance...
bantuan. Hirarki juga disusun untuk mengatur unit-unit sehingga berjalan secara sinergis.9 Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, mutualitas dan unit-unit asuransi diatur berdasarkan profesi, administrasi sipil atau militer, serta wilayah. Pemerintah pusat atau provinsi memberi bantuan dan dukungan dana terhadap unit-unit tersebut berdasarkan peraturan anggaran belanja negara yang telah ditetapkan. Asuransi pada masa itu sudah mencerminkan prinsip gotong-royong dalam meringankan resiko-resiko yang dihadapi anggota masyarakat. Pemerintahan Umar berhasil membentuk skema asuransi pensiun. Asuransi ini mencakup semua penduduk termasuk non-muslim. Semenjak seorang bayi dilahirkan, dia sudah memiliki hak untuk memperoleh asuransi pensiun. Orang dewasa memperoleh tunjangan minimum yang cukup untuk hidup. Selain asuransi, jaminan sosial juga dapat berbentuk bantuan sosial, terutama bagi mereka yang dikategorikan miskin dan cacat yang tidak potensial. Khalifah Umar melakukan ini dengan menentukan standar hidup minimum yang kelak menjadi rujukan dalam membuat garis kemiskinan (poverty line). Saat itu, selain menerima tunjangan uang, orang miskin menerima sekitar 50 kg terigu setiap bulannya. Untuk menghindari ketergantungan, mengemis dan bermalas-malasan tidak diberi toleransi. Mereka yang
9Dalam bahasa Arab, makna al’aqil adalah orang yang membayar denda. Denda yang merupakan santunan asuransi yang dibebankan kepada orang lain (bukan kepada yang melakukan pelanggaran). Umumnya diyat disyaratkan agar kerusakan tidak disebabkan kesengajaan, melainkan disebabkan kekeliruan dan kelalaian. Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal.96-97
65
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
menerima bantuan sosial pemerintah diupayakan untuk dapat memberi kontribusi kepada masyarakat.10 Berdasarkan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah dan Khalifah Rasyidin, bahwa dalam Islam pada hakikatnya tugas untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat. Negara memiliki kewajiban untuk memperhatikan dua aspek kebutuhan, yaitu kebutuhan materiil dan kebutuhan spiritual. Dalam referensi lain mengungkapkan bahwa negara tidak saja bertanggung jawab atas keamanan luar dan dalam negeri saja, tetapi juga bertugas mengayomi kaum lemah dan miskin serta menjamin kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan Hadist yang menyatakan bahwa : “Kamu semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”, sehingga pemimpin negara bertanggung jawab atas nasib rakyatnya.11 Tidak seperti faham kapitalis yang membatasi peran negara dengan menyerahkan tanggung jawab ekonomi kepada pasar, maka Islam memperkenankan intervensi negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari negara lain. Negara juga berkewajiban
10Syed Mumtaz Ali dalam Edi Suharto, Islam dan Negara Kesejahteraan, hal. 10. Melihat bagaimana Umar bin Khattab melakukan kebijakan sosial dapat merujuk Jaribah bin Ahmad Al-haritsi, Fikih Ekonomi Umarbin Al- Khatab (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008) 11Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hal. 241
66
BPJS dan Social Insurance...
memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak.12 C. Terminologi Asuransi dalam Islam Pengertian asuransi secara umum difahami sebagai sebuah kegiatan pertanggungan atas risiko yang dihadapi seseorang. Istilah pertanggungan sendiri oleh dalam asuransi syariah dimaknai dengan istilah at-takaful, attadhamun dan at-ta‟min. Istilah takaful digunakan oleh Ma’sum Billah untuk mengartikan “pertanggungan”,13 yang berarti “shared responsibility, shared guarantee, responsibility, assurance or surety” (saling bertanggung jawab, saling menjamin, saling menanggung). Istilah “takaful” didefinisikan sebagai “mutual guarantee provided by a group of people living in the same society againts a defined risk or catastrophe befalling one‟s life, property or any form of valuable things (jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok orang yang hidup dalam satu lingkungan yang sama dalam menghadapi risiko atau bencana yang bisa menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang berharga). Lafaz takaful memiliki makna musyarakah.14 Muhammad Sauqi al-Fanjari menggunakan istilah “tadhamun” sebagai pengungkapan arti tanggung jawab sosial bersama.15 Di sisi lain al-Fanjari memberikan alternatif kata lain dalam memaknai “pertanggungan” yaitu dengan istilah “at-ta‟min”.16 Ahmad Salim Milhim 12Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana, 2000), hal.27. 13Mohd. Ma’sum Billah, Principles & Practices of Takaful and Insurance Compared, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2001), hal. 17. 14 Mohd. Ma’sum Billah, Principles & Practices…, hal. 18 15Lihat Muhammad Syauqi al-Fanjari, al-Islam wa al-Ta‟min, (Akadz: Riyad Saudi Arabiah, 1984), hal. 23. 16 Muhammad Syauqi al-Fanjari, hal.35
67
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
secara konsisten menggunakan istilah at‟ta‟min ini sebagai istilah asuransi yang maknanya lebih luas dibandingkan takaful atau pun tadhamun karena asuransi terjadi adanya pertanggungan yang berdasarkan adanya kepercayaan antar peserta dan adanya penjaminan atas pelaksanaan pertanggungan untuk kesejahteraan bersama. Kata “aamana” yang merupakan kata dasar “ta‟min” dapat kita lihat dalam ayat “aamanahum min ju’ dan aamanhum min khauf” yang maknanya adalah adanya penjaminan dan penanggungan. Dalam ayat lain kata aamana berarti juga adanya kepercayaan, rasa aman, tentram, sejahtera dan bahagia. Berdasarkan hal ini lah kemudian lafadz at-ta‟min memiliki padanan yang lebih luas sebagai istilah asuransi dalam terminologi Islam.17 Ketiga istilah tersebut memiliki kedekatan makna yang sama yaitu adanya kegiatan pertanggungan yang didasari spirit tolong menolong dan rasa kemanusiaan ”atta’awuny”. Prinsip dasar asuransi ini kemudian dibedakan oleh para ulama persoalan hukumnya secara detail. Tidak terdapat persoalan ketika asuransi difahami sebagai kegiatan pertanggungan yang semata-mata ditujukan sebagai aktivitas tolong menolong (at-ta‟min at-ta‟awuny) namun terdapat persoalan ketika asuransi menjadi instrumen penting dalam rangka bisnis sektor keuangan (at-ta‟min at-tijary). Berdasarkan istilah yang digunakan (takaful, tadhamun dan ta‟min) tersebut maka orientasi kegiatan asuransi dalam Islam adalah berorientasi untuk: 1. Saling tolong menolong dan bekerja sama (atta‟awuny) 17Ahmad
2002)
68
Salim Milhim, al-Ta‟mîn al-Islâmy, (Oman: Dar al-A’lam,
BPJS dan Social Insurance...
Melalui al-Qur’an Allah menganjurkan kepada sesama muslim untuk saling berinteraksi satu sama lain dalam rangka saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Saling tolong menolong adalah naluri positif manusia yang menyadari kebutuhan dirinya akan orang lain. Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan merupakan fitrah yang utama yang dipuji dan diridhoi oleh Allah sebagaimana disampaikan dalam surat AlMaidah ayat 2 yang atinya adalah sebagai berikut : “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Q.S. al-Maidah: 2) 2. Saling menjaga keselamatan dan keamanan (atta‟miny) Naluri kemanusiaan lainnya adalah kebutuhan untuk selamat dan aman dalam menjalani kehidupannya di dunia. Asuransi merupakan salah satu bentuk konsepsi dalam mewujudkan rasa keamanan dan keselamatan yang merupakan naluri dasar manusia. Allah SWT pun menjanjikan penjaminan pada ketahanan pangan dan rasa keamanan manusia. Allah swt berfirman: Allah yang telah memberi makan kepada kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan dari ketakutan (Q.S. Quraish : 4) 3. Saling empati, peduli dan tanggung jawab terhadap sesama manusia (takaffuly dan tadhammuny) Seorang muslim bertanggung jawab atas nasib saudaranya. Rasa tanggung jawab merupakan faktor yang mempererat rasa persatuan dan persaudaraan antara sesama manusia. Empati dan peduli terhadap nasib sesama muslim tersebut dalam sabda rasulullah SAW : “Kedudukan persaudaraan orang yang beriman satu dengan 69
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
yang lainnya ibarat satu tubuh, bilamana satu tubuh sakit, maka akan dirasakan sakitnya oleh seluruh anggota tubuh lainnya.” (HR. Bukhari Muslim)18. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda ; “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam satu masyarakat ibarat seluruh bangunan, yang mana tiap bagian dalam bagian itu mengukuhkan bagian lainnya.” (HR. Bukhari Muslim)19 Mayoritas ulama mengharamkan asuransi konvensional karena operasionalnya yang bersifat tabadduly20 sehingga diindikasikan mengandung unsur riba, gharar, jahalah, dan maysir. Sebagai penggantinya ulama dan umat Islam sepakat atas kehalalan asuransi syariah. Pendapat ini didasarkan atas kesepakatan Muktamar Ulama Muslim Ke-II pada tahun 1960, Muktamar Ulama Muslim Ke-VII tahun 1392 H, dan Pertemuan Ulama Fikih tahun 1398 H. Asuransi syariah dihalalkan karena menggunakan sistem kerjasama dan pertolongan (syirkah wa ta‟awuniyah). Praktik ini dibenarkan menurut agama, bahkan didorong untuk saling menolong dalam takwa dan kebaikan.21 Sebagai rujukan operasional asuransi syariah di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan Dewan Syari’ah Nasional (DSN)-nya telah mengeluarkan fatwanya yang bernomor 21 /DSN-MUI/X/2001 tentang
Muslim, Mukhtasar Shahih, Hadits: 1774 Mukhtasar Shahih, Hadits: 1773 20Dengan akad tabadduly maka transaksi asuransi pada hakikatnya memperjual belikan pertanggungan dan mentransfer risiko pada perusahaan asuransi. Jual beli pertanggungan diindikasikan mengandung aspek gharar dan maysir oleh karena itu berbeda dengan asuransi syariah yang menggunakan akad ta‟awuny dimana peserta berbagi risiko melalui dana tabarru‟ dan perusahan asuransi berperan sebagai pengelola yang diberi amanat oleh peserta. 21Ahmad Salim Milhim, al-Ta‟mîn al-Islâmy, hal. 65 – 70 18
19Muslim,
70
BPJS dan Social Insurance...
pedoman umum asuransi syari’ah. Dalam fatwa ini asuransi syari’ah (ta‟min, takaful, atau tadhamun) didefinisikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai dengan syari’ah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.22 D. Operasional BPJS dalam perspektif asuransi syariah BPJS merupakan amanat dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui TAP MPR Nomor X/MPR/2001 yang menugaskan kepada Presiden untuk membentuk SJSN dalam rangka memberikanperlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia yang menyeluruh dan terpadu. TIM SJSN melalui Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2002 tentang pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional merumuskan undang-undang yang kemudian disahkan oleh DPR pada Tahun 2004. SJSN pada dasarnya merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian atas perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program SJSN diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak yang sewaktu-waktu dapat hilang atau berkurang antara lain karena berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, 22Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.21 /DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, (Jakarta: 2001 ), hal. 5
71
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
mengalami kecelakaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), habis masa bekerja (pensiun) maupun karena memasuki usia lanjut. Hadirnya UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk memberikan jaminan dasar yang layak bagi seluruh masyarakat karena itu menjadi kewajiban konstitusional pemerintah terhadap rakyatnya yang harus dikelola langsung oleh pemerintah agar terciptanya suatu pemerataan dan keadilan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dijelaskan dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pelaksanaan SJSN didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Prinsip kegotong-royongan, prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong-royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Prinsip nirlaba, bahwa pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan bagi badan penyelenggara jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesarbesarnya kepentingan peserta. 3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pegelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan dari hasil pengembangannya.
72
BPJS dan Social Insurance... 4. Prinsip
kehati-hatian, pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib. 5. Prinsip akuntabilitas, pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 6. Prinsip Portabilitas, bahwa jaminan sosial yang dimaksud untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal, tetapi masih dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertambah majunya pertumbuhan ekonomi lebih lancarnya transportasi nusantara dan meluasnya usaha-usaha pemerintah maupun sektor swasta di seluruh nusantara menyebabkan penduduk akan lebih sering berpindah-pindah. 7. Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta walaupun dalam penerapannya tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal dan pekerja pada sektor informal yang dapat menjadi peserta acara sukarela. 8. Prinsip dana amanat, bahwa dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 9. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional bahwa hasil berupa deviden dari para pemegang saham dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
73
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
BPJS dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban. Undang-Undang ini membentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknyadua BPJS ini diharapkan secara bertahap akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial. Terkait pengawasan operasional BPJS menurut Undang-Undang BPJS Nomor 24 Tahun 2011 bahwa lembaga yang melakukan pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga Independen. Lembaga independen yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melihat prinsip-prinsip operasional dan adanya pengawasan yang komprehensif terkait BPJS maka BPJS dapat dikategorikan sebagai “Ta‟min al-Ijtima‟iy" atau “tadhommuny” yang oleh ulama tidak diperdebatkan kehalalannya. Hal ini terwujud dalam visi yang nirlaba dan jika pun terdapat prinsip profit pada hakikatnya 74
BPJS dan Social Insurance...
dimaksudkan untuk memperluas cakupan dan keberlangsungan program BPJS yang manfaatnya akan dikembalikan kepada peserta. Partisipasi peserta pada program BPJS adalah menggunakan akad tabarru‟. Sehingga tidak terdapat unsur transaksi benefit (tabadduly) yang mengikat, semata-mata iuran kepesertaan dibayarkan sebagai urunan kontribusi pertanggungan bagi sesama peserta (risk sharing principle). Terdapat kelemahan yang harus diperhatikan oleh BPJS terkait operasionalnya yang belum menggunakan perbankan dengan system syariah. Tentu hal ini akan bertentangan dengan nilai-nilai positif BPJS di kalangan umat Islam yang mengharamkan transaksi perbankan konvensional. Kondisi ini bisa saja dimaklumi sebagai kondisi darurat karena belum adanya perbankan syariah di Indonesia yang merupakan BUMN dan memiliki jangkauan akses sebesar bank BUMN konvensional lainnya. Namun demikian, perlu didorong secara terus menerus arah perbaikan dari sisi operasional dan pengembangan investasi BPJS agar tidak bertentangan dengan syariah pada keseluruhan operasionalnya. Untuk melihat bagaimana asuransi bekerja Mohammad Ma’sum Billah membagi kepada dua pihak terkait, yang pertama sebagai operator asuransi (the Takaful operator) dan yang kedua adalah peserta asuransi (the Takaful participant/ the Takaful contributor).23 Menggunakan sudut pandang tersebut, maka BPJS operatornya adalah pihak yang ditunjuk pemerintah dengan misi yang diamanatkan oleh undang-undang
23Mohd.
Ma’sum Billah, Legal Capacity To Contract Of Takaful : An Islamic Jurisprudential Consideration, International Journal of Islamic Financial Services, Vol.4, No.1
75
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
sebagai visi nirlaba, maka tiada masalah terhadap mekanismenya karena posisi BPJS adalah pemegang amanah dari pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pihak kedua adalah peserta yang dibagi menjadi peserta dengan kontribusi aktif personal dan peserta tertentu yang kurang mampu secara ekonomi kontribusinya dijamin oleh pemerintah, baik pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah. Pada prakteknya BPJS dianggap oleh sebagian masyarakat yang kurang mampu memberatkan karena adanya kewajiban untuk membayar premi asuransi. Beberapa anggota masyarakat belum ter-cover karena tidak memiliki informasi yang cukup dan akses terhadap program social pemerintah daerah. Dalam kasus seperti ini, tentu bisa saja bagi masyarakat muslim untuk menggunakan jalur kontributif lain, misalnya menggunakan jejaring lembaga zakat, baik dari sisi informasi anggota masyarakat yang perlu dibantu melalui pendanaan pemerintah dan dimungkinkan adanya kontribusi partisipatif filantropis dari masyarakat yang mampu melalui lembaga zakat. E. Kesimpulan BPJS sebagai amanah konstitusi dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip operasional yang sejalan dengan Islam yaitu adanya keberpijakan pemerintah terhadap kemaslahatan umat (tasharruful imam „alarraiyyah manutun bil mashlahah). Namun demikian perlu adanya pengawasan dan dorongan dari ulama terkait operasionalnya yang masih terikat untuk menggunakan lembaga keuangan non-syariah. Sebagai fungsi ta‟min alijtima‟iy BPJS dalam memberikan jaminan sosial kepada 76
BPJS dan Social Insurance...
masyarakat, pada unsur kontributornya dapat melibatkan lembaga zakat yang dapat diperankan sebagai pemberi rekomendasi peserta pertanggungan yang dijamin pemerintah dan sebagai kontributor dana peserta melalui penghimpunan dana berbasis filantropi.
77
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
Daftar Pustaka Afzalur Rahman, Ensiklopedi Ilmu dalam Alqur‟an, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2007) Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010) Ahmad Salim Milhim, al-Ta‟mîn al-Islâmy, (Oman: Dar al-A’lam, 2002) Bagir Manan, Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, (Lampung : Fakuktas Hukum UNILA, 1996) Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.21 /DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, (Jakarta: 2001 ) Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, Makalah Kegiatan Perkaderan Darul Arqom Paripurna (DAP) IMM Tahun 2008 Jaribah bin Ahmad Al-haritsi, Fikih Ekonomi Umarbin Al- Khatab (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008) Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung : PT Alumni, 2006) Mohd. Ma’sum Billah, “Legal Capacity To Contract Of Takaful: An Islamic Jurisprudential Consideration”, 78
BPJS dan Social Insurance...
International Journal of Islamic Financial Services, Vol.4, No.1 Mohd. Ma’sum Billah, Principles & Practices of Takaful and Insurance Compared (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2001) Muhammad Syauqi al-Fanjari, al-Islam wa al-Ta‟min (Riyad Saudi Arabiah : Akadz, 1984) Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta : Kencana, 2000) Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik dalamPemikiran Islam (Bandung: Nuansa, 2005) Syakir Sula, Ansuransi Syariah : Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta : Gema Insani, 2004) Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta : Gema Insani Press, 1997) Ziauddin Ahmad, Al-Qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan (Jakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998)
79
Jurnal Syar‟Ínsurance Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2015
80