JURNAL PENDIDIKAN NON FORMAL
JPNF
BP-PAUDNI REGIONAL II
Aktivitas Warga Belajar Paket B Dalam Kegiatan Pembelajaran di PKBM Taman Pendidikan Kelurahan Tapa, Kota Utara Membangun Jiwa Kewirausahaan Melalui Pendidikan Ketokan Motivasi Kewirausahaan (Model Revolusioner Pembelajaran Kewirausahaan) Studi Eksplorasi Stimulasi Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 0 - 6 Tahun Belajar Sepanjang Hayat: Responsif Menuju Learning Sosiety (Sebuah Kajian Teoritik) Fenomena Buta Aksara Kembali di Dusun Kreweh Desa Gunungrejo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang (Perspektif Fenomenologi Weber)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PAUDNI
BP-PAUDNI REGIONAL II 2015
JPNF Edisi 12 2015
i
Pelindung Kepala BP PAUDNI Regional II Penasehat Kepala Seksi Informasi dan Kemitraan Redaktur Eko Yunianto Editor Widya Ayu Puspita Putu Ashintya Widhiartha Sekretariat M. Subchan Sholeh Alief Habibiy Ferdiana Rosyidah
Alamat Redaksi Gedung Pusat BPPAUDNI Regional II Jl. Gebang Putih No. 10 Sukolilo Surabaya 60117 Telp. 031 5945101 – 5925972 Fax. 031 5953787
ii
JPNF Edisi 12 2015
Jurnal PNF Edisi 12 2015
Aktivitas Warga Belajar Paket B Dalam Kegiatan Pembelajaran di PKBM Taman Pendidikan Kelurahan Tapa, Kota Utara [Abdul Rahmat] Membangun Jiwa Kewirausahaan Melalui Pendidikan Ketokan Motivasi Kewirausahaan (Model Revolusioner Pembelajaran Kewirausahaan) [Santoso] Studi Eksplorasi Stimulasi Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 0 - 6 Tahun [Widya Ayu Puspita] Belajar Sepanjang Hayat: Responsif Menuju Learning Sosiety (Sebuah Kajian Teoritik) [Wiwin Yulianingsih] Fenomena Buta Aksara Kembali di Dusun Kreweh Desa Gunungrejo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang (Perspektif Fenomenologi Weber) [Erfan Agus Munif]
JPNF Edisi 12 2015
iii
iv
JPNF Edisi 12 2015
KATA PENGANTAR Kewirausahaan merupakan penggerak yang sangat penting bagi kemajuan perekonomian dan sosial suatu negara. Pertumbuhan yang begitu cepat dari banyak perusahaan tidak lepas dari adanya peran kewirausahaan yang dinilai sebagai sumber pertumbuhan inovasi, produktivitas dan peluang kerja. Menurut World Economic Forum, sebuah lembaga nirlaba di Jenewa, Swiss, yang didirikan oleh seribu perusahaan papan atas dunia, banyak negara secara aktif mempromosikan program kewirausahaan melalui berbagai bentuk dukungan dari berbagai negara. Seperti dikemukakan sosiolog David Mc Clelland, suatu negara bisa menjadi makmur bila ada sedikitnya 2 % wirausahawan dari total jumlah penduduknya. Singapura sudah 7,2% warganya menjadi wirausahawan, Malaysia 5%, dan Thailand 3% sedangkan di Indonesia baru memiliki 0,43% wirausahawan pada tahun 2015. Kewirausahaan tengah naik daun di banyak negara karena pengaruhnya yang signifikan dalam mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Dalam konteks ini, pengembangan jiwa wirausaha melalui strategi yang tepat menjadi sebuah kebutuhan. Salah satunya adalah melalui ketukan motivasi yang diulas dalam JPNF edisi satu tahun 2015. Ragam tema lainnya juga tersaji pada edisi ini. Seperti PAUD, pendidikan kesetaraan, hingga keaksaraan dalam bentuk kajian teoritis maupun hasil riset. Dari pembelajaran sepanjang hayat, stimulasi perkembangan motorik halus anak usia dini, fenomena buta aksara kembali dan pembelajaran Kejar Paket B. Ulasan hasil riset maupun kajian para penggiat PAUDNI dari berbagai lembaga dalam edisi ini diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk melahirkan ide-ide segar dalam peningkatan mutu dan kualitas program PAUDNI. Agar PAUDNI sebagai pendidikan alternatif dapat memberi manfaat nyata bagi masyarakat yang terbelakang, tertinggal dan tak terjangkau. Kepala Balai Pria Gunawan SH, MSi NIP.19620320 199203 1 001
JPNF Edisi 12 2015
v
vi
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
AKTIVITAS WARGA BELAJAR PAKET B DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN DI PKBM TAMAN PENDIDIKAN KELURAHAN TAPA KOTA UTARA Abdul Rahmat
Abstract This study aimed to describe the activities of people learning package B in learning activities at PKBM Taman Pendidikan in Tapa Kota Utara village. This research is a qualitative descriptive study. Data collection techniques in this study using interviews, observation, documentation. The analysis technique used is qualitative analysis. Based on the results, it can be concluded that the learning activity is any activity carried out in the process of interaction (tutors and learners) in order to achieve learning objectives. In connection with the results of this research on teaching and learning activities, can not be separated from each other in teaching process. Both concepts are integrated in an activity, which is the time of the reciprocal relationship between the tutor with the citizens of learning and give birth to a new concept called teaching and learning activities. Thus an understanding of the notion will be influenced by the planning and implementation of teaching and learning activities. From this understanding of teaching and learning will be born the various forms of activities that can be done, both learners and tutors in carrying out the teaching and learning activities. Keywords: PKBM, activity and learning.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan aktivitas warga belajar paket B dalam kegiatan pembelajaran di PKBM Taman Pendidikan Kelurahan Tapa Kota Utara. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Berdasarkan hasil JPNF Edisi 12 2015
1
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (tutor dan warga belajar) dalam rangka mencapai tujuan belajar. aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada warga belajar. Sehubungan dengan hasil penelitian ini mengenai aktivitas belajar mengajar, tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam pengajaran. Kedua konsep tersebut terpadu dalam suatu kegiatan, yaitu saat terjadinya hubungan timbal balik antara tutor dengan warga belajarnya dan melahirkan konsep baru yang disebut kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian pemahaman tentang pengertian belajar mengajar akan dipengaruhi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Dari pengertian belajar mengajar inilah akan lahir berbagai bentuk kegiatan yang dapat dilakukan, baik itu warga belajar maupun tutor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Kata kunci: PKBM, aktivitas dan Pembelajaran. LATAR BELAKANG Pengembangan pendidikan kesetaraan diarahkan tidak lepas dari landasan empiris. Landasan empiris yang dapat dijadikan acuan adalah lingkungan global lingkungan nasional dan lingkungan lokal. Konsekuensi dari lingkungan global mengharuskan pendidikan kesetaran menerapkan berbagai prinsip dan pendekatan pembelajaran yang sangat mendasar seperti peningkatan mutu secara global sehingga lulusan pendidikan kesetaraan mampu bersaing secara global. Untuk mewujudkan pendidikan nasional dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu formal, nonformal dan informal. Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum yang Setara SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MAN yang mencakup program Paket A, Paket B dan Paket C. Program Paket B merupakan satuan dari pendidikan luar sekolah atau dapat di sebut juga sebagai pendidikan nonformal. Keaktifan warga belajar selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau dorongan terhadap warga belajar.warga belajar dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan 2
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
ciri-ciri perilaku seperti: sering bertanya kepada guru atau tutor,mau mengerjakan tugas yang diberikan guru,mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya. Sesuai dengan pengamatan dipadukan dengan kondisi nyata pada program Paket B di kelurahan Wonggaditi dimana dari 25 warga belajar, yang hadir rata-rata hanya 7 sampai 8 warga,sering malas mengikuti pembelajaran yang tidak sukai seperti pembelajaran bahasa inggris, tidak sering bertanya pada tutor, tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh tutor, hal ini tercermin pada saat proses belajar ada sebagian warga belajar yang mau memperhatikan dengan baik penjelasan materi oleh tutor. Diperoleh data bahwa dalam pembelajaran diperkirakan rata-rata sekitar 20% warga belajar jarang menyelesaikan tugas pekerjaan rumah yang telah disampaikan oleh tutor. kondisi ini memberikan gambaran masih rendahnya aktivitas belajar terhadap warga belajar.dalam melakukan aktivitas belajar warga belajar perlu adanya dorongan, baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar. Apabila dorongan tersebut tinggi dan positif,maka hasil dari aktivitasnya akan memperoleh nilai yang lebih baik. Aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (tutor dan warga belajar) dalam rangka mencapai tujuan belajar. aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada warga belajar, sebab dengan adanya aktivitas warga belajar dalam proses pembelajaran terciptalah situasi belajar aktif, Agar terjadi aktivitas belajar pada proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar seorang tutor perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada warga belajar dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pembelajaran yang kurang memperhatikan perbedaan individual didasarkan pada keinginan tutor, akan sulit untuk dapat mengantarkan warga belajar ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Kondisi seperti inilah yang pada umumnya terjadi pada pembelajaran konvensional. Konsekuensi dari pendekatan pembelajaran seperti ini adalah terjadinya kesenjangan yang nyata antara warga belajar yang cerdas dan yang kurang cerdas dalam pencapaian tujuan pembelajaran.Kondisi seperti ini mengakibatkan tidak diperolehnya ketuntasan dalam belajar, sehingga sistem belajar tuntas terabaikan. Hal ini membuktikan JPNF Edisi 12 2015
3
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
terjadinya kegagalan dalam proses pembelajaran di PKBM. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian warga belajar berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa warga belajar hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama perhatian warga belajar dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir. Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di lingkungan PKBM. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam dunia pendidikan kita, terutama disebabkan oleh warga belajar lebih banyak menggunakan indera pendengaran dibandingkan visual, sehingga apa yang dipelajari tersebut cenderung untuk dilupakan. Berdasarkan hasil kajian di lapangan bahwa warga belajar paket B dalam pelaksanaan pembelajaran warga belajar kadang hadir kadang tidak hadir.Berdasarkan latar belakang masalah,maka penulis terdorong untuk meneliti aktivitaswarga belajar dalam mengikuti pembelajaran Paket B di PKBM Taman Pendidikan Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara. KAJIAN TEORITIS Aktivitas artinya “kegiatan atau keaktifan” yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik merupakan suatu aktifitas (Jamaris, 2006:19). Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada warga belajar sebab dengan adanya aktivitas warga belajar dalam proses pembelajaran terciptalah situasi belajar aktif. Keaktifan warga belajar selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar.peserta didik dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti: sering bertanya kepada guru atau tutor,mau mengerjakan tugas yang diberikan guru,mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya. Dari pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar seorang guru/tutor perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada peserta didik dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin 4
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
dicapai.Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri peserta didik agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan perubahan tingkahlaku peserta didik sesuai dengan apa yang diharapkan. Aktifitas guru/tutor untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar peserta didik berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran Dengan kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. tutor bertugas membantu orang belajar dengan caramemanipulasi lingkungan sehingga siswa dapat belajar dengan mudah, artinya tutor harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai strategi pembelajaranyang ada, yang paling memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal. Dalam pembelajaran proses belajar tersebut terjadi secara bertujuan dan terkontrol. Tujuantujuan pembelajaran telah dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran Tutor disini adalah sebagai pengelola proses belajar mengajar tersebut. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi disebutkan bahwa terdapat dua jenis sistem penyelenggaraan progran pendidikan di di semua jenjang dan jenis satuan pendidikan yaitu: (1) Sistem Paket dan (2) Sistem Kredit Semester. Sistem Paket adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan. Sedangkan Sistem Kredit Sementer adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Pada Sistem Paket, beban belajarsetiap mata pelajaran dinyatakan dalam Satuan Jam Pembelajaran, sedangkan pada Sistem Kredit Semester dinyatakan dalam Satuan Kredit Semester (SKS) Baik pada Sistem Paket maupun Sistem SKS, keduanya memiliki 3 (tiga) komponen beban belajar yang sama, yaitu: (1) tatap muka; (2) penugasan terstruktur; (3) kegiatan mandiri tidak terstruktur, yang dimaksudkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. JPNF Edisi 12 2015
5
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
1. Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik. 2. Penugasan terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik. Penugasan terstruktur termasuk kegiatan perbaikan, pengayaan, dan percepatan 3. Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaiannya diatur sendiri oleh peserta didik. Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada masing-masing satuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut: 1. SD atau yang sederajat berlangsung selama 35 menit, dengan jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu: (a) kelas I s.d. III adalah 29 s.d. 32 jam pembelajaran dan (b) kelas IV s.d. VI adalah 34 jam pembelajaran 2. SMP atau yang sederajat berlangsung selama 40 menit, dengan jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu sebanyak 34 jam pembelajaran. 3. SMA atau yang sederajat berlangsung selama 45 menit, dengan jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu sebanyak 38 s.d. 39 jam pembelajaran. Waktu untuk beban penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SD atau yang sederajatmaksimum 40% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan. 2. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SMP atau yang sederajat maksimum 50% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan. 3. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SMA atau yang sederajat maksimum 60% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata 6
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
pelajaran yang bersangkutan. Djamarah (2007:66) mengemukakan tentang langkah-langkah yang harus diikuti dalam penggunaan metode pemberian tugas atau metode resitasi, yakni sebagai berikut: 1. Fase pemberian tugas Tugas yang diberikan kepada peserta didik hendaknya mempertimbangkan: a. Tujuan yang akan dicapai b. Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut. c. Sesuai dengan kemampuan peserta didik d. Ada petunjuk/sumber yang dapat membantu pekerjaan peserta didik e. Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut. 2. Langkah pelaksanaan tugas a. Diberikan bimbingan/pengawasan oleh guru b. Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja c. Diusahakan/dikerjakan oleh peserta didik sendiri, tidak menyuruh orang lain d. Dianjurkan agar peserta didik mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematik. 2. Fase mempertanggungjawabkan tugas a. Laporan peserta didik baik lisan/tertulis dari apa yang telah dikerjakan b. Ada tanya jawab/diskusi kelas c. Penilaian hasil pekerjaan peserta didik baik dengan tes maupun nontes atau cara yang lainnya. Dari paparan di atas kita melihat bahwa pemberian tugas kepada peserta didik perlu disediakan waktu yang cukup. Untuk itu pemberian tugas hendaknya proporsional. Artinya, guru seyogyanya tidak memberikan tugas yang berlebihan alias terlalu membebani peserta didik. Perlu diingat bahwa dalam KTSP, ketentuan tugas yang dibebankan kepada peserta didik maksimum hanya separuh dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.
JPNF Edisi 12 2015
7
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
METODE PENELITIAN Latar penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PKBM Taman Pendidikan. Lokasi ini secara geografis mudah di jangkau sehingg memudahkan untuk mengadakan penelitian. tercatat jumlah warga belajar paket B sebanyak 25 orang. PKBM Sebagai Penyelenggara program paket B yang setara dengan SMP/MTs yang mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran yang lengkap mengenai proses penelitian ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dimana penilitian ingin lebih menekankan kepada pengungkapan makna dan proses dengan latar belakang kami sebagai sumber data langsung (Moleong, 2006:54). Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif karena motode atau prosedur penelitian akan menghasilkan data deskriptif berupa fakta-fakta tertulis atau lisan dari perilaku yang diamati. Dengan rancangan penelitian ini berujuan untuk menjelaskan lebih terperinci dan kronologis sehingga dapat merekomendasikan berbagai pihak yang kepentingan dalam upaya perumusan kebijakan pendidikan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Aktifitas Kondisi Pembelajaran di PKBM Untuk mendapatkan data penelitian terkait kesiapan kondisi pembelajaran, peneliti melakukan wawancara kepada salah satu warga belajar untuk mengidentifikasikan tingkah laku masukan dan karekteristik kesiapan peserta didik dalam belajar. Menurut FT mengemukakan bahwa: ...... oh ya, pak atau bu guru biasanya mengawali pembelajaran dengan mengabsen atau cek daftar hadir warga untuk mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik warga belajar sangat diperlukan untuk mengetahui kualitas perseorangan untuk dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam memdeskripsikan strategi pengolaan pembelajaran. Aspek –aspek yang di ungkap dalam kegiatan ini bisa berupa data bakat, motivasi belajar, gaya 8
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
belajar, kemampuan berpikir, minat, atau kemampuan awal. Untuk mengungkap kemampuan awal mereka dapat dilakukan dengan pemberian tes dari tingkat bawah atau tes yang berkaitan dengan materi ajar yang sesuai panduan kurikulum.....” (W/FT/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas, minat motivasi, kelakuan berpikir, gaya belajar, dll dapat dilakukan dengan bantuan tes yang dirancang oleh tutor. Kondisi yang baik untuk mendukung aktivitas warga belajar menurut salah seorang warga belajar IP sebagai berikut: .....ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan. Hasil pekerjaan warga belajar sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi warga belajar untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi warga lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan warga belajar, dan ditata dengan baik, dapat membantu tutor dalam KBM karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah. (W/IP/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas,lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram. Untuk mendapatkan data penelitian terkait kehadiran warga belajar, peneliti melakukan wawancara kepada beberapawarga belajar. Menurut RA mengemukakan bahwa: JPNF Edisi 12 2015
9
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
”...oh, begini ba, kehadiran warga belajar adalah kehadiran dan keikutsertaan warga belajar secara fisik dan mental terhadap aktivitas pembelajaran pada jam-jam efektif. Sedangkan ketidakhadiran adalah ketiadaan partisipasi secara fisik warga belajar terhadap kegiatan-kegiatan pembelajaran pada paket B. Pada jam-jam efektif pembelajaran, warga belajar memang harus berada di PKBM. Kalau tidak ada, seyogyanya dapat memberikan keterangan yang sah…….” (W/RA/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Warga yang hadir hendaknya dicatat oleh tutor dalam buku presensi. Sementara yang tidak hadir dicatat dalam buku absensi. Dengan perkataan lain, presensi adalah daftar kehadiran warga belajar, sementara absensi adalah buku daftar ketidakhadiran warga belajar. (W/YB/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Begitu jam pertama dinyatakan masuk, masuk ke kelas, tutor mempresensi warga belajarnya satu persatu. Selain agar mengenali satu persatu warga belajarnya yang masuk dan yang tidak masuk. Demikian juga pada jam-jam berikutnya setelah istirahat, tutor perlu mempresensi kembali, barangkali ada warga belajarnya yang pulang sebelum waktunya.Tidak jarang, warga belajar pulang sebelum waktunya, hanya karena sudah dinyatakan masuk melalui presensi pada jam pertama. (W/SK/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Pada umumnya ketidakhadiran warga belajar dapat dibagi kedalam tiga bagian: (1) alpa, yaitu ketidakhadiran tanpa keterangan yang jelas, dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; (2) ijin, ketidakhadiran dengan keterangan dan alasan tertentu yang bisa dipertanggungjawabkan, biasanya disertai surat pemberitahuan dari orang tua; dan (3) sakit, ketidakhadiran dengan alasan gangguan kesehatan, biasanya disertai surat pemberitahuan dari orang tua atau surat keterangan sakit dari dokter. (W/HK/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas, pengertian kehadiran seperti 10
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
yang dikemukakan di atas seringkali dipertanyakan. Informasi tingkat kehadiran dan ketidakhadiran warga belajar ini sangat berguna untuk pengambilan kebijakan, baik pada tingkat kelas maupun PKBM serta dapat digunakan untuk kepentingan pemberian bimbingan kepada warga belajar yang mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban kehadirannya di PKBM. Proses pembelajaran Untuk mendapatkan data penelitian terkait aktivitas dalam pembelajaran, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa warga belajar dan tutor. Menurut Ibu N mengemukakan bahwa: ................sebagaimana kita ketahui bahwa sasaran akhir dari suatu program pembelajaran adalah tercapainya tujuan umum pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, setiap perancang harus mempertimbangkan secara mendalam tentang rumusan tujuan umum pengajaran yang akan ditentukannya. Mempertimbangkan secara mendalam artinya, untuk merumuskan tujuan umum pembelajaran harus mempertimbangkan karekteristik bidang studi, karekteristik warga belajar, dan kondisi lapangan. .....” (W/N/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Tujuan pembelajaran adalah untuk menentukan apa yang dapat dilakukan oleh anak didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. ...” (W/ED/Tut-PKBM.TP/5.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas, tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara spesifik dan jelas, akan memberikan keuntungan kepada : 1. Peserta didik untuk dapat mengatur waktu dan pemusatan perhatian pada tujuan yang ingin dicapai. 2. Tutor untuk dapat mengatur kegiatan instruksional-nya,metodanya, dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. 3. Evaluator untuk dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh anak didik. Ada tiga komponen utama dari suatu rumusan tujuan pembelajaran, yaitu perilaku, kondisi, dan derajat kriteria keberhasilan. JPNF Edisi 12 2015
11
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
Aktifitas pada Inti Pembelajaran Membimbing warga sesuai tema Untuk mendapatkan data penelitian terkait membimbing warga sesuai tema, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa warga belajar. Menurut GL mengemukakan bahwa: “……………..oh ya, pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartsipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi …..” (W/GL/WB-Paket B-PKBM.TP/5.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas, aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (tutor dan warga belajar) dalam rangka mencapai tujuan belajar. Keaktifan warga belajar selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau motivasi warga belajar untuk belajarpeserta didik dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti: sering bertanya kepada tutor atau tutor,mau mengerjakan tugas yang diberikan tutor,mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya. Aktifitas tutor/tutor untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar peserta didik berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar.Tutor bertugas membantu orang belajar dengan cara memanipulasi lingkungan sehingga warga belajar dapat belajar dengan mudah, artinyatutor harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai strategi pembelajaran yang ada, yang paling memungkinkan proses belajar warga belajar berlangsung optimal. Untuk mendapatkan data penelitian, peneliti melakukan wawancara 12
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
kepada salah satu tutor. Menurut MKP mengemukakan bahwa: …..membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna, memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis, memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, memecahkan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut, memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. (W/MKP/WB-Paket B-PKBM.TP/12.03.12) Dari pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar seorang tutor/tutor perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada peserta didik dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Aktifitas pada Evaluasi Pembelajaran Untuk mendapatkan data penelitian terkait, peneliti melakukan wawancara kepada warga belajar. Menurut Ibu RD mengemukakan bahwa: “setiap selesai pembelajaran tutor dan warga belajar selalu melakukan refleksi pembelajaran.Usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian. Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan mendorong tutor untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi warga belajar untuk belajar yang lebih JPNF Edisi 12 2015
13
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
baik........” (W/RD/WB-Paket B-PKBM.TP/12.03.12) Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan dengan demikian adalah proses pembelajaran yang dilakukan, sedangkan salah satu faktor penting untuk efektivitas pembelajaran adalah faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran. Evaluasi dapat mendorong warga belajar untuk lebih giat belajar secara terus menerus dan juga mendorong tutor untuk lebih meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta mendorong PKBM untuk lebih meningkatkan fasilitas dan kualitas manajemen PKBM. Program paket B adalah suatu kegiatan membelajarkan bagi warga masyarakat yang membutuhkan pendidikan dasar umum ketrampilan mata pencaharian di mana dalam proses belajarnya menggunakan buku Paket B. Untuk mendapatkan data penelitian, peneliti melakukan wawancara kepada salah satu tutor dan warga belajar. Menurut Ibu HL tutor Kesenian mengemukakan bahwa: ………….mengevaluasi keberhasilan program pembelajaran tidak cukup hanya dengan mengadakan penilaian terhadap hasil belajar warga belajar sebagai produk dari sebuah proses pembelajaran. Kualitas suatu produk pembelajaran tidak terlepas dari kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Evaluasi terhadap program pembelajaran yang disusun dan dilaksanakan tutor sebaiknya menjangkau penilaian terhadap: 1) desain pembelajaran, yang meliputi kompetensi yang dikembangkan, strategi pembelajaran yang dipilih, dan isi program, 2) implementasi program pembelajaran atau kualitas pembelajaran, dan 3) hasil program pembelajaran. (W/HL/Tut-PKBM.TP/12.03.12) ………….penilaian terhadap hasil program pembelajaran tidak cukup terbatas pada hasil jangka pendek atau output tetapi sebaiknya juga menjangkau outcome dari program pembelajaran. Berbagai model evaluasi program dapat dipilih oleh tutor maupun PKBM untuk mengadakan evaluasi terhadap 14
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
keberhasilan program pembelajaran. Pemilihan suatu model evaluasi akan tergantung pada kemampuan evaluator, tujuan evaluasi serta untuk siapa evaluasi itu dilaksanakan. (W/ASG/WB-Paket B-PKBM.TP/12.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas, sistem evaluasi harus difokuskan dengan jelas pada proses perbaikan daripada pertanggungjawaban untuk produk akhir. Sistem ini harus dioperasikan dekat dengan titik intervensi (obyek yaitu PKBM) untuk perubahan. Pendekatan analisis evaluasi pembelajaran dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan PKBM. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi evaluasi di bidang pendidikan harus ditangani dengan analisis multivariat sehingga dapat memberikan bimbingan kepada pengawas sebagai upaya perubahan. Aktifitas Pembelajaran pada Penyelesaian Tugas Untuk mendapatkan data penelitian terkait, peneliti melakukan wawancara kepada warga belajar. Menurut RK mengemukakan bahwa: …metode pemberian tugas dapat diartikan sebagai suatu format interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya satu tugas atau lebih tugas yang diberikan oleh guru, dimana penyelesaian tugas-tugas tersebut dapat dilakukan secara perorangan atau saudara kelompok sesuai dengan perintahnya. (W/RK/WB-Paket B-PKBM.TP/14.03.12) …metode pemberian tugas adalah suatu penyajian bahan pembelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar peserta didik melakukan kegiatan belajar dan memberikan laporan sebagai hasil dari tugas yang dikerjakannya. Metode ini mengacu pada penerapan learning by doing. (W/FA/WB-Paket B-PKBM.TP/14.03.12) Berdasarkan hasil wawancara di atas, pemberian tugas sebagai suatu metode mengajar merupakan suatu pemberian pekerjaan oleh guru kepda peserta didik untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Dengan pemberian tugas tersebut siswa belajar, mengerjakan tugas. Dalam melaksanakan kegiatan belajar siswa diharapkan memperoleh suatu hasil berupa perubahan tingkahlaku tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.Tahap terakhir dari pemberian tugas ini adalah JPNF Edisi 12 2015
15
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
resitasi yang berarti melaporkan atau menyajikan kembali tugas yang telah dikerjakan atau dipelajari.Jadi pemberian metode tugas belajar dan resitasi atau biasanya disingkat metode resitasi merupakan suatu metode mengajar dimana guru memberikan tugas kemudian peserta didik harus mempertanggungjawabkan hasil tugas tersebut. Resitasi sering disamakan dengan pekerjaan rumah, padahal sebenarnya berbeda.Pekerjaan rumah (PR) mempunyai pengertian yang lebih khusus ialah tugas-tugas yang diberikan oleh guru, dikerjakan peserta didik dirumah. Sedangkan resitasi, tugas yang diberikan oleh guru tidak sekedar dilaksanakan dirumah melainkan dapat dikerjakan di tempat lain yang ada hubungannya dengan tugas/ pelajaran yang diberikan. Jadi resitasi lebih luas dari pada pekerjan rumah, tetapi keduanya mempunyai kesamaan, yaitu mempunyai unsur tugas, dikerjakan oleh peserta didik dan dilaporkan hasilnya mempunyai unsur didaktis pedagogis. Dalam penerapannya pada proses pembelajaran, sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : 1. Tugas memperdalam pengertian peserta didik terhadap pelajaran yang telah diterima. 2. Agar peserta didik dapat memanfaatkan waktu terluang untuk menyelesaikan tugas. 3. Tugas melatih peserta didik untuk menemukan sendiri cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan tugas. 4. Tugas memperkaya pengalaman-pengalaman di PKBM melalui kegiatan-kegiatan di luar kelas. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (tutor dan warga belajar) dalam rangka mencapai tujuan belajar. aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada warga belajar. Aktivitas aktif warga belajar dalam proses pembelajaran tercipta situasi belajar aktif, Agar terjadi aktivitas belajar pada proses belajar atau terjadinya perubahan tingkah laku sebelum kegiatan belajar mengajar seorang tutor perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada warga belajar 16
JPNF Edisi 12 2015
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Sehubungan dengan hasil penelitian ini mengenai aktivitas belajar mengajar, tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam pengajaran. Kedua konsep tersebut terpadu dalam suatu kegiatan, yaitu saat terjadinya hubungan timbal balik antara tutor dengan warga belajarnya dan melahirkan konsep baru yang disebut kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian pemahaman tentang pengertian belajar mengajar akan dipengaruhi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Dari pengertian belajar mengajar inilah akan lahir berbagai bentuk kegiatan yang dapat dilakukan, baik itu warga belajar maupun tutor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Saran-saran 1. Untuk membangkitkan aktifitas yang aktif, tutor hendaknya membangkitkan motivasi dan meneguhkan hasrat peserta didik mengarah kepada kegiatan belajar mandiri, 2. Bersama peserta didik merancang kegiatan belajar mandiri yang dituangkan dalam bentuk kontrak belajar yang mencakup SK dan KD, jenis tugas, dan waktu penyelesaian, 3. Melaksanakan kegiatan belajar mandiri sesuai dengan kontrak belajar yang mencakup SK dan KD, jenis tugas, dan waktu penyelesaian, DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zaenal. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosda Karya Press Arikunto Suharsimi. (2006) Presedur penelitian Jakarta: PT Asdi Mahastya Aryani (2008 :190)Membangun kecerdasan anak Jakarta:PT Arga publishing Asmani (2009:144) Tips menjadi guru inspiratif,kreatif,dan inovatif Diva press (anggota IKAPI) Djudju Sudjana (1983:40), Pendidikan Luar Sekolah : Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah dan Teori Pendukung Asas (Edisi terbaru), Falah Production, Bandung. Djudju Sudjana. (1991:31-35), Pendidikan Luar Sekolah : Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah dan Teori Pendukung Asas, Nusantara Press, Bandung. JPNF Edisi 12 2015
17
Rahmat, Aktifitas Warga Belajar Paket C
Hamalik, Oemar (2008.89). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: PT Bina Aksara Iskandar, A. (1991:7-8).Pendidikan Non Formal dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta Jamaris (2006:123) Perkembangan dan pengembangan anak, Jakarta PT Grasindo (anggota ikapi) Marjuki (2009:166) Dimensi-dimensi pendidikan nonformal, Malang:FIP Malang Modul (2007). Reformasi Pendidikan Kesetaraan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Kesetaraan Moleong. Lexy. J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya. Petersen (2008 :14) Bagaiman memotivasi anak belajar Jakarta:PT Gransindo (anggota IKAPI) Prawiradilaga, DS. (2008). Prinsip-Prinsip Pembelajaran. Jakarta: Kencana Publishing Purwanto (2009:38) Evaluasi hasil belajar :Yokyakara Pustaka belajar Sardiman (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press Sardiman A.M. (2007:95), Interaksi dan motivasi belajar mengajar,Jakarta: PT. Raja Grafindo persada Sidi indra djati (2001:192) Menuju masyarakat belajar,Jakarta:Paramidana Suyanto (2008:164) Strategi pendidikan anak Yogyakarta: Hikayat Publising Syaffat (2009:2) Optimized learning strategi, Jakarta:Prestasi pustaka publisher Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Yamin M dan Maisah (2009). Manajemen Pembelajaran Kelas. Jakarta: GP Press
18
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
MEMBANGUN JIWA KEWIRAUSAHAAN MELALUI PENDIDIKAN KETOKAN MOTIVASI KEWIRAUSAHAAN (Model Revolusioner Pembelajaran Kewirausahaan) Santoso
Abstract
Instinctively humans are social beings and as well as being an entrepreneur. Human nature of social relations is the core spirit of entrepreneurship. Mobilize and develop the people’s economy is actually an absolute obligation of a state. It is important to build entrepreneurial mindset as life style and opportunity for Indonesian youth to gain entrepreneurship education in accordance with the capacity and uniqueness himself. The entrepreneurship knocking motivation of education based on effectuation. It means that in the process of entrepreneurship education emphasizes the self effectuation habit. Entrepreneurship Knocking Motivation (EKM) learning takes 100 hours of lessons divided into indoor learning process 20% and 80% of outdoor learning. EKM learning this cycle uses a holistic approach to the power of human being, it means that this learning places the role of the creator (God), the existence of self, and intelligent efforts to improve competence in entrepreneurship. EKM Learning is the incorporation and development of the theory of Emotional Freedom Technique (EFT) and Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT), because in the learning process always uses techniques to knock some parts of a specific point on the body as well as emotional release followed by utter the words “I am grateful, I thank, I Surrender”
Abstrak
Manusia secara naluriah adalah makhluk sosial dan juga seorang pengusaha. Sifat manusia dari hubungan sosial adalah semangat inti kewirausahaan. Memobilisasi dan mengembangkan ekonomi rakyat sebenarnya merupakan JPNF Edisi 12 2015
19
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
kewajiban mutlak dari sebuah negara. Hal ini penting untuk membangun pola pikir kewirausahaan sebagai gaya hidup dan kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mendapatkan pendidikan kewirausahaan sesuai dengan kapasitas dan keunikan masing-masing. Kewirausahaan dengan ketukan motivasi dari pendidikan dapat diterapkan dengan pembiasaan. Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan kewirausahaan menekankan penerapan kebiasaan motivasi diri. Pembelajaran Ketukan Motivasi Wirausaha (KMW) dilaksanakan selama 100 jam pelajaran yang dibagi dalam proses pembelajaran dalam ruangan sebanyak 20% dan 80% belajar di luar ruangan. Siklus belajar ini menggunakan pendekatan holistik untuk kekuatan manusia, itu berarti bahwa pembelajaran ini menempatkan peran pencipta (Allah), eksistensi diri, dan upaya cerdas untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan. Pembelajaran KMW melalui penggabungan dan pengembangan teori Freedom Technique Emotional (EFT) dan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT), karena dalam proses pembelajaran selalu menggunakan teknik untuk mengetuk beberapa bagian titik tertentu pada tubuh serta pelepasan emosional diikuti oleh mengucapkan kata-kata, “Saya bersyukur, saya mengucapkan terima kasih, saya pasrah.” PENDAHULUAN Secara naluriah manusia adalah mahluk sosial yang selalu berkeinginan untuk komunikasi atau berintraksi dengan mahluk lain. Hubungan manusia dengan mahluk lain merupakan intraksi sosial yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ekonomi setiap interakis atau hubungan memerlukan biaya atau ongkos. Sehingga ketika terjadi proses interaksi atau pertukaran tersebut menghasilkan kekuatan atau nilai yang dapat dijadikan sebagai modal untuk melanggengkan kehidupanya. Oleh karena itu secara sederhana manusia dapat kita sebut sebagai mahluk entrepreneur karena selalu ingin bertahan hidup dan bahkan cendrung untuk hidup lebih baik. Hal tersebut merupakan salah satu roh dari kewirausahaan. Menggerakkan dan mengembangkan ekonomi rakyat sesungguhnya 20
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
merupakan kewajiban mutlak dari suatu negara. Terkait dengan perekonomian, Instruksi presiden nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Presiden Republik Indonesia juga telah mencanangkan Gerakan Kewirausahaan Nasional pada 2 Februari 2011. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011 – 2025 memutuskan bahwa Pengembangan Potensi Daerah dilakukan melalui enam koridor ekonomi. Koridor ekonomi tersebut adalah 1) Koridor ekonomi Sumatera, 2) Koridor ekonomi Jawa, 3) Koridor ekonomi Kalimantan, 4) Koridor ekonomi Sulawesi, 5) Koridor ekonomi Bali – Nusa Tenggara, dan 6) Koridor ekonomi Papua–Kep. Maluku. Khusus untuk koridor ekonomi Jawa tema pembangunannya adalah pendorong industri dan jasa nasional. Urgensitas membangun MINDSET ENTREPRENEURSHIP sebagai Life Style dan Opportunity masa depan pemuda Indonesia yang mandiri, produktif, kreatif dan berdampak merupakan kesempatan yang sama bagi pemuda indonesia untuk mendapatkan pendidikan entrepreneurship sesuai dengan kapasitas dan keunikan dirinya. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) telah meluncurkan berbagai program kewirausahaan pada masyarakat melalui Direktorat Pendidikan Pendidkan Masyarakat dan Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan berbagai jenis program, diantaranya: Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM), Keorangtuaan, Pemberdayaan Perempuan, Desa Vokasi, Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), dan Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM). Program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan semangat dan jiwa kewirausahaan pada masyarakat. Namun demikian, kenyataannya program-program yang telah dilaksanakan belum mendapatkan hasil yang maksimal. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya penganguran dan rendahnya motivasi dalam berwirausaha bagi peserta program, dan bahkan sampai saat ini kita belum mengetahui secara pasti akan dampak nyata berapa persen peserta program yang meningkat sepirit atau jiwa kewirausahaannya. Hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan tersendiri? Dimana letak permasalahannya?. Apakah model pembelajaran kewirausahaan yang kurang bermutu, atau perlu adanya sebuah trobosan yang inovatif dan efisien dalam pembelajaran kewirausahaan. JPNF Edisi 12 2015
21
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
Disisi lain, model pembelajaran Kewirausahaan (entrepreneurship) yang dikembangkan oleh Prof. Saras D. Darden Graduate School of Business, University of Virginia melakukan riset dan mengembangkan teori efektuasi yang telah menghasilkan bukan hanya belajar untuk membangun perusahaan atau menghasilkan uang tetapi menemukan kapasitas diri untuk memberi “dampak” kepada lingkungan (effectuation). Teori efektuasi ini mengajarkan kepada kita bagaimana mengunakan seperangkat prinsip-prinsip pengambilan keputusan yang dilakukan oleh entrepreneur dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Sementara itu efektuasi adalah kausalitas (causality), yang menggambarkan pengambilan keputusan yang berdasarkan pada prediksi. Efektuasi juga merupakan sebuah ide dengan keinginan untuk mencapai tujuan (a sense of purpose) sebuah dorongan untuk memperbaiki keadaan dunia dan kehidupan dengan memungkinkan penciptaan perusahaan, produk, market, jasa dan ide-ide baru yang inovatif. Pada tahun 2013, Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (BP-PAUDNI) Regional II Surabaya juga telah mengembangkan Effectuation dalam bentuk pendidikan kewirausahaan masyarakat (PKM) Effectuation. Model PKM Effectuation ini adalah sebuah pengembangan yang memadukan prinsip-prinsip efektuasi dengan menggali potensi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Pengembangan model PKM Effectuation tersebut telah menunjukan hasil yang cukup positif. Dari 10 (sepuluh) sasaran uji coba PKM Effectuation hanya satu orang yang belum termotivasi untuk mengembangkan jiwa kewirausahaannya. Sedangkan yang 9 (Sembilan) orang lainnya telah meirintis usaha dan bahkan dapat memotivasi dirinya sendiri melalui ketokan motivasi yang telah diajarkan dalam PKM Effectuation, khususnya pada materi self mastery. Atas dasar latarbelakang pemikiran diatas maka diperlukan sebuah model pembelajaran yang revulosioner untuk mengubah atau membangunkan jiwa kewirausahaan yang sesungguhnya sudah ada pada manusia. Adapun model yang dimaksud adalah pendidikan ketokan motivasi kewirausahaan sebagi model revolosioner pembelajaran kewirausahaan.
22
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
KAJIAN TEORI Motivasi Perilaku manusia sebenarnya hanyalah cerminan yang paling sederhana motivasi dasar mereka. Agar perilaku manusia sesuai dengan tujuan organisasi, maka harus ada perpaduan antara motivasi akan pemenuhan kebutuhan mereka sendiri dan permintaan organisasi. Perilaku manusia ditimbulkan atau dimulai dengan adanya motivasi. Menurut Robbins (2007) motivasi merupakan proses Gambar 1 Titik-titik ketokan EFT /SEFT
yang berperan pada intensitas, arah, dan lamanya berlangsung upaya individu ke arah pencapaian sasaran. Pengertian motivasi juga datang dari Marihot Tua E. H. (2002) yaitu faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha keras atau lemah. Pengertian lainnya tentang motivasi dikemukakan oleh Sopiah (2008) dengan definisi sebagai keadaan di mana usaha dan kemauan keras seseorang diarahkan kepada pencapaian hasil-hasil atau tujuan tertentu. Hasil-hasil yang dimaksud bisa berupa produktivitas, kehadiran atau perilaku kerja kreatif lainnya. Ketokan Ketokan (tapping) adalah sebuah teknik yang dikembangkan oleh seorang dokter yang bernama Gary Craig, asal Inggris, melakukan modifikasi teknik akupunktur yang jumlahnya mencapai ribuan titik akupuntur itu menjadi 18 titik. Ia menyebut teori modifikasi akupunktur ala Gary Craig ini dengan nama Emotional Freedom Technique (EFT). Teknik yang digunakan untuk pengobatan adalah dengan cara mengetok (tapping). Dunia ilmu kesehatan mengenal berbagai macam metode dan pencegahan penyakit. Bahkan, ribuan tahun silam, ilmu kesehatan Tiongkok mengenal istilah akupunktur, yaitu suatu metode kesehatan dengan cara tusuk jarum. Ada ribuan titik yang harus ditusuk dengan JPNF Edisi 12 2015
23
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
jari, jika ingin mendapatkan kesehatan yang prima. Dan tidak mudah mempelajari titik-titik itu, karena jumlahnya mencapai 4.000 - 5.000 titik. Setelah akupunktur, muncul kemudian pengobatan refleksiologi, yaitu menekan titik-titik syaraf tubuh yang terletak pada kaki dan tangan. Jumlah titik refleksi di kaki dan tangan ini mencapai ratusan lebih. Pada 1997, metode refleksi dan akunpunktur dianggap sebuah metode yang sangat rumit, karena banyaknya titik yang harus dipahami dan dihapalkan. Maka, seorang dokter yang bernama Gary Craig, asal Inggris, melakukan modifikasi teknik akupunktur yang jumlahnya mencapai ribuan itu menjadi 18 titik. Ia menyebut teori modifikasi akupunktur ala Gary Craig ini dengan nama Emotional Freedom Technique (EFT). Teknik yang digunakan untuk pengobatan adalah dengan cara mengetok (tapping). Kemudian pada tahun 2000-an, EFT ini dikembangkan lagi oleh Ahmad Faiz Zainuddin, alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan nama Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Teknik yang digunakan juga dengan cara mengetok dan jumlah titik yang diketok itu hanya ada 14. Dinamakan SEFT karena ia menggabungkan unsur doa dan kalimat thayyibah dalam tekniknya ini. Perintah membersihkan diri atau berwudhu, sebenarnya juga diajarkan dalam agama lainnya. Kaum Yahudi juga melaksanakan wudhu (atau yang serupa dengan wudhu) dan membersihkan diri sebelum beribadah kepada Allah. Demikian pula dalam ajaran Kristen dan Katolik. Hal ini tertulis dengan jelas dalam kitab Keluaran, Kejadian, Ulangan, dan lainnya. Bahkan, dalam ajaran kaum Sabian (Shabiin), yaitu pengikut Nabi Yahya AS, mereka juga melaksanakan wudhu sebelum shalat. Shalat kaum Sabian ini adalah menghadap ke kutub utara. Karena itu, wudhu yang seringkali dianggap sepele, sebenarnya merupakan syariat yang harus dan wajib dikerjakan. Sayangnya, banyak orang yang tidak mengerjakannya secara baik dan benar. Padahal, dalam sejumlah hadis, Rasul SAW memerintahkan umat Islam agar menyempurnakan wudhunya. “Sempurnakanlah wudhumu, karena sesungguhnya Aku (Rasul--Red) akan mengenali kalian di hari kiamat nanti dari bekas wudhunya” Kemudian pada tahun 2000-an, EFT ini dikembangkan lagi 24
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
oleh Ahmad Faiz Zainuddin, alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan nama Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Teknik yang digunakan juga dengan cara mengetok (tapping). Dan jumlah titik yang diketok itu hanya ada 14. Dinamakan SEFT karena ia menggabungkan unsur doa dan kalimat thayyibah dalam tekniknya ini. Adapun titik-titik ketokan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut. Kewirausahaan Effectuation Kewirausahaan efektuasi merupakan model yang dikembangkan oleh Profesor Saras Sarasvathy, seorang pengajar di bidang kewirausahaan dan etika di Universitas Darden. Berpikir efektual merupakan kebalikan dari berpikir kausal. Dalam berpikir kausal itu, seseorang menentukan usahanya terlebih dahulu sebelum melihat kemampuan yang dia miliki. Misalnya, seseorang ingin membuka kios hp maka untuk menyiapkan kios tersebut mereka harus menyiapkan modal, tempat, mencari supplier, mencari pelanggan dan sebagainya. Sedangkan berpikir efektual sebelum seseorang memulai usaha mereka terlebih dahulu melihat siapa dirinya, apa yang bisa dilakukan dan siapa yang dikenal. Setelah semuanya terjawab baru mereka bisa membuka usaha sesuai dengan kapasitasnya. Intinya, model efektuasi mengajarkan bahwa dalam memulai berusaha bukan tujuan yang menjadi dasar melangkah melainkan keadaan kitalah yang menjadi dasarnya. Dalam berpikir efektual, ada lima prinsip yang diperkenalkan oleh Saras Sarasvathy, yaitu: 1. Bird In Hand Mulai dengan harta atau alat/cara (means) yang Anda miliki. Jangan menunggu peluang yang sempurna. Segera lakukan tindakan, berdasarkan apa yang bisa Anda andalkan: siapa dirimu, apa yang Anda ketahui, dan siapa yang Anda kenal. 2. Affordable Loss Memulai sebuah bisnis pada kenyataannya adalah sebuah keputusan investasi. Sebuah cara umum yang digunakan untuk membuat keputusan investasi adalah menghitung NPV (Net Present Value). Namun NPV diragukan sebagai cara yang tepat untuk membuat keputusan di berbagai sutuasi, karena masa depan sangat tidak pasti, maka Anda harus hati-hati dalam mengunakannya untuk situasi entrepreneurial. Entrepreneur saat mulai investasi lebih cenderung JPNF Edisi 12 2015
25
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
berpikir dengan menggunakan pendekatan kerugian yang dapat ditanggung, daripada NPV. 3. Lemonade Kejutan selalu terjadi. Dunia di masa depan sepenuhnya berbeda dengan saat ini. Para efektuator memahami hal ini, bahkan lebih baik, bisa memanfaatkannya. Setiap situasi baru menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru. Dan kemungkinan baru akan mengarah pada sesuatu yang inovatif dan lebih baik dari sebelumnya. Entrepreneur mengubah halangan menjadi sebuah peluang dan hal yang tak terduga melalui inovasi. 4. Crazy Quilt Berinteraksi dengan orang yang saya kenal dan membuat komitmen.Bentuk partnerships dengan orang lain dan organisasi akan membuat komitmen nyata untuk bersama-sama menciptakan masa depan, produk, bisnis, market dengan Anda. Jangan terlalu mengkhawatirkan masalah analisis pesaing dan rencana strategik. Entrepreneur yang ahli membangun partnership dengan memilih sendiri para stakeholder. Dengan memperoleh prakomitmen dari para partner kunci di awal usaha, mereka mengurangi ketidakpastian dan bersama menciptakan pasar baru dengan kepentingan para partisipan yang terlibat. Cari dan dapatkan komitmen pihak lain. Komitmen adalah kunci dari efektuasi. 5. Pilot In Plane Kebanyakan pesawat jatuh disebabkan karena kesalahan tindakan manusia, atau bisa dicegah dengan tindakan manusia ketimbang masalah teknis atau faktor cuaca. Anda adalah pilot yang mengendalikan karier Anda sendiri. Anda dapat bertindak atas situasi yang nampaknya beresiko untuk mengurangi resiko tersebut. Lingkungan manusia tidaklah statis. Masa depan adalah tidak pasti dan oleh karenanya, adalah mustahil untuk memprediksi peluang kita untuk sukses dengan secara pasti. Hal ini membuat analisis yang dilakukan menjadi tidak dapat diandalkan. Dengan fokus pada aktivitas yang dapat dikendalikan, entrepreneur yang sukses tahu bahwa tindakan mereka akan menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Sebuah pandangan efektual berakar pada keyakinan bahwa masa depan tidak ditemukan begitu saja atau bisa diprediksi, melainkan harus dibuat. 26
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
Bila dibandingkan antara strategi causation dan effectuation, maka pada causation fokusnya adalah pada pencapaian tujuan yang diinginkan melalui seperangkat kekayaan/cara tertentu yang diberikan. Berusaha mencari dan memilih taktik yang mendasarkan pada teori manajemen yang paling baik. Pemikir kausal percaya bahwa “Jika saya bias memprediksi masa depan, saya dapat mengendalikannya.“ Sedangkan pada effectuation fokusnya adalah pada penggunaan seperangkat kekayaan/cara yang berkembang untuk mencapai sasaransaran baru dan berbeda. Efektuasi membangkitkan proses kreatif dan taktik transformatif. Pemikir efektual percaya bahwa “Jika saya bisa mengendalikan masa depan, saya tidak perlu memprediksi hal itu.“ Gambar 2 Konsep dasar model pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan
Dari gambar konsep dasar model pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan ini dapat dijelaskan secara rinci tahapan-tahapan untuk menumbuhkan manusia wirausahawan yang tangguh, sabar, menyenangkan dan professional (TSMP) melalui proses ketokan dalam membangunkan kesadaran spiritual adalah sebagai berikut: 1. Self Awareness (Kesadaran diri) Self awerness (kesadaran diri) adalah tahapan dasar yang harus dilalui dalam pembelajaran ketokan motivasi spiritual. Untuk melakuJPNF Edisi 12 2015
27
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
kan pembelajaran kesadaran diri langkah awal adalah menemukan titik-titik ketokan kesadaran diri. Ada 4 (empat) titik kotokan membangunkan kesadaraan diri, yakni; Titik Baihui, Titik Yintang, Titik Ranchang dan Titik Danchang. Kemudian kita lakukan ketokan dengan menggunakan jari-jari tangan secara ringan pada titik-titik dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah” sebanyak lima kali putaran. Untuk mengetahaui titiktitik kesadaran diri dapat dipelajari pada bagian tahapan ketokan motivasi kewirausahaan. Dari proses ketokan kesadaran diri ini diharapkan akan menemukan konsep diri pada dirinya (be yourself). 2. Leverage Your Potential Leverage Your Potential (membangkitkan potensimu) adalah tahapan kedua dari ketokan motivasi spiritual, ketokan ini memberikan penguatan bagaimana merubah mind set (pola berfikir) seseorang agar selalu memandang sesuai dari sisi posisifnya, dan selanjutnya segera melakukan tindakan yang bermakna. Untuk melakukan perubahan mind set ini dilakukan dengan cara mengetok-ngetok ringan dengan jari-jari tangan pada dititik-titik; (titik QuCha, titik Fengfu, titik Qimen, dan titik Laogong) pada bagian anggota tubuh manusia dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah” Hasil dari ketokan ini diharapkan dapat mempertajam kepekaan potensi diri seperti menggali atau mempertajam ide bisnis (Sharpen Business Idea). Dengan penajaman ini akan mengalirkan energy berfikir positif dan bertindak pro aktif, artimya ketika kita melakuan sesuatu dengan niatan baik dan bertindak secara pro aktif untuk mendapatkan sebuah ide atau gagasan usaha. Ide bisnis atau kepekaan akan mengenal potensi diri dapat diperoleh mulai dari mengidentifikasi keberadaan diri dan melihat apa yang ada pada lingkungan. 3. Blow Up Your Potential Blow Up Your Potential (meledakan potensi mu) adalah tahapan pembelajaran ketiga dari metode ketokan motivasi spiritual yang mengajarkan bagaimana meningkatkan pengetahuan melalui kecakapan keberuntungan. Keberuntungan yang dimaksud disini adalah bagaimana cara kita bersikap dan bertindak selalu mengedepankan prinsip keberuntungan yakni apapun yang kita lakukan selalu ada 28
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
hikmahnya. Dalam tahapan ini sesorang melakukan motivasi dengan cara mengetok-ngetok ringan dan perlahan-lahan dititik-titik pada bagian anggota tubuh manusia; (titik Qihu, titik Neiguan, titik sanyinjiao, titik Taixi, titik Yongquan) dengan mengucapkan katakata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah”. Salain itu juga diberi pemahaman dengan sebuah afirmasi kehidupan dengan sebuah tulisan kalimat “Ilmu itu bagaikan gudang, kuncinya adalah bertanya”. Artinya barang siapa bertanya, berarti telah membuka pintu gudang ilmu, bila bertanya lagi berarti telah mendapatkan pengetahuan baru. Buah dari rangkaian tahapan pembelajaran ini, jika dilakukan dengan benar dan tidak tergesa-gesa akan menghasilkan manusia entrepreneur yang tangguh, sabar, menyenangkan dan professional (TSMP). KERANGKA BERFIKIR Kerangka berfikir pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan. Mendasarkan kerangka pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 3 Kerangka Berpikir Pembelajaran
1. Kegiatan pemebelajaran KMK ini diawali oleh identifikasi calon peserta didik 2. Pada aspek input, hal-hal yang diperlukan adalah; (a) calon peserta didik yang terlah teridentifikasi, (b) Nara Sumber Teknis (NST) yang telah menguasai materi KMK, (4) Bahan ajar KMK. JPNF Edisi 12 2015
29
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
3. Pada aspek proses, hal-hal yang harus dilakukan adalah; (1) Pembelajaran Indoor, Sejumlah 20 jam pembelajaran, @ Jam 60 menit. (2) Pembelajaran Outdoor, sejumlah 80 jam pembelajaran, @ jam 60 menit. 4. Pada aspek output, output yang akan dihasilkan adalah: (1) lulusan (peserta didik) yang memiliki karakter wirausaha yang kreatif, inovatif dan adaftif. (2) lulusan yang merintis usaha baru (pembaruan usaha, usaha baru) PEMBAHASAN Pendidikan ketokan motivasi kewirausahaan Menurut teori pendidikan kewirausahaan yang dikembangkan oleh Profesor Sarasvathy, seorang pengajar di bidang kewirausahaan dan etika di Universitas Darden. Berpikir efektual merupakan kebalikan dari berpikir kausal. Dalam berpikir kausal itu, seseorang menentukan usahanya terlebih dahulu sebelum melihat kemampuan yang dia miliki, sedangkan berpikir efektual sebelum seseorang memulai usaha mereka terlebih dahulu melihat siapa dirinya, apa yang bisa dilakukan dan siapa yang dikenal. Setelah semuanya terjawab baru mereka bisa membuka usaha sesuai dengan kapasitasnya. Intinya, model efektuasi mengajarkan bahwa dalam memulai berusaha bukan tujuan yang menjadi dasar melangkah melainkan keadaan kitalah yang menjadi dasarnya. Atas dasar teori tersebut, maka dapat digambarkan bahwa pendidikan ketokan motivasi kewirausahaan didasarkan pada efektuasi, artinya dalam proses pendidikan kewirausahaan mengededapan prinsip-prinsip ketokan motivasi kewirausahaan “Entrepreneurship Knocking Motivation”(EKM) ini melibatkan pola pikir efektual dengan pendekatan holistic power of human being. Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip membangunkan kesadaran diri (Awakening Self Awareness Principle), prinsip memunculkan bisnismu (Rising Your Business Principle), prinsip meledakan usahamu (Blow Up Your Business Principle), prinsip pembiasaan mengefectuasikan diri (Self Effectuation Habit Principle). Prinsip-prinsip dalam implementasi pendidikan ketokan motivasi kewirausahaan tersebut dikemas dalam pembelajaran indoor dan pembelajaran outdoor. Pembelajaran indoor adalah sebuah proses pembelajaran dalam kelas yang membelajarkan tentang prinsip-prinsip ketokan motivasi kewirausahaan (entrepreneurship knocking 30
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
motivation) baik dari sisi teoritis maupun praktek memotivasi diri atau orang lain. Sedangkan pembelajaran outdoor adalah implementasi dari pembelajaran yang telah diterima selama proses pembelajaran indoor. Proses pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan (entrepreneurship knocking motivation) ini memerlukan waktu 100 jam pelajaran yang terbagi dalam proses pembelajaran indoor 20% dan 80% pembelajaran outdoor. Rangkaian pembelajaran EKM ini mengunakan pendekatan holistic power of human being, artinya bahwa pembelajaran ini melipatkan peran sang pencipta (Allah), keberadaan diri sendiri, dan upaya cerdas meningkatkan kompetensi diri dalam kewirausahaa. Upaya pembelajaran EKM ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh seorang dokter yang bernama Gary Craig, asal Inggris, melakukan modifikasi teknik akupunktur yang jumlahnya mencapai ribuan titik menjadi 18 titik. Ia menyebut teori modifikasi akupunktur ala Gary Craig ini dengan nama Emotional Freedom Technique (EFT). Teknik yang digunakan untuk pengobatan adalah dengan cara mengetok (tapping). EFT ini dikembangkan lagi oleh Ahmad Faiz Zainuddin, alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan nama Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Teknik yang digunakan juga dengan cara mengetok (tapping). Dengan demikian maka diambil kesimpulan bahwa pembelajaran EKM merpakan penggabungan dan pengembangan dari teori Emotional Freedom Technique (EFT) dan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT), karena dalam proses pembelajaran selalu mengunakan teknik ketokan (knocking) bagian titik tertentu pada bagian anggota tubuh serta di ikuti pelepasan emosional dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah” Pembelajaran revolosioner ketokan motivasi kewirausahaan Pembelajaran EKM ini di sebut sebagai pembelajaran revolosioner karena dalam proses pembelajaran mengunakan pendekatan holistic power of human being (HPH), dalam pendekatan HPH, model pembelajaraan selalu melibatkan sang pencipta yang dikemas dalam pembelajaran membangunkan kesadaran diri (Awakening Self Awareness Principle), prinsip memunculkan bisnismu (Rising Your Business Principle), prinsip meledakan usahamu (Blow Up Your Business Principle), prinsip pembiasaan mengefectuasikan diri (Self Effectuation Habit Principle). Menurut konsep dasar pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan JPNF Edisi 12 2015
31
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
yang di kembangkan oleh BP-PAUDNI Regional II Surabaya tahun 2014, menerangkan bahwa: 1. pembelajaran Self awerness (kesadaran diri) adalah tahapan dasar yang harus dilalui dalam pembelajaran ketokan motivasi spiritual. Untuk melakukan pembelajaran kesadaran diri langkah awal adalah menemukan titik-titik ketokan kesadaran diri. Ada 4 (empat) titik kotokan membangunkan kesadaraan diri, yakni; Titik Baihui, Titik Yintang, Titik Ranchang dan Titik Danchang. Kemudian kita lakukan ketokan dengan menggunakan jari-jari tangan secara ringan pada titik-titik dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah” sebanyak lima kali putaran. Untuk mengetahaui titik-titik kesadaran diri dapat dipelajari pada bagian tahapan ketokan motivasi kewirausahaan. Dari proses ketokan kesadaran diri ini diharapkan akan menemukan konsep diri pada dirinya (be yourself). 2. Leverage Your Potential (membangkitkan potensimu) adalah tahapan kedua dari ketokan motivasi spiritual, ketokan ini memberikan penguatan bagaimana merubah mind set (pola berfikir) seseorang agar selalu memandang sesuai dari sisi posisifnya, dan selanjutnya segera melakukan tindakan yang bermakna. Untuk melakukan perubahan mind set ini dilakukan dengan cara mengetok-ngetok ringan dengan jari-jari tangan pada dititik-titik; (titik QuCha, titik Fengfu, titik Qimen, dan titik Laogong) pada bagian anggota tubuh manusia dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah”. Hasil dari ketokan ini diharapkan dapat mempertajam kepekaan potensi diri seperti menggali atau mempertajam ide bisnis (Sharpen Business Idea). Dengan penajaman ini akan mengalirkan energy berfikir positif dan bertindak pro aktif, artimya ketika kita melakuan sesuatu dengan niatan baik dan bertindak secara pro aktif untuk mendapatkan sebuah ide atau gagasan usaha. Ide bisnis atau kepekaan akan mengenal potensi diri dapat diperoleh mulai dari mengidentifikasi keberadaan diri dan melihat apa yang ada pada lingkungan. 3. Blow Up Your Potential (meledakan potensi mu) adalah tahapan pembelajaran ketiga dari metode ketokan motivasi spiritual yang mengajarkan bagaimana meningkatkan pengetahuan melalui kecakapan keberuntungan. Keberuntungan yang dimaksud 32
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
disini adalah bagaimana cara kita bersikap dan bertindak selalu mengedepankan prinsip keberuntungan yakni apapun yang kita lakukan selalu ada hikmahnya. Dalam tahapan ini sesorang melakukan motivasi dengan cara mengetok-ngetok ringan dan perlahan-lahan dititik-titik pada bagian anggota tubuh manusia; (titik Qihu, titik Neiguan, titik sanyinjiao, titik Taixi, titik Yongquan) dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah”. Salain itu juga diberi pemahaman dengan sebuah afirmasi kehidupan dengan sebuah tulisan kalimat “Ilmu itu bagaikan gudang, kuncinya adalah bertanya”. Artinya barang siapa bertanya, berarti telah membuka pintu gudang ilmu, bila bertanya lagi berarti telah mendapatkan pengetahuan baru. Buah dari rangkaian tahapan pembelajaran ini, jika dilakukan dengan benar dan tidak tergesa-gesa akan menghasilkan manusia entrepreneur yang tangguh, sabar, menyenangkan dan professional (TSMP). Dari pembahasan tersebut dapat gambarkan bahwa pembelajaran revolosioner ketokan motivasi kewirausahaan “entrepreneurship knocking motivation” adalah model perpaduan dari konsep ala Gary Craig dengan nama Emotional Freedom Technique (EFT). Teknik yang digunakan untuk pengobatan adalah dengan cara mengetok (tapping) dan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) yang dikembangkan lagi oleh Ahmad Faiz Zainuddin. KESIMPULAN Dari pokok permasalahan, kajian teoritis dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Bahwa pendidikan ketokan motivasi kewirausahaan didasarkan pada efektuasi, artinya dalam proses pendidikan kewirausahaan mengededapan prinsip-prinsip ketokan motivasi kewirausahaan “Entrepreneurship Knocking Motivation”(EKM) ini melibatkan pola pikir efektual dengan pendekatan holistic power of human being. Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip membangunkan kesadaran diri (Awakening Self Awareness Principle), prinsip memunculkan bisnismu (Rising Your Business Principle), prinsip meledakan usahamu (Blow Up Your Business Principle), prinsip pembiasaan mengefectuasikan diri (Self Effectuation Habit Principle). JPNF Edisi 12 2015
33
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
2. Proses pembelajaran ketokan motivasi kewirausahaan (entrepreneurship knocking motivation) ini memerlukan waktu 100 jam pelajaran yang terbagi dalam proses pembelajaran indoor 20% dan 80% pembelajaran outdoor. Rangkaian pembelajaran EKM ini mengunakan pendekatan holistic power of human being, artinya bahwa pembelajaran ini melipatkan peran sang pencipta (Allah), keberadaan diri sendiri, dan upaya cerdas meningkatkan kompetensi diri dalam kewirausahaa. 3. Pembelajaran EKM merpakan penggabungan dan pengembangan dari teori Emotional Freedom Technique (EFT) dan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT), karena dalam proses pembelajaran selalu mengunakan teknik ketokan (knocking) bagian titik tertentu pada bagian anggota tubuh serta di ikuti pelepasan emosional dengan mengucapkan kata-kata “Saya Bersyukur, Saya Terima, Saya Pasrah” 4. Pembelajaran EKM ini di sebut sebagai pembelajaran revolosioner karena dalam proses pembelajaran mengunakan pendekatan holistic power of human being (HPH), dalam pendekatan HPH, model pembelajaraan selalu melibatkan sang pencipta yang dikemas dalam pembelajaran membangunkan kesadaran diri (Awakening Self Awareness Principle), prinsip memunculkan bisnismu (Rising Your Business Principle), prinsip meledakan usahamu (Blow Up Your Business Principle), prinsip pembiasaan mengefectuasikan diri (Self Effectuation Habit Principle). DAFTAR PUSTAKA Barthos, Basir. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia Suatu Pendekatan Makro. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Ciputra, 2002. Ciputra Quantum Leap 2, Kenapa dan Bagaimana Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda.Jakarta:PTGramedia Dessler, Gary. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jogjakarta : Gramedia. Dessler, Gary. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Bahasa Indonesia Jilid 2. Jakarta: Prenhallindo. Depdiknas, 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Beserta Penjelasannya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 34
JPNF Edisi 12 2015
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
Kemendiknas, 2013. Pedoman Teknis Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat, Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan, Jakarta Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi. PT Indeks. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R And D. Troy, Dave 2010. Effectuation: How Entrepreneurship Really Works. Diakses pada tanggal 02-09-2013 dari http://davetroy.com/ posts/effectuation-how-entrepreneurship-really-works
Marihot Tua, Mahmudi, 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Jogjakarta: UPP AMP YKPN. M. Thoyib. (2006). Memfasilitasi Pelatihan Partisipatif (Pengantar Pendidikan Orang Dewasa), http://depsos.go.id/modules.php?name=News&file =print&sid=209, diakses tanggal 11 Maret 2014. Yayasan Al-Madinah Surabaya, (2007). Terapi SEFT Hilangkan Fobia Tangga. Dari http://www.logos-institute.com/index. php?menu=news&id=23. Diakses pada 25 Maret 2014. Zainuddin F.A.(2006). SEFT Cara Tercepat dan Termudah Mengatasi Berbagai Masalah Fisik dan Emosi. Edisi revisi. PT Arga Publishing: Jakarta. Zainuddin F.A.(2009). SEFT for Healing, Success, happiness, Greatness. Timur, Afzan Publishing: Jakarta.
JPNF Edisi 12 2015
35
Santoso, Membangun Jiwa Kewirausahaan
36
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
STUDI EKSPLORASI STIMULASI PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 0 – 6 TAHUN Widya Ayu Puspita
Abstract
Fine motor stimulation is an important part of the process to optimize early childhood growth and development. This development influent another aspect and their health. So, those programme must be conducted right by parent and teacher in early childhood institution. Stimulation programme related to many activities, like activities to stimulate fine motor around finger, mouth, eyes, face, and lumbal, so, not only related to writing and reading preparation. It mus be understood by parents and teacher. But, not all of them understand and skilled to do. This research aimed to descripe parents and teacher understanding about fine motor, fine motor stage development and many activities to stimulate. It was done in six early childhood education institution at Surabaya. The subjects are parents, teachers, early childhood education staffs, and 0 – 6 years old children. The result show that most of parent and teacher have no good knowlegde and skill about definition of fine motor, stage of fine motor develpoment and fine motor stimulation. So, there must be many activities to increase, like parenting education, seminar, training and another acitivities. Key words: Stimulation, fine motor, parenting education
Abstrak
Stimulasi perkembangan motorik halus pada anak usia 0 – 6 tahun merupakan bagian penting dari upaya untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak, di samping itu, juga berpengaruh penting terhadap kesehatan, serta perkembangan anak pada aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, stimulasi perlu diperhatikan dan dilakukan JPNF Edisi 12 2015
37
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
dengan tepat oleh orang dewasa yang berinteraksi dengan anak, antara lain orangtua dan pendidik PAUD. Stimulasi perkembangan motorik halus menyangkut berbagai aktivitas yang dapat mengoptimalkan perkembangan otot-otot kecil di sekitar jari tangan dan kaki, mulut/bibir, wajah, dan punggung, sehingga tidak hanya ditujukan pada stimulasi untuk persiapan membaca dan menulis. Dengan demikian, kegiatan untuk stimulasi melibatkan berbagai aktivitas sederhana, namun tepat, dan hendaknya sesuai dengan usia dan tahap pertumbuhan serta perkembangan anak. Akan tetapi, belum semua orangtua dan pendidik memahami berbagai ragam stimulasi tersebut. Oleh karena itu, studi eksplorasi ini ditujukan untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai konsep/ pengertian motorik halus, tahap perkembangan motorik halus dan ragam stimulasi perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik. Studi eksplorasi dilakukan pada enam lembaga PAUD, yaitu dua lembaga Taman Penitipan Anak (TPA), dua lembaga Kelompok Bermain (KB) dan dua lembaga Taman KanakKanak (TK), yang kesemuanya berada di Kota Surabaya. Sasaran studi eksplorasi adalah anak usia 0 – 6 tahun, orangtua, pendidik dan pengelola PAUD. Pengumpulan data pada studi eksplorasi dilakukan melalui pengamatan, wawancara dan studi dokumentasi. Hasil studi eksplorasi menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua dan pendidik belum memahami konsep/pengertian motorik halus, tahap perkembangan motorik halus dan ragam stimulasi perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun. Dengan demikian, disarankan agar ada upayaupaya untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan orangtua serta pendidik dalam melakukan stimulasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui pendidikan bagi orangtua (parenting education), penyediaan bahan-bahan bacaan yang ringan mengenai program stimulasi, pendidikan dan pelatihan, seminar, maupun kegiatan lainnya, sesuai dengan minat dan kebutuhan orangtua serta pendidik. 38
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
Kata kunci : Stimulasi, motorik halus, pendidikan bagi orangtua
Pendahuluan Latar Belakang Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak usia dini adalah anak yang berusia di bawah 6 tahun. Sementara itu, The National Association for the Education of Young Children (NAEYC) menyebutkan bahwa anak-anak dari lahir hingga usia delapan tahun dipandang sebagai anak usia dini (Charlesworth, 2011). Usia dini merupakan usia penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, karena pada saat itu, otak berkembang dengan sangat pesat, sehingga pendidikan anak usia dini dipandang memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya menyiapkan generasi masa depan yang handal dan berakhlak mulia. Pendidikan anak usia dini salah satunya bertujuan untuk menyiapkan anak menapaki fase kehidupan selanjutnya, sehingga melalui proses pendidikan yang tepat, seluruh aspek perkembangan dioptimalkan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan bahwa lingkup perkembangan anak usia dini mencakup beberapa aspek yakni aspek nilai agama dan moral, aspek fisik motorik, aspek kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni. Dari keenam aspek tersebut, aspek fisik motorik merupakan bagian dari lingkup perkembangan anak usia dini yang terintegrasi dengan aspek-aspek yang lain. Aspek fisik motorik mencakup motorik kasar dan motorik halus, yang merupakan aspek penting yang perlu dikembangkan pada masa – masa awal kehidupan manusia, karena sebelum aspek yang lain muncul, aspek motorik yang muncul terlebih dahulu. Perkembangan motorik secara umum, sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, sehingga disebutkan bahwa “motor development to cognitive development”. Sebelum muncul kemampuan pada aspek nilai-nilai agama dan moral, kognitif, bahasa, sosial emosional serta seni, kemampuan awal yang dimiliki seorang anak adalah bergerak. Oleh sebab itu fase pengembangan kemampuan motorik ini JPNF Edisi 12 2015
39
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
sebaiknya tidak terlewat begitu saja tanpa adanya stimulasi yang tepat. Khusus perkembangan motorik halus pada masa usia awal (0 – 36 bulan), merupakan fase penting dalam perkembangan seorang anak, karena menjadi dasar bagi perkembangan motorik halus usia 36 bulan ke atas. Selama ini perkembangan motorik halus masih banyak ditafsirkan hanya sebagai kemampuan menulis saja, sehingga menyebabkan ragam stimulasi yang diberikan hanya difokuskan pada otot-otot kecil di sekitar jari tangan, padahal perkembangan motorik halus anak merupakan bagian penting bagi perkembangan kemampuan berbicara, membaca, menulis dan kemampuan lainnya pada masa yang akan datang. Dengan demikian, ragam stimulasi yang diberikan lebih bervariasi, dan menyangkut otot-otot kecil pada organ tubuh lainnya, misalnya jari kaki, otot kecil di sekitar mulut (oral motor), sekitar wajah, daerah mata dan lumbal. Stimulasi motorik halus perlu dilakukan sejak dini, khususnya pada masa usia 0 – 6 tahun. Hal ini hendaknya dilakukan oleh orangtua dan pendidik di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Namun, kondisi di lapangan saat ini menunjukkan bahwa pemahaman terkait hal tersebut masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dilakukan studi eksplorasi mengenai pemahaman dan praktek-praktek stimulasi perkembangan motorik halus pada anak usia dini. Studi eksplorasi yang dilakukan akan memberikan gambaran kondisi nyata, yang dapat ditindaklanjuti dengan berbagai upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kebutuhan terkait dengan program stimulasi perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai konsep perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun? 2. Bagaimana pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai tahap perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun? 3. Apa sajakah ragam stimulasi perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik? Tujuan 1. Mendeskripsikan pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai konsep/pengertian motorik halus anak usia 0 – 6 tahun 40
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
2. Mendeskripsikan pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai tahap perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun? 3. Mendeskripsikan ragam stimulasi perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik Kajian Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Dini Proses perubahan yang terjadi pada anak terlihat dari adanya perubahan bentuk, ukuran, serta kemampuan-kemampuan yang dimiliki anak. Proses perubahan tersebut berhubungan dengan konsep pertumbuhan dan perkembangan. Di antara kedua terminologi tersebut, sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara pertumbuhan dan perkembangan, meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi datu sama lainnya. Allen dan Marotz (2010) mendefinisikan pertumbuhan sebagai perubahan dan peningkatan dalam ukuran, seperti peningkatan tinggi dan berat badan, panjang lengan dan tungkai, serta ukuran sepatu. Sementara itu, perkembangan didefinisikan sebagai adanya peningkatan kompleksitas, yaitu perubahan dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan detail, seperti perubahan dalam kemampuan berpikir dari yang kongkrit menjadi abstrak. Di setiap rentang kehidupan, anak umumnya akan mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Tanda-tanda utama dari pencapaian tumbuh-kembang anak mengacu pada konsep developmental milestones yang melacak kemunculan sejumlah keterampilan (Allen & Marotz, 2010), seperti keterampilan motor, sosial, emosi, kognitif, bahasa, dan moral. Perkembangan keterampilan tersebut berjalan secara bertahap, dan pada umumnya dalam urutan tertentu yang bersifat universal, sesuai dengan pertambahan usia anak. Khusus pada masa bayi, pertumbuhan dan perkembangan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Walaupun terdapat urutan yang bersifat universal dalam perkembangan anak, tetap ditemukan adanya perbedaan individual dari satu anak ke anak yang lain. Ada anak yang berkembang sesuai dengan developmental milestones yang harus dicapainya, namun ada pula yang berkembang lebih cepat atau bahkan lebih lambat. Hal itu menunjukkan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, baik yang bersifat JPNF Edisi 12 2015
41
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
internal (berasal dari dalam diri anak, misalnya genetik atau keturunan), maupun yang bersifat eksternal (berasal dari luar diri anak, misalnya asupan gizi, pola asuh, dan sebagainya) Perkembangan Motorik Halus Anak Usia Dini Sistem persarafan bayi belum matang ketika dilahirkan, sehingga stimulasi yang tepat diharapkan diberikan kepada anak agar tumbuh dan berkembangan secara optimal. Sejumlah faktor saling berinteraksi, mempengaruhi kecepatan dan kualitas perkembangan motorik anak. Berbagai faktor tersebut antara lain genetik, kondisi sosial budaya dalam keluarga dan masyarakat, kesehatan dan asupan gizi serta dukungan lingkungan (Kurtz, 2008). Berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 137/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, disebutkan bahwa perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun sebagai berikut. NO. A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
42
Tabel 1. Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 0 – 6 Tahun PERKEMBANGAN
Usia 0 – 2 Tahun Memiliki refleks menggenggam jari ketika telapak tangannya disentuh Memainkan jari tangan dan kaki Memasukkan jari ke dalam mulut Memegang benda dengan lima jari Memainkan benda dengan tangan Meraih benda di depannya Memegang benda dengan ibu jari dan jari telunjuk (menjumput) Meremas Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lain Memasukkan benda ke mulut Menggaruk kepala Memegang benda kecil atau tipis (misal: potongan buah atau biskuit) Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lain Membuat coretan bebas Menumpuk tiga kubus ke atas Memegang gelas dengan dua tangan Memasukkan benda-benda ke dalam wadah Menumpahkan benda-benda dari wadah JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik 19 20 21 B. 1 2 3 4 5 6 7 8 C. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Membuat garis vertikal atau horisontal Membalik halaman buku walaupun belum sempurna Menyobek kertas Usia 2 – 4 Tahun Meremas kertas atau kain dengan menggerakkan lima jari Melipat kain/kertas meskipun belum rapi/lurus Menggunting kertas tanpa pola Koordinasi jari tangan cukup baik untuk memegang benda pipih seperti sikat gigi, sendok Menuang air, pasir, atau biji-bijian ke dalam tempat penampung (mangkuk, ember) Memasukkan benda kecil ke dalam botol (potongan lidi, kerikil, bijibijian) Meronce benda yang cukup besar Menggunting kertas mengikuti pola garis lurus Usia 4 – 6 Tahun Membuat garis vertikal, horizontal, lengkung kiri/kanan, miring kiri/kanan, dan lingkaran Menjiplak bentuk Mengkoordinasikan mata dan tangan untuk melakukan gerakan yang rumit Melakukan gerakan manipulatif untuk menghasilkan suatu bentuk dengan menggunakan berbagai media Mengekspresikan diri dengan berkarya seni menggunakan berbagai media Mengontrol gerakan tangan yang meggunakan otot halus (menjumput, mengelus, mencolek, mengepal, memelintir, memilin, memeras) Menggambar sesuai gagasannya Meniru bentuk Melakukan eksplorasi dengan berbagai media dan kegiatan Menggunakan alat tulis dan alat makan dengan benar Menggunting sesuai dengan pola Menempel gambar dengan tepat Mengekspresikan diri melalui gerakan menggambar secara rinci
Dari tabel di atas, nampak bahwa pertumbuhan dan perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun, bertahap, dan mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks, sehingga semakin bertambah usia anak, maka semakin meningkat keterampilan anak. Stimulasi Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 0 – 6 Tahun Pada usia 1 – 2 tahun, seluruh kemampuan dan keterampilan motorik halus anak sudah terbentuk. Untuk itu, perlu diberikan pengembangan JPNF Edisi 12 2015
43
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
stimulasi dengan penambahan pada bentuk, media, tingkat kesulitan, dan lainnya. Cara yang mudah adalah banyak bermain bersama anak, misalnya menggerakkan otot wajah dan lidah, meremas, menggerakkan jari jemari kaki dan sebagainya. Pada usia ini kemampuan perkembangan motorik halus yang dimiliki pada anak biasanya berupa mencontoh bentuk-bentuk yang melingkar, mulai mampu menyusun dan membangun tugu yang terdiri dari 7 buah balok, belajar memasukkan sendok kosong ke dalam mulut dengan benar. Sebagian anak juga mampu membuka satu persatu halaman bukunya, ataupun memegang gelas dengan satu tangan, bahkan, ada anak yang dapat menggunting dan melipat kertas sambil bercakap-cakap. Kemampuan anak semakin bertambah seiring dengan pertambahan usia, sehingga stimulasi yang tepat perlu terus dilakukan. Tujuan stimulasi yang diberikan antara lain : 1. Menurunkan retensi refleks yang dapat mengganggu aspek perkembangan lainnya pada tahap perkembangan usia selanjutnya 2. Membangun fungsi koordinasi tubuh yang lebih baik, sehingga dapt mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal 3. Menguatkan otot dan tulang anak, sehingga siap untuk tahap perkembangan selanjutnya Namun demikian, dalam memberikan stimulasi, perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini. 1. Pastikan stimulasi sesuai dengan usia anak, karena program stimulasi motorik kasar ini disesuaikan dengan usia anak dan terbagi atas kelompok usia sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, yaitu : a. Usia 0 - <12 tahun, yang terbagi atas usia 0 - <3 bulan, 3 - <6 bulan, 6 - <9 bulan dan 9 - <12 bulan b. Usia 12 - < 24 tahun, yang terbagi atas usia 12 – <18 bulan dan 18 - <24 bulan 2. Pastikan bahwa anak dalam kondisi sehat 3. Pastikan bahwa kondisi lingkungan aman, bersih dan nyaman 4. Pastikan bahwa bahwa yang memberikan stimulasi dalam kondisi bersih dan tidak sedang menderita penyakit menular. Apabila dalam kondisi tidak sehat, pastikan bahwa dilakukan proses pengobatan 44
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
serta lindungi bayi dari kemungkinan tertular penyakit, misalnya dengan menggunakan masker ketika berinteraksi dengan anak 5. Pahami cara stimulasi dengan tepat dan berlatilah terlebih dahulu sebelum melakukannya bersama anak 6. Pastikan bahwa stimulasi dilakukan dengan benar. Apabila merasa kurang memahami, mintalah didampingi oleh ahli, seperti petugas kesehatan (dokter, bidan, perawat), pendidik PAUD atau kader yang terlatih 7. Pastikan bahwa anak nyaman untuk melakukan kegiatan tersebut 8. Hentikan program stimulasi apabila anak tampak mulai tidak nyaman 9. Lakukanlah program stimulasi dengan penuh kesabaran dan bertahap 10. Apabila menggunakan peralatan dalam melakukan stimulasi, pastikan bahwa peralatan tersebut aman bagi anak. Apabila peralatan yang digunakan cukup kecil, maka lakukan pengawasan dengan baik, sehingga tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan anak 11. Seluruh stimulasi dilakukan sesering mungkin untuk membentuk kebiasaan (habituasi) dengan pola yang berulang 12. Hasil dari kegiatan stimulasi tidak bersifat cepat (instant), karena anak berkembang secara bertahap dengan irama perkembangan yang berbeda-beda. Metode Penelitian Rancangan Penelitian Studi eksplorasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan informasi adalah “snowballing”, yaitu menggali informasi dari informan kunci, kemudian dilanjutkan pada informan lainnya. Informasi yang terkumpul kemudian dikelompokkan untuk dilakukan pengkategorian atau klasifikasi berdasarkan tujuan penelitian, kemudian dilakukan analisis.
JPNF Edisi 12 2015
45
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
Prosedur Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.
Gambar 1. Prosedur Studi Eksplorasi
Lokasi Penelitian Studi eksplorasi dilakukan di Satuan Pendidikan Anak Usia Dini yang memiliki kriteria sebagai berikut. 1. Memiliki peserta didik dengan rentang usia 0 – 2 tahun, 2 – 4 tahun dan 4 – 6 tahun minimal 10 anak 2. Menyelenggarakan kegiatan PAUD minimal 1 tahun 3. Bersedia dijadikan lokasi penelitian pendahuluan Dengan semikian, lokasi penelitian adalah dua lembaga Taman Penitipan Anak (TPA), dua lembaga Kelompok Bermain (KB) dan dua lembaga Taman Kanak-kanak (TK) di wilayah Surabaya. Waktu Studi eksplorasi dilaksanakan pada bulan Maret – April 2015 pada enam satuan PAUD di Kotamadya Surabaya. Jadwal studi eksplorasi disusun sebagai berikut. Tabel 2. Jadwal Kegiatan Studi Eksplorasi Program Stimulasi Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 0 – 6 Tahun, 2015 No.
Kegiatan
1.
Penyusunan rancangan studi eksplorasi Penyusunan instrumen studi eksplorasi Pengumpulan data Pengolahan data Penyusunan laporan FGD hasil studi eksplorasi (konfirmasi data/informasi)
2. 3. 4. 5. 6.
46
JPNF Edisi 12 2015
Waktu Pelaksanaan Minggu I Pebruari 2015 Minggu II Pebruari 2015 Minggu III Pebruari – Maret 2015 Minggu I April 2015 Minggu II April 2015 Minggu III Mei 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
Sasaran Sasaran studi eksplorasi (informan) adalah : 1. Pendidik : 10 orang 2. Pengelola : 2 orang 3. Orangtua : 20 orang 4. Pejabat Dinas Pendidikan Kota Surabaya : 2 orang 5. Pejabat/Widyaiswara BKKBN Propinsi Jawa Timur : 2 orang 6. Anak usia 0 – 6 tahun : 30 anak Sasaran di atas dipilih berdasarkan pertimbangan : 1. Konfirmabilitas Informan dapat diajak berdiskusi dan bertatap muka pada proses pengumpuan data dan pada saat konfirmasi hasil pengumpulan data/informasi. 2. Kredibilitas Informan yang dipilih adalah yang terpercaya, yaitu dapat memberikan informasi yang tepat dan benar. 3. Dependabilitas Informan yang dipilih adalah informan yang dapat memberikan informasi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan dan mandiri, dapat arti tidak terpengaruh oleh informasi dari informan yang lainnya. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Teknik dan instrumen pengumpulan data penelitian disajikan berikut ini. No. 1.
2.
Teknik Pengamatan Kuantitas sarana stimulasi Kualitas sarana stimulasi Perkembangan anak dan teknik stimulasi yang dilakukan oleh pendidik PAUD Wawancara Pendidik PAUD Pengelola PAUD Orangtua Pejabat Dinas Pendidikan Kota Surabaya Pejabat/Widyaiswara BKKBN Propinsi Jawa Timur
Instrumen Lembar observasi Daftar inventaris barang Dokumen profil lembaga
Panduan wawancara
JPNF Edisi 12 2015
47
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
Triangulasi Triangulasi dimaksudkan untuk menjamin keabsahan data. Untuk itu, teknik yang digunakan adalah : 1. Menggunakan informan yang berbeda 2. Menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda 3. Melakukan konfirmasi hasil pengumpulan data dalam bentuk diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) Teknik Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif kemudian dikelompokkan berdasarkan tingkat kepentingan informasi. Data hasil penelusuran dokumen akan dideskripsikan. Khusus data hasil penelusuran dokumen di Dinas Pendidikan Kota Surabaya digunakan sebagai penentuan lokasi studi eksplorasi dan uji coba selanjutnya. Hasil dan Pembahasan Aspek Kelembagaan 1. Pendidik Pada lembaga PAUD tempat studi eksplorasi didapatkan bahwa pendidiknya memiliki tingkat pendidikan SMA ke atas, namun demikian, pendidik telah mendapatkan pelatihan mengenai penanganan dan pendidikan anak usia dini. Di sisi lain, juga telah mendapatkan bimbingan dari pihak yayasan, meskipun tetap memerlukan bimbingan secara lebih intensif, guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pendidik PAUD juga telah mengikuti berbagai kegiatan untuk peningkatan kompetensi, antara lain melalui pelatihan. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti oleh pendidik antara lain : a. Pelatihan kurikulum PAUD b. Pelatihan kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini b. Pelatihan BCCT d. Pelatihan pembuatan Alat Permainan Edukatif (APE) e. Orientasi teknis pembelajaran PAUD 2. Tenaga Kependidikan Pada lembaga PAUD tempat studi eksplorasi didapatkan bahwa pendidiknya memiliki tingkat pendidikan SMA ke atas. Tenaga kependidikan terdiri atas pengurus yayasan, pengelola (kepala lembaga) dan petugas kebersihan. Pengelola dalam keseharian juga 48
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
sering membantu tugas pendidik, karena jumlah pendidik yang terbatas, sementara jumlah anak yang cukup banyak. Tenaga kependidikan juga telah mendapatkan berbagai kegiatan untuk peningkatan kompetensi, antara lain melalui pelatihan. Pelatihan yang pernah diikuti oleh pengelola antara lain : a. Diklat teknis pengelola PAUD b. Peningkatan pemahaman Taman Penitipan Anak (TPA) c. Pembinaan Pos PAUD Terpadu (PPT) 3. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana di lembaga tempat uji coba cukup memadai, baik sarana dan prasarana di dalam maupun di luar. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh lembaga PAUD antara lain : a. Luar ruangan 1). Prosotan 2). Ayunan 3). Tangga majemuk 4). Papan titian b. Dalam ruangan 1). Berbagai peralatan untuk membaca, menulis dan berhitung (buku, kertas, spidol, krayon, dan lain-lain) 2). Peralatan bermain peran 3). Balok 4). Lego 5). Boneka 6). Puzzle, dan lain-lain Gambaran sarana dan prasarana tersebut disajikan dalam lampiran. 4. Peserta Didik Jumlah peserta didik cukup bervariasi dan fluktuatif, dan tergantung pada preferensi masyarakat, termasuk juga tingkat kesadaran mengenai pentingnya pendidikan anak usia dini dan keberadaan lembaga PAUD untuk membantu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Secara umum jumlah peserta didik pada masing-masing lembaga pada tahun 2015 sebagai berikut.
JPNF Edisi 12 2015
49
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
Aspek Pengetahuan 1. Pengetahuan mengenai Perkembangan Motorik Halus a. Pendidik Secara umum, sebagian besar pendidik menyatakan memahami perkembangan motorik halus dan sebagian kecil menyatakan kurang memahami perkembangan motorik halus. Pemahaman pendidik mengenai motorik halus dapat diketahui dari konsep yang dikemukakan oleh pendidik, antara lain : 1). Saraf-saraf halus yang ada pada anggota tubuh 2). Hubungan/koordinasi di antara jari-jari tangan untuk menulis 3). Keterampilan mensinergikan jari jemari pada kedua tangan Konsep mengenai motorik halus menurut pendidik di atas, lebih ke arah kemampuan untuk menulis dan berada di sekitar tangan. Dengan demikian, masih terfokus pada persiapan untuk menulis, padahal motorik halus tidak hanya terfokus pada sekitar jari tangan, tetapi pada area yang lebih luas lagi, yaitu: 1). Sekitar wajah 2). Bagian lumbal (punggung) 3). Sekitar jari-jari kaki Perkembangan motorik halus sangat penting diperhatikan dan tidak hanya untuk persiapan menulis, tetapi perkembangan fungsi yang lainnya, seperti : 1). Perkembangan artikulasi, sebagai persiapan berbicara 2). Kepekaan ujung jari kaki, untuk membantu perkembangan keseimbangan 3). Kelenturan tubuh/fleksibilitas Dengan demikian, pemahaman mengenai motorik halus perlu diperluas, sehingga stimulasi yang diberikan tepat. Pendidik juga memahami bahwa perkembangan motorik halus terkait dengan perkembangan menulis dan berbicara (65%), selebihnya (35%) menyatakan belum memahami. Oleh karena itu, menurut pendidik, stimulasi yang dapat dilakukan antara lain : 1). Menggerakkan otot-otot yang ada di tangan sesering mung50
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
kin 2). Menstimulasi dalam mencoret-coret kertas agar bisa menulis untuk mengkoordinasi otot halus dan saraf 3). Meremas 4). Merobek 5). Menjumput 6). Menjimpit 7). Menggenggam benda-benda tertentu 8). Menempel potongan-potongan kertas atau daun-daunan Stimulasi yang diberikan oleh pendidik sebagaimana disebutkan di atas, juga masih berfokus pada motorik halus di sekitar jari-jari tangan, dan tampaknya terarah pada persiapan menulis. Dengan demikian, perlu ditingkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan kreativitas pendidik PAUD dalam merancang ragam stimulasi perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun. 2. Orangtua Sebagian besar orangtua menyatakan memahami perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun, sementara itu, sebagian kecil menyatakan bahwa kurang memahami atau tidak memahami perkembangan motorik halus anak usia 0 – 6 tahun. Namun demikian, pemahaman tersebut sesuai dengan pengetahuan orangtua sehari-hari, sehingga konsep perkembangan motorik halus menurut orangtua adalah: a. Gerakan anggota tubuh terhadap respons dari melihat dan mendengar yang diperagakan anak b. Kemampuan anak untuk memegang pensil dan ballpoint c. Kemampuan menulis di kertas Dengan demikian, berdasarkan pada pendapat orangtua, perkembangan motorik halus terkait dengan kemampuan menulis. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh pendidik, hanya pengetahuan pendidik lebih luas, dengan contoh-contoh aktivitas yang lebih beragam. Sementara itu, tahap perkembangan motorik halus menurut usia berdasarkan keterangan dari orangtua adalah :
JPNF Edisi 12 2015
51
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
a. Usia 0-4 bulan 1). Peka terhadap cahaya 2). Suka melakukan gerakan refleks 3). Tersenyum kepada setiap orang 4). Belajar mengangkat kepala 5). Belajar mengenggam 6). Mengeluarkan suara b. Usia 5-10 bulan 1). Belajar merangkak 2). Belajar memegang 3). Belajar memasukkan makanan ke mulut 4). Menghisap jempol c. Usia 10-16 bulan 1). Belajar berjalan 2). Belajar berlari 3). Belajar berbicara d. Usia 16-24 bulan 1). Belajar corat coret 2). Menonton TV 3). Bermain balok Tahap perkembangan motorik halus yang dikemukakan oleh orangtua di atas masih sangat dirancukan dengan tahap perkembangan pada aspek yang lain. Dengan demikian, perlu ada upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orangtua mengenai tahap perkembangan motorik halus. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain melalui pendidikan keorangtuaan (parenting education), penyebarluasan brosur tentang perkembangan anak, forum diskusi, dan sebagainya. Pemahaman orangtua mengenai tahap perkembangan motorik halus sangat mempengaruhi cara stimulasi yang dilakukan oleh orangtua. Berdasarkan pada pendapat orangtua, berbagai cara stimulasi yang dilakukan antara lain: a. Memberikan rangsangan dengan cara berbicara b. Memberi contoh berbagai gerakan, kemudian meminta anak untuk menirukan 52
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
c. d. e. f.
Senam bersama Menari Memperagakan cara bermain Permainan ketangkasan, seperti kegiatan outbond, permainan lempar bola Berbagai cara stimulasi di atas juga masih dirancukan dengan stimulasi pada aspek perkembangan yang lainnya, yaitu stimulasi perkembangan nilai-nilai agama dan moral, bahasa, motorik halus, kognitif, serta sosial emosional. Dalam melaksanakan stimulasi, ada beberapa media pembelajaran yang digunakan. Berdasarkan pendapat orangtua, media pembelajaran yang biasa digunakan antara lain: a. Balok mainan b. Pensil untuk mencoret c. Kertas d. Buku bergambar e. Air untuk dibuat mainan f. Jagung atau biji-bijian untuk digenggam atau dipegang g. Sikat gigi dan perlengkapan mandi h. Bola karet atau bola plastik i. Perlengkapan pakaian j. Boneka tangan k. Alat gigitan bayi Berbagai media pembelajaran yang digunakan oleh orangtua di atas, juga belum terfokus untuk stimulasi perkembangan motorik halus. Di sisi lain, tampaknya juga belum ada perhatian terhadap faktor keamanan media yang digunakan. Pengetahuan mengenai Pentingnya Stimulasi Motorik Halus 1. Pendidik Menurut pendidik, stimulasi motorik halus perlu dilakukan, karena memiliki tujuan : a. Mengembangkan koordinasi antara otot dan saraf b. Meningkatkan keterampilan dan kecerdasan anak c. Membantu anak agar memiliki kecakapan hidup d. Membantu agar anak dapat menulis dengan baik 2. Orangtua Hanya sebagian kecil dari orangtua yang mengetahui berbagai benJPNF Edisi 12 2015
53
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
tuk stimulasi motorik halus, yang pada dasarnya merupakan stimulasi yang diberikan agar anak siap membaca dan menulis. Di samping itu, menurut sebagian besar orangtua, stimulasi motorik halus hanya difokuskan pada stimulasi jari-jari tangan, yang meliputi menggenggam, meremas, menjumput, dan sebagainya. Dengan demikian, menurut orangtua, stimulasi motorik halus perlu dilakukan karena terkait dengan kemampuan menulis. Orangtua merasa bahwa stimulasi penting dilakukan agar anak tidak terlambat kemampuannya menulis, karena kuatir tertinggal ketika memasuki jenjang pendidikan dasar atau tidak bisa masuk ke SD favorit. 3. Aspek Keterampilan a. Stimulasi Motorik Halus yang Telah Dilakukan 1). Pendidik Stimulasi motorik halus yang dilakukan oleh pendidik berdasarkan pada usia disajikan pada tabel berikut ini. a). Usia 0 – 2 Tahun Tabel 3. Stimulasi Perkembangan Motorik Halus yang Telah Diberikan oleh Pendidik pada Anak Usia 0 – 2 Tahun
No.
Stimulasi
1.
Memberi mainan kepada anak
2.
Melatih anak menggenggam
3. 4. 5.
Tepuk tangan Senam mengikuti irama Bermain bunyi-bunyian
6. 7. 8. 9.
Melatih anak memegang krayon Melatih anak menjumput Melatih anak meremas Melatih anak memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya Melatih anak untuk memasukkan makanan ke mulut Mengeluarkan batu dari wadah ke tempat lainnya
10. 11.
54
JPNF Edisi 12 2015
Alat dan Bahan Mainan yang aman, misalnya bola karet Kue, tangan pengasuh, botol susu Tangan anak dan pengasuh Kaset Berbagai jenis suara alam (suara burung, cicak, jangkrik, katak, air mengalir, dll) Krayon, kertas Roti, biji jagung Kertas tipis, kain Botol susu, kue, batu, bola karet Roti, buah, biskuit Batu kecil, wadah
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Melatih anak memegang sendok Melatih anak mencoret Melatih anak minum susu sendiri Melatih anak membereskan mainan Memasukkan roti ke mangkok makan Memasukkan mainan- mainannya ke dalam kapal yang dipakai Memberikan wadah yang berisi mainan Mengeluarkan mainan-mainannya
Sendok plastik Krayon, kertas Botol susu Berbagai mainan Roti, mangkok plastik Berbagai jenis mainan Wadah plastik besar
Berbagai jenis mainan, wadah plastik besar Menumpahkan mainan dari tempat Berbagai jenis mainan, wadah wadah plastik besar Membuat garis bebas dulu, baru Crayon, kertas terbentuk pola Menyambung titik –titik garis Crayon, kertas vertikal atau horisontal Menirukan garis vertikal Krayon, kertas Memberi buku dan menyuruh Buku bergambar melihat gambar Membolak balikkan lembaran buku Buku bergambar Membolak balikkan halaman buku, Buku bergambar dengan melihat gambar-gambar Memberi kertas Kertas tipis Merobek kertas Kertas tipis/koran bekas Menyobek kertas lalu diremas Kertas tipis/koran bekas
b). Usia 2 – 4 Tahun
Tabel 4. Stimulasi Perkembangan Motorik Halus yang Telah Diberikan oleh Pendidik pada Anak Usia 2 – 4 Tahun
No.
Stimulasi
1. 2. 3. 4.
Membuat bola kertas atau kain Membuat origami ( kapal /pesawat) Menggunting kertas menjadi kecil Kegiatan makan bersama atau sikat gigi bersama Mencetak pasir, kolase biji-bijian, mengisi ember dan pasir Membuat bunyi-bunyian dari bijibijian dan botol plastik Membuat tasbih dari balok
5. 6. 7.
Alat dan Bahan Kertas bekas/kain perca Kertas lipat Gunting dan kertas Bekal/makan nasi Sendok dan garpu Ember, pasir, gelas plastik Botol plastik dan biji-bijian Balok warna dan tali kor JPNF Edisi 12 2015
55
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik 8.
Mengguntung kertas yang sudah diberi garis lurus
Kertas dan spidol
c). Usia 4 – 6 Tahun
Tabel 5. Stimulasi Perkembangan Motorik Halus yang Telah Diberikan oleh Pendidik pada Anak Usia 4 – 6 Tahun
No.
Stimulasi
Alat dan Bahan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Menirukan bentuk Menjiplak Permainan mencari asal suara Menari Senam Membentuk dengan plastisin Menggambar Bermain air/pasir/sabun
9.
Menggunting
Pensil, buku Pensil, contoh gambar Tutup mata Kaset, VCD Kaset, VCD Plastisin Kertas, krayon Air, pasir, sabun, wadah plastik Gunting, kertas, wadah plastik
2). Orangtua Stimulasi motorik halus yang selama ini banyak dilakukan oleh orangtua antara lain : a). Merangsang untuk berbicara b). Menggambar c). Kegiatan mengambil benda d). Bermain e). Berenang f). Melihat permainan dan mencoba g). Menjauh dan menghindari hal yang membahayakan h). Mengenal kehidupan di luar rumah (tumbuhan dan hewan) Stimulasi yang dilakukan tersebut sesungguhnya tidak terfokus stimulasi untuk perkembangan aspek motorik halus, tetapi juga pada aspek-aspek yang lainnya. Stimulasi yang dilakukan juga sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman orangtua dan pendidik. 56
JPNF Edisi 12 2015
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
PENUTUP Kesimpulan 1. Pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai konsep motorik halus sebagian besar masih perlu diperluas, karena sejauh ini masih terfokus otot-otot di sekitar jari-jari tangan, dan berhubungan dengan keterampilan menulis 2. Pengetahuan orangtua dan pendidik mengenai perkembangan motorik halus berdasarkan usia perlu ditingkatkan 3. Stimulasi motorik halus yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik lebih banyak ditujukan pada persiapan untuk menulis 4. Media pembelajaran yang digunakan lebih banyak pada alat permainan yang dihasilkan oleh pabrik (buatan) Saran 1. Perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan orangtua dan pendidik dalam memberikan stimulasi motorik halus anak usia dini, termasuk dalam penggunaan media pembelajaran atau kegiatan yang tepat bagi anak usia dini 2. Perlu ditingkatkan kreativitas orangtua dan pendidik dalam memilih dan menggunakan bahan-bahan alam sebagai media stimulasi perkembangan motorik halus anak 3. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan orangtua dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan keorangtuaan (parenting education) 4. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pendidik dapat dilakukan melalui workshop, seminar maupun pelatihan-pelatihan teknis 5. Perlu adanya panduan/bahan ajar bagi pendidik maupun orangtua dalam melakukan stimulasi motorik halus anak usia dini 6. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan orangtua dan pendidik dalam melakukan stimulasi motorik halus pada anak usia dini DAFTAR PUSTAKA Allen, K.E. & Marotz, L.R. 2010. Developmental Profiles: Pre-birth through Twelve. 6th ed. Belmont: Wadsworth Kurtz, A. Lisa. 2008. Understanding in Motorskill in Children with Dispraxia, JPNF Edisi 12 2015
57
Puspita, Stimulasi Perkembangan Motorik
ADHD, Autism, and Other Learning Dissabilities. Jessica Kingsley Publishers. London and Philadelphia Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informak Kementerian Pendidikan Nasional Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 146 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional
58
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
Belajar Sepanjang Hayat : Responsif Menuju Learning Society (Sebuah Kajian Teoritik) Wiwin Yulianingsih
Abstract
The importance of life long learning is in accordance with human life in fulfilling learning needs and education needs. The existance of life long learning is caused by the appearance of learning needs that keeps growing along with human life. People get education through several methods. Firstly, they get it through family and neighbor where they live. Such process of education is known as informal education. Secondly, people get education through school and known as formal education. Third, education is gotten through social life and known as non formal education. There is learning process within these three educational process. Such processes are useful to improve a quality within a person and the society because they provide knowledge, skill, moral values, attitude and functional understanding. Therefore, the spirit of learning needs to be enhanced within the people and society. A society that is open to learning is a society that can grow to a betterment of life. Learning activity must be the life needs and social habit.
Abstrak
Pentingnya belajar sepanjang hayat (life long learning) di dalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan belajar (learning needs) dan kebutuhan pendidikan (education needs). Kehadiran pendidikan sepanjang hayat disebabkan oleh munculnya kebutuhan belajar dan kebutuhan pendidikan yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang alur kehidupan manusia. Seseorang memperoleh dari keluarga dan lingkungan dimana individu itu tinggal yang kemudian dikenal dengan istilah pendidikan informal. Kedua, pendidikan diperoleh manusia dilingkungan sekolah yang kemudian dikenal dengan pendidikan formal. Ketiga, pendidikan dapat diikuti oleh manusia dalam kehidupan masyarakat, yang JPNF Edisi 12 2015
59
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
kemudian dikenal dengan istilah pendidikan non formal. Dalam ketiga proses pendidikan tersebut terkandung pula proses pembelajaran sehingga manusia dapat belajar dalam lingkup pembelajaran informal, pembelajaran formal maupun pembelajaran non formal. Ketiga pembelajaran ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kehidupannya sepanjang hayat karena dalam proses pembelajaran tersebut setiap manusia dapat memperoleh pengetahuan, kecakapan, nilai moral, sikap dan pemahaman yang bersifat fungsional. Seseorang, dalam kehidupannya akan selalu belajar sepanjang kehidupannya, untuk itu semangat masyarakat gemar belajar perlu ditingkatkan. Masyarakat gemar belajar terwujud apabila setiap warga masyarakat selalu mencari dan menemukan sesuatu yang baru dan bermakna. Meningkatkan kemampuan dan mengembangkan diri melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar telah menjadi kebutuhan hidup dan kebiasaan masyarakat. PENDAHULUAN Konsep pendidikan sepanjang hayat memberi isyarat bahwa pendidikan dapat dilaksanakan setiap manusia dalam ruang kehidupannya. “To learn as long as to live” (belajar selama hidup) dan learning has no boundaries (belajar tidak mengenal batas). Pertama, pendidikan dapat diperoleh malalui keluarga dan lingkungan dimana individu itu tinggal yang kemudian dikenal dengan istilah pendidikan informal. Kedua, pendidikan diperoleh manusia dilingkungan sekolah yang kemudian dikenal dengan pendidikan formal. Ketiga, pendidikan dapat diikuti oleh manusia dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian dikenal dengan istilah pendidikan non formal. Ketiga jenis pendidikan tersebut secara tersebut diikuti oleh manusia sepanjang hidupnya dan dapat menjangkau sasaran yang luas dan dapat berlangsung dalam kawasan/daerah yang luas pula, dalam waktu yang bersamaan dan secara berkelanjutan. Dalam kondisi demikian, setiap orang baik dalam kepantasannya sebagai pribadi, anggota keluarga dan warga masyarakat, setiap saat berpeluang mengikuti pendidikan sepanjang hidupnya. 60
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
Dalam ketiga proses pendidikan tersebut terkandung pula proses pembelajaran sehingga manusia dapat belajar dalam lingkup pembelajaran informal, pembelajaran formal maupun pembelajaran non formal. Ketiga pembelajaran ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kehidupannya sepanjang hayat karena dalam proses pembelajaran tersebut setiap manusia dapat memperoleh pengetahuan, kecakapan, nilai moral, sikap dan pemahaman yang bersifat fungsional. Duke (2006:15) mengemukakan bahwa istilah pendidikan seringkali dipergunakan dalam kaitannya dengan pernyataan tentang sekolah dan mengajar di sekolah. Dalam pengertiannya yang luas pendidikan dapat meliputi seluruh pengalaman yang mendidik yang dialami oleh orangorang dalam seluruh bagian kehidupan normal mereka. Tentu saja, kemungkinan menerima pendidikan melalui pengalaman kehidupan atau sebaliknya menggunakan banyak waktu di sekolah tetapi minim pendidikan dalam kehidupan, diakui secara luas dalam ekspresi kehidupan sehari-hari. Pendidikan dan persekolahan berkaitan dengan pemahaman umum tentang belajar, tetapi keduanya bukan hal yang sama. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pendidikan adalah proses yang lebih umum dan tidak hanya terbatas pada hasil kontak dengan dan atau sekolah. Coombs dan Ahmed, (2005:9-10) mengemukakan bahwa pendidikan adalah belajar dalam arti luas, tanpa melihat dimana, kapan dan bagaimana belajar berlangsung. Dengan demikian pendidikan mencakup hal-hal yang lebih luas, tidak hanya pengetahuan atau keterampilan-keterampilan akademis dan bahan-bahan pelajaran sekolah saja, akan tetapi juga mencakup kemampuan bekerja untuk bekal hidup, kualitas kehidupannya, pekerjaan-pekerjaan yang mencakup keperluan rumah tangga, pengembangan apresiasi estetika dan cara-cara berpikir analitik, pembentukan sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan informasi tentang berbagai hal yang baru. Secara historis, Pramudia (2013:43-45) menyebutkan bahwa konsep belajar sepanjang hayat tidak terlepas dari proses pembangunan peradaban manusia. Perspektif belajar dari buaian sampai ke liang lahat (the cradle-to-grave) dikenal luas dan dipromosikan di banyak Negara. Seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan belajar yang bervariasi, konsep dan bentuk belajar dan pendidikan semakin menjadi JPNF Edisi 12 2015
61
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
lebih luas, sinergi dengan semangat dan kebutuhan untuk belajar secara terus menerus dalam berbagai kesempatan. Pengembangan potensi manusia belajar sepanjang hayat mengakui bahwa setiap individu memiliki potensi belajar sekaligus menerima beberapa keterbatasan yang terkandung dalam potensi individu. Untuk itu dapat membuat lompatan kuantum(quantum leaps) dalam mencapai potensi kemanusiaan kita dan kita pasti bisa bila kita memiliki kesempatan dan pengalaman yang menyenangkan. Selanjutnya manusia harus memiliki potensi mendukung atau dukungan (supportive), terus menerus (continiusly), proses, stimulates, empowers, individuals, knowledge, values, skill sampai pada pemahaman (understanding) tingkat pemahaman seseorang sering diperoleh dari hasil belajar pengetahuan kecakapan aplikatif. Belajar tidak lagi didikotomikan ke dalam sebuah tempat, gedung dan waktu untuk memperoleh pengetahuan (sekolah), maupun untuk mengaplikasikan pengetahuan (tempat kerja, lembaga atau kantor). Dewasa ini masyarakat dibanjiri dengan lebih banyak informasi beragam, daripada yang dapat mereka tangani. Belajar sepanjang hayat (lifelong learning) merupakan tantangan penting untuk menemukan masa depan masyarakat kita. Belajar sepanjang hayat lebih dari pendidikan orang dewasa, pelatihan, pendidikan keterampilan, ini merupakan mindset suatu kebiasaan bagi masyarakat untuk memperoleh makna belajar. Belajar sepanjang hayat menciptakan tantangan untuk memahami, mengekplorasi dan mendukung dimensi-dimensi penting yang baru bagi pendidikan. Setiap orang mengalami belajar dalam kehidupannya. Menurut Ahmadi, (2014:129-130), dimensi yang dimaksud adalah : 1. Belajar yang diarahkan diri sendiri (self-directing learning) 2. Belajar atas dasar tuntutan (learning on demand) 3. Belajar kolaboratif (collaborative learning) 4. Belajar organisasi (organization learning) Pendekatan-pendekatan ini memerlukan media baru dan teknologi untuk didukung secara memadai. Teori belajar sepanjang hayat harus menginvestigasi kerangka-kerangka baru untuk belajar yang diperlukan oleh perubahan-perubahan besar dan cepat dalam dunia pendidikan dan pekerjaan. Perubahan-perubahan tersebut : 1. Meratanya teknologi tinggi yang meningkat sehingga pekerjaanpekerjaan perlu mendukung untuk belajar atas dasar tuntutan karena mencakup semua konsep yang tidak mungkin. 62
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
2. Perubahan yang tidak biasa dielakkan dalam zaman profesi yang memerlukan belajar sepanjang hayat dan 3. Mendalamnya perbedaan kesempatan yang ditawarkan pada terdidik dan tidak terdidik. TUJUAN BELAJAR SEPANJANG HAYAT Inti belajar sepanjang hayat adalah bawah seluruh individu harus berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal. Oleh karena itu pendidikan sepanjang hayat harus dipandang secara holistik mulai dalam buaian sampai akhir kehidupan. Dalam kerangka ini pendidikan dipandang sebagai pelayanan untuk membantu pengembangan personal sepanjang hayat dalam istilah yang lebih luas : development. Belajar sepanjang hayat memiliki tujuan menciptakan belajar untuk hidup (learning to be) dan membentuk masyarakat belajar (learning society). Ditegaskan Trisnamangsah (Pramudia, 2013), tujuan pendidikan sepanjang hayat adalah tidak sekedar untuk adanya perubahan melainkan pula untuk tercapainya kepuasan diri dari pihak yang melakukan belajarnya itu sendiri. Seseorang, kelompok, komunitas merasa lebih percaya diri dengan hasil kemampuan belajarnya. Dalam perspektif yang lain disebutkan bahwa sedikitnya ada dua tujuan dari belajar sepanjang hayat termasuk didalamnya tujuan mandiri atau self learning yaitu untuk (1). menyesuaikan diri dengan perubahan positif yang terus menerus berubah dan berkembang dalam sepanjang kehidupan manusia (2) untuk menyiapkan diri guna mencapai kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Belajar sepanjang hayat merupakan proses kontinum dari elemanelemen yang saling berkaitan (interdependent), yang dilandasi oleh kebutuhan individu dalam pendidikan sepanjang hidupnya.
JPNF Edisi 12 2015
63
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
Gambar 1. Proses belajar sepanjang hayat
Longworth dan Davies, W.K (2006 :20 )melukiskan proses belajar sepanjang hayat yang merentang dari pendidikan formal, non formal hingga informal. Aksis A-pembelajar-adalah nilai, keterampilan dan atribut belajar sepanjang waktu sebagaimana ditunjukkan dalam Aksis B. Aksis B adalah sepajang hayat-tingkat perbedaan pengetahuan dan pemahaman, melalui sistem belajar formal hingga sistem belajar informal. Aksis C adalah belajar-merupakan seperangkat pendukung dari sistem belajar sepanjang hayat dimana pembelajar beradaptasi dengan kebutuhan belajarnya. Gambar tersebut menunjukkan proses belajar sepanjang hayat yang berlangsung secara kontinum. Latar belakang adanya masyarakat gemar belajar /learning society itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh Longworth N dan Davies R (Santoso, 2010:227) sebagai berikut : 1. The learning society which provides the means of doing this in immanent. It provides a structural frame work for action at the local level. 2. One of the most effective ways to create a learning society is first to cerate leraning community cities, town, villages or regions which integrate their 64
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
economic, political, educational, and inveronmental structures toward developing the tolents and human potential of all their citizens. 3. True learning communities are outward looking. People moving from one community to another shered be able to recognize in each the ambience of learning and use it as a means of integration. 4. A learning community would also be a caring community. It would have to make special provision for the allow learner and the late dwelsper, the eccentrie and the dranged, the damaged and the desperate. BEBERAPA PEMIKIRAN TOKOH Menurut Ivan Illich (Sudiapermana 2013: 7), belajar tidak boleh tersekat oleh ruang dan waktu, karena belajar bisa dilakukan di banyak tempat dan setiap saat. Di saat teknologi informasi belum secanggih seperti sekarang ini, Ivan Illich sudah memikirkan Learning Webs (jaringan pembelajaraan). Dalam hal ini Ivan Illich berpendapat bahwa pengetahuan harus bisa digunakan untuk memecahkan masalah dan menambahkan nilai kehidupan. Apapun kesibukan dan pekerjaan seseorang, akan selalu membutuhkan belajar dalam setiap waktunya, sepanjang kehidupannya. Sedangkan Gagasan yang dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pendidik asal Brazil, Freire yang lahir dan besar di tengah negaranya yang sebagian besar berpenduduk miskin dan tidak berpendidikan, bahkan buta huruf. Mengatakan bahwa pendidikan dalam konsep belajar merupakan jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Berikutnya menurut Antonio Gramsci (Sudiapermana, 2013:45), menyebutkan bahwa semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua manusia dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Artinya adalah bahwa setiap orang mempunyai akal dan menggunakannya, tetapi tidak semua intelektual dengan fungsi sosial, kreativitas berpartisipasi aktif dalam kehidupan praktis. Perjuangan pendidikan tidak terbatas pada peningkatan kesadaran tapi kesadaran harus bertujuan pada transformasi-penciptaan kesadaran sosialis. Hal itu bukan sesuatu yang dapat dipaksakan pada orang tetapi harus muncul dari kehidupan yang sebenarnya. Gramsci, menekankan pada kesadaran kritis, pentingnya intelektual yang menjadi bagian dari kehidupan seharihari dan pada bagian yang dimainkan oleh apa yang disebut “common sense”. Tambahan dari Sudjana (2001:224). Masyarakat gemar belajar akan sekaligus menjadi prasyarat bagi tumbuhnya masyarakat terdidik (educated society). JPNF Edisi 12 2015
65
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
Belajar sepanjang hayat, masyarakat belajar dan masyarakat berpengetahuan memiliki makna yang luas. Teori belajar sepanjang hayat distimulasi oleh pikiran-pikiran dari teori belajar manusia (theory human learning), yang mengakui adanya the lifelong nature dalam suatu aktivitas belajar seseorang. Belajar tidak akan berhenti pada saat seseorang menyelesaikan pada pendidikan formal ataupun nonformal tetapi belajar merupakan proses interaksi dan relasi yang berlangsung sepanjang hidup seseorang dalam suatu konteks sosial tertentu hingga berakhir kematian. Artinya bahwa, belajar merupakan proses transformasi pengalaman yang dimiliki seseorang dan akan selalu terjadi ketika individu berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Dikuatkan oleh pendapat Jean Jacques Rousseau bahwa”manusia harus belajar untuk hidup lebih layak, sebagaimana pada saat kita lahir mengambil bagian hak-hak kewarganegaraan kita, saat itu seharusnya menjadi titik awal pelaksanaan tugas kita, sebagai pedagogik yang mempunyai kebebasan untuk belajar. Alam akan mengajarkan bagaimana kita seharusnya belajar dan berperilaku sebagai mahluk hidup yang mempunyai berbagai kelebihan bahkan nyaris sempurna. Alam adalah guru yang baik sekaligus kawan bagi umat manusia” Pendapati Samani (2014:175), melihat sisi dari mahasiswa, menyatakan bahwa belajar bidang keahlian itu penting tetapi tidak cukup. Jika peserta didik (masyarakat/mahasiswa) di kampus itu hanya mendalami bidang keahliannya (sesuai jurusannya) tentu dia tidak banyak mendapatkan pengalaman belajar yang lain. Pendapat Kai Mien Cheng (Samani, 2014:182-183) sejalan dengan penelitian Tony Wagner dan penelitian Berny Trilling Bersama Thomas Fadel. Melalui serangkaian penelitian, Wagner (2008) menemukan apa yang dia sebut dengan the survival skills, meliputi kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah, kemampuan bekerjasama lintas budaya, ketangkasan dan kemampuan komunikasi baik lisan maupun tertulis, kemampuan mencari dan menganalisis informasi, keingintahuan dan kemampuan berimajinasi. Sementara itu Trilling dan Fadel (2009) mengajukan apa yang disebut dengan kecakapan abad 21 (21st century skills) yaitu kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah, kemampuan komunikasi berinovasi media and teknologi skills yang mencakup melek informasi, melek media dan melek ICT;serta life 66
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
and carrer skills yang mencakup fleksibelitas dan kemampuan adaptif, inisiatif dan kemampuan mengarahkan diri, kemampuan sosial dan berinteraksi lintas budaya, produktivitas serta kepemimpinan yang bertanggungjawab. William Lovett (Sudiapermana, 2013 :135), mengatakan agar membangun ruang publik dan sekolah untuk rakyat yang representatif dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Pada siang hari ruangan itu digunakan oleh anak-anak untuk pendidikan dasar dan menengah dan malam hari digunakan oleh orang-orang dewasa, untuk kuliah umum, moral, politik, ruang membaca, diskusi, hiburan musik, menari dan bentuk-bentuk kreasi lainnya. Bangunan ruang publik itu termasuk kamar mandi, museum kecil, laboratorium atau ruang lokakarya dan sentra ilmu pengetahuan. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Josephine Macalister Brew, bahwa pendidikan harus dibawa ke tempat-tempat dimana orang-orang berkumpul, seperti rumah publik, klub berlisensi, perpustakaan dan tempattempat orang merasa tinggal di rumah. Perhatian pendidikan harus pada upaya memberdayakan yang ‘terpelajar’ (mereka yang mampu menghibur dirinya sendiri, mampu menghibur orang asing dan mampu memunculkan ide-ide baru). Selanjutnya Brew menambahkan setiap kegiatan manusia pada hakekatnya memiliki nilai pendidikan dalam karyanya In the informal education, pembelajar perlu memiliki berbagai latar belakang budaya dan berpikir tentang makna kehidupan, berpikiran positif dan mampu berhubungan dengan orang lain serta fleksibel. Sedangkan Hannah More (Sudiapermana,2013:185) berpendapat bahwa sekolah minggu merupakan sentral kegiatan belajar masyarakat. Hari minggu merupakan hari yang tepat untuk kegiatan belajar mengajar, dimana pada hari itu para siswa dan guru sekolah bebas dari pekerjan pokoknya. Beberapa kelas juga diadakan pada malam hari, terutama untuk ibu-ibu belajar membaca, merajut dan menjahit sebagai kegiatan yang paling utama. Di samping itu, perlu menciptakan koperasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang dikemukan John Wesley, bahwa tidak ada gunanya untuk mengajar orang membaca, karena tujuan dari sekolah(belajar) ini untuk membuat warga negara yang jujur dan berbudi luhur. Hannah menyuruh sisnya termasuk ibu-ibu untuk mulai hidup hemat dan produktif , ia mmebuat JPNF Edisi 12 2015
67
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
tabungan masyarakat dan setiap pertemuan semua anggota terutama para wanita didorong menyetorkan sebagian kecil hartanya. Dana ini semacam asuransi, jika ia sakit atau ada kebutuhan mendadak, dana itu akan dikembalikan. Dirasakan Hannah, cara ini ternayata efektif bisa menekankan sedikit kesusahan masyarakat. Dalam Tulisannya Hints on how to run a Sunday School, Ia mengatakan bahwa suatu program harus terencana dan cocok dengan tingkat kemamampuan siswa, kita harus bisa menciptakan kelas yang menghibur dan inovatif. Tokoh feminisme yang lain adalah Mary Carpter, hampir sama dengan pendapat Hannah More, dan ia membuka sekolah bagi para gadis di perkampungan – perkampungan kumuh yang jauh dari perkotaan, dengan beberapa masalah perilaku liar anak-anak miskin. Ia merasa terkejut ketika mengetahui bahwa orang-orang muda berperilaku kriminal sejak usia dini. Ia adalah motivator pendidikan bagi kaum perempuan dan ia yakin tentang kebutuhan kaum perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Yang terakhir adalah Bell Hooks (Sudiapermana, 2013:209-210), seorang akademis sebagai profesor Bahasa Inggris di City College of New York. Seorang feminis dan baginya keaksaraan sangat penting untuk masa depan gerakan feminis, kesadaran menulis dan keterampilan sangat berfungsi untuk menghilangkan dominasi kaum laki-laki termasuk kesadaran politik dan pasar tenaga kerja. Ia memandang bahwa keaksaraan lebih dari sekedar bisa membaca dan menulis secara harfiyah, namun memungkinkan orang-orang terutama mereka yang masih termarjinalkan dan terdeskriminasikan dalam masyarakat untuk memperoleh kesadaran kritis. Ditambahkan pula bahwa pendidikan bukan hanya bisa didapat didalam kelas saja, tetapi bisa didapatkan dimanapun dan dari siapapun. Ia merujuk pada bukunya yang berjudul ‘Communities of Resistance”. Bell Hooks mengatakan pendidikan sebagai praktek pembebasan, bahwa setiap orang bisa belajar. Mengajar bukan hanya sekedar berbagai informasi atau transfer ilmu saja tapi untuk berbagai dalam pertumbuhan spiritual dan intelektual siswa. Mengajar dengan cara menghormati dan memelihara jiwa-jiwa siswa adalah sangat penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan intelektual. Kita mengajar harus memberikan suasana yang kondusif dan penuh keakraban. 68
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
KONSEP LEARNING SOCIETY Konsep masyarakat gemar belajar dikemukakan Debors (Dalam Santoso, 2010:230), menyatakan bahwa : Education the mecessary utopia, the focus of this is on personal and social development, the inriching of people through the learning process and recognition. Ranson menyatakan , fried to describe for democracy in which there would be many achive citizens because educated people would join achive. Pendidikan membutuhkan eforia fokus dari ini pada pengembangan pribadi dan masyarakat. Pengayaan orang melalui proses dan penemuan pembelajaran. Ranson, mencoba menggambarkan apa pembelajaran masyarakat dan meliputi pendidikan untuk demokrasi dimana disana akan menjadikan warga negara aktif sebab orang – orang berpendidikan akan bersama – sama aktif. Masyarakat gemar belajar terwujud apabila setiap warga masyarakat selalu mencari dan menemukan sesuatu yang baru dan bermakna, meningkatkan kemampuan dan mengembangkan diri melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar telah menjadi kebutuhan hidup dan kebiasaan masyarakat. Kegiatan belajar yang dilakukan oleh setiap masyarakat tidak terbatas hanya untuk mengetahui (learning how to learn), tidak pula belajar hanya untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems). Kegiatan belajar yang mereka lakukan terarah untuk kepentingan dan kemajuan kehdiupannya (Learning how to be atau learning how to live). Ada beberapa definisi tentang learning society, seperti yang dikemukakan oleh : 1. UNESCO (2005) : Masyarakat pembelajaran, jadi pembelajaran sebagai suatu gejala yang mungkin menghasilkan pada sekurun tingkat dari masyarakat kota dan menawarkan suatu model guna mengorganisasi waktu, pekerjaan dan kehidupan dari bagi lembaga kita. Pada satu tangan, pendidikan dan pembelajaran tidak lama lagi dapat dibatasi, jadi serangkaian dan ditempatkan pada ruang – waktu, tetapi mungkin mengembangkan waktu kehidupan. Pada tangan yang lain, pelaku manusia harus ditempatkan pada jantung proses perolehan pengetahuan yang berkelanjutan dan komunikasi. 2. Jarvis P (2007) Masyarakat pembelajaran adalah suatu msayarakat dimana orang – orang diberdayakan bahkan didorong untuk belajar, tetapi mereka mempunyai tanggung jawab untuk pembelajaran ; masyarakat JPNF Edisi 12 2015
69
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
pembelajaran adalah individu – individu yang belajar dan bukan masyarakat dan bahwa masyarakat mungkin diubah bahkan dipindahkan sebagai akibat dari pembelajaran anggota – anggota masyarakat tersebut. 3. Hatton H Y (2007) Masyarakat pembelajaran adalah sesuatu dimana hak – hak belajar dilindungi dan setiap orang dapat belajar secara berkelanjutan untuk sesuatu alasan manusia memilih untuk berbagai manfaat. Adapun komponen masyarakat pembelajar , adalah : a. Lembaga pembelajaran itu sendiri, hidup sebagai penemuan itu sendiri dalam hubungannya dengan yang lain. b. Kondisi sosial pembelajaran menciptakan suatu model masyarakat yang memperluas cakrawala. c. Pengaturan keadilan, demokrasi partisipatif dan kegiatan umum. Penerapan prinsip-prinsip belajar sepanjang hayat ditandai dengan adanya ciri-ciri adalah: a. Pembelajaraan lebih ditekankan untuk menumbuhkan belajar secara individual berdasarkan negoisasi antara pendidik dan peserta didik. b. Program pembelajaraanya fleksibel sehingga belajar dapat dilakukan pada tempat dan waktu yang sesuai dengan keinginan peserta didik. c. Rektrutmen peserta didik tidak menggunakan proses seleksi sehingga memungkinkan kebutuhan individual setiap peserta didik dapat terpenuhi. d. Kendala yang ditimbulkan oleh perbedaan lembaga, termasuk fasilitas pembelajarannya, dapat diatasi melalui pendekatan kolaborasi sehingga setiap lembaga saling menghormati dan saling mendukung. e. Kelangsungan proses belajar berdasarkan kepentingan individu dan atau komunitas. KARAKTeRISTIK MASYARAKAT PEMBELAJAR Longworth N dan Davies K (Santoso: 2010:235-237) menyatakan karakteristik masyarakat pembelajar sebagai berikut : 1. Learning is accented as a continue action by throught life (pembelajaran 70
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
2.
3.
4.
5.
6.
ditekankan sebagai aktifitas berkelanjutan melalui kehidupan). Pembelajaran merupakan kegiatan yang menjadi saran untuk pemenuhan kebutuhan manusia, misal kebutuhan untuk makan, minum, dan istirahat, pemenuhan kebutuhan pendidikan, guna memenuhi pendidikan yan diperlukan manusia dan temukan kebutuhan belajar guna memenuhi kebutuhan pengetahuan dan kecapakan, yang sama bernuansa untuk memnuhi kebutuhan kehidupannya. Learners take responsibility of linier own progres (pembelajar mengambil tanggung jawab dari kemajuan sendiri secara lurus) Setiap manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalalm hidupnya tanpa dapat dihalangi atau dihentikan. Dalam hubungan ini, pembelajaran yan diikuti digunakan sebagai sarana/ instrumen dalam mengembangkan diri secara maksimal sehingga manusia memperoleh kehidupan yang baik. Assasment confirms progress rether than brands failure. (penilaian berkaitan dengan kemajuan daripada kegagalan). Demikian terhadap pembelajaran yang diikuti setiap orang, ditekankan pada kemajuan yang dicapai daripada kegagalan, sehingga kondisi ini dapat menjadi pendorong setiap orang dalam proses pembelajarannya dan sekaligus menciptakan rasa senang dalam pembelajaran. Capability, personal and shared values and teamworking are recognized equally with the persiuts knowledge (kemampuan, pribadi, dan nilai yang disebarkan dan kerja tim diperoleh bersama – sama dengan mengejar pengetahuan). Learning is partnership between students, parents, teacher, umployer, and the community and all work together to improve performance (pembelajaran merupakan hubungan perorangan antara siswa, orang tua, guru, karyawan dan masyarakat dan keseluruhan kerja bersama untuk meningkatkan tingkah laku). Kedudukan pembelajar, orang tua, guru, dan masyarakat dalam proses pembelajaran adalah sejajar dalam upaya peningkatan pengetahuan, kecakapan, dan sikap. Dengan demikian proses pembelajaran menjadi tanggung jawab bersama dengan masing – masing mempunyai tugas berbeda dalam satu kerangka kerja bersama. Everyone accepts some responsibility for the learning of others. (setiap orang JPNF Edisi 12 2015
71
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
menerima beberapa tanggung jawab pembelajaran dari yang lain). Dalam masyarakat pembelajaran, setiap anggota masyarakat dalam kegiatan tersebut mempunyai tugas dalam rangka pelaksanaan kegiatan sehingga pembelajaran menjadi proses yang harus dipikul bersama. 7. Men, woman, the visabled and minority groups have aqual acces to learning opportunities. (laki – laki, perempuan yang kurang berdaya dan kelompok minoritas mempunyai akses yang dana untuk kesempatan pembelajaran). Masyarakat pembelajaran memberi kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan belajar tanpa membeda – bedakan atas latar belakang apapun sehingga setiap orang memperoleh layanan dalam mengembangkan diri. 8. Learning is seen as creative, rewarding and enjoyble. (pembelajaran dipandang sebagai sesuatu yang creatif, menyenangkan dan memberi kenyamanan). Pembelajaran sebagai proses yang dinamis, artinya proses yang selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan baik dari segi materi, metode, dan teknik pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran dapat menciptakan inisiatif dan partisipatif peserta dalam rangka mencapai tujuan yang telah direncanakan bersama. 9. Learning is outward looking, mind opening and promotes tolerance, respect and understanding of other cultures, creeds, race and tradition. (pembelajaran memandang keluar, pikiran terbuka, dan meningkatkan toleransi, mempunyai minta dan memahami kebudayaan, adat istiadat, suku dan tradisi orang lain). Pembelajaran pada masyarakat gemar belajar menjangkau aspek yang luas yakni kehidupan dengan orang lain, sehingga pembelajaran tidak hanya memberikan pengetahuan dan kecakapan. 10. Learning frequently celebrated individually in families, in the comtatiary and in the wides world. (pembelajaran disohorkan berulang kali secara individu dalam keluarga, dalam hubungan dan dalam dunia luas). Pembelajaran dapat ditingkatkan oleh individu sebagai pembelajar dalam keluarga, hubungan dan dunia sehingga pembelajaran dalam rangka masyarakat gemar belajar berlangsung ditempat yang sangat luas. Bruce Wayne Tuckman (Sediapermana,2013:98-100), penulis artikel 72
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
Developmental sequence in small group. Menyatakan pembentukan kelompok efektif setidaknya perlu dilakukan melalui tahapan. Pembentukan dalam sebuah kegiatan, proyek, kelompok belajar dan center learning dapat dilakukan melalui beberapa tahapan. pembentukan (forming), pengembangan ide-ide sesuai tugas yang harus diselesaikan (storming), kesepakatan aturan dan nilai yang diberlakukan (norming), berfungsi sesuai dengan tugas, dan fungsi masing-masing (performing). Tahapan berikut yaitu adjourning dan transforming, yakni kelompok membubarkan diri dan anggota kelompok biasanya berkumpul kembali bila ada perubahan atau kesalahan atapun ada perubahan lainnya. Adapun tahapan adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Model teori pembentukan kelompok
1. Forming Pada tahap forming, kelompok baru dibentuk dan diberi tugas. Dimana anggota cenderungf bersifat individual, egois dan cenderung memperhatikan skill individu, walapun mereka mempunyai niat yang baik hanya belum saling mengenal dan saling mempercayai antara satu sama lain. Waktu lebih banyak dihabiskan untuk beradaptasi, merencanakan dan mengumpulkan informasi. 2. Storming Setelah suatu kelompok terbentuk (forming) dan beradaptasi, maka maju ke tahapan yang kedua, storming. Pada tahapan ini kelomJPNF Edisi 12 2015
73
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
pok mulai mengembangkan ide-ide yang berhubungan dengan tugas mereka masing-masing. Membahas isu-isu dan problem yang mereka harus selesaikan, fungsi mereka dan model kepemimpinan yang mana yang akan mereka terima. Anggota kelompoknya mulai terbuka dan mulai saling mengajukan gagasan dan perspektif mereka masing-masing. Membahas isu-isu dan problem yang mereka harus selesaikan, fungsi mereka dan model kepemimpinan yang mana yang akan diterima. Anggota kelompok mulai terbuka dan mulai saling mengajukan gagasan dan perspektif mereka. Tahapan ini sangat penting untuk perkembangan kelompok itu sendiri. Anggota kelompok memiliki sifat arif, bijaksana dan terbuka pada berbagai pendapat yang berbeda, karena pada tahapan ini tidak jarang terjadi konflik akibat perbedaan pendapat. 3. Norming Pada tahapan ini, para anggota kelompok mulai saling percaya antara satu sama lain. Mereka mulai menemukan peran dan tanggung jawab dengan jelas, dan kelompok mulai menemukan irama seiring dengan kesepakatan aturan, nilai yang mereka gunakan. Tahapan ini juga membuat para anggota nyaman dan terus berkontribusi bagi kemajuan kelompok. 4. Performing Selanjutnya pada tahapan ini kelompok mulai berfungsi sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Mereka menyelesaikan pekerjaan dengan lancar tanpa konflik yang tidak perlu. Para anggota kelompok saling ketergantungan dan saling melengkapi satu sama lain, mereka peka terhadap keadaan dan situasi yang ada, berkomunikasi dengan efektif dan berjalan dengan lancar. 5. Adjourning dan transforming merupakan tahapan terakhir, ada proses yang berjalan ketika sedang menjalankan aktivitas kelompok tersebut dan seluruh proses tersebut berlandaskan pada hal-hal sebagai berikut : a. Persepsi Pembagian kelompok biasanya berdasarkan pada tingkat intelejen yang para anggota kelompok itu sendiri, biasanya dilihat dari sisi akademisinya. Contohnya memiliki satu atau lebih kecerdasan dan diharapkan anggota yang memiliki hal itu bisa menularkan pada anggota lain. 74
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
b. Motivasi Motivasi adalah hal yang paling pundamental untuk perkembangan kelompok itu sendiri, karena akan memicu kelompok berkompetisi secara sehat dalam mencapai tujuan kelompok. Selain motivasi yang akan menjadi pemicu tumbuhnyha suatu kelompok , skill yang bervariatif pada setiap kelompok juga akan memicu anggota lain untuk share ilmu pengetahuan supaya bisa memotivasi diri mereka sendiri. c. Tujuan Terbentuknya sebuah kelompok karena memiliki tujuan supaya dapat menyelesaikan tugas-tugas kelompok atau individu. d. Organisasi Pengorganisasian dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan proses kegiatan kelompok. Dengan demikian masalah kelompok dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. e. Independensi Kebebasan merupakan dasar dalam kehidupan demokrasi begitupun dalam kelompok yang merupakan dari kegiatan demokrasi. Kebebasan merupakan roh dalam perkembangan suatu kelompok. Kebebasan disini merupakan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sesuai dengan aturan dan nilai-nilai kelompok itu sendiri. f. Interaksi Interaksi merupakan sarana bagi kemajuan kelompok, disamping itu, interaksi juga merupakan medium transfer ilmu pengetahuan dalam perkembangan kelompok, baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung. Teori pembentukan kelompok model Tuckman ini sangat popular dan banyak dijadikan acuan oleh teoritis-teoritis lainnya. KESIMPULAN Manusia membutuhkan pendidikan agar dapat beradaptasi dan atau mengendalikan perubahan yang terjadi. Dengan demikian mengikuti asas pendidikan seumur hidup, pendidikan bukan hanya sekolah, melainkan semua aktivitas pendidikan, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di masyarakat, baik informal maupun nonformal. Seseorang JPNF Edisi 12 2015
75
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
dalam dunia kerja memerlukan pengetahuan baru dan keterampilan baru untuk lebih berhasil dalam dunia kerjanya. Masyarakat perlu pendidikan secara terus menerus seirama dengan tuntutan baru dalam dunia kerja atau kebutuhan hidup lainnya. Masyarakat gemar belajar terwujud apabila setiap warga masyarakat selalu mencari dan menemukan sesuatu yang baru dan bermakna. Meningkatkan kemampuan dan mengembangkan diri melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar telah menjadi kebutuhan hidup dan kebiasaan masyarakat. Kegiatan belajar yang dilakukan oleh setiap masyarakat tidak terbatas hanya untuk mengetahui (learning how to learn), tidak pula belajar hanya untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems). Kegiatan belajar yang mereka lakukan terarah untuk kepentingan dan kemajuan kehdiupannya (Learning how to be atau learning how to live). Masyarakat gemar belajar akan sekaligus menjadi prasyarat bagi tumbuhnya masyarakat terdidik. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Rulam. Pengantar pendidikan : Asas dan Filsafat Pendidikan. ArRuzz Media. Jogjakarta.2014 Duke, C. Aystralian Perspectives in Lifelong Education. Melbourne: Australia Council For Education Reasearch. 2006 Hatton, Michel J. Lifelong Learning : Politice, Practice and Program. Toronto: School of Media Studies at Hamburg College. 2007. Jarvis, Peter. Globalisastion, Lifelong Learning and The Learning Society:Sociological Perspective. London and New York: Routledge, 2007 Longworth, Norman and Davies, W.Keith. Lifelong learning:learning. London:Kogan Page 2006. Pramudia, Rahmat Joni. Belajar Sepanjang Hayat : Konsep, Kebijakan dan Aplikasi dalam Pendidikan Nonformal menuju Masyarakat Berpengetahuan. Bandung. EDUKASIA Press. 2013 Santoso, Slamet. Teori Konsep Dasar PLS. Bahan Kuliah Konsep Dasar PLS di Jurusan PLS FIP Unesa. Untuk Kalangan Sendiri. 2010 Sudjana,H. Djuju. Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah perkembangan, Filsafat, Teori Pendukung, Asas. (Bandung: Falah Production), 2001. ---------------------- Pendidikan Non Formal: Wawasan, Sejarah perkembangan, Filsafat, Teori Pendukung, Asas. (Bandung: Falah Production), 76
JPNF Edisi 12 2015
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
2004). Sudiapermana, Elih. Pendidikan Nonformal danInformal : Tokoh dan Pemikiran. Bandung. Edukasia Press. 2013. Samani, Muchlas. Mohon Maaf…Masih Compang-camping: Kumpulan Catatan Sebagai Rektor Universitas Negeri Surabaya, Jabatan 20102014. Surabaya. Unesa Inuversity Press. 2014.
JPNF Edisi 12 2015
77
Yulianingsih, Responsif Menuju Learning Society
78
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
FENOMENA BUTA AKSARA KEMBALI DI DUSUN KREWEH DESA GUNUNGREJO KECAMATAN SINGOSARI KABUPATEN MALANG (PERSPEKTIF FENOMENOLOGI WEBER) Erfan Agus Munif
Abstract
Illiteracy rate in Indonesia is still quite high. One of the causes of the high illiteracy rate is the number of program graduates illiterate that illiterate back. This research was conducted to reveal the phenomenon of illiteracy back in Kreweh hamlet, Gunungrejo village, Singosari, Malang, using Weber phenomenological perspective. By using qualitative research design, this study found [1] some important experience on learning process in literacy, the initial meeting straight into the learning material, fatigue causing difficulty receiving the material, female participants were more active than male participant, learning tools are limited, participation in literacy learning as a means of unwind and pedagogical approach used for adult learners. [2] The phenomenon of inability program graduates mainly caused by the low quality of tutors. [3] For illiterate back in the Kreweh Meduran hamlet, ability is not viewed as something that is really important, the literacy ability without based on honesty and trust, becomes meaningless. Keywords: illiteracy back, phenomenology
Abstrak
Angka buta aksara di Indonesia tergolong masih cukup tinggi. Salah satu penyebab masih tingginya angka buta aksara adalah banyaknya lulusan program buta aksara yang buta aksara kembali. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengungkap fenomena buta aksara kembali di dusun Kreweh, desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari Kabupaten Malang dengan menggunakan perspektif fenomenologi Weber. Dengan menggunakan rancangan penelitian kualitatif, penelitian JPNF Edisi 12 2015
79
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
ini menemukan [1] beberapa pengalaman penting proses pembelajaran keaksaraan, yakni pertemuan awal langsung masuk materi pembelajaran, kelelahan menyebabkan kesulitan menerima materi, peserta perempuan lebih aktif dibanding peserta laki laki, sarana belajar terbatas, keikutsertaan dalam pembelajaran keaksaraan sebagai sarana melepas lelah, dan pendekatan pedagogik digunakan untuk peserta didik dewasa. [2] Fenomena ketidakmampuan beraksara lulusan program keaksaraan sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya kualitas tutor. [3] Bagi warga buta aksara kembali di dusun Kreweh Meduran, kemampuan beraksara bukan dipandang sebagai sebagai sesuatu yang benar-benar penting, kemampuan beraksara tanpa dilandasi kejujuran dan amanah, menjadi tidak berarti. Kata Kunci: buta aksara kembali, fenomenologi PENDAHULUAN Buta aksara masih menjadi masalah besar bagi banyak negara di dunia terutama bagi negara-negara di Asia dan Afrika. UNESCO (2012:9) mencatat separuh lebih dari 793.091.000 total penduduk dunia yang buta aksara berada di Asia dan Afrika. Asia tercatat sebagai benua dengan penduduk buta aksara terbesar yakni 410.544.000 orang, sedangkan penduduk di benua Afrika yang buta aksara sebesar 170.052.000 orang. Indonesia tercatat sebagai negara terbesar ke lima dengan penduduk buta aksara mencapai 13 juta jiwa (UNESCO, 2012:14) penduduk Indonesia yang menyandang status buta aksara mencapai 13 juta orang. Untuk mengurangi tingginya angka buta aksara sekaligus sebagai bagian dari pelaksanaan Deklarasi Dakkar (UNESCO, 2005), Pemerintah Indonesia telah menyusun dokumen Rencana Aksi Nasional [RAN] Pendidikan untuk Semua 2005-2015. yang mentargetkan hingga akhir tahun 2015, angka buta aksara di Indonesia kurang dari 5% (Depdiknas:2007). Implementasi Dekade Keaksaraan dalam pelaksanaan program keaksaraan di Indonesia menunjukkan hasil yang positif bila dilihat dari peningkatan sasaran program keaksaraan. Pada tahun 2004 80
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
cakupan program keaksaraan baru mencakup sasaran sebesar 200.000, namun pada tahun 2009 sasaran program keaksaraan sebesar 1.665.300 penduduk buta aksara (Depdiknas, 2007:107). Walaupun program berlangsung dengan sasaran yang terus bertambah dan anggaran yang juga meningkat, namun hasilnya tidak selalu berbanding dengan peningkatan angka melek huruf. Indikator Pendidikan 1994-2012 (BPS, 2013) menunjukkan ada kenaikan angka buta huruf penduduk 15 tahun keatas pada tahun 2011 dibanding tahun 2010. Pada tahun 2011 angka buta huruf penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 7,19% sedangkan tahun 2010 angka buta huruf penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 7,09%. Peningkatan jumlah buta aksara di saat program keaksaran secara massal berlangsung mengindikasikan adanya permasalahan dalam pelaksanaan program, baik saat proses pembelajaran maupun pasca pembelajaran. Kenaikan angka buta aksara ketika program secara rutin dilaksanakan mengindikasikan terjadinya buta aksara kembali. Yakni kebutaaksaraan setelah memperoleh dan atau menyelesaikan program keaksaraan. Tidak ada angka pasti berapa banyak lulusan program keaksaraan yang buta aksara kembali, Wartanto (JPPN: 2012), menyebutkan bahwa 30% peserta pembelajaran keaksaraan fungsional buta aksara kembali. Buta aksara kembali juga mengindikasikan lemahnya kualitas pembelajaran keaksaraan sehingga berdampak kegagalan pembelajaran keaksaraan (Abadzi, 2012: 5) Pembelajaran keaksaraan sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa, mempunyai karakter yang berbeda dengan pendidikan orang dewasa lain seperti pelatihan atau kursus. Arah program keaksaraan tidak sekedar memberikan keterampilan namun haruslah berangkat dari upaya membangun kesadaran, oleh karena itu program keaksaraan mempunyai dimensi lebih luas karena berkaitan dengan kondisi sosial, politik dan budaya (Papen, 2005:10). Bahkan Wagner (2010:162) menyebut program keaksaraan sebagai sebuah fenomena budaya, dimana seharusnya praktik pembelajaran keaksaraan harus di sesuaikan dengan latar dan konteks yang berbeda sesuai dengan konteks yang ada. Tingginya angka kegagalan dalam program keaksaraan mengindikasikan adanya jarak antara persepsi peserta didik tentang apa yang akan diperoleh dan realitas pembelajaran yang terjadi (Venezky, JPNF Edisi 12 2015
81
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
Wagner, 1995:1). Salah satu faktor yang cukup perpengaruh terhadap proses pembelajaran keaksaraan adalah peserta didik. Pilihan rasional peserta didik berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan peserta didik, apakah akan aktif dalam proses pembelajaran keaksaraan sehingga di akhir pembelajaran akan melek aksara, atau sebaliknya tidak aktif sehingga tidak tuntas. Pilihan rasional peserta didik juga berpengaruh terhadap peserta didik dalam melakukan aktivitas pasca pembelajaran, apakah melakukan berbagai tindakan sehingga kemelekan aksara akan lestari atau sebaliknya tidak melakukan aktivitas yang mendukung kelestarian kemampuan beraksara sehingga kemampuan beraksara hilang dan kembali menjadi buta aksara. Dalam konteks seperti di ataslah maka penelitian ini diarahkan kepada beberapa pertanyaan dasar sebagai berikut [1] Pengalamanpengalaman penting apakah yang dialami oleh warga belajar selama mengikuti proses pembelajaran keaksaraan yang menyebabkan buta aksara kembali, [2] Bagaimanakah proses kebutaaksaraan itu kembali terjadi? Dan [3] Apakah makna keberaksaraan bagi warga masyarakat yang buta aksara kembali? SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PROGRAM KEAKSARAAN Pada awalnya keaksaraan didefinisikan “seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis pernyataan sederhana tentang diri dan kehidupannya sehari hari” (Unesco, 1958). Definisi keaksaraan berkembang seiring perkembangan dalam masyarakat. Tett, St Clair (dalam Rubenson, 2011:100) mengklasifikasikan konsep keaksaraan dalam tiga konsep yang berbeda yakni: keaksaraan fungsional, keaksaraan kritis dan keaksaraan tradisi liberal. Pembelajaran keaksaraan memiliki banyak keuntungan, keaksaraan berkontribusi terhadap proses pemberdayaan sosial ekonomi, meningkatkan partisipasi dalam politik, perluasan demokrrasi, kesetaraan etnik dan memperbaiki situasi pasca konflik luas (UIS, 2008:12), Abadzi (2003), Carron (1989) keaksaraan juga berkontribusi terhadap perbaikan bidang kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender dan perilaku reproduksi (Burchfield et al., 2002). Untuk mengurangi angka buta aksara, pada tahun 2000 di Dakkar diselenggarakan sebuah pertemuan yang menyepakati dekade 82
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
pendidikan untuk semua atau Education For All (Unesco. 2012: 4). Namun laporan tengah dekade pendidikan keaksaraan Asia fasifik 2012 menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan. Data perkembangan jumlah buta aksara menunjukkan tak adanya penurunan yang signifikan, malah adanya peningkatan sekitar 184.000 pada periode yang sama tahun 2000-2009. (Unesco, 2012:12) Laporan tengah dekade Pendidikan Untuk Semua sepertinya memperkuat beberapa penelitian sebelumnya yang mengindikasikan rendahnya daya tuntas pendidikan keaksaraan. Hasil komparasi data 32 proyek yang didanai bank dunia menunjukkan bahwa rata rata ketuntasan program mencapai 78%, rata rata keikutsertaan dalam pembelajaran mencapai 62%, dan rata rata menyelesaikan tes final mencapai 56%. Rata-rata angka drop out pendidikan keaksaraan di Ghana mencapai 22%. Sedangkan di Bangladesh, setelah dua tahun mengikuti kegiatan 34.5% masih bisa membaca teks, 32.4% bisa menulis dan hanya 26.9% alumni yang lolos tes berhitung. (Abadzi, 2003: 6). Dalam konteks yang sama, hasil evaluasi terhadap Third Nonformal Education Project yang dilaksanakan di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil evaluasi bank dunia di negara lain. Secara umum penilaian Bank Dunia mengkategorikan program buta aksara di Indonesia dalam status kurang memuaskan (Abadzi, 2003: 5). Pembelajaran Keaksaraan Vanesky, Wagner (1994: 2) Israel (2008: 18), menyatakan bahwa tingginya angka putus belajar pendidikan keaksaraan disebabkan oleh adanya jarak antara persepsi peserta didik tentang keaksaraan dengan kenyataan belajar keaksaraan. Mc Cafrey (2007: 8) menggambarkan enam faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran keaksaraan, yakni (1) peserta didik, (2) kurikulum, (3) konteks masyarakat lokal, (4) kebijakan lokal dan regional, (5) kebijakan nasional, (6) kebijakan internasional, dan (7) ekonomi global. Ketujuh faktor ini secara simultan saling berpengaruh terhadap situasi pembelajaran terutama di berbagai negara berkembang seperti Indonesia. Dalam pandangan Mc Cafrey, terlihat bahwa pembelajaran harus berkaitan dengan konteks. Lebih lanjut Kruidenier (Coming, 2002: 85) menyatakan bahwa beraksara merupakan kebiasaan mempraktekkan JPNF Edisi 12 2015
83
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
membaca dan menulis dalam hal yang spesifik untuk mendapatkan dan atau mengkomunikasikan informasi yang spesifik (Unesco, 2005: 4). Penyelenggaraan program keaksaraan merupakan sebuah proses jangka panjang. Menjadi beraksara tidak langsung dari buta aksara semi lalu menjadi melek aksara, tapi sebuah proses yang terus menerus berlangsung (Rogers, 2000: 15). Program keaksaraan juga sebuah kegiatan yang membutuhkan invenstasi jangka panjang dengan jumlah yang cukup besar (Abadzi, 2004: 120). Untuk membangun kemampuan beraksara perlu dibangun sistem lingkungan yang mendukung budaya beraksara. Namun lingkungan beraksara tidak hanya sekedar ketersediaan buku-buku dan bahan belajar, namun juga termasuk kondisi dimana terjadi pertukaran infromasi antar warga yang melek huruf atau dengan istilah lain lingkungan adalah penciptaan lingkungan budaya sosial politik yang menghargai dan memelihara segala bentuk dan fungsi keaksaraan. Pelibatan keluarga juga penting dalam mendukung dan memelihaa kemampuan beraksara (Banseman, 2005:4). Fenomonologi Sebagai Tradisi Berfikir Kritis Dalam khazanah fenomenologi, nama Max Weber tidaklah setenar Husserl, Schultz ataupun Heidegger. Max Weber lebih dikenal sebagi penemu teori sosial kritis, namun Weberlah yang mengembangkan fenomenologi sehingga berkembang sebagai teori konstruksi sosial ( Nursyam, 2005) Kerangka fikir Weber berangkat dari pemahaman bahwa untuk memahami motif dan arti maupun makna tindakan seseorang harus dikaitkan dengan kausalitasnya (Fatchan: 2011). Hal ini dikarenakan makna merupakan hasil dari proses interaksi dengan manusia lain. Sebuah aksi rasional karena bertujuan tertentu. Yang mana tindakan tersebut berkaitan dengan kemampuan intelektual, emosi, serta berdasar atas pemahaman makna subjektif dari aktor Berangkat dari pemahaman tersebut maka dalam memahami makna terhadap sesuatu fenomena haruslah melihat aspek diluar diri, yakni sejarah, ekonomi, poliitik maupun budaya. Dalam perkembangannya fenomenologi Weber banyak dikembangkan oleh Alfred Schultz. Pola pikir Schulz sangat dipengaruhi oleh pemikiran Weberian-nya khususnya karya-karya mengenai tindakan (action) dan tipe ideal (ideal type). Meskipun Schutz terkagum-kagum 84
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
pada Weber tetapi ia berusaha mengatasi kelemahan yang ada di dalam karya Weber dengan menyatukan ide filsuf besar Edmund Husserl dan Henri Bergson. Fenomenologi sosial Schutz mencoba mengawinkan fenomenologi transendental-nya Husserl dengan konsep verstehen yang merupakan buah pemikiran weber. Jika Husserl hanya memandang filsafat fenomenologi (transendental) sebagai metode analisis yang digunakan untuk mengkaji ‘sesuatu yang muncul’, mengkaji fenomena yang terjadi di sekitar kita. Tetapi Schutz melihat secara jelas implikasi sosiologisnya didalam analisis ilmu pengetahuan, berbagai gagasan dan kesadaran. Schutz tidak hanya menjelaskan dunia sosial semata, melainkan menjelaskan berbagai hal mendasar dari konsep Menurut Schultz, untuk memahami tindakan individu pasti berkaitan dengan motif “sebab” dan motif “supaya” atau tujuan. Sehingga untuk mengetahui fenomena tentang sesuatu harus menggali motif “sebab” dan motif “supaya”. METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, sedangkan tradisi yang digunakan adalah penelitian fenomenologis yang berakar dari pemikiran Husserl (Adian, 2010: 4). Fenomenologi berupaya mengungkap kebenaran dari “hal itu sendiri” terlepas dari segala presuposisi (Moran, 2000: 4). Tradisi fenomenologi melepaskan diri dari semua konstruksi asumsi yang dipasang sebelum dan sesudah pengalaman. Semua penjelasan tak dapat digunakan sebelum pengalaman menjelaskan dirinya sendiri (Adian, 2010: 5, Moran, 2000: 4). Kehadiran peneliti dalam penelitian kualitatif adalah mutlak adanya, karena peneliti berperan sebagai instrumen utama. Sebagai instrumen utama peneliti peneliti memegang peranan utama dalam pengumpulan data (Hatch, 2010: 7). Penelitan dilaksanakan di dusun Kreweh Meduran Desa Gunungrejo. Dusun Kreweh Meduran merupakan dusun terbesar penduduk dengan buta aksara. Proses penentuan subjek penelitian berdasar teknik purposive samping. Teknik purposif digunakan untuk memilih unit studi khusus yakni orang-orang yang akan menghasilkan data yang paling relevan dan berlimpah (Yin, 2011: 88), terseleksi tiga subjek penelitian dengan karakteristik yang bervariasi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, pengamatan JPNF Edisi 12 2015
85
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
Berperan, dan dokumentasi. HASIL PENELITIAN Pengalaman Pembelajaran Keaksaraan Warga Buta Aksara Kembali Pertemuan Awal Pembelajaran Pertemuan awal merefleksikan kesiapan pengelola dalam penyelenggaran pembelajaran keaksaraan. Berbagai aktivitas seharusnya dilakukan di awal pertemuan diantaranya; tes kemampuan awal, konfirmasi persoalan yang dihadapi peserta didik dan penyusunan kontrak belajar. Namun kenyataanya pertemuan awal langsung masuk pada inti pembelajaran keaksaraan tanpa melakukan tes kemampuan dan kontrak belajar. Kelelahan dalam Mengikuti Pembelajaran Kondisi sebagian besar peserta sudah kelelahan karena bekerja mulai pagi, kondisi seperti ini tentunya berpengaruh terhadap proses dan hasil pembelajaran, kelelahan karena bekerja seharian akan berpengaruh terhadap penerimaan materi dari tutor keaksaraan fungsional. Peserta Perempuan Lebih Aktif Daripada Peserta Laki Laki Kaum perempuan memiliki ragam aktivitas bersama yang lebih beragam dibandingkan laki-laki. PKK, pengajian rutin, jamaah yasinan, koperasi perempuan merupakan sebagian dari aktivitas bersama perempuan di dusun Kreweh Meduran. Keaktifan perempuan juga terlihat dalam proses pembelajaran keaksaraan. Dibandingkan peserta laki-laki, tingkat partisipasi perempuan jauh lebih tinggi, baik dari sisi kehadiran maupun dari sisi keaktifan selama proses pembelajaran keaksaraan. Perempuan besar dari sisi jumlah namun kecil dalam kapasitas dan kapabilitas pengambilan keputusan. Dalam rapat RT misalnya, tidak ada perempuan yang mau hadir bila suami tidak ada di rumah, sehingga dalam pengambilan keputusan di masyarakat, masih didominasi oleh laki-laki. Sarana Belajar Terbatas Keterbatasan sarana pembelajaran berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. Ketiadaan bahan ajar mempersulit pendidik dan sekaligus peserta didik. Tanpa bahan ajar dan panduan pembelajaran membuat 86
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
pendidik cenderung menggunakan pembelajaran yang mngadopsi pola pembelajaran ketika pendidik mengajar di TK dan atau ketika pendidik mendapatkan materi baca tulis waktu sekolah dahulu Anggapan Pembelajaran Keaksaraan Sebagai Sarana Melepas Lelah Pada awal proses pembelajaran (beberapa pertemuan awal) kesan serius sering tampak di wajah para peserta didik program keaksaraan, namun kesan serius ini lambat laun berganti ketika proses sudah berjalan. Sejalan dengan berbagai kesulitan dalam penyerapan materi, warga mengkonversikan kesulitan dalam menyerap pembelajaran sebagai sarana untuk melepas penat. Berbagai aspek dalam pembelajaran diubah sedemikian rupa menjadi medium untuk menghibur diri. Penggunaan Pendekatan Pedagogik untuk Peserta Didik Dewasa. Rangkaian pengalaman dan ciri pembelajaran orang dewasa seharusnya menjadi pijakan bagi pendidik untuk mengelola proses pembelajaran keaksaraan. Pendidik tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama untuk individu yang berbeda. Pengalaman hidup haruslah menjadi pijakan bagi pendidik untuk membangun interaksi pembelajaran, sehingga setiap individu sesuai dengan materi yang disampaikan. Penelitian ini menunjukkan pendidik tidak menggunakan pendekatan pembelajaran orang dewasa, pendidik lebih merujuk praktik pembelajaran yang menggunakan pendekatan pedagogik. Proses Terjadinya Buta Aksara Kembali Buta aksara kembali adalah situasi dimana seseorang yang telah tuntas buta aksara kembali menjadi buta aksara. Buta aksara kembali terjadi karena berbagai macam sebab. Salah satu penyebab yang sering dijadikan faktor utama buta aksara kembali adalah ketiadaan aktivitas lanjutan setelah peserta pendidikan buta aksara selesai program. Namun buta aksara kembali juga bisa diakibatkan proses pembelajaran yang tidak tuntas. Gambaran proses buta aksara kembali dapat dilihat dalam bagan 3.1.
JPNF Edisi 12 2015
87
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
Bagan. 3.1. Proses Buta Aksara Kembali
Ada keterkaitan yang sangat erat antara proses pembelajaran keaksaraan dengan hasil serta keberlanjutan kemampuan beraksara. Penelitian ini menunjukkan bahwa buta aksara kembali bisa jadi karena selama proses memang tidak pernah tuntas serta beberapa faktor lainnya. Peserta Tidak Buta Aksara Kembali, Namun Belum Tuntas Aksara Untuk mengetahui bahwa seseorang telah atau belum memenuhi kompetensi keaksaraan dasar diperlukan tes. Melalui tes akan diketahui apakah seseorang layak untuk mendapatkan sertifikat melek aksara atau tidak. Namun permasalahnnya, tes akhir tidak selalu dilakukan. Kondisi seperti inilah yang sebenarnya menjadi pemicu kekisruhan capaian penduduk buta aksara antara Dinas Pendidikan dan Badan Pusat Statistik. Ketika ketuntasan tidak diukur namun porsi angka buta aksara berkurang sejatinya memperlemah klaim bahwa ada pengurangan jumlah buta aksara di sebuah kabupaten/kota. Akhirnya bukan buta aksara kembali yang terjadi, namun peserta didik peserta pendidikan keaksaraan fungsional bahkan belum mencapai status tuntas aksara. Melihat berbagai dokumen penyelenggaraan seperti absensi peserta didik, absensi tutor dan berbagai intrumen administratif lainnya terlihat bahwa semua proses sudah berjalan sebagaimana mestinya, namun ketika ditelisik lebih jauh sebenarnya ketuntasan administratif tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Mengandalkan laporan dari 88
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
aspek administratif akan terjebak kedalam logika formal birokrasi. Bila acuan ini yang digunakan untuk mengukur ketuntasan maka bisa dikatakan selesai dari sisi administratif namun belum selesai dari aspek pembelajaran. Kegagalan pelaksanaan pembelajaran keaksaraan dipengaruhi oleh kegagalan memenuhi kebutuhan belajar peserta didik. Sejalan dengan pemikiran Kruidenier (Coming, 2002: 85) beraksara bukan hanya kegiatan belajar membaca menulis dan berhitung, namun beraksara berarti melek informasi, berpendidikan, berbudaya. Sesuatu aktivitas yang tidak banyak ditemukan dalam berbagai kegiatan pembelajaran keaksaraan termasuk di dusun Kreweh Meduran. Kalau dalam istilah Papen (2005:23), program keaksaraan di dusun Kreweh Meduran Singosari tidak saja belum masuk fase praktik beraksara namun kegiatan beraksara saja tidak tuntas. Sehingga sulit untuk masuk ke dalam fase pendidikan keaksaraan kritis (Fraire:1997:23) yang mampu menjadi media peningkatan kesadaran diri menuju manusia seutuhnya. Terdapat beberapa faktor sehingga pembelajaran keaksaraan tidak dapat tuntas. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) Pendidik tidak terlatih, (2) Tidak ada perencanaan, (3) Tidak ada analisis peserta didik, (4) Sarana Terbatas, (5) Waktu tidak tuntas, (6) Tidak dilakukan Penilaian Pembelajaran, dan (7) Pembelajaran Konvensional. Kurangnya Dukungan Keluarga Keaksaraan dalam keluarga mempunyai peran penting dalam memastikan tumbuhnya kemampuan dan sekaligus menjadi penentu keberlangsungan kemampuan beraksara yang telah dimiliki. Dalam fase yang paling mendasar, penelitian ini menemukan bahwa dalam setiap keluarga yang buta aksara ada anggota keluarga yang tidak buta aksara, namun potensi ini belum dikelola dengan tepat. Kegiatan pembelajaran keaksaraan seolah olah hanya tanggungjawab tutor dan peserta sendiri, padahal keluarga adalah bagian paling elementer dalam mensukseskan kegiatan keaksaraan. Sebagaimana temuan Banseman (2005:4) yang menyatakan bahwa keaksaraan dalam keluarga bermanfaat dalam mendukung keaksaraan orang dewasa. Lemahnya Dukungan Lingkungan Rutinitas warga sangat sedikit yang berinteraksi dengan teks. Walaupun ada berbagai aktivitas kemasyarakatan namun aktivitas JPNF Edisi 12 2015
89
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
tersebut tidak membutuhkan kemampuan penguasaan terhadap aksara atau teks. Asumsi yang terbangun dalam diri masyarakat, bahwa kejujuran lebih penting dari sekedar bisa membaca dan menulis. Orang jujur lebih baik menjadi pemimpin daripada orang bisa membaca dan menulis namun tidak jujur. Pemahaman dalam masyarakat ini secara tidak langsung berimbas kepada pemahaman terhadap kebutuhan membaca dan menulis, seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis saja bisa menjadi ketua RT dalam waktu yang lama, berarti tidak bisa membaca bukan persoalan yang perlu dimasalahkan, apalagi dalam pengalaman masyarakat, ketidakmampuan beraksara tidak banyak berimbas kepada kehidupan dalam masyarakat. Makna Beraksara Bagi Warga Masyarakat Yang Buta Aksara Kembali, Pengalaman menjadi penduduk dengan buta aksara, pengalaman menjadi peserta program keaksaraan fungsional membangun sebuah pemahaman mengenai makna aksara bagi diri dan masyarakat. Berbagai makna beraksara tersebut adalah sebagai berikut: Pentingnya Kemampuan Beraksara Walaupun tidak bisa membaca, menulis dan berhitung sesuai standar kompetensi keaksaraan sehingga digolongkan sebagai penduduk buta aksara. Warga buta aksara kembali di dusun Kreweh Meduran tetap menganggap penting kemampuan beraksara. Pengalaman menjalani kehidupan puluhan tahun, memberi kesadaran bahwa tanpa pendidikan yang baik, hidup yang layak sulit untuk diwujudkan. Buta Aksara Sering Membuat Repot Ketidakmampuan seseorang dalam beraksara tentunya berpengaruh dalam menjalankan kehidupan. Model kehidupan masa lalu yang banyak bertumpu atas kemampuan lisan lambat laun bergeser kepada kemampuan tulis. Sehingga orang yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis harus bergantung kepada orang lain. Kondisi ini tentunya menimbulkan kerepotan baru, orang menjadi tidak mandiri. Aksara Penting Tapi Lebih Penting Orang Jujur Dan Amanah Kemampuan beraksara dianggap penting dan menjadi nilai lebih bila dimiliki oleh seseorang. Ada kesadaran bahwa memiliki kemampuan beraksara membuat nilai seseorang lebih dibanding seseorang yang 90
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
tidak memiliki kemampuan beraksara. Dalam melakukan aktivitas kemasyarakatan, ketidakmampuan beraksara bisa membawa dampak yang tidak baik atau dengan kata lain bisa memalukan. Namun dalam masyarakat yang banyak penduduk buta aksara, kemampuan beraksara tidak menjadi alasan utama dalam pengambilan keputusan. Penduduk buta aksara yang menjadi ketua RT selama 20 tahun adalah gambaran betapa kemampuan buta aksara bisa dikesampingkan, bila ada alasan lain yang lebih rasional. Kejujuran dan amanah menjadi faktor penting dalam menentukan pemimpin dalam masyarakat. Disaat sistem demokrasi negara dengan segenap persoalanya yang secara terbuka bisa diakses masyarakat berimbas kepada masyarakat dalam memaknai pola penentuan pemimpin lokal yang sesuai dengan prinsip prinsip yang ada di lingkungan masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan beraksara penting, namun kegagalan dalam memperoleh pembelajaran yang tuntas sehingga memperlemah motivasi dalam belajar beraksara. Istilah “, mengko lek iso nulis malah ngakali kancan” adalah representasi ketidakmampuan seseorang terhadap sebuah kemampuan sekaligus ruang untuk membela diri. Buta Aksara Membuat Akses Menjadi Terbatas Kemampuan membaca dan menulis teks memungkinkan seseorang bisa melakukan berbagai macam keperluan dengan mudah, ketiadaan kemampuan membaca dan menulis menghambat dalam melakukan berbagai macam aktivitas, apalagi dalam masyarakat yang sudah dipenuhi dengan symbol berupa teks. Dalam perspektif fenomenologi Schultz, ketidaknyaman karena buta aksara merupakan motif bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini kerepotan yang dialami selama ini serta posisi yang termarginalkan karena kemiskinan merupakan daya ungkit bagi masyarakat untuk berubah. Dilihat dari perpsepktif fenomenologi Schutz, tindakan individu peserta program keaksaraan fungsional di dusun Kreweh Meduran dalam mengikuti kegiatan pendidikan karena adanya motive ekonomi dan lapisan sosial. Disisi lain ada pengaruh yang luar biasa karena ketokohan perangkat yang mengajak warga untuk terlibat dalam program keaksaraan. JPNF Edisi 12 2015
91
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
Pengalaman dibantu oleh pak modin dan istri, pengalaman pak modin menjadi patokan penyelesaian berbagai masalah baik masa lalu dan masa mendatang serta adanya kesadaran terhadap realitas masa depan mendorong individu untuk ikut serta dalam kegiatan pembelajarana pendidikan keaksaraan.
Bagan 4.1. Skema Tindakan Individu dalam Pembelajaran Keaksaraan
Di sisi lain, dalam perjalanan kegiatan, tingkat keaktifan peserta sangat beragam, perempuan aktif dan banyak yang mengikuti kegiatan pembelajaran sampai pertemuan terakhir. Namun sebagian berhenti di tengah jalan atau masuk namun intensitasnya jarang. Tindakan beberapa peserta didik yang tidak menyelesaikan kegiatan pembelajaran disebabkan oleh beberapa faktor internal pembelajaran. Pilihan metode yang kurang sesuai, ketiadaan bahan ajar serta pilihan ketrampilan yang cenderung mengakomodasi peserta perempuan membuat peserta laki-laki merasa tidak perlu hadir dalam pembelajaran. Walau masih buta aksara setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran keaksaraan, warga buta aksara kembali masih tetap menyadari bahwa kemampuan keaksaraan merupakan kemampuan yang penting dalam kehidupan. Warga bersedia untuk ikut program pembelajaran lagi, namun harus ada perubahan terutama mengenai pendekatan pembelajaran.
92
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
PENUTUP Kesimpulan Ada beberapa pengalaman penting warga buta aksara kembali yang dapat dijadikan refleksi atas penyelenggaraan pembelajaran keaksaraan tersebut dirancang dan dikelola. [1] pertemuan awal langsung masuk materi pembelajaran, [2] karena kelelahan kesulitan menerima materi, [3] peserta perempuan lebih aktif dibanding peserta laki laki, [4] sarana belajar terbatas, [5] keikutsertaan dalam pembelajaran keaksaraan sebagai sarana melepas lelah, dan [6] pendekatan pedagogik digunakan untuk peserta didik dewasa. Fenomena ketidakmampuan beraksara lulusan program keaksaraan sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya kualitas tutor. Hal ini dikarenakan oleh sistem rekruitmen tutor, ketiadaan pelatihan serta sistem monitoring yang lemah. Selain itu proses pembelajaran keaksaraan berlangsung secara tidak tuntas, lemahnya dukungan keluarga, serta lemahnya dukungan lingkungan. Bagi warga buta aksara kembali di dusun Kreweh Meduran, kemampuan beraksara bukan dipandang sebagai sebagai sesuatu yang benar-benar penting, mereka memandang bahwa kemampuan beraksara tanpa dilandasi kejujuran dan amanah, menjadi tidak berarti. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas maka dapat diajukan saran kepada BP-PUADNI Regional II Surabaya, agar (1) Mengembangkan model-model pengembangan motivasi belajar warga belajar warga belajar bagi program keaksaraan, (2) mengembangkan berbagai modelmodel pembelajaran program keaksaraan yang memperhatikan ragam peserta didik dan berperspektif keadilan gender, (3) mengembangkan model fungsionalisasi keaksaraan [ragam ketrampilan] yang beragam sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan berperspektif keadilan gender, (4) mengembangankan model-model pelatihan singkat bagi tutor keaksaraan Kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk (1) mengalokasikan secara khusus dana pelatihan tutor keaksaraan, (2) memperbaiki sistem rekrutmen tutor keaksaraan dan mewajibkan setiap tutor untuk mengikuti pelatihan tutor keaksaraan. Kepada Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Ditjen PAUDNI, untuk (1) melakukan monitoring pelaksanaan program JPNF Edisi 12 2015
93
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
keaksaraan, (2) men-yusun dan mendistribusikan panduan pengelolaan pembelajaran keaksaraan kepada semua tutor program keaksaraan dan kepada Jurusan PLS Universitas Negeri Malang untuk mengembangkan modul-modul belajar untuk tutor program keaksaraan. DAFTAR RUJUKAN Adian 2010. Pengantar Fenomenologi. Penerbit Koekosan. Jakarta. Abadzi Helen. 2003. Adult Literacy A Review of Implementation Experience. The World Bank Washington, D.C Abadzi Helen. 2004. Strategies And Policies For Literacy Operations Evaluation.World Bank Abadzi Helen 2003. Adult Literacy A Review of Implementation Experience. The World Bank Washington, D.C. Benseman, J. and Sutton, A. (2005) Summative Evaluation of the Manukau Family Literacy Project. Auckland: Auckland Uni Services Ltd. Depdiknas: 2007. EFA Mid Decase Asessment. EFA Secretary Jakarta. Data Hasil Sensus Penduduk 2010 di Provinsi Jawa Timur. www.bps.go.id. Diakses 20 Juni 2012 Frairre Paulo, Marcedo. 1987. Literacy: Reading the Word & the World. Routledge & Kegan Paul, 1987 Fatchan, 2011. Metode Penelitian Kualitatatif. Penerbit Jenggala Pustaka Utama. Surabaya Israel, Robinson. 2008. The Global Literacy Challenge A profile of youth and adult literacy at the mid-point of the United Nations Literacy Decade 2003–2012. Perancis In M. Bornstein (Ed). 2010. Handbook of Cultural Developmental Science. NY: Taylor & Francis John Oxenham. 2008. Effective Literacy Programmes: Options For Policy-Makers. Paris UNESCO: International Institute for Educational Planning John Kruidenier. 2010. Literacy Assessment in Adult Basic Education dalam jurnal Annual Review of Adult Learning and Literacy Knowles dkk. 2005. The Adult Learner. Elsevier. California Kruidenier. 2002. Literacy Assessment In Adult Basic Education In Annual Review Of Adult Learning And Literacy .Volume 3, Jossey Bass, San Fransisco Larry Mikulecky Paul Lloyd . 2004. The Impact of Workplace Literacy 94
JPNF Edisi 12 2015
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
Programs: A New Model for Evaluating the Impact of Workplace Literacy Programs. Indiana University, Bloomington Lind Agneta. 2008. Literacy for All, Making Difference. UNESCO France Mc Caffery John Merrifield, And Juliet Millican. 2007. Developing Adult Literacy Approaches To Planning, Implementing, And Delivering Literacy Initiatives. Oxfam 2007. Oxford Nursyam. 2005. Islam Pesisir. Jogjakarta. LkiS Oxenham. 2008. Effective Literacy Programmes: Options For Policy-Makers. Paris Papen Uta. 2005. Adult Literacy As Social Practice: More Than Skills. Routledge London 2005 Rogers Alan. 2003. Re-Thinking Adult Literacy And Post-Literacy From An International Perspective, Uppingham Press Rubenson. 2011. Adult Learning And Education University of British Columbia Department of Educational Studies Vancouver Sen Amartya. 2003. Reflection in Literacy dalam Literacy as Fredom. Unesco. Perancis Unesco 2012. Asia-Pacific End of Decade Notes on Education For All. Bangkok Unesco. 2009. United Nations Literacy Decade International Strategic Framework for Action. France Unesco 2005. Education for All, Literacy for Life. Global Monitoring Unesco. 2004. International Literacy Statistics: A Review Of Concepts, Methodology And Current Data. Paris Unesco Institute For Statistics Unesco. 2003. Literacy, Unesco Perpsective. Paris Unesco. 2000. The Dakkar Framework For Action. Paris Yin K. Robert. 2011. Qualitative Research From Start To Finish. Guilford. London Wagner Daniel A. In M. Bornstein (Ed.) (2010). Handbook of Cultural Developmental Science. Ny: Taylor & Francis. Wagner Daniel. 2011. Literacy And Development: Rationales, Assessment, And Innovation. National Center On Adult Literacy Venezky Wagner. 1994. Supply And Demand For Literacy Instruction In The United States, NCAL Technical Report TR94-10 SEPTEMBER 1994 JPNF Edisi 12 2015
95
Munif, Fenomena Buta Aksara Kembali
Venezky Sabatini . 2003. When Less is More: A Comparative Analysis for Placing Students in Adult Literacy Classes University of Delaware
96
JPNF Edisi 12 2015
Penulis Jurnal PNF Abdul Rahmat, lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 5 Maret 1978. Pendidikan sarjana diselesaikan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002). Gelar Magister Pendidikan diraih di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada 2004 dan pada 2011 merengkuh predikat sebagai doktor dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sejak 2008, mengajar di Universitas Negeri Gorontalo UNG sambil menulis sejumlah buku. Dua bukunya berjudul Super Teacher and Kearifan Cinta Sang Guru menjadi best seller. Pendiri dan Direktur Eksekutif Institute Development for Empowerment (Independet) and Ideas Community ini juga aktif di BKKBN Provinsi Gorontalo dalam isu kesehatan reproduksi remaja. Santoso, lahir di Lampung Tengah pada tanggal 18 Mei 1970, menamatkan S2 Sosiologi Pedesaan di Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2008. Saat ini sedang menempuh program S3 di Universitas yang sama dan tercatat sebagai Pamong Belajar di BPPAUDNI Regional II. Widya Ayu Puspita, Pamong Belajar BP-PAUDNI Reg. II Surabaya, lahir di Malang tanggal 27 Agustus 1975. Menyelesaikan pendidikan S3 Ilmu Kedokteran di Universitas Airlangga Surabaya tahun 2011. Telah banyak menghasilkan karya tulis ilmiah yang diantaranya berhasil menjadi karya tulis terbaik dalam LKN PB tingkat Nasional pada tahun 2004 dan 2006. Wiwin Yulianingsih, lahir di Tuban, 27 Juli 1979. Menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu pada Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (1998) dan meraih gelar Magister Pendidikan dari Program Studi PLS, Universitas Negeri Malang (2002). Dosen di Jurusan PLS Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini banyak melakukan penelitian pada bidang pemberdayaan masyarakat di sejumlah daerah di Jawa Timur. Sejumlah buku yang pernah ditulis antara lain “Media Pembelajaran PLS” (2011), “Pedoman Lab. Site Jurusan PLS FIP Unesa” (2013), “Buku Pedoman PKL” (2013) dan “Pendidikan Masyarakat” (2013). Di sela kegiatan mengajarnya, dia JPNF Edisi 12 2015
97
juga aktif dalam organisasi Ikatan Akademisi Pendidikan Non Formal Informal (IKAPNFI). Erfan Agus Munif, bertugas sebagai Pamong Belajar (PB) di Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal, dan Informal (BPPAUDNI) Regional II Surabaya. Kelahiran Kediri, 15 Mei 1976 ini menyelesaikan gelar sarjana pada 2001 dan Magister Pendidikan di Universitas Negeri Malang (UM) pada 2014.
98
JPNF Edisi 12 2015
PETUNJUK Bagi Penulis 1. Artikel yang ditulis meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian di bidang kependidikan dan pembelajaran, utamanya Pendidikan Nonformal dan Informal. Naskah dibuat dalam program MS Word dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi 1.0, dengan ukuran kertas A4, dan panjang naskah maksimum 15 halaman. Pengiriman naskah dalam bentuk attachment e-mail ditujukan ke alamat:
[email protected] 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan komunikasi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 16 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring ), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian: PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) 4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 150 kata); kata kunci; JPNF Edisi 12 2015
99
5.
6.
7.
8.
pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 150 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: ( Davis , 2002: 47). Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku: Anderson , D.W., Vault, V.D. & Dickson, C.E. 1999. Problems and Prospects for the Decades Ahead: Competency Based Teacher Education . Berkeley: McCutchan Publishing Co. Buku kumpulan artikel: Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke-1). Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Russel, T. 1998. An Alternative Conception: Representing Representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds.), Children’s Informal Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge. Artikel dalam jurnal atau majalah: Kansil, C.L. 2002. Orientasi Baru Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesional dalam Memenuhi Kebutuhan Dunia Industri.
100
JPNF Edisi 12 2015
Transpor , XX (4): 57-61. Artikel dalam koran: Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Pengunggulan? Majapahit Pos , hlm. 4 & 11. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Jawa Pos. 22 April, 1995 . Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian . Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional . 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya. Buku terjemahan: Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1976. Pengantar Penelitian Pendidikan . Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Kuncoro, T. 1996. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Magang di STM Nasional Malang Jurusan Bangunan, Program Studi Bangunan Gedung: Suatu Studi Berdasarkan Kebutuhan Dunia Usaha Jasa Konstruksi . Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG. Makalah seminar, lokakarya, penataran: Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah . Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin , 9-11 Agustus. Internet (karya individual):Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of STM Online Journals, 1990-1995: The Calm before the Storm , (Online), http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html , diakses 12 Juni 1996). JPNF Edisi 12 2015
101
Internet (artikel dalam jurnal online):Kumaidi. 1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan . (Online), Jilid 5, No. 4, (http://www.malang.ac.id , diakses 20 Januari 2000). Internet (bahan diskusi):Wilson, D. 20 November 1995 . Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List , (Online), (
[email protected] , diakses 22 November 1995). Internet (e-mail pribadi):Naga, D.S. (
[email protected] ). 1 Oktober 1997. Artikel untuk JIP . E-mail kepada Ali Saukah (jippsi@ mlg.ywcn.or.id ). 9. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Universitas Negeri Malang, 2000) atau mencontoh langsung tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel berbahasa Inggris menggunakan ragam baku. 10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. 11. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. 12. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut. 102
JPNF Edisi 12 2015
JPNF Edisi 12 2015
103
ISSN 1907-1108
JURNAL PENDIDIKAN NON FORMAL
JPNF