BAB II GEOLOGI REGIONAL
Pulau Sumatra berada pada daerah busur kepulauan antara lempeng IndoAustralia yang relatif bergerak ke utara dengan lempeng Asia yang relatif bergerak ke arah selatan. Kegiatan tektonik ini membentuk elemen-elemen seperti palung, busur kepulauan, cekungan depan busur, busur gunungapi, dan cekungan belakang busur. Kegiatan tektonik
menyebabkan terbentuknya cekungan sedimen yang
berumur Tersier yang berada di belakang busur gunung api atau sebelah timur Pegunungan Barisan serta termasuk ke dalam cekungan belakang busur. Salah satu cekungan tersebut adalah Cekungan Sumatera Selatan, tempat terendapkannya batuan sedimen pembawa batubara berumur Tersier Akhir, yaitu Formasi Muara Enim. Pada akhir Tersier sampai Kuarter, aktifitas tektonik terus berlanjut dan menyebabkan batuan sedimen yang ada di P. Sumatera terangkat, tersesarkan dan terlipat. Pada kala ini terbentuk Antiklinorium Muara Enim. Beberapa penyelidikan telah dilakukan oleh para ahli baik regional maupun lokal yaitu : •
Penyelidikan stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan, a.l : Tobler (1906), Hartman (1918), De Coster (1974), Koesoemadinata (1978) dan PT. Shell Minjbouw (1978), Pulunggono (1992).
•
Penyelidikan lokal, yaitu pemetaan geologi skala 1 : 10.000 dan pemboran explorasi a.l. : PT. Shell Minjbouw (1978), Kinhill-Otto Gold (1987), PTBA (1995), PPTM (1997) serta pemetaan foto udara skala 1 : 5000 (1997) oleh PT. Mapindo Parama
Hasil penyelidikan lain •
Penyelidikan dilakukan selain pemetaan dan pemboran juga dilakukan penyelidikan logging geofisika pada setiap lubang bor.
11
•
Peta topografi yang tersedia adalah Peta Topografi Skala 1 : 5000 yaitu hasil pemetaan foto udara Daerah Tanjung Enim oleh PT. Mapindo Parama (1997).
2.1. FISIOGRAFI
Secara fisiografis bagian selatan dari Sumatera ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu : 1. Cekungan Sumatera Selatan, 2. Bukit Barisan dan Tinggian lampung, 3. Cekungan Bengkulu, meliputi lepas pantai antara daratan Sumatera dan rangkaian pulau-pulau di sebelah barat Sumatera, dan 4. Rangkaian kepulauan (fore arc ridge) di sebelah barat Sumatera, yang membentuk suatu busur tak bergunung-api di sebelah barat P. Sumatera (Gambar II.1). Berdasarkan konsep Tektonik Lempeng, kedudukan cekungan batubara Tersier di Indonesia bagian barat berkaitan dengan sistem busur kepulauan. Dalam sistem ini dikenal adanya cekungan busur belakang, cekungan busur depan dan cekungan antar busur. Masing-masing cekungan tersebut memiliki karakteristik endapan batubara yang berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut Koesoemadinata dkk. (1978), semua cekungan batubara Tersier di Indonesia (termasuk Cekungan Sumatera Selatan) digolongkan jenis cekungan paparan karena berhubungan dengan kerak benua pada semua sisinya, kecuali Cekungan Kutai dan Cekungan Tarakan di Kalimantan Timur yang digolongkan sebagai continental margin.
12
Gambar II.1. Fisiografi cekungan Sumatra Selatan (Hutchison, 1996) Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami empat kali orogenesa, yakni : pada zaman Mezosoikum Tengah, Jura Awal –Kapur Awal, Kapur Akhir – Tersier Awal, Plio-Pleistosen. Setelah orogenesa terakhir dihasilkan kondisi struktur geologi regional seperti terlihat pada saat ini, yaitu : •
Zone Sesar Semangko, merupakan hasil tumbukan antara Lempeng Sumatera Hindia dan Pulau Sumatera, akibat tumbukan ini menimbulkan gerak sesar geser menganan (right lateral) diantara keduanya.
•
Perlipatan dengan arah utama baratlaut – tenggara, sebagai hasil efek gaya kopel sesar Semangko.
•
Sesar-sesar yang berasosiasi dengan perlipatan dan sesar-sesar Pra Tersier yang mengalami peremajaan.
Berkenaan dengan posisi dan aktivitas tektonik lempeng maka hampir di seluruh wilayah bagian selatan-barat P. Sumatera merupakan daerah yang relatif sering terjadi gempa bumi. Secara seismik telah tercatat beberapa gempa bumi yang memiliki skala Richter cukup tinggi antara 5 hingga 6. Namun demikian banyak
13
wilayah prospek tambang di Indonesia yang memiliki kecenderungan seismitivitas tinggi tepat dapat beroperasi dengan aman selama nilai-nilai keamanan selalu diperhitungkan dalam pembuatan design tambang, terutama yang menyangkut stabilitas lereng.
2.2. STRATIGRAFI
Cekungan Sumatera Selatan membentang mulai dari tinggian Asahan di baratlaut sampai ke tinggian Lampung yang terletak di bagian paling Selatan pulau. Dibatasi oleh pegunungan Barisan di sebelah Baratdaya. Batuan Pra-Tersier, yang terdiri atas batuan malihan dan batuan beku berumur Mesozoikum, diduga merupakan dasar dari cekungan Tersier yang ada. Satuan batuan dasar ini telah mengalami pensesaran, perlipatan, dan penerobosan. Sedimentasi yang terjadi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung pada dua fase (Jackson, 1961), yaitu : •
Fase transgresi, pada fase ini diendapkan dari kelompok Telisa, yang terdiri dari Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Kelompok Telisa ini diendapakan secara tidak selaras di atas Batuan induk Pra-Tersier.
•
Fase regresi, pada fase ini dihasilkan endapan dari kelompok Palembang yang terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara enim, dan Formasi Kasai.
Batuan yang menjadi dasar cekungan diduga berupa terdiri atas batuan malihan dan batuan beku yang berumur Mesozoikum
Formasi Lahat Formasi ini diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar yang berumur Pra-tersier (gambar 2.3). Berumur Paleosen sampai Awal Oligosen. Memiliki ketebalan antara 760 sampai 1070 meter. Formasi ini menipis dan menghilang
14
Gambar II.2 Kolom stratigrafi cekungan Sumatera Selatan (Van Bemmelen, 1973) pada sayap antiklin Pendopo. Formasi ini diendapakan pada lingkungan darat, kehadiran tuff menunjukkan adanya aktifitas volkanik Formasi ini terdiri dari Konglomerat, Batupasir, Batulempung abu-abu sampai hitam kecoklatan, tufa, breksi dan terkadang terdapat lapisan Batubara tipis.
15
Formasi Talang Akar Formasi ini diendapkan secara tidak selaras (gambar II.2) di atas Formasi Lahat (de Coster dan Koesomadinata, 1974), tetapi Pulunggono (1976) mengatakan bahwa formasi ini terletak selaras di atas Formasi Lahat. Pada bagian tepi cekungan formasi ini diendapakan secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier. Formasi ini memiliki umur Oligosen Atas – Miosen Bawah dengan ketenalan berkisar antara 460 sampai 610 meter. Formasi ini diendapakan pada lingkungan laut dangkal sampai fluviatil. Formasi Talang Akar dicirikan oleh batuan berupa Batulanau, Batupasir, dan sisipan Batubara. Pada bagian tengah terdapat serpih yang diendapkan pada lingkungan laut. Kandungan pasir yang ada pada formasi ini semakin bertambah mendekati tepi cekungan.
Formasi Baturaja Formasi ini diendapakan selaras di atas Formasi Talang Akar (gambar II.2). Formasi ini memiliki ketebalan 200 sampai 250 meter, pada Bukit Garba ketebalannya mencapai 520 meter. Formasi Baturaja diendapkan pada Awal Miosen dan pada lingkungan darat sampai laut dangkal. Formasi Baturaja dicirikan oleh batuan berupa Batugamping keras dan berlapis, Batugamping pasiran, Btugamping Serpihan, Serpih gampingan, napal dengan kandungan fosil foraminifera, moluska dan koral. Batugamping pada formasi ini beralih menjadi serpih gampingan mendekati tengah cekungan, dan menjadi Batupasir gampingan kaya akan glaukonit ke arah pinggir cekungan.
Formasi Gumai Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Baturaja (gambar II.2). Memimilki ketebalan kurang lebih 2200 meter, kecuali pada daerah depresi Lemarang ketebalannya 4800 meter, dan mencapai beberapa ratus meter pada Pegunungan Gumai. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam
16
dimana air laut menggenangi hampir seluruh cekungan. Formasi Gumai berumur Miosen Bawah sampai Miosen Tengah. Formasi Gumai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir gampingan, dan Serpih gampingan kaya akan foraminifera pada bagian bawah dan sisipan Batugamping tipis pada bagian tengah dan atas.
Formasi Air Benakat Formasi Air Benakat diendapkan selaras di atas Formasi Gumai (gambar II.2). Formasi ini memiliki ketebalan lapisan antara 100 sampai 130 meter. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, yang juga menunjukkan awal dari siklus regresi. Formasi Air Benakat memiliki umur Miosen Akhir. Formasi Air Benakat memiliki ciri-ciri batuan berupa Serpih gampingan kaya akan foraminifera dengan sisipan Batugamping pada bagian bawah. Semakin ke atas dijumpai sisipan-sisipan Batupasir yang banyak mengandung glaukonit dan presentase kandungan Batupasir semakin ke atas semakin besar. Pada bagian atas dijumpai adanya sisa-sisa tumbuhan dan Batubara Kladi yang merupakan batas Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim.
Formasi Muara Enim Formasi Muara Enim diendapkan selaras di atas Formasi Air Benakat (gambar II.2). Formasi ini memiliki ketebalan antara 450 sampai 1200 meter dengan umur Miosen Atas – Pliosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dataran delta dan non-marine. Formasi Muara Enim dicirikan oleh batuan yang berupa Batupasir, Batulanau, Batulempung, dan Batubara. Pada bagian atas formasi ini sering terdapat Tuf atau lempung tufaan. Formasi ini juga merupakan formasi pembawa batubara yang dapat dibedakan menjadi 4 anggota (gambar 2.4), terdiri dari yang tertua ke yang termuda yaitu :
17
M1
: terdiri dari pasir, lanau dan lempung berwarna coklat dan abu-abu dengan sedikit glaukonitan. Terdiri dari seam batubara Keladi dan Merapi.
M2
: batas atasnya ditempatkan pada puncak seam Mangus dan batas bawah pada lantai seam Petai. Anggota M2 terdiri dari perulangan batu lempung, lempung pasiran berwarna coklat abuabu, pasir halus-sedang, coklat abu-abu dibagian bawah berwarna hijau abu-abu, serta batubara. Lapisan batubara yang terdapat dalam anggota ini terdiri dari seam Petai, Suban, dan Mangus, dengan penyebaran tidak kontinyu
M3
: terdiri dari perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung abuabu hijau dan coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40 meter diatas seam Mangus dan terdapat kantong-kantong gas. Batupasir dalam anggota ini dicirikan oleh kehadiran nodulnodul batubesi kalsitan yang mempunyai rongga-rongga bekas gas. Terdiri dari lapisan batubara Benuang dan Burung.
M4
: terutama disusun oleh batulempung dan batupasir serta beberapa lapisan batubara. Lapisan batubara terdiri dari seam Kebon, Enim, Jelawatan dan Niru.
Gambar II.3 Seam Batubara anggota Formasi Muara Enim (Bamco, 1983; Gafoer et. Al, 1986) 18
Endapan batubara yang terdapat pada Formasi
Muara Enim berdasarkan
kompilasi data dari beberapa lapangan batubara diketahui seluruhnya berjumlah ± 21 lapisan batubara. Namun di beberapa lapangan batubara endapan batubara utama yang dijumpai adalah sebanyak 10 (sepuluh) lapisan, yakni lapisan Batubara Mangus sebanyak 2 lapisan (A1 dan A2), Batubara Suban sebanyak 2 lapisan (B/B1 dan B2), Batubara Petai (C) sebanyak 3 lapisan (C/C1, C2 dan C3), Batubara Merapi (D) sebanyak 1 lapisan, dan Batubara Kladi (E) sebanyak 2 lapisan (E/E1 dan E2)
Formasi Kasai Formasi ini diendapkan selaras namun di beberapa tempat diendapkan tidak selaras di atas Formasi Muara Enim, endapan Tersier terakrasi di Cekungan Sumatera Selatan. Formasi ini diendapkan pada lingkungan darat dengan ketebalan antara 500 samapai 1000 meter dan berumur Pliosen Bawah. Formasi Kasai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir tufaan dan kerikil yang merupakan hasil rombakan batuan sedimen hasil pembentukan antiklin yang terbentuk selama orogenesa Plio-Pleistosen, hasil rombakan Bukit Barisan, dan hasil aktivitas volkanik.
19
2.3.
STRUKTUR GEOLOGI
Struktur yang dijumpai pada cekungan Sumatra Selatan adalah lipatan, sesar dan kekar yang sebagian besar terjadi pada batuan Tersier. Lipatan yang terjadi pada umumnya berarah baratlaut – tenggara sampai barat-timur, pada batuan yang berumur Oligosen-Miosen sampai Plio-Plistosen. Sesar turun, berarah baratlaut-tenggara, terjadi pada batuan yang berumur Oligosen-Miosen sampai Miosen Tengah, dan pada batuan yang berumur Miosen sampai Plio-Plistosen memiliki arah timurlautbaratdaya sampai utara-selatan. Kekar yang terjadi pada umumnya berarah timurlautbaratdaya sampai timur-barat. Cekungan Sumatra Selatan merupakan bagian dari cekungan belakang busur Sumatra, dan dipisahkan dari cekungan Sumatra Tengah pada bagian utara, oleh pegunungan Duabelas/Tigapuluh, yang merupakan singkapan batuan pra-Tersier, pada bagian selatan dibatasi oleh Tinggian Lampung. Pada bagian barat Cekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh Bukit Barisan dan batas timur berupa Paparan Sunda. Seperti juga halnya dengan cekungan Sumatra Timur lainnya, pola perkembangan tektoniknya sangat dipengaruhi oleh sesar-sesar mendatar menganan (sesar Semangko), yang terjadi sebagai akibat interaksi konvergen antara lempeng Hindia Australia dan lempeng Mikro-Sunda. Pada Cekungan Sumatra Selatan dapat diamati adanya 3 (tiga) pola sesar utama, yang sebagian besar di rekam dari data geofisik (seismik dan gayaberat)dan dari hasil korelasi pemboran (Pulunggono, 1983). Arah-arah tersebut adalah : baratlauttenggara, utara-selatan, timurlaut-baratdaya (gambar II.4). Hal ini disebabkan terjadinya perubahan arah subduksi pada Jura Akhir-Kapur Akhir, Kapur AkhirTersier Awal, Miosen Tengah-Resen (gambar II.5). Perlipatan yang melibatkan semua batuan Tersier di cekungan Sumatra selatan, memperlihatkan arah yang hampir sama yaitu baratlaut-tenggara, kurang lebih tegaklurus pada tegasan Sumatra yang berarah timurlaut-baratdaya. Pola-pola sesar ini juga nampaknya sangat berperan sebagai kontrol dalam sebaran dan bentuk daripada cekungan dan sub-sub cekungan di Sumatra Selatan.
20
Gambar II.4 Model elipsoidal Jura Awal – Resen (Pulunggono,1996)
Gambar II.5 Subduksi antara lempeng Samudra Hindia dengan Paparan Sunda mulai Jura Awal sampai Resen dan efek yang terkait (Pulunggono, 1996)
21
Sejarah tektonik pada cekungan Sumatra Selatan dari Mesozoikum Tengah sampai Resen dapat dibagi menjadi empat peristiwa utama (de Coster, 1974) :
Mesozoikum Tengah Pada saat ini batuan-batuan yang berumur Paleozoikum dan awal Mesozoikum mengalami perlipatan, pengangkatan, pensesaran, metamorfisme yang kemudian menjadi zona kompleks pembentuk kerangka struktur dasar Sumatra. Batuan Mesozoikum Tengah tersingkap di sepanjang Bukit Barisan dan Tigapuluh, Duabelas, dan beberapa pegunungan yang berada di daerah cekungan. Berdasarkan pengamatan anomali gaya berat dan arah penyebaran batas litologi batuan yang berumur Paleozoikum dan Mesozoikum, ditemukan adanya suatu patahan baratlaut- tenggara (arah sumatra) dan sejajar batas penyebaran batuan PraTersier.
Kapur Akhir – Tersier Awal Pada Kapur Akhir- Tersier Awal terjadi tensile stress pada area cekungan Sumatra Selatan yang menciptakan fase ekstensi. Tensile stress pada Cekugan Sumatra Selatan menghasilkan struktur-struktur yang berhubungan dengan sesar geser dengan arah utara- selatan. Batuan yang diduga memiliki umur Kapur AkhirTersier Awal tersingkap berupa batuan Tufa dan klastik pada sumur Lawu dan sepanjang pegunungan di bagian tenggara Lahat.
Miosen Tengah Pada Tersier Awal – Miosen, terjadi subsiden pada cekungan Sumatra Selatan dan pengendapan sedimen Tersier. Subsiden ini diselingi peristiwa diastrophisme pada pegunungan Bukit Barisan dan pergerakan struktur minor di daerah cekungan Sumatra Selatan. Pada masa tektonik ini dihasilkan sesar turun dan ketidakselarasan setempat.
22
Plio-Pleistosen Peristiwa tektonik pada Plio-Pleistosen merupakan yang terkahir yang memengaruhi perkembangan geologi Sumatra. Pada peristiwa ini terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan, perkembangan sesar geser Semangko di sepanjang Pegunungna Bukit Barisan, pembentukan gunungapi , perlipatan dan pensesaran batuan seperti yang kita ketahui pada saat ini.
Pada masa ini dihasilkan : •
Semangko wrench fault
•
Perlipatan dengan arah utama baratlaut- tenggara akibat Sesar Semangko
•
Patahan-patahan yang berasosiasi dengan perlipatan dan juga patahanpatahan Pra-Tersier yang mengalami peremajaan.
Perlipatan di Cekungan Sumatera Selatan menghasilkan : •
Antiklinorium Muara Enim
•
Antiklinorium Pendopo
•
Antiklinorium Palembang
23