BAB II GEOLOGI REGIONAL
2.1 Fisiografi Pulau Sumatera Pulau Sumatera merupakan pulau yang memiliki orientasi fisiografi berarah barat laut dan terletak di bagian barat Paparan Sunda dan di selatan Lempeng Eurasia. Pulau ini memiliki dimensi panjang sekitar 1.760 km dan lebar 400 km dan kisaran luas sekitar 435.000 km2. Geografi yang khas dari Pulau Sumatera yaitu adanya Pegunungan Bukit Barisan di sebelah barat pulau ini dan memanjang pada seluruh panjang pulau dalam bentuk sabuk yang sempit, paralel, dan umumnya berjarak hanya beberapa puluh kilometer dari pantai baratdaya. Pulau Sumatera memiliki batas-batas geografis sebagai berikut : a. Sebelah utara dibatasi oleh Benua Asia b. Sebelah barat dan selatan dibatasi oleh Samudra Hindia. c. Sebelah timur dibatasi oleh Selat Malaka Pulau Sumatra terletak di sebelah baratdaya Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi NW-SE dimulai pada Eosen atau Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
6
Secara fisiografi, Pulau Sumatera menurut Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Zona Pegunungan Tigapuluh 4. Zona Kepulauan Busur Luar 5. Zona Paparan Sunda 6. Zona Dataran Rendah dan Berbukit
Gambar 2.1 Zona fisiografi Pulau Sumatera (van Bemmelen, 1949)
Berdasarkan pembagian zona di atas dan sesuai dengan letak geografisnya, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Fisiografi Dataran Rendah dan Berbukit.
7
Zona ini dicirikan oleh morfologi perbukitan homoklin dengan elevasi 40 – 200 m di atas permukaan dan zona ini tersebar luas di sebelah Pantai Timur Pulau Sumatera.
2.2 Stratigrafi Regional Secara umum, sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan terjadi dalam dua fase (Jackson, 1961 dalam Koesoemadinata, et al., 1976) , yaitu: 1. Fase Transgresi Fase Transgresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan Kelompok Telisa secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier. Selama fase pengendapan yang terjadi pada fase transgresi, penurunan dasar cekungan lebih cepat daripada proses sedimentasi, sehingga terbentuk urutan fasies non marin, transisi, laut dangkal dan laut dalam (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976).
2. Fase Regresi Fase Regresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan Kelompok Palembang. Fase ini merupakan kebalikan dari fase transgresi, dimana pengendapan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan dasar cekungan, sehingga terbentuk urutan seperti fasies laut dangkal, transisi dan non marin (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976). Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan masih menjadi perdebatan, karena banyak pendapat mengenai stratigrafi regional. Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Selatan. Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan (Ryacudu, 2005) dari tua ke muda (Gambar 2.2) terdiri dari Formasi Lahat/Lemat, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai. -
Formasi Lahat/Lemat
Formasi ini mewakili awal pengendapan Tersier di Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari breksi vulkanik dan aglomerat dengan fragmen utama berupa batuan beku andesit/basaltis, tufa, batupasir tufaan, kadang dijumpai intrusi dan 8
aliran lava. Endapan darat dan batuan vulkanik ditafsirkan diendapkan bersamaan dengan terjadinya orogenesa Kapur Akhir – Awal Tersier yang ditandai dengan ditemukannya batuan beku berumur 60,3 ± 1,2 Ma di Pegunungan Garba (Pardede, 1986). Anggota atas Formasi Lahat/Lemat terdiri dari dua bagian (De Coster, 1974) yang disebut “Young Lemat“. Bagian atas terdiri dari batuan klastik halus dan terdiri dari serpih abu-abu kecoklatan, kadang berselang-seling dengan lapisan serpih tufaan, batulanau dan batupasir serta sisipan tipis batubara. Anggota ini diinterpretasikan diendapkan dalam lingkungan air tawar hingga payau. Anggota bawah berupa klastik kasar terdiri atas batupasir, batulempung, fragmen batuan, breksi, “granite wash“, kadang dijumpai sisispan batubara dan tufa. Anggota ini diendapkan dalam lingkungan darat. Umur Formasi Lahat/Lemat masih menjadi perdebatan karena Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956) menginterpretasikannya berumur Eosen-Oligosen, sedangkan De Coster (1974) menginterpretasikannya berumur Paleosen-Oligosen. Formasi ini memiliki hubungan tidak selaras dengan unit batuan di bawah dan di atasnya.
-
Formasi Talangakar
Formasi ini terbagi atas dua anggota yaitu GRM dan TRM (Spruyt, 1956; Pulunggono, 1984) a. Gritsand Member (GRM) Anggota bawah Formasi Talangakar ini disusun oleh sedimen klastik kasar seperti batupasir konglomeratan, batupasir kuarsa, serpih dan sisipan batubara dengan struktur sedimen berupa struktur perlapisan bersusun, perlapisan silang-siur dan sejajar. b. Transitional Member (TRM) Anggota atas Formasi Talangakar ini tersusun oleh sedimen klastik sedang-halus seperti perselingan batupasir, serpih, batulanau, sisipan batubara, batulempung karbonan, serta hadirnya glaukonit yang melimpah. Lingkungan pengendapan anggota satuan ini adalah lingkungan transisi-laut dangkal berumur Miosen Awal.
9
-
Formasi Baturaja
Formasi Baturaja memiliki umur Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah (Gafoer, 1988). Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Talangakar dan tersingkap dengan baik di Sub-Cekungan Palembang Selatan. Formasi ini sangat berkembang di daerah tinggian, berupa batugamping terumbu dan batugamping paparan, sedangkan di bagian dalam cekungan satuan ini berkembang sebagai fasies karbonat berupa mudstone atau wackestone.
-
Formasi Gumai
Formasi Gumai yang terdapat di Cekungan Sumatera Selatan memiliki umur Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas sedimen klastika halus berupa serpih, napal, batulempung gampingan, batulanau dengan foraminifera plankton yang melimpah. Formasi ini mewakili fase trangresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan.
-
Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat atau Palembang Bawah ditafsirkan berumur Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan sublitoral (Gafoer, 1988). Penentuan lingkungan pengendapan ini berdasarkan foraminifera plankton. Formasi ini tersusun oleh perselingan batupasir-batulanau yang ditandai dengan melimpahnya mineral glaukonit dan limonit serta kandungan fosil foraminifera besar. Formasi ini merupakan awal dari fase regresi Miosen Tengah dari kondisi lingkungan pengendapan laut dalam ke arah lingkunagn pengendapan laut dangkal-transisi.
-
Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim atau Palembang Tengah berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal. Formasi ini secara umum ditandai dengan berkembangnya batubara. Formasi ini disusun oleh perselingan batulempung, batulanau, batupasir tufaan dan lapisan batubara. Formasi ini menunjukkan sekuen pengendapan pengkasaran ke atas dengan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga darat. 10
Bagian bawah formasi ini tersusun oleh batulempung kecoklatan, batupasir lempungan dan batupasir tufaan serta lapisan batubara. Bagian atas formasi ini disusun oleh perselingan batulempung kehijauan, batupasir, lapisan batubara dan endapan vulkanik. Fosil kayu dan foraminifera air tawar banyak dijumpai pada formasi ini.
-
Formasi Kasai
Formasi Kasai atau Palembang Atas diendapkan selaras di atas Formasi Muara Enim, tersusun oleh perselingan konglomerat, batupasir tufaan, tufa dan batulempung tufaan dengan kandungan moluska air tawar dan fosil kayu yang tersilisifikasi (silicified wood). Kandungan tufa yang sangat dominan pada formasi ini menandai adanya aktivitas vulkanik yang semakin meningkat pada Pliosen Akhir.Umur formasi ini adalah Miosen Akhir-Pliosen dengan ciri-ciri litologi yang menunjukkan lingkungan pengendapan darat. PERTAMINA-BEICIP,1992
Gambar 2.2 Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Pertamina-BEICIP, 1992 Shell, 1978 and Stanvac 1974) 11
Akhir pengendapan Formasi Kasai ditandai dengan peristiwa tektonik kompresi yang mengakibatkan pengangkatan dan terlipatnya sedimen Tersier. Pengendapan selanjutnya adalah sedimen kuarter dan terjadi aktivitas volkanik di Cekungan Sumatera Selatan.
2.3 Tatanan Tektonik Regional Pulau Sumatera yang terletak pada batas tenggara Paparan Sunda yang merupakan hasil pemanjangan Lempeng Eurasia terbentuk sebagai hasil tumbukan beberapa kerak benua pada Mesozoikum hingga awal Kenozoikum (Pulunggono dan Cameron, 1984; McCourt et al., 1996 dan Metcalfe, 1997). Sejak 40 juta tahun yang lalu, saat terjadi tumbukan antara Lempeng Asia dengan Lempeng India (Daly et al., 1987), Pulau Sumatera didominasi oleh rezim tektonik strike-slip (Hamilton, 1979; Curray et al., 1979). Secara umum, Pulau Sumatera dibagi menjadi lima bagian (Gambar 2.3), yaitu: a. Busur Luar Sunda, berupa busur non-vulkanik yang terletak di luar pantai barat Pulau Sumatera,. Cekungan depan busur, terletak di antara busur non-vulkanik dan busur vulkanik Sumatera. b. Cekungan belakang busur, meupakan hasil depresi batuan dasar di kaki Pegunungan Barisan c. Jalur Pegunungan Barisan, merupakan jalur busur vulkanik. d. Cekungan intermontane atau intra-arc basin.
Gambar 2.3 Penampang skematik Pulau Sumatera (Eubank dan Makki, 1981 dalam Darman Sidi, 2000) 12
Zona tumbukan yang miring ke arah Pulau Sumatera dan Laut Andaman menjadi sejajar di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara dan menghasilkan Sistem Palung Busur Sunda sepanjang 5.000 km dari Burma hingga bagian timur Indonesia. Akumulasi stress sebagai hasil suduksi yang miring di Pulau Sumatera secara bertahap dihasilkan dari sesar menganan yang sejajar dengan zona subduksi (Fitch, 1972). Jalur utama dari sesar ini dinamakan Sistem Sesar Sumatera. Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan belakang busur yang terlipat dan berumur Tersier di Pulau Sumatera (Gambar 2.4). Secara geografis, Cekungan Sumatera Selatan terletak pada 1o 30’ LU - 4o LS dan 102o 18’ 27” BT - 104o 18’ 27” BT dan dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah Timurlaut dan Bukit Barisan di sebelah Baratdaya. Bukit Barisan merupakan salah satu busur magmatic yang berhubungan dengan zona tumbukan di sebelah barat Pulau Sumatera. Cekungan Sumatera Selatan dipisahkan oleh Cekungan Sunda oleh Tinggian Lampung atau Paparan Palembang, sedangkan dengan Cekungan Sumatera Tengah dipisahkan oleh Tinggian Pegunungan Tigapuluh. Sedimen pengisi cekungan ini diperkirakan mencapai ketebalan 4.000 meter.
Gambar 2. 4 Elemen tektonik Pulau Sumatera (Hamilton, 1979 dalam Ryacudu, 2005) 13
Cekungan Sumatera Selatan memiliki sejarah perkembangan evolusi cekungan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan cekungan belakang busur lainnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan struktur dan sejarah terbentuknya yang kompleks akibat hasil interaksi dari keempat arah struktur utama. Kompleksitas tersebut terutama disebabkan dengan kehadiran arah struktur timurlaut-baratdaya yang tidak berkembang di cekungan belakang busur lain yang terdapat di Pulau Sumatera. Cekungan Sumatera Selatan memiliki empat arah struktur geologi (Gambar 2.5) yang dapat dibedakan menjadi: 1. Pola Jambi Pola Jambi memiliki arah struktur geologi yang berarah timurlaut – baratdaya dan sangat baik diamati di Sub-Cekungan Jambi. Pembentukan pola struktur
ini
berhubungan dengan pembentukan Sistem Paleogen Graben yang disebut Graben Ketaling yang berarah Timurlaut – Baratdaya. Selain terdapat di Jambi, pola struktur berarah Timurlaut-Baratdaya juga berkembang di Sub-Cekungan Sumatera Selatan seperti Graben Tanjung Miring. Perkembangan arah struktur ini disebabkan oleh kehadiran sesar normal sejak Paleogen pada periode tektonik kompresi Plio-Pleistosen yang berhubungan dengan sesar mendatar. Namun, intensitas perlipatan yang terbentuk tidak terlalu kuat.
2. Pola Lematang Pola Lematang memiliki arah struktur geologi relatif N300°E atau berarah baratbaratlaut-timurtenggara. Pola utama ini dikenal sebagai bagian dari Sistem Sesar Lematang (Pulunggono, 1984) yang sangat dominan ditemukan di Sub-Cekungan Palembang. Manifestasi pola ini ditemukan berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar anjak dan disebabkan oleh tektonik kompresi Plio-Pleistosen, tetapi juga berhubungan dengan graben Paleogen dan arah half graben. Pola ini dapat diamati pada Sesar lematang, Sesar Musi, Sesar Kepayang, Sesar Saka dan Sesar Lampung Selatan (Pulunggono et al., 1992)
14
3. Pola Sunda Pola Sunda memiliki arah struktur geologi utara-selatan. Pola ini sangat khas ditemukan di cekungan belakang busur di Pulau Sumatera.
Pola ini di Cekungan
Sumatera Selatan dapat diamati di Benakat Gulley-Kikim, Palembang dan Sesar Pantai Timur (Pulunggono et al., 1992). Pola ini juga sangat baik ditemukan di Cekungan Bengkulu (Lemigas, 1995). Pola ini dimanifestasikan sebagai dengan sesar normal dan terkatifkan kembali pada Zaman Plio-Pleistosen sebagai sesar mendatar.
4. Pola Sumatera Pola Sumatera memiliki arah struktur geologi baratlaut-tenggara. Pola ini umumnya berkembang di Bukit Barisan dan juga merupakan batas selatan Cekungan Sumatera Selatan. Perlipatan yang berkembang di Bukit Barisan memiliki arah yang sama dibandingkan dengan Pola Sesar Sumatera. Perlipatan yang terbentuk di Cekungan Sumatera Selatan akibat orogenesa PlioPleistosen dan menghasikan tiga antiklinorium besar (Shell 1978 dalam Zuhri, 1990) yaitu Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo, Antiklinorium Palembang.
Daerah penelitian
Gambar 2.5 Struktur geologi regional Cekungan Sumatera Selatan (Barber, 2005) 15
Pola struktur yang terdapat di Cekungan Sumatera Selatan merupakan hasil dari tiga orogenesa utama (de Coster, 1974), yaitu: -
Orogenesa pertama terjadi pada Mesozoikum Tengah, mengakibatkan batuan berumur paleozoikum dan Mesozoikum Awal mengalami perlipatan, pengangkatan, pensesaran, metamorfisme dan penerobosan oleh tubuh granit. Orogenesa ini menghasilkan pola struktur berarah baratlaut-tenggara, sejajajr dengan batas penyebaran batuan Pra-Tersier.
-
Orogenesa kedua terjadi pada Kapur Akhir-Eosen danmenghasilkan pola struktur bearah utara-selatan yang berkaitan dengan transform fault. Pola struktur yang dihasilkan oleh orogenesa pertama dan kedua membentuk konfigurasi batuan dasar yang berupa half graben, horst, dan fault block (Adiwidjaja dan de Coster, 1973; de Coster, 1974; Pulunggono et al., 1992 dalam. Darman dan Sidi, 2000).
-
Orogenesa ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen, menghasikan pola struktur berarah barat laut tenggara dan depresi ke arah timur. Pola struktur Plio – Pleistosen ini dibentuk oleh:
-
Semangko Wrench Fault yang merupakan hasil dari subduksi oblique Lempeng Indo-Australia terhadap Kontinen Sunda yang menimbulkan gerak rotasi right lateral.
-
Perlipatan-perlipatan dengan arah baratlaut – tenggara sebagai akibat dari Semangko Wrenching.
-
Patahan yang berasosiasi dengan perlipatan dan juga peremajaan sesar-sesar PraTersier.
16