BAB II GEOLOGI REGIONAL
2.1 Fisiografi Regional Jawa bagian timur dan Madura terbagi menjadi tujuh zona fisiografi, dari selatan hingga utara berturut-turut yaitu Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunungapi Kuarter. Pembagian tujuh zona ini dikemukakan oleh van Bemmelen (1949) (Gambar 2.1). 1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri atas endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona ini bersifat tidak menerus dan terdiri dari paling tidak tiga bagian yang terisolasi (Bemmelen, 1949). Zona ini memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta hingga ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini umumnya memiliki topografi yang terbentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai segala karst. 2. Zona Solo Zona ini memiliki formasi yang berumur Tersier ditutupi oleh beberapa gunungapi Kuarter. Zona ini terbagi menjadi tiga subzona, yaitu:
Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit di antara pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta ditutupi oleh endapan aluvial.
Subzona Solo pada bagian tengah. Subzona ini terbentuk oleh deretan gunungapi vulkanik muda dan dataran-dataran antar pegunungan. Gunungapi tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger, dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya yaitu Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini umumnya terbentuk akibat endapan lahar.
Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di 5
bagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunungapi yang kecil. 3. Zona Kendeng Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Antiklinorium ini merupakan perpanjangan ke arah timur dari Pegunungan Serayu Utara, Jawa Tengah. Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur (Smyth, dkk., 2005). Zona ini umumnya terbentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal. 4. Zona Randublatung Zona ini merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di sebelah barat hingga Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara. 5. Zona Rembang Zona ini merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai dari sebelah timur Semarang hingga Pulau Madura dan Kangean. Zona ini memiliki lebar rata-rata 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier Akhir (Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri atas sikuen mulai dari Eosen hingga Pliosen yang berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW (Smyth, dkk., 2005) 6. Dataran Aluvial Jawa Utara Bagian barat dari Dataran Aluvial Jawa Utara meliputi Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona Rembang di bagian timur. Pada bagian timur mulai dari Surabaya hingga ke arah barat laut, di sebelah barat berbatasan dengan Zona Randublatung, dan di sebelah utara serta selatan berbatasan dengan Zona Rembang. 7. Gunungapi Kuarter Gunungapi Kuarter berada di bagian tengah sepanjang Zona Solo, selain Gunung Muria. Smyth, dkk., (2005) menamakan zona ini sebagai Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir. Berdasarkan pembagian zona fisiografi tersebut, maka daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Rembang, yang terdiri atas pegunungan lipatan berbentuk antiklinorium 6
yang memanjang pada arah barat-timur. Pegunungan lipatan ini memanjang mulai dari utara Purwodadi yang melewati Blora, Jatirogo, Tuban, dan berakhir di Pulau Madura.
Gambar 2.1 Peta fisiografi Jawa Timur (Bemmelen, 1949)
2.2 Stratigrafi Regional Mandala pengendapan Rembang termasuk ke dalam Zona Fisiografi Rembang (van Bemmelen, 1949). Tidak seperti sedimen-sedimen pada Zona Kendeng, Mandala Rembang tidak mengandung unsur volkanik serta merupakan endapan khas paparan (Pringgoprawiro, 1983). Paparan ini memiliki kemiringan landai ke arah selatan dan diisi oleh endapan relatif tipis. Mandala Rembang mengandung urut-urutan endapan-endapan Kenozoikum yang tebal dan tak terputus hingga Pleistosen.
7
Gambar 2.2 Stratigrafi Lembar Rembang beberapa penulis (Kadar dan Sudijono, 1994)
Berikut adalah beberapa formasi yang diendapkan pada Mandala Rembang menurut Kadar dan Sudijono (1994) (Gambar 2.2): 1. Formasi Tawun Penamaan formasi ini pertama kali digunakan oleh Brouwer (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) yang menempatkannya dalam status anggota. Pringgoprawiro (1983) meningkatkan statusnya menjadi formasi dan menetapkan penampang antara desa Sumberan dan Brangkal di Tuban sebagai hypostratotype. Satuan ini disebut pula sebagai Formasi Batugamping Orbitoid (Orbitoid Limestone Formation) oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan Anggota Batugamping Orbitoid (Orbitoid Limestone Member) Formasi Rembang oleh Marks (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan Hartono (1973; dalam Kadar dan Sudijono). Formasi ini memiliki stratotipe berupa sumur pengeboran BPM Tawun-5. Formasi ini terdiri atas batulempung bersisipan batugamping, batupasir, batulanau, dan kalkarenit. Bagian bawah formasi ini didominasi oleh batulempung hitam-kelabu yang bergradasi hingga batulanau pasiran berwarna kelabu. Bagian atas dari formasi ini ditandai oleh akumulasi batugamping bioklastik yang ketebalannya mencapai 100 meter di beberapa tempat. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Tuban di bawahnya dan Formasi Ngrayong di atasnya adalah selaras. Penyebaran formasi ini cukup luas di Mandala Rembang Barat dan di Pulau Madura. Dijumpai pula pada sumur pengeboran lepas pantai Jawa Timur Utara dan Madura. Tebal Formasi ini di sumur Tawun-5 adalah 1500 meter. Di permukaan tebalnya adalah sekitar 730 meter seperti pada penampang Sumberan-Brangkal. Analisa mikropaleontologi yang dilakukan menunjukkan umur Miosen Awal, Zona N7-N8 ditentukan dengan menggunakan foraminifera
plankton,
sedangkan
dengan
menggunakan
foraminifera
besar
didapatkan pengendapannya berada di laut agak dangkal, neritik hingga neritik tengah. 2. Formasi Ngrayong Satuan batuan ini semula disebut Batugamping Orbitoid (Orbitoid Kalk) Atas oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan Marks (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994). Kemudian Koesoemadinata (1978; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menyebutnya Anggota Ngrayong (Ngrayong Member) Formasi Tuban.
9
Pranggoprawiro (1983; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menyebut satuan ini Anggota Ngrayong Formasi Tawun berumur Miosen Tengah (N9 hingga N12). Formasi ini terdiri atas batupasir, serpih, batulempung, batulanau, dan sisipan batugamping. Terkadang dapat ditemukan pula sisipan batubara dan lignit. Batupasir pada umumnya terdiri atas batupasir kuarsa dengan butiran menyudut sampai menyudut tanggung. Serpih sering sekali mengandung sisa tumbuhan berwarna hitam (carbonaceous), sedangkan batulempung kadang-kadang mengandung banyak foraminifera plankton yang menunjukkan umur Miosen Awal hingga Miosen Tengah, Zona N8-N12. Sisipan batugamping sering dicirikan oleh fosil foraminifera besar genus Lepidocyclina dan Cyclocypeus annulatus secara berlimpah. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong diendapkan dalam lingkungan laut agak dangkal, mulai dekat pantai sampai neritik tengah. 3. Formasi Bulu Penamaan formasi ini diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983) sebagai pengganti nama "Platen Komplex" oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1983). Tipe lokasinya berada di Desa Bulu, Rembang yaitu sepanjang Gunung Gendruwo. Ciri litologi pada stratotipenya terdiri atas batugamping pasiran yang berlapis, berbentuk plat (tebal 10 cm-33 cm) dan sisipan napal di bagian tengahnya. Hubungan stratigrafi Formasi Bulu dengan Formasi Tawun di bawahnya adalah selaras (Pringgoprawiro, 1983), seperti yang dapat diamati sepanjang Sungai Kemadu dan Sungai Besek, Bulu. Formasi Wonocolo diendapakan selaras di atas formasi ini. Penyebarannya cukup luas di Mandala Rembang mulai daerah Todanan di bagian barat hingga Madura di bagian timur. Endapan Formasi Bulu juga ditemukan pada sumur-sumur pengeboran lepas pantai. Pada lokasi ini tipe tebalnya mencapai 248 meter, sedangkan di daerah lain ketebalannya berkisar antara 55 meter hingga 200 meter. Umur formasi ini adalah berupa Miosen Tengah, zona N14-N15 atau Tf bawah berdasarkan atas kandungan foraminifera, sedangkan lingkungan pengendapannya adalah berupa zona litoral hingga zona sublitoral pinggir berdasarkan kandungan biotanya. 4. Formasi Wonocolo Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1983), dengan lokasi tipe di sekitar Desa Wonocolo, 20 kilometer ke arah timur laut dari Cepu. Ciri litologinya terdiri dari perulangan antara napal, napal lempungan, 10
hingga napal pasiran dengan perselingan kalkarenit. Napalnya kaya akan foraminifera plankton. Formasi ini terendapkan secara selaras di bawah Formasi Ledok pada stratotipenya. Formasi Wonocolo memiliki penyebaran yang luas di Mandala Rembang dengan arah barat-timur, mulai dari Todanan hingga tinggian Tuban. Di daerah Rembang tebalnya mencapai 100 meter. Umur dari formasi ini adalah bagian bawah Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan laut terbuka pada zona bathial atas. 5. Formasi Ledok Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dengan lokasi tipenya berada di Antiklin Ledok, yaitu berjarak 10 km sebelah utara dari Cepu. Pada lokasi tipenya, ciri litologinya adalah perulangan antara napal pasiran, kalkarenit dengan napal dan batupasir. Glaukonit berlimpah ditemukan di bagian atas formasi. Kalkarenit dan napal pasiran memperlihatkan struktur silang siur. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Wonocolo di bawahnya dan Formasi Mundu di atasnya adalah selaras pada lokasi tipenya. Formasi Ledok memiliki persebaran yang terbatas di Mandala Rembang. Di bagian barat endapannya ditemukan di daerah Todanan, akan tetapi ke arah timur tidak ditemukan di daerah Tinggian Tuban. Ketebalan terukur pada lokasi tipe sekitar 190 meter, sedangkan di daerah lain ketebalannya berkisar antara 82 hingga 220 meter. Berdasarkan kehadiran Globorotalia plesiotumida, umur Formasi Ledok adalah Miosen Akhir atau Zona N17. Lingkungan pengendapannya adalah sublitoral pinggir berdasarkan rasio plankton/benthon yang berkisar 27% hingga 30%. 6. Formasi Mundu Formasi Mundu terletak selaras di atas Formasi Ledok dan pada awalnya diberi nama Jenjang Mundu oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994). Satuan batuan ini kemudian diberi status anggota oleh Marks (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan Brouwer (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994), meskipun kedua penulis memasukkannya ke dalam formasi yang berbeda. Lokasi tipe Formasi Mundu berada di Sungai Kalen, Desa Mundu, 10 km arah barat dari Cepu, sedangkan stratotipenya yaitu lintasan sepanjang 1,5 km pada sayap Utara Antiklin Kedinding, 3 km ke arah barat Desa Mundu. Ciri litologinya yaitu napal kehijauan yang masif. Bagian atasnya ditempati oleh batugamping pasiran. Formasi Mundu diendapkan selaras di atas 11
Formasi Ledok dan dengan Formasi Lidah di atasnya. Penyebarannya sempit di kawasan Mandala Rembang, yaitu di sekitar Todanan dan Tinggian Tuban. Ketebalan rata-rata Formasi Mundu adalah 255 meter hingga 342 meter. Umumnya adalah Miosen Akhir hingga Pliosen atau zona N18-N12 dari analisa foraminifera planktonnya. Lingkungan pengendapannya adalah lingkungan laut terbuka dengan kedalaman antara 700 meter hingga 1000 meter. Semakin ke atas kedalamannya berkurang hingga laut dangkal pada zona sublitoral pinggir. 7. Anggota Solorejo Formasi Lidah Terdiri dari perselingan lapisan tipis batugamping dengan kalkarenit yang kaya akan foraminifera plankton. Kalkarenit terkadang mengandung glaukonit. Cangkang foraminifera yang menjadi unsur utama penyusun batuan, umumnya telah terabrasi dan buram. Dapat dipastikan bahwa fosil tersebut telah mengalami proses pengendapan ulang (reworked fossils). Pada lembar Rembang, Anggota Solorejo terkadang berkembang sebagai napal yang kaya akan foraminifera plankton dan terkadang lebih didominasi oleh batugamping. Pada bagian utara, satuan ini menipis ke arah barat daya dan ke arah timur laut. Pada Sungai Klateng ketebalannya mencapai 75 meter. Satuan ini awalnya dinamakan Jenjang Solorejo (Solorejo Bed) oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan memasukkannya ke dalam Formasi Tambakromo berumur Pliosen. Koesoemadinata (1978; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menempatkan satuan ini sebagai anggota dalam Formasi Lidah. Pringgoprawiro (1983; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menyebutnya sebagai Anggota Solorejo Formasi Mundu. Satuan batuan ini terletak tidak selaras di atas Formasi Mundu, maka oleh Kadar dan Sudijono (1994), Anggota Solorejo digabungkan dengan Formasi Lidah. 8. Formasi Lidah Litologinya terdiri dari batulempung abu-abu dan batulempung hitam, dan mengandung sisipan batupasir moluska. Terkadang mengandung sisipan batulempung yang kaya akan moluska (Ostrea). Pada beberapa tempat, batulempung mengandung banyak foraminifera benthon dan terkadang batulempung mengandung banyak foraminifera plankton yang merupakan rombakan dari formasi yang lebih tua. Pada bagian utara Zona Rembang, ketebalan formasi ini umumnya sekitar 70 meter, sedangkan pada Sungai Kedunglo mencapai kurang lebih 230 meter. Pada daerah 12
selatan Pati-Juwangi satuan batuan terdiri dari batulempung hitam. Pada level tertentu, batulempung akan memiliki sangat banyak fosil moluska genus Ostrea yang diameternya dapat mencapai 10 cm. Pada daerah Godo, satuan ini terletak selaras di atas batugamping Anggota Solorejo dengan ketebalan kurang lebih 120 meter. Formasi Lidah pada awalnya dinamakan Mergelton oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994). Beberapa penulis lain menyebutnya Lempung Biru (Blue Clays) Bemmelen (1949; dalam Kadar dan Sudijono, 1994), Formasi Turi-Domas (TuriDomas Formation) oleh Marks (1957; dalam Kadar dan Sudijono, 1994), dan MT series oleh Koesoemadinata (1969; dalam Kadar dan Sudijono, 1994). Pringgoprawiro (1983; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) meresmikan satuan batuan ini sebagai Formasi Lidah dan menetapkan penampang antara Banyuurip-Blangbali, Cepu, sebagai hypostratotype. Umur formasi adalah Pliosen hingga Plistosen. 9. Formasi Paciran Penamaannya
diambil
dari
Kota
Paciran
(Pringgoprawiro,
1983),
Tuban.
Stratotipenya adalah berupa batugamping terumbu di sekitar Bukit Piramid. Formasi ini terdiri dari batugamping terumbu yang masif, seringkali memperlihatkan gejala karst. Formasi Paciran diendapkan tidak selaras di atas Formasi Mundu dan mempunyai hubungan yang menjemari dengan Formasi Lidah. Endapan formasi ini banyak ditemukan di Tinggian Tuban dan di Pulau Madura dengan ketebalan berkisar antara 105 meter hingga 150 meter. Umurnya diketahui berkisar antara Pliosen dan Pleistosen. Lingkungan pengendapannya adalah di laut dangkal, jernih, hangat, dekat pantai, zona litoral-sublitoral pinggir.
Sejak Oligosen Akhir terjadi fasa transgresif. Fasa transgresif ini berlangsung sejak N4 sampai N10 yang kemudian mencapai puncak selama interval N8-N10 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Pada kala akhir Miosen Awal, Formasi Tawun mulai diendapkan. Pada kala Miosen Tengah, terjadi fasa transgresif disebabkan karena adanya suatu pengangkatan yang meliputi daerah yang luas di Indonesia (Umbgrove, 1949; dalam Pringgoprawiro, 1983). Pengangkatan ini menyebabkan terjadinya pembentukan sedimen batupasir kuarsa dengan sisipan-sisipan lapisan batubara dan gipsum, yaitu Formasi Ngrayong. Formasi Ngrayong diendapkan secara selaras dan kadang-kadang menjari dengan Formasi Tawun. Formasi ini diendapkan pada lingkungan fluvial (non-marine), 13
daerah pasang-surut sampai dengan neritik tengah. Batupasir mendominasi formasi ini dengan sisipan batulempung karbonan (Kadar dan Sudijono, 1994). Hampir 50% kuarsa pada batupasir Formasi Ngrayong berasal dari batuan metamorf, kemungkinan besar berasal dari Busur Karimunjawa dan Busur Bawean (Smyth dkk., 2003). Fasa transgresif terjadi pada akhir Miosen Tengah sehingga daerah Rembang tenggelam lagi di bawah permukaan (Pringgoprawiro, 1983). Proses pengendapan berlangsung pada lingkungan laut dangkal neritik tepi sampai neritik tengah yang ditandai dengan diendapkannya Formasi Bulu dan Formasi Wonocolo. Formasi Bulu diendapkan secara selaras di atas Formasi Ngrayong, terdiri dari batugamping, kadang-kadang berlapis dan pasiran, terkadang membentuk pelat-pelat (platy) atau berlapis tipis, dengan sisipan napal dan batupasir. Formasi Bulu ditindih secara selaras atau menjari dengan Formasi Wonocolo. Formasi Wonocolo dicirikan oleh batulempung gampingan dengan sisipan batugamping dan lapisan-lapisan tipis batupasir glaukonit di lapisan bagian bawah (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa transgresif mencapai maksimumnya pada N15-N16 dan kemudian diikuti fasa regresif pada interval N16-N17 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Pada kala Miosen Akhir, diendapkan Formasi Ledok secara tidak selaras di atas Formasi Wonocolo pada lingkungan laut terbuka, tepatnya pada zona neritik tengah sampai batial atas. Formasi ini memiliki ciri litologi batuan sedimen klastik seperti batulempung napal, dan
batulanau
dengan
sisipan
batugamping
yang
berumur
Miosen
Akhir.
Ketidakselarasan disini ditandai dengan hilangnya Zona N15 dan bagian bawah Zona N16 karena proses erosi atau ketiadaan pengendapan (hiatus) (Kadar dan Sudijono, 1994). Formasi Mundu kemudian diendapkan secara selaras di atas Formasi Ledok pada kala Miosen Akhir sampai Pliosen pada fasa transgresif. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam, batial sampai abisal. Maksimum transgresif berlangsung pada interval N19-N20, yang juga sebagai interval genang-laut terbesar selama Tersier di Cekungan Jawa Timur Utara (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Setelah Formasi Mundu, tepatnya pada Kala Pliosen sampai Pleistosen diendapkan Formasi Lidah secara tidak selaras pada lingkungan laut dangkal, neritik tepi. Pada bagian bawah formasi ini dijumpai Anggota Solorejo yang memiliki ciri litologi kalkarenit dan batupasir glaukonit gampingan. Pada kalkarenitnya banyak dijumpai fosilfosil foraminifera plankton hasil rombakan (reworked fossils) dari formasi yang lebih tua. Hal tersebut mengindikasikan turunnya permukaan laut atau merupakan hasil erosi daerah-daerah yang terangkat akibat pengangkatan dan perlipatan Cekungan Jawa Timur 14
Utara (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa regresif berlangsung pada interval N21-N23 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Formasi Paciran diperkirakan terendapkan pada kala yang sama dengan Formasi Lidah karena sama-sama menindih Anggota Solorejo Formasi Lidah. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, kemungkinan berupa neritik tengah. Kadar dan Sudijono (1994) memperkirakan Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria mulai aktif sejak Pliosen Akhir. Kegiatan vulkanik ini menghasilkan endapan Gunungapi Kuarter di daerah ini. Endapan Gunungapi Lasem tersebar di sekitar lereng barat Gunung Lasem (806 m di atas permukaan laut), terdiri atas andesit berupa aliran lava, aglomerat, breksi volkanik, tuf lapili, tuf halus, dan lahar,sedangkan Gunung Muria menghasilkan Endapan Gunungapi Muria yang didominasi oleh tuf, lahar, dan tuf pasiran. Endapan Gunungapi Lasem dan Endapan Gunungapi Muria terletak secara tak selaras di atas satuan-satuan yang lebih tua. Endapan termuda adalah Aluvium yang terdiri dari endapan sungai dan endapan pantai. 2.3 Struktur Regional Tatanan tektonik dan struktur geologi pada Pulau Jawa tidak terlepas dari adanya teori tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif stabil, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif ke arah baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara (Hamilton, 1979). Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang dengan arah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara. Struktur-struktur yang berkembang di Pulau Jawa diakibatkan oleh adanya suatu pengangkatan yang terjadi selama Kala Intra Miosen dan pada Kala Plio-Pleistosen (Bemmelen, 1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang berkembang pada Pulau Jawa (Gambar 2.3) yaitu:
Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 hingga 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir hingga Eosen Awal). Pola ini ditunjukkan dengan Tinggian Karimunjawa pada kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat). 15
Pola Sunda, berarah Utara-Selatan (N-S) terbentuk 53 hingga 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal hingga Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatera. Pola ini merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus.
Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu hingga sekarang (Oligosen Akhir-Resen). Pola ini merupakan pola termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola yang ada sebelumnya.
Gambar 2.3 Pola kelurusan di Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)
Proses tektonik yang cukup dinamis ikut memberikan peran dalam pembentukan dan pengangkatan cekungan-cekungan yang ada pada daerah Jawa. Pada cekungan Jawa Timur terjadi suatu perubahan rezim struktur yang cukup kontras di antara Zaman Paleogen dan Neogen. Pada Zaman Paleogen, terjadi suatu roll-back jalur subduksi yang menghasilkan fase ekstensi dan membentuk cekungan Jawa Timur hingga menjadi suatu cekungan busur belakang (Satyana, 2004). Pada Neogen, terjadi suatu rezim kompresi yang banyak mempengaruhi bagian Selatan yang dahulunya pada Zaman Paleogen adalah merupakan suatu laut dalam. Fasa ini menghasilkan inversi pada struktur-struktur yang lebih tua dan perlipatan dengan sumbu relatif Barat-Timur (Satyana dkk., 2004). Perlipatan yang terjadi pada Zona Rembang cenderung berarah ke selatan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya antiklin-antiklin asimetris dengan kemiringan sayap selatan yang cenderung lebih besar. 16
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003) pola struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang memiliki kelurusan berarah timurlaut-baratdaya dan barat-timur.
17