KONSEP “EMPAT PILAR” SEBAGAI REVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DI ERA REFORMASI THE “EMPAT PILAR” CONCEPT AS A REVITALIZATION OF PANCASILA’S VALUES IN REFORM ERA Andhika Yudha Pratama* Drs. Suwarno Winarno** Dra. Arbaiyah Prantiasih, M.Si** *Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan FIS UM Email:
[email protected] **Dosen Pembimbing Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan FIS UM Jalan Semarang 5 Malang ABSTRAK: Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bagi bangsa Indonesia. Posisinya yang begitu vital bagi eksistensi kebangsaan Indonesia, Pancasila layak untuk selalu dijaga dan nilainilainya wajib diamalkan oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Diera digital sekarang ini sebagai bangsa Indonesia patut untuk merasa khawatir terhadap pelaksanaan nilai-nilai Pancasila yang mulai mengalami pengikisan. Oleh sebab itu, harus ada upaya revitalisasi sebagai sebuah upaya untuk menggiatkan kembali nilai-nilai Pancasila. Dalam catatan sejarah, upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila bukan menjadi sesuatu yang baru bagi bangsa ini. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh adalah: (1) Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di masa pemerintahan presiden Soekarno atau yang dikenal dengan era Demokrasi Terpimpin, dilakukan dengan penetapan Manipol-USDEK sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara. sesuai dengan penetapan tersebut segala upaya harus didasarkan atas Garis-Garis Besar Haluan Negara; (2) Upaya menggiatkan kembali Pancasila dalam era Orde Baru didasarkan atas pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Kemudian digagasnya konsep Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), upaya membudayakan Pancasila dalam masyarakat gencar dilakukan. Sebagai pelaksana dari konsep P-4, pemerintah menetapkan sebuah penataran yang kemudian hari konsep P-4 dikenal dengan penataran P-4; (3) Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Reformasi dilakukan dengan gagasan yang diprakarsai oleh MPR yang diberi nama “Empat Pilar”. Sebagai usaha pelaksana dari konsep “Empat Pilar” kemudian diadakanlah sosialisasi “Empat Pilar” yang menjadi agenda kerja bagi MPR. Kata Kunci: “Empat Pilar”, Revitalisasi, Nilai-nilai Pancasila, Reformasi. ABSTRACT : Pancasila is the basis for the country and a way of life for the people of Indonesia . His position is so vital for the existence of Indonesian nationality , Pancasila deserves to be maintained and their values shall be practiced by all people without exception . Digital
era today as the Indonesian nation are right to be concerned about the implementation of Pancasila values that begin to experience erosion . Therefore , there must be a revitalization effort as an attempt to revive the values of Pancasila . In recorded history , revitalizing the values of Pancasila not be something new for the nation . Based on the results obtained are : ( 1 ) Efforts to revitalize Pancasila values during the rule of President Sukarno , known as the era of Guided Democracy , conducted with determination as a Manipol-USDEK Outlines of State Policy . Accordance with the determination of all efforts must be based on the Guidelines of State Policy ; ( 2 ) Efforts to revitalize Pancasila in the era of the New Order Pancasila is based on the implementation of a genuine and consistent . Then be formed of concept Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P - 4 ) , efforts to cultivate intensively conducted Pancasila society . As executor of the concept of P - 4 , the government established a concept later upgrading the P - 4 is known to upgrading the P - 4 ; ( 3 ) Efforts to revitalize Pancasila values in the era of reform carried out by the idea initiated by the Assembly , named " Empat Pilar " . As the business of implementing the concept of " Empat Pilar " then held a socialization " Empat Pilar " which became the agenda for the MPR . Keywords: “Empat Pilar”, Revitalization, Pancasila’s Values, Reform. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sesuai dengan amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebuah jembatan emas bagi bangsa Indonesia. Secara tersirat proklamasi merupakan gerbang bagi bangsa ini untuk menuju kehidupan yang mandiri untuk mencapai cita-cita bangsa. Sebagai sebuah negara yang baru, eksistensi negara ini masih belum begitu kuat. Keringkihan negara baru ini semakin menjadi, mengingat betapa luasnya wilayah Indonesia yang berupa wilayah daratan ditambah lagi dengan wilayah perairan yang dibingkai dalam Nusantara yang membuat rentan akan komitmen masing-masing daerah untuk tekad satu mencapai Indonesia merdeka. Namun, gelora dan semangat untuk merdeka dimasing-masing benak rakyat yang membuat bangsa ini mampu untuk terus berjuang mempersiapkan kemerdekaannya. Disadari benar oleh para pendiri bangsa bahwa perlu sebuah dasar negara ataupun landasan negara yang nantinya bisa menyelarasakan setiap komitmen bangsa Indonesia untuk merdeka. Dalam berbagai upaya yang dilakukan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mempersiapkan negara Indonesia yang merdeka, perkara dasar negara menjadi sesuatu yang diperhatikan serius. Masing-masing pendiri bangsa mempunyai mimpi sendiri akan masa depan bangsa Indonesia kedepan, namun
kesadaran akan kemajemukan bangsa Indonesia menjadi hal yang pokok. Oleh karena itu, dasar yang dibentuk hendaknya adalah dasar yang menjadi sebuah ideologi bangsa yang bersifat universal dengan dasar konsep pemikiran akan kearifan lokal yang berdasarkan kemajemukan bangsa Indonesia. Perkara dasar negara inilah yang membawa para pendiri bangsa yang tergabung dalam BPUPKI untuk membahasnya dalam sidang. Kaelan (2013:25) mengemukakan, melalui sidang BPUPKI yang mana dr. Radjiman sebagai ketua mengajukan permintaan fundamental yaitu menyangkut dasar filsafat negara (philosofische gronslag) Indonesia yang akan merdeka. Pancasila dilahirkan tidak semata-mata sebagai pelengkap dari berdirinya Indonesia merdeka. Perlu sebuah renungan yang panjang serta pergolakan yang hebat bagi Soekarno untuk bisa mendalami dan kemudian paham akan gambaran dan kondisi bangsa Indonesia yang mampu digambarkan oleh setiap makna dari setiap sila Pancasila. Begitu pentingnya Pancasila, hingga banyak ahli berpendapat sebagai pembuktian akan hal tersebut, Kartohadiprojo (1983: 23) menyebutkan Pancasila sebagai five basic principle atau lima dasar pokok, Sudarsa (2013: 4) mengatakan Pancasila merupakan falsafah hidup, ideologi negara, dan dasar negara, sedangkan Latif (2012:2) mengatakan bahwa Pancasila adalah warisan jenius Nusantara. Di era kekinian sebagai dampak dari globalisasi yang juga turut membawa penjajahan baru, yaitu menyajikan kehidupan yang serba mudah. Hal tersbut membawa dampak tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal yang termasuk juga nilainilai Pancasila. Dari sebuah alasan yang menyatakan bahwa Pancasila itu sangat penting dan menyadari akan kondisi sekarang yang terjadi pengikisan akan nilainilai Pancasila, maka perlu ada sebuah upaya untuk menggiatkan kembali pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. METODE Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode library research atau studi pustaka atau metode kepustakaan. Menurut Zed (2008: 3), studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Dari pengkajian
literatur dengan menggunakan metode studi kepustakaan, peneliti akan menghasilkan berbagai macam data. Data yang terkumpul diharuskan dapat menjadi penjawab rumusan masalah. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam studi kepustakaan ini adalah: (1) Komparasi, yaitu Merujuk pada Nazir dalam Susilana (2012), metode komparasi adalah penelitian yang bersifat membandingkan untuk mencari jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan cara menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu; (2) Kompilasi, metode ini dilakukan dengan menggabungkan beberapa pendapat ahli dengan intepretasi dari penulis, kemudian data ada disusun secara sistematis; (3) Induksi, merujuk Rianto (2004: 102) menjelaskan bahwa kesimpulan induktif selalu berupa generalisasi atau kesimpulan itu diambil dari sejumlah peraturan khusus untuk diberlakukan pada sesuatu hal yang umum; (4) Deduksi, menurut Rianto (2004: 102) memberlakukan suatu kesimpulan umum atau suatu teori terhadap peristiwa khusus. PEMBAHASAN Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Demokrasi Terpimpin Pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, babak baru sejarah perjalanan bangsa Indonesia pun dimulai sebagai bangsa yang merdeka. Upaya untuk memperbaiki ketatanegaraan pun terus dilakukan untuk memulai roda pemerintahan yang baru. Masih begitu kentara bagi negara ini yang berusaha menemukan sistem ketatanegaraan yang cocok. Dibentukknya kabinet presidensiil oleh presiden Soekarno diawal kemerdekaan, kemudian diganti kembali dengan kabinet parlementer, hingga kabinet parlementer pun juga harus diganti bersamaan dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam masa-masa ini perpolitikan Indonesia berada dalam kondisi yang begitu labil. Semangat revolusi yang begitu dominan pada era ini mengakibatkan sebuah ketimpangan antara politik dan pendidikan. Bidang pendidikan sempat menunjukkan perkembangan yang kurang segnifikan, sedangkan gejolak-gejolak
politik terus mewarnai perkembangan kehidupan negara. Hal tersebut dibuktikan selama berdirinya RIS telah terjadi ketidak stabilan politik sebagai bukti nyata dari berlangsungnya masa peralihan di Indonesia dari masa kolonialisme menuju bangsa yang merdeka. Negara RIS yang bentuknya federalistis dirasakan oleh banyak orang sebagai suatu bentuk yang tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945 (Pitono, 1986: 91). Perdebatan mengenai bentuk negara inilah yang menjadi salah satu pemicu awal beberapa pergolakkan dari rakyat. Disatu sisi beberapa golongan menginginkan terciptanya negara kesatuan (Unitaris), disisi lain beberapa golongan masih menginginkan bentuk federal (Federalis). Dari kontrakdiksi tersebut timbulah pertentangan dari kedua golongan ini yang saling berusaha untuk memepertahankan pendiriannya sehingga terjadilah pergolakan yang mengakibatkan adanya pemberontakan (Pitono, 1986:90). Menyikapi pergolakkan yang muncul, pemerintahan presiden Soekarno pun menyadari betul salah satu pemicu pergolakkan ini memang belum adanya sebuah kesepahaman bersama mengenai kontrak politik maupun sosial yang bisa mengakomodasi kepentingan didaerah-daerah. kesepahaman tersebut tidak lain adalah sebuah konstitusi. Diadakannya pemilu pada tahun 1955 untuk memilih anggota-anggota konstituante yang nantinya berwenang menyususn UndangUndang Dasar Republik Indonesia membawa harapan besar bagi bangsa Indonesia. Namun pada waktu menjelang Konstituante membahas dasar negara, maka timbulah perbedaan paham. Pitono (1986: 105) mengatakan perbedaan paham ini sekitar pembahasan mengenai Pancasila atau Islam kah yang dipakai sebagai dasar negara. Kemudian perbedaan paham inilah yang belum terselesaikan sebagaimana anjuran Presiden dan Pemerintah sesuai dengan amanat presiden tanggal 22 April 1959 yang telah ditentukan dalam UUDS. Mengenai hal ini sejarah politik dan ketatanegaraan kita mencatat kemacetan sidang konstituante, yang setelah tiga tahun bersidang tidak berhasil melaksanakan tugasnya, hal tersebut lebih dikarenakan karena adanya pikiranpikiran untuk mengganti Pancasila dengan Dasar Negara lain, sehingga Konstituante tidak berhasil mengambil keputusan mengenai Dasar Negara Republik Indonesia. Kemelut nasional ini terpaksa diakhiri dengan Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan menyatakan pembubaran Konstituante serta berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945. Dengan Dekrit ini pula terkandung penegasan Pancasila sebagai dasar negara yang telah tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (Wahjono, 1981: 27). Pasca dekrit presiden 5 Juli 1959, presiden Soekarno dalam peringatan 14 tahun kemerdekaan menyampaikan sebuah pidato yang diberi nama “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato inilah yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol), dimana didalamnya diuraikan lima intisari yaitu: (1) Kembali ke UUD 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin;
(5)
Kepribadian
Indonesia.
Manipol
beserta
dengan
lima
kebijaksanaan itu kemudian dikenal dengan Manipol-USDEK (Pranarka, 1985: 174). Melalui Penetapan Presiden No.1 tahun 1960 Manipol-USDEK ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Manipol-USDEK telah diakui dan disepakati sebagai pedoman rakyat untuk mengarungi Revolusi Indonesia. Lampiran Keputusan DPA no. 1/ Kpts/ Sd/ I/ 61, telah menyebutkan bagaimana rakyat harus bertindak dalam rangka melaksanakan Manipol-USDEK yang sesuai dengan isi pidato Presiden 1959. Setelah Manipol dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. 1/ MPRS/ II/ sd/ 1960, ditetapkan pula garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana melalui ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Melalui penetapan No. II/ MPRS/1960 ini ditegaskan bahwa yang menjadi dasar pembangunan adalah Pancasila dan Manipol. Sebagai usaha pelaksanaan dari pembangunan tersebut adalah dengan cara indoktrinasi, termasuk indoktrinasi melalui bidang pendidikan melalui mata pelajaran Civics. Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru Indonesia mengalami babak baru pemerintahan baru bertepatan dengan penyerahan kekuasaan negara oleh Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto selaku pengemban Tap MPRS no. IX tahun 1967. Hasil sidang MPRS tgl 7-12 Maret 1967 juga telah menghasilkan ketetapan No. XXXIII/ MPRS/1967 yang
memutuskan untuk mencabut seluruh kekuasaan Presiden Soekarno yang sebelumnya telah berkuasa. Sampai pada tanggal 12 Maret 1967, Jendral Soeharto secara resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Babak baru pemerintahan inilah yang dikenal dengan era Orde Baru. Menyadari akan kondisi politik sebelumnya, maka perubahan yang bersifat mengoreksi terhadap kondisi-kondisi perpolitikan di Indonesia menjadi sesuatu yang harus segera dilakukan di awal pemerintahan Orde Baru yang lebih utama adalah pelaksanaan Pancasila. Pada awal tahun 1967 diselenggarakan seminar TNI-AD II yang menegaskan kedudukan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian baru tanggal 7-12 Maret 1967 diselenggarakan sidang istimewa MPRS. Dua hal pokok menjadi perhatian utama dalam sidang istimewa MPRS 1967. Pembahasan
dalam
sidang
istimewa
ini
adalah:
penegasan
mengenai
kepemimpinan dan penegasan mengenai pengertian landasan Orde Baru, khususnya yang berkenaan dengan Pancasila dan UUD 1945. Melihat alasan yang menyatakan telah terjadi penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebelumnya, maka diperlukan sebuah upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila di babak pemerintahan yang baru, yang bisa menempatkan nilai-nilai Pancasila kedalam cita-cita bangsa untuk mencapai tujuan bangsa. Hal tersebut telah disadari dan menjadi salah satu titik fokus Presiden Soeharto dalam menjalankan pemerintahan. Selain fokus pembangunan dalam bidang ekonomi, koreksi terhadap pelaksanaan Pancasila menjadi hal sangat diperhatikan oleh Presiden Soeharto. Keinginan Presiden Soeharto bagi setiap warga negara tanpa kecuali menerapkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen serta menjadikannya sebagai pedoman dan pandangan hidup. Keinginan Presiden Soeharto untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila kedalam setiap kehidupan masyarakat juga disampaikan pada 12 April 1976 ketika memberi sambutan dalam Ketika memberi sambutan dalam Musyawarah Kerja Kwartir Nasional ini Presiden Soeharto mengemukakan gagasan untuk membuat P-4 dan mendapat pengesahan dalam sidang umum MPR 1978. Hingga akhirnya
P-4 menjadi sebuah ketetapan yang ditetapkan dalam Tap MPR no.II/MPR/1978 dalam sidang MPR 1978. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Lay (2013: 56) untuk menindak lanjuti ketetapan itu pula, pemerintah langsung membentuk sebuah lembaga pemerintah non departemen yang disebut BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No. 10/ 1979. Setelah BP-7 terbentuk, Presiden dengan pertimbangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
meramu bagaimana cara Pancasila bisa
dipahami dan diterima masyarakat desa. Sedangkan untuk menarik kelompok Islam, Departemen Agama menerbitkan sebuah buku kecil berjudul P-4 dan ajaran Islam pada 1978 yang melegitimasi masing-masing pilar Pancasila dengan ayat-ayat Alquran dan hadist (Aryono, 2013: 33). Setelah P-4 secara sah tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, tugas selanjutnya bagi pemerintah adalah bagaimana menjalankan konsep P-4 ini sebagai usaha untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan masyarakat. Aryono (2013: 34) menyebutkan, ada dua usaha pokok dalam pola pelaksanaan P-4, yaitu: pembinaan manusia Indonesia agar menjadi insan Pancasila dan pembangunan bangsa untuk mewujudkan masyarakat Pancasila. Langkah pertama sebagai usaha mencapai tujuan tersebut adalah dengan penataran. Dengan sistem penataran yang tersistematisir, pelaksanaan P-4 bisa menyeluruh. Untuk hal ini pemerintah secara sah melalui Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, untuk menyelenggarakan penataran P-4. Sebagai langkah pertama dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, pemerintah langsung memulai penataran P-4 yang diselenggarakan bagi calon penatar tingkat nasional, yang biasa disebut Manggala. Penataran Manggala pertama berlangsung dari tanggal 1 Oktober sampai dengan 15 Oktober 1978 yan berlangsung di Istana Bogor dan diselenggarakan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara. Untuk keperluan penyelenggaraan penataran P-4 bagi masyarakat dikembangkan pola-pola penataran sebagai berikut:
1.
Pola 120 jam, yang dikemudian hari berkembang manjadi pola 144 jam, bagi calon penatar yang akan bertugas di BP-7 daerah tingkat I maupun tingkat II, dan bagi tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan organisasi;
2.
Pola 45 jam, bagi kader-kader organisasi kemasyarakatan;
3.
Pola 25 jam dan pola 17 jam bagi masyarakat pada umumnya; di kemudian hari pola 17 jam dihapus karena dipandang kurang efektif.
4.
Memasuki tahun 1990-an dikembangkan pula pola penataran P-4 yang disesuaikan dengan profesi target audience, yang disebut pola terpadu. Hal i ni
dimaksudkan
untuk
lebih
mengaktualisasikan
dan
mengkontekstualisasikan muatan penataran P-4 dengan berbagai lapangan kerja. 5.
Dengan beberapa modifikasi penataran P-4 pola 120 jam dikembangkan menjadi pola penataran bagi para mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi menjadi penataran P-4 pola 100 jam, pola 45 jam bagi murid klas 1 SLTA, dan pola 25 jam untuk murid klas 1 SLTP. Melihat perkembangan penataran P-4 yang begitu baik, selain penataran
melalui pola-pola yang paten seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penataran P-4 juga diinternalisasikan ke dalam mata pelajaran. Melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi P-4 dan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) inilah P-4 juga ditatarkan kepada pelajar. Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Reformasi Tahun 1998 adalah babak awal dimulainya sebuah era bagi bangsa Indonesia yang dinamai era reformasi. Dimulai ketika ribuan mahasiswa melakukan gerakan yang kemudian berkembang menjadi perjuangan reformasi. Tujuan gerakan yang dilakukan pada bulan Mei adalah menghentikan kekuatankekuatan politik dan sosial yang secara otoriter dan represif menyesakkan nafas hidup masyarakat (Sumarjan, 1999: viii). Kasenda (2013:91) menyebutkan metode tunggal Pancasila dibakukan dalam Tap MPR No.II.MPR/1978 tentang P-4 yang diindoktrinasikan kepada
seluruh lapisan masyarakat. Melaui sebuah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru inilah Pancasila mulai dijadikan sebuah doktrin yang hanya bisa dipahami melaui proses penghayatan. Presiden Soeharto sebagai pemimpin negara mempunyai penafsiran tersendiri terhadap Pancasila dan pelaksanaan nilainilainya. Melaui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Presiden Soeharto melegitimasi tafsir yang masa selanjutnya mampu memberi tafsiran baru dan tidak melakukan reposisi Pancasila yang telah dijalankan oleh penggali Pancasilanya secara langsung yaitu, Soekarno. Dengan
ketentuan tersebut
Pancasila kembali dijadikan sebuah ideologi yang bersifat tunggal (Ali dalam kasenda, 2013:91). Revitalisasi nilai-nilai Pancasila pastilah dilakukan atas dasar ketidak sesuaian antara cita-cita Pancasila dengan kondisi realita kehidupan saat ini. Nilainilai Pancasila yang tertuang dalam setiap sila Pancasila secara jelas dapat menggambarkan sebuah cita-cita bangsa. Dalam era sebelumnya dimana kondisi politik yang labil menjadi dasar yang kuat untuk merevitalisasi Pancasila. Namun saat kondisi politik mulai stabil, bagaimana peran dan fungsi nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan masyarakat hal inilah yang perlu untuk dikaji. Berbagai hal yang menyangkut krisis kebangsaan, Prisma Resource Center melakukan sebuah penelitian di 33 Provinsi pada tahun 2012 yang disponsori oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Berdasarkan temuan penelitian ini, ditemukan bahwa ada 16,5 % masyarakat Indonesia tidak hafal Pancasila, 60,9 % masyarakat menilai penyelenggara negara belum sungguhsungguh menjalankan amanat pembukaan UUD 1945, 45 % masyarakat menganggap negara kurang mampu menjaga kedaulatan wilayah NKRI, dan 31,6 % masyarakat menganggap kondisi bangsa saat ini penuh dengan pertikaian (Wiratama, 2013: 105). Pada tahun 2009 MPR yang dikomandoi oleh Taufiq Kiemas memulai untuk merumuskan sebuah gagasan, salah satunya dengan kesadaran penuh akan posisi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa yang mampu memberikan solusi permasalahan bangsa. Berdasarkan amanat dari Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2010 pasal 12 kemudian lahirlah sebuah gagasan yang diberi
nama “Empat Pilar”. Dengan lahirnya gagasan “Empat Pilar” yang berasal dari dapur lembaga legislatif yaitu MPR, Indonesia telah memiliki modal berharga yang kiranya menjadi panduan, basis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Basis tersebut tidak lain yaitu “Empat Pilar” (Sudarsa, 2013:3). Mengutip pernyataan dari Ketua MPR Taufiq Kiemas dalam Kaelan (2012:15), menyatakan tujuan sosialisasi “Empat Pilar” pada era kekiniaan adalah untuk mengingatkan kembali yang selanjutnya dapat dipresentasikan dalam tindakan nyata sehari-hari. Dalam kerangka pembangunan bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai Pancasila inilah pimpinan MPR sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berbunyi: “(1) Pimpinan MPR bertugas:..(e) mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Tugas tersebut diwujudkan dengan komitmen pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap nilai-nilai luhur bangsa yang terdapat dalam konsepsi “Empat Pilar”, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR, 2012: xii). Kegiatan-kegiatan sosialisasi “Empat Pilar” hadir dengan berbagai packaging. seperti “Empat Pilar” goes to campus, outbond, Training of Trainer (TOT), lomba cipta baca puisi, lomba cipta lagu dan lain sebagainya. Sektor pendidikan juga menjadi sasaran utama dalam sosisalisasi “Empat Pilar” ini. Dengan menggelar lomba cerdas cermat dan perlombaan gemar Pancasila di tingkat sekolah menengah. Cara ini dilakukan untuk menumbuhkan pemahaman Pancasila pada genarasi muda. Namun, polemik mengenai posisi Pancasila sebagai pilar dan bukan sebagai dasar inilah yang pada akhirnya istilah “Empat Pilar” dihapus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan
pembahasan
dari
penelitian
yang
dilakukan
dapat
disimpulkan, upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Demokrasi Terpimpin mulai dilakukan bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pasca Dekrit, pada tanggal 17 Agustus 1959 presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato yang merupakan penjelasan dari Dekrit 5 Juli yang kemudian pidato ini kemudian keseluruhannya dikenal sebagai Manipol-USDEK. ManipolUSDEK kemudian ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara melalui Penetapan Presiden No.1 tahun 1960. Ketetapan inilah yang akan menjadi pedoman untuk bangsa Indonesia. Tujuan pendidikan nasional pun disesuaikan dengan pedoman tersebut, yaitu untuk melahirkan warga-warga sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila. Jalan indoktrinasi menjadi pilhan sebagai upaya mem-Pancasilakan bangsa Indonesia, salah satunya melalui mata pelajaran civic, serta melalui media. Dengan begitu nilai-nilai Pancasila akan termasyarakatkan sebagai landasan untuk mengarungi revolusi Indonesia. Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru dilakukan dengan latar belakang pengoreksian terhadap pelaksanaan Pancasila di era Demokrasi Terpimpin. Mempertahankan, memurnikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, itulah fungsi dan tujuan Orde Baru (Pranarka, 1985: 208). Melalui Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/ 1978 dibentuklah gagasan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Sebagai pelaksana konsep P-4, pemerintah secara sah melalui Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, untuk menyelenggarakan penataran P-4. Sebagai langkah pertama dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978, pemerintah langsung memulai penataran P-4 yang diselenggarakan bagi calon Penatar Tingkat Nasional, yang biasa disebut Manggala. Selain itu P-4 juga masuk kedalam pendidikan, yaitu diinternalisasi melalui mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) dan Pelajaran Sejarah dan Pendidikan Sejarah Pendidikan (PSPB). Upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era Reformasi berangkat dari anggapan penyelewengan dari pelaksanaan Pancasila di era Orde Baru. Krisis multi dimensi sebagai dampak dari modernisasi dan globalisasi juga menjadi latar belakang upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila karena membawa masyarakat melupakan dasar negara, pandangan hidup, karakter lokal, falsafah hidup, yaitu Pancasila. Oleh sebab itu perlu untuk diusahakan untuk mengembalikan pelaksanaan Pancasila sebagaimana mestinya. Kemudian digagaslah konsep yang diprakarsai oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang bernama “Empat Pilar”. Konsep “Empat Pilar” terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam usaha pelaksanaan dari konsep “Empat Pilar”, maka diupayakan sebuah sosialisasi. Sosialisasi yang bertajuk sosialisasi “Empat Pilar” berbangsa dan bernegara kemudian menjadi agenda rutin dari agenda kerja MPR. Sosialisasi “Empat Pilar” dilakukan melalui dunia pendidikan seperti: lomba cerdas cermat, gemar Pancasila, “Empat Pilar” goes to campus. Sosialisasi “Empat Pilar” juga dilakukan melalui media, serta dilakukan melalui bidang kesenian juga seperti: lomba cipta puisi bertema Pancasila. Namun istilah “Empat Pilar” kemudian dihapus melalui Keputusan MK no 100/PUU-XI/2013. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan oleh penulis, maka penulis menyarankan: (1) Bagi para peneliti-peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema seperti ini bisa dikembangkan lebih mendalam kajian penelitian tentang konsep “Empat Pilar” sebagai revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era reformasi. Mengingat konsep yang digagas oleh Taufiq Kiemas ini merupakan sebuah gagasan baru sehingga perkembangannya dikemudian hari pun masih layak dan banyak untuk diteliti; (2) Bagi pemerintah, peneliti menyarankan untuk segera mematangkan sosialisasi “Empat Pilar” dengan mengeluarkan kebijakan yang mencanagkan sosialisasi “Empat Pilar” menjadi program nasional; (3) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang mencanangkan program
generasi emas, kajian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk merancang kurikulum pendidikan selanjutnya. Di era Demokrasi Terpimpin dan di era Orde Baru dimana sebuah konsep revitalisasi nilai-nilai Pancasila. DAFTAR RUJUKAN ____, 1965. Bahan Indoktrinasi. Malang: Team Indoktrinasi Tingkat II. Abdulgani, Roeslan. 1963. Resapkan dan Amalkan Pancasila. Jakarta: Yayasan Prapantja. Aryono. 2013. Indoktrinasi Harga Mati. HIstoria. 32-35. Faisal, Sanapiah. 1989. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Kaelan. 2012. Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta: Paradigma. Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: paradigma. Kansil, C. S. T dan Christine S. T Kansil. 2011. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Rineka Cipta. Kartohadiprodjo, Soediman. 1983. Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila. Bandung: Penerbit Alumni. Latif,
Y. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, danAktualitasPancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lay, Cornelis. 2013. Pancasila, Soekarno dan Orde Baru. Jurnal Prisma. 32 (2) (3): 32-35. Pranarka, A M W. 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: Center For Strategic And International Studies. Pitono dalam Nyoman Dekker. 1986. Kumpulan Karangan Bersama: Sebuah Dokumen. Malang: Utama. Rianto, Adi. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. Sudarsa, Agun Gunandjar. 2013. Pancasila Sebagai Rumah Bersama: Bunga Rampai Pemikiran Tentang Kebangsaan. Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka. Surjohadiprodjo, Sajidiman. 1972. Langkah-langkah Perdjoangan Kita. Jakarta: Balai Pustaka. Wahjono, Padmo. 1981. Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Jakarta: Aksara Baru.
Wiratama. Rahardi T. 2013. Kewarganegaraan: Keindonesiaan. Jurnal Prisma. 32 no. 4: 103-117.
Revitalisasi
Konsepsi
Zed. Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.