Boks 1 TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI PROVINSI RIAU
1.
Latar Belakang
Stabilitas perekonomian merupakan prasyarat dasar bagi tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kualitas pertumbuhan. Hal ini penting untuk memberikan kapasitas berusaha bagi para pelaku ekonomi. Perekonomian yang tidak stabil
akan menimbulkan biaya yang tinggi serta
menyulitkan pelaku usaha dan masyarakat umum dalam menyusun rencana ke depan, khususnya untuk jangka panjang bagi investasi. Dalam hal kebijakan moneter, Bank Indonesia mempunyai peran yang penting untuk mencapai dan menjaga stabilitas moneter. Untuk mencapai stabilitas tersebut, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai stabilitas eksternal dan internal. Beberapa hasil riset di beberapa negara menunjukkan bahwa stabilitas internal (stabilitas tingkat harga) merupakan salah satu prasyarat tercapainya stabilitas eksternal. Oleh karena itu, tujuan kebijakan moneter di banyak negara difokuskan untuk mencapai stabilitas internal. 2.
Tujuan Penelitian
Sebagaimana kita ketahui bahwa kebijakan moneter pada dasarnya bersifat sentralistik. Artinya, pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari penetapan kebijakan moneter tersebut akan memiliki pengaruh yang inheren di setiap wilayah atau provinsi. Atau dengan kata lain setiap wilayah memiliki derajat yang tidak sama terhadap respon dari suatu kebijakan moneter yang dilakukan secara terpusat. Studi yang dilakukan oleh Arnold dan 1
Vrugt (2004) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perbedaan respon kebijakan moneter di suatu wilayah adalah karakteristik dari industri yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Lebih lanjut, dari temuan tersebut dapat diimplikasikan 1
Firm Size, Industry Mix and the Regional Transmission of Monetary Policy in Germany. German Economic Review, Blackwell Publishing, vol. 5(1), pages 35-59, 02
bahwa kebijakan moneter akan relatif efektif pada wilayah yang industrinya memiliki keterkaitan cukup kuat terhadap penyerapan kredit atau pun sumber pembiayaan lain (financial deepening). Efektivitas kebijakan moneter secara tidak langsung akan bergantung pada seberapa besar peran suatu wilayah dalam merespon kebijakan moneter yang ditetapkan secara sentral. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting bagi Bank Indonesia untuk mengetahui secara dini pengaruh kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi di suatu wilayah, agar koordinasi dan karakteristik kebijakan yang diambil (policy mix) menjadi lebih tepat sasaran serta dapat meminimalisir informasi yang asimetris. 3.
Hasil Penelitian
Secara spesifik, metode Kointegrasi VAR (Vector Autoregressive) digunakan untuk mengestimasi respon masing-masing wilayah Kabupaten/Kota yang memiliki share of growth cukup tinggi terhadap kebijakan moneter. Adapun ukuran penentuan wilayah didasari atas tingginya rata-rata sumbangan pertumbuhan dalam 6 (enam) tahun terakhir. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa Kabupaten/Kota yang memiliki sumbangan pertumbuhan cukup besar dalam beberapa kurun waktu tersebut diantaranya adalah Kab. Indragiri Hilir, Kab. Siak, Kab. Bengkalis dan Kota Pekanbaru. Tabel 1. Sumbangan Pertumbuhan Menurut Kab./Kota di Provinsi Riau Wilayah Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Pekanbaru Dumai Riau
2002 0,14 0,22 0,41 0,16 (0,11) 0,30 0,14 0,44 0,51 0,50 (0,18) 2,53
2003 0,17 0,23 0,35 0,18 0,07 0,27 0,15 (0,05) 0,26 0,76 0,07 2,46
2004 0,23 0,24 0,43 0,17 (0,02) 0,13 0,17 0,37 (0,15) 0,73 0,30 2,61
2005 0,23 0,27 0,41 0,20 0,66 0,35 0,17 1,60 0,54 0,71 0,06 5,41
2006 0,24 0,27 0,47 0,22 0,69 0,40 0,17 1,04 0,48 0,75 0,17 5,15
2007 0,25 0,27 0,48 0,20 0,03 0,28 0,17 0,57 0,19 0,76 0,17 3,41
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Data dan periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini bersifat bulanan (monthly) dari bulan Januari 2001 sampai dengan Desember 2008. Selanjutnya, alur transmisi kebijakan moneter diasumsikan melalui jalur suku bunga. Tabel 2. Data dan Jenis Variabel yang Digunakan No 1 2 3 4 5 6
Proksi Kebijakan Moneter Suku bunga riil Kredit Faktor Eksternal Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Harga
Variabel BI rate [Sk. bunga kredit tertimbang - tingkat harga] Kredit Menurut Lokasi Proyek [Kurs nominal * Inflasi AS/Inflasi Domestik] PDRB Kab./Kota (2000=100) Inflasi IHK (yoy)
Sumber Bank Indonesia
BPS
3.1. Pertumbuhan Ekonomi Secara spesifik, Shock BI rate sebesar 1 (satu) St.Dev akan mengakibatkan pertumbuhan output di Kab. Indragiri Hilir, Siak dan Bengkalis masing-masing meningkat sebesar 0,00054%, 0,021% dan 0,00249%. Sementara, pertumbuhan output kota Pekanbaru akan merespon secara negatif sebesar 0,003% terhadap shock BI rate 1 St.Dev. Hal ini diindikasikan akibat cukup tingginya penyaluran kredit perdagangan pada wilayah tersebut sehingga perubahan suku bunga akan direspon secara berkebalikan oleh output. Seperti kita ketahui porsi kredit perdagangan di Provinsi Riau pada tahun 2008 mencapai 25,42% dan sebagian besar disalurkan di Kota Pekanbaru. Grafik 1. Respon Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Gejolak (Shock) BI rate
Keseluruhan kondisi ini mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Riau tidak begitu responsif terhadap kebijakan moneter. Hal ini diindikasikan karena sebagian besar sektor utama yang menguasai pangsa terbesar dalam PDRB tidak memiliki pangsa yang cukup besar terhadap penyerapan kredit Temuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Ray dan Gosh (2001), dimana faktor komposisi perusahaan menjadi penyebab adanya perbedaan dampak kebijakan moneter di suatu wilayah. Seperti kita ketahui, sebagian besar penyaluran kredit sektor perdagangan di Kota Pekanbaru disalurkan kepada sub sektor perdagangan eceran. Hal ini menjadi sejalan dengan studi Ray dan Gosh (2001) yang menemukan wilayah dengan konsentrasi perusahaan kecil yang tinggi akan lebih sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter.
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa penyaluran kredit kepada sektor tradables (pertanian,pertambangan dan industri pengolahan) kurang dari 15%. Penyerapan kredit terbesar masih berada pada sektor lain-lain yang utamanya digunakan untuk kredit konsumsi. Tabel 3. Penyaluran Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau Sektor Ekonomi
No.
1 Pertanian 2 Pertambangan 3 Perindustrian 4 Listrik, Gas dan Air 5 Konstruksi 6 Perdag., Resto. & Hotel 7 Pengangkutan, Pergud.
2008
3.932.236
2009
4.459.132
Tw I 10
Pertumbuhan (yoy,%) 2008
2009
ytd
4.248.563
21,07
13,40
-4,72 104,95
96.653
69.319
142.067
34,25
-28,28
1.672.153
1.526.552
1.606.513
5,48
-8,71
5,24
11.514
54.190
50.111
79,29
370,64
-7,53
817.718
919.412
727.882
35,42
12,44
-20,83
4.673.397
5.719.076
4.913.492
33,12
22,38
-14,09 11,64
416.621
568.182
634.309
18,01
36,38
8 Jasa-jasa
1.610.994
2.151.359
2.307.698
36,35
33,54
7,27
9 Lain-lain
7.117.194
8.612.941
10.272.334
36,01
21,02
19,27
20.348.480
24.080.163
24.902.969
28,84
18,34
3,42
Jumlah
3.2. Inflasi Peranan kebijakan moneter (dalam hal ini adalah BI rate) dalam menjelaskan fluktasi inflasi di Provinsi Riau ditampilkan pada Grafik 2 di bawah ini. Berdasarkan grafik tersebut, diketahui bahwa fluktuasi inflasi di Provinsi Riau cukup dominan dipengaruhi oleh inflasi inersia (adaptive inflation). Sedangkan peranan BI rate dan suku bunga kredit masing-masing berkisar kurang dari 20%. Sumber fluktuasi inflasi di Provinsi Riau relatif dominan dipengaruhi inflasi inersia yang berkisar antara 60%-80%. Namun demikian, estimasi model ini hanya dilakukan untuk kota Pekanbaru sehingga belum mencerminkan wilayah Riau seutuhnya. Grafik 2. Sumbangan Masing-Masing Variabel Terhadap Fluktuasi Inflasi
Hasil ini secara khusus mengkonfirmasi fakta dilapangan yang menunjukkan bahwa tekanan inflasi di Provinsi Riau lebih dipengaruhi oleh faktor non moneter seperti arus distribusi, ketersediaan stok dan gangguan alam. Seperti kita ketahui, inflasi di Kota Pekanbaru
sebagian besar disebabkan oleh flukutasi pada IHK Kelomok Bahan Makanan yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan yang berasal dari provinsi lain seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Disamping itu, temuan ini juga menunjukkan bahwa peranan kebijakan moneter membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang untuk dapat mempengaruhi inflasi di Provinsi Riau. Pada grafik tersebut, terlihat bahwa peranan BI rate dalam menjelaskan fluktuasi inflasi di Provinsi Riau diperkirakan mulai cukup besar pada horizon ke-21 (setelah 6 kuartal). 4.
Implikasi
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan moneter yang dilakukan secara sentralistik
belum
dapat
memberikan
pengaruh
yang
cukup
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi maupun inflasi di Provinsi Riau. Lebih lanjut, perubahan BI rate akan direspon secara negatif oleh inflasi yang diukur melalui IHK Pekanbaru meskipun sumbangannya relatif kecil dalam jangka pendek. Temuan ini mengimplikasikan bahwa faktor penawaran relatif lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi maupun inflasi dibandingkan dengan faktor permintaan (BI rate). Selain itu hal ini juga diindikasikan akibat relatif kecilnya pangsa kredit yang disalurkan kepada sektor utama di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan yaitu: 1. Meningkatkan pangsa kredit kepada sektor-sektor unggulan di Provinsi Riau melalui optimalisasi Kredi Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E); 2. Mengoptimalkan
peran
Tim
Pengendalian
Inflasi
Daerah
(TPID)
untuk
mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan struktrual inflasi yang pada umumnya berasal dari sisi penawaran.