1
Post Event Catalogue
BIENNALE JOGJA XI EQUATOR #1
RELIGIUSITAS RELIGIOSITY | SPIRITUALITAS SPIRITUALITY KEPERCAYAAN BELIEF | KEBERAGAMAN DIVERSITY 25 November 2011 - 8 January 2012
2
3
Berbagi makanan dari satu nampan, berbagi rejeki dan berkah. Mengucap syukur pada Yang di Atas dan menghormati leluhur di alam seberang. Kembul Sewu Sedulur, Puncak Kahyangan, Kulon Progo, 8 Desember 2011 Several kinds of food on one tray, sharing good luck and fortune. Having thanks to the One Above and respecting our ancestors. Kembul Sewu Sedulur (1000 Relatives Eat Together), Kahyangan hill top, Kulon Progo, December 2011
4
Pengantar Introduction
Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) sebagai penyelenggara merancang 3 program pokok dalam even Biennale Jogja XI yaitu Pameran Utama, Festival Equator, dan Parallel Events. Ketiganya merupakan satu bagian utuh tetapi masing-masing program mengambil sudut pandang berbeda dengan tujuan yang sangat khusus. Tema besar Biennale Jogja XI adalah Religiusitas, Spriritualitas, dan Kepercayaan. Alia Swastika menawarkan tema ini merespon fokus Biennale Jogja XI yang secara khusus mempertemukan Indonesia dan India. India adalah negara pertama dalam Biennale Jogja seri equator, yang dimulai pada even Biennale Jogja XI ini.
Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) or the Yogyakarta Biennale Foundation as the biennale organizer prepared three main programs in Biennale Jogja XI; i.e. Main Exhibition, Festival Equator, and Parallel Events. While the three programs form a unified whole, each takes a different angle and has a specific objective. The grand theme of Biennale Jogja XI is “Religiosity, Spirituality and Belief”. Curator Alia Swastika offers the theme in response to the focus of Biennale Jogja XI that specifically brings Indonesia and India together. India is the first country in the Equator Series of Biennale Jogja, which would begin in Biennale Jogja XI.
In the main exhibition, Alia Swastika (Indonesia) and Presentasi yang dipersembahkan oleh kurator Alia Suman Gopinath (co-curator/India) presented the Swastika (Indonesia) dan Suman Gopinath (co-kurator/ artworks engage with the theme of ‘religiosity, spirituality, India) melalui pameran utama adalah menampilkan karya- and belief’ and explore in different ways the close and karya seni yang berkecipung dengan tema ‘religiusitas, tenuous links between religion and politics, religion spiritualitas, dan kepercayaan’ dan menelusuri dengan and nationalism and the blurring of the lines between berbagai cara, kaitan erat dan ketegangan antara them. (Gopinath, Biennale Jogja XI Catalogue, p. 212). agama dan politik, agama dan nasionalisme, dan Religious practices still create tensions in the public mengaburnya batas antar keduanya. (Suman, hal 42, space of Indonesia, a country with the largerst number 2011, Katalog Biennale Jogja XI). …Praktik keberagaman of Moslem citizens in the world, whereas in more secular masih menjadi bagian dari ketegangan ruang publik di countries, such issues are usually relegated into the Indonesia, negara personal realm of yang memiliki the individual. I jumlah penduduk believe it is such muslim terbesar tensions between di dunia, berbeda the public and the dengan situasi di personal spaces negara-negara that present the yang lebih ‘sekuler’, artists here with yang biasanya soal the greatest semacam ini masuk challenge as dalam wilayah they reflect on praktik individual. the proposed Ketegangan antara theme with actual ruang publik dan and relevant ruang personal perspectives. inilah yang saya (Swastika, kira menjadi Biennale Jogja tantangan besar XI Catalogue, bagi seniman p. 202). The untuk membaca isu two curators yang ditawarkan presented the dengan perspektif show in two yang aktual venues—the Setu Legi, Berhala, variable, mixed media installation, 8 objects, 2011 Pengantar / Introduction
dan relevan. (Alia, hal 31, Katalog Biennale Jogja XI). Presentasi kedua kurator dilaksanakan di 2 tempat yaitu di gedung ex Akademi Seni Rupa Indonesia yang sedang dirintis menjadi Museum Nasional Yogyakarta dan di Taman Budaya Yogyakarta. Terhadap pilihan ruang ini Alia Swastika menulis dalam halaman 39, …‘Tautan dengan masyarakat banyak kemudian diharapkan muncul dari kedekatan isu yang dipilih seniman dengan apa yang terjadi dalam praktik keseharian itu, alih-alih dalam pertemuan langsung antara masyarakat dengan karya di ruang-ruang publik atau dalam keterlibatan masyarakat dalam penciptaan karya. Dalam konteks seni kontemporer di Indonesia, pilihan ini memang kurang popular dan memberi pekerjaan rumah bagi penontonnya. Tetapi dengan cara inilah masyarakat sendiri dihadapkan pada lapis-lapis penafsiran dan mengevaluasi kembali praktik-praktik mereka dengan cara pandang yang berjarak dan berbeda’. Pameran utama Biennale Jogja XI menampilkan 25 seniman Indonesia dan 15 seniman India. Program Festival Equator dan program Parallel Events pada even Biennale Jogja XI diselenggarakan untuk mengiringi pameran utama yang bertujuan menyebarkan ke publik yang lebih luas, tema ‘religiusitas, spiritualitas, dan kepercayaan’, keberagaman, tema besar Biennale Jogja 10 tahun ke depan yaitu equator, dan relasi antara Indonesia dan India. Kepentingan penyebaran itu adalah agar terjadi proses reproduksi dan pemaknaan kembali atas gagasan yang sedang digulirkan. Dengan demikian maka diharapkan muncul rasa memiliki dan semangat mengembangkan even ini menjadi even kota yang memberi manfaat bagi masyarakat luas.
former building of the Indonesian Arts Academy (ASRI) that is being turned into Yogyakarta National Museum, and Yogyakarta Arts Center (Taman Budaya Yogyakarta). About this selection of venue, Alia Swastika explained, “The link with people is thus expected to arise from the familiarity between the issues that the artists have selected with what is occurring on our daily practices, instead of in the direct encounter between the people with the works in public spaces or in people’s involvement during the creation of the works. Admittedly, in the context of contemporary art in Indonesia, this option has not been so popular, and thus poses a challenge for the audience. Yet, it is in this manner that the people would be brought face to face with the different layers of interpretation and encouraged to re-evaluate their practices in a different and distanced perspective.” The main exhibition of Biennale Jogja XI presents works by 25 Indonesian artists and 15 Indian artists. The programs of Festival Equator and Parallel Events in Biennale Jogja XI were held to accompany the main exhibition, with the objective of presenting to a wider public the theme of “religiosity, spirituality, and belief”, the issue of diversity, Biennale Jogja’s grand theme of the “Equator” for the next ten years, and the relations between Indonesia and India. It is expected that the presented ideas would thus undergo a range of different processes of reproduction and reinterpretations, with the hope that a sense of belonging about the event will arise among the local residents and the biennale becomes an event that is beneficial for the general public.
Geographically, the city of Yogyakarta, with an area of 32.5 km2 (12.5 mi2) is situated in the middle of the Special Territory of Yogyakarta, a Secara geografis kota Yogyakarta special province having an area yang luasnya 32,5 km² terletak di of 3,185.80 km2 (1230 mi2). This tengah-tengah Provinsi Daerah small city of 388,627 residents, Istimewa Yogyakarta (DIY) yang according to the 2010 data of Sakshi Gupta, Reality Bites, red chillies, wooden luasnya 3.185,80 km². Kota kecil cot, 195 x 99 x 325 cm, 2006, courtesy Galleryske the National Bureau of Statistics, berjumlah penduduk 388.627 orang hosts 67 private higher education menurut data Badan Pusat Statistik institutions, consisting of eight universities, 24 institutes/ tahun 2010 ini memiliki 67 perguruan tinggi swasta yang colleges and 35 academies. It is also in this city that the terdiri dari 8 universitas, 24 institut/sekolah tinggi, dan Sultanate of Yogyakarta still commands a presence, 35 akademi. Di kota ini pula masih berdiri, diakui, dan strongly recognized and respected by the people, led dihormati secara kuat oleh masyarakatnya, Kerajaan by the current king of Sri Sultan Hamengku Buwono X Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Pengantar / Introduction
5
6
Buwono X sebagai pemangku kebudayaan dan tradisi Jawa, sekaligus menjabat jabatan politis sebagai Gubernur provinsi DIY. Sehingga di kota ini berjalan beriring khasanah kehidupan yang kental dengan tradisi Jawa dan khasanah kehidupan baru yang hadir melalui insititusi pendidikan modern.
as the custodian of the Javanese culture and tradition and the holder of a political position as the governor of the Special Provincial Territory of Yogyakarta. The city, therefore, plays host to a life strongly imbued by the ancient traditions of Java and the new treasury of different ways of life existing through the modern educational institutions.
Ketika tradisi hadir dalam dimensi baru, ia serta merta menjadi eksotis dan (di)siap(kan) menjadi komoditas. When tradition is present in a new dimension, it Demikian pula kraton Yogyakarta, kemudian hadir immediately becomes exotic and (is) prepared to become sebagai obyek wisata yang mendatangkan wisatawan commodity. Similarly, the palace of Yogyakarta is thus ke kota ini. Bagaimana dengan pendidikan? Institusi present as a tourism object that invites tourists to the perguruan tinggi tidak sekedar hadir melengkapi identitas city. And what about education? The universities are not budaya kota ini merely there to tetapi ia juga complement the mengambil cultural identity manfaat dari of the city, but identitas yang they also gain sudah melekat benefits from the sebelumnya previous existing yaitu tradisi identity, that is of (Jawa), yang the (Javanese) menenangkan tradition, which para orang tua disarms parents dan disukai and entices oleh pebisnis entrepreneurs pendidikan. in education. Para orang tua Parents hope that berharap, dengan by sending their bersekolah di kota children to study ini, anak-anak in this city, these mereka akan youth would attain lebih bermoral a higher moral disamping ground apart from berpendidikan. gaining education. Pemain Reog, siap berangkat ke sanggar seni Krido Bekso Lumaksana, Mangiran, Bantul, untuk pentas Namun harus One must admit, dalam acara Pasar dan Pasaran, Festival Equator, 22 Desember 2011 / Reog dancers/players, ready to diakui pula however, that the go to perform at Krido Bekso Lumaksana art space , Mangiran, Bantul, as part of Market and Market Day bahwa kombinasi combination of the even, Festival Equator, 22 Desember 2011 keduanya telah two has given rise melahirkan suatu suasana khas dan mudah diprediksi to a distinct, and rather predictable, atmosphere—i.e. the yaitu tarik-menarik antara tradisi dan modernitas, tension between tradition and modernity, the demand to tuntutan mempertahankan tradisi atau berubah mengikuti retain tradition or to change in line with the changing era. jaman. Keduanya menjadi motif yang membuat kota These two poles provide a motif that makes the city alive, ini selalu hidup dan diperjuangkan oleh kedua-duanya, with proponents of the two poles equally striving to gain sebagi ruang hidup yang terbuka dan nyaman untuk the upper hand, giving rise to an open and comfortable mengembangkan tradisi dan pendidikan. living space in which both tradition and education grow. Contoh diskusi yang menarik adalah rencana pembangunan area parkir di bawah alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Entah rencana ini akan dilanjutkan atau tidak, tetapi perdebatan terbuka di media massa sempat terjadi dan mencakup berbagai aspek seperti lingkungan, ekonomi, dan kebudayaan. Contoh lain, Pengantar / Introduction
One interesting example is the discussions arising about the plan to build an underground parking space under the north town square of the Yogyakarta Palace. It is not clear whether the plan will go ahead, but open debates in the mass media have taken place, covering a variety of aspects such as the environment, economy, and
diskusi yang mengkritisi suasana alun-alun selatan Kraton Yogyakarta pada saat ini yang dianggap semakin menjauhi peruntukan lokasi tersebut yang sebenarnya menurut tradisi. Diawali dengan Sultan X membeli dua ekor gajah yang dikandangkan di alun-alun selatan. Pada mulanya tujuan beliau adalah mengisi kandang yang sudah cukup lama kosong sekaligus sebagai properti yang melengkapi ritual kerajaannya. Tetapi tradisi kraton tetaplah elit milik kraton, dan gajah Sultan yang berada di area umum dianggap sebagai hadiah untuk penduduk sekitar tempat itu dan menjadi tontonan gratis setiap saat. Alun-alun selatan adalah tempat yang damai bukan merupakan daerah berlalu-lintas sibuk, sehingga penduduk sekitar senang bermain di tempat ini. Semua umur berkumpul tanpa diundang, terutama pagi dan sore, untuk berolah-raga, mengasuh anak, atau sekedar minum teh di angkringan dan warung tenda. Seiring dengan meningkatnya jumlah pengunjung, berbagai macam
culture. Another example is the discussion that shrewdly addresses the situation in the south town square of Yogyakarta Palace, which at currently is seen as moving further away from its traditional purpose. The issue started with the purchase of two elephants by the (current) Sultan Hamengku Buwono X. The two elephants were caged at the south town square. The sultan’s intention was to use the long-empty cage, as well as use the elephants as a property to complete the rituals of his palace. The palace tradition, however, stays an elite tradition, preserved by the palace, while the Sultan’s elephants at the public area were seen as a gift for the local residents, providing people with a free spectacle, available at any given time. The south town square has indeed been a calm site and not an area with heavy traffic, so much so that the local residents like to spend their time there. People of all ages come to gather without being invited, especially in the mornings and early evenings, to do sport, play with their
pedagang makanan dan mainan mulai hadir mencoba peruntungan. Alun-alun itu kemudian tidak lagi hanya aktif di pagi dan sore hari, tetapi kemudian hingga tengah malam, karena makanan dan permainan malam mulai juga turut hadir memberi warna dan cahaya. Bahkan ketika gajah Sultan tidak ada lagi, tak seorangpun sekarang berpikir tentang gajah di kandang itu, alun-alun selatan tetap hidup dan meriah sampai larut malam.
children, or simply drink some hot tea at the food stalls. Along with the increasing number of visitors there, many food and toy sellers come and try their luck there. The town square becomes lively not only in the mornings and early evenings, but well into the night, because the food and night rides provide the place with light and colors. This stays true even long after the elephants have not been there anymore. No one thinks about the elephants now. The south town square remains lively well into the night.
Yogyakarta adalah daerah yang terpencil di selatan pulau Jawa, dikelilingi pegunungan dan berbatasan langsung dengan samudera Hindia yang bergelombang besar. Meskipun demikian Yogyakarta bukan daerah yang hilang dari peta dunia. Gunung Merapi yang terletak di bagian utara Yogyakarta, telah hidup berabad-abad yang lalu dan dipercaya sebagai perwujudan makrokosmos di bumi dan tempat hunian penguasa jagad sehingga masuk akal jika di sekitar badan gunung berapi banyak
Geographically, Yogyakarta is an isolated area in the south of Java, surrounded by mountains and directly facing the Indian Ocean with its enormous waves. Yet, Yogyakarta is not a region that is unknown to the world. The Merapi Volcano, to the north of the city, has been there for centuries and seen as the manifestation of the macrocosm on the Earth and the dwelling of the ruler Pengantar / Introduction
7
8
berserak bekas bangunan-bangunan pemujaan. 2 tempat pemujaan terbesar di sekitar Yogyakarta yang berasal dari jaman dan kebudayaan yang berbeda, terletak di jalan besar sekitar 45 km ke barat utara Yogyakarta yaitu candi Borobudur (Budha) dan 30 km ke timur Yogyakarta adalah candi Prambanan (Hindu). Kebudayaankebudayaan besar yang pernah ada di sekitar ini, betapa hiruk-pikuknya. Beberapa abad kemudian baru muncul Kerajaan Mataram Islam. Cikal bakal Kasultanan Yogyakarta ini diawali dengan kisah seorang pemuda petani yang salah minum buah kelapa bertuah milik pemuda lainnya. Pemuda petani yang beruntung ini bernama Ki Ageng Pemanahan. Gabungan antara gunung berapi yang sangat aktif, pemuda biasa yang mendapat wahyu, dan laut yang ganas, dengan segera menjadi formula unggul untuk menciptakan kisah-kisah baru, mistik, dan mitos. Kisah penghuni gunung, laut, dan pahlawan dituturkan oleh kakek ke cucu, oleh rombongan satu ke rombongan yang lain, dari jaman ke jaman, dan tetap disukai sampai sekarang. Berkumpul adalah nafas kota ini, sambil makan atau minum teh di lesehan dan angkringan sampai pagi. Penduduk setempat bersama mahasiswa pendatang berkumpul sambil membicarakan dari gosip-gosip politik, polah selebritis ibu kota, video porno pelajar/ mahasiswa hingga anggota DPR yang beredar lewat telepon genggam, cerita tentang demit, obrolan tentang perkuliahan, dll. Sekarang warung-warung sederhana, yang tersebar di seluruh kota hingga ke pinggiran ini menjadi salah satu atraksi wisata andalan kota Jogja. Wisatawan domestik dan manca negara, datang ke kota ini salah satunya untuk mencicipi nasi kucing, kopi susu jahe, tempe bakar, dan sate usus, di angkringan. Penduduk kota ini, baik asli maupun pendatang akhirnya menjadi agen wisata dibidangnya masing-masing. Dalam ruang hidup yang dinamis itu Biennale Jogja yang sudah berlangsung konsisten secara berkala tiap dua tahun sejak 1988, kemudian juga bisa dimaknai sebagai ruang eksperimentasi pembangungan format even ini di masa yang akan datang di Yogyakarta. Festival Equator secara artistik, gagasannya diarahkan oleh Joned Suryatmoko. Festival ini adalah pendukung dan pendamping pameran utama. Estetika festival yang diambil adalah, selain bersifat perayaan atas keberagaman, juga bersifat praktik penyebaran dan dialog nilai-nilai pengetahuan sehari-hari. Joned dalam festival selain mendisain peristiwa baru juga mereproduksi kesenian-kesenian lama / peristiwa yang pernah ada untuk menunjukkan kenyataan adanya perbedaan dalam masyarakat di Yogyakarta dan membincangkannya, Pengantar / Introduction
of the universe. It is thus understandable how we can find many ancient temples around the volcano. The two biggest temples are situated around Yogyakarta, each coming from a different era and set of traditions. Near the main road 45 km to the northwest of Yogyakarta is the Borobudur Temple (Buddhist), while the Prambanan Temple (Hindu) lies 25 km to the east of Yogyakarta. Important and grand cultures existed here—how lively it must have been! Several centuries later, the Islamic kingdom of Mataram came to being. This precursor of the current Sultanate of Yogyakarta began from the story of a young farmer who mistakenly drank auspicious coconut water owned by another young man. The lucky farmer’s name was Ki Ageng Pemanahan. The combination between a very active volcano, a commoner receiving a manna, and the wild ocean immediately becomes a potent formula for the creation of new narratives, mysticism and myths. Stories of the dwellers of the mountains and the sea, as well as of heroes, were conveyed from grandfathers to grandchildren, from one group to another, from one era to the next, and they remain well-liked up to this day. Telling stories in gatherings is what makes the city ticks. People gather, eating something or drinking tea at the food stalls until the wee morning hours. Locals sit with the students and talk about political gossips, the doings of celebrities in the capital city, intimate video recordings of students or members of parliament that spread from one smartphone to the next, ghost stories, discussions related to school lessons, etc. Nowadays the humble food stalls around the city have also become a popular tourist attraction in Yogyakarta. Domestic and international travelers come to the city to try the “nasi kucing” (literally: “cat’s rice” or cat’s fare, a small banana-leaf package consisting of rice and side dishes), ginger coffee with milk, grilled tempeh, and grilled chicken intestines. The city residents, whether originally coming from Yogyakarta or otherwise, eventually become a “travel agent” in their respective area of expertise. It is in this dynamic living space that Biennale Jogja, which has been taking place consistently since 1988, can be seen as a space for experiments for possible future formats of the event in Yogyakarta. The artistic concept for Festival Equator was developed by Joned Suryatmoko. The festival supports and accompanies the main exhibition. Joned Suryatmoko’s festival aesthetics is not merely about the celebration of diversity, as well as the dissemination practices and dialog of the common values. Joned for the festival, designed new events and also reproduced the traditional rites or
bagaimana perbedaan itu telah hidup dan disikapi sebagai kenyataan sehari-hari.
performances to show the reality of the differences in the communities in Yogyakarta than discussed it, how different it was to live and be addressed as a daily reality.
25 Desember 2011, jam 07.00 pagi, di titik 0 kilometer kota Yogyakarta, tepatnya di perempatan kantor pos December 25, 2011, at 07:00 am, at the point 0 kilometer pusat, 500 orang berkumpul menari bersama. Tari massal city of Yogyakarta, precisely at the intersection of the KOTA CINTA: Bollywood Km 0, 500 orang datang dari 5 central post office, 500 people gathered to dance penjuru DIY, Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, together. THE CITY OF LOVE mass dance: Bollywood dan kota Jogja, menari dan bersenggolan penuh suka Km 0, the people came from the 5 corners of Yogyakarta cita, membawakan koreografi karya Alicia Kasih. 8 penari Province: Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, utama yang secara khusus dilatih oleh Alicia bertugas and the city of Yogyakarta, dancing and joy nudged each mendistribusikan gerakan tari ke sanggar-sanggar other, bringing the work of Alicia Kasih choreography. senam. Selain itu, koreografi Kota Cinta yang inspirasinya Eight principal dancers who are specially trained by Alicia diambil dari film Bollywood, juga disebarluaskan kepada had duty to distribute the choreography to gym studios. masyarakat selama 1 bulan pada setiap hari minggu di In addition, the City of Love choreographic inspiration perempatan itu. Selanjutnya secara unik koreografi itu taken from Bollywood, was also distributed to the public beredar meluas melalui telpon selular para penari dan every single Sunday for one month at the intersection. para pesenam ke teman-teman dan keluarga mereka. Furthermore the choreography extended uniquely through Rekaman koreografi bergulir ke satu telepon ke telepon the cell phones of the dancers and gymnasts to their yang lain, begitu seterusnya, sampai pada hari Natal friends and their families. Choreography tape rolled into itulah untuk pertamakalinya, ke 500 orang itu bertemu one phone to another, and so on, until on Christmas day dan langsung menari. Berkumpul! Adalah sesuatu yang was for the first time, to 500 people met and instantly selalu hidup di daerah ini. Pada kesempatan lain, tidak dancing. Get together! Is something that always lives in ada hingar bingar. Gagasan atas praktik penyebaran this area. On other occasions, not splashy. The idea of nilai-nilai keberagaman menyasar pada komunitas the practice of distributing the values of diversity targeted sekolah dan kampus. Guru-guru berkumpul membincang on the school community and campus. The teachers persoalan keberagaman yang sedang mendapatkan gathered and discussed diversity issues that have being tantangannya dewasa ini, dengan beberapa kejadian threatened these days, with some instances of violence kekerasan yang in the name of religion. mengatasnamakan Other times, we are invited agama. Kali lain, kita diajak to discuss religious issues membicarakan persoalan with commercial sex keagamaan dengan para workers in Sarkem, the pekerja seks komersial di most legendary prostitution Sarkem, lokalisasi paling in the heart of Yogya. legendaris di pusat kota Religious practice has Yogya. Praktek keagamaan long been neglected and sudah lama abai dan tidak not friendly in this area. ramah pada sudut-sudut Festival Equator not only dan lorong-lorong seperti invites us to see ourselves ini. Festival Equator tidak and our own expression, hanya mengajak kita but also in a different way, melihat diri dan ekspresi even though extreme. kita sendiri, namun juga dengan cara yang berbeda, Meanwhile, Parallel Events Para pemenang program Parallel Events BJ XI, bersama Bp. Wisnaldi, Pemimpin bahkan ekstrim sekalipun. is the competition for the Kantor Cabang Utama UGM, PT BNI (persero) Tbk, Bp. PM Laksono, salah satu creation of art activities juri, dan Aisyah Hilal, Koordinator Program Parallel Events BJ XI. Pemenang mendapatkan hadiah uang senilai Rp. 10.000.000,- dari BNI / The winners of BJ Parallel Events adalah that have the objective to XI Parallel Events, with Mr. Wisnaldi, Head of PT BNI (persero) Tbk, Main Branch kompetisi penciptaan encourage the following Office UGM, Mr. PM Laksono, one of the judges, and Aisyah Hilal, Parallel Events peristiwa seni yang potentials to arise: (1) Programme Coordinator. The Winners got Rp. 10.000.000,- each from BNI bertujuan mendorong the growth of quality art potensi: (1) tumbuhnya infrastructure, consisting elemen infrastruktur seni rupa Indonesia yang of competent artists, organizers, curators, writers and art Pengantar / Introduction
9
critics; (2) the interlinkage between art and a variety of thinkers and practitioners of different scientific disciplines in observing specific issues. Parallel Events are the initiative of the Board of Biennale Yogyakarta Foundation, to serve as a space for collaborative experiments whether it is on the philosophical or production level. As the most influential art activity in Indonesia, Biennale Jogja continuously tries to re-assert the claim by presenting the latest forms, development and changes in the network of links within the art world and the social realms of the Indonesian society in the context of a global cultural exchange. The competition to design art events through the Parallel Events Program is open to individuals and groups throughout Indonesia, but the activities would be held in Yogyakarta. Biennale Yogyakarta Foundation appointed Aisyah Hilal to coordinate the program. Started with publication efforts about the program and followed with two workshops, the program managed to bring together 29 groups. The ten best designs are represented in this catalogue.
berkualitas, yakni: seniman-seniman, organisatororganisator, kurator-kurator, dan penulis-penulis, serta kritikus-kritikus seni rupa yang kompeten; (2) terjalinnya potensi kesalingterhubungan seni rupa dengan beragam elemen pemikir dan praktisi keilmuan tertentu dalam memandang isu spesifik. Parallel Events diprakarsai oleh Dewan Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai ruang eksperimentasi kolaborasi baik ditingkat pemikiran maupun produksi. Sebagai even senirupa paling berpengaruh di Indonesia, Biennale Jogja terusmenerus berusaha menguatkan klaim tersebut dengan mempresentasikan bentuk-bentuk terkini, perkembangan dan perubahan jalinan hubungan dalam medan senirupa dan medan sosial masyarakat Indonesia dalam konteks pertukaran kebudayaan secara global. Kompetisi penciptaan peristiwa seni melalui program Parallel Events ini terbuka untuk individu maupun kelompok di seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta. Yayasan Biennale Yogyakarta menunjuk Aisyah Hilal untuk mengkoordinasi pelaksanaan program tersebut. Diawali dengan sosialiasi program, dan dilanjutkan dengan 2 kali workshop. Program ini berhasil merekrut 29 kelompok. 10 kreasi terbaik dihadirkan kembali dalam katalog yang anda baca ini.
10
Political Map ofJogja the World, April 2005 Biennale XI tahun 2011 adalah seri pertama dari rencana perjalanan Biennale Jogja mengelilingi khatuliswa sampai dengan tahun 2022. Kami menyebut seri perjalanan ini sebagai Biennale Equator. Dalam setiap pelaksanaannya Biennale Jogja akan secara intim bertemu dan berdialog dengan salah satu negara di wilayah khatulistiwa antara 23,27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Negara pertama yang dipilih Yayasan Biennale Yogyakarta untuk CCbertemu dengan A AN NA AD DA A Indonesia adalah India. India dipilih karena mempunyai kaitan sejarah politik dengan prakarsa Konferensi Asia Afrika oleh Soekarno, presiden Indonesia pertama dan N N OO RR TT H H kaitan dengan Psejarah kebudayaan agama-agama besar P AA CC II FF II CC N N II TT E ED Dyang S S TT A Adiusulkan TT E ES S OO CC EE AA N N di Indonesia. Shadow Lines,UUjudul oleh Suman Gopinath pada edisi pertama dari seri Equator ini AUSTRALIA AUSTRALIA
Independent Independent state state
Bermuda Bermuda
Dependency Dependency or or area area of of special special sovereignty sovereignty
Sicily Sicily // AZORES AZORES
Island Island // island island group group
150 150
Capital Capital
90 90
120 120
ARCTIC ARCTIC OCEAN OCEAN
Scale Scale 1:35,000,000 1:35,000,000 Robinson Robinson Projection Projection standard standard parallels parallels 38˚N 38˚N and and 38˚S 38˚S
Victoria Victoria Island Island
Great Great Bear BearLake Lake
Fairbanks Fairbanks
Great Great Slave SlaveLake Lake
Whitehorse Whitehorse
Gulf Gulf ofof Alaska Alaska
Iqaluit Iqaluit
AN TIAN EUTI AL ALEU
Lake Lake Winnipeg Winnipeg
Calgary Calgary
Minneapolis Minneapolis
Toronto Toronto
Labrador Labrador Sea Sea
Detroit Detroit
Salt SaltLake LakeCity City
Columbus Columbus
Bilbao Bilbao
Washington, Washington,D.C. D.C.
Los LosAngeles Angeles
Dallas Dallas
(U.K.) (U.K.)
New New Orleans Orleans
Houston Houston
Matamoros Matamoros
MEXICO MEXICO
Honolulu Honolulu
León León
HAWAIIAN HAWAIIAN ISLANDS ISLANDS
Mérida Mérida
Guadalajara Guadalajara
Mexico Mexico
(U.S.) (U.S.)
ISLAS ISLAS REVILLAGIGEDO REVILLAGIGEDO (MEXICO) (MEXICO)
Johnston JohnstonAtoll Atoll
Cancún Cancún
Veracruz Veracruz
Puebla Puebla Oaxaca Oaxaca
Acapulco Acapulco
(U.K.) (U.K.)
BELIZE BELIZE Belmopan Belmopan
COSTA COSTA RICA RICA
(FRANCE) (FRANCE)
Kingman KingmanReef Reef(U.S.) (U.S.)
(U.S.) (U.S.)
Nouakchott Nouakchott
ST. ST.KITTS KITTSAND ANDNEVIS NEVIS
Aruba Aruba
(NETH.) (NETH.)
Martinique Martinique(FR.) (FR.) ST.LUCIA LUCIA ST. ST.VINCENT VINCENTAND AND ST. THE THEGRENADINES GRENADINES BARBADOS BARBADOS Neth. Neth.Antilles Antilles (NETH.) (NETH.) GRENADA GRENADA
Panama Panama PANAMA PANAMA
VENEZUELA VENEZUELA
Medellín Medellín
Bogotá Bogotá
COLOMBIA COLOMBIA
(U.S.) (U.S.)
(ECUADOR) (ECUADOR)
Georgetown Georgetown Paramaribo Paramaribo GUYANA GUYANA French French Guiana Guiana (FRANCE) Cayenne(FRANCE) SURINAME SURINAMECayenne
(BRAZIL) (BRAZIL)
ECUADOR ECUADOR Guayaquil Guayaquil
Belém Belém
Manaus Manaus
Iquitos Iquitos
São SãoLuís Luís
ÎLES ÎLESMARQUISES MARQUISES (Fr. (Fr.Poly.) Poly.)
Trujillo Trujillo
(N.Z.) (N.Z.)
SOCIETY SOCIETY ISLANDS ISLANDS (Fr. (Fr.Poly.) Poly.)
30 30
SAO SAOTOME TOMEAND ANDPRINCIPE PRINCIPE
Equator Equator
SãoTome Tome São
Annobon Annobon
Libreville REP. Libreville REP. OF OF THE GABON GABON THE CONGO CONGO Brazzaville Brazzaville
Ascension Ascension
(BRAZIL) (BRAZIL)
Aden Aden DJIBOUTI DJIBOUTI
Santiago Santiago
Rosario Rosario
BuenosAires Aires Buenos
I
LAKSHADWEEP LAKSHADWEEP (INDIA) (INDIA)
Lacca Lacc Sea Se
M Ma
Mogadishu Mogadishu
Nairobi Lake Lake Nairobi Victoria Victoria Bujumbura Bujumbura
Victoria Victoria
Mombasa Mombasa
BURUNDI BURUNDI Dodoma Dodoma
TANZANIA TANZANIA
Windhoek Windhoek
Diego Diego Garcia Garcia
SEYCHELLES SEYCHELLES Moroni Moroni
Glorioso GloriosoIslands Islands
COMOROS COMOROS
(FRANCE) (FRANCE)
Mayotte Mayotte
Lilongwe Lilongwe
TromelinIsland Island Tromelin Juan Juande deNova Nova (FR.) Island Island(FR.)
Mozambique Mozambique Channel Channel
Beira Beira
Bassas Bassas da daIndia India (FRANCE) (FRANCE)
BOTSWANA BOTSWANA
II
(administered (administeredby byFRANCE, FRANCE, claimed claimedby byCOMOROS) COMOROS)
MALAWI MALAWI
MOZAMBIQUE MOZAMBIQUE
Europa EuropaIsland Island
British BritishIndian Indian Ocean OceanTerritory Territory (U.K.) (U.K.)
Dar Dares esSalaam Salaam
Lake Lake Nyasa Nyasa
NAMIBIA NAMIBIA Walvis WalvisBay Bay
Pune Pune
Kigali RWANDA RWANDA Kigali
Lake Lake Tanganyika Tanganyika
ZIMBABWE ZIMBABWE
OO CC EE AA N N
Arabian Arabian Sea Sea
Socotra Socotra
(YEMEN) (YEMEN)
Berbera Berbera
UGANDA UGANDA KENYA KENYA
Harare Harare
(FRANCE) (FRANCE)
Antananarivo Antananarivo
MADAGASCAR MADAGASCAR
SaintSaintDenis Denis Reunion Reunion
Port Port Louis Louis MAURITIUS MAURITIUS
OO
(FRANCE) (FRANCE)
(FRANCE) (FRANCE)
Gaborone Gaborone Pretoria Maputo Pretoria Maputo
St. St. Helena Helena
Johannesburg Johannesburg
Mbabane Mbabane
SWAZILAND LESOTHO LESOTHO SWAZILAND Maseru Maseru
SOUTH SOUTH AFRICA AFRICA
Durban Durban
URUGUAY URUGUAY
LaPlata Plata La
ARGENTINA ARGENTINA
-- Ahmadaba Ahmadab
SOMALIA SOMALIA
Lusaka Lusaka
Córdoba Córdoba Mendoza Mendoza
Gulf GulfofofAden Aden
Djibouti Djibouti
Kampala Kampala
ZAMBIA ZAMBIA
(U.K.) (U.K.)
ARCHIPIÉLAGO ARCHIPIÉLAGO JUANFERNÁNDEZ FERNÁNDEZ JUAN (CHILE) (CHILE) Concepción Concepción
Muscat Muscat
MALDIVES MALDIVES
REPUBLIC REPUBLIC
Namibe Namibe
Pôrto Pôrto Alegre Alegre
CHILE CHILE
Jaipur Jaipur ¯¯ Karachi Karachi
Sanaa Sanaa
Asmara Asmara
Juba Juba
OF OF THE THE CONGO CONGO
Kinshasa Kinshasa
Asunción Curitiba Asunción Curitiba
SanMiguel Miguel San deTucumán Tucumán de
PAKISTAN PAKISTAN OMAN OMAN
Abu Abu Dhabi Dhabi
ETHIOPIA ETHIOPIA
Kisangani Kisangani
(St. (St.Helena) Helena)
Rio Riode deJaneiro Janeiro São SãoPaulo Paulo
Antofagasta Antofagasta IslaSan SanFelíx Felíx Isla (CHILE) (CHILE) Isla IslaSan SanAmbrosio Ambrosio (CHILE) (CHILE)
St. St.Helena Helena
New New Delhi Delhi
Shiraz Shiraz ¯¯
UNITED UNITEDARAB ARAB EMIRATES EMIRATES
YEMEN YEMEN
ERITREA ERITREA
Luanda Luanda
SS OO U U TT H H
Line Lineofof Actual Actual Control Control
Lahore Lahore Quetta Quetta
OMAN OMAN
Addis Addis Ababa Ababa
DEMOCRATIC DEMOCRATIC
AA TT LL AA N N TT II CC Martin MartinVaz Vaz
ARABIA ARABIA
Kandahar Kandahar ¯¯
Mumbai Mumbai (Bombay) (Bombay)
Khartoum Khartoum
Lubumbashi Lubumbashi
(BRAZIL) (BRAZIL)
Pengantar / Introduction
QATAR QATAR
Omdurman Omdurman
CHAD CHAD
(Cabinda) (Cabinda)
Trindade Trindade
PARAGUAY PARAGUAY Isla IslaSala SalayyGómez Gómez (CHILE) (CHILE)
N N II G G EE RR
ANGOLA ANGOLA
Belo Belo Horizonte Horizonte
Sucre Sucre
EasterIsland Island Easter (CHILE) (CHILE)
Manama Manama Doha Doha Riyadh Riyadh
1972 1972 Line LineofofControl Control
Kabul Kabul
AFGHANISTAN AFGHANISTAN Islamabad Islamabad
Port PortSudan Sudan
(EQUA. (EQUA.GUI.) GUI.)
Salvador Salvador
Tropic of of Capricorn Capricorn (23˚27') (23˚27') Tropic Pitcairn PitcairnIslands Islands (U.K.) (U.K.)
KUWAIT KUWAIT
Kuwait Kuwait
Persian Persian Gulf BAHRAIN BAHRAIN Gulf
SAUDI SAUDI
EE G G YY PP TT
Kashi Kashi Dushanbe Dushanbe TAJIKISTAN TAJIKISTAN
M M AA LL II
Natal Natal
Goiânia Goiânia
BOLIVIA BOLIVIA
PP oo ll yy nn ee ss ii aa
Adamstown Adamstown
MAURITANIA MAURITANIA
II RR AA N N
Al AlBasrah Basrah
-Aswan Aswan
ARQUIPÉLAGO ARQUIPÉLAGODE DE FERNANDO FERNANDODE DENORONHA NORONHA
Brasília Brasília
La LaPaz Paz
(FRANCE) (FRANCE)
(Fr. (Fr.Poly.) Poly.)
LL II BB YY AA
Ashgabat Ashgabat
Mashhad Mashhad
Esfahan Esfahan ¸¸ ¯¯
-Jizah Al AlJizah
AA LL G G EE RR II AA
Almaty Almaty
Bishkek Bishkek KYRGYZSTAN KYRGYZSTAN
Tashkent Tashkent
TURKMENISTAN TURKMENISTAN
Tehran Tehran
Baghdad Baghdad
JORDAN JORDAN
Cairo Cairo
Lake LakeBalkhash Balkhash
UZBEKISTAN UZBEKISTAN
Baku Baku
Mosul Mosul Kirkuk Kirkuk
Aleppo Aleppo
SYRIA SYRIA
Tel TelAviv-Yafo Aviv-Yafo ISRAEL ISRAEL Alexandria Alexandria Amman Jerusalem Jerusalem Amman
-- -Banghazi Banghazi
Barna Barna
Qaraghandy Qaraghandy (Karaganda) (Karaganda)
Aral Aral Sea Sea
Caspian Caspian Sea Sea
IRAQ Damascus Damascus IRAQ
Beirut Beirut
Novosibirs Novosibirs
Omsk Omsk
Astana Astana
KK AA ZZ AA KK H H SS TT AA N N
¯¯ Atyrau Atyrau (Atyrau) (Atyrau)
¯¯ Tabriz Tabriz
Adana Adana
LEB. LEB.
CYPRUS CYPRUS
(GR.) (GR.)
ANGOLA ANGOLA
Arequipa Arequipa
ÎLESTUBUAI TUBUAI ÎLES
Konya Konya
Crete Crete
Chelyabinsk Chelyabinsk
Ufa Ufa
Samara Samara
Yerevan Yerevan
TT UU RR KK EE YY
Nicosia Nicosia
Maceió Maceió
Cusco Cusco
Santa SantaCruz Cruz
FF rr ee nn cc hh
Athens Athens
Kazan' Kazan'
AZERBAIJAN ARMENIA ARMENIA AZERBAIJAN
Ankara Ankara
Bursa Bursa
·Izmir ·Izmir
(IT.) (IT.)
Mediterranean MediterraneanSea Sea
Tripoli Tripoli
(St. (St.Helena) Helena)
B BR RA A ZZ II LL
PERU PERU
Lago Lago Titicaca Titicaca
ARCHIPELDES DESTUAMOTU TUAMOTU ARCHIPEL (Fr. (Fr.Poly.) Poly.)
Papeete Papeete
Palermo Palermo
Fortaleza Fortaleza
Recife Recife
Lima Lima CookIslands Islands Cook
MACEDONIA MACEDONIA
GREECE GREECE
MALTA Tunis Tunis MALTA Valletta Valletta TUNISIA TUNISIA
(BRAZIL) (BRAZIL)
Teresina Teresina
KK II RR II BB AA TT II
Yekaterinburg Yekaterinburg
Tbilisi Tbilisi
SS U UD D AA N N
TRINIDAD TRINIDADAND AND TOBAGO TOBAGO
Caracas Caracas
Perm' Perm'
GEORGIA GEORGIA
·Istanbul ·Istanbul
SENEGAL SENEGAL Niamey Niamey Banjul Banjul BURKINA BURKINA Bamako Bamako FASO FASO THE THE GAMBIA GAMBIA Kano Kano Ouagadougou Ouagadougou Bissau Bissau N'Djamena N'Djamena GUINEA GUINEA GUINEA-BISSAU GUINEA-BISSAU BENIN BENIN NIGERIA NIGERIA Conakry Conakry Abuja Abuja CÔTE CÔTE TOGO TOGO Freetown Freetown Ogbomoso Ogbomoso D'IVOIRE D'IVOIRE GHANA GHANA SIERRA SIERRA Ibadan Ibadan Yamoussoukro Yamoussoukro CENTRAL CENTRAL LEONE LEONE Lagos Lagos Lomé Lomé AFRICAN AFRICAN REPUBLIC REPUBLIC Accra Monrovia Monrovia PortoPortoAbidjan Abidjan Accra CAMEROON CAMEROON LIBERIA LIBERIA Novo Novo Bangui Bangui Douala Douala Malabo Malabo Yaoundé Yaoundé EQUATORIAL EQUATORIALGUINEA GUINEA PENEDOS PENEDOSDE DE Gulf GulfofofGuinea Guinea Praia Praia
Port-of-Spain Port-of-Spain
Maracaibo Maracaibo
Quito Quito GALAPAGOS GALAPAGOS ISLANDS ISLANDS
Algiers Algiers
Dakar Dakar
SÃO SÃOPEDRO PEDROEESÃO SÃOPAULO PAULO
Equator Equator
(IT.) (IT.)
Sicily Sicily
Oran Oran
(SP.) (SP.)
Tombouctou Tombouctou
CAPE CAPEVERDE VERDE
DOMINICA DOMINICA
Cali Cali Kiritimati Kiritimati (Christmas (ChristmasIsland) Island) (KIRIBATI) (KIRIBATI) Jarvis Jarvis Island Island
Tirana Tirana
Naples Naples
Sardinia Sardinia
Rabat Rabat
Marrakech Marrakech
ANTIGUA ANTIGUAAND ANDBARBUDA BARBUDA Guadeloupe Guadeloupe(FR.) (FR.)
(U.K.) (U.K.)
Caribbean Caribbean Sea Sea Barranquilla Barranquilla
Isla Isladede Malpelo Malpelo
00
BULGARIA BULGARIA
Skopje Skopje
ALB. ALB.
Black BlackSea Sea
Sofia Sofia
Red Red Sea Sea Jiddah Jiddah Mecca Mecca
British BritishVirgin Virgin Islands Islands Anguilla Anguilla(U.K.) (U.K.)
(U.S.) (U.S.) Montserrat Montserrat
Colon Colon
Isla Isladel delCoco Coco (COSTARICA) RICA) (COSTA
Palmyra PalmyraAtoll Atoll(U.S.) (U.S.)
Rome Rome
SER.& SER.& MONT. MONT.
(U.K.) (U.K.)
DOMINICAN DOMINICAN
(U.K.) (U.K.) Port-auPort-au- REPUBLIC REPUBLIC Prince Prince Santo Puerto HAITI HAITI Santo Puerto Kingston Kingston Navassa Navassa Domingo Domingo Rico Island Island Rico
Cartagena San SanJosé José Cartagena
Clipperton ClippertonIsland Island
Nizhniy Nizhniy Novgorod Novgorod
Yaroslavl' Yaroslavl'
Western Western Sahara Sahara
JAMAICA JAMAICA
GUATEMALA GUATEMALA HONDURAS HONDURAS Tegucigalpa Tegucigalpa Guatemala Guatemala San SanSalvador Salvador NICARAGUA NICARAGUA EL EL SALVADOR SALVADOR Managua Managua
(U.S.) (U.S.)
St.Petersburg Petersburg St.
Turks Turksand and Caicos CaicosIslands Islands
CUBA CUBA Cayman CaymanIs. Is.
VATICAN VATICAN CITY CITY
Laayoune Laayoune (El (ElAaiún) Aaiún)
THE THE BAHAMAS BAHAMAS Nassau Nassau
Miami Miami
BALEARIC BALEARIC ISLANDS ISLANDS (SP.) (SP.)
(U.K.) Gibraltar Gibraltar(U.K.)
Melilla Melilla
Casablanca Casablanca
CANARY CANARYISLANDS ISLANDS (SP.) (SP.)
Havana Havana
Barcelona Barcelona Valencia Valencia
BOS. BOS.&&HER. HER.
Sarajevo ITALY ITALY Sarajevo
MOROCCO MOROCCO
Jacksonville Jacksonville
Gulf Gulf of of Mexico Mexico
Mazatlán Mazatlán
(FR.) (FR.)
Sevilla Sevilla
SanAntonio Antonio San
Monterrey Monterrey
Tropicof ofCancer Cancer(23˚27') (23˚27') Tropic
Corsica Corsica
ANDORRA ANDORRA
SPAIN SPAIN
(SP.) Ceuta Ceuta(SP.)
MADEIRA MADEIRA ISLANDS ISLANDS (PORT.) (PORT.)
Bermuda Bermuda
Paso ElElPaso
Ciudad CiudadJuárez Juárez
30 30
AZORES AZORES (PORT.) (PORT.)
Atlanta Atlanta
Phoenix Phoenix
SanDiego Diego San Tijuana Tijuana Mexicali Mexicali
Turin TurinMARINO MARINO
MONACO MONACO
Marseille Marseille
Madrid Madrid
PORTUGAL PORTUGAL Lisbon Lisbon
Baltimore Baltimore
San SanFrancisco Francisco
Bordeaux Bordeaux
(FRANCE) (FRANCE)
New NewYork York Philadelphia Philadelphia
Cleveland Cleveland
Indianapolis Indianapolis St.Louis Louis St.
Denver Denver
St. St.Pierre Pierre and andMiquelon Miquelon
Halifax Halifax
Boston Boston
LakeErie Erie Lake
Chicago Chicago
R R
Helsinki Helsinki
Tallinn Tallinn EST. EST. Baltic Baltic Riga Riga LAT. LAT. Sea Sea LITH. LITH.
North North DENMARK DENMARK Sea Sea Copenhagen Copenhagen
Glasgow Glasgow Moscow Moscow RUSSIA RUSSIA Vilnius Vilnius Belfast Belfast Minsk Minsk Manchester Isle Isleofof Manchester Dublin Man Dublin (U.K.) Man(U.K.) POLAND POLAND Hamburg Amsterdam Amsterdam Hamburg BELARUS BELARUS IRELAND IRELAND KINGDOM Warsaw Warsaw KINGDOM NETH. Voronezh Voronezh NETH. Saratov Saratov Berlin Cologne Cologne Berlin ´´ ´´ Lodz Lodz London London Kiev Kiev GERMANY GERMANY Brussels Brussels Kraków L'viv Prague Prague Kraków L'viv Celtic Celtic Guernsey Lille Lille Luxembourg CZECH (U.K.) (U.K.) UU KK RR AA II NN EE Kharkiv BELGIUM BELGIUM Luxembourg Kharkiv CZECHREP. REP. Sea Sea Guernsey Jersey Jersey(U.K.) (U.K.) SLOVAKIA SLOVAKIA LUX. LUX. Munich Munich Paris Paris Bratislava Volgograd Volgograd Vienna Vienna Bratislava MOLDOVA MOLDOVA LIECH. LIECH. Donets'k Donets'k SWITZ. AUSTRIA AUSTRIA Budapest Budapest Chisinau Chisinau FRANCE FRANCE SWITZ. Rostov Rostov HUNGARY Bern Bern Ljubljana Ljubljana HUNGARY ROMANIA ROMANIA Odesa Odesa SLOVENIA SLOVENIA Sea Seaofof Bay Bayofof CROATIA CROATIA Belgrade Lyon Lyon Milan Milan Zagreb Belgrade Bucharest Azov Azov Zagreb Bucharest Biscay Biscay SAN SAN
Island Islandofof Newfoundland Newfoundland
Montréal Montréal
LakeOntario Ontario Lake
Oslo Oslo
Stockholm Stockholm
UNITED UNITED
FINLAND FINLAND
Gulf Gulf ofof Bothnia Bothnia
(DEN.) (DEN.)
Tórshavn Tórshavn
Arkhangel'sk Arkhangel'sk
“Shadow Lines”, the title that Suman Gopinath proposed for the first edition in the Equator series, hints at the line that brings people together and simultaneously separates them. ItH also refers to the geopolitical lines and the N N OO RR TT H AA TT LL AA N N TT II CC of modern countries in South Asia. By choosing creation C EE AA N N theOOCtheme of “religiosity, spirituality and belief”, Biennale
Québec Québec
Lake Lake Huron Huron Ottawa Ottawa
Lake Lake Michigan Michigan
Milwaukee Milwaukee
White WhiteSea Sea
SWEDEN SWEDEN
Faroe Faroe Islands Islands
Reykjavík Reykjavík
Noril'sk Noril'sk
Murmansk Murmansk
NORWAY NORWAY
ICELAND ICELAND
Denmark Denmark Strait Strait
Nuuk Nuuk(Godthåb) (Godthåb)
Bergen Bergen
Gulf Gulfofof St.St.Lawrence Lawrence
Lake Lake Superior Superior
Seattle Seattle
Portland Portland
Kara KaraSea Sea
NOVAYA NOVAYA ZEMLYA ZEMLYA
(NORWAY) (NORWAY)
BarentsSea Sea Barents
(U.K.) (U.K.)
Winnipeg Winnipeg
Vancouver Vancouver
Svalbard Svalbard
Norwegian Norwegian Sea Sea
Rockall Rockall
HappyValleyValleyHappy GooseBay Bay Goose
Edmonton Edmonton
DS ANDS ISL ISLAN
Davis Davis Strait Strait
120 120
SEVERNAYA SEVERNAYA ZEMLYA ZEMLYA
(DENMARK) (DENMARK)
(NORWAY) (NORWAY)
(Frobisher (FrobisherBay) Bay)
Hudson Hudson Bay Bay
Churchill Churchill
Juneau Juneau
Longyearbyen Longyearbyen
Greenland Greenland
Jan JanMayen Mayen
Baffin Baffin Island Island
Yellowknife Yellowknife
Anchorage Anchorage
60 60
Qaanaaq Qaanaaq (Thule) (Thule)
Baffin Baffin Bay Bay
90 90
60 60
FRANZ FRANZJOSEF JOSEF LAND LAND
Greenland Greenland Sea Sea
ISLANDS ISLANDS
(Resolute) (Resolute)
ArcticCircle Circle(66˚33') (66˚33') Arctic
U. U. S. S.
Nome Nome
30 30
00
ARCTIC ARCTIC OCEAN OCEAN
Kaujuitoq Kaujuitoq
Barrow Barrow
30 30
60 60
Ellesmere Ellesmere Island Island
QUEEN QUEEN ELIZABETH ELIZABETH
Banks Banks Island Island
Beaufort Beaufort Sea Sea
Biennale Jogja XI 2011 is the first in the “travel series” of Biennale Jogja to tour the equator until 2022. We call this series “Biennale Equator”. During the series, Biennale Jogja will have an intimate encounter and dialogue with one of the countries around the equator, between 23,37° north and south latitudes. The first country that Biennale Yogyakarta Foundation chose to meet is India, as India has a strong link of political history with the Asia Africa Conference, a significant conference initiated by Soekarno, Indonesia’s first president. India also has historical links with the cultural history of the major religions in Indonesia.
Cape Cape Town Town
Montevideo Montevideo
PortElizabeth Elizabeth Port
Î
(Fr.S (Fr. Bahía BahíaBlanca Blanca
SS OO U U TT H H PP AA CC II FF II CC
PuertoMontt Montt Puerto
(St.Helena) Helena) TRISTAN TRISTANDA DACUNHA CUNHA(St.
Île ÎleSa Sa
(Fr.S. S.and an (Fr.
Gough GoughIsland Island (St. (St.Helena) Helena)
French French Southern Southern and and Antarctic Antarctic Land Land (FRANCE) (FRANCE)
Jogja tries to represent menyaran pada garis the different ways yang membawa orangtaken by artists from orang saling berkumpul the two countries to dan saling terpisahkan; interpret their current juga merujuk pada conditions, reflected batas geo-politis dan through their personal penciptaan negara experiences and also in modern di Asia Selatan. the political structures Dengan menjangkau in their country of tema “religiusitas, residence. spiritualitas, dan kepercayaan”, Biennale Biennale Jogja XI Jogja berupaya untuk programs, brought mempresentasikan together under Parallel cara-cara di mana Events and Festival seniman dari dua Equator, are efforts to negara mengalamatkan © Amar Kanwar, still from “A Season Outside”, 1997. Courtesy of the artist and Marian open our world of art dan menafsirkan Goodman Gallery, New York for people from other kondisi terkini mereka, disciplines to use and dipantulkan dari pengalaman personal mereka, dan juga interpret. The post-event catalogue is the effort to bring oleh struktur politik di negara di mana mereka hidup. together the two programs to complement the Main Exhibition catalogue published at the opening of Biennale Program-program Biennale Jogja XI yang terangkum Jogja XI, which took place from December 25, 2011, until dalam Parallel Events dan Festival Equator adalah usaha membuka diri seni rupa untuk bisa digunakan dan January 8, 2012. dimaknai secara bebas oleh bidang-bidang kerja atau ilmu lain. Katalog pasca acara ini merupakan rangkuman Enjoy the diversity of the Equator and I hope we meet again in Biennale Jogja XII 2013. dari kedua program tersebut untuk melengkapi katalog Pameran Utama yang terbit mengiringi acara Pembukaan Yustina Neni Biennale Jogja XI. Biennale Jogja XI Director / Executive Director Yogyakarta Biennale Foundation Biennale Jogja XI berlangsung pada 25 Desember 2011 R R U U S S S S II A Asampai dengan 8 Januari 2012. 150 150
180 180
ARCTIC ARCTIC OCEAN OCEAN
NEW NEWSIBERIAN SIBERIANISLANDS ISLANDS
Laptev LaptevSea Sea
Wrangel Wrangel Island Island
East EastSiberian SiberianSea Sea
Tiksi Tiksi
Chukchi Chukchi
Sea Sea
Cherskiy Cherskiy
Arctic Circle Circle (66˚33') (66˚33') Arctic
Anadyr' Anadyr'
Yakutsk Yakutsk
Magadan Magadan
60 60
Bering Bering Sea Sea
Selamat merayakan keragaman Equator dan sampai jumpa pada even Biennale Jogja XII tahun 2013 yang akan datang.
Krasnoyarsk Krasnoyarsk
sk sk
Lake Lake Baikal Baikal
aul aul
Sea Seaofof Okhotsk Okhotsk
ALEUTIAN ALEUTIANISLANDS ISLANDS
Petropavlovsk-Kamchatskiy Petropavlovsk-Kamchatskiy
Irkutsk Irkutsk
(U.S.) (U.S.)
Sakhalin Sakhalin
Khabarovsk Khabarovsk
Ulaanbaatar Ulaanbaatar
M MO O NN G GO O LL II AA
Harbin Harbin
Changchun Changchun
Ürümqi Ürümqi
KURIL KURIL ISLANDS ISLANDS
Vladivostok Vladivostok
Occupiedby bythe theSOVIET SOVIETUNION UNIONin in1945, 1945, Occupied administered by byRUSSIA, RUSSIA,claimed claimedby byJAPAN JAPAN administered
Sapporo Sapporo
Shenyang Shenyang
Baotou Baotou
Taiyuan Taiyuan
Jinan Jinan
Qingdao Qingdao
Zhengzhou Zhengzhou
Yellow Yellow Sea Sea
Tokyo Tokyo
Nagoya Nagoya -Osaka Osaka
Pusan Pusan
Yokohama Yokohama
Fukuoka Fukuoka
Chiang Chiang Mai Mai
Rangoon Rangoon
Chennai Chennai (Madras) (Madras)
Andaman Andaman Sea Sea
cadive adive ea a
Colombo Colombo
Male ale
SRI SRI LANKA LANKA
--
Y Y U U II S (( JJ A A N D S A PP AN S LL A N D S AN ) )
--
(JAPAN) (JAPAN)
Wake WakeIsland Island
South SouthChina China Sea Sea
Saipan Saipan
Guam Guam
PHILIPPINES PHILIPPINES
(U.S.) (U.S.)
Cebu Cebu
Hagåtña Hagåtña
MARSHALL MARSHALL ISLANDS ISLANDS
FEDERATED FEDERATED STATES STATES OF OF MICRONESIA MICRONESIA
SPRATLY SPRATLY ISLANDS ISLANDS
Koror Koror
Davao Davao
NICOBAR NICOBAR ISLANDS ISLANDS (INDIA) (INDIA)
Bandar BandarSeri Seri Begawan Begawan
Medan Medan
(U.S.) (U.S.)
(U.S.) (U.S.)
Manila Manila
Ho HoChi ChiMinh MinhCity City
Tropic of of Cancer Cancer (23˚27') (23˚27') Tropic
Northern Northern Mariana Mariana Islands Islands
Sea Sea PARACEL PARACEL ISLANDS ISLANDS
CAMBODIA CAMBODIA
Phnom PhnomPenh Penh Gulf Gulfofof Thailand Thailand
Marcus MarcusIsland Island
Philippine Philippine
Hainan Hainan Dao Dao
VIETNAM VIETNAM
Bangkok Bangkok ANDAMAN ANDAMAN ISLANDS ISLANDS (INDIA) (INDIA)
(U.S.) (U.S.)
KK UU YY
Taiwan Taiwan HongKong Kong Hong S.A.R. Luzon LuzonStrait Strait Macau Macau S.A.R. S.A.R. S.A.R.
Hue Hue
THAILAND THAILAND
Bengal Bengal
Bangalore Bangalore
Vientiane Vientiane
Gulf Gulfofof Tonkin Tonkin
Midway Midway Islands Islands
O O
Bay Bayof of
RR
Guangzhou Guangzhou Nanning Nanning
Hanoi Hanoi
BURMA BURMA
LAOS LAOS
-- -Hyderabad Hyderabad
Okinawa Okinawa
Taipei Taipei
Kunming Kunming
30 30
(J
ee
EastChina China East Sea Sea
Nanchang Nanchang
T OT HO - SS H O - ) PO ) AN P M AN M (JAP AP
Dhaka Kolkata Kolkata Dhaka (Calcutta) (Calcutta)
-Nagpur Nagpur
II N ND D II A A
Hangzhou Hangzhou
Changsha Changsha
Guiyang Guiyang
BANGLADESH BANGLADESH
-bad ad
Shanghai Shanghai
Wuhan Wuhan
Chongqing Chongqing
Thimphu Thimphu
A N NA
Nanjing Nanjing
Chengdu Chengdu
Lhasa Lhasa BHUTAN BHUTAN
NEPAL NEPAL Lucknow Lucknow Kathmandu Kathmandu -Kanpur Kanpur
PP AA CC II FF II CC
JAPAN JAPAN
Seoul Seoul SOUTH SOUTH KOREA KOREA
Xi'an Xi'an
l
N N OO RR TT H H
Yustina Neni OO CC EE AA N N C CH H II N NA A Direktur Biennale Jogja XI / Direktur Eksekutif Yayasan Biennale Yogyakarta Tianjin Tianjin
Lanzhou Lanzhou
Indian Indian claim claim
Seaofof NORTH NORTH KOREA KOREA Sea Japan Japan Pyongyang Pyongyang
Beijing Beijing
BRUNEI BRUNEI Kuala Kuala Lumpur Lumpur M M AA LL AA YY SS II AA Singapore Singapore SINGAPORE SINGAPORE
PALAU PALAU Celebes CelebesSea Sea
N N Jakarta Jakarta
Bandung Bandung
D D
O O N N Makassar Makassar
Java JavaSea Sea
EE
II
A A
Banda BandaSea Sea
Semarang Semarang Surabaya Surabaya
Arafura Arafura Sea Sea
EAST EAST TIMOR TIMOR
Darwin Darwin Gulf Gulfofof Carpentaria Carpentaria
(AUSTL.) (AUSTL.)
Tokelau Tokelau (N.Z.) (N.Z.)
SAMOA SAMOA Apia Apia Mata-Utu Mata-Utu Pago PagoPago Pago
Wallis Wallisand and Futuna Futuna (FRANCE) (FRANCE)
VANUATU VANUATU Coral CoralSea Sea Islands Islands
RReeee ff
Port-Vila Port-Vila
(AUSTL.) (AUSTL.)
FIJI FIJI
American American Samoa Samoa
Suva Suva
Niue Niue (N.Z.) (N.Z.)
(U.S.) (U.S.)
New New Caledonia Caledonia (FRANCE) (FRANCE)
Nuku'alofa Nuku'alofa
TONGA TONGA
Noumea Noumea
Tropic of of Capricorn Capricorn (23˚27') (23˚27') Tropic AliceSprings Springs Alice
A A U U SS TT R R A A LL II A A
Norfolk Norfolk Island Island
Brisbane Brisbane
(AUSTL.) (AUSTL.)
Perth Perth
(AUSTL.) (AUSTL.)
Adelaide Adelaide
Great GreatAustralian Australian Bight Bight
Canberra Canberra
Sydney Sydney Auckland Auckland
Melbourne Melbourne
Tasman Tasman Sea Sea Tasmania Tasmania Hobart Hobart
SSOOUUTTHH PPAACCIIFFIICC OOCCEEAANN
LordHowe Howe Lord Island Island
nd Ant.Lands) Lands) d Ant.
ds ds
Funafuti Funafuti
Coral Coral Sea Sea
Cairns Cairns
KK II RR II BB AA TT II
TUVALU TUVALU
Honiara Honiara
ier Barr Barrier
S.and andAnt. Ant.Lands) Lands) S.
aint-Paul aint-Paul
SOLOMON SOLOMON ISLANDS ISLANDS
Port Port Moresby Moresby
Timor Timor Sea Sea Ashmore Ashmoreand and CartierIslands Islands Cartier
OO CC EE AA N N
Île ÎleAmsterdam Amsterdam
PAPUA PAPUA NEW NEW GUINEA GUINEA
Dili Dili
(AUSTL.) (AUSTL.)
(AUSTL.) (AUSTL.)
SS
t eat Grea Gr
N N DD II AA N N
(U.S.) Howland HowlandIsland Island(U.S.) (U.S.) Baker BakerIsland Island(U.S.) 00
NAURU Yaren Yaren NAURU District District
Christmas ChristmasIsland Island Cocos Cocos (Keeling)Islands Islands (Keeling)
Tarawa Tarawa
Equator Equator
Pontianak Pontianak Palembang Palembang
II
Majuro Majuro
Palikir Palikir
NEW NEW ZEALAND ZEALAND Wellington Wellington Christchurch Christchurch
KERMADEC KERMADEC ISLANDS ISLANDS (N.Z.) (N.Z.)
30 30
Pengantar / Introduction
11
12
Kota itu milik siapa? Kita mengisinya kita memilikinya Whose the city belongs to? We fill it we have it. Program Biennale Jogja XI tidak melulu memamerkan produk seniman berupa karya seni dua atau tiga dimensional, tetapi juga berupa aktivitas yang melibatkan masyarakat. Presentasi karya seni yang berupa aktivitas, berlokasi di luar ruang utama pameran BJ XI, dan tersebar di berbagai lokasi di Yogyakarta. Penonton bisa menikmati petikan aktivitas-aktivitas itu di Taman Budaya Yogyakarta. Presentasi ini meliputi petikan peristiwa yang diinisiasi oleh peserta program Parallel Events, petikan peristiwa Festival Equator, pameran arsip oleh Indonesian Visual Art Archive, pameran kerja kolaborasi sukarelawan BJ XI dengan Persatuan Pelajar Indonesia di India, tentang budaya popular di India. Informasi wisata alternatif berkaitan dengan tema BJ XI dan isu 10 tahun BJ ke depan yaitu Equator yang dipersembahkan oleh Fakultas Geologi UPN Yogyakarta, Bolbrutu, dan Via-via Kafe Kembara juga disajikan di Taman Budaya Yogyakarta. Penggiat mural dan grafiti juga turut ambil bagian, yaitu PLUS03, POF OBAG, HERE, SAVE, LUPS, BOTAK, MUCK feat TRASH, N-SIDE 193, TUYULOVME, VAYNTHREE feat OAK, FSK, NICK 23, OBY-MNC, dan OYS. Biennale Jogja XI did not merely showcase artists’ creations in the form of two- or three-dimensional works, but also included activities that involved the general public. Art presentations that took the form of activities were located outside the main exhibition space of Biennale Jogja XI and spread all across Yogyakarta. The public was able to enjoy bits and pieces of these activities at Yogyakarta Arts Center. These presentations included fragments of the events initiated by the participants in the Parallel Events program, fragments of the events from Festival Equator, archive exhibition by Indonesian Visual Art Archive, exhibition of collaborative works by volunteers of Biennale Jogja XI and Indonesian Students’ Association in India about the popular culture in India. Information about alternative tourist attraction related with the theme of Biennale Jogja XI and the issues that the Biennale plans to take on in the next ten years—i.e. those of the Equator—was also presented by students of Geology Faculty of Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Bolbrutu (gank of the stone hunter, and Viavia Café at the Yogyakarta Arts Center. Mural and graffiti artists also took part in this event, they were PLUS03, POF OBAG, HERE, SAVE, LUPS, BOTAK, MUCK feat TRASH, N-SIDE 193, TUYULOVME, VAYNTHREE feat OAK, FSK, NICK 23, OBY-MNC, dan OYS.
13
14
Parallel Events Statmen Juri
Statment Jury
Program Parallel Events Biennale Jogja XI 2011 menerapkan tujuh kriteria: 1) Kegiatan berbasis kolektif; 2) Adanya partisipasi seniman senirupa dalam kegiatan, jika yang membuat dari kalangan non-senirupa. Kegiatan harus dilaksanakan secara berkelompok; 3) Adanya partisipasi non-senirupa, jika yang membuat dari kalangan senirupa. Kegiatan harus dilakukan secara berkelompok; 4) Adanya keterkaitan kegiatan pada tema Biennale Jogja XI 2011, Religiositas dan Keberagaman, Isu-isu seputar Khatulistiwa, serta Isu-isu seputar hubungan Indonesia dan India; 5) Adanya tingkat kesesuaian antara proposal kegiatan dengan pelaksanaannya; 6) Adanya praktik lintas disiplin ilmu dalam konsep, perancangan, dan pelaksanaan kegiatan; 7) Aspek artistik.
The Parallel Events Program of Biennale Jogja XI 2011 considers seven criteria: (1) The activities should be collectivebased. (2) If the activity is initiated by non-artists, visual artists should be involved. The activity should be held in a collective manner. (3) If the activity is initiated by artists, non-artists must also be involved, and the activity should be held in a collective manner. (4) The activity is related to the themes of Biennale Jogja XI 2011: religiosity and diversity; issues of the equator; and issues about the relationship between Indonesia and India. (5) The execution of the activity should agree with the proposal. (6) There should be interdisciplinary practices in the concept, design and execution of the activity. (7) The artistic aspect.
Dengan menggunakan ketujuh kriteria tersebut, kesepuluh peserta Parallel Events Biennale Jogja XI 2011 memenuhi semua persyaratan tersebut. Oleh karena itu Tim Juri memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua peserta Parallel Events Biennale Jogja XI tahun 2011 ini atas semangat dan kontribusinya.
The ten participants of Biennale Jogja XI 2011 Parallel Events have met all the requirements set according to these seven criteria. We as members of the Jury wish to extend our appreciation to all participants of the Biennale Jogja XI 2011 Parallel Events for their enthusiasm and contributions.
After considering further the objectives of Biennale Jogja XI 2011, the Jury decides to award the participants with the ability Namun demikian, setelah melihat lebih jauh tujuan dari kegiatan to cross spatial (social and cultural) boundaries, and ones who Biennale Jogja XI 2011 ini, maka Tim Juri menilai lebih kepada have managed to show the greatest extent of consolidation in peserta yang memiliki kemampuan melintasi batas-batas spasial their collaboration (between artists and non-artists). (sosial dan kultural); dan berhasil menunjukkan kesenyawaan We as the members of the Jury of Biennale Jogja XI 2011 kolaborasi yang maksimal (antara seniman dan non-seniman). Parallel Events have agreed to give the awards to three Kami, Dewan Juri Parallel Events Biennale Jogja XI 2011, participants with the Best Program Designs, without ranking memutuskan memberikan penghargaan kepada tiga peserta them. They are: Ace House Collective, Kandang Jaran and tanpa ranking, sebagai peserta dengan Perancangan Program KUNCI Cultural Studies Center. Terbaik. Ketiga peserta tersebut adalah: Ace House Collective, The decision of the Jury is final and not subject to an appeal. Kandang Jaran, dan KUNCI Cultural Studies Center. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Yogyakarta, 3 Januari 2012, Anggota Juari PE BJ XI 2011 PM Laksono Nindityo Adipurnomo Halim HD Muhammad ‘Ucup’ Yusuf Amalinda Savirani
Pengantar Parallel Events / Introduction
Yogyakarta, January 3, 2012, Members of the Jury PE BJ XI 2011 PM Laksono Nindityo Adipurnomo Halim HD Muhammad ‘Ucup’ Yusuf Amalinda Savirani Parallel Event
Pengantar Koordinator
Coordinator Introduction
Selaku Koordinator Program PE, kekaguman saya pada antusiasme, daya tahan, dan kegigihan para peserta PE bahkan sudah bermula ketika undangan ikut serta PE disambut oleh 29 kelompok dengan ragam latar belakang. Diantara mereka ada perupa, pemusik, pegiat kesehatan reproduksi, pegiat isu lingkungan, pegiat film dokumenter, pembuat video, kelompok pembuat cenderamata khas Jogja, hingga dosen ilmu geologi PE BJ XI.
As a Coordinator for the PE program, my admiration for the enthusiasm, determination and stamina of Parallel Events participants began even when our invitation to take part in the PE program was responded by 29 groups from a variety of backgrounds. Some of them are artists, musicians, activists in reproductive health, environmental activists, documentary activists, video makers, a group of artisans who make distinct souvenirs of Yogyakarta, and a lecturer of geology.
Proposal rancangan kegiatan yang dikirimkan oleh 29 kelompok kepada Panitia BJ XI adalah respon lanjut dari sesi Sosialisasi PE BJ XI yang dilaksanakan pada 19 Mei 2011. Pada akhirnya, setelah melalui dua kali workshop perancangan kegiatan— pada 18 Juni dan 30 Juli 2011—yang diselenggarakan untuk mempertajam dan memperdalam proposal tiap-tiap peserta, kami menyaring 29 kelompok pendaftar menjadi 10 kelompok peserta PE saja. Proses seleksi ini harus dilakukan, mengingat PE adalah salah satu dari beberapa kegiatan BJ XI yang bersifat kompetisi.
The activity proposals submitted by these 29 groups to the Committee of Biennale Jogja XI built on the introduction and campaign effort of Parallel Events program of Biennale Jogja XI, held on May 19, 2011. Eventually, after two proposal preparation workshops on June 18 and July 30, 2011—held to help refine the proposal of each participant—we selected ten out of the 29 groups. We needed to do the selection process considering that the Parallel Events program was one of the competitions held for Biennale Jogja XI.
15
Every participant of the PE program has done their best in responding to the seven challenges posed by Biennale Jogja Setiap peserta PE telah berupaya maksimal menjawab XI Committee; i.e. (1) Experiencing the challenge working setidaknya tujuh tantangan yang dilontarkan Panitia BJ XI with group(s) from a different scientific background; (2) melalui program PE, yakni: 1) Mengalami tantangan bekerja Experiencing new methods in the process of creating the dengan kelompok berlatar belakang ilmu berbeda; 2) Mengalami work or holding the activity; (3) Experiencing the challenge in metode baru dalam proses penciptaan karya atau kegiatan; 3) negotiating with other groups in bringing the concept about; (4) Mengalami tantangan bernegosiasi dengan kelompok lain dalam Experiencing the challenge of collaborating with others from meng-gol-kan gagasannya; 4) Mengalami tantangan bekerja an expanded social circle; (5) The possibility of new ideas as sama dengan ruang lingkup pergaulan yang lebih luas; 5) the consequence of coming together with people from different Kemungkinan munculnya ide-ide baru dari hasil bertemu dengan scientific backgrounds; (6) The possibility of obtaining a network kelompok yang berbeda latar belakang ilmu; 6) Kemungkinan that might mutually benefit all of its members in the future; memperoleh jaringan kerja yang saling memberi manfaat luas (7) Obtaining the knowledge and skill to manage things and di masa mendatang; 7) Mendapatkan ilmu berorganisasi dan negotiate. bernegosiasi. Melalui kerja keras merealisasikan gagasan-gagasan 10 peserta PE, khalayak disajikan beragam cara pandang dan tafsiran tentang tiga tema BJ XI: Religiositas dan Keberagaman, Isu-isu seputar Khatulistiwa, serta Isu-isu seputar hubungan Indonesia dan India. Untuk ini, Panitia BJ XI 2011 mengangkat topi tinggitinggi kepada para peserta PE BJ XI 2011. Semoga, kesaksian dan presentasi 10 peserta PE BJ XI dalam katalog ini akan dijawab oleh lebih banyak lagi pendaftar potensial PE BJ XII tahun depan! Aisyah Hilal Koordinator Program Parallel Events Biennale Jogja XI 2011
Through the hard work involved to bring about the ideas of the ten final participants of the Parallel Events Program, the public is eventually able to witness a variety of perspectives and interpretations with regards to the three themes of Biennale Jogja XI: Religiosity and Diversity; Issues around the Equator; and Issues about the relationship between Indonesia and India. For this, we from the Committee of Biennale Jogja XI took our hats off for the participants of the PE program in Biennale Jogja XI 2011. I hope the testimonials and presentations of the ten participants to the Biennale Jogja XI in the catalogue would be responded by more potential participants in the Parallel Events of Biennale Jogja XII next year! Aisyah Hilal Coordinator of Biennale Jogja XI Parallel Events
Pengantar Parallel Events / Introduction
16
Iwan Effendi
Rudy ‘Atjeh’ Dharmawan F. Alwathoni ‘Indun’ Dicky ‘Leos’ Firmansyah
Janu Satmoko Prayogo ‘Iyok’ S.U Prihatmoko ‘Moki’ Catur
Ace House Collective
Sulung Widya P
Krisna Widhiatama Hendra ‘Hehe’ Harsono
Ahmad Oka
Rudi ‘Lampung’ Hermawan
Hendra ‘Blankon’ Priyadhani
Riono ‘Tatsoy’ Tanggul
Gintani Nur Apresia Swastika
Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
Wedhar Riyadi
Ikhsan Nursalim ‘Ichan Harem’
Dodo Hartoko
Uji ‘Hahan’ Handoko
Elia Nurvista
Adi ‘Uma’ Kusuma
Tak Ada Rotan Akar Punjabi
1
Whatever Rattan Can Be, A Punjabi Can Do Pameran / Exhibition: 17-27 Desember 2011 Cafe BALE, Jl. Kaliurang Km. 5,5, Pandega Karya no.290, Yogyakarta Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by Ace House Collective Sebuah pembacaan subversif atas budaya populer India di Indonesia. Kegandrungan masyarakat Indonesia dengan musik dangdut, fanatisme dengan potongan rambut mullet, kolaborasi gerakan senam aerobik dengan musik pop India, atau kesamaan kuliner Indonesia dengan India adalah beberapa temuan yang didapat pada riset awal proyek ini. Dari hasil riset dan kolaborasi tersebut, Ace House Collective menyuguhkannya dalam bentuk eksplorasi visual yang terangkum dalam sebuah proyek pameran lintas disiplin. Judul kegiatan Ace House Collective merujuk pada peribahasa Indonesia “Tak ada rotan akar pun jadi”, yang diplesetkan menjadi “Punjabi”. Punjabi adalah keluarga pengusaha keturunan India yang dikenal luas sebagai produser sinema elektronik/sinetron di berbagai stasiun televisi swasta dan film layar lebar di Indonesia. This program is a subversive study on the effects of Indian culture on Indonesia. Indonesians’ infatuation with dangdut music, a growing enthusiasm for the mullet haircut, the combination of aerobic movements with Indian pop songs, or the similarities found in Indonesian and Indian foods are some of the findings of this project’s preliminary research. Based on research and collaboration, Ace House Collective’s visual explorations will give birth to this interdisciplinary exhibition. The title that Ace House Collective has chosen for this program refers to, and modifies, the Indonesian proverb “tak ada rotan akar pun jadi”, which means “to implement an alternative solution to a problem when the best answer is unattainable.” The last two words of this saying are changed into “Punjabi” and reference Punjabis, entrepreneurs of Indian descent widely known as producers of Indonesian soap operas and films. Ace House Collective adalah laboratorium seni yang terbentuk dari gabungan beberapa seniman muda era 2000an, atas dasar kesamaan pemikiran dan ide dalam berkarya serta latar belakang pola berkesenian yang sama. Konsisten pada gaya visual popular dan konsumerisme visual yang berkembang seiring pengaruh budaya anak muda. Seperti musik, poster, kartun, film, toys, skateboard, bike culture, grafitty, dan komik. Kami meyakini budaya populer sebagai resistensi dan sumber utama dalam berkarya. Dan merupakan respon terhadap perkembangan arus informasi dalam wacana seni rupa global, dimana kami lahir dan hidup di dalamnya. Fenomena ini yang meyakini kami, bahwa kesenian tidak sebatas berkarya dalam ruang studio saja, namun juga persilangannya dalam disiplin ilmu lain.
Ace House Collective is an art laboratory composed of several young artists from the 2000s era, who gather together based on the similarity of ideas in art creation and on the same pattern of artistic creation. We are consistent with our choice of visual style: the popular style and the visual consumerism that grow along with the growing influence of elements of the youth culture, such as music, poster, cartoon, film, toys, skateboards, bike culture, graffiti, and comics. We are of the opinion that the popular culture is a form of resistance as well as a main source of creation. It is also a response toward the development in the stream of information in the global art discourse, in which we were born and live. It is this phenomenon that convinces us that art is not merely about creating work in the studio, but also about its encounter with other branches of knowledge. Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
17
18
Bollylanguage, Instalasi, dimensi variabel, seni video, durasi 01:00:00, 2011 Bollylanguage, installation, varied dimensions, video art, duration 01:00:00, 2011 Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
Tak Ada Rotan Akar Punjabi
19
Whatever Rattan Can Be, A Punjabi Can Do Indeed the instability of meaning leads us to think of culture, identities and identifications as always a place of borders and hybridity rather than as fixed stable entities. (Chris Barker)
Indeed the instability of meaning leads us to think of culture, identities and identifications as always a place of borders and hybridity rather than as fixed stable entities. (Chris Barker)
Perjumpaan budaya populer India di Indonesia dimulai pada awal revolusi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme yang dibangun Soekarno kala itu melarang masuknya budaya barat (baca: Amerika) termasuk film dan musik. Melalui media film, semangat nasionalisme itu dibangun. Kegembiraan masyarakat Indonesia yang tenggelam dalam suasana gegap gempita kemerdekaan membuat film hasil karya anak bangsa ini semakin menarik hati. Namun, histeria ini tidak berlangsung lama. Keadaan ekonomi dan politik yang memburuk, menghapus gambaran mimpi kemakmuran atas negara yang sedang berkembang kala itu: termasuk kekecewaan masyarakat pada kualitas perfilman Indonesia yang seolah jalan di tempat. Dalam kondisi terpuruk, eskapisme atas kekecewaan tersebut dipresentasikan atas pemilihan pada film-film produksi ‘luar negeri’, seperti Malaysia, atau Filipina hingga kedatangan film India, tepatnya pada tahun 1952. Dilanjutkan dengan berjayanya film-film buatan Hongkong (China) di bioskopbioskop kota besar Indonesia. Sejarah mencatat, inilah awal perebutan kekuasaan dalam pasar perfilman Indonesia.
Indonesian society’s encounter with popular Indian culture began at the beginning of the struggle for Indonesian independence. The nationalism promoted by Soekarno at that time prohibited the import of Western (read: American) culture, including films and music. A spirit of nationalism was awakened through film. Drowning in the tumultuous events of independence, Indonesian society expressed increasing enthusiasm for the nascent film industry. However, this infatuation did not last long. Economic and political conditions worsened, erasing this developing country’s dreams of prosperity, including the society’s hopes for a stellar Indonesian film industry that seemed to have stagnated. Under the horrific conditions, the society, escaping from their disappointment, turned to ‘foreign’ films produced in Malaysia or the Philippines and, eventually India in 1952. This trend continued through to the reign of films made in Hongkong (China) that were shown in the theaters in the main Indonesian cities. This is the beginning of the struggle for dominance in the Indonesian film market.
Cikal bakal ini yang mengakrabkan telinga kita dengan kata ‘Bollywood’, sebutan untuk film India populer yang berbasis di Mumbay (dulu Bombay) dengan bahasa Hindi-nya. Bollywood yang merupakan gabungan dari kata Bombay dan Hollywood, adalah produsen film terbesar di India sekaligus di dunia. Istilah Bollywood sendiri lahir pada medio 1970an, ketika produksi film India mengambil alih kedudukan Amerika. Namun pada hakikatnya, di India sendiri, terdapat beberapa sentra produksi film. Seperti misalnya film berbahasa Tamil dengan basis di Kodambakkam, yang lebih dikenal dengan ‘Kollywood’, atau film berbahasa Telugu yang sempat mencatat sejarah sebagai sentra produksi film tertua di India yang berbasis di Hyderabad, ‘Tollywood’. Melalui perkembangan media massa, kebudayaan kontemporer India ini ternyata juga turut menyumbang perkembangan budaya populer di Indonesia. Alur cerita yang dipenuhi drama dan heroisme aktor laga yang
This is the origin of our familiarity with the word ‘Bollywood’, which refers to the popular Indian film industry that is based in Mumbai (formerly Bombay) and uses the Hindi language, and is the largest film production center in India, as well as the entire world. The word ‘Bollywood’, which joins the names of Bombay and Hollywood, was born in the 1970s when the Indian film industry replaced America in film production. However, there are several film production centers in India. For example, films made with the Tamil language and are based in Kodambakkam are known as ‘Kollywood’ films, while those made with the Telugu language and are made in Hyderabad, the oldest film production center in India, are known as ‘Tollywood’ films. Through developments in the mass media, this contemporary Indian cultural product has made significant contributions to popular culture in Indonesia. The full storylines that have dancing and singing inserted in between dramatic scenes and heroic acts is characteristic of Indian films and fascinates Indonesian audiences. Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
20
diselipi tarian dan nyanyian, membentuk karakteristik khas film India yang lekat di masyarakat Indonesia. Lahirlah idiom yang kerap digunakan dalam percakapan sehari-hari seperti ‘tangisan bombay’ atau ‘inspektur vijay’. Sedangkan pada wilayah musik, percampurannya dengan musik Melayu menjadi fetus musik dangdut yang lebih dikenal sebagai musik Indonesia. Berawal dari film beserta soundtrack-nya inilah, perjumpaan kami dengan temuan produk budaya populer India di Indonesia kami awali. Tidak hanya ditemukan dalam ranah film dan musik saja, tapi juga persebarannya di bidang lain yang ternyata sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari yang kemudian dipresentasikan pada identifikasi subjek-subjek yang terangkum dalam presentasi kali ini. Pada pembacaan selanjutnya, fenomena atas praktik konsumsi ini melahirkan bentuk perubahan budaya dan pemaknaan baru atas identitas masyarakat Indonesia, terutama akan posisi diri mereka dalam tata kehidupan masyarakat kontemporer, di sinilah konsep hibridisasi beroperasi.
Idioms that refer to the Indian films have emerged and are used in daily conversations, such as tangisan bombay [Bombay crying] and inspektur vijay [Inspector Vijay, referring to the police officers in Indian movies]. In music, the hybrid Melayu-Indian rhythms and melodies are the origins of the popular Indonesian dangdut music. It is through these films and their soundtracks that we first encounter popular Indian culture in Indonesia. This presentation, however addresses not only the cultural encounters in the domains of films and music, but also in other aspects of daily life that influence self identification. In the following reading, this phenomenon of consumption gives birth to forms of cultural change and new meanings
Perjumpaan di Ruang Ketiga: Negosiasi Globalisasi hadir memberikan kesempatan sekaligus tantangan. Dalam perjumpaan dengan budaya India di Indonesia, globalisasi berperan dalam memperbesar kemungkinan pertemuan berbagai budaya, tak terkecuali budaya populer India. Perluasan makna budaya sebagai keseluruhan gaya hidup, berimplikasi pada pemaknaan atas budaya populer itu sendiri. Budaya populer tidak sekedar dirayakan atau diamini, tetapi dijadikan arena negosiasi: di mana berbagai perbedaan bertemu, berlangsungnya tawar-menawar dan memproduksi makna. Tempat di mana hegemoni budaya dimapankan atau malah sebaliknya, ditentang. Perjumpaan dan negosiasi inilah yang memperbesar kemungkinan terciptanya budaya yang dikatakan ‘khas’ dan jelas ‘bermakna’.
of identity in Indonesian society, especially regarding preferences in contemporary lifestyles. It is here that hybridization occurs.
Encounters in a Third Space: Negotiation Globalization provides opportunities, as well as poses challenges. Globalization introduces the possibilities for Di ruang ke-tiga ini, reproduksi makna berlangsung. encounters between diverse cultures, such as popular Fenomena konsumsi budaya ini melahirkan manifesto Indian culture in Indonesia. Broadening of the concept of sebagai representasi subjek atas identitas yang culture to embrace all aspects of life has implications on dibangun. Konsep hibriditas dalam pembacaan fenomena the understanding of popular culture itself. ini tidak serta merta diartikulasikan satu pihak dan yang lain sebagai yang pasif atau inferior, yang terjadi Popular culture is not only celebrated or praised, but adalah setiap elemen berinteraksi dan kemudian saling becomes an arena for negotiation: where differences memaknai. meet, negotiate and produce meaning. It is where cultural hegemony is established or challenged. This encounter Merayakan Hibriditas Lewat Bahasa dan Gaya (Hidup) and negotiation increases the possibilities for the creation Selera manusia tidak pernah netral, namun selalu of a culture that can be said to be ‘unique’ and clearly berkaitan dengan citra sosial tertentu, misalnya, kelas ‘meaningful’. atau kelompok. Oleh karena itu, identitas adalah esensi Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
yang ditandai melalui pertanda selera, keyakinan, sikap dan gaya hidup. Identitas terus-menerus diproduksi dalam vektor kemiripan dan perbedaan. Jadi, identitas bukan esensi tetapi gambaran pergeseran yang terus menerus dalam diri kita sehingga makna kategori identitas dianggap subjek untuk penangguhan berkesinambungan melalui proses yang tak pernah berakhir dari supplementaritas atau perbedaan. Karena makna tidak pernah habis atau selesai, identitas merupakan ‘pemotongan’ atau potret dari makna yang berlangsung. Makna yang dihasilkan merupakan bagian dari proses identifikasi dan representasi identitas diri dan budaya dalam ruang perjumpaan India-Indonesia. Representasi
Suasana presentasi proyek seni “Tak Ada Rotan Akar Punjabi”, di CafeBALE, Yogyakarta / Scenes from the presentation of the art project “Tak Ada Rotan Akar Punjabi”, at CafeBALE, Yogyakarta
identitas melalui pemilihan potongan rambut, yang terjadi pada pengguna rambut Mullet, atau olah tubuh sebagai bagian dari gaya hidup (live style) pada Bolly Language, dan lahirnya subkultur India holic melalui habitus Irama Gangga, serta pendokumentasian produk budaya India di Indonesia lewat bahasa, kuliner, dan musik merupakan temuan-temuan yang kami dapatkan selama proses riset projek ini. Temuan-temuan alternatif (kalau boleh dibilang subversif) tersebut yang meyakini kami atas pemilihan judul dalam projek presentasi visual kali ini. Pengadopsian idiom yang kami gunakan sebagai judul projek ini berasal dari peribahasa bahasa Indonesia, ‘Tak Ada Rotan Akar Pun Jadi’, yang secara harafiah berarti: 1. Dalam keadaan terpaksa, kita harus kreatif untuk bisa memecahkan masalah yang sedang dihadapi dengan menggunakan
In this third space, the production of new meanings are processed. The phenomenon of this consumer culture gives rise to a manifesto for the construction of the subject’s identity. Hybridity may not be immediately articulated, and neither party take on a passive or inferior role; rather, both parties interact with each other and both offer meanings. Celebrating Hybridity Through Language and (Life) Style Human preferences have never been neutral; they have always been related to certain social images of, for example, class or group. Identity is expressed through symbols of taste, beliefs, attitudes, and lifestyles. It is constantly expressed and marked in symbols of similarities and differences. Thus, identity is not permanent, but manifests constant internal shifts, identity is subject to the continuous never-ending process of absorbing and making sense of differences. Because the process of determining meaning is never finalized, identity represents only a ‘piece’ or portion of a meaning that is in a perpetual process of definition. The newly produced meanings represents a part of the process of identification and representation of self and culture in the space where India and Indonesia meet. The expression of identity can be through the choice of one’s haircut, as with those who choose the Mullet haircut, in the movements of Bolly Language, and the birth of the India-holic subculture through the Irama Gangga program. This research project documents Indian cultural products in Indonesia expressed through language, food and music. These findings of alternative (perhaps subversive) cultural expressions affirm our selection of the title of the visual presentation of this project. The title comes from an Indonesian saying, tak ada rotan akar pun jadi, which means, literally, “if there is no rattan, then it can still be made by using just roots”, and can be interpreted to mean: 1) if forced to, we must be creative in solving problems by using objects and methods in unusual ways; and 2) “think alternative”. “Tak Ada Rotan Akar Punjabi” takes this saying and slips in an Indian family name, Punjabi, thus mixing Indian and Indonesian elements to represent a subversive reading of the new cultural forms of popular Indian culture in Indonesia. Although it is a parody of a phrase, this title does not abandon its original meaning, which reminds us of choices and alternatives. These choices and alternatives are in the public space, which is open to creativity in the process of producing new cultural meanings, where the encounter with popular culture unfolds.
Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
21
22
alat atau cara-cara yang tidak biasa; 2. Alternatif. ‘Tak Ada Rotan Akar Punjabi’, selain mencitrakan kedekatan budaya India dan Indonesia (dengan menggabungkan peribahasa dari bahasa Indonesia dan menambahkan salah satu nama fam India yang akrab di telinga masyarakat Indonesia, dibelakangnya), judul ini juga sebuah usaha untuk merepresentasikan pembacaan subversif atas temuan bentuk budaya baru dalam fenomena budaya populer India di Indonesia. Dengan memparodikan peribahasa tersebut, pemilihan judul ini tidak meninggalkan maknanya, yang mengingatkan kita akan adanya pilihan dan alternatif. Pilihan dan alternatif tersebut sesungguhnya ialah ruang publik yang terbuka atas kreativitas dalam proses mereproduksi makna, sekaligus membentangkan perjumpaan atas kedekatan kami dengan budaya populer di mana proses produksi makna berseliweran di dalamnya. Gintani Nur Apresia Swastika (Ace House Collective, belajar di jurusan Ilmu Religi dan Budaya, Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) Referensi: Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London, California, New Delhi:SAGE Publications http://id.wikipedia.org/wiki/Bollywood http://musa666.wordpress.com/2011/05/10/sejarah-filmindonesia-part-iv/
Sanggar Senam Adonis milik Cik Mey Kajol dan aktivitas-aktivitasnya / Adonis Gym Studio owned by Cik Mey Kajol and the activities held there
Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
Gintani Nur Apresia Swastika (Ace House Collective, belajar di jurusan Ilmu Religi dan Budaya, Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) Bolly Language is a video production program of a Body Language (BL) exercise routine that features modified BL movements set to Indian pop music and performed by May ‘Cik Mey Kajol’ Rosmawati. Cik Mey is a housewife and mother of two daughters, who is also an exercise instructor and fan of Bollywood since she was young. Bolly Language is a kind of BL exercise that is accompanied by Indian pop music and combined with various dance movements from Indian films that have
Bolly Language adalah program pembuatan video senam Body Languange (BL) yang merupakan modifikasi gerakan body language dengan musik pop India oleh May ‘Cik Mey Kajol’ Rosmawati. Ia adalah ibu rumah tangga dengan dua putri yang berprofesi sebagai instruktur senam, dan penggemar berat film Bollywood sejak kecil. Senam Bolly Languange adalah senam jenis body language yang diiringi oleh musik pop India dan dikombinasikan dengan beberapa gerakan tarian dalam film India yang disesuaikan dengan struktur bagian gerakan senam yang terdiri dari: Pemanasan, Gerakan Inti, Gerakan Inti dengan Alat, Sisipan, dan Pendinginan. Senam ini diciptakan pada tahun 2009, dan sejak itu pula langsung diterapkan dan diajarkan kepada para member yang mengikuti kelas senam bimbingannya dan juga di beberapa instansi pemerintah tempat dia biasa mengajar senam. Protes datang dari kalangan profesional instruktur senam lainnya mengiringi penciptaan senam Bolly Language ini, karena dalam body language terdapat pakempakem di mana gerakan dan lagunya sudah baku dan konvensional yang tidak bisa diganti begitu saja. Tetapi Cik Mey berpendapat lain, esensi dari body language adalah pikiran yang rileks bukan pikiran yang harus dipaksa menghafal gerakan-gerakan apalagi dengan lagu yang khusus telah ditentukan. Pikiran yang rileks akan dapat membantu rangsangan motorik ke otot-otot yang digerakkan sehingga tujuan body language yang utama yaitu pembentukan badan akan lebih cepat tercapai. Koreografi dari senam ini telah disesuaikan dengan kebutuhannya, bukan sekedar gerakan dengan tempelan musik pop India saja. ‘Irama Gangga’ Program ‘Irama Gangga’ merupakan program dari MBS, sebuah radio lokal di Jogja yang mulai mengudara sejak tahun 1980an dan masih eksis hingga sekarang. Program ini tidak hanya melulu membahas tentang musik dan film, namun juga budaya India itu sendiri. Riset projek ini membawa kami kepada ‘subkultur’ baru atas konsumsi budaya populer India di Indonesia. Para penggemar Irama Gangga ini tidak sebatas mengonsumsi, bahkan memproduksi pengetahuan baru. Program ini menjadi semacam pusat studi budaya populer India. Mereka melakukan pengarsipan data (koleksi sejarah), mempelajari bahasa India lewat film hingga menghasilkan kamus, bahkan beberapa mengidentifikasikan diri mereka melalui gaya berpakaian dan nama alias ‘India’. Semua dilakukan dengan cara yang unik dan jelas organik.
been set to the structure of exercise routines, i.e., warming up, core movements, core movements with props, inserts, and cooling down routines. This exercise was created in 2009 and has been taught to the members of her exercise classes and in several government offices where she regularly teaches. Professional exercise instructors have launched protests against the innovation of Bolly Language because BL has certain set conventional movements and music that cannot be changed easily. However, Cik Mey feels differently. The essence of BL, she feels, is to relax the mind and not to force it to memorize set movements that are set to a specific song. A relaxed mind will help to stimulate muscles so that the primary aim of BL, which is to strengthen the body, will be achieved more quickly. The choreography of this exercise has been adapted to its needs; they are not just movements pasted on to Indian pop music. Irama Gangga is the name of a program on MBS, a local radio station in Yogyakarta that has been broadcasted since the 1980s.
Proses kerja riset Irama Gangga, wawancara dengan penyiar Radio MBS dan penggemar fanatik program Irama Gangga / The research for Irama Gangga, interview with the announcer at Radio MBS and fans of Irama Gangga program
Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
23
24
‘India-holic’ sebagai ‘subkultur’ yang unik di tengah masyarakat, khususnya, di Yogyakarta yang majemuk ini, tak beda jauh dengan subkultur yang berbasis musik pada umumnya yang berkembang di Indonesia seperti subkultur Metal, Punk, dan masih banyak lagi. Meskipun secara permukaan komunitas ini tidak mengidentifikasikan penampilannya secara verbal di depan umum, namun loyalitas dan konsistensi mereka memperkuat ‘imanensi’ atas apa yang mereka konsumsi selama ini dan menjadi salah satu acuan dalam memproduksi identitas ke’diri’an mereka.
This program features Indian music and films as well as Indian culture. This research project bought us to this new subculture of Indian pop culture in Indonesia. The fans of Irama Gangga are not only consumers, but also producers of new knowledge. This program has become a kind of center for the study of Indian pop culture. They keep an archive of data, study Indian languages through films and have produced a dictionary. They even identify themselves through clothing styles and have adopted Indian names. This is all done in a unique and natural manner.
Pada presentasi projek ini, kami menyajikan temuantemuan selama tiga puluh tahun perkembangan dengan segala dinamikanya tersebut untuk membangun semacam mini museum Irama Gangga yang kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang berisi tentang sejarah perjalanan program, arsip penggemar, penyiar, serta top 10 dari lagu dan film beserta biografi artis-artis idola.
‘India-holic’ as a unique subculture in the society, specifically in the diverse Yogyakarta community, is not much different from subcutures that are based on musical genres that have developed throughout Indonesia, such as Metal, Punk, etc. Although on the surface this community does not identify itself publically, their loyalty and consistency strengthens their convictions of their choices and becomes one of their references in the production of their own identities.
‘Mullet’ Projek riset ‘Mullet’ merupakan projek penelusuran atas pemilihan jenis potong rambut yang ditengarai sebagai salah satu bentuk konsumsi atas budaya populer India yang terjadi di Indonesia. Asumsi ini muncul ketika kami menemukan fenomena yang mengidiomkan bahwa potongan rambut jenis ini merupakan ‘potong rambut India’ di beberapa daerah, khususnya, di Pulau Jawa dan Madura. Pada awal riset projek ini, kami mencoba
Beberapa responden riset “Mullet” / Several respondents for “Mullet” research
Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
This project presents the thirty years of development of the Irama Gangga mini-museum that is summarized in a book about the history of this program, fan archives, broadcasters, and the top ten songs and films along with biographies of the idolized film artists. Mullet The Mullet research project explores the choice of a particular haircut that is seen as one of the forms of popular Indian culture in Indonesia. We discovered this phenomenon that classifies this particular haircut as ‘an Indian haircut’ in several regions, particularly in Java and
menggali informasi dari para pengguna, praktisi, dan salah satu idola yang menjadi acuan dalam pemilihan jenis potong rambut ini. Meski diyakini, kemunculan Mullet ini pertama kali di Amerika, perkembangannya di Indonesia ternyata sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya populer India yang dikonsumsi melalui film dan musik, di mana para aktor laganya menggunakan model rambut ini. Hal ini didapat atas informasi yang diperoleh dari tukang pangkas rambut pria (terutama tukang pangkas rambut Madura) dan pengguna yang kebanyakan di antara mereka berprofesi sebagai pemusik dangdut lokal di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Untuk memperkuat asumsi awal kami, pada proses selanjutnya kami melakukan penelusuran, salah satunya dengan bentuk kuesioner pada berbagai pengguna jenis potong rambut ini, atas pengaruh budaya populer India melalui film-nya tersebut. Riset tersebut melibatkan berbagai pengguna dari berbagai latar belakang dan daerah, baik di Jawa Timur (Ponorogo), Yogyakarta, Jawa Tengah (Bandungan), dan Jakarta. Mulai dari juru parkir, kapster (tukang pangkas rambut-terutama pangkas rambut Madura), penggiat musik dangdut lokal, hingga seniman dan musisi idola, Dedy Dores. Menariknya, dari temuan hasil kuesioner tersebut, kami mendapatkan informasi atas penggunaan istilah jenis potong rambut ini yang berbeda-beda tiap daerah dan latar belakang profesi. Profesi juru parkir dan musisi kerap mengistilahkan potong rambut ini dengan beberapa akronim seperti; Gondes (Gondrong nDeso), Gori (Gondrong Mburi), dan Petingdronking (Mepet Miring Gondrong Wingking). Jenis potongan rambut ini pada kenyataannya digunakan cukup lama, beberapa dari mereka bahkan memakai potongan ini sejak kecil, meski tak sedikit yang baru menggunakaannya sekedar mengikuti trend yang sedang berlangsung.
25
Madura. At the beginning of this research project, we attempted to uncover information from users, practitioners and one star who became the model for this haircut. Although it is certain that this Mullet cut emerged initially in America, its development in Indonesia is more or less influenced by popular Indian culture that is consumed through film and music, where the many of the actors have this kind of haircut. This information was gathered from the barbers (especially those from Madura) and those who have this cut, most of whom are dangdut musicians in the Ponorogo, East Java, region. To explore this topic further, we then distributed a questionaire to people who had chosen this haircut because of influence by popular Indian culture shown in Indian films.
The respondents were from various backgrounds and regions, including East Java (Ponorogo), Yogyakarta, Central Java (Bandungan), and Jakarta, and ranging from Referensi atas potong rambut ini kerap diawali dengan parking attendants, barbers (especially from Madura), kegandrungan pengguna atas artis idolanya, atau dangdut music enthusiasts, to Dedy Dores, a successful sekedar referensi dari teman dan saudara. Dari latar musician. One interesting result of this questionaire belakang kegemarannya, yang umumnya mereka berada indicated that the name of this haircut is different in the di wilayah musik, kebanyakan pengguna model rambut different regions and professions. Parking attendants ini menyukai jenis dangdut, namun beberapa juga and musicians often refer to this haircut with a number of menyukai musik pop dan rock dengan artis idola baik dari different acronyms, including gondes (gondrong ndeso, Indonesia sendiri seperti: Ikang Fauzi, Hari Mukti, Ian long hair, village style), gori (gondrong mburi, long hair in Antono, Fariz RM, dan tentunya Dedy Dores; atau dari the back) and petingdrongking (mepet miring gondrong luar negeri seperti: David Bowie, Mick Jagger, Bon Jovi wingking, close on the sides, long hair in the back). This yang menggunakan model potong rambut ini. Sedangkan kind of haircut has been around for a long time and many pengidolaan atas aktor dalam film India yang mereka of those who have it have cut their hair this way since tonton seperti: Sanjay Dhut, dan Mithun Chakraborty, juga they were young, although more than a few have chosen menjadi salah satu inspirasi pemilihan atas jenis potong it to follow the current trend. rambut ini.
Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
26
Proses Penggalangan Dana “Tak Ada Rotan Akar Punjabi” Untuk membuat presentasi projek ini tetap berjalan, kami membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya, sedangkan budget operasional yang sudah kami lakukan secara kolektif ternyata tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Kami kemudian menginisiasi pembuatan book-sheet karya dan mengajukan tawaran pengoleksian. Kompilasi karya dari 18 personil Ace House ini dikerjakan dengan teknis silkscreen/sablon pada kertas sebanyak 10 edisi per karya dan 1 edisi untuk artist proof tiap seniman. Untuk tujuan penyelenggaraan presentasi projek, pembuatan book-sheet kali ini hanya dibatasi sebanyak 5 edisi kemasan box, sesuai dengan target pengumpulan dana. Sedangkan 5 edisi lainnya dan artist proof menjadi dokumentasi dari Ace House Collective (Ace House Collective).
References for this haircut often start with an idolization of a famous entertainer or may be a suggestion from a friend or family member. The majority of those who have this haircut and are involved with music have a preference for dangdut, although there are many who also like pop and rock music, with favorite stars including Ikang Fauzi, Hari Mukti, Ian Antono, Fariz RM, and of course, Dedy Dores. Foreign musicians who have this haircut include David Bowie, Mick Jagger, Bon Jovi. Indian film artists such as Sanjay Dhut and Mithun Chakraborty are also inspirations for this haircut. The scheme of fundraising for “Tak Ada Rotan Akar Punjabi” To make sure that the project could go ahead, we needed quite a lot of funds, while the operational funds we had collected turned out to be insufficient. We then decided to create book-sheets of the work and offer them as collectibles. The compiled works by 18 members of Ace House had been made using the silkscreen technique on paper. We made ten copies for every work plus one copy for the artist proof for each of the artists. To raise funds for the project, we limited the production to only five box editions, in line with the targeted funds to be collected. The remaining five copies and the artist proofs are stored in the archives of Ace House Collective.
Arsip dan dokumentasi program Irama Gangga Radio MBS, Yogyakarta, sebagai salah satu artefak yang dipamerkan / Archives and program documentation of Irama Gangga Radio MBS, Yogyakarta, which formed one of the exhibited artifacts Pemenang Parallel Events - Ace House Collective / The Winner
27
Banner besar “Tak ada Rotan Akar Punjabi”, menandai pameran Ace House Collective di CafeBALE, Yogyakarta. / Giant Banner “Tak ada Rotan Akar Punjabi”, mention to the exhibition of Ace House Collective at AfeBALE Yogyakarta
28
Prihatmoko ‘Moki’ Catur
Asti Kurniawati
Elia Nurvista Karina Roosvita
Maryanto Muhammad Abe
Kunci Cultural Studies Centre & friends
Rangga Purbaya
Woto Wibowo
Anna Mariana
Anang Saptoto Antariksa Syafiatu dina
Erythrina Baskoro
Brigitta Isabella Astrid Reza
Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
Jean Pascal Elbaz
Siska Raharja
Yudha Sandy
Fitta Amelia
Sejarah Orang India di Yogya
2
A History of Indians in Yogya Pameran / Exhibition: 3 -10 Januari 2012 Diskusi Publik / Public Discussion 6 Januari 2012 iCAN, Jl Suryodingratan no. 39, Yogyakarta Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by Kunci Cultural Studies Center Gagasan dasar Parallel Events ini berawal dari tema mengenai hubungan Indonesia dan India. Perjumpaan India dan Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang dan percampuran budaya yang sedemikian pelik, membentuk berbagai tegangan dan simpulan, termasuk dalam kondisi sehari-hari yang mewarnai dinamika masyarakat Yogyakarta. Kehadiran komunitas (keturunan) India ditandai antara lain dengan kehadiran deretan toko-toko kain yang hampir seluruhnya dimiliki usahawan keturunan India, munculnya berbagai rumah makan khas anak benua ini, dan fenomena mahasiswa India asal Malaysia yang menuntut ilmu di kota pendidikan ini. Project ini berupaya mengeksplorasi sejarah komunitas India di kota melalui riset kolaboratif dan eksperimentasi artistik. Melalui kunjungan lapangan, observasi-partisipatif dan interaksi yang dinamis dengan komunitas India di Yogyakarta, para seniman dan peneliti yang dilibatkan dalam proyek ini diajak untuk mengembangkan pendekatan yang kritis dan kreatif dalam merespon sejarah sosial kota Yogyakarta. Project ini merupakan upaya untuk menyelidiki narasi-narasi sejarah kecil yang membentuk iklim keseharian komunitas India dan komunitas-komunitas lain di luar mereka yang selama ini dipayungi dalam satu sebutan: warga Yogyakarta. Seluruh rangkaian kegiatan berlangsung selama empat bulan (Oktober 2011-Januari 2012) dan tersebar di berbagai titik di seluruh kota. Hasil akhir proyek ini dipresentasikan melalui rangkaian peristiwa publik yang bentuknya sengaja dibiarkan terbuka, pada 20 Desember 2011 hingga 10 Januari 2012. Informasi waktu dan tempat bisa diperoleh lewat web: www.studindia.kunci.or.id. Situs www.studindia.kunci. or.id akan menjadi sumber informasi mengenai proyek ini. Lewat situs ini, perkembangan proyek Studi Komunitas India di Yogyakarta bisa diikuti. The idea behind these parallel events was a curiosity about the relationship between Indonesia and India. The interactions between India and Indonesia goes a long way back, and the complex cultural assimiliations have resulted in various twists and turns, including in dynamics of daily life of the people of Yogyakarta. The existence of a community of people of Indian-descent in Yogyakarta can be seen in the rows of fabric stores owned mostly by entrepreneurs of Indian-descent, in the restaurants serving specialties from Indian regions, and by the Malaysian students studying in this city of education. This project wishes to explore the history of the Indian community in the city through collaborative research and artistic experimentation. Through field visits, participatory observations, and dynamic interactions with the Indian community in Yogyakarta, the artists and researchers involved in this project are encouraged to develop critical and creative approaches in responding to the social history of Yogyakarta City. This project comprises efforts to investigate the historical narratives that have shaped the daily life of the Indian community and the communities around them, who today find contentment in being part of a generalized label: the people of Yogyakarta. The whole series of events in this program took placed in four month (October 2011 through January 2012), taking place in various corners of the city. The final results of the project was presented in a series of open public forums, from December 20th, 2011 until January 10th, Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
29
30
2012. Information regarding the schedule and venues can be found at www.studindia.kunci.or.id. This website will be the main source of information for this project and the progress of the “Study of Indian Communities in Yogyakarta” will also be made available at this site. KUNCI Cultural Studies Center adalah lembaga nonprofit dan independen yang didirikan di Yogyakarta, Indonesia, pada tahun 1999 dan bekerja untuk mengembangkan masyarakat Indonesia yang secara kultural bersifat kritis, terbuka dan berdaya. Misinya adalah mengembangkan kajian budaya atas dasar semangat eksploratif dan eksperimental serta mendorongnya menuju gerakan yang lebih luas melalui praktik-praktik pendidikan populer.
Jalan ke Timur Jalur-jalur baru yang dibuat di atas peta perjalanan air buatan tahun 1771 ini menggambarkan perjalanan orang/ keluarga dari tanah kelahiran mereka di India menuju Yogyakarta pada abad ke-19 hingga abad ke-21. Jalur- jalur ini disusun berdasarkan kisah-kisah yang dituturkan oleh Manish Jain, Sham G. Panjabi, dan Uresh Chander Desani. Jalur-jalur ini tidak menggambarkan seluruh jalan yang dilalui oleh para pendatang dari India (dan Pakistan), tetapi dari kisah-kisah lain yang kami kumpulkan dalam proyek ini, Pulau Jawa bisa dikatakan selalu menjadi titik awal kedatangan mereka. Pada jalur yang kami buat, Makassar menjadi satu-satunya titik kedatangan di luar Jawa. Itu terjadi pada pertengahan abad ke-19. Road to the East New routes created on top of a 1771 sea voyage map depicts the journey of people/families from their homelands in India (or Pakistan) to Yogyakarta from the 19th century to the 21st century. These routes are based on stories told by Manish Jain, Sham G. Panjabi, and Chander Uresh Desani. These routes do not show the entire lines traversed by migrants from India (and Pakistan), but from other stories that we collected throughout this project, Java can be said to be the starting point of their arrival. On the routes we’ve made, Makassar was the only point of arrival outside Java. It happened in the mid19th century. Collaborators: Antariksa, Elia Nurvista, Maryanto, Mbak Titin.
Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
KUNCI Cultural Studies Center is a non-profit and independent organization established in in 1999 in Yogyakarta, Indonesia. KUNCI is working to create an Indonesian society that is culturally critical, open, and empowered. Its mission is to develop cultural studies with the spirit of experimentation and to advance its criticality into a wider movement through popular education practices.
Datang, Pergi, dan Kembali Lagi: Menelusuri Sejarah Komunitas India di Yogyakarta Arrive, Leave, and Return: Exploring The History of The Indian Community in Yogyakarta Proyek Sejarah Komunitas India di Yogyakarta merupakan sebuah proyek kolaboratif yang melibatkan seniman, peneliti, dan publik guna menelusuri subyektifitas kolektif yang dinamakan sebagai komunitas, khususnya warga India Indonesia yang hidup dan tinggal di kota Yogya, dalam lingkup ingatan, sejarah dan identitas dan dalam kaitannya dengan isu diaspora, aliran budaya, dan dinamika perkotaan di Indonesia. Proyek yang diinisiasi oleh KUNCI Cultural Studies Center ini merupakan eksperimentasi lanjutan dari proses pengembangan sejarah komunitas yang dikembangkan sejak organisasi ini didirikan pada 1999 sekaligus sebagai langkah awal dalam penulisan sejarah tentang kelompok etnis minoritas dan upaya untuk meluaskan makna komunitas melampaui ikatannya pada “ruang dan generasi”. Dalam praktiknya, proyek yang digawangi oleh 16 individu dari berbagai disiplin: mulai dari seniman grafis, fotografer, videografer, pelaku teater, antropolog, sejarawan muda, dosen, mahasiswa, sampai ibu rumah tangga dan pengelola restoran ini berlangsung sejak bulan September 2011- Januari 2012. Berikut adalah uraian jalannya proyek secara kronologis. Workhsop dan Penelitian Tahap pertama proyek ini dimanfaatkan untuk mengonsolidasikan, menguraikan dan menajamkan berbagai pertanyaan dan perbedaan. Melalui percakapan rutin mingguan yang dibingkai sebagai sebuah workshop, seluruh partisipan proyek didorong untuk keluar dari batas-batas nyaman disiplin masing-masing, guna bekerja secara taktis dalam melakukan riset dan eskplorasi karya yang tenggat waktunya hanya efektif satu bulan itu. Pada saat yang sama, proses observasi dan pengumpulan mulai bergulir. Demikianlah, secara alamiah, pertemuan-pertemuan ini menghasilkan aliansi-aliansi kecil berdasarkan tema yang diminati: terdiri dari mereka yang tertarik pada praktik keagamaan, sejarah keluarga, dan jejaring toko kain milik warga India Indonesia. Hadirnya kelompok-kelompok kerja berdasarkan fokus amatan yang berbeda ini tidak untuk diartikan sebagai satu pembagian kerja tim yang kaku dan terpisah satu sama lain. Bagaimanapun juga,
“The History of the Indian Community in Yogyakarta” Project was a collaborative effort that involved artists, researchers and the public in exploring the collective subjective that is called a community, specifically the Indian-Indonesian citizens who live and work in the city of Yogyakarta, in the scope of memories, history and identity in relation to the issues of diaspora, cultural flow and urban dynamics in Indonesia. This project, which was initialized by KUNCI Cultural Studies Center, represents the continuation of an experiment in the process of documenting community history that has been developed by this organization since it was founded in 1999, as well as an initial step in the writing of the history of minority ethnic groups and an effort to broaden the meaning of community beyond the ties of “space and generation”. This project that was facilitated by 16 individuals from various disciplines, including a graphic artist, photographer, videographer, theater practitioner, anthropologist, historian, lecturer, university student, housewife, and restaurant manager, took place from September 2011 through January 2012. A chronological description of the project is as follows: Workshop dan Research The first stage of this project was focused on solidifying, analyzing and sharpening various questions and differences. Through weekly routine discussions that were framed as a workshop, all project participants were encouraged to move out of the safe zones of their own disciplines to work tactically in conducting research and exploration within the time limit of one month. At the same time, the observation and compilation processes began. In this natural way, these meetings produced small alliances based on themes of interest: religious practices, family histories and networks of fabric stores owned by Indian-Indonesians. The existence of these work groups based on different foci was not a stiff and inflexible division of work. Also, the fluid and flexible conditions in the field did not support a strict division of work between groups. On the contrary, memories and oral narration conveyed by the ‘local historians’, i.e., our resource people, represented a network of knowledge that was rich in cross-references and connections. A story about the Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
31
32
kondisi di lapangan history of one family, yang cair dan lentur for example, also tidak memungkinkan referred to religious hal ini terjadi. practices, the effort Sebaliknya, ingatan to survive through dan narasi lisan selling cloth, and all of yang disampaikan it relates to the sociopara ‘sejarawan political conditions of lokal’, yakni para the time. In the midst narasumber kami, of the complexity merupakan jaringan of data and the pengetahuan yang tangled threads of the begitu kaya dengan collected stories that silangan dan tautan. sometimes interwove Kisah mengenai with, and sometimes Diskusi Sejarah Komunitas India di Yogyakarta, 21 Oktober 2011 di Kantor KUNCI, Yogyakarta sejarah satu contradicted, each / Discussion about history of Indian Community in Yogyakarta, a discussion, held in October 21, keluarga, misalnya, other, the participants 2011, at KUNCI ofiice, Yogyakarta adalah sekaligus determined to stay mengenai praktik keagamaan, upaya bertahan hidup together and collectively examine the stories. melalui berjualan kain, dan segenap relasinya dengan kondisi sosiopolitik yang berlangsung. Di hadapan In the second month of the project, closer to the kerumitan data dan benang kusut lontaran cerita yang deadline determined by the Parallel Events committee dikumpulkan yang kadang bersinggungan, kadang of the Biennale Jogja XI, pressure on the participants bertolak belakang, para partisipan dituntut untuk tetap heightened because an art presentation had to be duduk dan menguraikannya bersama-sama. prepared. Field research intensified. Visits to fabric stores, temples, homes of Indian-Indonesian families Memasuki bulan kedua, dengan semakin dekatnya increased. It was not rare that participants were met with tenggat waktu yang ditentukan oleh panitia Parallel sullen, even scornful, subjects, whom we referred to as Events Bienalle Jogja XI menambah ketegangan di ‘local historians’. Several subjects felt that the interviews antara partisipan karena di akhir sebuah presentasi were conducted too frequently (this was related to the fact berbasis seni adalah hal mutlak untuk dilakukan. that this project was not the only Parallel Event project Rupanya kondisi ini semakin meningkatkan intensitas that relied on interviews of Indian-Indonesians). Some riset di lapangan. Kunjungan ke toko-toko kain, ke kuilsubjects felt exploited and did not want to become the kuil, ke ruang-ruang keluarga India keturunan semakin objects of an initiative for which they did not understand diperbanyak. Tidak jarang partisipan disambut dengan the aims and results. This risk can be anticipated in the masam, bahkan dihardik oleh para subyek yang kami implementation of the Parallel Events in the future with a sebut sebagai sejarawan lokal tersebut. Beberapa more satisfactory management scheme and allocation of subyek merasa bahwa wawancara menjadi terlalu sering time. dilakukan (ini terkait dengan fakta bahwa proyek ini bukan satu-satunya yang menggunakan metode wawancara, On the positive side, new introductions were made karena masih ada belasan proyek lain yang kurang and new approaches were created. The frequencies lebih menggunakan metode serupa selama dan dalam of meetings, openness in sharing and responding to rangka Parallel Events). Beberapa yang lain bahkan information, and the mutual curiousity of the project merasa dieksploitasi, tidak ingin menjadi obyek dari participants and community members who became sebuah prakarsa yang mereka tidak mengerti betul apa the resource people opened communication channels tujuannya dan hasil akhirnya? Pada jamaknya, risiko ini leading to the processing of collective knowledge. At this dapat diantisipasi di pelaksanaan lomba Parallel Events stage, the borders between the project participants as ke depan dengan manajemen skema dan alokasi waktu researchers and the resource people dissolved. At this yang lebih memadai. time, the collaboration achieved its ideal form. It was no longer a multi-disciplinary collaboration about the history Di sisi yang lebih manis, perkenalan dan kedekatan baru of a community, but a collaboration of one community tercipta. Frekuensi perjumpaan, keterbukaan dalam — Yogya (complete with the diversity of differences that berbagi dan menyikapi informasi, dan timbal-balik define it) — in processing history together. Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
keingintahuan antara para partisipan proyek dan anggota komunitas yang menjadi narasumber membuka proses komunikasi ke arah produksi pengetahuan bersama. Dalam tingkatan ini, batasan antara partisipan proyek sebagai peneliti dan narasumber terhapus. Pada titik yang sama, kolaborasi mencapai bentuk idealnya. Ia sudah bukan lagi kolaborasi lintas disiplin mengenai sejarah suatu komunitas, melainkan kolaborasi satu komunitas: Yogya (lengkap dengan beragam perbedaan yang mendefinisikannya) dalam memaknai sejarah bersama. Tahapan Realisasi Artistik Di jelang akhir proyek, kolektif yang menyusun proyek ini memutuskan untuk menyelenggarakan satu rangkaian acara dengan tiga mata acara utama yang dipusatkan pelaksanaannya pada akhir Desember 2011- awal Januari 2012. Yang pertama adalah pelaksanaan Tur Jalan Sutera pada 28-29 Desember 2011. Tur ini mengajak peserta umum untuk mengunjungi beberapa toko tekstil di sepanjang Jalan Solo sebagai salah satu sentra toko tekstil milik pengusaha keturunan India di Yogyakarta. Proyek tur yang digagas oleh Elia Nurvista ini mengajak publik untuk mengenal lebih jauh karakteristik, sejarah, dan profil produk yang tersedia di setiap toko melalui narasi pemiliknya langsung. Acara tersebut juga dikemas dengan presentasi audio hasil kolaborasi antara pemilik toko dan partisipan proyek, berupa pemutaran narasi bergaya iklan dalam bahasa Jawa, Inggris, dan Indonesia. Karya yang diolah Muhammad A.B. ini diputar melalui pengeras suara yang tersedia di toko-toko yang dikunjungi selama dua hari berlangsungnya tur. Selain itu, Prihatmoko Catur ikut membagikan narasi sejarah mengenai toko-toko yang terlibat dengan menyablonkan desain yang ia buat di kantung plastik belanjaan. Mata acara kedua adalah pameran Des Indes Orientales yang diselenggarakan di iCAN dari 3-10 Januari 2012. Dalam kegiatan ini, berbagai hasil temuan riset dipresentasikan secara artistik oleh segenap peserta yang terlibat. Bentuk presentasi
Artistic Realization Stage In the final stage of this project, it was decided to organize a series of events around three main activities at the end of December 2011 and beginning of January 2012. The first event was the implementation of the Silk Road Tour on December 28-29, 2011. This tour invited participants from the public to visit several fabric stores along Solo Street, which is one of the centers for fabric stores owned by Indian descendents in Yogyakarta. This tour project, which was conceived by Elia Nurvista, invited the public to become more familiar with the characteristics, history and product profiles available in each store directly through the narratives of their owners. This event was also packaged in an audio presentation that was a collaboration between the store owner and the project participants, in the form of a narrative advertisement in Javanese, Indonesian and English. This recording, which was prepared by Muhammad A.B., was played over the loudspeakers available in the stores that were visited over the period of the two days of the tour. In addition to this, Prihatmoko Catur distributed a historical narrative about the stores that was printed in a design he made on plastic shopping bags. The second event was an exhibition, Des Indes Orientales, organized at iCAN on January 3-10, 2012. In this event, all of the participants prepared artistic presentations of the various research results. This presentation touched a variety of aspects in interpreting, imagining and conveying memories, history and identities of the Indian diaspora.
The initial encounter of the diaspora in this country was reinterpreted in a map of their journey that was developed from the narratives gathered from the interviews with Indian-Indonesians regarding the routes they took to get here. In addition to the map created by Antariksa in collaboration with Maryanto and Elia Nurvista, the steps of their arrivals were traced in a timeline created by Karina Roosvita. Vita erected a façade of the fabric stores in Yogyakarta Suasana program “Tur Jalan Sutera” di salah satu toko tekstil di Jalan Solo, Yogyakarta / The atmosphere in one of the textile stores on Jalan Solo during the “Silk Road Tour” program in a time frame and Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
33
34
ini menyentuh aspek-aspek yang beragam dalam menafsirkan, membayangkan dan menyampaikan ulang ingatan, sejarah, dan identitas warga India diaspora. Perjumpaan awal diasporik di negeri ini ditafsirkan ulang lewat peta rute perjalanan yang dikembangkan dari narasi wawancara bersama warga tentang rute mana yang ditempuh dalam perjalanannya ke sini. Selain peta yang direalisasikan oleh Antariksa, berkolaborasi dengan Maryanto dan Elia Nurvista ini, jejak kedatangan juga difokuskan dalam lini massa yang disusun Karina Roosvita. Secara visual, Vita menyandingkan fasad tokotoko kain yang ada di Yogyakarta dalam satu bingkai waktu dan membuka ruang bagi pemirsa untuk memberi respon, baik berupa tambahan maupun kritik atas informasi yang disajikan. Beranjak pada proses-proses lanjutan dari menetapnya suatu komunitas diaspora adalah soal pembauran dan adaptasi. Melalui rekonstruksi ruang keluarga, Anna
Suasana pameran “Des Indes Orientales” di Indonesia Contemporary Art Network (iCAN), Yogyakarta / Scenes from the exhibition “Des Indes Orientales” at the Indonesia Contemporary Art Network (iCAN), Yogyakarta
Mariana, yang dibantu oleh Anang Saptoto dan Fitta Amelia, mencoba mereka-ulang berbagai narasi yang menuturkan perihal isu identitas di tengah tantangan dan tuntutan pembauran yang terus bergaung dalam konteks domestik. Silang campur antara ke-India-an dan praktik lokal mengisi benda-benda sehari-hari, mulai dari dekorasi rumah sampai ke menu makan yang disantap. Masih tentang keluarga, kolaborasi antara Maryanto, Ferdiansyah Thajib dan Muhammad A.B (dengan realisasi teknis oleh Octo Cornellius), memetakan pola kekerabatan dan makna penting keluarga di tengah berbagai transisi budaya melalui instalasi pohon yang bercerita ketika didekati oleh pemirsanya. Cerita ini disampaikan baik secara audio melalui rekaman suara hasil wawancara yang direka-ulang, maupun secara Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
opened a space for viewers to give responses, either comments or criticism of the information presented. The settling of the scattered community then shifted to the issues of assimilation and adaptation. Through the reconstruction of a family room, Anna Mariana, assisted by Anang Saptoto and Fitta Amelia, recreated various narratives that spoke of matters of identity in the midst of challenges and relentless demands for assimilation in the domestic context, resulting in a mixture between Indianness and local practices regarding everyday objects, beginning with house decorations through food prepared for meals. Also regarding the family, a collaboration between Maryanto, Ferdiansyah Thajib and Muhammad A.B. (with technical assistance from Octo Cornellius) mapped the kinship patterns and important meanings of family in the midst of various cultural transitions through an installation of a tree that ‘spoke’ when approached by the viewers. The story was told both audibly through a recording of
tekstual melalui coretan-coretan ‘curahan hati’ khalayak tentang pengalaman keterasingan, rasa memiliki dan perubahan yang terus tumbuh seiring dengan bercecabangnya pohon kekerabatan.
reconstructed interviews, as well as textually through scribblings of ‘innermost feelings’ about experiences of alienation, ownership and change that continued to grow along with the branches of the family tree.
Di sudut lain, Anang Saptoto yang berkolaborasi dengan In another project, Anang Saptoto collaborated with Anna Anna Mariana, mempresentasikan posisi historis yang Mariana, to present the history of the oldest fabric store, dihuni oleh sebuah toko kain tua bernama Kohinoor yang Kohinoor, that has been a part of the collective memory sudah hadir menjadi bagian dari ingatan kolektif warga kota, sejak berdirinya pada jelang 1920. Anang juga melacak eksistensi dan makna sebuah toko kain seperti Toko Prima dalam jejaring industri pakaian yang lebih luas di kota, di mana peran sosial mereka dalam sirkulasi budaya yang lebih luas lebih sering tertutupi oleh dan dalam kerangka fungsi dan konsumsi. Kekayaan religi juga menjadi hal yang kerap tersembunyi dari pemandangan sehari-hari, seturut dengan dinamika sosial masyarakat pada umumnya yang memang ‘dibuat’ peka pada persoalan keagamaan. Melalui pameran ini, kolase warna-warni ditampilkan dalam bentuk mural, instalasi, audio, dan video melalui rekonstruksi sebuah ‘kuil’ yang dilakukan Astrid Reza, Abmi Handayani, Siska Raharja, Jean Pascal Elbaz, dan Yudha Sandy. Karya bersama ini mengisi celah kritis dalam upaya memaknai pengalaman religiusitas yang begitu lentur dan terbuka, sekaligus terancam dimiskinkan—jikalau mau merujuk pada posisinya sebagai yang liyan dalam kategorisasi agama yang diatur negara. Sebagai kegiatan terakhir dari seluruh rangkaian acara ini adalah diselenggarakannya malam Temu Kangen Warga India di Yogya paska malam pembukaan pameran Des Indes Orientales di iCAN. Prakarsa ini berangkat dari beberapa temuan penelitian. Pertama, adalah sebuah ironi ketika banyak dari narasumber yang kami jumpai, merasa tidak dilibatkan penuh dalam penyelenggaraan
of the city’s residents since it was founded in 1920. Anang also traced the existence and meaning of a fabric store, Toko Prima, in the clothing industry chain in the city, where their wider social role in cultural circulation was often overshadowed by and within the framework of function and consumption. The richness of religion was also often hidden from daily viewing, in accordance with the social dynamics of the community in general that had indeed been ‘made’ to be sensitive to religious issues. Through this exhibition, colorful collages in the form of a mural, installation, audio and video recordings through reconstructions of Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
35
36
Free Bajan, video seni karya kolaborasi Yudha Sandy, Jean-Pascal Elbaz, dan Siska Raharja, durasi 7 menit, 2011 / Free Bajan, video art, collaborative work by Yudha Sandy, Jean-Pascal Elbaz and Siska Raharja, duration 7 minutes, 2011
Bienalle Jogja XI, yang bertemakan relasi India dan Indonesia. Untuk menampik anggapan tersebut, sekaligus untuk menjaring partisipasi dari warga India keturunan dalam kegiatan yang memang dirancang sebagai peristiwa bersama ini, kami sengaja mengundang warga India Indonesia di Yogya untuk bertukar gagasan dan menjaring masukan seraya mendorong wacana bahwa acara tersebut adalah dari dan untuk kita bersama. Kedua, adalah persoalan kesenjangan antar berbagai kelompok penyusun komunitas yang selama ini Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
a ‘temple’ were made by Astrid Reza, Abmi Handayani, Siska Raharja, Jean-Pascal Elbaz, and Yudha Sandy. This collaborative work filled the critical cracks in an effort to give meaning to religious experiences that are flexible and open, although threatened with impoverishment—if they wanted to reconcile with their position as the ‘other’ in religious categorization by the country. The final activity in this series of events was the Reunion Evening for Indian-Indonesians in Yogyakarta after the opening of the Des Indes Orientales exhibition at iCAN.
37
Tim Proyek Sejarah Komunitas India di Yogyakarta bersama beberapa warga India dalam acara malam Temu Kangen Warga India di Yogya / The Team for the Indian Community History Project in Yogyakarta with members of the Indian community during the Reunion of the Indian Community Members in Yogyakarta.
dianggap tunggal sebagai satu komunitas India. Dari hasil penelitian awal ini terlihat bahwa setidaknya ada tiga kategori yang membedakan apa yang dinamakan komunitas India di Yogya, yaitu warga diaspora India dari Trah Sindhi, Mahasiswa Malaysia keturunan India Tamil, dan Pekerja Asal India yang relatif lebih muda dan datang ke Indonesia pada waktu belakangan untuk mengadu peruntungan, atau mereka yang selama ini disebut sebagai kaum ‘ekspatriat’ di kalangan anggota komunitas India sendiri. Dari sana terbit niatan kami untuk mempertemukan ketiga unsur tersebut guna menguji batas-batas bagi sebuah upaya membayangkan komunitas: seberapa jauh perbedaan dapat merenggangkan atau menyatukannya, dan bagaimana identitas kolektif sebagai komunitas dibaca dalam hubungannya dengan komunitas lain sebagai satu warga kota?
This event was inspired by several research findings. First, it was ironical that many of the resource people that we met felt that they had not been involved in the planning of Biennale Jogja XI that was based on the relationship of India and Indonesia. In reponse to these comments, we invited the Indian-Indonesian residents of Yogyakarta to exchange ideas and comments to encourage the discourse that this event was from, and for, all of us together.
Second, there was a problem of a gap between various groups within the community that had been thought of as a single Indian community. From the results of the initial research, it was seen that there are at least three categories within the Indian community in Yogya, i.e., the Indian diaspora of Sindhi descendents, Malaysian university students who were Tamil descendents, and Indian workers who were relatively young and came Sampai pada poin terakhir di atas, bunyi pertanyaan yang to Indonesian more recently to try their luck, or those kami ajukan di awal tulisan bergema kembali. Dengan who were referred to as ‘expatriates’ within the Indian itu pula, sebagai sebuah alur penelusuran, proyek ini community itself. We became interested in bringing these dinyatakan lengkap sebagai sebuah akhir, dan siap untuk three elements of the community together to test the mulai di awal lain. borders in imagining a community: How do differences between groups split apart or unite a community? How is the collective identity of a community read in its relationship with other communities as residents of a city? At this last point, we return to the question we posed at the beginning of this essay. With that, as the culmination of this exploration, this project is finalized. We are ready to begin again.
Pemenang Parallel Events - Kunci Cultural Studies Centre & Friends / The Winner
38
Ikun Sk
Irvan Noviansyah
Arya Suksma Muhammad Abe
Kandang Jaran
Budi ND Dharmawan
Galatia Puspa Sani
Taufiq Nur Rachman
Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
Irfanuddien Ghozali Arif Wijayadi
Khoja Jawa
3
Pameran / Exhibition: 21 Desember 2011-4 Januari 2012 Galeri Katamsi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Diinisiasi oleh/initiated by Kelompok/Group Kandang Jaran diorganisasi oleh/co-organized by Kelompok Kandang Jaran dan/and Keluarga Mahasiswa Seni Lukis ISI/ Fine Art Students Association of ISI (Indonesia Institute of the Arts) Yogyakarta Rangkaian kegiatan ini diselenggarakan dengan semangat “mencoba menemukan India yang lain, di luar bayangan kepala kami selama ini”. Untuk itu, Kandang Jaran menemui komunitas Khoja , etnis keturunan India yang hidup di kawasan Pekojan Semarang. Di sana, komunitas Khoja ada jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Mereka hidup berdampingan dengan komunitas China, Jawa, dan Arab. Berbagai sumber menyebutkan, komunitas Khoja lahir di tanah India jauh sebelum periode British Raj (sebuah periode yang merujuk pada kekuasaan Britania di tanah India). Dan sekarang, mereka telah menyebar ke berbagai negara. Dalam konteks kebudayaan, Khoja yang bermigrasi ke tanah Jawa, sebenarnya sedang tidak sungguh-sungguh pergi dari asalnya, tanah India. Mereka adalah diri yang keluar dari tubuhnya yang kemudian masuk bersemayam dalam tubuh saudaranya. Kelompok Kandang Jaran bekerja dalam konsep “Mengulik Kelenturan Tubuh Kebudayaan Khoja Jawa Kini”, dan akan mempresentasikan kepada publik melalui media: Museum Khoja Jawa. This program is conducted within the spirit of “finding a different kind of India, the sides of India that we never knew existed.” Therefore, Kandang Jaran visited the Khoja community, a neighborhood of people of Indian descent in Pekojan Semarang (Central Java). Here the Khoja community existed far before Indonesia was an independent country. They live side by side with the Chinese, Javanese, and Arab communities. Various sources tell of the Khoja as a community that existed in India before the British Raj era (a period that refers to British imperialism in Indian lands). Today, these people can be found in various countries. In a cultural context, the Khojas who migrated to Java never really left their homeland India. They were egos who left their physical forms to reside in the bodies of their brothers and sisters. The Kandang Jaran Group worked around the concept of “Investigating the Pliability of Today’s Javanese Khoja” and will present it to the public through the medium of “The Khoja Java Museum”. Kandang Jaran adalah kelompok multidispliner yang tertarik dengan isu-isu Kebudayaan Nusantara untuk diolah dalam medium seni.
Kandang Jaran is a multidisciplinary group with an interest in the issues of the Culture of the Archipelago, which we then process further to create works of art.
Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
39
40
Khoja Jawa Khoja Jawa adalah proyek pameran kolaboratif yang diinisiasi oleh Kelompok Kandang Jaran. Proyek ini bergerak atas tema yang digulirkan oleh panitia Parallel Events Biennale Jogja XI: Perjumpaan Indonesia dan India, dengan fokus topik: “Religiusitas dan Keberagaman”, “Isu Khatulistiwa”, serta “Hubungan India dan Indonesia”. Pertemuan Kandang Jaran dengan orang-orang Khoja terjadi secara acak, kebetulan kami menemukan artikel tentang tradisi kampung Khoja, Semarang, di bulan Ramadhan bersamaan dengan mulai dibukanya kesempatan untuk mengikuti Parallel Events Biennale Jogja XI. Pada awalnya, tidak ada alasan khusus mengapa kami memilih Khoja, kecuali bahwa mereka adalah komunitas yang menjadi representasi orang-orang migran (India) yang tinggal di Indonesia, dari sini terbuka kemungkinan untuk mengangkat salah satu isu yang ditawarkan dalam Parallel Events Biennale Jogja XI yakni relasi antara Indonesia-India. Berangkat dari temuan awal yang sederhana; Orangorang Khoja menyajikan bubur khas Khoja untuk berbuka puasa bagi masyarakat umum tiap bulan Ramadhan, kami mulai mencari tahu lebih dalam mengenai mereka. Beberapa kali kami bertandang ke kampung Pekojan di Semarang, serta mencari tambahan referensi literatur dan informasi dari dunia maya. Pada proses mencari data ini kemudian kami bertemu dengan beragam hal dan kemungkinan untuk mengangkat orang-orang Khoja. Temuan-temuan tersebut kami anggap sebagai hal yang bisa memberi warna berbeda pada isu yang ditawarkan dalam Parallel Events Biennale Jogja XI. Yang pertama adalah begitu kuatnya pengajaran Agama Islam bagi Orang Khoja, sementara di sisi lain mereka menerima Jawa (sebagai budaya, sebagai tempat) dengan terbuka dalam kehidupan kesehariannya. India, melalui orangorang Gujarat selain datang memperkenalkan Hindu dan Buddha, juga datang memperkenalkan Islam (tentu saja bersama Arab dan Cina). Yang kedua, adalah tradisi keluarga (Sekolah Ma’had al Islamiy, pertemuan tiap lebaran, ritual dan kostum dalam pernikahan, Bahasa Tambul) yang meski sudah jauh tereduksi tetap mereka jalankan. Melalui tradisi dan ritual tersebut identitas mereka sebagai Orang Khoja terus bertahan, meski pada generasi berikutnya, hal seperti baju atau topi khas Khoja tidak lagi popular mereka tetap Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
Khoja Jawa was a collaborative exhibition organized by the Kandang Jaran Group. This project was based on one of the focus themes proposed by the Parallel Events program of Biennale Jogja XI: Indonesia meets India: “Religiosity and Diversity”, “Equator” and “Relationship between Indonesia and India”. The meeting between Kandang Jaran with the Khoja people was unplanned. We happened to see an article about Khoja traditions in Semarang during the month of Ramadhan, just as the opportunity to participate in the Parallel Events of the Biennale Jogja XI was offered. Initially, there was no specific reason for us to choose to work with the Khoja, except that they represented a community of (Indian) migrants who resided in Indonesia. This meeting opened the way for the possibility to address one of the issues proposed by the the Biennale Jogja XI Parallel Events, i.e., the relationship between Indonesia and India. It began simply. The Khoja offered us a characteristic Khoja porridge to break the fast in the evening during Ramadhan. We wanted to know more about them. We visited the Pekojan neighborhood in Semarang several times and searched for additional references in the existing literature and information on-line. During this process, we uncovered several issues and possible topics to address in relation to the Khoja. We felt that our findings could give a different tone to the issues offered by the Parallel Events. First, the intensity of Islamic teachings amongst the Khoja in the midst of an open acceptance of Java (as a culture and place) in their daily lives. The Gujarat people of India introduced not only Hinduism and Buddhism to Java, but also Islam (as did, of course, Arabs and Chinese). Second, the Khoja have family traditions (Ma’had al Islamiy school, gatherings during Lebaran, wedding rituals and costumes, Tambul language) that, although modified, they continue to observe. They have retained their identity as Khoja through their maintenance of these traditions and rituals. If in the next generation, the characteristically Khoja clothes and hats are no longer popular, then they will find other symbols of their identity. Previously, in the 1970s and 1980s, the Khoja adopted songs from Indian films and performances of Orkes Melayu as part of their ethnic identity.
41
Ilusi, Muslihat, dan Perjalanan Menemui Bayang-Bayang Leluhur Dalam perkawinan campur antara keturunan Koja dan Jawa, pengenaan busana Jawa dan Koja selalu hadir bergantian dalam satu upacara resepsi. Kontrak kreatif dalam penciptaan generasi mendatang ini, seperti sebuah upaya pendakuan akan masa lalu para leluhur. Entah sebuah ilusi, entah sebuah muslihat, entah sebuah upaya spiritual dalam perjalanan menemui bayang-bayang leluhur, busana pengantin antar dua kultur moyang senantiasa meriasi para mempelai di Pekojan. Problematika akan muncul ketika harga sewa busana pengantin tak bisa dijangkau oleh mempelai sehingga identitas leluhur tak hadir mendandani diri. Mungkin pada realitas kemiskinan ini, upaya spiritual menemui bayang-bayang leluhur melalui busana pengantin sesungguhnya hanya sebuah fesyen.
The illusion, trick, and the journey to meet the shadows of the ancestors In a mixed marriage between the descendants of the Koja residents and the Javanese, the couple would change their costumes in the wedding reception, from Javanese costumes to those of Koja. Such creative contract for the future generations seems to serve as an effort to claim the past eras of the ancestors. The wedding costumes of the two ancestral cultures would always bedeck the newly-weds in Pekojan; this might be an illusion, a trick, or a spiritual effort in the journey to meet the shadows of the ancestors. Problems will arise as the bride and the groom cannot afford to rent the costumes, and are thus unable to dress in the ways that assert their ancestral identities. Perhaps in the face of such poverty, the spiritual effort to meet the shadows of the ancestors through the wedding costumes only reflects a certain fashion. Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
42
menemukan penanda identitas yang lain. Hal itu juga terjadi pada orang-orang Khoja generasi tahun 70’an dan 80’an yang menemukan penanda lain berupa lagu-lagu dari film India dan pertunjukan Orkes Melayu sebgaia bagian dari pembentukan identitasnya. Yang ketiga, yang kami anggap cukup menarik, adalah kenyataan bahwa orang-orang Khoja mengakui bahwa mereka sudah kehilangan jejak leluhurnya. Bagi mereka, masjid, sekolah, dan bangunan-bangunan lain yang berdiri sejak awal abad ke-20 adalah monumen keberadaan Khoja di masa lalu. Dari hal tersebut di atas, kami mengolah data dan pengalaman di lapangan untuk menjadi catatan-catatan atas keberadaan orang Khoja yang di satu sisi tetap memegang teguh nilai dan ritus agama, namun di sisi lain juga terbuka terhadap pengaruh dari kebudayaan lain (dalam hal ini Jawa, India, dan juga Cina). Dua sisi yang sepertinya bertolak belakang, namun hadir dalam kehidupan seharihari Orang Khoja ini kami bahasakan sebagai kelenturan. Sikap yang terbuka ke luar, namun tetap menjaga nilainilai yang mereka anggap penting dalam kehidupan. Kelenturan menempatkan Anggota kelompok rebana PMM (Persatuan mereka di situasi Majelis Muslim) hendak terlibat pementasan. ambang, di mana Sekilas kostum mereka sama, tapi dalam detail upaya menjadi orang kopiah ada kebebasan pilihan / Members of the tambourine group of PMM (Persatuan Majelis lain dan usaha Muslim, or the Moslems’ Assembly) before a bertahan menjadi diri performance. At a glance, their costumes look the same, but there is freedom of choice in the sendiri berlangsung details of the cap sekaligus. Tiga orang penulis (Taufiq Nur Rachman, Muhammad Abe dan Ikun Sri Kuncoro) serta tiga fotografer (Galatia Puspa Sani, Budi ND Dharmawan, dan Arya Suksma) berangkat ke lapangan, lalu menafsir kenyataan Khoja Pekojan Semarang melalui medium mereka masingmasing. Dalam perjalanan proses, hasil tafsir pertama ini dibagi kepada seniman-seniman lain untuk ditafsir Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
Third, which we considered to be very interesting, the Khoja admit that they are losing the tracks of their ancestors. They see the mosques, schools and other buildings that have stood since the beginning of the 20th century as monuments to the presence of the Khoja in the past. We compiled the data and notes from our field experiences regarding the presence of the Khoja who on the one hand held tightly to their religious values and rituals, but on the other hand were open to influences from other cultures (in this case, Java and India, and also China). We see these two tendencies that appear to be opposite in nature, yet both present in the daily lives of the Khoja as a sign of flexibility. They have an open attitude to outside influences, Dua makam penting di halaman masjid Jami yet continue to Pekojan. Haji Alwan bin Rofi’i, orang terkaya di preserve values that masa pendudukan Belanda. Syarifah Fatimah, yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat they consider to be Pekojan / Two important graves on the front yard important in their of the Pekojan Mosque: those of Hajj Alwan bin Rofi’i, the richest man during the Dutch colonial lives. This flexibility period, and Syarifah Fatimah, whom people allows them balance generally consider as the first settler in Pekojan between striving to evolve while preserving their cultural identities at the same time. Three writers (Taufiq Nur Rachman, Muhammad Abe and Ikun Sri Kuncoro) and three photographers (Galatia Puspa Sani, Budi ND Dharmawan and Arya Suksma) went to the field, then interpreted the realities of the Khoja in Pekojan, Semarang, each through their own respective
dengan disiplin dan medium masing-masing. Mereka adalah Keluarga Mahasiswa Seni Lukis Institut Seni Indonesia/ISI Yogyakarta, Zoe (penari), Arif Jay Autoz Clothing, Komunitas Jazz Jogja dan Irvan Noviansyah.
Ruang adalah bagian penting masyarakat Pekojan, sebuah lapangan badminton bisa disulap sebagai ruang pertemuan ibu-ibu dan arena bermain anak; emper bisa menjadi tempat menjereng pakaian Space is an important part of the Pekojan society. A badminton court can be turned into a meeting place for mothers and as a playground for the local children, while the sidewalk might serve as a place to hang the clothes to dry
Beberapa desain Kaos Tambul, oleh Arif Wijayadi. Dak Dahwen: Jangan mencampuri urusan orang lain. Kathu: Orang Jawa. Udemi: Orang Arab. Tauji: Orang China. Aladifi: Apa adanya. Several designs for Kaos Tambul (Tambul T-shirt) by Arif Wijayadi. Dak Dahwen: Mind your own business; Kathu: Javanese; Udemi: Arabian; Tauji: Chinese; Aladifi: Unpretentious
Para seniman ini kami ajak untuk bersama-sama mewujudkan temuan dan tafsir di lapangan untuk menjadi bagian dari presentasi. Tim Kandang Jaran membuka kemungkinan terhadap tafsir baru yang mungkin muncul dari para seniman yang diajak. Pada praktiknya memang banyak seniman yang membuat tafsir baru atas temuantemuan kami di lapangan atau memilih untuk memaknai dua tema lain yang ditawarkan dalam Parallel Events Biennale Jogja XI. Berikut profil tim kerja Kandang Jaran: Taufik Nurrochman adalah Mahasiswa S1 Sejarah Universitas Gadjah Mada/UGM. Dalam proyek ini ia menulis makalah Sejarah. Dari beberapa sumber buku sejarah yang ia kumpulkan, Taufik menduga, Khoja ada di Jawa sejak abad 17 dan 18. Khoja Jawa adalah Gujarat, migran penyebar Islam dari India yang sering disebut dalam teks Sejarah Indonesia. Bagi Taufik, Khoja adalah narasi yang terlupakan dalam pencatatan sejarah Indonesia. Muhammad Abe adalah Sarjana lulusan Sejarah UGM. Ia sekarang aktif menulis untuk proyek-proyek pertunjukan teater. Dalam proyek ini ia memajang
media. Then, these initial interpretions were shared with other artists to be interpreted in other disciplines and media. These artists were: painting students from Indonesia Institute of the Arts (ISI Yogyakarta), Zoe (dancer), Arif Wijayadi of Autoz Clothing, Jogja Jazz Community, and Irvan Noviansyah. We invited these artists to interpret our findings from the fieldwork and to join in a presentation. The Kandang Jaran team invited these artists to reinterpret our fieldwork findings or to address one of the other two themes offered by the Biennale Jogja XI Parallel Events. Profile of Kandang Jaran Team: Taufiq Nur Rachman is a history student at Gadjah Mada University (UGM). He wrote the historical narrative for this project. Upon consulting several history books, Taufik concludes that the Khoja have been in Java since the 17th and 18th centuries. The Khoja in Java are from Gujarat; migrants who brought Islam from India. Taufik feels that the Khoja represent a forgotten narrative in the notes of Indonesian history. Muhammad Abe is a graduate in History from UGM. He often writes for theater performance projects. For this project, he presented six short notes about the Javanese Khoja. He illustrated how the practices of religious fundamentalism and syncretism complement each other in Pekojan. He also wrote about the longing for the lost generation, the search for the shadows of their ancestors. Ikun Sri Kuncoro, writer. In this project, he presented several articles, including Becoming the Other in Pekojan, Pekojan Street (poem), The Story of Nek Fatimah, The Journey in Search of Our Ancestors’ Shadows, Canal Story. The photographers worked together in the field with the writers to capture their stories. In addition to producing new visual images, they also gathered and selected Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
43
44
tulisan berisi enam catatan pendek tentang Khoja Jawa. Secara umum ia menggambarkan bagaimana paktik fundamentalisme dan sinkretisme beragama berkompromi di Pekojan. Juga tentang kerinduan generasi yang hilang, mencari bayang-bayang leluhur mereka. Ikun Sri Kuncoro, penulis. Dalam proyek ini ia mempresentasikan beberapa karya tulis, antara lain: Menjadi Liyan di Pekojan, Jalan Pekojan (puisi), Cerita Nek Fatimah, Perjalanan Menemui Bayang-Bayang Leluhur, Kisah Selokan. Di lapangan, fotografer bekerja secara simultan dengan penulis untuk menjaring cerita. Selain menghasilkan karya visual baru, mereka juga bekerja mengumpulkan dan menyeleksi arsip foto lama warga Pekojan yang dianggap relevan dengan proyek Khoja Jawa Galatia Puspa Sani adalah mahasiswa Sosiologi UGM dan pegiat Unit Fotografi UGM. Budi ND Dharmawan adalah pegiat Cephas Photo Forum, dan Arya Suksma adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM. Mereka bertiga selama ini suntuk menekuni Fotografi Dokumenter. Dari sekian banyak bidikan mata mereka di lapangan, akhirnya terpilih beberapa fokus cerita yang ditampilkan, yaitu : Bangunan, Air Bersih, Selokan, Gang, Interaksi sosial, Masjid Jami’ Pekojan, Fesyen, Perkawinan, perjumpaan dengan China, Jong Moor, Kelompok Kesenian Rebana dan foto profil. Beberapa foto dicetak pada medium piring, jam dinding, dan kaos. Setelah pameran berakhir, karya foto tersebut diserahkan kepada warga Pekojan. Para penafsir kedua tidak berangkat ke Pekojan. Mereka bekerja setelah mendengar dan melihat kisah-kisah yang dibawa pulang penulis dan fotografer dari Pekojan. Berikut adalah profil mereka: Zoe adalah Mahasiswa INCULS UGM dari Amerika. Selain kuliah, saat ini ia sedang aktif belajar tari Jawa di Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta UGM. Di Amerika Zoe, pernah belajar tarian India. Ia mencipta sebuah komposisi tari India berjudul Bunga. Tari tersebut bercerita tentang proses tumbuhnya kasih sayang. Zoe menampilkan komposisi tarinya dalam proyek ini. Ia melihat di dalam tubuhnya ada kebudayaan Jawa dan India yang bersemayam. Ia merasa tubuhnya memiliki pengalaman yang sama dengan Khoja Jawa. Arif Wijayadi adalah designer kaos indie, pemilik Autoz Clothing, sebuah merk kaos indie di Jogja. Dalam proyek ini, ia memanfaatkan Bahasa Tambul, bahasa lokal Khoja Pekojan Semarang untuk diolah menjadi sebuah desain kaos Indie. Bahasa Tambul dimanfaatkan Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
photos from the archives of Pekojan residents that they considered to be relevant to the Khoja Jawa exhibition. Galatia Puspa Sani is a sociology student at UGM and a member of the UGM Photography Unit. Budi ND Dharmawan is a member of the Cephas Photo Forum and Arya Suksma is a student in Communications at UGM. These three photographers have studied documentary photography intensely. From the many photographs that they took in the field, they selected several foci for stories: Buildings, Clean Water, Canals, Alleys, Social Interaction, Jami’ Mosque in Pekojan, Fashion, Marriage, Meetings with China, Jong Moor, Rebana Art Group, and profiles. Several photos were printed on plates, wall clocks and t-shirts. After the exhibition was over, the photographs were given to the Pekojan residents. The second group of interpreters did not go to Pekojan. They created their artwork after hearing and seeing the stories that the writers and photographers brought back from Pekojan. Zoe is an exchange student from America in the INCULS program at UGM. Besides attending lectures, she is studying Javanese dance with the Surakarta Style Performing Arts Unit at UGM. Zoe has studied Indian dance in America. She created an Indian dance composition entitled Bunga [Flower], which tells the story of budding love. Zoe felt that seeds of both Javanese and Indian cultures were growing within her, and thus she was experiencing something similar to the Khoja Jawa. Arif Wijayadi is a designer of indie shirts and the owner of Autoz Clothing, an outlet for indie shirts in Jogja. For this project, he used the Tambul language, the local language of the Khoja in Pekojan, Semarang, in the design of the shirt. Tambul was used to make a statement for the Khoja Jawa. With this shirt, he features the spirit of diversity as a reflection upon his observation of the Khoja Jawa. He gave the shirt he designed to the Khoja residents of Pekojan to be used for creative business opportunities. The design was named “Kaos Tambul” [Tambul Shirt]. The Jogja Jazz Community was represented by Gian Afrisando (saxophone), Diwa Hutomo (vocals), Anggrian Hida (drum), and Eko Widyamanto (keyboard). They presented their interpretation of the Khoja findings at the exhibition opening in a jam session that featured the “playing Khoja Jawa sounds”. Irvan Noviansyah has studied psychology at UGM. He is a member of a drawing group that gathers every Sunday
untuk membangun sebuah pernyataan diri Khoja Jawa. Melalui kaos tersebut, ia ingin mempertontonkan spirit keberagaman sebagai refleksi tatapannya atas Khoja Jawa. Desain kaos karya Arif Wijayadi diberikan kepada warga Khoja Pekojan agar digunakan sebagai sebuah peluang usaha kreatif. Desain tersebut diberi nama Kaos Tambul. Komunitas Jazz Jogja diwakili oleh Gian Afrisando (saksofon), Diwa Hutomo (vokal), Anggrian Hida (drum), Eko Widyamanto (keybord). Pada saat pembukaan pameran mereka mempresentasikan tafsirnya melalui jamm session dengan pijakan: bermain bunyi Khoja Jawa.
afternoon at UGM, and is active in the UGM Photography Unit. For this project, he made an installation in the form of a pigeon house, entitled Pantang Pulang [Forbidden to Go Home]. The Painting Students from ISI Yogyakarta interpreted the “tales” brought by the Kandang Jaran team in 10 paintings: M. Fadhil Abdi, Finish Her!; Rosit Mulyadi, Mothering; Chrisna Bayu. S, Waiting for a Marriage; Imaculata Yosi Probowati, I’m Javanese; M. Toyib, The Story of Khoja Jawa; Angga Yuniar Santosa, Tembang Golek-golekan Khoja Version; Karya Herly Setiawan, Penghalang [Obstacle]; Nissak Latifah, Boleh dilihat jangan diintip [You Can See, But Don’t Peek]; Agni Saraswati, Sarapan Pagi [Breakfast]; Justian Jafin, Birahi Visual [Visual Passion].
Irvan Noviansyah pernah kuliah di Fakultas Psikologi UGM. Pegiat kelompok menggambar minggu sore UGM. Aktif di Unit Fotografi UGM. Dalam proyek ini, ia membuat The presentation about the Khoja Jawa featured karya instalasi berupa rumah burung merpati. Karya information, our experiences in the field, and tersebut berjudul Pantang Pulang. interpretations by artists on the themes selected by Kandang Jaran. The combination of these elements Keluarga Mahasiswa Seni Lukis ISI Yogyakarta demonstrated the diversity of our experiences throughout menafsir “dongeng” yang dibawa oleh Kelompok Kandang the entire process of the project from the initial meeting Jaran dalam 10 karya lukis. Mereka adalah : M. Fadhil through to this presentation. Abdi, dengan judul Finish Her!. Rosit Mulyadi dengan judul Mothering. Chrisna Bayu. S, berjudul Waiting a The Khoja Jawa presentation is Kandang Jaran’s first Marriage. Imaculata Yosi Probowati, dengan judul I’m interaction with the Khoja of Pakojan. This initial step Javanese. M. Toyib, berjudul The Story of Java Khoja. indeed embraces diverse elements, indicating a desire Angga Yuniar Santosa dengan judul “Tembang Golek to show many aspects of the lives of Khoja people or the golekan” Khoja Version. Karya Herly Setiawan berjudul Khoja neighborhood, as well as the many perspectives of Penghalang. Nissak Latifah dengan judul Boleh dilihat the Khoja. This presentation is only one way to introduce jangan diintip. Agni Saraswati dengan judul Sarapan issues about the Khoja; there are still many possibilities Pagi. Justian Jafin dengan judul Birahi Visual. for more discussions and presentations future, and for new and different interpretations. Wujud presentasi Khoja Jawa adalah menghadirkan informasi, pengalaman selama kami berada di Each artistic discipline contributed and actively supported lapangan, serta tafsir yang muncul dari para seniman the implementation of the presentation. There was also terhadap tema yang diangkat oleh Kandang Jaran. mutual support regarding the visitors of the exhibition who Informasi, pengalaman, maupun tafsir dilebur menjadi came from various backgrounds, reflecting the diversity satu dalam presentasi, baik dalam bentuk maupun of the project participants. A meaningful relationship penempatan karya, hal ini memang disengaja bukan between the participants and the exhibition supporters untuk mengaburkannya tapi justru untuk menunjukkan developed. This relationship represents the development keragaman pengalaman kami selama proses menuju of a social network amongst stakeholders. The concept presentasi. meeting between participants from diverse disciplines stimulated creativity. An art event cannot grow in a Apa yang terwujud dalam presentasi Khoja Jawa healthy manner in an atmosphere of unwillingness and merupakan tatapan awal Kandang Jaran terhadap orang stubbornness to keep to oneself. Khoja. Tatapan awal tersebut memang beragam, ingin menunjukkan banyak sisi kehidupan orang Khoja atau Irfanuddien Ghozali Artistic Coordinator Kandang Jaran Group kampung Khoja, juga banyak cara pandang terhadap Khoja. Presentasi tersebut hanya merupakan salah satu jalan untuk menggulirkan isu tentang Orang Khoja, masih ada banyak kemungkinan guliran lain yang bisa terjadi Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
45
Catatan Pekojan
46
Jalan Pekojan (Nop/2011) Ini sebuah jalan yang ramai. Lebarnya 8 meteran. Dengan emperan selebar 1 meteran. Memanjang sejauh nama jalan. Mungkin sepanjang 1,5 kilometeran Mobil-mobil parkir di sisi timur. Kadang diselingi motor. Kadang motor memilih di sisi seberang Tak semua toko buka. Pintu yang usang menandai Betapa lama toko tlah mengancing diri. Ini jalan membujur ke selatan Di mulut utara Kota Lama Di ujung selatan sebuah jembatan Seterusnya pecinan Klentheng dan restoran Ini jalan Pekojan Padatnya parkiran menutup toko-toko yang berjualan Tapi ini bukan sebuah jalan Tempat orang Semarang berjalan-jalan Menonton dagangan yang dipamerkan Ini sebuah jalan dengan gerah kota sisa pelabuhan Pekojan Notes Jalan Pekojan, salah satu penanda utama hadirnya masyarakat Khoja. Sisasisa bangunan lama bermotif China berdesakan dengan bangunan model baru / Pekojan Street, one of the main signifiers for the presence of the Khoja community. Remnants of old buildings with Chinese decor stand side by side with buildings in later styles
setelah presentasi berlangsung, begitu pula tafsir baru yang berbeda masih mungkin dimunculkan. Pada sisi produksi pameran, setiap disiplin kerja turut memberikan kontribusi dan dukungan yang aktif dalam pelaksanaan pameran. Selain itu, terjadi dukungan silang dalam soal pengunjung pameran dari pola kerja sama di atas. Pengunjung menjadi semakin beragam latar belakangnya. Selebihnya, terjadi hubungan yang bermakna antar pelaku dan pendukung pameran. Hubungan tersebut adalah terbangunnya jejaring sosial antar stake-holders. Kemudian, pertemuan gagasan antarpelaku yang memiliki keragaman disiplin kerja memicu lahirnya kreativitas. Peristiwa kesenian, tak mungkin tumbuh dengan sehat jika sungkan melentur dan kukuh memelihara watak menyendiri. Irfanuddien Ghozali Koordinator Artistik Kelompok Kandang Jaran Pemenang Parallel Events - Kandang Jaran / The Winner
The street of Pekojan (November 2011) This is such a busy street Its width is twenty-six feet. With a sidewalk of three feet. Going like long, long aisles. Perhaps as far as nine miles. Cars are parked on the east. With motorbikes, at least. Tho’ the bikes often face the east. Not all the stores greet the town. From the aging doors it is shown, How long the stores have been shut down. The road lies to the south of the town In the north is the Old Town In the south a bridge advances. The Chinatown is around With the temples and the restaurants. This is the Street of Pekojan. Entrances to stores are obstructed by parking sedans. This is not the ground For the residents of Semarang to walk around Looking at the wares of all sorts. This is a street exuding the heat of the old port.
“Aku, Kamu, dan Kita”
47
Me, You and Us
Diinisiasi oleh/initiated by: Ruang Mes56 Diorganisasi oleh/co-organized by: Ruang Mes56 & Kampung Halaman Pameran /exhibition: 28 November-3 December 2011 (iCAN) Indonesia Contemporary Art Network Jln. Suryodiningratan no 39, Yogyakarta
Poster publikasi proyek Pameran Fotografi Pelajar SMA Yogyakarta Aku, Kamu & KIta yang di prakarsai oleh Ruang MES 56 dan Kampung Halaman Poster for “Aku, Kamu, & Kita”, Yogyakarta high school students photography project exhibition. Inisiated by Ruang MES 56 and co-organized by Ruang MES 56 with Kampung Halaman Parallel Events - Ruang MES 56
48
Budhe Yanti dan Om Rizal mukanya Jawa banget. Tante Nola dan Tante Liza mukanya bule banget. Mama mukanya China. Jadinya, Mama nikah sama Papa dan jadilah aku! Orang Indonesia. Karya Amanda Hendratyasmani, SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Aunty Yanti and Uncle Rizal look very Javanese. Aunty Nola and Aunty Liza really look like white women. My mother looks like a Chinese. My mother married my dad, and here I am! An Indonesian. Photograpy by Amanda Hendratyasmani, SMA Stella Duce 1 Yogyakarta.
Parallel Events - Ruang MES 56
Saat ini banyak bermunculan hal-hal berbasis agama, “Les Inggris Bernuansa Islami”, toko jilbab dan aksesori Islami. Itu yang kasat mata. Agama lain juga mengalami hal yang kurang lebih sama, “sedang giat-giatnya”, tapi Islam terlihat menonjol karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Pembangunan rohani (beragama) yang sedang giat-giatnya ini akan lebih baik jika dibarengi dengan saling memahami antar agama. Membicarakan agama secara terbuka—di mana ada rasa saling menghargai dan memahami—adalah proses penting yang harus dilakukan. Hal itu tidak mudah karena tidak dibiasakan sehingga yang terjadi rasa saling menghargai dan memahami itu cenderung ditekan untuk tidak dilakukan.
Today we see the commodification of religions everywhere, such as in “Islamic” English courses or stores selling “Islamic” veils and accessories—all in plain view. Other religions more or less go through the same process, in full speed, but when Islam is involved it becomes conspicuous because this is a predominantly Moslem country. This latest development can be understood better through a cross-cultural understanding. Open discussions on religions, which should involve respect and understanding, are key. Practice makes things easier, but open discussions on religions are not something Indonesians are familiar with. If such reluctance continues, the aforementioned respect and understanding are at stake.
Ruang MES56 memilih foto sebagai ‘alat bicara’ dan remaja sebagai ‘yang berbicara’, karena foto adalah media yang bisa mempermudah proses memahami “hal yang sulit (tabu, bahkan dosa) untuk diomongin”. Memotret itu gampang dan menyenangkan. Adapun ‘remaja’, adalah pelaku kedamaian dan cinta di masa depan, namun di saat yang sama menjadi target bagi pendidikan berkarakter yang juga “sedang giat-giatnya” diterapkan di dunia pendidikan yang tidak jelas arah tujuannya.
Ruang Mes56 has chosen the camera as the “means of communication” and teenagers as the “communicators,” because photos are a medium that can facilitate the process of understanding matters that are difficult (taboo or “sinful”) to talk about. Teenagers are agents of peace and love for a better future, but at the same time are often targets of “character building,” aggressively foisted on them in an educational arena with no clear direction. More broadly, there have been insistent efforts from certain groups to diminish diversity, and yet the state does little about it. To them, diversity is not seen as social capital, but rather as something “odd” or “threatening,” thus significantly impeding a climate of tolerance, empathy, and understanding. In this program, Ruang Mes56 encourages teenagers to be open in sharing their religious experiences, to promote an appreciative atmosphere.
Di ruang yang lebih luas, ada upaya-upaya keras dari beberapa kelompok untuk meniadakan keberagaman dan itu dibiarkan oleh negara. Keragaman tidak dilihat sebagai modal sosial, sebaliknya, malah dianggap sebagai sesuatu ‘yang aneh’, ‘ yang mengancam’, dan itu sama saja dengan menghapus toleransi, empati, dan saling memahami. Dalam kegiatan ini, Ruang MES56 mendorong remaja untuk dapat terbuka, saling menceritakan pengalaman beragamanya, sehingga dapat “Aku, Kamu, dan Kita” (“I, You, and We”) is a photography saling memahami. competition open to all teenagers that begins with a semiworkshop introduction, through which participants will Kegiatan “Aku, Kamu dan Kita” berupa kompetisi gain required knowledge and skills, as well as necessary fotografi, dengan sifat semi workshop, karena peserta technical assistance. The competition emphasizes results dibekali pengetahuan dan teknik melalui workshop dan that reflect daily life, and successful entries will include asistensi. Kompetisi ini bersifat terbuka, menekankan multiple images and have a clear, defined concept. pada bentuk-bentuk karya yang bersifat proyek dan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Dalam lomba ini, The series of events in this program take on the theme karya-karya single atau yang tidak memiliki gagasan atau “Religions, Identities, and Social Interactions among konsep yang utuh tidak diterima. Young Students in Yogyakarta,” which will be conducted from October 7 until November 6, 2011. The activities Rangkaian kegiatan mengambil tema “Agama, Identitas will involve a number of senior high schools, namely: dan Hubungan Sosial di kalangan pelajar di Yogyakarta”, Stella Duce 1 High School Yogyakarta, BOPKRI 1 High diselenggarakan mulai 7 Oktober hingga 6 November School Yogyakarta, BOPKRI 2 High School Yogyakarta, 2011, melibatkan beberapa sekolah menengah atas, State High School 5 Yogyakarta, Muhammadiyah 1 High yakni: SMU Stella Duce 1 Yogyakarta, SMU BOPKRI 1 School Yogyakarta, and Muhammadiyah 3 High School Yogyakarta, SMU BOPKRI 2 Yogyakarta, SMU Negeri 5 Yogyakarta. The activities will be organized by Mes56 Yogyakarta, SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta, SMU Studio at each school. Parallel Events - Ruang MES 56
49
50
Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Kegiatan diselenggarakan di Studio Mes56 dan di sekolah masing-masing peserta. “Aku, Kamu, dan Kita” Catatan proses bersama remaja Yogya. “Terimakasih untuk remaja Yogya yang sudah membagikan pengalaman hidupnya lewat foto di selasela aktivitas mereka di sekolah! YEY, SELAMAT YA, CUMUNGUD EAA.” Saya Cicilia, salah satu pendamping remaja di Aku, Kamu, dan Kita, menuliskan pengalaman saya saat bersama mereka. Tulisan ini tentang remaja dan sangat dianjurkan dibaca oleh orang dewasa. Proses workshop Menariknya proses workshop ini, saya bagi menjadi dua: yang pertama adalah saat kami, para ‘guru’ ini sharing, merencanakan dan mencari cara alias metode yang seru untuk workshop. Menarik yang kedua adalah saat bersama remaja. Proses pertama: Saat sharing para ‘guru’ Dari awal, kami mencari gimana caranya agar remaja bisa enjoy dengan kegiatan ini, karena kami tahu mereka sibuk dengan sekolah. Harus ada daya tarik dan kamipun memutuskan kegiatan ini berbentuk kompetisi dengan hadiah: remaja bisa pameran di 3 (tiga) kota. Setelah itu kami membagi peran sesuai kemampuan kami, Kampung Halaman di metode workshop yang tujuannya: remaja bisa menjadi dirinya, bisa menentukan pesan yang ingin disampaikan; dan Mess 56 di proses menuangkan pesan tersebut ke dalam foto. Dalam praktiknya sih peran kami tumpang tindih, dinamis sekali, dan itu membuat kami sama-sama berkembang. Kami sadar apalah kami (Aku, Kamu, dan Kita), dibandingkan dengan mata pelajaran yang di UN (Ujian Nasional)-kan. Aku, Kamu, dan Kita, dengan hanya satu jam dalam seminggu dan dilakukan di siang hari ketika tubuh sudah ‘bekerja keras’ di kelas dan minta istirahat harus berkompromi dengan kegiatan sekolah yang lain yang lebih penting: mata pelajaran UN yang memiliki Parallel Events - Ruang MES 56
“Aku, Kamu, dan Kita [Me, You and Us]” Notes on our time with young people in Yogya “Thank you to the youth of Yogya who have shared their life experiences through photographs of their activities in school! YEAH! CONGRATULATIONS! RIGHT ON!” I am Cicilia, one of the facilitators for Me, You and Us, writing about my experience with the young participants of this program. This article is about youth and it is recommended reading for adults. Workshop process Two parts of this workshop were particularly interesting: first, when we, the facilitators, gathered to brainstorm to plan this project and search for an exciting way to implement the workshop; and second, the time we spent with the young workshop participants. First stage: Brainstorming with the facilitators In the beginning, we searched for a way to present the workshop so that the young people would enjoy this activity because we knew that they were busy with their schoolwork. There had to be something attractive about the program. We decided that this activity would be a competition with a prize: an exhibition in three cities. Then we divided up the work according to our capabilities: Kampung Halaman handled the workshop with the objective of encouraging the young participants to find their own voices and express them effectively, and Mess 56 concentrated on the process of expressing their messages in the photographs. In practice, our roles overlapped in a very dynamic way and supported our mutual growth. We realized that this project, Me, You and Us, was not as important as the core academic subjects that the students would be tested on in the national exams. The workshop Me, You and Us would meet only one hour each week in the afternoon, after the students had worked hard in class and wanted to rest. We had to compromise with other school activities that were more important: the core subjects that were taught over many hours during the school day and received extra attention from the teachers and parents, and were the subjects of many people’s prayers.
Thus, when Aku, Kamu, dan Kita was allowed to be a part of the extracurricular photography classes in several schools, we were very grateful. We knew that we would not Maka, ketika Aku, Kamu, have much time, only dan Kita diperbolehkan 2-3 meetings with the masuk di kelas ekskul students, so we tried to be fotografi di beberapa as effective and interesting sekolah, kami bersyukur as possible in conveying sekali. Kami tahu the project objectives and waktunya sempit, hanya material. Actually, there 2-4 kali pertemuan, jadi was not much to convey. kami berusaha seefektif It was basically: “What dan semenarik mungkin Workshop pematangan gagasan siswa-siswa SMU peserta project “Aku, Kamu & Kita” dipandu Ruang are your experiences that dalam menyampaikan MES56 dan Kampung Halaman, di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. / The workshop at the Seminar Room of Yogyakarta Arts Center to refine the ideas of the high school students that you want to tell us about materi. Materi kami participated in the “I, You, & We” (Aku, Kamu, & Kita) project, with the guidance from Ruang MES56 and and express through sebenarnya hanya Kampung Halaman photography?” How did sedikit yaitu, “Apa sih we do it? We, who are pengalaman yang ingin still young at heart, talked about our own experiences mereka ceritakan dan tuangkan lewat foto. Caranya? first. We showed them photographs that other young Kami yang masih berjiwa remaja ini menceritakan pengalaman hidup kami lebih dulu, kami memperlihatkan people had taken and videos that other young people had made that they could use as references to instill a feeling foto-foto yang remaja lain buat, video-video yang remaja that they were important and could talk about whatever lain buat sebagai referensi mereka, bahwa mereka itu penting dan bisa mengungkapkan pengalaman apa saja. experiences they had. jam ajar banyak, yang dapat ekstra perhatian dari para guru dan orang tua, yang didoakan oleh orang banyak (istigosah).
Setelah itu tim ‘guru’ Aku, Kamu, dan Kita membagi diri, tiap orang konsentrasi pada beberapa peserta, menyesuaikan dengan jadwal tiap peserta untuk mengatur pertemuan demi pertemuan. Para ‘guru’ ini juga sering ‘rapat’ membahas perkembangan tiap peserta dan juga teamwork kami. Di tahap ini, peserta yang benarbenar berminat mulai terlihat, ide mulai mengalir bahkan luber. Peserta mau foto ini dan foto itu, lalu kami pun mengajak mereka untuk fokus pada apa yang menurut mereka paling penting untuk saat ini diceritakan. Hal lain yang kami lakukan adalah dengan mempertemukan para remaja dari berbagai sekolah ini dalam satu ruang, berkenalan, gaul dan mempertajam ide-ide mereka. Ini kami lakukan karena kok kayaknya remaja bergaul antar sekolah, tanpa sekat, adalah hal penting tapi jarang dilakukan karena terlalu sibuk di sekolah masing-masing. Sehari sebelum itu kami melakukan persiapan, kami sharing metode, kami juga berlatih games yang akan kami lakukan bersama remaja. Games-nya seru karena mengajak orang untuk mengeluarkan ekspresinya secara individu, sekaligus bekerjasama dengan sesama pemain games. Kami ngguya-ngguyu wae selama latihan, kompak itu fun yah.
After that, the each facilitator worked with a smaller group of participants and they each arranged their own schedules for the following meetings. The facilitators often met with each other to discuss the developments of each participant and their teams. At this stage, the participants’ interests were obvious; ideas flowed, indeed often overflowed. The students wanted to photo this and photo that, so we encouraged them to focus on whatever they felt was the most important thing to be told. We also brought the young participants from several different schools together to meet each other and work on sharpening their ideas. We did this because it seems that it is important for students from different schools to meet with each other in open forums, but it is rarely done because the schools are so busy with their own events. The day before the gathering, we prepared the participants by introducing the methods and games that would be used and played. The games were great because they got the participants to express themselves, as well as to cooperate with each other. We laughed throughout the entire practice session. It was fun!
Parallel Events - Ruang MES 56
51
52
Proses kedua: saat bersama remaja Saya tidak membahas foto-foto karya remaja karena itu bisa dilihat sendiri, tapi saya akan cerita tentang obrolan yang mengalir saat kami bersama remaja. Saya yang punya masa remaja di Yogya, di salah satu SMA yang terlibat dalam kegiatan ini, sempat bernostalgia pada halhal yang dulu juga saya alami saat saya seusia mereka. Di SMA saya dulu itu, yaitu SMA Stella Duce 1, saya menemukan hal yang masih sama yaitu isinya murid dari beragam suku dan tempat: Cina, Jawa, Batak dan lainnya. Mereka berasal dari kota besar dan kecil di Jawa, Sumatera, Papua dan lain-lain. “Stece itu kayak Indonesia mini, Mbak,” kata salah satu peserta. “Kita nggak pilihpilih teman kok, nggak nge-gank, gak ada masalah dia itu Cina dan saya Jawa,” jelas perempuan-perempuan muda pada saya dengan tegas, ingin meyakinkan.
Hal baru yang membuat saya ternganga adalah trend yang sedang melanda, yaitu pemakaian pelangsing tubuh, ada yang teh, ada yang pil. Salah satu peserta yang manis dan mungil bercerita bahwa meminum pil pelangsing itu adalah hal biasa. Mereka juga sadar bahwa pil pelangsing itu membuat sulit konsentrasi karena sering BAB, sakit perut, lemas, dll. Pelangsing tidak hanya berdampak pada kesehatan tubuh, tapi juga untuk ‘kesehatan’ kantong, tapi toh tetap dikonsumsi. Tiap perempuan punya alasannya sendiri untuk itu, tapi terus terang saja, saya masih belum bisa memahaminya sampai sekarang. Dari apa yang mereka sampaikan, menyadarkan saya bahwa ternyata trend akan image tubuh perempuan kian meluas, dulu pemutih yang laku, sekarang merambah ke pelangsing tubuh. Ini belum termasuk dengan yang Parallel Events - Ruang MES 56
Second stage: Interacting with the youth I will not discuss the photographs because they can be viewed on their own, but I will relate some of our conversations with the young participants. I grew up here in Yogyakarta and went to school at one of the high schools that was involved in this project, so I had the opportunity to reminisce about my experiences when I was in high school. At my former high school, SMA Stella Duce 1, I found a student body comprised of mixed ethnic groups, including Chinese, Javanese, Batak, and others, just as it was when I went there. They came from big cities and little towns in Java, Sumatera, Papua, and other islands. “Stece (the school’s nickname) is like a mini-Indonesia,” said one of the participants. “We’re not picky
in choosing friends, we don’t make gangs. There’s no problem if she’s Chinese and I’m Javanese,” the young women said, reassuring me. One new thing that amazed me was the current trend of using of body slimming devices. Some girls drink teas, some take pills. One sweet, petite girl said that taking slimming pills is not unusual. They are aware that the slimming pills make it difficult to concentrate because they often need to go to the bathroom, have stomach cramps, feel weak, etc. Although the pills have an effect not only on their physical health, but also the ‘health’ of their wallets, they still use them. Every girl has her own reason, but to be frank, I still do not understand any of them.
lain lho, memakai behel gigi, misalnya. Hal yang tidak berubah dari jaman saya ke jaman mereka adalah tubuh remaja perempuan yang selalu saja jadi sasaran produk. Perempuan hanya dilihat dari luarnya saja (baca: tubuhnya) dan uang sakunya digerogoti. Foto-foto beragam bentuk pelangsing ini menyadarkan kita bahwa posisi remaja tetap saja jadi ‘pasar’ daripada dianggap sebagai potensi. Ironis, ya? Remaja ini sedang membangun saling pengertian di antara mereka yang berbeda latar belakang tapi diseragamkan oleh produk-produk kecantikan yang menciptakan image yang sama untuk mereka. Pesan itulah yang saya tangkap ketika melihat foto hasil karya para remaja Stella Duce 1.
Tawuran. Apa sih sebenernya yang buat kita saling hantam antar sekolah,membela teman? Membela almamater sekolah? Membela Agama? Semuanya sangat tidak jelas... Karya Satya Darma & Yohanes Awang D.S. SMA Bopkri 1 Fighting. What is it that make us fight with other schools? Defending friends? Defending our school? Defending our religion? It’s all so obscure.... Photography by Satya Darma & Yohanes Awang D.S. SMA Bopkri 1
Akhir kata, kami: Kampung Halaman, dan Mess 56 menikmati saat kita ngobrol-ngobrol, nonton video dan foto-foto buatan remaja lain, games, makan-makan, fotofoto, ketawa-ketiwi, dan akhirnya pameran. Ingin rasanya kami bekerjasama dengan lebih banyak rekan di Yogya untuk memberikan lebih banyak ruang untuk remaja. Mari.
From what they told me, I realized that the trends of the images of female bodies are broadening. Formerly, body whiteners were popular; now it has spread to body slimming devices. This does not include other devices, such as braces. One thing that hasn’t changed from the days when I went to school is the fact that the young female body continues to be the target of various consumer products. Women are seen only for their bodies and their pocket money that is nibbled away. Photos of various kinds of body slimming devices reveal that young bodies continue to be viewed as the ‘market’ target rather than being seen for their potential. Ironic, isn’t it? These youth are developing mutual appreciation amongst themselves of the differences in
their backgrounds, but they are being standardized by beauty products that create a single image for them. This is the message that I got from seeing the photographs from the students at Stella Duce 1. Finally, we—Kampung Halaman and Mess 56—enjoyed the times we conversed, watched videos and viewed photos taken by the young people, played games, ate, laughed, and worked on the exhibition. We would like to continue working together with many colleagues in Yogya to provide more space for the youth. Come on.
Parallel Events - Ruang MES 56
53
54
Ruang MES 56 adalah lembaga non-profit yang dibentuk pada 28 Februari 2002, yang aktif dalam bidang fotografi dengan penekanan pada pendekatan eksploratif terhadap fotografi kontemporer, baik dalam hal teori maupun praktik, secara konseptual maupun kontekstual; dengan tujuan mengembangkan wacana fotografi kontemporer di Indonesia.
Workshop pematangan gagasan siswa-siswa SMU peserta project “Aku, Kamu & Kita” dipandu Ruang MES56 dan Kampung Halaman, di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta / The workshop at the Seminar Room of Yogyakarta Arts Center to refine the ideas of the high school students that participated in the “I, You, & We” (Aku, Kamu, & Kita) project, with the guidance from Ruang MES56 and Kampung Halaman
Parallel Events - Ruang MES 56
Ruang MES 56 is a not-for-profit institution established on February 28, 2002, which is active in the field of photography with an emphasis on the exploratory approach of contemporary photography, both in theory and practice, conceptually and contextually; having the purpose to develop the discourse of contemporary photography sphere in Indonesia.
Slowly Asia
55
Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by: Q+ANT Diskusi, presentasi proses, mural, dan pameran/ discussion, presentation of the process, mural, and exhibition: 14 October – 30 December 2011 Rumah Pelantjong, Jl. Magelang Km. 8, no. 89, Yogyakarta Kolaborasi pentas tari dan aksi mural/mural and dance collaboration: 28-30 December 2011 Taman Budaya Yogyakarta
Mengangkat tema Religiositas dan Keberagaman, kegiatan ini melibatkan komunitas seni, mahasiswa IndiaUniversitas Gadjah Mada (UGM), dan pelajar berdomisili di Yogyakarta.
Taking on the theme of religiosity and diversity, the program activities involve art communities, Indian students at Gadjah Mada University (UGM), and school students residing in Yogyakarta.
Rangkaian kegiatan sebagai berikut: (1) Pameran Foto Dokumentasi Publik ART-Ngopi bareng dan sharing lintas budaya Indonesia-India, pada 28 November 2011, pukul 19.00 WIB-selesai di “Roemah Pelantjong”, Jln. Magelang Km.8 No 89 Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta; (2) Visualisasi hasil sharing lintas budaya dalam bentuk mural di media triplek, bersama mahasiswa India-UGM dan pelajar Yogyakarta, pada 29-30 Desember 2011, mulai pukul 10.00 WIB-selesai, di area Taman Budaya Yogyakarta/TBY; (3) Aktivitas mural disertai pertunjukan tari kontemporer kolaborasi dangdut feat.bollywood oleh Aida Fitri Astuti dan Pragina Gong, melibatkan warga keturunan India (parallel art Indonesia-India), pada 30 Desember 2011, pukul 19.30 WIB-selesai di area TBY.
The series of activities are as follows: (1) Documentation Photo Exhibition on Public ART—having coffee together and sharing about Indonesian-Indian cross-cultural issues, November 28th, 2011 from 7.00 PM, at “Roemah Pelantjong” (House of Travelers) on Jl. Magelang KM. 8 No. 89, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta; (2) Visualization of the results of the cross-cultural sharing into murals done on plywood, together with Indian students at Gadjah Mada University and school students in Yogyakarta, December 29th-30th, 2011, starting at 10.00 AM, held at Taman Budaya Yogyakarta; (3) Making murals, along with contemporary art performances combining dangdut and Bollywood songs by Aida Fitri Astuti and Pragina Gong, involving Indonesians of Indian descent (Indonesian-Indian parallel art), 30th December 2011, starting at 7.30 PM at Taman Budaya Yogyakarta.
Masih menjadi bagian dari kegiatan Slowly Asia, mulai 14 Oktober 2011, Q+Ant menyelenggarakan pameran mural dan grafiti bertema “Jogjakarta slowly asia slowmuralslowstreet art-slowwriter”, di Bale Mangu Roemah Pelantjong-Minioboro, kerja sama kelompok senirupa Q+ANT dengan Street Artist Yogyakarta.
Still part of the Slowly Asia program, starting from October 14th, 2011, Q+ANT has held a mural and graffiti exhibition themed “Jogjakarta slowly asia slowmural-slowstreetartslowwriter” at Bale Mangu Roemah Pelantjong-Minioboro, a cooperation between Q+ANT and Street Artist Yogyakarta.
Pertunjukan tari kontemporer Aida Fitri Astuti dan Pragina Gong dengan latar belakang karya mural karya kelompok Q+Ant, di amphiteater Taman Budaya Yogyakarta, 30 Desember 2011. / Contemporary dance performance by Aida Fitri Astuti and Pragina Gong, with the background of a mural work by the group Q+Ant, at the Yogyakarta Arts Center, December 30, 2011 Parallel Events - Q+ANT
56
Parallel Events - Q+ANT
Q+Ant adalah kelompok aktivitas berseni rupa, dibentuk pada 4 Februari 2005 oleh Punk ndrong, DJ (Pande Nyoman Alit Wijaya Suta), I Wayan Sandika, Bambang HR, Mimbar Aris B, dan Didik797. Semangat keterbukaan bekerja sama dengan pihak lain mendasari kelompok ini menamakan dirinya sebagai Q+ (baca: qiples). Sejak 2010 nama Q+ant digunakan dengan hadirnya Anton Win, seniman street art anggota komunitas JMF (Jogja Mural Forum).
Q+Ant is a group doing art activities, established on February 4, 2005, by Punk ndrong, DJ (Pande Nyoman Alit Wijaya Suta), I Wayan Sandika, Bambang HR, Mimbar Aris B, and Didik797. The spirit of openness in collaborating with other parties formed the basis of their decision to call their group “Q+”. Since 2010, they go by the name of Q+ant as Anton Win, a street artist and member of the JMF (Jogja Mural Forum) community, joined the group.
Pertunjukan tari kontemporer Aida Fitri Astuti dan Pragina Gong dengan latar belakang karya mural karya kelompok Q+Ant, di amphiteater Taman Budaya Yogyakarta, 30 Desember 2011 / Contemporary dance performance by Aida Fitri Astuti and Pragina Gong, with the background of a mural work by the group Q+Ant, at the Yogyakarta Arts Center, December 30, 2011
Parallel Events - Q+ANT
57
58
Digging our scene Inter-disciplinary arts
Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by: Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra. Happening art and music performance: 27 November 2011 Taman Budaya Yogyakarta
Project lintas disiplin ini mempertemukan musik dan visual, menjadikannya peristiwa seni yang partisipatif. Mulai dari lirik, sketsa, bahan dasar proses batik, pewarna tekstil, pistol air, dan pengalaman seni yang menarik. Publik dapat ikut mewujudkan visual untuk menjadi karya yang utuh.
This interdisciplinary project brings music and visuals together, making it a participatory art event, engaging the public in the making of lyrics, sketches, materials for batik processing, textile dyes, water pistols—an exciting art experience. Anyone can take part in realizing a complete visual work.
Risky Summerbee and The Honeythief dan Kriya Sastra mengusung tiga tema: “OF IDENTITY”, dalam sebuah ruang publik di mana berbagai kepentingan beradu, identitas bisa hilang dengan segera; “OF(F) DIVINITY ”, mengkaji ulang bagaimana spiritualitas diterjemahkan dalam masyarakat yang saling tarik-menarik kepentingan; “OF REMINISCENCE”, salah satu problem sosial yang diderita oleh bangsa terjajah adalah manipulasi ingatan, situs sejarah pun tak lagi mampu meluruskan kita pada indentitas sebelumnya. Ingatan menjadi pendek dan kompromis terhadap kekuatan besar yang mungkin tidak menjalani sejarahnya.
Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) and Kriya Sastra come with three themes: “OF IDENTITY”— on how when interests collide in public spaces, identity can quickly disappear; “OF (F) Divinity—a reevaluation of how spirituality is interpreted in a society where interests are constantly compromised; and “OF REMINISCENCE”—on how one of the social problems faced by ex-colonized people is the manipulation of memory. Not even historical sites can lead us back to our previous identity. Memory can become short-term and transient and susceptible to greater powers that may have never undergone the same history.
A. Latar Belakang Sebagai entitas yang mengalami patahan budaya dalam perjalanannya sebagai bangsa, hal itu menimbulkan implikasi tertentu yang akan membentuk identitas baru. Dalam prasejarah, Nusantara dijajaki oleh pendatang dari India yang membawa tradisi Hindu dan Buddha. Alhasil pada masa kejayaan peradaban tersebut, ada pijakan mainstream tertentu yang oleh para sejarawan diyakini masa emasnya sebagai masa Majapahit. Tentu, identitas itu tidaklah tunggal, beberapa pedagang dari negeri Cina juga sudah menapakkan kakinya ke tanah Nusantara lewat pintu-pintu pelabuhan seperti di pantai utara Jawa. Ketika kebudayaan mainstream itu mendapat tantangan dari pendatang baru yang membawa nama Islam, berbagai gesekan budaya terjadi dan memberi pemaknaan baru pada cara pandang masyarakat. Masyarakat Jawa, dalam hal ini, tidak sepenuhnya
A. Background Certain implications arise out of the cultural fragmentation that Indonesia has experienced in its journey as a nation in the formation of a new identity. Early in its history, Nusantara was influenced by arrivals from India who brought Hindu and Buddhist traditions. The mainstream opinion held by historians is that the height of this civilization was the Majapahit period. Of course, the influences of identity are not singular. Merchants from China also landed in Nusantara at harbors such as those along the north coast of Java. When the mainstream culture was challenged by new arrivals bearing the name of Islam, the resulting cultural friction gave new meanings to the society’s perspectives. In this matter, Javanese society did not turn completely towards the direction of Mecca with the adoption of Islam, but gave space to the indigenous culture, compromising and assimilating visions, values and beliefs of each culture. Ritual feasts
Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
59
Proses kreatif yang melibatkan seluruh hadirin di malam pertunjukan “Digging Our Scene” / A creative process involving the entire audience at “Digging Our Scene” show
Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra
60
mengiblat pada budaya Islam di jazirah Arab, tetapi memberi ruang pada budaya sebelumnya, berkompromi pada hal-hal demi berjalannya visi, nilai, kepercayaan masing-masing budaya. Kenduri dan upacara keagamaan lainnya seringkali mencampuradukkan nilai-nilai mereka dalam satu ritual (baca: aktivitas). Islam tidak mengajarkan untuk menyapa (atau membunyikan klakson kendaraan) jika melewati sebuah Jembatan, namun seorang Jawa banyak yang melakukannya: mengakomodasi nilai animisme dinamisme yang bisa dirujuk jauh sebelum zaman Mataram Hindu. Kolonialisasi yang dimulai sejak abad 14 juga menurunkan pengaruhnya pada masyarakat Indonesia, tidak saja situs arsitektur tetapi juga teknologi seperti kereta api, jalan, pengairan dan sebagainya. Semangat industri yang mereka bawa juga banyak mempengaruhi bagaimana yang terjajah menyikapi produk-produk budaya mereka: perusahaan besar Coca Cola sudah di-amini sebagai minuman anak muda, bahkan di Indonesia. Seiring kebutuhan minuman botol itu, muncul pula kebutuhan atas pembuka botol yang juga diproduksi massal untuk keperluan minum dengan cara mudah. Mungkin bangsa Indonesia tak perlu itu, di pinggir jalan penjaja Coca Cola botol (juga Teh botol yang meniru gaya Coca Cola dengan mengemasnya menjadi botol) hanya butuh paku yang menancap di bilah papan warung dan kemudian dibengkokkan. Semudah itu bangsa Indonesia menyikapi teknologi, yang harus dibilang tepat dan kontekstual terhadap lingkungan sosial: sesuatu yang sebenarnya telah dilakukan berabad-abad. Bagaimanapun identitas bangsa ini sudah terpecah berkali-kali dan dijejali bertubi-tubi pengaruh dari luar yang—dalam 15 tahun terakhir—bisa didapat dari depan komputer dan bahkan hanya berselang beberapa detik untuk mendapatkannya. Kita menggunakan teknologi seperti Blackberry, berorientasi pada logika dan ketepatan waktu, namun secara spiritual kita tidak hanya menggunakan rasionalitas yang dipakai Blackberry atau sistem komputer. Alhasil, pemakluman juga menjadi budaya baru atas tabrakan kedua ekstrim itu. Dinamika sosial politik Indonesia, dan juga negara negara berkembang (yang notabene kebanyakan berada dalam lintas garis khatulistiwa) juga lebih fluktuatif dibanding negara-negara Eropa Barat atau Amerika Serikat. Tak jarang, realitas sosial dan ekonomi negaranegara itu menjadi pemicu konflik yang ditujukan kepada pemerintah. Korupsi, kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi menduduki peringkat atas isu-isu yang bermunculan di negara-negara berkembang. Political deals yang dilakukan oleh elite penguasa seringkali mematahkan logika bahwa pemerintah adalah pengurus Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
and other religious ceremonies often mixed their values in a ritual. Islam does not teach its followers to call out (or sound their vehicle’s horn) when passing over a bridge, however many Javanese do this, thus accommodating the values of animism that were present in the local population before the Hindu Mataram period. The presence of Western culture since the 16th century also brought cultural influences to the archipelago, not only in architecture, but also technology, such as trains, roads, canals, etc. The spirit of industry that they brought was also a major influence on how the colonized received the new cultural products: the mega company Coca Cola is acknowledged as the drink of youth, even in Indonesia. Along with a bottled drink comes the need for a bottle opener, which is also mass-produced for easy drinking. Perhaps Indonesia does not need that; to open their bottles, Coca Cola drinkers (as well as bottled tea, which imitates the bottles of Coca Cola) along the roadside just need a bent nail attached to a board on the wall of the food stall. It is with this kind of ease that Indonesia handles technological challenges that, it is said, must be appropriate and contextual within the social environment, as it has over the centuries. The number of times this nation’s identity has been fractured and filled repeatedly with foreign influences continues to grow and — in the last 15 years — can be accessed through the computer and within only a few seconds. We use technology, such as the Blackberry, that is oriented towards logic and accuracy of time, however spiritually we do not only use the rationality of the Blackberry and computer systems. Consequently, a new culture emerges from the collision of these two extremes. The social-political dynamics of Indonesia and other developing countries (the majority of which are in fact below the equator) are more fluid than Western European countries or the USA. It is not rare that the social and economic realities in these countries become the triggers for conflicts with the ruling powers. Corruption, poverty, and social-economic inequities are the foremost issues that emerge in developing countries. Political deals conducted by the ruling elite often shatter the vision that the government’s responsibility is to its people. The people who should hold the highest mandate become the most oppressed. Government politics often appear to promote the erasure of history; urges the society to forget. Perhaps with these methods that have been used for a long time, political compromises have become acceptable for erasing memories, whereas in actuality, these memories form a timeline and perspective that should not to be forgotten. These memories are also sometimes erased by changes in power: from prehistory
rakyat. Rakyat yang seharusnya memegang mandat tertinggi menjadi pihak yang paling tertindas. Politik pemerintahan seolah menegaskan penghapusan sejarah, mengajak untuk melupakan. Mungkin cara-cara ini juga sudah berlangsung lama, kompromi politik menjadi sah untuk menghapus ingatan, padahal, sebetulnya ingatan-ingatan itu adalah untuk menyusun logika dan cara pandang, bukan untuk dihilangkan. Ingatan-ingatan itu kadang juga terhapus berdasarkan perpindahan kekuasaan: dari prasejarah ke Hindu/Buddha, dari Mataram Kuno ke Mataram Islam, Islam ke Kolonial Hindia-Belanda, Penjajahan ke Republik, Orde Lama ke Orde Baru, Orde Baru ke Reformasi. Sejak reformasi pun banyak fase-fase dimana ingatan dipermainkan. Juga, dalam frame horizontal, ingatan pun hendak dirujukkan pada nilai-nilai jazirah Arab di zaman Jahiliyah oleh sejumlah orang yang ingin memaksakan iman dengan cara kekerasan. Dan sekali lagi, pemerintah berlagak lupa. Mengajak kita lupa. Dalam kaitannya dengan identitas bangsa; “Adakah identitas tunggal?”
to Hindu/Buddhist, from Old Mataram to Islamic Mataram, Islam to the Dutch East Indies company, Dutch colonial administration to the republican government, Old Order to New Order, New Order to Reformasi. Since Reformasi, there have been many memories that have been manipulated. In addition to this vertical dynamic, in a horizontal framework, memories are conformed to values of the Arabian peninsula during the time of Muhammad by a group of people who want to violently force their faith upon the general society. And once more, the government pretends to forget; urges us to forget. In relation to national identity: “Is there a singular identity?” Based on this background, we created DIGGING OUR SCENE. This multi-disciplinary project integrates music and visual arts into a participatory art event. Integrating lyrics, sketches, basic materials for batik, textile dyes, water pistols, and interesting art experiences, the public was invited to participate in creating the visual effects for a complete work.
Berdasar dari uraian di atas maka tercetuslah DIGGING OUR SCENE. Project lintas disiplin ini mempertemukan musik dan visual, menjadikannya peristiwa seni yang partisipatif. Mulai dari lirik, sketsa, bahan dasar proses batik, pewarna tekstil, pistol air dan pengalaman seni yang menarik. Publik dapat ikut mewujudkan visual untuk menjadi karya yang utuh.
This project adopted three overlapping themes: 1. OF IDENTITY: In a public space where various interests collide, identity can be lost in an instant. 2. OF(F) DIVINITY: Review how spirituality is translated in the society in which various interests are in constant negotiation. 3. OF REMINISCENCE: One of the social Pertunjukan “Digging Our Scene” di lobby Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 27 November 2011 problems this / “Digging Our Scene” show at the lobby of the Societeit Building, Yogyakarta Arts Center, November 27, country suffers is 2011 the manipulation of Project ini memories. Historical diberlangsungkan dengan mengusung tiga tema yang sites are not able to correct images of our former saling tumpang tindih: identities. Memories are shortened and compromised by powerful forces that perhaps did not actually participate in 1. OF IDENTITY. Dalam sebuah ruang publik dimana the historical events in question. berbagai kepentingan beradu, identitas bisa hilang dengan segera. In the BIENNALE JOGJA XI 2011, Digging Our Scene 2. OF(F) DIVINITY. Mengkaji ulang bagaimana chose the themes of diversity and religiosity to explore Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
61
62
spiritualitas diterjemahkan dalam masyarakat yang saling tarik-menarik kepentingan. 3. OF REMINISCENCE. Salah satu problem sosial yang diderita oleh bangsa terjajah adalah manipulasi ingatan, situs sejarah pun tak lagi mampu meluruskan kita pada indentitas sebelumnya. Ingatan menjadi pendek dan kompromis terhadap kekuatan besar yang mungkin tidak menjalani sejarahnya. Dalam kaitannya dengan BIENNALE JOGJA XI 2011, maka Digging Our Scene lebih memilih tema keberagaman dan religiusitas dalam konteks Equator. Sebab, dirasa, project ini mendalami permasalahan yang ada di kebanyakan negara-negara ketiga yang notabene berada di Equator. Dalam kaitannya dengan India, RSTH dan KS tidak memilih opsi-opsi yang segera bersinggungan langsung dengan budaya India (seperti tari Bolywood maupun ikon-ikon India lainnya), namun tiga tema ini sangat relevan untuk membicarakan persoalan di India (sebagaimana di Indonesia). Sayangnya tidak ada seniman peserta biennale dari India yang merespon di perhelatan Digging Our Scene,
these issues that exist in most third world countries around the Equator. In connection with India, Risky Summerbee and The Honey Thief (RSTH) and Kriya Sastra (KS) chose not to adopt options that referred directly to Indian culture (such as Bollywood dance or other Indian icons), however the three above-mentioned themes were very relevant for an exploration of related issues in India, as well as in Indonesia. Unfortunately, there were no Biennale artists from India who participated in the Digging Our Scene event, creating an impression of a disjunction between the Biennale main event and the Parallel Events. The Biennale committee should address this matter in the future. B. Creative Process The processes of batik production inspired the creative process for this event. Batik was chosen because it is representative of the selected theme. Not only is the identity of batik questioned from the aspect of where it was originally made, but it can be used as a way of interpreting identity: What is batik? Who owns batik? Etymologically, the word “batik” originates from the combination of two Javanese words: amba meaning “to write” and titik meaning “to drip”. In Wikipedia, batik is translated as a method of producing designs on a cloth with a wax-resist dyeing technique and has characteristic motifs. The production of batik involves several steps: 1. Pattern design 2. Drawing the pattern on the cloth with wax (pencantingan) 3. Dyeing process (pewarnaan) 4. Boiling off the wax from the cloth (penylorotan)
demikian juga kuratorial Biennale main event yang dirasa terpisah dengan karya-karya di Parallel Event. Hal ini sepertinya dapat menjadi acuan pembicaraan panitia Biennale di masa yang akan datang.
Currently, the word “batik” is used often in reference only to the characteristic traditional motifs. A cloth decorated with batik motifs is often called “batik” even though it was produced with a printing process that does not use the wax-resist dyeing methods. Because the printing process is much less expensive than hand-drawn or handstamped batik, consumers often choose printed cloth with batik designs. The definition of “batik” is shifting. Also, the understanding of batik that is evolving abolishes the layered and collaborative processes. It does away with the motif designers, the wax appliers, the dyers, and the wax removers.
B. Proses Kreatif Proses kerja kreatif diilhami oleh proses dalam pembuatan batik. Batik dipilih karena sangat mewakili tema yang ingin ditampilkan. Identitas batik dipertanyakan tidak hanya dari segi “pemilik” asli di kalangan negaraThis knowledge of the batik production process was negara; namun juga, Batik diambil sebagai cara untuk translated into a performance that adopted the three menerjemahkan identitas karena identitas tersebut (batik above-mentioned themes.
Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
yang sekarang ini) juga menjadi tanda-tanya: apakah batik, siapakah pemilik batik? Secara etimologi, kata batik berasal dari gabungan dua kata (bahasa jawa) “amba” yang bermakna menulis dan “titik” yang bermakna menitik. Di wilkipedia, batik diterjemahkan sebagai salah satu cara pembuatan bahan pakaian dengan teknik pewarnaan kain menggunakan “malam” untuk mencegah pewarnaan dari sebagian kain (wax-resist dyeing) termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang mempunyai ke-khasan. Untuk itu dalam membuat batik diperlukan beberapa langkah: 1. Membuat pola 2. Pencantingan (menggaris dan membentuk pola dengan malam) 3. Pewarnaan 4. Nglorot (melepaskan warna dan malam dari kain) Namun, sekarang batik seringkali dimaknai sebagai motif/ bentuk. Kain dengan motif yang biasa digunakan oleh pembatik, sering kali tetap dikatakan batik walaupun dibuat dengan teknik sablon. Dan karena kain motif batik dengan metode sablon lebih murah daripada batik tulis, orang lebih memilih untuk membeli kain bermotif batik daripada kain yang dibuat dengan cara batik. Definisi batik kemudian menjadi bergeser. Juga pengertian atas batik yang sekarang berkembang, meniadakan proses yang berlapis dan sekaligus kolaboratif. Hal itu meniadakan pembuat motif, pencanting, pewarna, dan penglorot. Dari pengetahuan atas proses pembuatan batik yang sesungguhnya itu kemudian diturunkan menjadi pertunjukan yang mengusung ketiga tema yang kami sebutkan di atas. Penguraian proses dimulai dari Kriya Sastra yang mengajak 16 orang seniman kolaborator untuk menuangkan opini dalam sebuah skets setelah pada mereka diperdengarkan sebuah lagu (komposisi)
The process began when Kriya Sastra (KS) invited 16 artists to collaborate on the project by producing sketches inspired by a musical composition by Risky Summerbee and the Honeythief (RSTH). The artists were Yuni Bening, Imam Abdillah, Anneke Fitrianti, M. Aidi Yupri, Budi Kampret, Prihatmoko, Iwank Hesri, Elia Nurvista, Alejandra, Robet Kan, Dodi Irwandi, Isrohan, and Jiffy Robertson. After listening to the music played by RSTH, each artist provided his or her sketch on paper. Each of the 16 sketches by the collaborating artists was transferred onto a 1 x 2-meter piece of cloth using wax with the help of a projector. This process is called pencantingan. The panels became the media to integrate music and visual art in an arena where the visitors played with water pistols that had been filled with napthol color dyes. The audience became the cloth dyers. Throughout the dyeing process, RSTH played a musical composition that addressed the three themes. The music provided by RSTH also functioned as the curatorial skeleton for the collaborators and facilitators channeling the flow of the creative process. Thus, the question arises: Who is the owner of the artwork? The design of the performance of Digging Our Scene was as follows: C. Performance The performance was held at Gedung Societet on November 27, 2011, at 7:30 p.m. It began with the screening of the video documenting the process of producing the wax-sketched cloths for Digging Our Scene. Then the audience entered the lobby of Gedung Societet to musical accompaniment played by RSTH. At 8 p.m., RSTH, who was surrounded by the waxsketched cloths, began to perform. At an appointed time, the audience members were given water pistols filled with dyes to shoot colors at the waxed sketches placed around RSTH. Next, several people wearing Muslim clothes entered the performance space from the left and right sides of Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
63
64
dari Risky Summerbee and the Honeythiefs (RSTH). Seniman-seniman kolaborator tersebut adalah: Yuni Bening, Imam Abdillah, Anneke Fitrianti, M. Aidi Yupri, Budi Kampret, Prihatmoko, Iwank Hesri, Elia Nurvista, Alejandra, Robet Kan, Dodi Irwandi, Isrohan, dan Jiffy Robertson. Setiap seniman pun memberikan respon skets yang beragam di atas kertas, yang dalam pembuatan batik sama dengan pembuatan pola. Kemudian dalam setiap skets dari masing-masing seniman kolaborator, Kriya Sastra memindahkannya ke dalam sebuah kain dengan menggunakan “malam” (bahan dasar batik) dengan dibantu proyektor sampai membentuk sebuah panel yang berukuran 1 x 2 meter sebanyak 16 biji. Proses ini dalam pembuatan batik adalah proses pencantingan. Panel tersebut akan menjadi media yang mempertemukan antara musik dan visual, arena para pengunjung yang akan bermain dengan pistol air yang telah diisi dengan pewarna tekstil (naptol) dengan berbagai warna. Dalam hal ini, kemudian, penontonlah yang melakukan pewarnaan. Selama proses tersebut, RSTH memainkan lagu (komposisi) yang mengusung 3 tema ini secara live. Komposisi musik RSTH juga berfungsi sebagai kerangka kuratorial untuk para kolaborator, serta penjaga alur proses. Dengan demikian, kemudian, timbul pertanyaan: siapa pemilik karya tersebut? Desain pertunjukan Digging Our Scene adalah sebagai berikut: C. Pelaksanaan Pertunjukan Pertunjukan ini dilaksanakan di Gedung Societet pada 27 November 2011, pk 19.30 WIB. Pertunjukan dimulai dengan mempertunjukkan video proses Digging Our Scene. Lalu penonton memasuki lobi societet dengan diiringi lagu intro dari RSTH. Pada pukul 20.00 wib, RSTH mulai bermain musik dikelilingi sketsa-sketsa yang dibalut “malam”. Pada waktu yang telah ditentukan, penonton diberi pistol air, untuk menembakkan warna pada sketsa-sketsa yang menutupi RSTH. Pada waktu yang telah ditentukan, dari sisi kanan dan kiri panggung, keluar beberapa orang yang berpakaian muslim, menyeruak penonton dan mengambil sketsa-sketsa yang menutupi RSTH, sementara RSTH tetap memainkan musiknya. Sketsasketsa tersebut diletakkan di luar panggung.
Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
the performance area. They forced their way through the audience and took the cloths away while RSTH continued playing. The cloths were placed outside the performance area. The audience remained in the space while watching RSTH play. After 30 minutes of live performance and a short oration, RSTH left the performance area, leaving the audience with the traces of shots of colored dyes. Upon leaving the performance area, the audience was treated to another show, that is the cloth panels that they had decorated together, the results of a collaboration between artists, Kriya Sastra, and the audience, that were exhibited side by side outside the building. The audience responded positively to these collaborative pieces. The video of the Digging Our Scene process was screened again. Approximately 200 audience members (university students, visual artists, the general public, and art, music and theater enthusiasts) attended. The majority of the audience did not leave immediately at the end of the music performance, but stayed to enjoy the exhibition of the collaborative pieces together. D. Artist Talk A follow-up of this performance was an Artist Talk that was organized by IVAA on December 19, 2011, at 7 p.m. Approximately 25 people attended. Discussants: Risky Summerbee (RSTH), Bagus Prabowo (Kriya Sastra). Moderator: IVAA Material: Power Point presentation, photographs, video, music.
Penonton tetap tinggal dalam ruangan, menonton RSTH yang kali ini tidak lagi tertutup sketsa-sketsa. Setelah setengah jam bermain secara live dan memberikan sedikit orasi, RSTH masuk ke dalam gedung pertunjukan Societet, meninggalkan penonton dengan air warna-warni bekas-bekas tembakan. Keluar dari gedung pertunjukan, penonton mendapat pertunjukan lain, yaitu panel-panel dari sketsa yang telah menjadi lukisan bersama: hasil kolaborasi seniman - kriya sastra - penonton, yang berjejer di luar pertunjukan. Lukisan-lukisan tersebut kemudian menjadi semacam pameran karya kolaborasi yang juga direspon penonton dengan baik. “Pameran lukisan” ini diiringi lagi dengan video proses Digging Our Scene. Ada sekitar 200 penonton (mahasiswa, seniman rupa, penikmat seni rupa, musik, teater, umum) pada saat itu dan sebagian besar tidak langsung pulang ketika pertunjukan musik selesai dan tetap menghabiskan malam bersama pameran lukisan hasil karya bersama tersebut. D. Artist Talk Tindak lanjut dari pertunjukan ini adalah obrolan atau artist talk. Acara ini diselenggarakan di IVAA pada 19 Desember 2011, pukul 19.00 WIB, dan dihadiri sekitar 25 orang. Pembicara: Risky Summerbee (RSTH), Bagus Prabowo (Kriya Sastra). Moderator: IVAA Materi: Power Point, Foto, Video, Musik (yang sekiranya diperlukan oleh RSTH dan KS)
Risky Summerbee and The Honeythief dan Kriya Sastra Risky Summerbee & the Honeythief is psychedelic, folk, blues outfit known for their live acts and interdisciplinary works. To date, the band has 3 albums ‘The Place I Wanna Go’ (2009), ‘Preamble’ (2011), and Of Serenity and the Bustlin City (2012). Prominent in the national indie music scene for their seditious and multi-genre music pieces, with notable members of Risky Summerbee on vocals and guitar, Doni Kurniawan on Bass and multi instrumentalist Erwin Zubiyan on guitar, keyboards and pianica. Risky Summerbee and The Honeythief dan Kriya Sastra Risky Summerbee & the Honeythief is psychedelic, folk, blues outfit known for their live acts and interdisciplinary works. To date, the band has three albums The Place I Wanna Go (2009), Preamble (2011) and Of Serenity and the Bustlin City (2012). Prominent in the national indie music scene for their seditious and multi-genre music pieces, their members are Risky Summerbee on vocals and guitar, Doni Kurniawan on bass and multiinstrumentalist Erwin Zubiyan on guitar, keyboards and melodica (wind piano).
Parallel Events - Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH) & Kriya Sastra.
65
66
Kring Eaa Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by: Mulyakarya Aksi dan distribusi komik/happening and comic distribution: 27-30 November 2011 Ruang publik/Public Spaces: Railway station, bus shelters, airport Kring Eaaa adalah proyek membuat komik yang akan bercerita tentang keistimewaan Yogyakarta. Isu keistimewaan ini tidak ke arah politik, namun lebih banyak ke sejarah: filosofi wayang, keberagaman, toleransi, hubungannya dengan kebudayaan media baru dan bagaimana anak-anak muda/komunitas yang ada di Yogyakarta memanfaatkannya untuk mengungkapkan sesuatu. Untuk karya ini, Mulyakarya bekerjasama dengan beberapa orang dengan aneka latar belakang yang akan menjadi narasumber. Hal ini agar lingkup komik-komik ini lebih luas dan berbobot, tidak sekadar menjadi komik promosi wisata. Komik ini tetap hadir dengan bahasa yang ringan, tetapi isinya pengetahuan. Judul “Kring Eaaa” mengacu pada suara bel sepeda, kendaraan yang ditumpangi Si Tokoh Komik, dan Eaaa mengacu pada bahasa kekinian, yang sedang ‘happening’. Mulyakarya akan membagikan komik-komik pada masyarakat luas di pemberhentian bus, stasiun kereta api Tugu, Airport Adi Sucipto, dan Terminal Bus Giwangan. Alasannya, tempat-tempat itu adalah umum bagi manusia yang datang dan pergi, membawa cerita, bergerak, berhubungan, pergantian nuansa: bukan orang yang ‘siap’ untuk mengunjungi pameran atau melihat peristiwa budaya. Hal ini dikerjakan, semata-mata karena Mulyakarya ingin menyebarkan gagasan pada orang-orang yang ‘berpindah’ dari atau ke Yogyakarta. Berpindah, singgah, bertukar. Awal Kring Eaa Membuat komik Kring Eaaa memerlukan waktu sekitar dua bulan. Yang paling lama adalah mencari waktu luang para narasumber. Narasumber yang terpilih oleh Mulyakarya, adalah Mbah Damardjati Supadjar, Mas Wisnu Martha, Bung Emha Ainun Nadjib, Om Eko Prawoto, Mas Agus Hartono dan Ibu Murdijati Gardjito. Parallel Events - Mulya Karya
The Kring Eaaa project created comics about what makes Yogyakarta special. The focus are not be on politics, but rather on history: the philosophy behind wayang, diversity, tolerance, its relationship with the new media culture and how young people or communities in Yogyakarta use it to express themselves. For this work, Mulyakarya worked with sources from various backgrounds. This is done to expand the scope of the comics and to make them more compelling, avoiding the tendency to become some kind of tourism promotion vehicle. The comics employ an enjoyable tone, but the content is knowledge and information-based. The word “Kring” in the title refers to the sound of a bell on the bicycle the comic character goes around on, and “Eaaa” refers to a hip term for “hooray” that is circulating among young Indonesians. Mulyakarya distribute the comics at public spaces such as bus shelters, railway station, airport, and bus terminal. These are places where people come and go - carrying stories as they move about, interacting and sharing different nuances - not places visited by people wanting to see an exhibition or a cultural event. Mulyakarya hopes to spread ideas to people leaving, coming to, or moving around in Yogyakarta. This project highlights and builds on venues where people are moving, stopping by and exchanging things and ideas. In addition, vending machine selling the comics was placed around Taman Budaya Yogyakarta (December 11th, 2011 and January 8th, 2012). The idea for the vending machines comes from the automatic teller machines. Visitors who wish to interact can put in some money, and then choose the comic they want. Voila! A comic is served. The comics sold at the vending machines were same as the ones shared in public spaces.
67
Anjungan Komik Mandiri, salah satu kegiatan dalam project “Kring Eaaa”. Mesin komik dioperasikan pada 11 Desember 2011 di Taman Budaya Yogyakarta. Orang-orang bisa membeli komik dari mesin ini, seharga Rp 5.000 per eksemplarnya Automatic Comics Machine, one of the activities in the “Kring Eaaa” project. The comics machine started to operate on December 11, 2011, at Yogyakarta Arts Centre. People could buy comics from the machine at Rp 5,000 per copy
Parallel Events - Mulya Karya
68
Dalam menceritakan keistimewaan Jogja, ada berbagai sisi yang bisa dilihat lebih menarik. Kami merasa, para narasumber itu pas, karena berangkat dari berbagai latar belakang Beberapa narasumber bisa ditemui secara langsung untuk wawancara, ada pula yang karena kesibukan mereka, maka kita bertanya lewat email dan mereka membalasnya. Ada pula yang sama sekali tidak ditemui, namun kita mengutip pemikiran beliau dari surat kabar. Untuk data tambahan dalam riset ini kita juga memanfaatkan media internet. Ketika menginjak ke teknis menggambar, ada penyesuaian di sana-sini. Misalnya, mana yang diubah untuk bisa diceritakan lewat gambar sehingga kolom lebih efektif namun cerita tetap fokus. Untuk studio kerja, kita bermitra dengan Yellowteeth. Sementara untuk post Kring Eaaa, kita akan membuat animasinya, kerjasama kolektif dengan Gangbang Motionplay Studio.
The Beginning of Kring Eaaa The execution of Kring Eaaa required approximately two months. What took the most time was gathering input from the resource people who were selected by Mulyakarya. The resource people were Damardjati Supadjar, Wisnu Martha, Emha Ainun Nadjib, Eko Prawoto, Agus Hartono and Murdijati Gardjito. Each person was asked to speak about the distinctiveness of Jogjakarta. Their variety of their perspectives were interesting. We felt that the diversity of the backgrounds of these resource people was appropriate for the project. Several of the resource people were interviewed directly, however there were a few who answered questions via e-mail. There were also some who could not be interviewed directly, however we quoted them from reports in newspapers. We also used information from the internet for the project research.
Bagi-bagi Kring Eaaa Begitu komik selesai, kita langsung aksi membagi gratis komik itu di Airport Internasional Adisutjipto, Terminal Bus
When we began the technicalities of illustrating, several adjustments had to be made. For example, careful selection was made based on how effective a quote could be conveyed through illustrations so that the story remained focused. Kegiatan membagi komik gratis dan mensosialisasikan konsep kegiatan “Kring Eaaa” di Bandara Adisucipto dan Terminal Bus Giwangan, Yogyakarta / The activity to distribute free comics and introduce the idea of the “Kring Eaaa” activity at the Adisucipto Airport and the Giwangan Bus Terminal, Yogyakarta
Giwangan, Stasiun Tugu, dan Halte Transjogja. Prosedur membaginya, tidak asal. Kita memilih orang-orang yang sekiranya antusias, bisa diajak ngobrol dan yang paling penting mau mendengarkan sedikit cerita tentang proyek ini, hubungannya dengan Biennale Jogja XI 2011. Setiap orang yang kita beri komik, kami minta untuk memberikan responnya di email atau facebook, yang alamatnya sudah kami cantumkan di dalam komik Kring Eaaa. Parallel Events - Mulya Karya
We collaborated with Yellowteeth for the studio work. For post-Kring Eaaa projects, we will create animations in collaboration with Gangbang Motionplay Studio. Distribution of Kring Eaaa When the comic was finished, we distributed it for free at the Adisutjipto International Airport, Giwangan Bus Terminal, Tugu Train Station, and a Transjogja Bus Stop. The distribution procedure was not random. We selected people in the respective areas who appeared to be enthusiastic, who were willing to chat and, most importantly, were willing to listen to the story of this project in relation to Biennale Jogja XI 2011. We asked each
Sesuai jadwal, pembagian dimulai dari Bandara Internasional Adisutjipto, tanggal 27 Oktober 2011. Agak mundur beberapa jam dari jadwal, karena mengurus perijinan. Perijinan harus di kantor dekat imigrasi, letaknya di seberang jalan. Ketika akan ke sana, kita diberi tahu seorang petugas bandara bahwa hari minggu, kantornya tutup. Di tengah kebingungan, ia menyarankan Mulyakarya untuk mendatangi kantor manajer. Kami pun mendatangi kantor itu dan berbicara dengan bapak yang ada di sana, sembari menunjukkan surat keterangan dari panitia Biennale Jogja XI. Akhirnya kami dapat ijin berkegiatan selama 1 jam di bandara, dengan menggunakan kartu khusus. Karena dari awal, konsep kami membagi komik gratis ini tidak asal disebar begitu saja, kami memilih orang–orang yang kami pikir bisa diajak untuk meluangkan waktu sejenak. Jika orang itu tak ingin diganggu, kami tidak memaksa. Komik Kring Eaaa terdiri dari 3 seri. Setiap pengunjung mendapat gratis masing-masing 1. Namun ada juga yang mendapat 2 atau 3 komik sekaligus. Terutama jika mendapati sebuah keluarga dengan anak kecil, maka kami berikan lebih. Kita tidak lupa membuat daftar catatan yang isinya nama, jenis kelamin dan pekerjaan untuk orang-orang yang mendapat komik.
person to whom we gave the comic to respond to us via the e-mail or facebook addresses that were listed in the Kring Eaaa comic. In accordance with the schedule, the distribution of the comic began at Adisucipto International Airport on October 27, 2011. We began a few hours late because we had to apply for permission from the immigration office located on the main street in front of the airport. However, since it was a Sunday, the office was closed. In the midst of confusion, Mulyakarya was told to go to the manager’s office. After explaining the purpose of the activity and showing the manager the official letter from the Biennale Jogja XI committee, we were granted permission to distribute the comics for one hour at the airport. Since we had initially planned to distribute the comics selectively, we chose travelers who we thought could be invited to spend a few moments in conversation. If the person did not want to be bothered, we did not force ourselves upon them. The Kring Eaaa comic consists of 3 series. Each receptive traveler was given at least one issue, however some were given two or three issues. Families with little children were given more issues. We made a list of the names, sex and occupations of the people who received the comics.
Hari kedua, tanggal 28 Oktober 2011, kami membagi komik di Terminal Bus Giwangan. Kami mulai membagi sore hari. Saat itu hujan, jadi kami mencari tempat teduh yang banyak orang. Ternyata Terminal Giwangan itu
On the second day, Oct 28, 2011, we distributed the comics at the Giwangan Bus Terminal. We began to distribute them in the late afternoon. At that time, it was
paling ramai dikunjungi pada pagi dan siang. Tercatat ada sekitar 12 orang yang mendapat komik di sore yang rintikrintik itu. Selain sedikitnya orang yang berlalu lalang, juga karena banyak penumpang yang sudah menolak waktu kami dekati. Mungkin dikira kami ini sales atau pengamen. Meskipun kami menjelaskan madsud dan
raining, so we looked for a place where many people were waiting for the rain to stop. It turns out that the Giwangan Bus Terminal is busiest in the morning and mid-day. We distributed the comics to 12 people that rainy afternoon. Besides the fact that there were not many passengers at that time, most of the people refused to Parallel Events - Mulya Karya
69
70
tujuan kami, mereka tetap menolak. Bisa juga karena terminal agak sepi, para penumpang meningkatkan kewaspadaannya. Oleh sebab itulah, selain penumpang, kami juga membagi komiknya ke sopir, petugas keamanan terminal dan beberapa penjual di dalam terminal. Hari ketiga, kami mulai agak malam sesuai dengan banyaknya aktivitas di Stasiun Tugu. Sebenarnya kami akan membagi juga di Stasiun Lempuyangan, tapi berkaca pada situasi di stasiun khusus kereta ekonomi yang menerapkan kebijakan baru pemesanan tiket terbatas, membuat situasi di sana lebih banyak orang yang mengantri berebut tiket. Sementara itu para penunggu ada di peron. Kami tidak bisa masuk peron dan menjalankan aktivitas tanpa ijin dari kepala stasiun. Demikian pula situasinya dengan di Statiun Tugu. Kami tidak boleh menjalankan aktivitas di dalam. “Harus ada ijinnya, dan sore ini kantor sudah tutup” demikian kata salah satu staf di Stasiun Tugu. Akhirnya, kami menjalankan aksi ini di luar. Tepatnya di gerbang masuk sebelah timur. Stasiun Tugu lebih teratur daripada Stasiun Lempuyangan. Situasi teratur berbanding lurus dengan situasi santai. Oleh sebab
itu, kami bisa membaginya pada lebih banyak orang yang ramah, baik itu penumpang yang mau berangkat, para pengantar, maupun orang yang baru datang ke Yogyakarta. Untuk kali ini, kita menambahkan kolom untuk alamat email atau facebook dalam daftar orang yang mendapatkan komik. Hari keempat, Rabu 30 November kami membagi komik di Halte Transjogja yang ada di Malioboro. Suasana agak Parallel Events - Mulya Karya
speak to us as we approached them perhaps because they thought we were trying to sell them something or were beggars. Although we explained our purpose to them, they still refused to continue the conversation. It could also be because the terminal was rather empty so the passengers were more cautious of strangers. Because of this situation, we also distributed the comics to drivers, security personnel and several vendors in the terminal. On the third day, we started rather late at night, in accordance with the activity at the Tugu Train Station. Actually, we intended to distribute the comics at Lempuyangan Train Station, however as this station is only for economy-class trains for which there is a limit on the number of tickets each passenger can buy, many people wait in line to buy tickets. Only the passengers with tickets are allowed to wait inside the station. We were not allowed to enter the station without permission from the stationmaster. This was also the situation at Tugu Station. We were not allowed to distribute the comics inside the station.“You must have permission and the office is already closed for the night,” said one of the staff members at Tugu Train Station. In the end, we distributed the comics outside the station at the east entrance. Tugu Station is more organized than
Lempuyangan Station, so we were able to distribute the comics to more people, including departing passengers, friends and family who came to see them off, and new arrivals. This time, we added a column for e-mail and facebook addresses to the list of people who received the comics. On the fourth day, Wednesday, November 30, we distributed the comics at the Transjogja Bus Stop on
gerimis tapi itu bukan halangan yang berarti. Kami ijin petugas halte, dan langsung dapat. Karena halte penuh, kami membaginya di luar. Tidak hanya penumpang Transjogja saja yang kebagian komik, tapi juga penjual gudeg yang sudah mulai buka dan beberapa pejalan kaki. Respon Kring Eaaa Setelah semua selesai, kami mendapat banyak respon dari orang-orang yang kemarin membaca komik kami. Ada yang suka, ada yang bingung karena bukan orang Jawa (banyak Bahasa Jawa di komiknya), hingga ada yang mengajak kerjasama untuk membuat komik versi masakan, bahkan tawaran memberi les gambar buat anak-anak. Mulyakarya adalah sebuah organisasi berbasis komunitas yang mengembangkan komik sebagai medium kerja dan berkarya. Didirikan di Yogyakarta tanggal 27 Oktober 2007 oleh Yudha Sandy & Danang Catur. Digerakkan juga oleh Prihatmoko ‘moki’ (program event), Erwan Hersi Susanto ‘iwank’ (program lapak), Nurify (keuangan). Sementara seniman tamu antara lain: Budi Kecil, Ign. Ade, Sulung Widya, Fida Irawanto. Mulyakarya beralamat di Minggiran MJ II / 1184 RT 67, RW 17 Kelurahan Suryodiningratan 55141 Yogyakarta.
Malioboro Street. It was raining lightly, but this was not a meaningful obstacle. We asked the attendant at the bus stop for permission to distribute the comics and were immediately granted permission. Because the bus stop shelter was filled with waiting passengers, we distributed the comic outside the shelter not only to bus passerngers, but also to gudeg sellers who had opened their stalls nearby and passing pedestrians. Response to Kring Eaaa After the comics were distributed, we received much response from the people who had read the comics. Some enjoyed it, others were confused because they were not Javanese (much of the dialog in the comics was in Javanese language), and one respondent invited us to collaborate with them in making a comic about food, while another asked for drawing lessons for children.
Mulyakarya is a community-based organization that develops comics as their medium of work and art. It was established in Yogyakarta on October 27, 2007 by Yudha Sandy and Danang Catur. Other motors of the community are Prihatmoko aka Moki (event program), Erwan Hersi Susanto aka Iwank (site program), and Nurify (finance), with visiting artists such as Budi Kecil, Ign. Ade, Sulung Widya and Fida Irawanto. Mulyakarya’s address is in Minggiran MJ II / 1184 RT 67, RW 17 Kelurahan Suryodiningratan 55141 Yogyakarta.
Parallel Events - Mulya Karya
71
72
Beberapa potongan cerita dari tiga komik “Kring Eaaa” / works of comics by Mulyakarya in “Kring Eaaa” project
73
Peserta Parallel Events - Mulya Karya
74
[DIS] Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by: Metropolelightberry Workshop kolaborasi: 8 – 30 November 2011 SLB N 1 Bantul/Special - Needs Public School, SLB Negeri 1 Bantul Presentation and Exhibition: 11-17 December 2012 Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta
Tim kerja project [DIS] bersama siswa-siswi SLB Negeri 1 Bantul seusai salah satu sesi workshop / The working team of [DIS] project with the students and the teachers at the Special-Needs Public School, SLB Negeri 1 Bantul
Religiositas dan Keberagaman oleh Metropolelightberry didekati melalui bagaimana subyek menghargai ketidakmampuan. Tema [DIS] diangkat dari kata disability, yang berarti ketidakmampuan. Bagi Metropolelightberry, apabila kita memposisikan diri sebagai kaum difabel, tentu akan sangat tidak mengenakkan dianggap sebagai individu yang tidak mampu. Kata [DIS] memiliki sifat konotatif, yang sudah seharusnya tidak lagi digunakan. Menurut kelompok ini, sudah saatnya kita memiliki empati dan membuang jauh judgment konotatif terhadap disabel. Art space semi permanen yang dirancang sebagai salah satu bagian dari rangkaian kegiatan [DIS] ini merupakan karya hasil kolaborasi dari arsitek dan desainer serta dapat dijadikan model percontohan bagi galeri-galeri di Indonesia maupun India, yang bisa diakses dan ramah difabel, dapat difungsikan sebagai ruang pamer, ruang untuk performance, diskusi dan workshop, hingga pemutaran video. Art space semi permanen dengan Parallel Events - Metropolelightberry
Metropolelightberry approaches religiosity and diversity through a subject’s ability to appreciate inabilities. The theme [DIS] is derived from the word “disability.” To Metropolelightberry, if we positioned ourselves as people of different abilities (diffable), the term “disabled” can be very unsettling. The syllable [DIS] in this context holds a negative tone, and should no longer be used. According to the group, it’s time we have empathy and dispose of negative judments surrounding the word “disabled.” The semi-permanent art space designed as part of [DIS] is a collaborative work of architects and designers and can be used as a model for galleries in Indonesia and India, which should be accessible and welcoming to diffables. It functions as a space for exhibitions, performances, discussions and workshops, as well as for film screenings. The knockdown construction, semipermanent art space is designed to be movable and reusable for those who need it, especially in special
sistem knockdown ini dirancang agar dapat dipindahkan dan dimanfaatkan kembali bagi yang membutuhkan, khususnya di sekolah-sekolah luar biasa, agar mereka tetap memiliki tempat untuk digunakan sebagai ruang berkarya seni di kemudian hari, sehingga proses yang mereka lakukan untuk berkesenian tetap berjalan. Project seni ini melibatkan seniman maupun praktisi dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, yang diundang untuk berkolaborasi dengan difabel melalui kegiatan [DIS] workshop kolaborasi di Sekolah Luar Biasa/SLB Negeri 1 Bantul (d/h SLB Negeri 3 Yogyakarta).
Catatan Harian Kuratorial Workshop [DIS] 8 November 2011, hari pertama workshop seni rupa dalam rangka kegiatan [DIS] Parallel Event Biennale Jogja XI di SLB Negeri 1 Bantul diawali dengan ketegangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi sedangkan para seniman atau pemateri belum tiba. Anak-anak siswa SLB sudah terlihat gelisah menunggu di Sanggar Kaliba dan studio batik, dua sanggar seni yang terdapat di dalam kompleks sekolah tersebut. Antusiasme akan workshop yang akan diberikan terpancar dari tingkah laku mereka. Bahkan, terdengar celoteh dan pertanyaan polos khas anak-anak yang bertanya kepada saya sebagai kurator kegiatan workshop ini, “Pak, kapan sih mulainya? Ga dateng-dateng gurunya..” Meyra, salah satu siswa autis bahkan terlihat kesal dan menggerutu karena dia memang paling semangat akan kegiatan workshop seni rupa ini, segala peralatan gambar sudah dia keluarkan dari tasnya. Tak lama kemudian datanglah para seniman dengan membawa amunisi lengkap, dan anak-anak pun yang sebelumnya kesal akhirnya kembali gembira.
schools, so they can have a space to develop their artistic skills, allowing the continuity of artistic processes. This art project involves artists and practitioners from Jakarta, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya, invited to collaborate with diffables through a [DIS] Collaboration Workshop at State Special School 1 Bantul (also presenting State Special School 1 Yogyakarta). Curatorial Workshop Journal [DIS] On November 8, 2011, the first day of the art workshop that was a [DIS] Parallel Events activity of the Biennale Jogja XI held at Sekolah Luar Biasa/SLB Negeri (State Special School) 1 Bantul began with a bit of tension. It was already 9 a.m., but the artists and workshop facilitators had not yet arrived. The SLB students were anxiously awaiting them at Sanggar Kaliba and the batik
Tim kerja project [DIS] bersama salah satu pemateri dalam salah satu sesi workshop / [DIS] working team with one of the resource persons in a workshop session
studio, the two art centers located in the school complex. Their enthusiasm for the workshop was reflected in their behavior. They asked me, the curator of the workshop, “When will it start? Why aren’t the teachers here yet?” Meyra, one of the autistic students appeared to be irritated and began grumbling because she was the most excited student anticipating this art workshop. She had taken all of her drawing tools out of her bag. Not long after that, the artists arrived fully equipped and the children’s irritation turned to joy. On the first day, the artists from Studio Grafis Minggiran taught graphic art and the artists from Sanggar Caping taught drawing. Studio Grafis Minggiran taught graphic art with a simple technique of collagraph print (collage that Parallel Events - Metropolelightberry
75
76
Hari pertama, pemateri yang terlibat seniman dari Studio was printed on to paper). Sanggar Caping taught drawing Grafis Minggiran, untuk mengajarkan seni grafis dan with a graphic arts approach using toothbrushes and Sanggar Caping yang mengajarkan seni lukis. Studio potatoes to create stamped prints. All of the facilitators Grafis Minggiran, mengajarkan seni grafis dengan teknik had consulted with the curators and art teachers at the yang sederhana yaitu collagraph print (kolase yang school to coordinate the lesson that employed relatively kemudian dicetak di atas kertas). Sedangkan Sanggar easy techniques that could be learned and practiced by Caping mengajarkan seni lukis dengan pendekatan teknis the students with various disabilities. seni grafis, menggunakan sikat gigi dan kentang sebagai media untuk stamp print. Semua pemateri terlebih dahulu The themes and concepts expressed in the visual works, berkonsultasi dengan kurator dan para guru seni rupa on the average, adopted daily objects that were easy to di sekolah tersebut untuk pengkondisian tentang materi remember and processed by the participants, such as yang akan diberikan, yang menyangkut hal-hal teknis flowers, animals, stars, etc. The collaborative process agar mudah diserap dan dipraktikkan para siswa difabel. proceeded smoothly. There was no indoctrination or Tema maupun konsep visual karya, rata-rata, akan mengangkat hal-hal keseharian yang mudah diingat dan dicerna oleh peserta, seperti bunga, hewan, bintang, dan sebagainya. Jadi, dalam pelaksanaan, proses kolaborasi yang diharapkan dapat berjalan dengan maksimal. Tidak ada indoktrinasi maupun intervensi dari seniman kepada peserta. Para siswa dibebaskan untuk berkarya sesuai dengan tema yang diarahkan para pemateri, dan mereka bebas bereksplorasi untuk Pementasan oleh siswa-siswi SLB Negeri 1 Bantul dalam rangkaian pembukaan pameran [DIS], 11 Desember 2011 / Performance by the students of the Special-Needs Public School SLB Negeri 1 Bantul, during the menuangkan tema dan idenya tersebut opening of [DIS] exhibition, December 11, 2011 ke atas media intervention by the artists regarding the students’ works. yang diberikan. Saat praktik, mereka terlihat menikmati The students were free to create in accordance within proses berkarya karena mendapatkan pengalaman the directions offered by the facilitators and they were baru dari teknik-teknik yang dikenalkan serta diajarkan free to explore the themes and ideas with the materials para pemateri. Proses workshop seni lukis dan grafis they were given. In practice, they appeared to enjoy the berlangsung selama 2 hari. Tahap pertama merupakan creative process because the facilitators introduced new tahap pengkondisian yaitu pengenalan akan media, techniques and experiences. The drawing and graphic bercerita akan tema yang diangkat, bermain-main agar arts workshop lasted two days. In the first phase, the Parallel Events - Metropolelightberry
dalam tahap berikutnya yang merupakan finishing karya dan banyak membutuhkan ketekunan, siswa difabel tidak cepat bosan dan gembira saat menyelesaikan karyanya.
students were introduced to the media, discussed the theme and played together so that in the next phase, they could concentrate on their artwork without getting bored and enjoy completing the process.
Hari berikutnya dengan pemateri yang berbeda, yaitu para seniman dari ThedeoMixBlood yang memberikan The next day, the facilitators were artists from materi seni assemblage dengan judul Flour a Sense ThedeoMixBlood who introduced the art technique of menggunakan media tepung: bahan dasar pembuat kue assemblage and a project called Flour a Sense, using serta mainan bekas sebagai eksperimentasi bahannya. cake flour and used toys for experimentation. The Terlihat antusiasme dari anak-anak yang semakin students’ enthusiasm seemed to increase especially meningkat, terlebih produk akhir yang ditawarkan dari because the last items offered to them in the workshop proses workshop ini berupa mainan. Komunitas ini were toys. This group of facilitators worked very well with menggunakan pendekatan yang sangat dekat dan the students; perhaps they had previous experiences cair dengan para difabel; mungkin ada pengalaman terdahulu saat mereka juga pernah memberikan workshop di salah satu komunitas difabel Yogyakarta. Kepolosan dan kenaturalan dari tingkah laku dan pola pikir mereka yang ditangkap oleh pemateri, menjadikan tema yang diangkat dalam karyanya, yaitu fantasi, mengarah ke absurd. Siswa dengan seenaknya menempelkan bagian-bagian tubuh robot, mobil dan mainan lainnya yang dikonstruksikan kembali menjadi satu bentuk yang berbeda dan sangat otentik. Begitulah, mereka mengolah rasa, melewati batas-batas logika, dan cenderung banyak melibatkan sisi intuitifnya. Kejutan yang dihasilkan dari seni assemblage ini memang tidak terduga, karena hasil karya antara yang satu dengan yang lain Suasana pembukaan pameran [DIS] di galeri semi permanen, Alun-alun Selatan Kraton, Yogyakarta, 11 Desember 2011 / [DIS] semi-permanent gallery at the south town square of Yogyakarta Palace tidak ada yang serupa. Naif, penuh fantasi hingga rasa motivasi untuk menjadi yang terbaik terlihat dalam karyanya. Adanya beberapa elemen seperti senjata pada karya seninya dapat dimaknai bahwa mereka membutuhkan perlindungan dari lingkungan sosialnya yang banyak terdapat diskriminasi. Motivasi untuk menjadi yang terbaik terlihat dengan tidak adanya karya yang serupa dan percaya bahwa karyanya sendiri yang terbaik, sehingga mereka berlomba-lomba
conducting similar workshops in Yogyakarta. The facilitators responded to the students’ directness and natural, unaffected behavior and ways of thinking, and adopted them into their works, ranging from fantasy to the absurd. The students easily adhered together parts of robots, cars and other toys, which had been deconstructed, to be formed into entirely different authentic forms. In this way, they processed feelings, Parallel Events - Metropolelightberry
77
78
secara senang dan penuh totalitas membuat karya yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Itulah inti yang didapat dalam proses berkesenian, dimana saat membuat karya tidak ada tekanan dan dibuat dengan rasa senang. Teapot Experience, kelompok seniman yang memberikan materi workshop seni keramik mengangkat tema cita-cita dan harapan. Para siswa diajak berkolaborasi dengan seniman untuk menceritakan tentang cita-cita yang ingin mereka raih ke dalam bentuk visual. Media yang digunakan sebagai transformasi cerita mereka adalah tanah liat. Bentukan visual dari yang sederhana hingga yang rumit, terlihat penuh dengan makna dan cerita tersendiri. Semuanya sangat menikmati dari tahap awal bercerita, bermain dengan tanah liat, proses pengerjaan seni keramik, sampai hasil akhir yang ternyata mengejutkan dan luar biasa. Workshop terakhir yang saya ikuti di SLB Negeri 1 Bantul adalah seni tari dan teater. Tahap pendekatan dan pengkondisian yang dilakukan oleh Giri Mustika (pemateri teater) lebih kepada humor dan parodi teatrikal yang diinterpretasikan ke dalam bentuk pertunjukkan pantomim. Tema yang diangkat adalah bencana Merapi dan lahar dingin yang pernah mereka alami sebelumnya. Diharapkan, dengan sesuatu yang pernah mereka alami, dari pengalaman traumatis yang mengendap, akan menjadi pengalaman estetis yang mereka ekspresikan ke dalam teater. Giri yang penuh humor dalam proses pengajarannya, menjadikannya dekat dengan anak-anak, menjadikan mereka tertawa terbahak-bahak karena kelucuannya itu, dan saat berakting teater terlihat tidak ada kecanggungan dari mereka. Semuanya lepas, bebas melepaskan semua ekspresi, dan itu menyenangkan bagi mereka. Adapun Gita Kinanthi dan Rara—panggilan akrab Ariyanti Sultan, yang menjadi pemateri seni tari—lebih memperhatikan tingkat ketunaannya sebagai pendekatan proses, dan lebih bertumpu pada pendekatan secara personal. Dari pendekatan personal tersebut kemudian dileburkan ke dalam bentuk pertunjukan tari komunal dengan musik sebagai pengiringnya. Siswa tuna rungu belajar dengan ketukan dan melihat ketukan musik dari tepukan tangan pemateri. Rasa antusias mereka dalam belajar tari merupakan nilai yang penting hingga masuk ke tahapan proses kolaborasi. Workshop lainnya adalah videografi. Andre Triadi dan Andri Yandi, seniman video adalah pemateri yang memberikan wokshop kepada komunitas Gerkatin, komunitas tuna rungu di Yogyakarta. Bagus, selaku Parallel Events - Metropolelightberry
surpassed logical boundaries and tended to use their intuition. The results of the assemblage project were an unexpected surprise because each work was unique. Naïveté, fantasy and motivation to become the best were all reflected in their works. There were several elements, such as weapons, in their artworks that could symbolize that they needed protection from their social environment, which is full of discrimination. Motivation to be the best was evident in the uniqueness of the creations and the confidence amongst the students that their own work was the best. They poured their hearts totally into creating their unique artwork. This was the essence of the art process in which there was no pressure and in which art was created joyfully. In the Teapot Experience, the artists conducted a ceramics workshop with the theme of ‘hopes and wishes’. The students were invited to collaborate with the artists in telling about the dreams they wished to achieve in visual forms. The medium use to transform their stories was clay. Visual forms, simple and complex, each full of meaning and stories. It appeared that the students enjoyed the entire process, from telling their stories, playing with the clay, creating their ceramic objects, through to the surprising, extraordinary results. The final workshop at SLB Negeri 1 Bantul featured dance and theater. The warm-up session facilitated by Giri Mustika (theater artist) featured humor and theatrical parody interpreted in a pantomime performance. The theme was the volcanic eruption of Mt. Merapi and the lava flow that they had learned about and experienced. It was hoped that this traumatic experience would be translated into an aesthetic experience expressed in theater. Giri’s humorous approach entranced the students and made them laugh uproariously. When it was their turn to act, there was no awkwardness. The students expressed themselves freely and enjoyed the experience very much. The dance facilitators, Gita Kinanthi and Rara (Ariyanti Sultan) focused their attention more on the level of the students’ disabilities as part of the artistic process and more based on a personal approach that was transformed into a communal dance accompanied by music. The deaf students learned with beats and watched the facilitators clapping hands for the musical beats. The students’ enthusiasm in learning dance was important in the collaboration process. Video artists, Andre Triadi and Andri Yandi, also facilitated a videography workshop with the Gerkatin community,
ketua komunitas tersebut menjadi penerjemah dari materi yang disampaikan oleh Andre dan Andri. Pendekatan materinya lebih kepada interpretasi mereka pada tema yang diangkat. Mereka dilebur ke dalam kelompokkelompok kecil, kemudian memaknai tema tersebut untuk dituangkan ke dalam story board. Mereka belajar menulis skenario, memainkan peran, belajar teknik mengambil gambar dengan menggunakan kamera video, dan ada yang berposisi sebagai sutradara. Semuanya dibebaskan untuk mengekspresikan gagasannya, bereksperimen dengan media rekam, dan ini menjadi pengalaman baru yang mengasyikkan bagi mereka walaupun hanya dalam waktu singkat, yakni dua hari. Dalam proses keseluruhan, semua peserta yang terlibat dari pihak difabel, guru, serta seniman terlihat semangat, senang, gembira dan antusias. Mereka juga mendapatkan suatu pengalaman baru yang sangat berharga dalam berkesenian.
a community for deaf people in Yogyakarta. Bagus, the director of Gerkatin, served as the translator for Andre and Andri. They introduced the material by discussion interpretations of the theme. Then the participants were divided into small groups in which they composed storyboards for their videos. They learned how to write scenarios, roleplay, use the video cameras to shoot scenes, and direct the videos. They were free to express their ideas and opinions, and experiment with the recording equipment. This was a new and fascinating experience for them although the workshop lasted only two days. In the entire process, all of the participants— students, teachers, and artists—were enthusiastic, happy, joyful, full of energy. They all profited from these new and very valuable experiences in creating art. Artist, Disabled, Perspective Artists have their ways of addressing problems that they face and transforming them into works of art, whether visual or performance. We capture substantive issues in and transform them into transcendental, cognitive, contemplative and subjective expressions. In [DIS] Parallel Events Biennale Jogja XI, we were faced with a situation in which empathy was a major influence for the artists in translating their creative processes through the collaborative workshops resulting in the execution of the works in response to the [DIS] theme.
Seniman, Difabel, Perspektif Seniman memiliki substansi tertentu dalam menyikapi persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan mentransformasikan dalam bentuk karya, baik berupa karya visual maupun pertunjukan. Kami menangkap hal-hal substantif tersebut berupa wujud yang sifatnya transendental, kognitif, kontemplatif maupun ekspresi subjektif. Dalam [DIS] Parallel Event Biennale Jogja XI ini, kami berhadapan dengan situasi ketika empati memiliki The curatorial work process as composed in a diagrammed scheme, which considered basic ideas
Parallel Events - Metropolelightberry
79
80
Pemutaran video karya siswa-siswi SLB Negeri 1 Bantul di galeri semi permanen [DIS], 16 Desember 2011 / Screening of the video works by students of the Special-Needs Public School SLB Negeri 1 Bantul at the semi-permanent gallery of [DIS], December 16, 2011
of the artists and the participants with disabilities, was involved observation, discussion and documentation. In the end, the artists refined their own creative processes in addressing the [DIS] issues. With a variety of specific considerations, Mahdi Abdullah, an artist with a strong Proses kerja kuratorial melalui skema diagramatikal, yang stereotypically Acehnese perspective, described violence and conflict in his work. Mahdi Abdullah’s installation menempatkan pemikiran-pemikiran dasar para seniman implicitly addressed the influence of the state on the serta rekan-rekan difabel ditangkap dan diserap melalui disabled who are disabled as a result of the conflict observasi, diskusi, dan dokumentasi. Pada akhirnya, that the state created. From another perspective, Indra kami menemukan metode seniman dalam menyikapi Basok illustrated hopes and prayers in video art and persoalan [DIS] menurut proses kreatif mereka. Dengan performance. Chozin Mukti and Putu Astagiri used berbagai pertimbangan tertentu, Mahdi Abdulllah, seniman yang memiliki cara pandang pemikiran stereotip empathy in their work of sound art and experimental music that was performed by an orchestra that involved Aceh, berusaha mendeskripsikan kekerasan dan konflik di dalam karyanya. Instalasi karya Mahdi Abdulla, secara an audience of deaf people. House of Natural Fiber implisit bercerita tentang bagaimana negara berpengaruh (HONF), who has much experience in new art media, terhadap difabilitas, akibat konflik yang diciptakan. Di sisi shared their experiences through documentation of lain, Indra Basok berusaha menggambarkan harapan dan their ten years of unique collaboration with YAKKUM, an organization that works in rehabilitation of physically doa melalui karya seni video dan pertunjukan. Chozin challenged young people. Mukti dan Putu Astagiri, mencoba mengolah sisi empati dalam karya seni bunyi dan musik eksperimental yang It is also worth mentioning the perspectives of foreign diolah melalui pertunjukan orchestra dengan melibatkan artists who have lived for a long time in Indonesia and penonton difabel, khususnya tuna rungu. HONF (House responded to [DIS]. Andi Stiller, a German artist who now Of Natural Fiber) yang telah malang-melintang di dunia works in Yogyakarta, addressed aspects of growth and seni media baru, berbagi pengalaman melalui dokumen, beauty inherent in differences through an installation of dan arsip mereka, kerjasama HONF dengan YAKKUM lights. Meanwhile, Lucie Wednesday, an artist from the yang mencapai satu dasawarsa merupakan sebuah Czech Republic, shared a valuable experience through perjalanan yang cukup lama, dan merupakan sebuah an installation of ladders by positioning the ‘naughty’ kolaborasi unik antara seniman dan difabel. in a paradoxical concept. These creative processes featuring diverse paradigms offered by the artists cannot Sudut pandang seniman asing yang cukup lama berdomisili di Indonesia, dalam merespon [DIS] juga layak be absorbed, applied or developed directly. However, we cannot predict what the effects of these works, which are diangkat, untuk memperluas sisi subjektifitas seniman. responses to the issues of [DIS], may be. Andi Stiller, seniman yang berasal dari Jerman dan kini bekerja di Yogyakarta, mengangkat sisi perkembangan The final celebration of [DIS] was held on December dan keindahan dari perbedaan, yang diolah dengan 11-17, 2011, when the hard work of the collaborative instalasi cahaya. Sedangkan Lucie Wednesday, seniwati process between artists and disabled students, and the dari Rep.Ceko memiliki pengalaman yang layak untuk pengaruh bagi seniman untuk menerjemahkan proses kreatif mereka melalui workshop kolaborasi maupun melalui pengendapan yang berakhir pada eksekusi karya untuk merespon tema [DIS].
Parallel Events - Metropolelightberry
dibagi melalui karya instalasi tangga dengan penempatan yang ‘nakal’ dan konsep paradoksal. Proses-proses kreatif tersebut, dengan paradigma yang beragam dari seniman, memang tidak dapat diambil, diterapkan, ataupun dikembangkan secara langsung. Namun, kita juga tidak dapat memprediksi, bagaimana efek yang mungkin tercipta dari karya-karya seniman dalam menyikapi persoalan [DIS]. Perhelatan [DIS] pun akhirnya terselenggara dari tanggal 11-17 Desember 2011 dengan maksimal, kerja keras proses kolaborasi antara seniman-difabel serta karya seniman undangan yang dipamerkan dan dipertunjukkan, mendapatkan apresiasi dari semua pihak, antara lain seniman, pencinta seni, budayawan, juga masyarakat umum. Semua mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari kegiatan ini, yaitu membuka perspektif baru, menumbuhkan rasa empati dalam keberagaman, saling menghargai, serta berkesenian tanpa batasan. Mereka berhak untuk menjadi kreatif dan berkarya seni. Itu nilai yang dapat kita ambil dan menjadi bekal serta pengalaman baru yang positif bagi kita semua. “Persoalan dapur” Penggalangan dana yang kami lakukan untuk [DIS] adalah dengan mengirimkan proposal untuk menjadi donatur kepada kolega-kolega, ke beberapa perusahaan, dan kepada rekan-rekan seniman. Mengingat keterbatasan waktu, kami memilih cara ini tinimbang menawarkan kerjasama dalam bentuk sponsorship.
exhibition and performances of invited artists received appreciation from all parties involved, including artists, art lovers, cultural aficionados, and the general public. Everyone benefited from these activities that opened new perspectives, encouraged empathy in dealing with diversity, mutual respect, and art without limits. These students deserve to have opportunities to be creative and to create art. This is the valuable lesson that we have all gained from this positive new experience. Inside Stuff To raise funds, we sent proposals for donation to our friends, several companies, and fellow artists. Considering the time restriction, we decided to do this rather than writing proposals for sponsorship. [DIS] Parallel Events Biennale Jogja XI 2011 by Metropolelightberry Eko Bambang Wisnu (Curator) Farhan Adityasmara (Curator/Documentation)
|metropole|lightberry| were founded in Yogyakarta by Eko Bambang Wisnu, Farhan Adityasmara, Iqi Qoror and Theresia Agustina Sitompul. They studied at Indonesian Institute of The Arts Yogyakarta, with different art majors such as painting, printmaking and photography. They share the same interest in new media art and working in experimental media.
[DIS] Parallel Event Biennale Jogja XI 2011 by Metropolelightberry Eko Bambang Wisnu (Kurator) Farhan Adityasmara (Kurator/Dokumentasi)
|metropole|lightberry| dibentuk di Yogyakarta oleh Eko Bambang Wisnu, Farhan Adityasmara, Iqi Qoror, dan Theresia Agustina Sitompul. Para seniman ini belajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dari berbagai jurusan seni seperti lukis, grafis, dan fotografi. Mereka memiliki minat yang sama dalam seni media baru dan bekerja dengan media eksperimental.
Parallel Events - Metropolelightberry
81
82
Pasaran Kliwon Kliwon Market Day
Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by: Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) The Students Association (HMJ) of the Fine Art Faculty’s Crafts Department of the Indonesia Institute of the Arts (ISI) Yogyakarta 9 November – 9 December 2011 Workshop and exhibition: Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jl. Parangtritis Km 5 Bantul Yogyakarta Carnival at Malioboro Street, join in Jogja Fashion Week Pancawara adalah nama dari sebuah pekan atau minggu yang terdiri dari lima hari dalam budaya Bali dan Jawa. Pancawara juga disebut sebagai hari pasaran dalam bahasa Jawa. Istilah ini berkait dengan kegiatan ekonomi, karena pada zaman dahulu, pasar-pasar tradisional hanya buka pada hari tertentu saja, misalkan Pasar Legi dan Pasar Pon di Surakarta hanya buka pada hari Legi dan Pon saja dalam satu minggu kalender Jawa (siklus lima hari). Dalam siklus pasaran, satu pekan terdiri dari lima hari pasaran, yakni: Paing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Dalam proyek ini, HMJ Kriya ISI Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan yang mengupayakan pemanfaatan sampah plastik ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Setelah menjadi bahan, dieksplorasi menjadi karya seni sesuai tema: “Pasaran Kliwon”. Pasaran merupakan simbol dari keberagaman budaya Jawa, karena Pasaran Kliwon, diposisikan di tengah atau sebagai pancer (pusat) sehingga pasaran lain dapat ditempatkan sesuai dengan tempatnya. Adapun tenun ATBM merupakan teknik yang memerlukan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian dalam mengerjakannya. Pasaran Kliwon Pada tanggal 1-2 Desember 2011, kami, HMJ Kriya ISI Yogyakarta, mengadakan acara pameran yang di kemas dalam bentuk performance. Acara ini diselengarakan di UPT Gallery ISI Yogyakarta. Diikuti oleh 20 orang performer yang menggunakan kostum yang berhubungan dengan tema pasaran, khususnya pasaran Kliwon. Musik yang mengiringi diisi oleh grup Ambyar Binangun berduet dengan Lunatica Band. Acara ini dibuka oleh bapak Drs. Andang Suprihadi, P. Msn selaku Dekan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.
Pancawara is the name of the five-day week in Balinese and Javanese cultures. Pancawara is also called hari pasaran, or market days, in Javanese. This term relates to economic activities because in the olden times traditional markets only open on certain days, e.g. a Legi Market and a Pon Market in Surakarta only open on the days of Legi and Pon. In the pasaran cycle, a week consists of five days: Paing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. In this project, HMJ Kriya ISI Yogyakarta organizes activities that promote the utilization of plastic wastes woven with manual looms (ATBM) instead of machines, a technique that requires persistence, patience, and attention to detail. Once the woven materials are complete, they are turned into artworks that relate to the theme: “Kliwon Market”. Market is a symbol of the cultural diversity of Java. Kliwon Market is considered central or pancer, and other markets are held in accordance to certain spaces. Kliwon Market Day On December 1-2, 2011, HMJ Kriya from ISI Yogyakarta organized an exhibition and performance at the UPT Gallery at ISI Yogyakarta. There were 20 performers who wore costumes representing the theme of market days, specifically Kliwon market day. The Ambyar Binangun group and Lunatica Band provided the music. The audience was greeted by the Dean of the Art Department, Drs. Andang Suprihadi, P. Msn. Our faculty advisor, Mr. Sudjud Dartanto, was also present. The event, entitled Berkilauan di Hari Pasaran Kliwon [Sparkling on Kliwon Market Day], began at 10 a.m. and lasted until 3 p.m.
Parallel Events - Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI)
83
Partisipasi HMJ Kriya ISI Yogyakarta dalam karnaval Jogja Fahion Week, 2 November 2011, di area Malioboro, Yogyakarta, menampilkan kreasi pemanfaatan sampah plastik ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) The participation of Crafts Students’ Association at ISI Yogyakarta during the Jogja Fashion Week Carnival, November 2, 2011, in Malioboro, Yogyakarta, presenting works made from used plastic waste that had been manually woven using looms Parallel Events - Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI)
84
Approximately 80 people from Yogyakarta attended the event. We presented a dance performance assisted by Nina, from the Theater Department of the Performing Arts Faculty, who acted as the movement coordinator and make-up director. We performed the dance movements Acara ini dihadiri kurang lebih 80 orang yang berasal dari repeatedly non-stop for 2 hours. After the first 2 hours, we took a break, then resumed the dance again for about 1-1/2 sekitar Yogyakarta. Dalam acara ini, kami menampilkan hours. During a break, we screened a documentary of our sebuah performance tarian yang dibantu oleh Nina performances on “Water Day” and during “Jogja Fashion dari Fakultas Seni Petunjukan Jurusan Teater sebagai pegarah gerakan. Kami melakukan gerakan yang diulang- Week 2011”. ulang non stop selama 2 jam. Setelah 2 jam pertama For the Berkilauan di Hari Pasaran Kliwon event we spread kami lalui, kami beristirahat, lalu melanjutkan tarian lagi flowers on the floor of the performance space. In the middle kurang lebih sekitar satu setengah jam. Dalam waktu of the space there was a weaving loom that was plucked to istirahat, kami memutar dokumentasi performance kami pada “Hari Air” dan pada waktu “Jogja Fashion Week 2011”. Kami didampingi oleh dosen pendamping, yaitu Bapak Sudjud Dartanto. Acara pameran ini kami beri judul “Berkilauan di Hari Pasaran Kliwon”. Acara dimulai pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB .
Dalam acara Berkilauan di Hari Pasaran Kliwon, kami menata ruangan dengan dihiasi kembang-kembang yang ditebarkan di lantai. Lalu di tengah ruangan ada mesin tenun yang dimainkan untuk menghasilkan bunyi guna melengkapi suara musik dan memberikan kesan yang unik. Lalu dari depan ada pecahan kaca yang ditempel pada kain lalu disorot oleh lampu tembak, dan menghasilkan cahaya bintang yang menawan, lampu gallery kami matikan sehingga performance hanya diterangi lampu yang berspektrum merah. Ada seorang mahasiswa psikologi Universitas Gadjah Mada/UGM yang kami libatkan dalam acara ini. Nama mahasiswa tersebut Arini Imani Shophia. Ia adalah mahasiswa Psikologi angkatan 2007 di UGM. Dia terlibat dan mengikuti performance yang kita selenggarakan. Arini juga memberikan sumbangan yang besar kepada kami dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang dihadapi oleh setiap person yang terlibat dalam acara ini. Bahasa kerennya dia merupakan manager personalia dalam me-manage kejiwaan. Metode yang diajarkan kepada kami dalam mengatasi konflik batin personil adalah dengan cara ramalan. Dia ahli meramal, dengan metode ini secara tidak langsung si ”korban kegalauan” mencurahkan isi hati (curhat) kepadanya sehingga korban merasa bebannya menjadi ringan, dan dapat melaksanakan tugas kembali. Terkadang, metode itu mengganggu jalannya proses latihan dikarenakan tidak jarang teman-teman lebih memilih curhat berlama-lama daripada latihan untuk performance. Salah satu ilmu yang diajarkan lagi adalah penanggulangan konflik antar person. Kami menyadari, sebagai sebuah organisasi di kampus ISI Yogyakarta, kami termasuk organisasi yang solid. Tetapi kami sangat rentan terhadap konflik intrapersonal. Salah satu
Proses kerja dalam workshop pemanfaatan sampah plastik ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) / The work process during the workshop to manually weave plastic waste with looms
produce musical sounds, producing a unique impression. In the front of the space there was a cloth upon which were attached pieces of glass that sparkled when a light flashed by; the gallery lights were turned off and the performance was illuminated only by a red spectrum light. We invited a psychology student from UGM, Arini Imani Shopia, to join the project. Arini contributed tremendously by helping us to overcome the psychological obstacles encountered in the process of the project. She became the personnel manager who “managed our spirits”. She taught us how to overcome our personal problems. She is an expert at this. She was able to get the “victims of confusion” to indirectly pour out their feelings to her so that their hearts felt lighter and they were able to return to their tasks.
Parallel Events - Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI)
penyebabnya adalah pengaruh kebudayaan yang ada di Yogyakarta, yang menurut kami dapat menyebabkan konflik yang disebabkan kemarahan yang impulsif. Kami juga dibantu oleh Nina dari jurusan Teater ISI Yogyakarta angkatan 2011. Dia yang mengarahkan kami gerak tubuh dan tata make-up yang tepat dalam pelaksanaan acara ini. Selain itu, ada Akid, Agus, dan Endhi selaku karyawan kampus yang ikut serta membantu terlaksananya acara ini. Dan, yang terakhir ada Bimo Prasetyo S.H, yang merupakan mahasiswa Atamajaya jurusan Ilmu Hukum. Ia juga terlibat dalam acara ini.
Sometimes this method hampered the rehearsal process because often participants chose to consult with Arini for a long time rather than rehearse for the performance. She also taught us how to overcome interpersonal conflicts. We are aware that as a student organization at ISI Yogyakarta, we are a solid entity, however we are still vulnerable to interpersonal conflicts. One of the reasons is the cultural influence present in Yogyakarta that we feel creates conflict caused by impulsive anger. ISI employees—Akid, Agus and Endhi—helped us throughout the duration of the project. Finally, Bimo Prasetyo, S.H., from Atmajaya University was also involved in the event. The budget for Berkilauan di Hari Pasaran Kliwon totaled Rp. 925.000,00. This amount was used to make banners, pamphlets (black and white), refreshments for 80 people (including the committee, production crew, invited guests, and audience), as well as the equipment (black cloth, mirror, flowers, incense, tape, glue, etc.), rental of chairs and sound system.
Dana yang dihabiskan untuk menyelenggarakan pameran Berkilauan di Hari Pasaran Kliwon ini berkisar Rp 925.000,00. Uang ini digunakan untuk membuat banner, pamflet acara (berwarna dan hitam putih) , konsumsi untuk 80 orang termasuk panitia, kru, undangan dan penonton. Perlengkapan (kain hitam, kaca cermin, kembang, dupa, lakban, lem tembak, dll), sewa kursi dan sewa sound-system.
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta is a group of students who feel the need to develop their skill and ability further, on the basis of the cultural roots of the nation, by creating works of art that meet functional and non-functional needs. In creating these works, the students do it in creative and innovative manners and with high craftsmanship, whether it is to meet daily needs or for exclusive demands.
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta adalah kumpulan mahasiswa yang didorong untuk mengembangkan kemampuannya berdasar pada akar budaya bangsa, menciptakan karya-karya seni yang memenuhi kebutuhan fungsional dan nonfungsional, yang dalam mewujudkannya dilaksanakan secara kreatif, inovatif, serta dengan keahlian kriya yang tinggi, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan eksklusif. Parallel Events - Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kriya Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI)
85
86
Retrospektif dalam Keberagaman A Retrospective of Diversity
Diinisiasi dan diorganisasi oleh/initiated and organized by: Komunitas Dokumenter Discussions, community presentations, and film screening: 2-10 December 2011 Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta
This event is a journey in sharing the past. With the theme retrospective, the audience will become acquainted with the journey of Komunitas Dokumenter in its 10th year of organizing the Documentary Film Festival. Responding to Biennale Jogja XI 2011’s theme of religiosity, the community will address the theme of conflict related to a number of sectarian clashes in Indonesia, which should still be fresh in our memory.
This event is a journey in sharing the past. With the theme retrospective, the audience will become acquainted with the journey of Komunitas Dokumenter in its 10th year of organizing the Documentary Film Festival. Responding to Biennale Jogja XI 2011’s theme of religiosity, the community will address the theme of conflict related to a number of sectarian clashes in Indonesia, which should still be fresh in our memory.
Retrospektif dalam Keberagaman Melalui kegiatan ini penonton akan dibawa untuk berbagi tentang masa lalu. Dengan tema retrospektif diharapkan bisa mengenalkan kepada penonton proses perjalanan Komunitas Dokumenter dalam menyelenggarakan Festival Film Dokumenter di tahun ke-10 ini. Terkait tema Biennale Jogja XI 2011 mengenai religiositas, Komunitas Dokumenter akan mengetengahkan tema konflik dan beberapa kasus sektarian di Indonesia yang masih hangat dalam ingatan.
A Retrospective of Diversity
Rangkaian kegiatan berupa pemutaran film, diskusi, serta fringe event berupa menu dokumentasi bersama, dengan mengangkat isu sektarian dalam dokumenter sebagai karya, ruang, dan muatan kekerasan. Agenda kegiatan: 2 Desember 2011 pemutaran film Anand Patwardan berjudul Father, Son, and Holy War (pukul 15.00 WIB); film Leonard Retel Helmrich berjudul Promised Paradise (pukul 18.00 WIB); 3 Desember 2011 pemutaran film Jason Iskandar berjudul Indonesia Bukan Negara Islam, diikuti diskusi “Sektarian dalam Dokumenter; Karya, Ruang, dan Muatan Kekerasan”, pukul 10.00-12.00 WIB; 2-10 Desember 2011, pukul 14.30-21.00 WIB, Fringe Events “Menu Dokumentasi”. Seluruh rangkaian kegiatan diselenggarakan di Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta/TBY, Jln. Sriwedani No.1 Yogyakarta.
The series of activities included film screenings, discussions, and fringe events, bringing up sectarian issues. Events: December 2nd, 2011, screening of Patwardan Anand’s film “Father, Son, and Holy War” (3.00 PM); screening of Leonard Retel Helmrich’s “Promised Paradise” (6.00 PM); December 3rd, 2011, screening of Jason Alexander’s “Indonesia Not A Moslem Country”, followed by a discussion on “Sectarian in Documentary: Work, Space, and Violent Contents,” from 10.00 AM until midday; December 2nd – 10th, 2011, from 2.30 PM until 9.00 PM, Fringe Events “Documentation Menu.” The whole series of activities were held in the Seminar Room of Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta.
Parallel Events - Komunitas Dokumenter
This event is a journey in sharing the past. With the theme retrospective, the audience will become acquainted with the journey of Komunitas Dokumenter in its 10th year of organizing the Documentary Film Festival. Responding to Biennale Jogja XI 2011’s theme of religiosity, the community will address the theme of conflict related to a number of sectarian clashes in Indonesia, which should still be fresh in our memory.
87
Suasana diskusi “Sektarian dalam Dokumenter; Karya, Ruang, dan Muatan Kekerasan”, 3 Desember 2011 / A scene in the discussion of “Sectarian in Documentaries: Work, Space and the Violence Content”, December 3, 2011
Komunitas Dokumenter adalah sebuah kelompok kerja yang bergiat di bidang film dokumenter. Komunitas Dokumenter dibentuk oleh beberapa anak muda dengan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan untuk aktivitas-aktivitas apresiasi, produksi, dokumentasi, penelitian, dan sosialisasi film dokumenter. Komunitas Dokumenter mulai beraktivitas sejak tahun 2002 dengan tujuan utama membangun infrastruktur di bidang film dokumenter, dengan program-progam: pengembangan SDM, pusat data dan informasi, sosialisasi dan jaringan kerja, pendidikan dan pelatihan, dan festival. Komunitas Dokumenter bersifat nirlaba dan nonpartisan.
Komunitas Dokumenter is a group working in the field of documentary films. It was founded by several youngsters with a collaborative spirit to hold documentaryrelated activities such as appreciation, production, documentation, research and publication of documentary films. The community has been active since 2002 with the main goal of developing the infrastructure in the field of documentary films, with the program of: capacity building, data base and information center, socialization and network, education and training, and festival. Komunitas Dokumenter is a not-for-profit and non-partisan institution.
Suasana pemutaran film “Father, Son, and Holy War” di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, 2 Desember 2011 A scene in the movie screening of “Father, Son and the Holy War” at the Seminar Room of Yogyakarta Arts Center, December 2, 2011 Parallel Events - Komunitas Dokumenter
88
KOTA CINTA: Bollywood KM 0, Tari massal, 25 Desember 2011, Koreografi oleh Alicia Kasih (Jakarta Broadway Team). KOTA CINTA adalah bagian dari Festival Equator CITY of LOVE: Bollywood 0 KM, Mass dance, December 25th, 2011, Choreography by Alicia Kasih (Jakarta Broadway Team). CITY of LOVE is a part of Equator Festival.
Festival Equator
89
90
Festival Equator Oleh/ by: Joned Suryatmoko Artistic Director/ Direktur Artistik Festival Equator Biennale Jogja XI 2011
Festival Equator (FE) dirancang Biennale Jogja XI 2011 sebagai fasilitas dialog tema pameran utama dengan keterlibatan masyarakat luas. Alih-alih sekedar sebagai penonton yang pasif, masyarakat dipercaya sebagai sebaran kreatif. Masyarakat berperan dalam membentuk dinamika Jogja, baik dinamika kesenian maupun kebudayaan secara lebih luas. Estetika festival juga bersifat praktik penyebaran dan dialog nilai-nilai pengetahuan sehari-hari lewat berbagai proyek bersama masyarakat. Singkatnya, festival ini adalah saat bagi masyarakat Jogja untuk ikut merayakan Biennale Jogja XI 2011 dengan cara mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial yang lebih luas, ajakan ini merupakan upaya penguatan masyarakat sipil.
The Festival Equator (FE) was designed by Biennale Jogja XI 2011 as a dialog for the primary exhibition that would involve the broader community. Rather than being treated as merely a passive audience, the community was invited to become active as a creative force in the program, as the society plays an essential role in the formulation of the city’s dynamics, both artistically and on a broader cultural scale. The purpose of the festival was also to spread knowledge and encourage dialog of common values through various projects with the community. In short, this festival was an opportunity for the Jogja community to join together in celebrating Biennale Jogja XI 2011 in their own way. In a broader social scale, this invitation to the community was an effort to strengthen civil society.
Kemeriahan Pasar dan Pasaran direproduksi kembali di Pasar Mangiran, Kab. Bantul. FE menghadirkan kumandange pasar, kemeriahan pasar yang mulai hilang sejak pasar-pasar modern menyerbu hingga ke kabupaten-kabupaten. Berkunjung, berbelanja, dan berjualan di pasar pada hari Pasaran adalah ritual pada sebagian orang. Bertemu dengan pedagang yang itu-itu lagi dan menawar hingga mendapat kesepakatan harga; Wisata kecil sebab atraksi para penjual obat dan pedagang obral; Dan khusus pada tanggal 22 Desember 2012, Pasar dan Pasaran juga mempertontonkan musik perkusi dan reog yang dimainkan warga sekitar pasar.
The liveliness of the daily market was reproduced in the Mangiran Market, Bantul regency. EF recreated the famous atmosphere of the traditional market, the bustle that has been declining since modern supermarkets have begun to mushroom in the regencies. Visiting, shopping and selling in the market on market day is a ritual for many people. Meeting with the vendors who bargain until a price is agreed upon, a brief detour to watch the medicine sellers and bargain dealers, and especially on December 22, 2012, the market was enlivened with percussion music and the reog (trance dance) performed by local residents.
Festival Equator
91
Di Nglanggeran Pathuk, Gunung Kidul. Para pemuda Karang Taruna yang menjadi pengelola dan motor wisata lingkungan dan situs purbakala di sini diajak membuat cerita berdasar kepercayaan pada gunung purba yang mereka kelola. Dengan menyusun fotonovela dari banyak pilihan gambar, mereka diminta memaparkan apa yang mereka lihat dan rasa di lingkungan mereka sendiri. Cerita, sepotong demi sepotong bergulir di sini. Peserta saling bertanya atau menimpali cerita sejarah leluhur, batu yang berubah menjadi Semar, pemasukan dari wisatawan, hingga pendapat sesepuh desa tentang pengelolaan makanan sajian. Proses berbagi cerita akhirnya sampai pada titik refleksi penting: kehadiran golongan lain yang meragukan ke-Islam-an mereka karena kedekatan mereka dengan wayang. Topik terakhir ini memperdalam refleksi hingga pluralisme/ keberagaman, toleransi dan sikap tenggang rasa.
In Nglanggeran Pathuk, Gunung Kidul, the village youth organization, Karang Taruna, who escort visitors to local tourist and archeological sites, was invited to document stories based on the beliefs about the ancient mountain sites. By compiling a photostory from many pictures, they were asked to present what they see and feel about their own environment. The stories unfolded photo by photo. The participants compiled stories about their ancestors, a rock that became Semar, income from tourism, and the opinions of the village elders about food presentation. In the process of sharing the stories with another group, they reached an important point of reflection when that group questioned their Islam-ness because of their involvement with wayang. This reflection led to a deeper understanding of pluralism/diversity, tolerance and consideration of others.
Festival Equator
92
Sebagaimana agama (dengan institusinya) yang selalu memperebutkan posisi versi utama, versi-versi Ramayana ini menggambarkan proses tawar menawar yang alot dan penuh kekerasan. Lakon yang diangkat dalam gubahan baru ini adalah dari sudut pandang Lawa Kusa sebagai wakil teks tandingan. Di Indonesia (Yogyakarta) Lawa Kusa adalah teks yang tidak populer yang sedemikian lama harus menandingi teks yang sudah mapan dalam epos Ramayana, yaitu kisah cinta Rama dan Sinta.
Festival Equator
Like religions (with their institutions) that are struggling with dominant versions, the versions of the Ramayana story show us a process of tough and sometimes violent negotiation. This new interpretation is seen from the alternative point of view of Lawa Kusa . In Indonesia (Yogyakarta) Lawa Kusa is an unpopular text that has struggled against another established text in the Ramayana Epic, that is the love story of Rama and Sinta.
93
Sebagai proyek komunitas yang diagendakan bisa berkelanjutan dan senantiasa terbarui, proyek ini dibagi dalam beberapa tahap, penulisan naskah, perancangan property, dekorasi panggung, dan lomba kostum, serta workshop. Dalam proyek ini, terlibat, peduli, mengalami, dan gembira bersama-sama dengan seni dalam membaca kembali tradisi, disusun secara sederhana dengan mengamati kehidupan sehari-hari. Kemudian, sampah plastik diputuskan menjadi bahan dasar rancang bangun pertunjukannya.
As a community project intended to be sustainable and renewable, this project has several phases: scriptwriting, costume designing competition, props designing, stage decorating, and workshops. Participants can develop a sense of belonging and experience art by observing everyday life. Up-cycled plastic is the material chosen for creating this performance. This re-reading tradition project is designed simply to be fun.
94
Festival Equator
Dulu di zaman Orde Baru, ketika negara gencar mendoktrin kita dengan Pancasila dan tidak memberi ruang kritis, ekspresi keagamaan sering dilihat dalam domain agama sipil (Pancasila sebagai dasar negara) dan domain agama formal. Kasus pelarangan pemakaian jilbab menjadi bukti bagaimana kompetisi dua domain agama itu berlangsung lewat praktik pemakaian busana muslim. Saat ini, di saat keran dibuka, ekspresi keagamaan umat masih saja harus berjudi dengan keputusankeputusan politik yang terasa “gila”, seperti: PERDA Syariah, UU Pornografi, atau larangan beraktivitas di malam hari di beberapa daerah untuk perempuan. Dalam program-programnya, FE tertarik menyimak sejauh mana umat memahami latar belakang kebijakan ekspresi itu. Hal ini dikarenakan (1) praktik keagamaan berlangsung dalam semesta kehidupan umat, tidak melulu dalam kehidupan elit, (2) umat adalah subyek langsung ekspresi ini, (3) sebagai pernyataan iman personal, ekspresi umat menjadi sangat asazi, (4) bersama ekspresi umatlah praktik pengetahuan dikembangkan, dan (5) di sini pertarungan berbagai ideologi para elit berlangsung. Pelangi Jilbab adalah workshop pakaian umat Islam bersama Hijabers Community di Universitas Islam Indonesia. Jilbab-jilbab dikreasi dalam aneka bentuk dan warna, sama sekali jauh dari kesan kaku, bahkan terasa segar. Fesyen dan agama berjalan beriringan menciptakan keberagaman yang mengesankan. Pelangi Jilbab membuat kita menengok kembali keanehan pelarangan pemakaian jilbab oleh siswi di sekolah di tahun 80-an oleh negara.
During the New Order, when the country was indoctrinated with Pancasila and there was no space for criticism, religious expression was often interpreted in both the domain of ‘civil religion’ (Pancasila as the national ideology) and formal religion. The prohibition of veiling is an example of how the clash between the two religious domains was expressed through the wearing of Muslim clothing. Currently, when the faucet has been opened, so to speak, religious expression by the community must still gamble with ‘wild’ political decisions, such as the implementation of Islamic syariah law in certain regions, the pornography law, and the curtailing of women’s travel at night in several regions. In its programs, FE is interested in listening carefully to the extent that the community understands the background of these government policies concerning personal and community expression, because: 1) religion is practiced throughout the entire society and not only amongst the elite; 2) the community is the actor of these expressions; 3) personal statements of faith represent the foundation of community expression; 4) knowledge is transmitted through community expression; and 5) the clash between various ideologies of the elite takes place. Pelangi Jilbab [Jilbab Rainbow] was a clothing workshop organized for the Muslim community by the Hijabers Community at Universitas Islam Indonesia. Women’s head veils were decorated with refreshing decorations and colors. Fashion and religion united to create an attractive variety of styles. Pelangi Jilbab encouraged us revisit the prohibition of students wearing jilbabs in schools in the 1980s.
Festival Equator
95
96
Festival Equator
97
Workshop Kembul Sewu Sedulur dilakukan dalam bingkai reflektif untuk melihat keterlibatan umat, yakni ibu-ibu. Mereka adalah subyek ekspresi dari perayaan Kembul Sewu Sedulur di Kayangan. Mereka menyiapkan semua sajian. Penting bagi mereka untuk memahami apa makna di balik ekspresi ritual itu karena sifatnya yang azasi. Pemahamanan ini diharapkan menjadi bentuk partisipasi yang demokratis. Umat punya akses langsung pada imannya sendiri, di luar intervensi para elit.
The Kembul Sewu Sedulur [1000 Relatives Eating Together] Workshop was conducted in a reflective framework to examine the role of women in Kayangan, Kulonprogo, who prepare food offerings. It is important for the women to understand the meanings behind the ritual offerings. It is hoped that this understanding will lead to better community participation, as they will have a stronger foundation for their own beliefs without the intervention of the elite.
Workshop makanan diselenggarakan, bukan workshop memasak atau mencicipi makanan, tapi workshop dengan permainan sederhana untuk merefleksikan makanan yang biasa disajikan oleh umat, yakni ibu-ibu. Cerita tumpeng, telur ceplok, gudangan, bothok, bakmi, ambeng, bacem tempe, tukon pasar, serta makanan menarik dan enak untuk disajikan lainnya mengalir pada mula. Namun gagap pada pertanyaan, kenapa makanan-makanan itu disajikan? Obrolan Panggang Mas dan cara membuatnya adalah ilustrasi refleksi peserta yang menarik selama workshop. Panggang Mas merupakan salah satu makanan dalam sajian berupa telur ceplok yang dimasak menggunakan wajan tanpa memakai minyak. Hanya dengan daun pisang yang digelar di atas wajan panas, telur itu dimasak hingga hasilnya kuning bersih. Itu sebabnya ia disebut Panggang Mas. Sementara obrolan anyepan (tanpa garam/ bumbu) selalu lebih sakral, tak bisa lepas dari Yang Esa, atau yang di luar mereka (leluhur).
This workshop was not a cooking workshop or tasting event, but involved simple games to reflect upon the foods that the women often prepare. The stories behind tumpeng (rice mountain), telur ceplok (sunny-side eggs), gudangan (sliced steamed vegetables with grated coconut), bothok (snack made from coconut chaff), bakmi (fried noodles), ambeng, bacem tempe (marinated tempeh), tukon pasar (variety of traditional snacks bought in the market), as well as other interesting and delicious foods were served at the beginning of the workshop. Why were these dishes served? There was discussion about panggang mas and how to make it. Panggang mas is a fried egg cooked in a pan without oil, with only a banana leaf placed in the pan so that the yolk is cooked clearly. This is why it is called panggang mas (gold roast). They also spoke about cooking without spices (anyepan), which is considered to be more sacred, as a plain unadorned nature is closer to God and the ancestors.
Festival Equator
98
Gagasan keagamaan adalah celah bagi masyarakat untuk menyatakan eksistensinya, tepat ketika eksistensi politiknya direpresi. Masa Orde Baru, ketika eksistensi politik dikaburkan dan ruang gerak untuk menjadi warga yang aktif disempitkan, resiko lain muncul. Sektarianisme, fundamentalisme agama dan regionalisme menjadi bom waktu yang siap meledak. Setelah reformasi, berbagai ledakan memang muncul, baik dalam artian negatif atau positif. Dalam artian negatif, segolongan penganut garis keras, mengatasnamakan agama, mengenyahkan golongan lain. Secara harafiah, ia adalah ledakan (bom). Dalam artian positif ia menjadi ekspresi keagamaan yang tumbuh subur dalam masyarakat, mulai dari yang keseharian hingga ritual besar, dari yang personal hingga komunal, dari yang intim hingga hingar-bingar. Festival Equator
Religious concepts are an opportunity for the society to declare its existence, precisely when its political existence is repressed. During the New Order, when political existence was buried and the space for movement to become active citizens was narrow, other risks were taken. Sectarianism, religious fundamentalism and regionalism became time bombs ready to explode. After reformation, various explosions did indeed occur, with both positive and negative meanings. In the negative sense, in the name of religion, a group of hardliners attacked another group. In this case, it was literally a bomb. In a positive sense, religious expressions prospered in the society, beginning from daily practices to major rituals, from the personal to the communal, from the intimate to the boisterous.
Senyatanya, permasalahan beragama adalah milik orang dewasa, terutama kelas menengah dan para elite. Anak-anak mengalir, lebih senang mengenal banyak orang, bertemu banyak teman dan sahabat, sewu sedulur!
Actually, the problems of religion belong to adults, especially the middle and elite classes. Children flow along; they are happy to know many people, meet many friends, have a thousand relatives!
Ilir-Ilir Trans Jogja pada 9 Desember 2012, yaitu vocal group anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu karya Sunan Kalijaga di atas bus Trans Jogja, sebuah upaya memperkenalkan kembali karya tokoh penyebar agama Islam dan praktisi sinkretisme di Pulau Jawa. Anak-anak dari berbagai latar belakang keluarga dan agama menyanyikan lagu-lagu itu, sambil sesekali mengajak para penumpang lain bernyanyi. Konon, Sunan Kalijaga melakukan hal serupa; memainkan seperangkat gamelan dan mengajak umat bernyanyi bersama; memainkan wayang kulit dan menyisipkan ajaran agama Islam dalam lakonlakon carangannya (Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dll). Sunan Kalijaga tidak hanya meminjam idiom-idiom Jawa dalam laku dakwahnya, namun juga mencipta karya-karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat luas hingga kini, seperti lanskap Kraton - Alun-alun - Masjid di kota-kota di pulau Jawa.
The project Ilir-Ilir Trans Jogja was held on December 9, 2012. A children’s chorus sang the children’s song, Ilir-Ilir, to riders of the Trans Jogja bus. The children, who came from a variety of families and backgrounds, invited the bus riders to sing along with them. This song is attributed to Sunan Kalijaga, one of the legendary teachers of Islam in Java, who was also a practitioner of syncretism. It is said that Sunan Kalijaga also played gamelan and invited the audience to participate, and he performed wayang kulit while inserting Islamic teachings into the dialogs of the stories he created (including the stories Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, etc.). Sunan Kalijaga did not just borrow Javanese idioms for his sermons, but he also created an urban plan that could be enjoyed by the entire community, such as the layout of the Kraton (Sultan’s palace) – Alun-Alun (open field located to the north of the palace) – Mosque (located west of the field), which is the central point of many Javanese cities.
Festival Equator
99
100
Festival Equator
101
Ketika acara Piknik pada 11 Desember 2012 ke tempat ibadah agama-agama yang diikuti anak-anak dan orang tua, kita akan melihat mereka semua ekpresif mengapresiasi patung-patung gemuk dan berwarna di Klenteng; riang mencoba urutan wudlu di Masjid Besar; ceriwis menanyakan pelbagai hal perihal ditail wihara. Dari kekayaan seperti ini, nantinya, diharapkan kedewasaannya akan mewujud. Bukan dari kemiskinan pemahaman dan pengetahuan akan “yang lain”.
On December 11, 2012, during a fieldtrip for children and their parents to several places of religious worship, they appreciated the chubby, colorful statues at the Chinese temple, enthusiastically tried the ritual washing of face, hands and feet before praying at the mosque, and asked many questions about details at the Buddhist temple. It is hoped that rich experiences such as these will encourage the growth of a seasoned maturity.
Festival Equator
102
Birds Prayers: Sara Nuytemans & Arya Pandjalu. Proyek seni komunitas, workshop topeng dengan anak-anak SD Muhammadiyah 1, Desa Kadisoro, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 9-13 November 2011. Birds Prayers: Sara Nuytemans & Arya Pandjalu. Community art project, workshop for children, interaction with the mask, Muhammadiyah I Elementary School, Kadisoro Village, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 9-13 November 2011.
103
104
Lifetime Achievement Award pada Biennale Jogja XI 2011 BJ XI adalah Biennale Jogja ke-4 kalinya yang menghelat tradisi untuk memberi penghargaan bernama Lifetime Achievement Award. Penghargaan ini diberikan kepada sosok yang memiliki loyalitas, dedikasi, kreativitas, prestasi dan pencapaian tertentu dalam lingkar seni rupa di Indonesia.
Presenting Lifetime Achievement Award has already been a tradition since the Biennale Jogja VIII. Biennale Jogja presents the award to a figure deemed as having the loyalty, dedication, creativity and significant achievements in the Indonesian world of art.
Ada beberapa kriteria yang menjadi dasar acuan untuk menentukan sosok penerima award ini. Diantaranya, sosok tersebut memiliki kontribusi dan pengaruh besar pada dunia seni rupa di Yogyakarta, terutama pada karya kreatif dan pemikirannya. Juga, yang bersangkutan telah aktif di seni rupa minimal 25 tahun.
There are several criteria used as the basis to determine who will receive the award; one of them being the significant contribution and influence that the person wields on the world of art in Yogyakarta, especially in terms of the creative works and ideas. It is also important for the person to have been active in the world of art for at least 25 years.
Setelah melewati proses penjaringan nama-nama, kemudian mendiskusikannya dengan berbagai argumentasi, maka penghargaan ini diberikan kepada seseorang yang kami pandang sangat layak. Dia, sejak studi di STSRI “ASRI” Yogyakarta telah terdorong melakukan pembongkaran konvensi seni rupa di lingkungan akademis, baik di ranah pemikiran maupun di tingkat praktik. Dengan mengakhiri studi lewat Tugas Akhir bertema Kesenian Unit Desa telah menjadi awal penting atas upayanya melakukan praktik kreatif yang menabrak konservatisme dunia akademik seni di Yogyakarta.
After a selection process followed by discussions about the potential figures using different perspectives and arguments, it was decided that the award should be given to a person that we deemed highly deserving, as since his days as student at the ASRI Indonesian Arts College in Yogyakarta he has been driven to initiate various artistic conventions, both in the practical and conceptual spheres. He concluded his study with a final work titled Kesenian Unit Desa or Village-Based Art, which turned out to be a significant start for his efforts to be engaged in creative artistic practices that break through the conservatism within the art academia in Yogyakarta.
Karya-karyanya berlanjut dengan posisinya sebagai “artivist” atau aktivis sosial dengan praktik seni rupa sebagai titik berangkat danpendekatannya. Pria kelahiran Tulungagung, 5 Agustus 1957 ini dengan sadar menggunakan seni sebagai medium advokasi untuk penyadaran masyarakat. Pemikirannya telah termonumenkan dalam buku “Seni Rupa Penyadaran” dan “Pak Moel Guru Nggambar”. Sosok penerima Lifetime Achievement Award pada Biennale Jogja XI ini: Moelyono.
His position as an “artivist” or social activist engaged in art practices inform his works and are the basis for his artistic point of departure and approach. The man who was born in Tulungagung, East Java, on August 5, 1957, has been in full awareness using art as the medium of advocacy to bring about certain awareness among the public. His thoughts has been brought together in the books Seni Rupa Penyadaran (Awareness-Raising Art) and Pak Moel Guru Nggambar (Pak Moel, the Drawing Teacher). The artist who received Lifetime Achievement Award in Biennale Jogja XI is: Moelyono.
Lifetime Achievement Award
105
Dari kiri ke kanan: Suwarno Wisetrotomo, Ketua Pembina YBY; Kuss Indarto, salah satu pendiri YBY; Moelyono, penerima LAA BJ XI, Gatot Surjatmodjo, Custumer Management & Marketing, Custumer Experience & Channel Activation, PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. From left to right: Suwarno Wisetrotomo, Ketua Pembina YBY; Kuss Indarto, salah satu pendiri YBY; Moelyono, penerima LAA BJ XI, Gatot Surjatmodjo, Custumer Management & Marketing, Custumer Experience & Channel Activation, PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk.
Lifetime Achievement Award
106
Seminar Religiositas dalam Seni Rupa Kontemporer Seminar on Religiosity at University of Sanata Dharma Yogyakarta Bekerja sama dengan Program Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma telah diadakan seminar dengan tema “Praktik Religiusitas dalam Seni Kontemporer”. Secara umum seminar ini diharapkan dapat menjadi sebuah arena perbincangan yang membahas secara umum relasi seni dan agama dalam konteks Indonesia. Tiga pembicara utama diundang untuk mengelaborasi tema ini dengan latar belakangnya masing-masing. Tiga perspektif yang berbeda tersebut berhasil menjadi suplemen kritis dalam memahami tema kuratorial yang ditawarkan Alia Swastika, dan secara umum bermanfaat bagi mereka yang memiliki ketertarikan terhadap seni rupa maupun studi religi. Wicaksono Adi telah setahun belakangan menyelidiki relasi antara seni dan agama, terutama berbasis pada perspektif sejarah seni di berbagai kebudayaan. PM Laksono mendasarkan presentasinya pada relasi antropologis antara seni dan agama, termasuk berkaitan dengan situasi masyarakat kontemporer. Sementara Titarubi dengan cara yang unik dan menyentuh menceritakan pengalaman pribadinya dalam pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan spiritual, yang juga menjadi basis dalam penciptaan karya-karyanya. Paperwork Titarubi berupa cerpen. Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 14 Desember 2011.
Seminar
In collaboration with the graduate program of Sanata Dharma university, was held a seminar with the theme of “The Practice of Religiosity in works of Contemporary Art”. It is expected for the seminar to serve as a discussion arena, talking about the general relation between art and religion in the Indonesian context. Three main presenters had been invited to elaborate on the theme, using their respective background and perspective. The three different perspectives helped provide us with a critical supplement in our effort to understand the curatorial theme that curator Alia Swastika has offered, and were generally helpful to those with an interest in art or religious study. Wicaksono Adi has in the last year been studying about the relationship between art and religion, with a special focus on the perspective of art history in a variety of cultures. PM Laksono based his presentation on the anthropological relation between art and religion, including in relation with the situation of the contemporary society. Meanwhile, in a special and touching manner, Titarubi told us of her personal experience in her journey to find answers to her spiritual questions, which also served as the basis in the creation of her works, Paperwork, which in the form of a short story. The seminar was held on December 14, 2011.
Sharing Kesenian, Manajemen, dan Strategi Pendanaan
107
Sharing: Art, Management, and Funding Strategy Berbagi pengalaman: Kesenian, Manajemen, dan Strategi Pendanaan yang diselenggarakan pada 21 Desember 2011 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, diikuti oleh 80 peserta dari beragam profesi. Acara bertujuan mengoptimalkan kinerja yang berorientasi pada kemutakhiran pengelolaan seni dan budaya yang melibatkan swasta, pemerintah, dan pelaku seni dan budaya, yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Yayasan Biennale Yogyakarta menghadirkan pembicara (1) Drs. R. Gatot Suryatmodjo, M.M, Customer Management & Marketing, Customer Experience & Channel Activation PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk., (2) Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc, Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Anggito pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan Republik Indonesia periode 2005-2007, (3) Dr. Timbul Rahardjo, M.Hum, Pengusaha dan Dosen Program Magister Tata Kelola Seni, Minat Studi Pengelolaan Bidang Budaya & Pariwisata, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, dan (4) Yustina Neni, Direktur Biennale Jogja XI. Acara berbagi ini berlangsung sangat menarik, karena selain dihadiri 24 mahasiswa program Magister Tata Kelola Seni, juga dihadiri oleh para pemilik galeri dan ruang seni di Jogja, Solo, dan Semarang, pengelola dan penyelenggara acara, perwakilan pemerintah daerah dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY, dan perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY.
Experience sharing: Art, Management and Funding Strategy, held on December 21, 2011, at the Seminar Room of Yogyakarta Arts Center, in which there were 80 participants from different professional backgrounds. The event had the objective to improve organizational performance, focused on the issue of art and culture management that is up-to-date and embracing the private sector, the government, as well as various actors in the field of art and culture, which might be beneficial to the general public. The Biennale Yogyakarta Foundation invited the following presenters: (1) Drs. R. Gatot Suryatmodjo, M.M, Customer Management & Marketing, Customer Experience & Channel Activation PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk.; (2) Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc, Director of P2EB (Economics and Business Research and Training Centre) of the Faculty of Economics and Business, University of Indonesia. Anggito was the Head of the Fiscal Policy in the Indonesian Ministry of Finance, in 2005-2007; (3) Dr. Timbul Rahardjo, M.Hum, Businessman and Lecturer at the Post-graduate program of Art Management, for the major of Management of Culture and Tourism, Performing Art and Visual Art; and (4) Yustina Neni, director of Biennale Jogja XI. This was a very interesting program because not only did 24 students of the Master’s program on Art Management attend this sharing event, but there were also gallery and art space owners from Yogyakarta, Solo and Semarang, event organizers, representatives of the regional government from the Regional Planning Agency of the Special Territory of Yogyakarta, as well as representatives from the Office of Cultural Affairs (Dinas Kebudayaan), Special Territory of Australia.
Seminar
108
Dalam menyelenggarakan even ini, sejak masa persiapan dan pelaksanaan, kami sangat bangga dan bersyukur karena didampingi, didukung, dan mendapat perhatian dari segerombolan orang-orang hebat dan lembagalembaga berkualitas. Keterlibatan mereka yang berasal dari beragam latar belakang, membuktikan kuatnya daya magnit seni rupa untuk menggerakkan bidang-bidang ilmu dan kerja lainnya.
We are very proud and grateful because since the time of preparation and implementation, we were accompanied, supported, and had attention from a bunch of great people and qualified institutions. Their involvement comes from diverse backgrounds, proving the strength of the visual art magnet to move the fields of science and other work.
Suara FRAU yang bening, menghanyutkan Pembukaan BJ XI. Malam itu juga tampil Yayasan Disko Lombok Horor, “menghancurkan” keheningan FRAU / Frau’s crystal-clear singing soothed everyone during the opening night of Biennale Jogja XI. Also performing on the night was Yayasan Disko Lombok Horor, which “destroyed” the lull previously brought by Frau
Keberhasilan pelaksanaan BJ XI tak lepas dari bergabungnya sebanyak 88 orang sukarelawan aktif yang cerdik dan selalu gembira / The success of Biennale Jogja XI is due to the coming together of 88 smart, cheerful and active volunteers Galeri Foto
109
Sri Sultan HB X penasaran dengan detil kereta Riyas Komu, seniman India, yang berjudul “Undertakers III”. Tampak bersama beliau Alia Swastika, kurator, Suman Gopinath, co-kurator, Bp. Herry Zudianto, Walikota Yogyakarta, Bp. Zahur Zaidi, Atase kebudayaan India di Indonesia, dan Yustina Neni, Direktur BJ XI / Sri Sultan Hamengkubuwono X was curious about the details of the carriage titled Undertakers III made by the Indian artist Riyas Komu. Alongside him were curator Alia Swastika and co-curator Suman Gopinath, Herry Zudianto Mayor of Yogyakarta, the Indian cultural attaché in Indonesia Zahur Zaidi, and the director of Biennale Jogja XI Yustina Neni Pembukaan BJ XI yang ringkas dan sederhana diresmikan oleh Sri Sultan HB X, Raja Yogyakarta yang juga Gubernur DIY, di bawah beringin ex gedung Akademi Seni Rupa Yogyakarta / The simple and brief opening ceremony of Biennale Jogja XI by the King of Yogyakarta-cum-Governor of the Special Territory of Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, under the banyan tree of the previous premise of Yogyakarta Art Academy
Sri Sultan HB X menggoda Jompet Kuswidananto, ketika sedang melakukan aksi performance di instalasinya “Site of God” / Sri Sultan Hamengku Buwono X teased Jompet Kuswidananto when the artist was doing performance art at the site of his installation work Site of God Atase Kebudayaan India, Bp. Zahur Zaidi dan Suman Gopinath menerangkan kepada Sri Sultan HB X, karya Pushpamala N, seniman India, “Motherland-The Festive Tableau” / The Indian cultural attaché, Zahur Zaidi, and co-curator Suman Gopinath explained to Sri Sultan Hamengku Buwono XI about the work by Pushpamala N, an Indian artist, titled Motherland – The Festive Tableau
Pada 8 Januari 2012, di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Jogja HipHop Foundation menutup dengan hangat BJ XI. Malam itu hadir sebanyak 1024 orang / On January 8, 2012, at the Concert Hall of Yogyakarta Arts Centre, Jogja HipHop Foundation brought the sparks as Biennale Jogja XI was brought to a close. 1024 people attended this event
Galeri Foto
110
Colophon BIENNALE JOGJA XI 2011 POST EVENT CATALOGUE
Ketua Panitia/Comittee Chairperson: Yustina Neni
BIENNALE JOGJA XI 2011 25 November 2011 - 8 Januari 2012
Sekretaris/Secretary : Dewi Yuliastuti Meily Lisdiyanti (magang/ intern)
d/a Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No. 1 Yogyakarta - Indonesia T: +62 (0) 274 587 712 E:
[email protected] [email protected]
Staf Keuangan/Finance Staff: Verry Handayani
ISBN: ©2012 Yayasan Biennale Yogyakarta Penyunting/Editors: Aisyah Hilal Kusen Alipahadi Nindityo Adipurnomo Yustina Neni Penerjemah/Translator: Joan Suyenaga Rani Elsanti Penyunting Bahasa Indonesia Bahasa Indonesian Editor: Ikun SK Yustina Neni Design by Anang Saptoto Penerbit/Publisher: Yayasan Biennale Yogyakarta ACKNOWLEDGMENTS Organised by Yayasan Biennale Yogyakarta Yogyakarta Biennale Foundation Pelindung/Advisor: Sri Sultan Hamengku Buwono X Penasehat/Supervising Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta Board of Yayasan Biennale Yogyakarta: Oei Hong Djien Butet Kertaredjasa Mella Jaarsma Nindityo Adipurnomo Christine Cocca Eko Prawoto Suwarno Wisetrotomo
Koordinator Sahabat Biennale Jogja Friends of Biennale Jogja Coordinator: Tom Tandio Koordinator Marketing & Humas Marketing Coordinator & Public Relations: Elga Ayudi Erfina Oktaviani (magang/ intern) Deni S. Jusmani (magang/ intern) Diyan Zahro (volunteer) Tim Marketing/Marketing Team: Anastasia Rina Damayanti Julia Tetuko (sukarelawan/ volunteer) Auvi Publikasi/Auvi Publication: Siska Raharja Karakter Tentara/Soldier Character: Iwank yellowteeth Publikasi Luar Ruang/Outdoor Publication: Hendy Setiawan Budi Santosa Widhi Arya Kurator/Curator: Alia Swastika Mitra Kurator/Co Curator: Suman Gopinath Asisten Kurator & Manajer Program Assistant Curator & Programme Manager: Brigitta Isabella Manajer Pameran/Exhibition Manager: Ahmad Khairudin “Adin” Tim Pameran/Exhibition Team: Hamada Adzani (volunteer) Mike Linthon (volunteer) Stepahanie Claussie D. (volunteer) Namira Larasati (volunteer) Disa Anindiati (volunteer) Rafika Sulistiya (magang/ intern) Pauline (magang/ intern) Direktur Artistik Festival Equator Artistic Director of Equator Festival: Joned Suryatmoko
Tim Festival Equator Festival Equator Team: Ratna Mufida Antonius Fajar Riyanto Andy Sri Wahyudi Irfanuddien Gozali Subkhi Ridho Pusvyta Sari Kurniawan Adis Panca Sona Aji Alicia Kasih Koordinator Program Parallel Events Programme Coordinator of Parallel Events: Aisyah Hilal Koordinator Lawa Kusa Coordinator of Lawa Kusa: H. Cahya Sixen Hawayanto Pengembang Naskah/Script Development: Gunawan Maryanto Tim Lawa Kusa/Lawa Kusa Team: Mulyakarya Yogyakarta Yuda Mahesa Sidarta M. A. Eddy Ertanto Wildan Effendi Agus Hartono Koordinator Area/Area Coordinator: Ignatius Kendal Tim Area/Area Team: Agus Sugito Arman Effendi Ali Rohmat Koordinator Database & In house design Database Coordinator & In house design: Johanes Budi Display & Keruangan/Display & Space: Anto Hercules Dokumentasi/Documentation: Dwi Oblo (photo) Arif Sukardono (photo) Banjar Tri Andaru (video) Herkristi Kusumaningtyas (photo) (magang/ intern) Indra Arista Ramadhan (photo) (magang/ intern) Koordinator Sukarelawan Volunteer Coordinator: Tri “inud” Nugroho Hendy Setiawan Tim Acara Pembukaan-Penutupan Opening-Closing Ceremony Team: Kusen Alipahadi Gading Narendra Paksi
Manajer Produksi Festival Equator Production Manager of Equator Festival: Novindra Diratara
Sukarelawan/ Volunteers: Adi Prabowo, Adventia Novi Astuti, Agustin Arsa Nurwiranti, Ahmad Muflihin, Ainun Fahmi Yanuarti, Alvian Fendy Triastanto, Alyas Abibawa Widita, Amirna Tita Listiana, Andhika Pangestu, Andy Setyanta, Andyan Diwangkari, Angela Bayu Permata Sari, Anindita Fitri Bestari, Aqib Nurl Fajariyanto, Arie Heraldine Hutama, Aries Danu Jundan Susilo, Bonaventura Dwi Novianto, Bonfilio Elyan Kusferyano, Brian Erifiana, Clara Soca Atisomya, David Susilo Nugroho, Devy Putri Rima, Dheny Wijayanto, Dian T. Indrawan, Diyan Fatimatuz Zahro, Dolorosa Lintang Suminar, Dwi Yuniastuti, Dwy Fafuaningsih, Dyah Ayu Puspita Sari, Dyah Styowati Anggrahita , Elisabeth Yudisteria Wanasti, Ervina Rahmawati, Eva Dewa Masyhita, Faradilla Octaviani Tokan, Fitria Ariningsih, Fuji Riang Prastowo, Grantino Salim Bitin Berek, Guntur Sukoco, Hamada Adzani, Hayatussyifa, Hilda Wulan Kartika Sari, Humamah Azizah, Ian Riyanti, Ilmiatun, Irine Octavianti Kusuma Wardhanie, Julia Reshinta Anggraeni Tetuko, Laurentius Onny Widiatidaji Irawan, Lidwina Wening Wijian Jayanti, Louissa Meigytha Manihuruk, Muhammad Fakhruzzaman, Musrifatun Nangimah, Nadia Akmalia, Nidya Tiya Vitri, Nima Hikmawati, Novianti Simanjuntak, Noviastuti Putri Indrasari, Nuri Astina Putri, Nurul Ilmi Daraja, Pablo Pasemah, Prima Yuliastuti, Putri Chomala, Restu Rahayu, Reza Aria Pratama, Rianto, Rifka Rahmani Ambarwati, Rika Anggraini Wijayanti, Rizka Arfiana, Roberta Alfanny Anandyah Fidelya Theedens, Sanjaya Ancas Mahardika, Saturnus Tri Andhani, Savytri Ika Dewi Puspitasari, Septi Setyawati, Thalita Evani Hindarto, Umi Fathonah, Veronica Ninna May Anggraeni, Yanuar Sinto Anggoro, Yolandri Lidya Frederika Simanjuntak, Yosephin Dian Sarimastuti, Yugo Ariyono, Yuni Wati Rinong Perdani Pemagang Deni Setiawan Jusmani, Erfina Oktaviani, Herkristi Kusumaningtyas , Indra Arista Ramadhan, Meily Lisdiyanti, Pauline, Rafika Sulistiya
Colophon
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada/ Special Thanks to: Sahabat Biennale Jogja Friends of Biennale Jogja: Patron: Mr. Michael Tay Ark Galeri KRA Group & VWFA Duta: Bpk. Tom H. Tandio Bpk. Patrick Walujo Bpk. Irwan Widjaja Bpk. Axton Salim Kencana: Bpk. Irawan Hadikusumo Ibu. Paula Dewiyanti Bpk. Bernard Thien Ibu. Susan Santoso Ms. Karen Lo Emmitan Contemporary Art Gallery
Bruno Wauters Bpk. Benny Surjadharma Ms. Susanna Perini Lombard-Freid Projects Bintang: Bpk. JR Radjimin Bpk. Franky Wongkar Bpk. Sunarto Tinor Ibu. Natasha Sidharta Ibu. Aniela Rahardja Bpk. Robbyanto Budiman Bpk. Nicholas Tan Bpk. Jeyson Pribadi Bpk. Ronnie S Haryanto Rachel Ibrahim Gallery Bpk. Indra Leonardi Bpk. Chris Dharmawan Dr. Melani Setiawan D Gallerie Ibu. Reina Kumala Bpk. Handoyo Sutanto Bpk. Michael Goenawan
111
Bpk. Haryono Budiono Vanessa Artlink Galeri Canna umahseni Bpk. Simon Tan Bpk. Andrew Labbaika ArtSociates Tembi Rumah Budaya Bpk. Paulus Sutrisno Bpk. Aries P. Iskandar Marsio Fine Art Gallery Edwin’s Gallery
Kawan Sukarelawan: Achmad Noor Arief, Agan Harahap, Agung Kurniawan, Aji Wartono, Alexander Sriewijono. Amna Kusumo, Antariksa, Anton Ismael, Anton Suryana, Arie Dyanto & Nadiah Bamadhaj, Arief Tuosiga, Bambang Ertanto, Budi Suryanto, Bunga Jeruk, Christina Schott, Dambung Lamuarajaya, Djoko Pekik, Eddi Prabandono, Eggy Yunaedi, Entang Wiharso, Fajar Handika, Farah Wardani & Hasnul Rahmat, Farhan Siki, FX Harsono, Galam Zulkifli, Gamaliel W. Budiharga, Garin Nugroho, Hartono Karnadi, Hendra “Hehe” Harsono, Hendro Wiyanto, Ichwan Noor, Ifa Isfansyah, Jeannie Park, Jenny Lindsay, Jim Allen Abel, John McGlynn, Kuntz Agus, Lenny Ratnasari, Melisa Angela, Mia Maria,, Mikke Susanto, Nasirun, Ninus Anusapati, Niya, Gagat, dan Tara, OFCA, Pitra Hutomo, Restu Kinanti, Rifky Effendi, Santi Ariestyowanti & Miko Bawono, Sintha Melli, Tanty Edowaty, TEMBI Rumah Budaya, Yan Christy Mahanani, Yetty Aprilia, Yoshi Fajar Kresnomurti, Yusra Martunus Terimakasih juga kepada Also thanks to: Indian Emmbasy, M Haru Mahtani, M Zahur Zaidi, Dyan Anggraeni Hutomo, Kuss Indarto, Anggi Minarni, Ong Hari Wahyu, Kusworo Bayu Aji, Agung Hujatnika Jenong, Mie Cornoedus, Jean Pascal Elbaz, Martin Surbakti, Chaitanya Sambrani, Christine Clark, Margot Cohen, Agasthaya Tappa, Annapurna Garimella, Sarat Maharaj, Grant Watson, Ratan Gopinath, Gowri Gopinath, Vrinda Parigi, Amar Kanwar, N S Harsha, Sunitha Kumar Emmart, Aashti Mudnani, Aarthi from Galleryske, Arshiya Lokhandwala, Lakeeren Gallery, Shalini Sawhney, Guild Gallery, Sheela Gowda, Geetha Mehra, Sakshi Gallery, JANGKRIK Mebel by Bayu, Jurusan Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Komunitas “Bol Brutu”, ViaVia Kafe Kembara, Jakarta Broadway Team, Pondok Pesantren Nurul Ummah, Masjid Kota Gede, Klenteng Gondomanan, Gereja Kotabaru, Pura Jagadnata, Sanggar PERSADA SaptoDharmo, Gereja Kristen Indonesia, Vihara Karangjati Jetis, Toko Buku TOGAMAS Yogyakarta, SMAN 2 Yogyakarta, MA Pandanaran, Kolesse De Britto Yogyakarta, SMA Santa Maria Yogyakarta, SD Muhammadiyah Sapen, SD Kanisius Demangan, Sanggar Seni Bodronoyo, PKBI DIY, Universitas Islam Indonesia, Taman Pintar, Kadus Pendoworejo, Desa Pendoworejo, Kec Girimulyo, Kulon Progo, Kadus Kadisoro, Desa Gilangharjo, Kec Pandak, Bantul, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Kadisoro 1, Lurah Pasar Mangiran, Kec Sapu Angin, Bantul, Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 3 YOGYAKARTA, SMAN 8 YOGYAKARTA, SMA MUHAMMADIYAH 5 YOGYAKARTA, SMA STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA, SMA KRISTEN BUDYA WACANA, SMA PIRI 1 YOGYAKARTA, MAN YOGYAKARTA 1, SMA TAMAN MADYA IBU PAWIYATAN TAMAN SISWA YOGYAKARTA Agus Suwage, Anggito Abimanyu, Hedi Haryanto, Lugas Syllabus, Terra Bajraghosa, M. Irfan, Stevan Chondro, Adlan Bagus Pradana,, Novian Widhiadharma (Perhimpunan Pelajar Indonesia India), Yopina Galih Pertiwi, Afra Suci, Yayasan Medayu Agung Surabaya, Jawaharlal Nehru Foundation, Indrawan Prahabaryaka, Hersri Setiawan, Mohamad “Ucup” Yusuf/Taring Padi, Amalinda Savirani, PM. Laksono, Halim HD, Antariksa, G. Budi Subanar, Farah Wardani, Hendro Wiyanto, Enin Supriyanto, Grace Samboh, Adi Wicaksono, Jurusan Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Theodorus Christanto, Nuraini Juliastuti, Rony Lantip, Edhi Sunarso & Keluarga, Acapella Mataram Pardiman Djoyo Negoro, FRAU, Jogja Hip Hop Foundation, Yayasan Disko Lombok Horor Drs. Djoko Dwiyanto, M. Hum, Dr. Timbul Raharjo, M. Hum, Maria Hartiningsih, Bambang Purwanto, Ari Sudjito, C. Prasetyadi, Putri Adju, Irham, Wira, Irvin Domi, Dyah Soemarno, Ahmad Oka, Gandhung
Image cover Karya Dewayanti Kartika Sari (17), SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta, judul “Untitle”. Salah satu karya hasil Workshop “Aku, Kamu, dan Kita” yang diselenggarakan Ruang MES 56 & Kampung Halaman dalam rangka Parallel Event Biennale Yogyakarta XI.
Colophon
112
113
114
Ucapan Terima Kasih
Ucapan Terima Kasih
Acknowledgement
115
Ucapan Terima Kasih
116
There’s a lot more... only at
An enclave verdant greenery with elegant and minimalist designed rooms, nestle within traditional javanese life
117
ECLIPSE HOTEL is a serene setting of quiet sophistication and understated elegance. An exclusive enclave of 26 luxuriously room with minimalist design, each offer unrivaled space, exceptional comfort, and complete privacy. ECLIPSE HOTEL is the perfect venue for those who may seek a more adventurous discovery of jogja, Java. By day, and yet, demand outmost serenity and privacy by night. HOTEL FEATURE outdoor swimming pool with sundecks within tropical garden. Room with terrace. Aircon room with running hot & cold water. Shower style. Gourmet kitchen with cooking stove, microwave, refrigerator. Flat screen TV with satellite channels in bed room. Daily restocked minibar. Internet acces with broadband connection in bar/ resto area. Meeting room covering 100 pax (Theatre style). ACCOMODATION ECLIPSE HOTEL room is luxuriously appointed in exceptionally theme interiors, providing every guest an opportunity to choose one’s individual preference or planed holiday style. Each is tastefully furnished as a blend of modern and minimalist aesthetic influence. ECLIPSE HOTEL has its own swimming poll, a tropical garden and every conceivable mortal need one would require on the journey to discover that ECLIPSE HOTEL is legendary for.
CONTACT ECLIPSE Hotel is able to be reached every day Address : Jl. Prawirotaman 35, Yogyakarta 55153, Java, INDONESIA. Phone : +62 274 380976 Fax : +62 274 380979 Direct Reservation : +62 274 380977 e-mail :
[email protected] [email protected] [email protected]
118
Katalog ini dipersembahkan oleh Bakti Budaya DJARUM Foundation
119
120
BIENNALE JOGJA XII 2013