Bicara dengan Hujan Dini Sekar “Hey kau, aku selalu bahagia jika kau datang, terutama saat aroma tanah basah tercium olehku.” “Terimakasih, kau baik sekali.”
“Apakah ada ratusan orang yang menantimu setiap hari?” “Ya, bahkan ada jutaan orang yang menantiku setiap detik.”
“Mengapa mereka menantimu?” “Ada banyak hal yang mereka inginkan dariku, salah satunya yaitu menyampaikan pesan kepada orang tersayang.”
“Apakah mereka tidak bisa dan tidak ingin menyampaikannya secara langsung?” “Tentu saja mereka ingin, sangat ingin. Tapi terkadang waktu dan keadaan tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.”
“Kau tahu, aku punya kenangan saat hujan.” “Kenangan tentang apa itu?”
Beranda Muhammad Zaenudin Mendung sedari tadi masih menggantung di langit sana. Burung-burung terbang pulang merindukan kehangatan di sarang, dan di beranda rumahmu, kita mulai berbincang. Secangkir kopi hangat menemani kita sore itu, lalu kau pun mulai bercerita. Cerita tentang kau dan dia serta kebahagiaan yang kini kau punya. Aku hanya menatapmu terdiam, kemudian sesekali mengangguk, sekedar tanda bahwa aku mendengarkan penuh perhatian. Tak akan ada satu ceritamu yang kubiarkan terlewat. Karena ku tahu kau akan marah jika aku berpura-pura mendengarkan, dan aku tak mau kemudian kita saling berdiam lagi karenanya. Dengan wajah seperti mawar yang merekah, kau bercerita tentang dia. Tentang isyarat dan gelagat yang terbaca matamu, tentang senandung ucapannya yang merdu di telingamu, tentang pesanpesan rerupa puisi cinta, juga tentang nasihat darinya yang mengenalkanmu pada Sang Kuasa. Itulah yang membuatmu terpesona, keshalihannya. Nasihat-nasihatnya yang selalu mengingatkanmu pada Tuhan, Tuhan kau dan dia, Tuhan kita. “Ia memang pria baik,” ucapku seadanya.
HUJAN PELUKAN Hary Ayu
Membayangkanmu berdiri didepanku saja, telah membuatku kaku tak berdaya. Bagaimana kalau kamu betul-betul ada dihadapanku. Ribuan pesanmu pun masih tersimpan rapi dihandphone dan pikiranku. Katamu sehari sebelumnya, “Sudah lama kutunggu waktu ini, dan sebentar lagi mimpi akan menjadi kenyataan.” Ingin rasanya cepat-cepat mengganti malam dengan pagi. ______ Sampai pagi pun, detak jantungku masih berdetak tidak beraturan. Rasanya ada yang ingin melompat dari dalam. Entah ini rasa gugup yang berlebihan atau sudah tak sabar lagi ingin bertemu denganmu. Kulihat kau lagi didepan mataku, kuyakinkan diriku dengan mencubit kecil lenganku bahwa semua ini bukan mimpi lagi. Kau masih tetap semampai, pipi yang agak tembem, senyuman yang tak hentinya berkembang dibibir padatmu. Ahh, tidak ada yang berubah. Mengusap lembut kepalaku, itulah bentuk sapaanmu waktu itu. mungkin pipiku sudah merah padam dan tak mampu merangkai kata-kata lagi. Aku bahagia, sangat!
Hujan diantara Langit dan Hatiku Eka Cahyowati Angka 5 di bulan Maret, merupakan hari yang kamu janjikan sebagai hari kepulangan setelah empat tahun menimba ilmu di ibu kota. Dan kamu tak pernah tahu betapa aku sudah sangat menanti hari ini tiba. Hari yang aku harap dapat membayar segala rindu yang mengendap dalam diri ini. Aku tak tahu apa yang menyebabkan hatiku tak pernah bisa berhenti bercerita tentang kamu. Juga otakku yang tak pernah ketinggalan untuk selalu merekam semua memori tentang kamu, sebab bagiku cerita yang terlanjur aku dan kamu urai ketika itu, menjadi alasan mengapa aku berada di tempat ini, Stasiun Gubeng Surabaya.
***
Aku berdiri mondar-mandir tak tenang. Sesekali kulirik jam tangan hitam yang melingkar di lengan kiriku. Ingin rasanya kuputar jarum jam berharap waktu segera menghadirkan kamu di hadapan aku saat ini juga.
“Ah…aku ini sedang apa?” gumamku dalam hati. Seakan tersadar, aku mencoba menikmati proses ini.
Hujan, cintaku dalam diam Andhani
Suatu sore, yang entah sudah sore yang kesekian kalinya. Disetiap musim hujan. Ada rasa, ada basah.
________
‘Mungkin aku sendiri bakalan heran bisa menulis sesuatu yang terinspirasi dari cewek yang kulihat disudut sana.’
Dentuman suara itu mirip kantung plastik diremas. Hujan, yah hujan, suaranya yang beradu dengan genteng rumahmu bisa saja menjadi alasan. Alasan mengapa kau tak ingin beranjak dari pembaringanmu. Namun kau tahu, selain tiduran kau bisa menikmati hujan dengan cara lain, aroma tanah basah akibatnya bisa menemanimu beryoga, seperti aroma terapi. Ingatlah setelah aku menuliskan ini, aku akan mengingatmu dikala hujan.
‘Ahh, ingin rasanya memberikan secarik kertas ini langsung padanya. Tapi, aku benar-benar tak punya daya, kenal pun tidak. Tahu namanya?
SENJA Arief Afandi Senja itu seperti senja hari-hari biasanya aku bersamanya, entah darimana awalnya hingga kita selalu bersama bukan saja disaat senja ketika kita pulang bahkan sepanjang hari kita habiskan waktu bersama. Senja hari ini tak menampakan sinar oranye seperti biasanya, tertutup awan hitam yang membawa hujan turun. Kita memutuskan untuk berteduh disebuah halte, sepi dan dingin suasana senja kala itu. Perasaan ku sudah tak biasa padanya, entah apa yang dia rasakan. Apakah rasa kita sama atau tidak, akupun tidak peduli, aku hanya ingin menikmati kebersamaan itu. Perbincangan-perbincangan kecil terjadi, hal-hal lucu pun terlontarkan. Lucu, optimis dan berwawasan begitu aku menggambarkan tentangnya. Dan berjam-jam kita habiskan saat itu, hingga reda hujan yang turun. “Maaf, mungkin seharusnya hal ini nggak boleh terjadi. Tapi aku rasa aku sayang kamu,” ucapku pada suatu senja yang gelap berikutnya. Mungkin itu awalnya atau mungkin bukan itu awalnya, entahlah namun tanpa kita sadari semakin hari kita semakin dekat. Meski aku tau kenyataannya, kalo kita gak akan pernah bersama, karna masa depan yang sudah jelas tertulis dihidupku.
HUJAN GAK HUJAN TETEP JOMBLO Latif Anshori
Hujan,
Hujan adalah bla bla bla, lo udah ngerti, gue udah ngerti, bapak gue juga udah ngerti, jadi gue gak usah njelasin apa itu hujan, oke.
Waktu gue nulis ini, sebenarnya nggak sedang hujan, juga nggak gerimis, apalagi mendung. langit masih cerah secerah wajah gue (nggak boleh protes), lalu kenapa gue nulis tentang hujan? Apakah karena IP gue yg bikin hati gue kering sehingga butuh hujan? bukan, apakah karena gak ada dosen yang mau mbimbing skripsi gue sehingga butuh hujan? Juga bukan, trus? jawabannya bukan sulap bukan sihir cuman karena gue mau ikut lomba menulis yang bertemakan memories of the rain, jadi semacam sayembara buat nampilin karya terbaik kita buat di muat dibuku mereka, sebagai lelaki yang jantan, gue harus ikut, sapa tau karya gue diterima, hehe.
Sebenarnya gue udah ngirim karya gue yang fungsi hujan, tapi menurut gue, kalo bisa ngirim 2 karya kenapa tidak? ya kan? Peluangnya lebih besar, kata bu dokter tetangga gue, 2 anak lebih baik, jadi 2 karya juga lebih baik. Semangat!!
December Rain Nenny Makmun
Kembali Desember dengan hujan untuk menghapus luka walau sesaat. Setahun lalu Sarra teringat akan hadirnya Mario, lelaki menawan yang singgah membawa kesan mendalam. Di halte bus selepas pulang kantor, udara sangat dingin dan Sarra melangkah dengan syal yang berkibarkibar tertiup hembusan angin dan hujan rintik yang semakin terasa deras. Sarra tengah mencari tempat duduk sambil menunggu shuttle kawasan kantor. Tiba-tiba seorang pria ganteng langsung berdiri dan memberikan Sarra tempat duduk. “ Terima Kasih…” “ Kembali...” jawab pria tersebut. Sesaat shuttle bus datang, transportasi ini yang akan menghantarkan ke halte berikutnya. Dari halte ke 2 inilah Sarra akan naik bus kompleks untuk mencapai rumahnya.
**** Dan di hari berikutnya kembali pria itu menawarkan tempat duduknya, bahkan sampai halte ke-2 duduk bersebelahan.
Pelacur Hujan Nadia Mardatilla Arif Aku tidak akan mengakhirinya tanpa hujan.
Ia pernah membuat goresan yang menyiksa dan menyita batinku. Malam itu kau mengusirku dengan membuang juga kisah-kisah kita. Tentangku yang mendapat sebuah petaka. Hujan menyertai dan membuntuti. Aku terasa diikuti dengan sebuah aliran air yang tak berwarna, tak berbau, dan hanya menggenangi sekujur tubuhku. Air hujan.
Aku tidak akan mengakhirinya tanpa hujan.
Terlucuti tanpa sebuah kesadaran penuh memang mengundang segala nista yang sedang berteman temaram. Noda sebuah kain yang kau bakar tetap akan memiliki sebuah jejas pada suatu alat perekam khusus, sangat canggih tanpa teknologi, otak namanya. Kau lupa bahwa otak memiliki asupan memori sangat besar, noda itu masih terekam oleh kameraku. Aku tak peduli abu bekas pembakaran itu tersapu oleh hujan.
Aku tidak akan mengakhirinya tanpa hujan.
Hujan, tolong titip ceritaku. Wikan Dwi Prastiwi
Ingatkah kamu berapa kali kita melewati hujan bersama?
Diawal kisah kita itu, kita melewatinya dengan manis.
Ngebut diatas motor menuju rumah. Aku mengencangkan pelukanku dipinggangmu. Kamu ngebut dengan brutal berkejaran dengan hujan. Dengan menggenggam gelas berisi teh hangat, kamu bertanya, “Taukah kamu bau khas tanah yang terkena hujan ini bernama apa?” Aku menggeleng. “Ini petrichor.”
Di seperempat kisah kita itu, kita melewati dengan haru. Terutama untukku. Masih ingatkah kamu malam itu dengan hujan yang luar biasa hebat kamu datang ke rumahku? Dengan bagian bawah celana yang basah terkena hujan. Karna jas hujanmu tak mampu menahan hebatnya air yang tumpah dari langit. Dengan muka cemas aku menyambutmu di pintu. “Kenapa kamu maksain diri kesini? Kalau kamu sakit gimana?”