2
PELATIHAN PEMAHAMAN ADHD BAGI ORANGTUA DAN GURU UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN DETEKSI DINI
Sekar Putri Ardiyati
Masalah: Prevalensi ADHD di dunia mencapai 2-5% pada anak-anak usia sekolah. Sementara itu di Indonesia prevalensi ADHD berkisar antara 4-15% pada anak usia sekolah.artinya sekitar 2 – 10 anak di Indonesia mengalami ADHD. Gangguan ini lebih mirip fenomena gunung es oleh karena banyak anak-anak dengan ADHD yang tidak mendapatkan penanganan dengan baik. Kebanyakan orangtua memahami ADHD setelah memeriksakan ke psikolog atau psikiatri. Informasi mengenai ADHD inipun sangat minim tersosialisasikan kepada orangtua dan guru. Hal ini membuat mereka kesulitan dalam mendeteksi dini ADHD. Oleh karena ketidakmampuannya dalam mengeidentifikasi mereka cenderung memberikan label negatif terhadap anakanak dengan ADHD. Tujuan: Penelitian ini menguji 2 hipotesis yaitu 1) Pelatihan ADHD dapat meningkatkan pengetahuan tentang ADHD pada kelompok orangtua dan guru yang mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan kelompok orangtua dan guru yang tidak mendapatkan pelatihan. 2)Peningkatan pengetahuan ADHD dapat meningkatkan ketepatan dalam melakukan deteksi dini. Metode: Penelitian experimen ini menggunakan 2 pendekatan yaitu untreated control group design with dependent pretest & posttest samples danone group pretest and posttest design. Penelitian ini menggunakan 3 dari 4 tahap evaluasi pelatihan Kirk Patrick, Level 1 fokus pada reaksi, level 2 fokus pada peningkatan pengetahuan (menguji hipotesis pertama), dan level 3 fokus pada perubahan perilaku yang dilihat melalui kemampuan melakukan deteksi dini ADHD (menguji hipotesis 2). Hasil: Pelatihan ini terbukti dapat meningkatkan pengetahuan/pemahaman tentang ADHD dengan sumbangan efektif sebesar 79% dan juga meningkatkan ketepatan orangtua dan guru dalam melakukan deteksi dini dengan kondisi mayoritas peserta pelatihan memiliki reaksi/respon yang positif terhadap pelatihan baik dari sisi materi, penyaji/pemateri hingga kebermanfaatan materi bagi peserta. Kata kunci: ADHD, konsentrasi, hiperaktivitas, impulsivitas
Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau biasa dikenal dengan hiperaktivitas. Hiperaktivitas ialah kata yang digunakan untuk melukiskan perilaku motorik yang berlebihan (Lumbantobing, 1997). ADHD adalah gangguan neurobehavioral yang seringkali muncul pada anak-anak sebelum usia 7 tahun. Gangguan ini merupakan salah satu gangguan kronis yang paling mudah ditemui pada masa anak-anak. Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti dari data lembaga National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities dan dari National Center for Health Statistics melaporkan bahwa persentase anak-
3
anak dan remaja usia 4-17 tahun dengan diagnosa ADHD di Amerika Serikat mengalami peningkatan dari 7,8% pada tahun 2003 menjadi 9,5% pada tahun 2007. Tingkat ADHD yang dilaporkan oleh orangtua secara signifikan lebih tinggi pada tahun 2007 untuk hampir semua sub kelompok demografis, yang terbesar pada remaja yang berusia 15 sampai 17 (42%), multiras dan Hispanik pada anak-anak (46% dan 53%, masing-masing), dan anak-anak dengan bahasa utama lain selain bahasa Inggris (82%) (Weaver, 2010). Di Columbia prevalensi ADHD mencapai 18,2% untuk anak pra sekolah, 22,5% pada anak usia sekolah dan 7,3% pada anak remaja (Pineda dalam Ekanovriana, 2014). Prevalensi ADHDdi Indonesia,pada tahun 2002-2004 paling sedikit 10% pada populasi anak dan remaja (Saputro, 2004). Data tahun 2009 menunjukkan prevalensi ADHD di Indonesia pada anak usia sekolah mengalami peningkatan menjadi 15,8% dari 3006 anak berusia 3 – 18 tahun (Saputro, 2009). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin diketahui anak laki-laki lebih rentan mengalami ADHD dibandingkan anak perempuan. Di Indonesia prevalensi ADHD terhadap anak laki-laki adalah 35,2% dan 18,3% untuk anak perempuan (Saputro, 2009). Khusus untuk wilayah Jakarta ADHD pada anak usia sekolah mencapai 26,2%, berdasarkan kategori usia prevalensi menunjukkan untuk usia 5-7 tahun sebesar 28,2%; usia 8-10 tahun 24,7%; usia 11-13 tahun 25,8% (Saputro, 2009). Sementara itu di Padang prevalensi mencapai 8% (Ekanovriana, 2014), di Bantul, Yogyakarta mencapai 5,7% (Wihartono, 2007). Secara global, meskipun banyak penelitian melaporkan angka prevalensi yang berbeda – beda tetapi secara kasar prevalensi untuk gangguan ini adalah sekitar 2% - 5% (Nair, 2006). Namun berdasarkan data di Indonesia diatas mengindikasikan bahwa 4%-15% seluruh anak usia sekolah di Indonesia mengalami gangguan ADHD. Melalui asumsi indikasi ADHD mencapai 4-15%
4
anak usia sekolah, maka sekitar 2 dari 10 atau 3 dari 20 anak sekolah di Indonesia mengalami ADHD apabila rata-rata siswa dalam satu kelas adalah 20 anak. Hasil survei di kota-kota besar banyak sekali ditemukan anak dengan ADHD seperti di kota Jakarta khususnya di sebuah Pusat Perkembangan Anak “S” Cabang Pondok Indah Jakarta dari 25 klien yang ditangani ada terhitung 11 klien terapi yang terdiagnosa dengan ADHD. Berdasarkan data pusat perkembangan anak tersebut untuk bulan April 2009 sekitar 50% dari pasien terapi yang mengalami ADHD. Rentang usia anak- anak tersebut adalah usia sekolah antara 6 – 13 tahun. Perilaku yang paling utama dikeluhkan orangtua anak adalah hiperaktivitas dan kurangnya konsentrasi anak dalam mengikuti pelajaran serta kecenderungan menganggu teman- teman di kelasnya. Fenomena ADHD sekarang telah meningkat,selain data statistik yang telah dipaparkan diatas, terbukti dengan data yang telah dikumpulkan dari 3 Sekolah Dasar yang ada di Jakarta yaitu, SD “C”, SD “P” dan juga SD “S” Bintaro didapatkan data bahwa dalam setiap kelas minimal ada satu anak dengan gangguan ADHD yang juga termasuk anak inklusi di sekolah tersebut. Hal ini terlihat juga di ruang terapi, ketika dilakukan observasi terhadap seorang murid SD kelas 3 yang bernama Jn yang tidak berhenti berbicara ketika terapis memberikan instruksi padanya. Tidak jarang anak tersebut berdiri dan berjalanjalan serta memberikan alasan agar dibebaskan dari tugas yang diberikan oleh terapis. Seringkali terapis yang menangani Jn merasa kewalahan karena Jn juga ada kecenderungan melawan terhadap semua orang ketika ada hal yang tidak disukainya. Jn sudah tercatat sebagai klien di Pusat Perkembangan tersebut selama 1 tahun 6 bulan.Hasil penelitian yang menyatakan bahwa gejala ADHD muncul dari usia balita atau prasekolah dan terus meningkat pada usia 3-4 tahun
5
(Waschbusch,
King,
&
Grergus,
2006)
menunjukkan
bahwa
Jn
tidak
mendapatkan identifikasi gejala ADHD sejak dini hal ini dikarenakan Jn baru mendapatkan penanganan pada usia sekitar 8 tahun. Beberapa terapi yang dijalani oleh Jn adalah terapi berbasis multi modal yang melibatkan medikasi, occupational dan behaviour therapy. Sinergi ketiga model terapi tersebut tampak efektif terhadap Jn, hal ini terbukti hingga dua bulan mengikuti proses terapi kondisi Jn berangsur membaik. Dari perkembangan disekolah dilaporkan Jn menjadi lebih tenang meskipun hal ini dapat berjalan dengan baik apabila Jn mengkonsumsi medikasi yang diresepkan dokter. Berdasarkan catatan terapis menunjukkan bahwa ada peningkatan waktu intensitas terhadap aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Meskipun peningkatan waktu belum signifikan namun hal tersebut cukup menjadi catatan penting dalam perubahan perilaku anak dengan ADHD. Ketidakmampuan dalam mendeteksi dini kemunculan gejala ADHD ini akan mempengaruhi perkembangan perilaku, komunikasi, sosialisasi & kognitif. Santrock (2002) menyatakan bahwa anak yang hiperaktif tidak menaruh perhatian dan memiliki kesulitan memusatkan perhatian pada apa yang sedang dilakukannya. Menurut Kaplan (1997), gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas ditandai oleh rentang perhatian yang buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri hiperaktivitas dan impulsivitas atau keduanya yang tidak sesuai dengan usia. Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) sering kali dikaitkan sebagai salah satu tipe gangguan belajar dikarenakan usia onset ADHD umumnya muncul pada masa sekolah (Davies & Messurier, 2002; Waschbusch, King, & Grergus, 2006). Seorang anak yang hiperaktif akan mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran di sekolah sehingga berakibat pada prestasi belajarnya
6
yang cenderung menurun walaupun dengan tingkat intelegensi yang normal ataupun di atas normal. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan memusatkan perhatian pada penjelasan pengajar, ketidakmampuan untuk tetap duduk, menaruh perhatian dan berkonsentrasi (Gaub & Carlson, 1997).Saputro (2004) menyatakan bahwa sebanyak 8%-39% anak ADHD mengalami gangguan membaca, gangguan berhitung (12%-30%) dan gangguan mengeja (12%-27%). Gangguan lain yang banyak menyertai adalah gangguan berbicara dan bebahasa ekspresif. Ketidakmampuan mengarahkan perilaku sesuai dengan aturan merupakan salah satu kelemahan utama pada anak ADHD yang menyebabkan ketidakmampuan dalam menyelesaikan tugas tanpa penguat dari luar, dalam mematuhi perintah atau instruksi verbal serta menyebabkan adanya hambatan pada internalisasi verbal. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian di Canada dan Amerika serikat dengan total sample mencapai 8000 anak, hasil analisis dari penelitian tersebut menyatakan bahwa ADHD sangat terkait dengan rendahnya nilai matematika (berhitung) dan keterampilan membaca serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengulang pelajaran (Hinshaw & Scheffler, 2014). Tentunya kondisi diatas menjelaskan bahwa pengetahuan dan kemampuan orangtua dan guru dalam mendeteksi ADHD tidak dapat dipandang secara parsial terhadap perkembangan anak dengan ADHD, mengingat hal tersebut sangat terkait satu dengan lainnya. Meskipun ADHD banyak diketahui pada anak di usia sekolah, namun ADHD merupakan gangguan neuro behavioral yang seringkali muncul pada anak-anak sebelum usia 7 tahun. Dalam PPDGJ III (1993), hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Gangguan hiperkinetik selalu timbul pada masa perkembangan dini (biasanya pada umur lima tahun pertama) (PPDGJ, 1993).
7
Saputro (2004) dan Williams (2010) menyatakan pada anak ADHD biasanya terlihat adanya suatu aktivitas berlebihan, tidak dapat diam, selalu bergerak, tidak mampu memusatkan perhatian dan menunjukkan perilaku yang impulsive. Kriteria diagnostik pada DSM IV membagi ADHD menjadi 3 sub tipe yaitu, 1. Tipe predominan hiperactive/impulsive, anak dengan gangguan tipe ini sangat mudah hiperaktif dan sering kali bertindak impulsif atau tidak mampu mengontrol gerakan tubuhnya. Tipe ini sering muncul pada anakanak kecil. 2. Tipe predominan gangguan konsentrasi, anak dengan tipe gangguan ini sangat mudah teralihkan perhatiannya akan tetapi tidak menunjukkan gejala hiperaktif atau impulsif. Tipe ini sering dijumpai pada anak perempuan. 3. Tipe kombinasi antara keduanya yang ketiganya dapat ditegakkan jika gejala yang dominan muncul dalam 6 bulan terakhir.Gejalanya anak sangat mudah teralihkan perhatiannya, hiperaktif dan impulsif. Pada usia balita, gejala ADHD juga sudah bisa nampak misal sulit mempertahankan konsentrasi, aktif dan selalu bergerak, impulsif, cenderung penakut, daya ingat pendek, unconfidence, memiliki masalah tidur dan makan, sangat cerdas namun prestasi belajar tidak prima. Gangguan hiperkinetik mempunyai ciri sebagai berikut (PPDGJ III, 1993), yaitu onset dini, suatu kombinasi perilaku terlalu aktif, perilaku kurang bermodulasi dengan ditandai sangat kurangnya perhatian serta ketekunannya dalam melakukan suatu tugas, perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan berlanjut secara lama. Anak yang hiperkinetik sering kali bersikap nekad dan impulsif, mudah mengalami kecelakaan, dan sering terlibat tindakan indisipliner karena secara tidak sengaja (bukan karena mereka bersikap menentang)
8
mereka melanggar peraturan tata tertib (PPDGJ III, 1993). Dari hasil penelitian kebanyakan anak yang diidentifikasi menyandang ADHD menunjukkan gejala sejak masih balita atau prasekolah (Barkley R. A., 1998) dan gejala tersebut meningkat pada usia 3 sampai 4 tahun (Waschbusch, King, & Grergus, 2006) namun pada prakteknya sulit menegakkan diagnosis ADHD pada populasi anak di bawah usia 5 tahun dikarenakan pada rentang usia tersebut perilaku anak masih bervariasi yang menyerupai gejala ADHD sehingga sering menimbulkan kesalahan dalam diagnosis (Saputro, 2004; Weiler, Bellinger, Simmons, Rappaport, Urion, Mitchell, Basset, Marmor & Waber, 2000). Selain itu diagnosis untuk executive functioning pada anak dengan ADHD terutama di usia 2-5 tahun perlu dilakukan dengan pedoman yang akurat (Mahone & Hoffman 2007). ADHD dapat disebabkan oleh banyak faktor, yaitugenetik, diet, lingkungan sosial dan fisik. Kasus ADHD secara genetik dikarenakan terjadinya kombinasi genetik yang berpengaruh pada dopamine transporter, dopamin receptor D4, dopamine beta hidroxilase, monoamine oxidase A, cathecolamine methyl transferase, serotonin transporter promotor, 5-hydroxytryptamine 2A receptor (5-HT2A), 5-hydroxytryptamine 1B receptor (5 -- HT1B), 10-Repeat allele dari DAT1 gene, dengan 7-ulangi allele dari DRD4 gene, dan dopamine beta hydroxylase gene (DBH TaqI). Namun demikian faktor genetik tidak hanya berperan tunggal sehingga perlu dilihat interaksi antara intervensi lingkungan terhadap perubahan genetik. Faktor neurologis juga dianggap sebagai salah satu pemicu penyebab ADHD. Pada anak ADHD gangguan disebabkan oleh kelainan di neuro transmitters (bahan yang meneruskan gerak impuls syaraf dalam otak)/ disregulasi neurotransmitter dalam otak yang membuat anak kesulitan untuk memiliki atau mengatur stimulus internal dan eksternal. Struktur otak berikut
9
hormon dopamine dan norepinephrine sangat menentukan dalam proses produksi, pemakaian, dan pengelolaan neuro transmitter lainnya. Selain itu fungsi eksekutif otak pada anak ADHD tampak mengalami hambatan yang sangat berarti. Hal ini dapat diketahui sesuai dengan pembagian fungsi otak, pada kasus ADHD masalah di bagian frontal lobe dapat membuat seseorang kesulitan dalam mengendalikan input/stimulus dari bagian otak lainnya. Oleh sebab itu ADHD juga sering disebut sebagai salah satu gangguan dalam kategori sensori integrasi. Faktor lingkungan, dari lingkungan yang terkait dengan teknologi, hasil sebuah penelitian eksperimen menyebutkan bahwa Sponge Bob Square Pants (baca: media elektronik) adalah penyebab ADHD, beberapa anak secara acak dipilih dan diminta untuk menonton salah satu episode Sponge Bob, beberapa anak selama 9 menit diminta untuk menyaksikan acara anak-anak (bukan kartun/animasi) dan beberapa anak lainnya selama 9 menit diminta untuk mengambar. Pada kondisi Sponge Bob fungsi eksekutif pada anak-anak secara temporer menghilang ditambah penguatan dari media (Hinshaw & Scheffler, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa media elektronik memiliki pengaruh yang cukup signifikan untuk membuat anak kehilangan fungsi eksekutif, meskipun bersifat temporer namun hal ini merupakan gejala dari ADHD. Selain itu efek dari rokok dan alcohol selama kehamilan dapat menghambat perkembangan pada otak janin dalam kandungan (Mick, Biedermann, Faraone, & Sayer, 2002). Faktor-faktor penyebab dari ADHD masih belum diketahui walaupun banyak penelitian yang menemukan bahwa faktor penyebab dasar adalah faktor biologis (Mattox & Harder, 2007). Penelitian lain yang mendukung menemukan bahwa ADHD diturunkan dalam keluarga. Hal ini terlihat dari sampel rujukan klinis yang 34%-40% subyek mempunyai latar belakang keluarga dengan ADHD
10
(Rowland,
Lesesne,
&
Abramowitz,
2002).
Sementara
Saputro
(2004)
berpendapat bahwa gangguan perilaku pada anak adalah akibat interaksi antara faktor alami (nature) yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan. Berbeda dengan beberapa peneliti di atas, Rutter (1989) menyatakan bahwa ADHD adalah gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh adanya patologi di area prefrontal pada otak ataupun kombinasi antara kerusakan otak dengan faktor genetik (Borchgrevink, 1989). Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas dinyatakan bahwa faktor genetik dan kerusakan otak merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi ADHD namun faktor non genetik atau faktor lingkungan perlu mendapatkan perhatian (Rowland, Lesesne, & Abramowitz, 2002). Secara lebih mendalam, Sroufe menyatakan bahwa 1) sebenarnya tidak ada defisit biologis pada ADHD; 2) penyebab ADHD adalah negative parenting pada masa awal kehidupan; 3) dalam hal obat-obatan, mengandalkan pengobatan yang tidak tepat atau anjuran yang keliru (Hinshaw & Scheffler, 2014). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa sejumlah faktor risiko yang berkaitan dengan keluarga terbukti meningkatkan secara signifikan kemungkinan terjadinya ADHD (Biederman et al, 1995, 2002; Burt et al, 2001, 2003; DuPaul et al, 2001; Scahill et al, 1999). Indikator yang paling menonjol dari kesulitan keluarga adalah adanya disfungsi keluarga (Cunningham dan Boyle, 2002). Ghanizadeh & Shams (2007) menemukan bahwa keluarga yang disfungsi lebih banyak ditemui pada keluarga yang memiliki anak ADHD. Selain itu orangtua dari anak-anak ADHD lebih rentan mengalami perceraian saat anak mereka mencapai usia 8 tahun (22,7%) dibandingkan dengan orangtua yang anak-anak mereka tidak mengalami ADHD (12,6%) (Wymbs & Pelham et al, 2008). Sumber sekunder seperti kesulitan belajar, masalah perilaku, kurangnya penerimaan
11
teman sebaya, rendah diri, self efficacy yang rendah yang pada akhirnya berdampak pada hasil belajar di sekolah (Shatell, Bartlett & Rowe, 2008). Informasi mengenai ADHD yang diberitakan secara luas melalui media cenderung sangat cepat, lepas dan kurang memiliki saringan ilmiah, dan tidak disertai data yang baik. Hal ini berpotensi memberikan pandangan yang salah atau pandangan yang terlalu dangkal tentang ADHD yang dapat merugikan penderita atau keluarganya yang terdiagnosis ADHD sebenarnya. Selain itu beberapa iklan farmasi dalam pameran obat-obatan menekankan pada peningkatan prevalensi ADHD dan penggunaan obat yang lebih didorong oleh kepentingan marketing untuk meraup keuntungan. Menurut Hinshaw dan Scheffler (2014) hal yang paling penting justru mengurangi stigma tentang gangguan mental dan mengijinkan konsumen untuk memilih pengobatan yang paling tepat. Pada faktanya, 8 dari 10 wali murid di beberapa TK “K” di Yogyakarta yang diwawancara oleh peneliti pada tanggal 3, 4, 25, 26 Februari 2014menyatakan tidak mengetahui tentang ADHD, dan hanya 4 dari 10 guru sekolah dasar pernah mendengar tentang ADHD namun belum mengetahui secara jelas dan detil mengenai gangguan tersebut. Gangguan perkembangan seperti ADHD ini merupakan hal yang sangat berbeda dibandingkan dengan gangguan fisik. Para orangtua dan guru lebih familiar dan lebih mudah menangkap
gejala-gejala
gangguan
fisik
dibanding
gejala
gangguan
perkembangan seperti ADHD. Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti juga diketahui masih adanya stigma seperti labeling anak nakal (ndhableg), anak tidak dapat diatur (ngeyel) dan labeling lain yang bersifat negatif secara kultural. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa anak-anak ADHD ini sering kali disebut sebagai anak nakal dan anak malas serta ini tidak disukai/ditolak oleh
12
lingkungan terutama oleh orangtua dan guru. Label-label negatif yang berkembang tersebut tentu akan menimbulkan masalah serius lain yang sangat terkait dengan kondisi perkembangan sosial. Hinshaw & Scheffler (2014) juga menyatakan bahwa functional impairment terhubung dengan academic performance dan perilaku dikelas. Hal ini tentunya dapat memicu munculnya stigma negatif yang tidak terkontrol apabila orangtua maupun guru yang memiliki intensitas komunikasi lebih tinggi dengan anak tidak mampu mengidentifikasi sejak awal kondisi yang dialami oleh anak. Sebagaimana hal yang ditemukan oleh penulis dari hasil wawancara dengan beberapa orang guru, banyak anak dengan indikasi ADHD yang mendapat label sebagai anak nakal, anak bodoh, anak tidak dapat diatur dll. Meskipun individu dengan gangguan ini dapat sangat sukses dalam hidup, tanpa identifikasi yang tepat dan pengobatan, ADHD memiliki konsekuensi serius, termasuk gagal sekolah, stres dan masalah keluarga, depresi, masalah dengan hubungan, penyalahgunaan zat, kenakalan, risiko untuk cedera kecelakaan dan gagal dalam karir/pekerjaan. Selain itu, setidaknya rata-rata individu dengan ADHD memiliki masalah atau gangguan penyerta yang lain, seperti masalah belajar, kecemasan atau masalah perilaku. Melalui gambaran seperti diatas, tentunya dampak ADHD dapat mengancam perkembangan kognitif maupun sosial pada anak. Oleh sebab itu kemampuan orangtua dan guru dalam melakukan identifikasi dan penanganan dini secara tepat terhadap anak dengan gejala ADHD menjadi penting. Beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
orangtua
yang
mendapatkan pelatihan mengenai ADHD mampu memberikan nuansa positif pada perkembangan anaknya. Pelatihan bagi orangtua dapat memberikan manfaat jangka pendek (Anastopoulos et al., 1993; Barkley, 1987; Pisterman et
13
al.,1989)
dan
jangka
panjang
(McMahon,
1994)
seperti
meningkatkan
kemampuan pengelolaan diri pada anak (child management skills) (Pisterman et al.,1989), menurunkan tingkat stress secara langsung maupun tidak langsung, meningkatkan kepercayaan diri orangtua dan memperbaiki hubungan keluarga (Anastopoulos, Shelton, DuPaul, & Guevremont, 1993). Banyak penelitian yang menunjukkan ada hasil perbaikan perilaku yang konsisten terhadap anak-anak dengan ADHD baik di sekolah maupun di rumah yang ditunjukkan melalui rating scalepada pelatihan yang diikuti pada orangtua (Anastopolous et al.,1993; Barkley, Guevremont, Anastopolous, & Fletcher, 1992; Gittelman et al.,1980; Pisterman et al., 1989). Tentunya untuk membuat pelatihan tersebut menjadi lebih efektif, pelatihan bagi orangtua perlu mengandung skill/keahlian dalam mendidik sehingga mereka dapat menjadi bagian penting yang mendasar dan mengawali dalam perubahan perilaku anak (Newby, Fischer, & Roman, 1991). Selain itu kemampuan orangtua dalam mendeteksi dini akan memberikan peluang bagi anak untuk segera mendapatkan pengangan oleh ahli sedini mungkin. Hal krusial lainnya yang diperhatikan oleh peneliti adalah stigma yang dibangun
oleh
media,
banyak
profesional
dan
para
orangtua
yang
memperdebatkan tentang medikasi untuk ADHD atau pendekatan terapeutik lainnya dibandingkan dengan fakta stigma dan rasa malu yang terus mengelilingi masalah kesehatan mental. Selama kegagalan keluarga dikaitkan dengan masalah kesehatan mental, keluarga
akan
mengalami
hambatan
atau
keterbatasan dalam pengobatan dan anak-anak akan gagal untuk mendapatkan bantuan yang mereka harapkan (Hinshaw & Scheffler, 2014). Perkembangan stigma yang negatif di masyarakat terhadap gangguan mental apapun pada dasarnya menunjukkan adanya kesenjangan informasi yang menyebabkan
14
rendahnya tingkat pemahaman masarakat terhadap kondisi-kondisi yang dialami oleh penyandang gangguan mental termasuk anak-anak dengan ADHD. Kondisikondisi yang telah dipaparkan diatas menguatkan bahwa perlunya pendekatanpendekatan psikoedukasi yang terfokus sehingga masyarakat dapat lebih memahami secara jelas mengenai gangguan mental dan terutama mampu bersikap dan bertindak secara suportif terhadap para penyandang gangguan mental khususnya dalam hal ini adalah ADHD. Untuk dapat mengurangi stigma bahwa ADHD adalah gangguan mental dan agar para orangtua/caregiver dapat memilih pengobatan yang tepat, maka sangat diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai ADHD. Hal ini diharapkan dapat mengurangi tingginya tingkat prevalensi ADHD melalui identifikasi dan penanganan sejak dini. Minimnya data yang benar-benar akurat mengenai prevalensi anak ADHD di Indonesia tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan orangtua dan guru mengenai gangguan ini. Kebanyakan orangtua yang memeriksakan anaknya ke klinik Smart Kid Jakarta menyampaikan keluhan mengenai anaknya seputar gangguan belajar. Mereka baru mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas setelah sesi konseling dengan psikolog atau psikiater. Model psikoedukasi yang dikembangkan oleh peneliti dalam hal ini untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orangtua dan guru
mengenai
ADHD dikemas dalam pelatihan pemahaman ADHD bagi orangtua dan guru untuk meningkatkan kemampuan deteksi dini. Pelatihan Pemahaman ADHD Bagi orangtua dan guru untuk meningkatkan kemampuan deteksi dini adalah pelatihan keterampilan dasar yang bertujuan untuk memberikan informasi pengetahuan dasar dan keterampilanmelakukan deteksi dini ADHD sehingga orangtua dan guru dapat secara sinergi membantu membangun lingkungan yang
15
berdampak terapeutik bagi anak dengan ADHD. Pengetahuan dasar yang disajikan dalam pelatihan ini meliputi: pengertian ADHD, gejala ADHD, faktorfaktor penyebab, kesalahan stigma pada anak dengan gangguan perilaku, jenisjenis terapi. Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah pendekatan cognitive behavioristic. Pendekatan behavioristic sangat menekankan pada konteks pembelajaran perilaku. Sementara itu konsep kognitif menekankan bahwa seseorang memiliki kapasitas untuk menentukan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimiliki berdasarkan pengamatan. Proses kognitif ini merupakan proses penyadaran terhadap pemahaman (insight) dan pengenalan. Sehingga dalam pendekatan cognitifbehavior ini orang tidak selalu diposisikan dalam kondisi stimulus respons, namun orang memiliki kehendak dan kemampuan untuk memahami situasi dan bahkan mempengaruhi lingkungan atau stimulus itu sendiri untuk mendapatkan sebuah insight. Salah satu teori belajar dalam pendekatan cognitive behavior adalah social learning yang dikembangkan oleh Bandura (Bandura, 1963). Dalam konsep belajar sosial Bandura ia mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri dari 3 unsur utama yaitu kognitif (individu), perilaku dan lingkungan (Bandura, 1963; Bandura, 1977; Grusec, 1992). Ketiga unsur ini bersifat dinamis dalam mempengaruhi seseorang dalam pembentukan proses belajar (Grusec, 1992). Hal penting dalam teori social learning adalah self efficacy. Self efficacy secara definitif adalah kekuatan seseorang untuk mempercayai kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan (Ormrod, 2006). Self efficacy adalah aspek pengetahuan tentang diri yang memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Self efficacy ini memiliki pengaruh dalam menentukan tindakan seseorang untuk mencapai suatu tujuan termasuk
16
melakukan langkah prediktif terhadap apa yang akan terjadi kedepan (Baron, 2004). Self efficacy inilah yang menjadi kunci dari seseorang untuk dapat beradaptasi terhadap setiap stimulus yang muncul. Dalam hal ini termasuk peran orangtua dan guru dalam menyikapi dan bertindak dengan benar terhadap perilaku anak terutama anak dengan ADHD diperlukan efikasi diri yang tepat. Untuk dapat mengubah stigma negatif terhadap perkembangan anak, secara kognitif/individu para orangtua dan guru perlu dibekali pengetahuan yang memadai. Berdasarkan pengetahuan yang memadai tersebut mereka akan dapat menentukan perilaku-perilaku spesifik yang (diharapkan) atau dengan kata lain mengembangkan efikasi diri dalam mengidentifikasi anak ADHD khususnya dan anak berkebutuhan khusus pada umumnya. Pengetahuan tersebut yang diharapkan secara kognitif dapat membangun kepedulian terhadap anak dengan ADHD. Pelatihan yang diberikan secara langsung terhadap lingkungan guru dan orangtua akan dapat menumbuhkan community knowledge yang mempengaruhi pemahaman dan kepedulian lingkungan secara kolektif terhadap persepsi individual
terhadap
anak-anak
dengan
kebutuhan
khusus
minimal
di
lingkungan/komunitas mereka. Beberapa teknik yang akan digunakan dalam pelatihan ini adalah mind mapping, restrukturisasi kognitif, dan simulasi behavior modification. Mind mapping digunakan untuk mempermudah peserta dalam mengingat dan memetakan pengetahuannya mengenai ADHD. Restrukturisasi kognitif melalui focus group discussion akan mengkoreksi persepsi-persepsi yang negatif dan salah mengenai anak-anak dengan simtomp ADHD. Tujuan melibatkan orangtua dan
guru
termasuk
meningkatkan
parental
management
skill
dengan
mengajarkan teknik-teknik seperti penggunaan school-home notes, time out, environmental management, emphasizing the importance of consistency and
17
routine, dan meningkatkan parental knowledge terhadap perilaku yang salah dan prinsip-prinsip social learning (Barkley, 1987). Dalam pelatihan ini teknik yang diajarkan adalah deteksi dini yang merupakan bagian dari environmental management dan juga meningkatkan pengetahuan dalam mengasuh anak. Metode-metode tersebut digunakan sebagai bentuk manipulasi terhadap cara berfikir dan terhadap lingkungan serta proses evaluasi perilaku melalui latihanlatihan praktis secara langsung untuk mendapatkan insight dan pengenalan serta pengelolaan informasi yang baik sehingga meingkatkan kapasitas pembelajaran dari partisipan. Format training dapat dilakukan baik secara individual maupun secara berkelompok/grup (Barkley, 1998), namun dalam pelatihan ini akan dilakukan secara berkelompok. Secara khusus target skill yang akan diajarkan dalam program pelatihan bagi orangtua dan guru
ini difokuskan pada kemampuan
untuk melakukan deteksi dini terhadap ADHD. Berdasarkan uraian diatas peneliti merancang sebuah modul pelatihan pemahaman ADHD bagi orangtua dan guru untuk meningkatkan kemampuan deteksi dini yang akan dilihat tingkat efektifitasnya ketika diterapkan kepada orangtua dan guru . Target dari pelatihan yang diharapkan oleh peneliti adalah orangtua dan guru memiliki pengetahuan tentang ADHD, dan kemampuan mengidentifikasi ADHD.Melalui pelatihan ini hipotesis yang diajukan oleh peneliti adalah: 1. Pelatihan ADHD dapat meningkatkan pengetahuan tentang ADHD pada kelompok orangtua dan guru yang mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan kelompok orangtua dan guru yang tidak mendapatkan pelatihan.
18
2. Peningkatan pengetahuan ADHD dapat meningkatkan ketepatan dalam melakukan deteksi dini.
METODE Partisipan & Desain Penelitian Partisipan dalam penelitian ini adalah orangtua dan guru Taman Kanakkanak di sekitar Yogyakarta. Subjek penelitian difokuskan kepada orangtua dan guru TK Khalifah di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan dua desain eksperimen 1. untreated control group design with dependent pretest and posttest samples (Shadish, Cook, Campbell, 2005), 2. One Group Pretest & Posttest Desain (Cohen, 2007). Jumlah partisipan berjumlah keselurahan 40 dengan pembagian 20 orangtua dan guru untuk kelompok eksperimen dan 20 orangtua dan guru untuk kelompok kontrol. Kriteria inklusi yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Orangtua murid KB/TK dengan anak usia 3-6 tahun 2. Guru/pendidik KB/TK yang telah bekerja minimal 1 tahun terakhir 3. Orangtua murid terdaftar pada sekolah yang sama dengan guru, dan telah terdaftar di sekolah tersebut minimal 6 bulan 4. Berdomisili di DIY 5. Orangtua dan guru bersedia menjadi partisipan Tabel 1. MetodeEksperimen 1: NR O1 X O2 NR O1 O2
Tabel 2. Metode Eksperimen 2 NR O1 X O2