BIAStatistics Biomedics, Industry & Business And Social Statistics Jurnal Statistika: Teori dan Aplikasi Journal of Statistics: Theory and Application Universitas Padjadjaran
VOL 11, NO. 1, FEBRUARI 2017
SUSUNAN REDAKSI Pelindung Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Penanggung Jawab Kepala Departemen Statistika, FMIPA, Unpad
Redaktur Sri Winarni, M.Si Zulhanif, M.Sc
Desain Grafis Resa Septiani Pontoh, M.Stat.Sci Defi Yusti Faidah, M.Si
Sekretariat Neneng Sunengsih, M.Stat Bertho Tantular, M.Si Gumgum Darmawan, M.Si
Alamat Redaksi Jl. Raya Bandung Sumedang km. 21 Telepon/Fax : (022) 7796002 E-mail :
[email protected] Website : http://statistics.unpad.ac.id/stats-biastatistika/
Diterbitkan oleh: Departemen Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran
BIAStatistics Biomedics, Industry & Business And Social Statistics Jurnal Statistika: Teori dan Aplikasi Journal of Statistics: Theory and Application Universitas Padjadjaran
VOL 11, NO. 1, FEBRUARI 2017
UCAPAN TERIMAKASIH KEPADA MITRA BESTARI Redaksi Jurnal BIAStatistics mengucapkan terimakasih kepada para mitra bestari yang telah menelaah naskah pada terbitan Jurnal BIAStatistics Volume 11 No 1 Februari 2017 Mitra Bestari Prof. Dr. Sutawarnir Darwis (Departemen Matematika FMIPA Institut Teknologi Bandung) Dr. Muhamad Syamsuddin (Departemen Matematika FMIPA Institut Teknologi Bandung) Dr. Lienda Noviyanti, M.Si. (Program Studi Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran)
BIAStatistics Biomedics, Industry & Business And Social Statistics Jurnal Statistika: Teori dan Aplikasi Journal of Statistics: Theory and Application Universitas Padjadjaran
VOL 11, NO. 1, FEBRUARI 2017 ISSN 1907-6274
ARTIKEL PENELITIAN IURAN PROGRAM PENSIUN NORMAL ABCM DENGAN PENDEKATAN PhDP MELALUI RANTAI MARKOV DARI KENAIKAN PANGKAT PEGAWAI SECARA BERKALA
Oleh: Achmad Zanbar Soleh, Lienda Noviyanti dan Gatot Riwi Setyanto .............. 1 ANALISIS KORESPONDENSI DATA PENYAKIT JANTUNG
Oleh: Latifah Rahayu Siregar dan Zurnila Marli Kesuma ..........................................12 MODEL PEMETAAN PENYAKIT DENGAN RESPON GANDA MENGGUNAKAN SEEMINGLY UNRELATED POISSON REGRESSION (PENDEKATAN BAYESIAN INLA)
Oleh: I Gede Nyoman Mindra Jaya, Zulhanif dan Bertho Tantular .........................19 PERBANDINGAN BEBERAPA METODE KEKAR PADA PENDUGAAN PARAMETER REGRESI LINIER SEDERHANA UNTUK DATA YANG MENGANDUNG PENCILAN
Oleh: Riski Apriani Sari, Hari Wijayanto dan Indahwati............................................33 PREMI ASURANSI DENGAN SISTEM BONUS MALUS OPTIMAL
Oleh: Lienda Noviyanti, Achmad Zanbar Soleh dan Budhi Handoko .....................52 MANAJEMEN RESIKO KREDIT TERHADAP PERUSAHAAN PROPERTI DI INDONESIA BERDASARKAN RASIO KEUANGANNYA
Oleh: Samsul Anwar, Zulfan dan Radhiah ........................................................................64
" Absence of evidence is not evidence of absence"
-Carl Sagan-
TATA CARA PENULISAN JURNAL BIAStatistics Untuk menghindari duplikasi, BIAStatistics tidak menerima artikel yang telah dipublikasikan oleh majalah dan jurnal lainnya. Penulis harus menandatangani surat pernyataan dan disetujui oleh penulis pendamping lainnya. Apabila ditemukan bahwa artikel telah dimuat pada jurnal atau majalah ilmiah lain, maka status terbit akan dianulir dan digantikan oleh makalah lain. Semua artikel akan dibahas oleh para pakar dalam bidang keilmuan yang sesuai (peer review) beserta dewan redaksi. Artikel yang diterima dengan perbaikan akan dikembalikan lagi kepada penulis. Artikel penelitian harus mempertimbangkan etika penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
PENULISAN ARTIKEL: Artikel diketik pada Ms Word 1,5 spasi pada kertas A4, dengan batas tepi kiri 4 cm dan tepi atas, bawah dan kanan 3 cm. Jumlah halaman maksimal 20, jenis huruf Times New Roman 11pt. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Artikel memuat pokok bahasan yang dituangkan dalam: Abstrak (Abstract), 1. Pendahuluan (Introduction), 2. Metodologi (Methodology), 3. Hasil dan Pembahasan (Result), 4. Kesimpulan (Conclusions) dan 5. Daftar Pustaka (Reference).
ABSTRAK (ABSTRACT) Abstrak untuk setiap artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris. Bentuk abstrak tidak terstruktur dengan maksimal adalah 200 kata. Abstrak disertai 3-5 kata kunci yang dapat membantu penyusunan indeks. Penulisan menggunakan jenis huruf Times New Roman 10pt.
TABEL Tabel ditampilkan secara jelas (bukan berupa gambar) dengan judul berada diatas Tabel. Sumber Tabel dapat dicantumkan dibagian bawah tabel sejajar rata kiri dengan ukuran huruf 10pt. Penomoran Tabel dimulai dari nomor 1 dan seterusnya maksimal 6 tabel.
GAMBAR/FOTO Gambar ditampilkan secara jelas dan proporsional. Gambar/Foto yang mengandung hak cipta harus disertakan sumbernya. Gambar yang pernah dipublikasikan harus diberi acuan. Penulisan judul diletakkan dibagian bawah Gambar. Penomoran Gambar dimulai dari nomor 1 dan seterusnya maksimal 6 gambar.
PERSAMAAN/ FORMULASI MATEMATIKA Persamaan matematis ditulis dan diberi penomoran yang urut dari 1 dan seterusnya sebanyak persamaan dalam artikel. Penomoran dicantumkan rata kanan tanpa titik-titik penghubung dan diberi tanda kurung.
DAFTAR PUSTAKA Rujukan ditulis sesuai dengan aturan penulisan Harvard, diurutkan menurut abjad. Cantumkan nama penulis maksimal 4 orang pertama selanjutnya dkk. Jumlah rujukan maksimal 20 buah.
PENGIRIMAN ARTIKEL ILMIAH: Artikel dikirimkan kepada dewan redaksi dengan alamat: Jl. Raya Bandung Sumedang km. 21, Telepon/Fax : (022) 7796002 E-mail:
[email protected] Website: http://statistics.unpad.ac.id/stats-biastatistika/
BIAStatistics (2017) Vol. 11, No. 1, hal. 1-11
IURAN PROGRAM PENSIUN NORMAL ABCM DENGAN PENDEKATAN PhDP MELALUI RANTAI MARKOV DARI KENAIKAN PANGKAT PEGAWAI SECARA BERKALA Achmad Zanbar Soleh1, Lienda Noviyanti2, dan Gatot Riwi Setyanto 3 1,2,3 Departemen Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran Email :
[email protected]
ABSTRAK Program pensiun normal manfaat pasti atau Accrued Benefit Cost Method (ABCM) adalah program pensiun yang terlebih dahulu menentukan besar manfaat pensiun yang akan dibayarkan kepada peserta dan selanjutnya menentukan besar iuran melalui perhitungan aktuaria. Salah satu besaran yang mempengaruhi perhitungan iuran dalam pensiun adalah Penghasilan Dasar Pensiun (PhDP) yang bergantung dari gaji terakhir peserta. Selama ini penentuan PhDP pada saat seseorang akan pensiun diestimasi berdasarkan tabel skala gaji yang telah disediakan sebelumnya. Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Rantai Markov sehingga diperoleh matriks peluang transisi dari kenaikan pangkat pegawai yang selanjutnya digunakan dalam mengestimasi gaji pada masa yang akan datang. Akibat perubahan kebijakan dengan mengganti besaran gaji pada saat program pensiun sedang berjalan dari tabel skala gaji menjadi probabilistik melalui Rantai Markov maka perhitungan iuran baru akan memperhitungkan kewajiban tambahan (Supplemental Liability).
Kata kunci: Iuran normal, kewajiban tambahan, Matriks Peluang Transisi.
1.
PENDAHULUAN Program dana pensiun merupakan suatu program yang memberikan jaminan
kepada karyawan apabila kelak mereka tidak dapat bekerja kembali. Jaminan tersebut berupa dana pensiun yang diberikan setiap bulannya sampai karyawan tersebut meninggal dunia di masa pensiunannya. Program pensiun ini akan memberikan rasa aman dan kesejahteraan ketika seorang peserta telah pensiun. Setiap karyawan baru (khususnya PNS) akan langsung diikutsertakan menjadi anggota program pendanaan pensiun yang diadakan oleh TASPEN. Berkaitan dengan hal tersebut maka setiap karyawan diwajibkan membayar iuran perbulan selama mereka bekerja yang didasarkan pada persentase penghasilan dasar pensiun (PhDp). PhDP adalah pendapatan seorang karyawan per bulannya yang berasal dari penjumlahan gaji pokok, tunjangan keluarga, serta tunjangan-tunjangan lainnya. Nilai PhDp seorang PNS akan selalu berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah, masa kerja, dan kepangkatan seseorang.
1
Menurut Winklevoss (1993) asumsi yang digunakan dalam menentukan besaranbesaran dana pensiun adalah (1) penurunan populasi (dalam hal ini kematian), (2) tingkat suku bunga yang ditetapkan, dan (3) PhDp. Penelitian ini akan dijelaskan estimasi besar gaji pada usia setahun sebelum pensiun (yakni pada usia 55 tahun) berdasarkan masa kerja dan kepangkatan seseorang diakhir masa kerjanya. Sampai dengan saat ini TASPEN masih menggunakan perhitungan manfaat pensiun dengan pendekatan manfaat pasti atau Accrued Benefit Cost Method (ABCM) sehingga estimasi gaji PhDp akan menjadi dasar utama dalam menentukan manfaat pensiun yang akan diterima karyawan di masa pensiunnya. Program pensiun normal ABCM adalah program pensiun yang terlebih dahulu menentukan besar manfaat pensiun yang akan dibayarkan kepada peserta dan selanjutnya menentukan besar iuran melalui perhitungan aktuaria. Winklevoss dan Howard E. (1993) mengasumsikan skala gaji dalam perhitungan PhDP berdasarkan perbandingan antara gaji tahun ini dengan gaji pada awal bekerja. Terlihat pada Tabel 1 yang menunjukkan kenaikan gaji yang hanya bergantung pada masa kerja. Faktor lain yang mempengaruhi besar gaji PNS adalah kepangkatan PNS yang dapat berubah-ubah selama mereka bekerja. Kenaikan pangkat PNS diatur dalam UU No.12 Tahun 2002 Pasal 7 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil yaitu PNS dapat diberikan kenaikan pangkat regular jika sekurang-kurangnya telah empat tahun dalam pangkat terakhir. Tabel 1. Skala Gaji berdasarkan masa kerja
Walaupun berdasarkan Undang-undang setiap empat tahun sekali kepangkatan PNS tersebut naik, Hal berbeda terjadi pada keadaan sesunguhnya dimana masih banyak PNS yang tidak berubah kepangkatannya dalam jangka waktu lebih dari empat tahun. Oleh
2
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
karena kenaikan pangkat PNS bersifat tidak pasti maka dalam mengestimasi kepangkatan terakhir seorang PNS diakhir masa kerjanya akan digunakan matriks peluang transisi dari kepangkatan PNS berdasarkan rantai Markov. Matriks peluang transisi ini merupakan matriks berderajat n yang menyatakan perubahan kepangkatan PNS berdasarkan masa kerja dan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini akan mengevalusi besarnya iuran yang harus dibayarkan seorang PNS dikarenakan perubahan kebijakan yang ditetapkan pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan PNS. Perubahan kebijakan ini akan berdampak pada besaran iuran yang berbeda pada tahun-tahun berikutnya. Seorang PNS yang mengikuti dana pensiun dari awal bekerja sampai dengan memasuki usia pensiun (r-1) dimana peserta dalam masa pendanaan pensiun y sampai dengan x-1, peserta membayar iuran normal untuk kondisi manfaat yang konstan. Namun dalam kenyataannya selama bekerja dari awal bekerja hingga pensiun PNS terdapat kemungkinan kenaikkan pangkat sehingga mengubah besaran gaji yang akan diperoleh dan akan mengubah besar tunjangan atau manfaat yang akan diterima pada saat pensiun. Faktor penyesuaian ekonomi dari waktu ke waktu juga berpengaruh sehingga pemerintah membuat kebijakan untuk meningkatkan tunjangan pensiun PNS sebesar 2% per tahun (lihat Gambar 1). Akibat hal tersebut maka selama masa sisa tahun bekerja (x sampai r-1) peserta harus membayar kekurangan agar tunjangan atau manfaat pensiun yang lebih besar dapat terdanai.
Gambar 1. Latar Belakang Perubahan Kebijakan Pendanaan Pensiun ABCM Hal ini menguntungkan bagi PNS akan tetapi kondisi ini perlu diperhatikan oleh pemerintah karena akan mengubah besarnya actuarial liability dan supplemental liability sehingga untuk menanggulangi kekurangan tersebut diperlukan perhitungan iuran tambahan dan iuran baru yang dibutuhkan agar kekurangan dana bisa tertutupi. 2.
METODOLOGI Bagian ini akan menjelaskan langkah-langkah untuk menentukan iuran pensiun
normal dengan menggunakan metode pendanaan pensiun manfaat pasti dengan terlebih
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
3
dahulu menentukan golongan PNS yang pada saat terakhir bekerja untuk mengetahui berapa penghasilan terakhir yang akan digunakan sebagai dasar penentuan manfaat pensiun. Namun besarnya manfaat tersebut dapat berubah akibat adanya perubahan kebijakan pemerintah yang terjadi setiap tahunnya. Akibat adanya kenaikan tunjangan pensiun akan menyebabkan terjadinya kekurangan dalam pembayaran iuran pensiun karena iuran normal yang selama ini dibayarkan tidak seimbang dengan manfaat yang akan diperoleh.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pensiun normal dengan usia pensiun normal PNS adalah 56 tahun.
Metode Pendanaan pensiun yang digunakan adalah metode manfaat pasti.
Tabel mortalita yang digunakan adalah tabel mortalita TASPEN 2012.
Tingkat bunga aktuaria (i) sebesar 10% per tahun.
Tingkat Inflasi (I) sebesar 1% per tahun.
Tingkat kenaikan tunjangan pensiun sebesar 2% per tahun.
Usia pensiunan PNS masih akan hidup hingga 100 tahun. Sehingga, selisih usia PNS pada saat pensiun hingga usia 100 tahun (t) adalah 44 tahun.
Titik valuasi pada tahun usia 30 tahun terhadap PNS yang mulai bekerja pada usia 23 tahun.
2.1 Accrued Benefit Cost Method (ABCM) Prinsip dari pendanaan pensiun adalah terjadinya keseimbangan antara yang dibayarkan peserta dengan besar manfaat yang dikeluarkan oleh suatu TASPEN. Hal ini mengakibatkan besar iuran yang harus dibayarkan peserta dana pensiun harus dapat mencukupi seluruh manfaat pada saat pensiun sampai peserta tersebut meninggal dunia. ABCM atau lebih dikenal dengan metode manfaat pasti merupakan pendanaan pensiun bahwa pihak penyelenggara dana pensiun menetapkan terlebih dahulu manfaat yang akan diterima peserta pada saat pensiun setelah itu baru besaran iuran ditetapkan. Sehingga pada metode manfaat pasti ini iuran yang dibayarkan dihitung berdasarkan manfaat yang dinotasikan dengan Br yang akan diterima nantinya. Secara umum, rumusan penentuan iuran normal untuk metode manfaat pasti adalah sebagai berikut: (2.1)
4
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
dengan (𝑁𝐶)𝑥
: Iuran normal pada usia x
𝑏𝑥
: Besarnya manfaat yang diperoleh saat membayar NCx
v
: Faktor diskonto : Peluang PNS berusia x masih akan tetap bekerja r-x tahun kemudian
Persamaan (2.1) selanjutnya akan disesuaikan berdasarkan matriks peluang transisi kepangkatan PNS. Menurut UU No.11 tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai telah mengatur tentang besar manfaat yang akan diperoleh PNS saat pensiun. Perumusannya sebagai berikut: (2.2) dengan GDP : Gaji Dasar Pokok, gaji pada usia 55 tahun MK : Masa Kerja pegawai terhitung mulai saat menjadi PNS sampai mencapai usia pensiun. Pada Persamaan (2.2) di atas besar manfaat yang akan diterima oleh PNS pada saat pensiun dapat diperhitungkan. Namun, terkadang terjadi perubahan karena perbedaan pangkat dari awal masuk sampai di usia pensiun (r) yang selanjutnya berdampak kepada besaran gaji pokok dan kebijakan TASPEN seperti terjadinya kenaikan tunjangan untuk pensiunan PNS. Hal ini akan menyebabkan perubahan pada besaran manfaat yang akan diterima pensiunan PNS. 2.2 Matriks Peluang Transisi Matriks peluang transisi P yang digunakan untuk melihat peluang dari perpindahan golongan PNS dapat dilihat pada Persamaan (2.3).
(2.3)
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
5
Keadaan dalam matriks peluang transisi menyatakan golongan PNS yang terdiri dari “0” (golongan 3A), “1” (golongan 3B),…,”8” (golongan 4E). Pij merupakan peluang transisi seorang PNS yang sebelumnya berada pada golongan i berubah menjadi golongan j. Nilai Pij diperoleh berdasarkan Persamaan (2.4). Jadi P00 adalah peluang seorang PNS tetap pada golongan awal (3A) dalam empat tahun terakhir. Sedangkan P01 adalah peluang seorang PNS akan berpindah dari golongan awal (0/3A) menjadi golongan (1/3B) dalam empat tahun. (2.4)
Matriks peluang transisi n langkah digunakan untuk menentukan peluang pangkat pegawai saat ia berhenti bekerja. Karena satu langkah didefinisikan selama 4 tahun, maka perumusan n adalah (2.5) yang merupakan pembulatan ke bawah dari masa kerja dibagi empat, sehingga matriks peluang transisi n langkah nya : (2.6) Selanjutnya Matriks Peluang Transisi golongan PNS seperti pada persamaan 2.7.
(2.7) Selanjutnya Persamaan 2.7 dapat digambarkan dalam diagram peluang transisi sebagai berikut.
Gambar 2. Diagram Alur dari Peluang transisi golongan PNS
6
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
2.3 Estimasi Gaji Pokok Terakhir Sebelum menentukan besarnya manfaat yang akan diterima oleh PNS saat pensiun perlu ditaksir terlebih dahulu gaji terakhir bekerja. Gaji PNS selain ditentukan berdasarkan masa kerja juga bergantung terhadap golongan saat itu. Pangkat PNS untuk masa mendatang sifatnya tidak pasti, karena terdapat kemungkinan yang terjadi seperti tetap berada dipangkatnya saat ini atau naik pangkat. Apabila kenaikan pangkat dimasukan dalam perhitungan maka akan mengubah besaran dari Salary Scale usia x. Karena besarnya gaji akan berbeda-beda dan belum diketahui berapa rasio gajinya apabila pangkatnya berubah. Sehingga besarnya gaji pada usia x merupakan nilai harapan dari semua kemungkinan gaji yang akan diterima di setiap golongan saat usia tersebut. Maka perumusan dari estimasi gaji masa akan datangnya adalah sebagai berikut: (2.8) dengan 𝑠𝑦
: Besarnya gaji pada usia y (mulai kerja)
(𝑆𝑆)𝑥𝑗 : Salary Scale pada usia x saat golongan j (𝑆𝑆)𝑦𝑖 : Salary Scale pada usia y saat golongan i 𝐼
: Tingkat Inflasi
2.4 Menentukan Besarnya Manfaat Berdasarkan Kenaikan Pangkat Penentuan besar manfaat yang melibatkan peluang dari kenaikan pangkat serta perubahan kebijakan terhadap kenaikan tunjangan pensiun dirumuskan pada Persamaan (2.9). Persamaan tersebut merupakan pengembangan dari Persamaan (2.2). (2.9) dengan
merupakan estimasi gaji pokok terakhir dari seorang PNS
2.5. Increasing Annuity Increasing Annuity merupakan kenaikan jumlah uang yang harus dibayarkan tiap periode waktu dengan besar kenaikannya bersifat konstan, dimana kenaikan tersebut pada kasus ini terjadi pada manfaat pensiun setiap tahunnya. Perumusan increasing annuity adalah sebagai berikut. (2.10) Akibat adanya penyesuaian faktor ekonomi dari waktu ke waktu maka terjadi kenaikan manfaat pensiun setiap tahunnya dengan besarnya kenaikan diasumsikan konstan
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
7
setiap tahunnya sehingga besar manfaat pensiun yang akan diterima oleh pensiunan PNS nya akan meningkat setiap tahunnya sebesar Q. 2.6. Actuarial Liability dan Supplemental Liability Actuarial Liability (Kewajiban aktuaria) adalah kewajiban dana pensiun yang dihitung berdasarkan asumsi bahwa Dana Pensiun akan terus berlangsung sampai dipenuhinya seluruh kewajiban kepada Peserta dan Pihak yang berhak. Secara teori pembayaran iuran oleh PNS harus dapat melunasi seluruh manfaat yang akan diterimanya nanti sejak awal pensiun sampai dengan meninggal dunia. Dengan demikian bahwa nilai tunai pada saat mengikuti dana pensiun dari iuran normal yang akan datang harus menutupi nilai tunai manfaat masa depan (Present Value of Future Benefit atau PVFB). Persamaan dari PVFB adalah sebagai berikut. (2.11) Secara umum dalam menentukan Actuaria Liability (AL) terdapat dua cara yang biasa digunakan yaitu Metode Prospektif dan Metode Retrospektif. AL dengan pendekatan Metode Prospektif dirumuskan seperti pada Persamaan (2.12) dan berdasarkan pendekatan Metode Retrospektif dituliskan pada Persamaan (2.13). (2.12) dengan 𝑃𝑉𝐹𝐵
: Present Value Future Benefit
𝑃𝑉𝐹𝑁𝐶 : Present Value Future Normal Cost
(2.13) dengan AVPNC : Accumulated Value of Past Normal Cost Supplemental Liability (iuran tambahan) merupakan dana yang dibutuhkan untuk menutupi kekurangan pendanaan pensiun atau biaya tambahan yang dikeluarkan oleh pihak pengelolaan dana pensiun untuk membantu membayar kekurangan pendanaan pensiun setiap tahunnya. Supplemental liability akan muncul apabila (𝑃𝑉𝐹𝐵)𝑋 > (𝑃𝑉𝐹𝑁𝐶)𝑥 + (𝐴𝑉𝑃𝑁𝐶)𝑋. Kemudian jika (𝑃𝑉𝐹𝐵)𝑋 = (𝑃𝑉𝐹𝑁𝐶)𝑥 + (𝐴𝑉𝑃𝑁𝐶)𝑋 maka tidak ada supplemental liability. Dan jika (𝑃𝑉𝐹𝐵)𝑋 < (𝑃𝑉𝐹𝑁𝐶)𝑥 + (𝐴𝑉𝑃𝑁𝐶)𝑋 maka ada pengembalian. (2.14)
8
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
2.7. Iuran Normal Cost Baru Dengan menghitung kembali besarnya manfaat yang diperoleh pada usia x, dapat diperoleh berapa besarnya iuran normal yang seharusnya dibayarkan oleh PNS setiap bulannya. (2.15) dengan Cn merupakan koefisien dari penambahan atau pengurangan kalinya dari past service bagi accrual benefit yang tidak terdanai saat peserta baru mulai pendanaan pensiun. (2.16) Dengan
manfaat pensiun pada usia z setelah terjadi perubahan, Bz manfaat
pensiun pada usia z sebelum terjadi perubahan, serta Br manfaat yang diperoleh saat pensiun setelah terjadi perubahan. Besar iuran normal baru untuk menutupi kekurangan pendanaan akibat perubahan pangkat PNS dari awal bekerja sampai akhir bekerja dan akibat perubahan kebijakan terhadap tunjangan pensiun PNS adalah (2.17) dengan
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data kepegawaian di TASPEN maka diperoleh matrik peluang
transisi dari perubahan golongan PNS adalah sebagai berikut.
Peluang seseorang dengan golongan 3A saat masuk bekerja dan empat tahun kemudian tetap di golongan 3A adalah 0,78. Sedangkan peluang seseorang golongan 3A saat masuk kerja naik golongan menjadi 3B empat tahun kemudian adalah 0,22. Sebagai ilustrasi, Gaji pokok yang akan diterima seorang PNS bergolongan III/A sesuai dengan PP nomor 34 tahun 2014 sebesar Rp. 2.317.600, per bulan, maka gaji yang
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
9
akan diterima saat PNS berusia 23 tahun selama satu tahun sebesar Rp. 27.811.200,00. Besarnya gaji yang akan diterima PNS pada saat usia 55 tahun dengan menggunakan persamaan (2.8) yaitu sebagai berikut :
Jadi, besar gaji yang akan diterima PNS pada usia 55 tahun yang memulai kerja pada usia 23 tahun adalah sebesar Rp.56.924.242 per tahun dengan peluang seseorang tersebut tetap pada golongan awalnya yaitu III/A atau akan meningkat ke golongan berikutnya selama masa kerjanya. Dengan menggunakan Persamaan (2.9) maka besar manfaat tahunan yang akan diperoleh PNS berdasarkan Undang-Undang yang telah ditentukan tanpa mengikutsertakan kemungkinan terjadinya kenaikan pensiun sebesar Rp.45.539.294 per tahun. Selanjutnya dengan menggunakan Persamaan (2.1) diperoleh informasi bahwa peserta yang mengikuti program dana pensiun sejak awal bekerja yaitu pada usia 23 tahun maka peserta tersebut harus membayarkan iuran normal pada usia 30 sebesar Rp.762.596 per tahun. Karena (𝑃𝑉𝐹𝐵)𝑋 > (𝑃𝑉𝐹𝑁𝐶)𝑥 + (𝐴𝑉𝑃𝑁𝐶)𝑋 maka perlu dilanjutkan dengan menghitung Supplemental Liability untuk mengetahui berapa besar kekurangan atau kelebihan yang dibutuhkan TASPEN untuk menutupinya. Menggunakan Persamaan (2.14) diperoleh besar kekurangan dana yang harus ditanggung TASPEN adalah sebesar Rp. 67.753.330. Besarnya Cn sesuai Persamaan (2.16) adalah sebesar 0.1628 sehingga berdasarkan Persamaan (2.15) manfaat pensiun yang diperoleh setelah diperhitungkan kembali adalah sebesar Rp.1.265.074 per tahun. Jadi dapat ditetapkan bahwa iuran normal baru yang harus dibayarkan PNS pada usia 30 tahun adalah sebesar Rp.2.243.647 per tahun untuk mendapatkan kenaikan manfaat secara konstan sebesar 2% selama masa pensiun. 4.
KESIMPULAN Perubahan kebijakan program pensiun ABCM dengan menambahkan pengaruh
dari perubahan kepangkatan PNS dan menaikkan manfaat pensiun secara konstan selama masa pensiun akan menaikan besarnya iuran baru dibandingkan dengan iuran lama. Namun demikian perubahan kebijakan ini akan memberikan kesejahteraan kepada PNS di masa pensiunnya.
10
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
5.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Pangkat PNS. Ross, S.M. (1983). Stochastics Processes. Berkeley : John Wiley & Sons, Inc. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003. Tentang Ketenagakerjaan. Winklevoss, H. E. (1993). Pension Mathematics with Numerical Illustrations, 2nd Edition. USA : Pension Research Council of Wharton School of The University of Pennsylvania.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
11
BIAStatistics (2016) Vol. 10, No. 1, hal. 12-18
ANALISIS KORESPONDENSI DATA PENYAKIT JANTUNG (Studi kasus di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh) Latifah Rahayu Siregar1), Zurnila Marli Kesuma2) 1,2
Program Studi Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected] ABSTRAK
Informasi tentang penyakit jantung sangat dibutuhkan dewasa ini. Tujuan dari penulisan ini adalah penggunaan analisis korespondensi untuk mengetahui keterkaitan antara tingkat keparahan penyakit jantung dengan kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa, riwayat merokok dan umur. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh pada tahun 2015 dengan jumlah data penderita jantung sebanyak 55 orang. Hasil pada plot analisis korespondensi menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit jantung dapat berkaitan dengan kadar kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa dan riwayat merokok.
Kata kunci : Analisis Korespondensi; Uji Eksak Fisher; Penyakit Jantung
1.
PENDAHULUAN Penyakit Jantung merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian
nomor satu di dunia. Menurut data dinas kesehatan, berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Zahrawardani et al. (2013) telah melakukan penelitian pada RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan mendeskripsikan dan menganalisis faktor risiko usia, jenis kelamin, kolesterol total, kadar trigliserida, hipertensi, dan diabetes melitus dengan kejadian penyakit jantung koroner, serta untuk mengetahui faktor risiko yang paling berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner. Hasil penelitian tersebut mendapati bahwa Usia, kolesterol total, kadar trigliserida, hipertensi, dan diabetes melitus merupakan fakto resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung koroner adalah kolesterol total. Penelitian yang berkaitan dengan diagnosis penyakit jantung juga telah dilakukan oleh Kesuma. Z. M et al. (2015) dengan mendiagnosis tingkat keparahan pasien penyakit jantung menggunakan metode inferensi Mamdani pada pasien RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Faktor resiko yang terdiri dari kolesterol LDL, usia, tekanan darah, gula darah
12
puasa dan riwayat merokok digunakan untuk menguji tingkat keparahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien penderita penyakit jantung memilki resiko tingkat keparahan tinggi terhadap terjadinya infark miokard. Berdasarkan latar belakang diatas, ingin dilihat keterkaitan antara tingkat keparahan penyakit jantung dengan kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa, riwayat merokok dan umur menggunakan analisis korespondensi. Data yang digunakan adalah data penderita penyakit jantung dari penelitian Kesuma. Z. M et al. (2015). Dengan mengetahui keterkaitan antara tingkat keparahan penyakit jantung dengan kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa, riwayat merokok dan umur, diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengantisipasi terhadap terjadinya serangan jantung.
2.
KAJIAN LITERATUR Analisis korespondensi merupakan alat untuk menganalisa hubungan antara baris
dan kolom dari tabel kontingensi (Hӓrdle & Simar, 2003). 2.1 Tabulasi Silang Tabulasi silang adalah tabel frekuensi dua arah dimana hubungan frekuensi dari dua variable kualitatif telah diperoleh. Uji yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua Variabel kategori pada tabel kontingensi adalah Uji Khi-Kuadrat. Uji Khi-Kuadrat dapat digunakan jika nilai harapan kurang dari 5 (mij < 5) tidak lebih dari 20% (maksimal 20%). Jika data yang digunakan kecil, maka alternatif metode yang digunakan adalah Uji Eksak Fisher (Agresti, 2002). 2.2 Matriks Korespondensi Jika N adalah matriks data yang unsur-unsurnya merupakan bilangan positif berukuran a x b dimana a menunjukkan baris dan b menunjukkan kolom, maka P adalah Matriks korespondensi didefinisikan sebagai matriks yang unsur-unsurnya adalah unsur matriks N yang telah dibagi dengan jumlah total unsur matriks N. aNb = [nij] ; nij ≥ 0, . (i = 1…a, j=1...b )
a b
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
nij n..
(2.1)
(2.2)
13
Profil baris dan profil kolom dari matrik P diperoleh dengan cara membagi vektor baris dan vektor kolom dengan masing-masing massanya. 𝑏
𝑏
Profil baris dari matriks 𝐏 adalah 𝑟𝑖 = ∑ = ∑ 𝑗=1
𝑗=1
𝑛𝑖𝑗 𝑛. .
𝑎
𝑎
Profil kolom dari matriks 𝐏 adalah 𝑐𝑗 = ∑ 𝑃𝑖𝑗 = ∑ 𝑖=1
𝑖=1
(2.3)
𝑛𝑖𝑗 𝑛. .
(2.4)
(Johnson & Wichern, 1988). 2.3 Nilai Singular (Singular Value Decompotition) Untuk mereduksi dimensi data berdasarkan keragaman data (nilai eigen / inersia) terbesar dengan mempertahankan informasi yang optimum, diperlukan penguraian nilai singular. Penguraian nilai singular (SVD) merupakan salah satu konsep Aljabar matriks dan konsep eigen decomposition yang terdiri dari nilai eigen dan vektor eigen. Penguraian nilai singular diekspresikan dalam I X J matriks A dengan rank K (Johnson & Wichern, 1998) 2.3.1 Penentuan Jarak Profil Untuk menghitung jarak profil baris atau kolom dalam kategori yang sama, digunakan jarak Khi-Kuadrat dengan Jarak Euclid terboboti: d_i^2=(r_i-c)^' D_c^(-1) (r_i-c)
(2.5)
(Johnson & Wichern, 1998) 2.4 Dekomposisi inersia Inersia berarti varian yang terdapat pada korenpondensi analisis. Total inersia adalah jumlah dari nilai eigen dan menggambarkan penyebaran dari titik-titik disekeliling sentroid. Nilai inersia menunjukkan kontribusi dari baris ke–i pada inersia total. Sedangkan yang dimaksud inersia total adalah jumlah bobot kuadrat jarak titik – titik ke pusat, massa dan metric(jarak) yang didefinisikan:
14
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
a
Inersia Total baris :
in a ri ri c Dc1 ri c
(2.6)
in b c j c j r Dr1 c j r
(2.7)
'
iI
b
Inersia Total kolom :
'
j 1
𝑏−1
𝑥2 ′ Total inersia = = 𝑡𝑟𝑎𝑐𝑒(𝐷𝑟−1(𝑃 − 𝑟𝑐 )′𝐷𝑐−1(𝑃 − 𝑟𝑐 ′ ′)′) = ∑ 𝜆2𝐾 𝑛
(2.8)
𝐾=1
(Johnson & Wichern, 1998)
3.
METODE PENELITIAN Untuk mencapai tujuan penelitian, digunakan analisis korespondensi dengan
langkah – langkah sebagai berikut : 1. Membuat tabulasi silang menggunakan perangkat lunak SPSS; 2. Melakukan uji kebebasan dengan melihat nilai uji yang diperoleh, yaitu dengan menggunakan uji Khi–Kuadrat dan Uji Eksak Fisher; 3. Dari tabel kontigensi data asal disusun kedalam bentuk matriks dan dilakukan penguraian nilai singular untuk mengetahui nilai variabilitas data asli yang dijelaskan oleh setiap dimensi yang dihasilkan; 4. Melakukan analisis korespondensi dengan bantuan perangkat lunak SPSS; 5. Mengamati nilai koordinat dan visualisasi plot profil vektor baris dan kolom dalam setiap titik yang terdekat pada masing – masing segmen untuk mendeskripsikan tingkat keparahan penyakit jantung.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang digunakan adalah data sekunder dari Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin, Banda Aceh pada tahun 2015 dengan jumlah data penderita penyakit jantung sebanyak 55 orang. Berdasarkan Uji Khi-Kuadrat antara penderita jantung dengan tingkat kolesterol, tekanan darah, gula darah, riwayat merokok dan umur, dihasilkan nilai harapan lebih dari 20%, maka Uji Khi-Kuadrat tidak dapat digunakan. Untuk melihat keterkaitan antara penderita jantung dengan tingkat kolesterol, tekanan darah, gula darah, riwayat merokok dan umur digunakan Uji Eksak Fisher. Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
15
Tabel 4.1 Uji Eksak Fisher untuk jantung dengan kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa, riwayat merokok dan umur.
Fisher's Exact Test Value Exact Sig. (2-sided) Kolesterol
26.939
.001
Tekanan darah
18.500
.005
Gula darah puasa
18.234
.000
Riwayat merokok
13.104
.003
Umur
3.656
.745
Pada Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa dan riwayat merokok memiliki keterkaitan dengan tingkat keparahan penyakit jantung karena memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 0.05 atau P-value < α. Sedangkan variabel umur tidak memiliki keterkaitan dengan tingkat keparahan penyakit jantung karena memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0.05 atau P-value > α. Tabel 4.2 Analisis korespondensi
Variance Accounted For Dimension
Cronbach's Alpha
Total (Eigenvalue)
Inertia % of Variance
1
.649
2.081
.416
41.615
2
.573
1.847
.369
36.930
3.927
.785
1.964
.393
Total Mean
.613a
39.273
a. Mean Cronbach's Alpha is based on the mean Eigenvalue.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada Eigenvalue, nilai eigen pertama sebesar sumbu satu menerangkan variabilitas data sebesar 41.615%, sumbu dua menerangkan variabilitas data sebesar 36.930%. Jumlah nilai inersia untuk dua dimensi sebesar 0.785. Proporsi nilai inersia dimensi 1 adalah (0.416/0.785) × 100% = 52.99% menunjukkan bahwa dimensi 1 memberikan kontribusi sebesar 52.99%, sedangkan
16
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
proporsi nilai inersia dimensi 2 adalah (0.369/0.785) × 100% = 47% menunjukkan bahwa dimensi 2 memberikan kontribusi sebesar 47% kepada keseluruhan nilai inersia.
Gambar 4.1. Plot analisis korespondensi tingkat keparahan penyakit jantung dengan tingkat kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa dan riwayat merokok. Untuk melihat dominasi profil kolom (tingkat keparahan penyakit jantung) terhadap profil baris (kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa dan riwayat merokok), dapat dilihat pada plot korespondensi dengan mengamati titik terdekat. Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa : 1. Tingkat keparahan jantung sangat tinggi (63.6%-79.4% ) dapat terjadi pada penderita kolesterol tinggi (160-189 mg/dL), tekanan darah pre-hipertensi (120-139 mmHg), gula darah puasa diabetes (>= 126 mg/dL) dan memiliki riwayat merokok. 2. Tingkat keparahan jantung tinggi (47.6%-63.5%) dapat terjadi pada penderita kolesterol ambang batas optimal (130-159 mg/dL), tekanan darah hipertensi 1 (140-159 mmHg), gula darah puasa diabetes (>= 126 mg/dL) dan memiliki riwayat merokok. 3. Tingkat keparahan jantung sedang (31,6%-47.5%) dapat terjadi pada penderita
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
17
kolesterol optimal (<100 mg/dL), tekanan darah pre-hipertensi (120-139 mmHg), gula darah puasa normal (<= 126 mg/dL) dan memiliki riwayat merokok. 4. Tingkat keparahan jantung ringan (15,5%-31,5%) dapat terjadi pada penderita kolesterol di atas optimal (100-129 mg/dL), tekanan darah normal (<120 mmHg), gula darah puasa normal (<= 126 mg/dL) dan tidak memiliki riwayat merokok
5.
SIMPULAN Berdasarkan Uji Eksak Fisher, dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara
umur dan tingkat keparahan penyakit jantung pada studi kasus di RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tingkat keparahan penyakit njantung dapat berkaitan dengan kadar kolesterol, tekanan darah, gula darah puasa dan riwayat merokok memiliki keterkaitan pada studi kasus di RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Agresti, A. 2002. Categorical Data Analysis. Willey-Interscience. United States of America. Hardle, W., Simar, L. (2003). Applied Multivariate Statistical Analysis. Springer- Verlag. Johnson, A., Wichern, W.D. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis. Prectice-Hall International.inc. New Jersey. Kesuma, Z.M., Hizir., Izazi. 2015. Application of Fuzzy Logic to Diagnose Severity of
Coronary
Heart Disease: Case Study in dr. Zainoel Abidin General Hospital, Banda Aceh Indonesia. Advances on Science and Technology. ISBN:978-602-99849-2-7. Zahrawardani Diana., Herlambang Kuntio Sri., Anggraheny Hema Dewi. 2013. Analisis Faktor Risiko Kejadian
Penyakit Jantung Koroner di RSUP Dr Kariadi Semarang. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah.Vol. 1 No. 2. Wiyatmo, Y., dkk. Efektivitas Bimbingan Tugas Akhir Skripsi (TAS) Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, pendidikan dan penerapan MIPA, FMIPA UNY. (2010).
18
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
BIAStatistics (2016) Vol. 10, No. 1, hal. 19-32
MODEL PEMETAAN PENYAKIT DENGAN RESPON GANDA MENGGUNAKAN SEEMINGLY UNRELATED POISSON REGRESSION (Pendekatan Bayesian INLA) I Gede Nyoman Mindra Jaya1, Zulhanif2 dan Bertho Tantular3 1
Mahasiswa Departemen Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran Email:
[email protected]
ABSTRAK Penyakit menular seperti demam berdarah (DB), cikunginya, TB paru, diare dan penyakit menular lainnya menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Tidak jarang tingginya angka kasus dari setiap penyakit tersebut disebabkan oleh faktor yang sama seperti faktor iklim, kebersihan lingkungan, gaya hidup sehat dan juga vektor yang sama. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam mengontrol penyebaran penyakit menular tersebut. Upaya penanggulangan penyakit menular selama ini dilakukan secara partial untuk masing masing jenis penyakit, sehingga cara ini kurang efektif. Pengontrolan penyakit yang memiliki faktor resiko yang sama seharusnya dapat dilakukan secara simultan melalui pemodelan multiple disease. Penelitian ini mengusulkan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) untuk memodelkan angka kasus TB Paru dan Diare di Kota Bandung. Hasil analisis menemukan
bahwa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) paling berpengaruh terhadap
tingginya resiko relatif kedua jenis penyakit tersebut.
Kata Kunci: Pemetaan Penyakit, Respon Ganda, Seemingly Unrelated Regression
1.
PENDAHULUAN Penyakit menular seperti demam berdarah, cikunginya, TB paru, diare dan
penyakit menular lainnya menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat (Hardhana, 2013). Tidak jarang tingginya angka kasus dari setiap penyakit tersebut disebabkan oleh faktor yang sama seperti faktor iklim, kebersihan lingkungan, gaya hidup sehat dan juga vektor yang sama. Upaya mendapatkan angka prediksi jumlah kasus dan resiko relatif yang akurat untuk setiap area alasan utama. Model dasar yang digunakan dalam pemetaan penyakit adalah model regresi Poisson (Shaddick et al, 2016). Namun karena rentannya model ini terhadap kasus overdisversi yang diakibatkan karena adanya pengaruh spatial sehingga model standar regresi Poisson kurang mampu memberikan hasil dengan akurasi dan presisi yang baik (Clayton and Kaldor, 1987, Maiti, 1998).
19
Metode yang umumnya digunakan dalam studi epidemiology dalam menaksir resiko relatif adalah Standardized Morbidity Ratio (SMR) (Lawson et al, 2003, dan Pringel, 1996). Ukuran ini tidak memberikan hasil yang handal jika diterapkan pada lokasi dengan jumlah kasus sedikit dan populasi terpapar sedikit. Selain itu ketidakhandalan dari ukuran SMR sebagai penaksir resiko relatif dikarenakan SMR tidak mampu mengakomodasi adanya ketergantungan spatial yang umumnya terjadi pada penyakit menular. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mensolusikan ketidakreliablean dari SMR adalah menggunakan pendekatan pemodelan statistik yang mengakomodasi model pemulusan dan juga memasukkan informasi ketergantungan spasial dalam model. Pemodelan ini dikenal dengan Bayesian Conditional Autoregressive Model (CAR) (Besag, 1974 dan Tango, 2010). Bayesian Conditional Autoregressive Model (BCAR) adalah pemodelan dalam pemetaan penyakit yang digunakan untuk memuluskan nilai Resiko Relatif (Clayton and Kaldor, 1987). Model ini merupakan model pemulusan spatial dari resiko relatif dan model yang mengakomodasi ketergantungan spasial sehingga mampu meperkecil keliruan taksiran parmeter resiko relatif yang berarti model ini mampu menghasilkan taksiran resiko relatif yang lebih stabil. Namun model yang dikembangkan selama ini adalah model univariate, dalam penelitian ini dikembangan model yang melibatkan lebih dari satu jenis penyakit melalui pemodelan Seemingly Unrelated Regression (SUR). Penggunaan metoe SUR untuk memperoleh taksiran yang efisien dikarenakan pemodelan variabel response dengan prediktor yang sama atau beririsan menyebabkan kekeliruan antara satu model dengan model yang lain saling berhubungan. Hal ini jika tidak disolusikan maka penaksiran parameter menjadi tidak efisien (Winkelmann, 2008). Pemodelan ini dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam mengontrol penyebaran penyakit menular tersebut. Upaya penanggulangan penyakit menular selama ini dilakukan secara partial untuk masing masing jenis penyakit, sehingga cara ini kurang efektif. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana memodelkan regresi SUR untuk data counting dengan melibatkan ukuran spatial dependensi.
20
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
2.
METODOLOGI
2.1 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kesehatan Tahun 2014 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Bandung. Variabel yang diteliti disajikan dalam table berikut: Tabel 1: Variabel Penelitian Variabel
Simbol
Satuan
Angka Kasus TB Paru
Y1
Orang
Angka Kasus Diare
Y2
Orang
Prilaku Hidup Bersih dan
X1
%
Rumah Sehat
X2
%
Gizi Buruk
X3
%
Air Bersih
X4
%
Sehat
2.2 Metode Analisis Data Model Poisson SUR Poisson SUR regression dalam penelitian ini diaplikasikan pada kasus Bivariate yaitu pada kasus TB Paru dan Diare di Kota Bandung. Model Poisson SUR dapat didefinisikan sebagai berikut (King, 1989): 𝑦𝑖1 ~𝑃𝑜𝑖𝑠𝑠𝑜𝑛(𝐸𝑖1 𝜃𝑖1 ) 𝑦𝑖2 ~𝑃𝑜𝑖𝑠𝑠𝑜𝑛(𝐸𝑖2 𝜃𝑖2 )
Dalam notasi matriks dapat dibuat: 𝒚𝑗 ~𝑃𝑜𝑖𝑠𝑠𝑜𝑛(𝑬𝑗 𝜽𝑗 ) ; 𝑗 = 1,2
(1)
Untuk Poisson SUR harus didefinidikan satu variabel random yang mewakili kekeliruan kedua model tersebut: 𝑣𝑖 ~𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙(0, 𝜎 2 )∀𝑗 = 1,2
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
(2)
21
Model regresi poisson dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝐾
𝜃𝑖𝑗 = exp (𝛽0𝑗 + ∑ 𝛽𝑘𝑗 𝑥𝑖𝑘𝑗 ) 𝑘=1 𝐾
ln 𝜃𝑖𝑗 = 𝜂𝑖𝑗 = 𝛽0𝑗 + ∑ 𝛽𝑘𝑗 𝑥𝑖𝑘𝑗
(3)
𝑘=1
dengan 𝛽0𝑗 = 𝛽0 + 𝑣0𝑗 𝛽𝑘𝑗 = 𝛽𝑘 + 𝑣1𝑗
Ide dasar dari pemodelan SUR ini adalah menambahkan komponen acak pada setiap parameter model dengan asumsi komponen acak ini antara group 1 dan group 2 berkorelasi. Korelasi ini dijamin karena untuk kedua group ini komponen acak v memiliki distribusi yang identik. Pendekatan ini identik dengan pendekatan varying coefficien model (VCM) ( Mindra, et al. 2016) Untuk memasukkan komponen acak ini ke dalam model dapat dilakukan melalui pendekatan Bayesian, degan v dipandang sebagai variabel acak yang memiliki distribusi dengan parameter prior Untuk pemodelan Bayesian Poisson SUR digunakan Integrated Nested Laplace Approximation (INLA) Pendekatan INLA Tahap pertama dalam pemodelan INLA untu model univariate adalah mengidentifikasi distribusi data observasi y= (y1, y2…, yn). Pendekatan yang paling umum dalam mendefinisikan distribusi dari yi menurut parameter (umumnya rata-rata E(yi)) dengan mendefinisikannya sebagai sebuah fungsi struktur aditive prediktor i mealui link function g(.) misalkan g()=i. Fungsi adaptif linear dapat dituliskan sebagai berikut (Camelett and Blangiardo, 2015): 𝐾
𝐿
𝜂𝑖 = 𝛽0 + ∑ 𝛽𝑘 x𝑘𝑖 + ∑ 𝑓(z𝑙𝑖 ) 𝑘=1
(4)
𝑙=1
Dengan 𝛽0 menyatakan intersep; 𝛽 = {𝛽1 , … , 𝛽𝐾 } menyatakan efek linear dari covariates
𝐱 = (𝐱1 , . . . , 𝐱 K ) terhadap resepon y; dan f={f1(.),…,fL(.)} merupakan
sekumpulan fungsi dari covariate 𝐳 = (𝐳1 , . . . , 𝐳L ). Fungsi f(.) dapat digunakan untuk mengakomodasiberbagai tujuan seperti pemulusan, efek nonlinear, trime trend, efek
22
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
musiman, random dan slope acak. Fungsi terakhir ini yang dimanfaatkan dalam pemodelan SUR. Hierarichal Model Model INLA pada persamaan (4) dapat ditulis dalam struktur Hiraki. Level pertama mengasumsikan bahwa y dapat difaktorisasi sebagai y1, …, yn diasumsikan exchangeable (distribusi dari faktorisasi y1,…, yn tidak berubah, dengan kata lain distribusi tidak bergantung pada susunan pengamatan), sehingga distribusi dari y adalah independent dan identifika dengan parameter dan Hyperparameter (Camelett and Blangiardo, 2015): 𝑛
𝒚|𝜽, 𝝍𝟏 ~𝑝(𝒚|𝜽, 𝝍𝟏 ) = ∏ 𝑝(𝑦𝑖 |𝜃𝑖 , 𝝍𝟏 )
(5)
𝑖=1
Level kedua, laten field θ dikarakterisasi dari multivariate normal dengan Hyperprior ψ_1
𝜽|𝝍𝟐 ~𝑀𝑉𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙(𝟎, 𝑸−1 (𝝍𝟐 ))
(6)
Dengan hyperparameter 𝝍 = {𝝍𝟏 , 𝝍𝟐 } memiliki distribusi peluang 𝝍~𝑝(𝝍) Dengan distribusi margijnal diperole dari integaral posteriornya yaitu sebagai berikut: 𝑱
𝑝(𝜽|𝝍) = ∫ ∏ 𝑝(𝜃𝑗 |𝝍)𝑝(𝝍)𝑑𝝍
(7)
𝑗=1
Struktur model hierki dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Direct Acyclic Graphs (DAG) Untuk Model Hiearchi
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
23
2 𝜎𝑣𝑘
2 𝜎𝑣0
0 Xkj
v1kj
v0j
1, 2, 3, 4
ij
Groupj
yij
Gambar 2. Direct Acyclic Graphs (DAG) Untuk Model Penelitian SUR Model Conditional Autoregressive (CAR) Pengembangan pada model ini, selain pemodelan dilakukan pada respon ganda melalui model SUR, juga memasukkan informasi spatial melalui model CAR. Model CAR merupakan model yang dikembangkan oleh Besag (1974) untuk mengakomodasi adanya ketergantungan spatial dalam kekeliruan. Dalam pemetaan penyakit CAR didefinisikan sebagai distribusi prior utuk komponen acak parameter resiko relative (𝑢). Model CAR prior secara umum dimodelkan sebagai berikut (Besag, and Newell, 1991) : 𝑢𝑖 |𝑢−𝑖 ~ 𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙 (
∑ℎ~𝑖 𝑤𝑖ℎ 𝑢ℎ 𝜎𝑢2 , ) ∑ℎ~𝑖 𝑤𝑖ℎ ∑ℎ~𝑖 𝑤𝑖ℎ
(8)
Dengan v_imerupakan pengaruh acak spesifik dari model CAR normal umum yang diusulkan pertama kali oleh Besag (1974). Menurut Besag, antar wilayah memiliki keterkaitan yang sangat kuat, hal ini direpresentasikan dengan nilai autokorelasi spasial antar wilayah (ρ=1). dengan 𝐸 (𝑣𝑖 |𝑣−𝑖 ) = 𝜇𝑖 + 𝜌 ∑ 𝑤𝑖ℎ (𝑢ℎ − 𝜇ℎ )
(9)
𝑖~ℎ
𝑉𝑎𝑟(𝑢𝑖 |𝑢−𝑖 ) = 𝜎 2
(10)
Dengan 𝜇𝑖 = large scale variation dari observasi ke 𝑖, 𝜌 mengacu pada autokorelasi spasial atau dependensi spasial dan W adalah matriks pembobot spasial. Matriks ini bersifat simetris 𝑛 𝑥 𝑛 dan mempunyai diagonal utama yang bernilai nol. Elemen matriks ini adalah 𝑤𝑖ℎ dengan nilai sebagai berikut : 𝑤𝑖ℎ = {
24
1, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑗 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 0, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑗 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Model Penelitian Model penelitian yang akan diestimasi dalam penelitian ini adalah: 𝐾
𝐿
𝜼𝑗 = 𝛽0𝑗 + ∑ 𝛽𝑘𝑗 x𝑘𝑖 + ∑ 𝑓(z𝑙𝑖 ) 𝑘=1
(11)
𝑙=1
dengan 𝑓(𝐳𝑖 ) = v0i + v1i + ui
dan 𝑣0𝑖 ~𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙(0, 𝜎 2 ) 𝑣1𝑖 ~𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙(0, 𝜎 2 ) 𝑢𝑖 |𝑢−𝑖 ~ 𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙 (
∑ℎ~𝑖 𝑤𝑖ℎ 𝑢ℎ 𝜎𝑢2 , ) ∑ℎ~𝑖 𝑤𝑖ℎ ∑ℎ~𝑖 𝑤𝑖ℎ
Distribusi posteriornya adala: 𝑝(𝜷, 𝜎 2 , 𝜎𝑢2 |𝒚) = 𝑝(𝒚|𝜷, 𝜎 2 , 𝜎𝑢2 )𝑝(𝜷|𝜎 2 , 𝜎𝑢2 )𝑝(𝜎 2 )𝑝(𝜎𝑢2 )
(12)
Metode Metropolis-Hasting dan Gibbs sampling dapat digunakan untuk melakukan infernsi dari disribusi posterior pada persamaan (12) untuk mendapatkan statistik dari penaksirnya. Pendekatan lain dapat digunakan untuk menaksir parameter model Poisson SUR yaitu menggunakan metode integrated nested laplace approximation (INLA). Pemodelan dilakukan dalam dua tahap yaitu mendefinisikan model observasi 𝝅(𝒚|𝜸), dengan y menyatakan angka prevalensi dan 𝜸 menatakan hyperprameter. Tahap kedua yaitu mendefinisikan matriks presisi Q dan tahap ketiga proses control hyperperameter model. Matriks presisi Q didefinisikan (Mindra et al, 2016): 𝐐=(
κv 𝐈 −κv 𝐈 ). −κv 𝐈 κu 𝐑 + κv 𝐈
(13)
Fungsi tujuan dari INLA adalah menemukan marginal posterior distribusi untuk semua parameter dengan fungsi posteriornya didefinisikan sebagai berikut: π(γi |𝐲) = ∫ π(γi |𝛉, 𝐲) π(𝛉|𝐲)d𝛉,
(14)
θ
dengan 𝛉 = (σ2i , 𝛃, ρ). Fungsi densitas marginal π(𝛉|𝐲) dari hyperparameters 𝛉 dapat diperoleh dari pendekatan Laplace dengan fungsi sebagai berikut: π̃ (𝛉|𝐲) ∝
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
π(𝛾i , 𝛉, 𝐲) | π̃ G (𝛾i |𝛉, 𝐲) 𝛾=𝛾∗(𝛉).
(15)
25
Untuk proses komputasi digunakan R-Software dengan package INLA
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Angka kasus Diare dan TB paru di Kota Bandung tergolong tinggi dengan rata-
rata angka kasus TB Paru mencapai 53 kasus per kecamatan dan Diare mencapai 1839 kasus. Tabel 2: Statistik Variabel Penelitian Variabel
Statistik
Min
Max
52.8
8.0
105.0
1838.5
658.0
3857.0
61.3
50.3
69.1
Rumah Sehat
66.4
33.4
95.6
Gizi Buruk
1.7
0.1
9.7
Air Bersih
96.4
79.3
102.6
Angka Kasus TB Paru
Angka Kasus Diare
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat
Sumber: hasil pengolahan
26
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Sebaran angka kasus TB Paru dan Diare dapat dilihat pada peta di bawah ini. Angkat TBPARU (7.9,32.2] (32.2,56.5] (56.5,80.8] (80.8,105]
Sukasari
Cidadap
Coblong Cibeunying Kaler
Sukajadi
Cibeunying Kidul
Cicendo
Mandalajati
Bandung Wetan
Ujungberung
Andir Sumurbandung
Antapani
Cibiru Arcamanik
Kiaracondong Batununggal Bandung Kulon BojongloaAstanaanyar Kaler
Cinambo Panyileukan
Lengkong
Regol Babakan Ciparay Buahbatu
Bojongloa Kidul
Gedebage Rancasari
Bandung Kidul
Gambar 3a. TB Paru Angka DIARE (655,1.46e+03] (1.46e+03,2.26e+03] (2.26e+03,3.06e+03] (3.06e+03,3.86e+03]
Sukasari
Sukajadi
Cicendo
Cidadap
Coblong Cibeunying Kaler Cibeunying Kidul
Mandalajati
Bandung Wetan
Ujungberung
Andir Sumurbandung
Antapani
Cibiru Arcamanik
Kiaracondong Batununggal Bandung Kulon BojongloaAstanaanyar Kaler
Cinambo Panyileukan
Lengkong
Regol Babakan Ciparay Buahbatu
Bojongloa Kidul Bandung Kidul
Gedebage Rancasari
Gambar 3b. Diare Terlihat ada beberapa kesamaan pola untuk Angka TB Paru dan Diare. Semisal untuk kecamatan Bapakan Ciparae memiliki angka TB Paru dan Diare yang tinggi. Namun tingginya angka kasus di suatu lokasi tidak dapat secara langsung dijadikan rujukan bahwa di lokasi tersebut memiliki resiko relativ yang tinggi karena angka kasus berkorelasi dengan angka populasi. Sangat wajar bahwa populasi besar, maka angka kasus yang ditemukan juga besar. Untuk mengetahui angka resiko relative untuk ukuran populasi yang beragam, harus ditaksir melalui pemodelan regresi Poisson dengan memanfaatkan informasi ketergantungan spasial dan berbagai factor yang berpengaruh pada tingginya resiko relatif.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
27
Tabel 3. Ketergantungan spasial Variabel
Statistik Moran’s I
p.value
0.43249295
3.02e-05
-0.00659342
0.4037
Angka Kasus TB Paru Angka Kasus Diare
Sumber: hasil pengolahan Hasil perhitungan indeks ketergantungan spatial Moran’s I menunjukkan bahwa untuk kasus TB Paru ada ketergantungan spatial yang signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Namun berbeda untuk kasus diare dimana tidak terbukti adanya ketergantungan spatial. Melihat kondisi ini, maka model Seemingly Unrelated Regression (SUR) dikembangkan dengan memperhatikan ketergantungan spatial pada TB Paru. Syntax INLA formula<-Y~1+X1+X2+X3+X4+f(IDG, model="iid")+ f(IDS, model="bym",graph=W, constr=TRUE)+ f(IDG1,X1, model="iid")+ f(IDG2,X2, model="iid")+ f(IDG3,X3, model="iid")+ f(IDG4,X4, model="iid") OUTPUT <- inla(formula,family="poisson",data=DATAG, E=E1, control.predictor=list(compute=TRUE), control.compute=list(dic=TRUE,cpo=TRUE)) Hasil estimasi parameter model SUR dengan menggunakan INLA disajikan dalam Tabel 4 berikut: Tabel 4. Eestimasi Parameter Model SUR TB PARU Variabel
28
DIARE
Koefisien
SD
Koefisien
SD
Intersep
-0.5562
1.5876
-0.5557
1.5876
PHBS
-0.0194
0.0293
-0.0141
0.0293
Rumah Sehat
-0.0047
0.0108
0.0097
0.0108
Gizi Buruk
-0.0172
0.0608
-0.0015
0.0608
Air Bersih
0.0215
0.0221
0.0080
0.0221
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Model ini dapat dinyatakan dalam persamaan matematis sebagai berikut: Model Regresi TB Paru 𝜂̂ 𝑖 = −0.5562 − 0.0194X1 − 0.0047X2 −0.0172X 3 + 0.0215X4
(16)
Model Regresi Diare 𝜂̂ 𝑖 = −0.5557 − 0.0141X1 + 0.0097X2 −0.0015X 3 + 0.0080X4
(17)
Kedua model ini memiliki kesamaan informasi mengenai dampak dari prilaku Hidup Sehat (PHBS) terhadap angka kasus TB Paru dan Diare. PHBS memberikan pengaruh negatif yang artinya semakin tinggi persentase masyarakat yang sadar akan perilaku hidup bersih dan sehat akan mampu menurunkan resiko relative untuk TB Paru dan Diare. Peningkatan 1% kesadaran masyarakat akan PHBS akan menurunkan resiko relatif TB Paru sebesar 0.019 atau 1.9% dan Diare sebesar 0.0141 atau 1.41%. Sedangkan untuk variabel yang lain memiliki perbedaan pengaruh. Namun secara umum pengaruh terhadap TB Paru lebih dominan. Studi pemetaan penyakit memiliki tujuan akhir memetakan resiko relatif dalam sebuah peta. Di bawah ini disajika tiga peta resiko relatif. Peta pertama untuk pola resiko relatif untuk TB Paru, peta kedua untuk Diare, dan peta ketiga peta resiko relatif gabungan. RERSIKO RELATIF (0.276,1.46] (1.46,2.64] (2.64,3.82] (3.82,5]
Sukasari
Sukajadi
Cicendo
Cidadap
Coblong Cibeunying Kaler Cibeunying Kidul
Mandalajati
Bandung Wetan
Ujungberung
Andir Sumurbandung
Antapani
Cibiru Arcamanik
Kiaracondong Batununggal Bandung Kulon BojongloaAstanaanyar Kaler
Cinambo Panyileukan
Lengkong
Regol Babakan Ciparay Buahbatu
Bojongloa Kidul Bandung Kidul
Gedebage Rancasari
Gambar 4a. Resiko Relative TB PARU Resiko relatif TB Paru paling tinggi terlihat dari Kecamatan Cinambo dan Bandung wetan. Sedangkan kecamatan seperti Cibiru Ujung Berung dan yang warnanya relatif muda menunjukkan angka resiko relatif yang renda. Terlihat adanya pengelompokkan dari angka resiko relatif TB Paru. Kecamatan yang resiko relatif TB Paru tinggi cenderung mengelompokk.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
29
RERSIKO RELATIF (0.239,1.09] (1.09,1.95] (1.95,2.8] (2.8,3.65]
Sukasari
Sukajadi
Cicendo
Cidadap
Coblong Cibeunying Kaler Mandalajati
Cibeunying Kidul Bandung Wetan
Ujungberung
Andir Sumurbandung
Antapani
Cibiru Arcamanik
Kiaracondong Batununggal Bandung Kulon BojongloaAstanaanyar Kaler
Cinambo Panyileukan
Lengkong
Regol Babakan Ciparay Buahbatu
Bojongloa Kidul
Gedebage Rancasari
Bandung Kidul
Gambar 4b. Resiko Relative DIARE Resiko relatif Diare paling tinggi terlihat dari Kecamatan Cinambo, Bandung Wetan, dan Gede Bag. Sedangkan kecamatan seperti Cibiru Ujung Berung dan yang warnanya relatif muda menunjukkan angka resiko relatif yang renda. Terlihat adanya pengelompokkan dari angka resiko relatif Diare. Kecamatan yang resiko relatif Diare tinggi cenderung mengelompokk walaupun dari hasil pengujian angka kasus tidak ada ketergantungan spasial. Hal ini menunjukkan pentingnya mengukur resiko relatif bukan angka kasus sebagai rujukan untuk mengidentifikasi pola sebarang penyakit menular. RERSIKO RELATIF (0.246,1.21] (1.21,2.18] (2.18,3.14] (3.14,4.11]
Sukasari
Sukajadi
Cicendo
Cidadap
Coblong Cibeunying Kaler Cibeunying Kidul
Mandalajati
Bandung Wetan
Ujungberung
Andir Sumurbandung
Antapani
Cibiru Arcamanik
Kiaracondong Batununggal Bandung Kulon BojongloaAstanaanyar Kaler
Cinambo Panyileukan
Lengkong
Regol Babakan Ciparay Buahbatu
Bojongloa Kidul Bandung Kidul
Gedebage Rancasari
Gambar 1c. Resiko Relative Gabungan Peta terakhir ini menjelaskan resiko relative gabungan dari kedua jenis penyakit TB Paru dan Diare. Terlihat angka resiko relatif ini merupakan angka rata-rata dari kedua jenis penyakit tersebut. Sehingga pola yang terbentuk jelas menunjukkan adanya kombiasi dari Pola pada TB Paru dan Diare. Kecamatan dengan Resiko relatif paling tinggi untuk kedua jenis penyakit tersebut adalah Kecamatan Cinambo dengan angka resiko relatif lebih besar dari 3.14.
30
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
4.
KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan metode Bayesian Seemingly Unrelated Regression (BSUR)
merupakan pendekatan baru dalam pemetaan penyakit menular. Metode ini terbukti memberikan informasi yang lengkap mengenai resiko relatif penyakit-penyakit yang diteliti. BSUR memberikan peta partial dan gabungan. Merujuk pada angka resiko relatif, ditemukan bahwa Kecamatan Cinambo adalah kecamatan dengan resiko relatif TB Paru dan Diare yang tinggi. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih pada DRPM Universitas Padjadjaran yang telah membantu secara inansial.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Besag, J. and Newell J. (1991) The Detection of Clusters in Rare Diseases, Journal of the Royal Statistical Society. Series A (Statistics in Society), Vol. 154, No. 1, , pp. 143-155 Besag, J. (1974) Spatial Interaction and the statistical analysis of lattice systems. Journal of the Royal statistical Socety, series B, 36, pp. 192-236 Camelett, M. and Blangiardo, (2015). M. Spatial and Spatio-Temporal Bayesian Models with RINLA. John Wiley & Sons, Clayton, D., & Kaldor, J. (1987) Empirical Bayes Estimates of Age-Standardized Relative Risks for Use in Disease Mapping. Biometrics , pp. 671-681. Hardhana, B., et al. (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Lawson, A. B., Browne, W. J., & Rodeiro, C. L (2003).. Disease Mapping with WinBUGS and MLwiN. New York: John Wiley & Sons. Maiti, T. (1998) Hierarchical Bayes estimation of mortality rates disease mapping. Journal of Statistical Planning and inference, ,pp. 339-348. Mindra Jaya, I. G. et al. (2016). “Bayesian Spatial Modeling and Mapping of Dengue Fever: A Case Study of Dengue Fever in The City of Bandung, Indonesia”. International Journal of Applied Mathematics and Statistics, 54 (3), 94-103 Pringle, D.G. (1996). Mapping Disease Risk Estimates Based on Small Numbers: An Assessment of Empirical Bayes Techniques The Economic and Social Review, Vol. 27, No. 4, July, pp. 341-363
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
31
Shaddick, G., & Zidek, J. V. (2016) Spatio-Temporal Methods in Environmental Epidemiology. New York: CRC Press Taylor & Francis Group Tango, T. (2010) Statistical Methods for Disease Clustering. Japan: Springer Winkelmann, Rainer (2008). Econometric Analysis of Count Data. Springer-Verlag Berlin Heidelberg
32
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
BIAStatistics (2016) Vol. 10, No. 1, hal. 33-51
PERBANDINGAN BEBERAPA METODE KEKAR PADA PENDUGAAN PARAMETER REGRESI LINIER SEDERHANA UNTUK DATA YANG MENGANDUNG PENCILAN Riski Apriani Sari1, Hari Wijayanto2, Indahwati3 Departemen Statistika, Institut Pertanian Bogor Email:
[email protected]
1,2,3
ABSTRAK Analisis regresi adalah alat yang digunakan untuk menduga hubungan antara dua peubah atau lebih. Keberadaan pencilan pada analisis regresi mengakibatkan dugaan parameter yang dihasilkan menjadi tidak valid. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi pencilan, terutama pencilan terhadap peubah respon adalah menggunakan beberapa metode kekar yaitu penimbang ganda Tukey, simpangan mutlak terkecil, dan metode Theil. Selanjutnya untuk mengetahui keefektifan metodemetode tersebut dalam menangani pencilan dilakukan pada kajian simulasi. Simulasi diterapkan pada berbagai ukuran contoh dan persentase pencilan. Kajian simulasi ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa metode penimbang ganda atau biweight Tukey memberikan hasil paling baik dalam menangani pencilan, terutama pada persentase pencilan kurang dari 30% dan pada ukuran contoh 40 dan 100. Biweight Tukey merupakan metode yang menerapkan fungsi objektif dan fungsi penimbang dengan konstanta tuning sebesar 4.685σ. Ketiga metode tersebut juga diterapkan pada dua data riil yang berbeda kasus, serta ada kecenderungan bahwa metode biweight Tukey memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kedua metode lainnya.
Keywords: biweight tukey, LAD, pencilan, theil
1.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Regresi linier merupakan salah satu alat statistika yang paling banyak digunakan karena menyediakan metode yang sederhana untuk membuat sebuah fungsi hubungan antar variabel [3]. Suatu amatan dianggap sebagai pencilan ketika amatan tersebut memberikan nilai sisaan baku yang besar. Sisaan baku yang besar seringkali disebabkan oleh amatan peubah respon atau peubah-y yang jauh lebih besar atau lebih kecil dibanding amatan lain, dan amatan seperti ini disebut dengan pencilan-y [12]. Keberadaan pencilan-y ini mengakibatkan dugaan parameter yang dihasilkan dengan metode MKT bersifat bias dan menyimpang dari nilai yang seharusnya, sehingga memberikan interpretasi kesimpulan yang tidak valid. Namun, pencilan tidak bisa dengan sembarang untuk dibuang [2]. Pembuangan pencilan hanya dilakukan jika diketahui dengan pasti ada kesalahan, seperti kesalahan dalam pencatatan ataupun pengukuran.
33
Alternatif yang dapat dilakukan pada analisis regresi untuk mengatasi adanya pencilan pada data yaitu menggunakan metode regresi kekar. Regresi kekar bertujuan untuk mengakomodasi adanya keanehan data serta menekan pengaruhnya terhadap hasil analisis tanpa terlebih dahulu melakukan identifikasi terhadap data yang aneh [2]. Metode regresi kekar yang resisten terhadap pengaruh pencilan-y salah satunya adalah metode biweight Tukey atau disebut juga dengan metode penimbang ganda Tukey yang merupakan salah satu anggota dari penduga-M [7]. Penduga-M ini diselesaikan dengan iterasi yang memiliki fungsi penimbang dan fungsi objektif. Metode Least Absolute Deviations(LAD) atau metode simpangan mutlak terkecil merupakan metode kekar lainnya yang juga dapat mengatasi pengaruh pencilany dengan baik [1]. Metode LAD merupakan perbaikan dari MKT dengan memanfaatkan konsep meminimumkan jumlah mutlak dari sisaannya . Secara konsep LAD tidak lebih rumit dibandingkan MMKT, namun secara komputasi metode LAD lebih kompleks dibandingkan MKT karena menggunakan iterasi. Selain kedua metode tersebut, metode Theil yang merupakan salah satu metode nonparametrik juga dikaji pada penelitian ini karena merupakan salah satu metode kekar yang baik digunakan untuk mengatasi pengaruh pencilan karena tidak memerlukan asumsi-asumsi kenormalan [10]. Metode Theil menggunakan konsep peringkat dan memanfaatkan median sebagai ukuran kekekarannya. Selain dengan kajian simulasi ini, penelitian juga diaplikasikan pada data riil untuk dilakukan analisis lebih lanjut. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan performa metode regresi kekar biweight Tukey, LAD, dan Theil dalam menduga parameter regresi linier sederhana pada berbagai persentase pencilan dan berbagai ukuran contoh. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
1.A. Pencilan Pencilan merupakan nilai ekstrim dari suatu pengamatan. Seperti telah disebutkan pada latar belakang, pencilan dapat dideteksi dengan melihat amatan yang memberikan sisaan baku yang besar yaitu:
Dengan
34
i
: pengamatan ke-i
ri
: sisaan yang dibakukan ke-i
ei
: sisaan ke-i dengan formula ei = yi − yˆi
KTG
: ragam sisaan.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Suatu amatan dikatakan pencilan jika memberikan nilai mutlak sisaan baku lebih besar dari dua [5]. Keberadan pencilan perlu ditinjau lebih lanjut karena pencilan bisa saja mengganggu proses analisis data, namun pembuangan amatan yang diidentifikasi sebagai pencilan bukanlah prosedur yang bijaksana, karena adakalanya pencilan memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh amatan lain [2].
2.B. Regresi Kekar 1) Metode Penimbang Ganda Tukey (biweight Tukey):
Metode biweight Tukey merupakan bagian dari pendugaM yang komputasinya menggunakan IRLS (Iteratively Reweighted Least Square). Selain biweight Tukey, Huber dan kuadrat terkecil juga dapat digunakan sebagai fungsi penimbang. Huber memiliki fungsi penimbang yang monoton dan tidak memberikan bobot pada residu yang besar seperti pada kuadrat terkecil. Sedangkan biweight Tukey, memiliki penurunan yang halus, artinya fungsi penimbangnya asimptotik ke nol [6]. Pada metode biweight Tukey ini terdapat fungsi penimbang dan fungsi objektif. Fungsi penimbang yang disarankan oleh Tukey yaitu bisquare weight (penimbang kuadrat ganda) atau biweight (penimbang ganda) dengan fungsi penimbang (w) yaitu: Pada metode biweight Tukey ini terdapat fungsi penimbang dan fungsi objektif. Fungsi penimbang yang disarankan oleh Tukey yaitu bisquare weight (penimbang kuadrat ganda) atau biweight (penimbang ganda) dengan fungsi penimbang (w) yaitu:
dan fungsi objektif biweight Tukey yaitu:
Nilai k disebut juga dengan konstanta tuning atau tuning constant. Nilai yang lebih kecil dari k akan lebih bersifat tahan atau kekar terhadap pencilan. Konstanta tuning pada metode tertimbang ganda ini bernilai k=4.685σ, dengan σ adalah simpangan baku dari sisaan yang akan menghasilkan efisiensi 95% ketika sisaan menyebar normal, serta tetap menawarkan ketahanan terhadap pencilan [2].
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
35
2) Metode Simpangan Mutlak Terkecil (LAD):
LAD dikembangkan pertama kali oleh Roger Joseph Boscovich pada tahun 1957. Metode ini merupakan alternatif dari MKT dengan meminimumkan jumlah mutlak sisaan atau
untuk mendapatkan dugaan kemiringan garis (β1) dan
dugaan intersep (β0). Namun, tidak ada formula yang pasti untuk mendapatkan dugaan koefisien kemiringan garis regresinya, sehingga diperlukan metode algoritma untuk mendapatkannya. Algoritma ini dimulai dari data poin (x1, y1) dan mencari garis regresi terbaik yang melaluinya, selanjutnya garis yang melalui (x1, y1) juga akan melalui data poin yang lain (x2,y2) lalu dicari garis regresi terbaik yang melaluinya. Begitu seterusnya algoritma ini trus berlangsung, lalu akan dicari garis regresi yang terbaik yang sama dengan garis sebelumnya. Garis terbaik inilah yang disebut dengan garis regresi LAD [10]. LAD menggunakan konsep metode EM dan iterasinya menggunakan IRLS (Iteratively Reweighted Least Square). Metode EM terdiri dari dua tahap yaitu E (expectation) dan M (maximization). Adanya sifat iterasi ini membuat algoritma metode LAD menjadi lebih kompleks dan memerlukan waktu lama dalam komputasinya, namun memberikan hasil yang kekar terhadap adanya pencilan [11]. Prosedur LAD dikembangkan untuk mengurangi pengaruh dari pencilan-y pada metode kuadrat terkecil, karena pada metode ini tidak menggunakan sisaan yang dikuadratkan [1]. 3) Metode Theil:
Metode Theil adalah salah satu prosedur nonparametrik yang diharapkan memberikan hasil yang lebih baik tanpa memperhatikan sebaran dari galat [9]. Pada pendugaan koefisien kemiringan garis regresinya, Theil (1950) dalam [4] mengusulkan koefisien kemiringan garis regresi sebagai median kemiringan dari seluruh pasangan garis dari titik-titik dengan nilai peubah penjelas (X) yang berbeda. Tahap pertama yang dilakukan pada Metode Theil adalah mengurutkan data (xi,yi) berdasarkan besarnya nilai x mulai dari nilai terkecil hinga nilai yang terbesar, sehingga diperoleh x1 < x2 < x3 < ... < xn. Sebelum mendapatkan nilai penduga dari β1, terlebih dahulu menghitung semua nilai bij, dengan bij adalah koefisien kemiringan setiap pasangan garis (xi,yi) dan (xj,yj) yang dirumuskan sebagai berikut:
dengan: bij : kemiringan garis dari pasangan (xi,yi) dan (xj,yj) i : 1, 2, ..., n-1, j : 2, 3, ..., n.
36
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Maka untuk n pengamatan ada sebanyak n
nilaibij yang berbeda.
Penduga koefisien kemiringan garis regresi (β1) dinotasikan dengan βˆ1 dan dinyatakan sebagai median dari bij, yang dirumuskan sebagai berikut: βˆ1 = median(bij) Sedangkan untuk dugaan koefisien intersepnya (βˆ0) terdapat beberapa peneliti terdahulu yang telah memformulasikannya, seperti yang telah dilakukan oleh Mutan [9] dengan formula sebagai berikut: βˆ0 = median (yi − βˆ1xi) dengan: i: observasi ke- 1, 2, ..., n.
3.C. Ukuran Kebaikan 1) Kuadrat Tengah Galat: Penduga yang baik adalah penduga yang memiliki nilai
bias dan ragam minimum. Kuadrat tengah galat (KTG) merupakan salah satu kriteria evaluasi penduga pada suatu metode. Semakin kecil nilai KTG dari suatu penduga, maka semakin baik penduga parameternya [9]. Nilai MSE dapat ditentukan dengan persamaan berikut: MSE(βˆ) = var(βˆ) + [bias(βˆ)]2 dengan: MSE(βˆ): KTG penduga parameter var(βˆ): ragam penduga parameter bias(βˆ): selisih dugaan parameter dengan parameternya (βˆ − β).
2) Median Absolute Deviance (MAD): Pencilan bukanlah hal yang baru bagi seorang
ilmuwan, namun tidak banyak peneliti yang menggunakan metode yang tidak sesuai ketika adanya pencilan. Seperti nilai mean dan standar deviasi yang digunakan untuk mendeteksi pencilan. Namun terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan mean sebagai indikator pemusatannya. Pertama, diasumsikan bahwa sebarannya adalah normal (termasuk pencilan). Kedua, mean dan standar devasi sangat kuat terpengaruh oleh pencilan. Ketiga, metode ini sangat tidak suka untuk mendeteksi pencilan pada ukuran contoh kecil. Sebagai alternatifnya digunakanlah Median Absolute Deviation (MAD) yang baik untuk mendeteksi adanya pencilan namun jarang digunakan oleh peneliti. MAD ditemukan dan dipopulerkan oleh Hampel pada tahun 1974. Median yang digunakan pada konsep MAD ini sama halnya dengan konsep yang digunakan pada
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
37
mean yaitu sebagai indikator pemusatan, namun median memberikan keuntungan yang lebih dengan memiliki sifat yang tidak sensitif terhadap kehadiran pencilan. Metode yang memiliki nilai MAD yang lebih adalah metode yang lebih baik. MAD dirumuskan sebagai berikut [8]: MAD = bMi(|xi − Mj(xj)|) dengan: xj : amatan asli sebanyak n Mi : median dari serangkaian data b : suatu konstanta yaitu 1/quantil (3/4) dari suatu sebaran data.
3.
METODOLOGI
4.A. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil simulasi dengan parameter regresi β0 dan β1 yang telah ditentukan. Data peubah penjelas (X) ditetapkan dari vektor dengan pertambahan yang sama sebesar satu (xi = 1, 2..., n), sehingga nakan menyesuaikan dengan banyaknya ukuran contoh. Sisaan dibangkitkan dari sebaran Normal(µ,σ) kemudian digunakan untuk mencari peubah respon dengan persamaan Yi = β0 + β1Xi + εi. Banyak pengamatan (n) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20, 40, dan 100 dengan masing-masing persentase pencilan yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30%. Proses simulasi dilakukan menggunakan perangkat R versi 3.3.1. Selain simulasi dilakukan pula evaluasi pendugaan parameter regresi pada data riil yang diperoleh dari Aunuddin (1989) mengenai pengaruh tahun (1950 hingga 1973) terhadap jumlah sambungan telepon internasional di Belgia, serta data yang diperoleh dari Chatterjee Hadi (2006) mengenai pengaruh tinggi bukit (kaki) terhadap waktu pendakian (detik).
5.B. Prosedur Analisis Data Tahapan yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1)
Menetapkan nilai β0 dan β1, yaitu β0 = 10 dan β1 =2.
2)
Menetapkan nilai-nilai peubah penjelasnya (xi = 1, 2..., n), sebanyak ukuran contohnya n = 20, 40, dan 100.
3)
Menentukan banyaknya persentase pencilan pada setiap n, yaitu 0%, 5%, 10%, 20%, dan 30%.
38
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
4)
Membangkitkan galat1 yang menyebar Normal (0,2) sebanyak n*(1-p), dengan p adalah besarnya persentase pencilan.
5)
Membangkitkan galat2 yang menyebar Normal (0,2) sebanyak n*p yang dikalikan dengan suatu konstanta yaitu 15, dengan p adalah besarnya persentase pencilan.
6)
Menghitung peubah respon dengan menggunakan model regresi, yaitu yi = β0 + β1xi + εi.
7)
Melakukan eksplorasi data untuk melihat banyaknya pencilan dengan diagram pencar.
8)
Mengulangi langkah 4 sampai 8 sebanyak 1000 kali.
9)
Melakukan pendugaan parameter dengan metode biweight Tukey, LAD, dan Theil.
10) Menghitung ragam pendugaan, bias mutlak, dan nilai KTG. 11) Membandingkan hasil yang diperoleh dari tiga metode berdasarkan nilai ragam
penduga parameter, bias mutlak, dan KTG dari pendugaan. Selanjutnya, tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian untuk data riil adalah sebagai berikut: 1)
Menentukan peubah bebas (X) dan peubah respon (Y) dari data riil.
2)
Melakukan eksplorasi data untuk melihat banyaknya pencilan.
3)
Menduga parameter dengan biweight Tukey, LAD, dan Theil. Mengevaluasi ketiga metode berdasarkan nilai-nilai koefisien regresi dan nilai
MAD yang dihasilkan.
4.
HASIL PENELITIAN
A. Eksplorasi Data Simulasi Ukuran pencilan yang digunakan dalam simulasi ini yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30% yang dikaji untuk berbagai ukuran contoh 20, 40, dan 100. Plot tebaran antara peubah penjelas dan peubah respon dari sebagian data yang digunakan disajikan pada Gambar 1. Tebaran pebah penjelas dan peubah responnya menunjukkan pola garis yang linier untuk setiap persentase pencilannya, dan adanya pencilan dideteksi dengan titik-titik amatan yang berada diluar pola garis utama. Sehingga, model garis regresi linier cocok digunakan pada kajian simulasi ini.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
39
B. Performa Penduga Kemiringan Garis Performa kemiringan garis bagi suatu analisis regresi merupakan koefisien yang penting untuk di interpretasikan dibandingkan performa koefisien regresi yang lain. Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan performa dugaan bagi kemiringan garis βˆ1 melalui berbagai kriteria evaluasi yaitu nilai bias, ragam, serta nilai kuadrat tengah galat (KTG) untuk ukuran contoh kecil (n=20) dan ukuran contoh besar (n=100). Pada penelitian ini, penggunaan nilai bias menggunakan nilai bias mutlak untuk mempermudah mengakomodir nilai bias yang under atau over estimate. Penetapan nilai awal β1 = 2 membuat nilai-nilai dugaan kemiringan garisnya terlihat sangat kecil sekali mendekati nol. Bahkan bila ditetapkan dua angka dibelakang koma, nilai-nilai dugaanya banyak yang berada pada nilai 0.00, sehingga untuk melihat perbedaannya dibuatlah empat angka desimal. Nilai yang sangat kecil ini disebabkan oleh pergeseran kemiringan garis regresinya yang sedikit. Namun, jika ditetapkan nilai β1 yang lebih besar lagi, maka akan mendapatkan nilai-nilai dugaan yang semakin besar pula. Ketiga metode kekar pada penelitian ini akan dilihat performanya apabila suatu data terdapat pencilan, dengan
Gambar 1. Tebaran data simulasi untuk ukuran contoh 20 pada berbagai persentase pencilan
40
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
persentase pencilan yang berbeda-beda. Jadi, seberapa besar metode-metode ini dapat mengatasi pengaruh dari pencilan apabila pencilan pada suatu data semakin bertambah, dan ingin dilihat pula pengaruh dari ukuran contoh terhadap dugaan koefisien regresinya. Suatu penduga yang baik adalah penduga yang memiliki nilai bias terkecil dan ragam terkecil. Metode biweight Tukey atau penimbang ganda Tukey dapat mengakomodir pencilan yaitu ketika persentase pencilan sebesar 10% dan 30%, artinya metode ini memiliki nilai bias mutlak terkecil dan ragam terkecil untuk pencilan 10%, namun ketika pencilan naik menjadi 30% metode Tukey ini tetap memiliki bias terkecil tetapi memiliki ragam yang paling besar. Ketika ukuran contoh diperbesar menjadi 100, metode biweight Tukey menjadi sangat baik dalam mengatasi pencilan, bahkan sampai pencilan diperbesar menjadi 30%. Sedangkan metode LAD tidak pernah memiliki nilai ragam terkecil, bahkan hampir di semua persentase pencilan memiliki ragam yang terbesar. Hal ini pun tidak berubah ketika ukuran contohnya diperbesar. Begitu pula halnya dengan metode nonparametrik Theil yang tidak pernah memiliki nilai bias mutlak tekecil dan ragam terkecil, kecuali saat pencilan 30%. Ketika ukuran contoh diperbesar, metode ini juga tidak memberikan hasil yang baik dalam mengatasi pengaruh dari pencilan, terlihat dari nilai bias dan ragamnya yang terbesar. Suatu penduga dengan proses simulasi jarang sekali bahkan tidak pernah ditemukan suatu penduga yang benar-benar tak berbias. Hal ini dapat didekatkan dengan memilih nilai bias yang terkecil dengan ragam terkecil. Penyebab ini yang memunculkan adanya kuadrat tengah galat bagi suatu
Tabel I KRITERIA EVALUASI PENDUGA KEMIRINGAN GARIS (β1= 2) UNTUK N=20 Metode
Bias
Ragam
KTG
mutlak Persentase pencilan = 0 %
Biweight Tukey
-5.2302
-7.7366
-6.7981
LAD
0.1098
0.1564
0.1387
Theil
0.1117
0.3318
0.2125
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
41
Persentase pencilan = 10 %
Biweight Tukey
0.0007
0.0105
0.0105
LAD
0.0032
0.0176
0.0177
Theil
0.0009
0.0162
0.0162
Persentase pencilan = 20 %
Biweight Tukey
0.0025
0.0333
0.0333
LAD
0.0018
0.0408
0.0408
Theil
0.0020
0.0354
0.0354
Persentase pencilan = 30 %
Biweight Tukey
0.0135
0.2035
0.2037
LAD
0.0138
0.1298
0.1300
Theil
0.0167
0.0833
0.0836
Tabel II KRITERIA EVALUASI PENDUGA KEMIRINGAN GARIS (β1= 2) UNTUK N=100 Metode
Bias
Ragam
KTG
mutlak Persentase pencilan = 0 %
Biweight Tukey
0.0001
0.0001
0.0001
LAD
0.0001
0.0001
0.0001
Theil
0.0001
0.0001
0.0001
Persentase pencilan = 10 %
Biweight Tukey
42
0.0001
0.0001
0.0001
LAD
0.0001
0.0001
0.0001
Theil
0.0001
0.0001
0.0001
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Persentase pencilan = 20 %
Biweight Tukey
0.0001
0.0002
0.0002
LAD
0.0002
0.0003
0.0003
Theil
0.0003
0.0003
0.0003
Persentase pencilan = 30 %
Biweight Tukey
0.0015
0.0005
0.0005
LAD
0.0015
0.0007
0.0007
Theil
0.0015
0.0006
0.0006
dugaan. Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3 untuk mempermudah pembaca dalam melihat kriteria evaluasi KTG yang nilai-nilainya tertera secara lengkap pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Gambar 2. Performa kuadrat tengah galat bagi dugaan kemiringan garis regresi untuk n=20
Gambar 3. Performa kuadrat tengah galat bagi dugaan kemiringan garis regresi untuk n=100 Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat performa dari kuadrat tengah galat yang berbeda-beda dari ketiga metode kekar yang dikaji pada penelitian ini. Terlihat bahwa ketiga metode tersebut memiliki pola yang sama, artinya semakin meningkatnya persentase
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
43
pencilan maka nilai KTG dugaannya akan semakin meningkat pula. Terlihat peningkatan yang drastis ketika persentase pencilan terbesar yaitu 30%. Selain dilihat dari polanya, dapat dilihat pula bahwa semakin bertambahnya ukuran contoh maka nilai-nilai dugaan KTG akan semakin mengecil. Hal ini berhubungan dengan konsep konsistensi suatu penduga. Penduga yang konsisten adalah penduga yang memiliki nilai dugaan parameter atau dugaan statistiknya yang semakin mendekati parameternya apabila ukuran contoh bertambah. Metode biweight Tukey merupakan metode penduga yang memiliki nilai KTG terkecil untuk ukuran contoh 100, serta ketika persentase pencilan bertambah. Namun, saat pencilan terbesar 30%, metode ini menunjukkan performa yang tidak baik untuk ukuran contoh 20 karena memiliki nilai KTG terbesar dibandingkan kedua metode lainnya. Metode Theil juga menunjukkan performa yang cukup baik saat ukuran contoh yang kecil, bahkan memiliki KTG terkecil saat pencilan 30%. Metode lainnya yaitu LAD menunjukkan performa yang paling jelek, terutama untuk ukuran contoh besar. Sedikit membahas ketiga metode tersebut pada ukuran contoh sedang yaitu n=40, metode Theil memiliki performa nilai bias mutlak dan ragam yang baik pada ukuran pencilan tertinggi 30%, sedangkan metode biweight Tukey hampir pada semua ukuran pencilan memiliki performa yang baik, namun tidak untuk pencilan 30%. Berbeda dengan yang lainnya metode LAD selalu menunjukkan performa yang jelek. C. Performa Penduga Intersep Parameter β0 pada analisis regresi menunjukkan titik perpotongan antara garis regresi dengan sumbu y saat x bernilai nol. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan beberapa kriteria kebaikan dari penduga intersep untuk ukuran contoh terkecil 20 dan ukuran contoh tebesar 100. Sedangkan untuk ukuran contoh yang sedang yaitu 40 akan dibahas sekilas pada pembahasan ini. Nilai-nilai pada Tabel 3 dan Tabel 4 memperlihatkan nilai-nilai dugaan yang lebih besar dibandingkan nilai-nilai dugaan pada penduga kemiringan garis regresi. Hal ini disebabkan karena penentuan nilai awal intersep yang besar yaitu 10, sehingga nilai-nilai dugaannya akan cenderung besar pula. Pada ukuran contoh terkecil ini, metode Theil memiliki performa yang baik dengan memiliki bias mutlak terkecil saat persentase pencilan 0% dan 10%. LAD memiliki nilai bias mutlak terkecil untuk pencilan 20% dan 30%. Sedangkan, metode biweight Tukey memiliki nilai bias mutlak terbesar saat pencilan 20% dan 30%. Namun, metode ini memiliki ragam terkecil untuk semua pencilan, kecuali saat pencilan terbesar yaitu 30%. Kemudian, saat ukuran contoh bertambah menjadi 100, metode biweight Tukey merupakan penduga paling efisien karena memiliki ragam yang paling minimum.
44
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Saat suatu penduga terkadang memiliki bias terkecil namun ragam terbesar, dalam penentuan penduga yang terbaik yang akan dipilih dapat dilihat dengan menggunakan kriteria kuadrat tengah galat (KTG). Seperti pada ketiga metode tersebut, terkadang metode LAD memiliki nilai bias terkecil, namun ragam terkecil dimiliki oleh metode biweight Tukey. Kriteria evaluasi KTG dapat digunakan untuk membantu peneliti dalam penentuan metode mana yang lebih baik untuk dipilih. Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan performa ketiga metode biweight Tukey, LAD, dan Theil melalui nilainilai KTG-nya. Berdasarkan hasil Gambar 4 dan Gambar 5 diatas, memiliki karakteristik pola yang sama dengan dugaan KTG pada kemiringan garis regresi. Metode biweight Tukey memiliki nilai-nilai KTG yang lebih kecil dibandingkan kedua metode lainnya, terutama untuk ukuran contoh besar pada berbagai persentase pencilan. Namun, saat pencilan 30% ukuran contoh terkecil metode biweight Tukey ini memiliki KTG terbesar. Metode kedua yang lebih baik yaitu metode Theil, dilanjut dengan metode LAD. Tabel III KRITERIA EVALUASI PENDUGA INTERSEP (β0= 10) UNTUK N=20 Metode
Bias Ragam Mutlak
KTG
Persentase pencilan = 0 %
Biweight Tukey
0.02240.9533
0.9538
LAD
0.02241.3408
1.3414
Theil
0.00931.0320
1.0321
Persentase pencilan = 10 %
Biweight Tukey
0.03021.1131
1.1140
LAD
0.04751.7489
1.7512
Theil
0.02231.5368
1.5373
Persentase pencilan = 20 %
Biweight Tukey
0.02331.9379
1.9385
LAD
0.00512.4560
2.4561
Theil
0.00862.1509
2.1510
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
45
Persentase pencilan = 30 %
Biweight Tukey
0.08217.8175
7.8243
LAD
0.07325.5767
5.5821
Theil
0.10183.5741
3.5844
Tabel IV KRITERIA EVALUASI PENDUGA INTERSEP (β0= 10) UNTUK N=100 Metode
Bias Ragam Mutlak
KTG
Persentase pencilan = 0 %
Biweight Tukey
0.0189
0.1708
0.1711
LAD
0.0083
0.2462
0.2463
Theil
0.0194
0.1916
0.1919
Persentase pencilan = 10 %
Biweight Tukey
0.0134
0.1895
0.1897
LAD
0.0158
0.3076
0.3079
Theil
0.0115
0.2713
0.2714
Persentase pencilan = 20 %
Biweight Tukey
0.0033
0.2634
0.2634
LAD
0.0041
0.4400
0.4400
Theil
0.0072
0.3923
0.3924
Persentase pencilan = 30 %
Biweight Tukey
46
0.0302
0.5326
0.5335
LAD
0.0257
0.6971
0.6977
Theil
0.0332
0.5749
0.5760
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Gambar 4. Performa kuadrat tengah galat bagi dugaan intersep untuk n=20
Gambar 5. Performa kuadrat tengah galat bagi dugaan intersep untuk n=100 Sekilas membahas ukuran contoh sedang yaitu ukuran contoh 40 untuk nilai bias mutlak dan ragam penduga intersep, terlihat bahwa metode LAD tidak pernahmenunjukan performa nilai bias mutlak ragam yang baik. Sedangkan metode Theil menunjukan performa yang cukup baik pada pencilan tertinggi yaitu 30%. Metode bitweight Tukey menunjukan performa yang paling baik, namut tidak untuk pencilan yang paling ekstrim yaitu 30%. D. Penerapan pada Data Riil Terdapat dua data riil yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pertama data mengenai jumlah sambungan telepon internasional per tahun di Belgia (sebagai peubah respon) dengan peubah tahun mulai 1950 hingga 1973 (sebagai peubah penjelas). Data yang kedua yaitu data mengenai pengaruh ketinggian bukit (sebagai peubah penjelas) terhadap waktu pendakian (sebagai peubah respon) pada 35 bukit di Skotlandia. Kedua data riil ini memiliki kasus yang berbeda terhadap adanya pencilan. Pada data riil pertama, terdapat pencilan-y yang menggerombol diatas dan diperkirakan terdapat sekitar 25% data yang teridentifikasi sebagai pencilan, yaitu antara tahun 1964 hingga 1969. Sedangkan, pada data riil yang kedua amatan yang teridentifikasi sebagai pencilan-y menyebar diatas dan bawah, seperti perlakuan yang diberikan pada tahapan simulasi.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
47
1. Data Riil Kasus Pertama: Pada eksplorasi data menggunakan diagram pencar padaGambar 6 dapat dilihatbahwa koefisien garis regresi biweight Tukey, LAD, dan Theil tidak begitu tertarik kearah pencilan yang menggerombol diatas tersebut. Hal ini memperlihatkan kekekaran ketiga metode tersebut terhadap adanya pencilan pada data. Namun, dari ketiga metode tersebut, metode yang tidak bergeser sama sekali, artinya tetap mengikuti pola garis utamanya adalah metode biweight Tukey. Hasil ini didukung pula oleh kriteria-kriteria evaluasi yang ditunjukkan pada Tabel 5 yang memperlihatkan bahwa metode yang memiliki nilai MAD terkecil adalah metode biweight Tukey. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kasus pertama ini, metode biweight Tukey menunjukkan metode yang paling baik dalam mengatasi pengaruh dari pencilan-y ketika semua pencilannya berada diatas garis regresi utama.
Gambar 6. Hubungan antara tahun dengan jumlah sambungan telepon di Belgia
Tabel V KRITERIA EVALUASI REGRESI BERDASARKAN TIGA METODE KASUS 1 Kriteria
LAD
Theil
b0
-5.2302
-7.7366
-6.7981
b1
0.1098
0.1564
0.1387
0.1117
0.3318
0.2125
MAD
48
Biweight Tukey
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
2. Data Riil Kasus Kedua: Pada kasus kedua ini, terlihat pola tebarannya lebih menyebar dibandingkan pada kasus pertama. Terdapat tiga amatan yang mencurigakan, yang menjauh dari pola garis utamanya yaitu amatan ke-7, ke11, dan amatan ke -18. Berdasarkan data yang tersedia, amatan tersebut masing-masing adalah bukit bens of jura, bukit lairig ghru, serta bukit knock Hill. Dari ketiga amatan ini artinya terdapat sekitar 8% data tersebut mengandung pencilan. Amatan ke-18 kuat teridentifikasi sebagai pencilan karena letaknya yang jauh sekali dari pola garis utamanya, sedangkan amatan ke-7 dapat dianggap sebagai amatan berpengaruh karena masih berada di sekitar pola garis uama regresi. Berdasarkan garis regresinya, dapat dilihat bahwa ketiga metode tersebut memiliki kemiringan garis regresi yang tidak jauh berbeda, terutama terlihat untuk garis regrsi LAD dan Theil. Sedangkan garis regresi metode biweight Tukey sedikit terlihat perbedaannya pada nilai b1 dan b0 yang dapat dilihat pada Tabel 6 dan garis ini berada disebelah kiri dari pencilan. Jika dilihat dari kedua kasus pada data riil ini, saat suatu data mengandung pencilan, terutama pencilany, baik pencilannya berada diatas garis regresi utama maupun berada diatas dan bawah atau dengan kata lain menyebar, metode yang paling baik dalam mengatasi pencilan tersebut adalah metode biweight Tukey.
Gambar 7. Hubungan antara jarak (ketinggian bukit) dengan waktu pendakian
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
49
Tabel VI KRITERIA EVALUASI REGRESI BERDASARKAN TIGA METODE KASUS 2 Kriteria
Biweight Tukey
Theil
b0
-232.3145
-481.3636
-405
b1
448.2012
481.6364
474
382.7052
380.7273
373
MAD
5.
LAD
KESIMPULAN & SARAN
A. Simpulan Performa metode analisis dalam menangani pencilan yang dikaji dalam penelitian ini berbeda-beda. Metode terbaik dalam menangani pengaruh dari pencilan-y melalui kajian simulasi adalah metode biweight Tukey, terutama untuk ukuran contoh sedang dan besar yaitu 40 dan 100 dengan persentase pencilan dibawah 30%. Dua metode lainnya yaitu Theil dan LAD menunjukkan suatu penduga yang cukup baik dalam mengatasi pencilan untuk ukuran contoh kecil, dengan persentase pencilan paling besar yang baik untuk metode Theil, dan pencilan berukuran kecil untuk LAD. Pada kajian aplikasi terhadap data riil, ada kecenderungan bahwa metode biweight Tukey juga lebih baik daripada kedua metode lainnya. B. Saran Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan mengembangkan metode kekar lainnya pada analisis regresi berganda yang lebih kompleks.
6.
DAFTAR PUSTAKA
N.H. Al-Noor, A.A. Mohammad, “Model of regression with parametric and nonparametric methods”, Mathematical Theory and Modelling, vol. 3, no. 5. 2013. Aunuddin, Analisis Data.
Bogor (ID): IPB Press. 1989.
S. Chatterjee, A.S. Hadi, Regression Analysis by Example. Ed ke-4. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc. 2006. W.W. Daniel, Applied Nonparametric Statistics. Ed ke-2. Boston (US): PWS-KENT Publishing Company. 1990.
50
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
N. Draper, H. Smith, Analisis Regresi Terapan. Ed ke-2. B. Sumantri, penerjemah. Terjemahan dari: Applied Regression Analysis. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. 1992. N. Hajarisman, “Algoritma pendugaan model regresi kekar melalui penduga-M”, Jurnal Mat Stat, vol. 11, no. 1, page 63-74. 2011. K. Kafadar, “The efficiency of the biweight as a robust estimator of location”, Journal of Research of The National Bureau of Standards, vol. 88, no. 2. 1983. C. Leys, C. Ley, O. Klein, P. Bernard, L. Licata, “Detecting outliers: do not used standard deviation around the mean, used absolute deviation around the median”, Journal of Experimental Sosial Psychology, vol. 30, no. 3. 2013. O.C. Mutan, “Comparison of regression techniques via monte carlo simulation”. [tesis]. Turki: Middle East Technical University. 2004 O.C. Mutan, “A monte carlo comparison of regression estimators when the error distribution is long tailed symmetric”, Journal of Modern Applied Statistical Methods, vol. 8, no. 1, page 161-172. 2009. R.F. Phillips, “Least absolute deviations estimation via the EM algorithm”, Statistics and Computing, vol. 12, page 281285. 2002. D.K. Srivastava, J. Pan, I. Sarkar, G.S. Mudholkar, “Robust winsorized regression using bootstrap approach”, Communication in Statistics Simulation and Computation, vol. 30, no. 1, page 45-67, doi: 10/1080/03610910903308423. 2010.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
51
BIAStatistics (2016) Vol. 10, No. 1, hal. 52-63
PREMI ASURANSI DENGAN SISTEM BONUS MALUS OPTIMAL Lienda Noviyanti1, Achmad Zanbar Soleh2 dan Budhi Handoko3 1 Departemen Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran Email :
[email protected]
ABSTRAK Sistem Bonus Malus (SBM) adalah sistem penentuanbesaran premi pada periode berikutnya yang didasarkan pada sejarah klaim pemegang polis. Pemegang polis yang pernah mengajukan klaim di periode sebelumnya akan memperoleh kenaikan premi (malus) pada periode berikutnya dan sebaliknya, jika tidak mengajukan klaim maka akan memperoleh penurunan premi (bonus).Biasanya BMS diterapkan pada pemegang polis yang loyal terhadap satu perusahaan asuransi selama beberapa periode. Penelitian ini menggunakan pendekatan bayesian untuk memperoleh fungsi densitas posterior dari parameter rata-rata banyak klaim dan parameter rata-rata besar klaim dari seorang pemegang polis. Selanjutnya besar premi optimal untuk periode berikutnya diperoleh dengan mengasumsikan frekuensi klaim berdistribusi Geometri dan besar klaim berdistribusi Weibull. Bonus dan malus diberikan sesuai dengan lama periode proteksi asuransi, frekuensi klaim, dan juga besar klaim.
Keywords: SBM Optimal, Pendekatan Bayesian, Distribusi Frekuensi Klaim, dan distribusi Besar Klaim. 1.
PENDAHULUAN
Asuransi kendaraan bermotor merupakan salah satu cabang dari asuransi non jiwa.Diberbagai negara, asuransi kendaraan bermotor merupakan peraih pendapatan total premi yang terbesar (Kaas et al., 2001). Indonesia termasuk ke dalam negara yang memperoleh total premi asuransi terbesar dari cabang asuransi kendaraan bermotor.Salah satu faktor pendorong yang menyebabkan industri asuransi kendaraan bermotor berkembang pesat adalah adanya peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahun. Mulai tahun 2104, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan ketentuan mengenai tarif premi asuransi kendaraan bermotor. Bila sebelumnya masing-masing perusahaan asuransi bebas menentukan tarif premi asuransi mobil, maka sejak tahun 2014 seluruh tarif premi asuransi kendaraan bermotor seluruh perusahaan asuransi di Indonesia mengacu kepada aturan baru tersebut, yang salah satunya dapat dilihat pada Tabel 1. Dengan telah ditetapkannya ketentuan tarif premi OJK tersebut maka tarif premi asuransi mobil seluruh perusahaan asuransi menjadi sama, sehingga diharapkan tidak ada lagi perang tarif yang pada akhirnya akan merugikan kesehatan keuangan dari perusahaan asuransi itu sendiri. Ketetapan ini membuat tarif premi menjadi lebih mahal, tapi dampak positifnya ialah kompetisi perusahaan asuransi bukan didasarkan pada harga premi tapi lebih di pelayanan klaim kepada pemegang polis.
52
Tabel 1: Tarif Premi Asuransi Kendaran Bermotor (Wilayah II) RateComprehensive Uang Pertanggungan Batas Batas (juta rupiah) Bawah Atas Kendaraan Non-Truck dan Non-Bus 1 0 s/d125 3.44% 3.78% 2 >125 s/d200 2.47% 2.72% 3 >200s/d 400 1.71% 1.88% 4 >400 s/d 800 1.20% 1.32% 5 >800 1.05% 1.16% Perpanjangan polis diberlakukan sebesar 10% Sumber: OJK Kategori (kelas)
Adapun yang menjadi fokus penelitian ini berdasarkan tabel tersebut adalah bahwa untuk tarif premi perpanjangan polis (renewal) diberlakukan sebesar 10%, tanpa memandang sejarah klaim pemegang polis.Yang haarus lebih dicermati adalah pada ketetapan tahun 2015, pemberlakuan perpanjangan polis tersebut ditiadakan. Hal ini menimbulkan ketidakadilan pada pemegang polis yang tidak mengajukan klaim pada periode sebelumnya. Sistem bonus malus (SBM) optimal merupakan sistem dalam asuransi yang memperhatikan pembagian kelas premi yang dipengaruhi oleh banyak klaim dan besar klaim yang diajukan pemegang polis tiap tahunnya. Pada SBM, disetiap awal periode pemegang polis membayarkan premi dengan besar premi yang sama, berdasarkan katagori / kelas masing-masing. Pada periode selanjutnya, apabila terjadi perpanjangan polis, terjadi perubahan pembayaran premi sesuai dengan pengalaman selama satu periode sebelumnya. Umumnya, persentase pemegang polis yang loyal tidak pernah mengajukan klaim cukup besar, maka sebaiknya dalam penentuan premi diterapkan sistem keadilan. Pada SBM, pemegang polis yang telah mengajukan satu atau lebih klaim akan dikenakan kenaikan premi (malus). sedangkan bagi pemegang polis yang tidak mengajukan klaim akan diberikan penghargaan berupa penurunan premi (bonus) di periode pembayaran berikutnya. Sistem SBM diperkenalkan pertama kali di Eropa awal tahun 1960. SBM sudah diterapkan di beberapa negara seperti Asia Timur, Eropa, Kenya dan Brazil, dimana tiap negara memiliki perbedaan sesuai dengan karakteristik masing-masing seperti jumlah kelas premi, aturan perpindahan kelas premi, dan besar persentase premi yang berbeda-beda. Menurut Lemaire (1985), setiap pemegang polis dari sebuah risk cell akan dibagi berdasarkan kelas bonus-malus dan riwayat klaim mereka, yang kemudian akan memodifikasi kelas tersebut ketika terjadi perpanjangan polis. Frangos dan Vrontos (2001) membuat sistem bonus-malus optimal, yaitu sistem yang sudah dimodifikasi sehingga bukan hanya frekuensi klaim saja yang digunakan, tetapi besar klaim dimasukkan juga ke dalam perhitungan serta menggunakan distribusi Eksponensial ( ) yang merepresentasikan rata-rata besar klaim. Parameter merupakan nilai dari peubah acak dengan distribusi Levy. Kombinasi dari dua distribusi ini membentuk distribusi baru, yaitu distribusi Weibull. (Weihong Ni et al., 2013). Mahmoudvand dan Hassani (2009) melanjutkan penelitian Frangos dan Vrontos (2001) dengan membuat sistem bonus-malus optimal tergeneralisasi. Mert dan Saykan (2005) menggunakan distribusi Pareto dengan alasan untukbesar klaim yang menggunakan distribusi lognormal, eksponensial, Weibull, ataupun gamma, hasilestimasinya terlalu besar atau terlalu kecil dari yang seharusnya. Umumnya, negara-negara yang tidak memberlakukan SMB, penentuan tarif premi hanya berdasarkan pada pemberian bonus bila tidak ada klaim selama periode sebelumnya dan bonus akan dihapus apabila ada klaim yang diajukan (Park, Lemaire dan Choong, 2010).
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
53
Di Nigeria, SBM dikelompokkan ke dalam beberapa state untuk kendaraan pribadi, sedangkan untuk kendaraan komersial dikelompokkan dalam duastate. Besar premi tidak hanya dilihat dari sisi frekuensi klaim, tetapi di tinjau dari besar nilai klaim, tingkat kerusakan (severity) kendaraan, dan penyusutan nilai kendaraan (depreciation). Distribusi yang digunakan adalah Poisson-Eksponential dan Poisson-Gamma. (Ibiwoye, et.al, 2011). Menurut Grandell (1997) distribusi Poisson secara luas digunakan dalam masalah asuransi untuk model proses klaim. Waktu klaim tidak bisa diprediksi karena kecelakaan terjadi dalam waktu yang berbeda-beda. Kejadian ini sifatnya relatif jarang jika dibandingkan dengan jumlah pemegang polis yang mengikuti asuransi. Ini menjadi gambaran untuk perusahaan asuransi yang memiliki ribuan nasabah akan memiliki peluang kecelakaan yang kecil. Peluang ini akan konvergen ke distribusi Poisson(λ). Seringkali parameter λ adalah nilai dari suatu peubah acak yang memiliki distribusi tertentu. Kombinasi dari dua distribusi ini membentuk distribusi baru, dikenal dengan distribusi Poisson campuran. Jika parameter λ nilai dari peubah acak yang memiliki distribusi Eksponensial, maka kombinasi distribusi ini adalah distribusi Geometri. (Mert & Saykan, 2005). Sesuai dengan eksplorasi data awal, penelitian ini menggunakan distribusi geometri untuk frekuensi klaim dan distribusi Weibull untuk besar klaim dalam menentukanbesar tarif premi dengan SBM Optimal pada asuransi kendaraan bermotor. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teorema Bayes Pendekatan Bayesian digunakan untuk mencari rata-rata posterior yang dianggap sebagai penduga premi risiko. Dalam membentuk rata-rata posterior digunakan fungsi likelihood untuk menganalisis data hasil observasi. Misalkan variabel acak X berdistribusi tertentu dengan parameter θ. Dengan probability distribution function (pdf) bersama f(x│θ) yang merupakan fungsi likelihood terhadap x_i, yaitu 𝑛
𝑓(𝑥 |𝜃 ) = ∏ 𝑓(𝑥𝑖 |𝜃)
(1)
𝑖=1
Dalam pendekatan bayes, parameter θ nilainya berubah-ubah sehingga disebut sebagai variabel acak. Fungsi distribusi peluang dari θ dinotasikan f(θ) yang dinamakan fungsi distribusi prior. Perkalian dari fungsi likelihood dan fungsi distribusi prior akan membentuk distribusi posterior f(θ│x). Secara aturan peluang, fungsi gabungan antara X dan θ, dinyatakan oleh 𝑓 (𝑥, 𝜃) = 𝑓 (𝑥|𝜃)𝑓 (𝜃).
(2)
Distribusi posterior yang terbentuk diperoleh dari 𝑓 ( 𝜃 |𝑥 ) =
𝑓 (𝑥, 𝜃) , 𝑓 (𝑥 )
(3)
sehingga diperoleh fungsi distribusi posterior sebagai berikut 𝑓 (𝜃 |𝑥) =
54
𝑓(𝑥|𝜃)𝑓(𝜃) , 𝑓(𝑥)
(4)
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
dengan 𝑓(𝑥) = ∫ 𝑓(𝑥|𝜃) 𝑓(𝜃)𝑑𝜃 merupakan fungsi densitas marjinal dari X. Untuk 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) perumusan (4) menjadi 𝑓 (𝜃|𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) =
𝑓(𝑥1 ,𝑥2 ,…,𝑥𝑛 |𝜃)𝑓(𝜃) ∫ 𝑓(𝑥1 ,𝑥2 ,…,𝑥𝑛|𝜃)𝑓(𝜃)𝑑𝜃
(5)
Rumus pada persamaan (4) bisa dituliskan sebagai berikut 𝑓 (𝜃|𝑥) = 𝑘𝑓(𝑥 |𝜃 )𝑓(𝜃)
(6)
Secara umum dari Persamaan (6) dapat disimpulkan bahwa Posterior likelihood x prior Metode-metode yang dapat digunakan pada SBM optimal terkait distribusi prior dan posterior dari beberapa peneliti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. SBM Berdasarkan Distribusi Frekuensi dan Besar Klaim
2.2 Distribusi Frekuensi Klaim Distribusi Poisson biasa digunakan untuk mendeskripsikan kejadian yang memiliki sifat acak dan independen, seperti frekuensi kecelakaan pada kendaraan bermotor. Frekuensi kecelakaan yang dialami seorang pemegang polis i pada periode t, dinotasikan dengan 𝐾𝑖𝑡 , diasumsikan berdistribusi Poisson (𝜆). Pdf dari poisson (𝜆) adalah 𝑃(𝐾𝑖𝑡 = 𝑘) =
𝑒 −𝜆 𝜆𝑘 , 𝑘 = 0,1,2, … 𝑘!
𝜆>0
(8)
dengan k adalah nilai dari variabel random K_i^t dan λ adalah parameter dari distribusi Poisson. Nilai parameterλ dapat ditaksir dengan rata-rata frekuensi klaim menggunakan metode maximum likelihood. Pada distribusi Poisson di atas diasumsikan semua pemegang polis mempunyai rata-rata frekuensi klaim yang sama. Jika variasi antar pemegang polis berbeda, maka diasumsikan parameter λ adalah nilai dari variabel random Λ yang mengikuti distribusi Poisson campuran.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
55
Apabila diasumsikan parameter λ adalah nilai dari variabel random Λ yang berdistribusi Eksponensial (θ), maka distribusi K^t adalah distribusi Geometri dengan parameter (θ/(1+θ)) (Mert & Saykan, 2005). Pdf dari Λ adalah 𝑢(𝜆) = 𝜃𝑒 −𝜆𝜃
dengan mean 𝐸(Λ) =
1 𝜃
𝜆 > 0, 𝜃 > 0,
dan variansi 𝑉𝑎𝑟(Λ) =
(9)
1 . 𝜃2
Berdasarkan Law of Total Probability, fungsi distribusi tidak bersyarat dari 𝐾 𝑡 menjadi ∞
𝜃
1
𝑃(𝐾 𝑡 = 𝑘) = ∫0 𝑃(𝐾𝑖𝑡 = 𝑘|𝜆)𝑢(𝜆)𝑑𝜆 = (1+𝜃) (1+𝜃 )
𝑘
(10)
Jadi, probabilitas banyak kecelakaan di suatu populasi pada periode tertentu, 𝐾 𝑡 , mengikuti distribusi Geometri( (1+𝜃) . 𝜃2
𝜃 ) 1+𝜃
dengan mean 𝐸(𝐾 𝑡 ) =
Parameter 𝜃 dari distribusi Geometri(
𝜃 ) 1+𝜃
1 𝜃
dan variansi 𝑉𝑎𝑟(𝐾 𝑡 ) =
dapat ditaksir dengan menggunakan
metode maximum likelihood.
2.3 Distribusi Besar Klaim Misalkan besar klaim yang dialami seorang pemegang polis i pada periode t, dinotasikan dengan 𝑋𝑖𝑡 , diasumsikan berdistribusi Eksponensial (𝜃). Pdf dan Cumulative distribution function (cdf) dari Eksponensial (𝜃) masing-masing adalah 𝑓(𝑋𝑖𝑡 = 𝑥|𝜃) = 𝜃𝑒 −𝜃𝑥 ,𝑥 ≥ 0, 𝜃 > 0,
(11)
dan 𝐹(𝑋𝑖𝑡 ≤ 𝑥|𝜃) = 1 − 𝑒 −𝜃𝑥 ,
(12)
dengan 𝑥 adalah nilai dari variabel random 𝑋𝑖𝑡 dan 𝜃 adalah parameter dari distribusi Eksponensial. Pada distribusi Eksponensial di atas diasumsikan semua pemegang polis mempunyai rata-rata besar klaim yang sama. Jika variasi antar pemegang polis berbeda, maka diasumsikan parameter 𝜃 adalah nilai dari variabel random 𝜃 ∗ yang mengikuti distribusi Levy, dimana pdf dari 𝜃 ∗ adalah 𝑓(𝜃) =
𝑐 2√𝜋𝜃
𝑒𝑥𝑝 (− 3
𝑐2 4𝜃
) 𝑐 ≥ 0, 𝜃 > 0.
(13)
Berdasarkan Law of Total Probability didapat fungsi distribusi tidak bersyarat dari 𝑋𝑡 menjadi ∞
𝐹(𝑋𝑡 ) = ∫0 𝐹(𝑋𝑖𝑡 ≤ 𝑥|𝜃)𝑓(𝜃)𝑑𝜃.
56
(14)
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Apabila persamaan (12) dan (14) disubstitusikan ke persamaan (14) akan diperoleh CDF tidak bersyarat dari x, sebagai berikut 𝐹(𝑋𝑡 ) = 1 − exp(−𝑐√𝑥)
𝑥 ≥ 0, 𝑐 > 0.
(15)
Parameter 𝑐 dari distribusi Weibull (𝑐, 0,5) dapat ditaksir dengan menggunakan metode maximum likelihood (Ni et al., 2013).
2.4 Estimasi Frekuensi Klaim periode t+1 Desain SBM melibatkan pdf posterior dari Λ untuk pemegang polis i pada periode 𝑗
t, dinotasikan dengan 𝐾𝑖𝑡 . Jika 𝐾𝑖𝑡 saling independenden, maka 𝐾 = ∑𝑡𝑗=1 𝐾𝑖 adalah total frekuensi kecelakaaan yang dialami seorang pemegang polis selama periode t. Pdf posterior dari Λ didapat dengan menerapkan teorema Bayes.Dengan mensubstitusikan persamaan (10) dan (11) ke persamaan(6), diperoleh fungsi densitas bersyarat 𝑓(𝜆|𝑘𝑖1 , 𝑘𝑖2 , … , 𝑘𝑖𝑡 ) =
𝑓(𝑘𝑖1 ,𝑘𝑖2 ,…,𝑘𝑖𝑡 |𝜆)𝑢(𝜆) ∫ 𝑓(𝑘𝑖1 ,𝑘𝑖2 ,…,𝑘𝑖𝑡 |𝜆)𝑢(𝜆)𝑑𝜆
( = ( 𝑓(𝜆|𝑘𝑖1 , 𝑘𝑖2 , … , 𝑘𝑖𝑡 ) =
𝑒 −𝜆𝑡 𝜆𝐾 ) (𝜃𝑒 −𝜆𝜃 ) 𝑘𝑖1 ! 𝑘𝑖2 ! … 𝑘𝑖𝑡 ! 𝜃Γ(𝐾 + 1) ) + 𝜃)𝐾+1
𝑘𝑖1 ! 𝑘𝑖2 ! … 𝑘𝑖𝑡 ! (𝑡
(𝑡+𝜃)𝐾+1 𝜆𝐾 𝑒 −𝜆(𝑡+𝜃) Γ(𝐾+1)
.
(16)
Pdf Posterior dari Λ adalah Gamma dengan parameterK+1 dan 𝑡 + 𝜃. Penentuan premi untuk seorang pemegang polis didapatkan dari ekspektasi frekuensi kecelakaan yang dialami pada periode sebelumnya. SBM akan menghasilkan estimator terbaik dengan diketahui sejarah kecelakaan selama t periode sebelumnya. 1 2 𝑡 Misalkan estimasi frekuensi klaim pada t+1 periode adalah 𝜆̂𝑡+1 𝑖 (𝑘𝑖 , 𝑘𝑖 , … , 𝑘𝑖 ). Nilai
estimasi dari ekspektasi frekuensi kecelakaan (𝜆̂), tentu akan berbeda dengan frekuensi kecelakaan yang sebenarnya (𝜆). Perbedaan ini dapat direpresentasikan dengan fungsi 2 kerugian kuadrat (𝜆̂, Λ) = 𝑘(𝜆̂ − Λ) , 𝑘 > 0. Pada estimasi titik Bayesian, penaksir titik
untuk Λ adalah 𝜆̂ yang meminimumkan nilai ekspektasi dari fungsi kerugian tersebut, yaitu mean dari distribusi posterior 𝜆 sbb. 𝐾+1 1 2 𝑡 1 2 𝑡 𝜆̂𝑡+1 . 𝑖 (𝑘𝑖 , 𝑘𝑖 , … , 𝑘𝑖 ) = 𝐸(Λ|𝑘𝑖 , 𝑘𝑖 , … , 𝑘𝑖 ) = 𝑡+𝜃
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
(17)
57
2.5 Estimasi Besar Klaim periode t+1 Frekuensi klaim untuk pemegang polis i pada periode t, dinotasikan dengan 𝐾𝑖𝑡 . 𝑗
Jika 𝐾𝑖𝑡 saling independenden, maka 𝐾 = ∑𝑡𝑗=1 𝐾𝑖 adalah total frekuensi kecelakaaan yang dialami seorang pemegang polispada periode t. Misalkan perusahaan asuransi menerima serangkaian pembayaran biaya klaim (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 ) dari pemegang polis dengan total sebesar K klaim dan 𝑋 = ∑𝐾 𝑖=1 𝑥𝑖 ≥ 0 merupakan total dari jumlah semua besar klaim. Pdf posterior dari rata-rata besar klaim θ∗ didapatkan dengan menerapkan teorema Bayes. Dengan mensubstitusikan persamaan (13) dan (15) ke persamaan (5), didapatkan fungsi densitas bersyarat 𝑓(𝜃|𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 ) =
𝑓(𝜃|𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑡 ) =
𝑓(𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 |𝜃)𝑢(𝜃) ∫ 𝑓(𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 |𝜃)𝑢(𝜃)𝑑𝜃 𝑣 𝛼′ 2 𝑣−1 1 𝛽′ 𝑒𝑥𝑝(−2(𝛼 ′ 𝜃+ 𝜃 )) ( ′) 𝜃 𝛽
𝛼 ′ = 2𝑋, 𝛽 ′ =
Dengan
,
2𝐵𝑣 (√𝛼′𝛽′) 𝑐2 2
(18)
1
,𝑣 = 𝐾 − . 2
Penentuan premi untuk seorang pemegang polis diperoleh dari besar klaim yang dialami pada periode sebelumnya. SBM akan menghasilkan estimator terbaik dengan diketahui sejarah kecelakaan selama t periode sebelumnya. Menurut metode Bayes, estimator harus menggunakan seluruh informasi yang tersedia. Estimator yang digunakan adalah distribusi posterior karena menggabungkan informasi sampel dan informasi sebelum pengambilan sampel. Jika fungi kerugian 𝐿(𝑎, 𝜃) dapat ditentukan, maka estimasi titik dapat diperoleh menurut kerangka teori keputusan. Pada estimasi titik Bayesian, jika fungsi kerugian adalah 𝐿(𝑎, 𝜃) = 𝑘(𝑎 − 𝜃)2 𝑘 > 0, maka penaksir titik untuk 𝜃 adalah mean dari distribusi 𝜃 Misalkan estimasi besar klaim pada t+1 periode adalah 𝜃̂ 𝑡+1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 ). Nilai estimasi dari ekspektasi besar klaim (𝜃̂ ), akan berbeda dengan besar klaim yang sebenarnya (𝜃). Perbedaan ini dapat direpresentasikan dengan fungsi kerugian kuadrat ̂ θ∗ ) = 𝑘(𝜃̂ − θ∗ )2 , 𝑘 > 0. Pada estimasi titik Bayesian, dengan menggunakan fungsi 𝐿(𝜃, Bessel, penaksir titik untuk θ∗ adalah 𝜃̂ yang meminimumkan nilai ekspektasi dari fungsi kerugian tersebut, yaitu rata-rata dari disribusi posterior 𝜃, sbb. 𝐵
3 (𝑐√𝑋) 2
𝑐 𝐵
1 (𝑐√𝑋) 2
2√𝑋 𝜃̂ 𝑡+1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 ) = 𝐸(𝜃|𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 ) =
𝐾− 𝐾−
58
.
(19)
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
2.6 Premi SBM Optimal Suatu SBM dikatakan optimal, yaitu adil bagi para pemegang polis karena pada setiap awal periode pembayaran premi sebanding dengan estimasi frekuensi kecelakaan ataupun besar klaim yang akan dialami, yang melibatkan semua informasi dari masa lalu.Untuk total klaim sebesar X, prinsip premi bersih menyatakan bahwa perusahaan asuransi yang menganut prinsip risk neutral bersedia menerima premi sebesar 𝐸(𝑋), yakni 𝑃𝑟𝑒𝑚𝑖 = 𝐸(𝑋).
(20)
Seorang pemegang polis i mempunyai total klaim sebesar 𝑋𝑖 yang dihasilkan pada titik waktu acak, yaitu 𝐾
𝑋𝑖 = 𝑋𝑖1 + 𝑋𝑖2 + ⋯ + 𝑋𝑖 𝑖 ,
(21)
𝑗
dengan 𝑋𝑖 menyatakan besar klaim ke j dari pemegang polis i dan 𝐾𝑖 menyatakan banyak klaim yang diajukan oleh pemegang polis i kepada perusahaan asuransi. Banyak klaim 𝑘𝑖 𝑗
adalah variabel random. Diasumsikan bahwa 𝑋𝑖 saling independen dan berdistribusi 𝑗
identik serta 𝑋𝑖 dan 𝐾𝑖 saling independen, sehingga nilai ekspektasi dari total klaim yang dialami oleh pemegang polis i(Kass, 2001) sebagai berikut. 𝑗
𝐸(𝑋𝑖 ) = 𝐸(𝑋𝑖 )𝐸(𝐾𝑖 ).
(22)
Berdasarkan persamaan (20) dan (22), diperoleh bentuk hubungan berikut 𝑗
𝑃𝑟𝑒𝑚𝑖 = 𝐸(𝑋𝑖 ) = 𝐸(𝑋𝑖 )𝐸(𝐾𝑖 ).
(23)
Selanjutnya, besar premi yang dikenakan terhadap pemegang polis i pada t+1 sebanding dengan ekspektasi frekuensi dan besar klaim jika diketahui informasi yang telah dialami selama t tahun. Dengan mensubstitusikan persamaan (17) dan (19) ke persamaan (23) didapatkan nilai premi sebagai berikut. 1 2 𝑡 ̂ 𝑡+1 (𝑥 𝑃̂𝑖𝑡+1 (𝑘𝑖1 , 𝑘𝑖2 , … , 𝑘𝑖𝑡 ) = 𝜆̂𝑡+1 1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝐾 ). 𝑖 (𝑘𝑖 , 𝑘𝑖 , … , 𝑘𝑖 )𝜃
(24)
Jika frekuensi klaim berdistribusi Geometri dan besar klaim berdistribusi Weibull, maka nilai premi adalah 𝐵
3 (𝑐√𝑋) 2
𝑐 𝐵
1 (𝑐√𝑋) 2
𝐾+1 2√𝑋 𝑃̂𝑖𝑡+1 (𝑘𝑖1 , 𝑘𝑖2 , … , 𝑘𝑖𝑡 ) = 𝑡+𝜃
𝐾− 𝐾−
,
(25)
yang merepresentasikan premi yang dibayarkan pemegang polis pada periode t+1. Persamaan (25) belum melibatkan premi di awal pemegang polis mengikuti asuransi, sehingga dengan menggunakan modifikasi diperoleh 𝐵
3 (𝑐√𝑋) 2
𝑐 𝐵
1 (𝑐√𝑋)
𝐾+1 2√𝑋 𝑃̂𝑖𝑡+1 (𝑘𝑖1 , 𝑘𝑖2 , … , 𝑘𝑖𝑡 ) = {( ) ( 𝑡+𝜃
𝐾− 𝐾−
𝑃
)} { 1 }, 𝑃1
(26)
2
dengan
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
59
1 2 𝜃 𝑐
𝑃1 = ( ) 2 .
(27)
Secara umum, persamaan (27) dapat dituliskan kembali menjadi 𝐾+1 2√𝑋 𝑃̂𝑖𝑡+1 (𝑘𝑖1 , 𝑘𝑖2 , … , 𝑘𝑖𝑡 ) = 𝑃1 {( ) ( 𝑡+𝜃
𝐵
𝐾−
𝑐 𝐵
𝐾−
3 (𝑐√𝑋) 2 1 (𝑐√𝑋) 2
𝑐2 2
)} {𝜃 ( )},
(28)
dengan : 𝑃1 ::
premi awal
𝑡 ::
banyak tahun pemegang polis berada dalam pengamatan
𝐾 ::
total banyak kecelakaan selama t tahun
𝑋 ::
total besar klaim selama t tahun
𝜃 ::
parameter yang berasal dari gabungan distribusi Poisson-Exsponensial
𝑐 ::
parameter yang berasal dari gabungan distribusi Eksponensial-Levy.
Persamaan (28) dapat dirinci kembali sbb. Pada saat tidak pernah mengajukan klaim 𝐾+1 𝑃̂𝑖𝑡+1 = 𝑃1 {( )} {𝜃}
(29)
𝑡+𝜃
Pada saat mengajukan 1 klaim 2
𝐾+1 2√𝑋 𝑐 𝑃̂𝑖𝑡+1 = 𝑃1 {( ) ( )} {𝜃 ( )} 𝑡+𝜃
𝑐
(30)
2
Pada saat mengajukan 2 klaim 𝐾+1 𝑃̂𝑖𝑡+1 = 𝑃1 {( ) ( 𝑡+𝜃
2𝑋 (1+𝑐√𝑋)
𝑐2
)} {𝜃 ( )}
(31)
2
Pada saat mengajukan 3 klaim 2
2𝑋(𝑐√𝑋+1) 𝐾+1 𝑐 𝑃̂𝑖𝑡+1 = 𝑃1 {( ) ( 2 )} {𝜃 ( )} 𝑡+𝜃
𝑐 𝑋+3𝑐𝑋+3
(32)
2
Pada saat mengajukan 4 klaim 𝐾+1 𝑃̂𝑖𝑡+1 = 𝑃1 {( ) ( 𝑡+𝜃
60
2𝑋(3+3𝑐√𝑋+𝑐 2 𝑋) (15+15𝑐√𝑋+6𝑐 2 𝑋+𝑐 3 𝑋 3/2 )
𝑐2 2
)} {𝜃 ( )}
(33)
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang digunakan adalah sampel dari 681 pemegang polis asuransi kendaraan bermotor untuk pertanggungan Comprehensive pada suatu perusahaan asuransi umum, yang mengajukan dan tidak mengajukan klaim periode 2012 sampai 2015. Berikut disajikan data frekuensi klaim untuk jenis perlindungan risiko Comprehensive: Tabel 2 Data Frekuensi Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor periode 2012 –2015 Frekuensi Klaim (2012 - 2015) 0 1 2 3 4
Kategori
Uang Pertanggungan (juta rupiah)
1
0 s/d 125
168
79
41
9
3
2
> 125 s/d 200
123
75
37
8
1
3
> 200 s/d 400
57
24
13
6
0
4
> 400 s/d 800
21
9
6
1
0
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa untuk semua katagori, banyak pemegang polis yang tidak mengajukan klaim, sehingga untuk pemegang polis yang melalukan perpanjangan klaim, sebaiknya diperlalukan secara adil dengan menggunakan konsep SBM. 3.1 Estimasi Frekuensi dan Besar Klaim pada periode t+1 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat, untuk semua katagori, frekuensi klaim berdistribusi Geometri. Sedangkan untuk besar klaim, dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, untuk semua katagori berdistribusi Weibull. Penaksiran parameter frekuansi dan besar dilakukan dengan menggunakan metode maximum likelihood, dengan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.Estimasi Nilai Parameter
3.2 Penentuan Premi SBM Optimal Sebagai contoh, pada Tabel 4 disajikan sejarah klaim dari enam orang pemegang polis yang memiliki premi awal yang sama (Rp. 2.470.000) dengan masing-masing besar klaim yang berbeda. Dengan uang pertanggungan Rp100.000.000, untuk kategori 2 dan nilai parameter 𝜃 = 1,942, serta = 0,000512, diperoleh hasil seperti pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, premi yang dibayarkan pada awal periode (𝐏𝟏 ) oleh semua pemegang polis sebesar Rp 2.470.000. Nilai premi awal ini diperoleh dari batas bawah OJK sebesar 2,47% (Tabel 1) dari uang pertanggungan. Semua pemegang polis mendapatkan premi awal yang sama. Setelah satu tahun mengikuti asuransi, ke-6 pemegang polis mempunyai sejarah klaim yang berbeda-beda.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
61
Tabel 4 Premi Awal dan Premi SBM untuk Enam Orang Pemegang Polis
Pemegang polis A selama satu tahun mengikuti asuransi tidak pernah mengajukan klaim sehingga berdasarkan BMS, A berhak mendapat bonus dengan premi sebesar Rp. 1.630.435, yakni berdasarkan persamaan 29. Pemegang polis B dan C mengajukan satu klaim, dimana besar klaim masing-masing sebesar Rp 2.250.000 dan Rp 2.600.000, sehingga berdasarkan BMS, B dan C mendapatmalus dengan premi masingmasing sebesar Rp.2.504.349 dan Rp. 2.692.094, yakni berdasarkan persamaan 30. Demikian selanjutnya penjelasan untuk pemegang polis D, E dan F. 4.
KESIMPULAN
Menentukan nilai premi dengan menggunakan SBM Optimal memberikan keadilan bagi pemegang polis yang melakukan perpanjangan polis padatahun berikutnya, karena SBM Optimal mempertimbangkan sejarah frekuensi dan besar klaim pemegang polis. Apabila dalam satu periode terdapat dua orang pemegang polis memiliki frekuensi klaim yang sama, maka penentuan nilai premi akhir pada saat kedua pemegang polis tersebut melakukan perpanjangan polis akan berbeda karena besar klaim dari masingmasing pemegang polis yang berbeda. Kajian lanjut penentuan premi SBM dapat dilakukan dengan mengasumsikan perilaku dependen antara frekuensi dan besar klaim menggunakan Copula. 5.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, S. F. (1990). Mathematical Statistics. New Jersey: Prentice Hall. Frangos, N.E. & Vrontos, S.D. (2001). Design of optimal bonus-malus system with a frequency and a severity component onan individual basis in automobile insurance. ASTIN Bulletin 31, 1-22. Grandell, J., (1997). Mixed Poisson Prosesses. Chapman and Hall/CRC Statistics and Mathematics. New York Herzog, T.N. (1996). Introduction to Credibility Theory. Second Edition. ACTEX, Winsted. Hogg, R. V. dan Craig, A. T., (2005). Introducion to Mathematical Statistics. Ed Ke-6. Ibiwoyed, A., I.A. Adeleke & S.A. Aduloju. (2011). International Business Research. Vol. 4, No. 4. Kaas,R., Goovaerts, M., Dhaene, J. & Denuit, M. (2001). Modern actuarial risk theory. Kluwer Academic Publishers, Boston. Lemaire, J. (1985). Automobile Insurance Actuarial Models. Netherlands: Kluwer-Nijhoff. Mahmoudvand, R. & Hassani, H. (2009). Generalized Bonus-Malus System with a Frequency and a Severity Component on an Individual Basis in Automobile Insurance. Astin Bulletin. 39(1). Mert, M., & Saykan, Y. (2005). On a Bonus-Malus System Where The Claim Frequency Distribution is Geometric and The Claim Severity Distribution is Pareto. Hacettepe Journal of Mathematics and Statistics.
62
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Ni, W., Constantinescu, C., & A. Pantelous, A., (2014). Bonus-Malus Systems with Weibull Distribted Claim Severities.Analls of Actuarial Science. Vol. 8. Part 2. Park, S. C., J. Lemaire, &Chong. (2010) Is the Design of Bonus-Malus Systems Influenced by Insurance Maturity or National Culture - Evidence from Asia? The Geneva Paper. Vol. 15. Tremblay, L. (1992). Using the Poisson Inverse Gaussian in Bonus-Malus System, Astin Bulletin. 22(1).
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
63
BIAStatistics (2016) Vol. 10, No. 1, hal. 64-75
MANAJEMEN RESIKO KREDIT TERHADAP PERUSAHAAN PROPERTI DI INDONESIA BERDASARKAN RASIO KEUANGANNYA Samsul Anwar1), Zulfan 2), Radhiah 3) Jurusan Statistika, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala 2 Jurusan Informatika, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala 3 Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Sistem manajemen resiko merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh para kreditor. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir terjadinya kredit macet pada suatu perusahaan yang telah diberikan kredit. Peluang terjadinya kredit macet akan lebih besar terjadi pada perusahaan dengan kondisi kesehatan keuangan yang buruk dibandingkan dengan perusahaan dengan kondisi kesehatan keuangan yang baik. Kondisi kesehatan suatu perusahaan dapat dilihat dari analisis laporan keuangannya. Salah satu analisis yang dapat dipakai adalah analisis rasio keuangan. Rasio keuangan ini terdiri dari rasio likuiditas, solvabilitas, profitabilitas dan aktivitas perusahaan. Populasi perusahaan kemudian dikelompokkan berdasarkan rasio keuangan tersebut. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode K-Means Cluster. Metode ini akan mengelompokkan elemen yang memiliki karakteristik yang sama dalam satu kelompok. Terdapat 32 perusahaan properti dalam penelitian ini, 11 perusahaan di antaranya dikelompokkan ke dalam cluster 1, 17 perusahaan dikelompokkan ke dalam cluster 2, dan sisanya 4 perusahaan dikelompokkan ke dalam cluster 3. Dari sudut pandang kreditor, cluster yang paling aman untuk diberikan kredit adalah perusahaan properti yang termasuk ke dalam cluster 1, karena perusahaan pada cluster 1 tersebut memiliki rasio keuangan yang paling baik, terutama untuk rasio likuiditas dan solvabilitas.
Keywords: manajemen resiko, rasio keuangan, likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, aktivitas, metode K-Means Cluster.
1.
PENDAHULUAN Prospek bisnis properti di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan bisnis properti ini antara lain: kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga acuan atau BI rate, kondisi ekonomi yang terus membaik, demand masyarakat yang besar, dan adanya dukungan oleh kenaikan properti dari kredit perbankan. Beberapa bank besar diperkirakan tetap konsisten menyalurkan kreditnya ke sektor properti. Sejak tahun 2005, sektor perbankan lewat kredit konstruksi dan kredit real estat telah mendanai proyek-proyek yang dibangun oleh para pengembang yang dinilai prospektif. Namun demikian, pihak perbankan juga harus berhati-hati dalam mendanai sektor properti ini. Mereka diharuskan memiliki sistem
64
manajemen resiko yang baik. Sehingga dapat meminimalisir kerugian akibat terjadinya kredit bermasalah (non performing loan/NPL), ketidakmampuan membayar bunga, dan masalah-masalah lain yang tidak diharapkan. Salah satu solusi dari resiko permasalahan tersebut adalah dengan penyaluran kredit yang tepat sasaran. Ini artinya pihak perbankan harus mengenal betul perusahaan properti calon klien mereka. Salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai pegangan adalah keadaan keuangan perusahaan tersebut, dalam hal ini adalah laporan keuangannya. Dengan melihat laporan keuangan, pihak perbankan dapat menganalisis seberapa baik sebuah perusahaan properti beroperasi. Sehingga pihak perbankan dapat memutuskan layak tidaknya dalam memberikan dukungan dana kepada perusahaan properti tersebut. Berdasarkan data dari Indonesian Capital Market Tahun 2011, diketahui bahwa terdapat 51 perusahaan properti di Indonesia yang telah terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Para pengembang besar yang terus melakukan ekspansi di bisnis properti ini antara lain: Grup Lippo, Grup Summarecon Agung, Grup Duta Pertiwi, Grup Jakarta Setiabudi Internasional, Grup Ciputra, Grup Bakrie, Grup Jababeka, Grup Modern, Grup Suryamas Duta Makmur, dan Grup Pakuwon. Dengan banyaknya perusahaan properti saat ini, dibutuhkan suatu sistem pengelompokan. Hal ini dilakukan karena tidak semua perusahaan memiliki tingkat kemampuan keuangan yang sama. Sehingga perlu mengelompokkan perusahaan-perusahaan itu ke dalam cluster-cluster tersendiri berdasarkan kemampuan keuangannya. Dengan mengamati kinerja satu sampel perusahaan, dapat dilakukan prediksi terhadap kemampuan perusahaan lain yang terdapat dalam satu kelompok dengan perusahaan sampel. Hal ini dimungkinkan karena perusahaan yang berada dalam satu cluster memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang sama. Keuntungan metode pengclusteran ini adalah kreditor tidak perlu melakukan penelitian untuk setiap perusahaan apabila ingin memberikan pinjaman kredit. 2.
KAJIAN LITERATUR
2.1 Analisis Cluster Analisis cluster adalah salah satu teknik statistika multivariat untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan kesamaan karakteristik tertentu. Sehingga objek-objek yang berada dalam satu cluster akan mempunyai kemiripan satu dengan yang lainya, sedangkan yang berada pada cluster berbeda akan mempunyai perbedaan satu dengan yang lainya. Konsep dasar analisis cluster adalah konsep pengukuran jarak atau kemiripan. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur jarak, tetapi metode jarak yang paling sering digunakan adalah metode jarak Euclidean, yang mengukur
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
65
jarak sesungguhnya di antara dua pengamatan. Jarak Euclidean antara dua pengamatan xi dan xj diukur dengan menggunakan rumus: ′
𝑝 𝑑(𝑥𝑖 , 𝑥𝑗 ) = √(𝑥𝑖 − 𝑥𝑗 ) (𝑥𝑖 − 𝑥𝑗 ) = √∑𝑖,𝑗=1(𝑥𝑖 − 𝑥𝑗 )
2
(1)
Dalam analisis cluster, terdapat dua metode yang dapat digunakan. Metode yang pertama adalah metode berhierarki dan yang kedua adalah metode tak berhierarki. Metode K-Means cluster adalah salah satu metode tak berhierarki, dimana proses pembentukan cluster diawali dengan dengan penentuan jumlah cluster terlebih dahulu, dan kemudian memproses seluruh objek secara bersamaan sekaligus. Metode K-Means Cluster disebut juga teknik partisi (partitioning techniques) [2]. Untuk sekumpulan data observasi (x1, x2, ... , xn), dimana setiap data adalah d-dimensional riil vector, K-means cluster bertujuan untuk membagi n observasi tersebut ke dalam k (≤n) cluster. Metode K- means menggunakan K pusat cluster untuk mengategorikan data observasi. Hal ini dicapai dengan meminimalisir jumlah error kuadrat,
𝐽𝐾 =
2 ∑𝐾 𝑘=1 ∑𝑖𝜖𝐶𝑘 (𝑥𝑖 − 𝑚𝑘 ) . Dimana (x1, x2, ... , xn) = X adalah data matriks dan 𝑚𝑘 = ∑𝑖𝜖𝐶𝑘
𝑥𝑖 𝑛𝑘
adalah pusat cluster 𝐶𝑘 , dan 𝑛𝑘 adalah jumlah observasi dalam cluster 𝐶𝑘 [3]. Solusi standar untuk K-means cluster didapat melalui proses iterasi sampai semua data observasi terbagi ke dalam K buah cluster. 2.2 Rasio Keuangan Analisis terhadap keuangan perusahaan merupakan hal yang umumnya dilakukan oleh para kreditor (pemberi pinjaman) seperti bank. Kreditor memerlukan analisis keuangan untuk memperoleh informasi mengenai posisi keuangan, hasil-hasil yang dicapai, serta prospek perusahaan peminjam di masa datang. Hal ini perlu dilakukan karena sebelum kreditor memberikan keputusan memberi atau menolak atas suatu permohonan kredit, mereka harus memperkirakan risiko potensial yang dihadapi oleh para peminjam dikaitkan dengan adanya jaminan kelangsungan pembayaran bunga yang ditentukan maupun melunasi pokok pinjamannya. Analisis keuangan yang sering dipakai adalah analisis rasio keuangan. Jenis-jenis rasio keuangan yang digunakan untuk menganalisis kinerja perusahaan adalah rasio neraca (likuiditas dan solvabilitas), rasio laba-rugi (profitabilitas) dan rasio neraca aktivitas [4]. 2.2.1 Rasio Likuiditas Rasio likuiditas adalah rasio yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek. Jika perusahaan tidak mampu mempertahankan kemampuan membayar utang jangka pendek maka pada umumnya
66
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
perusahaan tersebut tidak akan mampu membayar utang jangka panjang. Rasio likuiditas antara lain: a. Current Ratio (CR) Current ratio adalah kemampuan aktiva lancar perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (current liabilities) dengan aktiva lancar (current assets) yang dimiliki. Semakin tinggi rasio lancar seharusnya semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendek. Nilai current ratio dihitung melalui persamaan: 𝐶𝑅 =
𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠
b. Quick Test Ratio (QTR) Quick test ratio adalah kemampuan aktiva lancar minus persediaan untuk membayar kewajiban lancar. Rasio ini memberikan indikator yang lebih baik dalam melihat likuiditas perusahaan dibandingkan dengan rasio lancar, karena penghilangan unsur persediaan dan pembayaran di muka serta aktiva yang kurang lancar dari perhitungan rasio. Nilai quick test ratio dihitung melalui persamaan:
𝑄𝑇𝑅 =
𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 − 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑛𝑡𝑜𝑟𝑖𝑒𝑠 𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠
2.2.2 Rasio Solvabilitas Rasio solvabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang, jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Rasio ini juga disebut dengan rasio pengungkit (leverage) yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang. Rasio solvabilitas antara lain :
a. Debt to Asset Ratio (DAR). Debt to asset ratio adalah rasio total kewajiban (total liabilities) terhadap total aset (total assets). Rasio ini menekankan pentingnya pendanaan hutang dengan jalan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh hutang. Nilai debt asset ratio dihitung melalui persamaan: 𝐷𝐴𝑅 =
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
67
b. Debt to Equity Ratio (DER). Rasio ini menunjukkan persentase persediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Dimana nilai debt to equity ratio dihitung melalui persamaan: 𝐷𝐸𝑅 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
2.2.3 Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas adalah rasio yang mengukur efektifitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh, dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi. Rasio yang digunakan dalam analisis profitabilitas antara lain: a. Net Profit Margin (NPM) Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan (sales) yang dilakukan. Laba bersih (net income) adalah laba yang diterima perusahaan setelah dikurangi pajak. Nilai net profit margin dihitung melalui persamaan: 𝑁𝑃𝑀 =
𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
b. Return of Asset (ROA) Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah aset yang digunakan. Keuntungan yang dimaksud di sini adalah keuntungan bersih (net income). Nilai return of asset dihitung melalui persamaan: 𝑅𝑂𝐴 =
𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
c. Return of Equity (ROE) Rasio ini biasanya digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan karena rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari hutang jangka panjang dan modal pemegang saham. Rasio ini menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian pada pemegang saham. Nilai return of equity dihitung melalui persamaan: 𝑅𝑂𝐸 =
68
𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
d. Earning Per Share (EPS) Alat analisis yang dipakai untuk melihat keuntungan dengan dasar saham adalah earning per share yang dicari dengan laba bersih (net income) dibagi saham yang beredar. Rasio ini menggambarkan besarnya pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. Nilai earning per share dihitung melalui persamaan: 𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒
𝐸𝑃𝑆 = 2.2.4 Rasio Aktivitas
Rasio ini berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan perusahaan berkenaan dengan kemampuan perusahaan untuk menggunakan investasi maupun aset yang dimilikinya untuk menghasilkan keuntungan. Beberapa rasio aktivitas antara lain : a. Inventory Turn Over (ITO) Rasio ini berguna untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam mengelola persediaan, dalam arti berapa kali persediaan yang ada akan diubah menjadi penjualan. Dengan mengetahui rasio ini, kita bisa mengetahui likuiditas dari persediaan yang dimiliki oleh perusahaan. Semakin tinggi rasio akan semakin cepat persediaan diubah menjadi penjualan. Nilai inventory turn over dihitung melalui persamaan: 𝐼𝑇𝑂 =
𝐶𝑜𝑠𝑡 𝑜𝑓 𝐺𝑜𝑜𝑑 𝑆𝑜𝑙𝑑 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑛𝑡𝑜𝑟𝑦
b. Total Asset Turn Over (TATO) Kemampuan perusahaan dalam menggunakan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan penjualan digambarkan dalam rasio ini. Dengan melihat rasio ini, bisa diketahui efektivitas penggunaan aktiva dalam menghasilkan penjualan. Nilai total asset turn over dihitung melalui persamaan: 𝑇𝐴𝑇𝑂 =
3.
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
METODOLOGI Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari pihak lain, dalam hal ini adalah data dari Indonesian Capital Market Tahun 2011 [5]. Data yang diambil adalah data mengenai Financial Statement dari perusahaan properti di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jumlah populasi perusahaan properti berdasarkan data tersebut adalah sebanyak 51 perusahaan. Namun dengan adanya keterbatasan informasi keuangan dari beberapa perusahaan, maka jumlah perusahaan yang diikutsertakan dalam penelitian ini hanya 32
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
69
perusahaan. Metode analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode K-Means Cluster. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk mengelompokkan perusahaan properti di Indonesia berdasarkan rasio keuangannya, sehingga dapat diketahui ciri-ciri untuk masing-masing cluster. Pengolahan data dengan metode K-Means Cluster menggunakan software SPSS versi 15.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel yang digunakan untuk mengukur ketidakmiripan suatu cluster dalam
penelitian ini adalah variabel rasio keuangan perusahaan. Rasio keuangan tersebut mencerminkan kemampuan perusahaan dalam hal likuiditas (Currrent Ratio (CR) dan Quick Rasio (QTR)), solvabilitas (Debt to Assets (DAR) dan Debt to Equity (DER)), profitabilitas (Net Profit Margin (NPM), Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), dan Earnings Per Share (EPS)), dan aktivitas (Inventory Turnover (ITO) dan variabel Total Assets Turnover (TATO)). Standarisasi data (Z score) dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perbedaan skala yang digunakan, serta menghilangkan efek penyebaran data yang tidak teratur karena interval nilai data yang terlalu besar. Populasi dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok (cluster), dengan alasan ingin dilihat kemampuan perusahaan properti dengan kategori kurang baik, cukup baik, dan paling baik berdasarkan perbandingan nilai-nilai variabel dari cluster yang terbentuk. Penentuan kategori ketiga cluster dilakukan dengan memperhatikan nilai cluster center untuk masing-masing variabel, seperti yang tersaji dalam tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Nilai Final Cluster Center Cluster Variabel
70
1
2
3
ZCR
0.856
-0.428
-0.537
ZQTR
0.888
-0.455
-0.509
ZDAR
-0.946
0.487
0.534
ZDER
-0.927
0.470
0.552
ANPM
-0.180
0.175
-0.248
ZROA
-0.349
0.536
-1.316
ZROE
-0.487
0.656
-1.448
ZEPS
-0.440
0.471
-0.793
ZITO
-0.141
0.162
-0.303
ZTATO
-0.491
-0.048
1.555
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Melalui nilai cluster center dalam tabel 1 di atas, dapat ditentukan kategori masingmasing cluster untuk setiap variabelnya. Cluster dengan nilai center terbesar untuk setiap variabelnya akan dikategorikan tinggi, dan nilai center terkecil akan dikategorikan rendah. Sedangkan nilai center yang tengah akan dikategorikan sebagai kategori sedang. Dengan demikian, diketahui ciri-ciri dari setiap cluster sebagai berikut:
Cluster 1, memiliki ciri-ciri: - Nilai CR dan QTR paling tinggi, nilai DAR dan DER paling rendah, nilai NPM, ROA, ROE dan EPS kategori sedang, nilai ITO kategori sedang, dan yang terakhir, nilai TATO paling rendah.
Cluster 2, memiliki ciri-ciri: - Nilai CR dan QTR kategori sedang, nilai DAR dan DER kategori sedang, nilai NPM, ROA, ROE dan EPS paling tinggi, nilai ITO paling tinggi, nilai TATO kategori sedang.
Cluster 3, memiliki ciri-ciri: - Nilai CR dan QTR paling rendah, nilai DAR dan DER paling tinggi, nilai NPM, ROA, ROE dan EPS paling rendah, nilai ITO paling rendah sedangkan nilai TATO adalah yang paling tinggi. Dengan memperhatikan ciri masing-masing cluster di atas, dapat dilakukan analisis finansial perusahaan untuk masing-masing cluster sebagai berikut:
Analisis keuangan untuk cluster 1 - Berdasarkan nilai CR dan QTR, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan pada cluster 1 memiliki kemampuan likuditas yang paling baik jika dibandingkan dengan cluster yang lain. Artinya bahwa perusahaan pada cluster 1 tergolong memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendek jika dibandingkan dengan cluster 2 dan 3. - Sejalan dengan kemampuan likuiditasnya, perusahaan pada cluster 1 tergolong memiliki kemampuan solvabilitas yang paling baik. Hal ini dapat dilihat pada nilai DAR dan DER yang paling rendah jika dibandingkan dengan cluster yang lainnya. Artinya, perusahaan pada cluster 1 memiliki kemampuan membayar hutang jangka panjang yang paling baik jika dibandingkan dengan cluster 2 dan 3. - Kemampuan profitabilitas dilihat melalui nilai variabel NPM, ROA, ROE, dan EPS.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
71
Diketahui bahwa seluruh rasio keuangan tersebut berada pada kategori cukup, dengan demikian dapat dikatakan bahwa keuntungan yang dihasilkan perusahaan berada pada kategori cukup baik yang bersumber dari seluruh komponen rasio keuangan di atas, yaitu berasal dari penjualan bersih, aset yang dimiliki, penjualan saham dan modal pemilik perusahaan. - Kemampuan aktivitas yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan penjualan, dapat dilihat melalui nilai variabel ITO dan TATO. Perusahaan pada cluster 1 lebih mampu menghasilkan penjualan melalui inventori yang dimilikinya dibandingkan dengan menggunakan aset perusahaan. Namun demikian, penjualan melalui inventori tersebut masih termasuk dalam kategori cukup baik jika dibandingkan dengan cluster yang lainnya.
Analisis keuangan untuk cluster 2 - Dengan melihat nilai CR dan QTR, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan pada cluster 2 memiliki kemampuan likuditas dalam kategori cukup baik jika dibandingkan dengan cluster yang lain. Artinya bahwa perusahaan pada cluster 2 tergolong memiliki kemampuan yang cukup dalam memenuhi kewajiban jangka pendek jika dibandingkan dengan cluster 1 dan 3. - Perusahaan-perusahaan pada cluster 2 juga memiliki kemampuan solvabilitas yang tergolong cukup baik. Hal ini dapat dilihat pada nilai DAR dan DER. Artinya, perusahaan pada cluster 2 cukup memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang. - Kemampuan profitabilitas dilihat melalui nilai variabel NPM, ROA, ROE, dan EPS. Keempat rasio keuangan tersebut berada pada kategori yang paling baik. Hal ini dapat diartikan bahwa keuntungan yang dihasilkan perusahaan merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan cluster yang lainnya. Keuntungan tersebut diperoleh dari penjualan bersih, penggunaan aset, penjualan saham serta berasal dari modal pemilik saham. - Kemampuan aktivitas perusahaan-perusahaan pada cluster 2 lebih bertumpu kepada kemampuan menghasilkan penjualan melalui inventori (ITO) yang merupakan kategori yang paling baik di antara cluster yang lain, selain itu perusahaan pada cluster ini juga memiliki kemampuan menghasilkan penjualan melalui aset yang dimiliki (TATO) dan termasuk dalam kategori cukup jika dibandingkan dengan cluster yang lainnya.
72
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
Analisis keuangan untuk cluster 3 - Berdasarkan nilai CR dan QTR, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan pada cluster 3 memiliki kemampuan likuditas paling rendah jika dibandingkan dengan cluster yang lain. Artinya bahwa perusahaan pada cluster 3 memiliki kemampuan yang kurang baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendek jika dibandingkan dengan cluster 2 dan 1. - Sejalan dengan kemampuan likuiditasnya, perusahaan yang termasuk ke dalam cluster ini juga memiliki kemampuan kemampuan solvabilitas (DAR dan DER) yang paling rendah. Artinya, perusahaan-perusahaan pada cluster 3 memiliki kemampuan membayar hutang jangka panjang yang kurang baik jika dibandingkan dengan cluster 2 dan 1. - Kemampuan profitabilitas dapat dilihat melalui nilai variabel NPM, ROA, ROE, dan EPS. Diketahui bahwa keempat rasio keuangan tersebut berada pada kategori yang paling rendah, dengan demikian dapat dikatakan bahwa cluster 3 memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan yang kurang baik jika dibandingkan dengan cluster yang lainnya. - Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan penjualan sangat dominan dipengaruhi oleh aset yang dimiliki perusahaan (TATO), sedangkan penjualan melalui inventori (ITO) berada pada kategori yang kurang baik. Nilai rasio TATO yang dimiliki perusahaan dalam cluster 3 merupakan nilai yang paling tinggi di antara ketiga cluster.
Dengan demikian, jika ditinjau dari sudut pandang kreditor, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan pada cluster 1 merupakan perusahaan dengan kondisi keuangan yang paling layak untuk diberikan pinjaman kredit keuangan, karena memiliki kondisi keuangan yang paling baik terutama dalam hal likuiditas dan solvabilitas. Sehingga diharapkan peluang terjadinya kredit macet pada cluster ini menjadi seminimal mungkin. Urutan selanjutnya adalah perusahaan yang berada pada cluster 2, dan yang terakhir adalah perusahaan-perusahaan yang termasuk ke dalam cluster 3. Berikut adalah rincian namanama perusahaan properti yang menjadi anggota masing-masing cluster. Diketahui bahwa terdapat 11 perusahaan yang termasuk ke dalam cluster 1, 17 perusahaan termasuk ke dalam cluster 2, dan 4 perusahaan termasuk ke dalam cluster 3.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
73
Tabel 2. Hasil Pengelompokan Perusahaan Properti dengan Metode K-Means Cluster No.
74
Nama Perusahaan
Cluster
1
PT. Alam Sutera Realty Tbk.
2
2
PT. Bumi Citra Permai Tbk.
2
3
PT. Bhuwanatala Indah Permai Tbk.
3
4
PT. Bukit Darmo Property Tbk.
1
5
PT. Sentul City Tbk.
1
6
PT. Bintang Mitra Semestaraya Tbk.
3
7
PT. Bumi Serpong Damai Tbk.
2
8
PT. Cowell Development Tbk.
3
9
PT. Ciputra Development Tbk.
1
10
PT. Ciputra Property Tbk.
1
11
PT. Ciputra Surya Tbk.
2
12
PT. Intiland Development Tbk.
1
13
PT. Duta Pertiwi Tbk.
2
14
PT. Bakrieland Development Tbk.
1
15
PT. Gowa Makassar Tourism Development Tbk.
2
16
PT. Indonesian Paradise Property Tbk.
1
17
PT. Jakarta Iternasional Hotel & Development Tbk.
2
18
PT. Jaya Real Property Tbk.
2
19
PT. Jakarta Setiabudi Internasional Tbk.
2
20
PT. Dayaindo Resources International Tbk.
1
21
PT. Jababeka Tbk.
2
22
PT. Lamicitra Nusantara Tbk.
2
23
PT. Laguna Cipta Griya Tbk.
1
24
PT. Lippo Cikarang Tbk.
2
25
PT. Lippo Karawaci Tbk.
2
26
PT. Mas Murni Indonesia Tbk.
1
27
PT. Modernland Realty Tbk.
2
28
PT. Indonesia Prima Property Tbk.
2
29
PT. Pembangunan Jaya Ancol Tbk.
2
30
PT. Resources Asia Fasifik Tbk.
3
31
PT. Pudjiadi Prestige Tbk.
1
32
PT. Pakuwon Jati Tbk.
2
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
5.
KESIMPULAN Penelitian ini mengambil data 32 perusahaan property. Sebelas perusahaan di
antaranya termasuk ke dalam cluster 1, 17 perusahaan termasuk ke dalam cluster 2, dan 4 perusahaan termasuk ke dalam cluster 3. Perusahaan pada cluster 1 tergolong memiliki kemampuan yang paling baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (likuiditas) jika dibandingkan dengan cluster 2 dan 3. Sejalan dengan kemampuan likuiditasnya, perusahaan pada cluster 1 juga tergolong memiliki kemampuan solvabilitas (kemampuan membayar hutang jangka panjang) yang paling baik. Perusahaan pada cluster 2 tergolong memiliki kemampuan yang cukup baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (likuiditas) jika dibandingkan dengan cluster 1 dan 3. Demikian juga dalam hal memenuhi hutang jangka panjang yang tergolong kategori cukup baik. Perusahaan pada cluster 3 memiliki kemampuan yang kurang baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (likuiditas) jika dibandingkan dengan cluster 2 dan 3. Sejalan dengan hal itu, perusahaan yang termasuk ke dalam cluster ini juga memiliki kemampuan yang kurang baik dalam hal memenuhi kewajiban jangka panjang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perusahaan pada cluster 1 merupakan perusahaan dengan kondisi keuangan yang paling layak untuk diberikan pinjaman kredit.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Sichah, I.A., dan Safitri, D. Statistika Multivariat. Semarang: Jurusan Matematika F-MIPA UNDIP, 2005 Hartigan, J.A. Clustering Algoritm. New York: John Wiley & Sons, 1975. Chris Ding dan Xiaofeng He. K-means Clustering via Principal Component Analysis. Proceedings of International Conference Machine Learning (ICML 2004): 225–232 Munawir, S. Analisis Informasi Keuangan. Yogyakarta: Liberty, 2002. ECFIN.
Indonesian
Capital
Market
Directory
2011.
Sumber
http://www.jcholse.tk/2012/04/download-indonesian-capital-market.html.
online:
Diakses
9
September 2012.
Biastatistics Vol 11, No.1, Februari 2017
75
Indeks Penulis A Achmad Zanbar Soleh ..............1, 52 B Bertho Tantular ................................ 19 Budhi Handoko ................................ 52 G Gatot Riwi Setyanto ......................... 1 H Hari Wijayanto ................................. 33 I I Gede NYoman Mindra Jaya ...... 19 Indahwati.......................................... 33 L Latifah Rahayu Siregar .................. 12 Lienda Noviyanti .........................1, 52 R Radhiah ............................................. 64 Riska Apriani Sari ............................. 33 S Samsul Anwar ................................. 64 Z Zulfan ................................................. 64 Zulhanif .............................................. 19 Zurnila Marli Kesuma ....................... 12
Biastatistics Vol 10, No.1, Februari 2016
Indeks Subject A
Aktivitas ................................................... 64 Analisis Korespondensi.......................... 12
B Biweight Tukey ....................................... 33
D Distribusi Besar Klaim ............................. 52 Distribusi Frekuensi Klaim ...................... 52
I Iuran Normal............................................. 1
K Kewajiban Tambahan............................ 1
L LAD........................................................... 33 Likuiditas .................................................. 64
M Manajemen Resiko ............................... 64 Matriks Peluang Transisi .......................... 1 Metode K-Means Cluster ..................... 64
P Pemetaan Penyakit .............................. 19 Pencilan .................................................. 33 Pendekatan Bayesian .......................... 52 Penyakit Jantung .................................. 12 Profitabilitas ............................................ 64
R Rasio Keuangan .................................... 64 Respon Ganda ...................................... 19
S SBM Optimal ........................................... 52 Seemingly Unrelated Regression ........ 19 Solvabilitas .............................................. 64
T Theil .......................................................... 33
U Uji Eksak Fisher ........................................ 12
Biastatistics Vol 10, No.1, Februari 2016