PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011
BIAS GENDER DALAM BUKU PELAJARAN AGAMA ISLAM SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) Raja Dedi Hermansyah, Dosen AMIK INTeL Com Global Indo, Kisaran Abstrak Masalah gender sampai saat ini masih hangat dan perlu diperbincangkan, karena perbedaan gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran lelaki dan perempuan dalam masayarakatnya. Secara umum, adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupa perbedaan gender ini melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki masing-masing manusia. Dalam lembaga pendidikan, ada dua problem besar yang dihadapi perempuan. Pertama, terbatasnya akses dan kesempatan yang sama untuk medapatkan pendidikan. Kedua, masih ditemukan buku-buku teks pada pendidikan tingkat SD, SMP, SMA yang mengandung unsur bias gender. Problam pertama itu dijawab oleh dunia internasional dengan menyediakan askes pendidikan seluas-seluasnya bagi anak-anak perempuan. Kesempatan pendidikan bagi anak perempuan itu diberikan dengan asumsi bahwa anak perempuan harus diberdayakan untuk mengejar ketinggalan. Di Indonesia problem kedua tersebut merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji, karena institusi agama masih merupakan faktor yang sangat kuat dan sangat menentukan di dalam masyarakat. manusia beraktivitas. Sedemikian rupa perbedaan gender ini melekat pada cara pandang masyarakat ini, sehingga sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki masing-masing manusia. Dalam realitas sosial, dapat disebutkan bahwa faktor utama penyebab adanya konstruksi sosial yang mengandung unsur bias gender adalah pendidikan. Inti pendidikan tampak pada kurikulum yang diterapkan. Implementasi kurikulum pendidikan terletak pada buku ajar yang digunakan, dalam hal ini pada kurikulum pendidikan agama Islam Sekolah Menengah Atas tahun 2004 terdapat 3 jilid, yaitu untuk kelas X, XI dan kelas XII. Sayangnya, masalah ini belum mendapat perhatian besar dari semua pihak, termasuk para penyusun kerikulum/silabus materi pelajaran agam Islam baik pada tingkat sekolah dasar maupun sampai ke perguruan tinggi. Yang muncul ke permukaan atau yang ada dalam bukubuku panduan pelajaran agama Islam justru unsur bias gendernya, yakni adanya suatu pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin dibanding jenis kelamin lain. Untuk itu, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Bias Gender dalam Buku Pelajaran Agama Islam Sekolah Mengah Atas; Sebuah Analisis Isi”. Diharapkan penelitian ini akan berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, karena penelitian ini difokuskan pada bias gender yang terdapat pada buku pelajaran agama Islam Sekolah Menengah Atas (SMA), dengan pendekatan contens analisys (analisis isi).
1. Pendahuluan Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Perbedaan ini sangat penting, karena selama ini sering dicampur-adukkan antara ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrati (gender) dan sebenarnya, bisa berubah dan diubah. Perbedaan gender ini sangat membantu untuk memikirkan ulang tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia–lelaki dan perempuan. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, dapat memudahkan untuk membangun gambaran tentang realitas relasi lelaki dan perempuan yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, mengapa perlu memisahkan perbedaan jenis kelamin biologis dan gender adalah karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi lelaki dan perempuan. Masalah gender sampai saat ini masih hangat dan perlu diperbincangkan, karena perbedaan gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran lelaki dan perempuan dalam masayarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 65
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 dimudahkan untuk membangun gambaran tentang realitas relasi lelaki dan perempuan yang dinamis, lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, perlunya dipisahkan perbedaan jenis kelamin biologis dan gender adalah karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi lelaki dan perempuan. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Perbedaan gender seperti ini melekat pada cara pandang kebanyakan orang, sehingga mereka sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri bilogis yang dimiliki masing-masing orang. Anggapan bahwa sifat perempuan feminis atau laki-laki maskulin bukanlah sesuatu yang mutlak, semutlak kepemilikan manusia atas jenis kelamin bilogisnya. Banyak studi antroplogi membuktikan bahwa sifat-sifat itu sesungguhnya ditumbuhkan, diusahakan, diajarkan atau dalam bahasa lain disosialisasikan melalui budaya yang sesuai dengan karakteristik lingkungan di mana mereka tinggal dan membangun kebudayaannya.
2. KAJIAN TEORITIS A. Deskripsi tentang Pengertian Gender dan Permasalahannya 1. Pengertian Gender Sebagai istilah, gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisan yang bersifat sosial-budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dalam Ilmu Sosial orang yang juga berjasa besar dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender adalah Ann Oakley (1972). Seperti halnya Stoller, Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat. Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks) yang merupakan perbedaan fisik biologis, yang mudah dilihat melalui ciri fisik dan secara sekunder yang ada pada kaum laki-laki dan perempuan. Perbedaan jelas antara jenis kelamin dan gender adalah; bahwa jenis kelamin itu tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, merupakan kodrat Tuhan dan ciptaan Tuhan. Sedangkan gender itu dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung budaya dan kebiasaan, tergantung budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, dan buatan manusia. Gender merupakan peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan). Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Singkatnya gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat. Perbedaan peran merupakan tatanan sosial yang dibentuk oleh budaya dan masyarakat yang keadaannya berbeda-beda, tidak tetap dan dapat berubah-ubah. Perbedaan gender ini sangat membantu untuk memikirkan ulang tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia lelaki dan perempuan. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, dapat
2. Gender dan Permasalahannya a. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender Berbagai perbedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung berupa pelakuan/sikap maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma atau struktur masayarakat. Ketidakadilan ini dikarenakan adanya kenyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang tidak hanya menimpa kaum perempuan tetapi juga laki-laki. Namun secara menyeluruh ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak menimpa kaum perempuan. Berikut ini dipaparkan bentukbentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender yang meliputi: 1). Marginalisasi perempuan. Istilah ini mendiskripsikan rendahnya status dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumber-sumber daya ekonomi, politik dalam pengertian pengambilan keputusan. Dibandingkan dengan mayoritas laki-laki, mayoritas perempuan mengalami permasalahan kemarginalan mereka. Meskipun tidak setiap
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 66
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 terutama oleh pihak pengusaha untuk tidak memformalkan ikatan kerja mereka.
marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun yang dipersoalkan adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perebedaan gender. Margnalisasi merupakan suatu proses peminggiran peran ekonomi seseorang atau suatu kelompok yang mengakibatkan proses pemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarginalisasikan, seseorang atau suatu kelompok orang, di antaranya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan yang peran utamanya dalam rumah, maka ketika mereka bekerja di luar rumah di sektor produksi mereka sering dinilai dengan anggapan dan alasan sebagai pencari nafkah tambahan, dan diberi gaji/imbalan yang biasanya lebih kecil dari pekerja laki-laki, jika hal ini terjadi sesungguhnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Pembangunan pada dasarnya tidak secara sengaja bertujuan memarginalkan atau meminggirkan salah satu kelompok atau gender, tetapi pelaksanaan pembangunan yang tidak sensitif pada kebutuhan perempuan, akan sangat mudah terjerumus pada proses pemarginalan perempuan. Contoh paling sederhana untuk membuktikan bagaimana pembangunan dapat memarginalkan perempuan adalah ketika Indonesia mengambangkan program revolusi hijau. Program intensivikasi pertanian yang mengubah sistem pertanian tradisional ke pertanian modern dengan mengganti bibit dan teknik pengolahan lahan pertanian itu telah menggusur sedikitnya separuh dari penduduk perempuan pedesaan yang semula menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian. Kemudian sistem sertifikasi tanah yang didasarkan pada kepala keluarga dalam rangka memperoleh kredit pertanian juga telah menghilangkan akses dan penguasaan perempuan atas kepemilikan tanah. Dalam hal pekerjaan di sektor industri, proses marginalisasi juga terjadi dengan nyata, memang permintaan tenaga kerja perempuan cukup tinggi terutama setelah dibukanya industri-industri manufaktur, namun sesungguhnya kebanyakan dari mereka berada dalam lapisan bawah sebagai pekerja, dan sangat sedikit di antara mereka yang dapat menduduki jabatan pengambil keputusan. Alasan-alasan gender seperti kuatnya ikatan mereka kepada keluarga, mencari pekerjaan sebagai sambilan, status perkawinan dan fungsi reproduksinya, sering sekali dijadikan dalih,
2). Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan di berbagai kehidupan, misalnya jika seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi jika suami yang akan pergi tidak perlu izin dari istri. Telah diketahui, peran gender telah memisahkan ruang lingkup tanggung jawab yang didasarkan pada fungsi sosial masingmasing jenis kelamin laki-laki dan perempuan, Perempuan dianggap bertangung jawab untuk urusan domestik karenanya fungsi yang selama ini diserahkan secara sosial kepadanya adalah memelihara keluarga untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, atau dalam bahasa lain disebut fungsi reproduksi. Jika di dalam masyarakat masih ada pembedaan penghargaan, perbedaan kompensasi baik yang bersifat psikologis maupun ekonomi (dengan misalnya mengakui pekerjaan di rumah tangga sebagai sumbangan perempuan dalam produktivitas) maka itu berarti fungsi produksi dan peran perempuan dianggap sebagai subordinasi (lebih rendah) dari peran dan fungsi produksi yang selama ini didefinisikan sebagai tugas yang harus diemban kaum laki-laki. Singkatnya subordinasi gender perempuan, antara lain terdapat pada: a) Masih sedikitnya perempuan yang bekerja di dalam peran pengambil keputusan dan menduduki peran penentu kebijakan. b) Adanya status perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Misalnya perempuan yang tidak menikah dinilai secara sosial lebih rendah dari lelaki tidak menikah, perempuan yang tidak mempunyai anak dihargai lebih rendah dari laki-laki yang tidak punya anak; karenaya suaminya dibenarkan secara hukum dan sosial untuk melakukan poligami, lelaki lajang akibat perceraian
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 67
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 emosional, tidak bisa menggambil keputusan, perempuan memasak, bersolek dan melahirkan, laki-laki mata keranjang, hidung belang, janda muda dirayu, perempuan mudah dibeli dengan uang, laki-laki penggoda dan berkuasa.
dianggap lebih berharga dibandingkan perempuan dengan status yang sama. c) Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dibayar sebagai pekerja lajang dengan anggapan setiap perempuan mendapatkan nafkah yang cukup dari suaminya. d) Di beberapa perusahaan terdapat aturan gaji perempan mendapat potongan pajak lebih tinggi karena dianggap sebagai pekerja lajang meskipin secara de fakto harus menafkahi keluarganya.
4). Kekerasan Telah disebutkan bahwa peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminin lakilaki dianggap maskulin. Karakter ini juga kemudian mewujudkan dalam ciri-ciri psikologis seperti lelaki itu dianggap gagah, kuat, berani, macho, agresif, dan lain-lain. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, penurut, senang diperhatikan dan seterusnya. Sesungguhnya tidak ada masalah dengan perbedaan itu, tetapi ternyata perbedaan karakter ini sering memunculkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan gender perempuan itu feminis, lemah dan lain-lain, secara keliru telah diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan secara semena-mena berupa tindakan kekerasan seksual. Bentuk dari kekerasan seksual ini bermacam-macam, dari tindakan menggoda, pelecehan sampai kekerasan berupa perkosaan. Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan yang merupakan terjemahan dari "violence" artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serang fisik, seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan ini bermacam-macam, ada yang bersifat individu baik dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat umum. Beberapa tindakan yang dinilai sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan, antara lain adalah: - Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi - Pengabaian kebutuhan akan alat kontrasepsi - Penyebutan dan penggunaan bahasa yang menunjuk pada ciri-ciri fisik dan status perkawinan perempuan (misalnya; bahenol, janda kembang, dan sejenisnya) - Sikap dan tindakan yang diasosiasikan pada pernyataan hasrat seksual berupa suitan, tepukan, rangkulan, kerdipan mata, dan lain-lain. - Pencabulan - Pornografi
3). Pandangan Stereotip Stereotip adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada, Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotip yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terhadap satu jenis kelamin tertentu (perempuan), mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggan. Stereotip tidak hanya terjadi dalam rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masayarakat, bahkan di tingkat pemerintahan dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi apabila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak merugikan perempuan. Misalnya label kaum perempuan sebagai "ibu rumah tangga" sangat merugikan mereka jika hendak aktif dalam "kegiatan laki-laki" seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara label lakilaki sebagai "pencari nafkah" mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai "sambilan" atau "tambahan" dan cenderung tidak diperhatikan. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Masingmasing pihak umumnya menciptakan labellabel stereotip tertentu dengan tujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Namun umumnya pihak yang lebih kuat atau dominan dapat lebih punya daya dalam membangun stereotip pihak lainnya. Salah satu pelabelan negatif bisa diterapkan pada gender baik laki-laki maupun perempuan. Namun pelabelan negatif seringkali lebih ditimpahkan kepada perempuan. Misalnya perempuan dianggap cengeng, suka digoda, tidak rasional,
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 68
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 juga meningkat, dalam situasi seperti ini tidak sedikit perempuan yang masuk ke sektor formal sebagai tenaga kerja. Akan tetapi, masuknya perempuan ke sektor publik tidak senantiasa diiringi dengan berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh anggapan tentang tanggung jawab yang dilimpahkan kepada peremuan dalam mengurus rumah tangga. Paling tidak, pekerjaan itu disubstitusikan kepada perempuan lain, baik itu pembantu rumah tangga, atau anggota keluarga perempuan lainnya. Akibatnya perempuan mengalami beban ganda; di dalam rumah mereka bertanggung jawab mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengurus anak-anak dan memenuhi kebutuhan emosional suaminya, sementara di luar rumah mereka juga dituntut sebagai pekerja yang harus bekerja secara profesional. Belum lagi peran sosialnya di dalam masayarakat sebagai pengelola kegiatan masyarakat. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan berbagai ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam dan hak asasi manusia berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diperbaiki, maka ketimpangan tetap saja terjadi dan perempuan tetap berada pada posisi yang dirugikan.
Pembatasan pemberian nafkah yang tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga - Larangan bagi perempuan untuk mencari ilmu dan mengembangkan karier dengan alasan kecurigaan melakukan pelanggaran moral. - Tindakan perselingkuhan dan poligami tanpa seizing istri/pasangan. - Pemukulan dan penyiksaan fisik lainnya - Pengurungan di dalam rumah - Perkosaan - Inses - Pemasungan hak-hak politik - Pemaksaan perkawinan - Pemaksaan untuk pindah agama mengikuti agama suami/pasangan. - Penggunaan perempuan sebagai alat penaklukan baik di masa damai maupun konflik. Pelaku kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya tidak hanya individu, tetapi bisa juga dilakukan oleh institusi keluarga, masayarakat bahkan keluarga. Kekerasan terhadap perempuan dalam pembangunan seringkali berujud pada pengabaian hak-hak mereka yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan yang mengandung unsur bias gender. -
5). Beban Kerja Ganda Bentuk lain diskriminasi dan ketidakadilan Gender adalah beban kerja ganda yang harus dilakukan oleh perempuan. Dalam satu rumah tangga umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa kegiatan dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerjanya juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Seorang ibu dan anak perempuannya mempunyai tugas untuk menyediakan makanan, menyiapkan di atas meja, kemudian merapikan kembali sampai mencuci piring yang kotor. Seorang bapak dan anak laki-laki, setelah selesai makan makanan yang tersedia di atas meja, meninggalkan meja makan tanpa harus mengangkat piring kotor yang mereka gunakan untuk kemudian mencucinya. Seorang istri walaupun bekerja mencari nafkah keluarga tetap menjalankan tugas pelayanan ini sebagai kewajibannya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen, sementara karena pencapaian pendidikan perempuan semakin tinggi, permintaan pasar akan tenaga kerja perempuan
3. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian tentang status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk mebuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Adapun yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah pemikiran umat Islam tentang perbedaan gender, terutama yang tertuang dalam buku pelajaran pendidikan agama Islam pada Sekolah Menengah Atas, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif. Dari segi keilmuan, seluruh fenomena yang diteliti dan dianalisis didekati
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 69
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 dari sisi disiplin ilmu humaniora (kemanusiaan), terutama tentang perbedaan gender. Langkahlangkah pokok dalam penelitian ini adalah; 1. Merumuskan tujuan penelitian, 2. Menentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan diteliti dan hubungan apa yang akan dikaji, prosesproses apa yang akan menuntun penelitian, 3. Menentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan data mana yang digunakan, sumber-sumber data apa yang tersedia, 4. Mengumpulkan data, 5. Mengorganisasikan informasi serta data yang terkumpul dan menganalisa untuk membuat interpretasi serta generalisasi, dan 6. Menyusun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil penelitian. B. Sumber Data Untuk memperoleh informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian tulisan ini, digunakan sumber utama (primer) yang relevan dengan pembahasan tulisan ini, yaitu buku-buku teks pelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa Sekolah Menengah Atas dari kelas X s/d XII (kelas satu sampai kelas tiga), dengan pengarang dan penerbit yang bervariasi, karena secara umum tema pokok yang dkaji dalam buku teks tersebut sama. Selain meneliti sumber primer, juga dilakukan kajian terhadap sumber skunder, seperti buku-buku yang berkiatan dengan masalah gender.
4. HASIL PENELITIAN A. Bias Gender dalam Buku Ajar Agama Islam untuk SMA Dari hasil penganalisaan terhadap tiga jilid buku pelajaran Agama Islam untuk siswa SMA, ditemukan ada beberapa persoalan yang mengandung unsur bias gender, yang secara umum persoalan-persoalan itu berkaitan dengan dua masalah besar yaitu aqidah tentang iman kepada Nabi dan Rasul, dan persoalan fiqih tentang, munakahat, mawaris, syarat khutbah, ziarah kubur, syarat berhaji, aurat atau pakaian wanita dan laki-laki. Secara rinci, materi-materi pelajaran pada Buku Teks Pendidikan Agama untuk SMA kelas 1 (satu) sampai kelas 3 (tiga) adalah sebagai berikut: 1. Pada Buku Teks Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1. Setelah dilakukan penelitian terhadap 3 (tiga) buku teks utuk kelas 1, masing-masing terbitan Telaga Mekar, Yudhistira, dan terbitan Erlangga, ditemukan 2 (dua) materi yang dianggap mengandung unsur bias gender, yaitu materi tentang syarat berhaji bagi perempuan dan tentang
2.
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 70
pakaian wanita. Pada buku teks kelas 1 (satu) SMA Bab 12 tentang haji dan Umrah. Dalam buku karangan Syamsuri yang diterbitkan oleh Erlangga, pada penjeasan tentang syarat-syarat wajib haji (kuasa dan mampu mengerjakan (istitha’ah), disebutkan "Bagi wanita ada mahram yang menyertainya seperti; suami, ayahnya, saudara laki-lakinya atau wanita lain yang dipercaya. Rasulullah saw. bersabda: "Janganlah seseorang wanita berpergian (bersafar) melainkan berserta mahramnya" (H.R. Bukhari). Tidak jauh berbeda dengan pernyataan tersebut, TIM MGMP – PAI Kota Medan, dalam menjelaskan kausa atau mampu mengerjakan, menjelaskan bahwa "Untuk menjamin jiwa dan harta calon haji wanita maka menjadi syarat wajib baginya pergi bersama suaminya atau muhrimnya". Selain materi tentang syarat haji bagi wanita, pada buku teks kelas 1 untuk SMA juga ditemukan, materi yang mengandung unsur bias gender, yakni tentang tata krama berhias dan berpakaian. Dalam tiga buku yang diteliti ditemukan penjelasan "Aurat bagi seorang wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali yang terlihat muka dan kedua telapak tangannya". Dijelaskan juga "pakaian yang Islami adalah pakaian yang dapat menutup aurat, bagi laki-laki harus dapat menutup bagian tubuhnya antara pusat dan lutut, sedangkan bagi wanita harus dapat menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan". Dalam buku lain dijelaskan pula menurut ajaran Islam, aurat wanita Islam ialah seluruh badannya, kecuali muka dan dua telapak tangan sehingga wajib bagi seorang wanita Islam memelihara beberapa bagian badannya dan menutup dadanya dengan kerudung. Berkenaan dengan perhiasan wanita, dalam buku tersebut dijelaskan semua wanita senang berhias dan memakai perhiasan. Akan tetapi, hendaknya harus selalu diingat untuk tidak memakai perhiasan yang berlebihan sehingga tidak mengundang orang jahat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan, seperti penodongan, penjambretan, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lainnya. Selanjutnya, para wanita juga diperingatkan supaya tidak berhias (bersolek) dan bergaya seperti halnya apa yang dilakukan pada zaman pra Islam. Pada buku teks Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA, setelah dilakukan penelitian terhadap tiga buku masing-masing terbitan Tiga Serangkai, Telaga Mekar, dan Yudhistira, ditemukan ada 3 (tiga) materi
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011
3.
buku teks pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas 3 pada umumnya menjelaskan kewajiban suami, sebagai berikut: 1) memberi nafkah lahir batin sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal yakni sandang, pangan, dan papan, 2) bergaul dengan istri secara makruf, 3) memelihara istri dan anak-anak dari bencana baik lahir maupun batin, dunia maupun akhirat, 4) memberikan kasih sayang dan cintanya kepada istri dan anak, 5) memimpin keluarga, mendidik keluarga, 6) menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Sedangkan penjelasan tentang kewajiban istri adalah; 1) patuh dan taat kepada suami dalam batas yang sesuai dengan ajaran Islam, 2) memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami, 3) mengatur dan mengurus rumah tangga, 4) hormat dan sopan kepada suami dan keluarga, 5) menghormati dan menerima pemberian suami, 6) memberikan kasih sayang dan cinta kepada suami dan anakanak, 7) memelihara dan mendidik anak agar menjadi anak yang shaleh, 8) bersikap hemat, cermat, rida, dan syukur serja bijaksana, tidak mempersulit atau memberatkan suami. c. Tentang pemimpin keluarga, dijelaskan "secara kodrati, laki-laki mempunyai kelebihan dibandingkan wanita, baik secara fisik maupun mental. Karena kelebihan inilah, Allah telah menetapkan bahwa pemimpin keluarga berada di tangan suami". Itulah beberapa materi ajar pada buku teks Pendidikan Agama Islam untuk SMA, yang menurut hemat penulis mengandung unsur bias gender.
yang mengandung unsur bias gender, yaitu tentang Iman Kepada Rasul Allah, Syarat Khutbah, dan Ziarah Kubur. Dalam menjelaskan materi Iman kepada Rasul pada bab 2, disebutkan bahwa "Rasul adalah seorang laki-laki, merdeka (bukan budak), yang diberi wahyu oleh Allah tentang agama dan mendapat perintah supaya menyampaikan (tabligh) kepada semua makhluk. Jika tidak mendapat perintah bertablig, orang itu disebut nabi saja" Dalam menjelaskan Dakwah dan Khutbah pada bab 13, dijelaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi khatib di antaranya adalah khatib harus laki-laki dewasa, begitu juga dalam buku terbitan Tiga Serangkai, dijelaskan bahwa satu di antara syarat-syarat khutbah adalah khatib harus laki-laki. Dalam bab 11 Penyelenggaraan Jenazah, sub materi Ziarah Kubur, dalam buku terbitan Telaga Mekar, dijelaskan bahwa "berziarah ke kubur disunahkan bagi laki-laki". Pada buku teks Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3, setelah diteliti ditemukan, terdapat dua materi pokok yang di dalamnya terdapat penjelasan yang mengandung unsur bias gender yaitu pada bab tentang mawaris dan bab munakahat. Dalam menjelaskan tentang pembagian warisan yang terdapat pada bab 8, dengan didasarkan pada surah an-Nisa’ ayat 11, disebutkan bahwa "bagian anak laki-laki 2 kali daripada anak perempuan". Selain materi tentang mawaris, materi pokok tentang munakahat juga mengandung unsur bias gender. Pada bab munakahat, menurut analisa peneliti ditemukan tiga persoalan yang mengandung unsur bias gender yaitu; a. tentang wali nikah dalam buku terbitan Telaga Mekar, dijelaskan wali dianggap sah apabila memenuhi 6 syarat sebagai berikut; beragama Islam, baligh dan berakal, bersikap adil, merdeka bukan hamba sahaya, laki-laki, tidak sedang ihram, haji atau umrah. Dalam buku lain yang diterbitkan Bumi Aksara, dijelaskan wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama Islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya. Selain menjelaskan tentang syarat-syarat wali, buku ini juga menjelaskan syarat dua orang saksi nikah, yaitu syaratnya Islam, baligh, berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), lakilaki, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. b. Kewajiban Suami-Istri, dalam
B. Pembahasan Temuan Penelitian Setelah ditemukan beberapa materi yang mengandung unsur bias gender, berikut akan dilakukan analisa atau pembahasan terhadap temuan tersebut, sehingga akan diperoleh jawaban mengapa materi-materi tersebut dikategorikan mengandung unsur bias gender. Adapun materi-materi yang mengandung unsur bias gender tersebut adalah: 1. Tentang syarat-syarat wajib haji (kuasa dan mampu mengerjakan (istitha'ah), dijelaskan bagi wanita ada mahram yang menyertainya seperti; suami, ayahnya, saudara laki-lakinya atau wanita lain yang dipercaya, dijelaskan juga bahwa untuk menjamin jiwa dan harta calon haji wanita maka menjadi syarat wajib baginya pergi bersama suaminya atau muhrimnya. Sedangkan untuk calon haji laki-laki tidak ada syarat harus didampingi oleh muhrim
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 71
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 H ا ' ة
atau keluarganya, meskipun laki-laki dianggap dapat menjaga diri dari berbagai gangguan selama dalam perjalanan haji, bukan hal tidak mungkin bagi laki-laki akan mengalami gangguan diperjalanan haji, misalnya saja sakit mendadak atau kecelakaan lainnya. Penjelasan materi ini secara gamblang menunjukkan adanya unsur bias gender, meskipun penulis buku mendasarkan penjelasan ini kepada sebuah hadis Rasul, semestinya penulis tidak mematikan penjelasan itu sebagai pendapat yang mutlak dan tidak ada lagi pendapat lain. Adapun dalil yang menjadi dasar penjelasan ini adalah Hadis Rasul: ك ا أ ا أ را ا ا $وا '&م ا )* أة, - , :" ل م ذو/ و,ث ' ل ا1 ' ة2 2* ( 2) Artinya: "Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat musafir, di mana perjalanannya melebihi dari tiga hari melainkan bersama muhrimnya". (H.R. Muslim) Dalam memahami hadis ini para ahli fikih memberikan penjelasan yang berbeda tentang syarat haji bagi perempuan. Abu Hanifah dan para sahabatnya, Nakh'i, Hasan, Tsauri, Ahmad dan Ishak, berpendapat adanya muhrim sebagai syarat dan memasukkannya dalam daftar kesanggupan bagi seorang wanita yang akan menunaikan ibadah haji. Pendapat yang mashur menurut golongan Syafi'i, ialah mensyaratkan suami atau muhrim atau wanita-wanita yang dipercaya. Ada pula yang berpendapat cukup didampingi seorang saja wanita yang dipercaya. Sedangkan pendapat lain yang disampaikan oleh Karabisi dan dinyatakan sah dalam Mahadzdzab, wanita itu boleh berpergian sendirian jika jalan dalam keadaan aman. Dan semua ini ialah mengenai haji atau umrah yang wajib. Dalam Subulus Salam tertera, segolongan Imam berpendapat dibolehkannya perempuan tua berpergian tanpa muhrim. Adapun alasan golongan yang membolehkan perempuan berpergian tanpa muhrim atau suami, jika ada temanteman wanita yang dipercaya atau jika jalan aman, ialah hadis yang diriwayatkan Bukhari dari 'Adi bin Hatim: 5' ا67 -8 ر9 * اذ أ &ل ا:ر ' أ ? ,-' 2 "> ا5' ا67 ا9 * أ,;" < ا :B " : " ل. ا ' ةB رأ-ي ه :ل B E ءن: " ل/ BD و" أ, أره
2.
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 72
- * * ;' Iا H ' ة . ا, ف اK* , ,; 6 *>& ف Artinya: Ketika kami berada bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan ia mengadukan kemiskinannya. Kemudian datang lagi lakilaki lain mengadukan terganggunya keamanan jalan oleh penyamun. Maka bersabda Rasulullah saw: "Hai 'Adi apakah anda pernah ke Hirah?" Jawabku: "Belum pernah, tapi saya telah mendengar ceritanya". Sabda Nabi lagi: "Seandainya usia anda panjang, akan anda lihat nanti sekedup (biasanya diisi oleh wanita) berangat dari Hirah hingga thawaf di Ka'bah dalam keadaan aman, tak ada yang ditakutinya kecuali Allah". Mereka mengambil pula sebagai alasan bahwa istri-istri Nabi saw. mengerjakan haji setelah dizinkan oleh khalifah Umar, yakni di waktu haji terakhir yang dilakukannya. Dikirimnya untuk mendampingi mereka Utsman bin 'Affan dan Abdurrahman bin 'Auf. Dengan demikian seandainya ada wanita yang melanggar dan ia naik haji tanpa didampingi oleh suami atau muhrimnya, maka hajinya sah. Dalam Subulus Salam tercantum pendapat Ibnu Taimiah menyebutkan dapat sah haji bagi wanita tanpa muhrim, begitupun bagi orangorang yang sebetulnya tidak sanggup. Jika alasannya karena faktor keamanan, realitasnya yang terjadi, banyak wanita yang berpergian sendirian dan banyak juga yang selamat/aman, asalkan dapat menjaga diri. Namun, jika keadannya tidak aman, wanita wajib disertai muhrim, suami atau teman wanita yang adil yang memungkinkan wanita tersebut dapat aman dari gangguan, godaan atau paksaan yang menyebabkan kehancuran diri dan agamanya. Singkatnya jika dalam keadaan aman, perempuan boleh berpergian tanpa didampingi muhrinya, begitu juga dalam melaksanakan ibadah haji dengan alasan darurat. Teks yang menjelaskan pakaian yang Islami adalah pakaian yang dapat menutup aurat, bagi laki-laki harus dapat menutup bagian tubuhnya antara pusat dan lutut, sedangkan bagi wanita harus dapat menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Dengan jelas teks ini mengnandung unsur bias gender, karena disebutkan aurat lakilaki antara pusat dan lutut, sedangkan aurat perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dalam pembahasan tentang sholat, khususnya tentang syarat sahnya sholat memang menutup aurat dengan
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011
3.
ketentuan tersebut di atas adalah wajib dan disepakati oleh jumhur ulama. Karena memang batasan aurat seperti tersebut pada asalnya merupakan ketentuan aurat pada saat melaksanakan sholat. Dari tinjauan etimologis, aurat diartikan sebagai "setiap sesuatu yang menyebabkan seseorang malu apabila dilihat orang lain sehingga dia menutupinya". Dengan mengembalikan kepada makna asal kata, aurat merupakan seseuatu yang menyebabkan orang malu bila dilihat orang lain, maka aurat merupakan bagian tubuh yang harus ditutup dan tidak boleh tampak. Bagian tubuh yang bila ditampakkan menyebabkan malu ini bersifat relatif, tidak mutlak, dan berubah sesuai dengan sosiokultural yang melingkupi tempat hidup seseorang. Oleh karena itu, ketentuan aurat laki-laki antara pusat sampai lutut sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, bukanlah suatu aturan dengan harga mati, melainkan batasan substansial minimal, sedangkan modelnya dapat disesuaikan dengan budaya setempat. Demikian juga ketentuan aurat perempuan yang harus menutup seluruh tubuh selain muka dan dua telapak tangannya merupakan batasan substansi maksimal, sedangkan modelnya dapat bervariasi. Namun Q.S. 24 : 31 harus tetap menjadi acuan norma berpakaian bagi perempuan sebagai batasan minimal, yakni harus menutup juyub-nya. Batasan ini merupakan ketentuan di luas sholat, sedangkan pada saat sholat, dapat dijelaskan bahwa aurat perempuan harus memenuhi batasan maksimlanya, yaitu menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Hal ini semata-mata hanya untuk memenuhi etika busana khususnya saat bermunajat dengan sang Pencipta. Teks yang menjelaskan semua wanita senang berhias dan memakai perhiasan. Akan tetapi, hendaknya harus selalu diingat untuk tidak memakai perhiasan yang berlebihan sehingga tidak mengundang orang jahat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan, seperti penodongan, penjambretan, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lainnya Penjelasan ini mengandung unsur bias gender, karena dalam kenyatannya laki-laki juga banyak yang suka berhias, hanya saja bentuk dan gaya berhiasnya tidak sama seperti wanita. Adapun alasan tidak boleh berhias secara berlebihan karena menghindari perbuatan jahat orang lain, sesungguhnya yang diingatkan tidak hanya perempuan yang
4.
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 73
berhias karena berhias bukan merupakan perbuatan dosa atau dilarang agama, tetapi juga laki-laki usil yang selalu mengganggu wanita-wanita yang berhias itulah yang dilarang atau diingatkan, karena perbuatannya itu nyata-nyata melanggar ketentuan agama Islam. Teks yang menjelaskan Rasul adalah seorang laki-laki, merdeka (bukan budak), yang diberi wahyu oleh Allah tentang agama dan mendapat perintah supaya menyampaikan (tablig) kepada semua makhluk. Jika tidak mendapat perintah bertablig, orang itu disebut nabi saja. Dengan teks yang mengandung unsur bias gender tersebut, dapat dipahami bahwa seorang Nabi dan Rasul Allah hanya khusus orang yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi seorang nabi dan Rasul Allah. Bahkan para Nabi dan Rasul Allah yang wajib diketahui berdasarkan al Qur-an ada 25 orang dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Dari teks ini menimbulkan pertanyaan; apakah Allah tidak pernah mengangkat seorang Nabi dari jenis kelamin perempuan? apakah seorang perempuan tidak layak menjadi Nabi dan Rasu? atau, pemahaman Nabi dan Rasul itu hanya dari kaum laki-laki, pada dasarnya hanya pemahaman yang mengandung unsur bias gender? Dalam surat Ali Imran ayat 35 diungkapkan bahwa: (Ingatlah), ketika isteri `Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Dalam ayat tersebut, jelas bahwa istri Imran adalah ibu dari Maryam. Selanjutnya Maryam dipilih oleh Allah sebagai seorang perempuan yang suci dan sanggup menerima dan mengemban perintah-perintah Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat 42; Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Bahkan dalam surat Maryam ayat 24, 30-33, dijelaskan bahwa Maryam adalah seorang perempuan perawan yang menjadi ibu Nabi 'Isa as. Dijelaskan juga bahwa Hawa adalah seorang perempuan pertama, Asiyah (istri Fir'aun) adalah perempuan beriman yang menyelamatkan nabi Musa, dan Ratu Saba' (Balqis) adalah Ratu yang bijaksana dan
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 menjadi istri nabi Sulaiman yang diungkapkan dalam surat Saba'. Dengan adanya perempuan-perempuan itu, dapat dipahami bahwa nama-nama Rasul dalam teks ajar agama Islam yang berjumlah 25 itu adalah yang dikisahkan dalam al Qur-an, tetapi ternyata Allah telah mengutus beberapa Rasul lain sebelum Muhammad saw. yang tidak disampaikan kepadanya. Karena itu, mungkin di antara Rasul Allah yang tidak dikisahkan dalam al Qur-an juga terdapat seorang perempuan. 5. Teks yang menjelaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi khatib di antaranya adalah khatib harus laki-laki dewasa. Teks ini dianggap mengandung unsur bias gender karena menutup bagi selain laki-laki untuk bisa bertindak sebagai khatib, terutama pada sholat sholat Jum'at. Meskipun tidak ditemukan dalil yang membolehkan perempuan menjadi khatib, tapi bukan tidak mungkin pada kondisi tidak ada yang mampu menjadi khatib kecuali perempuan, misalnya pada pelaksanaan sholat hari raya ataupun sholat gerhana bulan dan gerhana matahari. 6. Teks yang menjelaskan berziarah ke kubur disunahkan bagi laki-laki, juga mengandung unsur bias gender karena teks ini diskriminatif terhadap perempuan. Padahal hadis yang dijadikan dasar bahwa berziarah kubur hukumnya sunnah, adalah hadis yang sifatnya umum, adapun larangan bagi perempuan adalah mengiringi jenazah. Hadis yang memerintahkan untuk menziarahi kubur yaitu: ( 2 و أ9 آ ا &ت )رواO* / ء, وروهL Artinya: Berziarahlah kamu ke kubur karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu dapat mengingatkanmu kepada mati". (HR. Ahmad dan Muslim) Jika hadis ini yang dijadikan dasar hukumnya, maka seharusnya pengarang buku tidak menyebutkan sunah bagi lakilaki, tetapi sunah bagi kamu. Karena hadis itu tidak menyebutkan secara spesipik untuk laki-laki, di lain sisi apakah perempuan tidak layak untuk berziarah ke makam ayahnya, ibunya, suaminya atau anaknya serta orangorang tercinta lainnya. Kecuali itu apakah perempuan juga tidak layak untuk mengingat mati, yang pasti akan dialaminya. 7. Teks yang menjelaskan bagian anak laki-laki 2 kali daripada anak perempuan juga mengandung unsur bias gender. Ketentuan ini didasarkan pada surat an-Nisa ayat 11 yaitu:
Artinya: Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta Dari teks tersebut, dapat dipahami bahwa harga seorang perempuan hanya setengah seorang laki-laki. Padahal, dalam hukum Islam ditegaskan pembagian harta warisan didasarkan pada satu prinsip pokok, yaitu laki-laki dan perempuan sama-sama berhak mendapatkan warisan dari peninggalan kedua orang tua atau kerabat masing-masing. Menurut Huzaemah Tahido seperti dikutip oleh Eni Purwati, dengan mendasarkan kepada asbabun nuzul surat an-Nisa' ayat 11, menunjukkan bahwa Islam bertujuan meningkatkan hak dan derajat perempuan, pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain menunjukkana adanya kesejajaran dalam perolehan hak warisan, perempuan tidak selalu mendapatkan setengah dari bagian laki-laki. Memang tidak selamanya perempuan mendapatkan bagian 2:1, dalam posisi berbeda perempuan mendapat bagian yang sama dengan laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 12:
Artinya: Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 74
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 dicari melalui metode maqoshid al-tasyri' yang dikembangkan oleh Syatibi yang menyatakan bahwa syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat. Dengan menggabungkan teori maqoshid al-tasyri' dan keadilan sebagai substansi hukum waris Islam, maka bisa saja formula 2:1 yang digariskan hukum waris Islam diterapkan menjadi 1:1 (satu banding satu). Hal ini sangat mungkin diterapkan pada kondisi sekarang ini, dimana banyak perempuan dari kalangan keluarga muslim di Indonesia yang berfungsi sebagai pencari nafkah dan bahkan sebagai penanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. 8. Teks yang menjelaskan wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama Islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Berkaitan dengan wali nikah yang juga merupakan masculine gender, hendaklah dilacak dari segi historisnya. Sejarah menunjukkan bahwa sebelum Islam datang kedudukan perempuan di mata masayarakat Arab sangat hina, perempuan tidak berharga sama sekali, tidak lebih sekedar barang dan bahkan sampah. Sehingga jika lahir bayi perempuan, raut muka orang tuanya menjadi merah padam, bahkan mereka tidak segan menguburnya hidup-hidup. Sebagaimana diabadikan Allah dalam firman-Nya:
Pemberian bagian ahli waris berdasarkan 2 banding 1 mulai dipertanyakan komposisinya mengingat dinamika masyarakat saat ini sangat jauh berbeda dengan masyarakat sewaktu ayat-ayat waris tersebut turun. Artinya kebudayaan dan peradaban masyarakat saat ini sudah mengalami perubahan yang pesat sehingga hukum waris yang telah digariskan ajaran Islam dengan perbandingan 2 : 1, yaitu dua bagian anak laki-laki dibandingkan satu bagian anak perempuan, terasa kurang relevan. Kalau disimak pendapat para mufasir, misalnya Al Qasimi, beliau menyatakan bahwa Allah memberikan bagian perempuan setangah dari bagian laki-laki berdasarkan atas beberapa argument, di antaranya; pria mempunyai kewajiban memberikan nafkah, bekerja, dan melindungi, sedangkan perempuan hanya boleh menafkahi dirinya sendiri. Sementara Al-Jurjawi mengatakan bahwa pemberian bagian perempuan tersebut dikaitkan dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada suami. Suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya sehingga ia layak mendapatkan bagian lebih besar. Dengan melihat berbagai pendapat ulama tersebut dapat dipahami bahwa alasan substansi lakilaki diberi bagian lebih banyak karena peran yang ditampilkan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga lebih besar. Substansi hukum waris adalah "keadilan" karena sebelum hukum waris Islam datang perempuan tidak pernah mendapatkan keadilan dalam soal pembagian harta warisan. Perempuan pada saat itu tidak pernah diberi bagian harta warisan sedikitpun, bahkan justru dijadikan harta warisan yang dapat dibagi-bagi. Dalam kaitannya dengan hal in, Fazlur Rahman mengatakan bahwa untuk memahami Al Quran diperlukan pemahaman sosiohistoris, dengan anggapan bahwa setiap generasi menghadapi situasi yang berbeda, sehingga dapat melakukan interpretasi atas al Qur-an dengan menekankan pada hal-hal yang bersifat ideal dan prinsip serta mengembangkan kembali dalam bentuk yang sesuai dengan peradaban dan kondisi kehidupan kontemporer mereka sendiri. Upaya merekonstruksi pemahaman bukan merupakan hal yang tabu, sebab latar belakang sejarah dan sosial turunnya teks tersebut berbeda dengan masa sekarang. Budaya berbeda ini sudah ada sejak masa awal Islam, ketika Al Qur-an turun, terlebih lagi kondisi sekarang dimana setiap generasi menghadapi situasi berbeda akibat perbedaan waktu dan geografi. Di samping itu, bisa juga
Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hiduphidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS: an Nahl ayat 58-59) Kehadiran risalah Islam yang diajarkan Muhammad saw., telah banyak mengubah nasib perempuan, harkat dan martabatnya diangkat, dan eksistensinya diakui. Meskipun banyak hadis Nabi yang secara redaksional mengharuskan adanya wali nikah, hal tersebut harus dilihat dalam konteks historisnya. Kalau
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 75
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 juga tidak terbatas orang-orang yang telah dirumuskan sebagai wali, karena pada dasarnya perempuan mempunyai hak untuk menentukan menerima atau menolak calon pasangan hidupnya. Jika wali tetap dipertahankan, jenisnya tidak harus dari kaum lelaki, tetapi anggota keluarga yang berkepentingan dengan pernikahan tersebut meskipun dia perempuan. 9. Teks yang menjelaskan syarat dua orang saksi nikah, yaitu syaratnya Islam, baligh, berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), laki-laki, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Dengan merujuk kepada pendapat Al Zamakhsyari yang menyatakan bahwa kesaksian perempuan memiliki bobot setengah dari kesaksian lakilaki sehingga diperlukan dua orang perempuan sebagai pengganti seorang lakilaki. Hal ini adalah agar jika salah seorang di antara saksi perempuan itu lupa maka yang lain mengingatkannya. Dalam hal ini Zamakhsyari tidak menjelaskan apakah kesaksian itu diperbolehkan dalam segala urusan atau khusus urusan bisnis saja, dengan menyebut pendapat Abu Hanifah, Zamakhsyari menjelaskan bahwa persaksian perempuan itu hanya terbatas pada persoalan selain had dan qisas. Atas dasar pendapat ini kiranya perempuan juga menjadi saksi dalam pernikahan, tentu dengan mempedomani ketentuan kesaksian perempuan setengah kesaksian laki-laki. 10. Dalam menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri, beberapa buku teks pendidikan Agama Islam untuk kelas 3 SMA, juga masih mengandung unsur bias gender, karena dijelaskan suami memiliki 6 (enam) kewajiban sedangkan istri memiliki 7 (tujuh) kewajiban. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam, dimana perkawinan dibangun berdasarkan pada prinsip yang adil, egaliter, dan demokratis, termasuk juga kesetaraan gender, sehingga posisi suami dan istri dalam perkawinan harus selaras tanggung jawab yang dipikulnya. 11. Dalam membahas pemimpin keluarga, dijelaskan "secara kodrati, laki-laki mempunyai kelebihan dibandingkan wanita, baik secara fisik maupun mental. Karena kelebihan inilah, Allah telah menetapkan bahwa pemimpin keluarga berada di tangan suami. Al Qur-an sebagai sumber ajaran Islam telah menggariskan masalah kepemimpinan keluarga, yang dijelaskan dalam Q.S. 4:34. Dalam memahami ayat tersebut, para mufasirin lebih berpegang pada teks ayat yang menyatakan bahwa laki-laki
kedudukan perempuan pra Islam itu ibaratnya di dalam jurang, tidaklah mungkin Rasul lantas langsung mengangkatnya ke atas langit, jika perempuan Arab itu terpingit, sangatlah wajar apabila diperlukan wali untuk menikahkannya. Oleh karena itu apa yang dilakukan Rasulullah dalam legislasi hukum Islam yang berhubungan dengan wali nikah khususnya, dan yang terkait dengan perempuan secara umum, merupakan bentuk reformasi hukum yang belum final. Hal tersebut merupakan tadrij al-tasyri (tahapan legalisasi hukum) yang bersifat lokal temporal, sehingga perlu diselaraskan dengan perubahan situasi dan kondisi. Lebih lanjut Umma menjelaskan ada dua alternatif pemikiran dalam menanggapi pendapat mayoritas fukoha yang menjadikan wali nikah sebagai syarat dan rukun nikah. Pertama, mengharuskan adanya wali nikah dalam pernikahan, terlebih memberi haqq al-ijbar (memaksa) kepada wali, merupakan gender inequality yang tidak sejalan dengan jiwa syariat Islam sehingga harus dipertimbangkan. Namun, wali hanya memiliki haqq al-hisbah (hak pertimbangan dan pengawasan) karena jika alasan perlunya wali bagi perempuan didasarkan atas ketidak mampuan, kelemahan akal, dan sifat-sifat rendah lainnya, tentu sifat gender semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal dan permanen. Bisa jadi sifat-sifat ini justru dimiliki lelaki. Apabila hal ini terjadi, yang dibutuhkan sebagai wali tentunya bukan lelaki, melainkan perempuan. Kedua, apabila keberadaan wali nikah tetap dipertahankan, haruslah tidak dibedakan jenis dan urutannya yang notabenenya dari jenis lelaki, dengan demikian dibuka kemungkinan wali dari anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Kedua alternatif pemikiran tersebut dapat didukung dengan argumentasi bahwa pernikahan bukanlah urusan pribadi antara kedua calon, melainkan menyangkut kepentingan keluarga kedua belah pihak. Karenanya, yang berhak menikahkan tentunya tidak harus wali yang urutannya dirumuskan secara kaku dan formal. Wali hendaknya dipahami sebagai anggota keluarga kedua calon yang berkompeten dengan pernikahan, baik ia laki-laki maupun perempuan, dan kedudukan wali disini tidak sebagai syarat dan rukun nikah. Wali bukan penentu dan kunci sah dan tidaknya pernikahan, melainkan hanya sebagai orang (pihak) yang berhak untuk dimintai pertimbangan dan sebagai pengawas atas pelaksanaan akad nikah, karenanya jenisnya
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 76
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 qawwam atas perempuan, sehingga suamilah yang berhak menjadi pemimpin dalam keluarga. Hal ini karena laki-laki, secara umum memiliki kelebihan (fadhl) dan kewajiban memberi nafkah kepada istri. Jika yang menjadi penyebab laki-laki menjadi pemimpin keluarga karena fadhl dan infaqnya, maka siapa yang memiliki kelebihan daripada yang lain dalam kedua kriteria tersebut, maka dialah yang lebih berhak menjadi pemimpin keluarga, Dengan demikian, dalam suatu keluarga kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadhl dan infaqnya lebih baik. Siapapun yang menjadi pemimpin, suami atau istri, bila kedua belah pihak rela, kepemimpinan keluarga tidak akan menjadi masalah. Hal ini karena seluruh persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah atas dasar kesetaraan dan kerelaan sehingga tidak ada pihak yang tertekan dan menjadi korban kesewenang-wenangan dari pihak lain.
3.
4.
C. Rekonstruksi Teks Bias Gender Agar penjelasan-penjelasan unsur bias gender yang terdapat dalam buku teks Pendidikan Agama Islam untuk SMA tersebut dapat dipahami sebagai teks yang mencerminkan kesetaraan gender, maka diperlukan revisi atau rekonstruksi terhadap teks-teks tersebut. 1. Terhadap teks tentang syarat menunaikan ibadah haji bagi perempuan, yang menyebutkan "untuk menjamin jiwa dan harta calon haji wanita maka menjadi syarat wajib baginya pergi bersama suami atau muhrimnya". Teks ini sangat kaku, karena menuliskan kata syarat wajib , padahal alasan disyari'atkannya perempuan berpergian harus disertai muhrimnya adalah faktor keamanan, dengan demikian agar teks ini tidak mengandung unsur bias gender dapat direvisi dengan menambahkan penjelasan "bahwa perempuan jika dikhawatirkan tidak aman maka ia wajib disertai muhrimnya, tetapi jika dijamin aman dalam perjalanan maka perempuan tidak wajib disertai oleh muhrimnya, begitu juga dalam melaksanakan ibadah haji dengan alasan darurat". 2. Terhadap teks yang menyebutkan bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan seluruh tumbuhnya kecuali telapak tangan dan wajahnya, agar tidak mengandung unsur bias gender, dapat direvisi dengan menambahkan penjelasan bahwa dalam persoalan batas aurat laki-laki dan perempuan di kalangan
5.
6.
7.
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 77
ulama Islam juga masih ada perbedaan. Artinya ada yang memahami bahwa batasan tersebut berlaku pada saat melaksanakan sholat, sedangkan pada saat di luar sholat ada yang berpendapat bahwa aurat adalah bagian tubuh yang bila ditampakan menyebabkan malu dan ini bersifat relatif. Teks yang menjelaskan Rasul adalah seorang laki-laki, dapat direvisi dengan jalan menghilangkan kata laki-laki, sehingga dapat dipahami bahwa Nabi dan Rasul tidak hanya didominasi dan hanya bisa dicapai oleh manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Dengan menghilangkan kata laki-laki, bisa jadi kisah tentang Maryam adalah seorang Nabi pilihan Allah sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur-an yang dikisahkan secara tersendiri dan terpisah dengan kisah Nabi Isa as. Teks yang menyebutkan syarat untuk menjadi khatib adalah harus laki-laki, dapat direvisi dengan menambah penjelasan berikut; untuk khatib pada sholat Jum'at syaratnya harus laki-laki, tetapi pada sholat sunat 'idul Fitri dan 'idul Adha, atau sholat gerhana matahari dan bulan, jika tidak ada laki-laki yang dapat menjadi khatib, maka tidak menutup kemungkinan perempuan boleh menjadi khatib, apalagi jika jama'ahnya terdiri dari para perempuan saja. Teks yang menyebutkan ziarah kubur disunahkan bagi laki-laki, dapat direvisi dengan penjelasan, bahwa "berziarah kubur disunnahkan bagi umat Islam", dengan penjelasan ini dapat dipahami bahwa berziarah kubur tidak hanya sunnah bagi laki-laki tapi juga bagi perempuan. Teks tentang ketentuan "bagian anak lakilaki dua kali lipat bagian anak perempuan (2:1), dalam bab mawaris perlu direvisi dengan menambahkan asbab an nuzul ayat yang dijadikan dalil dan juga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi kekinian dengan menghadirkan ayat lain yang menjadi dasarnya. Dengan begitu wawasan dan pemahaman pembaca, khususnya guru dan anak didik, bahwa bagian warisan untuk anak laki-laki dan perempuan bukan diukur dari harga orang yang diwarisi, melainkan untuk menegakkan keadilan dan kedamaian bagi keluarga yang diwarisi, dengan demikian ada keadilan dan kedamaian yang seharusnya ditekankan dalam mawaris, bukan persoalan jumlah harta yang dibagikan. Penjelasan tentang wali dan saksi nikah harus laki-laki, seharusnya dilengkapi penjelasan bahwa pada persoalan ini terdapat
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 lambat laun pembelajaran agama Islam di SMA akan dapat merubah sikap dan mental masyarakat yang mengandung unsur bias gender, menjadi sikap dan mental serta budaya yang memiliki kesetaraan dan keadilan gender. \ 5. KESIMPULAN DAN SARAN
perbedaan pendapat di kalangan ulama, meskipun jumlahnya sedikit tapi ada golongan ulama yang berpendapat bahwa wali dan saksi dalam pernikahan boleh dilakukan oleh perempuan. 8. Untuk menghilangkan kesan bias gender, dalam menjelaskan tentang kewajiban suami istri, harus direvisi dengan redaksi: "Untuk melestarikan hubungan yang harmonis dalam rumah tangga, suami dan istri melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta fungsi dan kewajiban secara bersama-sama sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan saling menghormati dan menghargai antara satu sama lain". Demikian juga redaksi dalam penjelasan tersebut tidak perlu dibedakan ini untuk suami dan ini untuk istri. Sebaiknya, tugas-tugas tersebut dijadikan satu, untuk suami dan sekaligus untuk istri, sehingga akan mencerminkan bahwa keduanya sama-sama memikul tanggung jawab, baik dalam urusan domestik maupun publik. Perlu juga ditambahkan penjelasan, bahwa untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut hendaknya suami dan istri bermusyawarah dengan baik, sehingga masing-masing tidak ada yang dirugikan, dan keduanya saling mendukung dalam melaksanakan ibadah dan kebaikan. 9. Dalam menjelaskan tentang pemimpin keluarga, untuk merevisinya dapat ditambahkan dengan penjelasan; "Jika yang menjadi penyebab laki-laki menjadi pemimpin keluarga karena fadhl dan infaqnya, maka siapa yang memiliki kelebihan daripada yang lain dalam kedua kriteria tersebut, maka dialah yang lebih berhak menjadi pemimpin keluarga. Dengan demikian, dalam suatu keluarga kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadhl dan infaqnya lebih baik. Siapapun yang menjadi pemimpin, suami atau istri, bila kedua belah pihak rela, kepemimpinan keluarga tidak akan menjadi masalah." Dengan menambahkan redaksi tersebut dapat dipahami bahwa memimpin keluarga tidak mutlak di tangan suami, tetapi dengan alasan memiliki kelebihan dan memberi nafkah, bisa saja istri menjadi pemimpin keluarga jika memeliki fadhl yang lebih dan memberi nafkah suaminya. Dengan melakukan rekonstruksi atau revisi terhadap teks-teks tersebut kiranya akan memperkecil pemahaman terhadap bias gender dalam memepelajari buku teks pendidikan agama Islam untuk kelas 1 sampai kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Sehingga dengan demikian
A. Kesimpulan Dengan penjelasan dan penafsiran terhadap buku-buku ajar agama Islam untuk SMA, ditemukan ada tiga persoalan sentral yang mengandung unsur bias gender, yaitu pertama persoalan aqidah tentang iman kepada Nabi dan Rasul yang menjelaskan bahwa Rasul adalah seorang laki-laki, merdeka (bukan budak), yang diberi wahyu oleh Allah tentang agama dan mendapat perintah supaya menyampaikan (tablig) kepada semua makhluk. Jika tidak mendapat perintah bertablig, orang itu disebut Nabi saja. Kedua persoalan fiqih yang mencakup penjelasan tentang; syarat perjalanan haji dan umrah bagi perempuan yaitu tentang (kuasa dan mampu mengerjakan (istitha’ah), disebutkan "Bagi wanita ada muhrim yang menyertainya seperti; suami, ayahnya, saudara laki-lakinya atau wanita lain yang dipercaya, batas aurat laki-laki dan perempuan, ziarah kubur, dijelaskan bahwa berziarah ke kubur disunahkan bagi laki-laki, syarat menjadi khatib (syarat-syarat untuk menjadi khatib di antaranya adalah khatib harus laki-laki dewasa), mawaris (bagian anak laki dan anak perempuan: bagian anak laki-laki 2 kali lipat daripada anak perempuan), munakahat (wali nikah, saksi nikah, kewajiban suami istri, dan tentang pemimpin dalam keluarga) secara umum penjelasan tentang munakahat mengandung unsur bias gender karena lebih mengutamakan laki-laki dari pada perempuan. Ketiga adalah persoalan akhlak yang mengatur tentang tata krama berhias perempuan dan laki-laki, pada masalah pakaian misalnya ditemukan penjelasan bahwa pakaian yang Islami adalah pakaian yang dapat menutup aurat, bagi laki-laki harus dapat menutup bagian tubuhnya antara pusat dan lutut, sedangkan bagi wanita harus dapat menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Berkenaan dengan perhiasan wanita, dijelaskan semua wanita senang berhias dan memakai perhiasan, akan tetapi, para wanita juga diperingatkan supaya tidak berhias (bersolek) dan bergaya seperti halnya apa yang dilakukan pada zaman pra Islam. Terhadap persoalan-persoalan tersebut perlu dilakukan revisi baik secara redaksional maupun dengan cara menambah penjelasan dan dalil-dalil terkait, sehingga memberi pemahaman yang tidak mengandung unsur bias gender
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 78
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011 Mas'udi, Masdar F. "Perempuan dalam wacana Keislaman," dalam Smita Notosutanto dan E. Kristi Poerwandari (peny). Perempuan dan pemberdayaan : kumpulan karangan untuk menghormati ulang tahun ke 70 ibu saparinahsadli, cet I, Jakarta: yayasan obor Indonesia, 1997. MGMP-PAI, Pendidikan Agama Islam SMA 1, Medan: Telaga Mekar, 2004. MGMP-PAI, Pendidikan Agama Islam SMA 2, Medan: Telaga Mekar, 2004. MGMP-PAI, Pendidikan Agama Islam SMA 3, Medan: Telaga Mekar, 2004. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Murata, Sachiko. The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan,1996. Nazir, Moh. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia,1988. Purwati, Eni. Dekonstruksi Teks Bias Gender Interpretasi Buku-buku Ajar Agama Islam Tingkat SD,SMP, dan SMA. dalam Jurnal Penelitian Islam Indonesia Istiqro' ,Volume 03, Nomor 01,2004. Rachman, Erlita. "Sekolah? Buat Apa, Kan Bakal Kedapur," Dalam Majalah Femina, no. 16/XXV edisi 24-20 April 1997 Rostiawati, Yustina. Memuju Sosialisasi Ketimpangan Bias Jender: Guru Sekolah Dasar Sebagai Agen Yang Potensial," Dalam Smita Notosutanto dan E.Kristi Porwandari. Perempuan Dan Pemberdayaan : Kumpulan Karangan Untuk Menghormati Ulang Tahun Ke 70-Ibu Saparinah Sadli. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 5, terjemahan Mahyuddin Syaf, Bandung: Al Ma'arif, 1982. Shahih Muslim, Juz awal, Bandung: al Ma'arif,tt. Suhandjati, Sri (Ed.), Bias Jender dalam Pemahaman Islam,Yogyakarta: Gama Media, 2002. Supandi, Yusuf (ed.), Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Jender, Jakarta: Kontor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001. Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001. Syamsuri. Pendidikan Agama Islam SMA untuk Kelas X, Jakarta: Erlangga,2004.
kepada para pembaca, khususnya guru dan anak didik di tingkat Sekolah Menengah Atas.
DAFTAR PUSTAKA Alimi, Mohammad Yasir. dkk, Avdokasi HakHak Perempuan: Mambela Hak Mewujudkan Perubahan cet I, Yogyakarta :LKiS 1999. Al-Qasimi, Jamal al-Din. Tafsir al-Qasimi, Juz V, Beirut: Dar al-Fikr,tth. Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Mustafa Muhammad,tth. Aminuddin, Pendidikan Agama Islam Kelas 3 SMA, Jakarta: Bumi Aksara,2005. Anwar, Junaidi. Agama Islam Lentera Kehidupan, untuk Kelas 1 SMA, Jakarta: Yudhistira,2005. Arifin,Anwar Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UndangUndang Sisdiknas, Jakarta: Dep. Agama RI Dirjen Kelembagaan agama Islam,2003. Bungin, Burhan (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada,2006. Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit JART,2005. Haludhi, Khuslan. Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam, untuk Kelas 2 SMA, Solo: Tiga Serangkai,2004. Hoesein, Abdul Azis Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif, Jakarta: Kontor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002. Jurjawi, Ahmad Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr,tth. Kane, Elieen. Seeing Yourself : Research Handbook For Girls Education In Africa, Wasingthon DC : The World Bank,1995. Kembaren, Jamuddin. Pendidikan Agama Islam, 2 Untuk SMA Kelas XI, Medan: Cipta Prima Budaya,2005. Marcoes, Lies -Natsir. (Ed.), Pengarusutamaan Jender Suatu Strategi dalam Pembangunan, Jakarta. Kontor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI dan Women Support Project II/CIDA,2001.
Margiono, Agama Islam Lentera Kehidupan, untuk Kelas XI SMA, Jakarta: Yudhistira, 2005.
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 79
PROSESOR, Vol 2 Edisi 4 Des 2011
AMIK INTeL Com GLOBAL INDO 80