Indah Wahyu Puji Utami, Wacana Ideologi Negara …..
113
WACANA IDEOLOGI NEGARA DALAM BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK (BSE) SEJARAH SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) Indah Wahyu Puji Utami Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Abstrak: Buku Sekolah Elektonik (BSE) Sejarah SMA merupakan historiografi untuk tujuan pendidikan. Buku teks sejarah merupakan bagian dari sejarah resmi negara yang mengandung banyak wacana ideologi negara. Wacana-wacana dalam buku teks sejarah tersebut dapat dilihat sebagai praktik ideologi yang memproduksi hubungan yang tidak seimbang antara rakyat dan negara sebagai bagian dari hegemoni. Oleh karenanya sangat penting untuk mengungkap wacana-wacana ideologi negara dengan menggunakan analisis wacana kritis. Kata-kata kunci: Buku Sekolah Elektronik (BSE) Sejarah SMA, wacana ideologi negara, analisis wacana kritis. Abstract: History Electronic Textbook for High School is a historiography for educational purpose. History textbook is part of the state’s official history that contains many state ideological discourses. Those discourses on history textbook could be seen as ideological practiced which produce inequality relations between people and the state as part of hegemony. It is important to reveal the state ideological discourses by using critical discourse analysis. Keywords: History Electronic Textbook for High School , state ideological discourse, critical discourse analysis
Buku teks merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembelajaran. Buku teks merupakan salah satu bagian dari sumber belajar. Buku teks juga merupakan bagian penting dari pelaksanaan kurikulum. Penulis menginterpretasikan kurikulum dan menuliskannya dalam bentuk buku teks. Buku teks seringkali membebani siswa karena harganya mahal dan hanya dapat dijangkau oleh kalangan tertentu. Menanggapi hal itu, Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mengeluarkan kebijakan mengenai buku teks yang termuat dalam Peraturan Menteri Pedidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan ini pemerintah membeli hak cipta buku teks yang telah lolos seleksi dan dinilai layak oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Buku ini selanjutnya dikenal sebagai Buku Sekolah
Elektronik (BSE) karena diedarkan oleh pemerintah dalam bentuk buku elektorik atau e-book. BSE dapat diunduh, diperbanyak atau dicetak oleh siapa saja tanpa harus meminta ijin pada pemegang hak cipta. Penerbit diberi kesempatan untuk menerbitkan buku ini dan mengedarkannya, namun harga eceran tertinggi BSE ditetapkan oleh pemerintah. BSE Sejarah sebagai buku teks menyajikan materi yang merupakan pengembangan dari Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam kurikulum. Dalam pengembangan materi ini penulis buku teks sebenarnya melakukan interpretasi terhadap SK dan KD untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah yang terdapat dalam kurikulum. Materi yang ditulis dalam buku teks sejarah haruslah berpijak pada kurikulum. Kurikulum secara teoritis merupakan kebijakan politik, sehingga materi pelajaran
114
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 1, Juni 2014
sejarah tidak bisa lepas dari kepentingan politis pemerintah. Kondisi politik negara sangat berpengaruh terhadap kurikulum dan materi dalam buku teks sejarah. Hal ini terjadi karena buku-buku teks sejarah di sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran sejarah dan kesadaran nasional menurut versi negara (Nordholt, 2005:15). Perkembangan politik pasca reformasi melahirkan tulisan-tulisan sejarah yang menjadi historiografi tandingan bagi sejarah versi negara, terutama berkaitan dengan materi sejarah kontroversial. Intervensi masyarakat dalam pengajaran sejarah di sekolah pun terjadi. Masyarakat mulai mempertanyakan kebenaran dan keabsahan materi sejarah yang terdapat dalam buku teks sejarah di sekolah yang disusun berdasarkan “sejarah resmi” pada masa Orde Baru. Menteri Pendidikan Yuwono Sudarsono (1998-1999) memerintahkan agar diadakan penyelidikan mengenai persoalan ini untuk memperbaiki isi buku resmi pelajaran sekolah. Namun, hasilnya kurang memuaskan karena masalah kudeta 1965 dan peranan militer tidak diubah (Nordholt, 2005:18). Buku teks sejarah mengalami perubahan lagi pada tahun 2004, terutama mengenai Gerakan 30 September 1965 yang sering dianggap kontroversial. Kurikulum 2004 tidak mencantumkan PKI di belakang G30S sehingga buku teks sejarah pun mencantumkan berbagai versi mengenai peristiwa G30S. Jika dilihat dari perspektif ilmu sejarah perubahan ini tidak salah. Pencantuman berbagai versi mengenai G30S sebenarnya juga memancing siswa untuk berpikir kritis mengenai sejarah yang kontroversial. Namun, perubahan ini ternyata sangat sensitif dari segi politik, sehingga dalam kurikulum berikutnya yang berlaku mulai tahun 2006 penyebutannya kembali menjadi G30S/PKI. Perubahan ini sebenarnya merupakan hasil intervensi kelompok masyarakat
tertentu dan negara. Pada tahun 2005 beberapa tokoh Islam seperti Jusuf Hasyim, Taufiq Ismail, dan Fadli Zon mendatangi DPR dan mempertanyakan kenapa dalam kurikulum 2004 tidak dicantumkan tentang pemberontakan PKI 1948 dan 1965. Setelah melakukan hearing dengan DPR, Menteri Pendidikan Nasional membentuk tim khusus untuk menangani masalah ini. Hasil rekomendasi dari tim tersebut adalah peristiwa PKI Madiun 1948 perlu dimasukkan kembali dalam pendidikan sejarah, selain itu perlunya pencantuman kata PKI setelah Peristiwa G30S sehingga menjadi G30S/PKI (Adam, 2006:xvii). Konstruksi penulis buku teks mengenai berbagai peristiwa sejarah yang ditulis dalam buku teks menarik untuk dikaji. Hal ini perlu dilakukan untuk menangkap makna di balik wacana-wacana yang disajikan dalam buku teks sejarah. Sejarah sesungguhnya dapat dianggap sebagai suatu sistem wacana, discourse, yang ingin mengatakan “sesuatu tentang sesuatu” (Abdullah, 2005:xviii). Wacana sejarah terikat oleh konteksnya, terutama konteks waktu yang merupakan salah satu ciri khas dari studi sejarah. Pengungkapan makna wacana sejarah ini penting karena praktik wacana dalam sejarah, seperti praktik wacana pada umumnya, sebenarnya merupakan praktik sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan ataupun ideologi. Untuk menguasai seseorang atau kelompok tertentu maka negara/ penguasa harus bisa mempengaruhi pemikiran mereka (van Dijk, 1998:10). Pengungkapan makna di balik wacana yang tersaji dalam buku teks sejarah dapat dilakukan dengan menggunakan analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis adalah salah satu cabang studi bahasa dengan pendekatan yang multidisipliner. Analisis wacana kritis tidak memahami wacana atau teks sematamata sebagai obyek studi bahasa, namun teks harus dipahami dalam konteksnya. Wacana dipandang sebagai teks yang selalu terikat
Indah Wahyu Puji Utami, Wacana Ideologi Negara …..
pada konteks. Kita dapat memahami makna teks jika membacanya dalam konteks tertentu. Teks dalam hal ini tidak selalu berupa tulisan, namun juga ujaran. Ilmu sosial yang meminjam analisis wacana kritis dalam studinya bahkan melihat tindakan atau fenomena sosial sebagai teks yang harus dipahami maknanya dalam konteks sosial tertentu. Teks juga merupakan alat untuk mencapai tujuan atau praktik sosial tertentu, termasuk praktik ideologi. Teun A. van Dijk (1998:1) mengungkapkan, Critical discourse analysis primarily studies the way social power abuse, dominance and inequality are enacted, reproduced and resisted by text and talk in the social and political context.…critical discourse analysis take explicit position, and thus want to understand, expose and ultimately to resist social inequality.
Wacana sebagai praktik sosial tak jarang muncul dalam bentuk praktik ideologi. Yoce Aliah Darma (2009:56) membatasi ideologi dalam kaitannya dengan analisis wacana kritis sebagai sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk prosesproses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan. Analisis wacana kritis perlu dilakukan dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan formal, karena pembelajaran selalu bersinggungan dengan teks atau wacana. Negara dan/atau penguasa berusaha menggunakan wacana dalam pendidikan, terutama pendidikan sejarah, untuk maksudmaksud tertentu, termasuk untuk praktik ideologi. Mata pelajaran sejarah memiliki arti penting dalam membangun kesadaran sejarah dan terutama membangun kesadaran nasional suatu bangsa. Kesadaran sejarah merupakan sumber aspirasi dan inspirasi yang potensial untuk membangkitkan sense of pride
115
(kebanggaan) dan sense of obligation (tanggung jawab dan kewajiban) (Kartodirjo, 2005:121). Oleh karenanya negara sangat berkepentingan dalam praktik wacana sejarah dalam buku teks yang digunakan di sekolah. Praktik wacana ideologi dalam buku teks merupakan salah satu cara untuk legitimasi kekuasaan dan melestarikan nilainilai yang dianggap penting oleh negara atau penguasa pada masanya. Pada masa revolusi buku-buku teks sejarah dipenuhi dengan tema-tema ideologi nasionalisme,patriotisme, anti feodalisme dan anti kolonialisme. Pada masa demokrasi terpimpin tema-tema ideologi NASAKOM dan MANIPOLUSDEK Presiden Soekarno muncul dalam buku-buku teks sejarah. Sementara itu pada masa Orde Baru, tema-tema ideologi pembangunan, anti-komunisme, nasionalisme/persatuan dan kesatuan, dan stabilitas/ keamanan nasional muncul dalam buku teks sejarah. Pasca reformasi 1998, tema-tema wacana ideologi masa Orde Baru masih muncul dalam buku teks. Anti-komunisme sempat mendapatkan tantangan dengan munculnya berbagai historiografi alternatif yang sebelumnya dibungkam. Buku-buku teks sejarah mencantumkan berbagai versi tentang G30S. Namun, hal ini tidak berlangsung lama, karena pada 2006 tema ideologi anti-komunisme kembali muncul dalam buku teks sejarah. Buku teks sejarah yang tidak mencantumkan PKI di belakang G30S dilarang beredar di pasaran. Tafsiran sejarah resmi (official history) saat ini masih dibayang-bayangi oleh tafsiran masa Orde Baru padahal era dan jiwa jaman telah berubah. Anti komunisme hanyalah salah satu tema ideologi yang muncul dalam buku teks. Pelbagai tema ideologi diduga muncul dalam praktik wacana ideologi pada buku teks sejarah, terutama BSE Sejarah SMA. Hal ini menarik untuk diteliti, terutama bagaimana tema-tema ideologi dimunculkan dalam praktik wacana, proses produksi wacana
116
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 1, Juni 2014
ideologi, dan konteks politik pendidikan yang melingkupinya. Penelitian mengenai buku teks sejarah pernah dilakukan oleh Murti Kusuma Wirasti (2001). Hasil dari penelitian ini antara lain tema-tema ideologi negara yang cenderung muncul dalam buku teks periode 1975-2001 adalah stabilitas/ keamanan nasional, kemajuan materiil/ pembangunan, anti-komunisme, dan nasionalisme/persatuan dan kesatuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa proses hegemoni yang dijalankan berdampingan dengan tindakan-tindakan represif, misalnya dengan tindakan hukum, pelarangan, dan sensor. Penelitian tentang buku teks sejarah SMA di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Darmiasti (2002). Hasil dari penelitian ini antara lain buku-buku yang dipakai pada Kurikulum 1964 masih diwarnai dengan nuansa Nerlandosentris, sementara buku yang dipakai pada Kurikulum 1968 sudah mulai Indonesiasentris dan menunjukkan nuansa ideologis yang kemudian makin nampak dalam buku-buku sejarah pada Kurikulum 1975, 1984 serta PSPB. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) kecenderungan tematema ideologi negara yang muncul dalam
Buku Sekolah Elektronik (BSE) Sejarah Sekolah Menengah Atas, (2) proses produksi wacana ideologi negara dalam Buku Sekolah Elektronik (BSE) Sejarah Sekolah Menengah Atas, (3) konteks politik pendidikan yang mempengaruhi praktik wacana ideologi negara dalam Buku Sekolah Elektronik (BSE) Sejarah Sekolah Menengah Atas. METODE PENELITIAN Penelitian terhadap BSE Sejarah SMA merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis wacana kritis yang akan menghubungkan teks dan konteks untuk melihat tujuan dan praktik bahasa. Penelitian ini mengalanisis wacana ideologi negara dalam BSE Sejarah SMA, proses produksi wacana tersebut dan konteks sosial politik yang melingkupi praktik wacana tersebut. Guna mengungkap semua itu digunakan analisis wacana kritis yang tidak hanya mengungkap makna sebuah wacana, tapi juga konteks wacana sehingga dapat diperoleh pemahaman yang holistik mengenai wacana yang dianalisis. Oleh karenanya model analisis wacana kritis yang cocok untuk digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis model Fairclough. Secara sederhana dimensi analisis wacana kritis menurut Fairclough (1997:210) dapat digambarkan sebagai berikut.
Teks Praktik Wacana Praktik Sosial Budaya
Bagan 1. Dimensi analisis wacana kritis menurut Fairclogh Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) BSE Sejarah SMA Kelas XII IPA karya Sh. Mustofa, Suryandari dan Tutik Mulyati, (2) dokumen mengenai
kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai buku teks sejarah misalnya Permendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang buku teks pelajaran, dan Permendiknas No. 48 Tahun
Indah Wahyu Puji Utami, Wacana Ideologi Negara …..
2007 tentang penetapan buku teks sejarah yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran, (3) dokumen dari media massa mengenai buku teks sejarah, (4) informan dalam penelitian ini antara lain para penulis BSE Sejarah SMA, kepala redaksi dari pihak penerbit serta penilai kelayakan BSE Sejarah SMA, dan guru yang menggunakan BSE Sejarah SMA dalam pembelajaran sejarah. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan analisis teks model Fairclough, wawancara dan studi literatr/dokumen. Sementara validitas data menggunakan validitas analisis wacana kritis menurut Ibnu Hamad (2010) yaitu holistik, historical situatedness, dan teori. Teknik analisis menggunakan teknik analisis wacana kritis menurut Fairclouh yaitu deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi.
117
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tema-tema Ideologi Negara dalam BSE Sejarah Berdasarkan analisis teks terhadap BSE Sejarah Kelas XII IPA maka tema-tema ideologi yang cenderung muncul antara lain konstitusionalisme, anti komunisme/sosialis komunis, stabilitas, pembangunan/kemajuan, demokrasi/ kemerdekaan/hak asasi manusia, anti Orde Baru, dan globalisasi ekonomi/ liberalisme kapitalisme. Sebagian besar tema-tema tersebut ternyata mirip dengan tema-tema ideologi yang ditemukan oleh Murti Kusuma Wirasti dalam penelitiannya tahun 2002 tentang wacana ideologi negara dalam teks pendidikan tahun 1975-2001, yaitu konstitusionalisme, anti komunisme, stabilitas,pembangunan/kemajuan,demokras/ kemerdekaan/hak asasi manusia (HAM). Hal ini menunjukkan bahwa tema-tema ideologi yang diusung sejak masa Orde Baru masih melekat dalam teks-teks pendidikan di era reformasi.
118
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 1, Juni 2014
Tabel 1. Tema-tema Ideologi Negara yang Muncul dalam BSE Sejarah Kelas XII IPA
√ √
√
Globalisasi ekonomi/ Liberalis kapitalis
√
Anti Orde Baru
√ √ √
Demokrasi/ Kemerdekaan/ HAM
I/A I/B I/C I/D II/A II/B II/C III/A III/B III/C III/D III/E III/F III/G
Pembangunan/ Kemajuan materiil
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Stabilitas
Bab/Subbab
Anti komunis/ Sosialis komunis
No
Konstitusionalisme
Tema Ideologi
√ √
√
√ √ √
√ √ √ √
√
√
√ √ √
√ √ √
Praktik Produksi dan Konsumsi BSE Sejarah Negara melakukan kontrol terhadap produksi maupun konsumsi wacana dalam BSE Sejarah. Kontrol terhadap produksi wacana dilakukan melalui berbagai regulasi mengenai penulisan buku teks hingga penilaiannya, misalnya saja melaui PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendiknas No 11 tahun 2005 tentang buku teks pelajaran. Isi buku teks harus sesuai dengan standar isi seperti yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Selain itu peraturan ini juga mewajibkan setiap satuan pendidikan untuk memiliki sarana berupa buku teks pelajaran. Sementara Permendiknas No. 11 tahun 2005 mengatur lebih rinci mengenai buku teks, mulai dari
√
kedudukan buku teks, penilaian buku teks, hingga penggunaan buku teks pelajaran di tingkat satuan pendidikan. Peranan strategis dalam melakukan penilaian buku teks pelajaran dipegang oleh BSNP. Negara melalui BSNP menentukan kriteria kelayakan yang dijadikan patokan dalam penyusunan intrumen penilaian kelayakan buku teks. BSNP menyusun instrumen dan pedoman penilaian sebelum penilaian dilaksanakan. Penyusunan instrumen penilaian dikembangkan oleh tim ahli bidang studi, ahli bahasa, ahli psikometri, dan ahli grafika. Baik penulis, penerbit, maupun penilai harus mengacu pada instrumen tersebut. BSNP tidak menggunakan penilaian aspek keamanan dalam menilai buku-buku teks yang akan dijadikan BSE. Penilaian yang
Indah Wahyu Puji Utami, Wacana Ideologi Negara …..
dilakukan oleh BSNP memang lebih longgar dari penilaian yang dilakukan terhadap bukubuku teks pada masa Orde Baru. Penulis buku teks pun mengaku bahwa di masa Reformasi ini penulis bisa lebih bebas daripada di masa Orde Baru meskipun masih ada hal-hal tertentu yang dibatasi. Selain melakukan kontrol terhadap produksi wacana, negara juga berusaha melakukan kontrol terhadap konsumsi wacana melalui berbagai regulasi, misalnya Permendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks dan Permendiknas No. 48 tahun 2007 tentang penetapan buku teks pelajaran sejarah yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Kontrol yang dilakukan oleh negara baik pada produksi maupun konsumsi wacana dalam BSE Sejarah sebagai buku teks ternyata tidak sekuat pada masa Orde Baru. Kontrol yang dilakukan oleh negara dalam konsumsi buku teks hanya sebatas regulasi yang belum tentu ditaati oleh semua guru. Buku teks bukan satu-satunya sumber pembelajaran. Guru masih menggunakan buku-buku atau sumber lainnya. Dengan demikian wacana ideologi dalam buku teks bukanlah satu-satunya wacana dalam pembelajaran di sekolah. Praktik Politik Pendidikan Kurikulum merupakan salah satu bentuk kebijakan politik pendidikan. Kurikulum mata pelajaran sejarah selama masa reformasi mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama terjadi pada tahun 1999 dengan keluarnya Suplemen Kurikulum 1999 yang dipengaruhi oleh kondisi sosial politik awal reformasi. Selanjutnya pergantian kurikulum terjadi pada tahun 2004 melalui Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) namun kurikulum ini tidak bertahan lama karena dianggap tidak selaras dengan fakta sejarah sehingga pada 2005 dilakukan penghentian penggunaan kurikulum 2004/KBK untuk
119
mata pelajaran sejarah dan kembali pada kurikulum 1994. Hal ini dianggap sebagai suatu kemunduran. Selain itu bersamaan dengan penghentian penggunaan kurikulum 2004 tersebut, buku-buku teks mata pelajaran sejarah yang disusun berdasarkan kurikulum tersebut juga dilarang penggunaannya. Namun pelarangan ini tidak terlalu dirasakan efeknya. Kurikulum mata pelajaran sejarah kemudian mengalami perubahan lagi tahun 2006 dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Setahun kemudian terjadilah peristiwa pelarangan buku-buku teks pelajaran sejarah yang tidak memuat G30S/PKI karena dianggap tidak selaras dengan fakta sejarah. Pelarangan ini membawa dampak yang luar biasa di beberapa daerah berupa penarikan hingga pemusnahan buku-buku teks pelajaran sejarah yang tidak menuliskan G30S/PKI. Kebijakan pelarangan buku-buku teks pelajaran sejarah tersebut turut mempengaruhi penulisan buku teks yang diajukan sebagai BSE. Pembahasan Beberapa tema ideologi yang muncul dalam BSE Sejarah Kelas XII IPA adalah konstitusionalisme, anti komunisme/sosialis komunis, stabilitas, pembangunan/kemajuan, demokrasi / kemerdekaan / hak asasi manusia, anti Orde Baru, dan globalisasi ekonomi/liberalisme kapitalisme. Tema konstitusionalisme muncul dalam lima dari empat belas subbab yang dianalisis. Penulis buku mengkonstruksikan berbagai peristiwa atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah baik semasa Orde Baru maupun Reformasi sebagai usaha atau jalan yang konstitusional. Misalnya saja lahirnya Orde Baru maupun Reformasi sama-sama dikonstruksikan di lakukan secara konstitusional. Sementara itu ada pula peristiwa atau kebijakan yang dikonstruksikan sebagai tindakan inkonstitusional dalam teks, misalnya saja masalah
120
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 1, Juni 2014
kebijakan konfrontasi dengan Malaysia yang dilakukan oleh Presiden Soekarno, ataupun Dekrit Presiden yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung teks ingin menekankan bahwa kebijakan yang diambil oleh setiap pemerintahan seharusnya selalu memiliki landasan konstitusional, yaitu UUD 1945. Tindakan inkonstitusional di gambarkan sebagai tindakan yang tidak baik. Tema anti komunisme / sosialis komunis muncul dalam empat subbab. Secara umum komunisme ataupun sistem sosialis komunis dikonstruksikan secara negatif dalam teks. Dalam konteks sejarah Indonesia misalnya, PKI dikonstruksikan sebagai pelaku peristiwa G30S melalui penyebutan G30S/PKI. Selain itu dalam teks pada subbab pertama juga disebutkan adanya usaha pembersihan terhadap unsur-unsur yang diduga terkait dengan G30S/PKI. Penggunaan kata “pembersihan” seakan menggambarkan bahwa kehidupan politik di Indonesia saat itu tercemar dengan PKI. Dalam konteks Perang Dingin pun Blok Timur yang menganut sosialis komunis dikonstruksikan secara negatif. Misalnya saja dalam teks mengenai Perang Korea dikonstruksikan bahwa tindakan Cina yang membantu Korea Utara menduduki Seoul sebagai tindakan yang salah, sementara tindakan Amerika Serikat membantu Korea Selatan menduduki Pyongyang dikonstruksikan sebagai usaha menjaga stabilitas keamanan dan menyatukan kedua Korea. Tema lain yang muncul dalam teks adalah stabilitas. Tema ini muncul dalam tujuh dari empat belas subbab yang dianalisis. Stabilitas baik dalam bidang keamanan, politik maupun ekonomi dikonstruksikan sebagai hal yang penting.Stabilitas keamanan dan politik dikonstruksikan sebagai dasar dalam mencapai stabilitas ekonomi. Oleh karenanya kedua hal itu harus dicapai terlebih dahulu. Masa-masa awal lahirnya Orde Baru maupun Reformasi dikonstruksikan sebagai masa yang tidak stabil sebagai akibat dari
peristiwa maupun kebijakan yang diambil oleh pemerintahan pada masa sebelumnya sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencapai stabilitas ini. Tema pembangunan/kemajuan materiil muncul dalam tiga subbab. Tema ini muncul terutama dalam teks yang membahas mengenai keberhasilan pembangunan dan perkembangan teknologi yang dicapai semasa pemerintahan Orde Baru. Selain itu tema ini juga muncul dalam teks yang membahas mengenai perkembangan teknologi pada masa Perang Dingin. Pembangunan ataupun kemajuan dikonstruksikan sebagai keberhasilan yang dicapai suatu negara. Tema demokrasi / kemerdekaan / hak asasi manusia muncul dalam tiga subbab. Dalam konteks Indonesia, demokrasi di konstruksikan sebagai hal yang baik. Pemerintahan Orde Baru dikonstruksikan telahmampu melaksanakan praktik demokrasi melalui penyelenggaraan pemilih-an umum setiap lima tahun sekali. Kemerdekaan dikonstruksikan sebagai hak semua bangsa. Indonesia dikonstruksikan berperan serta dalam usaha mendukung perjuangan bangsabangsa lain dalam memperoleh kemerdekaan maupun persamaan hak asasi manusia. Teks juga menampilkan tema anti Orde Baru. Meskipun di dalam teks Orde Baru lebih banyak dikonstruksikan secara positif, namun Orde baru juga dikonstruksikan secara negatif, misalnya saja Orde Baru di konstruksikan melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaanya termasuk dengan membelenggu kehidupan masyarakat. Orde Baru juga dikonstruksikan sebagai biang keladi atas instabilitas politik dan ekonomi yang memuncak pada 1998. Tema lain yang muncul adalah globalisasi ekonomi/liberalis kapitalis yang dikonstruksikan sebagai hal yang tidak dapat dihindari. Indonesia mau tidak mau terseret dalam arus globalisasi ekonomi yang didominasi oleh kepentingan kaum liberalis kapitalis. Sistem liberalis kapitalis lebih
Indah Wahyu Puji Utami, Wacana Ideologi Negara …..
banyak dikonstruksikan secara positif. Negara yang menerapkan sistem ini di gambarkan sebagai negara yang mampu mengatasi masalah ekonominya dan mampu bangkit menjadi negara maju setelah berakhirnya Perang Dunia II maupun semasa Perang Dingin. Beberapa tema ideologi yang muncul dalam BSE Sejarah Kelas XII IPA tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan tematema ideologi yang ditemukan oleh Murti Kusuma Wirasti dalam penelitiannya tahun 2002 tentang wacana ideologi negara dalam teks pendidikan tahun 1975-2001, yaitu konstitusionalisme, anti komunisme, stabilitas, pembangunan / kemajuan, demokrasi / kemerdekaan/hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tema-tema ideologi yang diwacanakan sejak masa Orde Baru tersebut masih terus bertahan meskipun rezim telah berubah. Pada masa awal reformasi beberapa wacana sejarah Orde Baru sempat dipertanyakan, termasuk sejarah resmi versi negara (official history) yang diajarkan di sekolah, sehingga terjadi perubahan dalam kurikulum sejarah dengan keluarnya Suplemen 1999. Pada masa reformasi juga muncul berbagai buku atau tulisan sejarah alternatif yang berbeda dengan official history versi Orde Baru. Suplemen Kurikulum 1999 kemudian diganti dengan Kurikulum 2004. Namun kurikulum ini tidak bertahan lama karena ada desakan dari beberapa pihak terkait dengan masalah peristiwa G30S dan peristiwa Madiun 1948. Mendiknas pun menghentikan penggunaan kurikulum 2004 khusus untuk mata pelajaran sejarah dan kembali ke kurikulum 1994. Kembali kepada kurikulum 1994 berarti kembali kepada official history versi Orde Baru yang sarat dengan wacana dan ideologi Orde Baru yang banyak digugat sejak masa Reformasi. Official history mengenai peristiwa G30S dan peristiwa Madiun 1948 versi Orde
121
Baru dilanjutkan dalam KTSP yang mulai diterapkan tahun 2006. Tafsir lain tidak diperkenankan untuk muncul dalam buku teks pelajaran sejarah karena dianggap tidak selaras dengan fakta sejarah. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk domestifikasi yang berujung pada pembodohan yang dilakukan oleh negara. Tilaar (2003:90) menyebutkan bahwa proses domestifikasi atau penjinakan dalam dunia pendidikan membunuh kreativitas dan menjadikan manusia atau peserta didik sebagai robotrobot yang sekedar menerima transmisi nilainilai kebudayaan yang ada. Domestifikasi dalam dunia pendidikan berujung pada pembodohan (stupidfikasi). Hasil analisis teks juga menunjukkan bahwa Soeharto maupun Orde Baru lebih banyak dikonstruksikan secara positif daripada secara negatif dalam teks. Selain itu penguasa ataupun rezim pemerintahan yang lain, baik sebelum maupun sesudah Orde Baru, lebih sering dikonstruksikan secara negatif. Hal ini tentu saja menarik jika dihubungkan dengan salah satu karakteristik official history yang diajarkan di sekolah menurut Hasan (2008:415) yaitu narasi sejarah nasional dalam tafsiran resmi selalu pula diwarnai oleh gambaran hitam putih dan penuh kebencian terhadap masa lalu. Bila mengacu pada teori tersebut, maka seharusnya Orde Baru dikonstruksikan secara negatif, ditempatkan dalam posisi hitam, sementara Reformasi seharusnya dikonstruksikan secara positif dan ditempatkan dalam posisi putih. Namun hal ini tidak terjadi karena meskipun sisi negatif dari Soeharto dan pemerintahan Orde Baru ditampilkan dalam teks, tapi yang lebih banyak ditonjolkan adalah sisi positifnya. Meskipun reformasi dikonstruksikan secara positif, namun masa ini lebih banyak dikonstruksikan secara negatif. Selain itu Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama dan Soekarno tetap dikonstruksikan secara negatif dalam teks. Hal ini menunjukkan kuatnya
122
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 1, Juni 2014
hegemoni yang berlangsung sejak masa Orde Baru. Penyeragaman wacana dan klaim kebenaran yang dilakukan oleh rezim Orde Baru umumnya diterima sebagai suatu kewajaran sehingga melahirkan hegemoni negara atas tafsir sejarah. Dalam pandangan Gramsci (dalam Tilaar, 2003:78) hegemoni kekuasaan yang dijalankan oleh alat-alat negara dengan jitu dan jeli bisa membuat rakyat yang ada di dalam kuasanya menjadi tenteram, dan aman dalam penindasannya. Hegemoni ini berlangsung cukup lama sehingga tafsir resmi negara rezim Orde Baru atas berbagai peristiwa sejarah diterima sebagai kebenaran meskipun belum tentu sesuai dengan fakta ataupun temuan-temuan baru yang muncul sejak masa Reformasi. Kuatnya hegemoni wacana sejarah masa Orde Baru juga menyebabkan perubahan mind set sulit untuk terjadi meskipun jiwa zaman telah berubah. Domestifikasi atau penjinakan melalui penyeragaman wacana tidak hanya dilakukan secara halus, tapi juga didukung oleh tindakan represif berupa pelarangan bukubuku pelajaran sejarah yang dianggap tidak selaras dengan fakta sejarah versi negara tersebut. Menurut Winarno Surakhmad (2009:7) pendidikan selama ini telah menjadi lembaga penyeragaman. Keseragaman ini berfungsi untuk mewariskan nilai-nilai masa lalu yang seragam, yang kemudian melahirkan sikap mental konfirmistik dan peniruan berpikir klise, bahkan mendorong timbulnya selera yang seragam. Buku teks merupakan salah satu alat penyeragaman tersebut. Penyeragaman wacana yang berusaha dilakukan oleh negara sebenarnya sudah tidak relevan dengan perkembangan akademik dan perkembangan teknologi. Suasana keterbukaan sejak reformasi telah melahirkan beragam tafsir atas peristiwa sejarah yang berbeda dengan versi resmi negara. Tafsir ini dengan mudah bisa didapatkan melalui
berbagai buku maupun artikel. Perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, juga mempermudah akses terhadap sumber ataupun tulisan sejarah alternatif yang berbeda dengan versi resmi negara. Jadi, meskipun negara berusaha melakukan penyeragaman wacana melalui buku teks pelajaran sejarah namun usaha itu berhadapan dengan adanya wacana alternatif yang mudah untuk diakses. SIMPULAN Tema-tema ideologi negara yang cenderung muncul dalam BSE Sejarah SMA Kelas XII IPA antara lain konstitusionalisme, anti komunisme/sosialis komunis, stabilitas, pembangunan / kemajuan, demokrasi / kemerdekaan/ HAM, anti Orde Baru, dan globalisasi ekonomi/liberalis kapitalis. Meskipun muncul tema anti Orde Baru namun secara umum representasi yang dibangun dalam teks mengenai Soeharto dan Orde Baru masih lebih baik jika dibandingkan dengan representasi yang dibangun mengenai Soekarno dan masa Demokrasi terpimpin. Representasi masa reformasi dalam teks juga tidak terlalu baik. Sementara itu komunisme tetap di konstruksikan secara negatif dalam teks seperti halnya dalam teks pendidikan masa Orde Baru. Stabilitas dan konstitusionalisme merupakan tema ideologi yang paling sering muncul dalam teks. Stabilitas dikonstruksikan sebagai landasan untuk mencapai kesejahteraan. Tema-tema ideologi negara yang muncul dalam teks tidak lepas dari praktik produksi dan konsumsi teks. Negara melakukan kontrol terhadap produksi teks melalui BSNP yang menilai kelayakan buku teks untuk digunakan dalam pembelajaran. Penulis maupun penerbit mengikuti ramburambu yang telah ditentukan oleh BSNP agar buku yang diajukan bisa lolos, termasuk diantaranya menuliskan peristiwa G30S
Indah Wahyu Puji Utami, Wacana Ideologi Negara …..
sebagai G30S/PKI. Selain mengenai G30S, kontrol produksi buku teks yang dilakukan tidak seberapa ketat jika dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Begitu pula dengan kontrol terhadap konsumsi buku teks. Meskipun negara telah mengeluarkan regulasi mengenai buku teks pelajaran, namun belum tentu buku teks yang telah ditetapkan oleh pemerintah digunakan sebagai buku acuan wajib dalam pembelajaran. Hal ini menunjukkan melemahnya kontrol negara dalam produksi maupun konsumsi buku teks. Konteks politik pendidikan turut mempengaruhi praktik wacana ideologi negara dalam BSE Sejarah. Reformasi yang mengusung semangat kebebasan dan demokratisasi telah membawa banyak perubahan termasuk dalam hal kebijakan mengenai pendidikan sejarah di Indonesia. Narasi resmi versi Orde Baru mulai dipertanyakan sehingga lahirlah Suplemen Kurikulum 1999 yang berisi revisi materimateri yang bersifat sensitif. Suplemen kurikulum ini kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Kurikulum 2004. Namun kurikulum ini kemudian dianggap “kurang selaras dengan fakta sejarah” sehingga dihentikan dan kembali ke kurikulum 1994. Kurikulum terbaru yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan BSE Sejarah adalah kurikulum 2006. Selain perubahan kurikulum, konteks yang turut mempengaruhi praktik wacana ideologi dalam BSE Sejarah adalah pelarangan Kejaksaan Agung terhadap buku-buku sejarah yang disusun berdasarkan kurikulum 2004 dengan alasan tidak menyebutkan pemberontakan PKI Madiun 1948 dan hanya menyebut peristiwa G30S tanpa menyebutkan PKI di belakangnya. Penulis buku terpaksa harus menuliskan versi negara mengenai G30S yaitu G30S/PKI agar buku yang ditulis bisa lulus penilaian di BSNP. Pemerintah sebaiknya tidak mengorbankan aspek akademis demi
123
kepentingan politis dalam menyikapi masalah buku teks pelajaran sejarah. Praktik pelarangan buku yang tidak sesuai dengan semangat keterbukaan dan demokratisasi di era reformasi sebaiknya dihapuskan. Guru dan siswa sebaiknya bersikap kritis dalam menggunakan berbagai sumber pembelajaran, termasuk BSE Sejarah. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjebak dalam kungkungan wacana ideologi tertentu. DAFTAR PUSTAKA Adam, A.W. 2006. “Pengantar: Berpikir Historis Membenahi Sejarah” dalam Sam Wineburg. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fairclough, N. 1997. Critical Discourse Analysis. London: Longman Hasan, S. H. 2008. ”Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif dan Jati Diri Bangsa” dalam M. Nursam, Baskara T. Wardaya S.J., dan Asvi Warman Adam (Eds) Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono Kartodirjo. Yogyakarta: Ombak Hamad, I. 2010. Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi, dalam http://www.scribd.com/doc/4588 8147/Dr-Ibnu-Hamad diunduh 9 Maret 2012 pukul 17.30. Nordholt, H. S. (Ed). 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. Kartodirjo, S. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Mustofa, Sh., Suryandari, dan Tutik Mulyati. 2009.Sejarah untuk SMA/MA
124
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 1, Juni 2014
Kelas XII Program IPA. Jakarta:Pusat Perbukuan Depdiknas. Abdullah, T. 2005. “Kata Pengantar” dalam Sartono Kartodirjo. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesiatera
Van Dijk, T. A. Critical Discourse Analysis, dalam http://www.hum.uva.nl/ ~teun/cda.htm diakses pada 3 September 2010, pukul 09.18 WIB Surakhmad, W. 2009. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.