Better Work Indonesia: Industri Garmen Laporan Sintesa Kepatuhan Ke‐2 Diterbitkan pada TANGGAL 1 April 2013
Masa pelaporan: Oktober 2011 – Oktober 2012 Jumlah penilaian perusahaan dalam laporan ini: 35 Negara: Indonesia ISIC: C‐14
Better Work Indonesia mendapat pendanaan dari the Australian Agency for International Development, Netherlands Ministry of Foreign Affairs, State Secretariat for Economic Affairs, Switzerland dan the United States Department of Labor.
1
Hak cipta © International Labor Organization (ILO) dan International Finance Corporation (IFC) (2012). Diterbitkan pertama kali (2012). Semua publikasi ILO dilindungi oleh hak cipta di bawah Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Namun demikian, kutipan‐kutipan singkat dari publikasi‐publikasi tersebut dapat direproduksi tanpa otorisasi, dengan syarat sumber kutipan tersebut disebutkan. Untuk hak‐hak mereproduksi atau terjemahan, permohonan harus diajukan pada ILO, bertindak atas nama kedua organisasi: ILO Publications (Rights and Permissions), International Labor Office, CH‐1211 Geneva 22, Switzerland, atau via e‐mail:
[email protected]. IFC dan ILO menyambut baik permohonan yang sedemikian. Perpustakaan‐perpustakaan, lembaga‐lembaga, dan pengguna lain yang terdaftar dalam organisasi hak‐hak reproduksi dapat membuat salinan sesuai dengan lisensi yang diterbitkan kepadanya untuk maksud‐maksud ini. Kunjungi situs web www.ifrro.org untuk menemukan organisasi hak‐hak untuk mereproduksi di negara anda. Proses katalogisasi ILO dalam Data Publikasi Better Work Indonesia: laporan sintesa kepatuhan kedua untuk industri garmen/International Labor Office; International Finance Corporation – Geneva: ILO, 2012. 1v. ISSN 2227‐958X (web pdf) International Labor Office; International Finance Corporation Industri pakaian/industri tekstil/kondisi di tempat kerja/hak‐hak pekerja/undang‐undang ketenagakerjaan/ Konvensi ILO/standar ketenagekerjaan internasional/komentar/aplikasi/Indonesia 08.09.3 Penyebutan yang digunakan di sini, yang adalah sesuai dengan praktek‐praktek di Perserikatan Bangsa‐Bangsa, dan penyajian materi di dalamnya bukan merupakan ekspresi dari IFC atau ILO tentang opini apapun menyangkut status legal dari suatu negara, daerah atau kawasan atau otoritas‐otoritasnya, atau menyangkut batas‐batas dari garis‐garis perbatasannya. Tanggungjawab atas seluruh opini yang dinyatakan dalam seluruh artikel, studi, dan kontribusi lainnya yang telah ditandatangani betumpu semata‐mata pada penulisnya, dan publikasi bukan merupakan suatu dukungan oleh IFC ataupun ILO atas semua opini yang dinyatakan dalam penerbitan‐penerbitan itu. Referensi terhadap nama‐nama perusahaan dan produk‐produk komersial serta proses‐proses bukan menyiratkan dukungan oleh IFC ataupun ILO, dan tidak adanya penyebutan perusahaan, produk komersial, atau proses tertentu bukan merupakan pertanda suatu ketidaksetujuan. Publikasi‐publikasi ILO dapat dibeli melalui toko‐toko buku utama atau melalui kantor‐kantor ILO di banyak negara, atau langsung dari ILO Publications, International Labor Office, CH‐1211 Geneva 22, Switzerland. Katalog‐katalog atau daftar‐daftar dari penerbitan‐penerbitan baru tersedia gratis dari alamat di atas, atau melaui e‐mail:
[email protected]. Kunjungi situs web kami: www.ilo.org/publns Hak cipta © Intenational Labor Organization (ILO) dan International Finance Corporation (IFC) (2012). Diterbitkan pertama kali (2012).
i
Ucapan Terima Kasih Better Work Indonesia mendapatkan dukungan dari lembaga‐lembaga berikut (berdasarkan abjad):
Australian Agency for International Development United States Department of Labor Netherland Ministry of Foreign Affair State Secretariat for Economic Affairs, Switzerland (SECO)
Program global Better Work didukung oleh lembaga‐lembaga berikut (berdasarkan susunan abjad):
Australian Government Levi Strauss Foundation Netherland Ministry of Foreign Affairs State Secretariat for Economic Affairs, Switzerland (SECO) United States Council Foundation, Inc (dana disediakan oleh Gap, Inc., Nike, dan Wal‐ Mart).
Publikasi ini tidak senantiasa merefleksikan pandangan‐pandangan atau kebijakan‐ kebijakan dari organisasi‐organisasi atau badan‐badan yang tercantum di atas, dan penyebutan dari merk‐merk dagang, produk‐produk komersial, atau organisasi‐organisasi juga tidak menyiratkan dukungan pada mereka.
ii
Daftar Isi Bagian I: Pengantar dan Metodologi ......................................................................................... 7 Pengantar ............................................................................................................................... 7 Konteks Kelembagaan ............................................................................................................ 7 Metodologi Better Work ........................................................................................................ 8 Menghitung Tingkat Ketidakpatuhan .................................................................................... 10 Catatan tentang Pabrik‐Pabrik yang Diwakili dalam Laporan ini ............................................ 11 Keterbatasan‐Keterbatasan dalam Proses Penilaian .............................................................. 11 Bagian II: Temuan‐Temuan ........................................................................................................ 12 Tingkat Rata‐Rata Ketidakpatuhan ......................................................................................... 12 Temuan‐Temuan Terperinci ................................................................................................... 14 1. Standar‐Standar Inti Ketenagakerjaan .............................................................................. 14 2. Kondisi‐Kondisi dalam Pekerjaan ...................................................................................... 16 Bagian III: Kesimpulan ................................................................................................................ 24 Kesimpulan‐kesimpulan dan Langkah‐langkah Selanjutnya .................................................. 24 Lampiran‐lampiran ...................................................................................................................... 27 Lampiran A: Pabrik‐Pabrik yang Diliput dalam Laporan ini ................................................... 27 Lampiran B: Para Pembeli yang Berpartisipasi dalam Better Work Indonesia ..................... 27
Daftar Tabel InFocus 1: Jender ..................................................................................................................... 14 InFocus 2: Perundingan Bersama ............................................................................................ 15 InFocus 3: Upah Lembur .......................................................................................................... 16 InFocus 4: Jaminan Sosial dan Manfaat‐Manfaat Lainnya ...................................................... 17 InFocus 5: Kontrak Kerja .......................................................................................................... 18 InFocus 6: Dialog, Disiplin, dan Perselisihan ............................................................................ 18 InFocus 7: Sistem Manajemen K3 ............................................................................................ 20 InFocus 8: Perlindungan Pekerja .............................................................................................. 21 InFocus 9: Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana ..................................................................... 21 InFocus 10: Bahan‐Bahan Kimia dan Zat‐Zat Berbahaya ........................................................... 21 InFocus 11: Lembur .................................................................................................................... 23
iii
Ringkasan Eksekutif Program Better Work Indonesia, adalah suatu kemitraan antara International Labor Organization (ILO) dan International Finance Corporation (IFC), yang bertujuan untuk memeperkuat kinerja di tingkat perusahaan dan meningkatkan daya saing industri garmen dengan mendorong kepatuhan terhadap undang‐undang ketenagakerjaan Indonesia dan standar inti ketenagakerjaan ILO di pabrik‐pabrik garmen. Better Work Indonesia mulai melakukan penilaian independen berkenaan dengan berbagai kondisi kerja di pabrik‐pabrik sandang di Indonesia pada bulan Juli 2011. Setiap penilaian terdiri atas empat orang hari yang berada di tempat dan termasuk di antaranya pelaksanaan wawancara dengan pihak manajemen, serikat pekerja dan para pekerja, telaah terhadap dokumen yang ada, dan pengamatan di pabrik. Tujuan dari penilaian‐penilaian ini adalah untuk menyusun standar dasar kinerja di mana pabrik‐pabrik yang berpartisipasi dapat berkolaborasi dan bekerjasama dengan Better Work Indonesia dan para pembeli yang berpartisipasi untuk melakukan beragam perbaikan. Better Work menerbitkan laporan sintesa publik dari penilaian pabrik untuk setiap program yang dilaksanakan di suatu negara dua kali dalam setahun. Tujuan dari laporan‐laporan ini adalah untuk memberikan informasi transparan untuk semua pemangku kepentingan dari program tersebut berkenaan dengan berbagai kondisi di tempat kerja dari pabrik‐pabrik yang ikut berpartisipasi. Riset independen yang diberi kuasa oleh Better Work memaparkan bukti bahwa pelaporan yang dilakukan publik secara signifikan memberi kontribusi terhadap perbaikan terus menerus dalam tingkat kepatuhan yang ada di dalam pabrik. Laporan sintesis kedua ini memberikan ilustrasi tentang temuan‐temuan dari berbagai penilaian yang dilaksanakan antara bulan Oktober 2011 dan Oktober 2012, di 35 pabrik di wilayah Jabodetabek. Tujuhbelas dari pabrik yang disertakan dalam laporan ini juga sudah disertakan dalam laporan sintesis pertama. Pabrik‐pabrik ini mempekerjakan total 40.562 pekerja dari total sekitar 500.000 pekerja di industri pakaian ekspor. Sampel ini bercirikan pabrik‐pabrik yang mempekerjakan antara 708 hingga 8.253 pekerja. Data yang dikumpulkan ini memberikan ilustrasi ketidakpatuhan pada standar‐standar ketenagakerjaan berdasarkan atas delapan kelompok: empat berbasis pada standar inti ketenagakerjaan ILO yang berkenaan dengan Pekerja Anak, Pekerja Paksa, Diskriminasi, dan Kebebasan Berserikat serta Perundingan Bersama. Empat yang lainnya berbasis pada undanga‐undang ketenagakerjaan nasional yang berkenaan dengan kondisi‐kondisi di tempat kerja: Kompensasi, Perjanjian Kerja dan Sumberdaya Manusia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Jam Kerja. Hasil dari penilaian awal menyoroti hal‐hal berikut: Di bidang‐bidang Standar Inti Ketenagakerjaan: Ada tiga temuan di bawah kelompok Pekerja Anak yang berhubugan dengan pengusaha berkenaan dengan ketiadaan sistem yang tersedia untuk memverifikasi usia pekerja sebelum dipekerjakan. Berkenaan dengan diskriminasi, kebanyakan pabrik (92%) tidak 4
patuh dalam kelompok ini yang disebabkan oleh ketidakbersediaannya untuk mempekerjakan mereka yang memiliki keterbatasan fisik paling tidak 1% dari jumlah total karyawannya. Tidak ada satu pabrikpun yang tergolong tidak patuh berkenaan dengan masalah pekerja paksa. Temuan‐temuan utama yang berkenaan dengan ketidapatuhan terhadap perundingan bersama (26%) adalah tidak diinformasikannya para pekerja mengenai isi dari berbagai kesepakatan, para pengusaha tidak menerapkan kesepakatan yang telah dicapai dan/atau ketentuan dalam kesepakatan lebih rendah dari apa yang telah ditentukan oleh undang‐undang. Di bidang Persyaratan‐Persyaratan Kerja (undang‐undang nasional): Pembayaran upah lembur yang melanggar ketentuan (60%) dan manfaat jaminan sosial yang tidak layak (46%) adalah bidang‐bidang utama ketidakpatuhan berkenaan dengan remunerasi. Subkontraktor dan pekerja tidak menerima kontrak (86%) dan komite bipartit yang lemah (89%) tercermin dalam lemahnya prosedur penyusunan kontrak dan kurangnya komitmen untuk terlibat dalam dialog sosial. Dari berbagai keprihatinan utama adalah bahwa di delapan pabrik, para pekerja mengangkat keprihatinan mereka terhadap adanya pelecehan, pelecehan seksual dan kekerasan di tempat kerja. Kebanyakan pabrik tetap tidak patuh terhadap ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dengan keseluruhan pabrik yang tidak bersiaga terhadap keadaan darurat. Lembur yang berlebihan juga terus menjadi bidang utama ketidakpatuhan di keseluruhan pabrik. Sebagai tindak lanjut, manajemen perusahaan akan menyiapkan kebijakan untuk mengatasi keprihatinan yang dijelaskan di atas.
5
Bagian I: Pengantar dan Metodologi
Pengantar Sektor garmen di Indonesia adalah termasuk di antara yang terbesar di dunia, dan tumbuh pada tingkat lebih dari 8% per tahun, dengan semakin banyaknya perusahaan yang beralih dari Cina ke Indonesia. Sektor ini diharapkan untuk terus menjadi kontributor utama pada masa depan ekonomi Indonesia, dengan mempertimbangkan semua keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Indonesia dalam industri padat karya dan pasar domestik yang besar dalam mengakomodasi kebutuhan 240 juta orang. Oleh karena melambatnya ekonomi dunia pada tahun 2008, ada pengurangan jumlah pabrik, produksi, dan ekspor di sektor garmen. Namun demikian, tren ini secara berangsur‐angsur berbalik sejak tahun 2011. Indonesia pada saat ini menduduki peringkat 12 dunia, dalam kaitannya dengan ekspor tekstil. Program Better Work Indonesia, suatu kemitraan antara International Labor Organization dan International Finance Corporation, bertujuan untuk memperkuat kinerja pada tingkat perusahaan dan mendorong daya saing dari industri garmen dengan meningkatkan kepatuhan pada undang‐undang ketenagakerjaan Indonesia dan standar inti ketenagakerjaan ILO di pabrik‐pabrik garmen. Program ini bekerja sama dengan pabrik‐pabrik yang berpartisipasi dengan melakukan penilaian independen dan menawarkan berbagai layanan pendampingan dan pelatihan. Sebagai bagian dari mandatnya untuk berbagi informasi dengan seluruh pemangku kepentingan program, dan mendorong dilakukannya perbaikan secara terus menerus, Better Work Indonesia akan menggunakan data agregat penilaian pabrik untuk menerbitkan dua laporan sintesis publik per tahun yang menelaah kinerja dari semua pabrik yang ikut berpartisipasi dalam masa pelaporan. Laporan sintesis kedua ini memberikan gambaran garis besar dari ketentuan‐ketentuan kerja di 35 pabrik yang dinilai selama periode Oktober 2011‐Oktober 2012.
Konteks Kelembagaan Untuk membangun layanan yang berkesinambungan, Better Work Indonesia bekerja sama dengan para pembeli internasional yang mendapat pasokan dari Indonesia, selain juga dengan para pemangku kepentingan utama termasuk Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia (Kemenakertrans), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Korean Garment Association (KOGA) dan empat serikat pekerja utama di bidang industri garmen: Garteks, TSK Kalibata, TSK Pasar Minggu, dan SPN. Program Better Work Indonesia sejalan dengan berbagai kebijakan pembangunan ekonomi Pemerintah Indonesia, yang menitik beratkan fokus pada pemberantasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka‐Menengah Nasional (RPJMN) 2010‐2014 mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur, sejak diterbitkannya Keputusan Presiden No. 28/2008 berkenaan dengan Kebijakan Industri Nasional, yang merekomendasikan industri‐industri padat karya (tekstil dan produk‐produk tekstil) sebagai kelompok industri yang menjadi prioritas untuk mendukung 6
ekonomi Indonesia. Lebih lanjut lagi, RPJMN juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja ekspor, kebijakan perdagangan Indonesia pada periode 2010‐2014 harus menitik beratkan fokus pada produk‐produk yang memiliki nilai tambah tinggi dengan permintaan di tingkat global yang tinggi, yang juga menyertakan di antaranya industri garmen. Dari sudut pandang legal, Indonesia memiliki keunikan di antara negara‐negara ASEAN sebagai negara pertama yang meratifikasi keseluruhan dari delapan konvensi inti ILO. Di samping itu undang‐undang di dalam negeri yang kuat dalam bentuk Undang‐Undang Serikat Pekerja (No. 21/Tahun 2000) dan Undang‐Undang Ketenagakerjaan (No. 13/Tahun 2003) menyediakan kerangka kerja yang mantap untuk pekerjaan layak. Indonesia, dengan demikian, menarik manfaat dari latar belakang legal untuk praktek‐praktek ketenagakerjaan yang baik. Undang‐Undang Serikat Pekerja memberikan para pekerja hak untuk mengorganisir diri ke dalam serikat‐serikat, federasi‐federasi, dan konfederasi serikat pekerja yang “bebas, terbuka, independen, demokratis, dan bertanggung jawab.” Sementara itu, Undang‐Undang Ketenagakerjaan, yang dibayangkan dalam Program Reformasi Undang‐Undang Ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 1998, memberikan garis‐ garis besar peraturan berkenaan dengan peluang yang setara, hubungan di tempat kerja, perlindungan pekerja dan upah, pengawasan tenaga kerja, sanksi kriminal dan administratif, dan sanksi‐sanksi peralihan. Pada tahun 2000, Indonesia mulai melakukan desentralisasi layanan pemerintahan khususnya di tingkat kabupaten. Lembaga‐lembaga pemerintah di tingkat lokal sekarang bertanggungjawab atas pelaksanaan berbagai layanan inti. Namun demikian, alokasi anggaran pemerintahan dari pemerintah pusat tidak cukup memadai untuk memenuhi rentang layanan yang beragam yang harus disediakan oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan mandatnya. Sehingga, kantor‐kantor tenaga kerja pada tingkat kabupaten tidak memiliki sumberdaya yang memadai untuk memberikan layanan pengawasan ketenagakerjaan yang layak pada semua perusahaan yang ada di kabupaten/kotamadya yang bersangkutan. Undang‐undang yang terdesentralisasi juga membuat Indonesia unik di antara negara‐negara peserta program Better Work lainnya. Sebagai contoh, dewan pengupahan di tingkat provinsi atau regional untuk setiap provinsi atau regional menentukan upah minimum untuk setiap kabupaten di provinsi yang bersangkutan, dan dalam kasus‐kasus tertentu upah minimum sektoral, melalui negosiasi‐negosiasi tripartit yang tergantung pada persetujuan dari Gubernur Propinsi yang bersangkutan. Untuk alasan ini, informasi tentang upah minimum, di samping Poin‐Poin Kepatuhan lainnya, yang disebutkan secara spesifik di setiap laporan penilaian dapat berbeda antara satu pabrik dengan pabrik lainnya.
Metodologi Better Work Better Work melaksanakan penilaian di pabrik untuk memantau kepatuhan dengan standar ketenagakerjaan internasional dan undang‐undang ketenagakerjaan di tingkat pusat. Dalam laporan di tingkat pabrik dan industri, hal tersebut menyoroti temuan‐temuan berkenaan dengan ketidakpatuhan. Better Work melaporkan angka‐angka ini untuk membantu pabrik‐ pabrik secara mudah mengidentifikasi bidang‐bidang yang memerlukan perbaikan. Mengumpulkan dan melaporkan data ini sejalan dengan waktu akan membantu pabrik‐pabrik untuk menunjukkan komitmen mereka dalam memperbaiki kondisi‐kondisi di tempat kerja. 7
Better Work mengorganisasikan pelaporan ini dalam delapan bidang, atau kelompok, standar ketenagakerjaan. Empat dari kelompok tersebut berbasis pada hak‐hak dasar yang berkenaan dengan Pekerja Anak, Diskriminasi, Pekerja Paksa, dan Kebebasan Berserikat serta Perundingan Bersama. Pada tahun 1998, Negara‐Negara Anggota, para pekerja, dan para perwakilan pengusaha di International Labor Organization mengidentifikasi prinsip‐ prinsip dasar dan hak‐hak di tempat pekerjaan berkaitan dengan empat persoalan ini yang berdasarkan atas delapan konvensi International Labor Organization yang paling banyak diratifikasi (29, 87, 98, 100, 105, 111, 138, dan 182). Konvensi‐konvensi ini memberikan pedoman dasar bagi kelompok‐kelompok hak‐hak fundamental di keseluruhan program Better Work di negara peserta yang bersangkutan. Empat kelompok lainnya memantau kepatuhan terhadap standar‐standar yang terutama disusun oleh undang‐undang di tingkat pusat, sehingga mereka berbeda‐beda pada setiap negara. Kelompok standar ini terdiri dari Kompensasi, Kontrak dan Sumberdaya Manusia, Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta Jam Kerja. Masing‐masing dari delapan kelompok dibagi menjadi komponen‐komponen inti yang dikenal sebagai Poin Kepatuhan (PK). Setiap Poin Kepatuhan (PK) berisi pertanyaan‐ pertanyaan yang bersifat spesifik yang dapat berbeda antara satu negara dan negara lainnya. Daftar terperinci dari Poin Kepatuhan (PK) dalam masing‐masing kelompok ditunjukkan dalam tabel berikut.
Kelompok Kepatuhan
Standar‐Standar Inti Ketenagakerjaan
1. Pekerja Anak
Poin‐Poin Kepatuhan 1. Pekerja Anak. 2. Bentuk‐bentuk Terburuk Tanpa Syarat. 3. Pekerjaan Berbahaya. 4. Dokumentasi dan Perlindungan Terhadap Pekerja Berusia Muda.
2. Diskriminasi
5. Ras dan Asal Muasal.
3. Pekerja Paksa
9. 10. 11. 12.
4. Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama
13. Lingkup Kerja Serikat Buruh/ Pekerja.
6. Agama dan Pendapat Politik. 7. Jender. 8. Dasar‐dasar Lainnya. Paksaan. Pekerja Ijon. Pekerja Paksa dan Lembur. Narapadina yang Dikaryakan.
14. Campur Tangan dan Diskriminasi. 15. Perundingan Bersama. 16. Mogok Kerja.
8
Kelompok Kepatuhan
Kondisi‐Kondisi Kerja
5. Kompensasi
Poin‐Poin Kepatuhan 17. Upah Minimum. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Upah Lembur. Upah Premium. Metode Pembayaran. Informasi Upah, Penggunaan, dan Pengurangan. Cuti Dibayar. Jaminan Sosial dan Jaminan Lainnya.
6. Kontrak dan Sumberdaya Manusia
24. 25. 26. 27.
Kontrak‐Kontrak Kerja. Prosedur Penyusunan Kontrak. Pemutusan Hubungan Kerja. Dialog, Disiplin, dan Perselisihan.
7. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Sistem Manajemen K3. Bahan Kimia dan Zat‐Zat Berbahaya. Perlindungan Pekerja. Lingkungan Kerja. Layanan Kesehatan. Fasilitas‐Fasilitas Kesejahteraan. Akomodasi Pekerja. Kesiapsiagaan Bencana.
8. Jam Kerja
36. Jam‐Jam Kerja Reguler. 37. Lembur. 38. Cuti.
Menghitung Tingkat Ketidakpatuhan Better Work menghitung tingkat ketidakpatuhan untuk setiap pabrik dan melaporkan hal‐hal ini dalam laporan individual pabrik. Tingkat ketidakpatuhan dilaporkan untuk setiap subkategori, atau Poin Kepatuhan, dalam sebuah kelompok. Satu pokok ketidakpatuhan dilaporkan sebagai satu ketidakpatuhan apabila satu pertanyaan di dalamnya ditemukan ketidakpatuhan. Dalam laporan sintesis publik, Better Work menghitung tingkat ketidakpatuhan rata‐rata untuk semua pabrik yang berpartisipasi dalam masing‐masing dari sub‐kategori yang sama. Sebagai contoh, tingkat ketidakpatuhan rata‐rata 100% berarti seluruh pabrik yang berpartisipasi diketahui memiliki pelanggaran di bidang yang dimaksud. Kendati hal itu adalah indikator yang bersifat ketat, tingkat ketidakpatuhan berguna bagi Better Work untuk mengumpulkan dan membandingkan data dari negara‐negara yang berbeda. Namun, angka ini tidak cukup memadai untuk dapat menjelaskan secara penuh persoalan‐persoalan yang bersifat spesifik yang telah diamati oleh Enterprise Advisors selama proses penilaian yang mereka laksanakan. Untuk alasan ini, tabel‐tabel yang menyoroti temuan‐temuan ketidakpatuhan rata‐rata pada tingkat pertanyaan juga disajikan pada Bagian II dengan judul tabel‐tabel “InFocus.” Tabel‐tabel ini, yang menunjukkan jumlah pabrik yang diketahui tidak patuh terhadap setiap pertanyaan yang bersifat spesifik, memungkinkan para pembaca untuk dapat menghargai secara penuh tantangan‐tantangan yang bersifat spesifik yang diketahui dalam proses penilaian di pabrik di bawah Poin‐Poin Kepatuhan tertentu.
9
Catatan tentang Pabrik‐Pabrik yang Diwakili dalam Laporan ini Better Work menyusun laporan sintesis kurang lebih dua kali dalam satu tahun untuk masing‐ masing dari program yang dilaksanakan dalam negara yang bersangkutan. Laporan sintesis menyajikan gambaran singkat dari situasi ketidakpatuhan di industri yang berpartisipasi dari negara yang bersangkutan. Berbagai tingkat ketidakpatuhan yang disajikan dalam laporan sintesis merujuk pada rata‐rata industri yang berpartisipasi. Oleh karena pabrik‐pabrik dinilai satu kali dalam setahun, dalam beberapa kasus data yang disertakan dalam laporan sintesis berusia lebih dari enam bulan. Laporan sintesis ini menyajikan temuan‐temuan gabungan dari proses penilaian pertama, yang mencakup 35 pabrik, yang dilaksanakan oleh Better Work Indonesia antara bulan Oktober 2011 dan Oktober 2012.
Keterbatasan‐Keterbatasan dalam Proses Penilaian Penilaian pada tingkat pabrik yang dilaksanakan oleh Better Work Indonesia mengikuti daftar periksa yang sangat seksama yang terdiri lebih dari 280 pertanyaan yang mencakup standar ketenagakerjaan yang disebutkan di atas. Informasi dikumpulkan melalui beragam sumber dan teknik, termasuk telaah dokumen, pengamatan di lantai pabrik, dan wawancara dengan para manajer, pekerja, dan perwakilan serikat pekerja. Laporan penilaian pabrik terperinci semata‐mata berdasarkan atas apa yang diamati, diselidiki, dan dianalisa selama pelaksanaan penilaian yang sesungguhnya dan telaah dari dokumen‐dokumen yang relevan yang dikumpulkan selama kunjungan yang berkenaan dengan proses penilaian. Setiap pabrik diberi waktu tujuh hari sebelum laporan diterbitkan secara resmi untuk memungkinkan diberikannya umpan balik yang mungkin dalam beberapa kasus dapat berdampak pada bahasa yang digunakan dalam laporan final. Di antara berbagai persoalan yang diliput dalam berbagai perangkat penilaian kepatuhan Better Work, pelecehan seksual adalah salah satu yang bersifat paling sensitif dan paling sulit untuk dideteksi selama proses penilaian pabrik. Insiden tersebut sering kali tidak dilaporkan oleh karena adanya kekhawatiran adanya pembalasan, ketimpangan kekuasaan antara korban dan pelaku, di samping juga persepsi kultural dari stigma yang diasosiasikan dengan hal tersebut. Sebagai akibatnya, penilaian akan terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja oleh Better Work Indonesia sangat mungkin tidak dilaporkan sebanyak jumlah insiden yang sesungguhnya. Namun demikian, penilaian dampak dari Better Work, yang menggunakan metodologi riset yang berbeda dari penilaian pabrik, telah mengindikasikan bahwa pelecehan seksual telah menjadi keprihatinan para pekerja di pabrik‐pabrik garmen di Indonesia.1 Better Work Indonesia, dalam kerjasamanya dengan program global Better Work, telah mengembangkan seperangkat piranti untuk membantu para Enterprise Advisor mengenali pelecehan seksual di pabrik‐pabrik, dan untuk membantu pabrik‐pabrik mencegah dan mengangkat pelecehan seksual melalui peningkatan kesadaran dan pelatihan. 1
Riset Dampak – Laporan Pedoman Dasar untuk Indonesia – Perspektif Pekerja dari Pabrik dan Selebihnya
10
Bagian II: Temuan‐Temuan
Tingkat Rata‐Rata Ketidakpatuhan Bagan 1 memberikan gambaran sekilas dari tingkat rata‐rata ketidakpatuhan untuk 35 pabrik yang tercakup dalam laporan ini. Temuan‐temuan penting dipaparkan di bawah ini, yang diikuti oleh bagian dengan rincian tambahan. Di bidang‐bidang Standar Inti Ketenagakerjaan: Pekerja Anak: Ada tiga temuan di bawah kelompok Pekerja Anak yang berhubungan dengan pengusaha yang berkaitan dengan ketiadaan sistem yang tersedia untuk memverifikasi usia dari para pekerja sebelum dipekerjakan. Diskriminasi: Kebanyakan dari pabrik‐pabrik yang ada (92%) terindikasi untuk melanggar kepatuhan dalam kelompok ini yang disebabkan oleh kegagalan untuk mempekerjakan mereka yang memiliki keterbatasan fisik dengan komposisi minimum 1% dari total karyawannya. Diskriminasi jender utamanya ditujukan terhadap para wanita pekerja yang sedang berada dalam masa kehamilan. Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama: Ketidakpatuhan utama adalah berkenaan dengan perundingan bersama (26%) dikarenakan oleh pekerja yang tidak mendapat informasi tentang kandungan dari berbagai kesepakatan, pengusaha yang tidak menerapkan kesepakatan yang telah dibuat dan/atau kesepakatan yang memiliki kondisi‐ kondisi yang lebih rendah dari apa yang dipersyaratkan oleh undang‐undang. Sebagai bentuk tindak lanjut, BWI akan bekerjasama dengan Disnaker untuk mengatasi ketidakpatuhan ini melalui pelatihan kepada para pekerja. Di bidang‐bidang Kondisi‐Kondisi di Tempat Kerja (undang‐undang di tingkat pusat): Kompensasi: Pembayaran upah lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang‐ undangan (60%) dan manfaat jaminan sosial yang tidak layak (46%) adalah bidang‐bidang utama dari ketidakpatuhan. Kontrak‐kontrak dan Sumberdaya Manusia: Tidak diberikannya kontrak pada subkontraktor dan para pekerja (86%), komite bipartit yang lemah (89%). Yang menjadi keprihatinan yang cukup signifikan adalah di delapan pabrik, para pekerja mengangkat keprihatinan mengenai terjadinya pelecehan, pelecehan seksual dan kekerasan di tempat kerja. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3): Kebanyakan pabrik memiliki komite K3 yang lemah dan kepemimpinan manajemen senior yang tidak cukup mumpuni untuk menilai dan mengangkat berbagai persoalan K3 di tempat kerja. Kebanyakan pabrik belum memasang alarm otomatis dan pendeteksi kebakaran serta apabila sudah pada kasus‐kasus tertentu alarm yang terpasang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Jalan keluar dan rute untuk penyelamatan sering kali terhalang dan tidak diberi rambu‐rambu yang mudah terlihat. Jam Kerja: Waktu lembur yang berlebihan senantiasa menjadi bidang utama ketidakpatuhan hampir di semua pabrik. 11
Bagan 1: Tingkat Rata‐Rata Ketidakpatuhan
12
Temuan‐Temuan Terperinci Bagian ini menjelaskan beragam tingkat ketidakpatuhan di keseluruhan pabrik‐pabrik yang berpartisipasi untuk setiap sub‐bagian (Poin Kepatuhan) dalam masing‐masing dari kedelapan kategori dari standar ketenagakerjaan yang tercakup dalam proses penilaian yang dilaksanakan oleh Better Work Indonesia. Melalui tabel‐tabel InFocus, proses penilaian ini menyajikan temuan‐temuan pada tingkat pertanyaan untuk sejumlah Poin‐Poin Kepatuhan. 1. Standar‐Standar Inti Ketenagakerjaan a. Pekerja Anak Ada tiga temuan di bawah Dokumentasi dan Perlindungan Pekerja Berusia Muda yang berkaitan dengan pengusaha yang tidak memiliki sistem yang tersedia untuk memverifikasi usia para pekerja sebelum dipekerjakan. b. Diskriminasi Diskriminasi Jender ditelusuri lebih lanjut pada tabel InFocus di bawah ini. InFocus 1: Jender Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah pengumuman lowongan kerja menyebutkan pada jender pelamar?
5
Apakah jender pelamar menjadi salah satu faktor penentu dalam keputusan untuk mempekerjakan seseorang?
2
Apakah jender menjadi faktor dalam keputusan‐keputusan yang menyangkut syarat‐syarat dalam pekerjaan?
1
Apakah jender menjadi faktor dalam memutuskan besaran upah?
0
Apakah jender menjadi faktor dalam keputusan yang dibuat berkenaan dengan peluang untuk promosi dan akses pada pelatihan?
0
Apakah terdapat pelecehan seksual terhadap pekerja di tempat kerja?
1
Apakah jender menjadi faktor dalam keputusan pengusaha berkenaan dengan pemutusan hubungan kerja dan masa pensiun pekerja?
0
Apakah pengusaha mewajibkan tes kehamilan atau penggunaan alat kontrasepsi sebagai salah satu persyaratan kerja?
1
Apakah pengusaha mengubah status hubungan kerja, posisi, upah, manfaat atau senioritas pekerja selama cuti melahirkan?
0
Apakah cuti melahirkan dikecualikan dari periode masa kerja pekerja yang terus menerus?
0
Apakah pengusaha memutuskah hubungan kerja bagi para pekerja yang sedang dalam masa kehamilan atau sedang cuti melahirkan atau memaksa mereka untuk mengundurkan diri?
0
Diskriminasi jender pada umumnya disebabkan oleh penyebutan jender individu selama proses rekrutmen. Satu pabrik mewajibkan pelamar wanita untuk menjalani tes kehamilan sebagai salah satu persyaratan dalam proses rekrutmen. 13
Namun, di satu pabrik pelecehan seksual terjadi dalam proses penilaian dan hal ini segera dilaporkan pada para senior manajer. Para manajer saat ini mengimplementasikan kebijakan untuk mencegah pelecahan di tempat kerja. Dasar‐dasar lain terjadinya diskriminasi merujuk pada peluang kerja bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik menurut Peraturan Ketenagakerjaan Indonesia. Tigapuluh empat dari total 35 pabrik tidak mematuhi persyaratan untuk mempekerjakan paling tidak satu orang dengan keterbatasan fisik untuk setiap 100 pekerja yang ada. Penyebabnya adalah karena kebanyakan pengusaha tidak memahami akan adanya peraturan untuk mempekerjakan dan mengakomoidasi mereka yang memiliki keterbatasan di pabrik‐pabrik. Dua pabrik teleh merekrut dua orang yang memiliki keterbatasan fisik belum secara memadai mengambil langkah‐langkah yang diperlukan untuk mengakomodasi pekerja‐pekerja yang sedemikian sesuai dengan tipe dan tingkat keterbatasan fisiknya. Tingkat ketidakpatuhan sebesar 3% untuk Diskriminasi Ras dan Asal Muasal disebabkan oleh satu pabrik di mana bahan‐bahan untuk rekrutmen seperti pengumuman lowongan kerja atau formulir aplikasi lamaran kerja mencantumkan rujukan pada ras, warna kulit, atau asal muasal dari pelamar kerja. c. Pekerja Paksa Tidak ditemukan hal‐hal yang menyangkut permasalahan Pekerja Paksa. d. Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama Ada tingkat ketidakpatuhan sebesar 26% di bawah Perundingan Bersama, yang diilustrasikan dalam tabel InFocus berikut ini. Para manajer pabrik di dua pabrik tidak mengetahui bahwa mereka harus bermusyawarah dengan serikat pekerja ketika mengubah peraturan perusahaan, oleh karena mereka berpikir bahwa mereka hanya perlu untuk menginformasikan serikat pekerja. Di satu pabrik ditemukan bahwa perjanjian perundingan bersama menyatakan bahwa pabrik tidak harus membayar gaji apabila pabrik tidak dapat berproduksi yang disebabkan oleh faktor‐faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen, sebagai contoh ketiadaan pasokan listrik. Di satu pabrik ditemukan bahwa para manajer tidak mengimplementasikan apa yang menjadi ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama, seperti tunjangan transportasi dan makan. Di empat pabrik, Perjanjian Kerja Bersama tidak dapat diakses secara bebas oleh para pekerja. InFocus 2: Perundingan Bersama Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah pengusaha bermusyawarah dengan serikat pekerja ketika mengembangkan atau mengubah peraturan perusahaan?
2
Apakah pengusaha menolak untuk berunding secara bersama‐sama atau menolak untuk berunding atas dasar niat baik dengan serikat pekerja?
1
Apakah pengusaha mencoba untuk merongrong serikat pekerja dengan bernegosiasi langsung dengan para individu pekerja?
0
14
Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah pengusaha menolak untuk berunding secara kolektif dengan federasi dan konfederasi serikat pekerja?
0
Apakah pengusaha telah membatasi persoalan‐persoalan yang dapat dinegosiasikan?
0
Apabila ada perjanjian kerja bersama, apakah ketentuan‐ketentuan yang ada paling tidak sama menguntungkannya bagi pekerja seperti yang telah diatur oleh undang‐undang?
1
Apakah pengusaha menginformasikan pada para pekerja tentang isi dari perjanjian kerja bersama, dan memberikan naskah dari kesepakatan kepada para pekerja?
4
Apakah pengusaha telah gagal mengimplementasikan ketentuan‐ ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama yang berlaku?
3
Ada dua temuan di bawah campur tangan dan diskriminasi. Di satu pabrik yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja, pengusaha hanya melibatkan satu serikat pekerja ketika bernegosiasi dengan Perundingan Kerja Bersama. Temuan ini telah dilaporkan pada laporan sintesis yang pertama. Tingkat ketidakpatuhan sebesar 3% dalam Poin Kepatuhan mengenai Mogok Kerja mencerminkan satu pabrik di mana pengusaha mencoba untuk mencegah para pekerja dari berpartisipasi dalam mogok kerja. 2. Kondisi‐kondisi dalam pekerjaan e. Kompensasi Tingkat ketidapatuhan tertinggi di bidang Kompensasi berhubungan dengan Upah Lembur, yang lebih jauh lagi ditelusuri dalam tabel‐tabel InFocus di bawah ini. InFocus 3: Upah Lembur Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah para pengusaha membayar para pekerjanya tingkat upah lembur hari biasa yang sesuai dengan ketentuan (1,5 kali dari upah lembur per jam untuk jam pertama lembur dan 2 kali upah lembur per jam untuk jam lembur selebihnya)?
17
Apakah pengusaha membayar para pekerjanya tingkat upah lembur yang benar untuk semua lembur yang dilakukan pada hari libur umum?
2
Apakah pengusaha membayar para pekerjanya untuk semua jam lembur yang dilaksanakan pada akhir minggu?
6
Apakah pengusaha menyediakan makan dan minum dengan kadar 1.400 kalori pada semua pekerjanya yang bekerja lembur untuk jangka waktu tiga jam atau lebih?
6
Temuan‐temuan ketidakpatuhan berkenaan dengan Cuti Dibayar menyangkut lima pabrik yang tidak membayar karyawan wanitanya dengan semestinya ketika 15
mereka sakit sehubungan dengan siklus menstruasi. Tidak ada temuan‐temuan ketidakpatuhan mengenai pembayaran yang sesuai ketentuan untuk cuti tahunan, cuti pribadi, dan cuti sakit (masing‐masing satu pabrik). Dalam Poin Kepatuhan mengenai Metode Pembayaran, upah tidak dibayar tepat waktu di tiga pabrik. Tingkat ketidakpatuhan untuk Jaminan Sosial dan Manfaat‐Manfaat Lainnya mencapai 46%, seperti yang diilustrasikan dalam tabel InFocus berikut. InFocus 4: Jaminan Sosial dan Manfaat‐Manfaat Lainnya Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah pengusaha mengumpulkan kontribusi untuk dana jaminan sosial dari para pekerjanya?
7
Apakah pengusaha membayar iuran pengusaha ke JAMSOSTEK sebagaimana yang ditentukan untuk kecelakaan kerja, kematian, dan jaminan hari tua?
5
Apakah pengusaha menyediakan manfaat perawatan kesehatan kepada semua pekerjanya melalui JAMOSTEK atau penyedia layanan lainnya yang menawarkan paling tidak manfaat yang setara dengan apa yang diberikan oleh JAMSOSTEK?
13
Apakah pengusaha menyetorkan iuran yang dibayarkan oleh karyawan untuk iuran Jaminan Hari Tua ke JAMSOSTEK?
1
Apakah pengusaha membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada semua karyawannya?
3
Kebanyakan pabrik yang dinilai telah memutuskan untuk memberikan manfaat pelayanan kesehatan melalui penyedia layanan lainnya, ketimbang menyediakan manfaat layanan kesehatan melalui penyedia layanan kesehatan dan jaminan sosial yang dikelola oleh pemerintah, JAMSOSTEK. Apabila sebuah perusahaan memutuskan untuk menyediakan layanan kesehatan melalui penyedia layanan lainnya, manfaat yang diberikan harus setara atau lebih dari manfaat yang diberikan oleh JAMSOSTEK. Di tujuh pabrik, ditemukan manfaat yang disediakan melalui penyedia layanan lainnya kurang dari manfaat yang diberikan JAMSOSTEK. Pada bulan Desember 2011, JAMSOSTEK menerbitkan tabel manfaat yang sudah diperbaharui, aturan yang baru ini mengembangkan jumlah layanan yang disediakan, sebagai contoh terapi retroviral untuk pasien‐pasien penderita HIV/AIDS. 16 pabrik diketahui belum memperbahrui perjanjian layanan kesehatan dengan penyedia lainnya, sesuai dengan perubahan dari peraturan ini. Dalam Poin Kepatuhan Informasi Upah, Penggunaan, dan Potongan ada tingkat ketidakpatuhan 40%. Di 13 pabrik, para pengusaha menyimpan lebih dari satu catatan gaji yang akurat. Di dua pabrik, pengusaha membuat potongan upah yang tidak resmi. 16
f. Kontrak dan Sumberdaya Manusia Tingkat ketidakpatuhan tertinggi di bawah Kontrak dan Sumberdaya Manusia adalah dalam Kontrak Hubungan Kerja (86%) dan Dialog, Disiplin, dan Perselisihan (89%). Keduanya ditelusuri dalam tabel‐tabel InFocus. InFocus 5: Kontrak Kerja Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah semua orang yang melaksanakan kerja untuk perusahaan, baik yang bekerja dalam lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan, memegang perjanjian kerja?
23
Apakah peraturan perusahaan tunduk pada persyaratan undang‐ undang sebagaimana di atur dalam peraturan perundang‐undangan ketenagakerjaan?
11
Apakah kontrak kerja menyebutkan secara spesifik syarat‐syarat dan kondisi‐kondisi hubungan kerja?
10
Apakah pengusaha memberikan salinan perjanjian kerja dalam Bahasa Indonesia kepada seluruh pekerja?
14
Apakah pengusaha menerbitkan surat pengangkatan kepada pekerja yang berstatus permanen yang dipekerjakan dengan kontrak lisan?
5
Dalam kebanyakan situasi pelaksanaan subkontrak, diketahui bahwa subkontraktor yang bekerja baik di luar lingkungan perusahaan maupun dalam lingkungan perusahaan, seperti bagian bordir, cuci dll tidak memegang kontrak perjanjian kerja. Dalam tiga pabrik ditemukan bahwa para pekerja tidak memegang kontrak perjanjian kerja. Dalam 16 kasus, pengusaha memegang dokumen kontrak atau perjanjian kerja tetapi tidak memberikan salinannya pada para pekerja. InFocus 6: Dialog, Disiplin, dan Perselisihan Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah tindakan‐tindakan disiplin tunduk pada persyaratan‐ persyaratan legal?
0
Apakah ada pekerja yang telah mengalami kekerasan, pelecehan, atau mendapat perlakuan yang merendahkan martabat?
8
Apakah pengusaha berusaha untuk memecahkan permasalahan dan perselisihan sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku?
0
Apakah perusahaan memiliki LKSB yang berfungsi baik?
31
Kekerasan, pelecehan, dan pelecehan seksual ditemukan di delapan pabrik, dengan satu kasus pelecehan dan pelecehan seksual yang teramati selama proses 17
penilaian. Para manajer pabrik dari pabrik‐pabrik yang berkepentingan segera diinformasikan dan diminta untuk mengambil tindakan terhadap kasus itu sesegera mungkin, sementara penasihat dari Better Work mulai melakukan pendekatan yang lebih berlanjut untuk mengangkat permasalahan ini. Kebanyakan pabrik telah membentuk lembaga kerjasama bipartit (LKSB) tetapi tidak beroperasi sesuai dengan persyaratan‐persyaratan yang digariskan dalam undang‐undang. Pada kebanyakan kasus, anggota LKSB tidak dipilih oleh para pekerja secara demokratis tetapi sebaliknya dinominasikan oleh pihak manajemen, sehingga menghilangkan efektivitas komite. Para manajer juga enggan untuk terlibat dalam pertemuan bulanan LKSB, oleh karena penyelenggaraan pertemuan selama satu jam yang terdiri dari delapan pekerja akan berdampak pada produktivitas. Pabrik‐pabrik yang menyerahkan laporan notulen pada dinas ketenaga kerjaan, tidak menerima tanda terima atas laporan yang mereka serahkan. Tingkat ketidakpatuhan sebesar 57% dalam Prosedur Penyusunan Kontrak dijelaskan oleh 16 pabrik berkenaan dengan ketidakpatuhan terhadap batas‐batas penggunaan perjanjian kerja untuk periode waktu tertentu (contoh: batas‐batas bagi karyawan dengan perjanjian pekerja untuk waktu tertentu). Lebih lanjut lagi, empat pabrik tidak mematuhi peraturan berkenaan dengan syarat‐syarat untuk pekerja sub‐kontraktor di tempat bekerja. Di dua pabrik, periode masa percobaan diterapkan untuk periode yang melebihi masa 3 bulan dan juga diterapkan pada para pekerja dengan kontrak kerja untuk waktu kerja tertentu. Poin Kepatuhan berkenaan dengan Pemutusan Hubungan Kerja mengandung nilai ketidakpatuhan sebesar 6% yang disebabkan oleh dua pengusaha yang tidak memberikan kompensasi kepada pekerja atas cuti tahunan yang tidak terpakai pada saat mereka mengundurkan diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja, dan satu pabrik di mana para pekerja yang mengundurkan diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja sama sekali tidak menerima manfaat pemutusan hubungan kerja lainnya sebagaimana yang diwajibkan dalam ketentuan perundang‐ undangan. g. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Serupa dengan laporan sintesis sebelumnya, kelompok ini memiliki tingkat ketidakpatuhan tertinggi, dengan ditemukannya paling tidak satu ketidakpatuhan pada keseluruhan pabrik berkenaan dengan Sistem Manajemen K3, Fasilitas Kesejahteraan, Perlindungan Pekerja dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana. Meskipun seluruh pabrik yang berpartisipasi telah membentuk komite K3, kebanyakan (97%) tidak berfungsi, oleh karena mereka jarang sekali bertemu dan tidak dilengkapi dengan pakar‐pakar K3 yang dilatih dengan semestinya. Kepemimpinan manajemen senior K3 lemah, oleh karena 21 dari 35 pabrik tidak memiliki kebijakan K3 yang jelas atau menilai resiko K3 di perusahaannya.
18
InFocus 7: Sistem Manajemen K3 Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah pengusaha mencatat kecelakaan kerja dan penyakit‐penyakit yang berhubungan dengan situasi lingkungan kerja?
25
Apakah perusahaan memiliki kebijakan K3 tertulis?
21
Apakah perusahaan memiliki Komite K3 yang berfungsi dengan baik?
34
Apakah pengusaha telah melaksanakan penilaian secara umum berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di pabrik?
20
Meskipun pabrik‐pabrik menyediakan perlengkapan yang layak untuk perlindungan para pekerja, kebanyakan dari pekerja tidak mengenakan perlengkapan tersebut, sebagai akibat dari pelatihan dan kesadaran yang buruk di tempat kerja. Dalam kasus‐kasus tertentu dan pakaian pelindung tidak terawat dengan baik, sehingga para pekerja enggan menggunakan perlengkapan tersebut. Yang menjadi perhatian khusus adalah pabrik‐pabrik jarang menyediakan kursi untuk para pekerja yang bekerja sambil berdiri, termasuk para pekerja hamil yang bekerja sambil berdiri. Dalam kasus di mana kursi disediakan, kebanyakan dari merekat tidak layak, oleh karena kursi‐kursi tersebut tidak memiliki penyangga punggung atau penyangga tersebut tidak dapat disesuaikan. InFocus 8: Perlindungan Pekerja Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah rambu‐rambu peringatan telah terpasang di tempat kerja sebagaimana mestinya?
13
Apakah kabel‐kabel listrik, saklar, steker, serta kabel arde telah terpasang, terhubung dengan baik, dan dirawat sebagaimana mestinya?
15
Apakah bahan‐bahan, peralatan, saklar, dan peralatan kontrol berada pada jangkauan yang mudah dari para pekerja?
7
Apakah peralatan pelindung telah terpasang dan terawat dengan baik pada semua bagian mesin dan peralatan bergerak yang dapat membahayakan?
16
Apakah kursi tersedia bagi para pekerja yang bekerja sambil berdiri?
32
Apakah tersedia peralatan mekanis untuk mengangkat dan memindahkan beban yang berat dan besar?
11
Apakah para pekerja mendapatkan pelatihan yang efektif untuk penggunaan mesin‐mesin dan peralatan‐peralatan secara aman?
6
19
Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah para pekerja disediakan dengan kursi yang sesuai dan layak?
9
Apakah pengusaha menyediakan para pekerjanya dengan seluruh perlengkapan dan peralatan perlindungan pribadi yang diperlukan?
19
InFocus 9: Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah di tempat kerja telah terpasang pendeteksi kebakaran dan sistem alarm?
30
Apakah tempat kerja memiliki perlengkapan pemadam kebakaran?
15
Apakah pengusaha telah melatih pekerja dalam jumlah yang layak untuk menggunakan peralatan pemadam kebakaran?
0
Apakah pintu‐pintu darurat dan rute untuk meloloskan diri ditandai secara jelas dan terpampang di tempat kerja?
20
Apakah tersedia jumlah pintu darurat yang mencukupi?
1
Apakah semua pintu darurat yang ada dapat diakses, tidak terhalang apapun, dan tidak terkunci selama jam kerja, termasuk pada saat waktu lembur?
15
Apakah pengusaha melaksanakan latihan menghadapi keadaan darurat secara berkala?
3
Apakah pengusaha memiliki sertifikat yang diwajibkan untuk mengoperasikan mesin‐mesin dan perlengkapan pabrik, dan operator‐operator yang berlisensi?
7
Kesiapsiagaan menghadapi bencana kebakaran di pabrik‐pabrik lemah di mana 85% pabrik tidak memasang sistem alarm bahaya kebakaran atau seandainya sistem alarm terpasang, sistem itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Pendeteksi kebakaran otomatis harus terpasang di pabrik‐pabrik. Rute penyelamatan untuk keadaan darurat tidak terawat dengan baik dan acapkali terhalang oleh benda‐ benda lain. InFocus 10: Bahan‐Bahan Kimia dan Zat‐Zat Berbahaya Pertanyaan
Apakah bahan‐bahan kimia dan zat‐zat berbahaya diberi label sesuai dengan peraturan perundang‐undangan?
Jumlah pabrik yang tidak patuh 29
20
Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah bahan kimia dan zat‐zat berbahaya tersimpan dengan baik?
25
Apakah pengusaha memiliki dokumen pengendalian bahaya?
25
Apakah pengusaha memiliki lembar data keselamatan bahan kimia untuk bahan‐bahan kimia berbahaya yang digunakan di tempat kerja?
21
Apakah pengusaha menyimpan daftar inventaris bahan‐bahan kimia dan zat‐zat berbahaya yang digunakan di tempat kerja?
Apakah pengusaha menyediakan fasilitas untuk membersihkan diri dan bahan‐bahan pembersih dalam jumlah memadai seandainya terjadi paparan pada bahan‐bahan kimia berbahaya?
18
Sudahkan pengusaha mengangkat Petugas K3/Pakar Penanganan Bahan Kimia Berbahaya?
29
Apakah pengusaha telah melatih secara efektif para pekerja yang menangani bahan‐bahan kimia dan zat‐zat berbahaya?
4
Penanganan bahan kimia buruk, dengan 29 dari 35 pabrik tidak memberi label pada bahan kimia dan zat‐zat berbahaya dengan semestinya. Pada satu kasus botol air minum bekas tanpa label ternyata berisi bahan kimia. Penyimpanan juga buruk; serta para pekerja tidak diinformasikan secara benar tentang bahan‐bahan kimia yang mereka gunakan. Pabrik‐pabrik yang telah mengangkat seorang Petugas K3 untuk Penanganan Bahan‐Bahan Kimia Berbahaya telah memiliki sistem penanganan bahan kimia dan zat‐zat berbahaya yang lebih baik. h. Jam Kerja Ada tingkat ketidakpatuhan sebesar 57% menyangkut Jam Kerja Reguler. Hal ini disebabkan oleh adanya jam kerja mingguan di 17 pabrik yang melebihi 40 jam. Di 10 pabrik, catatan tentang jam kerja tidak mencerminkan jam kerja sesungguhnya. Di 15 pabrik, jam kerja harian reguler melebihi batas‐batas legal (7 jam sehari, 6 hari seminggu atau 8 jam sehari, 5 hari seminggu). Ditemukan tingkat ketidakpatuhan sebesar 29% untuk Poin Kepatuhan yang menyangkut Hak Cuti. Hal ini disebabkan oleh enam pengusaha yang tidak memberikan hak cuti tahunan sebagaimana ditentukan oleh undang‐undang, dan lima pengusaha yang tidak memberikan izin ketika pekerja merasakan sakit karena haid pada hari pertama dan kedua. Umumnya, pekerja tidak mengetahui haki hak tersebut. Di tiga pabrik para pekerja tidak diberikan waktu jeda untuk menyusui anak‐anak mereka. Tingkat ketidakpatuhan tertinggi di kelompok ini menyangkut Waktu Lembur (80%). Tabel InFocus di bawah ini memberikan rincian lebih lanjut. Jam kerja lembur dalam jumlah yang cukup berarti ditemukan pada bidang‐bidang pekerjaan tertentu, khususnya di bagian penyelesaian. Petugas satpam dan pengemudi juga 21
diketahui bekerja dalam waktu lembur yang panjang dan kontrak mereka didefinisikan sebagai “sudah termasuk segalanya” atau kontrak kerja borongan, yang tidak layak berdasarkan status kontrak. Di enam pabrik, ditemukan pabrik yang memiliki prosedur yang lemah untuk memastikan bahwa kerja lembur dilaksanakan atas dasar kesukarelaan. InFocus 11: Lembur Pertanyaan
Jumlah pabrik yang tidak patuh
Apakah pengusaha membuat instruksi tertulis berkenaan dengan kerja lembur?
4
Apakah kerja selama libur‐libur nasional dilaksanakan hanya di bawah kondisi yang dimungkinkan oleh undang‐undang?
0
Apakah lembur selama hari‐hari kerja biasa dibatasi hanya hingga 14 jam per minggu?
26
Apakah lembur pada hari‐hari kerja biasa dibatasi hanya hingga 3 jam per hari?
25
Apakah lembur dilaksanakan berdasarkan prinsip kesukarelaan?
6
22
Bagian III: Kesimpulan‐Kesimpulan
Kesimpulan‐Kesimpulan dan Langkah‐Langkah Selanjutnya Sejalan dengan semakin banyaknya pengalaman yang didapat oleh penasihat Better Work Indonesia, lebih banyak lagi persoalan‐persoalan ketidakpatuhan yang terungkap selama proses penilaian. Peningkatan dalam ketidakpatuhan berhasil ditekan oleh pabrik‐pabrik yang berada dalam masa layanan pendampingan pada tahun kedua. Oleh karena itu, perusahaan‐perusahaan berada pada posisi yang berbeda‐beda berkenaan dengan proses perbaikannya tergantung dari kapan mereka mendapatkan penilaian dari Better Work Indonesia. Untuk pabrik‐pabrik yang dinilai sebelum kuartal ketiga tahun 2011, mereka telah menyelesaikan masa pendampingan dan berada pada masa penilaian yang kedua, mereka telah tercakup dalam laporan ini. Setelah tahun pertama, perusahaan harus mendaftar ulang untuk mendapatkan layanan pada tahun yang kedua, dalam posisi mana penilaian yang baru akan dilaksanakan. Penilaian kedua ini akan memperlihatkan perubahan‐perubahan yang dibuat dalam perusahaan selama tahun pertama. Perubahan‐ perubahan ini dilaporkan dalam laporan sintesis publik ini. Pada kebanyakan siklus kedua di perusahaan‐perusahaan, sangat mungkin untuk melihat perubahan dalam perilaku di banyak perusahaan yang bekerja bersama‐sama dengan program ini. Beberapa dari perusahaan‐perusahaan ini adalah mereka yang mungkin menunjukkan sikap paling skeptis terhadap usaha gabungan antara pekerja/manajemen pada awalnya tetapi telah mampu melihat dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap kepatuhan mereka selain juga manfaat kerjasama di tempat kerja secara umum. Better Work Indonesia telah mengawali berbagai layanan pendampingan di semua perusahaan yang dibahas dalam laporan ini. Tujuan dari usaha‐usaha pendampingan, di samping layanan pelatihan program yang berdiri sendiri, adalah untuk bekerja bersama perusahaan‐perusahaan tersebut dalam membantu mereka untuk secara proaktif menutup bidang‐bidang ketidakpatuhan yang disinggung dalam laporan ini. Layangan pendampingan dilakukan melalui Lembaga Kerjasama Bipartit yang ada di perusahaan itu dan komite K3. Sebagai tanggapan terhadap kapasitas komite‐komite yang lemah ini, seperti yang telah teridentifikasi selama proses penilaian; kami telah mengembangkan kemitraan dengan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta APINDO untuk memperkuat kapasitas mereka. Awalnya, para penasihat Better Work Indonesia mengarahkan komite‐komite yang ada tersebut melalui pelatihan pemecahan masalah, mengaplikasikan perangkat‐perangkat yang mudah digunakan untuk membantu para peserta berkolaborasi dan membangun kepercayaan antara satu sama lain sebagai dasar untuk membuat suatu perubahan. Sejalan dengan waktu, staff Better Work Indonesia secara berangsur‐angsur menyerahkan proses fasilitasi komite kepada perusahaan itu sendiri, dengan staff program yang bertindak sebagai pembimbing dan pakar muatan program dalam proses tersebut. Aksi‐aksi spesifik yang diserap oleh program dalam usaha‐usaha pendampingan untuk mengangkat persoalan‐persoalan ketidakpatuhan dalam Laporan ini termasuk: Diskriminasi: Sebagaimana yang telah disinggung dalam laporan pertama, fokus untuk program ini di bidang diskriminasi membantu perusahaan‐perusahaan untuk memperbaiki prosedur rekrutmen untuk mencegah diskriminasi jender dan/atau kehamilan dalam 23
pengumuman lowongan kerja atau selama proses rekrutmen. Oleh karena kebanyakan perusahaan tidak mematuhi jumlah penyandang cacat yang harus dipekerjakan di perusahaan, kami telah menyusun pedoman bagi para pengusaha dalam merekrut dan mempekerjakan mereka‐mereka yang memiliki keterbatasan fisik di tempat kerja. Mereka‐ mereka yang memiliki keterbatasan fisik pada saat ini memberi masukan bagi perusahaan‐ perusahaan untuk merekrut mereka‐mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan mengakomodasikan mereka di tempat kerja. Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama: Fokus utama dari program dalam kelompok ini adalah untuk meningkatkan keterwakilan kolektif dari kepentingan pekerja sebagai prasyarat untuk penyelesaian perselisihan perburuhan yang efektif dan perundingan bersama yang bermakna. Pemisahan antara fungsi‐fungsi manajemen pabrik dan keterwakilan pekerja adalah satu aspek penting dari penguatan kepercayaan dari para pekerja di serikat‐serikat pekerja. Untuk mengangkat kebutuhan ini, empat federasi utama, yang terlibat dalam sektor garmen, bekerjasama dengan ILO Indonesia, mengimplementasikan pemrogram penguatan kapasitas dari serikat pekerja pada tingkat perusahaan. Modul pertama dalam negosiasi dan perundingan bersama diimplementasikan antara bulan Agustus dan Oktober 2012. Modul‐modul yang akan datang akan menelusuri administrasi serikat pekerja, pemahaman undang‐undang ketenagakerjaan dan serikat pekerja dan memperkuat jejaring komunikasi dan informasi di serikat‐serikat pekerja. ILO Indonesia juga memberikan dukungan kepada para pengusaha dalam memahami hubungan industrial yang lebih baik di Indonesia. Keselamatan dan Kesehatan Kerja: Sebagaimana disinggung dalam laporan sintesis pertama, kebanyakan usaha‐usaha pendampingan di perusahaan mulai dengan fokus pada berbagai persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Ini adalah bidang di mana kebanyakan perusahaan meletakkan prioritasnya dan banyak persoalan yang dapat ditangani dalam kerangka waktu yang relatif singkat. Khususnya, program ini bekerja sama dengan perusahaan‐perusahaan untuk meningkatkan pelatihan bagi para pekerja dalam menggunakan kesiapsiagaan menghadapi bencana, memasang dan menguji alarm kebakaran, memastikan pintu darurat tidak terhalang, perlengkapan perlindungan pribadi digunakan dan untuk mengangkat berbagai persoalan dari penanganan bahan kimia, pencantuman label, penyimpanan, dan paparan. Dalam kerjasamanya dengan Better Work, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menyusun program pelatihan dua hari untuk perusahaan‐perusahaan yang berpartisipasi untuk memahami secara lebih baik kewajiban‐kewajiban legal mereka berkenaan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Fokusnya adalah pada penguatan sistem manajemen K3 di tempat kerja, sejalan dengan peraturan pemerintah berkaitan dengan K3 (PP50 Tahun 2012) yang baru‐baru ini diterbitkan. Kompensasi: Bidang‐bidang fokus utama pada tahun pertama operasi termasuk bekerja dengan berbagai perusahaan untuk memastikan sistem kompensasi mereka sesuai dengan persyaratan‐persyaratan berkenaan dengan manfaat melahirkan, lembur, pekerjaan di malam hari, cuti tahunan, dan waktu‐waktu istirahat. Yang menjadi perhatian utama adalah praktek‐praktek di mana pekerja diwajibkan untuk seolah‐olah telah mengakhiri waktu kerja pada waktu itu namun diminta untuk kembali untuk menyelesaikan kuota produksi yang diberikan pada suatu tim kerja untuk hari tersebut. Tampaknya hal ini adalah praktek yang lazim di industri ini. Manfaat kesehatan bagi para karyawan sangat bervariasi di industri ini, 24
walaupun kantor dinas tenaga kerja di tingkat kabupaten menyetujui apabila suatu perusahaan harus mengimplementasikan atau tidak program perawatan kesehatan Jamsostek atau mencari penyedia layanan alternatif. Seminar‐seminar untuk industri yang bersangkutan akan direncanakan pada tahun 2013 untuk dapat menjelaskan program JAMSOSTEK secara lebih baik. Kontrak dan Sumberdaya Manusia: Angka insiden yang tinggi dari pelecehan dan kekerasan di tempat kerja telah mendorong adanya kebutuhan untuk mengembangkan pedoman‐ pedoman yang ada pada saat ini akan adanya pelecehan seksual untuk mencakup kedua bidang ini. Pedoman‐pedoman tersebut tersedia dalam Bahasa Inggris, Bahasa Korea, dan Bahasa Indonesia. Di sepanjang 2013, semua perusahaan yang berpartisipasi dalam program Better Work akan secara aktif terlibat dalam mengembangkan mekanisme‐mekanisme yang layak untuk mengangkat pelecehan dan kekerasan di tempat kerja. Para pekerja akan mendapatkan lebih banyak pengetahuan tentang hak‐hak mereka berkaitan dengan masalah pelecehan dan kekerasan. Oleh karena semua kontrak kerja harus ditelaah oleh Dinas Tenaga Kerja, bantuan akan diusahakan dari Dinas untuk mengunjungi perusahaan‐perusahaan untuk menelaah sebelum menyetujui seluruh kontrak kerja untuk memastikan bahwa kontrak‐ kontrak tersebut memenuhi peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Menimbang diterbitkannya peraturan yang diterbitkan baru‐baru ini, Better Work telah mengembangkan pedoman bagi para pengusaha untuk menginformasikan kepada mereka bagaimana mereka dapat mengakomodasi dengan lebih baik karyawan wanita yang berniat untuk menyusui sendiri anaknya setelah mereka kembali dari cuti melahirkan. Jam Kerja: Kerja lembur yang berlebihan adalah permasalahan di hampir semua perusahaan di Indonesia dan lebih bersifat global di industri sandang. Persoalan ini bukan merupakan persoalan yang dapat dipecahkan secara mudah oleh perusahaan‐perusahaan itu sendiri. Sebaliknya, program ini bekerja dengan perusahaan‐perusahaan untuk memastikan adanya transparansi berkenaan dengan jam kerja yang sesungguhnya. Dari sana, program ini akan bekerja bersama‐sama dengan setiap perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan menelusuri metode‐metode lainnya agar dapat memenuhi poin kepatuhan berkenaan dengan jam kerja. Ini juga adalah bidang diskusi yang berlangsung secara terus menerus dengan para pembeli internasional yang berpartisipasi dalam program. Banyak dari persoalan‐persoalan ketidakpatuhan yang telah diidentifikasi oleh program ini di perusahaan‐perusahaan yang ikut berpartisipasi yang tidak dapat ditangani secara seksama dalam siklus satu tahun. Persoalan‐persoalan ini kemungkinan berhubungan dengan persoalan‐persoalan sistemik atau berbagai perilaku yang sudah berakar atau kurangnya ketrampilan teknis di perusahaan tersebut. Selama tahun pertama dari usaha‐usaha yang dilakukan, tujuan dari program adalah, melalui usaha‐usaha yang dilakukan oleh LKSB dan komite K3, untuk mengembangkan proses kolaboratif guna membuat perubahan; menangani persoalan‐persoalan yang mendesak dan ketidakpatuhan yang relatif mudah; dan mulai bekerja untuk masalah‐masalah struktural untuk masa yang lebih lama. Persoalan‐persoalan yang lebih sulit ini akan terus menjadi fokus usaha‐usaha perbaikan di tahun‐tahun berikutnya.
25
Lampiran‐Lampiran Lampiran A: Perusahaan‐perusahaan yang Tercakup dalam Laporan ini PT. Amos Indah Indonesia PT. Asia Power Global PT. Avery Dennison Packaging Indonesia PT. Buana Samudra Lestari PT. Busana Remaja Agracipta PT. Citra Abadi Sejati (Bogor) PT. Citra Abadi Sejati (Cileungsi) PT. Citra Abadi Sejati (Purwakarta) PT. C‐Site Texpia PT. Daehan Global (#1) PT. Daenong Global PT. Dream Sentosa Indonesia PT. Greentex Indonesia Utama PT. Hansae Indonesia Utama PT. Hansae Karawang Indonesia PT. Inkordan International PT. Inwoo S&B Indonesia PT. Kahoindah Citragarment
PT. Kukdong International PT. Kyungseung Trading Indonesia PT. Logos Indonesia PT. Makalot Industrial Indonesia PT. Mitra Garindo Perkasa PT. Mulia Cemerlang Abadi PT. Myung Sung Indonesia PT. Pan Pacific Nesia PT. Puku Benangsari PT. Rismar Daewoo Apparel PT. Samudra Biru PT. Sandrafine Garment PT. Sentraco Garmindo PT. Seok Hwa Indonesia PT. Shinwon Indonesia PT. Taitat Putra Rejeki PT. Wilbes Global
Lampiran B: Pembeli yang Berpartisipasi dalam Program Better Work Indonesia Abercombie & Fitch American Eagle Outfitters, Inc ANN, Inc Columbia Sportswear Gap, Inc. (Gap, Banana Republic, Old Navy) H & M (Hennes and Mauritz) Nordstrom, Inc.
Pentland Asia Nike, Inc. Sears Talbots Target Walmart Global Sourcing
26