BERSATU DAN MENGIKAT HATI DALAM KEBERSAMAAN DI BUMI PASUNDAN Oleh : Isti Purwi Tyas Utami
Di mana-mana, di kampung di kota (Di mana-mana di kampung dan di kota) Tos kakoncaran, duh nikmat rasana (Sudah terkenal, nikmatlah rasanya) Sampeu asalna nu direka-reka (Singkong asalnya, yang diolah sedemikian rupa) Naon namina?, duh matak kabita (Apa namanya?, jadi ingin menikmatinya) Peuyeum Bandung kamasyur, pangaosna teu luhur (Peuyem Bandung termasyur, harganya tidak mahal) Ku sadaya kagaleh sepuh jeung murang kalih (Siapapun bisa membelinya, orang tua dan anak-anak) Mangga cobian bilih panasaran (Silakan dicoba, kalau penasaran) peuyeum ti Bandung moal sambarangan (Peuyeum dari Bandung tidak sembarangan)
Sayup-sayup tembang
‘peuyeum
Bandung’ mengalun dari saung
angklung
Mang
Udjo siang itu, Sabtu 25 Juni
2011,
tanda
pertunjukan
tengah
berlangsung.
Berbeda
dengan tamu lain yang datang
ke tempat ini,
kelompok yang tengah menikmati getaran
indahnya
bambu
yang
saling beradu kali ini mengenakan kaus biru
1
dengan penanda Bintang Samudra. Tua-muda, bahkan balita memakai kaus yang sama, entah pas, entah kesempitan atau kedodoran, karena tidak ada kostum lain hari itu tak terkecuali para suster. Mereka adalah keluarga besar STIKS Tarakanita yang tengah mencecap kebersamaan di saung angklung Mang Udjo, dalam acara family gathering yang bertema “Unite and Tie Our Hearts in Togetherness”. Tidak hanya kaus yang sama, memainkan lagu dengan ratusan angklung bersama-sama pun menjadi pengalaman pertama yang menarik. Terbukti ketika pembawa acara mengakhiri sesi itu terdengar seruan, ” Lagi dong, baru mulai asyik ni, kok udahan?!”. Rupanya beberapa peserta mulai menikmati asyiknya bermain angklung bersama. Sekalipun sudah memainkan ‘Topi saya bundar’, ‘Cucakrowo’ dan ‘Can’t help falling in love’, masih saja ada yang merasa kurang. Banyak yang tersenyum puas karena selalu pas menggoyangkan angklungnya saat aba-aba MC tiba, namun ada pula yang geregetan karena selalu terlambat menggoyangkan angklungnya. Sekalipun tidak semua yang hadir pernah memainkan angklung dalam sebuah kelompok besar, namun sebagai pemula, ‘orkestra angklung dadakan STIKS Tarakanita’ terhitung sebagai pembelajar yang cepat dan kompak. Angklung yang dimainkan pun mereka buat sendiri dimana setiap peserta diminta menyelesaikan simpul rotan pada angklung yang sudah setengah jadi. Angklung-angklung tersebut selanjutnya boleh dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Membuat angklung dan memainkannya bersama-sama bukan satu-satunya sajian yang disuguhkan saung angklung Mang Udjo siang itu, sebelumnya peserta juga disuguhi pentas wayang golek, tari topeng, prosesi helaran (upacara khitanan/panen padi), dan angklung orkestra yaitu permainan angklung yang dikombinasikan dengan alat musik lain. Puncak kemeriahan dari rangkaian acara dari saung angklung Mang Udjo adalah acara menari bersama. Sekelompok besar anak-anak layaknya sekawanan pipit yang tengah terbang dengan berbagai formasi mengajak penonton bernyanyi dan menari bersama, lengkap dengan kostum warnawarni dan angklungnya masing-masing. Sungguh sajian yang memadukan figure dan ground yang memukau sehingga vibrasinya menyihir penonton khususnya anakanak. Tak ayal lagi beberapa anak sontak berlari ke depan dan ikut bergoyang sambil membawa angklungnya. Selain rangkaian acara dari saung angklung Mang Udjo, family gathering STIKS Tarakanita kali ini juga diisi berbagai permainan dengan berbagai hadiah menarik. Mengingat peserta beragam dalam hal usia, panitia pun membagi permainan dalam kelompok remaja/dewasa dan anak-anak. Sekalipun tidak
2
terhitung muda belia lagi, karyawan dan dosen yang bermain dinamika kelompok tampak menikmati setiap tantangan yang ditawarkan oleh Pak Teo sebagai MC siang itu. Mereka tidak mau kalah dengan kelompok remaja. Begitu juga dengan anak-anak, alih-alih kelelahan mereka tetap bersemangat sekalipun harus berlomba di tempat yang lebih terbuka dengan paparan sinar surya yang semakin terik. Sesuai dengan tema kebersamaan, maka dalam family gathering kali ini pun tidak hanya pemenang dalam permainan yang mendapatkan hadiah, karena banyak hadiah kejutan bagi mereka yang beruntung. “Waah Pak Bon dongane kuat tenan!“ (Waah bapak-bapak tukang kebun doanya kuat sekali), begitu celetuk seorang peserta setelah tiga di antara Bapak tukang kebun STIKS Tarakanita mendapatkan hadiah yang menarik. Bapak Joko mendapatkan handphone, Bapak Suramin mendapatkan kamera digital, dan TV plasma untuk Bapak Waskiah. Suster-suster pun tidak kalah beruntung, “Waah..., nek iki kakean donga mula entuk!” (Waah kalau suster-suster ini kebanyakan berdoa maka mereka dapat hadiah), ujar peserta yang lain setelah Sr. Martha CB dan Sr. Octa CB mendapatkan handphone baru. Uniknya Sr. Martha CB yang sangat memimpikan hadiah sepeda lipat sempat menawar pada Pak Teo, “Maunya sepeda je!”, tapi apa daya keluarga Bapak Yakobus Suharyono dan Bapak Alfredo Rimper lah yang jauh lebih beruntung dari peserta lain yang memimpikan dua sepeda lipat sore itu. Ibu Maria F. Lies A., keluarga Bapak Arief Widiasmoko, keluarga Ibu Rina Benharjanti, keluarga Ibu Liestyowati Trivena, dan keluarga Ibu Niken Restaty adalah beberapa keluarga lain yang beruntung mendapatkan hadiah kejutan lainnya. Sekalipun semua bernuansa kebersamaan, banyak pemandangan unik di hari itu. Beberapa Bapak dan Ibu yang memiliki balita, entah itu dosen, entah itu karyawan memunculkan sisi lain yang sama sekali berbeda dari kesehariannya di kampus. Di tengah hiruk-pikuk acara, mereka sibuk mengurusi balitanya, bergantian dengan pasangannya tentunya. Menimang anaknya yang ngantuk sambil memegang botol susu, menyuapi anaknya sambil mengajaknya bermain, mengantar ke kamar kecil dan banyak lagi. Uniknya anak-anak mereka bak ‘kelinci energizer’, hectic, seperti tak pernah kehabisan energi, ‘gak ada matinya!’. Family gathering yang dilaksanakan STIKS Tarakanita kali ini, tidak lain adalah salah satu upaya lembaga untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga dosen dan karyawan sebagai stakeholder internal lembaga. Keluarga dosen dan karyawan memiliki posisi penting bagi lembaga, mengingat banyaknya waktu yang dihabiskan oleh dosen dan karyawan di tempat bekerja daripada di rumah. Bila
3
lembaga atau perusahaan memberikan perhatian sungguh, hingga karyawan merasa nyaman bekerja untuk perusahaan/lembaga tersebut, dampaknya tentu berujung pada dukungan keluarga. Dukungan penuh keluarga selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan semangat kerja karyawan bersangkutan. Melalui sambutan singkatnya Sr. Yustiana CB berharap agar kegiatan semacam ini dapat membangun silaturahmi antar keluarga karyawan, keluarga dosen,
dan
pengelola
lembaga.
Lembaga
pun
merencanakan
untuk
menyelenggarakan acara lain yang bernuansa kebersamaan namun dikhususkan bagi ‘Pasutri’ pertengahan Agustus 2011. Dalam kesempatan yang sama Bapak Thomas Suyatno selaku Ketua Pengurus YPTT menyampaikan terimakasihnya untuk keterlibatan seluruh keluarga besar STIKS Tarakanita family gathering kali ini. Ia pun menggarisbawahi inti dari acara yang lekat dengan nuansa kebersamaan ini. Pertama mengenai relaksasi, dimana semua diajak keluar dari rutinitas keseharian untuk menjadi lebih ‘cair’ menikmati waktu bersama, kedua adalah kebersamaan sebagai keluarga besar yang menjalin silaturahmi yang baik dan yang ketiga adalah refleksi, bahwa kegiatan diharapkan tidak hanya berhenti pada tujuan relaksasi dan kebersamaan tetapi lebih dari itu semua anggota keluarga besar STIKS Tarakanita diajak untuk merenungkan bersama perjalanan lembaga dan kemungkinan maju kembangnya di masa mendatang. Seluruh rangkaian acara di saung angklung Mang Udjo diakhiri dengan pembagian bingkisan bagi seluruh keluarga. Selanjutnya peserta yang dibagi dalam lima bis besar segera melanjutkan perjalanan menuju Cihampelas. Wisata belanja di Cihampelas berakhir kira-kira lepas magrib. Usai mencecap kebersamaan sehari penuh keluarga besar STIKS Tarakanita pun meninggalkan bumi pasundan menuju ibukota. Aroma makanan, peluh, dan debu pekat menggantung di bis. Asam laktat sepertinya telah menggumpal di otot memunculkan rasa pegal. Usai makan malam banyak peserta segera lelap tanpa sempat mengantuk. Hanya sedikit yang masih terjaga untuk bercakap dengan teman duduknya. Malam semakin larut, peserta pun larut dalam kesan hari itu dan rencana masing-masing esok hari. Memasuki tanah ibukota masih saja ada yang membayangkan sekelompok anak-anak menari dan menyanyi. Kali ini lagu ‘Pileuleuyan’, farewell song-nya tanah pasundan, karya monumental Mus K. Wirya, yang mulai populer di tahun 1960 sejak dinyanyikan Lilis Suryani...
4
Hayu batur, hayu batur urang kumpul sarerea (Ayo kawan, ayo kawan kita berkumpul bersama-sama) Hayu batur, hayu batur urang sosonoan heula (Ayo kawan, ayo kawan kita saling melepas rindu dulu) Pileuleuyan pileuleuyan sapu nyere pegat simpay (Selamat berpisah, selamat berpisah, seperti sapu lidi yang lepas simpulnya) Pileuleuyan pileuleuyan paturay patepang deui (Selamat berpisah, selamat berpisah, suatu saat berjumpa kembali) Amit mundur amit mundur amit ka jalma nu rea (Mohon pamit, mohon pamit, untuk semua saja) Amit mundur amit mundur da kuring arek ngumbara (Mohon pamit, mohon pamit, karena saya akan mengembara kembali)
Humas dan Publikasi STIKS Tarakanita, medio Juli 2011
5