Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota
Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota
Tim PUSHAM UII
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Bersama Bergerak: Riset Aktivis Islam di Dua Kota -- Tim PUSHAM UII, PUSHAM UII: Yogyakarta, Oktober 2009
120 Halaman, i-xxxiii, 14 x 21 ISBN 978-979-1097-80-1 Cetakan Pertama, Oktober 2009 Tim Riset dan Penulis: Laode Arham, Mohammad Syafi’i, Muhammad Zuhdan, Supriyanto Abdi, Nurdayad, Kelik Sugiharto, Eman Sulaiman. Editor: Dian Yanuardi & Supriyanto Abdi Perancang sampul: Aditya R. (Didit) Layouter: Darmawan
Diterbitkan oleh: PUSHAM UII Jeruk Legi RT 13 RW 35 Gang Bakung No. 517A Banguntapan Bantul Yogyakarta Telp. 0274-452032, Faks. 0274-452158 E-mail
[email protected],
[email protected] Website: www.pushamuii.org
Cetak oleh: Nailil Printika Telp. 0274-7422 761
Daftar Isi
1. Pendahuluan 2. Konteks Gerakan Islam Radikal 3. Wacana dan Persepsi Islam Radikal tentang HAM 4. Gerakan Sosial Islam Radikal 5. Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi Daftar Pustaka Biodata Para Penulis
1 25 45 77 99 109 117
vi
Kata Pengantar
D
alam suatu seminar,1 seorang Komisaris Polisi (Kompol) yang berasal dari satuan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (terkenal dengan sebutan Densus 88), sebagai salah satu narasumber, menyatakan bahwa polisi sudah mengantisipasi akan adanya ‘serangan balik balas-dendam dari para teroris’ sebagai balasan terhadap dieksekusi-matinya tiga orang terpidana dalam kasus bom Bali2 – meskipun yang bersangkutan dan intelejen serta polisi pada umumnya 1
2
Seminar Keamanan & Hak Asasi Manusia itu diselenggarakan oleh PusHAM UII Yogyakarta di Hotel Santika Yogyakarta, 3 September 2009. Terpidana mati terkait dengan bom Bali adalah Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. Hukuman mati akhirnya dilaksanakan setelah ditunda-tunda beberapa waktu. Publik, termasuk para korban yang masih hidup dan keluarga korban cukup puas atas eksekusi mati itu, meskipun ada pembela hak asasi manusia (human rights defender) yang menentang hukuman mati, termasuk hukuman mati terhadap pelaku pemboman. Di pihak lain terdapat sekelompok orang yang justru menganggap dan memperlakukan ketiga terpidana sebagai ‘mujahid’, orang-orang yang mati syahid karena berjihad.
vii
mengaku tidak tahu kapan tepatnya aksi balas dendam itu ter jadi —; dan serangan-balik itu menjadi kenyataan, menurutnya, ketika terjadi ledakan bom di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.3 Kompol Densus 88 itu seolah hendak menegaskan kembali pernyataan Boulding [1994] bahwa ‘tindak kekerasan4 dapat melahirkan kekerasan baru,’5 yakni: 3
4
5
Bom meledak di hotel Ritz Carlton dan J.W. Mariot pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 2009. Joan Bondurrant, seorang tokoh utama di dalam non-kekerasan, menakrifkan kekerasan sebagai ‘the willful application of force in such a way that it is intentionally injurious to the person or group against whom it is applied‘ (‘penerapan kekuatan yang sengaja dengan cara sedemikian rupa bahwa kekerasan itu dimaksudkan menciderai seseorang atau kelompok terhadap siapa hal (tindakan) itu dikenakan). Cidera dipahami untuk memasukkan kesakitan psikologis dan juga fisikal’ [Bondurrant, Conquest of Violence, p. 9 ; juga Paul Wehr, Heidi Burgess, Guy Burgess, Justice Without Violence, Boulder & London, Lynne Rienner Publisher, 1994, p. 9]. Doug Bond mendefinisikan kekerasan secara lebih sempit sebagai ‘use of physical force against another’s body, against that person’s will, and that is expected to inflict physical injury or death upon that person’ (‘penggunaan kekuatan fisikal terhadap badan seseorang, bertentangan dengan keinginan orang itu, dan hal itu diharapkan [ditujukan]) untuk menyebabkan penderitaan cidera fisikal atau kematian atas orang itu’). Definisi ini agaknya memasukkan cidera fisikal dan juga penghancuran kepemilikan, yang dimasukkan di dalam definisi lain tentang kekerasan [lihat: Doug Bond, Nonviolent Direct Action and the Diffusion of Power, dalam Wehr et.al., Justice Without Violence, Boulder & London, Lynne Rienner Publisher, 1994, pp. 5979]. Istilah kekerasan itu dekat sekali dengan makna kosakata ‘agresi’, yaitu ‘tindakan/perbuatan permusuhan yang dimaksudkan untuk menyakiti orang atau sasaran, seringkali merupakan hasil dari frustrasi.’ Istilah ini juga mengacu pada nafsu atau kecederungan untuk melakukan tindakan menyakiti [Theodorson & Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1969,8]. Pernyataan ini sayup-sayup mengingatkan kembali pada pernyataan Soebandrio di dalam Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar
viii
kekerasan bom Bali melahirkan eksekusi mati terpidana pelakunya, yang ditanggapi dengan kekerasan bom J.W. Mariot dan Ritz Carlton yang mengakibatkan 9 orang meninggal dan 53 orang luka, dan pada gilirannya memunculkan penyergapan yang mematikan Ibrohim di Temanggung, yang disangka oleh polisi sebagai salah satu orang yang terlibat di dalam peristiwa bom di kedua hotel itu, meski belum dibuktikan secara sah dan meyakinkan di depan pengadilan. Pelaku tindak kekerasan dalam peristiwa yang dipaparkan itu disatu pihak adalah yang disangka dan/atau dianggap sebagai teroris, yang, masih menurut Kompol Densus 88, digerakkan (atau dimotivasi) oleh ajaran agama yang bersifat radikal dan oleh karena itu dianggapnya sebagai salah (atau sesat), sehingga tindakan teror itu disebutnya sebagai ‘religious terrorism’ – dan oleh karena itu, lanjutnya, Densus 88 (dan polisi) telah menyusun rencana tindakan ‘deradikalisasi (atas agama yang dianggap radikal)’ —. Tindakan teror di dalam terorisme adalah tindakan melawan hukum positif, yakni bertentangan dengan UU No. 15/2003, serta termasuk dalam kategori perbuatan ‘extraordinary crime’ (‘kejahatan luar biasa’). Sedangkan dipihak lain, pelaku tindak kekerasan kedua (eksekusi mati terpidana kasus bom Bali setelah diadili lewat proses pengadilan, penembakan dalam penyergapan tersangka teroris bom Mega
oleh pihak Orde Baru ketika mengadili yang bersangkutan atas dasar tuduhan terlibat di dalam apa yang disebut Orde Baru sebagai Pemberontakan G.30S/PKI pada tahun 1965. Soebandrio membuat pernyataan terkenal, yakni: ‘Teror dibalas dengan teror.’
ix
Kuningan yang mengakibatnya matinya tersangka sebelum diadili secara sah oleh pengadilan) adalah aparatus negara sebagai penegak hukum yang melakukan tugasnya berdasarkan undang-undang, sehingga dianggap benar, oleh karena Negara dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang memonopoli penggunaan kekerasan secara absah [Giddens,1985]. 6 Salah satu akibat nyata dari perbuatan teror (oleh yang disangka teroris) dan tindakan anti-teror (yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan Densus 88) itu sama, yaitu terenggutnya hak hidup sejumlah orang (korban bom) oleh pelaku pemboman, dan terpidana dan tersangka pelaku atau yang disangka terlibat pemboman oleh Densus 88. Padahal, dari segi hak asasi manusia, hidup sebenarnya merupakan hak yang melekat pada setiap orang dan oleh karena itu bersifat tidak dapat direnggut oleh siapapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun (nonderogable rights) menurut pasal 28I (1) UUD 1945 dan pasal 4 UU No. 39/1999, sehingga dengan demikian akibat dari kedua tindakan (yakni perbuatan terpidana dan tersangka teroris yang dianggap termotivasi oleh ajaran sesat agama, dan tindakan anti-teoris polisi dan Densus 88 yang didasarkan pada kaidah penegakan hukum) itu juga nampak bertentangan dengan konstitusi, hukum, dan hak asasi manusia.
6
x
Giddens, Anthony, ‘Modernity, Totalitarianism and Critical Theory’ dalam ‘The Nation, State and Violence,’ Berkeley & Los Angeles, University of California Press,1985:294-341.
Keyakinan Densus 88 bahwa pelaku dan yang terlibat di dalam peristiwa pemboman (di Indonesia) yang diperlakukan sebagai peristiwa terorisme itu adalah bagian dari kelompok yang mereka sebut sebagai ‘Islam radikal’ (oleh karena itu muncul kosakata yang bersifat ‘stigmatik’7 seperti ‘religious terrorism’; dan juga wacana, niat, dan program Densus 88 untuk melakukan ‘deradikalisasi’). Tetapi Kompol Densus 88 itu bukanlah satu-satunya orang yang memberikan stigma pada bagian dari kelompok yang yang dituduh Islam radikal sebagai teroris. Mantan Kepala BIN, dalam wawancara televisi, bahkan mengemukakan ‘teori’ bahwa ‘ideologi radikal’ bertanggung-jawab atas tindakan kekerasan dan perbuatan teror yang dilakukan oleh para teroris, seraya menyebutkan secara eksplisit bahwa tindakan Presiden George W. Bush mengerahkan pasukan militer untuk menyerang dan menghancurkan Irak adalah tindakan yang didorong oleh ideologi semacam itu, demikian juga perbuatan Osama bin Laden yang berada di belakang penyerangan World Trade Center. Dalam hal peristiwa bom di Indonesia, yang bersangkutan menuduh aliran Islam Wahabi radikal berada di 7
Stigma adalah atribut sosial yang mendiskreditkan individu atau kelompok. Pandangan stigmatik atas badan seseorang adalah upaya menonjolkan atau bentuk badan yang salah. Pandangan serupa itu juga seringkali ditujukan untuk karakter (misalnya: homoseksualitas) dan kolektivitas sosial (ras atau suku primitive tertentu). Teori stigma menjelaskan atau membenarkan pemakzulan orang yang distigmatisasi dari interaksi sosial yang wajar [Abercrombie et.al., 1988:243]. Jadi, Kompol Densus 88, dalam hal ini, menstigmatisasi bahwa kelompok Islam radikal itu sebagai teroris. Lihat: Abercrombie, Hill, and Turner, Dictionary of Sociology, London – New York, Penguin Books, 1988, p. 243.
xi
belakangnya. Lebih jauh, keyakinan yang mendorong stigmatisasi seperti itu telah melahirkan suatu ‘kebijakan’ yang mendorong, bahkan lebih keras, meminta masyarakat untuk melaporkan kepada yang berwajib jika ada ‘orang berjenggot dan berbaju gamis yang dianggap mencurigakan,’ sebagai yang dikemukakan oleh seorang pejabat tinggi militer di Jawa Tengah, yang dikutip oleh koran. Pendek kata, telah diluncurkan proses ‘stereotyping’ 8 bahwa ‘(orang ber)jenggot dan (ber)baju gamis’ adalah atribut dari ‘Islam radikal’ yang berada di belakang ‘tindakan kekerasan’ dan ‘perbuatan teror’ yang menebarkan maut dan rasa takut yang meluas; dan stereotipe yang dihasilkan dijadikan pembenaran atas ‘kebijakan dan tindakan anti terorisme’ berupa ‘penegakan hukum’ (penangkapan, pengadilan, dan eksekusi atas pelaku atau yang disangka pelaku dan yang terlibat) dan kebijakan pencegahan yang antara lain dilakukan lewat operasi ‘deradikalisasi.’ Stereotyping seperti itu bukan saja bersifat sepihak, dibesar-besarkan, dan berisi prasangka (buruk), sebagaimana terkandung dalam pengertian itu, melainkan juga menunjukkan adanya sesat pikir (fallacy) karena produk ide (gagasan) diperoleh berdasarkan pada 8
Stereotipe adalah pandangan sepihak, yang bersifat dibesar-besarkan dan umumnya bersifat prasangka atas suatu kelompok. Stereotipe seringkali menolak perubahan atau koreksi dari bukti-bukti yang sebaliknya, karena hal itu menciptakan suatu perasaan solidaritas sosial. Para ahli sosiologi telah lama menggunakan stereotipe dalam analisis perilaku menyimpang, khususnya sebagai penjelasan yang menguatkan penyimpangan. Stereotyping adalah proses membentuk dan memproduksi stereotipe yang dikenakan kepada kelompok tertentu [lihat: Abercrombie et.al.,1988:242].
xii
informasi atau penalaran yang keliru, yakni pencampur-adukan dua konsep atau lebih yang sama sekali berbeda, dalam hal ini adalah konsep ‘radikal’ dengan ‘kekerasan’ dan ‘teror.’ Jika ‘kekerasan’ dan ‘teror’ mengandung esensi pengertian yang berkaitan, maka ‘radikal’ sama sekali tidak sama dan tidak berkaitan dengan kedua kosakata yang disebut terdahulu itu. Radikal (akar kata: root, radix artinya akar) berarti menghubungkan sifat atau bentuk dasar dari sesuatu, mirip dengan kosakata fundamental. Orang atau kelompok radikal adalah orang atau kelompok yang ingin membuat perubahan besar di dalam sistem politik, misalnya sayap radikal dari suatu partai politik [Higgleton & Seaton (eds.), 1995:783]. Sikap radikal itu dapat melahirkan radikalisme, yaitu ideologi (seringkali lebih kiri daripada kanan) nonkonformis yang berpusat pada inovasi, perubahan, dan konsep kemajuan, daripada sebuah ideologi yang didasarkan pada nilai-nilai masa lalu; atau yang lebih lunak, radikalisme adalah pendekatan yang bersifat non-konformis pada masalah sosial dan politik yang ditandai oleh ketidak-puasan yang tinggi pada status quo, dan oleh karenanya juga merupakan panggilan kepada perubahan masyarakat secepat mungkin dengan alat yang memiliki daya paksa [Theodorson & Theosodorson, 1969:330]. Radikalisme sebagai satu ideologi terletak pada tataran forum internum, demikian juga sikap mental internal yang belum diragakan, sedangkan tindakan radikal adalah ekspresi sosial teraga dari radikalisme. Dalam perspektif hak asasi manusia, radikalisme adalah paham/keyakinan yang menjadi hak asasi non-derogable setiap orang untuk xiii
memilih atau tidak memilihnya, sedangkan tindakan radikal yang disertai daya paksa adalah tindakan sosial yang dapat melibatkan orang lain, sehingga oleh karena itu bersifat derogable yang dapat diatur dan dibatasi dengan syarat tertentu.9 Teror berhubungan dengan kekerasan, karena di dalam tindakan teror selalu terkandung kekerasan,10 meski kekerasan tidak selalu sama dengan teror. Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain [Ali, 1996:485; Neufeldt & Guralnik, 1998:1490; Horby, 1974:976; Wehr et.al.,1994:62]; sedangkan teror adalah (ancaman) kekerasan yang menimbulkan rasa takut yang luas dalam masyarakat untuk memaksa pemerintah, organisasi, atau segmen masyarakat untuk bertindak menurut tujuan teroris, dan tujuan itu bisa bersifat politik, keagamaan, atau ideologikal. Kekerasan dan teror keduanya dekat dengan tindakan agresi, yakni tindakan/perbuatan permusuhan yang dimaksudkan untuk menyakiti orang atau sasaran, yang juga mengacu pada nafsu atau kecederungan untuk melakukan tindakan menyakiti, dan seringkali merupakan hasil dari frustrasi [Theodorson & Theodorson, 1969:8]. Jadi
9
Hak yang bersifat derogable, dapat diatur, dibatasi, dan dikurangi hanya saja pengaturan dan pembatasan itu hanya boleh dilakukan dengan undang-undang jika dianggap perlu untuk menjaga dan memelihara keamanan, ketertiban, kesehatan, dan moral publik, serta hak dasar dan kebebasan liyan (public safety, order, health, morals, and the fundamental rights and freedom of others), dalam masyarakat demokratis [Lindholm et.al.,2004].
xiv
teror dan kekerasan tidak selalu didorong dan dimotivasi oleh ideologi atau keyakinan dan agama yang radikal sekalipun, karena menurut sejumlah ahli ada ‘deep structure’ yaitu konsepsi moralitas dan aturan moral dasar yang sama dari tradisi keagamaan yang berbeda tentang yang secara sosial baik bagi kehidupan manusia [Green,1988] yaitu kebenaran, kebahagiaan, keselamatan, pengalaman [An Na’im, 1995], meskipun bukan tidak mungkin ideologi dan agama dijadikan acuan pembenaran terhadap tindakan kekerasan dan teror.11 10
11
Black’s Law Dictionary memberikan takrif terorisme sebagai: kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia, yang melanggar hukum pidana (Amerika; negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil; b. mempengaruhi kebijakan pemerintah; c. mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan. Meski demikian ada berbagai takrif lain: Terorisme adalah strategi yang didahului oleh ancaman atau kekerasan yang melawan hukum pada orang (biasanya bukanpetempur) atau kepemilikan. Teror menimbulkan rasa takut langsung pada korban dan kelompok yang lebih luas sehingga publik merasa terteror (khususnya ketika orang sipil dijadikan sasaran dengan cara yang tak dapat diperkirakan, mengarah ke perasaan rentan yang meluas. Adapun tujuan teror adalah memaksa pemerintah, organisasi, atau segmen masyarakat untuk bertindak menurut tujuan teroris, dan tujuan itu bisa bersifat politik, keagamaan, atau ideologikal [Hall & Whitaker,1999:290; cf.Cooper,1974; Adams,1986; Bassiouni,1987; Pormerantz,1987; Bandura,1990; Title 2, US Code, Section 2656f(d); US DoS,1988,1996]. Wakil Ketua Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) yang menjadi salah satu nara sumber dalam Seminar Keamanan & Hak Asasi Manusia [lihat: Catatan Kaki no. 1 di atas] menegaskan bahwa pelaku tindakan kekerasan dan teror pada umumnya telah berniat melakukan tindakan itu, dan baru kemudian mereka mencari pembenaran atas tindakannya dari ajaran agama atau ayat-ayat dari Kitab Suci, dan bukan sebaliknya, yakni dimotivasi atau didorong oleh ajaran agama, karena menurut dia, agama tidak mengajarkan membunuh penduduk
xv
Islam radikal di Indonesia, istilah yang secara eksplisit tidak disukai oleh kelompok-kelompok yang diberi predikat seperti itu12 (suatu sikap yang agak mengejutkan karena kelompok ini justru memperlihatkan-diri terperangkap oleh sisi negatif istilah yang cenderung dimengerti secara salah kaprah yang diciptakan oleh liyan), disamping distigmatisasi sebagai yang berada di belakang perbuatan terorisme, seringkali juga dipersepsikan sebagai kelompok monolitik yang anti HAM, 13 antara lain karena tindakan kekerasan yang seringkali dilakukan oleh kelompok ini terhadap liyan, bahkan juga terhadap komunitas agama lain. Dengan mengabaikan sejumlah kelemahan dari praktik penelitian ini,14 salah satu sipil yang sama sekali tidak bersalah. Membunuh petempur (combatant) hanya boleh di dalam situasi perang, dan membunuh perempuan dan anak-anak sama sekali dilarang, meski di dalam perang sekalipun. 12 Lihat Laporan Penelitian ini, khususnya catatan kaki no. 6 di halaman x 13 Lihat paparan Bab I Laporan Penelitian ini. Paparan itu, seraya mengacu ke sejumlah penelitian liyan, menyatakan bahwa ‘Sebagian gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta sangat anti dan menolak hak asasi manusia (HAM). Penolakan terhadap HAM misalnya didasarkan atas keyakinan bahwa HAM merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. ’14 Kekeliruan elementer yang dapat ditemukan di dalam laporan ini ada pada tataran metodologis, kerangka nalar dan analisis yang digunakan, serta penarikan kesimpulan yang kadangkala kurang cermat. Kekurangan kerangka teori, kerangka analisis, narasi nalar dan masalah teknikalitas lain dapat dimengerti bilamana dilakukan oleh Peneliti pemula dan penelitian awal. Misalnya: Diskusi draft awal laporan penelitian itu menemukan berbagai temuan, yakni antara lain: Tidak ada takrif/definisi; Pemerian (narasi deskriptif) kurang; Pernyataan yg tidak akurat; Pernyataan rancu; Pernyataan ‘bias’/ subyektif; Pernyataan tak jelas: kesimpulan vs. Hipotesis; Kerangka nalar pemaparan; Kaitan nalar (antara masalah penelitian dengan tujuan penelitian); Kategorisasi (tidak pas); Perspektif/paradigma
xvi
sumbangan dari Laporan Penelitian ini adalah temuannya yang secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut: o Pertama, anggapan umum bahwa ‘gerakan Islam radikal sepenuhnya anti HAM’ adalah tidak benar – atau setidaknya tidak sesuai dengan realitas empirik; o Kedua, ‘gerakan Islam radikal’ pada kenyataannya tidak monolitik, karena setidaknya di dalam gerakan Islam radikal ada tiga kubu yang berbeda akan tetapi saling bergandengan tangan, yakni: kubu intelektual, kubu skriptual, dan kubu aktivis; o Ketiga, muncul dan berkembangnya gerakan Islam radikal didorong oleh dua faktor, yaitu: (i) faktor internal: pengalaman dan perasaan didera terusmenerus oleh kekuasaan politik selama nyaris sepanjang waktu, sejak pasca perang kemerdekaan; (ii) faktor eksternal berupa perubahan ‘political opportunity structure’ yang memberi sedikit ruang gerak dan kebebasan berekspresi, sejalan dengan semakin maraknya wacana hak asasi manusia; o Keempat, komunitas pendukung gerakan Islam radikal tidak memadu dan menggenggam persepsi tunggal tentang HAM, melainkan memelihara persepsi yang cenderung ambigu, karena di dalam komunitas gerakan Islam radikal terpelihara tiga persepsi yang saling berinteraksi, yaitu: (i) dengan struktural; Pra-anggapan/asumsi; Metodologi (metode; teknik): Jenis penelitian, Etika penelitian; Penggunaan istilah (kosakata) & kalimat, Perumusan kalimat [lihat: Billah, M.M., Catatan dan Komentar atas Laporan Penelitian PusHAM UII, Jakarta, Kemitraan, 2009].
xvii
amat sedikit perkecualian, HAM dianggap selaras dengan ajaran Islam (pendapat yang dimotori oleh elit intelektual gerakan); (ii) HAM harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam (yaitu pendapat kelompok skriptualis); dan (iii) HAM dianggap sebagai instrumen atau alat perjuangan melawan musuh gerakan Islam radikal (yang kuat di kalangan aktivis gerakan); o Kelima, di balik persepsi semacam itu terkuak pemahaman komunitas gerakan Islam radikal tentang HAM yang seringkali bersifat reduktif, partial, dan terpelintirkan (terdistorsi). Sifat reduktif pemahaman itu nampak dari pemahaman HAM sebatas tingkat instrumental (HAM sebagai alat perjuangan melawan musuh), seraya menafikan nilai-nilai hakiki dan universal HAM yang disepakati di dalam Deklarasi Universal/Sejagat HAM; pemahaman partial nampak dari tafsir terutama terhadap hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, berkeyakinan dan beragama yang berlawanan dengan ketentuan Pasal 30 DUHAM; sedangkan pemahaman distortif terlihat dan terwujud dalam sikap penolakan terhadap ‘HAM Barat.’; o Keenam, sikap komunitas gerakan Islam radikal terhadap HAM bernuansa, seturut dengan variasi persepsi masing-masing kubu internal. Sikap dominan dimotori oleh kubu para aktivis, bahwa (i) gerakan islam radikal perlu mempelajari dan untuk memperlakukan HAM sebagai salah satu alat perjuangan untuk melawan musuh-musuh gerakan. Sikap ini nyaris membayangi seraya xviii
menyelimuti dua sikap lain, yakni (ii) sikap penerimaan (bahwa HAM selaras dengan ajaran Islam, dengan amat sedikit perkecualian berkenaan dengan kebebasan berpindah agama dan hak perempuan), dan (iii) sikap penerimaan bersyarat (bahwa penerimaan HAM disesuaikan dengan ajaran Islam); o Ketujuh, kelompok gerakan radikal Islam, yang dianggap selalu menutup pintu rapat-rapat terhadap pihak diluarnya oleh kelompok antigerakan radikal Islam, ternyata tidaklah sepenuhnya seperti anggapan yang bias itu, melainkan sebenarnya membuka celah di pintunya untuk memberi kemungkinan bagi terbukanya peluang komunikasi dan/atau interaksi (meski barangkali amat kecil) yang bisa dimanfaatkan untuk memulai proses dialog simpatik dan berkesetaraan antara liyan pegiat HAM dengan komunitas gerakan Islam radikal berkenaan dengan HAM, terutama untuk mengatasi pemahaman HAM yang bersifat reduktif, partial, dan distortif; o Kedelapan, gerakan radikal Islam terdiri dari dan didukung oleh organisasi (kelembagaan) yang lahir dan tumbuh sendiri-sendiri tetapi merasa diikat oleh warna ideologis Islam yang sama, dan ada kalanya saling berhubungan. Bentuk dan sifat organisasi pendukung itu terletak diantara dua kontinum ‘paguyuban’ dan ‘patembayan.’ Pada umumnya organisasi pendukung itu cenderung kurang berdaya menghadapi apa yang mereka sebut sebagai ‘pihak musuh’; o Kesembilan, organisasi-organisasi pendukung xix
gerakan Islam radikal melakukan setidaknya dua jenis aksi, atau kombinasi dari kedua aksi itu, yakni (i) aksi litigasi, dan (ii) aksi non-litigasi. Informasi yang disebutkan tentang aksi-aksi itu amat terbatas lingkupnya, tetapi dapat diperoleh kesan bahwa managemen aksi dilakukan ‘seadanya’ seraya tidak mengikuti kaidah managemen aksi yang sungguh-sungguh, sehingga efektivitas tidak memadai. Temuan penelitian ini — khususnya berkenaan dengan persepsi dan sikap gerakan radikal Islam terhadap hak asasi manusia — membuka kemungkinan baru, yaitu peluang untuk melakukan dialog diantara kedua kubu, betapapun prasangka, perbedaan, dan bahkan barangkali kebencian antara kelompok ‘gerakan radikal Islam’ dengan kelompok lawannya telah mengemuka. Peluang dialog itu selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Rudiger Noll,15 bahwa ada tokoh keagamaan yang dengan berani membantu mencari jalan untuk memecahkan pertikaian diantara berbagai kelompok yang berbeda atau bahkan berlawanan. Para tokoh semacam itu seringkali amat penting dalam pencapaian rujuk-spiritual, yang merupakan prasyarat yang perlu dari bentuk penyembuhan-ulang pasca konflik yang lebih teraga. Sebagai contoh, Wakil Ketua Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai salah seorang narasumber di dalam seminar yang sama, 16 juga menyatakan
15 16
Lihat Lidholm et.al., ibid., 2004 Lihat Catatan Kaki no.1 diatas.
xx
pentingnya dialog dan kesediaannya untuk berpartisipasi di dalam dialog semacam itu, antara lain untuk menghindari kesalah-paham, yang biasanya memicu pertikaian yang tidak perlu. Disamping itu secara lebih umum, agama memainkan peran penting di dalam pengulangan kebiasaan jujur, kepatuhan, dan sejumlah sifat-sifat lain yang tanpa hal itu masyarakat akan sulit berfungsi [Lindholm et.al.,2004]. Dialog adalah bagian penting dari komunikasi. Sedangkan komunikasi adalah suatu pencegahan dan proses penyelesaian pertikaian yang penting, karena komunikasi yang berkesinambungan dapat membantu membangun kepercayaan, meminimalkan kesalahpahaman, menghapuskan kecurigaan dan kebencian dan juga menciptakan suasana saling-memahami.17 Komunikasi untuk menyelesaikan pertikaian menuntut keterbukaan yang memungkinkan semua pihak yang terlibat bersifat jujur tentang pemikiran dan perasaan mereka untuk membangun rasa salingpercaya dan saling menghormati. Komunikasi terbuka juga berarti bahwa semua kelompok yang ikut-serta memiliki hak dan keinginan untuk mengungkapkan diri-mereka sendiri dan mendengarkan pihak liyan [Littlejohn & Domenici,2001]. Oleh karenanya, pelibatan pihak yang bersengketa dalam komunikasi yang berkesinambungan, damai, dan terbuka, adalah anasir yang paling penting dari penyelesaian pertikaian.
17
Hal ini sejalan dengan kesimpulan laporan Iternational Conference on Inter-religious Dialogue, Tashkent, Uzbekistan 14-16 September 2000.
xxi
Dialog adalah satu percakapan yang bersifat membangun dan penuh kedamaian yang menyediakan lingkungan bagi setiap pihak yang berbeda (agama, keyakinan, ideologi, dan juga kepentingan) untuk mengungkapkan diri-mereka sendiri dan belajar dari liyan, yang memungkinkan penjajagan terhadap landasan bersama. Dialog antar komunitas agama menuntut, antara lain, bahwa para partisipan bersifat moderat dan mampu mengendalikan diri, memiliki sifat toleran yang tinggi, dan mempunyai keinginan untuk terlibat di dalam pertukaran pandangan dan gagasan dengan liyan yang berlatar-belakang amat berbeda. Partisipan dari dialog haruslah bebas dan mampu mengungkapkan pendapat, perasaan, nilainilai, dan kepentingan mereka, tetapi mereka juga harus memiliki keinginan untuk mendengarkan secara terbuka kepada pendapat, perasaan, nilai-nilai, dan kepentingan liyan [Littlejohn & Domenici,1995:47]. Komunikasi dan dialog antar kelompok keagamaan selalu menghadapi tantangan. Tantangan terhadap komunikasi terbuka sebagai bagian utama dari penyelesaian pertikaian adalah tidak adanya keseimbangan kekuasaan diantara para partisipan. Biasanya, beberapa partisipan dapat menunjukkan kekuasaan-lebih mereka daripada yang lain untuk mencapai tujuan mereka. Hal ini benar-benar terjadi di dalam komunitas di mana kelompok tertentu cenderung menjadi lebih dominan secara politik, keagamaan, ekonomi, atau sosial daripada yang lain. Adapun dialog juga berhadapan dengan berbagai faktor yang menantang. Pertama dan yang paling jelas adalah penolakan dan ketidak-inginan kelompok xxii
agama tertentu untuk terlibat di dalam setiap komunikasi dengan kelompok keagamaan lain, karena takut pengaruh luar. Kelompok ini biasanya kurang pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kelompok lain. Kedua, ciri dialog yang tidak realistik yang hanya mencari persamaan di dalam agama yang berbeda. Upaya seperti ini tidak memfasilitasi dialog damai yang sesungguhnya, karena hal itu hanyalah mempertontonkan bahwa pihak-pihak yang berbeda tidak mampu ‘berdiri di atas landasannya seraya bersifat sungguh-sungguh terbuka’ [Littlejohn & Domenici,2001]. Ketiga, jika pihak-pihak keagamaan yang bersengketa memiliki masalah emosional dan psikologikal, karena isu agama amat erat dengan halhal emosional. Keempat, praktik dialog antar-agama (di Indonesia) dikritik sebagai hanya melibatkan sedikit pemimpin yang terpelajar dan liberal seraya mengabaikan orang pada tingkat akar-rumput. Kelima, dialog, menurut Gopin [2002], memiliki keterbatasan. Dialog sendiri tidak dapat dilihat sebagai upaya penciptaan perdamaian. Pertikaian keagamaan adalah gejala yang rumit, karena berkenaan dengan beragam segi dari keyakinan manusia yang tidak bisa hanya diartikulasikan lewat komunikasi verbal (lisan), tetapi juga dengan perasaan dan emosi, yang biasanya (di Indonesia) diungkapkan secara tidak langsung dan bersifat simbolik. Oleh karenanya amat penting mengikut sertakan berbagai kelompok keagamaan atau mereka yang bersengketa di dalam beragam komunikasi di tempat, kegiatan dan peristiwa yang berlainan, dan penting pula melibatkan semua anggota komunitas tanpa memandang status dan xxiii
ketrampilan mereka di dalam memelihara atau menciptakan perdamaian. Hal ini searah dengan dialog versi Eck [1986] yang diperluas yang disebut dialog di dalam komunitas dan dialog tentang kehidupan, dialog inklusif yang memberi ruang pada interaksi yang tak-terstruktur diantara orang yang berlatar-belakang berbeda [Suwarno,2006]. Upaya memajukan komunikasi antar (komunitas) keagamaan bisa dilakukan lewat pendidikan: (i) pendidikan komunikasi terbuka dan lintas-budaya harus juga menjadi bagian dari kurikulum sekolah, sebagai tambahan bagi (ii) pendidikan pluralisme dan toleransi; (iii) pendidikan agama harus juga bersifat inklusif-komparatif, bukannya harfiah-eksklusif. Dialog dapat dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda dan dengan tujuan yang berbeda serta bentuk (format) yang berlainan, yang merentang dari dialog diantara para pemimpin keagamaan tingkat tinggi sampai dengan dialog tingkat akar-rumput melintasi divisi-divisi keagamaan untuk mendorong komunikasi lintas-komunitas dan penciptaan suasana damai [Smock,2002].18 Dialog memerlukan ketrampilan verbal, pengetahuan, pemahaman dan keterbukaan. Oleh karena tidak bisa menjadi satu proses penciptaan perdamaian sendiri, dialog itu perlu diper-
18
Di Indonesia, Interfidei mengajukan tiga jenis dialog: (i) ‘dialog hidup’ berkenaan dengan percakapan tentang yang menjadi perhatian bersama berkaitan dengan kehidupan sesehari; (ii) ‘dialog aksi’ yang ditujukan langsung ke arah menghilangkan hambatan untuk hidup secara berdampingan; (iii) ‘dialog teologis’ yang kebanyakan diikuti oleh para ahli dan pemimpin keagamaan untuk mendiskusikan masalah teologis [Suwarno.2006].
xxiv
luas dengan memasukkan komunikasi terbuka di dalam ruang publik. Perluasan ruang publik akan mendorong partisipasi lebih baik dari anggotaanggota masyarakat dan satu proses yang adil dari pembentukan pendapat umum, pandangan dunia dan realitas. Untuk memperluas partisipasi aktif di dalam sebuah ruang publik, harus ada satu pendidikan keagamaan berkenaan dengan pluralisme dan bahkan toleransi [Suseno,2001], dan lebih penting dengan keterbukaan komunikasi dan kesadaran-keagamaan terhadap penderitaan liyan [Suwarno,2006].
Jakarta, 21 Ramadlan 1430 H 12 September 2009 M.M. Billah
xxv
xxvi
Daftar bacaan:
Ali (ed.), Lukman, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996. An-Na’im et.al., Abdullahi, Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, AmsterdamMichigan, Rodopi – William B. Eerdmann, 1995. Bond, Doug, Nonviolent Direct Action and the Diffusion of Power’, dalam Wehr et.al., Justice Without Violence, Boulder & London, Lynne Rienner Publisher, 1994, pp. 59-79. Bondurant, Joan V., Conquest of Violence: The Gandhian Philosophy of Conflict (New Revised Edition), Princeton, NJ, Princeton University Press, 1988. Bottomore (ed.), Tom, A Dictionary of Marxist Thought, Oxford, Blackwell Reference, 1985, Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln & London, University of Nebraska Press, 1999 Eck, D.L., What do we mean by ‘dialogue’?, Current Dialogue, December 11, 1986. xxvii
Goldhamer and Shils, ’Types of Power and Status’, The American Journal of Sociology 45 (2) September 1939): 171-182; sebagaimana dikutip oleh Bond, Nonviolent Direct Action and the Diffusion of Power, dalam Wehr et.al., Justice Without Violence, Boulder & London, Lynne Rienner Publishe, 1994, pp. 65 Gopin, M., Between Eden and Armagedon: The Future of World Religions, Violence, and Peacemaking, New York, Oxford University Press, 2000. ———, Holy War, Holy Peace: How Religion can Bring Peace to the Middle East, New York, Oxford University Press, 2002. ———, Healing the Heart of Conflict: 8 Crucial Steps to Making Peace with Yourself and Others, Emmaus, Pennsylvania: Rodale, 2004. Groome, Dermot, The Handbook of Human Rights Investigation, Northborough, Massachusetts, Human Rights Press, 2001. Hefner, Robert W., ‘Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java,’ dalam Journal of Asian Studies 46, 1987. AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, London & Tokyo, Oxford University Press, 1974. Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, New York, Simon and Schuster,1996
xxviii
Ibn Ishaq, Muhammad, The Life of Muhammad, trns. A. Guillaime (Islamabad: Oxford University Press,1967 Jassin, H.B., Bacaan Mulia, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1978. Johnstone, E.H., The Buddhacarita Acts of the Buddha, Calcuta,1939. Juergensmeyer, Mark, Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, University of California Press, 2000. Kazak, M. Amin, Belief System and Justice Without Violence in the Middle East, dalam Burgess & Burgess (ed.) Justice Without Violence, Boulder & London, Lunne Rienner Publisher, 1994 Kuper, Adam & Kuper, Jessica, The Social Science Encyclopedia, London, Routledge & Keagan Paul, 1985. Lindholm et.al., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004. Littlejohn, S.W. & Domenici, K., Engaging Communication in Conflict: Systemic Practice, Thousand Oaka, CA, Sage Publication, 2001. Nasr, S.H., ‘The Concept and Reality of Freedom in Islam and Islamic Civilization,’ dalam A.S. Rosenbaum (ed.), The Philosophy of Human Rights – International Perspective, Westport, Connecticut, Greenword Press, 1980.
xxix
Neufeldt and Guralnik, Victoria- David B., Webster’s New World Dictionary of American English, Cleveland & New York, 1988. Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Semarang, Penerbit Aneka Ilmu, 1977 Reading, Hugo F., Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial), Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1986 Reinders, Johannes S., ‘Human Rights from the Perspective Of a Narrow Conception of Religious Morality,’ dalam An-Na’im et.al., Abdullahi, Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, Amsterdam-Michigan, Rodopi – William B. Eerdmann, 1995. Sanderson, Stephen K., Macro Sociology, HarperCollins Publisher Inc., 1995. Smock, David R., Interfaith Dialogue and Peacebuilding, Herndon, VA, United States Institute pf Peace Press, 2002. Santoso, Thomas, Kekerasan: Agama tanpa Agama, Jakarta, Penerbit PT Pustaka Utan Kayu, 2002. Smith, James K., Detemined Violence: ‘Derrida’s Structural Religion’, dalam The Journal of Religion, Vol. 78, Nr. 1, January 1998 Sumodiningrat dan Purna (ed.), Gunawan-Ibnu, Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Jakarta, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang
xxx
Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, 2004 Suseno, F. Magnis, Education for Tolerance among Religious Communities: The Case of Indonesia, in Alatas, S.F., Ghee, L.T., & Kuroda, K. (eds), Asian Interfaith Dialogue: Perspective on Religion, Education and Social Cohesion, Singapore, RIMA, 2001. Suwarno, Peter, Resolving Religious Conflict through Expanding Inter-Religious Communication: Issues and Challenges, makalah (tidak diterbitkan) yang disajikan pada seminar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Januari 2006. Symonides, Janusz, Human Rights: Concept and Standards, Aldershot & Burlington, Ashgate – UNESCO Publishing, 2000. Theodorson & Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell Company, 1970. Tillet, G., Resolving Conflict: A Practical Approach, New York, Oxford University Press, 1991. Ting-Toomey, S. & Oetzel J.G., Managing Intercultural Conflict Effectively, London, Sage Publication, 2001. Yewangoe, Andreas A., Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas
xxxi
HAM dan ICRP, Yogyakarta 13 Desember 2004. Zakaria, F., ‘Human Rights in the Arab World: The Islamic Content,’ dalam P. Ricour (ed.), Philosophical Foundation of Human Rights, Paris, UNESCO,1986.
xxxii
Bab 1
Pendahuluan
A. Konteks Permasalahan ebagian gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta sangat anti dan menolak hak asasi manusia (HAM).1 Mereka berada di berbagai wilayah dan organisasi: pondok pesantren, aktivis masjid, organisasi massa bahkan laskar. Penolakan terhadap HAM merupakan bagian dari penolakan mereka terhadap sejumlah isu-isu modern seperti demokrasi, pluralisme dan gender. Penolakan terhadap HAM misalnya didasarkan atas keyakinan bahwa HAM merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam.2
S
1
2
Studi dan penelitian tentang gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta, antara lain dapat dilihat pada Eko Prasetyo (2002); M Zaki Mubarak (2008), Robert W. Hefner (2005). Pandangan ini terutama berkembang dalam studi tentang Islam Politik di Indoesia maupun di Timur Tengah. Sebagian besar studistudi tentang gerakan Islam Radikal melihat problem dan ketidakcocokan antara ideologi dan gerakan Islam (islamisme) dengan isu-isu modern Sebagai misal dapat dilihat pada Khamami Zada (2002), Robert W. Hefner (1999), Peter Mandavilee (2007), Oliver Roy (2005).
1
Bersama Bergerak
Namun di sisi lain, kelompok-kelompok Islam radikal di Yogyakarta dan Solo kerap menjadi korban dari segala bentuk teror dan horor politik yang mereka alami sejak zaman Soeharto3 hingga era reformasi ini.4 Teror dan horor itu berlangsung melalui aneka represi, penangkapan, penyiksaan, penjara dan pembunuhan terhadap rekan-rekan mereka, yang harusnya dicegah dan dilindungi oleh negara ini, yang telah meratifikasi DUHAM dan berbagai kovenan serta instrumen hak asasi manusia. Pandangan dan pengalaman tersebut melahirkan sikap-sikap, persepsi dan gerakan Islam yang oleh banyak kalangan disebut sebagai radikal dan fundamentalis. Pandangan dan pengalaman tersebut berkaitkelindan yang menimbulkan suatu konteks, wacana dan gerakan Islam radikal yang kompleks tentang isu hak asasi manusia. Kompleksitas konteks, wacana dan gerakan Islam radikal tersebut akan menjadi problem penelitian yang akan disampaikan dalam laporan ini.5
3
4
5
2
Laporan tentang represi yang dialami para aktivis Islam (islamis) pada zaman orba bisa dilihat pada Tapol, Islam Diadili (2002), Al Chaidar, tim Peduli Tapol Amnesti Internasional (2000), Bakti (2001), Eko Prasetyo (2001). Represi yang diduga telah terjadi pelanggaran HAM dalam berbagai kasus Anti-Terorisme telah banyak diberitakan media massa, dan juga melalui berbagai kesaksian yang Pusham temukan di Solo dan Yogya. Adapun buku yang menulis tentang pelanggaran HAM oleh Densus 88, Polri, adalah karya Muhammad Ikhlas Thamrin (2007). Demikian pula kritik atas RUU dan UU Terorisme telah dikeluarkan oleh Imparsial (2005). Khamami Zada misalnya mengatakan ada dua factor yang membentuk radikalisme Islam di era pasca Soeharo ini, pertama, faktor internal berupa banyaknya penyimpangan norma-norma di kalangan umat sendiri. Kehidupan yang begitu sekuler mndorong lahirnya
Pendahuluan
B. Problem Penelitian Kompleksitas konteks, wacana dan gerakan Islam tersebut akan menjadi problem umum penelitian ini. Secara rinci penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) Dalam konteks seperti apakah gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta lahir dan mengartikulasikan wacana hak asasi manusia? (2) Bagaimanakah persepsi dan wacana aktivis gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta tentang hak asasi manusia? (2) Bagaimana modelmodel gerakan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan gerakan Islam radikal di Solo dan Yogayakarta? C. Tujuan Penelitian Dengan demikian penelitian ini bertujuan (1) Menjelaskan konteks yang melatar belakangi pandangan gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta terhadap hak asasi manusia. (2) Memetakan persepsi dan wacana aktivis gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta, khususnya mengenai hak asasi manusia. (3) Mengetahui model gerakan oleh gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta dalam advokasi hak asasi manusia. D. Studi Pustaka Studi tentang Gerakan Islam Radikal dan hak asasi manusia belum menjadi suatu topik yang ramai gerakan pemurnian. Kedua, faktor eksternal, berupa sikap represi penguasa terhadap para aktivis Islam dan krisis politik, sosial dan ekonomi pasca orde baru. Islam Radikal, hlm. 95
3
Bersama Bergerak
dibicarakan. Yang paling sering adalah studi gerakan Islam radikal dalam konteks kajian Islam Politik, atau yang melihat hubungan Islam dan negara. Kemudian menyinggung perspektif mereka atas HAM dalam konteks hubungannya dengan Islam Politik dan negara. Misalnya karya Baktiar Efendy, 1999, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina; Masykuri Abdullah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana; M. Syafii Anwar, 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia, Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina; Abdul Aziz Thaba, 1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press; M. Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana; R.W. Hefner, 1999, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS. Semua karya-karya tersebut mengulas hubungan Islam dan negara pada zaman pasca kemerdekaan dan orde baru. Adapun yang membahas fenomenas Islam radikal pasca orde baru antara lain Khamami Zada, 2002, Islam Radikal: Pergolakan Ormas-ormas Garis Keras di Indoensia, Jakarta: Teraju. Buku ini membahas gerakan Islam pasca orde baru, terutama di masa pemerintahan B.J Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri yang ditandai ledakan partsipasi umat Islam yang begitu besar. Secara khusus buku ini dititikberatkan pada pemikiran dan gerakan Islam radikal, yang memiliki gerak naik turun dalam konstalasi politik Islam di Indonesia. 4
Pendahuluan
Sedangkan isu yang menjadi perhatian dalam buku ini adalah (1) paradigma Islam tentang negara, (2), Islam dan demokrasi, (3) konsep negara Islam, (4) pemberlakuan syariat Islam, dan (5) presiden perempuan. Jadi tidak membahas isu HAM secara khusus. Kemudian buku yang ditulis oleh M. Zaki Mubarak yang terbit tahun 2008, Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES. Buku ini mengurai sejumlah persoalan antara lain, pertama, faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya kembali gerakan Islam radikal di Indonesia setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto. Kedua, pola dan bentuk gerakan yang mereka lakukan dalam usaha untuk mengartikulasikan nilai-nilai, kepentingan atau citacita yang hendak diwujudkan. Ketiga, gagasan dan pemikiran yang dikembangkan oleh kelompokkelompok radikal ini menyangkut beberapa tema penting seputar konsepsi kekuasaan politik dan negara, hubungan Islam dan demokrasi, hak-hak wanita, kedudukan warga non muslim dan sebagainya. Keempat, melihat berbagai interaksi dan persinggungan antara proses demokratisasi dan perkembangan radikalisme Islam, serta implikasiimplikasi yang muncul dari gerakan dan pemikiran kelompok ini bagi proses konsolidasi demokrasi di Indoensia. Zaki Mubarak sedikit menyinggung tema penelitian ini, yakni pada konteks kelahiran dan perkembangan gerakan Islam, selain juga mengangkat topik-topik hak-hak perempuan dan warga negara.
5
Bersama Bergerak
Namun semuanya diletakkan dalam perspektif dan kepentingan demokratisasi di Indonesia. Selain itu adalah buku yang dikarang oleh Eko Prasetyo, 2003, Membela Agama Tuhan, Yogyakarta: INSIST yang memotret fenomena Laskar Jihad sebagai suatu bentuk gerakan sosial. Buku ini mencoba untuk memotret bagaimana perkembangan gerakan Laskar Jihad dalam melakukan mobilisasi, dan melakukan aksi-aksi gerakan sosial untuk menjawab tantangan dan krisis sosial yang dihadapi oleh umat Islam terutama di daerah konflik. Organisasi LJ sendiri akhirnya bubar pada tahun 2002. Buku ini menyinggung bentuk-bentuk gerakan advokasi yang dilakukan laskar Jihad dan menggugat kegagalan negara dalam melayani dan melindungi rakyatnya. Sedikit banyak mengandung perspektif gerakan HAM dan advokasi. Namun demikian, ia diletakkan dalam kerangka studi gerakan sosial murni, tidak dalam kerangka gerakan hak asas manusia. Buku yang mencoba memotret perkembangan gerakan akivis Islam yang kemudian mendapatkan represi dari negara adalah Islam Diadili Mengungak Tragedi Tanjung Priok (2002), yang ditulis oleh Tim Tapol dari London. Sebuah buku yang mencoba membuka berbagai lembaran pelanggaran HAM di masa lalu, yang menimpa para aktivis Islam, mengurai contoh pelanggaran HAM di kalangan aktivis Islam dalam kasus Tanjung Priok. Namun tidak ada gambaran bagaimana wacana HAM di kalangan aktivis itu sendiri. Dalam konteks penelitian ini, belum ada satupun yang secara spesifik memotret gerakan Islam radikal 6
Pendahuluan
dalam konteks hak asasi manusia. Dimana, dalam banyak hal mereka kerap menjadi sasaran kekejaman aparat negara yang dilakukan melalui penangkapan paksam pemeriksaan yang diserta kekerasan dan pengadilan yang tidak fair. Namun demikian kalangan ini juga sangat apatis atau bahkan menolak terhadap ide dan gagasan hak asasi manusia yang secara umum merupakan intrumen yang dapat menolong para aktivis ini dari “regu-regu” maut tentara dan polisi. Dengan demikian penelitian ini sangat penting dan strategis untuk membuka wacana gerakan Islam radikal dan HAM di kalangan aktivis Islam, terutama untuk melihat bagaimana mereka melakukan gerakan sosial atas apa yang mereka cita-citakan ditengahtengah tekanan negara. E. Kerangka Teori 1. Gerakan dan Wacana Islam Radikal6 Islam radikal dalam penelitian ini adalah gerakan Islam yang mengupayakan perubahan mendasar dalam masyarakat dan negara dengan mendorong penerapan syari’ah dan prinsip-prinsip Islam. Kelompok Islam radikal cenderung mempunyai 6
Hampir semua narasumber yang kami wawancarai ataupun aktivis Islam ini menolak jika mereka disebut sebagai Islam radikal. Sebagai penelitian yang menghormati pandangan-pandangan dan sikap para responden, kami mengalami kesulitan yang besar untuk terhindar dari istilah ini. Dalam berbagai literatur akademik dan ilmiah istilah inilah yang lebih digunakan. Sehingga dengan segala kerendahan hati, kami mohon maaf kepada para narasumber dan kelompok gerakan yang kami ulasa dalam penelitian ini, jika istilah tersebut kurang berkenaan.
7
Bersama Bergerak
penafsiran yang sangat literal atas Al-Qur’an, khususnya yang terkait dengan relasi sosial, perilaku keagamaan dan hukuman tindakan kriminal, serta mencoba meniru secara ketat sistem yang diterapkan pada jaman Rasulullah dan jaman kekhalifahan Islam. Bentuk dan ekspresi kegiatan mereka bervariasi dari proyek-proyek intelektual, dakwah dan politik hingga penggunaan tindak kekerasan.7 Dalam pengertian di atas, kebanyakan kelompok radikal berwatak ‘fundamentalis’ karena komitmen yang kuat untuk mempertahankan atau meneguhkan kembali apa yang mereka lihat sebagai ajaran-ajaran fundamental agama mereka. Secara umum mereka melihat dunia sebagai musuh dan bereaksi pada apa yang mereka anggap sebagai ancaman bagi Islam yang berasal dari kekuatan-kekuatan seperti sekulerisme, materialisme, Kristenisasi dan globalisasi kapitalis.8 Seperti dinyatakan ole Martin E. Marty, salah satu prinsip utama yang dipegang oleh kaum fundamentalis adalah perlawanan (oppositionalism). Menurut Marty, fundamentalisme dalam agama apa pun mengambil bentuk perlawanan—yang sering bersifat radikal—terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, baik dalam bentuk modernisme, sekulerisme, maupun tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolak ukur untuk menilai tingkat ancaman itu adalah kitab suci, yang dalam 7
8
8
Greg Fealy, ‘Radical Islam in Indonesia: History, Ideology and Prospect’ in Greg Fealy and Aldo Borgu, Local Jihad: Radical Islam and Terrorism in Indonesia (Australian Strategic Policy Institute, 2005), hal. 12-3 Ibid., hal.13
Pendahuluan
kasus Islam adalah A-Qur’an dan pada batas tertentu juga hadis Nabi.9 Istilah Islam radikal dalam pengertian di atas juga selaras dengan kerangka yang telah dibuat oleh Horace M. Kallen yang mengidentifikasi tiga kecenderungan umum radikalisasi sebagai berikut.10 Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa dalam radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya keras untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilainilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan.
9
Dikutip dalam Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik, Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta: LKIS, 2006)
9
Bersama Bergerak
Dalam pengertian dan kerangka di atas, gerakan Islam radikal dapat disepadankan dengan, atau dianggap sebagai bagian dari, apa yang dalam literatur tentang gerakan Islam kontemporer disebut dengan ‘islamisme’ atau lebih luas lagi ‘revivalisme Islam’. ‘Islamisme’ digunakan oleh Olivier Roy 11 untuk menyebut gerakan kontemporer yang memandang Islam sebagai ideologi politik, sedangkan ‘revivalisme Islam’ dikemukakan oleh R. Hrair Dekmejian untuk merujuk pada ideologi dan pemikiran gerakan Islam yang terbentang dalam spektrum yang amat luas, dari pasivitas politik hingga aktivisme keagamaan yang militan.12 Menurut Roy, islamisme senantiasa terombangambing di antara dua kutub: revolusioner dan reformis. Bagi kutub revolusioner, islamisasi masyarakat mesti dilakukan melalui kekuasaan negara dengan merebut kekuasaan terlebih dahulu. Bagi kelompok ini, pendekatan gerakan yang ditempuh adalah non-kooperatif dengan penguasa dan menolak sistem politik demokrasi yang dianggap tidak islami. Sementara menurut kutub reformis, tindakan sosial dan politis mereka, bertujuan untuk re-islamisasi masyarakat dari bawah ke atas, yang dengan senBahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (peny), Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN, 1993), hal. xvii-xviii. Penjelasan ini dikutip dari Horace M. Kallen, “Radicalism” dalam Edwin R.A Seligman, Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. XIII-XIV, (New York: The McMillah Company, 1972), hal. 51-4 11 Olivier Roy, The Failure of Political Islam (London: I.B Tauris & Co. Ltd, 1994), hal. 2 12 Dikutip dalam M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hal. xviii 10
10
Pendahuluan
dirinya akan mewujudkan negara Islam. Perbedaan dua kutub ini bukan pada masalah perlunya negara Islam. Mereka sepakat dengan kemestian iqamah al dawlah al-Islamiyah (pendirian negara Islam). Perbedaannya terletak pada cara pencapaian dan sikap penerapannya berkaitan dengan kekuasaan yang ada. Apakah cara yang ditempuh adalah penghancuran, oposisi, kolaborasi atau ketidakpedulian (apatisme politik).13 Sejauh perkembangannya, islamisme, khususnya sayap revolusioner, tidak pernah benar-benar mampu mewujudkan cita-citanya. Mereka selalu terbentur dengan represi yang dilakukan penguasa di satu sisi dan di sisi lain tidak memperoleh pendukung yang signifikan karena kecenderungan kekerasan yang sering menjadi pilihan. Selain itu, dengan kekuatan pendanaanncya, Arab Saudi mulai menyebarkan pengaruh di jaringan islamisme. Maka lambat laun terjadi evolusi yang semakin mendekatkan islamisme 13
Ibid., hal. 17. Pandangan kalangan Islamisme sendiri terinspirasi oleh tulisan-tulisan ideolog kelompok radikal Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb: Pertama, masyarakat hanya bisa diislamkan melalui kegiatan sosial dan politik. Islamisasi perlu pula dilakukan di luar mesjid. Gerakan Islamis memilih terlibat langsung dalam kehidupan politik dengan agenda meraih kekuasaan. Kedua, gerakan islamis memiliki argumen politik bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh. Menurut mereka, masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja tidak cukup, tapi harus islami dalam landasan maupun strukturnya. Ketiga, islamisme menerima pandangan klasik bahwa Islam merupakan sistem yang lengkap dan universal sehingga tidak perlu melakukan ‘modernisasi’ ataupun penyesuaian diri. Keempat, islamisme memandang bahwa penerapan syariat adalah hal penting. Namun, Islam lebih dari sekedar penerapan syariat, ia juga adalah ideologi yang utuh dan menyeluruh. Maka islamisasi menyangkut masyarakat, negara dan hukum sekaligus. Ibid., hal. 20
11
Bersama Bergerak
dengan pemikiran kaum fundamentalis-konservatif model Wahabiyah. Pada 1990-an terlihat ada pergesaran islamisme politik ke “neo-fundamentalisme”.14 Dalam proses pergeseran ini terjadi pergantian strategi gerakan. Ada tiga strategi baru yang dilakukan: pertama, keikutsertaan pada kehidupan politik demokrasi konstitusional; kedua, keterlibatan baru di lingkup sosial baik di tataran moral, adat-istiadat maupun perekonomian; ketiga, pembentukan kelompok-kelompok kecil –baik gerakan keagamaan ultra ketat maupun kelompok agresif.15 Dengan pengertian radikal di atas, kami melihat bahwa para aktivis radikal atau islamis juga rentan mendapatkan represi dan kejahatan HAM oleh aparat negara. Para islamis kerap mendapatkan resiko sipil dan politik, bahkan ekonomi dan sosial dalam perjuangan revolusi maupun reformasi yang mereka cita-citakan. Buku Islam Diadili: Mengungkap Tragedi Tanjung Priok, dan Bencana Kaum Muslimin Indonesoa 1980-2000; menggambarkan berbagai bentuk dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orba. Sebagian dari korban-korban yang digambarkan dalam buku tersebut menjadi aktivis islamis kontemporer yang tetap memperjuangkan cita-cita Islamnya. Konsep di atas akan kami gunakan sementara untuk mengidentifikasi kelompok mana saja yang disebut gerakan Islam Radikal. Selanjutnya kami akan melihat konteks tertentu berkaitan dengan 14 15
Ibid., hal. 21 Ibid., hal. 22
12
Pendahuluan
perkembangan gerakan islamis atau radikal ini dari perpspektif hak asasi manusia. 2. Hak Asasi Manusia Secara teoritik, Halliday menjelaskan, sebagaimana dikutip Mashood A. Baderin, setidaknya ada empat bentuk respon Islam terhadap hak asasi manusia yang bersifat internasional (international human rights debate) saat ini. Pertama, memandang Islam sesuai dengan hak asasi manusia. Kedua, HAM baru dapat diterapkan secara benar bila berada dalam aturan hukum Islam. Ketiga, hak asasi manusia merupakan salah satu agenda imperialisme global. Keempat, Islam bertentangan dengan hak asasi manusia.16 Mashood A. Baderin memandang bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Islam cocok dengan hak asasi manusa merupakan pendapat yang paling pas dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Ini bukan apologi semata untuk mencocokan Barat dengan Islam. Sumber-sumber dan metode hukum Islam mengandung prinsip-prinsip umum tentang tata pemerintahan yang baik (good governance) dan kesejahteraan rakyat (human welfare) yang juga mensahkan ide-ide hak asasi manusia modern. Perhatian pada keadilan, perlindungan atas hidup dan martabat manusia, merupakan prinsip sentral yang inheren dalam Syariat Islam.17 16
17
Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, hlm. 13 Ibid, hlm. 13-14
13
Bersama Bergerak
Adapun pandangan kedua bahwa HAM hanya dapat diterapkan sepenuhnya di bawah hukum Islam adalah pandangan yang ekslusif, sebentuk egoisme yang sama dengan esklusivisme Barat yang telah dikritik. Islam bukalah agama egosentrik yang hanya merespon persoalan temporer, tapi labih dari itu, membantu dan beker jasama dengan berbagai kalangan untuk mencapai kebaikan manusa bersama (Q.S.5: 5). Islam mendorong interaksi dan sharing persepsi. Bahkan Rasul SAW menganjurkan umatnya untuk belajar hingga ke negeri China ketika itu. Belajar dengan tradisi dan peradaban lain. Umat Islam dapat saling melengkapi dengan eksponen peradaban lain untuk tujuan-tujuan kemanusiaan: keadilan dan persamaan di antara umat manusia.18 Sedangkan pandangan bahwa HAM merupakan agenda imperialisme global bukanlah wacana yang aneh dalam debat hak asasi manusia. Ini pandangan umum di kalangan negara-negara bekembang. Ini merupakan dampak dari neo-kolonialisme dan efek psikologis pengalaman buruk kolonial negara-negara berkembang. Hal ini terjadi dan diperkuat oleh pandangan orang Barat yang mendefinisikan HAM hanya dalam perspektif Barat tanpa melihat adanya kontribusi dan pemahamann budaya/peradaban lain.19 Jika kita memahami HAM internasional secara kaku, sebagai hukum internasional yang bertujuan melindungi individu/setiap orang dari pelanggaran 18 19
Ibid, hlm. 14 Look. Cit.
14
Pendahuluan
aparat negara dan untuk mengangkat martabat manusia, maka pandangan bahwa Islam bertentangan dengan HAM menjadi tidak tepat. Perlindungan dan pemajuan martabat manusia selalu menjadi prinsip utama dalam teori politik dan hukum Islam. Memang ada bagian yang bertentangan antara hukum Islam dan hukum HAM internasional, tapi itu tidak membuat keduanya tidak cocok. Kadang ada pendapat bahwa manusia tidak punya hak, hanyalah kewajiban pada Allah. Ini salah paham. Memang benar bahwa manusia punya kewajiban untuk menyembah Tuhan, tapi itu tidak berarti mereka tidak punya hak yang inheren dalam hukum Islam. Asas legalitas adalah prinsip yang fundamental dalam hukum Islam, dimana segala tindakan haruslah diizinkan atau diatur secara jelas oleh syariat Islam.20 Menurut Baderin, sikap ketidakcocokan Islam dan HAM hanyalah merefleksikan ketidaksetujuan dan protes kalangan Islam terhadap hegemoni barat dan berbagai ideologi yang dipandang berasal dari Barat. Umat Islam seringkai melihat standar ganda Barat dalam menerapkan HAM dan menyikapi persoalan hak asasi di baik di negara Islam maupun negara lain. Selain menyangkut standar ganda ini, kalangan Islam juga melihat adanya agenda tersembunyi dari upaya gerakan anti-agama yang menggantikan kepercayaan Islam dengan ideologi humanisme internasional, yang menjauhkan agama dari tatanan publik.21 20 21
Ibid, hlm. 14-15 Namun, bagi Baderin, itu semua memerlukan pendidikan dan praktik
15
Bersama Bergerak
Gerakan dan wacana Islam radikal tentang hak asasi manusia berada dalam konteks pengalaman dimana kalangan Islam mempunyai pengalaman buruk pasca kolonialisme, atau represi yang mereka alami dari rezim berkuasa di negeri-negeri Islam. Sayangnya pelanggaran yang mereka alami tidak mendapatkan cukup respon dari kalangan aktivis hak asasi manusia. Dan untuk Indonesia, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian konsep hak asasi manusia yang digunakan dalam penelitian adalah hak asasi manusia sebagai sesuatu yang ditafsirkan dan digunakan oleh setiap orang dengan latarbelakang kultural dan agamanya masing-masing. Meski demikian, definisi tentang hak asasi manusia yang digunakan oleh penelitian ini mengacu juga pada UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan beberapa instrumen lain/UU yang berlaku di negara ini.22
22
serta komitmen yang tinggi untuk menerapkan berbagai hak asasi dalam insrtumen internasional HAM. Terutama negara-negara maju dan pihak-pihak yang kerap mempromosikan apa yang disebut dengan hak asai manusia. Sebagaimana dikatakan Bielefeld, hak asasi manusia tidak berpretensi melayani sesuatu yang transhistoris, ia mempertimbangkan kultur, agama...tidak juga sebagai agama sipil. Tetapi sesuatu yang membuka perspesi kultural dan komunitas agama mengenai prinsip-prinsip martabat manusia yang berakar di berbagai budaya yang dibentuk sebagai fondasi hak asai manusia. Ibid, hlm. 15-16 Misalnya UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 11 tahun 2005 tentang hak Ekosob dan UU No. 12 tahun 2005 tentang hak Sipil dan Politik.
16
Pendahuluan
3. Teori Gerakan Sosial Kami mengggunakan teori ini sebagai alat interpretasi bagaimana gerakan Islam tumbuh subur di masa pasca Soeharto ini, kemudian mampu melakukan mobilisasi massa dan dapat melakukan pewacanaan secara politis. Abdul Wahib Situmorang menuliskan beberapa teori gerakan sosial yang tumbuh pesat sejak dkade 60-an hingga belakangan ini. Dalam bukunya Gerakan Sosial, Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Situmorang mengungkapkan beberapa teori gerakan sosial: teori mekanisme political opportunity structure (struktur ksempatan politik, POS), struktur mobilisasi, proses framing, reportoire contention (bentuk aksi), dan sumber-sumber intelektual dalam menganalisis gerakan sosial. Dari kelima perangkat analisa tersebut, kami akan menggunakan tiga pertama. C.1. Political Opportunity Structure (POS), teori yang menjelaskan bahwa gerakan sosial terjadi disebabkan oleh perubahan dalam struktur politik, yang dilihat sebagai kesempatan. Dengan mengutip Peter Eisinger, Abdul Wahib Situmorang menjelaskan, aksi kolektif berupa revolusi dapat muncul ke permukaan ketika sebuah sistem politik dan ekonomi yang tertutup mengalami keterbulaan.23 Akademisi lain, McAdam dan Tarrow gerakan sosial muncul melalui variabel berikut: pertama, ketika akses terhadap lembagalembaga politik mengalami keterbukaan. Kedua, ketika keseimbangan politik sedang tercerai berai, sedangkan keseimbangan politik baru belum terbentuk. Ketiga, 23
Abdul Wahib Situmorang, 2007, Gerakan Sosial, Studi Kasus Beberapa Perlawanan, hl. 3
17
Bersama Bergerak
ketika para elit politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesempatan. Keempat, ketika para pelaku perubahan digandeng oleh para elit yang berada dalam sistem untuk melakukan perubahan. Teori struktur kesempatan politik akan digunakan untuk menjelaskan konteks-konteks yang mempengaruhi respon dan persepsi gerakan Islam radikal terhadap wacana hak asasi manusia. C.2. Mobilisasi. Yakni teori yang menjelaskan bahwa gerakan sosial tumbuh melalui aksi-aksi kolektif yang menggunakan struktur mobilisasi. Melalui kendaraan ini, masyarakat memobilisasi dan ebrbaur dalam aksi bersama. Konsep ini berkosentrasi kepada jaringan informal, organisasi gerakan sosial dan kelompok-kelompok di tingkatan massa. McCarthy mengungkapkan bahwa struktur mobilisasi adalah sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif, termasuk di dalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial. Struktur mobilisasi juga memasukkan secarangakaian posisi-posisi sosial dalam kehidupan sehari-hari dalam struktur mobilisasi mikro. Dalam konteks ini, unitunit keluarga, jaringan pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, unit-unit tempat kerja, dan elemen-elemen negara itu sendiri menjadi lokasi-lokasi sosial bagi struktur mobilisasi mikro.24Teori ini digunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk dan model-model gerakan advokasi yang dilakukan oleh gerakan Islam radikal.
24
Abdul Wahib Situmorang, Ibid, hlm. 7
18
Pendahuluan
Dari teori ini pula akan dianalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh gerakan Islam radikal dalam advokasi hak asasi manusia. C.3. Proses Framming. Yakni teori yang menjelaskan sukses dan gagalnya sebuah gerakan sosial. Snow dan Banford mencatat, suksesnya gerakan sosial terletak pada sejauhmana mereka memenangkan kontetasi atas makna. Hal ini berkaitan dengan upaya para pelaku perubahan mempengaruhi makna dalam kebijakan publik. Oleh karena itu, pelaku perubahan memiliki tugas penting mencapai perjuangannya melalui melakukan framming masalah-masalah sosial dan ketidakadilan. Ini sebuah cara untuk meyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakkan sebuah perubahan.25Teori framming ini akan digunakan untuk memetakan wacana aktivis gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta, dengan mengambil dari sumbersumber yang bersifat primer (wawancara) maupun bersifat sekunder (dari buku, majalah, buletin, dan lain-lain) yang dimiliki oleh gerakan Islam radikal. Dengan demikian, riset ini hendak meletakkan gerakan Islam radikal sebagai salah satu bentuik gerakan sosial. Dalam rangka itulah, maka ketiga teori tersebut akan digunakan sebagai alat analisa atas ‘fakta-fakta’ gerakan Islam yang ditemukan dalam penelitian di lapangan.
25
Ibid. Hlm. 10
19
Bersama Bergerak
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini bermaksud menjelaskan hakikat fakta tertentu, mengapa suatu fakta terjadi dan bagaimana hubungannya dengan fakta yang lain.26 Pihak yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah sejumlah aktivis di organisasi gerakan Islam, takmir masjid dan pondok pesantren. Terdapat belasan organisasi yang kami amati yang sekaligus menjadi narasumber dalam wawancara-wawancara di lapangan. Misalnya Jemaah Anshorut Tauhid (JAT), DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia), Forum Komunikasi Antar Masjid (FKAM), Forum Ukhwah Jamaah Masjid (FUJAMAS), Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) dan Front Anti Penculikan (FAP), PP al Mukmin, PP Darus Syahadah, PP Raudatus Syibyan, Masjid Syuhada dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Mereka sebagian besar merupakan kelompok Islam yang menjadi sasaran represi aparat negara melalui Densus 88. Kelompok-kelompok ini juga sangat gigih menyuarakan konsep revolusi dan reformasi Islam, yakni perlunya pembaharuan negara dan masyarakat Indonesia di tengah krisis yang terjadi belakangan ini. Di dalam kelompok dan gerakan itu, terdapat tokoh-tokoh dan para aktivis yang sangat penting membangun gerakan mereka guna men-
26
Ida Bagoes Mantra, 2008, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, hlm. 30-31
20
Pendahuluan
ciptakan wacana dan aksi penolakan serta penerimaan HAM sebagai alat memperjuangkan hak. Hasil wawancara-wawancara dengan mereka menjadi datadata primer dalam penelitian ini.27 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan membedakan antara sumber-sumber primer dan sumber-sumber sekunder. Sumber-sumber primer merupakan sumber yang berasal dari wawancara semi terstruktur, sementara sumber-sumber sekunder berasal dari buku-buku, majalah, buletin yang diterbitkan oleh gerakan-gerakan Islam radikal ini, untuk mencari bagaimana HAM disampaikan, diwacanakan, dimaknai, dan diartikulasikan. Majalah yang secara khusus menjadi kajian penelitain ini dalah Risalah Mujahidin yang diterbitkan oleh MMI di Yogyakarta dan an Najah yang diterbitkan di Solo. Keduanya merupakan majalah Islam lokal Solo dan Yogyakarta, yang konsisten terbit setiap bulannya dan mencapai oplah hingga 10.000 ekspemplar setiap bulannya saat ini. Wacana HAM dalam terbitan dan publikasi tersebut menjadi bahan sekunder dalam penelitian ini. Dalam penggalian data-data tersebut kami membatasi diri pada (1) konteks kelahiran gerakan Islam radikal (2) wacana dan pemikiran Islam radikal
27
Metode penilitian kualittaif yang lebih komprehensif dapat dilihat dalam Denzin, K. Norman, at all, tanpa tahun, Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publication
21
Bersama Bergerak
tentang hak asasi manusia dan (3) model-model gerakan serta masalah yang dihadapi aktivis Islam radikal dalam advokasi hak asasi manusia. Ketiga masalah tersebut menjadi ruang lingkup penelitian ini. 3. Metode Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan dioleh dengan metode analisis deskriptif yang berupaya menjelaskan konteks-konteks yang melatarbelakangi kelahiran dan persepsi gerakan Islam radikal terhadap hak asasi manusia, pemetaan atas wacana hak asasi manusia yang diartikulasikan oleh gerakan Islam radikal, serta pilihan dan bentuk kegiatan advokasi gerakan Islam radikal, secara tepat, jelas, dan akurat.28 Sedangkan cara yang akan ditempuh untuk mengolah berbagai data tersebut adalah: Pertama, melacak fakta-fakta historis atau konteks-konteks sosial dan politik yang melatarbelakangi munculnya gerakan radikal Islam dan persepsi mereka atas hak asasi manusia; Kedua, dengan melakukan interpretasi atas sumber-sumber primer dan sekunder untuk memetakan bagaimana gerakan Islam radikal mengartikulasikan wacana hak asasi manusia serta bentuk-bentuk gerakan advokiasi yang dilakukan oleh gerakan Islam radikal; serta Ketiga, dengan melakukan refleksi, yaitu menganalisis kembali keterbatasanketerbatasan yang dimiliki oleh gerakan Islam radikal dalam kaitannya dengan wacana hak asasi manusia
28
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1990, Metodologi Penenlitian Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, hlm. 65
22
Pendahuluan
serta memberikan beberapa rekomendasi yang penting untuk berbagai pihak.29 F. Sistematika Laporan Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta dan Solo, pada November 2008 hingga Februari 2009. Dikerjakan oleh Tim Penelitian Pusham UII yang dipimpin oleh Laode Arham, dengan anggota Muhammad Zuhdan, dan Imam Syafi’i, yang dibantu oleh Eman Sulaiman, Nurdayat dan Kelik Sugiharto sebagai asisten lapangan. Pada tahap penulisan laporan, anggota tim ditambahkan dengan memasukkan Supriyanto Abdi. Sehingga buku dan laporan penelitian ini ditulis oleh keempat penulis tersebut. Bagian pertama buku ini merupakan pendahuluan yang berisi latarbelakang, tujuan, dan metodologi penelitian. Pada bagian ini laporan ditulis oleh Laode Arham dan Supriyanto Abdi. Kedua tentang konteks kelahiran dan perkembangan gerakan Islam radikal di Indonesia. Yang banyak ditulis oleh Supriyanto Abdi dan Imam Syafi’i. Sedangkan bagian ketiga tentang Wacana HAM di Kalangan Islam Radikal ditulis oleh Laode Arham. Adapun bagian keempat tentang bentuk gerakan advokasi kelompok ini, ditulis oleh Muhammad Zuhdan, kemudian kelima penutup berisi kesimpulan dan rekomendasi ditulis oleh Laode Arham melalui diskusi Tim. Dengan demikian, penulisan buku dan laporan ini mer upakan kerja tim yang untuk kepentingan
29
Ibid, hlm 63-65
23
Bersama Bergerak
penerbitan diedit oleh editor Resist Boook: Dian Yanuardi. Kami harap laporan ini dapat berguna, terutama untuk para aktivis Islam yang kerap menjadi korban negara sejak zaman orde baru hingga reformasi ini. Merupakan tanggungjawab kita untuk memberikan solusi atas berbagai problem yang dialami oleh masyarakat Indoensia, termasuk kalangan islamis yang belakangan ini menjadi sasaran berbagai pelanggaran HAM atau melakukan aksi-aksi yang merugikan kelompok lain di Indonesia yang berdampak pada munculnya masalah HAM.[]
24
Bab 2
Konteks Gerakan Islam Radikal
G
erakah Islam radikal bukanlah model gerakan keagamaan yang sama sekali baru di Indonesia. Benih-benih pemikiran dan gerakan ini mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam konstelasi ideologi dan gerakan politik di Indonesia. Beberapa representasi gerakan Islam radikal yang muncul di ma sa awal kolonialisme adalah gerakan padri di Sumatera Barat yang menyebarkan doktrin wahabiah dan mengobarkan militansi Islam setelah kepulangan tokoh-tokoh gerakan tersebut dari melaksanakan hajji di Makkah.1 Pada masa Orde Lama, Gerakan DI/ TII juga merupakan salah satu representasi gerakan Islam radikal yang memperjuangkan terbentuknya negara Islam. Gerakan-gerakan ini bahkan sudah lahir sebelum munculnya fenomena global bangkitnya 1
Alwi Sihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998) hlm. 67
25
Bersama Bergerak
gerakan revivalisme Islam dalam berbagai variannya, termasuk ‘Islamisme’ dan ‘neo-fundamentalisme’ pada akhir 1970-an.2 Tentu saja, perkembangan pemikiran dan gerakan revivalisme Islam di Timur Tengah pada gilirannya ikut mempengaruhi perkembangan lebih lanjut gerakan Islam radikal di Indonesia.3 Mengiring fenomena global kebangkitan gerakan revivalisme Islam itu, transmisi gagasan dan adopsi model-model gerakan Islam yang berkembang di ‘pusat-pusat’ Islam itu mulai berlangsung di Indonesia sejak akhir 1970-an.4 Yang penting dicatat adalah bahwa meskipun gerakan Islam radikal sudah hadir sejak awal kemermedekaan dan terus mengalami dinamika akibat persentuhannya dengan pemikiran dan gerakan revivalisme Islam di dunia Islam yang lain, gerakan Islam radikal di Indonesia, paling tidak hingga menjelang keruntuhan Orde Baru, tidak menunjukkan ekspresi dan mengartikulasikan gagasan dan agendaagendanya secara terbuka. Dengan kata lain, meskipun gagasan-gagasan Ikhwanul Muslimin5 atau
2
3
4
5
Greg Fealy and Anthony Bubalo, Radical Islam in Indonesia (Lowy Institute Power, 2005) Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelektual Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung:: Mizan, 2005), hlm. 664. M. Imdadun Rahman, Arus Baru Islam Radikal, Trasmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005) Dalam beberapa hal persinggungan antara gagasan-gagasan Ikhwanul Muslimin dengan para aktivis gerakan dakwah dan gerakan Islam radikal in dapat dilacak pengaruhnya pada gerakan dakwah kampus, seperti di Salman ITB, Bandung, dan beberapa tempat lainnya. Pengaruh itu, misalnya, dapat ditemukan pada gagasan pergerakan, pola pengaderan dan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin yang diperkaya oleh datangnya para sarjana lulusan Timur Tengah ke
26
Konteks Gerakan Islam Radikal
fenomena revolusi Iran6 mempengaruhi gerakan Islam di Indonesia sejak awal 1980-an, kita tidak menyaksikan dengan serta merta menyaksikan munculnya gerakan atau peristiwa serupa di Indonesia pada hingga dua dekade berikutnya. Di sinilah konteks sosial-politik yang menyangkut sistem politik dan relasi negara-masyarakat menjadi faktor yang sangat menentukan eksistensi dan wajah gerakan Islam radikal di Indonesia yang membedakannya dengan ekspresi dan artikulasi gerakan-gerakan serupa di belahan dunia Islam yang lain. Tulisan dalam bab ini akan menjelaskan konteks yang melahirkan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia pada umumnya. Konteks yang dimaksud dalam bab ini adalah suatu kondisi eksternal, baik yang berupa lingkungan, kondisi, atau fakta-fakta sosial yang mendorong munculnya respon tertentu dan memberikan pengaruh sikap, perpspektif dan penilaian serta pengetahuan tentang ebrbagai hal. Dalam hal ini, berbagai kebijakan peminggiran
6
Indonesia. Selengkapnya lihat, Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2002). hlm. 93 Revolusi Iran 1979 oleh kalangan aktivis gerakan Islam dianggap sebagai momentum kebangkitan gerakan Islam. Revolusi ini menambahkan kepercayaan diri umat Islam bahwa islam akan dapat kembali memimpin peradaban dunia. Ketertarikan para aktivis gerakan Islam di Indonesia pada Revolusi Islam bukan dikarenakan oleh ketertarikan mereka pada ajaran-ajaran Syiah, tetapi lebih didasarkan pada artikulasi perlawanan gerakan Islam Iran terhadap rezim sekuler yang didukung oleh Amerika Serikat. Selengkapnya lihat, Any Muhammad Furqon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Kaum Muda Muslim Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2004). Hlm. 107.
27
Bersama Bergerak
terhadap kelompok Islam, menjadi semacam kontekskonteks yang melatarbelakangi munculnya ‘penolakan’ gerakan Islam radikal terhadap hak asasi manusia. Begitu juga ketika pada masa akhir kekuasaannya, Orde Baru membuka pintu keterbukaan politik dengan menggandeng kekuatan Islam, gerakan-gerakan Islam semisal ICMI dan KISDI mulai tampak tampil ke permukaan dan menjadi semacam pra-kondisi bagi munculnya gelombang gerakan Islam radikal di masa-masa setelah kejatuhan Orde Baru. A. Peminggiran Sejak era Soekarno dan lebih-lebih pada dua dekade awal kekuasaan Soeharto, konstelasi politik nasional sarat dengan kebijakan politik pemerintah untuk mematikan unsur radikalisme dalam gerakan Islam melalui kebijakan dealiranisasi, depolitisasi dan deideologisasi Islam yang dalam pelaksanaanya kerap diserta dengan tindakan-tindakan represif terhadap gerakan-gerakan Islam politik dan radikal yang menjadi target utama kebijakan-kebijakan ini. Meskipun pada kenyataannya umat Islam adalah penduduk mayoritas di Indonesia, ide untuk memberi Islam tempat sentral dalam kekuasaan negara menjadi mendapat banyak tentangan di kalangan para pendiri bangsa, yang notabene kebanyakan juga adalah Muslim. Karena itu gagasan dan proyek negara Islam dengan mudah dikalahkan dan karakater negara yang tidak Islami (sekuler) justru yang mengemuka. Karena itu, sejak awal masa kemerdekaan, Islam memainkan peran yang tidak terlalu utama dalam kehidupan 28
Konteks Gerakan Islam Radikal
politik negara ini.7 Setelah memainkan peran penting dalan perjuangan anti-penjajahan sejak awal gerakan nasionalis, Islam kemudian dipinggirkan dari kerangka kebagsaan Indonesia dan ideologi negara yang lebih sekuler, Pancasila, dipilih oleh para pendiri bangsa Indonesia sebagai dasar negara.8 Bersama Marxisme, Islam kemudian secara diskursif dan konstitusional dipinggirkan dari kekuasaan dan ideologi negara.9 Paling tidak hingga tiga dekade pertama sejarah politik Indonesia merdeka, Islam politik tidak pernah mendominasi panggung politik nasional dan organisasi-organisasi politik yang yang secara eksplisit memperjuangkan tujuan-tujuan politik Islam tidak pernah berhasil menarik dukungan umum yang memadai. 10 Tampilnya rezim Orde Baru di tampuk kekuasaan terutama memberikan dampak lebih jauh bagi
7
8
9
10
Martin van Bruinessen, “Islamic State or State Islam?” Fifty Years of State-Islam Relations in Indonesia’ in Ingrid Wessel (ed.), Indonesia am Ende des 20 (Jahrhunderts. Abera Verlag:Hamburg), hal. 20 Robert W Hefner, “Islam in an Era of Nation-States: Politic and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia” in Robert W. Hefner and Patricia Horvatich (eds.), Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia, (University of Hawai’i Press: Honolulu, 1997), hal. 21 Sven Caderroth, “Indonesia and Malaysia” in David Wasterlund and Inguar Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World (Curzon: Surrey, 199), hal. 274 Harold Crouch, “Indonesia” in Mohammed Ayoob (ed.), The Politics of Islamic Reassertion, (Croom Helm: London, 1981), hal. 190; Lihat juga Robert W. Hefner, “Islam and Nation in the Post-Soeharto Era” in Adam Schwartz and Jonathan Paris (eds.), The Politics of PostSoeharto Indonesia (Council on Foreign Relation Press: New York,1999)
29
Bersama Bergerak
keberadaan dan perkembangan gerakan-gerakan Islam di Indonesia, termasuk gerakan Islam yang berkarakter radikal. Hampir seluruh kajian mengenai pemerintahan Orde Baru memiliki satu tema dominan, yakni meningkatnya peran negara dalam berhadapan dengan masyarakat.11 Di masa Orde Baru, negara memiliki kekuatan kontrol terhadap semua gerakan masyarakat sehingga ini juga mempengaruhi gerakan Islam yang ada di Indonesia. Akibatnya, paling tidak hingga dua dekade awal pemerintahan Orde Baru, gerakan Islam radikal tidak muncul secara mencolok, melainkan menjadi kekuatan laten karena kuatnya proses marginalisasi Islam politik pada era ini. 12 Pada saat rezim Orde Baru mulai berkuasa, terjadi perubahan format dan orientasi politik yang cukup mendasar. Perubahan ini mendorong munculnya pertarungan politik antara berbagai kelompok kepentingan yang ada, termasuk di dalamnya adalah kelompok Islam. Dalam pertarungan ini, kelompok Islam politik, sebagai basis dari gerakan Islam radikal, mengalami kekalahan. Hal 11
12
Beberapa tulisan dan hasil penelitian tersebut, di antaranya, adalah: (1) Ruth T. McVey yang melihat model kepolitikan Orde Baru sebagai equivalen dengan model Beamstenstaat; (2) Karl D. Jackson yang menyebut rezim Orde Baru sebagai Bureaucratic Polity; (3) Dwight Y. King yang mempersamakan rezim Orde Baru dengan Bureaucratic Regime; (4) R. William Liddle yang mengidentifikasi Orde Baru sebagai rezim otoriter yang dikembangkan lewat koersi; dan (6) Arief Budiman yang menyebut rezim Orde Baru dengan Negara Otoriter Birokratik Rente. Al Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik, Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta: LKIS, 2006), hal. 66. Lihat juga M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
30
Konteks Gerakan Islam Radikal
ini disebabkan adanya benturan ideologis antara Orde Baru dengan kelompok Islam politik. Orde Baru telah menjadikan ideologi developmentalisme sebagai dasar dalam mengelola negara. Ideologi ini berpijak pada nilai-nilai modernitas sekuler dan berdasarkan pada pragmatisme, rasionalisme, ketertiban, dan keahlian praktis. Semua nilai ini adalah sekuler sehingga bertentangan dengan ideologi gerakan Islam politik, yakni ideologi Islam.13 Konsekuensi diterapkannya ideologi developmentalisme ini adalah: pertama, pemerintah melakukan kebijakan pengawasan yang ketat terhadap setiap gerakan masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi sebagai ciri dari ideologi tersebut. Setiap aktivitas yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi harus dilarang dan dimusnahkan.14 Kedua, pemerintah melakukan kebijakan deideologisasi. Bentuk dari kebijakan ini adalah pelarangan terhadap berbagai bentuk ideologi yang berkembang di Indonesia. Wujud nyata dari kebijakan ini, di antaranya, adalah pelarangan terhadap Darul Arqam dan Ikhwanul Muslimin, penyederhanaan struktur partai dengan menggabungkan partai-partai Islam ke dalam satu partai, dan penerapan asas tunggal Pancasila. Setiap kelompok yang melanggar kebijakan ini akan ditindak tegas dengan tudingan
13
14
Ibid., hal. 67. Lihat juga Mochtar Mas’oed, “Restrukturisasi Masyarakat oleh Pemerintah Orba di Indonesia”, Prisma, no. 7, 1989, hal. 13-31. Ibid., 68
31
Bersama Bergerak
sebagai kelompok “ekstrim kiri” (PKI, sosialis, ateis) atau “ekstrim kanan” (fundamentalis Islam) yang membahayakan negara.15 Ketiga, memilih kelompok sekuler-abangan sebagai patner dalam menjalankan kekuasaan, seperti terlihat dengan banyaknya kelompok sekuler-abangan yang menempati posisi strategis dalam jabatan pemerintahan.16 Seluruh kebijakan tersebut secara jelas menunjukkan adanya langkah sistematis untuk meminggirkan Islam politik. Selain untuk mengamankan ideologi developmentalisme, kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk memperkuat posisi negara di hadapan gerakan Islam dan kekuatan masyarakat sipil lainnya. Oleh karena itu, gerakan Islam mesti dibatasi peranan dan pengaruhnya sedini mungkin. Di bawah rezim Orde Baru, pengaruh agama sangat dibatasi, dan bahkan menurut Wertheim, posisi Islam semakin direndahkan oleh rezim Orde Baru. Wertheim menyebut Orde Baru sebagai rezim “neokolonialis” yang mewarisi kebijakan Snouck Horgronje untuk melemahkan setiap pengaruh politik Islam.17 B. Represi Negara Kebanyakan muslim radikal percaya bahwa Islam telah dimarjinalisasi dan ditindas di Indonesia, dan bahwa kekuatan-kekuatan domestik dan internasional sangat gigih menolak tempat Islam yang
15 16 17
Ibid., 68 Ibid., 68 Ibid., hal. 69
32
Konteks Gerakan Islam Radikal
semestinya dalam pusat kekuasaan. Dalam politik, umat Islam dianggap telah gagal mencapai kebanyakan tujuan-tujuannya. Kegagalan memasukan Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD selalu menjadi sumber kekecewaan muslim radikal. Mereka juga menunjuk kegagalan partai-partai Islam untuk mendapatkan suara terbanyak dalam sembilan pemilu sebagai bukti lebih lanjut dari kegagalan ini. Negara juga dianggap memusuhi umat Islam melalui berbagai legislasi yang anti-Islam seperti UU Perkawinan tahun 1974 dan UU Asas Tunggal pada 1985. Negara juga dianggap mendukung Kristenisasi dan diskriminasi terhadap Muslim taat dalam birokrasi dan militer. Namun yang paling dirasakan kelompok Islam radikal adalah represi negara terhadap para pembelot Muslim. Kematian ratusan aktivis Islam dalam kasus Komando Jihad dan Tanjung Priok menjadi simbol brutalitas negara terhadap komunitas Islam. Kelompok radikal juga menyayangkan pemiggiran umat Islam secara ekonomi, dan selalu merujuk pada fakta bahwa umat Islam secara tidak proporsional hanya mendapatkan sedikit dari kekayaan negara dan kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan ekonomi. Meskipun perasaan tidak puas sudah berkurang di banyak kelompok Islam setelah kejatuhan Soeharto pada 1998, kelompok radikal terus dibayangbayangi oleh ‘ketidakadilan historis’ ini dan percaya bahwa umat Islam tidak bisa lepas dari manipulasi dan imoralitas hingga sebuah tatanan yang benarbenar Islami ditegakkan.18 18
Ibid.,
33
Bersama Bergerak
Namun, ketika Orde Baru berahir, represi itu terus terjadi. Ketika proses reformasi terjadi, sebagian umat Islam menggalang kekuatan untuk mengambil peran politik yang lebih strategis. Bagi kelompok Islam jenis ini, reformasi merupakan peluang untuk merebut kembali hak-hak mereka yang dirampas negara. Dengan cara ini, umat Islam merasa akan memiliki kesempatan untuk menawarkan nilai-nilai Islam sebagai alternatif untuk menjawab problem bangsa tanpa harus khawatir dicurigai dan dituding sebagai kelompok ekstrim kanan yang mesti diberangus. Di tengah perjuangan membangkitkan kembali kekuatan Islam baik secara politik maupun kultural, kembali lagi kelompok Islam direpresi melalui isu terorisme. Terorisme telah menjadikan para aktivis radikal sebagai sasaran represi aparat negara di Indonesia sejak zaman orba hingga belakangan ini. Kebijakan ini makin menumbuhkan semangat kesangsian terhadap tatanan hukum dan negara dalam mengurus warga negaranya. Kritik terhadap Densus 88 misalnya sudah dilakukan banyak kalangan. Sebagaimana dikutip Ikhlas Thamrin, Hamdan Basyar dari The Indonesia Society for Middle East Studies (ISMES) mengkritik Densus 88 yang kerap salah tangkap. Menurutnya, hal ini disebabkan Polri salah mendevenisikan teroris itu siapa. Jadi teroris kerap diidentikan dengan orangorang muslim beraliran keras. Semestinya tidak begitu, karena teroris itu bisa terjadi di kelompok mana pun dan itu memang benar harus diberantas. Sebab jika tidak, hal itu akan meresahkan orang 34
Konteks Gerakan Islam Radikal
banyak. Seandainya Densus melakukan kegiatan yang lebih obyektif, misalnya siapapun yang dianggap teroris kemudian ditangkap maka alasanya akan menjadi lain.19 Hal yang menarik dari pengalaman represi tersebut adalah adanya perasaan mengalami diskriminasi. Ikhlas Thamrin menyebutkan secara tegas, “Contoh yang sudah diketahui khalayak umum adalah kasus Poso. Di Poso, jika ada kelompok muslim yang dicurigai sebagai tersangka teroris, maka yang digunakan untuk menjerat adalah UU Anti Terorisme, tetapi kalau kelompok non-muslim, yang digunakan justru bukan UU Anti Terorisme.”20 Perasaan mengalami diskriminasi juga disampaikan oleh beberapa aktivis islamisme yang kami wawancarai di Solo dan Yogyakarta. “Dalam kasuskasus yang lain semisal Tanjung Priok, DOM di Aceh, Usroh, dan lainnya aktifis Islam selalu tersudutkan oleh negara. Bahkan kasus bentrok aktifis Islam dan preman di Solo beberapa bulan lalu yang menjadi korban malah aktifis Islam. Dari Preman belum ada yang ditangkapi padahal mereka yang membuat ulah,” kata Ustadz Khoirul Sekjen Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS). Kasus terakhir yang dialami para aktivis ini di Solo tahun 2008 yang lalu, ia mengatakan:21 Masalah preman yang meninggal itu persoalan menyangkut Jamaah Muslimin. Disana jamaah muslimin itu selalu diancam oleh preman, dia selalu
19 20 21
Iklhas Thamrin, 2007, hlm. 91. Ibid. hlm. 91. Wawancara Tim Pusham UII, Solo 6 Maret 2008
35
Bersama Bergerak
membawa pedang, Maka kita sebagai ummat Islam nggak tahan seperti itu. Makanya jamaah Islam itu maju, akhirnya mereka yang membawa pedang itu mati, bukan karena pedangnya tapi karena bentrok. Disini saya lihat polisi sepihak.. Namanya bentrok itu yang harusnya ditangkap itu dua, tapi sekarang yang diadili siapa? hanya ummat Islam saja. Secara hukum positivistis, apa yang dilakukan para laskar telah menimbulkan kematian bagi pihak lawan, sehingga sudah selayaknya menjalani proses hukum. Dalam kontkes kasus semacam ini, para laskar menganggap bahwa hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak memiliki semangat keadilan, sebagaimana yang diajarkan Islam. Pengalaman ini semakin memperkukuh keyakinan para laskar bahwa hukum Islam lah yang menjamin keadilan bagi umatnya dan bukannya hukum positif yang kerap disebut dengan istilah hukum thogut.22 C. Keterbukaan Politik Pada dasarnya, sejak era 1990-an, terdapat perubahan mendasar dalam relasi antar negara dan gerakan-gerakan Islam, termasuk gerakan Islam yang mengusung Islam sebagai ideologi politik. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, gerakan Islam ideologis berjalan secara laten dan selalu dihadang oleh negara, maka pada era 1990-an, gerakan Islam ini mulai muncul secara terang-terangan dan diberi ruang oleh negara. Setidaknya ada dua penjelasan atas perubahan dalam relasi antara negara dan gerakan Islam politik 22
Wawancara November 2008.
36
Konteks Gerakan Islam Radikal
ini. Pertama, setelah pada dekade sebelumnya rezim Orde Baru dengan gencar mematangkan penerapan ideologi developmentalisme, pada dekade ini tampaknya rezim Orde Baru sudah cukup yakin untuk sedikit membuka ruang bagi kekuatan-kekuatan masyarakat yang sebelumnya dianggap dapat mengancam ideologi yang diusungnya itu. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai kompensasi dan kanalisasi dari gerakan keagamaan yang tersumbat pada era sebelumnya. Kedua, secara politik, dukungan militer dan konglomerat pada Soeharto mulai menurun sehingg dia membutuhkan dukungan yang kuat dari pihak lain untuk menopang kekuasaannya. Dalam kondisi demikian, Soeharto berpaling pada kekuatan umat Islam. Untuk itu, Soeharto segera menarik para aktivis Islam politik yang dulu ia singkirkan untuk kembali ke pusat kekuasaan.23 Perkembangan inilah yang menjadi momentum kebangkitan kembali Islam politik dan memberi jalan kebangkitan gerakan Islam yang lebih radikal pada masa-masa selanjutnya. Ketiga, kebijakan ini juga terkait dengan perubahan cukup mendasar dalam prinsip-prinsip gerakan, pendekatan, modus artikulasi pemikiran dan aksi politik Islam pada era itu dibandingkan dengan masa awal Orde Baru. Sebagai akibat sikap represif pemerintah Orde Baru terhadap Islam, sejumlah intelektual dan aktor gerakan Islam mengubah pemikiran dan aksi politiknya, yang tidak lagi legalistik-formalistik dan konfrontatif. Ketika pendekatan oposisional-simbolik kalangan Islam 23
Ibid., hal. 79-80
37
Bersama Bergerak
digantikan oleh pendekatan yang lebih akomodatifsubstansialistik, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah Orde Baru untuk meminggirkan Islam. Maka sejak dekade 1990-an, berbagai unsur Islam memperoleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung plitik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Dalam era baru ini, kesemarakan kegiatan keislaman terjadi di mana-mana termasuk dunia pendidikan, dunia bisnis, birokrasi hingga di lingkaran elit politik.24 “Kebangkitan” keislaman ini kemudian menjadi pra-kondisi bagi munculnya secara lebih terbuka berbagai kelompok gerakan Islam yang ‘baru’, termasuk gerakan Islam radikal. Momentum penting datang ketika Orde Baru jatuh dari kekuasaannya. Dalam atmosfer kebebasan, bermunculanlah aktor gerakan Islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Wasliyah, Jamiat Khair dan sebagainya. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream proses politik maupun wacana dalam gerakan Islam dominan. Organisasi-organisasi Tarbiyah (yang kemudian menjadi PKS), HTI, MMI, FPI, Laskar Jihad dan sebagainya merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di Indonesia.25 Bagi gerakan-gerakan Islam ini, dan terlebih gerakan Islam radikal, jatuhnya rezim Soeharto dan 24
25
M. Imdadun Rahman, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hal. 131 Ibid., hal. 132
38
Konteks Gerakan Islam Radikal
proses transisi politik 26 yang mengiringinya merupakan momentum yang sesungguhnya untuk menampilkan ideologi dan tindakan praksis dari gerakan Islam radikal yang selama ini ‘terpaksa’ ditutup-tutupi karena represi rejim Orde Baru terhadap mereka. Ketika reformasi terjadi, maka keterbukaan politik ini membuat akses bagi gerakan Islam radikal menjadi lebih terbuka dan memungkinkan lahirnya banyak organisasi Islam dengan corak ideologi yang beraneka ragam. Hal ini ditambah dengan tidak ada lagi peranan negara dan aparatus represif yang dominan yang dapat mengekang atau merepresi artikulasi gerakan tersebut. Kebangkitan gerakan Islam Radikal semakin mendapat momentumnya ketika pada masa transisi tersebut terdapat berbagai konflik dan kekerasan sosial yang bernuansa agama, seperti yang terjadi di Ambon dan Poso. Pada masa transisi tersebut, kekuatan negara yang saat itu dipimpin oleh Abdurrahman Wahid, cenderung mengalami keretakan elit (elite fissure), sehingga melemahkan peranan negara untuk mengatasi konflik tersebut.27 Di tengah kondisi negara yang melemah tersebut, gerakan-gerakan Islam radikal bangkit dan memanfaatkan konflik agama dan Transisi politik di Indonesia dapat dimaknai sebagai proses perubahan situasi politik dari otoriter ke situasi yang lebih terbuka dan demokratis. Hal ini membuat keterbukaan politik yang ditandai oleh munculnya berbagai partai politik dan gerakan-gerakan sosial dengan basis ideologi politik yang beragam mulai muncul. Lihat, M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 110. 27 Muhammad Zulfan Tajuddin, Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi, Makalah Seminar, Komnas HAM, Jakarta 2002. 26
39
Bersama Bergerak
kekerasan sosial tersebut untuk menyuarakan panggilan jihad ke daerah-daerah tersebut. Panggilan jihad ini menjadi semacam arena bagi gerakan Islam radikal untuk menyuarakan kegagalan negara dalam melindungi ummat Islam, sekaligus menjadi ajang untuk memperkuat eksistensinya.28 Pendeknya, di masa transisi tersebut rejim yang memerintah tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif, karena selain terjadi keretakan elit, juga karena setiap kelompok dapat secara bebas memperjuangkan dan mengekspresikan kepentingannya. Ditambah lagi, terdapat semacam tindakan balas dendam yang dilakukan oleh masyarakat terhadap negara dan juga terhadap kelompok sosial lainnya yang dianggap sebagai bagian dari negara. Sekelompok masyarakat yang pada masa Orde Baru merasa ditindas dan dirampas hak-haknya serta diperlakukan secara tidak adil oleh negara, pada era reformasi mereka bangkit dan melakukan perlawanan untuk merebut kembali hak-hak mereka yang terampas.29 Dengan berbagai kekecewaan politik, ekonomi dan sosial serta semangat untuk mengubah itu, gerakan Islam radikal kontemporer di Indonesia lahir dan bangkit kembali. Memang selalu ada sejumlah kecil umat Islam yang secara personal tertarik dengan varian Islam yang sangat puritan dan formalistik. Namun, kebanyakan muslim radikal mempunyai ketidak-puasan politik, sosial dan ekonomi yang
28
29
Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan, Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2003) hlm. 171. Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik, hal. 87
40
Konteks Gerakan Islam Radikal
sangat kuat dan inilah yang menjadi motif bagi keagamaan radikal mereka.30 D. Respons Gerakan Islam Radikal: Mengembangkan Sikap Oposisi Dari uraian di atas, di masa transisilah, gerakan Islam radikal mengembalikan model gerakan politik lama dengan ciri yang tidak akomodatif, militan dan konfrontatif. Kelompok Islam radikal ini berupaya menunjukkan kekuatannya sebagai kelompok yang memiliki daya tekan (oposisi) kepada rezim yang menurut mereka tidak aspiratif terhadap nilai dan sistem Islam, sekaligus mengembangkan ketakpercayaan terhadap sistem sosial dan pemikiran yang dianggap sekuler, seperti negara-bangsa, demokrasi, hak asasi manusia. Ketidakpercayaan itu, selain karena bentukbentuk peminggiran dan represi yang dialami oleh gerakan Islam radikal ini, juga bersumber dari keyakinan dan iman mereka yang kuat bahwa Islam merupakan sebuah nilai yang kaffah, bukan hanya nilai-nilai moral tetapi juga sekaligus mengatur sistem politik, sosial dan ekonomi. Bukan hanya agama tetapi juga sekaligus negara (al-din wal daulah).31 Karena itu sekularisme, atau yang sering dimaknai oleh gerakan Islam radikal sebagai pemisahan agama dari negara akan membawa ummat manusia pada kesengsaraan,
30
31
Greg Fealy and Andy Bubalo, Radical Islam in Indonesia (Lowy Institute, 2005) Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (Jakarta: ISAI, 2000) hlm. 31.
41
Bersama Bergerak
krisis sosial dan moral, derita serta malapetaka.32 Bersamaan dengan penolakan terhadap sekularisme, maka ditolak pula seluruh gagasan yang dianggap mencerminkan nilai-nilai dan pemikiran sekuler seperti demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme. Dalam konteks itu pula, gerakan Islam radikal mengimajinasikan perbaikan masyarakat, bangsa dan negara baik secara ekonomi, sosial dan politik yang dibingkai dalam semangat islamis. Di sinilah kerangka pemikiran Islam radikal diletakkan, bahwa Islam harus menjadi dasar negara; syariat harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangah Tuhan; gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep umat yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan bahwa sementara mengakui prinsip syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskurusus politik modern dewasa ini.33 Selain karena alasan tersebut, bangkitnya kekuatan Islam jenis ini juga didorong oleh suatu keinginan untuk menjaga dan mempertahankan martabat Islam dan sekaligus umat Islam. Sebagaimana dijelaskan di atas, hilangnya peran negara dan aparat pemerintahan, banyak umat Islam yang
32
33
Muhammad Thalib, “Penegakan Syariah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dalam Irfan Suryahadi Awwas, Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syariah Islam, (Yogyakarta: wihdah Press, 2001), hlm. 43. M. Imdadun Rahman, Arus Baru Islam Radikal, hal. 133. Lihat juga Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Pemikiran Islam Garis Keras Pasca Orde Baru (Teraju, 2003)
42
Konteks Gerakan Islam Radikal
menjadi korban dari berbagai konflik sosial. Tindakan maksiat terjadi di mana-mana tanpa ada kontrol dari pemerintah. Di sini wibawa Islam dianggap telah dilecehkan. Untuk menjaga martabat dan wibawa Islam itu, kelompok ini memandang perlu melakukan konsolidasi kekuatan Islam guna membela umat Islam yang diserang oleh kelompok lain. Atas dasar itu, maka lahirlah berbagai laskar Islam di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Solo dan Yogyakarta.34 Berikutnya yang paling menonjol adalah ketika mereka berupaya memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita sipil dan politik mereka, para aktivis ini mendapatkan berbagai tekanan dan represi dari aparat negara, baik dalam kasus terorisme maupun dalam kasus bentrok dengan aparat dalam berbagai aksi demonstrasi. Represi dan ketidakadilan yang mereka rasakan dari aparat negara menjadi salah satu konteks bagaimana gerakan Islam radikal tetap tumbuh dan berkembang dengan subur.[]
34
Al Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik, hal. 88
43
Bersama Bergerak
44
Bab 3
Wacana dan Persepsi Islam Radikal tentang HAM
B
ab ini akan menelaah lebih lanjut bagaimana gerakan Islam di Solo dan Yogya mengartikulasikan persepsi dan wacana hak asasi manusia atau apa kami sebut sebagai wacana gerakan islam radikal atas HAM. Setelah itu, kita akan melihat bagaimana gerakan Islam radikal tersebut melakukan framming: melakukan interpretasi atau pemaknaan atas hak asasi manusia dengan memberikan berbagai makna, tafsiran yang dianggap sesuai kepentingan kelompok tersebut. Kami akan memberikan beberapa contoh persoalan yang mereka hadapi yang mereka respon dengan mengintrodusir istilah HAM. Pada dasarnya, tidak ada persepsi yang tunggal di kalangan gerakan Islam radikal atas wacana hak asasi manusia. Meski pada umumnya, gerakangerakan tersebut menyuarakan penolakan yang keras terhadap hak asasi manusia karena dianggap sebagai produk pemikiran sekuler yang menggantikan nilai45
Bersama Bergerak
nilai agama. Dan karena itu, ummat muslim dilarang untuk memberikan loyalitas (al-wala’) dan persetujuannya atas gagasan yang dianggap tidak bersumber dari Islam.1 Persepsi semacam ini misalnya diungkapkan oleh Abdur Rohim, salah seorang pimpinan Jama’ah Ansharut Tauhid: “HAM itu berasal dari Barat yang sekuler. Kita tidak boleh menjadikannya sebagai pedoman, karena itu sama halnya dengan kita menyembah Latta dan uzza seperti pada masa Rasulullah SAW”2
Namun, pada umumnya terdapat persepsi yang beragam di dalam tubuh gerakan Islam radikal. Keragaman itu tercermin melalui kelompok-kelompok yang menempati posisi subyek yang berbeda-beda di dalam tubuh gerakan Islam radikal dan karenanya menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Persepsi ‘kelompok aktivis’ dalam memandang hak asasi manusia tentu saja berbeda dengan ‘kelompok teolog’, begitu juga dengan ‘kelompok intelektual’ dalam gerakan Islam radikal tersebut. Tulisan ini akan mencoba memetakan berbagai persepsi yang beragam tersebut, serta bagaimana gerakan-gerakan Islam radikal tersebut melakukan framing dan membingkai gagasan mereka untuk kepentingan tujuan-tujuan gerakan mereka sendiri.
1
2
Abu Bakar Ba’asyir, “Sistem Kaderisasi Mujahidin dalam Mewujudkan Masyarakat Islam” dalam Irfan Suryahadi Awwas, Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syariah Islam, (Yogyakarta: wihdah Press, 2001), hlm. 87. Wawancara dilakukan pada tanggal 8 November 2008 di pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo.
46
Islam Radikal tentang HAM
A. HAM sebagai Alat Advokasi Sebagaimana disebutkan pada bagian dalam bab sebelumnya bahwa di antara persoalan yang dihadapi oleh para aktivis Islam adalah sejumlah kekerasan aparat negara terhadap mereka. Misalnya yang melanda markas Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), perwakilan Jawa Tengah di Sukoharjo. Salah seorang anggota asrama pernah ditangkap, disiksa dan ditahan selama satu minggu oleh Densus 88 Polri. Ia dibebaskan dalam keadaan cedera, dan diintimidasi untuk tidak menceritakan ke siapa pun apa yang dialaminya. 3 Tidak ada alasan dan pertanggungjawaban aparat keamanan atas apa yang melanda anggota DDII itu. Hal yang sama dialami oleh PP Darus Syahadah Boyolali. Beberapa santri mereka dituduh terlibat dalam aksi terorisme di Indonesia. Direkturnya, ustaz Prasetyo diperiksa secara intensif oleh Mabes Polri.4 Tuduhan dan stigmatisasi itu 3
4
Wawancara Sunaryono, November 2008. DDI merupakan elemen gerakan Islam yang penting di Solo. Ia antara lain menyediakan tempat bagi pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh sejumlah pesantren dan gerakan Islam. Kantor ini pernah menjadi markas Kompak, organisasi tanggap darurat yang berbasis di Jakarta. Sebagai markas Kompak, maka kantor ini menjadi salah satu tempat penyisiran Densus 88 dalam mengejar para tersangka terorisme. Hal yang sama dialami oleh pondok pesantren lain di Solo Raya: Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Kranganyar, Sragen, dan Wonogiri. Sejumlah pesantren itu didatangi oleh pasukan elit Polri, Densus 88 dengan cara-cara yang tidak menghargai kemanusiaan dan kaidah hak asasi manusia. Kebijakan terorisme negara dan pemerintah Indonesia membuat kelompok radikal Islam di Indonesia menjadi sasaran empuk berbagai aksi penangkapan Densus 88 yang didasarkan atas laporan intelijen, atapun berdasarkan pengembangan dari korban-korban yang ditangkap. Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi
47
Bersama Bergerak
menghulang kisah kejahatan Orde Baru dalam kasus Komando Jihad. Gelombang penangkapan itu bermula sejak pasca Bom Bali 1, dimana salah seorang pemimpin gerakan Islam bernama ustaz Abu Bakar Ba’asyir, ditangkap paksa di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo. Karena itu, kelompok yang dapat digolongkan sebagai ‘kubu aktivis’ dalam gerakan Islam radikal menggunakan istilah HAM sebagai kosakata pembelaan diri dan kelompoknya dari berbagai tindakan dan represi aparat negara. Kata-kata yang sering terucap atau tertulis adalah ’Pelanggaran HAM’, dimana aparat negara dianggap telah melakukan pelanggaran HAM. Sebagaimana juga akan dijelaskan pada bab berikutnya, di antara langkah para islamis menjawab represi negara adalah menempuh jalur litigasi, dan pada saat yang sama mereka mencoba untuk mengintrodusir istilah-istilah HAM untuk mengkritik atau menentang “kebijakan” negara atas mereka. Contoh dari pandangan kalangan aktivis ini dalam mengartikulasikan HAM dapat dilihat dalam terbitan-terbitan kalangan tersebut. Fauzan al Anshory, tokoh JAT yang menulis buku Membela Ispemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan dibanyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Lihat Todung Mulya Lubis, Masyarakat Sipil dan Kebiajakan Negara kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme, dalam Rusdi Marpaung & Al Araf (ed), Terorisme, Defenisi, Aksi dan Regulasi, hlm. 77-78
48
Islam Radikal tentang HAM
lam Bersama Ustaz Abu, menukil pernyataan pengacara Ustadz Abu yang dimuat di harian Jawa Pos, 25/1/ 2002, “Menurut Muhammad Taufiq, SH, pengacara ABB, bila berita eksekusi itu benar, maka tindakan Kejari Sukoharjo tersebut merupakan pelanggaran HAM yang sangat berat. Pasalnya kasus ABB sudah tuntas berdasarkan sura edaran Mahkamah Agung yang isinya: Bagi orang yang melakukan kejahatan, kemudian ketika proses hukum itu berjalan muncul materi perubahan hukum atau UU baru menggantikan UU yang lama, maka yan dipakai adalah peraturan baru yang lebih meringankan terdakwa.” Buku ini ditulis pada masa-masa awal penangkapan dan pemenjaraan ustaz Abu Pasca Bom Bali I. Dimana sebelum bom Bali I meletus, wacana penangkapan dan pemenjaraan sudah berkembang, yang dipandang oleh kalangan aktivis MMI dan kubu ustaz ABB sebagai pesanan dan tekanan pihak asing, terutama Amerika Serikat.5 Buku ini diterbitkan oleh Majelis Mujahidin Indonesia sebagai suatu upaya mensikapi apa yang dialami oleh ustaz ABB dan sejumlah aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris. Secara implisit Fauzan ingin mengatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa-peristiwa penangkapan dan penahanan terhadap aktivis Islam. Tidak cuma itu, 5
Fauzan al Anshory, Membela Islam Bersama Ustaz Abu, hlm. 13-14. Ketika itu ustaz Abu akan ditangkap oleh kejaksaan berkaitan dengan vonis 9 tahun di masa orde baru, yang belum ia jalani lantaran kabur ke Malaysia. Isu ini muncul pada Januari 2002 setelah adanya pertemuan antara Kedubes AS dengan pemerintah dan tokoh-tokoh Islam di Jakarta, kemudian muncul lagi April 2002 setelah sidang Paris Club.
49
Bersama Bergerak
penangkapan tersebut merupakan sesuatu yang sangat politis, sebagaimana ditulis Fauzan di kata pengantarnya: “..Salah satu hasil tangkapan “ikan kakap” yang telah lama dipesan AS dan sekutunya adalah Abubakar Ba’asyir, Amirul Mujahidin sekaligus salah seorang pendiri Pondok Al Mukmin Ngruki, Solo. Penangkapan paksa terhadap ABB telah sukses dilakukan 28/10 walau merenggut korban santri luka-luka.6
Di setiap aksi demonstrasi, ketika merespon tindakan aparat keamanan terhadap para aktivis Islam, tak lupa mereka menggunakan jargon-jargon HAM. Misalnya demostrasi di Solo ketika menyikapi tindakan aparat Polisi di Solo. SOLO - Ratusan umat muslim Surakarta, yang berasal dari berbagai elemen dan tergabung dalam Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), kemarin kembali turun ke jalan memprotes tindakan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Poso, yang dinilai berlebihan. Mereka juga menuntut agar Densus 88 dibubarkan, karena dianggap telah melanggar hak asasi manusia (HAM).7 Tindakan aparat lain yang ramai dibicarakan dan direspon dengan berbagai demonstrasi, analisa media dan wacana adalah apa yang pernah terjadi di
6
7
Ibid, hlm. 3. Ketika buku ini diterbitkan, Fauzan masih menjadi pengurus MMI, namun sejak perengahan 2008, Fauzan keluar dari MMI dan bergabung dengan ustaz Abu dalam orgnaisasi baru yang disbeut Jemaah Asharut Tauhid (JAT). http://www.indonesiaindonesia.com/f/6013-ba-asyir-usulkannama-densus-5-a/
50
Islam Radikal tentang HAM
Poso pada Januari 2007. Ketika itu aparat polisi melakukan penangkapan paksa terhadap sejumlah aktivis Islam yang bersembunyi di sebuah basis gerakan Islam. Lembaga nasional yang independen dalam bidang HAM, Kontras menduga telah terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut. Sebuah majalah bulanan di Solo, an Najah, yang menjadi salah corong kaum islamis saat ini mengkritik tindakan aparat Polri di Poso, dengan mengutip pernyataan salah seorang angora DPR, Yudi Chrisnandi. Anggota Tim Khusus DPR untuk masalah Poso, Yuddy Chrisnandi, menyatakan dari hasul kunjungan selama dua hari [3/2-4/2], diketahui situasi di Poso belum kondusif. Masyarakat dicekam dalam ketakutan. Antara warga dengan aparat keamanan tetap tercipta jarak. “Kalau masyarakat selama ini diam, mereka karena takut kepada polisi saja. Kenyataan ini, kesimpulan pribadi saya setelah Jumat dan Sabtu lalu mendatangi lokasi bekas kerusuhan di desa Gebangrejo yang menewaskan tiga orang itu,” kata Yuddy Chrisnandi, di Jakarta, Selasa, [6/2]. Menurut Yuddy, setelah melihat lokasi, bertemu dengan warga, dan bertemu tokoh masyarakat di Poso, indikasi terjadinya pelanggaran HAM dalam operasi kepolisian pada 22 Januari lalu memang terlihat. Hal ini misalnya terdeteksi dari dipakainya senjata SS1 yang di dalam aksi penangkapan itu oleh aparat keamanan. Selain itu juga melihat dengan banyaknya tembakan yang dilontarkan.8
8
An Najah, edisi 19/th.2-Rabiul awwal 1428 H/Maret 2007
51
Bersama Bergerak
Dari beberapa contoh di atas dapat diperoleh gambaran bahwa para islamis telah menggunakan istilah HAM dan memakainya sebagai penafsiran dan penilaian mereka atas peristiwa kekerasan atau kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat negara di Indonesia. Atas persoalan yang mereka hadapi, para juru bicara kaum islamis memang tidak menggunakan secara langsung instrumen HAM, melainkan mengutip dari media atau pihak lain. Atas persoalan yang dihadapi ini sesungguhnya para islamis telah menunjukan suatu sikap yang penting mengenai HAM, yakni perlunya kewajiban negara dalam melindungi dan menghormati hak asasi para islamis. Tentu saja sikap ini merupakan isu penting dalam hak asasi manusia: aparat negara (polisi misalnya) wajib menggunakan standar human rights dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Dimana tidak ada perbedaamn antara yang islmis dan non islamis. Majelis Mijahidin, LUIS dan majalah an Najah sesungguhnya mengingatkan aparat negara di Indonesia untuk sungguh-sungguh tidak melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Dalam kontkes ini lah sesungguhnya human rights mempunyai arti penting di kalangan aktivis Islam radikal di Solo dan Yogyakarta. Risalah Mujahidin (RM), majalah bulanan Majelis Mujahidin Indonesia, kerapkali menggunakan idiom-idiom hak asasi manusia untuk menjelaskan pelanggaran hak sipil politik yang dialami aktivis Islam di masa lalu, maupun era reformasi ini. Dalam edisi 18, yang diterbitkan pada Maret 2008, RM menurunkan laporannya tentang kasus Talangsari, dengan judul 52
Islam Radikal tentang HAM
‘Ungkap Kembali Duka Talangsari’. Secara implisit RM menyambut baik langkah Komnas HAM yang rencananya akan memanggil sejumlah mantan jenderal orde baru untuk diperiksa, seperti Try Soetrisno. Pelanggaran HAM yang digambarkan oleh RM adalah sebagai berikut: Peristiwa pembantaian umat Islam Talangsrai Lampung, 1989, menjadi kisah tragis yang dilupakan negara. Ratusan orang yang saat itu menjadi korban seakan tidak berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta mendapatkan keadilan lewat penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya. Bertahun-tahun, korban yang masih menderita atas peristiwa itu juga mengalami terror dan intimidasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Upaya damai lewat ishlah memberi dampak negatif terhadap hubungan sesame korban yang kemudian terpecah. Bergantinya pemerintahan juga tidak mengubah sikap Negara untuk mengusut tragedi ini. Negara justru terkesan berdiam diri dan pura-pura tidak mendengar suara korban.9 Secara implisit RM yang dicetak hingga 10000 eksemplar tiap bulannya itu ingin meminta tangung jawab negara atas tragedi Talangsari. Ia juga menyuarakan korban, bahwa para korban ingin mengetahui kisah yang sebenarnya, dan mendapatkan keadilan dengan menghulum pelakunya. Dengan kata lain, RM menuntut Negara untuk memulihkan hak-hak korban. Ini adalah perspektif hak asasi manusia yang digu-
9
Risalah Mujahidin, Ungkap Kembali Duka Talangsrai, Edisi 18, Rabiul Awwal 1429 H/Maret-April 2008; hlm. 65.
53
Bersama Bergerak
nakan oleh majalah Majelis Mujahidin Indonesia dalam melihat kasus di masa lalu. Sambil mengutip laporan Kontras tahun 2006, RM menegaskan bahwa peristiwa tersebut termasuk pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights).10 Dengan demikian, para aktivis Islam secara tidak langsung telah melakukan suatu “advokasi HAM”. Hak asasi manusia pada dasarnya merupakan seperangkat norma, nilai dan aturan/hukum yang melindungi dan menghormati setiap warga negara. Ia juga memaksa negara untuk mengeluarkan UU, kebijkakan dan regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah yang melindungi dan menghormati setiap warga negara tanpa pandang bulu. Apa yang dilindungi dan dihormati oleh Negara, secara universal tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan secara lebih terperinci terdapat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik dan Hak Ekosob (tahun 1967), yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No.11 tahun 2005 mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta UU No. 12 tahun 2005 tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak itu begitu luas, dan universal, yang mencoba mewakili kepentingan seluruh ras manusia, seluruh bangsa dan negara dan seluruh norma agama tanpa kecuali. Dengan memberitakan berbagai kasus yang dialami para aktivis Islam (sambil mengutip pernyataan lembaga-lembaga atau orang yang menggunakan instrumen dan idiom HAM) sesungguhnya kelompok aktivis gerakan Islam 10
Ibid, hlm. 65-66
54
Islam Radikal tentang HAM
ini menjadikan HAM sebagai alat advokasi mereka. Ini yang disebut oleh Baderin sebagai prinsip hukum yang inheren dalam Syariat Islam yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi dan martabat manusia melalui pemerintahan yang baik. Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa sejauh negara melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, yang menimpa para aktivis Islam radikal, maka para aktivis gerakan Islam itu (di antaranya) akan merujuk pada ide-ide dan hukum hak asasi manusia yang berlaku di negara ini. Inilah bagian pertama yang kami temukan dalam penelitian ini tentang perspesi kalangan islamis tentang HAM. B. HAM Harus Selaras dengan Syariat Islam Selain persepsi dari kelompok aktivis dalam tubuh gerakan Islam tersebut, terdapat juga ’kelompok teolog’ yang merupakan lulusan pesantren dan menjadi pengajar (ustadz) dan yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang luas dan lurus, serta menjadi semacam pembimbing atau pembina bagi organisasi gerakan Islam radikal tersebut. Para teolog ini sering mengungkapkan pandangan-pandangannya atas realitas sosail berdasarkan kacamata teks-teks normatif Islam dan disebarkan melalui media-media massa yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui bahwa masalah lain yang kerap dihadapi dan direspon oleh para aktivis Islam tersebut adalah beberapa isu yang mereka anggap sebagai persoalan aqidah dan moral umat Islam. Persoalan aqidah yang sepanjang tahun 2008 ramai direspon adalah status jemaah Ahamdiyah Qodian 55
Bersama Bergerak
di Indonesia. Dimana para islamis itu menuntut pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah Qodian dengan alasan bahwa Ahmadiyah merupakan sekte sesat di dalam Islam, dan menawarkan solusi keluar dari Islam, membentuk agama baru atau menghentikan seluruh kegiatan religius dan dakwah mereka. Puluhan lembaga sosial di Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) membela hak asasi Ahamdiyah dan menentang aspirasi serta aksi-aksi para islamis tersebut. Konflik di antara dua pihak menjadi tak terelakkan. Puncaknya adalah insiden Monas, 1 Juni 2008, berupa bentrokan dan kekerasan yang dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) terhadap massa AKKBB.11 Konflik antara AKKBB dan FPI di Jakarta, menyimpan gunung es yang begitu besar tentang pertentangan antara perspektif AKKBB dan islamis tentang hak asasi manusia. AKKBB menjadikan hak asasi manusia sebagai isntrumen yang melindungi berbagai hak asasi semua warga Negara tanpa memandang apa pun agama dan keyakinanya.12 Isu
11
12
FPI merupakan salah satu organisasi islamis terkemuka di Indonesia yang berpusat di Jakarta, yang mempunyai cabang di Solo dan Yogyakarta. Aktivitas FPI seringkali mendapat dukungan moral dan massa dari kelompok islamis lain seperti Majelis Mujahidin. Perspektif ini pada dasarnya merupakan ketentuan hukum HAM internasional atau instrumen HAM internasional yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948. kemudian dipertegas dalam sejumlah Kovenan dan Konvensi di antaranya Kovenan Hak Sipil Politik tahun 1967 yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005 yang biasa disebut dengan UU Hak Sipil Politik.
56
Islam Radikal tentang HAM
yang paling utama dalam pertentangan ini adalah mengenai kebebasan beragama, isu perempuan dan isu syariat Islam. Para pendukung AKKBB kerapkali menggunakan hak asasi manusia sebagai basis argumen-argumen mereka dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Misalnya dapat kita lihat dalam pembukaan Petisi berjudul ‘Mari Pertahankan Indonesia’, yang dibuat oleh AKKBB: Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia-an kita.13 Melalui alasan konstitusi dan hak asasi manusia, berbagai organisasi dalam AKKBB membela arti universal kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), UUD 1945 dan berbagai instrumen HAM yang lain. Ini membuat gerakan AKKBB menjadi identik dengan gerakan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Namun demikian, bagi kelompok teolog dalam gerakan Islam radikal ini, perspektif tersebut dipandang melukai ajaran mendasar mereka mengenai aqidah yang harus dijaga dan dilindungi oleh Negara. Ketika para pendukung perspektif ini begitu kukuh memegang teguh doktrin dan instrumen hak asasi manusia, kalangan Islamis malah sebaliknya: dengan doktrin agama yang diyakini melampaui batas
13
Lihat di http://akkbb.wordpress.com/petisi/
57
Bersama Bergerak
“kedaulatan negara” mereka menuntut negara untuk menghormati aqidah yang diyakininya. Seakan-akan hak asasi manusia bertentangan secara vis a vis dengan doktrin dan keyakinan Islam.14 Sebuah majalah Islam, yang diterbitkan di Solo, An Najah memberi gambaran tentang HAM dengan asosiasi Gerakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang berpusat di Amerika yang anti Islam:15 Keseluruhan organisasi dan kelompok ini sebenarnya bisa disatukan dalam satu kata, yakni: anti-Islam, yang berkiblat ke Amerika. Amerika adalah gudang dari berbagai isme seperti gerakan liberal, gerakan feminisme, HAM, demokrasi dan sebagainya. Tidak saja dianggap dapat melukai agama mereka, para aktivis ini memandang bahwa penegakkan HAM sungguh tidak konsisten. Persoalan HAM merupakan masalah politik dan kekuasaan. Risalah Mujahidin edisi 21 Sya’ban 1429 H/Juli-Agustus 2008:16 “..Namun dalam tataran faktual, yang terjadi di lapangan ternyata sebaliknya. Kalangan intelektual dunia paham bahwa negara yang paling anti demokrasi di dunia adalah Amerika, negara yang paling banyak melanggar HAM adalah Amerika..”
14
15 16
Dalam hal ini para islamis menuntut Negara untuk melindungi agama dan aqidah mereka dari Ahmadiyah. Padahal negara Indonesia, sesungguhnya juga harus melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan jemaah Ahmadiyah. Ini merupakan prinsip universal hak asasi manusia yang sulit diterima oleh para islamis. An najah, edisi 35/Th.3-Jumadil Tsaniyah 1429 H/Juli 2008 Risalah Mujahidin edisi 21 Sya’ban 1429 H/Juli-Agust 2008, hl. 19
58
Islam Radikal tentang HAM
Dari analisa an Najah dan Risalah Mujahidin di atas, maka masalah yang dihadapi para islamis ini bukan lagi masalah pelanggaran hak asasi manusia, melainkan persoalan yang lebih kompleks yakni pertama, berbagai ideologi dan gerakan yang dianggap bertentangan dengan Islam di Indonesia; kedua, berbagai pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh para pengusung ideologi dan gerakan demokrasi serta hak asasi manusia. Persepsi kalangan Islamis tentang HAM tidak lagi menyangkut pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara Indonesia semata-mata, melainkan oleh para pihak/ negara yang mengusung demokrasi dan HAM itu sendiri. Dengan kata lain Risalah Mujahidin berpandangan bahwa untuk apa kita mengusung demokrasi dan HAM, bukankah sponsornya sendiri mengingkari dan melanggarnya? Mujahidin menegaskan sikapnya di edisi ini ketika merespon Gerakan AKKBB dan mengurai sejumlah tokoh aktivisnya. Tentang para aktivis AKKBB, Risalah Mujahidin menulis:17 “Mereka ini memang bergerak dengan mengusung wacana demokrasi, HAM, anti kekerasan, pluralitas, keberagamaan dan sebagainya. Sesuatu yang absurd sesungguhnya karena donatur utama mereka, terangterangan menginjak-nginjak prinsip-prinsip ini di berbagai belahan dunia seperti Palestina, Irak, Afganistan dan sebagainya.”
Di satu sisi, RM bermaksud mengingatkan para penyuara HAM di Indonesia untuk sadar bahwa tidak
17
Risalah Mujahidin edisi 21 Sya’ban 1429 H/Juli-Agust 2008, hlm. 20.
59
Bersama Bergerak
ada gunanya menyuarakan HAM di tengah degradasi yang terjadi. Di antara degradasi itu adalah adanya ketidakstabilan di Irak dan Afganistan yang banyak ditafsirkan sebagai bentuk imperialisme AS. Negara yang di satu sisi menyuarakan demokrasi dan HAM, namun di sisi lain merendahkannya. Sebagaimana disebut oleh Mashood A. Baderin bahwa penolakan kalangan gerakan Islam terhadap HAM lebih disebabkan oleh kenyataan dan analisa tentang agenda terselubung Barat di balik isu HAM, yakni imperialisme global.18 Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Baderin bahwa hak asasi manusia tidak dapat diabaikan meskipun umat Islam melihat adanya selubung tersebut. Masalah tersebut merupakan persoalan negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Oleh karena itu HAM merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa diparalelkan dengan masalah imperialisme tersebut. Hak asasi manusia tidak dapat ditolak lantaran ada Barat atau Amerika di sana. Pandangan ini sedikit nampak pada analisa Risalah Mujahidin yang mengkritik sikap AKKBB untuk tidak membenturkan HAM dengan isu penentangan terhadap aliran Ahmadiyah. “...Sebab, tuntutan pembubaran Ahmadiyah tidak ada kaitannya dengan Pancasila. Tidak juga dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan; melainkan penodaan keyakinan agama umat Islam yang penyelesaianya tidak bisa dibenturkan dengan kepentingan HAM dan demokrasi. Negara wajib 18
Baderin, Ibid. Hlm. 30
60
Islam Radikal tentang HAM
melindungi agama dan keyakinan setiap penduduk dari rongrongan dan penistaan pihak lain.” 19
Pada derajat tertentu Risalah Mujahidin menerima dan mengakui HAM, namun pada derajat yang sama hak asasi manusia (instrumen ataupun nilai yang dikandungnya) tidak boleh melampaui doktrin dan ajaran dasar agama yang diyakininya. Pendeknya, hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, dan malahan harus disesuaikan dan diselaraskan dengan syariat Islam. Itulah persepsi yang paling penting mengenai hak asasi manusia di kalangan kubu teolog dari gerakan Islam radikal di Yogyakarta dan Solo. Mereka telah mewacanakannya ketika menyikapi beberapa isu-isu dan masalah-masalah yang mereka hadapi sepanjang tahun 2008 yang lalu. Lebih jauh lagi, sebagaimana disinggung di atas kerapkali hak asasi manusia dianggap identik dengan globalisasi dan westernisasi. Hal ini musalnya diungkapkan oleh salah seorang ustadz dari salah satu gerakan Islam di Yogyakarta: Kalau masalah UU HAM di Indonesia, saya fikir tidak terlepas dari proses globalisasi. Artinya, keinginan Eropa, Amerika itu adalah mengglobalkan, termasuk sistem hukum, sistem budaya, sosial dan sebagainya. Saya fikir itu cukup jelas untuk konteks Indonesia. Indonesia juga banyak mengadopsi halhal seperti itu dari barat. Dengan banyaknya lulusan hukum Indonesia yang menjadi pakar-pakar hukum itu banyak sekolah di Barat maka mau nggak mau 19
Ibid, hlm. 32
61
Bersama Bergerak
ideologi itu sudah berjalan. Internalisasi nilai-nilai barat itu juga.. 20
Sebagaimana bisa ditemukan diberbagai majalah, buku dan terbitan para aktivis ini, HAM identik dengan Barat, demokrasi dan sejenisnya. Penjelasan-penjelasan tersebut memperkukuh pandangan oposisi biner yang selama ini lazim digunakan oleh banyak penulis dan pengamat Islam. C. Menerima Sebagian Prinsip HAM dan Menolak Prinsip yang Lain Namun demikian pada kenyataannya pandangan “opisisi biner” itu tidaklah bersifat mutlak. Meskipun ada anggapan di kalangan islamis bahwa HAM adalah “Latta dan Uzza” dalam kehidupan modern dan identik dengan westernisasi (sebagaimana juga yang telah diingatkan oleh Baderin), masih ada sumbangan pemikiran di kalangan intelektual Islam di kalangan gerakan Islam radikal untuk memilah secara tepat mana sesuai dengan Islam. Lebih detilnya lagi, sudah ada upaya untuk menentukan mana bagian dari DUHAM yang bisa diterima dan yang ditolak. Kalangan intelektual gerakan Islam radikal ini tidak mempertentangkannya secara mutlak. Salah seorang intelektual terkemuka yang diakui oleh para islamis di Solo dan Yogyakarta adalah Dr Hamid Fahmy Zarkasy. Intelektual dan cendekiawan muslim asal Gontor ini mengatakan, “Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, ia bahkan sangat menghormati hak dan 20
Wawancara 8 November 2008
62
Islam Radikal tentang HAM
kebebasan manusia. Jika prinsip-prinsip di dalam al Qur’an disarikan maka terdapat banyak poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia.” Masih menurut Hamid Fahamy Zarkasy, Prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam, sejak tahun 1981 di London, yang melahirkan Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR); disusul kemudian Deklarasi Kairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990; kemudian Liga Arab tahun 1994 yang mengeluarkan Arab Charter of Human Rights.21 Dari berbagai wacana dan pandangan para aktivis Islam, pasal yang cenderung ditolak adalah pasal 16 dan 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hamid Zarkasy, yang dianggap sebagai juru bicara kaum intelektual muslim, menulis dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Pusham UII:22 “Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam… Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.” 21
22
Hamid Fahmy Zarkasyi, 2008, makalah diskusi serial terbatas Islam, HAM dan gerakan Sosial di Indoensua dengan judul Islam dan Hak Asasi MAnusia, hlm 1; diselenggarakan oleh Pusham UII, 19 November 2008 di Yogyakarta. Ibid, hlm. 2-3
63
Bersama Bergerak
Pernyataan ini menngambarkan bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip hak asasi manusia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, kecuali dua prinsip tersebut yaitu mengenai hak untuk berpindah agama dan perkawinan beda agama. Bagi kubu intelektual ini, dua prinsip yang benar-benar bertentangan dengan pemahaman dan keyakinan mereka adalah dua pasal sebagaimana berikut: Pasal 16 berbunyi: 1. Orang-orang dewasa baik laki-laki mapun perempuan dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarhga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan di kala perceraian. 2. Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai 3. Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindngan dari masyarakat dan negara. Pasal 16 ini menyentuh kontroversi kebebasan beragama di Indonesia, sebagaimana di pasal 18 di bawah: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyataan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri maupun bersama-sama dengan
64
Islam Radikal tentang HAM
orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.
Dengan kata lain, pasal kebebasan pindah agama (bukan sepenuhnya beragama) dan pernikahan beda agama merupakan pasal yang sulit diterima. Kurang lebih hanya 2 pasal dari 30 pasal DUHAM yang ditolak oleh kubu intelektual gerakan Islam radikal tersebut. Selebihnya isu-isu lain dianggap tidak ada masalah di kalangan aktivis gerakan Islam radikal. Namun, kenyataan yang tidak terelakkan saat ini adalah umat Islam hidup dalam suatu masyarakat global, di dalam negara dan bangsa-bangsa yang tidak disatukan oleh identitas agama saja, melainkan nasionalisme berdasarkan kebangsaan dan etnis.23 Ini yang mendorong lahirnya tiga kesepakatan di level internasonal dan regional di kalangan negara-negara Islam yang melahirkan Deklrasi London, Deklarasi Kairo dan Piagam Arab tentang hak asasi manusia.24 Sehingga, sebagaimana dicatat oleh Ann Elizabeth Mayer bahwa negara-negara Islam tidak menolak secara umum DUHAM tersebut, terkecuali pada pasal 16 dan 18 dan argumen-argumen universalisme HAM tentang isu persamaan seluruh warga, perempuan dan kebebasan beragama. Negara-negara Islam menganut perspektif relativisme kultural dalam HAM. Yang di satu sisi menerima HAM namun tetap harus berdasar
23 24
Baderin, International Human Rights and Islamic Law, hlm. 29-30 Ibid. Sayangnya, wacana adopsi atau “islamisasi” instrumeninstrumen HAM itu tidak begitu banyak diketahui oleh kalangan aktivis Islam. Organisasi gerakan Islam yang secara konspesional lebih tangguh dalam menolak hak asasi manusia adalah Hizbut Tahrir.
65
Bersama Bergerak
atas hukum dan syariat Islam.25 Apa yang ditemukan Mayer di negara-negara Islam lain juga sama dengan apa yang diwacanakan oleh sejumlah aktivis Islam di Solo dan Yogyakarta. Misalnya pendapat Dr. Muhammad, pimpinan Forum Jamaah Masjid (Fujamas), organisasi kemasyarakat di Solo dan sekitarnya. Ia menegaskan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) jangan sampai mencampuri urusan-urusan yang sudah menjadi ketetapan dalam agama Islam. HAM memang penting untuk dipelajari oleh ummat Islam. Di tengah sistem demokrasi yang sedang dianut oleh negara, gerakan Islam sangatlah berkepentingan untuk mengetahui sejauh mana HAM tersebut bisa diambil manfaatnya. Sehingga tidak lagi terjebak dalam gerakan-gerakan yang akan menjerumuskan para aktivisnya ke dalam jeratan hukum nasional.26 Sebagaimana kubu teolog, kalangan intelektual gerakan islamis ini juga memandang hak asasi manusia sebagai sesuatu yang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Inilah temuan kami yang cukup penting dalam penelitian ini yakni bagaimana para islamis mendedahkan hak asasi manusia. Ketika mereka menegaskan bahwa HAM dari barat dan sekuler ternyata ada bagian yang dapat diterima sebagai sebuah deklarasi universal atau instrumen hukum internasional yang mengikat seluruh negara, tak terkecuali negara-negara Islam. Dalam situasi semacam itu para cendekiawan dan negarawan
25 26
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, hlm. 7 Wawancara November 2008
66
Islam Radikal tentang HAM
muslim telah menemukan solusinya. Dan beberapa para islamis di Solo dan Yogyakarta telah menemukan cara bagaimana mereka membuat nilai dan instrumen HAM bisa berguna bagi mereka. Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa ketika para islamis mencoba untuk mempertentangkan Islam dan HAM, maka itu suatu langkah yang sulit. Maka yang paling mungkin adalah menelisik dan memastikan bagian-bagian instrumen dan nilai HAM yang dapat diterima dan digunakan sejauh tidak bertentangan dengan syariat Islam (yakni pandangan keislaman mereka). C. Membingkai Hak Asasi Manusia: Upaya Gerakan Islam Radikal Memanfaatkan HAM 1. HAM sebagai Strategi Gerakan Islam Selain beberapa pandangan dari tiga kelompok dalam tubuh gerakan Islam radikal tersebut, terdapat pula artikulasi terhadap wacana hak asasi manusia yang yang lebih memandang hak asasi manusia secara lebih pragmatis, yaitu bagaimana agar hak asasi dapat berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Beberapa kalangan dari gerakan Islam radikal ini misalnya mendorong para aktivis Islam untuk memahami seluk beluk HAM dan menggunakannya sebagai salah satu cara advokasi Islam. Hal ini antara lain disampaikan salah seorang tokoh Dewan Dakwah Islam Indonesia di Solo bernama Ustaz Sunaryono. Ia mengatakan bahwa salah satu tugas umat Islam ke depan adalah memahami seluk beluk hak asasi manusia, sehingga nantinya dapat digunakan secara tepat. Sayangnya, pada umumnya para aktivis Islam tidak memahami 67
Bersama Bergerak
HAM. “Kalau menurut saya banyak yang belum tahu secara detail, hak asasi manusia itu belum... saya juga belum pernah baca tentang hak asasi manusia,” demikian kata Sunaryono. Ia menegaskan kondisi dimana kebanyakan aktivis Islam tidak mengerti instrumen HAM “Hampir mayoritas kita belum mbaca itu. Biasanya kalau ada masalah itu ya diserahkan karena TPM atau tim pembela. Kalau di Solo itu kan ada Tim Anti Penculikan, si Syaifudin dan kawan-kawan itu kan, itu aja yang kerja. Terus kita juga, termasuk saya, saya nggak pernah pengin tahu detail, sudah dikerjakan ya sudah. Kita jalan mengerjakan yang lain itu. Itu mayoritas begitu..”27
Yang dimaksud dengan tidak paham HAM di sini adalah para aktivis Islam tidak mengerti hak asasi manusia sebagai suatu instrumen hukum dan perundang-undangan yang mengikat negara dan aparatnya untuk menjalankan pemerintahan yang memajukan, menghormati dan melindungi hak asasi setiap warga Negara di Indonesia, tanpa pandang bulu. Tak terkecuali aparat keamanan, dalam menjalankan tugasnya, mereka harus bekerja di atas ramburambu tersebut. Atas dasar kebutuhan untuk mengontrol aparat negara ini lah, pengertian dan pemahaman hak asasi manusia lebih mudah diterima dan diambil oleh para islamis Solo dan Yogyakarta sebagaimana diuraikan di atas. Lebih dari itu HAM dipandang oleh beberapa islamis sebagai sesuatu yang sangat penting, yang di 27
Wawancara 8 November 2008
68
Islam Radikal tentang HAM
antaranya dengan menyebut penegakkan syariat Islam sebagai hak asasi umat Islam. Dimana Hak-hak untuk mendakwahkan Islam secara kaffah, yang benar dengan menyebarkan pemahaman yang benar mengenai Islam, diyakini oleh para aktivis islam sebagai hak-hak umat Islam yang dilindungi oleh Negara. Bahkan menegakkan syariat Islam merupakan hak asasi umat Islam yang harus diterima oleh Negara Indonesia. Kampanye hak ini mulai dilakukan secara massif oleh ustaz Abu Bakar Ba’asyir sejak keluar dari tahanan rezim reformasi tahun 2006.28 Ustadz Karim dari Forum Komunikasi Antar Masjid (FKAM) berharap agar organisasi Islam dan aktivis-aktivisnya perlu mempelajari dan mendapatkan pelatihan tentang HAM. Hal ini berkaitan dengan kepentingan gerakan Islam agar memahami taktik musuh-musuh dalam menyudutkan gerakan Islam sekarang ini. Sehingga dari itulah gerakan Islam tidak lagi melakuan gerakan yang sembarangan, terlebih lagi melakukan gerakan yang akan menjerumuskannya kedalam hukuman-hukuman yang merugikan. Kadir menekankan bahwa untuk bisa menghancurkan musuh-musuh Islam maka aktivis gerakan dan organisasi Islam harus mengenali taktik dari musuh-musuh itu sendiri. 29 Ini merupakan pernyataan yang sangat penting yang menunjukan bahwa instrumen HAM dapat menjadi salah satu alat perjuangan umat Islam.
28 29
Ba’asyir, 2007, Catatan Dari Penjara, Solo: Mushaf Wawancara November 2008
69
Bersama Bergerak
Hal ini ditegaskan oleh salah seorang pemimpin Majelis Mujahidin yang sangat senior bernama Ustadz Fatah. Ia menyatakan bahwa proses perjuangan gerakan Islam dalam mencapai cita-cita penegakan syari’ah memerlukan banyak faktor pendukungnya. Ia mengatakan bahwa hukum nasional dapat menjadi salah satu instrumen penting untuk di pelajari agar supaya dalam setiap pelaksanaan program Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak lagi terjerembab dalam praktek-praktek gerakan yang anarkis. Apalagi ketika mayoritas yang bergerak tersebut adalah kaum muda yang tergabung dalam laskar-laskar Islam dan mayoritas dari mereka tidak mampu mengendalikan emosinya. Kurangnya pengetahuan tentang HAM dikalangan gerakan Islam juga menjadi penyebab dari tidak berdayanya gerakan ketika berhadapan dengan alat-alat represi negara seperti undang-undang, berbagai kekerasan fisik maupun teror mental berupa ancaman dan intimidasi.30 Dalam upaya advokasi salah seorang aktivis Islam berkata dalam suatu diskusi di Solo: Kemudian untuk advokasi permasalahan ummat Islam harus dipahami soal karakteristik permasalahannya. Kalau tadi disinggung masalah terorisme, kita harus tahu bahwa terorisme itu mempunyai target politik. Karena target politik maka hukum nggak bunyi, karena sudah menjadi kepentingan politik. Kepentingan politik sekarang ini tergantung siapa yang berkepentingan. Oleh karena itu, menjadi 30
Wawancara November 2008
70
Islam Radikal tentang HAM
kewajiban kita ummat Islam meluruskan soal perspektif terorisme ini. Kelemahan kita adalah teman-teman tidak pandai dalam merangkai kata menjelaskan soal ini. Untuk itulah butuh advokasi untuk menyusun pergerakan.
Keinginan untuk melakukan advokasi inilah yang diserukan oleh seorang ustaz senior di PP al Mukmin, Ngruki. Ia yang sudah “kenyang” mengalami represi orde baru kerap menyerukan para aktivis muda agar tidak terjebak dalam aksi-aksi yang melanggar hukum dan peraturan, misalnya cara-cara anarkis dan kekerasan. Baginya langkah-langkah yang sesuai dengan prosedur dan bekerjasama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan jauh akan lebih efektif ketimbang aksi-aksi sepihak. Namun ia tetap menghargai pilihan sejumlah kelompok gerakan yang tidak sabar dengan tatanan hukum positif yang berlaku di Indoensia.31 2. HAM Sebagai Alat untuk Menegakkan Syariat Islam Dari uraian di atas nampak bahwa para islamis tidak lagi semata-mata berada pada sikap yang meletakkan hak asasi manusia dalam batas syariat Islam, lebih dari itu mereka membutuhkan dan dapat menggunakannya untuk kepentingan etatisme Islam, yakni perjuangan penegakkan syariat Islam. Jadi ada saatnya dimana human rights diterima, namun kemudian diberi makna baru sesuai dengan kepentingan para penafsirnya yakni para islamis itu. 31
Wawancara November 2008.
71
Bersama Bergerak
Bagi kalangan islamis, wacana HAM tidaklah netral, politis dan menyangkut kekuasaan. Dalam wawancara, publikasi maupun buku yang diterbitkan tersimpan suatu pandangan bahwa meskipun hak asasi manusia dipandang sebagai prodak Barat yang sekuler dan anti Islam, namun terdapat kebutuhan untuk mengapresiasi beberapa poin dan pasal dari berbagai instrumen HAM, ataupun keinginan untuk mengkritik dan mengontrol aparat negara melalui instrumen-instrumen tersebut atau dengan sekedar mengutip istilah HAM. Para aktivis Islam juga mengharapkan terserapnya aspirasi mereka dalam berbagai isu publik yang mereka pandang sebagai artikulasi hak dan kepentingan mereka, meski pandangan tersebut berangkat dari filsafat moral yang oleh banyak kalangan menggangu social order sebagai bangasa dan negara yang majemuk. Dalam konteks ini, penerapan syariat Islam dipandang sebagai hak-hak yang konstitusional dan dibolehkan oleh UUD 1945.32 Salah satu keberhasilan besar para islamis itu di tahun 2008 lalu adalah dengan ditetapkannya UU Anti-Pornografi dan dikeluarkannya SKB tentang Ahmadiyah. Mereka menyebutnya sebagai keberhasilan memperjuangkan hak asasi umat Islam. Seorang aktivis masjid di Yogya menegaskannya dengan katakata, “ ...Saya sepakat dengan adanya demontrasi untuk memperjuangkan hak-hak kaum muslimin,
32
Seorang pemimpin majelis Mujahidin yang kenyang disiksa rezim orde baru mengatakan bahwa penaggakn syariat Islam merupakan hak asasi umat Islam.
72
Islam Radikal tentang HAM
tentunya yang sangat hangat pada saat ini adalah disahkannya RUU Pornografi..” 33 Menurut kami, ini yang disebut sebagai proses framing, yakni upaya para islamis menjawab tantangan dan persoalan yang mereka hadapi, kaitannya dengan isu dan masalah hak asasi manusia. Kami melihat bahwa meskipun mereka tidak sepenuhnya dapat menerima HAM, namun mereka masih ada asa untuk menggunakan HAM sejauh itu berguna untuk kepentingan dan cita-cita mereka. Pada akhirnya mereka membingkai dan melakukan framing atas makna dan tujuan penggunaan hak asasi manusia, yakni dalam bingkai perjaungan dan gerakan mereka. Dengan cara tersebut para islamis bisa saja mendesakkan sebuah perubahan menuju tatanan sosial yang lebih bersyariat. Hal ini dapat kita temukan beberapa contoh desakan tersebut. Risalah Mujahidin mengangkat topik ’Politik Etis di Balik Jilbab Wanita TNI dan Polwan’ pada edisi 16, Januari-Februari 2008 yang lalu sebagai Fokus Utamanya. Risalah Mujahidin menyambut baik adanya kebijakan diperbolehkannya personel Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) mengenakan jilbab. Hal itu terungkap dalam fit and proper test calon panglima TNI KSAD Djoko Santoso, satustanya kandidat Panglima. Pada saat Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Selasa 13/6/2007 itu, KSAD menyatakan tidak ada larangan soal itu. Momentum ini dimanfaatkan oleh Majelis Mujahidin 33
Wawancara aktivis masjid di Yogyakarta, November 2008.
73
Bersama Bergerak
dengan menulis, “Kalau pemerintah menghormati HAM dan keyakinan umat beragama, semestinya kebijakan itu bisa diterapkan.” Pada edisi ini Risalah Mujahidin mengulas bagaimana perkembangan penggunaan jilbab oleh aparat TNI dan Polri di Aceh yang bisa diterapkan dan dikembangkan di seluruh wilayah di Indonesia. Dengan mengutip sejumlah pengamat independen seperti Fachry Ali dan anggota Dewan Yudi Chrisnandi, Risalah Mujahidin menegaskan perlunya kebijakan yang lebih permanen bagi syariat jilbab ini. Namun demikian, Risalah Mujahidn tetap bersikap kritis. Namun, adanya gagasan menutup aurat dengan mengenakan busana takwa (jilbab) di kalangan wanita TNI/Polwan mengesankana dua hal. Pertama, adanya kesadaran bahwa strategi konfrontasi TNI/Polri dengan umat Islam akan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, strategi harus diubah tanpa kehilangan rasa malu, dengam menarik simpati umat Islam melalui politik etis ’Jilbab Wanita TNI’. Jadi, tujuan dibalik jilbabisasi wanita TNI/Polwan hanya sekedar politik etis, mewarisi politik Snouck Hurgronye di zaman penjajah Belanda. Jika benar demikian, maka kebijakan jilbabisasi di lingkungan TNI/Polri hanya akan menuai cibiran da pesimisme. Kedua, gerakan jilbabisasi ini, bukan mustahil dimotivasi leh kesadaran beragama yang tulus di kalangan perempuan anggota TNI/Polri, sehingga mereka menuntut hak menjalankan agama dalam melaksanakan tugas sehatri-hari di lingkungan TNI/Polri. Dengan contoh tersebut kita dapat melihat bahwa MMI berhasil memanfaatkan sebuah momen74
Islam Radikal tentang HAM
tum penggunaan kebebasan beragama dan mendesakan penggunaan jilbab ke dalam tubuh TNI AD. MMI dan para aktivis Islam radikal yang lain mempunyai peluang yang lebih besar lagi untuk mendesakkan tanggungjawab negara terhadap isu-isu HAM yang lain yang telah menelan korban yang tidak sedikit di kalangan umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya. Itu sangat tergantung pada bagaimana para pemimpin islamis menentukan prioritas dan target gerakan mereka. Namun, keengganan untuk membaca realitas sosial dan prasangka buruk di balik artikulai hak asasi manusia, pada akhirnya akan merugikan aktivis Islam sendiri. Ini kelihatan pada lemahnya dukungan massa umat Islam terhadap korban-korban Densus 88. Dibanding jumlah aksi terhadap isu Ahamdiyah dan UU Sisdiknas, yang mencapai 100.000 orang, jumlah aksi anti Densus 88 misalnya hanya berkisar kurang dari seribu massa. Ini juga membutuhkan jawaban yang harus diberikan oleh para aktivsi HAM mainstream maupun aparat/lembaga negara yang bertanggungjawab atas penegakkan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Gerakan Islam akan selalu berusaha mendefinisikan makna hak, dan memberinya muatan islamis, dan menyebut apa saja yang diperjuangkan sebagai hak mereka. Lebih dari itu pewacanaan dan persepsi tentang hak asasi manusia di kalangan aktivis Islam mencapai perhitungan strategi politik dan kampanye publik dalam memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita sipil dan politik mereka, terutama menyangkut gerakan anti Densus 88, dan sejumlah isu 75
Bersama Bergerak
UU di negara ini. Meskipun ada keyakinan teologis bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan aqidah Islam, namun instrumen HAM sangatlah penting untuk dipelajari, diwacanakan dan digunakan dalam gerakan advokasi. Kekalahan gerakan Islam di sejumlah front aksi, sebagian besar disebabkan oleh lawan yang mereka hadapi, berupa aparat polisi dan aparat negara lain yang begutu kokoh. Namun ada di antara mereka yang sangat menghargai upayaupaya reformasi di tubuh negara yang “berpihak ke syariah” dan dipandang sebagai upaya-upaya pemenuhan hak-hak umat Islam. []
76
Bab 4
Gerakan Sosial Islam Radikal
G
erakan Islam radikal sebagaimana dikatakan di awal terkadang menggunakan pendekatan reformis dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Sehingga di kalangan kelompok ini terdapat aksi-aksi publik yang menuntut terjadinya reformasi publik dalam berbagai bidang yang mereka sorot: pendidikan, moral dan menyangkut ajaran agama mereka. Pada isu-isu publik ini terkadang mereka menggunakna isu HAM untuk memperjuangkan apa yang mereka inginkan. Struktur politik yang terbuka seperti era pasca Soeharto ini, memberikan peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik. Jika gagal memanfaatkan peluang tersebut maka kemungkinan besar kelompok masyarakat tersebut akan termarginalkan dan tertindas secara sistematik. Sebaliknya, bila kelompok sosial itu dapat mempengaruhi kebijakan publik, maka kelompok tersebut dapat mendesakkan hak-hak dan 77
Bersama Bergerak
kepentingannya. Untuk dapat mempengaruhi kebijakan publik sebuah kelompok masyarakat harus melakukan aksi-aksi sosial, yang dalam teori gerakan sosial, disebut dengan upaya memobilisasi sumber daya pergerakan. Pada bagian ini kami akan mengangkat kasus gerakan advokasi Islam yang dilakukan oleh sejumlah organ gerakan Islam misalnya Tim Pembela Muslim (TPM), Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Forum Komunikasi Antar Masjid (FKAM). Semuanya berkantor dan berpusat di Solo. Masing-masing kelompok Islam tersebut memiliki konsen advokasi yang berbeda-beda, namun adakalanya sama-sama mengadvokasi isu atau kasus yang sama. TPM lebih konsen dalam isu advokasi hukum litigasi dan pelanggaran HAM yang dialami oleh para aktivis Islam, semisal penculikan, penahanan, dan penyiksaan. Di pihak lain, FKAM dan LUIS lebih banyak bergerak dalam advokasi non litigasi, misalnya pada wilayah isu penegakan Syariah Islam, isu stigmatisasi terorisme, isu Anti Amerika, isu penistaan agama, pemberantasan tempat-tempat maksiat, pemberdayaan umat Islam, isu pembubaran Ahmadiyah, RUU Pornografi dan sebagainya. A. TPM dan Korban Penculikan Densus 88: Melacak Pelanggaran HAM Pasca terjadinya ledakan Bom Bali I, Bom Bali II, dan ledakan Bom di depan Kedubes Australia, aksi penangkapan dan penculikan terhadap para aktivis Islam marak dilakukan. Aksi penangkapan dan penculikan semakin terlegitimasi pasca munculnya 78
Gerakan Sosial Islam Radikal
UU Terorisme tahun 2003. Dengan dalih memberantas terorisme aparat kepolisian semakin gencar melakukan kegiatan intelejen, intimidasi, penangkapan paksa, penculikan, penahanan, penyiksaan terhadap para aktivis Islam yang dituduh terkait jaringan teroris. Datasemen 88 sebagai satuan khusus Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang memiliki tugas khusus melakukan pemberantasan jaringan teroris di Indonesia diduga sering melakukan pelanggaran HAM terhadap aktivisIslam.1 Bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 diantaranya adalah dengan menggebrak pintu si tersangka, tanpa ada surat penangkapan dan penggeledahan, langsung mencokok si tersangka dalam keadaan masih tertidur lelap di kamar dan mendadak hilang bahkan anggota keluarganya tidak ada yang tahu dibawa kemana oleh densus 88.2 Kadangkala keluarga setelah beberapa hari juga tidak tahu dimana tersangka ditahan oleh densus 88 bahkan polisi pun tidak memberikan surat keterangan pemberitahuan kepada keluarga. Tragisnya kadangkala densus 88 saat mau menangkap aktivis islam yang
1 2
Muhammad Ikhlas Thamrin, Densus 88 Undercover, hlm. 74 Menurut Zainudin Paru, Direktur Pusat Advokasi dan HAM (PAHAM), ada beberapa alasan mengapa tindakan para aparat tersebut masuk sebagai tindakan penculikan dan berpotensi menghilangkan secara paksa seseorang (enforces disapperearance). Pertama, semua korban diciduk di tengah jalan. Kalau penangkapan, seharusnya polisi menunjukan surat tugas dan surat penangkapan. Kedua, semua aktivis Islam ditangkap dalam keadaan matanya ditutup pakai kain hitam. Ketiga, setelah ditangkap lalu dibawa ditempat rahasia dan disiksa. Lihat, Artawijaya “Ketika Penguasa Menebar Teror”. Dalam Sabili. Edisi Khusus Juli 2004: hal. 142. Jakarta.
79
Bersama Bergerak
dituduh teroris juga melakukan penembakan dengan senjata api. Kasus yang paling nyata dan sempat menyebar lewat media massa, yaitu saat penangkapan Abu Dujana yang ditembak kakinya lebih dahulu bahkan hal itu terjadi di depan mata anak kecilnya yang masih balita. Tentang cara densus 88 yang sering menembak kaki para tersangka teroris, TPM memiliki bahasa tersendiri untuk menyebut tindakan tersebut, yaitu “sikile dibolongi” atau kakinya dilubangi.3 Selain itu sebenarnya ada banyak kasus penangkapan dan penculikan Densus 88 terhadap aktivis Islam di Solo pasca terjadinya Pengeboman di depan Kedubes Australia. Contoh saja kasus penculikan dan penyiksaan yang menimpa Ustad Syaifudin Umar Alias Abu Fida’. Kasus tersebut sempat membuat marah para aktvivis Islam Solo karena beliau ditangkap tanpa prosedur hukum serta mendapatkan penyiksaan fisik di sekujur tubuhnya. TPM yang dikawal oleh Mahendrata pada waktu itu sempat menggugat Mabes Polri atas tindakan aparat polisi yang tidak mengindahkan kaidah hukum dan HAM serta terkesan tidak manusiawi. Tidak hanya TPM yang mencoba mengecam dan menggugat kasus penculikan dan penyiksaan Abu Nida’, namun kecaman juga datang dari Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Surabaya dan Anggota Dewan DPRD Jawa Timur dari Fraksi Gabungan yang diwakili oleh Tamat Anshori. Selain itu, Abu Fida’ juga mendapat bantuan pembelaan
3
Wawancara Syaifuddin, November 2008
80
Gerakan Sosial Islam Radikal
Tabel 1. Data Korban dan Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM Polisi yang ditangani TPM No
Nama Korban
Terkait Kasus
Lokasi
1
Abu Dujana
Tuduhan Terorisme
Jawa Tengah
2
Abu Fida’
Tuduhan Terorisme
Solo
3
Lutfi Haidaroh dan temannya (santri pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo)
Tuduhan Terorisme
Solo
4
Sonhadi, Ismael, dan Candra (ketiganya Tuduhan aktivis Majelis Terorisme Mujahidin Indonesia/MMI)
5
6
Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Imron
Tuduhan Terorisme
Ustad Abu Bakar Tuduhan Ba’syir Terorisme
Suraba ya
Jawa Timur, Banten, dan Cilacap
Solo
Bentuk Pelanggaran HAM Ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan, penangkapan paksa yang disertai unsur kekerasan seperti perusakan, penggertakan, penggebrakan pintu , penggeledahan paksa, ditembak kakinya tanpa terlebih dahulu diberi tembakan peringatan, ditahan tanpa didampingi pengacara, tidak diberitahu tempat penahanannya, penyiksaan selama ditahan Penangkapan paksa tanpa ada surat perintah, penculikan, penyiksaan fisik dan psikologis,tidak diberitahu oleh polisi keberadaannya Ditangkap secara paksa, diculik, dan disiksa, tidak boleh dijenguk pengacara selama 2x24 Jam Diculik atau ditangkap paksa tanpa ada surat resmi penangkapan, keluarganya tidak diberitahu keberadaanya, disiksa selama diculik, tidak boleh didampingi pengacara selama 2x24 jam selama ditahan Ditangkap paksa tanpa ada surat penangkapan, disiksa secara fisik dan mental, tangan dan kaki diborgol, mata ditutup pakai kain hitam, dijerat UU Terorisme padahal UU tersebut muncul setahun sesudahnya padahal asas hukum negara kita tidak menganut asas berlaku surut Ditangkap paksa saat dia masih opname di rumah sakit, diinterogasi dengan paksaan, dua tahun ditahan ternyata dia tidak terbukti melakukan kesalahan, dicemarkan nama baiknya, diintimidasi gerak aktivitasnya
81
Bersama Bergerak
hukum dari Divisi Hukum DPW PBB (Partai Persatuan Pembangunan) Jawa Timur yang dikawal Achmad Yulianto c.s. , kebetulan kakak Abu Fida’ adalah adik sepupu Achmad Yulianto. Mereka membela Abu Nida’ tidak hanya dikarenakan si korban adalah warga Jawa Timur, melainkan ada indikasi kuat terjadinya bentuk-bentuk kekerasan negara atau bisa dikategorikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri dan BIN.4 Kronologi kasus dan bentuk penyiksaan yang menimpa Abu Fida’ seperti yang dilansir oleh Tempo Interaktif (20/8/04) sebagai berikut : Ustad Muhammad Saifuddin Umar atau Ustad Syafuddin alias Abu Fida’ ditangkap berdasarkan pengakuan dari Adung atau Sunarto bin Kartodiharjo, tersangka kasus Bom Bali yang ditangkap di Sukoharjo Juli 2004. Lalu, Syaifudin alias Abu Fida ditemukan pada tanggal 11 Agustus pukul 23.40 WIB di halaman IRD RSU dr. Soetomo dalam keadaan linglung, tidak berpakaian dan hanya mengenakan celana panjang yang lusuh dan kotor. Sekujur tubuh Syaifudin memar, dipenuhi irisan luka yang masih basah dan kering serta beberapa goresan seperti bekas cambukan. Juga ditemukan beberapa luka bakar berdiameter 0.5 cm lazimnya akibat sundutan rokok. Dan yang lebih memprihatinkan, menurut bunyi surat itu adalah bahwa kuku ibu jari kaki kiri terlepas semuanya, sedangkan kuku jari kelingking tangan kanan terkelupas setengahnya. Surat pemberitahuan mengenai penangkapan Syaifudin, menurut surat itu,
4
Tempo Interaktif, 19 Agustus 2004.
82
Gerakan Sosial Islam Radikal
baru diterima dua hari kemudian, tepatnya Jumat (13/8) pukul 13.00 WIB. Surat pemberitahuan itu dikirim lewat pos dari Badan Reserse Kriminal Datasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri dengan nomor Pol: B/358/VIII/2004/Densus88AT. Pasca penculikan tersebut Abu Fida’ mengalami depresi berat atau setengah gila.
TPM Pusat ( Mahendradata cs) berkoordinasi dengan TPM Jawa Timur yang dipimpin oleh Fahmi M. Bachmid menggugat Mabes Polri atas kasus tersebut. TPM meminta Mabes Polri mengusut tuntas kasus tersebut. Gugatan dan permintaan pengusutan dari TPM ini direspon oleh pihak Mabes Polri dengan mengirimkan Tim Ahli Divisi Profesi dan Pengamanan yang dipimpin oleh Kombes Triadi Koni ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur untuk bergabung dengan Tim Propam Polda Jatim. Di lain pihak, Komandan Satuan Tugas Khusus Anti Teror Bom Brigjen Polisi Gorris Mere meminta pihak keluarga korban untuk menghentikan penggugatan dan pengusutan kasus ini. Adanya permintaan penghentian pengusutan kasus ini dari Komandan Satuan Tugas Khusus Anti Teror Bom tersebut, pihak keluarga dan TPM merasa ada intimidasi negara terhadap korban. Kasus tersebut memang dilanjutkan pengusutannya, Tim Propam Mabes Polri dan Tim Propam Polda Jatim meminta keterangan sedetail-detailnya dari pihak keluarga dan polisi. Namun keterangan yang didapat dari kedua belah pihak tersebut hanya menjadi laporan formal saja karena tidak ada penindakan dan penyidikan selanjutnya. 83
Bersama Bergerak
Lalu korban penculikan yang lain adalah Lutfi Haidaroh (25) dan seorang temannya yang tidak diketahui identitasnya. Tim Densus 88 menangkap kedua aktivis Islam dari pondok pesantren pada senin (26/7/08). Lokasi penangkapan hanya beberapa meter dari Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo tepatnya di rumah kontrakan Hawin Murtadho, Kampung Cemani RT 04/RW 15, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, JawaTengah. Kedua korban penculikan Tim Anti Teror Mabes Polri tersebut disinyalir adalah santri dari Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo pimpinan Ustadz Abu Bakar Ba’syir yang sering disebut-sebut sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) atau organisasi teroris versi Amerika dan sekutunya. Nasib kedua santri tersebut juga mengalami kondisi serupa dengan Abu Fida’. Mereka ditangkap dan diculik dengan tiba-tiba tanpa ada surat penangkapan sebelumnya. Cara penangkapannya tergolong anarkhis karena santri tersebut tahu-tahu ditodong pistol dan langsung dipaksa masuk ke mobil oleh beberapa pria (sekitar 6-7 personil) berbadan tegap, rambut gondrong, berpakain preman dan bersenjata api yang mengaku dari kepolisian. Menurut saksi mata yakni Hawin Murtadho atau kakak kandung dari Lutfi Haidaroh, bahwasanya penculikan tersebut begitu cepat tapi ada sedikit keributan. Tandas Hawin bahwasanya penangkapan adik dan temannya tersebut telah melanggar kaidah hukum dan HAM karena tidak ada surat resmi
84
Gerakan Sosial Islam Radikal
pemberitahuan dan surat penangkapan dari kepolisian sebelumnya5. TPM dan organ baru yang didirikan oleh Khalid Syaifullah, Front Perlawanan Penculikan (FPP) mengecam keras tindakan penculikan tersebut. Kedua organisasi bantuan hukum yang selama ini mengadvokasi korban-korban penculikan yang menimpa aktivis muslim tersebut menyatakan bahwa kasus penangkapan kedua santri itu sangat menyalahi prosedur hukum yang berlaku karena tanpa ada surat penangkapan sebelumnya. Lebih lanjut, Syaifuddin yang pada waktu itu menjadi juru bicara FPP dan TPM menyatakan bahwa itu adalah penculikan bukan penangkapan karena kalau penangkapan harus ada surat resmi penangkapan sebelumnya.6 FPP dan TPM mencoba menangani masalah ini, namun mengalami kesulitan karena harus berhadapan dengan sistem informasi di birokrasi kepolisian yang sangat kaku dan tertutup. Sehingga keterangan tentang keberadaan dan kondisi korban penculikan tidak bisa diketahui. Selain itu, Hawin Murtadho kakak Lutfi Haidaroh (si korban penculikan) datang juga ke LBH Jakarta untuk meminta perlindungan hukum sekaligus meminta kepada LBH Jakarta untuk bisa menyelidiki tentang siapa yang menangkap si Lutfi dan mencari tahu keberadaan dan kondisi terakhir si Lutfi. Hasilnya pun sama saja karena LBH Jakarta juga harus dihadapkan pada birokrasi kepolisian yang sangat tertutup dan rahasia.7 5 6 7
Tempo Interaktif, 26 Juli 2004 Ibid, Wawancara Syaifuddin, November 2008
85
Bersama Bergerak
Masih terkait dengan tuduhan terorisme, TPM juga menerima laporan lagi tentang kasus penculikan aktivis Islam yang menimpa pada tiga orang anggota Majelis Mujahidin Jawa Timur, yang masing-masing bernama Sonhadi, Ismael, dan Candra. Kasus penculikan ketiga aktivis Majelis Mujahidin terjadi pada 12/8/08 di kawasan Ngagel, Surabaya antara pukul 09.30 – 10.00 WIB. Kronologis kasus penculikan Densus 88 terhadap Sonhadi seperti yang dilansir oleh Tempo Interaktif (19/08/04) sebagai berikut: Sonhadi yang sehari-hari penjual susu kedelai dari rumah ke rumah, hari itu mengantarkan dagangannya ke sejumlah pelanggan. Menurut Zulkarnain ( Ketua Lajnah Daerah MMI Surabaya), ia sempat mengantarkan susu ke rumahnya di Jalan Tanjung Pura 3 Surabaya, kemudian juga sempat ke Tropodo, dekat Bandara Juanda dan ke Nagel. Setelah mengantarkan susu kedelai di seorang langganannya di Ngagel inilah ia diperkirakan hilang. Menurut pengakuan istri Sonhadi kepada Zulkarnain, hari itu, seperti lazimnya, menjelang saat zuhur suaminya biasanya telah kembali ke rumahnya di Simolawang. Sang istri yang penasaran terhadap keberadaan suami karena hingga usai zuhur belum pulang, tiba-tiba mendapatkan telepon. Setelah diangkat, telepon itu ternyata berasal dari Sonhadi. Dari ujung telepon, Sonhadi memberi kabar keselamatan. Selanjutnya, ia berpesan kepada istrinya bahwa ia belum bisa pulang karena sedang ada bisnis. Usai berkata bahwa Sonhadi sedang menjalankan urusan bisnis, telepon mendadak ditutup.
Pengalaman TPM di atas menunjukan kemampuan melakukan advokasi litigasi. Dibanding misalnya periode pembelaan dalam kasus Komando Jihad 86
Gerakan Sosial Islam Radikal
dan Tanjung Priok, periode advokasi litigasi telah dicapai gerakan Islam saat ini dengan keperpihakan yang nyata oleh para aktivisnya terhadap kepentingan islamisme di Indonesia. TPM merupakan kumpulan pengacara yang mulai menggunakan Islam sebagai ideologi dan kepentingan mereka, meskipun tetap menggunakan hukum-hukum nasional sebagai medan pertarungan mereka. B. Gerakan Advokasi Gerakan Islam di Solo 1. Demontrasi Pada bulan-bulan berikutnya terjadi lagi banyak penculikan para aktivis Islam di daerah Surakarta yang mencapai 24 orang.8 Penculikan, penyiksaan, dan penghilangan orang oleh Densus 88 ini akhirnya menuai protes dan demontrasi dari MMI dan FPP yang menuntut dibubarkannya Tim Anti Teror Bom tersebut karena tindakan Densus 88 bukan seperti penegak hukum tapi justru menyebar teror bagi masyarakat. Demontrasi ratusan massa MMI dan FPP diadakan di depan Mapolwiltabes Surakarta. Tuntutan mereka adalah pembubaran Densus 88 dan menuntut para pelaku penculikan agar dikenai pelanggaran HAM berat.9 Pada tahun berikutnya digelar juga demontarsi besar-besaran pengusutan kasus penculikan dan pembubaran Densus 88. Demontrasi kali ini diikuti oleh gabungan elemenelemen Islam di Surakarta. Mereka menamakan diri
8 9
Suara Merdeka, 5 Juli 2005. Tempo Interaktif, 20 Agustus 2004
87
Bersama Bergerak
Umat Islam Surakarta (UIS) yang didalamnya tidak hanya para aktivis dari berbagai organisasi Islam Surakarta tapi juga diikuti oleh para pengacara yang tergabung dalam TPM. Rencananya aksi demontrasi tersebut akan digelar di depan Mapolwiltabes Surakarta, namun kali ini pengamanan dari pihak kepolisian semakin ketat sehingga massa tidak bisa merangsek sampai depan kantor Mapolwiltabes Surakarta.10 Usaha-usaha demontrasi dilakukan oleh para organisasi Islam dan TPM sebagai salah satu bentuk advokasi non formal atau extra judikatif. Sebenarnya telah banyak aksi protes dan demontrasi yang dilakukan oleh ormas Islam dan TPM di Solo sebagai bentuk advokasi dan perlawanan terhadap aksi-aksi penculikan dan penyiksaan para aktivis Islam yang ditangkap dan ditahan oleh polisi dan Densus 88. Namun, demontrasi sebagai salah satu bentuk advokasi yang dilakukan oleh ormas Islam beserta TPM ini selalu mengalami kegagalan dalam mengartikulasikan aspirasi dan gugatannya kepada pihak kepolisian. Misalnya saja, Apel Akbar Solidaritas Umat Islam Surakarta bagi Muslim Kupang, Ambon, dan Poso, demontrasi pembebasan Ustad Abu Bakar Ba’syir, demontrasi penculikan para aktivis Islam (kasus penculikan dan penyiksaan Abu Fida’ dan 24 aktivis Islam Solo lainnya), serta yang terakhir aksi demontrasi pembubaran Ahmadiyah.
10
Suara Merdeka, 5 Juli 2005
88
Gerakan Sosial Islam Radikal
2. Perang Opini Melalui Media Massa Kegagalan aksi-aksi umat Islam dalam mengekspresikan pendapatnya ini merupakan salah satu masalah umat Islam. Media massa kadangkala malah melihat aksi-aksi demontrasi umat Islam sebagai bentuk radikalisme Islam yang berpotensi pada tindak kekerasan. Demontrasi umat Islam kadangkala dipublikasikan media massa nampak seperti laskar atau paramiliter yang hendak mau berperang karena pakaian para pendemo mirip dengan para gerilyawan perang atau Mujahidin di Afganistan dan Irak. Dari style pakaian tersebut media massa mudahmudah saja menyimpulkan bahwa demontrasi aktivis Islam cenderung anarkhis dan tidak simpatik. Apalagi jika demontrasi para aktivis Islam berujung pada bentrok dengan aparat kepolisian atau pihak lain, semua media massa pasti akan memblow up habis-habisan bahwasanya para aktivis Islam adalah gerakan radikal yang pro-kekerasan dan anti demokrasi. Pencitraan opini publik yang buruk dari media massa terhadap demontrasi-demontrasi ormas Islam ini bisa dijadikan salah satu jawaban mengapa pemerintah dan masyarakat luas kurang respon dan memberikan dukungan politik yang luas terhadap aktivis-aktivis Islam yang selama ini dicap sebagai gerakan radikal atau jaringan teroris. Selain memang tak bisa dipungkiri bahwa kadangkala beberapa gerakan Islam radikal memilih aksi-aksi yang mengandung kekerasan. Syaifuddin sebagai juru bicara TPM Jateng menuturkan bahwasanya sudah saatnya ormas-ormas Islam mulai membangung networking dengan media massa agar tidak terjadi pemberitaan yang tidak 89
Bersama Bergerak
seimbang tentang aktivis Islam. Bahkan Syaifuddin menyatakan bahwa penciptaan opini publik melalui media massa menjadi salah satu kunci keberhasilan advokasi.11 Dia menambahkan bahwasanya media massa menjadi salah satu jaringan kerja yang sangat strategis bagi upaya-upaya advokasi kasus-kasus yang menimpa aktivis Islam. Oleh sebab itu, berteman dengan dunia pers adalah bagian mutlak aktivis Islam ke depan. 3. Membangun Jaringan Kerja dengan Lembaga Lain Kasus penculikan para aktivis Islam ini sempat dilaporkan oleh FPP dan TPM ke Komnas HAM tapi hasilnya tetap nihil. Selain itu, TPM dan FPP juga pernah mangajak YLBHI, LBH Jakarta, PAHAM dan lembaga-lembaga pejuang HAM yang lain. Namun, juga tidak mendapatkan hasil yang optimal. Syaifuddin menilai bahwa lembaga-lembaga hukum dan pembela HAM, semisal Komnas HAM, Kontras, YLBHI, PUSHAM dan lainnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun, kewenangan mereka hanya menyelidiki dan rekomendasi tapi tidak sampai bisa ke arah tindakan penyidikan seperti jaksa atau polisi. Di samping itu, Syaifuddin juga menilai pesimis terhadap lembaga-lembaga hukum dan HAM dalam membela hak-hak umat Islam karena mereka dianggap telah menjadi antek-antek asing (baca: didanai oleh asing) sehingga suara mereka kurang keras dan memihak jika ada pelanggaran HAM yang
11
Wawancara dengan Syaifudin November 2009
90
Gerakan Sosial Islam Radikal
menimpa umat Islam. Sebaliknya jika ada kasus pelanggaran HAM yang menimpa orang non-muslim dan orang kiri mereka sangat lantang dan kritis.12 4. Penyebaran Pamflet dan Pemasangan Spanduk Salah satu aksi massa besar untuk menggugat pembantaian umat Islam di Kupang, Ambon, dan Poso pernah dilakukan oleh FKAM13 di Kota Solo pada 19 Januari 2000.14 Banyak yang menamakan aksi massa tersebut sebagai Rapat Akbar atau Apel Siaga I Umat Islam Surakarta menentang dan menggugat pembantaian muslim di Ambon dan Poso. M. Kadir pada saat itu menjadi organizer Apel Siaga tersebut. Apel Siaga Umat Islam tersebut diadakan di lapangan Kota Barat, Solo. Keadaan mencekam sempat terjadi di Kota Solo saat Apel Siaga Umat Islam Surakarta itu berlangsung. Semua gereja-gereja dijaga oleh polisi. Massa menuntut dan menggugat pemerintah agar segera menyelesaikan dan mengusut kasus pembantaian muslim di Ambon. Tidak hanya itu massa juga meminta kepada pemerintah agar hukum benar-benar ditegakan bagi pelaku pembantaian muslim di Ambon. 12 13
14
Wawancara, Syaifudin November 2008 Muhamad Kadir beserta teman-temanya sekitar tahun 1998 mendirikan Forum Komunikasi Angkatan Muda Masjid (FKAM) di Surakarta, Jawa Tengah. Organisasi massa Islam berbasis masjid ini didirikan sebagai salah satu jawaban untuk menjadikan kaderkader muda masjid agar memiliki keberanian dan kepercayadirian memimpin sebuah organisasi atau kekuasaan. FKAM sebagai organisasi pemuda Islam berbasis masjid memiliki amanah untuk menjadi pionir dalam percepatan pencerdasan umat Kompas, 20 Januari 2008
91
Bersama Bergerak
Apel Siaga Umat Islam tersebut semakin menggelora ketika lagu nasyid perjuangan yang berjudul “Panggilan Jihad” dibunyikan di tengah-tengah kerumunan massa. Muh. Kadir menuturkan bahwa lagu tersebut sebenarnya dilarang keras oleh pemerintah pada saat itu karena sangat syarat dengan gerakan Islam radikal, namun Kadir bersama kawan-kawan seperjuangannya justru sengaja memutar lagu jihad tersebut untuk membangkitkan ghiroh (baca: semangat perlawanan) para pemuda Islam agar berani membela umat islam yang dibantai di Ambon. Salah satu yang menarik disini, Kadir dan temanteman membuat dan menyebar pamflet sekitar 50.000 lembar yang isinya untuk mengutuk dan menggugat kasus pembantaian muslim di Ambon. Penyebaran pamflet ini merupakan bentuk advokasi untuk meraih dukungan publik yang lebih luas. Pamflet ini disebarkan tidak hanya pada hari H saat aksi itu dilakukan tapi sebelum dan sesudahnya. M. Kadir menggunakan pamflet untuk kampanye advokasi pembantaian muslim Ambon sebagai salah satu aksi untuk menangkal opini publik yang menyudutkan Islam. Selain itu, ada juga gerakan Islam yang menggunakan spanduk untuk mengadvokasi isu-isu tertentu misalnya: isu pembubaran Ahmadiyah, Isu Penegakan Syariah Islam, isu anti pornografi, isu anti kemaksiatan. Gerakan Islam tersebut adalah Laskar Umat Islam (LUIS). 15 Spanduk-spanduk tersebut 15
LUIS, berdiri pada awal yahun 2000-an. Didirikan oleh Ustad Choirul dan kawan-kawan. Organisasi gabungan dari berbagai ormas Islam ini mencoba menyatukan aspirasi dari berbagai elemen Islam di
92
Gerakan Sosial Islam Radikal
dipasang di tempat-tempat umum yang sering dilalui oleh masyarakat luas, misalnya: pinggir jalan, depan masjid, dan sebagainya. yang mengkampanyekan penegakan Syariah Islam, pembubaran Ahmadiyah, pemberantasan tempat-tempat kemaksiatan. 5. Menggelar Aksi Sweeping Cara-cara advokasi sebenarnya tidak hanya dengan cara-cara yang lunak tapi juga radikal sebagai bentuk show force dan pressure terhadap pihak yang digugat. FKAM dan LUIS pernah melakukan aksi sweeping warga Amerika sebagai bentuk perlawanan kepada kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang menyerang Afganistan dan Irak. Akibat tindakan invasi negara adiadaya itu ke negeri-negeri Islam, LUIS dan FKAM beserta berbagai ormas Islam di Surakarta melakukan aksi sweeping I dan II warga Amerika di Surakarta sebagai bentuk protes dan perlawanan kepada Amerika.
Surakarta untuk bersama-sama menyuarakan penegakan Syariah Islam di Indonesia. Struktur LUIS memang berasal dari perwakilan berbagai ormas Islam di Solo. Disitu ada perwakilan Muhammadiyah, Persis, ormas berbasis masjid, FPI, laskar-laskar pemuda Islam, laskar pesantren. Para perwakilan ormas Islam Surakarta tersebut, sepakat membentuk LUIS biar bisa lebih mudah berkoordinasi jika umat Islam sedang mengalami masalah. Visi ke depan LUIS adalah Tegaknya Syariah Islam di Indonesia. Misinya adalah merapatkan kembali gerakan atau ormas Islam dalam satu wadah organisasi tanpa mereduksi organisasi asal sebelumnya. LUIS memang cukup keras dalam melakukan aksi-aksi di lapangan sebagai salah satu bentuk upaya penegakan Syariah Islam di level akar rumput, yaitu melakukan pemberantasan tempat-tempat maksiat di daerah Surakarta, melawan gerakan penistaan agama dan sekitarnya.
93
Bersama Bergerak
Selanjutnya mereka bergerak bersama untuk menentang kedatangan George Bush ke Indonesia tahun 2003 yang melibatkan 5000-an massa.16 Pada saat aksi sweeping warga Amerika Serikat ini memang sempat mendapat reaksi keras dari Gedung Putih yang membuat George W. Bush mengeluarkan travel warning bagi warganya yang ingin pergi ke Indonesia. 6. Strategi Lobbying Akibat adanya aksi sweeping warga Amerika tersebut, M. Kadir sebagai pimpinan FKAM ditangkap polisi karena dituduh sebagai aktor organiser aksi dibalik itu. Kadir melakukan pembelaan saat mau disuruh membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi. Dia mengatakan kepada polisi, bahwasanya dia sebagai tersangka, korban, atau saksi atas penangkapan dirinya. Kadir mengatakan kepada polisi untuk memeriksa dirinya harus kontak pengacaranya terlebih dulu. Proses hukum tetap dilanjutkan oleh polisi, namun di tengah jalan proses hukum tersebut Kadir dibebaskan. Selidik punya selidik ternyata Kadir me-lobby Ibu Sumilah yang dikenalnya saat massa FKAM ikut mengamankan persidangan kasus penghinaan Nabi Muhammad yang dilakukan oleh warga Belanda di Kantor Kejaksaan Tinggi Surakarta. Ibu Sumilah yang pada waktu itu menjadi jaksa merasa berhutang budi kepada Kadir karena telah membantu mengamankan persidangan tersebut.17
16 17
Tempo Interaktif, 23 Oktober 2003 Wawancara, M. Kadir (Ketua FKAM), 5 November 2008
94
Gerakan Sosial Islam Radikal
Para anggota FKAM lainnya sebenarnya juga banyak yang kena tangkap oleh polisi tekait aksi-aksi demontrasi dan sweeping warga asing tersebut tersebut. Para anggota FKAM memang sering berurusan dengan polisi, namun hal itu sudah menjadi hal yang biasa buat mereka. Kalaupun ditangkap pasti akan ada pembelaan dari ketua mereka yang akan mendatangi kantor polisi untuk bernegosiasi dan lobbying dengan komandan polisi pembebasan diri mereka. Bentukbentuk negosiasi non formal semacam ini biasa dilakukan oleh para ketua ormas Islam untuk membela para anak buahnya. 7. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid FKAM sebagai organisasi pemuda Islam berbasis masjid memiliki amanah untuk menjadi pionir dalam percepatan pencerdasan umat. Melalui organisasi inilah sebenarnya anak-anak muda akan mendapatkan ilmu di luar formal. Kalau di sekolah-sekolah formal pendidikan hanya bersifat text book tapi melalui masjid sebagai miniature organisasi para pemuda akan bisa belajar lebih banyak tentang realita kehidupan bermasyarakat. Dari organisasi para pemuda bisa belajar tentang ilmu-ilmu yang lebih praktis guna menjawab permasalahan kehidupan, semisal ilmu kepemimpinan, kewirausahaan, dan tentu saja agama. Di samping itu, untuk mengenyam ilmu kehidupan melalui organisasi masjid tentunya tidak sesulit mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah formal karena gratis dan terbuka bagi siapa saja dari golongan kelas apapun. Percepatan kecerdasan umat tidak bisa ditempuh dengan hanya melalui pendidikan formal, 95
Bersama Bergerak
tapi harus ada media pendidikan non formal yang materinya fokus pada pemecahan masalah-masalah umat.18 Percepatan kecerdasan umat menjadi bagian penting bagi anggota FKAM sebelum mengambil langkah untuk menjadi pemimpin di masa datang. Dengan melakukan pengorganisasian kaum muda masjid ini diharapkan umat Islam nantinya jangan sampai diperalat, ditipu, dan diadu domba oleh musuh-musuh Islam. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini umat Islam hanya dijadikan alat legitimasi para elit kekuasaan untuk meraih dukungan politik guna mempertahankan status quo, namun setelah itu umat Islam dicampakan, dimarginalkan, dan tidak diberi ruang untuk mengekspresikan aspirasinya. Pendapat ini dipertegas oleh Emha Ainun Najib, bahwa umat Islam mudah sekali dipolitisasi, dimobilisasi oleh elit-elit politik demi kepentingan serta ambisi kekuasaan mereka.19 Itulah alasan pemikiran M. Kadir menjadikan masjid sebagai basis gerakan advokasi pemberdayaan umat. Demikianlah contoh bagaimana gerakan advokasi litigasi dan non litigasi berlangsung di Solo, sebagai suatu bentuk mobilisasi sumber daya gerakan Islam di Solo. Mereka diantaranya telah menggunakan berbagai instrumen dan jargon HAM sebagai bahan gerakan mereka.
18 19
Wawancara, M. Kadir ( Ketua FKAM Surakarta ), 5 November 2008 Ahma Suhami. “Eksploitasi Simbol Islam untuk Kekuasaan”. Lihat Sabili Edisi Khusus Juli 2004 : 150-155. Jakarta
96
Gerakan Sosial Islam Radikal
Namun demikian sebagaimana dapat dilihat di atas kemampuan mobilisasi masih dihadapkan pada persoalan tidak solidnya mereka dalam menghadapi aparat negara. Ketika menghadapi kekuatan-kekuatan sipil non Islam di luar negara, mereka akan begitu padu. Tetapi jika yang dihadapi adalah represi aparat negara maka mereka tidak dapat mencapai sukses yang berarti. Salah satu penyebabnya adalah di antara mereka sendiri tidak ada konsensus formal tentang: pertama, penggunaan instrumen HAM sebagai alat advokasi dan alat perjuangan mereka. Kedua, tidak ada kesepakatan bersama tentang pentingnya penggunaan cara kekerasan dalam menekan pihak lawan. Kekerasan, aksi sweeping selalu menumbuhkan “serangan” balik terhadap para aktivis itu baik melalui kelompok lain di dalam gerakan Islam radikal, maupun oleh stigmatisasi media. Inilah problem mendasar gerakan Islam Radikal terutama di Solo.[]
97
Bersama Bergerak
98
Bab 5
Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi
D
engan menggunakan definisi tentang gerakan Is lam radikal yang boleh jadi ditolak oleh kalangan aktivis Islam yang kami wawancarai, kami mencoba untuk keluar dari definisi tersebut dan langsung melihat kenyataan di lapangan berupa apa yang mereka alami serta respon, wacana, dan gerakan yang mereka lakukan. Dengan menggunakan tiga kerangka teori gerakan sosial tentang Struktur Kesempatan Politik, Mobilisasi dan Framming, kemudian membingkainya dengan perspektif hak asasi manusia, terutama konsep HAM yang dikemukakan oleh Mashood A. Baderin tentang kesesuaian perinsipprinsip syariat Islam dengan HAM, penelitian ini berupaya untuk menolak anggapan umum bahwa gerakan Islam radikal menolak dan anti terhadap hak asasi manusia. Tentu saja, memang ada penolakan terhadap hak asasi manusia. Namun, penolakan itu pada dasarnya sejauh berkaitan dengan dua hal: pertama, wacana hak 99
Bersama Bergerak
asasi manusia dianggap sebagai buah dari pemikiran sekuler yang tidak wajib ditaati oleh ummat Islam. Namun, sejauh hak asasi manusia bersesuaian dan dianggap dapat bermanfaat bagi tujuan gerakan Islam radikal, maka menurut mereka instrumeninstrumen hak asasi manusia dapat saja digunakan. Kedua, penolakan itu juga dikaitkan dengan Amerika Serikat yang mendaku sebagai ‘rejim’ hak asasi manusia, tetapi menjadi pihak yang, menurut gerakan Islam radikal tersebut, seringkali melanggar hak asasi manusia, utamanya hak-hak ummat Islam. Namun, meski demikian juga terdapat pandangan di kalangan gerakan Islam radikal bahwa instrumen-instrumen hak asasi manusia dapat menjadi alat untuk mengadvokasi kelompok mereka sendiri dari tindakan represi aparatus negara. Secara khusus, kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Konteks kelahiran dan berkembangnya gerakan Islam radikal, setidaknya didorong oleh tiga hal: (a) Peminggiran dan represi yang dilakukan oleh negara, baik pada masa Orde Baru maupun pada masa Orde Reformasi, menjadi semacam ‘bara’ yang mengukuhkan keyakinan dan perilaku radikal tersebut. Gerakan Islam radikal ini seringkali menjadikan memori ketertindasan, represi dan peminggiran tersebut sebagai cara untuk mengartikulasikan keberadaannya dan karenanya terus mengimajinasikan tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang berlandaskan keyakinan mereka; (b) Keyakinan yang kuat
100
Penutup
bahwa Islam merupakan sebuah nilai yang kaffah, bukan hanya nilai-nilai moral tetapi juga sekaligus mengatur sistem politik, sosial dan ekonomi. Bukan hanya agama tetapi juga sekaligus negara (al-din wal daulah) yang dianggap sanggup mengatasi krisis-krisis yang menurut gerakan tersebut diakibatkan oleh moda berfikir dan bertindak yang sekularistik; (c) Bagaimanapun, runtuhnya Orde Baru dan munculnya era keterbukaan politik membuka bagi peluang para aktivis islamis itu untuk menemukan arena dan medan “jihadnya”, mengartikulasikan kepentingannya, serta menawarkan solusi struktural atas berbagai krisis yang dialami negara dan bangsa Indonesia. 2. Di dalam tubuh gerakan Islam radikal di Solo dan Yogyakarta, tidak ada persepsi yang tunggal dan monolitik atas hak asasi manusia. Persepsi tersebut cenderung dipengaruhi oleh posisi-posisi subyek yang beragam dalam tubuh komunitas gerakan Islam radikal tersebut. Jika dipetakan, terdapat tiga kelompok atau kubu yang masingmasing memiliki perpsepsinya sendiri atas hak asasi manusia. Tiga kelompok tersebut: (i) kelompok aktivis dalam gerakan Islam radikal memandang bahwa HAM adalah alat yang dapat dan perlu digunakan sebagai alat advokasi dan melindungi gerakan mereka serta untuk melawan musuh-musuh gerakan; (ii) kelompok teolog dalam gerakan Islam radikal menyatakan bahwa hak asasi manusia tidak boleh berada di atas syariat Islam. Alih-alih, HAM mestinya harus 101
Bersama Bergerak
disesuaikan dengan syariat Islam; (iii) kelompok intelektual dalam gerakan islamis memandang bahwa pada dasarnya nilai-nilai Islam tidak bertentangan dan malah bersesuaian dengan hak asasi manusia. Hanya ada dua poin yaitu yang ditolak dalam ajaran Islam yakni yang berkaitan dengan hak untuk berpindah agama serta hak untuk menikah beda agama. Dua hak ini dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sementara, dalam proses framming-nya, gerakan Islam radikal berupaya untuk meletakkan dan memperlakukan hak asasi manusia sebagai salah satu alat perjuangan. Hal ini, menurut para aktivis gerakan Islam radikal tertsebut, dapat dilakukan melalui dua hal: (i) memahami hak asasi manusia dalam rangka untuk memanfaatkannya sebagai alat advokasi dan strategi perjuangan; (ii) memakai hak asasi manusia sebagai suatu alat untuk mendorong tujuan sejati mereka, yaitu untuk menegakkan syariat Islam. Dari sudut pandang umum (universalitas) HAM di Indonesia, tentu saja pandangan islamis ini menyimpan kelemahan: pandangan-pandangan gerakan tersebut berwatak reduktif, parsial, dan distortif, karena hanya memakai instrumeninstrumen hak asasi manusia untuk kepentingan dan tujuan gerakan, sembari mengabaikan nilainilai dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Namun, hal ini bukan berarti bahwa gerakan Islam radikal tidak memahami nilainilai dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sikap ‘penerimaan terbatas’ itu tentu saja 102
Penutup
merupakan proses dialog yang setara dan simpatik untuk dapat menjadikan “nilai-nilai” hak asasi manusia sebagai bagian dari prinsip gerakan mereka. 3. Gerakan Islam ini tumbuh dengan corak yang begitu beragam, namun merasa diikat oleh ideologi Islam yang sama dan kadangkala membangun suatu jaringan dan aliansi, meskipun bersifat terbatas. Pada perkembangannya, gerakan Islam radikal ini juga mulai menggunakan pola-pola yang umum dipakai oleh gerakan sosial, seperti aksi-aksi demonstrasi, penggunaan media massa, pembangunan jaringan dan lobi, serta pemberdayaan masyarakat yang berbasis masjid. Namun, terdapat juga aktivitas ekstra-legal, seperti sweeping, yang dilakukan. Aktivitas-aktivitas ini tentu saja memiliki sejumlah kelemahan serius, di antaranya hanya berorientasi pada kepentingan kelompoknya saja, bukan untuk perjuangan demi keadilan dan kesetaraan yang lebih luas; kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip gerakan sosial untuk transformasi sosial dan kaidah-kaidah manajemen aksi; serta ketidakmampuannya untuk membangun jaringan yang lebih luas dengan sektor-sektor gerakan sosial yang lain menjadikan gerakan sosial Islam radikal tampak tidak kokoh. Meski demikian, terdapat pula dukungan dan sokongan organisasiorganisasi pendukung, sperti TPM yang tidak hanya melakukan aksi legal, seperti advokasi hukum, namun juga aksi paralegal. Namun, 103
Bersama Bergerak
secara umum, mobilisasi gerakan Islam masih bersifat sporadis dan seakan-akan lebih banyak hanya memberikan reaksi atas tekanan publik yang menimpa mereka. Gerakan Islam radikal lebih banyak berkosentrasi pada pembinaan individu seperti pelajaran tentang akhlak, aqidah dan panduan hidup sehari-hari, dibanding mendiskusikan masalah-masalah publik yang luas. Dengan ketiga kesimpulan di atas, maka terdapat beberapa rekomendasi yang kami ajukan: Kepada para aktivis Islam: 1. Apa yang sudah dilakukan oleh Tim Pembela Muslim dan sejumlah organisai gerakan Islam, perlu didukung menjadi suatu gerakan advokasi yang lebih luas dan sistematis, yang tidak saja menyangkut kepentingan moral dan aqidah Islam, melainkan juga kepentingan sipil, sosial dan ekonomi para jemaah pengajian di masjid, anggota laskar atau orang tua wali santri. Ini akan memperluas skala gerakan Islam: dari yang hanya memperjuangkan aspek aqidah dan moral, menjadi lebih populer dan diakui oleh tatanan hukum-HAM yang berlaku di negara ini. Hal ini juga akan mengurangi resiko dan akibat buruk dari kekerasan yang dilakukan aparat negara. Program-program training advokasi menjadi sangat urgen untuk dikembangkan di kalangan pesantren, takmir masjid dan gerakan Islam.
104
Penutup
2. Dalam rangka advokasi di atas, para aktivis Islam harus memahami berbagai metode gerakan sosial, membangun jaringan dan mobilisasi massa yang sesuai dengan kaidah HAM, yang juga cocok dengan pemahaman aqidah dan syariah mereka. Kepada human rights defender dan mainstream organisasi hak asasi manusia: 3. Para aktivis hak asasi manusia semestinya tidak menganggap gerakan Islam radikal sebagai kelompok yang tidak perlu mendapatkan pelatihan hak asasi manusia, sebab kelompok ini anti-HAM. Asumsi ini, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini adalah asumsi yang sepenuhnya keliru. Pada kenyataannya ‘gerakan Islam radikal tidaklah sepenuhnya anti HAM’, meskipun penerimaan mereka pada hak asasi manusia bersifat terbatas. Namun, penerimaan terbatas itu pada dasarnya telah membuka peluang atau celah yang bisa dimanfaatkan untuk memulai proses dialog yang setara. 4. Selayaknya bagi para aktivis dan pegiat hak asasi manusia untuk memanfaatkan secara optimal peluang dialog dan kerjasama advokasi HAM dengan kalangan gerakan Islam radikal dengan mempertimbangkan beberapa poin kesimpulan, utamanya tentang beragamnya persepsi dari kubu dan kelompok gerakan Islam radikal. Sehingga perlu dibuat sebuah program pelatihan dengan komunitas gerakan Islam untuk
105
Bersama Bergerak
mentransformasikan persepsi mereka yang cenderung kepada kepentingan umat Islam saja, kepada kepentingan yang lebih luas di negara ini. 5. Perlu mengenalkan gerakan Islam radikal dengan wacana-wacana gerakan sosial, utamanya yang berbasis hak asasi manusia dan pemberdayaan masyarakat, sehingga gerakan Islam radikal dapat memperluas gerakannya ke arah gerakan sosial yang mencita-citakan keadilan sosial untuk masyarakat yang lebih luas. Kepada Negara & Pemerintah 6. Pemerintah dan negara harus mengubah asumsi stereotip tentang gerakan Islam radikal ke arah pandangan yang lebih obyektif dan realistik; Pemerintah juga harus menuntaskan berbagai masalah HAM yang terjadi di kalangan muslim radikal baik di masa orde baru maupun masa refoermasi ini. 7. Perlu menfasilitasi dan mendorong proses kerjasama yang dialogis melalui training-training dengan komunitas gerakan Islam radikal terutama untuk mengeliminasi berbagai stigma di antara pemerintah dan kalangan muslim radikal, dan mengurangi pemahaman yang keliru tentang HAM, baik yang terjadi di kalangan aparat pemerintah/negara maupun aktivis Islam radikal. 8. Perlu untuk mengaitkan ide-ide pembangunan sosial, ekonomi, politik dan kultural yang bersumber pada syariah Islam dengan wacana
106
Penutup
hak asasi manusia. Pemerintah perlu terus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide HAM dan syariah Islam untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, sosial, politik dan moral di masyarakat.[]
107
108
Daftar Pustaka
A. Buku Abdullah, Masykuri, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana; Al Chaidar, dkk., 2000, Bencana Kaum Muslimim di Indonesia 1980-2000, Yogyakarta: Wihdah Press. Al-Zastrouw, 2006, Gerakan Islam Simbolik, Politik Kepentingan FPI, Yogyakarta: LKIS Anshory, Fauzan al, 2003, Membela Islam Bersama Ustaz Abu, Yogyakarta: Dep. Data & Dokumentasi MMI. Anwar, M. Syafii, 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia, Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina;
109
Bersama Bergerak
Ayoob, Mohammed (ed.), 1981, The Politics of Islamic Reassertion. London: Croom Helm) Ba’asyir, Abu Bakar, 2006, Catatan Dari Penjara, Untuk Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam, Solo: Mushaf. Baderin, Mashood A., 2003, International Human Rights and Islamic Law, New York: Oxford University Press. Bhakti, at all, 2001, Militer dan Politik Kekersan Orde Baru, Bandung: Mizan Denzin, K. Norman, at all, tanpa tahun, Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publication Effendy, Bahtiar dan Hendro Prasetyo (peny), 1993, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN. Efendy, Baktiar, 1999, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina; Fealy, Greg and Anthony Bubalo, 2005, Radical Islam in Indonesia Lowy Institute Power Fealy, Greg, and Aldo Borgu, 2005, Local Jihad: Radical Islam and Terrorism in Indonesia: Australian Strategic Policy Institute.
110
Pustaka
Hefner, Robert W. (ed.) 2005, Remaking Muslim Politics, Pluralism, Contestation, Democratization, Princenton & Oxford: Princeton University Press. Hefner, Robert W., 1999, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia Yogyakarta: LKiS Hefner, Robert W. and Patricia Horvatich (eds.), 1997, Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia, Honolulu: University of Hawai’i Press. Karim, M. Rusli, 1999, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana; Mandavilee, Peter, 2007, Global Political Islam, New York: Routledge. Mantra, Ida Bagoes, 2008, Filsafat penelitian dan Metode Penelitian Sosial: Yogyakarta: Pustaka Pelajar Marpaung, Rusdi & Al Araf (ed), Terorisme, Defenisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: IMPARSIAL Mayer, Ann Elizabeth, 1999, Islam and Human Rights: Tradition and Politics, Colorado: Westview Press.
111
Bersama Bergerak
Mubarak, M. Zaki, 2008, Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES Prasetyo, Eko. 2001. HAM: Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal. Yogyakarta: Insist Press. Prasetyo, Eko, 2002, Membela agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, Yogyakarta: INSIST Rahmat, M. Imdadun, 2005, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga. Roy, Oliver, 2005, Geneologi Islam Radikal, terjemahan dari Genealogie del’iskamisme, Yogyakarta: Genta Press. Roy, Olivier, 1994, The Failure of Political Islam, London: I.B Tauris & Co. Ltd. Wasterlund, David and Inguar Svanberg (eds.), 1999, Islam Outside the Arab World, Curzon: Surrey. Wessel, Ingrid (ed.), Indonesia am Ende des 20, Hamburg: Jahrhunderts. Abera Verlag Schwartz, Adam and Jonathan Paris (eds.), 1999, The Politics of Post-Soeharto Indonesia, New York: Council on Foreign Relation Press.
112
Pustaka
Situmorang, Abdul Wahib, 2007, Gerakan Sosial, Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tapol, 2002, Islam Diadili, Jakarta: Teplok Press Thaba, Abdul Aziz, 1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press; Thamrin, Muhammad Ikhlas, 2007, Densus 88 Undercover: Menyingkap Misteri Dibalik Kinerja Densus 88 dalam Menangkap Para Tersangka Teroris, Solo: Quo Vadis. Zada, Khamami 2002, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju
B. Jurnal Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. XIII-XIV, (New York: The McMillah Company, 1972), Prisma, No. 7, 1989 Koran/Majalah An Najah, edisi 19/th.2-Rabiul awwal 1428 H/ Maret 2007 An najah, edisi 35/Th.3-Jumadil Tsaniyah 1429 H/ 113
Bersama Bergerak
Juli 2008 Kompas, 20 Januari 2008 Risalah Mujahidin, Edisi 18, Rabiul Awwal 1429 H/Maret-April 2008; Risalah Mujahidin edisi 21 Sya’ban 1429 H/JuliAgustus 2008, Sabili. Edisi Khusus Juli 2004 Suara Merdeka, 5 Juli 2005. Internet Tempo Interaktif, 26 Juli 2004 Tempo Interaktif, 19 Agustus 2004. Tempo Interaktif, 20 Agustus 2004 Tempo Interkatif, 23 Oktober 2003 http://akkbb.wordpress.com http://www.indonesiaindonesia.com Wawancara Wawancara Syaifudin, November 2008 Wawancara, M. Karim, November 2008 Wawancara Suhardi, November 2008 Wawancara Sunaryono, November 2008 Wawancara Ustaz Kadir, November 2008 Wawancara Ustaz Fatah Khamid, November 2008 Wawancara ustaz Abdullah, November 2008 Wawancara Susetiyo, November 2008 Wawancara ustaz Muhammad Falah, November 2008 Wawancara Zubaidah, Desember 2008 114
Pustaka
Wawancara Jamaluddin, November 2008 Wawancara Fauzi, November 2008 Wawancara Hendra, Desember 2008 Wawancara Bhudi Suasanto, Desember 2008 Wawancara Dian Zakariy, November 2008 Wawancara Aminulah, November 2008 Makalah Hamid Fahmy Zarkasyi, 2008, makalah diskusi serial terbatas Islam, HAM dan gerakan Sosial di Indoensua dengan judul Islam dan Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Pusham UII, 19 November 2008 di Yogyakarta. Umar Abduh, 2008, , makalah diskusi serial terbatas Islam, HAM dan gerakan Sosial di Indoensua dengan judul Radikalisme Agama, Kekerasan Negara dan HAM di Indonesia, 20 November 2008 Undang-Undang UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 11 tahun 2005 tentang Hak Ekosob UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik.
115
116
Biodata Para Penulis
Eman Sulaiman adalah alumni D3 Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia dan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Lahir di Kuningan, 11 November 1981, Eman pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta dan terlibat dalam berbagai aksi dan gerakan di Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND). Kini sehari-hari kembali aktif membangun kampung halaman, mengorganisir masyarakat, dapat dihubungi lewat email
[email protected]. Kelik Sugiarto, SH. Lahir di Bantul Yogyakarta 3 April 1977. Menyelesaikan pendidikan S1 di fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Sehari-hari beker ja di Pusat Studi Hak Asasi Manusia ( PUSHAM ) UII Yogyakarta. Menjadi pendamping di sejumlah kawasan dalam program Comunity Oriented Policing (COP) di Yogyakarta dan menjadi tim peneliti dalam Riset Agen-Agen Kekerasan di Yogyakarta (Pusham UII-2008). Menjadi fasilitator dalam training-pelatihan Islam dan HAM para aktivis Islam di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Aktif di Organisasi kepemudaan terutama remaja masjid AlIrsyad, Bantul 117
Bersama Bergerak
Laode Arham, Staf Divisi Program Pusham UII Yogyakarta, alumni Fakultas Adab, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sehari-hari menekuni bidang Islam dan Hak Asasi Manusia melalui pendekatan sosial, hukum dan kultural bersama-sama para aktivis Islam di Solo dan Yogyakarta. Melakukan penelitian dalam studi-studi sosial, politik, hukum, kultural, hubungan antaragama, pelanggaran HAM dan konflik sosial. Beberapa hasil penelitian yang telah diterbitkan antara lain dalam buku Reformasi Polisi dan Konflik Sosial di Indonesia (Pusham UII: 2005), Problem Pendidikan Agama di Kota Yogyakarta (DIANInterfidei-2007), Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru: Studi Kasus Komando Jihad dalam Bunga Rampai Studi HAM (Pusham UII-2007), Buku Ajar HAM untuk Guru SMU (Pusham UII-2008). Nurdayad, lahir di Rembang, 3 Agustus 1976 sekarang bertempat tingal di Perumnas Bumi Trimulyo Blok III/ 60 Jetis, Bantul. Alumni IAIN Sunan Kalijaga, fakultas Syar’iah jurusan Al- Ahwal Asy syahsiyah. Mempunyai putri cantik bernama Nabila Safira Al-Da-Aba. Bergabung dengan Pusham UII sejak tahun 2001, dan sehari-hari aktif sebagai kordinator lapangan program Mendorong Partisipasi Kelompok Muslim dalam Advokasi HAM dan program Community Oriented Policing (COP). Nurdayad aktif dalam berbagai kegiatan penelitian, pelatihan, penerbitan buku dan majalah yang diselenggarakan Pusham UII. Di masyarakat, aktif dalam kegiatan ketakmiran Masjid Darul Hajar, Bantul dan dakwah di masjid-masjid serta masyarakat di Bantul. Karya 118
Biodata
yang pernah ditulis antara lain HAM dalam Hukum Islam (2003), A-Radd Bagi Suami dan Istri: Analisis Kompilasi Hukum Islam (2000) Supriyanto Abdi, Staf Pusham UII Yogyakarta yang tengah menempuh studi Doktoral di The University of Melbourne, Australia, tempat ia menyelesaikan masternya tahun 2005 yang lalu. Pernah mengikuti short course hak asasi manusia di Lund University, Swedia. Abdi juga mengajar Mata Kuliah Hukum dan HAM di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Karya tulisnya antara lain tentang Islam dan HAM dimuat dalam buku Bunga Rampai Studi HAM (Pusham UII-2007); ikut menulis dalam Buku Ajar HAM untuk Guru SMU (Pusham UII-2008). Beberapa tulisannya juga dimuat dalam berbagai jurnal nasional dan internasional. Moh. Syafi’ie, S.H, lahir di desa kecil Payudan Dundang Kabupaten Sumenep. Alumnus Pondok Pesantren An-Nuqayah Latee Guluk-Guluk, Sumenep. Pasca mondok selama enam tahun, ia melanjutkan studinya di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, lulus tahun 2007. Selama kuliah aktifitasnya banyak dihabiskan di gerakan mahasiswa, pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta 20062007, Ketua Komisi Internal Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII, 2005-2006, dan beberapa kali terlibat dalam aliansi gerakan mahasiswa dan LSM membela yang tertindas. Selain itu ia pernah terlibat dalam penelitian Pusham UII diantaranya penelitian Pengajaran HAM dan Polmas, 2006, penelitian 119
Bersama Bergerak
Pelanggaran HAM dalam Komando Jihad, 2008 dan Survey HAM dan Politik Syariat Islam Indonesia di DIY, 2008. Muhammad Zuhdan S.IP adalah alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL), Universitas Gajah Mada (UGM) angkatan 2001. Pria kelahiran Yogyakarta 27 tahun yang lalu ini, sejak mahasiswa aktif bergabung dalam komunitas intelektual progesif yang berujung ikut mendirikan Rumah Pengetahuan Amartya, sebuah konsorsium beragam gerakan mahasiswa yang peduli pada perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Saat ini aktif di Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) sebagai pemimpin redaksi Majalah Teras, sebuah majalah yang menyoroti isu reformasi kepolisian dan keamanan. Selama aktif di PUSHAM UII juga sering melakukan kerja-kerja penelitian, fasilitasi training, workshop dan pendampingan masyarakat. Menjadi salah seorang penulis buku AgenAgen Kekerasan di Yogyakarta yang diterbitkan Pusham UII (2009).
120