Berpikir Matematis untuk Pemahaman pada Tingkat Kesadaran Sabri1 Hanya kesadaran yang bisa dididik (Gattegno dalam Hewitt, 2009) Abstrak: Berpikir matematis memiliki kedudukan yang sangat strategis, khususnya sebagai tujuan proses pendidikan di sekolah. Matematika pada dasarnya adalah kegiatan sosial, yaitu kegiatan manusia yang berupaya memahami pola yang terjalin, baik dalam dunia nyata di sekeliling kita, maupun dalam alam pikiran kita. Berpikir matematika adalah proses dinamis yang memperluas cakupan dan kedalaman pemahaman karena dimungkinkannya kita meningkatkan kerumitan ide yang bisa ditangani. Ia dijabarkan sebagai kegiatan prosedural bersiklus dengan tiga fase: masuk (entry), menyerang (attack), dan meninjau ulang (review), tiga tahapan yang sarat dengan reaksi emosi. Berpikir matematis yang dikaitkan dengan emosi menjembatani ranah kognitif dan ranah afektif yang selama ini kadang mendapatkan perlakuan secara terpisah dalam proses pembelajaran matematika. Dari kegiatan berpikir matematis itu diharapkan peserta didik memiliki kompetensi matematis yang mencapai tingkat kesadaran. Mereka diharapkan mampu berpikir rasional seraya tidak mengabaikan aspek emosi. Kata Kunci: Berpikir matematis, emosi, kesadaran.
Berpikir matematis yang diharap melahirkan pikiran matematis memiliki kedudukan yang sangat strategis karena dari tiga hal, yaitu, merupakan tujuan proses pendidikan di sekolah; sebagai cara untuk mempelajari matematika; dan menjadi pengetahuan untuk mengajarkan matematika (Stacey, 2007). Dalam konteks pembelajaran matematika, ketiga alasan ini saling melengkapi. Tulisan ini akan mengulas bagaimana berpikir matematika dengan merujuk pada pandangan John Mason, Leone Burton, dan Kaye Stacey (1982) dalam buku fenomenalnya Thinking Mathematically. Bahasan buku ini menjadi acuan kerangka pikir yang melahirkan berbagai kajian lanjutan selama lebih seperempat abad. Pemikiran yang dibangun dengan berpijak pada gagasan tersebut telah melahirkan beragam penelitian yang hasilnya disunting oleh Lerman dan Davis (2009)*. Di dalam suntingan tersebut, gagasan tentang berpikir matematis dilengkapi dengan ulasan tentang bagaimana emosi sebagai komponen ranah afektif terkait langsung dengan proses berpikir tersebut. Ini kemudian melahirkan tindakan matematis yang menggabungkan aspek kognitif—berpikir matematis, dengan aspek afektif—apa yang dirasakan dalam proses berpikir tersebut. Pembahasan tentang berpikir matematis akan dilengkapi dengan dukungan ide yang sejalan, misalnya, dari Schoenfeld (1992) dan konteks yang mendukung, misalnya dari Polya (1973). Ulasan akan diawali dengan berpikir matematis sebagai suatu proses, yang kemudian dilanjutkan dengan kaitannya dengan emosi sebagai komponen afektif. Paparan ini akan ditutup dengan uraian tentang tujuan proses berpikir matematis sebagai aktivitas inti dalam pembelajaran matematika.
1
Dosen Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, Makassar Indonesia.
1
Berpikir Matematis Matematika pada dasarnya adalah kegiatan sosial (Schoenfeld, 1992). Freundenthal mempertegas bahwa matematika adalah kegiatan manusia (Gravemeijer, 1994). Matematika berupaya memahami pola yang terjalin, baik dalam dunia nyata di sekeliling kita, maupun dalam alam pikiran kita. Meskipun bahasa matematika berlandaskan pada kaidah-kaidah tertentu yang juga perlu dipelajari, kita seharusnya mampu melintasi batas kaidah bahasa ini agar mampu mengekspresikan sesuatu dengan bahasa matematika (Schoenfeld, 1992). Transformasi ini menuntut adanya perubahan pada muatan kurikulum dan strategi pembelajaran yang berfokus pada upaya: • menemukan penyelesaian, bukan hanya menghafal prosedur; • menjelajahi pola, tidak hanya menghafal rumus; dan • merumuskan tebakan, tidak hanya mengerjakan latihan. Dalam matematika, aktivitas memahami pola dilakukan secara sistematis melalui pengamatan, pengkajian, dan eksperimen. Ada dua sasaran kegiatan ini, yaitu, menentukan sifat atau prinsip keteraturan dalam tatanan sistem yang didefinisikan secara aksiomatis atau teoretis yang melahirkan matematika murni, dan menentukan model sistem yang diabstraksi dari objek dunia nyata yang kemudian melahirkan matematika terapan. Perangkat untuk melakukan aktivitas matematika adalah abstraksi, representasi simbolik, dan manipulasi simbolik. Namun, seseorang yang terlatih menggunakan perangkat tersebut belum tentu menjalankan pikiran matematis. Kenyataannya, tidak semua orang yang tahu dan terlatih menggunakan peralatan kerajian adalah pengrajin. Berpikir matematis, menurut Mason, Burton, dan Stacey (1982), adalah proses dinamis yang memperluas cakupan dan kedalaman pemahaman matematika. Hal ini dimungkinkan karena di dalamnya disediakan kesempatan meningkatkan kerumitan ide yang ditangani dari waktu ke waktu. Dalam proses tersebut kita melakukan proses pengkhususan (spesialisasi, memperhatikan beberapa kasus khusus atau contoh), proses perampatan (generalisasi, fokus pada kelompok contoh yang lebih banyak, mencari pola dan hubungan), penebakan (membuat tebakan tentang masalah yang dihadapi, meramalkan hubungan dan hasil), dan peyakinan (membangun keyakinan tentang pemahaman yang telah dibangun, mencari dan mengkomunikasikan alasan mengapa sesuatu itu benar). Semua proses ini berlangsung dalam konteks pemecahan masalahmasalah matematika yang tidak rutin. Lebih lanjut, Mason dan kawan-kawan memposisikan berpikir matematis sebagai sebuah kegiatan prosedural bersiklus dengan tiga fase: masuk (entry), menyerang (attack), dan meninjau ulang (review). Tiga tahapan ini dikaitkan dengan keadaan emosi: memulai, terlibat, memikirkan, melanjutkan, membangun wawasan, bersikap skeptis, merenungkan. Dari ketiga fase tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah fase masuk karena fase ini meletakkan dasar untuk melakukan penyerangan, dan fase meninjau kembali karena fase inilah yang seringkali kurang diperhatikan dalam proses konstruksi pengetahuan, sementara ia adalah fase yang paling sarat muatan pendidikannya. Dinamika proses berpikir matematis berlangsung dalam suasana yang dipenuhi dengan kegiatan bertanya, menantang, dan merefleksi. Di dalamnya, peserta didik menghadapi tantangan, kejutan, kontradiksi, dan ketimpangan dalam pemahaman yang disadari. Kegiatan berpikir matematis ini diharapkan bermuara pada pemahaman lebih dalam tentang diri sendiri, pandangan yang lebih utuh tentang apa yang dipahami, penelusuran
2
lebih efektif tentang apa yang ingin diketahui, dan penilaian lebih kritis terhadap apa yang dilihat dan didengar. Dari sudut pandang pembelajaran, berpikir matematis adalah proses: (a) mengembangkan sudut pandang matematis—menghargai proses matematisasi serta memiliki keinginan kuat untuk menerapkannya, dan (b) mengembangkan kompetensi dan melengkapi diri dengan segenap perangkat, lalu pada saat yang sama, menggunakan perangkat tersebut untuk memahami struktur pemahaman matematika (Schoenfeld, 1992). Berpikir matematis dapat ditingkatkan melalui latihan menangani pertanyaan secara sadar, merefleksi pengalaman, mengaitkan perasaan dan tindakan, mengkaji proses menyelesaikan masalah dan menyadari/mengenali bagaimana sesuatu yang telah dipelajari sesuai dengan pengalaman diri sendiri. Pemikiran matematis dapat ditingkatkan dengan belajar dari pengalaman pribadi. Membahas sesuatu dari pengalaman, bukan tentang pengalaman. Belajar tidak semata-mata mengalami tetapi belajar dari dan memaknai pengalaman tersebut.
Skema Kegiatan Berpikir Matematis a la Mason, Burton, dan Stacey (1982) Pembahasan tentang berpikir matematis sebagai suatu proses dinamis seharusnya disertai dengan contoh lengkap. Pembaca selanjutnya diarahkan untuk mencermati Mason, Burton, dan Stacey (1982). Di dalamnya, setiap komponen dari skema di atas dicontohkan dengan masalah matematika tertentu. Pencantuman satu contoh dalam tulisan ini rasanya kurang memungkinkan untuk memaparkan komponen-komponen karena pembahasannya tidak selesai dalam satu contoh saja. Contoh demi contoh dipaparkan sejalan dengan perkembangan dari komponen yang satu ke komponen berikutnya mengikuti alur dari bab yang satu ke bab berikutnya. Tahapan-tahapan aktivitas dalam proses berpikir matematis tampak sangat kental dengan proses mengkonstruksi sendiri pemahaman. Ini adalah wujud nyata konstruktivisme personal dan radikal dimana pengetahuan tidak ditransfer secara langsung dari lingkungan kepada peserta didik, tetapi harus dikonstruksi secara aktif oleh mereka. Pengetahuan yang dikonstruksi sendiri tersebut menambah kemampuan peserta didik bertahan hidup (Geelan, 2006)—paling tidak dalam lingkup komunitas matematika. Artinya, pengetahuan itu
3
membuat mereka tetap berada dalam komunitas matematika dan tetap terlibat dalam aktivitas matematika. Namun demikian, ke-sendiri-an dalam proses ini belumlah cukup. Lebih lanjut, berpikir matematis yang diusung oleh Mason, Burton, dan Stacey (1982) merupakan sebagai rangkaian aktivitas bersiklus yang mencakup proses: • meyakinkan diri sendiri • menyakinkan teman • meyakinkan musuh dari luar diri sendiri • menciptakan musuh dari dalam diri sendiri Pada tingkat operasional, proses berpikir matematika adalah proses menciptakan argumen yang dimulai dari atau berlandas pada pemahaman pribadi. Lalu, pemahaman tersebut diperjelas lagi melalui diskusi dengan teman. Langkah yang sedikit ekstrim selanjutnya adalah mengajak lawan atau musuh intelektual untuk berdiskusi dengan tujuan bahwa musuh tersebut memberikan tantangan terhadap ide matematika hasil konstruksi yang diajukan. Dengan ini, diharapkan proses penalaran deduktif yang dirangkai mengalami perbaikan, jika diperlukan. Langkah ini mengadopsi tesis filosofis Lakatos bahwa pengetahuan matematika tumbuh melalui tebakan dan penolakan dengan menggunakan logika penemuan matematis. Harapannya, proses atau ide tersebut menjadi lebih kokoh dan tepat. Langkah terakhir adalah musuh yang diciptakan dari kesadaran dalam diri sendiri juga diajak berdiskusi dengan tujuan tercapainya konsistensi pada tataran personal. Semua proses ini bermuara pada terbentuknya pengetahuan individu yang padu-padan dengan tatanan matematika yang telah ada. Proses assimilasi dan akomodasi atas pengetahuan yang dikonstruksi bisa diidentifikasi dalam siklus di atas. Nuansa konstruktivisme sosial yang memandang matematika sebagai sebuah konstruksi sosial (Ernest, 1991) juga sangat kental mewarnai proses tersebut. Pengetahuan, kesepakatan, dan kaidah bahasa sebagai konstruksi sosial melandasi pembentukan pengetahuan matematika sebagai hasil berpikir matematis. Justifikasi pengetahuan individu oleh individu lain melalui interaksi antar personal merubah pengetahuan yang masih bersifat subyektif menjadi pengetahuan matematika obyektif. Penilaian ini berlangsung apabila pengetahuan matematika yang dikonstruksi dipublikasi. Melalui publikasi dalam arti yang sederhana memungkinkan terjadinya penilaian baik dari kawan maupun lawan, yang pada gilirannya memperkokoh karakteristik objektif pengetahuan. Proses saling menilai pengetahuan dimungkinkan berlangsung efektif karena, menurut Mason, Burton, dan Stacey (1982), salah satu dampak kegiatan memaparkan, menggunakan, dan mengembangkan pemikiran matematis adalah bahwa kita menjadi peka terhadap pemikiran matematis orang lain. Dalam konteks pembelajaran yang merefleksikan hal demikian yang disebutkan di atas, peserta didik difasilitasi dengan kesempatan mengkaji matematika sebagai disiplin yang berbasis pada penjelajahan, bersifat dinamis, dan sarat perkembangan. Mereka tidak lagi memandang matematika hanya sebagai rangkaian hukum, kaidah, atau rumus yang kaku, mutlak, dan tertutup, dan kemudian menganggap bahwa menghafal semua itu akan cukup untuk menguasainya. Yang justru difasilitasi adalah proses atau kegiatan yang akan mendorong mereka mempelajari matematika sebagai ilmu pengetahuan dengan segala karakteristik uniknya. Peserta didik tidak lagi hanya memikirkan matematika hanya sebagai alat pemecahan masalah, meskipun diakui bahwa peran ini adalah salah satu fungsi penting matematika dalam kehidupan. Mereka juga mengenal matematika lebih luas sebagai ilmu tentang pola (Devlin, 2000) dan bukan semata-mata ilmu tentang bilangan.
4
Guna mendorong peserta didik mengambil inisiatif dan melibatkan diri sepenuhnya dalam proses berpikir matematis, tugas-tugas pedagogis perlu dirancang sedemikian sehingga mereka menggunakan kekuatan potensialnya dalam membangun pemahaman. Potensi tersebut, menurut Mason (2004) mencakup: • menghayalkan dan menyatakan apa yang dihayalkan; • mengutamakan, mengkhususkan, dan merampatkan; • menebak dan meyakinkan diri sendiri dan orang lain; • menata dan mencari ciri-ciri; dan • memfokuskan dan melihat secara umum. Kekuatan ini sebenarnya ada pada semua upaya manusia dalam membangun pemahaman, tetapi potensi tersebut merupakan inti upaya pemahaman matematika. Hal yang mengaktifkan manusia untuk memahami sesuatu adalah adanya gangguan, adanya sesuatu yang mengejutkan atau membingungkan, adanya sesuatu yang bertentangan dengan kesadaran, atau adanya fenomena yang memicu pertanyaan. Olehnya itu, pembelajaran apapun seyogyanya dimulai dengan pertanyaan (Mason, 2004). Peserta didik dengan kekuatan matematika yang dimilikinya melakukan analisis dan penafsiran data yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lalu membuat keputusan yang berimbang dan rasional berdasarkan penafsiran tersebut. Mereka menggunakan matematika secara praktis, mulai dari penerapan sederhana seperti perbandingan untuk model atau resep tertentu, hingga proyeksi anggaran yang rumit, analisis statistik, dan pemodelan komputer. Mereka menjadi pemikir fleksibel-adaptif dengan sejumlah teknik dan perspektif dalam menangani masalah dan situasi baru. Mereka bersifat analitis, baik dalam memikirkan isu yang mereka ungkap sendiri maupun yang diungkapkan orang lain. Berdasarkan perspektif ini, matematika mewujud sebagai sesuatu yang memberdayakan. Matematika adalah ilmu yang membawa muatan emansipatif, meminjam istilah Habermas (Grundy, 1987). Peserta didik yang memiliki kekuatan matematika akan menjadi seseorang yang melek kuantitas dan pola. Emosi dalam Berpikir Matematis Ranah tujuan pendidikan telah diperkenalkan oleh B. S. Bloom dan kawan-kawan sejak pertengahan abad kedua puluh. Taksonomi ini, khususnya untuk ranah kognitif, membawa pengaruh yang sangat besar terhadap proses penilaian hasil belajar. Meskipun demikian, kelompok Bloom tidak pernah menganggap kerangka tersebut sebagai sesuatu yang selesai atau suatu produk final (lebih lanjut, lihat Anderson & Krathwol, 2001). Di tengah meluasnya implikasi taksonomi Bloom, Skemp (1979) tampil dengan teorinya tentang sasaran dan anti sasaran, yang menjembatani ranah kognitif dan afektif. Sasaran adalah niatan yang diidam-idamkan, yang bisa berupa sasaran sederhana jangka pendek. Sebagai contoh, menjumlahkan dua bilangan (sasaran jangka pendek), atau berhasil dalam matematika (sasaran utama jangka panjang). Di sisi lain, anti sasaran adalah sesuatu yang tidak diidam-idamkan dan malahan dihindari. Misalnya, dalam pembelajaran, siswa menghindar untuk ditanyai oleh guru karena takut kelihatan bodoh jika tidak tahu menjawab. Secara umum sasaran adalah sesuatu yang meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, sedangkan anti sasaran adalah sesuatu yang dihindari. Anak-anak lahir dengan sikap positif untuk belajar. Mereka menjelajahi dunia mereka secara spontan. Akan tetapi, adanya pengalaman yang tidak menyenangkan bisa menyebabkan seorang anak menghindari pengulangan pengalaman tersebut, yang pada akhirnya mengarah pada berkembangnya anti sasaran.
5
Skemp (1979), dalam teori pembelajaran berorientasi sasaran, merumuskan dua aspek sasaran dan anti sasaran. Yang pertama terkait dengan emosi yang dirasakan seseorang pada saat mendekati sasaran atau menghindari anti sasaran. Yang kedua terkait dengan perasaan seseorang pada saat mampu mencapai sasaran atau mampu menghindari anti sasaran. Emosi yang terkait dengan sasaran dan anti sasaran sangat berbeda. Keyakinan bahwa seseorang mampu mencapai sasaran disertai dengan rasa percaya diri, sedangkan ketidakmampuan mencapai sasaran disertai dengan rasa frustasi. Upaya menuju sasaran akan membawa suasana menyenangkan, namun jika menjauhi sasaran, maka suasananya tidak akan menyenangkan. Kerangka pikir ini bisa digunakan dalam pembahasan tentang reaksi emosi seseorang terhadap matematika. Bagaimana mengenali emosi tersebut dan memberdayakannya. Misalnya, perbedaan yang halus antara frustrasi dan cemas yang dialami pada saat tidak mampu menyelesaikan masalah matematika memunculkan perbedaan antara sasaran yang ingin dicapai dan anti sasaran yang ingin dihindari. Jika akar masalah sudah diidentifikasi dan alternatif pemecahan sudah ditemukan, maka langkah ke depan akan lebih terarah, yaitu, mencapai sasaran sekaligus menghindari anti sasaran. Berpikir matematika yang diusung oleh Mason, Burton, dan Stacey (1982) banyak dikaitkan dengan peran emosi dalam matematika, misalnya, pengalaman ‘AHA’ dan pengalaman ‘Buntu.’ Pengalaman AHA terjadi pada saat menemukan satu ide, entah salah atau benar. Pengalaman AHA yang dengan temuan ide yang benar mirip dengan pengalaman EUREKA-nya Archimedes. Pengalaman ini seharusnya bisa dinikmati oleh sang pemikir sebelum melanjutkan upaya pencermatan terhadap pemahaman atau wawasan baru itu. Pengalaman menemui jalan buntu membutuhkan pendekatan dan sikap positif untuk menganalisis langkah dan prosedur sejauh yang telah ditempuh dan bagaimana semua itu bisa membantu menemukan jalan alternatif. Komponen penting untuk terjadinya pembelajaran bermakna adalah refleksi, yaitu, proses melihat kembali ke belakang dan merenungkan kembali hal yang telah ditempuh. Perenungan ini akan memperkuat kaitan antara pengalaman buntu dan strategi yang dipilih untuk keluar dari kebuntuan (Mason 2002). Pengalaman AHA adalah pengalaman yang bisa bermakna, bisa juga tidak bermakna. Kebermaknaan tergantung pada bagaimana tindakan selanjutnya, bagaimana refleksi terhadap pengalaman tersebut, dan bagaimana proses justifikasinya. Pengalaman AHA seharusnya ditindaklanjuti dengan perenungan, penentangan, penguatan, dan pemantapan. Penanganan yang tepat terhadap pengalaman ini akan mengarahkan terbentuknya pemahaman matematis yang mencapai tingkat kesadaran. Pengetahuan itu tidak lagi mengambang, tetapi secara konseptual tertanam dalam struktur kognitif dan mencapai taraf kesadaran dengan suasana emosi yang menyertainya. Pengalaman buntu juga memiliki potensi yang kurang lebih sama. Keberhasilan mengatasi jalan buntu memupuk sikap positif dan citra diri. Dari kumpulan pengalaman sukses ini akan bisa muncul gagasan yang baik atau sikap positif. Keadaan buntu dan keberhasilan menangai kebuntuan memiliki posisi yang sama pentingya. Suatu saat kita akan mengalami kebuntuan, yang pada saat itu kita akan sangat membutuhkan nasihat atau saran. Sumber nasihat atau saran itu adalah refleksi efektif terhadap kejadian atau pengalaman sebelumnya. Perhatikan percakapan berikut ini: Arwin, seorang siswa kelas awal, dengan gembira menemui ibunya untuk melaporkan bahwa dia telah belajar sesuatu di sekolah hari ini.
6
Arwin Ibu Arwin Ibu
: Mama, saya belajar hari ini lima jeruk tambah dua jeruk menjadi tujuh jeruk. : Oh, bagus, pintar. Arwin, kalau lima pisang dan dua pisang? : Hmm, kalau yang itu, saya tidak tahu. Tadi belum diajari bagaimana kalau pisang. : ?!?!?!?!
Lalu, bandingkan dengan pengalaman berikut: Armin, seorang siswa kelas tinggi, akhirnya memahami konsep pengubinan bahwa daerah yang ditutupi tidak boleh berlubang di antara ubin. Sisi ubin harus saling berimpit rapat menutupi daerah yang dimaksud. Contohnya, jajaran genjang adalah satu bentuk yang bisa dipakai dalam pengubinan. Guru Rikma Guru Armin Ibu Armin
: Apakah segitiga sebarang bisa dipakai dalam pengubinan? : Tidak bisa Bu, karena sisinya tidak sama panjang. : Betul bahwa sisinya tidak sama panjang, tetapi apakah gara-gara itu sehingga tidak bisa dipakai mengubin? : Kalau menurut saya, bisa Bu. Kita tahu bahwa jajaran genjang bisa dipakai dalam pengubinan, dan setiap dua segitiga sebarang yang didempetkan sisi seletaknya secara berbalikan akan menjadi jajaran genjang. : Apakah Anda yakin dengan itu? : Pasti, Bu.
Cerita Arwin adalah contoh sederhana pemahaman yang mengambang karena hanya berupa hafalan. Dia belum menyadari bahwa kasus yang sama bisa berlaku untuk pisang dan mangga—pada tingkat yang lebih rendah, atau pecahan tertentu, variabel, dan fungsi—pada tingkat yang lebih tinggi. Pembelajaran yang menghasilkan pemahaman pada tingkat kesadaran, seperti pengalaman Armin di atas, akan menghemat biaya pembelajaran secara ekonomi (Hewitt, 2009). Biaya ekonomis pembelajaran akan lebih besar jika semakin banyak yang harus dihafal. Karena hafalan juga diperlukan secara berimbang untuk menambah kecakapan dalam melakukan operasi matematika, maka pilihan yang mungkin adalah menghafal seperlunya dan memahami hingga taraf kesadaran secara maksimal. Pemahaman semacam ini bisa dicapai jika peserta didik terlatih berpikir matematis dan terlatih menyelesaikan masalah, khususnya yang tergolong masalah tidak rutin. Dalam Thinking Mathematically (Mason, Burton, & Stacey, 1982), penjelajahan matematika dirancang guna memberikan dorongan positif kepada siswa melalui strategi yang bisa mengarahkan mereka mencapai kesuksesan, menikmatinya, dan selanjutnya membangun kepercayaan diri dalam seni pemecahan masalah. Dengan ini, aktivitas pemecahan masalah dalam proses pembelajaran matematika tidak lagi diposisikan sebagai suatu sasaran, bukan sebagai anti sasaran. Adanya hubungan antara kesuksesan kognitif dan reaksi emosi memungkinkan upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa berpikir matematis melalui penataan situasi yang memberi kesempatan kepada mereka untuk mengalami kesuksesan (Tall, 2009). Tantangan yang diberikan oleh Mason dan kawankawan adalah bagaimana menampilkan matematika dengan gaya berbeda sehingga siswa merasa percaya diri mempelajarinya. Kepercayaan diri ini terbangun melalui pengalaman nyata berupa keberhasilan menyelesaikan sesuatu melalui proses berpikir. Hanya dengan
7
itu, siswa akan berani menghadapi masalah baru sebagai sebuah tantangan, bukan menghadapinya dengan rasa cemas atau ketakutan (Tall, 2009). Dalam kegiatan berpikir matematis, pemberian bantuan kepada peserta didik bukan hal yang ditabukan. Strategi yang dipilih dalam proses scaffolding itu adalah petunjuk/saran yang diberikan dalam bentuk pertanyaan atau peringatan sederhana yang menggugah mereka berpikir dan merefleksi. Namun, perlu disadari bahwa petunjuk yang sangat spesifik bisa saja menghilangkan semangat atau kesempatan untuk berpikir, dan menutupi pentingnya impuls yang menghasilkan petunjuk tersebut. Pemberian petunjuk atau peringatan ini membutuhkan kearifan sehingga tidak melenceng dari sasaran, yang pada akhirnya memanjakan peserta didik. Kadangkala, dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan secara tidak tepat, terbentuk kesan pada peserta didik bahwa matematika adalah sekumpulan trik yang harus ditemukan atau diungkap. Sikap ini justru kurang tepat, jika tidak sepenuhnya salah (Mason, Burton, & Stacey, 1982). Pada saat peserta didik mengalami kendala atau kebuntuan dalam berpikir, yang dibutuhkan adalah kehadiran seorang tutor yang menggugahnya dengan pertanyaan yang membantu untuk melangkah lagi. Tutor ini bisa diciptakan dari dalam diri sendiri. Tutor dari dalam diri sendiri memiliki fungsi yang lebih luas. Ia adalah agen bebas yang memantau apa yang kita dilakukan, misalnya, memantau perhitungan yang kita lakukan, mengendalikan pelaksanaan rencana yang telah dibuat, memberi saran perubahan rencana, menilai argumen secara kritis, dan sebagainya. Tujuan Berpikir Matematis Berpikir matematis adalah proses yang seharusnya melandasi kegiatan pembelajaran matematika. Dalam ranah yang lebih luas, ini sangat strategis dalam posisinya sebagai tujuan proses pendidikan matematika di sekolah (Stacey, 2007). Berpikir matematika adalah berpikir rasional, yang menurut bahasa Vinner (2007), adalah tujuan utama pendidikan matematika. Berpikir rasional adalah gaya berpikir resmi yang dianut oleh masyarakat demokratis. Kita seharusnya menyadari bahwa berpikir rasional telah menghasilkan ilmu pengetahuan, obat, dan kemajuan teknologi yang sangat dahsyat. Berpikir rasional adalah cara berpikir terbaik untuk menyelesaikan sengketa, baik sengketa individu, kelompok, maupun negara. Penyelesaian yang rasional membutuhkan negosiasi dan kesepakatan yang saling menguntungkan. Pembahasan tentang rasionalitas dan nilai pendidikan berfokus pada perilaku atau akhlak yang baik, yang sesungguhnya merupakan tujuan utama pendidikan. Siswa perlu dilatih proses pemecahan masalah melalui kegiatan berpikir matematis. Kepada mereka perlu diperlihatkan bahwa proses pemecahan masalah atau proses penemuan matematika tidak selalu berupa proses linear yang kelihatan secara teratur melangkah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya secara hirarkis, sebagaimana yang diskemakan salah satunya oleh Polya (1973). Yang penting disadari adalah bahwa proses menyelesaikan masalah matematika atau petualangan penemuan matematika adalah proses yang cenderung bergerak secara acak (Holton, Thomas, & Harradine, 2009). Petualangan semacam itu telah dijalani oleh para pendahulu saat mereka pertama kali menemukan matematika. Perbedaannya hanyalah bahwa mereka lebih dahulu melakukannya daripada kita. Namun, sifat ekspedisi matematika meyakinkan bahwa jalan yang telah mereka lalui masih utuh. Jembatan-jembatan yang telah dilalui para perintis tidak dihancurkan setelah mereka berhasil menyeberangi jurangnya. Dengan demikian,
8
ekspedisi berikutnya tetap bisa dilakukan oleh siapapun dengan nilai juang, tingkat tantangan, dan indahnya pemandangan di sepanjang jalan. Hingga sekarang, orang tetap tertantang dengan tekad penuh menapaki lautan es menuju puncak Everest setelah Hillary dan Tensing mencapai puncak itu jauh sebelumnya, baik dengan jalur yang sama maupun dengan merintis jalur alternatif. Banyak orang malah mengulangi pendakiannya dan menemukan kesenangan berbeda. Bukti dalil Pythagoras pada segitiga siku-siku terus bermunculan dengan pendekatan yang semakin unik. Aktivitas demikian inilah yang difasilitasi dengan sangat akomodatif dalam Realistic Mathematics Education. Di dalamnya, siswa menggeluti matematika dalam bentuk menemukan kembali matematika dengan eksplorasi produksi bebas mereka untuk kemudian melalui proses matematisasi horisontal dan vertikal secara bergantian menuju pencapaian kompetensi matematika yang diharapkan (Gravemeijer, 1994, Freudenthal, 2002). Hewitt (2009) menganjurkan peninjauan kembali gagasan tentang linieritas perkembangan ide matematika. Linieritas bermakna bahwa untuk mengetahui sesuatu dalam kurikulum, siswa perlu menguasai daftar panjang pengetahuan sebelumnya dalam kurikulum tersebut. Akibatnya, pembelajaran pengetahuan baru tertunda hingga siswa menguasai pengetahuan sebelumnya, atau mereka diminta mengingat semua pengetahuan sebelumnya supaya mereka bisa terlibat dalam mempelajari pengetahuan baru. Jika seorang siswa tidak berhasil mengingat beberapa pengetahuan sebelumnya, maka pembelajaran baru tidak akan berlangsung dan guru mulai mengulangi lagi apa yang telah dilupakan oleh siswa. Akhirnya, siswa akan sulit mempelajari hal-hal yang baru. Proses linear tersebut bisa menjadi beban berat bagi guru dan juga siswa. Peserta didik dilatih berpikir matematis agar mereka memiliki kompetensi menyelesaikan masalah kehidupan yang biasanya tidak rutin. Mereka seharusnya mampu mencapai tingkat pengetahuan berupa tahu bagaimana bertindak atau tahu bagaimana melakukan sesuatu (Mason & Spence, 1999). Pengetahuan inilah yang melahirkan tindakan matematis-rasional yang memperhatikan rasa. Ini tergolong pengetahuan aktif yang memungkinkan seseorang bertindak secara kreatif, dan tidak bertindak reaktif terhadap masalah berdasarkan kebiasaan semata-mata. Ini cenderung lebih tinggi daripada pengetahuan lain, misalnya, tahu bahwa, tahu mengapa, tahu bagaimana, dan tahu tentang (Mason & Spence, 1999). Berpikir rasional tidaklah bermakna bahwa emosi diabaikan atau perasaan dikesampingkan. Emosi adalah inti kehidupan umat manusia dan sangat tidak boleh diabaikan. Rekomendasinya adalah bahwa manajemen emosi bersifat rasional. Goleman (1995), yang memperkenalkan gagasan kecerdasan emosional dalam diskursus psikologi, mendefinisikan kecerdasan tersebut sebagai manajemen emosi yang rasional. Hal yang belum secara jelas tersentuh dalam ide berpikir matematis yang dikemukakan oleh Mason dan kawan-kawan ini adalah gagasan tentang definisi formal dan logika deduksi formal yang dibangun dalam dan atas definisi tersebut. Bisa saja dikatakan bahwa pemikiran matematis pada tiap tingkatannya mencakup langkah-langkah: masuk, menyerang, dan meninjau kembali, termasuk juga tingkatan justifikasi matematis. Akan tetapi, berpikir matematis pada tingkat dasar kurang menyentuh abstraksi formal dan tidak mencakup fase akurasi akhir.
9
Peralihan dari berpikir matematika tingkat dasar menuju tingkat lanjutan melibatkan perubahan di antaranya: dari menggambarkan menuju mendefinisikan, dari meyakinkan menjadi membuktikan secara logis berdasarkan definisi. Peralihan ini membutuhkan rekonstruksi kognitif yang nanti biasanya tampak pada saat mahasiswa mulai diperhadapkan dengan abstraksi formal pada masalah-masalah pembuktian teorema, dalil, lemma, dan semacamnya (Tall, 2002). Ini adalah peralihan dari koherensi matematika dasar menuju konsekuensi matematika lanjutan, yang berbasis pada entitas abstrak yang harus dibangun melalui proses deduksi dari definisi formal. Pembahasan tentang berpikir matematis lanjutan tidak dicakup dalam tulisan ini. Catatan: ∗ Terima kasih disampaikan kepada Penerbit Sense Publisher yang telah mengirimkan buku yang sangat menginspirasi ini secara cuma-cuma kepada penulis.
Daftar Pustaka: Anderson, L. W. & Krathwol, D. R. (Ed.). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives, Edisi Singkat. New York: Longman. Devlin, K. (2000). The Math Gene: How Mathematical Thinking Evolved and Why Numbers are Like Gossip. California: Basic Books. Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: RoutledgeFalmer. Freudenthal, H. (2002). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecth: Kluwer Academic Publishers. Geelan, D. (2006). Undead Theories: Constructivism, Eclecticism, and Research in Education. Rotterdam: Sense Publishers. Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht, The Netherlands: Freudenthal Institute. Grundy, S. (1987) Curriculum: Product or Praxis. London: Falmer Press. Hewitt, D. (2009). Towards a Curriculum in Terms of Awareness. Dalam S. Lerman & B. Davis (Ed.), Mathematical Action & Structures of Noticing: Studies on John Mason’s Contribution to Mathematics Education, 89-100. Rotterdam: Sense Publishers. Holton, D., Thomas, M., & Haradine, A. (2009). The Excircle Problem: A Case Study in Mathematics Develops. Dalam S. Lerman & B. Davis (Ed.), Mathematical Action & Structures of Noticing: Studies on John Mason’s Contribution to Mathematics Education, 3184. Rotterdam: Sense Publishers. Lerman, S. & Davis, B. (Ed.) (2009). Mathematical Action & Structures of Noticing: Studies on John Mason’s Contribution to Mathematics Education. Rotterdam: Sense Publishers. Mason, J. & Spence, M. (1999). Beyond Mere Knowledge of Mathematics: The Importance of Knowing-to-act in the Moment. Eductional Studies in Mathematics, 38(1-3), 135-161. Mason, J. (2002). Researching Your own Practice: The Discipline of Noticing: London: RoutledgeFalmer. Mason, J. (2004). A Phenomenal Approach to Mathematics. Makalah dipresentasikan pada the Tenth International Congress on Mathematical Education 4-11 Juli 2004 di Copenhagen, Denmark. Mason, J., Burton, L., & Stacey K. (1982). Thinking Mathematically. Wokingham, UK: Addison Wesley. Polya, G. (1973). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method Second, Edisi Kedua Princeton: Princeton University Press. 10
Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense-making in Mathematics. Dalam D. Grouws (Ed.), Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning, 334-370. New York: MacMillan. Skemp, R. R. (1979). Intelligence, Learning, and Action. London: Wiley. Stacey, K. (2007). What is Mathematical Thinking and Why is It Important? Dalam Progress Report of the APEC Project: Collaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Different Cultures (II) (Lesson Study Focusing on Mathematical Thinking), 39-48: Tsukuba: Center for Research on International Cooperation in Educational Development (CRICED), University of Tsukuba. Tall, D. (2002). The Psychology of Advanced Mathematical Thinking. Dalam D. Tall (Ed.), Advanced Mathemuatical Thinking, 3-21. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Tall, D. (2009). The Development of Mathematical Thinking. Dalam S. Lerman & B. Davis (Ed.), Mathematical Action & Structures of Noticing: Studies on John Mason’s Contribution to Mathematics Education, 19-29. Rotterdam: Sense Publishers. Vinner, S. (2007). From Solving Equation to the Meaning of Life: Mathematics, Rationality, and Values. ZDM Mathematics Education, 39, 183-189.
11