Oleh: Akhol SOBAT KBBFirdaus
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur
22-23 November 2015 Pengantar Assesment kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, merupakan rangkaian dari assesment yang dilakukan oleh Sobat KBB Nasional sebagai upaya pemetaan kondisi kehidupan beragama/berkyakinan di Indonesia. Assesment dilakukan pada tanggal 22-23 November 2015 melalui metode Focus Group Discussion [FGD] dan kunjungan komunitas. FGD diikuti oleh 20 orang dari representasi GKI GMIT, Ikatan Jamaah Ahlu al-Bait [IJABI], Ahlu al-Bait Indonesia [ABI]; Jemaat Ahmadiyah Indonesia [JAI]; komunitas Muslim Batu Plat, dan kelompok Non-Gevernment Organization. Sementara itu, kunjungan dilakukan di komunitas muslim Batu Plat dan di GKI GMIT. Tim assesor adalah Akhol Firdaus dan Dian Jennie Tjahjawati.
Foto bersama setelah Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur, 22-23 November 2015 Situasi Umum Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kupang Kupang tidak berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya yang terus menghadapi gejolak intoleransi. Secara umum, Kupang dan seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur juga menghadapi problem intoleransi yang sama sebagaimana dihadapi oleh wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pada tahun 1998, wilayah ini sempat bergejolak karena kebencian terhadap agama dan etnis tertentu yang dikapitalisasi menjadi kejahatan kebencian [hate crime]. Saat itu, hampir semua masjid di wilayah Kupang dibakar.[1] Pengalaman ini membuktikan bahwa Kupang dan seluruh wilayah NTT sesungguhnya memiliki pengalaman intoleransi yang sangat serius akibat kebencian terhadap https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
1/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, agama dan SOBAT KBBetnis/suku yang dikapitalisasi oleh kepentingan politik. Nusa Tenggara Timur
Menarik dicermati bahwa sesungguhnya di Kupang, semua agama ditegaskan sebagai agama keluarga.[2] Ada interseksionalitas antara agama dan suku sehingga identitas sosial dibentuk sekaligus oleh identitas agama dan suku. Hal ini bisa menjadi modal sosial yang sangat penting untuk memupuk kesadaran akan makna penting kebhinnekaan dan keberagaman. Bagaimanapun, mayoritas masyarakat Kupang memahami bahwa sesungguhnya perbedaan suku tidak menghalangi untuk memupuk sikap kekeluargaan. Meski begitu, faktor interseksionalitas antara agama dan suku juga bisa menjadi potensi yang besar dalam menyulut tindakan intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan. Kasus sentimen terhadap Islam-Bugis di Kupang pada tahun 1998 yang menyebabkan semua masjid dibakar membuktikan bahwa, interseksionalitas agama dan kesukuan dapat menjadi tantangan serius bagi gerakan toleransi dan kekebasan beragama. Kuatnya pengaruh agama Kristen dan Katolik di Kupang dan seluruh wilayah NTT juga menjadi faktor yang penting. Populasi yang berimbang antara komunitas Kristen dan Katolik di Kupang menjadi faktor yang penting bagi kondisi kehidupan beragama/berkeyakinan. Meski begitu, potensi konflik dan kekerasan berbasis agama selalu ada karena keberadaan kedua agama tersebut mengikuti kesukuan. Misalnya, komunitas Katolik sangat identik dengan suku Flores dan Belu, sementara itu Kristen sangat identik dengan suku Sabu, Sumba, dan Alor.[3] Setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir, wilayah NTT terus diwarnai oleh tindakan intoleransi dengan saling menghambat pendirian Gereja di antara dua komunitas tersebut. Tahun 2014, di Kabupaten Belu ada Gereja Kristen yang dibakar oleh komunitas Katolik. Peristiwa ini terjadi akibat meningkatnya militansi kesukuan. Sebagaimana pola umum penyerangan rumah ibadah yang terjadi di Indonesia, peristiwa kekerasan yang terjadi di Belu ini berlangsung tanpa proses hukum. Di Atambua, hambatan pendirian rumah ibadah juga terjadi. Di wilayah ini tidak ada lagi Gereja Kristen yang bisa dibangun. Hal yang sama juga terjadi di Flores. Sebaliknya, di wilayah Batu Plat meski sudah mendapat banyak pengikut, Gereja Katolik juga dihambat pendiriannya.[4] Kasus-kasus sebagaimana digambarkan di atas, telah menggeser keberadaan agama Kristen dan Katolik sebagai faktor perekat masyarakat menjadi faktor yang menajamkan potensi konflik dan militansi kesukuan. Potensi konflik antara komunitas Kristen dan Katolik sesungguhnya sudah berlangsung sangat lama. Hal ini juga berdampak pada menguatnya arus penolakan terhadap pendirian masjid di wilayah Kupang. Kasus penolakan terhadap pendirian Masjid Batu Plat[5] sejak delapan tahun terkahir sesungguhnya dapat dibaca dalam kerangka menguatnya militansi kesukuan dan agama di wilayah ini. Fakta lain yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan yang dialami oleh agama adat dalam mendapatkan hak-haknya akibat menguatnya militansi agama dan kesukuan di Kupang dan seluruh wilayah NTT. Setidaknya dalam catatan hasil assesment ada dua agama adat yang selama puluhan tahun menjadi target penyesatan dan pemaksaan pindah keyakinan di wilayah NTT. Dua agama adat itu adalah Jinitiu dan agama Marapu di Sumba. Menarik dicermati, sejak masa kolonialisme agama negara di NTT adalah agama Kristen. Ada semangat politik yang besar untuk meng-Kristen-kan siapa saja yang diidentifikasi sebagai animisme dan dinamisme. Semangat inilah yang terus menempatkan komunitas agama lokal/adat sebagai target dan sasaran peng-Injilan. Hingga saat ini, komunitas agama lokal/adat di NTT terus dipaksa untuk memilih salah satu agama [umumnya adalah agama Kristen] di kolom agama dalam KTP. Hak pendidikan agama bagi anak-anak dari komunitas agama adat juga tidak terpenuhi. Di sekolah, mereka dipaksa mengikuti pendidikan agama Kristen. Terkait masalah pendidikan agama, bukan hanya komunitas agama lokal/adat yang tidak bisa memperoleh hak pendidikan agama. Semua kelompok minoritas juga mengalami hal sama. Anakanak dari komunitas Islam juga tidak mendapatkan layanan pendidikan agama di sekolah publik. https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
2/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, Pada periode dipaksa mengikut SOBAT KBB 1990an, semua anak di sekolah dengan latar agama apapun bahkan Nusa Tenggara Timur
pendidikan Agama Kristen.[6]
Secara umum situasi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan di Kupang dan seluruh wilayah NTT tidak berbeda dengan situasi umum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat secara umum belum diikat oleh semangat yang besar dalam menciptakan kohesi sosial yang tinggi di tengah keberagaman suku dan agama. Di sisi lain, negara juga kehilangan kemampuan dalam menciptakan rasa aman bagi semua pemeluk agama. Negara sering hadir justu sebagai aktor yang memperparah intolernasi. Salah satu faktor yang membedakan wilayah ini dengan wilayah lain di Indonesia adalah kuatnya interseksi antara agama dan kesukuan. Meningkatnya militansi suku dalam beberapa tahun terakhir di Kupang dan di seluruh wilayah NTT, telah menjadi preseden buruk bagi jaminan kebebasan hak beragama/berkeyakinan. Menguatnya Militansi Suku dan Arus Radikalisasi Agama Wilayah Kupang dalam beberapa tahun terakhir diwarnai oleh menguatnya militansi kesukuan, juga masuknya arus radikalisasi agama. Menguatnya militansi kesukuan telah melahirkan keretakan sosial dan selalu potensial menjadi pintu bagi konflik agama. Apakah sumber menguatnya militansi kesukuan tersebut? Tentu saja secara umum hal ini dapat dikaitkan dengan politik otonomi daerah. Meski begitu, sesungguhnya hal ini tidak terlepas dari ketimpangan ekonomi dan akses terhadap sumber daya. Pemekaran wilayah yang terjadi di NTT telah menyokong problem keretakan sosial tersebut. Secara umum, masyarakat sangat bergantung pada sumber daya alam yang sangat terbatas, sementara itu umumnya masyarakat tidak mengasah keterampilan di usaha ekonomi menengah. Pendek kata, masyarakat tidak terlalu terarik dengan ekonomi berdikari. Justru para pendatang, umumnya adalah suku Bugis dan Jawa yang beragama Islam [dari berbagai aliran Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah] pada akhirnya yang sangat maju dan menguasai dunia usaha ekonomi kecil menengah. Ada kesan bahwa masyarakat NTT tidak berbeda dengan masyarakat Maluku yang menganggap pekerjaan warung dan usaha kuliner sebagai pekerajaan ‘babu’, padahal ini basis ekonomi yang sedang menggeliat di Kupang. Enterpreunership sangat minim di NTT, dan ini sangat berbahaya bagi isu agama karena ke depan potensial melahirkan sentimen pendatang dan ‘pribumi’. Hal ini diperparah oleh politik anggaran yang dianggap tidak menyejahterakan masyarakat lokal.[7] Secara umum mengeraskan militansi kesukuan adalah buah dari politik otonomi daerah yang belum menyejahterakan, ditambah dengan gap ekonomi antara penduduk lokal dan pendatang. Inilah salah satu faktor yang memicu keretakan sosial sehingga menghasilkan potensi konflik yang lebih besar, bukan hanya antara pendatang dan ‘pribumi’, tetapi juga konflik antar agama karena para pendatang umumnya beragama Islam. Militansi kesukuan bisa dikapitalisasi menjadi sumber konflik karena hingga saat ini Indonesia Timur dianggap sebagai lahan paling subur untuk pengalihan isu politik dari Jakarta. Menggesek sentimen agama dan suku, menjadi pintu masuk yang paling potensial dalam pengalihan isu politik. Fakta inilah yang terus menghantui situasi dan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Kupang dan seluruh wilayah NTT. Bersamaan dengan menguatnya militansi kesukuan, arus radikalisasi agama sesungguhnya sudah mulai masuk di Kupang. Hal ini ditandai dengan masuknya aliran-aliran radikal agama di Kupang. Hal ini terjadi baik di komunitas Muslim maupun Kristen. Kedua agama sangat permisif menerima kehadiran pada Pendeta dan Ustadz dari luar Kupang yang berdakwah dengan perspektif agama yang lebih radikal. Momen kebaktian massal yang diselenggarakan di Lapangan Polda NTT menjadi indikator yang paling mencolok. Setiap minggunya ada Kebaktian Kebangkitan Rohani Kristen yang mendatangkan Pendeta-Pendeta dari luar NTT. Umumnya isi khotbah mereka lebih banyak berbau kebencian dan menggesek sentimen agama. https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
3/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, Di komunitas luar Tenggara Kupang juga SOBAT KBB Muslim, pengajian agama yang mendatangkan Ustadz-Ustadz dariNusa Timur
lebih intensif dilakukan. Penyelenggaraannya juga di lapangan Polda NTT. Hampir sama dengan fenomena Kebaktian Kebangkitan Rohani Kristen, pengajian di lingkungan Muslim juga cenderung mendatangkan penceramah yang memiliki perspektif agama yang lebih radikal. Umumnya mereka juga membawakan pesan-pesan kebencian, terutama terhadap Syiah yang dianggap sebagai ancaman dalam Islam. Isi ceramah cenderung memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan yang keras terhadap pengikut Syiah.[8] Sentimen terhadap jamaah Syiah juga mulai mewarnai pelbagai sosial media dan mulai berdampak pada tindakan intoleransi.
Inilah gambaran umum meningkatnya militansi kesukuan dan arus radikalisasi agama di Kupang dan di semua wilayah NTT. Baik militansi kesukuan dan arus radikalisasi agama menemukan momentumnya pada periode-periode menjelang Pemilu dan Pemilukada. Inilah yang menjelaskan mengapa potensi konflik antara Kristen dan Katolik juga mulai mengalami pengerasan selama periode Pemilu. Begitu juga, sentimen terhadap komunitas Muslim juga mengalami pengerasan pada periode Pemilu. Menguatnya arus radikalisasi agama yang bertemu dengan momen politik terus meningkatkan ketegangan antara komunitas Katolik dan Kristen, dan ditambah dengan sentimen kesukuan. Menurut Pdt. Emmy S., ini merupakan bahaya laten yang bisa membuat kedua agama tidak lagi bisa menjadi faktor pemersatu masyarakat, tetapi menjadi pesaing dalam politik. Bahkan, dalam derajat tertentu kerangka politik mulai mengalahkan dan menguasai kerangka Pastoral. Fakta inilah yang menjadikan radikalisme agama menemukan tempatkan di Kupang. Ujaran Kebencian [Hate Speech] dan Kejahatan Kebencian [Hate Crime] Meningkatnya militansi kesukuan dan arus radikalisasi agama, telah berdampak sangat serius bagi meningkatnya ujaran kebencian dan kejahatan kebencian di Kupang. Hal ini tampak pada meningkatnya sentimen dan ketegangan antara komunitas Kristen dan Katolik. Beberapa kasus yang dipaparkan di bagian awal cukup menggambarkan bagaimana kejahatan kebencian mewarnai kehidupan beragama di Kupang. Tahun 2014, di samping ada Gereja Kristen yang dibakar oleh komunitas Katolik di Kabupaten Belu, juga terjadi pembunuhan terhadap seorang misionaris Protestan karena dianggap menyebarkan agama baru. Kedua peristiwa tersebut tidak diproses secara hukum sebagaimana mestinya, tetapi diakhiri dengan kesepakatan damai. Sebagaimana kebiasaan yang terjadi di pelbagai wilayah di Indonesia, kekerasan berbasis agama memang jarang diproses secara hukum sehingga melahirkan efek jera bagi aktor kekerasan. Hal yang sama juga mewarnai kasus-kasus kekerasan berbasis agama di NTT. Dalam kedua kasus tersebut, negara tampak kehilangan kemampuannya dalam mengatasi militansi suku dan radikalisasi agama. Polisi tidak berwibawa di hadapan aktor-aktor kekerasan. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus penutupan Gereja. Polisi dan representasi negara lainnya hanya membiarkan proses itu berlangsung. Dua kasus yang terjadi di Kabupaten Belu cukup menggambarkan bagaimana militansi suku dan agama melahirkan ujaran kebencian, dan berakhir pada kejahatan kebencian dengan tindakan pembakaran dan pembunuhan. Peristiwa ini terjadi karena pemerintah cenderung membiarkan ujaran kebencian terus mewarnai kehidupan beragama masyarakat. Di Kabupaten Alor misalnya, pernah terjadi pembakaran al-Quran sehingga memicu konflik antara komunitas Kristen dan Muslim. Selama sepuluh tahun terakhir, sentimen ini belum berakhir dan ujaran kebencian terus mewarnai kehidupan masyarakat, akan tetapi pemerintah tidak melakukan tindakan apapun yang berarti. Ujaran kebencian akibat arus radikalisasi agama juga terus mewarnai kehidupan internal umat Islam di Kupang, dalam hal ini adalah kebencian terhadap jamaah Syiah. Fenomena ini merupakan https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
4/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, hal baruKBB di Kupang. Pengurus Ikatan Jamaah Ahlu al-Bait [IJABI] dan Ahlu al-Bait Indonesia [ABI] SOBAT Nusa Tenggara Timur
wilayah NTT berpandangan bahwa sentimen terhadap Syiah sesungguhnya dipaket dari Jawa. Meningkatnya ujaran kebencian terhadap Syiah di Jawa telah dipaketkan melalui jaringan mubaligh dari Jawa yang didatangkan ke Kupang.
Sebagaimana dipaparkan di bagian sebelumnya, ceramah agama yang dilakukan lebih intensif di lapangan Polda Kupang, selalu mengobarkan kebencian terhadap Syiah sebagai ancaman umat Islam. Ceramah ini tidak pernah dievaluasi dan dihentikan Polisi meski secara terang-terangan berisi ujaran kebencian [hate speech]. Bahkan, beberapa oknum polisi menjadi anggota aktif jamaah pengajian. Kebencian terhadap Syiah akhirnya terus mewarnai internal umat Islam. Akibatnya, beberapa peristiwa kejahatan akibat kebencian mulai mewarnai kehidupan umat Islam. Seorang dosen di Universitas Muhammadiyah [Unmuh] Kupang menjadi korban pemukulan karena diduga sebagai pengikut Syiah. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan pengajian di Masjid Unmuh yang membahas ‘kesesatan’ Syiah. Meski sudah menjadi korban pemukulan, dosen bersangkutan juga dipecat secara tidak terhormat dari Unmuh karena dituduh sebagai pengikut Syiah.[9] Seorang guru swasta bernama Ust. Umar S. Lisnahan juga diberhentikan secara tidak hormat dari sekolah tempat dia mengajar karena tuduhan yang sama. Di pelbagai media sosial mulai berkembang kampanye anti-Syiah dan mendesak pencopotan wakil Rektor Unmuh karena tuduhan yang sama. Polisi tidak menghentikan semua ujaran kebencian tersebut, juga tidak memproses secara hukum peristiwa pemukulan yang dialami oleh seorang dosen Unmuh Kupang. Sebaliknya, Polisi justu terus mengawasi keberadaan jamaah Syiah di Kupang. Hampir setiap hari polisi mendatangi kantor ABI sebagai bentuk pengawasan. Pemerintah sendiri terus menghambat deklarasi berdirinya ABI di NTT. Dalam semua peristiwa ujaran kebencian dan kejahatan kebencian di atas, tampak sekali negara melembagakan kebijakan membiarkan ujaran kebencian tanpa tindakan preventif apapun. Kejahatan-kejahatan yang terjadi akibat ujaran kebencian juga tidak ada yang diproses secara hukum. Ini merupakan preseden buruk yang berpotensi memperparah situasi intoleransi di Kupang. Pemaksaan [Coersi] dalam Pendidikan Agama di Sekolah Sampai saat ini, Pendidikan Agama di Sekolah hanya bisa diakses oleh anak-anak berlatar belakang keluarga Kristen dan Katolik. Anak-anak dari komunitas muslim dan agama lokal masih belum bisa mengakses Pendidikan Agama di Sekolah. Di Batu Plat misalnya, semua sekolah tidak menyediakan Pendidikan Agama Islam bagi anak-anak yang berlatar belakang keluarga Muslim. Beberapa sekolah memang bekerja sama dengan tokoh agama bersangkutan, akan tetapi banyak sekolah juga yang masih memaksakan pendidikan agama kristen untuk semua anak. Sasaran peng-Kristenan tentu lebih banyak dialami oleh anak-anak yang berlatar belakang agama lokal. Keberadaan agama mereka sama sekali tidak diakui sehingga sekolah juga bertindak represif dengan memaksakan semua anak harus mengikuti pendidikan Agama Kristen. Fenomena demikian tentu bukan hanya terjadi di Kupang. Di seluruh wilayah Indonesia, anak-anak dari latar belakang keluarga Penghayat dan Agama Adat tidak pernah mendapatkan akses untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama/keyakinan mereka. Agama Lokal/Adat sebagai Target dan Sasaran Keberadaan agama lokal/adat tidak pernah diakui oleh pemerintah. Negara justru terus mereproduksi stigma bahwa mereka adalah komunis karena dikaitkan dengan tragedi 1965. Sementara itu, di hadapan agama Kristen mereka dianggap sebagai aliran sesat. Selama Indonesia berdiri agama Jinitiu dan Marapu [keduanya adalah representasi agama adat di NTT. Assesment https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
5/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, memfokuskan lainnya] SOBAT KBB perhatian pada kedua agama tersebut meski ada agama-agama lokal/adat Nusa Tenggara Timur
terus menjadi sasaran peng-Injilan. Mereka menjadi target dan sasaran Kristenisasi. Para penganut Jinitiu di Kabupaten Sabu, Belu, dan Timor, bahkan lebih mendapat tingkat represi yang besar, sehingga harus merantau untuk menghindar tekanan.
Komunitas agama lokal/adat juga terus menghadapi diskriminasi yang dilembagakan oleh negara. Setidaknya, keberadaan mereka tidak pernah diakui. Mereka dipaksa untuk tetap mencantumkan agama Kristen dalam kolom agama di KTP. Mereka juga terus mengalami peminggiran akibat pelbagai stigma negaif. Anak-anak mereka tidak pernah mendapatkan hak untuk bisa mengenyam pendidikan agama sesuai dengan keyakinan. Mata rantai diskriminasi yang dihadapi oleh komunitas agama lokal/adat ini terus terjadi dari generasi ke generasi. Pemerintah melembagakan diskriminasi, tanpa ada tanda-tanda kapan mereka akan mendapatkan rehabilitasi. Ini merupakan fenomena umum yang dihadapi oleh agama lokal/adat dan Penghayat di Indonesia. Diskriminasi yang mereka alami telah berlangsung sepanjang usia Republik Indonesia, meski begitu inilah fenomena diskriminasi yang paling diabaikan dan paling tidak mendapat perhatian. Pemerintah tidak menganggap hal itu sebagai pelanggaran hak dasar, sementara kelompokkelompok NGO belum menjadikan isu diskriminasi terhadap agama lokal/adat dan Penghayat sebagai isu strategis yang mendesak diperjuangkan. Berbagai Potensi dan Peluang yang Bisa Dilakukan oleh Sobat KBB? Di balik semua potensi konflik agama di atas, sesungguhnya selalu tersisa peluang untuk merekatkan kembali kohesi sosial yang rusak akibat menguatnya militansi suku dan arus radikalisasi agama. Potensi tersebut tampak pada semangat yang dipupuk oleh komunitas Katolik dan Kristen untuk merekatkan kembali relasi hormani melalui isu-isu kemanusiaan semisal isu human trafficking, ecology, dan kemiskinan. Isu-isu ini pada akhirnya menjadi pemersatu dan ikatan baru yang bisa memupuk kembali kohesi yang retak. Memang harus diakui advokasi pada isu-isu tersebut sangat maju di komunitas Katolik karena sistemnya satu komando dan Keuskupan yang bersikap terbuka. Sementara itu, di komunitas Kristen advokasi pada isu-isu tersebut masih terhambat karena belum menjadi kebijakan Pastoral. Akhirnya, tokoh yang menggarap isu tersebut umumnya adalah aktor Gereja lokal yang tidak terlalu mainstream di lingkungan Sinode. Meski demikian, upaya mencari titik temu pada isu kemanusiaan sudah mulai menjadi rintisan yang perlu lebih dipupuk di masa yang akan datang. Tantangan terbesar di masa yang akan datang adalah bagaimana memperbanyak aktor bina damai melalui isu kemanusiaan. Harus ada advokasi yang mengarah pada pemetaan aktor-aktor di tingkat Sinode dan Keuskupan yang mampu berbicara sampai di level akar rumput. Harus ada pemetaan yang memadai untuk mendorong lahirnya aktor-aktor bina damai di kedua komunitas tersebut. Aktor bina damai juga perlu didorong lahir dari komunitas-komunitas non-mainstream di Kupang. Sangat penting mendorong komunitas Muslim dan tokoh-tokoh adat, agama lokal, untuk mampu melahirkan aktor-aktor bina damai yang mampu melakukan dialog lintas batas agama dan suku. Hal ini sesungguhnya sudah dimulai melalui keberadaan Sobat KBB Kupang yang menempatkan Bpk Abd Gaos sebagai dinamisatornya. Sayangnya, dinamika internal Masjid Batu Plat telah menempatkan tokoh bersangkutan harus didepak dari kedudukannya sebagai Imam Masjid. Hal ini berarti, posisi Abd Gaos juga merupakan minoritas di komunitasnya sendiri. Terlepas dari kasus yang dialami Abd Gaos, secara umum aktor bina damai sesungguhnya masih menempati posisi minoritas di komunitas masing-masing. Pdt. Emmy S., yang memiliki pengalaman sangat lama dalam advokasi isu-isu kemanusiaan juga tidak menempati posisi mainstream di Sinode.
https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
6/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, Hal lainKBB yang perlu dikalkulasi adalah ancaman terhadap pekerja sosial dan human defenders SOBAT Nusarights Tenggara Timur
juga mulai meningkat. Hal ini misalnya bercermin dari kasus yang dialami oleh Mama Aleta Baun, SH. dari Molo. Ia adalah tokoh perempuan Molo yang menggerakan masyarakat untuk menolak eksploitasi tambang marmer. Mama Aleta mengorganisir perempuan Molo untuk menolak eksploitasi karena itu tempat ritual. Ia Hampir dibunuh, dan terpaksa sembunyi di hutang berminggu-minggu sebelum akhirnya berhasil dievakuasi ke Jakarta. Pelakunya adalah korporasi dan negara. Kasus ini menjadi semacam peringatan bahwa posisi human rights defender menghadapi kerawanan karena mengadvokasi isu-isu yang beririsan secara langsung dengan negara.
Berbagai potensi, peluang, dan tantang tersebut menjadi pijakan penting bagi Sobat KBB untuk membuat skema advokasi di Kupang dan advokasi nasional yang kontekstual dengan dinamika yang terjadi. Laporan ini merumuskan rekomendasi sebagai berikut: 1. Deeskalasi potensi konflik agama di Kupang bisa ditempuh dengan merajut kohesi sosial dengan mengarusutamakan isu-isu kemanusiaan semisal isu human trafficking, lingkungan, dan kemiskinan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak aktor bina damai dari lintas komunitas agama/keyakinan. Harus ada pemetaan yang memadai terkait aktor bina damai yang bisa berbicara di level akar rumput. Sobat KBB perlu mengintensifikasi dialog di semua komunitas agama untuk mendorong lahirnya aktor-aktor bina damai yang bisa melalukan dialog dan kerja sama di isu kemanusiaan lintas batas agama dan suku. 2. Aktor-aktor bina damai inilah yang akan bekerja merajut kohesi sosial yang mulai terkoyak. Di masa yang datang Sobat KBB Nasional perlu lebih banyak bekerja sama dengan lembaga Keuskupan dan Sinode dalam rangka melakukan strategi mainstreaming isu kemanusiaan. 3. Sobat KBB juga perlu mendorong lahirnya aktor bina damai dari kelompok non-mainstream di Kupang. Dalam hal ini komunitas Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok Muslim lainnya harus didorong menjadi aktor bina damai yang bekerja bersama-sama dengan lembaga Keuskupuan dan Sinode. 4. Di level pemerintah, Sobat KBB perlu mendesak langkah-langkah preventif yang harus dilakukan oleh menghindari pecahnya konflik akibat meningkatnya militansi kesukuan dan arus fundamentalisme agama. 5. Salah satu tindakan preventif adalah dengan mendorong Polisi untuk responsibel dalam menghentikan ujaran kebencian yang marak melalui Kebaktian dan Pengajian. Surat Edaran Ujaran Kebencian yang barusan dikeluarkan oleh Kapolri perlu disosialisasikan lebih serius di lingkungan Polisi sehingga memiliki kerangka acuan untuk mencegah potensi-potensi kejahatan berbasis ujaran kebencian. 6. Di tingkat nasional, Sobat KBB perlu mendorong lahirnya kebijakan pendidikan agama yang non-diskriminatif bagai minoritas, terutama bagi anak-anak Penghayat dan Agama Adat di Indonesia. 7. Mendorong kebijakan nasional untuk perlindungan terhadap human rights defenders mempertimbangkan banyaknya ancaman di pelbagai wilayah di Indonesia. 8. Mendorong pencabutan kebijakan yang menjadi basis diskriminasi bagi agama lokal/adat di Indonesia.
[1] Saat itu diperkirakan tidak kurang dari 40an masjid di wilayah Kupang dibakar akibat kebencian terhadap agama-etnis tertentu. [2] Kesimpulan ini ditarik berdasarkan keterangan hampir semua peserta FGD. Pdt. Emmy S. dari GKI Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT], salah satu tokoh terkemuka dalam gerakan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kupang memastikan bahwa sesungguhnya sejarah agama-agama di https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
7/8
Hasil Assesment Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Wilayah Kupang, Kupang berpadu dengan identitas keluarga dan kesukuan. SOBAT KBB Nusa Tenggara Timur
[3] Identifikasi sederhana ini berdasarkan penjelasan Pdt. Emmy S. dan komunitas GKI GMIT. [4] Meskipun peristiwa penutupan dan serangan terhadap rumah ibadah sering terjadi tetapi tidak ada pencatatan yang memadai sehingga tidak diketahui berapa angka sesungguhnya rumah ibadah yang ditolak berdiri atau yang mengalami penyerangan. [5] Kasus penolakan pendirian Masjid Batu Plat dapat dibaca dalam transkrip wawancara terhadap Abd Gaos, Imam Masjid dan Tokoh agama di Batu Plat. Juga seluruh dokumen atas penolakan pemerintah dan masyarakat yang berhasil dikumpulkan selama proses assesment berlangsung. [6] Kesimpulan ini berdasarkan keterangan Ibu Salmah, salah satu pengurus JAI yang berpofesi sebagai guru di Kupang. [7] Kesimpulan ini didasarkan pada penjelasan Marthens, seorang aktifis NGO dan human rights defender yang aktif memantau isu kebebasan beragama/berkeyakinan di Kupang. [8] Penjelasan ini didasarkan pada testimoni pengurus Ikatan Jamaah Ahlu al-Bait [IJABI] dan Ahlu al-Bait Indonesia [ABI] wilayah NTT. Berdasarkan testimoni tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan sentimen terhadap Syiah mulai menguta di Kupang. [9] Berdasarkan keterangan Kasim Bapang, pengurus ABI wilayah NTT, dan diperkuat oleh sejumlah pengurus ABI lainnya. (sobat-kbb/akhol)
https://sobatkbb.org/hasil-assesment-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-wilayah-kupang-nusa-tenggara-timur/
8/8