http://www.sinarharapan.co.id/content/read/berkaca-dari-sondang/ 14.12.2011 10:58
Berkaca dari Aksi Bakar Diri Sondang Penulis : Lilik HS* “Stop eksploitasi buruh! Jangan biarkan kematianku sia-sia!” teriak Chun Tae-il sesaat sebelum api menjilat tubuhnya. Tanggal 13 November 1970, buruh pabrik garmen di Kota Seoul, Korea Selatan itu membakar diri di depan aksi massa. Barangkali hanya kebetulan Sondang Hutagalung dan Chun Tae-il sama-sama berusia 22 tahun ketika mengakhiri hidupnya. Kebetulan juga Sondang melakukan aksinya di bulan yang sama dengan Mohammed Bouazizi yang tewas terpanggang api pada 17 Desember 2010, bulan ketika dunia memperingati Hari HAM sedunia. Aksi Chun Tae-il pada 1970-an itu segera mengguncang Korea Selatan. Aksi dan pemogokan buruh bergemuruh seantero negeri. Buruknya kondisi kerja, upah rendah, dan PHK massal adalah lahan kering yang dengan cepat tersulut api. Berjarak 40 tahun kemudian, tindakan nekad Bouazizi, pedagang kecil dari Tunisia yang dilatari frustasi ekononi akut, mendapat respons serupa. Api perlawanan massa menjalar cepat di Tunisia, hingga rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pun terjungkal. Bagaimana dengan Sondang? Rakyat di negeri ini pun dibuat terperangah. Pertama kali dalam sejarah orang membakar diri tepat di depan Istana Negara. Reaksi yang timbul beragam. Banyak yang mengutuk, tak sedikit yang menempatkannya sebagai martir perjuangan. Tapi sejumlah reaksi yang bergema di sosial media tak lantas bersambut dengan tumpah ruah orang turun ke jalan. Orang justru lebih banyak memperdebatkan motif dan cara kematian Sondang. Banyak yang menilai sebagai konyol dan sia-sia. Sondang mati tanpa meninggalkan pesan politik secara harfiah. Tetapi, apakah pesan selalu harus selalu tersurat? Dalam rekaman video pada aksi Kamisan pada 18 Agustus 2011, aksi korban pelanggaran HAM yang rutin digelar tiap minggu di depan istana, Sondang menyatakan, “Kalau saya bermimpi menjadi anggota DPR, saya akan ajak anggota DPR, menteri, presiden untuk bisa melihat kondisi rakyat sekarang.” Menerobos Kemampatan Sondang adalah bagian dari anak muda yang gelisah. Ia hanya tak tahu metode perjuangan paling tepat untuk menyuarakan aspirasinya. Ia juga berada di tengah situasi ekonomi politik yang tengah mampat. Barangkali, dia berharap aksinya mampu menerobos kemampatan ini. Kebetulan cara yang dipilihnya ganjil dan tak dapat dinalar sebagian besar orang.
Gelombang neoliberalisme telah menerjang setiap sendi kehidupan rakyat. Dampak pasar bebas, privatisasi, dan penghapusan subsidi ini telah menjerat di segala sektor masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, petani kehilangan akses lahan, para buruh menjadi tenaga outsourcing, dan perempuan kian terdesak menjadi buruh migran. Tingkat pengangguran meningkat dan kesenjangan sosial pun semakin lebar. Dalam kondisi ini, protes-protes rakyat bak membentur tembok. Semoga kita belum lupa bahwa sejarah perubahan selalu ditabuh anak-anak muda yang gelisah, yang tak bisa nyaman ketika menyaksikan kemiskinan dan penindasan dibiarkan merajalela, sementara hukum menjadi pajangan belaka. Pada periode akhir 1980-an, di bawah cengkeraman sistem otoritarian Soeharto, ada sekelompok anak muda yang gelisah, yang mengadang risiko menyelinap di dusun-dusun di Kedung Ombo, Boyolali, Jawa Tengah, dan mengadvokasi para petani yang dirampas tanahnya dengan dalih pembangunan waduk. Anak-anak muda itu kemudian juga menyelinap di basis kampung-kampung buruh serta mengorganisasi kekuatan dari kampus, yang ketika itu tengah sekarat oleh kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Bertahun kemudian, orang juga mencibir ketika anak-anak muda ini membentuk partai, yakni PRD (Partai Rakyat Demokratik), dengan mengusung program politik pencabutan dwifungsi ABRI, lima Paket UU Politik, serta pembebasan Timor-Timur. Kelak, bertahun kemudian, tuntutan politik itu berbuah. Sayang, transisi demokrasi pada 1998 tak berjalan mulus. Kekuatan ekonomi dan politik tetap dipegang tangan-tangan lama. Negeri Paradoks Keresahan Sondang adalah keresahan bersama. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perih ketika api mulai menjilat tubuhnya. Barangkali, ia ingin menghayati keperihan yang diderita para korban pelanggaran HAM, para ibu yang anak dan suaminya diculik, yang tiada kabar hingga berbelas tahun lamanya, juga keperihan rakyat Papua yang puluhan tahun hidup nestapa di atas limpahan emas yang dikeruk dan dijual negara. Mungkin lewat perih itulah Sondang ingin bicara. Dia ingin penguasa mendengar. Dia ingin gerakan rakyat menggeliat kembali dan kembali ke khittah membangun pemberdayaan rakyat. Sayangnya, negeri Sondang adalah Indonesia, sebuah negeri yang dihuni banyak orang yang gampang lupa. Bergunung kasus hukum dan pelanggaran HAM menguap begitu saja, kemudian kita sudah tersihir berita-berita baru. Kemudian sibuk lagi memperdebatkan hal-hal baru dan lupa problem utama bangsa ini.
Negeri ini juga penuh paradoks. Pejabat dan politikus bisa dengan nyaman menggerogoti uang negara dan pamer kekayaan sementara di belahan Nusa Tenggara Timur, busung lapar yang melanda balita, dan angka kematian ibu terus meningkat. Korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, sehingga koruptor masih bisa berdiri tegak dan tersenyum ketika disorot kamera televisi. Mereka juga tak merasa resah kendati Indonesia nyaris berdiri di jurang kebangkrutan. Sumber daya alam telah habis dikeruk dan dijual, dan beban utang luar negeri mencapai triliunan rupiah. Jangan lupa, Indonesia juga bertengger dalam jajaran negara terkorup di dunia. Chun Tae-il, Bouazizi, dan Sondang sama-sama rakyat kecil, sama-sama dipagut resah akibat kekuasaan yang korup. Sayangnya para pejabat, politikus, dan sebagian besar dari kita tak cukup merasa resah, juga ketika ada anak manusia demi didengar suaranya membakar diri di depan mata kita.
*Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan, Media, dan Ilmu Sosial.
Aksi Bakar Diri Sondang Jadi Peringatan Bagi Pemerintah Regina Rukmorini | Robert Adhi Ksp | Rabu, 14 Desember 2011 | 20:22 WIB Fabian Januarius Kuwado Puluhan mahasiswa mengatasnamakan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi melakukan aksi solidaritas di depan Istana Negara, Selasa (13/12/2011) terhadap Sondang Hutagalung, Mahasiswa UBK yang melakukan aksi bakar diri beberapa waktu lalu.
MAGELANG, KOMPAS.com - Aksi membakar diri yang dilakukan Sondang Hutagalung adalah sebuah peringatan keras bagi pemerintah untuk segera mulai introspeksi diri. Aksi ini dipastikan te rjadi karena adanya ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat yang bahkan begitu sulit diutarakan dalam bentuk aksi demo biasa. "Pemerintah hendaknya langsung mengevaluasi semua kebijakan yang telah dibuat dan seperti apa dampak dan penderitaan yang dirasakan rakyat, sampai salah seorang warganya, Sondang Hutagalung, melakukan aksi bakar diri seperti ini," ujar Ketua Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid , saat ditemui di sela-sela acara Asosiasi Petani Nusantara (AstaNU) di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (14/12/2011). Nusron mengatakan, di satu sisi, aksi protes Sondang sepantasnya bisa dipahami karena begitu masalah masalah membelit negara ini seperti begitu banyaknya kasus korupsi, data angka
kemiskinan yang dimanipulasi, tingginya angka pengangguran, dan lain-lain. Aksi bakar diri yang dilakukan Sondang tidak pernah terjadi saat Orde Lama, dan bahkan juga tidak terjadi saat penggulingan rezim Suharto di masa Orde Baru. Ke depan, Nusron mengatakan, aksi bakar diri Sondang ini berpotensi memicu kelompok-kelompok masyarakat lain untuk gencar melakukan aksi turun ke jalan, dan mencoba menurunkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menyikapi itu, pemerintah pun harus cepat mengendalikan situasi agar kondisi negara tidak semakin kacau. Di satu sisi, dia pun berharap masyarakat tidak perlu terpancing karena aksi massa tidak akan cukup efektif untuk memperbaiki kinerja pemerintahan. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj mengatakan, aksi protes untuk hal apa pun semestinya tidak perlu sampai menghilangan nyawa diri sendiri atau orang lain. "Aksi bunuh diri seperti membakar diri adalah perbuatan haram dan melanggar ajaran agama apa pun," ujarnya. Menurut dia, dalam ajaran agama khususnya agama Islam, setiap manusia dilarang menghilangan nyawa yang berarti merusak kehidupan yang telah diciptakan Tuhan. << Pemerintah hendaknya langsung mengevaluasi semua kebijakan yang telah dibuat dan seperti apa dampak dan penderitaan yang dirasakan rakyat, sampai salah seorang warganya, Sondang Hutagalung, melakukan aksi bakar diri seperti ini >>
Logika Sondang Rabu, 14 Desember 2011 17:34 WIB | 1290 Views A.A. Ariwibowo
SONDANG MENINGGAL DUNIA. Dokumen foto tertanggal 12 Mei 2011 menunjukkan mendiang Sondang Hutagalung (dengan tanda tanya di tubuhnya) berunjuk rasa memperingati kasus Trisakti dan Mei 1998 di depan kantor Menkopolhukam, Jakarta. (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus)
Jakarta (ANTARA News) - Aksi menjemput ajal dengan melakukan aksi bakar diri mahasiswa Universitas Bung Karno, Sondang Hutagalung (22), di depan Istana Negara pada Rabu (7/12/2011) kini menuai sorotan publik, dari elite politik sampai aktivis kemanusiaan.
Sondang, elite dan aktivis sama-sama menyayangi hidup. Hidup yang diperjuangkan dan direvolusi terus menerus. Tiada hari tanpa berjuang di jalanan dengan ditingkahi deru kendaraan bermotor, kata Sondang bersama dengan sohib aktivis lainnya. Dan elite politik berkata, tiada hari tanpa berkata-kata di atas mimbar demi menghidupi dua takdir yakni hidup dari politik atau hidup untuk politik. Sayangnya, hidup dari politik menuai kritik sebagai onggokan manajemen kata-kata semata karena yang sedang dibicarakan soal mahasiswa yang meregang nyawa dengan membakar diri. Lebih baik berdiam diri bila berhadapan dengan segala hal "yang mistis", yang tidak dapat dibincangkan lebih lanjut, termasuk soal kematian. Kematian melampaui segala batas bahasa, kata filsuf Ludwig Wittgenstein. Kematian seakan membatasi dunia kita karena kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan. Ngomong soal kematian dengan menggunakan logika bahasa apalagi logika politik? Itu absurd ah! Sondang menyambangi kematian. Aksi bakar diri Sondang disebut-sebut oleh sejumlah pihak sebagai tindakan anti kehidupan. Argumennya, apakah aksi bakar diri menjadi jalan satu-satunya serentak jalan terakhir sebagai wujud perlawanan dari kekuasaan yang dinilai sudah demikian korup? Kenyataannya, Sondang melakoni aksi membakar diri sampai mati. Aksi Sondang didekat-dekatkan dengan aksi perlawanan sipil. Diambillah model perjuangan dari negara sono, salah satunya pejuang hak-hak sipil Amerika Serikat yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr. Menurut King, kejahatan rasial begitu meluas dan begitu meresap sampai ke tulang sum-sum mereka yang mengklaim sebagai satu-satunya pemilik kebenaran. Implikasinya, sah bila menempuh cara ekstrem karena nyatanya negoisasi menemui jalan buntu. Kritiknya, King menghalalkan segala cara untuk meraup tujuan. King melawan jati diri perjuangannya yang lebih memihak kedamaian ketimbang memilih jalan kekerasan. Logikanya, buat apa terikat dengan kewajiban mentaati hukum kehidupan bila sekelompok orang merasa tidak menerima hak-haknya secara memadai lagi. Silakan mencoret kontrak sosial kemudian menggantinya dengan ketidaktaatan masyarakat. Mereka yang tidak menerima haknya, kok masih saja dituntut mentaati kesepakatan-kesepakatan. Inikah logika yang dihidupi Sondang? Nah, bagaimana respons elite politik menghadapi logika Sondang. Elite berbela rasa dengan menyentuh logika kemanusiaan. "Presiden SBY sangat berduka dan berbagi kesedihan dengan
orangtua dan saudara-saudaranya," kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, Minggu. "Kami yakin ada ribuan pesan yang ditinggalkan oleh kematian Sondang. Hendaknya kita mengambil apa yang menjadi bagian kita," ujarnya. Sama dan sebangun, Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam berharap aksi bakar diri yang dilakukan Sondang tidak ditiru pemuda atau mahasiswa lainnya. Berangkat dari pengalaman menghidupi logika aktivis mahasiswa, Dipo berujar, "Pemuda berjuang harus berani hidup, bukan berani mati." Optimisme kehidupan yang terus berkelanjutan kini berhadapan dengan logika kematian yang diusung Sondang. Ini bukan soal memilih mana lebih dulu, telur atau ayam, tapi ini menyentuh nyawa dan kematian yang tidak perlu dihidup-hidupkan dalam keterbatasan wacana bahasa. Sementara, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memosisikan diri sebagai seorang ibu yang menyaksikan derita anak negeri. "Sondang telah pergi, tapi pesannya terasa keras menampar telinga kita. Kita tidak membutuhkan teguran keras lainnya, hanya untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan pengelolaan bangsa ini," katanya. Tidak ingin memungut remah-remah roti dari meja perjamuan kehidupan bangsa, Menteri Perhubungan EE Mangindaan berniat memberikan santunan kepada keluarga almarhum Sondang Hutagalung. "Masih saya pikirkan apa kira-kira (bentuk santunan itu)," katanya. Ketika merespons logika Sondang, elite politik mengusung fatsun bahwa inilah saat membuat momen keputusan atau menciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Sebaliknya, Sondang membuat "keputusan" dengan menghabisi nyawa sendiri dengan membakar diri menuju ketiadaan. Baik logika Sondang maupun logika elite politik sama-sama bersepakat bahwa memutuskan lebih baik dari tidak memutuskan, dan keputusan lebih baik daripada sekedar diskusi. Bedanya, Sondang memutuskan kematian, sementara elite memutuskan kehidupan.Untuk membasmi watak serigala manusia perlu ada pedang keputusan, bukan luapan kata-kata apalagi tebar citra diri. Apakah Sondang layak disebut martir? Martir dalam tradisi kekristenan merujuk kepada korban yang mengalami penganiayaan, pengasingan dan penyiksaan karena membela iman kepercayaan. Martir membayar kontan iman kepercayaannya dengan kematian. Logika Sondang menimba tiga serangkai demokrasi, yakni revolusi, logika dan momen beresiko. Di mata filsuf politik Alain Badiou, dengan revolusi, ada keinginan untuk terus melontarkan kritik demi perbaikan hidup.
Dengan logika, ada kepercayaan untuk menggunakan kekuatan argumentasi dan akal budi. Dengan momen resiko, ada keputusan untuk mendukung sebuah sudut pandang. Soalnya sekarang, logika Sondang adalah logika kematian. (A024)
Editor: AA Ariwibowo