Akulturasi Tarekat dan Sunda Berkaca dari Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Asep Salahudin
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
1
Pendahuluan Kauntungan tangtu nangtung, upami rugi geus nepi Kabeungharan pasti nyebar, mun pakir parantos nyingkir Caang pasti narawangan, mun poek geus teu ditampik Sadayana wujud elmu, elmu sajatining hirup Hurip sajatining rasa, jatining rasa taohid Jamaliyah jalaliyah, hak sadaya mahluk Gusti (Ditilar, Abah Sepuh)
Tercatat dalam buku-buku sejarah bahwa Islam yang datang pertama kali ke Nusantara tampil dengan wajah sufistik. Inisiasi Islam seperti ini disebut tarekat. Lembaga tarekat dengan intens menyebarkan Islam ke berbagai wilayah.1 Perkembangan dan dinamika Islam awal (abad 13) yang dimotori kaum sufi ini memberikan warna tersendiri pada Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam “arus utama” di Timur Tengah. Tidak aneh seandainya di Nusantara mengenal banyak para wali yang dianggap memiliki peranan penting dalam menyebarkan Islam dan sampai hari ini situs perjuangannya dijadikan objek ziarah. Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi budaya lokal ke dalam Islam Nusantara sama seperti Islam di Timur Tengah menyerap unsur-unsur tradisi hellenistik dan Persia. Tidak ada tradisi keagamaan dan kebudayaan yang eksis secara terisolir. Agama (dan kebudayaan) selalu merupakan percampuran dan kontaks dengan “yang lain”, pertautan dengan sejarah masa silam dan kehendak merumuskan visi ke depan. 2 Kaum tarekat mudah diterima masyarakat setempat karena watak ajarannya yang moderat. Budaya setempat yang dijadikan haluan masyarakat tidak dianggap “keliru” tapi justru diakomodir sebagai bagian integral budaya Islam. Inilah yang disebut akulturasi.3 Mengawinkan agama dengan budaya lokal dianggap penting agar masyarakat tidak kehilangan pijakan kulturalnya. Sebentuk peneguhan tentang tidak perlunya berislam dengan cara meniru seutuhnya budaya Arab karena latar nalar dan konteks sosial yang berlainan. 4 Agama dan budaya lokal relasinya diposisikan tidak saling menegasikan 1
Tentang sejarah tarekat (tasawuf) dan perkembangannya termasuk perkembangan epistemologinya lihat Ibn Khladun, al-Muqaddimah (Bairut : Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 370; Muhammad Ghallab, al-Tashawwuf alMuqaran (Mesir: Maktabah al-Nahdah, t.t.), hlm. 27; Ibrahim Hilal, al-Tashawwuf al-Islami Baina al-Din wa alFalsafah (Kairo: Dar al-Nahdat al-Arabiyyah, 1979), hlm. 27-31; Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tashawuf fi al-Islam (Kairo: 1874), hlm. 3-12. Telaah yang cukup komprehensif tentang asal usul tasawuf bisa di baca, di antaranya, dalam AJ Arberry, An Introduction to The History of Sufism, (London, 1942); Omar Farrukh, al-Tasawuf fi al-Islam, (Bairut: 1957); Abu Ala Afifi, al-Tashawuf: al-Taurat al-Rhiyya fi al-Islam (Cairo, 1963). 2 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 25-26 3 Contoh sederhana tentang akulturasi ini adalah bagaimana Islam membebaskan umatnya membuat arsitektur tempat ibadah (masjid) disesuaikan dengan budaya setempat. Berbeda misalnya dengan Budha yang menerapkan stupa atau Kristen yang membawa arsitektur Barat untuk diterapkan di tanah Nusantara. Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan ihwal toleransi sangat tinggi yang ditampilkan Islam yang pada gilirannya memudahkan agama ini diterima secara terbuka dan tidak terlampau menimbulkan konflik yang berarti. Riak konflik tentu ada, dan biasanya pemantiknya lebih bersifat ”politik”, perebutan ”wibawa” dan kuasa. 4
Gus Dur tahun 1980-an mengistilahkannya dengan pribumisasi Islam. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
2
(polarisasi) tapi saling memperkaya interpretasi sehingga tampil kebudayaan dengan wajah heterogen, tidak monolitik. Agama dan kebudayaan saling pengaruh karena keduanya memiliki simbol. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo bahwa agama memerlukan budaya tak ubahnya budaya membutuhkan agama. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. 5 Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi pada tiga tataran. Pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana salat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.6 Dalam konteks kesundaan nampak sekali, bagaimana agama menjalin relasi dengan Sunda. Keduanya dapat saling mengisi. Sehingga mungkin secara teo-sosiologis dapat disimpulkan bahwa membela agama adalah identik dengan membela sunda. Begitu pula sebaliknya membela Sunda sesungguhnya adalah juga jihad membela agama. Itu juga kalau kita memiliki pemahaman agama dan Sunda perlu “dibela”. Apalagi di aras perenial sesungguhnya agama dan Sunda (kearifan kuna) tidak memiliki banyak perbedaan, keduanya bermuara pada asal yang sama.7 “Iman”-kultural menjadi pertautan antara realitas langit dengan bumi. Aras psikologis agama (tarekat) yang banyak berbicara seputar rasa, mendapatkan relevansinya dengan kosmologi kebatinan Sunda yang juga sangat kental dengan nuansa rasa. Bukan hanya kebudayaannya bahkan juga bahasa yang dijadikan media untuk mengomunikasikan seluruh struktur budaya itu konstruksinya adalah “rasa” bukan “logika”. Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan. Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology). Lihat Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001), hlm. 111; Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan" (Jakarta: P3M, cet. I, 1989) hlm. 92 dan Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003, hal. 9-10 5 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 196. Lihat juga Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hlm. 235 6 Ibid., hlm. 195 7 Menurut Haidar Baqir seluruh kearifan kuno dan kearifan lokal (al-bi at al-mahalliyat) berpusat pada satu poros kearifan Ilahi (perennial wisdom). Haidar Bagir mendasarkan kesimpulannya itu pada penelitian sejarah yang menyebutkan bahwa seluruh ajaran kearifan yang dimiliki oleh kebudayaan di seluruh dunia (Maya, Aztec, Zoroaster, dan India Kuno) berasal dari muara yang sama, yakni "Corpus Hermeticum", sebagai hasil dari, Hermes, suhu guru ilmu pengetahuan. Lihat pengantar Haidar Bagir dalam Jusuf Sutanto, Kearifan Kuno di Zaman Modern, (Jakarta: Hikmah, 2001). Dalam satu telaah sosiologi agama disebutkan Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
3
Filsuf Haji Hasan Mustapa dalam kajian etnografisnya pernah merekam nuansa rasa dengan keragaman makna: 1) Rasa teu benang ku beja (rasa tidak dapat diwadahi oleh wacana); 2) top elmu ngarah rasana (ambillah ilmu untuk direguk rasanya); 3) ngawula nurutkeun rasa (berbakti mengacu kepada rasa); 4) aya rasa moal sarasa (ada perasaan, akan tetapi selalu ada ketidaksamaan); 5) rasa rumasa (rasa dan penuh perasaan); 6) rasa dipalsu pangrasa (perasaan dipalsukan oleh perasaan orang lain); 7); niat kumaha rasa (tekad itu tergantung kepada rasa); 8) lamun geus ti balik rasa tangtuna tibalik basa (kalau sudah terbalik perasaan, bahasa pun akan menyimpang); 9) sarasana sarasana (masing-masing perasaannya). 8 Islam Sunda, Sunda Islam, terlepas dari kontroversi yang menyertainya baik di tingkat epistemologi (pengetahuan), ontologi (hakikat) ataupun aksiologi (nilai) adalah terminologi lain yang menggambarkan bagaimana eratnya dialektika antara agama dengan tradisi lokal Sunda. Nafas agama menjadi bagian integral dari memori kolektif massa yang kemudian terpantul secara nyata dalam tindakan. Agama sebagai tindakan sosio-kultural kesundaan. Ungkapan seperti ini tidak mengandung makna teranulirnya agama lain yang menjadi pegangan manusia Sunda di luar Islam. Bukan sebagai alamat untuk menutup realitas lain. Ungkapan Islam-Sunda dan Sunda-Islam, sebagaimana dalam penafsiran Ayatrohaedi, dilafadzkan dalam satu tarikan nafas, tanpa memperhatikan bahwa kedua hal itu mengandung perbedaan yang agak mendasar: Sunda-Islam tidak sama dengan Islam-Sunda. 9 Jika orang berbicara tentang Sunda-Islam, dalam penjelasan Ayatrohaedi, sebenarnya berbicara tentang masyarakat Sunda, lebih sosiologis. Sedangkan Islam di situ merupakan salah satu ciri utama jatidirinya. Sunda-Islam digunakan untuk membedakannya dari kelompok masyarakat Sunda yang lain dengan ciri utama jatidiri yang bukan Islam, misalnya Sunda-Kristen, Sunda-Ateis, dan Sunda-Hindu. Sebaliknya, Islam-Sunda haruslah diartikan bahwa yang menjadi pokok adalah Islam, dan Sunda merupakan salah satu ciri untuk membedakannya dari Islam yang lain. Jika berbicara tentang Islam-Sunda, tentunya akan dapat berbicara tentang Islam-Jawa, Islam-Arab, Islam-Cina, dan Islam yang lainnya. Islam di tanah Sunda menjadi entitas kultural yang sangat menarik. Kekayaan kearifan lokal (local wisdom) yang terkandung dalam Siksa Kandang Karesian atau Nafas Galunggung dapat berjalan seiring dengan nafas sufisme.
8
Lihat Tini Kartini, dkk, Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1985), hlm. 60. Dalam “Sinom Pamake Nonoman” banyak bait yang dimulai dengan ungkapan rasa dengan makna yang mendalam, seperti: 1) rasana ku nu bogana//alam lahir alam batin//silih tanya silih papay//ti mana urang ti mendi//balik moal sabali...2) jami’an dina rasana//jiga loba tapi hiji//farkian dina basana bubuhan tataning lahir; 3) Bedana dina rasana fanaan leungiteun sari//miolang warna ilang rasa; 4) Wakcana kari rasana//rep sirep budi nu suni; 5). Al-hakku sirrulinsani//Beda rasa matak beda paribasa 9
Ayat Rohaedi, 1996, “Sunda Islam-Islam Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. Bandingkan dengan Ajip Rosidi yang melakukkan penelusuran nilai-nilai Islam dalam kesenian Sunda dalam ”Islam dalam Kesenian Sunda”, Seri Sundalana 4, Pusat Studi Sunda (2005), hlm. 12-20.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
4
Haji Hasan Mustapa dengan jernih telah mencoba merumuskan hubungan antara budaya lokal kesundaan dengan agama Islam (tarekat). Dalam ijtihad Haji Hasan Mustapa, Islam jauh dari citra fundamental dan puritan, namun justru Islam dengan tampilan ”tarekat” tanah Pasundaan dengan segala keragaman kulturalnya. Mundinglaya di Kusumah, Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi bisa melakukan ’negoisasi makna’ dengan kisah tokoh-tokoh historis muslim tarekat Timur Tengah tanpa satu sama lain kehilangan identitasnya. Nalar budayanya dilandaskan kepada pijakan pokok pedoman hidup umat: al-Quran. AlQuran tidak dipahami dalam konteks ideologi dan geneologi pengetahuan Arab, namun diacukan pada budaya lokal dalam hal ini semangat kebudayaan Sunda: ieu ditulis ku kaula Kuranna, jeung ukuran jiwa Kaula. Sehingga lebih membumi untuk mengangkat tema Sangkuriang, Dayang Sumbi, Mundinglaya di Kusumah, Sunan Ambu, Ratu Galuh, dan atmosfer kebudayaan Sunda lainnya daripada berpanjang lebar membahas manusia yang dalam domain kesundaan a historis seperti hikayat Ashabul Kahfi, Firaun, kisah Nasrani, dan seterusnya. Alasannya sebagaimana dikutip Ajip Rosidi.10 ”Ari ayat-ayat anu loba mah samar kapake eusina ku jalma-jalma sambarangan, sabab tangtu kurang parabotna, basa-basa sindir, kirata, sasmita-perwira perbawana pikeun jiwa rasa sorangan rawuh kamaslahatan dunya, contona hikayat sohibul kahfi, hikayat firaon jeung Musa, hikayat Ibrohim jeung Namrud, Musa jeung Hidir, Yunus jeung umatna, Musa jeung umatna, Nuh jeung umatna, Isa jeung yahudina, Dulkornaen jeung lalakon Rosululloh di Mekah, Abu Jahalna jeung sajaba ti eta. Eta mah ku kaula henteu dipetik, sabab jauh pisan katepina ku prawira sasmitana bangsa kaula, elmuna, amalna, tedakna, pakakas basa Arab. Hikmahna surtina kana dunya, kirata basa, bangsa kaula ngan tepi kana sisindiran, kirata, wawangsalan…”
Kalau Haji Hasan Mustapa merumuskannya dalam bentuk ”gerakan intelektual” yang banyak dikemas dalam dangding dan guguritan sehingga nyaris sulit dicerna masyarakat luas bahkan pada jamannya dianggap menyimpang, maka di Tasikmalaya karibnya Abah Sepuh pendiri pesantren Suryalaya lebih memilih merumuskannya dalam bentuk ”gerakan sosial keagamaan” atau tarekat. Ini juga ditopang oleh kepribadiannya. Yang satu lebih sebagai manusia soliter, yang terakhir manusia solider. Tarekat, Sunda dan Suryalaya Beberapa tarekat yang berkembang di Indonesia awal abad 16 sampai abad ke 19 antara lain Qadiriyah, Syatariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Samaniyah, Alawiyah, Hadadiyah. Awal abad ke-10 masuk tarekat Tijaniyah yang di bawa para jamaah haji Indonesia. Sementara tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah muncul tahun 1850.11 Tarekat terakhir inilah yang dikembangkan di Pesantren Suryalaya. Dalam penelitian Zamaksyari Dhofier, pesantren Suryalaya merupakan bagian dari lima pondok pesantren di 10
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana (Bandung: Pustaka, 1989)
11
Penelitian berharga tentang perkembangan tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Nusantara lihat Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992). Lihat juga Zurkani Yahya, “Asal Usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya” dalam Harun Nasution (ed.), Tarekat Qidiriyah wa Naqstabandiyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IAILM, 1990).
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
5
Jawa, yang menjadi basis penyebaran tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Kelima pesantren itu adalah Pesantren Pagentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (keduanya di Jawa Barat), Pesantren Mranggen di Demak (Jawa Tengah), Pesantren Rejoso serta Tebuireng di Jombang (Jawa Timur). 12 Ikon dalam garekan kaum tarekat adalah mursyid. Mursyid TQN yang mengambil posisi di pedalaman Tasikmalaya (9,5 kolometer dari jalan utama Bandung-Tasikmalaya, sekitar 25 kilometer sebelah utara sebelum Tasikmalaya) tidak lain KH Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin atau lebih dikenal dengan Abah Anom. Beliau adalah putra kelima KH Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh), pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, ibunya bernama Hj. Juhriyah. Saudara-saudara beliau adalah Ny.Hj. Siti Sufiah (seayah lain ibu), Ny. Hj. Siti Sukanah, Muhammad Malik, H. Mahmud Abdullah, Ny. Sa'adah, Ny. Wasi'ah, Ny. Didah Rosidah, Ny. H.S. Djuhriyah, dan KH. Noor Anom Mubarok BA (saudara seayah lain ibu). Pada usia delapan tahun, Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923 - 1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacam Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan intelektualismenya. Beliau belajar ilmu fiqih (hukum Islam) dari seorang kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur. Kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah kepada kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, ia melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi. Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Beliau inilah yang pada hari Senin tanggal 05 September 2011 menghembuskan nafas terakhir. Ratusan ribu pelayat menyemut memberikan takziah.13 Orang tuanya KH Abdullah bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) menancapkan landasan dasar kepesantrenan memadukan ketarekatan, kesundaan dan keindonesiaan. Landasan inilah yang kemudian dilanjutkan Abah Anom. Bahkan di tangan Abah Anom, pesantren dan tarekat ini berkembang pesat. Tidak hanya lintas kawasan bahkan juga lintas agama. Tarekatnya tidak saja menyebar di Jawa Barat, tapi juga dapat menembus seluruh pelosok Nusantara. Dalam tradisi sejarah kepesantrenan sangat sulit menemukan pesantren di Jawa Barat mampu ekspansi ke Jawa, kalau tidak justru kebalikannya. Di pesantren-pesantren tradisional hampir menjadi sebuah keharusan untuk mesantren ke Jawa minimal ngalap berkah. Namun, di tangan Abah Anom pesantren ini bisa masuk ke Jawa. Membuka cabangnya di Indonesia bagian timur, menembus Malyasia, Singapura dan Tailand. Menyebarnya tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya dengan cepat ke berbagai wilayah tidak terlepas dari strategi dakwah yang dipancangkannya. Di antaranya: (1) 12
hlm. 44-60
Zamaksyari Dhifier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982),
13
Untuk mengenang kebesaran Abah Anom penulis mempublikasikan beberapa tulisan: “Mursyid Inklusif Pengayom Umat” (Pikiran Rakyat, 6 September 2011), “In Memoriam Pangersa Abah Anom 1915-2011: Interaksi Simbolik Tarekat Suryalaya” (Tribun Jabar, 7 September 2011), “In Memoriam Pangersa Abah Anom 1915-2011: Suryalaya dan Pesona Tarekat” (Republika, 10 September 2011), “Mengenang Abah Anom: Suryalaya dan Kajembaran Rahmaniyah” (Galamedia, 9 September 2011), “Obituari Abah Anom: Dramaturgi Manakib Suryalaya” (Kabar Priangan, 28 September 2011), “Obituari KH Sohibul Wafa Tajul Arifin, RA: Tarekat Jati” (Majalah Sunda Mangle, 13-20 Oktober 2011), dan “Obituari Pangersa Abah Anom 1915-2011: Semiotika Tarekat Suryalaya” (Khazanah Budaya Pikiran Rakyat, 18 September 2011)
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
6
mengangkat wakil talkin dari berbagai kalangan, strata sosial dan ragam keilmuan, dari berbagai daerah dan wakil talkin ini memiliki peran strategis untuk “menalkin” seseorang menjadi bagian dari komunitas tarekat; (2) membentuk korwil (koordinator wilayah) di setiap propinsi sebagai perwakilan dari Yayasan Serba Bakti pesantren Suryalaya; (3) mubalig Suryalaya disebar ke berbagai wilayah; (4) dibangun lembaga-lembaga formal mulai tingkat TK sampai perguruan tinggi yang tidak secara langsung mereka menjadi kader dan agen tarekat; (5) cakupan tarekat yang diperluas perannya bukan hanya “mengurus” persoalan spiritual namun juga berkiprah dalam domain sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan (6) mengemas tareket menjadi sebuah institusi spiritual yang “ramah”, inklusif, terbuka dan tidak “angker” sehingga dalam ijtihad Abah Anom tidak ada lagi persyaratan usia orang masuk tarekat, ajarannya dapat diakses oleh siapapun. Hal menarik lainnya adalah horizon Sunda dijadikan sebagai media utama untuk membangun paradigma tarekatnya. Bukan hanya simbol kyainya yang sama sekali tidak mencitrakan ‘manusia Arab’ juga tubuh dengan segala semiotika kesundaan. Nalar kyainya seutuhnya menyimpulkan manusia Sunda yang telah ‘sirna di rasa’. “Tanbih” sebagai manifesto tarekat yang selalu dibaca dalam ritus manakib dengan sangat jelas mencerminkan aroma alam sundawi dengan segala metafora yang diambilanya. “kudu logor dina liang jarum ulah sereg di buana”, “ulah medal sila mun ka panah”, “ulah rek kajongjonan ngeunah dewek henteu lian “, “entong mariksa murid batur.” Berikut adalah sebagian teks tanbih itu: Anggurmah buktikeun kahadean sina medal tina kasucian: Kahiji : ka saluhureun ulah nanduk boh saluhureun harkatna atawa darajatna, boh dina kabogana estu kudu luyu akur jeung batur-batur. Kadua : ka sasama tegesna ka papantaran urang dina sagala-galana ulah rek pasea, sabalikna kudu rendah babarengan dina enggoning ngalakukeun parentah agama jeung nagara, ulah jadi pacogregan pacengkadan, bisi kaasup kana pangandika :Adzabun alim”, anu hartina jadi pilara salawasna, tidunya nepi ka akherat (badan payah ati susuah). Katilu : Ka sahandapeun ulah hayang ngahina atawa nyieun deleka culika, hentau daek ngajenan, sabalikna kudu heman, kalawan karidloan malar senang rasana gumbira atina, ulah sina ngarasa reuwas jeung giras, rasa kapapas mamaras, anggur ditungtun dituyun ku nasehatr anu lemah lembut, nu matak nimbulkeun nurut, bisa napak dina jalan kahadean. Kaopat: Kanu pakir jeung miskin kudu welas asih someah, tur budi beresih, sarta daek mere maweh, ngayatakeun hate urang sareh. Geura rasakeun awak urang sorangan kacida ngerikna ati ari dina kakurangan. Anu matak ulah rek kajongjonan ngeunah dewek henteu lian, da pakir miskin teh lain kahayangna sorangan, estu kadaring Pangeran Tah kitu pigeusaneun manusa anu pinuh karumasaan, sanajan jeung sejen bangsa, sabab tungal turunan ti Nabi Adam a s. Numutkeun ayat 70 surat Isro anu pisundaeunana kieu : “ Kacida ngamulyakeunana Kami ka turunan Adam, jeung Kami nyebarkeun sakabeh daratan oge lautan, jeung ngarijkian Kami ka maranehanana, anu aya di darat jeung lautan, jeung Kami ngutamakeun ka maranehanana, malah leuwih utama ti mahkluk anu sejenna.”Jadi harti ieu ayat nyaeta akur jeung batur-batur ulah aya kuciwana, nurutkeun ayat tina surat Almaidah anu Sundana. “Kudu silih tulungan jeung batur dina enggoning kahadean jeung katakwaan terhadep agama jeung nagara, soson-soson ngalampahkeunana, sabalikna ulah silsih tulungan kana jalan perdosaan jeung permusuhan terhadep parentah agama jeung nagara.” ….Ku lantaran kitu sakabeh murid-murid kudu arapik tilik jeung pamilih, dina nyiar jalan kahadean lahir bathin dunya akherat sangkan ngeunah nyawa betah jasad, ulah jadi kabengkahan anu disuprih “cageur bageur”. Teu aya lian pagawean urang sarerea Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah amalkeun kalawan enya-enya keur ngahontal sagala kahadean dlohir bathin, keur nyingkahan sagala kagorengan dlohir bathin, anu ngeunaan ka jasad utama nyawa, anu dirungrung ku pangwujuk napsu, digoda ku
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
7
dayana setan. Ieu wasiat kudu dilaksanakaeun ku sadaya murid-murid, supaya jadi kasalametan dunya rawuh akherat.
Abah Anom sangat concern terhadap pengembangan seni budaya seperti Pencak silat, pawai natura, pementasan wayang setiap hari ulang tahun pesantren atau manakibmanakib Syekh Abdul Qadir yang dikemas dalam atmosfer kesundaan. Perhatian kesundaannya yang sangat besar salah satunya sebagai pengaruh dari orang tuanya Abah Sepuh yang banyak menulis dangding dan guguritan seperti Layar Putri, Kunosari, Panambih Lembur Singkur, Gelenyu, Tejamantri, Salaka Domas, Panambih Saropangan, Mang-Mangu, Goyong, Panambih Sukanagara, Dangdanggula, Rumangsang Degung, Rakitan Degung, Tepiswiring, Bayubud, Budaya, Malihwarni, Kapaksi, gaya, Mangari, Kentar Ajun, Kentar Miring, Pancaniti, pager Ageung, Pagunungan, Kentar Cisaat, Pangesahan, Kulu-Kulu Setra, Adu Manis, Katalimbeng, Ditilar, Pangrungrum, Lumengis, Bogoh Teu Sapikir, Sumambat, Sungkawa, Kinanti kaum, Sumolondo dan Langendria. Di titik inilah tarekat di Suryalaya memikul pesan nubuwat dialektika: bagaimana Islam (tarekat) yang notabene berasal dari Arab dapat berdialog dengan tradisi kesundaan sehingga nampak pertautan yang kental antara nilai sebuah budaya dengan nilai-nilai keagamaan. Semacam religiositas yang sama sekali tidak mengabaikan kebudayaan. Religiositas menyatu dengan kultur lokal karena satu sama lain pada level spiritual menjadi tidak ada jarak yang membedakan. Sunda yang dimaknainya tidak dalam makna sentimentalisme geopolitik etnik yang sempit tapi lebih kepada Sunda inklusif dan ada dalam bingkai kebangsaan bahkan melintasi garis-garis negara. “Dialog” budaya dengan agama diangkat di tingkat “iman” sehingga relatif tidak banyak mengalami benturan. Orang bertarekat tanpa harus kehilangan identitas kulturalnya, apapun kultur itu. Tarekat dan kearifan budaya yang secara eksistensial berangkat dari hasrat yang sama untuk tidak pernah berhenti (reureuh) mencari kebenaran sebagaimana diformulasikan Abah Sepuh: Satungtung neangan kidul, kaler deui kaler duei Sapanjang neangan wetan, kulon deui kelon deui Sapanjang neangan beurang, peuting deui peuting deui Satungtung muruan untung, rugi deui rugi deui Sapanjang neangan beunghar, fakir deui fakir deui Sapanjang neangan caang, poek deui poek deui Satungtung mamanggul unggul, asor deui asor deui Sapanjang neangan jaya, apes deui apes deui Sapanjang neangan senang, ripuh deui ripuh deui
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya juga memiliki titik singgung degan Sunda dari sisi keduanya sama-sama lebih banyak mengusung “bahasa tanda” (silib) ketimbang bahasa verbalisitk. Watak bahasa seperti ini sesungguhnya kemudian dapat mencerminkan kepribadian dan budaya. Dalam atmosfer ini, magnet terhadap mursyid Abah Anom, karena beliau telah memerankan dirinya sebagai tanda dan kemudian tanda ini dijadikan pintu masuk untuk memahami makna kehidupan. Komunitas dalam tarekat Suryalaya hanya bisa meraba-raba, menanyakan kepada sosok yang dianggap ahlinya atau langsung melakukan “lompatan penafsiran” dengan cara tidak banyak bertanya tapi memasukannya dalam penghayatan yang total, mengamalkan seutuhnya sabda sang mursyid tanpa menimbang sisi logis tidaknya sebab bagi mereka
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
8
logika harus dikorbankan tatkala berhadapan dengan metafisika justru untuk menyambut hakikat makna. Makna menjadi tersembunyi dibalik yang nampak (baik teks atau realitas) bukan yang kasat mata. Makna menjadi serupa jigsaw puzzles, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002).14 Tanda yang kemudian mengikatkan meraka dalam sebuah komunitas yang selalu memandang fenomena tidak dengan hitam putih tapi justru lewat sudut pandang yang moderat dan atau melalu isyarat-isyarat. Tanda yang menginjeksikan para pengikutnya untuk dengan militan melakukan latihan terus-menerus menajamkan ruang batin sehingga diharapkan memiliki sensitivitas dalam membaca tanda-tanda alam, sehingga dunia makrokosmos (jagat ageung) terlipat dalam jagat alit (mikrokosmos). Tanda yang memberikan ruang untuk selalu “optimis” dalam menatap berbagai hal segelap apapun realitas yang ada di depan mata, selalu ada cahaya walaupun nampak lamat-lamat, akan senantiasa terbersit terang dari seluruh peristiwa seperti dengan bagus digambarkan dalam Panambah, Sukanagara: Untung teu kudu diburu, rugi ulah teu ditampi Jaya teu kudu didaya, apes ulah teu disungsi Senang teu kudu disandang, sedih ulah teu diririh
Unggul ulah dipapangku; asor ulah rek diusir Beunghar teu kudu dipalar, pakir ulah rek dipungkir Caang ulah rek disawang, poek ulah rek ditampik Kidul tinangtu kajugjug, upami kaler geus milir Wetan pasti ngadeukeutan, upami kulon geus salin Beurang tangtuna kasorang, upami peuting geus ngaping
Karakter Pesantren tarekat Satu yang membedakan antara pesantren Suryalaya dengan pesantren lainnya adalah identitas ketarekatan yang melekat. Posisi Abah Anom bukan hanya pimpinan pesantren namun juga mursyid dari tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Estafeta kepemimpinan dari Abah Sepuh ke Abah Anom bukan sekadar perpindahan dari seorang ayah biologis kepada anaknya. Namun dalam tradisi tarekat pada sisi lain yang lebih penting adalah perpindahan tongkat kemursyidan. Abah Anom bukan sekadar ‘putera biologis’ namun adalah ‘putera ideologis’ yang paling militan dalam lakuning tarekat (riyadhah) seperti terbaca dalam guguritan yang ditulisnya berjudul Lumengis: 14
Inilah yang menjadi alasan utama mengapa dalam tradisi Islam, puisi, seni lukis, seni tari justru tumbuh di dunia tasawuf. Tasawuf ternyata adalah refresentasi bukan sekadar etika namun juga duta estetika. Sa’di, Rumi, Iqbal, dan lain sebagainya adalah contoh nyata tentang hal ini. Karena di dunia ini yang ditulis adalah ekspresi dari apa yang telah dihayati, dari pengalaman-pengalaman yang telah diendapkan dengan tema yang membentang mulai dari fisika sampai metafisika. Dalam seloroh kawan Acep Zamzam Noor, untuk menjadi penyair tangguh harus masuk dulu NU (Nahdatul Ulama), sebuah ormas yang sangat adaptif terhadap budaya lokal, sangat akrab dengan gerak ziarah yang mungkin dalam kalkulasi rasional tidak ada tautannya dengan logika.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
9
Kabeh murid sing gumati, poma ulah rek balangah Kahade ulah campoleh, dina waktu nishfi sya’ban Solat anu geus biasa, murid-murid pek karumpul Di patapan suryalaya Panglinggihan guru suci, nu mulya dunya aherat Guru nu terus sumeren, kabeh elmu panemuna Putra nu neraskeunana, putra nu dijungjung eunggah Asmana Shohibul Wafa
Salah satu ciri pesantren tarekat adalah ketersebaran “santrinya” di berbagai wilayah tanpa harus mondok di pesantren itu. Ketika dia sudah “ditalkin”, maka semenjak itu pula dia sah menjadi bagian dari komunitas tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Walaupun domisilinya sangat jauh bahkan bisa jadi tidak sama kewarganegaraannya, namun dalam dunia tarekat ketaatan murid terhadap mursyidnya sudah tidak disangsikan lagi. Mursyid dipandang manusia “setengah dewa” yang dapat membaca tanda-tanda alam, bisa menangkap isyarat dan memiliki kepekaan sinyal spiritual. Ketaatan itu bukan dilandaskan kepada sistem organisasi yang ketat tak ubahnya manajemen dalam sebuah institusi modern namun lebih kepada kharisma, kekuatan ruhaniah dan aura spiritual yang melakat padanya sebagai buah dari ketekunannya melakukan latihan spiritual (riadhah). Menyatunya tekad, ucap dan lampah. Kharisma mursyid memperoleh dukungan dari masyarakat karena memiliki kemantapan moral dan kualitas keilmuan, sehingga akhirnya melahirkan suatu bentuk kepribadian magnetis (penuh daya tarik) bagi para pengikutnya, sekalipun proses ini mula-mula beranjak dari kalangan terdekat, sekitar tempat tinggalnya, tetapi kemudian menjalar ke luar.15 Kyai terlebih mursyid tidak hanya dikategorikan sebagai elit agama tetapi juga sebagai elit pesantren yang memiliki otoritas tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan pengetahuan agama serta berkompeten mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren. Tipe karismatik yang melekat pada dirinya menjadi tolok ukur kewibawaan pesantren.16 Dipandang dari segi kehidupan santri, kharisma kyai adalah karunia yang diperoleh dari kekuatan Tuhan.17 Kata Dhofier Kyai bersifat sentralisitk sementara unsur unsur lainnya bersifat subsider yang keberadaannya di bawah kontrol kyai. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya santri. Peranan kyai dan santri dalam menjaga tradisi keagamaan akhirnya membentuk subkultur pesantren, yaitu suatu gerakan sosial budaya yang dilakukan komunitas santri dalam karakter keagamaan dalam kurun
15
Kajian tentang aspek kepemimpinan kyai dan mursyid baik bagi dirinya ataupun dalam konteks relasi dengan bangsa lebih lanjut dapat dibaca dalam Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982); Clifford Geertz, “The Javanese Kiai, The Changing Role of Cultural Broker” dalam Comparative Studies in Society and History, vol. 2; Hiroko Harikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987); Endang Turmudi, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LP3ES, 2003); dan Arifin Mansur Noor, Islam in an Indoensian Word: Ulama of Madura (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1990) 16 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren , (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 13 17 Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm.168-169; Ben Anderson, Gagasan tentang Kekuasaan di dalam Kekuasaan Jawa , (Kudus: Menara Kudus, 1972), hlm. 32-34.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
10
waktu yang relatif panjang18 Subkultur yang dibangun komunitas pesantren senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar. Pondok pesantren membentuk tradisi keagamaanyang bergerak dalam bingkai sosio kultural masyarakat pluralistik dan bersifat kompleks. Kharisma menjadi kata kunci yang dapat menggerakkan banyak orang. Bisa “mengomando” seluruh murid-muridnya. Tongkat komando spiritual yang jauh lebih efektif daripada komando fisikal, karena ditancapkan di atas garis ketulusan, hubungan yang penuh keikhlasan dengan tujuan yang sama demi meraih keadaban hidup, kebahagiaan hakiki. Mursyid menjadi sangat berwibawa. Jangankan mengeluarkan fatwa bahkan isyaratnya pun dianggap memiliki banyak makna, doa-doanya dipandang mustajab karena diyakini tidak ada hijab dengan Sang Khalik. Jangankan yang tertulis yang tidak tertulis sekalipun ketika itu dilakukan mursyid maka akan selalu dicarikan maknanya, ditelusuri artinya. Mursyid menjadi sentral dari garis-garis (silsilah/sanad) yang menyampaikannya pada asalusul kenabian. Dalam konteks Abah Anom, kalau diurut dari atas geneologi kemursyidannya akan muncul sebagai berikut: Muhammad, saw, Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali, Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Jafar ash-Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali Ibnu Musa al-Ridha, Maruf al-Karkhi, Sirr as-saqathi, Abu Qasim Junaid al-Bagdadi, Abu Bakr al-Sibli, Abu al-Wahid alTamimi, al-Faraj al-Turtusi, Abdul Hasan Ali al-Kharakhi, Abu Said Mubarok al-Majzumi, Sultan al-Auliya Abdul Qadir al-Jailani, Abdul Aziz, M. Mattaq, Syaikh Syamsuddin, Syaikh Syarifuddin, Syaikh Nuruddin, Siakh Waliyuddin, Siakh Hisyamuddin, Syaikh Yahya, Syaikh Abu Bakar, Syaikh Abdurrahim, Syaikh Usman, Syaikh Abdul Farrah, Syaikh Muhammad Murad, Syaikh Syamsuddin, Syekh A. Khatib Al-Sambasi, Syekh Tholhah Cirebon, Syekh Abdullah Mubarokbin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dan akhirnya KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom). Apabila melalui jalur Abu Bakar. Maka nantinya akan bertemu Syekh Khatib al-Sambasi. Perbedannya hanya urutan sebelumnya. Berikut ini adalah garis silsilahnya dari mulai Muhammad saw kemudian Aby Bakar, Abu Bakar Siddiq, Salman al-Farisi, Qasim Ibnu Muh Ibnu Abu Bakar, Imam Ja’far as-sadiq, Abu Yazid al-Bustami, Abu Khasan al-Kharkani, Abu ‘Ali al-Farmadi, Syaikh Yusuf al-Hamdani, Abdul Khaliq al-Gazdawi, Arif Riya al-Qari, Syaikh Muhammad Anjari, Ali Ramli at-Tamimi, M Baba Syammasi, Syaikh Amir khulaili, Bahauddin an-Naqsyabandi, M Alauddin at-Taarii, Syaikh Ya’qub al-Jareqi, Syaikh Ubaidillah al-Ahrari, Syaikh M Zahidi, Darwisi Muhammad Baqi Billah, Syaikh A. Faruqi as-Sirhindi, Al-Maksum asSirhindi, Saifuddin Afif Muhammad, Nur Muhammad al-Badawi, Syamsuddin Habibullah, Abdullah ad-Dahlawi, Abu Said al-Ahmadi, Syaikh Ahmad said, Muhammad Jan al-Makki dan Syaikh Khalid Hilmi. Dalam rangkaian silsilah itu ada nama yang kemudian nama ini memiliki pengaruh besar dalam tradisi intelektualisme dan tarekat di Nusantara yaitu Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi (wafat di Mekah tahun 1878 M). Ia sering disebut-sebut sebagai soko guru kyai yang banyak dicari orang. Selain mendidik ulama sufi yang paling berpengaruh, ia juga mendidik ulama fikih dan tafsir terkemuka seperti Nawawi al-Bantani dan Syekh Abd alKarim al-Bantani, murid dan penggantinya sebagai pemimpin TQN. Syekh Abd al-Karim 18
Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Sub Kultur dalam Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 40-47
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
11
dikenal sebagai kyai agung, yang memberi semangat jihad (perang suci melawan Belanda) tahun 1888 dan kemudian meninggalkan Banten untuk pergi ke Mekkah dan meneruskan (kepemimpinan) Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pasca wafatnya Syekh Khatib, kepemimpinan (mursyid) beralih ke Syekh Abdul Karim al-Bantani. Dan setelah al-Bantani wafat, kemursyidan menjadi sangat banyak. Di antara sekian murysid yang sangat berpengaruh adalah Syekh Talhah. Seperti dalam telaah Sri Mulyati, Syekh Khalil ini selalu disebut-sebut dalam hampir setiap diskusi yang berhubungan dengan wali, keajaiban-keajaiban dan tarekat di Indonesia. Juga pancaran inetelektualisme dan spiritualismenya tersebar kepada banyak para kyai yang ada di tanah Jawa. Sebut saja, Syekh Hasyim Asyari pendiri ormas Nahdatul Ulama dari Tebu Ireng Jombang (w. 1947), Kyai Manaf Abdul Karim Lirboyo (Kediri), Kyai Muhammad Siddiq Jember, Kyai Munawwir (w. 1942) dari Krapyak (Yogyakarta), Kyai Maksum (1870-1972) dari Lasem (Rembang), Kyai Abdullah Mubarok (w. 1956) dari Suryalaya (Tasikmalaya), Kyai Wahab Hasbullah (1888-1971) dari Tambak Beras (Jombang), Kyai Bisri Syamsuri (1886-1980) dari Denanyar (Jombang) dan Kyai Bisri Mustafa (1915-1977). Sepeninggal Syekh Talhah beralih ke Abdullah bin Mubarak bin Nur Muhammad yang sering disebut Abah Sepuh, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya dan kemudian tongkat kemursyidan itu berpindah ke Abah Anom (K.H. Shahibul Wafa’ Tajul ‘Arifin).19 Suryalaya dan Politik (Sunda) Pesantren Suryalaya menjadi bagian penting dari dinamika kebangsaan dan kesundaan. Sejak masa kolonial, zaman pergerakan sampai sekarang.20 Tercatat, di antaranya, Pernah 19
Lihat Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya (Jakarta: Prenada Media Group, 2010: ), hlm. 57-58 20 konstribusi para kyai umumnya dan mursyid tarekat khususnya terhadap sejarah perjalanan bangsa tidak disangsikan lagi. Mereka susungguhnya yang dengan heroik melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial. Kyai Haji Zainal Mustapa di Tasikmalaya adalah contoh penting yang menjadi simpul perlawanan menggetarkan terhadap penjajah. Tidak ada dalam kamus kyai sikap untuk mengembangkan politik kompromi. Justru ketika pada saat yang sama, ada banyak kaum menak yang melakukan kolaborasi dengan penjajah untuk melanggengkan kuasa tradisionalnya apalagi dalam konteks kesundaan konon katanya politik rodi dan tanam paksa tercetus dari sikap menak yang menjadi kaki tangan kolonial. Lembaga tarekat yang memiliki ikatan yang kuat dengan gurunya di samping jaringan keanggotannya yang tersebar di berbagai wilayah pada akhirnya dalam setiap ritusnya dibahas pula persoalan-persoalan yang berkaitan dengan politik kolonial. Menjadi wadah spiritual sekaligus pertemuan-pertemuan politik menanamkan kesadaran kritis kepada massa. Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten memotret fenomena ini: “…penyelidikan-penyelidikan di kemudian hari menyingkapkan bagaimana anggota-anggota komplotan telah mengadapakan pertemuan di berbagai tempat, untuk keperluan itu mereka menggunakan tarekat sebagai tempat berkumpul untuk bersama-sama melakukan sembahyang dan dzikir. Dalam pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mempersatukan para kyai sebagai pemimpin-pemimpin komplotan di daerahnya masing-masing”. Para Kyai dengan kharisma sosialnya dipadu dengan alam pikiran mistis-psikologis masyarakat Jawa yang meyakini tentang kedatangan ratu adil memainkan peranan penting dalam peperangan ini. Kondisi masyarakat yang merindukan figure ini mendapatkan refresentasi pada figur para pemimpin tarekat yang sangat berpihak kepada rakyat selaras dengan ajaran tarekat yang terpusat pada keteladanan (the doctrine of the exemplary centre), ajaran keruhanian bertingkat (the dokctrine of graded spirituality) dan ajaran tentang lingkungan dan wilayah ideal (the doctrine of the theatre sentre). HJ Benda melukiskan dalam sebuah penelitiannya,“Sebagai akibat perkembangan penjajahan ini maka ulama dan kyai yang menjadi guru dan penyebar islam mulai memainkan pernanan yang semakin penting di pedesaan dari hari ke hari…bukan saja dari segi jumlah, tetapi juga secara psikologis dan ideologis. Bagi para petani yang ditimbuni beban menyerahkan hasil tanaman secara paksa, kerja paksa dan pajak, penganjur agama Allah merupakan satu-satunya tempat pelarian dan hiburan.” Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) dan Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985).
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
12
memubujuk Wiranatakusumah V untuk menghentikan nawaetunya mendirikan negera Pasundan karena alasan kecewa terhadap penguasa pusat. Masa huru hara politik gerakan kanan Islam ideologis DI/TII yang basis massanya tersebar di sekitar Ciamis, Tasik dan Garut, Abah Anom mengambil peran penting dengan tentara melakukan pagar betis dan memberikan penyadaran Islam rahmatan lil alamin. Bahwa ketaatan kepada Negara sama pentingnya dengan ketaatan terhadap agama seperti nampak dalam tanbih. Penyadaran juga dilakukan dengan intensif dan nyaris tanpa kekerasan kepada eks gerakan kiri PKI. Maka dikemudian hari menjadi sangat mudah ketika harus menyadarkan orang yang kecanduan NAPZA melalui metode rehabilitasi berbasis spiritual atau yang dikenal dengan inabah itu. Ketika orde baru berkuasa, Abah Anom, menjadi bagian penting dari panggung kekuasaan.Tidak sebagai praktisi politik tapi sebagai pribadi yang mengembangkan politik nilai dengan menjadi bagian dari Golongan Karya. Salah satu nalar ijtihad politiknya yang dimaknai secara konsisten sampai akhir hayatnya adalah bagian dakwah dari dalam, atau dalam istilah KH Gaos al-Maslul salah satu orang dekat Abah Anom sebagai upaya agar golkar menjadi golkir (golongan dzikir). Atau dalam tafsir lain, sebagai upaya untuk menetralisir ketegangan antara “kyai” dengan kekuasaan apalagi dalam konteks Suryalaya, kawasan itu merupakan basis kekuatan gerakan “Islam ideologis” yang selalu “diawasi geraknya oleh negara zaman Orge Baru.21 Abah Anom tampil ke muka untuk mencairkan suasana psikologis relasi agama dan negara yang tidak menguntungkan. Mengikuti tafsir Hiroko Horikoshi bahwa format komunikasi politik Abah Abah Anom lebih merupakan konsultan politik, sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi konsultan politik ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering betindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan. Justru pilihannya terhadap “politik adi luhur” ini yang telah menyebabkan beliau menjadi pribadi kyai yang jelas haluan politiknya dan diperhitungkan bukan hanya dalam konteks bawah (masyarakat) namun juga atas (penguasa). Betul penguasa memiliki ‘kekuatan’ yang besar, terpadu, menyebar, teknokratis, birokratis bahkan terkadang reresif namun tidak diabaikan pula bahwa kyai memainkan peran politik yang sangat penting mulai dari zaman pra kemerdekaan sampai masa sekarang dengan segala dinamika yang mengitarinya seperti nampak dalam kajian Clifford Geertz, “The Javanese Kiai, The Changing Role of Cultural Broker” dalam Comparative Studies in Society and History. Dalam bahasa Peter L. Berger, agama adalah langit suci (the sacred canopy) yang dapat dijadikan instrumen memperkokoh politik dari seluruh tindakan manusia. Dalam teori Geertz, Kyai tidak saja merupakan pimpinan pesantren tetapi juga memiliki power di tengah-tengah masyarakat, memiliki prestise di kalangan masyarakat. Meminjam analisis Max Weber, kepemimpinan tokoh agama sesungguhnya adalah kepemimpinan kharismatik yang berporos pada personal leadership. 21
Tentang gerakan Darul Islam di jawa Barat lihat D. Jackson, Kewibawaan Tradisonal Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul islam di Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
13
Kedekatan dengan pusat kekuasaan tidak untuk meraih kuasa apalagi benda, hal mana terbukti dari nyaris tidak adanya bantuan-bantuan dari pemerintah untuk pengembangan di lembaga pendidikan yang diasuh Abah Anom sebab sebermula bukan itu maksudnya, tapi semata sebagai upaya bagaimana agama dan negara menjadi sesuatu yang berdampingan tanpa harus satu sama lain saling curiga. Ini sebagai penanda bahwa kaum tarekat tidak identik dengan asketisme, apatisme dan kejumudan, namun mereka ternyata sangat terlibat bergumul dengan intelektualisme dan aktivisme. Walaupun, Lembaga-lembaga tarekat didirikan dengan tujuan utama membina masyarakat yang menjunjung etika dan spiritualitas, namun tentu saja tujuan-tujuan seperti ini pada akhirnya bersentuhan dengan domain politik walaupun politik yang mereka usung lebih kepada politik nilai bukan politik praktis meraih kekuasaan. Dalam kesimpulan Sayyed Hossen Nasr (1979: 132), “Sufis is an active participant in a spiritual path and is intellectual in the real meaning in this word. Contemplation in Sufism, the higest form activity and in fact sufis has always integrated the active and contemplative lives. That is why many sufis have been teachers and scholars, artist and scientists, and even statesmen and soldiers.”22 Manifesto TQN dan Sunda hari ini Komunitas TQN Suryalaya sangat heterogen. Mulai dari rakyat biasa sampai pejabat negara. Mulai dari yang waras sampai yang tidak waras karena kebanyakan meneguk minuman keras. Dari kalangan artis sampai masyarakat jelata. Dari dalang sampai yang terlilit hutang. Dari intelektual ateis sampai ajengan yang tidak pernah tersentuh ’najis’. Dari yang sepaham sampai yang berbeda pijakan keyakinan. Dari yang tidak sadar bagaimana menutup aurat sampai yang selalu mengucapkan subhanalloh tatkala mata kakinya terlihat. Datang dengan beragam motif. Motif agama, ekonomi, sosial, politik atau hasrat ingin mendapatkan pasangan hidup. Semua dilayani tanpa nampak rasa lelah di wajah Sang Mursyid sampai ketika dahulu beliau harus duduk di kursi roda sekalipun. Jam kerjanya dua puluh empat jam! Berkah dan karamah menjadi sebuah diksi yang melampaui komunikasikomunikasi verbalisitik. Sosok mursyid tampil untuk ngumawula ka wayahna, menjadi tempat bersandar dari setiap keluh kesah (jadi gunung pananggeuhan), dan homo tuna sumujud (tidak pernah berhenti mengabdi). Tarekat menjadi papayung masyarakat dari tempaan krisis (werit), kekeringan, chaos (bancang pakewuh), kegelisahan (harengreng), dan penuh kekhawatiran (loba karingrang). Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah menjadi formula Agama yang tidak terjebak dalam fanatisme doktrinal sebagaimana nampak dari manifesto religiositasnya yang selalu di baca dalam setiap acara manakib yang dikenal dengan tanbih itu: ”Ari sebagi agama, saagamanasaagamana, nurutkeun surat Alkafirun ayat 6: “agama anjeun keur anjeun, agama kuring keur kuring”. Inklusivitas yang berangkat dari paradigma keberagamaan untuk selalu menghargai keragaman sebagai fakta sosial tak terhindarkan yang mensyaratkan pensikapan-pensikapan terbuka. Perbedaan dimaknai bukan sebagai sumber konflik tapi sarana untuk memperkaya pengalaman ruhani. ...Surahna ulah jadi papaseaan “ kudu akur jeung batur-batur tapi ulah campur baur”.Geuning dawuhan sepuh baheula “ Sina logor dina liang jarum, ulah sereg di buana”. Lamun urangna henteu kitu tangtu hanjakal diakhirna. Karana anu matak tugeunah terhadep badan urang masing-masing eta teh tapak amal perbuatanana. 22
Sayyed Hossen Nasr, “The Thariqah, The Spiritual Path and Its Qur’anic Roots”, dalam Ideals and Realities of Islam (Mandala Paperback, 1979), hlm. 132
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
14
Mereka yang berbeda disikapi tidak sebagai ’orang lain’, namun dipandang dalam semangat persekutuan kekitaan. Mengingatkan saya pada tafsir Gabriel Marcel, persekutuan tuntas dan sempurna itu hanya bisa di bangun di atas landasan: aku bertemu engkau secara pribadi sehingga aku-engkau menjadi kita. “Kesempatan-kesempatan dan Pertemuan dengan orang lain bukanlah merupakan fakta yang bersifat ada dan boleh tidak ada melainkan fakta yang menyatu pada cara kita bereksistensi yaitu berada di dunia”. Seperti ditenggarai Martin Buber (1875-1965) dalam karyanya Ich Und Du (Aku dan Engkau), persekutuan manusia mendapat dimensi religiusnya berkat hubungan manusia dengan Tuhan. Persekutuan berada dalam tatapan terang Ilahi. Di ujung pertemuan setiap ritus TQN Suryalaya selalu disampaikan watashimu bihablillah. Engkau Absolut, Toi Absolu: Tuhan menjadi dasar metafisis terdalam bagi setiap hubungan antarmanusia. Dalam Ranggeuyan Mutiara suluk Suryalaya tercatat: Ulah ngewa ka ulama sajaman Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur Ulah mariksa murid batur Ulah medal sila upama kapanah Kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh
Dalam konteks ini TQN Suryalaya menarik agama kembali dalam khittahnya: moderasi. Ini menjadi amat menarik untuk direnungkan justru ketika religiositas manusia Sunda sekarang menampakan gejala aneh: agama yang tertutup. Inilah yang menjadi awal munculnya sikap intoleran. Selalu bersikap antipati terhadap perbedaan penafsiran termasuk perbedaan dalam pilihan keyakinan. Seperti hasil penelitian dari Lazuardi Birru (LB) bahwa Jawa Barat menjadi wilayah kedua setelah Daerah Istimewa Aceh (DIA) yang menjadi rawan tindakan radikalisme. Aceh menempati posisi tertinggi 56,8, disusul Jawa Barat dan Banten yang memiliki indeks kerentanan yang sama sebesar 46,6. Sementara secara nasional, indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada 2011 adalah 43,6, jauh di bawah tingkat aman yaitu pada level 33,3. Satu tahun yang lalu Moderate Muslim Society (MMS) juga melansir bahwa Jawa Barat berada di rengking tertinggi dalam urutan wilayah intoleransi di Indonesia. Kekerasan di Bekasi, Bogor, Garut dan Kuningan dijadikan sampel untuk menyimpulkan hal tersebut. Bukti lain bahwa jumlah pelaku bom bunuh diri juga paling banyak dilakukan warga Jawa Barat. Tercatat seperti dilaporkan sebuah harian (Galamedia, 18/10/2011) Heri Kurniawan, Asep Hidayat, M. Salik Firdaus, Dani Dwi Permana, Nana Ikhwan Maulana, dan M. Syarief serta Arnasan berasal dari Banten yang pada waktu kejadian masih merupakan bagian dari Jawa Barat. Sementara yang terakhir adalah Vino Damayanto alias Ahmad Urip alias Ahmad Yosepa Hayat yang merupakan pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Surakarta, Minggu, 25 September 2011.***
________________________ Asep Salahudin, salah seorang wakil rektor IAILM (Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah) Suryalaya Tasikmalaya, pemerhati sosial budaya, dan penulis lepas di berbagai media lokal dan nasional, juga aktif menulis di media berbahasa Sunda. Lahir di Pesantren Pulosari Limbangan Garut, 26 Juni. Makalah disampaikan dalam KIBS II (Konferenesi Internasional Budaya Sunda) di Gedung Asia Afrika, Bandung, 19-22 Desember 2011
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
15