BERHARAP PADA 560 Catatan Kinerja DPR 2009—2010
Tim Penulis Rizky Argama Anfidja Mauli Pulungan Eryanto Nugroho Fajri Nursyamsi Farli Elnumeri Giri Ahmad Taufik Gita Putri Damayana Herni Sri Nurbayanti Imam Nasima M. Nur Sholikin Ronald Rofiandri Siti Maryam Rodja
Editor Amalia Puri Handayani
PUSAT STUDI HUKUM DAN KEBIJAKAN INDONESIA 2011
1
KATA PENGANTAR Ungkapan “harap-harap cemas” mungkin tepat untuk menggambarkan perasaan banyak orang ketika menyaksikan 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru dilantik pada 1 Oktober 2009. Dengan usia rata-rata lebih muda daripada periode sebelumnya, harapan bisa saja terbersit ketika melihat fakta bahwa dari segi tingkat pendidikan, hampir seluruh anggota DPR baru adalah sarjana. Namun, rasa cemas juga bisa hadir karena sebagian besar dari mereka ternyata minim berpengalaman politik. Profesi pengusaha, profesional, maupun figur penghibur yang cukup banyak mewarnai profil Anggota DPR sempat menimbulkan keraguan akan pelaksanaan tugas sebagai wakil rakyat. Kita dapat berdiskusi sangat panjang soal harapan maupun kecemasan yang ada. Sampai pada satu titik, akhirnya, kita memang perlu merujuk pada aspek kinerja. Aspek itulah yang coba disajikan oleh catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini, khususnya kinerja di bidang legislasi. Mencermati kinerja legislasi DPR pada 2010, ungkapan “harap-harap cemas” dapat dengan mudah bergeser menjadi peringatan “harap cemas”. Sekadar dari aspek kuantitas, sudah banyak diketahui bahwa lagi-lagi DPR gagal mencapai target yang ditetapkan sendiri. DPR hanya berhasil menyelesaikan 16 RUU dari target sebanyak 70 RUU. Akan tetapi, tentunya, legislasi lebih dari sekadar soal jumlah. PSHK juga melakukan analisis terhadap kualitas undang-undang yang dihasilkan, bahkan sudah dilakukan sejak 2006. Hal itu pun akan disajikan dalam catatan kinerja legislasi DPR selama 2009—2010. Tentu saja, catatan ini tidak kami buat untuk menyebarkan kecemasan. Walau sedikit, masih ada harapan perbaikan terserak di sana-sini. Misalnya, ada beberapa upaya terobosan yang tercantum di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Adanya pengaturan tentang laporan kinerja beberapa alat kelengkapan, laporan kinerja anggota fraksi, ataupun pengaturan sifat keterbukaan rapat merupakan contoh beberapa peluang harapan perbaikan. Inisiatif penulisan catatan atas kinerja legislasi DPR ini dimulai oleh PSHK sejak 2002. Seiring berjalannya waktu, ada banyak hal yang kami pelajari, baik dalam proses pemantauan maupun penulisan catatan. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan ucapan selamat dan terima kasih kepada Rizky Argama selaku koordinator penulisan catatan ini. Ucapan yang sama juga kami haturkan kepada Bivitri Susanti, Rival Gulam Ahmad, Erni Setyowati, Arif Zulkifli, Arianto Patunru, dan segenap Tim Penulis yang telah mendukung penulisan catatan ini. Kami juga sampaikan apresiasi kepada pihak Konrad Adenauer Stiftung yang telah bersedia ikut berkontribusi dalam mewujudkan kegiatan penulisan ini. Bisa kami pastikan bahwa masih ada yang luput ataupun kurang dalam catatan ini. Untuk itulah, setiap tahun, kami berupaya terus rutin luncurkan catatan ini ke hadapan publik agar menjadi referensi yang dinamis dan terbuka terhadap berbagai saran dan kritik. 2
Kami berharap penulisan catatan ini dapat menjadi salah satu kontribusi dalam upaya perbaikan parlemen di Indonesia.
Eryanto Nugroho Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
3
PENGANTAR TIM PENULIS Cerita soal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) barangkali menjadi salah satu tema cerita yang paling sering dipublikasikan di media massa, paling tidak dalam setahun terakhir. Itu pula yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang mencoba konsisten untuk menyajikan hasil evaluasi kerja para wakil rakyat setiap tahun kepada publik. Aktivitas mengkaji kinerja legislasi DPR telah dilakukan sejak 2002, sementara hasil kajian itu pertama kali diluncurkan pada 2003. Pengalaman tujuh tahun mengawal proses legislasi di DPR, untuk kemudian menilai kualitas produknya, sedikit banyak berkontribusi pada beberapa perubahan yang terjadi di internal DPR. Dokumentasi proses yang semakin mudah diakses serta rapat panitia kerja yang tak lagi senantiasa tertutup adalah sebagian kecil perkembangan dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dapat dirasakan langsung masyarakat. Namun, perubahan-perubahan itu minor, belum mengubah perilaku DPR—baik institusi maupun mayoritas individu—menjadi seperti yang diharapkan masyarakat. Genap sewindu semenjak riset pertama diterbitkan, PSHK menawarkan hasil kajian serupa dalam warna yang berbeda. Warna baru itu tidak hanya melalui kemasan yang lebih populer, tetapi juga perluasan lingkup analisis. Itu tak terlepas dari upaya PSHK mengajak semakin luas masyarakat untuk menolehkan kepalanya melihat apa yang telah dikerjakan wakil mereka di parlemen. Minimnya capaian legislasi DPR selama Oktober 2009 hingga Desember 2010 terwarnai dengan aspek-aspek yang tak terkait langsung dengan pekaksanaan fungsi legislasi. Tanpa mengurangi porsi evaluasi terhadap kualitas produk legislasi itu, beberapa tema seputar kerja legislasi pun coba diangkat menjadi pokok bahasan tersendiri. Penggunaan anggaran legislasi yang menyimpang dan potensi pelanggaran hukum oleh legislator merupakan sekelumit ”isu sampingan” yang ternyata tak kalah penting untuk dibahas. Rakyat, pemangku kepentingan dari proses pembentukan undang-undang (UU), semestinya mengetahui potensi dampak yang akan mereka rasakan apabila suatu produk legislasi lahir. Buku ini berusaha mengakomodasi kebutuhan itu melalui metode cost and benefit analysis, terutama ketika menilai kualitas produk legislasi. Indikator penilaian proses yang digunakan adalah dengan melihat apakah rangkaian tahapan pembentukan suatu UU dilakukan melalui proses yang bertanggung jawab sosial atau tidak. Secara sederhana, proses yang memenuhi tiga prinsip dasar (partisipatif, transparan, dan akuntabel) dapat dikatakan telah bertanggung jawab secara sosial. Sementara penilaian atas substansi dilakukan dengan melihat apakah suatu ketentuan berangkat dari masalah sosial dan secara logis merunut dari rangkaian fakta, penyebab masalah, hingga tawaran solusi. Catatan PSHK terhadap kinerja legislasi kali ini diawali dengan gambaran besar DPR setahun terakhir (2009—2010). Sebagian besar muka baru yang menguasai keanggotaan parlemen periode empat tahun ke depan tentunya 4
berpengaruh pada kualitas performa lembaga. Komposisi fraksi yang mempengaruhi konstelasi politik hingga karakter keluaran legislasi pada tahun pertama pengabdian mereka menjadi pembuka catatan ini. Dinamika relasi kekuasaan antarlembaga yang terjadi di dalam negara demokrasi menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk didiskusikan. Analisis tahunan PSHK pun tak pernah lepas membahasnya sebagai satu cerita tersendiri. Bab kedua buku ini mengulas peristiwa-peristiwa menarik seputar hubungan DPR sebagai lembaga legislatif dengan institusi-institusi pemegang kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Selanjutnya, bab ketiga mengupas sisi internal organisasi DPR dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi kelembagaan berdasarkan peraturan tentang lembaga-lembaga perwakilan. Realisasi pelaksanaan mekanisme pertanggungjawaban anggota, efektivitas peran Badan Kehormatan (BK), dan seberapa besar peluang Anggota DPR mengajukan RUU secara individu adalah sebagian cerita yang terhimpun dalam bagian ini. Tim Penulis menyorot sebagian tingkah kontroversial wakil rakyat setahun ke belakang melalui perspektif analisis dalam dua bab berikutnya. Pada bab keempat, pembaca disuguhkan daftar lengkap aktivitas kunjungan Anggota DPR ke luar negeri (atau media memperkenalkannya dengan istilah ”studi banding”) yang sebagian di antaranya barangkali belum terpublikasi di media. Tak hanya menyajikan daftar, bab itu juga memperbandingkan praktik kunjungan ke luar negeri yang terjadi di lapangan dengan aturan normatif terkait anggaran legislasi. Analisis yang sama juga dilakukan terhadap praktik ”buang-buang uang” lainnya, yakni usulan dana aspirasi, rumah aspirasi, dan pembangunan gedung baru yang diulas dalam bab kelima. Pada bab keenam, topik tentang keterkaitan antara politik dan korupsi yang kian menguat dibagi menjadi dua pokok pembahasan. Pertama, hal itu terkait peluang praktik menyimpang dalam alur legislasi—yang dapat dilihat, antara lain dalam kasus penghilangan atau pemunculan ayat RUU secara ilegal. Kedua, banyaknya anggota atau mantan Anggota DPR dinyatakan terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi. Masih terkait pelanggaran hukum, bab ketujuh membahas pelanggaran UU oleh pembentuk UU itu sendiri, yaitu DPR maupun presiden. Setidaknya, terdapat tiga hal yang dapat menjelaskan adanya fakta pelanggaran-pelanggaran itu, yaitu terkait ketentuan seleksi pejabat lembaga negara, terkait pembentukan lembaga negara baru, dan terkait pembentukan peraturan pelaksana atas amanat UU. Bab kedelapan secara lengkap menyorot substansi maupun proses pembentukan setiap UU yang telah disahkan sepanjang tahun pertama DPR periode 2009—2014. Dari total 16 UU yang dihasilkan selama setahun, analisis terhadap 11 UU di antaranya disertakan dalam catatan ini, tidak termasuk 5 UU terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perspektif analisis yang digunakan berfokus pada dampak yang berpotensi dirasakan masyarakat sebagai akibat disahkannya sebuah UU. Di bagian akhir, terlampir pula secara lengkap tabel yang digunakan Tim Penulis dalam menganalisis kedua belas UU. Terakhir, pada bab kesembilan, Tim Penulis menyimpulkan kondisi umum kinerja DPR setahun terakhir, khususnya terkait pelaksanaan fungsi legislasi. Di samping itu, seperti yang selalu dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, PSHK juga menyertakan catatan perbaikan sebagai rekomendasi untuk kinerja DPR ke 5
depan. Sebagai akhir bab sekaligus penutup catatan, Tim Penulis mencoba memprediksi serta menyajikan hasil bacaan PSHK terhadap konteks legislasi yang mungkin terjadi pada 2011. Kehadiran buku ini semoga turut mengubah perilaku kita, masyarakat. Semoga perilaku ”tak mau tahu atau sekadar berharap” terhadap kinerja wakil kita di parlemen menjadi ”peduli dan kemudian berpartisipasi” dalam segala proses yang akan mempengaruhi kepentingan rakyat. Kita harus terlibat karena kita akan terikat.
6
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................................. 1 PENGANTAR TIM PENULIS ................................................................................................. 4 DAFTAR TABEL................................................................................................................... 9 DAFTAR DIAGRAM........................................................................................................... 10 RUPA PARLEMEN KINI ..................................................................................................... 11 A. DPR Baru, Perilaku Lama.......................................................................................................11 B. Prolegnas dan Realisasinya ...................................................................................................14 C. Karakter Legislasi 2010..........................................................................................................26 RELASI DPR DENGAN LEMBAGA LAIN............................................................................... 28 A. Relasi DPR‐Eksekutif: Pelaksanaan Fungsi Minim Substansi ..................................................28 B. Relasi DPR dan DPD: Periode Kisruh Prosedur.......................................................................39 C. Relasi DPR dan KPK: Tenang Menimbun Dendam..................................................................41 D. Relasi MK dan DPR: Mengusung Pengawasan dan Perimbangan...........................................44 MENYELAMI DPR ............................................................................................................. 52 A. Menagih Akuntabilitas..........................................................................................................52 B. Independensi Anggota dan Keterwakilan Perempuan ...........................................................55 C. Keterkaitan antara Kapasitas dan Kualitas ............................................................................59 D. Efektivitas Peran Badan Kehormatan....................................................................................61 E. Amnesia DPR Soal Keterbukaan Informasi.............................................................................64 F. Kontribusi Melalui Inisiatif Individu.......................................................................................72 STUDI BANDING MINIM MAKNA ..................................................................................... 74 A. Studi Banding untuk Urusan Legislasi....................................................................................75 B. Pembelokan Tafsir Aturan.....................................................................................................76 C. Tak Menambah Kualitas........................................................................................................77 D. Publikasi Minimal .................................................................................................................79 UANG RAKYAT UNTUK WAKILNYA ................................................................................... 81 A. Pembangunan Gedung DPR ..................................................................................................81 B. Dana Aspirasi........................................................................................................................82 C. Rumah Aspirasi .....................................................................................................................83 KORUPSI BERPOLITIK ....................................................................................................... 86 A. Ruang Negosiasi Korupsi Politik ............................................................................................86 B. Celah Korupsi Legislasi ..........................................................................................................88 KERANCUAN PEMBUAT DAN PELANGGAR UNDANG‐UNDANG ........................................ 91 A. Pelanggaran UUD 1945 Melalui Proses Seleksi Anggota KY ...................................................91 B. Tersanderanya Wakil Rakyat oleh Birokrat............................................................................94 C. Potensi Keterlambatan Pembuatan Peraturan Pemerintah ...................................................96 KUPAS UNDANG‐UNDANG 2010 ...................................................................................... 99
7
A. UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Cicak Lawan Buaya, Bukan Kegentingan yang Memaksa...........................................................................................99 B. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi: Berangkat dari Kegagalan Negara ...........................................................................................103 C. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: dari Perlawanan Balik sampai Pembuktian Terbalik ......................................................106 D. UU NO. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan: Pemenuhan Hak Pejabat Tanpa Batasan Jelas ...............................................................................................................................................109 E. UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya: Perubahan Penuh Tanda Tanya ...................113 F. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka: Kerancuan Konsep Kepanduan..............115 G. UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura: Dari Kekhasan Hingga Kebangsaan................120 H. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Pertanyaan Masyarakat Tidak Terjawab ....................................................................................................123 I. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: Awal Pemenuhan Janji............................................................................................................127 J. UU Pengesahan Perjanjian Internasional: DPR Bukan Tukang Stempel.................................131
AKHIR DARI CATATAN.................................................................................................... 139 A. Berharap pada 560 Wakil Rakyat ........................................................................................139 B. Prediksi Legislasi 2011 ....................................................................................................144 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 145 LAMPIRAN 1 .................................................................................................................. 153 LAMPIRAN 2 .................................................................................................................. 190
8
DAFTAR TABEL Tabel 1 Komposisi Fraksi dan Pilihan Sikap dalam Rapat Paripurna DPR tentang Penetapan Kesimpulan Laporan Panitia Angket DPR dalam Kasus Bank Century...........................................................................................................................13 Tabel 2 Daftar Peraturan yang Bertumpang-tindih .........................................................15 Tabel 3 Daftar Penambahan Prolegnas RUU Prioritas 2010* .........................................20 Tabel 4 Daftar RUU yang Disahkan pada 2010 ................................................................23 Tabel 5 Perolehan Kursi pada Pemilu 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin ......................57 Tabel 6 Komposisi Keterwakilan Perempuan dalam Pemimpin Alat Kelengkapan ..58 Tabel 7 Latar Belakang Pekerjaan Anggota DPR Periode 2009—2014..........................60 Tabel 8 Catatan Perbandingan Substansi UU KIP dan peraturan KIP DPR ................66 Tabel 9 Daftar Informasi Publik yang Belum Terakomodasi dalam Peraturan KIP DPR Berdasarkan UU MD3 dan Tata Tertib DPR....................................................71 Tabel 10 Daftar Kunjungan ke Luar Negeri dalam Rangka Studi Banding Alat Kelengkapan DPR Periode 2009—2014 .....................................................................74 Tabel 11 Status Daftar RUU dengan Studi Banding ........................................................76 Tabel 12 Perbandingan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2002 dan Pasal 33 A Perppu No. 4 Tahun 2009 ...................................................................................................................101 Tabel 13 Perbandingan UU No. 5 Tahun 2010 dan UU No. 22 Tahun 2001...............105
9
DAFTAR DIAGRAM Diagram 1 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2009—2014..............................................12 Diagram 2 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2004—2009..............................................11 Diagram 3 Deskripsi Pembidangan RUU..........................................................................21 Diagram 4 Komposisi RUU Perbuahan (Amandemen) dan RUU Bari ........................22 Diagram 5 Komposisi Pembagian Sumber Usulan RUU Prolegnas Prioritas 2010 ....22 Diagram 6 Pembidangan Substansi Prolegnas RUU Prioritas 2010 ..............................22 Diagram 7 Komposisi Keanggotaan Tim Pengawas........................................................30 Diagram 8 Putusan MK per 20 Januari 2011 .....................................................................45 Diagram 9 Data Pelaku Korupsi 2004—2009 ....................................................................87 Diagram 10 Alur Penghilangan Ayat Tembakau dalam UU Kesehatan ......................89
10
RUPA PARLEMEN KINI “…saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguhsungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan…” Bunyi sumpah tersebut bergema di gedung kura-kura pada 1 Oktober 2009. Ada 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 132 Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengucapkan sumpah itu bersama-sama dalam proses pelantikan megah yang menghabiskan biaya Rp11 miliar.1 Tidaklah mengherankan bila sebagian besar Anggota DPR yang baru dilantik tidak merasa asing hadir di Senayan. Sebanyak 63,7% anggota yang terpilih ternyata warga Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Bahkan, 45,5% tinggal di DKI Jakarta (kompas.com, diakses pada 19 Desember 2009). Namun, berdomisili di ibu kota tak serta-merta menjamin kemampuan politik yang mumpuni. Lebih dari 60% dari mereka ternyata minim pengalaman politik di tingkat politik maupun daerah. Ada banyak harapan terletak di pundak wakil rakyat terpilih. Dengan usia rata-rata 48 tahun—lebih muda dari periode sebelumnya yang 50 tahun (kompas.com, diakses pada 18 Desember 2009), para wakil rakyat terpilih periode ini sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai cerminan generasi peralihan.2
A. DPR Baru, Perilaku Lama DPR periode baru (2009—2014) memiliki komposisi dan konstalasi politik baru. Fraksi Partai Demokrat (FPD)—yang pada periode DPR sebelumnya (2004— 2009) hanya menduduki 57 kursi)—pada priode ini (2009—2014) mampu memperoleh 148 kursi dari 560 yang ada. Disusul oleh Fraksi Partai Golkar (FPG) sebanyak 106; Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) sebanyak 94; Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) sebanyak 57; Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) sebanyak 46; Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) sebanyak 38; Menurut Indonesia Budget Center (IBC), Komisi Pemilihan Umum menganggarkan Rp11 miliar, Sekretariat Jenderal DPR menganggarkan Rp28.504.619.000, dan Sekretariat Jenderal DPD menganggarkan Rp6.545.000.000 untuk pelantikan tersebut. Dengan demikian, total biaya pelantikan tersebut bisa mencapai Rp46 miliar lebih. Lihat “Biaya Pelantikan DPR-DPD Rp.46 Miliar”, Vivanews.com, 29 September 2009, http://politik.vivanews.com/news/read/93048biaya_pelantikan_dpr_dpd_rp_46_miliar, diakses pada 29 Januari 2011. 2 Dari segi pendidikan, 91% adalah sarjana. Bahkan, hampir separuhnya sudah menyelesaikan pendidikan pascasarjana. Jumlah keterwakilan perempuan adalah 17,7%, sementara pada periode sebelumnya 11,8%. 1
11
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) sebanyak 28; Fraksi Partai Gerindra sebanyak 26; dan Fraksi Partai Hanura sebanyak 17. Diagram 1 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2009—2014
26 17 28 38 46
148
560
57
106 94
Diagram 2 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2004— 2009
Demokrat Golkar PDIP PKS PAN PPP PKB Gerindra Hanura
45
20 1313
127
FPG FPDIP
52
FPPP
546 53
FPD
109 57
57
FPAN FKB FPKS FBR FPDS
Catatan: Pada periode 2004—2009, Fraksi
Partai Golkar (FPG) terdiri dari Partai Golkar dan Fraksi Partai Karya Peduli Bangsa. Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) terdiri dari Partai Bulan Bintang, Partai Pelopor, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia Marhaenis Komposisi baru tersebut tentu di atas kertas membuat Partai Demokrat— yang merupakan partai pemerintah dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presidennya—seolah memiliki kekuatan politik yang sangat dominan. Apalagi, dalam hal penyusunan kabinet, Presiden SBY mengakomodasi representasi dari enam partai politik (parpol) yang mendukung paket SBY-Boediono. Dalam kabinet bentukan SBY-Boediono, unsur parpol terbanyak terdiri dari Partai Demokrat sebanyak enam orang, disusul PKS empat orang, PAN tiga orang, Golkar tiga orang, PPP dua orang, dan PKB dua orang.3 Ujian Pertama Koalisi Dukungan partai koalisi tersebut menghadapi ujian pertamanya dalam proses voting tahap kedua Rapat Paripurna DPR tentang kasus Bank Century pada 3 Maret 2010. Dari tiga opsi (opsi A, B dan C)4 yang ada, akhirnya voting dimenangkan oleh pendukung opsi C yang berseberangan dengan sikap Partai Demokrat. Secara sederhana, opsi C adalah sikap yang memandang bahwa ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam penetapan kebijakan bail out Bank Century. Pelanggaran itu juga melahirkan penyalahgunaan wewenang hingga terjadi dugaan tindak pidana, mulai dari tindak pidana umum, tindak pidana perbankan, tindak pidana pencucian uang, hingga tindak pidana korupsi. Sementara itu, opsi A menilai bahwa kebijakan penyelamatan Bank Century Dari 34 orang menteri, ada 20 orang berasal dari partai politik, 11 kalangan profesional, dan 3 orang merupakan anggota tim sukses SBY. 4 Opsi B telah dihapuskan pada Rapat Panitia Khusus sebelum pelaksanaan voting. 3
12
merupakan kebijakan yang tepat. Kemungkinan pelanggaran dilakukan oleh pemilik Bank Century, yaitu Robert Tantular, dan para kroninya. Opsi C akhirnya dipilih oleh 325 anggota dari 537 anggota yang hadir. Sementara itu, opsi A dipilih oleh 212 Anggota DPR (antaranews.com, diakses pada 3 Feruari 2011). Hasil itu tentunya menarik jika melihat komposisi kekuatan fraksi dari partai koalisi. Tabel 1 Komposisi Fraksi dan Pilihan Sikap dalam Rapat Paripurna DPR tentang Penetapan Kesimpulan Laporan Panitia Angket DPR dalam Kasus Bank Century
Fraksi Demokrat * Golkar*
Jumlah Anggota 148 106
Opsi A 148 -
PDIP
94
-
PKS*
57
-
PAN*
46
PPP* PKB*
38 28
39 (tujuh orang tidak hadir) 25
Gerindra
26
Hanura Total Suara
17 212
Opsi C 104 (dua orang anggota tidak hadir) 90 (empat orang tidak hadir) 56 (satu orang tidak hadir) 32 1 (1 orang adalah Lily Wahid, 2 orang tidak hadir) 25 (1 orang tidak hadir) 17 325
* Partai anggota koalisi pendukung paket SBY-Boediono Jika hanya dilihat dari aspek pengaruh politik, hasil pemungutan suara tersebut tentunya menjadi kenyataan pahit bagi Partai Demokrat. Jumlah kursi yang meningkat drastis pada periode masa jabatan DPR 2009—2014 terbukti tidak sertamerta menimbulkan adanya dampak signifikan dalam pengaruh politik di DPR. Partai Demokrat semakin jelas terlihat kalah mahir dalam politik ketika dua bulan pascapemungutan-suara terkait Bank Century, Presiden SBY membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian. Presiden SBY menegaskan bahwa Setgab hanya merupakan sarana komunikasi dan konsultasi antarparpol koalisi dan presiden selaku Ketua Setgab tidak mendelegasikan kewenangan pada Ketua Harian. Namun, tidak dapat dihindari kesan kompromi hasil negosiasi akibat kalah dalam pengaruh politik riil di DPR. Situasi dan konstalasi tersebut pasti akan terus berubah. Pemungutan suara penyikapan kasus Bank Century hanyalah satu tonggak awal dalam mengukur
13
tarik-menarik kepentingan politik antarpartai-politik di DPR periode 2009—2014.
Citra pada Awal Periode Intensitas dan ingar-bingar Panitia Angket kasus Bank Century mewarnai masa awal kerja Anggota DPR periode 2009—2014. Kehebohan tanpa manfaat yang jelas membuat kinerja DPR terlihat buruk. Kinerja legislasi, sekadar dari aspek kuantitas, sangatlah jauh dari memuaskan. Saat ini, total RUU Prioritas 2010 bertambah sehingga menjadi 70 RUU. Target itu dinilai tidak realistis jika melihat preseden capaian DPR periode 2004— 2009 yang hanya mampu menyelesaikan rata-rata 38,6 UU per tahun. Sampai akhir 2010, terbukti DPR hanya mampu menyelesaikan 17 UU dari 70 UU yang ditargetkan. Di tengah kinerja rendah tersebut, DPR malah ramai dengan berbagai hal kontraproduktif. Sebut saja soal dana aspirasi5, rumah aspirasi6, pelesiran berbungkus studi banding7, ataupun rencana pembangunan gedung baru. Semua hal itu menambah buruk citra DPR di mata publik. Khusus terkait kinerja legislasi, perlu diingat bahwa kini Pasal 141 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR membatasi durasi pembahasan RUU, yaitu dalam jangka waktu paling lama dua kali masa sidang dengan masa perpanjangan waktu satu kali masa sidang. Untuk memenuhinya, benar-benar dibutuhkan perencanaan, persiapan, dan proses pembahasan yang baik dengan tetap mengedepankan kualitas produk UU yang dihasilkan. DPR periode 2009—2014 benar-benar harus meningkatkan kinerjanya. Bukan soal memperbaiki citra, tapi mereka harus membangun keterwakilan yang sejati dalam negara demokrasi.
B. Prolegnas dan Realisasinya Sebanyak 560 orang Anggota DPR hasil Pemilihan Umum (pemilu) 2009 telah menjalani satu tahun sidang per 15 Agustus 2010. Artinya, sejak dilantik secara resmi pada 1 Oktober 2009, Anggota DPR periode 2009—2014 telah menempuh
Usulan dana aspirasi sebesar Rp15 miliar per Anggota DPR dimotori Fraksi Partai Golkar. Ide itu diadopsi dari berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Filipina, Afrika Selatan, Swedia, Norwegia, dan Denmark. Dana semacam itu disebut pork barrel. 6 Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) mengusulkan pembangunan rumah aspirasi bagi setiap Anggota DPR. Setiap anggota diusulkan untuk diberikan dana sebesar Rp200 juta sehingga total untuk 560 anggota mencapai Rp112 miliar. Hal itu jelas menyimpang dari konsep awal, yaitu Rumah Aspirasi merupakan suatu mekanisme yang bersifat alternatif (pilihan) dan bentuknya adalah Kantor Bersama; bukan per anggota. Selama ini, DPR belum optimal dalam pelaksanaan Kunjungan Kerja yang telah dianggarkan sebesar Rp142 juta/tahun per-anggota. Sebelum melaksanakan opsi pembentukan Rumah Aspirasi, DPR perlu memperbaiki terlebih dahulu berbagai aspek dalam kunjungan kerja, seperti efektivitas kunjungan kerja dan akuntabilitas penggunaan dananya. 7 Biaya studi banding ke luar negeri bisa menghabiskan biaya hingga Rp1,7 miliar. DPR periode 2009—2014 telah melakukan kunjungan ke 14 negara dengan akuntabilitas publik yang minim. Hanya Panja RUU Hortikultura di Komisi IV yang telah menyusun laporan hasil kunjungan kerja ke Selandia Baru pada 17—23 Agustus 2010 dan ke Belanda pada 14—19 September 2010. Laporan itu pun tidak komprehensif dan belum dimuat dalam situs resmi DPR. 5
14
waktu sekitar 9,5 bulan yang terdiri atas masa sidang dan masa reses. Dalam hitungan yang berbeda, mereka telah melewati 2010 dan tiga bulan pada 2009. Selama kurun waktu tersebut, perjalanan DPR tidak lepas dari berbagai sorotan dan kritik publik yang ternyata belakangan makin deras. Penyebabnya beragam, mulai dari biaya pelantikan yang sangat mahal, usulan dana aspirasi yang disusul rumah aspirasi, rencana pembangunan gedung baru mencapai triliunan rupiah, hingga maraknya kunjungan ke luar negeri dalam rangka studi banding. Sikap tidak puas masyarakat tertuju pula pada kinerja legislasi DPR. Target Prolegnas RUU Prioritas 2010 sebanyak 70 RUU ternyata tidak tercapai. Menurut sebagian kalangan, kenyataan itu kontras dengan fungsi pengawasan yang terlihat begitu masif. Tercatat, DPR sudah membentuk 32 Panitia Kerja (Panja) untuk melaksanakan fungsi pengawasan (republika.co.id, diakses pada 17 Januari 2011). Pembentukan secara sembarangan tanpa memperhatikan kaidah dan proses harmonisasi juga memperburuk kualitas UU yang dihasilkan. Terbukti, ditemukan 70% UU di Indonesia tumpang-tindih dan saling bertabrakan, baik dengan UUD 1945 maupun UU lain. Akibatnya, UU itu menjadi sulit diterapkan (Suara Pembaruan, 24 Agustus 2010). Tabel 2 Daftar Peraturan yang Bertumpang-tindih
Materi Ketentuan Sidang Bersama DPR dan DPD Pembayaran pensiun tenaga kerja
Komponen kesehatan dan perumahan tenaga kerja Investasi pertambangan
Sistem perencanaan pembangunan daerah
Pembina kepegawaian
Undang-Undang Diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009, tetapi tidak ada di UUD 1945. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sama-sama mengatur sehingga dunia usaha mengeluarkan biaya dua kali untuk tenaga kerja UU Ketenagakerjaan tumpang tindih dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan UU Perpajakan dan Kontrak Bagi Hasil. Perlu Peraturan Pemerintah (PP) mengenai peralihan kontrak tambang berbentuk kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, atau surat izin pertambangan rakyat menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan (di daerah) dengan Peraturan Daerah (Perda), sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan cukup dengan Peraturan Gubernur. UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
15
Materi
Kewenangan eksplorasi sumber daya kelautan
Pertanahan
Undang-Undang Kepegawaian menyebut Pembina kepegawaian (di daerah) adalah kepala daerah, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Pembina kepegawaian adalah Sekretaris Daerah (Sekda). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan Pemda berwenang mengeksplorasi laut sepanjang 12 mil dari garis pantai termasuk pelabuhan di atasnya. Hal itu bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang menyebutkan pendayagunaan pantai untuk pelabuhan menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan melalui PT Pelindo. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tidak berfungsi atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan lain karena mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama.
Semua fungsi DPR sama penting. Namun, sebagai konsekuensi lembaga legislatif, tentunya penekanan ada pada fungsi pembentukan UU. Persoalannya adalah fungsi pengawasan cukup kencang, tetapi tidak diikuti capaian kinerja legislasi secara signifikan. Dengan kata lain, dinamika dan determinasi fungsi pengawasan DPR pada tahun pertama tidak berimbang. Bahkan, tidak terwujudkan pula pada pelaksanaan fungsi legislasi yang setidaknya bisa dilihat pada tingkat kedisiplinan dan kontribusi. Upaya memperbaiki produk legislasi menjadi perhatian DPR pula agar tidak mudah masuk dalam daftar judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, tidak tanggung-tanggung, seperti yang diberitakan hukumonline.com pada 15 Oktober 2009, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan bahwa DPR memperkenalkan sistem baru dalam rangkaian proses penyusunan legislasi. Sebelum sebuah UU disahkan, DPR berencana mengkonsultasikannya dengan dengan MK. Tujuannya adalah pekerjaan panjang Anggota DPR dalam menyusun UU tidak dibatalkan begitu saja oleh MK. Tentu saja, ide tersebut tidak bersambut baik. Kedudukan MK sebenarnya sudah jelas dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, khususnya ayat (1) huruf a, yaitu menguji UU terhadap UUD 1945. Apabila mekanisme konsultasi seperti yang disampaikan Marzuki Alie berjalan, tanpa disadari, telah terjadi pergerakan orbit yang pada akhirnya mengubah relasi antara DPR dan MK. Tentu saja, perubahan relasi itu berdampak tersendiri. Salah satu yang dikhawatirkan adalah Hakim Konstitusi yang dilibatkan dalam mekanisme konsultasi itu tersandera terhadap pendapatnya sendiri. Dampak lain adalah keberadaan MK yang memasuki orbit DPR, khususnya fungsi legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD 1945, Pasal 32 ayat (1)
16
huruf a UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dan Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, dan huruf g UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, ada pula potensi akan dampak yang lebih serius. Tindakan DPR menempatkan MK dalam orbit legislasi dapat menjadi legitimasi atau pembenaran apabila ada pihak yang mempersoalkan materi UU dan mengajukan permohonan judicial review. DPR dapat berkilah bahwa UU itu sebenarnya telah dikonsultasikan dengan MK. Dengan kata lain, “label” konstitusionalnya telah bersenyawa dan melekat pada UU yang dipersoalkan. Dengan demikian, DPR dapat saja berkesimpulan bahwa tidak ada substansi UU yang layak dipermasalahkan. Sepanjang 2010, DPR telah menghasilkan 16 UU. Artinya, dari 70 RUU Prioritas 2010, tersisa 54 RUU yang statusnya tidak tuntas dibahas atau mungkin saja naskah akademik maupun naskah RUU belum disiapkan. Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2010 yang ditetapkan melalui Keputusan DPR Nomor: 41B/DPR RI/I/2009-2010 disusun berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2010 dan kebutuhan hukum masyarakat. Kemudian, DPR dan pemerintah menyepakati sejumlah arah dan kebijakan yang mendasari penentuan RUU Prioritas 2010 sebagai berikut. 1. Menata sistem hukum nasional melalui penyempurnaan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat tuntutan reformasi di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, serta pelaksanaan amanat UUD 1945. 2. Mengganti peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman untuk mempercepat reformasi, mendukung pemilihan ekonomi, mendukung percepatan reformasi birokrasi, perlindungan hak asasi manusia dan percepatan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kejahatan transnasional. 3. Menata sistem politik nasional dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan yang demokratis sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi. Di dalamnya menyangkut penguatan kedudukan lembaga eksekutif, legislatif, dan perangkat kelembagaan terkait, seperti partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, lembaga pengawas pemilu, serta pengaturan teknis pemilu. 4. Mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dengan memprioritaskan pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi. Secara kuantitas, capaian 16 UU bukan saja tidak memenuhi target awal, tetapi jauh dari jumlah proporsional untuk menjawab dan menindaklanjuti empat arah kebijakan tersebut. Model evaluasi minimal yang bisa dilakukan, yaitu memeriksa: 1. sebaran UU (di luar UU kumulatif terbuka) dan paling banyak tertuju pada arah yang mana; dan 2. arah kebijakan mana yang belum terpenuhi.
17
Sebaran UU yang digunakan adalah UU nonkumulatif terbuka. Dari 16 UU, terdapat delapan UU kumulatif terbuka, antara lain: 1. UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010; 2. UU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008; 3. UU tentang Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010; 4. UU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 5. UU tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty Between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore Relating to The Delimitation of The Territorial Seas of The Two Countries in The Western Part of The Strait of Singapore, 2009); 6. UU tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-pertuan Negara Brunei Darussalam tentang Kerjasama di Bidang Pertahanan (Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of His Majesty The Sultan and Yang Di-pertuan of Brunei Darussalam on Defence Cooperation); 7. UU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009; dan 8. UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011. Dengan demikian, sisanya merupakan UU kumulatif terbuka yang ditentukan relevansinya dengan empat arah kebijakan Prolegnas RUU Prioritas 2010. Adapun, delapan UU yang dimaksud, yaitu: 1. UU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi; 2. UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; 3. UU tentang Keprotokolan; 4. UU tentang Cagar Budaya; 5. UU tentang Gerakan Pramuka; 6. UU tentang Hortikultura; 7. UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; dan 8. UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Terkait penataan sistem politik nasional, DPR dan pemerintah sebenarnya telah menempatkan perubahan paket UU politik dalam RUU Prioritas 2010. Setidaknya ada empat RUU, yaitu: 1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; 2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD; 3. RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; serta 18
4. RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dari empat RUU tersebut, hanya RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang tuntas dibahas dan disetujui bersama sebagai UU pada Rapat Paripurna DPR pada 16 Desember 2010. Dengan demikian, penyelesaian target legislasi di sektor politik hanya tertuju pada pengaturan partai politik. Artinya, pada 2010, DPR dan pemerintah gagal melengkapi dan melanjutkan desain sistem politik nasional secara keseluruhan mencakup pihak-pihak di luar partai politik, misalnya parlemen, lembaga penyelenggara, dan pengawas pemilu. Terkait dengan pembangunan di sektor pertanian, infrastruktur, dan energi, pada 2010, DPR dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU tentang Hortikultura dan RUU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Capaian dua RUU itu harus diakui masih sedikit dibandingkan RUU (pada arah dan kebijakan yang sama) yang turut diprogramkan pada prioritas 2010, yaitu: 1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan; 2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun; dan 3. RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan. Sementara itu, produk legislasi 2010 yang bisa ditempatkan dalam ruang lingkup penyempurnaan sistem hukum nasional, khususnya dalam rangka mempercepat tuntutan reformasi hukum, yaitu: 1. UU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi; dan 2. UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lantas, ketiga RUU lain, yaitu UU tentang Keprotokolan, UU tentang Cagar Budaya, dan UU tentang Gerakan Pramuka tidak terhubung dengan salah satu arah kebijakan. Hal itu menjadi persoalan tersendiri karena menjadi indikator yang mengkonfirmasi adanya sejumlah RUU yang diprioritaskan pada 2010, tetapi statusnya lepas dari arah dan kebijakan. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa penempatan tiga RUU itu pada Prioritas 2010 merupakan kecerobohan karena tidak ada landasan yang jelas dari aspek perencanaan legislasi. Agenda mengganti peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman adalah arah dan kebijakan yang tidak terwujud sama sekali dari capaian Prolegnas RUU Prioritas 2010. Di satu sisi, RUU tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana dan RUU tentang Kitab UU Hukum Pidana adalah contoh tuntutan riil penyesuaian perangkat hukum pidana dengan konteks kekinian. Di sisi lain, persiapan merevisi kedua RUU itu sudah lama dilakukan. Hal itu mengkonfirmasi ulang bahwa prioritas tidak sepenuhnya dijadikan panduan. Tiga Kali Penambahan Selain pembentukan dan pengisian pimpinan serta anggota alat kelengkapan, capaian DPR pada periode awal (2010) adalah menetapkan 247 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas 2010—2014. Kemudian, DPR menetapkan 70 RUU Prioritas 2010. Jumlah RUU Prolegnas 2010—2014 lebih sedikit dibandingkan Prolegnas 2005—2009 yang menargetkan 284 RUU. Sementara itu, prioritas penyelesaian RUU 19
pada tahun pertama (2010) berjumlah 70 RUU. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan tahun 2005, yaitu 55 RUU. Awalnya, penetapan target Prolegnas RUU Prioritas 2010 berjumlah 55 RUU. Namun, terhitung sejak Masa Sidang I dan II, telah terjadi tiga kali perubahan, yaitu satu kali pada Desember 2009 (menjadi 58 RUU) dan dua kali pada Februari 2010 sehingga total bertambah menjadi 70 RUU. Tabel 3 Daftar Penambahan Prolegnas RUU Prioritas 2010*
3 Desember 2009 (Masa Sidang I) Usulan DPR No Nama RUU 1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 3. RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan
10 Februari 2010 (Masa Sidang II) Usulan DPR No Nama RUU 1. RUU tentang Hortikultura 2. RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro 3. RUU tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 4. RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 5. RUU tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Usulan Pemerintah No Nama RUU 1. RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal 3. RUU tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 4. RUU tentang Pengurusan Piutang Negara dan Daerah (sebagai pengganti RUU tentang Perubahan atas UU No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara 5. RUU tentang Akuntan Publik
23 Februari 2010 (Masa Sidang II) Usulan DPR No 1. RUU tentang Desa Usulan Pemerintah No
Nama RUU Nama RUU 20
1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak * Peresmian penambahan 12 RUU Prioritas 2010 dalam Rapat Paripurna DPR pada 23 Februari 2010 Tidak hanya menambah 15 RUU dalam daftar RUU Prioritas 2010, pemerintah dan DPR—melalui pertemuan konsultasi pada 15 Juli 2010— menetapkan tiga RUU yang lebih diprioritaskan dan harus bisa dituntaskan selambat-lambatnya akhir 2010. Ketiga RUU itu, yakni: - RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan; - RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; dan - RUU tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. Diagram 3 Deskripsi Pembidangan RUU
Kluster Poli]k dan Hukum Kluster Sosial dan Budaya Kluster Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Perdagangan Kluster Hankam
8%
3%
3% 4%
Kluster Tata Kelola SDA
18%
10%
13% 28%
6%
Kluster Otonomi Daerah Kluster Kewarganegaraan dan Perempuan Kategori Infrastruktur
6% 1%
Kluster An] Korupsi Kluster Birokrasi Kluster Dan Lain‐lain
21
Diagram 4 Komposisi RUU Perbuahan (Amandemen) dan RUU Bari
54%
RUU Perubahan (amandemen)
46%
RUU Baru
Diagram 5 Komposisi Pembagian Sumber Usulan RUU Prolegnas Prioritas 2010
RUU Usul Inisia]f DPR (38 RUU)
46% 54%
RUU Usul Inisia]f Pemerintah (32 RUU)
Diagram 6 Pembidangan Substansi Prolegnas RUU Prioritas 2010
Sektor Poli]k, Hukum, dan HAM (12 RUU) 17% 54%
Sektor Ekonomi, Keuangan, Industri (20 RUU)
29%
Sektor Kesejahteraan Rakyat (38 RUU)
Pengulangan Kesalahan Jika dibandingkan pada tahun pertama keanggotaan DPR periode 2004— 2009, capaian kinerja legislasi pada 2010 secara kuantitas meningkat sedikit sekali. Pada 2010, DPR dan pemerintah berhasil menuntaskan 16 RUU, termasuk UU APBN, perubahan, dan pertanggungjawabannya, serta perjanjian bilateral. Sementara itu, pada 2005, hanya 14 RUU yang berhasil diselesaikan.
22
Tabel 4 Daftar RUU yang Disahkan pada 2010
NO.
NOMOR DAN TAHUN
1.
47 Tahun 2009
2.
1 Tahun 2010
3.
2 Tahun 2010
4.
3 Tahun 2010
5.
4 Tahun 2010
6.
5 Tahun 2010
7.
6 Tahun 2010
8.
7 Tahun 2010
9.
8 Tahun 2010
10. 11.
9 Tahun 2010 10 Tahun 2010
12. 13. 14. 15.
11 Tahun 2010 12 Tahun 2010 13 Tahun 2010 1 Tahun 2011
TENTANG Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty Between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore Relating to The Delimitation of The Territorial Seas of The Two Countries in The Western Part of The Strait of Singapore, 2009) Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-pertuan Negara Brunei Darussalam tentang Kerjasama di Bidang Pertahanan (Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of His Majesty The Sultan and Yang Dipertuan of Brunei Darussalam on Defence Cooperation) Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Keprotokolan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 Cagar Budaya Gerakan Pramuka Hortikultura Perumahan dan Kawasan Permukiman 23
16.
2 Tahun 2011
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Meskipun ada peningkatan, kinerja legislasi DPR pada tahun pertama periode 2009—2014 belum dapat dikatakan lebih baik. Kinerja legislasi yang buruk masih bersumber dari muara yang sama, yaitu aspek perencanaan. DPR dan pemerintah masih mengulangi kesalahan yang sama dalam perencanaan legislasi. Keputusan DPR menetapkan target prioritas legislasi hingga 70 RUU untuk satu tahun semakin memperkuat penilaian Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR (yang termuat dalam laporan per Desember 2006). Tim menilai, DPR masih ambisius dalam menetapkan jumlah RUU yang menjadi prioritas. Menurut tim, meskipun DPR telah menyusun kriteria atau standar prioritas untuk pembuatan suatu RUU, dalam pelaksanaan tidak dapat memenuhinya. Dari 15 RUU yang ditambahkan ke dalam daftar RUU Prioritas 2010, ternyata hanya dua yang mampu terselesaikan, yaitu RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan RUU tentang Hortikultura. Bahkan, tiga RUU yang diprioritaskan berdasarkan pertemuan konsultasi DPR dan presiden tak ada satu pun yang tuntas. Patut dipertanyakan tentang prioritas (legislasi) tahunan serta konsekuensi sesungguhnya serta perlakuan DPR dan pemerintah terhadapnya. Sementara itu, ada kenaikan anggaran legislasi. Pada 2005, dialokasikan Rp560 juta, sedangkan pada 2009, dianggarkan Rp5,8 miliar. Namun, hal itu tidak membantu DPR dalam memenuhi target prioritas tahunan yang akhirnya mempengaruhi Prolegnas secara keseluruhan. Keberadaan staf ahli (yang telah direkrut sejak 2006) bagi Anggota DPR maupun alat kelengkapan belum sepenuhnya dapat diandalkan. Solusi Sementara Perbaikan Konsep DPR bukan tidak berinisiatif sama sekali untuk mengatasi kinerja legislasi yang rendah. Prolegnas sebagai instrumen perencanaan legislasi didiagnosis, tapi jalan keluarnya justru mencampuradukkan konsep target (prioritas) penyiapan, pembahasan, dan penyelesaian. Kalau kemudian pencampuran konsep itu dipilih dan dilakukan, hal yang terjadi justru makin memperburuk DPR dalam bekerja, terutama dalam melaksanakan fungsi legislasi. Harus ada pendefinisian ulang untuk pengkategorian lebih jelas akan penetapan prioritas tahunan. Bisa saja, prioritas tahunan yang dimaksud adalah prioritas penyiapan, pembahasan, atau penyelesaian. Ketiga konsep itu tidak bisa dicampuradukkan karena kepentingannya berbeda. Dalam konteks perencanaan legislasi dan capaian target, seharusnya prioritas tahunan di sini adalah penyelesaian suatu RUU menjadi UU atau terpenuhinya pembicaraan tingkat II seperti yang dimaksud Pasal 151 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selain pencampuradukan konsep prioritas tahunan, ada faktor lain yang menyebabkan DPR menetapkan target tinggi. Pertama, sensitivitas Anggota DPR dalam menangkap aspirasi publik ternyata selalu diartikulasikan sebagai kerja 24
legislasi. Dengan kata lain, perspektif yang digunakan adalah “harus selalu diatur dengan UU”. Kedua, ketiadaan alat saring yang lebih operasional untuk memilih dan memilah urgensi suatu RUU. Akibatnya, usulan suatu RUU mudah masuk dalam usulan Prolegnas, khususnya prioritas tahunan. Ketiga, faktor penganggaran turut membuka peluang (peningkatan) alokasi anggaran legislasi. Selain itu, minimnya capaian target legislasi hingga pertengahan 2010 mendorong Badan Legislasi (Baleg) mengambil langkah “pemangkasan” dari 70 RUU Prioritas 2010 menjadi 35 RUU. Langkah taktis lainnya adalah setiap komisi ditentukan menyelesaikan minimal dua RUU dan enam RUU di Panitia Khusus (Pansus). Penetapan tersebut harus diikuti keseriusan fraksi-fraksi di DPR menjalani tahapan sebelum atau saat pembahasan, seperti ketepatan waktu menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi, dan evaluasi kinerja anggota fraksi yang terlibat dalam pembahasan RUU. Jadi, penetapan itu tidak melebihi beban normal atau justru sering absen. Berbagai usulan lain mengemuka guna membenahi kinerja legislasi DPR, antara lain: a) penetapan Anggota DPR yang khusus membidangi penyusunan dan pembahasan RUU tanpa dibebani tugas di komisi maupun alat kelengkapan DPR lain; b) mengalokasikan secara khusus dua hari dalam seminggu (tiap Rabu dan Kamis) bagi alat kelengkapan DPR untuk membahas RUU bersama pemerintah; c) menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi untuk membantu penyusunan naskah akademik dan naskah RUU; d) penambahan dua tenaga ahli bagi setiap Anggota DPR dan sepuluhtenaga ahli yang akan ditempatkan di Baleg; e) klarifikasi indeks RUU berdasarkan bobot dan jenis, yaitu RUU Usul DPR, RUU Usul Pemerintah, RUU Pemekaran, RUU Ratifikasi, dan RUU Perubahan; f) pembatasan waktu kunjungan kerja ke daerah; dan g) penggunaan waktu libur untuk kepentingan legislasi. DPR dapat saja mengalokasikan sebagian masa reses untuk kepentingan pembahasan RUU. Penafsiran lebih jauh terhadap Pasal 139 jo Pasal 141 jo Pasal 254 Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib memungkinkan kebijakan itu dijalankan. Kegagalan dalam mencapai target prioritas tahunan berawal dari ketidakmampuan manajemen legislasi mengatasi beban kerja Anggota DPR. Tidak menutup kemungkinan, faktor itu muncul kembali dan mengancam kinerja Anggota DPR periode 2009—2014. Perlu ada serangkaian strategi yang harus dijalankan oleh Baleg, Badan Musyawarah (Bamus), dan fraksi-fraksi. 1. Baleg melakukan monitoring pembahasan RUU; melihat kesesuaiannya dengan Pasal 141 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR yang membatasi durasi pembahasan paling lama dua kali masa sidang dan masa perpanjangan waktu satu kali masa sidang. Terobosan tersebut dapat berjalan efektif apabila Bamus dan pimpinan fraksi dapat berkolaborasi dengan baik. Pimpinan fraksi menentukan anggota yang terlibat dalam suatu RUU untuk mewakili fraksi. Kemudian, hal itu
25
dikomunikasikan kepada Bamus. Selanjutnya, Bamus pembahasan dan mendistribusikannya pada masa sidang.
mengatur
jadwal
2. Beban kerja seorang Anggota DPR yang tidak proporsional juga harus dicegah. Hal itu juga untuk mengurangi kemungkinan Anggota DPR tersandera dalam rangkap jabatan dan keanggotaan di berbagai alat kelengkapan, baik yang tetap maupun tidak tetap. Rangkap jabatan itulah yang cenderung membuat Anggota DPR tidak efektif dalam bekerja. Implementasi beberapa ketentuan—guna mengefetifkan peran Anggota DPR— sangat bergantung pada inisiatif dan kerja sama antara fraksi dan Bamus. Kedua belah pihak harus secara aktif dan rutin melakukan monitoring serta evaluasi terhadap kinerja Anggota DPR. Dengan cara itu, dapat diketahui sejak awal Anggota DPR yang bekerja secara efektif maupun yang tidak disiplin untuk menghadiri rapat pembahasan RUU. 3. Baleg seharusnya didorong bukan hanya sebagai alat kelengkapan yang melakukan pembahasan RUU, tetapi juga mengawasi proses legislasi dan dinamika yang menyertainya. Dengan demikian, dapat diketahui berbagai kelemahan dan potensi permasalahan yang menghambat kinerja legislasi DPR.
C. Karakter Legislasi 2010 Dari segi durasi pembahasan, pembahasan delapan UU nonkumulatif terbuka rata-rata menghabiskan waktu di bawah enam bulan. Artinya, satu RUU berjalan dalam kerangka waktu dua masa sidang, mulai dari dibuat, dibahas, hingga disetujui secara bersama. Akan tetapi, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memerlukan waktu kurang lebih sepuluh bulan. Kebiasaan DPR dan pemerintah untuk menyelipkan pengaturan tentang pembentukan suatu lembaga baru tidak berlangsung masif. Kedelapan UU cenderung menempatkannya sebagai pilihan, misalnya badan pengelola kawasan cagar budaya yang dapat dibentuk pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Contoh lainnya adalah Pasal 114 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura yang menyatakan lembaga pengembangan hortikultura dapat dibentuk di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan/atau tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Namun, ada pula pembentukan lembaga yang merupakan perintah dan menjadi satu-satunya peraturan yang berlaku, yaitu UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 92 ayat (1), presiden membentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Karakter legislasi 2010 mengkonfirmasi pula bahwa capaian delapan UU nonkumulatif terbuka menunjukkan kepentingan memenuhi target minimal sektor yang diwakili oleh Komisi X, Komisi V, Komisi IV, Komisi III, Komisi II, dan Baleg. Dalam artian, tiap komisi telah menentukan dua target RUU mulai dari pertengahan 2010 hingga akhir 2010 yang diperkirakan selesai dibahas dan disepakati bersama menjadi UU. Bahkan, RUU tentang Cagar Budaya dan RUU tentang Gerakan
26
Pramuka yang menjadi target Komisi X berhasil dituntaskan. Sementara itu, Komisi V mampu menyelesaikan RUU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Komisi IV untuk RUU tentang Hortikultura. RUU Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi berhasil diselesaikan oleh Komisi III. RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dituntaskan oleh Komisi II yang menggeser RUU tentang Kepegawaian. Kemudianm Baleg selesai melakukan pembahasan RUU tentang Penyelenggara Pemilu serta RUU tentang Keprotokolan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah delapan UU tersebut tanpa disadari telah melahirkan surplus aturan pendelegasian. Setidaknya, ditemukan ada 106 ketentuan yang memandatkan pengaturan lebih lanjut, tersebar mulai dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), hingga aturan unit pelaksana. Dihadapkan pada delapan UU nonkumulatif terbuka yang dihasilkan di 2010, 106 aturan pendelegasian terbilang tinggi. Jumlah itu tentunya tidak bisa dibagi rata per UU. Namun, hal itu menunjukkan DPR mengakumulasi pengaturan ke dalam aturan pelaksana. Jika dicermati, fakta itu secara tidak langsung mempertanyakan kompetensi legislator dalam menguasai persoalan (substansi RUU) dan menentukan sifat pengaturan, antara UU dan PP. Hal itu berpotensi memperbesar intervensi pemerintah sehingga DPR semakin tidak berdaya karena kuasa legislasi yang terkikis. Berdasarkan pendekatan teori konflik kepentingan dan pemberdayaan aktor politik, karakter legislasi 2010 menghadirkan serangkaian tesis yang memperlihatkan adanya benang merah antara satu RUU dan RUU lain. Bersumber dari analisis setiap UU, aktor politik formal mendapatkan penguatan eksistensi melalui UU Keprotokolan dan UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sementara itu, kelompok sosial kemasyarakatan ada di RUU Gerakan Pramuka. Intinya, para pihak yang diatur dalam ketiga UU itu memperoleh pengukuhan identitas dan ruang pemberlakuan identitas itu. Dilihat dari kutub negara dan kutub masyarakat yang sewaktu-sewaktu dapat saling berhubungan, persinggungan kepentingan kedua belah pihak muncul pada UU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU tentang Hortikultura, UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta UU tentang Cagar Budaya. Ada kekuasaan yang ingin dipertahankan oleh negara yang dilihat dari teori konflik kepentingan berkaitan dengan relasi politik dengan bisnis, baik di level pusat maupun daerah. Keinginan untuk berkuasa itu berhadapan dengan kebutuhan masyarakat yang ingin memperluas akses dan kompetensi mengolah aset, seperti politik, sosial, dan budaya.
27
RELASI DPR DENGAN LEMBAGA LAIN A. Relasi DPREksekutif: Pelaksanaan Fungsi Minim Substansi Perubahan terhadap UUD 1945 yang terjadi pada 1999—2002 telah membawa banyak perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu aspek perubahan yang mendasar adalah pelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, pengaturan mengenai fungsi lembaga negara diatur lebih tegas dan menganut sistem check and balances dalam penyelenggaraannya. Walaupun fungsi dari lembaga negara sudah diatur masing-masing dalam UUD 1945, dalam pelaksanaannya tidak berjalan sendiri-sendiri. Pelaksanaan dari fungsi setiap lembaga negara kemudian membentuk relasi antarlembaga-negara yang ada. Salah satu relasi yang tercipta adalah antara DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif dan pemerintah sebagai lembaga pemegang kekuasaan eksekutif. Relasi itu terjadi karena ada fungsi dari lembaga negara yang saling berkaitan satu sama lain. Dari relasi yang ada, hal yang menarik adalah mengetahui realitas yang terjadi di lapangan, mengingat kerja sama antara dua lembaga negara atau lebih bukanlah hal yang mudah dilakukan. Hal itu penting diketahui, khususnya untuk menjawab pertanyaan “apakah relasi itu kemudian memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan fungsi dari lembaga negara masing-masing?”. Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi itu memiliki keterkaitan dengan fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Namun, pada 2010, DPR terkesan lebih fokus kepada pelaksanaan fungsi pengawasan. Banyak publikasi yang dilakukan DPR kepada masyarakat berada dalam ranah pelaksanaan fungsi pengasawan dibandingkan legislasi atau anggaran. Kondisi itu pun diakui oleh para Anggota DPR. Dari kondisi di atas, perlu dilihat hasil dari pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut. Pelaksanaan fungsi pengawasan yang cenderung intensif menimbulkan harapan hasil yang baik dan tujuan fungsi yang tercapai. Namun, sampai akhir 2010, sangat sedikit hasil pelaksanaan fungsi pengawasan yang sesuai dengan harapan itu. Fungsi pengawasan DPR cenderung digunakan sebagai alat politik sekelompok golongan untuk menekan pemerintah. Selain itu, aspek penyelenggaraan wewenang yang sesuai dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai. Selain dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, relasi antara DPR dan eksekutif atau pemerintah terjadi juga dalam proses pemilihan anggota atau pimpinan lembaga negara, baik yang dibentuk oleh UUD 1945 ataupun UU tertentu. Dalam pemilihan anggota lembaga negara, proses yang mengusung akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif masih tidak tercermin, terutama seleksi yang tidak banyak mendapat perhatian dari masyarakat. 28
Tim Pengawas Century: Badai Tiada Akhir Proses politik kasus Bank Century ternyata belum berakhir ketika Panita Angket melaporkan hasilnya dalam Rapat Paripurna pada awal Maret 2010. DPR memutuskan membentuk Tim Pengawas guna mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses penelusuran aliran dana serta pemulihan aset. Kala itu, Panitia Angket menghasilkan lima rekomendasi terkait kasus Bank Century. Pertama, mendorong lembaga-lembaga penegak hukum untuk mengusut berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum. Kedua, Panitia Angket meminta DPR untuk—bersama dengan pemerintah—segera membentuk dan merevisi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sektor moneter dan fiskal untuk perbaikan kondisi perbankan nasional Sebagai rekomendasi ketiga, Panitia Angket juga mendorong lembaga penegak hukum untuk melakukan pemulihan aset yang telah diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan bank/negara selambatlambatnya pada Desember 2012. Keempat, Panitia Angket meminta DPR untuk membentuk Tim Pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses penelusuran aliran dana serta pemulihan aset dengan kewenangan sesuai dengan peraturan selambat-lambatnya pada masa persidangan berikutnya. Terakhir, Panitia Angket meminta pemerintah dan/atau Bank Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan yang menimpa nasabah PT Antaboga Delta Sekuritas dengan mengajukan kepada DPR pola penyelesaian secara menyeluruh, baik dasar hukum maupun sumber pembiayaan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. DPR menganggap bahwa pembentukan Tim Pengawas tersebut sangat penting untuk mengawal pelaksanaan rekomendasi, terutama dalam memproses hukum pihak-pihak yang terlibat. Pembentukan sebuah tim memang diatur dalam Tata Tertib DPR. Tim dibentuk oleh Pimpinan DPR untuk melaksanakan tugas tertentu yang bekerja untuk waktu tertentu. Pembentukan Tim Pengawas Century juga dilakukan melalui forum pimpinan. Kemudian, dilaporkan ke dalam Rapat Paripurna. Pembentukan Tim Pengawas Century dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 27 April 2010; hampir satu setengah bulan sejak rekomendasi pembentukan tim itu disepakati. Sebelumnya, beberapa Anggota DPR memprotes pimpinan DPR yang dianggap lambat dalam membentuk tim itu. Tim Pengawas Century langsung diketuai oleh Pimpinan DPR secara bergiliran. Pengaturan mengenai Pimpinan Tim Pengawas itu memang tidak biasa. Lazimnya, tim diketuai oleh salah seorang pimpinan sejak pelaksanaan tugas pada awal pembentukannya sampai dengan akhir. Namun, Tim Pengawas Century diketuai oleh Pimpinan DPR secara bergilir dengan alasan kasus Century memiliki dinamika politik yang besar (vivanews.com, diakses pada 10 Januari 2011). Mekanisme bergilir itu pun tetap menuai protes. Sistem yang diterapkan dinilai tidak memiliki dasar hukum karena Tata Tertib DPR tidak mengatur secara bergilir (Politikindonesia.com, diakses pada 10 Januari 2011). Namun, protes itu tidak dihiraukan sehingga dalam pelaksanaan tugasnya, tim yang beranggotakan 30 orang itu tetap diketuai oleh Pimpinan DPR secara bergilir. Sementara itu,
29
komposisi keanggotaan dalam tim ditentukan secara proporsional dari jumlah anggota per fraksi. Diagram 7 Komposisi Keanggotaan Tim Pengawas
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Pada 2010, Tim Pengawas bekerja selama kurang lebih tujuh bulan. Tim Pengawas melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Paripurna pada 16 Desember 2010. Laporan itu menyebutkan bahwa pemerintah belum melaksanakan rekomendasi Panitia Angket dengan baik serta lemahnya koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim Pengawas berpendapat bahwa proses penegakan hukum cenderung berjalan lambat dan juga stagnan serta tidak memiliki konstruksi penyelesaian hukum yang jelas. Ketidakjelasan tindak lanjut juga terjadi pada nasib nasabah PT Antaboga. Pemerintah belum menyusun skema yang jelas dalam penanganan nasabah. Di akhir laporannya, Tim Pengawas mengusulkan untuk memperpanjang masa tugas pada 2011. Usulan itu disetujui secara aklamasi oleh anggota yang hadir dalam Rapat Paripurna. Kasus Bank Century ibarat badai tiada akhir bagi pemerintahan SBYBoediono. Persetujuan perpanjangan masa tugas Tim Pengawas Century pada 2011 menjadi ganjalan untuk mengakhiri sengketa politik terkait Century. Mengawali kinerja pemerintahannya, setelah terpilih untuk periode kedua, SBY dihadapkan pada masalah besar dalam kasus Bank Century. Kasus itu berimbas pada dukungan politik parlemen terhadap pemerintahan dan persepsi masyakarat terhadap kepemimpinan SBY. Bola politik kasus Century diawali dengan pengajuan hak angket DPR. Semua fraksi menyetujui pengajuan hak angket itu , termasuk FPD. Tak disangka, hak angket kasus Century berkembang hingga membuat tensi politik semakin memanas. Bahkan, penyampaian hasil akhir angket Century tidak dapat mengakhiri kasus itu. DPR melanjutkannya dengan membentuk Tim Pengawas pada 2010 dan diperpanjang masa tugasnya pada 2011.
30
Sebenarnya, pembentukan Tim Pengawas lazim dalam kerja-kerja DPR, terutama untuk mengawasi kinerja pemerintah terkait permasalahan besar. Pada DPR periode 2004—2009, pernah juga dibentuk Tim Pengawas untuk kasus lumpur Lapindo. Namun, kasus Bank Century memiliki dejarat yang berbeda dari sisi politik. Saat kebijakan bail-out diambil, Boediono—wakil presiden—berkedudukan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Dia dianggap memiliki tanggung jawab besar dalam memutuskan kebijakan bail out yang kemudian bermasalah. Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Bahkan, ditengarai dua orang itu menjadi target utama dalam proses hukum kasus Century (jpnn.com, diakses pada 10 Januari 2011). Tak ayal, dimensi politik kasus Century terhitung besar. Kasus itu dianggap mengganggu kerja-kerja lain DPR, terutama fungsi legislasi. Konsentrasi dan fokus kerja Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi, bahkan elit partai politik, terserap dalam kasus Bank Century yang notabene penggunaan hak angket itu merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan. Penggunaan hak angket atau instrumen pengawasan lain oleh DPR bukan sebuah barang yang haram. Justru, demi efektivitas pengawasan, instrumen itu perlu digunakan. Namun, tentunya, hak angket harus dapat memberikan hasil yang tampak dalam mengungkap dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Dengan demikian, check and balances antara eksekutif dan legislatif dapat memberikan nilai tambah bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Check and balances bukan dijadikan alat politik untuk tawar-menawar kepentingan lain maupun ajang untuk mendapatkan simpati masyarakat. Selain itu, keseimbangannya dengan fungsi lain DPR tetap harus terjaga agar tidak terjadi pengabaian satu fungsi terhadap fungsi lain. Pembentukan Panitia Kerja Tanpa Bingkai Dalam menjalankan ketiga fungsinya, DPR dilengkapi kelompok kerja yang disebut “alat kelengkapan”. Pada Pasal 20 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR, diatur mengenai alat kelengkapan DPR yang berjumlah sebelas.8 Salah satu jenis alat kelengkapan yang diatur dalam Pasal 20 adalah “alat kelengkapan lain” yang diatur dalam huruf k. Alat kelengkapan lain harus terlebih dahulu disahkan dalam Rapat Paripurna. Salah satu bentuk yang termasuk dalam alat kelengkapan lain itu adalah Panitia Kerja (Panja).9 Panja dapat dibentuk oleh semua alat kelengkapan DPR selain Pimpinan10. Dengan demikian, pekerjaan Panja dipertanggungjawabkan kepada alat 8Yang
termasuk dalam alat kelengkapan DPR dalam Pasal 20 Tara Tertib DPR adalah Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus, Alat Kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh Rapat Paripurna. 9Panitia Kerja (Panja) dan Panitia Khusus (Pansus) adalah alat kelengkapan yang bersifat sementara. Namun, perbedaannya adalah Panja dibentuk oleh alat kelengkapan selain Pimpinan DPR. Sementara itu, Pansus dibentuk oleh DPR. (baca: Sekretariat Jenderal DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 1999-2004 (Jakarta: Sekjen DPR RI), 2004, hlm. 239.
Alat kelengkapan sementara, sejenis dengan Panja, yang dapat dibentuk oleh Pimpinan DPR disebut Tim (Pasal 97 dan 98 Tata Tertib DPR). 10
31
kelengkapan yang membentuknya sekaligus dengan tindak lanjut dari pekerjaan Panja itu. Panja bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu. Terkait dengan pembubaran Panja, ada dua alasan, yaitu masa waktunya berakhir atau tugasnya dinyatakan berakhir. Oleh karena itu, Panja merupakan alat kelengkapan yang bersifat ad-hoc atau sementara. Beban kerja Panja tentu saja berada dalam bingkai fungsi DPR, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Dalam menjalankan fungsi legislasi, peran Panja diatur dalam Pasal 144 Tata Tertib DPR. Dalam Pasal itu, disebutkan bahwa tugas Panja adalah membahas substansi RUU atau materi lain yang diputuskan sebelumnya oleh alat kelengkapan yang membentuknya. Dalam Pasal 96 ayat (2) Tata Tertib DPR11, disebutkan bahwa dalam menjalankan pekerjaannya, Panja dapat mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Selain itu, Pasal 238 Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa melalui forum RDP, DPR dapat mengundang pejabat pemerintah yang berkaitan langsung dengan isu yang dibahas. Artinya, dalam menjalankan pekerjaannya, Panja dapat mengundang pejabat pemerintah yang berkaitan langsung. Ketentuan itu memperlihatkan bahwa peran Panja dalam menjalankan fungsi DPR sangat strategis. Sampai akhir 2010, tercatat ada 32 Panja yang sudah dibentuk oleh DPR (republika.co.id, diakses pada 17 Januari 2010). Semua Panja itu memiliki keragaman isu yang dibahas, mulai dari penegakan hukum, anggaran negara, biaya ibadah haji, sampai urusan gula dan daging sapi. Begitu pula dengan pembentuk Panja. Pembentuknya berasal dari alat kelengkapan yang beragam, seperti komisi, Badan Anggaran, dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP). Dari segi ruang lingkup fungsi DPR, Panja lebih banyak bergerak dalam ruang lingkup pelaksanaan fungsi pengawasan. Dari data tersebut terlihat bahwa pembentukan Panja DPR tidak terfokus pada satu isu saja, meskipun mayoritas dibentuk untuk mengawasi kinerja pemerintah. Selain itu, fasilitas untuk membentuk Panja pun telah digunakan secara merata oleh alat kelengkapan yang ada, terutama komisi. Fakta itu menggambarkan bahwa peran strategis Panja dimanfaatkan betul oleh DPR dalam menjalankan fungsinya, terutama dalam fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Dengan demikian, potensi pengawasan yang maksimal terhadap pemerintah terbuka lebar. Namun, ada kondisi yang tidak terhindarkan, yaitu kinerja Panja tidak terlepas dari kepentingan atau politik dalam isu yang bersangkutan. Tidak jarang, peran strategis Panja hanya sekadar dijadikan alat politik kelompok tertentu untuk mengejar kepentingannya. Kondisi itu menyebabkan peran strategis yang digambarkan sebelumnya tidak bermuara pada perbaikan kinerja DPR untuk memberikan hasil terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Salah satu tolok ukur yang dapat dipakai untuk memperhitungkan kinerja adalah ketepatan waktu. Untuk itu, dibutuhkan batasan waktu dalam pengerjaan tugas. Apabila hasilnya sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, dapat dikatakan kinerjanya baik; begitu pun sebaliknya. Penentuan jangka waktu pekerjaan juga bermanfaat bagi perencanaan penganggaran dari pekerjaan itu. Tata Tertib DPR yang dimaksud dalam hal ini adalah Tata tertib DPR periode 2009—2014 yang dituangkan dalam Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009. 11
32
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Panja bertugas dalam jangka waktu tertentu (Pasal 96 ayat (1) Tata Tertib DPR). Ketentuan itu jelas berusaha membatasi jangka waktu pekerjaan Panja. Namun, ketentuan itu ternyata tidak cukup lengkap karena dalam praktiknya, pembatasan waktu dilakukan berdasarkan penyelesaian pekerjaan, bukan jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, lihatlah Panja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Panja bentukan Komisi VIII itu bertugas menentukan tarif ibadah haji pada 2010 bersama pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang diwakili langsung oleh Menteri Agama. Awalnya, keputusan mengenai tarif biaya haji ditargetkan rampung pada 9 Juni 2010. Menurut target awal, biaya haji sudah harus diputuskan sebelum 15 Juni 2010 (tempointeraktif, diakses pada 2 Februari 2011). Namun, karena perdebatan yang alot,12 keputusan pun harus ditunda. Akhirnya, pada 21 Juli 2010, tarif ibadah haji dapat diputuskan, untuk kemudian disahkan sebagai Peraturan Presiden. Keterlambatan penentuan tarif ibadah haji jelas menimbulkan dampak. Di Garut misalnya, para calon jemaah haji belum dapat mengurus paspor untuk keberangkatannya ke tanah suci. Hal itu disebabkan adanya ketentuan bahwa paspor baru bisa diurus setelah lima hari pelunasan biaya tarif ibadah haji. Pelunasan biaya haji pun baru dapat dilakukan apabila sudah jelas tarif yang ditentukan oleh pemerintah. Banyak pihak kecewa atas dampak itu. Kegiatan haji merupakan ibadah umat Islam. Seharusnya, negara dapat memfasilitasinya dengan baik. Intinya, Panja BPIH tersebut menggambarkan perlunya pembatasan waktu pekerjaan Panja, mengingat hasil kerja Panja sering kali menyangkut kepentingan masyarakat. Panja bentukan DPR kerap menjadi perhatian publik, terutama mengenai jumlah dan kinerjanya. Sulit untuk menilai apakah 32 Panja yang dibentuk dapat dikatakan sedikit atau banyak karena tidak ada tolok ukur untuk menentukan jawabannya. Itulah yang menjadi permasalahan. DPR belum memiliki aturan detil semacam Standard Operation System (SOP)—baik dalam Tata Tertib DPR atau peraturan DPR lain—yang dapat dijadikan acuan pembentukan Panja. Ketiadaan SOP tersebut juga membuat tidak ada tolok ukur yang pasti mengenai penting-tidaknya pembentukan Panja atau cukup diselesaikan melalui alat kelengkapan yang ada. Jadi, tidak dapat disalahkan pula apabila 32 Panja yang dibentuk dinilai berjumlah banyak oleh masyarakat. Apalagi, hasil kerja Panja itu kurang transparan kepada masyarakat. Selain itu, dalam praktiknya, peran Panja kerap tumpang tindih dengan peran lembaga negara lain. Panja Inflasi yang dibentuk oleh Komisi XI pada 14 Januari 2011 adalah salah satu contohnya. Rencana pembentukan Panja Inflasi sebenarnya sudah ada sejak Desember 2010. Saat itu, angka inflasi sudah terus melambung dari batas 5,3% hingga melampaui 6% (jurnalparlemen.com, diakses pada 24 Desember 2010). Panja itu dibentuk untuk mendalami struktur dan unsur pembentukan inflasi. Selain itu, menurut Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis, Panja itu juga merupakan respona dari DPR yang menganggap peran pemerintah masih sangat minim dalam mengendalikan inflasi. Dengan demikian, DPR yang memiliki fungsi pengawasan
12Perdebatan
yang terjadi adalah terkait dengan struktur komponen biaya haji dan tuntutan dari Panja BPIH agar terjadi penurunan dalam tarif biaya haji.
33
harus mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah inflasi (jurnalparlemen.com, diakses pada 24 Desember 2010). Melihat pemaparan di atas, Panja Inflasi terlihat dikategorikan dalam ruang lingkup pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Namun, apabila dilihat dari maksud pembentukan Panja itu, pernyataan Harry Azhar Azis cenderung mengesankan campur tangan, bahkan pengambilalihan penentuan kebijakan perekonomian di Indonesia yang menjadi domain pemerintah. Hal tersebut terjadi karena peran pengawasan DPR sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya. Dalam Pasal 58 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, diatur bahwa Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tahunan secara tertulis kepada DPR dan pemerintah setiap awal tahun anggaran. Salah satu isinya adalah rencana kebijakan, penetapan sasaran, serta langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia untuk tahun yang akan datang. Semua hal itu dilakukan dengan memperhatikan perkembangan laju inflasi serta kondisi ekonomi dan keuangan. Dengan demikian, fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola inflasi sudah dilakukan sebelumnya; melalui mekanisme yang sudah ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2004. Peran Panja tidak hanya berpotensi bertumpang tindih dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Akan tetapi, tumpang tindih itu juga dapat terjadi dengan penegak hukum. Misalnya, Panja Pengawasan Penegakan Hukum dan Panja Mafia Pajak yang keduanya dibentuk oleh Komisi III. Tugas kedua Panja berkaitan dengan perkara yang sedang berjalan. Dalam menjalankan tugasnya, kedua Panja melakukan pemanggilan terhadap para penegak hukum terkait. Panja Pengawasan Penegakan Hukum berkaitan dengan perkara Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbankum). Sementara itu, Panja Mafia Pajak berkaitan dengan kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Dalam prosesnya, kedua Panja memanggil pihak-pihak yang termasuk dalam aparat penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Perlu diakui, pada praktiknya, memang sulit menarik satu garis tegas yang memisahkan peran antarlembaga. Apalagi, proses yang terjadi biasanya sangat dinamis dan cepat. Dengan demikian, solusinya ada di “aturan main” atau yang sebelumnya dimaksud dengan SOP sebagai dasar acuan pembentukan Panja. SOP itu harus memiliki semangat atau prinsip bahwa fungsi pengawasan yang dimiliki Panja ditujukan pada peran eksekutif; tidak masuk kewenangan penegak hukum. SOP itu diharapkan dapat dijadikan alat ukur dan bentuk akuntabilitas DPR kepada masyarakat sebagai konstituennya. Potret Ketidakseriusan Pemilihan Anggota Lembaga Negara Pascaruntuhnya Orde Baru, dilanjutkan lahirnya Orde Reformasi, mulai bermunculan lembaga negara baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Kemunculan lembaga baru itu disebabkan adanya ketidakpuasan publik terhadap lembaga negara yang sudah ada, terutama dalam memenuhi tuntutan perubahan pada era demokrasi (Thohari, 2006, 31—32). Selain itu, kemunculan lembaga negara baru juga tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang untuk pembentukan lembaga-lembaga baru. Hal itu terlihat dari dasar pembentukan lembaga negara yang tidak hanya berdasarkan UUD 1945, tetapi juga 34
oleh UU maupun Keputusan Presiden (Keppres). Hal itu juga dipengaruhi oleh prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia, yang pada dasarnya menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali. Dengan demikian, mutlak dibuat suatu “aturan main” (Asshiddiqie, 2005, 63). Lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945 dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu lembaga negara yang dibentuk secara langsung dan dibentuk secara tidak langsung.13 Contoh lembaga negara yang dibentuk secara langsung oleh UUD 1945 adalah MPR, DPR, DPD, presiden/wakil presiden, MK, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), dan Komisi Yudisial (KY). Lembaga negara yang dibentuk secara tidak langsung oleh UUD 1945 adalah Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)14. Lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU adalah Ombudsman Republik Indonesia (ORI)15, KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), dan lembaga negara lain. Sementara itu, lembaga negara yang dibentuk oleh Keppres adalah Komisi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional (KHN), dan Komisi Kepolisian. Pengelompokan lembaga negara berdasarkan peraturan yang membentuknya menyebabkan munculnya hierarki di antara lembaga-lembaga itu; berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan (Asshiddiqie, 2006, 50). Pengelompokan itu pun menyebabkan adanya perbedaan lain. Salah satunya adalah tata cara pemilihan anggota lembaga negara yang bersangkutan. Tata cara pemilihan yang dimaksud adalah proses pencalonan, penyeleksian, sampai pemilihan. Namun, tata cara itu tidak termasuk aspek administratif pengangkatan karena pengangkatan anggota lembaga apa pun tetap menggunakan Keppres. Sebabnya, presiden adalah kepala pemerintahan yang juga merupakan administratur negara tertinggi atau pejabat tata usaha negara negara yang tertinggi (Asshiddiqie, 2006, 52). Pemilihan anggota lembaga negara bentukan Keppres murni berada di bawah kekuasaan presiden. Jadi, tata cara pemilihan anggotanya pun murni kebijakan dari presiden tanpa intervensi dari cabang kekuasaan negara mana pun. Berbeda dengan hal itu, tata cara pemilihan anggota lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tidak hanya melibatkan presiden, tetapi juga DPR. Bahkan, ada beberapa lembaga negara bentukan UUD 1945 pun, baik langsung maupun tidak langsung, anggotanya dipilih melalui mekanisme yang sama, yaitu KY, KPU, dan 13Yang
dimaksud dengan “dibentuk secara langsung” adalah lembaga negara yang tidak hanya fungsi, tugas, dan wewenangnya saja yang diatur dalam UUD 1945, tetapi juga disebut langsung nama dari lembaga negara tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan “dibentuk secara tidak langsung” adalah lembaga negara yang hanya diatur fungsi, tugas, dan wewenangnya saja dalam UUD 1945, tanpa menyebutkan nama definitif dari lembaga negara tersebut. 14KPU dan Bawaslu dibentuk berdasarkan ketentuan dalam Pasal yang sama, yaitu Pasal Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945. Walaupun pasal itu terkesan hanya mengatur satu lembaga saja, MK menafsirkan, melalui Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, fungsi penyelenggara pemilihan umum yang nasional, tetap, dan mandiri tidak hanya dilaksanakan melalui KPU saja, tetapi juga termasuk Bawaslu.
Sebelum dibentuknya ORI melalui UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, lembaga negara itu bernama Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional berdasar pada Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. 15
35
Bank Indonesia.16 Di situlah terjadi relasi antarlembaga-negara ketika menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam tata cara pemilihan tersebut, pemerintah dan DPR memiliki peran yang berbeda. Pemerintah berperan melakukan seleksi awal terhadap calon yang mendaftarkan diri atau didaftarkan pihak lain dengan syarat-syarat tertentu. Mekanisme seleksi yang dilakukan oleh pemerintah berbeda antara satu lembaga dengan lembaga lain. Namun, biasanya, mekanisme itu dilakukan oleh tim kecil yang disebut Panitia Seleksi (Pansel). Pansel akan menyerahkan beberapa calon kepada DPR untuk diseleksi lebih lanjut, kemudian ditentukan calon yang terpilih untuk menjadi anggota lembaga negara yang bersangkutan. Pada 2010, setidaknya, ada anggota dua lembaga negara yang baru dipilih kembali melalui mekanisme yang melibatkan pemerintah dan DPR. Proses yang berlangusng pun mendapat perhatian besar dari masyarakat. Dua lembaga negara itu adalah KY dan ORI. Relasi pemerintah dan DPR dalam pemilihan anggota atau pimpinan lembaga negara tersebut terjadi dengan harapan terwujudnya proses check and balances antarlembaga-negara. Harapan lainnya adalah anggota lembaga negara terpilih memiliki legitimasi yang kuat untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya. Apalagi, DPR yang dianggap sebagai wakil rakyat bertindak sementara rakyat memegang kedaulatan penuh di Indonesia. Selain itu, mekanisme penyeleksian diatur dalam hukum dengan jelas (dalam hal ini UU).17 Namun, harapan tersebut ternyata tidak sepenuhnya tercermin dalam praktiknya. Alih-alih menciptakan proses yang berbasis pada check and balances dan memberikan legitimasi pada pejabat negara yang terpilih, yang terjadi justru sebaliknya. Proses berjalan secara tertutup dan jauh dari jangkauan masyarakat. Proses itu pun kerap mengundang ketidakpercayaan publik dan berdampak langsung pada rendahnya kepercayaan publik terhadap pejabat yang terpilih. Setidaknya, ada dua hal yang menarik untuk disoroti dalam pemilihan anggota lembaga negara yang terjadi pada 2010. Dua hal itu adalah waktu pemilihan yang terlambat dan pemenuhan aspek transparansi serta akuntabilitas kepada publik. Kedua hal itu relevan untuk dijadikan refleksi dari praktik di lapangan. Proses regenerasi atau pergantian anggota tidak boleh terlambat karena menyebabkan terhentinya pelaksanaan fungsi dari suatu lembaga negara akibat kekosongan anggota. Oleh karena itu, peran pemerintah dan DPR sangat besar dalam hal ini, mengingat keduanya berperan melakukan pengisian anggota lembaga negara. Namun, peran pemerintah dan DPR tersebut tidak dijalankan dengan baik. Keterlambatan dalam melakukan proses pemilihan anggota baru suatu lembaga negara kerap terjadi. Pada 2010, KY dan ORI berhasil terpilih anggota barunya, tetapi dalam prosesnya mengalami keterlambatan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ORI merupakan lembaga negara bentukan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dalam Ketentuan Peralihan, yaitu Pasal 45 huruf d UU yang sama disebutkan bahwa dalam 16Pada dasarnya, baik lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945 ataupun UU, tata cara pemilihan anggotanya diatur lebih lanjut dalam UU tersediri.
Konsepsi tersebut berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasar UUD 1945. 17
36
waktu paling lambat satu tahun sejak mulai berlakunya UU itu, susunan organisasi, keanggotaan, tugas, wewenang, serta prosedur pemeriksaan dan penyelesaian Laporan Komisi Ombudsman Nasional harus disesuaikan dengan UU. Ketentuan itu jelas hanya memberikan waktu transisi selama satu tahun kepada Komisi Ombudsman Nasional untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam UU No. 37 Tahun 2008. Artinya, pada 7 Oktober 2009, harus dilakukan pergantian Anggota Ombudsman. Namun, pemerintah baru membentuk Pansel pada 10 Oktober 2009 melalui Keppres No. 28 Tahun 2009. Walhasil, pemilihan Anggota ORI pun secara otomatis terlambat dan baru rampung pada 23 Januari 2011. Keterlambatan juga terjadi dalam proses pemilihan Anggota KY periode 2010—2015. Sebelumnya, Anggota KY periode 2005—2010 diangkat melalui Keppres No. 1/P/2005 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Yudisial 2005—2010 dan dilantik oleh presiden pada 2 Agustus 2005. Sementara itu, Pasal 29 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengatur bahwa “masa jabatan Anggota KY adalah 5 tahun”. Oleh karena itu, masa kerja Anggota KY periode 2005—2010 berakhir pada 2 Agustus 2010. Dalam memilih Anggota KY, pemerintah membentuk Pansel terlebih dahulu untuk menyeleksi dan menentukan 14 orang calon Anggota KY18. Untuk melaksanakan amanat itu, presiden membentuk Pansel melalui Keppres No. 5 Tahun 2010 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial. Keppres itu ditandatangani oleh presiden pada 23 April 2010. Dengan kata lain, Keppres itu lahir hanya empat bulan sebelum masa bakti Anggota KY periode 2005—2010 seharusnya berakhir. Padahal, berdasarkan UU KY, proses pembentukan Pansel sampai terpilihnya anggota memakan waktu tujuh bulan.19 Hal itu terbukti dari proses seleksi Anggota KY periode 2005—2010 yang juga memakan waktu tujuh bulan.20 Artinya, proses seleksi 2010—2015 mengalami keterlambatan akibat Keppres yang keluar terlalu lama. Kondisi semakin parah karena Pansel tidak langsung dapat bekerja secara efektif setelah dibentuk presiden. Kondisi itu terjadi karena pemerintah tidak langsung menurunkan dana yang telah dianggarkan sebelumnya. Proses pencairan dana dari Kementerian Keuangan memakan waktu selama tiga bulan. Dana cair pada Juli 2010. Penjabaran tersebut menunjukkan pemerintah telah melakukan tindakan yang berpotensi untuk melanggar amanat UU KY, yaitu Pasal 29 yang menyebutkan bahwa “masa jabatan Anggota KY adalah 5 tahun”. Ironisnya, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memperpanjang masa jabatan Anggota KY sampai Anggota KY yang baru terpilih. Penerbitan Perppu itu merupakan preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia. Perppu yang dikeluarkan sangat tidak beralasan dan bermotif menambal 18
Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-undang No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
19
Pasal 28 ayat (3)-(8)
Waktu 7 bulan yang dimaksud adalah sebagai berikut proses yang diawali dengan pengesahan Keppres untuk membentuk Pansel KY, yaitu Keppres No. 5 Tahun 2005, yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 2005. Lalu, proses berjalan, sampai akhirnya Anggota KY terpilih melalui Keppres Nomor No. 1/P/2005 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Yudisial 2005—2010, dan dilantik oleh presiden pada tanggal 2 Agustus 2005. 20
37
kelalaian pemerintah. Sementara itu, DPR pun seakan-akan tidak mau tahu, padahal memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Hasil kerja Pansel diserahkan kepada DPR pada 28 September 2010. Dalam fase itu pun, DPR terlihat tidak serius menghadapinya. DPR tidak lantas memprioritaskan seleksi calon Anggota KY. Pasal 28 ayat (6) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mencantumkan jangka waktu yang diberikan kepada DPR untuk memilih tujuh nama calon Anggota KY selama 30 hari kerja. Artinya, Anggota KY sudah harus terpilih selambat-lambatnya pada 9 November 2010. Namun, pada kenyataannya, DPR baru selesai memilih Anggota KY periode 2010—2015 pada 2 Desember 2010. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR terlihat tidak serius dalam melakukan perannya dalam pengisian Anggota ORI dan KY. Keterlambatan pemilihan anggota lembaga negara itu berdampak sangat besar terhadap jalannya fungsi yang dimiliki oleh lembaga negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, tiap bulannya, KY menerima rata-rata 133 aduan masyarakat terkait pelanggaran perilaku hakim. Dari 133 aduan itu, ada sekitar 74 aduan yang sesuai dengan kewenangan KY untuk diproses lebih lanjut. Setiap bulannya, KY melaksanakan empat kali pleno. Setiap pleno berhasil memutuskan rata-rata 15 aduan. Jadi, dalam satu bulan, KY dapat menyelesaikan rata-rata 60 aduan masyarakat. Dari data tersebut, dapat diperkirakan bahwa apabila terjadi kekosongan Anggota KY, tiap bulannya, KY akan menumpuk 60 aduan masyarakat. Apabila kekosongan Anggota KY terjadi selama dua bulan, KY telah menumpuk pekerjaan untuk memproses 120 aduan masyarakat. Sebenarnya, preseden buruk akan keterlambatan pemilihan anggota lembaga negara sudah sering terjadi. Selain kasus KY dan ORI, masih ada kasus lain, seperti kasus yang terjadi pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Informasi Pusat (KIP), dan Komisi Kejaksaan. Keterlambatan yang dialami LPSK terjadi selama hampir satu tahun. Seharusnya, Anggota LPSK sudah terpilih pada 11 Agustus 2007, tetapi baru dilakukan pada 8 Agustus 2008. Sementara untuk KIP, keterlambatan terjadi selama kurang lebih dua bulan. Seharusnya, pemilihan dilakukan pada April 2009, tetapi baru terpilih pada Juni 2009. Tidak lebih baik kasus yang melibatkan Komisi Kejaksaan. Keterlambatan pemilihan anggota dialami dua kali dalam dua periode berturut-turut, yaitu periode 2005—2010 dan periode 2010—2015. Pada periode 2005—2010, seharusnya Anggota Komisi Kejaksaan sudah terpilih pada 7 Mei 2005. Ternyata, anggota baru dilantik 10 bulan kemudian, yaitu pada 16 Maret 2006. Sementara periode 2010—2015, anggota baru seharusnya sudah terpilih pada 16 Maret 2010, tetapi pada kenyataannya, sampai November 2010, belum juga dipilih oleh presiden. Bahkan, mencuat kabar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menawari Bambang Widjojanto, mantan calon Anggota KPK, untuk menjadi Ketua Komisi Kejaksaan (mediaindonesia.com, diakses pada 26 Januari 2011). Terlalu seringnya keterlambatan pemilihan anggota lembaga negara dan atau pembiaran posisi atau jabatan yang kosong dalam lembaga negara merupakan kebiasaan buruk yang harus segera dihentikan oleh DPR maupun pemerintah. Fungsi negara yang diamanatkan kepada lembaga negara itu terancam tidak berjalan dengan baik, bahkan berpotensi tidak berjalan sama sekali. Ketiadaan sanksi yang dapat dikenakan pemerintah atau DPR terkait keterlambatan pemilihan anggota lembaga negara turut memberikan andil terhadap 38
terjadinya kebiasaan buruk itu. Namun, perlu diakui, sanksi yang cocok memang sulit untuk dirumuskan dalam kasus itu. Jalan atau langkah yang penting dilakukan adalah memperbaiki sistem administrasi internal masing-masing. Dengan demikian, tercipta sistem kerja yang lebih baik dan kemudian mampu menumbuhkan kembali sistem check and balances yang kuat antara pemerintah dan DPR. Kemudian, hal lain yang perlu diperhatikan adalah minimnya keterbukaan dalam proses pemilihan anggota lembaga negara. Pengisian jabatan Anggota KY dan ORI dapat dikatakan menjadi contoh yang menggambarkan proses itu. Ada kelompok masyarakat yang selalu memantau perkembangan yang terjadi dalam dua proses itu. Proses pengisian jabatan Anggota KY selalu dipantau Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Sementara itu, proses pengisian jabatan Anggota ORI selalu dikawal oleh Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3). Perhatian yang intensif dari masyarakat terhadap proses yang berjalan ternyata tidak membuat pemerintah atau DPR menjadi terbuka atau transparan dalam menjalankan proses yang ada. Hal itu terlihat dari tidak dipublikasikannya hasil penilaian yang dilakukan oleh Pansel, baik pada seleksi Anggota KY maupun Anggota ORI, terhadap para calon.21 Masyarakat kemudian hanya mengetahui calon yang lolos seleksi di Pansel untuk diseleksi kembali oleh DPR. Tidak dipublikasikannya data itu menjadikan masyarakat tidak tahu dasar penilaian DPR dalam menyeleksi calon. Proses yang tidak transparan tersebut berpotensi menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap proses yang berjalan. Minimnya informasi di tengah antusiasme masyarakat dalam mengikuti proses yang ada menjadikan masyarakat apatis untuk berperan aktif dalam proses seleksi. Padahal, peran masyarakat dalam menyukseskan pemilihan calon yang tepat sangat penting, terutama masukan terkait rekam jejak sang calon. Buktinya, KPP mengambil peran membantu Pansel maupun Komisi III DPR untuk menghimpun rekam jejak calon Anggota KY. Meskipun demikian, perlu diakui, masukan itu tidak dapat dipastikan dimanfaatkan oleh para Anggota DPR. Sikap transparan sebenarnya bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga DPR, pemerintah, dan lembaga negara bersangkutan. Bagi pemerintah dan DPR, proses yang transparan menjadi bentuk pertanggungjawaban mereka kepada masyarakat. Selain itu, proses yang transparan juga dapat memperingan beban pekerjaan mereka karena masyarakat dapat membantu lebih aktif. Adapun, keuntungan bagi lembaga negara yang bersangkutan adalah meningkatkan rasa kepercayaan publik. Sebaliknya, proses tidak transparan menyebabkan masyarakat menjadi apatis. Maka itu, lembaga negara yang bersangkutan sulit mendapat dukungan dari masyarakat dalam menjalankan fungsinya pada masa depan.
B. Relasi DPR dan DPD: Periode Kisruh Prosedur Sepanjang 2010, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait relasi DPR dan DPD. Sebenarnya, relasi itu tergambarkan melalui tindakan kelembagaan yang saling terkait dan ketersediaan ruang untuk melakukannya. Hal itu tentu saja masih Isu tidak transparannya Pansel dan DPR dalam melakukan proses pemilihan tertuang pula dalam konferensi pers MP3 yang diselenggarakan pada 16 Januari 2011. 21
39
dalam koridor konstitusi dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Selama tahun pertama keanggotaan DPR periode 2004—2009, relasi yang terbangun menunjukkan dua ciri khas. Pertama, DPD berupaya menemukan wujud kemitraan dan sinergi yang akan dibangun. Sementara itu, DPR berusaha mewadahinya tanpa mengurangi otoritas yang dimiliki. Kedua, dinamika yang terjadi memperlihatkan ketegangan di tingkat prosedur. Setidaknya, hal itu terlihat pada beberapa hal sebagai berikut. 1. Keikutsertaan DPD dipertanyakan ketika Sidang Bersama DPR dan DPD untuk Mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam rangka Ulang Tahun RI yang ke-65 dan Rapat Paripurna DPR yang mengagendakan penyampaian RAPBN Tahun 2011 dan Nota Keuangan beserta Dokumen Pendukung (oleh presiden) . 2. Proses awal pembahasan RUU tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta ternyata menyulut perdebatan sengit tentang format keterlibatan DPD dalam pembahasan. Perlu diketahui, DPD secara resmi telah mengusulkan RUU tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta karena pemerintah saat itu belum juga menyerahkan draf RUU kepada DPR. Keputusan menggunakan hak inisiatif tersebut diambil dalam Sidang Paripurna DPD 26 Oktober 2010. DPD maupun DPR memandang perlu menetapkan area aktualisasi lembaga yang tidak menempatkan kedua belah pihak pada potensi degradasi kekuasaan dan kepentingan. Hal itu tercermin pada alotnya pembicaraan tentang bagaimana seharusnya penyelenggaraan Sidang Bersama DPR dan DPD. Pembuatan Tata Tertib Bersama Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib maupun Peraturan DPD No. 1/DPD RI/I/2009-2010 tentang Tata Tertib tidak mengatur dan mengantisipasi kemungkinan diperlukannya mekanisme tersendiri sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Pasal 199 ayat (5) dan Pasal 268 ayat (5) UU MD3. Kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditujukan pada UU MD3 yang tidak mengatur mekanisme Sidang Bersama antara DPR dan DPD. Seharusnya, peraturan mengenai hal itu diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR dan DPD. Selain itu, ternyata kedua Peraturan Tata Tertib tersebut juga tidak mengatur kemungkinan adanya persinggungan mekanisme atau saling keterlibatan peran kedua lembaga. Hal itu ditemukan dalam konteks pelaksanaan Pasal 199 ayat (5) dan Pasal 268 ayat (5) UU MD3. Setelah UU MD3 tuntas dibahas, DPR kemudian membentuk Panja untuk mempersiapkan penyusunan draf Peraturan Tata Tertib DPR. Kemudian, DPD menyusul melakukan hal sama (Peraturan Tata Tertib DPD). Namun, pembicaraan untuk mengharmonisasikan kedua draf Peraturan Tata Tertib tidak terjadi secara intensif. Akhirnya, sebagai jalan keluar, DPR dan DPD mengeluarkan peraturan bersama tentang Sidang Bersama DPR dan DPD untuk Mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden. Kebuntuan terhadap kepastian mekanisme rapat bersama antara DPR dan DPD menjadi preseden buruk terhadap relasi kedua lembaga. Terselenggaranya Sidang Bersama antara DPR dan DPD pada 16 Agustus 2010 awalnya tidak berjalan mulus karena ada pertentangan, baik dari Pimpinan DPR maupun DPD. Kebutuhan 40
untuk lebih memperinci dan memperjelas peran dan situasi yang melibatkan DPD dalam kerja-kerja DPR harus dijawab dengan beberapa agenda perubahan regulasi terkait rapat bersama antara DPR dan DPD, terutama fungsi legislasi. Sementara itu, kebutuhan yang dimaksud semakin jelas terlihat. Salah satunya adalah keinginan Komisi V untuk mendengar masukan dari Komite II DPD terkait pembahasan RUU Perumahan dan Permukiman. Komisi V mengundang DPD dalam rapat mini untuk memberikan kesempatan DPD untuk mempresentasikan gagasannya. Istilah rapat mini sendiri tidak dikenal dalam Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 220. Perubahan regulasi terkait rapat bersama DPR dan DPD tidak hanya ditujukan terhadap UU MD3, tetapi juga Peraturan Tata Tertib DPR maupun DPD. Maksudnya, ada pula kebutuhan untuk mengatur persinggungan mekanisme ketika DPD hadir dalam kerja-kerja alat kelengkapan DPR. Khusus untuk mekanisme penyusunan dan pembahasan RUU, DPR dan DPD harus memperhatikan dan menyesuaikan agenda perubahan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
C. Relasi DPR dan KPK: Tenang Menimbun Dendam Relasi Anggota DPR—terutama Komisi III—untuk masa sidang 2009—2014 dengan KPK patut diberi perhatian. Tercatat, ketika kasus kriminalisasi BibitChandra masih menyita headline media massa, salah satu inisiatif pertama Komisi III DPR adalah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Kapolri (waktu itu) Bambang Hendarso Danuri, Jaksa Agung (waktu itu) Hendarman Supandji. Kritik bagi DPR adalah pembedaan perlakuan. Ketika RDPU dengan KPK, rapat dilakukan secara tertutup, sedangkan RDPU bersama Kapolri-Jaksa Agung dilakukan secara terbuka. RDPU yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional itu menimbulkan kesan DPR berpihak kepada Kapolri-Jaksa Agung. Padahal, DPR diharapkan mengambil sikap netral. Contoh RDPU tersebut sekadar memberikan ilustrasi mengenai dinamika relasi yang berlangsung selama tahun 2010 antara DPR dan KPK. Ada dua hal yang perlu dijelaskan terkait relasi kedua lembaga itu. Pertama, mekanisme DPR dalam melaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran terhadap KPK. Sementara itu, fungsi legislasi tidak dibahas karena tidak ada RUU yang dibahas oleh DPR dalam masa persidangan 2010 terkait KPK. Kedua, dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran serta cara memaknai relasi-dinamika antara KPK dan DPR selama 2010. Fungsi Dewan sebagai Alat Tawar-menawar Salah satu kasus yang sampai kini menjadi tunggakan KPK adalah Bank Century. Kasus itu tergolong kasus dengan bobot politik tinggi yang dianggap menyandera pemerintahan SBY-Boediono oleh sebagian pihak karena dugaan keterlibatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (waktu itu) dan Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia dalam melakukan bail-out terhadap Bank Century. Seperti yang telah disebutkan pada bagian Tinjauan Umum, hasil voting Pansus 41
Century menyatakan adanya kejanggalan dan pelanggaran dalam pemberian bailout terhadap Bank Century. Tindak lanjutnya adalah menugaskan aparat penegak hukum, Kepolisian, dan KPK untuk melakukan penyelidikan hukum terkait Century. Untuk mengawasi pelaksanaan pengusutan kasus oleh KPK dan Kejaksaan, DPR membentuk Tim Pengawas (Timwas) Century. Dalam perjalanannya, DPR seolah menggunakan kasus Century sebagai alat untuk melaksanakan fungsi pengawasannya kepada KPK. Contohnya adalah pernyataan Wakil Ketua DPR Anis Matta (Kompas, 15 Maret 2010) bahwa perlu ada penalti berupa pemotongan anggaran bagi KPK bila tetap lamban menangani kasus Century. Meski pemotongan anggaran itu merupakan wacana, menurut Anis Matta, pilihan untuk memotong anggaran KPK adalah suatu kewajaran. Dalam kesempatan lain, Komisi III melakukan rapat dengan KPK. Dalam rapat itu terungkap bahwa dokumen hasil Pansus Century ternyata belum diterima oleh KPK. Hal itu diungkapkan oleh pimpinan KPK Chandra M. Hamzah. Ketika Pimpinan Timwas Century Priyo Budi Santoso memastikan keberadaan dokumen itu kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR, ternyata dokumen yang dimaksud tidak dikirimkan kepada KPK, melainkan hanya dikirim kepada presiden. Pemberantasan korupsi adalah salah satu tujuan utama pemerintahan SBY. Akan tetapi, dua ilustrasi di atas justru memperlihatkan tidak adanya inisiatif yang tegas dari Anggota DPR untuk mempermudah KPK dalam menjalankan tugasnya. DPR menekan KPK untuk menuntaskan penyelidikan Century. Namun, permintaan itu tidak diikuti dengan konsistensi untuk memantau lalu lintas informasi hasil penyelidikannya. Selain itu, wacana pemotongan anggaran KPK oleh DPR juga tidak mencerminkan semangat yang diusung oleh pemerintahan SBY. Sementara itu, pernyataan pemotongan anggaran KPK oleh Anis Matta selaku Wakil Ketua DPR mendapat kritik keras dari beberapa pihak, seperti Sebastian Salang (Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi)) dan Burhan Muhtadi (Lembaga Survei Indonesia). Kritik itu memiliki benang merah yang sama bahwa Century bukanlah satu-satunya kasus yang harus ditangani KPK. Selain itu, KPK juga sudah membentuk sembilan tim khusus untuk menangani Century (Kompas, 17 Maret 2010). Selain fungsi anggaran, DPR juga menjalankan fungsi pengawasannya terhadap KPK. Pada 2010, Komisi III DPR melakukan uji kelayakan untuk posisi Pimpinan KPK sebagai pengganti Antasari Azhar yang sudah divonis bersalah dalam kasus pembunuhan Nasrudin. Dalam perjalanannya, Pansel KPK berhasil memilih dua Calon Ketua KPK, yaitu Busyro Muqqodas dan Bambang Widjojanto. Terjadi persilangan pendapat antara Pansel KPK dan Komisi III DPR mengenai rentang waktu masa jabatan pimpinan KPK. Pansel KPK bersikeras untuk menentukan masa jabatan selama empat tahun demi efektivitas masa kerja Pimpinan KPK. Sementara itu, Komisi III DPR juga bersikeras bahwa masa jabatan yang dimaksud hanya melanjutkan sisa waktu Antasari Azhar yang hanya satu tahun. Karena tidak ditemukan kesesuaian pendapat antara Pansel KPK dan Komisi III DPR, akhirnya diambil jalan tengah dengan melakukan konsultasi dengan Panja penyusunan RUU KPK. Keputusannya akhirnya adalah Ketua KPK yang baru terpilih menjalankan sisa masa jabatan Antasari Azhar sesuai dengan maksud dan tujuan Panitia Penyusun RUU KPK. Soal tafsir Pasal 20 ayat 10 UU KPK No. 30 Tahun 2002, sebetulnya DPR dapat memilih untuk menyatakan bahwa sebaiknya Ketua KPK baru menjalankan empat 42
tahun masa jabatan daripada menjalani sisa masa jabatan Antasari Azhar. Akan tetapi, DPR tidak melakukannya. Dalam kesempatan lain, Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi DPR untuk memilih Ketua KPK dari calon yang diajukan oleh Pansel. Penjelasan di atas menunjukkan beberapa peristiwa yang terlihat tidak bersambungan. Sebenarnya, ada benang merah tersendiri, yaitu tidak ada dukungan politis dari DPR untuk KPK. Keberlanjutan Tekanan kepada KPK Selama 2010, ada momen penting terkait KPK, yaitu penghargaan integrity award bagi Pimpinan KPK Chandra M. Hamzah yang diberikan oleh World Bank pada 8 Desember 2010. Kemudian, KPK juga mewakili Indonesia untuk terlibat bekerja sama dengan G20 dalam program antikorupsi.22 Dalam uji kepatutan dan kelayakan Pimpinan KPK, Anggota Komisi III DPR bertanya kepada Bambang Widjojanto sebagai salah satu Calon Pimpinan KPK tentang cara menjaga independensi dari bantuan asing. Pertanyaan itu kemudian dikaitkan dalam konteks harkat dan martabat bangsa. Pertanyaan yang cenderung bersifat normatif itu seharusnya dapat dipertajam dengan mengelaborasi pandangan Calon Pimpinan KPK mengenai bentuk kerja sama ideal dengan lembaga asing. Selain itu, DPR juga bisa menanyakan keuntungan yang telah diperoleh KPK dari kerja sama yang selama ini belum terselenggara secara maksimal. Pertanyaanpertanyaan itu seharusnya lebih relevan untuk ditanyakan mengingat kerja sama antara lembaga negara dan lembaga donor adalah salah satu skema pendanaan Pemerintah Indonesia. Kerja sama KPK dan lembaga atau pemerintah asing sebenarnya berada di tangan DPR. Alasan yang mendasarinya adalah KPK membutuhkan DPR untuk melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasannya. Sebagai contoh, KPK membutuhkan ratifikasi perjanjian internasional untuk ekstradisi dari Singapura ke Indonesia. Namun, DPR belum menemukan kesepakatan materi muatannya sejak 2007 (The Jakarta Globe, 31 Januari 2011). Selain itu, DPR juga dapat mengingatkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemhukham) untuk pelaksanaannya. Pertanyan yang dilontarkan dalam uji kepatutan dan kelayakan Pimpinan KPK tersebut mengindikasikan Anggota Komisi III DPR kurang—jika tidak mau mengatakan tidak—memiliki perspektif holistik mengenai bentuk kerja sama yang berlangsung antara KPK dan lembaga/pemerintah asing. Kurangnya perspektif mengenai peran KPK dan pemberantasan korupsi turut mewarnai dinamika perjalanan KPK dan DPR selanjutnya. Dalam rapat-rapat antara KPK dan Komisi III DPR, sejumlah Anggota DPR mempertanyakan prosedur pemeriksaan KPK. Bahkan, DPR membahas perkara yang melibatkan sebagian Anggota DPR dalam forum-forum rapat dengan KPK. Perilaku itu secara etis tidak bisa dibenarkan untuk dilakukan dalam ruang sidang DPR. Intinya, rapat DPR dan KPK sering kali dimanfaatkan sebagai ajang untuk
KPK menerima penghargaan Golden Standard Awards dari Public Affairs International, sebuah lembaga nirlaba yang berkedudukan di Hongkong. 22
43
menekan KPK dalam penyelesaian perkara tertentu. Kejadian itu sudah beberapa kali terjadi di DPR (Rodja, dkk, 2009). Dengan demikian, selama 2010, dapat dikatakan relatif tidak terjadi peristiwa yang substansif antara KPK dan DPR. Namun, pola tekanan DPR terhadap KPK semakin terlihat. Semangat DPR terlihat bertentangan dengan pemberantasan korupsi. Hal itu terlihat dari permainan politik anggaran hingga hilangnya kepantasan dengan memberikan forum bagi tersangka kasus korupsi berbicara dalam Rapat DPR. DPR harus mempertimbangkan secara serius untuk merevisi Tata Tertib DPR dan mekanisme BK DPR untuk mengatur etika anggota berperilaku dalam rapat-rapat DPR.
D. Relasi MK dan DPR: Mengusung Pengawasan dan Perimbangan Pascaruntuhnya rezim Soeharto pada 1998, kehidupan politik, ekonomi, dan hukum di Indonesia mengalami perubahan, dari model diktator menjadi model yang lebih demokratis. Salah satu hal yang menjadi indikator adalah munculnya kekuatan nyata check and balances dalam politik kekuasaan negara (Wiratraman, 2007, 22). Perkembangan prinsip check and balances di Indonesia tidak terlepas dari amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945. Ada perubahan struktur ketatanegaraan yang terjadi, yaitu penyetaraan semua lembaga negara tanpa ada lembaga tertinggi negara serta pembagian kekuasaan antarlembaga negara yang lebih tegas. Perubahan struktur itu menjadi simbol perwujudan prinsip check and balances dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan di Indonesia (Fadjar, 2006, 49). Prinsip itu tercermin dari perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang semula menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi dalam menjalankan kedaulatan rakyat, kemudian diubah menjadi kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasar pada UUD 1945. Dengan demikian, UUD 1945 menjadi pedoman pelaksanaan sistem ketatanegaraan di Indonesia, terutama terkait pengaturan fungsi dan wewenang lembaga negara dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Lebih dari sepuluh tahun berjalan, prinsip check and balances masih menjadi prinsip yang penting dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam praktiknya, pelaksanaan prinsip check and balances menyebabkan adanya hubungan atau relasi, baik langsung maupun tidak langsung, antara dua lembaga negara atau lebih pada saat menjalankan fungsi dan kewenangan masing-masing. Salah satu bentuk relasi yang tercipta adalah antara MK dan DPR. Bentuk nyata dari adanya relasi antara MK dan DPR adalah pelaksanaan wewenang uji materi suatu UU (judicial review) di MK dan pembentukan UU di DPR. Judicial Review Bukan Hanya Alat Gertak Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 memberikan wewenang kepada MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Dengan wewenang itu, MK berfungsi sebagai lembaga negara yang menjaga seluruh kegiatan ketatanegaraan di Indonesia agar memiliki napas dan semangat yang sejalan dengan konstitusi. 44
Melihat dari dampak yang dihasilkan, putusan MK dari proses judicial review terbagi menjadi dua jenis, yaitu putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif. Putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan atau menegaskan apa yang menjadi hukum. Putusan itu terjadi apabila MK menyatakan permohonan judicial review tidak dapat diterima atau permohonan ditolak. Sementara itu, putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menghasilkan suatu keadaan hukum baru. Putusan itu terjadi apabila MK mengabulkan permohonan judicial review23 (Sholikin dkk, 2007, 24). Dari dua jenis putusan itu tergambar bahwa MK memiliki fungsi untuk melakukan koreksi terhadap UU yang dihasilkan dari proses legislasi oleh DPR. Di situlah letak check and balances antara MK dan DPR terjadi. Sejak awal berdirinya sampai Januari 2011, MK sudah mengeluarkan 61 putusan terkait pengujian UU terhadap UUD 1945. Dari jumlah itu, hanya 17 perkara yang permohonanya dikabulkan, 23 lainnya ditolak, 16 tidak diterima, dan 5 ditarik kembali. Diagram 8 Putusan MK per 20 Januari 2011
ditarik kembali 8% 8dak diterima 26%
dikabulkan 28%
ditolak 38%
Dari 61 putusan pada 2010, ada dua putusan MK yang berpengaruh langsung terhadap mekanisme interal di DPR, yaitu Putusan Perkara No. 152/PUU-VII/2009 dan Putusan Perkara No. 23-26/PUU-VIII/2010. Kedua putusan itu sama-sama merupakan hasil judicial review terhadap UU No. 27 Tahun 2009 (UU MD3). Selain itu, kedua Putusan Perkara itu juga sama-sama dimohonkan oleh Anggota DPR. Namun, dari segi substansi, putusan keduanya berbeda; satu putusan dinyatakan ditolak dan satu putusan lainnya dikabulkan. 1. Pemberhentian Sementara bagi Wakil Rakyat Perkara No. 152/PUU-VII/2009 diajukan oleh Achmad Dimyati Natakusumah, yang merupakan Anggota DPR periode 2009—2014. Proses judicial review, yang dipimpin oleh Hakim Arsyad Sanusi, memakan waktu hampir 11 bulan, yaitu mulai dimohonkan pada 14 Desember 2009 dan diputus pada 15 Oktober 2010. Pengajuan permohonan perkara dilatarbelakangi oleh status Achmad Dimyati Natakusumah yang ditetapkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Pandeglang. Ia diduga terlibat kasus korupsi penggunaan dana pinjaman daerah sebesar Rp200 miliar dari Bank Jabar pada 2006. Dengan statusnya sebagai 23 Dalam konteks Putusan judicial review menyatakan materi muatan dari undang-undang, baik ayat, pasal, maupun keseluruhan UU, bertentangan dengan UUD, materi muatan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU MK).
45
terdakwa, pemohon terancam diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 219 ayat (1) UU MD3. Dari segi substansi, Perkara No. 152/PUU-VII/2009 menguji Pasal 219 Ayat (1) UU MD3 terhadap UUD 1945. Pasal 219 ayat (1) UU MD3 mengatur perihal “pemberhentian sementara” bagi Anggota DPR. Pemohon beranggapan bahwa pasal itu bertentangan dengan Pasal 22 B dan 22 D UUD 1945 yang hanya mengenal istilah “pemberhentian” bagi Anggota DPR dan DPD dan tidak mengenal istilah “pemberhentian sementara”. Selain itu, pemohon juga beranggapan bahwa status “pemberhentian sementara” berpotensi merugikan hak konsitusional Anggota DPR dalam menjalankan tugasnya, mengingat proses peradilan yang berjalan sangat panjang dan memakan waktu lama. Dengan kondisi itu, pemohon menambahkan, pengaturan “pemberhentian sementara” juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur kesamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum. MK menyebutkan pengaturan terkait “pemberhentian sementara” diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap jabatan-jabatan publik, termasuk Anggota DPR. Selain itu, pemberlakuan “pemberhentian sementara” dilakukan untuk memberikan persyaratan agar pejabat publik benar-benar bersih, berwibawa, jujur, dan mempunyai integritas moral yang tinggi. Perihal potensi ketidakadilan terhadap warga negara yang ditimbulkan oleh pengaturan “pemberhentian sementara”, MK berpendapat ketidakadilan justru muncul ketika Anggota DPR yang berstatus sebagai terdakwa dan harus menjalankan proses hukum tetap melaksanakan kewajiban maupun hak konstitusionalnya. Selain itu, pemberlakuan pemberhentian sementara akan memperlancar proses hukum yang sedang berjalan. Dari argumen tersebut, MK memutuskan dalam amar putusannya bahwa permohonan ditolak untuk keseluruhan. Dengan ditolaknya permohonan itu, tidak ada materi muatan dari UU MD3 yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Walaupun Putusan MK tersebut tidak mengubah UU MD3, tetap ada dampak terhadap mekanisme internal di DPR. Adanya Putusan MK itu menjadi penegasan bahwa mekanisme “pemberhentian sementara” bagi Anggota DPR adalah sah menurut konstitusi dan perihal “pemberhentian sementara” dalam UU MD3 tidak bisa dimohonkan untuk di judicial review kembali (Pasal 60 UU MK). Hal itu penting mengingat jabatan sebagai Anggota DPR termasuk sebagai jabatan publik, rentan tersangkut masalah hukum, terutama terkait kasus korupsi. Dengan begitu, pelaksanaan amanat sebagai wakil rakyat tidak akan terganggu dengan kepentingan pribadi sang wakil rakyat ketika sedang menjalankan proses hukum. Selain internal DPR, Putusan mengenai “pemberhentian sementara” bagi Anggota DPR pun berdampak secara tidak langsung terhadap lembaga negara lain. Alasannya adalah pengaturan mengenai “pemberhentian sementara” tidak hanya diatur dalam UU MD3, yang menjadikan DPR, MPR, DPD, dan DPRD sebagai objek pengaturannya. Lembaga negara lain, seperti KY dan bahkan MK sendiri, memiliki pengaturan mengenai “pemberhentian sementara” bagi Anggota dalam UU yang
46
mengaturnya secara kelembagaan24. Setidaknya, Putusan MK itu dapat menjadi patokan dalam pengaturan hal yang sama dalam UU lain. 2. Salah Tafsir Hak Menyatakan Pendapat Putusan Perkara No. 23-26/PUU-VIII/2010 merupakan gabungan putusan dari dua permohonan perkara, yaitu perkara No. 23/PUU-VIII/2010 dan perkara No. 26/PUU-VIII/2010. Kedua permohonan itu menguji pasal yang sama, yaitu Pasal 184 ayat (4) UU MD3 yang mengatur tentang hak menyatakan pendapat di DPR. Pemohon dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pemohon yang berasal dari Anggota DPR dan pemohon dari kalangan masyarakat yang merupakan para konstituen Anggota DPR. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 184 ayat (4) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Pada argumentasi putusannya, MK mengatakan bahwa sebenarnya hak menyatakan pendapat dalam UUD 1945 terbagi menjadi dua macam. Pertama, Pasal 7 B ayat (3) jo. Pasal 7 B ayat (2) berkaitan dengan hak menyatakan pendapat mengenai dugaan presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, baik pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, maupun perbuatan tercela, dan/atau presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Kedua, Pasal 20 A ayat (2) berkaitan dengan hal lain selain yang telah diatur dalam Pasal 7 B ayat (2). Hak menyatakan pendapat yang diatur dalam Pasal 20 A ayat (2) diberikan kewenangan delegasi untuk diatur lebih lanjut dalam suatu UU (Pasal 20 A ayat (4)). Namun, hal itu tidak terjadi dalam hak menyatakan pendapat yang diatur dalam Pasal 7 A ayat (3). Dengan kata lain, pengaturan dalam Pasal 7 A ayat (3) bersifat limitatif pada ketentuan dalam UUD 1945. Argumentasi MK di atas tidak tercermin dalam pengaturan Pasal 184 ayat (4) UU MD3. Dalam pasal itu, pengaturan terkait hak menyatakan pendapat tidak dibedakan. Dengan demikian, mekanisme untuk mengajukannya pun disamakan. Selain itu, ketentuan pengajuan hak menyatakan pendapat dalam UU MD3 lebih berat dibandingkan ketentuan dalam Pasal 7 A ayat (3) UUD 1945. Hal itulah yang menjadi dasar bagi MK untuk mengeluarkan putusan mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 184 ayat (4) UU MD3. Putusan MK yang mengabulkan permohonan perkara menimbulkan akibat hukum, yaitu Pasal 184 ayat (4) UU MD3 menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dampak terbesar dari adanya pasal yang “dihilangkan” oleh Putusan MK adalah terjadinya kekosongan hukum sehingga perlu segera dibentuk produk hukum baru untuk menggantikannya. Namun, dalam Putusan perkara No. No. 2326/PUU-VIII/2010, MK sudah mengantisipasinya. MK sadar betul bahwa apabila terjadi kekosongan hukum yang diakibatkan karena Putusannya akan menciptakan permasalahan baru. Oleh karena itu, MK menegaskan dalam Putusannya bahwa ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana. Walaupun demikian, selanjutnya DPR bersama presiden tetap harus melakukan revisi terhadap UU MD3
24Untuk KY diatur dalam Pasal 34, 35, dan 36 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY), sedangkan MK diatur dalam Pasal 24 dan 25 UU MK.
47
untuk mengakomodir Putusan MK itu, mengingat wewenang legislasi berada di tangan DPR bersama presiden. Dampak lain yang muncul dari Putusan MK tersebut adalah adanya kondisi hukum baru yang tercipta, yaitu menjadi lebih mudahnya Anggota DPR yang ingin mengajukan hak menyatakan pendapat. Dalam hal itu, banyak Anggota DPR yang mengaitkannya dengan proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden (kompas.com, 14 Januari 2011). Namun, apabila ditinjau lebih dalam, kemudahan yang didapat dari Putusan MK hanya sebagian kecil dari keseluruhan proses pemakzulan yang diatur dalam UUD 1945. Setelah pengajuan hak menyatakan pendapat dari DPR, proses pemakzulan masih harus melalui dua proses selanjutnya, yaitu proses hukum di MK (Pasal 7 Bayat (4) UUD 1945) dan proses politik di MPR (Pasal 7 B ayat (6) UUD 1945). Selain itu, hak mengajukan pendapat harus didasari bukti-bukti yang kuat dan tidak hanya menjadi alat ‘gertak” terhadap lawan politik atau terlebih hanya untuk pencitraan kepada masyarakat. Jadi, sebaiknya, Anggota DPR fokus memanfaatkan peluang yang dibuka melalui Putusan MK untuk mengadvokasikan hal-hal yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Penerjemah Tunggal Konstitusi Selain judicial review, proses lain yang mencerminkan adanya relasi antara MK dan DPR sekaligus bentuk dari perwujudan prinsip check and balances adalah pelaksanaan fungsi legislasi oleh DPR. Pada dasarnya, proses legislasi adalah proses pembentukan UU oleh DPR bersama presiden. Selain membentuk UU baru, proses legislasi juga dapat merevisi UU yang sudah ada. Pembentukan suatu UU harus berdasarkan perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya dalam Prolegnas (Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004). Namun, dalam keadaan tertentu, pembentukan suatu UU juga dimungkinkan berasal dari luar Prolegnas (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden). “Keadaan tertentu” yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) di atas, salah satunya, adalah dalam rangka melaksanakan Putusan MK (Pasal 3 ayat (2) Perpres No. 68 Tahun. 2005). Secara teknis, RUU yang tidak berasal dari Prolegnas biasa dikenal dengan RUU Kumulatif Terbuka. Pada 2010, ada satu UU dan dua RUU yang menarik untuk diperhatikan sebagai bentuk dari adanya relasi antara MK dan DPR. Prinsip check and balances juga tercermin di dalamnya. UU yang dimaksud adalah UU No. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Dua RUU itu adalah RUU tentang Tata Kelola Perguruan Tinggi dan RUU Revisi UU MK. 1. Interpretasi MK dalam UU No. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan UU No. 9 Tahun 2010 merupakan revisi dari UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Secara garis besar, UU No. 9 Tahun 2010 mengatur tentang pemenuhan hak protokoler yang dimiliki oleh pejabat negara. Dalam Pasal 1 angka 7, Pejabat Negara didefinisikan sebagai “pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana
48
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang”. Salah satu pejabat negara yang masuk dalam pengaturan UU No. 9 Tahun 2010 adalah Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum yang diatur dalam Pasal 9 huruf m. Dalam bagian penjelasan ketentuan itu, disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Pemilihan Umum adalah Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawasa Pemilihan Umum”. Ketentuan itulah yang dipengaruhi oleh Putusan MK dari proses judicial review, yaitu Putusan Perkara No. 11/PUU-VIII/2010. Putusan MK tersebut berasal dari proses judicial review yang dilakukan terhadap beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD 1945. Dalam salah satu argumentasinya, pada bagian “Pendapat Mahkamah”, disebutkan bahwa pemaknaan kalimat “satu komisi pemilihan nasional” pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi. Akan tetapi, pemaknaan itu menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Jadi, menurut MK, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh KPU, tetapi juga Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penerapan intepretasi MK terhadap salah satu pasal dalam UUD 1945 dalam UU mencerminkan satu mekanisme check and balances yang baik. Setiap lembaga negara (dalam hal ini MK dan DPR) menjalankan fungsi dan wewenangnya masingmasing, tetapi tidak terpisah satu sama lain. Dengan demikian, produk hukum yang dibentuk pun tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda. Apabila diperhatikan lebih lanjut, Putusan Perkara No. 11/PUU-VIII/2010 bukanlah berasal dari proses judicial review terhadap UU yang mengatur mengenai keprotokolan. Pemakaian intrepretasi dari Putusan MK diapakai karena ada persamaan konteks materi muatan yang diatur, walaupun dalam UU yang berbeda. Praktik itu merupakan satu preseden yang positif dalam proses legislasi, mengingat MK adalah “penerjemah” tunggal konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Jadi, Putusannya harus dijadikan dasar bagi setiap UU yang dibentuk agar selaras dengan UUD 1945. 2. Kekosongan Payung Hukum Tata Kelola Pendidikan Tinggi Pasca-Putusan MK Rabu, 31 Maret 2010 menjadi babak baru dalam tata kelola Perguruan Tinggi. Pada hari itu, MK membacakan Putusan Perkara No. 11-14-21-126 dan 136/PUUVII/2009 terkait dengan judicial review UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Selain itu, Putusan itu juga menguji Pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal itu menjadi dasar hukum dari pembentukan UU No. 9 Tahun 2009. MK memutuskan Pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 yang kemudian berdampak pada tidak adanya dasar hukum pembentukan UU No. 9 Tahun 2009. MK pun menyatakan bahwa UU No. 9 Tahun 2009 secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Salah satu materi muatan dari UU No. 9 Tahun 2009 adalah tata kelola perguruan tinggi. Putusan MK yang menyatakan UU itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat menyebabkan terjadi kekosongan hukum dalam pengelolaan 49
perguruan tinggi dan penentuan bentuk badan hukum yang harus digunakan bagi lembaga pendidikan swasta dan masyarakat. Respons terhadap Putusan MK didahului oleh pemerintah dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 (PP No. 66 Tahun 2010) tentang Perubahan terhadap PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Hal itu terlihat dari konsiderans menimbang pada PP No. 66 Tahun 2010 yang mencantumkan Putusan MK No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 sebagai landasan yuridis pembentukan PP. Respons itu dilakukan untuk menunggu pembentukan UU yang memakan waktu tidak sebentar. Padahal, kegiatan pengelolaan pendidikan, terutama pendidikan tinggi, harus terus berjalan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa PP No. 66 Tahun 2010 dibentuk untuk menyelamatkan pengelolaan perguruan tinggi yang sedang berjalan. Setelah diberlakukannya PP No. 66 Tahun 2010, DPR mulai berencana membentuk payung hukum berupa UU tentang Tata Kelola Pendidikan Tinggi. Upaya itu terlihat dalam Prolegnas Tahun Sidang 2010/2011 yang mencantumkan RUU tentang Tata Kelola Perguruan Tinggi, yang masuk dalam RUU Kumulatif terbuka karena dibentuk untuk menindaklanjuti Putusan MK. RUU itu disusun untuk menjadi payung hukum pengelolaan perguruan tinggi. Rencana untuk membentuk UU tentang Tata Kelola Pendidikan sebenarnya sudah terlihat sesaat setelah Putusan MK dikeluarkan. Pada awal April 2010, perwakilan Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar, mengunjungi MK untuk meminta penjelasan mengenai Putusan MK tersebut kepada para Hakim Konstitusi. Kunjungan Anggota DPR itu langsung diterima oleh Ketua MK, Mahfud MD (hukumonline.com, diakses pada 8 Januari 2011). Kunjungan itu dimaksudkan untuk meminta penjelasan langsung dari para Hakim MK terkait Putusannya. Pertemuan antara Anggota DPR dan Hakim Konstitusi itu memiliki nilai posisti karena menjadikan Anggota DPR—sebagai pembentuk UU—lebih mengerti substansi persoalan undang-undang yang akan dibentuknya. Namun, pertemuan tersebut juga berpotensi menimbulkan dampak negatif, yaitu terciptanya perang kepentingan (conflict of interest) dari para Hakim MK. Perang kepentingan itu akan muncul ketika Hakim MK memberikan saran terkait dengan substansi pengaturan yang menjadi domain DPR karena bukan tidak mungkin UU yang akan dibentuk oleh DPR itu diajukan JR kepada MK pada kemudian hari. Kondisi tersebut jelas merugikan pelaksanaan check and balances dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. 3. Masa Depan Check and Balances MKDPR dalam Revisi UU MK Rencana untuk melakukan revisi terhadap UU MK sudah dimulai dari tahun 2005. RUU itu masuk dalam Prolegnas lima tahunan, yaitu 2005—2009. Namun, sampai masa sidang III 2010—2011, RUU MK belum rampung dan masih dalam tahap pembahasan. Secara substansi, ada beberapa isu yang masuk dalam agenda perubahan di UU MK. Salah satunya terkait mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi (hukumonline.com, diakses pada 8 Januari 2011). Pengangkatan hakim konstitusi diatur dalam Bab IV Bagian Pertama UU MK. Dalam Pasal 19 diatur bahwa pencalonan Hakim Konstitusi dilakukan secara transparan dan partisipatif. Selain 50
itu, dalam Pasal 20 ayat (2) diatur pula bahwa pemilihan Hakim Konstitusi dilakukan secara objektif dan akuntabel. Namun, pelaksanaan dari prinsip-prinsip itu sangat lemah di lapangan. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada pengaturan minimal mengenai tata cara pelaksanaan dari pencalonan maupun pemilihan calon Hakim Konstitusi. Pada pasal 20 ayat (1), pengaturan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan Hakim Konstitusi diserahkan untuk diatur oleh lembaga yang berwenang masing-masing (dalam hal ini, DPR, presiden, dan MA). Dengan demikian, hal itu menyebabkan standar dari pelaksananaan di setiap lembaga berbeda-beda. Dalam hal tersebut, aspirasi yang berkembang adalah menyediakan ruang kepada publik untuk ikut dalam proses pemilihan calon, terutama dalam memberikan masukan terkait dengan rekam jejak para calon yang kemudian akan menjadi usulan, baik oleh DPR, presiden, ataupun MA. Mekanisme uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh DPR dalam memilih Hakim Konstitusi pada 2008 dapat dijadikan contoh yang baik dalam mewujudkan prinsip transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel. Namun, ada catatan bahwa mekanisme itu harus membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan pengaturan terkait dengan kewajiban pelaksanaan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan dalam memilih calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan, baik di DPR, presiden, maupun MA. Selain isu tersebut, hal penting lain dalam proses pembentukan revisi UU MK adalah memperhatikan proses yang berjalan. Bukan suatu rahasia apabila dikatakan bahwa proses legislasi penuh dengan kepentingan, bahkan kepentingankepentingan yang saling bertarung itulah sebenarnya yang menjadi inti dari proses legislasi. Bukan hal yang keliru apabila ada pertentangan kepentingan dalam pembahasan suatu UU, sepanjang pertentangan itu berada dalam jalur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepentingan DPR sebagai suatu lembaga negara sangat besar dalam pembahasan revisi UU MK, terlebih kedua lembaga negara itu memiliki keterkaitan dalam menjalankan fungsi dan wewenang masing-masing. Proses judicial review yang kerap membatalkan suatu ketentuan dalam UU yang dibentuk oleh DPR menjadi perhatian serius. Timbul kekhawatiran DPR akan “memangkas” taring dari MK selama ini, terutama dalam mekanisme judicial review. Di situlah, peran partisipasi masyarakat menjadi penting, terutama dalam menjaga agar pembahasan dan substansi dari RUU revisi UU MK tetap sesuai dengan peraturan perundangundangan, terutama UUD 1945. Oleh karena itu, dalam pembahasan RUU, DPR wajib menjalankan prinsip partisipatif di dalamnya. Dengan cara seperti itulah, prinsip check and balances dapat terlaksana dengan baik.
51
MENYELAMI DPR Tidak terasa, perjalanan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah melewati satu tahun sejak disetujui bersama oleh DPR dan presiden melalui Rapat Paripurna Luar Biasa pada 3 Agustus 2009. Melalui Prolegnas RUU Prioritas 2010, DPR dan pemerintah sepakat untuk merevisi UU MD3, yang nantinya dipersiapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Namun, hingga catatan ini selesai ditulis pada awal 2011, proses persiapan untuk mengubah UU itu belum berhasil dituntaskan. Selain sebagai bagian dari siklus legislasi, evaluasi terhadap perjalanan satu tahun UU MD3 juga penting dilakukan untuk memastikan aturan yang ada telah mendorong perbaikan kinerja lembaga perwakilan ke arah yang lebih baik atau belum. Bab ini berusaha mengindentifikasi deretan fakta di lapangan yang kontradiktif terhadap visi perwujudan lembaga perwakilan yang representatif dan akuntabel. Kelemahan pengaturan sebagai faktor penghambat perbaikan sisi internal organisasi DPR juga diulas dalam bagian ini. Dari sekian banyak pengaturan yang ada, setidaknya terdapat enam objek identifikasi yang merepresentasikan perkembangan implementasi UU MD3 berikut ini.
A. Menagih Akuntabilitas Salah satu terobosan yang diperkenalkan dalam UU MD3 adalah kepastian tentang penegakan prinsip akuntabilitas di lingkungan DPR melalui penyusunan dan penyampaian laporan kinerja. Pasal 80 ayat (2) UU MD3 memerintahkan setiap fraksi untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkannya kepada publik. Aturan itu dipertegas oleh Pasal 18 ayat (6) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib dengan ketentuan batasan waktu penyampaian laporan kepada publik, yakni paling sedikit satu kali dalam satu tahun sidang. Kedua aturan normatif tersebut dengan jelas memandatkan kesembilan fraksi yang ada di DPR untuk menjalankan salah satu upaya mekanisme akuntabilitas individu Anggota DPR. Mekanisme itu dilakukan melalui Laporan Evaluasi Kinerja dengan skema waktu sedikitnya satu kali dalam satu tahun sidang. Artinya, dalam kurun waktu sejak Anggota DPR periode 2009—2014 dilantik per 1 Oktober 2009 (yang merupakan awal dari Tahun Sidang 2009—2010) hingga memasuki Tahun Sidang kedua (2010—2011), Laporan Evaluasi Kinerja Anggota Fraksi harus tersedia dan terdokumentasikan. Laporan tersebut kemudian harus disampaikan kepada publik dengan segala kemudahan untuk mengakses dan mendapatkannya. Isinya berupa informasi yang akurat serta memenuhi prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, dan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR. Namun, hingga berakhirnya Masa Sidang I Tahun Sidang 2009—2010, belum ada satu laporan pun yang dapat diakses oleh publik.
52
Selain sebagai sarana penyampaian informasi kepada konstituen, Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR juga merupakan bentuk kontrol kualitas oleh fraksi atas kinerja anggota mereka. Evaluasi itu berisikan mulai dari kedisiplinan hingga kontribusi yang sudah mereka berikan dalam kerja-kerja legislasi, pengawasan, dan anggaran, termasuk peran mereka memperjuangkan kepentingan rakyat. Dari sisi yang lebih fundamental, makna representasi yang selama ini terkesan semu berusaha dijawab melalui mekanisme laporan itu. Kuasa yang dititipkan oleh rakyat kepada para wakilnya di DPR diharapkan dapat terkoreksi dan terevaluasi secara periodik. Ketiadaan Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR akan mempersulit masyarakat memahami apa yang telah dilakukan wakil mereka. Maraknya kunjungan Anggota DPR ke luar negeri dalam rangka studi banding belakangan ini dapat menjadi salah satu contoh. Sulit bagi masyarakat memaklumi urgensi aktivitas studi banding itu mengingat uang negara yang digunakan sangat besar sementara kondisi ekonomi nasional tak dapat dianggap baik. Salah satu penyebabnya adalah pemenuhan aspek akuntabilitas yang tidak terpenuhi. Setiap Anggota DPR mengusulkan perlunya kegiatan studi banding. Pada saat yang sama, DPR dihadapkan pada kegagalan sistematis yang terjadi berulang kali. Kegagalan yang dimaksud adalah mempertanggungjawabkan dan mengolah lebih lanjut berbagai temuan studi banding selama ini untuk kepentingan proses legislasi. Pemeriksaan Melalui Survei Integritas Untuk memastikan komitmen fraksi-fraksi di DPR dalam melaksanakan kewajiban akuntabilitas tersebut, PSHK melakukan survei integritas dengan cara mendatangi dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan dokumen Laporan Evaluasi Kinerja Anggota Fraksi. Hingga akhir Desember 2010, dari sembilan fraksi yang ada di DPR, pihak yang dapat diketahui telah melakukan dan mendokumentasikan proses evaluasi terhadap kinerja fraksi, yaitu FPKB, FPG, dan FPD. Sementara itu, informasi tentang enam fraksi lain tidak berhasil didapatkan. Tidak tertutup kemungkinan, keenam fraksi lain menyusun Laporan Evaluasi Kinerja Anggota Fraksi untuk konsumsi internal fraksi tanpa mempublikasikannya ke publik. Cara ketiga fraksi tersebut menyiapkan, menyusun, dan mendokumentasikan laporan evaluasi kinerja fraksi berbeda-beda. Saat mendatangi Sekretariat FPD, diperoleh informasi bahwa FPD sebenarnya telah mempersiapkan laporan kinerja fraksi untuk 2010, tetapi belum tuntas karena masih ada laporan dari komisi yang belum diserahkan. Laporan dibuat dua versi. Pertama, laporan dibuat untuk kepentingan internal yang memuat penilaian terhadap semua Anggota FPD. Kedua, laporan dibuat untuk disampaikan kepada publik. Sekretariat FPD memberikan hasil kopi berupa model kliping koran yang berjudul “Perjalanan Setahun Fraksi Partai Demokrat” dimuat di Rakyat Merdeka, edisi Senin, 13 Desember 2010. Isinya, semacam paparan sikap FPD terhadap fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan, kiprah fraksi dalam mendukung pemerintah, penguatan kelembagaan fraksi dan kompetensi anggota, serta aksi sosial. Publikasi yang dilakukan FPD itu kurang lebih serupa dengan yang dilakukan FPDIP pada 2008. FPDIP mempublikasikan laporannya di Kompas, Juli 53
2008. Bedanya, FPDIP mengelompokkan isu yang menarik perhatian masyarakat selama 2008. Kemudian, laporan itu dilengkapi pandangan fraksi; disertakan pula dua nama Anggota FPDIP yang memegang peran dalam isu terkait berikut nomor telepon selular yang dapat dihubungi. Temuan yang berbeda ada pada laporan kinerja fraksi versi FPG. Laporan yang dimaksud sebenarnya tidak tersedia; hanya ada laporan setiap komisi dan hasil reses. Menurut pengakuan salah seorang staf Sekretariat FPG, kalaupun nanti dibuat laporan evaluasi kinerja fraksi untuk 2010, laporan itu hanya untuk kepentingan internal. Laporan yang dihasilkan FPKB dapat dikatakan lebih baik dari kedua fraksi sebelumnya, yakni FPD dan FPG. FPKB adalah fraksi pertama yang mengumumkan dan mempublikasikan laporan kinerja fraksinya sepanjang 2010 dalam bentuk buku kepada masyarakat. Isinya cukup lengkap, mulai dari cetak biru FPKB, daftar kerja
unggulan25, hingga kiprah fraksi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan DPR. Laporan evaluasi kinerja dari ketiga fraksi tersebut memiliki persamaan, yaitu didominasi deskripsi dan dokumentasi kegiatan fraksi, tetapi dangkal dalam hal penilaian kinerja individu anggota fraksi. Padahal, Pasal 80 ayat (2) UU MD3 dan Pasal 18 ayat (6) Tata Tertib DPR sangat jelas memerintahkan penyampaian laporan evaluasi kinerja fraksi ditujukan kepada individu (anggota) fraksi. Bahkan, untuk menelusuri pernyataan-pernyataan individu anggota fraksi, baik di dalam maupun luar rapat, datanya pun tak tersedia. Survei integritas yang dilakukan PSHK juga menemukan adanya permasalahan di lingkungan sekretariat fraksi, terutama dalam hal penyediaan informasi ke publik. Sebagai contoh, masih ada staf sekretariat fraksi yang belum mengetahui apa yang dimaksud dengan laporan evaluasi kinerja fraksi. Beberapa dari mereka juga belum dapat memastikan ketersediaan dokumen. Namun, fakta yang menarik adalah adanya dua Anggota DPR yang menerbitkan laporan pertanggungjawaban kinerja tahunan secara individu, yaitu Akbar Faizal (Fraksi Partai Hanura) dan Harry Witjaksono (FPD). Selain itu, ada pula praktik publikasi profil dan kegiatan Anggota DPR melalui situs web pribadi, seperti yang dilakukan oleh Basuki T. Purnama (FPG) melalui situs www.ahok.org dan Ramadhan Pohan (FPD) melalui situs www.ramadhanpohan.com. Laporan Pengelolaan Anggaran Selain kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, UU MD3 juga memerintahkan DPR untuk melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan. Pasal 73 ayat (5) UU MD3 secara jelas dan tegas mengatur tentang kewajiban kelembagaan DPR menjalankan prinsip akuntabilitas, yaitu melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan. Dalam pelaksanaannya, kerangka waktu yang menjadi ruang lingkup laporan kinerja tahunan setidaknya dapat dibagi dalam empat pemahaman. Pada akhirnya, Daftar kerja unggulan antara lain persoalan anggaran 10% untuk desa, pembangunan infrastruktur, lingkungan hidup, pahlawan devisa, pemberantasan korupsi, hingga usulan program partai. 25
54
DPR harus menentukan kerangka waktu kinerja tahunan yang digunakan agar mengetahui waktu yang pasti laporan itu harus dipersiapkan dan dipublikasikan. Sebenarnya, empat pemahaman tersebut, yaitu: a. kinerja tahunan berdasarkan Tahun Sidang yang dimulai setiap 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya; b. bersamaan dengan Pidato Ketua DPR pada Rapat Paripurna DPR peringatan ulang tahun DPR setiap tahunnya yang pada periode 2009— 2010 mulai dibiasakan disertai dengan penyampaian Laporan Kinerja DPR, yaitu setiap 30 Agustus; c. kinerja tahunan dimulai sejak Anggota DPR resmi dilantik, mulai dari 1 Oktober 2009 hingga 1 Oktober 2010 dan seterusnya; serta d. dihitung setiap akhir tahun (31 Desember). Apabila menggunakan ketiga kerangka waktu pertama, semua batas waktu sudah terlewati. Mulai saat ini, seharusnya DPR sudah dibebankan atas utang pelaporan pengelolaan anggaran. Sementara itu, kerangka waktu yang terakhir tidak lazim digunakan karena DPR tidak pernah menggunakan akhir tahun sebagai patokan waktu. Dengan demikian, DPR dapat memilih salah satu alternatif dari kerangka waktu pertama, kedua, ataupun ketiga sebagai pijakan batasan kinerja tahunan dalam menjalankan mandat Pasal 73 ayat (5) dan Pasal 225 ayat (5) UU MD3.
B. Independensi Anggota dan Keterwakilan Perempuan Ada permasalahan klasik yang masih terpelihara di internal lembaga parlemen, yaitu belum maksimalnya independensi anggota dewan dalam mengambil keputusan dan isu keterwakilan perempuan. Kedua isu itu berpangkal pada satu kesamaan, yaitu hak. Independensi anggota dewan dalam menegakkan demokrasi dan mengutamakan kepentingan bangsa merupakan hak yang dilindungi oleh UU. Keterwakilan perempuan bahkan merupakan hak konstitusional, yaitu kedudukan warga negara sama di mata hukum tanpa mendiskriminasikan jenis kelamin, suku, ataupun golongan. Kedua hak itu pada kenyataannya masih belum tercermin di internal lembaga DPR. Dipilih Langsung, Independensi Masih Terkungkung Kasus bail out Century memang memegang peranan penting dalam melihat relasi antarfraksi, bahkan internal fraksi, di DPR. Suara partai yang tergabung dalam koalisi partai pemerintah terlihat pecah26. Hanya PAN dan PKB yang masih ”setia” pada Partai Demokrat. Hal yang menarik adalah satu Anggota PKB, yakni Lily Chodidjah Wahid, memiliki suara yang berbeda dengan suara fraksinya. Akibat dari perbedaan sikapnya, satu hari setelah voting dilaksanakan, Ketua Umum PKB menyatakan sikap dengan mengeluarkan Surat Peringatan Pertama kepada Lily Chodidjah Wahid (detiknews.com, diakses pada 10 Januari 2011). 26
Lihat Tabel 1.
55
Preseden tersebut menggambarkan bahwa Anggota DPR yang meski sudah dipilih secara langsung dalam pemilu tidak serta-merta memiliki independensi penuh dalam pengambilan keputusan di DPR. Kekuatan fraksi masih sangat dominan dalam mengendalikan suara anggotanya dalam pelaksanaan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi. Anggota yang ”membelot” dari fraksi akan diberikan peringatan tiga kali, bahkan bisa berakhir dengan pemecatan. Dengan demikian, letak independensi anggota yang dipilih secara langsung perlu dipertanyakan. Pasal 69 ayat (1) UU MD3 menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam ayat (2) ditegaskan, ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat; bukan representasi partai. Selain itu, salah satu kalimat dalam sumpah/janji yang terdapat dalam pasal 76 adalah ”saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan”. Anggota DPR tentunya harus menyadari betul bahwa kedua pasal tersebut sudah menggambarkan adanya independensi untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara yang tidak bisa ditundukkan oleh kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan, termasuk fraksi sekali pun. Aturan internal dan tindakan partai mana pun yang membolehkan pemberian Surat Peringatan kepada anggotanya karena perbedaan sikap dengan fraksi merupakan tindakan yang tidak sesuai ketentuan pasal UU MD3. Keberadaan fraksi memang sering kali mengungkung independensi dari anggota sebagai individu yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Di negara lain, konsep keberadaan fraksi justru tidak populer karena sesungguhnya sistem pemilihan langsung memberikan konsekuensi bahwa Anggota DPR memiliki tanggung jawab secara pribadi kepada masyarakat pemilihnya. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, anggota memiliki hak secara penuh untuk menentukan pilihan sesuai dengan suara konstituennya. Partai lebih berfungsi sebagai kendaraan menuju parlemen, partai tidak memiliki kekuatan untuk ”menyetir” suara anggotanya. Untuk menjaga kualitas anggotanya, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal yang utama sejak dari proses rekrutmen calon anggota legislatif hingga pertanggungjawabannya kepada masyarakat. Dalam hal itulah, partai memegang peran. Banyak hal yang perlu dirombak jika Indonesia ingin mewujudkan sistem keterwakilan yang baik. Perbaikan tidak hanya dilakukan dalam sistem perwakilan saja, melainkan harus dilakukan dari sistem kepartaian dan sistem pemilu secara bersamaan. Dengan kondisi DPR yang sangat pragmatis dalam enam tahun belakangan, pengambilan keputusan berdasarkan fraksi melalui pandangan mini maupun pendapat akhir fraksi menjadi tidak relevan. Apalagi, fraksi juga sangat mengintervensi voting dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Perempuan Tidak Terwakili di Singgasana Pimpinan Perjuangan atas kesetaraan perempuan di Indonesia tidak merupakan hal baru. Berdasarkan sejarahnya, hal itu telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. 56
Pada masa itu, muncul pemimpin-pemimpin perempuan dan inisiator kesetaraan perempuan, seperti Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan R.A. Kartini. Pangung politik pascakemerdekaan hingga kini memang masih didominasi oleh kaum laki-laki. Meskipun demikian, pascareformasi, perangkat hukum sudah diarahkan agar mengakomodasi keterwakilan perempuan, khususnya di lembaga perwakilan. Pada pemilu 2009, partai politik diwajibkan untuk memenuhi angka minimum 30% keterwakilan perempuan atas calon anggota legislatifnya (caleg). Berikut hasil perolehan kursi pada pemilu 2009 berdasarkan jenis kelamin. Tabel 5 Perolehan Kursi pada Pemilu 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin No Urut Partai
Nama Partai
Anggota Perempuan
Laki-laki
3
14
5
Partai Hati Nurani Rakyat Partai Gerakan Indonesia Raya
4
22
8
Partai Keadilan Sejahtera
3
54
9
Partai Amanat Nasional Partai Kebangkitan Bangsa
7
39
7
21
Partai Golongan Karya Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
18
88
5
33
17
77
1
13 23 24 28 31
35 Partai Demokrat Sumber: Pemilu 2009 dalam Angka (KPU, 2009)
113
Meski setiap partai sudah memenuhi minimal 30% perempuan dari calon anggota legislatifnya, perolehan kursi perempuan yang didapat dari tiap parpol masih jauh di bawah 30%. Memang, tidak ada aturan yang memerintahkan partai harus memberikan kursi kepada perempuan dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, untuk pemilihan pimpinan alat kelengkapan, UU MD3 telah mengamanatkan dengan kalimat ”memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”. Dalam Pasal 20 Peraturan Tata Tertib DPR, disebutkan bahwa DPR memiliki sebelas jenis alat kelengkapan. Ada alat kelengkapan yang bersifat permanen dan ada juga yang bersifat ad hoc atau sementara yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Alat kelengkapan permanen adalah Pimpinan DPR, tujuh badan27, dan sebelas komisi. Sementara itu, alat kelengkapan yang tidak permanen adalah Panitia Khusus dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh Rapat Paripurna. Komposisi Pimpinan DPR sudah jelas diatur dalam Pasal 83 UU MD3 dengan menempatkan anggota dari partai-partai pemenang pemilu. Pemenang pertama menduduki kursi ketua dan urutan kedua sampai dengan urutan kelima menduduki posisi wakil ketua. Akan tetapi, UU MD3 tidak mengatur untuk memperhatikan keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan dewan. Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, dan Badan Urusan Rumah Tangga. 27
57
Selain Pimpinan DPR, jumlah alat kelengkapan lain yang bersifat permanen menjadi 18 (tujuh badan dan sebelas komisi). Dari 18 alat kelengkapan, terdapat 69 kursi pimpinan. Berbeda dengan aturan mengenai komposisi Pimpinan DPR, UU MD3 mengamanatkan adanya keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Untuk melihat implementasinya, berikut komposisi keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan alat kelengkapan. Tabel 6 Komposisi Keterwakilan Perempuan dalam Pemimpin Alat Kelengkapan No Urut Partai 1 5 8 9 13 23 24 28 31
Nama Partai Partai Hati Nurani Rakyat Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Keadilan Sejahtera
Jatah Kursi Pimpinan (Proporsioal) 2 3 9
Partai Amanat Nasional Partai Kebangkitan Bangsa
5
Partai Golongan Karya Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
13
3
4 12
Pimpinan Alat Kelengkapan Perempuan
Laki-laki
-
2
-
3
-
9
1
4
2
1
1
12
-
4
1
11
2 18 Partai Demokrat Sumber: Diolah dari Data Pimpinan Alat Kelengkapan DPR 2009
16
Perempuan pada posisi pimpinan alat kelengkapan hanya terwakili dengan menduduki tujuh kursi dari 69 kursi pimpinan. Komposisi itu menunjukkan fraksifraksi tidak mengindahkan amanat UU MD3, terlebih Pasal 21 Aturan Tata Tertib DPR tentang tata cara pemilihan pimpinan alat kelengkapan. Namun, fraksi justru menghilangkan ketentuan tentang keterwakilan perempuan. Partai-partai besar yang memiliki banyak anggota perempuan, seperti Demokrat, Golkar, dan PDIP justru sedikit sekali memberikan kursi pimpinan bagi perempuan. Bagi PAN dan PKB yang sama-sama memiliki tujuh anggota perempuan, penerapan keterwakilannya justru berbeda. PAN memiliki lima jatah kursi pimpinan alat kelengkapan, sedangkan PKB hanya memiliki tiga jatah kursi pimpinan. PAN hanya memberikan satu kursi pimpinan kepada anggota perempuan, sedangkan PKB justru menempatkan dua kursi bagi perempuan dan hanya satu kursi untuk anggota laki-laki. PKS memang memiliki jatah kursi pimpinan yang lumayan banyak, yakni sembilan kursi. Namun, PKS sama sekali tidak menempatkan salah satu dari tiga anggota perempuannya untuk menduduki kursi pimpinan. PPP, Hanura, dan Gerindra juga sama sekali tidak menempatkan perempuan dalam kursi pimpinan alat kelengkapan. Dari komposisi keterwakilan perempuan yang ditentukan dalam rapat konsultasi yang diadakan oleh Pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi sebagai pengganti Rapat Badan Musyawarah, terlihat fraksi yang cukup konsisten dalam menempatkan anggota perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan adalah PKB. PKB memberikan posisi pimpinan alat kelengkapan kepada dua orang anggota 58
perempuannya. Demokrat sebagai partai terbesar yang memiliki anggota perempuan hanya menempatkan dua anggota perempuannya untuk menduduki kursi pimpinan. Padahal, jatah yang dimilikinya adalah 18 kursi pimpinan. Sementara itu, PKS jelas tidak melaksanakan ketentuan UU MD3 untuk memperhatikan keterwakilan perempuan di singgasana pimpinan. Dengan demikian, UU MD3 harus mengatur keterwakilan perempuan di parlemen secara sungguh-sungguh. Pengaturan keterwakilan perempuan dalam posisi Pimpinan DPR perlu diakomodasi. Selain itu, aturan Tata Tertib DPR yang mereduksi ketentuan UU MD3 tentang keterwakilan perempuan dalam memilih pimpinan alat kelengkapan juga perlu direvisi. Hal itu perlu dilakukan agar keterwakilan perempuan terwujud di parlemen seperti yang dicita-citakan. Tidak hanya segi kuantitas, kualitas anggota parlemen perempuan juga harus ditingkatkan.
C. Keterkaitan antara Kapasitas dan Kualitas Ketukan palu di ruang Rapat Paripurna sudah terdengar. Hal itu menandakan dimulainya Rapat Paripurna yang terakhir pada 2010. Dalam pidatonya, Ketua DPR Marzuki Ali memaparkan capaian DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran28, pengawasan29, dan legislasi selama satu tahun pertama DPR periode 2009—2014. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPR kembali mengulangi kegagalan karena tidak mampu mencapai target Prolegnas 2010 yang telah dicanangkan. Dari 70 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2010, DPR hanya berhasil menyelesaikan 16 UU. Memang, tahun pertama merupakan tahun yang lebih berat untuk menghasilkan UU dibandingkan tahun-tahun berikutnya karena masa adaptasi para Anggota DPR. Setiap fraksi masih disibukkan dengan pengaturan konstelasi politik sebagai persiapan dalam menjalankan fungsi ke depan dan pengisian struktur alat kelengkapan internal DPR. Terlebih, lebih dari 70% Anggota DPR periode 2009— 2014 merupakan anggota baru dengan latar belakang yang cukup variatif.
Dalam pelaksanaan fungsi anggaran, DPR telah melakukan evaluasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). DPR meminta pemerintah konsisten dan sungguh-sungguh melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi yang diambil sesuai rencana kerja tahunan yang telah ditetapkan. DPR juga menyikapi kondisi penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yg cukup signifikan dan mengingatkan pemerintah agar menyikapi dan mengantisipasi terjadinya “perang kurs” sebagaimana terjadi pada mata uang Yuan (China). Adanya kondisi krisis ekonomi Eropa dan situasi memanas di Korea, DPR mengkhawatirkan dampaknya pada perkembangan ekonomi global. DPR berpendapat bahwa arus modal asing jangka pendek dialihkan ke jangka panjang (foreign direct investment). 28
Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, DPR telah menetapkan pimpinan dan anggota instansi penegak hukum (KPK dan KY). Selain itu, selama satu tahun ini, DPR telah membentuk beberapa tim dalam rangka mengawasi pelaksanaan UU dan APBN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 70 Ayat (3) UU MD3. Tiga tim yang dibentuk adalah Tim Pengawas terhadap Tindak Lanjut Rekomendasi DPR tentang Pengusutan kasus Century, Tim Pemantau Pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua, serta Tim Pengawas Bencana Alam untuk Provinsi Jambi, Sumatra Barat, dan Jawa Barat. 29
59
Tabel 7 Latar Belakang Pekerjaan Anggota DPR Periode 2009—2014 Pekerjaan
Jumlah Anggota
%
Artis
13
2.32
Anggota DPR Anggota DPD
148 5
26.43 0.89
Anggota DPRD Akademisi (guru, dosen)
36 28
6.43 5.00
Pengusaha
60
10.71
Swasta PNS
200 6
35.71 1.07
6
1.07
Mantan menteri
4
0.71
Mantan kepala daerah
15
2.68
Lain-lain
39
6.96
560
100%
Pengacara
Total
Sumber: Centre for Electoral Reform (CETRO)
Dengan latar belakang Anggota DPR yang bervariasi dan didominasi oleh kalangan di luar dunia politik dan pemerintahan, anggota harus memiliki kapasitas minimal yang dapat dijadikan modal untuk melaksanakan ketiga fungsi DPR. Kapasitas anggota sangat menentukan hasil kinerja. Jika kinerja legislasi DPR hanya menghasilkan UU yang sedikit dari segi kuantitas dan kurang baik dari segi kualitas, kapasitas anggota dalam membuat UU perlu ditingkatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Charta Politika menunjukkan bahwa 63,7% responden menyatakan performa Anggota DPR periode 2009—2014 tidak lebih baik daripada performa anggota periode sebelumnya. Hanya 24,8% responden menyatakan performa wakil rakyat sekarang lebih baik. Selebihnya, 11,6% responden menyatakan tidak tahu. Tahun pertama masa jabatan merupakan waktu yang penting untuk membangun performa di mata masyarakat yang berbasis pada kualitas kinerja yang dicapai. Penentuan target legislasi yang tidak realistis serta pencapaian yang minim hanya menambah kekecewaan masyarakat. Sebaiknya, tahun pertama dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk peningkatan kapasitas anggota dan semua staf ahli yang mendukung kinerja mereka. Secara paralel, Anggota DPR juga mempersiapkan struktur internal dan konsolidasi antarpartai di DPR. Tidak perlu mematok kuantitas yang tinggi jika tidak sanggup mengisinya dengan kualitas yang baik. Dalam kondisi tersebut, partai politik memiliki peran strategis untuk melahirkan Anggota DPR yang berkualitas. Proses kaderisasi dan peningkatan kapasitas di internal partai tentunya sangat membantu kader-kader yang terpilih untuk menjadi anggota legislatif yang lebih mudah beradaptasi dengan kondisi riil di DPR. Selain itu, hendaknya dibangun pula mekanisme yang dapat menyaring calon anggota yang berkualitas. Hal itu juga dapat menghambat adanya praktik lolosnya anggota-anggota partai yang secara “instan” menjadi anggota dewan, yaitu terpilih bukan karena kapasitas, melainkan “kekuatan finansial” saat mencalonkan diri.
60
D. Efektivitas Peran Badan Kehormatan Sesuai Pasal 123 UU MD3, keberadaan BK sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap bertujuan untuk menjaga kehormatan DPR dan menegakkan kode etik. Untuk itu, BK diberikan tugas—salah satunya–untuk mengevaluasi dan menyempurnakan peraturan DPR tentang Kode Etik (Anggota DPR) dan Tata Beracara BK. Bahkan, Masa Sidang III Tahun Sidang 2009—2010 memandatkan agar BK mulai membahas kedua hal itu. Sebelum dihasilkan Peraturan DPR tentang Kode Etik dan Tata Beracara BK yang baru, DPR masih menggunakan Peraturan DPR No. 01/DPR RI/IV/2007-2008 tentang Tata Beracara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang dihasilkan dan sudah berlaku sejak keanggotaan DPR periode 2004—2009. Saat itu, sempat muncul kekhawatiran tidak selesainya pembahasan kode etik dan tata beracara BK pada Masa Sidang III. Apalagi, berdasarkan pengamatan PSHK hingga pertengahan Desember 2010, beberapa kali BK menyelenggarakan rapat guna merespons pengaduan masyarakat, sedangkan pembahasan mengenai kode etik dan tata beracara BK belum teragendakan secara khusus. Rapat-rapat BK yang menindaklanjuti pengaduan masyarakat pun berjalan lambat.30 Mandat yang diberikan kepada BK untuk menyempurnakan kode etik dan tata beracara berlanjut hingga Masa Sidang IV Tahun Sidang 2009—2010. Berikut adalah beberapa catatan dan masukan terhadap Peraturan DPR No. 01/DPR RI/IV/2007-2008 sebagai bahan pertimbangan evaluasi dan penyempurnaan kode etik dan tata beracara BK yang baru. a) Peraturan tata beracara BK masih membiarkan adanya kedudukan dan wewenang yang kuat dari Pimpinan DPR dalam kerja BK, terutama dalam memproses pengaduan. Definisi pengaduan hanya ditujukan kepada pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR (Pasal 1 angka 8). Sementara itu, definisi antara pimpinan dan Anggota DPR dibuat terpisah (perhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 6). Definisi pengadu dan teradu yang tidak konsisten semakin membingungkan. Pimpinan DPR dapat ditempatkan sebagai pengadu dan teradu, sedangkan Anggota DPR hanya sebagai teradu. Dikaitkan dengan definisi pengadu, Anggota DPR yang ingin menyampaikan pengaduannya harus melewati Pimpinan DPR lebih dulu. Hal itu jelas membuka celah tersendiri untuk melanjutkan pengaduan kepada BK atau tidak karena ada proses penilaian layak atau tidaknya pengaduan itu oleh Pimpinan DPR. Apalagi, peraturan tata beracara BK tidak mengatur soal kemungkinan Pimpinan DPR yang melakukan pelanggaran, meskipun pasal 41 menyatakan ada sanksi berupa pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPR. Hal itu tentu akan semakin kompleks seandainya dimunculkan pengaturan
Bercermin pada penanganan laporan yang disampaikan oleh Ut Omnes Unum Sint Institute (Institut Satu Adanya) mengenai pengaduan tiga orang Anggota DPR yang terkena masalah hukum, BK baru menggelar rapat setelah lebih dari empat bulan sejak pertama kali pihak pengadu melaporkan ke BK. Kondisi yang sama terjadi pula pada kasus ayat tembakau yang telah disampaikan kepada BK November 2009, tetapi hingga kini belum tuntas. 30
61
tentang pelanggaran yang dilakukan Pimpinan DPR, sedangkan ketentuan Pasal 3 dipertahankan seperti sekarang. b) Rincian sumber materi pengaduan yang dapat disampaikan oleh Pimpinan DPR seharusnya tidak perlu ditentukan asalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Sebaiknya, siapa pun dapat mengajukannya. Hal itu pun menjadi konsekuensi dari penegakan fungsi representasi. “Perkembangan yang telah diketahui secara luas dalam masyarakat” merupakan hal yang dapat dijadikan pijakan bagi BK untuk memulai tugas dan wewenangnya tanpa harus menunggu pengaduan dari Pimpinan DPR. c) Pasal 6 menyatakan bahwa pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan adalah pelanggaran atas ketidakhadiran Anggota DPR dalam rapat-rapat yang menjadi kewajibannya. Secara tidak langsung, ketentuan itu sama halnya dengan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 6 Kode Etik DPR. Namun, ketentuan itu tidak dilengkapi kewenangan BK untuk memastikan bahwa mereka dapat mengetahui ketidakhadiran anggota secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat. Kemudian, hal-hal yang dimungkinkan dan terukur dalam Kode Etik DPR merupakan jenis pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan. Contohnya adalah pelanggaran terhadap ketentuan perjalanan dinas (Pasal 9) atau kekayaan, imbalan, dan pemberian hadiah (Pasal 10 dan Pasal 11). d) Pasal 2 sama sekali tidak menyebutkan kesempatan bagi BK untuk melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik DPR yang dilakukan oleh Pimpinan DPR. Padahal, Pasal 85 ayat (2) huruf b UU MD3 dan Pasal 33 ayat (2) huruf b Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Pimpinan DPR diberhentikan dari jabatannya karena melanggar Kode Etik DPR berdasarkan hasil pemeriksaan BK. e) Pasal 127 ayat (1) huruf e UU MD3 membuka kesempatan bagi BK untuk melakukan pemeriksaan terhadap Anggota DPR yang tidak memenuhi perintah untuk melepaskan pekerjaan sebagai pejabat struktural yang disebutkan dalam Pasal 208 ayat (2) UU MD3. Pengaturan itu tidak muncul dalam Pasal 2 Tata Beracara BK. f) Pasal 10 ayat (7) memaparkan bahwa Sekretariat BK memberitahukan kepada pengadu tentang kekuranglengkapan pengaduan. Kemudian, pengadu diminta melengkapi pengaduannya selama tujuh hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan kekuranglengkapan pengaduan. Waktu tujuh hari itu dipandang kurang proporsional karena perbedaan faktor geografis dari pihak pengadu. Kemudahan untuk mengakses alat komunikasi juga mempengaruhi keberlangsungan korespondensi, apalagi jika mengandalkan media surat. Sumber informasi yang dijadikan tambahan keterangan pengadu belum tentu tersedia saat itu juga. Setidaknya, minimal waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi kekuranglengkapan itu adalah 14 hari hari kerja.
62
g) Pasal 16 ayat (2) menyatakan teradu dipanggil oleh BK apabila data-data aduannya sudah lengkap. Seharusnya, ketentuan itu tidak diperlukan lagi. Sejak BK mengirimkan surat resmi kepada teradu dan pimpinan fraksi, materi aduan termasuk data-data pendukung seharusnya sudah dinilai dan dinyatakan lengkap. Mekanisme itu merupakan bagian dari proses pendahuluan yang harus dijalani BK sebagaimana diatur dalam Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), serta Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2). h) Mengenai kemungkinan pihak teradu adalah pimpinan dan/atau Anggota BK, maka harus ada kepastian pengaturan soal kapan pihak teradu tidak terlibat dalam kerja BK. Ketika pihak sekretariat menyerahkan berkas pengaduan (untuk kemudian dinyatakan lengkap/tidak lengkap secara administratif dan memenuhi ketentuan Tata Tertib serta Kode Etik DPR), pimpinan dan/atau Anggota BK yang diadukan wajib mengundurkan diri (sementara). Hal itu dilakukan guna menghindari konflik kepentingan hingga proses pengambilan keputusan. Dengan catatan, si teradu tetap diberikan kesempatan mengajukan pembelaan. Hal itu belum diatur oleh pasal 33. Adanya keberatan dari pihak fraksi teradu bahwa hal tersebut menghilangkan keterwakilan fraksi dalam keanggotaan BK tidak dapat dijadikan alasan. Keberadaannya dapat berpengaruh terhadap kerja BK, terutama pada saat memproses pengaduan, verifikasi alat bukti, hingga akhirnya pengambilan keputusan. Selalu ada peluang bagi teradu untuk mengintervensi setiap tahapan hingga akhirnya keputusan BK menjadi kurang objektif. Komposisi 10 orang hanya sebatas representasi fraksi, sedangkan pada saat pengambilan keputusan, dapat dilakukan kurang dari 10 orang. Namun, pengambilan keputusan tetap harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dari separuh jumlah Anggota BK sebagaimana diatur dalam Pasal 37. i) Pasal 2 huruf a tidak memberikan batasan waktu secara eksplisit terhadap Anggota DPR yang tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap. Padahal, Pasal 127 ayat (1) huruf b UU MD3 menentukan batas waktunya adalah tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun. j) Terdapat inkonsistensi dasar pengaduan pada Pasal 2 karena tidak mencakup dua hal yang diatur dalam UU MD3, yaitu: (i) tidak menghadiri Rapat Paripurna dan/atau Rapat Alat Kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak enam kali berturutturut tanpa alasan yang sah; dan (ii) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU MD3. Khusus ketentuan larangan dalam UU MD3, tidak hanya dibatasi pada larangan rangkap jabatan, tetapi secara lebih luas; dalam hal ini merujuk pada Pasal 208. Sementara itu, Pasal 2 Tata Beracara BK membatasinya hanya larangan rangkap jabatan (Pasal 2 huruf d).
63
k) Sebagai catatan, “pelanggaran terhadap kode etik dan tidak melaksanakan kewajiban” harus diuraikan secara detil karena ruang lingkup kemungkinan pelanggarannya sangat luas. Misalnya, untuk ketentuan “tidak melaksanakan kewajiban” ada dalam Pasal 79 UU MD3 dan Pasal 12 Tata Tertib DPR. Kemudian, ketentuan “melanggar kode etik” ada dalam Keputusan DPR No 16/DPR RI/I/2004-2005 yang memuat pengaturan, mulai dari hal-hal yang terlalu abstrak (soal kepribadian dan tanggung jawab yang termaktub dalam Pasal 3 dan Pasal 4) sampai dengan tingkat pelanggaran yang bisa diukur. Beberapa contoh tingkat pelanggaran yang masih bisa diukur, yaitu: (i) pasal 5 ayat (3), yaitu aturan tentang pembatasan bagi Anggota DPR menyampaikan hasil rapat, konsultasi, atau pertemuan sejenisnya; (ii) pasal 6 dan pasal 7, yakni ketentuan dalam rapat; (iii) pasal 9 tentang perjalanan dinas; (iv) pasal 10 dan pasal 11 mengenai kekayaan, imbalan, dan pemberian hadiah; (v) pasal 12 sampai dengan pasal 14 mengatur kemungkinan Anggota DPR terlibat dalam konflik kepentingan; (vi) pasal 15 tentang larangan rangkap jabatan; (vii) pasal 16 mengatur tentang kemungkinan Anggota DPR membocorkan rahasia; dan (viii) pasal 17 dan pasal 18 berisi beberapa larangan dan kewajiban Anggota DPR ketika melakukan hubungan dengan mitra kerja dan lembaga di luar DPR. Perjalanan BK sepanjang 2010 diramaikan juga dengan kisruh konflik internal. Puncaknya adalah kepulangan sejumlah Anggota BK dari kegiatan studi banding ke Yunani. Konflik itu sebenarnya berawal dari pertikaian personal antara Ketua BK dan sejumlah anggota yang telah mempengaruhi kinerja BK. Konflik yang mendera BK melengkapi persoalan tunggakan aduan yang masuk ke meja BK. Meskipun di internal BK sendiri sudah ada upaya untuk mengatasinya, konflik tersebut pun belum surut. Akhirnya, Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi turun tangan untuk menyelesaikannya. Pertemuan yang difasilitasi Pimpinan DPR menyepakati perlunya perombakan Anggota BK. Usul itu disetujui oleh semua fraksi di DPR, kecuali Fraksi Partai Hanura dan Fraksi Partai Gerindra yang hingga kini tidak menempatkan seorang pun wakilnya di keanggotaan BK. Meskipun demikian, perombakan Anggota BK tidak menuntaskan sama sekali benih konflik. FPDIP menilai perombakan Anggota BK tidak total. Fraksi PDIP menilai ada ketidakkonsistenan fraksi lain dalam perombakan Anggota BK. Akibatnya, dua Anggota FPDIP tidak mau menghadiri rapat-rapat BK, terutama sejak dilantik. Konsekuensinya, FPDIP tidak bertanggung jawab terhadap hasil dan keputusan rapat-rapat BK.
E. Amnesia DPR Soal Keterbukaan Informasi “Tidak bisa, ini dokumen rahasia.” Begitu ucapan seorang pegawai sekretariat salah satu komisi di DPR saat diminta dokumen Pandangan Fraksi tentang RUU Partai Politik. Dokumen itu merupakan salah satu dokumen kegiatan
64
dalam menjalankan fungsi legislasi DPR. Ada pula kalimat, “Maaf, rapat tidak bisa dipantau.” Kalimat itu diberikan kepada pemantau rapat pembahasan RUU. Padahal, dalam agenda rapat yang diumumkan secara resmi di situs web DPR, rapat itu jelas dinyatakan terbuka. Selain itu, belum lekang dari ingatan, pada Juli 2010, media ramai memberitakan tingkat kedisiplinan para Anggota DPR berdasarkan tingkat kehadiran mereka dalam rapat-rapat DPR. Tidak sedikit Anggota DPR resah atas pemberitaan itu. Keresahan anggota terlihat dari respons negatif mereka yang disampaikan di berbagai media cetak maupun elektronik untuk membantah hal itu. Kemudian, Biro Persidangan DPR menjadi kambing hitam mereka karena telah memberikan daftar hadir kepada pihak luar. Protes tersebut diiringi dengan beberapa tuntutan agar Biro Persidangan melakukan beberapa tindakan, antara lain: 1. melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan (Anggota DPR yang tidak hadir dalam Rapat Paripurna); 2. meralat dan menyatakan bahwa daftar nama Anggota DPR yang kehadirannya minim dan kemudian disebut “membolos” oleh media bukanlah informasi resmi yang dirilis Setjen DPR; 3. bersikap hati-hati dalam memberikan keterangan tentang ketidakhadiran atau absensi Anggota DPR pada masa mendatang; serta 4. tindakan administratif kepada “oknum” Biro Persidangan yang membuka informasi terkait. Tidak ada dasar hukum dari tuntutan tersebut. Bahkan, jika melihat isi dari UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), definisi informasi publik adalah ’informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik’. Dengan demikian, tindakan Anggota DPR bertolak belakang dengan semangat keterbukaan yang terkandung dalam aturan itu. Itulah sekelumit peristiwa kontradiktif yang sering terjadi. Kejadian tersebut pun menggambarkan minimnya tingkat pengetahuan serta kesadaran Anggota DPR, termasuk staf pendukung, terhadap keterbukaan informasi publik di DPR. Padahal, DPR sendiri telah melahirkan UU KIP sejak 30 April 2008. Bahkan, DPR juga telah melahirkan aturan internal untuk memperlancar pelaksanaan UU KIP di lapangan. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan No. 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi di DPR pada 20 Mei 2010. Penggembosan Substansi KIP oleh DPR Jika dilihat dari segi aturan yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik di DPR, terdapat lima aturan yang menjadi dasar keterbukaannya, yaitu: 1. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; 2. UU No. 27 Tahun 2008 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3); 3. Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib; 65
4. Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik; dan 5. Peraturan DPR No. 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR. Secara umum, UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR juga mendorong terciptanya DPR yang transparan dan akuntabel. Pasal 200 UU MD3 yang menyatakan semua rapat DPR bersifat terbuka, kecuali yang dinyatakan tertutup, mengandung konsekuensi bahwa seluruh informasi dalam forum yang bersifat terbuka merupakan informasi publik. UU MD3 juga menyebutkan berbagai informasi yang masuk katergori informasi publik. Informasi itu pun seharusnya diakomodasi dalam Peraturan KIP DPR, peraturan turunan dari UU KIP. Secara khusus, UU KIP mengamanatkan Komisi Infomasi untuk membentuk aturan turunan, yaitu Standar Layanan Informasi Publik. Aturan itu dijadikan sebagai pedoman bagi Badan Publik—dalam hal ini DPR–untuk membuat aturan teknis di tingkat internal lembaga. Jadi, aturan itu dapat menjamin implementasi keterbukaan informasi di DPR. Komisi Informasi telah merampungkan peraturan itu pada April 2010 dan DPR menyusul pada Mei 2010. Lebih lanjut tentang kualitas keterbukaan informasi dalam tataran aturan teknis DPR itu, perhatikan tabel berikut. Tabel 8 Catatan Perbandingan Substansi UU KIP dan peraturan KIP DPR
Materi Krusial Alasan Penolakan
UU KIP Badan publik wajib memberikan pemberitahuan secara tertulis tentang peneimaan atau penolakan informasi beserta alasannya (Pasal 22 ayat (7) huruf c UU KIP)
Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala
‐ Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik ‐ Kegiatan dan kinerja badan publik ‐ Laporan keuangan ‐ Info lain berdasarkan aturan perundangundangan lain ‐ Kewajiban memberikan dan menyampaikan informasi dilakukan secara rutin, teratur dan dalam jangka waktu tertentu
Peraturan KIP DPR DPR berhak menolak informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen DPR (Pasal 5 ayat (1) Peraturan KIP DPR) ‐ Informasi organisasi (sejarah, alat kelengkapan, jumlah anggota, nama anggota, pimpinan alat kelengkapan, Bidang tugas, pasangan kerja dan ruang kerja alat kelengkapan) ‐ Info administrasi keanggotaan (dapil, keanggotaan partai, Penggantian Antar Waktu (PAW), alamat rumah jabatan, dan
66
Catatan ‐ Tidak ada kewajiban DPR untuk menyampaikan alas an penolakan. ‐ Dasar penolakan mengacu pada undang-undang dan ketentuan yang ditetapkan DPR dan Setjen. Ketetapan DPR dan Setjen membuka peluang pengaturan yang sarat akan kepentingan DPR terhadap informasi yang dapat ditolak. ‐ Terdapat tumpang tindih antara info pelaksanaan fungsi dengan info kegiatan dan kinerja DPR. Info pelaksanaan fungsi bersifat lebih khusus dan merupakan bagian dari info kegiatan dan kinerja DPR, akan tetapi penjabarannya sangat umum. Seharusnya jika ingin dipisahkan, dibuat penjabaran yang lebih khusus atas informasi pelaksanaan fungsi ‐ Terdapat kontradiksi
Materi Krusial
UU KIP
Peraturan KIP DPR
Catatan
selambat-lambatnya 6 bulan
klasifikasi berdasarkan gender, pendidikan, usia, dan agama) ‐ Info pelaksanaan fungsi ( legislasi, anggaran, dan pengawasan) ‐ Info kegiatan dan kinerja DPR (legislasi dalam rangka prolegnas, anggaran dalam rangka penetapan APBN, pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah) ‐ Laporan keuangan DPR yang telah diaudit oleh BPK yang telah diserahkan dalam rapat paripurna ‐ Informasi lain (pencalonan pejabat publik, pemberian amnesty dan abolisi, hak-hak Anggota DPR dan hak DPR)
antara Informasi Pelaksanaan Fungsi Legislasi dengan Informasi Kegiatan dan Kinerja DPR di bidang legislasi. Dalam info kegiatan dan kinerja DPR di bidang legislasi, informasinya direduksi hanya sebatas Prolegnas saja (perencanaan), padahal legislasi merupakan proses yang panjang mulai dari perencanaan, pembahasan, pengundangan, dan penyebarluasan ‐ Peraturan KIP di DPR tidak memuat waktu pengumuman dan penyebarluasan informasi yang lebih spesifik atas informasi tertentu. Sebaiknya ketentuan waktu disesuaikan dengan rata-rata durasi kerja DPR paling lama 3 bulan per masa sidang ‐ Peraturan KIP DPR mereduksi keterbukaan laporan keuangan sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (3) huruf D Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 yang merupakan turunan dari UU KIP dimana laporan keuangan sekurang-kurangnya terdiri dari: o Rencana dan realisasi anggaran o Neraca o Laporan arus KAS dan catatan laporan atas keuangan sesuai dengan standard akuntansi yang berlaku o Daftar asset dan investasi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat hendaknya mengatur lebih rinci tentang informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, seperti criteria
(Pasal 9 UU KIP)
(Lampiran II Peraturan KIP DPR)
Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta
‐ Informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum
Tidak diatur
67
Materi Krusial
UU KIP
Peraturan KIP DPR
(Pasal 10 UU KIP)
Informasi yang wajib tersedia setiap saat
Informasi yang wajib dikecualikan
‐ Daftar info badan publik yang berada dibawah pengawasannya (tidak termasuk yang dikecualikan) ‐ Hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya ‐ Seluruh kebijakan dan dokumen pendukungnya ‐ Rencana kerja proyek (termasuk perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik) ‐ Perjanjian dengan pihak ketiga ‐ Info dan kebijakan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum ‐ Prosedur kerja pegawai yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat ‐ Laporan pelayanan akses informasi ( Pasal 11 UU KIP) ‐ Info yang menghambat proses penegakan hukum ‐ Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat ‐ Membahayakan pertahanan dan keamanan Negara ‐ Mengungkapkan kekayaan alam Indonesia
‐ Keputusan paripurna ‐ Keputusan rapat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang bersifat terbuka ‐ Keputusan rapat AKD yang mendapat persetujuan rapat paripurna ‐ Peraturan dan keputusan DPR, serta Keputusan Pimpinan DPR ‐ Perjanjian DPR dengan pihak ketiga ‐ Info dan kebijakan yang disampaikan dalam rapat yang terbuka untuk umum ‐ Rencana strategis dan rencana kerja DPR ‐ Agenda kerja alat kelengkapan (jadwal)
Catatan informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, serta bagaimana cara mengumumkannya guna memenuhi hak masyarakat Jenis informasi yang wajib tersedia setiap saat dalam Peraturan KIP DPR lebih banyak terfokus pada produk akhir berupa keputusan atau kebijakan, padahal UU KIP mengamanatkan untuk menyertakan pertimbangan ataupun dokumen pendukungnya (informasi dinamis dalam proses mencapai keputusan atau kebiakan tersebut). Seperti laporan singkat, risalah, pandangan fraksi, pandangan pemerintah, dll.
(Lampiran III Peraturan KIP DPR)
‐ Hasil rapat yang bersifat tertutup dan rahasia (lapsing, catatan rapat, risalah, pembicaraan dan keputusan rapat tertutup dan rahasia) ‐ Surat DPR yang bersifat rahasia (Surpres tentang pengajuan nama calon duta besar RI untuk Negara sahabat, serta calon duta besar dan konsuler Negara sahabat untuk Indonesia)
68
‐ Jenis informasi yang substansinya dirahasiakan oleh undang-undang sangat terbatas dan tidak membuka peluang terhadap jenis informasi baru yang dirahasiakan berdasarkan undangundang yang akan disahkan di kemudian hari ‐ Jenis informasi rahasia pribadi memuat catatan tentang pendidikan formal dan non formal, padahal riwayat pendidikan Anggota DPR merupakan kategori informasi yang
Materi Krusial
UU KIP
Peraturan KIP DPR
Catatan
‐ Merugikan ketahanan ekonomi nasional ‐ Merugikan kepentingan hubungan luar negeri ‐ Dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang ‐ Dapat mengungkap rahasia pribadi ‐ Memorandum atau surat-surat yang sifarnya rahasia (kecuali berdasarkan putusan KI atau pengadilan ‐ Dilarang oleh undang-undang
‐ Info dan dokumen yang substansinya dirahasiakan oleh undang-undang (transaksi mencurigakan, data nasabah perbankan, bahan dan hasil rapat yang akan digunakan untuk proses penyelidikan panitia angket) ‐ Memorandum atau surat antar badan yang sifatnya rahasia (kecuali atas putusan KI) ‐ Rahasia pribadi (riwayat dan kondisi anggota keluarga, perawatan pengobatan kesehatan fisik dan psikis, keuangan, asset, pendapatan, dan rekening bank seseorang,dan catatan pribadi yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan non formal (Lampiran IV Peraturan KIP DPR)
wajib disediakan dan diumumkan secara berkala ‐ Aturan KIP DPR hendaknya mengatur bagaimana sistem pelayanan informasi berjalan cepat, mudah, dan murah sesuai dengan prinsip dalam UU KIP. Ketentuan klausul tersebut justru merupakan justifikasi DPR untuk tidak memberikan informasi atas kelalaiannya mengolah informasi secara cepat.
(Pasal 17 UU KIP)
‐ Salah satu info yang tidak dapat diberikan oleh DPR adalah info yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan (Pasal 2 ayat (3) huruf d Peraturan KIP DPR)
Kemudian, berikut enam catatan terhadap Peraturan KIP DPR. i. Disclaimer ala DPR Semangat pelayanan informasi yang cepat surut. Peraturan DPR memuat pasal sanggahan bahwa mereka dapat menolak pemberian informasi jika informasi yang diminta belum didokumentasikan (Pasal 2 ayat (3) huruf d). Aturan itu tidak disertai pengaturan untuk memperbaiki sistem dokumentasi yang bermasalah agar dapat memenuhi hak masyarakat. Namun, aturan itu justru membuat “pasal aman” untuk menyelamatkan diri dari tuntutan pihak yang dirugikan. 69
ii.
iii.
iv.
Penolakan tanpa Alasan Tidak ada kewajiban DPR atau Setjen untuk memberikan alasan atas penolakan informasi (Pasal 5 ayat (1) Peraturan KIP DPR). Hal itu bertolak belakang dengan Pasal 22 ayat (7) huruf c UU KIP yang mewajibkan Badan Publik untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis tentang penerimaan atau penolakan informasi beserta alasannya. Informasi Kinerja Legislasi Tidak Hanya Prolegnas Terdapat kontradiksi dalam peraturan internal DPR dalam menurunkan informasi tentang kegiatan dan kinerja Badan Publik sebagaimana diatur Pasal 9 UU KIP. Dalam Peraturan KIP DPR, informasi kegiatan dan kinerja diturunkan menjadi dua informasi publik, yaitu: a) informasi pelaksanaan fungsi DPR, yang terdiri dari: o fungsi legislasi; o fungsi anggaran; o fungsi pengawasan; b) informasi kegiatan dan kinerja DPR, yang terdiri dari: o pelaksanaan fungsi legislasi dalam rangka Prolegnas; o pelaksanaan fungsi anggaran dalam rangka penetapan APBN; dan/atau o pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah. Info pelaksanaan fungsi bersifat lebih umum sehingga jenis informasinya tidak terbatas sepanjang masuk dalam koridor tiga fungsi DPR. Akan tetapi, turunan informasi kegiatan dan kinerja DPR, khususnya bidang legislasi, direduksi sebatas Prolegnas (tahap perencanaan). Padahal, legislasi merupakan proses yang panjang, mulai dari perencanaan, pembahasan (pembicaraan tingkat I dan II), pengundangan, dan penyebarluasan yang tentunya mengandung banyak informasi di setiap tahapan. Hal itu menggambarkan ketidakharmonisan isi dari peraturan KIP DPR. Selain itu, informasi kegiatan kinerja legislasi yang terbatas pada Prolegnas itu juga bertentangan dengan pasal 9 UU KIP. Mereduksi Makna Laporan Keuangan Peraturan KIP DPR mereduksi keterbukaan laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (3) Huruf d Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 yang merupakan turunan dari UU KIP. Laporan keuangan sekurang-kurangnya terdiri dari: a) rencana dan realisasi anggaran; b) neraca; c) laporan arus kas dan catatan laporan atas keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku; dan d) daftar aset dan investasi. Laporan keuangan dalam Peraturan KIP DPR hanya terbatas pada Laporan keuangan DPR hasil audit BPK yang telah diserahkan dalam Rapat Paripurna. Hal itu tidak sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
70
v.
Tidak Ada Informasi yang Diumumkan secara Serta-merta DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat hendaknya mengatur lebih rinci informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta. Contohnya adalah aturan tentang kriteria informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum serta cara mengumumkannya agar memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Terfokus pada Informasi Output Jenis informasi yang wajib tersedia setiap saat dalam Peraturan KIP DPR lebih banyak terfokus pada produk akhir berupa dokumen keputusan DPR atau kebijakan DPR. Padahal, UU KIP mengamanatkan untuk menyertakan dokumen pertimbangan ataupun dokumen pendukung yang merupakan informasi dinamis dalam proses mencapai keputusan atau kebijakan itu. Banyak sekali jenis informasi publik yang belum diakomodasi dalam Peraturan KIP DPR, padahal UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR sudah meminta untuk dibuka dan/atau dipublikasikan.
vi.
Dengan segala catatan kekurangan dari Peraturan KIP DPR, seharusnya peristiwa-peristiwa di atas tidak boleh terjadi lagi. Alasannya, UU KIP mempunyai kedudukan yang tinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Selain itu, UU KIP juga sumber hukum dalam pembentukan Peraturan KIP DPR. Jika peristiwa tersebut masih terulang juga, DPR berarti lupa dengan apa yang telah dibuatnya.
Tabel 9 Daftar Informasi Publik yang Belum Terakomodasi dalam Peraturan KIP DPR Berdasarkan UU MD3 dan Tata Tertib DPR
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
Informasi Publik Rencana dan hasil kunjungan kerja serta bentuk atau materi tindak lanjut aspirasi masyarakat Rencana dan hasil studi banding ke luar negeri dan bentuk atau materi tindak lanjut Pembahasan dan tndak lanjut hasil pemeriksaan BPK Pembahasan dan tindak lanjut usulan rancangan undangundang, berbagai pertimbangan, dan hasil pengawasan DPD Alasan Pemberhentian Antar Waktu (PAW) dan diberhentikan sementara Alasan atau criteria rapat dilakukan tertutup Evaluasi kinerja pimpinan alat kelengkapan dan pimpinan DPR
Evaluasi kinerja Anggota DPR yang merupakan anggota fraksi Evaluasi kinerja alat kelengkapan
71
Aturan Terkait Pasal 143 ayat (5) Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 143 ayat (5) Peraturan Tata Tertib DPR
Psal 23 Peraturan Tata Tertib untuk pimpinan alat kelengkapan Pasal 30 Peraturan Tata Tertib ayat (1) huruf k untuk Pimpinan DPR Pasal 80 ayat (2) UU MD3 Pasal 96 ayat (7) untuk Komisi Pasal 102 ayat (1) huruf (i) untuk Baleg Pasal 127 ayat (4) untuk BK Pasal 133 huruf e untuk BURT Pasal 120 ayat (2) untuk BKSAP
No Informasi Publik 10. Evaluasi Program Legislasi Tahunan (Prolegnas) lima tahun dan Prioritas Tahunan 11. Laporan hasil pengwasan BURT terhadap realisasi pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR setiap triwulan 12. Perkiraan waktu penyelesaian masalah dan jangka waktu penyelesaian Rancangan Undang-undang (RUU) 13. Daftar Infentarisasi Masalah (DIM) RUU yang berasal dari fraksi atau yang telah terkompilasi 14. Hasil kerja tim pemantau RUU 15. Aturan tata kerja internal DPR 16. Informasi terkait dengan tugas komisi di bidang anggaran, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Badan Urusan Rumah Tangga 17. Hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum RUU disampaikan kepada pimpinan DPR 18. Dasar pengusulan RUU baik yang didalam maupun yang diluar Prolegnas yang terdiri atas: urgensi dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran; lingkup dan objek yang akan diatur; dan jangkauan serta arah pengaturan 19. Status dan mekanisme mendapatkan dokumentasi rapat seperti risalah, catatan rapat, dan laporan singkat
Aturan Terkait Pasal 60 Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 87 ayat (2) huruf d UU MD3 Pasal 141 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR
Pasal 152 ayat (2) huruf a Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 18 ayat (8) Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 53 ayat (2); pasal 65 ayat (1); pasal 70 s/d pasal 72; dan pasal 86 s/d 88 Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 60 huruf d Peraturan Tata Tertib DPR Psal 104 ayat (7) dan 108 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR
Pasal 265 s/d pasal 269 Peraturan Tata Tertib DPR
F. Kontribusi Melalui Inisiatif Individu Pasal 78 huruf a jo Pasal 143 ayat (1) UU MD3 dan Pasal 11 huruf a jo Pasal 99 ayat (2) Tata Tertib DPR membuka peluang bagi (seorang) Anggota DPR untuk mengajukan usul RUU. Sebelumnya, Anggota DPR yang ingin menyampaikan usul RUU harus berjumlah minimal 13 orang dan lebih dari separuh fraksi. Pengaturan itu, harus diakui, merupakan kemajuan tersendiri yang dihasilkan UU MD3. Selain mendorong inisiatif, peraturan itu juga mendorong tradisi parlemen modern. Jika melihat praktik di negara-negara yang sistem demokrasinya relatif lebih maju, seorang anggota parlemen akan berjuang sekuat tenaga untuk membuat dan mengampanyekan RUU ke setiap daerah pemilihan. Dengan demikian, RUU itu mendapat dukungan publik. Bahkan, kinerja seorang anggota parlemen diukur, salah satunya, dari seberapa impresif memperjuangkan hak-hak dan kepentingan konstituen melalui produk legislasi. Untuk konteks Indonesia, kesadaran tersebut belum menguat dalam diri Anggota DPR. Belum terdengar Anggota DPR yang gigih memobilisasi inisiatif dan memberikan kontribusi secara signifikan terhadap kesadaran konstituen akan urgensi suatu RUU. Saat penyusunan Prolegnas 2010—2014 maupun RUU Prioritas 2010, semua RUU yang berasal dari internal DPR merupakan usulan dari alat kelengkapan, seperti komisi atau Baleg. Mungkin saja, ada RUU yang dipersiapkan dan disuarakan oleh individu Anggota DPR, tetapi tetap saja yang diakui adalah usulan 72
fraksi atau alat kelengkapan. Belum ada RUU yang disebut “RUU Usul Inisiatif nama Anggota DPR”. Hanya ada segelintir Anggota DPR yang berusaha agar RUU yang menjadi perhatian atau kepentingannya ikut dibahas dan masuk dalam Prolegnas 2010— 2014 dan RUU Prioritas 2010. Anggota DPR yang dimaksud adalah Rieke Diah Pitaloka (FPDIP) dari Komisi IV, Hendrawan Supratikno (FPDIP) dari Komisi IX, serta Nova Riyanti Yusuf (FPD) dari Komisi IX. Hendrawan Supratikno giat memperbincangkan RUU yang menjadi ruang lingkup Komisi VI, antara lain RUU tentang Perubahan atas UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2007 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Rieke Diah Pitaloka aktif memperjuangkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri melalui RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Sementara itu, Nova Riyanti Yusuf, pada beberapa kali kesempatan, aktif menyuarakan RUU tentang Kesehatan Jiwa, termasuk menggunakan media sosial Twitter.
73
STUDI BANDING MINIM MAKNA Studi banding adalah kunjungan kerja ke luar negeri dalam rangka mempelajari suatu topik tertentu. Menurut data PSHK, kegiatan studi banding selama tahun 2010 sering sekali dilakukan. Dalam Tahun Sidang 2009—2010 (Oktober 2009 sampai dengan Agustus 2010) setidaknya sudah tercatat delapan kali dengan tujuan sembilan negara. Kesembilan negara itu adalah Australia, China, Maroko, Jerman, Prancis, Austria, Turki, Belanda, dan Selandia Baru. Sementara Tahun Sidang 2010—2011 (pertengahan Agustus 2010 sampai dengan akhir September 2010), DPR telah menyelenggarakan studi banding sebanyak tujuh kali ke tujuh negara. Ketujuh negara itu adalah Selandia Baru, Belanda, Korea Selatan, Jepang, Afrika Selatan, Inggris, dan Kanada. Jadi, hingga akhir September 2010, DPR tercatat telah melakukan 19 kali studi banding ke 14 negara berbeda. Intensitas kegiatan studi banding sepertinya akan terus meningkat karena sudah masuk dalam program sejumlah alat kelengkapan DPR. Dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan, setidaknya Panja RUU Keimigrasian (Komisi III), Panja RUU Mata Uang (Komisi XI), Panja RUU Otoritas Jasa Keuangan (Komisi XI), Panja RUU Transfer Dana (Pansus), dan Komisi II telah menentukan beberapa negara yang dijadikan sasaran studi banding. Meskipun demikian, sebagian besar belum diketahui jadwal pastinya. Dari delapan rencana studi banding, tercatat ada delapan negara tujuan, yaitu Jerman, Prancis, Swiss, Inggris, Jepang, Korea Selatan, India, dan China.
Tabel 10 Daftar Kunjungan ke Luar Negeri dalam Rangka Studi Banding Alat Kelengkapan DPR Periode 2009—2014
No Alat Kelengkapan 1. Panja RUU Kesejahteraan Sosial (Komisi VIII) 2. Pansus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 3. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)
Waktu 26 Oktober s/d 2 November 2009
4.
Pansus RUU Protokol
5.
Komisi V
Negara Tujuan Keterangan China Kunjungan kerja31
7 s/d 13 Juni 2010 Prancis dan Australia
Pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
3 Juli 2010 4 Juli 2010
Maroko Jerman dan Prancis
11 s/d 17 Juli 2010 28 Juli s/d 1
Prancis
Persiapan: - pembentukan Badan Fungsional Keahlian; - Pengelolaan anggaran; - Rumah aspirasi; dan - Pengawasan internal Pembahasan RUU Protokol
Austria
Pembahasan RUU Perumahan
Panja RUU Kesejahteraan Sosial (Komisi VIII) sudah melakukan kegiatan studi banding untuk pembahasan RUU Kesejahteraan Sosial, hanya berselang 25 hari sejak mereka resmi dilantik. Bahkan, dilakukan sebelum penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 1 Desember 2009. 31
74
No 6. 7. 8.
9.
Alat Kelengkapan Panja RUU Cagar Budaya (Komisi X) Panja RUU Grasi (Komisi III) Panja RUU Hortikultura (Komisi IV) Panja RUU Kepramukaan (Komisi X)
10. Panja RUU Keimigrasian (Komisi III) 11. Panja RUU Mata Uang (Komisi XI) 12. Komisi VIII
13. Badan Legislasi
14. Badan Kehormatan 15. Komisi V 16. Panja RUU OJK (Komisi XI)
17. Panja RUU Transfer Dana 18. Komisi II 19. Komisi VI
Waktu Agustus 2010 30 Juli s/d 4 Agustus 2010 12 s/d 18 Juli 2010 17 s/d 23 Agustus 2010 14 s/d 19 September 2010 13 September 2010 14 September 2010 21‐26 September 2010 10 Oktober 2010 28 September 2010 1 Oktober 2010 9‐16 Oktober 2010
Negara Tujuan Keterangan dan Pemukiman Turki dan Pembahasan RUU Cagar Belanda Budaya Belanda dan Pembahasan RUU Grasi Selandia Baru Selandia Baru Pembahasan RUU Hortikultura Belanda
19 Oktober 2010 19 Oktober 2010 Tidak diketahui 23 Oktober 2010
Jepang Filipina Korea Selatan Yunani
26‐30 Oktober 2010 30 Oktober‐6 November 2010 Belum diketahui Belum diketahui 1‐6 November 2010 9 November 2010 Belum diketahui
Italia
Korea Selatan dan Jepang Afrika Selatan
Pembahasan RUU Kepramukaan
Inggris
Pembahasan RUU Keimigrasian
Prancis Kanada Swiss Amerika Serikat
Jerman Korea Selatan Inggris Jepang Swiss Jepang China India Hongaria Hongkong Turki Inggris
Pembahasan RUU Mata Uang Pendalaman terhadap: - pemberian jaminan sosial - perlindungan terhadap anak program perlindungan agama minoritas Studi penyusunan undang‐ undang Studi tata beracara dan kode etik anggota parlemen Pembahasan RUU Rumah Susun Pembahasan RUU Otoritas Jasa Keuangan
Pembahasan RUU Transfer Dana Studi informasi sistem kependudukan Pembahasan: - RUU Resi Gudang - RUU Perdagangan Berjangka Komoditi RUU Lembaga Keuangan Mikro
A. Studi Banding untuk Urusan Legislasi Pada dasarnya, mayoritas kegiatan studi banding dikaitkan dengan kepentingan pembahasan RUU. Hanya studi banding yang dilakukan oleh Badan
75
Urusan Rumah Tangga (BURT) saja yang mempunyai tujuan di luar urusan legislasi.32 Misalnya, kegiatan studi banding Komisi II ke India dan China yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi terkait sistem kependudukan. Berikut beberapa pembahasan RUU yang membutuhkan studi banding— setidaknya menurut pendapat pimpinan atau anggota alat kelengkapan, yaitu: 1. RUU Perumahan dan Permukiman; 2. RUU Cagar Budaya; 3. RUU Grasi; 4. RUU Hortikultura; 5. RUU Kepramukaan; 6. RUU Keimigrasian; 7. RUU Mata Uang; 8. RUU Otoritas Jasa Keuangan; dan 9. RUU Transfer Dana Namun, sebenarnya, belum ada metode yang dapat dijadikan justifikasi dasar kebutuhan pelaksanaan studi banding, termasuk proses memasukkan hasilnya dalam proses legislasi. Waktu pelaksanaannya saja ada pada tahap yang berbedabeda. Padahal, waktu yang tepat untuk melaksanakan studi banding seharusnya dapat menjadi dasar pertimbangan bagaimana hasilnya dapat mewarnai RUU yang sedang dibahas. Sebenarnya, tampak jelas perbedaan status pembahasan beberapa RUU di atas ketika studi banding dilakukan.33 Tabel 11 Status Daftar RUU dengan Studi Banding
No. Nama RUU 1. Perumahan dan Pemukiman 2. Cagar Budaya 3. Grasi 4. Hortikultura 5. Kepramukaan 6. Keimigrasian 7. Mata Uang
Status Pembicaraan Tingkat I (persiapan Panitia Kerja/Panja) Pembicaraan Tingkat I (Tim Perumus/Timus) Pembicaraan Tingkat I (Panitia Kerja/Panja) Pembicaraan Tingkat I (Panitia Kerja/Panja) Pembicaraan Tingkat I (Panitia Kerja/Panja) Pembicaraan Tingkat I (Tim Perumus/Timus) Pembicaraan Tingkat I (Panitia Kerja/Panja)
Praktik tersebut menunjukkan bahwa DPR tidak mempunyai patokan untuk mengukur kebutuhan studi banding serta strategi penggunaan studi banding dalam peningkatan kualitas legislasi.
B. Pembelokan Tafsir Aturan Sebelum menginjak penilaian kualitas hasil studi banding terkait, ada baiknya menengok kerangka normatif pelaksanaannya. Untuk menjelaskan dasar BURT melakukan studi banding ke Maroko, Jerman, dan Prancis dalam rangka persiapan pembentukan Badan Fungsional Keahlian, pengelolaan anggaran, rumah aspirasi, dan pengawasan internal. 33 Keterangan tentang status RUU hanya berlaku untuk kegiatan studi banding yang sudah berlangsung. 32
76
hukum pelaksanaan studi banding, peraturan yang dirujuk adalah UU MD3 dan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. Dalam UU MD3, tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara spesifik kegiatan studi banding, sedangkan Tata Tertib DPR hanya menyebutkan istilah “kunjungan ke luar negeri”. Pasal 143 ayat (3) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa komisi, gabungan komisi, Baleg, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan anggaran DPR dan persetujuan Pimpinan DPR. Ketentuan itulah yang ditafsirkan sebagai studi banding. Perlu diingat, bahwa Pasal 143 ayat (3) Tata Tertib DPR harus dibaca dan dikaitkan dengan dua ayat sebelumnya yang menegaskan bahwa kunjungan kerja— baik ke daerah maupun ke luar negeri—merupakan bagian dari proses pembahasan RUU. Apalagi, ketentuan kunjungan ke luar negeri terletak pada BAB VI Tata Cara Pembentukan Undang-Undang Bagian Ketujuh tentang Pembahasan Rancangan Undang-Undang. Dengan kata lain, studi banding seharusnya ditafsirkan sebagai metode untuk mendapatkan data dan informasi agar pembahasan RUU menjadi lebih efektif. Sementara itu, Pasal 143 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 mengatur lebih lanjut mekanisme perencanaan atau pengusulan kegiatan studi banding yang diajukan oleh komisi, gabungan komisi, Baleg, Pansus, atau Badan Anggaran. Persetujuan yang disyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) seharusnya mempertimbangkan alasan yang dimuat dalam usulan rencana kunjungan kerja. Usulan rencana kunjungan kerja yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat: - urgensi; - kemanfaatan; dan - keterkaitan negara tujuan dengan materi RUU. Apabila dilihat kerangka peraturannya, sebenarnya telah dijelaskan bahwa kunjungan kerja seharusnya memenuhi asas kemanfaatan. Namun, praktiknya belum tentu seperti itu. Untuk mengukur efektivitas kunjungan kerja yang dilakukan sejauh ini, perlu diperhatikan pula hasil kegiatan itu.
C. Tak Menambah Kualitas Pelaksanaan studi banding atau kunjungan kerja dalam rangka peningkatan kualitas legislasi didahului tiga asumsi. Pertama, studi banding berlangsung secara efektif secara definisi. Kedua, pembahasan RUU membutuhkan alat bantu berupa studi banding sehingga turut membantu kualitas yang diinginkan. Ketiga, tersedia metode pengolahan hasil studi banding ke dalam proses legislasi dan substansi RUU. Permasalahannya adalah semua asumsi tersebut tidak didukung dengan data yang cukup baik dari pihak DPR. Dengan demikain, sangat sulit untuk menilai seberapa positif damapak studi banding yang selama ini dilakukan terhadap kualitas legislasi. Dengan kata lain, asumsi di atas seharusnya menjadi prasyarat yang terpenuhi lebih dulu sebelum dapat mengukur efektivitas studi banding terhadap peningkatan kualitas legislasi secara valid. Karena tidak adanya parameter yang jelas, pada akhirnya, isu studi banding DPR hanya berkembang menjadi
77
kecurigaan. Padahal, kalau dipikirkan lebih dalam lagi, inti permasalahannya adalah akuntabilitas. Akuntabilitas dapat berjalan apabila lembaga terkait—dalam hal ini DPR— mempublikasikan hasil kerja mereka secara rutin. Jadi, masyarakat mendapat informasi yang memadai terkait pelaksanaan fungsi DPR. Kenyataan di lapangan, akses masyarakat untuk sekadar mengetahui hasil studi banding masih sulit didapat, misalnya dalam bentuk laporan atau dokumentasi proses tertulis. Sebabnya, masyarakat tidak tahu keberadaan informasi itu dan tidak tahu pihak yang bertanggung jawab atas laporan itu. Tentu saja, penyebab itu berdasar pada asumsi bahwa laporan tersedia, tetapi belum dipublikasikan atau sulit diketahui ruang publikasinya. Selain itu, asumsi lainnya adalah dokumen laporan itu memang tidak dipublikasikan atau bahkan tidak dibuat sama sekali.34 Keanggotaan DPR periode 2004—2009 dapat dijadikan contoh penyusunan dan publikasi laporan hasil studi banding yang sangat minim, bahkan dapat dikatakan buruk. Dari hasil penelusuran situs www.dpr.or.id, tercatat sebanyak 143 kunjungan ke luar negeri dilakukan oleh alat kelengkapan, tidak termasuk Badan Kerja Sama Antar Parlemen. Kunjungan kerja yang dimaksud berupa: - kunjungan teknis; - studi banding; - undangan mitra; dan - pengawas pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji. Dari 143 kunjungan ke luar negeri tersebut, hanya tersedia tiga laporan hasil kunjungan kerja yang dipublikasikan oleh satu alat kelengkapan. Dalam hal ini, hanya Komisi III yang melaporkannya, yaitu: 1. kunjungan kerja Komisi III ke Swedia dalam rangka mencari masukan tentang lembaga Ombudsman yang dilakukan pada 20—24 Maret 2007; 2. kunjungan kerja Komisi III terhadap kontingen Garuda Bhayangkara/satuan tugas Formed Police Indonesia I pada misi PBB di El–Fasher Darfur Utara Sudan pada 18 Maret 2009; dan 3. kunjungan delegasi Panja RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke Bern dan Basel, Swiss pada 6—11 Juni 2009. Dilihat dari isi ketiga laporan di atas, terdapat perbedaan dari segi format, muatan, maupun bobot informasi yang disajikan. Bahkan, untuk kunjungan kerja ke Swedia, laporannya hanya terdiri dari satu lembar yang berisi deskripsi singkat dan jadwal kegiatan. Lantas, kesadaran Anggota DPR periode 2009—2014 di berbagai alat kelengkapan yang telah melakukan 19 kali studi banding ke 14 negara masih terbilang sangat minim dan tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Menurut hasil pantauan sampai akhir 2010, hanya Panja RUU Hortikultura (Komisi IV) yang telah menyusun laporan hasil kunjungan kerja ke Selandia Baru (17—23 Agustus 2010) dan Belanda (14—19 September 2010). Bandingkan dengan Mahkamah Agung yang mempublikasikan secara lengkap laporan kegiatan studi banding mereka ke Spanyol dan ke Swedia yang dapat diakses oleh publik melalui laman internet http://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/Laporan_Studi_Banding_SPANYOL.pdf dan http://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/laporan_swedia.zip. 34
78
Kedua laporan itu berbeda format, muatan, dan kedalaman informasi. Laporan untuk hasil kunjungan kerja ke Belanda hanya terdiri dari dua halaman. Kedua laporan itu tidak menjelaskan secara rinci kaitan antara temuan berikut hasil telaah selama studi banding dan capaian terakhir substansi RUU Hortikultura. Kedua laporan itu juga belum dipublikasikan secara resmi. Tidak hanya kunjungan ke Belanda yang tidak diketahui hasilnya. Beberapa kunjungan kerja ke luar negeri yang dilakukan oleh Panja RUU Kesejahteraan Sosial (Komisi VIII) juga menunjukkan hasil serupa. Sebagai contoh, pada 26 Oktober 2009 sampai dengan 2 November 2009, mereka pergi ke China. Sementara itu, BURT berkunjung ke Maroko pada 3 Juli 2010, pergi ke Jerman dan Prancis pada 4 Juli 2010. Ketiga kunjungan kerja itu tidak diketahui hasilnya. Selain itu, tidak diketahui pula seberapa jauh hasilsudah diolah untuk mendukung pelaksanaan tugas DPR. Ketentuan Pasal 143 Tata Tertib DPR memang tidak mengatur penyusunan dan publikasi laporan hasil studi banding. Akibatnya, prinsip akuntabilitas menjadi terabaikan. Namun, Tata Tertib DPR sebenarnya masih membuka peluang adanya kewajiban (minimalis) yang ditujukan kepada Pimpinan DPR untuk menyampaikan keterangan pers berkaitan dengan kegiatan DPR, termasuk alat kelengkapan yang melakukan studi banding. Hal itu setidaknya dilakukan satu kali dalam satu minggu selama masa sidang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) huruf a. Terkait hal tersebut, seharusnya, Pimpinan DPR mengambil peran dan sebagian tanggung jawab untuk menginformasikan kepada publik perihal rencana studi banding dan hasil yang diperoleh. Dengan demikian, ketidaktahuan publik relatif dapat terjawab, meskipun kewajiban utama tetap ada pada alat kelengkapan yang melakukan studi banding.
D. Publikasi Minimal Selama ini, belum terdapat dokumentasi yang sudah terkonsolidasi dengan baik. Sebagai contoh, dari hasil wawancara Media Indonesia dengan Wakil Ketua Komisi X Rully Chairul Azwar (Sabtu, 25 September 2010), ternyata draf hasil studi banding Panja RUU Kepramukaan ke Afrika Selatan masih belum selesai. Padahal, Rapat Panja telah mulai dilanjutkan. Adapun, laporan yang disampaikan secara lisan kepada wartawan saat itu tidak berbeda jauh dengan penjelasan yang ada di situs www.scouting.org.za/sasa. Keterangan atas temuan studi banding yang disampaikan oleh Anggota DPR yang beredar di publik memperlihatkan kedangkalan data dan informasi. Selain itu, ketidaksiapan Anggota DPR saat melakukan kunjungan kerja juga tercermin di dalamnya. Sebagai contoh, Anggota Panja RUU Kepramukaan yang melakukan studi banding ke Jepang lebih banyak mengomentari seragam Pramuka Jepang yang berbeda dengan seragam Pramuka di Indonesia. Selain itu, Abdul Hakam Naja (Komisi X) mengatakan bahwa mereka ingin mencontoh kemandirian Pramuka Afrika Selatan dalam mencari dana. Data semacam itu tidak memerlukan kunjungan sekian banyak orang, bahkan dapat diperoleh melalui internet. Dengan demikian, untuk mendapatkan kepercayaan publik, DPR seharusnya mengkaji kembali kebutuhannya untuk studi banding. Kalaupun DPR menilai bahwa studi banding diperlukan, harus diikuti dengan peningkatan mekanisme
79
akuntabilitas. Salah satunya adalah memberikan pengumuman kepada publik mengenai hasil yang didapat dari pelaksanaan studi banding. Ketika Anggota DPR mengusulkan perlunya kegiatan studi banding, katakanlah untuk kepentingan legislasi, DPR dihadapkan pada kegagalan sistematis yang terjadi berulang kali. Kegagalan yang dimaksud adalah pertanggungjawaban dan pengolahan lebih lanjut berbagai temuan studi banding terhadap proses legislasi dan substansi RUU yang sedang dibahas. Pada saat DPR masih bermasalah dalam capaian target legislasi, program studi banding memakan waktu yang tidak sedikit. Di satu sisi, Anggota DPR sering mengeluh keterbatasan waktu dalam menyelesaikan tunggakan RUU. Di sisi lain, mereka meletakkan prioritas (manajemen) penggunaan waktu untuk kegiatan studi banding. Hal itu tentu hanya semakin mengurangi kepercayaan masyarakat, bahkan dapat berujung dengan tekanan publik untuk menghentikan segala jenis kegiatan studi banding berupa kunjungan ke luar negeri. Untuk selanjutnya, harus ada mekanisme akuntabilitas yang jelas dari pelaksanaan kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri. Paling tidak, DPR harus mempublikasikan proses pelaksanaan dan hasil dari kunjungan kerja terkait. Jadi, masyarakat mendapat informasi yang memadai mengenai pelaksanaan kegiatan-kegiatan DPR. Selain itu, DPR juga perlu meningkatkan kualitas perencanaan kegiatannya, antara lain pengembangan parameter untuk menilai pelaksanaan kegiatan berdasarkan asas kemanfaatan yang sebenarnya telah ditentukan dalam Tata Tertib DPR. Melalui cara-cara itu, kepercayaan masyarakat atas kinerja Anggota DPR dapat meningkat.
80
UANG RAKYAT UNTUK WAKILNYA Sepanjang tahun 2010, setidaknya terdapat tiga persoalan terkait rencana dan alokasi anggaran DPR yang menarik perhatian publik dan menimbulkan kontroversi. Ketiga persoalan itu adalah rencana pembangunan gedung DPR, penyaluran dana aspirasi, dan rumah aspirasi. Secara umum, adanya kontroversi mengindikasikan bahwa untuk mengambil suatu kebijakan, DPR mau tak mau harus dapat meyakinkan publik akan pentingnya kebijakan itu. Sementara itu, substansi beberapa kontroversi yang mengemuka menunjukkan bahwa beberapa usulan yang dilontarkan pada kenyataannya tidak dipersiapkan dengan baik oleh pihak yang mengajukan. Terpantau adanya tarik-ulur kewenangan terkait ide dana aspirasi dan dana rumah aspirasi. Tarik-ulur itu terjadi antara DPR (kekuasaan legislatif) dan pemerintah. DPR seharusnya lebih berfungsi sebagai lembaga pengambil kebijakan dan pengawas, sedangkan pemerintah berperan sebagai pelaksana kebijakan dan pemegang kuasa anggaran. Selain itu, terdapat permasalahan administratif yang membuat ide itu hampir tak mungkin diwujudkan tanpa adanya perombakan dalam sistem birokrasi yang ada. Pihak pemerintah sendiri telah menolak ide-ide tersebut secara tegas. Menghadapi permasalahan itu, kalangan masyarakat sipil berada di satu lini dengan pihak pemerintah. Distribusi anggaran yang besar, tidak adanya prosedur atau mekanisme pendistribusian yang jelas, dan bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran itu hanya akan membuka ruang untuk praktik korupsi.
A. Pembangunan Gedung DPR Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung DPR adalah Rp1,3 triliun.35 Besarnya biaya itu mengundang perhatian publik. Selain mempertanyakan alasan pembangunan gedung baru itu, perdebatan juga berkisar mengenai efektivitas konstruksi yang dipilih. Banyak fasilitas mewah yang akan tersedia di gedung itu, seperti fasilitas kolam renang dan spa. Tanggapan DPR terkait kontroversi itu pada prinsipnya bersifat reaktif. BURT mencoba menjelaskan bahwa keberadaan kolam renang itu diperlukan sebagai sarana untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di gedung itu (kompas.com, diakses pada 1 Februari 2011). Terlepas dari perdebatan mengenai fasilitas yang tersedia di gedung tersebut, alasan mendasar pembangunan gedung baru itu belum sepenuhnya jelas. Pada awalnya, berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh pihak DPR, kebutuhan pembangunan gedung baru itu karena gedung yang lama mulai miring dan retak. Namun, pernyataan itu kemudian dibantah oleh pihak Kementerian Pekerjaan Umum yang menyatakan tidak ditemukannya kemiringan yang signifikan di gedung DPR (korantempo.com, diakses pada 1 Februari 2011). Bantahan itu direspons Sebelumnya juga beredar kabar bahwa pembangunan gedung tersebut akan menelan biaya sebesar Rp1,8 triliun. 35
81
Ketua DPR yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya bukanlah kemiringan gedung. Menurutnya, kapasitas gedung saat ini tidak lagi memadai, apalagi DPR mempunyai rencana untuk menambah staf ahli. Dengan demikian, perlu diperhatikan rencana penambahan staf ahli DPR. Ada beberapa pertanyaan yang muncul setelahnya, seperti dasar alasan penambahan staf ahli beserta kajian yang mendukung. Selain itu, jika memang membutuhkan penambahan staf ahli, bentuk penambahannya juga perlu dipertanyakan. Pemikiran tentang tepat dan strategisnya penambahan tenaga ahli untuk setiap Anggota DPR, bahkan mencapai tiga orang, perlu dipertimbangkan sebagai alasan untuk membangun gedung baru. Permasalahan penambahan tenaga akli itu pun tidak banyak dipaparkan kepada publik, meskipun kontroversi mengenai pembangunan gedung telah mengemuka dan kemungkinan besar akan ditindaklanjuti. Tanpa adanya dasar alasan yang kuat untuk membangun gedung baru, penggunaan anggaran sedikitnya Rp1,3 triliun tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan. Alasan yang berubah mengenai pembangunan gedung baru terasa janggal. Kronologi yang diumumkan oleh DPR melalui situs resminya menunjukkan bahwa konsep desain gedung baru mulai dibuat sejak dua tahun sebelumnya. Saat itu, gedung baru dirancang dengan 27 lantai untuk menampung setidaknya 540 Anggota DPR yang masing-masing didampingi dua staf ahli dan satu asisten pribadi. Setelah Anggota DPR periode 2009—2014 terpilih, kemudian tercetus ide untuk menambah jumlah staf ahli; dari dua menjadi lima staf ahli. Hal itu kemudian menjadi dasar revisi desain gedung baru yang akan dibangun, seperti rencana gedung dengan 27 lantai menjadi 36 lantai. DPR tidak pernah membuka analisis meningkatnya kebutuhan staf ahli serta penggunaan ruang gedung yang ada saat ini. Jadi, tak heran jika publik terus mempertanyakan hal itu hingga muncul kontroversi di media. Apalagi, proyek ini tidak membuka tender seluas-luasnya sehingga kebijakan itu semakin dipertanyakan. Meskipun demikian, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa DPR tetap akan merealisasikan rencana pembangunan gedung baru itu (mediaindonesia.com, diakses pada 1 Februari 2011).
B. Dana Aspirasi Selain soal pembangunan gedung baru DPR, sepanjang tahun 2010, publik juga dikejutkan dengan usulan dana aspirasi yang secara total menelan alokasi anggaran negara tak kurang dari Rp8,4 triliun setiap tahun. Usulan itu merupakan inisiatif FPG. Menurut FPG, fraksi-fraksi lain pada tahap awal menyetujuinya pula. Dana aspirasi mengandung arti pengalokasian anggaran negara untuk didistribusikan ke daerah pemilihan melalui Anggota DPR masing-masing dengan nilai Rp15 miliar setiap tahun (detik.com, diakses pada 1 Febaruari 2011). Di samping distribusi melalui Anggota DPR, FPG juga mengusulkan pembagian dana pembangunan sebesar Rp1 miliar setiap tahun ke setiap kelurahan di seluruh Indonesia. Alasan yang diajukan oleh FPG, pada prinsipnya, terkait usaha untuk meratakan distribusi pembangunan ke daerah. Dengan demikian,pembangunan tidak hanya terkonsentrasi di pusat saja. Usulan tersebut mendapat tentangan yang keras dari masyarakat. Dari kalangan masyarakat sipil, persoalan utamanya menyangkut akuntabilitas setiap
82
Anggota DPR atas distribusi anggaran negara dengan cara seperti itu. Mereka mengakui adanya kebutuhan distribusi pembangunan ke daerah. Akan tetapi, tanpa adanya mekanisme dan instrumen pertanggungjawaban yang jelas, dana aspirasi hanya digunakan sebagai sarana mendapatkan dana tambahan untuk membayar biaya politik Anggota DPR masing-masing.36 Masih rendahnya akuntabilitas keuangan partai politik juga membuat penyaluran dana aspirasi akan sangat rawan dengan praktik korupsi. Dengan demikian, usaha untuk meratakan distribusi pembangunan ke daerah seharusnya dilakukan dengan cara merevisi sistem anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Pemerintah juga menolak keras usulan dana aspirasi. Menurut data yang diperoleh, Tim Asistensi Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal setidaknya mengajukan tujuh poin keberatan. Pertama, konsep dana aspirasi tidak sesuai dengan prinsip pembagian tugas dan wewenang antara eksekutif dan legislatif. Kedua, masih sejalan dengan alasan pertama, kuasa pengelolaan keuangan negara ada di tangan presiden selaku kepala pemerintahan. Ketiga dan keempat, pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran menurut UU harus terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, kemudian dipertanggungjawabkan oleh setiap pimpinan kementerian/lembaga. Hal itu membuat pelaksanaan anggaran melalui setiap Anggota DPR tidak dapat dipertanggungjawabkan sesuai UU. Kelima, jika didistribusikan ke daerah, dapat terjadi kerancuan antara kewenangan Anggota DPR yang memegang dana itu dan Kepala Daerah yang mempertanggungjawabkan keuangan daerah. Dua alasan terakhir pada prinsipnya menyebutkan bahwa distribusi berdasarkan keberadaan anggota hanya akan memajukan daerah pemilihan (dapil) yang berpenduduk padat saja. Belum lagi, alokasi berdasarkan dapil—yang bisa terdiri dari beberapa daerah administratif—akan melahirkan komplikasi administrasi. Singkat kata, pemerintah dengan tegas menolak ide itu. Pada akhirnya, pada saat pembahasan APBN 2011, diputuskan bahwa dana aspirasi tidak masuk sebagai salah satu mata anggaran. Secara politis, usulan dana aspirasi hanya didukung oleh FPG. Partai-partai lain yang ada dalam ‘koalisi’ partaipartai pendukung pemerintah (Anggota Setgab) tidak sependapat dengan usulan itu. Selain adanya tekanan publik, realisasinya hampir tidak memungkinkan secara administratif. Kalaupun dapat dilakukan dengan mengubah beberapa peraturan, tentu beban yang harus ditanggung akibat perubahan birokrasi yang ada tidaklah kecil. Belum lagi, mekanisme pertanggungjawaban yang harus dilakukan begitu rumit. Singkat kata, usulan dana aspirasi kandas di tengah jalan.
C. Rumah Aspirasi Kandasnya usulan dana aspirasi, ternyata tidak menyurutkan upaya partaipartai politik untuk mendapatkan pembiayaan dari keuangan negara melalui Anggota DPR. Usulan dana aspirasi yang tidak terwujud diikuti dengan usulan baru dalam bentuk dana rumah aspirasi yang inisiatifnya terutama datang dari BURT. Berbeda dengan usulan dana aspirasi yang tidak didukung dengan dasar normatif sama sekali, ide rumah aspirasi dapat dikatakan merupakan perintah dari Pasal 203 Pernyataan pers Koalisi Rakyat Tolak Dana Aspirasi (Korlap) yang terdiri dari aliansi beberapa LSM, yaitu PSHK, IPC, Formappi, IBC, Tepi-Indonesia, ICW, dan Komisi Anggaran Independen. 36
83
Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. Menurut Pasal 203 Tata Tertib DPR, salah satu fungsi DPR adalah fungsi representasi. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa fungsi representasi dilaksanakan dengan kunjungan kerja serta membentuk rumah aspirasi untuk menerima dan menghimpun aspirasi masyarakat. Dengan demikian, dari sudut pandang DPR, rumah aspirasi harus dibentuk. Kalau ide dana pembentukan rumah aspirasi terwujud, paling tidak, akan ada alokasi anggaran sebesar Rp374 juta setiap tahun untuk setiap Anggota DPR dengan total anggaran sekitar Rp200 miliar. Berdasarkan latar belakang di atas, ide rumah aspirasi sebenarnya disambut positif oleh berbagai pihak. Pada prinsipnya, memang ada kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi dari konstituen melalui wakil-wakilnya sehingga perlu ada rumah aspirasi yang menjadi tempatnya. Namun, pertanyaannya kemudian adalah cara membiayai pembentukan rumah aspirasi itu. Pertanyaan selanjutnya biaya politik itu ditanggung oleh negara atau tidak. Selain itu, setiap partai politik seharusnya telah menyediakan mekanisme penyerapan aspirasi melalui Dewan Perwakilan Cabang (DPC) ataupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masingmasing. Berdasarkan pertimbangan itu pula, usulan dana rumah aspirasi, sekalipun dinilai bermanfaat, tetap menjadi kontroversi. Dari berbagai pemberitaan, beberapa partai politik menyatakan menolak, seperti PDIP, PPP, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, PKB, dan PAN. Pada umumnya, penolakan itu didasari alasan bahwa rumah aspirasi seharusnya menjadi tanggung jawab anggota masingmasing atau partai politik terkait. Sementara itu, Partai Gerindra dan PKS tidak mengambil sikap tegas terkait dianggarkannya dana itu. Pihak pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, juga telah menunjukkan sikap penolakan secara tegas (korantempo.com, diakses pada 1 februari 2011). Bagaimanapun juga, BURT tetap mengajukan pengalokasian anggaran sebesar Rp200 juta setiap anggota setiap tahun untuk biaya pembentukan rumah aspirasi. Totalnya adalah tak kurang dari Rp112 miliar. Sampai saat ini, belum jelas kelanjutan usulan rumah aspirasi itu. Sepanjang 2010, setidaknya terdapat tiga permasalahan terkait alokasi anggaran DPR yang memicu perdebatan terbuka, yaitu rencana pembangunan gedung baru DPR, dana aspirasi, dan rumah aspirasi. Fenomena itu menunjukkan perkembangan bagus dari praktik demokrasi. Artinya, masyarakat melalui media dan didukung dengan gerakan masyarat sipil dapat ikut memantau proses pengambilan kebijakan. Sejauh ini, belum terlihat seberapa kuat pengaruh tekanan masyarakat. Bila diamati, tekanan publik baru efektif ketika terdapat cabang kekuasaan lain yang ikut terlibat. Sehubungan dengan pembangunan gedung baru DPR, misalnya. Meskipun tekanan publik berhasil menghambat kebijakan yang diambil untuk sementara waktu dan memunculkan perdebatan di antara para Anggota DPR, kenyataannya pembangunan gedung tetap dilaksanakan. Penyebaran kekuasaan di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR, untuk isu pembangunan gedung, ternyata belum menciptakan suatu konstalasi politik yang dapat mengubah keadaan. Lain halnya dengan kasus dana aspirasi dan rumah aspirasi. Tekanan publik terjadi bersamaan atau mengikuti bertarungnya cabang kekuasaan lain, seperti kekuasaan eksekutif yang berusaha mempertahankan kewenangannya. Jadi, sikap politik setiap fraksi di DPR mulai terlihat, baik menerima maupun menolak usulan itu. Bahkan, usulan-usulan yang diajukan pada akhirnya kandas; sebagian karena 84
tidak mungkin diwujudkan secara administratif; sebagian lagi karena usulan DPR tidak didukung dengan konsep implementasi yang jelas. Fenomena dana aspirasi dan dana rumah aspirasi menunjukkan adanya usaha partai politik untuk memperjuangkan biaya politik yang harus mereka tanggung. Mungkin, usaha itu dilakukan secara kolektif atau hanya kader masingmasing. Hal itu akan membuka diskusi baru mengenai pendanaan partai politik. Belajar dari kasus dana aspirasi dan rumah aspirasi, partai-partai politik mencoba menggeser beban pembiayaan itu kepada negara. Ketika usaha untuk merealisasikannya tidak mungkin dilakukan, partai-partai itu berbalik menarik simpati publik dengan membatalkan usulan-usulan mereka sendiri. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin permasalahan-permasalahan yang bersumber pada pendanaan partai politik akan terus muncul pada 2011.
85
KORUPSI BERPOLITIK A. Ruang Negosiasi Korupsi Politik Pemilu di Indonesia pertama kali diselenggarakan pada 1955. Sejarah mencatat bahwa pemilu itu merupakan pesta demokrasi yang paling demokratis. Ada 272 Anggota DPR yang terpilih dalam pemilu 1955. Salah satunya adalah R. Soedjono Prawirosoedarso (dpr-ri.org, diakses pada 18 Januari 2011). Ia adalah Anggota DPR yang merupakan calon perseorangan. Saat terpilih, ia berusia 75 tahun. Karena alasan kesehatan, ia kemudian mengundurkan diri pada 1957; tak genap dua tahun menjabat sebagai Anggota DPR sejak dilantik pada 1956. Salah satu yang menarik adalah pengakuannya, "Enggak sampe rong tahun dadi Anggota DPR, ilang sawah rong hektar (Tidak sampai dua tahun jadi Anggota DPR, hilang sawah dua hektar)" (Hassanbasari, Kompas, 10 Januari 2007). Ungkapan itu menggambarkan beratnya perjuangan menjadi wakil rakyat pada saat itu. Bisa jadi, cerita tersebut jarang ditemukan saat ini atau bahkan sebaliknya. Setelah menjadi Anggota DPR, kekayaannya justru bertambah besar dari gaji dan bermacam tunjangan yang memanjakan Anggota DPR. Selain itu, lihat saja persepsi masyarakat terhadap DPR, salah satunya, lekat dengan perilaku korupsi. Survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) pada pertengahan 2009 menunjukkan bahwa DPR dianggap sebagai lembaga terkorup. Sebelumnya, pada 2006, survei yang dilakukan TII menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup kedua setelah partai politik (detik.com, 9 Januari 2006). Selain itu, bukti nyata juga ditunjukkan oleh KPK dengan melakukan penangkapan Anggota DPR dan mantan Anggota DPR terkait perkara korupsi. Beberapa di antaranya telah mendekam di penjara karena terbukti melakukan korupsi. Masalah korupsi di DPR terjadi melalui transaksi kewenangan yang dimiliki, baik terkait dengan legislasi, pengawasan, maupun anggaran. Bahkan, salah satu kewenangan tambahan DPR, yaitu pemilihan pejabat publik, juga telah menjadi salah satu lahan baru untuk menumpuk kekayaan. Kasus suap dalam revisi UU Bank Indonesia, kasus suap pengalihan fungsi hutan, pengadaan barang, dan seleksi pejabat Bank Indonesia menjadi contoh adanya transaksi dalam pelaksanaan fungsifungsi di DPR. Data penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK selama periode 2004—2009 menunjukkan ada 15 pelaku korupsi yang menjabat Anggota DPR. Sementara itu, berdasarkan lokasi terjadinya perkara, sebanyak 17 perkara korupsi terjadi di DPR (Bahan Rapat Dengar Pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Komisi III, 25 Januari 2010).
86
Diagram 9 Data Pelaku Korupsi 2004—2009
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Selama 2010, pemberantasan korupsi tidak diwarnai dengan pengungkapan kasus baru yang melibatkan Anggota DPR. Pada tahun itu, tidak ada Anggota DPR tertangkap tangan oleh KPK. Beberapa kasus korupsi pada 2010 yang melibatkan Anggota DPR merupakan pengembangan kasus yang sudah ada sebelumnya, yaitu pengakuan Agus Tjiondro terkait pemberian cek pelawat dalam seleksi pemilihan pejabat Bank Indonesia. Satu kasus yang muncul adalah dugaan adanya tindakan penghilangan salah satu ayat dalam UU Kesehatan yang disahkan pada September 2009. Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok melaporkan kasus itu kepada Mabes Polri. Namun, kasusnya dihentikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Kasus itu pun terjadi saat DPR periode 2004—2009. Jadi, pada 2010, tidak ada kasus besar yang baru terkait korupsi politik yang melibatkan Anggota DPR. Pertanyaannya, tidak adanya kasus baru tersebut apakah menunjukkan ada penurunan perilaku korupsi atau ada permasalahan di KPK yang mengakibatkan melemahnya kinerja dalam “mengendus” tindak pidana korupsi politik. Dua dugaan dalam pertanyaan tersebut masing-masing memiliki latar belakang yang dapat memperkuat. Pertama, DPR periode 2009—2014 didominasi oleh politisi baru. Pada tahun pertama masa kerja, Anggota DPR dituntut untuk melakukan adaptasi kerja dan peningkatan kapasitas dalam menjalankan fungsinya di bidang anggaran, legislasi, maupun pengawasan. Apalagi, komposisi latar belakang pekerjaan Anggota DPR periode itu sebanyak 56,7% merupakan pengusaha atau bekerja di sektor swasta. Dengan demikian, pada tahun pertama, pengalaman politik masih sangat minim. Seluk-beluk mekanisme politik di DPR yang memberi celah bagi perilaku koruptif bisa jadi belum terbaca atau belum berani dipraktikkan. Apabila melihat data pengungkapan korupsi Anggota DPR pada periode sebelumnya, KPK melakukan penangkapan Anggota DPR dalam kasus korupsi pada 2008 yang merupakan tahun keempat jabatan Anggota DPR. Tentu, harapannya dugaan itu keliru. Dari segi komposisi Anggota DPR yang didominasi oleh pengusaha, sosiolog dari Universitas Airlangga—Kacung Marijan, 87
menyatakan bahwa tingkat kemampuan ekonomi Anggota DPR baik sehingga secara teoritik, mereka akan lebih mampu bekerja untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat (koran-jakarta.com, diakses pada 18 Januari 2011). Selain itu, karena telah tercukupi kebutuhan, tuntutan untuk memperoleh pendapatan baru dengan cara yang tidak sah menjadi semakin sempit. Namun, tentunya kondisi itu tidak menjamin penuh terhindarnya Anggota DPR dari perilaku koruptif karena motif korupsi bisa bermacam-macam; tidak semata-mata karena tuntutan kebutuhan. Kedua, adanya masalah di lembaga KPK berakibat pada melemahnya pemberantasan korupsi. Masalah kepemimpinan di KPK terjadi sejak lengsernya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK karena kasus pembunuhan. Kemudian, dilanjutkan dengan upaya kriminalisasi KPK terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang berlangsung sejak 2009. Berlarutnya penyelesaian kriminalisasi itu berakibat pada kompleksitas pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas KPK dalam memberantas korupsi. Bahkan, kehadiran Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam rapat-rapat kerja di DPR dipermasalahkan oleh Komisi III. Ada masalah hukum dan politik yang membelenggu KPK, terutama terhadap dua komisioner, sehingga menghambat pemberantasan korupsi. Dugaan bahwa kinerja KPK dalam memberantas korupsi melemah diperkuat dengan adanya masalah kepemimpinan dalam komposisi komisioner KPK. Masalah sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk menghalangi penindakan korupsi. Selain itu, masalah juga dilanggengkan sehingga penyelesaiannya berlarut-larut. Apabila dibandingkan dugaan minimnya penindakan korupsi politik selama 2010 antara komposisi Anggota DPR dan pelemahan KPK, dasar yang kuat adalah pelemahan KPK dari sisi politik dan hukum. Dalam hal itu, ruang gerak komisioner KPK menjadi sangat terbatas. Namun, harapannya, ketiadaan kasus korupsi politik baru yang melibatkan Anggota DPR selama 2010 terjadi karena perubahan sistem dan motivasi individu Anggota DPR; bukan disebabkan faktor luar lembaga maupun anggota. Akan tetapi, kecil kemungkinannya hal itu terjadi. Anggota DPR sekarang semakin sulit terpilih kembali karena tingkat kompetisi yang tinggi untuk duduk dalam jabatan politik dan menuntut dukungan suara yang banyak. Rekrutmen Anggota DPR saat ini membutuhkan biaya tinggi (Republika, 5 Juli 2008). Dalam politik, keinginan untuk terpilih kembali bukan sesuatu yang haram sepanjang UU tidak membatasi masa jabatan. Konsekuensinya, antara lain, adalah penguatan jaringan ke konstituen dan strategi kampanye yang perlu dijalankan. Secara relatif, prosesnya membutuhkan modal yang harus diperoleh dengan cara yang sah, tidak menjual kewenangan dalam fungsi-fungsi yang dimiliki ketika menjadi Anggota DPR, serta tidak menempuh cara-cara yang merugikan dan membebani masyarakat. Pelaksanaan pekerjaan sebagai Anggota DPR harus dimaknai sebagai upaya perjuangan dalam mewujudkan makna representasi dan melaksanakan amanat konstituen.
B. Celah Korupsi Legislasi Korupsi legislasi merupakan bagian dari perilaku korupsi politik. Perilaku korupsi legislasi mempunyai wilayah yang lebih spesifik, yaitu penyimpangan atau
88
penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam proses pembentukan UU. Risikonya di pihak publik sangat besar karena perilaku korupsi legislasi mencoba mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu norma yang akan berlaku umum bagi masyarakat. Di tengah minimnya kasus korupsi politik yang ditangani KPK, muncul satu kasus yang mencuat pada 2010, yaitu penghilangan ayat dalam UU Kesehatan. Kasus itu berawal ketika DPR membahas RUU Kesehatan menjelang akhir masa jabatannya pada September 2009. Salah satu ayat terkait dengan pembatasan tembakau yang sudah disepakati sampai tingkat Pansus tiba-tiba menghilang dari naskah yang akan disahkan di Rapat Paripurna. Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok mensinyalir hilangnya ayat itu merupakan sebuah kesengajaan. Bahkan, kasus itu dianggap sebagai korupsi legislasi. Koalisi itu pun kemudian melaporkan Ribka Tjiptaning, Asiyah Salekan, dan Mariani Akib Baramuli ke Mabes Polri. Namun, dalam perkembangannya, kepolisian menghentikan penyidikan kasus itu. Diagram 10 Alur Penghilangan Ayat Tembakau dalam UU Kesehatan
11 September 2009 Pertemuan di ruang kerja Ketua Komisi Kesehatan yang memutuskan untuk menghilangkan pasal 113 ayat 2
13 Oktober 2009 Presiden menandatangani UU Kesehatan
14 September 2009 Rapat Paripurna DPR mengesahkan UU Kesehatan
13 Oktober 2009 Ketua Komisi Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Kesehatan menandatangani dokumen yang menjelaskan pasal 113 ayat (2) disetujui sebagai ayat baru
16 September 2009 UU Kesehatan tanpa ayat tembakau dikirim ke Sekretariat Negara
13 Oktober 2009 Mensesneg mengembalikan UU Kesehatan ke DPR agar ayat tembakau dikembalikan
Sumber: Majalah Tempo Edisi 4—10 Oktober 2010
Kasus tersebut menjadi salah satu bukti adanya penyimpangan dalam proses legislasi. Namun, karena kasusnya tidak sampai ke pengadilan, motif sesungguhnya atas penghilangan ayat tidak terungkap secara jelas kepada masyarakat; begitu juga dengan aktor yang melakukan penghilangan itu. Dengan demikian, informasi yang beredar hanya berdasarkan keterangan pihak-pihak yang bisa bantah-membantah. Di satu sisi, muncul tuduhan yang menyatakan bahwa penghapusan ayat merupakan suatu kesengajaan. Di sisi lain, bantahan atas tuduhan itu juga muncul dengan pernyataan telah terjadi salah ketik. Namun, dari paparan di media, tampak jelas adanya tindakan di luar prosedur untuk menghilangkan ayat “tembakau” dalam UU Kesehatan.
89
Alur tersebut menunjukkan bahwa upaya perubahan substansi terjadi tidak melalui forum formal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Perubahan dilakukan setelah rancangan disetujui di tingkat Pansus yang akan diserahkan ke Rapat Paripurna. Perubahan itu pun dilakukan oleh segelintir orang di ruang kerja ketua Komisi Kesehatan (Majalah Tempo, 4—10 Oktober 2010). Tindakan seperti itu merupakan celah dalam proses legislasi yang dapat dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tententu. Forum-forum yang dilakukan di luar forum formal yang dapat dipantau publik berpotensi pencapaian kesepakatan yang merugikan masyarakat atau mengakomodasi kepentingan kelompok dengan suatu kontraprestasi tertentu. Legislator berpeluang menjual atau menegosiasikan substansi UU. Pada titik itu, perlu dicermati adanya tindakan korupsi legislasi, termasuk forum-forum lobi yang kerap dilakukan oleh legislator. Sayangnya, kontrol publik dalam forum itu sangat terbatas. Biasanya, forum seperti ini berlangsung tertutup. Desas-desus tentang korupsi legislasi tidak merupakan hal baru, tetapi masih sebatas pemberitaan di media. Pada 2010, juga muncul dugaan adanya kolusi dalam penyusunan RUU Akuntan Publik. Dugaan itu justru muncul dari Ketua Fraksi PAN, Tjatur Sapto Edy. Bahkan, ia dengan tegas meminta KPK untuk melakukan pengawasan terhadap proses pembentukan UU di DPR (inilah.com, diakses pada 2 Februari 2011). Selain itu, pada DPR periode sebelumnya, dugaan korupsi terkait proses legislasi juga pernah terdengar publik. UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan salah satu UU yang dalam pembentukannya diduga terjadi praktik korupsi. Beberapa media mengungkapkan pengakuan notaris daerah yang telah menyetor sejumlah uang ke organisasi notaris dalam rangka pembahasan RUU Jabatan Notaris. Tak hanya itu, rapat-rapat pembahasannya pun dilakukan di hotel-hotel yang sulit dijangkau publik (Yasin, 2005, 55). Ketertutupan proses memberi peluang besar terjadinya korupsi legislasi. Tindakannya pun sulit dideteksi, apalagi kalau pola korupsinya melalui penyuapan. Penyuapan hanya diketahui oleh pemberi dan penerima suap. Selain itu, korupsi legislasi juga tidak bisa dilakukan sendirian karena hasil akhirnya harus melalui pengambilan keputusan secara bersama. Oleh karena itu, untuk menutup peluang terjadinya korupsi, harus ada jaminan bahwa proses pembahasan UU dilakukan secara terbuka. Kontrol publik harus diberi ruang yang luas agar proses politik yang menentukan aturan bagi masyarakat justru tidak berpihak pada masyarakat karena prosesnya yang diintervensi oleh kepentingan tertentu. Sementara itu, kontrol publik juga harus dikombinasikan dengan penegakan hukum oleh lembaga independen yang mampu menembus “tameng” politisi yang menghambat pemberantasan korupsi.
90
KERANCUAN PEMBUAT DAN PELANGGAR UNDANGUNDANG Dalam Pasal 17 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan disebutkan bahwa RUU—baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD—disusun berdasarkan Prolegnas. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa ada tiga pihak dapat membentuk UU, yaitu DPR, presiden, dan DPD. Selain itu, UU itu juga mengatur banyak hal, mulai dari asas, materi muatan, perencanaan, pembentukan, sampai dengan teknis penyusunan UU. Selain itu, UU No. 10 Tahun 2004 juga mengatur tentang kegiatan lanjutan yang harus dilakukan oleh pembuat UU setelah disahkan. Beberapa contoh kegiatan yang dimaksud, yaitu pemilihan anggota lembaga negara, pembentukan lembaga atau badan baru, dan penetapan peraturan pelaksanaan UU. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Dengan demikian, dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran UU oleh pembentuk UU. Berikut uraian beberapa contoh dari pelanggaran UU yang dimaksud.
A. Pelanggaran UUD 1945 Melalui Proses Seleksi Anggota KY KY merupakan salah satu lembaga negara pendamping (auxiliary state agencies) yang dimunculkan sejak bergulirnya reformasi. Kedudukan KY dalam struktur ketatanegaraan termasuk unik. Keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Amandemen Ketiga sehingga menjadikan KY sebagai salah satu lembaga negara organik37. Sebagai sebuah lembaga negara organik, KY seharusnya dipandang sebagai lembaga negara utama; setara dengan lembaga kepresidenan ataupun DPR. Jika eksistensinya diabaikan, sendi pokok penyelenggaraan negara turut hancur. Namun, presepsi demikian tampaknya tidak dipahami secara utuh oleh DPR, terutama Komisi III sehubungan proses seleksi Anggota KY periode 2010—2015 yang mengalami keterlambatan. Indikasi keterlambatan proses seleksi untuk menggantikan Anggota KY periode 2005—2010, yang berakhir pada 2 Agustus 2010, sudah terindikasi sejak awal pembentukan panitia seleksi oleh presiden. Berdasarkan Pasal 28 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, secara garis besar, terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan sehubungan dengan seleksi calon Anggota KY, yakni: 1. pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) oleh presiden; 2. penyerahan nama-nama calon Anggota KY oleh Pansel kepada presiden; 3. penyerahan nama-nama calon Anggota KY oleh presiden kepada DPR; 4. pembahasan oleh DPR; Lembaga negara organik adalah lembaga negara yang keberadannya/kewenangannya diatur di dalam UUD 1945 (konstitusi/constitutional organ). 37
91
5. penyerahan nama-nama calon terpilih oleh Pimpinan DPR kepada presiden; dan 6. penetapan calon terpilih oleh presiden. Berdasarkan tenggang waktu yang ditentukan oleh UU No. 22 Tahun 2004, enam tahapan tersebut memakan waktu kurang lebih 75 hari atau 2 bulan 15 hari di luar lama pembahasan yang dilakukan oleh Pansel. Presiden membentuk Pansel KY pada 23 April 2010 melalui Keppres No. 9/P/2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Anggota Komisi Yudisial. Pembentukan Pansel itu dinilai banyak kalangan sangat terlambat. Hal itu terbukti dengan baru diserahkannya hasil seleksi Pansel KY pada 20 September 2010, satu bulan setelah berakhirnya masa jabatan periode Anggota KY periode 2005—2010 (mediaindonesia.com, diakses pada 10 Januari 2010). Proses seleksi selanjutnya adalah proses yang dilakukan di DPR. Pembahasan di dalam DPR melalui dua tahapan utama yang diatur dalam BAB XIII, Pasal 191 ayat (1) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR. Tahap pertama adalah tahap penunjukan penugasaan dan penjadwalan oleh Badan Musyawarah (Bamus) kepada komisi terkait. Tahap kedua berada pada komisi yang ditugaskan. Komisi yang ditugaskan setidaknya melewati lima tahapan yang diatur di dalam Pasal 191 ayat (2), meliputi: a. penelitian administrasi; b. penyampaian visi dan misi; c. uji kelayakan (fit and proper test); d. penentuan urutan calon; dan/atau e. pengumuman kepada publik. Dari segi waktu, pembahasan di DPR mengalami keterlambatan, terutama akibat masa reses yang berlangsung pada 27 Oktober 2010 sampai dengan 26 November 2010. Hal itu menyebabkan penundaan pelaksanaan tahap uji kelayakan para calon komisoner (mediaindonesia, diakses pada 10 Januari 2011). Pada 2 Desember 2010, setelah terlambat lebih dari empat bulan, akhirnya terpilih tujuh Komisioner Komisi Yudisial, yaitu Eman Suparman, Abbas Said, Iman Ansori Saleh, Taufiqurahman Sayuti, Suparman Marzuki, Jaja Ahmad Jayus, dan Ibrahim. Keterlambatan proses penyeleksian KY menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kalangan masyarakat sipil, terutama yang bergerak di bidang hukum. Bahkan, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) mengajukan gugatan kepada Ketua DPR Marzuki Alie dan Ketua Komisi III Benny K. Harman atas keterlambatan itu (hukumonline, diakses pada 10 Januari 2011). Setidaknya, terdapat dua argumentasi kenapa tindakan DPR dan pemerintah terkait keterlambatan seleksi Anggota KY harus disikapi secara serius. Pertama, KY adalah lembaga negara yang memiliki status lembaga organik. Keberadaan KY menjadi penting karena terkait dengan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara. Pengaturan KY diatur dalam Pasal 24 B UUD 1945 Perubahan ke III yang mengatur tentang kewenangan serta pengaturan pokok mengenai keanggotaan KY. Lebih lanjut, Pasal 24 B ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ke III mengamanatkan bahwa sususan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur dengan UU. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam ayat itu kemudian diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Salah satu materi muatan dari UU itu adalah mengatur tahapan proses seleksi Anggota KY. 92
Berdasarkan konstruksi berpikir di atas, tampak jelas bahwa KY maupun UU No. 22 Tahun 2004 merupakan amanat langsung dari konstitusi Indonesia. Kegagalan dalam mematuhi ketentuan-ketentuan organik UUD 1945 sudah dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Mengenai argumentasi tersebut, Anggota DPR berkilah bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran karena pembahasan proses seleksi KY terpotong oleh masa reses DPR. Dengan demikian, waktu 30 hari pembahasan sebagaimana yang diajukan DPR seharusnya berhenti atau tidak dihitung selama masa reses berlangsung (mediaindonesia.com, diakses pada 10 Januari 2011). Namun, argumentasi yang demikian sangatlah lemah karena melakukan kerja atau rapat pada masa reses tidaklah dilarang, bahkan diperbolehkan. Pada Pasal 47 ayat (2) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: “apabila dalam reses ada masalah yang menyangkut tugas dan wewenang DPR yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan, Pimpinan DPR secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan fraksi.” Dalam konstruksi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa melakukan rapat seleksi Calon Anggota KY yang merupakan amanat konstitusi dapat dikategorikan sebagai masalah yang menyangkut tugas dan wewenang DPR yang mendasar.38 Hal itu didasarkan pada dua argumentasi. Pertama, DPR sebagai lembaga perwakilan merupakan penjelmaan langsung dari kedaulatan rakyat dan pelaksanaannya berdasarkan UUD 1945. Hal itu dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Jadi, konsekuensi dari proposisi itu adalah DPR—dalam menjalankan fungsinya—harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh UUD 1945 (konstitusi). Dengan demikian, DPR tidak dapat begitu saja dapat mengabaikan amanat konstitusi atas dasar masa reses. Kedua, Anggota DPR—dalam sumpah jabatannya— menyebutkan untuk “…..memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Oleh karena itu, mengabaikan amanat UUD 1945 juga merupakan sebuah pelanggaran terhadap sumpah Anggota DPR. Kedua, kekosongan Anggota KY juga menyebabkan potensi penumpukan perkara. Sebagai catatan, tiap bulannya, KY menerima rata-rata 133 aduan masyarakat terkait pelanggaran dari perilaku hakim. Dari 133 aduan itu, ada sekitar 74 aduan yang sesuai dengan kewenangan KY untuk diproses lebih lanjut. Setiap bulan pula, KY melaksanakan empat kali pleno yang setiap pleno rata-rata berhasil memutuskan 15 aduan. Jadi, dalam satu bulan, KY dapat menyelesaikan rata-rata 60 aduan masyarakat. Dari data itu, dapat diperkirakan kekosongan Anggota KY berakibat pada penumpukan aduan masyarakat sebanyak 60 aduan. Dengan demikian, penumpukan perkara selama 5 bulan—dengan asumsi berakhirnya masa jabatan Anggota KY periode 2005—2010 pada 2 Agustus 2010—berjumlah 300 aduan. Argumentasi ini jika dikemukan oleh Transparansi Internasional Indonesia dalam position paper-nya tertanggal 25 Oktober 2010, www.ti.or.id/media/documents/2010/10/25/p/o/potensi_pelanggaran_uu_ky_oleh_dpr.pdf 38
93
Hal tersebut sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah dengan memperpanjang masa kerja komisioner KY periode 2005—2010 melalui Keppres No. 82/2010 tentang Perpanjangan Masa Jabatan Anggota Komisi Yudisial. Akan tetapi, penyelesaian itu justru menimbulkan persoalan baru mengingat Pasal 29 UU No. 22 Tahun 2004 menentukan bahwa masa jabatan Anggota KY adalah lima tahun. Dengan demikian, Keppres perpanjangan itu menjadi cacat hukum dan berpeluang menciptakan ketidakabsahan terhadap penanganan aduan-aduan yang dilakukan oleh Anggota KY yang diperpanjang jabatannya. Keterlambatan proses seleksi KY merupakan catatan buruk kinerja; tidak hanya bagi DPR, tetapi juga pemerintah selama 2010. Kinerja buruk itu patut menjadi catatan penting karena jika ditelisik lebih dalam lagi, DPR dan pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Keterlambatan proses seleksi Anggota KY merupakan preseden buruk bagi penegakan ketentuan-ketentuan UUD 1945. Keterlambatan itu juga menunjukkan sikap arogan DPR dan pemerintah dengan menyepelekan keberadaan KY sebagai sebuah lembaga yang keberadaannya diatur dalam UUD 1945.
B. Tersanderanya Wakil Rakyat oleh Birokrat Pemberlakuan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) membangkitkan harapan bagi segenap rakyat Indonesia untuk mendapat jaminan kualitas kehidupan yang lebih pasti dan layak. Hal itu disebabkan UU SJSN mengukuhkan dan mengimplementasikan tanggung jawab negara terhadap warganya dalam sebuah sistem jaminan sosial. Dalam UU No. 40 Tahun 2004, terdapat lima aspek jaminan sosial yang akan dijamin oleh negara, yakni jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. UU No. 40 Tahun 2004 mengkonsolidasikan dan mengintegrasikan sistem penjaminan sosial yang saat ini sudah berjalan. Harapannya, pengintegrasian itu lebih mampu mengefektifkan dan menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat Indonesia untuk memperoleh jaminan sosial. Salah satu aspek penting dari terselenggaranya SJSN adalah terbentuknya Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Pembentukan BPJS diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004. Selain itu, pembentukan BPJS juga menjadi problematik, terutama hilangnya peran pemerintah daerah untuk turut serta menyelenggarakan BPJS. Hal itu kemudian menyebabkan pengujian UU No. 40 Tahun 2004 oleh beberapa Anggota DPRD asal Jawa Timur ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, MK membatalkan ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 40 Tahun 2004.39 Implikasi putusan itu sangat luas dan mewarnai perdebatan-perdebatan selanjutnya dalam pembentukan BPJS. Salah satu poin dari pembatalan itu adalah menganulir peran transisi dari empat perusahaan jaminan sosial yang ada menjadi BPJS. Mengingat pentingya pendirian BPJS terhadap pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004, dalam BAB VIII Ketentuan Peralihan UU SJSN Pasal 52 ayat (2) dinyatakan bahwa BPJS paling lambat dibentuk lima tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan. Pasal 5 ayat (4) UU SJSN menyatakan bahwa “dalam hal diperlukan
39
Putusan Perkara Nomor 007/PUU-III/2005
94
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang”. Namun, arti strategis dan penting untuk segera melaksanakan UU No. 40 Tahun 2004 dengan membentuk BPJS tampaknya tidak dimiliki oleh pembuat UU, terutama pemerintah. Setelah diundangkan pada 19 Oktober 2004, UU BPJS belum juga terbentuk sampai saat ini. Artinya, UU BPJS telah mengalami keterlambatan kurang lebih dua tahun dari tenggat waktu yang ditentukan dan enam tahun dari diundangkannya UU No. 40 Tahun 2004. Terdapat tiga isu yang terekam terkait pembentukan UU BPJS. Pertama, pilihan bentuk BPJS diperdebatkan berbentuk tunggal atau multi. Kedua, status perusahaan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada, seperti Asuransi Kesehatan (ASKES), Asuransi ABRI (ASABRI), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan Tabungan Asuransi Pegawai Negeri Sipil (TASPEN) dipertanyakan. Ketiga, format pengaturan dari UU BPJS menetapkan saja (beschiking) atau mengatur (regeling). Dari ketiga isu itu, hal yang paling substansial menghambat kemajuan pembahasan UU BPJS adalah tarik-menarik kepentingan dalam tubuh pemerintahan sendiri. Sebagai contoh, hambatan utama dalam perdebatan bentuk BPJS (tunggal atau multi) adalah bagaimana merekonsiliasi kepentingan yang telah mapan terhadap empat perusahaan penyelenggara jaminan sosial dengan konsep BPJS yang akan dibentuk (tempointeraktif, diakses pada 10 Januari 2011). Sementara itu, ada pula ketaksesuaian antara prinsip pendirian BUMN dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan prinsip BPJS dalam UU No. 40 Tahun 2004. Pada wilayah itu, persaingan kepentingan sektoral antara kementerian koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan Kementerian BUMN begitu terasa. Tampaknya, Kementerian BUMN enggan melepas pengelolaan BPJS yang akan dibentuk di bawah Kementerian Kesra. Perdebatan terakhir ialah sejauh mana UU BPJS mengatur struktur kelembagaan beserta pengaturan lain. Mungkin saja, UU BPJS hanya menetapkan kelembagaan yang telah disiapkan oleh pemerintah. Dengan kata lain, UU BPJS— nantinya—hanya akan melakukan penetapan terhadap status hukum lembaga BPJS yang telah ditetapkan pemerintah, seperti UU ratifikasi perjanjian atau UU pengesahan APBN (tribunnews.com, diakses pada 10 Januari 2011). Hal itu telah menimbulkan pertentangan antara pemerintah dan DPR. Dalam hal itu, DPR menginginkan UU BPJS mengatur hal-hal substansial, seperti struktur kelembagaan dan mekanisme pertanggungjawaban. Keterlambatan pembentukan BPJS sampai saat ini merupakan buah dari ketersanderaan wakil rakyat oleh pertarungan sektoral antarbirokrat dalam pemerintah. Pertarungan itu terindikasi dari pernyataan Anggota DPR tentang alasan pemerintah mengenai keterlambatan akibat diperlukannya koordinasi internal antarpemerintah terlebih dahulu (Rakyat Merdeka, 22 Oktober 2010). Alasan itu tentu menunjukkan betapa kepentingan sektoral birokrat dapat mengalahkan kepentingan rakyat. Hal itu pun diperparah dengan ketakberdayaan DPR untuk mendorong percepatan pembahasan UU BPJS. Padahal, kegigihan DPR untuk terus mendorong lahirnya UU BPJS sangatlah penting untuk mencegah keterlambatan UU BPJS untuk yang ketiga kalinya. Pada sisi perancangan perundang-undangan, keterlambatan UU BPJS juga tidak terlepas dari sisi desain pengaturan BPJS dalam UU No. 40 Tahun 2004. 95
Seharusnya, jika merupakan kunci dari pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004, pengaturan BPJS diatur secara melekat dalam UU itu. Akan tetapi, fenomena pengaturan lebih lanjut merupakan fenomena klasik. Paradigma pengaturan lebih lanjut merupakan jalan keluar untuk mengendapkan persoalan ketika menghadapi kebuntuan pembahasan (dead lock) UU. Hal tersebut tentu saja menjadi kontraproduktif. Buktinya, paradigma mengendapkan persoalan melalui pengaturan lebih lanjut tidak menyelesaikan persoalan. Bahkan, hal itu justru menimbulkan persoalan-persoalan baru pada masa yang akan datang. Paradigma pengaturan lebih lanjut seperti itu merupakan indikasi dari kemalasan berpikir dan mentalitas politik “gampangan” dalam menghadapi isu-isu sulit dari pembuat UU.
C. Potensi Keterlambatan Pembuatan Peraturan Pemerintah Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, PP adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan UU. PP tidak bisa berdiri sendiri tanpa pendelegasian materiil dari UU. Secara hierarki perundang-undangan, PP berada berada satu level di bawah UU (Asshiddiqie, 2005, 10). Fungsi PP adalah mengoperasionalkan ketentuan yang terdapat dalam UU serta mengatur hal-hal yang bersifat teknis dan rinci. PP dibuat untuk menjadikan UU berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya merinci ketentuan-ketentuan UU, menentukan lebih lanjut ambang batas yang ditetapkan UU, menetapkan hal-hal lain yang berada dalam kerangka yang digariskan, dan mengatur teknik pelaksanaan UU (Asshiddiqie, 2005). Pada prinsipnya, materi PP tidak menambah, tidak mengurangi, tidak menyisipi suatu ketentuan, dan juga tidak memodifikasi materi beserta pengertian yang telah ada dalam UU induk (Pasaribu dkk., 2006). Dengan demikian, keberadaan PP memiliki peran penting terhadap implementasi UU. Akan tetapi, pada kenyataannya, sering kali pembentukan PP mengabaikan ketentuan terkait batas waktu ataupun substansi yang menjadi materi muatan. (Pasaribu dkk., 2006). Menurut Pasal 39 UU No. 10 Tahun 2004, “setiap UU wajib mencantumkan batas waktu penetapan PP dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan UU tersebut”. Dengan kata lain, apabila UU ingin mengamanatkan adanya PP, harus ada penentuan batas waktu untuk membentuk PP. Ketentuan pembatasan waktu itu tidak diatur secara rinci; batas waktu yang sering digunakan adalah 6, 12, atau 24 bulan. Meskipun batas waktu telah ditentukan dalam UU, pada praktiknya, keberadaan PP yang telah dibentuk tidak mengatur semua materi yang diamanatkan oleh UU. Selain itu, PP yang seharusnya dibentuk tidak kunjung dibentuk, walaupun batas waktu yang telah ditentukan sudah lewat. Riset yang dilakukan oleh PSHK menemukan lima alasan terkait tidak adanya PP (Pasaribu dkk., 2006), yaitu: 1. materi muatan PP yang dibuat atas amanat UU justru lebih luas dibandingkan materi UU itu sendiri;
96
2. tim panitia antardepartemen tidak tahu materi yang harus diatur dalam PP karena UU tidak memberikan gambarannya; 3. materi muatan PP tidak valid lagi untuk dikeluarkan karena terlalu lama sudah tidak dibuat sehingga sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat; 4. tanpa adanya PP, UU masih tetap bisa diimplementasikan; dan 5. pemerintah tidak ada keinginan untuk melaksanakan UU yang bersangkutan. Selain hambatan tersebut, terdapat hambatan lain dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Berdasarkan Pasal 60 UU No. 25 Tahun 2009, UU mengamanatkan lima materi yang akan diturunkan ke dalam PP. Kelima materi itu adalah ruang lingkup pelayanan publik, sistem pelayanan terpadu, pedoman penyusunan standar pelayanan, proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat, serta tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pembentukan PP untuk setiap materi harus dilakukan paling lambat enam bulan sejak UU No. 25 Tahun 2009 diundangkan. Akan tetapi, sampai awal 2011, keberadaan PP belum juga ada. Adi Candra Utama, Anggota Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3), mengungkapkan tidak adanya PP disebabkan rendahnya komitmen Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan). Hal itu ditandai oleh pergantian pejabat yang menangani masalah pelayanan publik di wilayah kementrian. Pejabat yang sebelumnya menangani pembentukan UU No. 25 Tahun 2009 sudah berada pada masa pensiun dan secara otomatis ada pejabat lain yang menggantikannya. Pergantian pejabat itu membuat kementerian harus mempelajari ulang pelayanan publik. Penghambat lain adalah pihak kementerian lebih suka mengeluarkan peraturan di tingkat internal, yaitu Peraturan Menteri (Permen). Pembentukan Permen dirasa lebih mudah untuk dibuat karena hanya melibatkan unsur internal saja. Lain halnya dengan pembentukan PP yang harus melibatkan lebih dari satu kementerian. Terkait jumlah materi yang diamanatkan oleh UU, saat ini, Kemenpan membentuk satu PP yang mencakup kelima materi. Namun, masih menurut Adi Candra Utama, PP menjadi tidak begitu rinci apabila dibuat satu bentuk untuk mengatur semua materi. Selain UU No. 25 Tahun 2009, terdapat beberapa UU yang telah disahkan pada 2009 mempunyai masalah serupa. Berdasarkan tabel UU yang disahkan pada 2009 beserta PP-nya, ada lima puluh UU yang disahkan pada 2009. Dua puluh delapan di antaranya mengamanatkan pembentukan PP. Berdasarkan 28 UU tersebut, tujuh UU telah diturunkan melalui PP, yaitu UU yang diklasifikasikan dalam bidang sumber Daya Alam (SDA), pangan dan pertanian, sosial, lembaga negara, bea dan pajak, serta kesehatan. Sementara itu, sebanyak 21 UU belum membentuk PP dengan klasifikasi bidang transportasi, pemerintahan, sosial, SDA, badan usaha dan perdagangan, kesehatan, serta hukum. Sementara itu, rata–rata batas waktu pembentukan PP berkisar satu sampai dengan dua tahun. UU yang menetapkan batas waktu pembentukan selama dua tahun masih mempunyai sisa waktu untuk melakukannya hingga pertengahan 2011. Keberadaan PP merupakan hal yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Apabila para pembuat UU terlambat membentuk atau tidak membentuk PP sama sekali, dapat dikatakan mereka telah melakukan pelanggaran 97
terhadap amanat yang telah disampaikan oleh UU. Selain itu, secara tidak langsung, pembuat UU juga tidak menganggap pentingnya kehadiran PP.
98
KUPAS UNDANGUNDANG 2010 Jumlah tidak menjadi satu-satunya tolok ukur dalam penilaian kinerja DPR. Kualitas setiap produk akhir dalam proses legislasi pun perlu ditimbang sebagai parameter keberhasilan kerja parlemen. UU sebagai hasil proses legislasi memang lebih menonjol sebagai produk politik ketimbang sebagai produk hukum. Oleh karena itu, alat ukur yang paling umum untuk menilai suatu produk politik adalah pencapaian tujuan bersama (Susanti, dkk., 2006). Ada dua kategori besar penilaian yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan bersama tersebut, yaitu substansi dan proses. Persoalan substansi terbagi menjadi dua bagian, yaitu materi muatan dan struktur pengaturan serta kalimat perundang-undangan. Sementara itu, ada dua bagian yang dinilai dalam hal proses, yaitu partisipasi publik dan perdebatan. Penilaian kualitas UU memperhatikan pula potensi dampak yang akan dirasakan masyarakat sebagai akibat pembentukan sebuah UU. Dari 16 UU yang berhasil dicapai oleh DPR setahun ke belakang, sembilan di antaranya dibedah secara khusus. Sementara itu, lima UU lain yang terkait APBN tidak menjadi objek pembahasan karena secara substansial lebih erat kaitannya dengan fungsi anggaran daripada fungsi legislasi DPR. Ulasan mengenai proses pembentukan UU tentang pengesahan perjanjian internasional dan hal-hal penting seputarnya juga dibahas dengan menggunakan dua UU ratifikasi yang berhasil disahkan tahun lalu sebagai contoh kasus.
A. UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Cicak Lawan Buaya, Bukan Kegentingan yang Memaksa Fenomena corruptors fight back atau serangan balik koruptor bukan merupakan isapan jempol belaka. Gencarnya pemberantasan korupsi oleh KPK telah menuai badai perlawanan “gagah berani” para koruptor. Aksi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi menuai perlawanan yang sebanding. Sejak berdirinya, KPK telah menunjukkan tajinya dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pembongkaran kasus-kasus besar sampai dengan penggunaan metode sadap merupakan sebagian dari aksi KPK yang membuat merinding bulu kuduk para koruptor. Ragam bentuk perlawanan telah dilakukan oleh para koruptor. Awalnya, mereka menguji UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
99
Pidana Korupsi dengan tujuan memandulkan kinerja KPK. Lalu, mereka mewacanakan posisi KPK secara negatif sebagai institusi superbody. Mereka juga melakukan usaha dalam bentuk yang paling kasar, seperti melakukan kriminalisasi orang-orang yang berada di KPK. Kriminalisasi dan Penghancuran Reputasi KPK Sejak berdirinya KPK pada 2002, perlawanan terhadap eksistensi lembaga itu beserta kewenangan-kewenangannya sangat gencar dilakukan. Salah satu indikasinya adalah jumlah pengujian UU KPK di MK yang cukup signifikan dibanding UU lain. Menariknya, pengujian UU tidak hanya dilakukan oleh kelompok antipemberantasan-korupsi. Namun, pengujian juga dilakukan oleh kelompok-kelompok antikorupsi yang melihat kelemahan desain kelembagaan KPK. Dengan demikian, hal itu dapat digunakan oleh kelompok-kelompok antipemberantasan-korupsi untuk melawan KPK. Dari semua bentuk perlawanan terhadap KPK, fenomena Cicak Lawan Buaya merupakan pertarungan paling dramatis antara kelompok antipemberantasankorupsi dan kelompok antikorupsi. Hal itu berawal dari perkara pidana pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Kemudian, perkara itu berujung pada laporan Antasari tentang dugaan adanya suap kepada dua orang koleganya—sesama pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah (tribunnews.com, diakses pada 20 Januari 2011). Menerima laporan itu, polisi melakukan aksi cepat dengan melakukan pemeriksaan dan menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka secara cepat pula. Hal tersebut membawa akibat serius bagi efektivitas kinerja KPK karena telah kehilangan tiga dari lima komisioner yang seharusnya ada. Hal itu merupakan konsekuensi dari keberadaan Pasal 32 ayat (2) UU KPK, yang menyatakan bahwa Pimpinan KPK yang menjadi tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya. Berdasarkan hal itu, presiden mengeluarkan Keppres No. 74/p Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses hukum yang tidak transparan dan ketidakpercayaan luar biasa terhadap polisi membuat mayoritas rakyat Indonesia melakukan perlawanan terhadap penahanan dan penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka. Tingkat kebisingan politik yang tinggi dari riuhnya pembelaan terhadap Bibit-Chandra oleh masyarakat akhirnya membuat Presiden Yudhoyono mengambil langkah politik. Langkah itu dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Isi dari Perppu tersebut pada intinya adalah pengaturan untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK jika terjadi kekosongan lebih dari tiga pimpinan KPK. Rumusan pasalnya disisipkan dalam ketentuan pasal 33 yang dirumuskan sebagai pasal 33 A dan dilanjutkan dengan ketentuan dalam pasal 33 B yang mengatur masa jabatan pimpinan KPK penganti. Adapun, persandingan antara Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2002 dan Pasal 33 A Perppu No. 4 Tahun 2009 dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut.
100
Tabel 12 Perbandingan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2002 dan Pasal 33 A Perppu No. 4 Tahun 2009
UU No. 30 Tahun 2002
Perppu No. 4 Tahun 2009
Kondisi Kekosongan
Materi Pengaturan
Pasal 33 Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Prosedur Pengajuan
Pasal 33 ayat (2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Tidak diatur
Pasal 33 A Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korups yang menyebabkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah kurang dari 3 (tiga) orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sejumlah jabatan yang kosong. Pasal 33 A ayat (4) Pengangkatan dan Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan oleh Presiden.
Masa Jabatan
Pasal 33 B Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana di atur dalam Pasal 33 A berakhir pada saat: a. anggota pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi karena diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (2) diaktifikan kembali karena pemberhentian sementara tidak berlanjut menjadi pemberhentian tetap; b. pengucapan sumpah/janji anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru setelah dipilih melalui proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2).
Pada tabel di atas, pendefinisian kekosongan menjadi kata kunci penting untuk dimulainya mekanisme pengisian jabatan pimpinan sementara KPK yang diatur dalam Pasal 33 A. Mekanisme pengisian kekosongan Pasal 33 A berjalan ketika terjadi kekosongan lebih dari tiga Pimpinan KPK. Kekosongan tiga Pimpinan KPK, menjadi titik pembeda antara Pasal 33 A dan Pasal 33. Pasal 33 tidak mendefinisikan mengenai jumlah kekosongan pimpinan.
101
Terjadinya kondisi yang didefinisikan pada Pasal 33 A memicu mekanisme pengisian jabatan yang diatur dalam Pasal 33 A ayat (4). Pasal 33 A ayat (4) yang memberikan kewenangan tunggal pada presiden untuk mengangkat Pejabat Sementara KPK. Hal itu berbeda dengan pengaturan yang terdapat pada Pasal 33 ayat (2) yang menyatakan bahwa prosedur pengajuan menggunakan mekanisme normal yang diatur dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31. Dalam ketentuan pasalpasal itu, kewenangan pemilihan menjadi kewenangan DPR atas usulan calon dari presiden. Terkait dengan masa jabatan Pimpinan Sementara KPK, Pasal 33 B memberikan batasan yang tegas dengan mendefinisikan dua kondisi berakhirnya masa jabatan dari Pimpinan Sementara KPK. Kondisi-kondisi itu adalah aktifnya kembali Pimpinan KPK yang dinonaktifkan dan terpilihnya Anggota KPK baru berdasarkan mekanisme Pasal 33 ayat (2). Sementara itu, jabatan Pimpinan Pengganti KPK tidak diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002. Pada pemilihan Pimpinan KPK pengganti Antasari Azhar baru-baru ini—yang berakhir dengan terpilihnya Busyro Moqadass, terdapat perbedaan pemahaman antara kelompok Non-Governmental Organization (NGO) dan Komisi III DPR. Kelompok NGO, yang dimotori oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), menafsirkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti seharusnya mengikuti masa jabatan Pimpinan KPK dalam masa jabatan normal, yakni empat tahun. Sementara itu, DPR dalam putusannya membatasi masa jabatan Pimpinan KPK pengganti, Busyro Moqadass, hanya 1 tahun, yakni meneruskan sisa masa jabatan Pimpinan KPK yang digantikan. Bukan Kegentingan Memaksa Pada awalnya, pembentukan Perppu tersebut disambut dengan skeptisme, bahkan cenderung disambut dengan kecurigaan yang luar biasa oleh masyarakat. Banyak kalangan menilai Perppu itu merupakan akal-akalan presiden untuk meneruskan kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra. Dalam spektrum yang berbeda, penolakan terhadap kehadiran Perppu itu dianggap tidak tepat, mengingat bahwa Pasal 22 UUD 1945 mempersyaratkan keadaan yang genting dan memaksa sebagai dasar pembentukan Perppu. Penolakan terhadap Perppu tersebut kemudian diresonansikan kembali pada pembahasan Perppu untuk menjadi UU. Mayoritas fraksi menolak pemberlakuan Perppu itu menjadi UU. Pembahasan dilakukan oleh Komisi III DPR bersama dengan pemerintah yang diwakili oleh Kemhukham. Pada pembahasan itu, dari sembilan fraksi, tujuh fraksi menolak pemberlakuan Perppu menjadi UU dan dua fraksi menerimanya menjadi UU (gatra.com, diakses pada 20 Januari 2011). Sembilan fraksi yang menolak memiliki alasan penolakan yang berbeda-beda, tetapi mayoritas fraksi menyatakan rasionalisasi dari pemberlakuan Perppu telah hilang mengingat Chandra-Bibit telah kembali menjadi pimpinan KPK dan menganggap Perppu itu telah memotong kewenangan DPR untuk melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan. Hanya PKS-lah yang menyoal rasionalisasi Perppu itu. Menurut fraksi PKS, Perppu itu tidak memiliki dasar konstitusionalitas yang kuat karena tidak terpenuhinya unsur kegentingan yang memaksa seperti dipersyaratkan oleh UUD 1945. Sementara itu, dua fraksi yang menerima, fraksi PKB dan Demokrat,
102
menyatakan dapat memahami dan menerima Perppu itu (vivanews.com, diakses pada 20 Januari 2011). Penolakan terhadap Perppu tersebut diatur dalam UU No. 3 Tahun 2010. UU penolakan itu terdiri dari empat pasal. Secara substansi, pasal-pasal itu dirumuskan untuk mengamankan dan menjamin legalitas dari kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pimpinan sementara. Tampaknya, hal itu menjadi penting untuk dilakukan, mengingat pengalaman pada Perppu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) telah mengundang perdebatan mengenai keabsahan dari kebijakan bail out Bank Century yang mendasarkan diri pada Perppu JPSK. Hal itu ditambah dengan polemik keabsahan dari Jaksa Agung Hendarman Supandji karena administrasi hukum pengangkatan kembali dia sebagai Jaksa Agung. Hal lain yang juga patut untuk dicatat ialah penolakan terhadap Perppu tersebut menimbulkan pertanyaan. Jika kriminalisasi Bibit-Chandra terulang lagi terhadap Pimpinan KPK selanjutnya, Perppu sejenis akan keluar atau tidakkah lebih baik untuk mencarikan jalan keluar yang terbaik dengan melakukan desain ulang terhadap kelembagaan KPK secara keseluruhan. Apalagi, pertimbangan itu juga mengingat gerakan corruptors fight back masih akan terus berlanjut selama pemberantasan korupsi dilakukan secara gencar oleh KPK.
B. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi: Berangkat dari Kegagalan Negara Entah direncanakan atau tidak, pemberian grasi kepada Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara yang menjadi terpidana enam tahun penjara dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan tidak lama setelah revisi UU tentang Grasi disahkan. UU itu memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) untuk meminta terpidana mengajukan permohonan grasi. Selain itu, UU itu juga memberi kewenangan kepada Menhukham untuk memproses pengajuan permohonan grasi. Kewenangan itu sebelumnya berada di Sekretaris Negara. Sebagai pihak yang dianggap memegang tanggung jawab dalam mengurus permasalahan grasi, Menhukham Patrialis Akbar menjadi sasaran media sepanjang pertengahan Agustus 2010. Para jurnalis meminta penjelasan mengenai alasan pemberian grasi bagi Syaukani. Pada 15 Agustus 2010, presiden menandatangani persetujuan pemberian grasi. Berbekal grasi itu, Syaukani dapat kembali menghirup udara bebas pada 18 Agustus 2010. Tak tanggung-tanggung, potongan hukuman yang diberikan presiden adalah tiga tahun. Pemberian grasi tersebutlah yang kemudian ramai diperdebatkan banyak kalangan. Beberapa pihak menganggap bahwa pemberian grasi bagi pelaku korupsi itu tidak tepat. Selain itu, prosedur pemberiannya pun menyalahi ketentuan perundang-undangan. Namun, Menhukham punya alasan lain. Ia berdalih bahwa pemberian grasi itu dilakukan atas dasar hak asasi manusia. Syaukani dianggap sudah tidak layak menjalani hukuman karena kondisi kesehatan yang memburuk akibat penyakit parah yang dideritanya. 103
Pembahasan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi dilatarbelakangi oleh kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat ketentuan peralihan UU No. 22 Tahun 2002 yang mengatur bahwa penyelesaian pengajuan permohonan yang diajukan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi harus dilakukan dalam jangka waktu dua tahun sejak UU disahkan. UU No. 22 Tahun 2002 diundangkan pada 22 Oktober 2002. Dengan demikian, penyelasaian pengajuan grasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan harus sudah selesai pada 2004. Namun, hingga 2010 atau delapan tahun sejak UU itu disahkan, pemerintah tidak dapat menyelesaikan pengajuan permohonan grasi. Bahkan, sampai dengan Agustus 2010, jumlah tunggakan pengajuan grasi mencapai 2106 berkas. Masalahnya bukan hanya terletak pada kegagalan pemerintah, tetapi lebih besar permasalahannya pada pelaksanaan keadilan dan kepastian hukum para terpidana. Tak bisa dibayangkan apabila seorang terpidana harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan jawaban dari presiden apakah grasi yang diajukan ditolak atau dikabulkan. Permasalahan lain yang juga melatarbelakangi diajukannya perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 adalah prosedur yang ditetapkan dalam UU itu dalam praktiknya menimbulkan masalah terkait dengan kecepatan proses penanganan dan kepastian hukum. Pada UU No. 22 Tahun 2002, permohonan grasi dapat diajukan lebih dari satu kali dengan persyaratan tertentu. Pertama, permohonan grasi dapat diajukan kembali oleh terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah melewati jangka waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut. Kedua, permohonan grasi dapat diajukan kembali oleh terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi penjara seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. Ketentuan itu dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan berpotensi pada tindakan diskriminatif dalam pelaksanaannya. Sementara itu, terkait dengan proses penanganan pengajuan, ada ketentuan yang memberikan jangka waktu selama tiga bulan bagi MA untuk memproses permohonan grasi sampai dengan penyerahan pertimbangan kepada presiden. Jangka waktu tiga bulan itu dirasakan sangat lama dan dapat memberikan penderitaan baru bagi terpidana karena salah satu haknya sebagai terpidana tidak cepat mendapatkan kepastian. Bahkan, dalam praktiknya, sering kali proses itu melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam UU. Tunggakan penyelesaian permohonan grasi menjadi bukti berjalan lambatnya mekanisme untuk memberikan hak seorang terpidana. UU No. 5 Tahun 2010 berusaha memberikan solusi bagi permasalahanpermasalahan tersebut, yaitu dengan mengubah mekanisme dan mempercepat proses pemeriksaan permohonan grasi. Permasalahn tidak terselesaikannya permohonan grasi dalam jangka waktu yang diberikan UU No. 22 tahun 2002, yaitu selama dua tahun, telah menimbulkan permasalahan kekosongan hukum bagi penyelesaian permohonan grasi. Permasalahan kekosongan hukum itu sebenarnya telah terjadi pada 2004, setelah terpenuhinya jangka waktu dua tahun sejak 2002. Namun, anehnya, pemerintah baru mengajukan perubahan UU untuk mengatasi kekosongan hukum pada 2010. Pertanyaannya, sejak 2004 sampai dengan 2010 atau sekitar enam tahun, tidak ada landasan hukum yang digunakan bagi penyelesaian permohonan grasi yang telah diajukan sebelumnya. Permasalahan itu sebenarnya disadari oleh pemerintah. 104
Dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 2010, dijelaskan bahwa “tenggang waktu dua tahun ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan semua permohonan grasi tersebut sehingga penyelesaian grasi tersebut setelah 22 Oktober 2004 tidak mempunyai kekuatan hukum”. Hal itu dapat diartikan telah terjadi pengabaian pada pelaksanaan hak warga negara yang menjadi terpidana dan mengajukan grasi karena tidak ada landasan hukumnya. Andaikan ada permohonan grasi yang diajukan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950 dan diselesaikan pemerintah setelah 2004, pemberian grasi itu juga bermasalah. Pemerintah menciptakan permasalahan kepastian hukum bagi terpidana yang mengajukan grasi. Permasalahan itu kemudian dicoba diatasi oleh UU No. 5 Tahun 2010 dengan menambah jangka waktu selama sepuluh tahun untuk menyelesaikan permohonan grasi yang diajukan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950. Perpanjangan selama sepuluh tahun itu terhitung sejak tanggal pengundangan UU No. 22 Tahun 2002. Terkait dengan permasalahan pengajuan permohonan grasi yang dapat dilakukan lebih dari satu kali, UU No. 5 Tahun 2010 mengubah ketentuan itu dengan membatasi bahwa pengajuan grasi hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali. Sebelumnya, tidak diaturnya batasan pengajuan grasi dapat menimbulkan permasalahan kepastian hukum, terutama bagi terpidana mati. Pengaturan yang tidak memberi batas pengajuan grasi dapat menyebabkan tertundanya eksekusi atau pelaksanaan hukuman mati sampai dengan waktu yang tidak terbatas. Sementara itu, terkait jangka waktu proses pemeriksaan permohonan grasi oleh MA, UU No. 5 Tahun 2010 juga mempersingkat prosesnya. UU No. 22 Tahun 2002 memberi jangka waktu selama tiga bulan. Namun, ketentuan itu dianggap terlalu lama sehingga berpengaruh pada kepastian hukum bagi terpidana. UU No. 5 Tahun 2010 mempersingkat jangka waktu dengan mengubah menjadi 30 hari atau satu bulan. Salah satu substansi yang menimbulkan perdebatan adalah usulan pemerintah dalam salah satu pasal yang memberi kewenangan kepada Menhukham untuk dapat mengajukan permohonan grasi. Usul pemberian kewenangan itu ditentang oleh beberapa fraksi. FPDIP menilai bahwa Menhukham selaku pihak eksekutif tidak memiliki kewenangan dan berada pada ranah yang berbeda dengan yudikatif. Selain itu, nomenklatur “demi kepentingan hukum” sangat rawan dengan berbagai interpretasi. Selain itu, ada konsekuensi pula yang membuka peluang digunakannya wewenang itu untuk berbagai kepentingan. Selain itu, FPPP menilai bahwa pengajuan grasi adalah hak individu yang hanya dapat diwakili oleh keluarganya atau kuasa hukumnya. Sementara itu, FPG memiliki pandangan yang berbeda dengan fraksi lain. FPG menilai bahwa secara substansi, bukan masalah jika kewenangan pengajuan grasi diberikan kepada pihak lain, selain terpidana. Bisa saja, terpidana berhalangan atau tidak mengerti mengajukan grasi. Namun, FPG juga berpendapat bahwa kewenangan itu rawan disalahgunakan atau diperjualbelikan. Jadi, hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan agar kewenangan itu tidak disalahgunakan. Tabel 13 Perbandingan UU No. 5 Tahun 2010 dan UU No. 22 Tahun 2001
Ruang Lingkup Pengaturan Batasan Pengajuan Permohonan Grasi
Ketentuan Baru (UU No. 5 Tahun 2010) Satu kali
105
Ketentuan Lama (UU No. 22 Tahun 2002) Tidak terbatas dengan syarat tertentu
Ruang Lingkup Pengaturan Kewenangan Menhukham Pengajuan grasi Jangka Waktu Pemeriksaan oleh MA
Ketentuan Baru (UU No. 5 Tahun 2010) Meminta terpidana atau keluarga terpidana mengajukan permohonan grasi Satu tahun sejak putusan berkuatan hukum tetap 30 hari
Ketentuan Lama (UU No. 22 Tahun 2002) Tidak diatur
Tidak terbatas +/- 90 hari (3 bulan)
Dari sisi proses, UU tersebut dibahas dalam waktu kurang lebih enam bulan; sejak diterimanya Surat Presiden sampai dengan disahkannya UU. Surat Presiden dikirimkan kepada Pimpinan DPR pada Februari, sedangkan pengesahan dilakukan pada Juli 2010. Dalam kurun waktu enam bulan itu, beberapa rapat kerja diselenggarakan oleh Komisi III bersama dengan pemerintah yang diwakili oleh Menhukham. Selain melalui rapat kerja, pembahasan UU juga dilakukan melalui Rapat Panja. Memang, substansi yang perlu dibahas dalam revisi UU itu tidak terlalu banyak. Hanya ada lima ketentuan baru atau perubahan dimuat dalam UU itu yang terdiri dari dua ketentuan baru atau tambahan dan tiga ketentuan perubahan. Satu ketentuan yang memakan waktu pembahasan lama adalah mengenai kewenangan Menhukham dalam pengajuan permohonan grasi. Secara sekilas, ketentuan dalam UU tersebut terlihat berpihak pada kepentingan warga negara sebagai terpidana. Seperti pemotongan jangka waktu proses pemeriksaan permohonan oleh MA dan kewenangan Menhukham yang dapat bersifat aktif dengan meminta terpidana mengajukan permohonan grasi. Namun, beberapa ketentuannya masih kurang jelas, terutama pengaturan tentang kewenangan Menhukham untuk meminta terpidana mengajukan permohonan grasi. Ketentuan itu memerlukan pengaturan lebih lanjut secara rinci dalam peraturan di bawah UU. Penerapannya berpotensi menimbulkan praktik pelaksanaan hukum yang tidak adil ketika setiap terpidana tidak memperoleh perlakuan yang sama, terlebih jika Menhukham mengambil langkah tebang pilih. Terpidana kelas bawah dan awam hukum besar kemungkinan menjadi korban atas ketidakjelasan aturan itu. Peluang penyimpangan yang terjadi adalah keberpihakan aparat pelaksana peraturan kepada terpidana kelas atas atau mantan pejabat. Apalagi, kewenangan pemberian grasi ini merupakan hak prerogatif presiden.
C. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: dari Perlawanan Balik sampai Pembuktian Terbalik Akun salah satu media sosial twitter Ketua PPATK seolah menyalakan alarm tanda bahaya pada 12 Agustus 2010. Melalui media sosial itu, ia menulis: “Dalam pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, ada kabar burung bahwa Sebag Anggota DPR masuk angin. Mudah-mudahan, info ini tidak benar.” 106
Informasi singkat itu menggambarkan proses tegang dan genting yang sedang terjadi dalam diskusi Tim Perumus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Informasi itu mengkonfirmasi kabar adanya upaya dari beberapa fraksi di DPR yang berusaha menjegal beberapa perubahan dalam RUU PPTPPU. Usaha itu mengarah pada pelemahan kewenangan KPK dalam pengusutan pidana pencucian uang yang lahir dari kasus korupsi. Hal tersebut tentunya menjadi kabar yang mengkhawatirkan. Apalagi, kasus tindak pidana pencucian uang sangat sering terkait erat dengan kasus korupsi. Kewenangan KPK untuk menyidik kasus pidana pencucian uang juga selaras dengan Pasal 6 huruf b UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam peraturan itu, diberikan kewenangan kepada Pengadilan Tipikor untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Perlawanan Balik? Ada empat fraksi yang ramai diberitakan berupaya menjegal RUU PPTPPU, yaitu FPG, FPDIP, FPPP, dan Fraksi Hanura (republika.co.id, diakses pada 23 Februari 20110. Poin utama upaya penjegalan itu berbentuk penolakan atas kewenangan KPK untuk menyidik dan memeriksa Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Empat fraksi itu berupaya mempertahankan dominasi kewenangan Polri dan Kejaksaan dalam pengusutan kasus pidana pencucian uang. KPK dianggap tidak berwenang karena lembaga ad hoc, bukan lembaga permanen, seperti Kejaksaan dan Kepolisian (korantempo.com, diakses pada 23 Februari 2011). Satu hal lain yang juga menjadi perdebatan ialah pemberian kewenangan kepada PPATK untuk memblokir rekening bank yang dinilai mencurigakan. Hal itu juga ditentang keras di DPR. Salah satu orang yang menentang adalah Ahmad Yani dari FPPP. Alasannya adalah pemblokiran merupakan kewenangan penegak hukum, sementara PPATK bukanlah lembaga penegak hukum. Secara terbuka, Anggota FPG Bambang Soesatyo menuduh FPD yang merupakan partai pemerintah bermaksud menjadikan PPATK sebagai alat menyerang lawan-lawan politiknya (detiknews.com, diakses pada 23 Februari 2011). Selain prosesnya yang tertutup, pembahasan juga sempat diwarnai isu adanya suap. Beredar isu bahwa ada dana sejumlah Rp5 miliar untuk mendukung proses penjegalan. Isu suap itu terangkat pada 21 Agustus 2010 di Hotel Novotel Bogor. Saat itu, awalnya, Tim Perumus mengagendakan proses pembahasan pemantapan bahasa. Kemudian, secara mendadak, mereka melakukan pembahasan perubahan draf yang sudah disepakati di Panja mengenai kewenangan KPK dalam pengusutan pidana pencucian uang. Hal itu bertentangan dengan Tata Tertib DPR yang diatur dalam Peraturan DPR-RI No.1/DPR RI/I/2009. Pasal 145 Tata Tertib menyatakan bahwa Tim Perumus bertugas merumuskan materi sesuai keputusan Rapat Panja. Isu suap tersebut dibantah oleh Bambang Soesatyo dari FPG yang juga Anggota Tim Perumus Panja RUU PPTPPU (kompas.com, diakses pada 23 Februari 2011). Anggota Panja yang lain, Didi Irawadi, mengaku sempat juga mendengar isu itu. Didi mengharapkan persoalan itu diselidiki dan diusut agar menjadi lebih jelas (detiknews.com, diakses pada 23 Februari 2011). Akan tetapi, isu itu tidak dilanjutkan 107
dengan tindakan apa pun, baik dari DPR ataupun aparat penegak hukum yang menanganinya. Setelah melalui proses yang alot, UU tersebut akhirnya disahkan. Pada 18 Februari 2010, presiden menyampaikannya kepada DPR. Akhirnya, pada 5 Oktober 2010, Rapat Paripurna yang dihadiri 370 orang Anggota DPR mengesahkan RUU PPTPPU menjadi UU. Saat itu, UU telah diberi nomor dan menjadi UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penyidikan tindak pidana pencucian uang akhirnya diputuskan bisa dilakukan oleh penyidik pidana asal (Pasal 74 UU PPTPPU). Selaku penyidik pidana asal (Polri dan Kejaksaan), KPK, BNN, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai diberikan juga kewenangan itu. Selain itu, PPATK diberi kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi yang mencurigakan terkait pidana pencucian uang (Pasal 65 UU PPTPPU). Adapun, perintah pemblokiran hanya dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana (Pasal 71 UU PPTPPU). Pembuktian Terbalik Satu hal lain yang menarik dalam penerapan UU tersebut ialah pembuktian terbalik. Pasal 77 UU PPTPPU mengatur bahwa,”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Pembuktian terbalik tersebut langsung diterapkan dalam kasus Bahasyim Assifie di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis Hakim memvonis Bahasyim dengan 10 tahun penjara atas tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang. Bahasyim dinilai tidak berhasil membuktikan kekayaannya sebesar Rp64 miliar bukan merupakan hasil tindak pidana. Hal tersebut merupakan suatu terobosan hukum yang sangat baik. Mekanisme pembuktian terbalik itu diterapkan pertama kalinya di Indonesia. Lebih dari itu, Majelis Hakim juga membuat terobosan dengan menerapkan pembuktian terbalik tanpa perlu membuktikan pidana asal atau predicate crime-nya. Terobosan hukum tersebut memberi harapan dalam pemberantasan pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk harapan atas penegakan UU PPTPPU. Walaupun berawal dengan proses pembahasan yang alot, beberapa terobosan dalam UU PPTPPU dapat digunakan secara nyata dalam penegakan hukum. Sejak upaya rekayasa kasus kriminalisasi pimpinan KPK—yang dikenal dengan kasus Cicak vs Buaya—gerakan perlawanan balik dari koruptor (corruptors fight back) semakin nyata. Tidak hanya di ruang persidangan, perlawanan balik dari barisan koruptor juga masuk dalam ruang-ruang pembahasan legislasi. Gerakan itu akan terus berupaya menjegal berbagai terobosan yang mempersempit ruang gerak para koruptor. Oleh karena itu, terobosan hukum dalam kasus Bahasyim tersebut harus diapresiasi. Penting untuk bisa membalas balik perlawanan para koruptor.
108
D. UU NO. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan: Pemenuhan Hak Pejabat Tanpa Batasan Jelas Peraturan mengenai keprotokolan mulai diatur di Indonesia pada 1987 melalui UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. UU itu disahkan pada 28 September 1987 oleh Presiden Soeharto. UU No. 8 Tahun 1987 dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi40 dari Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau AntarlembagaLembaga Tinggi Negara.41 Setelah berlaku selama 23 tahun, UU No. 8 Tahun 1987 akhirnya dicabut dengan diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1987 dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian, terutama adanya amandemen UUD 1945 yang mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Rencana untuk melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1987 sudah dimulai pada 2005. Pada saat itu, RUU tentang Protokoler dan Keuangan DPR masuk dalam Prolegnas 2005—2009. Kemudian, pada Prolegnas 2007, RUU itu masuk sebagai RUU prioritas hasil inisiatif DPR dengan nama RUU tentang Revisi UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Persiapan draf dan naskah akademik dilakukan oleh Baleg dengan berkoordinasi dengan Departemen Hukum dan HAM (sekarang bernama Kementerian Hukum dan HAM). Dalam prosesnya, tahapan persiapan hingga pembahasan ternyata tidak selesai pada 2007, bahkan sampai masa jabatan DPR periode 2004—2009 berakhir. Dengan demikian, RUU tersebut sempat masuk kembali menjadi RUU prioritas pada 2008, 2009, dan akhirnya 2010. RUU Keprotokolan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah pada 26 Oktober 2010, kemudian disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 19 November 2010. Dampak Besar Amandemen Konstitusi Ada dua perubahan penting dalam Amandemen UUD 1945. Pertama, struktur ketatanegaraan Indonesia tidak lagi mengenal adanya perbedaan antara lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Semua lembaga yang fungsinya berkaitan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara—baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—dan dasar pembentukannya berasal dari UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan di bawahnya disebut sebagai lembaga negara (Asshiddiqie, 2006, 337—338). Kedua, UUD 1945 mengatur lembaga negara baru, baik yang diatur langsung maupun tidak langsung. Lembaga negara baru yang dibentuk langsung oleh UUD 1945 adalah DPD, MK, dan KY. Sementara itu, lembaga yang diatur tidak langsung
40 Kewenangan delegasi dalam peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan yang lebih tinggi ke peraturan yang lebih rendah. Baca Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-andangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 1007, hlm. 56.
Mandat yang dimaksud diatur dalam Bab IV tentang Hak Keuangan/Administratif dan Kedudukan Protokoler Pasal 12 jo. Pasal 13. 41
109
adalah komisi pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 dan bank sentral yang diatur dalam Pasal 23 D UUD 1945. Kedua perubahan tersebut membuat UUD 1945 lebih cocok untuk dikatakan “berubah total” dibandingkan “direvisi”. Perubahan dalam UUD 1945 berdampak pada peraturan perundang-undangan lain di bawahnya. Hal itu disebabkan UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam tata urutan di Indonesia. Hal itulah yang menjadi dasar revisi UU No. 8 Tahun 1987 menjadi UU No. 9 Tahun 2010. Besarnya pengaruh amandemen terhadap UUD 1945 terhadap UU No. 8 Tahun 1987 tercermin dari pendapat akhir mini42 seluruh fraksi yang ada di DPR pada saat UU itu akan disahkan. Hal itu menandakan kesepakatan semua fraksi terkait perubahan sistem ketatanegaraan sebagai akibat dari amandemen UUD 1945 menjadi alasan utama dalam merevisi UU No. 8 Tahun 1987. Secara khusus, perubahan struktur ketatanegaraan tersebut berpengaruh terhadap pengaturan mengenai Tata Tempat dalam Pelaksanaan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dalam pengaturan di UU No. 9 Tahun 2010. Istilah lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara tidak lagi dipakai dalam UU No. 9 Tahun 2010. Dengan demikian, dalam pengaturan mengenai tata tempat di UU No. 9 Tahun 2010, harus disebutkan satu per satu lembaga negara yang ada. Selain lembaga negara yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 8 Tahun 1987, pengaturan Tata Tempat dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2010 juga memasukkan lembaga negara lain, yaitu: 1. mantan presiden dan wakil presiden; 2. perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan; 3. pimpinan partai politik; 4. pemilik tanda jasa kehormatan; 5. pimpinan tertinggi representasi keagamaan tingkat nasional; dan 6. pejabat daerah, seperti gubernur, bupati/walikota, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Pengaturan mengenai tata tempat dalam UU No. 9 Tahun 2010 tidaklah semata-mata mengatur posisi perwakilan lembaga negara pada Acara Kenegaraan atau Acara Resmi lain. Namun, peraturan itu secara tidak langsung merupakan tafsiran dari posisi setiap lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dalam konteks itu, memperhatikan posisi KPU dan Bawaslu. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dua lembaga negara tersebut diatur secara tidak langsung dalam UUD 1945. Maksud dari pengaturan tidak langsung adalah UUD 1945 tidak menuliskan nama KPU dan Bawaslu dengan huruf besar43. Artinya, kedua lembaga negara itu tidak dibentuk langsung oleh UUD 1945, tetapi 42 Pendapat akhir mini adalah pendapat akhir yang disampaikan oleh fraksi atau DPD, apabila RUU yang dibahas berkaitan dengan kewnangannya. Pendapat akhir mini tersebut disampaikan pada akhir pembahasan tingkat I, sebelum diambil keputusan, umtuk kemudian pembahasan dilanjutkan kepada pembahasan tingkat II. Baca Tata Tertib DPR Periode 2009-2014, Ps.136 ayat (1) dan (5)
Dalam hal ini, KPU-Bawaslu dituliskan komisi pemilihan umum, sedangkan BI dituliskan bank sentral. 43
110
diatur kemudian dalam UU. Oleh karena itu, dalam UU No. 9 Tahun 2010, posisi KPU dan Bawaslu tidak disejajarkan posisi keprotokolannya dengan lembaga negara lain yang pembentukannya langsung diatur dalam UUD 1945, seperti DPR, MK, atau KY. Selain itu, Pasal 9 ayat (1) huruf m UU Keprotokolan tidak menyebutkan KPU sebagai satu lembaga tersendiri, tetapi disebut sebagai “Badan Penyelenggara Pemilihan Umum”. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Badan Penyelenggaraan Pemilihan Umum” adalah Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Pengaturan itu berdasar pada Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 yang menafsirkan pengaturan mengenai komisi pemilihan umum pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 mencakup KPU dan Bawaslu. Penerapan Sanksi bagi Pelaksana Protokoler Arti penting lain dari pembentukan UU No. 9 Tahun 2010 adalah memastikan adanya ketentuan dalam pelaksaan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi lain yang melibatkan tamu dari negara lain sehingga dapat berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur. Arti penting itu diungkapkan pula secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan di Rapat Kabinet terbatas, pada 6 Mei 2010 (legalitas.org, diakses pada 7 Mei 2010). Pentingnya penyelenggaraan keprotokolan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi lain di Indonesia, baik melibatkan tamu dari negara lain ataupun tidak, memunculkan pendapat bahwa dibutuhkan sanksi bagi pelaksana protokoler yang lalai dalam menyelenggarakan tugasnya (dpr.go.id, diakses pada 13 Januari 2010). Contoh kasus yang relevan untuk diangkat adalah kelalaian yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPR yang tidak mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada Sidang Paripurna DPR, Jumat 14 Agustus 2009. Acara kenegaraan itu mengagendakan Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-64 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kejadian itu sempat menjadi perbincangan hangat masyarakat. Sekretariat Jenderal DPR menjadi pihak yang paling disalahkan karena bertindak sebagai penyelenggara kegiatan. Kasus di atas memperlihatkan bahwa kelalaian dalam penyelenggaraan protokoler dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi lain tidak mustahil terjadi. Lebih dari itu, kelalaian yang terjadi dapat menimbulkan citra buruk terhadap lembaga negara penyelenggara ataupun bahkan citra negara. Salah satu fraksi yang gencar dalam mengusulkan ketentuan sanksi itu adalah FPDIP. Dalam pandangan mininya, FPDIP menuliskan bahwa ketentuan sanksi dibutuhkan agar protokoler dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian karena berkaitan dengan wibawa dan kehormatan negara dan/atau lembaga negara terkait. Namun, dalam draf terakhir UU Keprotokolan, usulan mengenai perumusan sanksi tidak diakomodasi. Alasan yang mengemuka adalah pemberian sanksi yang diatur dalam UU bukanlah solusi tepat. Kelalaian itu berada dalam ranah teknis administrasi pelaksanaan. Oleh karena itu, penerapannya lebih tepat ditempatkan dalam aturan pelaksanaannya, seperti dalam petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan protokoler di instansi penyelenggara masing-masing. Tidak adanya perumusan ketentuan sanksi dalam UU No. 9 Tahun 2010 berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum ketika ada ketentuan dalam UU itu 111
yang dilanggar. Selain itu, dampak lainnya adalah UU itu menjadi sangat lemah untuk diimplementasikan karena turut mengatur ketentuan utama, yaitu berupa perintah, kebolehan, dan larangan. Prinsip Penggunaan Anggaran yang Terabaikan Isu anggaran kerap menjadi perhatian khusus dalam pembentukan suatu UU. Anggaran yang terbatas selalu dihadapkan dengan kebutuhan yang besar untuk melaksanakan substansi dari UU itu. Dengan demikian, keputusan akhir harus bermuara pada political will dari pembentuk UU. Isu anggaran pun muncul dalam pembahasan RUU tentang Keprotokolan. Pengunaan anggaran keprotokolan sering kali menjadi perhatian publik dalam beberapa kasus, terutama, karena jumlahnya yang besar. Sebagai contoh kasus adalah anggaran protokoler yang dikeluarkan untuk kegiatan pelantikan Anggota DPR/DPD pada 1 Oktober 2009. Dari data yang ada, tercatat anggaran untuk protokoler berada dalam satu mata anggaran tersendiri, yaitu sebesar Rp112,5 juta (kompas.com, diakses pada 29 September 2009). Besaran anggaran itu dialokasikan untuk menyelenggarakan satu kali acara kenegaraan. Selain itu, anggaran keprotokolan yang diperoleh tiap pejabat negara pun tidak luput dari perhatian publik. Fakta tersebut menunjukkan keprotokolan berpotensi menyerap anggaran yang tinggi. Apabila melihat substansi pengaturan dalam UU No. 9 Tahun 2010 maupun UU No. 8 Tahun 1987, penyebab dari kondisi itu adalah banyaknya pihak yang diatur dalam UU tentang keprotokolan itu. Dengan penggunaan dana yang tinggi, timbul risiko adanya pemborosan anggaran atau beban yang tinggi terhadap keuangan negara. Jadi, pengunaannya harus berdasar pada prinsip efektif dan efisien serta dijiwai oleh prinsip transparansi atau akuntabilitas dalam pengelolaannya. Akan tetapi, isu anggaran tersebut tidak mengemuka seperti isu perubahan struktur ketatanegaraan dalam pembahasan RUU tentang Keprotokolan. Tercatat, hanya FPDIP yang mengemukakan prinsip penggunaan anggaran dalam catatan khusus pendapat mininya, walaupun secara umum FPDIP menerima draf akhir RUU tentang Keprotokolan yang akhirnya disahkan menjadi UU No. 9 Tahun 2010. Dengan demikian, dalam UU No. 9 Tahun 2010, prinisp efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran keprotokolan tidak diakomodasi. Bahkan, dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2010, tidak ada satu pun asas yang berkaitan dengan penggunaan anggaran.44 Tidak dikendalikannya pemakaian anggaran dapat berdampak pada potensi pemborosan yang lebih tinggi. Pemakaian anggaran yang berlebihan hanya akan mengundang rasa ketidakadilan bagi masyarakat, terlebih urusan protokoler bukanlah praktik yang menyangkut langsung pada kehidupan dasar mayoritas warga negara. Kondisi itu berpotensi memberikan kontribusi pada terciptanya
1. 2. 3. 4.
44Asas yang tercantum dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2010, yaitu: keseimbangan; ketertiban dan kepastian hukum; keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; serta timbal balik.
112
kesenjangan jarak yang lebih jauh antara pejabat negara atau pejabat pemerintahan dan masyarakat.
E. UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya: Perubahan Penuh Tanda Tanya RUU Cagar Budaya mungkin satu dari sekian RUU yang dibahas dan kemudian ditetapkan dalam waktu yang relatif singkat. Total waktu pembahasannya—dari mulai munculnya inisiatif perubahan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya oleh DPR hingga RUU itu kemudian ditetapkan—kurang lebih hanya sekitar enam bulan. Memang, bukan tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu, pembahasan didasarkan pada satu kebutuhan yang mendesak dan memang diharapkan oleh para pemangku kepentingan. Namun, dalam hal ini, patut diragukan efektivitas pembahasan yang dilakukan. Selain itu, perlu diwaspadai keberadaan beberapa pasal pidana yang hanya didasari semangat untuk menindak tegas adanya ancaman terhadap benda-benda cagar budaya. Pasal pidana itu tidak didasari suatu paradigma yang lebih komprehensif. Dengan demikian, pasal itu justru dapat mengancam perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara. Kesimpulan-kesimpulan itu setidaknya dapat dilihat dari tiga analisis di bawah ini. Pertama, apabila dilihat dari perdebatan yang ada, aspirasi yang datang dari para pegiat kebudayaan ternyata justru tidak dimasukkan dalam UU itu. Aspirasi itu menyangkut pengertian ’cagar budaya’. Para pegiat kebudayaan pada prinsipnya menghendaki bahwa perlindungan pemerintah seharusnya tidak hanya menyangkut perlindungan “cagar budaya” dalam arti warisan budaya yang berupa benda, tetapi juga yang berupa bukan benda. Pendapat itu antara lain mengemuka dalam penjaringan aspirasi di Universitas Gadjah Mada (ugm.ac.id, diakses pada 22 Februari 2011). Memang, terdapat keragaman pendapat di antara pegiat kebudayaan, yaitu pengaturan warisan budaya bukan benda itu sebaiknya berada dalam UU yang sama atau terpisah. Setidaknya, ada kesepakatan bahwa peraturan yang meminta pemerintah untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya bukan benda perlu ditulis. Namun, perdebatan itu sama sekali tidak terlihat dalam pembahasan RUU Cagar Budaya. Hal yang tampak menonjol dari perubahan pengertian ‘cagar budaya’ adalah adanya penambahan ruang lingkup lokasi keberadaan benda itu. Artinya, benda yang dimaksud bukan hanya meliputi benda-benda yang ada di darat, tetapi juga benda-benda yang ada di (dalam) air. Tak jelas betul pengaturan mengenai perlindungan benda-benda di (dalam) air di UU sebelumnya. Yang jelas, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya tidak mengatur secara eksklusif benda-benda yang berada di darat saja. Kedua, apabila dicermati, tidak ada perubahan baru yang diusung oleh DPR, kecuali pemidanaan yang diperberat. Perubahan seperti ini dapat dimaklumi, apalagi jika mengamati pidana denda yang tentu saja harus selalu disesuaikan dengan nilai mata uang yang terus berubah. Hanya saja, tidak terdapat poin atau pendapat yang secara spesifik menyatakan bahwa perubahan nilai mata uang itulah yang dijadikan landasan perubahan ketentuan pidana itu. Alasan memperberat sanksi pidana yang diusung adalah mengefektifkan usaha perlindungan dan pelestarian warisan budaya di tanah air. Padahal, dilihat dari perubahan yang ada, 113
justru terdapat sanksi pidana yang hilang, yaitu terkait ancaman pidana terhadap pihak yang tidak melaporkan rusak dan/atau hilangnya benda cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai partikulir.45 Selain itu, tampak jelas adanya perubahan toleransi kewajiban untuk melapor dalam hal benda cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya rusak dan/atau hilang. Sebelumnya, batas waktu yang diberikan adalah 14 hari, kemudian diubah menjadi 30 hari.46 Jadi, ada pertanyaan terkait kejadian itu, yaitu seberapa serius pembuat UU membuat suatu kebijakan pidana yang komprehensif untuk melindungi dan melestarikan benda cagar budaya. Pertanyaan lainnya adalah latahtidaknya pembuat UU untuk menghasilakn aturan yang represif untuk menghasilkan tatanan yang tertib dengan sendirinya. Kalau melihat peraturan sebelumnya, sebagian besar materi dijadikan isi peraturan baru ini. Jadi, seharusnya, permasalahan yang ada perlu dikaji kembali. Alasan ketidakefektifan peraturan itu patut dipertanyakan, misalnya hanya semata hukuman pidana yang terlalu ringan. Intinya, seharusnya kajian yang lebih mendalam perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum pembuat UU berkeputusan utnuk merevisinya. Selain itu, pemangku kepentingan yang memang bergelut dengan permasalahan itu harus diakomodasi. Ketiga, apabila ketentuan pidana yang ada dicermati, paling tidak terdapat satu aturan pidana yang dirumuskan dengan serampangan serta menimbulkan ancaman perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Dalam Pasal 104 UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diatur bahwa: “setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Dalam peraturan itu tertulis upaya Pelestarian Cagar Budaya tanpa makna yang jelas. Menurut ketentuan umum, pengertian pelestarian adalah ’upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya’. Dengan demikian, upaya Pelestarian Cagar Budaya dapat diartikan dalam berbagai macam bentuk serta berbagai alasan. Padahal, bentuk tindakan atau alasan tindakan itu dilakukan bukan tidak mungkin dapat berbenturan dengan kepentingan atau kehendak masyarakat. Intinya, tidak ada ukuran yang dapat dijadikan rujukan, upaya apa yang tidak boleh dicegah, dihalang-halangi, atau digagalkan oleh warga negara yang bisa saja dilanggar haknya. Pasal seperti itu tentu berpotensi menjadi pasal karet yang dapat dijadikan alat represi. Meskipun demikian, untuk tetap menghormati praduga tak bersalah, harus dilihat terlebih dahulu implementasinya. Akhir kata, perubahan UU tentang Cagar Budaya masih mengundang banyak pertanyaan. Tiga analisis di atas memperlihatkan bahwa para pemangku kepentingan tidak benar-benar dilibatkan. Masalah pengelolaan cagar budaya yang dalam bahasa jargon disebut “pengelolaan yang berbasis masyarakat”, pada kenyataannya, tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Bahkan, Lihat Pasal 28 sub b UU No. 5/1992 tentang Cagar Budaya (lama). Bandingkan ketentuan Pasal 9 UU No. 5/1992 tentang Cagar Budaya (lama) dengan Pasal 19 UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. 45 46
114
poin perdebatan yang di mata pemangku kepentingan dipandang penting seolah raib dalam pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Paradigma yang digunakan masih tetap paradigma pemidanaan. Pembuat UU tetap berpandangan bahwa semakin keras ancaman pidana, aturan itu akan semakin efektif. Namun, praktiknya tetap harus diperhatikan apakah masih sesuai atau tidak. Paradigma untuk bertindak represif itu pada akhirnya justru mengakibatkan pembuat UU abai pada prinsip kejelasan rumusan. Hasilnya terlihat pada pasal 104 yang telah dibahas di atas. Selain itu, kurangnya komunikasi dengan para pemangku kepentingan serta tidak didasarinya RUU dengan kajian yang komprehensif membuat beberapa poin positif yang ada dalam perubahan UU tersebut menjadi sia-sia. Diaturnya peran aktif pemerintah untuk melakukan pencarian dan pendaftaran benda cagar budaya serta peran para ahli arkeologi dalam proses pendaftarannya sebenarnya suatu hal yang patut diapresiasi. Akan tetapi, tanpa komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan, pelaksanaan UU itu masih diragukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat pada pelaksanaannya. Hal mendasar tersebut dilupakan oleh pembuat UU. Pemangku kepentingan sepertinya akan terus mengambil posisi oposisi terhadap pemerintah dalam usaha pelaksanaan UU itu. Padahal, dalam pelaksanaannya, dukungan masyarakat sangat dibutuhkan, apalagi jika pemerintah lalai dengan janjinya sendiri. Sebagai contoh, perhatikan kasus Benteng Somba Opu di Sulawesi Selatan yang mulai meledak pada akhir 2010. Pemerintah daerah mengizinkan pembangunan pusat rekreasi yang berpotensi mengancam warisan budaya. Kasus itu menjadi batu uji pertama bagi pemerintah dalam pelaksanaan UU itu. Masyarakat pun menjadi mempertanyakan mengenai posisi pemerintah yang memberikan ancaman pada warisan budaya.
F. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka: Kerancuan Konsep Kepanduan Salah satu organisasi yang cukup unik keberadaannya di Indonesia adalah Gerakan Pramuka. Organisasi itu termasuk organisasi yang berada di wilayah abuabu; bukan organisasi negara, tetapi diatur oleh negara. Gerakan Pramuka pada mulanya merupakan bentukan pemerintah melalui Keppres No. 238 Tahun 1961. Keppres itu muncul mengingat terjadinya pertarungan politik antara kaum komunis dan nonkomunis.47 Gerakan Pramuka selama Orde Baru dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Organisasi itu menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pendidikan kepanduan di Indonesia. Hal itu terjadi mengingat pemerintah mendukung penuh keberadaan Gerakan Pramuka. Dukungan tidak hanya dalam bentuk anggaran, tetapi dukungan dalam bentuk kebijakan, seperti adanya tambahan nilai bagi para guru yang ikut terlibat sebagai pembina Pramuka, keterlibatan pejabat dalam kepengurusan, dan kemudahan fasilitas untuk kegiatan kepramukaan. Gerakan Pramuka pun selalu dilibatkan dalam pembangunan serta penanganan ketika terjadi bencana alam. 471.
Lengkapnya dapat membaca buku “75 Tahun kepanduan di Indonesia: Patah tumbuh hilang berganti”, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 1984.
115
Namun, ketika Orde Baru runtuh, Gerakan Pramuka pun terimbas. Pemerintah lebih memprioritaskan penyelamatan ekonomi dan sibuk menangani riuhnya perpolitikan. Selain itu, yang makin menyulitkan keberadaannya adalah muncul kembali organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka, seperti Hizbul Wathan, Pandu Keadilan, dan organisasi kepanduan yang dikelola lembagalembaga pendidikan keagamaan. Hal itu tentu saja menyulitkan pengelola Gerakan Pramuka dalam bersikap. Di satu sisi, para pengelola Gerakan Pramuka harus bertahan menghadapi lemahnya dukungan pemerintah. Hal itu terlihat dari tidak adanya anggaran dari pemerintah, juga tidak banyak dilibatkannya pada program-program pemerintah— khususnya yang berkaitan dengan pendidikan nasional—dan program-program lain. Pada era itu, tidak ada nilai tambah yang berarti untuk guru apabila aktif membina di Gerakan Pramuka. Terlebih, pengelola Gerakan Pramuka secara konsisten berusaha agar tidak terseret oleh kepentingan politik yang berefek cukup menyulitkan pengelola Gerakan Pramuka itu sendiri. Di sisi lain, organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka melihat bahwa kepentingan mereka selama ini tidak terakomodasi dengan baik oleh Gerakan Pramuka. Selain itu, besarnya organisasi Gerakan Pramuka dan banyaknya pejabat publik yang terlibat dalam kepengurusan Gerakan Pramuka berimplikasi pada manajemen organisasi itu menjadi terlalu birokratis dan bergerak secara lamban. Hal lain yang membuat organisasi itu makin lamban adalah ketergantungan kepada pemerintah yang sangat tinggi, khususnya di tatanan pengelola Gerakan Pramuka di tingkat Kwartir (pengelola Gerakan Pramuka atas suatu wilayah yang mengikuti wilayah administrasi pemerintahan), dari Kwartir Nasional di level pusat sampai Kwartir ranting di tingkat kecamatan. Para pengelola Gerakan Pramuka mengalami kesulitan dalam bersikap. Apabila mereka mengajukan tuntutan pembubaran organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka karena melanggar Keppres No. 238 Tahun 1961 kepada penegak hukum mengenai keberadaan organisasi penyelenggara kepanduan di luar Gerakan Pramuka, ditakutkan Keppres No. 238 Tahun 1961 justru dicabut oleh MA. Sebenarnya, hal itu pun tidak sesuai dengan prinsip pembinaan dalam kepanduan, yaitu semangat kebersamaan. Sedikit gambaran alasan ketakutan itu timbul. Pasal 2 Keppres No. 238 Tahun 1961 menyatakan bahwa di seluruh wilayah Republik Indonesia, perkumpulan Gerakan Pramuka dengan Anggaran Dasar sebagaimana tertera pada lampiran keputusan ini adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan kepanduan itu. Pasal 3 menyebutkan badan-badan lain yang sama sifatnya atau yang menyerupai perkumpulan Gerakan Pramuka dilarang keberadaannya.48 Jadi, sebenarnya, organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka tidak diperbolehkan secara hukum. Menghadapi kesulitan tersebut, Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka 2003 di Pontianak Kalimantan Barat mengeluarkan rekomendasi agar Gerakan Pramuka sebagai aset bangsa yang awalnya diatur dalam Keppres diubah menjadi UU.49 Rekomendasi itu diharapkan dapat menyelesaikan kedua permasalahan
Lihat Indonesia. Keppres nomor 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka Lihat Rekomendasi Munas Gerakan Pramuka 2003 pada Buku “Hasil Munas Gerakan Pramuka 2003 di Pontianak, Kalimantan Barat” terbitan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 2004. 48 49
116
utama, yaitu adanya kepastian hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan kepanduan dan dukungan negara terhadap pendidikan kepanduan. Rekomendasi tersebut mendapatkan pintu masuk ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan revitalisasi Pramuka di Cibubur pada 14 Agustus 2006 ketika menyampaikan amanat dalam Upacara Hari Pramuka. Namun, pada 2010, Gerakan Pramuka baru berhasil diajukan sebagai RUU melalui inisiatif DPR. Hilangnya Kata Pandu Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah nama UU yang digunakan, yaitu antara Kepramukaan atau Gerakan Pramuka. Hal itu menarik karena pada pengesahan untuk mulai membahas RUU, nama yang digunakan adalah RUU tentang kepramukaan. Menurut Popong Otje Djundjunan, Anggota DPR dari FPG, alasan mendasar menggunakan nama RUU tentang Gerakan Pramuka bagi pemerintah adalah penghargaan kepada pendiri Pramuka, dalam hal ini sama dengan nama Keppres No. 238 Tahun 1961. Alasan lainnya adalah di beberapa negara berbeda, Scout Move yang bermakna Gerakan Pramuka juga digunakan. Hal menarik lainnya yaitu hilangnya istilah pandu dalam UU. Istilah pandu dalam UU ini hanya disebut dalam penjelasan. Bahkan istilah ini direduksi istilah yang muncul pada era Hindia Belanda, hal ini bisa dilihat pada bagian Umum paragraf kedua. Padahal sampai Keppres nomor 24 tahun 2009 tentang pengesahan anggaran dasar Gerakan Pramuka, kata pandu masih muncul dalam pengertian Gerakan Pramuka, yaitu Gerakan Kepanduan Praja Muda Karana. Apabila memerhatikan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, kata pandu tidak identik dengan Pramuka, hanya menyebutkan anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian seragam khusus, bertujuan mendidik anggotanya supaya menjadi orang yang berjiwa kesatria, gagah berani, dan suka menolong sesama mahkluk. Namun, pada kata Pramuka sama dengan pandu. Dengan demikian, logikanya adalah ketika ada organisasi menggunakan kata pandu, misalkan Pandu Hizbul Wathan atau Pandu Keadilan, maka organisasi tersebut tidak harus tergabung dalam Gerakan Pramuka. Namun, UU No. 12 Tahun 2010 secara resmi menyebutnya dengan istilah pramuka, bukan pandu. Rumitnya Mencari Bentuk Organisasi yang Sesuai Cukup sulit memang untuk meyakinkan pentingnya penyelenggaraan pendidikan kepanduan diatur dalam bentuk UU. Hal ini sangatlah wajar, karena tidak banyak yang merasakan langsung manfaat dari pendidikan kepanduan apabila dibandingkan dengan UU berkaitan dengan ekonomi dan politik. Namun, pada umumnya setiap fraksi di DPR sepakat bahwa pendidikan kepanduan sangat penting dalam pendidikan bagi kaum muda, khususnya dalam pendidikan menjadi warga negara yang baik. Hal itu terlihat dari pandangan fraksi-fraksi DPR dan tanggapan akhir Presiden dalam Rapat Paripurna DPR pada 26 Oktober 2010. Bahasan yang relatif cukup ramai menjadi perbincangan adalah bentuk organisasi pengelola pendidikan kepanduan. Hal itu terlihat ketika draf RUU inisiatif DPR mengusulkan organisasi pengelola pendidikan kepanduan dalam
117
bentuk asosiasi.50 Bagi pengurus Gerakan Pramuka, hal itu tentu saja di luar dari harapan mereka. Organisasi yang ada saja sudah rumit. Kalau dalam bentuk asosiasi, pengelolaannya akan menjadi lebih rumit lagi. Organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan, seperti Hizbul Wathan, masih berkukuh istilah yang digunakan adalah kepanduan. Organisasi lain yang banyak menerapkan prinsip-prinsip kepanduan, yaitu Pandu Keadilan, kesulitan berpendapat mengingat salah satu prinsip universal dalam kepanduan sedunia adalah nonpolitik. Artinya, kepanduan tidak mengikuti atau berada dalam salah satu partai politik tertentu dan tidak berpolitik praktis, sedangkan Pandu Keadilan secara organisasi langsung di bawah partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera. Namun, dalam pembahasan dengan pemerintah, draf RUU versi DPR berubah total. Gerakan Pramuka merupakan penyelenggara pendidikan kepramukaan di Indonesia. Akan tetapi, organisasi-organisasi penyelenggara pendidikan kepanduan, seperti Hizbul Wathan dan Pandu Keadilan tetap diperbolehkan untuk menyelenggarakan aktivitasnya. Aturan teknisnya pun diatur dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka. Dalam pandangan beberapa fraksi berkaitan dengan bentuk organisasi tersebut, FPG, FPAN, FPKS, dan Fraksi Partai Gerindra mewanti-wanti agar Gerakan Pramuka mampu mewadahi, menampung, dan mengayomi semua jenis kelembagaan yang menyelenggarakan gerakan kepanduan di Indonesia. Kelembagaan itu menjadi rumah bersama dalam melakukan pendidikan kepanduan di Indonesia. Kedudukan kepanduan/kepramukaan itu setara dalam Gerakan Pramuka. Pembahasan lain yang cukup penting adalah mengenai pengurus kwartir. Selama ini pengurus Kwartir banyak diisi oleh para pejabat atau birokrat pada level pimpinan organisasi. Kondisi itu diperparah dengan tidak memahaminya proses pendidikan kepramukaan dan tidak pernah aktif dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan pejabat atau birokrat yang menjadi pengurus tersebut. Hal itu terjadi karena ketergantungan kwartir kepada pemerintah sangat tinggi, khususnya dalam hal pendanaan. Banyaknya pengurus yang tidak kompeten dan tidak aktif merupakan salah satu penyebab organisasi Gerakan Pramuka berjalan sangat lamban Oleh karena itu, adanya Pasal 27 ayat (2) dari UU ini yang menyatakan kepengurusan kwartir tidak terikat dengan jabatan publik diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah. Meskipun demikian, kalimat itu cukup rancu karena dapat memberikan penafsiran yang berbeda. Kalimat ini bisa saja ditafsirkan, bahwa seorang pejabat publik tidak masalah apabila menjadi pengurus kwartir. Hal itu tergantung Anggaran Dasar Gerakan Pramuka nantinya dalam memberikan tafsiran atas ayat itu. Posisi pemerintah—yang lebih berperan sebagai pembina dan pengawas— memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Anggota Pramuka untuk menjalankan organisasinya tanpa ketergantungan dengan pejabat publik. Dengan demikian, sebenarnya sangat jelas, pejabat-pejabat publik lebih ditempatkan dalam Di Balik Perubahan Nama RUU Kepramukaan Menjadi RUU Gerakan Pramuka, http://www.jurnalparlemen.com/news/2010/10/di-balik-perubahan-nama-ruu-kepramukaanmenjadi-ruu-gerakan-pramuka, diakses pada 19 Oktober 2010. 6.Lihat draf RUU tentang Kepramukaan Inisiatif DPR yang diajukan pada rapat paripurna DPR RI, 25 Mei 2010. 50
118
Majelis Pembimbing, bukan pengurus. Untuk itu, apabila ternyata masih banyak juga pejabat publik yang masuk dalam jajaran pengurus kwartir, perilaku itu sangatlah keterlaluan, baik bagi pejabat publik maupun Pramuka dewasa yang ada dalam Gerakan Pramuka. Hal positif lain yang berkaitan dengan organisasi adalah langsung dipilih dan ditetapkannya kepengurusan dalam musyawarah. Asumsinya, setelah musyawarah, kepengurusan langsung dapat bekerja sehingga roda organisasi akan jauh lebih efektif. Permasalahannya selama ini adalah bertele-telenya formatur dalam menyusun kepengurusan dan lambatnya kepengurusan kwartir untuk dilantik Ketua Majelis Pembimbing. Sebagai gambaran, kepengurusan Kwartir Nasional 2008—2013 baru bisa resmi bekerja setelah satu tahun penyelenggaraan Musyawarah Nasional akibat menunggu Presiden selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional berkesempatan untuk melantik pengurus Kwartir Nasional. Secara keorganisasian, UU tersebut cukup banyak memberi terobosan, yang memberikan ruang kepada organisasi penyelenggara kepramukaan selain Gerakan Pramuka agar dapat aktif secara legal. Namun, dari sisi pendidikan kepramukaan, UU itu terlalu teknis mengatur dan mengubah istilah yang ada. Dengan demikian, Anggota Gerakan Pramuka cukup sulit untuk penyesuaian. Misalkan, UU menyebutkan bahwa Pramuka Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega beserta batasan usianya. Belum tentu, organisasi kepramukaan selain Gerakan Pramuka menggunakan istilah tersebut. Selain itu, karena diatur juga batasan usianya, seperti siaga 7-10 tahun, penggalang 11-15 tahun, penegak 16-20 tahun dan 21-25 tahun, maka apabila ada seorang anggota berusia 19 tahun namun sudah menjadi Pandega, maka anggota itu melanggar UU. Istilah Pramuka selama ini dalam Gerakan Pramuka adalah anggota muda yang berusia 7 sampai 25 tahun. Namun, dalam UU tersebut, Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif dalam pendidikan kepramukaan serta mengamalkan Satya Pramuka dan Darma Pramuka. Dengan demikian, semua Anggota Gerakan Pramuka disebut Pramuka. Jadi, apabila sebelumnya seorang pembina disebut pembina pramuka, berdasar UU itu disebut Pramuka Pembina. Tantangan Awal, Menyusun Anggaran Dasar Tantangan awal pascapengesahan UU tersebut adalah penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka. Aturan teknis yang perlu diatur dalam ADART mencakup setidaknya tiga hal, yaitu: 1. organisasi pendukung Gerakan Pramuka, 2. tugas, fungsi, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja gugus depan, kwartir, dan majelis pembimbing; serta 3. penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan UU. Ketiga hal tersebut sangatlah penting khususnya yang berkaitan dengan pewadahan secara tepat keberadaan organisasi kepramukaan. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah Anggaran Dasar berpeluang tidak mengakomodasi seluruh aspirasi organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka serta belum tentu sesuai dengan pandangan fraksi dalam penyusunan UU. Dengan demikian, Gerakan Pramuka justru bisa mendapat bumerang.
119
Salah satu kesulitan Gerakan Pramuka adalah peserta Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka hanya diikuti oleh Kwartir Nasional dan Kwartir Daerah.51 Apabila Gerakan Pramuka—dalam hal ini Kwartir Nasional dan Kwartir Daerah— tidak dapat membahas secara terbuka dan mengajak organisasi-organisasi kepramukaan di luar Gerakan Pramuka untuk membahasnya bersama-sama, kemungkinan adanya ketidakpuasan pun cukup besar. Begitu pula wadah-wadah organisasi baru dalam Gerakan Pramuka, seperti Darma Pramuka. Seandainya Gerakan Pramuka tidak bisa mewadahi dengan baik, masalah baru pun akan timbul. Untuk itu, pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga diharapkan dapat terbuka pembahasannya, baik dalam penyusunan draf maupun dalam pengambilan keputusan. Pembahasan penyusunan diharapkan dapat melibatkan berbagai pihak yang berkaitan dengan UU dan bahan-bahan pembahasan itu dapat diakses oleh publik, paling tidak para pemangku kepentingan dalam isu kepramukaan. Dengan demikian, kebebasan berkumpul dan berserikat berbagai organisasi kepanduan tetap dapat terjamin.
G. UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura: Dari Kekhasan Hingga Kebangsaan Dampak globalisasi kembali menjadi pemicu untuk membentuk UU baru bagi negara ini. Kebijakan yang menjadi kerangka sistem perdagangan internasional dianggap tidak lagi berpihak kepada negara-negara dunia ketiga. Negara-negara berkembang itu harus menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya dengan kebijakan global yang pembentukannya didominasi oleh negara-negara industri. Kondisi itu menjadi sebagian latar belakang pemerintah menginisiasi pembentukan UU Hortikultura, mengingat Indonesia termasuk dalam kelompok negara berkembang dengan kekayaan alam melimpah. Keberadaan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dianggap hanya memberikan perlindungan terbatas pada jenis tanaman pangan dan belum mengakomodasi proteksi bagi komoditas hortikultura. Naskah akademik RUU Hortikultura mencantumkan tujuh alasan yang mendasari perlu dibentuknya pengaturan komoditas hortikultura secara tersendiri pada level UU. Ketujuh alasan itu diuraikan sebagai berikut. 1. Karakteristik pengembangan usaha hortikultura berbeda dengan tanaman pangan maupun perkebunan, khususnya menyangkut pola pengusahaan, penanganan produksi dan pascapanen, kebutuhan sarana dan prasarana, serta tata niaga dan kelembagaan. 2. Komoditas hortikultura pada umumnya cepat rusak, memakan tempat, dan pemanfaatannya bernilai tinggi apabila dalam bentuk segar. 3. Komoditas hortikultura sangat berorientasi pasar, bahkan sebagian sangat ditentukan oleh selera konsumen. Oleh karena itu, pengembangan komoditas hortikultura harus memperhatikan dinamika selera konsumen yang beragam.
51
Lihat Indonesia. Keppres No. 24 Tahun 2009 tentang Anggaran Dasar Gerakan Pramuka.
120
4. Komoditas hortikultura termasuk dalam kelompok tanaman yang pengembangannya dapat mendukung program pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi kerakyatan. 5. Usaha budidaya sebagian jenis komoditas hortikultura perlu dilakukan di bawah kondisi rumah lindung dengan modifikasi lingkungan fisik yang bersifat spesifik komoditas. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus dalam pembudidayaannya. 6. Komoditas hortikultura sangat potensial dikembangkan sebagai komoditas ekspor. Berbagai negara, seperti Belanda, Thailand, dan Taiwan mampu menjadikan komoditas hortikultura sebagai penghasil devisa terbesar yang memberi kontribusi nyata terhadap Pendapatan Domestik Bruto. 7. Peran subsektor hortikultura di dalam perekonomian nasional belum cukup signifikan seperti yang diharapkan karena terkendala oleh berbagai faktor, antara lain: (a)belum mendapat prioritas pengembangan yang memadai; (b)belum tersedianya ruang permanen yang representatif bagi usaha budidaya skala komersial; (c)belum tersedianya infrastruktur dan sarana/prasarana yang memadai; (d)belum tertariknya pelaku usaha dalam negeri untuk menanamkan modalnya besar-besaran untuk usaha hortikultura dalam negeri; (e)belum tersedianya skema pembiayaan yang kompetitif bagi pelaku usaha; (f)belum tersedianya sistem informasi dan database yang dapat diakses dengan cepat; (g)belum berkembangnya tata niaga produk hortikultura yang berkeadilan; (h)belum berkembangnya industri pendukung (agroinput, industri olahan, industri hilir, jasa transportasi, dan perdagangan); serta (i)belum tersedianya lembaga pembiayaan. Biaya Besar untuk Proses Singkat Meskipun Kementerian Pertanian—melalui Direktorat Jenderal Hortikultura—telah mulai menyusun RUU Hortikultura sejak 2009, RUU itu akhirnya secara resmi diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR pada Juli 2010. Dalam proses persiapan naskah RUU, Komisi IV sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangi sektor pertanian melakukan kunjungan kerja ke daerah, antara lain ke Sumatra Utara dan Jawa Timur. Kunjungan kerja itu dilakukan untuk menjaring aspirasi pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta para pemangku kepentingan di bidang hortikultura. Proses pembahasan RUU Hortikultura dilaksanakan oleh Komisi IV dalam tiga kali Rapat Kerja bersama Kemhukham, lima kali Rapat Panja, serta delapan kali Rapat Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). RUU Hortikultura akhirnya disetujui menjadi UU oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada 26 Oktober 2010 dan selanjutnya disahkan oleh presiden pada 24 November 2010 sebagai UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Peristiwa kontroversial sempat mencuat ketika Komisi IV melakukan kunjungan kerja ke Belanda. Beban keuangan sebesar negara miliaran rupiah yang harus dikeluarkan untuk membiayai aktivitas studi banding DPR itu mengundang
121
protes dari berbagai unsur masyarakat. DPR dinilai tidak peka pada kondisi negara yang sedang krisis saat itu. Selain isu penghamburan uang negara, studi banding yang dilakukan menjelang akhir pembahasan RUU pun terbilang ganjil. Keganjilan itu terlihat dari dekatnya waktu antara pelaksanaan studi banding, yaitu pada 14—19 September 2010 dan waktu penyampaian laporan pembahasan dari Timus/Timsin ke Panja pada 19 Oktober 2010. Padahal, seharusnya, studi banding dilakukan jauh sebelum masa pembahasan, yakni ketika DPR baru memasuki tahap penyusunan naskah akademik dan penyiapan naskah suatu RUU. Karakter Khusus Secara substansi, UU No. 13 Tahun 2010 memang dimaksudkan untuk menjadi acuan yang mengintegrasikan berbagai ketentuan terkait hortikultura yang tersebar di banyak UU. Lalu, UU itu juga diharapkan dapat mengisi kekosongan pengaturan hortikultura yang terjadi di berbagai peraturan. UU No. 12 Tahun 1992, misalnya, telah mengatur sistem budidaya tanaman secara komprehensif, tetapi belum secara spesifik mengatur hortikultura sebagai sebuah komoditas yang memiliki karakter khusus. Kekhususan tersebut kini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. UU yang terdiri dari 133 pasal dalam 18 bab itu juga memberikan pengaturan khusus terkait pembentukan lembaga independen yang akan difungsikan sebagai mitra kerja pemerintah dalam usaha mengembangkan hortikultura. Ketua Komisi IV DPR Ahmad Muqowam, dalam Rapat Paripurna yang menyetujui RUU Hortikultura menjadi UU, mengungkapkan bahwa UU itu diharapkan dapat mewujudkan pengembangan, pengelolaan, serta pemanfaatan sumber daya holtikultura yang optimal, bertanggung jawab, dan lestari. Tujuan akhirnya bukan hanya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa hortikultura, tetapi juga peningkatan produksi, kualitas, serta daya saing produk holtikultura. Kedua tujuan itu erat kaitannya dengan upaya negara dalam menyediakan kesempatan usaha, memberikan perlindungan kepada petani dan pelaku usaha nasional, serta meningkatkan devisa negara. Akan tetapi, sebagian pihak sejak awal justru meragukan adanya dampak positif bagi petani kecil yang diberikan oleh UU tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga target utama UU itu adalah usaha skala besar karena proses pembahasannya hanya dilakukan antara pembuat UU dan pengusaha, tanpa melibatkan masyarakat petani. Walhi menyoroti pengaturan mengenai pola kemitraan antara pelaku usaha besar dan pelaku usaha kecil yang dapat menimbulkan diskriminasi bagi petani kecil. Pasal 56 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2010 mewajibkan pelaku usaha besar untuk melakukan kemitraan dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dalam menjalankan usaha hortikultura. Pada ayat berikutnya, pasal itu menyebutkan beberapa pola kemitraan yang dapat dilaksanakan, antara lain intiplasma dan subkontrak. Kedua pola itulah yang dikhawatirkan oleh Walhi karena 122
berpotensi menempatkan petani sebagai buruh yang minim perlindungan hukum (hukumonline.com, diakses pada 23 februari 2011). Namun, UU No. 13 Tahun 2010 seakan berusaha menunjukkan keberpihakannya kepada pelaku usaha—termasuk petani—dalam negeri melalui ketentuan yang membatasi penanaman modal asing (PMA) di bidang hortikultura. Pasal 100 UU itu menentukan bahwa investor dari luar negeri hanya dapat menanamkan modalnya maksimal sebesar 30% dari keseluruhan modal dalam sebuah usaha besar hortikultura. Dana investasi pun hanya dapat dititipkan di bank dalam negeri disertai larangan penggunaan kredit dari bank milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Alasan Nasionalisme Menuai Kritik Sebaliknya, kritik terhadap pembatasan investasi asing justru datang dari kalangan pengusaha nasional. Benny A. Kusbini, Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional yang juga pemimpin beberapa perusahaan hortikultura, berpendapat bahwa batasan PMA dapat menjadi bumerang bagi perkembangan hortikultura di tanah air. Menurutnya, kerugian dapat terjadi jika mitra lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan produk hortikultura, sedangkan kontribusi asing sangat terbatas. Selain itu, Pasal 131 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2010, yang mewajibkan investor asing untuk melakukan divestasi saham dalam jangka waktu empat tahun, dinilai sulit diimplementasikan dan berisiko. Kusbini mengkhawatirkan sulitnya mitra lokal memenuhi kebutuhan hortikultura dalam waktu yang singkat, sedangkan mitra asing berpotensi hengkang ke negara lain demi menaati ketentuan pasal itu. Akibatnya, komoditas hortikultura di dalam negeri dapat menurun drastis (republika.co.id, diakses pada 23 Februari 2011). Kritik apa pun yang diutarakan terhadap UU tersebut tetap harus menjadi faktor pendorong bagi negara untuk menunjukkan keberpihakannya kepada usahausaha rakyat. Semoga maksud para pembuat UU yang ingin meningkatkan aspek perlindungan bagi petani hortikultura tradisional serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dari produk hortikultura impor dan pemodal asing bukan hanya niat tulus di atas kertas, tetapi juga berwujud nyata dalam implementasi.
H. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Pertanyaan Masyarakat Tidak Terjawab Setiap orang berhak hidup lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Itulah bunyi pasal 28 H UUD 1945 yang mengisyaratkan adanya perlindungan terhadap kepastian bermukim bagi masyarakat. Pasal itu menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat tinggal (Laporan Pimpinan Komisi V DPR Mengenai Pembahasan RUU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, 17 Desember 2010). Melalui semangat tersebut, tercetuslah pemikiran untuk memperbaharui UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Berbarengan dengan
123
semangat itu, masalah yang selama ini belum terjawab dengan UU itu harus diperbaiki melalui revisinya. Adapun, masalah yang dimaksud adalah ketidaksinkronan kebijakan antarinstansi atau departemen dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta jumlah kekurangan rumah (backlog) yang mengalami peningkatan; dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir 2009. Kondisi itu diperkirakan akan terus berakumulasi pada masa datang akibat adanya pertumbuhan rumah tangga baru sebesar 710.000 per tahun dan semakin banyaknya lingkungan kumuh yang bermunculan. Selain itu, semakin banyak rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni—yang tidak didukung oleh prasarana dan sarana serta utilitas umum yang memadai—dan kurangnya sumber pembiayaan merupakan penyebab lain. Berdasarkan Prolegnas 2010, UU tersebut merupakan usul inisiatif Komisi V DPR. Melalui surat yang berasal dari presiden untuk DPR, presiden menunjuk Kementerian Perumahan Rakyat dan Kemhukham sebagai wakilnya dalam pembahasan UU Perumahan dan Permukiman bersama Komisi V. Pada 3 Februari 2010, Komisi V telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan agenda acara masukan terhadap RUU Perumahan dan Permukiman. Rapat itu bersifat terbuka dan dipimpin oleh Yosep Umarhadi, Msi, MA. Mitra yang hadir dalam rapat itu adalah Sesmen Kementerian Perumahan Rakyat, Dirjen Cipta Karya Kementerian Perkejaan Umum, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI), Ikatan Arisitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), dan Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I). Banyak masukan yang dilayangkan dalam Rapat Dengar Pendapat. Kejelasan peranan wewenang dan kewajiban setiap pihak yang terlibat dalam perumahan dan permukiman minta diperjelas. Selain itu, peningkatan sumber pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan adanya penyediaan perumahan layak yang terjangkau juga diperjuangkan. Tidak ketinggalan, sinkronisasi UU itu dengan peraturan perundang–undangan lain dan penguatan kelembagaan di bidang perumahan dan permukiman juga menjadi masukan (Laporan Singkat Komisi V DPR, 3 Februari 2010). Pembahasan UU dimulai pada 22 Juli 2010 dengan acara pengantar musyawarah berupa penjelasan DPR atas UU tersebut, pandangan presiden yang dibacakan oleh Menteri Perumahan Rakyat, dan pandangan DPD. Komisi V mengadakan dua kali rapat kerja untuk membahas DIM (Daftar Inventarisir Masalah) yang berjumlah 738. Selanjutnya, rapat kerja membentuk Panja guna membahas lebih lanjut substansi dari UU itu. . Publik Turun Tangan Proses pembahasan UU Perumahan dan Permukiman terkesan tidak transparan dan kurang memberikan ruang partisipasi publik. Hal itu dirasakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tergabung dalam Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat (KP3R). Misalnya, informasi terkait pembahasan RUU itu pun baru bisa mereka peroleh ketika RUU sudah berada pada tahap Panja. Pada saat proses tersebut, KP3R sempat melayangkan surat kepada Komisi V untuk memohon diadakannya audiensi. Akan tetapi, permohonan itu tidak 124
direspons secara positif. Kesulitan lain juga dialami ketika berusaha mendapatkan data terakhir. Usaha terus dilakukan hingga pada akhirnya, sejumlah 200 orang yang terdiri dari penggiat isu tersebut dan korban penggusuran melakukan aksi di gedung DPR. Setelah aksi itu, barulah keberadaan mereka diperhatikan oleh Anggota DPR Komisi V. Pada saat itu, anggota memberikan respons dengan menemui mereka dan memberikan janji untuk mengadakan pertemuan setelah masa reses berakhir. Akan tetapi, janji itu pun tidak dipenuhi. Tindakan lain yang dilakukan oleh Anggota DPR adalah menghubungi masyarakat sipil secara personal untuk mengetahui pasal– pasal yang menurut mereka harus diperhatikan. Sampai dengan RUU Perumahan dan Permukiman disahkan pada 17 Desember 2010, maksud masyarakat sipil untuk dapat audiensi dengan Anggota DPR Komisi V tidak terlaksana. Seperti yang telah dikatakan di atas, pembahasan UU Perumahan dan Permukiman diawali dengan kegiatan Rapat Dengar Pendapat. Banyak pihak hadir dalam rapat itu, seperti pihak kementerian, masyarakat sipil, akademisi, dan para ahli. Tujuan diadakannya Rapat Dengar Pendapat adalah Anggota DPR mendapat masukan untuk pembuatan RUU. Namun, masukan yang diberikan tidak direspons positif dalam substansi RUU Perumahan dan Permukiman. Terdapat beberapa pihak yang merasa kecewa setelah disahkannya RUU Perumahan dan Permukiman karena substansinya belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada di lingkungan masyarakat. Penyusunan RUU itu terkesan tergesa–gesa untuk mengejar target penyelesaian tahun 2010. Hal itu disampaikan oleh Jehansyah Siregar, peneliti kelompok keahlian perumahan dan permukiman sekolah arsitektur, perencanaan, dan pengembangan kebijakan ITB (Kompas, 16 Desember 2010). Harapan dari dibentuknya dan disahkannya UU Perumahan dan Permukiman adalah permasalahan yang selama ini terjadi dapat teratasi. Akan tetapi, hal itu jauh dari perkiraan yang ada. Setelah RUU itu disahkan, banyak pihak yang mempermasalahkannya. Berdasarkan penilaian substansi, RUU itu belum bisa mengatasi masalah yang ada, bahkan cenderung menambah masalah. Lembaga/Badan Hukum Harus Ditentukan UU Perumahan dan Permukiman terdiri 167 pasal. Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian sebagai berikut. “Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat 1, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan”.
Itulah isi Pasal 40 UU Perumahan dan Permukiman. Apabila melihat isinya, dapat dikatakan kewenangan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman diberikan kepada lembaga atau badan. Menurut UU itu, yang dimaksud badan adalah badan hukum yang didirikan oleh Warga Negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Sementara itu, terdapat dua jenis badan hukum yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yaitu Badan Usaha Milik Negara Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (BUMN Perum Perumnas) dan badan hukum milik swasta.
125
Di UU tersebut tidak disebutkan secara spesifik badan hukum mana yang akan menyelenggarakannya; badan hukum milik negara atau badan hukum milik swasta. Ketidakjelasan pihak yang akan bertanggung jawab akan berdampak pada sistem penyediaan perumahan yang tidak seimbang, tidak mantap, dan responsif terhadap dinamika kebutuhan perumahan rakyat52. Peran Kementerian Perumahan Rakyat pun terlihat melemah. Hal itu ditandai porsi suplai perumahan formal sebesar 10—20% dan pengadaan rumah secara swadaya 80—90%53. Menurut pengamat kebijakan publik FISIP UI Andrinof Chaniago, di tengah laju kekurangan rumah yang terus meningkat, tidak ada upaya penguatan peran BUMN untuk mencukupi kebutuhan rumah rakyat (Kompas, 16 Desember 2010). Bukan hanya itu, saat ini, kebanyakan pihak yang mengadakan perumahan adalah para pengembang atau developer, sedangkan fokus kegiatan mereka adalah melakukan pengadaan rumah yang sifatnya komersil54. Apabila penetapan badan hukum tidak ditentukan dalam UU, ditakutkan ada dampak yang akan dirasakan, di antaranya pertambahan permukiman kumuh, khususnya kota–kota besar, dan pemenuhan hak dasar untuk semua kalangan masyarakat tidak terpenuhi. Selain itu , UU Perumahan dan Permukiman terkesan memberikan keuntungan bagi pihak pengembang atau developer dalam upaya memperlancar bisnis dalam penyediaan proyek perumahan. Apapun jenis rumahnya55, penentuan badan hukum sangat diperlukan. Hal itu berhubungan dengan keberlangsungan tanggung jawab yang telah ada sejak awal. Contoh yang terjadi di kota metropolitan adalah adanya rumah susun sederhana (rusuna) yang tidak terawat dan berubah menjadi kumuh. Rusuna tidak dikelola dengan baik dan banyak yang tidak dihuni. Akhirnya, rusuna yang pada awalnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat cenderung menjadi monumen yang menunjukkan kemiskinan dan keterbelakangan. 56 Keberpihakan kepada Masyarakat Mengendap “Setiap orang yang dengan sengaja menolak atau menghalang–halangi kegiatan permukiman kembali rumah, perumahan, atau permukiman yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 142, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Kutipan Pasal 159 UU Perumahan dan Permukiman dapat mengkriminalisasi setiap orang yang menolak dan membantu menghalangi kegiatan permukiman kembali rumah, perumahan, atau permukiman. Menurut Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat, ketentuan itu mengandung ancaman bagi warga masyarakat Sistem penyediaan perumahan yang telah mampu menuntaskan masalah kekurangan rumah dan sekaligus mampu mengikuti perkembangan kebutuhan perumahan seiring pertambahan penduduk dan proses urbanisasi yang cepat. 53 Makalah M. Jehansyah Siregar,Ph.D, Multi Moda Penyediaan Perumahan Rakyat. 54 Pengadaan rumah secara komersil diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Pengadaan perumahan sebagai sebuah komoditi dan jenis penyediaan rumah tersbeut ditujukan untuk masyarakat kalangan menegah dan atas. 55 Rumah Komersil, Rumah Umum, Rumah Khusus, Rumah Swadaya, dan Rumah Negara 56 Makalah M. Jehansyah Siregar,Ph. D, Multi Moda Penyediaan Perumahan Rakyat. 52
126
yang menolak relokasi atau penggusuran. Padahal, banyak hal yang bisa menyebabkan penolakan masyarakat, seperti tidak adanya alternatif perumahan yang layak. Berdasarkan pengalaman LBH Jakarta yang pernah melakukan pendampingan bagi korban penggusuran, dari sekian banyak korban, ada sangat sedikit korban yang diberikan penggantian berupa rumah pengganti. Biasanya, mereka hanya diberikan uang pengganti. Namun, rumah pengganti yang disediakan pun tidak layak untuk ditempati; tidak memenuhi syarat kelayakan rumah. Sementara itu, penjelasan Pasal 24 Huruf a UU Perumahan dan Permukiman menyebutkan rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni. Dengan demikian, uraian pasal itu telah mereduksi komponen rumah layak. Menurut Konvenan internasional Hak–hak Ekonomi Sosial dan Budaya, kriteria rumah layak, yaitu perlindungan hukum, ketersediaan layanan, bahan baku, fasilitas, infrastruktur, keterjangkauan lokasi, dan kelayakan budaya57. Masyarakat sangat mengharapkan dibentuknya peraturan agar dapat mengatasi masalah yang ada dan dapat mempengaruhi kehidupan mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, apabila melihat beberapa hal yang telah diuraikan, pembuat UU belum dapat memperhatikan atau belum peka dengan apa yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, UU itu dapat dikatakan sebagai peraturan yang tidak berpihak kepada masyarakat.
I. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: Awal Pemenuhan Janji Satu dekade telah berlalu sejak pemilu pertama di alam reformasi. Ketiga pemilu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu didahului dengan penyusunan peraturan terkait partai politik sebagai peserta pemilu. Dengan demikian, dalam sebelas tahun terakhir, negara ini telah memiliki tiga UU Partai Politik yang terbit pada 1999, 2002, dan 2008. Akhir 2010 menjadi babak baru bagi para peserta pemilu di Indonesia. Tanpa hiruk-pikuk, DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi UU dalam Rapat Paripurna, 16 Desember 2010. Peraturan baru yang akan menjadi dasar berpijak partai-partai politik dalam menghadapi pemilu 2014 itu tuntas melalui masa perdebatan selama tiga pekan, waktu yang terbilang singkat untuk membahas UU yang vital bagi kehidupan politik bangsa (Suara Pembaruan, 17 Desember 2010). Berdasarkan pendapat akhir kesembilan fraksi di DPR58, terlihat bahwa tak ada adu argumentasi sengit yang muncul selama masa pembahasan. Fraksi Partai
Komentar Umum No. 4 Pasal 11 ayat 1 Konvensi Internasional Hak – Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. 58 Pendapat akhir mini fraksi adalah pernyataan sikap resmi tertulis setiap fraksi terhadap suatu RUU. Pendapat akhir mini disampaikan oleh perwakilan fraksi masing-masing dalam rapat terakhir 57
127
Gerindra memberikan sedikit catatan tanpa disertai maksud dan tujuan penyampaian catatan itu. Tak jauh berbeda, FPKS menyarankan sejumlah penambahan redaksional pada beberapa pasal yang secara substansial merupakan perubahan yang bersifat tidak fundamental. Sementara itu, ketujuh fraksi lain memiliki sikap yang relatif seragam, yaitu memberikan apresiasi positif terhadap berjalannya proses penyusunan RUU. Secara khusus, FPDIP menyampaikan keutamaan revisi UU Partai Politik yang telah mengembalikan semangat pendirian partai politik sebagai perkumpulan orang dengan tidak memasukkan ketentuan tentang syarat jumlah uang tertentu dalam rekening awal pendirian partai politik.59 Pengetatan untuk Penyederhanaan Dari sisi substansi, berbagai perubahan mendasar dilakukan terhadap UU Partai Politik yang terdiri atas 53 pasal itu. Terdapat 18 pasal perubahan dalam revisi UU itu, baik berupa penambahan sebagian ayat maupun pergantian keseluruhan bunyi pasal. Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap membagi kedelapan-belas pasal perubahan itu menjadi beberapa ketentuan seputar bermacam hal, yaitu: 1. pembentukan partai politik; 2. kepengurusan partai politik dan persyaratan rekening/dana awal; 3. tata cara perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik; 4. rekrutmen politik; 5. penyelesaian perselisihan partai politik; 6. bantuan keuangan partai politik; 7. sumbangan kepada partai politik; 8. pengelolaan keuangan partai politik yang bersumber dari sumbangan; dan 9. aturan peralihan partai politik. Mulusnya perjalanan sembilan butir perubahan tersebut menjadi UU tak lepas dari kesepahaman sikap antara DPR dan pemerintah. Kedua lembaga itu menyadari bahwa pemilu perlu disederhanakan dan pembatasan pendirian partai politik baru menjadi salah satu jalannya. Hal itu tergambar pada sebagian substansi yang menonjol dalam UU perubahan ini. Pengetatan syarat pendirian partai politik baru, antara lain, termuat dalam perubahan pasal 2. Melalui UU itu, partai politik hanya dapat didirikan oleh minimal 30 warga negara Indonesia dari setiap provinsi. Sejalan dengan itu, perubahan pasal 3 menentukan bahwa partai politik yang ingin disahkan menjadi badan hukum harus sudah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi. Kedua perubahan tersebut dipastikan akan mengerdilkan peluang munculnya partai politik baru. Kurun waktu yang kurang dari tiga tahun menjelang pemilu 2014 kecil kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh partai politik yang baru berdiri untuk membangun jaringan—apalagi struktur kepengurusan—di 100% provinsi di Indonesia. Sebaliknya, hal itu menguntungkan bagi partai-partai politik Pembicaraan Tingkat I di hadapan seluruh Anggota Komisi atau Panitia Khusus (Pansus)—sesuai alat kelengkapan yang bertugas membahas RUU itu. 59 Pada masa awal pembahasan, DPR dan pemerintah sempat mengangkat usul pencantuman syarat dana simpanan minimal Rp100 juta bagi partai politik yang ingin disahkan menjadi badan hukum (Investor Daily, 1 Desember 2010).
128
yang telah memiliki kursi di DPR sekaligus menjelma menjadi nationwide organisation60 (Muhtadi, 2010). Pembatasan munculnya kompetitor baru dalam pemilu 2014 juga jelas terlihat dari ketentuan verifikasi (pasal 51 ayat (1a)). Ketentuan itu menyebutkan bahwa verifikasi atas partai politik baru harus tuntas paling lambat dua tahun enam bulan sebelum hari pemungutan suara pemilu. Pencantuman syarat ketat pembentukan partai politik dalam revisi UU Partai Politik dapat dilihat sebagai usaha untuk memperkuat kelembagaan partai politik. Akan tetapi, hal itu tidak diikuti dengan upaya pengetatan mekanisme pertanggungjawaban keuangan partai politik. Pasal 34 A ayat (1), misalnya, hanya mewajibkan partai politik untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban aliran dana yang bersumber dari bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Padahal, publik seharusnya diberi keleluasaan mengakses informasi seputar aktivitas keuangan partai politik, tidak hanya yang berasal dari uang negara atau daerah, tetapi juga sumbangan yang berasal dari sumber-sumber lain. Bahaya Donasi Tak Bertuan Lemahnya mekanisme yang menjamin akses publik terhadap laporan keuangan partai politik juga berpeluang menjadi celah bagi pengusaha besar untuk berdiri di belakang partai politik tanpa perlu terlibat dalam politik praktis. Apalagi, ketentuan yang baru telah menaikkan batas maksimal sumbangan per perusahaan atau badan usaha, dari Rp4 miliar menjadi Rp7,5 miliar. Tanpa adanya kejelasan identitas pemberi donasi, partai politik rentan dikuasai oleh pemilik kapital (Muhtadi, 2010). Kondisi demikian dikhawatirkan mempersempit makna pemilu sebagai sarana demokrasi, dari proses pemilihan wakil rakyat menjadi sekadar ajang pertarungan antarpemodal. Sejarah kelam telah tercatat ketika kasus penyelamatan Bank Century dikaitkan dengan keterlibatan Partai Demokrat sebagai salah satu peserta pemilu 2009—yang akhirnya menjadi pemenang. Kecurigaan mengenai mengalirnya dana talangan Bank Century ke kas Partai Demokrat terus mengganggu publik (Rosari, 2010, 41). Kegusaran itu seharusnya tak perlu terjadi apabila UU Partai Politik mewajibkan setiap partai politik untuk membuka laporan keuangannya—termasuk yang menjelaskan sumber dana dan alokasi penggunaannya—kepada publik. Pasal 38 UU Partai Politik memungkinkan laporan penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik terbuka untuk diketahui masyarakat. Namun, tak ada satu pasal pun yang mengatur mekanisme tertentu untuk memudahkan publik mengakses laporan keuangan sekaligus menjamin terlaksananya transparansi keuangan partai politik. Tidak adanya penyempurnaan aturan terkait transparansi keuangan dalam revisi UU Partai Politik pun akhirnya tetap membuka peluang munculnya donasi tak bertuan yang berujung pada perkara. Bantuan keuangan dari APBN/APBD—yang diberikan secara proporsional kepada partai politik pemegang kursi DPR dan DPRD—sendiri dialokasikan khusus untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat. Perlakuan istimewa negara kepada partai politik melalui alokasi penggunaan Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, revisi UU Partai Politik terkesan memaknai partai politik sebagai nationwide organisation. Partai politik yang hanya kuat di daerah tertentu sulit berkompetisi di level nasional. 60
129
APBN/APBD itu harus diakui sebagai bentuk dorongan bagi partai politik untuk melaksanakan fungsi yang melekat pada dirinya, yaitu memberikan pendidikan politik kepada publik. Namun, dengan menggunakan perspektif yang berbeda, publik sebaliknya patut bertanya mengapa partai politik perlu dipaksa oleh negara untuk melaksanakan fungsi yang sudah menjadi tanggung jawabnya.61 Muhtadi menilai, diaturnya alokasi keuangan khusus untuk pendidikan politik terkesan sebagai proyek untuk menjustifikasi bantuan keuangan dari APBN/APBD untuk partai politik (2010). Berbagai ketentuan dalam revisi UU Partai Politik menunjukkan adanya kecenderungan kuat untuk melembagakan berbagai sistem yang telah ada. Karakter itu kembali diperlihatkan melalui pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan internal partai politik. UU No. 2 Tahun 2008 menyerahkan penyelesaian sengketa internal itu langsung pada putusan pengadilan negeri sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir—dengan upaya hukum kasasi ke MA. Sementara itu, UU perubahan memperkenalkan mekanisme perselisihan internal partai politik melalui lembaga mahkamah partai politik. Walau tidak dimaksudkan untuk menjadi lembaga yudikatif baru, mahkamah partai politik memiliki kewenangan “mengadili” sengketa internal partai politik, yang biasanya terjadi akibat dualisme kepengurusan, perebutan hak antarcalon-legislatif (caleg), dan perselisihan hak antarbakal-calon-kepala-daerah. Revisi UU Partai Politik menentukan bahwa mahkamah tersebut dibentuk sendiri oleh partai politik dan disampaikan kepada Kemhukham. Proses persidangan harus diselesaikan oleh mahkamah dalam waktu maksimal 60 hari dengan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam hal yang berkenaan dengan kepengurusan (Pasal 32). Uniknya, mekanisme itu tetap membuka peluang deadlock. Bila proses penyelesaian sengketa terhenti pada kondisi deadlock, proses peradilan di pengadilan negeri menjadi jalan keluar yang disediakan. Tak berbeda dengan ketentuan yang lama, UU baru itu memberikan waktu 60 hari kepada pengadilan negeri untuk menjatuhkan putusan tingkat pertama dan terakhir serta 30 hari bagi MA apabila putusan dikasasi. Mengadili dengan Oligarki Keberadaan mahkamah partai politik, menurut Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N. Gumay, hanya sesuai digunakan untuk sengketa antarkepengurusan-partai-politik dengan syarat adanya kejelasan aturan hukum acara di AD/ART partai politik. Gumay (2010) berpendapat bahwa mahkamah itu tak seharusnya diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hal perselisihan antarcaleg yang berhak mendapatkan kursi di parlemen. Sistem pemilu di Indonesia mengenal pembedaan antara suara partai politik dan suara caleg sehingga menyerahkan perselisihan suara antarcaleg kepada partai politik berpotensi merugikan hak caleg.
Kondisi serupa ditemukan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 UU itu mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial lingkungan. Padahal, prinsip pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah sukarela (volunteerism). Secara ideal, kewajiban itu telah melekat dalam diri perusahaan sehingga tidak dibutuhkan adanya kekuasaan (negara) yang memerintahkan perusahaan melaksanakan tanggung jawab itu. 61
130
Kekhawatiran munculnya oligarki di dalam tubuh partai politik itulah yang menjadi alasan utama Gumay untuk lebih setuju mempercayakan kewenangan penyelesaian sengketa internal partai politik kepada MK. Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo beralasan bahwa UU perlu memberikan kewenangan lebih kepada mahkamah partai politik mengingat—berdasarkan pengalaman dalam sengketa perselisihan hasil pemilu 2009—MK kerap menolak mengadili sengketa antarcaleg dalam suatu partai politik. Dalam berbagai putusannya, MK meminta agar partai politik terlebih dahulu menangani sengketa itu secara internal (hukumonline.com, 17 Desember 2010). Amanat pembentukan lembaga baru itu memang tak membebankan tanggung jawab baru pada negara, tetapi dampak yang lebih berbahaya bagi kehidupan demokrasi tetap menghantui apabila praktik oligarki itu benar-benar terjadi. Rakyat sebagai pemangku kepentingan di luar sistem pun lagi-lagi dibuat menunggu dalam kegelisahan. Disahkannya UU Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 adalah langkah pertama DPR dalam memenuhi janjinya untuk melengkapi revisi paket UU bidang politik pada 2011. Namun, yang lebih penting daripada pemenuhan janji itu adalah publik masih menunggu pembenahan sistem pemilu yang menyeluruh melalui penataan peraturan yang terkait. Publik tak berharap DPR sekadar memperbaiki UU untuk menghadapi pemilu di hadapan, tetapi memimpikan pesta demokrasi yang siap menerima tamunya—rakyat pemilih—dengan penyelenggaraan yang apik sekaligus mampu menghasilkan representasi hati nurani masyarakat.
J. UU Pengesahan Perjanjian Internasional: DPR Bukan Tukang Stempel Komisi I DPR berperan sebagai komisi yang bertugas di bidang pertahanan, luar negeri, dan informasi. Pada tahun pertama DPR periode 2009—2014, Komisi I telah berhasil membawa tiga RUU tentang pengesahan internasional kepada Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II. Komisi I mengajukannya untuk disetujui DPR dan selanjutnya disahkan menjadi UU oleh pemerintah. Adapun, tiga RUU itu, yaitu: 1. RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore Relating to the Delimination of the Territorial Seas of the Two Countries in the Western Part of the Stait of Singapore, 2009); 2. RUU tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Berunei Darussalam tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan (Memorandum of Understanding Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of His
131
Majesty the Sultan and Yang Di-Pertuan of Brunei Darussalam on Defence Cooperation); dan 3. RUU Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia tentang Kerja Sama Teknik-Militer (Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Russian Federation on Military Technical Cooperation). Dari ketiga RUU di atas, hanya dua RUU yang mendapat persetujuan DPR. Pertama, DPR menyetujui RUU Pengesahan Perjanjian Internasional antara Indonesia dan Singapura terkait batas negara yang kini telah diundangkan dengan UU No. 4 Tahun 2010. Kedua, DPR mengesahkan RUU Pengesahan Perjanjian Internasional antara Indonesia dan Brunei Darussalam terkait kerja sama bidang pertahanan yang telah diundangkan dalam UU No. 6 Tahun 2010. Berbeda dengan dua RUU itu , berdasarkan laporan Komisi I DPR pada 21 September 2010, RUU Pengesahan Persetujuan antara Indonesia dan Rusia tentang Kerja Sama TeknikMiliter cukup diberlakukan melalui produk hukum setingkat Keppres (Laporan Komisi I, 21 September 2010). Proses Singkat dan Elitis Lahirnya UU No. 4 Tahun 2010 merupakan tindak lanjut dari perjanjian tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah yang disepakati Indonesia dan Singapura pada 25 Mei 1973. Perjanjian itu bertujuan untuk menjaga wilayah perbatasan laut dengan Singapura serta menjamin kepastian hukum agar Pemerintah Indonesia dapat dengan leluasa mengelola kekayaan alam dan potensi ekonomi di daerah perbatasan (ramadhanpohan.com, diakses pada 5 Februari 2011). Proses pembentukan UU tersebut berlangsung sejak dikeluarkannya Surat Presiden kepada DPR No. R-63/Pres/03/2010 pada 26 Maret 2010. Lalu, disusul dengan Rapat Bamus pada 8 April 2010 yang menugaskan Komisi I untuk membahasnya bersama pemerintah. Proses pembentukan itu diakhiri dengan persetujuan DPR pada Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II (pengambilan keputusan) pada 1 Juni 2010. Pembahasan yang memakan waktu lebih dari dua bulan itu tidak banyak membuka ruang partisipasi bagi masyarakat yang lebih luas. Forum RDPU hanya melibatkan kalangan pakar dan akademisi.62 Berbeda dengan pembahasan UU No. 4 Tahun 2010, UU No. 6 Tahun 2010 tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Berunei Darussalam tentang kerja sama di bidang pertahanan hanya dibahas dalam waktu kurang dari dua bulan. Diawali dengan Surat Presiden kepada DPR No. R-41/Pres/06/2010 pada 2 Juni 2010, kemudian ditindaklanjuti dengan Rapat Konsultasi pengganti Rapat Bamus pada 17 Pelibatan pakar dan akademisi antara lain Prof. Hasyim Djalal, Prof. Etty R. Agus, Prof. Hikmahanto Juwana, dan DR. Edy Prasetyono (lihat Dokumen Resmi Laporan Komisi I DPR dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan Terhadap Pembahasan RUU tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura Tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bgian Barat Selat Singapura) 62
132
Juni 2010. Pada rapat itu, Komisi I ditugaskan untuk membahasnya bersama pemerintah. Proses pembahasan hanya berlangsung selama empat kali forum, yaitu: 1. RDP dengan Dirjen Hukum Kementerian Luar Negeri, Dirjen Strategi
Pertahanan Kementerian Pertahanan beserta Tim Perunding dan Pejabat Mabes TNI pada 21 Juli 2010; 2. RDPU dengan pakar dan akademis, antara lain Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia pada 22 Juli 2010; 3. Pembicaraan Tingkat I/Pengambilan Keputusan terhadap RUU pada 27 Juli 201063; dan 4. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Pembahasan RUU pada 29 Juli 2010. Pengesahan perjanjian antara Indonesia dan Brunei merupakan tindak lanjut dari Memorandum of Understanding (MoU) yang telah ditandatangani pada 10 April 2003 di Jakarta. MoU itu meliputi kerja sama teknis, yaitu kerja sama di bidang dukungan produksi dan pelayanan, proyek-proyek yang berhubungan dengan peralatan, dan komponen-komponen pertahanan. Selain itu, terhitung pula kerja sama antara kedua badan pertahanan, termasuk industri pertahanan; pertukaran informasi intelijen, ilmu pengetahuan, dan teknologi pertahanan. Kemudian, MoU juga meliputi kerja sama di bidang sumber daya manusia pada badan-badan pertahanan kedua negara dan kerja sama angkatan bersenjata dalam bidang operasi, latihan bersama, serta logistik. Dilihat dari empat forum pembahasan di atas, sesungguhnya DPR hanya melakukan satu kali rapat pembahasan dengan pemerintah. Padahal, perjanjian internasional tersebut banyak memuat substansi krusial yang perlu dibahas secara mendalam bersama pemerintah dan kiranya tidak mungkin dilakukan dalam satu kali rapat pembahasan. Berbeda dengan dua RUU sebelumnya, pengajuan RUU yang ketiga (Indonesia-Rusia) tidak berujung pada pengesahannya sebagai UU. DPR menganggap ratifikasi perjanjian internasional itu lebih tepat ditindaklanjuti dengan Keppres. Hal itu didasari argumentasi singkat DPR dalam laporannya, yakni mengacu pada ketentuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal itu menyebutkan ruang lingkup perjanjian internasional yang dapat disahkan dengan UU, yaitu: 1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, keamanan negara; 2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. pembentukan kaidah hukum baru; serta 6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Pembicaraan Tingkat I/Pengambilan Keputusan Tingkat I merupakan forum akhir di tingkat komisi/alat kelengkapan yang bertugas membahas RUU bersama dnegan pemerintah. Pada tahapan ini itu, setiap fraksi menyatakan sikapnya sikap (setuju/tidak) berserta argumentasinya terhadap RUU yang telah dibahas bersama dengan pemerintah, . Sikap fraksi dituangkan dalam dokumen pandangan mini fraksi. 63
133
Jika susbtansi perjanjian internasional yang dibuat di luar ruang lingkup penjelasan tersebut, pengesahannya dilakukan dengan Keppres (Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). DPR menganggap substansi dalam kerja sama teknik-militer Indonesia-Rusia tidak termasuk dalam enam kriteria di atas. Jadi, ratifikasinya cukup menggunakan Keppres. Padahal, jika disandingkan dengan substansi perjanjian Indonesia-Brunei yang diratifikasi dengan UU No. 6 Tahun 2010, keduanya memiliki kesamaan materi. Pertama, keduanya berisi kerja sama di bidang pengadaan alusista bagi penyelenggaraan keamanan negara. Kedua, kedua peraturan dibuat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi pembinaan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga, kedua peraturan itu menstimulasi peningkatan kemampuan industri strategis nasional di bidang pertahanan. Akan tetapi, penjelasan mengenai diratifikasinya perjanjian Indonesia-Brunei dengan menggunakan Keppres serta kerja sama teknik militer tidak digolongkan dalam ruang lingkup pertahanan dan keamanan tidak dipaparkan oleh Komisi I DPR. Di samping itu, ada kejanggalan pada naskah Laporan Komisi I yang secara resmi disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR pada 21 September 2010. Dalam laporan itu, Komisi I tidak konsisten menyatakan bentuk hukum yang digunakan untuk meratifikasi perjanjian internasional antara Indonesia dan Rusia. Saat memaparkan argumentasi yang mengacu pada UU No. 24 Tahun 2000, DPR menyebutkan bentuk hukum yang meratifikasi adalah Keppres. Sementara itu, pada saat menyatakan pendapat, Komisi I menyebutkan bentuk hukum yang akan digunakan adalah Peraturan Presiden. Hal itu menunjukkan bahwa DPR tidak teliti dalam menentukan bentuk hukum yang tepat untuk meratifikasi perjanjian itu. Dari proses pembahasan tiga RUU di atas, terdapat beberapa persamaan, yaitu: 1. waktu pembahasan yang relatif singkat (±2 bulan); terhitung sejak dikeluarkannya Surat Presiden hingga Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU yang akan disahkan; dan 2. kuantitas forum pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah sangat sedikit. 3. minim partisipasi karena hanya melibatkan akademisi dan Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lespessi) saja, bahkan hanya melibatkan akademisi dalam perjanjian Indonesia-Singapura. Pada tahapan pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah, sesungguhnya RUU ratifikasi maupun RUU nonratifikasi tidak bisa diperlakukan berbeda. Alasannya adalah keduanya merupakan produk hukum yang sama, yaitu UU. Dengan demikian, tahapan pembahasannya juga sama. Hal yang selama ini terjadi dalam pembahasan bersama RUU ratifikasi adalah DPR cenderung pasif, tidak memperdebatkan substansi, dan menerima saja perjanjian yang sudah ditandatangani pemerintah. Itulah yang mengakibatkan proses pembahasan dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan bisa diselesaikan dalam satu
134
kali rapat saja, misalnya RUU ratifikasi perjanjian Indonesia-Brunei. Padahal, materi perjanjian cukup banyak. DPR hendaknya membahas RUU ratifikasi (termasuk isi perjanjiannya) secara teliti dan mendalam karena perjanjian internasional yang diratifikasi tentunya memberi dampak internal mengikat masyarakat. Tidak hanya itu, ratifikasi juga memberikan dampak eksternal di tingkat internasional. Di samping itu, fase itu adalah fase ratifikasi (bukan konfirmasi). Di situlah fase DPR melaksanakan kewenangan konstitusionalnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 UUD 1945, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. DPR bukan berperan sebagai “tukang stempel” perjanjian yang telah dibuat oleh pemerintah. Akan tetapi, DPR harus membahas isu-isu krusial yang terkandung dalam perjanjian itu sebagaimana pembahasan RUU nonratifikasi yang merupakan usul inisiatif pemerintah. Selain itu, ruang partisipasi juga harus dibuka selayaknya pembahasan RUU nonratifikasi karena dampak dari perjanjian internasional juga berimbas pada banyak pemangku kepentingan. Ratifikasi dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden? Satu dari tiga RUU pengesahan perjanjian internasional yang dibahas di DPR pada 2010 tidak berujung pada pengesahannya sebagai UU. RUU perjanjian internasional antara Indonesia dan Rusia tentang kerja sama teknik militer itu menurut DPR cukup diratifikasi dengan Keppres. Argumentasi DPR mengacu pada ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menjelaskan pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau Keppres. Kemudian, pasal 10 menjabarkan enam ruang lingkup pengesahan yang dilakukan dengan UU. Sementara itu, pasal 11 menegaskan materi perjanjian internasional di luar ruang lingkup yang diatur dalam pasal 10, yaitu pengesahan dilakukan dengan Keppres. Perjanjian kerja sama Indonesia-Rusia itu dianggap tidak masuk dalam ruang lingkup ketentuan pasal 10 sehingga proses ratifikasinya dilakukan dengan Keppres. Perjanjian internasional memiliki karakteristik materi yang bersifat mengatur (regeling). Namun, Keppres tidak bersifat mengatur. Ketentuan Pasal 9 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa ratifikasi dapat dilakukan dengan Keppres merupakan pengaturan yang tidak tepat. Ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk Keppres sesungguhnya mengadopsi dari ketentuan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 yang disampaikan kepada DPR dalam rangka pelaksanaan ratifikasi perjanjian internasional. Surat Presiden itu selalu menjadi dasar pedoman sebelum adanya aturan khusus yang mengatur tentang perjanjian internasional. Pada masa itu, praktik ratifikasi mengalami kesimpangsiuran sehingga dibuatlah UU khusus yang mengatur tentang perjanjian internasional. Sementara itu, bentuk Keppres masih dipertahankan. Menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keppres 135
merupakan salah satu bentuk dari ketetapan (beschikking) yang dilakukan oleh alatalat pemerintahan berdasarkan kekuasaan istimewa (E. Utrecht, 1986). Sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang tidak ada kewajiban bahwa Keppres berisi ketentuan mengatur. Jadi, banyak Keppres berisi pengaturan. Namun, setelah diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004, pasal 56 menunjukkan bahwa keputusan pejabat negara64 yang bersifat mengatur tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Keppres berisi materi penetapan yang bersifat konkret, individual, dan final, bukan materi yang bersifat mengatur (regeling). Materi pengaturan akan lebih tepat ditempatkan dalam produk hukum Peraturan Presiden. Dengan demikian, aturan Pasal 9 Dan Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004. Amunisi Sebelum Ratifikasi Jumlah ratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia pascareformasi meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. DPR periode 2004—2009 telah meratifikasi 21 perjanjian internasional (Rodja dkk, 2010). Alasan perlunya meratifikasi perjanjian internasional di antaranya untuk mengangkat citra Indonesia di dunia internasional. Selain itu, desakan dan kebutuhan riil masyarakat juga dapat menjadi alasan diberlakukannya ratifikasi itu. Dampak yang perlu diperhatikan setelah meratifikasi perjanjian internasional dapat dilihat secara internal maupun eksternal. Secara internal, DPR dan pemerintah harus memiliki kemampuan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan cara mengamandemen produk hukum nasional yang tidak sesuai dengan perjanjian internasional. Di samping itu, DPR dan pemerintah juga mampu membuat produk hukum baru yang diamanatkan oleh perjanjian itu untuk menjamin pelaksanaannya di tingkat nasional. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memberikan kepastian hukum atas implementasi perjanjian internasional di tingkat nasional. 1. Harus ada kajian implikasi mengenai produk hukum nasional yang harus diamandemen beserta argumentasi secara komprehensif, baik bagi ratifikasi yang dilakukan dengan UU maupun Keppres. Bagi ratifikasi yang dilakukan dengan UU, kajian implikasi dapat masuk dalam naskah akademis. 2. Untuk menjamin bahwa salinan naskah perjanjian internasional yang dibahas di DPR merupakan naskah yang benar-benar ditandatangani oleh pemerintah, perlu ada legalisasi bahwa salinan itu adalah salinan perjanjian asli. Legalisasi salinan naskah dapat dilakukan oleh Menteri Luar negeri
Keputusan pejabat dalam pasal 54 UU 10 Tahun 2004 adalah: Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat 64
136
sebagai menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri. 3. Dalam lampiran UU No. 10 Tahun 2004, disebutkan bahwa UU tentang ratifikasi perjanjian internasional. Pada dasarnya, ratifikasi terdiri dari dua pasal yang ditulis dengan angka arab. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. Kata “pada dasarnya” berarti tidak menutup kemungkinan bahwa dapat ditambahkan pasal lain selain dari kedua pasal itu. Penambahan pasal dalam batang tubuh UU ratifikasi dibutuhkan untuk memuat ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang harus diamandemen ataupun dibuat baru sesuai dengan amanat perjanjian internasional. Selain itu, pasal yang memuat batas waktu pembentukan peraturan perundang-undangan juga penting untuk diatur di dalamnya. 4. DPR maupun pemerintah harus konsisten dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 yang dalam pasal 1 disebutkan bahwa UU ratifikasi memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pada praktiknya, sulit sekali ditemukan naskah UU ratifikasi yang melampirkan naskah aslinya, terlebih naskah asli beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Lampiran UU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU itu sendiri. Keduanya ditempatkan dalam sebuah tambahan lembaran negara yang seharusnya tidak terpisah satu sama lain. Tidak adanya lampiran yang memuat salinan naskah asli perjanjian merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004. Hal itu juga menghambat masyarakat dalam mengakses informasi publik. 5. Salah satu permasalahan hukum adalah perbedaan penafsiran dalam membaca pasal-pasal yang berbahasa Indonesia, terlebih yang berbahasa asing. Pada umumnya, perjanjian internasional menggunakan bahasa asing, khususnya perjanjian multilateral. UU No. 10 Tahun 2004 maupun UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengatur kewajiban untuk menerjemahkan perjanjian internasional yang berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sebagai dokumen terjemahan resmi yang dilampirkan dalam UU dan ditempatkan dalam tambahan lembaran negara. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi permasalahan multitafsir dalam membaca perjanjian internasional. Jika dilihat dampak ratifikasi secara eksternal, hal yang harus menjadi perhatian pemerintah dan DPR adalah memastikan kesanggupan Indonesia untuk menyampaikan laporan kepada lembaga internasional yang ditunjuk dalam perjanjian. Selain itu, perlu ada kesiapan membuka diri untuk ditelaah (review) dan diberikan masukan terhadap kebijakan dalam negeri yang diambil terkait dengan hal-hal yang diperjanjikan. Hal itu disebabkan banyaknya perjanjian internasional, khususnya perjanjian multilateral yang memuat mekanisme pelaporan serta penelaahan. Di samping itu, perlu kewaspadaan penuh bagi pemerintah maupun DPR sebelum meratifikasi perjanjian internasional karena pada kenyataannya, perjanjian internasional sering kali dimanfaatkan sebagai instrumen politik dari 137
negara maju kepada sejumlah negara berkembang sebagai pengganti dari alat kolonialisme (Juwana, diakses pada 28 Februari 2011). Hambatan terbesar dalam proses ratifikasi perjanian internasional adalah tidak terlaksananya perjanjian tersebut dalam implementasi hukum nasional. Jika DPR dan pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk menerima konsekuensi ratifikasi dari segi internal maupun eksternal, sebaiknya tidak usah melakukan ratifikasi. Akan tetapi, DPR dan pemerintah dapat mengadopsi aturan-aturan internasional yang baik dalam hukum nasional.
138
AKHIR DARI CATATAN Awal masa jabatan adalah masa adaptasi, setidaknya terhadap tiga hal, yaitu memetakan dan menyusun kekuatan politik di DPR, menjajaki metode dan cara kerja, serta membangun relasi antara presiden dan lembaga negara lain. Tidak heran, tahun-tahun pertama di DPR umumnya dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat politis untuk menancapkan kekuasaan agar memiliki posisi tawar yang kuat dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Hal itu tentunya berpengaruh pada capaian target dan kinerja legislasi. Belajar dari pengalaman, pada awal periode 2004—2009, masa jabatan DPR dipenuhi dengan konflik politik antara koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan. Hasilnya, hanya 14 UU yang dihasilkan selama setahun. Sejarah pun terulang. Terhitung akhir 2010, DPR hanya menyelesaikan 16 UU atau hanya 2 UU lebih banyak dari periode sebelumnya. Capaian tersebut tentunya membuat cemas. Masyarakat memiliki harapan akan DPR yang berkualitas dilihat dari fakta bahwa mayoritas Anggota DPR berpendidikan setingkat sarjana dan berasal dari kelompok yang produktif, muda, dan menjanjikan. Namun, hal itu tidak diikuti dengan pengalaman yang mumpuni di bidang politik serta pengalaman dan pemahaman kontekstual yang kuat akan wilayah dan rakyat yang diwakilkannya. Mayoritas Anggota DPR masih berasal dari Jabodetabek, bahkan hampir setengahnya tinggal di DKI Jakarta. Fakta itu memunculkan pertanyaan besar soal fungsi representasi atau keterwakilan yang melekat pada Anggota DPR.
A. Berharap pada 560 Wakil Rakyat Fungsi representasi adalah fungsi dasar yang dimiliki oleh seorang Anggota DPR yang merupakan konsekuensi sebagai “wakil rakyat”. Pada dasarnya, ada tiga keterwakilan yang mempengaruhi struktur pelembagaan sistem perwakilan di suatu negara, yaitu politik, wilayah, dan profesi (slideshare.net, diakses pada 4 Maret 2011). Sistem pemilihan langsung yang dianut oleh Indonesia menempatkan ketertautan antara wakil rakyat dan yang diwakilinya dari keterwakilan politik dan wilayah. Keterwakilan politik merepresentasikan nilai-nilai yang diusung oleh partai politik dan keterwakilan wilayah mensyaratkan pemahaman akan persoalan dan kebutuhan dari wilayah yang diwakilinya. Hal itu mendasari keharusan tiap wakil rakyat untuk menjalin hubungan dengan konstituen dan melaporkan pertanggungjawaban atas perjuangan kepentingan dan kebutuhan konstituennya. Oleh karena itu, kombinasi minimnya pengalaman dan posisi serta pertanyaan besar mengenai “keterwakilan” mereka tentunya berpengaruh terhadap kinerja DPR. Baru setahun bekerja, DPR sudah mampu membuat masyarakat menarik kesimpulan singkat: DPR periode 2009—2014 adalah DPR “baru” dengan perilaku “lama”. Opini tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan. Hasil kajian PSHK mengenai penilaian kinerja DPR menunjukkan lampu kuning bagi DPR. Upaya-upaya 139
perbaikan sudah dilakukan untuk menguatkan fungsi representasinya, seperti laporan pertanggungjawaban dari fraksi dan bahkan beberapa Anggota DPR dalam forum-forum publik, misalnya dalam seminar. Selain itu, upaya lainnya adalah wacana pengajuan RUU oleh Anggota DPR yang didorong oleh UU MD3. Namun, hal itu tertutupi oleh pelaksanaan fungsi-fungsi DPR yang masih minim. Mendata dan menganalisis pelaksanaan fungsi-fungsi DPR, terutama fungsi legislasi, merupakan cara untuk menilai kinerjanya. Kinerja itu dapat diukur dengan dua parameter, yaitu kepekaan politik dan kemampuan teknis (Daniel Dhakidae, 2000). Kepekaan politik berkaitan erat dengan sensitivitas DPR dalam melihat dan memahami konteks permasalahan serta memilih persoalan-persoalan bangsa yang paling strategis dalam memproyeksikan visi dan arah kebijakan. Sementara itu, kemampuan teknis adalah kemampuan DPR dalam menjaring, mengolah aspirasi menjadi kebijakan, serta mengolah sumber daya yang dimilikinya dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Mengulang Kinerja Legislasi yang Minim Capaian kinerja fungsi legislasi DPR pada 2010 terhitung minim, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pertama, proses perencanaan yang tidak realistis mengakibatkan capaian selalu jauh dari target perencanaan serta masih ada penetapan prioritas yang tidak sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Keberhasilan DPR pada 2010 untuk menyelesaikan pembahasan RUU hanya sebanyak 24,2% dari target perencanaan. Mulanya, DPR menetapkan 55 RUU sebagai prioritas 2010. Jumlah target itu kemudian terus ditambah sebanyak tiga kali menjadi total 70 RUU. Hal itu dilakukan tanpa mempertimbangkan pengalaman DPR periode sebelumnya yang hanya mampu menyelesaikan rata-rata 38,6 UU per tahun. Kedua, DPR juga tidak memiliki arah dan visi yang jelas di bidang legislasi. Rendahnya kepekaan politik DPR pada 2010 terlihat dari pemilihan isu-isu yang menjadi prioritas Anggota DPR. Contoh sederhana, pada awal masa kerja saja, DPR sudah mengawali kiprahnya dengan isu-isu kontroversial, mulai dari dana aspirasi, rumah aspirasi, studi banding, dan pembangunan gedung baru. Ketidakjelasan itu juga terlihat dari pemilihan pembahasan tiga RUU, yaitu UU tentang Keprotokolan, UU tentang Cagar Budaya, dan UU tentang Gerakan Pramuka. Ketiga UU itu bukan prioritas Prolegnas 2010. Sebaliknya, RUU krusial yang sudah dipersiapkan sejak lama serta merupakan daftar prioritas, seperti RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, justru tidak dibahas. Sementara itu, dari segi harmonisasi pembentukan peraturan perundang-undangan, sekitar 70% UU di Indonesia tumpang tindih dan saling bertabrakan, baik dengan UUD 1945 maupun UU lain. Dari segi kemampuan merancang peraturan, terdapat beberapa catatan substansial. Contohnya yaitu ketentuan tentang pemberian kewenangan yang tidak jelas dan rentan penyimpangan seperti dalam UU Revisi UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi serta kegagalan DPR dalam memahami konteks permasalahan dan memberikan alternatif solusi seperti dalam UU tentang Pencabutan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang KPK. Selain itu, potensi penggunaan anggaran yang berlebihan dari UU tentang Keprotokolan juga menjadi catatan. Kemudian, mulai dari minimnya pengaturan partisipasi publik dalam UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman hingga UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 140
tentang Partai Politik masih belum mampu mendorong transparansi keuangan partai politik. Ketiga, DPR menyia-nyiakan sumber daya yang dimilikinya. Anggaran legislasi sudah dinaikkan dari Rp560 juta pada 2005 menjadi Rp5,8 miliar pada 2009. Kenyataannya, kenaikan yang signifikan itu tidak dimanfaatkan DPR secara optimal untuk memenuhi target prioritas tahunan dan Prolegnas secara keseluruhan. Fungsi 550 staf ahli yang direkrut sejak 2006 dan diperuntukkan bagi Anggota DPR maupun alat kelengkapan pun dipertanyakan. Hal itu tidak berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkannya. Fungsi Pengawasan dan Tradisi Berpolitik yang Buruk Kajian PSHK menunjukkan bahwa rendahnya kinerja fungsi legislasi DPR disebabkan fokus DPR menghabiskan energi dalam fungsi pengawasan untuk isu yang tidak substansial sehingga pelaksanaannya tidak efektif. Setahun bertugas, DPR sudah membentuk 32 Panja yang mayoritas untuk pelaksanaan fungsi pengawasan. Data itu kemudian dipertanyakan dari segi jumlahnya—dibandingkan capaian di bidang pelaksanaan fungsi legislasi–dan efektivitasnya. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi alasannya. Pertama, DPR menggunakan Panja sebagai alat politik sekelompok golongan untuk menekan pemerintah. DPR melupakan esensi dari Panja, yaitu melakukan perbaikan yang berpihak pada kepentingan rakyat dalam kerangka fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Kenyataannya, Panja yang terbentuk didorong dan disetir oleh kepentingan politik praktis. Sering kali, pelaksanaan fungsi pengawasan diakhiri dengan penyelesaian politik yang tidak transparan, seperti pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) atau dilakukan sebatas tujuan tertentu. Contohnya adalah kasus Century yang menghentikan pejabat pemerintah karena mengeluarkan kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan sebagian Anggota DPR. Kedua, Panja yang dibentuk untuk pelaksanaan fungsi pengawasan belum sesuai dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif. DPR belum memiliki aturan mengenai kriteria pembentukan suatu Panja. Dengan demikian, tidak ada parameter penting-tidaknya pembentukan Panja atau cukup-tidaknya penyelesaian dalam tingkatan alat kelengkapan yang ada. Selain itu, dalam praktiknya, peran Panja kerap tumpang tindih, baik dengan peran lembaga negara lain, misalnya dalam Panja Inflasi yang dibentuk oleh Komisi XI, maupun dalam proses penegakan hokum, seperti Panja Pengawasan Penegakan Hukum dan Panja Mafia Pajak yang keduanya dibentuk oleh Komisi III. Ketiga, fungsi pengawasan yang dijalankan pada kenyataannya tidak lebih sebagai forum politik yang menghadirkan individu-individu. Namun, hal itu tidak diikuti dengan tindak lanjut yang menyentuh hal-hal substansial dari persoalan yang diangkat. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi pengawasan hanya sekadar memberikan kesan dan simpati masyarakat bahwa DPR sudah peduli dan berpihak pada rakyat. Dampaknya adalah DPR tidak berkontribusi dalam penyelesaian masalah dan pelaksanaan fungsi DPR lain menjadi terganggu karena tidak diikuti dengan tindak lanjut. Hambatan Klasik Perbaikan Internal dan Eksternal DPR masih bergulat dengan hambatan klasik. Komposisi dalam struktur DPR yang belum memperhatikan keterwakilan perempuan, belum adanya independensi 141
Anggota DPR yang masih dalam kontrol penuh fraksi, dan pembubaran fraksi sebagai konsekuensi pemilihan langsung masih masuk dalam daftar hambatan yang dialami DPR. Selain itu, efektivitas peran Badan Kehormatan dalam penegakan aturan internal DPR, pelaksanaan keterbukaan rapat, keterbukaan informasi DPR yang belum konsisten, serta peluang pengajuan RUU oleh anggota secara individu belum dimanfaatkan secara optimal. Persoalan klasik internal DPR yang lain adalah hubungannya dengan DPD yang masih jauh dari ideal. Keterlibatan DPD dan kewenangannya masih menjadi permasalahan yang diperdebatkan. Arena pertarungannya adalah ketentuanketentuan prosedural. Keikutsertaan DPD setidaknya dipertanyakan dua kali. Pertama, forum yang dimaksud adalah Sidang Bersama DPRD dan DPD, yaitu forum pidato kenegaraan ketika hari kemerdekaan, penyampaian RAPBN, dan Nota Keuangan beserta dokumen pendukung. Kedua, forum selanjutnya adalah proses pembahasan RUU, yaitu RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta. DPD maupun DPR sama-sama memandang perlu untuk menetapkan area aktualisasi lembaga yang tidak menempatkan kedua belah pihak pada potensi degradasi kekuasaan dan kepentingan. Dengan demikian, pada 2010, hubungan keduanya didominasi oleh pembahasan mengenai ketentuan prosedural, yaitu pada pembuatan Tata Tertib DPR, Tata Tertib DPD, dan UU MD3. Sementara itu, tradisi berpolitik yang dibangun DPR dalam relasi eksternal pun buruk, terutama dengan eksekutif, yudikatif, serta lembaga negara lain. Relasi politik DPR yang paling penting adalah relasi dengan presiden sehingga konstelasi politik yang terbangun di antara keduanya menjadi penting. Partai Demokrat yang menjadi mesin politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang menjadi pemenang pemilu. Akan tetapi, jumlahnya belum cukup untuk mendominasi. Hal yang terjadi kemudian adalah muncul koalisi-koalisi dan kompromi politik di antara partai politik untuk menguasai lahan di eksekutif. Namun, koalisi yang terbentuk terbukti sangat cair dan mudah digoyahkan oleh kepentingan politik praktis. Partai Demokrat tidak menjadi kekuasaan dominan yang bisa mempengaruhi keputusan politik anggota koalisi lain. Hal itu lagi-lagi terbukti dalam kasus Bank Century ketika DPR melakukan pemilihan antara opsi A dan C serta dalam pembentukan Setgab. Selain itu, relasi DPR dan pemerintah juga terlihat dalam pengisian anggota lembaga negara. Kinerja DPR pada pengisian anggota lembaga negara tidak konsisten dalam hal kecepatan waktu, transparansi, dan akuntabilitas. DPR memiliki catatan buruk dalam seleksi pemilihan Anggota Ombudsman dan KY yang tidak memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu yang diatur dalam UU. Sementara itu, untuk isu yang dinilai “strategis”, seperti pemilihan Anggota KPK, DPR melakukannya tepat waktu. Dengan catatan, DPR masih belum memiliki kapasitas dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kontekstual dan tepat dalam seleksi pemilihan pejabat publik, misalnya dalam pemilihan Ketua KPK. Terakhir, dinamika relasi DPR dengan lembaga yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, penuh dengan tarik-menarik kewenangan. Di satu sisi, putusan MK mendorong penguatan internal DPR dan prinsip check and balances antara DPR dan MK. Di sisi lain, ada potensi pembatasan ruang gerak MK oleh DPR melalui revisi UU MK.
Mempertanyakan Keberpihakan DPR dalam Pemberantasan Korupsi 142
Satu catatan penting PSHK pada 2010 adalah keberpihakan DPR dalam pemberantasan korupsi. Pada 2010, tidak ada Anggota DPR tertangkap tangan oleh KPK. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan Anggota DPR merupakan pengembangan kasus yang sudah ada sebelumnya. Hanya ada satu kasus korupsi yang melibatkan DPR, yaitu dugaan adanya tindakan penghilangan salah satu ayat dalam UU Kesehatan yang disahkan pada September 2009. Namun, kasus itu terhenti dan tidak sampai ke meja pengadilan. Selain itu, DPR dituntut untuk mendukung gerakan pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menguatkan peran KPK. Pemberantasan korupsi harus ditempatkan sebagai prioritas perbaikan oleh semua lembaga negara dan alat penegak hukum, terutama lembaga perwakilan rakyat seperti DPR. Kegagalan DPR menunjukkan keberpihakannya dalam pemberantasan korupsi merupakan penyelewengan amanat besar dari para konstitutennya. Oleh karena itu, DPR seharusnya tidak terjebak arus pelemahan KPK yang terbukti lebih produktif dalam mengungkap kasus-kasus korupsi dibandingkan alat penegak hukum lain. PSHK menilai DPR tidak memiliki political will untuk memberi dukungan politis terhadap KPK dan gerakan pemberatasan korupsi secara keseluruhan. Dalam catatan PSHK, yaitu kasus kriminalisasi Bibit-Chandra, DPR memberikan perlakuan yang berbeda dalam RDPU dengan KPK yang dilakukan secara tertutup dan RDPU dengan Kapolri dan Jaksa Agung yang dilakukan secara terbuka. Catatan lain, dalam kasus Bank Century yang hanya menjadi ajang tawar-menawar politik dalam pemilihan Opsi A dan C serta menggunakan kasus itu sebagai alat untuk melaksanakan fungsi pengawasannya kepada KPK. DPR juga tidak ada niatan untuk mempermudah kerja KPK. Terbukti, ketika Komisi III melakukan rapat dengan KPK, dokumen hasil Pansus Century ternyata belum diterima oleh KPK. DPR hanya bersemangat menekan KPK untuk menuntaskan penyelidikan Century, tetapi tidak konsisten memantau lalu lintas informasi seperti yang seharusnya. Tidak adanya niatan politik terhadap pemberantasan korupsi diikuti dengan kurangnya pemahaman Anggota DPR mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri. Mereka tidak memiliki kemampuan sekaligus etika. Ketidakmampuan itu terlihat dari pertanyaan yang dilontarkan Anggota DPR, yaitu Komisi III dalam rapat dengan KPK. Dengan demikian, DPR tidak mengetahui hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai contoh, Anggota DPR yang menjadi tersangka kasus cek pelawat masih dapat mengikuti rapat pemilihan Pimpinan KPK. Contoh lain yang berkaitan dengan etika adalah Anggota DPR membahas perkara korupsi yang menimpa sebagian di antara mereka. Tahun pertama DPR periode 2009—2014 penuh oleh catatan-catatan buruk. Catatan itu tidak saja meliputi kinerja DPR yang tersentral pada kepekaan politik dan kemampuan teknis DPR dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Akan tetapi, persoalan pemahaman dan pelaksanaan fungsi representasi dari Anggota DPR juga menjadi esensi dari predikat mereka sebagai “wakil rakyat”. DPR tidak mampu dan tidak mau untuk mengutamakan persoalan-persoalan yang menjadi prioritas pembaruan di segala lini. Selain itu, pilihan untuk menggunakan alat kelengkapan dan pelaksanaan fungsi-fungsinya dijadikan sebagai ajang tawar-menawar politik. Kedua hal itu menunjukkan bahwa DPR memposisikan dirinya berseberangan dengan rakyat yang diwakilinya. Hal tersebut memberikan dua dampak besar bagi DPR. Pertama, serangan dan tekanan perubahan ke DPR akan semakin besar dan menguat. Dampak yang kedua 143
adalah menghilangkan upaya-upaya perbaikan yang dilakukan oleh sebagian kecil Anggota DPR dan staf pendukung dalam membuat kinerja dan citra DPR menjadi lebih baik. Perlu lebih dari sekadar perbaikan infrastruktur, penambahan sumber daya, dan revisi teknis prosedural agar kinerja DPR menjadi lebih baik. Political will, pemahaman mengenai esensi fungsi representasi, serta tekanan publik turut menjadi faktor penentu perbaikan kinerja DPR pada masa yang akan datang.
B. Prediksi Legislasi 2011 Catatan DPR selama 2009—2010 tentu saja akan mempengaruhi kinerjanya pada 2011. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sekiranya dapat diprediksi. Hal itu—salah satunya—dapat dilihat melalui Prolegnas 2011. Dalam Prolegnas 2011, ada catatan terkait efisiensi dan efektivitas masuknya beberapa RUU sebagai prioritas, misalnya RUU Tenaga Kesehatan dan RUU tentang Tata Kelola Pendidikan Tinggi. Berdasarkan evaluasi Prolegnas 2005—2009, RUU yang memiliki kemiripan substansi dengan RUU lain harus dihindari pencantumannya dalam Prolegnas. RUU tentang Keperawatan memiliki subtansi serupa dengan RUU tentang Tenaga Kesehatan sehingga memungkinkan terjadinya tumpang tindih pengaturan. Sementara itu, hal yang sama juga terlihat pada RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi. RUU itu berpotensi memiliki kemiripan atau kedekatan substansi dengan RUU tentang Perubahan atas UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemunculan RUU itu dalam Daftar RUU Prioritas 2011 pun dipertanyakan karena tidak masuk dalam Prolegnas 2010—2014. Selain itu, efektivitas pelaksanaan fungsi legislasi ke depan pun diperkirakan akan tetap dipengaruhi secara signifikan oleh fungsi pengawasan. Salah satu inisiatif yang meningkatkan suhu politik nasional adalah pembentukan Panitia Angket Mafia Pajak di pembukaan masa sidang 2011. Hal itu memperkuat prediksi kembali terulangnya pengabaian fungsi legislasi karena porsi fungsi pengawasan yang terlampau besar. . Kemudian, wacana publik yang diperkirakan menjadi sorotan utama antara lain materi muatan yang terkait pemberantasan korupsi, terutama yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan KPK. Banyaknya mantan Anggota DPR yang ditahan oleh KPK dalam kasus cek pelawat Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia menimbulkan kemungkinan terjadinya “pembalasan dendam”. Wacana publik lain yang mungkin mengemuka adalah pembahasan tentang paket RUU bidang politik. Pembahasan terkait paket RUU itu didasari oleh semakin dekatnya pemilu yang akan diselenggarakan pada 2014. Oleh karena itu, pembahasan materi revisi beberapa RUU di bidang politik, yaitu UU MD3, UU Pemilu, dan UU Penyelenggara Pemilu, diperkirakan akan segera dituntaskan menyusul UU Parpol yang sudah disahkan pada 2010.
144
DAFTAR PUSTAKA “75 Tahun kepanduan di Indonesia: Patah tumbuh hilang berganti”, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 1984. “Ada
Sembilan Substansi Krusial dalam Revisi UU MK”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20381/ada-sembilan-substansi-krusialdalam-revisi-uu-mk, diakses pada 8 Januari 2011.
“Alasan Pimpinan Tim Pengawas Century Bergilir”. http://politik.vivanews.com/news/read/147072alasan_pimpinan_tim_pengawas_century_bergilir, diakses pada 10 Januari 2011. “Anggota
Panja TPPU: Isu Suap Rp 5 Miliar Harus Benar-benar Diusut“. http://www.detiknews.com/read/2010/08/26/111405/1428259/10/anggota-panjatppu-isu-suap-rp-5-miliar-harus-benar-benar-diusut, diakses pada 23 Februari 2011.
“Bambang Soesatyo Curiga PPATK Jadi Alat Demokrat Buat Sikat Lawan Politik”. http://www.detiknews.com/read/2010/08/24/193251/1427103/10/bambang-soesatyocuriga-ppatk-jadi-alat-demokrat-buat-sikat-lawan-politik, diakses pada 23 Februari 2011. “Bambang: Hentikan Isu Suap Rp 5 Miliar!”. http://nasional.kompas.com/read/2010/08/27/16305275/Bambang.Hentikan.Isu.Suap. Rp.5.Miliar, diakses pada 23 Februari 2011. “Batasan PMA 30 Persendi UU Hortikultura Bisa Jadi Bumerang”. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/10/31/143623-batasanpma-30-persen-di-uu-hortikultura-bisa-jadi-bumerang, diakses pada 23 Februari 2011. “Berpayung UU Tumpang Tindih”. Suara Pembaruan, 24 Agustus 2010. “Biaya Pelantikan DPR-DPD Rp.46 Miliar”, Vivanews.com, 29 September 2009, http://politik.vivanews.com/news/read/93048biaya_pelantikan_dpr_dpd_rp_46_miliar , diakses pada 29 Januari 2011. “Boediono dan Sri Mulyani Target Angket Century“. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=53932, diakses pada 29 Januari 2011. “Calon KY Nyangkut di Seskab“. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/170092/16/1/Calon-KomisionerKY-Nyangkut-di-Seskab, diakses pada 10 Januari 2011.
145
“Dikawal 8 Menteri Pembahasan RUU BPJS Mahal Deadlock“.http://www.tribunnews.com/2011/01/21/dikawal-8-menteri-pembahasanruu-bpjs-malah-deadlock, diakses pada 10 Januari 2011. “Dilobi PD Terus-PKS Tetap Konsisten”. http://www.detiknews.com/read/2010/03/03/093602/1309972/10/dilobi-pd-terus-pkstetap-konsisten, diakses Januari 2011 “DPR
Akan Kembali Susun UU BHP”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd551d4dd6d/dpr-akan-kembali-susunuu-bhp, diakses pada 8 Januari 2011.
“DPR Hasil Pemilu 1955“. http://www.dprri.org/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=59&Itemid=72, diakses pada 18 Januari 2011. “DPR RI Jaring Aspirasi Untuk Draft RUU Cagar Budaya”, http://www.ugm.ac.id/new/id/news/dpr-ri-jaring-aspirasi-untuk-draft-ruu-cagarbudaya, diakses pada 23 Februari 2011. “Efektivitas Panja DPR DIpertanyakan”. http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nasional/11/01/17/158934-efektifitas-panja-dpr-dipertanyakan, diakses pada 17 Januari 2011. “Empat Fraksi Coba Jegal PPATK dan KPK“. http://republika.co.id:8080/koran/23/117914/Empat_Fraksi_Coba_Jegal_PPATK_dan _KPK, diakses pada 23 Februari 2011. “FPKB: Surat Peringatan Lily Wahid Akan Segera Dikirim“. http://www.detiknews.com/read/2010/03/07/173648/1313176/10/fpkb-suratperingatan-lily-wahid-akan-segera-dikirim, diakses 10 Januari 2011. “Hak Menyatakan Pendapat Cuma”. Gertakhttp://nasional.kompas.com/read/2011/01/14/14011446/Hak.Menyatakan.Pen dapat.Cuma.Gertak, diakses pada 14 Januari 2011. “Hasil Munas Gerakan Pramuka 2003 di Pontianak, Kalimantan Barat” terbitan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 2004. “Kaligis: Antasari yang Laporkan Bibit-Chandra”. http://www.tribunnews.com/2010/10/26/kaligis-antasari-yang-laporkan-bibitchandra, diakses pada 20 Januari 2011 “Kementerian Pekerjaan Umum: Gedung DPR Tidak Miring”. http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/05/04/Nasional/krn.20100504.1 99183.id.html, diakses pada 1 Februari 2011. “Komisi XI Berencana Bentuk Panja Inflasi”. http://jurnalparlemen.com/news/2010/12/komisi-xi-berencana-bentuk-panja-inflasi, diakses pada 24 Desember 2010
146
“Mayoritas Anggota DPR 2009-2014 Warga Jakarta“. http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/16/08002832/Mayoritas.Anggota.DPR .2009-2014.Warga.Jakarta, diakses pada 19 Desember 2009 “Mayoritas Anggota DPR Memilih Opsi C“. http://www.antaranews.com/berita/1267633593/mayoritas-anggota-dpr-memilihopsi-c, diakses pada 3 Februari 2011. “Misteri Kolam Renang di Gedung Baru DPR“.http://nasional.kompas.com/read/2010/09/04/10521490/Misteri.Kolam.Renang .di.Gedung.Baru.DPR, diakses pada 1 Februari 2011. “PAN Endus Kolusi di Balik RUU Akuntan Publik“> http://nasional.inilah.com/read/detail/1011742/pan-endus-kolusi-di-balik-ruuakuntan-publik, diakses pada 2 Februari 2011. “Panja Menggurita di DPR”. http://republika.co.id:8080/koran/14/127284/Panja_Menggurita_di_DPR, diakses pada 17 Januari 2011. “Paripurna DPR Sahkan Tim Pengawas Century”.http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=6759, diakses pada 10 Januari 2011. “Pemerintah Bersikeras Tak Gunakan BPJS Tunggal“> http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/09/08/brk,20100908-277330,id.html, diakses pada 10 Januari 2011. “Pemerintah Tak Anggarkan Dana Rumah Aspirasi”.http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/08/05/Nasional/krn. 20100805.208218.id.html, diakses pada 1 Februari 2011. “Penetapan Biaya Haji Molor”, http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/06/09/brk%2c20100609253813%2cid.html, diakses pada 2 Februari 2011. “Pengesahan RUU BPJS Diganjal Pemerintah”. Rakyat Merdeka. 22 Oktober 2010. “Presiden Anggap Rendah Bambang Widjojanto”. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/11/184437/16/1/Presiden-AnggapRendah-Bambang-Widjojanto, diakses pada 26 Januari 2011. “Priyo: Pembangunan Gedung DPR Berlanjut”. http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/14/195668/3/1/Priyo-PembangunanGedung-DPR-Berlanjut, diakses pada 1 Februari 2011. “Rakyat Inilah Total Biaya Pelantikan Wakil Anda di Senayan”. http://www.gatra.com/artikel.php?id=136035, diakses pada 23 Februari 2011. “Reses bukan Alasan Menunda Pemilihan Komisioner“ http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/10/177405/3/1/Reses-bukan-AlasanMenunda-Pemilihan-Komisioner-KY, diakses pada 10 Januari 2011. 147
“Revisi UU Parpol Banyak Kelemahan.” Media Indonesia. http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/18/196712/3/1/Revisi-UU-ParpolBanyak-Kelemahan, diakses pada 18 Januari 2011. “Revisi UU Parpol Tuntas 2010, Syarat Pendirian Partai Diperketat.” Investor Daily, http://www.investor.co.id/home/revisi-uu-parpol-tuntas-2010-syarat-pendirianpartai-diperketat/1068, diakses pada 1 Desember 2010. “RUU Hortikultura Dicurigai Titipan Pemodal”. http://202.153.129.35/berita/baca/lt4cb6fb48d5f67/ruu-hortikultura-dicurigai-titipanpemodal, diakses pada 23 Februari 2011. “RUU
Pencucian Uang: DPR Halangi Penguatan KPK“. http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/08/25/headline/krn.20100825.2 10096.id.html, diakses pada 23 Februari 2011.
“Sebut Parlemen Lembaga Terkorup Kedua, TI Diminta Klarifikasi“ http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/09/time/15 2920/idnews/515520/idkanal/10, diakses pada 18 Januari 2011. “Seleksi KY Rampung, Permahi Tetap Gugat KY“. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cf910b0a5250/seleksi-ky-rampungpermahi-tetap-gugat-dpr-, diakses pada 10 Januari 2011. “Semua Partai Menolak Dana Aspirasi, Golkar Merasa ‘Tertipu’”. http://www.detiknews.com/read/2010/06/08/102414/1373765/10/semua-partaimenolak-dana-aspirasi-golkar-merasa-tertipu, diakses pada 1 Februari 2011. “Sengketa Partai Politik Ditangani Mahkamah Khusus.” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d0b7f6a5feea/sengketa-partai-politikditangani-mahkamah-khusus-, diakses pada 17 Desember 2010. “Tujuh Fraksi DPR Tolak Perp KPK”. http://korupsi.vivanews.com/news/read/133963tujuh_fraksi_dpr_tolak_perp_kpk, diakses pada 20 Januari 2011. “UU (Penyederhanaan) Parpol.” Suara Pembaruan, 17 Desember 2010. ”Mayoritas Anggota DPR 2009-2014 Warga Jakarta”. http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/16/08002832/Mayoritas.Anggota.DPR .2009-2014.Warga.Jakarta, diakses pada 19 Desember 2010. ”Mayoritas Anggota DPR Memilih Opsi C”. http://www.antaranews.com/berita/1267633593/mayoritas-anggota-dpr-memilihopsi-c, diakses pada 3 Februari 2011. Asshiddiqie, Jimly. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. 2005. ----------. Pembentukan dan Pembuatan Hukum dalam Hukum Tata Negara dan Pilar–pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM. Cetakan kedua. Jakarta: Konstitusi Pers. 2005. 148
----------. Pengantar Ilmu hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. 2006. ----------. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi Sekretarian Mahkamah Konstitusi. 2006.
Jakarta:
Bagja, Rahmat. Melanjutkan Pelembagaan Mahkamah Konstitusi, Usulan Perubahan Terhadap Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Democratic Reform Support Program. 2008. Bahan Rapat Dengar Pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Komisi III, 25 Januari 2010. Data Pimpinan Alat Kelengkapan DPR 2009 Dhakidae, Daniel. “Dewan Perwakilan Rakyat dan Kemampuan Mengolah Kuasa Wicara”, Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum 1999. F. Harianto Santoro (Ed). Jakarta: Kompas, 2000. Edward Siregar, Fritz. Fungsi Lembaga Representasi, presentasi tanpa tahun. http://www.slideshare.net/fritzedward/fungsi-lembaga-perwakilan-presentation, diakses pada 4 Maret 2011. Fadjar, Abdul Mukhtie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2006. Harahap, Chairuman. “Membedah Hasil Revisi terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008.” Makalah disampaikan pada Diskusi Publik dan Peluncuran Jimly School of Law and Government di Jakarta, 18 Januari 2011. Hassanbasari, M. Sjafei. Sidang Pertama DPR Hasil Pemilu 1955 Berlangsung Tanggal 26 Maret 1956, Dipimpin Ketua Sementara R Soedjono Prawirosoedarso. Kompas, 10 Januari 2007. http://nasional.kompas.com/read/2009/09/29/1504516/rakyat.inilah.total.biaya.pelantikan. wakil.anda.di.senayan, diakses pada http://www.gatra.com/artikel.php?id=136035, diakses pada 20 Januari 2011 http://www.legalitas.org/ruu/keprotokolan, diakses pada 20 Januari 2011. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/06/09/brk,20100609-253813,id.html, diakses pada 9 Juni 2010 Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Juwana, Hikmahanto. Konsekuensi Ratifikasi Perjanjian Internasional. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/181327/, diakses pada 27 Februari 2011. Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
149
Keppres No. 24 Tahun 2009 tentang Anggaran Dasar Gerakan Pramuka. Keppres No. 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka Kompas, 15 Maret 2010. Kompas, 16 Desember 2010. Kompas, 17 Maret 2010. Korupsi DPR Berawal dari Rapat Tertutup, Republika, Sabtu, 05 Juli 2008. Laporan Komisi I DPR dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan Terhadap Pembahasan RUU tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura Tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bgian Barat Selat Singapura, 1 Juni 2010 Laporan Komisi I DPR RI dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan yang Dipertuan Negara Brunei Darussalam tentang Kerjasama di Bidang Pertahanan, 29 Juli 2010 Laporan Komisi II DPR RI Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR RI. 16 Desember 2010. Laporan Resmi Komisi I DPR terhadap Pembahasan RUU Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia tentang Kerjasma Teknik-Militer, 21 September 2010 Latif, Abdul dkk. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009. Majalah Tempo Edisi 4—10 Oktober 2010. Majelis Permusyawaratan Indonesia. Panduan Pemasyarakatan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008. Maridjan, Kacung. ”Membaca Kemampuan Anggota Dewan Baru“. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=9046, diakses pada 18 Januari 2011. Muhtadi, Burhanuddin. “Tinjauan Kritis Revisi UU Parpol dan Menguatnya Gejala Deparpolisasi.” Makalah disampaikan pada Diskusi Publik dan Peluncuran Jimly School of Law and Government di Jakarta, 18 Januari 2011. Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (Jakarta: Konsorsium
150
Paripurna DPR Sahkan Tim Pengawas Century, http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=6759, diakses pada 20 Januari 2011. Pasaribu, Reni Rawasita, dkk. Meninjau Ulang Mekanisme Pembentukkan Peraturan Pemerintah. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2006. Pemilu 2009 dalam Angka. Jakarta: KPU, 2009. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR Periode 2009—2014. Pohan, Ramadhan. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar mengenai Ratifikasi Perjanjian Perbatasan Indonesia-Singapura. http://ramadhanpohan.com/risalah-rapat/rapat-dengar-pendapat-umumdengan-pakar-mengenai-ratifikasi-perjanjian-perbatasan-indo , diakses pada 5 Februari 2011. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11/PUU-VIII/2010. Rodja, Siti Maryam dkk. Legislasi Tak Tuntas di Akhir Masa Bakti. Jakarta: Pusat Studi hukum dan Kebijakan, 2010. Rodja, Siti Maryam dkk.. Rekam Jejak Kuasa Mengatur, Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi 2004-2009. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2010. Rosari, Aloysius Soni BL de. Editor. Centurygate: Mengurai Konspirasi Pengusahapengusaha. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Sekretarian Jenderal DPR-RI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 1999-2004. Jakarta: Sekjen DPR RI, 2004. Setiawan, Bambang. “Sebuah Orde di Kaki DPR Baru”, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/01/03195547/sebuah.orde.di.kaki.dp, diakses pada 18 Desember 2009. Sholikin, M. Nur dkk. Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2007. Susanti, Bivitri dkk. Bobot Kurang, Janji Masih Terutang. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2006. Sutarto, Terlepas di Ruang Ibu KetuaPenulis dan judul artikel. Majalah Tempo Edisi 4— 10 Oktober 2010. The Jakarta Globe, 31 Januari 2011 Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal Hukum Jentera. Edisi 12 Tahun III (AprilJuni 2006). Hlm. 22-36 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 151
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD 1945. Undang-Undang Keprotokolan. UU No. 9 Tahun 2010. LN No. 125 Tahun 2010, TLN No.5166. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara Undang-Undang No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang Protokol. UU No. 8 Tahun 1987. LN No.43 tahun 1987. TLN No.3363. Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986 Wiratraman, R. Herlambang Perdana. “Neoliberalisme, Good Governance, dan Hak Asasi Manusia”. Jurnal Hukum Jentera. Edisi 15 Tahun IV (Januari-Maret 2007). Jakarta: Pusat Studi Hhukum dan Kebijakan, 2007. Yasin, Muhamad. “Suap dalam Proses Legislasi, Penelusuran Awal”. Jurnal Hukum Jentera Edisi 10 Tahun III Oktober 2005. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2005.
152
LAMPIRAN 1 UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi I. Substansi Isi/Materi
Pertanyaan kunci analisis Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin Undang-undang ini dimaksudkan untuk m dipecahkan peningkatan status Perppu Nomor 9 Tahun 20 undang-undang sebagaimana diamanatkan di d UUD 1945. Perrpu Nomor 9 Tahun 2009 ialah perat ditujukan untuk menjawab persoalan, kekoson pimpinan KPK jika mayoritas pimpinan KPK (l harus diberhentikan untuk sementara. Perppu i untuk menjawab persoalan kemungkinan tida kinerja KPK, jika mayoritas pimpinannya t menjalankan fungsinya. Siapa yang diuntungkan N/A Pengaruh terhadap kelompok rentan N/A Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar Perppu ini dapat dijadikan sumber yang be penerapan dan pendefinisian keadan genting ya sebagai kondisi yang diprsyaratkan oleh UUD keluarnya sebuah Perppu. Beban dan Manfaat yang ditimbulkan N/A Potensi beban dan manfaat undang-undang terhadap anggaran negara Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan Tidak teridentifikasi adanya masalah peraturan perundang-undangan Potensi masalah dalam implementasi Tidak ada
Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Aturan) Tingkat Kerincian
153
N/A. Sebagai undang-undang pencabutan, undangmempertimbangkan secara matang, akibat h berlakunya Perppu yang dicabut. Undang-
menguatkan legalitas akibat hukum dari Perppu, antara lain, menjamin legalitas pimpinan sementara KPK dan lain-lain. Tidak teridentifikasi adanya kerancuan kalimat N/A Tidak teridentifikasi adanya kesalahan teknis
Efektivitas dan kerancuan kalimat Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis II. Proses A. Partisipasi Publik Tahapan dan Waktu
Akses Informasi Stakeholders Pemangku kepentingan terlibat Kelompok Rentan yang terlibat Kelompok Keahlian yang terlibat Sifat Rapat
‐
Pada tanggal 4 Maret 2010, DPR menolak Perppu 4 Tahun 2009 menjadi undang-un konsekuensinya berdasarkan Pasal 22 ayat dan Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 36 ayat (4) 2004 Tentang Pembentukan Peraturan undangan, pemerintah wajib mengajukan pe Pencabutan; ‐ Pada tanggal 12 Mei 2010 Menteri Huku mengajukan RUU pencabutan sekaligus berdasarkan surat nomor R-26/Pres/4/2010. Menkumham melakukan pembahasan deng Terdapat dua agenda rapat, yakni, penyamp RUU oleh Presiden dan mendengar tanggapa ‐ Undang-undang ini diundangkan pada ta 2010, namun berdasarkan Pasal 2 UU ini, din Perppu sudah tidak berlaku sejak tanggal sejak penolakan Perppu oleh rapat Paripurna N/A yang N/A
Forum-forum publik yang diselenggarakan
N/A N/A Keseluruhan terbuka. N/A
rapat-rapat
pembahasan
dila
B. Perdebatan Wacana
Terdapat dua substansi yang menjadi perdebat pembahasan UU penolakan ini. Pertama, terkait deng masa jabatan Tumpak Pangabean sebagai ketua KP Kedua, terkait penolakan pengesahan undang-und Perppu. Isu pertama, banyak pihak menilai bahwa dengan pen pada tanggal 4 Maret 2010 dalam rapat paripurna tid berhentinya jabatan Tumpak sebagai ketua KPK, s 154
Metode Pembahasan
Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan Dalam Perdebatan
diundangkannya undang-undang pencabutan. Namun ini menjadi terbantahkan dengan Pasal 2 UU pen menyatakan bahwa Perppu berakhir pada tanggal sehingga kewenangan Tumpak sebagai ketua KPK b tanggal 4 Maret 2010. Isu kedua, terkait dengan penolakan pengesahan un Terdapat dua argumentasi besar, mengapa Perppu Pertama, adalah alasan bahwa rational (alasan kebera tersebut telah hilang seiring dengan dikembalikannya p Chandra menjadi pimpinan KPK. Kedua, bahwa kondis KPK bukan merupakan ihwal kegentingan yang me disyratkan oleh UUD 1945. Pembahasan diawali pada rapat paripurna dengan menyikapi Perppu. Rapat paripurna memutuskan u perubahan status Perppu menjadi undang-undang da komisi III untuk membahas undang-undang pencabuta dibawa pada tingkat I, pembahasan komisi, memutusk membentuk Panja dan menyetujui naskah RUU pen diajukan pemerintah. Naskah yang telah disetuju paripurna, tingkat II, untuk disetujui yang selanjutnya pemerintah untuk diundangkan. Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
155
UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi I. Substansi Isi/Materi
Pertanyaan kunci analisis Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin Ketentuan peralihan UU No. 22/2002 ten dipecahkan mengatur permohonan grasi yang diajukan b UU No. 3/1950 tentang Permohonan Grasi selesai maka penyelesaiannya harus dilaku jangka waktu dua tahun sejak UU No. 22/200 Namun sampai dengan tahun 2010, masi permohonan yang belum selesai. Sehingg kekosongan hukum dalam menyelesaikan p tersebut.
Ada dua masalah yang ingin diselesaikan mela undang ini: (i) belum selesainya proses p pengajuan grasi yang didasarkan pada UU dalam jangka waktu dua tahun sejak Oktobe proses pemeriksaan permohonan yang lam dengan 2010, terdapat 2106 tunggakan permoho Besarnya tunggakan tersebut menggambark masalah dalam prosedur yang diatur dalam UU
Siapa yang diuntungkan
Pengaruh terhadap kelompok rentan Pengaruh terhadap kelompok rentan 156
Keberadaan undang-undang ini untuk membe hukum atau mengisi kekosongan huku memperpanjang jangka waktu penyelesaian p grasi yang telah diajukan selama sepuluh tahu sejak 2002. Selain itu, juga untuk menguba penanganan pengajuan grasi agar lebih cepat konsiderans dalam undnag-undang ini menyat pemberian grasi harus dilakukan secara tepat d tertentu dan sesegera mungkin untuk kepastian hukum, keadilan, dan perlindunga manusia berdasarkanPancasila dan UUD 1945. Pihak yang diuntungkan dari undang-undang pemohon grasi. Terutama terkait deng pemeriksaan permohonan grasi. Undang-u memangkas jangka waktu penyerahan pertim kepada Presiden dari sebelumnya dalam jang bulan menjadi 30 hari terhitung sejak p diterima. Undang-undang ini memberi kesempata pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan H meminta terpidana keluarga terpid Undang-undang ini atau memberi kesempata mengajukandalam grasi.hal Ketentuan ini berpeng pemerintah ini Menteri Hukum dan H terpidana terpidana yang tidakatau tahukeluarga mengenaiterpid hak meminta pemerintah mengajukan grasi, grasi.karena Ketentuan ini bersifat berpeng meminta kepada ataumengenai keluarga hak terp terpidana yang terpidana tidak tahu mengajukan grasi. Undang-undang sebelumny grasi, karena pemerintah bersifat
Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar
Prinsip dasar yang terkait adalah kepasti Dengan mempercepat proses pemeriksaan p grasi serta pengaturan pengajuan grasi yang h diajukan satu kali akan memberi dampak bag hukum terpidana. Beban dan Manfaat yang ditimbulkan Undang-undang ini menimbulkan beban in Potensi beban dan manfaat undang-undang Mahkamah Agung. Pengurangan waktu proses terhadap anggaran negara pertimbangan dari 3 bulan menjadi 30 har Mahkamah Agung untuk mengubah si mekanisme pemeriksaan permohonan grasi. Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan Pengaturan tentang jangka waktu dan peraturan perundang-undangan pengajuan grasi hanya satu kali memberikan pada adanya kepastian hukum bagi terpidana merupakan warga negara. Pasal 28 D UUD setiap orang berhak mendapat kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Secara lebih lengkap, pasal 28D ayat (1) meng orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlind kepastian hukum yang adil serta perlakuan ya hadapan hukum. Potensi masalah dalam implementasi
Pasal 6A memberi kewenangan Menteri Hukum untuk meminta terpidana atau keluarga mengajukan permohonan grasi. Selain itu, Men dan HAM juga berwenang melakukan pen pelaksanaan proses pengajuan grasi. Kewenangan ini harus dapat dijalankan secar setiap terpidana. Menteri Hukum dan HAM h menjalankan prinsip persamaan di depa Kewenangan ini berpotensi pada pelaksanaan fair antara terpidana. Bisa saja Menteri Hukum memprioritaskan pelaksanaan kewenanganny pihak-pihak tertentu yang menjadi terpidana.
Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Aturan)
Tingkat Kerincian
157
Undang-undang ini merupakan und perubahan sehingga ketentuan-ketentuan y bersifat melengkapi atau mengubah aturan yan dalam undang-undang sebelumnya. Dari aturan baru yang terdapat dalam undang terdapat ketentuan yang membutuhkan aturan mengenai prosedur pelaksanaannya yaitu terk
kewenangan Menteri Hukum dan HAM untu pengajuan grasi dan pelaksanaan pengajuan kewenangan ini membutuhakn aturan lebih l mengatur prosedur. Namun dalam undangtidak diatur mengenai pendelegasian untuk peraturan pemerintah sebagai tahapan untuk pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang peraturan pemerintah terkait dengan und dianggap penting. Dalam Rapat Paripurna undang-undang ini, salah satu anggota m interupsi yang intinya meminta agar pemeri membentuk peraturan pemerintah untuk me undang-undang ini. Pasal 6A ayat 1 memberi kewenangan Menteri H HAM untuk meminta terpidana dan keluarga Istilah “meminta” ini menuntut adanya pengatu bagaimana mekanisme permintaan yang dila Menteri Hukum dan HAM. Dalam undang-undang ini tidak diatur mekanisme evaluasi. Tidak teridentifikasi adanya kesalahan tek undang-undang ini.
Efektivitas dan kerancuan kalimat
Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis II. Proses A. Partisipasi Publik Tahapan dan Waktu
Proses pembahasan undang-undang hanya berla lebih selama enam bulan yaitu sejak Februar Tahapan dan waktu secara lebih rinci sebagai ber ‐ ‐ ‐ ‐
‐ ‐
‐
158
8 Februari 2010, Presiden menyampaikan kepada Pimpinan DPR bernomor R-10/Pres/2 25 Februari 2010, Rapat Badan Mus memutuskan untuk menugaskan Komisi III m ini. 1 Maret 2010, Surat Ketua DPR Nomor T RI/III/2010 mengenai Penugasan komisi III u RUU. 22 April 2010, Rapat Kerja Komisi III dengan dan HAM dengan agenda mendengark Presiden terhadap RUU yang diwakili oleh dan HAM, pandangan fraksi-fraksi, dan penyu 24 Mei dan 31 Mei 2010, Rapat Kerja Kom Menteri Hukum dan HAM 21 Juli 2010, Rapat Kerja Komisi III dengan dan HAM dengan agenda Laporan Ketua Pan pendapat mini fraksi, pengambilan k penandatanganan naskah RUU. 26 Juli 2010, Laporan Wakil Ketua Komisi
Paripurna dan persetujuan Rapat Paripurna menjadi UU.
Akses Informasi Stakeholders Pemangku kepentingan yang terlibat Kelompok Rentan yang terlibat Kelompok Keahlian yang terlibat Sifat Rapat Forum-forum publik yang diselenggarakan
Tidak ada data Tidak ada data
Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ditemukan informasi yang menjelaskan publik yang diselenggarakan dalam kaita pembahasan RUU ini.
B. Perdebatan Wacana
Metode Pembahasan
Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan Dalam Perdebatan
Dari naskah ketentuan dalam RUU, terdapat s pengaturan yang memunculkan perdebatan yai kewenangan Menteri Hukum dan HAM untuk permohonan grasi. Ketentuan ini terdapat dalam pasal yang diajukan oleh pemerintah. Secara lebih lengkap, mengatur sebagai berikut: “Demi kepentingan hu Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat mengajukan per karena jabatan”. Usul ketentuan ini mendapat perlawan fraksi di DPR. F PDIP menilai bahwa Menteri Huku selaku pihak eksekutif tidak memiliki kewenangan da ranah yang berbeda dengan yudikatif. Selain itu, nome kepentingan hukum” sangat rawan dengan berbagai in konsekuensinya terbuka peluang digunakan un kepentingan. Sedangkan F PPP menilai bahwa pengajua hak individu yang hanya dapat diwakili oleh keluargan hukumnya. Sementara itu F Partai Golkara memiliki pa berbeda dengan fraksi lainnya. F Partai Golkar menila substansi tidak masalah kewenangan pengajuan g kepada pihak lain, selain terpidana, karena bisa berhalangan atau tidak mengerti untuk mengajukan gr Partai Golkar juga berpendapat bahwa kewenangan in disalahgunakan atau diperjualbelikan. Sehingga diperhatikan adalah pengaturan agar kewenanga disalahgunakan. Perbedaaan pendapat tersebut dibahas dalam forum rap yang akhirnya menyepakati bahwa Menteri Hukum da berwenang untuk meminta terpidana atau keluarga te mengajukan permohonan grasi. Kewenangan Menter HAM hanya memfasilitasi para pihak untuk lebih pengajuan grasi demi kepentingan kemanusiaan dan kea Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 159
160
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang I. Substansi Isi/Materi Pertanyaan kunci analisis Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah Tertulis dalam Pendapat Akhir Presiden atas yang ingin dipecahkan RUU PPTPPU ini bahwa latar belakang penyusunan RUU ini adalah: 1. Peraturan perundang-undangan yang ada masih memiliki keterbatasan dalam mendeteksi tindak pidana pencucian uang. 2. Masih ada beragam penafsiran atas rumusan norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan berbagai celah hukum 3. Peraturan perundang undangan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan standar internasional. Beberapa materi yang hendak diatur antara lain adalah: 1. Penyempurnaan tafsir pencucian uang. Memasukkan rumusan mengenai pemidanaan atas setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan atas asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hakhak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 2. Penjatuhan pidana dan sanksi administratif. Ada sanksi pidana penjara dan pidana denda. RUU ini juga menghapus ketentuan mengenai sanksi pidana minimum khusus. Ada juga pidana tambahan berupa denda bagi korporasi. 3. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa 4. Perluasan pengertian Pihak Pelapor 5. Perluasan jenis Pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Tujuan Pengaturan dan Masalah Tertulis dalam Pendapat Akhir Presiden 6. Kewenangan penundaan transaksiatas yang ingin dipecahkan RUU ini bahwa latar tindak belakang 7. PPTPPU Kewenangan penyidik pidana 161 asal untuk penyusunan RUUmenyidik ini adalah:pidana pencucian 1. Peraturan perundang-undangan yang uang masih memiliki 8. ada Kewenangan PPATKketerbatasan untuk lakukan
Siapa yang diuntungkan
Publik, khususnya gerakan pemberantasan korupsi Pengaruh terhadap kelompok rentan Tidak berdampak langsung pada kelompok rentan Pengaruh terhadap prinsip-prinsip Mendorong akuntabilitas dan transparansi dasar Beban dan Manfaat yang ditimbulkan Potensi beban dan manfaat undangundang terhadap anggaran negara Tingkat kesesuaian terhadap Tidak teridentifikasi adanya masalah konstitusi dan peraturan perundang-undangan Potensi masalah dalam Belum ada implementasi Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Sebagai undang-undang formil, UndangAturan) undang ini telah cukup memenuhi kebutuhan yang ada. Tingkat Kerincian Sebagai undang-undang formil, Undangundang ini cukup detail Efektivitas dan kerancuan kalimat Tidak teridentifikasi adanya kerancuan kalimat Mekanisme evaluasi Tidak ditemukan. Kesalahan Teknis Tidak teridentifikasi adanya kesalahan teknis II. Proses A. Partisipasi Publik Tahapan dan Waktu
Diambil dari: http://djpp.depkumham.go.id/pembahasanruu/80-ruu-yang-di-bahas/601-ruupencegahan-dan-pemberantasan-tindakpidana-pencucian-uang.html - 15 Januari 2010, Menteri Hukum dan HAM menyampaikan surat kepada Presiden (Nomor Surat M.HH.PP.02.0305) - 26 Januari 2010, Menteri Sekretaris Negara mengirimkan kembali RUU tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM RI (Nomor Surat B162
-
-
• • • •
-
107/M.sesneg/D-4/01/2010) 18 Februari 2010, Presiden telah menyampaikan RUU tersebut kepada Pimpinan DPR RI (Nomor R.13/Pres/02/2010 dengan menunjuk Menteri Hukum dan HAM RI dan Menteri Keuangan untuk mewakili Presiden) 5 Mei 2010, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memasuki tahap pembicaraan tingkat I yakni pembacaan Keterangan Presiden serta Pandangan Fraksi mengenai RUU. 17 Juni 2010, Rapat Kerja Pansus bersama Menteri Hukum dan HAM RI 28 Juni s/d 1 Juli 2010, Rapat Panja Menyepakati DIM RUU berjumlah 502 DIM DIM tetap berjumlah 330 DIM DIM redaksional berjumlah 84 DIM DIM Substansi atau dihapus berjumlah 74 DIM Penambahan DIM substansi berjumlah 14 DIM 20 s/d 22 Agustus 2010, Pembahasan bahan Timus 25 Agustus 2010, Pembahasan bahan Timus 1 s/d 3 September 2010, Rapat Tim Sinkronisasi 29 September 2010, Pembahasan laporan Timus dan Timsin ke Panja. 5 Oktober 2010, Rapat Paripurna 22 Oktober 2010, di undangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5164, menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Akses Informasi tertutup Stakeholders Pemangku 1. Komite Koordinasi Nasional kepentingan yang terlibat Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Kompite 163
TPPU) 2. PPATK 3. KPK 4. BI 5. Kejaksaan Agung 6. Polri 7. BIN 8. BAPEPAM 9. Ditjen Pajak 10. KADIN 11. Ditjen Bea Cukai 12. Perbanas 13. BPKP 14. MA 15. HKHPM 16. KAI 17. PERADI 18. AKHI 19. INI 20. IAI 21. Akademisi: Prof. Marjono Reksodiputro, Prof. Sutan Remi Sjahdeni, Prof, Bismar Nasution, Dr. Yenti Garnasih Kelompok Rentan yang terlibat Tidak ada data. Kelompok Keahlian yang terlibat 1. HKHPM 2. KAI 3. PERADI 4. AKHI 5. INI 6. IAI 7. Akademisi: Prof. Marjono Reksodiputro, Prof. Sutan Remi Sjahdeni, Prof, Bismar Nasution, Dr. Yenti Garnasih Sifat Rapat Rapat-rapat pada tahap Panitia Khusus (Pansus) dilakukan secara terbuka, namun rapat-rapat selanjutnya (Panja,Timmus/Timsin) dilakukan secara tertutup. Forum-forum publik yang Rapat Dengar Pendapat Umum diselenggarakan B. Perdebatan Wacana
Ada empat Fraksi yang ramai diberitakan berupaya menjegal RUU PPTPPU ini, Fraksi Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PPP, dan Fraksi Hanura. Poin utama upaya penjegalan ini berbentuk penolakan atas
164
kewenangan KPK untuk menyidik, dan kewenangan KPK untuk memeriksa Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Empat Fraksi tersebut berupaya memepertahankan dominasi kewenangan Polri dan Kejaksaan dalam pengusutan kasus pidana pencucian uang. KPK dianggap tidak berwenang oleh mereka karena KPK adalah lembaga ad-hoc, bukan lembaga permanen seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Satu hal lain yang juga menjadi perdebatan panas ialah soal pemberian kewenangan pada PPATK untuk memblokir rekening bank yang dinilai mencurigakan. Hal ini juga ditentang keras di DPR, salah satunya oleh Ahmad Yani dari Fraksi PPP dengan alasan bahwa pemblokiran adalah kewenangan penegak hukum sementara PPATK bukanlah lembaga penegak hukum. Secara terbuka anggota Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menuduh Fraksi Partai Demokrat yang merupakan partai pemerintah bermaksud menjadikan PPATK sebagai alat menyerang lawan-lawan politiknya. Penyidikan tindak pidana pencucian uang akhirnya diputuskan untuk bisa dilakukan oleh penyidik pidana asal (Pasal 74 UU PPTPPU). Selaku penyidik pidana asal, selain Polri dan Kejaksaan, KPK, BNN, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai diberikan kewenangan tersebut. Mengenai kewenangan PPATK soal pemblokiran, PPATK diberi kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi yang mencurigakan terkait pidana pencucian uang (Pasal 65 UU PPTPPU). Adapun perintah pemblokiran hanya dapat dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana (Pasal 71 UU PPTPPU). Metode Pembahasan
Pembahasan melalui standar mekanisme pembahasan RUU, yaitu melalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus), yang dilanjutkan dengan pembentukan Panja, dan akhirnya berujung kepada Tim Perumus/Tim Sinkronisasi. Pengambilan Tidak ada data
Metode Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan
Tidak ada data Dalam Tidak ada data
165
Perdebatan
166
UU NO. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan I. Substansi Isi/Materi
Pertanyaan kunci analisis Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin Secara yuridis, UU ini bertujuan menggantikan dipecahkan tahun 2007 tentang Protokol karena UU tersebut tidak sesuai dengan kondisi kekinian, terutama dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945.
Selain itu, UU ini juga bentuk dari penghormata pejabat negara, pejabat pemerintahan, perwakila tamu dari negara asing, serta tokoh masyarakat, memiliki hak keprotokolan dalam acara kenegar acara resmi lainnya.
Pembentukan UU ini adalah betuk upaya penye terhadap dinamika yang tumbuh dan berkemba sistem ketatanegaraan, budaya, tradisi bangsa. S diharapkan akan menciptakan hubungan baik d pergaulan antarbangsa.
Siapa yang diuntungkan
Pengaruh terhadap kelompok rentan
Dan terakhir, untuk memberikan pedoman pela dari acara kenegaraan atau acara resmi lainnya, berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur. Pejabat negara, pejabat pemerintahan, perwak asing dan/atau organisasi internasional, tokoh dan tamu negara, karena pengaturan dalam U kepada pemenuhan hak keprotokolannya d kenegaraan atau acara resmi lainnya. Undang-undang ini tidak membawa pengaru kepada kelompok rentan, karena hal yang d banyak bertujuan kepada pejabat negar pemerintahan, perwakilan negara asing organisasi internasional, tokoh masyarakat, negara
Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar Beban dan Manfaat yang ditimbulkan Ada beban langsung yang diberikan oleh UU Potensi beban dan manfaat undang-undang APBN dan/atau APBD, yaitu untuk terhadap anggaran negara keprotokolan dalam acara negara dan acara res Namun, terkait dengan manfaat, UU ini tidak m manfaat yang langsung kepada APBN dan/ata Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan Sudah sesuai peraturan perundang-undangan Potensi masalah dalam implementasi Pengaturan dalam UU ini tidak mengatur s mengenai pemakaian anggaran dalam p keprotokolan. Sehingga berpotensi menimbul penyelenggaraan keprotokolan yang tidak efekt 167 tinggi, padahal anggaran sepenuhnya diambil dan/atau APBD. Sebenarnya hal ini sudah teran
Selain itu, terkait dengan sanksi juga tidak d UU ini. Sehingga berpotensi terjadi ketidakseri pelaksanaannya. Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Aturan)
Tingkat Kerincian
Efektivitas dan kerancuan kalimat Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis
UU ini tidak mengatur perihal sanksi. Pad ketentuan utama mengatur batasan-batasan at dalam melaksanakan keprotokolan. UU ini memiliki ketentuan utama namun tidak pengaturannya. Sehingga, pengaturan-pengatu menjadi samar apakah masuk dalam lingkup kebolehan, atau larangan. UU ini sudah mengatur perihal pemakaian namun tidak diatur secara rinci. Dalam anggaran disebutkan bahwa sumber danan APBN dan/atau APBD. Namun, kemudian t perihal prinsip penggunaannya. Ada beberapa pasal yang memakai kalimat yang untuk dipahami. Tidak ada mekanisme evaluasi yang diatur dala Tidak teridentifikasi adanya kesalahan teknis
II. Proses A. Partisipasi Publik Tahapan dan Waktu
Rencana untuk melakukan revisi terhadap UU 8/ dimulai pada tahun 2005, dimana pada saa Protokoler dan Keuangan Dewan Perwaki Indonesia masuk dalam Prolegnas 2005-2009. Kemudian, pada Prolegnas tahun 2007 RUU ters sebagai RUU prioritas hasil inisiatif DPR, dengan tentang revisi UU No.8 tahun 1987 tentang Protok Persiapan draft dan naskah akademik dar dilakukan oleh Badan Legislasi dengan berko dengan Departemen hukum dan HAM (sekara Kementerian Hukum dan HAM). Dalam prosesnya, tahapan persiapan hingga p ternyata tidak selesai pada tahun 2007, bahkan s jabatan DPR Periode 2004-2009 berakhir. Sehingga RUU tersebut sempat masuk kembali m prioritas pada tahun 2008, 2009, dan akhirnya 201 RUU yang menjadi usulan DPR ini m persetujuan dari rapat paripurna pada tanggal 4 Selanjutnya Presiden, melalui surat No.R.33/P
168
tertanggal 13 April 2010, menugaskan Menteri HAM, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Da untuk bersama-sama melakukan pembahasan d Kemudian Presiden menambahkan Mente Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reforma kepada kepada tim Pemerintah dalam pembah melalui surat No.R.39/Pres/05/2010 tertanggal 2 Pada tanggal 16 Juni 2010, Pansus, yang diket Triamtomom SH., memulai pembahasan deng Pemerintah dalam suatu Rapat Kerja. Baru pada tertanggal 25 Oktober 2010 berhasil diambil dalam pembahasan tingkat I. Kemudian Rapat p tingkat II atau Rapat Paripurna dilaksanakan p 26 Oktober 2010, sekaligus pada Rapat Paripu RUU tentang Keprotokolan disetujui menjad kemudian disahkan oleh Presiden Susilo Yudhoyono pada tanggal 19 November 2010. Akses Informasi Proses pembahasan RUU dilaksanakan sesu prosedur yang ada, terutama yang berkaitan publik Stakeholders Pemangku kepentingan yang Sekretariat Jenderal Lembaga Negara (MPR, DP terlibat BPK, dan BI), Asosiasi Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Pemerintah seluruh Indon Asosiasi DPRD Kabupaten dan DPRD Ko Indonesia. Kelompok Rentan yang terlibat Tidak ada yang dilibatkan secara khusus Kelompok Keahlian yang terlibat Tidak ada data Sifat Rapat Rapat-rapat pada tahap Panitia Khusus (Pansus secara terbuka. Forum-forum publik yang diselenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Kunjungan K B. Perdebatan Wacana Metode Pembahasan
Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan Dalam Perdebatan
Perdebatan banyak fokus kepada dua hal, yaitu ter sanksi dan pengunaan anggaran. Pembahasan dilakukan dengan mekanisme pembahasan melalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus), yang dengan pembentukan Panja, Tim Kecil, dan akhirny kepada Tim Perumus/Tim Sinkronisasi. Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
169
UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya I. Substansi Isi/Materi
Pertanyaan kunci analisis Keterangan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin Menurut keterangan DPR dan Pemerintah, peru dipecahkan mendasar dan substansial dalam UU Cagar Bud lain menyangkut: ‐ Paradigma pelestarian dinamis o Orientasi pelestarian bukan hanya mengembalikan warisan budaya ke a ‐ Pengelolaan yang berbasis masyarakat o Pengelolaan tidak hanya tertumpu ke pemerintah ‐ Orientasi kawasan o Tidak hanya sekedar mempertahanka utama dari benda atau monumen seba ‐ Arkeologi di air o Tidak hanya berorientasi kepada bend daratan ‐ Persatuan dan kesatuan bangsa o Benda cagar budaya semestinya juga sebagai unsur yang dapat membangu serta persatuan dan kesatuan bangsa ‐ Kesejahteraan rakyat o Cagar budaya seharusnya dapat menj daya ekonomi baru untuk meningkatk kesejahteraan rakyat Siapa yang diuntungkan Keberadaan UU ini dimaksudkan untuk m melestarikan cagar budaya dari ancaman pe fisik yang terus berkembang, sehingga menguntungkan masyarakat. Pengaruh terhadap kelompok rentan Tidak ada pengaruhnya terhadap kelompok re arti kelompok masyarakat tertentu, tetap berpengaruh terhadap pengembangan b Indonesia. Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar Seharusnya aturan seperti ini merupakan wu konstitusi untuk melestarikan kekayaan budaya Beban dan Manfaat yang ditimbulkan Pemerintah berkewajiban untuk mencari dan m Potensi beban dan manfaat undang-undang benda yang diduga benda cagar bud terhadap anggaran negara berkewajiban memfasilitasi pembentukan Cagar Budaya.
Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan Terdapat ketentuan pidana yang melangga peraturan perundang-undangan hukum (lihat penjelasan di bawah).
Potensi masalah dalam implementasi
170
Akibat kurangnya sosialisasi maksud dan tuju undang ini dengan komunitas-komunitas k
yang sifatnya karet berupa ancaman pidan usaha mencegah, menghalang-halangi, atau me upaya pelestarian cagar budaya. Dalam hal i yang dilarang tidak cukup spesifik, karena rua pelestarian budaya sangat luas, yaitu (tindak untuk) melindungi, mengembangkan, dan me cagar budaya. Tindakan yang akan diambil da melaksanakan pelestarian tidak diuraikan secara
Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Aturan)
Tingkat Kerincian
Efektivitas dan kerancuan kalimat
Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis
Peraturan ini pada dasarnya telah mengatur sec lengkap. Hanya pengaturan terkait penyelesaian (misalnya jika terjadi sengketa terkait penetapan cagar budaya dengan pemilik tanah tempat ben ditemukan). Terlalu rinci untuk beberapa hal yang tidak sub sehingga justru mengurangi kejelasan peraturan Beberapa substansi juga diambil dari PP yang su seperti terkait pendaftaran atau register cagar bu Untuk ketentuan yang berakibat pada pembatas warga negara, sebenarnya keputusan untuk mem materi muatan PP ke dalam UU ini sudah tepat, hal yang sifatnya teknis seperti pelaksanaan pen oleh Tim Ahli, seharusnya cukup diatur dalam p pelaksana saja. Secara umum terdapat banyak kalimat pengatur tidak efektif dan rancu. Salah satu contoh mend penjabaran pengertian “benda cagar budaya” ya dulunya hanya diatur dalam satu ketentuan saja sekarang dijabarkan di beberapa pasal, bahkan d menambahkan bab khusus tentang kriteria caga padahal tidak ada perubahan substansial terkait yang diatur. Tidak ditemukan Tidak ditemukan
II. Proses A. Partisipasi Publik
‐ Waktu pembahasan: 6 bulan (Mei-Oktober 201 ‐ Tahapan:
Tahapan dan Waktu
171
o Rapat Paripurna memutuskan RUU inisiatif DPR (25 Mei 2010) o Pembahasan RUU dengan Menbudpa Mendagri, dan Menhukham (mulai 20 o Pengambilan keputusan Pembicaraan Oktober 2010) o Rapat Paripurna mengesahkan RUU 2010) Tidak diketahui yang Tidak diketahui
Akses Informasi Stakeholders Pemangku kepentingan terlibat Kelompok Rentan yang terlibat Kelompok Keahlian yang terlibat Sifat Rapat Forum-forum publik yang diselenggarakan
Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak diketahui Menurut laporan hasil Pembicaraan Tingkat I yan oleh Komisi X, telah diadakan 2 uji publik. Uji p diadakan di beberapa kota, yaitu Aceh, Yogyaka dan Bali, serta uji publik kedua dilakukan di Un Mada, Yogyakarta.
B. Perdebatan Wacana Metode Pembahasan Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan Dalam Perdebatan
Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak diketahui
172
UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka I. Substansi Isi/Materi Pertanyaan kunci analisis Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin dipecahkan
Keterangan Penggunaan UU ini merupakan UU baru yang disahkan yang sebelumnya hanya dalam bentuk Keppres Nomor 238 tahun 1961. UU ini di dalam laporan Komisi X DPR RI hasil pembicaraan tingkat I dimaksudkan untuk menghidupkan dan menggerakkan kembali semangat perjuangan yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat yang beraneka ragam dan demokratis. Undang-Undang ini ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan yang bersifat mandiri, sukarela dan non-politis dengan semangat bhinneka tunggal ika untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Adapun menurut pemerintah melalui pendapat akhir Presiden, UU ini untuk memperkuat revitalisasi Gerakan Pramuka. Diharapkan pula dapat menjadi pijakan membangun karakter dan kepribadian bangsa Indonesia yang unggul sesuai dengan darma Pramuka serta merupakan wahana penting untuk membangun watak atau karakter dan kepribadian nasional bagi generasi muda bangsa.
Siapa yang diuntungkan
Siapa yang diuntungkan
Negara dan Gerakan Pramuka. Bagi negara, pendidikan kepramukaan merupakan sarana yang efektif dalam membangun jiwa nasionalisme dan karakter bangsa. Hal ini mengingat wahana pendidikan yang lain maupun organisasi kepemudaan tidak mudah dikontrol dan dikendalikan oleh negara. Bagi Gerakan Pramuka, hal ini memperkuat eksistensi keberadaan Gerakan Pramuka dan memberikan kejelasan posisi Gerakan Pramuka. Sejak orde baru runtuh, keberadaan Keppres Nomor 238 tahun 1961 tidak dapat menjadi landasan yang kuat bagi Gerakan Pramuka dalam menjalankan amanat yang terkandung di dalam Keppres tersebut. Keppres tersebut mengamanatkan Gerakan Pramuka satu-satunya penyelenggara pendidikan kepanduan di Indonesia. Padahal sejak tahun 1999, mulai muncul dan organisasi kepramukaan lainnya, seperti Hizbul Negara Gerakan Pramuka. Bagi negara, pendidikan Wathan. Bagi Gerakan Pramuka, kepramukaan merupakan sarana cukup yang sulit efektifbersikap, dalam mengingat landasan berorganisasi Gerakanbangsa. Pramuka membangun jiwa nasionalisme dan karakter Hal 173 menggunakan Hood”yang atau Kekeluargaan. ini mengingatsemangat wahana “Brother pendidikan lain maupun organisasi kepemudaan tidak mudah dikontrol dan Melalui UU ini memberi dikendalikan oleh negara. kepastian hukum, baik Gerakan
Pengaruh kelompok rentan
terhadap Undang-Undang ini membawa pengaruh langsung terhadap kelompok rentan, dalam hal ini organisasiorganisasi yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan selain Gerakan Pramuka. Namun hal ini perlu diuji kembali dalam penyusunan aturan teknisnya dalam bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, apakah Gerakan Pramuka dapat mengakomodasi keberadaan organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan di luar Gerakan Pramuka.
Pengaruh terhadap prinsip- Undang-Undang ini secara umum memenuhi prinsipprinsip dasar prinsip dasar, seperti memberikan kepastian hukum, kekeluargaan, serta pengayoman. Namun, hal ini tergantung kemampuan Gerakan Pramuka dalam menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagai aturan main dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan. Beban dan Manfaat yang ditimbulkan Potensi beban dan manfaat undang-undang terhadap anggaran negara
Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan, mengingat pengelola Gerakan Pramuka diharapkan benar-benar orang yang menjadi anggota dan aktif dalam kepramukaan. Adapun pejabat publik apalagi pejabat negara lebih kepada pembina dan pengawas penyelenggaraan pendidikan kepramukaan. Beban negara secara umum tidak terlalu berpengaruh mengingat dukungan negara dalam hal pendanaan lebih bersifat stimulus, bukan pendanaan secara keseluruhan.
Tingkat kesesuaian terhadap Tidak teridentifikasi adanya masalah konstitusi dan peraturan perundang-undangan Potensi masalah dalam Ada, khususnya ketika Gerakan Pramuka tidak dapat implementasi mengakomodasi kepentingan organisasi pendidikan kepramukaan selain Gerakan Pramuka dalam AD/ART Gerakan Pramuka. Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan Sebagai undang-undang formil, Undang-undang ini telah (7 Kelompok Aturan) cukup memenuhi kebutuhan yang ada. Tingkat Kerincian Sebagai aturan formal, Undang-undang ini sangat detail dalam mengatur pengelolaan pendidikan kepramukaan yang dibutuhkan, dan secara proporsional memberikan
174
delegasi kepada Gerakan Pramuka dalam bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Efektivitas dan kerancuan Secara umum tidak terjadi kerancuan kalimat. Namun, kalimat dikalangan anggota Gerakan Pramuka, ada beberapa istilah yang berubah arti, misalkan istilah Pramuka selama ini diartikan anggota Gerakan Pramuka yang berusia 7 – 25 tahun, namun di Undang-Undang istilah Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif dalam pendidikan kepramukaan serta mengamalkan Satya Pramuka dan Darma Pramuka. Mekanisme evaluasi Evaluasi dilakukan dalam bentuk pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan kepramukaan Kesalahan Teknis Tidak teridentifikasi adanya kesalahan teknis II. Proses A. Partisipasi Publik Tahapan dan Waktu
-
-
-
-
RUU tentang Gerakan Pramuka disepakati Rapat Paripurna menjadi usul inisiatif DPR RI tanggal 25 Mei 2010. Pada rapat paripurna tersebut, nama RUU nya adalah RUU tentang Kepramukaan. Sebelum disepakati, DPR selaku inisiator RUU ini menyelenggarakan beberapa kali RDPU, khususnya dengan Kwarnas Gerakan Pramuka, anggota Gerakan Pramuka serta Hipprada dan penyelenggara pendidikan kepramukaan di luar Gerakan Pramuka, seperti Hizbul Wathan dan Pandu Keadilan. RUU tentang Gerakan Pramuka secara formal disepakati DPR dan Pemerintah pada tanggal 26 Juli 2010. Pertengahan September 2010 para anggota Panja tentang Gerakan Pramuka melakukan studi banding ke 3 negara, yaitu Afrika Selatan, Jepang, dan Korea selatan. Efek dari studi banding ini mulailah masyarakat umum mengetahui kalau DPR sedang membahas RUU tentang Gerakan Pramuka. Awal Oktober 2010, Panja RUU tentang Gerakan Pramuka menyelenggarakan diskusi publik di beberapa daerah, seperti Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah serta DKI Jakarta. 20 Oktober 2010 RUU ini akhirnya disepakati bersama dalam pengambilan Keputusan Tingkat I. 26 Oktober 2010 RUU ini disepakati dalam rapat paripurna DPR RI.
175
Akses Informasi
Stakeholders Pemangku kepentingan yang terlibat
Kelompok terlibat
Rentan
yang
Kelompok terlibat
Keahlian
yang
Sifat Rapat Forum-forum publik yang diselenggarakan
Secara umum, proses pembahasan relatif terbuka, walau seringkali untuk mendapatkan bahan-bahan yang menjadi pembahasan lebih mudah mendapatkannya langsung kepada anggota Panja atau staf ahli anggota Panja Gerakan Pramuka. Sebagian besar yang berkecimpung dalam pendidikan kepramukaan diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Setidaknya beberapa kali RDPU mengundang di luar Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, seperti Hizbul Wathan, pandu Keadilan, dan Hipprada diundang hadir. Begitu pula penyelenggara pendidikan kepramukaan yang bernuansa keagamaan pun diundang hadir dalam RDPU. Pada umumnya lembaga-lembaga ini tetap menginginkan adanya Gerakan Pramuka sebagai wadah pemersatu penyelenggara pendidikan Kepramukaan, kecuali Hizbul Wathan. Organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan di luar Gerakan Pramuka, seperti Pandu Keadilan dan Hizbul Wathan dilibatkan dalam bentuk undangan RDPU. Beberapa kelompok keahlian yang terlibat misalnya ada beberapa pejabat senior Departemen Keuangan yang dimintakan pendapatnya melalui RDPU, misalnya Ali Wardhana, Fuad Bawazier, JB Sumarlin. Selain itu bisa dikatakan juga, keterlibatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia pada salah satu RDPU dapat dianggap sebagai keterlibatan kelompok keahlian. Rapat-rapat pada tahap Panitia Khusus (Pansus) dilakukan secara terbuka, namun rapat-rapat selanjutnya (Panja, Timcil, dan Timmus/Timsin) dilakukan secara tertutup. Terdapat forum-forum seperti Rapat Dengar Pendapat Umum, Diskusi Publik.
B. Perdebatan Wacana
Dari sisi substansi ada tiga hal yang memicu perdebatan pembahasan RUU ini: 1. Nama RUU ini sempat mengalami perubahan yang sebelumnya sempat bernama RUU tentang Kepramukaan. 2. Bentuk organisasi apakah dalam bentuk wadah tunggal, konfederasi atau seperti KNPI. 3. Keberadaan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan. Pada pendapat mini fraksi PKS berpendapat organisasi harus mampu mewadahi, menampung dan mengayomi semua jenis kelembagaan yang menyelenggarakan gerakan
176
kepanduan, di Indonesia. Kelembagaan ini menjadi rumah bersama dalam melakukan pendidikan kepramukaan di Indonesia. Dan kedudukan kepanduan/kepramukaan tersebut setara dalam Gerakan Pramuka. Hal yang sama disampaikan pula oleh Fraksi Golkar, PAN, dan Gerindra. Bahkan Fraksi Gerindra mengusulkan perlu membentuk tim verifikasi dalam hal peralihan dan pengaturan tentang pembubaran dan pengaturan mengenai gerakan kepanduan. Metode Pembahasan Pembahasan melalui standar mekanisme pembahasan RUU, yaitu melalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus), yang dilanjutkan dengan pembentukan Panja, Tim Kecil, dan akhirnya berujung kepada Tim Perumus/Tim Sinkronisasi. Metode Pengambilan Musyawarah Keputusan Bobot Perdebatan Tidak ada data Kesetaraan Dalam Tidak ada data Perdebatan
177
UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura I. Substansi Isi/Materi
Pertanyaan kunci analisis Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin Tujuan UU ini sebagaimana dikutip dari Lapora dipecahkan IV DPR pada saat Pembicaraan Tingkat II, yaitu
1. memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, e budaya masyarakat terhadap produk hortikultura; 2. meningkatkan produktivitas, kualitas, nilai t saing, dan pangsa pasar; 3. meningkatkan konsumsi produk dan pema hortikultura; 4. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan 5. memberikan perlindungan kepada petani, p dan konsumen hortikultura nasional; 6. meningkatkan sumber devisa negara; dan 7. meningkatkan meningkatkan kesehatan, k dan kemakmuran rakyat.
Siapa yang diuntungkan
UU ini dimaksudkan untuk memberikan pe lebih kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan m bidang hortikultura dengan kewajiban pene kemitraan oleh pelaku usaha besar. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, term diharapkan mendapat keuntungan melalui pol dengan pelaku usaha besar. Namun, beb kemitraan justru dikhawatirkan dapat me petani sebagai buruh yang minim perlindungan
Pengaruh terhadap kelompok rentan
Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar Beban dan Manfaat yang ditimbulkan ‐ Potensi beban dan manfaat undang-undang terhadap anggaran negara
Pemerintah dan pemerintah daerah lembaga keuangan milik pemerintah, daerah, dan swasta untuk menyediakan kepada pelaku usaha nasional. ‐ Sebaliknya, penanam modal asing menggunakan kredit dari bank milik pem pemerintah daerah. Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan Tidak teridentifikasi adanya masalah. peraturan perundang-undangan Potensi masalah dalam implementasi Ketentuan yang mewajibkan investor as melakukan divestasi saham dalam waktu em sehingga mencapai jumlah maksimal 30% dari dikhawatirkan akan sulit diimplementasika mitra asing hengkang ke negara lain, sedangkan belum mampu memenuhi kebutuhan hortiku waktu singkat, komoditas hortikultura di da dapat menurun drastis. 178
Potensi masalah dalam implementasi
Ketentuan yang mewajibkan investor as melakukan divestasi saham dalam waktu em sehingga mencapai jumlah maksimal 30% dari dikhawatirkan akan sulit diimplementasika mitra asing hengkang ke negara lain, sedangkan belum mampu memenuhi kebutuhan hortiku waktu singkat, komoditas hortikultura di da dapat menurun drastis.
Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Aturan) Tingkat Kerincian
Tidak teridentifikasi adanya ketidaklengkapan. UU ini mendelegasikan lebih dari 30 pengatu peraturan pelaksana di bawah UU, yaitu Pemerintah dan Peraturan Menteri. Hal itu m ketidakrincian UU ini. Tidak teridentifikasi adanya kerancuan kalimat. Tidak ada. Tidak teridentifikasi adanya kesalahan teknis.
Efektivitas dan kerancuan kalimat Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis II. Proses A. Partisipasi Publik Tahapan dan Waktu
Akses Informasi Stakeholders Pemangku kepentingan terlibat Kelompok Rentan yang terlibat
-
Presiden melalui Surat Presiden tertangga menunjuk Menteri Pertanian dan Menh melaksanakan pembahasan RUU Hortiku DPR. - Pada 13 Juli 2010, Rapat Konsultasi DPR den Fraksi-fraksi pengganti Rapat Bamus penanganan pembahasan RUU Hortikultura Komisi IV. - Pembahasan DIM dilakukan dalam Rapat Pemerintah sebanyak 3 kali, Rapat Panja se serta Rapat Timus dan Timsin sebanyak 8 kali - Hasil pembahasan dan perumusan dari Tim dilaporkan dalam Rapat Panja pada 19 dilanjutkan dengan laporan Panja me pembahasannya kepada Rapat Kerja pada 20 - Persetujuan RUU menjadi UU dilak Pembicaraan Tingkat II pada Rapat Paripur Oktober 2010. Tidak ada data. yang Tidak ada data. Tidak ada data. 179
Kelompok Keahlian yang terlibat Sifat Rapat Forum-forum publik yang diselenggarakan
Tidak ada data. Tidak ada data. Tidak ada data.
B. Perdebatan Wacana
Metode Pembahasan Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan Dalam Perdebatan
Terdapat beberapa penambahan substansi penting ya dari pembahasan mendalam antara DPR dan Pemerintah antara lain yaitu: 1. Penambahan definisi “petani” sebagai konsekuen titik berat pengaturan dalam RUU yang lebih be petani, sedangkan penambahan definisi “penyulu karena kata penyuluh hirtikultura berperan pengembangan hortikultura. 2. Penambahan ketentuan tentang pembentu pengembangan hortikultura yang difasilitasi ol dan pemda. Lembaga itu berfungsi sebaga pemerintah dan pemda dalam mengembangkan h Pembahasan DIM dari Pemerintah. Tidak ada data. Tidak ada data. Tidak ada data.
180
UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman I.Substansi Isi/Materi Pertanyaan Kunci Analisi Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang UU ini untuk menggantikan UU Nomor 4 ingin dipecahkan Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Tujuan UU tersebut diganti karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Siapa yang diuntungkan
Melalui UU yang baru ini diharapkan dapat memberikan solusi untuk masalah yang ada. seperti backlock perumahan, banyaknya lingkungan kumuh, banyaknya rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni tidak didukung oleh prasarana, sarana, utilitas umum yang memadai, dan sumber pembiayaan yang rendah. Berdasarkan semangatnya UU ini memihak kepada masyarakat. Diharapkan dengan adanya UU ini semua masyarakat dapat terpenuhi hak dasarnya yaitu hak untuk mempunyai tempat tinggal.Tetapi apabila di tinjau lebih dalam lagi UU ini nantinya tidak akan memberikan keuntungan yang maksimal untuk masyarakat khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Disisi lain pihak yang dapat diuntungkan adalah developer atau pengembang. Berdasarkan UU ini pemerintah dan/atau pemerintah daerah menugasi lembaga atau badan hukum untuk menangani pembangunan perumahan dan permukiman. Akan tetapi, sangat disayangkan karena di dalam UU ini tidak diberikan ketegasan lebih lanjut, lembaga atau badan hukum mana yang akan menangani perumahan dan permukiman. Melihat kenyataan sekarang ini, lembaga 181
Pengaruh terhadap kelompok rentan
atau badan hukum yang menangani perumahan dan permukiman hampir sebagian besar ditangani oleh pihak swasta yaitu developer atau pengembang. Jadi, dengan tidak ditetapkannya lembaga atau badan hukum yang akan bertanggungjawab, UU ini dapat memberikan keuntungan untuk mereka. UU ini secara khusus tidak memasukan persfektif perempuan hak perempuan atas kepemilikian. Tidak mengatur juga secara khusus hak – hak kelompok rentan terhadap hak atas perumahan dan pemukiman yang layak sesuai dengan kebutuhan yang bersifat khusus.
Pengaruh terhadap prinsip – prinsip dasar
Beban dan manfaat yang ditimbulkan. Potensi beban dan manfaat undang – undang terhadap anggaran negara
UU ini secara khusus belum memberikan perlindungan yang cukup untuk masyarakat adat yang masih mempertahankan dan melestarikan norma – norma adatnya terkait membangun rumah, perumahan, dan permukiman. Bisa jadi uu ini berpengaruh terhadap prinsip dasar dari setiap warga. Prinsip dasar yang paling utama dari UU ini adalah setiap orang berhak untuk bertempat tinggal. Substansi dari UU ini belum memikirkan bagaimana cara yang paling mudah agar masyarakat berpenghasilan rendag, masyarakat miskin,dan terlantar mempunyai tempat tinggal yang sesuai dengan standart atau yang layak untuk dihuni. RUU ini akan menimbulkan beban terhadap APBN dan APBD sebagai sumber dana untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
Tingkat kesesuain terhadap konstitusi dan peraturan perundang - undangan Potensi masalah dalam implementasi
‐
182
Belum ditentukannya secara spesifik lembaga atau badan hukum yang akan bertanggung jawab untuk mengadakan
dan mengelola lebih lanjut keberadaan perumahan dan permukiman. Akan memberikan dampak tidak meratanya sistem penyediaan rumah untuk semua kalangan masyarakat.
Struktur dan kalimat Tingkat Kelengkapan Tingkat Kerincian Efektivitas dan kerancuan kalimat Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis
‐
Dapat mengkriminalisasi setiap orang yang menolak dan membantu menghalangi kegiatan permukiman kembali rumah, perumahan atau permukiman.
‐
Pengaturan untuk pembangunan rumah swadaya belum tegas, maka dari itu dapat memberikan masalah terkait aspek pertanahan, pembiayaan aspek tekhnis ataupun legal untuk pembangunannya.
‐
Berdasarkan UU ini, masyarakat dapat mempunyai dengan cara KPR. Menurut Jehansyah Siregar apabila cara tersebut masih dipertahankan, akan terjadi kemungkinan 20 tahun kedepan Indonesia bisa mengalami krisis perumahan seperti yang pernah di alami oleh negara Amerika.
‐
Tidak terciptanya sistem penyediaan perumahan yg baik sehingga dapat memperbanyak permukiman kumuh dan ketidakmerataan masyarakat untuk mempunyai tempat tinggal.
Telah cukup memenuhi UU ini belum begitu detail mengatur tentang beberapa hal. Tidak ada Tidak ada Tidak ada
II.Proses
A. Partisipasi Publik
Tahapan dan waktu
Pembahasan rancangan undang –
183
undang ini diawali dengan rapat kerja tanggal 22 Juli 2010, dengan acara pengantar musyawarah yaitu penjelasan DPR RI, pandangan presiden yang dibacakan oleh Menteri perumahan rakyat, dan pandangan DPD RI serta dilanjutkan dengan membahas mekanisme dan jadwal pembahasan RUU. Komisi V melakukan 2 kali rapat kerja untuk membahas DIM berjumlah 738 DIM, selanjutnya raker membentuk panitia kerja untuk membahas lebih mendalam tentang susbtansi RUU tersebut. Pembahasan substansi dilaksanakan dengan 11 kali rapat panja dan selanjutnya melakukan perumusan dan sinkronisasi materi RUU yang dilakukan oleh tim perumus dan tim sinkronisasi. Proses pembahasan tingkat I berlangsung dari tanggal 22 Juli 2010 sampai dengan 14 Desember 2010.
Akses Informasi
Stakeholders Pemangku kepentingan yang terlibat
selama penyusunan terjadi perubahan substansi bab dan jumlah pasal. Usulan awal terdiri dari 18 bab dan 134 pasal 18 bab dan 167 pasal. Akses informasi selama pembahasan UU tidak terlalu terbuka dan juga tidak terlalu tertutup. Maksudnya, meskipun masyarakat sipil tidak diberi kesempatan untuk berdikusi dengan para anggota DPR Komisi V. Akan tetapi, setiap perubahan yang terjadi di dalam DIM RUU Perumahan dan Permukiman dapat diketahui oleh pihak koalisi yang tergabung di dalam Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat (KP3R). Banyak pihak yang peduli dengan pembahasan UU ini. Dinataranya adalah pihak yang tergabung di dalam Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat, yaitu LBH Jakarta, YLBHI, SALUD, IHCS, Walhi Jakarta, LBH APIK, Gema Pelangi, Aliansi Penghuni 184
Rumah Negara (APRN), Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Arsitek Komunitas, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Walhi Eknas, Progresip Kasbi, Paguyuban Korban Pengusiran Paksa Papanggo, dan Dibopiss.
Kelompok rentan yang terlibat
Kelompok keahlian yang terlibat
Adapun pihak yang hadir dalam RDP dalam rangka pembahasan RUU Perumahan Permukiman adalah Sesmen Kementrian Perumahan Rakyat, Dirjen Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum, Direksi Perumnas, Direksi BTN, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (APERSI), DPP Real Estate Indonesia (REI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencana (IAP), Masyarakat Perduli Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I). Masyarakat sipil yang tergabung di dalam KP3R diantaranya termasuk kedalam kelompok rentan. Akan tetapi keterlibatan mereka tidak diperhitungkan pada pembahasan RUU, hal ini menjadikan minimnya ruang pasrtisipasi publik. Para ahli yang terlibat atas RUU ini diantaranya adalah : 1. Prof. Goti Triatno Guru Besar Arsitek UI 2. Dr. Ir. Darundono. M.Si Ahli Tata Kota UNTAR 3. M. Jehansyah Siregar, Ph.D Dosen ITB 4. Dodo Gulin ITB 5. Muamar Vebry 1. Rapat dengar pendapat 2. Rapat panja sifatnya tertutup
Sifat rapat Forum – forum publik yang diselenggarakan
Tidak ada
B. Perdebatan
Wacana Metode Pembahasan Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan
Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
185
Kesetaraan Dalam Perdebatan
Tidak ada data
186
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik I. Substansi Isi/Materi
Pertanyaan kunci analisis Keterangan Penggunaan Tujuan Pengaturan dan Masalah yang ingin UU ini merupakan amandemen atas UU No. 2 T dipecahkan tentang Partai Politik. Tujuan UU ini sebagaimana dikutip dari Lapora DPR pada saat Pembicaraan Tingkat II adalah:
8. Memperbaiki UU Partai Politik yang telah ad 9. Menyempurnakan sistem kepartaian. 10. Menyempurnakan pelembagaan partai politi
Perubahan tersebut pada intinya bertujuan untu memperkuat kelembagaan partai politik melalu syarat pembentukan yang lebih ketat. Selain itu, juga bermaksud mengakomodasi dinamika inte politik melalui mekanisme perubahan Anggaran Anggaran Rumah Tangga Siapa yang diuntungkan UU ini menguntungkan partai-partai politik telah memiliki pengaruh luas dengan cakup nasional. Pengaruh terhadap kelompok rentan UU ini belum sepenuhnya menerapkan affirmative action bagi perempuan. Kebija mendorong partisipasi politik perempuan ha sebatas kepengurusan partai politik, belum sa tahap yang mengharuskan partai politik untuk perempuan menjadi calon legislatif atau kepala Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar UU ini seharusnya dapat memfasilita meningkatkan peran perempuan dalam aktiv Namun demikian, peluang itu tidak dimanfaat baik oleh para pembuat UU ini. Beban dan Manfaat yang ditimbulkan UU ini mengamanatkan bantuan keua Potensi beban dan manfaat undang-undang APBN/APBD untuk partai politik yang mendap terhadap anggaran negara di DPR dan DPRD. Tujuan penggunaannya ad melaksanakan pendidikan politik bagi ang politik dan masyarakat. Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan Tidak teridentifikasi adanya masalah. peraturan perundang-undangan Potensi masalah dalam implementasi Tidak adanya ketentuan yang menjamin ak terhadap laporan keuangan partai men ketidakjelasan sumber donasi yang dapat menc miliar. Hal itu membuat partai politik rentan d dikendalikan oleh pengusaha besar.
187
Struktur dan Kalimat Tingkat Kelengkapan (7 Kelompok Aturan)
Sebagai UU perubahan, UU ini tidak men kembali ketentuan definisi karena sudah term UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. untuk kelompok ketentuan lainnya tela tercantum. Sebagai UU perubahan, UU ini cukup rinc berbagai ketentuan yang mengalami perubahan Tidak teridentifikasi adanya kerancuan kalimat. Tidak ada. Tidak teridentifikasi adanya kesalahan teknis.
Tingkat Kerincian Efektivitas dan kerancuan kalimat Mekanisme evaluasi Kesalahan Teknis II. Proses A. Partisipasi Publik -
Tahapan dan Waktu
-
-
-
-
188
RUU Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 Politik disampaikan oleh DPR kepada Pre Oktober 2010. Kemudian, melalui Surat Presi 26 Oktober 2010, Presiden menunjuk Menteri dan Menteri Hukum dan HAM untuk mewak membahas RUU bersama DPR. Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR pa 2010 memutuskan pemberian tugas kepada K memproses pembahasan RUU di Pembicaraan Pembicaraan Tingkat I diawali dengan Rapat Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum d 25 November 2010 dengan agenda: penjela RUU, penyampaian pendapat Presiden te penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah Pemerintah, serta pengesahan mekanisme pembahasan RUU. Pembahasan DIM Pemerintah yang terdiri dilakukan pada Rapat Kerja tanggal 30 N Setelah menuntaskan seluruh pembahasan D memutuskan untuk membentuk Panitia Ker menugaskan pembahasan atas 6 DIM. Rapat Panja dilaksanakan sebanyak 3 kali pa Desember 2010 yang kemudian dilanjutkan Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi ( dan 10 Desember 2010. Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Neger Hukum dan HAM dengan agenda pendap fraksi-fraksi dan Pemerintah serta pengesaha
dilaksanakan pada 13 Desember 2010. Persetujuan RUU menjadi UU dilak Pembicaraan Tingkat II pada 16 Desember 201 Akses Informasi Koalisi LSM yang mengamati perkembang menengarai bahwa pembahasan RUU ini te secara terburu-buru dan cenderung tertutup. Sin pembahasan yang hanya sekitar 3 pekan mengh LSM untuk memperoleh dokumen terkait proses Stakeholders Pemangku kepentingan yang Selama masa 3 pekan, tidak ada unsur y terlibat kepentingan masyarakat yang dilibatkan pembahasan. Koalisi LSM pemerhati paket RUU mengamati melalui media dan tidak pernah di audiensi. Kelompok Rentan yang terlibat Tidak ada data. Kelompok Keahlian yang terlibat Tidak ada data. Sifat Rapat Tidak ada data. Forum-forum publik yang diselenggarakan Tidak ada data. -
B. Perdebatan Wacana
Metode Pembahasan Metode Pengambilan Keputusan Bobot Perdebatan Kesetaraan Dalam Perdebatan
Dari sisi substansi ada tiga hal yang memicu perdebata RUU ini: 4. pencantuman syarat dana awal pendirian parpol; 5. batasan jumlah sumbangan untuk parpol; 6. peningkatan peran perempuan dalam aktivitas parpol.
Namun demikian, perdebatan tersebut tidak berhasil ter proses pembahasan yang cenderung tertutup dan berla singkat. Pembahasan DIM dari Pemerintah. Tidak ada data. Tidak ada data. Tidak ada data.
189
LAMPIRAN 2 DESKRIPSI DELAPAN RUU NONKUMULATIF TERBUKA PROLEGNAS RUU PRIORITAS 2010
No Nomor dan Nama UU 1. UU No 5 Tahun 2010
tentang Perubahan atas UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi 2. UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Jumlah Ketentuan Pelaksana yang Harus Dibuat ‐
5 PP 3 Perpres 4 Peraturan Kepala PPATK 1 Keputusan Kepala PPATK
Ketentuan Pidana Penjara
Kurungan
Denda
‐
‐
‐
a. Dalam hal Minimal 2 Minimal 500 penjualan harta (dua) tahun juta kekayaan milik Maksimal 20 korporasi yang Maksimal dirampas tidak tahun 100 miliar mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungk an denda yang telah dibayar
b. Dalam hal terpidana (direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor, Pejabat atau pegawai PPATK atau
190
Waktu Pembahas
3 bulan
10 bulan
No Nomor dan Nama UU
Jumlah Ketentuan Pelaksana yang Harus Dibuat
Ketentuan Pidana Penjara
Kurungan
Denda
Waktu Pembahas
Lenbaga Pengawas dan Pengatur) tidak mampu membayar pidana denda, maka pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan 3. UU No 9 Tahun 2010
3 PP tentang Keprotokolan 2 Perpres 4. UU No 11 Tahun 2010 15 PP tentang Cagar Budaya
‐
‐
Ancaman hukuman paling lama 15 tahun penjara
‐
‐
‐
5. UU No 12 Tahun 2010 1 Peraturan Badan
tentang Gerakan Pramuka
Standardisasi Nasional 1 Peraturan Lembaga Akreditasi 4 materi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 6. UU No 13 Tahun 2010 3 PP Minimal 1 ‐ tentang Hortikultura 33 Permen (satu) tahun Maksimal 3 (tiga) tahun 7. UU No 1 Tahun 2011 20 PP Paling lama Paling lama 1 tentang Perumahan 6 Permen 5 (lima) (satu) tahun dan Kawasan 3 Perda tahun kurungan Permukiman penjara
191
‐ Ancaman hukuman paling banyak 10 miliar
6 bulan
6 bulan
‐
3 bulan
Minimal 1 miliar Maksimal 3 miliar Paling banyak 50 miliar dan paling rendah 100
3 bulan
5 bulan
No Nomor dan Nama UU
Jumlah Ketentuan Pelaksana yang Harus Dibuat
Ketentuan Pidana Penjara
Kurungan
‐
‐
Denda
Waktu Pembahas
juta 8. UU No 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
1 PP
192
‐
1 bulan