Berbagai Ulasan dan Wawancara bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna Pamuji, Silvia T
1
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
Perempuan Bergerak Edisi II April - Juni 2014
Kondisi Buruh Perempuan Indonesia
4
Pengamatan terhadap persoalan perburuhan di Indonesia dalam satu dekade terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memiliki arah yang jelas, relevan dan realistis dalam kebijakan ketenagakerjaan. Berbagai kasus konflik hubungan industrial yang terjadi, pengangguran, ketidakpastian pekerjaan, adalah refleksi situasi tersebut.
Catatan Kelam Tentang Buruh Perempuan 2014 Tahun 2014, kondisi buruh perempuan makin buruk akibat longgarnya penerapan aturan hak-hak buruh di Indonesia. Kondisi buruh perempuan memburuk seiring dengan hak-hak normatif pekerja yang kian lemah diterapkan dan status kerja buruh perempuan yang kini kerja kontrak. Upah minimum di berbagai daerah belum cukup untuk memenuhi kebutuhan buruh perempuan, yang membuat kondisi buruh mereka tidak membaik.
2
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
19
Menjadi Buruh Sektor Informal
21
Tenaga Perempuan Belum Dihargai
23
Marsinah: Buruh Perempuan Pejuang Keadilan
9
Lebih dari satu tahun Ibu Wiwik bekerja pada agen suvenir itu yang berlokasi di Cipinang. Barang dikirim ke rumah Ibu Wiwik oleh agen berdasarkan banyaknya pesanan suvenir dari pelanggan, sehingga pekerjaan ini dilakukan di rumah Ibu Wiwik dan kerap dibantu oleh anak dan suaminya. ...............................................................................................
Kondisi desa yang demikian, tenyata menarik minat beberapa perusahaan yang ada di kota besar untuk memanfaatkan tenaga yang ada di desa. Target perusahaan-perusahaan tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga yang dianggap tidak memiliki pekerjaan dan dapat dibayar dengan murah. Ditambah lagi, tenaga kerja di desa juga masih dapat dibayar dengan murah. ................................................................................................ Marsinah adalah pahlawan buruh perempuan yang menjadi ikon yang menjadi korban kekerasan aparat militer, dalam catatan sejarah perburuhan di Indonesia. Ia juga menjadi ikon perjuangan buruh di Indonesia. Karena keberaniannya memperjuangkan hak buruh, Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien. ............................................................................................
REMBUG PEREMPUAN Perempuan Bergerak Membangun Komunitas Yang Egaliter
Penanggung Jawab: Listyowati Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Rena Herdiyani, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi: Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004713; Email:
[email protected]; Website: www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi.
S
Kondisi Buruh Perempuan di Indonesia
etiap tanggal 1 Mei seluruh penduduk di dunia memperingati hari buruh sedunia (May day), tak terkecuali di Indonesia. Peringatan ini menjelaskan kepada kita bahwa hingga kini banyak buruh yang belum memperoleh hak-haknya sesuai dengan undang-undang, hukum, atau kebijakan yang menjaminnya. Banyak buruh menerima upah yang sangat tidak layak, karena tidak sesuai dengan tingkat pengeluaran rata-rata buruh di wilayah dia bekerja. Mereka harus berhutang sepanjang hidupnya, karena upahnya tidak mencukupi untuk membayar banyak kebutuhannya. Banyak buruh yang tidak memiliki jaminan sosial dan perlindungan kerja. Banyak buruh mengalami intimidasi mandor, pemilik pabrik, preman pabrik, bahkan aparat keamanan yang menjaga pabrik. Dalam peringatan hari buruh sedunia yang baru lalu dijadikan media refleksi untuk melihat bagaimana kondisi buruh saat ini. Demikian pula buruh perempuan di Indonesia, mereka adalah kelompok yang paling rentan untuk dieksploitasi dan diintimidasi. Hingga kini buruh perempuan masih mengalami diskriminasi dan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja. Hal tersebut terjadi karena buruh perempuan dianggap buruh murah dalam industri, sehingga kerap diperlakukan semena-mena oleh atasan mereka. Buruh perempuan juga sering bekerja melebihi batas jam kerja yang sudah ditentukan oleh UU tanpa memperoleh uang lembur atau insentif apapun (UU No.13 tentang Ketenagakerjaan). Buruh perempuan di pabrik banyak yang belum mendapatkan hak-haknya yang dijamin oleh undang-undang, seperti cuti haid, cuti melahirkan, fasilitas bekerja di malam hari, jaminan keselamatan dan keamanan, penyediaan pojok ASI, gaji dan tunjangan, dan perlakuan lainnya tanpa diskriminasi. Bahkan banyak perusahaan yang memecat buruh perempuannya, jika mereka diketahui dalam keadaan hamil dengan alasan tidak mau menanggung beaya persalinan, dan perempuan yang hamil dianggap tidak produktif bagi pabrik atau perusahaan. Persoalan lain yang masih dihadapi kalangan buruh perempuan adalah upah yang rendah dibanding upah buruh laki-laki. Perbedaan upah yang diterima oleh buruh perempuan sebesar 17-22%. Buruh perempuan berpenghasilan lebih rendah daripada buruh laki-laki. Beragam persoalan yang dihadapi kalangan perempuan dalam mengakses pendidikan dan pelatihan untuk mendapat pekerjaan, dan perlakuan yang sama di masyarakat. Hal tersebut menghambat perempuan untuk memajukan dirinya. Akhirnya, banyak perempuan yang memilih bekerja di sektor informal menjadi pekerja rumah tangga. Mereka sangat rentan mendapatkan kekerasan dan eksplotasi dari majikan. Mereka tidak mendapatkan jaminan perlindungan undang-undang ketenagakerjaan, karena hanya dianggap sebagai pembantu, bukan pekerja. Jakarta, 30 Juni 2014 Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
3
FOKUS
Kondisi Buruh Perempuan Indonesia Apakah yang sebenarnya terjadi di dalam dunia perburuhan kita di Indonesia sekarang? Inilah pertanyaan yang mungkin tepat kita ajukan menanggapi situasi dan kondisi perburuhan yang berkembang saat ini. Betapa tidak, hampir setiap saat kita disuguhi informasi mengenai pemogokan buruh yang tiada hentinya di berbagai pabrik atau perusahaan di banyak tempat di seluruh Indonesia. Pendek kata, tiada hari tanpa mogok kerja! Tiada hari tanpa PHK buruh! Kondisi Umum Buruh Indonesia Pengamatan terhadap persoalan perburuhan di Indonesia dalam satu dekade terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memiliki arah yang jelas, relevan dan realistis dalam kebijakan ketenagakerjaan. Berbagai kasus konflik hubungan industrial yang terjadi, pengangguran, ketidakpastian pekerjaan, adalah refleksi situasi tersebut. Dalam masalah outsourcing dan upah minimum, misalnya jelas bagaimana pemerintah pusat dan daerah mudah terombang-ambing di antara tekanan buruh maupun pengusaha. Di sisi lain, menguatnya gerakan buruh menunjukkan kegamangan pada pihak pemerintah dalam mengambil posisi dan peran yang tegas dalam masalah hubungan perburuhan (industrial). Beberapa tahun terakhir, konflik hubungan industrial banyak disebabkan oleh ketidaktegasan pemerintah dalam kebijakan perburuhannya, ketidaktegasan dalam penerapan peraturan dan ketidakjelasan dalam proses pengambilan keputusan membuat persoalan perburuhan menjadi berlarut-larut dan merugikan semua pihak. Pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk lebih jelas dan tegas dalam menetapkan kebijakan dan membuat peraturan dengan cara lebih mengacu pada realitas yang ada. Harapan para pengusaha terhadap ketegasan pemerintah juga jelas dinyatakan, demikian pula dari kalangan buruh. Kebijakan perburuhan perlu diletakkan dalam konteks yang lebih luas, yang menyangkut kondisi dan mutu pasar tenaga kerja serta kebijakan investasi. koordinasi di antara instansi pemerintah juga mutlak dilakukan karena persoalan buruh tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari sebuah konsep pembangunan bangsa yang bermuara pada kesejahteraan bangsa atau rakyat. Buruh adalah kekuatan penting dalam 4
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
membangun bangsa dan negara. Buruh adalah sokoguru yang akan menentukan perjalanan suatu bangsa menuju kehidupan yang jauh lebih baik di masa depan. Dalam sebuah kesempatan pidatonya. Soekarno menegaskan bahwa revolusi Indonesia pun mempunjai soko guru-soko guru. Dari pada soko guru-soko guru Revolusi Indonesia ini dua adalah amat penting, jaitu soko guru buruh, soko guru tani. Artinja, djikalau Revolusi Indonesia itu tidak didjalankan, tidak terpikul, tidak dilaksanakan oleh kaum buruh, dia akan gugur, djikalau tidak didjalankan, tidak dipikul, tidak dilaksanakan oleh kaum tani, gugurlah Revolusi itu. Intinya, di pundak kaum buruhlah masa depan negara dipertaruhkan. Namun kenyataannya, pernyataan Soekarno itu tidak berbanding lurus dengan kondisi kaum buruh Indonesia saat ini. Buruh cenderung terpinggirkan dalam berbagai hal. Bahkan, tidak sedikit dari kita yang masih mengidentikan buruh dengan pekerja kasar dan serabutan. Di samping itu, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap buruh juga masih menjadi pemandangan keseharian yang tak jarang kita temui. Coba lihat bagaimana penyiksaan terhadap buruh migran Indonesia di berbagai negara (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, dsb),
FOKUS perbudakan buruh pabrik kuali di tanggerang, pelecehan buruh perempuan di berbagai perusahaan, hingga penghalangan kebebasan berserikat yang terjadi di mana-mana.
Upah Murah Tak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan negara yang upah buruhnya tergolong murah. Menurut survei Department of Labor and Employment National Wages and Productivity Commission tentang perbandingan upah tahun 2014 ini, Indonesia menempati urutan terendah nomor 6 dalam peringkat upah minimum di antara negara-negara Asia dan sekitarnya. Dari 16 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 11 di bawah Filipina, Thailand dan Malaysia (Sumber: Department of Labor and Employment). Indonesia memiliki rata-rata upah minimum bulanan terendah sebesar U$ 105.96 (sekitar Rp.1,2 juta) dan tertingginya sebesar U$ 215.57 (sekitar Rp. 2, 441 juta). Negara yang menempati peringkat tertinggi adalah Australia dengan upah minimum bulanan tertinggi sebesar U$ 3,425.81 (sekitar Rp.38,797 juta), sedangkan Myanmar menempati urutan terendah dengan upah minimum bulanan tertinggi sebesar U$ 61.34 (sekitar Rp.694,6 ribu). Nike adalah salah satu perusahaan ternama dunia yang tidak luput dari kritikan terkait praktik upah murah ini. Menjelang perhelatan piala dunia tahun 2014 di Brazilia, Nike memproduksi kostum tim nasional Inggris dengan harga fantastis, £90 per kostum (sekitar Rp.1,7 juta). Nike membuat kostum itu di 40 pabrik yang berada di Indonesia dengan melibatkan 171.000 buruh Indonesia dalam proses pengerjaannya. Pertanyaannya, mengapa Nike justru membuat kostum tersebut di Indonesia? Alasan yang paling rasional ialah karena bea produksi dan upah buruh di Indonesia tergolong murah. Di samping itu, menurut Ultra Petita, salah satu perusahaan saingan Nike yang berbasis di Prancis, selain upah buruh yang murah, pembuatan kaos di negara ketiga seperti Indonesia, hanya menelan bea sebesar £4 (sekitar Rp 78.000 per potong). Jika dibuat di Eropah, maka harganya bisa meroket mencapai £17 (sekitar Rp 337.000 per potong). Terdapat selisih bea £13 per potong yang menjadi keuntungan bagi pengusaha. Aida, buruh pabrik Nike di Indonesia,
dapat menjahit kostum Nike sekitar 120 potong per jam di pabrik. Tetapi sayang, rata-rata buruh diperusahaan tersebut mendapatkan upah di bawah standar. Dari satu kostum yang terjual, diperkirakan seharga 40 persen dari pendapatan seorang buruh per bulan. Nike telah mendapatkan keuntungan besar dari pekerjaan para buruh, tetapi gagal memastikan gaji buruhnya secara layak dan adil. Nasib Aida ini tentu memberikan gambaran betapa ironis nasib buruh di Indonesia. Keringat dan pengabdian mereka tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan. Di sisi lain, negara melalui Pemerintah tentu memiliki tanggungjawab dalam memastikan terpenuhinya hak-hak dasar kaum buruh, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 27 ayat 2 yang menegaskan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Cukup sudah derita kaum buruh Indonesia. Tiap kita dituntut untuk menyokong segala upaya kaum buruh guna memperjuangkan kesejahteraannya. Kaum buruh harus diangkat dalam derajat kemanusiaan yang setinggitingginya, karena merekalah sokoguru bangsa. Kenaikan upah buruh selalu dibayangi dengan kenaikan harga bahan pokok. Kondisi ini menyebabkan kenaikan upah tidak berpotensi meningkatkan kesejahteraan, sehingga para buruh mau tidak mau turun ke jalan menuntut pemerintah membuat regulasi yang tidak membebani mereka.
Revolusi Indonesia pun mempunjai soko gurusoko guru. Dari pada soko guru-soko guru Revolusi Indonesia ini dua adalah amat penting, jaitu soko guru buruh, soko guru tani. Artinja, djikalau Revolusi Indonesia itu tidak didjalankan, tidak terpikul, tidak dilaksanakan oleh kaum buruh, dia akan gugur, djikalau tidak didjalankan, tidak dipikul, tidak dilaksanakan oleh kaum tani, gugurlah Revolusi itu
Jaminan Kesehatan Nasional Terkait dengan Program Jaminan Kesehatan April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
5
FOKUS
Nasional (JKN) untuk sektor pekerja dinilai program tersebut belum sepenuhnya bisa dirasakan para buruh. Menurutnya, dalam UU JKN, iuran untuk program tersebut nyatanya diambil dari upah buruh sebesar 0,5 %. Pihak penyelenggara JKN memungut bea untuk itu, padahal pihak buruh memahami bahwa program itu gratis. Dalam praktik di lapangan, ditemukan banyak kasus layanan JKN belum sepenuhnya maksimal. Program JKN memang belum sepenuhnya berjalan maksimal, karena masih banyak regulasi pemerintah yang belum siap. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan selaku pihak penyelenggara JKN sektor tenaga kerja mendata, jumlah tenaga kerja formal yang mendaftar di BPJS baru sekitar 12 juta dari 40 juta orang. Sementara jumlah tenaga kerja informal sekitar 2,5 juta dari 70 juta orang. Lalu, bagaimana aspek kesejahteraan buruh di mata pengusaha? Apindo mengungkapkan sulit untuk mendefinisikan tingkat kesejahteraan yang layak bagi para buruh selama belum ada implementasi regulasi yang pas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terkait kesejahteraan para buruh secara berkesinambungan.
Kondisi Buruh Perempuan Menarik mengamati kondisi perburuhan di Indonesia. khususnya kondisi buruh perempuan. Buruh perempuan yang dipekerjakan di suatu perusahaan umumnya memiliki karakteristik direkrut secara massal yang memiliki karakter dengan sifat-sifat penurut, nrimo, sabar, teliti, lugu, usia relatif muda 22-27 tahun; berstatus tidak atapun sudah menikah, tingkat pendidikan SD, SLTP, dan SLTA, status pekerjaan ada yang tetap, tidak tetap, dan alihdaya. Tidak 6
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
di semua perusahaan memiliki karakteristik buruh semacam itu. Ada pula rekrutmen buruh perempuan melalui media, melalui papan pengumuman, dan melalui mulut ke mulut. Domisi buruh juga menjadi masalah tersendiri, karena biasanya lebih diminati yang berada di sekitar lokasi pabrik atau perusahaan, meskipun asal usul kampong halaman berbeda-beda. Hubungan buruh baru dengan buruh yang sudah lama biasa turut berperan dalam rekrutmen (dibawa oleh buruh-buruh yang sudah senior). Banyak perusahaan lebih memilih buruh-buruh perempuan yang belum menikah, karena terkait dengan jaminan sosial yang harus disediakan oleh pihak perusahaan. Tidak banyak buruh perempuan yang aktif di dalam organisasi seperti serikat-serikat buruh, karena fokusnya lebih kepada pekerjaan. Meskipun demikian, beberapa buruh masih menyediakan waktu untuk berserikat dan berkumpul. Buruh perempuan hamil biasanya diberhentikan oleh perusahaan, karena banyak perusahaan tidak ingin memenuhi ketentuan jaminan sosial yang sudah ditetapkan di dalam UU Ketenagakerjaan. Mereka bisa melamar kembali apabila sudah melahirkan dengan mulai dari nol kembali, meskipun sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan bersangkutan.
Problematika Buruh Perempuan Buruh perempuan masih juga menuntut hakhak normatif yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diminta. Banyak perusahaan atau pabrik yang tidak memberikan hak tersebut, misalnya cuti haid, cuti tahunan, dll. Jika mengambil cuti haid ataupun cuti tahunan maka akan memotong gaji yang besarnya ditentukan oleh manajemen pabrik. Hal ini memaksa buruh perempuan untuk takut mengambil cuti haid. Kasus lain, lembur yang tidak dibayar secara penuh masih sering terjadi di beberapa pabrik/perusahaan. Pengusaha berdalih bahwa lembur adalah bagian
FOKUS dari pengabdian para pekerja pada perusahaan. Ada pabrik yang menyediakan makanan ketika lembur hingga 4 jam di luar jam kerja, tetapi lembur tetap tidak dibayarkan dengan alasan uang lembur mereka telah berubah menjadi makanan yang mereka makan. Upah kerap menjadi isu utama kaum buruh sepanjang masa, terutama buruh perempuan. Kebanyakan buruh perempuan digaji lebih rendah karena perempuan adalah makhluk yang lemah, mudah diintimidasi dan tidak berani melawan. Perempuan bekerja untuk membantu suami sebagai penafkah utama, atau karena kesempatan kerja bagi perempuan sangat sedikit akibat pendidikan yang rendah sehingga mau digaji berapa pun asal bekerja dan punya penghasilan. Penangguhan UMP 2013 ditengarai ada permainan antara pemerintah dan pengusaha, dengan alasan bahwa UMP 2013 tersebut terlalu tinggi melampaui KHL dan bisa mengakibatkan kebangkrutan perusahaan. Padahal, 46 Komponen KHL (Permenaker No.17/2005) yang dijadikan patokan kenaikan UMP sangat tidak relevan dengan kondisi yang ada. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menegaskan bahwa upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Lainnya. Kasus pelecahan seksual tak kalah marak terjadi di pabrik-pabrik. Sudah pasti korbannya adalah buruh perempuan. Modus pelecehannya bermacam-macam: dari pelecehan verbal seperti bersiul atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas; psikis seperti lirikan mata dan gerakan lidah dan fisik yang mengarah pada perbuatan seksual seperti mencolek atau mencium. Beberapa kasus pelecehan seksual dilakukan oleh atasan mereka sendiri dengan imingiming kenaikan gaji atau pemindahan ke
divisi kerja yang lebih baik. Jika terjadi kasus pelecehan seksual, justru kebanyakan tidak mendapat tanggapan positif oleh pihak manajemen pabrik bahkan menyalahkan korban dan dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Jaminan keamanan kepada buruh perempuan tidak tersedia sehingga mereka tak mampu melindungi dirinya sendiri dalam sebuah payung peraturan. Walaupun telah dikeluarkan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang dikeluarkan olah Kemenakertrans yang bekerjasama dengan ILO, namun tetap belum mampu mencegah atau menurunkan tingkat pelecehan seksual di pabrik-pabrik. Pedoman tersebut hanya himbauan dan anjuran, tetapi bukan jaminan hukum tetap dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh kaum buruh perempuan. Juga tidak ada perlindungan keselamatan bagi buruh perempuan yang bekerja di shift sore hingga malam, semisal menyediakan sarana antar jemput, terbatas jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi buruh perempuan yang menyusui.
Fenomena Perempuan Pekerja di Jakarta Kecenderungan yang terjadi di kota-kota besar di Asia Tenggara, terjadi juga di Jakarta. Khusus di Jakarta, jika melihat penduduk Jakarta berumur 15 tahun keatas berdasar kegiatan dan jenis kelamin terlihat adanya peningkatan prosentase perempuan yang bekerja dari 37,03% tahun 2005 menjadi 44,86% tahun 2010; sedangkan prosentase perempuan yang tinggal dan mengurus rumah tangga menurun yakni dari 43,32% tahun 2005 menjadi 38,77% tahun 2010 (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Dan Keluarga Berencana Provinsi DKI Jakarta 2011). Data ini menunjukkan bahwa makin banyak perempuan yang “keluar rumah” bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin mahal di Jakarta. Meningkatnya jumlah perempuan bekerja tersebut menimbulkan perubahan relasi, terutama dalam hal pengasuhan anak. Bagi para perempuan dan ibu bekerja sebagai buruh atau pegawai biasa, ongkos baby-sitter dirasa sangat mahal. Sementara membebankan pengasuhan anak kepada nenek yang dahulu masih mudah dilakukan, maka saat ini makin sulit karena perubahan relasi April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
7
FOKUS dalam keluarga inti, di samping berbagai kendala lainnya. Pilihan yang sering ditempuh ialah memberikan pengasuhan anak kepada pembantu rumah tangga, meskipun sangat beresiko dari sisi tumbuh kembang anak maupun keamanan anak-anak. Dikelilingi oleh meningkatnya ancaman terhadap keamanan dan keselamatan anak ketika kedua orang tua harus bekerja, pilihan bagi perempuan/ibu pekerja yang tersedia untuk mengatasi masalah pengasuhan anak, masih terbatas dan belum merata. Karenanya, kita perlu memikirkan secara serius sistem pendukung terintegrasi bagi perempuan pekerja.
Sistem Pendukung Terintegrasi Sistem pendukung adalah kebijakan sosial nasional yang mengatur dan memfasilitasi sarana-sarana terintegrasi bagi pemenuhan hak-hak buruh perempuan, seperti panti penitipan anak-anak, dsb. Di Indonesia, tempat penitipan anak atau biasa disebut Taman Penitipan Anak, sejak 1963 berada di bawah koordinasi Departemen Sosial Republik Indonesia. Tahun 2000, taman penitipan anak itu berubah berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Anak usia Dini, Non Formal, dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional. Program nasional Kota Layak Anak yang diselenggarakan berdasar Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.12/2011 untuk mendorong komitmen pemerintah lokal dan masyarakat memenuhi hak anak dalam perencanaan dan pembangunan, indikatornya ialah mampu menyediakan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative. Penjabarannya, orangtua harus meningkatkan kapasitasnya dalam memenuhi tanggungjawab pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Namun dengan kondisi kekinian banyak orangtua terutama ibu yang bekerja yang tidak mampu melakukan pengasuhan secara optimal karena harus bekerja, maka butuh sistem pendukung berupa tempat penitipan anak. Jakarta memperlihatkan pendiriannya masih sporadis. Beberapa pengurus tidak mengetahui adanya Buku Petunjuk Teknis penyelenggaraan tempat penitipan anak, standar penerimaan anak yang hendak diasuh, tanpa standar pengamanan yang layak, latar belakang pendidikan pengasuh di bawah standar yang digariskan Buku Petunjuk 8
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
Teknis, pemberian nutrisi yang beragam, prosedur penerimaan pengasuh yang beragam, dan gaji para pengasuh yang beberapa masih berada di bawah Upah Minimum Regional Provinsi DKI Jakarta. Perbandingan dengan negara maju masalah tempat penitipan anak sudah menjadi perhatian serius sejalan dengan kemajuan dan perubahan ekonomi di negara-negara tersebut. Contohnya di Inggris, sejak 1920-an kebijakan nasional dan kelembagaanya dibangun; di Swedia, Finlandia, Denmark, tempat penitipan anak yang sudah dibangun sejak 1970-an. Di Australia, embrio tempat penitipan anak dimulai sejak 1890-an dalam bentuk kegiatan sukarela perempuan aktifis, di Jepang tempat penitipan anak berada di bawah Departemen Sosial. Para pengasuh dan gurunya pun harus lulusan khusus dari bidang pengasuhan anak. Peningkatan kualitas anak-anak dimungkinkan karena standar asupan gizi nasional, pola pengasuhan yang berkualitas dari para tenaga pengasuh berkualitas, yang diperlakukan secara manusiawi pula. Secara garis besar, kendala yang dihadapi kalangan buruh perempuan di Indonesia, dengan berbagai karakteristik perusahaan dan kemampuannya, adalah menyangkut masalah: upah minium, jaminan sosial, cuti haid dan cuti hamil, insentif, pengembangan kapasitas, pensiun, kekerasan dan pelecehan seksual, serta jaminan kesehatan. Aspek-aspek tersebut hanya mungkin dipenuhi bagi kalangan pegawai pemerintah (PNS dan PNM), ataupun perusahaan multinasional yang patuh kepada ketentuan UU tersebut.***(HG) Referensi 1. http://www.herdi.web.id/buruhadalah-sokoguru-bangsa/ diunduh pada 31 Mei 2014 2. http://jennysuziani.blogspot. com/2014/03/kondisi-buruhperempuan-di-indonesia.html diunduh pada 31 Mei 2014 3. http://www.sinarharapan.co/news/ read/30121/indonesia-menjelangkeadaan-darurat-2014 diunduh pada 31 Mei 2014 4. http://www.arahjuang. com/2014/05/08/marsinah-danperjuangan-buruh-sepanjang-masa/ diunduh pada 31 Mei 2014
OPINI
Catatan Kelam Tentang Buruh Perempuan 2014: Lemahnya Penegakan Hak Buruh Perempuan
K
omite Aksi Perempuan (KAP) untuk kedua kalinya menyampaikan catatan kelam tentang buruh perempuan. Dalam kurun waktu 2013-2014 tidak banyak perubahan yang terjadi dalam penegakan hak buruh perempuan, bahkan makin buruk. Tahun 2014, kondisi buruh perempuan makin buruk akibat longgarnya penerapan aturan hak-hak buruh di Indonesia. Kondisi buruh perempuan memburuk seiring dengan hak-hak normatif pekerja yang kian lemah diterapkan dan status kerja buruh perempuan yang kini kerja kontrak. Upah minimum di berbagai daerah belum cukup untuk memenuhi kebutuhan buruh perempuan, yang membuat kondisi buruh mereka tidak membaik. Demikian pula yang terjadi pada buruh perempuan non formal, seperti pekerja rumah tangga dan buruh migran. Selama satu tahun, banyak kasus
terjadi dan belum ada tindakan tegas pemerintah untuk melindungi buruh perempuan non formal. Sektor Formal Dalam sektor formal, aturan-aturan hukum nasional mengenai hak-hak buruh perempuan menjadi acuan sejauhmana hak-hak mereka telah dilaksanakan. Berdasarkan data dan informasi anggota KAP, yakni Trade Union Rights Centre (TURC) yang melakukan survei di beberapa sektor industri dan AJI yang menyampaikan data di sektor media, serta informasi yang dihimpun dalam Round Table Discussion, diperoleh informasi bahwa kondisi buruh perempuan sebagai berikut: 1. Garmen Salah satu penyumbang devisa
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
9
OPINI terbesar bagi perekonomian Indonesia adalah sektor manufaktur, seperti produk pakaian, dll. Selain menciptakan lebih dari satu juta pekerjaan, industri pakaian adalah sumber pendapatan utama. Laju pertumbuhan industri pakaian Indonesia melebihi 8% per tahun, hal ini karena perpindahan pabrik garmen dari China dan beberapa negara lain ke Indonesia.1 Sektor garmen merupakan pengguna jasa pekerja perempuan dengan jumlah besar. Pada sektor ini pekerja perempuan sebagai kunci berjalannya produksi garmen yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian mereka. Namun di balik ketekunan dan ketelitian itu, banyak pelanggaran kerap terjadi seperti: a. Tidak ada pojok ASI Melihat banyaknya pekerja perempuan pada industri garmen yang memiliki balita yang masih membutuhkan ASI, maka tempat laktasi atau yang disebut pojok ASI sangat dibutuhkan. b. Pelecehan seksual Pelecehan seksual yang kerap terjadi di perusahaan garmen yaitu antara atasan dan bawahan. Atasan berlaku tanpa sopan santun, merasa sebagai pemimpin sah untuk melakukan apa saja terhadap karyawannya. Tindakan mereka dilakukan seperti mencolek pantat, memegang payudara, menyenggolnyenggol pekerja perempuan, bahkan menikah sirih dengan karyawannya untuk memenuhi nafsu. c. Tidak ada cuti haid Sama dengan di industri lain, di perusahaan garmen cuti haid belum diterapkan. Berdasarkan informasi beberapa pekerja perempuan di satu perusahaan garmen, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dibuat terkait perhitungan upah, tidak memenuhi standar UMP apabila 1 Meningkatkan performa Industri Garmen di Indonesia melalui Pengawas Ketenagakerjaan, Newsletter edisi 2, 2013, www.betterwork.org/ indonesia, akses: 20 Februari 2014. 10
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
mengambil cuti haid. d. Pemutusan kontrak pekerja perempuan sebelum melahirkan Pemutusan kontrak ini dilakukan pada pekerja perempuan yang berstatus kontrak. Itu terjadi ketika pekerja perempuan tersebut hamil, sebelum pekerja tersebut melahirkan. Perusahaan melakukan pemutusan kontrak terhadap pekerja tersebut. Ini cara perusahaan untuk menghindari kerugian dengan mempekerjakan perempuan yang hamil, kemudian mengambil cuti melahirkan. 2. Perhotelan Pada sektor ini pelanggaran yang kerap terjadi: a. Cuti haid Cuti haid yang diterapkan di sektor perhotelan sudah berjalan, namun faktanya tidak diambil oleh para pekerja perempuan. Mereka beralasan tidak terlalu urgen, selama masih bisa bekerja maka tidak perlu cuti. b. Pelecehan seksual Pelecehan seksual yang terjadi bukan pada para pekerja perempuan yang sudah tetap, namun terjadi pada pekerja perempuan yang masih baru (masih ikut pelatihan). Modus pelecehan
OPINI seksual diawali dengan bercanda, seperti memegang pantat dan menyenggol bagian tubuh. Namun apapun jenis pelecehan seksual itu, tetap membuat pekerja perempuan merasa tidak nyaman. Ada kemungkinan jika sudah diawali dari yang kecil, maka akan menjadi hal yang berbahaya bagi mereka. Maka perlu perusahaan memberikan keamanan bagi para pekerja perempuan. c. Fasilitas perusahaan Perusahaan harusnya berusaha agar buruh bekerja dengan tenang dan nyaman, dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat mereka gunakan, seperti transportasi jemputan dengan lokasi yang mudah dijangkau kendaraan umum dan aman bagi mereka. Hal tersebut tidak diperoleh para pekerja perempuan di sektor perhotelan di Yogyakarta. Kerja shift yang diberlakukan beberapa hotel di Yogyakarta tidak menyediakan fasilitas yang nyaman bagi para karyawan. Padahal sistem perhotelan yang beroperasi 24 jam menuntut transportasi antar jemput untuk menjamin keamanan para buruh perempuan. d. Pojok ASI Kesempatan memberikan ASI untuk bayi mereka juga dijamin oleh UU No. 13/2013 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”.2 Meskipun telah ditegaskan dalam UU, kenyataannya hingga kini hanya sedikit perusahaan yang benarbenar memberikan hak kepada pekerja/ buruh perempuan untuk pojok ASI ini. Di salah satu hotel di Yogyakarta, pojok ASI tidak disediakan secara layak. Pojok ASI bergabung dengan ruang HRD; tidak disediakan dengan fasilitas yang memadai, seperti tempat penyimpanan ASI yang layak.
3. Perkebunan Perkebunan adalah penyedia lapangan kerja cukup besar di Indonesia, mengingat luasnya wilayah Indonesia yang memiliki kesuburan tanah yang baik pula. Perkebunan yang besar di Indonesia adalah kebun kelapa sawit di Sumatera, khususnya Sumatera Utara. Kekayaan sektor perkebunan Indonesia tidak serta merta memberikan kesejahteraan bagi penduduknya, seperti perkebunan di Sumatera. Lebih dari setengah total perkebunan yang ada di Sumatera Utara, dikuasai pengusaha asing dan lebih mencengangkan bahwa pekerjanya merupakan penduduk Indonesia yang kesejahteraannya diabaikan. Beberapa pekerja mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat pimpinan pengusaha asing sudah memenuhi standar yang cukup baik. Namun implementasi di lapangannya, begitu buruk. Atasan pelaksana di lapangan adalah orang Indonesia namun dikatakan bahwa mereka yang merengggut kesejahteraan saudaranya sendiri, karena tidak memberikan apa yang menjadi hak para pekerja yang berada di perkebunan. Ini suatu keadaan yang tragis yang perlu diperbaiki, termasuk hak untuk pekerja perempuan di perkebunan bersangkutan. Dari pusat perusahaan sudah diberikan fasilitas cukup baik, namun namun para mandor di kebun tidak memberikan hak tersebut. Ini artinya telah terjadi pelanggaran hak. Selain keadaan yang cukup memprihatinkan tersebut ialah ketika mereka bekerja, namun tidak dianggap sebagai pekerja. Hal ini terjadi ketika perusahaan melibatkan isteri atau anak menjadi buruh, membantu
Pelecehan seksual yang kerap terjadi di perusahaan garmen yaitu antara atasan dan bawahan. Atasan berlaku tanpa sopan santun, merasa sebagai pemimpin sah untuk melakukan apa saja terhadap karyawannya. Tindakan mereka dilakukan seperti mencolek pantat, memegang payudara, menyenggolnyenggol pekerja perempuan, bahkan menikah sirih dengan karyawannya untuk memenuhi nafsu.
2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; pasal 83. April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
11
OPINI pekerjaan di kebun, karena target kerja dan upah, tetapi tidak ada perikatan kerja yang jelas. Persoalan ini kemudian memunculkan pelanggaran terhadap hak perempuan di perkebunan, karena mempersulit pekerja perempuan mendapatkan perlindungan. Pelanggaran yang kerap terjadi di perkebunan: a. Cuti haid Cuti haid ini merupakan hak yang sering dilanggar oleh perusahaan. Beberapa buruh perempuan mengatakan bahwa cuti haid yang diberikan oleh perusahaan, seperti ada dan tiada. Dikatakan demikian, karena syarat untuk pengambilan cuti memang dipersulit: •
•
•
Harus ada surat keterangan dokter yang disediakan oleh perusahaan, artinya tidak dapat menggunakan keterangan dokter lain. Dari beberapa pernyataan buruh perempuan menyebutkan bahwa mereka kurang tahu tentang adanya cuti haid tersebut. Cuti haid harus tetap berada di lokasi kerja, atau hanya beristirahat di klinik yang disediakan perusahaan. Hal ini sangat menyiksa pekerja perempuan karena rasa nyaman beristirahat ialah di rumah, sedangkan haid kadangkala terasa sakit dan membutuhkan istirahat yang nyaman. Cuti haid dibatasi, jika melebihi batas hari maka harus ambil cuti di luar cuti haid. Ini bermasalah ketika ditemukan kenyataan bahwa siklus haid tiap perempuan berbeda-beda. Tiap perempuan membutuhkan jangka waktu yang berbeda-beda untuk beristirahat.
Seperti dijelaskan dalam peraturan terkait cuti haid ini, UU telah mengaturnya. Dikatakan, bahwa buruh perempuan dalam masa haid yang merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid.3 Ini membuktikan bahwa buruh perempuan berhak melakukan cuti atau tidak bekerja, jika dalam keadaan haid. Persoalan
3 UU No. 13 Tahun 2003, ibid. pasal 81 (1). 12
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
yang ditemukan dalam peraturan ini ialah ada kebimbangan terkait lamanya cuti yang bisa diambil. Oleh karena peraturan itu hanya mengatakan “tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”, sedangkan kenyataanya siklus haid tiap perempuan berbeda-beda. Jika kita ambil minimal 3 hari dan maksimal 15 hari, maka terkait cuti tersebut bisa diambil sekitar 2 sampai 5 hari tergantung dari kesehatan pekerja perempuan terkait. Artinya, selama ada bukti yang menyatakan bahwa haid masih terasa sakit dan belum kondusif untuk bekerja, maka cuti bisa diperpanjang selama ada bukti yang meyakinkan, seperti surat keterangan dari dokter. b. Keselamatan Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah kondisi yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun masyarakat serta lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan usaha untuk mencegah tiap perbuatan atau kondisi tidak selamat, yang dapat mengakibatkan kecelakaan.4 Pada sektor perkebunan, ditemukan potensi kecelakaan kerja cukup tinggi. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya informasi dan pengetahuan yang cukup bagi pekerja tentang risiko dan penanggulangan kecelakaan, terutama penyediaan P3K dan pondok berlindung ketika cuaca buruk. Pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan/perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja, hal ini banyak dialami para pekerja perempuan di sektor perkebunan. Buruh perempuan di perkebunan memiliki bagian tersendiri terkait pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka memiliki tiga bagian: menyemprot racun, pemupukan, dan pembersihan rumput sebagai hama tanaman. Tiga pekerjaan ini membutuhkan keselamatan kerja yang memadai. Pelanggaran yang terjadi di perkebunan terkait hal tersebut ialah fasilitas yang minim
4 Perlindungan Kerja, http:// www.gajimu.com, akses: 20 Februari 2014.
OPINI terkait alat perlindungan, seperti baju, masker, sarung tangan dan perlengkapan lain; dan harus diganti setiap jangka waktu tertentu. Keselamatan kerja merupakan hal yang penting diperhatikan perusahaan untuk para pekerjanya. Khususnya para pekerja perempuan, UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mengatur jelas kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja, termasuk pekerja perkebunan, seperti yang tercantum dalam pasal 2 berbunyi, “Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia5 termasuk usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan.”6 Berdasarkan pasal itu berarti bahwa perkebunan memiliki kewajiban untuk memberikan keselamatan kerja yang memadai bagi pekerjanya sesuai dengan standar kesehatan yang ditetapkan. c.
Tunjangan keluarga
Pelanggaran lain terkait tunjangan keluarga ialah buruh perempuan dianggap bujangan, atau dalam arti lain, tidak ada tunjangan keluarga untuk anak maupun suami. Selama ini perusahaan hanya memberikan tunjangan pada pekerja laki-laki, sedangkan untuk pekerja perempuan tidak. Hal ini menjadi bermasalah ketika pekerja perempuan adalah bujangan atau janda yang memiliki anak. Beban akan bertambah karena tidak ada tunjangan untuk anak. Selain itu, untuk keluarga yang bekerja adalah isteri, sedangkan suami tidak bekerja, maka beban bea kehidupan seluruhnya ditanggung oleh isteri/perempuan. Ini sungguh memberatkan pekerja perempuan. Seharusnya upah pekerja perempuan dan laki-laki tidak dibeda-bedakan sebagaimana berlaku
5 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pasal 2 (1). 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pasal 2 (2d).
prinsip/asas non-diskriminasi dalam hukum ketenagakerjaan. Prinsip non-diskriminasi ini ditegaskan bahwa tiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.7 Itu berarti, bahwa pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Jika dilihat pada PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dinyatakan bahwa pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.8 Dijelaskan lebih lanjut, bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh laki-laki sama besarnya dengan upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.9 Dengan demikian, seorang pekerja perempuan meskipun sudah menikah dan ditanggung oleh suaminya, tetap berhak atas upah maupun tunjangan, khususnya bagi mereka yang janda atau yang menjadi satusatunya tulang punggung keluarga. d. Cuti hamil Penerapan cuti hamil di perusahaan perkebunan sudah diterapkan, namun penerapan tersebut berlaku setengahsetengah. Tidak seharusnya perusahaan melakukan hal tersebut, apalagi dengan kondisi kerja yang cukup berbahaya, seperti semprot racun, merumput, ataupun pemupukan di kebun kelapa sawit dengan kondisi alam terbuka.
7 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 6. 8 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, pasal 3. 9 Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, pasal 3. April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
13
OPINI 4. Tekstil Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pekerja perempuan di perusahaan tekstil di Pasuruan Jawa Timur, beberapa informasi terkait pelanggaran yang terjadi terhadap pekerja perempuan yang ada disana: a. Tidak ada cuti haid Hampir sama dengan perusahaan lain, perusahaan industri tekstil juga melanggar hak pekerja perempuan dengan tidak menerapkan cuti haid. Ketika masa haid, pekerja perempuan tetap bekerja seperti biasa padahal beberapa pekerja perempuan di perusahaan tekstil Pasuruan mengatakan bahwa mereka membutuhkan hal tersebut. Mereka merasa tidak nyaman bekerja ketika datang masa haid. Cuti haid tidak diatur di Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja yang mereka buat. b. K3 terbatas Perusahaan seharusnya menjamin keselamatan kerja para pekerjanya namun tidak memberikan fasilitas yang baik untuk mencegah kecelakaan kerja yang terjadi. Para pekerja hanya disediakan topeng dan sarung tangan sebagai pengaman, dan jumlahnya sangat terbatas, dalam arti, tidak semua pekerja memperoleh masker dan sarung tangan tersebut. c.
Pelecehan seksual
Beberapa kasus terkait pelecehan seksual terjadi antar karyawan dan atasan dengan bawahan, yang diawali dengan modus iseng dan bercanda namun melecehkan, karena mereka merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, misalnya memukul pantat dan menyenggol badan. Selain itu, pelanggaran yang terjadi menyangkut seluruh pekerja yang ada di perusahaan seperti tunjangan berbedabeda antara satu pekerja dengan pekerja lainnya, karena alasan serikat pekerja yang mereka ikuti, intimidasi pada serikat, tidak ada tunjangan kesehatan, tidak ada tempat beribadah, dan pemotongan upah karena sakit.
14
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
5. Sepatu Industri sepatu merupakan perusahaan yang mempekerjakan perempuan secara mayoritas. Beberapa perusahaan sepatu di Surabaya dan Gresik, Jawa Timur, mempekerjakan hampir 100% perempuan. Ditemukan beberapa pelanggaran seperti: a. Tidak ada tunjangan kesehatan Bahan yang dipergunakan dalam memproduksi sepatu mengandung bahan kimia, seperti lem sepatu. Selain itu, ketika seorang pekerja sakit mereka menggunakan bea sendiri, apabila tidak masuk kerja, maka upah dipotong sehari menggunakan surat dokter. b. Pelecehan seksual Pelecehan seksual yang terjadi di perusahaan sepatu salah satunya adalah modus antar karyawan. Modus ini tidak diketahui atas motif sama-sama suka atau tekanan, namun pekerja perempuan berada pada posisi yang lemah, karena rasa takut akan ancaman. Walaupun tidak tahu ini atas kemauan perempuan itu sendiri atau bukan, setidaknya pelanggaran seksual seharusnya tidak terjadi.
OPINI
c.
Cuti melahirkan yang melebihi waktu cuti di PHK tanpa uang pesangon
Ketidakadilan yang dialami pekerja perempuan di perusahaan sepatu adalah cuti hamil. Pelanggaran terkait cuti hamil terjadi pada pekerja perempuan dengan motif pemutusan hubungan kerja, apabila cuti yang diambil melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perusahaan. Padahal dalam praktiknya sering kondisi perempuan yang satu dengan yang lain berbeda-beda, seperti penyembuhan pasca melahirkan. d. Jika tidak masuk gaji dipotong Dengan mayoritas pekerja perempuan, di perusahaan sepatu pemotongan gaji menjadi masalah ketika seorang pekerja tidak masuk kerja karena kondisi alamiahnya, seperti haid yang terlalu sakit dan tidak mendapatkan cuti. e.
Keselamatan kerja
Tidak diberikan alat keamanan, tiap pekerja diharuskan membeli sendiri dan tidak disediakan oleh perusahaan (tidak ada K3). f.
Fasilitas pekerja kurang memadai
Tidak ada tempat makan, tidak mendapat seragam, padahal diwajibkan pakai seragam, karena seragam dibeli sendiri.
b. Tidak ada cuti haid Cuti haid juga tidak diterapkan dalam perusahaan pangan. Cuti haid hanya formalitas di perusahaan, kenyataannya penerapannya dipersulit c.
Tidak ada ruang menyusui
Dalam perusahaan pangan, para pekerja perempuan mengaku tidak ada tempat menyusui maupun menyimpan ASI bagi perempuan yang memiliki balita, bahkan cenderung tidak tahu adanya hak tersebut. d. Diskriminasi pekerja perempuan Pekerja perempuan masih mengalami diskriminasi, seperti pemindahan yang dilakukan perusahaan dari bagian umum ke bagian kebersihan. Dan itu dilakukan pada pekerja perempuan, tapi tidak untuk pekerja laki-laki.
7. Media Jika di masa Orde Baru pers di Indonesia menemui banyak rintangan dalam menyebarkan informasi, di masa sekarang pemilik media yang memberikan kekangan kebebasan informasi publik. Hal ini ditandai dengan sejumlah media yang digunakan oleh para pemilik media untuk kepentingan partai tertentu. Praktik-praktik lain adalah
5. Pangan Pekerja perempuan yang ada pada industri pangan, seperti perusahaan makanan ringan, biskuit dan kerupuk udang, ditemukan pelanggaran yang hampir sama dengan industri lain: a. Tidak ada antar jemput Perusahaan pangan menggunakan sistem kerja shift, dibagi menjadi 3 shift. Namun dalam shift malam, tidak ada fasilitas perusahaan seperti antar jemput yang tertuang dalam UU ketenagakerjaan, mengingat bahaya kondisi malam hari untuk perempuan. April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
15
OPINI media digunakan untuk menyiarkan tayangan pemilu. Jika media hanya digunakan untuk kepentingan partai, lalu di manakah ruangruang untuk publik bisa berekspresi? Media bagaimana pun ada aturan dan etika di dalamnya. Hal ini selalu membuat para buruh media menjadi rentan terhadap PHK, sedangkan Serikat Pekerja media yang tumbuh saat ini hanya sedikit. Dari 3000 media di Indonesia, hanya 25 Serikat pekerja yang tumbuh dan di antaranya hanya 2 media yang mempunyai Penjanjian Kerja Bersama. Selain belum adanya pemahaman soal nasib buruh perempuan di media, posisi jurnalis perempuan seperti hilang di antara hirup-pikuk panggung politik. Terkait dengan hak-hak buruh perempuan, sedikit media yang telah memberikan hak cuti haid, menyediakan pojok ASI, dan fasilitas transportasi untuk pekerjaan yang dilakukan di malam hari.
Sektor Informal a) Pekerja Rumah Tangga JALA PRT sepanjang tahun 2013 menghimpun data kuantitatif mengenai pelanggaran terhadap pekerja rumah tangga :
Kasus kekerasan fisik yang diadukan ke penegak hukum 75% berhenti di kepolisian. Umumnya kasus kekerasan bersifat multi kasus: kekerasan fisik, psikis, kekerasan ekonomi. Kasus yang menimpa Pekerja Rumah Tangga adalah fenomen gunung es, karena bekerja di dalam rumah sulit untuk mengetahui jumlah kasus sebenarnya. Kasus kekerasan sering berlapis sebagai KDRT, perdagangan orang, perlindungan anak dan 16
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
berbagai kejahatan lainnya. Namun dalam penanganan kasus, yang terlewat adalah tidak ada jeratan atas pelanggaran normatif sebagai pekerja. Hal ini belum ada Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. 1. • • • • •
• • • •
Kekerasan fisik, antara lain: Dipukul dengan alat sapu, gayung, asbak, ember, sapu, paying, kemoceng. Ditampar. Kepala dibenturkan. Disiram air: air panas, air deterjen. Dilempar benda keras: gelas, piring, remote tv, botol (benda yang sering ada di meja makan, meja tv), sepatu, mainan anak. Kursi plastik. Disundut setrika panas. Disudut sothil panas. Disundut rokok. Jam kerja dari pukul 4 pagi hingga 12 malam dan bahkan sampai 1 dini hari.
2.
Kekerasan psikis, antara lain:
•
Dicaci maki dengan bahasa kasar, goblok, gila, sinting, miskin, yang
• • • 3. •
merendahkan, melecehkan. Dilarang keluar rumah dan berkomunikasi. Tidak boleh menggunakan HP. Dilarang berkomunikasi. Kekerasan ekonomi: Upah tidak dibayar: ada yang dalam kurum waktu 2 bulan, 6 bulan, 8
OPINI
• 4. • • •
bulan, 1 tahun, 2 tahun, 4 tahun dan bahkan 12 tahun. Modus yang digunakan bahwa uang akan ditabung agar aman dan PRT bisa menabung; dibayar diakhir tahun. Sering kekerasan ekonomi terjadi karena peran agen yang memungut upah PRT di luar pengetahuan PRT, dan menjanjikan upah tidak sesuai yang diperjanjikan. Upah yang dipotong karena berbagai anggapan kesalahan. Kekerasan seksual: Diraba, kekerasan seksual perkosaan. Diminta melihat alat kelamin. Pelecehan secara verbal.
Pelanggaran terhadap PRT juga bahkan kawan-kawan PRT yang bekerja pulang hari di apartemen di DKI Jakarta. Mereka rata-rata bekerja di rumah apartemen yang disewa oleh para ekspatriat. Beberapa kasus yang dijumpai adalah kawan-kawan bekerja dengan rumah terkunci dari luar (di kunc oleh majikan). Hal ini berbahaya kalau terjadi gempa, kebakaran, perampokan.
Wilfrida hanya fasih berbahasa daerah NTT, yakni Tetum. Ketiadaan penerjemah dalam proses hukum terhadap kasus Wilfrida menciptakan proses hukum yang tidak adil dan akuntabel. Proses hukum yang tidak adil dan akuntabel, berpotensi besar menghasilkan vonis yang tidak adil pula. Padahal peluang Wilfrida untuk bebas dari hukuman mati sebenarnya cukup besar dari hasil uji umur yang dinyatakan bahwa dia benar di bawah umur saat peristiwa yang disangkakan terjadi. Menurut prinsipprinsip perlindungan anak yang terkandung dalam konvensi perlindungan anak, anak tidak boleh dijatuhi pidana berat, termasuk hukuman mati. Selain itu, proses hukum terhadap kasus Wilfrida juga terkesan bertele-tele selama 3 tahun. Dari berbagai pelanggaran yang ditemukan, tentu peran serta serikat pekerja sebagai wadah organisasi sangatlah dibutuhkan. Alasannya, para pekerja perempuan tidak memiliki daya ketika harus membela dirinya sendiri. Penegakan hakhak pekerja perempuan sampai saat ini sulit dilakukan antara lain karena: 1.
b) Pekerja migran Lemahnya perlindungan hukum dan diplomasi pemerintah Indonesia dalam memastikan terpenuhinya hak asasi buruh migran Indonesia menjadi salah satu sebab meningkatnya hukuman mati di luar negeri. Hampir tidak ada langkah preventif yang diambil pemerintah untuk meminimalisir kasus-kasus ancaman hukuman mati. Pemerintah selama ini cenderung reaktif terhadap beberapa kasus, dan upaya yang dilakukan kurang serius dan terlambat. Setidaknya 265 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati sepanjang tahun 2013. Ketidakseriusan pemerintah Indonesia tercermin dalam pembelaan terhadap kasus Wilfrida Soik. Meskipun sejak awal proses hukum pemerintah Indonesia telah menyediakan pengacara untuk membela Wilfrifa, namun hak-hak Wilfrida tidak terpenuhi, seperti tidak adanya penerjemah sepanjang proses persidangan berlangsung. Berdasarkan pantauan Migrant CARE, persidangan lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dan Melayu, sementara
Lemahnya komitmen negara dalam penegakan hak buruh perempuan
Kurang jelas komitmen pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk menegakan hak-hak buruh perempuan sampai saat ini masih terjadi. Banyak perusahaan dan pemberi kerja tidak melakukan kewajibannya, karena tidak ada sanksi jelas oleh negara. Pengawas tenaga kerja sangat minim fungsinya dalam melakukan tugasnya mengawasi perusahaan dan pemberi kerja dalam pelaksanaan hakhak buruh perempuan. Demikian juga komitmen negara sangat lemah terlihat dari ketidakseriusan negara dalam mewujudkan aturan yang melindungi pekerja PRT dan buruh migran. 2.
Kurangnya pengetahuan pekerja perempuan terhadap hakhaknya sebagai pekerja.
Sampai kini banyak pekerja perempuan yang belum tahu apa yang menjadi haknya, terutama pekerja perempuan yang berada di kawasan pedalaman, seperti sektor April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
17
OPINI perkebunan. Mereka cenderung buta hukum, tidak tahu sama sekali apa peraturan yang mengatur hak pekerja. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya fasilitas yang mendukung pekerja perempuan untuk belajar mengenai hukum maupun peraturan yang ada. Dengan kurangnya informasi terkait hak mereka, menyebabkan para pekerja tidak tahu bahwa telah terjadi pelanggaran. Kurangnya pemahaman ini tidak hanya terjadi pada pekerja pabrik, namun juga pekerja yang dinilai lebih mudah mendapatkan informasi, seperti pekerja media. 3.
Kurangnya kesadaran pekerja perempuan terhadap peran fungsi serikat.
Bagi mereka, pekerja perempuan yang telah bergabung dengan serikat sebenarnya mereka tahu bahwa mereka adalah anggota, namun mereka tidak mengerti apa gunanya mereka bergabung dengan serikat buruh. Seperti halnya ketika terjadi pelanggaran, mereka tidak memiliki inisiatif untuk melapor pada serikat atau meminta bantuan pada serikat. Malah diam dan membiarkan pelanggaran terjadi. Hal ini menyebabkan pelanggaran akan terus terjadi. Untuk pekerja perempuan yang bekerja sebagai buruh terampil, kesadaran berserikat juga relatif kecil, karena mereka merasa tidak membutuhkan serikat dan bisa memperjuangkan kepentingannya sendiri. Kesadaran berserikat juga kurang karena adanya beban ganda perempuan. Dalam budaya patriarkhal, buruh perempuan dibebani kewajiban-kewajiban domestik, sehingga sulit memiliki waktu berorganisasi. 4.
Pasifnya peran serikat dan kurangnya kepemimpinan perempuan dalam serikat.
Peran serikat dalam advokasi pekerja anggota sangatlah dibutuhkan. Selain itu, peran serikat juga sangat diperlukan untuk menumbuhkah kesadaran pekerja perempuan terkait pentingnya berserikat. Sebagian serikat pekerja tidak terlihat fungsinya, namun iuran harus tetap bayar sedangkan tidak ada timbal balik untuk mereka dengan melakukan iuran tersebut. Ini menyebabkan para pekerja perempuan, sulit untuk percaya pada serikat. Seharusnya serikat pekerja yang 18
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
berada di wilayah itu memberikan peran lebih kepada pekerja perempuan, seperti memberikan pelatihan terkait hak-hak pekerja perempuan. Hal ini sangat dibutukan mengingat sangat kurangnya kesadaran para pekerja perempuan akan hak yang mereka miliki. Peran serikat yang masih lemah dalam perjuangan hak buruh perempuan juga terjadi, karena rendahnya partisipasi perempuan dalam serikat. Buruh perempuan masih jarang berada di posisi penting di serikat buruh. Bahkan untuk serikat yang mayoritas anggotanya buruh perempuan, didominasi oleh pekerja laki-laki dalam kepengurusannya. Hal ini mengakibatkan serikat buruh tidak memandang pelanggaran hak buruh perempuan sebagai agenda utama dalam perjuangan. 5.
Wewenang sebagai atasan dalam perusahaan menjadi alasan pembenar.
Terjadinya pelecehan seksual yang terjadi di pabrik terhadap pekerja perempuan banyak dilakukan oleh para atasan pada karyawan perusahaan. Dalam hail ini, jarang buruh perempuan komplain pada perusahaan maupun serikat, karena mereka takut dipecat. Bagi atasan, hal tersebut menjadi biasa karena mereka menganggap bahwa sebagai atasan mereka mempunyai wewenang untuk melakukan apa saja pada karyawan atau bawahannya. 6.
Rasa takut pekerja perempuan.
Rasa takut buruh perempuan terhadap atasan merupakan pelanggaran tersebut sulit terungkap. Padahal itu merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mengawali melakukan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan. Hal ini makin parah terjadi pada pekerja informal seperti Pekerja Rumah Tangga dan buruh migran di mana mereka bekerja di wilayah domestik. *** Catatan: Diambil dari Catatan Hitam Buruh Perempuan - Komite Aksi Perempuan
WARTA PEREMPUAN
Menjadi Buruh Sektor Informal
S
iang itu, Rani, anak perempuan pertama Ibu Wiwik tengah membantu memasukan sepasang mangkuk yang berbentuk bola ke dalam kotak plastik mika. Kemudian kotak tersebut diikat dengan pita merah untuk merekatkan pengaitnya supaya tidak mudah lepas. Selesai mengepak mangkuk yang ada, suvenir pernikahan tersebut dihitung dan disusun kedalam kardus besar kemudian dikirimkan epada agen pengirim barang, yang mempekerjakan Ibu Wiwik. Agen itulah pemilik usahanya. Lebih dari satu tahun Ibu Wiwik bekerja pada agen suvenir itu yang berlokasi di Cipinang. Barang dikirim ke rumah Ibu Wiwik oleh agen berdasarkan banyaknya pesanan suvenir dari pelanggan, sehingga pekerjaan ini dilakukan di rumah Ibu Wiwik dan kerap dibantu oleh anak dan suaminya. “Barang datang nggak tentu. Sesuai pesanan biasanya, kadang 300, 1000, 2000, pernah juga sampai 4000. Ngerjainnya tergantung ada barang dan segimana kita mampunya”, jelas Ibu Wiwik. Ibu Wiwik mempunyai target harian sendiri, yakni sebanyak 300 pak, sehingga untuk 4000 barang yang ada bisa dikerjakan dalam waktu seminggu. Barang yang dikirim oleh agen berupa suvenir mangkuk, lampu kecil, gelas, sendok garpu, dll., plastik mika yang belum direkat, tali kur, dan pita. Untuk mencapai target pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh Ibu Wiwik sendiri. Ibu Wiwik memiliki tiga pegawai yang diupah dari upah Ibu Wiwik sendiri. “Misal sekali datang 2000, kita ambil tetangga sini untuk bantu. Sekarang ada tiga orang yang siap bantu kapan saja. Jadi untuk 2000 barang, saya megang 1000 barang buat dipak, masukin suvenir ke kotak mika terus diiket pake pita. Yang dua lagi megang 500500. Nah satu lagi, bagian nge-lem plastik mika sama masangin tali kur ke mika-nya. Jadi itu beda orang lagi”, tutur Ibu Wiwik. Dalam sebulan, barang dikirim bisa 3–5 kali dengan jumlah yang bervariasi dan disesuaikan dengan kemampuan. Terkadang barang datang tergantung permintaan Ibu Wiwik. Upahnya Rp. 3500 per 100 pak, jika dalam sekali pengiriman ada 300
pak yang harus dikerjakan dalam sehari, maka dia mendapatkan Rp. 10.500 sehari. Jika barang dalam jumlah besar dan harus mengambil orang untuk membantu, maka ia hanya mengambil sekitar Rp. 1500 per 100 pak, sisanya dibagikan ke pagawainya. Untuk pengeleman mika, upahnya berbeda, yakni Rp. 1000 per 100 lembar. Pekerjaan pengeleman ini targetnya lebih besar dalam sehari dan lebih sulit, sehingga Ibu Wiwik kerap mempekerjakan orang lain, dan tidak mengambil keuntungan sedikit pun. Untuk upah pekerjaan ini diambil ke agen sesuai dengan permintaan pekerja; bisa mingguan atau bulanan. Dan karena banyak dari mereka ialah ibu rumah tangga, biasanya upah diambil per bulan. Menurut Ibu Wiwik, banyak pekerja lain di wilayah Prumpung yang dipekerjakan agen tersebut. Total pekerja agen tersebut yakni 150 orang, yang rata-rata usia baru lulus sekolah dan diambil dari Lampung (karena pemilik usaha berasal dari daerah tersebut), sebagian lainnya ibu rumah tangga. Bisnis suvenir tersebut sangat menguntungkan sang agen. Sebab agen bisa meraup keuntungan yang besar dari barangbarang suvenir yang dibeli dari pemasok lain dengan harga murah. Para pekerjanya diupah sangat tidak layak, jika dibandingkan dengan beban kerja serta keuntungan yang diperoleh sang agen. Misalnya, untuk suvenir mangkuk bola yang sedang dikerjakan Ibu Wiwik, dijual oleh agen ke pelanggan sekitar Rp. 7000 per pak, dengan modal yang tidak sampai Rp. 3000. Sehingga, agen mendapat keuntungan sekitar Rp. 4000 untuk 1 suvenir. Jika dibandingkan dengan upah Ibu Wiwik yang Rp. 3500 per 100 pak, tentu keuntungan sang agen sangat besar. Karena pekerja sang agen tersebut tanpa kontrak, maka mereka sangat rentan terhadap segala bentuk perlakuan yang tidak adil. Misalnya, jika ada kesalahan penghitungan jumlah barang yang dikirim dengan barang yang sudah dipak, akan dipersoalkan sang agen. “Barang yang dikirim dari agen biasanya pas. Jadi kalau ada kesalahan total antara barang yang ditulis di kardus dengan barang yang ada di dalamnya, masalahnya bisa berat. April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
19
WARTA PEREMPUAN Dulu saya sempat ‘disidang’ di agen. Ya dimarah-marahi dan nggak lihat tempat. Dimarahi di depan pelanggan dan pekerja lain. Jadi sengaja dibuat malu. Kecuali kalau barangnya pecah, itu harus dibawa lagi ke agen sebagai barang bukti”, jelas Ibu Wiwik. Selain sanksi tersebut, sanksi lainnya yaitu tidak memperoleh bonus saat menjelang hari raya. Menjelang lebaran, pekerja tidak memperoleh THR beserta bonus yang dilihat dari hasil kerjanya. Untuk THR, pekerja seperti Ibu Wiwik mendapat tiga ratus ribu ditambah dengan mukena, sedangkan bonus sebesar tiga ratus ribu rupiah. Pengalaman Ibu Wiwik, bonus ini bisa seketika melayang hilang jika ada aduan dari pekerja lain tentang hasil kerjanya. “Waktu sebelum lebaran, saya pernah kehilangan bonus di luar THR, hanya garagara ada pekerja lain yang lapor hasil lem mika saya katanya kurang rapi. Jadi semudah itu. Bos tidak perlu melihat langsung kerja saya kurang rapi. Kalau ada pekerja lain bilang begitu ya sudah hilang bonus saya.” Di samping upah tak layak dan rentan kondisi kerja, pekerjaan ini tidak menjamin perlindungan kesehatan maupun keselamatan kerja. Jika pegawai sakit atau terluka karena terkena suvenir yang pecah harus ditanggung oleh pekerja sendiri. Agen tidak peduli terhadap soal-soal itu, malah dipecat karena dianggap ceroboh dan kinerjanya jelek. Yang menarik, agen sering mengadakan pengajian dua kali seminggu. Kadang-kadang ketika ada perayaan hari besar Islam kerap mengundang ustadzah yang sedang populer untuk memberikan ceramah. Setiap pegawai yang datang ke ceramah tersebut oleh agen akan diberi bingkisan beserta uang lima puluh ribu. Hanya uang tersebut diberikan hanya kepada pegawai yang rajin datang ke pengajian. “Jadi Teteh ngundangnya itu gini ‘datang ya ke ceramah besok, yang datang dikasih lima puluh ribu’, tapi pas saya datang, selesai ceramah, eh ada omongan ‘yang dikasih uang yang datang pengajian doang’. Jadi saya nggak dapat karena nggak ikut pengajiannya. Ya, yang rajin ikut pengajian aslinya nggak sampai dua puluh orang doang, yang datang pekerjanya bisa lima puluhan orang”, tegas Ibu Wiwik. Hal ini menarik karena jika dibandingkan dengan upah pekerja, kehadiran di acara ceramah menjadi lebih utama. Uang lima puluh ribu tentu sangat berarti untuk para 20
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
pekerja, yang bisa didapat hanya dengan sekali duduk menghadiri ceramah, jika dibandingkan dengan lima hari bekerja mengepak barang untuk mencapai upah lima puluh ribu rupiah, seperi pekerjaan yang dilakukan oleh Ibu Wiwik. “Ya, kalau dirasa gaji kita itu sangat kecil dibanding dengan pekerjaan kita. Pengennya pekerja ramai-ramai minta ke agen supaya gaji naik. Kalau hanya saya yang minta kan susah. Soalnya kalau ada apa-apa kita tanggung sendiri, dan agen kan gampang banget buat ngeluar-luarin pekerja”, tutup Ibu Wiwik. Bagi Ibu Wiwik, tentu pekerjaan ini dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Ibu tiga anak ini kerap menggunakan upahnya untuk beaya pendidikan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Anaknya yang pertama masih duduk di bangku SMA, yang kedua sekolah dasar, sedangkan anak ketiganya berusia tiga tahun. Pendidikan Ibu Wiwik sendiri hanya SMP, sehingga sulit baginya untuk mencari pekerjaan lain di sektor formal. Dalam tiga tahun terakhir, Ibu Wiwik sudah berganti-ganti usaha seperti berjualan lontong, mengupas bawang, membuat kantong gorengan, dan ojek. Kerja-kerja di sektor informal tersebut dilakukan agar dapat bertahan hidup di wilayah urban Jakarta Timur, yang sudah ditempatinya sejak kecil. Kini ia bekerja sebagai buruh agen suvenir yang rentan dari segala aspek, seperti upah tidak layak, tidak ada jaminan kesehatan, dan keselamatan kerja.*****(IK)
“Waktu sebelum lebaran, saya pernah kehilangan bonus di luar THR, hanya gara-gara ada pekerja lain yang lapor hasil lem mika saya katanya kurang rapi. Jadi semudah itu. Bos tidak perlu melihat langsung kerja saya kurang rapi. Kalau ada pekerja lain bilang begitu ya sudah hilang bonus saya.”
WARTA KOMUNITAS
Tenaga Kerja Perempuan Belum Dihargai
W
ilayah desa memiliki beraneka ragam potensi alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika potensi tersebut dapat diolah dengan baik, masyarakat yang tinggal di desa akan terjamin kesejahteraannya. Namun sering potensi yang diberikan alam tidak terkelola dengan baik. Beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa potensi yang tersedia di alam desa tidak digunakan dengan baik, pertama karena ketidaktahuan masyarakatnya dan kedua, masyarakat tidak mau bersusah payah untuk mengelola potensi tersebut agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Dengan kondisi demikian, yang terjadi masyarakat desa beramai-ramai bermigrasi ke perkotaan. Hal tersebut terjadi karena banyak masyarakat yang menganggap di perkotaan banyak pekerjaan yang dapat dilakukan. Dengan demikian, mencari uang pun dianggap lebih mudah. Menjadi buruh di sebuah pabrik misalnya, menjadi satu hal yang dipilih. Sementara lahan pertanian yang ada di desa tidak diolah, karena dianggap tidak mampu memberi nilai ekonomis yang lebih. Hal itu yang terjadi di Desa Banjaroya, Kalibawang, Kulon Progo, Jogjakarta. Salah satu wilayah dampingan Kalyanamitra. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bekerja di kota, seperti di Yogyakarta, Semarang atau Jakarta. Maka tak heran, di wilayah ini jarang kita temui pemuda usia produktif. Yang banyak kita temui, perempuan lanjut usia atau ibu rumah tangga. Sebagai wilayah yang sebagian besar adalah pegunungan, maka pertanian dan perkebunan merupakan dua sektor utama yang menjadi penopang perekonomian warga desa Banjaroya. Berbagai hasil sektor pertanian seperti padi, jagung, dan palawija dipergunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan selebihnya dijual ke pasar ataupun pedagang yang ada di desa setempat. Hasil sektor perkebunan, antara lain kakao, cengkeh, kelapa, jahe, kunir, ketela pohon, durian, pandan, serta buah naga yang mulai banyak dikembangkan masyarakat desa. Selain pertanian dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan, maka masyarakat
memiliki berbagai alternatif pekerjaan untuk meningkatkan pendapatan, seperti dikembangkannya makanan dari kakao, jamu, anyaman pandan, anyaman bambu, slondok, serta nira. Meskipun sudah ada mata pencaharian alternatif, hasilnya belum dapat dinikmati secara optimal karena berbagai kendala, seperti pengemasan, pemasaran, serta teknologi produksi yang masih rendah. Jika mencermati hasil pertanian, perkebunan, serta kemampuan masyarakat yang ada, sebenarnya desa Banjaroya masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakatnya; memberikan alternatif pekerjaan serta membuka lapangan kerja. Hal ini sangat penting dilakukan karena jika melihat Banjaroya dalam angka tahun 2010, maka angka pengangguran yang ada sebanyak 675 orang. Namun potensi desa belum digarap dengan baik, akhirnya hasilnyapun belum sesuai harapan. Hal itu yang membuat sebagian besar pemuda di desa ini memilih pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang dianggap dapat memberi uang lebih. Bagi mereka yang masih muda memang masih punya pilihan untuk mencari pekerjaan di kota besar. Sementara bagi mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki tanah leluhur,
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
21
WARTA KOMUNITAS mau tidak mau tetap tinggal di desa untuk merawat tanahnya atau mencari alternatif pekerjaan lain seperti membuat gula merah, membuat anyaman pandan dan sebagainya. Kondisi desa yang demikian, tenyata menarik minat beberapa perusahaan yang ada di kota besar untuk memanfaatkan tenaga yang ada di desa. Target perusahaanperusahaan tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga yang dianggap tidak memiliki pekerjaan dan dapat dibayar dengan murah. Ditambah lagi, tenaga kerja di desa juga masih dapat dibayar dengan murah. Salah satu pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan adalah membuat anyaman berbahan enceng gondok yang dibuat menjadi keranjang. Keranjang tersebut nantinya dipergunakan untuk tempat pakaian kotor, seperti di hotel-hotel berbintang atau juga tempat lainnya. Berbagai macam ukuran dibuat, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Teknik pengerjaannya pun lumayan susah. Karena hasilnya yang bagus, tidak tanggung-tanggung, keranjang-keranjang dari enceng gondok tersebut tidak hanya digunakan di dalam negeri, tetapi juga di ekspor ke luar negeri. Salah seorang ibu rumah tangga yang turut membuat keranjang dari enceng gondok tersebut adalah Ibu Nia, anggota kelompok dampingan Kalyanamitra di dusun Banjaran, Desa Banjaroya. Diselasela kegiatannya mengurus urusan rumah tangga, ia juga mengambil pekerjaan membuat keranjang dari enceng gondok yang ditawarkan sebuah perusahaan di Yogyakarta. Pekerjaan itu ia ambil karena bisa dikerjakan ketika malam hari. Selain itu, tentu untuk menambah penghasilan keluarga. Karena hanya menjadi pekerjaaan sampingan, tidak setiap hari Bu Nia bisa menyelesaikan satu keranjang. Dalam satu minggu ia hanya bisa menyelesaikan 2-3 keranjang. Ia mengatakan bahwa bahanbahan untuk membuat keranjang tersebut di drop oleh perusahaan di rumah salah seorang warga. Jika ada warga yang ingin berpartisipasi membuat keranjang bisa mengambil bahan-bahannya dan di kerjakan di rumah masing-masing. Selanjutnya, keranjang-keranjang akan dikumpulkan kembali di rumah warga dan diambil oleh perusahaan setiap seminggu sekali. Kontrol atas kualitas keranjang-keranjang tersebut dilakukan oleh salah seorang warga yang sudah ditunjuk oleh perusahaan. 22
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
Apa yang dilakukan oleh Bu Nia dan beberapa ibu rumah tangga lain yang ada di dusun Banjaran merupakan contoh bagaimana perusahaan mencoba memanfaatkan tenaga kerja perempuan di desa. Pilihan tersebut karena tenaga kerja perempuan di desa bisa dibayar lebih murah dibandingkan tenaga kerja di perkotaan. Selain itu, dengan menggunakan tenaga kerja ibu rumah tangga dengan sistem tenaga lepas karena pekerjaannya bisa dikerjakan di rumah masing-masing, perusahaan tidak perlu menanggung berbagai macam tanggung jawab yang diatur dalam UU tenaga kerja seperti jam kerja, tunjangan hari raya, tunjangaan keluarga, tunjangan kesehataan, cuti haid dan sebagainya. Hal tersebut karena perusahaan hanya membayar hasil pekerjaan yang telah dilakukan. Tentu uang yang dikeluarkan tidak akan sebanyak jika tenaga kerja tersebut harus bekerja di pabrik, karena apa yang dilakukan Bu Nia dan ibu rumah tangga lainnya di wilayah ini dianggap sebagai pekerjaan tambahan. Hubungan kerjasama ini sebenarnya akan menguntungkan perusahaan tersebut, karena ia dapat mengeluarkan uang sedikit, tetapi memperoleh hasil yang maksimal. Sementara bagi Bu Nia dan ibu rumah tangga lainnya, tenaga kerja yang dikeluarkan tidak dihargai sesuai dengan hasil kerja. Itu terjadi karena pekerjaan tersebut dianggap pekerjaan sampingan.***(JK)
SOSOK
Marsinah:
Buruh Perempuan Pejuang Keadilan
S
iapa yang tak kenal Marsinah? Marsinah adalah pahlawan buruh perempuan yang menjadi ikon yang menjadi korban kekerasan aparat militer, dalam catatan sejarah perburuhan di Indonesia. Ia juga menjadi ikon perjuangan buruh di Indonesia. Karena keberaniannya memperjuangkan hak buruh, Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien. Marsinah lahir tanggal 10 April 1969 dari keluarga yang sederhana di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak usia tiga tahun, Marsinah ditinggal wafat ibunya dan kemudian diasuh oleh neneknya. Sejak kecil, Marsinah sudah terbiasa bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dia bekerja membantu sang nenek menjual gabah dan jagung. Setiap hari, Marsinah mengangkut gabah dengan sepedanya dari sawah ke rumah pembeli gabah. Setelah lulus SMA, Marsinah terpaksa merantau dan bekerja di kota besar, seperti
teman-temannya yang lain, karena tidak ada beaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan sulit mencari pekerjaan di desa yang kecil. Pada 1989, Marsinah berangkat ke Surabaya dan menumpang tinggal di rumah kakaknya, Marsini yang sudah berkeluarga. Setelah berulang kali melamar kerja di berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja di sebuah pabrik plastik bernama SKW, di kawasan industri Rungkut, Surabaya. Namun, upah yang diterima Marsinah jauh dari cukup. Guna menambah penghasilan, Marsinah lalu berdagang nasi bungkus di sekitar perusahaan. Baru tahun 1990, Marsinah bekerja di sebuah pabrik pembuat arloji, PT. Catur Putra Surya (PT. CPS), Rungkut, Surabaya. Di kawasan industri ini pula, ia sempat menyambi bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang untuk menambah penghasilannya yang minim. Marsinah aktif terlibat sebagai aktivis buruh, dan bersama teman-temannya menuntut berdirinya unit serikat pekerja
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
23
SOSOK formal (SPSI). Namun langkah ini tidak disukai pihak perusahaan, hingga akhirnya awal tahun 1992, Marsinah dimutasi oleh pihak manajemen ke cabang pabrik PT.CPS di Porong, Sidoarjo. Di sana, ia tinggal di kos-kosan buruh, Desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi. Ia diupah sebesar Rp 1.700 dan uang hadir sebesar Rp 550 per hari. Di pabrik ini, walaupun Marsinah tidak terlibat dalam kepengurusan SPSI, namun secara informal ia sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang perburuhan. Keinginan untuk selalu belajar dan menambah pengetahuan Marsinah sangat tinggi. Ia pun memanfaatkan waktu luangnya untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Pada pertengahan April 1993, buruh PT. CPS Porong, Sidoarjo mengetahui informasi bahwa Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, No. 50/Tahun 1992 yang menetapkan kenaikan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok, yaitu dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Sayangnya, PT. CPS tidak bersedia melaksanakan keputusan pemerintah tersebut. Hal ini, akhirnya memicu pemogokan kerja buruh PT. CPS. Pada zaman itu, pemogokan lazim dilakukan oleh buruh sebagai metode untuk menguatkan posisi perundingan. Akibat kebijakan upah murah pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, perselisihan industri meluas. Jumlah pemogokan meningkat luar biasa awal tahun 1990-an meskipun masih bersifat spontan dan tidak terorganisir. Pada 3-4 Mei 1993, buruh PT. CPS melakukan aksi mogok. Dalam pemogokan itu, perwakilan buruh berjumlah 15 orang berhasil melakukan perundingan dengan pihak manajemen. Walaupun ikut aksi mogok kala itu, Marsinah tidak menjadi salah satu wakil buruh dari 15 orang tersebut. Pada pemogokan hari kedua, yaitu 4 Mei 1993, perundingan berlangsung tanpa melibatkan pihak perusahaan dan justru melibatkan Kanwil Sospol Sidoarjo dan jajaran Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) setempat termasuk Wakapolsek dan Danramil Sidoarjo. Perundingan yang tidak melibatkan perusahaan tersebut berjalan lancar, meskipun hasilnya tidak terlalu memuaskan karena ada kompromi. Salah satu hasil yang dikompromikan adalah dibubarkannya SPSI PT. CPS. Hasil ini tentu merugikan buruh karena merupakan salah 24
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
satu bentuk pembrangusan serikat buruh. Tuntutan lainnya seperti upah sesuai Upah Minimum Regional, perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti hamil, dipenuhi oleh pihak perusahaan. Di hari kedua pemogokan itu, Marsinah tidak ikut mogok bersama kawan-kawan buruhnya, ia justru masuk kerja seperti biasa. Sementara itu, sejak pagi 13 orang buruh PT. CPS yang dituding sebagai aktor utama pemogokan dipanggil oleh Kodim dan diinterogasi di Makodim Sidoarjo. Mereka menghadap Pasi Intel Kodim 0816, Sidoarjo pada esok hari. Pada malam harinya, ketika mengetahui bahwa temantemannya esok hari akan menghadap ke pihak Kodim Sidoarjo, Marsinah membuat beberapa catatan tertulis untuk temantemannya sebagai petunjuk jawaban ketika ditanyai Kodim. Marsinah menyampaikan kepada kawan-kawannya, ia akan membawa persoalan ini ke pamannya di kejaksaan Surabaya, jika teman-temannya mendapat ancaman dari Kodim. Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT. CPS akhirnya memenuhi panggilan Kodim di markas Kodim Sidoarjo. Dalam panggilan ini, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Karena tak sanggup menghadapi intimidasi seharian, akhirnya 13 buruh tersebut menandatangani surat pengunduran diri dan menerima uang pesangon. Pada Kamis, 6 Mei 1993, Marsinah mendapat kabar bahwa 13 temannya telah menerima pesangon dan
SOSOK
menandatangani surat pengunduran diri. Marsinah kemudian meng-copy surat pengunduran diri tersebut dan berencana membagikannya ke buruh PT. CPS. Awalnya surat itu akan disampaikan ke Ketua SPSI PT. CPS, namun tidak jadi karena gagal menemukan rumahnya. Akhirnya, surat itu disampaikannya lewat satpam perusahaan. Karena didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi akan nasib 13 temannya itu, sepulang mengantarkan surat, Marsinah justru kembali ke kos temannya. Menjelang Maghrib, bersama 4 temannya, ia menyusul ke Kodim untuk menanyakan kabar 13 temannya itu. Saat itu, 3 temannya memakai kendaraan umum, sementara Marsinah naik sepeda motor bersama satu temannya. Marsinah dan temannya sendiri bahkan sempat tersesat sebelum akhirnya menemukan kantor Kodim Sidoarjo. Dalam perjalanan pulang naik sepeda motor itulah, Marsinah sempat mendatangi beberapa temannya dan membagi kopi surat pengunduran diri 13 temannya itu. Di perempatan Desa Siring, Marsinah bertemu 4 dari 13 temannya tersebut. Karena ingin mengetahui lebih jelas apa yang telah telah terjadi, Marsinah mengajak dua di antaranya untuk berdiskusi di teras kosnya. Di sinilah, Marsinah menjadi terkejut mengetahui 13 temannya dipaksa menandatangani surat pengunduran diri itu dan telah diPHK bukan oleh perusahaan tapi Makodim (Markas Komando Distrik Militer). Marsinah marah dan menyatakan menolak pemecatan tersebut dan menegaskan rencananya untuk mengadukan kejadian itu ke pamannya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.
Setelah teman-temannya pulang dari kosnya, Marsinah kemudian bergegas pergi. Pada malam harinya, Marsinah mengatakan kepada ibu kosnya, ia hendak ke rumah temannya. Terakhir ia pergi, Marsinah mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit. Kemudian baru diketahui bahwa Marsinah sama sekali tidak bertemu temannya itu karena mendapat giliran kerja shift malam. Sejak saat itulah, ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui ke mana Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya. Setelah menghilang selama tiga hari, jasadnya ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat dan perkosaan. Vagina, tulang pinggul, dan lehernya hancur, perutnya luka tertusuk sedalam 20 sentimeter, sekujur tubuhnya penuh memar, lengan dan pahanya lecet. Marsinah dibunuh pada 8 Mei 1993, pada usia yang muda, yakni 24 tahun. Pembunuhan Marsinah sampai saat ini tidak pernah terungkap. Proses pengadilan kasus Marsinah direkayasa oleh aparat. Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstranasda Jatim untuk April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
25
SOSOK melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Oktober 1993, polisi menangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, delapan orang direksi dan manajemen perusahaan, termasuk bagian personalia, kepala bagian mesin, seorang satpam dan seorang supir perusahaan. Mereka disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 18 hari dan dipaksa mengaku sebagai pembunuh Marsinah secara berencana. Lalu dibuatlah sebuah rekayasa pengadilan yang menuduh mereka berkonspirasi/ bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggi Surabaya setahun kemudian. Mereka divonis antara 4-17 tahun penjara. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka mengajukan kasasi di tingkat kasasi Mahkamah Agung dan dinyatakan bebas murni. Pada 1993 kasus Marsinah telah diadvokasi oleh Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM) yang dibentuk oleh 10 LSM dan aktivis HAM, Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT. CPS Porong. Selain itu, dibentuk juga Tim Pencari Fakta untuk kasus Marsinah untuk mencari fakta-fakta pelanggaran HAM dalam kasus Marsinah. Namun sayang, kasus Marsinah ini juga tidak tuntas penyelesaiannya karena memang sengaja dibiarkan oleh penguasa rezim Orde Baru saat itu. Kasus pembunuhan Marsinah merupakan gambaran suramnya keadilan bagi gerakan buruh pada zaman Orde Baru. Gerakan buruh saat itu mengalami intimidasi yang kuat. Organisasi-organisasi buruh yang ada dibatasi hanya pada satu payung yakni SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Penyelesaian-penyelesaian kasus perburuhan masa Orde Baru mengandalkan kekuatan militer. Bahkan, militer terlibat langsung dan menjadi bagian dari penyelesaian hubungan industrial. Mereka berpihak dan berada di belakang pemilik modal. Mereka diberi wewenang untuk melakukan tindakantindakan yang cenderung represif guna menghentikan perlawanan gerakan buruh. Salah satu kasus yang paling nyata adalah kasus Marsinah. Kasus ini menjadi catatan 26
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713. Hilang dan matinya Marsinah sudah tentu sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai kini kasusnya tidak pernah menemui titik-terang. Kematian Marsinah adalah misteri; kematian Marsinah adalah luka yang ditorehkan pada keadilan yang hanya dimiliki penguasa dan pengusaha yang berduit. Tidak ada tempat dan keadilan bagi rakyat kecil, seperti Marsinah. Kini di tahun 2014, telah dua puluh satu tahun kasus Marsinah sengaja diabaikan oleh pemerintah, pengusutan kasusnya berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Selama kurun waktu tersebut, dalang dibalik terbunuhnya Marsinah tidak pernah terungkap. Kasus Marsinah ini menjadi kadaluarsa karena telah lebih dari 18 tahun, akibatnya kasus ini tidak dapat dilanjutkan proses hukumnya (di-peti es kan). Kasus Marsinah merupakan catatan hitam bagi penegakan keadilan dan demokrasi, khususnya bagi kaum buruh perempuan di Indonesia. Namun, apakah perjuangan Marsinah dalam membela kaum buruh telah selesai? Marsinah adalah simbol pejuang bagi kaum buruh saat ini. Perjuangan Marsinah adalah juga apa yang kaum buruh perjuangkan hingga hari ini. Selain masalah upah murah, yang dulu juga diperjuangkan oleh Marsinah, para buruh masa sekarang juga menghadapi kriminalisasi, sistem kerja kontrak, outsourcing, pembrangusan serikat buruh, bahkan penyiksaan dan perbudakan para buruh. Pelecehan seksual dan diskriminasi gender terhadap buruh perempuan juga kerap terjadi hingga saat ini. Artinya, perjuangan Marsinah untuk memperjuangkan hak buruh khususnya buruh perempuan belumlah selesai. Persoalan yang dihadapi Marsinah dan kawan-kawan buruh tahun 1990-an masih tetap dialami buruh saat ini. Walaupun setelah era reformasi kondisi perburuhan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan dan ruang-ruang demokrasi mulai terbuka lebar dengan ditandai berkembangnya organisasi-organisasi politik buruh, menjamurnya serikat-serikat pekerja di tingkat pabrik hingga aturan-aturan hukum perburuhan, namun buruh tetap terpuruk. Walaupun ada beberapa aturan terkait perubahan seperti Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang
SOSOK Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, namun penerapan aturan-aturan hukum tersebut sangat tidak maksimal. Kaum buruh harus bersusah payah menuntut apa yang menjadi hak mereka yang jelas-jelas telah tertuang dalam UU. Ini karena lemahnya pemerintah kita mengontrol kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sehingga terkesan ada pembiaran dan pengabaian. Akibatnya, pengusahapengusaha memainkan aturan ini dengan berbagai cara. Seperti Marsinah, buruh perempuan lainnya juga menuntut hak-hak normatif yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diminta. Dan ternyata banyak perusahaan/ pabrik yang tidak memberikan hak tersebut, misalnya cuti haid yang tertuang dalam Pasal 81, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, masih diabaikan pabrik/ perusahaan. Pabrik/perusahaan malah memotong masa cuti tahunan, jika buruh perempuan mengambil cuti haid atau memotong gaji yang besarnya ditentukan oleh manajemen pabrik. Pada kasus lain, lembur yang tidak dibayarkan secara penuh masih sering terjadi di beberapa pabrik/ perusahaan. Ironisnya, pengusaha berdalih bahwa lembur adalah bagian dari pengabdian pekerja terhadap perusahaan. Upah yang kerap menjadi isu utama bagi kaum buruh sepanjang masa, terutama buruh perempuan. Kebanyakan buruh perempuan digaji lebih rendah karena dianggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, mudah diintimidasi dan tidak berani melawan. Perempuan bekerja untuk membantu suami sebagai penafkah utama, atau anggapan bahwa kesempatan kerja bagi perempuan sangat sedikit karena pendidikan yang rendah, sehingga akhirnya mau digaji berapa pun asal bekerja dan memiliki penghasilan. Kasus pelecahan seksual terhadap buruh perempuan marak terjadi di pabrik-pabrik. Beberapa kasus pelecehan seksual dilakukan oleh atasan mereka sendiri dengan imingiming kenaikan gaji atau pemindahan ke divisi kerja yang lebih baik. Dan jika terjadi kasus pelecehan seksual, justru kebanyakan tidak mendapat tanggapan positif oleh pihak manajemen pabrik bahkan menyalahkan korban dan dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Tidak adanya jaminan keamanan kepada buruh perempuan menyebabkan mereka tak mampu
melindungi dirinya sendiri. Walaupun telah dikeluarkan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang dikeluarkan olah Kemenakertrans yang bekerjasama dengan ILO, namun tetaplah belum mampu mencegah atau menurunkan tingkat pelecehan seksual di pabrik-pabrik. Pedoman tersebut hanyalah himbauan dan anjuran, bukan merupakan jaminan hukum tetap dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh kaum buruh perempuan. Tidak ada upaya perusahaan untuk membuat sistem perlindungan keselamatan bagi buruh perempuan yang bekerja di shift sore hingga malam, misalnya dengan cara menyediakan sarana angkutan antar jemput khusus. Selain itu, perusahaan juga tidak memberikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi buruh perempuan yang menyusui, seperti menyediakan Tempat Penitipan Anak dan Ruang Menyusui di tempat kerja. Kondisi buruh yang diperjuangkan oleh Marsinah 21 tahun yang lalu masih harus diperjuangkan terus oleh gerakan buruh di Indonesia. Marsinah hendaknya menjadi obor dan inspirasi untuk kaum buruh di Indonesia agar tidak lelah berjuang menuntut apa yang telah menjadi haknya. Matinya Marsinah jangan sampai sia-sia, jangan sampai perjuangannya terlupakan begitu saja. Gerakan buruh harus melanjutkan perjuangan Marsinah. Kaum buruh perlu mendesak pemerintah untuk bersikap tegas kepada para pengusaha nakal yang melakukan penangguhan upah terselubung, yang membiarkan pelecehan seksual terjadi di lingkungan pabrik dan PHK sepihak. Pemerintah pun harus didesak segera menerapkan perundang-undangan secara menyeluruh tanpa ada kepentingan pihak pemodal dan penguasa, demi tegaknya HAM dan demokrasi bagi kaum buruh di Indonesia. ***(RH)
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
27
BEDAH BUKU
Bolehkah Perempuan Bekerja?
B
ekerja adalah hak setiap orang, karena dengan bekerja ia akan dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Di Indonesia, hak bekerja juga telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 ayat 2 yang menyebutkan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Itu artinya, sudah seharusnya pula Negara menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap warga negaranya. Sayangnya, hingga saat ini Negara belum mampu memenuhi kewajibannya. Hal tersebut dibuktikan dengan masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Keterbatasan pekerjaan di dalam negeri itu pulalah yang kemudian mendorong sebagian warga Negara Indonesia, terutama perempuan untuk mengadukan nasibnya di negeri orang menjadi buruh migrant. Padahal menjadi buruh migrant, bukanah sesuatu yang mudah. Sistem rekruitmen, penampungan, pemberangkatan, penempatan, dan pemulangan yang belum tertip menyebabkan posisi buruh migrant Indonesia, terutama yang perempuan sangat rentan menjadi korban trafficking atau perdagangan orang.
28
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
Judul
: Mari Kenali Hak-Hak Buruh Migran Indonesia: Perspektif Islam dan Perempuan Penulis : Nur Rofiah Ala’i Nadjib Penerbit : PP Fatayat NU Cetakan : 2010 Halaman : xxiii,76 hal
Namun, walaupun kasus pedagangan manusia sudah banyak terjadi,nyatanya hal tersebut tidak mempengaruhi minat warga Negara Indonesia untuk mengadukan nasibnya di negeri orang. Hal tersebut dapat terlihat dari makin banyaknya warga Negara Indonesia yang keluar negeri untuk bekerja. Banyaknya kasus perdagangan manusia terjadi karena tidak adanya system informasi yang memadai, sehingga buruh migrant, orang PT (broker atau tekong), bahkan agen tidak tahu kondisi sebenarnya calon pengguna jasa buruh migrant yang bersangkutan. Sementara itu, ketika sampai di rumah pengguna jasa, buruh migrant Indonesia tidak punya kesempayan lagi untuk membatalkan kontrak kerjanya meskipun ternyata pengguna jasa adalah pertenak atau pemelihara anjing maupun babi, bahkan anggota keluarganya sangat banyak padahal dia hanya dipekerjakan sendirian. Persoalan lainnya yang dihadapi oleh buruh migrant Indonesia, terutama buruh migrant perempuan adalah boleh tidaknya perempuan bekerja, mengingat hal tersebut masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan ulama. Untuk menjawab hal itulah, sebuah buku kecil di terbitkan oleh PP Fatayat NU bekerjasama dengan Women’s Empowerment in Muslim Contexts (WEMC) dan Southeast Asia Reseach Centre (SEARC) City University of Hongkong. Buku saku (handbook) dengan judul “Mari Kenali Hak-Hak Buruh Migran Indonesia:Perspektif
BEDAH BUKU Islam dan Perempuan” merupakan salah satu versi hasil penelitian PP Fatayat NU tentang Buruh Migran Indonesia (BMI), disamping versi lainnya yang berupa buku. Handbook tersebut sebagai salah satu upaya memahami masalah BMI dengan padangan agama. Fatayat NU memandang kondisi khusus buruh migrant Indonesia terutama yang perempuan sangat penting untuk diperhatikan dalam perumusan wacana Islam. Pertama, mereka adalah anak perempuan, ibu, maupun istri yang sedang mencari nafkah keluarga. Padahal, dalam Islam nafkah keluarga sesungguhnya adalah hak mereka atas ayah atau suami. Kedua, mereka keluarnegeri dan pisah dari keluarga, setidaknya dua tahun. Sementara itu wacana Islam kerap mengidealkan perempuan untuk di dalam rumah bahkan keluar balkon pun sebaiknya tidak. Di sinilah kemudian perspektif perempuan diperlukan. Ada beberapa informasi yang dimuat dalam buku kecil ini mulai dari pra-keberangkatan, penempatan dan kepulangan. Di bab prakeberangkatan misalnya juga dibahas mengenai boleh tidaknya perempuan bekerja dan bolehkah perempuan bekerja ke luar negeri?. Untuk menjawab pertanyaan bolehkah perempuan bekerja, buku in menggunakan ayat Al-Quran yang mengatakan “Barang siapa yang beramat shaleh (melakukan kerja-kerja positif) baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. an-Nahl (16) :97) Selain itu juga diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata : Perempuan yang paling panjang tangannya di antara kita adalah Zainab, sebab ia bekerja dengan tangannya sendiri dan bersedekah (HT. Muslim). Demikian juga jika melihat kehidupan dari Siti Khadijah, istri Rasulullah adalah perempuan cerdas dan sukses berbisnis di tengah kemerosotan moral bangsa Arab pada masanya. Dengan kesuksesan dagangannya itu, ia mendukung dakwah Nabi dengan diri dan hartanya. Demikian pula Ummu Salamah, Shafiyah, Laila al-Ghifariyah, ada jula al-Syifa yang ditugasi oleh Umar bin Khatab sebagai orang yang menanggani urusan pasar. Ayat dan hadis serta sirab tersebut menunjukkan bahwa perempuan mempunyai hak dasar untuk bekerja. Kewajiban suami untuk menafkahi istri dan anak-anak tidak dapat dipahami sebagai larangan bagi perempuan untuk bekerja. Sementara itu terkait dengan pertanyaan bolehkah perempuan bekerja keluar negeri, dalam buku ini dijelaskan bahwa sebagian
ulama berpendapat bahwa perempuan boleh bekerja keluar rumah jika pekerjaan tersebut sangat dibutuhkan masyarakat atau dibutuhkan perempuan sendiri seperti ketika tidak ada yang menanggung kebutuhan hidupnya atau yang menanggungnya tidak mampu. Bakan banyak ulama fiqh menegaskan bahwa seorang suami tidak berhak sama sekali untuk melarang istri bekerja mencari nafkah apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah baik karena sakit, miskin, atau lainnya (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Ibnu Hajar, 4/205 dan al-Mughni, Ibunu Qudamah 5/573). Disisi lain ada banyak hal yang harus diperhatikan oleh buruh migrant Indonesia ketika seorang perempuan mau bekerja keluar negeri. Informasi tersebut diantaranya adalah (1) gambaran pekerjaan, (2) nama, alamat, dan nomor telpon perusahaan yang menjadi agen, (3) kondisi penampngan, (4) besarnya biaya yang diperlukan dan rincian penggunaannya, (5) kondisi dan adat istiadat Negara tujuan, (6) cara bepergian menuju Negara tersebut, (7) dokmen penting yang harus dimiliki, (8) hasil tes kesehatan, (90 alamat KBRI/ KJRI, (10) pihak-pihak lain yang bisa idmintai bantuan misalnya LSM atau lembaga buruh. ****(JK)
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
29
BEDAH FILM
Kisah Pilu Buruh Perempuan Dagenham
F
ilm dari kisah nyata ini bercerita tentang buruh perempuan yang bekerja di pabrik mobil Ford, salah satu pabrik mobil terbesar di Dagenham, Inggris, tahun 1968. Ford mempekerjakan ribuan buruh laki-laki dan 187 buruh perempuan yang bekerja sebagai teknisi yang menjahit jok kursi mobil (property interior), yang bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan. Dengan kondisi seperti itu, buruh perempuan yang di wakili Rita O’ Grady (diperankan oleh Sally Hawkins) yang dipercayakan sebagai juru bicara oleh teman-temannya mulai menyuarakan pendapatnya. Rita O’ Grady dan perwakilan serikat pekerja yang bernama Albert (diperankan oleh Bob Hoskins) berdiskusi dengan pihak manajamen perusahaan mobil Ford. Menurut Rita, upah buruh perempuan dibayar lebih rendah daripada buruh laki-laki pada-
30
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
hal mereka mempunyai kemampuan yang sama dengan buruh laki-laki, hanya karena mereka perempuan? (isu gender). Tidak puas hanya berdiskusi, Rita kemudian mengajak buruh perempuan lainnya untuk aksi, yang awalnya dianggap sebagai gertakan. Aksi pekerja perempuan ini memutuskan untuk tidak bekerja, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Aksi mogok kerja pertama dilakukan di depan pabrik di mana mereka bekerja yakni pembuatan jok mobil. Aksi mogok kerja awal tersebut belum berpengaruh. Rita kemudian mengajak buruh perempuan melakukan aksi di tempat lain termasuk di area publik yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tujuan aksi ini menuntut keadilan, menuntut apa yang menjadi hak para buruh perempuan, menuntut upah yang sama antara buruh perempuan dan buruh laki-laki. Dengan aksi mogok kerja ini, membuat pengaruh yang besar terhadap pabrik Ford, karena buruh perempuan yang biasa menjahit jok mobil mogok kerja sehingga produksi mobil menjadi terganggu bahkan pabrik Ford di Dagenham tidak bekerja. Aksi ini mulai mendapat perhatian yang besar dari media. Kemudian diikuti dengan berbagai pengaruh terhadap kehidupan pribadi masing-masing para buruh tersebut. Dikisahkan juga kehidupan pribadi Rita bersama suami, Eddie (diperankan oleh Daniel Mays) dengan dua anaknya dan dilemanya dalam menjalani tugas sebagai ibu, istri, dan buruh perempuan di mana hal tersebut mempengaruhi kondisi keluarga serta orang-orang terdekatnya. Tekanan pribadi tersebut makin kuat ketika para buruh laki-laki akhirnya terpengaruh dengan aksi mogok buruh perempuan, karena dampaknya sampai ke tempat kerja mereka (buruh laki-laki). Mereka
Judul: Made In Dagenham Sutradara: Nigel Cole Pemain: Sally Hawkins Rosamund Pike Bob Hoskins Miranda Richardson Richard Schiff Jaime Winston John Sessions Kenneth Cranham Daniel Mays Rupert Graves Produksi: BBC Films/Number 9 Films Sony Pictures Classics Durasi: 113 menit
BEDAH FILM
mulai berusaha menekan Rita dan kelompoknya untuk menyudahi aksi mogok kerjanya. Namun Rita terus memegang teguh niatnya untuk mendapatkan persamaan hak. Sebuah keteguhan hati yang akhirnya mendapatkan perhatian dari petinggi pabrik Ford saat itu, yakni Barbara Castle (diperankan oleh Miranda Richardson). Kemunculan tokoh Lisa Hopkins (diperankan oleh Rosamund Pikes), istri salah satu petinggi Ford yang justru bersimpati pada Rita, ialah melihat sisi lain keadaan yang dialami perempuan saat itu. Lisa Hopkins mengalami diskriminasi di rumahnya sendiri yang dilakukan oleh suaminya. Keadaan ini melengkapi masalah bahwa bukan hanya tentang perbedaan upah yang terjadi di pabrik, tetapi juga perendahan martabat perempuan terjadi di rumah. Pada era itu, diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di tempat kerja, tetapi juga secara halus tampak di lingkup rumah tangga. Film ini sangat menarik, karena aktris utamanya Sally Hawkins yang berperan sebagai Rita O’ Gardy begitu menjiwai lakon, penuh semangat, sehingga kita dapat merasakan kekuatan di dalam perjuangannya untuk mempengaruhi kebijakan di dunia industri, yang tentu pengaruhnya sampai juga di negara lain, terkait dengan kesetaraan upah. *****(NE)
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
31
PUISI
Ibunda Namaku Oleh: Hegel Terome Berabad berlalu Apakah kau paham Kami sudah membangun dunia? Apakah kau baca lembaran sejarah Kami sudah membuat hidupmu enak? Berabad berlalu Apakah terbersit dipikirmu Kami 24 jam dicekam maut Melayani mesin-mesin bengis Mandor-mandor keji Pemilik-pemilik pabrik? Berabad berlalu Apakah terasa di hatimu Kami dikepung gendarme Pucuk-pucuk bayonet Menghujam hulu hati?
Tuan puan pongah Emas berlian mobil rumah mewah…entah apa lagi Semuanya kami siapkan untukmu Pagi suntuk kami bekerja Sekepeng rupiah kami terima Caci maki, pelecehan, pukulan, dan… Bisakah kau rasakan duli? Cinta nasib, cinta Tuhan Kami pun mencintai nasib kami Kamilah buruh Kami yang membangun dunia Kami yang menyediakan kesenangan tuan puan pongah Dan kalian duli Apakah bisa rasakan kehendak kami? Segudang cinta kami sediakan buat duli tuan puan Kami setia Hidup kami untuk kalian Hanya mimpi surga diam di hati!
Berabad berlalu Apakah tergugah di sadarmu Handphone, gadget, ipad, jutaan lagi jenis produk Kami persembahkan ke hadirat duli tuan? Berabad berlalu Apakah kau lihat Kami suntuk bangun pagi, pulang pagi Sekepeng rupiah hasil darah keringat Hanya sejumput beras, sekos tempat bisa kami bayar Kami menghutang Rentenir mengancam? Berabad berlalu Apakah bisa kau rasakan di lubuk hatimu Anak-anak kami sakit Istri kami sakit Suami kami sakit Ibu kami sakit Bapak kami sakit Di mana takdir kami?
(Selamat merayakan hari kebebasan dan kemerdekaan buruh di bumi!)
32
Perempuan Bergerak April - Juni 2014
April - Juni 2014 Perempuan Bergerak
33