Berbagai Ulasan dan Wawancara bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna Pamuji, Silvia T
1
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
Perempuan Bergerak Edisi I Januari-Maret 2014
4
Pemilu 2014: Tahun Politik Perempuan? Meneropong masa lalu aktivisme politik perempuan Indonesia, rasanya kini menjadi hal yang makin dekaden, karena politik perempuan hanya dibingkai pada kegiatan pemilu 5 tahunan.
Pentingnya Undang-Undang Kekerasan Seksual di Indonesia
7
Angka kekerasan seksual seperti angka laten, namun tidak menjadi prioritas penanganan yang serius. Pendidikan publik terkait salah satu akar persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai akibat ketimpangan relasi kuasa laki-laki dan perempuan.
12
17 20
2
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
Bagaimana Kepentingan Perempuan Diperjuangkan? Kehadiran perempuan di parlemen diharapkan dapat mewujudkan kebijakan responsif gender. Namun perempuan yang duduk di DPR saat ini tidak dapat diharapkan untuk menghasilkan itu. ...............................................................................................
Harapan Terhadap Wakil Rakyat Terpilih Di tengah hiruk-pikuk partai politik dan kandidatnya yang tengah bertarung, persoalan di komunitas terus terjadi dan belum mendapat solusi yang memadai serta tepat sasaran sampai ke akarnya. ................................................................................................
Kebijakan Yang Responsif Gender Desentralisasi pemerintahan yang dimulai di Indonesia tahun 2001 turut menghasilkan berbagai UU yang diskriminatif terhadap perempuan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan hingga akhir tahun 2013, 342 peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan. ............................................................................................
REMBUG PEREMPUAN Perempuan Bergerak Membangun Komunitas Yang Egaliter
Penanggung Jawab: Listyowati Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Rena Herdiyani, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi: Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004713; Email:
[email protected]; Website: www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi.
Tahun Politik: Apakah Kepentingan Perempuan Diperjuangkan?
T
ahun 2014 merupakan tahun “Politik lima tahunan” bagi Indonesia. Tahun 2014 ini Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi: pemilu legislatif (DPR, DPRD, DPD) dan puncaknya pemilu presiden. Pesta lima tahunan ini menandakan bahwa tugas wakil rakyat di legislatif dan presiden periode 2009-2014 segera berakhir, dan akan diganti dengan yang baru. Sebagian anggota legislatif mencalonkan kembali pada pemilu 2014-2019. Jika mereka terpilih lagi menjadi anggota legislatif periode 2014-2019 menduduki jabatannya, maka dipastikan tak ada perubahan akan terjadi. Berbagai strategi mereka lakukan untuk menarik simpati masyarakat, dengan spanduk di berbagai tempat, blusukan, music dangdutan, dan lainnya. Padahal selama ini mereka jarang blusukan, ketika sudah terpilih menjadi anggota legislatif ataupun menjadi presiden. Lepas dari hal itu, yang penting untuk menjadi perhatian kita ialah apakah kepentingan perempuan di perjuangkan? Terutama lima tahun terakhir, ini penting disoal kembali untuk melihat sejauhmana mereka memperjuangkan kepentingan perempuan di Indonesia. Jika dilihat fungsi legislasi yang harus mereka kerjakan, maka hingga awal tahun 2014 DPR periode 2009-2014 belum menghasilkan satu pun produk legislasi yang berpihak kepada kepentingan perempuan. Sementara itu, di daerah-daerah justru bermunculan banyak Perda yang mendiskriminasi kaum perempuan. Berdasarkan data Komnas Perempuan, hingga akhir tahun 2013 telah ditemukan 342 Perda yang mendiskriminasi perempuan. Demikian pula fungsi lainnya, seperti fungsi anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah, semua ini tidak berjalankan maksimal. Mereka tidak mengabdi kepada kepentingan kaum perempuan, tetapi kepada kepentingan pemodal dan parpol masing-masing serta egoism diri sendiri (korupsi, kolusi, nepotism, dll). Selain Perda yang mendiskriminasi perempuan, masalah lain yang hingga kini dihadapi perempuan Indonesia, seperti kekerasan seksual, hak reproduksi, perkawinan anak, pedagangan manusia, dan seterusnya. Dalam kasus angka kematian ibu dan anak, indeks IPM, indeks gender, yang menjadi target MDGs tahun 2015 yang harus dicapai Indonesia, tak terjadi perkembangan berarti. Tahun 1991, angka kematian ibu melahirkan 390/100 ribu kelahiran, tahun 2007 menjadi 228/100 ribu kelahiran, namun tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 359/100 ribu kelahiran. Pada tahun politik inilah momentum yang bisa kita gunakan untuk menyoal kembali caleg atas komitmennya terhadap kepentingan perempuan Indonesia. Momen politik ini dapat digunakan untuk membangun kontrak sosial pada caleg dan calon presiden mendatang tentang bagaimana mereka menyelesaikan akar-akar persoalan perempuan di negeri ini! Semoga!? Jakarta, 28 Maret 2014 Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
3
FOKUS
B
Pemilu 2014: Tahun Politik Perempuan?
ila kita perhatikan sekilas kaitan politik dengan demokrasi, maka tampak hal itu tak bisa dipisahkan. Politik sebagai konsep, dan demokrasi juga, telah berkembang sedemikian panjang dalam sejarah peradaban kita. Meskipun akan cukup sulit menempatkan dua konsep tersebut di mana posisinya di hadapan satu sama lain, namun secara akal sehat umum dianggap keduanya bak sisi-sisi dari satu mata uang yang sama. Tentu hal itu dapat didiskusikan lebih jauh dan kompleks. Namun demikian, kita abaikan saja hasrat kita untuk membahas persoalan itu. Kita kembali saja ke pokok masalah kita mengenai politik di dalam kerangka demokrasi yang umum ada di negeri kita sekarang. Kita patut bersyukur bahwa demokrasi telah menjadi capaian terbesar modernitas manusia sepanjang sejarahnya, selain menciptakan dampak-dampak buruk yang mengikutinya. Mengacu pada tradisi Barat, maka demokrasi kita berkembang sejak zaman Yunani. Sejak itu masyarakat Yunani mencita-citakan adanya “pemerintahan yang mandiri”, “kesetaraan antara warga negara”, dan “kebebasan warga”. Beberapa
4
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
abad kemudian, orientasi demokrasi berbeda dengan yang sebelumnya, karena tekanan perhatian pada efisiensi, kekuasaan massa, hirarkhis, dan kapitalisme, makin bertambah kuat. Demokrasi liberal berkembang ke arah demokrasi libertarian (pasar bebas). Demokrasi kebajikan (virtues) berubah menjadi demokrasi kemanfaatan (utilitarian). Perubahan-perubahan itu membawa konsekuensi tersendiri dalam memahami, menghayati, dan menghidupi makna demokrasi itu sendiri. Menurut Catherine Eschle (dalam: “Global Democracy, Social Movements, and Feminism”), terdapat lima karakter pokok perubahan dalam demokrasi libertarian saat ini: a) Ekonomi: ekonomi pasca industrial ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan sektor jasa yang pesat, desentralisasi pusat-pusat industri dunia, desentralisasi produksi, keputusan dan layanannya, feminisasi sektor jasa (tenaga kerja perempuan di berbagai sektor dengan sistem paruh-waktu atau alihdaya), pengangguran laki-laki menjadi normal, kesenjangan antara yang menguasai pengetahuan dan yang tidak, wacana skeptis,
FOKUS krisis, dan resiko meningkat; b) Negara: terjadi peningkatan harapan warga negara, peningkatan beban belanja negara, liberalisasi pasar global melumpuhkan konsensus demokrasi sosial, negara tidak melakukan intervensi ekonomi (diserahkan ke pasar), administrasi, infrastruktur dan sarana kesejahteraan tidak menjadi tanggungjawab negara lagi (diserahkan ke kalangan bisnis, sektor swasta, dan lainnya), otoritas bisnis dan lembaga non negara mengambil alih peran negara dalam menentukan identitas budaya; c) Rumah tangga dan keluarga: bentuk keluarga menjadi beragam (orang bisa menikah atau tidak, cerai dan sebagainya), angka cerai meningkat (banyak perempuan menjadi kepala keluarga), sebagian keluarga dinafkahi laki-laki yang sudah bercerai, sebagian besar perempuan bercerai berperan sebagai pekerja juga, keluarga menjadi sasaran pemberitaan media massa dan aturan hukum negara, hirarkhi ideologi gender, domestikasi, seksualitas, dan kehidupan keluarga menjadi sasaran kepentingan sosial; d) Budaya: berkembang populisme, nostalgia, dan fragmentasi dalam seni, desain, dan media. Terbagi antara seni tinggi dan konsumsi massa, mode ekspresi perempuan dan laki-laki, budaya barat dan non barat, isi dan bentuk budaya dibentuk dengan cara baru, gaya hidup beraneka dan bercampur dengan proses komodifikasi intensif, berlawanan dengan tradisi; e) Ontologi dan epistemologi: makna diri terpecah, plural, aspirasi kesetaraan diekspresikan secara berbeda, rasionalitas instrumen, pembedaan subyek dan obyek. Dalam konteks Indonesia, pemaknaan demokrasi disempitkan kedalam kegiatan politik pemilu yang sudah dimulai sejak tahun 1955 hingga 2014 kini. Kegiatan politik ini dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPRD, DPD. Apakah mereka yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD itu sungguhsungguh mewakili kita (rakyat)? Sangat sulit memperlihatkan indikasinya. Oleh karena, konsep keterwakilan (representasi) hanyalah “model teoritis” yang dalam realitasnya bisa bertolak belakang. Bisa saja mereka yang menjadi wakil rakyat itu hanya mewakili dirinya sendiri, keluarga, dan kelompok pendukungnya (partainya), bukan rakyat
secara keseluruhan. Inilah paradoksal demokrasi (keterwakilan). Dengan berkembangnya feminisme liberal di Eropah pada abad 20, maka fokus gerakan perempuan mengarah kepada dunia politik. Hak politik perempuan menjadi perbincangan menarik di mana-mana dan konsepnya pun digali untuk mendukung gerakan itu. Pengakuan hak-hak individu, termasuk hak politik, menguat menjadi tuntutan politik agar perempuan dapat memilih, dan setelah beberapa puluh tahun kemudian, barulah perempuan memperoleh hak dipilih. Hal semacam itu tak hanya terjadi di Eropah abad 20, di Indonesia peluang perempuan pribumi terlibat dalam politik juga mengalami pola yang nyaris mirip dengan kawan-kawan perempuan mereka di Eropah. Surat-surat RA Kartini menunjukkan betapa dalamnya kerinduannya agar perempuan pribumi juga boleh mengenyam pendidikan. Dengan pendidikan itu, perempuan diharapkan lebih jauh dapat berperan dalam kemerdekaan kaum pribumi (politik). Itulah cita-cita Kartini yang baru menemukan momentumnya berpuluh tahun kemudian, ketika kaum perempuan Indonesia menyatukan tekad, menunda perbedaan, menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928. Inilah Hari Perempuan Indonesia (setelah Hari Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928). Meneropong masa lalu aktivisme politik perempuan Indonesia, rasanya kini menjadi hal yang makin dekaden, karena politik perempuan hanya dibingkai pada kegiatan pemilu 5 tahunan. Ini lebih dikenal dengan sebutan “Demokrasi 55”, artinya mencoblos lima menit untuk menentukan 5 tahun duduk di DPR, DPD, DPRD. Sebagian besar orientasi pemahaman kita dicemari oleh pandangan “politik pasar” yang transaksional, utilitaris, dan satu dimensi (one dimentional man). Pendangkalan nilai-nilai ini tentu mendorong banyak kita lebih suka membicarakan angka-angka keterwakilan perempuan di eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Gerakan afirmatif bisa kehilangan substansinya, apabila tidak diwaspadai kuatnya demokrasi pasar kini, karena arahnya dibelokkan untuk kepentingan pasar, bukan untuk kepentingan politik perempuan itu sendiri (dalam rangka perubahan struktur relasi gender di dalam keluarga, masyarakat, negara, global). Ilusi semacam itu tak jarang diterima kalangan perempuan
Gerakan afirmatif bisa kehilangan substansinya, apabila tidak diwaspadai kuatnya demokrasi pasar kini, karena arahnya dibelokkan untuk kepentingan pasar, bukan untuk kepentingan politik perempuan itu sendiri (dalam rangka perubahan struktur relasi gender di dalam keluarga, masyarakat, negara, global)
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
5
FOKUS sebagai realitas sesungguhnya, padahal bukan. Jumlah perempuan yang banyak di legislatif sekalipun belum menjamin bahwa transformasi sosial relasi gender akan berubah secara signifikan. Contoh kecil, sejumlah anggota legislatif perempuan masih saja terkendala oleh relasi gender di tingkat rumah tangganya (keluarganya), padahal mereka sibuk menyusun UU yang memperjuangkan agar relasi gender itu menjadi egaliter. Sangat ironis! Bahaya ini bisa mengancam siapa saja calon anggota maupun anggota legislatif yang berkuasa. Dalam suasana memasuki “demokrasi 55” pada April 2014 mendatang, maka akal sehat kita haruslah menjadi kompas utama dalam menjelajahi kegiatan politik itu. Kalangan perempuan jangan menjadi komoditi politik dengan halusinasi yang dijanjikan pasar bebas, yang menciptakan pertentanganpertentangan di dalam demokrasi itu sendiri. Misalnya, demokrasi memerlukan partai politik sebagai mesin politik yang legitim di dalam suatu negara, sementara itu fenomena sekarang memperlihatkan sebaliknya, legitimasi personal menjadi utama. Dengan demikian, antara partai dan individu diperlawankan sedemikian rupa. Akibatnya, orang tidak peduli dengan partai politik asal orangnya oke. Di sisi lain aturannya (UU
6
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
politik, UUD 1945) melegitimasi partai politik, bukan individu, sehingga orang hanya bisa mewakili rakyat dalam kerangka partai politik (harus menjadi/melalui partai). Apabila kita berkaca pada capaian DPR, DPD, DPRD, periode lalu (2009-2014) maka untuk periode mendatang ada baiknya kita makin waspada untuk memilih calon anggota legislatif. Meskipun kita memiliki hak politik untuk memilih, namun memilih orang yang salah akan menyengsarakan diri kita dan orang lain juga pada masa mendatang. Akan tetapi, dengan melihat profil yang ada saat ini karena hampir 90% adalah wajah-wajah lama, maka kita tak bisa berharap banyak bahwa keadaan politik kita akan jauh lebih baik. Pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, akan berjalan minimal seperti yang diperlihatkan selama ini. Perempuan legislatif pun tak banyak berkontribusi dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, karena ketertundukan mereka pada ‘nilai maskulin’ partai politik dan ‘interese’ pasar (pemodal). Dengan kondisi yang ada itu, maka kita masih memerlukan waktu yang panjang agar perempuan bisa berpolitik (berdemokrasi) secara bebas dan merdeka tanpa belenggu kepentingan pasar di dalamnya, sehingga dapat memperjuangkan perubahan sosial yang lebih egaliter. Itu pun masih memerlukan pendidikan politik yang menyeluruh dan mendalam serta berkelanjutan. *****(HG)
OPINI
Pentingnya Undang-undang Kekerasan Seksual di Indonesia Oleh: Sri Nurherwati Komisioner Komnas Perempuan Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan Kemanusiaan
B
erdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2013 tercatat 279.760 kasus yang dilaporkan dan ditangani. Tabel berikut memperlihatkan angka korban yang mengadukan kekerasan yang dialaminya meningkat dari tahun sebelumnya. Catatan Tahunan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan di wilayah domestik merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi, khususnya kekerasan terhadap istri. Tiga angka terbesar kekerasan dalam ranah komunitas yakni perkosaan, pencabulan dan perdagangan orang. Pola kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan antara lain: kekerasan yang terjadi di ranah domestik sejumlah 11.719 (71%); kekerasan yang terjadi di ranah komunitas sejumlah 4.679 (29%), dan kekerasan ranah negara 4-5 kasus berkaitan dengan kriminalisasi korban dalam konflik SDA di Sumatera Barat, dan satu kasus hambatan dalam proses hukum ketika korban melaporkan kasusnya di ranah komunitas yang terjadi di DKI. Jumlah kasus KTP tahun 2013
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
7
OPINI Hasil pantauan komnas Perempuan mencatat berbagai konteks kekerasan, dan perempuan selalu mengalami kekerasan seksual. Respon masyarakat mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat/tokoh publik makin banyak, namun tidak selalu dibarengi sensitivitas terhadap korban. Dalam hal ini, media massa memiliki peran dalam membangun pemahaman masyarakat terkait keberpihakan pada korban. Menurut Komnas Perempuan, situasi dan kondisi perempuan yang mengalami kekerasan seksual dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat, adil, komprehensif dan holistik. Kondisi darurat ini tercermin dari kejadian kekerasan seksual terjadi di semua ranah (privat, publik dan negara) yang menimpa korban dari rentang usia balita sampai lansia; dari berbagai tingkat pendidikan dan profesi. Termasuk perempuan penyandang disabilitas, perempuan pekerja migran, Pekerja Rumah Tangga, LGBT, dan pelajar hamil.Terjadi di rumah, angkutan umum, sekolah, tempat kerja, dalam tahanan, dll. Perempuan sepertinya tidak pernah terjauhkan dari kekerasan seksual. Bahkan LBT mengalami KDRT, akibat
keluarga berupaya agar LBT kembali menjadi hetero. Misalnya memaksa menikah, bahkan ada yang dipaksa bersetubuh/diperkosa. Perempuan yang ingin memperbaiki kehidupannya agar lebih layak, seperti korban Em, yang dipekerjakan di sarang burung walet di Medan mengaku, bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual. Selain ditelanjangi, juga diberikan ramuan yang berdampak pada daur reproduksinya. Haidnya berhenti. Em penduduk NTT yang direkrut untuk bekerja di Medan, namun kekerasan seksual dialaminya, bahkan gaji tak dibayar majikan. Pelaporannya ke kepolisian tak diproses hingga akhirnya menambah korban. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari total kasus kekerasan (atau 93.960 kasus), dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya, setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari catatan tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).1 Hingga kini proses pengakuan dan penegakan hukum tidak bergerak, bahkan terjadi impunitas bagi para pelaku. Situasi ini tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup tentang makna kekerasan seksual dan respon korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual hanya dikenal sebagai serangan seksual yang menggunakan logika berpikir ada bukti kekerasan fisik. Sering korban disalahkan karena fisiknya. Misalnya, cantik, berpakaian ketat/minim dianggap mengundang pelaku melakukan kekerasan seksual. Sebagaimana dalam kasus kekerasan seksual oleh Petugas 1. 2012
8
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual,
OPINI Transjakarta DKI, pelaku beralasan pakaian korbanlah yang mengundang tindakannya. Sementara kondisi fisik korban dalam kondisi sadar, meskipun baru mengalami sesak nafas, menjadi dilema dan keraguan kepolisian memaknai korban dalam kondisi tak berdaya sebagaimana dimaksud KUHP. Alur pikir yang dibangun terhadap korban kekerasan seksual haruslah korban yang secara fisik tak berdaya, bukan dalam posisi mengundang syahwat pelaku, dan alasan lain yang menguatkan impunitas bagi korban. Ketakpahaman psikologi korban atas responnya terhadap pandangan tabu perempuan di tempat laki-laki juga berakibat impunitas bagi pelaku. Perkosaan yang dialami Nona oleh teman mahasiswa sedaerahnya di tempat mess pelaku, berakibat fatal bagi pemenuhan hak korban. Nona dianggap berbohong karena korban tidak berani berterus-terang tentang lokasi kejadian perkosaan. Kekuatiran korban bila menyebutkan tempat kejadian perkara adalah tak ada yang percaya dirinya mengalami perkosaan. Hasil konseling terhadap korban tidak menjadi dasar untuk memahami situasi dan kondisi korban. Justru berbalik, korban diancam pidana keterangan palsu. Pengetahuan tentang makna kekerasan seksual di luar relasi rumah tangga, perdagangan orang, dan usia anak berdasarkan aturan KUHP dan KUHAP. Kedua aturan tersebut kurang memberikan penguatan bagi aparat penegak hukum dalam melakukan perlindungan bagi korban. Menurut pengalaman pendampingan yang saya lakukan, KUHP dan KUHAP selain belum menjangkau berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi sekarang juga tidak mengikat aparat penegak hukum untuk memberikan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Interpretasi terhadap pasalpasal kesusilaan sebenarnya dapat digunakan untuk diimplementasikan terhadap kasus-kasus yang terjadi, namun pengetahuan yang kurang dan pola pikir yang diskriminatif terhadap perempuan menyebabkan aparat penegak hukum menyulitkan korban mendapatkan keadilan. Perlakuan khusus yang memberikan kemudahan bagi korban guna mendapatkan kesempatan dan
kedudukan yang sama di depan hukum dalam mendapatkan keadilan. Untuk itu, penting mendorong lahirnya regulasi khusus kekerasan seksual. Kedaruratan Penanganan Angka kekerasan seksual seperti angka laten, namun tidak menjadi prioritas penanganan yang serius. Pendidikan publik terkait salah satu akar persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai akibat ketimpangan relasi kuasa laki-laki dan perempuan. Ketimpangan tersebut kemudian berlapis, setiap lapisan menguatkan dan menambah ketakberdayaan dan kerentanan perempuan. Lapisan tersebut berupa kendali pelaku atas korbannya yang pada akhirnya berujung pada eksploitasi seksual pelaku kepada korban.KUHP telah mengatur ketimpangan relasi seperti orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, namun aparat penegak hukum keteteran juga mengatasi kekerasan seksual akibat relasi berlapis ini. Sulit memutuskan dimana ketimpangan relasi antara korban dang pelaku. Sebagai contoh, kasus Sitok Srengenge. Penggunaan Pasal 335 menunjukkan polisi hanya melihat kasus ini sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan bagi korban.sementara, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapuskan frasa sebagai perbuatan tidak menyenangkan. Pada akhirnya, penegakan hukum kehilangan roh hukumnya, menghilangkan hambatan ketimpangan relasi. Situasi ini selaras dengan pandangan pejabat publik yang menyederhanakan masalah pada situasi yang mendukung, dianggap penyebab, akhirnya kesalahan ada pada pihak korban yang dianggap menciptakan situasinya. Aras ini tentu bertolakbelakang. Pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual, selain lapisan ketimpangan yang dia hadapi, juga lapisan mengungkapkan bahkan harus menghadapi situasi yang menentukan laporannya ditangani ataukah tidak. Kekerasan seksual yang dialami korban disabilitas merupakan lapisan lain yang
Interpretasi terhadap pasalpasal kesusilaan sebenarnya dapat digunakan untuk diimplementasikan terhadap kasus-kasus yang terjadi, namun pengetahuan yang kurang dan pola pikir yang diskriminatif terhadap perempuan menyebabkan aparat penegak hukum menyulitkan korban mendapatkan keadilan.
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
9
belum tersentuh. Strategi Perubahan Perubahan penanganan dimulai dari mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual, memahamai situasi dan kondisi korban, dampak bagi korban dan pemulihan korban. Istilah kekerasan seksual dalam hukum nasional kita hanya dikenal dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO, sehingga tidak semua bentuk kekerasan seksual dapat dipidana bahkan tidak dikenali sebagai bentuk tindak pidana. Sementara KUHP mengenal bentuknya perkosaan, pencabulan, persetubuhan dengan anak dibawah umur yang kesemuanya sebagai pelanggaran kesusilaan. Bahkan pemahaman kekerasan terhadap perempuan pun beragam, akibat definisi tersebut belum dikenal dalam hukum nasional. Untuk itu, pengertian kekerasan terhadap perempuan menjadi pedoman dasar memahami kekerasan seksual. Sepanjang kekerasan seksual tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan kemanusian dan pelanggaran HAM, maka penanganannya pun akan jauh dari kebutuhan korban. Untuk itu, sangat
10
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
baik menggunakan definisi kekerasan terhadap perempuan di bawah ini : Kekerasan terhadap perempuan adalah tiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1) Memahami situasi dan kondisi kekerasan seksual terjadi berdasarkan berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan, serta menjamin terciptanya makna keadilan bagi korban, maka saatnya kekerasan seksual terhadap perempuan dimaknai sebagai:2 • Pelanggaran hak asasi manusia 2.
Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus 2010. http://www2.ohchr.org/english/ issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sexual_Violence.pdf
yang berakar pada diskriminasi berbasis gender; • Tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya; • Tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik. Korban kekerasan seksual mengalami pelanggaran HAM, karena secara mendasar hak dasarnya sebagai manusia yang dijamin UUD 1945 telah dilanggar, diantaranya kehilangan jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin dalam UUD 1945, Pasal 28G(1), yakni hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28I (2)), hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H (1), hak untuk bebas dari penyiksaan/perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G (2). Untuk itu, penyelenggara negara sudah saatnya mengimplementaskan pemenuhan hak konstitusi tersebut.
dengan kebijakan kewajiban bagi Partai untuk keterwakilan perempuan sehingga momentum ini sangatlah tepat dimanfaatkan bagi perempuan dan caleg lainnya yang berperspektif HAM dan Gender. Pemilu tinggal menunggu hari, pemilih harus mulai memilah para calon pemimpinnya. Menyimak, meneliti dan memilih calon yang bebas dari indikasi ataupun terlibat kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu strategi penting mewujudkan UU Perlindungan dan pemulihan bagi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. *****
Tugas Wajib Kepemimpinan Ke Depan Tahun 2014 sebagai tahun politik, dan kepemimpinan bangsa menjadi momentum penting bagi perubahan hak konstitusi. Komnas Perempan mendorong manifesto janji kebangsaan. Janji komitmen melahirkan regulasi khusus bagi perlindungan dan pemulihan perempuan dan anak dari kejahatan kekerasan seksual. KPU telah mengawali Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
11
WARTA PEREMPUAN
Bagaimana Kepentingan Perempuan Diperjuangkan?
T
ahun 2014 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Pasalnya tahun ini akan dilaksanakan pemilu, yang diadakan setiap lima tahun sekali. Dalam hajat akbar ini, warga negara yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih akan memilih wakil-wakilnya untuk menjadi anggota DPR, DPRD, DPD. Pesta lima tahunan ini menandakan bahwa tugas wakil rakyat periode 2009-2014 di lembaga legislatif dan presiden segera berakhir. Masa akhir tugasnya, kinerja anggota legislatif periode 2009-2014 dianggap sebagian besar masyarakat Indonesia, sangat buruk. Berdasarkan survei National Polltracking Institute menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerja legislatif. Hanya 12% responden yang menyatakan kinerja DPR baik. Penilaian kinerja tersebut dianggap rendah kualitas dan kuantitasnya didasarkan atas tiga fungsi utama mereka, yakni fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan.
12
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
Di balik buruknya kinerja anggota parlemen itu, anehnya lebih dari 500 anggota legislatif lama kembali mencalonkan diri mereka untuk periode 2014-2019. Berdasarkan catatan Formappi, sekitar 90,5% anggota DPR lama menjadi caleg baru meskipun tak memperoleh nomor urut pertama atau awal. Di sisi lain, partai politik tidak menerapkan mekanisme reward and punishment dalam menyeleksi calon anggota legislatif mereka. Anggota lama legislatif tidak bekerja, suka bolos, tidak produktif, bahkan terjerat pelbagai kasus, seperti korupsi, kejahatan seksual, pornografi, narkoba, poligami, dan lainnya. Dengan kondisi demikian, tidak ada harapan bahwa DPR periode 2014-2019 akan membaik dibandingkan periode 20092014. Bahkan bisa jadi akan lebih buruk, karena banyaknya anggota lama yang bermasalah kembali menjadi caleg. Hal itu akan diperparah dengan fenomena banyaknya artis dalam daftar caleg. Berdasarkan catatan
WARTA PEREMPUAN Formappi, 51 artis diusung sembilan partai politik. Artis digunakan partai politik untuk mendulang suara dan dana. Pemilu 2014 akan diikuti oleh 15 partai politik (12 parpol akan bertarung di tingkat nasional dan 3 parpol lokal di Aceh). Berbagai persiapan menyambut pesta pun dilakukan semua elemen, seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, parpol, caleg dan masyarakat umum. Atribut-atribut untuk kampanye sudah tampak di berbagai tempat untuk menarik simpati masyarakat. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap. Dari 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6980 kecamatan, serta 81.034 desa dan kelurahan, KPU menyiapkan 545.778 Tempat Pemungutan Suara. Berdasarkan data KPU, total pemilih dalam Pemilu 2014 sebanyak 186.612.255 (93.439.610 pemilih laki-laki; 93.172.645 pemilih perempuan). Dari total pemilih tersebut, 2.010.280 pemilih berdomisili di luar negeri. Keterwakilan perempuan Keterwakilan perempuan di parlemen menjadi persoalan yang sering muncul dalam setiap pemilu. Walaupun berbagai perangkat hukum telah melegitimasi partisipasi politik perempuan, namun hingga kini perempuan dan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan. Keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembagalembaga lainnya masih rendah jumlahnya dibandingkan dengan laki-laki. Sejak reformasi tahun 1998, Indonesia sudah melaksanakan pemilu 3 kali (tahun 1999, 2004, 2009). Namun selama tiga kali pelaksanaan pemilu tersebut, belum pernah Indonesia memiliki wakil perempuan di parlemen mencapai angka 30 persen. Padahal Indonesia telah menerapkan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan melalui tindakan afirmasi. Persoalan rendahnya keterwakilan perempuan tak hanya terjadi pasca reformasi 1998, tetapi sejak Indonesia merdeka. Keterwakilan perempuan di legislatif belum pernah mencapai angka 30%. Periode 19501955, keterwakilan perempuan di DPR hanya 3,8%. Tahun 1955 dan 1960, keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 6,3%. Selama 30 tahun berikutnya, keterwakilan perempuan di parlemen yang tertinggi
mencapai 13 persen pada periode 19871992. Periode 1992-1997, representasi perempuan hanya 12,5%. Jumlah tersebut menurun menjadi 10,8% pada periode 1997-1998. Kecenderungan tersebut terjadi hingga periode 1999-2000, menjadi 9,0%. Periode 2004-2009, keterwakilan perempuan mengalami peningkatan menjadi 11%. Pemilu 2009 menghasilkan 18% keterwakilan perempuan di DPR (101 dari 506 anggota parlemen). Di tingkat DPRD sekitar 16% (321 dari 2005) dan 12% di tingkat kabupaten (1.857 dari 15.578). Pemilu 2009, ada 77 daerah pemilihan nasional, dan 27 dapil tidak ada caleg perempuan terpilih. Di tingkat DPRD, 29 DPRD provinsi tidak memiliki anggota legislatif perempuan serta 66 DPRD Kabupaten hanya memiliki 1 anggota perempuan. Rendahnya keterwakilan tersebut tak terlepas dari komitmen partai politik di mana para perempuan bernaung. Dalam setiap pemilihan, calon anggota legilatif perempuan ditempatkan di nomor urut buntut (tidak mungkin jadi). Padahal penempatan nomor urut sangat berpengaruh pada keterpilihan calon yang bersangkutan. “Beberapa kendala dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik, di antaranya penempatan nomor urut yang berpengaruh terhadap keterpilihan, kualitas dan integritas caleg yang baik, dan pendidikan bagi pemilih tentang pentingnya perspektif gender dan peran perempuan dalam pengambilan kebijakan”, tutur Sumarjati Arjoso, anggota Komisi VIII DPR RI. Sumarjati, politisi Partai Gerindra ini menjelaskan, bahwa pada pemilu 2009 penempatan caleg perempuan di nomor 1 masih di bawah 30%, padahal berdasarkan pasal 53 UU No. 10/2008 dan pasal 55 ayat 2, menyatakan tiap 3 calon dalam daftar calon, sekurang-kurangnya 1 calon perempuan. “Ironisnya perempuan sering ditempatkan di nomor yang tidak strategis seperti nomor 3, nomor 6 atau 9”, jelas Ibu Sumarjati. Berdasarkan hasil pemilu 2009, maka 93% caleg perempuan DPR yang lolos adalah bernomor urut 1-3. Sementara di DPRD provinsi ada 85%, dan di DPRD Kabupaten/ Kota 82% terpilih di nomor tersebut. Ini menunjukan bahwa tingginya keterpilihan mereka sesuai dengan nomor urut. Partai politik menyadari hal itu, maka caleg
Persoalan rendahnya keterwakilan perempuan tak hanya terjadi pasca reformasi 1998, tetapi sejak Indonesia merdeka. Keterwakilan perempuan di legislatif belum pernah mencapai angka 30%.
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
13
WARTA PEREMPUAN perempuan ditempatkan di nomor urut yang tidak jadi. Sumarjati menambahkan bahwa pada Pemilu 2009, secara umum potret keterwakilan perempuan di legislatif mencerminkan 3 hal: a) tren keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD tidak sinkron antara nasional dan lokal dilihat dari basis wilayah (provinsi); b) mayoritas nomor urut atas (1,2,3) yang terpilih baik caleg perempuan dan laki-laki menunjukkan posisi dalam daftar calon masih menentukan keterpilihan; c) mayoritas perempuan terpilih karena memiliki jaringan hubungan keluarga di parpol atau kedekatan dengan elit politik. Kualitas anggota DPR Persoalan yang terjadi di DPR periode 2009-2014, tak hanya rendahnya keterwakilan perempuan, tetapi juga kualitas anggota dewan baik perempuan maupun laki-laki. Hal ini berimbas pada proses legislasi dan kebijakan yang dihasilkan. Periode 20092014, DPR tidak menghasilkan undangundang yang fokus pada isu perempuan atau gender. Beberapa undang-undang yang masuk Prolegnas dan diharapkan disahkan pada periode ini, tidak mengalami kemajuan yang berarti. RUU Perlindungan PRT, menjadi undangundang yang diharapkan dapat disahkan dalam periode ini, namun hingga berakhirnya tugas anggota DPR periode 2009-2014, RUU tersebut belum disahkan. Padahal undangundang tersebut akan memberikan dasar hukum yang jelas bagi PRT. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender juga mengalami kemandekan. RUU ini diharapkan dapat menjadi payung bagi semua tindak negara (instrumen, lembaga/institusi eksekutif, legislatif, yudikatif serta struktur administrasi pemerintahan semua tingkatan dan unit-unit pemerintah lokal). Sampai kini, Pemerintah dan Komisi VIII DPR-RI belum memprioritaskan dan memiliki good political will untuk segera membahas dan mengesahkannya. Amandemen UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjadi pekerjaan rumah yang ditinggalkan anggota DPR periode 20092014. UU itu sudah berumur 40 tahun dan merupakan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Dalam UU itu ada pandangan yang tidak setara antara suami dan istri (suami kepala keluarga dan istri ibu 14
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
rumah tangga) di pasal 31 ayat 3. UU ini juga masih mengakomodir perkawinan anak (16 tahun untuk anak perempuan (pasal 7)), padahal usia tersebut rentan pada kesehatan reproduksi mereka. Kehadiran perempuan di parlemen diharapkan dapat mewujudkan kebijakan responsif gender. Namun perempuan yang duduk di DPR saat ini tidak dapat diharapkan untuk menghasilkan itu. Hanya beberapa perempuan anggota DPR yang berkomitmen menyampaikan aspirasi perempuan di dalam rapat-rapat yang diselenggarakan. Selebihnya, tak melakukan apa-apa. Beberapa hal menyebabkan hal tersebut terjadi, antara lain: partai pengusung atau fraksinya memang tidak memberikan peran penuh pada perempuan. “Itu tergantung pada ‘kualitas’ individu masing-masing. Dia bisa memosisikan diri dan berperan melaksanakan tugas-tugas sebagai anggota DPR atau tidak”, jelas Sumarjati Arjoso. Kualitas dan integritas anggota DPR turut mempengaruhi kebijakan yang sedang dibahas. “Penilaian saya, sebagian anggota DPR RI periode 2009-1014 kurang memiliki integritas dan kualitas yang baik, sehingga ikut saja saat menentukan kebijakan”, kata Sumarjati. Menurut Soemintarsih Muntoro, Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Hanura, melihat bahwa kinerja anggota perempuan masih harus ditingkatkan, khususnya dalam membela kepentingan perempuan. Soemintarsih berpendapat bahwa anggota DPR RI perempuan memiliki pengaruh pada alokasi anggaran responsif gender di tiap-tiap bidang kerja. Dengan kondisi demikian, menurut Sumarjati, beberapa langkah harus dilakukan baik oleh KPU, parpol maupun masyarakat itu sendiri. Pendidikan bagi pemilih tentang pentingnya perempuan dalam pengambilan kebijakan menjadi hal yang harus dilakukan. Oleh karena, prosentasi keterwakilan perempuan ditentukan oleh pemilih sendiri. Kritik dan masukan untuk caleg perempuan sejak dalam DCS sangat penting, sehingga bisa dijadikan dasar penentuan caleg yang berkualitas, yang kelak menjadi anggota DPR yang selalu memperbaiki kualitas dirinya, sehingga mewarnai pembuatan kebijakan berbasis gender. Agenda politik perempuan Terlepas dari kondisi yang ada itu,
“Itu tergantung pada ‘kualitas’ individu masing-masing. Dia bisa memosisikan diri dan berperan melaksanakan tugas-tugas sebagai anggota DPR atau tidak”
beberapa hal harus menjadi agenda politik yang harus diperjuangkan perempuan yang menjadi anggota DPR kelak. Hal tersebut karena berdasarkan catatan Komnas Perempuan, menjelang pemilu 2014, situasi pemenuhan HAM dan hak konstitusional warga negara masih menghadapi persoalan serius. Integritas kepemimpinan tahun 2009 yang diharapkan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan, malah sebaliknya. Tahun 2009, Komnas Perempuan telah merumuskan 8 persoalan kebangsaan yang merupakan hasil temu perempuan yang diharapkan dapat diperjuangkan pemerintahan periode 2009-2014, namun persoalan tersebut belum terselesaikan hingga kini. Delapan masalah kebangsaan yang dirumuskan tahun 2009 tersebut antara lain: (1) masih belum dibatalkan dan terus munculnya kebijakan diskriminatif yang melanggar hak konstitusional warga negara; (2) belum konsekuennya grand design politik hukum nasional untuk menjamin pelaksanaan konstitusi nasional; (3) belum maksimalnya pelembagaan permanen kelompok kerja pengarusutamaan gender di bidang pendidikan hingga tingkat kabupaten/kota; (4) persoalan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam sesuai TAP MPR No. IX tahun 2001 yang memberikan akses dan kontrol pengelolaan kekayaan alam kepada rakyat, termasuk perempuan dan menjamin kedaulatan pangan; (5) lemahnya perlindungan buruh migran untuk membentuk layanan terpadu bagi perlindungan terhadap hak-hak buruh migran
termasuk menyediakan fasilitas shelter yang memadai; (6) terus meningkatnya korban pelanggaran Sumber Daya Alam; (7) belum terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM, sebagai landasan membangun bangsa Indonesia yang bermartabat, berkeadilan dan sejahtera dengan memastikan tidak berulangnya pelanggaran serupa; (8) termasuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu, yakni hak kebenaran, hak keadilan dan hak pemulihan. Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan, lingkup pemenuhan Ham dan hak konstitusional perempuan terus-menerus mengarah pada krisis, karena pembiaran terhadap tindakan pemiskinan, diskriminatif pada kelompok-kelompok rentan, kekerasan, intoleransi meningkat, sehingga menimbulkan banyak korban dan pengulangan tindakan serupa. Berbagai tindak korupsi secara nyata berdampak pada penurunan kesejahteraan rakyat, khususnya pada program-program pengentasan kemiskinan. Berbagai persoalan yang telah dirumuskan tersebut, hingga kini masih terjadi dan terus diperjuangkan. Selain persoalan di atas, beberapa perundang-undangan harus tetap diperjuangkan seperti RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Perlindungan PRT, amandemen KUHP dan KUHAP, amandemen UU Perkawinan, Ratifikasi Optional Protocol CEDAW, RUU Kekerasan Seksual dan lainnya. Persoalan lain yang harus menjadi agenda politik perempuan yakni menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang meningkat menjadi 559/100 ribu kelahiran. Pada tahun Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
15
2008, pemerintah Indonesia telah melaporkan AKI sebesar 228/100 ribu kelahiran. Tahun 2010, UNFPA menempatkan Indonesia di rangking 2 di Asia Pasifik dengan AKI mencapai 400/100 ribu kelahiran. Hal ini tentu menegaskan bahwa terjadi kegagalan dalam upaya penurunan AKI oleh pemerintah Indonesia dengan segala programnya, seperti PKH, Jampersal dan sebagainya. Berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia juga menjadi latar belakang sejumlah organisasi masyarakat sipil yang peduli pada perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan mengambil inisiatif membentuk “Indonesia Beragam: Berdaulat, Bersih, Sejahtera, Adil gender, Bergerak, Majemuk”. Indonesia Beragam merupakan gerakan perempuan yang bercita-cita membangun peradaban Indonesia yang bersih dari korupsi, bebas dari kemiskinan, bebas dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut untuk mencapai keadilan dan kedaulatan bagi rakyat miskin, perempuan dan kelompok marginal. Sepuluh isu besar diusung oleh gerakan ini untuk menjadi agenda politik perempuan yang harus diperjuangkan dalam pemerintahan yang akan datang, yakni: • Pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas
16
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
• • • •
• • • • •
Pemenuhan hak atas pendidikan terutama pendidikan perempuan Penghentian kekerasan terhadap perempuan Penghentian pemiskinan perempuan dan kelompok marginal melalui perlindungan sosial Perlindungan perempuan dalam situasi konflik, bencana serta pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam Pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi perempuan Perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama Hak politik perempuan Penghapusan produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas Penghentian korupsi
Masyarakat harus terus mengawal agar ageda politik perempuan tersebut diperjuangkan sepenuh hati sampai membuahkan hasil, dan menjadi komitmen penguasa untuk melahirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. *****(JK)
WARTA KOMUNITAS
Harapan Terhadap Wakil Rakyat Terpilih
S
panduk, baliho, poster, stiker, bendera dan umbulumbul partai, serta berbagai bentuk kampanye lainnya menyemarakkan tiap sudut ruang publik di berbagai tempat di berbagai wilayah/ daerah. Tak terkecuali di Prumpung, Jakarta Timur dan Muara Baru, Jakarta Utara. Berbagai atribut kampanye 12 partai yang berkompetisi dalam pemilu lima tahunan ini menjadi media promosi partai politik dan kandidatnya untuk menarik perhatian rakyat. Untuk ini uang yang dibelanjakan untuk membuat aneka media tersebut. Sama sekali tidak tampak apa program, misi, serta strategi apa nanti jika terpilih menjadi wakil rakyat. Yang terpampang justru wajah-wajah caleg dalam beragam pose, gaya, riasan, disertai latar belakang tokoh-tokoh penting partai yang mengusungnya, yang diharapkan mendulang suara dari rakyat.
Sudah menjadi umum, bila rakyat sedikit tahu wajah-wajah caleg yang mewakili daerahnya namun tak mengenal rekam jejak, visi-misi, program, pengetahuan, serta karakter kepemimpinannya. Di tengah hiruk-pikuk partai politik dan kandidatnya yang tengah bertarung, persoalan di komunitas terus terjadi dan belum mendapat solusi yang memadai serta tepat sasaran sampai ke akarnya. Terutama persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, sama sekali belum mendapat perhatian yang optimal di berbagai bidang/ isu dan di berbagai tempat. Sapta, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Prumpung, Jakarta Timur menyatakan bahwa di komunitas banyak persoalan perempuan yang belum mendapat perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah. Salah satunya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang banyak dialami perempuan. Ibu satu anak ini menyatakan
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
17
WARTA KOMUNITAS bahwa KDRT banyak terjadi di Prumpung dan belum mendapat perhatian serius pemerintah setempat maupun masyarakat untuk diselesaikan. “KDRT di sini masih banyak terjadi, yang jadi korban gak cuma perempuan tapi juga anak. Pernah ada istri yang dipukul suaminya sampai giginya ompong. Dan sampai sekarang dia jadi malu bergaul lagi sama kita”, tutur Sapta mengenai dampak kekerasan tersebut. Masalah perempuan yang disampaikan Sapta bukanlah urusan pribadi yang harus diabaikan. Komnas Perempuan, dalam Catatan Tahunan 2013 merekam, angka kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan. Kekerasan di ranah pribadi yang terjadi terhadap istri sekitar 270.833 kasus (263.285 kasus bersumber dari data Pengadilan Agama dan 7.548 kasus dari data lembaga mitra pengada layanan). Tentu persoalan ini harus segera diatasi dengan melibatkan banyak pihak, terutama pemerintah daerah yang bisa cepat merespon persoalan. Hal ini pula menjadi perhatian Ibu Sapta. Ia mengeluhkan bahwa tidak ada tempat pengaduan untuk kasus KDRT yang lebih terjangkau oleh korban serta cara
18
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
membantu korban. “Kurangnya kepedulian RT/RW setempat, dan selain itu bingung mau membantu korban KDRT namun tidak tahu caranya. Untuk korbannya sendiri, juga bingung harus mengadu ke mana. Akhirnya, karena merasa tidak punya tempat mengadu berpengaruh pada psikologisnya. Belum lagi rata-rata perempuan di sini pendidikannya rendah maka tidak tahu cari informasinya ke mana. Jadi, usul saya di tiap RT/RW ada tempat pengaduan untuk KDRT dan ada wadahnya. Sehingga, kalau ada warga yang mau bantu tahu tempatnya di mana.” Harapan Sapta juga dialamatkan kepada para caleg yang tengah berkompetisi dalam Pemilu 2014. Terutama kepada caleg perempuan yang diyakininya bisa lebih peka terhadap persoalan perempuan dan jika terpilih nanti bisa mengakomodir kepentingan perempuan. Harapan kepada caleg perempuan juga disampaikan Rohati, seorang guru di TK Derap, Prumpung, Jakarta Timur. Rohati mencermati bahwa kondisi perempuan saat ini mengalami penurunan, misalnya perilaku anak yang semakin buruk. “Anak sekarang pada gak mau sekolah padahal orang tuanya mampu menyekolahkan mereka. Sehingga
jarang saya lihat di sini anak perempuan yang jadi dokter”, ungkap Rohati. Menurut Rohati, menurunnya minat anak terhadap pendidikan disebabkan pengaruh media yang membuat makin bebasnya pergaulan anak remaja. “Ya kalau bisa sih calegnya yang berpendidikan, sehingga bisa mengubah keadaan perempuan. Dan mudah-mudahan calegnya lebih banyak perempuan sehingga bisa lebih memajukan perempuan”, harapan Ibu Rohati terhadap wakil rakyat mendatang. Selain itu, Rohati dan Sapta mengharapkan bahwa caleg-caleg perempuan yang terpilih bisa memberi solusi yang tepat terhadap persoalan perempuan yang masih terjadi di wilayah mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan soal sampah. Mengenai sampah, Sapta menjelaskan bahwa lingkungan di Prumpung masih sangat kotor karena banyaknya sampah yang dibuang sembarangan seperti ke selokan, kali, dan sudut-sudut pemukiman. Maka tidak heran, jika berkunjung ke Prumpung akan menemui kali dan selokan yang penuh dengan sampah, berbau tidak sedap dengan airnya yang hitam. “Persoalan lain di sini ialah kebersihan lingkungan. Orang-orang buang sampah namun tempatnya tidak ada, karena lebih banyak sampah daripada tempatnya. Maka kali menjadi kotor, karena sampah tidak diambil-ambil oleh petugas sampah.” Masalah sampah menjadi persoalan yang belum teratasi, hingga kini di pemukiman padat penduduk di wilayah Muara Baru, Jakarta Utara. Di wilayah ini, banyak rumah warga yang didirikan di atas kali yang penuh dengan sampah. Ditambah lagi, wilayah ini merupakan daerah pesisir sehingga dalam setahun terjadi 3-4 kali banjir Rob. Air banjir hitam, kotor, bau, dan penuh sampah akan memasuki rumah-rumah penduduk. Tentu dampaknya sangat buruk terhadap kesehatan lingkungan dan kesehatan warga setempat. Perempuan akan menerima dampak yang lebih besar karena kesehatannya terserang. Perempuan akan dibebani tugas-tugas rumah tangga yang lebih berat ketika banjri melanda. Banyak masalah di Muara Baru yang diharapkan oleh Eva Susanti, warga Muara Baru, dapat diaspirasikan caleg terpilih nanti. Yang paling urgen, persoalan air bersih. “Di sini persoalan yang harus diperjuangkan adalah air bersih. Karena sangat susah mendapat air bersih. Kalaupun ada, itu harus dibeli dan harganya mahal”, kata Eva
Susanti, di sela-sela aktivitasnya menghadiri “Dialog bersama Caleg Perempuan” yang diselenggarakan Kalyanamitra di Muara Baru. Melihat kebutuhan dasar yang masih susah dijangkau, Eva menyimpulkan bahwa kepentingan perempuan belum diperjuangkan secara serius. Karena kehidupan sehari-hari perempuan dekat dengan air, dan ketika air susah di dapat, maka perempuan sendiri yang harus mencari solusinya. Dalam menghadiri kegiatan yang sama, Ratna, ibu rumah tangga satu anak, menuturkan bahwa persoalan mendesak saat ini di Muara Baru ialah air bersih yang makin susah dijangkau. Walau sudah berlangganan air PAM, namun air sering berminggu-minggu mati, sehingga ibu-ibu terpaksa membeli air pikul yang harganya sangat memberatkan keuangan keluarga. Ditambah lagi, harga-harga yang terus naik, seperti listrik, gas, beras, dan kebutuhan lainnya. Dengan beaya kebutuhan hidup yang tinggi, sementara penghasilan suami tidak mencukupi, maka perempuan harus menerima beban kerja yang berlipat. “Harapan saya untuk pemilu ini: air mahal, gas mahal, listri mahal, beras murah, dan harga-harga kebutuhan pokok jangan naik terus. Selain itu, perlu membuat koperasikoperasi lagi, sehingga bisa ada kegiatan untuk ibu-ibu”, tutur Ratna. Di tahun ini, Indonesia akan melaksanakan pemilu memilih wakil-wakil rakyat di tingkat legislatif dan eksekutif untuk lima tahun ke depan (2014-2019). Pemilu legislatif dilaksanakan 9 April 2014 untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPRD, dan DPD), dan Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Ini akan menjadi momen penting karena menentukan nasib bangsa ini ke depan. Apakah akan lebih baik, atau justru lebih buruk? Apakah akan terjadi perubahan lebih baik? Tentu tonggak perubahan ke arah yang lebih baik bisa ditegakkan bila kepentingan perempuan selalu dijawab dalam setiap keputusan politik negara yang mereka ambil, baik terkait anggaran, produk kebijakan, dan pengawasan kerja pemerintah. Semoga demokrasi lima tahunan kali ini akan membawa perubahan yang signifikan bagi kualitas kehidupan perempuan di Indonesia.*****(IK)
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
19
BEDAH BUKU
Kebijakan Yang Responsif Gender???
B
uku berjudul Representasi Politik Perempuan: Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender ini adalah hasil studi yang dilakukan Women Reseach Institute. Studi dilakukan untuk identifikasi kebijakan-kebijakan yang responsif gender terkait representasi politik perempuan serta implementasinya dalam kehidupan perempuan Indonesia. Studi tersebut juga dimaksudkan guna memperoleh gambaran tentang politik perempuan anggota DPR terhadap penyusunan kebijakan setara dan adil gender. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) menjadi RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR RI serta menjadi RUU prioritas tahun 2012. DPR menargetkan dapat mengesahkan RUU KKG menjadi undang-undang sebelum masa kerja mereka berakhir pada pertengahan 2014. Sejak mencuat di permukaan, RUU KKG telah menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Banyak pihak menentang disahkannya RUU ini karena dianggap bertentangan dengan asas agama, sementara kalangan yang mendukung RUU tersebut beranggapan bahwa Indonesia perlu memiliki undang-undang ini sabagai payung hukum bagi berbagai kebijakan yang responsif gender, mengingat masih adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan di tingkat lapangan. Padahal
20
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
Judul
: Representasi Politik Perempuan: Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender Penulis : Ayu Anstasia, S.Sos; Edriana Noerdin, MA; Frisca Anindhita, SKM; Sita Aripurnami, MSc; Rahayuningtyas, SKM Penerbit : Women Research Institute (WRI) Cetakan : Tahun 2014 Halaman : vii, 59 hal ISBN : 978-602-9230-04-8
Indonesia telah meratifikasi Convention on the Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Konvesi Mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Seharusnya, dengan diratifikasinya konvensi itu tak ada lagi soal diskriminasi yang berbasis gender di Indonesia. Pemerintah berupaya melahirkan kebikankebijakan yang responsif gender, misalnya Intruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Instruksi Presiden itu menjadi acuan dasar rumusan strategi arusutama gender, yang disusul dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah. Selain mengatur pelaksanaan strategi pengarustamaan gender, SK Mendagri itu menyantumkan pernyataan bahwa beaya yang diperlukan bagi pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk masing-masing provinsi, kabupaten/kota, sekurang-kurangnya 5% dari APBD Provinsi, kabupaten/kota. Lima tahun kemudian, SK Mendagri No. 132/2003 itu diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarustamaan Gender
BEDAH BUKU di Daerah. Walaupun sudah meratifikasi CEDAW dan ada Inpres Presiden No. 9 tahun 2000, namun persoalan ketimpangan gender terus dihadapi perempuan Indonesia. Ada lima masalah utama yang dihadapi perempuan Indonesia yang diulas dalam buku ini. Pertama, tingginya Angka Kematian Ibu. Berdasarkan data UNICEF, tahun 2007 AKI Indonesia periode 1990-2005 mencapai 310/100 ribu kelahiran. Dalam laporan capaian Millenium Development Goals Indonesia hingga 2009, Indonesia dinilai tidak akan mampu mencapai target AKI menjadi 102/100 ribu kelahiran pada 2015. Data terbaru menunjukan bahwa AKI Indonesia mengalami kenaikan tajam dari 228 (tahun 2010) menjadi 359/100 ribu kelahiran (tahun 2013). Kedua, masalah yang dihadapi perempuan Indonesia adalah meningkatnya angka infeksi HIV/AIDs. Tahun 2009, kasus HIV/AIDs di Indonesia mencapai 19.973 kasus, melonjak lebih dua kali lipat daripada tahun 2006 yang berjumlah 8.194 kasus. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sejak tahun 1987 hingga 2012, terdapat 3.733 kasus ibu rumah tangga terinfeksi pasangan tetapnya. Banyaknya ibu rumah tangga yang terinfeksi virus HIV/ AIDs menempatkan mereka di posisi tertinggi ke-4 di Indonesia. Tahun 2010, ada 41,4% dari jumlah 24,131 kasus pengidap HIV/AIDs di Indonesia adalah ibu rumah tangga. Ketiga, tingginya pelanggaran HAM terhadap pekerja migran perempuan. Setiap tahun lebih dari 650.00 orang Indonesia berangkat keluar negeri untuk bekerja pada majikan asing dengan kontrak kerja selama dua tahun. Separuh dari buruh migran tersebut bekerja di beberapa negara d Timur Tengah dan Malaysia. Sebagian besar mereka adalah perempuan yang berasal dari desa dan kota-kota kecil, dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan pengalaman kerja yang sangat rendah. Kebanyakan mereka dipekerjakan di ranah domestik. Setidaknya, satu dari tujuh buruh migran yang pulang ke Indonesia menemui pelbagi masalah pelanggaran HAM. Keempat, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2011 tercatat 113.878 kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia(rata-rata 311 kasus per hari). Kelima, rendahnya representasi politik perempuan. Berdasarkan pemilu 2009, ada 101 (18%) keterwakilan perempuan d DPR. Sementara di tingkat provinsi, tercatat ratarata keterwakilan perempuan adalah 16% dan di tingkat kabupaten/kota presentasenya hanya 12%.
Di sisi lain, di Indonesia masih ada produk perundang-undangan yang mendiskriminasikan perempuan. UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menjadi salah satu UU yang diskriminasi perempuan. UU ini menyebutkan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga yang harus melayani suami, merawat anak-anak serta melakukan pekerjaan rumah tangga. UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi (saah satu perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan). Dalam undang-undang itu, tubuh perempuan dijadikan objek yang siap dikriminalisasi, seperti diatur dalam Bab I, pasal 1 ayat (1), dijelaskan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Desentralisasi pemerintahan yang dimulai di Indonesia tahun 2001 turut menghasilkan berbagai UU yang diskriminatif terhadap perempuan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan hingga akhir tahun 2013, 342 peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan. Banyaknya UU yang mendiskriminasi perempuan dapat mengimbas pada rendahnya partisipasi perempuan di parlemen. Demikian pula produk UU yang dihasilkan periode 2009-2014, DPR belum menghasilkan UU yang secara khusus bicara soal perempuan. Beberapa RUU yang diharapkan dapat disahkan, seperti RUU KKG, RUU Perlindungan PRT, belum diselesaikan juga. Demikian dalam proses penganggaran, juga belum memenuhi kebutuhuan perempuan yang akhirnya bisa mempengaruhi kinerja pemerintah dan legislatif, dalam mengatasi segala bentuk ketidakadilan gender di masyarakat. Dalam survei tentang kebutuhan memiliki kebijakan yang responsif gender yang dilakukan WRI pada 1.200 orang responden di seluruh Indonesia, maka masyarakat mendukung kesetaraan serta keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam dunia politik. Sejumlah 38% perempuan dan 37% laki-laki setuju bila perempuan dan laki-laki punya hak yang sama dalam berpolitik. Ada 4% perempuan dan 6% laki-laki menjawab “tidak setuju” serta 2% perempuan dan 3% laki-laki “tidak menjawab”. Hasil survei juga memperlihatkan bahwa 63% responden laki-laki dan perempuan setuju jika semakin banyak perempuan hadir di DPR. Oleh karena makin banyak pula Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
21
BEDAH BUKU kesempatan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini menandakan bahwa kian terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk ikut berkompetisi menjadi anggota DPR, meskipun 16% laki-laki dan 7% perempuan menyatakan tidak setuju. Ketika ditanya tentang UU kebijakan yang responsif gender, maka 22% responden menyatakan Indonesia tidak memiliki, dan 32% responden justru menyatakan Indonesia sudah memiliki undang-undang yang responsif gender. Sebagian responden menjawab “tidak tahu” (41%) dan sisanya 5% memilih “tidak menjawab”. Dalam buku ini disampaikan temuan WRI tentang respon masyarakat terhadap RUU KKG yang hingga kini masih kontroversial di masyarakat. Beragamnya silang pendapat yang beredar di masyarakat, melalui media masa, diskusi publik maupun forum keagamaan, memberi makna semangat partisipasi publik. Survei yang dilakukan WRI pada September 2013 menunjukan, bahwa 4% responden perempuan dan 4% laki-laki mengaku mengetahui dan memahami isi RUU KKG, sedangkan 9% perempuan dan 8% laki-laki mengaku mengetahui keberadaan RUU KKG, namun tidak memahami isinya. Mayoritas responden sebanyak 33% perempuan dan 34% laki-laki, mengaku tidak mengetahui dan tidak memahami isi RUU KKG. Sisanya, 5% perempuan dan 5% laki-laki “tidak menjawab”. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat tidak
22
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
memperoleh informasi memadai tentang kebijakan-kebijakan yang responsif gender, baik dari DPR di wilayah pemilihan masingmasing maupun dari pihak eksekutif. Peran kelompok perempuan juga danggap sangat penting dalam mensosialisasikan RUU KKG kepada masyarakat luas. Satu hal yang menarik ialah dinamika dan keterlibatan perempuan anggota parlemen dalam memperjuangkan RUU KKG, yang merupakan respon atas masalah perempuan yang dianggap tidak “menjual” dan tidak bisa dijadikan isu prioritas oleh masing-masing fraksi di parlemen. Respon internal DPR terhadap RUU KKG dapat dikelompokkan dalam tiga kubu: a) yang mendukung penuh, b) mendukung dengat syarat, dan c) menolak dengan tegas. Selain itu, munculnya pro dan kontra di tengah masyarakat sedikit banyak mempengaruhi proses legislasi RUU KKG. Anggota DPR yang mendukung penuh menyatakan bahwa UU itu dapat menjadi payung hukum kebijakan KKG. Mereka mengharapkan RUU KKG juga mencakup bidang-bidang lain, seperti politik dan ekonomi. RUU KKG menjadi hutang yang harus diselesaikan anggota DPR periode 2009-2014 mengingat tak satupun produk UU yang secara khusus bicara soal perempuan. UndangUndang ini harus diperjuangkan karena bisa mendorong terbentuknya pengertian tentang kesetaraan gender mulai tingkat keluarga, pemerintah, hingga masyarakat, *****(JK)
BEDAH FILM
Kesehatan Reproduksi Perempuan:
Agenda Politik 2014 yang Harus Diperjuangkan
T
ingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI) telah menjadi masalah yang hingga kini dihadapi oleh perempuan Indonesia. Berdasarkan Statistik Demografi Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu melonjak menjadi 359/100 ribu kelahiran hidup. Dibalik hitungan tersebut, kematian ibu merupakan bentuk nyata kegagalan pemerintah untuk memenuhi hak hidup rakyatnya, terutama perempuan. Nyawa perempuan dipertaruhkan secara massif, akibat pembiaran negara terhadap hak-hak kesehatan reproduksi mereka dengan diabaikannya pemenuhanm hak dasar dalam prioritas pembangunan. Di sisi lain, remaja dan pemuda Indonesia kurang siap menghadapi tantangan kesehatan reproduksi dan tanggung jawab yang akan mereka hadapi ketika memasuki tahun reproduksinya. Berangkat dari hal, Women Research Institute (WRI) memproduksi film dokumenter yang bertema kesehatan reproduksi. Dua cerita diangkat dalam film yang didukung oleh Ford Foundation ini. Film pertama berjudul ”Reproductive Rights For Youth” dan film kedua berjudul “Save Women from Maternal Mortality”. Film ini diproduksi tahun 2012 dengan lokasi di Gunung Kidul, Yogyakarta untuk film
kesehatan reproduksi remaja, dan lokasi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat untuk film tentang kematian ibu melahirkan. Film pertama yang berjudul ”Reproductive Rights For Youth” menyoroti tingginya angka aborsi di Indonesia, yang dilakukan kalangan remaja. Berdasarkan data BKKBN, setiap tahun terjadi 2,5 juta aborsi di Indonesia, yang 1,5 juta aborsi dilakukan oleh remaja. Film ini menghadirkan narasumber untuk wawancaranya, seperti aktivis Rifka Annisa, Yogyakarta, dinas kesehatan, perwakilan dari Forum Remaja di Gunung Kidul, dan pihak akademisi. Hal yang mempengaruhi remaja melakukan hubungan seksual pranikah antara lain karena dampak globalisasi yang mana HP dan media massa sangat gencar memberikan informasi, namun tidak ada filter bagi remaja untuk mendapatkan informasi yang penting bagi mereka dan informasi yang tak penting. Yang paling mengkhawatirkan, remaja saat ini sangat mudah mengakses video porno di internet.
Judul: Reproductive Rights For Youth & Save Women from Maternal Mortality Sutradara: Shalahuddin Siregar Produkser Eksekutif: Edriana Noerdin Produser: Sekar Pireno KS Editor: Bayu Aji Asisten Produksi: Merio Falindra Fixer: Militia Priatna Utami, Tri Asmiyanto Musik: Reza Durasi: 18 menit Konsultan Isu: Myra Diarsi Produksi: Women Research Institute (WRI), 2012
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
23
BEDAH FILM Mudahnya remaja mengakses informasi video porno di internet tidak diimbangi dengan pendidikan seks yang benar oleh orangtua dan sekolah. Karena selama ini seks masih dianggap tabu, dorongan seksual dianggap hal yang kotor, salah atau dosa. Akibatnya, informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi sangat beragam diterima oleh remaja bahkan tak tepat diterima oleh mereka. Salah satu informasi yang diperoleh remaja di Gunung Kidul ialah mitos bahwa hubungan seks dapat memperkuat hubungan pacaran. Akibatnya, remaja tidak mengetahui resiko melakukan hubungan seks yaitu kehamilan dan kemungkinan keracunan kehamilan, kejangkejang dan pendarahan ketika melahirkan, serta tertular penyakit Infeksi Menular Seksual (HIV/AIDS). Korban pertama kasus kehamilan pranikah remaja ialah perempuan. Ketika terjadi kehamilan, perempuan menjadi pihak yang disalahkan dan dianggap gampangan. Korban terpaksa melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan orangtua. Ketika pihak laki-laki tidak bertanggungjawab, maka perempuan yang menanggung aib keluarga bahkan dikeluarkan pihak sekolah atau terpaksa berhenti sekolah. Ketika terjadi kehamilan remaja pranikah, maka orangtua terpaksa menikahkan anaknya dengan mengajukan dispensasi pernikahan ke Pengadilan Agama. Kasus permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Gunung Kidul mencapai 90% karena kehamilan atau orang
24
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
tuanya khawatir terjadi kehamilan dalam masa pacaran anaknya. Padahal pernikahan usia remaja rentan terjadi konflik bahkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena secara psikologis dan pemikiran belum dewasa, dan secara ekonomi belum mandiri. Remaja yang menikah tidak memiliki keterampilan terpaksa keluar dari sekolah sehingga sulit mencari lapangan kerja yang layak. Hal ini berdampak pada makin tingginya kemiskinan di Gunung Kidul. Untuk mengatasi persoalan kehamilan di usia remaja, pihak pemerintah harus bertanggungjawab memberikan informasi yang benar tentang seks dan kesehatan reproduksi pada remaja-remaja ke pelosok Indonesia. Pemerintah harusnya memiliki program khusus untuk remaja dan memfasilitasi layanan aborsi aman. Keluarga juga tidak menyalahkan korban atau remaja, pihak sekolah tidak mengeluarkan remaja yang hamil atau menikah, dan pihak polisi tidak mengkriminalkan korban atau remaja. Kalau pun pemerintah sudah memiliki program kesehatan reproduksi remaja, pemerintah perlu memastikan program tersebut berjalan efektif dan benar-benar dimanfaatkan oleh remaja sampai ke pelosok. Sebagai contoh, di Gunung Kidul, walaupun Dinas Kesehatan Gunung Kidul memiliki program pendidikan dan konseling kesehatan reproduksi remaja, namun tak banyak remaja yang dapat mengaksesnya. Hal ini karena jam kerja puskesmas bentrok dengan jam sekolah, dan untuk konseling remaja dikenakan Rp. 5.000 yang
BEDAH FILM relatif mahal untuk ukuran remaja. Dalam film ini, ada dari remaja yang menyatakan bahwa jika remaja datang ke rumah sakit atau klinik kesehatan untuk berkonsultasi tentang kesehatan reproduksi, masih mendapat perlakuan diskriminatif. Intervensi program yang dilakukan WRI adalah menginisiasi program “Youth Forum” yang diakui oleh pemerintah daerah Gunung Kidul. Youth Forum ini sebagai wadah bagi remaja untuk pusat informasi kesehatan reproduksi, forum konseling, dan pusat peer educator bagi remaja. Selain itu, WRI bekerja selama 1 tahun dalam rangka mendorong kebijakan bupati untuk peningkatan layanan kesehatan yang saat ini fokus pada layanan kesehatan keluarga, padahal soalan kesehatan reproduksi remaja juga sangat kompleks. Film kedua tentang “Save Women from Maternal Mortality” menyoroti tingginya Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI). AKI di Nusa Tenggara Timur sangat tinggi, yakni 320/100 ribu kelahiran bayi (Dinas kesehatan NTT, 2011). Kasus AKI di NTT disebabkan beberapa hal, misalnya kondisi jalan yang rusak hingga perempuan yang hamil malas ke puskemas karena fasilitas kesehatannya (Polindes) jauh dari rumah dan transportasi mahal karena harus naik ojek, akhirnya banyak perempuan di NTT memilih melahirkan di dukun. Hal lain adalah budaya patriarkhi yang kuat. Sebagai contoh, patriarkhi di suku Sasak Lombok Tengah, NTB yang menentukan di mana isteri melahirkan harus diputuskan oleh keluarga, perempuan tidak bisa memutuskan mau melahirkan di klinik/puskesmas, dan terdapat mitos bahwa perempuan hamil
tidak boleh makan belut, padahal kandungan gizinya banyak. Kesehatan adalah hak dasar rakyat yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, untuk menekan AKI, pemerintah harus memperbanyak fasilitas kesehatan Polindes/Pustu/tempat persalinan, transportasi gratis bagi ibu hamil dan membangun jalan yang bagus. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM, fasilitas, dan layanan kesehatan bagi ibu hamil. Contohnya, fasilitas polindes di NTT sangat kurang, karena hanya 1 tempat tidur pasien yang digunakan untuk pemeriksaan pasien umum dan layanan persalinan. Bahkan tempat tidur harus digunakan untuk pasien lain, pasien yang telah melahirkan terpaksa menggunakan tikar sebagai alas tidur. Kasus lain di Lombok Tengah ialah kurang ramahnya layanan bidan setempat, sehingga menyebabkan perempuan malas memeriksakan kehamilannya, dan ketika akan melahirkan bidan tak ada di tempat, sehingga seorang ibu terpaksa melahirkan di rumah dan berakibat pendaharan. Intervensi program yang dilakukan WRI ialah memperkuat Forum Warga untuk membicarakan persoalan dan mengkomunikasikan dengan para pengambil keputusan. Hal ini dilakukan untuk mendorong pelaksanaan peraturan pemerintah di nasional dan daerah yakni aturan 1 desa 1 bidan dan 1 polindes. *****(RH)
Januari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
25
PUISI
Sekali Berarti
Perempuan
Oleh: Hegel Terome
Oleh: Grasia Renata Lingga
Zaman lama berlalu Terkubur dalam sepinya waktu Zaman baru di depan mata Sejuta pilihan Menyudutkanmu Dalam kebebasan
Perjalanan kita adalah perjalanan sepi, tidak ada yang berani masuk tanpa permisi Seharusnya, kita ada dalam ruang aman pada malam yang tak pernah mengizinkan siapapun keluyuran bahkan untuk pulang selarut fajar
Apakah saatnya Kau membeku dalam bisu Kau membelenggu diri Takut akan tradisi? Apakah saatnya Kau jadi kecut Merantai diri pada norma? Apakah saatnya Kau mati kutu Tunduk pada sangkar emas: Keluarga, masyarakat, negara? Zaman lama berlalu, Zaman baru mengekalkan kita pada litany: “Kembalilah ke dirimu sendiri sebagai anak zaman, zaman baru!” Tak ada waktu lagi Bergegaslah Songsong mentari kesadaran Hapuskan belenggu Hadapi nasib dengan berani: Hiduplah bebas dan merdeka! Katakan “Tidak” buat semua yang menindas Katakan “Ya” buat semua kehendak bebasmu Jangan pernah gentar Sekali melangkah Pantang kaki bersurut!
26
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014
Seharusnya, kita tidak perlu kawatir untuk tidak pernah lari dari persoalan Kita tak perlu takut Untuk siap melawan cobaan Sepertinya, kita memang harus berjuang tanpa bantuan Sepertinya kita harus berjuang melewati malam sendirian Tidak ada yang bisa diandalkan Karena toh, semua orang akan mengurusi dirinya sendiri Sebaiknya, kita memang harus diam-diam mencari cara Untuk bisa segera melangkah Dan tidak ada cara lain selain merelakan diri kita sendiri Menghabiskan waktu sendirian untuk mencapai kesamaan Diam tidak mewakili apapun, namun sunyi selalu memberi tanda Bahwa kita harus segera melaju Kereta api yang kita tumpangi sudah memberi bunyi untuk bernyanyi Sebentar lagi kita akan meninggalkan tempat ini Sunyi akan tetap menjadi dirinya sendiri
POJOK KATA
Dewan (DPR)
Perwakilan
Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Sementara untuk di tingkat propinsi di sebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Propinsi (DPRD Propinsi). Sementara untuk di Kabupaten/Kota di sebut DPRD Kabupaten/Kota. DPR Memiliki 3 fungsi yaitu: Legislasi, Anggaran dan Pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Fungsi legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Anggota DPR memiliki beberapa kewajiban diantaranya adalah: memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan, mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat, menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, menaati tata tertib dan kode etik, menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain, menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat, memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
lum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan UndangUndang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal. Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD), sebelum 2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum. DPD memiliki fungsi: • Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu • Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu. Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah seharusnya 136 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. SebeJanuari - Maret 2014 Perempuan Bergerak
27
28
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2014