63
BERBAGAI KASUS KONFLIK DI INDONESIA: Dari Isu Non Pribumi, Isu Agama, Hingga Isu Kesukuan Muhammad Saleh Tajuddin (UIN Alauddin Makassar) Mohd. Azizuddin Mohd. Sani (Universiti Utara Malaysia) Andi Tenri Yeyeng (STKIP Pembangunan Makassar) Abstrak Tulisan ini membahas tentang ragam konflik di Indonesia, khususnya terkait dengan isu non pribumi, isu agama dan isu kesukuan. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai sebab terjadinya berbagai konflik dalam konteks sejarah politik di Indonesia. Dalam kenyataannya, ada berbagai sebab terjadinya konflik di Indonesia, seperti keberadaan non-pribumi versus pribumi, konflik agama, khususnya antara agama Islam dan agama Keristen, dan isu kesukuan, khususnya dominasi suku Jawa dalam sejarah panggung politik di Indonesia.Terjadinya konflik atas dasar isu-isu tersebut bermuara pada kesenjangan ekonomi politik yang terjadi seperti kekayaan non-pribumi atas pribumi, kekaayaan minoritas Keristen atas mayoritas umat Islam, dan dominasi suku Jawa atas non Jawa dalam pentas politik. Begitu juga konflik Ambon dan Sambas sebagai konsekuensi logis dominasi ekonomi Bugis Makassar dan dominasi Suku Madura atas penduduk setempat. Keywords: Konflik, Non-Pribumi, Agama, Suku, Ekonomi dan Politik I. Pengenalan Sebagaimana Negara Malaysia, Indonesia merupakan Negara yang memiliki berbagai ragam etnik yang merangkum berbagai ragam budaya, suku, agama, dan adat istiadat. Indonesia adalah tergolong Negara yang cukup besar, baik dipandang dari sudut wilayah yang terdiri atas 5 pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
64
Irian Jaya beserta pulau kecil sebanyak 17.508, maupun dari sudut jumlah penduduk sebesar 241.973.879. Berdasarkan kepada kepadatan penduduk dan besarnya wilayah Negara Indonesia tersebut, maka dapatlah dikatakan bahawa pemerintah Indonesia mengalami banyak tantangan dalam membina hubungan etnik. Terdapat sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia menurut data statistik tahun 2010 dan suku Jawa merupakan kelompok suku bangsa yang paling besar sekitar 40% dari jumlah populasi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia). Dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas, dan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia merupakan Negara yang cukup potensial untuk maju dengan cepat dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainnya. Namun dalam kenyataannya, Indonesia menghadapi masalah yang cukup serius dalam hal hubungan etnik. Indonesia selalu menghadapi konflik antara etnik. Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia (2010) dalam penyelidikannya melaporkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia merupakan konflik horizon yang berasaskan pada isu agama dan etnis serta faktor tingkat kesejahteraan yang tidak seimbang. Pengalaman dimanapun, konflik yang berbasis isu agama dan etnis sangat mudah menjadi konflik kekerasan dan menarik keterlibatan pelaku lintas regional, dan sangat sulit untuk diselesaikan. Hal tersebut dikarenakan konflik yang berasaskan isu agama dan etnik cenderung melampaui batas-batas geografis dan tidak mudah untuk dinegosiasikan serta tidak rasional. Sedangkan penyebab terjadinya konflik di daerah perbatasan, dapat juga disebutkan sebagai konflik vertikal di antaranya : (1) Tidak seimbangan dalam pembangunan, (2) Pengerukan sumber daya alam, (3) Kekerasan pada rakyat, (4) Kuatnya etnisitas pada masyarakat tempatan, (5) Jauh dari pusat pemerintahan, (6) Modernisasi yang keliru atau dipaksakan, (7) Distribusi ekonomi, posisi, atau jabatan yang tidak seimbang, (8) Persepsi yang keliru dari pemerintah pusat terhadap masyarakat tempatan. Terdapat banyak permasalahan dalam hubungan etnik di Indonesia yang berujung kepada konflik, seperti isu pribumi (Indonesia asli) dengan non-pribumi (China keturunan), dan isu agama.
Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
65
II. Isu Non-Pribumi Pada dasarnya keberadaan kaum China di Indonesia sudah lama. Menurut Kwartanada (1996) mengatakan bahawa keberadaan kaum China di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dengan kedatangan seorang pendeta bernama FaHsein. Hal ini berarti bahawa kaum China dudah ada di Indonesia sejak 15 abad yang lalu, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Namun, gelombang kedatangan kaum China selanjutnya adalah pada saat penjajahan Belanda melalui dataran Malaysia. Mereka didatangkan sebab tenaga mereka diperlukan di perkebunan-perkebunan tembakau yang dibuka oleh Belanda (Erika Revida, 2006). Fitri Sri Rizki menbedakan Kaum China di Indonesia yang dibagi kepada dua bagian, yaitu China totok dan China paranakan. China totok adalah kaum China yang baru menetap di Indonesia selama satu atau dua generasi, sedangkan China paranakan adalah China yang telah lama menetap di Indonesia selama tiga atau lebih generasi dan bahkan banyak di antaranya yang telah melakukan perkawinan campur atau amalgamasi yang menghasilkan keturunan. Orang China totok lebih kuat memegang tradisi yang berasal dari nenek moyang mereka sehingga segala tingkah-lakunya memiliki ciri khas dibanding China peranakan. Nilai tradisi China peranakan yang berasal dari nenek moyang mereka telah meluntur hingga kurang menonjol kekhasannya sebagai orang China, bahkan adakalanya menimbulkan kekhasan baru. Meskipun terdapat perbedaan, keduanya memiliki akar budaya yang sama yang dapat dibedakan dengan budaya etnik lainnya, khususnya dengan budaya etnik Melayu. Meskipun kaum China di Indonesia sudah lama berdomisili di Indonesia, namun keberadaan mereka yang diklaim sebagai non-pribumi tetap hidup berasingan dengan penduduk pribumi. Situasi ini ada kesamaannya dengan dengan kehidupan di Malaysia, di mana kehidupan kaum China hidup berasingan dengan penduduk asli disebabkan oleh polisi kaum penjajah Britis melalui “pecah dan perintah yang mensengajakan pemisahan antara tiga etnik besar di Malaysia agar tidak bersatu padu. Keberadaan China di Indonesia yang hidup berasingan dengan penduduk asli disebabkan oleh faktor ekonomi di mana Belanda mempekerjakan kaum China di perkebunan tembakau yang pada gilirannya mereka menjadi pengusaha tembakau yang sukses. Menurut Erika (2006), kehidupan kaum China yang menguasai bidang ekonomi mengakibatkan kehidupan mereka terpisah daripada kelompok masyarakat pribumi. Keberadaan kaum China di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dibandingkan Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
66
dengan keberadaan orang asing lainnya seperti Arab, India dan Eropa. Telah banyak peristiwa konflik antara kaum China dan penduduk tempatan di Indonesia. Penyebab konflik tersebut pada umumnya adalah masalah ekonomi yang menunjukkan bahawa gologan non-pribumi merasa tidak puas akan pemerataan pendapatan dan aktivitas usaha. Faktor-faktor yang menghambat integrasi di Indonesia adalah adanya perbedaan orientasi, adat istiadat, bahasa, agama, struktur ekonomi, dan partisipasi dalam politik. Nurul Endi Rahman (2013) mengatakan bahwa faktor politik dan ekonomi sejak dahulu sudah menjadi penyebab timbulnya konflik antara penduduk tempatan dengan China peranakan. Semenjak Belanda menyerahkan kawasan-kawasan seperti Besuki, Panurukang, Lumajang, Jember, dan Bondowoso. Dibawah kekuasaan China banyak pemimpin lokal Jawa mengalami kemunduran dan diganti oleh orang China. Puncak daripada situasi tersebut menyebabkan tewasnya tuan tanah China Han Tik Ko pada konflik 1813. Pada dasarnya masyarakat Indonesia dengan adat ketimurannya bersikap terbuka dengan etnik grup lain dan boleh hidup berdampingan. Namun etnik China mengalami situasi pasang surut yang selalunya mengalami konflik di mana-mana. Di Situbondo sudah dua kali terjadi konflik antara penduduk tempatan dengan etnik China, iaitu tahun 1967 dan 1998. Situasi ini ada kesamaannya dengan keberadaan kaum China di Malaysia dengan dasar pecah dan perintah-perintah pihak British mensengajakan agar kaum etnik di Malaysia tidak dapat bersatu padu. Penempatan etnik China di Bandar dan di wilayah perlombongan menyebabkan kaum China mendapatkan keistimewaan, terutamanya kemahiran dalam berniaga sehingga mereka menguasai ekonomi dibandingkan dengan etnik lain, yaitu melayu dan India. Puncak daripada peristiwa konflik di Malaysia adalah kerusuhan 13 Mei 1969. Namun peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga bagi pihak kerajaan dan masyarakat agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi. Pihak kerajaan memperkenalkan Dasar Ekonomi Baru (DEB) dengan matlamat untuk mengurangkan jurang pemisah antara etnik di Malaysia (Ismail Yusuf et.al., 2000). Pihak kerajaan/pemerintah Indonesia tidak memiliki konsep seperti DEB untuk mengurangkan kesenjangan ekonomi antar kaum di Malaysia. Pemerintah Orde Baru berupaya meningkatkan taraf ekonomi rakyat melalui Pembangunan Ekonomi yang dianggap sukses pada tahun 1980an, tetapi keberhasilan tersebut tidaklah dibarengi dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pendidikan) yang memadai, sehingga konsep pembangunan ekonomi tersebut keropos yang mengakibatkan Negara Indonesia mengalami krisis yang Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
67
paling teruk di Asia Tenggara pada tahun 1997. Puncak krisis tersebut menyebabkan peristiwa kerusuhan di Indonesia pada tanggal 13 Mei — 15 Mei dengan sasaran amukan massa adalah kaum China. Konsentrasi kerusuhan terbesar peristiwa tersebut adalah di antaranya wilayah Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat banyak toko dan perusahaan milik etnik China yang dihancurkan. (http://id.wikipwdia.org/wiki/kerusuhan_Mei_1998). John T. Sidel (1998) menjelaskan bahawa kontrol politik Suharto pada masa pemerintahan Orde Baru terhadap ekonomi dapat dikatakan bergantung kepada kelompok pengusaha kelas menengah yang sebagian besarnya adalah etnis China. Dua pengusaha besar yang telah menjadi rekan Suharto, iaitu Liem Siou Liong dan Bob Hasan yang menjadi konglomerat pada masa Orde Baru Kedua konglomerat tersebut dapat membangun perusahaannya melalui dukungan yang diberikan oleh rezim Orde Baru berupa pinjaman dana dan monopoli. Pola pengembangan ekonomi di masyarakat pada saat itu didominasi oleh kemunculan para “konglomerat lokal” yang memiliki koneksi dengan perwira militer serta tokoh-tokoh tertentu. Begitu juga pengusaha-pengusaha China di daerah lebih mendapatkan prioritas karena lebih dipercayai untuk pinjaman daripada pihak bank dibandingkan pengusaha lokal tempatan. Hal inilah yang menyebabkan seringnya terjadi konflik antara etnik China dengan masyarakat tempatan. III. Isu Agama Agama merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan hubungan etnik. Clifford Geertz (1998) mengatakan bahawa agama merupakan unsur perekat yang boleh menimbulkan persatuan, tetapi juga dapat menimbulkan disintegrasi. Dalam case studi di Indonesia, Sofian Munawar Asgart (2003) mengatakan bahwa kebanyakan peristiwa konflik di Indonesia adalah terkait dengan isu agama yang kemudian berdampak kepada pengrusakan rumah ibadah. Kebanyakan rumah ibadah yang dirusak adalah gereja, meskipun ada beberapa pengrusakan masjid, kelenteng dan vihara. Sejak pemerintahan Orde Baru, sekitar 358 gereja dirusak, dibakar dan dihancurkan. Pengrusakan gereja periode tahun 1945-1997 adalah sebagai berikut: Periode
Jumlah
Rata-Rata
Persentase
1945-1954
0
0
0
1955-1964
2
0
0.2
1965-1974
46
13
4
Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
68
81975-1984
89
25
8.9
1985-1994
132
36
13.2
1995-1997
89
25
44.5
Sumber: Sofian Munawar Asgart (2003) IV. Isu Kesukuan Isu kesukuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan hubungan etnik. Isu kesukuan di Malaysia tidaklah sama di Indonesia. Seperti dikemukakan di atas bahawa terdapat 1.340 suku di Indonesia dan tingkat keseejahteraan suku tersebut tidaklah merata menyebabkan senantiasa terjadi konflik. Penyebab utama seringnya terjadi konflik antara suku di Indonesia adalah aspek sejarah di mana pemerintah Indonesia cenderung memaksakan terjadinya sentralisasi untuk mewujudkan sikap nasionalisme masyarakat Indonesia yang berdampak kepada hilangnya identitas lokal. Seharusnya pembentukan suatu bangsa harus berangkat dari dinamika lokal etnik yang terjadi. Peristiwa-peristiwa lokal yang terjadi harus ditempatkan sebagai peristiwa yang otonom dan memiliki keunikan, namun menjadi dasar pembentukan suatu bangsa. Nilai-nilai nasionalisme yang ditanamkan tersebut kemudian dipertanyakan ketika muncul beberapa konflik antar suku seperti terjadi seperti terjadi di Sampi, Maluku, Poso, bahkan terjadi perlawanan suku terhadap pemerintah pusat sering terjadi seperti Aceh, Maluku dan Papua (Agus Mulyana, 2008). Faktor lain pemicu konflik antar suku adalah faktor dominasi. Menurut Bungaran Anton Simanjuntak (2005), dominasi adalah keadaan di mana seseorang atau kelompok ingin menguasai orang lain dalam bentuk pemikiran maupun fisikal sehingga mereka menerima gagasan kelompok yang dominan. Kelompok dominan adalah kelompok yang merasa kuat, merasa mampu untuk mengatur dan menguasai orang lain sesuai kehendaknya. Salah satu pelajaran berharga yang menyumbang kepada ketidakharmonisan hubungan etnik di Indonesia adalah dominasi suku Jawa atas suku-suku lainnya. Di Indonesia Jawa adalah suku terbesar dengan jumlah penduduk sebesar 41,7% merupakan etnik Jawa (www://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa). Dalam sejarah presiden di Indonesia, umumnya presiden-presiden adalah orang Jawa. Hanya satu saja dari luar Jawa yaitu Habibi itupun ibunya orang Jawa. Pada masa pemerintahan Suharto, terjadi jawanisasi disegala bidang mulai daripada aspek politik, teknologi industri, transportasi, Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
69
dan olahraga semua dipusatkan di Jawa. Hal ini berdampak kepada ancaman disintegrasi. Misalnya beberapa wilayah luar Jawa ingin merdeka. Selama kurun waktu tiga puluh dua tahun rezim Orde Baru memimpin, Jawanisasi begitu gencar dilakukan. Berbagai polisi diterapkan bersesuaian dengan standar Jawa. Lembaga pemerintahan terendah juga digeneralisasi di tengah pluralitas negeri ini dengan adanya lurah beserta perangkat-perangkatnya yang itu semua menafikan kekuasaan lokal. Para pemangku adat tidak dihargai eksistensinya dan hukum adat lokal disingkirkan. Perpindahan penduduk Jawa ke daerah-daerah luar Jawa meninimbulkan kecemburuan masyarakat lokal. Masyarakat lokal menjadi buruh dari kaum pendatang Jawa dan sektorsektor pemerintah pun banyak dipimpin oleh orang Jawa. Mayarakat lokal menjadi tersisihkan, berjuang meraih kesejahteraan di tengah hegemoni Jawa pendatang. Hal ini yang kemudian menimbulkan konflik horizontal yang tak kunjung usai. Reformasi 1998 membuka keran yang lebar atas kucuran harapan kebebasan dari keterkungkungan dan dominasi elit penguasa. Benih-benih konflik di daerah akibat dari kesenjangan kelas dan ketidakadilan semakin meruncing, meletuslah berbagai konflik horisontal seperti konflik Timor Timur yang akhirnya memerdekaan diri, konflik Sambas, konflik Ambon dan Papua. Semuanya berakibat dari integrasi yang mengungulkan salah satu etnis saja. http://pmiiub.wordpress.com/…/jawanisasi-bentuk-fasisme-di…/ Dominasi politik suku Jawa di Indonesia menyebabkan terjadinya beberapa konflik dimana beberapa wilayah Indonesia ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). DITII atau Darul Islam di tahun 60an merupakan bukti beberapa wilayah Indonesia ingin memisahkan diri dari NKRI bukan semata karena ingin mendirikan Negara Islam, tetapi karena adanya dominasi suku Jawa atas suku lain. Begitu juga gerakan separatis GAM di Aceh sebagai wujud ingin memisahkan diri dari NKRI atas dominasi suku Jawa di pentas politik. Bahkan lepasnya Timur-Timor adalah hal yang tidak luput dari dominasi politik tersebut. Selain dominasi suku dalam pentas politik, dominasi suku Bugis Makassar dalam aspek ekonomi di beberapa wilayah Timur Indonesia, seperti Ambon merupakan pemicu atas terjadinya konflik di Ambon. Hal serupa juga terjadi di Sambas dimana dominasi suku Madura dalam aspek ekonomi terhadap suku Dayak merupakan pemicu konflik Sambas yang menyebabkan suku Madura terusir dari wilayah Sambas. Hal ini berbeda dengan situasi di Malaysia dimana semangat primordial, khususnya semangat kesukuan hampir tidak tampak, sebab isu etnik di Malaysia lebih Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
70
mengemuka daripada isu kesukuan. Oleh kerena itu, isu kesukuan sebagai bagian yang dapat menyebabkan disintegrasi bagi kalangan masyarakat di Malaysia tidak ada. Kasuskasus di Indonesia merupakan pelajaran berharga untuk memupuk kebersamaan dengan semangat nasionalisme dengan menjunjung nilai-nilai luhur kebangsaan. V. Penutup Benih-benih konflik di daerah akibat dari kesenjangan kelas dan ketidakadilan semakin meruncing, meletuslah berbagai konflik horisontal seperti konflik Timor Timur yang akhirnya memerdekaan diri, konflik Sambas, pengganyangan China, konflik Ambon dan Papua. Semuanya berakibat dari integrasi yang mengungulkan salah satu etnis saja. Secara garis besarnya, konflik di Indonesia disebabkan oleh isu non-pribumi, isu agama, dan isu kesukuan terkait dengan adanya kesenjangan ekonomi politik yang terjadi dari isuisu tersebut. Kehidupan kaum China yang menguasai bidang ekonomi mengakibatkan kehidupan mereka terpisah daripada kelompok masyarakat pribumi. Banyak peristiwa konflik antara kamu China dan penduduk pribumi di Indonesia. Penyebab konflik tersebut pada umumnya adalah masalah ekonomi yang menunjukkan bahawa gologan non-pribumi merasa tidak puas akan pemerataan pendapatan dan aktivitas usaha. Hal ini juga terjadi terhadap isu agama, khususnya hubungan antara Islam dan Keristen. Konflik agama sering terjadi di Indonesia, tidaklah serta merta disebabkan oleh murni persoalan agama, tetapi fakor ekonomi. Meskipun penganut agama Keristen jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan penduduk beragama Islam, namun dari aspek ekonomi penduduk Kristen lebih mapan dari pada penduduk Islam. Begitu juga dengan konflik etnik, yaitu dominasi suku Jawa dipanggung kekuasaan politik dan ekonomi menyebabkan terjadinya kasus konflik dalam panggung sejarah di Indonesia. Begitu juga dominasi ekonomi Bugis Makassar di Ambon dan dominasi ekonomi suku Madura di Sambas merupakan pemicu terjadinya konflik di kedua wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Asgart, Sofian Munawar (2003) Politisasi Sara: Dari Masa Orba Ke Masa Transisi Demokrasi. Jakarta: ISAI. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
71
http://id.wikipwdia.org/wiki/kerusuhan_Mei_1998 http://www://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa Geertz, Clifford (1987) “Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto” dalam Taufik Abdullah (ed.) Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta. Laporan Akhir Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi (2010). Ragam Konflik di Indonesia: Corak Dasar dan Solusinya. Kwartanada, Didi (1996). "Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942 - 1945" dalam Pengusaha Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius, h. 24-41. Mulyana, Agus 2008. Hubungan Etnis Dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia. Disajikan. Dalam The International Seminar on Ethnics and Education, The Faculty of Education & Institute Research of Ethnicity Universiti Kebangsaan Malaysia, Kualalumpur. Rahman, Nurul Endi (2013). Konflik dan Kecemburuan Sosial Antara Etnis Tionghoa dan Masyarakat Pandahalungan di Daerah Besuki — Situbondo. Prosiding the 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and globalization. Revida, Erika (2006). Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cinadengan Pribumi di kota Medan Sumatra. Jurnal harmoni Sosial, September, Vol. 1 No. 1. Rizki, Fitri Sri, Perkawinan Campur Cina-Melayu di Kalimantan Barat, Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat (unpublished paper). Simanjuntak, Bungaran Anton (2005). Strategi Dominasi dan Keutuhan Negara Bangsa yang Pluralistik. Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Vo. 1, No. 2, Oktober. Yusuf, Ismail (2007), Hubungan Etnik di Malaysia. Kedah: Pearson.
Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016
72
Sulesana Volume 10 Nomor 1 Tahun 2016