BAB IV HASIL PENELITIAN Merujuk kepada pertanyaan penelitian yang dikemukakan datam bab 1 maka uraian dalam bab ini akan dibagi dalam sub bab sebagai berikut. •
Karakteristik persoalan etnik menurut Republika, Kompas, dan Media
Indonesia (deskripsi konflik menurut media massa; isu-isu etnisitas yang muncul dalam pemberitaan media massa); •
Karakteristik konflik antar etnik menurut berbagai sudut pandang, dan peran media massa dalam masyarakat multikultural;
•
Rumusan
kerangka
filosofis,
psikologis,
dan
pedagogis
pendidikan
multikultural berdasarkan karakteristik umum persoalan etnik di Indonesia dan karakteristik khusus persoalan etnik di masing-masing daerah konflik.
Rujukan
utama
uraian
pada
masing-masing sub bab adalah data yang
diperoleh dari kajian kritis laporan media massa mengenai konflik. Secara detail, teknis pengumpulan dan analisis data telah diuraikan dalam bab III. Secara umum dijelaskan kembali di sini bahwa kajian kritis melalui tahapan-tahapan yakni: analisis teks (deskripsi tanda-tanda dalam teks yang dijadikan rujukan interpretasi ), interpretasi (penemuan ideologi dan isu-isu etnisitas dalam teks), dan ekplanasi posisi teks dalam konteks sosial.
Bab 4
147
Sub bab 1 dalam bab IV merupakan penjabaran data lapangan (hasil penelitian), yang mengemukakan persoalan-persoalan etnik di tiap-tiap daerah konflik menurut masing-masing media massa. Sub bab 2 merupakan pembahasan lanjut dari sub bab pertama, yakni data hasil penelitian ditafsirkan, dan dikembangkan
berdasarkan kajian kepustakaan
serta tulisan lain yang terkait dari berbagai sumber. Dan terakhir sub bab 3 menfokuskan uraian kepada diskusi dan rekomendasi kerangka pendidikan multi budaya yang sesuai dengan karakteristik persoalan etnik yang ditemukan dari hasil penelitian ini. Sub bab 3 didasarkan pada kajian kepustakaan.
4.1 Karakteritik Persoalan Etnik di Tiga Daerah Konflik Menurut Pandangan Media Massa Pada prinsipnya laporan ini disusun dalam urutan yang berisi uraian yang mencakup pokok-pokok pikiran sebagai berikut. 1. Cuplikan berita (sebanyak 2 teks) dari tiap-tiap media massa. Berita secara lengkap akan dilampirkan pada bagian lampiran. 2. Analisis terhadap tiap-tiap teks dari segi tema dan pengembangannya dalam tulisan; istilah yang digunakan untuk menunjukkan peristiwa; referensi yang digunakan untuk mendukung rasional pesan; pemaknaan teks dari segi ideasional (gagasan), relasional/identitas, dan tekstual; serta penarikan kesimpulan dalam teks.
Bab 4
148
3. Analisis ideologi atau orientasi yang digunakan media massa dalam menyampaikan pesan lewat teks. Analisis ini dilakukan sekaligus setelah analisis kedua teks pada tiap-tiap media massa. 4. Perbandingan antara ketiga media massa dalam menganalisis kasus konflik di setiap daerah konflik. 4.1.1 Konflik Ambon menurut Republlkar Kompas, dan Media Indonesia (MI) 4.1.1.1
Teks Berita dan Pembahasannya
AMBON, REPUBLIKA Judu) berita : Korban Tewas Lebih dari 40 orang Puluhan Ribu Pengungsi Menderita Tanggal 23-01-1999 Is berita:
Korban tewas dalam kerusuhan Ambon bertambah menjadi 37 orang, belum termasuk enam mayat yang ditemukan di dusun Batubatang, Kelurahan Batugajah yang belum dilaporkan. Sedangkan luka berat 39 orang orang. Sampai kemarin, suasana kota Ambon masih mencekam. Belum meningkat. di
enam
pulihnya
kondisi
keamanan,
menyebabkan
pengungsian
warga
Wartawan (Repubiika) melaporkan, sedikitnya 20.612 warga menganga lokasi,
termasuk
masjid AlFatah—masjid
terbesar di Ambon
yang
sebelumnya diisukan akan dibakar. Selain warga setempat, 45 WN Australia, yang diterbangkan dari Kupang, kemarin tiba di Darwin.
Bab 4
149
Pembahasan Judul dari liputan ini dirangkai dalam dua kalimat" Korban Tewas lebih dari 40 orang" dan "Puluhan Ribu Pengungsi Menderita".
Tema yang dapat dipahami
dari judul ini adalah mengenai akibat dan peristiwa Ambon.
Dalam kalimat judul
tersebut terlihat sebuah hubungan sebab akibat antara dua peristiwa. Pertama berkenaan dengan "korban" (tewas dan pengungsi). Kedua tersirat adanya peristiwa yang mendahului yakni "kerusuhan". Pemilihan kata "tewas" dan "menderita" juga memberi makna yang memuat
mental process,
yakni
pemyampaian
intensitas
kerusuhan
dan
akibat
yang
dibawanya begitu dalam dari sisi kemanusiaan. Rangkaian tema yang memuat sentuhan emosional ini, merupakan titik berangkat keseluruhan liputan yang distruktur dengan gaya bahasa, pemilihan kata, dan
rasional
yang
mendukung
gagasan
bahwa
kerusuhan
Ambon
sangat
memprihatinkan. Tema ini dikembangkan dalam teks berupa tema: "jumlah korban tewas dan kondisi pengungsi" seperti dalam terlihat dalam kutipan alinea berikut.
"Korban tewas dalam kerusuhan Ambon bertambah menjadi 37 orang,
betum
Batubalang...
termasuk
enam
mayat
yang
ditemukan
di
dusun
yang belum dilaporkan. Sedangkan luka berat 39 orang.
Sampai kemaren suasana kota Ambon masih mencekam."... "Nasib pengungsi di enam lokasi... mengkhawatirkan.." Selain itu juga ada tema yang menggambarkan perasaan warga setelah kerusuhan"; seperti dalam kutipan alinea berikut.
Bab 4
150
"Jamaah shafat Jumat kemarin dibaluti rasa was-was. takut
Mereka
mendapatkan serangan. Di Masjid Raya AhFatah, sejumfah pemuda
Muslim berjaga-jaga di luar masjid..." "Pemandangan menyejukkan terlihat di sejumfah masjid. Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (GPM) ikut berjaga-jaga mengamankan umat Islam shalat Jumat." Sedangkan tema "provokator kerusuhan Ambon" dan ""keterlibatan preman dalam kerusuhan", tampak pada separo bagian akhir teks dengan dukungan referensi tokoh-tokoh masyarakat, politik, dan aparat keamanan sendiri. Secara keseluruhan, tema yang disampaikan dalam teks ini menyiratkan makna sebagai berikut. 1) Dari segi gagasan, Repubiika menggambarkan peristiwa Ambon sebagai pertikaian antar warga yang berbeda agama yaitu Islam dan non Islam. Dalam pertikaian ini, kondisi umat Islam memperihatinkan karena tempat tinggal dan rumah ibadah mereka dihancurkan. Pada bagian awal teks
Repubiika menggunakan perspektif keamanan untuk menggambarkan situasi, namun terjadinya kondisi itu (menurut Repubiika), karena ada tindakan yang disengaja (melalui provokator) untuk menyudutkan posisi umat
Islam.
Dalam dalam konteks ini, Repubiika melihat peristiwa Ambon sebagai kasus politik yang memanfaatkan warga berbeda agama. 2) Dari segi identitas, teks ini menunjukkan adanya identitas kelompok yang berorientasi agama (Islam). Hal ini disimpulkan dari beberapa kondisi yang
Bab 4
151
secara berulang ditegaskan seperti adanya penyerangan ke desa yang warganya sedang merayakan idul fitri, dan penyerangan ke desa yang warganya mayoritas Islam,
Dengan identitas ini, Republika menegaskan
bahwa kerusuhan Ambon merupakan kerusuhan yang berbau SARA, bukan sekedar
kriminal
sebagaimana
anggapan
pihak
keamanan.
Sekaligus
Republika berperan sebagai bagian dari kelompok yang terkena akibat kerusuhan. Dengan identitas ini, Republika membangun hubungan dengan komunitas pembaca yang beragama Islam dengan cara menyentuh emosi pembaca mengenai kondisi saudara 9eagama dalam kerusuhan Ambon. 3) Dari segi tekstual, teks ini memberikan informasi kepada pembaca tentang kerusuhan Ambon serta akibat yang ditimbulkan setelah kerusuhan. Peristiwa Ambon, disebut dalam liputan ini dengan istilah "kerusuhan". Pada bagian tertentu dengan menambahkan "kerusuhan berbau sara", yakni pertikaian antar warga Muslim dengan non Muslim. Namun semua itu digerakkan oleh provokator.
Sehubungan dengan ini ada beberapa hal terkait yang mendukung
ungkapan ini seperti: rujukan dari kalangan Kepolisian, Pangab, tokoh masyarakat, dan tokoh partai. Dalam teks ini, secara implisit Republika merangkai satu kesimpulan bahwa: peristiwa Ambon terjadi karena dilakukan oleh satu "gerakan" yang muncul di tengah masyarakat plural di Ambon. Gerakan ini dilihat dalam konteks nasional sebagai bagian dari konflik ditingkat elit politik (conspiracy tfteory). Dengan sudut pandang teori konspirasi, Republika mengarahkan teks kepada gagasan bahwa yvarga yang berbeda agama telati dikorbankan oleh sekelompok
Bab 4
152
orang (provokator) untuk mencapai tujuannya. Dengan memanfaatkan isu agama kelompok penggerak kerusuhan dapat memobilisasi massa sehingga menjadi terpecah. Sedangkan kelompok Islam dalam situasi ini digambarkan sebagai pihak yang menderita akibat kerusuhan. Dari pemberitaan seperti itu, isu hubungan antar etnik yang dominan dalam sorotan liputan ini adalah sebagai berikut. 1) perbedaan agama di kalangan warga merupakan faktor yang paling sensitif dalam konflik Ambon, dibanding dengan isu lain seperti perbedaan suku. 2) Konflik terjadi karena provokator mampu menggerakkan massa dengan agitasi dan penyebaran isu-isu yang sensitif berkenaan dengan perbedaan agama. Untuk lebih jelasnya tentang cara Republika menggambarkan kasus Ambon berikut petikan kesimpulan yang dapat ditarik dari teks ini, 1) Suasana kota Ambon masih mencekam, jumlah korban tewas dan arus pengungsi terus bertambah. 2) Kondisi pengungsi di semua lokasi memperihatinkan karena terserang penyakit dan kekurangan makanan. 3) Kerusuhan berawal dari perselisihan antara seorang pemuda desa Batumerah Atas dengan pemuda Batumerah Bawah. 4) Kerusuhan itu telah mengakibatkan sejumlah orang tewas dan luka-luka, serta rumah dan tempat ibadah hangus terbakar.
Bab 4
153
5) Setelah kerusuhan, jamaah shalat Jumat di Masjid Al Fatah merasa was-was kalau terjadi penyerangan. 6) Sebagian pemuda Kristen ikut berjaga-jaga mengamankan umat Islam yang sedang shalat Jumat. 7) Menurut sejumlah tokoh, kerusuhan Ambon meluas karena ulah provokator dan preman dari luar Ambon. Dalam liputan ini Republika menempatkan "provokator" sebagai faktor utama yang menciptakan konflik di Ambon. Untuk lebih jelasnya cara pandangan Republika mengenai kasus Ambon, berikut ini analisis liputan Republika yang terbit lebih kurang 11 bulan setelah konflik Ambon bulan Januari 1999.
AMBON, REPUBLIKA Judul: Ambon Betrok lagi, 6 Tewas, Puluhan Luka-luka Tanggal 20-12-1999 Isi Berita
Sedikitnya enam orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat pertikaian yang kembali terjadi di Kampung Kota Jawa dan Kampung Peci, dua kampung di Desa Rumah Tiga, Kec. Baguafa, Kodya Ambon. Pertikaian yang kembali membuat panas situasi kota itu terjadi menjelang sore kemaren. Menurut Kapendam Pattimura, Letkol Iwa Budiman, lima korban tewas yang sempat teridentifikasi adalah Roni Radjafmasse, Peter Mafakusea, Valens Yamleyan, Pendeta Beni Latumerisa,
dan Hendrik.
Seorang lagi kini belum d f ke tahu
identitasnya..
Bab 4
154
Pembahasan Judul liputan ini di rangkum dalam satu kalimat pendek "Ambon Bentrok Lagi, 6 Tewas, Puluhan Luka-luka". yaitu "bentrok" dan "korban".
Terlihat ada dua peristiwa yang diberitakan
Di sini tersirat satu rangkaian peristiwa kausalitas
yang memperlihatkan bahwa bentrokan di Ambon telah mengakibatkan sekian lagi tambahan jumlah orang tewas dan luka-luka. Namun peristiwa utama digambarkan sebagai bagian atau pengulangan atau rangkaian dari peristiwa yang mendahului dengan cara ungkapan dalam kata "bentrok lagi". Mengapa Republika menggunakan cara pengungkapan ini, tampaknya terkait dengan "gaya" Republika dalam menampilkan berita (seperti pada artikel terdahulu yang ditulis 11 bulan lebih dahulu) dengan penekanan pada intensitas peristiwa dan segala akibat yang dibawanya, seperti korban "tewas" dan "luka-luka". Tema yang akan dibahas dalam liputan adalah pertikaian di Ambon dan akibatnya. Dari judul yang dirangkai dengan kalimat pernyataan, dan cara-cara pengembangan tulisan dalam liputan dapat ditarik beberapa makna sebagai berikut. 1) Dengan kalimat pendek 11 Ambon bentrok lagi, 6 Tewas, Puluhan Luka-Luka"
Republika menyampaikan sebuah berita yang mengajak pembaca untuk "terlibat" dalam satu proses mental tentang pertikaian Ambon.
Dengan
menggunakan kata "ambon bentrok" penulis berita tidak menunjuk pelaku tetapi kepada sebuah "entitas" yang di dalamnya ada pelaku, proses, akibat, dan juga penanggungjawab. Sistem pengetahuan ini yang distmktur dalam laporan yang monolog dan rujukan yang mendukung tema.
Bab 4
155
2) Secara interpersonal,
dalam judul tersirat sebuah identitas sosial yang
dibangun oleh penulis. Identitas sosial merupakan "suara" keprihatinan yang muncul dari kelompok yang sangat risau dengan korban-korban kasus Ambon. Dalam hal ini Repubiika mengajak pembaca untuk terlibat secara mental merasakan kerisauan ini. 3) Secara tekstual, Repubiika menggambarkan proses kerusuhan di Ambon yang terjadi berulang dan membawa korban jiwa. Pada alinea pembuka, Repubiika memuat berita tentang jumah korban dan lokasi kejadian. Kalimat pertama dibuka dengan pilihan kata: "Sedikitnya enam
orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka." Kata ini menunjukkan batas terbawah korban yang ada, namun secara makna menunjukkan sebuah intensitas kejadian bahwa "pertikaian" kali ini sebagai peristiwa berulang dan dapat menelan korban lebih banyak lagi.
Demikian juga
keadaan korban dideskripsikan lengkap dengan keadaannya seperti berikut
"Sedangkan tiga warga yang teriuka kini dirawat... Masing-masing kena tembak di kaki kiri, tertikam di tangan kiri/ dan tertembak di paha kanan " Deskripsi keadaan korban tersebut, memberikan makna bahwa kelompok yang bertikai menggunakan berbagai senjata, atau kemungkinan lain pelaku dalam pertikaian orang yang ahli dalam melakukan tembakan. Selain itu, liputan berita juga menunjukkan identitas sosial di balik berita.
Repubiika menggambarkan peristiwa sebagai pertikaian antara kelompok non Islam
Bab 4
156
dengan Islam. Indikator ke arah kesimpulan ini tampak dalam beberapa alinea seperti berikut.
"Peristiwa inii dipicu aksi ugal-ugalan beberapa warga Desa Rumah Tiga... sebetah utara Kampung Kota Jawa dan Kampug Peci". Secara implisit diperlihatkan awal pertikaian berasal dari dua kelompok wilayah yang berbeda identitas (Desa Rumah Tiga vs Kampung Kota Jawa dan Kampung Peci). Kemudian identitas dipertegas bahwa kelompok yang terganggu dan kemudian melakukan pembelaan diri adalah warga dari kalangan Muslim seperti dalam kutipan berikut.
"Menurut saksi mata , anak-anak muda itu mengemudikan mobil Kijang warna
biru,
yang dipacu dengan
cepat dan zig zag di jalan
perkampungan Kota Jawa dan Kampung Peci. kali
berbuat
demikian,
bahkan
shalat
' Mereka sudah berulang
tarawih
kami
sering
terganggu'kata Hasan Bin Abdullah iman masjid A! Huda, Kota Jawa "Melihat ulah itu, anak-anak Kampung Kota Jawa dan Kampung Peti menjadi naik pitam (antaran anak-anak muda dari kampung lainnya itu menghentikan mobilnya tepat di depan beberapa warga. Lantas berteriak, 'siapa yang mau hadang katong
(kami) lewat jalan ini', seperti ditirukan Suryadi
(20) anak muda Kampung Kota Jawa.
Bab 4
157
Tak
hanya
meneriakkan
itu
anak-anak
muda
dalam
mobil binj
itu juga
yel-yel menghujat Islam' kata Sekretaris Pokja
MUI
kepada Republika. Pada bagian lain secara eksplist dijelaskan bahwa pertikaian adalah antara kelompok Islam dan Kristen. Namun Republika lebih jauh menyimpulkan bahwa pertikaian warga di Ambon bukan pertikaian karena faktor agama tetapi pertikaian yang memanfaatkan perbedaan antara warga Islam dan Kristen untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat ideologis. Dari liputan ini ada dua isu antar etnik yang dominan dibicarakan yaitu: 1) pertikaian Ambon terjadi antara kelompok Islam dan Kristen; dan 2) Perbedaan identitas warga dari segi agama menjadi alat politik bagi kelompok tertentu untuk mencapai tujuan. Karena itu pertikaian Ambon juga bernuansa politik. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah sebagai berikut 1) Pertikaian kembali terjadi di beberapa perkampungan di kota Ambon yang mengakibatkan sejumlah warga tewas. 2) Pertikaian berawal dari aksi ugal-ugalan beberapa anak muda yang mabuk dan mengganggu ketenteraman warga yang sedang beribadah tarawih. 3) Anak-anak muda tersebut menantang warga dan meneriakkan yel-yel menghujat Islam. 4) Anak-anak muda itu dihajar oleh warga, dan bersamaan dengan itu terjadi penyerangan di desa lain yang membakar rumah warga Muslim.
Bab 4
5) Di Desa Gatala terjadi mobilisasi massa Kristen yang berasal dari luar untuk membantu penyerangan. 6) Menurut seorang tokoh di Maluku, pertikaian Ambon sulit padam karena ada muatan idelogis yang menjadi tujuan. Dari dua artikel Republika yang dibahas dalam penelitian ini, terlihat satu kesamaan pola, yaitu "pemberitaan yang distruktur dengan penggambaran proses dari segi intensitas pertikaian yang terus meningkat, dan korban yang banyak dari sisi kemanusian" . Meskipun jarak pemberitaan antara kedua artikel cukup panjang (11 bulan), Republika secara konsisten mempertahankan pola pemberitaan ini. Di sini tampak kecenderungan Republika berperan sebagai "motor penggerak" dari
mentalprocess pembaca agar terlibat secara emosional dengan keadaan korban. Selain itu, Republika
melihat pertikaian di Ambon bukan sebagai faktor
agama, melainkan sebagai faktor politik. Oleh karena itu, korban-korban yang jatuh dalam pertikaian itu adalah pihak-pihak tak bersalah yang dikorbankan oleh kemauan kelompok yang menginginkan pertikaian. Pihak yang menjadi korban tersebut dalam perspektif Republika adalah kelompok warga Muslim. Pengambilan posisi sebagai pihak Islam dalam pemberitaan, memang dapat memberikan informasi yang lebih kaya mengenai satu pihak, tetapi mengabaikan pihak yang lain.
Di sini pembaca akhirnya diajak untuk terlibat dalam percaturan
yang ada seperti yang dilakukan Republika. Dari sisi multikultural, pemberitaan konflik seperti cara yang digunakan
Republika,
Bab 4
kemungkinan
memberi
aspek
positif
jika
diimbangi
dengan
159
pengungkapan pihak lain yang terlibat dalam pertikaian. Jika tidak demikian, yang terjadi adalah mempertajam perbedaan dengan menguatnya identitas kelompok yang bersimpati kepada korban.
Sehingga akan memperluas ruang lingkup
kerusuhan itu sendiri. Dengan berpegang pada teori konspirasi sebagai penyebab konflik, Repubiika mengambil posisi yang tidak jauh berbeda dari kalangan pemerintah dan aparat keamanan. Walaupun dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda. Pemerintah atau aparat keamanan menekankan adanya provokator sebagai upaya melokalisir kerusuhan
dan
memudahkan
penyelusuran
pelaku,
sedangkan
Repubiika
mengembangkan gagasan provokator untuk mengembangkan wacana politik dalam konteks posisi umat Islam di tengah konflik yang sedang terjadi.
AMBON, KOMPAS Judul: KOTA AMBON DI GUNCANG KERIBUTAN ANTARWARGA Tanggal 21 01 1999 Isi Berita
Kota Ambon hari Selasa (19/1) dilanda kerusuhan antarwarga. Sampai hari Rabu situasi kota di Propinsi itu masih lumpuh total. Penerbangan komersial dari dan ke Ambon juga dihentikan, kecuali pesawat ABRI. Penduduk dicekam ketakutan karena sering terdengar bunyi tembakan pasukan keamanan untuk menghalau perusuh.
Bab 4
160
Kerusuhan itu mengakibatkan sedikitnya 11 orang (diantaranya seorang anggota polisi) dan 23 orang luka-luka. Perusuh juga membakar 45 rumah, Uma toko dan 75 kios, merusak 161 mobil (termasuk satu mobil Kapolda)...
Pembahasan Dalam liputan ini, Kompas menyebut beberapa istilah mengenai pertikaian di Ambon yaitu: keributan antar warga, kerusuhan antar warga, pertikaian warga, dan bentrokan. Tema yang diangkat oleh Kompas adalah Peristiwa Keributan di Ambon yang digambarkan sebagai hal yang mengagetkan warga kota.
Untuk menjelaskan
peristiwa, Kompas merangkum judul tulisan dalam satu kalimat "Kota Ambon Diguncang Keributan Antarwarga".
Kalimat
menggambarkan sebuah "event proces.s"
singkat
dalam
judul
tersebut
yakni adanya peristiwa dan tindakan.
Namun pelaku dari tindakan itu tidak dijelaskan secara eksplisit, kecuali dengan istilah "keributan antarwarga". Sebagai pembuka liputan, Kompas memulai dengan kalimat pasif "Kota Ambon...
dilanda
kerusuhan
antarwarga"
Pernyataan dengan
kalimat
pasif
menjadikan petaku kerusuhan tidak dapat diketahui, namun di sisi lain memberikan fokus berita kearah wobjek" tindakan yakni "kota Ambon". Dengan cara ini Kompas menghindari pembicaraan tentang pelaku, tetapi lebih cenderung kepada peristiwa yang dilihat sebagai gangguan keamanan.
Bab 4
161
Sejalan dengan itu,
laporan
Kompas lebih cenderung mengemukakan
peristiwa dan akibatnya dari segi fisik (sebagai lawan dari aspek mental). Sebagaimana terlihat pada kutipan alinea berikut,
"Sampai hari Rabu situasi kota di Propinsi Maiuku itu masih lumpuh
total.
dihentikan,
Penerbangan
komersial dari
dan
ke
Ambon juga
kecuali pesawat ABRI."
Kalimat-kalimat tersebut di susun dalam bentuk aktif intransitif dan kalimat pasif, yang keduanya tidak berbicara tentang pelaku dan objek, tetapi tentang situasi yang terarah kepada aspek-aspek fisik dari kerusuhan. Namun pada alinea lain, Kompas beralih fokus yang menambah informasi baru, bahwa kerusuhan antar warga melibatkan warga yang beragama Kristen dan Islam, dengan menampilkan liputan sebagaimana terlihat dalam kutipan alinea berikut.
VGubernur Maiuku Saleh Latuconsina hari Rabu bertemu Pendeta Sammy Titaiey, Ketua Sinode Gereja Protestan Gereja Protestan Matuku (GPM), serta RR Hasannusy, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, untuk memohon agar keduanya segera menenangkan warga yang masih bertikai." Informasi ini dikembangkan dengan "dugaan" (kalimat pasif) awal kerusuhan dari pertikaian antar pemuda dari dua desa yang berbeda. Secara implisit diketahui bahwa warga dari kedua desa itu berbeda secara agama.
Bab 4
162
Namun arah berfikir pembaca yang menyimpulkan peristiwa Ambon sebagai pertikaian antar warga Kristen dan Islam, "disejukkan" kembali dengan rujukan berita seorang tokoh Krsiten, yang mengatakan:
"...sesungguhnya di Ambon tidak ada tradisi pertentangan suku maupun agama,
sebab
masing-masing
sudah
terbiasa
hidup
rukun,
saling
menghormati dan menghargai, meskipun di sana sini ada upaya intensif dari kaum provokator yang berupaya memicu pertentangan di antar penduduk." Di awal liputan, Kompas mengembangkan pemikiran tentang konflik Ambon sebagai peristiwa yang mengganggu keamanan dan kelancaran kehidupan warga kota. Di pihak lain mengakui bahwa kerusuhan itu terjadi antara warga yang berbeda agama (Kristen dan Islam), Namun di bagian akhir menutup kemungkinan berkembangnya gagasan perbedaan agama, atau pertikaian antar umat Islam dan Kristen dalam konflik Ambon, dengan cara mengutip sumber informasi dari tokoh agama yang
meragukan kemungkinan konflik karena faktor agama.
Untuk
menghindar dari kesimpulan tentang pertikaian yang bernuansa agama, arah pikiran dalam menyoroti kasus Ambon dikaitkan dengan provokator. Dari teks ini ada beberapa makna yang dapat disimpulkan. 1) Secara ideasional, Kompas menggambarkan kerusuhan di Ambon sebagai keributan antar warga yang berbeda agama, namun kerusuhan itu sendiri digerakkan oleh "penggerak" yang disebut dalam teks dengan "otak' kerusuhan. Dengan cara ini, Kompas menutup kemungkinan berkembangnya informasi bahwa kerusuhan Ambon merupakan pertikaian warga karena
Bab 4
163
faktor agama atau faktor pofitik. Kompas cenderung membingkai berita kerusuhan Ambon sebagai "gangguan keamanan" yang melibatkan warga yang berbeda agama. Berbeda dengan Repubiika, Kompas mendefinisikan "penggerak" kerusuhan dalam perspektif keamanan, yakni sebagai pelaku yang bartanggungjawab atas terjadinya kerusuhan. 2) Secara relasional,
penulis teks menempatkan diri dalam konteks sosial
sebagai "pengambil jalan tengah" yang membuat suasana sensitif menjadi lebih netral. Dengan membaca teks, pembaca disuguhi sebuah informasi yang berada di luar dirinya, sehingga secara mental tidak merasakan keterlibatan dengan peristiwa. Dengan k^m lain, Kompas mengharapkan pembaca sekedar tahu apa yang sedang terjadi di Ambon tanpa mengharap keterlibatan secara emosional. Identitas sebagai penengah tampaknya merupakan salah satu cara Kompas untuk menyajikan berita yang dirasa sensitif. 3) Secara tekstual,
Kompas menjadikan liputan ini sebagai sumber informasi
tentang kasus Ambon yang merupakan kerusuhan antar warga yang membawa korban jiwa dan materi. Untuk memahami secara keseluruhan isi
teks, ada beberapa kesimpulan
(proposisi) yang dapat ditarik dari teks yakni sebagai berikut. 1) Kerusuhan antar warga di Ambon mengakibatkan kelumpuhan kota dan ketakutan penduduk. 2) Kerusuhan mengakibatkan korban jiwa tewas, luka dan korban benda.
Bab 4
164
3) Pertemuan tokoh pemerintah dan agama untuk menenangkan warga yang bertikai. 4) Kerusuhan diduga berawal dari pertikaian seorang warga Batumerah, dan seorang warga Karang Panjang Bawah. 5) Kerusuhan diotaki oleh anak seorang purnawirawan. 6) Kerusuhan juga terjadi di wilayah Maluku tenggara yang mengakibatkan korban jiwa. 7) Peristiwa Ambon merupakan kriminal mumi. 8) Selama ini tidak ada tradisi pertentangan agama di Ambon selama ini. Dari proposisi-proposisi ini ada kecenderungan Kompas mengatakan bahwa kerusuhan Ambon terjadi antar warga Kristen dan Islam, disebabkan provokator. Dari simpulan dan analisis dt atas, Kompas menggambarkan persoalan hubungan antar etnik adalah sebagai berikut. 1) Konflik diawali dengan perkelahian antar preman. 2) Konflik Ambon adalah kerusuhan antara pemeluk agama yang berbeda. 3) Kerusuhan disebabkan oleh kekuatan provokator. Untuk dapat memahami lebih jauh cara Kompas menyajikan kasus Ambon, berikut ini pembahasan satu artikel lain yang terkait.
AMBON, KOMPAS Judul : Makin Jelas, Keberpihakan Aparat di Ambon Tanggal 10 Desember 1999
Bab 4
165
Isi Berita:
Mantan Panglima Komando Daerah Militer VII Wirabuana Letnan Jenderal Suaidi Marabessy, yang juga mantan Ketua tim khusus Markas Besar TNI urusan Ambon, mengatakan persoalan Ambon saat ini sudah sedemikian rumit, dan lebih parah dibandingkan pertikaian sebelumnya. Kesadisan pertikaian itu diperparah dengan adanya keberpihakan aparat keamanan yang semakin jelas. Keberpihakan aparat itu, katanya kepada pers di Jakarta Selasa (30/9) terjadi karena banyaknya korban jiwa yang jatuh dan kemungkinan ada anggota keluarga aparat yang jadi korban.
Pembahasan Tema yang tersirat dalam teks ini yakni tentang Keterlibatan Aparat dalam Konflik Ambon. Pengembangan tema dimulai dengan judul yang singkat " Makin
Jelas, Keberpihakan Aparat di Ambon". Dalam kalimat singkat ini tidak terlihat siapa penutur, namun terlihat siapa pelaku dalam "proses" kerusuhan Ambon yakni aparat. Dalam alinea pertama, terlihat bahwa penutur berita adalah seorang pejabat tinggi militer.
Dapat diartikan bahwa Kompas menggunakan referensi petinggi
militer untuk memberikan sebuah penekanan bahwa sebelumnya ada dugaan
keberpihakan aparat. Tema dikembangkan dalam teks dengan struktur monolog, dengan cara merangkum berita dalam satu essai dengan rujukan dari berbagai sumber informasi.
Bab 4
166
/ & A
'
Alinea pertama berisi informasi yang dikutip secara langsung dari seor^g< militer. Kerusuhan digambarkan dengan "semakin rumit" dan "lebih P ^ M ^ S ^ U ^ i * ^ pertikaian sebelumnya; adanya "keperbihakan aparat keamanan" yang membuat kerusuhan semakin "sadis".
Kata yang dipilih oleh Kompas menunjukkan sebuah
intesifikasi keadaan yang semula diharapkan berada dalam jangkauan aparat untuk menanggulangi. Informasi
yang
bernada
sama
dari
sumber
Menko
Polkam
yang
"kebingungan" mencari penyelesaian kasus Ambon. Sebaliknya dalam alinea lain, diungkapkan tentang cara yang mungkin ditempuh untuk penyelesaian Ambon dengan sumber informasi petinggi ABRI, dan Kepolisian seperti " pertemuan antara tokoh masyarakat Ambon dari kelompok putih dan kelompok merah". Di sini,
Kompas
menggunakan
istilah
"kelompok
merah"
dan
"kelompok
putih",
sebagaimana digunakan oleh aparat keamanan untuk menunjukkan identitas pelaku kerusuhan
yang
ada
di
lapangan.
Semuanya
menunjukkan
cara
Kompas
menggambarkan kasus Ambon "dengan cara berfikir aparat keamanan". Dari tema yang dikembangkan dalam teks,
dapat dirangkum beberapa
makna sebagai berikut. 1) Melalui teks, Kompas ingin menyampaikan satu gagasan bahwa kerusuhan di Ambon yang selama ini dipahami sebagai gangguan keamanan, sekarang berada pada tingkat gangguan yang nyaris di luar jangkauan aparat keamanan. Peningkatan ini, disebabkan aparat keamanan yang semestinya netral, justru memihak pada salah satu pihak yang sedang bertikai. Secara
Bab 4
167
implisit, dapat disimpulkan juga bahwa kerusuhan Ambon terjadi antara dua kelompok yang berbeda. Keduanya disifati oleh Kompas sebagai penggangu keamanan, dan menyebut mereka dengan "kelompok merah" dan "kelompok putih". Sebagaimana diketahui istilah tersebut muncul ketika kedua kelompok warga yang berbeda agama terlibat ke dalam pertikaian yang kemudian mengidentifikasi diri dengan identitas warna. 2) Dalam teks, Kompas membangun relasi antara penulis berita dan pembaca, seperti relasi aparat keamanan dan rakyat. Di sini identitas kelembagaan (militer) sangat dominan dengan ciri antara lain, sumber informasi dari aparat, dan bahasa yang dominan digunakan adalah bahasa aparat. Oleh karena
itu,
pembaca
"menyalahkan" keadaan.
diajak Secara
untuk
"memahami"
implisit teks
ini
keadaan,
bukan
merupakan
sebuah
"pembelaan diri" mengenai keadaan di Ambon. 3) Secara tekstual,
Kompas menyajikan informasi bahwa konflik di Ambon
semakin kompleks dengan keterlibatan dan keberpihakan aparat Bila dirangkum ada beberapa proposisi yang dapat dijadikan referensi untuk memahami teks secara keseluruhan. 1) Konflik
Ambon
semakin
kompleks
dengan
adanya
keterlibatan
dan
keberpihakan aparat keamanan. 2) Kondisi keamanan di Ambon sudah jauh melampaui kemampuan kendali aparat keamanan. 3) Konflik Ambon hanya bisa diselesaikan oleh pihak yang bertikai.
Bab 4
168
4) Penanganan kasus Ambon saat ini dilakukan dengan peningkatan kualitas pengawasan dan jumlah aparat keamanan. Secara keseluruhan tampak bahwa Kompas merangkum satu pemikiran bahwa
kasus
Ambon
adalah
kasus
keamanan
yang
saat
ini
semakin
mengkhawatirkan. Dari liputan ini, isu etnisitas yang dominan disoroti oieh Kompas adalah; 1) konflik Ambon , adalah konflik antar warga yang berbeda agama (Kristen dan Islam); dan 2) kerusuhan semakin meningkat karena keberpihakan aparat Dari dua artikel Kompas mengenai kasus Ambon yang dianalisis di atas, terlihat ada satu ciri khas pemberitaan Kompas tentang kerusuhan yaitu, konflik Ambon dilihat sebagai keributan antar warga yang menyebabkan "gangguan keamanan"
dalam masyarakat. Di sini ada upaya menetralisir image tentang
kerusuhan di Ambon, dari pertikaian antara umat Islam dengan umat Kristen menjadi kerusuhan sekelompok warga yang kebetulan berbeda agama. Karena itu, perspektif keamanan lebih tepat digunakan untuk mendeskripsikan kerusuhan Ambon. Sejalan dengan perspektif ini, maka pertikaian dilihat sebagai situasi yang "diciptakan" oleh provokator bukan sebagai dorongan dari kalangan warga. Untuk mendukung gagasan ini, Kompas menggunakan referensi yang cenderung memberikan informasi menyejukkan seperti dari kalangan pejabat dan tokoh agama, berupa peningkatan upaya keamanan, pertemuan tokoh untuk menenangkan agama, dan saran-saran penyelesaian konflik dari tokoh-tokoh
Bab 4
169
agama. Sebaliknya bila upaya keamanan tidak memadai, maka Kompas akan menampilkan
alasan-alasan
yang
dikutip
dari
pejabat
terkait
yang
bertanggungjawab terhadap keamanan di tempat kerusuhan. Cara-cara penyajian seperti ini menjadikan Kompas sebagai media massa "penyejuk" di tengah panasnya suasana kerusuhan. Ketika
sebuah
peristiwa
"gangguan
keamanan" terjadi
dalam
satu
masyarakat maka secara otomatis harapan masyarakat adalah segera melenyapkan gangguan tersebut. Oleh karena itu,
dengan laporan perkembangan keadaan
keamanan dari satu wilayah yang sedang dalam konflik, menjadikan masyarakat tahu seberapa dalam rasa aman masyarakat dipulihkan. merupakan
upaya
yang
ditempuh
pemerintah
Upaya-upaya seperti ini
dengan
aparatnya
untuk
menenangkan masyarakat. Kompas-pun dalam menggambarkan konflik Ambon, cenderung memilih cara yang dikembangkan pemeritab.
AMBON, MEDIA INDONESIA Judul : AMBON BAGAIKAN "PERANG', 29 TEWAS Aparat Keamanan Berondongkan Tembakan Tanggal 27 November 1999 Isi Berita:
Ambon (Media): Pertikaian antar kelompok massa bernuansa SARA terjadi di perbatasan kawasan Mardika, Kelurahan Rijali, Desa Batumerah, Kec Sirimau,
Bab 4
170
Kodya Ambon,
Kamis Subuh (26/11) sekitar pukul 05,20 WIT, mengakibatkan
ibukota provinsi Maluku itu kembali tegang Hingga pukul 16.40 WIT, korban dan dua belah pihak yang bertikai di kawasan Mardika tercata 29 tewas dan puluhan luka-luka... Pembahasan Dalam liputan ini MI menurunkan berita tentang Ambon dengan tema "perang". Dalam judul kata perang diberi tanda kutip yang didahului dengan kata "bagaikan", sehingga memberikan gambaran secara kiasan bahwa kondisi pertikaian di Ambon menyerupai suasana perang. Dalam kalimat singkat yang dijadikan judul liputan terlihat bahwa yang jadi pelaku dalam perang itu adalah aparat keamanan yang dinyatakan secara eksplisit pada judul bagian kedual. Dari sini ada dua informasi yang didapat tentang pertikaian di Ambon yaitu: 1) pertikaian yang semakin memprihatinkan, dan 2) keterlibatan aparat keamanan.
MI menyebut
pertikaian
Ambon
dengan
"pertikaian
antar
kelompok
bernuansa SARA". Dalam hal ini, pertikaian terjadi antar kelompok warga Islam dan Kristen sebagaimana dieksplisitkan pada alinea ketiga bagian akhir yang dikutip dari ketua DMI dan Sekjen:
..."umat Kristiani menilai pertikaian itu sebagai ajang Perang Saiib dan umat Islam menyatakannya Perang Sabil, sehingga perseteruan antar umat itu makin menjadi-jadi, " kata Kafrawi Ridwan ketika jumpa pers... Secara eksplisit, suasana pertikaian Ambon yang dinilai sebagai "perang" di sebabkan keterlibatan aparat yang diungkap dalam beberapa alinea seperti berikut.
Bab 4
171
Suasana itu makin kerut) dan mirip !medan perang'ketika oknum aparat yang
seharusnya
bisa
meterai kerusuhan
tersebut justru ikut
bermain."... Mereka pada Jumat petang sekitar pukul 18.15 WIT membabi buta memberondongkan tembakan di sejumlah jalanan di Kota Ambon yang bukan menjadi lokasi kerusuhan, sehingga mengakibatkan puluhan lagi tewas di tangan aparat termasuk wanita dan anak-anak." '!Sebagian besar korban tersebut terkena tembakan aparat keamanan.". "Aksi penembakan oleh sejumlah oknum dari atas dua truk serta satu mobil pick up warna hijau itu dilakukan ketika mereka melintasi kawasan Jalan Rijaii menuju jalan Kakiaiy, dan penembakan berakhir di ujung jalan WRSupratman di kawasan Tanah Tinggi." Dilihat dari keseluruhan liputan, kalimat yang cenderung digunakan untuk menyampaikan laporan adalah dalam bentuk pasif seperti:
diturunkan.; diperkirakan bentrokan tersebut masih akan..;
hingga berita ini
seorang prajurit Armed
U dilaporkan...". Kecuali pada tiga alinea terakhir, disampaikan dengan kalimat langsung dilengkapi dengan sumber informasi yang jelas. Dengan kalimat pasif, MI tidak mengeksplisitkan subjek yang dijadikan rujukan. Karena itu semua informasi terkesan merupakan gagasan langsung dari MI. Tema-tema yang dikembangkan dalam teks meliputi: ^pertikaian yang kembali terjadi di Ambon"; "keterlibatan aparat dalam konflik"; "korban sipil meninggal karena tembakan aparat"; dan "tindakan represif untuk mengatasi
Bab 4
172
keadaan". Keseluruhan tema menggambarkan suasana "perang" di Ambon saat aparat keamanan menembaki warga sipil, dan kelambanan aparat menangani keadaan. Intinya, MI menyesalkan tindakan aparat dalam kapasitas sebagai penjaga keamanan yang justru mengorbankan warga, disebabkan kelalaian aparat mengatasi keadaan. Namun, MI"memahami" tindakan aparat itu sebagai kesalahan yang tidak dikehendaki oleh aparat secara institusional, tetapi berupa tindakan oknum yang dilakukan untuk mengatasi massa yang tidak terkendalikan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
" Namun setelah kedua kelompok saling berhadapan, baru tindakan represif dilakukan sehingga kawasan ini berubah bagaikan arena perang antara aparat keamanan dan masyarakat"... "Aksi penembakan oleh sejumlah oknum dari atas dua truk serta satu mobil p/kup warna hijau itu dilakukan ketika mereka melintasi kawasan jalan R i jali...." Dari teks ini, makna yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut 1) MI menggambarkan konflik Ambon sebagai bentrokan antar kelompok massa bernuansa SARA. Artinya tidak semua warga yang terlibat, tetapi sekelompok massa yang mengenakan identitas agama. Kemudian bentrokan ini menjadi semakin memburuk ketika aparat keamanan ikut dalam bentrokan.
Namun
keterlibatan aparat dilihat oleh MI, disebabkan "kelalaian" di awal kerusuhan yang menyebabkan massa tidak dapat dikuasai kecuali dengan tindakan
Bab 4
173
'represif" Di satu sisi MI menyesalkan tindakan aparat, namun di sisi lain dapat memahami mengapa aparat menjadi represif.
2) Secara interpesonal, hubungan MI dengan pembaca adalah hubungan antara penulis berita yang menyampaikan sejumlah informasi tentang kondisi Ambon kepada pembaca. Karena itu, sebagian besar tema distruktur secara
deklarative (pernyataan), kecuali pada satu alinea yang bersifat imperative (kewajiban),
sebagaiman tersirat dalam kutipan berikut: "sebenarnya
kondisi pertikaian bisa tidak terjadi demikian,
sekiranya aparat
keamanan yang bertugas melaksanakan pengamanan di kawasan itu tegas. " Informasi yang disampaikan adalah menyangkut "penyesalan" atas sejumlah tindakan
aparat
yang
menembaki
warga
sipil,
namun
tetap
dapat
"dimengerti" karena aparat menjalankan tugas.
3) Secara tekstual, tema dalam teks di kembangkan dengan berfokus pada posisi aparat yang keliru dalam menghadapi situasi pertikaian. Semestinya menjaga keamanan tetapi justru terlibat memperkeruh suasana. Dalam hal ini teks dikembangkan dalam konteks "pelaku" dari pihak keamanan. Untuk memahami isi teks dan arah pesan berikut beberapa proposisi yang dapat ditarik dari teks secara keseluruhan. 1) Pertikaian antar kelompok bernuansa SARA terjadi lagi di Ambon.
2) Keterlibatan
oknum
aparat
dalam
kerusuhan
semakin
memperkeruh
keadaan.
3) Aparat terlambat bertindak dalam mencegah terjadinya bentrokan.
Bab 4
174
4) Aparat bertindak represif ketika kedua kelompok yang bertikai sudah saling berhadapan.
5) Karena medan pertikaian yang terkesan brutal, evakuasi korban sulit dilakukan.
6) Jika tokoh dan pemuka agama tidak meningkatkan tali Kerukunan, dikhawatirkan pertikaian antar umat Kristiani dan Islam semakin parah.
Kesemua proposisi itu menunjukkan perspektif "keamanan" yang menjadi kerangka utama laporan media massa. Untuk lebih jelas berikut laporan MI tentang kasus Ambon AMBON, MEDIA INDONESIA Judul : Pertikaian di Maluku tak Kunjung Berakhir Tanggal 30 Desember 1999 Isi berita:
Bara api perkelahian antarkelompok di Maluku seperti tidak pernah padam. Sejak idul fitri tahun lalu sampai menjelang idul fitri mendatang, pertikaian masih saja terus berlangsung. Ratusan nyawa melayang, ribuan rumah musnah. Sudah tidak terhitung jumlah kerugian materi. Berbagai pihak berupaya 'menyiramkan air' untuk memadamkan pergolakan yang belum jelas kapan berakhir di daerah itu, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati...
Bab 4
175
Pembahasan Untuk menyebut pertikaian di Ambon, dalam liputan ini MI menggunakan beberapa istilah seperti: perkelahian antarkelompok, pergolakan, aksi saling bantai, kerusuhan,
pertempuran, bentrokan,
kontak senjata, dan perang antar warga.
Khusus untuk kata pertempuran dan perang dibuat di antara dua tanda kutip. Penggunaan istilah yang berbeda untuk mengungkapkan kasus Ambon, menunjukkan betapa kompleknya pertikaian yang sudah berjalan hampir satu tahun. Perkelahian antar kelompok digunakan oleh MI untuk menggambarkan awal berkobarnya kerusuhan di Ambon. Istilah ini dekat dengan perspektif keamanan yang menganggap peristiwa Ambon pada awalnya sebagai peristiwa kriminal biasa. Seperti dapat disimpulkan dari penggalan berita di bawah ini.
"Pertikaian
di Maluku berawa! dari perkelahian antar seorang
preman dengan, sopir angkutan kota..." "Kapolri mengatakan
bahwa peristiwa di Ambon itu,
hanyalah
kriminal biasa..." Namun seiring dengan perkembangan yang menunjukkan eskalasi konflik Ambon, istilah yang digunakan MI berubah menjadi "kerusuhan", "bentrokan" hingga penggunaan istilah "perang" dan "pertempuran" untuk menggambarkan pertikaian antar kelompok yang berbeda agama itu. Liputan ini dikembangkan dalam tema-tema seperti: "pertikaian yang diawali dengan perkelahian dan penculikan"; "keterlibatan aparat dalam kerusuhan"; dan "upaya penanganan kerusuhan".
Bab 4
Selain itu, tema-tema ini dikembangkan dalam
176
ruang lingkup interaksi antar warga yang bertikai, aparat keamanan yang terlibat dalam konflik, aparat keamanan yang melakukan tugas pengamanan, warga pengungsi, dan kelompok perusuh.
Di sini, warga yang bertikai digambarkan
sebagai massa yang terkonsentrasi yang berhadapan dengan perusuh, sedangkan aparat keamanan yang terlibat digambarkan sebagai oknum yang menembaki warga , dan aparat keamanan yang bertugas mengamankan warga yang bertikai. Dari penggambaran ini, terlihat MI menyampaikan informasi kerusuhan dalam perspektif keamanan, dengan sedikit menyinggung keterlibatan aparat keamanan
sehingga membawa korban di pihak sipil yang tak bersalah.
Secara
implisit MI menyampaikan adanya kelompok-kelompok yang bertindak sebagai "perusuh". Mereka berasal dari kelompok masyarakat dan oknum aparat yang terlibat. MI mengakui bahwa adanya keterlibatan aparat keamanan dalam konflik, namun mereka "harus" dibedakan dari aparat kemanan yang melakukan tugasnya dengan benar. Untuk lebih jelasnya tentang inti liputan,
berikut ini beberapa kesimpulan
yang dapat ditarik dari teks. 1) Walaupun berbagai upaya damai telah dilakukan, pertikaian di Ambon tidak juga berakhir. 2) Ada pihak yang menuduh peristiwa Ambon merupakan kasus politik dengan muatan agama.
Bab 4
177
3) Peristiwa berawal dari perkelahian antar preman, dan berlanjut menjadi kerusuhan yang saling menewaskan kelompok yang terlibat, dan saling menghancurkan pemukiman dan rumah ibadah. 4) "Perang" di Ambon semakin memanas karena diduga ada keterlibatan aparat keamanan. 5) Karena bentrokan demi bentrokan terus terjadi, maka aparat keamanan melakukan jam malam, razia senajata tajam. 6) Perdamaian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat hanya mampu meredam kerusuhan sesaat, tetapi kemudian pecah lagi pertempuran di berbagai tempat. Dari beberapa kesimpulan tersebut, tampak perspektif keamanan paling dominan dalam teks, dan kemudian sedikit disinggung tentang pertentangan antar kelompok yang berbeda agama. Bila dilihat dari rangkaian teks, isi keseluruhan memperlihatkan rangkaian peristiwa Ambon sejak meletus pertikaian awal tahun 1999 hingga teks di tulis pada akhir tahun. Dari rangkaian peristiwa itu MI melihat ke belakang lagi peristiwa demi peristiwa yang terus terjadi dan berbagai upaya pemulihan keamanan yang dilakukan. Oleh karena itu beberapa makna yang dapat ditarik dari teks ini adalah sebagai berikut. 1) Secara ideasional, MI menunjukkan bahwa upaya pemulihan keamanan di Ambon tidak dapat ditanggulangi oleh aparat. Dengan menggunakan kata "ada yang menuding" untuk menunjukkan perspektif politik di balik kasus
Bab 4
178
Ambon, tampak bahwa MI tidak ingin keluar dori tesis "keamanan" untuk mengungkap kasus Ambon. Karena ungkapan "menuding" memberikan makna adanya upaya dari pihak tertentu untuk mengalihkan konteks yang sudah dibangun (keamanan) menjadi konteks baru (politik). Dalam hal ini, terlihat kecenderungan Wtidak menghendaki konteks politik menjadi bagian tinjauan dalam teks ini. 2) Secara interpersonal, MI memposisikan diri dengan identitas kelembagaan
(institutiona/ identity) masyarakat dengan
sebagai aparat
lembaga
keamanan.
yang Namun
menjembatani dengan
antara
menampilkan
beberapa upaya yang dilakukan aparat keamanan untuk memulihkan keadaan, posisi perantara ini lebih dekat ke titik pihak keamanan dibanding ke titik pihak masyarakat. Dengan kata lain sifat deklaratif dalam teks (sebagaimana tertera dalam judul) lebih ditujukan sebagai informasi kepada pembaca bahwa situasi di Ambon yang terus memburuk karena " kesalahan" dipihak aparat keamanan, namun masyarakat diharapkan memahami bahwa keadaan itu bukan kemauan aparat keamanan. 3) Secara tekstual, isi teks menggambarkan berbagai peristiwa di Ambon yang menjadi bukti bahwa keadaan di Ambon semakin memperihatinkan. Dengan melihat keseluruhan isi teks, ada dua isu konflik etnik yang dominan dalam liputan /Wyaitu: l) pertikaian di Ambon merupakan pertikaian antar kelompok yang berbeda agama; dan
Bab 4
179
2) pertikaian di Ambon lebih dari sekedar pertikaian antar kelompok dalam masyarakat, tapi juga melibatkan aparat keamanan. Dari kedua teks yang dibahas, tampak bahwa W lebih banyak menggunakan "ideologi" dari lembaga keamanan untuk menjelaskan peristiwa Ambon. Meskipun dalam beberapa kesempatan mencoba mengungkap sisi lain dari kasus Ambon, tetap saja tujuannya adalah untuk memperkuat gagasan dari pihak keamanan. Gagasan "keamanan" dari segi multikultural tidak memberikan sumbangan perbaikan. Berita tentang perkembangan kemanan pada daerah konflik dapat memberi informasi bagi pembaca, namun dari segi upaya membangun kesadaran masyarakat tentang keberagaman, informasi demikian belum lengkap. Dalam masyarakat multikutural, orang perlu tahu adanya perbedaan, penyebab perbedaan, dan upaya yang ditempuh untuk menegosiasi perbedaan. Media massa sebagai ruang publik diharapkan dapat memberikan gambaran seperti ini.
4.1.1.2
Perbandingan Pandangan Republika,, Kompas, dan Media Indonesia tentang Konflik Ambon
Perbandingan ini dilakukan dalam kategori sebagai berikut 1) Perspektif yang dikembangkan dalam teks. 2) Istilah yang digunakan untuk menyebut kerusuhan. 3) Istilah yang digunakan untuk menyebut warga yang bertikai. Isu hubungan antar etnik yang dominan. Secara ringkas, perbandingan cara pandang Republika, Kompas, dan Media
Indonesia dalam melihat kasus Maluku/Ambon dapat dibaca dalam tabel berikut
Bab 4
180
Tabel 4.1.1.2.1 Perbandingan Pandangan Republika, Kompas, dan Media Indonesia tentang Konflik Ambon Unsur Pembanding Perspektif Pengembangan Teks Istilah yang digunakan untuk menyebut kerusuhan
Republika Keamanan Politik
Kompas Keamanan
Media Indonesia Keamanan
Kerusuhan; Pertikaian
kerusuhan antar warga; pertikaian antar kelompok;
Pertikaian antar kelompok massa bernuansa SARA; Mirip medan perang; Pertikaian kelompok; Pertikaian berdarah antar umat beragama; Perkelahian antar kelompok; Kerusuhan
Istilah yang digunakan untuk warga yang bertikai
Warga Batumerah atas, warga Batumerah bawah Warga desa RumahTiga Anak-anak Kampung Kota Jawa;
Perusuh; Kelompok merah, kelompok putih;
Massa kedua belah pihafc; Aritar umat beragama.
Isu etnisitas
Pertikaian antar kelompok berbeda agama. Islam dan Kristen; Pertikaian disebabkan faktor ideologis dan politk
Pertikaian berawal dari perkelahian antar preman; Pertikaian antai kelompok berbeda agama; Kerusuhan karena provokator
Pertikaian antar kelompok Islam dan Kristen
i
dan
Perbedaan mendasar antara Republika dengan dua media massa lain terletak dalam cara tinjauan terhadap konflik. Bagi Republika, konflik Ambon bukan sekedar faktor keamanan tetapi adanya faktor politik yang berperan di balik kerusuhan. Faktor keamanan terkait dengan posisi dan keadaan kelompok Isfam dalam percaturan politik nasional, terutama yang terkait dengan isu perbedaan agama.
Bab 4
181
Bagi Repubiika, perspektf kemanan dilihat dalam kerangka politik yang merugikan umat Islam. Bagi Kompas,
penggunaan perspektif keamanan adalah untuk membangun
Citra sebagai media massa yang tidak memihak sekaligus melokalisir opini mengenai konflik yang dianggap sensitif (bernuansa agama). Kompas terkesan sangat hati-hati untuk membicarakan adanya konflik yang terkait dengan perbedaan agama. Namun, pada kadar tertentu dan bersifat implisit, Kompas sebenarnya juga melihat sisi-sisi keamanan dengan berpihak pada salah satu kelompok yang bertikai.
Media Indonesia menggunakan perspektif keamanan dalam kerangka berfikir aparat keamanan. Walaupun pada bagian-bagian tertentu memasukkan isu-isu politik atau isu lain yang berkembang dalam masyarakat, /V/pada akhir liputan akan kelihatan mengarahkan kembali kepada perspektif keamanan. Singkatya ketiga media massa memiliki perspektif atau ideologi yang berbeda dalam menyoroti kasus Ambon. Repubiika menggunakan sudut pandang keamanan dan
politik dengan
warna
ideologi
Islam.
Kompas menggunakan
perspektif
keamanan dengan tujuan untuk mengambil jalan tengah serta membangun citra sebagai media massa yang berusaha tidak memperluas kerusuhan. Upaya seperti ini biasanya adalah cara-cara yang diinginkan pemerintah untuk melokalisir suatu permasalahan agar tidak meluas. Sedangkan MI menggunakan tinjauan keamanan dalam konteks lembaga keamanan itu sendiri (pemberi otokritik) untuk aparat keamanan. Di satu sisi, MI berusaha mengungkap kesalahan aparat keamanan, namun di sisi lain memberikan penjelasan tentang rasional kesalahan tersebut.
Bab 4
182
Kemudian perbedaan ketiga media massa ini, tampak dengan jelas juga pada isu etnisitas dan istilah yang dipakai untuk menunjuk kelompok yang bertikai.
Republika cenderung menyebut dengan warga yang dikaitkan desa asal warga tersebut. Namun secara eksplisit dijelaskan identitas desa atau warga dengan menyebut kelompok yang menghuninya.
Dengan
ini
berarti
Republika tidak
menyembunyikan sama sekali kalau pertikaian warga adalah antar pemeluk agama
yang berbeda, bahkan menyebutnya dengan pertikaian SARA antar umat Islam dengan Kristen.
Kompas tidak
menunjuk identitas
dengan
nama
agama, tetapi
lebih
cenderung menunjukkan nama daerah asal. Selain itu menyebut mereka dengan istilah "perusuh".
Pengungkapan ini menunjukkan perspektif keamanan yang
memfokuskan perhatian kepada pelaku. Tetapi dengan mengamati informasi desa dari kelompok yang dilaporkan, tampak bahwa Kompas tidak bisa menghindari kesimpulan yang menyatakan kerusuhan Ambon bernuansa agama.
MI menyebut kerusuhan dengan istilah pertikaian antar kelompok massa bernuansa SARA. Penggunaan istilah tersebut memberi gambaran bahwa MI mengakui konflik Ambon terkait dengan perbedaan agama di antara warga. Namun berbeda dari Republika yang melihat kasus SARA dalam konteks politik antar golongan yang berbeda agama, MI melihat kasus SARA dalam bahasa keamanan. Dalam bagian berikut d i kemukakan tinjauan konflik Sambas/Sampit menurut
Republika, Kompas, dan Media Indonesia.
Bab 4
183
4.1.2
Konflik Sambas dan Sampit Menurut Republika, Kompas, dan Media Indonesia (MI)
4.1.2.1 Teks Berita dan Pembahasannya SAMBAS DAN SAMPIT, REPUBLIKA Tanggal 20-03-1999 Judul Berita: Korban 55 Tewas dan 1.030 Rumah Dibakar Arus Pengungsi Tinggalkan Sambas Isi Berita:
Ambon belum pulih, kini menyusu! kerusuhan beraroma SARA di Sambas, Kalimantan Barat. Hingga kemarin, sudah 55 orang tewas, 1.030 rumah dibakar, dan 1.225pengungsi dievakuasi ke Pontianak. Kapolda Kalbar Kol. Pol. Drs. Chaeruf Rasyidi menyatakan jumlah korban tewas dalam kerusuhan—yang telah berlangsung sejak 15 Maret lalu—diperkirakan akan bertambah. Ini karena data korban kerusuhan di daerah pedalaman belum diketahui aparat keamanan... Pembahasan Berita ini di kembangkan dengan judul yang memuat informasi tentang jumlah korban tewas, rumah terbakar, dan arus pengungsi. Kalimat singkat yang dipakai sebagai judul berita, secara implisit, memberi gambaran tentang akibat dari peristiwa di Sambas, dan menyiratkan tema tentang kerusuhan Sambas. Tema ini searah dengan tema yang dikembangkan bagian awal dan tengah laporan yang berbicara sekitar: "kerusuhan berbau SARA", "pemicu kerusuhan", "perkembangan
Bab 4
peristiwa
kerusuhan",
dan
"akibat
kerusuhan".
Selain
itu,
pengembangan tema didukung dengan referensi dari aparat keamanan. Namun pada bagian akhir teks tema kerusuhan berubah menjadi tema anarkisme sosial, dan kelambanan pemerintah dalam
penanganan kerusuhan.
Sedangkan referensi
diambil dari kalangan akademi, dan anggota legislatif. Secara keseluruhan, teks ini dapat dimaknai sebagai berikut 1) Dari segi gagasan, Repubiika menyampaikan bahwa kerusuhan di Sambas merupakan kerusuhan SARA. Kerusuhan ini terjadi antara warga yang berbeda suku {Madura dan Dayak).
Namun dalam hal ini, Repubiika
menggunakan dua perspektif untuk melihat kerusuhan yakni keamanan, dan politik. Di satu sisi kerusuhan dipandang sebagai konflik horizontal yang didasari perbedaan etnik. Namun, di sisi lain Repubiika menggeser sudut pandang dalam melihat kerusuhan Sambas menjadi kerusuhan terkait politik, dengan menyebut sebagai anarkisme sosial yang mengancam kesatuan bangsa, dan merupakan satu rangkaian dengan anarkisme sosial yang terjadi sebelumnya di tempat lain. 2) Dari segi interpersonal, Repubiika menggunakan identitas sebagai media massa politik. Di sini ada hubungan antara pemberi berita dengan penerima berita. Hal ini dimulai dengan perumusan judui dalam kalimat singkat yang bersifat 'deklaratif" dan mengandung tema yakni kerusuhan Sambas yang menelan sejumlah korban jiwa dan materi, serta arus pengungsi. Kemudian tema ini dikembangkan dalam teks dengan perspektif keamanan yang selanjutnya digiring ke dalam perspektif politik.
Bab 4
185
3) Secara Tekstual, tema-tema daiam teks dikembangkan untuk memberi informasi kepada pembaca tentang berbagai hal mengenai peristiwa Sambas. Untuk
menyampaikan
pesan
mengenai
konflik
Sambas,
Republika
menggunakan kata "kerusuhan" untuk menyebut peristiwa Sambas. Dalam struktur teks kata "kerusuhan" mendominasi pemberitaan. Akan tetapi, istilah ini bergeser menjadi anarkisme sosial ketika dikaitkan dengan referensi dari kalangan pengacara. Untuk lebih jelasnya, dapat diamati dalam kutipan berikut.
Kerusuhan
di Sambas,
menyusu/
menimbulkan pertanyaan berbagai pihak.
kerusuhan
di Ambon,
"Mengapa selalu begini? Seakan-
akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain." Ujar pengacara senior Surabaya Trimoelja... Menurut Trimoelja, anarkisme sosial yang berkembang belakangan ini sangat mengerikan. Jika pola tersebut berkelanjutan,
ia meragukan
kelanjutan
"Jika
persatuan
dan
kesatuan
perkembangan dari waaktu kewaktu,
negara
Indonesia.
melihat
kasus Yugoslavia juga mempunyai
kemiripan dengan yang terjadi di Indonesia. " Pengalihan penggunaan istilah dari kerusuhan menjadi anarkisme sosial, dapat dimaknai sebagai pergeseran konteks kerusuhan dari sosial dan lokal menjadi lebih luas ke arah politik dan bersifat nasional. Selain itu, untuk kasus Sambas,
Republika menggunakan
istilah "pendatang" dan
"warga
pedalaman" untuk
menunjuk Madura dan Dayak. Penggunaan kata ini secara implisit memberikan
Bab 4
186
pemahaman kepada pembaca bahwa kerusuhan Sambas bukan sekedar persoalan antar warga berbeda suku, tetapi antar warga pendatang dan asli. Pada umumnya dipahami bahwa istilah "pendatang" mengandung berbagai dimensi seperti etnik, ekonomi, dan kemungkinan juga politik yang melatarbelakangi kepindahan para pendatang ke suatu tempat.
Melalui penggunaan istilah ini,
tampak bahwa Republika melihat persoalan Sambas lebih dari sekedar persoalan sosial, tetapi juga ekonomi, dan politik seperti yang digambarkan di atas. Namun penggunaan istilah "pendatang" itu sendiri memberikan kesan pembedaan yang tajam berdasarkan "keaslian" warga yang tinggal di wilayah Sambas.
Dilihat dari sudut multikultural, penggunan istilah tersebut merefleksikan
adanya "ketimpangan" dalam masyarakat yang beragam di Sambas, khususnya menyangkut hubungan antara warga pendatang asal setempat.
Madura dengan warga
Secara implisit, pemberitaan dengan menggunakan iistilah tersebut
memberi kesan bahwa Republika memperkuat ketimpangan tersebut. Sejalan dengan penggunaan istilah pendatang, Republika mengembangkan pemberitaan mengenai bentrokan antara pendatang dengan penduduk asli, yang diawali dari protes warga pendatang karena warganya ditangkap dengan tuduhan mencuri. Sebaliknya,
penduduk asli membalas karena warganya tewas daiam
perkelahian dengan pendatang. Melalui penyajian berita yang terfokus pada event
process
(peristiwa dan tindakan), warga digambarkan sebagai masyarakat yang
pendendam, dan cenderung menyelesaikan masalah dengan adu kekuatan. Dengan
Bab 4
187
cara ini, ada kesan Republika memaknai konfiik Sambas sebagai konflik antar masyarakat yang tidak rasional, atau bahkan mungkin tidak berpendidikan. Untuk lebih melengkapi analisis ini, berikut ini beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari teks. 1) Kerusuhan Sambas yang beraroma SARA telah menimbulkan korban jiwa, harta benda, dan arus pengungsi. 2) Kerusuhan itu bermula dari ditangkapnya satu orang pendatang karena pencurian, dan berkembang menjadi bentrokan antara pendatang Madura dengan warga desa
Parit Setia ketika seorang Dayak tewas dalam
perkelahian. 3) Kerusuhan di Kec. Pemangkat menyebar ke wilayah terdekat di sekitarnya. 4) Warga Madura diminta untuk menahan diri, tidak melakukan perlawanan. Jika tidak, para Tumenggung tidak menjamin keselamatan mereka. 5) Keadaan
masih
mencekam,
dan
banyak
penduduk
yang
tertangkap
membawa senjata tajam, 6) Dikhawatirkan anarkisme sosial di Indonesia mengancam keutuhan negara Indonesia. 7) Kerusuhan terus berkembang karena pemerintah tidak tuntas menyelesaikan satu permasalahan. Dari teks ini terungkap isu isu hubungan antar etnik yang dominan adalah sebagai berikut. 1) Konflik Sambas merupakan konflik antara warga yang berbeda suku.
Bab 4
188
2) Konflik Sambas merupakan pertikaian antara warga pendatang dengan warga setempat. 3) Di khawatirkan konflik Sambas menjadi bagian dari konflik vertikal yang meluas secara nasional. 4) Konflik meluas karena didasari dendam antara pendatang Madura dengan warga asli. Sebelum membahas secara detail tentang ideologi di balik pemberitan Sambas menurut Repubiika, berikut analisis berita kedua yang diambil dari
Repubiika.
SAMBAS DAN SAMPIT, REPUBLIKA Tanggal 24 -03-99 Judul berita: Surut di Ambon Pasang di Sambas Isi:
Lebih
mudah memadamkan asap dari pada memadamkan api yang
membara. Tamsil yang digunakan Ketua DPP PAN AM Fatwa untuk melukiskan kasus Ambon tadi, belakangan diterapkan ABRI untuk mengatasi kasus Sambas. Mumpung belum
meluas
dan
berkembang
Menhankam/Pangab Jendral
menjadi
persoalan
yang
kompleks,
TNI Wiranto mengirim satu batatiyon pasukan.
Termasuk dalam tim ini adalah pasukan khusus Brimob Polri untuk menangani kerusuhan massa, Pasukan Penindak Kerusuhan Massa. Pangdam VI/ Tanjungpura Mayjen TNI Zainuddm Hashim mengaku tidak mau ambil resiko. " Dengan pengiriman pasukan tambahan diharapkan tidak terjadi peristiwa seperti di Ambon", Bab 4
kata Pangdam.
Tak hanya meminta tambahan 189
pasukan,
Kodam
Tanjungpura juga
melakukan serangkaian
antisipasi untuk
melokalisir pertikaian antar etnik di Sambas. Pembahasan Teks ini diberi judul:"Surut di Ambon, Pasang di Sambas" yang dinyatakan dalam satu ungkapan yang menggunakan metofora surut" dan "pasang"
Secara
implisit, dalam judul tersebut terlihat sebuah tema yang ingin disampaikan dalam teks, yakni sebuah peristiwa yang seolah "berantai" dan merupakan proses yang berkelanjutan. Dengan cara ini, Republika menyampaikan gagasan bahwa ada kemungkinan peristiwa Sambas merupakan rangkaian dari peristiwa sebelumnya. Gagasan ini tampak dikembangkan dalam teks seperti "penambahan
pasukan
dengan tema yang terkait
keamanan", "melokalisir
pertikaian", "suasana
mencekam karena pertikaian", dan "upaya penyelesaian yang komprehensif". Dapat dimaknai bahwa rangkaian peristiwa Sambas dengan peristiwa Ambon dalam teks dibingkai dengan tesis "keamanan" dalam konteks nasional. Untuk mendukung tesis tersebut Republika menyebut kasus Sambas dengan istilah " pertikaian", "kerusuhan", dan "huru-hara" seperti dalam kutipan berikut.
" Tak hanya
meminta tambahan pasukan, Kodam Tanjungpura juga
melakukan antisipasi untuk melokalisir pertikaian antar etnik di Sambas." Dalam empat bulan terakhir ini, terjadi tiga kali kasus pertikaian antar etnik Madura dengan penduduk dari etnik Melayu."
Bab 4
190
Kerusuhan di Sambas memang tidak berlangsung secara serentak. Dari 17 kecamatan yang ada di Sambas, delapan telah menjadi arena huruhara. Dari istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kasus Sambas, terlihat bahwa Republika menggambarkan kasus ini sebagai konflik horizontal antar etnik, dan telah menimbulkan gangguan keamanan. Namun dalam kaitan dengan kasus Ambon, peristiwa Sambas dipandang sebagai satu
gangguan keamanan nasional,
yang menyusul peristiwa Ambon yang terjadi selang beberapa bulan sebelumnya. Untuk menegaskan ide ini, Republika
menggunakan
sumber informasi dari
kalangan akademisi, dan anggota legisatif seperti terlihat dalam kutipan berikut.
'!Muncul kekhawatiran, jika kasus itu tak segera dipadamkan, tragedi Sanggauledo akan terulang lagi. Kekhawatiran lain, kasus Sambas akan berkembang seperti kasus Ambon. Agar tak meluas, pengamat politik Muhajir Datwin mendesak pemerintah—khususnya ABRI serius menangani kasus itu. Jika tidak, ia khawatir kerusuhan di Sambas akan melebar dan semakin kompleks." "Ketua Komisi I DPR, Ny. Aisah Amini juga mendesak pemerintah untii n u v;)-* -A i/A, 111 •.n .n./ tunhis k, isu-. U •/ •hai. Ny. Afstth khwatir, munculnya
kembali
kasus
Sambas
lantaran
tak
ada
penyelesaian
tuntas mengenai soal itu. I )<->i<j.m mcrni.Hlk.in pn r.huv.i '«imlM'. kfp.nl. i j u -r i'.liw.i Ambon, Kf/uihtik.t nt(M]ninl)>mi|k.in kotilrk-. ki*m*.1 ilum y.iiu) bfisif.il lok.il nu'tij.uli n.r.inn.il,
n. ih -f
bersifat horizontal menjadi vertikal. Karena kedua kasus itu dilihat sebagai peristiwa yang tidak hanya terjadi antar warga tetapi juga tantangan bagi pemerintah untuk menjaga kesatuan bangsa. Secara keseluruhan tema dalam teks ini memperlihatkan makna sebagai berikut. 1) Teks ini menyampaikan gagasan tentang kasus Sambas sebagai konflik horizontal antar etnik Madura dengan etnik Mefayu-Dayak-Cina. Konflik ini dilihat sebagai gangguan keamanan yang perlu diselesaikan segera oleh pemerintah dan aparat keamanan. Dalam teks ini, konflik saat ini dipandang sebagai
peristiwa
sosial,
namun
Republika membuka
wacana
untuk
mengembangkan sudut pandang politik seperti halnya kasus Ambon. 2) Cara-cara pengembangan tema dalam teks ini memberi gambaran posisi yang dibangun Republika, yakni sebagai sumber informasi bagi pembaca mengenai kondisi perkembangan keamanan selama konflik.
Meskipun
Republika tidak sepenuhnya beorientasi keamanan, sebagian besar rujukan yang digunakan untuk mengembangkan rasional berita adalah dari kalangan aparat keamanan. 3) Secara tekstual, teks ini memberikan informasi tentang situasi Sambas dan intensitas kerusuhan yang terjadi dibanding dengan kasus Ambon. Isu hubungan antar etnik yang dominan dibicarakan dalam
teks adalah
sebagai berikut.
Bab 4
192
1) Konflik di Sambas merupakan konflik antar etnik yang berbeda, sekaligus juga merupakan konflik antara pendatang dan warga asli. 2) Konflik berakar pada ketidak harmonisan hubungan antara warga dari suku Madura di satu pihak, dengan warga suku Dayak,
Melayu dan Cina di pihak
lain. Dalam hal ini warga Melayu, Dayak dan Cina merupakan satu kelompok yang bersatu melakukan penyerangan kepada kelompok Madura. 3) Konflik semakin meluas karena ada dendam antara kedua kelompok yang tersimpan lama. Secara garis besar butir-butir kesimpulan yang d3pat ditarik dari teks ini adalah sebagai berikut. 1) ABRI meningkatkan pengamanan di Sambas untuk mencegah meluasnya konflik. 2)
Warga Madura dan Dayak di luar Kalimantan Barat dicegah masuk ke Sambas agar tidak terlibat dalam pertikaian.
3)
Warga
Madura
merupakan kelompok yang
menjadi
sasaran
dalam
terjadi
pertikaian
yang
pertikaian di Sambas. 4)
Dalam
rentang
waktu
empat
bulan
sudah
menewaskan warga dan menghancurkan rumah antara warga Madura dan Dayak. 5) Warga Madura di Sambas diburu dan dibunuh oleh warga dari suku MelayuDayak-Cina.
Bab 4
193
6)
Ada pihak yang mengkhawatirkan kasus Sambas akan berkembang seperti kasus Ambon.
7)
Pemerintah dihimbau untuk segera menyelesaikan kasus Sambas dengan tuntas. Tampak dari kedua teks mengenai Sambas di atas, Republika menyoroti
kasus Sambas sebagai peristiwa sosial yang terjadi antara kelompok Madura (pendatang) dan kelompok asli (Dayak, Melayu, dan Cina). Pertikaian digambarkan dalam perspektif keamanan dengan menampilkan berbagai peristiwa dari sudut proses, akibat dan upaya penanganan keamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Walaupun secara dominan Republika menyoroti kasus Sambas dari sudut keamanan,
secara implisit Republika mengarahkan kasus Sambas ke dalam
perspektif politik dan bersifat nasional.
Perubahan ke arah perspektif politik ini,
memberi pemahaman kepada pembaca bahwa warga di daerah manapun di wilayah Indonesia berada daiam ancaman terjadinya konflik antar warga. Dalam kedua teks, warga dilihat sebagai pelaku yang menimbulkan kerusuhan massal, sedangkan aparat sebagai pelaku yang berusaha mengatasi kerusuhan
dengan
berbagai
upaya,
sementara
pemerintah
merupakan
penanggungjawab penanganan dan pencegahan kerusuhan secara lebih luas. Dalam tinjauan warga sebagai pelaku kerusuhan, Republika lebih cenderung menghakimi warga dengan memberikan pemberitaan tentang sikap-sikap negatif seperti
Bab 4
kesadisan,
sifat
pendendam,
dan
perlakuan-perlakuan
lain
yang
194
menggambarkan sifat-sifat "pembuat kerusuhan".
Kecenderungan ini, berbeda
dengan pemberitaan Republika tentang kasus-kasus yang menyangkut jisu antar kelompok yang berbeda agama. Untuk menampilkan citra sebagai media massa yang beorientasi kerakyatan,
Republika mengajak pembaca untuk merasakan kekhawatiran bahwa kerusuhan serupa dengan penyebab berbeda dapat terjadi di mana-mana. Namun "pendidikan" yang diperoleh pembaca hanya sampai pada tingkat 'mengkhawatirkan" untuk kemudian menyalahkan kekuasaan atau pemerintah sebagai penanggungjawab dalam masyarakat.
Dengan kata lain masyarakat dididik oteh media massa untuk
terus beorientasi kepada penguasa. Dari
sudut
pemikiran
multikultural,
pemberitaan
seperti
ini
tidak
"mencerdaskan" masyarakat untuk dapat mengembangkan diri menjadi anggota masyarakat yang multikultural, dalam beberapa hal sebagai berikut. 1) Pemberitaan cenderung menanamkan kekhawatiran bahwa skala kerusuhan di satu tempat kemungkinan meluas ke tempat lain, jika pemerintah tidak segera mengatasi. 2) Warga digambarkan sebagai pihak yang bersalah karena telah membuat kerusuhan. 3) Keragaman warga dilihat hanya dari sisi ntnjaUf yakni sebatas terjadinya pertikaian, saling membunuh dan saling membakar. Warga yang beragam digambarkan sebagai warga mudah menjadi sadis bila mereka terlibat dalam knnMik.
/W> 4
4) Tidak ada pemberitaan yang mengarah pada bagaimana masyarakat yang beragam, dapat menyelesaikan masalah secara lebih adil. SAMBAS DAN SAMPIT, KOMPAS Tanggal 23 -02-99 Judul Teks: KALBAR RUSUH LAGI Tiga Tewas, 20 Rumah Terbakar Isi Berita:
Tiga orang tewas akibat keributan antar warga di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas (kaiimantan Barat) sepanjang hari Senin (22/2). Sementara itu, 20 rumah dan dua truk hangus dibakar massa. Hingga Senin malam situasinya masih mencekam. Pasukan polisi dan tentara dikerahkan untuk menjaga keamanan dan mengendalikan situasi di kota-kota pantai di Kalbar bagian utara. Kapolda Kalbar Kolonel (Pol) Chaerul Rasyid hari Senin sore mengatakan, peristiwa itu berawal dari masalah sepele, yang kemudian berkembang menjadi penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan atas sekelompok warga lainnya. Polres Sambas kini menahan seorang bernama Rudi,
yang perbuatannya memicu
keributan. Kapolres Sambas Letkol (pol) M.Nurdin menegaskkan, Rudi akan diadili...
Pembahasan Judul teks di rangkai dalam dua kalimat pendek , yang pertama ditulis dengan huruf kapital 'KALBAR RUSUH LAGI' dan bagian kedua dengan huruf kecil 'Tiga Tewas, 20 Rumah Dibakar". Dari judul tersirat tema yang akan dibicarakan
Bab 4
196
adalah, "kerusuhan yang berulang di Kalbar". Tema ini distruktur dai yang bersifat "deklaratif" yakni memberitakan peristiwa Sambas dan c
-t^puv,^
Sejalan dengan tema utama, pemberitaan dikembangkan dalam tema-tema yang mencakup: "akibat kerusuhan", dan "pemicu kerusuhan" seperti dalam kutipan alinea berikut.
Tiga orang tewas akibat kerubutan antarwarga di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Sementara itu 20 rumah rusaki dan dua truk hangus dibakar massa. Hingga Senin malam suasana masih mencekam" "Kapolda
Kalbar Kolonel (Pol)
Chaerul Rasyid hari Senin
sore
mengatakan peristiwa itu berawal dari masalah sepele, yang kemudian berkembang menjadi penyerangan,
pembakaran,
dan pembunuhan atas
sekelompok warga lainnya..." "Menurut keterangan berbagai sumber, awalnya pada Minggu (21/2) sore Rudi, warga Desa Pusaka, Kec Tabass, naik kendaraan umum di daerah itu.
Setelah turun di Desa Mensere, Rudi menolak membayar.
Kernet
angkutan umum itu, Bujang Idris lalu memeiototinya. Rudi tersinggung lalu pulang ke rumahnya di Desa Pusaka dan mengambil celurit. ... Pada sore itu Rudi menyabet Bujang Idris dengann celuritnya, sehingga luka" Masyarakat Desa Semparuk, Kec. perlakuan Rudi.
Pemnagkat tidak menerima
Pada Senin pukul 02.00 dinihari,
mereka membakar
kompleks perumahan... Pada waktu yang bersamaan , massa lainnya juga membakar tiga rumah di desa Tebas Kuala.."
Bab 4
197
Secara berturut-turut tema dalam teks berbicara tentang awal
dan
meluasnya kerusuhan, akibat kerusuhan dari segi jumlah orang yang tewas, dan tindakan pengamanan kerusuhan. Dari penstrukturan tema dan referensi yang digunakan, terlihat bahwa Kompas berbicara tentang kasus Sambas dengan orientasi keamanan. Mendukung sudut pandang keamanan ini, istilah yang digunakan
untuk
menyebut kerusuhan adalah "keributan antar warga". Dalam kamus bahasa
keributan diartikan dengan suasana kacau, gempar, dan gangguan keamanan. Selain itu, dalam pemberitaan ini warga diberi identitas dengan nama desa, dan nama individu yang terkait dengan kerusuhan. Dengan cara tersebut Kompas tampaknya menempatkan perspektif keamanan sebagai latarbelakang (background) pemberitaan, dan menutup kemungkinan informasi lain misalnya yang berkenaan dengan pertikaian antar kelompok yang berorientasi SARA. Oleh karena itu perspektif keamanan juga tampak sebagai tujuan pemberitaan. Untuk menggambarkan tingkat gangguan keamanan yang terjadi, Kompas lebih menonjolkan faktor internal yang mendorong warga terlibat ke dalam pertikaian seperti "kesadisan" yang dilakukan warga terhadap korban kerusuhan, dan penggambaran warga sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam dendam lama, dan mudah terbakar oleh masalah sepele. Untuk memahami orientasi keamanan yang digunakan Kompas secara lebih detail, dapat dilihat beberapa butir kesimpulan yang ditarik dari struktur teks sebagai berikut.
Bab 4
198
1) Situasi di Kec. Tebas Kab Sambas mencekam, tiga orang tewas, serta 20 rumah dan dua truk dibakar massa sebagai akibat kerusuhan. 2) Menurut Kapolda Kalbar, peristiwa itu berawal dari masalah sepele yang kemudian berkembang menjadi kerusuhan besar antar warga. 3) Masyarakat melakukan pembalasan terhadap kelompok lainnya dengan menyerang desa dan membakar rumah. 4) Sepanjang hari warga berjaga-jaga di kampungnya masing-masing untuk mengantisipasi penyerangan. 5) Di kota
Kecamatan
Pemangkat situasi
mencekam, aparat keamanan
meningkatkan pengamanan. Dari rangkaian kesimpulan tersebut, terlihat bahwa konflik antar warga di Sambas,
digambarkan
oleh
Kompas sebagai
perkelahian
keamanan) yang menewaskan banyak orang, sementara
besar
(gangguan
indentitas warga tidak
jelas. Dalam pemberitaan ini, ditonjolkan hubungan antar masyarakat yang sarat dengan dendam,
sehingga masalah kecil dan sepele dapat menjadi awal
perkelahian besar. Secara tidak langsung,
Kompas menyampaikan bahwa warga
cenderung emosional, dan mudah terpancing untuk melakukan perkelahian massal. Dari teks ini ada beberapa makna yang dapat dipahami, yakni sebagai berikut. 1) Peristiwa Sambas dalam sudut pandang Kompas adalah peristiwa perkelahian antar warga yang berkembang dalam bentuk kerusuhan massal. Perkelahian diwarnai dendam antara sekelompok warga terhadap warga lain sehingga
Bab 4
199
mengakibatkan
kerusuhan
berulang-uiang,
dengan
pemicu
hanyalah
persoalan kecil. Warga digambarkan mudah terbakar emosi, pendendam, dan sadis. Dengan tidak menyebut identitas apapun kecuali nama desa, Kompas menghindari penjelasan bahwa kerusuhan ini bernuansa suku, agama, atau identitas lain yang sensitif. Dengan demikian, pembaca dibatasi hanya berfikir sebatas faktor keamanan. 2) Dengan
pemberitaan
yang
sebatas
orientasi
keamanan,
Kompas
menampilkan diri dengan identitas lembaga yang berusaha menciptakan rasa "aman" dalam masyarakat sebagaimana kemauan pemerintah yang lebih mengutamakan keamanan sebagai landasan pembangunan masyarakat. Untuk
mendukung
identitas
tersebut,
maka
tema-tema
pemberitaan
dikembangkan dalam bentuk pernyataan yang cenderung "netral", seperti menyebut peristiwa dengan istilah "kerusuhan" atau "perkelahian antar warga", dengan tidak menyebut sama sekali identitas etnik. Tidak jelas kelompok mana yang jai.fi korban dan kelompok rnana yang menyerang. Untuk itu AVwyvf^crndrning menunjuk nama '.e< ai a individu. 3)
Secara
tekstual,
tema
yang
dikembangkan
memberi
informasi
kepada
pembaca tentang kondisi keamanan dalam kerusuhan di Kalimantan. Dari teks ini hubungan antar etnik tidak digambarkan secara jelas, n a m u n hal yang paling banyak clisoioll sch.ni.n pemicu konflik adalah : 1)
masyarakat yang mudah mengamuk hanya kaien.i persoalan sederhana; dan
Bab 4
200
2) kerusuhan berulang terjadi karena balas dendam atas tindakan pribadi dari kelompok yang dianggap menjadi lawan. Untuk melengkapi analisis tentang cara pemberitaan Kompas mengenai kasus Sambas, berikut ini dikemukakan teks lain.
SAMBAS DAN SAMPIT, KOMPAS Tanggal: 20-03-1999 Judul Teks: Kerusuhan di Sambas SEBANYAK 15.000 ORANG DIUNGSIKAN Isi Berita:
Situasi di Kabupaten Sambas, (19/3) masih belum normal.
Kalimantan Barat, hingga hari Jumat
Pengepungan kampung di pedalaman yang dihuni
warga asal Madura masih berlangsung. Sementara itu, sekitar 15.000 warga Madura diungsikan
ke
Pontianak dengan
kapal dan
truk.
Gelombang pengungsi ini
diperkirakan terus bertambah karena tersebarnya isu penyerangan ke kampung mereka. Jumlah
korban
tewas
akibat kerusuhan
di Sambas hingga
semalam
bertambah 13 orang, sehingga dalam insiden selama lima hari terakhir jumlahnya menjadi 64 orang. Pembahasan Judul utama teks
adalah "Sebanyak 15.000 Orang Diungsikan" yang
dikaitkan dengan "Kerusuhan Sambas". Tema liputan yang dapat dipahami dari judul ini adalah "nasib pengungsi kerusuhan Sambas".
Bab 4
201
Gagasan tersebut distruktur dalam teks dengan tema-tema terkait yakni, "keadaan warga Madura yang semakin sulit karena dikepung", seperti dalam kutipan berikut.
."Jumlah ini kemungkinan terus bertambah karena masih banyak warga pendatang asal Madura yang tinggal di lokasi yang Jauh dari jalan
raya,
sedangkan massa terus melakukan pengejaran dan
pengepungan di sejumfah desa..' Dalam teks tidak disebutkan kelompok yang mengepung warga Madura, tetapi hanya digambarkan bagaimana penderitaan warga pendatang itu. Pada bagian lain digambarkan suasana yang tidak aman seperti kerusuhan melumpuhkan
kehidupan ekonomi,
suasana mencekam dan sepi di iokasi kerusuhan-,
dan
peningkatan jumlah pasukan keamanan". Di sisi lain Kompas mengemukakan bahwa kerusuhan dipicu oleh persoalan sepele yaitu H pertikaian antara penumpang bus
dengan kernetnya, ... kemudian terjadi peristiwa pembantaian oleh warga yang bukan penduduk asfi setempat terhadap 31 warga Kec Semaiantan yang pulang kerja. Secara tidak langsung, Kompas menggambarkan bahwa peristiwa kerusuhan Sambas
disebabkan
kesalahan
warga
pendatang
sehingga
mengakibatkan
penderitaan bagi mereka. Gagasan ini kemudian ditegaskan dengan rujukan pendapat pejabat " masyarakat pendatang tidak menghormati adat istiadat warga
setempatPada bagian akhir, Kompas menunjukkan simpati kepada kondisi warga
Bab 4
202
yang menunggu dievakuasi dan himbauan kepada pemerintah agar lebih arif dan bijak menangani kerusuhan. Secara
keseluruhan terlihat pola pemberitaan
Kompas, dimulai dari
-gambaran kerusuhan yang mengakibatkan terdesaknya kondisi salah satu warga yang bertikai, menyulitkan aparat keamanan, serta melumpuhkan ekonomi dan pendukung kehidupan.
Kemudian mengembangkan tema tentang pihak yang
dianggap menyumbang kesalahan dalam kerusuhan yaitu warga pendatang yang tidak menghormati adat istiadat warga tempatan. Terakhir tema tentang himbauan kepada pemerintah agar lebih arif dan bijak dalam menangani kerusuhan. Dari tema-tema yang dikembangkan dalam teks ini, dapat ditarik beberapa makna sebagai berikut. 1) Kompas memberikan gambaran kepada pembaca, bahwa ^tingkat keamanan" dalam
masyarakat
di
Sambas
sangat
memperihatinkan.
melumpuhkan kehidupan sosial dan ekonomi,
Kondisi
ini
juga membuat masyarakat
yang menjadi korban berada dalam posisi yang terdesak. Namun di sisi lain, kelompok yang menjadi korban dianggap sebagai penyebab karena tidak menghormati adat masyarakat asli, sehingga menimbulkan d e n d a m y a n g berlangsung
lama.
mengemukakan karena
Dalarn
bahwa
kesalahan
hal
"hilangnya
mereka
yang
Ini,
Korup, is
rasa tidak
aman"
secara
tidak
masyarakat
menghormat»
langsung pendatang,
penduduk
asli.
"Perspektif k e a m a n a n " , dalam teks Ini, tidak hanya menjadi latar belakang
Bab 4
pemberitaan, tetapi juga digunakan untuk menyampaikan rangkaian sebab akibat kerusuhan. 2) Dari segi identitas, terlihat dari cara Kompas mengembangkan teks yang banyak menggunakan kalimat deklaratif Namun
bila
diamati
secara
lebih
berupa pemberian informasi.
kritis
dan
kontekstual,
tampak
kecenderungan Kompas memilih posisi imperatif yaknr berupa pesan-pesan keharusan tersembunyi yang ditujukan kepada warga, dan pemerintah dalam menangani kasus pembauran antara warga pendatang dan asli. Di balik sifat imperatif ini terlihat identitas Kompas sebagai media yang mengambil sikap seolah-olah sebagai "bapak" yang berusaha mengambil posisi mengingatkan "anak", bahwa kalau
tidak mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat
yang didatangi, maka akan menerima akibat yang menyusahkan diri sendiri dan juga orang lain. Dengan bahasa lain dapat disebut sebagai sikap "paternalistik".
Melalui
sikap
ini,
Kompas mengajak
pembaca
untuk
mengambil pelajaran dari kasus Sambas. Identitas paternalistik juga terlihat pada referensi berita yang digunakan Kompas seperti dari kalangan tokoh masyarakat yang memberikan himbauan kepada pemerintah agar segera menyelesaikan persoalan antar warga di Sambas. 3) Secara
tekstual,
Kompas
mengungkapkan
kepada
pembaca
bahwa
kerusuhan Sambas saat berita diturunkan telah membuat warga Madura dalam posisi yang sangat sulit dan memprihatinkan.
Bab 4
204
Dalam teks kedua Ini, identitas salah satu etnik dinyatakat\\ s S c B f c y e ^ f l , dengan sebutan "warga asal Madura" dan "masyarakat pendatang'' ~ masyarakat ini dijelaskan sebagai kelompok yang terdesak dan menjadi korban kerusuhan, sekaligus kelompok yang dianggap "bersalah" atas terjadinya kerusuhan. Berdasarkan cara pemilihan kata, tersirat gambaran tentang kasus Sambas menurut
Kompas sebagai berikut 1) Konflik antar etnik dari kelompok masyarakat pendatang (asal Madura) dan masyarakat asli Sambas. 2) Konflik
meluas
disebabkan
sikap
masyarakat
pendatang
yang
tidak
menghormati adat istiadat setempat. 3) Pandangan negatif dan dendam antara
masyarakat pendatang dan
masyarakat asli. Beberapa kesimpulan berikut yang ditarik dari teks kedua ini, akan memperjelas posisi Kompas dalam memberitakan konflik Sambas dan Sampit. 1) Hampir sebulan kerusuhan Sambas berlangsung situasi masih belum normal karena pengepungan terus berlangsung dan pengungsi semakin bertambah. 2) Korban tewas dari kalangan warga pendatang asal Madura terus bertambah, karena massa terus melakukan pengejaran
dan pengepungan ke desa
mereka. 3) Kerusuhan terus meningkat dengan aksi saling balas dendam dan meluas ke kecamatan lain.
Bab 4
205
4) Suasana kerusuhan sangat mencekam, terlihat jalanan sepi, asap masih mengepul dari rumah yang terbakar, dan di tempat tertentu ada pemajangan potongan tubuh korban yang tewas. 5) Menurut Pangdam ada kemungkinan penambahan pasukan dan tindakan represif jika kerusuhan tidak mereda. 6) Gubernur Kalbar mengatakan salah satu penyebab kerusuhan adalah karena masyarakat pendatang tidak menghormati adat istiadat setempat. 7) Ribuan orang menunggu untuk dievakuasi karena mereka terus dikejar dan dikepung. 8) Pemerintah diminta mengakomodasi masukan dari daerah untuk meredam kerusuhan. 9)
HMI Pontianak meminta Bupati Aryo mundur dari jabatan. Dari
analisis
kedua
teks
di
atas,
tampak
Kompas mengembangkan
pemberitaan dalam konteks gangguan keamanan yang melumpuhkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Gangguan.ini berupa pertikaian antara "kelompok pendatang" asal Madura dan "warga setempat" di Sambas. Oleh karena pemberitaan terfokus kepada persoalan keamanan, maka isi teks didominasi oleh kondisi-kondisi gangguan keamanan yang dialami masyarakat. Hanya saja, gangguan itu ditinjau dari sudut masyarakat pendatang yang menjadi korban kerusuhan dan sekaligus pemicu kerusuhan. Secara tidak langsung, melalui teks kedua, Kompas mengambil posisi yang memojokkan salah satu kelompok yang bertikai (Madura) dengan mengemukakan
Bab 4
206
kondisi mereka yang saat ini dikepung oleh penduduk setempat, disebabkan mereka sebagai anggota masyarakat yang tidak menghormati adat istiadat warga setempat Dengan menvonis satu pihak sebagai penyebab masalah, serta didukung referensi dan kelangan pejabat, terlihat Kompas berusaha memperkuat orientasi keamanan dengan menampilkan sikap "paternalistik" yang ditransfer dari institusi lain yakni pemerintah atau pejabat (rekayasa wacana). Oleh karena itu, kesan yang terlihat dalam pemberitaan adalah ibarat "orang tua" yang sedang mengingatkan "anak" yang sedang bertikai, dengan cara otoriter. Dengan cara-cara pemberitaan seperti
itu,
media massa berperan sebagai "penjaga
keamanan"
"pemberi
peringatan kepada pihak-pihak yang dianggap bersalah dalam suatu masyarakat^ sebagaimana halnya penguasa yang otoriter". Dalam masyarakat multikultural, pola pemberitaan yang memihak penguasa atau memakai suara penguasa,
merupakan kontra-produktif untuk membentuk
sikap masyarakat yang menghargai perbedaan secara dewasa. Semestinya dalam masyarakat
multikultural
perbedaan
dan
keunikan
setiap
kelompok
harus
mengemuka sehingga setiap orang dapat melihat sisi-sisi positif dan negatif secara M
objektif. Media massa diharapkan dapat menjadi mediator terciptarrya suasana saling memahami di kalangan masyarakat, bukan menjadi penguasa yang mencari kesalahan masyarakat bila terjadi satu masalah. Walaupun demikian dari pemberitaan Kompas ini ada pelajaran yang dapat ditarik, yaitu warga masyarakat yang beragam sangat rapuh dan mudah terpecah ketika persoalan kecil dalam hubungan antar warga tidak segera diselesaikan
Bab 4
207
dengan cara bijak. Namun, pelajaran itu disampaikan oleh Kompas dengan sikap yang cenderung menggurui. Berikut ini adalah berita tentang konflik Sambas dan Sampit dalam tinjauan
Media Indonesia. Namun dalam hal ini khusus W/digunakan kasus Sampit yang juga mengandung konflik antar etnik pendatang dengan penduduk asli.
SAMBAS DAN SAMPIT: MEDIA INDONESIA Tanggal 23-02-2001 Judul Teks: Sedikitnya 100 orang Tewas Situasi Sampit Masih Mencekam Isi berita:
Korban tewas akibat konflik etnik di Sampit kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah, terus bertambah. Hingga hari kelima kemarin korban tewas mencapai sedikitnya 100 orang. Kepala
Departemen
Kesehatan
Waringin
Timur Qomaruddin Sukhami,
mengungkapkan sebanyak 93 mayat telah ditemukan. Rinciannya 61 korban tewas didapati di ibukota Sampit, 28 di Paragian, 40 km arah utara Sampit, dan empat lainnya di Kasongan. Pembahasan Ada dua pesan yang dapat ditangkap dari judul teks di atas, yaitu korban tewas dan suasana mencekam. Keduanya menunjukkan akibat dari peristiwa yang dipahami secara implisit yakni konflik di Sampit.
Bab 4
208
Dari kalimat judul tampak bahwa fokus pemberitaan yang akan dikemukakan dalam teks, adalah situasi keamanan di wilayah tempat terjadinya konflik. Oleh karena itu, teks kelihatan distruktur dengan perspektif keamanan dan rujukan dari pihak aparat keamanan dan pihak yang terkait seperti dari petugas kesehatan dan transportasi. Secara garis besar tema yang dikembangkan adalah dari segi "jumlah korban", "jumlah pasukan keamanan, jumlah pengungsi", " keadaan pengungsi", dan "dalang kerusuhan". Di samping itu, istilah yang digunakan untuk menyatakan kasus Sampit adalah: konflik etnik, situasi yang membara dan mencekam, kerusuhan etnik, dan daerah maut. Kemudian kondisi pengungsi digambarkan dalam keadaan tidak berdaya dan dalam keadaan tidak ada perlindungan dan sedang menanti bantuan evakuasi, seperti dalam kutipan berikut.
"Setelah lima hari di landa kerusuhan berdarah>, puluhan ribu penduduk Sampit yang memadati sejumlah lokasi penampungan pengungsi, terus menantikan datangnya bantuan evakuasi untuk membawa mereka keluar dari daerah maut tersebut" Dilihat dari cara penstrukturan liputan, terlihat maksud MI untuk memberi gambaran suasana yang sangat tidak nyaman di Sampit, yakni warga yang bertikai saling
membunuh,
membakar,
dan
mengusir
satu
sama
lain.
Selain
itu
pengungkapan secara khusus warga yang menjadi korban sangat tidak berdaya menolong diri mereka dari serangan lawan-lawan melengkapi gambaran bahwa warga yang bertikai bertindak di luar kemanusian dan penuh dendam.
Bab 4
22K>
Namun kondisi masyarakat yang tidak terkendali itu dikaitkan dengan pelaku (penggerak) kerusuhan, yang secara personal ditunjuk dengan jelas oleh aparat keamanan
dengan menggunakan identitas dan bentuk tindakan mereka dalam
menggerakkan massa untuk kepentingan kekuasaan, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
"Menurut Didi (Kapuspen Polri) awal keributan itu dipicu oleh Fr dan BI karena mereka aadanya
perubahan
tidak memperoleh jabatan lagi,
sistem pemerintahan
setelah
dari pemerintahan pusat ke
pemerintahan daerah. Keduanya lantas menyuruh DN mencari orang yang akan melakukan keributan sehingga timbul kerusuhan massa." Selain sadis seperti yang digambarkan di atas, masyarakat digambarkan juga sebagai
orang
yang
mudah
diprovokasi,
atau
digerakkan
sesuai
kemauan
provokator. Tersirat dalam pandangan ini bahwa masyarakat adalah kelompok yang tidak rasional sehingga mudah dipengaruhi. Namun dalam menyajikan berita,
sudut pandang MI lebih dominan
berorientasi keamanan, dan orientasi politik dengan tujuan keamanan. Secara jelas orientasi MI ini dilihat dari pemilihan istilah untuk menjelaskan peristiwa, dan diperkuat dengan referensi aparat keamanan, seperti dalam kutipan berikut.
'!Menurut
Menko
Polkam... .pemerintah
memutuskan
pengiriman
pasukan TNI untuk mencegah kerusuhan baru"
Bab 4
22K>
Di Jakarta, Kapuspen Polri... mengungkapkan bahwa pihaknya telah menahan 83 orang tersangka kasus pembunuhan dan kerusuhan massa di Sampit" Dari cara penstrukturan tema dan istilah yang digunakan dalam teks dapat disimpulkan beberapa makna sebagai berikut 1) Dalam teks ini tersirat beberapa kelompok yang menjadi fokus pembicaraan, yaitu
pengungsi, pelaku kerusuhan, aparat keamanan, dan pemerintah.
Kesemua kelompok yang dijadikan fokus berita disoroti oleh MI dalam perspektif keamanan. Dengan ini dipahami bahwa MI ingin menyampaikan pesan bahwa kerusuhan di Sampit ada (ah gangguan keamanan yang disebabkan oleh ulah provokator yang ingin mencapai tujuannya melalui kerusuhan. Gangguan keamanan ini telah menimbulkan arus pengungsi. Oleh karena itu aparat keamanan segera bertindak menahan para pelaku kerusuhan. 2) Oleh
karena
MI menggunakan
sudut
pandang
keamanan
sebagai
latarbelakang teks, maka identitas yang dicerminkan adalah identitas kalangan aparat keamanan dan pemerintah. Di sini, MI berperan sebagai pembawa pesan-pesan dari pemerintah dan pihak keamanan. 3) Secara tekstual, liputan AV ini merupakan informasi kepada pembaca tentang kondisi keamanan Sampit yang dilanda kerusuhan. Berikut ini pokok-pokok yang berkenaan dengan isu hubungan antar etnik yang dominan dalam konflik di Sampit
Bab 4
22K>
1) Pertikaian antara etnik pendatang dan penduduk setempat. 2) Pertikaian terjadi karena provokator. 3) Kemungkinan pertikaian terkait dengan aspek politik di tingkat lokal. Untuk memahami makna teks secara lebih baik, berikut beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan pertimbangan. 1)
Korban Sampit terus bertambah
2) Pemerintah
meningkatkan
armada
transportasi
untuk
mengevakuasi
pengungsi. 3) Pemerintah meningkatkan jumlah pasukan keamanan 4) Keadaan pengungsi yang memprihatinkan Sebelum membahas lebih luas mengenai cara MI mengemukakan berita konflik di salah satu propinsi di Kalimantan ini, berikut dikemukakan satu lagi teks dari yang berbicara tentang konflik Sampit. SAMBAS DAN SAMPIT, MEDIA INDONESIA Tanggal 25-2-2001 Judul Teks: Api Dalam Sekam di Sampit Isi Berita:
Mengherankan kenapa kerusuhan di Kalimantan selalu dipicu oieh penduduk lokal, suku Dayak, dan orang Madura. Rusuh di Sampit yang sampai Sabtu lalu telah menelan korban tewas 200 orang lebih, adalah konflik panjang yang terus berulang di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah. Kerusuhan massal dan berdarah-darah yang
Bab 4
22K>
meletus sejak Ahad pekan lalu itu adalah peristiwa ke-16 kalinya sejak tahun 1950an. Bayangkan konflik berdarah yang ke 16 kalinya, antara suku Dayak dan Madura. Karena itu, bagi mantan Pangdam Tanjungpura (1988-1991) Letjen (Pum) Z. A Maulani, konflik dan perkelahian antara kedua suku tersebut ibarat api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa meletus... Pembahasan Teks diberi judul dengan satu perumpamaan yaitu " Api Dalam Sekam di Sampit". Kalimat ini dijumpai di dalam teks sebagai kesimpulan yang dirujuk oleh
MI dari seorang mantan aparat keamanan yang pernah bertugas di Sampit Dari judul tersebut, tersirat makna bahwa kerusuhan Sampit telah berlangsung lama di bawah permukaan kehidupan sehari-hari antara warga Dayak dan warga Madura (ada dendam yang berkepanjangan antara penduduk Dayak dengan Madura). Tema-tema yang mendukung gagasan yang disampaikan dalam judul dikembangkan dalam teks berupa: "harapan agar penyelesaian konflik dilakukan secara mendasar"; "konflik yang berkepanjangan hanya antara suku Dayak dan Madura";
"warga
Madura
yang
pendendam";
"warga
Madura
tidak
bisa
menyesuaikan diri dengan masyarakat asli'; dan "persaingan ekonomi antara masyarakat pendatang dan asli". Secara keseluruhan tema-tema tersebut menyiratkan informasi, bahwa dendam yang tidak kunjung berakhir antara masyarakat Madura dengan masyarakat Dayak karena sikap masyarakat Madura yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
Bab 4
22K>
masyarakat asli. Selain itu digambarkan bahwa dendam dipertajam dengan persaingan ekonomi, dan ekploitasi oleh pemilik modal. Beberapa istilah yang digunakan oleh MI untuk menyatakan peristiwa Sampit adalah: "kerusuhan massal dan berdarah-darah", "konflik dan perkelahian antara dua
suku",
"kerusuhan
bernuansa
SARA",
dan
"bentrok
antar
kelompok
masyarakat". Berdasarkan tema dan istilah yang dikembangkan dalam teks dapat ditarik beberapa makna teks sebagal berikut. 1) MI menyampaikan gagasan mengenai kasus Sampit sebagai pertikaian antara etnik Dayak dan Madura. Dalam pertikaian ini, terkandung adanya benturan budaya yang membawa dendam berkepanjangan antara kedua suku. Namun dalam teks dinyatakan kesalahan terbesar dalam pertikaian itu disebabkan warga Madura yang tidak dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan dengan warga Dayak (asti). Secara implisit terlihat bahwa warga Madura
merupakan
penyebab
terjadinya
kekacauan
atau
gangguan
keamanan di Sampit. Namun semua anggapan ini dirujuk secara langsung oleh MI kepada referensi yang sebelumnya menjabat Panglima Kodam di wilayah Kalimantan Tengah. 2) Meskipun analisis yang dikemukakan informan MI untuk menilai kasus Sampit bersifat budaya, bahasa "keamanan" tet;>(> mendominasi kesimpulannya. Kesan ini terlihat d;iri ar.ih pemberitaan y;inq melihat. kesalahan hanya dari satu pihak yang bertikai. Kebiasaan yang berlaku dalam penyelesaian kasus
Bab 4
22K>
dengan perspektif keamanan, adalah melihat satu objek sebagai sumber masalah, untuk memudahkan penyelesaiannya. Salah satu contoh cara ini adalah dengan menempatkan pelaku kerusuhan massal yang belum diketahui penyebabnya tetapi difokuskan pada provokasinya. Begitu Juga dalam analisis ini, terlihat bahwa dengan menyalahkan salah satu pihak diharapkan ada respon untuk melakukan perubahan dari pihak yang bersalah atau setidaknya dalam kasus yang luas seperti kasus Sampit, sudah ditemukan satu titik berangkat penyelesaiannya. 3) Secara tekstual, teks ini memberi informasi tentang dendam lama dan berkepanjangan antara suku Dayak dengan warga asal Madura. Untuk memperjelas makna yang diambil di atas, berikut ini dikemukakan beberapa kesimpulan yang terkait dengan tema-tema dalam teks. 1) Pertikaian antara warga Dayak dan Madura di Sampit sudah terjadi berulangkali selama bertahun-tahun. 2) Warga Dayak tidak bertikai dengan pendatang lain selain warga asal Madura. 3) Ketika terjadi perkelahian yang menewaskan seorang warga Madura, maka warga Madura marah dan melakukan penyerangan. 4) Warga Madura merupakan warga pendatang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Isu hubungan antar etnik yang dominan dalam sorotan teks kedua ini adalah sebagai berikut. 1) Kasus Sampit merupakan pertikaian antara Suku Dayak dan Madura.
Bab 4
22K>
2) Ada stereotipe yang berkembang dalam masyarakat sehubungan dengan sifat jelek dari warga Madura. 3) Pertikaian kedua kelompok yang sudah berjalan lama, dimanfaatkan oleh provokator dari kalangan politisi untuk meraih jabatan. Dari dua buah teks pemberitaan
tentang konflik Sampit ini,
terlihat secara eksplisit
MI yang dibingkai dengan perspektif keamanan.
Perspektif ini
dipertegas oleh MI dengan menggunakan rujukan pejabat atau mantan pejabat di bidang keamanan (poiri atau TNI). Dalam bahasa Fairdough (2001) pemberitaan MI ini memperlihatkan satu proses transfer wacana dari satu institusi (keamanan) ke media massa. Dalam hal ini, media massa menyuarakan suara dari institusi tersebut dengan bahasa media massa. Pola pemberitaan seperti ini, banyak terjadi dalam masyarakat yang cenderung otoriter, dengan mengutamakan keteraturan, keamanan, dan tidak ada gejolak apapun dalam masayarakat. Pola pemberitaan seperti ini mengajak pembaca untuk berfikir secara linear, bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak ada konflik. Jika ada konflik, berarti terjadi gangguan keamanan, maka aparat keamanan sebagai bagian dari kekuasaan bertugas menghambat meluasnya gejolak dengan segera mengatasinya. Dilihat dari kepentingan kekuasaan pendekatan seperti di atas dapat dimengerti, namun dilihat dari peran media massa yang berada dalam masyarakat yang multikultural, pola pemberitaan yang hanya berorientasi kepada kepentingan
Bab 4
22K>
kekuasaan (keamanan) tidak memberikan sumbangan bagi terciptanya masyarakat yang multikultural. Dalam
orientasi
multikultural,
masyarakat
digambarkan
dari
sudut
keragaman, baik negatif atau positif, untuk dipahami oleh satu sama lain. Dengan cara ini, masyarakat paham bahwa setiap kelompok memiliki sisi-sisi positif di samping sisi negatif dari kelompoknya. Selain itu, media massa juga dapat berperan mengembangkan alternatif kehidupan masyarakat multikultural yang demokratis. Dengan cara ini masyarakat dipahamkan bahwa keragaman bukan berujung kepada pertikaian; dengan orientasi keragaman bukan berarti masyarakat pendatang saja yang harus menghormati penduduk asli, tetapi antar sesama masyarakat bisa saling memahami dan menghormati.
4.1.2.2
Perbandingan
Pandangan
Republikar
Kompas,
dan
Media
Indonesia tentang Konflik Sambas dan Sampit Untuk melakukan komparasi ini digunakan beberapa unsur pembeda yang mencakup hal-hal sebagai berikut. 1) Perspektif yang dikembangkan dalam teks 2) Istilah yang digunakan untuk menyebut kerusuhan 3) Istilah yang digunakan untuk menyebut warga yang bertikai 4) Isu hubungan antar etnik yang dominan Sebelum uraian detail tentang perbandingan ini, berikut ini adalah tabel ringkasan perbandingan ketiga media massa tentang konflik Sambas dan Sampit.
Bab 4
22K>
Tabel 4.1.2.2.1 Perbandingan Pandangan Republika, Kompas, dan MI mengenai Konflik Sambas dan Sampit Unsur Pembanding Perspektif Pengembangan Teks Istilah yang digunakan untuk menyebut kerusuhan
Republika Keamanan politik
Kompas dan Keamanan
Kerusuhan; Anarkisme sosial; Huru-hara; Pertikaian;
Kerusuhan; Kerlbutanantarwarga;
Istilah yang digunakan untuk warga yang bertikai
Pendatang vs warga pedalaman; Madura vs MelayuDayak-Cina
Nama Individual dan daerah asal; Warga asal madura; Pendatang vs warga setempat
Isu etnisitas
Konflik SARA antar suku yang berbeda; Konflik antar warga pendatang dengan penduduk asli; Anarkisme sosial yang mengancam keutuhan bangsa; Dendam lama antara warga dari suku Madura dengan Dayak
Konflik antar kelompok pendatang (Madura) dengan warga setempat; Masalah berawal dari masalah sederhana hingga kepembunuhan; Dendam membuat kerusuhan semakin meluas
Media Indonesia Keamanan Kerusuhan massal dan berdarahdarah; Konflik dan pertikaian antar dua suku; Konflik bemuansan SARA; bentrok antar kelompok masyarakat Dayak vs Madura; Madura vs masyarakat asli; Masyarakat pendatang vs warga asli; Konflik Antar suku Madura dan Dayak; Masyarakat mudah diprovokasi; Provokasi berasal dari individu yang menginginkan kekuasaan; Masyarakat pendatang asai Madura memiliki karakter yang tidak dapat serasi dengan penduduk setempat.
Ketiga media massa di atas menggunakan perspektif yang sama dalam mengungkap konflik Sambas dan Sampit, yaitu keamanan. Hanya saja, ada perbedaan yang mendasar sekaligus merupakan karakteristik masing-masing media massa.
Bab 4
22K>
Republika
bertolak
dari
perspektif
keamanan
untuk
kemudian
mengembangkan ke arah politik. Dalam tinjauan keamanan, konflik dipandang bersifat horizontal dan juga lokal. Sampai pada tingkat ini, Republika beiperan sebagai media yang menginformasikan situasi keamanan di lokasi konflik. Namun sebagai
media
massa
yang
berlatarbelakang
politik,
Republika Berusaha
mengembangkan wacana bahwa ada kemungkinan kerusuhan Sambas merupakan satu rangkaian gangguan keamanan yang terjadi secara nasional dan merupakan tantangan bagi pemerintah. Jadi dalam hal ini, Republika menjadikan sudut pandang "keamanan" sebagai iatar belakang untuk mengembangkan sisi politik dari peristiwa kerusuhan. Sedangkan Kompas menggunakan sisi pandang "keamanan" sebagai latar belakang pemberitaan. Tetapi dengan tujuan untuk menciptakan "rasa aman" bagi pembaca.
Pengungkapan sisi keamanan dan segala upaya yang dilakukan oleh
aparat, dapat diartikan sebagai upaya Kompas menenangkan masyarakat bahwa situasi keamanan dapat dikendalikan oleh petugas. Selain itu, dengan menutupi semaksimal
mungkin
identitas
kelompok
yang
bertikai,
Kompas berusaha
"melokalisir" gangguan keamanan di wilayah konflik. Di sini tampak karakteristik
Kompas sebagai media yang tampil dengan sosok "kedewasaan" dan bahkan terfcesan "paternalistik". Dalam bahasan Hamad (2004) disebut dengan sosok
"humanisme transendental'. Dari segi penempatan perspektif keamanan, bagi media massa Kompas adalah sebagai latar belakang dan sebagai tujuan, sedangkan bagi Republika sisi
Bab 4
22K>
pandang keamanan sebagai latar belakang untuk mendukung sisi pandang politik yang menjadi tujuan pemberitaan. Bagi kedua media massa tersebut orientasi keamanan dikembangkan dalam karakter masing-masing. Repubiika tumbuh dalam karakter politik, khususnnya Islam modem,
dan Kompas lahir dan berkembang
dengan identitas humanistik Kristiani (Hamad, 2004). Lain halnya dengan karakter MI dalam menggunakan perspektif keamanan sebagai sudut tinjauan pemberitaan konflik di Kalimantan ini. Meskipun dalam teks, disinggung mengenai persaingan politik antar elit sebagai penyebab konflik,
MI
melihat kasus politik ini hanya sebagai penjelas terhadap gangguan keamanan yang disoroti.
Berbeda dengan sudut pandang dua media massa di atas,
orientasi
keamanan yang digunakan MI merupakan gagasan yang ditransfer dari institusi keamanan ( discourse technoiogies). Menurut Falrclough, artinya adalah cara-cara pengungkapan,
cara-cara
analisis situasi,
dan
cara-cara
penanganan,
yang
semuanya ditranfer dari institusi lain. Oleh karena itu, terlihat MI berperan sebagai penyambung suara aparat keamanan, dengan tujuan memperlihatkan keseriusan dan kinerja aparat kemanan dalam menangani situasi. Karakteristik Ml yang seperti ini dapat dipahami karena posisi MI sebagaimana dibahas oleh Hamad (2004) sebagai koran nasionalis, dan pemiliknya sendiri adalah salah seorang pendiri FKPPI (Organisasi yang menghimpun Putra-Putri Purnawirwan ABRI) dan pengurus aktif dalam organisasi tersebut.
Bab 4
22K>
Dari segi isu hubungan antar etnik yang dikemukakan ketiga media massa, tampak ada satu kesamaan pandangan bahwa konflik Sambas dan Sampit memiliki ciri sebagai berikut. 1) Konflik antara warga pendatang asal Madura dengan penduduk setempat 2) Antara kedua kelompok itu ada dendam yang sudah berlangsung lama, yang di duga berasal dari sikap warga asa! Madura yang sulit diterima oleh warga setempat. 3) Konflik terjadi terutama disebabkan oleh benturan budaya, namun diperkuat dengan faktor ekonomi dan juga politik. 4) Ada dugaan konflik berkembang karena provokator.
Hanya perbedaan ketiga media massa terletak pada cara penyampaian. Republika dan Media Indonesia , secara eksplisit menyampaikan identitas kelompok yang bertikai seperti warga Madura, warga Dayak. Bahkan Republika dan MI secara terang-terangan menyebut warga pendatang vs warga asli. Sedangkan Kompas memakai
bahasa
yang
tidak
menunjuk
kelompok
secara
langsung tetapi
menggunakan nama individu dan atau daerah asalnya, misalnya menyebut warga asal Madura. Kecuali dengan rujukan pejabat. Kompas menyebut warga pendatang vs warga setempat.
Bab 4
22K>
4.1.3 Konflik Poso Menurut Republika, Kompas, dan Media Indonesia (MI) 4.1.3.1 Teks Berita dan Pembahasannya POSO, REPUBLIKA
Judul Berita : Ketika Poso Banjir Darah dan Air Mata (1) PEREBUTAN JABATAN YANG BERBUNTUT TRAGEDI Tanggal 6 Juli 2000 Isi Berita:
Tragedi Poso tak kalah memilukan dibanding tragedi Ambon. Ratusan korban tewas, entah berapa lagi yang luka. Inilah perang antara dua kelompok yang dipicu oleh kecemburuan, konflik perebutan jabatan, dan akhirnya meledak menjadi tragedi kemanusiaan... Wiiayah pegunungan dan pantai berpenduduk 410. 307juta jiwa itu tiba-tiba berubah menjadi arena pembantaian dan pembunuhan manusia. Ratusan orang berseragam hitam dan salib di leher serta pita merah di tangan itu serentak berubah menjadi garang.
Bak
orang
kesurupan
mereka
mengejar,
membacok,
dan
mencincang kaum lelaki yang tak berseragam serupa. Sergapan mereka laksana banteng teriuka yang tak mengenaf belas kasihan... Pembahasan Judul
liputan
ini
dirangkai
dalam
bentuk
kalimat
pernyataan
yang
menyiratkan tema mengenai sebuah konflik yang memilukan di Poso. Selain itu dapat juga ditelusuri melalui judul tersebut pesan tersirat yang ingin disampaikan
Bab 4
22K>
melalui pemberitaan tentang konflik yang mencakup: suasana konflik di Poso, peristiwa yang mendahuluinya, dan akibat peristiwa. Dalam hal ini, pertikaian Poso yang digambarkan dengan "banjir darah dan air mata" menjadi latarbelakang liputan konflik yang tidak hanya peristiwa sosial antar warga tetapi juga berbumbu politik. Kedua sudut pandang ini menjadi sorotan
Republika mengenai konflik Poso. Tema ini dikembangkan dalam teks yang berisi pesan seperti :"serangan tibatiba oleh ratusan orang dengan identitas khusus"; "konflik Muslim dan Non Muslim terpusat hanya di perkotaan"; " umat IsJam diserang dalam keadaan tidak berdaya"; "dugaan keterlibatan aparat keamanan dan pejabat pemda":"kerusuhan diawali dari serangan pemuda Kristen yang sedang mabuk terhadap pemuda Islam yang sedang istirahat"; " isu pembunuhan telah membuat kedua kelompok saling menyerang"; dan * tragedi Poso terkait dengan isu politik di tingkat lokal". Dengan membaca keseluruhan teks, maka makna yang dapat dipahami dari liputan ini adalah hal sebagai berikut. 1) Dari segi interpersonal, pertama dilihat dari rumusan judul
yang bersifat
deklaratif. Judul ini menggambarkan sebuah proses komunikasi dari penulis kepada pembaca berita, bahwa di Poso telah terjadi pembunuhan besarbesaran
dan
membawa akibat emosional yang dalam.
Peristiwa
ini
merupakan rentetan dari peristiwa yang mendahului atau akibat dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yakni "perebutan jabatan". Tema dalam judul ini didukung dengan tema lain dalam teks yang berbicara tentang konflik
Bab 4
22K>
Poso dalam konteks hubungan Muslim dan Non-Muslim di tingkat lokal yang harmonis, namun di tingkat elit terjadi persaingan yang kuat Dalam konteks ini, Republika menempati posisi sebagai reflektor peristiwa dari sudut politik, khususnya posisi umat Islam dalam konstelasi kekuasaan lokal di Poso. 2) Teks ini menyampaikan pesan kepada pembaca, bahwa konflik Poso bukan hanya tragedi kemanusiaan tetapi juga tragedi bagi umat Islam. Tragedi ini dibingkai dalam perspektif politik di saat posisi umat Islam di Poso sedang digeser dari keberagaman masyarakat Poso, melalui persaingan kekuasaan di tingkat elit lokal.
Makna politik dinyatakan
dalam ungkapan "perebutan
jabatan". Ungkapan ini menunjukkan sebuah proses meraih suatu posisi dalam jajaran kekuasaan {power). Secara teoritis, dalam masyarakat plural yang berpotensi konflik ada dua kemungkinan pemicu konflik: perebutan sumber daya alam (ekonomi) dan perebutan power (politik). Dalam konflik Poso (menurut Republika) konflik terjadi karena perebutan power. Pelaku atau kelompok yang terlibat dalam perebutan power tidak dinyatakan dalam teks judul, tetapi disinggung pada bagian akhir teks. 3) Makna tekstual, menunjukkan sorotan Republika tentang peristiwa
yang
sedang terjadi di Poso, dan peristiwa yang mendahuluinya. Secara detail, gagasan dan agenda yang ingin disampaikan dalam Republika dikukuhkan melalui pemilihan-pemilihan kata, penyusunan kalimat pemberitaan, referensi yang digunakan, serta rasional dan alasan pendukung yang dipilih.
Bab 4
22K>
Untuk menggambarkan kejadian pada kasus Poso, pada bagian judul ada tiga ungkapan yang dipakai yaitu: "banjir darah", "banjir air mata", dan "perebutan jabatan". Pemakaian kata-kata ini memberi makna yang menyentuh suasana emosi
(imental procesf), yang menggambarkan penderitaan warga Poso. Di pihak lain Repubiika ingin menyampaikan bahwa penderitaan itu justru "ditiptakan" oleh pelaku
tertentu
yang
menginginkan
kekuasaan
dengan
memanfaatkan
isu
perbedaan agama. Karena itu penggunaan kata-kata ini dapat ditafsirkan sebagai ungkapan mental process dari penulis, dan upaya mengajak pembaca untuk "merasakan" peristiwa tersebut melalui pesan-pesan yang disampaikan dalam teks. Penempatan peristiwa nyata dan korban peristiwa di awal pemberitaan merupakan cara penyajian Repubiika yang dimulai dari kejadian nyata dan akibat untuk kemudian menuju sebab. Dalam rentetan ini terlihat bahwa Repubiika ingin menyampakan bahwa persitiwa di Poso pada bulan Mei 2000 merupakan peristiwa antar dua kelompok yang berbeda agama (Islam dan Kristen). Seperti dalam cuplikan berikut.
" Wilayah pegunungan dan pantai berpenduduk 410. 307juta jiwa itu - tiba-tiba berubah menjadi arena pembantaian dan pembunuhan manusia. Ratusan orang bersergam hitam dan salib diieher serta pita merah di tangan . itu serentak berubah menjadi garang.
Bak orang kesurupan mereka
mengejar, membacok, dan mencincang kaum lelaki yang tak berseragam serupa. Sergapan mereka laksana banteng teriuka yang tak mengenai belas kasihan..."
Bab 4
22K>
Peristiwa ini disebut dengan istilah "perang" dan "tragedi kemanusiaan" antara kelompok Islam dan kelompok Kristen.
Namun, "perang" digambarkan
sebagai peristiwa "serangan" dari satu pihak yang dilakukan secara mendadak dan terencana terhadap kelompok lain. Kelompok penyerang digambarkan memakai atribut
pita merah, seragam hitam, dan tanda salib. Melalui deskripsi tersebut,
dipahami bahwa Republika ingin menyampaikan perang itu terjadi antara kelompok Muslim dan Kristen, dan tragedi itu sangat dirasakan oleh kelompok muslim. Kelompok penyerang digambarkan oleh Republika sebagai kekuatan yang telah dipersiapkan secara matang, sehingga kelompok yang diserang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempertahankan diri.
Secara berulang diungkapkan
dalam beberapa alinea seperti kutipan berikut.
"Kerukunan antarumat di Poso itu tiba-tiba retak pada 23 Mei 2000\ Umat Islam di pedesaan yang hidup terpencar di berbagai pelosok itu nyaris menjadi binatang buruan yang tak berdaya. Mereka dikepung , dikejar, dan dibantai tanpa perlawanan berarti.." Penggunaan "metafora" binatang buruan yang tak berdaya memberikan penekanan makna bahwa "perang" di Poso merupakan sebuah peristiwa yang di luar kemanusiaan dan sangat menyakitkan bagi pihak yang menjadi korban. Oalam peristiwa ini telah terjadi sebuah interaksi yang sangat tidak berimbang, antara kedua kelompok yang bertikai. Satu pihak bersenjata lengkap, berseragam, dan terkomando, penyerangan.
Bab 4
sedangkan
pihak
lain
tidak
menduga
akan
terjadi
peristiwa
Ada sisi kemanusiaan yang diungkap yakni periakuan ketidakadilan
22K>
dalam interaksi antar kelompok. Siapa yang menjadi subjek dalam peristiwa ini tidak dijelaskan kecuali disebut kelompok dengan atribut tertentu. Oleh karena itu
Republika menggiring pembaca kepada peristiwa lain di balik tragedi itu. "Perang" antara kelompok Islam dan Kristen dalam konflik Poso tidak hanya terjadi di kalangan warga masyarakat, tetapi justru berakar pada "perseteruan" antara kedua kelompok agama yang berbeda itu di tingkat elit. Dalam hal ini ada dua kemungkinan pertanyaan: 1) apakah karena faktor agama yang membuat elit berseteru (konflik agama), dan 2) apakah elit berseteru dengan memanfaatkan perbedaan agama (konflik politik). Tampaknya dari pengembangan berita, Republika lebih cenderung melihat keterlibatan elit dengan kemungkinan kedua. Keterlibatan elit dalam konflik diindikasikan dalam
pemberitaan dengan rujukan saksi mata yang melihat
keterlibatan oknum
aparat keamanan, dan
mengemukakan
dugaan
rujukan
aparat keamanan yang
keterlibatan oknum aparat pemda, dan
kelambanan penanganan oleh aparat keamanan.
bukti dari
Diperkuat dengan argumentasi
yang mengemukakan suatu analisis politik di Poso yang saat ini sebagian besar elit kekuasaan dipegang oleh golongan Islam, sedangkan sebelumnya dipegang oleh mayoritas Kristen. Ketika terjadi proses penggantian jajaran kekuasaan, kelompok yang kalah berusaha mengambil kembali posisi yang pernah dikuasai. Meskipun dari rujukan yang dipakai Republika dari tokoh Kristen Palu Drs S. Soundc MPd menyatakan bahwa konflik Poso "bukan perang agama", namun dari argumentasi Ropub/ikn mengena» persaingan antar riil pemeluk Kristen dnn tslam
Bab 4
22K>
memberikan pemahaman lain bahwa konflik Poso sarat dengan muatan politik yang diwarnai perbedaan agama. Dalam kasus ini elit meggunakan perbedaan agama sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Ketika masyarakat Poso berada dalam suasana aman, identitas keagamaan tidak menjadi permasalahan. Namun ketika terjadi "perebutan" posisi yang menguntungkan dalam kehidupan baik berupa akses ekonomi atau akses politik, identitas Itu menjadi kuat dan muncul ke permukaan. Penguatan identitas ini meluas ke arah penguasaan sumber kekuasaan berarti juga sumber ekonomi, dan selanjutnya dominasi oleh kelompok pemenang. Nuansa ini terlihat secara implisit dalam berita konflik Poso yang diangkat Repubiika. Secara halus Repubiika berada pada posisi salah satu kelompok yang bertikai, dan sekaligus menyuarakan posisi itu. Dari berita ini, tampak bahwa isu etnisitas yang dominan dalam konflik Poso menurut versi Repubiika, adalah sebagai berikut. 1) Konflik antar kelompok Islam dan Kristen di kalangan elit untuk menguasai sumber kekuasaan, dan seterusnya ekonomi. 2) Masyarakat di tingkat yang berbeda agama hanyalah "korban" yang dimanfaatkan oleh elit untuk merebut posisi kekuasaan. 3) Isu penganiayaan dan pembunuhan merupakan cara yang paling efektif untuk membangkitkan solidaritas kelompok untuk melakukan penyerangan. Untuk lebih jelasnya pola pemberitaan Repubiika mengenai kasus ini, berikut butir-butir kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan teks tersebut
Bab 4
22K>
1) Suasana damai masyarakat yang beragam di pedesaan tiba-tiba dikacaukan oleh sekelompok penyerang dengan menggunakan atribut seragam hitam dan tenda salib di leher. 2) Masyarakat pedesaan dari kalangan Muslim merasa dijadikan sasaran bafas dendam oleh kelompok yang dufu bertikai. 3) Suasana keakraban antara pemeluk Islam dengan Kristen di pedesaan masih dirasakan oleh warga yang saling tolong menolong dalam menyelematkan diri. 4) Umat Islam di pedesaan yang hidup terpencar dijadikan sasaran oleh kelompok penyerang. 5) Ada kemungkinan keterlibatan aparat kemanan dan pemda dalam serangan itu. 6) Peristiwa Poso yang terjadi sekarang merupakan rangkaian dari peristiwa Poso yang terjadi sebelumnya pada tahun 1998. 7) Tragedi Poso tersebut ada kaitannya dengan pergantian elit kekuasaan di Poso. Kesimpulan-kesimpulan
di
atas
memperlihatkan
bagaimana
Republika
mengemukakan berita dalam perspektif politik Islam secara eksplisit Penggambaran konflik Poso sebagai konflik benuansa politik juga terlihat dalam pemberitaan
Republika berikut.
Bab 4
22K>
POSO, REPUBLIKA
Judul" 'DUKA UMAT ISLAM POSO' tangga! 30 Juni 2000 Isi Berita: Awalnya
Poso
menjadi tujuan
transit banyak
orang
termasuk para
wisatawan, Salah satu daya tariknya adalah alam Poso yang begitu menarik bagi wiasatawan maupun pencinta a/am. Alam pegunungan yang rata-rata di atas 1500m di atas permukaan laut itu bukan hanya kaya berbagai jenis habitat juga bebatuan yang sangat menarik. Ada danau Poso seluas 32 ha serta berbagai jenis patung batu purbakala. Semuanya menarik untuk dikunjungi, dan semuanya menarik untuk dikaji. Bagi investor, Poso merupakan ladang yang subur dengan berbagai jenis tambangnya. Kekayaan alam yang berlimpah itulah menjadikan Poso sebagai salah satu tempat berkumpulnya berbagai etnik. Suku asli seperti Wanda, atau pendatang semisal dari Jawa, Flores, serta yan lain.
Demkian juga dengan agama . Di Poso
berbagai agama bisa tumbuh subur. Islam Kristen, Katolik, Hindu, Budha, serta yang lain. Hanya saja Isfam tetap merupakan mayoritas dari total jumlah penduduk 400 ribu lebih. Umat Islam sebanyak 245.222 orang, Kristen 143.249, Katolik 2.166, Hindu 8030, dan Budha 1597 orang. Selama ini di Poso tak pernah terdengar ada pertentangan etnik, apalagi yang bermuara pada pertentangan penganut agama. Tapi keharmonisan itu tiba-tiba pecah karena kerusuhan bulan Desember 1998...
Bab 4
22K>
Pembahasan Tema yang diangkat Repubiika dalam pemberitaan ini adalah tentang umat Islam yang mengalami penderitaan dalam konflik Poso, dan tentang keharmonisan masyarakat desa yang berbeda agama. Dalam judul liputan ini umat Islam adalah fokus berita yakni sebagai kelompok yang mendapat serangan dari kelompok Kristen. Namun, di beberapa tempat lain justru mendapat teman dari kalangan Kristen untuk sama-sama mempertahankan wilayahnya. Dalam berita ini istilah yang dipakai Repubiika untuk menunjuk pelaku penyerangan (perusuh) adalah kelompok merah. Tema ini dikembangkan lebih jauh di dalam teks liputan dengan latar belakang kondisi masyarakat Poso yang harmonis sebelum terjadi pertikaian, namun saling bermusuhan ketika konflik terjadi.
Kemudian disusul dengan tema yang
sejalan yaitu: "Poso sebelum kerusuhan yang indah dan damai"; "kerusuhan yang susul menyusul terjadi di Poso"; "tidak ada penanganan yang tuntas dalam setiap konflik"; "kerusuhan meluas karena isu pembunuhan"; "konflik yang bernuansa agama semakin meluas"; "umat Islam mendapat serangan mendadak"; " kaum lakilaki Muslim dibunuh"; "pasukan merah merupakan kelompok yang terlatih"; "penanganan keamanan yang tidak maksimal"; dan " umat Islam menjadi korban dalam tragedi ini". Dengan mengamati judul dan isi teks berita ada beberapa makna yang dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut.
Bab 4
22K>
1) Secara interpersonal, menunjukkan sebuah proses komunikasi penulis berita kepada pembaca yang memuat pesan bahwa dalam konflik Poso ada kelompok (Islam) yang menjadi korban konflik, dan ada peristiwa yang menggugah kesadaran bahwa konflik Poso bukan antar masyarakat di kalangan bawah. Di satu sisi, kelompok Islam (kalangan bawah) mengalami penderitaan yang dalam karena konflik, di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang "sadar" bahwa mereka dijadikan objek dalam konflik sehingga bersatu membentuk identitas lain (desa) yang tidak menghiraukan identitas keagamaan. Dari isi teks tampak bahwa Republika menampilkan umat Islam sebagai fokus utama. 2) Makna teks dari segi gagasan ( ideab'onaf) dipahami melalui cara Republika menyampaikan pesan bahwa konflik Poso merupakan cerminan sebuah interaksi masyarakat berbeda agama yang berisi konflik di tingkat elit, dan mengorbankan masyarakat yang berbeda agama di kalangan bawah. Sistem keyakinan yang digagas dalam tema ini oleh Republika terkait dengan perbedaan agama antar kelompok yang bersaing untuk merebut posisi kekuasaan dalam masyarakat plural di Poso. 3) Makna tekstual, memperlihatkan bahwa di balik penderitaan umat Islam Poso di pedesaan masih ada tersisa satu keharmonisan dan kesadaran bersama antar pemeluk agama yang berbeda. Penyampaian berita dimulai dengan gambaran masyarakat Poso yang pluralistik, harmonis, dan suasana geografis yang menyenangkan serta kekayaan
Bab 4
22K>
alam yang menarik para investor dan wisatawan. Secara implisit dari alinea awal ini tersirat beberapa potensi konflik di Poso, yakni kekayaan alam yang menarik dan sebaran penduduk yang secara etnik dan agama hampir merata (tidak ada yang dominan). Dalam bagian lain terdapat ungkapan yang bernuansa pertikaian seperti dalam cuplikan berita berikut. w
warga desa yang berasa! dari berbagai agama dan etnik yang tinggal di
pedesaan itu tiba-tiba dijadikan ajang pertempuran..." "Tanpa basa-basi mereka (pasukan merah) langsung menyergap dan menawan setiap kaum laki-laki baik orang dewasa maupun remaja untuk dijadikan
tawanan perang.
Boleh
dibilang kekejaman mereka
melebihi
pasukan Serbia di Bosnia, mencincang, membakar, atau menyiksa." "Di antara desa yang menjadi ajang pembantaian adalah Desa Situlemba yang menjadi pusatnya Pesantren Walisongo.." Dua pernyataan yang kontradiksi dalam satu alinea merupakan bukti pendukung dari tema yang digambarkan dalam judul bahwa pertikaian Poso bukan berakar pada masyarakat yang beragam, yang semula hidup harmonis. Akan tetapi pertikaian "diciptakan" dengan memanfaatkan nilai-nilai yang berbeda dalam kalangan masyarakat. Gagasan bahwa pertikaian ini diciptakan tampak lebih jauh dalam alinea berikutnya di dalam teks. Sejalan dengan liputan berita yang dibahas sebelumnya, bahwa konflik Poso merupakan "perang" antar pemeluk agama yang berbeda, namun dengan motif politik yang dilakukan oleh kelompok elit yang menginginkan kekuasaan. Tetap saja
Bab 4
22K>
Repubiika menganggap bahwa masyarakat lapisan bawah dijadikan "korban" dan "sarana" untuk mencapai tujuan itu. Dalam teori tentang konflik dikatakan (pembahasan dalam bab II) konflik dapat terjadi pada masyarakat yang tidak ada etnik dominan, apabila satu kelompok dapat memperoleh akses kekuasaan dominan, kemudian memberi perhatian lebih kepada anggota kelompoknya sehingga terjadi ketidakpuasan oleh kelompok lain yang tidak berkuasa . Dalam hal ini Repubiika tidak menyoroti persoalan ketidak puasan secara eksplisit
Akan tetapi, dengan menempatkan konflik Poso dalam
konteks "pertikaian" elit dengan latar belakang kondisi alam Poso yang potensial dapat dimaknai bahwa konflik Poso merupakan upaya elit tertentu untuk merebut akses kekuasaan
yang saat ini dipegang oleh sebagian besar kelompok Islam.
Dengan asumsi jika kekuasaan dapat dipegang oleh satu kelompok secara dominan maka akses ekonomi untuk semua anggota kelompok akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi ketika terjadi perebutan kekuasaan antar elit yang berbeda kelompok, di tingkat masyarakat justru menjadi perang antar kelompok berbeda agama. Dari penggambaran seperti itu oleh Repubiika, dapat dikatakan bahwa upaya elit tidak hanya sebatas merebut porsi kekuasaan lebih besar lagi, tetapi juga menyingkirkan umat Islam dari Poso. Gagasan
ini
distruktur oleh
Repubiika dengan pemilihan kata yang
menunjukkan bahwa peran orang-orang yang merencanakan perang ini sangat dominan dalam merencanakan tindakan yang dimulai dari melatih pasukan yang melakukan penyerangan, hingga ke pembunuhan sadis yang dilakukan, serta upaya-
Bab 4
22K>
upaya lain yang menyakiti pihak Islam. Berikut ini dapat dilihat dai kutipan liputan berikut.
Dari pengakuan beberapa korbanr pasukan merah yang dikenai kejam dan sadis itu mayoritas berasal dari luar wilayah Poso. Buktinya tak sedikit
dari para
pengungsi yang
mengaku
tidak
mengenal anggota
pasukan. Konon pasukan tersebut dilatih secara khusus melalui seleksi dan rekrutmen. Antara lain berasal Flores, NTT" Pemakaian istilah "pasukan" menunjukkan ada sekelompok orang yang terlatih, terkomando, dan terorganisir untuk melakukan penyerangan. Secara konsisten istilah ini dipakai oleh Republika untuk menunjuk pelaku penyerangan. Dalam hal ini ada "kecurigaan" Republika bahwa skenario "perebutan" kekuasaan ini dirancang secara sistematis dengan memanfaatkan warga di luar Poso dan isu perbedaan agama ((Kristen dan Islam adalah dua kelompok terbanyak dalam komposisi penduduk Poso). Kecurigaan bahwa koflik Poso adalah skenario tingkat tinggi terlihat dalam pengungkapan fakta bagaimana penduduk di beberapa desa justru saling membahu membendung provokator:
"Hanya saja, ada beberapa desa yang berhasil membendung provokasi dan serangan pasukan merah. Warga desa, baik Muslim maupun non Muslim menyatu dan
bahu membahu untuk membendung provokasi dari para
perusuh. Jika tidak 445 desa kelurahan akan menjadi ajang pertempuran dan kerusuhan Poso lebih besar lagi."
Bab 4
22K>
Upaya terencana dan segala akibat ini dilihat oleh Republika sebagai "duka" umat Islam yang dijadikan sasaran pembasmian di wilayah-wilayah kelompok Kristen yang menjadi kelompok terbanyak, sebagaimana dimuat pada bagian penutup liputan.
"Seperti halnya di Maluku maupun yang (ain. Dalam pos&i seperti ini umat Islam di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan yang amat pelik. Melakukan serangan balasan dan itu berarti mengancam integrasi nasional, atau membiarkan gerakan pembasmian umat Islam terus berlangsung" Dari penyampaian berita dalam tema ini Republika mengangkat persoalan konflik dalam kemajemukan masyarakat di Poso dengan beberapa isu yaitu: 1) Politik , berupa skenario kelompok elit Kristen untuk merebut akses kekuasaan secara dominan dengan menyingkirkan saingan dari kelompok Islam. 2) Penguatan identitas keagamaan dalam konflik dengan menempatkan sasaran nyata adalah umat Islam dengan pihak lawan kelompok Kristen. 3) Isu dan sentimen keagamaan merupakan cara memancing emosi penduduk untuk melakukan serangan. Sebelum membahas ideologi di balik pemberitaan Poso menurut Republika berikut butir-butir kesimpulan yang dapat ditarik dari teks ini sebagai berikut. 1) Suasana Poso yang beragam secara etnik dan agama, hidup damai satu sama lain menjadi berantakan karena serangan terhadap warga muslim di pedesaan.
Bab 4
22K>
2) Tidak ada agama mayoritas di Poso, namun pemeluk Islam sedikit lebih banyak dari yang lain. 3) Momentum reformasi menjadi awal bagi provokator untuk menyebarkan permusuhan antar agama di Poso. 4) Kerugian dan perasaan duka dari kerusuhan sebelumnya belum terobati, telah datang kerusuhan berikutnya yang mengorbankan warga muslim di pedesaan. 5) Pasukan merah yang melakukan penyerangan dilatih secara khusus dan didatangkan dari luar Poso. 6) Di beberapa desa antara umat Islam dan Kristen masih terus saling membantu. 7) Aparat
keamanan tidak responsif,
bahkan
lamban dalam
menangani
kerusuhan 8) Ada hubungan antara kerusuhan dan pergeseran kekuasaan di Poso. Dari kedua berita Republika yang dibahas di atas terlihat satu kerangka berfikir yang ingin disampaikan oleh pembuat berita.
Kerangka itu adalah
menempatkan konflik Poso dalam konteks politik, bukan konflik antar kelompok etnik atau agama yang berbeda. Mengapa Republika membawa ke dalam konteks politik dapat dipahami dari analisis Hamad (2004: 121) tentang Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, yang menyatakan bahwa untuk memahami Republika terkait dengan memahami ICMI sebagai organisasi yang membidani lahirnya Republika. ICMI bukan sekedar
Bab 4
22K>
organisasi cendikiawan muslim tetapi perhimpunan kekuatan politik Islam yang pada masa 70 an dan 80 an terpinggirkan oleh rezim pemerintah yang dikuasai Golkar dan militer. Dari sini mungkin dapat ditarik satu makna bahwa nuansa politik bagi
Repubiika untuk mengkerangkakan sebuah peristiwa konflik sangat relevan, karena Repubiika sepertinya ingin menyuarakan bahwa upaya peminggiran umat Islam terus berulang dan kini di Poso terjadi dalam bentuk penyingkiran kelompok Islam dari komunitas masyarakat majemuk Poso. Keterkaitan antara Repubiika dengan politik di satu sisi dan komunitas Islam di sisi lain, menjadikan
liputan konflik politik di Poso terkait dengan keberadaan
komunitas Islam dalam masyarakat. Dalam liputan konflik Poso yang menjadi bahasan dalam penelitian ini terlihat bahwa agenda Repubiika di balik liputan itu adalah penyampaian pesan bahwa
konflik Poso bukan persoalan sosial antar
komunitas dalam masyarakat di Poso, tetapi persoalan politik antar elit yang ingin memegang kekuasaan di Poso. Namun ujung dari pengalihan kekuasaan itu adalah peminggiran kelompok Islam dalam segala aspek. Dari sini, peran Repubiika adalah sebagai bagian dari komunitas yang dipinggirkan itu, dan berusaha menyuarakan kepentingannya. Di satu sisi, dapat dikatakan secara tidak langsung "melibatkan diri" dalam percaturan politik. Namun di sisi lain, dapat juga dimaknai bahwa Repubiika berperan sebagai media yang memihak kepada kelompok yang menjadi "korban", dalam hal ini adalah kelompok Islam.
Bab 4
22K>
Terlepas dari agenda tersembunyi dalam pemberitaan sebuah media massa, berita-berita yang disajikan oleh media massa memberikan informasi yang dapat dijadikan rujukan para pembaca. Seperti yang dikatakan Fotopoufus (2000) bahwa fungsi media dalam masyarakat disamping mendistorsikan, dan memproduksi realita sosial, media massa juga merefleksikan realitas sosial itu. Atas dasar pemikiran ini dapat dirangkum satu pemikiran tentang realitas hubungan antar etnik yang beragam dalam masyarakat Indonesia. Menurut tinjauan
Republika dalam konflik Poso realitas itu adalah sebagai berikut 1) Identitas kelompok berdasarkan agama sangat sensitif terhadap isuisu yang memancing pertikaian.
2) Rasa persaudaraan (guyub) antar masyarakat yang berbeda agama di kalangan masyarakat pedesaan melampaui batas identitas karena suku
atau
agama,
sehingga
isu
perbedaan
agama
tidak
mempengaruhi mereka untuk saling membenci.
3)
Konflik di Poso terjadi karena agenda sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan dalam dominasi satu kelompok. Namun persoalan yang paling mendasar di sini adalah bagaimana mengelola pembagian
kekuasaan
di
Poso
berdasarkan
keragaman
masyarakatnya Dilihat dari keberpihakan Republika dalam pemberitaan konflik Poso kepada satu kelompok, dapat disimpulkan bahwa sasaran yang dicapai oleh Republika adalah kelompok tertentu (Islam). Namun dalam kerangka masyarakat multikultural
Bab 4
22K>
yang demokratis, pemberitaan yang sepihak atau tidak mengemukakan sudut pandang pihak yang beragam, menjadi kontraproduktif bagi masyarakat Masyarakat tidak dapat melihat secara lebih jelas dan objektif lagi, latar belakang dan perspektif lain dalam pemberitaan. Masyarakat sudah terfokus kepada satu arah opini, bahwa di Poso sedang terjadi pertikaian umat Isram dengan Kristen. Cara berfikir seperti ini mengandung sisi negatif berupa perasaan kecurigaan, jangan-jangan hal yang sama akan menimpa kelompok Islam di daerah lain. Dari sisi inilah disimpulkan bahwa Republika bisa menjadi kontraproduktif untuk membangun masyarakat multikultural.
POSO, KOMPAS Judul Berita: Kerusuhan Poso RUMAH PENDUDUK MULAI D DARAH Tanggal; 27 Mei 2000 Isi Berita:
Poso, Kompas S/tuasf Kota Poso, Sulawesi Tengah, dan sekitarnya masih mencekam. Sampai Sefasa (18/4) sore. Aksi pembakaran masih berlangsung. Bahkan massa mulai menjarah rumah-rumah dan toko yang ditinggal penghuninya
untuk
menyelamatkan diri. Aksi kerusuhan ini telah mengakibatkan 215 rumah di Lambogia dan Kasintuwu musnah terbakar. Sebagian rumah itu adalah rumah-rumah yang baru dibangun akibat terbakar dalam kerusuhan akhir Desember 1988. Selain itu, massapun menusnahkan empat bangunan sekolah, dua rumah ibadah, serta tiga
Bab 4
22K>
unit mobil dan tiga unit motor. Korban meninggal dunia tercatat tiga orang akibat tembakan petugas, seorang di antamay meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Palu. Pembahasan Hal pertama yang jadi sorotan dalam berita Kompas tentang Poso di atas, adalah cara penulisan judul sekaligus tema yang disampaikan di dalamnya. Secara fisik tampak judul "Kerusuhan Poso" diletakkan lebih dahulu namun dengan huruf kecil, sedangkan judul bagian kedua "RUMAH PENDUDUK MULAI DIJARAH" ditampilkan dalam huruf kapital. Dari judul ini tersirat tema liputan Kompas yaitu eskalasi kerusuhan yang terjadi di Poso. Kata yang dipilih untuk menggambarkan peristiwa Poso adalah "kerusuhan". Kata dapat dimaknai sebagai peristiwa kekacauan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, dengan pelakunya merupakan massa yang tidak terkendali. Dibanding dengan kata "perang' yang dipakai oleh Republika lebih mengandung makna ada interaksi antar kelompok,
maka kata ''kerusuhan" tidak dimaksudkan untuk
menggambarkan interaksi antar kelompok. Tetapi kata "kerusuhan" memberi kesan adanya pelaku (kelompok) yang melakukan tindakan sehingga membuat suasana tenang menjadi kacau. Dengan pemilihan kata "kerusuhan", Kompas menggambarkan peristiwa Poso sebagai peristiwa gangguan ketertiban dalam masyarakat Eskalasi atau perkembangan kekacauan terlihat dalam judul bagian kedua yang ditulis dengan huruf kapital yakni RUMAH PENDUDUK M U U I DIJARAH.
Bab 4
Berarti gangguan
22K>
keamanan telah sampai pada tingkat penjarahan rumah-rumah penduduk yang dilakukan para perusuh.
Dalam hal ini, penggunaan kata kerja pasif "dijarah"
menunjukkan pelaku tidak dikenal atau sengaja dibuat tidak dikenal oleh peliput berita. Penggunaan kalimat pasif juga dapat dimaknai bahwa Kompas menonjolkan peristiwa kerusuhan, bukan pelakunya. Tema yang dapat disimpulkan dari penggalan judul adalah "penembangan kerusuhan yang telah meresahkan". Tema ini, dikembangkan dalam teks berupa: "tindakan perusuh membakari rumah-rumah, bangunan sekolah, dan rumah ibadah"; "tindakan aparat keamanan mengamankan kerusuhan"; dan "himbauan gubernur agar masyarakat yang jadi korban dapat bersabar". Dari pengembangan tema ini dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut 1) Dari segi ide atau gagasan. Peristiwa Poso yang terjadi bulan April 2000 dilihat oleh liputan Kompas sebagai peristiwa gangguan keamanan dalam masyarakat Gangguan ini telah dimulai beberapa hari sebelumnya, hingga pada saat berita ini ditulis telah terjadi pengambilan harta benda penduduk oleh para perusuh. Gagasan ini didukung dengan pernyataan seperti adanya korban meninggal karena terkena tembakan petugas. Di sini Kompas tidak melihat peristiwa Poso sebagai pertikaian antar kelompok (yang berbeda agama). 2) Interpersonal yang mencakup identitas sosial dan kelembagaan yang mewarnai pemberitaan tentang konflik Poso. Dalam konteks ini tersirat makna
Bab 4
bahwa Kompas menempatkan diri dalam posisi yang "peduli"
22K>
terhadap gangguan keamanan di Poso dengan segala keadaan yang mempengaruhinya. Pemberitaan Kompas lebih dekat kepada upaya-upaya pencegahan meluasnya kerusuhan. Karena itu, ungkapan yang terlihat dalam judul lebih bersifat imperative yakni dengan menggambarkan klimaks peristiwa dan dugaan adanya pelaku nyata dalam peristiwa, diharapkan ada proses penanggulangan kerusuhan sesegara mungkin. Dengan cara ini
Kompas lebih memperlihatkan posisi "penekan" terhadap pemegang otoritas keamanan untuk mengambil tindakan. 3) Secara tekstual, tema yang disampaikan Kompas menggambarkan peristiwa kerusuhan dengan segala akibat dan proses penanganan yang diambil. Istilah-istilah yang digunakan Kompas dalam teks tampak mempertegas perspektif keamanan. Misalnya untuk menyatakan korban yang meninggal karena tembakan petugas.
Dengan menegaskan adanya penembakan oleh petugas,
Kompas memberikan gambaran bahwa korban adalah pihak yang bersalah sebagai pelaku kerusuhan, karena itu mereka harus menerima resiko terkena tembakan petugas yang bertindak sebagai penjaga keamanan. Demikian juga perluasan kerusuhan dilihat sebagai
ulah provokator,
memberi kesan kemiripan cara pengungkapan kerusuhan oleh Kompas dengan ungkapan yang biasa digunakan aparat keamanan. Terakhir, Kompas
ingin
menegaskan orientasi "keamanan" dalam pemberitaan dengan mengambil referensi dari masyarakat yang menyatakan tindakan perusuh yang mengambil apa saja yang bisa diambil dari rumah penduduk.
Bab 4
22K>
Mulai dari aliena pertama hingga alinea keenam,
Kompas menggambarkan
peristiwa Poso dari sisi "gangguan keamanan" dan segala upaya yang telah dilakukan aparat untuk meredam gangguan. Sebagai contoh, dalam alinea pertama yang berbunyi:
Situasi mencekam.
Kota Sampai
Poso, Selasa
Sulawesi (18/4)
Tengah, sore
dan
sekitarnya
aksi pembakaran
masih masih
berlangsung, bahkan massa mulai menjarah rumah, dan toko yang ditinggal penghuninya untuk menyelamatkan diri. Pilihan kata "mencekam" memperlihatkan bahwa kerusuhan Poso telah sampai pada keadaan masyarakat dilanda ketakutan yang sangat dalam. Dalam peristiwa tersebut digambarkan massa yang membakar rumah-rumah penduduk dan mengambil harta benda mereka. Selanjutnya gagasan ini dikembangkan dalam alinea berikutnya dengan fokus kepada upaya keamanan yang dilakukan aparat keamanan, dengan rujukan petinggi keamanan dari Kodam dan Kepolisian. Selain itu, Kompas melihat peristiwa Poso sebagai peristiwa kejahatan yang merugikan masyarakat dari materiaf (harta benda). Tidak tampak pemberitaan yang mengemukakan peristiwa kerusuhan dari segi non material seperti kehilangan jiwa yang sia-sia, atau rasa trauma dan luka batin yang membekas dalam jiwa, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
"Keterangan yang dihimpun Kompas menyebutkan, aksi penjarahan mulai berlangsung sejak Selasa pagi.
Bab 4
Harta benda milik warga seperti
22K>
televisi, kipas angin, kursi, pesawat telepon, tempat tidur, dan perabot rumah tangga lainnya dijarah massa: "Setelah
mengambil
barang-barang
mereka
lantas
membakar
rumahnya. Mereka seperti kesetanan mengambil apa saja yang bisa diambil. Setelah itu mereka mulai membakari apa saja yang belum terbakar. Mungkin kalau di dalam rumah itu ada eskalator, itu juga diangkat,\" ujar Syarif, seorang warga di Tentena ". Dari liputan ini tampak upaya Kompas untuk melokalisir konflik menjadi peristiwa "gangguan keamanan" biasa yang dilakukan sekelompok orang yang menggerakkan kerusuhan. Gagasan ini sejalan dengan gagasan "pemerintah" dan aparatnya yang sering mendefinisikan peristiwa kekacauan daiam masyarakat sebagai peristiwa "kriminal" yang dilakukan sekelompok pengacau (provokator). Namun tidak jelas siapa yang menjadi pengacau tersebut. Kenyataannya rujukan terbanyak dari liputan ini adalah dari pemerintah dan aparat keamanan. Di sisi lain ada satu hal yang menarik dari liputan ini, yaitu kutipan dari Gubernur Sulteng ketika melakukan tinjauan ke lokasi pengungsi bersama Muspida Sulteng:
"Gubernur...menyatakan terharu melihat penderitaan warganya yang terpaksa mengungsi. Namun, Gubernur menghimbau kepada warganya, terutama para pengungsi, agar tidak melakukan balas dendam, karena hanya akan memperburuk situasi.
'Biarlah Tuhan yang membalas perbuatan
mereka, 'ujar Patiuju (gubernur)"
Bab 4
22K>
Di sini ada dua pengungkapan yang menjadi perhatian "agar tidak melakukan balas dendam" dan ungkapan "Biarlah Tuhan yang membalas perbuatan mereka" . Keduanya mengandung kata "pembalasan" yang menunjukkan
adanya interaksi
antar warga yang didasari perasaan tidak menyenangkan pada salah satu pihak yang bertikai. Dapat dimaknai bahwa dalam konflik itu (istilah Kompas "kerusuhan") terdapat dua kelompok yang masing-masing memiliki identitas yang jelas, kemudian satu kelompok menyerang yang lain sehingga kelompok yang diserang menjadi korban. Kemungkinan adanya tindakan pembalasan memperlihatkan bahwa salah satu kelompok cukup menderita dalam pertikaian tersebut.
Selain itu dapat
dimaknai bahwa kelompok perusuh (melakukan penyerangan) memiliki kekuatan yang lebih dari kelompok yang diserang sehingga mengakibatkan penderitaan dan kemungkinan tindakan pembalasan dari kelompok yang menjadi objek serangan. Adanya kelompok yang dikategorikan menyerang dan kelompok lain yang menderita (sehingga mengungsi) menunjukkan kedua kelompok memiliki identitas jelas dan berbeda satu sama lain. Namun perbedaan identitas itu tidak dijelaskan dalam teks. Hanya kemungkinan dapat diduga identitas tersebut berdasarkan agama, berdasarkan ungkapan penghibur yang diberikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah
"biarlah Tuhan yang membalas perbuatan mereka" sebagai ungkapan
pasrah umat beragama. Secara
keseluruhan
dapat
disimpulkan
bahwa
Kompas memberikan
gambaran tentang konflik Poso dalam kurun April 2000, sebagai berikut
Bab 4
22K>
1) Kerusuhan oleh sekolompok orang yang terorganisir dan memiliki identitas yang jelas, dengan cara menghancurkan kelompok tertentu. Kerusuhan di Poso dikerangka dalam liputan Kompas sebagai "gangguan keamanan" terhadap kehidupan masyarakat. 2) Sebagai konsekwensi dari pandangan ini Kompas melihat kerusuhan dan segala akibatnya dari segi material. 3) Meskipun
secara
keseluruhan
Kompas melihat
konflik
Poso
sebagai
kerusuhan, secara implisit, Kompasyjga menyampaikan bahwa dalam konflik Poso ada perbedaan identitas berdasarkan agama antara kelompok yang berkonflik. Untuk lebih jelasnya mengenai cara pandang Kompas tentang konflik Poso, berikut ini adalah berita lain tentang Poso. POSO, KOMPAS Judul berita:
KERUSUHAN MELEBAR KE LUAR KOTA POSO
* Dua Tewas, 11 Luka Parah Tanggal 27-05-2000 ISi Berita:
Makassar, Kompas Hingga hari Jumat (26/5), situasi Kota Poso tetap tenang dan terkendali setelah dilanda kerusuhan hari Selasa dan Rabu lalu, namun di luar kota Poso terjadi bentrok antar warga. Dua warga dilaporkan tewas dan sedikitnya 11 orang luka
Bab 4
22K>
parah akibat bentrok antarwarga di Kecamatan Tojo sekitar 12 kilometer timur laut Kota Poso. Keterangan yang dihimpun Kompas dari berbagai sumber di Poso dan Palu menyebutkan, bentrok antar warga bermula dari saling serang antara warga Desa Batugencu dan Desa Sepe (Kecamatan Lage) dengan warga Desa Toyado (Kec, Tojo), sekitar pukul 06.00 waktu setempat Belum diketahui penyebab keributan tersebut. Pembahasan Tema liputan Kompas dalam berita yang dikutip di atas adalah semakin meluasnya wilayah kerusuhan di Poso. Dalam hal ini, Kompas memberikan gambaran konflik dari sudut wiiayah terjadinya konflik dengan segala akibatnya CDua Tewas, 11 luka parah") seperti yang terlihat pada judul bagian kedua yang ditulis dengan huruf kecil. Dari tema yang tersirat (salah satunya dari judu!)
dapat dikaji beberapa
makna: 1) Dari segi ide atau gagasan di mana tema tersebut menggambarkan sebuah sistem
pengetahuan atau
keyakinan yang ingin disampaikan
kepada
pembaca, tentang sebuah peristiwa konflik yang saat ini sudah meluas ke wiiayah di sekitar pusat konflik. Dengan ungkapan "Kerusuhan melebar ke luar Kota Poso" tampak sebuah proses aktif yang mengancam keamanan di luar wilayah
Poso (tempat awal terjadi konflik). Pendekatan atau cara
pengungkapan yang menyebut peristiwa Poso dengan kerusuhan, memberi
Bab 4
22K>
gambaran kepada pembaca bahwa peristiwa itu merupakan kekacauan yang mengganggu rasa aman masyarakat dan saat ini sedang dalam proses meluas ke wilayah-wilayah lain. Tema yang dapat dibaca dalam judul tersebut mengandung makna imperatif yakni
mengandung ^peringatan"
bahwa kerusuhan dapat meluas lagi jika titiak segera terkendali. 2) Secara relational, Kompas menempatkan diri sebagai ruang publik yang mengajak segmen keamanan dalam masyarakat agar segera mengambil tindakan untuk mencegah semakin parahnya kerusuhan di Poso. Di sini peran
Kompas sebagai "kelompok penekan' yang bertindak di luar konflik. Melalui pemberitaannya, Kompas tidak lebur ke dalam peristiwa tersebut, dan tidak ada suasana empati yang ditawarkan kecuali "kecemasan" bahwa konflik akan semakin parah jika tidak segera dicegah. Makna ini akan semakin jelas bila mengamati pola penstrukturan berita yang mengemukakan akibat konflik dari sudut aspek aspek-aspek material. 3) Secara tekstual, tema memberikan pengertian kepada pembaca bahwa liputan Kompas tanggal 25-05-2000 berbicara tentang perluasan konflik secara kuantitatif. Ke tiga makna ini dapat dipahami lebih dalam bila mengamati pola penstrukturan berita, seperti kata-kata yang dipakai mengungkap berita, alasan dan rujukan yang digunakan, serta pemakaian kata kerja dalam kalimat Gagasan "keamanan" untuk melihat konflik Poso masih konsisten digunakan dalam liputan ini (seperti halnya pada liputan terdahulu). Tema yang dikembangkan
Bab 4
22K>
dalam
teks
berkisar tentang "suasana
kota
pasca
kerusuhan";
"perluasan
kerusuhan"; dan "keresahan para pejabat dengan perluasan kerusuhan". Tema Ini didukung dengan istilah-istilah yang umum digunakan aparat keamanan, seperti terlihat pada istilah-istilah yang digunakan dalam pemberitaan sebagai berikut
"Hingga hari Jumat (26/5) situasi Kota Poso tetap tenang dan terkendali setelah dilanda kerusuhan hari Selasa dan Rabu lalu,... Hingga sore hari aparat keamanan yang diturunkan ke lokasi belum berhasil meredam bentrokan. Istilah-istilah itu sepertinya sudah sangat akrab di telinga pembaca, ketika yang berbicara adalah aparat keamanan. Selain itu gagasan ini dikembangkan dalam liputan berupa ungkapan situasi keamanan terakhir yang terjadi di wilayah konflik seperti dalam beberapa kutipan berikut.
" Warga dan kedua kubu masih saling serang dengan senjata rakitan dan panah dalam jarak hanya 30-an meter..." "Dari seorang warga Kota Poso yang tidak bersedia disebutkan namanyadiperoleh keterangan bahwa ketegangan di Kec Top terjadi sejak tadi malam." Dalam liputan ini,
Kompas melihat bahwa peristiwa Poso, bukan sekedar
kerusuhan biasa, melainkan bentrokan antar warga dari dua desa yang berbeda yaitu, Desa Batugencu dan Desa Sepe (Kec Lage) dengan Desa Toyado (Kec Tojo). Merujuk pada tulisan Hasan dkk (2004) dalam Buku Sejarah Poso, kedua daerah itu memiliki penduduk mayoritas dari penganut agama yang berbeda. Desa yang
Bab 4
22K>
disebut pertama mayoritas Islam, sedangkan desa yang disebut terakhir mayoritas Kristen. Maka dalam hal ini, Kompas memperlihatkan secara tidak langsung konflik Poso sebagai bentrokan antar kelompok yang berbeda agama. Namun dalam liputannya, Kompas cenderung menunjuk identitas kelompok berdasarkan
tempat
atau lokasi (desa) sehingga kelihatan kerusuhan Poso adalah kerusuhan -sosial (bentrokan) antar penduduk desa yang berbeda. Kerugian yang timbul sebagai akibat kerusuhan lebih dilihat dari sudut kuantitas dan bersifat material, seperti jumlah rumah, harta benda, dan jiwa yang hilang. Tampaknya pendekatan ini sejalan dengan tesis "keamanan" sebagai patokan pemberitaan Kompas tentang konflik Poso. Karena itu pula bahasa yang datang dari kalangan pemerintahan mendominasi penjelasan yang dikutip oleh
Kompas. Dari liputan ini ada beberapa kesimpulan yang menjadi fokus pemberitaan
Kompas yaitu sebagai berikut. 1) Konflik Poso adalah kerusuhan atau bentrokan antar warga dari desa yang berbeda , sekaligus pemeluk agama yang berbeda. 2) Kerusuhan merupakan gangguan keamanan yang terjadi tidak hanya di wilayah Poso, tetapi juga keluar wilayah Poso 3) Sebagai konsekwensi pandangan keamanan tersebut, Kompas cenderung mengungkap akibat kerusuhan dari sudut material , dan hal-hal yang berkaitan dengan gangguan rasa aman. Selain itu data disajikan secara kuantitatif.
Bab 4
22K>
Dari'dua berita Kompas tentang konflik Poso yang dikaji dalam penelitian ini, tampak satu "orientasi" yang mewarnai keseluruhan pemberitaan, yakni sudut pandang "keamanan". Orientasi ini sengaja dipilih oleh Kompas dalam penstrukturan berita sehingga tidak kelihatan satu unsur sara pun dalam pertikaian. Pandangan ini sejalan dengan pandangan pemerintah dan aparat keamanan yang melihat konflik sebatas gangguan keamanan yang karena itu harus segera dipadamkan. Pandangan ini sangat pragmatis, terkesan non-humanis karena melihat konflik dalam masyarakat sesuatu yang tidak fungsional; maka penyelesaiannya adalah memadamkan konflik dengan pendekatan keamanan. Salah satu di antaranya adalah menetapkan kesalahan pada provokator, sebagai upaya mempermudah penanganan kerusuhan. Piihan Kompas dengan perspektif keamanan memberi kesan adanya upaya untuk menyamarkan keadaan yang sebenarnya. Dengan cara itu dapat dimaknai bahwa Kompas ingin membentuk sebuah opini publik tentang jatidiri Kompas sebagai koran yang "peduli" dengan kepentingan umum masyarakat. Misalnya dengan menampilkan konflik Poso sebagai kerusuhan sosial yang dapat terjadi di mana saja, Kompas menggugah perhatian pemegang kekuasaan untuk segera mengambil tindakan. Sebenarnya Kompas telah membuat distorsi realitas sosial yang menutupi peristiwa yang sesungguhnya yakni adanya unsur agama sebagai bagian dari konflik. Namun barangkali isu ini dianggap sensitif (dalam, sudut pandang masyarakat yang mengagungkan ketertiban dan keamanan nasional) maka
Bab 4
22K>
Kompas memilih garis yang "aman" yaitu pendekatan berita dari sudut publik. Dari sudut multikulturalisme, pandangan ini cenderung kontraproduktif. Karena dalam masyarakat plural yang sehat atau diharapkan sehat, setiap perbedaan pertu diungkap secara tegas tanpa bermaksud merendahkan satu sama lain. Kemudian perbedaan ini dijadikan pemahaman tentang keberagaman untuk kemudian saling menghormati (Watson, 2000) Temuan yang menunjukkan penyamaran berita oleh Kompas, sejalan dengan temuan
Hamad
(2004:
117)
yang
menyatakan
bahwa
Kompas memiliki
kecenderungan khusus dalam memberitakan suatu isu yang sensitif.
Pertama,
model jalan tengah (MJT) yakni menggugat secara tidak langsung; mengkritik tetapi disampaikan dengan santun, terkesan berputar-putar, dan mengaburkan pesan yang hendak disampaikan. Kedua, model angin surga (MAS) yakni menggupas masalah bukan dengan cara menggugat atau mempertanyakan hal-hal tertentu, tetapi lebih sebagai himbauan serta harapan. Ketiga model anjing penjaga (MAP) yang bersifat terbuka dan menggunakan bahasa yang lebih berani. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa untuk konflik Poso yang terjadi pada bulan April 2000, Kompas memilih pendekatan pemberitaan berupa model jalan tengah (MJT) sehingga terkesan mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Dengan cara ini, diduga Kompas ingin mempertahankan citra sebagai media yang sangat hati-hati dalam menangani isu yang sensitif dalam masyarakat yang beragam. Pemilihan Model Jalan Tengah ini, sangat logis bila dilihat dari latar
Bab 4
22K>
belakang pendiri Kompas yang berhaluan humanis Kristiani (Hamad, 2004). Untuk menghindari konflik antar agama yang lebih tajam,
maka Kompas memilih
pemberitaan yang terkesan tidak memihak. Sebagaimana diketahui, kasus Poso tahun 2000 ini sangat sarat dengan pertikaian antar umat beragama dengan korban terbanyak adalah pihak Islam.
POSO, MEDIA INDONESIA Judul KORBAN KERUSUHAN 211 ORANG TAK ADA GENOSIDA DALAM KERUSUHAN POSO Tanggal 07-07-2000 Isi berita
Makassar (Media): Pangdam Vll/Wirabuana Mayjen Sfamet Krirbiantoro membantah telah terjadi genosida (pembantaian) terhadap salah satu umat dalam pertikaian dua kelompok massa di Poso Sulawesi Tengah. "tidak benar itu, pengertian genosida adalah pembantaian suatu umat hingga ke akar-akarnya seperti dilakukan oleh tentara NAZI Jerman." Kata Pangdam di Makassar kemarin. Pernyataan itu dilontarkan perwira tinggi berbintang dua ini menanggapi pertanyaan tentang ditemukannya sejumlah kuburan massa! dengan kondisi korban yang sangat memprihatinkan. "Kenyataan salah satu umat yang hidup di sana masih banyak." Tambahnya. Pembahasan
Bab 4
22K>
Judul berita dirangkai dalam dua kalimat yaitu,
pertama dengan kalimat
positif yakni "Korban Kerusuhan 211 orang", dan kedua dengan kalimat negaif yaitu 'Tak ada Genosida dalam Kerusuhan Poso". Kedua kalimat ini menggambarkan kausalitas dari peristiwa (kerusuhan) Poso yang mengandung penegasan bahwa kerusuhan itu mengakibatkan korban 211 orang, bukan genosida. Tema ini dikembangkan dalam teks secara dialektis yang mempertentangkan "isu genosida dan keterlibatan aparat keamanan dalam kerusuhan" dengan "bantahan dari aparat kemanan". Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan konflik Poso oleh MI adalah "kerusuhan". Sama halnya dengan Kompas, dengan pilihan kata ini MI memandang konflik Poso sebagai peristiwa gangguan keamanan yang dilakukan "perusuh". Hanya saja ada perbedaan nuansa kerusuhan dalam bahasa Kompas dengan bahasa
MI. Kompas menggunakan kata "kerusuhan" sebagai alternatif kata yang dianggap tepat (menurut tujuan Kompas) untuk menggambarkan peristiwa yang cukup sensitif seperti di Poso. Tetapi MI menggunakan kata "kerusuhan" karena referensi
MI (aparat keamanan) menggunakan kata tersebut. Namun kemudian dalam alinea selanjutnya, istilah ini diganti dengan istilah lain untuk menggambarkan peristiwa Poso sebagai pertikaian, pembantaian, kasus pertikaian berdarah, dan penyerangan mendadak. Penggunaan istilah-istilah
ini
dipakai MI berdasarkan rujukan yang memberikan penegasan. Di sini MI menjadi representasi berbagai referensi untuk menggambarkan kerusuhan Poso.
Bab 4
22K>
Secara detail tema tersebut dapat dimaknai dalam tiga fungsi sebagai berikut. 1) Secara ide, atau sistem pengetahuan dan keyakinan yang dibangun di dalam teks. Dalam hal ini MI menempatkan diri dalam posisi membantah dan sekaligus membangun opini baru dalam pikiran pembaca bahwa kasus Poso "hanyalah" kerusuhan antar dua kelompok yang menelan jiwa 211 orang. Hal ini, dapat dimaknai sebagai upaya W untuk "mendinginkan" pikiran pembaca yang
sebelumnya
melihat peristiwa
Poso
begitu "mengerikan" yang
digambarkan sebagai "genosida". Walaupun demikian dalam teks ini MI mencoba mengemukakan bahwa ada berbagai "kesimpulan" yang dipahami banyak orang tentang konflik Poso.
Kesimpulan ini ditarik dari berbagai
referensi yang dirujuk oleh MI melalui berbagai pernyataan langsung. 2) Dalam konteks relasional , tema ini disampaikan secara imperative yang mengandung hubungan antara pembaca dan pemegang otoritas yang berusaha mengubah konteks berfikir tentang konflik Poso yang semula dipahami sebagai genosida, kemudian menjadi kerusuhan yang menelan korban manusia. Dengan pernyataan ini dimplikasikan agar pembaca melihat konflik Poso dalam konteks seperti yang diiginkan oleh MI (otoritas yang dirujuk oleh MI). Sejalan dengan itu, MI memposisikan berita sebagaimana diinginkan aparat keamanan yang memiliki otoritas tentang penanganan kerusuhan dalam kasus Poso.
Bab 4
22K>
3) Secara tekstual, pernyataan yang tertera pada judul itu memberikan indikasi bagi pembaca bahwa teks ini berisi alasan-alasan yang menguatkan bantahan aparat keamanan yang dikemukakan dalam judul. Tema ini distruktur dalam laporan MI, dengan menggunakan kalimat-kalimat langsung dari sumber berita yang sebagian besar dari aparat keamanan. Sebagai contoh beberapa kutipan perkataan aparat sebagai berikut memperlihatkan "gaya "
MI dalam merangkai berita konflik Poso: "Pangdam
Vll/Wirabuana Mayjen
S/amet Kirbiantro membantah
teiah terjadi genosida (pembantaian) terhadap sa/ah satu umat daiam pertikaian dua kelompok massa di Poso.
" Tidak benar itu pengertian
genosida adalah pembantaian satu umat ke akar-akarnya..."kata Pangdam di Makassar kemarin." "Dia juga mebantah keras sinyalemen bahwa TNI lamban daiam menangani kasus Poso Dengan menggunakan kalimat langsung dengan tanda petik,
MI secara
tegas menunjukkan subjek yang mengemukakan gagasan. MI menempatkan diri sebagai "penanya" yang mengangkat berbagai isu yang berkembang dalam masyarakat seperti "telah terjadi genosida di Poso, dengan ditemukan banyaknya kuburan massal dengan kondisi mayat yang memprihatinkan"; atau isu tetang "keterlibatan aparat keamanan dalam penyerangan di Poso; dan isu tentang "kelambanan aparat keamanan dalam bertindak". Kemudian pertanyaan ini dijawab dengan berbagai bantahan oleh sumber informasi (aparat keamanan).
Bab 4
22K>
Meskipun cenderung "suara" aparat keamanan menjadi dominan dalam laporan ini, dengan cara dialektika dalam penstrukturan berita terlihat juga maksud
MI untuk memberi informasi bahwa dalam kerusuhan tersebut terkandung banyak dimensi seperti kemanusian, politik (keterlibatan aparat keamanan), dan sara. Secara tidak langsung, MI mengungkap bahwa dalam kerusuhan Poso telah terjadi pembunuhan besar-besaran dengan ditemukan banyak kuburan massal di berbagai tempat seperti ungkapan sumber informasi MI sebagai berikut.
"Kami tidak bisa memprediksi, namun yang Je/as hingga saat ini sudah
lima
sampai
enam
kuburan
massa/
ditemukan,"
katanya...(Pangdam)." Dalam rentang waktu yang relatif singkat (3 bulan yakni sejak awal kerusuhan pertengahan April hingga berita diturunkan) sudah enam kuburan massal yang ditemukan, menunjukkan bahwa kerusuhan Poso merupakan peristiwa yang memprihatinkan dari sisi kemanusiaan. Sisi kemanusiaan lain yang terlihat dalam kerusuhan adalah pertikaian berdarah yang melibatkan aparat kemanan,
yang
membantu salah satu kelompok yang bertikai, seperti dalam ungkapan berikut:
'!Kolonel CPM Sudirman Panlgoro mengatakan, 29 anggota Kodim Poso
telah
diperiksa
secara intensif.
" Hasilnya,
hanya
tujuh
yang
berindikasi terlibat..." ujarnya. Keterlibatan mereka bukan menyangkut pembantaian, tetapi diduga mencuri senjata". "Letkol CPM Rinto Maila, Komandan Detasemen PM VII/2, Palu, mengakui tiga oknum anggota TNI asal Kodim Poso ditahan PM setempat
Bab 4
22K>
karena
diduga
kuat terlibat dalam
kasus pertikaian berdarah di
Kab.Poso". Sedangkan
dimensi
politik
dalam
peristiwa
Poso,
disimpulkan
dari
keterlibatan aparat keamanan (desersi) dalam konflik. Aparat keamanan secara struktur berada dalam satu komando untuk kepentingan keamanan umum. Tetapi dalam konflik ini, sebagian mereka terlibat Berarti telah terjadi satu bentuk komando di luar komando formal. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa dalam konflik ada "kelompok" yang memiliki kekuatan memberikan perintah kepada aparat untuk berpihak kepada salah satu kelompok yang bertikai. Namun dalam liputan ini,
MI menggunakan istilah "desersi" yang dalam militer digunakan untuk menunjuk kelompok atau pribadi yang keluar dari perintah formal, sebagaimana dalam kutipan berikut.
"Mereka ditahan karena desersi, dan kini diperiksa secara intensif." Katanya (komandan Detasemen Polisi Militer VII/2 di Palu". Selain unsur politik dan kemanusiaan, konflik Poso secara jelas diungkapkan sebagai konflik antar pemeluk agama yang berbeda, seperti ungkapan sumber informasi MI dari kalangan MUI yaitu KH. Drs. Dahlan Tangkaderi, yang dikutip secara langsung:
"...
pertikaian berdarah di Poso membesar akibat banyaknya
aparat keamanan yang desersi.
" Tak sedikit laporan yang disampaikan
kepada kami yang menyebutkan banyak oknum aparat keamanan ikut bergabung dengan safah satu kelompok yang bertikai saat terjadi
Bab 4
22K>
penyerangan mendadak terhadap sejumlah kantong pemukiman muslim di Kabupaten Poso,"ujar Tangkaderi". Dengan berbagai rujukan, MI mengungkapkan konflik Poso sebagai konflik multidimensi yang di dalamnya terkandung berbagai isu hubungan antar golongan yaitu sebagai berikut. 1) pertikaian antara kelompok yang berbeda agama; 2) kepentingan politik kelompok tertentu sehingga menarik keterlibatan aparat keamanan dalam konflik; dan 3) ketidak seimbangan kekuatan antara dua kelompok yang bertikai, satu kelompok
yang
bersenjata
lengkap
melakukan
penyerangan
kepada
kelompok lain warga sipit biasa. Untuk memahami lebih jelas lagi perspektif MI dalam teks ini, berikut beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari keseluruhan teks. X) Pangdam membantah isu dalam masyarakat yang menyatakan telah terjadi genosida di Poso terhadap salah satu kelompok. 2) TNI membantah adanya kelambanan petugas daam menangani situasi keamanan di Poso. 3) Kerusuhan Poso menjadi lebih meluas karena ada petugas keamanan yang desersi dan kemudian terlibat dalam kerusuhan. Untuk lebih jelas cara MI menggambarkan konflik Poso, berikut artikel lain yang merupakan liputan berita tentang konflik Poso.
Bab 4
22K>
POSO, MEDIA INDONESIA Judul berita:
Pengakuan Tiga Tersangka Utama Kepada Polisi JENDERAL H, OTAK PEMBANTAIAN DI POSO
Tangga! 14 Agustus 2000
Isi Berita:
Palu (Media): Tiga tersangka utama kasus Poso berdarah yang, menjalani pemeriksaan terpisah di Mapolda Sulawesi Tengah hari Selasa (8/8) kembali mengungkap nama seorang jenderal yang berada di batik pembantaian warga dan pembumihangusan rumah-rumah korban di Kabupaten Poso. Jenderal berinisial H menurut tersangka Fabianus Tibo (57), Dominggus Soares (37) dan Marinus Riwu (43) itu berperan sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah itu. Dalam pemeriksaan sebelumnya, ketiga tersangka yang dikenal sebagai tokoh sentra! perusuh perusuh bersenjata api di kabupaten penghasil eboni ini mengungkapkan dua nama jenderal terlibat dalam pertikaian berdarah di daerah itu yakni R dan T. Pembahasan Dalam liputan ini, MI mengambil fokus awal pada "pengakuan tiga tersangka kasus Poso"
sekaligus dijadikan judul tulisan bagian pertama. Judul liputan
dirangkai dalam dua kalimat yang pertama ditulis dengan huruf kecil , sedangkan bagian kedua ditulis dengan huruf besar "JENDERAL H OTAK PEMBANTAIAN DI
Bab 4
22K>
POSO".
Judul ini mengandung pernyataan tentang pelaku, peran pelaku dalam
peristiwa, proses yang terjadi (pembantaian), dan anggapan tentang kerusuhan (tindakan yang diorganisir dan direncanakan). Selanjutnya tema utama yang terlihat dalam teks ini adalah pengakuan tersangka mengenai persitiwa Poso dan bantahan terhadap pengakuannya. Dalam liputan ini, MI menggunakan berbagai istilah yang menggambarkan kondisi pertikaian yang menyentuh emosi (mental procesg) yaitu, pembantaian,
pembumihangusan rumah, pertikaian berdarah,
penyerangan kantong-kantong
pemukiman muslim. Secara keseluruhan dari teks, ada beberapa hal yang dapat dimaknai: 1) Dari segi gagasan, tampak bahwa MI menggambarkan peristiwa Poso, sebagai kasus kemanusian yang multidimensi. Dari sisi kemanusiaan, tampak bahwa peristiwa Poso adalah pertikaian yang tidak seimbang yakni satu kelompok menjadi "pelaku' yang membantai kelompok lain. Dengan istilah pembantaian berarti kelompok pelaku melakukan satu tindakan secara sengaja untuk menghabisi banyak jiwa manusia secara kejam. Pembantaian itu ditujukan kepada kelompok muslim sipil yang direncanakan dan diorganisir secara baik. Adanya kelompok yang terorganisir melakukan kegiatan berarti kerusuhan Poso dikehendaki terjadi oleh sekelompok orang yang memilik kepentingan dengan hubungan antar umat beragama di Poso. Dapat diartikan, kasus Poso merupakan kasus kemanusiaan yang bernuansa hubungan antar agama dan juga politik. Namun dalam kesimpulan MI
Bab 4
22K>
menegaskan
bahwa
peristiwa
pertikaian
itu
terjadi
karena
adanya
"provokator" yang menggerakkan kerusuhan. 2) Dari segi identitas, MI menempatkan diri sebagai reflektor peristiwa Poso yang mengkomunikasikan kepada pembaca melalui rujukan para tersangka kasus Poso, dan para pejabat yang dimintai pendapat tentang kasus tersebut
Namun
secara
implisit
MI merefleksikan
proses
penemuan
"kebenaran" tenteng peristiwa yang dilakukan petugas penyidik yakni menggali dan mengecek validitas pengakuan tersangka. Semula mengatakan sebagai
peristiwa
politik
antar agama,
namun
kemudian
meragukan
pengakuan itu. Karena itu, identitas institusi keamanan menjadi identitas pemberitaan. 3) Dari segi tekstual, teks menggambarkan sebuah proses bagaimana para tersangka memberi pengakuan tentang kasus Poso. Untuk mengembangkan tema, MI menstruktur berita dengan berbagai rujukan dan penggunaan istilah dengan merujuk secara jelas sumber berita sebagai terlihat dalam kutipan berikut.
'!Anggota saya melaporkan bahwa Tibo cs menyebut-nyebut nama H sebagai aktor intelektual," katanya (Kaditserse Polda Sulteng) dan menolak merinci lebih jauh" "Bahkan,
masih
menurut para
merencanakan pembantaian
Bab 4
tersangka, jenderal ini selain
warga dan pembumihangusan
rumah-rumah
22K>
penduduk, juga merencanakan seturuh wilayah Kabupaten Poso untuk dikuasai umat Kristiani". Pemilihan kata "aktor intelektual", menunjukkan bahwa pertikaian Poso direncanakan secara matang untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dijelaskan dalam bagian lain, yaitu upaya perebutan kekuasaan antara kelompok Kristen dengan kelompok Muslim di wilayah Poso. Dalam perebutan ini umat Islam "dibantai' oleh para pelaku kerusuhan. Namun terkesan, pendapat tersebut bukan dari MI melainkan dari pengakuan tersangka pelaku kerusuhan. Karena itu dalam alinea berikutnya, kelihatan perubahan informasi berdasarkan sumber berita yang lain. Dengan pengalihan sumber berita dari tersangka kepada aparat keamanan, terlihat adanya upaya MI untuk melunakkan kesan konflik yang semula tajam antara Islam dan Kristen. Pengalihan ini menggunakan rujukan aparat keamanan dan pemda yang menempatkan peran tersangka dalam kasus Poso sebagai pelaku kriminal di lapangan (bukan sebagai pelaku utama yang merencanakan pembantaian umat Islam). Pemahaman ini dapat ditelusuri dari kutipan sebagai berikut.
"Pokoknya sejak dipertemukan dengan para saksi korban,
Tibo
mulai memberikan jawaban berbelit-belit, bahkan terkesan menutupnutupi perbuatannya," tutur Bafadal. Keraguan aparat penyidik tersebut (Bafadal) diperkuat dengan pernyataan Bupati Poso Abdul Muin Pasundan yang dikutip secara tidak langsung, menyatakan bahwa " dengan tertangkapnya tiga pimpinan perusuh bersenjata api di daerah
yang itu mulai melegakan masyarakat". Pernyataan ini menunjukkan bahwa aparat
Bab 4
22K>
keamanan atau pemda melihat bahwa kerusuhan Poso dilakukan oleh perusuh (provokator) bukan pertikaian antar pemeluk agama Islam dan Kristen. Dengan cara seperti ini tampaknya MI menghindari pembentukan satu kesimpulan yang tegas
tentang kasus Poso. Kecuali membatasi pada gagasan
bahwa kerusuhan antar pemeluk agama berbeda di Poso, disebabkan tindakan provokator.
MI menutup berkembangnya opini tentang kerusuhan Poso ke arah
sara atau hal-hal yang lebih sensitif lagi. Pola ini digunakan biasanya oleh aparat keamanan untuk meredam isu-isu yang sensitif dalam hubungan antar kelompok. Untuk memperkuat alasan MI merujuk pernyataan pejabat lokal tentang rasa l e g a " masyarakatnya atas tertangkapnya pelaku kerusuhan. Dua sumber informasi yang berseberangan (tersangka vs kepolisian dan pejabat) ditampilkan dalam satu rangkaian berita oleh MI, sebagai rujukan topik yang sama yakni tentang peristiwa Poso. Dengan cara ini MI mencoba membuat satu jalan tengah menghindar dari berita yang sensitif ke berita yang lebih lunak tentang peristiwa Poso. Akan tetapi informasi yang sesungguhnya menjadi samar. Untuk melengkapi tinjauan MI mengenai konflik Poso dalam teks kedua ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, 1) Menurut pangakuan tersangka kasus Poso, aktor intelektual penyerangan kepemukiman Muslim di Poso adalah jenderal H. 2) Keterangan tersangka diragukan oleh penyidik setelah dihadapkan dengan korban.
Bab 4
22K>
3) Menurut Bupati masyarakat mulai lega dengan tertangkapnya pelaku kerusuhan. Pada kedua artikel yang dibahas dalam penelitian ini, MI menggunakan gaya laporan yang cenderung "dialektis" dengan sumber informasi lebih dari satu orang. Artinya satu informasi digunakan sebagai "tesis", kemudian -dipertanyakan, dan dikembangkan lagi dengan merujuk sumber informasi lain. MI sendiri menghindari untuk memberikan pernyataan yang mencerminkan pandangan MI tentang kasus yang terjadi. Cara ini kelihatan "lebih aman" dari sisi MI untuk mengangkat isu yang sensitif seperti konflik Poso ini, tanpa harus takut dituding sebagai media yang memihak.
MI berusaha membangun citra medianya sebagai media massa yang
"netral" menyoroti sebuah peristiwa konflik yang sarat dengan isu-isu sensitif seperti agama, atau suku. Namun, dalam pola dialektika MI terlihat satu garis kesamaan bahwa dari semua sumber informasi yang dirujuk, aparat keamanan dan pejabat merupakan sumber informasi yang pating memiliki otoritas. Selain itu, pemilihan judul atau tema liputan bagi MI menjadi sangat penting untuk menggugah pikiran, walaupun dalam teksnya tidak seluruh informasi mendukung tema. Pertimbangan ini kelihatan sangat pragmatis dengan orientasi ekonomi. Pertimbangan tersebut semakin dimengerti bila dilihat dari temuan Hamad (2004) yang mengungkap riwayat hidup pemilik MI sebagai seorang ekonom, aktifis organisasi FKPPI, dan semasa orde baru merupakan partner keluarga presiden dalam berbisnis di bidang media massa,
Bab 4
22K>
Oleh karena itu tidak asing, jika sumber-sumber yang digunakan sebagian besar dari aparat keamanan dengan orientasi yang terkesan "melembutkan" opini yang
berkembang dalam masyarakat tentang
kasus
Poso.
Bila opini yang
berkembang terlihat lebih cenderung bersifat sara, maka aparat keamanan berusaha mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi tidak bersifat sara. Cara yang paling jelas dalam liputan MI adalah dengan bantahan-bantahan baik langsung atau tidak langsung dari kalangan aparat keamanan tentang berbagai pemikiran yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Di lihat dari peran media dalam melihat konflik antar warga yang disebabkan perbedaan nilai (agama, suku, budaya, dsb), cara yang ditempuh MI dapat "meredam" meluasnya sentimen antar golongan dalam jangka pendek, namun membuat masyarakat menjadi buta mengenai peristiwa yang sesungguhnya dan mengenai alternatif-alternatif yang mungkin untuk penyelesaiannya. Sehingga dalam jangka panjang justru memperburuk hubungan antar kelompok yang berbeda. Karena itu, peran media massa yang ideal dalam memandang sebuah konflik atau hubungan antar kelompok yang berbeda adalah dengan membuka secara jelas peristiwa yang terjadi, untuk kemudian menggiring ke arah negosiasi perbedaan itu.
4.1.3.2
Perbandingan Pandangan Republika, Kompas, dan Media
Indonesia tentang Konflik Poso Untuk melihat perbandingan keb'ga media massa ini dalam menyoroti kasus Poso digunakan unsur-unsur pembanding sebagai berikut
Bab 4
22K>
1) Perspektif yang dikembangkan dalam teks. 2) Istilah yang digunakan untuk menyebut kerusuhan, 3) Istilah yang digunakan menyebut pihak yang bertikai. 4) Isu etnisitas yang disoroti. Sebelum membahas secara detail sudut pandang ketiga media massa, berikut ini tabel ringkasan perbandingan ketiga media massa tersebut dalam memandang konflik Poso.
Bab 4
22K>
Tabel 4.1.3.2.1 Perbandingan Pandangan Republika, Kompas dan Media
Indonesia tentang Konflik Poso Unsur Pembandinq Perspektif Teks Istilah untuk kerusuhan
i i i ij j istilah untuk warga ! yang bertikai
ii S Ij i
Isu etnik yang disoroti
Republika
Kompas
Keamanan & Politik; Politik Banjir darah dan air mata; Arena pembantaian dan pembunuhan; Mengejar, membacok, dan mencincang kaum lelaki; Konflik sosial; Dikepung, dikejar, dan dibantai tanpa perlawanan berarti; Tindakan anarkis dan aksi balas dendam; Ajang baku serang kefompok Muslim dan Kristen; Kerusuhan;
Keamanan; Keamanan Kerusuhan; Aksi pembakaran dan penjarahan rumah-rumah; Aksi massa yang beringas;
Ratusan orang berseragam hitam, tanda salib di leher dan pita merah di tangan; Kelompok Muslim dan NonMuslim; Muslim dan Kristen; Kefompok Islam dan Kelompok Kristen;
Warga; Desa Lambogra dan Kasintuwu
Pertikaian antar elit kekuasaan dengan memanfaatkan perbedaan agama; Agama merupaka isu yang paing sensitif; Paguyuban dipedesaan melampaui ikatan aoama 1
Pertikian antar desa dan kefompok agama yang berbeda; Kerusuhan sebagai gangguan keamanan
Bentrok antar warga;
Media Indonesia Keamanan; Keamanan Kerusuhan; Pertikaian dua kelompok massa; Bertikai secara terbuka; Pembantaian; Pertikaian berdarah; Penyerangan mendadak; Pembantaian warga dan pembumihangusan rumah-rumah;
Dua kelompok massa;
Salah satu umat Kantong pemukiman muslim;
Pertikaian antara kelompok yang berbeda agama;
Dalam menyoroti kasus Poso, ketiga media massa memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya terletak dalam cara menggambarkan peristiwa dengan bahasa yang menyentuh emosi (mental process). Selain itu, ketiga media massa
cenderung menegaskan berita dengan rujukan dari kalangan aparat keamanan, atau
Bab 4
22K>
pejabat resmi pemerintah. Tetapi ketiga media massa memiliki perbedaan dalam kaitan dengan kepentingan masing-masing media.
Republika, secara eksplisit menggiring pembaca untuk melihat kasus Poso sebagai gangguan keamanan yang ditatar belakangi oleh kepentingan politik kelompok elit berasal dari kelompok Islam dan Kristen. Persaingan ini dikaitkan dengan konteks kekuasaan yang lebih luas yaitu posisi kelompok Islam saat ini sebagai elit dalam struktur kekuasaan di Poso. Sedangkan sebelumnya posisi ini dipegang oleh kelompok Kristen. Dikaitkan dengan kekayaan alam Poso dan penguasaan yang luas di tangan pemda, dapat dipahami adanya kemungkinan perebutan kekuasaan dapat terjadi, sebagaimana arah yang diinginkan Republika dalam teks. Oleh karena Republika mengambil posisi sebagai media Islam (moderat), maka tinjauan keamanan lebih diarahkan kepada posisi umat Islam - yang dalam kasus ini dipandang - sebagai warga yang tidak bersalah bahkan menjadi korban kepentingan sekelompok kecil elit.
Karena
itu,
perspektif
keamanan
dalam
pola
pemberitaan
Republika
mengandung dimensi politis, yakni menggugah solidaritas kelompok Islam untuk merasakan betapa tidak amannya kondisi umat Islam di Poso. Pada akhirnya akan mengganggu keamanan umat Islam secara nasional. Lain halnya dengan Kompas, perspektif keamanan dalam pengembangan teks tentang Poso, digunakan sebagai cara untuk menyajikan berita yang sensitif seperti kasus Poso. Kompas tidak hanya menghindari pembicaraan mengenaii pertentangan antara kelompok berbeda agama, bahkan menarik fokus berita
Bab 4
22K>
sebagai berita kriminal dengan pelaku perusuh digambarkan sebagai pihak yang berhadapan dengan aparat keamanan dan sekaligus dengan masyarakat Poso, Dengan cara seperti ini, kejadian
yang
pembaca tidak mendapat informasi apapun tentang
sesungguhnya
dan
juga
latar
belakang
peristiwa,
kecuali
menyimpulkan bahwa ada kemungkinan kelompok perusuh berasal dari luar Pose> datang ke Poso melakukan kekacauan dan menjarah rumah-rumah dan toko para penduduk. Sedangkan warga Poso (tanpa membedakan identitas) adalah korban kerusuhan tersebut. Perspektif keamanan dipilih sebagai perspektif berita karena memang Kompas ingin menghindari cara pemberitaan yang sensitif terutama menyangkut isu antar agama, untuk tujuan-tujuan Kompas sendiri sebagai media massa nasional dengan latar belakang yang dominan dari agama Kristen. Terakhir, Media Indonesia (MI) menggunakan perspektif keamanan dalam kacamata institusi keamanan. Untuk memperkuat identitas kelembagaan ini, MI mempertentangkan antara isu yang berkembang
dalam masyarakat dengan
bantahan dari aparat keamanan. Pada akhirnya jawaban-jawaban itu merupakan "kebenaran" berita. Dalam konteks ini MI menggunakan tinjauan kemanan karena pemberitaan MI merupakan bagian dari pemberitaan institusi keamanan itu sendiri. Dari segi isu etnisitas yang dominan di dalam teks masing-masing media massa juga ada sedikit perbedaan. Repubfika melihat konflik antar kelompok di Poso adalah konflik politik (kekuasaan) antar elit yang memanfaatkan perbedaan agama. Masyarakat di pedesaan Poso yang terdiri dari berbagai agama justru hidup dalam kedamaian, sebelum konflik diarahkan ke pedesaan oleh kelompok pemicu. Di sini
Bab -t 125
22K>
masyarakat yang semula hidup berdampingan dengan damai, dipecah belah ofeh kelompok yang menginginkan Poso berada dalam kekuasaan satu kelompok. Sedangkan, Kompas sama sekali tidak mengungkapkan adanya pertikaian antara kelompok yang berbeda agama. Tetapi pertikaian yang terjadi antar warga dilihat sebagai kasus kejahatan dan gangguan keamanan oleh sekelompok warga.
MI secara tidak langsung mengungkap bahwa dalam kasus Poso ada isu pemusnahan satu kelompok (Islam) oleh kelompok Kristen bahkan juga keterlibatan aparat keamanan. Berarti MI sebenarnya lebih keras lagi menyampaikan bahwa di Poso tidak hanya pertikaian di tingkat elit tetapi dari tingkat elit yang ditranfer ke tingkat bawah berupa pertentangan antara warga Islam dengan warga Kristen. Namun, dengan perspektif keamanan, MI kemudian "mendinginkan" kembali tinjauan yang sensitif menjadi tinjauan yang netral, sehingga terkesan untuk mencegah terpancingnya emosi pembaca. Untuk lebih utuhnya pandangan tentang konflik yang terjadi, akan dibahas pada sub bab berikut pandangan para pengamat (peneliti, praktisi, dan LSM) dan pengamat mengenai konflik di Indonesia, kemudian dibanding dengan kajian teoritis tentang konflik dan negosiasi konfllik dalam masyarakat multikultural. Pada bagian akhir bab dikemukakan kesimpulan mengenai persoalan etnik dalam masyarakat Indonesia sebagai langkah
merumuskan rekomendasi
konseptual
pendidikan
multikultural.
Bab -t 126
22K>
4.2 Karakterisktik Konflik dalam Berbagai Sudut Pandang, dan Peran Media Massa dalam Masyarakat Multikultural Dari pembahasan tentang pemberitaan media massa di atas ada dua hal yang ditemukan, namun saling berkaitan, yaitu: 1) Ideologi atau orientasi masing-masing media dalam menyajikan berita konflik, dan 2) isu-isu etnik yang terungkap dalam pemberitaan. Dalam mengungkapkan persoalan etnik yang sama, ketiga media massa mengungkapkannya dengan cara yang berbeda karena pengaruh ideologi masing-masing. Pemberitaan Republika tentang konflik dipengaruhi oleh ideologi "politik yang bernuansa Islam". Terutama untuk kasus Ambon dan Poso, secara eksplisit Republika mengemukakan berita tentang perlakuan dan akibat-akibat kerusuhan yang diderita umat Islam. Sedangkan untuk kasus Sambas dan Sampit Republika melihat sebagai pertikaian sosial yang terjadi antar suku pendatang dengan suku asli. Kemudian dari kasus lokal ini,
Republika menggiring opini pembaca untuk memikirkan bahwa kasus lokal adalah bagian dari kasus nasional dalam konteks persatuan bangsa yang terdiri atas berbagai agama dan suku. Sedangkan Kompas-f menampilkan berita tentang konflik dengan ideologi yang mirip dengan kemauan pemerintah. Dalam penelitian ini disebut dengan ideologi "patemalistik", yang cenderung menjadi pengayom bagi semua aspek dalam interaksi masyarakat.
Ciri-cirinya antara lain adalah Kompas tidak
menyebut konflik sebagai hal bernuansa SARA, tetapi cenderung mengatakan sebagai "kerusuhan antar warga", atau "pertikaian antar warga". Kemudian
Kompas mengemukakan dengan bahasa "teguran" seperti dalam kasus Sambas dan Sampit. Secara tidak langsung, Kompas menyatakan sebab kerusuhan dan
Bab -t
273
penderitaan warga pendatang adalah kesalahan mereka sendiri yang tidak mau beradapatasi secara budaya dengan penduduk tempatan. Selain itu untuk menyebutkan identitas, Kompas lebih cenderung menggunakan nama daerah, atau nama individual. Korban dideskripsikan dari segi jumlah, dan dari segi aspek material lainnya. Kemudian bila ada hal yang menyangkut kesalahan aparat keamanan Kompas akan mengemukakan dengan sangat hati-hati misalnya dengan cara merujuk pendapat dari kalangan aparat keamanan sendiri. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Kompas berusaha agar konflik yang "panas" menjadi "dingin" dalam pandangan pembaca. Selain itu
Kompas berupaya menempatkan kesalahan dalam konflik kepada kaum perusuh yang tidak jelas identitasnya. Pandangan seperti ini merupakan keinginan pemerintah, yakni sebagai upaya melokalisir kerusuhan seketat mungkin sehingga tidak meluas ke daerah lain. Sedangkan Media Indonesia, menampilkan berita konflik kadang dengan bahasa yang sangat eksplisit, seperti kasus bernuansa SARA, penyerangan terhadap pemukiman Muslim, pertikaian antar warga yang diwarnai dendam. Namun kemudian berita yang "panas" seperti itu "didinginkan" kembali dengan bantahan-bantahan yang dikemukakan oleh kalangan aparat keamanan, dan tindakan yang diambil oleh aparat, keamanan dalam mengatasi situasi. Bila ada kekeliruan dari kalangan aparat keamanan, Media Indonesia cenderung mengemukakan secara eksplisit, namun kemudian memberikan alasan sebagai kekeliruan dari segelintir oknum. Dari karakteristik ini, cenderung disimpulkan
Hab 4
274
bahwa Media Indonesia mentransfer ideologi dari institusi aparat keamanan untuk menyampaikan berita mengenai konflik. Untuk memperjelas bagaimana kekentalan orientasi masing-masing media massa dalam pemberitaan, berikut ini sekelumit analisis tentang editorial ketiga media massa dalam menyoroti kasus Poso yang terjadi peda 2005. Orientasi Republika yang cenderung kepada keamanan dan politik (Islam),
Kompas yang cenderung dengan perspektif keamanan (untuk kepentingan warga), dan Media Indonesia dengan perspektif keamanan (transfer dari lembaga keamanan) terlihat cukup jelas dalam membicarakan isu teror yang dua tahun belakangan menjadi Isu besar dalam masyarakat Indonesia. Untuk
ini
dapat diamati
dalam
tajuk
rencana
(editorial) yang
membicarakan kasus bom di Tentena, Poso akhir Mei 2005 yang lalu. Ketiga media massa sepakat bahwa kasus Tentena tidak terkait dengan konflik horizontal yang terjadi lima tahun yang silam. Bom di Tentena dilihat sebagai kasus teror yang menimbulkan gangguan keamanan secara nasional. Nartfun gagasan keamanan ini dibingkai sesuai dengan orientasi ideologi masing-masing media.
Republika
membuka tajuk rencana tertanggal 30 Mei 2005, yang
membicarakan kasus Tentena dengan judul " Evaluasi Kinerja Polri". Tema yang dibangun Republika dalam judul ini adalah mengkaji ulang proses kinerja Polri. Pernyataan judul sekilas tampak bersifat deklaratif, namun bila ditelusuri lebih jauh ke dalam struktur uraian, tampak bahwa dalam pernyataan judul tersirat makna imperatif, yakni keharusan kepada lembaga Polri untuk mengevaluasi kinerja. Himbauan Republika dilatarbelakangi dengan gagasan politis yang
Bah 4
275
tercermin dalam alinea pertama uraian yakni: kaitan antara peristiwa bom dengan dengan penutupan kedutaan Amerika Serikat oleh pemerintahnya yang dilakukan beberapa hari sebelum peristiwa Tentena. Menurut Repubiika, hal yang serupa juga terlihat dalam kasus bom lain yang selalu didahului dengan
™ warning" pemerintah AS terhadap warganya yang ada di Indonesia. Secara implisit, Repubfika menyampaikan bahwa semestinya Polri dapat mencermati kecenderungan
pemerintah
AS
tersebut
dalam
rangka
meningkatkan
kewaspadaan. Rangkaian-rangkaian tema ini dirajut oleh Repubfika dalam tajuk rencana sehingga mencerminkan satu gagasan bahwa kasus tenor di Indonesia mestinya dicermati oleh Polri dengan perspektif yang lebih luas, dan diantisipasi lebih cepat
Dengan cara ini, Repubiika
menggiring pembaca dari berfikir
tentang keamanan ke arah politik, khususnya yang menyangkut posisi umat Islam dalam konteks terorisme internasional sebagaimana diwacanakan oleh negara-negara barat
Repubiika mengakui bahwa teroris telah menimbulkan gangguan keamanan bagi masyarakat khususnya masyarakat sipil yang tidak bersalah. Namun Repubiika secara halus menyampaikan bahwa penyebab teror itu sendiri ada kemungkinan bersifat internasional yang direncanakan oleh kelompok tertentu. Lain halnya dengan Kompas yang memberi judul tajuk rencananya mengenai kasus Tentena dengan "Bom Dahsyat Tewaskan 20 orang, lukai 53 orang". Pernyataan judul ini bersifat deklaratif sekaligus juga menyampaikan satu proses mental yang menggambarkan bom Tentena sebagai ancaman kemanusiaan di samping gangguan keamanan.
Bab -t
276
Proses mental ini dieksplorasi oleh Kompas dalam uraian dengan mengangkat tema "pasar" sebagai sarana umum tempat masyarakat berkumpul telah dijadikan sasaran bom. Meskipun pada awalnya Kompas
menggiring
pembaca untuk melihat kasus Tentena sebagai rangkaian dari peristiwa sebelumnya berupa pertikaian antar kelompok yang berbeda, tetap» kemudian dibatalkan dengan menyatakan bahwa kasus bom Tentena lebih besar kemungkinan disebabkan oleh pihak ketiga, yang tidak jelas. Oleh karena tidak jelas identitasnya, Kompas cenderung melihat pihak tersebut sebagai ancaman yang harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, sehingga tidak menimbulkan gangguan keamanan lebih jauh lagi dalam masyarakat Indonesia. Cara-cara
penstrukturan tajuk seperti ini,
menunjukkan orientasi
keamanan yang selalu menjadi gagasan utama Kompas bila mengemukakan satu isu yang bersifat sensitif, dan menyinggung hubungan antar kelompok yang berbeda identitas. Terakhir,
Media Indonesia merangkai judul tajuk (editorial) dengan
singkat" Poso dan Bom". Dalam dua kata itu tersimpan tema peristiwa bom, yang kali ini terjadi di Poso. Sebelumnya kasus bom telah terjadi di tempattempat lain. Secara eksplisit Media Indonesia menyampaikan bahwa kasus bom di tempat manapun adalah gangguan keamanan. Namun peristiwa-peristiwa tersebut dijadikan oleh Media Indonesia sebagai bukti lemahnya kinerja aparat Kepolisian dan Intelijen, bahkan digambarkan dengan bahasa yang cenderung seperti ejekan. Dari
cara-cara
Media Indonesia merangkai
pembahasan
dalam
editorialnya, tampak bahwa kasus Tentena dan kasus lain yang serupa adalah
Bab -t
277
gangguan keamanan yang harusnya menjadi umpan balik bagi Kepolisian dan Intelijen mengevaluasi kinerja yang selalu tertambat dalam menanggapi isu-isu teror dalam masyarakat. Namun dari cara penyampaian kritik ini, tampak Media
Indonesia menempatkan diri sebagai lembaga yang juga paham dengan kerja intelijen dan keamanan, dan terkesan mengingatkan aparat Intelijen dan Kepolisian dengan nada yang cenderung keras. Dari pengamatan ini, disimpulkan bahwa gaya bahasa editorial Media Indonesia
mengandung unsur-unsur
ideologis yang biasanya digunakan oleh aparat keamanan (militer). Gaya bahasa tersebut juga dapat diamati dari penyusunan judul yang singkat dan tegas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Media Indonesia konsisten dengan orientasi keamanan ketika membicarakan isu-isu kerusuhan dalam masyarakat Hasil pembahasan ketiga daerah sampel yang disoroti oleh tiga media massa, memberi gambaran tentang isu hubungan antar etnik yang terjadi secara umum saat ini di Indonesia, dan secara khusus di daerah konflik. Walaupun wama ideologi masing-masing media terlihat dalam pemberitaan, beberapa isu penting tentang hubungan-konflik antarwarga dapat dilihat dalam beberapa hal. Secara umum isu-isu penting dalam konflik di tiga daerah itu dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut. 1) Konflik antara warga yang berbeda agama, Islam dan Kristen (kasus Ambon dan Poso). 2) Konflik yang bermuatan ideologis, mengarah kepada separatisme (kasus Ambon). 3) Pertikaian antar preman dari kelompok yang berbeda agama (kasus Ambon, dan Poso).
Bah 4
278
4) Persaingan politik di tingkat lokal antara kelompok yang (kasus Poso). 5} Konflik antar warga yang berbeda agama karena aktif (kasus Ambon, dan Poso) 6) Konflik bernuansa budaya terutama antara kelompok pendatang (datang belakangan dari kelompok lain) dengan kelompok yang telah lama menempati wilayah (asli) (kasus Maluku awai, dan kasus Sambas serta Sampit). Secara esensial isu-isu etnik ini, tampak dalam pemberitaan ketiga media massa. Hanya saja penekanan dari isu tersebut dalam pemberitaan dipengaruhi oleh orientasi masing-masing media massa (ideologi). Atas dasar ini, uraian dalam sub bab ini dibagi atas dua kelompok besar yaitu: 1) karakteristik hubungan antar etnik di Indonesia, yang lebih banyak membahas tentang persoalan etnisitas dalam masyarakat berdasarkan tinjauan media massa dan pendapat para pengamat (peneliti, praktisi, dan LSM); dan 2) peran media massa dalam konteks masyarakat multikultural, yang membahas tentang orientasi pemberitaan
setiap media
massa
dan
pengaruhnya bagi
pembentukan
masyarakat multikultural.
4.2.1 Karakteristik Hubungan- Konflik Antar Etnik Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa berdasarkan tinjauan ketiga media massa ada beberapa hal penting dalam konteks hubungan-konflik antar etnik di Indonesia: 1) perbedaan agama (Islam dan Kristen), 2) unsur
Bab -t
119
politik dan ideologis (perebutan kekuasaan, separatisme), 3)
provokator dan
premanisme, dan 4) perbenturan budaya. Keempat hal ini pada dasarnya menjadi pemicu perkembangan konflik di ketiga daerah tersebut. Namun para pengamat (peneliti, praktisi, dan LSM) memiliki beragam pandangan tentang bagaimana keempat masalah tersebut mempengaruhi hubungan antar etnik di setiap daerah. Sebagai contoh, kalangan LSM (internasional) menyoroti masalah konflik di Indonesia mirip dengan cara media
massa
menyampaikan
berita,
yakni
dipengaruhi
oleh
ideologi
(kepentingan) masing-masing. Bentuk ini terlihat dengan jelas dalam kasus konflik yang bernuansa agama seperti pada kasus Ambon dan Poso. Sebagaimana telah dibahas di atas, untuk kasus Ambon, terutama Repubiika dan Media Indonesia menyatakan secara eksplisit sebagai pertikaian antar pemeluk agama yang berbeda, sedangkan Kompas lebih melihat sebagai pertikaian sosial, yang dipicu oleh premanisme. Demikian pula untuk kasus Poso,
Repubiika cenderung melihat konflik disebabkan politisasi agama oleh kelompok elit,
Kompas melihat kasus Poso sebagai kasus kerusuhan antar warga desa
yang berbeda agama, sedangkan Media Indonesia melihat kasus Poso sebagai pertikaian kelompok yang berbeda agama. Ketiga media massa sepakat bahwa dalam kasus Poso faktor perbedaan agama merupakan bagian dari konflik antar warga Meskipun ketiga media massa baik secara implisit atau eksplisit mengakui ada unsur perbedaan dalam pertikaian antar kelompok pada kasus Ambon dan Poso, masing-masing membingkai berita dengan cara yang berbeda berdasarkan kepentingan setiap media massa.
Bab -t
280
Cara pandang yang bermuatan Ideologis ini, juga terlihat dalam cara LSM (internasional) membicarakan kasus Ambon dan Poso. Hal ini disebabkan konflik pada kedua daerah tersebut terkait dengan antar warga yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen. Sementera di dunia internasional terutama negaranegara barat lebih banyak melihat Islam dari sisi kelompok radikal (Huntington, 2003: 388). Sehingga apabila terjadi gejolak dalam masyarakat yang terkait dengan unsur agama, maka hal pertama yang menjadi sorotan adalah keterlibatan kelompok Islam garis keras. Sebagai contoh mengenai pertarungan ideologi ini dapat dilihat dengan jelas dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan melalui internet seperti tulisan Buwalda & Kie Eng Go (2002) dari LSM JUBiLee, mengungkapkan tentang persoalan di Maluku dan Poso tidak pernah selesai karena adanya intimidasi dari laskar Jihad. Demikian juga laporan ICG
{Internationa! Crisis Group) tahun 2002 dan laporan mingguan The Center For the Prevention of Genodde (2002) melihat kasus Maluku dari segi keterlibatan laskar jihad, dan dugaan hubungannya dengan teroris di luar Indonesia. Meskipun tinjauan LSM internasional difokuskan kepada hak-hak azasi manusia, secara implisit mereka mengaitkan kasus kekerasan di Indonesia, terutama dalam kasus Ambon (Maluku), dengan keterlibatan kelompok Islam garis keras. Dari fenomena ini, tampaknya kasus Ambon lebih dari sekedar konflik horizontal antar warga Islam dan Kristen, tetapi ada kepentingan ideologis dari kelompok-kelompok tertentu. Namun berbeda dari tinjauan kalangan LSM luar negeri, kalangan LSM dalam negeri melihat kasus Ambon dan Poso secara lebih komprehensif. Misalnya untuk kasus Ambon, Alhadar (1999), menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi
Bab -t
281
saat ini merupakan warisan kolonial berupa hak-hak istimewa yang diberikan penjajah kepada kelompok Kristen, sehingga secara ekonomi dan sosial mereka lebih maju dari kelompok lain. Namun dengan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, semua kelompok mendapat tempat yang sama dalam negara kesatuan,
dan otomatis terhapusnya hak-hak istimewa. Akan tetapi ada
kelompok Kristen yang tidak menerima kehilangan hak-hak istimewa tersebut, dan berupaya mendirikan negara sendiri yaitu RMS (Republik Maluku Selatan), namun mendapat tantangan dari kelompok Musiim. Permusuhan yang telah mengakar ini,
diindikasikan sebagai pemicu dan sekaligus memperdalam
kekerasan yang sekarang ada di Maluku. Relevansi kenyataan sejarah arti dengan kerusuhan di Ambon saat ini disebut dengan teori apocafyptic narratives yakni pihak yag bertikai menganggap bahwa "berperang" adalah tugas agama. (Bubandt, 2000). Prasetyo Hadi (2004) juga menyinggung pecahnya kembali konflik Ambon (Maluku) terkait dengan isu RMS. Bahkan lebih jauh ia melihat bahwa di balik isu separatisme ada konflik elit politik antara Kristen dan Islam. Masih terkait isu separatisme juga dikemukakan oleh Tianlean (2004), seorang anggota Dewan Penasehat Komite Penyelamat Maluku, bahwa gema separatisme tersebut sudah mulai sejak tahun 1998 bersamaan dengan lengsernya kekuasaan orde baru. Baik pandangan yang melihat kasus Ambon sebagai konflik horizontal ataupun konflik vertikal, di dalamnya tetap ada pergulatan ideologis antara kelompok islam dan Kristen. Masing-masing kelompok melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang bermusuhan dengan kelompok lain, dan
Bab -t
282
berusaha memenangkan pertarungan atas nama kelompok, termasuk dengan upaya memisahkan diri dari negara kesatuan. Diduga, penguatan identitas keagamaan di kalangan masyarakat Maiuku terkait dengan segregasi wilayah Maluku yang sejak jaman Belanda terbelah menjadi dua yaitu Islam di utara dan Kristen di selatan. Demikian pula halnya pola pemukiman tradisional di Maluku yang sangat segregatif berbasis agama (Tomagola, 1999). Namun konflik laten ini tidak mencuat kepermukaan karena ada rasa persaudaraan di kalangan masyarakat,
sampai dengan terjadinya
perpecahan di antara mereka yang penyebabnya dimulai dari praktek KKN di kalangan pejabat sehingga menimbulkan ketidakadilan ekonomi dan politik. Pada satu lembaga yang sudah dikuasai oleh satu kelompok agama tertentu akan sulit bagi kelompok agama lawannya untuk
mendapatkan benefit di lembaga
tersebut, meskipun secara keahlian mereka mampu. Pendapat ini disetujui oleh kebanyakan para analis (TAPOL Bulletin no 158, June 2000) yang menyatakan konflik Maluku tidak dipicu oleh faktor agama atau suku tetapi oleh faktor sosial dan ekonomi. Tetapi sekarang masyarakat merasakan pertarungan antara mereka sebagai faktor agama. Al Qadrie (1999: 38) menjelaskan kenyataaan ini dengan teori pembanguan modem yang menurunkan peranan identitas etnik dan budaya yang berbeda disebabkan adanya industrialisasi dan modernisasi yang sukses. Teori ini telah diterapkan selama 32 tahun pemerintahan orde baru. Sejalan dengan itu van Klinken (2005: 99) melihat bahwa pertikaian Maluku, sama halnya dengan daerah lain, yakni disebabkan oleh semakin kuatnya persaingan di tingkat elit untuk memperoleh kekuasaan. Dengan teori
Bab -t
283
dynamics of contention, dijelaskan bahwa agama, atau suku dipergunakan oleh elit untuk mencapai tujuannya. Jadi pertikaian di Ambon (Maluku) sebenarnya adalah pertikaian antar elit kekuasaan. Analisis yang hampir senada juga di kemukakan oleh Margawati & Aryanto (2000) dari Jaringan Kerja Relawan untuk Krisis Maluku, yang mengatakan bahwa konflik Ambon bukan konflik agama, tetapi politisasi agama untuk tujuan tertentu oleh kelompok elit Masyarakat yang tersegrasi secara agama dari segi demografis, semakin rentan dengan konflik ketika adanya tekanan dari luar yang memaksakan agar segregasi terus berlanjut untuk memperpanjang konflik demi tercapainya tujuan kekuasaan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik Ambon memiliki karakteristik yang unik, yaitu 1) identitas agama yang semakin menguat karena faktor geografi, demografi, sejarah, dan praktek-praktek KKN; 2) keterlibatan pihak internasional dengan agenda tersendiri, terutama yang bericaitan dengan permusuhan terhadap Islam garis keras, dan militeristik di Indonesia; dan 3) persaingan di tingkat elit yang memanfaatkan perbedaan agama dalam masyarakat. Analisis yang berbeda untuk
konflik Poso terlihat dalam berbagai
pandangan pengamat. Dilihat dari segi penyebaran penduduk di Poso, pada wilayah tertentu ada kelompok agama yang menjadi mayoritas dan ada kelompok minoritas (Hasan, dkk. 2003: 83-170; Ali, 2003: 83). Namun, konflik Poso masih tergolong konflik horizontal antar warga yang berbeda agama (Ali, 2003). Dalam konflik Poso tidak terlihat indikasi ke arah konflik vertikal seperti halnya di Ambon yang juga dikaitkan dengan isu separatisme oleh gerakan RMS
Bab -t
284
(Republik Maluku Selatan). Akan tetapi, dari segi tinjauan para pengamat atau LSM internasional, sama halnya dengan kasus Ambon, semakin
memburuk
karena
pihak
Islam
bahwa kasus Poso
melibatkan
laskar
jihad
(www.rand.oro.publications/2003). Berbeda halnya dengan
LSM dalam negeri yang lebih cenderung
menganalisis dari sisi politik dan ekonomi. Misalnya, menurut laporan investigasi Kontras antara 19 juni-21 Juli 2000 (www.x54alll.nl), konflik Poso terkait dengan: 1) pertarungan di elit politik lokal untuk melanggengkan kekuasaannya dengan menggunakan kekuatan/tekanan massa dan kesalahan kebijakan/wewenang dari aparatur pemerintah sipil/militer; 2) kekecewaan rakyat pada upaya penegakan hukum, yakni hukum tidak ditegakkan kepada para provokator meskipun namanama mereka sudah teridentifikasi oleh kepolisian dengan bukti-bukti yang cukup. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Tahmidy Lasahido, Ketua Pokja Krisis dan Rekonsiliasi Poso (Ali, 2003: 94) yang menyatakan bahwa 60% responden melihat konflik Poso lebih bernuansa politik dan ekonomi. Secara teoretis, pertarungan elit politik di tingkat lokal disebut Van Klinken (2005: 94) dengan teori wpegeseran skala". Dalam praktflcnya, para pesaing politik berusaha melakukan perebutan kekuasaan dengan memanfaatkan agama sebagai pembentuk kategori dalam pikiran masyarakat, dikarenakan agama membuka ruang yang lebih luas untuk membangun koalisi. Namun ada analisis lain dari Arianto Sangaji seorang tokoh LSM dan juga peneliti di Sulteng (wawancara dengan Radio Neerland, 29 Oktober 2003), yang mengatakan bahwa konflik Poso merupakan bagian dari operasi intelijen (dari kalangan tentara, milter, dan birokrat) yang berupaya menyusup dan
Bab -t
285
meradikalisasi
kekuatan-kekuatan
Islam
yang
dianggap
radikal,
untuk
kepentingan kelompok tertentu. Namun belakangan masyarakat Poso menurut Sangaji cukup "arif" untuk tidak melibatkan diri dalam paggilan jihad yang diserukan provokator. Analisis yang sama juga dikemukakan oleh George Aditjondro (2002), yang menyatakan konflik Poso dan juga Ambon merupakan cara intelijen untuk kepentingan kekuasaan (kembalinya kekuasaan militer di wilayah yang kaya dengan sumber alam untuk kelangsungan bisnis mereka). Radikaiisasi agama merupakan bagian untuk mengembangkan konflik sehingga militer mendapat legitimasi untuk mendirikan kembali kodam-kodam atas dasar keamanan wilayah. Analisis terhadap kebobrokan penguasa sebagai penyebab kerusuhan Poso, disuarakan juga oleh LSM Yayasan Tanah Merdeka, melalui pernyataan Press No 001.K.01.05, tanggal 17 Januari 2005 fwww.vtm.or.id/KbnflikPoso). YTM mengatakan bahwa indikasi kekerasan bersenjata yang terus meningkat di Sulawesi Tengah erat hubungannya dengan praktik korupsi. Sebelumnya analisis yang serupa ditulis dalam Kompas tanggal 12 Januari 2005, yang mengatakan bahwa sulitnya penyelesaian konflik Poso karena kentalnya kepentingan ekonomi dan politik para pejabat di lingkungan Pemprov Sulteng dan Pemkab Poso, termasuk kepentingan para pejabat di sektor keamanan. Satu
analisis dari
kalangan
akademisi
(Aragon,
2000:
54-65),
mempertegas bahwa konflik Poso erat kaitannya kesenjangan ekonomi yang dialami oleh masyarakat, dan diperparah dengan kekuatan keamanan yang
Bab -t
286
memihak. Jika kedua permasalahan itu dapat diatasi, maka masyarakat Muslim dan Kristen Poso dapat hidup berdampingan secara harmonis. Sejalan dengan analisis seorang peneliti dari Pusat Penelitian LIPI (Susanto) yang dimuat dalam Kompas 18 November 2004, menyebutkan bahwa faktor ekonomi terutama dengan pergeseran pusat ekonomi ke daerah baru yang mayoritas Muslim, serta kesenjangan ekonomi yang disebabkan masuknya pendatang ke wilayah Poso, merupakan faktor pemicu kerusuhan di samping pergeseran kekuasaan pemerintahan daerah /lokal. Dari uraian di atas, tampak kecenderungan pendapat kalangan LSM dan akademisi, mengatakan bahwa konflik Poso disebabkan faktor ekonomi dan politik. Masyarakat yang berbeda agama hanyalah korban dari orang-orang yang mengambil keuntungan dari konflik. Dr Poso, konflik yang bersifat horizontal dengan sengaja diperluas oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk tujuantujuan ekonomi dan politik. Kesamaan yang paling jelas dalam konflik Ambon dengan Poso, adalah peran provokator dalam memobilisasi massa untuk terlibat dalam konflik. Dalam hal ini "ketidakkritisan" cara berpikir masyarakat dimanfaatkan oleh kelompokkelompok yang terlatih menciptakan konflik. Sedangkan perbedaannya terletak pada peran agama dalam konflik. Di Poso agama dipolitisir untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik, sementara di Ambon (Maluku) agama menjadi identitas kelompok yang bertikai baik pada awal konflik yang semula disebabkan faktor ekonomi, maupun pada perkembangan lanjut yang mengarah kepada konflik vertikal dan bahkan diinternasionalisasi atas nama hak azasi manusia.
Bab -t
287
Daerah konflik ketiga yang menjadi pembahasan di sini adalah Sambas dan Sampit, Kalimantan. Ciri utama konflik di daerah ini adalah konflik antar etnik pendatang dengan penduduk setempat. Kelompok pendatang adalah Madura, sedangkan penduduk asli adalah Dayak, termasuk Melalyu dan Cina. Dari ketiga media massa di atas (Repubfika, Kompas, dan Media Indonesia) terdapat kesamaan ide yang menyatakan bahwa konflik Sambas dan Sampit adalah konflik horizontal yang terjadi karena perbenturan budaya. Selain itu, ketiga media massa juga sama berorientasi keamanan dalam melihat konflik Sambas dan Sampit. Hanya saja, pada Repubiika ada sedikit kecenderungan untuk mengarahkan analisis ke dalam konteks politik yakni menempatkan konflik saat ini sebagai bagian dari kekacauan nasional yang dikaitkan dengan kesatuan bangsa dan peran pemerintah. Kalangan LSM (Internasional) melihat kasus Sambas dan Sampit, tidak segencar kasus Ambon dan Poso. Mereka mengaitkan kasus di pulau kalimantan ini dengan HAM dan militer, yaitu dengan mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi saat ini, adalah bagian dari sejarah kekuasaan militer dan orde baru di Indonesia (ICG Report no. 19, 2001). Sedangkan dari kalangan LSM di dalam negeri seperti ELSAM (1999) melihat pertikaian Sambas dan Sampit sebagai perbenturan budaya. Masingmasing etnik memiliki sterotip negatif tentang lawannya. Penduduk asli (Melayu dan Dayak) menganggap orang Madura egois, tidak mau beradaptasi dengan lingkungan, ekslusif, keras kepala, suka mencuri, menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pendendam, dan selalu ingin benar
Bab -t
288
sendiri. Sebaliknya orang Madura menganggap penduduk asli pengecut, pemalas, menolak pekerjaan kasar dan sebagainya. Perbenturan budaya ini diperparah dengan ketidakpastian hukum dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang pernah ada antar warga yang berbeda etnik. Dalam hal ini, LSM memandang kasus kasus Dayak-Madura di pulau Kafimantan ini terkait dengan keboborokan hukum dan pemerintah dalam menangani kasus antar etnik. Pada salah satu newsletter yang ditulis melalui www, elgam.or.id. newsletter disebutkan bahwa tokoh masyarakat Dayak dan akademisi Dayak menyatakan penyebab konflik adalah ketidak adilan yang terjadi hampir di semua aspek, sehingga masyarakat asli termarjinalisasi. Keterpinggiran ekonomi dan politik yang dialami suku Dayak karena perusahanperusahaan besar yang mengeksploitasi alam Kalimantan. Demikian pula laporan DTE (Down To Earth) no 49 Mei 2001, sebuah LSM dalam negeri yang melihat kasus Dayak-Madura terjadi karena pengurasan sumber daya alam di Kalimantan yang sudah berjalan lama sebagai bagian dari kebijakan pembangunan jaman orde baru, dan menyingkirkan hak-hak adat dan ulayat masyarakat asli. Kalangan LSM sangat mengecam kebijakan pembangunan yang berlaku di Indonesia yang mengekploitasi kekayaan alam di daerah dan memarjinalkan masyarakat asli. Pendapat yang sama ditulis oleh Andi Mulya, aktivis LSM di Jakarta (2001) bahwa penyebab utama konflik karena penduduk asli (Dayak) telah mendapat perlakuan kurang adil baik dalam hal ekonomi maupun politik. Hasil hutan yang kaya telah dikuras habis oleh perusahaan besar.
Bab -t
289
Sinyalemen yang sama juga dikemukakan oleh Direktur Institut Dayakologi, John Bamba (2002), yang mengatakan bahwa meningkatnya kekerasan etnis di Kalimantan karena beberapa faktor antara lain yaitu: 1) hukum yang tidak tegak dalam menyelesaikan masalah yang ada; 2) hilangnya peran kepala adat karena direduksi menjadi pemerintahan desa, sehingga pimpinan adat menjadi subordinat kepala desa; dan 3) terputusnya budaya kolektif, yang mengganggap alam adalah rumah bersama bagi semua makhluk. Pandangan kalangan akademis tampaknya tidak jauh berbeda dengan kalangan LSM. Di antaranya William Chang (2001) mengungkapkan bahwa penyebab konflik etnik Madura dan Dayak di Kalimantan karena: 1) akumulasi kejengkelan individual dan sosial etnik Dayak dan Melayu terhadap prilaku orang Madura; 2) ketidakadilan sosial dalam menerapkan hukum positif; dan 3) solidaritas etnik yang tinggi dari kalangan mereka yang menjadi korban tindakan kriminal orang Madura. Al Qadrie pengamat etnik dari Universitas Tanjungpura (2003: 108) mengatakan konflik etnik di Kalimantan dipicu oleh 6 faktor, yaitu: 1) perbedaan budaya,
2) persaingan yang tidak seimbang, 3) premanisme dan kriminalitas, 4) kebijakan pemerintah Pusat yang sangat sentralistik, 5) Struktur dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tiidak seimbang, dan 6) Ketidak mampuan dan ketidak berdayaan aparat penegak hukum.
Bab -t
290
Dalam analisis yang tidak jauh berbeda, Usman Pelly (1999) Antrpolog dari USU dan IKIP Medan, mengungkapkan bahwa kerusuhan SambasSingkawang (demikian juga Ambon) disebabkan faktor-faktor makro di samping faktor mikro sebagai
pemicu.
Faktor makro terkait dengan kebijakan
pembangunan nasional yang cenderung memonopoli sumber daya alam -^i daerah sehingga menimbulkan pemiskinan di kalangan masyarakat daerah. Termasuk juga dalam faktor makro kebijakan transmigrasi yang merupakan upaya pemerintah pusat untuk mempertahankan akses sumber daya alam di daerah. Kebiijakan-kebijakan yang memihak kekuasaan ini dipertajam dengan perbenturan budaya dan kesenjangan ekonomi di tingkat lokal sehingga menimbulkan konflik yang menampilkan perbedaan etnik dan juga agama. Musni Umar (2001) menganalisis konflik Sambas dan Sampit dari sudut budaya, ekonomi, dan politik. Secara budaya masyarakat pendatang (Madura) dan masyarakat asli (Dayak) masing-masing hidup dalam budaya sendiri tanpa adanya internalisasi dan eksternalisasi sistem nilai budaya yang satu oleh yang lain. Keterasingan antar budaya dipertajam dengan perbedaan tingkat ekonomi yang
sangat tinggi
antara
pendatang
dan
penduduk,
dan
kebijakan
pembangunan yang represif serta tidak memperhatikan kondisi dan budaya lokal. Akhirnya membangkitkan solidaritas emosional dan primordial di kalangan penduduk asli, yang apabila ada sedikit pemicu akan pecah menjadi pertikaian besar dan pengusiran etnik pendatang. Hasil penelitian bersama Kementrian Negara Rtstek dan UPI (2000) menemukan bahwa konflik Dayak-Madura di Kalimantan bersumber dari konflik kultural, dan hubungan antar etnik yang berwujud rivalitas dan konflik. Keadaan
Bab -t
291
ini
diperparah
oleh
berkurangnya
daya
dukung
lingkungan,
segregasi
pemukiman, prilaku aparat dan birokrasi dalam menangani konflik, hukum tidak ditegakkan, dan politisasi etnik dalam perebutan kekuasaan. Kemudian dipicu oleh oleh tindak kekerasan, provokasi dan isu yang berkembang. Dalam melihat kasus Samfcss dan Sampit, ada kecenderungan semua kalangan berpendapat, bahwa konflik terjadi karena perbenturan budaya. Namun perbenturan ini dipertajam dengan adanya berbagai kebijakan pemerintah dan penegakkan hukum yang merugikan masyarakat asli. Sehingga akumulasi tekanan ini menjadi legitimasi untuk melakukan pertarungan terbuka antara kedua etnik. Karakteristik konflik yang dibahas di atas, dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut.
Bah 4
292
Tabel 4.2.1. Ringkasan Pandangan Media Massa dan Pengamat Mengenai Konflik Konflik Ambon Repubiika
Konflik antar warga Islam dan Kristen, Konflik Ideologis, Separatisme
Kompas
Pertikaian antar preman; pertikaian antar warga dari desa yang berbeda (implisit berbeda agama); karena provokator Pertikaian antara warga Kristen dan Islam
Media Indonesia
LSM Asing
LSM Lokal
Konflik antar keiompok Kristen dan Islam (laskar jihad) Konflik antar agama, faktor
sejarah,
Separatisme, Persaingan ekonomi
PenellH/akademisi
Bab -t
Konflik karena dipicu oleh faktor ekonomi; Berkembangnya KKN; Kebijakan pembangunan yang mengeliminir peranan etnik dan tmdaya lokal; politisasi agama
Konflik Sambas dan Sampit Konflik antar pendatang dengan penduduk asli. Anarkisme sosial yang mengancam bangsa: Konflik karena faktor budaya dan ekonomi Konflik antar warga pendatang dan asli; konflik karena faktor budaya
Konflik antar pendatang dan asli Kekerasan antar warga karena kebijakan orde baru Perbenturan budaya antar etnik Madura dan Etnik asli di Kalimantan; Ketidak pastian hukum dalam penyelesaian kasus antar etnik; marjinalisasi penduduk asli oleh perusahaan besar; kebijakan pembangunan yang menyingkirkan peran etnik dan adat setempat Perbenturan budaya; Kekecewaan terhadap penegakan hukum; persaingan ekonomi yang tidak seimbang; Kebijakan pembangunan yang sentralistik; keterasingan budaya; solidaritas kelompok
Konflik Poso Konflik Elit Lokal, Politisasi agama
Konflik antar desa; Kerusuhan karena provokator
Pertikaian antar kelompok yartg berbeda agama Islam dan Kristen) Konflik antar warga Kristen dengan islam militan (laskar juhsd Pertarungan elit lokal; kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum; Karena faktor Politik dan ekonomi; skenario operasi intelijen; Praktek korupsi, keberpihakan aparat, dan ketidak adilan hukum
Pergeseran ekonomi lokal ke daerah mayoritas muslim, dan pergeseran kekuasan lokal; provokator
293
Perbedaan yang sangat jelas antara tinjuan media massa dengan tinjauan pengamat, adalah dari sudut pandang makro dan mikro. Media massa lebih cenderung melihat kasus konflik dalam tinjauan mikro, yakni terkait langsung dengan warga yang bertikai seperti faktor agama, budaya, atau provokator. Kemudian penyampaian media massa didasarkan pada rujukan dari kalangan aparat keamanan, pejabat pemerintah, politisi, dan pengamat yang banyak berasal dari kalangan pemerintah atau terkait dengan pemerintah. Sedangkan tinjauan pengamat, mencakup pandangan mikro dan makro. Pandangan mikro menyangkut dengan masyarakat yang bertfcai, terutama karena faktor budaya, ekonomi, dan politik. Sedangkan faktor makro yang turut berpengaruh dalam konflik, adalah kebijakan pembangunan yang diterapkan pemerintah, dan kepentingan-kepentingan elit di tingkat nasional. Berdasarkan tinjauan pengamat dan pemberitaan media massa mengenai konflik di daerah, ditemukan adanya kesamaan dan perbedaan karakteristik konflik Ambon, Sambas dan Sampit, dan Poso.
Untuk mempermudah
pemahaman mengenai hal tersbut, dapat digunakan kategori sumber konflik dalam masyarakat multikultural yang dtkemukakan oleh Marpufta Byrtl (1995), dalam tulisannya The Ethiology of Gonffict /n Multicultral Relations, sebagai berikut. 1) Alokasi sumber daya yang tidak seimbang. 2) Legasi sejarah. 3) Gangguan sikap. 4) Kekurangan dalam litrerasi budaya. 5) Keragaman dalam masyarakat
Bab -t
294
Kecenderungan awal dari konflik yang terjadi di daerah (Ambon, Sambas dan Sampit, dan Poso), sama dimulai dari persoalan alokasi sumber daya alam yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan disebabkan berbagai hal seperti perkembangan pendududuk dari kelompok yang semula minoritas, kedatangan imigran lokal, dan juga kebijaksanaan pembangunan yang tidak proporsional sehingga mearjinalkan penduduk asli.
Perasaan identitas kelompok yang
sebelumnya sudah terbentuk, menjadi lebih menguat lagi ketika kelompok merasakan nasib yang sama, yakni kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang semestinya mereka kuasai. Fenomena ini tampak dalam kasus-kasus konflik yang terjadi di daerah, seperti di Ambon (Maluku) bermula dari ketegangan antara orang Maluku dengan imigran loka! yang berasal dari Sulawesi; di Sambas dan Sampit ketegangan antara Dayak (Melayu) dengan Madura; dan di Poso adanya dugaan ketidakseimbangan alokasi sumber daya dan akses politik antara kelompok Islam dengan Kristen. Selain itu, kesamaan dalam konflik di ketiga daerah tersebut adalah dari segi peran provokator yang menggerakkan masyarakat unUik terliUit dalam konflik. Hampir M .-itu M analisis mengatakan bahwa semakin berlarutnya konflik di daerah tersebut tidak lepas dari peran provokator yang terus berusaha untuk menghidupkan konflik dalam rangka mencapai tujuan mereka. IVMil>.ili.r..in [K'iKj.iiii.il il.vi jiipii |K-Mif m-i il.i.m uic
'«i, %,imn u»>mlM>iik.in (j.unh.imn h.ihw.i kelinlllKitnn Mi.i-.y-ii.ik.il dalam konflik karena solklanl.is (i.Ki ikatan ornnslot1.1I yang kuat dengan krlom|H>k. Artinya masyarakat mrlakukan jM^lawaiian k a i c n . I taktnr-faktor jaiKik.I
|WIKI<4C
w p o r t l memt>efa
idonlitas k(?loni|X5k, atau tem.tn teman yang satu kdnmi>ok, atau pelampiasan
tUih f
ketertekanan emosional yang lama tersimpan atas nama kelompok. Sedangkan secara jangka panjang masyarakat tidak memiliki tujuan apapun dengan konflik, tetapi justru tujuan jangka panjang diambil alih oleh pihak iain yang ingin memanfaatkan pertikaian yang sudah terjadi. Ketika konflik dimanfaatkan oleh kelompok lain, penyelesaiannya menjadi sulit. Di sinilah letak perbedaan konflik pada ketiga daerah. Di Poso, konflik diperparah karena keterlibatan elit politik lokal yang bersaing dalam perebutan kekuasaan. Ketegangan yang telah terbangun dalam masyarakat karena persaingan ekonomi, dipertajam oleh elit dengan sikap memihak dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. Demikian pula faktor perbedaan agama dipertajam oleh provokator untuk dijadikan sarana mencapai tujuan mereka. Di Ambon (Maluku), menurut pandangan pengamat indentitas kelompok karena faktor agama memang sudah lama terbentuk. Akan tetapi, konflik antar warga dimulai dari persoalan kesenjangan ekonomi antara pendatang dan penduduk asli, yang kebetulan perbedaan identitas antar mereka lebih disebabkan
perbedaan
agama.
Namun
kemudian
perbedaan
identitas
berdasarkan agama tersebut, yang justru tampak ke permukaan ketika masingmasing kelompok yang bertikai mengidentifikasi diri dengan agama mereka. Dalam perkembangan konflik di Ambon (Maluku), perbedaan agama semakin identik dengan pertikaian antar warga, terutama ketika dipertajam oleh kelompok elit yang memprovokasi konflik untuk kepentingan mereka. Bahkan konflik yang bersifat horizontal dan nasional, terlihat digiring untuk menjadi konflik vertikal untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara melibatkan secara tidak langsung lembaga-lembaga internasional.
Bab -t
296
Sedikit perbedaan, karakteristik konflik Sambas dan Sampit dilihat oleh pengamat sebagai konflik murni antar etnik yang disebabkan perbedaan budaya yang sangat tajam. Perbedaan budaya ini disertai dengan kesenjangan ekonomi dan kebijakan pemerintah pusat yang memarjinalkan penduduk asli. Akhirnya, kebencian serta ketertekanan menyatu dan berakumulasi menjadi kebencian antar etnik. Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa konflik etnik di pulau Kalimantan ini lebih banyak disebabkan ketidakadilan ekonomi, dan rendahnya literasi lintas budaya. Namun ada beberapa kalangan pengamat yang melihat konflik antar etnik Dayak dan Madura dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Analisis ini muncul setelah melihat adanya keterlibatan elit yang berusaha memperjuangkan kelompok melalui organisasi dan parpol. Untuk menempatkan gambaran konflik di ketiga daerah tersebut dalam tataran teoritis, digunakan kerangka hipotetik mengenai "hubungan antara interaksi masyarakat, potensi konflik, dan pola penanganan masyarakat majemuk" (sebagaimana dibahas pada bab 2). Menurut kerangka tersebut; dirumuskan bahwa dalam suatu masyarakat majemuk cenderung terjadi konflik bila dalam masyarakat itu terjadi interaksi yang tidak setara, salah satunya melalui pengalaman diskriminatif yang dialami oleh kelompok minoritas yang dilakukan
oleh
kelompok mayoritas.
Perlakuan diskriminatif ini
bersifat
terlembaga dapat berupa produk hukum, akses ekonomi, dan juga politik. Namun dalam pengalaman berbagai negara dengan masyarakat majemuk, upaya-upaya
diskriminatif dapat diminimalkan dengan sistem demokrasi
(terutama model consociationai demoaracy). Dalam sistem ini semua kelompok
Bab -t
297
yang berbeda mendapat akses yang sama dalam semua bidang, dan perbedaan antar kelompok dilindungi oleh negara. Di samping itu juga menurut kerangka hipotetik itu, dinyatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah terjalin interaksi yang setara maka kecil kemungkinan terjadi konflik, kecuali konflik dapat muncul jika penyelenggaraan masyarakat dilaksanakan secara otoriter. Jika hal ini terjadi maka perbedaanperbedaan identitas yang ada dalam masyarakat akan menjadi potensi untuk menyulut konflik. Berdasarkan tinjauan penelitian ini, kasus hubungan-konflik antar kelompok dalam masyarakat Indonesia termasuk unik. Karakteristik hubungankonflik dalam masyarakat multikultural di Indonesia tidak serta merta dapat dicocokkan dengan kerangka teoritis tersebut di atas. Ada faktor-faktor tersembunyi yang
berpengaruh terhadap keharmonisan
hubungan antar
kelompok yang berbeda dalam masyarakat Indonesia. Keunikan ini dapat dilihat dalam beberapa hal. Keunikan yang pertama terlihat dari sifat interaksi antar golongan. Secara yuridis
konstitusional,
kesetaraan
antar
kelompok
dalam
masyarakat
multikultural di Indonesia telah dijamin dalam bentuk Dasar Negara, dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukti dari kesetaraan ini, terlihat dengan mobilitas horizontal antar kelompok yang cukup tinggi dan telah berlangsung lama dalam masyarakat, sehingga ditemukan pada setiap wilayah ada berbagai suku yang berasal dari daerah lain (pendatang) serta membaur dengan suku atau kelompok yang dianggap sebagai warga asal daerah tersebut
Bab -t
298
(asli). Selain itu, dalam masyarakat majemuk tersebut identitas masing-masing kelompok tetap hidup dan terjaga. Berdasarkan teori di atas, semestinya keragaman dalam masyarakat cenderung berpotensi positif menekan konflik, sekaligus menjadi kekayaan kultural dan sosial. Namun kenyataannya pada daerah tertentu muncul konflik yang mengemukakan identitas kelompok secara jelas seperti agama atau suku tertentu. Uniknya kelompok yang bertikai hanya pada daerah tertentu, dan oleh kelompok tertentu. Tetapi pada tempat atau daerah lain, kelompok yang sama (saling bertikai di daerah konflik) justru hidup berdampingan secara harmonis. Berdasarkan kajian penelitian ini, tampak bahwa pertikaian di daerahdaerah konflik ditenggarai muncul karena faktor di luar kelompok itu sendiri
{ethnic entrepreneurs). Rekayasa etnik ini dilakukan oleh penggerak konflik dengan memanfaatkan kekuatan identitas kelompok dalam masyarakat Berbagai analisis dikemukakan oleh para ahli dan pengamat bahwa konflik terjadi antara lain seperti faktor kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dalam penegakkan hukum, serta ketidakpuasan terhadap kebijakan pembangunan. Namun, faktorfaktor tersebut tidak secara langsung mendorong kemauan kelompok untuk bertikai, melainkan digerakkan oleh kelompok kecil dengan memanfaatkan identitas kelompok, sehingga pertikaian menjadi luas serta melibatkan identitas seperti agama atau suku. Masyarakat pada akar rumput yang terdiri dari berbagai golongan tidak menciptakan konflik melainkan identitas mereka dimanfaatkan dalam mempertajam konflik untuk kepentingan tertentu. Dari faktor ini tampak keunikan
lain dari
interaksi
masyarakat
multikultural di Indonesia. Keragaman sesungguhnya merupakan kekayaan
Bab -t
299
dalam masyarakat, tetapi justru dimanfaatkan oleh kelompok mencapai tujuan-tujuan di luar kebutuhan masyarakat multi! umum.
Oleh karena itu, hal yang terpenting dalam mendptakan
masyarakat yang demokratis, adil, setara, dan inklusif bagi masyarakat Indonesia adalah pada sisi masyarakat itu sendiri, yakni kesadaran untuk mengakui dan menghargai keragaman identitas dalam konteks kebersamaan satu warga bangsa. Untuk membina kesadaran ini, bangsa Indonesia telah memiliki satu landasan yang kuat, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar filosofis dan konstitusional yang religius. Atas dasar ini dapat dikembangkan pola pendidikan yang berorientasi pada keutuhan bangsa, dan berpatokan pada pengembangan kesadaran keagamaan yang memberi manfaat bagi banyak orang. Dalam penelitian ini, kepribadian ideal itu disebut dengan istilah "kecerdasan dan kesalehan multikultural", dengan ari pertamanya terletak pada kesadaran atas adanya Tuhan dan pengayaan pengalaman berbuat saleh yang dirasakan manfaatnya bagi semua orang yang terdiri dari beragam identitas dan paham keagamaan (Mulkhan, 2005: 164). Selain itu, pengalaman berbuat saleh tersebut dikembangkan dalam kerangka kesadaran bersama untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fenomena keragaman masyarakat Indonesia yang unik sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dirumuskan secara hipotetik seperti dalam gambar berikut.
Bab -t
300
Gambar 4.2.1 Kerangka Teoritis Masyarakat Multikultural Indonesia
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan, bahwa potensi kesetaraan dan kesatuan dalam masyarakat multikultural Indonesia telah dijamin secara konstitusional, dan pada taraf tertentu sudah merupakan realita sosial dalam kehidupan masyarakat. Namun, kenyataan legal dan sosial ini masih perlu dikembangkan ke dalam bentuk yang lebih kongkrit berupa sistem pendidikan multikultural yang terencana dan sistematis. Melalui pendidikan ini diharapkan tercipta anggota masyarakat yang memiliki "kecerdasan dan kesalehan" dalam menyikapi keragaman dalam masyarakat multikultural, serta dapat berpartisipasi menciptakan
manajemen
kemajemukan
secara demokratis
dalam rangka
mencapai tatanan masyarakat yang demokratis, adil, dan inklusif. Dalam kerangka hipotetik itu, pendidikan merupakan faktor terpenting dalam mencapai masyarakat multikultural yang ideal di Indonesia. Pendidikan multikultural tersebut memiliki keunikan yakni berlandaskan konstitusi dan nilainifai filsafat bangsa yang religius, serta beorientasi kepada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan ini tidak berbeda jauh dengan pendapat pakar pendidikan yang diwawancarai dalam rangka penelitian ini. Antara lain, seorang pakar
Bab -t
301
hukum tata negara dari UPI menyatakan bahwa pendidikan multikultural harus sejalan dengan pendidikan konstitusi. Konflik akan dapat dicegah bila anggota masyarakat memiliki kecerdasan sosial dan kesadaran berkonstitusi (wawancara tanggal 6 Februari dan 1 Mei 2006). Pendapat yang senada dikemukakan oleh seorang pakar lain dalam pendidikan kewargaan negara (wawancara 8 Mei 2006),
menyatakan bahwa pendidikan multikultural harus menjadi bagian
pendidikan politik yang didasarkan pada falsafah negara Pancasila dan UUD 1945. Beliau meyakini bahwa keragaman bangsa Indonesia yang sangat tinggi akan dapat dikelola dengan baik jika komitmen terhadap keutuhan negara kesatuan menjadi komitmen semua komponen bangsa. Masih dalam kaitan kedudukan falsafah negara dalam pendidikan seorang akademisi dan juga tokoh masyarakat Sunda dari UNPAD menyatakan bahwa falsafah bangsa harus menjadi landasan pendidikan multikultural, namun masih diperlukan kemauan pemerintah dalam bentuk politik kebudayaan yang jelas dan tegas untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh UUD 1945 khususnya yang menjamin keragaman dalam masyarakat Indonesia (15 April 2006). Terakhir seorang seorang guru besar PIPS dari UPI( wawancara 4 Mei 2006) menyatakan bahwa potensi dan dasar bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan pendidikan multikultural sudah cukup dengan adanya landasan filsafat bangsa, namun yang masih diperlukan adalah mendidik masyarakat agar memiliki kesadaran multikultural yang lebih tinggi. Secara detail pembahasan tentang pendidikan ini akan dikembangkan dalam sub bab tersendiri mengenai pendidikan multikultural. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan multikultural, bagian lain dari penelitian ini adalah berkenaan dengan peran media massa
Bah 4
302
dalam masyarakat multikultural. Bagaimanapun media massa merupakan faktor penting yang dapat menjadi alat tetnptanya masyarakat multikultural, atau justru menghambat terwujudnya masyarakat multikultural yang adil dan demokratis. Berikut ini adalah uraian tentang peran media massa dalam masyarakat multikultural. 4.2.2 Peran Media Massa dalam Masyarakat Multikultural Dalam masyarakat multikultural demokratis, semua kelompok mendapat tempat dan akses yang sama dalam segala aspek kehidupan, tidak ada dominasi kelompok mayoritas. Thufait (2004: 75) mengidentifikasi ada dua pandangan tentang multikulturalisme dalam tataran masyarakat demokratis. Pertama, pandangan konservativ yang menekankan pengakuan adanya perbedaan budaya sebagai penentu praktek politik, dan kedua, pandangan kritis yang melihat multikulturalisme sebagai proses dari cuituraipoiiticsyang tidak didasarkan pada budaya sebagai fondasi yang ready-made, tetapi dikembangkan dari praktek politik dalam konfigurasi power-relation. Pandangan konservativ diistilahkan dengan "poiitics of respect" yang memperjuangkan multikulutralisme ke arah pengakuan secara politis oleh lembaga negara. Sedangkan pandangan kritis dengan "poiitics of recognition" terlihat melalui proses di ruang-ruang publik (pubiic spheres) yang mencerminkan keragaman. Bagaimanapun keduanya diperlukan bagi pembangunan kemanusian
{human deveiopment) seperti yang ditegaskan UNDP dalam laporan tahunan yang berjudul Cu/tura/ Liberty in Toda/s Diverse Wodd (2004: 6), bahwa untuk pembangunan manusia dibutuhkan - selain pendidikan, kesehatan, standar hidup yang layak, dan kebebasan politik - juga pengakuan dan akomodasi identitas
Bab -t
303
budaya warga oleh negara, serta peluang setiap orang dengan bebas untuk mengekspresikan identitas tanpa diskriminasi. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan tatanan nilai demokratis yang diserap oleh media dan sistem pendidikan (Mc Chesney, 2000). Menurut ,. Chesney, perhatian sentral dalam teori demokrasi adalah bagaimana agar setiap orang dapat memperoleh informasi, pengetahuan, serta forum komunikasi dan debat untuk mengarahkan hidup mereka secara efektif. Secara teoritis solusinya terletak pada sistem pendidikan dan media massa. Menurut Jurgen Habermas fwww.wikipedia,com/2005), media massa dalam masyarakat demokratis berfungsi sebagai "pubtic sphere* yakni sebagai tempat berkumpul dan berdikusi bersama-sama mengenai isu-isu kontemporer yang distimulasi oleh isi media yang terbuka {open press). Ruang publik ini memiliki ciri-ciri yakni adanya akses universal, debat rasional, dan tidak ada stra ta (
warga
negara,
dan
mendorong
akuntabilita
publik tentang
kekuasaan. Dengan kata lain, media massa berfungsi sebagai alat kontrol oleh masyarakat terhadap kekuasaan, dan sekaligus sebagai sumber informasi yang dipercaya
dengan opini yang terentang luas. Selain itu media massa harus
memberikan akses yang mudah untuk semua warga negara. Namun dalam arus globalisasi yang dicirikan dengan perkembangan perusahaan besar yang semakin mengglobal, pembentukan media massa yang
Bab -t
304
ideal sebagai public sphere merupakan tantangan. Tak dapat diingkari bahwa globalisasi telah memudahkan perputaran modal dari satu negara ke negara lain. Dengan adanya kekuatan teknologi, pasar modal, dan manjemen telah menjadikan perusahaan-perusahan besar di satu negara mendapat kemudahan meluaskan jaringan usaha di negara lain (Middetwhite dan WookJridge, 2000), termasuk usaha dalam dunia informasi (media massa). Dari sisi ini, dapat dilihat satu tantangan untuk membentuk media massa yang demokratis. Masalahnya pemilik modal (perusahaan) tersebut adalah segelintir orang sedangkan sasaran yang dijangkau oleh informasi banyak orang (Martin, 1998: 8). Oleh karena itu, di satu sisi by nature media massa memberikan power kepada segelintir orang (pemilik modal), di sisi lain memberi sedikit ruang kepada banyak orang (audiens). Ketidakseimbangan pembagian ruang ini, menjadikan media massa, sebagaimana dikritik para analis, mengungkap berita secara bias, yakni dependent of spedai interest
Dalam
bahasa Chomsky (1997), media massa dikontrol oleh tirani yakni perusahaanperusahaan besar yang merupakan puncak dari struktur power dalam ekonomi
privat (private economy). Hasil penelitian Thihonova tabun (2003) tentang netralitas media (penyiaran) di Estonia selama masa kampanye Europian Union
Accesion, membuktikan media massa tidak dapat menjaga netralitas ini meskipun telah ada undang-undang yang mengatur. Kritik terhadap media massa ini disadari juga oleh kalangan jurnalisme profesional. Misalnya himbauan seorang wartawan (Ridho Eisy, 2003)
yang
dilontarkan dalam "Pikiran Rakyat Cyber Media", bahwa media massa harus tabah untuk bersikap konsisten dalam peliputannya dengan impartial, jujur, dan
Bab -t
305
ideal sebagai pubfic sphere merupakan tantangan. Tak dapat diingkari bahwa globalisasi telah memudahkan perputaran modal dari satu negara ke negara lain. Dengan adanya kekuatan teknologi, pasar modal, dan manjemen telah menjadikan perusahaan-perusahan besar di satu negara mendapat kemudahan meluaskan jaringan usaha di negara lain (Mickletwhite dan Woijldridge, 2000), termasuk usaha dalam dunia informasi (media massa). Dari sisi ini, dapat dilihat satu tantangan untuk membentuk media massa yang demokratis. Masalahnya pemilik modal (perusahaan) tersebut adalah segelintir orang sedangkan sasaran yang dijangkau oleh informasi banyak orang (Martin, 1998: 8). Oleh karena itu, di satu sisi by rtature media massa memberikan power kepada segelintir orang (pemilik modal), di sisi lain memberi sedikit ruang kepada banyak orang (audiens). Ketidakseimbangan pembagian ruang ini, menjadikan media massa,
sebagaimana dikritik para analis,
mengungkap berita secara bias, yakni dependent of speda/ interest.
Dalam
bahasa Chomsky (1997), media massa dikontrol oleh tirani yakni perusahaanperusahaan besar yang merupakan puncak dari struktur power dalam ekonomi privat (pr/vate economy). Hasil penelitian Thihonova tahun (2003) tentang netralitas media (penyiaran) di Estonia selama masa kampanye Europian Union
Accesion, membuktikan media massa tidak dapat menjaga netralitas ini meskipun telah ada undang-undang yang mengatur. Kritik terhadap media massa ini disadari juga oleh kalangan jurnalisme profesional. Misalnya himbauan seorang wartawan (Ridho Eisy, 2003)
yang
dilontarkan dalam "Pikiran Rakyat Cyber Media", bahwa media massa harus tabah untuk bersikap konsisten dalam peliputannya dengan impartial, jujur, dan
Bab -t
305
menjadi pelindung bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem yang menekan. Demikian juga "pembelaan" yang dikemukakan Goenawan Muhammad (2004) dalam pengantarnya pada edisi terjemahan buku Bill Kovack & Tom Rosentiel "Elemen-Elemen Jurnalisme" bahwa ditengah arus prodemokrasi yang kuat (ketika terjadi perisitwa 27 Juli 1996) membela kelompok oposisi dengan mengeksploitasi informasi yang menyalahi kejujuran, masih ada seorang wartawan yang juga kebenaran.
aktivis
demokrasi
mengemukakan
fakta dari sudut
Himbauan dan pembelaan ini menunjukkan sebuah "naluri
kesadaran" bagi kalangan jurnalisme menjauhi bias dalam pemberitaan sebagaimana dilontarkan oleh
para
pengamat
kritis.
Untuk ini Kovach & Rosentiel (2001: 4) memberikan garisan bagaimana semestinya jurnalisme beritindak. Satu di antara semua tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Untuk mengisi tugas ini, jurnalis hendaklah memperhatikan hal-hal berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Inti jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Jurnalisme harus bedaku sebagai pemantau kekuasaan. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. 7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan. 8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. 9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
McChesney (1998) mengajukan dua proposisi sebagai landasan reformasi media massa yaitu, 1) media massa melaksanakan fungsi-fungsi pokok politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat demokrasi modem. Media massa adalah sumber informasi politik yang utama dan akses untuk debat publik,
fiab 4
306
sekaligus kunci mengembangkan partisipasi warga negara untuk mengarahlan dirinya; dan 2) perlu reformasi dalam organisasi media massa (pola kepemilikan, peraturan manajemen, dan subsidi) sebagai penentu sentral isi media massa. Jurnalis profesional harus melindungi berita dari bias pemilik,
pemberi
modal/pengiklan, dan bahkan jurnalis itu sendiri. Bagi kalangan ilmuwan (peneliti budaya, sosial, dan pendidikan) perdebatan antara media massa demokrasi dan media massa yang bias merupakan sebuah kajian yang perlu dilihat secara kritis. Media massa diyakini memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, mengkomunikasikan dunia kepada individu, dan membentuk image tentang masyarakat modem (www.wikipedia. com/2005).
Oleh karena itu, peneliti budaya sangat peduli
bagaimana interaksi media massa dengan pembaca, dan bagaiman pengaruh media massa tertiadap budaya. Untuk ini, menurut Goodman (2004) kita perlu mendekonstruksi teks untuk melihat bagaimana teks itu dibuat. Demikian pula, dari kalangan pendidikan media massa dijadikan sumber untuk merangsang diskusi kritis dan debat tentang isu yang hangat dalam masyarakat Misalnya dalam membicarakan tentang ras, digunakan media massa yang independent untuk membuka pengalaman, asumsi, dan sudut pandang mengenai ras. Bagaimana dengan media massa Indonesia? Ketika awal kemerdekaan media massa
nasional menguat dengan mempropagandakan kemerdekaan.
Namun pada tahun 40 an, media massa yang dianggap bertentangan dengan pemerintah terkena pembredelan (Pikiran Rakyat Cyber Media, 7 Februari 2005). Kontrol pemerintah terhadap media massa juga berlangsung di zaman orde baru dengan adanya sistem SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dalam
t-toh 4
307
mendirikan media massa. Konsekwensinya beberapa majalah, koran, dan tabloid dicabut izin usahanya, karena dianggap terlalu "keras" mengkritik pemerintah. Dalam era reformasi terjadi perubahan dalam dunia jurnalisme di Indonesia dengan keluarnya UU No 40 tahun 1999. Berbeda dengan UU Pers sebelumnya yakni UU no 21/1982 yang berisi kewajiban pers kepada negara, maka UU Pers yang baru lebih berorientasi kerakyatan. Namun ironinya, sebagaimana hasil kajian Hamad (2004), pergantian UU membawa efek lain yakni terjadinya pergeseran kontrol dari pemerintah kepada pemilflt modal. Hal ini terlihat dari isi UU yang sebagian besar berbicara tenteng lembaga pers sebagai lembaga ekonomi. Ditambah dengan "senjata " atas nama kemerdekaan pers, kelompok pengelola pers memiliki kebebasan yang sangat luas dalam mengembangkan media yang sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Pengaruh ideologi pemilik modal terhadap isi media massa telah dilihat oleh Rahmat Saleh (2004: 61-67) dalam penelitiannya tentang " Potensi Media
Sebagai Ruang Publik". Penelitian ini menyimpulkan bahwa
konstruksi teks
dalam media massa (kasus Media Indonesia dalam pemberitaan wacana Referendum
Aceh),
secara
kental
memperlihatkan
ideologi
pemilik.
Penerjemahan ideologi dilakukan dengan "patuh" dalam aktifitas rutinitas media dan menjadi panduan dalam memandang peristiwa. Penelitian yang senada oleh Teyar Gustama
(2004: 45-53) tentang
bagaimana sebuah media menerjemahkan berita yang bersumber dari luar (internasional). Repubiika yang didirikan dalam konteks kepentingan politik Islam melihat berita dari luar negeri dengan konteks hubungan Islam dan dunia Barat, yang cenderung melihat Islam sebagai musuh. Sebaliknya, Kompas yang hadir
Bah 4
308
sebagai koran yang berusaha tampil sejalan dengan pemerintah, menampilkan berita internasional sejalan dengan kebijakan pemerintah. Perbedaan ideologis ini, juga terlihat secara nyata dalam penelitian untuk disertasi ini. Dalam pemberitaan kasus yang menyangkut perbedaan agama,
Republika secara eksplisit menampilkan berita tentang kondisi-kondisi umat Islam dalam konflik. Sedangkan Kompas cenderung mengemukakan berita konflik dengan sudut pandang yang menampilkan sosok humanisme dan cenderung seirama dengan keinginan pemerintah, yakni melokalisir seminimal mungkin pemberitaan mengenai konflik, serta menonjolkan jumlah kerugian-kerugian jiwa dan material,
sehingga terkesan menenangkan pembaca. Lain halnya degan
Media Indonesia secara konsisten tampil dengan orientasi aparat keamanan ketika mengemukakan berita tentang konflik. Dari segi bahasa, juga nampak pengaruh ideologi pemilik dalam pemberitaan. Kecenderungan Republika menggunakan istilah yang memiliki dimensi politik, dan pada hal tertentu dimensi politik tersebut dikaitkan dengan posisi umat Islam dalam konteks nasional. Untuk itu Republika banyak merujuk referensi dari tokoh-tokoh organisasi Islam, tokoh masyarakat yang beorientasi politik, dan pejabat resmi pemerintah. Sedangkan Kompas, cenderung merujuk pendapat dari kalangan pemerintah dan aparat keamanan, sehingga banyak istilah-istilah yang digunakan bersifat "netral" dalam memberitakan konflik antar kelompok. Demikian juga, Media Indonesia cenderung merujuk pendapat dari
kalangan aparat keamanan. Implikasi rujukan ini terlihat dalam pemakaianpemakaian istilah dan esensi berita yang disampaikan, seperti pemakaian istilah
Bab -t
309
provokator, keadaan aman terkendali, konflik antar warga, pertikaian antar kelompok dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam analisis disertasi ini cenderung disimpulkan bahwa ketiga media massa belum dapat mewakili kebutuhan warga terhadap sebuah media massa yang dapat dijadikan sumber informasi dan pengetahuan bagi masyarakat yang berkembang ke arah multikultural yang demokratis. Media massa yang ada masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan lembaga mereka sendiri dalam mengembangkan berita, khususnya berita yang mengandung isuisu senstif dalam hubungan antar kelompok masyarakat. Walaupun demikian, dari sisi pendidikan media massa adalah sumber informasi yang dapat dijadikan stimulan diskusi kritis di kalangan siswa tentang isu-isu yang hangat dalam masyarakat. Karena, bagaimanapun, media massa semestinya menyandang fungsi sosial (Siregar, 2002), yakni memberikan informasi kepada publik untuk dijadikan referensi dan landasan berfikir dalam mertgembangan diri sebagai anggota masyarakat multikultural. 4.3
Kerangka Konseptual (Landasan Filosofis, Psikologis, dan Pedagogis ) Pendidikan Multikultural Berdasarkan Karakteristik Umum Persoalan Etnik di Indonesia Untuk memudahkan penjelasan tentang pengembangan rekomendasi
pendidikan
multikultural berdasarkan karakteristik konflik di Indonesia,
pembahasan ini akan dikaitkan kembali dengan kerangka berfikir penelitian sebagaimana dikemukakan pada bab I (pendahuluan). Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersusunnya satu kerangka konseptual mengenai landasan pendidikan multikultural yang dikembangkan dari kekhasan persoalan etnik di Indonesia. Studi ini diawali dengan pengkajian dan pengorganisasian
Bah 4
310
informasi tentang hubungan antar etnik yang ditelusuri melalui kajian kritis terhadap pemberitaan media massa, dan dilengkapi dengan pandangan para pengamat (peneliti, praktisi, dan LSM) tentang konflik sehingga diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai karakteristik hubungan antar etnik di Indonesia. Kemudian kajian dilanjutkan dengan kajian kepustakaan sehingga tersusun satu kerangka konseptual tentang landasan filosofis, psikologis, dan pedagogis pendidikan multikultural. Dari hasil studi ini, peta permasalahan hubungan antar etnik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua sudut tinjauan yakni: 1) dari segi bentuk konflik, dan 2) dari segi penyebab konflik sebagaimana terlihat pada gambar berikut. Gambar 4.3.1 Permasalahan etnik di Indonesia Berdasarkan Pemberitaan Media Massa dan Pandangan Pengamat Pada kasus Ambon, Sambas dan Sampit, dan Poso
Bah -I
311
Dilihat dari bentuk konflik yang digambarkan di atas, pada awalnya konflik dipicu oleh persoalan sederhana berupa pertikaian kecil misalnya antara pendatang dengan penduduk setempat, atau antara pemuda dari satu desa dengan pemuda dari desa lain. Namun kemudian mendapat bentuk dengan berasosiasi pada imotifmotif primordial
berdasarkan agama atau suku. Sejalan dengan perkembangan
tersebut, media massa dan pengamat juga mengidentifikasi kelompok yang bertikai berdasarkan agama atau suku mereka. Dari fenomena ini, terlihat bahwa pertikaian berdarah yang terjadi antar kelompok pada dasarnya didorong oleh rasa solidaritas kelompok, atau perasaan adanya musuh bersama. Secara teoritis, perkembangan konflik dengan alasan-alasan primordial dapat dijelaskan dengan teori sociai identity mechanism (McDonald,1998) dan teori
primordial affiiiation
(Horowitz, 1998). Teori yang pertama, melihat terjadinya
konflik karena adanya identitas sosial yang sudah terbentuk dalam kelompok seperti orang Islam, orang Nasrani, orang Dayak, orang Madura dan seterusnya. Identitas ini cukup kuat sehingga menimbulkan rasa solidaritas, dan loyalitas kepada kelompok. Kemudian identitas ini diperkuat lagi, ketika hubungan dengan kelompok lain yang berbeda identitas diresapi oleh rasa kebencian yang tertanam satu sama lain. Perubahan konflik yang didasari afiliasi primodial, kepada konflik yang diwarnai kebencian dan perasaan bermusuhan yang besar, termasuk dalam kelompok teori
primordial affiiiation. Karakteristik primodial tampak pada konflik di tiga daerah konflik yang dibahas dalam penelitian ini. Pada kasus Ambon konflik terjadi antara kelompok
Bab -t
312
yang menggunakan identitas Kristen dengan kelompok yang beridentitas Islam, sama halnya dengan konflik Poso. Sedangkan pada kasus Sambas dan Sampit, konflik terjadi antara kelompok dari suku Madura dengan suku Dayak dan Melayu. Namun dalam analisis lebih lanjut tentang konflik, sifat primordialisme hanyalah puncak dari sebuah konflik lain yang terselubung. Analisis ini berkembang ketika konflik antar kelompok menjadi berlarut-larut, sementara warga di tingkat akar rumput tidak memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi, kecuali mereka melihat bahwa orang yang berbeda identitas adalah musuh. Dalam konteks ini, konflik sudah masuk ke dalam wilayah perebutan kekuasaan antar elit yang berkepentingan dengan sumber daya, sementara identitas kelompok dijadikan alat untuk memelihara konflik dalam rangka mencapai tujuan. Dalam bahasa lain, konflik dengan rekayasa ini terjadi karena
elite competition and ethnic entrepreneur
(Horowitz, 1998). Kebanyakan analisis lanjut melihat kasus Ambon (Maluku) dan Poso masuk dalam kategori elite competition and ethnic entrepreneur. Kelompok elit membangun kekuatan dengan memanfaatkan perbedaan identitas dan meningkatkan sifat perbedaan tersebut menjadi pemusuhan satu sama lain. Dalam kasus Ambon (Maluku) perbedaan identitas antar warga merupakan warisan sejarah demografis yang telah terbentuk sejak masa penjajahan, dan satu dari kelompok yang berbeda mendapat fasilitas yang lebih baik dari pemerintahan jajahan sehingga lebih maju (Al Hadar, 1999; Al Qadrie, 1999). Bagi kalangan nasionalis, semasa perjuangan kemerdekaan dilakukan upaya mencegah akibat buruk dari pemisahan, dengan cara
Bab -t
313
pembentukan organisasi yang berasas kebangsaan (Ratnawati, 2003: 7). Sedangkan bagi kalangan tokoh adat upaya pencegahan dilakukan melalui tradisi peta-gandong (perserikatan antara satu negeri dengan beberapa negeri lain di kawasan sama yang didasarkan pada hubungan kekerabatan setaraf persaudaraan sekandung dengan tata laku persekutuan yang diatur dengan perjanjian). Tradisi ini telah dibangun sejak bahkan sebelum kedatangan Belanda, sebagai sarana penyelesaian konflik antara warga yang berbeda agama (Pattiselanno, 1999). Tetapi, ketika konflik Ambon (Maluku) berubah menjadi ajang pertarungan kelompok (elit) dengan agenda khusus, maka faktor-faktor pemersatu antar kelompok tidak berperan lagi untuk menjembatani perbedaan.
Pada saat ini, konflik tidak lagi didasarkan pada
loyalitas kelompok dalam arti primordial, tetapi loyalitas kelompok sebagai hasil rekayasa kalangan elit. Kasus Poso memiliki kesamaan dengan kasus Ambon dalam hal identitas antara kelompok yang bertikai yaitu antara warga Islam dengan warga Kristen. Dalam sejarah Poso sebenarnya tidak ada persolan dalam hal perbedaan antar kelompok beragama karena secara kuantitas dan kualitas antara satu kelompok dengan lainnya relatif sama (Aly, 2003; Arraiyah, 2003). Akan tetapi, pada beberapa tahun terakhir bahkan sampai saat ini konflik disertai kekerasan kerap terjadi di Poso.
Kebanyakan analisis melihat kasus Poso sebagai rekayasa kelompok elit di
tingkat pemerintahan lokal. Untuk kasus Sambas dan Sampit, konflik antara suku pendatang (Madura) dengan suku asli (Dayak termasuk Melayu) yang diidentifikasi sudah berlangsung
Bab -t
314
sejak tahun 1962 (Tim Peneliti Fisipol Tanjung Pura, 2000: 26), cenderung dianalisis oleh kebanyakan pengamat sebagai wujud primordialisme yang dipicu oleh perbedaan budaya. Tetapi ada sebagian pengamat yang melihat kasus tersebut masuk dalam kategori ethnic entrepreneur (van Klinken, 2004). Pandangan ini didasarkan pada sejarah terbentuknya identitas Dayak dan Melayu serta kemunculan kelas menengah yang terlibat dalam konflik melalui kegiatan berorganisasi (van Klinken. 2004; 112). Dari perbedaan analisis ini tampaknya dari kasus Sambas dan Sampit dapat disimpulkan bahwa pada awal-awalnya konflik lebih banyak didasari alasan primordial, tetapi ketika kelompok menegah (elit) melibatkan diri ke dalam konflik dengan membangun identitas lebih jelas lagi melalui organisasi maka konflik berubah menjadi ethnic entrepreneur. Berdasarkan perbandingan teoritis ini, maka karakteristik konflik di Indonesia berdasarkan kajian di tiga daerah sampel dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 4.3.2 Karakteristik Teoritis Konflik di Indonesia
Bab -t
315
Analisis teoritis ini dapat menjadi indikator bahwa konflik etnik di Indonesia memiliki karakteristik sendiri. Karenanya akan berbeda dengan persoalan etnik di negara lain misalnya dengan Amerika Serikat, Australia, dan Kanada yang pada umumnya terjadi karena adanya dominasi mayoritas terhadap minoritas, sehingga muncul perjuangan untuk memperoleh kesetaraan oleh kelompok yang tertekan (sudah dibahas dalam babi). Dalam hubungan-konflik antar etnik di Indonesia, tidak ada dominasi mayoritas, karena hubungan antar kelompok berada dalam posisi yang setara. Masing-masing kelompok dengan identitas yang berbeda hidup dalam satu wilayah politik (Negara Kesatuan RI). Identitas setiap kelompok telah terbangun sejak lama, jauh sebelum bersatu dalarn negara kesatuan dan berkembang terus bersamaan dengan perjalanan sejarah bangsa. Walaupun banyak para pengamat mengatakan bahwa selama pemerintahan orde baru identitas kelompok lebih diredam dengan cara mengemukakan persatuan dan kesatuan, tetap saja ada kecenderungan orang untuk berafiliasi dalam kelompok yang sama identitas (Syahid, 2003). Namun paradoks yang muncul karena kekentalan identitas kelompok dalam masyarakat Indonesia ini, adalah terciptanya hubungan intrakomunal yang tinggi, sementara hubungan interkomunal tetap rendah. Keadaan ini sangat rentan terhadap kecurigaan, konflik, dan kekerasan antar kelompok (Varshney, 2002: 12). Fenomena inilah yang tampak ketika memasuki era reformasi dan terbukanya kran demokrasi melalui otonomi daerah, yakni konflik antar kelompok muncul secara
Hab4
316
terbuka dan hampir serentak di beberapa daerah yang tingkat
heterogenitas
warganya tinggi. Hampir dalam semua konflik ada pembeda identitas yang jelas antara kelompok yang bertikai seperti di Ambon (Maluku) dan Poso antara warga Muslim dengan warga Kristen, di Sambas dan Sampit antara warga pendatang (Madura) dengan warga asli (Dayak, Melayu). Semakin lama konflik berlanjut semakin kental pembedaan
identitas,
sehingga
semakin
sulit
rekonsiliasi.
Atas dasar inilah,
kemudian banyak analisis yang cenderung melihat adanya keterlibatan pihak elit dalam memperpanjang konflik yang diidentifikasi dari adanya keterlibatan aksi premanisme,
dan
penyebaran
isu yang
memojokkan
salah satu
kelompok
(provokasi) untuk mencapai tujuan politis (Makarim, 2005; Stewart, 2005; Suseno, 2003; Al Qadrie, 2003). Model provokasi dan premanisme ini cenderung terlihat lebih jelas dalam masyarakat yang tersegregasi berdasarkan agama, khususnya Islam dan Kristen seperti di Ambon (Maluku) dan Poso. Secara logika aksi-aksi tersebut sulit dipahami sebagai tindakan yang didasarkan atas kemauan warga dari kalangan akar rumput, karena sangat terencana dan sistematis. Di samping peran persaingan elit sebagai penyebab konflik, juga ada faktor makro yang menjadi sorotan para analis dalam melihat konflik, seperti kebijakan pembangunan
yang
sentralistik,
sehingga
menyebabkan
keterbelakangan
masyarakat lokal, dan ketidakpuasan terhadap penegakkan hukum. Tetapi tampak dalam perkembangan analisis tentang konflik, faktor-faktor tersebut hanyalah bersifat perantara yakni menjadi alat untuk memahami "kekerasan" yang terjadi.
Bab -t
317
Jadi faktor utama terletak dalam rekayasa pihak-pihak yang berkepentingan dengan konflik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa persoalan hubungan antar etnik di Indonesia lebih banyak disebabkan ketidakpahaman dan ketidakberdayaan warga dalam mengidentifikasi rekayasa politis dari sekelompok orang untuk tujuan instrumental yang lebih beorientasi kelompok dari pada kepentingan umum. Kemudian dilihat dari peran media massa dalam pemberitaan tentang konflik, berdasarkan kajian penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa media massa belum menjalankan peran yang opitmal dalam menciptakan masyarakat multikultural yang demokratis. Berdasarkan teori, media massa dikategorikan sebagai salah satu ruang publik (McChesney, 2000: Habermas, 1997). Dikarenakan fungsi tersebut media massa seharusnya memuat isi yang beorientasi pada kepentingan publik, sehingga bermanfaat bagi keutuhan dan keberlangsungan masyarakat multikultural yang demokratis. Sedangkan, media massa yang ada baru sebatas menyampaikan berita mengenai konflik sebagaimana dikutip dari sumber seperti kalangan militer, kalangan pejabat, atau pihak kepolisian, atau tokoh organisasi. Selain itu, berita tersebut cenderung dibingkai dalam kerangka kepentingan media massa, bukan dalam kerangka kepentingan publik keseluruhan. Karena sumber-sumber pemberitaan tentang konflik diambil dari kalangan pejabat resmi, dapat dikatakan bahwa media massa belum menyediakan informasi yang independent dari sumber pertama (Kim, 2001). Dengan kata lain media massa masih menjalankan fungsi narrattive reso/ution yang lahir dari proses politik yang komplek (Thufail, 2004: 77). Akibat kelemahan tersebut media massa cenderung
Bab -t
318
memberitakan konflik dari segi situasi keamanan dan akibat kekerasan 9eperti hilangnya rasa aman, jumlah korban, dan proses penanganan keamanan. Bahkan dalam pemberitaan tentang kekerasan justru memberikan gambaran bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan masyarakat, sehingga
memberikan kesan bahwa
kekerasan merupakan kebiasaan masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Meskipun konflik terlihat silih berganti dalam kehidupan masyarakat plural Indonesia, ada sisi lain pandangan optimis, yakni bila diukur dengan proses (diri, lembaga, atau negara) mencapai level masyarakat muttikulturalisme. Proses ini terbentang dalam satu kontinum dari monokufturalisme menuju muftikulturalisme (Nieto, 1992: 276). Kondisi masyarakat dalam konflik, berada pada titik transisi dari adanya kontak budaya menuju level multikulturalisme. Untuk sampai pada level multikufturafisme diperlukan suatu intervensi pendidikan yang merevisi pola-pola lama, dan meletakkan pola-pola baru dalam interaksi antar budaya sehingga multikulturalisme menjadi bagian dari kehidupan. Secara digramatik proses ini dapat dibaca sebagai berikut.
Bab -t
•
Monokulturalisme
•
Kontak antar Budaya
•
Konflik Budaya
•
Intervensi Pendidikan
•
Ketidak seimbangan ( disequilibinum)
•
Kesadaran {awareness)
•
Multikulturalisme
T
319
Dari sisi pandang pendidikan, situasi konflik merupakan langkah awal untuk menuju sebuah masyarakat multikultural. Untuk ini
perlu dikembangkan sebuah
intervensi pendidikan yang dapat membawa masyarakat Indonesia menuju proses perkembangan yang wajar yakni menuju masyarakat Indonesia multikultural yang bersatu, adil, sejahtera, berketuhanan, dalam tatanan yang demokratis (bersatu dan sekaligus bersama). Sebagaimana sudah d (kemukakan di atas, bahwa konflik etnik di Indonesia memiliki karakter yang berbeda dari konflik etnik di tempat lain. Dalam hubungan antar kelompok di Indonesia tidak ada diskriminasi aturan dan juga tidak ada dominasi mayoritas.
Setiap kelompok (etnik atau agama) memiliki identitas yang
kuat, tetapi rentan terhadap provokasi yang memanfaatkan isu-isu sensitif yang menyangkut
karakter
masing-masing
kelompok.
Atas
dasar
fenomena
disimpulkan bahwa konflik antar kelompok (identitas etnik atau agama)
ini,
terjadi
karena warga tidak menyadari bahwa identitas komunitas mereka dimanfaatkan oleh kelompok tertentu.
Oleh karena itu,
konflik mungkin dapat dicegah jika warga
memiliki kesadaran kritis terhadap pola-pola provokasi yang memanfaatkan isu-isu sensitif dalam hubungan antar kelompok. Berdasarkan karakteristik hubungan-konflik antar kelompok tersebut dan kajian
kepustakaan tentang
pendidikan
multikultural,
dikembangkan sebuah
rekomendasi hipotetik berupa kerangka konseptual pendidikan multkultural yang meliputi: landasan filosofis, landasan psikologis, dan pedagogis.
Bah 4
320
4.3.1 Landasan Filosofis Pendidikan Multikultural Dalam setiap masyarakat multikultural di manapun, tersimpan satu harapan bersama yakni hidup dalam kondisi yang aman, sejahtera, dan saling menghormati. Karena harapan ini merupakan kebutuhan kodrati manusia untuk mencapai kesempurnaan kemanusiaan (UNDP, 2004). Bagi bangsa Indonesia, harapan ini merupakan cita-cita perjuangan yang diwujudkan dengan kesadaran dan kemauan semua kelompok untuk bersatu dalam wadah politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pembukaan UUD 1945). Kemauan tersebut melebihi keinginan untuk menonjolkan identitas kelompok, sebagaimana telah dibuktikan oleh para pendiri negara
RI
dengan
menghilangkan
satu
contoh
tindakan
luhur,
yakni
dengan
kesadaran
sebagian kata dalam Sila Pertama, Dasar Negara Pancasila yang
semula berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Para Pemeluknya", kemudian menjadi susunan kata yang padat makna yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa" (Risalah Sidang BPUPKI/PPKI th 1945 dikeluarkan Oleh SETNEG RI, 1995). Dengan susunan kata yang singkat dan padat, menjadikan dasar negara memiliki sifat lebih inklusif. Filsafat bangsa yang luhur itu seolah terasa menjadi utopia, ketika realita masyarakat dihadapkan dengan berbagai pertikaian antar kelompok, dan bahkan diiringi dengan tindak kekerasan yang terjadi di luar prikemanusian. Berbagai analisis dikemukakan oleh para ahli untuk keluar atau menghindari konflik sebagaimana telah dibahas di atas. Semuanya berujung pada tuntutan agar ada
ikth 4
321
penataan kembali kehidupan bermasyarakat baik dalam tataran makro maupun mikro. Dari sisi makro, secara ideal diperlukan sistem politik yang mencerminkan keragaman dalam masyarakat (Premdas, 2000; UNDP, 2004), pengakuan hak-hak minoritas (Kymlica, 2002),
ruang-ruang publik yang dapat diakses oleh semua
warga (Habermas, dalam Hardiman,
1993; McChesney, 2000), dan adanya
supremasi hukum (Aragon, 2000; Suseno, 2003). Dalam tataran mikro diperlukan kesadaran individual warga untuk melihat kondisi dan budaya di sekitar dirinya yang telah berperan dalam penciptaan ketidakadilan, kecurigaan, dan kekerasan dalam hubungan sosial; kemudian diiringi dengan kemauan dan kemampuan untuk merubah sikap pribadi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan masyarakat yang harmonis; dan terakhir mengubah tatanan sosial yang ada dalam jangkauannya. Dalam bahasa pendidikan kemampuan tersebut dikenal dengan kompetensi se/f-
transformation dan social-transformation. Pendidikan adalah satu di antara proses yang dapat menjadi pelaku perubahan dalam masyarakat;
bahkan menurut Theodore Brameld (1955: 155)
pendidikan sebagai kekuatan raksasa (a gigantic force) untuk perkembangan demokrasi. Sama halnya dengan penegasan Amy Gutman (1987: 14) bahwa pendidikan adalah conscioussoda) reproductfon, yakni proses yang membuat warga negara diberdayakan ( empowered) untuk menciptakan pengaruh (dalam arti kelembagaan dan segala perangkatnya) sehingga membentuk nilai dan sikap politik, serta bentuk-bentuk prilaku warga negara masa depan.
Bab -t
322
Pendidikan
yang
memiliki
kekuatan
untuk
menciptakan
perubahan
didasarkan pada landasan filsafat yang mendorong pelaku pendidikan mampu melakukan
self-transformation
dan
sodal-transformation
untuk
menciptakan
masyarakat harmonis dalam keragaman. Gagasan ini berakar dalam Filsafat Rekonstruksi Sosial ( Sodal Reconstruction). Landasan filsafat tersebut juga sejalan dengan landasan psikologis dan pedagogis yang menjadi acuan operasional pendidikan, yaitu pandangan Psikologi Sosiohistoris-Kultural {Soao-Historis and
Cuttura! Psychoiogy),
dan Pedagogi Kritis ( CriticaI Pedagog,y).
Pada akhirnya,
semua landasan ini menempatkan proses pendidikan sebagai bagian dari proses sosial, kultural, dan historis masyarakatnya. Pendidikan yang dikembangkan dalam kerangka ketiga landasan tersebut adalah pendidikan multikultural dengan paradigma transformatif. Pendidikan multikultural transformatif diharapkan dapat mendidik siswa memiliki kesadaran
dan kemampuan agar bisa berpartisipasi dalam membangun
masyarakat multikultural yang demokratis. Karakteristik mereka antara lain memiliki pengetahuan, nilai, dan keahlian yang diperlukan untuk berinteraksi secara positif denqan orano r!ari berbarjai etnik, ras, dan kelompok-kelompok budaya dalam rangka iH<'M(|Pinl>,iiKik.tn k«>ii
r 1 mereka men<|.iml>il Undakan y a w j menjadikan
mijsyiimkiil dan bangsa merek,i bermoral, bei pihak kepada warga, dan setara (Banks, 1997: 1). Selain itu siswa tersebut diharapkan mempunyai pengetahuan, keterampilan kognitif, keterampilan partislpatoris, dan sikap warga negara yang hidup dalam masyarakat demokratis (Patrick, 1999: 34). Pendidikan juga diharapkan
Hnh /
mengembangkan sikap toleransi berupa sikap civif inattention yang mencerminkan prilaku positif dan rileks terhadap orang yang berbeda, dan kejujuran dalam diri siswa berupa sikap sopan terhadap musuh atau lawannya (Suseno, 2003: 127). Pendidikan multikultural transformatif memiliki makna sebagai: 1) gerakan untuk mencapai kesederajatan; 2) pendekatan kurikulum untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang sumbagan
kelompok etnik;
3)
perbedaan budaya serta sejarah dan
proses mendidik siswa
memiliki
kompetensi
multikultural; dan 4) komitmen untuk memerangi rasisme, sexisme, dan semua bentuk prasangka dan diskriminasi (Bennet, 1995: 14). Pentingnya pendidikan multikultural dengan paradigma transformatif di Indonesia, berangkat dari dua tuntutan yaitu: tuntutan filosofis bangsa Indonesia yang berangkat dari hakikat manusia yang bersifat monopluralis, dan tuntutan perubahan paradigma interaksi sosial antar warga dalam masyarakat majemuk, baik bersifat lokal (keunikan persoalan etnik), maupun global (pergaulan antar bangsa). Seperti sudah disinggung di atas, masyarakat multikultural adalah hasil dari serangkaian proses menghadapi berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Satu di antara proses tersebut adalah intervensi pendidikan yang dikembangkan secara baik agar tercapai masyarakat majemuk yang lebih demokratis, inlusif, dan adil (Nieto, 1992: 276). Perlunya pendidikan transformatif ini lebih diperkuat lagi dengan adanya kondisi nyata - sebagai fenomena destruktif - yang berkembang dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial dewasa ini ada kecenderungan ke arah hegemoni dan
ttub 4
324
ekspansi dari sekelompok elit terhadap warga dengan memanfaatkan kekentalan identitas kelompok (hasil kajian penelitian ini), di samping cara berfikir sebagian masyarakat
yang
mekanistik
(Al
Muchtar,
2002).
Akibatnya,
masyarakat
terkungkung dalam lingkaran kesadaran yang sempit dalam memaknai interaksi sosial yang beragam. Fenomena ini terlihat dalam cara-cara penyelesaian masalah dengan kekerasan, atau merebut posisi-posisi dalam kekuasaan dan sumber daya alam melalui cara-cara yang tidak jujur ( misalnya mementingkan kelompok sendiri, dan memanfaatkan jasa-jasa preman). Keadaan yang suram ini diperparah dengan pemahaman makna demokrasi, kebebasan, dan civii r-ociety yang keliru sehingga melahirkan kekerasan baru bukan atas nama negara tetapi atas nama kelompok, (Effendy, 2002: 9) Ironisnya, budaya praktik kekerasan dalnm hnhunqan sosial masyarakat merupakan hasil belajar dari proses yang teria nbaga. Effendy (2002:
6)
rtuiny.U.ikdii s<>loh s«itu benUjkny.i terlihat dalam pi.iklek kekuasaan yang dijalankan di Indonesia selama pemerintah Orba. Dengan alat civii apparatus dan coercive
Hpparutus i HHj.iifi iiiHokuk.iii Undakan kekerasan uni tik menciptakan tatanan sosial {
dan juga sebuah "referensi " nenalif yang dirujuk setiap saaf oleh masyarakat untuk i i i e n y H e v i i k r i i i ni,r.iihih.
Colombijn (200'1: 281)) melihat warisan kekerasan lebih jauh lagi ke masamasa kolonial yang mencapai puncaknya pada zaman orde baru. Contoh sederhana tl.in pi .iktrk tm, -.epeiti kehia-.aan polllisi menyewa kelompok jatjoan untuk
11,/l> i
mengintimidasi lawan
politiknya. Praktek kekerasan dalam pentas sejarah ini
menjadi repertoire yang panjang mengenai prilaku penyelesaian masalah dan pencapaian tujuan kelompok dalam masyarakat. Praktek kekerasan adalah satu dari nilai-nilai negatif yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Di samping itu masih adanya praktik-praktik hukum yang tunduk kepada kepentingan kekuasaan sehingga menimbulkan budaya hukum rimba (Irianto, 2003: 66); kemudian praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, ditambah dengan masih kurangnya
pemahaman lintas budaya (termasuk lintas agama) di kalangan
masyarakat, misalnya pada beberapa kasus tidak terlaksananya prinsip budaya: "di mana bumi dipijak, di situ pula langit dijunjung" (Al Qadrie, 1999: 37). Berhadapan dengan kondisi yang begitu mengakarnya "nilai negatif" dalam memaknai hubungan antar warga, maka tugas teori sosial adalah melakukan proses penyadaran masyarakat terhadap sistem yang mendominasi dan melembagakan nilai negatif tersebut, serta mendorong terjadinya perubahan tatanan masyarakat yang lebih
baik.
Dalam
hal
inilah,
pendidikan
multikultural
dengan
paradigma
transformatif mengambil peran. Dalam istilah Paulo Freire (2000: 46), pendidikan multikultural dengan paradigma transformatif adalah "proses humanisasi". Praktek-praktek struktural, budaya hukum, dan kekuasaan yang berkembang selama ini dapat dikatakan sebagai proses yang menciptakan "dehumanisasi" sehingga membawa kerentanan dalam hubungan masyarakat yang beragam seperti bangsa Indonesia. Untuk itulah,
Bah 4
326
pendidikan diperlukan untuk membangun kesadaran baru yang menjadi kekuatan untuk merubah tatanan sosial dan struktural yang merugikan masyarakat selama ini. Dalam hubungan dengan proses pendidikan ini, menurut Freire, ada tiga tingkat kesadaran manusia yaitu: 1) kesadaran magis, yang melihat keadaan sebagai kondisi di luar kekuatan manusia; 2) kesadaran naive, yang menekankan kepada pengembangan kekuatan manusia seperti jiwa kewiraswastaan, need
achievement, untuk meraih kesuksesan. Paradigma ini dikategorikan dengan paradigma
reformatrf; dan 3) kesadaran kritis, yang melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Dalam paradigma kritis masyarakat dimungkinkan untuk melihat "ketidakadilan" dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu
menganalisis
bagaimana
sistem
bekerja,
dan
bagaimana
mentransformasikannya (Fakih, ^002: 30). Ciri-ciri pendidikan multkultural dalam kerangka transformatif, antara lain adalah sebagai berikut. 1)
2)
3) 4)
5)
6)
Bab -t
Pengetahuan bukan sesuatu yang netra! atau apolitis. Segala sesuatu yang terjadi dalam level kelembagaan memberi bekas kepada proses pembentukan pengetahuan siswa. Terhadap hal ini, guru perlu menyadarinya secara utuh. Proses kehidupan manusia sangat komplek dengan segala keragaman latarbelakang yang melandasinya. Untuk itu, siswa dididik melihatnya dalam kekomplekan itu serta berbagai perspektif yang tercakup di dalamnya, Pendidikan multikultural memberi nilai tinggi keragaman, berfikir kritis, reflektif, dan kecakapan tindakan sosial. Pendidikan multikultural adalah proses pemberdayaan siswa dan juga guru untuk mengambil tindakan-tindakan transformatif berdasarkan pemahaman yang benar tentang hak dan tanggungjawabnya. Pendidikan multikultural bukan sekedar mengganti satu perspektif tentang kebenaran dengan perspektif lain, tetapi merefleksikan kebenaran itu atas dasar berbagai perspektif yang bahkan saling bertentangan, sehingga dapat memahami realitas secara utuh. Pendidikan multikultural memungkinkan siswa mengidealkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, supremasi hukum, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, tetapi juga mendidik siswa untuk menerima realita nilai tersebut secara kritis.
327
7)
Pendidikan multikultural dikembangkan berdasarkan sudut pandang dan pengalaman siswa, bukan dari budaya yang sudah mapan (Nieto, 1992: 219-221). Sementara itu, kurikulum pendidikan multikultural haruslah merupakan satu
pengalaman,, komprehensif
yaitu
kurikulum
yang
menghadirkan
pengalaman
terencana dan tidak terencana (Bennet, 1995: 300). Atas dasar definisi ini di dalam kurikulum pendidikan multikultural tercakup juga hiciden curricutum seperti harapan dan nilai guru, kiik dan pengelompokan siswa, aturan sekolah, nilai serta style budaya, pengetahuan, dan persepsi yang dibawa siswa ke sekolah. Singkatnya kurikulum ini dalam pengertian kuis, mempengaruhi lingkungan sekolah secara total. Lebih jauh, Bennet mengemukakan bahwa kurikulum tersebut didasarkan pada nilai inti ( core va/ue) yang berakar pada teori demokratis dan filsafat bangsa Amerika yang terdiri dari:" acceptance and appredaUon of culturaldiversity, respect
for human dignity and universal human n'ghts,
responsibility to the wortd
ccmmunity, and reverence for the earth "(hal: 301) Demikian juga halnya pengembangan nilai inti pendidikan multikultural di Indonesia, harus bertolak dari kekhasan dan kebutuhan masyarakat majemuk di Indonesia, baik dalam konteks lokal maupun global.
Arah pengembangan nilai ini
telah digariskan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 2 tentang dasar Pendidikan Nasional yaitu: "Pendidikan Nasional Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945", lalu dalam Pasal 3 dijelaskan tujuan pendidikan yakni agar berkembangnya potensi peserta didik menjadi m.inusia yang beriman d;in bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
Huh 4
328
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Isi Pasal tentang tujuan ini menyiratkan bahwa filsafat bangsa Indonesia harus menjadi acuan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Dalam filsafat
bangsa Indonesia, tergambar karakter manusia Indonesia
sebagai bangsa religius dengan masyarakat yang demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada tiga konsepsi yang dapat ditarik dari kerangka filosofis bangsa tersebut yakni, konsepsi tentang diri dan sistem keyakinan, konsepsi
tentang
masyarakat dan
budaya,
serta
konsepsi
tentang
kehidupan politik dan bernegara. Konsepsi tersebut dikembangkan dalam kerangka penghargaan terhadap martabat manusia dafam perspektif lokal dan global. Sehingga dengan demikian, pendidikan multikultural ini dapat berjalan seiring dengan disiplin lain yang berada dalam payung PIPS, yang oleh karena tuntutan komunitas kelompok, bangsa, dan bahkan dunia harus dikembangkan dalam perspektif yang luas,
yakni mencakup perspektif diri, perspektif akademik,
perspektif pluralistik, dan perspektif global (Wiriaatmadja, 2002: 304). Dalam kerangka pendidikan multikultural transformatif, konsepsi-konsepsi tersebut dikembangkan dalam makna-makna sebagai berikut: 1. Konsepsi diri, merefleksikan
yakni pribadi yang beriman dan mampu melihat dan realita dengan
multiperspektif,
dan mampu
tindakan transformatif untuk menciptakan suasana yang
mengambil multikultural;
pandangan ini juga berlaku dalam melihat orang lain sebagaimana diri sendiri, sehingga tumbuh sikap saling menghargai.
Bab -t
329
2. Konsepsi budaya (lembaga, sistem nilai, dan masyarakat), yakni sesuatu yang dapat dipahami, dipertanyakan,
dikembangkan, dan ditransformasi
dalam kerangka berfikir masyarakat multkultural. 3. Konsepsi politik dan kehidupan bernegara, yakni memandang negara kesatuan sebagai milik
bersama dan tempat hidup bersama secara
berkeadilan oleh semua komponen bangsa yang beragam identitas. Oleh karena itu, harus menjadi taggungjawab semua pihak untuk menjaga dan mempertahankannya. Konsepsi-konsepsi ini mengandung nilai-nilai inti yaitu: 1) ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) tanggungjawab terhadap negara kesatuan; 3) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan
keragaman budaya; 4) menjunjung
tinggi supremasi hukum; dan 5) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal. Nilai-nilai
inti
menjadi
patokan dasar untuk
mengembangkan
proses
pendidikan multikultural. Pengembangan diletakkan dalam kerangka berfikir filosofis rekonstruksi sosial (transformatif), psikologi sosio-historis kultural, dan pedagogi kritis. Atas dasar ini, dapat dikembangkan tujuan umum yang akan dicapai melalui pendidikan multikultural transformatif yakni sebagai berikut. 1. Memperkuat kesadaran multkultural, tanpa kehilangan jati diri. 2. Meningkatkan kecakapan dalam interaksi lintas budaya. 3. Menghilangkan stereotipe, stigma, rasa superioritas diri/ kelompok, dan anggapan negatif lain dalam hubungan antar budaya.
Hab 4
330
4. Memperkuat kesadaran berbangsa dalam kerangka negara kesatuan RI. 5. Meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara dalam konteks dinamika global. 6. Menjunjung tinggi supremasi hukum. 7. Meningkatkan kecakapan transformasi diri dan sosial, melalui tahap-tahap berikut.
a. Mengenali diri, lingkungan dan sistem yang yang terkait dengan pola berfikir tentang hubungan antar budaya. b. Mengenali bentuk-bentuk power dan kontrol yang mempengaruhi pola berfikir tentang hubungan antar budaya. c. Menilai pengaruh-pengaruh power dan kontrol yang muncul dalam pikiran, sikap, dan tindakan tentang hubungan antar budaya; menilai mana pengaruh tersebut yang berguna dalam interaksi antar budaya, dan mana yang harus ditinggalkan. d. Mengambil
tindakan transformatif (diri dan sosial) berdasarkan
penilaian yang tepat tentang pengetahuan, sikap dan prilaku yang sesuai dalam interaksi sosial antar budaya.
4.3.2. Landasan Psikologis Pendidikan Multikultural Sejalan dengan filsafat rekonstruksi sosial, yang terfokus pada perubahan sosial di samping perubahan diri, maka landasan psikologis pendidikan multikultural memberikan dasar bahwa "belajar bukan terjadi dalam ruang isolasi, tetapi belajar
Ihth -i
331
terkait dengan konteks sosial, budaya, dan historis". Landasan ini menjadi pedoman bagi pendidik dalam mendefinisikan siswa, proses belajar, dan pencapaian belajar. Konsep-konsep dasar dalam landasan psikologis ini dikembangkan dari gagasan the soda! origins of the higher mental process dari Vygotsky (1978) dan
the Cultural Psycho/ogy dari Bruner (1991). Kedua legacy ini, telah dibahas dalam bab II. Dari pembahasan tersebut dapat ditarik beberapa gagasan yang perlu dikembangkan dalam pendidikan multikultural transformatif sebagai berikut. 1)
Proses belajar adalah dialektika antara tataran sosial dan personal secara timba! balik. Hal ini meliputi landasan pikiran sebagai berikut a. Keyakinan bahwa siswa memiliki kemampuan aktual yang sesuai dengan kondisi sosiohistoris dan latar kulturalnya, serta memiliki kemampuan potensial yang dapa^ dikembangkan dalam proses pendidikan yang dialogis, interkomunikatif, dan horizontal. b. Pendidikan
bermakna sebagai tempat belajar bagi siswa melalui
kelompok yang
terdiri dari
anggota yang
beragam.
Dalam
kelompok tersebut, siswa belajar dan mendapatkan dukungan serta umpan balik dari orang lain untuk memperoleh pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, tanpa ditolak karena bias jender, ras, dan kelas yang ada dalam masyarakat 2) Belajar
adalah
proses
mengkonstruksi meaning
partisipatif (makna),
dalam
interaksi
budaya
untuk
yang berhubungan dengan diri,
lingkungan, dan orang lain. Konsep ini bermakna sebagai berikut.
Huh 4
332
a. Beiajar akan berarti jika partisipan memiliki kesadaran untuk membuka pikiran ( open-mindedness) dalam melihat segala sesuatu dengan multiperspektif, tanpa kehilangan komitmen terhadap nila? sendiri yang telah dipilih. b. Belajar adalah mengenali diri dan cara-cara diri menemukan pengetahuan sehingga menyadari segala hal yang membentuk perspektif diri, namun tidak memaksakan bahwa itulah satusatunya cara yang benar untuk menafsirkan pengetahuan. c. Guru
dan
siswa
adalah
subjek
yang
saling
berdialog,
berkomunikasi, saling belajar dalam rangka proses transformasi dimulai dari pengembangan kesadaran diri ( seif-awareness) dan kekuatan diri ( setf-empowerment), untuk selanjutnya melakukan perubahan.
4.3.3. Landasan Pedagogis Pendidikan Multikultural Landasan pedagogis merupakan
pendekatan dalam pengajaran
untuk
mencapai tujuan belajar, yang secara konseptual dikembangkan dengan berpijak pada
landasan
transformatif,
filosofis
dan
psikologis.
Pendidikan
multikultural
bersifat
jika proses pendidikan terlaksana dalam prinsip-prinsip pedagogis
yang mendorong munculnya kesadaran kritis dan kemauan transformatif. Dalam kerangka berfikir tentang hakikat belajar, hakikat siswa sebagaimana dikemukakan di atas, maka proses pedagogis ini meliputi tiga langkah dasar yaitu: menyadari
Htib 4
333
adanya sistem yang mengungkung cara berfikir dan bertindak, mengidentifikasi nilai positf dan negatif, kemudian melakukan langkah perubahan diri (sistem). Wujud konkret langkah pedagogis yang bersifat transformatif antara lain dapat dipelajari dari model yang dikembangkan oleh kalangan pendidik kritis dalam pendidikan
multikultural.
Antara
lain,
Gary
Horward
(1999:
100)
yang
mengembangkan proses transformasi sikap dan tindakan tidak toleran terhadap keragaman dengan melakukan perubahan diri ( inner core) dan perubahan sistem
{outer core) dalam tiga tingkat yang dimulai dari fundamentalis,
menuju
integrationist, dan terakhir transformationist. Masing-masing tingkat dikembangkan dalam tiga cara kerja yaitu: pikiran, perasaan, dan tindakan. Pada setiap tingkat dikembangkan beberapa ciri yang dapat dikenali, sehingga memudahkan asesmen untuk melihat perubahan yang terjadi. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel berikut.
Bab -t
334
Tabel 4.3.3.1 Kerangka Transformasi Diri Model Howard Cara
Berfikir
kerja
Identitas: fundamentali st
Identitas; Integrationist
Identitas: Transformabonist
Konstruksi kebenaran
Uteral dan kaku Dimensi tunggal Terpusat pada diri
Mengakui perspektif beragam, Tertarik dengan konteks yang lebih luas; Mempertahankan superioritas diri/klp Awal kesadaran, Kadang-kadang interogasi-diri. Konflik dalam diri
Melegitimasi perspektif beragam. Kebenaran sesuatu yang dinamis, Aktif mencari kebenaran dalam perspektif lain
i i Konstruksi Identitas
...
1
| i
i Konstruksi dominasi
Tingkat Kesadaran-diri
Perasaan
i Respon emosi terhadap j perubahan ! i 1 i ; 1 1 Tindakan
Respon emosi terhadap pembicaraa rasisme
Pendekatan j terhadap I interaksi lintas budaya Pendekatan Penegajaran 111) perbedaan
Perdekatan manajemen i /leadesrsltig
Bab -t
Supremasi identitas sendiri. Mengaba i ka n/meng h in dari orang yang berbeda, Bingung Melegetimasi dominasi, Rasionaiisasi, Penolakan
Kritik /refleksi -diri, Interogasi diri Intensif, Menegaskan identitas yang autentik/positiv/no rasis
Perspektif korban, Bersifat personal bukan institusional dalam mengkritik dominasi
Mengakui kekomptekan, Kritik troHstik mengenai oprest, Analisis komprehensif mengenai dominasi.
Perspektif saya yg benar, Self-esteem terkait dengan supremasi diri, Terancam dengan perbedaan
Perspektif sayii satu diantara yang banyak, Self-esteem terkait dengan menolong orang lain,
Cemas /bermusuhan/ menghindari. Judgement Tidak mengakui perbedaan Marah, Menyangkal, Mempertahankan
Tertarik dengan perbedaan, Rasa ingin tahu kulim, i!
Perspektif saya dapat berubah. Self-esteem terkait dengan perubahan. Saya berubah menjadi lebih baik karena ada kelompok vano berbeda. Apresiasi/respek. Antusias. Tulus
Rasa bersalah/ bingung, Ada kemauan terhadap perbedaan Tentatif, Terpola, Menekankan kepada keseimbangan
Mengambil Jarak/ isolasi, Permusuhan, Meneyaskan superioritas d iri/k) p Monokultural, Memperlakukan semua siswa "sama" Reorientasi keunggulan indentitas diri
Otoriter/ direktif, Asimilisionis, Dominasi kelompok tertentu
Program khusus untuk acara khas dari budaya tertentu, Belajar tentang budaya lain, Masih ada ekspresi tentang superioritas diri, Orientasi keselerasan I
Mengakui/empati, Menghindari dengan sungguh-sungguh opresi, Bertanggungjawab tanpa menyalahkan Pencarian secara aktif, Personal dan menyenangkan, Transformasi, Tindakan sosial/ terlibat secara utuh, Belajar dari budaya yang berbeda, Menantang perspektif yang beori entasi supremasi diri,
Advokasi, Kolaborast/coresponslbillty, Menantang dominasi
335
Selain itu juga dapat dilihat dalam konsep pedagogis dari Mc Laren (1998: 223-224) yang mengembangkan proses pendidikan dalam perspektif kritis dalam tiga tahap sebagai berikut. 1. Mendorong siswa untuk mengembangkan pedagocical negativism, yakni meragukan segala sesuatu, dan mencoba mengidentifikasi bentuk-bentuk kontrol dan power yang bepengaruh dalam kehidupan sosialnya. 2. Membantu siswa membuat penilaian ( making a judgement) mengenai power dan kontrol yang telah diidentifikasi; apa yang harus diambil untuk mengembangkan empowerment dan apa yang harus ditinggalkan. 3. Membantu siswa mempertegas penilaiannya ( affirming the judgement) dengan
mengungkap
bentuk-bentuk
power
yang
dominan
dalam
membentuk pemahaman kelompok yang terpinggirkan. Terakhir sebagai contoh adalah gagasan pendidikan multikultural yang dikembangkan oleh Grant & Sleeter (1997: 72-74), menyatakan bahwa pendidikan adalah multikultural dan rekonstruksi sosial.
Prinsip dasar pendekatan ini adalah
Iperubahan langsung ke titik yang berkenaan dengan tekanan ( oppression), marginalisasi, dan ketidaksetaraan sosial yang disebabkan ras, kelas sosial, jender, dan kecacatan (disabiiity). Pendidikan adalah multikultural maksudnya seluruh program pendidikan dirancang kembali ( redesigned') agar merefleksikan kepedulian terhadap keragaman. Sementara pendidikan sebagai rekonstruksi sosial maksudnya upaya mereformasi masyarakat ke arah kesetaraan yang lebih besar lagi dari segi
Bah 4
336
rffSt
ras, kelas, jender, dan kondisi fisik ( disability ). Praktek pendidikan yaijpg f i e f ^ i y ^ ^ 'i
multikultural dan rekonstruksi sosial ada empat bentuk yakni sebagai berikw.
y- /
1) Demokrasi dipraktekkan secara aktif di sekolah. Agar siswa meme demokrasi,
mereka
harus mengalaminya.
Karena
itu,
mereka
harus
mempraktekan politik, debat, tindakan sosial, dan penggunaan power. Implikasinya, siswa dibnri kesempatan mi-nciorgiinisir diri mereka secara reflektif untuk mengambil tindakan, bukan sebagai siswa yang diorganisir orang lain dan bersifat pasif. 2)
Siswa belajar bagaimana menganalisis ketidaksetaraan yang melembaga dalam lingkungan kehidupannya sendiri. Dalam hal ini, kesadaran praktis dan teoritis berjalan sekaligus. Kesadaran praktis adalah pemahaman umum tentang kehidupan sendiri, dan bagaimana sistem bekerja setiap saat mempengaruhi cara pemecahan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan ras, jender, dan hal kontradiktif lain dalam kehidupan. Sedangkan kesadaran teoritis merujuk kepada ideologi-ideologi sosial yang dominan. Dengan pendekatan ini, siswa belajar dengan menggunakan berbagai sumber untuk mempertanyakan apa yang mereka ketahui mengenai caracara
masyarakat bekerja,
di
samping mereka
menganalisis pengalaman
orang lain dalam rangka memahami persoalan yang sesungguhnya, sehingga siswa siap melakukan perubahan terhadap proses-proses sosial yang tidak fair.
Huh -f
337
3) Siswa belajar menggunakan kecakapan sosial ( sodai ski/t). Kecakapan ini meliputi
pengetahuan,
sikap,
dan kecakapan
yang
diperlukan
untuk
partisipasi warga negara. 4) Membangun hubungan dengan semua kelompok yang terman'inalkan oleh sistem (etnik, jenrier, warga miskin dan sebagainya) sehingga mereka membangun
satu
kesamaan
kepedulian.
Hal
ini
dipedukan
untuk
mendapatkan semangat dan kekuatan memperjuangkan kesetaraan. Ketiga model tersebut memperlihatkan ciri yang sama dalam menciptakan lingkungan belajar yang bersifat transformatif. Dimulai dari proses kesadaran diri dan berujung pada proses perubahan diri dan sosial yang meliputi cara pandang, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku. Namun, semua model yang dikemukakan ini dapat dikembangkan lagi berdasarkan kekhasan siswa, lingkungan belajar, dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Di sini, peranan guru sebagai pengembang kurikulum sanrvrt menentukan sejauh mana efeklifitas sebuah model dalam proses belajar. Guru adalah "penjaga qawang" dalam proses pengajaran (curricular and
instructionaf gatekeepers), sehingga pengembangan kurikulum tergantung kepada k»'|).i|i.nn.in <1.iii l-n'.ihlil.r. .juiii «l.il.mi HK'iKih.id.ipi fn-f- < -i |,i,iMiiya (ftov., 2000: Untuk
ih i f)unt perlu niennkaji asumsi-asumsi kultural, sikap, prilaku, dan
pengetahuan yang dibawa siswa juga yang ada di lingkungan belajar siswa sebagai basis pengembangan pedagogis (Banks, 1997: 99).
f i, i f < i
I IX
Catatan Penutup Kata kunci dari pendidikan multkultural dalam perspektif transformatif adalah membongkar semua ideologi yang menganggap orang yang berbeda adalah di luar saya (ideologi "kita" dan "mereka" ). Karena itu materi pendidikan multkultural mencakup semua sistem yang turut menyumbang terbangunnya ideologi itu. Dalam hal ini pendidikan multikultural tidak dikembangkan berdasarkan struktur isi, tetapi beorientasi kepada tema. Walaupun demikian untuk mengorganisasikan tema diperlukan garis besar ruang lingkup pengembangan materi. Sejalan dengan karakteristik masalah hubungan antar etnik di atas, yang mencakup hubungan antar budaya dan agama yang berbeda, peran elit kekuasaan, serta peran media massa,
maka tema-tema dalam pendidikan multkultural ini
dikembangkan, minimal, dalam ruang lingkup sebagai berikut. 1. Pengetahuan tentang Media Massa (Media Literacy).
2. Komunikasi Lintas Budaya dan Agama 3. Pemerintahan demokratis. 4. Dalam
Kebijakan publik dan supremasi hukum. pelaksaanan
Pendidikan
transformatif
perlu
dipertimbangkan
beberapa asumsi sebagai berikut. 1) Setiap orang memiliki kesadaran diri dan kelompok yang baik sebelum mereka bisa berempati dengan kelompok lain. 2) Sistem nilai dan cara berfikir seseorang tentang diri dan orang lain merupakan sesuatu yan() dinamis dan berubah-
Hob 4
339
3) Pengetahuan tentang hal yang menyebabkan salah persepsi tentang orang lain membantu mengurangi stereotipe, stigma, dan rasa superioritas diri atau kelompok dalam hubungan dengan orang lain atau antar kelompok. 4) Setiap orang mampu melakukan transformasi sikap dan nilai-nilai dalam diri untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan. Selain itu, kerangka Pendidikan Multkultural Transformatif yang diusulkan ini, didasarkan kepada karakteristik umum dari konflik etnik yang terjadi di daerah sampel yang diteliti. Namun setiap daerah memiliki karakteristik sendiri, seperti kasus Dayak-Madura di Kalimantan, lebih banyak disebabkan faktor budaya; atau kasus pertikaian warga di Ambon (Maluku) yang berkenaan dengan identitas agama. Oleh karena itu, penerapan pendidikan ini dapat disesuaikan dengan kekhasan sifat konflik di setiap daerah. Penyesuaian dilakukan pada pengembangan materi (tema) yang diangkat di dalam proses belajar mengajar. Sebagai mata pelajaran yang bersifat tematik, pendekatan pengembangan materi pendidikan multikultural atau pemecahan masalah juga bersifat multidisiplin. Artinya, pemecahan satu masalah tidak hanya dari satu sudut pandang, melainkan dari berbagai sudut padang yang dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu. Secara singkat gambaran kerangka konseptual Pendidikan Multikultural Transformatif dapat dilihat dalam gambar berikut-
Bah 4
340
Gambar 4.3.1 Kerangka Konseptual Pendidikan Multikultural Transformatif
FILSAFAT BANGSA DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Pancasila. Pembukaan UUD 1945, UUSPN
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TRANSFORMATIF
Konsepsi Diri
Konsepsi Negara
Konsepsi Budaya
Nilai Inti (Core Vatue) Pendidikan Multikultural:
Perspektif Lokal
d 1) 2}
3) 4) 5) 6) 7)
11 Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Tanggungjawab terhadap negara kesatuan, M Penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaya 4) Menjunjung tinggi supremasi hukum si Penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal filsafat Rekonstruk si Sosial
Psikologi SodohistorisKultural
Pedagogis Kritis
TUJUAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Perspektif Global
£
Memperkuat kesadaran multkultural, tanpa kehilangan jatidi n Meningkatkan
kecakapan
dalam interaksi lintas budaya
Menghilangkan stereotipe, stigma, rasa superioritas diri/keiompok, dan anggapan negatif lain dalam hubungan antar kelompok Memperkuat kesadaran berbangsa dalam kerangka negara kesatuan RI. Meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara dalam konteks dinamika global. Menjunjung tinggi supremasi hukum Meningkatkan kecakapan transformasi diri dan sosial, melalui tahap-tahap: a. Mengenati diri, lingkungan dan sistem yang yang terkait dengan poia berfikir tentang hubungan antar budaya. b. Mengenali bentuk-bentuk power dan kontrol yang mempengaruhi pola berfikir tentang hubungan antarbudaya Menilai pengaruh-pengaruh power <Jan kontrol yang muncul dalam pikiran, sikap, dan tindakan tentang hubungan antar etnik; menilai mana pengaruh tersebut yang berguna dalam interaksi antar etnik, mana yang harus ditinggalkan d. Mengambil tindakan transformatif (diri dan sosial) berdasarkan penilaian yang tepat tentang pengetahuan, sikap dan prilaku yang sesuai dalam interaksi sosial antar budaya
341