BAB
II
TINJAUAN KONSEPTUAL MASYARAKAT MULTIKULTURAL, KONFLIK, PERAN MEDIA MASSA, DAN PENDIDIKAN
2.1 Masyarakat Multikultural Dalam ensiklopedia online Wikipedia (www.en.wikipedia.org/2005) dijelaskan pengertian multikulturalisme sebagai kebijakan pubfik untuk mengelola keragaman dalam masyarakat multietnik dan menekankan perlunya, dalam satu negara, saling menghormati dan toleran terhadap perbedaan dalam masyarakat Pengertian dalam ensiklopedia ini dilihat dari sudut negara dan kebijakan yang dibuat oleh negara, disebut juga
dengan officiat mutticulturafism.
Namun multikulturalisme juga
memiliki makna dari sisi normatif yakni sebagai prinsip atau norma. Ada ahli yang mendefinisikan multikulturalisme sebagai pola pikir yang menuntut kesediaan untuk menerima kehadiran kelompok dan sistem nilai lain dalam kehidupan bersama tanpa memperdulikan perbedaan budaya, sratifikasi sosial, jender, dan agama (Al Muchtar, 2004: 6). Konsep ini sejalan dengan pandangan
yang menyatakan multikulturalisme sebagai Jdeologi yang mengakui
dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan
manusia baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat sekaligus dengan kebudayaannya (Suparian, 2002). Selain itu ada yang menyebut
multikulturalisme sebagai prinsip yang
menghendaki semua kita menerima perbedaan, terbuka terhadap perubahan, menghendaki kesetaraan, mampu mengenali diri kita yang sesungguhnya dalam
Hoh 2
31
hubungan dengan "keasingan" orang lain; prinsip ini harus menjadi pijakan dalam mengambil setiap tindakan (Watson, 2000:110). Lebih lanjut Watson
mengingatkan, bahwa dalam memahami
makna
multikuituralisme , budaya (culture) dipandang sebagai proses dinamis dari adaptasi manusia
terhadap
perjalanan
sejarahnya
yang
merupakan
kondisi
untuk
mempertahankan kehidupan meialui keterlibatan secara simpatik terhadap cara-cara baru dalam memahami dunia dan meresponnya.
Atas dasar pandangan ini The
United Nations Development Programme atau UNOP (2004: 13) mengemukakan bahwa prinsip dasar dalam pandangan multikuituralisme adalah 1 cuftura/liberty. Menurut UNDP ada tiga alasan mengapa cufturaf liberty menjadi perhatian penting: 1) cultural liberty adalah aspek penting dalam kebebasan manusia, yang merupakan kapabilitas sentral bagi kehidupan manusia untuk hidup berdasarkan kesempatan untuk memilih pilihan-pilihan yang dimiliki; 2) selama ini pembicaraan tentang budaya dalam kerangka pembangunan kurang terfokus kepada cultural
liberty, tetapi lebih terarah kepada pengakuan konservatisme budaya (cultural conservatism); dan 3) cultural liberty tidak hanya bermanfaat dalam konteks budaya, tetapi juga menentukan keberhasilan atau kegagalan aspek-aspek politik, sosial, dan ekonomi. Karena itu, penyangkalan terhadap cultural liberty dapat menyebabkan keruntuhan dan kemunduruan kehidupan manusia. Wujud
konkret
multikuituralisme
dalam
kehidupan
masyarakat
dapat
dianalisis dalam dua sudut pandang: pandangan kritis dan pandangan konservatif (Thufail, 2004: 76). Pandangan kritis di antaranya tampak dafam perspektif filsafat
Hak 2
32
Charles Taylor tentang multikulturalisme yang dikenal dengan pofiGcs of recognition (Watson,
2000:
2; Thufail,
2004: 77).
Pandangan ini menegaskan bahwa
multikulturalisme bukan sekedar menciptakan makna perbedaan tetapi mengenali perbedaan itu sebagai hasil dari keterikatan bersama terhadap pentingnya budaya dan pengakuan terhadap kesederajatan semua budaya. Dalam pandangan kritis multikultural berarti perjuangan dalam konteks politik dengan diskusi terbuka dan bebas untuk saling mengenal identitas kelompok satu sama lain. M. Sobary (2003: 28) menjelaskan bahwa poiitics of recognition adalah dimensi psikologis dalam politik yang dibutuhkan dalam masyarakat kultural tanpa membedakan etnik, ras, nasionalitas, atau agama. Setiap orang butuh untuk dikenal sebagai manusia, dan sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang memiliki hak politik yang diperlakukan secara adil dan sama untuk semua orang. Oleh karena itu,
keberadaan masyarakat multikultural dalam pandangan kritis
diukur dari keragaman yang muncul dalam perjuangan politik tersebut. Berbeda dengan pandangan kritis adalah pandangan konservatif seperti tercermin antara lain dalam gagasan Will Kymlicka tentang multikulturalisme (2002: 13-49). Menurut sudut pandangan ini, multikulturalisme berangkat dari pemikiran bahwa budaya adalah landasan dasar bagi masyarakat multikultural. Oleh karena itu sistem politik yang ideal adalah menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap kelompok budaya untuk mengekspresikan identitas dan aspirasinya. Sehubungan dengan ini perlu kebijakan spesifik untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan kebangsaan dan etnik yang sekurang-kurangnya terlihat dalam tiga bentuk: 1) Hak
Bah 2
33
atas pemerintahan sendiri, 2) hak polietnik, berupa langkah-langkah positif untuk menghapus diskriminasi dan prasangka, dan 3) hak perwakilan khusus. Pandangan konservatif memandang budaya sebagai sesuatu yang "ready-
made" bagi terciptanya masyarakat multikultural, sedangkan pandangan kritis melihat budaya
sebagai
"proses" yang
dinamis dalam
menuju
masyarakat
multikultural. Untuk melacak akar filsafat dari muttikulturalisme, menarik untuk melihat terlebih dahulu perdebatan antara pendukung multikulturalisme dan penentangnya. Perdebatan ini dirangkum dari tulisan Carol J Nicholson (1998), dari Rider University, dalam sebuah paper yang dipublikasi oleh
Worfd Congress of PhHosophy Logo"
(http//www.bu.edu/wcp/2005). Kelompok pro antara lain yang diwakili oleh Charles Taylor menyatakan multikulturalisme sebagai keharusan moral yang merupakan cabang dari teori politik liberal. Sebaliknya tokoh lain, John Searie, menyatakan multikulturalisme sebagai gagasan yang merusak warisan tradisi Barat. Searie mengatakan, bahwa multikulturalisme sebagai kelompok sayap kiri yang tergabung dalam subcuiture of postmodernism. Kelompok ini mempertanyakan keobjektifan
pengetahuan
yang
sudah
valid
secara
universal,
dan
menginterpretasikan klaim-klaim objektivitas sebagai bentuk tersembunyi dari pengukuhan
kekuasaan
(disguised forms of power-seeking).
Bagi
Searie
pengetahuan pada hakikatnya adalah na minded-independent reatity" yang berisi proposisi-proposisi yang benar; benar atau tidaknya sebuah teori tergantung dari dapat atau tidaknya dibuktikan melalui proposisi tersebut. Serangan terhadap
itob 2
34
kebenaran proposisi ini (seperti yang dilakukan oleh kelompok nsubculture of
postmodernisrrf) lebih dari sekedar penyangkalan terhadap tesis-tesis ilmiah, karena kebenaran tersebut juga memiliki fungsi yang mendasar dalam menetapkan kriteria ketinggian bahasa, budaya, dan lembaga ilmiah. Karena itu mempertanyakan klaim kebenaran ini merupakan upaya penghancuran nilai tradisi Barat. Kelompok
pendukung
multikultralisme
(termasuk
Charles
Taylor),
menyatakan bahwa kebenaran atau objektivitas filosofis termasuk nilai tradisi Barat bukan merupakan kebenaran yang mutlak,
tetapi objektivitas artinya mencari
kesesuaian di antara intersubjektivitas (sekian banyak subjektivitas). Nilai tradisi hanya satu dari pilihan-pilihan untuk menjelaskan tentang diri kita. Bagi kelompok ini setiap orang harus membebaskan diri dari cara pandang yang melihat bahwa landasan kebenaran hanyalah semata-semata berdasarkan komitmen terhadap
"truth and real ity". Padangan ini, lebih jauh ditegaskan oleh Taylor dengan menyatakan bahwa identitas manusia tercipta secara dialogis dalam hubungannya dengan orang lain. Karena
itu
sebagiannya
pandangan Taylor
dibentuk
oleh "pengakuan".
Multikulturalisme dalam
adalah perluasan logis dari politik menghormati kesetaraan
{polities o f equa! respect) dan politik pengakuan (politics of recognition). Landasan dasar dari pandangan ini adalah kesetaraan hak, kewajiban, status, dan saling menghormati di antara sesama warga masyarakat (Sobary, 2003:29) Pengetahuan seseorang akan berkembang ketika dia belajar tentang orang dan budaya lain, dengan mengakui dan menghargai perbedaan di antara budaya-budaya
Bah 2
35
tersebut Menurut Taylor "menghargai" dan "mengakui" keberadaan budaya lain bukan berarti mengatakan semua nilai budaya sama benar. Jika semua budaya sama benar maka tidak perlu ada
w
pofitics of equal respect and poiitics of
recognition" Dalam ensiklopedia on-line Wlkipedia (http//www/en.wikipedia.org/2005) dijelaskan bahwa masuknya multikulturalisme secara resmi ke dalam tataran kebijakan dimulai sekitar tahun 1970 di berbagai negara seperti Kanada, Australia, Inggris dan Amerika Serikat Di Kanada dan Australia ada kemiripan dengan banyaknya dukungan kebijakan dari pemerintah terhadap multikulturalisme seperti dalam bentuk perundang-undangan, organisasi, dan pelayanan publik, sedangkan di Amerika multikulturalisme mendapat perhatian di tingkat state, dengan banyaknya dukungan
akhir-akhir
ini
terhadap
paham
ini.
Demikian
pula
di
Ingggris,
perkembangan multikulturalisme semakin pesat semenjak pemerintahan Partai Buruh. Meskipun secara resmi negara mendukung multikulturalisme, tidak sedikit kritik yang dilontarkan terhadap pendukung multikulturalisme. Kritik-kritik tersebut berkisar tentang bahaya multikulturalisme berupa keretakan ekonomi dan semakin menyingkirkan kelompok minoritas dari mainstream. Di samping itu, juga ada kritik yang
mengatakan
bahwa
multikulturalisme
sebagai
tribalisasi
baru,
yang
menghancurkan masyarakat industri modern. Dari perdebatan di atas tampak satu alur berfikrr yang mengarah pada satu kesimpulan bahwa ada keterkaitan antara gagasan multikulturalisme dengan teori
Hoh 2
36
'i
.
"
politik liberal. Keterkaitan ini kemungkinan dapat dimaknai bahwa multikuituralisme •v, v, -^
, I. ' I t
c >
merupakan perkembangan lebih jauh dari filsafat politik liberal, atau kemur^klnafr^^v multikuituralisme sebagai antitesis terhadap teori politik liberal. Adrian Favell dan Tariq Moodod dalam buku Contemporerary Politicaf
Philosophy, (2003: 484-495) adalah satu di antara pembahas yang melihat multikuituralisme sebagai perkembangan lanjut dari teori politik liberal.
Uraian
mereka dikembangkan dalam empat payung diskusi, semuanya bertolak dari dilema yang terkait dengan multikuituralisme dan cara-cara penanganan filosofis terhadap isu-isu tersebut. Pertama,
berangkat
dari
legacy
Rawlsian
yang
terbentang
dalam
gagasannya tentang a Theory of Justice tahun 1971 hingga the Political Uberalism tahun 1993. yakni
adanya
Dalam kerangka berfikir Rawls, tersirat problem mengenai pluralisme, pertanyaan tentang
bagaimana
individu-individu dari
berbagai
keyakinan dapat diarahkan untuk mempercayai prinsip keadilan dalam kekuasaan yang konstitusional. Solusi dilema ini terletak pada rekonsiliasi politik dari berbagai pandangan yang saling bertentangan untuk menemukan satu konsensus dari prinsip bersama, yang diketahui secara publik untuk dijadikan kerangka kerja pembuatan keputusan politik. Dilema kedua adalah berkenaan dengan perdebatan antara liberal dan komunitarian. Di satu sisi, kelompok yang menyalakan bahwa pilihan-pilihan dan otonomi individu sebagai puncak dari teori liberal, sedangkan di pihak lain adalah kelompok yang meyakini sosialisasi komunal dalam budaya yang berakar secara
Bah 2
37
historis
merupakan
prakondisi
yang
penting
bagi
individualisme.
Dari
sini
ketegangan terjadi antara kelompok yang mempertahankan nilai-nilai liberal Barat dan kelompok yang mempertahankan nilai tradisi non-westem, kelompok minoritas, dan imigran. Pola ini tampak dalam kerja Kymlicka yang mencoba menerapkan prinsip-prinsip liberal dalam memecahkan masalah-masalah minoritas. Di samping perdebatan antara teori murni dan terapan, atau liberal dan komunitarian, payung ketiga yang dapat dijadian referensi untuk memahami multikulturalisme adalah ketegangan antara liberal dan kritik-kritik radikal. Dilema ini berkisar antara mainstream liberal yang bekerja dalam tatanan kemurniannya
(democratic liberal arrangemenf), dan kelompok yang menolak, terutama yang menyangkut tentang ethno-centrism dari nilai-nilai tradisi liberal, serta mengajukan gagasan
dialog
cross-cultural.
Kelompok
ini
mengajukan
konsepsi
tentang
kesederajatan yang menggabungkan suatu politik perbedaan - menolak konformitas dengan budaya dominan. Payung keempat yang menjadi lahan diskusi multikulturalisme adalah kritik kontekstualis. Kelompok ini berasal dari post-positivisme yang terlibat secara konstruktif dalam aspek-aspek metodologis. Penekanan pemikiran mereka terletak dalam gagasan
tentang
perlunya
pendekatan-pendekatan komparatif empirik
sebelum menarik generalisasi. Dalam pemahaman ini, bukan pencarian hakikat liberalisme yang diutamakan, tetapi penemuan kemiripan dari anggota-anggota yang tergabung dalam liberalisme, dan perbedaan yang terjadi secara historis sepanjang
finh 2
perkembangan liberalisme. Dalam hal ini makna dan konteks adalah unsur yang mesti ada dalam kerja filosofis. Pendapat yang cenderung menempatkan multikulturalisme sebagai cabang atau perkembangan liberalisme, cukup beralasan bila ditinjau dari pemikiran John Locke dan John Rawls. Keduanya adalah tokoh yang banyak dirujuk pemikirannya dalam pembahasan filsafat liberalisme. Meskipun Locke (1632-1704) lebih dikenal sebagai filsuf liberalisme namun secara implisit mengakui multikulturalisme sebagaimana dipahami
dalam sebuah
essainya The True Originaf Extent dan End of CM'l Government yang dipublikasikan lagi tahun 1963 (edited by Somarvile and Santoni, 1963: 159-204). Secara spesifik, Locke tidak menyebut tentang multikuturalisme atau yang sejenisnya, namun tersirat dalam gagasannya tentang supremasi hak dan kebebasan inidvidual yang dimiliki setiap orang. Dalam praktek pemerintahan,
negara adalah pelindung hak-
hak tersebut, sedangkan dalam praktek sosial atau dalam hubungan di antara sesama individu - khususnya daiam penggunaan properti - perlu pengaturan yang jelas.
Dalam
konsep
ini
terkandung
makna
toleransi,
saling
menghormati,
kesetaraan yang semuanya dalam payung hukum yang adil sehingga tidak menimbulkan prasangka sesama warga dan dapat mencegah terjadinya pertikaian. Demikian juga halnya Rawls mengembangkan gagasan multikuturalisme dalam prinsip "keadilan" sebagai mekanisme pemecahan dilema dalam masyarakat liberal yang terdiri dari beragam latarbelakang dan keyakinan. Secara eksplisit Rawls menuangkan gagasan tersebut dalam
Bah 2
tulisannya Justice as Faimess (1958) dan
39
dalam The Domain of the Politica! and Overiapping Consensus (1989), keduanya dipublikasi lagi dalam satu buku Contemporary Politica! Phiiosophy: an Anthoiogy (1997: 185 & 273). Dia mengatakan bahwa keadilan tidak terkait dengan kelompok dominan untuk membenarkan kepentingannya, tidak juga didasarkan pada satu doktrin komprehensif yang spesifik. Akan tetapi, keadilan didukung oleh satu konsensus (overiapping consensus) yang dijadikan sebagai domain politik khusus. Dengan konsensus, menurut Rawls, satu pemikiran tentang keadilan akan menjadi titik temu bagi semua pihak yang terdiri dari berbagai keyakinan agama, doktrin moral dan filsafat dalam masyarakat. Selain
kedua
rujukan
filsafat
pandang
dalam
multikulturalisme yang dilontarkan oleh Taylor juga berakar pada filsafat
Jean
multikulturalisme,
filsuf
liberal
di
atas
yang
menjadi
The Poiitics of Recognition sebagai cara
Jacques Rousseau dan Immanuel Kant (Tilaar, 2004:80),
Sebagaimana diketahui,
"kebebasan" dari Rousseau, dan "otonomi" dari Kant adalah pandangan yang paling mendasar dalam filsafat liberalisme. Rousseau mengatakan bahwa "man is bom free, and yet we see him
everyv/here in chains" sebagaimana ditulis dalam pembuka tulisannya the Sociai Contract
(edited by Sommerville and Santoni, 1963:205). Dalam konteks ini
Rousseau mengatakan bahwa saling menghormati merupakan hal yang mesti ada dalam kemerdekaan manusia. Untuk ini diperlukan tatanan sosial yang meminta kerelaan untuk mengorbankan hak individu sebagai basis untuk kebersamaan. Kemauan
Hak 2
untuk
saling
menghormati dalam
tatanan
sosial
yang
disepakati
40
merupakan
pilihan
menentukan
yang
pandangan
didasarkan hidupnya.
pada Dalam
kemampuan bahasa
Kant
setiap
orang
untuk
kemampuan
orang
menentukan pandangan hidupnya tanpa ada tekanan dari luar dirinya disebut dengan "otonomi" Dari pandangan liberal tersebut, nilai-nilai multikulturalisme terwujud dalam bentuk toleransi, saling menghormati, taat kepada hukum, dan konsensus bersama tentang keadilan. Di samping analisis yang melihat multikulturalisme sebagai cabang atau
perkembangan liberalisme, kemungkinan analisis lain untuk menjelaskan
kedudukan multikulturalisme terhadap liberal, adalah sebagai antitesis terhadap teori politik liberal. Diskusi ini diawali dengan mengkaji pemikiran Francis Fukuyama dalam tulisannya
The End of The History (2003) dan Kari Popper dalam bukunya
Masyarakat Modern yang Terbuka (2002: edisi terjemahan).
Dasar pemikiran
Fukuyama berkenaan dengan dialektika seperti yang dikembangkan dalam tradisi Hegelian, menyatakan bahwa kondisi global setelah Perang Dingin menunjukkan kemenangan sistem politik demokrasi liberal atas komunisme, kemudian setiap negara di dunia mau tidak mau mengikuti sistem politik tersebut. Dengan yakin Fukuyama menulis: Abad ke 20 menyaksikan terperosoknya dunia maju ke dalam ledakan kekerasan ideologis, sementara liberalisme bergelut pertama melawan sisa-sisa absolutisme, kemudian dengan bolshevisme dan fasisme, akhirnya melawan Maocisme. Namun abad yang mulai dengan penuh percaya diri peda puncak kemenangan demokrasi liberal barat tampaknya akan berputar. Kembali ke titik permulaan lingkaran: bukan pada "akhir ideologi" atau titik temu antara kapitalisme dan sosialisme seperti diramalkan semula, tapi pada kemenangan besar liberalisme ekonomi dan politik (hal. 16-17).
Bah 2
41
Analisis yang kurang lebih sama tampak dari kritik Popper (2002:209-250; edisi terjemahan) terhadap gagasan Plato yang menyarankan kembali kepada bentuk negara tribalis dengan dipimpin oleh filsuf untuk membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang membahagiakan. Tapi Popper melihat gagasan Plato justru membawa keadaan menjadi lebih buruk lagi, seperti yang dinyatakannya sebagai berikut: Menghentikan perubahan politik bukanlah obat; langkah ini tidak dapat membawa kebahagiaan. Kita tidak dapat kembali pada keaslian dan keindahan masyarakat tertutup... Ketika kita mulai bersandar pada akal kita, dan menggunakan kekuatan kritisisme kita, seketika itu juga kita merasakan panggilan tanggungjawab personal dan tanggungjawab untuk memajukan pengetahuan (hal 247). Popper mengemukakan bahwa masyarakat terbuka adalah masyarakat yang percaya pada kekuatan rasional, individualisme, equaiitarianisme, kepercayaan pada akal, dan kecintaan pada kebebasan. Meskipun Popper tidak menyebut secara eksplisit gagasan ini sebagai liberalisme, terlihat pokok-pokok pikiran Popper tidak berbeda dengan liberalisme. Fukuyama
melihat kemenangan
liberalisme sebagai antitesis terhadap
fasisme dan marxisme, sedangkan Popper melihat keunggulan liberalisme sebagai alternatif terhadap tribalisme Plato. Keduanya sama-sama percaya pada kebesaran tradisi liberal, sebagai pandangan hidup yang terbaik dalam masyarakat modem. Tetapi kemudian, muncul pertanyaan apakah gagasan liberal berkembang tanpa hambatan dan berhasil menyelesaikan masalah-masalah masyarakat yang semakin heterogen, atau justru berkembang gagasan baru sebagai antitesis berikutnya. Gejala inilah yang tampak sejak awal tahun 70an di negara-negara penganut liberalisme itu sendiri (Eropa, Kanada, Amerika, Australia), yakni dengan munculnya
Hoh 2
42
gerakan baru yang disebut multikulturalisme. Gagasan keterbukaan, kesetaraan, kebebasan, dan rasionalitas yang merupakan ikon liberalisme justru membawa dilema baru dengan kedatangan arus imigran yang besar ke negara maju (pada umumnya penganut paham liberal), disertai dengan perkembangan gerakan sosial baru dalam masyarakat modern yang memakai identitas berdasarkan jender, etnik minoritas, gay, dan bahkan berdasarkan agama. Di wilayah kelahiran liberalisme, kebenaran nilai ini diuji. Hal ini pertama kali muncul dari kalangan agama, yang sebagian besar tidak mau kehilangan tradisi keagamaan mereka (Macedo, 2003: 215).
Kedua, tuntutan terhadap kebijakan
imigrasi yang perlu lebih akomodatif lagi dalam menangani imigran sehingga radikalisme (sebagai reaksi berbagai kelompok imigran yang tidak diuntungkan oleh kebijakan negara liberal) dapat
diatasi (Fukuyama, 2005; Herjm, 2000: 357).
Contoh nyata kebijakan imigrasi dari negara penganut liberalisme yang justru menimbulkan masalah (radikalisme) di kalangan imigran salah satunya adalah kasus di Perancis akhir tahun 2005, yakni kerusuhan bernuansa etnik sebagai protes terhadap kebijakan negara yang diskriminatif terhadap kaum pendatang. Terakhir, tuntutan lain muncul dari kalangan kelompok sosial minoritas seperti kelompok feminisme, yang mempertanyakan kembali konsep-konsep perbedaan jender, kelas, dan etnik dalam masyarakat pluralistik (Longo, 2001: 269; Nash, 2001: 255). Pada dasarnya semua gerakan ini menginginkan prinsip liberal terutama menyangkut kesederajatan
Hoh 2
{equity),
keadilan
sosial
(socuii
justice)
diterapkan
tanpa
43
membedakan kelompok dan golongan, serta tuntutan terwujudnya masyarakat yang lebih demokratis, adil, dan inklusif. Tidak hanya perkembangan masyarakat secara internal yang menghendaki pengakuan keragaman, kesetaraan, dan keadlilan, kenyataan global juga mengarah ke titik tuntutan yang sama. Fenomena ini dungkapkan oleh John Naisbit dan Patricia (1990: 119) dalam bukunya Megatrends 2000, bahwa dewasa ini ada kecenderungan gaya hidup semua bangsa di dunia mendekati kemiripan satu sama lain karena pengaruh globalisasi dan teknologi informasi. Namun sebaliknya, ada trend berbeda yang
memiliki
kekuatan sebagai arus balik dan menentang
keseragaman itu, yakni penegasan keunikan budaya, bahasa, serta penolakan pengaruh asing. Dari pola pembahan fenomena masyarakat seperti yang digambarkan di atas, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa keberadaan ideologi politik liberal dihadapkan pada kenyataan semakin heterogenitasnya bangsa-bangsa di seluruh negara di dunia, dan semakin komplek kebutuhan bangsa-bangsa tersebut sebagai implikasi keheterogenannya (Premdas, 2000; UNDP 2004),
sehingga melahirkan
tuntutan yang lebih tegas lagi, agar gagasan liberal dikaji ulang. Bahkan mungkin dapat dikatakan teori liberal tidak dapat lagi sepenuhnya menyelesaikan masalah politik yang disebabkan keragaman masyarakat di berbagai negara misalnya kasuskasus yang terjadi di negara bekas Uni Sovyet, Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini di Perancis. Merujuk kepada teori perubahan paradigma dalam revolusi ilmu pengetahuan (Kuhn, 2000: 77), yang bermula dari teori (1) -> anomali -> krisis ->
Bah 2
44
revolusi -> teori (2), maka tantangan yang dihadapi pemikiran liberalisme saat ini dapat dianalogikan sebagai saat "krisis"
menuju perubahan yang merupakan
prakondisi penting bagi munculnya teori-teori (pemikiran) baru. Bagaimana bentuk perubahan
itu,
sebagian
jawabannya
adalah
melalui
kemunculan
gagasan
multikulturalisme. Demikian juga halnya jika mengikuti analisis "dialektika" dari Hegel dalam melihat perkembangan peradaban dunia yang mengalami pasang naik dan pasang surut dengan diiringi kemunculan peradaban baru (F.VV.
Hegel, 2001, edisi
terjemahan); atau pemikiran Capra (2002: 10) dengan teori "transformasi budaya " yang menyatakan bahwa transformasi merupakan langkah-langkah esensial dalam perkembangan peradaban. Berdasarkan teori perubahan ini ada kecenderungan untuk menyimpulkan bahwa perkembangan multlikuturalisme' saat ini
'dapat
diindikasikan sebagai fenomena munculnya pemikiran baru sebagai alternatif terhadap pemikiran liberal. Satu alasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa multikulturalisme sebagai alternatif atau bahkan merupakan koreksi terhadap liberalisme (sebagai lawan dari pendapat yang cenderung mengatakan multikulturalisme sebagai bagian dari
liberalisme)
adalah
kenyataan
sejarah
di
dunia
timur
(Islam)
yang
mempraktekan gagasan nilai-nilai multikulturalisme yang berakar kuat dalam tradisi non-Barat . Gagasan ini secara kongkrit mulai dikembangkan dalam pemerintahan Islam di Madinah jaman Nabi Muhammad Saw, yang keseluruhan pola pikir beliau diilhami oleh Al Quran.
Bah 2
45
Istilah multikulturalisme sendiri tidak pernah disebut dalam pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Namun nilai multikultural itu terlihat jelas dalam cara-cara pemerintahan Islam memperlakukan warga dan pola-pola hubungan antar warga. Praktik
multikulturalisme
ini
pertama-tama
dapat
dilihat
secara
legal-formal
sebagaimana dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal dengan "Piagam Madinah" atau "Konstitusi Madinah". Dokumen ini terdiri atas dua bagian utama yaitu: salah satunya berkenaan dengan perjanjian
antara Nabi Muhammad SAW
(sebagai kepala pemerintahan) dengan umat non-Muslim (Yahudi Madinah) yang berada di bawah pemerintahan Islam, dan bagian lain berkenaan dengan komitmen, hak, dan kewajiban
orang Islam , Muhajirin dan Anshar (Al Umary, 1991: 102).
Model perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan umat Yahudi ini juga diterapkan kepada umat Nasrani dan agama lain yang berada di wilayah kekuasaan pemerintahan Islam . Salah satu bagian dari teks piagam ini menjelaskan sebagai berikut. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini adalah sebuah dokumen dari Muhammad, Rasulullah berkaitan dengan kaum Muhajirin dan Anshar, yang membuat kesepakatan persahabatan dengan orang-orang Yahudi dan menetapkan mereka dalam agama dan harta kekayaan mereka, dan menyatakan kewajiban timbal balik sebagai berikut: Mereka merupakan satu kelompok di samping masyarakat lain. Kaum Muhajirin Quraisy sama-sama bersatu dan akan membayar diyat (tebusan darah) di antara mereka sendiri, dan akan menebus dengan hormat orang-orang mereka yang menjadi tawanan. Bani A w f sama-sama bersatu, karena merekalah yang pertama, dan setiap kelompok di kalangan mereka membayar tebusan untuk membebaskan keluarganya yang menjadi tawanan (Ketentuan ini diulang dengan ungkapan yang sama tentang Banu Saldah, Banu Haristh, Banu Jasyam, Banu At Najjar. Banu Amr tbn Awf, BanuAINabit, dan Banu Aw$.
Orang-orang beriman agar tidak meninggalkan seorang pun miskin di kalangan mereka dengan tidak membayar uang pembebasan atau diyat yang setimpal. Siapa saja yang memberontak atau siapa saja yang berusaha menyebarkan permusuhan dan hasutan, tangan setiap Muslim yang bertacjwa akan melawannya, sekalipun dia anaknya sendiri.
ikih 2
46
Seorang Mukmin tidak boleh membunuh Mukmin lainnya, atau S mendukung seorang kafir melawan seorang Mukmin. Perlindungan Allah (dan sama) yang diberikan kepada kaum Mukmin yang rendah hati. Kaum Mukmin harus saling mendukung satu sama lain. Siapa saja orang-orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh bantuan dan pertolongan: mereka tidak akan dilukai, tidak pula seorang musuh pun dibantu melawan mereka. Perdamaian kaum Mukmin tak dapat dibagi-bagi. Tidak ada perdamaian terpisah dilakukan ketika kaum Mukmin berperang di jalan Allah. Syaratsyarat harus adil dan jujur bagi semua. Tidak boleh bagi seorang Mukmin yang berpegang pada apa yang ada dalam dokumen ini dan beriman kepada AJIah dan Hari Kiamat, membantu seorang penjahat, tidak pula memberinya tempat perlindungan. Mereka yang memberinya perlindungan atau memberinya pertolongan akan memperoleh kutukan dan murka Allah pada Hari Kebangkitan. Tebusannya tidak diterima. Kapan pun berbeda pendapat atas suatu masalah ia harus dikembalikan kepada Aliah dan Muhammad. Orang Yahudi harus menyumbangkan biaya perang sepanjang mereka berperang bersama kaum Mukmin. Orang orang Yahudi dari Banu Awf adalah satu komunitas dengan kaum Mukmin. Orang Yahudi akan tetap mengakui agama mereka, sebagaimana kaum Muslim mengakui agama mereka. Tidak seorang pun boleh pergi berperang kecuali dengan izin Muhammad; tetapi ini tidak akan menghalangi seseorang untuk menuntut balasan yang sah. Orang-orang Yahudi harus bertanggungjawab atas pembelanjaan mereka, kaum Muslim untuk pembelanjaan mereka, akan tetapi jika diserang, masing-masing harus saling membantu yang lain. Madinah akan menjadi suci dan tidak boleh diganggu, oleh semua yang terikat oleh perjanjian ini (Siddigi, 2001 edisi terjemahan: 195-196).
Lebih jauh dijelaskan oleh Abdul Hamid Siddiqi, bahwa perjanjian ini merupakan kesepakatan tripartit antara Muhajirin atau imigran Mekkah, Anshar atau penganut Islam Madinah, dan orang-orang Yahudi. Penyelidikan tercermat terhadap teks menunjukkan bahwa perjanjian ini lebih dari sekedar upaya rekonsiliasi di antara suku-suku. Tetapi merupakan sebuah kesepakatan yang melebur loyalitas kesukuan yang sempit ke dalam struktur yang lebih tinggi (bangsa dan negara). Di samping
itu perjanjian ini juga merupakan bukti
sejarah yang dibuat oleh
Muhammad SAW lebih kurang 15 abad yang lalu sebagai jaminan kebebasan berfikir dan kebebasan beribadah, serta perlindungan terhadap hidup dan properti semua golongan.
Bah 2
47
Piagam ini memberikan contoh tentang hubungan timbal balik antara semua golongan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip keadilan dan kemanusian. Bahkan dikatakan bahwa piagam ini merupakan konstitusi pertama di dunia (worfd's first
constitution) yang menegaskan hubungan timbal balik antara Muslim dan Yahudi, yang disertai dengan pengakuan hak dan kewajiban masing-masing kelompok dalam fungsi kewargaan sebuah komunitas (Emerick, 2002: 131). Lebih jauh Emerick menyatakan bahwa piagam ini telah menciptakan suatu identitas bersama sebagai warga negara sebuah negara bangsa.
Piagam ini tampil sebagai model yang
dibangun atas dasar pemahaman bahwa orang dari berbagai kelompok (agama) yang berbeda dipersatukan
pada dasarnya memiliki banyak kesamaan tujuan yang dapat secara
setara
dalam
masyarakat
multikultural
yang
saling
menguntungkan.
Melalui piagam ini Nabi Muhammad SAW memberikan keteladanan tentang satu bangunan masyarakat multikultural yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan inklusifitas yang digali dari tradisi non barat. Landasan dasar dari kehidupan masyarakat Madinah ini diletakkan dalam kerangka hubungan vertikal dalam wujud keimanan kepada Allah Yang Maha Fsa.. Sebagaimana tertera daam dokumen "Piagam Madinah" yang menyatakan bahwa segala perbedaan pendapat dikembalikan kepada Allah dan Muhammad. Prinsip ini difandasi oleh AIQuran seperti yang tertera antara lain daiam surat As Nissa' (4 : 59):
...Maka apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, itu apabila kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itulah sebaik-baik takwil (penjelasan).
Bah 2
48
Demikian juga dicantumkan dalam surat AsSyura (42:10): Tentang sesuatu apapun yang kamu berselisih maka putusannya (terserah) Allah (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Kyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku berserah diri. Landasan vertikal (tawhid') lebih jauh dikembangkan ke dalam horizontal dalam suatu masyarakat
hutsungan
terbuka dengan keanggotaannya mencakup
semua komponen masyarakat yang saling mmenghormati dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing. Dalam konsep pemerintahan Islam masyarakat yang beragam ini disebut dengan umat.
Hasan Hanafi (2005: 84) memberi penjelasan bahwa konsep Islam tentang
umat berlandaskan kepada Keesaan Tuhan yang terefleksi dalam bentuk persatuan. Hanafi mengemukakan bahwa: "Keesaan Tuhan bukanlah sebuah dogma
yang
sederhana dan tertutup atau sebuah abstraksi yang direvisi, melainkan sebuah pandangan dunia yang hoiistik yang mempengaruhi individu, masyarakat, dan sejarah". Pandangan ini mengimplikasikan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada perbedaan status apapun kecuali berdasarkan amal baik dan standar etika. Lebih jauh ditegaskan oleh Hanafi bahwa semua
masyarakat adalah setara,
memiliki hak dan
kewajiban yang sama.
Keragaman yang ada merupakan bagian dari hak manusia. Untuk kehidupan bersama yang damai dijamin ofeh perjanjian untuk saling menghormati hak setiap orang.
Ani s Malik Thoha (2005: 205) dalam bukunya "Tren Pluralisme Agama" menegaskan bahwa konsep umat memiliki posisi yang sentral dalan bahasan topik
Hoh 2
49
pluralitas menurut pandangan Islam. Dalam konsep ini terletak hak dan kewajiban anggota masyarakat berserta eksistensinya, kemerdekaannya, efektivitasnya, dan stabilitasnya .
Dalam konsep umat tercakup masyarakat yang Muslim sekaligus
Non-Muslim, masing-masing hidup dengan menikmati otonomi dan kebebasan beribadah dan hidup menurut keyakinan masing-masing. Satu sama lain hidup berdampingan dalam toleransi yang tinggi, serta jaminan yang setara dan sama di depan hukum terhadap pemberlakuan hak dan kewajiban masing-masing, tidak ada perbedaan status dan posisi (Aly, 1996: 84). Prinsip kesetaraan ini didasarkan pada standar moralitas tawhid.
Hegel (2001, edisi terjemahan: 491) menggambarkan ruh tawhid dalam Islam ini sebagai satu-satunya ikatan yang dapat menyatukan segalanya, dalam dinamika
eksistensi
aktua!
yang
tidak
tetap
melainkan
ditakdirkan
untuk
mengembangkan diri melalui aktifitas dan hidup dalam amplitudo dunia yang tidak ada batasnya. Dalam perluasan ini energi negatif, semua batas, semua perbedaan bangsa dan kasta menjadi hilang; tidak ada ras khusus, pengakuan politis atas kelahiran maupun kepemilikan yang dipertimbangkan hanya manusia sebagai seseorang yang beriman. Pandangan Islam tentang keragaman diletakkan sebagai pandangan moral atas dua tataran: Basis pertama adalah penghargaan atas akal budi. Al Quran menegaskan betapa pentingnya akal budi bagi manusia. Menjadi seorang Muslim adalah persoalan pilihan hidup dan pengambilan tanggungjawab, "tidak ada paksaan
Bah 2
50
dalam agama'. Demikian juga untuk menjadi manusia yang baik atau buruk terletak pada kehendak akal budi. Basis kedua, penerimaan sosial nilai-nilai Islam sejalan dengan pemahaman dari
beragam individu dan
komunitas; dialektika sosial
menjadikan nilai etik Islam berkembang dan diterapkan oleh masyarakat (Masud, 2001: 145).
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Prof. Yusuf Al Qaradhawi dalam
bukunya
diringkaskan
Ghayr
al-Muslimin
fi
af-Mujtama' af-Isfam
(sebagaimana
oleh Thoha, 2005: 215), bahwa umat Islam memiliki sifat toleransi
terhadap perbedaan (agama) karena beberapa faktor yaitu sebagai berikut.
1. Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kesukuannya (QS Al Isra': 70) Kemuliaan inimengimplikasikan hak untuk dihormati. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berpapasan dengan jenazah yang sedang diusung lalu beliau berdiri, seorang sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, ini jenazah seorang Yahudi". Lalu beliau menjawab, "Bukankah ia seorang manusia(Hadits Riwayat Jabfr Bin Abdullah) 2. Keyakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki oieh Allah SWT, yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur (QS. AlKahfi: 29; Hud: 118). Kehendak Allah pasti terjadi, dan tentu menyimpan himah yang luar biasa. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam (QS Yunus: 99) 3. Seorang Muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir, atau untuk menghukum kesesatan orang sesat. Allah-lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan nanti (QS Ai Hajj: 68-69; QS As Shura: 15). Dengan demikian, hati seorang Muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka, dan * dalam waktu yang sama harus berpegang teguh pada kebenaran keyakinannya sendiri. 4. Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Begitu juga Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir (Qs A! Maidah: 8; Al Hadits Muttafag Alaih)
Bah 2
51
Dasar moralitas Islam tentang multikulturalisme yang berlandaskan tawhid memberikan hakikat toleransi yang universal dan bernilai kemanusiaan yang luhur. Keagungan toleransi dalam Islam ini diakui oleh para sarjana Barat kontemporer sebagai tingkat toleransi yang tertinggi dan tidak ditemukan pada masyarakat non-Islam di jaman yang sama; toleransi dalam Islam merupakan toleransi yang hakiki tanpa bersyarat bahkan diakui bahwa spirit toleransi dan keadilan yang dimiliki
umat Islam
sampai
pada
tingkat mencegah
terjadinya
konflik dan
penindasan antar kelompok dan sekte atau dominasi di kalangan Kristen sendiri (Thoha, 2005: 229 230). Selain toleransi antar pemeluk agama yang berbeda, sistem pemerintahan Madinah terlebih dahulu meletakkan nilai toleransi dalam
hubungan antara
penduduk asli (Anshar) dengan kelompok pendatang (Muhajirin).
Toleransi ini
diwujudkan dalam bentuk sistem Mu"akhah atau "Persaudaraan". Sebagaimana diketahui bahwa kaum pendatang ( Muhajirin) sampai di Madinah mengalami berbagai masalah ekonomi, sosial, dan kesehatan. Banyak di antara mereka yang datang tanpa membawa apa-apa dari harta benda mereka. Kebaikan dan kemurahan hati penduduk asli Madinah menawarkan seluruh kekayaan mereka untuk dibagi rata dengan kaum pendatang tidak begitu saja diterima oleh Nabi Muhammad SAW, karena beliau tidak ingin ada pihak yang dirugikan. Untuk menjamin hubungan baik yang saling menguntungkan maka Nabi Muhammad SAW membuat sistem persaudaraan yakni antara satu orang dari kaum Muhajirin dipasangkan dengan satu orang saudara dari kaum Anshar. Persaudaraan ini
Hoh 2
52
dilukiskan sebagai hubungan yang sangat erat bahkan melebihi suasana hubungan satu keturunan, sebagaimana dinukilkan dalam Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim yang dikutip oleh Al Umary (1991:67). Suasana persaudaraan dan rasa sesama saudara yang diciptakan Nabi SAW melahirkan suasana positif yang luar biasa. Permusuhan antar suku yang pernah ada di kalangan penduduk nyaris terlupakan ketika mereka menerima iman kepada Allah SWt dan Muhammad Rasulullah. Iman telah menjadikan mereka menerima otoritas spritual dan duniawi Nabi Muhammad SAW, dengan mengabaikan setiap perbedaan ras dan keluarga, menganggap satu sama lain sebagai saudara (Siddiqi, 2005: 193-194)• Dari sisi makna toleransi ini,
dapat dicermati satu gambaran yang jelas
tentang perbedaan multikulturalisme dalam pandangan Islam dengan pandangan liberal. Toleransi dalam padangan filsafat liberal, berasal dari konsep Katolik yang oleh 3urgen Habermas dalam Borradori (2003: 60) diidentifikasi secara historis sebagai ijin bagi kelompok minoritas keagaman untuk menyatakan kepercayaannya dan mantaati ritusnya dengan persayaratan bahwa mereka tidak mempersoalkan otoritas takhta raja atau supremasi Katolisisme.
Demikian juga Jacques Derida
dalam buku yang sama (2003:188) mengemukakan bahwa toleransi adalah wacana keagamaan yang digunakan oleh penguasa sebagai konsesi yang berbau sikap penaung
kepada
pihak
yang
dinaungi.
Toleransi
pertama-tama
berbentuk
kemurahan hati, namun di dalamnya ada syarat atau batas tertentu ketika toleransi tidak berlaku. Dalam padangan kedua filsuf ini, toleransi
Hab 2
mengandung makna
53
ketidak-setaraan antara orang yang memberi toleransi dengan pihak yang diberi toleransi, sekaligus di dalamnya ada unsur kekuasaan. Dalam pandangan Islam, makna toleransi justru menghilangkan batas-batas yang menciptakan keistimewaan pada kelompok tertentu. Semua bersatu ualam komunitas yang disebut dengan ummatan waa hidan (umat yang satu). Kesatuan umat ini dilandasi oleh nilai tawhid dan diwujudkan dalam persaudaraan sesama umat dalam bentuk saling menghormati dan tidak melanggar hak satu sama lain, serta mengembalikan pertikaian kepada satu rujukan (Aliah dan Rasul), serta dikukuhkan dalam satu perjanjian yang tidak merugikan satu pihakpun, bahkan saling menguntungkan. Demikian jelasnya perbedaan nilai multikuituralisme yang tumbuh dari tradisi liberal dengan nilai yang tumbuh dari tradisi non-liberal (Islam), sehingga tidak ada keraguan untuk menafsirkan bahwa pertumbuhan multilkulturalisme dewasa ini di berbagai negara adalah bagian dari dialektika sejarah kehidupan sosial yang menginginkan tatanan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Kemungkinan
gagasan itu dipengaruhi oleh pemikiran liberal atau pemikiran non-liberal, tetapi tampil sebagai sebuah pemikiran unik dengan tuntutan yang jelas yakni mengoreksi ketidakadilan
sosial
yancj
menangani keragaman
disebabkan
masyaiakal.
mustahil multikuituralisme
kektiku.in
Dilihat dan
liberalisme
dalam
perkembangan saat ini tidak
akan terus berkembang di setiap masyarakat sebagai
gagasan haru dengan berbagai kekhasan
sesu.n driKj.Hi '.ejatah masyarakat llu
sendiri. Karena itu lebih tepai dikatakan bahwa
n, ih
uloolncii
multikultikulturalisme adalah
54
"gagasan yang lahir bersumber
dari
dari fakta tentang perbedaan antarwarga masyarakat yang
etnisitas
bersama
kelahiran
sejarah;
perjumpaan
manusia
berlatarbelakang etnis berbeda semakin hari semakin meluas melintasi batas teritori bangsa dan negara, menumbuhkan kesadaran atas fakta othemessyang disandang setiap etnis "(Mulkhan, 2005: 17). Bagi bangsa Indonesia, konsep multikulturalisme semestinya dikembangkan dari nilai bangsa sendiri. Fakta sosial dan historis menunjukan bahwa keragaman masyarakat Indonesia adalah kekayaan kultural yang sudah lahir dan tumbuh bersamaan dengan sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Kekayaan kultural ini menjadi modal yang sangat berarti dalam proses meraih kemerdekaan. Tafsiran ini antara lain dapat ditarik dari fakta sejarah periode
perjuangan bangsa Indonesia
merebut kemerdekaan antara tahun 1900-1927, yang disebut sebagai" the first steps
towards National Revivai" (Rickfefs, 2001: 206-226). Pada periode ini perjuangan bangsa Indonesia berubah bentuk dari perjuangan fisik menjadi perjuangan dengan organisasi.
Perjuangan ini ditandai oleh banyak ahli dengan berdirinya organisasi
Budi Utomo pada bulan Mei tahun 1908. Organisasi Budi Utomo pada dasarnya terfokus pada Jawa dan Madura. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya lahir organisasi pemuda
yang juga didasarkan atas identitas etnik seperti Jong Java,
Jong Sumatranen Bond, Studerenden Vereenigmg Minahasa, Jong Ambon dan beberapa organisasi lain yang berbasis kedaerahan seperti Pasundan, Kaum Betawi,
Timorese Al/iance. Akhirnya semua organisasi kedaerahan ini berikrar bersama untuk persatuan pada tahun 1928. Periode ini merupakan tahap awal sebuah kesadaran
litth 2
55
baru dari berbagai kelompok etnik untuk bersatu dan bersama meraih cita-cita kemerdekaan. Kesadaran untuk bersatu yang mengatasi kesadaran identitas etnik yang terpisah-pisah, juga berlanjut dalam masa-masa persiapan kemerdekaan. Sejarah telah
mencatat bahwa Piagam Jakarta yang
menyatakan bahwa dasar negara
yang pertama adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi Pemeluknya" adalah sebuah hasil sebuah kompromi antara golongan Islam dan nasionalis (Ricklefs, 2001: 258). Namun kemudian ketika akan disahkan menjadi Pembukaan UUD 1945 terjadi kompromi baru lagi yang didasari toleransi untuk mencapai persatuan, tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dihilangkan dari rumusan sila pertama, sehingga akhirnya berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dengan disahkannya Pembukaan UUD dan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, disepakati bahwa dasar filsafat negara adalah Pancasila.
Sebagai
dasar filsafat, Pancasila dipandang lebih dari sekedar sebuah konsepsi politik meskipun mengandung sifat politik. Prof Dr. Notonagoro dalam bukunya yang sudah cukup lama "Pancasila Secara Ilmiah Populer" (1980: 15) mengemukakan bahwa "Pancasila adalah asas persatuan, kesatuan, damai, kerjasama, hidup bersama dari bangsa Indonesia yang warga-warganya sebagai manusia mempunyai bawaan kesamaan dan perbedaan." Lebih jauh ditegaskan bahwa berbicara tentang Pancasila seharusnya kita memposisikan diri sebagai sesama warga bangsa, sesama saudara, dan putera ibu pertiwi Indonesia.
ttah 2
56
i'i)
Sejarah
bangsa
Indonesia
telah
memberi
bukti
£
bahwa
multikulturalisme telah dimiliki dan berkembang dalam masyarakat Ini Multikulturalisme bagi bangsa Indonesia tampak dalam semangat persatuan yang mengatasi rasa kesukuan dan sentimen keagamaan, serta diwujudkan dalam bentuk toleransi. Semangat toleransi tersebut bukan tanpa dasar tetapi memiliki rujukan yang sangat prinsip sebagaimana digambarkan dalam nilai-nilai Pancasila yang mencerminkan tiga jenis bentuk hubungan kehidupan yang pokok yaitu: manusia dengan diri sendiri, manusia dengan sesama manusia lain (makhluk lain), dan manusia dengan Penciptanya (Notonagoro, 1980:34). Dari
penjelasan
di
atas
dapat
dikatakan
bahwa
nilai-nilai
Pancasila
mengandung hakikat hubungan manusia yang bersifat vertikal yakni Hubungan Makhluk dengan Khalik, serta hubungan horizontal yakni Hubungan Sesama Makhluk. Bagi umat beragama implikasi nilai ini sangat jelas, bahwa hubungan vertikal
manusia
dengan
Penciptanya
berwujud
dalam
keyakinan
keberadaan Pencipta, atau dengan bahasa lain disebut iman.
terhadap
Nilai ini dalam
Pancasila diletakkan pada Sila Pertama, yang berarti dasar bagi sila-sila yang lainnya. Artinya, hakikat nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan sosial sebagai bagian dari hubungan horizontal dijiwai oleh semangat keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Singkatnya Pancasila sebagai sebuah karya filsafat bangsa Indonesia
telah
memberikan
garisan
yang
jelas
tentang
dasar-dasar
multikulturalisme yang perlu dikembangkan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
/fuh 2
57
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai-nilai dalam filsafat Pancasila, dasar-dasar pengembangan multikulturalisme dalam hubungan antar kelompok masyarakat pertama-tama dilandasi oleh semangat religius (iman). Jika ada pendapat yang mengatakan bahwa keragaman agama lebih sensitif untuk memicu konflik dibanding keragaman suku dan bahasa (Querol, 2003), maka sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang sebaliknya bahwa keragaman agama dan suku justru dapat bersatu dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan pertama adalah keyakinan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk saat sekarang, idealnya keyakinan ini menjadi semangat dan jiwa dalam membangun hubungan sesama manusia (antar kelompok). Dengan kata (ain diharapkan bahwa semakin baik hubungan antara seorang manusia dengan
Penciptan/a, akan semakin baik hubungan manusia tersebut dengan sesama manusia lain. Persoalannya pembahasan
yang
bagi
bangsa
dapat
Indonesia
dijadikan
saat
rujukan
ini,
adalah
untuk
masih
memahami
sedikit makna
multikulturalisme dari sudut filsafat bangsa Indonesia. Bahkan saat ini ada kecenderungan terjadinya penyerapan nilai-nilai multikulturalisme dari luar secara utuh
tanpa
filter
yang
justru
menjadi
kontra-produktif
untuk
tumbuhnya
multikulturalisme dalam pengertian yang sesungguhnya. Salah satu contohnya adanya pemikiran tentang pluralisme agama, yang saat ini berkembang menjadi satu paham baru yang menghilangkan hakikat
kemajemukan agama dalam
kehidupan masyarakat. Paham ini mengajarkan bahwa kebenaran semua agama
fkih 2
58
adalah relatif, dan karenanya setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah (dikutip dari Fatwa MUI oleh Majalah Hidayatullah edisi oktober, 2005). Paham ini menghendaki bahwa semua orang mengakui agama lain adalah sama benar seperti agama yang dianutnya. Definisi
pluralisme
agama
yang
menganggap
sama
semua
agama
bertentangan dengan n Hai multikulturalisme, karena multikulturalisme menginginkan semua perbedaan itu harus eksis bersama konstituennya. Anis Malik Thoha dengan bukunya Tren Plural isme Agama (2005) membahas secara panjang lebar tentang asal tren pluralisme agama serta kekeliruan-kekeliruan berfikir yang ditawarkannya. Gagasan ini pada awalnya sebagai upaya peletakan landasan teoretis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini gagasan pluralisme agama dapat dipandang sebagai salah satu elemen gerakan reformasi liberalisasi agama yang dilancarkan gereja Kristen abad ke 19. Kemudian pada
akhir
abad
ke
20
dengan
munculnya
fenomena
sosial
politik yag
mengetengahkan realitas baru kehidupan beragama, konsep pluralisme agama dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern dengan pengertian yang lebih mudah diterima oleh kalangan antar agama. Pada dasarnya konsep-konsep tersebut menempatkan
agama
sebagai
sesuatu
keselamatan/pembebasan/pencerahan
yang
yang
tidaklah
melainkan beragam sesuai dengan jumlah tradisi
Hab 2
reiatif
yakni
tungga!
sebagai dan
jalan
monolitik,
atau ajaran yang melaluinya
59
manusia melakukan tanggapan terhadap realitas ketuhanan yang mutlak. Oleh karena itu semua agama adalah sama. Pada bagian lain dalam tulisannya, Thoha mengkritik bahwa penerapan pluralisme agama yang
memandang semua agama adalah sama benarnya,
merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia. Kebijakan pluralisme" agama telah melahirkan satu paham baru yang mengeliminir keragaman agama terutama terhadap kelompok minoritas. Jargon kebebasan beragama yang dikemukakan oleh sistem yang menganut pluralisme agama hanyalah sebatas kebebasan beribadah dalam arti sempit (private), tanpa kebebasan mempraktikan agama secara publik. Oleh karena pemahaman yang berkembang tentang pluralisme agama menyatakan semua agama adalah sama benar bagi semua orang, maka gagasan ini jelas berbeda dengan multikuituralisme. Multikuituralisme tidak memandang semua pandangan hidup adalah sama benarnya, sebaliknya keunikan dan perbedaan merupakan hal penting. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan itu merupakan ciri multikuituralisme. Setiap orang boleh meyakini bahwa pandangan hidup yang dianutnya adalah benar, tetapi di sisi lain harus mengakui bahwa orang atau kelompok lain juga menyakini pandangan hidup mereka sebagai kebenaran. Karena itu dalam hubungan antar kelompok yang berbeda diperlukan saling menghormati dan toleransi terhadap perbedaan. Harapan dari multukuituralis adalah tatanan masyarakat yang adil, sederajat, dan inkiusif, dengan tetap mengakui adanya perbedaan antar kelompok baik oleh negara maupun warga.
Hub 2
60
Agar
prinsip
tersebut
berjalan
diperlukan
mekanisme
yang
menghidupkannya. Antara iain mekanisme yang dapat dijadikan rujukan terdapat dalam gagasan John Locke (1963: 167) tentang kesetaraan di depan hukum, yang menegaskan bahwa semua manusia adalah sederajat di depan kekuasan dan hukum secara timbal bafik. Oleh karen3 manusia cenderung memiliki kekuasaan atas orang lain, maka diperlukan hukum untuk mengaturnya nnnr terpelihara rasa aman dan tenteram satu sama lain. Bentuk yang iebin konkret tampak daiam konsep Islam seperti yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam pemerintahan Madinah. Sebagaimana teiah dibahas di atas, bahwa mekanisme pengelolaan keragaman dalam Islam sangat kongkrit dan tidak rumit. Dalam konsep Islam, multikulturalisme dapat hidup melalui sebuah
kesepakatan (konstitusi) seperti yang dicontohkan melalui Piagam
Madinah, dan sistem Mu'akhah (persaudaraan). Sistem-sistem ini dibangun dengan iandasan keimanan kepada Ai!an SWT dan Muhammad Rasulullah, diwujudkan dalam konsep kesatuan umat yang didukung oleh semangat toleransi yang tanpa batas, serta hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Mekanisme lain berasa) dari pemikiran j urgen Habermas yang dikenal dengan
" the pubfic soherg' (1997: 305). Ruang publik ini merupakan kehidupan
sosial yang di daiamnya opini publik dapat dibentuk. Setiap orang sebagai warga negara boleh memasukinya. Mereka bertindak sebagai orang-orang privat, bukan dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu publik (Hardiman, 1993:129). Bila publiknya
huh 2
61
luas maka komunikasi publik dilakukan melalui media seperti surat kabar, tabloid, radio, dan televisi. Bagaimanapun, dinamika pencapaian sebuah masyarakat multikultural yang ideal lengkap dengan perangkat dan mekanismenya, merupakan proses dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Tantangan ini berasa! dari dalam masyarakat itu sendiri, yakni dari dinamika perkembangan identitas kelompok yang membentuk masyarakat, dan tantangan dari dunia luar yang muncul dari hubungan transnasional, atau yang dikenai dengan istilah giobaiisasi. Kedua tantangan ini membutuhkan manajemen yang benar sehingga keragaman dalam masyarakat dapat terjamin. Di balik tantangan ini juga perlu dikaji karakteristik pendidikan yang sesuai dengan tuntutan multikuturalisme Berikut ini bagaimana dinamika tantangan tersebut dijelaskan secara konseptual dengan tinjauan:
l) perkembangan identitas etnik dan alternatif
masyarakat kultural, oan 2) tantangan global.
2.1.1 Perkembangan identitas Kelompok dan Masyarakat Multikultural Akar identitas dalam masyarakat terletak dalam banyak aspek seperti perbedaan etnik, ras,, agama, dan iender. Namun bentuk yang tertua dan banyak diikaji adalah dari sudut ras dan etnik, sedangkan bentuk yang lain mengikuti perkembangan ras dan etnik. Madinya, agama pada umumnya dan awalnya berasal dan paralel dengan perkembangan etnik, demikian juga identitas jender berkembang dalam konteks etnik dan agama dan begitu seterusnya.
Hoh 2
62
Ada dua istilah yang kerap digunakan ketika orang berbicara tentang perkembangan identitas kelompok : ras dan etnisitas. Keduanya saling berkaitan tetapi memiliki perbedaan makna. Diana Kendali (2003: 302) memberikan batasan kedua istilah ini sebagai berikut:
• •
•
"A race is a category of people who have been singled out as inferior or superior, often on the bases of real or alleged physical characteristics such as skin color, hair texture, eye shape or other subjectively selected attributes Afthough disputed by some natural scientists (biologists), contemporary sodologists emphasize that the significance of race is a sociaily constructed. The social meaning of that people attach to race is more significant than any biological diffierences that mtght exist between people piaced in ctherwise arbitrary categories. Racia! categories based on phenolypical differences do not correlate wiUi genotypical differences. An ethnic group is a collection of people distinguished primarily by cultural or national characteristics, induding... unique culturai traifcs a sense of community a feeling of ethnocentrism ascribed membership territoriality "
Kedua istilah itu mengandung makna dan implikasi yang berbeda, meskipun sering digunakan orang secara bergantian (Macionis, 1993: 320). Ras menunjukkan pengelompokan orang memiliki kesamaan warisan biologis seperti warna kulit, dan rambut. Akan tetapi, dalam perkembangannya pengelompokan itu dipertegas secara sosial (sociaily constructed). Perkembangan ras terjadi,, karena adanya perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, dan mendorong terjadinya perkawinan antar ras yang berbeda sehingga memunculkan iagi ras-ras yang baru. Meskipun sebenarnya realitas ras adalah sesuatu yang bersifat biologis, tetapi banyak orang atau masyarakat menempatkan kategori ras dalam sistem hirarki yang secara sosial tidak setara. Bahkan hirarki itu diklaim juga berdasarkan perbedaan inteligensi.
Hoh 2
63
Di sisi lain etnisitas merujuk kepada pengelompokan orang berdasarkan warisan sosial budaya. Kesamaan orang dalam satu kelompok etnik ditandai dengan kesamaan bahasa, adat istiadat, budaya, dan juga agama yang pada akhirnya kesamaan-kesamaan itu membentuk identitas sosial. Ada ahli yang sedikit berbeda menyatakan pendapatnya'bahwa etnisitas merujuk kepada perasaan bersama " a
sense of peop/ehood',
merasa
anggotanya memiliki kesamaan,
menjadi
bagian
dari
suatu
kelompok
yang
namun di dalamnya terkandung pula aspek-aspek
biologis dan budaya (Mendoza, 1990: 96). Pandangan yang melihat perkembangan etnisitas sebagai unsur budaya dan biologis, melahirkan dua perspektif tentang etnisitas (Voon, 1988). Pertama melihat etnisitas dalam perspektif "asribed or primordial ties", dan lainnya sebagai " sociai
consruction"
Perspektif Ascribed or primordial ties melihat etnisitas sebagai atribut
yang given dan tidak dapat dirubah (termasuk unsur biologis),
sedangkan sociai
construction melihat etnisitas terjadi sebagai suatu konstruk yang yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat karena adanya kepentingan bersama, kesamaan budaya, serta kegiatan bersama. Pandangan yang melihat perkembangan etnik, tanpa mengaitkan dengan konteks sosio historis merupakan pandangan tradisional (Galkina, 1990). Pada awainya
sosiolog
melihat
fenomena
etnik
atas
dua
pandangan
yaitu:
"primordialisme", yang bermakna kesatuan dan solidaritas yang bersifat irrasional, dan "strukturalisme (instrumentulisme)", berupa ideologi yang dimanipulasi secara rasional atau diadaptasi secara sadar untuk mencapai tujuan. Akan tetapi kajian
Hoh 2
64
etnisitas dari sudut pandang ini bergeser ke arah pandangan melihat perkembangan identitas etnik sebagai rangkaian proses yang kompleks, dikonstruksi melalui faktafakta sejarah dari para pendahulu mereka dan fakta-fakta sosial lainnya termasuk pandangan tentang etnik lainnya. Pandangan ini didukung oleh kelompok yang menempatkan fenomena etnik dan pembentukan identitas etnik sebagai sesuatu yang dapat berubah dan dipelajari. Dari suatu penelitian, terbukti bahwa identitas etnik merupakan integrasi etnisitas dengan konsep diri seseorang yang berasai dari pengenalan utuh tentang etnisitas dan diikuti dengan pembentukan identitas diri yang berasal dari nilai dan keyakinan yang berkembang dalam kelompok (Guanipa & Guanipa, 1998). Demikian juga penelitian lain menemukan bahwa bacaan siswa tentang keragaman budaya mempengaruhi pikiran dan kebanggaan terhadap kelompok etnik mereka, dan juga meningkatkan pengetahuan tentang kelompok etnik lain (Lee, 2000: 564) Sejaian dengan pandangan tersebut,
ada penegasan ahli bahwa dalam
pembentukan identitas etnik ada suatu proses identifikasi yang diperbaharui terus menerus (Mooradian, 1996: 2); proses itu disebut juga sebagai proses belajar (Horowitz, 1981: 119). Melalui suatu penelitian terhadap pembentukan identitas bagi mahasiswa dari bersekolah,
etnik Asia
Shozo
Pasifik Amerika berdasarkan
Kawaguchi
(2003)
membuktikan
pengalaman selama
bahwa
identitas sebagai
kelompok etnik minoritas dari mahasiswa tersebut terbentuk karena pengalaman diskriminatif dan prasangka yang dialaminya selama bersekolah. Sama halnya dengan pengalaman kelompok minoritas lain yang mengalami perkembangan dan
Hoh 2
65
penguatan identitas etnik karena pengalaman negatif yang diterima langsung atau melalui pesan media massa. Identitas ini disebut sebagai
w
consdous ethnic
devetopment" (Chavez & Guido-DiBrito, 1999:40). Hasil penelitian yang senada terhadap siswa Cina (Wiriaatmadja, 1992) juga menunjukkan bahwa identitas kebangsaan bagi siswa tersebut mendapat peneguhan melalui pengalaman belajar (kurikuler dan ekstrakurikuler). Selain karena faktor belajar secara langsung, penguatan identitas etnik juga terjadi karena hirarki ras dan etnik dalam masyarakat. Hirarki diintensifkan oleh adanya kontak antar kelompok yang berbeda, dengan faktor yang beragam seperti kekuatan politik, sosial, dan ekonomi (Chang & Dood, 2001). Lebih jauh dijelaskan mekanisme penghirarkiaan dimulai dari adanya persaingan untuk memperoleh keistimewaan yang lebih besar, yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk memegang hegemoni dari satu kelompok terhadap keiompok lainnya. Sebaliknya, orang yang berada pada posisi rendah dalam hirarki akan meningkatkan kesadaran identitasnya untuk menentang hegemoni kelompok lain. Bagi kelompok tertekan atau minoritas, identitas kelompok disadari dan berkembang secara kuat; tetapi bagi kelompok mayoritas, identitas etnik tidak disadari dan berjalan sebagai kebiasaan sehari-hari (Chavez & Guido Dbrito, 1999:39) Ada ahii
yang melihat hirarki etnik merupakan tahap menuju masyarakat
plural (Marger, 1985: 86). Hubungan antar etnik dalam masyarakat dimulai dari tahap interaksi (kontak) yang bersifat setara. Selanjutnya berkembang menjadi kompetisi dan stratifikasi (antara satu kelompok dengan yang lain saling bersaing
Bah 2
66
mendapatkan sumber-sumber sehingga tercipta stratifikasi etnik). Tahap berikutnya terjadi tiga kemungkinan bentuk masyarakat multietnik yakni, 1) asimilasi yang membawa kepada integrasi antar etnik dan peleburan; 2 ) pluralisme tidak setara berupa adanya kelas atau kasta kasta yang memisahkan kelompok etnik secara sosial dan 'kultural dan perbedaan akses terhadap kekuasaan dan hak-hak istimewa yang besar antara kelompok tinggi dengan kelompok rendah; dan 3) pluralisme setara yang membentuk corporate pluralism dan melahirkan otonomi politik . Pandangan stratifikasi
etnik
ini tergolong sebagai
satu
optimis dengan melihat kemungkinan bahwa tahap
menuju
masyarakat
multikultural, yang
disebutnya dengan pluralisme setara. Namun dalam kenyataannya, proses menuju masyarakat multikultural bukan hal yang sederhana. Terbukti dari beragamnya kebijakan yang diterapkan oleh berbagai negara bangsa dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari kemajemukan masyarakatnya. Menurut kemungkinan
Milton
bentuk
Esman
(2000)
penanganan
dari
The
masyarakat
Cornell
University
majemuk.
Pertama,
ada
tiga
disebut
w
deplurazing society" yakni dengan menyingkirkan semua teritorial khusus kecuali
kelompok nasionalis dominan.
Pandangan ini didasarkan pada premis bahwa
masyarakat yang beragam secara etnik menyimpan konflik secara inheren, dan kelompok minoritas dikhawatirkan akan
memiliki
loyalitas ganda dan bahkan
melakukan subversif, sementara kelompok etnik dominan secara moral telah lama sebagai pemilik wilayah. Bentuk yang paling manusiawi dari pendekatan ini adalah kebijakan asimilasi.
Bah 2
67
Kedua, "reducing the political safience of the ethnic solidarities" pandangan yang mengakui bahwa solidaritas etnik merupakan femonena tak terbendung, maka perlu pembatasan akses politis dari solidaritas etnik di tingkat publik. Semua akses terhadap pelayanan publik, pekerjaan di bidang pemerintahan, kontrak publik, kesempatan ekonomi, dan pilihan tempat tinggal disediakan bagi individu secara kompetitif berdasarkan kriteria pasar atau jasa yang sama sekali mengabaikan etnisitas dan warna kulit. Organisasi politik, sistem pemilihan, dan pesan nyata yang berbau etnik tidak dibenarkan,
tetapi keanggotaan
inklusif dalam organisasi
profesional, rekreasional, dan organisasi kesejahteran didorong dan difasilitasi. Organisasi yang menghidupkan warisan budaya etnik ditolerir, namun tidak dibenarkan sampai ke tingkat kebijakan publik. Ketiga," iegitimizing ethnic piuralism". Strategi ini mengakui keragaman dan solidaritas etnik sebagai realitas yang permanen dan berjangka panjang dalam masyarakat, dan sekaligus juga menghendaki adanya otoritas publik yang mengatur hubungan ini. Ada dua alternatif pendekatan ini yakni berdasarkan dominasi atau berdasarkan pembagian kekuasaan {power sharing). Berdasarkan dominasi berupa kontrol aparat negara, militer dan sipil oleh satu kelompok etnik mayoritas. Bahkan kontrol ini diperkuat oleh aturan resmi dan juga ideologi. Sedangkan power sharing menghormati perbedaan etnik, sekaligus mengupayakan rasa aman bagi semua komunitas etnik, memberi peluang rnanajemen-diri kolektif dan kesempatan yang sama dalam jaringan otoritas politik yang umum.
Bah 2
68
Mengingat kompleksnya persoalan penanganan masyarakat majemuk, para ahli mengembangkan berbagai model masyarakat majemuk. Salah satunya modei dari Van Den Berghe (1980: 79) yang menggambarkan bentuk masyarakat majemuk dalam 4 dimensi seperti terlihat dalam gambar berikut.
Gambar 2.1.1.1 Model Masyarakat Multikulturaf
Exc!usive
Ethnically Incfusive
Nocases
Incorporation A
Collective (differentiat) incorporation
Imperiatcolonial mode! Indirect ru/e C
Liberal Democracy 0
Consociational democracy D
Model A tidak ada contohnya. Dengan mode! B digambarkan bahwa pemegang kekuasaan dan hak-hak istimewa adalah satu etnik tertentu namun memperlakukan individu secara sama dan atas dasar jasa. Sedangkan dalam model C terlihat ada dua kemungkinan bentuk yaitu: 1) penguasa adalah satu kelompok
{dass) yang berasal dari beberapa kelompok etnik, atau 2) negara secara resmi mengakui individu. Negara secara aktif mendorong integrasi nasional atau mentolerir keragaman bahasa dan budaya tetapi tidak memberikan satu pengakuan resmi yang menjamin hak-hak khusus komunitas tertentu atau memasukkan pluralisme dalam
ttah 2
69
perundang-undangan. Terakhir pada model D, pemegang kekuasaan adalah grand
coalition dari elit yang memegang kekuasaan bersama dan mendistribusikan kepada etnik konstituen mereka. Model Bergh ini didasarkan pada dua variabel utama yaitu: 1) sejauhmana tingkat dominasi satu etnik atau gabungan etnik-etnik memonopoli kekuasaan dan hak-hak istimewa untuk menyingkirkan kelompok lain; dan 2} sejauhmana tingkat kerjasama warganeaara dari masyarakat plural di dalam negara sebagai anggota individu atau kolektif. Martin Marger (1985:88) memberikan model dalam dua dimensi. Bila merujuk pada gambar di atas kedua dimensi ini mirip dengan model B yang disebut oleh Marger dengan liberal plurallsm, dan mode! D dengan dengan istilah corporate
pluralism.
Keduanya menganut paham demokrasi,
namun ada perbedaan yakni
dalam pluralisme liberal unit-unit etnik tidak diakui secara formal tetapi diserahkan pada pilihan individu,
sementara dalam consocidtionai atau corporate pluralism
unit-unit etnik diakui secara formal oleh pemerintah dengan kekuasaan ekonomi dan politik yang dialokasikan atas dasar formula etnik.
Dabm negara yang menganut
model corporate pluralism perbedaan kultural dan struktural di kalangan kelompok etnik dilindungi
oleh
negara,
serta
tersedia
perangkat
kelembagaan
untuk
mendorong terjadinya penyebaran keuntungan-keuntungan sosial secara merata dari sisi etnik. Satu lagi model yang dikemukakan Parsudi Suparian (2000: 10) dalam menangani kemajemukan masyarakat (Indonesia) merupakan penggabungan model
Hoh 2
70
B dan D di atas. Dia bertolak dari konsep Bhinneka Tunggal Ika yang masih perlu dipertahankan dengari beberapa persyaratan yaitu: 1) perlu diaptakan masyarakat sipil yang bebas dari dominasi militer atau peran sosial politik dari militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 2) berpegang pada prinsip demokrasi sebagai pedoman utama dafam menjalankan kehidupan bernegara; 3) adanya keseimbangan antara hak pemerintah untuk mengatur mengatur individu dan hak komunlti atau masyarakat, dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam satuan politik; dan 4) perlunya penegakan hukum yang pasti agar warga masyarakat dapat melakukan kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing untuk
kesejahteraan
demi
kelangsungan
hidup.
Daiam
pandangan
ini
ada
pengakuan hak-hak individu dan komuniti seperti dalam tradisi pluralisme liberal, dan perlu juga kebijakan yang menjamin pengakuan itu seperti dalam tradisi pluralisme gabungan ( corporate/consociational). Dalam hal tertentu, modei gabungan {consociational /corporate tiberaiism) memiliki keunggulan dalam menciptakan kepastian jaminan kesetaraan dalam masyarakat majemuk. Berdasarkan penelitian pada beberapa negara terbukti, sistem politik yang menggunakan mode! consotiational secara signifkan dapat mengurangi perang antar warga seperti di Belgia, dan Irlandia Utara (Querol, 2003). Sehubungan dengan ini UNDP (2004:50) memberikan penjelasan bahwa "model gabungan" bekerja dalam mekanisme yang disebut dengan puliUcal power sharing. Pembagian kekuasaan politik dalam model ini didasarkan pada prinsip proporsionalitas yakni komposisi keragaman dalam lembaga negara mencerminkan komposisi keagaman
Hoh 2
71
masyarakat
Prinsip ini diterapkan dalam empat area kunci yaitu
melalui
pembagian kekuasaan eksekutif {excecutive power sharing}, perwakilan proporsional dalam sistem pemilihan (proporiionat representation in eiectora! system); otonomi budaya (provisions for cultural outonomy); dan perlindungan dari dominasi dafam bentuk saling veto {safeguards in the form ofmutua! vetoes}. Tatanan politik seperti ini dapat mencegah dominasi dari komunitas mayoritas. Beberapa negara seperti Suriname, Trinidad, dan Tobago telah menerapkan model tersebut dalam waktu yang cukup lama dengan variasi seperti otonomi (setiap kelompok memiliki pemerintah
sendiri),
integrasi
(pemerintahan
bersama
ofeh
semua
unsur
komunitas), dan pembagian kekuasaan dafam badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu. model masyarakat
secara
lebih
consociational dapat menampung keragaman dalam luas
dibandingkan
dengan
model
liberal.
Seperti
dikemukakan oieh Parekh (i997: 186) kelihatannya di permukaan masyarakat liberal dapat menampung keragaman budaya dengan memegang teguh prinsip toleran, dan mengutamakan hak-hak individu. Akan tetapi, sesungguhnya kaum liberal tidak dapat mengakomodasi keragaman secara utuh karena mereka tidak toleran dengan prinsip non-liberal. Misalnya di Amerika Serikat terdapat "ketegangan" antara keinginan pemerintah menerapkan prinsip sekulerisme dalam semua bidang yang dituangkan melalui perundang-undangan, telah meminggirkan keinginan masyarakat tertentu seperti kelompok Amish, Muslim, Protestan untuk mempertahankan tradisi keagamaan mereka (Macedo, 2000: 215).
Bah 2
72
Dalam
pandangan liberal masih ada wacana dominasi mayoritas dan
minoritas (Kymlicka, 1995). Adanya wacana ini, sebagai bukti juga bahwa dalam model liberal belum menampung seutuhnya kelompok minoritas sehingga masih memerlukan perjuangan untuk memperoleh kesetaraan dan kesamaan hak. Di sisi lain,
dalam model consociationa! istilah mayoritas den minoritas telah dieliminasi
melalui keterwakilan yang proporsional dalam kekuasaan negara. Apapun pandangan yang dipakai, saat ini keberadaan multikulturalisme dalam suatu masyarakat atau negara tidak dapat dihindari. Terutama disebabkan arus imigrasi yang deras dari satu tempat ke tempat iain dalam satu negara atau antar negara.
Sebagaimana dikemukakan daiarn
suatu studi oleh Program
Pembangunan PBB (UN DP) yang dikutip oleh AustralianNews.com (16 Juli 2004),
There is no trade-off between diversity and state unity," the UN Development Program study said, offering up a salvo in the global aebate over bow to cope with multiple ethnic aroups under a single national flaa. It said the quickened pace oi intemafonal migra tion meant cultural diversity w as "here to stay" and that countries had to accept and promote that diversity or face reduced freedom, development and stability. "Choices iike these - about recognising and accommodating diverse ethnicities, religions, ianguages and vaiues - are an inescapsble feature of the landscape of politics in the 2ist century," i t said. (United Nation report, 16 Juii 2004.Astralian News.com) Kenyataan saat ini menunjukkan
dalam 185 negara di dunia hanya sedikit
masyarakat yang homogen secara kultural, hampir semuanya merupakan negara yang terdiri dari beragam suku dan budaya (Premdas, 2000). Dari semua negara multikultural tersebut ada dua bentuk penanganan kemajemukan masyarakat yaitu:
the power shartng variant (Type l ) , dan the cultura! vdriant (Type 2).
Hoh 2
73
Dalam tipe 1 multikultural tidak hanya sekedar pengakuan simbol-simbol budaya, tetapi sampat pada persoalan mendasar dalam alokasi kekuasaan, hak-hak istimewa, dan sumber daya. Tipe 1 ini biasanya diterapkan di negara etno nasionalis yang terbagi secara kultural. Tipe ke 2 ditemukan pada negara yang beragam etnik dan budaya dengan adanya pengakuan resmi dari negara untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok etnik dalam mempertahankan
ciri budaya utama mereka.
Sementara itu mereka tetap berpartisipasi berdasarkan sistem nilai dan keyakinan yang diterapkan negara secara nasional. Memang ekses multikultural berupa persaingan antar kelompok dapat muncul di kedua bentuk kebijakan itu, namun pada tipe ke 2 lebih besar kemungkinannya.
Dari uraian di atas dapat dirangkum hubungan antara perkembangan identitas kelompok
yang
membentuk keragaman di dalam
masyarakat, dan
manajemen kemajemukan oleh masyarakat. Keduanya bergerak dalam kontinum maksimal konflik (+) sampai ke minimal konflik (-)- Identitas kelompok dapat terjadi dalam dua bentuk yakni, primordiak (emosional, irrasional, berdasarkan ikatan persaudaraan, sulit berubah); dan instrumental (rasional, berdasarkan pilihan dan kepentingan, mudah berubah). Sedangkan penanganan kemajemukan dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu otoriter, liberal, dan consodationai
Untuk lebih jelasnya
dapat digambarkan sebagai berikut.
Hoh 2
74
Gambar 2.1.1.2 Hubungan antara Perkembangan Manajemen Kemajemukan, dan Potensi Konflik
Identitas Kelompok,
Gambar ini memberikan sebuah kerangka hipotesis bahwa perkembangan identitas dalam masyarakat bergerak dari bentuk primordialis menuju bentuk instrumentalis. Keduanya ada di dalam masyarakat majemuk. Apakah keduanya dapat menimbulkan konflik atau tidak, tergantung kepada manajemen yang dipilih oleh masyarakat tersebut yang terbentang dalam tiga pilihan besar yaitu apakah otoriter, liberal, atau consociationai (proporsional). Secara teoritis dihipotesiskan bahwa
semakin
demokratis
(inklusif,
adil,
dan
proporsional)
penanganan
kemajemukan semakin minimal konflik yang terjadi.
Selain persoalan yang berasal dari dalam masyarakat {identity deveiopment), sebagai tantangan bagi terbentuknya masyarakat multikutural, juga ada tantangan dari luar masyarakat tersebut. Masyarakat multikultural yang demokratis memiliki
Bah 2
75
dua' dimensi yakni internal, dan eksternal. Berikut ini tinjauan teoritis tantangan luar yang periu mendapat perhatian aaiam membangun masyarakat multikultural.
2,1.2 Globalisasi dan Masyarakat Multikultural Pemahaman terhadap globalisasi telah melahirkan berbagai definisi yang beragam. Namun secara spesifik, globalisasi didefinisikan sebagai saling keterkaitan antara entitas politik, hubungan ekonomi, dan bahkan jaring komputer. Globafisasi pada dasarnya merujuk kepada cara-cara lembaga ekonomi dan politik berinteraksi di berbagai lokasi di seluruh dunia tanpa memperdulikan batas geografis. Di masyarakat
balik
definisi
dunia
itu,
yang
globalisasi
meliputi
adalah
berbagai
sebuah
aspek
fenomena
kehidupan
yaitu
kehidupan keluarga,
masyarakat, lembaga politik, dan juga lembaga pendidikan. Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah kekuatan yang mempengaruhi dan membentuk dunia (Friedman dalam Kluver, 1999: i). Ibarat gelombang, globalisasi bergerak terus dan mengalami percepatan yang tidak dapat dihentikan. John Mickletwhite dan Adrian Wooldridge (2000: 2394) mengurai secara detail bagaimana kekuatan teknologi, pasar modal, dan manajemen telah menjadi mesin yang menpercepat Idju globalisasi.
Ketiga mesin
tersebut memiliki kekuatan yang amat ampuh dalam bergerak, dan bahkan dalam laluin I iilit m lei.ikhii i! u kckii.il. m iln hergahniK] mm j. uli -..ilii. IVied.ii.in p. r., u
tiKul.il yang bebas lid.ik. l.iqi mengenal halas-hnta*;
geogralis dan riemngialis. Mal ilu telah memudahkan orang dari tempat manapun untuk
Hit h ?
membeli
teknologi
h. n n.
Sebaliknya,
lekunliKji
baru
mempermudah
7(>
perpindahan modal dari satu tempat ke tempat lain. Demikian pula disebabkan penyebaran yang cepat tentang manejemen terbaru di perusahaan besar, telah menjadikan perusahaan lain di tempat manapun belajar untuk meningkatkan efisiensi penggunaan modal dan teknologi mereka. Setiap perusahaan akan dapat mengorganisasikan dirinya secara lebih baik dengan waktu yang cepat untuk mengatasi rivalnya. Demikian terus lingkaran perputaran mesin globalisasi bergerak. Akibatnya, globalisasi akan terus bergulir dan membawa perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa, sehingga mempengaruhi fundamen-fundamen dasar
pengaturan
hubungan
antar
manusia,
organisasi-organisasi sosial,
dan
pandangan-pandangan dunia (Azra, 2003b). Lebih jauh Azra mengungkapkan, bahwa memang perubahan-perubahan itu bermula dari lapangan ekonomi dan teknologi, tetapi hai itu segera
mengimbas
kedalam bidang poiitik, sosial budaya, gaya hidup dan iain-iain. Sejumlah perubahan itu dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut. Pertumbuhan yang cepat dalam pendagangan internasional dan keuangan yang pada gilirannya meningkatkan ketergantungan antar negara, yang pada dasarnya dikuasai perusahaan-perusahaan multi nasional (MNCs) yang terus semakin menguat. MNn<-> dengan kekuatan morfal mampu melakukan riset dan pengembangan dalam produk-produk baru sehingga dapat meningkatkan daya saing dan keunggulan. > Peningkatan utang dan ketergantungan negara-negara berkembang pada pasar keuangan internasional. Ketergantungan pada ut3ng membuat negara-negara berkembang mengalami kesulitan untuk melakukan pembangunan secara berkelanjutan. Labih jauh kesulitan dan jumlah utang yang banyak menjadikan peningkatan dalam penanaman modal asing, dan berarti ekonomi negara berkembang dikuasai pihak asing. > Meningkatnya peranan iembaga-Iembaga keuangan dan perdangan internasional seperti IMF, World Bank, WTO dan lain-lain dalam menetukan kebijakan dan program ekonomi, sosial dan politik negara-negara bertembang. Ini berarti >
Hoh 2
77
kemerosotan kedaulatan negara berkembang, karena mereka harus tunduk kepada kebijakan dan k.eputusan lembaga keuangan tersebut > Pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya penyebaran informasi dan nilai-nilai secara global dengan menciutkan jarak dan waktu. Kemajuan dalam bidang ekonomi tidak hanya mendorong terjadinya percepatan dalam perdagangan tetapi juga knowledge-based economy. Namun hal ini hanya dikuasai oleh negara-negara maju karena kemampuan mereka dalam melakukan riset dan pengembangan. Akibatnya "jurang teknologi dan pengetahuan" semakin luas antara negara maju dan negara berkembang. Demikian pula dalam transmisi informasi dan nilai-nilai negara-negara berkembang lagi-lagi berada daiam posisi tidak menguntungkan; mereka hanya menjadi "receiving ends' dari penyebaran informasi dan nilai-nilai yang dilakukan negara maju dan pemegang dominasi dan hegemoni teknologi. A- Berakhirnya perang dingin dan bangkitnya demokrasi liberal. Bangkrutnya sistem ekonomi dan politik komunis yang diikuti dengan disintegrasi politik dan wilayah membuat banyak orang semakin percaya bahwa demokrasi liberal sebagai satusatunya alternatif yang feasibte dan vfabie bagi keberlangsungan dan kemajuan kehidupan ekonomi dan poiitik. (h 2-3)
Selain membawa perubahan,
globalisasi
juga
membawa krisis dalam
kehidupan masyarakat giobai dan nasional. Capra (2000) mengidentifikasi krisis ini dalam dimensi-dimensi
intelektual,
moral, dan sprituai yang
pada akhirnya
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, lingkungan, ekonomi, sosial, dan politik. Dalam konteks nasional seringkah globalisasi dilihat sebagai sumber penyebab
munculnya rasionalisasi,
konsumerisme, dan
kemersialisasi
budaya-budaya lokal yang kemudian mengakibatkan hancurnya identitas budaya lokal (Trijono,19S6: 139). Pengaruh global terhadap kehidupan lokal dijelaskan oleh Capra (2000: 11) dengan tesis "kebangkitan budaya" yang bersandar pada filsafat "tantangan dan tanggapan". Tantangan (dari alam, atau sosial),, memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial yang mendorong masyarakat itu memasuki proses peradaban. Hal itu terus tumbuh
linh 2
ketika tanggapan terhadap
78
tantangan awal
berhasil membangkitkan
momentum
budaya yang
membawa
masyarakat keluar dari kondisi equilibirium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan dan tampil sebagai tantangan
baru. Dalam proses transformasi ini
terdapat dua alur terpisah yang bergerak serempak (budaya baru dan budaya lama yang kalah). Sisi yang kalah tetap dan tidak berubah namun berlatih dengan kekalahannya sendiri, sedangkan tantangan baru terus menerus mengundang tanggapan kreatif baru. Dalam perspektif historis seperti ini, kebudayaan dilihat datang dan pergi, sedangkan pelestarian tradisi budaya mungkin tidak selalu menjadi tujuan yang paling penting. Di sinilah tantangan globafisasi bagi pembangunan masyarakat multikultural menjadi perhatian. Sebagaimana diidentifikasi daiam laporan UNDP (2004:88) bahwa dimensi lain (di samping sosial ekonomi,, dan Jingungan) dari paradoks gfobahsasi adaiah persoalan budaya dan identitas yang tidak hanya menimbulkan kontroversi tetapi dapat menyebabkan keretakan karena terkait dengan keberadaan masyarakat asli. karena
Banyak orang mencemaskan negara mereka akan terpecah belah
pertumbuhan
imigrasi
yang
besar
dengan
segala
kebudayaannya,
perdagangan internasional, dan perluasan komunikasi media, yang
semuanya
dikhawatirkan menyingkirkan budaya lokal. Menghadapi multikultural
yang
tantangan menangani
ini,
UNDP
menyarankan
persoalan-persoalan
perlunya
kebijakan
perdagangan,
imigrasi,
penanaman modal yang memperhatikan perbedaan dan identitas budaya. Tujuan kebijakan multikultural tidak mempertahankan tradisi, tetapi melindungi kebebasan
Bnh 2
79
budaya {cufturaf Hberty) dan memperluas pilihan-pilihan masyarakat Secara singkat ada empat prinsip yang
dipertimbangkan
untuk mengembangkan
kebijakan
multikulturalisme dalam konteks globalisasi: •
Mempertahankan tradisi dapat menghambat perkembangan kemanusian Menghargai perbedaan dan keragaman adaiah hal yang pokok Pertumbuhan keragaman dalam dunia yang interdependen secara global dapat terjadi bila orang memiliki identitas jamak yang saling melengkapi, tidak hanya dimiliki oleh komunitas loka! tetapi juga kemanusian secara luas Menyelesaikan ketidakseimbangan kekuatan ekonomi dan politik dapat mengantisipasi ancaman terhadap budaya kelompok miskin dan lemah (UNDP,2004: 89)
•
Mungkin ungkapan Mahatma Gandhi berikut ini , bisa menjadi
cara yang
paling bijak untuk menyikapi arus globalisasi saal ini, sekaligus juga merupakan tema
yang
diambil
UNDP
dalam
sarannya
untuk
membangun
masyarakat
multikultural dengan perspektif global:"/d? not wantmyhouse to bs waffedin on aff
sides, my windows to be stuffed / wantthe cuftures of aff fands to be bfown about my house as freefy as possibfe. But I refuse to be bfown off my feet by any"
2.2 Konflik dan Hubungan antar Etnik dalam Masyarakat Multikultural. Konflik
merupakan
keadaan
yang
tidak
terpisahkan
dari
keberadaan
masyarakat majemuk. Konflik merupakan sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dalam
masyarakat
masyarakat
sehingga
multikultural
yang
dapat lebih
dijadikan
generator
demokratis.
Untuk
perubahan
menuju
itu,
dikenali
perlu
karakteristik konflik sehingga dapat dicarikan upaya mengelolanya.
Bah 2
80
Varshney (2002: 21) mengemukakan ada empat tradisi pendekatan untuk memahami konflik dalam masyarakat majemuk yang dibagi ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah esensialisme dan instrumentalisme, dan yang kedua adalah kostruktivisme dan postmodernisme. Dalam pandangan esensialisme konflik yang terjadi dilihat dari dua argumen yaitu,
primndial
rian
warisan
kemanusian.
Konflik
diterjemahkan
sebagai
konsekwensi dari keterikatan karena pertalian darah dan kesamaan keturunan. Sedangkan, daiam pandangan istrumentaiis, etnisitas tetap menjadi poin utama dalam konflik. Namun hal tersebut, bukan disebabkan kekuatan ikatannya tetapi karena dimobilisasi untuk tujuan tertentu. Para elit melihat potensi ikatan yang kuat dalam etnik (kelompok) sebagai cara memobilisasi massa untuk mencapai tujuan mereka. Dua
pandangan
lain
adalah
konstruktivisme
dan
postmodernisme,
merupakan pandangan kontemporer tentang pembentukan identitas dan akar konflik. Kedua pandangan ini melihat formasi identitas dan konflik sebagai fenomena modern (sebagai lawan dari tradisional). Dalam pandangan tradisional identitas dan konflik dilihat sebagai persoalan lokal dan skala kecil d?n tidak melibatkan institusi. Sebaliknya dalam pandangan kontemporer, kesadaran masyarakat lebih luas lagi sehingga membentuk komunitas yang lebih luas. Contoh identitas dalam masyarakat modem adalah bentuk "imagined cornmunity' seperti daiam gagasan Anderson (2000) yakni masyarakat terbentuk karena teknologi dan sistem ekonomi modem.
Hoh 2
81
Sehubungan
dengan
konflik
postmodernist berpendapat bahwa
dalam
masyarakat
modern,
kalangan
dalam ikatan masyarakat modem ada relasi
kekuasaan yang berimplikasi dalam pembentukan pengetahuan. Konstruksi identitas kelompok berasal dari "narasi" yang dibuat oleh kelompok elit, dan terpusat pada kekuasaan
dan
pengaruhnya
terhadap
masyarakat.
Oleh
karena
itu
untuk
memahami konflik para pengamat memusatkan perhatian kepada pencarian dan dekonstruksi relasi kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan bagi kalangan konstruktivis, konflik saat ini adalah akibat dari pemerintahan kolonial atau rejim masa lalu. Pendekatan esensialis nampak misalnya dalam analisis yang menjelaskan konflik terjadi karena motivasi primordial (McDonald, 1998). Motivasi ini diidentifikasi dalam tiga hal. Pertama. " soda! identitv mechanism." Dalam psikologi modem dijelaskan bahwa identitas sosial berkembang dalam kelompok dengan situasi yang sama yakni di satu sisi adanya loyalitas, pengorbanan pada kelompok, dan persaudaraan di dalam kelompok, di sisi lain ada kebencian pada orang di luar kelompok. Ketika terjadi ancaman dari luar, identitas ini menguat dan merasakan "nasib" yang sama. Tetapi ketika tidak ada ancaman orang-orang akan bersifat individualistik. Teori yang
kedua "genetic simifanty theoryyang
menyatakan
bahwa
kesamaan genetik ditandai kemiripan penampakan {phenoLypic similariUes). Teori ini mengandung implikasi bagi terbentuknya etnosentrisme dalam satu kontinum dari kesamaan genetic dan phenotypic hingga ketidak samaan genetic dan phenotypic
Bah 2
82
yang menggambarkan sikap suka, persahabatan, perkawinan, dan pembentukan kerjasama yang semakin erat karena adanya kesamaan. Teori ketiga menyatakan "ethnic groups are processed by
Moduie".
Human Kinds
Dijelaskan bahwa sebenarnya ras dan etnisitas tidak dibentuk karena
faktor-faktor biologis tetapi otak manusia tefah dikelabui bahwa kesaman ras dan etnik terjadi secara natural, Keria otak ini terjadi karena dikonstruksi secara budaya. Sebaliknya, pandangan yang melihat konflik dalam konteks relasi kekuasaan tampak antara lain dalam analisis Vaiery Thiskov (1991, www.unupress.edu) yang dibaginya ke dalam tiga kajian teori. Pertama, ^socia! groupings andsocio-economic
interest". Dalam pandangan ini, konflik dipicu karena adanya pemilikan tanpa berdasarkan
proses
yang
legal
oleh
suatu
kelompok
etnik
yang
memiliki
keistimewaan sosial. Proses ini membentuk pemisahan kelas dalam masyarakat, dan bahkan juga diskriminasi berdasarkan perbedaan kelas yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik antar etnik. Teori yang kedua, menjelaskan kemungkinan penyebab konflik etnik dari sudut mekanisme psikologi scsia! dan prilaku. Ha! ini muncu? dari kelompok yang menempati status sosial rendah dan cenderung menjadi objek diskriminasi dalam suatu lingkungan yang dominan. Karena pengalaman yang diderita sering kali mereka
memperlihatkan
ketakutan
akan
kehiiangan
eksistensinya
sehingga
membawa kepada prilaku-prilaku yang mengandung bibit konflik. Reaksi ini disebut sebagai reaksi terhadap bahaya hipotetis, dan merupakan perasaan-perasaan irrasiona!.
Bah 2
83
Teori yang ketiga, melihat kemungkinan terjadi konflik juga muncul dari perasaan irrasional, berupa ketakutan kehilangan kebermaknaan dan kebahagiaan dalam kelompok.
Biasanya pengalaman ini dirasakan oleh masyarakat yang
mengalami trauma sosial karena mendapat perlakuan tidak adil sepanjang sejarah. Pengalaman ini dialami oleh rakyat dan kelompok etnik semasa pemerintahan Uni Sovyet, yang selama bertahun-tahun berada dalam perasaaan kebersamaan karena trauma. Ketika lepas dari tekanan, mereka berusaha mencari upaya penyembuhan pengalaman traumatis dengan memperkuat kelompok etnik. Dari kelompok etnik muncul gagasan-gagasan dan program-program politik yang mengarah kepada pembentukan negara sebagai upaya mempertahankan identitas kelompok. Analisis lain yang lebih eksplisit
melihat konflik dalam konteks kekuasaan
dan dominasi tampak dari tulisan John Donald (2000) dalam papemya yang dipublikasi
oleh Center for Devefopment Research (ZEF Bonri). Pertama teori
imperium (the empire theory), yakni dalam sejarah imperium-imperium besar di dunia bila terjadi konflik etnik maka mereka berusaha menekan dan meredam konflik dalam genggaman kekuasaan mereka. Keti ku kcS^i jasaan itu berakhir maka tidak ada kekuatan lagi untuk meredam sehingga konflik muncul ke permukaan tanpa terkendali. Teori kedua disebutnya dengan Non-negotiable issues dalam hak asasi manusia yang meliputi: bahasa, agama, dan budaya. Atas nama kekuasaan semua isu tersebut diambil sebagai alasan untuk menjalankan pemerintahan. Di negara-negara yang saat ini konflik meluas, terdapat kemiripan perlakuan dalam tiga hal tersebut. Kelompok masyarakat tidak diperkenankan mengembangkan bahasa,
Hoh 2
84
agama, dan budaya masing-masing atas dasar alasan kepentingan negara. Teori yang
ketiga
berkenaan dengan struktur pemerintahan yang represif dalam
menangani konflik. Konflik juga dapat terjadi karena kebijakan yang diskriminatif sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Analisis ini terlihat dalam tinjauan Richardson J r & Sen (1996). Terjadinya konflik etnik dapat dilacak dalam dua hal: 1) dari peran etnisitas dalam
memobilisasi,
menstruktur organisasi
yang
bersaing dalam
masyarakat untuk memperoleh kekuasaan dan kontrol dalam negara; dan 2) konflik terjadi karena peran pemimpin menggunakan strategi pemisahan etnik untuk memperoleh dukungan politik. Apabila sebuah kelompok meraih posisi kekuasaan dan kontrol (kelompok dominan), maka pemimpinnya akan memperlakukan sistem yang diskriminatif dalam membagi-bagikan aset ekonomi kepada kelompok yang disukai dan membatasi aset kepada kelompok yang tidak disukai.
Pengalaman
diskriminatif diperkuat dengan aspek-aspek legai dan kebijakan. Hal ini berlangsung lama sehingga membentuk identitas sosial adanya kelompok dominan dan kelompok minoritas.
Seiring dengan pembangunan ekonomi ysng biasanya tersebar secara
tidak merata, membuat masyarakat yang mengalami diskriminasi semakin terasing dan semakin memperkuat identitas sosialnya. Dari sini siklus ini akan berbalik, berupa upaya etnik yang tertekan untuk berjuang memperoleh posisi yang sama dengan kelompok dominan. Dengan cara yang berbeda,
Horowitz (1998:1-4) mengelompokkan teori
tentang konflik dalam dua kategori besar yakni: "Hard Theory"6at\ "Soft Theory".
ttab 2
85
yang didasarkan pada hakikat afiliasi kelompok dan tujuan prilaku konflik.
Hard
theory melihat konflik dan perkembangan identitas dari sisi primordiaiis dan ikatan emosi yang cenderung irrasional. Sebaliknya, soft tfieory melihat afiliasi kelompok dan penyebab konflik karena pertimbangan dan pilihan rasional dan reward material. Bila hard tfieory
tergolong pandangan esensialis maka soft theory termasuk
pandangan instrumentalis. Keduanya dilihat dalam satu kontinum yang terdiri atas sepuluh kelompok teori yang digunakan para ahli untuk menjelaskan konflik sebagai berikut. 1. Pandangan yang menyatakan etnisitas merupakan afiliasi primordial
(a
primodial affiliation) yang ada dalam rentang waktu yang lama sehingga menimbulkan kesadaran diri kolektif. Kesadaran ini bersamaan dengan kesadaran adanya "orang lain" yang satu ketika karena mekanisme tertentu berubah menjadi konflik. 2. Adanya kebencian
masa lalu yang menghidupkan konflik sekarang
{ancient hatreds) 3. Konflik etnis terkait dengan perang budaya («3 dash ofculture). 4. Konflik
etnis
disebabkan
modernisasi.
Karena
modernisasi
orang
menginginkan sesuatu yang sama, dan sumber yang ada tersebar secara tidak merata. 5. Konflik etnis terjadi karena persaingan diUara kelompok-kelompok yang terpisah secara etnis dari golongan pekerja, dan antara pengusaha dan pengguna yang berbeda secara etnis.
Bah 2
86
6. Etnisitas merupakan kelompok yang berperan memberi jasa ( a service
producing club). Konflik terjadi ketika kelompok memberi keistimewaan kepada anggotanya. 7. Sejalan dengan teori ke 6, pada kondisi politik yang berorientasi etnis dikembangkan muncul suatu permainan kordinasi, dimana anggota suatu kelompok memberi perhatian kepada identitas etnisnya dengan pemikiran kelompok lain juga melakukan hal yang sama. 8. Sebagian ahli berpendapat bahwa konflik terjadi karena kompetisi elit
{elite
competition)
dan
adanya
pemanfaatan
etnik
(ethnic
entrepreuneurs). 9. Adanya teori pilihan rasional (rational-choice theorist), yang menganggap bahwa konflik diperlukan atau tidak dapat dihindari ketika kawatir melihat adanya motif-motif dan tindakan dari pihak lain - yang selama ini bermusuhan - menimbulkan rasa tidak aman. 10. Teori evolusi tentang konflik, yang menyatakan konflik terjadi karena dorongan emosional dan berani mati untuk kepentingan kelompok. Dapat disimpulkan lagi bahwa analisis dari esensialis dan instrumentalis lebih bersifat mikro dengan bertolak dari kondisi internal kelompok yang berada dalam situasi konflik, sedangkan analisis dari sudut pandang konstruktivis temasuk postmodernisme lebih ditujukan kepada faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi-kondisi internal kelompok sehingga terlibat ke dalam konflik. Bahkan
Hoh 2
87
kalangan postmodernist lebih ekplisit lagi mendefisinislkan faktor eksternal dengan istilah power retation. Masalah lain yang menjadi pertanyaan semua pihak yakni: mengapa konflik menjadi sangat mengakar dan berlangsung dalam waktu yang lama. Sebuah buku dari IDEA
yang diedit oleh Peter Haris dan Ben Relly (2000: 35)
berjudul
"Demokrasi dan konflik Yang Mengakar" mengemukakan bahwa ada tiga faktor utama yang memicu konflik berlarut-larut. Pertama, faktor ekonomi secara luas. Kehancuran ekonomi selalu diikuti oieh kemunculan konflik antar etnik. Contoh konkret dari konflik ini seperti gerakan pasca ekonomi terpimpin di Eropa Timur, dan sebagian Asia dan Afrika. Kondisi seperti ini disebut dengan "ketidakamanan ekonomi". Kedua, faktor yang menyangkut kultur, yakni menyangkut isu-isu klasik tentang hak-hak bahasa minoritas atau kebebasan beragama. Kebanyakan negara multietnik pada waktu-waktu terakhir ini telah mengalami isu-isu ini, yakni ketika tuntutan akan otonomi kuiturai meningkat dan kebijakan asimiiasi diterima secara curiga.
Dan
ketiga,
konflik terjadi karena
perselisihan
mengenai
wilayah.
Perselisihan ini sangat mungkin melebur dengan pertikaian etnik ketika kelompok etnik terkonsentrasi secara teritorial. Marta-Reynal Ouerol (2003), peneliti dari Bank Dunia, menambahkan faktor penyebab konflik menjadi mengakar karena sebelumnya sudah terbentuk polarisasi yang kuai berdasarkan agama dan kepercayaan. Bahkan penelitian menunjukkan polarisasi agama merupakan faktor yang lebih berpengaruh dalam membentuk pemisahan sosial dibanding perbedaan bahasa.
Huh 2
Sedangkan Francesco Casseli &
88
Willbur Coleman (2001), menambahkan bahwa dalam setiap masyaraf selalu ada potensi konflik karena di dalam masyarakat ada kekayaan menjadi akar persaingan. Konflik pecah menjadi pertikaian ketika kekayaan dikuasai oleh satu kelompok yang menutup afiliasi dengan kelompok lain. Konflik akan menjadi lebih dalam lagi bila konflik itu diciptakan atau diorganisasikan secara sistematis
untuk kepentingan kelompok tertentu. Konflik
yang terjadi di Ruwanda antara suku Tutsi dan Hutu (Sadowsky, 1998) adalah contoh konflik yang diorganisasikan. Pada waktu sebelum penjajahan Belgia, distrik dipimpin oleh Hutu tetapi dalam aturan hukum yang dibuat Tutsi. Sepertiga pimpinan Rwanda adalah Hutu. Kedatangan bangsa Belgia mengubah struktur yang sudah ada dengan mengganti semua pimpinan yang non-Tutsi dengan orang Tutsi. Kebijakan ini didukung dengan berbagai peraturan yang menguntungkan satu pihak merugikan pihak lain. Bahkan Belgia memberikan dukungan kepada warga Tutsi untuk
meningkatkan
eksploitasinya
terhadap
warga
Hutu.
Akibatnya
terjadi
ketidakseimbangan dalam berbagai bidang lain seperti sosial, ekonomi, dan pendidikan. Keadaan ini terus berlanjut setelah Belgia meninggalkan negeri Rwanda. Contoh lain adalah konflik Kalimantan (van Klinken, 2000). Sebagian dari faktor-faktor penyebab berlarutnya konflik tersebut adalah karena keterlibatan pihak tertentu yang mengorganisir konflik untuk kepentingan mereka. Pihak-pihak ini ingin mempertahankan eksistensi kekuasaan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Keuntungan ini dinikmati secara terbatas oleh kelompok tertentu.
Hoh 2
89
Konflik etnik bukanlah hal yang baru, begitu juga di Indonesia. Sejarah sudah membuktikan bahwa ketegangan antar suku atau pemeluk agama yang berbeda, telah ada bersamaan dengan perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Bahkan penjajah Belanda mencoba memanfaatkan perbedaan etnik di satu daerah untuk memperluas kekuasaannya. Misalnya kita bisa belajar dari kenyataan sejarah di Kalimantan Selatan (Sjamsuddin,2001: 261) yakni saat persaingan kecil terjadi antar kelompok (etnik dan juga agama), Belanda justru memanfaatkannya untuk memperluas ekspansi koionial. Konflik menjadi betiarut ketika faktor ekonomi, budaya, geopolitik, sejarah, d3n ketidakadilan sosial tidak terpecahkan, dan bahkan dijadikan alasan untuk terus dalam
situasi
konflik
oleh
kelompok-kelompok
keuntungan dari situasi konflik.
elit
yang
berniat mengambil
Walaupun demikian,, bukan berarti konflik antar
etnik tidak dapat ditengahi atau dicarikan solusi. Untuk itu diperlukan pemahaman yang tepat tentang persoalan mendasar dalam
sebuah keiompok etnik dan
hubungan antar kelompok. Tidak mungkin menyamaratakan kasus semua konflik etnik. Perbedaan dan konflik ras atau etnik sangat terkait dengan konstruksi sosial yang melatarbelakanginya (Chang & Dodd, 2001). Perbedaan ras dan etnik dalam kedudukan superior atau inferior, merupakan produk sosiai yang diagendakan untuk memenuhi kepentingan sosio politik kelompok yany dominan. Demikian juga kategori etnik dan ras dalam masyarakat,
bukan sesuatu yang kaku melainkan
berubah-rubah sesuai dengan konteks sosial politik dari suatu masyarakat pada
Bah 2
90
waktu tertentu. Perbedaan etnik dan ras tidak inherent membawa konflik, tetapi perbedaan mendapat makna sosial tentang hirarki yang kemudian membawa sistuasi ke dalam konflik ketika kelompok-kelompok yang terbagi tidak dapat bernegosiasi lagi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebuah konflik akan dapat ditangani bila konstruksi sosia! yang melatarbelanginya dapat dijernihkan. Kebijakan untuk menjernihkan konstruksi sosial itu terbentang dalam satu kontinum yang mulai dari kutub otoriter di satu sisi sampai pada kutub demokratis di sisi yang lain (Suparlan, 2000: 2). Masyarakat majemuk otoriter dikendalikan dengan kekuasaan keras dan militeristik. Ciri-ciri masyarakat ini adanya kekejaman dan kekerasan oleh negara atau pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, karena penguasa menekan segala bentuk penentangan atau ketidakpatuhan warganya terhadap tindakan eksploitatif yang dilakukan negara. Sedangkan dalam kutub yang lain, masyarakat hidup dalam suasana masyarakat sipil yang demokratis, yaitu ketika kelompok minoritas diberi perlindungan terhadap hak-haknya untuk dapat hidup di tengah kelompok yang dominan. Di samping itu, masyarakat ditata dengan hukum yang berlaku sama terhadap semua orang. Selain menciptakan sistem yang demokratis, konflik juga dapat dihindari dengan mencermati faktor-faktor positif dalam masyarakat majemuk yang bersifat akomodatif dan kerja sama, bisa dalam bentuk asimilasi maupun bentuk pluralisme (Marger, 1985:87), dan berusaha mengatasi faktor negatif yang muncul dalam bentuk masyarakat yang dipilih.
Bah 2
91
Lebih detail kedua bentuk ini dijelaskan dengan model yang dilihat dalam dua dimensi: Pertama, mempertahankan identitas budaya sendiri, dan kedua, menyesuaikan dengan identitas budaya dominan (Bourhis cs, 1997: 372; Hjerm, 2000: 357). Dari kedua dimensi ini lahir bentuk hubungan antar kelompok berupa, 1) Integrasi yakni mempertahankan identitas dan sekaligus mengadopsi budaya dominan); tetapi
2) asimilasi
yaitu menolak mempertahankan identitas budaya sendiri,
menyesuaikan diri
budaya
dominan;
3)
segregasi
yaitu
dengan
mempertahankan identitas, tetapi menolak untuk mengambil budaya dominan; dan 4) eksklusi dan individualis, yaitu bentuk yang mencari bentuk baru tetapi tidak mempertahan identitas sendiri, tidak juga menyesuaikan diri dengan budaya dominan. Uraian tentang konflik di atas dapat dirangkum dalam satu diagram yang secara hipotetik menggambarkan hubungan antara bentuk interaksi sosial dengan kemungkinan terjadinya konflik dalam masyarakat majemuk. Dalam interaksi masyarakat yang setara (tidak ada diskriminasi antar anggota masyarakat) maka diperkirakan bentuk masyarakat berupa multikultural yang demokratis. Sebaliknya jika interaksi antar anggota masyarakat tidak setara (mengandung unsur-unsur diskriminatif ), maka diperkirakan bentuk masyarakat berupa masyarakat plural yang berpotensi konflik. Selanjutnya dimungkinkan ada dua kebijakan untuk menangani konflik
tersebut
yaitu,
Otoriter
(cenderung
mempertahankan
konflik),
dan
demokratis (cenderung menghapus konflik).
Bah 2
92
Gambar 2.2.1 Kerangka Hipotetik Hubungan Masyarakat Majemuk Interaksi sosial
E r i n
j Masyarakat ! Multictnik
Setara (Equal)
Konstruk kebijakan
Bentuk masyarakat
j |
Pluralj demokrasi
I
K Tdk Setara (inegual)
PluralKonflik
!
UI
! Demokrasi Liberal l Oornorate Otoriter / demokrasi I liberal atau cuarporatc
Diperkuat oleh faktor perbedaan budaya, tekanan ekonomi, tuntutan geopolitis, perbedaan agama, pemisahan yang diwarisi dan sejarah, dan diperburuk oleh rekayasa kepentingan kelompok elit.
2.3 Pendidikan Multikultural dan Filsafat Rekonstruksi Sosial Sebelum
membahas lebih jauh tentang
pendidikan multikultural,
ada
beberapa istilah yang sering dipertukarkan dalam penggunaannya dalam berbagai (literatur yaitu pendidikan multikultural, pendidikan multietnik, studi etnik, dan pendidikan global. Pada prinsipnya, istilah tersebut memiliki esensi yang sama, hanya kedalaman dan keluasan cakupannya yang membuat adanya perbedaan (Banks, 1987: 29-30). Pendidikan multikultural, ditekankan kepada kelompok budaya
Hnh 2
93
yang khususnya mengalami prasangka dan diskriminasi ras di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk membantu mengurangi parsangka terhadap kelompok yang menjadi target tersebut dan memberi kesempatan yang sama dalam pendidikan. Pengertian pendidikan muitietnik lebih sempit yang terfokus pada kelompok etnik dengan maksud mengurangi diskriminasi terhadap kelompok etnik yang menjadi korban diskriminasi, dan juga mengurangi pengisolasian secara etnik. Sedangkan studi etnik, bidang kajiannya adalah kelompok etnik dengan tujuan membantu siswa membuat keputusan reflektif tentang persoalan-persoalan etnisitas, dan mengambil tindakan untuk mengurangi rasialis dan masalah etnik lainnya. Terakhir, pendidikan global lebih difokuskan kepada nation-states dan budaya di dunia. Sejak
awal
tahun
1960an
pemahaman
orang
tentang
pendidikan
multikultural mengalami evolusi (Gorski & Covert 1996). Dari berbagai istilah tersebut tampak keraqaman gaqasan, ada yang bersifat mikro yakni terfokus pada individu siswa atau guru, dan ada yang mengembangkannya dalam ruang lingkup makro
yang mencakup lingkungan sekolah dan kebijakan. Namun semuanya
berakar pada ide dan tujuan yang sama yaitu gerakan transformasi, yang bertujuan mempengaruhi perubahan sosial, dengan bergerak dalam tiga bidang:
"the transformation o f sel f" "the transformation ofschoo/ and schooling", dan ,lthe transformation ofsoaety"{Gorski, 2000; Nieto, 1999; Howard, 1999). Sifat transformatif dalam pendidikan multikultural barakar dalam filsafat pendidikan
rekonstruksi
sosial
{soda!
reconstructionist).
Gagasan
ini
merekomendasikan guru dan sekolah, agar berangkat dari pengkajian kritis tentang
Hah 2
94
budaya di tempat mereka berada. Mereka harus berusaha mengidentifikasi bidangbidang
yang
mengandung
kontroversi,
konflik
dan
inkonsistensi,
kemudian
mengeksplorasi dan menemukan pemecahannya (Orsntein & Levine, 1984: 206). Lebih jauh dijelaskan bahwa filsafat rekosntruksi sosial juga merupakan bagian dari filsafat pendidikan progi esiv, dengan tokoh terkenalnya John Dewey. Dewey dan para pengikutnya mengembangkan gagasan baru tentang metode pendidikan yang menjadi alternatif dari metode tradisional di akhir abad ke 19. Gagasan baru ini dapat dilihat dalam beberapa hai yakni, 1) mereka meyakini bahwa pendidikan terhadap anak dapat mengubah masyarakat, pendidikan
menjadi
instrumen
untuk reformasi
sosial;
2)
karena itu
keyakinan
bahwa
pendidikan dan pengalaman anak haruslah menyatu. Belajar yang bermakna dan efektif bila menerapkan metode ilmiah dalam pengalaman langsung siswa; dan 3)
Deweayan menekankan perlu tatanan demokratis dalam otorita di sekolah. Tatanan ini akan memberikan kualitas yang lebih baik daiam menghormati kebebasan inidvidu serta memberikan akses yang lebih luas untuk mendapatkan pengalaman bagi semua pihak, serta mendorong hubungan kemanusiaan yang berkualitas dan saling bersimpati (Massaro, 1993: 25). Dalam
buku
Philosophical Scaffolding for the Constmction of Critica1
Democratic Education (Brosio, 2000: 142-143), pokok-pokok pemikiran Dewey tentang pendidikan dirangkum daiam lima hal. Pertama, proses pendidikan bersifat psikologis dan sosial. Aspek psikologis merupakan basis bagi semua pendidikan, yakni berupa power dan instinc siswa. Kedua, sekolah adalah lembaga sosial atau
n,,b .?
95
suatu bentuk dari kehidupan komunitas. Oleh sebab itu, sekolah dipandang sebagai pelaku yang membawa siswa mampu menggunakan sumber daya yang diwariskan oleh ras manusia untuk tujuan-tujuan sosial. Ketiga, mata pelajaran haruslah merupakan
rekonstruksi
menghubungkan
progresiv
metodenya
dari
dengan
pengalaman tahap
anak.
Keempat,
perkembangan
Dewey
anak,
yakni
dikembangkan berdasarkan kesiapan anak. Dan kelima, Dewey meyakini bahwa pendidikan merupakan sarana terbaik untuk rekonstruksi sosial, karena pendidikan memungkinkan siswa bertindak atas dasar kesadaran sosiai. Progresivis (termasuk rekonstruksionis sosial)
meyakini bahwa pendidikan
sebagai sarana membuat perubahan, " a gigantic force for democratic evofution" (Brameld, 1955: 155), namun keduanya berbeda dalam sudut pandang tentang bagaimana cara perubahan itu dibuat. Bagi progresivis,, proses pendidikan melalui pengembangan berfikir dan metode ilimiah
akan membentuk individu baru yang
diharapkan dapat bertindak secara tegas untuk memajukan demokrasi dalam masyarakat. Namun tetap beranggapan bahwa sekolah bukan tempat membicarakan isu-isu kritis dan bersifat politis. Kelompok rekonstruksionis melihat bahwa pendidikan adalah tempat dimulai perubahan yang harus terjadi dalam masyarakat, dengan cara guru dan siswa mengkaji secara kritis warisan budaya, menentang isu-isu yang paling kontroversial, berkomitmen
terhadap
perubahan,
merencanakan
konstruksi
hipotetik,
dan
membuat hubungan dengan program-program ya ng dirancang untuk melakukan perubahan (Brosio, 2000: 145: Stanley, 2000: 66). Pemikiran rekonstruksionis
Bah 2
96
banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran kritis dalam ilmu sosial, yang menegaskan bahwa sekolah perlu menantang praktek-praktek, iembaga, dan cara berfikir mapan yang menciptakan ketidakadilan, serta menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif (Biilings, 2000: 150). Satu di antara bentuk pendidikan yang beraliran rekonstruksi sosiai tampak dalam gagasan "pembebasan" dan "emansipasi" dari Pau/o Freire. Freire menyebut pendidikan sebagai proses humanisasi
seperti yang diungkapkannya, "dengan
kepedulian kepada humanisasi kita akan tahu dehumanisasi, tidak hanya dalam makna ontologis tetapi realita sejarah... sebagai produk dari tatanan
yang tidak
adil..." (Freire, 1998:45). Dengan demikian, pendidikan adalah proses menentang semua praktek-praktek dehumanisasi dan melakukan transformasi, yang dimulai oleh orang-orang menjadi korban dehumanisasi ( onpressedpeople), kemudian oleh semua masyarakat untuk memperoleh proses pembebasan yang permanen (Freire, 1998: 54). Lebih jauh Freire (1998: 67) mengkritik praktek pengajaran yang sifatnya satu arah yakni siswa sebagai "kotak kosong" yang diisi oleh guru. Konsep pendidikan ini disebutnya dengan pengetahuan
adalah
"hadiah" dari
banking concept orang-orang
yang
yang memandang merasa
dirinya
lebih
berpengetahuan, sebaliknya mengabaikan konsep pengetahuan dan pendidikan sebagai proses inkuiri. Ciri-ciri pendidikan yang mengabaikan aspek kemanusian ini adalah bertolak dari pemikiran sebagai berikut. 1. Guru adalah orang yang mengajar, siswa orang yang diajar
finh 2
97
2. Guru mengetahui segala sesuatu, siswa adalah orang yang tidak tahu apaapa 3. Guru memikirkan, siswa berfikir seperti yang ditunjukkan guru 4. Guru berbicara, siswa mendengar 5. Guru menegakkan disiplin, siswa orang yang didisiplin 6. Guru membua pilihan dan memaksakan pilihan itu kepada siswa, dan siswa orang yang mematuhi pilihan guru. 7. Guru melakukan aksi, siswa membuat ilusi berdasarkan aksi guru 8. Guru memilih isi program pengajaran, siswa melaksanakannya tanpa diberi kesempatan berkonsultasi terlebih dahuiu 9. Guru mengaburkan batas otoritas keilmuan dengan otoritas profesional, yang kemudian dia jadikan sebagai pengekang kebebasan siswa. 10. Guru adalah subjek dari proses belajar sedangkan siswa adalah objek (Freire, 1998: 68-69)
Sumbangan Freire bagi pendidikan terletak daiam beberapa konsep pedagogi seperti "conscientization, probiematizing, dialogue, spirit and love" (Brosio, 2000: 206 213). Dalam konsep conscientization belajar adalah mempersepsi kontradiksikontradiksi politik dan sosioekonomi serta ketidakadilan, kemudian diambil tindakan untuk memperbaikinya sehingga
diperoleh kondisi kehidupan yang lebih baik.
Konsep probiematizing menurut Freire berbeda dengan pemecahan masalah dalam sudut pandang pakar teknologi, tetapi dalam probiematizing melibatkan solidaritas dengan orang yang perlu bantuan. Untuk ini perlu hubungan dialogis antara guru dengan sisiwa, antara pemimpin dengan rakyat untuk "mengkodifikasi" semua permasalahan dan kemungkinan cara memecahkannya. Problematizing membawa siswa menjadi subjek pendidikan bukan sebagai objek, dan menjadikan pendidikan berdasarkan kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang realistis. Selain itu, pendidikan merupakan hubungan dialogis yang horizontal antara guru dengan siswa. Dialog ini bersifat interkomunikatif yang diwarnai empati, kasih sayang, rendah hati, penuh harapan, dan saling mempercayai namun tetap kritis.
Kah ?
98
Kemampuan dialogis yang penuh kejujuran, rasa hormat, dan mendalam dapat dikembangkan bila ada keyakinan bahwa "orang iain'; dapat menjadi dirinya yang terbaik sebagaimana halnya "diri" saya. Terakhir, bagi Freire, radikalisasi memang meningkatkan komitmen terhadap posisi dan pilihan hidup yang dipilih, tetapi yang lebih utama adalah pandangan hidup yang rendah hati, penuh kasih sayang namun retan kritis. Solidaritas hanya dapat ditemukan dalam kasih sayang yang tulus. Sifat ini merupakan kesadaran etis yang
menghasilkan
priiaku
pembebasan
yang
didasarkan
atas
kepedulian,
pengkajian kritis, dan konstruksi pengetahuan dan hipotesis. Sejalan dengan konsep Freire, Carol Grant & Chrlstine Sleeter (1997: 71) menjelaskan
bahwa
pendidikan
bersifat
multikultural
dan
rekonstruksi
sosial
berkaitan secara langsung dengan tekanan-tekanan dan ketidaksetaraan struktural dan sosial yang didasarkan atas ras, kelas sosial, jender, dan cacat. Tujuan pendidikan
adalah
mempersiapkan
warga
negara
masa
depan
yang
dapat
merekonstruksi masyarakat sehingga lebih baik dalam melayani semua pihak. Bentuk pendidikan yang kurang lebih sama namun terkesan lebih keras dalam warna rekonstruksi sosial adalah Criticai Pedagogy. Antara lain gagasan ini terdapat dalam pemikiran Peter Mc Laren, Henry Giroux, dan Sonia Nieto. Pedagogi kritis lebih dari sekedar menciptakan iklim pendidikan yang mendorong transformasi tetapi secara tegas mereka melihat pendidikan (sekolah, kurikulum, buku teks, dan sejenisnya) sebagai produk politik yang mempengaruhi kehidupan siswa.
Iktb 2
Pedagogi kritis memberikan landasan bagi guru dan juga peneliti cara pemahaman yang lebih baik mengenai peran nyata sekolah dalam masyarakat yang sudah terbagi-bagi secara ras, kelas sosial, jender. Pemahaman ini akan membantu guru membangun konsep untuk mempertanyakan proses belajar, buku teks, ideologi guru yang telah memberi peluang terciptanya ketidakadilan sosial (Mc Laren, 1998: 167)
Lebih jauh McLaren mpnpgaskan bahwa pprtagnni kritis bertekad untuk
menciptakan proses belajar dan pengambilan tindakan melalui solidaritas dengan kelompok-kelompok
yang
terpinggirkan.
Pendidikan
aiiakukan
melalui
proses
dialecticai yakni menemukan problem dari kelompok-kelompok yang dirugikan oleh struktur sosial, dan mencari akar problem dalam konteks sosial dan historis yang lebih luas (Mc Laren, 1998: 171). Secara singkat dinyatakan bahwa pedagogi kritis adalah
proses
pendidikan
yang
mendorong
"self-emnowerment
and soda!
tranformatton". Seperti hainya McLaren, Giroux juga berangkat dari kritiknya tehadap sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memainkan peran penting dalam mereproduksi budaya positivistik, yang secara langcung atau tidak langsung sekolah beroperasi
berdasarkan
tuntutan
budaya
tersebut,
dan
secara
historis telah
menciptakan praktek ketidakadilan dalam masyarakat (Giroux, 1997: 27). Untuk mengatasi
hal
itu,
sekolah harus membangun formasi sosial alternatif serta
pandangan hidup yang akan mempengaruhi kesaddraan dan struktur vital terdalam kebutuhan siswa.
Bah 2
Demikian juga guru harus mengembangkan teori dan praktek
100
\
«
m
w
pedagogis yang menghubungkan atara self-reflection dengan understaA satu komitmen untukmelakukan perubahan meluas dalam masyarakat. Secara
lebih
spesifik,
penerapan
pedagogi
kritis
dalam
a pendic
multikultural dikembangkan oleh Sonia Nieeto. Dalam bukunya Affiirming Diversity (1991), di jelaskan bahwa pendidikan multikultural berlandaskan filosofi pendidikan kritis (critica! pedagogy)., yakni terfokus pada pengetahuan, refleksi, dan tindakan sebagai basis perubahan sosial, serta pengembangan prinsip-prinsip demokrasi untuk keadilan sosiai (Niieto, 1991: 208) . Dalam hai ini pendidikan multikultural didefinisikan sebagai: 1) pendidikan antirasis, artinya pendidikan multikultural bersifat inklusif dan seimbang, serta
menjamin akses siswa keberbagai sudut
pandang dalam melihat sesuatu; 2) pendidikan multikultural merupakan pendidikan dasar sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seperti halnya membaca, menulis, berhitung, karena itu pendidikan multikultural merupakan bagian dari kurikulum inti; 3) pendidikan multikultural untuk semua siswa, bukan hanya untuk kelompok yang dirugikan oleh struktur sosial saja; 4) pendidikan multikultural bersifat prervasiv artinya menyatu dengan lingkungan kelas, kurikulum, hubungan guru dan siswa, dan dalam komunitas; 5) pendidikan multikultural adafah pendidikan untuk keadilan sosial yakni belajar berfikir lebih inklusif dan ekspansif, merefleksikan apa yang dipelajari, dan mengambil tindakan untuk keadilan sosial berdasarkan refleksi tersebut; 6) pendidikan multikultural auaia'n sebuah proses; dan 7) pendidikan multikultural adalah pedagogi kritis, yang menegaskan keragaman
Hnh ?
101
budaya dan bahasa sesuatu yang harus diakui secara terbuka bukan ditekan kebawah permukaan.(Nieto,1991: 208-223). Sedikit berbeda dan terkesan lebih lunak, Gary Howard dalam bukunya We
Cant Teach What We Dont Know mengembangkan perspektif rekonstruksionis dalam pendidikan multikultural dengan bentuk persona! transformation and sociaf
transformation (Howard, 1999:5,100). Dalam transformasi personal, dimulai dengan guru menyadari kenyataan dirinya dalam konteks hubungan antar ras, jender dan kelas sosiai yang menyebabkan ketidakadilan bagi satu kelompok.
Kemudian
mengubah cara berfikir, cara pandang, dan cara bertindak yang semula bersifat fundamentalis (tertutup, cenderung memandang diri lebih dari yang lain) atau integrasionis (mulai mengakui keberadaan orang lain tapi masih menganggap diri lebih
baik),
menjadi
bersifat
transformasionis
(lebih
terbuka,
egaliter,
dan
multiperspektif). Sedang dalam konteks sosial, guru (setelah menjalani transformasi personal)
melakukan
perubahan
tatanan
sosiai
yang
menyebabkan
dirinya
terkungkung oleh cara berfikir fundamentalis atau integrasionis. Kelompok
rekonstruksionis
melihat
transformasi
dalam
pendidikan
multikultural merupakan keharusan. Titik tolak keharusan ini dari kesadaran bahwa masyarakat demokrasi yang beragam akan berfungsi secara sempurna bila semua anggota meyakini bahwa mereka adalah bagian yang integral dari struktur kelembagaan dan sosial; jika atid kelompok yang merasa dtpiftygirkan, mengalami keterasingan, maka polarisasi etnik akan terjadi (Banks, 1991: 460). Oleh karena itu tujuan utama dari pendidikan adalah membentuk kemampuan kuftuaial siswa
Hoh 2
102
sehingga dapat menantang dan menstruktur kembali masyarakat sehingga lebih inklusif, adil, dan demokrasi (Lankard, 1994). Sejalan dengan pandangan yang melihat ke depan itu, kalangan pendidikan di AS menekankan bahwa pendidikan multikultural diperlukan karena beberapa alasan mendasar (Massaro,1993: 48-51. Pertama, dalam sejarah Amerika pernah terjadi pendiskriminasian warga berdasarkan ras, agama, etnisitas, dan juga jender yang membuat pemahaman
tentang persoalan-persoalan keragaman ras, dan
agama menjadi kabur. Misainya, berbicara tentang etninistas hanya sebatas kelompok Black American. Demikian pula penanganan persoalan ras dan etnisitas menjadi sempit, terbatas pad3 dikotomi kesadaran ras dan separatisme di satu sisi, dengan buta ras dan asimilasi di sisi lain. Karena itu, perlu pendidikan multikultural untuk memperjelas konsep-konsep tersebut. Kedua,
sejalan dengan
pendapat pakar pendidikan
yang
menyatakan
pendidikan adalah mentransmisikan budaya kepada generasi muda. Untuk ini perlu diperkenalkan keanekaragaman ideologis dan budaya Amerika beserta konflik yang terjadi di dalamnya. Ketiga, memasukkan multikultural ke dalam kurikulum merupakan keharusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi Amerika. Bagi sejarawan konstitusi ketidaksetujuan kelompok multikultural terhadap kurikuium nasional yang seragam, merupakan perjuangan kelompok yang terpinggirkan untuk memperoleh hak yang penuh dan sama sebagai warga negara. Karena konstitusi memberikan jaminan terhadap kesamaan hak tersebut.
Bah 2
103
Keempat, pendidikan multikultural dipandang perlu untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa tentang pahlawan dan sejarah Amerika dengan menggunakan model yang sesuai menurut ras dan etnik. Demikian pula Geneva Gay (1994), menyimpulkan bahwa pendidikan multikultral diperlukan karena realitas sosial dan kebutuhan psikologis siswa. Dari segi realitas sosial adalah heterogenitas masyarakat yang terus meningkat dengan kedatangan imigran-imigran baru. Sementara selama ini, prasangka, stereotype antar etnik yang sudah ada di AS, tetap berlanjut di semua bidang seperti pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan. Realitas lain berkenaan dengan keterlibatan negara dalam pergaulan global semakin tidak terhindarkan.
Dari segi psikologis
menyangkut dengan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan manusia. Jika seorang pendidik menempatkan perlakuan terhadap anak didik sebagai manusia adalah prioritas tertinggi, maka perlu adanya perhatian terhadap keragaman identitas yang dibawa siswa ke sekolah. Untuk mencapai tujuan transformatif pendidikan multikultural dikembangkan dalam lima dimensi (Banks, 1997: 69). Kelima dimensi itu adalah: 1) integrasi konten, merupakan cara guru mengambil contoh dari berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep kunci, prinsip, generalisasi dan teori di datam bidang-bidang studi; 2) proses konstruksi pengetahuan, yang terdiri dari metode kegiatan, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru untuk membantu siswa memahami, menemukan, dan menentukan bagaimana bentuk tersembunyi dari asumsi-asumsi budaya, kerangka berfikir, dan bias dalam menarik
Hah 2
104
kesimpulan sehingga terbentuk pengetahuan; 3) mengurangi prasangka ras, adalah perubahan sikap dan cara pandang siswa yang terbawa bias ras dengan bantuan guru sehingga menjadi sikap yang lebih demokratis; 4) pedagogi kesetaraan (eguity
pedagogy) adalah ketika guru mengubah cara-cara mengajar mereka agar lebih membantu pencapaian akademik siswa dari berbagai ras, budaya, etnik, dan kelompok jender (culturalfy sensitive teaching strategi?s>, dan 5) memberdayakan budaya sekolah dan struktur sosial untuk memandang sekolah sebagai sistem sosial yang kompleks, yang mencakup reformasi semua aspek pendidikan. Sehubungan dengan dimensi tersebut ada tiga tipe pendidikan multikultural yang berkembang di Amerika Serikat (Burnett, 1998). Pertama, Content-Oriented
Program dengan tujuan utama adalah untuk merangkum isi kurikulum dan materi pendidikan dengan
beragam kelompok budaya untuk meningkatkan pengetahuan
sisiwa tentang kelompok tersebut. Kedua, Student-Onented Program merupakan kegiatan ekstrakurikuler yang ditujukan memenuhi kebutuhan akademik kelompok siswa dari kalangan minoritas. Tujuan program ini adalah meningkatkan prestasi akademik kelompok siswa minoritas tersebut.
Ketiga,
SociaUy-Orientsd Program
yang kegiatannya adalah melakukan reformasi sekolah dan konteks politik dan budaya dari sekolah dengan tujuan untuk membuat pengaruh yang lebih luas tentang toleransi budaya, ras, dan mengurangi bias budaya dan ras. Salah satu contoh dari program pendidikan multikultural yang komprehensif adalah proyek REACH (Respecting Ethnic and Cuttura! Heritage) yang meraih prestasi sebagai program yang berbasis disiplin akademis (Webb, 1990). Program ini
Bah 2
105
meliputi proses dan kurikulum multikultural, proses pelatihan guru, dan dikelola berdasarkan distrik atau sekolah. Program bergerak dalam empat fase: 1) human
relalions skitts, siswa berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan self-awareness, self-esteem, komunikasi interpersonal, dan pemahaman dinamika kelompok; 2) cultura! self-awareness, siswa melakukan riset tentang budaya personal, sejarah keluarga atau masyarakat; 3) multicultural awareness, yaitu siswa belajar dari booklet mengenai sejarah Amerika dari berbagai sudut pandang etnik yang berbeda; dan 4)cross cultura! experience, informasi sejarah dan budaya di dalam booklet dibuat menjadi bersifat personal melalui dialog dan pertukaran antar siswa dan orang dewasa dari berbagai kelompok etnik. Sebagai bagian dari gerakan pendidikan multikultural adalah pengembangan kurikulum
yang
responsif secara
budaya.
Pandangan
yang
paling
umum
menyatakan bahwa tujuan kurikulum ini adalah sebagai strategi untuk meningkatkan prestasi akademik dan mempertinggi self-esteem siswa yang berbeda warisan budaya, bahasa, dan ras dari penduduk keturunan [Eropa (Abdal Haq, 1994). Karakteristik kurikulum yang responsif secara budaya antara lain: 1) terintegrasi dan interdisipliner; 2) autentik, terpusat pada siswa, dan terkait dengan kehidupan siswa yang sesungguhnya; 3) mengembangkan keterampilan berfikir kritis; 4) seringkali menggunakan strategi gabungan yang mencakup cooperative leaming dan whole
language instructiorr, 5) didukung oleh staff ahli dan program pelatihan; dan 6) terkordinasi dengan strategi bidar.g lain di sekolah.
Hoh 2
106
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan multikultural merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Pertama dilihat dari sudut filsafat bangsa (Pancasila) yang melandasi
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
sebagai
fakta
legal
yang
memberikan landasan bahwa Negara Indonesia dibangun atas dasar pengakuan terhadap hakikat kodrat manusia yang tidak tunggal, tetapi sebagai makhluk yang oleh Notonagoro (1981: 89) di istilahkan dengan mono-plural.
Istilah ini
diterjemahkannya sebagai makhluk tunggal yang terdiri atas bert)agai aspek kodratiah: sebagai makhluk ciptaan Maha Khaliq, sekaligus sebagai makhluk individu dan sosial. Ke-pluralan hakikat kemanusiaan secara lebih luas dapat diterjemahkan sebagai ke-pluralan masyarakat Indonesia yang menganut berbagai agama, serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai tradisi (etnik, bahasa, dan adat istiadat) yang berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan kemajemukan bagi bangsa Indonesia merupakan kodrat kemanusiaan yang mengimplikasikan pengakuan secara luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agak lebih kongkrit, landasan filosofis ini telah dikembangkan dalam Undang Sistem Pendidikan Nasional seperti dicantumkan dalam Bab 1 mengenai ketentuan umum yang menyatakan bahwa: "Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman". Demikian juga dalam Bab III fasal 4 ayat 1 tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, dinyatakan bahwa: "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
Bah 2
107
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, niiai keagamaan, nifai kultural, dan kemajemukan bangsa*'. Selain alasan filosofis, kenyataan sosial yang ada juga merupakan kondisi nyata
yang
mendesak perlunya
pendidikan
multikultural.
Berbagai
peristiwa
pertikaian antar kelompok atau golongan yang terjadi akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa tingkat keasadaran bangsa Indonesia terhadap keragaman masyarakat baru sampai pada level pengakuan yang dangkal, sebatas wacana bahwa kita bangga sebagai masyarakat yang heterogen. Konflik-konflik sosial tersebut merupakan indikasi bahwa kebanggaan terhadap kenyataan pluralitas bangsa tidak didasarkan atas
pengetahuan
yang
dalam
tentang
hakikat
keragaman
budaya,
dan
penghargaan yang tinggi terhadap keragaman budaya tersebut (Ahimsa-Putra, 2005: 5).
Dengan kata lain, kesadaran multikulturalisme bagi bangsa Indonesia
masih rendah, bahkan mungkin multikulturalisme belum menjadi bagian kehidupan sosiai bangsa Indonesia. Kekurangan yang sama juga terlihat dalam bidang pendidikan. UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sudah memberi peluang (v/alau hanya sebatas ketentuan umum) bagi pendidikan yang bersifat multikultural. Akan tetapi, dalam level kurikulum dan pembelajaran
belum ada satu istilah dan bentuk
pendidikan multikultural yang sistematis dan lengkap dengan landasan filosofis, psikologis dan pedagogis yang jelas ">t has not yel bten developed by design in the
educationalsysteni' (Semiawan,20C4: 37). Di kalangan dunia pendidikan, khususnya PIPS, wacana pendidikan multikultural ini belum banyak dibicarakan. Kalaupun ada
Hah 2
108
tentang partisipasi dalam masyarakat multikultural telah disinggun pelajaran sosiologi kelas II SLTA, hanya terbatas pada satu sub pokok Kenyataan yang dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa perhatian terhadap pendidikan multikultural. Demikian juga hafnya dari kalangan pendidik sendiri. Sebagai contoh kecil, dalam suatu penelitian eksplorasi (Gaylord, 2003) di Padang, tentang pendapat pendidik (gun.i dan dosen) mengenai pendidikan multikultural, ditemukan pendapat yang sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa pendidikan muitikuiturai tercakup daiam
pendidikan kewarganegaraan,
khususnya topik mengenai kesadaran beragama. Ada juga .yang mengatakan pendidikan multikultural dengan memperkenalkan budaya daerah kepada siswa. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membangkitkan kesadaran siswa tentang keberagaman etnik dan perbedaan agama di Indonesia, serta meningkatkan kesempatan pendidikan yang menghargai persamaan hak. Meskipun penelitian ini sangat terbatas dan bersifat eksploratif, sedikit memberikan gambaran bahwa, konsep pendidikan multi budaya atau multi etnik belum menyatu daiam dunia pendidikan kita. Berdasarkan tinjauan filosofis dan sosial yang drkemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan bangsa Indonesia saat ini terhadap pendidikan muitikuiturai semakin mendesak baik dari segi kondisi internal maupun eksternal. Secara
internal
kehendak
kodratiah
kemanusiaan
dari
bangsa
Indonesia
sebagaimana tercermin dalam filsafat bangsa adalah sebuah hutang moral sekaligus
Bah 2
109
politis yang harus diwujudkan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yang ideal. Kondisi internal lain adalah fakta sosial yang menunjukkan tingginya tingkat keragaman dalam masyarakat Indonesia memerlukan perhatian khusus. Setelah era reformasi dan otonomi daerah tampak gejala yang mengarah kepada semakin tingginya kesadaran terhadap identitas kedaerahan dan kemajuan daerah bagi warga negara.
Gejala ini akan menjadi destruktif jika tidak disertai dengan
kesadaran kebangsaan dan pemahaman yang tinggi terhadap perbedaan antar budaya yang
ada. Di samping itu dari sisi eksternal ditandai dengan kenyataan
global yang membuat batas antar negara secara budaya dan ekonomi semakin kabur merupakan ancaman hilangnya identitas nasional. Fenomena sosial dalam masyarakat Indonesia dan fenomena global dalam hubungan antar masyarakat dunia dapat meniadi faktor pemicu
konflik dan
merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia ke niasa depan. Hal ini akan lebih mudah dipahami jika ditinjau dengan tesis Samuei
liuntington (2003:
edisi
terjemahan) tentang benturan peradaban, schirv;;i*~i akan lebih mudah dimengerti i rrrjon^t ponrtirtiknn mnHiloiltNr.il d.tl.tm kehidup-1" in.Ky.irnkat Indonesia sebagai upaya menghindari konflik l<-i-.rhtil. Huntlnuh i n 1H1l1.1t
enam
alasan dasar
mengapa benturan peradaban meniarii fokus periialian dalam penataan kehidupan politik masa depafi, dua digulaianya paling ivirvan untuk permasalahan yang srilaiwi dlltl( arakan adalah: 1) p.indaiiyan masyai.il.al y.iinj herheda akan membawa perbedaan pandangan lenlano nlv.r h.ilk antara luluri dan mnniisia, individu dan
a,,h >
kelompok, orang tua dan anak-anak dan seterusnya; dan 2) dunia semakin mengecil, interaksi antara masyarakat semakin tinggi. Bila interaksi semakin tinggi akan semakin tinggi kesadaran peradaban sendui dan semakin sensitif terhadap perbedaan.
Bila tesis ini diterapkan pada fenomena keragaman masyarakat
Indonesia kekhawatiran terjadinya perbenturan antar kelompok yang dilandasi perbedaan nilai sangat mungkin rerjadi, terutama dalam kondisi rendahnya interaksi lintas kelompok atau budaya yang berbeda. Untuk bisa membangun pendidikan multikultural ai Indonesia, saat ini dapat dimulai dari pemikiran hipotetik. Dengan catatan, pemikiran itu tetap berangkat dari fakta keragaman budaya dan etnik dalam masyarakat Indonesia yang berbeda dari negara lain. Sebagaimana sudah dibicarakan pada Bab 1 disertasi ini, bahwa di Amerika serikat, demikian juga rli beberapa negara main seperti Kanada, Inggris, dan Australia masing-masing memiliki masalah multikultural yang unik sesuai dengan latarbelakang masyarakatnya. Demikian juga pendidikan multikultural yang dikembangkan oleh setiap negara bertolak dari kekhasan permasalahan mereka. Persoalan keragaman dalam masyarakat Indonesia juga unik dan berbeda dari negara laini. Merujuk kepada gagasan multikultural oleh Kymlicka (2002, edisi terjemahan:
14),
keragaman
masyarakat
Indonesia
saat
ini
merupakan
penggabungan dari berbagai "bangsa-bangsa" yang dulu terpisah-pisah sehingga menjadi satu kesatuan, ditambah dengan imigran-imigran yang datang dan menetap di Indonesia sehingga menjadi bagian dari warga bangsa. Dalam pengertian ini bangsa Indonsia adalah kumpulan dari "bangsa-bangsa" dapat juga disebut
Hah 2
111
multibangsa. Setiap "bangsa" itu membawa budaya., nilai, dan bahkan agama yang beragam. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa kekhasan keragaman masyarakat Indonesia terletak dalam dua istilah yaitu: bangsa dengan multibangsa dan multimental. Selain itu masih ada keunikan masyarakat majemuk Indonesia. Jika menurut Kymlicka dikatakan dalam multibangsa atau multietnik ada kelompok mayoritas yang dominan dan kelompok minoritas yang terpinggirkan, maka dalam masyarakat Indonesia semua kelompok etnik dan agama memiliki posisi yang sama dalam negara dan masyarakat seperti yang dijamin oleh konstitusi dan dasar negara. Bagi bangsa
Indonesia
persatuan
dan
kesatuan
menjadi
landasan
dasar
dalam
membentuk negara (Pokok-Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945) Secara konstitusional masyarakat Indonesia sudah mempunyai jaminan untuk hidup dalam keragaman. Tetapi kekomplekan keragaman masyarakat (yang mungkin dapal menimbulkan masalah) terdapat udidin perbedaan karakteristik setiap kelompok. "Setiap kelompok memiliki 'budaya" internal sendiri sehingga berbeda dengan kecenderungan 'budaya' internal kategori sosial yang lain; sehingga kalau dipetakan secara lebih teoritis, bangsa Indonesia dari segi kultural maupun struktural memantulkan tingkat keragaman yang tinggi" (Syahid, 2003: 1). Lebih jauh
dianalisis lagi, bahwa ketajaman keragaman mt diperkuat oleh
kebiasaan
kelompok terutama yang berbasis agama untuk berasosiasi dengan anggota yang beridentitas sama. Misalnya umat Islam, berdasarkan suatu penelitian, terbukti 70 %
Bah 2
II?
memasuki organisasi dengan basis Islam, sedangkan yang aktif dalam organisasi sosial umum hanya 15 %. Di satu sisi, tingginya interaksi internal kelompok mengandung potensi positif yakni dapat memperkuat identitas etnik sehingga menciptakan rasa aman dan rasa memiliki
oleh
individu
di
tengah-tengah
masyarakat
yang
beragam,
dapat
mengembangkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri sebagai modal untuk dapat menghargai orang lain, dan sebagai sarana belajar untuk mempelajari mitos kelompok sendiri dan menemukan faktor-faktor yang membuat ketidakseimbangan dengan lingkungan (Moradian, 1996: 4) Tetapi di sisi lain, rendahnya interaksi eksternal antar kelompok dapat menjadi sumber kecurigaan antar kelompok dan dimanfaatkan oteh kelompok yang ingin mencapai tujuan politis sesaat Kekentalan identitas ini menurut para ahli tentang konflik di Indonsia telah dijadikan alat oleh penguasa untuk mencapai tujuan politiknya (van Klinken, 2004: 91-116; Al Qadrie, 2003: 112). Demikian juga pandangan media massa dan NGO (hasil penelitian disertasi
ini) menunjukkan
bahwa konflik terutama di Maluku dan Poso dilatarbelakangi oleh pelaku-pelaku politik yang memanfaatkan identitas kelompok yang sudah terbangun dalam masyarakat. Bahkan identitas kelompok yang sudah ada dikembangkan lagi menjadi konflik dengan wacana-wacana
heroik oleh
para elit dan diperkuat dengan
pemberitaan media massa yang memihak (Bubandt, 2000: 29). Bertolak dari
uraian
di
atas dapat disimpulkan
keunikan
keragaman
masyarakat Indonesia terletak dalam keanekaragaman identitas setiap kelompok,
Hoh 2
113
kekentalan
identitas
masing-masing
kelompok,
dan
keanekaragaman
itu
dipersatukan secara politis dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijamin secara konstitusional. Agar kesatuan dapat dipertahankan, maka diperlukan: 1) penataan masyarakat yang memberikan rasa keadilan, inklusif, dan kesetaraan terhadap semua kelompok; dan 2) pegembangan interaksi antar warga yang bersifat
saling
menghormati,
toleransi,
dan
sederajat
Kedua
kebutuhan
mengandung aspek perubahan dalam diri Individu warga masyarakat dan perubahan dalam tatanan sosial. Berangkat dari dua kebutuhan ini, maka dapat dihipotesiskan bahwa diperlukan pendidikan multikultural dengan tujuan transformatif yakni membentuk cara pandang positif masyarakat tentang dirinya dan orang lain, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara satu kelompok dengan kelompok lain atas dasar saling menghargai,
menghormati, toleransi, dalam konteks negara kesatuan
Repubiik Indonesia, dan (pada akhirnya) untuk membangun masyarakat yang lebih setara, inklusif, dan demokratis. Sebagaimana telah dibahas di atas pendidikan transformatif dikembangkan dalam kerangka rekonstruksi sosial, yakni pengkajian kritis tentang pengaruh budaya, sosial, dan kelembagaan yang telah mempengaruhi pembentukan cara berfikir yang telah mapan. Kemudian diikuti dengan tindakan perubahan cara pandang negatif tentang diri dan hubungan dengar t orang lain, dan perubahan tatanan sosial yang menyebabkan terlembaganya cara pandang negatif dalam hubungan antar kelompok.
Hah 2
Selain
itu,
filsafat
rekonstruksionis
dalam
pendidikan
multikultural
di
Indonesia perlu dikembangkan bersama kerangka psikologis yang akan menjadi acuan
guru
dalam
mendefinisikan
siswa,
pencapaian
pendidikan,
dan
mengembangkan proses pendidikan yang sesuai dengan gagasan rekonstruksionis. Dalam hal ini, landasan psikologis pendidikan multikultural yang dimaksud ada dalam gagasan L.S Vvgotsky mengenai Sociai Origins of the Higher Menata! Process, dan gagasan Jerome Bruner yang melihat psikologi bukan persoalan prilaku tetapi
Action in a Sociaily Situated Meaning. Keduanya melihat bahwa proses belajar bukan sebagai ruang isolasi yang terpisah dari konteks sosial, budaya, dan historis. Kerangka kerja teoritis dari Vygotsky yang relevan dalam konteks pendidikan multikultural ini adalah " the Higher Mental Process" sebagai proses perkembangan yang berawal dalam tataran sosial dan kultural, kemudian ditransformasi ke tataran personal
(Driscoll,
2000,
244;
Vygotsky,
1978;
Wertsch,
pandangan Vygotsky, perbedaan kemampuan (performance)
1983:24).
Dalam
dalam tugas-tugas
berfikir ada dalam suatu kontinum evolusi sosial. Misalnya perbedaan kemampuan berfikir masyarakat melek huruf, terletak pada titik the higher mental process, dan masyarakat buta huruf pada titik yang lainnya.
Karena itu belajar disesuaikan
dengan perkembangan seseorang. Untuk memahami cara kerja the Higher Mental Process,
ada tiga konsep
yang terkait sebagai berikut. Pertama, the higher mental process (proses mental yang lebih tinggi) terjadi apabila ada mediasi. Proses awal belajar ada dalam tataran sosial kemudian
Bah 2
115
ditransformasi menjadi tataran psikologis melalui mediasi. Dalam hal ini mediasi di definisikan sebagai perubahan situasi stimulus dalam proses merespon sesuatu (Driscoll, 2000: 244). Mediasi ini dapat berupa tanda yang menghadirkan hubungan sebab-akibat (indexia! signs), atau tanda yang menggambarkan Gbjek (iconic signs), atau tanda yang menghadirkan hubungan abstrak dengan objek (symbolic signs). Proses mental yang lebih tinggi akan tercipta apabila mediasi meningkat menjadi internal dan simbolik. Konsep kedua, internaiization (internalisasi), yakni fungsi mental yang lebih tinggi pada awalnya berfungsi sosial dan karena itu berlangsung dalam tataran eksternal. Fungsi itu berubah menjadi fungsi psikologis ketika makna yang dipahami melalui mediasi diinternalisasi, sehingga dalam proses ini dikatakan "telah terjadi transformasi aktifitas interpersonal menjadi aktifitas infra personal". Pada saat ini pembicaraan diri (ego~speech) diarahkan dari dalam diri. Konsep ketiga Zone of Proximai Deveiopmeni (ZPD).
Konsisten dengan
pandangannya tentang proses perkembangan, maka zona ini adalah cara memahami bagaimana proses dimulai. Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai: The zone of proxima! development is the distance between the actual development level as determined by independen!: prcbfern soJving and the evel of potential deveiopment as determined through problem soiving under aduit guidance or in coliaboration with more capabte peers (Vyaotksky, 1978: 86) Fungsi dari ZPD adalah untuk memecahkan masalah praktis dalam hal mengukur kemampuan intelektual anak, dan mengevaluasi praktik pengajaran (Wertsch, 1985: 67). Vygotsky melihat perkembangan dan pengajaran tidak sama, tetapi mewakili dua proses yang terkait secara kompleks. Di satu sisi pengajaran
Ha h 2
116
menciptakan 2PD. Namun perkembangan potensial (yang dicapai melalui bantuan orang dewasa) bukan sesuatu yang tinggi.
Anak dapat beroperasi hanya dalam
batas tertentu yang cocok dengan keadaan perkembangannya dan kemungkinan perkembangannya.
Jadi
ZPD
ditentukan
secara
bersama-sama
oleh tingkat
perkembangan anak dan bentuk pengajaran yang dilakukan. Legacy yang kedua sebagai landasan psikologis pendidikan multikultural adalah dari Bruner. Gagasannya di sebut juga dengan A Cuitura! Psychoiogy, yang memberi perhatian kepada hubungan antara action dan saying (or experiencing) sebagai peristiwa yang terjadi dalam prilaku kehidupan yang asli, merupakan hal yang dapat ditafsirkan (Bruner, 1990: 19). Selanjutnya dinyatakan bahwa tindakan disituasikan dalam setting kultural, dan terjadi dalam saling interaksi yang disengaja oleh partisipan. Bagi Bruner, konsep sentral dalam psikoloqi manusia adalah meaning, dan proses serta transaksi yang dibuat aaiam mengkonstruksi meaning (makna). Konsep ini didasarkan pada dua argumen yaitu, 1) untuk memahami manusia kita harus memahami bagaimana pengalamannya dan tindakannya dibentuk oleh keadaan maksudnya {intentionaf state)] dan 2) bentuk dari intentionaf state dipahami hanya melalui partisipasi dalam sistem budaya simbolis. Gagasan ini sangat relevan dalam interaksi masyarakat
dengan budaya
demokrasi. Namun untuk menghindari relativisme, Bruner (1990: 30) menegaskan pentingnya open-mindedness - baik dalam bidang politik, sains, sastra, filsafat, dan seni. Dengan open-mindedness adanya kemauan untuk menafsirkan pengetahuan
Bah 2
117
dan nilai dari berbagai perspektif tanpa kehilangan komitmen terhadap nilai sendiri. Dengan open-mindedness kita dituntut untuk menyadari bagaimana kita sampai kepada pengetahuan kita dan nilai-nilai yang membawa kita ke dalam satu perspektif yang kita miliki. Berarti kita bertanggung jawab tentang bagaimana dan apa yang kita ketahui, dan tidak memaksakan bahwa hanya ada satu-satunya cara yang benar untuk menafsirkan pengetahuan. Akan tetapi, untuk dapat menghadapi perubahan yang begitu banyak dalam kehidupan, seseorang tetap bertolak dari nilai yang diyakininya. Berdasarkan kerangka berfikir rekonstruksi sosial, dan pandangan psikologi sosiohistoris-kultural tentang pendidikan sebagaimana telah dibahas terdahulu, maka pendidikan multikultural yang bersifat transformatif dapat dilaksanakan secara lebih
konseptual.
membangkitkan
Artinya
kesadaran,
konsep-konsep melakukan
pedagogis
transformasi
yang diri
ditujukan dan
sosial,
untuk serta
berpartisipasi daiam perubahan masyarakat akan menjadi iebih terarah dan memiliki landasan yang kuat Secara teknis hubungan landasan filosofis, psikologis, dan pedagogis ini dikembangkan pada Bab IV.
2.4 Analisis Wacana Kritis ( Critica!Discourse Analysis) dan Media Massa Uraian tentang media massa dalam bagian ini digabung dengan analisis kritis wacana. Ha! ini didasarkan pada dua sisi. Pertama, dari segi peran media massa dalam masyarakat multikultural (fungsi sosial media massa). Salah satu keunggulan dalam masyarakat majemuk yang dikelola secara demokratis, adalah terciptanya
Hnb 2
118
ruang-ruang publik yang dapat menjadi tempat penuangan gagasan terwujudnya masyarakat yang
ideal,
dan
katalisator dalam
menyelesaikan
persoalan (Mc
Chesney, 2000; Haberrnas, 2005: www.wikipedia.com). Untuk ini peran media massa adalah sebagai ruang kebebasan dan netralitas, basis rasionalitas dan kecerdasan, serta berorientasi pada derajat kemanusiaan (Siregar, 2002), Kedua, media massa juga memiliki fungsi internal
yang hpmrientasi kepada kepentingan
pemilik. Fungsi ini sering menjadi perdebatan di kalangan ilmu sosial yang melihat pemberitaan media massa "periu dicurigai" karena ada ''hegemoni" ideologi yang membuat berita media menjadi bias. Untuk ini diperlukan kajian khusus untuk mencermati berita media massa. Sejalan dengan tujuan umum penelitian ini untuk membantu menciptakan masyarakat multikultural yang demokratis, melalui pendidikan, dan menggunakan media massa sebagai titik berangkat, maka pembicaraan tentang
media massa
tidak bisa dipisahkan dari metode menggali berita dari media massa. Uraian ini pada dasarnya dikembangkan daiam tema peranan analisis kritis wacana dalam penelitian dan penggalian informasi melalui media massa.
2.4.1. Analisis Wacana Kritis Kehadiran
pemikiran
postmodernisme
dalam
dunia
penelitian
pendidikan
membawa makna baru tentang hakikat kebenaran. Selama berabad-abad dipegang anggapan bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang lahir dari proses penelitian yang dikontrol secara ketat sehingga memunculkan'suatu teori baru dan
nah ?.
c
I!>
membatalkan
kebenaran teori yang lama (Kuhn, 1978; Capra, 2002). Kebenaran
yang menyatakan suatu teori adaiah valid, sementara teori yang lain tidak, menimbulkan kritik dari kalangan penganut posli Modernisme yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, semua budaya memiliki klaim kebenaran yang sama tentang sesuatu; pencarian kebenaran seperti yang dianut selama ini harus digantikan dengan "conver^ation among manv voices" (Borg & Gali, 2003: 27). Tradisi penelitian seperti yang dituntut penganut postmodernisme berkembang dalam bentuk pendekatan penelitian kualitatif (Borg & Gali, 2003; Maxwell 2004; Cresswell, 1998). Menurut Borg & Gali (2003: 501-511) satu di antaranya dalam bidang kajian bahasa dan komunikasi dengan bentuk penelitian: 1) kajian tentang pola-pola komunikasi budaya yang mencakup ethnosciencp. ethnographic content
anatysis,
dan
ethnography
of communication;
2)
interpretasi
teks
atau
hermeneutics; 3) studi tentang sistem tanda atau semiotics; dan 4) studi tentang properti sistem fenomena yang disebut stnicturatism dnn poststructuralism. Selain itu ada lagi pendekatan dalam kajian bahasa dan komunikasi atau teks yang disebut
discourse anafysis (V a n Dijk, 1985a: 8) Pada awalnya ahli bahasa dalam studi mereka banyak berkonsentrasi pada persoalan-persoalan formai dari penggunaan bahasa seperti phonoiogy,
dan
morphoiogy,. Kajian ini menempatkan bahasa sebagai bidang yang terisolasi dari konteks di mana bahasa digunakan (Coulthard, 1977: 3). Tetapi dari berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa bahasa tidak terlepas dari konteks, dan karena itu
Hnh 2
120
A pemahaman bahasa iuga tidak dapat dipisahkan dari konteks. Atas dasar
f
dekade 60 an terjadi perluasan kerangka kajian ke dalam bentuk nyata p e n o ^ ^ j ^ ^ ^ bahasa yaitu discourse (Van Dijk, I985b : 3). Lebih jauh Van Dijk menjelaskan bahwa kajian discourse (wacana) berusaha mengaplikasikan kelengkapan bahasa (grammar) yang bersifat formal dan teoritis ke dalam deskripsi struktur wacana yang melampaui sekedar analisis kalimat Analisis struktur terus mengalami perkembangan menjadi analisis fungsional yang melihat sebuah wacana sebagai bagian dari konteks di mana ia terjadi. Dari sini awal pendekatan analisis wacana yang bersifat interdisipliner dengan menggunakan konsep-konsep psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang meliputi analisis bahasa, kognisi, interaksi masyarakat dan budaya. Analisis wacana
menerapkan
metode interpretasi (Van Dijk,1985a:
8
Fairclough, 1992: 3 & 35). Interpretasi dalam semantik dibedakan atas dua tipe yaitu abstrak dan kongkril (Van Dijk, 1998). Interpreiasi abstrak merupakan upaya penafsiran wacana dan elemen-elemennya dengan sistem dan aturan sistem dalam wacana. Sedangkan interpretasi kongkrit adalah interpretasi oleh pengguna bahasa dengan menggunakan sistem kerja dalam teori psikologi kognitif untuk memahami sebuah teks (http//www.doscourse-in-society.org/1998). Pengguna bahasa memulai pemahamannya dengan penafsiran (yang tentatif) pada kata-kata pertama sebuah kalimat sebelum seutuhnya diuenyar atau dibaca. Untuk itu pengguna bahasa menggunakan informasi dari teks itu sendiri dan dari konteks secara bersamaan.
Hoh 2
12 i
jj
Informasi tersebut telah tersimpan dalam memori pengguna bahasa. Sistem kerja ini mirip dengan proses mental dalam teori psikologi. Pendekatan dalam analisis Leks yang juga menggunakan interpretasi adalah
hermeneutics.
Satu bentuk dari hermeneutika adalah analisis teks yang dapat
tefjadi dalam beberapa level seperti tingkat ekspresi dan makna literal, tingkat metaforis dan non literal, dan bahkan juga tingkat makna metafisis (Van Dijk (1985a: 8). Sejalan dengan itu,
Palmer (2003: 38-51) mengemukakan ada enam
definisi hermeneutika yang dapat dipahami dari sejarah perkembangannya yaitu: 1. Hemeneutika sebagai teori eksegesis Bibel, merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Hermeneutika merupakan sistem interpretasi untuk mengungkap makna "terwmhunyiw di balik ("eks Bibel. 2. Hermeneutika sebagai metode filologi, yaitu konsep hermeneutika yang semula bernuansa Bibel dikembangkan dalam kajian fiioiogis, dan Bibel salah satu di antara objeknya. 3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik, yakni medeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog. Metode ini disebut juga dengan hermeneutika umum. 4. Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geitenswissenschaftens, yakni sebagai inti disiplin yang dapat berperan sebagai landasan semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan. 5. Hermeneutika sebagai fenomenologi dassein dan pemahaman eksistensial. Dalam ha! ini kajian difokuskan pada penjelasan fenomenologi keberadaan manusia itu sendiri. 6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, yakni menemukan makna. Hermeneutika merupakan upaya interpretasi teks-teks khusus atau kumpulan potensial simbol keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks Di samping itu, Jacques Derrida, (dalam Sumarjono, 1999: 109-128) juga seorang tokoh yang terkenal dalam bidang hermeneutika, mengemukakan bahwa teori interpretasi pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya adalah teori
tentang
membaca
teks.
'dekonstruksi"
Hoh 2
teks
Pemahaman Derrida
seseorang
mengembangkan
tergantung teorinya
kepada yang
bagaimana
dikenal
ia
dengan
sekitar tahun 70 an (Stevens, 1996). Dia menggunakan metode
122
tersebut
untuk melakukan pembongkaran metafisika yang diartikannya sebagai
flogos, tuturan, dan pemikiran tentang Ada (Hardiman, 1993: 208-209). Bahasa tulisan menurut Derida berbeda dari bahasa tutur, harus lepas dari pikiran si penulis, dari reaksi-reaksi pendengar, dari situasi konkret yang menghasilkannya, dan juga lepas dari kehadiran objek yang dibicarakan. Tulisan adalah "teks" yang bersifat otonom dalam hubungannya dengan segala konteks; teks adalah jaringan makna yang diorganisir
dengan karakteristik yang selalu dapat ditafsirkan (Usher &
Edwards, 1993: 137). Untuk membongkar unsur-unsur metafisis Derrida melakukan dekonstruksi (pembongkaran metafisis) dari teks dengan memperlihatkan "intertekstualitas" yaitu memahami teks dengan melihat kaitannya dengan teks-teks lain. Teks ditafsirkan sedemikian luas sehingga tidak ada sesuatu yang berada di luar teks; antara satu teks dengan teks lain merupakan satu jaringan
referensi;
memahami teks
merupakan proses yang tak berakhir. Namun menurut Van Dijk {1985: 9) hermeneutika menggunakan interpretasi yang lebih bersifat subjektif dibanding dengan interpretasi dalam kajian bahasa yang lebih bersifat objektif dengan mengikuti aturan interpretasi tatabahasa dan logika. Sebagai contoh, subjektivitas penafsiran dalam pendekatan hermeneutika seperti dikemukakan
Ann-Kristin
Riedei
&
Edith-Theresa
Sosa
(2003)
adalah
"pre
understundiny or ptevivus knowiedge" yang terbentuk menjadi bahasa, konsep, keyakinan, dan pengalaman individual dan personal tentang sesuatu yang berkaitan dengan objek kajian.
Hnh ?
Karena penelitian mereka tentang mergers dalam media
123
massa Swedia, maka pre understanding yang dimaksud adalah bahasa, latar belakang ekonomi dan bisnis di Swedia. Dari itu dapat disimpulkan bahwa analisis wacana dan hermeneutika sama menggunakan inlerprelas,i namun analisis wacana terikat dengan aturan formal secara logika dan tatabahasa. Munculnya teori kritis dalam ilmu sosial yang mengangkat konsep-konsep seperti power, ideologi, hegemoni, dan emansipasi juga turut mempengaruhi perkembangan metode interpretasi wacana menjadi analisis wacana kritis (critica1
discourse analysis). CDA merupakan pendekatan yang mengkaji hubungan antara wacana dengan ideologi. Tujuannya adalah untuk mendefinisikan kembali ideologi dalam cara yang sangat sepesifik sebagai sistem dasar dari kognisi sosia! (Van Dijk, 1998). Dalam pendekatan ini teks (tertulis atau lisan) dimaknai sebagai ruang sosial yang menampilkan dua proses sosial yang fundamental secara simultan yaitu kognisi dan representasi dari dunia, dan interaksi sosial (Fairciough, 1992: 62-100). Bagi Fairclough, CDA merupakan sebuah kerangka analisis wacana yang menggabung teori Bakhtinian tentang genre dan teori Gramscian mengenai hegemoni. Analisis
genre berkenaan dengan praktek wacana, sedangkan analisis tentang hegemori menyangkut praktek sosial budaya. Secara sederhana kedudukan CDA dalam konteks penelitian kualitatif dapat dibaca dalam diagram sebagai berikut.
fkib 2
124
Gambar 2.4.1 Posisi Peneiitian CDA dalam Konteks Penelitian Kualitatif
r
Postmodernisme Postpositivismc
V
i radisi Kualita trf
Modernisme Positivisme
\ 'l !
y
Sosis! Pendidikan Bahasa
Format
- r . {
Kontekstual/ hungsionai
L
Hermen^tikn
J^ I n t e r p r e t a s i ^
I Discourse Anaiysis
N \
f Lalui Discour'je Anaiysis
^^
H,,h 1
Media M, iss, i
V
I
2.4.2. Media Massa Salah satu dari objek kajian analisis wacana kritis adalah media massa, karena di dalamnya persoalan kekuasaan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Media massa bergerak dalam masyarakat yang ditandai oleh adanya penyebaran kekuasaan yang diberikan kepada individu, kelompok, dan kelas sosiai secara tidak merata, serta dalam beberapa hal media berkaitan dengan struktur politik dan ekonomi yang berlaku (Mc Quail, 1987: 52). Oleh karena itu, media massa memiliki konsekwensi
dan
nilai
ekonomi,
serta
merupakan
objek
persaingan
untuk
memperebutkan kontrol dan akses dan juga tidak dapat terlepas dari peraturan politik, ekonomi, dan hukum. Dalam disertasi yang berjudul Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa:
Sebuah Studi Critica/ Discourse Anaiysis terhadap Berita-Berita Politik, Hamad (2004: 180) membuktikan bahwa di balik berita-berita yang diungkap oleh media massa (koran) terdapat "muatan" ideologis yang berbeda antara satu koran dengan koran yang lainnya. Setiap koran memiliki konstruksi makna, pencitraan, pemihakan, dan kepentingan yang diperjuangkan sesuai dengan "muatan" ideologis yang dianutnya. Demikian pula dalam penelitian Riyadi yang dilakukan pada tahun 1994, 1995, dan 1996 mengenai editorial di harian Kompas, Suara Karya, Suara Pembaharuan\ Jawa
Pos, dan Republika (Riyadi, 2003: 43), terungkap bahwa suatu masalah sosiokultural adakalanya ditanggapi secara layak dan terang,
adakalanya tidak oleh
media massa. Hal ini tergantung pada pertimbangan penulis (editorial), jika masalah itu "aman", terutama menyangkut kebijakan pemerintah, akan ditanggapi dengan
Hoh 2
126
sikap yang jelas. Akan tetapi, jika masalah itu "riskan" secara sosio kultural, media massa cenderung memilih sikap mendukung atau tidak menyinggung sama sekali. Bagi Fairclouyh (1995:
36-41) media massa dipandang sebagai suatu
lembaga sosial yang berisi formasi ideologis secara terpisah-pisah (ideotogicat-
discursive formations) yang diasosiasikan dengan berbagai kelompok yang berbeda dalam lembaga tersebut Dalam formasi itu ada idenlngi yang dominan secara jelas yang terus berupaya memenangkan penerimaan terhadap ideologi itu. Analisis wacana mencoba menggali upaya tersebut dan menempatkan analisis wacana kritis sebagai
intervensi
praktek
yaiv;
efektif dan elemen
yang siginifikan
dalam
pendidikan bahasa ibu {mother toursge). Demikian pula Van LMjk (1998) yang melakukan kajum khusus tentang hubungan media massa dan rasisme di Fropa, menyatakan hahwa pada kadar tertentu media massa merefleksikan apa yang dikatakan oleh politisi atau publik
(general public), tetapi juga memiliki peran dan tanggung jawab sendiri dalam heibaijai |)t'iso.ifiiii etnik. Kaien.i ilu daiam peneliti.inu*.i .Ii .»rn|mlk«in bahwa media massa di f.ropa memainkan peian yang sentral dalam mempertahankan status quo etnik. Hasil peneliitan ini sejalan dengan penelitian lain mengenai keterwakilan etnik minoritas dalam media mav.a <11 liniijrls dun Polandia, v. mu mennn|nkkan antara lain
h»hwo media massa Inggris cenderung monaiiifnlk.iu kelompok etnik minoritas sebagai pelaku Leious, kriminal, iltin korban dlskiiminaM, sementara media Polandia menampilkan etnik minoill.r. -.elM
n,,/. »
I
massa di kedua negara itu cenderung memperlihatkan etnik minoritas menurut apa yang mereka pikirkan tanpa melibatkan atau partisipasi dari kelompok etnik tersebut (Kimlikiwiech, 1998) Mc Luhan (2000: 410-11) mengemukakan bagaimana kekuatan media dalam mengubah identitas bangsa Kanada. Dia menyatakan bahwa satu cara media (televisi) mempengaruhi identitas modem adalah " retribafization"
Cara ini tidak
hanya membangkitkan kembali {re-awakening) solidaritas etnik yang menantang negara modern dari dalam, tetapi juga berarti membangun kembali kehidupan global
(a global rebuilding of village Hfe) yang merupakan suatu tipe kesadaran yang kongkrit, komunal, akrab, yang mirip beberapa ciri budaya oral. Media massa mengambil peran dalam masyarakat dengan tiga bentuk (Fotopoulos, 2000) yaitu merefleksikan, mendrstorsikan, dan memproduksi realita sosial. Penelitian Fotopoulos tentang media massa di Inggris menunjukkan jika elit dalam masyarakat terbagi, seperti pro dan kontra di Inggris untuk bergabung dengan mata uang Eropa, maka diskusi dalam media massa memperoleh tempat yang relatif bebas dan luas untuk membicarakan makna yang sesungguhnya tentang persatuan Eropa. Sebaliknya jika elit politik sepakat dalam menggolkan suatu gagasan misalnya tentang serangan ke Irak apakah tergolong kriminal atau tidak, maka media massa justru mendistorsikan kebenaran. Demikian pula halnya jika media massa dikuasai oleh elit politik, maka mereka menciptakan realita itu sendiri melalui media massa.
Hoh 2
128
Dengan nada yang lebih tajam, Brian Martin (1998: 7) menyatakan bahwa
"mass media are inherentfy corrupting"
Sejumlah kecil pemilik dan editor
menguasai pemberitaan yang dikonsumsi oleh banyak orang. Kenyataan inilah yang disebut dengan kritis oleh Noam Chomsky (2002: 14) dalam bukunya Media Contro/ sebagai "manufacturing consent"
dalam revolusi seni berdemokrasi. Artinya,
sebagian kecil elit berusaha merekayasa sebuah persetujuan dengan propaganda melalui media massa kepada kelompok yang banyak, sementara kelompok yang banyak itu tidak menginginkannya. Chomsky meiihat bagaimana media dalam negara demokrasi yang sarat dengan ideologi atau kepentingan tertentu. Pandangan kritis terhadap media tidak hanya muncul dari kalangan ilmuwan, bahkan kalangan pendidik pun di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada , dan Australia sepakat bahwa untuk mengeksplorasi media dalam pendidikan perlu diperhatikan beberapa prinsip dasar (Considine, l^b}- Prinsip-prinsip ini berangkat dari pandangan sebagai berikut. 1) Media adalah konstruksi. Gila dalam adagium lama dikatakan bahwa "kamera tidak pernah dusta", maka dalam era komputerisasi berub3h menjadi "penglihatan tidak dapat dipercaya". Artinya semua media saat ini bukan lagi konstruksi
realita tetapi
konstruksi yang didisain,
dipilih,
diedit,
dan
digabungkan secara akurat. Media menunjukkan kepada kita dunia, tetapi dunia yang sudah diseleksi dan bahkan merupakan pandangan yang tidak representatif.
Hrth 2
129
2) Media massa menghadirkan realita yang terkonstruksi (construction reality). Dalam hai ini periu disadari bahwa ada hubungan antara cara-cara media menghadirkan dunia dengan cara konsumen mempersepsi berita. Saat ini media massa menghadirkan kejahatan 10 kali lebih besar dari kenyataannya, sehingga orang mempersepsi dunia sedemikian kerasnya. 3) Pengguna memahami media massa berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Untuk media massa yang sama dibaca oleh kelompok etnik yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda. Oleh karena itu dalam pendidikan,, media massa perlu membuat negosiasi dari semua pandangan yang berbeda. 4) Konstruksi media massa memiliki tujuan-tujuan komersial.
Isi media tidak
dapat dipisahkan dari faktor-faktor ekonomi dan finansial yang menggerakan industri media. 5) Pesan-pesan media massa memuat nilai dan ideologi. Meskipun orang dikondisikan untuk berfikir tentang program yang disajikannya sebagai hal yang terpisah, sesungguhnya secara ideologis media massa membangun, mengisi, membawa, dan menyampaikan keyakinan-keyakinan prinsip dari nilai-nilai. 6) Media massa memiliki konsekwensi sosial dan politis. Sebagai contoh, kita dapat mfciihaL kontradiksi bagaimana lembaga-lembaga sosial berbicara tentang seks, dan kekerasan yang secara langsung bertentangan dengan sajian media massa yang menyampaikan dengan melalui hiburan dan cara
Hoh 2
130
yang menyenangkan tanpa ada konsekwensi. Kenyataan ini m_ pendidikan untuk mengekpiorasi secara lebih akurat bagaimana media massa membagun sebuah realita, siapa di balik berita, dan adakah kelompok yang dipinggirkan. Ini melibatkan pemahaman tentang siapa yang dibicarakan oleh siapa, bagaimana, dan apa pengaruhnya. 7) Setiap media massa menyajikan program dengan karya seni yang berbedabeda. Tujuannya adalah untuk membangun realita sebagai diinginkan oleh pembuatnya
sehingga
seoiah-seolan
mencerminkan
realita
yang
sesungguhnya. Pendidik harus paham dengan sajian estetika media dan hubungannya dengan isi. Oleh karena banyaknya hal yang harus dibongkar di balik kebenaran realita yang disampaikan media, maka kalangan ilmu sosial dan kultural secara kritis mengkaji bagaimana pengaruh media terhadap audiens. Siklus antara kebenaran dan kepentingan yang mewarnai penyampaian reinitta oleh media massa merupakan permasalahan sekaligus jalan untuk menemukan solusi dalam menempatkannya sebagai sarana informasi publik. Untuk hal ini Mark Goodman (2005) ahli komunikasi dari
Mississippi State
University,
menyarankan
bahwa
untuk
memperoleh
pemahaman yang baik dalam kajian media adalah dengan cara "deconstruct the
texti', yakni melihat kembali bagaimana teks dibangun berdasarkan keputusankeputusan kreatif dan teknis. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan analisis wacana kritis dalam kajian sosial, merupakan salah satu jawaban terhadap ketidakpuasan
H-ih 2
131
pendukung postmodemisme tentang klaim-klaim kebenaran ilmiah yang bersifat mutiak, dan sekaiigus sebagai upaya "membongkar ideologi" yang tersembunyi di balik wacana yang bersifat merugikan pihak yang terpinggirkan dalam suatu masyarakat.
Analisis wacana kritis merupakan proyek politik yakni sebagai upaya
untuk mengubah ketidaksetaraan distribusi ekonomi, kultural, dan politik dalam masyarakat kontemporer. Maksudnya, adalah membawa sistem yang tidak adil ke dalam krisis (dengan membongkar cara kerja sistem dan pengaruhnya melalui objek kultural yang potensial, yakni teks)
untuk membantu perbaikan sistem sosial
tersebut (Kress, 1596:15).
Hah ?
132