terpisah dari keberadaan atau eksistensi kita sebagai manusia
Pameran Bersama
sehari-hari.
ALAM / BENDA
Di sisi lain nenek moyang kita memandang alam secara berbeda. Alam dan benda dianggap memiliki kemuliaan sehingga harus
Seniman: Aditya Chandra Hernawan | Michael Binuko | Prilla Tania | Syaiful Aulia Garibaldi
dihormati. Nenek moyang kita mempercayai bahwa alam dan benda-benda tertentu memiliki ruh dengan kekuatan besar. Perlakuan mereka terhadap alam dan benda pun jauh dari taraf eksploitasi karena mereka menyadari bahwa mereka juga menjadi bagian alam. Apa yang mereka kerjakan sehari-hari, dalam
Hidup
ia
kualitas dan kuantitas tertentu adalah upaya spiritual untuk
berhubungan dan berinteraksi dengan alam. Hasrat kita juga amat
memuliakan alam. Maka dari itu hasrat kebendaan tidak terpisah
spesifik dalam melihat bagaimana alam berpengaruh bagi hidup
dengan hasrat keilahian.
kita.
1
manusia
Alam
dan
di
zaman
benda
ini
memiliki
dipandang,
kekhasan
diukur,
saat
dijelajahi
dan
dieksploitasi dalam kerangka fungsi yang harus mendukung segala
Pameran ini menampilkan beberapa seniman yang memiliki hasrat
perikehidupan manusia. Hutan-hutan berubah menjadi ladang,
yang khusus terhadap benda (baca: medium dan material) dan
sawah dan perkebunan. Tanah dikeruk dan digali untuk untuk
secara kebetulan hasrat tersebut dipakai untuk membicarakan
pertambangan. Dalam perspektif religi, hasrat kebendaan itu
alam hari-hari ini. Meskipun secara sekilas kita bisa melihat
identik dengan sifat keduniawian yang bersifat sementara. Hidup
gambar, patung ataupun instalasi, beberapa karya mereka keluar
manusia di dunia “alam dan benda” hanya dianggap mampir
dari batas- batas paradigmatik medium seni rupa. Dari beberapa
sebelum hidup abadi di dunia sana. Hasrat kebendaan seperti
sudut pandang dan persoalan, pokok soal alam mereka jelajahi
terpisah dengan hasrat keilahian. Oleh karena keterpisahan itu
secara khas, yakni dalam perspektif medium dan materialitas itu
membuat kita memandang alam sebagai “benda mati” yang
sendiri.
2
“Hasrat Kebendaan” untuk Membicarakan Alam Kedekatan dan kekaguman nenek moyang kita terhadap alam menjadi perumpamaan bagi pendekatan berkarya para seniman yang berpameran ini. “Fetisisme” hadir karena mereka juga memiliki perilaku yang unik terhadap material dan medium. Mereka secara suntuk bereksperimen mendalami teknik, bergelut secara intim dengan material dan melakukan riset lintas disiplin secara komprehensif. Melalui hal tersebut karya-karya beberapa seniman ini juga mempertanyakan gagasan antroposentrisme, ketika manusia merasa mendapatkan “wewenang” untuk dapat memaknai dan bahkan menaklukan alam. “Megaptera Novalevitae Series” exhibition view, Michael Binuko, 2015
Michael Binuko banyak menggarap gambar (drawing) dan cetak
Megaptera Novalevitae yang memanfaatkan wilayah abu-abu
grafis monokrom hitam-putih dalam ketekunan dan kecakapan
dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam.
teknis yang amat memadai. Pada awal-awal karirnya sebagai
Megaptera Novalevitae merupakan nama latin paus bungkuk
seniman, karya-karya Binuko banyak menampilkan cuplikan
rekaan yang memiliki sayap hasil mutasi karena berabad-abad
lansekap alam yang terintervensi oleh benda-benda yang merujuk
hidup di laut yang tercemar. Sang paus meninggalkan habitat
pada kehadiran peradaban industrial, seperti pipa-pipa besi,
awalnya di laut, untuk hidup terbang di udara. Melalui karya ini,
jembatan kereta api, menara listrik tegangan tinggi dan lain-lain.
Binuko seperti mempresentasikannya dalam konsep studi yang ilmiah, sehingga makhluk ini seolah-olah ada. Gambar dan teknik
3
Masih menggunakan gambar dan cetak grafis sebagai medium
cetak grafis juga berkaitan perkembangan ilmu pengetahuan dan
berkarya
pernah
utama,
Binuko
melanjutkan
karyanya
pada
seri
menjadi
metode
yang
digunakan
untuk
mengejar
4
kebenaran ilmiah. Para ilmuwan alam pada jaman dahulu
geolog untuk meramalkan apa yang kelak terjadi pada bumi di
memiliki kemampuan menggambar yang memadai untuk merekam
masa depan. Dapat dirasakan bahwa pekerjaan seorang geolog
temuan-temuan mereka di lapangan, dengan dilengkapi sejumlah
yang berbasis saintifik berhubungan dengan ramalan dan
catatan tulisan. Teknik cetak grafis juga dijadikan sebagai alat
imajinasi. Hal ini juga menggarisbawahi bahwa alam sebenarnya
dan media penyebar ilmu pengetahuan dan ajaran agama.
merupakan entitas yang belum bisa ditaklukan sepenuhnya oleh manusia.
Seri karya ini mustahil dikerjakan oleh Binuko tanpa melakukan studi/riset ke beberapa bidang keilmuwan: misalnya geologi.
Patung-patung Aditya Chandra Hernawan menunjukkan tegangan
Melalui fosil-fosil tumbuhan dan hewan, para geolog menafsirkan
atas karakter alami dengan sintetik. Sepintas patung-patung Aditya
bentuk-bentuk biologis makhluk-makhluk itu serta menafsirkan umur
menampilkan beberapa citraan yang merepresentasikan benda-
bumi serta peristiwa-peristiwa alam apa saja yang pernah
benda dan makhluk-makhluk organik seperti pohon, jamur, kayu
menaungi bumi di masa lalu. Kecenderungan itu dibaca oleh para
dan lain-lain dengan menggunakan material-material sintetik
“Our Forest” exhibition view ALAM/BENDA, Aditya Chandra, 2015
5
6
seperti resin, silikon dan plastik. Kecakapan teknis Aditya sebagai
mengeksploitasi alam: hanya mengembangkan beberapa jenis
pematung dapat menampilkan ilusi untuk menghasilkan imaji-imaji
tumbuhan. Melihat bumi dari udara kita akan melihat banyak
organik tersebut.
wilayah yang ditumbuhi jenis pohon dan vegetasi yang seragam, tidak hanya jati melainkan juga kelapa sawit, karet dan lain-lain.
Karya-karya Aditya seperti mengolok-olok obsesi manusia modern
Pada
yang terus-menerus mencari cara untuk menangkal atau setidaknya
industrialisasi pertanian dan perkebunan menimbulkan kerugian-
menunda ketiadaan. Hal ini tentu saja berlawanan dengan
kerugian yang lebih besar bagi alam. Patung-patung akar Adit
peradaban modern yang selalu identik dengan pemikiran progresif
yang berjudul Our Forest ini nampak hidup dan bertumbuh sendiri
yang mensyaratkan perubahan. Pada jaman dahulu kita mengenal
di luar jangkauan pemahaman manusia dalam menaklukan alam.
tingkatan
selanjutnya
kita
dapat
melihat
bahwa
praktik mumifikasi. Pada jaman modern manusia melakukannya saat
Cerobong, karya Prilla Tania dalam pameran ini menampilkan
mengawetkan makanan dan operasi plastik untuk menunda
patung lunak gigantik yang tersusun dari ratusan kardus bekas.
penuaan penampilan. Padahal, di sisi lain senyawa-senyawa
Melalui karya ini Prilla memiliki keyakinan bahwa benda-benda
sintetik justru makin cepat mendegradasi daya dukung alam untuk
buatan manusia secara disengaja atau tidak menirukan apa saja
kehidupan.
yang ada di alam. Karya ini berasosiasi ke sebuah bangunan
dengan
menggunakan
senyawa-senyawa
sintetik
pabrik dan dalam beberapa hal juga merujuk ke lansekap Dalam pameran ini secara khusus ia merespons beberapa akar
pegunungan. Aktivitas pabrik saat keluarnya asap dari cerobong
jati. Akar-akar itu terlihat sedang tumbuh ke atas. Pada bagian
juga menjadi analogi meletusnya gunung berapi sebagai penanda
bawahnya terdapat sebuah organ asing yang menempel dan
aktivitas bumi. Peniruan ini ironis jika dikaitkan pada hasrat
sedang bertumbuh. Hampir separuh wilayah Ngawi, kota di mana
manusia dalam menaklukan alam.
Aditya lahir dan dibesarkan, ditumbuhi hutan jati untuk kebutuhan industri sejak jaman penjajahan Belanda. Kita melihat bahwa perkebunan 7
dan
pertanian
menandai
manusia
dalam 8
Beberapa tahun belakangan Prilla intensif mengolah material
mewujud pada penggunaan kemasan makanan, penggunaan
kertas,
untuk
energi yang tidak terbarukan untuk pengolahan dan distribusi
diciptakan menjadi karya dengan bermacam-macam media seperti
makanan. Bahkan tidak sedikit produk makanan itu sendiri
mural, video dan instalasi. Dengan material tersebut, Prilla banyak
menjadi sampah bagi tubuh karena hanya dapat memenuhi hasrat
menghubungkan persoalan sampah dan pangan. Melalui karya-
untuk makan tidak sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan biologis
karyanya Prilla hendak menyatakan bahwa dunia pangan modern
untuk menghasilkan tenaga dan bertumbuh. Isu ini kemudian
pada akhirnya membuang terlalu banyak energi yang tidak
bersinggungan juga dengan praktik kolonisasi dan kapitalisme
khususnya
karton
bekas
kemasan
makanan
yang pada akhirnya juga mengurangi kemandirian pangan pada sebuah komunitas atau warga masyarakat di sebuah negara. Karya ini menampilkan ciri khas karya-karya Prilla selama ini: hadir dalam bentuk dan perspektif yang sederhana untuk membicarakan banyak hal. Modus kesederhanaan mewakili pemahamannya
yang
mendalam
dan
unik
pada
sebuah
persoalan. Sempat berkuliah di Jurusan Agronomi memberi Syaiful Aulia Garibaldi (Tepu) pengalaman untuk mengenal dan mendalami ilmu mikrobiologi, hal yang sangat berhubungan dengan praktik “Cerobong” detail, Prilla Tania, 2015
sejalan dengan daur hidup alam. Selain memproduksi makanan industrialiasasi pangan juga menghasilkan sampah (waste) yang 9
berkeseniannya sekarang ini. Tepu tertarik untuk menjelajahi benda-benda organik dan makhluk hidup yang berukuran kecil seperti jamur, bakteri dan makhluk-makhluk dekomposer (pengurai)
10
lain sebagai material untuk menghasilkan patung/obyek, video,
penyederhanaan bentuk-bentuk dari bakteri dan jamur yang sering
instalasi lukisan dan gambar.
ia lihat melalui mikroskop. Karya-karya Tepu membaurkan oposisi biner yang khas dari alam itu sendiri, antara yang konkret dan
Karya-karya Tepu mendekonstruksi paham modernis karya seni
abstrak,
antara
yang
terpahami
dan
tak
terbahasakan.
rupa, khususnya patung yang bersifat monumental. Dengan memamerkan karya yang tidak hanya efemeral, melainkan juga organik, gagasan akan keabadian coba diperbaharui oleh Tepu. Dalam melihat alam, keabadian tidak hadir dalam bentuk yang tetap. Yang ada justru adalah perubahan-perubahan yang abadi. Tepu menampilkan sebuah karya yang berjudul Inner Recesses, sebuah instalasi khas tapak dari mycelium (bagian vegetatif dari jamur yang tersusun atas massa yang bercabang yang sering terlihat sebagai jaringan-jaringan yang tumbuh di atas tanah, kayu lapuk ataupun jenis-jenis substrat lainnya). Dengan media dacron ia menumbuhkan dan menampilkan mycelium dalam taraf yang ekspansif di dalam ruang gelap. Oleh paparan sinar ultraviolet sejumlah jamur-jamur itu makin menguasai pencerapan indera penglihatan kita, yang mungkin kita lewatkan saat mereka hadir dan tumbuh di alam. Tepu juga menciptakan bahasa Terhah. Pengucapan bahasa ini cenderung absurd dan memiliki tipografi aksara yang terbuat dari 11
Inner Recesses #2, Syaiful Aulia Garibaldi, 2015
Bahasa terhah juga merepresentasikan adanya ironi di balik gagasan
besar
globalisasi.
Globalisasi
yang
awalnya
dimaksudkan untuk menampilkan keberagaman budaya justru tampil dengan mendominasinya beberapa bahasa. Globalisasi secara ironis membunuh ribuan bahasa di dunia.
12
Alam, Benda dan Pengalaman
Yang perlu digarisbawahi melalui pernyataan Yuliman di atas adalah bagaimana pengalaman keseharian seniman yang konkret
Dalam beberapa hal pameran ini ingin membuka peluang
akhirnya “tersaring” melalui kepekaan-kepekaan artistik tertentu
pembahasan
dan
milik seniman sehingga menciptakan ragam keluaran seperti
materialitas dalam seni rupa Indonesia, terutama pada karya-
lukisan, patung, grafis dan lain-lain. Yuliman merujuk kepada
karya seni rupa dengan tema atau pokok soal alam.
karya-karya para seniman eksponen Gerakan Seni Rupa Baru
dan
sedikit
merunut
genealogi
medium
Indonesia (GSRBI) yang mewakili cara pandang baru pada Sanento Yuliman dalam tulisannya yang berjudul Perspektip Baru
bagaimana medium dan material ditampilkan dalam sebuah karya
dalam Seni Rupa Indonesia?, menyatakan bahwa, ”…para
seni rupa: menghadirkan yang konkret tanpa tersaring dan terkucil
seniman dari Persagi hingga seni abstrak, betapapun anekanya
di dalam batasan medium seni rupa.
corak hubungan dengan dunia sekeliling, betapapun macammacamnya isi pengalaman yang diungkapkan, satu hal yang
Karya Aditya, Binuko, Prilla dan Tepu secara unik menampilkan
mereka lakukan: benda-benda, emosi, gagasan dari pengalaman
kesan-kesan yang mengingatkan kita tentang bentuk-bentuk atau
konkret itu harus mereka jelmakan menjadi sebuah dunia rupa,
bagian-bagian alam. Terkecuali karya-karya Binuko, benda-benda
sebuah syair rupa, di mana segala sesuatu
poci dan sapuan cat,
konkret (kayu, jamur dan kardus-kardus) dihadirkan para seniman
perahu dan cat tebal yang retak atau terkelupas, torso manusia
ini untuk masuk dalam “suatu pelibatan baru dalam hasil
dan serat kayu
seni
meninggalkan kebendaannya, kekonkretannya,
dan menjelma ke dalam dunia imajinasi atau “irreal” atau sebutlah
kepada kehadiran kita yang konkret, lingkungan kita yang
konkret, kepada kenkonkretan pengalaman.”2
dengan nama lain.”1 Karya-karya gambar Binuko, meskipun masih memberi jarak kepada pengamat, tidak bisa diidentifikasi sebagai sebuah “syair rupa” sebagai “wujud jiwa dan emosi sang seniman”. Selain 1
Sanento Yuliman, Perspektip Baru dalam Seni Rupa Indonesia?, Harian Sinar Harapan, 2 Agustus 1975!
13
2
ibid
14
pilihan obyek-obyek yang ditampilkan, Gemaris dan arsir yang
untuk memahami alam dalam konteks yang lebih fenomenologis.
teratur dan konsisten menandai sebuah kerja yang mekanistis.
Kesuntukan para seniman ini pada medium
Secara ironis kekaryaan Binuko mengapropriasi kerja-kerja mesin
merepresentasikan intensifnya pengalaman dan interaksi antara
percetakan
subyek dengan obyek. Dapat dikatakan pula bahwa keberadaan
yang
mereproduksi
citraan-citraan
visual
yang
dan material
obyek (alam) diyakini membangun kesadaran dan keberadaan
mempengaruhi kita saat mencerap kenyataan hari-hari ini.
subyek (manusia). Kita
melihat
bahwa
para
seniman
yang
berpameran
ini
melanjutkan genealogi medium dan materialitas dalam seni rupa
Chabib Duta Hapsoro
Indonesia yang mengalami perluasan sejak periode GSRBI. Kekonkretan karya-karya mereka lebih memperlihatkan dunia luar
Kurator Pameran
alih-alih dunia dalam. Namun dalam beberapa hal karya-karya mereka sebenarnya membicarakan dunia dalam (personal). Meski mengingatkan pengalaman kolektif saat kita mengalami alam, apa yang mereka tampilkan tidak menampilkan alam secara umum sebagaimana kita kenal. Kendati membicarakan alam, pameran ini hadir bukan sebagai advokasi atau propaganda yang ingin mengubah perilaku kita secara langsung untuk lebih arif dalam memperlakukan alam. Patut diingat bahwa moral-etika manusia terhadap alam selalu terbentur pada kepentingan hidupnya sendiri. Pameran Alam/Benda ingin melihat alam dengan cara yang lain. Bentuk pelibatan baru dan kekonkretan pengalaman dengan alam adalah sebuah upaya 15
16
Group Exhibition
ALAM / BENDA Artists: Aditya Chandra Hernawan | Michael Binuko | Prilla Tania | Syaiful Aulia Garibaldi
that is detached from our existence as human beings in daily life. On the other hand, our ancestors perceive nature differently. Nature and objects are considered to have ‘souls’ that should be well respected. Our ancestors believe that nature and certain objects come with souls and great powers. Their treatment to nature and its objects is far from exploitation because they realize that they, as human, are also part of
Human life at this age has its uniqueness when it comes into
nature. What they do every day, in certain amount of quality
contact and interacts with nature. Our desire is also quite
and quantity is a spiritual effort to glorify nature. Therefore,
specific to see how nature affects our lives. Nature and
material desire is not separated with divinity desire.
objects are viewed, measured, explored and exploited within the framework of functions that should support human life.
This exhibition shows several artists with special passion for
Forests turn into rice fields, farmlands and plantations. Soil is
objects (i.e. medium and material), and by chance, the
being dredged and excavated for mining. In the religious
material desire is used to discuss the nature in our daily life.
perspective, the material desire is identical to the temporary
Although we still see drawings, sculptures and installations,
mundane world. ‘Nature and objects’ is considered as
some of their works are outside the boundary of the
temporary life before pursuing eternal life in the hereafter.
paradigmatic art medium. From some viewpoints and issues,
The material desire is separated with the divinity desire. Thus,
they explore nature as subject matter in a distinctive way,
its separation makes us perceive nature as ‘inanimate object’ 17
18
which is in the perspective of the medium and materiality
interdisciplinary research in a comprehensive manner.
itself.
Through all the works, some of these artists also question the idea of anthropocentrism, when human feel they have
‘The Material Desire’ to Talk about Nature
‘authority’ to interpret, and even conquer nature.
Our ancestors’ admiration and closeness to nature become
Michael Binuko’s works are mostly drawings and black-and-
metaphor for the artists’ approach in this exhibition.
white printmaking. His works show his endurance and very
‘Fetishism’ also presents in this show as the artists have
adequate technical skills. In the early days of his career as an
unique behaviour towards material and medium. They are
artist, Binuko’s works featured fragments of natural landscape
intensively doing experiments, going deep into techniques,
interfered with industrial objects such as iron pipes, railway
intimately
bridges, high-voltage electricity tower and others.
exploring
materials
and
conducting
Still employing drawings and printmaking as the main medium, Binuko continues his work on the series of Megaptera Novalevitae, finding the grey area in natural science. Megaptera Novalevitae is the Latin name of an imaginary winged humpback whale; a mutated whale as a result of living in polluted sea for centuries. The whale left its natural habitat in the sea to live and fly in the air. Binuko presents this work in scientific approach so that the whale Nature and Industries series, Michael Binuko, 2010 19
looks (truly) exists. Drawings and printmaking techniques are 20
also related to the development of science and once used to pursue scientific truth. In old times, natural scientists had to draw objects to record their findings in the field, and then added with handwritten notes. At that time, printmaking techniques were also used as a tool to disseminate science theories and religion teachings. This series are impossible to be done without research studies from several fields of science, for example geology. Through fossils of plants and animals, the geologists interpret the forms
glance, Aditya’s sculptures represent objects and organic
of biological creatures and decipher the age of the earth as
beings such as trees, mushrooms, woods and others made of
well as natural events occurred in the earth in the past. Later
synthetic materials such as resin, silicone and plastic.
on, the geologists predict what would happen to the earth in
Aditya’s technical skill as a sculptor shows the illusion in
the future based on their findings. It may be seen that the
producing those organic imageries.
work of scientific-based geologists is associated with prediction and imagination. It also underlines the fact that nature is an entity that cannot be conquered entirely by human beings.
21
“Our Forest” detail view, Aditya Chandra, 2015
Aditya’s works are mocking the obsession of modern humans who are constantly looking for ways to avoid or at least delay the nothingness. This is contrary to modern civilization that is always synonymous with progressive thinking that
Aditya Chandra Hernawan’s sculptures show the tension
requires a change. In ancient times we know the practice of
between the natural and synthetic characteristic. At first
mummification. In the modern era, this similar practice is still
22
done by using synthetic compounds while preserving foods
cardboard. Through this work Prilla believes that human-
and plastic surgery to delay body’s aging. On the other
made objects, intentionally or not, imitate what exists in
hand, synthetic compounds even more rapidly degrade the
nature. This work is associated to a factory building and in a
carrying capacity of nature to life.
certain point also refers to the mountainous landscape. The smoke out of the chimney not only represents factory’s
In this exhibition Aditya specifically responds the teak roots.
activity, but also serves as an analogy of volcanic eruption as
Those roots are visibly growing up. There is a strange organ
a sign of the earth’s activity. In accordance with the human
attached and growing at the bottom of its roots. Nearly half
desire to conquer nature, this mimesis is quite ironic.
of Ngawi, a city where Aditya was born and raised, is covered with teak forests for industrial needs since the Dutch
In recent years Prilla has intensively worked with paper,
colonial era. Plantation and agriculture have marked the
especially from used cardboards for food packaging, and
human exploitation towards nature: homogeneous plantation.
made them into various media such as mural, video and
Seeing from above we will see many areas are covered with
installation. With these materials, Prilla connects the problem
homogeneous plantation such as teak, palm oil, rubber and
of waste and food. Through her works, Prilla explains that the
others. At the next level, the industrialization of agriculture
modern food world produces too much energy (waste), which
and plantation can cause greater losses for nature. Aditya’s
is not capable of supporting the nature life cycle. The energy
root sculpture, entitled Our Forest, is growing beyond the
(waste), which is difficult to be processed, is the result of food
reach of human conquest on nature.
industrialization that manifests itself in the use of food packaging and the use of non-renewable energy for food
23
Chimney, Prilla Tania’s work in this exhibition displays
processing and food distribution. This issue also intersects
gigantic soft sculpture composed of hundreds of used
with the practice of colonization and capitalism, which in turn 24
also reduces food security in a community or citizens in a country. This work displays Prilla’s characteristic: presenting a modest form and simple perspective to talk about a lot of things. The simplicity
mode
represents
her
deep
and
unique
understanding towards a certain problem. Syaiful
Aulia
Garibaldi
(Tepu)
once
enrolled
in
the
Department of Agronomy, so he gained experiences to know and explore the science of microbiology, something very related to his artistic practice today. Tepu is interested in exploring organic objects and small-sized living beings such as fungi, bacteria and others decomposers as material to produce sculptures/objects, videos, installations of paintings and drawings. Tepu’s works deconstruct the credo of modern art, particularly sculptures, as its tendency is usually monumental. By Cerobong, Prilla Tania, 2015
exhibiting works that are not only ephemeral, but also organic, Tepu tries to renew the idea of immortality. In
25
26
looking at nature, immortality is not present in a fixed form
diversity, globalization ends with a few language dominates.
but in perpetual changes.
Globalization ironically kills thousands of languages in the world.
Tepu’s work, Inner Recesses, is a site-specific installation consisted of mycelium (the vegetative part of fungus which is composed of the branching mass, often seen as networks grow on the ground, rotten wood, or other substrates types). Using dacron as medium, Tepu grows and displays mycelium in the expansive stage in a darkened room. Exposed by ultraviolet light, the mushrooms increasingly dominate our senses of sight, something we might miss when they grow in nature. Tepu also created Terhah language. The pronunciation of this language is absurd. Its typography is created from the simplification of forms of bacteria and fungi that often he saw through the microscope. Tepu’s works blend the distinctive
“Inner Recesses #2” detail view, Syaiful Aulia Garibaldi, 2015
Nature, Objects and Experience
binary opposition of nature itself, between the real and the abstract, between the incomprehensible and unspeakable.
In some ways this exhibition calls for open discussion and a
Terhah language also represents the irony behind the big
little trace to the genealogy of medium and materiality in
idea of globalization. Instead of being a showcase of cultural 27
28
Indonesian art, especially in the works of art with nature as
(Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia/GRSBI) artists which
subject matter.
represents a new way of looking at how the medium and material displayed in a work of art: presenting the real
Sanento Yuliman in his essay entitled Perspektip Baru dalam
without filtered and isolated within the limits of the medium of
Seni Rupa Indonesia? (New Perspective in Indonesian Art?)
art.
states that, “...the artists, from Persagi to the abstract arts, no matter how diverse the types of relation with the surrounding
The works of Aditya, Binuko, Prilla and Tepu uniquely display
world, no matter how diverse the experience unfolds, one
the impressions that remind us about nature forms or parts of
thing they do: objects, emotions, the idea of real experiences
the universe. Except Binuko’s, real objects (wood, mushrooms
that should they create into visual arts, visual poems, where
and cardboards) are presented by these artists to enter ‘a
everything such as pots and wash of paints, boats and
new engagement in arts, our real presence, our real
cracked or chipped thick paints, human torso and wood fibre
environment, our real experience.’2
leave its materiality, its solidity, and is transformed into a world of imagination or ‘irreal’, or call it by another name.”1
Binuko’s drawings, even though still allow distance to the audience cannot be identified as a ‘visual poem’ as ‘a form
What is underlined from Yuliman’s statement above is how
of soul and emotion of the artist’. In addition to choice of
artists’ everyday real experience is finally ‘filtered’ through
shown objects, his regular and consistent lines and shadings
certain artistic sensitivities so that they create diverse output
mark
such as paintings, sculptures, prints and others. Yuliman
appropriates printing machines that reproduce visual images
refers to the works of the Indonesia New Art Movement
that affect us when perceiving reality these days.
1
Sanento Yuliman, Perspektip Baru dalam Seni Rupa Indonesia? Harapan, 2 August 1975
29
2
a
mechanistic
work.
Ironically,
Binuko’s
work
ibid
30
We see that all artists in this exhibition have continued the
argued that the existence of the object (nature) is believed to
genealogy of medium and materiality in Indonesian fine arts
build awareness and existence of the subject (human).
which has expanded since the period of GSRBI. The realness of their works reveals more of the outside world instead of the inner world. However in some of their works they are actually talking
about
their
inner
(personal)
world.
Although
Chabib Duta Hapsoro Exhibition Curator
reminding us about the collective experience as we experience nature, what they show in this exhibition is not showing nature in general as we know it. Despite talking about nature, this exhibition comes not as advocacy or propaganda that wants to change our behavior directly in treating nature wisely. Keep in mind that the moralethical of man towards nature always faces his own interests. Alam/Benda seeks to see nature in another way. The new form of involvement and real experience with nature is an attempt to understand the nature in the phenomenological context. The great intense of these artists towards the medium and material represents the intensive experience and interaction between the subjects and objects. It could be
31
32
33
34
Aditya Chandra Hernawan
Contemporary, Yogyakarta (2014); Survey #3: For Whom the Bell
Aditya Chandra Hernawan lahir pada 12 Oktober 1986 di Ngawi. Ia menyelesaikan studi di Studio Seni Patung, Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 2012.
atas karakter alami dengan sintetik. Secara sepintas patung-patung hanya
menampilkan
beberapa
citraan
yang
merepresentasikan benda-benda dan makhluk-makhluk organik seperti pohon, jamur, kayu dan lain-lain dengan menggunakan material-material
sintetis
seperti
resin,
silikon
dan
plastik.
Kecakapan teknis Aditya sebagai pematung dapat menampilkan ilusi untuk menghasilkan imaji-imaji organik tersebut. Patungpatung Aditya menampilkan bahwa hal-hal bersifat sintetik, identik dengan praktik pengawetan yang merujuk pada obsesi manusia pada keabadian. Namun, dalam beberapa hal senyawa-senyawa sintetik justru makin cepat mendegradasi daya dukung alam untuk
Aditya telah beberapa kali berpartisipasi dalam pameran bersama antara lain, in the name of the risk, Masriadi Art Foundation, Yogyakarta (2015); Modus oleh Asosiasi Pematung Indonesia,
35
Semarang,
Aditya Chandra Hernawan was born on October 12, 1986 in Seni Indonesia Yogyakarta in 2012. Aditya’s sculptures show the tension between natural and synthetic characteristics. At first glance his sculptures merely display imageries that represent objects and organic creatures such as trees, mushrooms, wood and others, made using synthetic materials such as resin, silicone and plastic. However, Aditya’s technical flair as a sculptor creates the illusion of organic images. His sculptures display synthetic things, identical to the practice of preservation that refers to people's obsession with immortality. Albeit in some cases synthetic compounds degrade even more rapidly nature's capacity for life. Aditya has participated in several joint exhibitions, among others,
kehidupan.
Galeri
-Ngawi. He completed his studies at Studio Seni Patung, Institut
Patung-patung Aditya Chandra Hernawan menunjukkan tegangan Aditya
Tolls, Edwin’s Gallery (2011)
Semarang
(2015);
I:Observe,
Jogja
in the name of the risk, Masriadi Art Foundation, Yogyakarta (2015);
Modus
by
Asosiasi
Pematung
Indonesia,
Galeri
Semarang, Semarang (2015); I:Observe, Jogja Contemporary, Yogyakarta (2014); Survey #3: For Whom the Bell Tolls, Edwin's Gallery (2011).
36
Michael Binuko
Binuko sekali berpameran tunggal yakni Fabel Mikroskopik, Griya
Michael Binuko lahir pada 31 Agustus 1987 di Biak. Ia tinggal dan bekerja di Bandung. Binuko menyelesaikan pendidikan di Studio Seni Grafis, Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Insititut Teknologi Bandung pada 2010. Binuko banyak menggarap gambar (drawing) dan cetak grafis monokrom hitam-putih dalam ketekunan dan kecakapan teknis yang amat memadai. Pada awal-awal karirnya sebagai seniman, karya-karya Binuko banyak menampilkan cuplikan lansekap alam yang terintervensi oleh benda-benda yang merujuk pada kehadiran peradaban industrial, seperti pipa-pipa besi, jembatan kereta api, menara listrik tegangan tinggi dan lain-lain.
berkarya utama, Binuko melanjutkan kekaryaannya pada seri Megaptera Novalevitae yang memanfaatkan wilayah abu-abu dalam sains. Megaptera Novalevitae adalah nama latin ikan paus bungkuk rekaan Binuko yang memiliki sayap hasil mutasi karena berabad-abad hidup di laut yang tercemar. Makhluk ciptaannya memang fiktif, tapi Binuko berkeyakinan bahwa yang fiktif itu tentu
tidak
ada,
pengetahuan umat manusia.
37
melainkan
belum
Bandung
(2014).
Ia
juga
telah
beberapa
kali
berpartisipasi dalam pameran bersama, antara lain Lipat Ganda, Dia.Lo.Gue
ArtSpace,
Jakarta
(2015)
dan
Bandung
New
Emergence volume 4, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2014). Pada 2013 ia meraih penghargaan Young Artist Award pada
gelaran
Art|Jog|13,
Taman
Budaya
Yogyakarta,
Yogyakarta. -Michael Binuko was born on August 31, 1987 in Biak. He lives and works in Singapore. Binuko graduated from Graphic Art Studio, Art Studies Program, Faculty of Art and Design, Institut Teknologi Bandung in 2010. His works display ample endurance
Masih menggunakan gambar dan cetak grafis sebagai medium
belum
Gerilya,
terjangkau
oleh
and technical skills as they revolve around drawings and blackand-white monochrome graphic printing. In the early days of his career as an artist, his works featured plenty of footage of natural landscapes, intervened by objects that signifies the presence of industrial civilization, like iron pipes, railway bridges, high-voltage electricity tower and others. Whilst still using pictures and graphics printing as his core medium, Binuko continues on Megaptera Novalevitae series that utilizes the gray areas in science. Megaptera Novalevitae is the Latin name of a humpback whale Binuko concocted, with mutated
38
wings as a result of centuries living in polluted sea. Binuko believes
bekerja lagi dengan medium kertas yang pernah ditekuninya pada
that fiction does not necessarily mean that it does not exist, but
akhir masa kuliahnya di Studio Seni Patung, Fakultas Seni Rupa
merely yet to be discovered by humankind.
dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Kegemarannya terhadap
Binuko held his solo exhibition entitled Fabel Mikroskopik at Griya Gerilya, Bandung (2014). He has also participated in joint
material ini memicunya untuk bereksperimen dengan berbagai teknik dan kemungkinan.
exhibitions, among others, Lipat Ganda, Dia.Lo.Gue ArtSpace,
Karya-karya Prilla selalu berkaitan dengan keseharian yang sering
Jakarta (2015) and Bandung New Emergence volume 4, Selasar
kali luput dari perhatian banyak orang, misalnya makanan. Prilla
Sunaryo Art Space, Bandung (2014). In 2013 he was awarded
percaya
the Young Artist Award at the Art|Jog|13, Taman Budaya
berkembangnya kebudayaan manusia. Maka dari itu beberapa
Yogyakarta, Yogyakarta.
karyanya menggunakan makanan sebagai pintu masuk untuk
makanan
dan
pangan
memicu
kerusakan lingkungan
Prilla Tania lahir pada 1 April 1979 di Bandung. Prilla lahir, besar dan bekerja di kota ini. Ia memulai karirnya sebagai seniman pada awal 2000an. Ketika itu video menjadi medium utama untuk
menyampaikan
berbagai
gagasan
dan
pemikiran. Memasuki pertengahan 2000 dia mulai bereksperimen dengan
makan,
membicarakan banyak hal, misalnya sejarah kolonialisme dan
Prilla Tania
berkaryanya
bahwa
banyak
medium
seperti
fotografi
digital,
gambar
(drawing), instalasi, patung lunak hingga performans dan material seperti kertas, kapur, kain dan bayangan. Beberapa karyanya juga merupakan kombinasi dari beberapa medium seperti seri
Pengalamannya dalam dunia seni rupa
diperkaya dengan
keikutsertaannya dalam beberapa program residensi seniman baik di Indonesia maupun berberapa kota di negara lain seperti
di
Asia: Taipei Artist Village, Taipei (2008), Jatiwangi Artist in Residence Festival, Majalengka (2010), Aomori Contemporary Art Center,
Aomori
(2014),
Australia:
International
Art
Space
Kellerberrin Australia, Kellerberin (2007) dan Eropa: HIER HEDEN, Den Haag (2012).
karya Ruang Dalam Waktu (2008-2012). Pada 2010 dia mulai
39
40
Prilla Tania was born on April 1, 1979 in Bandung. Prilla grew up
Residence Festival, Majalengka (2010), Aomori Contemporary Art
and worked in this city. She began her career as an artist in the
Center,
early 2000s. At the time, video became the main medium to
Kellerberrin Australia, Kellerberin (2007) and Europe: HIER
convey her ideas and thoughts. She began experimenting with
HEDEN, Den Haag (2012).
various mediums from digital photography, drawing, installation, soft-sculpture to performance and using materials such as paper, chalk, cloth and shadow in the mid 2000s. Some of her works are
Aomori
(2014),
Australia:
International
Art
Space
blog: prillatania.wordpress.com Syaiful Aulia Garibaldi
also a combination of several mediums like the Ruang Dalam Waktu series (2008-2012). In 2010 she started to work with
Syaiful Aulia Garibaldi a.k.a Tepu lahir pada 16 Juli 1985 di
paper as a medium again, a medium she studied at the end of her
Jakarta. Ia lulus dari Studio Seni Grafis, Program Studi Seni Rupa,
university course at Studio Seni Patung, Faculty of Art and Design,
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung pada
Institut Teknologi Bandung. Her passion for this material prompted
2010.
her to experiment with different techniques and possibilities.
Padjajaran, Bandung memberi Tepu pengalaman untuk mengenal
Sempat
berkuliah
di
Jurusan
Agronomi,
Universitas
dan mendalami mikrobiologi, hal yang sangat berhubungan Prilla's work has always related to everyday life that often escapes
dengan praktik berkeseniannya sekarang ini. Tepu tertarik untuk
people's attention, such as food. Prilla believes that eating, food
menjelajahi benda-benda organik dan makhluk hidup yang
and foodstuff trigger the development of human culture. Therefore
berukuran kecil seperti jamur, bakteri dan makhluk-makhluk
some of her works use food as an entry point to talk about many
dekomposer
things, for instance the history of colonialism and environmental
patung/obyek, video, instalasi dan gambar.
(pengurai)
lain
sehingga
menghasilkan
karya
damage. Penjelajahan tersebut juga menuntunnya untuk menciptakan Her experience in the art world is enriched by her participation in
bahasa baru bernama Terhah. Pengucapan bahasa ini cenderung
several artist residency programs in Indonesia and other cities in
absurd
dan
memiliki
tipologi
aksara
yang
berasal
dari
Asia: Taipei Artist Village, Taipei (2008), Jatiwangi Artist in 41
42
penyederhanaan bentuk-bentuk bakteri dan jamur yang ia lihat
and other decomposing creatures (decomposers) so as to produce
melalui mikroskop. Karya-karya Tepu membaurkan oposisi biner
sculptures / objects, videos, installations and drawings.
yang menjadi kekhasan alam: antara yang konkret dan abstrak,
This exploration has also led him to invent a new language called
antara yang terpahami dan tak terbahasakan.
Terhah. The pronunciation tends to be absurd and has a script-
Tepu telah beberapa kali berpameran tunggal yakni Abiogenesis: Terhah Landscape, Pearllam Gallery, Singapura (2014), Interstitial Terhah, ROH Projects, Art Basel, Hongkong (2014). Tepu juga pernah berpartisasi dalam beberapa pameran bersama, antara
derived typology from simplification of forms of bacteria and fungi that he has seen through the microscope. Tepu's work blends the binary opposition of natural peculiarities: between the concrete and the abstract, between the incomprehensible and indescribable.
lain CRYPTOBIOSIS, Japan Media Arts Festival, Selasar Sunaryo
He has had several solo exhibitions namely Abiogenesis: Terhah
Art
Kuandu
Landscape, Pearllam Gallery, Singapore (2014), Interstitial Terhah,
Biennale, Taiwan (2014). Ia mengikuti beberapa kali program
ROH Projects, Art Basel, Hong Kong (2014). Tepu has also
residensi yakni di Centre Intermondes, La Rochelle, Prancis (2014)
participated
dan ABC Learning Town, Siheung, Korea Selatan (2015).
CRYPTOBIOSIS, Japan Media Arts Festival, Selasar Sunaryo Art
Space,
Bandung
(2015),
Recognition
System,
in
a
few
joint
exhibitions,
among
others
--
Space, Bandung (2015), Recognition System, Kuandu Biennale,
Syaiful Aulia Garibaldi a.k.a. Tepu was born on July 16, 1985 in
Taiwan (2014). He has been involved in a couple of residency
Jakarta. He graduated from the Graphic Arts Studio, Art Studies
programs at the Centre Intermondes, La Rochelle, France (2014)
Program, Faculty of Art and Design, Institut Teknologi Bandung in
and ABC Learning Town, Siheung, South Korea (2015).
2010. Having been previously enrolled in the Department of Agronomy, Universitas Padjadjaran, Bandung gave Tepu the experience to know and explore microbiology, something very related to his artistic practices now. Tepu is interested in exploring organic objects and miniscule living beings such as fungi, bacteria 43
44