SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
Benchmarking Pengembangan Unit Penilaian Kompetensi (Assessment Center) Rohmatulloh, Nova Nurulita, Rr. Rizki Amalia Nurhayati, Julian Ambassadur Shiddiq Sekretariat Badan Diklat Energi dan Sumber Daya Mineral Jl. Jend. Gatot Soebroto Kav. 49, Jakarta 12950 Email korespondensi:
[email protected]
Abstract The development of competency assessment unit requires good planning thus its presence can be beneficial for the development of competent human resources. Further, competent human resources can be used in order to achieve organizational goals. The purpose of this qualitative study is to demonstrate a method of benchmarking to draw up development plans of competency assessment unit. Benchmarking is done by government and private institutions that have steady competence assessment unit in organizing these services. The result of the research illustrates the five steps of development plans of competency assessment unit based on the characteristics and resources availability of the organization today and future. The five steps include the preparation of organization, the preparation of human resources, development and training of human resources in energy and mineral resources sector, the stabilization and independence of institutions, and the development of functions task and business.
Keywords: Benchmarking, units of competency assessment, assessment center
1.
Pendahuluan Sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten memegang peran penting dalam mendukung peningkatan kinerja dan daya saing organisasi. Dewasa ini seriring dengan dinamika lingkungan strategis yang berkembang sangat cepat dan tuntutan pemangku kepentingan yang semakin tinggi untuk memecahkan permasalahan di bidangnya, maka SDM khususnya aparatur sipil negara (ASN) dipandang sebagai aset organisasi yang harus ditingkatkan kompetensi dari waktu ke waktu. Dengan diberlakukannya Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) No. 5 Tahun 2014 semakin mempertegas bahwa salah satu syarat ASN untuk menduduki suatu jabatan harus berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan jabatannya. Dengan terpenuhinya syarat tersebut diharapkan dapat memberikan layanan terbaik kepada pemangku kepentingan. Untuk menempatkan ASN yang sesuai dengan kompetensinya, maka perlu dilakukan pemetaan dan penilaian kompetensi agar kesalahan dalam penempatan dapat dihindari. Salah satu metode yang sering digunakan untuk pemetaan dan penilaian kompetensi SDM adalah assessment center (AC). AC adalah proses sistematis untuk menilai keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan individu, yang dianggap kritikal bagi keberhasilan kinerja yang unggul. Metode AC merupakan salah satu metode yang memiliki tingkat akurasinya lebih tinggi dibandingkan metode yang lainnya dan banyak diterapkan oleh perusahaan swasta besar dan perusahaan milik pemerintah (BUMN) (Syahmurhamis, 2013). Berdasarkan pada hasil penelitian Craig (1989) yang diacu oleh Retiningtyas (1998) menyebutkan bahwa AC atau multiple assessment telah terbukti memiliki prediksi keberhasilan manajemen paling tinggi (76%) dibandingkan dengan metode random selection (15%) dan appraisal dan interview (35%). Retiningtyas (1998) dalam
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-70
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
penelitiannya juga telah menemukan bahwa metode AC yang digunakan untuk pemilihan manajer tingkat menengah pada perusahaan X telah berhasil dalam memberikan kesuksesan (tampilan kerja) setelah menduduki dalam jabatan tersebut. Karekteristik dari multiple assessment adalah penggunaan lebih dari satu metode (observasi, interview, psychometric, dan lain-lain), asesor paling sedikit dua asesor, kandidat atau asesi minimal enam orang, banyak dimensi kriteria kesuksesan yang dinilai, dan penerapannya juga bisa digunakan untuk rekrutmen pegawai, promosi, rencana pengembangan, identifikasi talent, dan penemuan kebutuhan diklat. Penggunaan metode AC di lingkungan Kementerian ESDM telah digunakan untuk pemetaan dan penilaian kompetensi SDM dalam rangka promosi, rotasi, dan memprediksi keberhasilan ASN yang akan melanjutkan pendidikan tinggi tingkat lanjut. Namun pelaksanaan AC tidak dilakukan secara mandiri, melainkan bekerjasama dengan lembaga unit penilaian kompetensi pemerintah dan swasta. Seiring dengan upaya pengembangan tugas dan fungsi Badan Diklat ESDM dalam bidang pengembangan SDM yang lebih luas dari sekedar penyelenggaraan diklat, maka penilaian kompetensi menggunakan AC menjadi salah satu kegiatan rutin yang dilakukan setiap tahun kepada seluruh ASN pengelola sektor ESDM. Oleh karena itu pengembangan unit penilaian kompetensi merupakan solusi strategis dalam bidang pengembangan SDM agar pengelolaan ASN sektor ESDM dapat dilakukan secara mandiri, efektif dan efisien, terjamin kerahasiaannya, dan berkesinambungan. Pengembangan unit penilaian kompetensi merupakan program inovasi yang belum ada di tahun sebelumnya. Manajemen Badan Diklat ESDM belum memiliki pengalaman dalam menjalankan program tersebut. Oleh karena itu, manajemen perlu belajar dari organisasi mitra yang telah mapan dalam mengembangkan unit penilaian kompetensi. Tujuan makalah ini adalah membahas penerapan metode benchmarking dalam rangka menyusun usulan program pengembangan unit penilaian kompetensi. 2.
Benchmarking American Productivity and Quality Center (APQC) menjelaskan bahwa benchmarking adalah alat pertama dan utama untuk perbaikan yang dicapai melalui perbandingan dengan organisasi lain yang diakui memiliki kinerja terbaik dalam bidangnya. Filosopi benchmarking adalah mengenali kekurangan yang kita miliki dan mengakui bahwa seseorang melakukan pekerjaan dengan baik, selanjutnya kita belajar bagaimana untuk melakukan dan mengimplementasikannya pada organisasi kita (Bhutta dan Huq, 1999). Dalam benchmarking kita bisa belajar mengadopsi dan mengadaptasi ide, praktek atau metode dengan seijin dari mitra benchmarking. Benchmarking dapat diterapkan untuk produk, jasa, praktek organisasi, dan secara luas untuk semua area yang kita ingin bandingkan kinerjanya (Stapenhurst, 2009). Benchamrking sebagai alat manajemen mutu menyeluruh (total quality management) telah terbukti banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan dan organisasi publik dalam meningkatkan kinerjanya. Keberhasilan Xerox dalam menerapkan benchmarking yang dikelola oleh Robert Camp selalu diulas oleh berbagai peneliti dalam makalahnya. Xerox adalah perusahaan pertama yang menggunakan benchamrking pada tahun 1979 dan pada tahun 1989 memenangkan penghargaan Malcom Baldrige National Quality dan European Quality Award tahun 1992. Lebih dari 200 proyek benchmarking dilakukan Xerox ke berbagai perusahaan yang tidak sejenis, tergantung dari topik yang dibenchmarknya, seperti American Express (pembayaran dan pengumpulan penerimaan), Cummins Engines dan Ford (tata letak lantai pabrik), Honda (pengembangan pemasok), Toyota (manajemen mutu), Hewlett-Packard (penelitian dan pengembangan produk), dan perusaahaan lainnya. Xerox akhirnya bertransformasi dari perusahaan yang kritis menjadi perusahaan terbaik dunia di Amerika Serikat dan Eropa dalam waktu delapan tahun (Bhutta dan Huq, 1999; Stapenhurst, 2009; Mann, 2015). Benchmarking memiliki ragam jenisnya tergantung dari objek dan mitra benchmarknya. Berdasarkan objek studinya, terdapat tiga jenis benchmarking, yaitu proses, produk, dan strategi. Sedangkan berdasarkan mitra benchmarknya, maka jenisnya adalah benchmarking internal, eksternal atau kompettitif, fungsional, dan generik (Carpinetti dan de Melo, 2002). Di samping Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-71
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
jenis tersebut, banyak sekali pembagian jenis benchmarking menurut para peneliti seperti yang telah diidentifikasi oleh Lutfulllayev (n.d) dalam makalahnya. Untuk mencapai hasil yang terbaik, maka kombinasi dengan berbagai jenis benchmarking dapat digunakan dalam melakukan proyek benchmarking (Bhutta dan Huq, 1999). Dalam penentuan proyek yang akan dilakukan benchmarking, dapat menggunakan panduan pertanyaan untuk bahan pertimbangan manajemen. Panduan pertanyaannya adalah siapa pelanggan kita dan apa yang dibutuhkan?, apa kebijakan untuk memenuhi harapan pelanggan?, isu atau masalah strategis apa yang dihadapi organisasi?, apa faktor kesuksesannya? di mana kinerja kita yang dianggap buruk?, biaya kegagalan mutu mana yang paling mahal?, dan lainnya (Stapenhurst, 2009). Untuk menerapkan metode benchmarking, terdapat beberapa tahapan atau siklus yang dikembangkan oleh para peneliti dan organisasi atau perusahaan. Jetmarova (2011), Bhutta dan Huq (1999), Ribeiro dan Cabral (2003), dan Lutfulllayev (n.d) mengidentifiaksi model-model tahapan benchmarking seperti Xerox atau Camp (1989), Kodak, Alcoa, AT&T, Spendolini, Karlof dan Ostblom (1993), Codling (1998), Andersen dan Jordan (1989), Fong, et al. (1998) dan model lainnya dengan jumlah tahapan yang bervariasi antara lima sampai dengan dua puluh satu tahapan. Biasanya tahapan yang dikembangkan disesuaikan dengan bidang kajian atau organisasi yang menerapkan sesuai dengan kebutuhannya. Namun perbedaan jumlah tahapan tersebut pada intinya sama dan jika dikelompokkan dan disederhanakan, maka hanya terdapat empat kelompok tahapan mengacu pada siklus Deming PDCA (plan, do, check, act) (Gambar 1). Berdasarkan siklus tersebut terlihat bahwa proses benchmarking merupakan kegiatan dalam rangka perbaikan terus-menerus atau berkelanjutan. Capaian kinerja yang telah diterapkan saat ini dari hasil benchmarking sebelumnya dapat menjadi masukan untuk melakukan benchmarking selanjutnya untuk mencapai kinerja selanjutnya.
Gambar 1 Siklus Generik Proses Benchmarking Penelitian terdahulu penerapan metode benchmarking di bidang pendidikan dilakukan oleh Nurhasanah dan Deliani (2013) untuk perumusan strategi pengembangan Laboratorium Program Studi Teknik Industri Universitas Al Azhar Indonesia. Benchmarking dilakukan dengan lima perguruan tinggi swasta yang memiliki laboratorium teknik industri di Jakarta dan Bandung. Sementara itu, Cahyaningtiyas dan Immawan (2012) menerapkan benchmarking internal dalam rangka meningkatkan kinerja berkelanjutan agar sesuai dengan standar yang disarankan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) pada Program Studi di lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII). Sedangkan penerapan metode benchmarking pada industri diantaranya oleh Amran (2012) pada industri pembuatan komponen otomotif. Benchmarking internal antara pemasok bahan baku dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang baik sehingga komponen otomotif yang dihasilkan bermutu. Markovic, et al. (2011) melakukan kajian benchmarking dengan beberapa perusahaan konstruksi dari empat negara dalam rangka mengidentifikasi sistem dan indikator pengukuran kinerja perusahaan konstruksi di Brazil.
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-72
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
3.
Metodologi Mengacu pada model generik benchmarking PDCA di atas, maka tahapan yang dikembangkan untuk penelitian benchmarking rencana pengembangan unit penilaian kompetensi ini diuraikan sebagai berikut: a. Perencanaan kajian Tahap perencanaan merupakan tahapan penting yang menjadi landasan bagi kesuksesan pelaksanaan benchmarking. Pada tahap ini dilakukan identifikasi isu strategis yang terkait dengan rencana pengembangan tugas dan fungsi organisasi ke depan dalam pengembangan SDM yang lebih luas bukan hanya sekedar dalam bentuk diklat. Isu strategis talent management dengan salah satu bagiannya adalah rencana pengembangan unit penilaian kompetensi menjadi prioritas dalam proyek penelitian benchmarking ini. Selanjutnya mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi masukan untuk pengembangan unit penilaian kompetensi meliputi aspek organisasi, SDM, proses bisnis, dan sarana dan prasarana. Aspek-aspek ini selanjutnya dibuatkan panduan benchmarking dalam rangka mengoptimalkan kerja tim untuk proses pengumpulan data ke mitra benchmarking. Mitra yang dipilih menjadi sasaran benchmarking adalah Pusat Kajian Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I dan Lembaga Administrasi Negara (PKP2A I LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang manufaktur alat transportasi berat. Seluruh kegiatan pada tahap kajian ini dilakukan melalui teknik focus group discussion (FGD) internal, tinjauan pustaka (laporan dan jurnal), dan penelusuran informasi melalui website. b. Pengumpulan dan analisis data Tim benchmarking melakukan penelitian menggunakan panduan untuk proses pengumpulan data kualitatif primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan menggunakan teknik FGD dengan manajemen lembaga sasaran benchmaking dan pengamatan langsung sarana dan prasarananya. Untuk melengkapi hasil FGD dan pengamatan, maka dilakukan pengumpulan data sekunder dengan tinjauan pustaka (laporan dan jurnal) yang terkait dengan isu tersebut. Data kualitatif yang dikumpulkan pada tahapan kedua, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Data temuan tersebut dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek yang dikaji untuk memudahkan proses penafsirannya. Pengumpulan data dilakukan melalui kunjungan langsung ke lembaga sasaran benchmarking pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2015. c. Penyusunan usulan pengembangan dan mengkomunikasikan kepada pemangku kepentingan Hasil analisis temuan menjadi masukan untuk menyusun usulan program pengembangan unit penilaian kompetensi yang disesuaikan dengan karakteristik dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki Badan Diklat ESDM saat ini dan ke depan. Usulan ini selanjutnya disampaikan kepada manajemen dalam rangka mendapatkan umpan balik untuk perbaikan usulan ini. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Gambaran Singkat Mitra Benchmarking Benchmarking pengembangan unit penilaian kompetensi berfokus pada dua lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan pemetaan dan penilaian kompetensi bagi ASN, yaitu Bidang Penilaian Kompetensi dan Kapasitas Aparatur (PPKA) PKP2A I LAN dan Pusat Penilaian Kompetensi ASN (PPKASN) BKN, serta satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang manufaktur alat transportasi berat. Berdasarkan hasil FGD diperoleh gambaran bahwa lembaga tersebut mengembangkan unit penilaian kompetensi secara bertahap dalam beberapa tahun pengembangan sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang dimilikinya pada saat itu dan pemanfaatan AC sesuai karakteristik yang menonjol pada masing-masing lembaga tersebut (Tabel 1). PKKA memulai embrio unit penilaian kompetensi sejak tahun 2009 dengan belajar dari BKN dan memerlukan waktu selama enam tahun sampai dengan melakukan ekspansi layananya kepada pihak eksternal LAN. Saat ini, metode penilaian kompetensi yang dikembangkan LAN tidak hanya digunakan untuk melakukan pemetaan aparatur, namun juga telah digunakan untuk mengevaluasi efektifitas penyelenggaraan diklat kepemimpinan pola baru sesuai dengan salah Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-73
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
satu tugas dan fungsi utama PKP2A I LAN, yaitu penyelenggaraan diklat. Sedangkan PPKASN memulai embrio pembentukan unit penilaian kompetensi sejak tahun 2001 dan pada tahun 2006 baru melakukan pembentukan unit penilaian kompetensi yang bersifat mandiri. Kedua lembaga tersebut sejak tahap embrio berupaya menyiapkan berbagai perangkat kebijakan, SDM, sarana dan prasarana, dan lain-lain dan terus menyempurnakannya hingga saat ini. PPKASN telah memfokuskan pemanfaatan metode AC untuk membangun talent pool jabatan pimpinan tinggi secara nasional. Sementara itu, perusahaan multinasional alat transportasi berat adalah salah satu yang telah mapan menerapkan talent management (TM) sebagai bagian strategis perusahaan dalam rangka mengantisipasi dinamika perubahan bisnisnya pada tahun 2020 di lingkup domestik dan global. TM merupakan rangkaian yang saling terkait dengan AC dan knowledge management (KM). Tahap awal yang disiapkannya adalah standar kompetensi untuk seluruh jabatan yang ada di perusahaan. AC yang dimiliki perusahaan tersebut berada di bagian SDM dan hanya melayani untuk kebutuhan internal pegawai yang berada di pusat maupun di daerah. Tabel 1 Perbandingan Tahap pengembangan, Tujuan, dan Pemanfaatan AC PPKA
Perusahaan
PPKASN
multinasional
- Embrio sejak tahun 2009 dan pembentukan Bidang PKKA - Tahun 2011 masa transisi untuk menyiapkan kelembagaan, SDM, instrumen, dan kebijakan. - Tahun 2015 ekspansi untuk pelayanan AC eksternal
- Embrio sejak tahun 2001, studi banding - Tahun 2005 melakukan penyiapan fasilitas, SDM dan pelatihan di Dinas Psikologi. - Tahun 2006 pembentukan PPK PNS
-
Tujuan pembentukan
Untuk pemetaan pegawai internal
Untuk pemetaan pegawai internal
Pemetaan pegawai
unit
dan eksternal
dan eksternal
pusat dan cabang
Pemanfaatan AC
Mengukur efektifitas
Untuk membangun talent pool
Untuk membangun
lainnya
penyelenggaraan diklat
jabatan pimpinan tinggi (JPT)
talent pool
kepemimpinan pola baru
nasional
Tahap pengembangan
4.2 Rencana Pengembangan Unit Penilaian Kompetensi Berdasarkan pada pengalaman dan ide terbaik ketiga mitra di atas dalam membangun dan mengembangkan unit penilaian kompetensi, maka usulan hasil adopsi dan adaptasi tahapan pengembangan unit penilaian kompetensi sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki Badan Diklat ESDM saat ini dan ke depan dirumuskan seperti pada Gambar 2. Usulan tahap pengembangan unit penilaian kompetensi Badan Diklat ESDM terdiri dari lima tahap, yaitu tahap penyiapan organisasi dan kelengkapan lembaga, penyiapan SDM calon asesor dan administrasi, pembinaan dan kemandirian lembaga, pengembangan tugas dan fungsi, dan bisnis lembaga. Tahap penyiapan dan kelengkapan organisasi merupakan tahap penting sebagai dasar bagi operasionalissi lembaga unit penilaian kompetensi. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini terdiri dari kegiatan penyusunan nomenklatur atau penamaan lembaga, penyiapan tata laksana, dan penyiapan sarana dan prasarana. Penyusunan nomenklatur dan struktur lembaga unit kompetensi berangkat dari hasil identifikasi proses bisnis kegiatan penilaian kompetensi. Setelah proses bisnis teridentifikasi maka dapat disusun struktur, tugas, dan fungsi lembaga. Kegiatan penyiapan tata laksana untuk menjamin mutu layanan jasa AC kepada para pemangku kepentingan. Kegiatan ini meliputi penyusunan pedoman tata laksana pelaksanaan penilaian kompetensi, prosedur operasional baku pelayanan penilaian kompetensi, dan kerjasama pelayanan jasa penilaian kompetensi. Setelah kelengkapan lembaga dan tata laksana terwujud, maka unit penilaian
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-74
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
kompetensi perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan. Sarana utama untuk pelayanan jasa penilaian kompetensi meliputi ruang-ruang simulasi individu dan kelompok dan ruang rekam data yang dilengkapai dengan teknologi informasi untuk proses pemantauan dan evaluasi asesi.
Gambar 2 Tahapan Pengembangan Unit Penilaian Kompetensi Setelah terbentuk kelengkapan lembaga unit penilaian kompetensi, maka tahap yang paling penting adalah penyiapan SDM pengelola dan pelaksana AC. Prioritas SDM yang direkrut dan dikembangkan kompetensinya adalah SDM calon asesor dan administrasi. Pengembangan SDM asesor dan administrasi dilakukan dengan mengikutsertakan magang pada lembaga penilaian kompetensi pemerintah maupun swasta. Kesiapan kompetensi yang dimiliki asesor menjadi bekal untuk mengembangkan pada tahap selanjutnya, yaitu tahap pembinaan dan pengembangan sektor ESDM, dan tahap pemantapan dan kemandirian lembaga. Kedua tahap ini lebih berfokus pada pelayanan penilaian kompetensi SDM internal Kementerian ESDM. Hasil penilaian kompetensi ini selanjutnya dimanfaatkan oleh pengelola SDM untuk membangun sistem basis data talent pool dalam rangka mengakomodasi SDM yang memiliki motivasi tinggi dan berbakat. Pada tahap ini juga dilakukan pemanfaatan metode penilaian kompetensi dengan kegiatan diklat bidang ESDM. Tahap pengintegrasian metode penilaian kompetensi untuk mengevaluasi efektifitas hasil pembelajaran peserta diklat pada awal dan akhir kegiatan diklat (pre dan post test). Keberhasilan pelaksanaan pada kedua tahapan ini menjadi dasar bagi lembaga unit penilaian kompetensi ini untuk mengembangkan layanannya yang lebih luas ke seluruh pemangku kepentingan eksternal. 4.3 Pemanfaatan Penilaian Kompetensi untuk Pengembangan Talent Pool Kegiatan pemetaan dan penilaian kompetensi SDM bagi organisasi memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan talent dari jalur kepemimpinan (struktural) dan profesional atau keahlian (fungsional) yang memiliki kriteria berintegritas dan komitmen, kepribadian, kompetensi, potensi yang dimiliki yang yang dapat dikembangkan. SDM dengan kualifikasi ini suatu saat dapat digunakan organisasi pada posisi jabatan dan waktu yang tepat dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, dan sasaran strategis organisasi yang bersifat dinamis. Ilusrasi pengembangan talent pool yang telah dilakukan penilaian kompetensi disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Pengembangan Talent Pool melalui Jalur Kepemimpinan dan Profesional
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-75
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
Jumlah SDM potensial dalam organisasi biasanya paling banyak sekitar 6-15% dari jumlah seluruh pegawai yang diseleksi secara ketat (Berger dan Berger, 2008). SDM terpilih selanjutnya masuk ke dalam wadah talent pool profesional dan kepemimpinan berdasarkan pada posisi kuadran yang ditempatinya. Posisi SDM potensial dalam kuadran menjadi panduan bagi manajemen untuk memberikan intervensi program pengembangan. Berdasarkan penelitian Center for Creative dan pengamatan PPM Manajemen diperoleh gambaran bahwa program yang paling efektif adalah on the job assignment (70%), dibandingkan mentoring atau coaching (20%), dan diklat (10%). SDM talent yang telah menyelesaikan program pengembangan tersebut dapat menjadi mentor dan coaching sehingga kompetensi yang telah dimiliki akan terus terasah (Ernawati dan Wahyudi, 2011). Database talent pool selalu ditinjau kembali dalam waktu dua tahun dengan melakukan kembali pemetaan dan penilaian kompetensi. Hasil pemetaan dan penilaian kompetensi ini sebagai bahan masukan bagi manajemen untuk menata kembali SDM potensial sesuai dengan kuadrannya dan memberikan program pengembangan yang sesuai. SDM yang keluar dari talent pool juga tetap mendapatkan program pengembangan agar ke depannya dapat masuk kembali ke dalam talent pool organisasi. 4.4 Integrasi Penilaian Kompetensi ke dalam Sistem Penyelenggaraan Diklat Pengembangan SDM melalui kegiatan diklat diintegrasikan dengan penilaian kompetensi dalam rangka mencapai hasil belajar yang optimal kepada seluruh peserta diklat. Ilustrasi sederhana model integrasi penilaian kompetensi ke dalam sistem penyelenggaraan diklat disajikan seperti pada Gambar 4. Integrasi penilaian kompetensi ke dalam sistem penyelenggaraan diklat terdapat tiga model, yaitu model integrasi sederhana, semi integrasi, dan integrasi penuh (Tasrin, et al., 2014).
Gambar 4 Integrasi Penilaian Kompetensi ke dalam Sistem Penyelenggaraan Diklat Model semi integrasi dilakukan penilaian kompetensi sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah diklat. Penilaian kompetensi sebelum diklat dapat memberikan gambaran kompetensi saat ini yang dimiliki calon peserta yang akan mengikuti diklat. Gambaran awal calon peserta ini selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam klaster yang memiliki kemiripan kebutuhan kompetensi peserta agar dalam pemberian intervensi dan penyusunan strategi metode pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan kelompok calon peserta tersebut. Setelah diklat selesai, maka dilakukan kembali penilaian kompetensi dalam rangka memberikan informasi tentang efektifitas penyelenggaraan diklat yang telah dilaksanakan. Apakah program diklat berhasil secara signifikan dalam meningkatkan kompetensi pesertanya?. Hal ini sejalan dengan upaya yang telah dilakukan Pusat dan Balai Diklat yang sedang menata evaluasi kinerja outcome penyelenggaraan diklat pada semua tahap, yaitu tahap evalausi kepuasan peserta diklat, hasil pembelajaran, perubahan perilaku, dan dampak terhadap kinerja organisasi peserta diklat. Penerapan model semi integrasi sebaiknya dilakukan setelah berhasil menerapkan model integrasi sederhana, di mana penilaian kompetensi hanya dilakukan sebelum diklat dilaksanakan. Namun model integrasi sederhana ini belum mampu memberikan gambaran seberapa besar efektifitas penyelenggaraan diklat tersebut. Setelah model semi integrasi dapat diterapkan dengan
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-76
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
baik, maka dapat dilakukan dengan menerapkan model integrasi penuh. Pada model integrasi penuh ini, modelnya hampir sama dengan model semi integrasi. Penilaian kompetensinya dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah diklat. Namun pada model ini peserta hanya mendapatkan materi sesuai kebutuhannya saja. Dalam model ini, hasil penilaian kompetensi menjadi masukan untuk menyusun strategi pembelajaran dan perubahan kurikulum. 5. Penutup Metode benchmarking yang diterapkan tim pengembangan unit penailaian kompetensi telah banyak membantu memberikan gambaran keberhasilan maupun kendala yang dialami lembaga unit penilaian kompetensi lain. Berbagai pengalaman dan ide yang diperoleh tersebut, selanjutnya diadopsi dan diadaptasi oleh tim untuk usulan membangun dan mengembangakan unit penilaian kompetensi sesuai dengan karakteristik dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki Badan Diklat ESDM saat ini dan ke depan. Usulan tahapan pengembangan yang telah dirumuskan terdiri dari lima tahap pengembangan, yaitu tahap penyiapan organisasi dan kelengkapan lembaga, penyiapan SDM calon asesor dan administrasi, pembinaan dan kemandirian lembaga, pengembangan tugas dan fungsi, dan bisnis lembaga. Setiap tahapan tersebut dirinci dalam bentuk kegiatan yang dapat ditindaklanjuti dengan melakukan proyek benchmarking best practice agar lebih mendalam dan dapat diimplementasikan dengan baik. 6.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sekretaris Badan Diklat ESDM atas dukungannya pada penelitian ini yang merupakan salah satu bagian program inovasi Sekretariat Badan Diklat ESDM pada tahun 2015.
Daftar Pustaka Amran, T. G., 2012. Pemilihan Pemasok Komponen Otomotif dengan Analytical Hierarchy Process dan Benchmarking, INASEA, Vol. 13(1), pp. 34-46. Berger, L., & Berger, D. (2008). The Handbook of Best Practice on Talent Management, Penerbit PPM, Jakarta. Bhutta, K. S. & Huq, F., 1999. Benchmarking - Best Practices an Integrated Approach, Benchmarking: An International Journal, Vol. 6(3), pp. 254-268. Cahyaningtyas, A. & Immawan, T., 2012. Internal Benchmarking Program Studi di Lingkungan Universitas Islam Indonesia dalam Rangka Peningkatan Kinerja Berkelanjutan, JOIR, Vol. 11(1), pp. 13-21. Carpinetti, L. C. R., & de Melo, A. M., 2002. What to benchmark? A systematic approach and cases, Benchmarking: An International Journal, Vol. 9(3), pp. 244-255. Ernawati dan Wahyudi (Editor), 2011. Talent Management Implementation: Belajar dari Perusahaan-perusahaan Terkemuka, Penerbit Lembaga PPM, Jakarta. Jetmarova, B., 2011. Comparison of Best Practice Benchmarking Models, Problems of Management in The 21st Century, Vol. 2, pp. 76-84. Lutfulllayev, P., n.d. Research on Benchmarking in Higher Education: An Overview, akses online 3 Juni 2015, URL:http://eprints.um.edu.my/2234/1/RESEARCH_ ON_BENCHMARKING.pdf. Mann, R., 2015. Expert Point of View Note The History of Benchmarking and Its Role in Inspiration, Journal of Inspiration Economy, Vol. 2(2), pp. 131-143. Markovic, L., Dutina, V. & Kovacevic, M., 2011. Application of Benchmarking Method in the Construction Companies, FACTA UNIVERSITATIS Architecture an Civil Engineering, Vol. 9(2), pp. 301-314. Nurhasanah, N. & Deliani, O., 2013. Strategi Pengembangan Laboratorium Program Studi Teknik Industri di Universitas Al Azhar Indonesia, Jurnal Al Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi, Vol. 2(1), pp. 1-15.
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-77
SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 Yogyakarta, 27 Oktober 2016
Retiningtyas, D. A., 1998. Skripsi: Hubungan Antara Hasil Assessment Center dan Penilaian Tampilan Kerja Manajer Tingkat Menengah pada Perusahaan X, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Ribeiro, L. M. M. & Cabral, J. A. S., 2003. A Benchmarking Methodology for Metalcasting Industry, akses online 3 Juni 2015, URL:https://repositorioaberto.up.pt/bitstream/10216/67457/2/49696.pdf. Stapenhurst, T. (2009). The Benchmarking Book: A How-to-Guide to Best Practice for Managers and Practitioners, Elsevier, Oxford. Syahmurhamis, 2013. Assessment Center: Tidak Ada Matinya, Human Capital Journal, Vol. 24(2). Tasrin, K., Arisudana, I. & Respatiawan, D., 2014. Policy Brief: Integrasi Penilaian Kompetensi ke dalam Sistem Diklat Kepemimpinan Pola Baru, PKP2A I LAN, Jatinangor.
Program Studi Teknik Industri Departemen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978–602–73461–3–0
TP-78