BAS V SISTEM KEMASYARAKATAN Dl BALI
Uraian tentang sistem kemasyarakatan umumnya mencakup beberapa sub-sistem, seperti sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, sistem asosiasi (kerja sama dan Pembahasan dalam bab ini hanya menge-
sistem kenegaraan).
nai tiga sistem yang pertama.
5.1
Sistem Kekerabatan
Dalam kehidupan kekerabatan orang-Bali, dikenal beberapa pengelompokan kekerabatan dari kelompok yang jumlah anggotanya sedikit sampai kelompok yang jumlah anggotanya banyak. Kelompok-kelompok
kekerabatan itu
disebut dengan istilah yang berbeda-beda di tempat yang satu dengan di tempat yang lainnya.
5.1.1
Kelompok Kekerabatan
5.1.1.1
Kelompok kekerabatan yang merupakan satu keluarga
batih (kuren), tanya terdiri dari
yaitu kelompok kekerabatan yang anggosuami
istri
dan anak-anak yang belum
1) Kelompok kekerabatan ini dapat disamakan dengan nuclear family dalam istilah G. P. Murdock (1965 : 3). Social Structure. The Free Press. A Division of Macmillan Publihing co. Inc. New York. Collier Macmillan Publisher, London.
menikah
dan menempati satu pekarangan tempat tinggal.
Dalam kelompok kekerabatan
ini,
hubungan antara anggota
keluarga terjalin secara intim dan mesra. Mereka merupakan satu kesatuan dalam kegiatan ekonomi (sebagai satu rumahtanga) , sosial, agama, dan politik. Mereka juga merupakan satu unit dalam melangsungkan pendidikan atau sosialisasi anak, mempunyai hak milik melakukan upacara sanggah
dan
merupakan kesatuan dalam
tertentu, misalnya upacara odalan di
(tempat pemujaan leluhur). Hubungan antara orang
tua dan anak dalam kelompok kekerabatan ini tampak dengan jelas dan dilandasi oleh adanya konsep konsep utang (hutang) secara timbal balik,
artinya di satu pihak orang
tua mempunyai hutang kepada si anak
dan anak mempunyai
hutang kepada orang tua. Pembayaran hutang masing-masing dilakukan dengan menjalankan kewajiban satu terhadap yang lain, yang pelaksanaannya dengan cara melakukan yadnya. (korban).
Pelaksanaan kewajiban orang tua kepada anak
telah dimulai sejak si anak masih dalam kandungan. Hutang orang tua dianggap berkhir berakhir setelah dilaksanakannya yadnya potong gigi untuk si anak setelah dewasa. Di pihak lain ada pula pandangan bahwa hutang tersebut berakhir setelah orang tua menikahkan si anak.
Sebaliknya,
anak wajib berbakti kepada orang tua karena anak dipandang berhutang kelahiran, kepada orang tua khususnya kepada ibu yang telah melahirkan. Para ibu
mengumpamakan
keadaannya
nyawanya pada
saat melahirkan anak seperti "bergantung
pada sehelai rambut". (dalam bahasa Bali : megantung di boke akatih.)
Perwujudan kewajiban anak kepada orang tua
adalah berbentuk pemeliharaan di hari tuanya dan menyelenggarakan yadnya ngaben meninggalnya.
Hubungan antara orang tua dan anak
itu berubah menjadi keturunan.
(pembakaran jenasah) setelah setelah
hubungan antara leluhur dan
Sebagai
keturunan si anak mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan
upacara keagamaan (upacara odalan)
secara rutin tiap
210 hari sekali dan upacara lainnya
secara insidental) di tempat pemujaan leluhur yang disebut sanggah/ pamerajan.
yang bangunannya terdapat di tiap
pekarangan, pada arah yang dianggap suci (Timur, Utara, ataupun Timur-laut. Salah satu contoh
kelompok kerabat yang terdiri dari
satu keluarga batih (kuren) dan pekarangan tempat tinggalnya adalah sebagai berikut:
Keterangan: 1. Sanggah kemulan 2. Meten (bangunan untuk tempat tidur) 3. Bale Loji/Bale Dauh (untuk menerima tamu) 4 . Paon (dapur) Gambar 7.1
Bale Adat/Bale Dangin Pengijeng Karang Jineng (Penyimpanan padi) Teba (tempat membuang ko toran 9 Pemesuan (pintu untuk ke luar masuk)
5 6 7 8
Kelompok Kererabatan dan Pekarangannya
Beberapa contoh kasus keluarga yang terdiri dari satu kuren adalah keluarga ke-1,
7, dan
10
(generasi I), ke-
luarga ke-11, 12, 16, 19 dan 20 (generasi 11) dan keluarga ke-21, 23, 24, 2 8 (generasi 111).
5.1.1.2
Kelompok kekerabatan
yang merupakan satu keluarga
luasl) yaitu kelompok kekerabatan yang atau lebih keluarga inti yang rumahtangga
seorang
keluarga
bergabung
menjadi
satu
Kelompok kekerabatan ini terjadi misalnya
karena keluarga batih orang tua batih
terdiri dari dua
anak
batih
laki-laki
anak p e r e m p u a n
bergabung dengan keluarga atau yang
lebih, a t a u d e n g a n berstatus
sentana
rajeg. Dua keluarga inti atau lebih, yang secara ekonomi hidup bergabung menjadi
satu rumahtangga, dalam
bahasa Bali disebut ngerob).
istilah
Mereka tinggal bersama dalam
suatu pekarangan, merupakan satu kesatuan dalam aktifitas ekonomi, sosial, agama dan politik, merupakan
satu unit
dalam melaksanakan pendidikan/sosialisasi anak. Mereka juga
merupakan
satu kesatuan dalam melakukan upacara
t'ertentu misalnya upacara odalan d i sanggah/pamerajan. Kelompok kerabat
yang berbentuk keluarga luas, contohnya
sebagai berikut:
1) Kelompok kekerabtan ini dapat disamakan dengan extended family dalam istilah G. P. Murdock, ibid, h. 23.
Keterangan:
1-9 sama dengan di atas
Gambar 7.2
Beberapa
Kelompok kekerabatan dan Pekarangan tempat tinggalnya
contoh
adalah kelaurga ke-2,
kasus 3,
8
rumahtangga
(generasi I),
(generasi 11) dan keluarga ke-22,
5.1.1.3
Kelompok kekerabatan
kelaurga
luas
keluarga ke-14
30, 25 (generasi 111).
yang terdiri dari beberapa
keluarga batih dan/atau keluarga luas dengan rumahtangga yang berbeda-beda1)' batih
Kelompok
ini terdiri dari keluarga
beberapa anak laki ataupun keluarga batih
laki-laki
yang
tinggal bersama
dalam
saudara
satu pekarangan.
Mereka merupakan satu kesatuan dalam aktifitas keagamaan, misalnya dalam melaksanakan upacara pemujaan
leluhur
odalan) di tempat
(sanggah) yang dibangun d i pekarangan
tersebut. Contohnya sebagai berikut:
1) Kelompok ini ada yang menyebut dengan istilah satu
lingsehan yang anggotanya berasal dari satu kakek.
Keterangan : 1 2.1 3.1
= sanggah 2.2 = meten 3.2 3.3 = bale 4.1 4.2 4.3 4.4 = paon 5 = bale adat
6. Pengijeng 7. Jineng 8. Teba 9. Pemesuan
Gambar 7.3 Kelompok kekerabatan dan Pekarangan Tempat Tinggalnya. Beberapa contoh kasus dari keluarga yang mencerminkan kelompok kekerabatan ke-22
seperti ini, antara
(generasi 111) bersama keluarga
keluarga ke-2
13
lain, keluarga (generasi 11),
(generasi I) bersama keluarga ke-12 generasi
5.1.1.4 Kelompok Kerabat dalam kesatuan sanggah gedsl).
Kelompok kekerabatan ini terdiri dari beberapa keluarga inti dan atau keluarga luas yang mempunyai
ikatan
1) Menurut H.Geertz and C. Geertz (1975 : 67), kesasatuan kerabat dalam ikatan sanggah gede, disebutnya subdadia dan sub-dadia disamakan dengan Paibon. Dalam buku Adat Istiadat Bali dijelaskan bahwa kelompok kekerabatan y a n g disebut Paibon ( P a n t i ) tingkatannya berada d i a t a s dadla. (Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Adat Istiadat Bali, h. 103. Dalam buku Monografi Daerah Bali dijelaskan bahwa dadia disebut juga X b u ( P a i b o n ) , P a n t i a t a u Batur. Dengan kata lain, dadia dianggap setingkat dengan Paibon (Baca Pemda. Tk. I Bali, 1985, Monografi Daerah Bali, h.65). Jadi tidak ada keseragaman pengelihatan para penulis mengenai Paibon dan dadia.
tunggal sanggah/tunggal kawitan/tunggal leluhur.
Di
be-
berapa tempat di Bali ada yang menyebut dengan istilah "keluarga besar'
(klen) yang jumlah anggotanya sudah cukup
besar meliputi 7-9 generasi (3-4 generasi generasi di bawah
"ego").
Mereka
pekarangan yang berbeda-beda. pekarangan asal sudah s a n a membuat
tinggal menyebar pada
Hal ini terjadi karena d i
cukup penuh.
pekarangan
baru
di atas dan 3-4
yang
Keluarga yang menempati pekarangan
Mereka keluar dari disebut baru,
ngarangin.
masing-masing
membangun sanggah kemulan/kemulan taksu, yang kedudukannya sub-ordinasi terhadap sanggah di tempat asalnya.
Sanggah
di tempat asalnya berstatus sebagai sanggah gede (pusat) bagi mereka semua. rang sesepuh
Kelompok ini biasanya mempunyai seo-
atau orang yang
anggotanya masih
Mereka
merupakan
upacara keagamaan but.
Di antara
ada hubungan pesidikaran.')
ha1 kerja adat mereka umumnya dang.
dituakan.
para
dan dalam
diperhitungkan untuk diun-
satu kesatuan dalam
melakukan
(upacara odalan) di sanggah gede terse-
Lingkup anggota kerabat yang termasuk dalam satu
kesatuan sanggah gede dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Hubungan pesidikaran terdiri dari tiga unsur: 1) unsur saling sumbah, 2) saling parid dan 3) saling tegen, artinya, antara anggota satu dengan yang lainnya, menuja leluhur yang sama, mereka dapat bersama-sama makan makan a n bekas upacara selamatan dilingkungan keluarga d a n dapat saling mengusung jenasah apabila ada anggota keluarga meninggal.
Kumpi/kompiang Kump i
kumpi
(3)
Pekak/Kakiang (2)
Bapa/A ji (1)
yo
min- min- MiMi- Idon don san san ;ahq
Be li Em- E go So
Adi
?ah! A bn; Kepo- Kepo- Pia- Ma Pianak nakan nakan nakl funl
(0)
Ego
A Pianak (1)
I
**)
A
cu cu
, cu* 0( cu
n
Kumpi A
0
CUCU CUCU
Kumpi
CUCU
(2)
Kumpi (kompiang) (3)
Keterangan: * ) sentana rajeg * * ) sentana nyeburin
Keterangan:
Gambar 7.4
*)
Sanggah Kemulan
**)
Sanggah Geda (Pamerajan Agung)
Kelompok kekerabatan satu sanggah gede dan pekarangan tempat tinggalnya.
5.1.5 Kelompok kekerabatan yang disebut tunggal dadia.
Kelompok kekerabatan ini, sangat banyak.
jumlah anggotanya sudah
Di antara para
anggota
tidak ada
lagi
istilah kekerabatan yang dapat digunakan untuk memanggil atau menyebut
satu terhadap yang
lain.
a n t a r a mereka
t i d a k saling mengenal.
Ada
kalanya di
Tempat tinggal
mereka menyebar di beberapa desa, bahkan ada yang tinggal di desa
lain. Mereka merupakan
satu kesatuan dalam
aktifitas keagamaan yaitu apabila ada upacara odalan di pura dadia. Berbeda dengan sanggah/pamerajan yang dalam pekarangan tempat tinggal
dibangun d i
anggota kerabat,
dadia dibangun di tempat tersendiri,
pura
di luar pekarangan
para anggota kerabat. Istilah pura dadia tidak dikenal d i semua tempat di Bali. Gianyar cam
Istilah ini dikenal antara dan
Klungkung.
lain d i Kabupaten
Di daerah lain
pura dadia sema-
itu disebut Paibon atau Panti atau Batur
Pemda.
Tk. I
Geertz
Bali, 1985).
(1975) dalam bukunya
"Kinship in Balin menya-
t a k a n bahwa orang Bali tidak semuanya mempunyai Pernyataannya ini benar,
itu terbatas pada
tung-
golongan tri wangsa yang
sebenarnyanya berkaitan dengan gengsi dan golongan ini mempunyai
dadia.
karena pada mulanya kebutuhan
membentuk kelompok kekerabatan tunggal sanggah dan g a l dadia
(lihat
dalam kekerabatan
ruang lingkup pergaulan yang
lebih luas.
Sedangkan golongan jaba pada mulanya
hanya
mempunyai kelompok kekerabatan tunggal sanggah
yang
diperlukan untuk bersama-sama menyelenggarakan upacara Reagamaan.
Kemajuan dalam bidang
masyarakat
sekarang ini,
orang
sosial budaya d i
menimbulkan kesadaran orang-
akan hak dan harga diri yang sederajat.
regional dan lokal, pedadian atau gerakan
kesadaran
Di tingkat
ini tampak dalam
kewangsaan
yakni
gerakan
semacam gerakan
genealogi yang ada kaitannya dengan faham kewangsaan (Bagus, 1988).
Gerakan semacam ini tumbuh di
desa maupun
di kota, pada
lapisan masyarakat berpendidikan rendah
maupun tinggi.
Gerakan ini dilakukan dengan cara menelu-
suri sejarah kewangsaannya atau asal usul keturunannya, artinya, orang-orang mengadakan penelusuran mengenai siapa sebenarnya leluhurnya, darimana dahulu asalnya dan bagaimana asal-usulnya. l)
5.1.1.6
Kelompok
kekerabatan yang disebut satu pedarman.
Kelompok ini anggotanya sangat banyak, tinggal menyebar di beberapa tempat di Bali, saling mengenal.
satu sama lain tidak
Anggota kelompok kerabat
dari pedarman
1 Penelusuran asal usul semacam ini ban ak juga dilakukan oleh orang-orang setelah mendapat mus&ah yang kejadiannya tidak masuk akal, menderita sakit yang sukar diobati secara medis. Dalam keadaan semacam ini, seseoran pergl ke paranormal untuk menanyakan (meluasang) apaka2 ada sesuatu yang tidak beres. Ada kalanya seseoran dikatakan salang kawitan (dimarahi leluhur) karena me?upakan asal usul. Dalam ha1 s e ~ e r t iini. orana mulai menelusuri asal usulnya. &
a
yang
samal), antara satu dengan
dirinya mempunyai
yang
ikatan kekerabatan,
lain mengetahui apabila bertemu
dalam upacara odalan di pura pedarman masing-masing. Pengelompokan kekerabatan seperti yang telah diuraik a n tersebut khususnya mengikuti sistem
yang
patrilineal
kesatu sampai keempat,
(menurut garis
Sistem ini selain tercermin dalam batan juga tercermin
dalam
laki-laki).
pengelompokan
adat pola
kekera-
menetap dan pe-
war isan. Menurut adat pola rnenetap, anak laki-laki yang sudah menikah khususnya yang akan menggantikan orang tua melaksanakan segala kewajibannya kat
(banjar dan desa adat),
orang tuanya.
di dalam kerabat dan masyarawajib tinggal di pekarangan
Anak laki-laki yang lainnya, boleh tinggal
d i tempat yang baru
(nearangin), apabila d i pekarangan
asal sudah penuh.
5.1.2
Sistem Perkawinan Orang Bali tidak diharuskan2)
orang
menikah dengan orang-
dalam satu kerabat atau di luar kerabat, antara
1) Kelompok kekerabatan semacam ini dapat disamakan dgngan kelompok "kekerabatan menurut adat" (circumscript x v e kingroup) dalam istilah Hurdock (dalam Koentjaraningrat. 1977. Beberapa P o k o k Antropologi Soslal. Dian Rakyat. Jakarta. 2) Berbeda dengan sistem perkawinan di desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, di mana anggota masyarakatnya diharuskan kawin dengan orang sedesanya dan ang d ~ a ngap baik adalah perkawinan antara sepupu dua ka3i Di z e g a ini, perkawinan dengan orang di luar desa dikenai sanksl.
orang-orang sedesa ataupun dari luar desa.
Sebagian
anggota masyarakat menganggap baik dan mengharapkan perkawinan berlangsung di lingkungan kerabat, antara sepupu (misan)
misalnya
ataupun sepupu dua kali (mindon),
atau sekurang-kurangnya antara dua orang yang ada hubungan tunggal sanggah.
Banyak orang tua memberi nasehat kepada
anak-anaknya sebelum kawin, sebagai berikut: anggon kurenan apang tusing ngenah
Nyama alih
lacure
istri/suami yang ada hubungan famili,
(carilah
supaya keadaan
miskin di rumah tidak kelihatan ke luar). Di pihak lain,
ada sebagian anggota masyarakat yang
menganggap baik perkawinan
yang berlangsung
antara
dua
orang yang tidak ada hubungan keluarga, dengan alasan antara lain untuk
memperluas hubungan kekerabatan. Orang
Bali menganggap seseorang yang berasal dari luar kerabat, sebagai anak (orang lain). Perkawinan yang berlangsung antara dua orang yang masih ada hubungan keluarga, minimal tunggal sanggah dan perkawinan antara dud orang yang tidak ada hubungan keluarga membawa konsekuensi yang berbeda terhadap pewarisan. Dalam perkawinan jenis pertama, laki dan
keluarga pihak laki-
keluarga pihak perempuan sebenarnya masih ada
hubungan waris mewaris.
Dengan demikian, dalam batas-
batas tertentu, sistem patrilineal dalam
pewarisan akan
kabur. Dalam perkawinan jenis kedua,
keluarga pihak
perempuan yang berasal dari luar kerabat tidak mempunyai hubungan waris mewaris dengan Dalam ha1 seperti ini, sangat jelas.
keluarga pihak laki-laki.
sistem patrilineal dalam pewarisan
Jika demikian halnya,
maka sistem per-
kawinan yang memungkinkan seseorang kawin dengan orang di luar kerabatnya dapat mendukung sistem pewarisan yang bersifat patrilineal. Dilihat dari segi bentuknya,
perkawinan di Bali da-
pat dibedakan atas: 1) perkawinan di mana mempelai perempuan keluar dari kerabatnya dan masuk ke
kerabat suami.
Perkawinan ini terjadi pada sebagian besar anggota masyarakat.
2) perkawinan di mana mempelai perempuan tetap
tinggal di kerabatnya sendiri berkedudukan sebagai lakilaki (sebagai sentana rajeg) dan suaminya masuk ke kerabat istri dengan kedudukan perempuan. Perkawinan semacam ini dinamakan perkawinan nyeburin atau nyentana, terjadi pada sebagian kecil anggota masyarakat karena merupakan pengecualian. Pelaksanaannya cukup sulit, karena harus memenuhi beberapa pensyaratan, antara lain : 1) hubungan
kerabat,
sekurang-kurangnya
kedua mempelai ada
tunggal sanggak,
2) mempelai laki-laki bersedia berkedudukan sebagai perem-
puan (sentana nyeburin), 3) upacara pengesyahan perkawinan dilakukan
di pihak
mempelai
perempuan, 4) status perka-
winannya harus diumumnya kepada anggota banjar di tempat
mempelai perempuan.
Tidak dipenuhinya pensyaratan terse-
but membawa konsekuensi, bahwa status sentana rajeg dan perkawinan nyeburin itu tidak mendapat pengakuan di masya-
rakat, ha1 mana seringkali menimbulkan sengketa dalam pewarisan.
Sehubungan dengan
ada banyak laki-laki yang
pensyaratan yang kedua, tidak bersedia
berstatus
perernpuan, karena gengsi.')
5.1.3
Sister Pewarisan
Pada prinsipnya, warisan dapat dibedakan atas warisan yang bersifat material
(berupa harta kekayaan seperti
tanah dan barang berharga) j iban (ayahan)
yang
dan
bersifat
immaterial (berupa kewaadat dan keagamaan. Pewa-
risan terhadap kedua ha1 tersebut, mengikuti tiga sistem, yaitu: 1) warisan harta kekayaan yang sebagai barang
pusaka
mempunyai nilai
diwariskan secara kolektif (tidak
dibagi-bagi), 2) warisan berupa harta biasa dibagi secara individu, 3) kan
kepada
warisan anak
berupa
tertua
kewajiban (ayahan) diwaris-
(pada golongan triwangsa)
kepada anak bungsu (pada qolongan sudra wangsa). warisan
dalam
ketiga
dan Pe-
ha1 tersebut berlangsung melalui
garis purusha (garis laki-laki)
.
1) Di daerah Singaraja, perkawinan nyeburin (nyentatidak disukai oleh laki-laki, karena gengsi. Di daerah ini. apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki-laki langsung warisannya jatuh ke garis samping (kepada saudara laki-laki ataupun kemenakannya laki-laki)
na)
.
5.2
Sistem Kesatuan Hidup Setempat
Sistem kesatuan hidup
setempat yang terpenting di
Bali adalah desa dan banjar.
Konsep desa dan banjar di
Bali mempunyai dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas, banjar adat dan banjar dinas.
5.2.1
Desa Adat Belum ada
suatu
batasan
yang dapat mencakup semua
unsur yang dapat menggambarkan pengertian desa adat secara jelas. Dalam buku Monografi Daerah Bali dijelaskan bahwa deda adat adalah suatu kesatuan wilayah atau persekutuan wilayah
yang berdasarkan
atas kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup yang diwarisi secara turun temurun serta terikat oleh suatu Kahyangan Tiga Desa/Pura Bale AgUng dan Pura Dalem)
.
(Pura Puseh, Pura
Di antara ketiga
unsur Kahyangan Tiga tersebut, Pura Desa/Pura Bale Agung merupakan unsur pengikat yang paling
jelas.
(Pemda Tk.1
Bali, 1985). Dalam buku Adat Istiadat Bali, desa adat diberi pengertian sebagai suatu kesatuan wilayah, di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara
keagamaan untuk
memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai desa adat, terikat oleh faktor-faktor
antara
lain, pekarangan desa
(karang desa),
aturan-aturan desa (awig-awig desa) dan
pura Kahyangan Tiga.
(Departemen Pendidikan dan Kebu-
dayaan, 1977). Dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 tahun 1986 pasal lc
dijelaskan bahwa desa adat adalah kesatuan ma-
syarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga, yang
mempunyai
wilayah tertentu,
mempunyai harta kekayaan sendiri, serta mempunyai hak untuk mengurus rumahtangganya sendiri. Berdasarkan beberapa pengertian desa adat tersebut, dapat dibuat suatu rumusan desa adat
yang lebih rinci dan
lengkap, yaitu sebagai berikut: Desa adat adalah suatu kesatuan hidup setempat yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, anggota yang beragama Hindu yang disebut krama desa,
aturan-aturan yang mengikat para
anggota yang disebut awig-awig tanah desa),
desa,
yang disebut d r u w e desa,
kekayaan berupa
kuburan desa
(setra
wewenang untuk mengurus rumahtangganya sendiri,
pemerintahan sendiri dengan kekuasaan sangkepan desa angan Tiga.
tertinggi ada pada
(rapat desa) dan terikat pada suatu Kahy-
Berbeda dengan desa adat, desa dinas punyai pengertian sebagai suatu wilayah
di
yang
Bali memditempati
oleh sejumlah penduduk dan merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah
langsung di bawah Camat dan berhak mengurus rumah-
tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik
Indoneia.'1 Hubungan antara desa adat dan desa administrasi, dapat dilihat dari struktur Pemerintahan Desa Administrasi,
di mana pimpinan desa adat (klian desa adat) diduduk-
kan sebagai kepala seksi adat. Ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat apabila dibandingkan antara konsep desa adat dan desa dinas tersebut, yaitu : (Raka Dherana, 1975). 1) Desa adat mempunyai tugas-tugas
penyelenggaraan adat
dan agama Hindu dalam wilayah kekuasaannya, sedangkan desa dinas mempunyai tugas-tugas yang bersifat penyelenggaraan pemerintahan umum. 2) Desa adat
merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum
adat, sedangkan desa dinas tidak
merupakan
kesatuan
masyarakat hukum, melainkan kesatuan wilayah administrasi 1) Lihat pasal lc Peraturan Daerah Tingkat I Bali, No 6/1986. Lihat pula Undang-Undang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No.5 tahun 1979).
3) Desa
adat
mempunyai
s a w a h atau
tegal
tanah milik adat berupa
a t a u p u n pekarangan
disebut tanah desa, sedangkan
desa
yang
tanah
semuanya
dinas tidak mem-
punyai kekayaan semacam itu. 4) Desa adat memiliki awig-awig desa yang mengikat warga
-
nya yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial, sedangkan desa dinas tidak memiliki awig-awig. 5 ) Desa adat
punyai
terikat pada suatu Kahyangan Tiga dan mem-
kuburan
6) Batas-batas
desa, sedangkan
desa dinas, tidak.
wilayah desa adat relatif tetap, sedangkan
batas-batas desa
dinas sering berubah, misalnya karena
adanya pemekaran. 7) Desa
adat mempunyai anggota yang pensyaratan keanggo-
taannya, wewenangnya,
tugas dan kewajibannya jelas,
sedangkan desa dinas tidak demikian.
Desa adat d i Bali dapat dikelompokkan k e dalam tiga tipe, yaitu : 1) Desa-desa
yang
sistem
kemasyarakatannya
dipengaruhi
oleh sistem kemasyarakatan
Majapahit.
ini terdapat di Bali bagian
dataran, menyebar di semua
Tipe desa-desa
kabupaten, yaitu di daerah dataran Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Bangli dan Buleleng.
Desa-desa
tipe ini mempunyai ciri antara
lain,
masyarakatnya mengenal sistem kasta dan dalam
satu desa adat terdapat beberapa banjar. 2) Desa-desa tua yang disebut desa Bali Age atau Desa Bali
Mula, ialah desa-desa yang sistem kemasyarakatannya tidak atau sedikit sekali terkena pengaruh sistem kemasyarakatan Majapahit.
Tipe desa ini terdapat di
Bali bagian pegunungan, antara lain,
di daerah pegu-
nungan Kabupaten Gianyar (Desa Margatengah), daerah pegunungan Kabupaten Bangli
(Desa Trunyan), daerah
pegunungan Kabupaten Karangasem (Desa Tenganan Pagringsingan). Desa-desa tipe ini umumnya tidak mengenal kasta dan ukuran desa relatif kecil, meliputi satu banjar. 3) Desa-desa baru,
yakni desa yang terjadi karena perpin-
dahan penduduk yang semula didorong oleh keinginan mendapat lapangan penghidupan. Di desa-desa seperti ini warganya merupakan warga pendatang dari berbagai tempat di Bali
.
Masyarakatnya
mengenal kasta akan tetap i
antara t r i . w a n g s a dan sudra wangsa yang ada, tidak menunjukkan adanya hubungan
antara g u s t i dan panjak
atau patron dan client.
Berdasarkan penggolongan desa seperti itu, desa adat Baturiti dapat digolongkan ke dalam desa tipe yang ketiga.
Selain
dapat
dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya
pengaruh Majapahit, kan
desa adat di Bali dapat juga dibeda-
menjadi dua tipe
desa adat atas dasar yang
lain,
yaitu : 1) desa adat yang masyarakatnya mengenal lembaga sentana rajeg,
seperti desa-desa
d i Kabupaten Tabanan,
2) desa adat
Badung, Gianyar, Klungkung,
Bangli;
yang
masyarakatnya tidak mengenal
lembaga sentana rajag, yaitu
desa-desa d i Kabupaten Jembrana, Buleleng dan Karangasem (Pangkat, 1978). Masyarakat desa adat yang mengenal sistem kasta mewariskan kewaj iban
-
kewa j iban adat
kat desa adat maupun banjar ma, pada
menurut pola berikut:
golongan tri wangsa
(rnenak),
kepada anak laki-laki tertua; wangsa
(ayahan) k e masyara-
ayahan
perta-
diwariskan
kedua, pada golongan sudra
(jaba) ha1 yang sama diwariskan kepada anak laki-
laki termuda. Pola ini lebih lanjut menimbulkan perbedaan dalam ha1 keanggotaan dan saat penggantian keanggotaan desa adat dan banjar.
Pada golongan tri wangsa keanggo-
taan orang tua diganti oleh anak laki-laki
sulung setelah
ia menikah dan sebaliknya pada golongan sudra
wangsa,
keanggotaan orang tua diganti oleh anak laki-laki bungsu setelah menikah. Di desa Tenganan Pagringsingan yang tidak mengenal
kasta,
keanggotaan orang
salah seorang anaknya
menikah.
t u a berakhir
ketika
Dengan kata lain,
keang-
gotaan orang tua diganti oleh anak
yang paling dahulu
menikah. Oleh karena kewajiban orang tua diteruskan laki-laki,
maka
nilai
anak laki-laki
penting di dalam masyarakat dan kerabat, apabila di
oleh anak
menjadi sangat Dengan demikian,
antara anggota masyarakat desa adat (krama
desa) tidak mempunyai
keturunan laki-laki,
mereka ber-
upaya mendapatkannya antara lain dengan cara mengangkat anak dari keluarga lain yang ada hubungan kerabat, atau mengangkat senkana r a j e g .
Tujuannya
oleh keturunan laki-laki
yang akan menggantikan ( n y e l i -
adalah untuk memper-
d i h i ) orang tua dalam melaksanakan ayahan.
5.2.2
Banjar
Banjar adalah suatu kesatuan hidup setempat yang menjalankan tugas, antara lain, menangani urusan perkawinan perceraian, pengangkatan anak, warisan, kematian, memelihara dan menyelenggarakan upacara keagamaan
di
tempat
suci/pura yang ada di lingkungan banjar tersebut. Perbedaan pokok antara banjar dan desa adat adalah dalam ha1 sifat tugas yang ditangani. Tugas pokok desa adat berkaitan dengan Kahyangan,
oleh karena itu bersifat sakral, se-
dangkan banjar mempunyai tugas yang lebih banyak berhubungan dengan hal-ha1 yang bersifat sekuler. Tugas-tugas
banjar
seperti yang
disebutkan di
pengertian pesuka dukaan.
atas tercakup dalam
Oleh karena itu banjar
sering
juga disebut banjar suka-duka. Anggota
ban j a r
{krama ban j a r )
orang yang sudah menikah. tergantung
pada
terdiri dari orang-
Kewajiban seorang krama banjar
status keanggotaannya.
Tentang
status
keanggotaan seorang krama tidak sama di tempat satu dengan d i tempat
lainnya d i Bali.
Di beberapa d e s a d i Bali,
antara lain di Desa Adat Melinggih, krama banjar dibedakan atas dua, yaitu krama ngerep (krama pengayah) atau anggota inti dan krama kampl%ngan (krama roban)
(Astiti, 1 9 7 8 ) .
Banjar-banjar baru yang banyak dibentuk di daerah perkotaan oleh para pendatang, umumnya tidak mengenal perbedaan status keanggotaan
seperti
itu.
U m u m n y a keanggotaan
krama ngarep tersebut diwariskan kepada anak laki-laki tertua
(pada golongan t r i .wangsa) dan kepada anak laki(pada golongan sudra wangsa)
laki terkecil
.
Anak laki-
laki yang lain berstatus sebagai krama kamplengan. Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang krama banjar, di antaranya adalah melaksanakan ayahan dan membayar iuran wajib k e w a j iban diatur
yang
dalam
yang disebut patus.
Berbagai macam
harus d i j a l a n k a n oleh krama b a n j a r ,
awig-awig
banjar.
Walaupun
kewa j iban-
kewajiban tersebut merupakan suatu keharusan, namun dalam
hal-ha1
tertentu seseorang atau sekelompok warga dapat
memperoleh
dispensasi
untuk
tidak
melakukan
kewajiban
(ayahan) tersebut. Mereka dapat menggantikan ayahan tersebut
dengan membayar sejumlah uang yang
disebut pengoot
/pemelin ayah (uang untuk pembelian ayahan) yang jumlahnya d i t e n t u k a n berdasarkan banjar.
kesepakatan
dalam
sangkepan
Warga yang mendapat dispensasi tersebut di anta-
ranya adalah Pegawai Negeri dan ABRI. k a n dari melaksanakan ayahan, (patus).
disebut
Warga yang dibebas-
tetap dikenai iuran wajib
Adanya sistem membayar ayahan dengan uang yang pengoot
tersebut dapat
mengatasi
permasalahan
krama yang bekerja d i luar desa, sehingga ia tidak perlu pulang khusus untuk
melaksakan
Berdasarkan uraian-uraian
ayahan. tersebut d i atas, dapat
disimpulkan bahwa hubungan orang t u a d a n anak dalam kehidupan keagamaan dan (hutang) dan ayahan
adat dilandasi oleh adanya utang
(kewajiban adat)
.
Pembayaran hutang
d a n pelaksanaan kewajiban tersebut yang mempunyai nilai sosial religius lebih jauh dijabarkan dalam kaidah-kaidah hukum
adat dan
awig-awig.
secara
lebih kongkrit
Kaidah-kaidah
dirumuskan
dalam
tersebut tampak jelas bercorak
patrilineal dan diwarnai pula oleh kewangsaan. Perwujudan kaidah-kaidah yang bercorak patrilineal tersebut antara lain dapat dilihat dalam pranata kekera-
batan, antara lain, dalam
perkawinan, di mana anak perem-
puan setelah kawin wajib ikut dan masuk ke kerabat suami; pola menetap,
di mana anak laki-laki yang sudah menikah
menurut adat tinggal di lingkungan orang tuanya; an,
pewaris-
di mana harta peninggalan diteruskan kepada anak
laki-laki; pengangkatan anak,
di mana anak yang diangkat
umumnya anak laki-laki dan ayahan di dalam masyarakat banjar dan desa adat juga diwariskan kepada anak lakilaki . Kaidah-kaidah jadikan
semacam itu,
oleh suami istri
pertimbangan dalam membentuk
di-
keluarga. Hal
tersebut tampak jelas dari adanya keinginan para suami istri punya anak laki-laki atau berupaya memperoleh anak laki-laki dengan cara mengangkat anak ataupun sentana rajeg untuk menggantikannya kelak dalam melaksankan ke-
wajiban. (dapat dilihat dalam uraian bab VIII).
5.3
Asosiasi [Bentuk-Bentuk Kerja Sama)
Bentuk kerjasama di Bali yang sudah dikenal sejak berabad-abad adalah kerjasama dalam bidang irigasi atau pengairan. Kegiatan dalam bentuk kerja ini
diorganisir
dalam suatu wadah yang disebut subak. Anggota subak disebut krama subak, terdiri dari para petani yang sawahnya mendapat pembagian air dari sumber yang sama. Pembagian
air untuk sawah para krama subak diatur dalam awig-awig subak, berdasarkan suatu sistem tradisional yang disebut
sistem subak. Setiap subak di Bali mempunyai nama, misalnya Subak Kembangkuning.
Subak Tinjakayu dan lain-lain.
Kegiatan subak meliputi kegiatan yang bersifat ekonomi, sosial maupun religius. Berdasarkan bidang kegiatannya itu, subak mempunyai tugas penting, antara lain sebagai berikut: 1) mengatur pembagian air secara adil dan merata, 2) memelihara dan memperbaiki empangan dan saluran air
supaya air dapat mengalir dengan lancar mengairi sawah, 3) menanggulangi bahaya hama secara gotong royong,
menye-
4)
lenggarakan berbagai upacara keagamaan di pura-pura milik subak, 5) berperan menggerakkan usaha intensifikasi perta-
nian yang dibina oleh pemerintah. Beberapa bentuk kerja sama lainnya yang ada kaitannya dengan pertanian adalah seperti sekeha nigtig sekeha manyi),
(dahulu
sekeha ngejuk semal (sekeha menangkap hama
tupai), sekeha ngalap nyuh (sekeha memetik kelapa) bidang sosial ekonomi ada sekeha nembok
.
Dalam
(membuat tembok),
Dalam bidang seni terdapat sekeha tabuh (sekeha menabuh), sekeha drama (sekeha penari drama), dalam bidang kepemu-
daan ada sekeha teruna-teruni
(sekeha muda-mudi).
Sekeha-
sekeha tersebut sudah dikenal cukup lama di dalam masyara-
kat Bali. Di samping sekeha-sekeha tersebut dewasa ini
banyak terbentuk perkumpulan-perkumpulan baru, antara lain, kelompok tani, kelompencapir, kelompok arisan, kelompok buruh dan sebagainya. Kelompok-kelompok baru ini mempunyai peranan penting dalam
menggerakkan potensi-
potensi yang ada di desa dan mempunyai kepentingan serta tuntutan-tuntutan yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Kelompok-kelompok ini mempunyai sifat dinamis dan merekalah yang menggerakkan masyarakat tradisional menuju ke masyarakat yang lebih maju.