Bambang thank-you ma'am Philip Dorling is an Age investigative journalist. Philip Dorling adalah seorang wartawan investigasi dari the Age 11 March 2011 The Age FOCUS Bribery, corruption and self-enrichment: secret US cables reveal serious allegations of abuse of power by Indonesia's President Susilo Bambang Yudhoyono and his wife Kristiani Herawati. Philip Dorling reports. Suap, korupsi dan memperkaya diri sendiri: kabel rahasia pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan tuduhan yang cukup serius tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Indonesia Susilo BambangYudhoyono dan istrinya Kristiani Herawati. Philip Dorling melaporkan WHEN Susilo Bambang Yudhoyono won a surprise victory in Indonesia's 2004 presidential elections, the Unites States hailed it as "a remarkable triumph of a popular, articulate figure against a rival [incumbent president Megawati Sukarnoputri] with more power, money, and connections". Ketika Susilo Bambang Yudhoyono meraih kemenangan yang mengejutkan dalam pemilihan President tahun 2004, Pemerintah Amerika Serikat menyambutnya sebagai " sebuah kemenangan yang luar biasa yang terpopuler, yang melebihi saingannya [presiden incumbent Megawati Sukarnoputri] yang mempunyai kekuasaan, uang dan koneksi jauh lebih besar,". Even three years later US diplomats in Jakarta applauded Yudhoyono's administration for remaining "stalwart in its commitment to put terrorists behind bars". Bahkan tiga tahun kemudian diplomat Amerika Serikat di Jakarta memuji pemerintahan Yudhoyono "yang mempunyai komitmennya untuk memenjarakan terroris".
Indeed, the former army general and security minister went on to win international accolades for strengthening governance, promoting economic reform, and his efforts to suppress the Islamic militant group Jemaah Islamiyah. Sebagai seorang mantan jenderal angkatan darat dan menteri keamanan telah memenangkan penghargaan internasional untuk memperkuat pemerintahan, mempromosikan reformasi ekonomi, dan upaya nya (Yudhoyono) untuk menekan kelompok militan Islam, Jemaah Islamiyah. But Yudhoyono's record may have to be reviewed after secret US embassy cables, leaked to WikiLeaks and provided to The Age, reveal allegations of corruption and abuse of power that extend all the way to the presidential palace. According to the diplomatic cables, Yudhoyono, widely known by his initials SBY, personally intervened to influence prosecutors and judges to protect corrupt political figures and put pressure on his adversaries. He reportedly also used the Indonesian intelligence service to spy on rivals and, on at least one occasion, a senior minister in his own government. Akan tapi catatan keberhasilan Yudhoyono tersebut mungkin harus ditinjau kembali setelah kabel rahasia kedutaan AS, bocor ke WikiLeaks dan diberikan oleh The Age, mengungkapkan dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sampai ke istana presiden. Menurut kabel diplomatik, Yudhoyono yang lebih dikenal dengan inisial SBY, secara pribadi dia (Yudhoyono) telah ikut campur tangan untuk mempengaruhi jaksa dan hakim dalam melindungi tokoh politik yang korup dan menekan lawan-lawan politiknya. Dia juga dilaporkan telah menggunakan badan intelijen Indonesia (BIN) untuk memata-matai saingannya dan salah seorang menteri senior dalam pemerintahannya. Yudhoyono's former vice-president reportedly paid out millions of dollars to buy control of Indonesia's largest political party, while the President's wife and her family have allegedly moved to enrich themselves on the basis of their political connections. Mantan wakil presiden Yudhoyono dilaporkan telah membayar jutaan dolar untuk mengendalikan partai politik terbesar Indonesia, sementara istri Presiden dan keluarganya diduga memperkaya diri sendiri atas dasar hubungan politik mereka.
However, the embassy's political reporting, much of it classified "Secret/NoForn" meaning for American eyes only — makes clear the continuing influence of money politics, which extends, despite the President's public commitment to combating corruption, to Yudhoyono himself. The US embassy cables reveal that one of Yudhoyono's early presidential actions was to personally intervene in the case of Taufik Kiemas, the husband of former president Megawati Sukarnoputri. Taufik reportedly used his continuing control of his wife's Indonesian Democratic Party (PDI-P) to broker protection from prosecution for what the US diplomats described as "legendary corruption during his wife's tenure". Namun, laporan politik kedutaan, banyak yang diklasifikasikan "Rahasia / NoForn" yang berarti untuk mata Amerika saja- dari laporan ini telah jelas adanya pengaruh politik uang yang meluas sampai kemana-mana termasuk ke Yudhoyono sendiri, meskipun didepan publik Presiden mempunyai komitment untuk memberantas korupsi, Kabel kedutaan AS mengungkapkan bahwa salah satu tindakan awal presiden Yudhoyono adalah mencampuri kasusnya Taufik Kiemas, suami mantan presiden Megawati Sukarnoputri. Taufik dilaporkan menggunakan kekuasaannya untuk mengkontrol partai istrinya yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) sebagai broker untuk melindungi dari tindakan hukum, yang mana oleh diplomat AS digambarkan sebagai "korupsi yang legendaris selama masa istrinya berkuasa". Taufik has been publicly accused, though without charges being laid against him, of improper dealings in massive infrastructure projects heavily tainted with corruption. He is believed to have profited from deals relating to the $2.3 billion Jakarta Outer Ring Road project, the $2.4 billion double-track railway project from Merak in West Java to Banyuwangi in East Java, the $2.3 billion trans-Kalimantan highway, and the $1.7 billion trans-Papua highway. Taufik telah dituduh, meskipun tanpa tuduhan yang dijatuhkan terhadap dirinya, melakukan transaksi yang tidak tepat dalam proyek infrastruktur yang sangt besar. Dia diyakini telah diuntungkan dari transaksi yang terkait dengan proyek $ 2.3 miyar Jakarta Outer Ring Road, proyek $ 2.4 milyar rel kereta api ganda dari Merak di Jawa Barat ke Banyuwangi di Jawa Timur, proyek $2.3 milyar jalan raya trans-Kalimantan, dan $ 1.7 milyar jalan raya trans-Papua.
In December 2004, the US embassy in Jakarta reported to Washington that one of its most valued political informants, senior presidential adviser TB Silalahi, had advised that Indonesia's Assistant Attorney-General, Hendarman Supandji, who was then leading the new government's anti-corruption campaign, had gathered "sufficient evidence of the corruption of former first gentleman Taufik Kiemas to warrant Taufik's arrest". Pada bulan Desember 2004, kedutaan AS di Jakarta melaporkan ke Washington bahwa salah satu informan politik yang paling berharga, penasehat senior presiden TB Silalahi, telah menyarankan bahwa Asisten Jaksa Agung, Hendarman Supandji, yang saat itu memimpin kampanye pemerintahan baru anti-korupsi , telah mengumpulkan "bukti kuat korupsi Taufik Kiemas untuk memberikan surat perintah penangkapan Taufik". However, Silalahi, one of Yudhoyono's closest political confidants, told the US embassy that the President "had personally instructed Hendarman not to pursue a case against Taufik". Namun, Silalahi, salah satu kepercayaan politik Yudhoyono, mengatakan kepada kedutaan AS bahwa Presiden "secara pribadi telah memerintahkan Hendarman tidak melanjutkan kasus Taufik". No legal proceedings were brought against the former "first gentleman", who remains an influential political figure. While Yudhoyono protected Taufik from prosecution, his then vice-president, Jusuf Kalla, allegedly paid what the US embassy described as "enormous bribes" to win the chairmanship of Golkar, Indonesia's largest political party, during a December 2004 party congress, US diplomats observed firsthand. Tidak ada proses hukum yang diajukan terhadap "Taufik Kiemas (first gentleman), yang tetap merupakan tokoh politik berpengaruh. Sementara Yudhoyono melindungi Taufik dari tuntutan hukum, kemudian wakil presiden,Jusuf Kalla, dituduh membayar untuk memenangkan kepemimpinannya di Golkar, partai politik terbesar di Indonesia, selama kongres partai pada bulan Desember 2004, yang mana kedutaan AS menggambarkan keadaan ini sebagai "suap besar" , dari hasil pengamatan diplomat AS. "According to multiple sources close to the major candidates, Kalla's team offered district boards at least 200,000,000 rupiah (over $US22,000) for their votes," the US
embassy reported. "Provincial boards — which had the same voting right, but also could influence subordinate district boards — received 500,000,000 rupiah or more. According to one contact with prior experience in such matters, board officials received down payments . . . and would expect full payment from the winner, in cash, within hours of the vote." "Menurut beberapa sumber yang dekat dengan calon utama, tim Kalla menawarkan minimal 200.000.000 rupiah (lebih dari $ US22, 000) disetiap pengurus kabupaten dari suara mereka ," kedutaan AS melaporkan. "pengurus tingkat Provinsi yang memiliki hak suara yang sama,tetapi juga dapat mempengaruhi pengurus tingkat kabupaten sebagai subordinasinya - menerima 500.000.000 rupiah atau lebih. Menurut sebuah sumber yang mempunyai pengalaman dalam hal-hal seperti ini, para pejabat dewan menerima uang muka dan akan mengharapkan pembayaran penuh dari.... dalam bentuk tunai, beberapa jam setelah pemungutan suara. " US diplomats reported that, with 243 votes required to win a majority, the Golkar chairmanship would have cost more than $US6 million. "One contact claimed that [then Indonesian House of Representatives chairman Agung Laksono] alone — not the wealthiest of Kalla's backers — had allocated (if not actually spent) 50 billion rupiah (over $US5.5 million ) on the event." Diplomat AS melaporkan bahwa, dengan 243 suara dibutuhkan untuk memenangkan mayoritas, kepemimpinan Golkar akan memerlukan biaya lebih dari $ US 6 juta. "Salah satu kontak/sumber mengklaim [ yang kemudian menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Agung Laksono ] bahwa dia telah mengalokasikan 50 milyar rupiah (lebih dari $US5.5 juta) pada konggres tersebut". The US embassy cables further allege that Yudhoyono had then cabinet secretary Sudi Silalahi "intimidate" at least one judge in a 2006 court case arising from a fight for control of former president Abdurahman Wahid's National Awakening Party (PKB). According to the embassy's contacts, Sudi told the judge "if the court were to help [Wahid] it would be like helping to overthrow the government". The intervention of "SBY's right-hand man" was not successful in a direct sense because, according to embassy sources with close ties to the PKB and lawyers involved in the case, Wahid's supporters paid the judges 3 billion rupiah (about
US$322,000) in bribes for a verdict that awarded control of PKB to Wahid instead of a dissident faction. Kabel kedutaan AS lebih jauh menyatakan bahwa Yudhoyono sekretaris cabinetnya, Sudi Silalahi "mengintimidasi" setidaknya satu hakim dalam kasus pengadilan 2006 untuk mengontrol partai politik mantan presiden Abdurahman Wahid yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut kontak kedutaan, Sudi mengatakan kepada hakim "jika pengadilan membantu/memenangkan [Wahid] itu akan seperti membantu untuk menggulingkan pemerintah". Intervensi dari "tangan kanan SBY" tidak berhasil, karena menurut sumbersumber kedutaan yang dekat dengan PKB dan pengacara yang terlibat dalam kasus ini, pendukung Wahid membayar suap ke hakim 3 miliar rupiah (sekitar US$ 322.000) untuk vonis yang diberikan Wahid teerhadap PKB dan bukannya faksi pembangkangnya. However, Yudhoyono's strategic objective was achieved as external pressure on Wahid's "precarious position" forced the PKB to reposition itself to support the administration. Namun, tujuan strategis Yudhoyono telah tercapai sebagai tekanan eksternal pada "posisi genting" Wahid yang memaksa PKB untuk memposisikan diri untuk mendukung pemerintah. Other US embassy reports indicate that Yudhoyono has used the Indonesian State Intelligence Agency (BIN) to spy on both his political allies and opponents. The President reportedly also got BIN to spy on rival presidential candidates. This practice appears to have begun while Yudhoyono was serving as co-ordinating minister of political and security affairs in former president Megawati's government. He directed the intelligence service to report on former army commander and Golkar presidential candidate Wiranto. Subsequently, at a meeting of Yudhoyono's cabinet, BIN chief Syamsir characterised Wiranto as a "terrorist mastermind". Through his own military contacts Wiranto learnt that he was the subject of "derogatory" BIN reports, but when he complained he was told by presidential adviser TB Silalahi that no such reports existed. Laporan kedutaan AS lainnya menunjukkan bahwa Yudhoyono telah menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memata-matai kedua hal, yaitu sekutu politiknya dan lawannya. Presiden kabarnya juga mendapat informasi dari BIN untuk memata-
matai calon presiden saingannya. Praktek semacam ini tampaknya telah dimulai ketika Yudhoyono menjabat sebagai menteri koordinasi bidang politik dan keamanan di pemerintahan mantan presiden Megawati. Dia (Yudhoyono) memerintahkan dinas intelijen untuk melaporkan mantan komandan militer dan calonpresiden dari Golkar, Wiranto. Selanjutnya, pada pertemuan kabinet dipemerintahan Yudhoyono, ketua BIN Syamsir menyebut Wiranto sebagai "dalang teroris". Melalui kontaknya di militer Wiranto mengetahui bahwa dia dijadikan sebagai subyek "menghina" BIN melaporkan, akan tetapi ketika dia (Wiranto) mengeluh soal ini, penasehat President TB Silalahi mengatakan tidak ada laporan seperti itu. The leaked US embassy cables are ambiguous on the question of whether Yudhoyono has been personally engaged in corruption. However, US diplomats reported that at a 2006 meeting with the chairman of his own Democratic Party, Yudhoyono "bemoaned his own failure to date to establish himself in business matters", apparently feeling "he needed to 'catch up' . . . [and] wanted to ensure he left a sizeable legacy for his children". kabel bocoran dari kedutaan Amerika mempertanyaan tentang apakah Yudhoyono secara pribadi terlibat dalam korupsi. Namun, diplomat AS melaporkan bahwa pada sebuah pertemuan 2006 dengan ketua Partai Demokrat (partai politinya Yudhoyono), Yudhoyono "meratapi kegagalannya sendiri untuk membangun urusan bisnis",rupanya "dia (Yudhoyono) merasa harus 'mengejar ketinggalan'... [dan ] ingin memastikan ia meninggalkan warisan yang cukup besar untuk anak-anaknya ". IN THE course of investigating the President's private, political and business interests, American diplomats noted alleged links between Yudhoyono and ChineseIndonesian businessmen, most notably Tomy Winata, an alleged underworld figure and member of the "Gang of Nine" or "Nine Dragons," a leading gambling syndicate. In 2006, Agung Laksono, now Yudhoyono's Co-ordinating Minister for People's Welfare, told US embassy officers that TB Silalahi "functioned as a middleman, relaying funds from Winata to Yudhoyono, protecting the president from the potential liabilities that could arise if Yudhoyono were to deal with Tomy directly". Dalam proses menyelidikan pribadi Presiden yang berkaitan dengan kepentingan politik dan bisnisnya, diplomat Amerika mencatat hubungan antara Yudhoyono dan pengusaha Tionghoa-Indonesia, terutama Tomy Winata, sebagai seorang tokoh dan menjadi anggota dari "Geng Sembilan" atau "Sembilan Naga, " yaitu sindikat judi terkemuka. Pada tahun 2006, Agung Laksono yang sekarang menjadi Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, mengatakan kepetugas kedutaan AS bahwa TB Silalahi "berfungsi sebagai perantara, menyampaikan dana dari Winata ke Yudhoyono, untuk melindungi presiden jika ada persoalan yang muncul dalam berurusan dengan Tomy secara langsung ". Tomy Winata reportedly also used prominent entrepreneur Muhammad Lutfi as a channel of funding to Yudhoyono. Yudhoyono appointed Lutfi chairman of Indonesia's Investment Co-ordinating Board. Senior State Intelligence Agency official Yahya Asagaf also told the US embassy Tomy Winata was trying to cultivate influence by using a senior presidential aide as his channel to first lady Kristiani Herawati. Yudhoyono's wife and relatives also feature prominently in the US embassy's political reporting, with American diplomats highlighting the efforts of the president's family "particularly first lady Kristiani Herawati . . . to profit financially from its political position". Dilaporkan juga bahwa Tomy Winata menggunakan pengusaha terkemuka Muhammad Lutfi sebagai saluran dana ke Yudhoyono. Yudhoyono menunjuk Lutfi sebagai Ketua Dewan Koordinasi Indonesia Investment. Seorang Senior Badan Intelijen Negara Asagaf Yahya juga mengatakan ke kedutaan AS jika Tomy Winata sedang berusaha untuk mengembangkan pengaruh dengan menggunakan seorang penasehat senior presiden sebagai jalur penghubungnya (Tomy Winata) dengan Ibu Negara, Kristiani Herawati. Istri Yudhoyono dan kerabatnya juga menjadi perhatian dalam laporan politik kedutaan AS, diplomat Amerika menyoroti upaya keluarga presiden " t erutama Ibu Negara,Kristiani Herawati... untuk mendapatkan keuntungan finansial dari posisi politiknya". In June 2006, one presidential staff member told US embassy officers Kristiani's family members were "specifically targeting financial opportunities related to stateowned enterprises". The well-connected staffer portrayed the President as "witting of these efforts, which his closest operators (e.g. Sudi Silalahi) would advance, while Yudhoyono himself maintained sufficient distance that he could not be implicated".
Pada bulan Juni 2006, salah satu anggota staf kepresidenan mengatakan kepada anggota petugas Kedubes AS bahwa anggota keluarga Kristiani "secara khusus mentargetkan peluang financial/keuangan yang berkaitan dengan perusahaan milik negara". Para staf yang mempunyai hubungan dekat menggambarkan Presiden sebagai "sebuah kabar dari upaya ini, bahwa operator terdekatnya Yudhoyono yang akan maju (misalnya SudiSilalahi), sementara Yudhoyono sendiri mempertahankan jarak sehin gga ia tidak terlibat". Such is the first lady's behind-the-scenes influence that the US embassy described her as "a cabinet of one" and "the President's undisputed top adviser." The embassy reported: "As presidential adviser TB Silalahi told [US political officers], members of the President's staff increasingly feel marginalised and powerless to provide counsel to the President." Pengaruh Ibu Negara yang ada di belakang layar, kedutaan AS menggambarkan dirinya (Ibu Negara) sebagai "bagian dari kabinet" dan "menjadi penasihat President yang tidak terbantahkan." Kedutaan melaporkan: "Sebagai penasihat presiden TB Silalahi mengatakan [ke penesehat politik kedutaan Amerika], bahwa anggota staf Presiden semakin merasa terpinggirkan dan tidak berdaya untuk memberikan nasihat kepada Presiden." Yahya Asagaf at the State Intelligence Agency privately declared the first lady's opinion to be "the only one that matters". Significantly, the US embassy's contacts identified Kristiani as the primary influence behind Yudhoyono's decision to drop vice-president Kalla as his running mate in the 2009 presidential elections. Yahya Asagaf dari Badan Intelijen Negara menyatakan pendapatnya jika opini Ibu Negara menjadii "satu-satu nya sumber permasalahan”. Beberapa sumber/kontak kedutaan AS mengidentifikasikan jika Kristiani sebagai pengaruh utama di balik keputusan Yudhoyono untuk mengedrop/membatalkan Kalla sebagai pasangan wakil presiden dalam pemilihan presiden 2009. With Bank of Indonesia governor Boediono as his new vice-presidential running mate, Yudhoyono went on to an overwhelming victory. The President secured more
than 60 per cent of the vote, defeating both former president Megawati, who had teamed up with former special forces commander Prabowo Subianto, and vicepresident Kalla, who allied himself with Wiranto. Dengan Gubernur Bank Indonesia, Boediono sebagai calon pasangan baru wakil presiden, Yudhoyono memperoleh sebuah kemenangan besar. Presiden terpilih dengan jumlah suara sebanyak 60 persen suara, mengalahkan kedua mantan presiden Megawati, yang telah bekerja sama dengan mantan komandan pasukan khusus Prabowo Subianto, dan wakilpresiden Jusuf Kalla, yang berpasangan dengan Wiranto. In January 2010 the US embassy observed: "Ten years of political and economic reform have made Indonesia democratic, stable, and increasingly confident about its leadership role in south-east Asia and the Muslim world. Indonesia has held successful, free and fair elections; has weathered the global financial crisis; and is tackling internal security threats." Pada bulan Januari 2010 kedutaan AS melakukan pengamatan: "Sepuluh tahun reformasi politik dan ekonomi telah membuat Indonesia yang demokratis, stabil, dan semakin percaya diri tentang peran kepemimpinannya di Asia Tenggara dan dunia Muslim. Indonesia telah sukses melakukan, pemilu yang bebas dan adil;. telah melewati krisis keuangan global dan mampu menangani ancaman keamanan dalam negeri ". However, America's diplomats also noted that a series of political scandals through late 2009 and into 2010 had seriously damaged Yudhoyono's political standing. A protracted conflict between the Indonesian police and the national Corruption Eradication Commission had damaged the government's public anti-corruption credentials, while a parliamentary inquiry into the massive bailout of a major financial institution, Bank Century, called into question the Vice-President's performance as former central bank governor. Namun, diplomat Amerika juga mencatat bahwa serangkaian skandal politik dari akhir tahun 2009 dan sampai tahun 2010 telah menghancurkan keberadaan politik Yudhoyono. Suatu konflik berkepanjangan antara polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merusak kepercayaan publik terhadap kredibilitas pemerintah tentang anti-korupsi, sementara penyelidikan parlemen terhadap
bailout besar-besar terhadap lembaga keuangan, Bank Century, mempertanyakan kinerja Wakil Presiden sebagai mantan gubernur bank sentral. One prominent anti-corruption non-government organisation privately told the US embassy that it had "credible" information that funds from Bank Century had been used for financing Yudhoyono's re-election campaign. Salah satu lembaga suadaya masyarakat (LSM) yang paling terkenal terhadap antikorupsi mengatakan kepada kedutaan AS bahwa mereka (LSM tersebut) mempunyai "informasi yang dapat dipercaya” bahwa dana dari Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye pemilihan kembali Yudhoyono. Former vice-president Kalla strongly criticised the bailout, alleging that the Bank of Indonesia under Boediono had been negligent in supervising Bank Century and arguing that the bank should have been closed as its failure was due to fraud perpetrated by major shareholders. Mantan wakil presiden Jusuf Kalla mengkritik keras bailout, menyatakan bahwa Bank Indonesia dibawah kepimpinan Boediono telah lalai dalam mengawasi Bank Century dan menyatakan bahwa bank seharusnya ditutup karena penipuan yang dilakukan oleh pemegang saham utama. Against this background the US embassy reported that Yudhoyono was increasingly "paralysed" as his political popularity rapidly diminished. "Unwilling to risk alienating segments of the parliament, media, bureaucracy and civil society, Yudhoyono has slowed reforms. He is also unwilling to cross any constituencies . . . Until he is satisfied that he has shored up his political position, Yudhoyono is unlikely to spend any political capital to move his reform agenda, or controversial aspects of US -Indonesia relations, forward." Dengan melihat latar belakang seperti ini kedutaan AS melaporkan bahwa Yudhoyono semakin"lumpuh" popularitas politiknya semakin cepat berkurang. "Tidak mau mengambil risiko untuk diasingkan dari element di parlemen, media, birokrasi dan masyarakat sipil, bahwa Yudhoyono telah melakukan reformasi lambat. Ia juga tidak mau kehilangan para konstituennya.... Sampai ia (Yudhoyono) merasa yakin bahwa posisi politiknya semakin kuat, Yudhoyono tidak mungkin mau mengeluarkan biaya politik untuk
mengalihkan agenda reformasi, atau aspek-aspek controversial lainnya dari hubungan AS-Indonesia. Over the past 13 years Indonesian democracy has undoubtedly strengthened. The Suharto dictatorship has been replaced by a competitive political system characterised by robust debate and free media. However, as the leaked US embassy's reports show, in a partial glimpse of the inside workings of President Yudhoyono's tenure, some of the secretive and corrupt habits of the Suharto years still linger in Indonesian presidential politics. Selama 13 tahun terakhir demokrasi Indonesia tidak diragukan lagi keberadaannya. Kediktatoran Suharto telah digantikan oleh sistem politik yang kompetitif dengan dicirikan oleh perdebatan yang kuat dan media yang bebas. Namun, seperti yang dilaporankan oleh bocoran dari kedutaan AS menunjukkan, dalam sekilas sebagian dari kerja Presiden Yudhoyono, kebiasaan prilaku korupsi dalam masa pemerintahan Suharto masih berlangsung hingga saat ini di dalam perpolitikan presiden Indonesia.