Balada Cabai Mahal : Teriakan Lingkungan pada Pembangunan Indonesia! Rendy Adriyan Diningrat on 16/1/2011
Lonjakan meroketnya cabai hingga menginjak angka Rp 100.000 per kilo, seolah menjadi “artis” baru dalam pergulatan media di negeri ini. Teriakan-teriakan mahalnya harga cabai kini masuk dalam agenda besar kesibukan jutaan penduduk Indonesia. Selentingan pedas pun mengalir bahwa dahulu orang malu jika ada cabai menempel di giginya. Justru kini orang Indonesia akan berlomba-lomba menyelipkan kulit cabai sebagai tanda telah meningkatnya “status sosial” dalam kehidupan mereka. Seperti yang dilansir kompas.com, melambungnya harga cabai ternyata juga menarik perhatian para menteri dalam rapat kabinet paripurna yang digelar oleh Presiden SBY, 6 Januari 2011 lalu. Ya, inilah potret yang menunjukkan kehebatan cabai hingga menimbulkan keresahan hampir seluruh warga Indonesia pecinta makanan pedas. Dari segi ekonomi, melonjaknya komoditi cabai disebabkan oleh posisi “harga” yang tidak terletak di titik seperti biasanya. Suplay cabai yang rendah tidak mampu mengimbangi permintaannya yang tinggi. Hasilnya, penyesuaian titik eqluilibrium oleh kurva supply dan demand menyebabkan harga komoditi utama pembuat sambal itu, menjadi kian mahal.
Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id
Sementara itu, dengan perspektif berbeda, ahli lingkungan menyoroti bahwa merosotnya produksi cabai disebabkan oleh cuaca tak menentu yang dialami negeri kita. Hal ini merupakan imbas dari perubahan iklim yang tak bisa lagi diprediksikan. Padahal kenyamanan iklim merupakan faktor utama bergantungnya hasil panen bagi para petani, termasuk petani cabai. Perubahan cuaca dan Pengaruh Lingkungan Banyak literatur yang menghubungkan ketidaknyamanan cuaca yang terjadi di Indonesia bahkan di belahan bumi manapun, disebabkan oleh adanya fenomena pemanasan global. Fenomena yang tak asing lagi di dunia modern ini, menjelaskan tentang terperangkapnya sinar matahari oleh kepulan gas rumah kaca yang menyelimuti atmosfer bumi. Dimana gas ini dihasilkan oleh emisi yang sebagian besar berasal dari aktivitas kehidupan manusia. Kepulan gas yang menutupi atmosfer itu mengakibatkan cahaya matahari yang masuk tidak lagi mampu menembus keluar ruang kehidupan bumi. Hasilnya terjadilah pantulan kembali ke permukaan bumi secara berulang-ulang. Inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu bumi secara global atau biasa disebut global warming. Ketidakmampuan lingkungan mereduksi zat buangan dari penggunaan energi menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian masyarakat dunia terhadap hak-hak lingkungan, terlebih pada aktivitas pembangunan. Mereka melakukan pembangunan secara semena-mena dengan menempatkan aspek lingkungan dalam porsi yang sangat kecil bahkan sering terabaikan. Ya, inilah yang juga terjadi di Indonesia, sebuah negeri yang Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id
klasik terdengar sebagai tanah air yang “sebenarnya” kaya raya akan potensi lingkungan dan sumber daya alamnya, namun tak secara utuh menjadi sebuah realita. Porsi Lingkungan dalam Kegiatan Pembangunan Indonesia Analisa saya menyetujui pemikiran yang sejalan dari seorang pakar ekonomi yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Bapenas (1970-1973) dan juga Mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1993), Emil Salim. Dalam bukunya Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Beliau mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pembangunan tanah air yang seolah hanya didominasi oleh kepentingan ekonomi semata. Realita semacam ini banyak ditemukan di Indonesia dimana aspek lingkungan menjadi porsi terkecil bahkan sering diabaikan di tiap kegiatan pembangunan. Ambil saja contoh-contoh pengalihfungsian lahan terbuka hijau untuk pembangunan ekonomi dalam kegiatan pertambangan. Tak perlu disangkal lagi, bahwa pertambangan memang memberikan jasa yang sangat besar dalam pencapaian angka pertumbuhan ekonomi. Sektor ini mampu membuka banyak lapangan kerja, penyumbang pembangunan infrastruktur jalan dan sentra kegiatan ekonomi di daerah terpencil. Industri semacam ini memperkenalkan teknologi, melatih tenaga terampil, dan memasukkan pola manajemen modern. Namun sayangnya, sektor yang membawa Indonesia dari kelompok
“negara
berpendapatan
rendah”
menjadi
“negara
berpendapatan menengah” di tahun 90-an ini, acapkali mengabaikan hak-hak lingkungan. Penambangan perlu membabat hutan lebat untuk eksplorasi dan kemudian diratakan untuk keperluan eksploitasi Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id
membuka jalan dan permukiman pekerja, Tanah galian yang tidak terpakai ditimbun, dibuang ke sungai, atau laut. Profil lanskap alami berubah total, gunung diratakan, alur sungai dan garis pantai diubah. Belum lagi, bahan kimia beracun dan berbahaya yang sering digunakan dalam proses penambangan. Hal ini tentu meninggalkan sisa-sisa limbah yang sengaja dihanyutkan dan larut ke dalam air tanah, sungai, dan laut. “Pasar” adalah mekanisme ekonomi yang merekam “kebutuhan konsumen untuk diladeni produsen. “Harga” terbentuk dalam pasar dan mencerminkan seimbangnya “permintaan” dengan “pengadaan”. Tidak semua “kebutuhan” manusia bisa direkam oleh pasar. Kebutuhan akan jasa lingkungan, seperti air bersih, udara segar, iklim nyaman, hutan, curah hujan, dan berbagai hasil keluaran ekosistem, tidak tertangkap oleh “pasar”. Dengan demikian, pembangunan yang mengandalkan “pasar” mempertemukan konsumen dan produsen hanya berhasil di bidang ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan. (Emil : 2005) Kejadian
seperti
ini
berlangsung
secara
berulang-ulang.
Celakanya, tidak hanya pertambangan saja yang memberikan imbas pada keadilan lingkungan. Hal-hal lain seperti emisi dari kendaraan bermotor, asap rokok, pembuangan sampah sembarangan, pemborosan sumber daya energi listrik dan air, penggunaan kertas dan plastik secara berlebihan, serta kegitan serupa lainnya, juga mendukung terjadinya kemerosotan kuantitas dan kualitas lingkungan. Suistanable
Planning,
Sebagai
Penjaga
Keberlangsungan
Kehidupan
Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id
Kemerosotan
kuantitas
dan
kualitas
lingkungan
akibat
pembangunan yang hanya berfokus untuk mencari keuntungan, perlu segera
dikoreksi.
Dibutuhkan
perencanaan
pembangunan
yang
menjamin hak-hak lingkungan. Lingkungan akan menjadi tolak ukur dari keberlanjutan manusia dan keberlangsungan kehidupannya. Karena pembangunan ekonomi yang memiliki model seperti Indonesia sekarang, tentu membutuhkan sumber daya alam yan berasal dari lingkungan, yang kemudian diolah untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteran. Logikanya, saat sumberdaya alam habis tanpa ada yang memperhatikannya, tentu perekonomian akan terhenti. Ketika aktivitas perekonomian terhenti dan sumber daya alam habis tereksploitasi, maka disaat itulah tiba masa-masa kepunahan manusia. Tidak
salah
menempatkan
ekonomi
sebagai
prioritas
perencanaan saat peran penting lingkungan masih diakui dan dihargai. Perlu adanya hubungan timbal balik mutualisme antara peningkatan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Saat ekonomi suatu daerah telah maju dari hasil pengelolaan sumber daya, maka di saat yang sama perlu
adanya
digunakannya.
tindakan Hal
ini
pelestarian sebenarnya
sumber juga
daya
alam
sebagai
yang
penjaga
keberlangsungan kehiidupan ekonominya. Karena kehidupan yang suistanable perlu direncanakan dengan mengintegrasikan tiga aspek besar kehidupan, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jika salah satunya terabaikan, maka jangan heran akan terjadi kepincangan terhadap pembangunan yang diiringi dengan domino masalah kehidupan lainnya. Renungan Terakhir
Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id
Telah banyak fenomena mengerikan yang terjadi akibat kemerosotan lingkungan di bumi ini. Sejak November 2010 hingga Januari 2011 ini, hampir setiap hari ,Yogyakarta diguyur hujan lebat dengan intensitas tak menentu. Tidak hanya itu, sambaran petir dan angin kencang mencekam pun ikut andil mengiringinya. Fenomena mengerikan lainnya juga terjadi di Queensland, baru-baru ini, salah satu negara bagian di Australia itu, kini menjadi sorotan dunia karena banjir bandang terdahsyatnya. Beralih ke belahan bumi bagian Eropa dan Amerika, kedua benua ini pun kini dilanda cuaca ekstrim seperti dalam film The Day After Tomorrow saat adegan membekunya daerah perkotaan diterjang sang badai salju. Rasanya, akan memakan waktu yang lama untuk memulihkan dunia dari pemanasan global. Selama proses pemulihan dengan memberikan penghargaan terhadap lingkungan, manusia juga perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim yang sudah “terlanjur” terjadi. Bila tidak, bisa dipastikan tinggal menunggu waktu untuk kerapuhan eksistensinya. Maka, bukan tanpa alasan, hadirnya gerakangerakan mencintai bumi merupakan sebuah jelmaan atas kecemasan penduduk dunia atas kejadian-kejadian mengerikan yang mampu ditimbulkan dari perubahan iklim. Pertanyaannya, pernahkah Anda mendengar teriakan-teriakan para pecinta lingkungan seperti ajakan untuk bersepeda, gerakan ‘go green’, program tanam 1000 pohon, kampanye perubahan iklim, penghematan energi listrik, atau pun aktivitas serupa lainnya? Lantas, respon seperti apakah yang Anda berikan saat mendengar teriakanteriakan semacam itu? Pedulikah Anda? Atau justru Anda merasa risih dan bersikap acuh dengan alasan karena itu semua bukanlah bagian Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id
yang penting dalam hidup Anda? Jika Anda menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan terakhir ini, maka bersiaplah menjadi orang yang merugi karena keterlambatan menghadapi kekhawatiran dunia. Ini baru masalah cabai, bagaimana bila nantinya terjadi krisis pangan kebutuhan pokok sepert terbatasnya pasokan beras yang mampu mengancam eksistensi kehidupan manusia? Sebelum terlambat, ayo hargai dan cintai lingkungan sebagai penopang dinamisnya kehidupan manusia!
Source : http://rendy.blog.ugm.ac.id