Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV ) PENYEBAB PENYAKIT BELANG PADA CABAI (Capsicum annuum L.): KERAGAMAN ISOLAT DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA MELALUI INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL
IFA MANZILA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang pada Cabai (Capsicum annuum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal” adalah karya saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir setiap topik disertasi ini.
Bogor,12 April 2011
IFA MANZILA NIM: A461060091
ABSTRACT IFA MANZILA Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) the causal agent of mottle diseases on Chilli Pepper (Capsicum annuum L.): Isolates diversity and its control strategy through induction of somaclonal variation. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, IKA MARISKA, SRIANI SUJIPRIHATI Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) is one of important viruses infecting chilli pepper plant. It was reported that ChiVMV infection may cause 50% to 100% yield losses. The virus has a very wide host range and strain diversity. The aim of this research are to characterize biological variation of ChiVMV and to obtain plant resistance source via somaclonal variation through induced mutation. Six isolates of ChiVMV was collected from different geographical region of chilli pepper production area. Based on their infection on 10 genotypes of chilli pepper, it was indicated that they have differences in virulence level and symptom type. Isolate collected from Cikabayan, Bogor, Jawa Barat (ChiVMV CKB) was able to infect all 10 genotypes with severe symptoms showing mottle, vein banding, leaf cramping and malformation. Analysis of coat protein gene indicated that ChiVMV isolates collected in this study can be differentiated into 3 groups although they have close relationship with other strains of ChiVMV published earlier in GeneBank. However, further analysis of amino acid revealed that ChiVMV CKB has different motif of octapeptide compared to other strains. The most virulent strain, ChiVMV CKB, was used for evaluation of somaclonal plants produced by in vitro propagation combined with induced mutation using EMS. Twenty somaclonal plants showed resistant response to ChiVMV infection and potential to be used as genetic resources to develop resistant plant.
Key words: Capsicum annuum, Chilli veinal mottle potyvirus, variation.
Somaclonal
RINGKASAN IFA MANZILA. Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, IKA MARISKA, SRIANI SUJIPRIHATI. Chilli veinal mottle potyvirus adalah salah satu virus utama yang menyerang tanaman cabai. Walaupun keberadaannya di Indonesia tergolong baru, namun penyebarannya dapat ditemukan hampir disetiap pertanaman cabai. Infeksi ChiVMV dapat mengakibatkan penurunan hasil 50% hingga 100%. Untuk mengatasi terjadinya ledakan penyakit, menggunakan varietas yang tahan terhadap virus merupakan salah satu alternatif. Namun sampai saat ini belum diperoleh varietas cabai tahan ChiVMV. Bila sumber gen ketahanan terhadap virus masih terbatas, maka salah satu upaya peningkatan sumber gen ketahanan tersebut dapat dilakukan melalui induksi keragaman somaklonal yang dikombinasi dengan induksi mutasi. Penelitian dilakukan pada Juli 2007 sampai Desember 2009 dengan tujuan : 1) mendapatkan informasi mengenai keragaman isolat ChiVMV yang menginfeksi tanaman cabai (Capsicum annuum) pada sentra produksi cabai di Indonesia berdasarkan variasi biologi dan molekuler, 2) mendapatkan informasi tingkat virulensi ChiVMV dan respon beberapa galur cabai terhadap infeksi ChiVMV, 3) mendapatkan varian somaklonal tanaman cabai melalui induksi dengan ethyl methane sulfonate (EMS), 4) mendapatkan tanaman varian somaklonal tanaman cabai yang tahan terhadap ChiVMV. Penelitian di lakukan di laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Cimanggu Bogor dan Laboratorium Virologi Tumbuhan serta rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat ChiVMV yang diperoleh dari beberapa daerah di Indonesia memiliki tingkat virulensi dan menimbulkan gejala yang berbeda. Isolat Cikabayan dan Nusa Indah mampu menginfeksi semua genotipe cabai uji dengan masa inkubasi tercepat 3 hari pada genotipe Jatilaba, Titsuper dan Beauty Bell; sementara isolat Karadenan dan Tanah Datar hanya mampu menginfeksi berturut-turut 4 dan 5 genotipe cabai uji. Walaupun ada perbedaan kisaran inang, tetapi variasi gejala yang muncul diantara keempat isolat didominasi gejala belang hijau gelap, penebalan tulang daun, daun berkerut, dan malformasi. Enam isolat ChiVMV (Belung, Karadenan, Cikabayan, Nusa Indah, Tanah Datar dan Gayo Barat) yang menimbulkan gejala berbeda selanjutnya dipilih untuk mempelajari variasi molekuler yang ada berdasarkan gen selubung protein (CP). Hasil perunutan nukleotida CP-ChiVMV menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut mempunyai tingkat kesamaan sekuen CP-ChiVMV berkisar antara 87% sampai 99% dengan ChiVMV lainnya (GeneBank) dengan variabilitas diantara strain-strain ChiVMV berkisar antara 0,02% sampai 0,48%. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut merupakan strain virus yang sama. Analisis kekerabatan berdasarkan gen CP menunjukkan bahwa ChiVMV dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Kelompok yang pertama terdiri dari ChiVMV Karadenan (KR), ChiVMV Belung (BL) dan ChiVMV Pataruman (GeneBank
DQ854961). Kelompok kedua adalah ChiVMV Cikabayan (CKB), dan Cikabayan2 (GeneBank DQ854960), sedangkan kelompok ketiga adalah ChiVMV Tanah Datar (TD), ChiVMV Nusa Indah (NI), ChiVMV Gayo Barat (GB), dan ChiVMV Taiwan (GeneBank DQ854948). Ketiga kelompok tersebut memiliki jarak genetik terdekat berturut-turut yaitu (0,05 sampai 0,06), (0,05) dan (0,02 sampai 0,48). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan gejala yang tidak terlalu nyata diantara isolat-isolat ChiVMV berhubungan dengan tingkat variabilitas gen selubung protein yang rendah. Berdasarkan analisis asam amino isolat ChiVMV CKB memiliki susunan asam amino yang sangat berbeda dengan isolat ChiVMV lainnya. Asam amino pada isolat ChiVMV CKB, motif octapeptide-nya telah termutasi secara total menjadi motif EMETEVPQ; sedangkan pada CP ChiVMV BL dan KR hanya termutasi menjadi TQEEDTER. Apakah mutasi motif octapeptide pada CP ChiVMV CKB menyebabkan isolat ChiVMV CKB menjadi virulen, masih perlu dikaji secara mendalam. Pemanfaatan teknik kultur in vitro yang dikombinasikan dengan induksi mutagen EMS adalah upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan memperoleh tanaman yang tahan terhadap ChiVMV. Upaya tersebut dilakukan karena relatif lebih aman dan murah. Hasil perlakuan EMS menunjukkan bahwa persentase kematian eksplan akan meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi EMS dan semakin panjangnya waktu perendaman eksplan. Perlakuan EMS terhadap lima genotipe uji yaitu Jatilaba, ICPN12 no.4, PBC495, Helem dan Gelora, memperlihatkan respon yang berbeda terhadap persentase kematian jaringan. Pada perendaman 15, 30, dan 60 menit dengan konsentrasi EMS 0,25% jaringan yang mati berturut-turut berkisar antara 10% sampai 36%, 10% sampai 46%, dan 30% sampai 80%; pada konsentrasi EMS 0.5% berturut turut adalah 30% sampai 80%, 30% sampai 97% dan 49% sampai 96%; sedangkan pada konsentrasi EMS 1% dengan masa perendaman yang sama seperti di atas kematian jaringan berkisar antara 58% sampai 100%. Berdasarkan persentase jaringan tanaman yang hidup, nilai LC50 diperoleh pada konsentrasi EMS 0,5% dengan waktu perendaman 60 menit. Pada perlakuan tersebut, genotipe PBC495 dan Gelora masih memiliki kemampuan bertahan hidup sampai 40%. Eksplan tunas terminal yang diberi perlakuan EMS 0,5% selama 60 menit memperlihatkan respon yang berbeda terhadap inisiasi tunas. Waktu inisiasi tunas untuk genotipe PBC495 dan Gelora cenderung lebih cepat dengan perlakuan EMS, tetapi respon berbeda terjadi pada Jatilaba. Secara umum tidak ada perbedaan untuk rata-rata tinggi tunas antara genotipe yang diberi perlakuan EMS dengan perlakuan tanpa EMS. Rata-rata jumlah tunas cenderung lebih tinggi untuk genotipe PBC495 dan Gelora yang diberi perlakuan EMS 0,5% dengan waktu perendaman 60 menit. Pada eksplan genotipe Jatilaba, PBC 495 dan Gelora inisiasi tunas terjadi berturutturut 10, 7 dan 6 minggu setelah tanam. Tunas yang terbentuk berdasarkan jumlah, tinggi, serta kualitas tunas yang rendah berhubungan dengan lamanya waktu yang diperlukan pada saat inisiasi tunas terjadi. Pada konsentrasi EMS 0,5% dan masa perendaman 60 menit jumlah tunas yang dihasilkan dari masingmasing eksplan Jatilaba, PBC495 dan Gelora berturut-turut 2,56±1,47; 4,93±2,62; 6,44±0,95. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh pemberian 0,5% EMS dengan masa perendaman 60 menit bersifat acak. Perlakuan dapat bersifat positif, yaitu waktu inisiasi tunas lebih cepat dan jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan kontrol. Perlakuan dapat pula bersifat
negatif yaitu tinggi tunas yang tidak mengalami perubahan sehingga menyulitkan pada saat perlakuan induksi akar. Tanaman yang berhasil diaklimatisasi dan dapat bertahan hidup adalah tanaman mutan somaklon dari genotipe Gelora. Tanaman mutan somaklon tersebut mampu menghasilkan buah dan benih cabai. Penampilan tanaman mutan somaklon tidak jauh berbeda dengan tanaman normal. Walaupun demikian kedua tanaman mutan somaklon cenderung memiliki tinggi tanaman dan tinggi cabang yang lebih rendah dibandingkan tanaman normal. Evaluasi ketahanan untuk tanaman mutan somaklon dilakukan berturutturut terhadap 245 dan 243 benih mutan somaklonl 1 (M1.1) dan mutan somaklon 2 (M1.2) yang dipilih secara acak. Setelah inokulasi ChiVMV, jumlah tanaman bergejala pada populasi M1.1 adalah 229 tanaman, sedangkan pada populasi M1.2 adalah 223 tanaman. Persentase tanaman terinfeksi dari kedua populasi mutan somaklon tersebut berturut turut adalah 95,5% dan 91,7%, sedangkan tanaman yang tidak memperlihatkan gejala atau toleran berturut-turut adalah 6,5% dan 8,23%. Konfirmasi melalui deteksi DAS-ELISA menunjukkan bahwa jumlah tanaman terinfeksi pada masing-masing tanaman mutan somaklon lebih tinggi dibandingkan hasil pengamatan berdasarkan gejala. Hasil deteksi dengan ELISA memastikan bahwa 20 dari total 488 tanaman cabai uji berasal dari 2 mutan somaklon tidak terinfeksi ChiVMV. Hasil tersebut menunjukkan adanya fenomena gejala lemah atau gejala laten. Dengan demikian ke 20 tanaman tersebut digolongkan tahan ChiVMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan didalam meningkatkan perluasan varietas melalui perakitan tanaman yang memiliki sifat unggul lainnya. Kata kunci: Capsicum annuum, Chilli veinal mottle potyvirus, induksi mutasi, keragaman biologi, keragaman molekuler.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV ) PENYEBAB PENYAKIT BELANG PADA CABAI (Capsicum annuum L.): KERAGAMAN ISOLAT DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA MELALUI INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL
IFA MANZILA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr Ir Endang Nurhayati, MS Dr Ir Dewi Sukma, MSi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr Ir Yusdar Hilman, MS Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr
Judul Disertasi
:
Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang pada Cabai (Capsicum annuum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal
Nama Mahasiswa
:
IFA MANZILA
NIM
:
A461060091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc Ketua
Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati, MS Anggota
Dr Ir Ika Mariska, MSc, APU Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi
Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat dan rahmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul ”Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang pada Cabai (Capsicum annum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya melalui Induksi Variasi Somaklonal” dapat terselesaikan. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat MSc selaku Ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati MS, dan Dr Ir Ika Mariska MSc, APU selaku anggota komisi pembimbing, atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran , serta dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian,
Kepala
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian(BB-BIOGEN), yang telah menugaskan dan memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan, serta pimpinan dan staf bendahara Badan Litbang Pertanian yang telah membantu mempermudah penyaluran dana pendidikan penulis. Kepada Ketua Kelompok Peneliti Biokimia
BB-BIOGEN, yang telah
memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Kepada Kepala Program Penelitian Badan Litbang Pertanian dalam proyek Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang berjudul INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL UNTUK MENDAPATKAN GALUR CABAI (Capsicum annuum L.) TAHAN CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS. Kepada Ketua Kelompok Peneliti Biologi Seluler dan Jaringan BBBIOGEN beserta Staf dan Kepala Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman Faperta IPB yang telah memberi izin dan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian dan mengerjakan sebagian dari proyek penelitian yang dibiayai dana KKP3T penulis juga mengucapkan terima kasih.
Kepada Dr Ir Gede Suastika MSc yang telah berkenan untuk menjadi penguji pada ujian prakualifikasi penulis mengucapkan terima kasih. Kepada Dr Ir Endang Nurhayati MSc dan Dr Ir Dewi Sukma MSi yang telah berkenan untuk menjadi penguji pada ujian sidang tertutup penulis mengucapkan terima kasih. Kepada Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi dan semua staf dosen IPB penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diberikan, Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman Laboratorium Virologi, Tuti Susanti Legiastuti, Dr I Gede Rai Maya Temaja, Dr Jumsu Trisno, Irwan Lakani MSi, Rika MSi, Rita Noveriza MSc, Sri Budi Utami Sp, Devi Agustina MSi, Fitrianingrum Sp, Wawan MSi, Endang Opriana MSi, Latifah MSi, Mila MSi, Putri Sp, Damayanti Sp, Ani Rahmini MSi, Adik-adik mahasiswa S1, Pak Emput.
Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman-teman PS Entomologi-Fitopatologi terutama kepada Dr Yusmani; Dr N Usyati, Dr Rita Harni, Dr. Iwa Munara, Samsudin MSi, Efi Taufik MSi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Tri Puji Prayitno MSc, Dr I Made Samudera, Dr Chairani, Yadi Suryadi MSc, Alina Ahdiyah MSi. Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada yang tercinta, Ayahanda Abdul Aziz (Alm), Ibunda H. Siti Zubaidah, dan semua kakak, adik-adik, keponakan atas segala pengertian, dorongan, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ananda tersayang Muhamad Alif Nadhirahman dan Daniella Ridha Artanti atas segala dorongan semangat, pengertian, kasih sayang, motivasi dan inspirasi selama penulis menempuh studi. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, 12 April 2011
Ifa Manzila
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 02 Januari 1965 dari pasangan Bapak Abdul Aziz (Alm) dan ibu Hj. Siti Zubaidah. Penulis merupakan putri ke empat dari delapan bersaudara. Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Negeri 38 Jakarta dan pada tahun yang sama masuk Universitas Nasional Jakarta Jurusan Biologi. Tahun 1987 penulis mendapat gelar Sarjana Biologi. Di tahun yang sama penulis diterima bekerja di Pusat Pengembangan Agribisnis (Konsultan). Sejak tahun 1993, penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Kelti Fitopatologi yang sekarang berganti nama menjadi Kelti Biokimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor, Jawa Barat. Tahun 1996 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains di Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BB-BIOGEN. Tahun 1999 penulis lulus dan mendapat gelar Magister Sains (M.Si). Di tahun yang sama penulis menikah dan dikaruniai dua orang anak putra dan putri, Muhamad Alif Nadhirahman Nugroho (10 tahun) dan Daniella Ridha Artanti Nugroho (8 tahun). Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) pada program studi Entomologi dan Fitopatologi Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Penulis saat ini bekerja sebagai staf peneliti di Kelompok Peneliti Biokimia, Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN) Bogor, sejak tahun 1993 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………
xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xx
I.
PENDAHULUAN …………………………..............................
1
Latar Belakang .................………..........................................
1
Tujuan Penelitian ………………………………….....................
4
Hipotesis …………………………………………......................
5
Diagram alur ruang lingkup penelitian ………………...............
6
Daftar Pustaka ......................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
9
Karakter Molekuler Chilli Veinal Mottle Potyvirus .................... Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ......................................... Gejala infeksi ChiVMV pada tanaman cabai .............................
9 12 13
Kisaran Inang dan Mekanisme Penularan ChiVMV ...................
14
Deteksi dan Karakterisasi Virus ..............................................
14
Ketahanan Tanaman terhadap ChiVMV ...................................
16
Pembentukan Variasi Somaklonal ............................................
18
Penyebab Variasi Somaklonal .................................................
21
Mutasi Secara Fisik dan Kimia ................................................
21
Variasi Somaklonal untuk mendapatkan Resistensi terhadap Penyakit................................................................................... Pemanfaatan dan Penerapan Variasi Somaklonal........................
24 25
Daftar Pustaka .......................................................................
26
III. VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT Chilli Veinal Mottle Potyvirus PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.): ..............................................................................................
32
Abstrak ..................................................................................
32
Abstract .................................................................................
33
Pendahuluan ..........................................................................
34
Bahan dan Metode ..................................................................
35
II.
xiv
Hasil .....................................................................................
38
Pembahasan ..........................................................................
44
Simpulan dan Saran................................................................
46
Daftar Pustaka .......................................................................
47
IV. ANALISIS GEN SELUBUNG PROTEIN Chilli Veinal
49
Mottle Potyvirus INDONESIA
DARI BEBERAPA DAERAH DI
Abstrak ..................................................................................
V.
Abstract .................................................................................
49 50
Pendahuluan ..........................................................................
51
Bahan dan Metode ..................................................................
52
Hasil .....................................................................................
56
Pembahasan ...........................................................................
65
Simpulan dan Saran.................................................................
69
Daftar Pustaka …...................................................................
70
INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TUNAS DAN AKAR CABAI (Capsicum annuum L.) MELALUI KULTUR IN VITRO....................................................................................
74
Abstrak ..................................................................................
74
Abstract .................................................................................
75
Pendahuluan ..........................................................................
76
Bahan dan Metode ..................................................................
77
Hasil ......................................................................................
80
Pembahasan ...........................................................................
80
Simpulan dan Saran................................................................
88
Daftar Pustaka ........................................................................
89
xv
VI. PENGARUH PERLAKUAN Ethyl Methane Sulfonate PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KETAHANANNYA TERHADAP Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)
91
Abstrak ..................................................................................
91
Abstract .................................................................................
92
Pendahuluan ..........................................................................
93
Bahan dan Metode ..................................................................
94
Hasil .....................................................................................
97
Pembahasan ...........................................................................
97
Simpulan dan Saran................................................................
106
Daftar Pustaka ........................................................................
106
VII. PEMBAHASAN UMUM ........................................................ Daftar Pustaka …………………………………………………….
109 113
VIII. SIMPULAN DAN SARAN UMUM.........................................
115
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom Potyvirus ............................................................................................
10
3.1 Deteksi beberapa virus pada tanaman cabai yang berasal dari beberapa sentra produksi tanaman cabai dengan metode DASELISA .................................................................................................
39
3.2 Deskripsi gejala tanaman yang terinfeksi ChiVMV secara tunggal dari beberapa lokasi penanaman cabai ..........................................
40
3.3 Deskripsi isolat ChiVMV yang digunakan dalam pengujian virulensi ....................................................................................
40
3.4 Hasil inokulasi ChiVMV isolat Cikabayan pada 10 genotipe cabai ……………………………………………………………………….
42
3.5
Hasil inokulasi ChiVMV isolat Nusa Indah pada 10 genotipe cabai ………………………………………………………………………
42
3.6 Hasil inokulasi ChiVMV isolat Tanah Datar pada 10 genotipe cabai ……………………..………………………………………….
43
3.7
Hasil inokulasi ChiVMV isolat Karadenan pada 10 genotipe cabai ……………………………………………………………………….
43
4.1
Isolat-isolat Chilli veinal mottle potyvirus asal Indonesia dan beberapa virus asal Asia (GeneBank) yang digunakan dalam analisis CP- ChiVMV………………………..……………………...
55
4.2 Deskripsi gejala isolat-isolat ChiVMV yang berasal dari Karadenan (KR), Cikabayan (CKB), Tanah Datar (TD), Nusa Indah (NI), Belung (BL) dan Gayo Barat (GB) ...................................................
56
4.3
58
Ukuran panjang gen CP beberapa isolat ChiVMV ..........................
4.4 Tingkat kesamaan isolat ChiVMV yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia berdasarkan runutan nukleotida gen Coat protein ......................................................................................
58
4.5 Tingkat kesamaan 9 isolat ChiVMV berdasarkan runutan asam amino seelubung protein ..............................................................
61
xvii
4.6 Motif CK2I-phospholylation site pada CP ChiVMV berdasarkan analysis menggunakan MyHits ExPASy........................................
64
5.1 Pembentukan kalus dari eksplan daun muda cabai genotype Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP ……………..….……….…………………………………….
81
5.2 Pembentukan kalus dari eksplan hipokotil cabai genotipe Gelora,Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP ……………..…….………………………………………………… 5.3 Pembentukan kalus dari eksplan ujung akar cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP…..…….. ……………………….………..…………………….
82
83
5.4 Pembentukan kalus embriogenik dari kalus cabai cv Gelora, Sudra dan Chili 109 yang ditanam pada media induksi kalus embriogenik dengan tiga taraf konsentrasi 2,4D …………………………………
84
5.5
Waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, serta jumlah daun yang terbentuk pada kalus yang berasal dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 yang ditanam pada tiga media regenerasi yang mengandung tiga taraf konsentrasi BAP ………..……………………………………………………………
86
5.6 Respon pembentukan akar pada tunas yang berasal dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora dan Chili 109 terhadap dua taraf konsentrasi NAA yang berbeda …..………………………………..
87
6.1 Pengelompokan tipe ketahanan tanaman berdasarkan reaksi terhadap infeksi ChiVMV...........................................................
97
6.2 Pengaruh konsentrasi EMS dan waktu perendaman terhadap kematian jaringan eksplan cabai ……………………………………
99
6.3 Waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, dan jumlah daun yang terbentuk pada eksplan tunas terminal Jatilaba, PBC495 dan Gelora yang ditanam pada media MS +.BAP 5 mg l-1 + TDZ 0,5 mg l-1 *) ……………………………………………………………..
101
6.4
Karakter varian morfologi pada tanaman mutan somaklon (M1.1 dan M1.2) hasil induksi mutasi dengan EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit ...................................................................
101
6.5
Karakter buah yang dihasilkan oleh tanaman mutan somaklonal hasil induksi mutasi dengan EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit ..................................................................................................
104
xviii
6.7
Penapisan dan evaluasi respon mutan somaklon cabai hasil kombinasi induksi mutasi dengan EMS dan ketahananya terhadap ChiVMV …………………………..........
105
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 1
Diagram alur penelitian ”Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal” …………………………..
6
2. 1
Organisasi genom potyvirus.........................................................
10
3. 1
Variasi gejala infeksi beberapa isolat ChiVMV pada Tanaman cabai paprika genotipe Beauty Bell .............................................
41
4. 1
Berbagai tipe belang pada permukaan daun tanaman cabai paprika genotipe Beauty Bell yang terinfeksi ChiVMV .......................................................................................
56
4. 2
Hasil amplifikasi cDNA ChiVMV isolat Indonesia dengan metode RT-PCR menggunakan primer ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind .....................................................................
57
4. 3
Analisis filogenetika 12 isolat ChiVMV yang berasal dari beberapa daerah yang berbeda di Indonesia dan Asia (GeneBank) ...................................................................................
59
4. 4
Analisis homologi asam amino CP-ChiVMV yang berasal dari Cikabayan, Jawa Barat (ChiVMV CKB), Karadenan, Jawa Tengah (ChiVMV KR), Belung, Jawa Timur (ChiVMV BL), Nusa Indah, Kalimantan Selatan(ChiVMV NI), Tanah Datar, Sumatra Barat (ChiVMV TD) dan Gayo Barat, Aceh Tengah (ChiVMV GB). …………………………………………………..
62
4. 5
Motif protein yang terdapat pada CP-ChiVMV berdasarkan analisis MYHits ExPASy………………………………………...
63
4. 6
Analisis filogenetika asam amino CP-ChiVMV yang berasal dari Jawa Barat (Cikabayan), Jawa Tengah (Karadenan), Jawa Timur (Belung), Kalimantan Selatan (Nusa Indah), Sumatra Barat (Tanah Datar), Aceh Tengah (Gayo Barat) terhadap isolat Indonesia dan Asia yang ada pada GeneBank (Cikabayan2, Pataruman dan Taiwan)..........................................................
65
5. 1
Pertumbuhan kalus dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora pada media MS+2,4- D +Thidiazuron 0,1mg/l …..……...
85
xx
Perkembangan kultur cabai varietas Gelora mulai dari eksplan hingga pembentukan tunas………………………………………..
87
6. 1 A: Kecambah cabai merah berumur 21 hari yang dipakai sebagai sumber eksplan dari genotipe gelora, B: Ujung tunas terminal ……………………………………………………………………..
95
6. 2
Respon eksplan genotipe cabai‘Gelora‘terhadap perlakuan berbagai konsentrasi EMS dengan waktu perendaman 60 menit A) 0.25%, B) 0.5%, C) 1% ...........................................................
98
6. 3
Aklimatisasi planlet cabai setelah perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 60 menit........................................................
102
6. 4
Tanaman mutan somaklon genotipe Gelora………….......………
103
6. 5
Buah cabai yang dipanen dari tanaman mutan somaklon ……....
104
6. 6
Penapisan dan evaluasi tanaman mutan somaklonal cabai terhadap infeksi ChiVMV ……………..…..…………………..
105
5. 2 a
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Perunutan DNA yang berasal dari 12 isolat ChiVMV Indonesia dan Asia (Gene Bank) menunjukkan nukleotida yang identik ………………………………..
116
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman cabai (Capsicum annun L.) merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Menurut data Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura (2009) luas panen cabai merupakan luas panen terbesar diantara tanaman sayuran lainnya yaitu 103.837 ha. Tanaman tersebut ditanam di seluruh provinsi di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang cukup baik sehingga mendapat prioritas untuk dikembangkan. Produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah yaitu 6,72 ton/ha apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang dapat mencapai 12,99 ton/ha. Produksi nasional cabai dari tahun 2003 sampai tahun 2009 mengalami penurunan yaitu berturut-turut 774.408 dan 668.970 ton (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Padahal permintaan cabai nasional terus meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya rata-rata konsumsi cabai dan meningkatnya jumlah penduduk. Beberapa faktor penyebab turunnya produksi cabai secara nasional adalah berkurangnya luas panen, belum tepatnya cara bercocok tanam, belum berimbangnya pemupukan dan sukarnya mendapatkan benih yang bermutu dan murah. Selain faktor-faktor di atas, rendahnya produksi cabai nasional juga diakibatkan oleh adanya gangguan hama dan penyakit (Duriat et al. 1996). Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (2009) mencatat beberapa penyakit penting pada tanaman cabai diantaranya adalah antraknosa, bercak daun Cercospora, bercak Phytophthora, layu Fusarium, layu bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Hasil beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa virus utama yang menyerang tanaman cabai dan hampir ditemukan di setiap pertanaman cabai adalah Geminivirus, Cucumber mosaic virus (CMV) dan Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) (Sulandari et al. 2006, Taufik et al. 2005, Trisno et al. 2009) Infeksi ChiVMV menjadi penting karena prevalensi penyakit yang disebabkan oleh virus ini dari waktu ke waktu mengalami peningkatan dan kerugian yang ditimbulkannya cukup besar. Di Malaysia, ChiVMV dapat mereduksi hasil sampai 60% dan menurunkan kualitas buah (Ong 1995).
2 Dilaporkan oleh AVRDC (2003) bahwa kehilangan hasil akibat infeksi ChiVMV bisa mencapai 100%.
Hasil survei yang dilakukan Taufik et al. (2005)
memperkuat bukti penyebaran ChiVMV yang sangat luas di Indonesia. Infeksi virus tersebut dapat ditemukan pada setiap pertanaman cabai yang diamati di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan walaupun kejadian penyakit berbedabeda untuk setiap tempat. Tanaman cabai yang terinfeksi, pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis. Gejala yang disebabkan oleh ChiVMV bervariasi tergantung pada inang, strain virus, waktu infeksi dan kondisi lingkungan. (CABI 2005). Infeksi yang terjadi pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buah yang lebih sedikit dan lebih kecil (Shah dan Khalid 2001). ChiVMV termasuk jenis virus yang sulit dikendalikan antara lain karena virus ini ditularkan oleh serangga vektor yaitu Aphid spp. secara non persisten. Penyebaran virus ini terjadi dalam waktu yang cepat dikarenakan oleh aktifitas serangga vektor. Disamping itu ChiVMV juga memiliki kisaran inang yang cukup luas. Selain menginfeksi Capsicum annuum, ChiVMV dilaporkan menginfeksi C. frutescens, Lycopersicon esculentum, Solanum melongena, Datura stramonium, Nicotiana spp, dan Chenopodium spp. (Green et al. 1999). Usaha pengendalian penyakit belang pada cabai yang disebabkan oleh ChiVMV sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan karena tidak ada bahan kimia yang dapat diaplikasikan secara langsung untuk mengendalikan virus tersebut. Pengendalian umumnya dilakukan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi sumber inokulum dengan cara mencabut tanaman-tanaman yang telah menunjukkan gejala serangan virus, melakukan pergiliran tanaman, dan pemberantasan gulma yang dapat menjadi inang alternatif virus, dan mengendalikan perkembangan serangga vektor dengan menggunakan pestisida. Cara-cara pengendalian tersebut terkadang tidak efektif karena proses penularan virus dapat terjadi dengan cepat mengingat kutu daun dapat menularkan virus ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah penggunaan pestisida akan meninggalkan residu pestisida pada
3 buah dan membahayakan, mencemari lingkungan serta membutuhkan biaya yang besar. Dengan demikian penggunaan varietas tahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengendalikan virus karena metode ini relatif lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan metode pengendalian yang lain (Dolores 1998) . Beberapa pendekatan dalam melakukan perakitan varietas tahan virus dapat dilakukan diantaranya adalah pendekatan konvensional, rekayasa genetik dan melalui pemanfaatan kultur in vitro yang dikombinasi dengan induksi mutasi menggunakan mutagen kimia. Pendekatan konvensional untuk pengembangan varietas tahan virus memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah sumber gen ketahanan terhadap virus masih belum ditemukan pada koleksi plasma nutfah cabai di Indonesia. Selain itu, kultivar tahan yang dihasilkan melalui pemuliaan konvensional seringkali mudah terpatahkan karena perubahan genetik dari virus yang cepat akibat adanya rekombinasi dan adanya variasi genetik yang tinggi dari virus. Kultivar tahan yang dihasilkan mungkin hanya spesifik untuk strain atau isolat tertentu. Bila sumber gen ketahanan terhadap virus sangat terbatas, maka diperlukan pendekatan lain seperti pemanfaatan teknik kultur
in vitro untuk
mendapatkan varian somaklonal. Teknik ini banyak dilakukan karena selain dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak, juga dapat menghasilkan keragaman somaklonal. Keragaman somaklonal
dapat dilakukan
melalui
beberapa perlakuan, diantaranya melalui perlakuan zat pengatur tumbuh (ZPT), subkultur berulang dengan periode kultur in vitro yang panjang (Ahloowalia 2004). Keragaman genetik melalui kultur in vitro dapat ditingkatkan apabila dikombinasikan dengan perlakuan mutagen fisik dan kimiawi (Girija dan Dhanavel 2009). Pemanfaatan teknik tersebut adalah upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan memperoleh gen baru yang lebih luas (Mattjik 2005).
Sifat ketahanan tanaman terhadap beberapa cekaman biotik seperti
misalnya cendawan, virus dan bakteri telah dapat diperbaiki dengan pendekatan ini. Di dalam pengembangan tanaman cabai tahan virus, adanya informasi tentang keragaman genetik virus akan dapat bermanfaat dalam hal pemilihan lokasi yang spesifik untuk genotipe terhadap isolat-isolat tertentu, sehingga ledakan penyakit dapat diatasi. Selain itu, informasi mengenai tingkat virulensi
4 suatu strain virus yang menginfeksi tanaman cabai perlu diketahui sehingga dapat diambil langkah-langkah pengendaliannya. Isolat-isolat ChiVMV di India, Vietnam, Taiwan, dan China telah berhasil diidentifikasi secara molekuler. Di Indonesia, keragaman genetik ChiVMV berdasarkan perunutan basa DNA belum banyak dilaporkan. Usaha identifikasi melalui teknik hibridisasi asam nukleat dan PCR telah dirintis oleh beberapa peneliti (Taufik 2006; Opriana 2009). Namun demikian, informasi yang lebih mendalam mengenai urutan DNA dari ChiVMV yang ada di Indonesia untuk menunjukkan adanya keragaman genetik diantara ChiVMV belum pernah dilakukan. Dalam rangka pengembangan genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV telah dilakukan penelitian berjudul “ Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal” melalui tahapan survey ChiVMV, isolasi dan karakterisasi strain ChiVMV, induksi mutasi, dan evaluasi ketahan tanaman mutan somaklon (Gambar 1.1)
Tujuan Penelitian 1. Memperoleh informasi tentang sebaran ChiVMV pada pertanaman cabai di beberapa sentra produksi di Indonesia melalui survey dan deteksi menggunakan metode Double antibody sandwich – Enzyme linked immunosorbend assay (DAS-ELISA) dan Polymerase chain reaction (PCR). 2. Mendapatkan informasi tentang tingkat virulensi isolat-isolat ChiVMV terhadap 10 genotipe cabai. 3. Mengetahui keragaman gen selubung protein beberapa isolat-isolat ChiVMV Indonesia. 4. Mendapatkan varian somaklon tanaman cabai melalui teknik kombinasi antara kultur in vitro dan induksi dengan ethyl methane sulfonate (EMS) yang memiliki sifat ketahanan terhadap ChiVMV.
5 Hipotesis 1. ChiVMV telah menyebar di beberapa sentra produksi cabai di Indonesia diantaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Aceh Tengah. 2. Isolat-isolat ChiVMV memiliki tingkat virulensi yang berbeda terhadap 10 genotipe cabai tanaman uji. 3. Strain-strain ChiVMV di Indonesia memiliki keragaman pada gen selubung proteinnya 4. Teknik kultur in vitro dapat meningkatkan keragaman somaklonal tanaman 5. Variasi somaklonal yang dikombinasikan dengan mutagen kimia ethyl methane sulphonate pada tunas terminal dapat menghasilkan genotipe baru dengan karakter agronomis dan sifat ketahanan terhadap ChiVMV yang berbeda. 6. Terdapat perbedaan sifat ketahanan terhadap ChiVMV pada tanaman hasil variasi somaklonal
6 Survei sebaran ChiVMV di beberapa sentra produksi cabai di Jawa, Sumbar, Kalsel, Aceh Tengah
Studi regenerasi kalus dan tunas terminal membentuk tunas adventif dan tunas ganda dalam media kultur in vitro
Isolasi, deteksi & karakterisasi ChiVMV menggunakan ELISA, teknik RT-PCR dan perunutan asam nukleat
Optimasi dan evaluasi berbagai konsentrasi dan lama perendaman mutagen EMS pada beberapa eksplan genotipe cabai
Uji Virulensi isolat ChiVMV terhadap 10 genotipe cabai
Evaluasi Tanaman M1 terhadap infeksi strain ChiVMV yang paling virulen
Regenerasi planlet dari tunas ganda yang telah diperlakukan mutagen EMS
Evaluasi tanaman mutan somaklon untuk karakter Agronomis (M0)
Mutan somaklon yang tahan ChiVMV
Gambar 1. 1. Diagram alur penelitian“ Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal”
7 DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia BS, Prakash J, Savangikar VA, Savangikar C. 2004. Plant tissue culture. International Atomic Energy Agency. Austria. P. 3-10 AVRDC. 2003. AVRDC Progress Report 2002. Shanhua, Tainan, Taiwan. Hlm 182 [CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2005. Chilli veinal mottle virus. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. London: CABI Publish. [DBPH] Direktorat Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura RI. 2009. Luas panen, rata-rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta [Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura 2009. Luas Pertanaman Cabai Merah. (http:www.deptan.go.id/ditlinhorti/da-its-2009 (5 Maret 2010) [Ditjen Hort] Direktorat Jendral Hortikultura. 2009. Perkembangan luas panen sayuran tahun 2003-2009. http://www.deptan.go.id [25 Desember 2010]. Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNET II Final Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. TeknologiProduksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 1-3 Girija M, Dhanavel D. 2009. Mutagenic effectiveness and efficiency of gamma rays Ethyl Methane Sulfonate and their combined treatments in Cowpea (Vigna ungiculata L. Walp). Glob J of Mol Scien 4(2):68-75.
Green SK, Hiskias Y, Lesemann DE, Vetten HJ, 1999. Characterization of chilli veinal mottle virus as a potyvirus distinct from pepper veinal mottle virus. Petria 9(3):332. Mattjik NA. 2005. Peran Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Hlm 102. Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Shah H, Khalid S. 2001. Sceening of exotic Pepper Lines Against Local Isolate of Chilli veinal mottle potyvirus. On Line Journal of Biological Sciences 1(11):1078-1080. Asian Network for Scientific Information. [21 Agustus 2005].
8 Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Hayati 13:1-6 Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Interaksi infeksi campuran ChiVMV dan Geminivirus dalam menimbulkan penyakit kuning keriting cabai. Seminar SEMIRATA BKS-PTN wil. Barat, Serang 13-16 April 2009.
II. TINJAUAN PUSTAKA Karakter Molekuler Chilli Veinal Mottle Potyvirus Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) adalah salah satu virus penyebab penyakit pada tanaman cabai.
Virus tersebut pertamakali diisolasi oleh Burnett
pada tahun 1947 dari Capsicum annuum di Malaysia. Partikel virus berbentuk batang lentur dengan panjang sekitar 750 nm dan diameter kira-kira 12 nm (International Taxonomy on Committee of Viruses, 2002). ChiVMV termasuk dalam kelompok atau genus Potyvirus (famili Potyviridae) dengan genom berupa RNA utas tunggal berorientasi positif (+ ssRNA) berukuran 9711 nukleotida (nt) (Fauquet et al. 2005). Genus Potyvirus sendiri termasuk kelompok virus yang paling banyak menyerang tanaman, yaitu mencapai lebih dari 100 jenis virus ( Ong 1995). Potyvirus memiliki selubung protein yang berfungsi untuk penularan melalui kutu daun, pergerakan virus dari sel ke sel dan pergerakan virus secara sistemik, pembentukan selubung virus, dan replikasi virus (Tabel 2. 1) (UrcuquiInchima et al. 2001). Menurut Moury et al. (2005), ChiVMV dapat dibedakan dari Pepper veinal mottle virus berdasarkan runutan asam amino selubung protein. Tingkat kesamaan runutan asam amino kedua jenis virus tersebut hanya mencapai 80%, sedangkan antara strain yang berbeda dalam spesies yang sama mempunyai tingkat kesamaan mencapai 83%-99% (Fauquet et al. 2005). Genom Potyvirus
mempunyai satu open reading frame (ORF) yang
mengkode 340-350 KDa prekursor poliprotein. Translasi RNA Potyvirus dimulai dari kodon awal AUG pada posisi nukleotida 145-147 dari ujung 5’ genom Potyvirus, kodon stop terletak pada nukleotida ke 9525- 9589 dari ujung 3’ genom Potyvirus dan diikuti oleh sekuen poliadenilasi (poly A) (Gambar 2.1).
10 Tabel 2. 1. Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom Potyvirus*) Protein Fungsi protein P1 Proteinase; yang diduga berperan dalam perpindahan virus dari sel ke sel Hc-Pro Sarana /media penularan virus dengan bantuan serangga kutu daun P3 Fungsi sebenarnya belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinannya berperan dalam replikasi virus CI Replikasi genom CP Selubung protein, yang berhubungan dengan penularan melalui serangga vektor, dan perpindahan virus dari sel ke sel. NIa-VPg VPg (protein yang menempel pada ujung 5’RNA untuk permulaan sintesis RNA) Nia-Pro Proteinase major Nib Replikasi genom (RNA dependent RNA polymerase/RdRp) 6K1&6K2 Belum diketahui dengan pasti, kemungkinannya berhubungan dengan replikasi RNA; mengatur fungsi translokasi Nia nuclear * Sumber : Uncuqui-Inchima et al. (2001)
Gambar 2. 1. Organisasi genom potyvirus (Shukla et al. 1994) Ekspresi genom Potyvirus terjadi melalui translasi poliprotein dari genom virus. Poliprotein kemudian mengalami pemotongan dalam sitoplasma menjdi protein fungsional dan struktural sesuai dengan gen yang disandikannya. Pemotongan poliprotein dilakukan dengan protease yang terjadi selama dan sesudah translasi. Protease yang memotong poliprotein juga disandikan oleh gen yang terdapat dalam genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh genom virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Tabel 2.1) (Hull 2002). Protein inklusi yang berbentuk silindris (CI) dan protein selubung (CP) digunakan oleh virus untuk pergerakan dari satu sel inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga diperlukan untukpergerakan
11 virion protein dalam jaringan vaskuler melalui interaksi dengan Hc-Pro pada domain C- dan N- terminalnya. Selain berperan di dalam perpindahan virus pada jaringan vaskuler, HC-Pro juga berfungsi menekan mekanisme pertahanan tanaman menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing (pembungkaman RNA). Viral genome-linked protein (VPg) yang berada pada ujung 5’ genom virus adalah protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal dari protein inklusi inti (NIa) dan terpisah secara autokalatik dari domain C-proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan secara kovalen dengan ujung 5’ RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu asam amino tirosin yang terletak di bagian N-proximal. Keberadaan VPg sangat diperlukan untuk proses infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E) (Schaad et al. 2000), dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik (Leornard et al. 2000) Dalam genom Potyvirus terdapat daerah yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Daerah yang conserved adalah daerah Hc-Pro dan Nib. Daerah yang bervariasi adalah P1, P3, dan CP. Protein P3 merupakan daerah yang conserved di antara strain (Eleman et al. 1997) . Replikasi virus yang mempunyai genom +ssRNA terjadi melalui beberapa tahap, yaitu 1) virus masuk ke dalam sitoplasma tanaman inang, 2) komponen virus akan terpisah antara selubung protein dan asam nukleat, 3) RNA virus bergabung dengan ribosom tanaman inang dan sintesis polimerase untuk replikasi RNA, sehingga dihasil untai negatif RNA, 4) sintesis untai RNA positif dan mRNA protein selubung menggunakan untai RNA negatif sebagai cetakannya, 5) pembentukan subunit protein selubung dalam jumlah besar,
dan 6) virion
terbentuk melalui penggabungan antara untai positif RNA dengan protein
12 selubung.
Selanjutnya
virus
menyebar
ke
sel
sekelilingnya
melalui
plasmodesmata. Keragaman genetik pada genus Potyvirus telah banyak dilakukan berdasarkan gen-gen yang terlibat didalam pembentukan selubung protein dan daerah 3’UTR. Daerah tersebut diketahui merupakan daerah yang bervariasi diantara kelompok Potyvirus. Shukla dan Ward (1988) menggunakan runutan asam amino selubung protein (CP) untuk menilai hubungan kekerabatan berbagai virus dalam kelompok Potyvirus. Hasil kajian tersebut menunjukkan virus-virus yang berbeda mempunyai kesamaan runutan asam amino CP 38% hingga 71%, sedangkan untuk strain dari virus yang sama tingkat kesamaannya mencapai 90% sampai 99%. Demikian pula hasil analisis runutan nukleotida 3’UTR strain-strain Peanut stripe virus (PStV) menunjukkan bahwa strain virus tersebut mempunyai kesamaan antara 97,9% sampai 100% (Akin 2002). Penelitian mengenai keragaman pada tingkat molekuler berdasarkan
runutan nukleotida sistron
penyandi selubung protein dan 3’ UTR dilakukan pula oleh Tsai et al. (2008) pada ChiVMV, dimana tingkat kesamaan asam amino dan runutan nukleotida isolat ChiVMV di Asia termasuk Indonesia masing-masing berkisar 94,8% dan 89,5%. Hama dan Penyakit Tanaman Cabai Selain faktor agronomis yang dapat menghambat produksi cabai, gangguan hama dan penyakit juga menjadi masalah yang utama di dalam budidaya tanaman cabai.
Prabaningrum dan Moekasan (1996) melaporkan
berbagai hama yang dapat menyerang tanaman cabai seperti kutu daun (Myzus persicae Sulz), Thrips (Thrips parvisipinus Karny), ulat daun (Helicoverpa armigera Hubner), kepik (Empoasca lybica (de Bergevin dan Zanon)), lalat buah (Bactrocera dorsalis Hendel), ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) dan
13 tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks).
Direktorat Jendral Perlindungan
Tanaman Hortikultura (2009) mencatat beberapa penyakit penting pada tanaman cabai
diantaranya
adalah
antraknosa,
bercak
daun
Cercospora,
busuk
Phytophthora, layu Fusarium, layu bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus seperti Pepper veinal mottle virus(PMMV) , Genimivirus, Cucumber mosaic virus (CMV). Potato virus Y (PVY), Tobacco mosaic virus (TMV). Gejala Infeksi ChiVMV pada Tanaman Cabai Menurut Ong (1995) virus ini pertama kali dilaporkan oleh Burnett pada tahun 1947 pada Capsium annum di Malaysia.
Selanjutnya virus ini telah
menyebabkan penyakit dibanyak negara Asia dimana cabai ditanam secara komersial. Di Indonesia, keberadaan ChiVMV telah dilaporkan oleh Duriat et al. (1989). Gejala yang timbul karena infeksi ChiVMV pada tanaman cabai sangat bervariasi, tergantung pada strain virus, umur tanaman pada waktu terinfeksi, dan lingkungan. Umumnya gejala yang ditimbulkan pada tanaman cabai sangat nyata terlihat pada daun. Daun yang terinfeksi oleh ChiVMV menampakkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis (Ong 1995; Sulyo et al. 1995; Chiemsombat dan Kittipakorn 1996). Daun-daun yang terinfeksi secara umum menjadi kerdil dan mengalami malformasi. Kadang-kadang buah juga dipengaruhi sehingga menjadi belangbelang atau distorsi sehingga produksi dan kualitasnya menjadi rendah (Shah dan Khalid 2001).
14 Kisaran Inang dan Mekanisme Penularan ChiVMV Beberapa penulis melaporkan tanaman yang dapat menjadi inang bagi ChiVMV diantaranya adalah Nicotiana tabacum, N. benthamiana, Physalis minima, P. floridana, C. annum, C. frutescens, N. glutinosa. Nicandra physalodes, Solanum melongena dan S. aethiopicum (Womdim et al. 2001). ChiVMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, penyambungan dan serangga vektor seperti A.craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, M. persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan R. maydis secara non persisten, tetapi tidak dapat ditularkan melalui biji (Ong et al. 1979). Infeksi ChiVMV pada tanaman cabai terjadi secara sistemik pada seluruh fase pertumbuhan tanaman. Deteksi dan Karakterisasi ChiVMV Deteksi dan karakterisasi ChiVMV pada tanaman cabai, dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan pengamatan gejala, menggunakan teknik serologi molekuler seperti Enzyme linked immunosorbent assays (ELISA) dan Reverse Transcriptase-Polymerase chain reaction (RT-PCR) serta perunutan nukleotida dan asam amino (Tsai et al. 2008). Deteksi melalui pengamatan gejala terkendala adanya kemungkinan tanaman terinfeksi lebih dari satu virus atau terinfeksi virus secara campuran. Serodiagnosis merupakan cara deteksi virus dengan memanfaatkan reaksi antara antigen dan antibodi (Agrios 2005). Metode ini mempunyai banyak keuntungan antara lain cepat, tepat dan dapat digunakan untuk karakterisasi virus serta untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu virus. Metode tersebut dilakukan karena gejala penyakit dari lapang kadangkadang meragukan sehingga sulit dilakukan identifikasi yang jelas tentang virus yang menyebabkan penyakit tersebut (Hull 2002).
15 Teknik serologi dengan metode ELISA untuk mendeteksi keberadaan ChiVMV telah banyak digunakan.
Hasil deteksi dengan metode tersebut
menunjukkan bahwa teknik DAS-ELISA cukup sensitif yaitu mampu mendeteksi ChiVMV sampai pengenceran 1:1000 (Opriana, 2009). Teknik RT-PCR digunakan untuk virus yang memiliki tipe genom RNA. Enzim transkriptase balik (reverse trancriptase) yang digunakan dalam RT-PCR adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan sebagai cetakan didalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer. RT-PCR adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman seperti ChiVMV, Chysanthemum B carlavirus (CVB) (Tsai et al. 2008; Ram et al. 2005 ). Analisis perunutan nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan yang tidak kalah penting didalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus. Dari hasil analisis perunutan nukleotidan dan asam amino dapat diketahui tingkat kesamaan nukleotida dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun strainstrain dari virus yang sama (Shukla et al 1994). Analisis tersebut digunakan sebagai pelengkap proses deteksi dan karakterisasi virus. Teknik yang selama ini dilakukan adalah menggunakan inang diferensial, serologi, dan RT-PCR dimana masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Inang diferensial atau tanaman indikator merupakan salah satu cara untuk mengarakterisasi masing-masing isolat berdasarkan kesesuaian pada suatu inang. Selain itu dapat juga digunakan untuk mengetahui virulensi masing-masing isolat tersebut. Pada awal perkembangan ilmu virologi penggunaan inang diferensial menjadi salah satu metode yang rutin digunakan untuk mendeteksi dan mengarakterisasi virus tanaman.
16 Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologi memerlukan waktu yang cukup lama karena harus mempersiapkan tanaman inang indikator, tetapi biaya yang dikeluarkannya tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksian virus atau indexing, dibandingkan dengan kajian biologi, sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil positif dengan metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Moury et
al. 2005). Hanya saja metode ini pun masing-masing
menemukan kendala, dimana metode RT-PCR tidak dapat membedakan virus pada kelompokan virus yang sama atau tidak dapat mengetahui variabilitas yang terjadi diantara strain-strain virus itu sendiri. Ketahanan Tanaman terhadap ChiVMV Sistem pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen secara umum terjadi melalui satu atau beberapa cara, yaitu struktural maupun reaksi biokimia. Ketahanan secara struktural adalah bentuk penghambatan fisik oleh tanaman yang mengakibatkan patogen tidak dapat melakukan penetrasi dan berkembang, sedangkan ketahanan secara biokimia, yaitu tanaman menghasilkan senyawa yang bersifat toksik, atau menghambat pertumbuhan patogen (Agrios 2005). Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu menghambat replikasi virus dan penyebaran virus di dalam tanaman (Fraser 2000). Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus pada sel tertentu sehingga tidak menyebar ke sel lainnya (Hull 2002). Respon tanaman inang terhadap infeksi suatu virus dapat dikelompokan ke dalam tanaman dengan respon rentan dan tahan. Tanaman inang
17 yang rentan dicirikan oleh adanya gejala yang jelas dan replikasi virus yang tinggi, sementara respon inang yang tahan terdiri atas imun, agak tahan, toleran dan hipersensitif. Imun dicirikan oleh tidak adanya gejala dan ketidakmampuan virus untuk bereplikasi. Toleran dicirikan oleh adanya gejala dan replikasi virus namun tidak mempengaruhi kehilangan hasil. Hipersensitif ditunjukkan oleh adanya gejala khas (lesio lokal) (Fraser 2000). Untuk mendapatkan kultivar yang tahan terhadap patogen seorang pemulia tanaman biasanya melakukan seleksi atau skrining terhadap beberapa kultivar yang berasal dari koleksi plasma nutfah, kultivar komersial, spesies liar sekerabat, spesies lain dalam satu genus, atau genus lain. Hasil seleksi diperoleh genotipe yang tahan terhadap patogen yang akan dihibridisasi dengan tetua yang mempunyai sifat unggul lainnya seperti produksi yang tinggi. Untuk memindahkan sifat tahan ke tetua yang mempunyai sifat produksi tinggi dapat dilakukan metode back cross atau silang balik selama beberapa kali sehingga diperoleh individu yang mempunyai sifat atau karakter yang tahan terhadap patogen namun memiliki sifat tetua ulang (recurent parents) (Mangoendidjojo 2003) Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa
sampai saat ini belum
diperoleh genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV (Taufik 2005). Walaupun demikian di Indonesia juga telah dilakukan pengujian ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap ChiVMV namun, terdapat genotipe cabai yang potensial untuk digunakan di dalam program pemuliaan untuk dikembangkan menjadi kultivar baru yang tahan. Salah satu diantaranya adalah genotipe LV 3633-R asal Indonesia menunjukkan ketahanan terhadap semua isolat ChiVMV (Chiemsombat dan Kittipaqkorn 1996). Di Indonesia juga telah dilakukan pengujian ketahanan
18 beberapa genotipe cabai terhadap ChiVMV namun, hasil yang diperoleh masih sedikit (Millah 2007; Latifah 2007). Oleh karena itu diperlukan teknik lain yang memungkinkan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit, yaitu melalui variasi somaklonal. Pembentukan Variasi Somaklonal Kultur in vitro atau kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik (Gunawan 1988). Teknik ini seringkali dapat menginduksi terjadinya keragaman genetik pada populasi tanaman yang dihasilkan. Oleh karena itu, keragaman genetik yang terjadi akibat kultur in vitro disebut keragaman somaklonal (variation somaclonal) (Larkin dan Scowcroft 1981). Saat ini banyak penelitian yang menekankan pentingnya variasi somaklonal untuk perbaikan tanaman hortikultura. Variasi yang muncul selama proses kultur in vitro disebut variasi somaklonal dan merupakan variasi yang umum terjadi antar tanaman yang berasal dari kultur jaringan atau kultur sel. Menurut Ahloowalia (2001), variasi somaklonal yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan. Perubahan tersebut diantaranya adalah defisiensi klorofil, aneuploidi, resistensi terhadap penyakit atau kadang-kadang muncul variasi yang sebelumnya tidak pernah ada di alam. Variasi dapat juga terjadi pada sifat seperti tinggi tanaman, luas daun, panjang daun, ketebalan batang, vigor, pembungaan, fertilitas dan hasil. Variasi somaklonal akan berguna jika: (1) menambah komponen varian dengan variasi yang tidak terdapat di alam, (2) mengubah satu atau beberapa sifat dari kultivar yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik terutama pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau spesies yang menyerbuk sendiri. Variasi
19 somaklonal akan dibatasi penggunaannya jika perubahan yang terjadi terlalu jauh dari harapan atau terlalu drastis dan mengubah banyak gen. Untuk menghasilkan tanaman somaklonal dengan suatu karakter baru maka perlu diketahui faktor-faktor kritis yang mempengaruhi variasi somaklonal. Faktor-faktor tersebut adalah (1) genotipe, (2) lingkungan kultur (zat pengatur tumbuh), (3) sumber eksplan, dan (4) lama fase kalus dan lama durasi kultur (Arous et al. 2001). Genotipe merupakan faktor penting di dalam menimbulkan variasi somaklonal, karena genotipe dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi dan frekuensi variasi somaklonal yang terjadi. Christopher dan Rajam (1999) mencatat frekuensi keragaman genotipe yang tinggi terjadi pada beberapa kultivar cabai Capsicum praetermissum, C. baccatum dan C. annuum cvs. G4. Menurut Fratini dan Ruiz
(2002) banyak bukti menunjukkan variasi
somaklonal dipengaruhi oleh pemilihan zat pengatur tumbuh terutama berhubungan dengan jumlah konsentrasi yang ditambahkan dalam media. Zat pengatur tumbuh sitokinin sering digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk mendapatkan multiplikasi yang tinggi. Sitokinin terbagi dua kelompok yaitu sitokinin alami dan sintetis. Sitokinin alami (endogen) adalah zeatin dan sitokinin sintetis adalah N6-Benzyl amino purine (BAP) dan Furfuryl acetic acid (kinetin). Berdasarkan struktur kimia, sitokinin
adalah turunan adenine (BAP, kinetin,
zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). TDZ dan BAP mempunyai respon fisiologi yang sama, yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan, organ serta biosintesis klorofil (Gaba 2005). Keefektifan BAP dan TDZ dalam menginduksi multiplikasi tunas berbeda-beda bergantung pada jenis tanamannya. Pada tanaman cabai konsentrasi optimal BAP dan TDZ untuk menginduksi tunas adventif adalah 3 mg/l dan 0,5 mg/l (Khan et al. 2006),
20 pada tanaman Coffea arabica L. dan C. canephora perlakuan 7 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas per eksplan hampir sama dengan perlakuan 2 mg/l TDZ tetapi persentase eksplan membentuk tunas pada perlakuan TDZ lebih tinggi dibandingkan perlakuan BAP
(Giridhar et al. 2004). Selain keduanya, zat
pengatur tumbuh 2,4 D adalah termasuk zat pengatur tumbuh yang sering kali mengakibatkan variabilitas kromosom. Konsentrasi 2,4 D yang berpengaruh terhadap peningkatan variabilitas pada tanaman horseradish (Amoracia rusticana L.) adalah 0,1 µM yang dikombinasikan dengan 0, 0,1, dan 1,0 µM BA. Bila konsentrasi 2,4D lebih dari 0,1 µM kalus tidak beregenerasi (Yuliadi 2008). Dalam perbanyakan in vitro, sesungguhnya hampir selalu diperoleh planlet yang di luar tipe yang biasanya dibuang. Setelah penelitian mengenai variasi somaklonal dimulai dan dirasakan manfaatnya dalam pemuliaan tanaman maka justru yang di luar tipe ini yang menjadi perhatian. Setiap spesies berbeda jenis dan frekuensi variasinya dan setiap kultivar atau genotipe pada spesies yang samapun berbeda variasi somaklonnya. Mekanisme terjadinya keragaman somaklonal diantaranya disebabkan oleh perubahan genetik spesifik, misalnya mutasi titik (single nucleotide changes), perubahan jumlah kopi gen tertentu, aktivasi transposable elemen, perubahan jumlah kromosom, chromosomal rearrangements, dan metilasi DNA. Metilasi diketahui meningkatkan frekuensi mutasi CG ke AT (Keappler dan Philip 1993). Penggunaan keragaman somaklonal memiliki kelemahan. Keragaman yang ditimbulkan tidak dapat diprediksi di alam. Dengan menggunakan kultur jaringan mungkin keragaman variasi genetik atau epigenetik dapat diinduksi, namun terjadinya keragaman epigenetik lebih banyak terjadi dari pada keragaman genetik (Jain 2001).
21 Penyebab Variasi Somaklonal Penyebab munculnya variasi somaklonal ada dua yaitu variasi genetik yang memang sudah ada dalam eksplan dan variasi induksi atau variasi epigenetik yang muncul selama fase kultur in vitro. Variasi genetik bersifat stabil baik melalui perbanyakan seksual dan aseksual, sedangkan variasi epigenetik tidak stabil dan berpotensi dapat balik (reversible) (Keappler et al. 2000). Timbulnya keragaman genetik selama proses in vitro dipengaruhi oleh faktor internal maupun ekstenal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi frekuensi munculnya variasi somaklonal dalam kultur in vitro adalah genotipe tanaman induk, sumber eksplan yang digunakan, umur jaringan dan tingkat ploidi, sedangkan faktor eksternal adalah konsentrasi berbagai komponen media pertumbuhan, jumlah subkultur, dan konsentrasi zat pengatur tumbuh serta proses regenerasinya (Nwauzoma et al. 2002; Jayasankar 2005). Mutasi gen merupakan mutasi yang paling diharapkan terjadi dalam pemuliaan yang menggunakan variasi somaklonal, karena mutasi gen hanya akan merubah sifat tertentu yang dikendalikan gen tersebut. Menurut Arnim (2005) mutasi gen bisa terjadi di tingkat DNA (perubahan satu basa), di tingkat protein (perubahan kode triplet untuk asam amino), atau dapat terjadi mutasi ke arah liarnya dan bahkan dapat terjadi mutasi balik. Mutasi Secara Fisik dan Kimia Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman. Teknik mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro dan metode molekuler akan menyediakan metode yang kuat untuk meningkatkan keragaman somaklonal (Ahloowalia et al. 2004). Mutagenesis adalah keseluruhan proses yang menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi yang spontan atau yang
22 diinduksi
dengan
agen
penginduksi
mutasi
(mutagen).
Mutasi
buatan
dimaksudkan untuk mendapatkan keragaman genetik yang tercermin dari mutanmutan yang dihasilkan. Selanjutnya mutan-mutan yang memiliki karakter yang dikehendaki diseleksi secara langsung dan diperbanyak secara vegetatif atau mutan tersebut diserbuk sendiri untuk menstabilkan karakter mutan tersebut (Poehlman 1996). Mutasi buatan merupakan mutasi yang sengaja dilakukan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Mutasi buatan ini biasanya diinduksi secara fisik, kimia dan biologi. Berbagai unsur fisik seperti suhu, cahaya dengan gelombang tertentu (sinar x, y) dapat mengakibatkan mutasi. Bahan kimiawi yang mengandung senyawa yang bersifat mutagen diantaranya etil metan sulfonat (EMS), dietil sulfat (dES), nitroso etil urea (ENH), nitroso metil urea (MNH), dan etilenamin (EI) (Van Harten 1998). Kelebihan penggunaan agen mutagenik kimia adalah (1) sebagian besar mutasi yang terjadi merupakan mutasi titik; (2) kerusakan kromosom lebih kecil, dan (3) mutasi terjadi dengan frekuensi tinggi. Kelemahannya adalah (1) penetrasi jaringan multisel seringkali sulit, (2) reproduksibilitas rendah, dan (3) agen mutagenik kimia sangat berbahaya karena bersifat karsinogenik (Van Harten 1998). Perlakuan dengan mutagen fisik dapat menimbulkan pengaruh pada generasi pertama yaitu (1) kerusakan dan menyebabkan kematian jaringan (letal), (2) steril, (3) khimera. Kerusakan yang diakibatkan radiasi ini diantaranya kerusakan fisiologis, kerusakan kromosom (mutasi kromosom), kerusakan sitoplasma (mutasi sitoplasma). Menurut Ahloowalia et al. (2004) dan Hussien et al. (2008) radiasi pengion dapat memutus rantai kromosom pada tempat tertentu
23 sehingga dapat merubah struktur kromosom (delesi, inversi, duplikasi dan translokasi). Radiasi juga dapat merusak benang-benang spindel yang berfungsi menarik kromosom ke kutub-kutubnya pada fase metafase dalam proses mitosis sehingga akan merubah jumlah kromosom dan dapat menyebabkan euploidi dan aneuploidi. Ethyl methane sulfonate (EMS) termasuk senyawa alkil yang mempunyai potensi tinggi sebagai mutagen yang efisien untuk tanaman. Penggunaan EMS ini lebih sering dilakukan karena mudah didapat, harganya murah dan tidak toksik bagi jaringan tanaman yang di beri perlakuan EMS(Van Harten 1998; Nasir 2002). EMS (CH3SO2OC2H5) adalah suatu alcylating agent. Gugus alkil bereaksi dengan DNA dengan cara mengalkilasi gugus fosfat dan basa purin serta basa pirimidin yang seringkali terjadi jika reaksi melibatkan basa nitrogen pada DNA. Alcylating agent seperti EMS sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan air. Oleh karena itu larutan EMS harus selalu dibuat segar, artinya begitu dibuat langsung digunakan, tidak boleh disimpan. Reaksi dengan air merupakan suatu reaksi hidrolisis yang mengakibatkan EMS tidak lagi bersifat mutagenik. Konsentrasi EMS yang dibutuhkan untuk setiap tanaman berbeda-beda tergantung dari tanaman dan jenis eksplan yang digunakan. Pada tanaman cabai, krisan, ubijalar, anggur, dan kacang-kacangan konsentrasi EMS yang dapat digunakan berturut turut adalah 0,5%, 0,77% , 0,04% dan 0,25-0,5% (Jabeen dan Mirza 2004; Luan et al. 2007; Singh et al 2007; Svetleva dan Crino 2005). Tanaman yang diperlakukan EMS akan mempelihatkan defisiensi klorofil dan variasi genetik umumnya lebih tinggi (Poerba 2004).
24 Variasi Somaklonal untuk mendapatkan Resistensi terhadap Penyakit Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman. Induksi mutasi merupakan suatu cara untuk memperoleh mutan-mutan yang diharapkan membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada banyak tanaman yang diperbanyak secara vegetatif induksi mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro merupakan salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan hasil tanaman, namun hambatan yang sering dijumpai pada tanaman berbiak vegetatif adalah timbulnya kimera setelah perlakuan mutagen fisik maupun kimia (Linberger 2007). Pemanfaatan fenomena variasi somaklonal dalam pemuliaan mula-mula dilakukan dengan mendorong terjadinya varian atau keragaman somaklonal. Selanjutnya dilakukan seleksi terhadap somaklonal yang memiliki sifat-sifat tertentu. Keragaman somaklonal dapat diinduksi secara terarah dengan menggunakan suatu media/agen seleksi dalam media kultur atau dengan memberikan kondisi tertentu agar dihasilkan somaklonal-somaklonal yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan misalnya, dapat dilakukan seleksi pada tahapan kultur in vitro dengan menambahkan fusaric acid yang merupakan toksin utama yang dihasilkan oleh Fusarium ke dalam media kultur in vitro. Teknik seleksi pada tanaman kultur in vitro dapat pula dilakukan terhadap patogen lainnya, seperti bakteri dan virus (Hwang and Ko 2004; Snikder et al. 2004; Imelda et al. 2000 ). Akan tetapi, untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, seleksi dilakukan pada saat tanaman sudah menjadi planlet dan pengujian dilakukan di rumah kaca.
25 Agar efektif, seleksi untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kultur in vitro menghasilkan keragaman yang tinggi. Kedua, metode seleksi terhadap somaklon dengan sifatsifat yang diinginkan harus dapat dilakukan dengan mudah. Ketiga, perubahan yang terjadi adalah perubahan genetik yang dapat diturunkan pada zuriatnya dan tetap stabil pada waktu tanaman diperbanyak baik secara seksual maupun aseksual (Ahlowalia dan Maluszynski 2001). Pemanfaatan dan Penerapan Variasi Somaklonal Variasi somaklonal dapat memberikan kontribusi yang nyata pada pemuliaan tanaman. Walaupun variasi tidak mempengaruhi semua sifat dan tidak selalu menguntungkan di dalam pertanian, tetapi dengan seleksi kemungkinan dapat diperoleh genotipe-genotipe yang berguna dari sumber variasi tersebut. Beberapa contoh pemanfaatan variasi somaklonal adalah peningkatan ketahanan terhadap herbisida klorosulfuran pada tanaman jagung, ketahanan terhadap Erwinia carotovora pv. carotovora pada Zantesdechia spp. (Araceae), toleransi terhadap garam pada ubijalar serta tanaman kedelai toleran aluminium (Hughes 1983; Snijder et al. 2004; Luan et al. 2007; Mariska et al. 2004). Contoh lain pemanfaatan variasi somaklonal adalah untuk membentuk tanaman genotipe unggul baru pada pisang di Indonesia yang sulit dilakukan karena tingkat ploidi yang tinggi dan steril. Tanaman pisang yang diberi perlakuan radiasi dengan sinar gamma 1000 rad dapat menginduksi sifat ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium (Panama disease) yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlect f.sp. cubesense (Smith et al. 2006, Mariska et al. 2006) Pada C. annuum (cabai), mutan pertama diperoleh tahun 1972 melalui perlakuan radiasi 135 Gy sinar gamma, 25% EMS selama 5 jam, 0,5% EMS
26 selama 3 jam. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan kandungan vitamin C, umur genjah dan menginduksi perubahan morfologi (Daskalov 1991; Daskalov 2001; Jabeen dan Mirza 2004). Perlakuan irradiasi pada Glycine max L (kedelai) menggunakan sinar gamma dan UV, yang dikombinasikan dengan mutagen kimia (EMS, DES, NMH, DMS) menghasilkan mutan yang berproduksi tinggi, tahan virus, toleran aluminium dan kekeringan, protein tinggi, genjah, kadar minyak meningkat dan toleran lahan masam (Bhatnagar dan Tiwari 1991, Mariska et al 2004). DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Elsevier Academic Press. Ahlowalia BS, M. Maluszynski 2001. Induced mutation A new paradigma in plant breeding. Euphytica 118:167-173. Ahlowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact og mutationderived. Review. Euphytica 135:187-204. Akin MH. 2002. Variabilitas strain-strain PStV pada tingkat moleku berdasarkan gen protein selubung dan 3’UTR (Untranslated region) genom RNS PStV. J.Perlin. Tan. Ind. 8:86-93 Arnim AG (2005). Molecular Approches to the Study og Plant Development. Di dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Developmen and Biotechnology. CRC. Press. New York. P. 119-129 Arous S, Boussaid M, Marrakchi M. 2001. Plant regeneration from zygotic embryo hypocotyls of Tunisian chili (Capsicum annuum L.) J. Appl. Hort. 3(1): 17-22. Bhatnagar PS, Tiwari SP. 1991. Soybean improvement through mutation breeding in India Vol. 1 IAEA : 381-391 Chiemsombat P, Kittipakorn K. 1996a. Determination of isolates of CMV dan CVMV and screening of pepper cultivars for virus resistance. Proceeding of the AVNET-II Final Workshop AVRDC, ADB and PCARRD. 413-419.
27 Christopher T, Rajam MV. 1999. Effect of genotype, explants and medium on in vitro regeneration of red pepper. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 46:245-250 Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate methode of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol. 34:475-483 Daskalov S. 1991. Experimental mutagenesis and mutation breeding in pepper Capsicum. Mutation Breeding Newsl. 10:13-20 Daskalov S. 2001. Gornoriohovska Kapia F1. A new hybrid pepper variety based on radiation induced male sterility. Mutation Breeding Newsl. 45:4-5 [Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura 2007. Luas Pertanaman Cabai Merah. (http:www.deptan.go.id/ditlinhorti/da-its-2003 (5 Maret 2007) Duriat AS. 1989. The status of pepper virus diseases in Indonesia. Paper presented at ADB germplasm improvment subnetwork planning meeting, 31 May-21 June. Tainan, Taiwan. AVRDC. Eleman-Verdaguer ME, Goudon-Urbino C, Dubern J, Beachy RN, Fauquet C. 1997. Analysis of the sequence diversity of the PI, HC, P3, Nib and CP genomic regions of several yam mosaic potyvirus isolates: implications for the intraspecies molecular diversity of potyviruses. Journal of General Virology 78: 1253-1264 Fauquet CM, Mayo CM, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA, eds, 2005. Virus taxonomy, VIII th Report of the ICTV. Elsevier/Academic Press, London, USA. pp 819-829. Fraser RSS. 2000. Special aspects of resistance to viruses. Di dalam Slusarenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC, editor. 2000. Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publishers, London p 485-495 Fratini R, Ruiz MR. 2002. Comperative study of different cytokinins in the induction of morfogenesis in lentil (Lensculinaris medic). In Vitro Cell Dev. Biol. Plant. 38:46-51 Gaba VP. 2005. Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and Developmant. Di dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Developmen and Biotechnology. CRC. Press. New York. P. 87-99
28 Giridhar P, Vinod K, Indu EP, Ravishankar GA, Chandrasekar A. 2004. Thidiazuron induced somatic embryogenesis in Coffea arabica L. dan C. canephora P. ex Fr. Acta Bot. Croat. 63:25-33. Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Lab. Kultur Jaringan PAU. BIOTEK, Bogor, IPB Hughes K. 1983. Selection for herbicide resistance. Di dalam Evan DA, Sharp WR, Amirato PV, Yamada Y. Handbook of Plant Cell Culture, New York, Macmillan. 3: 442-460 Hull R. 2002. Matthews ‘Plant Virology, Ed. Ke-4. San Diego; Academic Press. Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass (Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www.google.w.id/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850 =N Hwang SC, Ko WH. 2004. Cavendish Banana Cultivars Resistant to Fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease. 88(6):580-588 Imelda M, Deswina P, Hartati S, Estiati A, Atmowijoyo S. 2000. Chemical mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for Bunchy top virus resistence in Banana. Ann Bogorien n. s. 7: 19-25. International Committee on Taxonomy of Viruses. 2002. Chilli veinal mottle virus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdB/5701016.htm[18 Mei 2008] Jain SM. 2001. Tissue Culture-derived variation in crop improvement. Euphytica. 118:153-156 Jabeen N, Mirza B. 2004. Ethyl methane sulfonate induces morphological mutations in Capsicum annuum. Int. J. Agrt. Biol. 6: 340-345. Jayasankar S. 2005. Variation in tissue culture. Di dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Developmen and Biotechnology. CRC. Press. New York. P. 301-310. Keappler SM, Keappler HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspect of somaclonal variation in plants. Plant Mocular Biology. 42:251-269. Kaeppler SM, Phillip RL. 1993. DNA methylation and tissue culture induced variation in plants. In Vitro. Cell. Dev. Biol. 29:125-130.
29 Khan H, Siddique I, Anis M. 2006. Thidiazuron induced somatic embryogenesis and plant regeneration in Capsicum annuum. Biol. Plant. 50(4):789-792. Kumari SG, Makkouk KM, Attar N. 2006. An Improved Antiserum for Sensitive Serologic Detection of Ckickpea chlorotic dwarf virus. J. Phytophatology 154, 129-133 (2006) Larkin PJ, Scowcroft WR. 1981. Somaclonal variation a novel souce of variability from cell culture. Theor.Appl.Genet. 60:197-214 Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Leonard S, Plante D, Wittmann S, Daigneault N, Fortin MG, Laliberte JF. 2000. Complex formation between potyvirus VPg and translation eukaryotic initiation factor 4E correlates with virus infectivity. J. Virol. 74:7730-7737 Linberger RD. 2007. Origin, Developmental propagation of chimaras. http://www.aggie-horticulture. Tamu.edu/tissucult/chimeras/s.html Luan YS, Juan Z, Xiao-Rong G, Li-jia A. 2007. Mutation induced by ethyl methane sulfonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell, Tiss and Cult 88(1):77-81 Mangoendidjojo W. 2003. Yogyakarta. 182 hal.
Dasar-dasar
Pemuliaan
Tanaman.
Kanisius,
Mariska I, Kosmiatin M, Lestari EG, Roostika I. 2006. Seleksi in vitro tanaman pisang ambon kuning untuk ketahanan terhadap penyakit layu fusarium. Laporan Akhir Rusnas Buah Tropis. BB-Biogen. Bogor. 20 hlm..V. Noviati. 2004. Peningkatan ketahanan tanaman kedelai terhadap aluminium melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):46-52. Mariska I, Syamsudin E, Sopandie D, Hutami S, Husni A, Kosmiatin M, Noviati A. 2004. Peningkatan ketahanan tanaman kedelai terhadap aluminium melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):46-52. Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
30 Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognalons P. 2005. Serological, molecular, and pathotype diversity of pepper veinal mottle virus and chilli veinal mottle virus. Phytopathology 95:227-232. Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetic tanaman. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal 59-78 Nwauzoma AB, Tenkouano A, Crouch JH, Pillay DV, Daniel KLA. 2002. Yield and disease resistance of plantain (Musa spp, AAB group) somaclones in Nigeria. Euphytica 123:323-331 Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Prabaningrum L, Moekasan TK. 1996. Hama-hama tanaman cabai merah dan pengendaliannya. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: Hlm 48-63 Poehlman JM, Sleper DA 1996. Breeding Filed Crop (Fourth Edition). Iowa State University Pree, Ames. IOWA. Poerba YS. 2004. Penampilan genotype hasil mutasi induksi Talinum paniculatum JACQ (GAERTN). Berita Biologi 7(3):127-135 Ram R, Verma N, Singh AK, Singh L, Hallan V, Zaidi AA. 2005. Indexing and production of virus-free chrysanthemums. Biologia Plantarum 49(1): 149152. Shah H, Khalid S. 2001. Screening of exotic Pepper Lines Against Local Isolate of Chilli veinal mottle potyvirus. On Line Journal of Biological Sciences 1(11):1078-1080. Asian Network for Scientific Information. [21 Agustus 2005] Shukla DD, Ward CW, Brunt AA. 1994. The Potyviridae. CAB International, Printed and bound in the UK at the University Press, Cambridge, h 92-105 Singh SK, Yerramilli V, Khawale RN. 2007. Molecular marker-assisted selection of in vitro chemical mutagen-induced grapevine mutants. Current Science 92: 1056-1059
31 Smith MK, Hamill SD, Langdon PW, Giles JE, Doogan VJ, Pegg KG. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of fusarium wilt: gamma irradiation of micropropagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group Cavendish subgroup) Australian Journal of Experimental Agriculture. 46:107-113 Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic variation in zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by Erwinia carotovora subsp. Carotovora. Euphytica 135:119-128 Sulyo Y, Duriat AS, Gunaeni N, Korlina E. 1995. Determination of CMV and CVMV strains in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methane sulfonate (EMS) and Nnitrose-N-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J. of Central European Agric. 6(1): 59-64 Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survei infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Tsai WS, Huang YC, Zhang DY, Reddy K, Hidayat SH, Srithongchai W, Green SK, Jan FJ. 2008. Molekular characterization of the CP gene and 3’UTR of Chilli veinal mottle virus from South and Southeast Asia. Plant Pathology 57, 408-416. Uncuqui-Inchima S, Haenni AL, Bernardi F. 2001. Potyvirus proteins: a wealth of functions. Virus Research 74:157-175. Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding : Theory and Practical Application, Cambridge: Cambridge Univ. Pr. P. 111-203 Womdim NR, Swai IS, Chadha ML, Selassie GK, Marchoux G. 2001. Occurence of Chilli veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania. Plant Dis. 85:801. Yuliadi E. 2008. Plant regeneration from leaf blade explants of horseradish (Amoracia rusticana L) through in vitro culture. Journal Akta Agrosia 11(1):63-68
III. VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT Chilli Veinal mottle Potyvirus PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum) Abstrak Infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) di daerah sentra tanaman cabai di Indonesia dilaporkan cukup tinggi. Isolat ChiVMV berhasil dikumpulkan dari Jawa Barat (Cikabayan), Jawa Tengah (Karadenan), Jawa Timur (Belung), Kalimantan Selatan (Nusa Indah), Sumatera Barat (Tanah Datar), dan Aceh Tengah (Gayo Barat). Pengamatan terhadap gejala infeksi di lapangan menunjukkan adanya variasi gejala yang cukup tinggi, mulai dari belang ringan sampai belang berat yang diikuti dengan penebalan tulang daun. Penelitian tingkat virulensi dilakukan terhadap empat isolat yaitu ChiVMV Cikabayan (Jawa Barat), ChiVMV Nusa Indah (Kalimantan Selatan), ChiVMV Tanah Datar (Sumatera Barat) dan ChiVMV Karadenan (Jawa Tengah), yang memperlihatkan tingkat keparahan gejala yang berbeda. Perbedaan virulensi ke empat isolat ChiVMV tersebut selanjutnya dievaluasi berdasarkan kemampuannya menginfeksi 10 genotipe cabai yaitu Jatilaba, Helem, VC 246, Keriting Bogor, PBC 495, Titsuper, Beauty Bell, Gelora, IPBC Tanjung, dan Keriting Sumatera. Masing-masing isolat ChiVMV diinokulasi pada tiap genotipe cabai dengan metode inokulasi mekanis. Pengamatan dilakukan terhadap masa inkubasi, tipe gejala yang muncul, dan kejadian penyakit. Isolat Cikabayan dan Nusa Indah mampu menginfeksi semua genotipe cabai uji dengan masa inkubasi tercepat 3 hari pada genotipe “Titsuper” dan “Beauty Bell”; sementara isolat Karadenan dan Tanah Datar hanya mampu menginfeksi berturut-turut 4 dan 6 genotipe cabai uji. Walaupun ada perbedaan kisarana inang, tetapi variasi gejala yang muncul diantara ke empat isolat hampir sama, yaitu mencakup belang, penebalan tulang daun, daun berkerut, dan malformasi. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya keragaman genetik antar isolat ChiVMV dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama berkaitan dengan sifat molekuler masing-masing isolat. Kata kunci : Chilli veinal mottle potyvirus, genotipe cabai, virulensi
______________________ Bagian dari disertasi ini dalam proses untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi Jurnal HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN TROPIKA 2011
33
Abstract Infection of Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) has been reported from chilli pepper growing area in Indonesia. Field observation showed wide variation of symptom development starts from mild mottle to severe mottle and vein banding. A research was conducted to study the difference of isolates of ChiVMV collected from West Java (Cikabayan), Central Java (Karadenan), East Java (Belung), South Kalimantan (Nusa Indah), and West Sumatera (Tanah Datar) based on their response on 10 genotypes of chilli pepper i.e. Jatilaba, Helem, VC246, Keriting Bogor, PBC485, Titisuper, Beauty Bell, Gelora, IPBCTanjung, dan Keriting Sumatera. Each isolates of ChiVMV was mechanically inoculated to each chilli pepper genotypes, and observation was conducted every day to record incubation period, symptoms type, and disease incidence. Cikabayan and Nusa Indah isolates were able to infect all chilli pepper genotypes with the shortest incubation period of 3 days occurred in “Tistsuper” and “Beauty Bell” genotypes; whereas Karadenan and Tanah Datar isolates only infected 4 and 6 chilli pepper genotypes, respectively. Although the 4 isolates of ChiVMV showed differences in their host range, but most of them developed similar symptoms ranging from mottle, vein banding, leaf cupping, and malformation. This results indicated possible genetic diversity among isolates of ChiVMV which required further investigation, especially to study their molecular characters.
Key words : Chilli veinal mottle potyvirus, chilli pepper genotypes, virulance
34 PENDAHULUAN
Beberapa anggota Potyvirus telah dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai, diantaranya adalah Chilli veinal mottle virus (ChiVMV). Virus ini pertama kali dilaporkan oleh Burnet pada tahun 1947 menginfeksi Capsicum annuum di Malaysia dan dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 60% (Ong et al. 1995). Selanjutnya dilaporkan bahwa virus ini telah menyebabkan penyakit di banyak negara Asia seperti India, Thailand, Taiwan, Korea, Filipina (Ravi et al. 1997; Siriwong et al. 1995; Green dan Kim 1991) dimana cabai di tanam secara komersial. Di Indonesia, keberadaan ChiVMV telah dilaporkan oleh Duriat et al. (1996), Taufik et al. (2005), Subekti et al. (2006) dan Opriana (2009). Tanaman cabai yang terinfeksi pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang kadang polapola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis.
Tanaman cabai yang terinfeksi secara umum menjadi kerdil dan
mengalami malformasi pada daun. Kadang-kadang buah juga menunjukkan gejala belang-belang atau distorsi sehingga produksi dan kualitasnya menjadi rendah (Ong 1995; Sulyo et al. 1995; Chiemsombat dan Kittipakorn 1996). Gejala yang disebabkan oleh ChiVMV bervariasi tergantung pada inang, strain virus, waktu infeksi dan kondisi lingkungan. Virus ini dapat ditularkan oleh beberapa spesies kutu daun dan dapat pula ditularkan secara mekanis. Beberapa tanaman yang menjadi inang ChiVMV selain C. annuum, adalah C. frutescens, Lycopersicon esculentum, Solanum melongena, Datura stramonium, Nicotiana spp, dan Chenopodium spp (Green et al. 1999). Penelitian tentang ChiVMV yang telah dilakukan di Indonesia diantaranya berkaitan dengan kajian respon beberapa genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV (Taufik 2005), virulensi isolat ChiVMV (Opriana 2009), dan pengaruh infeksi ChiVMV terhadap produksi tanaman (Subekti et al. 2006). Dilaporkan oleh Taufik (2005) bahwa infeksi ChiVMV
pada genotipe
Cilibangi 6, Helem, Tit Bulat dan Tit Segitiga dapat menurunkan hasil sebesar 68,0% hingga 98,6 %. Opriana (2009) melaporkan bahwa genotipe cabai IPB C99, IPB C17 dan IPB C521 memperlihatkan respon yang berbeda ketika
35 diinokulasi dengan beberapa
isolat ChiVMV yang berbeda. Hasil infeksi
ChiVMV terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai yang dilakukan oleh Subekti et al. (2006) membuktikan bahwa terdapat perbedaan masa inkubasi dan keparahan gejala yang muncul berkaitan dengan sistem ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dan tingkat virulensi virus yang menginfeksi. Selain itu infeksi virus menyebabkan bobot buah tiap tanaman berkurang, walaupun ada juga yang sebaliknya. Untuk mempelajari sifat infeksi ChiVMV maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui virulensi keempat isolat ChiVMV yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sumatra Barat pada 10 genotipe cabai (Jatilaba, Helem, VC 246, Keriting Bogor, PBC 495, Titsuper, Beauty Bell, Gelora, IPBC Tanjung, Keriting Sumatera) sebagai upaya untuk melakukan karakterisasi terhadap strain-strain virus yang berbeda.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di laboratorium Virologi dan rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari
bulan Juni
2007 sampai dengan Februari 2008.
Bahan Penelitian Materi genotipe cabai yang digunakan terdiri atas 10 genotipe cabai yang berasal dari koleksi plasma nutfah Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB yaitu Jatilaba, Helem, VC246, Keriting Bogor, PBC495, Titsuper, Beauty Bell, Gelora, IPBC Tanjung dan Keriting Sumatera. Sumber inokulum ChiVMV yang digunakan adalah ChiVMV isolat Cikabayan, Karadenan, Belung, Nusa Indah, Tanah Datar, dan Gayo Barat. Isolat-isolat tersebut berturut-turut berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Aceh Tengah. Tanaman inang untuk perbanyakan virus adalah tanaman cabai Paprika cv. Beauty Bell.
36
Metode Penelitian Pengumpulan dan Perbanyakan Sumber Inokulum Penelitian diawali dengan tahapan pengumpulan sampel virus. Tanaman cabai yang diduga dan menunjukkan gejala seperti terinfeksi ChiVMV dikumpulkan dari lahan petani pada sentra-sentra produksi cabai. Lokasi survei dilakukan pada beberapa tempat di Jawa Barat (4 lokasi), Jawa Tengah (6 lokasi), Jawa Timur (3 lokasi), Kalimantan Selatan ( 13 lokasi), Sumatera Barat (2 lokasi), dan Aceh Tengah (6 lokasi). Pengambilan sampel di daerah Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah di lakukan masing-masing oleh Dr Ir Noor Aidawati MSi (Staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat), Dr Ir Jumsu Trisno MSi (Staf pengajar Universitas Andalas), dan Ir Latifah MSi (Staf pengajar Universitas Negeri Malikussaleh); sedangkan pengambilan sampel di lokasi survei di pulau Jawa dilakukan langsung oleh penulis. Pengambilan sampel dilakukan dengan hanya mengambil bagian tanaman yang menunjukkan gejala khas ChiVMV. Gejala pada tanaman sampel yang berasal dari lapang umumnya berupa belang, keriting, ujung daun meruncing dan kerdil. Sampel dari lapang tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk tahapan deteksi menggunakan teknik ELISA. Virus yang berasal dari sampel tanaman yang memberikan hasil positif hanya terinfeksi ChiVMV, selanjutnya dipropagasi ke tanaman cabai paprika cv. Beauty Bell sebagai tanaman sumber inokulum. Tanaman cabai paprika cv. Beauty Bell yang dipergunakan sebagai tanaman sumber inokulum, ditanam pada polibag yang berisi tanah gembur dan steril (campuran tanah : pupuk kompos 2:1). Setelah berumur 1 bulan, tanaman diinokulasi dengan ekstrak daun tanaman yang positif terinfeksi ChiVMV. Daun tanaman terinfeksi digerus dalam mortar steril. Larutan penyangga fosfat 0,01 M, (pH 7) ditambahkan dengan perbandingan 1 g daun terinfeksi virus dalam 5 ml larutan penyangga fosfat (1:5 b/v). Ekstrak tanaman (sap) segera diinokulasikan ke tanaman uji. Setiap tanaman diinokulasi pada 2 helai daun termuda yang telah membuka penuh (30 hari setelah semai). Sebelum diinokulasi diberi karborundum pada bagian atas permukaan daun. Inokulasi dilakukan dengan mengoleskan sap
37 pada permukaan daun secara searah. Segera setelah pengolesan sap dilakukan pembilasan sisa-sisa sap yang masih melekat pada permukaan daun dengan menggunakan air mengalir.
Deteksi ChiVMV menggunakan Metode Double Antibody Sandwich Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA) Deteksi ChiVMV terhadap sampel tanaman yang berasal dari lapangan dan
ChiVMV
hasil
penularan
dilakukan
dengan
metode
DAS-ELISA
menggunakan 5 jenis antiserum secara terpisah, yaitu terhadap ChiVMV, CMV, PVY, PMMV, dan TMV (Clark dan Adams 1977). Tahapan uji tersebut diawali dengan tahap coating, yaitu sumuran plat mikrotiter di isi dengan 100 µl antiserum yang telah disuspensikan ke dalam buffer coating; dilanjutkan dengan inkubasi plat mikrotiter semalam pada suhu 4 o
C semalam. Pada hari berikutnya plat dicuci dengan PBST (phosphate buffer
saline tween-20) [8 g NaCl, 0,2 g KH2PO4, 1,15 g Na2HPO4, 0,2 g KCL, 0,2 g NaN3, 5 ml Tween 20, pH 7,4] sebanyak 5 sampai 7 kali. Daun tanaman bergejala digerus dalam GEB (general extract buffer) [1,3 g Na2SO3, 20 g PVP-40, 0,2 g NaN3, 2 g powdered egg albumin, 20 g Tween-20, pH 7,4] yang ditambahkan merkaptoetanol 1% dengan perbandingan 1:10 (b:v). Sap tanaman diambil sebanyak 100 µl kemudian dimasukkan kedalam sumuran plat mikrotiter. Plat mikrotiter diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37oC. Plat mikrotiter kemudian dicuci 5 smpai 7 kali dengan PBST, selanjutnya enzim konjugat yang dilarutkan dalam ECL buffer (bovine serum albumin 2 g, PVP-40 20 g, NaN3 0,2 g) sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam sumuran dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 jam, kemudian dibilas 5 sampai 7 kali dengan PBST. PNP (Pnitrophenyl-phosphate) yang telah dilarutkan dalam PNP buffer (0,1 g MgCl, 0,2 g NaN3, 97 ml dietanolamin), dimasukkan sebanyak 100 µl kedalam sumuran plat mikrotiter dan diinkubasikan selama 30 menit sampai 60 menit pada suhu ruang. Setelah waktu inkubasi tersebut akan terjadi perubahan warna pada cairan didalam sumuran plat mikrotiter, yaitu warna kuning, yang menandakan reaksi positif. Reaksi segera dihentikan dengan penambahan 3M NaOH, selanjutnya nilai absorbansi
reaksi
dianalisis
secara
kuantitatif
dengan
spektrofotometer
38 (Microplate reader BIO-RAD Model 550) pada panjang gelombang 405 nm. Pengujian dinyatakan positif jika nilai absorbansi sampel uji dua kali nilai absorbansi kontrol negatif. Pengujian Tingkat Virulensi Isolat-isolat ChiVMV. Pada
pengujian
tingkat
virulensi,
dipilih
isolat
ChiVMV
yang
memperlihatkan gejala yang parah, sedang dan ringan. Untuk mengetahui tingkat virulensi isolat ChiVMV digunakan
sepuluh genotipe cabai yaitu
Jatilaba,
Helem, Keriting Bogor, PBC 495, Titsuper, Keriting Sumatera, IPBC Tanjung, Gelora, Tegak, dan VC 246 sebagai kontrol tahan.
Tanaman uji tersebut
diinokulasi secara mekanis seperti diuraikan sebelumnya. Variabel yang diamati adalah masa inkubasi (hari), kejadian penyakit (%), dan jenis gejala yang muncul.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengumpulan isolat virus Sebanyak 34 isolat ChiVMV berhasil dikumpulkan dari beberapa sentra pertanaman cabai, yaitu Lembang-Jawa Barat (4 isolat), Karadenan-Jawa Tengah (6 isolat), Belung-Jawa Timur (3 isolat), Nusa Indah-Kalimantan Selatan (13 isolat), Tanah Datar-Sumatera Barat (2 isolat) dan Gayo Barat-Aceh Tengah (6 isolat). Isolat Cikabayan-Jawa Barat yang merupakan koleksi virus Laboratorium Virologi Tumbuhan, IPB diikutsertakan dalam penelitian ini. Sampel tanaman yang dikumpulkan menunjukkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis. Daun-daun yang terinfeksi secara umum menjadi kerdil dan mengalami malformasi.
Berdasarkan hasil ELISA
menggunakan 5 antiserum yang berbeda, infeksi campuran beberapa virus ditemukan pada beberapa lokasi (Tabel 3.1), tetapi sebanyak 10 sampel hanya terinfeksi ChiVMV secara tunggal (Tabel 3.2). Perbanyakan sumber inokulum Sampel-sampel yang terinfeksi tunggal ChiVMVdan memperlihatkan gejala yang khas dipilih untuk perbanyakan virus di rumah kaca. Terdapat 6 isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak pada tanaman cabai paprika yaitu isolat
39 Cikabayan (Jawa Barat), isolat Karadenan (Jawa Tengah), isolat Belung (Jawa Timur), isolat Nusa Indah (Kalimantan Selatan), isolat Tanah Datar (Sumatera Barat), dan isolat Gayo Barat (Aceh Tengah). Selanjutnya dipilih 4 isolat ChiVMV dengan gejala yang parah dan ringan untuk digunakan dalam pengujian virulensi isolat pada 10 genotipe cabai. Masing-masing isolat tersebut memperlihatkan respon gejala yang berbeda pada tanaman paprika (Tabel 3. 3). Gejala belang-belang, dan malformasi daun yang berat terlihat pada isolat yang berasal dari Cikabayan, Jawa Barat dan isolat asal Nusa Indah, Kalimantan Selatan. Selain gejala belang pada daun yang khas, isolat Cikabayan dan Nusa Indah juga memperlihatkan gejala terjadinya penebalan tulang daun dan daun menggulung ke atas. Pada dua isolat lainnya yaitu isolat Tanah Datar asal Sumatera Barat dan isolat asal Karadenan, Jawa Tengah memperlihatkan gejala belang yang ringan (Gambar 3.1). Tabel 3. 1. Deteksi virus pada tanaman cabai yang berasal dari beberapa sentra produksi tanaman cabai dengan metode DAS-ELISA Asal isolat
Jumlah sampel
Jumlah sampel yang terinfeksi *
Nusa Indah, Kalimantan Selatan
13
ChiVMV 6/13
CMV 1/13
PMMV 0/13
PVY 0/13
TMV** 1/13
Karadenan, Jawa Barat
6
3/6
1/6
0/6
0/6
1/6
Lembang, Jawa Barat
4
1/4
0/4
0/4
0/4
0/4
Tanah Datar, Sumatera Barat
2
2/2
0/2
0/2
0/2
0/2
Malang, Jawa Timur
3
3/3
1/3
0/3
0/3
1/3
Gayo Barat, Aceh Tengah
6
3/6
1/6
0/6
0/6
1/6
*Jumlah sampel terinfeksi = Sampel yang memberi reaksi positif (+) dengan DAS- ELISA/total sampel **ChiVMV = Chilli veinal mottle virus; CMV = Cucumber mosaic virus; PMMV= Pepper mottle mosaic virus; PVY = Potato virus Y; TMV = Tobacco mosaic virus
40 Tabel 3. 2. Deskripsi gejala tanaman yang terinfeksi ChiVMV secara tunggal dari beberapa lokasi penanaman cabai Asal isolat Cikabayan, Jawa Barat
Kode isolat CKB
Deskripsi Gejala Kombinasi gejala belang disertai perubahan bentuk daun
LM
Belang ringan
Karadenan, Jawa Tengah
KR
Belang ringan
Belung, Jawa Timur
BL
Belang ringan menyebar
Nusa Indah, Kalimantan Selatan
NI.1
Belang menyebar menyatu ke tulang daun
NI.2
Belang, daun berkerut
NI.3
Belang hijau gelap
TD.1
Belang
TD.2
Belang/blot hijau gelap
GB
Belang
Tanah Datar, Sumatera Barat
Gayo Barat, Aceh Tengah
daun
menggulung
membentuk
mangkok
Tebel 3. 3. Deskripsi isolat ChiVMV yang digunakan dalam pengujian virulensi Kode isolat Asal isolat virus Gejala pada tanaman *) perbanyakan virus CKB Cikabayan, Jawa Barat Belang-belang, penebalan tulang daun dan malformasi daun yang berat NI.1 Nusa Indah, Kalimantan Belang-belang, malformasi daun Selatan yang berat dan daun mengecil, melengkung keatas TD.2 Tanah Datar, Sumatera Barat Belang ringan menyebar, tulang daun menebal dan daun berkerut KR Karadenan, Jawa Tengah Belang ringan, bentuk daun a simetris, daun mengecil dan malformasi *) ChiVMV diperbanyak pada tanaman Capsicum annuum cv. Beauty Bell.
41
Gambar 3. 1. Variasi gejala infeksi beberapa isolat ChiVMV pada tanaman cabai paprika cv. Beauty Bell. A) Isolat Cikabayan (Jawa Barat); B) Isolat Nusa Indah (Kalimantan Selatan); C) Isolat Tanah Datar (Sumatera Barat); D) Isolat Karadenan (Jawa Tengah)
Pengujian virulensi ChiVMV pada beberapa genotipe cabai Isolat Cikabayan dan Nusa Indah dapat menginfeksi 10 genotipe cabai dengan kejadian penyakit masing-masing antara 20% sampai 100% dan 12% sampai 100% (Tabel 3. 4 dan 3. 5). Isolat Tanah Datar menginfeksi 6 genotipe cabai dengan kejadian penyakit berkisar antara 4% sampai 68% (Tabel 3. 6), sedangkan isolat Karadenan hanya menginfeksi 4 genotipe cabai dengan kejadian penyakit berkisar antara 32% sampai 64% (Tabel 3. 7). Masa inkubasi keempat isolat ChiVMV pada genotipe cabai uji umumnya berkisar antara 7 hingga 10 hari, tetapi isolat Cikabayan memiliki masa inkubasi yang sangat singkat, yaitu 3 hari, pada varietas Titsuper dan Beauty Bell.
42 Tabel 3. 4. Hasil Inokulasi ChiVMV isolat Cikabayan pada 10 genotipe cabai No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Genotipe
Jatilaba Helem VC246 Keriting Bogor PBC495 Titsuper Beauty Bell Gelora IPBC Tanjung Keriting Sumatera
Masa Inkubasi (hari) 7-13 7-10 8-12 3-10 9-14 3-9 3-5 7-10 4-7 9-12
Kejadian Penyakit Ji/Jn % 25/25 17/25 5/25 25/25 3/25 22/25 25/25 18/25 25/25 5/25
100 68 20 100 12 88 100 72 100 20
Gejala
Bl, Pt,Mlf Blr,Pt,Mlf,Dk Blr Bl,Pt,Mlf,Dk,Mg Blr Bl,Pt,Mlf,Dk Bl,Pt,Mlf,Dk,Mg Bl,Pt,Mlf, Dk Bl, Pt,Mlf,Dk Blr,Mg
Ji = Jumlah tanaman bergejala; Jn = Jumlah tanaman yang diinokulasi; Bl = Belang, Blr = Belang ringan; Dk = Daun berkerut; Pt= Penebalan tulang daun; Mlf =Malformasi; Mg = Menggulung
Tabel 3. 5. Hasil Inokulasi ChiVMV isolat Nusa Indah pada 10 genotipe cabai No
Genotipe
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jatilaba Helem VC246 Keriting Bogor PBC495 Titsuper Beauty Bell Gelora IPBC Tanjung Keriting Sumatera
Masa Inkubasi (hari) 9-13 7-10 10-13 7-10 10-13 7-9 6-7 9-10 7-9 9-12
Kejadian Penyakit Ji/Jn % 25/25 17/25 5/25 25/25 3/25 22/25 21/25 18/25 22/25 5/25
100 68 20 100 12 88 84 72 88 20
Gejala
Blr, Dk Blr Blr Bl,Pt,Mg Blr Blr,Pt Bl,Pt,Ml,Dk Bl,Dk Blr Blr
Ji = Jumlah tanaman bergejala; Jn = Jumlah tanaman yang diinokulasi; Bl = Belang, Blr = Belang ringan; Dk = Daun berkerut; Pt= Penebalan tulang daun; Mg = menggulung
43 Tabel 3. 6. Hasil Inokulasi ChiVMV isolat Tanah Datar pada 10 genotipe cabai No
Genotipe
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jatilaba Helem VC246 Keriting Bogor PBC495 Titsuper Beauty Bell Gelora IPBC Tanjung Keriting Sumatera
Masa Inkubasi (hari) 9-13 9-10 Tr 9-12 10-12 9-10 9 Tr Tr Tr
Kejadian Penyakit Ji/Jn % 10/25 15/25 0/25 11/25 1/25 17/25 17/25 0/25 0/25 0/25
40 60 0 44 4 68 68 0 0 0
Gejala
Blr, Dk,Mg Blr,Mlf,Pt Ti Bl,Mlf,Pt Blr Blr Bl,Mlf,Pt,Dk Ti Ti Ti
Ji = Jumlah tanaman bergejala; Jn = Jumlah tanaman yang diinokulasi; Ti =Tanaman tidak terinfeksi; Bl = Belang, Blr = Belang ringan; Dk = Daun berkerut; Pt= Penebalan tulang daun; Mlf =Malformasi; Ti = Tidak terinfeksi; Tr= Tidak bergejala sampai akhir pengamatan; Mg = menggulung
Tabel 3. 7. Hasil Inokulasi ChiVMV isolat Karadenan pada 10 genotipe cabai No
Genotipe
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jatilaba Helem VC246 Keriting Bogor PBC495 Titsuper Beauty Bell Gelora IPBC Tanjung Keriting Sumatra
Masa Inkubasi (hari) 9-10 Tr Tr 12-13 Tr 9-10 9-10 Tr Tr Tr
Kejadian Penyakit Ji/Jn % 10/25 0/25 0/25 8/25 0/25 16/25 15/25 0/25 0/25 0/25
40 0 0 32 0 64 60 0 0 0
Gejala
Blr, Dk Ti Ti Blr Ti Bl,Pt,Mlf Bl,Pt,Mlf Ti Ti Ti
Ji = Jumlah tanaman bergejala; Jn = Jumlah tanaman yang diinokulasi; Ti =Tanaman tidak terinfeksi; Bl = Belang, Blr = Belang ringan; Dk = Daun berkerut; Pt= Penebalan tulang daun; Mlf =Malformasi; Ti = Tidak terinfeksi; Tr= Tidak bergejala sampai akhir pengamatan
44 Infeksi ke empat isolat ChiVMV pada genotipe yang berbeda memberikan respon yang bervariasi. Walaupun demikian semua isolat ChiVMV menyebabkan gejala belang, penebalan tulang daun, perubahan bentuk daun (malformasi) dan daun berkerut. Gejala daun menggulung tampak jelas pada infeksi isolat CKB, sementara pada isolat lain tidak terlalu jelas. Berdasarkan masa inkubasi, kejadian penyakit, dan gejala yang muncul dapat disimpulkan bahwa
keempat isolat
memiliki tingkat virulensi yang berbeda. Isolat Cikabayan memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan isolat Nusa Indah, Tanah Datar dan Karadenan. Pembahasan
Dilaporkan bahwa infeksi ChiVMV sangat bersifat terbatas, yaitu hanya ditemukan pada pertanaman cabai di Asia dan Afrika (Moury et al. 2005) . Penyebaran penyakit belang yang disebabkan oleh ChiVMV pada cabai di Indonesia telah dilaporkan oleh Taufik et al. (2005) ditemukan di daerah Pasirwaru Jawa Barat, Bulakparen dan Kresek Jawa Tengah, Gowa, Baraka, Sudu, dan Kalosi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil deteksi sampel cabai yang dikumpulkan pada tahun 2007 dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah dapat disimpulkan bahwa penyebaran ChiVMV di Indonesia semakin meluas. Penyebaran penyakit yang semakin luas, dimungkinkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah peranan serangga vektor sebagai agen penular, jenis cabai yang ditanam, dan pola tanam. Serangga vektor yang membantu penyebaran virus tersebut adalah dari kelompok kutu daun (Aphididae: Homoptera). Diantara spesies kutu daun yang dilaporkan dapat menularkan ChiVMV
secara non
persisten adalah A.craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, M. persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan R. Maydis (Ong et al. 1979). Dilaporkan bahwa kutu daun merupakan salah satu serangga hama yang sering ditemukan pada pertanaman cabai di Indonesia (Cahyanto, 2007). Dengan demikian kutu daun memegang peran penting dalam penyebaran ChiVMV di Indonesia. Berdasarkan hasil observasi lapangan, diketahui bahwa jenis cabai yang ditanam di Indonesia umumnya cabai Hot Chilli, Hot Beauty dan Keriting Lokal dengan
45 pola pertanaman sebagian besar monokultur walaupun ada pula yang tumpang sari. Jenis-jenis cabai tersebut diketahui sangat rentan terhadap ChiVMV (Millah 2007) sementara pola tanam monokultur sangat mendukung perkembangan penyakit (Goodman 1986). Areal yang demikian memiliki kecenderungan menjadi daerah endemik bagi penyakit belang pada cabai yang disebabkan oleh ChiVMV. Empat isolat ChiVMV yang digunakan dalam pengujian (CKB, NI, TD, dan KR) menyebabkan gejala yang bervariasi pada tanaman cabai dengan masa inkubasi yang berbeda-beda. Dijelaskan oleh Agrios (2005) bahwa keparahan gejala yang diakibatkan oleh infeksi virus tergantung pada beberapa hal diantaranya umur tanaman pada saat terinfeksi, lingkungan yang sesuai untuk perkembangan virus, virulensi dari virus yang menyerang tanaman tersebut, serta keberadaan vektor serangga sebagai agen pembawa virus. Virus yang memiliki daya virulensi yang tinggi, mampu melakukan replikasi dengan cepat di dalam sel tanaman (Goodman et al. 1986). Kemampuan virus melakukan replikasi juga ditentukan oleh respon tanaman. Fraser (1998) menyatakan bahwa tanaman yang imun dicirikan oleh ketidakmampuan virus untuk bermultiplikasi sehingga gejala tidak terjadi, sedangkan tanaman yang tahan dicirikan oleh kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel yang lain (Matthews 2002). Tanaman yang toleran terhadap virus adalah tanaman yang masih dapat terinfeksi, tetapi memiliki kemampuan bertahan terhadap keberadaan dan multiplikasi virus yang dapat ditunjukkan dengan berkurangnya gejala penyakit dan mampu membatasi kehilangan hasil (Keller et al. 2000). Selanjutnya peneliti yang sama menyatakan bahwa tanaman dikatakan rentan apabila tanaman tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi invasi virus sehingga muncul gejala yang jelas sebagai akibat terjadinya replikasi virus yang tinggi Pada penelitian ini diketahui bahwa keempat isolat ChiVMV memiliki kemampuan menginfeksi genotipe Jatilaba, Titsuper dan Beauty Bell dengan kejadian penyakit berkisar antara 40% sampai 100% dan menyebabkan gejala cukup parah. Dengan demikian ketiga genotipe tersebut tergolong genotipe yang rentan sedangkan genotipe lain seperti VC 246, PBC 495, Gelora, IPBC Tanjung dan Keriting Sumatera adalah genotipe yang memiliki respon terhadap masa
46 inkubasi yang lebih panjang yaitu 9 hingga 12 hari dengan kejadian penyakit cukup rendah yaitu 0% sampai 12%. Oleh karena itu genotipe-genotipe tersebut dapat digolongkan kedalam genotipe yang tahan dan dapat ditanam di daerah spesifik isolat tertentu. Dengan terdeteksinya ChiVMV pada pertanaman cabai di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Aceh Tengah maka penelitian yang lebih mendetail mengenai hubungan tingkat virulensi dan keragaman genetik virus perlu dilakukan. Informasi yang diperoleh tentang keragaman genetik dari isolat-isolat ChiVMV perlu dikaji lebih lanjut, untuk memperoleh gambaran tentang keragaman genetik dari isolat-isolat ChiVMV di Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Aceh sebagai upaya didalam menentukan strategi pengendaliannya.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil deteksi dengan metode ELISA diketahui bahwa infeksi ChiVMV telah terdapat di beberapa daerah penanaman cabai di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Aceh Tengah. Isolat ChiVMV memiliki kisaran inang dan masa inkubasi yang beragam. Isolat Cikabayan dan Nusa Indah mampu menginfeksi 10 genotipe cabai uji dengan masa inkubasi tercepat 3 hingga 6 hari pada genotype “Titsuper” dan “Beauty Bell”; sementara isolat Keradenan dan Tanah Datar hanya mampu menginfeksi berturut-turut 4 dan 6 genotipe cabai uji dengan masa inkubasi rata-rata 9 hingga 12 hari. Isolat Cikabayan dan Nusa Indah memiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan isolat Tanah Datar dan Karadenan berdasarkan kejadian penyakit, masa inkubasi, dan gejala. Setiap genotipe cabai memberikan respon yang berbeda terhadap infeksi isolat ChiVMV yang berbeda. Keadaan ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan genotipe cabai yang ditanam pada suatu daerah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tiga genotipe yaitu Jatilaba, Titsuper dan Beauty Bell bersifat sangat rentan terhadap keempat isolat ChiVMV. Oleh karenanya ketiga genotipe tersebut tidak disarankan untuk ditanam di daerah endemik ChiVMV. Sebaliknya tujuh genotipe yang lain yang memiliki respon tahan terhadap isolat
47 ChiVMV tertentu, dapat disarankan untuk ditanam di daerah-daerah tertentu. Sebagai contoh genotipe VC246 tahan terhadap ChiVMV isolat Tanah Datar dan Karadenan dapat dianjurkan di tanam di daerah Sumatera Barat dan Jawa Tengah. . DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Elsevier Academic Press. Cahyanto Y. 2007. Tingkat serangan kutu daun Aphis gossypii (GLOV.) (HEMIPTERA: APHIDIDAE) pada enam genotype cabai (Capsicum annuum L.) di Bogor [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Duriat AS, Sulyo Y , Gunaeni N, Korlina E. 1995. Screening of pepper cultivars for resistance to CMV and CVMV in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 1-3 Fraser RSS. 1998. The Genetic of Plant Virus Interaction Implication for Plant Breeding. Euphytica 63:175-185 Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Phyisiology of Plant Disease. Columbia: University of Missouri Press. Green SK. 1991. Guidelines for diagnostic work in plant virology. ARDC technical bulletin 15. 63 p. Green SK, Hiskias Y, Lesemann DE, Vetten HJ. 1999. Characterization of Chilli veinal mottle virus as a potyvirus distinct from pepper veinal mottle virus. Petria 9, 332. Hull R. 2002. Matthews ‘Plant Virology’. Fourth Ed, San Diego: Academic Press Keller B, Feuillet, Messmer. 2000. Genetic of disease resistance. Di dalam: Slusarenko A, Fraser RSS and van Loon LC (editors), Mechanism of Resistance to Plant Disease. Kluwer Academic Publishers, hlm. 101-160 Marco S, Cohen. 1979. Rapid detection and titer evalution of viruses in pepper by enzyme-linked immunosorbent assay. Phytopathology 69:1259-1262
48 Matthews REF. 2002. Plant Virology. Academic Press. San Fransisco. Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor, Sekolah Pascasarjana, IPB. Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognalons P, Souche S, Sellassic KG, Marchoux G. 2005. Serological, molecular, and pathotype diversity of pepper veinal mottle virus and Chilli veinal mottle virus. Phytopathology 95:227-232. Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotype cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) [tesis]. Bogor, Sekolah Pascasarjana, IPB. Ravi KS, Joseph J, Nagaraju N, Krishna PS, Reddy HR, Savithri HS. 1997. Characterization of a pepper vein banding virus from chilli pepper in India. Plant Diseases 81:673-676 Siriwong P, Kittipakorn K, Ikegami M. 1993. Characterization of chilli veinbanding mottle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44: 718-727 Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hayati 13:53-57 Sulyo Y, Duriat AS, Gunaeni N, Korlina E. 1995. Determination of CMV and CVMV strains in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Womdim NR, Swai IS, Chadha ML, Selassie GK, Marchoux G. 2001. Occurence of Chilli veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania. Plant Dis. 85:801.
IV. ANALISIS GEN SELUBUNG PROTEIN Chilli Veinal Mottle Potyvirus DARI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA Abstrak Variasi gejala dan tingkat virulensi yang berbeda berhasil diperoleh dari isolat ChiVMV yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah. Variasi tersebut mengindikasikan adanya keragaman dari keenam isolat ChiVMV. Penelitian lanjutan dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik berdasarkan runutan nukleotida gen penyandi selubung protein (CP-ChiVMV) isolat-isolat ChiVMV dari berbagai lokasi penanaman cabai di Indonesia. Isolasi dan perunutan nukleotida gen CP-ChiVMV dilakukan dengan menggunakan primer spesifik ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind. Analisis runutan nukleotida gen CPChiVMV enam isolat tersebut menunjukkan tingkat kesamaan 87% hingga 99% dengan tingkat keragaman berkisar 0,02% hingga 1,48%. Analisis runutan asam amino gen CP-ChiVMV menunjukkan tingkat kesamaan antar isolat-isolat ChiVMV berkisar antara 85% sampai 99%. Analisis lebih lanjut pada motif asam amino gen CP-ChiVMV menunjukkan bahwa motif octapeptide telah termutasi menjadi LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR pada ChiVMV CKB dan menjadi RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT pada CP-ChiVMV lainnya. Perbedaan lainnya terjadi pada daerah asam amino nomor 61 dan 84, dimana ChiVMV BL dan KR kehilangan sekuen MET dan mengalami mutasi GG menjadi KV. Analisis filogenetika, berdasarkan nukleotida maupun asam amino gen CP-ChiVMV menunjukkan bahwa keenam isolat dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Isolat ChiVMV KR dan ChiVMV BL berada dalam satu kelompok dengan isolat Pataruman (GeneBank no aksesi DQ854961), sedangkan isolat ChiVMV CKB satu kelompok dengan Cikabayan2 (GeneBank no.aksesi DQ854960), kelompok tiga terdiri dari isolat ChiVMV TD, ChiVMV NI dan ChiVMV GB berada pada kelompok yang sama dengan isolat ChiVMV Taiwan (GeneBank no aksesi DQ854948). Analisis gen CP yang dilakukan menunjukkan adanya keragaman genetik antar isolat ChiVMV walaupun variasi gejala tidak terlalu besar. Kata kunci:
Analisis filogenetika, Chilli veinal motlle potyvirus, Selubung protein
50
Abstract Variation on symptoms and virulence was observed on different isolates of ChiVMV collected from West Java, Central Java, East Java, South Kalimantan, West Sumatera and Central Aceh. Research was conducted to study genetic variation of six ChiVMV isolates based on sequence analysis of coat protein (CP) gene and amino acid. Sequence analysis of CP gene showed 87% to 99% homology among the six isolates with level of variation ranging from 0,02% to 1,48%. Sequence analysis of amino acid derived from CP gene showed 85% to 99% homology. Further analysis on amino acid motives of CP gene indicated mutation of octapeptide motif, i.e LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR on ChiVMV CKB and RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT on other ChiVMV isolates. Other differences was observed on amino acid number 61 and 84 i.e. deletion of MET and mutation of GG to KV on ChiVMV BL and KR. Phyllogenetic analysis based on nucleotide and amino acid sequence showed that six isolates of ChiVMV can be differentiated into three groups. ChiVMV KR and BL were in the same group with ChiVMV Pataruman (GeneBank no. access DQ854961), ChiVMV CKB was in the same group with ChiVMV Cikabayan2 (GeneBank no. access DQ854960), and ChiVMV TD, ChiVMV NI and GB ChiVMV were in the same group with ChiVMV Taiwan (GeneBank no. access DQ854948). Analysis of CP gene confirmed the occurrence of genetic variation among ChiVMV isolates although symptom variation is weak.
Keywords:
Chilli veinal motlle potyvirus, coat protein gene, phyllogenetic analysis
51 PENDAHULUAN
Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) adalah anggota Potyvirus yang telah dilaporkan dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit belang pada tanaman cabai. ChiVMV memiliki genom berupa RNA utas tunggal positif (+ ssRNA) berukuran 9711 nukleotida (nt) (Fauquet et al. 2005). Partikel virus berbentuk batang lentur dengan ukuran panjang 750 nm dan diameter 12 nm (Ong et al. 1979). Di Indonesia, keberadaan virus ini mulai banyak terlihat di beberapa sentra produksi tanaman cabai dan prevalensinya semakin luas, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat (Taufik 2005; ACIAR 2007; Opriana 2009; Trisno et al. 2009). Tanaman cabai yang terinfeksi biasanya menjadi kerdil dan mengalami malformasi. Pada daun terlihat gejala belang hijau gelap dan bercak-bercak hijau gelap yang kadang-kadang polanya menyatu dengan tulang daun di dekatnya. Juga terlihat gejala leaf cupping, epinasti dan nekrosis. Di Indonesia, potensi penurunan hasil akibat infeksi ChiVMV pada beberapa genotipe dapat mencapai 68,0% hingga 98,% dan AVRDC (2003) bahkan melaporkan kehilangan hasil dapat mencapai 100%. Hasil penelitian di berbagai lokasi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah) menunjukkan bahwa kejadian penyakit, masa inkubasi dan gejala akibat infeksi ChiVMV berbeda-beda antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain (hasil penelitian pada Bab III).
Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan strain ChiVMV, kondisi lingkungan atau genotipe cabai yang ditanam (Matthews 2002). . Secara molekuler keragaman genetik suatu virus dan strain-strainnya dapat dibedakan berdasarkan runutan nukleotida, atau komposisi asam amino di dalam selubung protein. Pada bagian selubung protein Potyvirus terdapat protein yang berperan dalam penularan virus oleh serangga vektor, pergerakan sel ke sel dan pergerakan virus secara sistemik, RNA enkapsidasi dan regulasi amplifikasi RNA (Urcuqui-Inchima et al. 2001).
52 Menurut Maury et al. (2005), pepper veinal mottle virus dan ChiVMV dibedakan berdasarkan runutan asam amino dari selubung proteinnya (coat protein/CP). Tingkat kesamaan runutan asam amino selubung protein pada kedua spesies virus tersebut hanya 80%, sedangkan antara strain yang berbeda dalam satu spesies virus yang sama mempunyai tingkat kesamaan mencapai 83%-99% (Fauquet et al. 2005). Shukla dan Ward (1988) juga telah menggunakan runutan asam amino selubung protein untuk mengetahui hubungan kekerabatan berbagai virus dalam kelompok Potyvirus. Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat kesamaan runutan asam amino CP antara jenis virus yang berbeda adalah 38% hingga 71%, sedangkan antar strain dalam satu jenis virus yang sama mencapai 90% hingga99%. Keragaman genetik suatu virus umumnya terjadi sebagai akibat adanya mutasi pada gen virus itu sendiri. Mutasi gen dapat menyebabkan perubahan terhadap fungsi gen, sehingga pengaruh mutasi gen dapat saja menyebabkan perubahan terhadap gejala yang muncul atau sifat virulensi virus. Meskipun ChiVMV sudah mulai dilaporkan menyerang tanaman cabai di beberapa sentra produksi cabai di Indonesia, tetapi penelitian tentang variasi strain, baik dari gejala yang ditimbulkan, runutan nukleotida maupun asam amino pada selubung proteinnya, masih belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman ChiVMV yang berasal dari beberapa lokasi berdasarkan sifat genetiknya.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan dan Rumah Kaca Cikabayan, Departemen Proteksi Tanaman IPB, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2008 hingga Maret 2009. Bahan Penelitian Materi penelitian yang digunakan terdiri dari daun tanaman cabai terinfeksi virus yang berasal dari daerah sentra produksi cabai di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Aceh Tengah) seperti diuraikan pada Bab III.
53 Metode Penelitian Keragaman gejala isolat ChiVMV dari beberapa daerah yang berbeda Penelitian mengenai keragaman gejala isolat ChiVMV dari beberapa daerah yang berbeda dilakukan pada penelitian sebelumnya (Bab III). Pengamatan dilakukan berdasarkan ragam gejala yang tampak secara visual pada tanaman cabai paprika cv Beauty Bell yang diinfeksi dengan isolat ChiVMV yang berbedabeda. Isolat-isolat ChiVMV dikoleksi dari tanaman sakit dari berbagai lokasi pertanaman cabai di Indonesia (Karadenan, Cikabayan, Tanah Datar Nusa Indah, Belung dan Gayo Barat). Sampel tanaman sakit diuji dengan DAS-ELISA (Marco dan Cohen 1979) untuk memastikan keberadaan virus tersebut. Selanjutnya, sampel yang positif mengandung ChiVMV diinokulasi kembali pada tanaman cabai yang bebas virus untuk mengetahui perkembangan gejalanya. Pengamatan gejala dilakukan pada1-15 hari setelah inokulasi (his).
Deteksi gen protein selubung ChiVMV dengan Teknik RT-PCR. Pada penelitian ini dipilih enam isolat ChiVMV yang mewakili daerah pengambilan sampel (Penelitian sebelumnya pada Bab III). Total RNA diekstraksi dari jaringan daun tanaman cabai terinfeksi ChiVMV menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen, Germany). Sebanyak 100 mg sampel daun digerus, dibantu dengan penambahan nitrogen cair. Kedalam serbuk hasil gerusan ditambahkan 450 µl bufer lisis yang mengandung merkaptoetanol 1% , kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan dipanaskan (dalam penangas air) pada suhu 56oC selama 10 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam spin column ungu dan disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 2 menit (suhu ruang). Supernatan diambil dan ditambahkan setengah volume etanol 96%, selanjutnya dihomogenisasi dengan pipetting. Campuran dipindahkan ke spin column warna merah muda dan disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 1 menit. Spin column dipindahkan ke tabung yang baru kemudian ditambahkan 700 µl bufer pencuci RW I dan disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 1 menit. Cairan pada spin column dibuang, ditambahkan 500 µl bufer RPE, kemudian disentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Pencucian dengan bufer RPE dilakukan 2 kali dengan lama sentrifugasi yang kedua adalah 2 menit. Spin column
54 dipindahkan ke collection tube baru dan disentrifugasi 13.000 rpm selama 1 menit. Spin column dipindahkan ke tabung eppendorf baru (1,5 ml), kemudian ditambahkan 40 µl air bebas nuklease kedalam kolom dan diinkubasikan selama 10 menit pada suhu ruang, selanjutnya disentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit. Total RNA yang diperoleh dan terdapat dalam tabung dapat disimpan di ruang penyimpanan pada suhu -70° C sampai digunakan dalam Reverse Transcription – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Reaksi RT yang digunakan mengandung sampel RNA 3 µl, 200 unit enzim reverse transcriptase Moloney Murine Leukemia Virus (MMuLV) (New England BioLabs), 5 unit
Recombinant RNasin Ribonuclease Inhibitor (Promega,
Medison, WI, USA), 2 µl dNTP 10 mM, 1 µl buffer 10x RT (150 mM NaCl, 50 mM Tris-HCl [pH 7,6]), Oligo d(t) 0,75 µl, dan 2,55 µl H2O. Reaksi RT dilakukan pada kondisi 25o C selama 5 menit, 37oC selama 90 menit, dan 72 oC selama 15 menit. cDNA hasil RT dipakai sebagai template pada reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR). Reaksi PCR yang digunakan mengandung 1 µl template cDNA, 2,5 bufer 10x + Mg
2+
, 2 µl dNTP 2,5 mM, 1 µl Primer
ChiVMV F Ind (1st BASE) (5’ AACCTGAGCGTATAGTTTCA 3’) 10 mM, 1 µl Primer ChiVMV R Ind (1st BASE)
(5’ TACGCTTCAGCAAGATTGCT 3’)
10 mM, 0,3 µl Taq 5 unit. 17,2 µl H2O. Amplifikasi dengan PCR dilakukan sebanyak 35 kali dengan tahapan sebagai berikut: tahap I suhu 94 °C selama 5 menit, tahap II suhu 94 ° C selama 1 menit, tahap III suhu 50oC selama 1 menit, tahap IV suhu 72 ° C selama 2 menit, tahap V suhu 72oC selama 5 menit (Jan et al. 2000). Fragmen DNA hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1% dan diamati dengan UV transiluminator setelah diberi pewarnaan dengan etidium bromida. Untuk pengukuran DNA digunakan penanda 1 kb ladder (Fermentas). Sampel disiapkan dengan mencampurkan 7 µl DNA dan 2 µl loading buffer. Selanjutnya masing-masing
sampel
diisikan
dalam
sumuran
dengan
pipet
mikro.
Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 50 V DC selama 45 menit. Hasil elektroforesis tersebut dilihat dengan transilluminator UV dan didokumentasi.
55 Perunutan (sequensing) gen protein selubung Sintesis dan perunutan nukleotida sistron CP-ChiVMV dilakukan mengikuti prosedur Jan et al. (2000). Perunutan DNA CP-ChiVMV dari hasil amplifikasi PCR dilakukan di Macrogen Inc.Korea dengan primer ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind. Analisis nukleotida dan asam amino protein selubung Hasil perunutan DNA digunakan untuk analisis tingkat kesamaan dengan menggunakan software Blast2.Wu yang terdapat dalam situs the European Bioinformatic Institute (EBI) (www.ebi.ac.uk). Analisis homologi CP-ChiVMV melibatkan informasi yang tersedia dalam GeneBank yaitu sekuen isolat ChiVMV dari beberapa negara (Tabel 4.1). Analisis homologi dilakukan menggunakan software ClustalW (www.ebi.ac.uk). Tabel 4.1. Isolat-isolat Chilli veinal mottle potyvirus asal Indonesia dan beberapa virus asal Asia (GeneBank) yang digunakan dalam analisis CPChiVMV No. Aksesi DQ854962 DQ854951 DQ925446 DQ854948 DQ854961 DQ854960
Isolat dan spesies ChiVMV ChiVMV ChiVMV ChiVMV ChiVMV ChiVMV
Negara India China Vietnam Taiwan Pataruman (Indonesia) Cikabayan2 (Indonesia)
Analisis filogenetika Analisis filogenetika dilakukan menggunakan program PHYLIP versi 3.5. Sebelum analisis, runutan nukleotida semua isolat yang terpilih dimodifikasi dengan software Bioedit V7.0.5 untuk menyamakan format runutannya. Matrik jarak genetika dihitung dengan menggunakan matrik parameter dalam program komputer DNA Dist untuk runutan nukleotida dan Prodist untuk runutan asam amino CP. Pohon filogenetika digambarkan dengan program DRAWTREE dalam paket program PHYLIP. Analisis boostrap dengan 100 ulangan dilakukan menggunakan program SEQBOOT dan konsensus pohon filogenetika dibuat dengan program CONSENSE. Semua program komputer tersebut menggunakan program Phylodraw versi 0.8, Graphics Application Lab, Pusan National
56 University (1999) untuk mengetahui pengelompokan dari data yang ada berikut jarak kekerabatannya atau jarak evolusinya
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keragaman gejala isolat ChiVMV dari beberapa daerah yang berbeda Enam isolat ChiVMV dari daerah yang berbeda dipilih berdasarkan jenis gejala yang muncul pada tanaman cabai paprika cv. Beauty Bell (Gambar 4. 1). Gejala dominan adalah belang dengan kombinasi gejala lain seperti perubahan bentuk daun, penggulungan daun, pemucatan tulang daun (Tabel 4. 2).
Gambar 4.1. Berbagai tipe belang pada permukaan daun tanaman cabai paprika genotipe Beauty Bell yang terinfeksi ChiVMV. A)Isolat KR; B)Isolat CKB; C) TD; D)Isolat NI; E)Isolat BL; F)Isolat GB Tabel 4. 2. Deskripsi gejala isolat-isolat ChiVMV yang berasal dari Karadenan (KR), Cikabayan (CKB), Tanah Datar (TD), Nusa Indah (NI), Belung (BL) dan Gayo Barat (GB) Isolat ChiVMV
Asal isolat
Deskripsi Gejala
ChiVMV KR
Karadenan Jawa Tengah
Belang ringan
ChiVMV CKB
Cikabayan Jawa Barat
Kombinasi gejala belang disertai perubahan bentuk daun
ChiVMV TD
Tanah Datar Sumtra Barat
Belang/blot hijau gelap
ChiVMV NI
Nusa Indah Kalimantan Selatan
Belang menyebar menyatu ke tulang daun
ChiVMV BL
Belung Jawa Timur
Belang menyebar
ChiVMV GB
Gayo Barat Aceh Tengah
Belang
daun
membentuk mangkok
menggulung
57
Amplifikasi gen selubung protein ChiVMV dengan teknik RT-PCR Amplifikasi gen selubung protein ChiVMV berhasil diperoleh dari sampel asal Cikabayan (Jawa Barat), Nusa Indah (Kalimantan Selatan), Tanah Datar (Summatera Barat), Karadenan (Jawa Tengah), Belung (Jawa Timur) dan Gayo Barat (Aceh Tengah) (Gambar 4. 2). Pita DNA berukuran 900 bp teramplifikasi menggunakan primer ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind sesuai dengan hasil yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Tsai et al. 2008) 1
2
3
4
5
6
7
1500 1000
900bp
750
Gambar 4. 2 : Hasil amplifikasi cDNA ChiVMV beberapa isolat Indonesia dengan metode RT-PCR menggunakan primer ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind. Lajur 1: 1 kb DNA ladder (Fermentas). Lajur 2 sampai dengan 7 berturut-turut hasil amplifikasi isolat CKB, NI, TD, GB, KR dan BL Analisis homologi gen protein selubung ChiVMV Fragmen DNA hasil amplifikasi dipurifikasi untuk tahapan perunutan nukleotida (DNA). Hasil perunutan DNA disajikan pada Lampiran 1 yang menunjukkan panjang gen CP-ChiVMV berkisar antara 876 hingga 1482 bp (Tabel 4.3). Analisis WuBlast terhadap hasil perunutan DNA memastikan bahwa fragmen DNA berukuran 900 bp tersebut adalah gen penyandi selubung protein dari ChiVMV (CP ChiVMV). Tingkat kesamaan sekuen CP ChiVMV dari strain asal Indonesia dengan asal China, Vietnam, Taiwan dan India berkisar antara 87% hingga 99% (Tabel 4. 3). Artinya, ChiVMV asal Indonesia memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan ChiVMV yang ada di keempat negara lainnya. Setelah dilakukan penyejajaran sekuen CP (Sequence allignment) jelas terlihat bahwa, pada ujung 3 terdapat daerah dengan konservasi yang lebih tinggi dibandingkan
58 pada ujung 5 (Lampiran 4. 1). Apakah ChiVMV yang menyerang tanaman cabai di Indonesia memiliki asal usul yang sama dengan virus tersebut ?. Hal ini masih belum dapat dipastikan, meski kemungkinannya sangat besar karena seringnya melakukan introduksi material-material tanaman dari negara-negara tersebut.
Tabel 4. 3. Ukuran panjang gen CP beberapa isolat ChiVMV No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Isolat ChiVMV Cikabayan2 (DQ854960) Pataruman(DQ854961) China(DQ854951) India (DQ854962) Taiwan (DQ854948) Vietnam (DQ925446) Cikabayan Karadenan Belung Nusa Indah Tanah Datar Gayo Barat
Panjang Sekuen (bp) 1482 1476 1247 1245 1247 1441 897 896 876 899 985 894
Tabel 4. 4. Tingkat kesamaan isolat ChiVMV yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia berdasarkan runutan nukleotida gen Coat protein No.
Isolat
No. Aksesi
Tingkat kesamaan (%)
1
INDIA
DQ854962
-
2
CHINA
DQ854951
89
-
3
VIETNAM
DQ925446
90
90
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
4
TAIWAN
DQ854948
91
90
95
-
5
PATARUMAN
DQ854961
91
94
88
89
-
6
CIKABAYAN2
DQ854960
91
93
88
89
97
-
7
BL JATIM
IN001
90
93
87
88
98
96
-
8
KR JATENG
IN002
90
93
88
88
99
97
99
-
9
TD SUMBAR
IN005
90
89
93
98
87
88
87
87
-
10
GB ACEH TENGAH
IN009
90
89
93
98
87
88
87
87
99
-
11
NI KALSEL
IN006
91
90
94
99
89
89
88
88
98
98
-
12
CKB JABAR
IN007
90
93
87
89
97
99
96
96
87
87
88
Keterangan: BL= Belung, KR=Karadenan, TD=Tanah Datar, GB= Aceh, NI=Nusa Indah, CKB=Cikabayan
59
Analisis filogenetika gen selubung protein ChiVMV Analisis filogenetika asam nukleat (DNA) membagi ChiVMV isolat Indonesia dalam 3 kelompok, yaitu kelompok I terdiri dari isolat ChiVMV KR, ChiVMV BL dan isolat Pataruman (GeneBank no. aksesi DQ854961 ); kelompok II adalah isolat ChiVMV CKB dan Cikabayan2 (GeneBank no. Aksesi DQ854960); sedangkan kelompok III terdiri dari isolat ChiVMV TD, ChiVMV NI, ChiVMV GB dan ChiVMV Taiwan (GeneBank no. Aksesi DQ854948) (Gambar 4. 3). Ketiga kelompok memiliki jarak genetik terdekat masing-masing yaitu (0,05-0,06), (0,05), dan (0,02-0,48). Berdasarkan jenis gejala yang ditimbulkan teramati bahwa kelompok 1 yaitu isolat KR dan BL memiliki gejala belang ringan menyebar, kelompok II yaitu isolat CKB menyebabkan kombinasi gejala belang disertai perubahan bentuk daun dan kelompok III yaitu isolat TD, NI dan GB menyebabkan gejala blot hijau, belang menyebar dan daun menggulung atau membentuk mangkuk.
chIVMVCKB Cikabayan(CKB) Cikabayan
DQ925446Vietnam ChiVMVViet ChiVMVGB Gayo Barat (GB) ChiVMVTD Tanah Datar (TD)
Nusa Indah(NI) ChiVMVNI DQ854948Taiwan DQ854948Ta ChiVMVIndi DQ854962India ChiVMVchin DQ854951China
DQ854961Pataruman DQ854961Pa Karadenan (KR) ChiVMVKR Belung (BL) ChiVMVBL DQ854960Cikabayan2 DQ854960CI
0.01
Gambar 4. 3. Analisis filogenetika 12 isolat ChiVMV yang berasal dari daerah yang berbeda di Indonesia dan Asia (GeneBank)
60
Analisis homologi asam amino selubung protein ChiVMV Tingkat homologi CP antara isolat-isolat ChiVMV yang ada di Indonesia berkisar antar 85% dan 99% (Tabel 4. 5). Artinya, selain mempunyai tingkat kekerabatan yang dekat, beberapa isolat virus juga telah mengalami mutasi pada sekuen selubung protein nya. Hampir semua CP-ChiVMV menunjukkan sekuen asam amino yang terpelihara (conserved), kecuali pada sekuen asam amino antara 61 dan 84 serta 299 dan 320. Pada kedua kawasan tersebut, CP-ChiVMV CKB mempunyai
motif
sekuen
(LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR)
yang
sangat
berbeda
dengan sekuen asam amino CP-ChiVMV
lainnya (RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT). Pada CP-ChiVMV BL dan CPChiVMV KR kehilangan sekuen MET dibandingkan isolat lain dan mengalami mutasi GG menjadi KV dibandingakan CP-ChiVMV NI, ChiVMV TD dan ChiVMV GB pada kawasan 61 dan 84. Berdasarkan
analisis
motif
protein
dengan
ExPASy
MyHits
(http://myhits.isb-sib.ch/cgi-bin/motif_scan), CP-ChiVMV mempunyai beberapa motif protein, yaitu ASN-glikosilasi, cAMP-phospho site, casein kinase (CK2)phospho site, protein kinase C (PKC)-phosphosite, myristolation site, tyrosine kinase (TRY)-phospho site, phosphatidylinositol specific phospholipase (PIPLC)X box domain, potyvirus coat protein domain, dan octapeptide repeat motif (Gambar 4. 5). Sekuen asam amino pada kawasan 61-84 yang mengalami mutasi mengandung motif protein CK2-phospho site (SEME). Motif protein yang terdapat pada sekuen asam amino di kawasan 299-320 adalah octapeptide repeat motif (PQEEDTER) domain, kecuali pada CP-ChiVMV CKB. CP-ChiVMV CKB tidak memiliki motif octapeptide dalam sekuen asam aminonya. Pada sekuen asam amino yang seharusnya mengandung octapeptide telah termutasi menjadi SEMETEVPQ yang mengadung motif CK2-phosphorylation site (SEME). Motif CK2-phosphorylation site terdapat pada CP-ChiVMV (Tabel 4. 6). CK2-phosphorylation site telah diketahui memainkan peranan penting dalam mengatur infeksi potato virus A (PVA). Motif ini diduga berkaitan dengan jalur sinyal transduksi dalam interaksi inang-patogen untuk aktivasi dan pengaturan infeksi (Konstantin et al. 2003). Motif CK2-phosphorylation site pada CP-PVA
61 tidak berada pada bagian luar virusnya karena posisi motif ini terletak pada bagian C-terminal proteinnya dan phosphorilasinya hanya terjadi pada partikel virus yang terurai. Hal tersebut berbeda dengan CP-ChiVMV, dimana motif CK2phosphorylation site selain terletak pada bagian C-terminal, juga ada di ujung Nterminal. Dengan demikian, motif CK2 phosphorilasi pada partikel ChiVMV ada yang berada dibagian luar partikelnya. Dari enam isolat ChiVMV, hanya CP dari isolat ChiVMV CKB yang mempunyai enam motif CK2-phosphorylation site, sedangkan isolat lainnya hanya memiliki lima motif CK2-phosphorylation site. Tabel 4. 5. Tingkat kesamaan 9 isolat ChiVMV berdasarkan runutan asam amino selubung protein Tingkat kesamaan (%) No Nama Isolat 1 2 3 4 5 6 7 8 *) 1 Cikabayan2 *** 2 Cikabayan 99 *** 3 Belung 96 95 *** 4 Karadenan 96 96 99 *** 5 Pataruman*) 97 96 99 99 *** ) 6 Taiwan* 87 87 87 87 88 *** 7 Nusa Indah 87 86 86 86 87 99 *** 8 Tanah Datar 85 85 85 85 86 97 97 *** 9 Gayo Barat Aceh 86 85 85 85 86 97 96 98 ) Keterangan : * Sumber informasi dari GeneBank
62
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
1 1 1 1 1 1
KSDISLYLRALIEGARREELDDEGGEVTHQSGESVDAGRVKGEDSSNKSADKQATDKKSKSDISLYLRALIEGARREELDDEGGEVTHQSGESVDAGRVKGEDSSNKSADKQATDKKSESDISPYLRALIEGARREELNDEGGEVTHQSGESVDAGRVKGEDSSNKSADKQATDKKNL DSDISPYLRALIEGAKEEGLDDEGGEVAHQSGESVDAGRVKGEDSSSKPADKQTTEKKSK DSDISPYLRALIEGAKEEGFQLEGGEVAHQSGESVDAGRVKGEDSSSKPADKQTTEKKSK DSDISPYLRALIEGAKEEGFQLEGGEVAHQSGESVDAGRVKGEDSSSKPADKQTTEKKSK
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
60 60 61 61 61 61
---KVQAQPQTRQSEMETEVPQVRDRDVNVGTSGTFTIPRLKGISSKLTIPKIKTKAVVN ---KVQAQPQTRQSEMETEVPQVRDRDVNVGTSGTFTIPRLKGISSKLTIPKIKTKAVVN RMETFGLDGRVGTQEEDTER--HTDRDVNVGTSGTFTIPRLKGISSKLTIPQIKTKAVVN METGGQAQPHVRQSEMETEVPQVRDRDVNVGTSVSFTIPRLKGISSKLTIPKIKTKAVVN METGGQAQPHVRQSEMETEVPQVRDRDVNVGTSGTFTIPRLKGISSKLTIPKIKTKAVVN METGGQAQPDVRQSEMETEVPQVRDRDVNVGTSGTFTIPRLKGISSKLTIPKIKTKAVVN
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
117 117 119 121 121 121
LEHLLDYAPEQIHLSNTRALQSQFASWYEGVKNDYDVTDEQMETQIILNGLMETVWCIEN LEHLLDYAPEQIHLSNTRALQSQFASWYEGVKNDYDVTDEQMETQIILNGLMETVWCIEN LEHLLDYAPEQIHLSNTRALQSQFASWYEGVKNDYDVTDEQMETQIILNGLMETVWCIEN LEHLLDYAPEQIHLSNTRALQSQFASWYEGVKNDYDVTDEQMETQIILNGLMETVWCIEN LEHLLDYAPEQIHLSNTRALQTQFASWYEGVKNDYDVTDEQMETQIILNGLMETVWCIEN LEHLLDYAPEQIHLSNTRALQTQFASWYEGVKNDYDVTDEQMETQIILNGLMETVWCIEN
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
177 177 179 181 181 181
GTSPNINGYWVMETMETDGDEQVEYPIKPLIDHAKPSFRQIMETAHFSNLAEAYIEKRNGTSPNINGYWVMETMETDGDEQVEYPIKPLIDHAKPSFRQIMETAHFSNLAEAYIEKRNGASPNINGYWVMETMETDGDEQVEYPIKPLIDHAKPSFRQIMETAHFSNLAEAYIEKRNGTSPNINGYWVMETMETDGDEQVEYPIKPLIDHAKPSFRQIMETAHFSNLAEAYIEKRNGTSPNINGYWVN--METDGDEQVEYPIKPLIDHAKPSFRQIMETAHFSNLAEAYIEKRNS GTSPNINGYWVN--METDGDEQVEYPIKPLIDHAKPSFRQIMETAHFSNLAEAYIEKRNS
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
236 236 238 240 239 239
-SEKPYMETPRYGLQRNLTDMETSLARYAFDFYEMETTSKTPVRAREAHIQMETKASALR -SEKPYMETPRYGLQRNLTDMETSLARYAFDFYEMETTSKTPVRAREAHIQMETKASALR -SEKPYMETPRYGLQRNLTDMETSLARYAFDFYEMETTSKTPVRAREAHIQIQ--AAALR -SEKPYMETPRYGLQRNLTDMETSLARYAFDFYEMETTSKTPVRAREAHIQMETKAAALR LSTPPYMETPRYGLQRNLTDMETSLARYAFDFYEMETTSKTPVRAREAHIQMETKAAALR LSTPPYMETPRYGLQRNLTDMETSLARYAFDFYEMETTSKTPVRAREAHIQMETKAAALR
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
295 295 295 299 299 299
GASNRMETFGLDGRVSTQEEDTERHT GASNRMETFGLDGRVSTQEEDTERHT GASNLSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR GVNNRMETFGLDGRVGPQEEDTERHT GVNNRMETFGLDGRVGPQEEDTERHT GVNNRMETFGLDGRVGPQEEDTERHT
Gambar 4. 4. Analisis homologi asam amino CP-ChiVMV yang berasal dari Cikabayan, Jawa Barat (ChiVMV CKB), Karadenan, Jawa Tengah (ChiVMV KR), Belung, Jawa Timur (ChiVMV BL), Nusa Indah, Kalimantan Selatan (ChiVMV NI), Tanah Datar, Sumatra Barat (ChiVMV TD) dan Gayo Barat, Aceh Tengah (ChiVMV GB).
63
0
40
80
120
160
200
240
280
ChiVMVBL ChiVMVKR ChiVMVCKB ChiVMVNI ChiVMVTD ChiVMVGB
N-glycosylation site cAMP- and cGMP-dependent protein kinase phosphorylation site Casein kinase II phosphorylation site N-myristoylation site Protein kinase C phosphorylation site Tyrosine kinase phosphorylation site Phosphatidylinositol-specific phospholipase X-box domain profile Potyvirus coat protein Octapeptide
Gambar 4. 5. Motif protein yang terdapat pada CP-ChiVMV berdasarkan analisis MYHits ExPASy.
320
64
Tabel 4. 6. Motif CK2-phosphorylation site pada CP ChiVMV berdasarkan analysis menggunakan MyHits ExPASy isolat ChiVMV Motif CK2- phosphorylation site Posisi asam amino BL SEME 70-73 SWYE 142-145 TDGD 193-196 TDME 253-256 STQE 310-313 KR SEME 70-73 SWYE 142-145 TDGD 193-196 TDME 253-256 STQE 310-313 CKB TQEE 73-76 TDRD 82-85 SWYE 144-147 TDGD 195-198 TDME 255-258 SEME 310-313 NI SKME 59-62 SEME 74-77 SWYE 146-149 TDGD 197-200 TDME 257-260 TD SKME 59-62 SEME 74-77 SWYE 146-149 TDGD 195-198 TDME 258-261 GB SKME 59-62 SEME 74-77 SWYE 146-149 TDGD 195-198 TDME 258-261
65 Cikabayan2 Cikabayan2 Cikabayan In Cikabayan
Taiwan Indah InNusa Nusaindah Tanah Datar In Tanahdatar InGayo GBaceh Barat
InBelung Belung InKaradenan Karadenan Pataruman Pataruman 0.005 Gambar 4. 6. Analisis filogenetika asam amino CP-ChiVMV yang berasal dari Jawa Barat (Cikabayan), Jawa Tengah (Karadenan), Jawa Timur (Belung), Kalimantan Selatan (Nusa Indah), Sumatra Barat (Tanah Datar), Aceh Tengah (Gayo Barat) terhadap isolat Indonesia dan Asia yang ada pada GeneBank (Cikabayan2, Pataruman dan Taiwan) Pembahasan Hasil analisis runutan nukleotida menunjukkan bahwa isolat-isolat ChiVMV mempunyai kesamaan berkisar antara 87% sampai 99%. Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa isolat-isolat tersebut merupakan virus yang sama. Hasil analisis ini sesuai dengan yang dilaporkan Frenkel et al. (1989) bahwa tingkat kesamaan runutan nukleotida kelompok Potyvirus adalah 83% hingga 99% untuk strain dalam virus yang sama dan 39% sampai 53% untuk virus yang berbeda. Menurut Tsai et al. (2008) bila suatu virus memiliki tingkat kesamaan nukleotida kurang dari 79,4% dan kesamaan sekuen asam amino kurang dari 83,6% virus tersebut termasuk kedalam kelompok Potyvirus lainnya. Jadi berdasarkan kriteria taksonomi untuk Potyvirus dikatakan bahwa tingkat kesamaan asam amino CP kurang dari 80% termasuk kedalam spesies virus yang berbeda (Fauquet et al. 2005). Analisis filogenetik menggunakan data hasil perunutan fragmen DNA menunjukkan bahwa isolat-isolat Indonesia berada dalam satu kelompok yang sama dengan ChiVMV Cikabayan2, ChiVMV Pataruman dan ChiVMV Taiwan
66 (GeneBank). Antar isolat memiliki tingkat kesamaan runutan nukleotida yang sangat tinggi dengan jarak genetik terdekat 0,02 sampai 1,48. Berdasarkan runutan asam amino protein selubungnya, tingkat kesamaan enam isolat ChiVMV Indonesia mencapai 85% sampai 99%. Pada ujung-N terminal urutan asama amino ditemukan motif DAG (Asp-Ala-Gly) yang berfungsi untuk transmisi virus oleh vektor aphid. Motif DAG merupakan motif yang conserved pada semua isolat virus (Shukla dan Ward 1988). Hasil penelitian pada Tobacco vein mottling virus (TVMV) dan Zuchini yellow mosaic virus (ZYMV) menunjukkan bahwa mutasi pada motif DAG yang masing-masing menjadi DAE dan DTG menyebabkan virus tersebut tidak dapat ditularkan oleh kutu daun (Graff dan Brault 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keragaman ChiVMV tidak saja terjadi pada virulensi dan tipe gejala yang ditimbulkan tetapi juga keragaman pada tingkat molekulernya, khususnya pada motif-motif protein dalam CP-ChiVMV yang menjadi faktor virulensi, seperti motif CK-II phosphorylation site dan octapeptide. Enam isolat ChiVMV yang memperlihatkan gejala yang berbeda ternyata mengalami mutasi pada motif tersebut. Menurut Agrios (2005) evolusi virus mengarah pada kesesuaian lingkungan, seperti tanaman inang, strain virus, serangga vektor. Mutasi pada virus kerap terjadi karena virus merupakan patogen yang mudah melakukan rekombinasi genetik pada saat replikasi didalam sel tanaman inangnya. Rekombinasi antar genom RNA spesies virus merupakan salah satu penyebab terjadinya variasi biologi virus tanaman (Matthew 2002). Selain itu rekombinan dapat terjadi apabila dua strain virus yang sama menginfeksi tanaman yang sama. Akibatnya akan muncul strain virus baru (rekombinan) yang mempunyai sifat berbeda dengan kedua strain (Agrios 2005). Pergerakan virus dari satu sel ke sel lainnya dan ke seluruh jaringan tanaman melibatkan peranan CP virus itu sendiri. CP adalah protein multifungsi yang berperan penting dalam interaksi inang-virus (Beatch dan Hobman 2000; Law et al. 2003). CP dapat berperan sebagai enzim dalam replikasi genom virus atau sebagai mediator interaksi inang-virus (Flint et al. 2002; Hull 2000). Proses aktivasi virus dalam sel inang terjadi melalui rangkaian mekanisme phosphorilasi CP dan modifikasi lainnya, seperti acetylation, ubiquitination, methylation,
67 citrullination, dan sumoylation (Yang 2005). Menurut Martinez-Izquiero dan Hohn (1987), siklus infeksi Cauliflower mosaic virus (CaMV) terjadi melalui phosphorilasi CP oleh protein kinase yang terkait dengan virion yang ada di dalam tanaman. Movement protein (MP) yang berperan penting dalam penyebaran tobacco mosaic virus (TMV) and tomato mosaic virus (ToMV) di dalam jaringan tanaman inang diphosphorilasi oleh protein kinase inang (Matsushita et al. 2000; Watanabe et al. 1992). Motif phosphorilasi juga banyak ditemukan pada CP ChiVMV, seperti casein kinase II phosphorylation, protein kinase C phosphorylation, tyrosine kinase phosphorylation, serta cAMP- dan cGMPdependent protein kinase phosphorylation site. Disamping itu, ditemukan juga motif modifikasi protein lainnya seperti myristoylation dan glycosylation. Motif phosphorilasi dan modifikasi protein yang ditemukan dalam CP ChiVMV diduga berperan penting dalam mengatur interaksi inang-patogen serta pergerakan virus dari satu sel ke sel lainnya serta distribusi partikel virus ke seluruh jaringan tanaman. CK2-phosphorylation merupakan motif phosphorilasi yang paling bervariasi di dalam CP-ChiVMV. CP-ChiVMV CKB mempunyai enam putative CK2-phosphorylation, sedangkan CP pada isolat ChiVMV BL, KR, NI, TD dan GB mempunyai lima motif CK2-phosphorylation. CK2-phosphorylation dengan motif SEME terletak di ujung N-terminal pada semua strain ChiVMV, kecuali pada strain ChiVMV CKB yang ada di ujung C-terminalnya. Motif SEME di ujung N-terminal CP strain ChiVMV CKB termutasi menjadi TQEE. CPChiVMV CKB juga mempunyai CK2-phosphorylation dengan motif TDRD yang tidak dijumpai pada isolat-isolat lainnya. Menurut Ivanov et al. (2003), phosphorilasi CP potato virus A (CP-PVA) mempunyai empat motif CK2phosphorylation. Phosphorilasi CP-PVA oleh CK2 berperanan penting dalam mengatur infeksi virus. Mutasi residu Thr132/Ser133 dan Thr168 di dalam motif CK2-phosphorylation menunjukkan perbedaan akumulasi virus pada sel inang (Ivanov et al. 2003). Apakah perbedaan motif CK2-phosphorylation pada CPChiVMV menjadi penyebab perbedaan virulensi antara strain ChiVMV? Hal ini masih
memerlukan
penelitian
mendalam.
Dengan
teknik
site
directed
68 mutagenesis, kaitan antara mutasi setiap kodon pada motif CK2-phosphorylation dengan virulensi dapat diketahui. Isolat ChiVMV CKB memang paling virulen dibanding isolat lainnya berdasarkan waktu munculnya gejala yang sangat cepat dan terjadinya disformasi daun yang paling parah. Isolat ChiVMV CKB juga mampu menginfeksi beberapa varietas cabai yang berbeda-beda dibanding isolat lainnya. Munculnya gejala yang cepat diduga berkaitan dengan cepatnya penyebaran virus, baik dari sel ke sel maupun ke seluruh jaringan tanaman karena CP pada Potyvirus terlibat dalam trasnportasi virus dari sel ke sel dan ke seluruh jaringan tanaman (Dolja et al. 1994). Pada TMV, penyebaran virus dalam inang diatur oleh nonstructural movement protein (MP). CP dan MP dapat terphosphorilasi baik secara in vitro maupun in vivo (Waigmann et al. 2000). Peranan phosphorilasi MP diduga berkaitan dengan perlintasan makromolekul intraseluler (Lee dan Lucas 2001). Phosphorilasi protein pada virus negative-strand RNA juga penting untuk aktivitas transkripsi virus (Barik dan Banerjee 1992). Menurut
Lucas
(2006)
sekurang-kurangnya
ada
dua
mekanisme
pergerakan virus di dalam jaringan tanaman. Mekanisme pertama adalah pergerakan virus menggunakan CP-independent (Takamatsu et al. 1987) dan memerlukan MP tunggal yang secara eksklusif terlibat dalam transport virus (Lucas 2006), seperti pada famili Bromoviridae and Caulimoviridae, genus Tospovirus dari famili Bunyaviridae, dan genera Tobamovirus, Dianthovirus dan Tombusvirus. Melalui proses phosphorilasi, CP dan MP akan meningkatkan batas ukuran pengeluaran plasmodesmata sel yang memungkinkan virus berpindah dari satu sel ke sel lainnya (Lucas 2006). Mekanisme yang kedua adalah pergerakan virus yang menggunakan CP-dependent, seperti pada comovirus dan nepovirus (Lucas 2006). Meskipun mekanisme ini memerlukan CP, perpindahan virus berlangsung melalui tubules yang diinduksi oleh MP virus sehingga dapat menjangkau dinding sel yang berdekatan (Wieczorek dan Sanfacon 1993; Bertens et al. 2000). Pada famili Closteroviridae serta genera Potyvirus dan Potexvirus, pergerakan virus juga diatur oleh CP-dependent, tetapi jenis MP terlibat lebih dari satu; Sedangkan pergerakan virus pada mekanisme pertama dan kedua hanya dikendalikan oleh satu jenis MP yang berukuran 30 KDa (Carrington et al.1998).
69 Adanya motif octapeptide repeat (PQEEDTER) pada CP ChiVMV isolat NI, TD dan GB merupakan informasi menarik yang perlu dikaji lebih mendalam peranannya untuk memahami interaksi ChiVMV dengan inangnya. Pada penyakit yang disebabkan oleh prion, seperti scrapie, motif octapeptide-quaci repeat memainkan peranan penting bagi fungsi fisiologis protein prion (Zahn et al. 2000). Octapeptide repeat dengan motif GGGWGQPH pada prion scrapie berfungsi untuk mengikat ion Cu(II) yang berperan penting dalam meningkatkan infektivitas protein prion dalam menimbulkan penyakit scrapie (Viles et al. 1999). Semakin banyak motif octapeptide repeat dalam protein prion, semakin banyak ion Cu(II) yang terikat (Brown et al. 1997), dan protein prion semakin infektif (Sigurdsson et al. 2003). Sampai saat ini, peran motif octapeptide pada CP virus belum pernah diteliti. Pada protein prion penyebab penyakit Creutzfeldt–Jakob, motif octapeptide repeat merupakan kawasan yang labil dan kerap bermutasi melalui mekanisme insertion yang dapat meningkatkan toksisitas protein prion (Owen et al. 1990). CP pada isolat ChiVMV CKB motif octapeptide-nya telah termutasi secara total menjadi motif TQEEDTER; sedangkan pada CP ChiVMV BL, KR, NI, TD, dan GB hanya termutasi menjadi EMETEVPQ. Apakah mutasi motif octapeptide pada CP-ChiVMV CKB menyebabkan isolat ChiVMV CKB menjadi virulen, masih perlu dikaji lebih lanjut. CP-ChiVMV diduga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengatur interaksi ChiVMV dengan inangnya. Beberapa motif protein yang terdapat pada CP-ChiVMV berkaitan dengan infektivitas dan penyebaran virus dari sel ke sel serta ke seluruh jaringan tanaman. Kajian yang mendalam tentang motif protein pada CP-ChiVMV perlu dilakukan untuk menentukan strategi pengendalian ChiVMV yang efektif.
SIMPULAN DAN SARAN
Analisis runutan nukleotida enam isolat ChiVMV yang berasal dari Jawa Barat (CKB), Jawa Tengah (KR), Jawa Timur (BL), Kalimantan Selatan (NI), Sumatera Barat (TD) dan Aceh Tengah (GB) menunjukkan homologi yang tinggi walaupun tipe gejala yang ditimbulkan berbeda. Tingkat homologi runutan
70 nukleotida isolat ChiVMV asal Indonesia dengan ChiVMV asal China, Vietnam, Taiwan dan India cukup tinggi yaitu berkisar antara 87% sampai 99%. Demikian pula tingkat homologi selubung protein antara isolat-isolat yang ada di Indonesia berkisar antara 85% sampai 99%. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa keragaman ChiVMV pada tingkat molekuler berkorelasi dengan keragaman yang diamati berdasarkan tipe gejala penyakit. Analisis dengan ExPASY MyHits menunjukkan adanya mutasi pada sekuen asam amino di kawasan 61 dan 84 serta 299 sampai 320 dan mengakibatkan perubahan asam amino pada selubung protein virus. Pada kedua kawasan tersebut, CP-ChiVMV CKB mempunyai motif sekuen yang sangat berbeda
LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR dengan sekuen asam amino CP-
ChiVMV lainnya RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT. CP-ChiVMV BL dan CPChiVMV KR kehilangan sekuen MET dibandingkan isolat lain dan mengalami mutasi GG menjadi KV dibandingkan CP-ChiVMV NI, ChiVMV TD dan ChiVMV GB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakter gejala dan infeksi ChiVMV kemungkinan tidak hanya dikendalikan oleh CP-ChiVMV tetapi dikendalikan oleh gen-gen lain dalam genom ChiVMV. Perlu kiranya dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai gen apa saja yang berperan didalam menentukan tingkat virulensi suatu isolat.
DAFTAR PUSTAKA Barik S, Banerjee AK. (1992). Phosphorylation by cellular casein kinase II is essential for the transcriptional activity of vesicular stomatitis virus phosphoprotein P. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA 89, 6570-6574. Beatch MD, Hobman TC. 2000. Rubella virus capsid associates with host cell protein p32 and localizes to mitochondria. J. Virol. 74:5569–5576. Bertens P, Wellink J, Goldbach R, van Kammen A. 2000. Mutational analysis of the cowpea mosaic movement protein. Virology, 267, 199-208. Brown DR, Qin K, Herms JW, Madlung A, Manson J, Strome R, Fraser PE, Kruck T, von Bohlen A, Schulz-Schaeffer W.1997. The cellular prion protein binds copper in vivo. Nature 390: 684–687.
71 Carrington JC, Jensen PE, Schaad MC. 1998. Genetic evidence for an essential role for potyvirus CI protein in cell-to-cell movement. Plant J. 14, 393400. Dolja VV, Haldeman R, Robertson NL, Dougherty WG, Carrington JC. 1994. Distinct functions of capsid protein in assembly and movement of tobacco etch potyvirus in plants. EMBO J. 13, 1482–1491. Fauquet CM, Mayo CM, Manihoff J, Desselberger U, Ball IA. 2005. Virus Taxonomy Eighth Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses, San Diego,CA,USA: Elsevier Academic Press, 819-829 Flint SJ, Enquist LW, Krug RM, Racaniello VR, Skalka AM. 2000. Principles of virology: molecular biology, pathogenesis, and control. ASM press. Frankel MJ, Ward CW, Shukla DD. 1989. The use of 3’ Non Coding Nucleotide Sequences in Taxonomy of Potyviruses: Application to Watermelon Mosaic Virus2 and Soybean Mosaic Virus-N. J. Gen. Virol. 70:2775-2783 Graff ZV, Brault V. 2008. Role of vector transmission protein. Di dalam Plant Virology Protocols: from viral sequence to protein function. 2ed. Foster GD, Johansen IE, Hong Y, Nagy PD (editor), USA: Humana Press. Hlm 84-85 Ivanov KI, Puustinen P, Gabrenaite R, Vihinen H, Ronnstrand L, Valmu L, Kalkkinen N, Makinen K. 2003. Phosphorylation of the potyvirus capsid protein by protein kinase CK2 and its relevance for virus infection. Plant Cell 15:2124–2139. Jan FJ, Fagoaga C, Pang SZ, Gonsalves D. 2000. A single chimeric transgene derived from two distinct viruses confers multi-virus resistance in transgenic plants through homology dependent gen silencing. Journal of General Virology 81,2103-9 Law LM, Everitt JC, Beatch MD, Holmes CF, Hobman TC. 2003. Phosphorylation of rubella virus capsid regulates its RNA binding activity and virus replication. J Virol. 77, 1764–1771. Lucas WJ. 2006. Plant viral movement proteins: agents for cell-to-cell trafficing of viral genomes. Virology, 344, 169-184. Marco S, Cohen. 1979. Rapid detection anda titer evalution of viruses in pepper by enzyme-linked immunosorbent assay. Phytopathology 69:1259-1262 Matsushita Y, Hanazawa K, Yoshioka K, Oguchi T, Kawakami S, Watanabe Y, Nishiguchi M, Nyunoya H. 2000. In vitro phosphorylation of the movement protein of tomato mosaic tobamovirus by a cellular kinase. J Gen Virol. 81, 2095-2102.
72 Matthews REF. 2002. Plant Virology. Academic Press. San Diego, California, USA. Martinez-Izquiero, J. dan Hohn, T. 1987. Cauliflower mosaic virus coat protein is phosphorylated in vitro by a virion-associated protein kinase. Proc. Nati. Acad. Sci. USA Vol. 84: 1824-1828. Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognalons P, Souche S, Sellassic KG, Marcoux G. 2005. Serological, molecular, and pathotype diversity of pepper veinal mottle virus and Chilli veinal mottle virus. Phytopathology 95:227-232. Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)[tesis], Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Owen F, Poulter M, Shah T. 1990. An in-frame insertion in the prion protein gene in familial Creutzfeldt–Jakob disease. Brain Res Mol Brain Res 7:273–6. Sigurdsson EM,. Bown DR, Alim MA, Scholtzova H, Carp R, Meeker HC, Prelli F, Frangione B, Wisniewski T. 2003. Copper chelation delays the onset of prion disease, J. Biol. Chem. 278: 46199–46202. Shukla DD, Ward CW.1988. Amino acid sequence homology og coat proteins as A Basis for identification and classification of the potyvirus group. J. Gen. Virol. 69:2703-2710. Takamatsu N, Ishikawa M, Meshi T, Okada Y. 1987. Expression of bacterial chloramphenicol acetyl transferase gene in tobacco plants mediated by TMV-RNA. EMBO J. 6, 307-311. Taufik M. 2005. Cucumber mosaik virus dan Chilli veinal mottle virus: Karakterisasi isolate cabai dan Strategi pengendaliannya [disertasi], Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Interaksi infeksi ChiVMV dan Geminivirus dalam menimbulkan penyakit kuning keriting cabai. Seminar SEMIRATA BKS-PTN wii. Barat, Serang 13-16 April 2009 Tsai WS, Huang YC, Zhang DY, Reddy K, Hidayat SH, Srithongchai w, Green SK, Jan FJ. 2008. Molekular characterization of the CP gene and 3’UTR of Chilli veinal mottle virus from South and Southeast Asia. Plant Pathology 57, 408-416. Viles JH, Cohen FE, Prusiner SB, Goodin DB, Wright PE, Dyson HJ. 1999. Copper binding to the prion protein: structural implications of four identical cooperative binding sites, Proc.Natl. Acad. Sci. USA 96: 2042– 2047.
73
Waigmann E, Chen MH, Bachmaier R, Ghoshroy S, Citovsky V. 2000. Regulation of plasmodesmal transport by phosphorylation of tobacco mosaic virus cell-to-cell movement protein. EMBO J. 19, 4875-4884. Watanabe Y, Ogawa T, Okada Y. 1992. In vivo phosphorylation of the 30-kDa protein of tobacco mosaic virus. FEBS Lett. 313, 181-184. Wieczorek A, Sanfaçon H. 1993. Characterization and subcellular localization of tomato ringspot nepovirus putative movement protein. Virology, 194, 734742. Yang, XJ. 2005. Multisite protein modification and intramolecular signaling. Oncogene 24:1653–1662. Zahn R, von Schroetter C, Wuthrich K. 1997. Human prion proteins expressed in Escherichia coli and purified by high-affinity column refolding. FEBS Lett. 417: 400–404.
V. INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TUNAS DAN AKAR CABAI (Capsicum annuum) MELALUI KULTUR IN VITRO Abstrak Kultur in vitro merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman yang cepat dan efektif tetapi metode perbanyakan in vitro tanaman cabai belum banyak dilaporkan. Penelitian dilakukan untuk memperoleh teknik yang efektif untuk induksi kalus dan regenerasinya menjadi tunas pada 3 genotipe cabai merah yaitu Gelora, Sudra, dan Chili 109. Penelitian meliputi empat kegiatan yaitu induksi pembentukan kalus, induksi pembentukan kalus embriogenik, regenerasi kalus menjadi tunas adventif, dan induksi pembentukan akar dari tunas adventif. Sumber eksplan yang digunakan adalah daun muda, hipokotil, dan ujung akar kecambah cabai berumur 21 hari. Media yang digunakan untuk induksi kalus mengandung tiga komposisi zat pengatur tumbuh (ZPT) yaitu MS+BAP(3, 5, 7) mg/l +NAA 1 mg/l; media induksi kalus embriogenik yang digunakan adalah MS + 2,4-D (1, 3, 5) mg/l+ thidiazuron 0,1 mg/l; media regenerasi tunas dan induksi akar berturut turut adalah MS + BAP (1, 3, 5) mg/l+ thidiazuron 0, 5 mg/l; MS ½ dan MS 1 + NAA 0,5-1,0 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun muda merupakan sumber eksplan yang terbaik untuk pembentukan kalus dan tunas cabai melalui kultur jaringan dibandingkan dengan hipokotil dan ujung. Gelora merupakan genotipe cabai yang paling responsif baik terhadap pembentukan kalus, tunas, maupun akar pada masing-masing media yang digunakan dibandingkan dengan Sudra dan Chili 109. Medium MS yang mengandung BAP 3-7 mg/l dan NAA 1 mg/l dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan kalus. Pembentukan kalus embriogenik dapat diinduksi dengan menumbuhkan kalus non embriogenik pada medium MS yang mengandung 2,4-D 3 mg/l dan thidiazuron 0,5 mg/l. Regenerasi kalus menjadi tunas sebaiknya menggunakan media MS + 2,4-D 3 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l yang dilanjutkan dengan perlakuan subkultur pada media MS + BAP 3 mg/l + thidiazuron 0,5 mg/l untuk memacu pemanjangan tunas. Media MS ½ dan MS 1 yang mengandung NAA 0,5-1,0 mg/l dapat digunakan untuk menginduksi pembentukan akar pada kultur tunas cabai genotipe Gelora, tetapi tidak dapat digunakan untuk genotipe Chili 109. Kata kunci: Capsicum annuum, induksi kalus, kultur in vitro, regenerasi
_____________________ Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi AgroBiogen 6(2)65-74. Oktober 2010
75
Abstract In vitro culture is a fast and effective method for plant propagation. In vitro propagation method for chili has not been established. A study was conducted to obtain effective techniques for callus induction and regeneration into shoots on three red chili genotypes i.e. Gelora, Sudra, and Chili 109. The study consisted of four activities, i.e. the induction of callus formation, induction of embryogenic callus, callus regeneration into adventitious shoots, and root induction from the adventitious shoots. Young leaves, hypocotyls and root tips of 21-day-old chili seedlings were used as sources of explants. Medium of callus induction containing three composition of growth regulators MS+BAP(3, 5, 7) mg/l + NAA 1 mg/l; the embryogenic callus induction was conducted by growing the callus in bottles containing a medium that contains three compositions MS+ 2.4 D (1, 3, 5) mg/l + Thidiazuron; Induction of shoot and root formation mediums respectively are MS+BAP(1,3,5) + Thidiazuron 0,5mg/l and ½ MS and 1 MS media + NAA 0.5 to 1.0 mg/l. The results showed that young leaves were the best explant source for callus and shoot formations compared to the hypocotyl and root tip. Gelora is the most responsive chili genotype for callus, shoots, and roots formation, compared to Sudra and Chilli 109. MS medium containing BAP 3-7 mg/l and NAA 1 mg/l can be used to induce the growth of callus from young leaf explants, hypocotyl and seedling root tip. Embryogenic callus formation can be induced by growing the callus on MS medium containing 2,4-D 3 mg/l + Thidiazuron 0.5 mg/ l. Formation of callus that can regenerate into shoots may use MS medium containing 2,4-D 3 mg/l + Thidiazuron 0.5 mg/ l followed by subculture on MS medium + BAP 3 mg/l + Thidiazuron 0.5 mg/l to induce shoot elongation. Media ½ MS and 1 MS containing NAA 0.5-1.0 mg/l can be used to induce root formations on shoot culture of chili cv. Gelora but not for cv. Chili 109. Keywords: Callus induction, Capsicum annuum, chili, in vitro culture, regeneration.
76 PENDAHULUAN Cabai merupakan tanaman asli daerah tropis yang berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, kemudian menyebar ke seluruh dunia (Berke, 2002). Tanaman cabai termasuk famili Solanaceae yang memiliki banyak jenis dan varietas, tetapi yang umum dibudidayakan untuk konsumsi adalah cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika (Wiryanta 2002). Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura (2009), cabai memiliki luas panen terbesar di antara tanaman sayuran lainnya, yaitu 1150.233 ha pada tahun 2003 dan 103.837 ha pada tahun 2008. Tanaman ini memiliki nilai ekonomis yang cukup baik, ditanam di seluruh provinsi di Indonesia, dan mendapat prioritas untuk dikembangkan (Badan Pusat Statistik 2010; DBPH 2008). Produktivitas cabai di Indonesia masih sangat rendah 6,72ton/ha apabila dibandingkan dengan potensi produksi tanaman yang dapat mencapai 12,99 ton/ha (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Beberapa faktor penyebabnya adalah cara bercocok tanam yang belum tepat, pemupukan yang tidak berimbang, dan sulit mendapatkan benih bermutu dan murah. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya produksi cabai nasional adalah gangguan hama dan penyakit (Duriat et al. 1996). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan penyakitpenyakit utama tanaman cabai, di antaranya adalah pengembangan varietas tahan. Dalam pemuliaan, jika sumber gen ketahanan terhadap suatu patogen belum ada dan sulit dipindahkan ke tanaman lain melalui persilangan biasa, maka salah satu cara memperluas gen tersebut adalah dengan menggunakan metode kultur in vitro untuk mendapatkan populasi varian somaklonal (Hutami et al. 2006). Pemanfaatan fenomena variasi somaklon dalam pemuliaan tanaman pada umumnya dilakukan melalui kombinasi dengan induksi mutasi baik secara fisik maupun kimiawi. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan induksi mutasi adalah penguasaan metode regenerasi eksplan menjadi individu baru. Beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap keberhasilan sistem regenerasi tanaman pada kultur jaringan adalah komposisi media, jenis eksplan (batang, daun, biji),
77 dan kultivar atau varietas tanaman (Moghaieb et al. 1999; Gubis et al. 2003; Kintzios et al. 2000; Parimalan et al. 2007). Informasi tentang regenerasi in vitro tanaman cabai masih terbatas (Arous et al. 2001; Kintzios et al. 2000) pada umumnya mengenai metode regenerasi paprika (cabai manis). Oleh karena itu, studi untuk mendapatkan regeneran tanaman cabai perlu dilakukan untuk memperoleh sistem regenerasi yang efisien dan stabil. Beberapa usaha yang dilakukan untuk memperoleh sistem regenerasi yang efisien pada cabai adalah dengan menentukan parameter yang spesifik pada tanaman (Kintzios et al. 2000; Parimalan et al. 2007). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh teknik induksi dan regenerasi kalus yang tepat untuk perbanyakan tanaman cabai melalui kultur jaringan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian, Bogor, dari bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2008. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah benih tiga genotipe cabai (Gelora, Sudra, dan, Chili 109). Sebagai sumber eksplan digunakan kecambah dari benih cabai yang dikecambahkan secara in vitro. Metode Penelitian Persiapan sumber eksplan Sebelum dikecambahkan, benih dari masing-masing genotipe cabai direndam dalam akuades dan dikocok selama 12 jam untuk merangsang perkecambahan. Selanjutnya, benih disterilisasi dengan merendam secara berturut-turut dalam larutan alkohol 70% selama 5 menit, larutan HgCl2 0,2% selama 2 menit, serta larutan Na-hipoklorit 30 dan 20% masing-masing 10-15 menit, kemudian dicuci dengan akuades steril. Setelah sterilisasi, benih masing-masing genotipe cabai dikecambahkan dalam botol kultur yang berisi media dasar MS (Murashige dan
78 Skoog Agar 1962) yang mengandung sukrosa 3% dan agar 0,6%, tanpa zat pengatur tumbuh, dan pH media sebelum sterilisasi 5,8. Kecambah dari ketiga genotipe cabai yang telah berumur 21 hari digunakan sebagai sumber eksplan. Penelitian terdiri atas empat kegiatan, yaitu (1) induksi kalus, (2) induksi kalus embriogenik, (3) regenerasi tunas, dan (4) induksi akar dari tunas in vitro. Induksi Kalus Percobaan dilakukan pada media induksi kalus (MK), yaitu media dasar MS yang mengandung benzyl amino purine (BAP) dan α-naphthalene acetic acid (NAA) sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT). Komposisi MK yang diuji adalah (1) MS + BAP 3 mg/l + NAA 1 mg/l (MK-1); (2) MS + BAP 5,0 mg/l + NAA 1 mg/l (MK-2), dan (3) MS + BAP 7,0 mg/l + NAA 1 mg/l (MK-3). Sebagai bahan eksplan digunakan potongan daun muda, hipokotil, dan ujung akar dari kecambah tiga genotipe cabai yang telah disiapkan, dengan ukuran masing-masing 3-5 mm. Masing-masing jenis eksplan ditumbuhkan dalam botol kultur yang berisi media 20 ml, dengan 5-12 eksplan per botol. Semua kultur diinkubasi pada ruang kultur dengan suhu berkisar 25-27oC di bawah sinar lampu floresen dengan intensitas cahaya 800-1.000 lux, 16 jam/hari. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga empat bulan setelah inkubasi. Parameter yang diamati adalah jumlah dan persentase eksplan yang berkalus serta jumlah, ukuran, dan jenis kalus yang terbentuk pada masing-masing media. Skor terhadap ukuran kalus adalah 0= tidak berkalus, 1=<0,3 cm, 2= 0,3-0,5 cm, dan 3=>0,5 cm Induksi Kalus Embriogenik Pada percobaan induksi kalus dengan media MK yang mengandung BAP pertumbuhan kalus sangat lambat dan tidak menghasilkan kalus embriogenik, sehingga percobaan dilanjutkan dengan induksi kalus embriogenik menggunakan ZPT yang berbeda, yaitu 2,4 dichlorophenoxy (2,4-D) dan thidiazuron (TDZ). Percobaan dilakukan menggunakan tiga komposisi media, yaitu (1) MKE-1 (MS + 2,4-D 1 mg/l + TDZ 0,1 mg/l); (2) MKE-2 (MS + 2,4-D 3 mg/l + TDZ 0,1 mg/l), dan (3) MKE-3 (MS + 2,4-D 5 mg/l + TDZ 0,1 mg/l). Kalus terpilih dari percobaan sebelumnya ditumbuhkan dalam botol kultur yang berisi media MKE
79 20 ml, 10 eksplan per botol. Semua kultur diinkubasi pada ruang kultur dengan suhu berkisar 25-27oC di bawah sinar lampu floresen dengan intensitas cahaya 800-1.000 lux, 16 jam/hari. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga empat bulan setelah inkubasi. Parameter yang diamati adalah jumlah dan persentase eksplan yang membentuk kalus serta rata-rata jumlah kalus embriogenik dari setiap kalus. Regenerasi Tunas Percobaan regenerasi tunas dari kalus embriogenik dilakukan dengan menggunakan kalus embriogenik yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Kalus ditumbuhkan pada medium dasar MS yang ditambah tiga dosis BAP berbeda (1, 3, dan 5 mg/l) + thidiazuron (TDZ, 0,5 mg/l) sebagai ZPT. Percobaan ini menggunakan perlakuan kombinasi antara kalus embriogenik yang berasal dari tiga genotipe cabai (Gelora, Sudra, dan Chili 109) dengan tiga komposisi media regenerasi, yaitu MR-1 (MS + BAP 1 mg/l + TDZ 0,5 mg/l), MR-2 (MS + BAP 1 mg/l + TDZ 0,5 mg/l), MR-3 (MS + BAP 1 mg/l + TDZ 0,5 mg/l). Setiap perlakuan induksi pembentukan tunas dilakukan dalam botol kultur yang berisi 20 ml medium regenerasi dan setiap botol kultur yang berisi 10 kalus embriogenik merupakan satu perlakuan. Semua kultur diinkubasi pada ruang kultur dengan suhu berkisar 25-27oC di bawah penerangan lampu floresen dengan intensitas cahaya 800-1.000 lux selama 16 jam dalam sehari. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga 4 bulan setelah inkubasi. Parameter yang diamati adalah rata-rata waktu inisiasi tunas (minggu), tinggi tunas (cm), jumlah tunas/kalus, dan jumlah daun/pertunas persentase eksplan yang membentuk kalus serta ukuran dan jenis kalus. Induksi Akar dari Tunas Adventif Induksi akar hanya dilakukan pada tunas dari genotipe Gelora dan Chili 109, yang diperoleh dari kegiatan sebelumnya. Tunas dikulturkan pada dua komposisi media perakaran, yaitu MA-1 (MS ½ + NAA 0,5 mg/l) dan M-2(MS 1 + NAA 0,5 mg/l). MS ½ adalah media dasar yang diencerkan unsur makronya dan MS 1 sesuai dengan media dasar yang sudah standar. Tiap perlakuan terdiri atas satu botol kultur yang berisi 5-12 kalus. Semua kultur diinkubasi pada ruang kultur
80 dengan suhu berkisar 25-27oC di bawah penyinaran lampu floresen dengan intensitas cahaya 800-1.000 lux selama 16 jam dalam sehari. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 4 bulan terhadap banyaknya tunas yang berakar dan penampilan kultur secara visual. Respon setiap eksplan dihubungkan dengan keefektifan regenerasinya secara in vitro. HASIL DAN PEMBAHASAN Induksi Kalus Pada penelitian induksi kalus, ketiga jenis eksplan (daun muda, hipokotil, dan ujung akar) dari ketiga genotipe cabai yang diuji (Gelora, Sudra, Chili 109) yang ditumbuhkan pada media induksi kalus yang mengandung tiga konsentrasi BAP (MI-1, MI-2, dan MI-3) mampu membentuk kalus dengan respon yang beragam, tetapi tidak diperoleh kalus embriogenik yang dapat diregenerasi lebih lanjut menjadi tunas (Tabel 5.1, 5.2, dan 5.3). Pembentukan kalus dari daun muda Pada MK-1, persentase pembentukan kalus dari eksplan daun muda pada Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 40,0-97,5%, dengan persentase tertinggi pada genotipe Sudra yaitu 97,5%. Berdasarkan ukuran kalus yang dibentuk, skor ukuran kalus pada ketiga genotipe berkisar antara 2 dan 3 atau berkisar antara 0,3>0,5 cm. Pada MK-2, persentase pembentukan kalus pada genotipe Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 91,4-99,8%, dengan persentase tertinggi pada genotipe Sudra. Skor ukuran kalus pada ketiga genotipe berkisar antara 2 dan 3 dengan skor tertinggi pada kalus dari genotipe Sudra. Pada MK-3, persentase pembentukan kalus pada genotipe Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 87,599,3%, dengan persentase tertinggi pada genotipe Gelora. Skor ukuran kalus pada ketiga genotipe berkisar antara 1-3 dan skor tertinggi pada kalus dari genotipe Gelora. Berdasarkan persentase eksplan daun muda yang berkalus dari ketiga genotipe cabai yang diuji pada ketiga komposisi media induksi kalus, maka media yang terbaik untuk induksi kalus adalah MK-2 dan berdasarkan skor kalus yang terbentuk, maka media yang terbaik adalah MK-1 dan MK-2 yang membentuk kalus berukuran rata-rata sekitar 0,5 cm (Tabel 5.1).
81 Tabel 5.1. Pembentukan kalus dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP. Yang berkalus
Eksplan berkalus (%)
Skor ukuran kalus(cm)
50 50 60
20,02±3,31 48,73±2,47 49,84±3,64
40,0 97,5 83,1
2 3 2
Gelora Sudra Chili 109
120 160 130
109,69±3,27 159,69±1,85 129,08±1,78
91,4 99,8 99,3
3 2 2
Gelora Sudra Chili 109
140 100 80
139,00±2,17 89,59±2,05 69,96±1,34
99,3 89,6 87,5
3 2 1
Jumlah eksplan
Media induksi kalus
Genotipe cabai
Yang diuji
MK-1
Gelora Sudra Chili 109
MK-2
MK-3
MK-1 = MS + BAP 3 mg/l + NAA 1 mg/l, MK-2 = MS + BAP 5 mg/l + NAA 1 mg/l, MK-3 = MS + BAP 7 mg/l + NAA 1 mg/l. MS = Murashige dan Skoog (1962), BAP = benzyl amino purine, NAA = α-naphthalene acetic acid. Skor ukuran kalus: 0 = tidak berkalus, 1 = <0,3 cm, 2 = 0,3-0,5 cm, dan 3 = >0,5 cm.
Pembentukan kalus dari hipokotil Pada MK-1, persentase pembentukan kalus dari eksplan hipokotil pada genotipe Gelora, Sudra, dan Chili, berkisar antara 66,3-98,8%, dengan persentase tertinggi pada genotipe Sudra. Berdasarkan ukuran kalus yang dibentuk, skor ukuran kalus pada ketiga genotipe masing-masing 1 atau <0,3 cm. Pada MK-2, persentase pembentukan kalus pada genotipe Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 74,7-99,4%, dan persentase tertinggi pada genotipe Sudra. Skor ukuran kalus pada ketiga genotipe berkisar antara 2 dan 3 dengan skor tertinggi pada kalus dari genotipe Sudra. Pada MK-3, persentase pembentukan kalus pada genotype Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 59,5-99,3%, dan persentase tertinggi pada genotipe Gelora. Skor ukuran kalus pada ketiga genotipe berkisar antara 1-3 dengan skor tertinggi pada kalus dari genotipe Gelora. Berdasarkan persentase rata-rata eksplan hipokotil yang berkalus dari ketiga genotipe cabai yang diuji pada ketiga komposisi media induksi kalus, maka media yang terbaik untuk induksi pembentukan kalus adalah MK-2, diikuti MK-3 dan MK-1. Berdasarkan skor kalus yang terbentuk, maka media yang terbaik adalah MK-1 dan MK2 diikuti MK-3 (Tabel 5. 2).
82 Tabel 5. 2. Pembentukan kalus dari eksplan hipokotil cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP. Media induksi kalus
Genotipe cabai
Jumlah eksplan
Eksplan berkalus (%) Yang diuji Yang berkalus
Skor ukuran kalus
MK-1
Gelora Sudra Chili 109
60 70 60
48,65±2,54 69,16±1,22 39,75±2,50
81,1 98,8 66,3
1 1 1
MK-2
Gelora Sudra Chili 109
120 70 50
89,61±1,70 69,57±1,01 49,61±2,15
74,7 99,4 99,2
3 3 3
MK-3
Gelora Sudra Chili 109
40 80 50
39,37±1,46 79,45±1,06 29,75±1,25
98,4 99,3 59,5
1 2 2
MK-1 = MS + BAP 3 mg/l + NAA 1 mg/l, MK-2 = MS + BAP 5 mg/l + NAA 1 mg/l, MK-3 = MS + BAP 7 mg/l + NAA 1 mg/l . MS = Murashige dan Skoog (1962), BAP = benzyl amino purine, NAA = α-naphthalene acetic acid. Skor ukuran kalus: 0 = tidak berkalus, 1 = <0,3 cm, 2 = 0,3-0,5 cm, dan 3 = >0,5 cm.
Pembentukan kalus dari ujung akar Pada MK-1, persentase pembentukan kalus dari eksplan ujung akar pada Gelora, Sudra, dan Chili, berkisar antara 70,9-99,8%, dan persentase tertinggi pada genotipe Sudra. Berdasarkan ukuran kalus yang dibentuk, skor ukuran kalus pada ketiga genotipe masing-masing 1 atau <0,3 cm. Pada MK-2, persentase pembentukan kalus pada genotipe Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 099,2%, dan persentase tertinggi pada genotipe Sudra. Pada MK-2 eksplan akar dari genotipe Gelora tidak membentuk kalus. Skor ukuran kalus pada genotipe Sudra dan Chili 109 masing-masing 1. Pada MK-3, persentase pembentukan kalus pada genotipe Gelora, Sudra, dan Chili berkisar antara 0-99,6% dan persentase tertinggi pada genotipe Sudra. Pada MK-3 eksplan akar dari genotipe Chili 109 tidak membentuk kalus. Skor ukuran kalus pada genotipe Gelora dan Sudra masing-masing 1. Berdasarkan kemampuan berkalus, persentase rata-rata eksplan ujung akar yang berkalus dari ketiga genotipe cabai pada ketiga komposisi media induksi kalus yang digunakan, maka media yang terbaik untuk induksi pembentukan kalus adalah MK-1, diikuti MK-3 dan MK-2. Berdasarkan skor kalus yang terbentuk, maka media yang terbaik adalah MK-1 (Tabel 5. 3). Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5. 1, 5. 2, dan 5. 3, maka dapat diketahui bahwa ketiga
83 komposisi media induksi kalus yang diuji dapat digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus dari eksplan daun muda, hipokotil, dan ujung akar yang berasal dari kecambah cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109. MK-1 dan MK-2 yang masing-masing mengandung BAP 3 mg/l dan 5 mg/l cukup baik untuk menginduksi kalus. Eksplan daun muda memiliki respon berkalus yang terbaik pada ketiga media induksi kalus. Pengaruh jenis eksplan terhadap daya regenerasi tunas tanaman cabai telah dilaporkan oleh Arous et al. (2001) serta Ebida dan Hu (1993). Tabel 5. 3. Pembentukan kalus dari eksplan ujung akar cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP. Jumlah eksplan
Media induksi kalus
Genotipe cabai
Yang diuji
Yang berkalus
MK-1
Gelora Sudra Chili 109
120 50 70
99,63±1,36 49,94±1,33 49,61±1,43
83,0 99,8 70,9
1 1 1
MK-2
Gelora Sudra Chili 109
30 70 50
0 69,47±0,97 29,37±0,87
0 99,2 58,7
0 1 1
Eksplan Skor berkalus (%) ukuran kalus
MK-3
Gelora 60 59,43±0,92 99,0 1 Sudra 80 79,67±1,13 99,6 1 Chili 109 20 0 0 0 MK-1 = MS + BAP 3 mg/l + NAA 1 mg/l, MK-2 = MS + BAP 5 mg/l + NAA 1 mg/l, MK-3 = MS + BAP 7 mg/l + NAA 1 mg/l, MS = Murashige dan Skoog (1982), BAP = benzyl amino purine, NAA = α-naphthalene acetic acid. Skor ukuran kalus: 0 = tidak berkalus, 1 = <0,3 cm, 2 = 0,3-0,5 cm, dan 3 = >0,5 cm.
Pada media kultur dapat dilihat dua macam kalus, yaitu yang berwarna hijau dengan tekstur kompak dan yang berwarna putih kecoklatan dengan tekstur remah. Subkultur berulang dari kalus yang terbentuk memberikan respon pembentukan tunas yang sangat rendah. Oleh karena itu, pada tahap penelitian berikutnya dilakukan modifikasi medium dengan menggunakan ZPT 2,4-D dan TDZ untuk memperoleh kalus embriogenik yang akan digunakan untuk regenerasi tunas dan akar.
84 Induksi Kalus Embriogenik Pada percobaan ini jumlah eksplan dari ketiga genotipe cabai yang diuji tidak sama yang berasal dari Tabel 5. 1., disesuaikan dengan ketersediaan masingmasing kalus. Respon kalus dari ketiga genotipe cabai dalam membentuk kalus embriogenik pada tiga komposisi media beragam (Tabel 5. 4). Pada medium MKE-1, rata-rata jumlah kalus embriogenik per kalus yang terbentuk yang tertinggi adalah kalus genotipe Gelora (3,8), diikuti oleh Sudra (2,2) dan Chili 109 (2,17) (Tabel 5. 4). Pada MK-2, rata-rata jumlah kalus embriogenik per kalus yang terbentuk yang tertinggi adalah kalus genotipe Gelora (5,0), diikuti oleh Sudra (2,49) dan Chili 109 (2,29). Pada MK-3, kalus embriogenik tertinggi juga diperoleh pada genotipe Gelora diikuti
Chili 109 dan Sudra. Berdasarkan
persentase kalus yang terbentuk pada MKE dan jumlah kalus embriogenik per kalus yang diperoleh, maka medium MKE yang mengandung 2,4-D 1-5 mg/l + TDZ 0,1 mg/l dapat digunakan untuk produksi kalus embriogenik dari eksplan cabai genotipe Gelora, diikuti Sudra, dan Chili 109. Medium MKE-2 yang mengandung 2,4-D 3 mg/l + TDZ 0,1 mg/l adalah yang terbaik untuk induksi pembentukan kalus embriogenik cabai genotipe Gelora (Gambar 5.1), diikuti Sudra, dan Chili 109. Tabel 5. 4. Pembentukan kalus embriogenik dari kalus cabai genotipe Gelora, Sudra dan Chili 109 yang ditanam pada media induksi kalus embriogenetik dengan tiga taraf konsentrasi 2,4 D. Eksplan berkalus
Genotipe cabai
Jumlah eksplan
Jumlah
MKE-1
Gelora Sudra Chili 109
50 50 60
20,02±3,31 48,73±2,47 49,84±3,64
40,0 97,5 83,1
3,80±1,30 2,20±0,83 2,17±1,17
MKE-2
Gelora Sudra Chili 109
120 160 130
109,69±3,27 159,69±1,85 129,08±1,78
91,4 99,8 99,3
5,00±1,28 2,49±1,09 2,29±1,27
MKE-3
Gelora Sudra Chili 109
140 100 80
139,28±3,18 89,59±2,05 69,96±1,34
99,3 89,6 87,5
3,29±1,07 2,90±0,74 3,17±1,17
Media induksi kalus
Rata-rata kalus embriogenik/kalus Persentase
MKE-1= MS + 2,4-D 1 mg/l + TDZ 0,1 mg/l, MKE-2 = MS + 2,4-D 3 mg/l + TDZ 0,1 mg/l, MKE-3 = MS + 2,4-D 5 mg/l + TDZ 0,1 mg/l. MS = medium Murashige dan Skoog + 3% agar + 0,6% suktose, TDZ = thidiazuron.
85 Waktu rata-rata yang diperlukan untuk inisiasi tunas genotipe Gelora dan Chili 109 berkisar antara 7-8 minggu setelah inkubasi. Rata-rata jumlah tunas yang terbentuk pada kultur umur 4 bulan berkisar antara 2,82-4,73. Rata-rata tinggi tunas pada kultur umur 4 bulan berkisar antara 0,5-1,38 cm sedangkan ratarata jumlah daun pada tunas yang terbentuk dari kalus berkisar antara 2,0-3,27 daun. MR-2 merupakan media regenerasi tunas terbaik untuk genotype Gelora. Rata-rata tinggi tunas genotipe Gelora MR-1, MR-2, dan MR-3, berkisar antara 0,83-1,38 cm (Tabel 5. 5).
A
B
C
Gambar 5. 1. Pertumbuhan kalus dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora pada media MS+2,4- D 1mg/l+Thidiazuron 0,1mg/l (A); MS+2,4-D 3mg/l +Thidiazuron 0,1mg/l (B); MS+2,4-D 5mg/l +Thidiazuron 0,1mg/l(C)
Berdasarkan keseluruhan peubah yang diamati, maka MR-2 (MS + BA 3 mg/l + TDZ 0,5 mg/l) merupakan media dengan komposisi yang paling sesuai untuk regenerasi tunas dari kalus cabai, khususnya untuk genotipe Gelora. Meskipun demikian, tidak semua kalus-kalus yang terbentuk mampu beregenerasi membentuk tunas, diduga karena respon masing-masing genotipe tidak sama. Ada dua jenis tunas yang tumbuh pada media regenerasi, yaitu (1) tunas yang mempunyai batang dan daun, (2) tunas yang roset (pembentukan batang tidak sempurna). Hasil penelitian Giridhar et al. (2004) juga menunjukkan bahwa thidiazuron dapat menginduksi pembentukan embrio somatik pada kultur tanaman kopi (Coffea arabica dan C. canephora).
86 Tabel 5. 5. Waktu inisiasi, jumlah dan tinggi tunas, serta jumlah daun yang terbentuk pada kalus yang berasal dari eksplan daun muda yang ditanam pada tiga media regenerasi yang mengandung tiga taraf konsentrasi BAP. Media regenerasi
Genotipe cabai
Rata-rata jumlah tunas
Rata-rata waktu inisiasi tunas (minggu)
Rata-rata tinggi tunas (cm)
Rata-rata jumlah daun
MR-1
Gelora Sudra Chili109
2,91±1,04 0 1,36±0,67
8,08±2,83 0 7,91±0,83
0,83±0,28 0 0,50±0,08
2,0±0,77 0 0
MR-2
Gelora Sudra Chili109
4,73±1,62 0 0
7,00±2,45 0 0
1,38±0,46 0 0
3,73±1,42 0 0
MR-3
Gelora Sudra Chili109
2,82±0,98 0 0
7,91±2,74 0 0
1,05±0,38 0 0
3,27±1,19 0 0
MR-1 = MS (media Murasige dan Skoog) + BAP 1 mg/l + thidiazuron 0,5 ml/l, MS-2 = MS + BAP 3 mg/l + thidiazuron 0,5 mg/l, MS-3 = MS + BAP 5 mg/l + thidiazuron 0,5 mg/l, BAP = benzyl amino purine. Jumlah tunas, tinggi tunas, dan jumlah daun per tunas diamati 4 bulan setelah inkubasi.
Induksi Akar dari Tunas Adventif Pada penelitian ini hanya diuji tunas yang berasal dari kalus genotipe Gelora dan Chili 109, karena pada percobaan sebelumnya, tunas adventif hanya diperoleh dari kedua genotipe tersebut. Inisiasi pembentukan akar dilakukan dengan menggunakan tunas-tunas yang tumbuh normal dari tunas adventif, yaitu tunas yang mempunyai batang dan daun, dengan ukuran tinggi sekitar 1,38±1,05 cm. Tunas yang berbentuk roset tidak digunakan, karena pertumbuhan pemanjangan tunasnya sangat lambat, sehingga ukurannya masih tetap pendek. Tunas cabai genotipe Gelora responsif membentuk akar pada medium pengakaran dengan persentase 40 dan 33,3% serta rata-rata jumlah akar masingmasing 5,00 dan 3,66 akar per tunas, masing-masing pada media MA-1 dan MA-2 yang menggunakan medium dasar MS ½ dan MS 1(Gambar 5. 2), sedangkan tunas dari genotipe Chili 109 tidak membentuk tunas atau tidak responsif sama sekali (Tabel 5. 6). Jumlah rata-rata tunas yang berakar pada MA-1 dan MA-2 tidak terlalu berbeda, tetapi rata-rata jumlah akar/tunas yang terbentuk berbeda nyata.
87 Tabel 5. 6. Respon pembentukan akar pada tunas yang berasal dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora dan Chili 109 terhadap dua taraf konsentrasi NAA.
Tunas yang berakar
Genotipe cabai
Jumlah tunas yang diuji
MA-1
Gelora Chili109
40 10
16 0
40,0 0
5,00±1,53 0
MA-2
Gelora Chili109
30 10
10 0
33,3 0
3,66±1,24 0
Media tumbuh
Jumlah
Persentase
Rata-rata jumlah akar/tunas
MA-1 = medium MS 1/2 (Murashige dan Skoog + 0,3% agar) + NAA 0,5 mg/l, MA-2 = medium MS 1 + NAA 0,5 mg/l, NAA = α-naphthalene acetic acid.
D Gambar 5.2. Perkembangan kultur cabai varietas Gelora mulai dari eksplan hingga pembentukan tunas. A) kalus embriogenik, B dan C) embrio somatik struktur globular umur 6 minggu, D) tunas umur 9 minggu, E) tunas
umur 4 bulan, dan F) pertumbuhan akar umur 6 bulan
88 SIMPULAN DAN SARAN Daun muda merupakan sumber eksplan yang terbaik untuk pembentukan kalus dan tunas cabai melalui kultur jaringan dibandingkan dengan hipokotil dan ujung. Gelora merupakan genotipe cabai yang paling responsif baik terhadap pembentukan kalus, tunas, maupun akar pada masing-masing media yang digunakan dibandingkan dengan Sudra dan Chili 109. Medium MS yang mengandung BAP 3-7 mg/l dan NAA 1 mg/ml dapat digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus dari eksplan daun muda, hipokotil, dan ujung akar kecambah cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109, tetapi pertumbuhannya sangat lambat dan tidak menghasilkan kalus embriogenik. Pembentukan
kalus
embriogenik
dapat
diinduksi
dengan
baik
dengan
menumbuhkan kalus non embriogenik pada medium MS yang mengandung 2,4-D 3 mg/l dan thidiazuron 0,5 mg/l. Regenerasi tunas dan kalus (kalus yang dapat beregenerasi) sebaiknya menggunakan media MS + 2,4-D 3 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l yang dilanjutkan dengan perlakuan subkultur pada media MS + BAP 3 mg/l + thidiazuron 0,5 mg/l dapat memacu pemanjangan tunas. Media MS ½-1 + NAA 0,5-1,0 mg/l dapat digunakan untuk menginduksi pembentukan akar pada kultur tunas cabai genotipe Gelora, tetapi tidak dapat digunakan untuk Chili 109. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian dan Pimpinan Proyek Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) atas dukungan dana penelitian.
89 DAFTAR PUSTAKA
Arous S, Boussaid M, dan Marrachi M. 2001. Plant regeneration from zygotic embryo hypocotyls of Tunisian chili (Capsicum annum L.). J. Appl. Hort. 3(1):17-22 Pusat Badan Statistik, 2010. Produksi sayuran Indonesia. Jakarta.http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subjek =55¬ab=15[17 Mei 2010]. Berke TG. 2002. Hybrid Seed Production in Capsicum. in A.S. Basra (ed.) Hybrid Seed Production in Vegetables: Rationale and methods in selected Crops. Food Products, New York. Direktorat Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura [DBPH] RI. 2008. Luas panen, rata-rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian: http://www.dbph.go.id. [20 Maret 2009]. Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Dalam A.S. Duriat, W.H. Widjaja, T.A Soetiarso, dan L. Prabaningrum (eds.) Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Jakarta. hlm. 1-3. Ebida AI dan Hu CY. 1993. In vitro morphogenetic responses and plant regeneration from pepper (Capsicum annuum L. cv. Early California Wonder) seedling explants. Plant Cell Rep. 13:107-110. Giridhar P, Vinod K, Indu EP, Ravishankar GA, dan Chandrasekar A. 2004. Thidiazuron induced somatic embryogenesis in Coffea arabica L. dan C. canephora P. ex Fr. Acta Bot. Croat. 63:25-33. Gubis J, Laichova J, Farago dan Jurekova S. 2003. Effect of genotype and explant type on shoot regeneration in tomat (Lycopersicon esculentum Mill). Biol. Bratisl. 59(3):405-408. Hutami S, Mariska I, dan Supriyati Y. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui keragaman soomaklonal. J. AgroBiogen 2(2):81-88. Kintzios S, Drossopoulos JB, Shortsianitis E dan Peppes D. 2000. Induction of somatic embryogenesis from young, fully expanded leaves of chilli pepper (C. annuum L.): Effect of leaf position, illumination and explants pretreatment with high cytokinin concentration. Scientia Horticulturae 85:137-144. Moghaieb REA, Saneoka H dan Fujita K. 1999. Plant regeneration from hypocotyls and cotyledon explants of tomato (L. esculentum Mill.). Soil Sci. Plant Nutr. 45:639-646.
90 Parimalan R, Giridhar P, Gururaj HB dan Ravishankar GA. 2007. Organogenesis from cotyledon and hypocotyls-derived explants of japhara (Bixa orellana L.). Acta Bot. Croat. 66(2)153-160. Wiryanta BTW. 2002. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Agromedia Pustaka, Jakarta.
91
VI. PENGARUH PERLAKUAN Ethyl methane sulfonate PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum) DAN KETAHANANNYA TERHADAP Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV)
Abstrak Ethyl Metane Sulfonate (EMS) dapat menyebabkan mutasi yang mengarah ke variasi somaklonal jika digunakan pada kombinasi konsentrasi dan waktu perendaman. Variasi somaklonal merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap patogen termasuk virus tanaman. Penelitian ini bertujuan 1) untuk menentukan konsentrasi EMS optimal dan waktu inkubasi yang dapat menekan kematian jaringan eksplan pada tanaman cabai; 2) untuk mengevaluasi ketahanan varian somaklonal terhadap infeksi ChiVMV. Genotipe cabai yang digunakan terdiri dari Jatilaba, ICPN 12 no. 4, PBC495, Helem, Gelora. Perlakukan EMS terdiri dari kombinasi tiga konsentrasi (0,25%, 0,5% 1,0% dan kontrol) dengan waktu inkubasi (15 30 , 60 menit). Selanjutnya, masing-masing eksplan ditumbuhkan dalam media multiplikasi (MS media + BAP 5 mg /l + TDZ 0,5 mg/l), media perakaran (MS media + NAAmg/l.), dan media aklimatisasi (campuran tanah : pasir: kompos 02:01:01 w / w). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi (20,4%) dicapai pada konsentrasi EMS 0,5% dalam kombinasi dengan masa inkubasi 1 jam. Kombinasi perlakuan tersebut juga menyebabkan variasi fenotipik. Dua tanaman mutan somaklon dari Gelora, diperoleh sebagai mutan (M1.1 dan M1.2), bertahan hidup dan dapat menghasilkan buah. Sebanyak 245 progeni M1.1 dan 243 progeni dari M1.2, masing-masing dievaluasi untuk ketahanannya terhadap infeksi ChiVMV. Sebanyak 20 tanaman dari 488 progeni mutan somaklonal tersebut memiliki respon tahan terhadap ChiVMV. Kata kunci : Capsicum annuum, ChiVMV, Ethyl methane sulfonate, Induksi mutasi, ketahanan, variasi somaklonal
Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi Jurnal
Agronomi Indonesia (38 (3):205-211, Desember 2010)
92
Abstract Ethyl Methane Sulfonate (EMS) may induce mutation leading to somaclonal variation when it is used at the appropriate combination of concentration and exposure time. Variation in somaclonal might be valuable as source of resistance to plant pathogens including plant viruses. This study aimed 1) to determine the optimum EMS concentration and incubation time that may induce somaclonal variation in chillipepper; and 2) to evaluate the resistance of somaclonal to ChiVMV infection. Shoot-tip explants of five chillipepper genotypes (Jatilaba, ICPN 12 no. 4, PBC495, Helem, Gelora) were treated with EMS at combination of different concentration (0.25%, 0.5% and 1.0% ) and incubation time ( 15, 30, and 60 min). Subsequently, each explant was grown in multiplication media (MS media + BA 5 mg/l + TDZ 0,5 mg/l), rooting media (MS media + NAAmg/l), and acclimatization media (mixture of soil : sand : compost 2:1:1 w/w). The results showed that the higher EMS concentration and the longer incubation period may cause smaller number of survive explants. The highest survival rate 20,4 % was achieved with 0.5% EMS in combination with 1 h incubation period. This treatment combination also showed induction of phenotypic variation. Two mutan somaclone plants derived from Gelora genotype, designated as mutan (M1.1 and M1.2), survived until fruit development and maturation. A total of 245 progenies of M1. 1 and 243 progenies of M1.2, respectively were evaluated for their resistance to ChiVMV infection. The twenty of mutan somaclone progenies were have resistance respons to ChiVMV. Keywords:
Capsicum annuum, ChiVMV, Ethyl methane sulfonate, Induce mutation, Resistance, Somaclonal variation
93
PENDAHULUAN Tanaman cabai (Capsicum annuum) merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Tanaman tersebut ditanam di seluruh provinsi di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga mendapat prioritas untuk dikembangkan. Produktivitas cabai di Indonesia mencapai 6,72 ton/ha ( [DBPH] Direktorat Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura RI. 2009). Sampai saat ini produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang dapat dicapai yaitu 12,99 ton/ha. (Biro Pusat Statistik 2009). Salah satu
faktor penyebab turunnya produksi cabai secara nasional
adalah adanya gangguan hama dan penyakit. Beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa salah satu virus utama yang menyerang tanaman cabai adalah chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) (Duriat 1996, Womdim et al. 2001). Infeksi ChiVMV menjadi penting karena kerugian yang ditimbulkannya cukup besar. Strategi pengendalian penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV harus diarahkan pada pengembangan varietas tahan.
Bila sumber gen ketahanan
terhadap virus sangat terbatas, maka salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman cabai adalah dengan induksi keragaman somaklonal melalui kultur in vitro. Pemanfaatan fenomena variasi somaklonal dapat dikombinasikan dengan induksi mutasi pada eksplan, sehingga lebih besar peluang memperoleh varian yang diinginkan. Pemuliaan mutasi merupakan suatu metode yang saat ini banyak digunakan sebagai upaya untuk memperluas variasi genetik tanaman. Diantara mutagen kimia, EMS dilaporkan sebagai salah satu bahan yang efektif menginduksi mutasi (Natarajan 2005). Senyawa EMS pada umumnya menyebabkan mutasi titik yaitu terjadinya penghapusan segmen tertentu dalam kromosom. Senyawa EMS merupakan senyawa alkali yang berpotensi sebagai mutagen untuk tanaman tingkat tinggi. Dibandingkan dengan mutagen kimia lainnya, EMS paling banyak digunakan karena mudah diperoleh, murah, dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten 1998). Penggunaan EMS untuk memicu terjadinya mutasi telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk mendapatkan
tanaman paprika yang memiliki
polen dan buah yang tahan
94
penyakit busuk buah (Ashok et al. 1995), tanaman pisang yang tahan atau toleran terhadap banana bunchy top nanovirus (Imelda et al. 2000), tanaman kentang dengan keragaman fenotipe dan tanaman tomat tahan
penyakit busuk buah
(Yudhvir 1995). Semua studi tersebut menyatakan bahwa EMS adalah suatu mutagen yang efektif oleh karenanya dapat digunakan untuk menghasilkan mutan pada tanaman cabai. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman cabai melalui
perlakuan EMS pada tunas terminal untuk
mendapatkan tunas yang tahan ChiVMV.
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian dan Rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Agustus 2008 sampai dengan Desember 2009. Bahan Penelitian Tanaman cabai yang digunakan terdiri atas 5 genotipe yaitu Jatilaba, ICPN12 no.4, PBC495, Helem, berasal dari koleksi Plasma Nutfah Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan Gelora merupakan varietas cabai yang dikembangkan oleh petani. Mutagen kimia yang digunakan adalah Ethyl methane sulfonate (EMS) dan Isolat ChiVMV CKB yang memiliki tingkat virulensi yang tinggi. Metode penelitian
Induksi mutasi dengan EMS dan regenerasi tanaman cabai Pada percobaan induksi mutasi dengan EMS, konsentrasi yang digunakan adalah 0,25, 0,5 atau 1,0 dan konsentrasi 0% sebagai kontrol. Sebagai bahan eksplan yang digunakan adalah tunas terminal dari 5 genotipe cabai, yaitu Jatilaba, ICPN12 no.4, PBC495, Helem dan Gelora. Potongan tunas terminal sepanjang 0,4 cm dari masing-masing genotipe dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer, masing-masing sebanyak 30-35 buah. Kedalam masing-masing tabung erlenmeyer dimasukkan EMS dengan konsentrasi 0,25, 0,5 atau 1,0%
95
sebanyak 20 ml, sedangkan untuk kontrol (0%) kedalam erlenmeyer hanya dimasukkan aquades streril, sehingga tunas terendam. Rendaman eksplan kemudian diinkubasi sambil digoyang selama 15, 30 dan 60
menit dengan
kecepatan 60 rpm. Selanjutnya tunas dicuci dengan aquades steril sebanyak tiga kali. Percobaan untuk setiap eksplan dilakukan dengan 3 ulangan. Masing-masing eksplan kemudian ditumbuhkan dalam botol kultur yang berisi media MS tanpa penambahan ZPT 20 ml setiap botol (Gambar 6.1). Semua kultur diinkubasi pada ruang kultur dengan suhu berkisar 25-27oC di bawah sinar lampu floresen dengan intensitas cahaya 800-1.000 lux, 16 jam/hari. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga satu bulan setelah inkubasi. Peubah yang diamati adalah persentase eksplan yang masih hidup (berwarna putih kehijauan) dan eksplan yang mati (berwarna kecoklatan).
Gambar 6.1. A : Kecambah cabai merah berumur 21 hari yang dipakai sebagai sumber eksplan dari genotipe Gelora B : Ujung tunas terminal
Eksplan yang masih hidup pada konsentrasi LC50, masing-masing sebanyak 40 tunas dipilih dan dipindahkan ke media proliferasi. Komposisi media proliferasi (multiplikasi tunas) yang digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog) dengan penambahan BAP 5 mg l-1 dan thidiazuron (TDZ) 0,5 mg l-1 yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Setelah proliferasi selama enam bulan dalam media induksi multiplikasi tunas, diperoleh sebanyak 20 tunas yang berhasil tumbuh. Selanjutnya tunas cabai tersebut ditumbuhkan dalam media pemanjangan tunas yaitu MS + BAP 3 mg l-1 + TDZ 0.5 mg l-1. Tunas cabai yang sudah memiliki ruas ditumbuhkan dalam media perakaran hingga membentuk plantlet. Media perakaran yang digunakan adalah adalah -1
dengan penambahan NAA 1mg l (Manzila et al. 2010).
½ MS
96
Aklimatisasi planlet cabai Planlet dari genotipe Gelora sebanyak 20 buah dan PBC495 sebanyak 14 buah yang telah berakar ditanam dalam pot plastik berisi campuran pasir dan kompos steril dengan perbandingan 1:1(v/v), kemudian disungkup dengan kantong plastik bening untuk menjaga kelembaban. Aklimatisasi dilakukan selama 2 minggu sebelum dipindahkan ke ruang kedap serangga, bibit yang dihasilkan kemudian dipindahkan kedalam kantong plastik hitam (polybag) dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 30 cm yang berisi media campuran tanah, pasir dan kompos dengan perbandingan 2:1:1 (b/b) sebanyak 5 kg dan dipelihara di rumah kaca hingga tanaman berbuah. Pemeliharaan tanaman di rumah kaca meliputi penyiraman, pemupukan (pupuk majemuk NPK 15:15:15) dan pengendalian hama dan penyakit sesuai cara bercocok tanam cabai. Buah dari masing-masing tanaman diberi nomor dan bijinya dikering anginkan. Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman, tinggi dikotomus, daun menggulung, daun variegata, albino, pembungaan,
jumlah
percabangan dan waktu berbunga.
Penapisan dan evaluasi tanaman somaklonal cabai terhadap infeksi ChiVMV Evaluasi ketahanan pada tanaman somaklonal dilakukan terhadap tanaman yang ditumbuhkan dari biji hasil tanaman somaklonal 1(M1.1) dan somaklonal 2 (M1. ). Sebanyak 245 dan 243 benih betturut-turut dari M1.1 dan M1. 2 dipilih secara acak. Biji ditanam di rumah kaca dengan menggunakan baki perbanyakan tanaman. Setiap baki perbanyakan tanaman berisi 24 lubang tanam. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah : pupuk kandang : kompos 2:1:1 (b/b). Tanaman cabai kontrol, ditumbuhkan pada baki perbanyakan tanaman yang sama sebagai pembanding. Inokulasi ChiVMV dilakukan menggunakan metode inokulasi mekanis
baku dengan ChiVMV isolat Cikabayan sebagai sumber
inokulum. Setiap tanaman diinokulasi pada 2 helai daun termuda yang telah membuka penuh (30 hari setelah semai). Pengamatan gejala penyakit dilakukan satu hari setelah inokulasi sampai 21 hari setelah inokulasi. Deteksi ChiVMV pada tanaman yang diinokulasi dilakukan dengan metode DAS-ELISA (Clark dan
97
Adams, 1977).
Pengelompokan respon tanaman mengikuti kriteria yang
dikemukakan oleh Green (1991).
Tabel 6.1. Pengelompokan tipe ketahanan tanaman berdasarkan reaksi terhadap infeksi ChiVMV Tipe ketahanan Gejala Tahan Agak Tahan Toleran Rentan Sangat Rentan
+/+ + ++
Reaksi Tanaman Inang Kejadian Penyakit (ELISA) + + + ++
Pengurangan Bobot Buah + +
Keterangan : + = Ada gejala, ELISA positif, dan ada pengurangan bobot buah yang berbeda nyata dengan kontrol; - = Tidak ada gejala, ELISA negatif dan tidak ada pengurangan bobot buah (tidak berbeda nyata dengan kontrol); +/- = Gejala lemah, ELISA positif dan pengurangan hasil sedikit; ++ = Gejala berat, ELISA positif (kejadian penyakit lebih dari 50%) dan ada pengurangan bobot buah yang berbeda nyata dengan kontrol. (Green, 1991) HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh EMS terhadap pertumbuhan tunas. Perlakuan perendaman menggunakan larutan EMS berpengaruh terhadap daya tumbuh tunas terminal. Persentase kematian tunas terminal dipengaruhi oleh konsentrasi EMS dan waktu perendaman. Semakin tinggi konsentrasi EMS dan semakin lama waktu perendaman yang diberikan, semakin meningkat persentase tunas yang mati ( Tabel 6.2). Eksplan
yang mengalami kematian memperlihatkan perubahan warna
beberapa saat setelah
diperlakukan. Perubahan
awal terjadi pada bagian
potongan eksplan yang pada awalnya berwarna putih kehijauan, namun kemudian berubah secara bertahap menjadi coklat kehitaman. Eksplan yang semula berwarna putih kehijauan juga dapat mengalami perubahan warna secara cepat menjadi coklat. Tunas terminal yang hidup adalah tunas terminal yang tetap berwarna putih kehijauan setelah perlakuan EMS (Gambar 6.2). Umumnya eksplan yang tidak diperlakukan dengan EMS tidak mengalami perubahan warna. Warna yang semula putih lama kelamaan menjadi kehijauan. Perubahan terlihat pada jaringan hasil potongan yang sedikit mengalami pembengkakan.
98
Gambar 6.2. Respon eksplan genotipe cabai Gelora terhadap perlakuan berbagai konsentrasi EMS dengan waktu perendaman 60 menit A) EMS 0,25%; B) EMS 0,5%; C) EMS 1%
Tunas terminal dengan perlakuan EMS 1% dan waktu perendaman 60 menit mengalami kematian jaringan dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan yang diberi perlakuan
konsentrasi EMS lebih
rendah dan waktu perendaman lebih singkat (Tabel 6.2). Pada konsentrasi EMS 0,25% dengan waktu perendaman 15, 30 atau 60 menit persentase kematian jaringan berturut-turut berkisar 10-36, 10-46, dan 30-80%; pada konsentrasi EMS 0,5% berturut turut adalah
30-80,
30-97 dan 49-96%;
sedangkan pada
konsentrasi EMS 1% dengan masa perendaman yang sama seperti di atas kematian jaringan berkisar antara 58-100% (Tabel 6.2). Peningkatan konsentrasi EMS dan waktu perendaman cenderung menghambat pertumbuhan sel-sel dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan kematian jaringan. Pengaruh induksi mutasi dengan EMS dapat mempengaruhi terjadinya penghambatan pada pembelahan dan pertambahan jumlah sel (Dhanavel et al. 2008). Kematian sel tanaman akibat mutagen kimia dapat terjadi secara langsung, yaitu kerusakan DNA atau akibat tidak langsung, yaitu adanya pengaruh toksik
sehingga
mengakibatkan sel tidak mampu bermultiplikasi membentuk tunas (Biswas et al. 2002) Perlakuan EMS terhadap lima genotipe yang diuji yaitu Jatilaba, ICPN12 no.4, PBC495, Helem dan Gelora, memperlihatkan respon yang berbeda. Pada konsentrasi EMS 0,5%
kematian jaringan terbanyak terlihat pada genotipe
Jatilaba, ICPN12 no.4 dan Helem. Konsentrasi EMS yang dibutuhkan untuk menimbulkan mutasi setiap tanaman berbeda-beda tergantung dari tanaman dan jenis eksplan yang digunakan misalnya pada tanaman anggur, gandum, pisang konsentrasi EMS LC50% berturut-turut adalah 0,04, 0,8 dan 0,7% ( Singh et al. 2007; Sakin 2002; Imelda et al. 2000).
99
Tabel 6.2. Pengaruh konsentrasi EMS dan waktu perendaman terhadap kematian jaringan eksplan cabai Waktu Perendaman/ Konsentrasi EMS 15 menit 0,25% 0,5% 1,0% 30 menit 0,25% 0,5% 1,0% 60 menit 0,25% 0,5% 1,0% Kontrol 0%
Persentase kematian eksplan pada tiap genotipe (%)* Jatilaba ICPN12no.4 PBC495 Helem Gelora 23 47 100
10 37 100
30 57 83
30 30 58
36 80 100
17/ 39 100
10 30 100
33 97 100
30 30 80
46 57 75
40 69 100
57 83 100
30 60 100
80 96 100
53 60 100
10
27
23
20
10
Keterangan : * = Jumlah tanaman tiap perlakuan 100
Berdasarkan persentase jaringan dan jumlah eksplan yang tetap hidup, nilai LC50 terdapat pada konsentrasi EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit. LC50 adalah 50% dari eksplan yang diperlakukan dengan EMS tetap hidup dan dapat diregenerasikan. Pada perlakuan tersebut, genotipe PBC495 dan Gelora masih memiliki kemampuan bertahan hidup sampai 40% (Tabel 6.2). Hasil penelitian sebelumnya pada Vigna unguiculata L.Walp diperoleh LC50 dengan konsentrasi EMS 15 mM setara dengan 0,2% EMS (Girija dan Dhanavel 2009). Jabeen dan Mirza (2002) melaporkan bahwa biji cabai yang diberi perlakuan EMS 0,5% selama 6 jam mampu meningkatkan variasi genetik pada C. annuum. Selain merupakan agen pengkelat, EMS juga mengandung bahan mesylate ester, yang berpotensi sebagai bahan mutagenik, karsinogenik dan teratogenik (Sarat et al. 2010). Hasil penelitian lain menyatakan pula bahwa jaringan yang di perlakukan dengan mutagen kimia 15 mM setara 0,2% mampu menyebabkan terjadinya mutasi atau dapat menyebabkan terjadinya subtitusi DNA sampai 50% pada tanaman Tradescantia (Moya et al. 2001)
100
Pengaruh EMS terhadap multiplikasi tunas Perendaman
jaringan
dalam
larutan
EMS
berpengaruh
terhadap
kemampuan jaringan untuk bermultiplikasi membentuk tunas (Tabel 6.3). Eksplan tunas terminal yang diberi perlakuan EMS 0,5% (60 menit) memperlihatkan respon yang berbeda terhadap inisiasi tunas untuk setiap genotipe cabai. Waktu inisiasi tunas untuk genotipe PBC495 dan Gelora cenderung lebih cepat dengan perlakuan EMS tersebut, tetapi respon berbeda terjadi pada Jatilaba. Terjadinya perbedaan respon terhadap daya inisiasi tunas berhubungan dengan faktor genetik dari genotipe. Selain itu rendahnya kualitas jaringan setelah perendaman EMS juga sebagai akibat toksisitas bahan tersebut. Hal yang sama dilaporkan oleh peneliti terdahulu, bahwa perendaman dengan EMS pada benih cabai dapat menurunkan tingkat perkecambahan (Jabeen dan Mirza, 2002). Secara umum tidak ada perbedaan untuk rata-rata tinggi tunas antara genotipe yang diberi perlakuan EMS LC50 dengan perlakuan kontrol. Rata-rata jumlah tunas cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol untuk genotipe PBC495 dan Gelora yang diberi perlakuan EMS 0,5% (60 menit). Jumlah, tinggi serta kualitas tunas yang rendah diduga karena perlakuan EMS yang bersifat sebagai agen pengkelat dapat menyebabkan terjadinya mutasi titik, sehingga mereduksi sifat fertilitas, penghambatan
kemampuan
jaringan
membentuk
tunas
bahkan
dapat
menyebabkan kematian yang dominan, oleh karena itu mutagen kimia menjadi metode pilihan yang banyak digunakan untuk studi genetik (Green et al. 2005). Pada konsentrasi EMS 0,5% dan masa perendaman 60 menit jumlah tunas yang dihasilkan dari masing-masing eksplan Jatilaba, PBC495 dan Gelora berturut-turut 2.56±1.47; 4.93±2.62; 6.44±0.95 (Tabel 6.2). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh pemberian 0,5% EMS dengan masa perendaman 60 menit dapat bersifat positif, yaitu waktu inisiasi tunas lebih cepat dan jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan kontrol, dan dapat pula bersifat negatif yaitu tinggi tunas tidak mengalami perubahan (roset) sehingga menyulitkan pada saat perlakuan perakaran. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya penggunaan EMS 0,5% dan perendaman 3 jam dapat menginduksi adanya perubahan morfologi tanaman (Jabeen dan Mirza, 2004).
101
Tabel 6.3.Waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, dan jumlah daun yang terbentuk pada eksplan tunas terminal Jatilaba, PBC495 dan Gelora yang ditanam pada media MS +.BAP 5 mg l-1 + TDZ 0,5 mg l-1 *) Perlakuan pada beberapa genotipe cabai
Rata-rata waktu inisiasi tunas (minggu)
Rata-rata tinggi tunas (cm)
Rata-rata jumlah tunas
Rata-rata jumlah daun
EMS 0,5% 60 mnt Jatilaba 10,18±0,69 0,53±0,32 2,56±1,47 2,22±1,04 PBC495 6,73±0,67 0,94±0,48 4,93±2,62 2,61±1,16 Gelora 6,22±0,61 1,38±0,29 6,44±0,95 3,15±0,53 Kontrol Jatilaba 7,91±0,83 0,53±0,08 1,36±0,67 Roset 8,08±2,83 0,83±0,28 2,91±1,04 2,0±0,77 PBC495 Gelora 7,00±2,45 1,38±0,46 4,73±1,62 3,73±1,42 *) MS =.Murasige & Skoog ; BAP=Benzil Amino Purin;TDZ= Thidiozuron
Perubahan tanaman akibat
mutagen kimia menyebabkan terjadinya
stimulasi biosintesis beberapa asam amino sehingga meningkatkan aktivitas berbagai enzim seperti polyphenol oxidase, catalase dan pyroxidase sehingga menghambat pertumbuhan tunas dan daun (Lage dan Esquibel 1997). Tidak semua tunas yang dihasilkan dapat membentuk akar (Tabel 6.4). Gelora dan PBC495 mempunyai kemampuan untuk membentuk akar walaupun lambat. Berbeda dengan Jatilaba, walaupun mampu membentuk tunas tapi kemampuannya dalam membentuk akar sangat rendah (data tidak disajikan). Jumlah akar dan panjang akar yang dihasilkan dapat meningkatkan daya serap hara untuk proses metabolisme dan fotosintesis sehingga memacu pertumbuhan tunas (Arous et al., 2001)
Tabel 6. 4. Karakter varian morfologi pada tanaman somaklon (M1.1 dan M1.2) hasil induksi mutasi dengan EMS 0.5% dan waktu perendaman 60 menit Varian Morfologi M1.1 M1.2 Tanaman normal Tinggi tanaman (cm) 111 124 143 Tinggi dikotomus (cm) 28 27 43 Daun menggulung + + Bunga + + + Jumlah percabangan 17 13 12 Waktu berbunga*) 53 57 40 Keterangan : - = Daun tidak menggulung; daun tidak variegata; tidak albino + = Daun menggulung; bunga normal *) hari setelah pindah tanam
102
Karakter tanaman somaklonal hasil aklimatisasi Tanaman somaklonal membentuk
yang dapat diaklimatisasi adalah tanaman yang
akar yaitu PBC495 dan Gelora (Gambar 6.3). Pada proses
aklimatisasi banyak planlet yang tidak mampu bertahan terhadap perubahan lingkungan dari kondisi in vitro, kemungkinan karena lapisan lilin/kutikula tidak berkembang baik, lignifikasi batang kurang berkembang dan stomata pada daun tidak berkembang (Sianipar 1999). Planlet yang berhasil diaklimatisasi hanya berasal dari genotipe Gelora.
Setelah melalui tahapan aklimatisasi dan
pemeliharaan di ruang kultur dan ruang kedap serangga, yang mampu bertahan hidup hanya dua genotipe. Kedua genotype somaklonal tersebut mampu menghasilkan buah dan benih cabai (Gambar 6.4) .
A
C
B
D
Gambar 6.3. Aklimatisasi planlet cabai setelah perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 60 menit (A) Aklimatisasi di ruang kultur; (B) Eksplan Gelora umur 1 msa; (C) Eksplan Gelora umur 2 msa (di ruang isolasi); (D) Eksplan PBC 495 umur 2 msa (ruang isolasi). msa : minggu setelah aklimatisasi
103
A
B
C
D
E
F
Gambar 6.4. Tanaman mutan somaklon genotipe Gelora asal klon M1.1(A, B, C) dan M1.2 (D, E, F) berturut-turut pada umur 30 hari ; umur 90 hari; dan umur 110 hari setelah transplant. Tanaman mutan somaklon 1 (M1.1) menghasilkan 70 buah, sedangkan genotipe mutan somaklon 2 (M1.2) hanya menghasilkan 16 buah. Genotipe M1.1 dan M1.2, selanjutnya digunakan dalam kegiatan evaluasi ketahanan terhadap ChiVMV. Secara umum penampilan tanaman M1.1 dan M1.2 tidak jauh berbeda dengan tanaman normal. Walaupun demikian kedua tanaman mutan somaklon tersebut cenderung memiliki tinggi tanaman dan tinggi cabang yang lebih rendah dibandingkan tanaman normal. Rata-rata tinggi tanaman M1.1 dan M1.2 berturutturut adalah 111 cm dan 124 cm, sedangkan tinggi tanaman kontrol adalah 143 cm. Tinggi dikotomus tanaman M1.1 dan M1.2 masing-masing adalah 28 cm dan 27 cm sedangkan pada tanaman kontrol 43 cm. Jumlah
percabangan tanaman
M1.1 dan M1.2 cenderung lebih banyak (17 dan 13) dari tanaman induknya (12). Demikian pula dengan waktu berbunga, kedua tanaman mutan somaklon memperlihatkan waktu berbunga lebih lama dari tanaman kontrol (Tabel 6.4). Selain itu penampilan daun yang menggulung menunjukkan adanya variasi morfologi pada tanaman hasil induksi EMS. Pengukuran terhadap buah dari hasil tanaman mutan somaklon menunjukkan adanya perbedaan terutama pada berat buah (Gambar 6.5). Tanaman mutan somaklon M1.1 cenderung menghasilkan
104
buah lebih banyak dan lebih besar dibandingkan tanaman mutan somaklon M1.2 (Tabel 6. 5).
Gambar 6.5. Buah cabai yang dipanen dari tanaman mutan somaklon. (A) buah cabai M1.1; (B) buah cabai M1.2 (C) Buah cabai gelora kontrol Tabel 6. 5. Karakter buah yang dihasilkan oleh somaklon hasil induksi mutasi dengan EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit M1. 1 M1. 2 kontrol Karakter Buah* Bobot Buah (g) 3,58 ± 1,31 2,83 ± 1,09 3,43±0,80 Panjang buah (cm) 8,22 ± 0,89 7,63 ± 1,45 7,83±0,67 Panjang tangkai buah (cm) 3,20 ± 0,44 2,91 ± 0,29 2,89±0,30 Diameter buah (cm) 3,16 ± 0,44 2,91 ± 0,30 2,90±0,36 *Dihitung berdasarkan rata-rata pengukuran 70 buah untuk klon 1 dan 16 buah untuk klon 2.
Penapisan dan evaluasi tanaman somaklonal cabai terhadap infeksi ChiVMV Jumlah tanaman bergejala pada populasi M1.1 adalah 229 tanaman dari total 245 tanaman uji, sedangkan pada populasi M1.2 adalah 223 tanaman dari total 243 tanaman uji (Gambar 6.6). Persentase tanaman terinfeksi dari kedua populasi somaklonal tersebut berdasarkan kriteria Green (1991) berturut turut adalah 93% dan 91,7%, sedangkan tanaman yang tidak memperlihatkan gejala berturut-turut adalah 6,5 % dan 8,23% dari seluruh tanaman uji (Tabel 6.6). Gejala yang tidak nampak
pada tanaman yang diinokulasi dengan ChiVMV
merupakan salah satu indikasi bahwa tanaman tersebut adalah tahan. Tanaman yang tahan terhadap virus mampu menghambat replikasi virus dan penyebarannya di dalam tanaman sehingga konsentrasi virus di dalam tanaman menjadi rendah (Agrios, 2005). Fenomena lain menurut Hull (2002) mengatakan bahwa genom tanaman mempunyai signal tertentu sehingga reseptor yang dimilikinya akan mengenali virus yang masuk ke dalam sel tanaman dan akan memicu munculnya induksi ketahanan.
Keberadaan ChiVMV pada tanaman uji
dikonfirmasi melalui deteksi DAS-ELISA.
selanjutnya
105
Gambar 6.6. Penapisan dan evaluasi tanaman cabai somaklonal mutan (M1.1 dan m1.2) terhadap infeksi ChiVMV. (A) Tanaman uji M1.1 dan M1.2; (B) Tanaman yang menunjukkan gejala terinfeksi ChiVMV Tabel 6. 6. Penapisan dan evaluasi respon mutan somaklon cabai hasil kombinasi induksi mutasi dengan EMS dan ketahanannya terhadap ChiVMV Jumlah Tanaman Jumlah Tanaman Jumlah Tanaman Tahan (%) Uji Mutan terinfeksi(%) Gejala DAS-ELISA Tidak DAS(positif) bergejala ELISA(negatif) 245(M1.1) 229 (93) 234 (95,5) 16(6,5) 11(4,48) 243(M1.2) 223 (91,7) 234 (96,2) 20(8,23) 9(3,70) Berdasarkan hasil ELISA diketahui bahwa jumlah tanaman terinfeksi pada masing-masing tanaman somaklonal lebih tinggi dibandingkan hasil pengamatan gejala. Hasil tersebut menunjukkan adanya fenomena gejala lemah atau gejala laten. Setelah deteksi ChiVMV menggunakan DAS-ELISA, diperoleh bahwa 4,09% dari progeni mutan somaklonal dari 448 tanaman uji atau sebanyak 20 tanaman (berasal dari M1.1 dan M1.2) yang tahan terhadap ChiVMV. Gejala ChiVMV pada tanaman cabai genotipe Gelora mula-mula memperlihatkan belang atau spot-spot hijau di beberapa bagian permukaan daun yang lama ke lamaan warna belang hijau tersebut menyebar dan menyatu ke tulang daun. Pada tanaman cabai di lapang yang terinfeksi virus ini umumnya memperlihatkan gejala yang bervariasi. Gejala yang sering muncul adalah lesio lokal, mosaik, vein clearing, bilur, nekrosis dan adapula yang tidak memperlihatkan gejala atau disebut gejala yang lemah sehingga tidak terdeteksi secara visual (Siriwong et al. 1995). Demikian pula dengan hasil penelitian terhadap tanaman mutan somaklon. Tanaman yang tidak memperlihatkan gejala setelah di deteksi dengan teknik DAS-ELISA memperlihatkan hasil yang positif terinfeksi. Hasil deteksi ini juga menunjukkan bahwa teknik DAS-ELISA cukup
106
sensitif yaitu mampu mendeteksi ChiVMV sampai pengenceran 1:1000 (Opriana 2009). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengujian pengaruh perlakuan Ethyl methane sulfonate diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi EMS dan semakin lama waktu perendaman, maka persentse eksplan yang mati semakin meningkat. Perlakuan EMS 0,5% dan perendaman 60 menit menimbulkan keragaman morfologi. Kombinasi perlakuan induksi mutasi dengan EMS dan keragaman somaklonal menghasilkan mutan dari Genotipe Gelora dan dari uji ketahanan mutan tersebut terhadap ChiVMV isolat Cikabayan di dapatkan 20 tanaman yang tahan terhadap ChiVMV. Tanaman yang menunjukkan respon tahan terhadap ChiVMV tersebut dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme terjadinya ketahanan karena perlakuan EMS dan kultur in vitro.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Badan Litbang Pertanian dan Pimpinan Proyek
Kerjasama
Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) atas dukungan dana untuk melakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, Ed ke-5. New York; Elsevier Academic Press. Arous S, Boussaid M dan Marrachi M. 2001. Plant regeneration from zygotic embryo hypocotyls of Tunisian chili (Capsicum annum L.). J. Appl. Hort. 3(1):17-22 Ashok YP, Sharma P dan Yadav A. 1995. Effect of different ethyl methane sulfonate treatments on pollen viability and fruit rot incidence in bell pepper. Ann Agric Res 16: 442-444. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi sayuran Indonesia. Jakarta.http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subje k=55¬ab=15[17 Mei 2010].
107
Biswas B, Chowdhurry A, Bhattacharya dan Mandal B. 2002. In vitro screening for increasing drought tolerance in rice. In vitro Cell Dev Biol Plant 38:525-530. Clark MF dan Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate methode of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol. 34:475-483 [DBPH] Direktorat Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura RI. 2008. Luas panen, rata-rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta Dhanavel D, Pavadai P, Mullainathan L, Mohana D, Raju G, Girija M dan Thilagavathi C. 2008. Effectiveness and efficiency of chemical mutagens in cowpea (Vigna unguiculata(L.)Walp.) Afr. J. Biotechnol. 7:4116-4127 Duriat A.S. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L (editor). Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 1-3 Girija M dan Dhanavel D. 2009. Mutagenic effectiveness and efficiency of gamma rays Ethyl Methane Sulfonate and their combined treatments in Cowpea (Vigna ungiculata L. Walp). Glob J of Mol Scien 4(2):68-75. Green EA, Codomo CA, Taylor NE dan Henikoff JG. 2005. Spectrum of chemically induced mutation from a large-scale reverse-genetic sceen in Arabidopsis. J. Genetics 164:731-740. Green SK. 1991. Guidelines for diagnostic work in plant virology. ARDC tech Bull 15: 63 Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology, Ed. Ke-4, San Diego; Academic Press. Imelda M, Deswina P, Hartati S, Estiati A dan Atmowijoyo S. 2000. Chemical mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for bunchy top virus resistence in Banana. Ann Bogorien n. s. 7: 19-25. Jabeen N dan Mirza B. 2002. Ethyl methane sulfonate enhances genetic variability in Capsicum annuum. Asian J of Plant Sci 1: 425-428. Jabeen N dan Mirza B. 2004. Ethyl methane sulfonate induces morphological mutations in Capsicum annuum. Int. J. Agrt. Biol. 6: 340-345. Lage LSC dan Esquibel MA. 1997. Growth stimulation produced by methylene blue treatment in sweet potato. Plant Cell Tiss. Org. Cult 48:77-81.
108
Manzila I, Hidayat SH, Mariska I dan Sujiprihati s. 2010. Induksi kalus dan daya regenerasi cabai melalui kultur in vitro. Jurnal Agrio-Biogen 6: 65-75. Moya CA, en C, Licas AS, Gonzales GZ, Bugarin OT, Camberos EP dan Velasco AF. 2001. Evaluation of genotoxic activity of maleic hydrazide, ethyl methane sulfonate, and N-nitroso diethylamine in Tradescantia. Salut publica de Mexico 43: 563-569. Natarajan AT. 2005. Chemical mutagenesis: From plants to human. Current Science 89(2):312-317 Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarat M, Ramakrishna M, Suresh Y, Harikrishna S, Rambabu C, Koshore K dan Nagabhushana RK. 2010. Low-level determination of residual Methyl Methane Sulfonate and Ethyl Methane Sulfonate in Pharmaceuticals by Gas Chromatography with Mass Spectrometry. J of Chem 7: 629-635 Sianipar NF. 1999. Organogenesis tiga galur tanaman kedelai (Glycine max L.Merr) secara in vitro dan pertumbuhan pasca aklimatisasinya. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Singh SK, Yerramilli V dan Khawale RN. 2007. Molecular maker-assisted selection of in vitro chemical mutagen-induced grapevine mutans. Current Science 92: 8 1056-1060 Siriwong P, Kittipakorn K dan Ikegami M. 1995. Characterization of chilli veinbanding mottle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44:718-727 Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application New York. Cambridge University Press. h. 342 Womdim NR, Swai IS, Chadha ML, Selassie GK dan Marchoux G. 2001. Occurence of Chilli veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania. Plant Dis. 85:801. Yudhvir S. 1995. Mutagenic effect of N-nitroso-N-methyl Urea and ethyl ethane sulfonate on the incidence of fruit rot in tomato. New Agriculturist, 6:89-94
VII. PEMBAHASAN UMUM Tanaman cabai (Capsicum annuum) merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Tanaman tersebut ditanam di seluruh provinsi di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang sangat baik, sehingga mendapat prioritas untuk dikembangkan. Selain beberapa faktor agronomis yang menjadi kendala produksi cabai di Indonesia seperti berkurangnya luas panen, sukarnya mendapatkan benih yang bermutu dan murah, peranan gangguan hama dan penyakit juga sangat menentukan tinggi rendahnya hasil panen cabai. Salah satu penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus yang saat ini mendapat perhatian adalah Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV). Virus ini merupakan salah satu agen penyebab penyakit belang pada cabai dan menjadi ancaman serius pada tanaman cabai, di beberapa sentra produksi cabai di Indonesia. Munculnya penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV tersebut telah dilaporkan oleh beberapa peneliti pada tanaman cabai beberapa tahun terakhir ini dan dapat menyebabkan kehilangan hasil 60% sampai 100% (Taufik et al. 2005, Subekti et al. 2006, Latifah et al. 2007, Opriana 2009, Trisno 2009). Hasil deteksi yang telah dilakukan dalam penelitian ini dengan metode ELISA dan RT-PCR membuktikan bahwa ChiVMV telah muncul pada pertanaman cabai di daerah-daerah lain yang sebelumnya belum pernah dilaporkan yaitu Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah. Isolat-isolat ChiVMV yang digunakan dalam penelitian ini membuktikan adanya variasi biologi antar isolat ChiVMV yang ada di Indonesia yang ditunjukan oleh perbedaan virulensinya. Isolat Cikabayan (CKB) merupakan isolat yang memiliki virulensi yang tinggi, sedangkan isolat Karadenan (KR) dan Tanah Datar (TD) memiliki virulensi yang rendah. Hasil analisis berdasarkan motif protein dari masing-masing isolat yang memiliki tingkat virulensi yang berbeda mengindikasikan adanya mutasi pada selubung protein (CP) yang diduga berpengaruh terhadap variasi virulensi antar isolat/strain ChiVMV. Analisis lebih lanjut pada motif asam amino gen CP-ChiVMV menunjukkan bahwa motif octapeptide telah termutasi menjadi LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR pada ChiVMV CKB dan menjadi
RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT pada CP-
110
ChiVMV lainnya. Perbedaan lainnya terjadi pada daerah asam amino nomor 61 dan 84, dimana ChiVMV BL dan KR kehilangan sekuen MET dan mengalami mutasi GG menjadi KV. Dengan demikian variasi isolat/strain ChiVMV tidak saja ditunjukkan oleh adanya perbedaan pada tingkat virulensi antar strain, tetapi juga pada tingkat molekuler yaitu pada sekuen asam amino selubung proteinnya. Variasi virulensi antar strain patogen terjadi melalui mekanisme gene for gene interaction, artinya mekanisme yang terjadi merupakan hasil interaksi antara gen virulen patogen dengan sistem imun yang dimiliki oleh tanaman demikian sebaliknya. Gen virulen yang dimiliki oleh setiap strain patogen merupakan hasil interaksi khusus dan terus-menerus antara patogen dengan inangnya. Pada patogen yang memiliki perkembangan cepat, daya adaptasi tinggi, dan sebaran inang luas, biasanya memiliki variasi strain yang tinggi seperti halnya pada ChiVMV. Strategi pengendalian ChiVMV harus memperhatikan variasi strain yang ada di suatu wilayah. Usaha pengendalian penyakit belang pada cabai yang disebabkan oleh ChiVMV sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan. Pengendalian umumnya dilakukan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi sumber inokulum dengan cara mencabut tanaman-tanaman yang telah menunjukkan gejala serangan virus, melakukan pergiliran tanaman, dan pemberantasan gulma yang dapat menjadi inang alternatif virus, dan
mengendalikan perkembangan serangga
vektor dengan menggunakan pestisida. Cara-cara pengendalian tersebut terkadang tidak efektif karena proses penularan virus dapat terjadi dengan cepat mengingat kutu daun dapat menularkan virus ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah penggunaan pestisida akan meninggalkan residu pestisida pada buah dan membahayakan, mencemari lingkungan serta membutuhkan biaya yang besar. Dengan demikian penggunaan varietas tahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengendalikan virus karena metode ini relatif lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan metode pengendalian yang lain (Dolores 1998) . Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus diantaranya adalah dengan memanfaatkan potensi yang ada pada virus itu sendiri, misalnya adanya variasi strain.
111
Pemanfaatan strategi pengendalian melalui teknik proteksi silang telah berhasil dilakukan pada beberapa komoditas pertanian seperti, Capsicum frutescens L., pepaya, labu (Cucurhita moschata Poir)
(Akin 2005, Ferreira et al. 2007,
Rahman et al. 2010) . Proteksi silang adalah menggunakan strain lemah virus untuk melindungi tanaman dari infeksi virus dengan strain kuat atau ganas. Ketersediaan strain lemah yang tidak menurunkan hasil tanaman inang merupakan kunci keberhasilan pengendalian virus menggunakan proteksi silang. Metode ini telah diuji untuk papaya ringspot virus (PRSV) pada pepaya dan labu dan dapat menurunkan kehilangan hasil karena terinfeksi PRSV masing-masing sebesar 64% dan 90% (Rahman et al. 2010; Ferreira et al. 2007). Pengendalian penyakit tanaman juga telah dilakukan pada tanaman cabai (Capsicum frutescens L.) dengan menggunakan strain lemah pepper mottle virus (PeMV) (Nadeem et al. 1999). Strategi lain didalam upaya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus adalah pemanfaatan tanaman bebas virus. Virus pada tanaman dapat dieliminasi dengan teknik kultur jaringan yaitu kultur meristem atau menggunakan antiviral seperti virazol (Ribavirin) (Biswas et al. 2007) Varietas tahan diketahui mempunyai kontribusi tinggi terhadap produksi berbagai tanaman, termasuk pada tanaman hortikultura penting seperti cabai. Strategi pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus yang memanfaatkan varietas tahan mampu meningkatkan hasil sebesar 15-20% (1-1,5 t/ha) (Nadeem et al. 1999) Beberapa pendekatan dalam melakukan perakitan varietas tahan virus diantaranya adalah melalui pendekatan konvensional, rekayasa genetik dan melalui pemanfaatan kultur in vitro yang dikombinasi dengan induksi mutasi menggunakan
mutagen
kimia
EMS.
Pendekatan
konvensional
untuk
pengembangan varietas tahan virus memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah sumber gen ketahanan terhadap virus masih belum ditemukan pada koleksi plasma nutfah cabai di Indonesia. Selain itu, kultivar tahan yang dihasilkan melalui pemuliaan konvensional seringkali mudah terpatahkan karena perubahan genetik dari virus yang cepat akibat adanya rekombinasi dan adanya variasi genetik yang tinggi dari virus.
112
Didalam penelitian ini telah dilakukan perakitan varietas melalui teknik kultur in vitro yang dikombinasikan dengan mutagen kimia EMS. Teknik kultur in vitro seringkali dapat menginduksi terjadinya keragaman genetik pada populasi tanaman yang dihasilkan. Oleh karena itu, keragaman genetik yang terjadi akibat kultur in vitro disebut keragaman somaklonal (variation somaclonal) (Larkin dan Scowcroft 1981). Induksi mutasi yang dikombinasikan dengan mutagen kimia EMS didalam penelitian ini telah berhasil mendapatkan 20 mutan somaklon. Mutan somaklon yang diperoleh menunjukkan ketahanan terhadap ChiVMV dan berpotensi untuk digunakan sebagai tetua dalam pengembangan varietas cabai. Pengembangan varietas tahan perlu diarahkan pada pengendalian strain yang paling dominan di Indonesia agar dapat menurunkan kehilangan hasil cabai yang lebih signifikan. Jika laju pergeseran antar stain ChiVMV sangat tinggi, maka pemantauan pergeseran strain dan pencarian sumber ketahanan baru harus terus
dilakukan
didalam
menunjang
program
pemuliaan
cabai
yang
berkesinambungan. Dalam penelitian ini telah diidentifikasi dan dibedakan antara strain kuat dan strain lemah, tetapi belum diketahui strain yang dominan yaitu strain yang memiliki penyebaran yang paling luas. Informasi mengenai keragaman genetika, hubungan kekerabatan, serta arah perubahan dan dominasi strain suatu patogen sangat penting dalam mempelajari epidemiologi penyakit tanaman, khususnya dalam menyusun kebijakan pengendalian penyakit dengan menggunakan kultivar tahan. Dengan menggunakan galur isogenik sebagai kultivar deferensial kita dapat mempelajari jumlah dan komposisi gen virulen dari suatu strain. Hubungan kekerabatan serta arah dan tahap perubahan strain suatu patogen dapat ditelusuri dengan membandingkan jumlah dan komposisi gen virulen yang dimiliki oleh masingmasing strain. Untuk menganalisis hubungan kekerabatan serta arah dan tahap perubahan strain ChiVMV dapat diasumsikan bahwa perkembangan strain di mulai dari yang sederhana yaitu strain yang memiliki gen-gen virulen paling sedikit misalnya strain KR yang mempunyai gen virulen terhadap 4 genotipe (Jatilaba, Keriting Bogor, Titsuper, dan Beauty Bell) melalui mekanisme hibridisasi atau rekombinasi memungkinkan strain tersebut mengalami mutasi sehingga terjadi
113
pergeseran strain sebagai akibat adanya penambahan gen virulen untuk mengatasi gen ketahanan tanaman. Perubahan yang terjadi dalam virulensi patogen pada tahap berikutnya harus diimbangi dengan perubahan ketahanan inang, dan begitu sebaliknya, sehingga keseimbangan dinamis ketahanan tanaman dan virulensi patogen akan terpelihara dan keduanya dapat bertahan hidup. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikannya walaupun demikian ke 20 tanaman mutan somaklonal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber gen ketahanan dalam program pemuliaan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Akin HM 2005. Kepatogenen satelit RNA yang berasosiasi dengan Cucumber mosaic virus (CMV-satRNA) pada tanaman cabai. J. HPT Tropika (5)3741 Biswas MK, Hossain M, Islam R. 2007. Virus free planlets production of strowberry through meristem culture. World Journal of Agricultural Sciences 3(6):757-763 Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNET II Final Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Ferreira SA, Ronald FL Mau, Karen YP. 2007. Papaya Ringspot Virus Cross Protection-An Update. Mol. Gen Genomic (203) 331-339 Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Nadeem A, Xiong Z, Nelson M. 1999. Induction of Mild Strain of Pepper Virus by Chemical Mutagenesis and their Efficacy in Cross Protection. Pakistan Jurnal of Biological Sciences. 2(4):1371-1321 Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotype cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) [tesis]. Bogor, Sekolah Pascasarjana, IPB. Rahman MF, Akanda MA, Sarkar MZA. 2010. Effect of mild strain on severity of PRSV-W infection. Bangladesh J. Agril. Res. 35(2):279-285 Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hayati 13:53-57
114
Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Interaksi infeksi campuran ChiVMV dan Geminivirus dalam menimbulkan penyakit kuning keriting cabai. Seminar SEMIRATA BKS-PTN wil. Barat, Serang 13-16 April 2009.
115
VIII. SIMPULAN DAN SARAN UMUM Keragaman ChiVMV yang berasal dari sentra produksi cabai di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Aceh Tengah ditunjukkan oleh tingkat virulensinya yang berbeda. Strain ChiVMV CKB tergolong strain yang sangat virulen, strain ChiVMV NI tergolong strain moderat, sedangkan ChiVMV BL, KR, GB, dan TD tergolong strain ringan. Analisis gen CP membuktikan bahwa variabilitas diantara strain-strain ChiVMV tersebut tergolong rendah (0,02% sampai 0,48%). Walaupun demikian analisis asam amino gen CP menunjukkan adanya mutasi pada ChiVMV CKB yang ditunjukkan oleh berubahnya motif CK2 phosphorylation site dan octapeptide. Kombinasi perlakuan kultur in vitro dan mutagen kimia EMS menghasilkan 20 tanaman mutan somaklon asal C. annuum var. Gelora yang tahan terhadap infeksi ChiVMV. Tanaman somaklon ini berpotensi untuk digunakan sebagai tetua dalam perakitan varietas tahan ChiVMV. Prioritas utama pengembangan varietas tahan perlu diarahkan pada pengendalian strain yang paling dominan di Indonesia agar dapat menurunkan kehilangan hasil cabai yang lebih signifikan. Guna mengantisipasi terjadinya pergeseran atau perubahan strain, pengembangan varietas cabai sebaiknya diarahkan pada pengembangan sifat ketahanan horizontal atau durable resistant. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintroduksi beberapa gen ketahanan ke dalam satu varietas. Dengan telah diketahui adanya genotipe yang tahan dan rentan terhadap beberapa strain ChiVMV yang berasal dari daerah yang berbeda, maka pemantauan terhadap strain lainnya dan penanaman genotipe cabai spesifik strain atau spesifik lokasi sangat disarankan.
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
AACATGGAAAAAGTGATATCAGCCTATATCTGAGAGCACTTATTGAAGGAGCTAGGAGGG AACATGGAAAAAGTGATATCAGCCTATATCTGAGAGCACTTATTGAAGGAGCTAGGAGGG AACATGGAAAAAGTGATATCAGCCTATATCTGAGAGCACTTATTGAAGGAGCTAGGAGGG AACATGGAGAAAGTGATATCAGCCCATATCTGAGAGCACTTATTGAAGGAGCTAGGAGGG AACATGGAGAAAGTGATATCAGCCCATATCTGAGAGCACTTATTGAAGGAGCTAGGAGGG AGCATGGAGAGAGTGACATTAGTCCATACTTGAGAGCACTCATTGAAGGGGCCAAAGAGG AACATGGAGAAAGTGACATTAGCCCATATCTAAGAGCACTTATTGAGGGAGCCAAGAAGG AGCATGGAGATAGTGACATTAGTCCATATTTGAGAGCACTCATTGAAGGGGCAAAGGAAG AGCATGGAGATAGTGACATTAGTCCATATTTGAGAGCACTCATTGAAGGGGCAAAGGAAG AGCATGGAGATAGTGACATTAGTCCATATTTGAGAGCACTCATTGAAGGGGCAAAGGAAG AGCATGGAGATAGTGACATTAGTCCATATTTGAGAGCACTCATTGAAGGGGCAAAGGAAG AGCATGGAGAGAGTGACATCAGTCTATATTTGAGAGCACTCATTAAAGGGGCCAAGGAAG AGCATGGAGA.AGTGACATTAGTCCATATTTGAGAGCACTCATTGAAGGGGC.AAGGAGG * ****** * ***** ** ** * *** * ******** *** * ** ** * *
60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
AAGAATTAGATGATGAGGGTGGAGAAGTTACCCATCAGTCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG AAGAATTAGATGATGAGGGTGGAGAAGTTACCCATCAGTCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG AAGAATTAGATGATGAGGGTGGAGAAGTTACCCATCAGTCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG AAGAATTAAATGATGAGGGTGGAGAAGTTACCCATCAGTCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG AAGAATTAAATGATGAGGGTGGAGAAGTTACCCATCAGTCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG AAGAATTAGATGACGAGGGTGGGGAGGTTGCCCATCAGTCGGGAGAGAGCGTTGATGCTG AAGAGTTAGATGATGAGGGCGGAGAAGTCGCCCATCAGGCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG AAGGATTAGATGATGAGGGTGGGGAGGTTGCCCATCAGTCGGGAGAGAGCGTTGATGCTG AAGGATTAGATGATGAGGGTGGGGAGGTTGCCCATCAGTCGGGAGAGAGCGTTGATGCTG AAGGATTTCAACTAGAGGGTGGGGAGGTTGCCCATCAGTCGGGAGAGAGCGTTGATGCTG AAGGATTTCAACTAGAGGGTGGGGAGGTTGCCCATCAGTCGGGAGAGAGCGTTGATGCTG AAGGATTAGATGACGAGGGTGGGGAGGTCGCCCATCAGTCAGGGGAAAGTGTTGATGCTG AAGAATTAGATGATGAGGGTGGGGAGGTTGCCCATCAGTCGGGAGAGAGTGTTGATGCTG *** ** * ***** ** ** ** ******** * ** ** ** **********
120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
GAAGAGTAAA AGGTGAAGATTCTTCAAACAAGTCAGCTGATAAACAAGCCACAGATAAG GAAGAGTAAA AGGTGAAGATTCTTCAAACAAGTCAGCTGATAAACAAGCCACAGATAAG GAAGAGTAAA AGGTGAAGATTCTTCAAACAAGTCAGCTGATAAACAAGCCACAGATAAG GGAGAGTAAA AGGTGAAGATTCTTCAAATAAGTCAGCTGATAAACAAGCCACAGATAAG GGAGAGTAAA AGGTGAAGATTCTTCAAATAAGTCAGCTGATAAACAAGCCACAGATAAG GGAGAGCTAA GGGTGAAGATTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAGCCACAGAGAAA GAAGAGTTAA AGGCGAAGATTCATCAAGCAAACCAGCTGATAAACAAGCCACAGAGAAG GAAGAGTTAA GGGTGAAGACTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAACAACAGAGAAG GAAGAGTTAA GGGTGAAGACTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAACAACAGAGAAG GAAGAGTTAAAGGGTGAAGACTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAACAACAGAGAAG GAAGAGTTAA GGGTGAAGATTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAGCTACAGAGAAG GAAGAGTTAA GGGTGAAGATTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAGCTACAGAGAAG GAAGAGTTAA GGGTGAAGATTCATCGAGTAAACCAGCTGACAAACAAGCCACAGAGAAG * **** ** ** ***** ** ** * ** ******* ****** * ***** **
179 179 179 179 179 179 179 179 179 179 179 179 179
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
AAGAGCAAGGTA------CAAGCTCAACCACAAACTCGTCAGAGCGAAATGGAAGTACCT AAGAGCAAGGTA------CAAGCTCAACCACAAACTCGTCAGAGCGAAATGGAAGTACCT AAGAGCAAGGTA------CAAGCTCAACCACAAACTCGTCAGAGCGAAATGGAAGTACCT AAGAACAAGGTAAGTGGACAAGTTCAGCCACAATCTCGTCAGAGCGAAATGGAAGTACCT AAGAACTTGCTAAGTGGACAAGTTCAGCCACAATCTCGTCAGAGCGAAATGGAAGTACCT AAGAGCAAGGTGAGTGGACAAGCTCAGCCACAGTCTCGTCAGAGTGAAATGGAAATACCC AAGAACAAGGTGAGTGAACAAGCTCAGCCACAGTCTCGTCAGAGTGAAATGGAAGTACCC AAGAGTAAGATGGGTGGACAAGCTCAGCCACATGTTCGCCAAAGTGAGATGGAAGTACCC AAGAGTAAGATGGGTGGACAAGCTCAGCCACATGTTCGCCAAAGTGAGATGGAAGTACCC AAGAGTAA ATGGGTGGACAAGCTCAGCCACATGTTCGCCAAAGTGAGATGGAAGTACCC AAGAATAAGATGGGTGGACAAGCTCAGCCTGATGTTCGCCAAAGTGAGATGGAAGTACCC AAGAATAAGACGGGTGGGCAAGCTCAGCCACATACTCGTCAAAGTGAGATGGAAGTACCC AAGAACAAGGTG.GTGGACAAGCTCAGCCACA..CTCGTCAGAGTGAAATGGAAGTACCC **** **** *** ** * *** ** ** ** ****** ****
233 233 233 239 239 239 239 239 239 239 239 239 239
Lampiran 1. Perunutan DNA yang berasal dari 12 isolat ChiVMV Indonesia dan Asia (Gene Bank) menunjukkan nukleotida yang identik
117 Lampiran 1. Lanjutan CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
CAAGTTCGGGACAGAGATGTTAATGTTGGAACCTCAGGGACATTCACAATACCGCGTCTC CAAGTTCGGGACAGAGATGTTAATGTTGGAACCTCAGGGACATTCACAATACCGCGTCTC CAAGTTCGGGACAGAGATGTTAATGTTGGAACCTCAGGGACATTCACAATACCGCGTCTC CAAGTTCGAGACAGAGATGTTAATGTTGGGACCTCAGGGACATTCACAATACCGCGTCTT CAAGTTCGAGACAGAGATGTTAATGTTGGGACCTCAGGGACATTCACAATACCGCGTCTT CAAGTTCGGGACAGAGATGTTAATGTTGGGACCTCAGGGACATTCACAATACCACGTCTC CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGGACCTCAGGTACATTCACAATACCGCGTCTC CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGAACCTCGGGAACATTCACAATACCACGTCTT CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGAACCTCGGTTTCATTCACAATACCACGTCTT CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGAACCTCGGGAACATTCACAATACCACGTCTT CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGAACCTCGGGAACATTCACAATACCACGTCTT CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGAACCTCGGGAACATTCACAATACCGCGTCTT CAAGTTCGAGACAGAGACGTTAATGTTGGAACCTCAGG.ACATTCACAATACCGCGTCTT ******** ******** *********** ***** * ************* *****
293 293 293 299 299 299 299 299 299 299 299 299 299
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
AAGGGTATTTCTTCGAAGTTAACAATACCAAAGATTAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATTTCTTCGAAGTTAACAATACCAAAGATTAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATTTCTTCGAAGTTAACAATACCAAAGATTAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAGATTAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCACAGATTAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATTTCTTCGAAGTTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATCTCTTCAAAGCTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAAGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAAGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAAGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAAGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT AAGGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAAATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTC AAGGGTATTTCTTCAAAGTTAACAATACCAAAGATCAAAACAAAGGCTGTTGTTAACCTT ** ***** ***** *** *********** * ** ***********************
353 353 353 359 359 359 359 359 359 359 359 359 359
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
GAACACCTTCTTGATTATGCTCCTGAGCAAATACATTTGAGTAATACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCTCCTGAGCAAATACATTTGAGTAATACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCTCCTGAGCAAATACATTTGAGTAATACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAGCAAATACATTTGAGTAATACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAGCAAATACATTTGAGTAATACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCTCCTGAGCAAATACATTTGAGTAATACAAGAGCACTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAAATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAAATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAAATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAAATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAAATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAGATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA GAACACCTTCTTGATTATGCCCCTGAACAAATACATTTGAGTAACACAAGGGCATTACAA ******************** ***** ** ************** ***** *** *****
413 413 413 419 419 419 419 419 419 419 419 419 419
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTTAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTTAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTTAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTTAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTTAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTTAAGAATGATTACGATATCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGACGTCACAGATGAACAG TCACAGTTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAGTTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG ACACAGTTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG ACACAGTTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAGTTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG TCACAATTTGCATCCTGGTATGAAGGTGTCAAGAATGACTATGATGTCACAGATGAACAG **** *********************** ******** ** ** **************
473 473 473 479 479 479 479 479 479 479 479 479 479
Lampiran 1. Lanjutan CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
ATGCAAATAATACTGAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGAACGTCACCAAAC ATGCAAATAATACTGAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGAACGTCACCAAAC ATGCAAATAATACTGAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGAACGTCACCAAAC ATGCAAATAATACTGAACGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGAGCGTCACCAAAC ATGCAAATAATACTGAACGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGAGCGTCACCAAAC ATGCAAATAATACTGAATGGATTGATGGTTTGGTGCATTGAGAATGGAACGTCACCAAAT ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGGACGTCACCAAAC ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGGACGTCACCAAAC ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGGACGTCACCAAAC ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGGACGTCACCAAAC ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGGACGTCACCAAAC ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGCATTGAGAATGGAACGTCACCAAAC ATGCAAATAATATTAAATGGATTGATGGTTTGGTGTATTGAGAATGGAACGTCACCAAAC ************ * ** ***************** *********** **********
533 533 533 539 539 539 539 539 539 539 539 539 539
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
ATAAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAGCCA ATAAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAGCCA ATAAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAGCCA ATCAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAGCCA ATCAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAGCCA ATCAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAACCA ATTAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATACCCAATAAAGCCA ATTAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAGCAAGTTGAGTATCCGATAAAACCA ATTAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAGCAAGTTGAGTATCCGATAAAACCA ATTAATGGTTATTGGGTTAACATGGATGGAGATGAGCAAGTTGAGTATCCGATAAAACCA ATTAATGGTTATTGGGTTAACATGGATGGAGATGAGCAAGTTGAGTATCCGATAAAACCA ATTAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAGCAAGTTGAGTATCCGATAAAACCA ATTAATGGTTATTGGGTTATGATGGATGGAGATGAACAAGTTGAATATCCAATAAAACCA ** **************** ************** ******** ** ** ***** ***
593 593 593 599 599 599 599 599 599 599 599 599 599
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
TTGATTGATCATGCCAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCGCATTTTAGCAATCTTGCT TTGATTGATCATGCCAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCGCATTTTAGCAATCTTGCT TTGATTGATCATGCCAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCGCATTTTAGCAATCTTGCT TTGATTGACCATGCCAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCGCATTTTAGCAATCTTGCT TTGATTGACCATGCCAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCGCATTTTAGCAATCTTGCT TTGGTTGATCATGCCAAACCATCATTCAGACAAATCATGGCGCATTTTAGCAATCTTGCT TTAATTGATCATGCCAAGCCTTCATTTAGACAAATCATGGCGCACTTTAGCAATCTTGCT TTAATTGATCATGCTAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCACACTTTAGCAACCTTGCT TTAATTGATCATGCTAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCACACTTTAGCAACCTTGCT TTAATTGATCATGCTAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCACACTTTAGCAACCTTGCT TTAATTGATCATGCTAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCACACTTTAGCAACCTTGCT TTGATTGACCATGCTAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCACACTTTAGCAATCTTGCT TTGATTGATCATGCCAAACCATCATTTAGACAAATCATGGCGCACTTTAGCAATCTTGCT ** **** ***** ** ** ***** ************** ** ******** ******
653 653 653 659 659 659 659 659 659 659 659 659
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
GAAGCGTATATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTATATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTATATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTATATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTATATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAACTCTGAGAAGCCATATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAACTCTGAGAAGCCATATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAACTCTCTCTAGCCATATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAACTCTCTCTAGCCATATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCATATATGCCAAGATATGGGCTTCAA GAAGCGTACATTGAGAAGCGCAATTCTGAGAAGCCTTATATGCCAAGATATGGGCTTCAA ******** ************** *** **** ************************
713 713 713 719 719 719 719 719 719 719 719 719 719
119 Lampiran 1. Lanjutan CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG AGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG AGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG AGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG AGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG AGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATAACATCG CGAAACCTTACCGATATGTCATTAGCGCGATATGCTTTCGATTTCTATGAAATGACATCG **************************************************** ******
773 773 773 779 779 779 779 779 779 779 779 779 779
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC AAAACTCCCGTTCGAGCTCGAGAAGCACACATTCAGATGAAGGCAGCCGCATTACGTGGT AAAACTCCCGTTCGAGCTCGAGAAGCACACATTCAGATGAAGGCAGCCGCATTACGTGGT AAAACTCCCGTTCGAGCTCGAGAAGCACACATTCAGATGAAGGCAGCCGCATTACGTGGT AAAACTCCCGTTCGAGCTCGAGAAGCACACATTCAGATGAAGGCAGCCGCATTACGTGGT AAAACTCCCGTTCGAGCTCGAGAAGCGCACATTCAAATGAAGGCAGCCGCTTTACGTGGT AAAACTCCCGTCCGAGCTCGTGAGGCACACATTCAAATGAAGGCAGCTGCATTACGTGGC *********** ******** ** ** ******** *********** ** ********
833 833 833 839 839 839 839 839 839 839 839 839 839
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAAGCACACAGGAAGAGGACACTGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAAGCACACAGGAAGAGGACACTGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAAGCACACAGGAAGAGGACACTGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGCACACAGGAAGAGGACACTGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGCACACAGGAAGAGGACACTGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGCACACAGGAAGAGGATACTGAA GTCAGCAACAGAATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGCACACAGGAAGAGGACACCGAA GTCAACAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGACCACAGGAGGAGGACACCGAA GTCAACAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGACCACAGGAGGAGGACACCGAA GTCAACAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGACCACAGGAGGAGGACACCGAA GTCAACAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGACCACAGGAGGAGGACACCGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGCACACAGGAGGAGGACACCGAA GTCAGCAACAGGATGTTCGGACTGGACGGTAGGGTAGGCACACAGGAAGAGGACACCGAA **** ****** ************************ * ******* ***** ** ***
893 893 893 899 899 899 899 899 899 899 899 899 899
CHIVMVBL CHIVMVKR DQ854961PATARUMAN DQ854960CIKABAYAN2 CHIVMVCKB CHIVMVCHINA CHIVMVINDIA DQ854948TAIWAN CHIVMVNI CHIVMVTD CHIVMVGB CHIVMVVIETNAM CONSENSUS
CGACATACAGCAGAGGATGTAAATAGAAATATGCACAACCTGTTGGGCGTTCGGGGATTG CGACATACAGCAGAGGATGTAAATAGAAATATGCACAACCTGTTGGGCGTTCGGGGATTG CGACATACAGCAGAGGATGTAAATAGAAATATGCACAACCTGTTGGGCGTTCGGGGATTG CGACATACAGCAGAGGATGTGAATAGAAATATGCACAACCTGTTGGGCGTTCGGGGATTG CGACATACAGCAGAGGATGTGAATAGAAATATGCACAACCTGTTGGGCGTTCGGGGATTG CGACATACAGCAGAGGATGTAAATAGAAATATGCACAACCCGTTGGGCGTTCGGGGATTG CGGCACACAGCAGAGGATGTGAATAGAAACATGCATAACCTGCTGGGCGTTCGAGGATTG CGCCACACAGCAGAGGATGTGAACAGAAATATGCACAACTTGCTGGGTGTTCGTGGATTG CGCCACACAGCAGAGGATGTGAACAGAAATATGCACAACTTGCTGGGTGTTCGTGGATTG CGCCACACAGCAGAGGATGTGAACAGAAATATGCACAACTTGCTGGGTGTTCGTGGATTG CGCCACACAGCAGAGGATGTGAACAGAAATATGCACAACTTGCTGGGTGTTCGTGGATTG CGCCACACAGCAGAGGATGTGAACAGAAATATGCACAACTTGCTGGGTGTTCGTGGATTG CG.CACACAGCAGAGGATGTGAATAGAAATATGCACAACCTGCTGGGCGTTCG.GGATTG ** ** ************** ** ***** ***** *** * **** ***** ******
953 953 953 959 959 959 959 959 959 959 959 959 959