Bahasa dan
Responsif Gender
● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
Panduan Penyusunan Profil Gender Bidang Pendidikan Daerah Panduan Strategi Pengembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Responsif Gender Isu dan Solusi Gender Bidang Pendidikan Strategi Pengembangan Sekolah Responsif Gender Panduan Penyusunan Bahan Ajar Responsif Gender Panduan Umum Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan Panduan Kelompok Kerja (Pokja) PUG Bidang Pendidikan Buku Saku Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan Data dan Indikator Pendidikan Berwawasan Gender tahun 2010/2011 Bahasa dan Responsif Gender
Bahasa dan
Responsif Gender
i
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Ella Yulaelawati Bahasa dan Responsif Gender/ Ella Yulaelawati, Cecep Somantri; Editor, Ismi Dwi Astuti, Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat-Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013 viii+ 24 hlm + illustrasi; 17,5 x 24,5 cm ISBN 978-602-1224-11-3 1. Wanita dalam pendidikan. II. Cecep Somantri
I. Judul III. Ismi Dwi Astuti
Kata Sambutan
P
endidikan nasional sangat berperan bagi pembangunan manusia karena dapat menginvestasikan perwujudan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, berkarakter produktif, dan berdaya saing sehingga dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pendidikan sebagai hak azasi manusia tercantum pada pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang tertulis: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pada Pasal 28C ayat (1) tertulis, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Dalam upaya memenuhi hak-hak warga negara terhadap akses pendidikan yang bermutu, adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki serta kesempatan meningkatkan kualitas hidup, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal sebagai Koordinator Program PUG Bidang Pendidikan melakukan berbagai strategi dan program sehingga seluruh provinsi dan beberapa kabupaten/kota telah mengintegrasikan gender dalam bidang pendidikan melalui bantuan program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pengintegrasian gender dalam bidang pendidikan juga dilakukan secara sinergi dan koordinatif dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran pendidikan responsif gender, audit gender, pengembangan pedoman, dan acuan teknis kegiatan yang disusun bersama-sama dengan pakar, para mitra, pokja kabupaten, kota dan provinsi. Sinergi dan koordinasi ini diharapkan akan menghasilkan peningkatan kapasitas pengarusutamaan gender bidang pendidikan secara lebih memadai.
ii
Bahasa dan Responsif Gender
iii
Kata Pengantar
Sampai pada tahun 2012, capaian kinerja layanan kabupaten/kota telah menerapkan pengarusutamaan gender (PUG) bidang pendidikan sebesar 57,34% lebih tinggi dari target Renstra Pembangunan Pendidikan Nasional 2010-2014 sebesar 54% dan angka disparitas gender penduduk tuna aksara sebesar 2,4% dari jumlah tuna aksara sebanyak 6.401.522 orang. Penyusunan dan penerbitan sepuluh judul Buku PUG Bidang Pendidikan tahun 2012 merupakan komitmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam merealisasikan amanat Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Permendiknas Nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan sebagai wujud peningkatan kapasitas PUG bidang Pendidikan. Sebagai realisasi amanat Inpres tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memenuhi target Renstra Kemdikbud tahun 2012 yaitu tercapainya 54% Kabupaten/Kota melaksanakan PUG bidang Pendidikan. Saya ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada berbagai pihak atas kontribusi dan perannya dalam penyusunan buku-buku tersebut. Akhirnya semoga Norma Standar Prosedur dan Kriteria yang disusun dengan kesungguhan, komitmen, dan keikhlasan ini dapat bermanfaat untuk kita semua, dengan harapan semoga Allah SWT berkenan memberikan rakhmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin. Jakarta, November 2012 Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal,
Prof. Dr. Lidya Freyani Hawadi,Psikolog NIP 195703121982112001
iv
Bahasa dan Responsif Gender
S
ejak tahun 2002, kegiatan pengarusutamaan gender di bidang pendidikan telah difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pembangunan pendidikan. Sampai tahun 2012 semua provinsi dan 294 kabupaten/kota telah melaksanakan pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan. Pencapaian ini tidak secara otomatis mampu menghilangkan kesenjangan dan ketidakadilan gender di masyarakat, karena persoalan gender berkait erat dengan konstruksi sosial budaya. Menyadari bahwa akar masalah gender bersumber pada konstruksi sosial budaya masyarakat, upaya pengarusutamaan gender bidang pendidikan dilakukan dengan menyertakan berbagai elemen pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan pendidikan serta masyarakat stakeholders pendidikan. Berbagai kegiatan telah dilakukan, antara lain: 1) peningkatan kapasitas kelembagaan dan para perencana kebijakan dan teknis bidang pendidikan, 2)kemitraan dengan Pusat Studi Wanita/Pusat Studi Gender untuk melakukan kajian studi kebijakan pendidikan yang berwawasan gender, 3)kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya dalam rangka mengembangkan pengalaman empirik pendidikan keluarga berwawasan gender dan life-skill perempuan, 4) penataan database dan sistem pendataan pendidikan yang berwawasan gender, 5)melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat luas melalui berbagai media massa, cetak maupun elektronik. Dalam upaya mendinamisasi dan melakukan penjaminan mutu program/ kegiatan pengarusutamaan gender bidang pendidikan tersebut, baik di tingkat pusat maupun daerah, telah dibentuk Pokja PUG Pendidikan.
v
Daftar Isi
Pengalaman yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa motivasi, wawasan, dan ketersediaan sumberdaya pengelola di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota cukup beragam. Keadaan seperti ini terkadang menimbulkan kekurangefektifan program/kegiatan. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu pedoman, acuan dan bahan-bahan lain yang memudahkan para pengelola dan pengambil kebijakan dalam mengintegrasikan gender dalam pembangunan pendidikan. Untuk keperluan tersebut, tahun 2012 telah disusun 10 (sepuluh) buku bahan sosialisasi PUG Bidang Pendidikan Mudah-mudahan dengan adanya bahan sosialisasi ini dapat meningkatkan kualitas kinerja program/kegiatan pengarusutamaan gender di bidang pendidikan secara keseluruhan.
Jakarta, November 2012 Direkturr Pembinaan Pendidikan M Masyarakat, asya
KATA SAMBUTAN .................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................... BAB I Pendahuluan ............................................................................ BAB II Bahasa Dan Gender ................................................................. BAB III Analisis Responsif Gender ........................................................ BAB IV Pengenalan Bahasa Responsif Gender ...................................... BAB V Bahasa Indonesia: Bahasa Responsif vs Bias Gender ................. BAB VI Mengapa Bahasa Responsif Gender? ........................................ BAB VII Penutup ................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
iii v vii 1 4 8 10 14 18 20 23
M.A., Ph.D. Ella Yulaelawati, Yulaaelawati M A Ph D NIP.195804091984022001
vi
Bahasa dan Responsif Gender
vii
BAB I
Pendahuluan Kerangka Kerja Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan CAPACITY BUILDING STUDI KEBIJAKAN KEMITRAAN PSW KEMITRAAN LSM
PENGUATAN STAKEHOLDERS
MEDIA KIE
Perencana & Pengelola Program
STUDI, WORKSHOP PT/PSW
PENG. MODEL LSM Org. Perempuan Penerbit/ Penulis/ Satuan Pend/ Stakeholders
PKBG/ Life Skills Perempuan
Panduan BA/ Pembelajaran Pengelolaan Satuan Pend. Responsif Gender
DATA & WEBSITE
Pemegang Kebijakan Pusat/ Prov/Kab-Kota
WORKSHOP, RTD, FGD
PENGEMB. PENDATAAN SOSIALISASI
Masyarakat Berwawasan Gender
Analisis situasi/ Profil Gender Pendidikan
Database/ Website Uploading
Rencana & Program Responsif Gender
Kebijakan Responsif Gender Position Paper/ RAN - RAD
KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN
“Perempuan – berbicaraa lebih banyak daripada laki-laki, berbicara terlalu banyak,, lebih santun, tidak dapatt membuat keputusan/ragu-ragu,, mengeluh, mengajukan lebihh banyak per-tanyaan, salingg mendukung satu sama lain, lebihh kooperatif. Sebaliknya, laki-lakii – lebih banyak sumpah serapah,, tidak membicarakan emosi,, berbicara tentang olahraga lebih leebih banyak, banyak berbicara tentang mesin dan perempuan p dalam cara yang sama, lebih sering saling mengejek satu sama lain, kompetitif ddalam berbincang, mendominasi perbincangan, memberikan perbincan lebih banyak perintah dan lebih l sering menginterupsi.” Living Language (George Keith dan John Shuttleworth, 2000)
viii Bahasa dan Responsif Gender
1
Kutipan tersebut menunjukkan pandangan terarah atau diarahkan pada fakta yang terkontraskan atau dikontraskan dari penilaian bahasa komunikasi dan interaksi gender dengan ekstrim yang berbeda. Padahal interaksi bahasa dan gender dapat membangun, mempertahankan bahkan merusak hubungan sosial. Demikian pula interaksi bahasa dan gender sesungguhnya dapat menunjukkan identitas. Sejauh mana interaksi bahasa dan gender? Selama dua dasa warsa terakhir, ahli bahasa, antropolog, psikolog, sosiolog, dan pemikir feminis meneliti berbagai aspek atas pertanyaan di awal paragraf ini. Puluhan bidang studi, ratusan buku maupun jurnal, dan ribuan artikel membahas gender dan bahasa. Tema buku, jurnal dan artikel tersebut secara umum mengungkapkan bahasa seksis, heteroseksis dan rasis, interupsi, grafiti dan bahasa kasar, nama dan bentuk alamat, kesopanan, bahasa anak-anak saat bermain, bilingualisme dan kontak bahasa, metafora, pergeseran makna kata, bahasa ilmu pengetahuan, agama dan perang, intonasi ekspresif, emosional, retorika agama dan politik, variasi sosiolinguistik serta perubahan bahasa. Semua tema ini masih jauh dari cukup dibanding kenyataan bahasa dan gender yang dijumpai seharihari, akan tetapi keragaman tema yang ada telah menunjukkan belum ada koherensi teoretis antara bahasa dengan gender.
Fungsi-fungsi tersebut mungkin lebih jarang diakui karena informasi yang berhubungan dengan kelas atau ras tidak disampaikan sebanyak apa yang kita bincangkan dan seperti kita mengatakannya. Bahasa merupakan sebuah praktik komunikasi yang dimediasi oleh sistem linguistik. Bidang antropologi linguistik dan sosio linguistik menawarkan platform praktik komunikasi dapat didefinisikan secara luas sehingga mewacanakan relasi bahasa dan gender. Menurut sudut pandang antropologi linguistik dan sosiolinguistik, pengetahuan tentang fungsi gramatikal suatu bahasa belum tentu menunjukkan kemampuan atau kecakapan praktik verbal. Hal ini membutuhkan pertimbangan para linguis dan para ahli bahasa pragmatik yang bertitik tolak dari beberapa hal berikut: ● Kebutuhan terhadap konvensi tempat orang terlibat satu sama lain dalam aktivitas linguistik. ● Pengakuan terhadap kompetensi linguistik yang dikembangkan secara terusmenerus bersamaan dengan sistem yang berfungsi dalam situasi sosial. ● Pengembangan dan penguasaan kompetensi linguistik dan kompetensi komunikasi. ● Integrasi lokus sosial dari praktik linguistik dan sistem linguistik yang dikembangkan melalui kategori dan kelompok penutur. Pengakuan terhadap empat pertimbangan di atas merupakan fakta yang menunjukkan bahwa bahasa dan dunia sosial tidak bersifat statis atau terjadi begitu saja. Semua ini dipelihara dan dipertahankan dalam kegiatan sehari-hari. Buku ini membicarakan tentang cara bahasa digunakan untuk membangun dan memelihara tatanan, kategorisasi dan wacana gender, termasuk ketika bahasa dikaitkan secara erat dengan budaya. Bab selanjutnya, buku ini akan membahas bahasa responsif gender termasuk tren pola penggunaan bahasa yang memuat isu gender.
Fungsi paling mendasar dari bahasa adalah mengkomunikasikan informasi, bahasa juga berkontribusi terhadap dua fungsi lain yang sama pentingnya, yaitu untuk: 1. Membangun dan mempertahankan hubungan sosial, dan 2. Mengekspresikan dan menciptakan identitas sosial penutur.
2
Bahasa dan Responsif Gender
3
BAB II
Bahasa dan
Gender
Telah lama diketahui bahwa banyak kebudayaan antara perempuan dan lakilaki menggunakan bentuk bahasa yang berbeda. Perbedaan ini biasa terletak pada gaya (style) daripada pada jenis (variety) bahasa. Selama ini terdapat kesan bahwa perempuan berbicara secara ‘halus’ dalam kontak sosial, meskipun mereka tidak berasal dari daerah atau kalangan kelas sosial atas. Kesan ini lebih diperkuat dengan tidak dijumpai kata-kata makian dan referensi tabu dalam pembicaraan yang biasa dilakukan perempuan. Keadaan yang berbeda dan kebalikan berlaku pada kaum laki-laki. Bagaimana dan mengapa keadaan ini terjadi? Uraian jawaban tersebut akan dibahas secara elaboratif berikut ini. Menurut Chomsky, seorang pakar linguistik, terdapat empat kemungkinan yang berhubungan dengan sosial budaya ketika kita mempelajari bahasa. ● struktur sosial dapat mempengaruhi dan menentukan struktur atau perilaku bahasa. ● struktur dan perilaku bahasa dapat mempengaruhi dan menentukan struktur sosial. ● hubungan keduanya adalah timbal balik. ● struktur sosial dan struktur bahasa sama sekali tidak berhubungan.
satuan lingual yang secara seksis biologis bertujuan untuk membedakan gender, seperti fonem /a/ untuk gender maskulin dan fonem /i/ untuk gender feminin. Namun demikian, perbedaan dalam penggunaan bahasa oleh kaum lakilaki dan perempuan memang sangat sulit untuk dilihat apabila hanya sekadar kecenderungan biologis semata. Banyak hasil penelitian yang mengkaji kaitan bahasa dan gender, kehidupan sosial-politik dan budaya menunjukkan bahwa bahasa laki-laki dan bahasa perempuan memang beda. Perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki semakin tampak ketika memperhatikan sifat dan budaya masyarakat. Sebagian besar masyarakat di seluruh dunia dapat dipastikan bersifat patriarki. Bahasa merupakan salah satu hal yang mengalami diskriminasi dalam kondisi masyarakat patriarki. Oleh karena itu, perempuan mengalami hal yang dilematis dan diskriminatif dari segi bahasa dalam dua hal; pertama, bagaimana mereka diajar untuk berbahasa, dan kedua, bagaimana bahasa memperlakukan mereka. Bahasa akan dimanfaatkan oleh laki-laki, untuk menekan kaum lebih yang lemah, yaitu perempuan. Wujud ketimpangan gender dalam bahasa yang disebabkan budaya patriarki dapat dilihat dari beberapa kasus berikut ini. 1. Sebutan Maskulin dan Feminim Beberapa kosakata membedakan manusia menjadi sebutan yang bersifat feminin dan maskulin, sebagaimana contoh di bawah. Feminin
Apabila mengambil kemungkinan pertama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan hasil konsensus masyarakat. Konsensus itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh dominasi penguasa yang ada karena merekalah yang memiliki kekuatan untuk mengambil kebijakan. Dalam bahasa Indonesia, terdapat satuan-
4
Bahasa dan Responsif Gender
Ibu kota Nenek moyang Putri malu Dewi malam (bulan)
Maskulin Negara Adikuasa Dewa perang Raja hutan Raja siang (matahari) 5
Sama seperti bahasa Indonesia, fenomena sebutan feminin dan maskulin
Dalam bahasa Inggris, ketika seorang peserta didik ingin ke toilet, maka dengan sangat
juga ditemukan dalam bahasa Inggris. Misalnya, pronoun ‘he’ dapat
halus akan mengatakan “May I wash my hands?”. Begitu juga dengan bahasa
merujuk baik perempuan maupun laki-laki, namun tidak berlaku untuk
Indonesia, padanan kalimat setara
‘she’. Fenomena seksis lain, juga dapat ditemukan, ketika bahasa Inggris
dalam konteks ini adalah “Maaf, apa
dengan mudah mendefinisikan peran pekerjaan ke dalam kata ganti subyek.
saya boleh ke belakang sebentar?”
Sebaga contoh nurse memiliki pronoun ‘she’,sedangkan everybody
Tentu saja, kedua ungkapan dalam
diartikan ‘he’. Contoh lain adalah beragam pekerjaan yang memiliki akhiran
dua bahasa tersebut memiliki arti
kata ‘man’ dengan mengabaikan subyek berjenis kelamin perempuan, yakni:
berbeda dari apa yang dimaksudkan.
policeman, mailman, weatherman, dan lain-lain.
Akan tetapi, semua orang mengerti
Kedua fenomena sebutan maskulin dan feminin dalambahasa Indonesia dan bahasa Inggris di atas menunjukkan beberapa kesimpulan menarik. Pertama, sebutan feminin terkesan memiliki nuansa kedamaian, kepasifan, ketenangan, kesabaran. Kata-kata seperti ‘ibu’, ‘nenek’, ‘putri’, ‘dewi’ dan ‘she’ dalam bahasa Inggris seolah-olah menunjukkan “kodrat”; kata-kata ini diciptakan khusus untuk menggambarkan segala sesuatu yang serba pasif, diam, dan damai. Kedua, sebutan yang bercorak maskulin memiliki kesan menguasai, agresif dan kuat. Dalam bahasa Indonesia, kita menemukan hal-hal bersifat kuat atau menguasai yang diwakili dengan kata ‘raja’ atau ‘dewa’, seperti raja hutan (bukan ratu hutan), raja siang (bukan ratu siang), dewa perang (bukan dewi perang) dan dalam bahasa Inggris seperti policeman (bukan policewoman).
maksud dan tujuan utama dari kedua ungkapan tersebut. Eufemisme kemudian muncul dalam konotasi berbeda ketika dibenturkan terhadap pemartabatan perempuan dan laki-laki dalam dunia “kerja”. Kita sama-sama mengetahui frase wanita tuna susila atau sering disingkat WTS, frase ini memang sangat halus dan sopan. Namun demikian, frase ini berlaku surut; hanya untuk perempuan. Kita
tidak
pernah
mendengar kata pria tuna
Contoh dalam konteks Indonesia terdapat spanduk “Selamat Ulang Tahun Pak Polisi”. Dalam hal ini memperingati ulang tahun Kepolisian cenderung mengabaikan keberadaan Polisi Wanita 2. Eufemisme Pekerjaan Eufemisme merupakan upaya penghalusan pengucapan bahasa tertentu. Upaya ini kadang kala memang memunculkan kesan sopan dan penuh tatakrama yang ditujukan agar dalam percakapan tidak membuat orang lain merasa tersinggung atau tidak dihargai. Dalam konteks tertentu eufemisme memang sangat penting untuk dipelajari dan diajarkan. 6
Bahasa dan Responsif Gender
susila atau PTS dan ini adalah salah satu fenomena bahasa patriarki. Sampai di sini, eufemisme nampak digunakan
baik
secara
sadar atau tidak, untuk mereka yang lebih dominan dalam kepemilikan bahasa; tepatnya laki-laki.
7
BAB III
Analisis
Responsif Gender Lebih dari 50% penduduk dunia adalah perempuan, sehingga setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perempuan akan berdampak pada keseluruhan manusia baik perempuan maupun laki-laki. Perempuan dan laki-laki pada masyarakat Indonesia memiliki peran berbeda, akses berbeda terhadap sumber daya dan manfaat, serta tanggung jawab berbeda. Oleh karena itu, kebijakan / program telah dan akan mempengaruhi mereka masing-masing secara berbeda.
Kebijakan, perundang-undangan dan program harus berusaha untuk membangun hasil yang sama untuk pria dan wanita. Kebijakan yang mengabaikan perbedaan ini – atau memperlakukan semua tanpa mempertimbangkan keberpihakan bagi yang perlu – tidak akan memperoleh hasil sama. Untuk mengatasi bias sistemik, diperlukan langkah-langkah proaktif, agar tercapai kebermanfaatan sama bagi semua pihak. Dengan kata lain, jika ingin semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai garis finish, harus diakui bahwa tidak semua orang memiliki garis awal yang sama. Keberpihakan responsif akan membantu agar setiap orang mempunyai garis awal yang sesuai untuk mampu bersaing secara adil. Kebijakan program yang memberi peluang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk bekerja secara maksimal akan menuai hasil yang baik bagi seluruh masyarakat. Sedangkan kebijakan ‘netral’ atau tidak responsif kepada pihak marjinal akan memberikan hasil kurang bermakna bagi masyarakat luas, bahkan cenderung tidak efisien atau mahal bagi pemerintah dan masyarakat.Pengetahuan dan niat baik belum tentu mengurangi bias terhadap perbedaan. Bias sistemik terhadap jenis kelamin, budaya, pendidikan, status ekonomi, dan lainnya harus dikikis secara eksplisit dalam kebijakan dan program pendidikan.
muda, ibu hamil, perempuan lansia, penyandang cacat, etnis minoritas dan sejenisnya.
Menanggapi keragaman masyarakat Indonesia yang majemuk, perlu disusun acuan kebijakan bahasa responsif gender. Kebijakan dan program pendidikan perlu mengakomodasikan kepentingan perempuan dan laki-laki, dan memberikan keberpihakan pada kelompok marjinal sesuai konteksnya, sebagai contoh, perempuan dewasa yang kurang memiliki kesetaraan akses pendidikan sementara pembelajaran menunjukkan keberpihakanatau lebih menantang anak laki-laki. Hal penting lain adalah keseimbangan pengembangan staf secara profesional, seperti keterwakilan perempuan dalam pengambilan
Demikian pula untuk anak laki-laki, remaja, dewasa dan lansia.
keputusan dan tindakan responsif untuk memastikan suara mereka didengar.
Perempuan bukanlah kelompok homogen. Kebutuhan, kepentingan dan keprihatinan perempuan mempunyai kekhasan berbeda-beda terutama untuk anak perempuan, perempuan
8
Bahasa dan Responsif Gender
9
BAB IV
Pengenalan Bahasa Responsif Gender Bahasa responsif gender dimaksudkan untuk memberikan perhatian yang sama terhadap perempuan dan laki-laki. Hal ini merupakan prasyarat memperoleh penghargaan dan perlakuan, serta menjamin kerangka persamaan dalam memperlakukan, memberikan penghargaan, atau meningkatkan harkat dan martabat yang sama. Untuk itu layak memperhatikan prinsip-prinsip di bawahini. 1. Persamaan Perlakuan dan Penghargaan Perempuan berperan serta dalam berbagai hal di masyarakat. Bahasa merupakan media komunikasi yang paling mendasar untuk mencerminkan Ssssssstttt.... dia perawan tua! partisipasi ini. Namun, stereotipe seksual, kalimat yang mengecualikan perempuan dan kata-kata yang merendahkan perempuan masih sering terdengar dalam percakapan sehari-hari atau digunakan dalam bahasa tulis selama Penggunaan berkomunikasi. bahasa seperti ini tidak sesuai dengan tujuan kesetaraan gender. Untuk sungguh-sungguh memberikan persamaan perlakuan, perempuan harus dilihat, didengar dan diperlakukan sama, terutama dalam komunikasi perlu dihindari bahasa yang mudah disalahtafsirkan, stereotipe, candaan yang memojokkan, mengecualikan atau menyinggung harkat dan martabat perempuan. 10
Bahasa dan Responsif Gender
2. Kesetaraan Peluang di Tempat Kerja Partisipasi perempuan meningkat di tempat kerja, bukankemudian menunjukkan telah dicapai keseteraan gender karena kuantitas perempuan di tempat kerja telah terpenuhi. Tetapi perlu dipahami bahwa masih banyak berbagai hambatan bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan penting, penuh tantangan, atau bahkan untuk memperoleh promosi dan pengembangan karir sesuai kemampuan. Bias gender dalam komunikasi masih ada, kadangkala keadaan ini menyudutkan perempuan sehingga membatasi pengakuan terhadap perempuan. 3. Kejelasan Ekspresi Beberapa kata dan ungkapan masih ada yang belum sepenuhnya menyampaikan hal yang ingin dikomunikasikan dengan baik, ada yang menentang, ada juga yang membuka peluang untuk disalahtafsirkan. Komunikasi harus mengandung kejelasan informasi sehingga tidak mudah salah tafsir, seperti contoh di bawah ini. a. BAHASA jangan huruf capital semua Bahasa Paralel Gunakan bahasa paralel ketika merujuk perbedaan gender atau kepada seseorang kurang baik
Lebih baik
Bapak-bapak dan Nyonya-nyonya
Bapak-bapak dan Ibu-ibu, Hadirin sekalian
Saudara-saudara dan nona-nona
Saudara-saudara, Saudara sekalian
Nona-nona yang cantik
Rekan-rekan, Teman-teman
11
Para hadirin sekalian
b. Urutan Kata Banyak percakapan atau bentuk komunikasi lain yang selalu menempatkan laki-laki dalam urutan pertama, sehingga ditafsirkan laki-laki lebih penting dan perempuan kurang penting. Komunikasi yang simpatik dapat menggunakan sebutan generik yang berlaku bagi kedua pihak. Daripada menggunakan panggilan ibu-ibu dan bapak-bapak atau sebaliknya bapak-bapak dan ibu-ibu, lebih baik menggunakan panggilan para hadirin sekalian atau rekan-rekan sejawat. Dalam pertemuan resmi bahkan dapat digunakan panggilan jabatan seseorang, seperti para kepala sekolah, para guru, dan sejenisnya. c. Perempuan sebagai Individu Perempuan sering digambarkan dalam hubungan dengan orang lain bukan sebagai individu. Komunikasi yang responsif akan menghindari sebutan perempuan sebagai istri, mantan istri, ibu, atau nenek seseorang.
Pemenangnya adalah Hastomo dan Dewi
d. Akhiran Feminin Kadang kala terdapat komunikasi menggunakan istilah-istilah serapan dari bahasa asing seperti akhiran feminim –ess, -ette, dan –trix, padahal katakata tersebut memperkuat gagasan subordinasi perempuan dari laki-laki. Gunakan paduan pada tabel di bawah ini apabila ingin menggunakan katakata pinjaman.
Dan tidak ada contoh kata serapan yang menggunakan akhiran -ette Kata Serapan
Penggunaan
Aktris
Pemeran
Direktris
Direktur
Aviatrix
Aviator
Executrix
Executor
Waitress
Pelayan
Sales Promotion Girl (SPG)
Tenaga Promosi Penjualan
Office Boy (OB)
Pelayan Kantor
Hostes
Pramuria
Receptionis
Penerima tamu
Sekretaris
Kerani
misalnya, pemenang lomba masak hari ini adalah Bapak Hastomo dengan istri, lebih baik dikatakan pemenang lomba masak hari ini adalah Hastomo dan Dewi. 12
Bahasa dan Responsif Gender
13
BAB V
Bahasa Indonesia: Bahasa Responsif vs Bias Gender
karena itu, perempuan dalam berbahasa lebih banyak melakukan hiperkoreksi. Realita ini merupakan refleksi bahwa di bawah alam sadar, perempuan menduduki posisi kurang mapan, lebih subordinat, dan lebih inferior, dibandingkan dengan kelompok lelaki. Hal ini juga menunjukkan ketimpangan gender dalam bahasa. Perbedaan lain yang menjurus pada ketimpangan antara ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan ini tampak pada perbedaan kosakata dan ungkapan, fonologis, dan gramatika. Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal pembagian bahasa berdasarkan kategori jenis kelamin atau gender. Dalam bahasa Indonesia tidak ada
Bahasa yang digunakan laki-laki berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh perempuan. Perbedaan tersebut ada dalam semua aspek kebahasaan, yaitu: kosakata, gramatika, dan fonologi, bahkan dijumpai dalam penggunaan dan p e m i l i h a n partikel suatu kalimat. Dalam dianggap Karena
ragam lebih
bahasa, stereotype
inferior.
stereotipe hati-hati
berbahasa,
laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin dinyatakan dengan pertolongan kata lain, yaitu penambahan kata laki-laki dan perempuan di belakang kata yang dimaksud; misalnya murid laki-laki. Sedangkan untuk binatang atau tumbuhan dipakai kata jantan dan betina; misalnya, kuda jantan, sapi betina, bunga jantan, bunga betina.
ini,
maka perempuan perlu lebih
alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan atau membedakan benda -benda jenis
dalam
sehingga
tampak lebih menaati
kelompok
perempuan
Perkembangan bahasa Indonesia banyak menyerap unsur-unsur asing yang mereferensikan pada acuan jenis kelamin tertentu, baik itu berupa leksem, morfem, atau imbuhan-imbuhan lain. Makin marak penggunaan atribut-atribut bahasa yang mengacu pada diferensiasi jenis kelamin membuat bias gender dalam pemakaian bahasa Indonesia menjadi kian transparan. Bahasa Indonesia memiliki cara tertentu dalam penentuan katagori jenis kelamin,
norma-norma
baku
misalnya melalui penggunaan sufiks [-wan], [-man], dan fonem /a/ untuk maskulin;
kebahasaan
dan
serta sufiks [–wati], dan fonem /i/ untuk feminin (Parera, 1994:32). Hingga saat ini,
kecenderungan
setiap kata yang berakhiran [-wan] atau [-man] merupakan tanda untuk laki -laki,
selalu menggunakan
secara pasti memiliki pasangan tanda untuk perempuan. Perhatikan contoh berikut:
bahasa
(contoh di bawah ini letakkan dalam kotak dan diberi warna soft)
yang
berprestise,
wartawan
><
wartawati,
sedangkan pada
seniman
><
seniwati,
lelaki tidak ada
peragawan
><
peragawati
“ ke h a r u s a n ” seperti ini. Oleh 14
Bahasa dan Responsif Gender
Tetapi dalam kenyataan, ada beberapa kata yang tidak memiliki pasangan feminin seperti contoh di atas, perhatikan kata-kata berikut: 15
budiman,
pahlawan,
bahasawan,
bangsawan,
hartawan,
ilmuwan,
sejarahwan,
cendekiawan,
budayawan
Dengan demikian, dapat dianggap bukti bahwa ada bias gender dengan maskulinitas dan feminitas bahasa Indonesia. Sebagai bahasa yang mempunyai sistem aglutinasi atau pengambilan pada akhir kata yang mengakibatkan perubahan makna atau perubahan pemakaian, makna kata bahasa Indonesia yang hadir sebagai akibat dari proses afiksasi sangat penting untuk diketahui. Afiks-afiks memiliki peran dan fungsi dalam membentuk makna gramatikal dan menentukan arti kata tersebut.
Berdasarkan hasil analisis binner, kata-kata seperti siswa, mahasiswa, saudara, putra, bendahara, wartawan, karyawan , atau olaragawan bersifat umum (generik, netral) karena dapat digunakan untuk laki-laki maupun perempuan. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan kata-kata seperti: siswi, saudari, putri, wartawati, karyawati, atau olahragawati yang hanya eksklusif untuk perempuan saja. Kenyataan ini menunjukkan dualisme sikap perlakuan yang membedakan kata-kata tertentu serta menunjukkan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia menyangkut perbedaan aktifitas, nilai, dan kebiasaan antara laki -laki dan perempuan.
Afiks serapan -wan/-man/-wati mempunyai fungsi sebagai sufiks pembentuk nomina. Sedangkan nosi dari afiks tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. orang yang ahli di bidang…misal: ilmuwan, budayawan, seniman, suarawati, 2. orang yang bergerak dalam atau berprofesi dalam…misal: karyawati, wartawan, santriwat, atau 3. orang yang memiliki barang atau sifat khusus misalnya dermawan, hartawan, rupawan, bangsawan. Seperti sufiks –wan/-man/-wati, sufiks –in, -ah, -at, -ita, -ni, -anda, dan -andus juga berfungsi membentuk nomina. Walaupun demikian, makna dan arti di antara keduanya tidaklah sama. Alat bantu lain untuk melakukan analisis penunjukan laki-laki dan perempuan adalah dengan metode analisis biner, dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata biner berarti terjadi dari atau ditandai oleh 2 benda atau dua bagian. Analisis biner ini diterapkan dengan cara membandingkan unsur-unsur maskulin dan feminin yang dimiliki oleh sebuah kata. Misalnya, pada pasangan kata siswa dan siswi, kata siswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk laki -laki dan perempuan. Sebaliknya, kata siswi lebih bersifat khusus karena hanya diperuntukkan bagi perempuan.
16
Bahasa dan Responsif Gender
17
BAB VI
Mengapa Bahasa Responsif Gender ? Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu secara mendasar tidak memiliki bentuk lingual atau pemarkah?(apa artinya?) gramatikal yang menunjukkan sifat maskulin atau feminin dari sebuah kata. Namun demikian karena unsur serapan bahasa lain, bahasa Indonesia memiliki beberapa pemarkah lingual yang menandai maskulinitas dan feminitas. Pemarkah itu antara lain: 1. sufiks : -wan, -wati, -man, -in, -ah, -at, -ita, -ni, -anda,dan–andus, serta 2. fonem : /a/ dan /i/ di akhir kata.
Bias gender dalam berbahasa bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai yang hidup di masyarakat, peran sosial, dan budaya. Bias ini semakin jelas dengan melihat polarisasi gender yang menunjukkan status perempuan dianggap inferior dan laki-laki memiliki status superior.Sebagai salah satu upaya memperjuangkan kesetaraan gender antara lakilaki dan perempuan melalui bahasa, maka dapat dimulai dengan mengurangi termasuk membatasi penggunaan pemarkah-pemarkah bahasa yang menunjukkan keberpihakan pada jenis kelamin tertentu. Di saat yang sama juga perlu lebih dimasyarakatkan penggunaan elemen-elemen bahasa yang memiliki asosiasi makna lebih netral.
Proses morfologis pada bentuk maskulin dan feminin dalam bahasa Indonesia merupakan reduplikasi, afiksasi, dan pergantian. Ketiga proses tersebut menimbulkan infleksi yang menyatakan kategori jenis kelamin sehingga memunculkan bias gender dalam bahasa Indonesia. Bias ini ditandai oleh kedudukan kata-kata yang berpihak pada laki-laki (bentuk maskulin) secara umum bisa digunakan untuk laki- laki atau perempuan, sedangkan kata -kata untuk perempuan (bentuk feminin) hanya berlaku untuk perempuan. Perhatikan sekali lagi kata-kata, seperti: mahasiswa, saudara, putra, bendahara , wartawan, karyawan, atau olaragawan yang bisa bersifat umum (generik, netral). Sedangkan kata-kata lainseperti: siswi, saudari, putri, wartawati, karyawati, atau olaragawati hanya bersifat eksklusif untuk perempuan.
18
Bahasa dan Responsif Gender
19
BAB VII
Penutup Penelitian bahasa dan gender yang ada sejauh ini telah melihat banyak dimensi penggunaan bahasa yang berbeda dan telah menawarkan beragam hipotesis tentang interaksi antara gender dan bahasa. Namun demikian, penelitian tersebut tidak kemudian memunculkan pandangan koheren atas gender atau interaksinya dengan bahasa. Sejauh ini, penelitian hanya teori yang cenderung menggambarkan berbagai unsur konsepsi populer gender antara lain, sebagai satu set atribut individu yang ditentukan seks (seperti “feminin” atau “maskulin”) atau sebagai hubungan penindasan perempuan oleh lakilaki.
Gender sebagai atribut individu kemudian sering dipahami secara beragam; seringkali dengan cara mengasumsikan bahwa feminitas dan maskulinitas muncul secara independen dari hubungan satu sama lain dan hubungan ke dimensi kategorisasi sosial lain. Meskipun telah ada sejumlah upaya untuk memahami hubungan manusia dengan bahasa, hanya sedikit kemajuan dalam mengartikulasikan secara eksplisit hubungan praktik sosial dengan sistem dan struktur linguistik. Banyak ahli bahasa mengabaikan penelitian terbaru dalam teori sosial yang bisa memperdalam pemahaman kita tentang dimensi kognitif praktik sosial. Perhatian lebih lanjut yang diberikan akanmenambah pemahaman bahwa hubungan manusia dengan kategori gender merupakan sesuatu yang dibangun dan dibentuk secara sosial (termasuk secara bahasa). Ilmu Sosiolinguistik belum memberikan perhatian banyak terhadap pengertian “perempuan” dan “laki-laki”, termasuk terhadap konstruksi hubungan gender dan hak. Dominasi sering dilihat sebagai bentuk penghormatan atau bahkan paksaan, sementara aspek hubungan gender lain –seperti daya tarik seksual diabaikan. Pekerjaan teoritis studi gender masih belum populer di kalangan ahli teori masyarakat dan budaya, dan studi Sosiolinguistik jarang sekali mengambil pelajaran dari perkembangan terkini studi gender. Pakar Sosiolinguistik mempertanyakan bagaimana bahasa dan gender perlu membangun jembatan ke komunitas lain yang praktik ilmiahnya lebih fokus pada gender. Banyak ahli bahasa berbicara tentang gender hanya karena perbedaan jenis kelamin tampak sebagai variabel signifikan dalam studi mereka. Perbedaan jenis kelamin berkaitan dengan munculnya fenomena seperti variasi, intonasi atau penggunaan ketidaklangsungan bahasa dalam wacana. Upaya mereka adalah mengelaborasi beberapa aspek tertentu dari penggunaan bahasa atau struktur linguistik Namun demikian, mereka melupakan bertanggung jawab atas teori gender, bahkan merasa tidak bertanggung jawab atas teori linguistik di luar bidang spesialisasi mereka sendiri. Perhatian lebih besar terhadap kepentingan gender dalam linguistik tidak hanya menjadi porsi dari penelitian etnografi semata dimana kategori gender akan bercampur aduk dengan kategorisasi sosial lain (seperti kelas, usia, ras) di
20
Bahasa dan Responsif Gender
21
masyarakat. Namun demikian, masih terdapat kesulitan yang lebih besar daripada sekedar membuat generalisasi dini masyarakat tentang konten substantif hubungan antara gender dan bahasa. Setiap kajian informasi dan rinci suatu bahasa akan memberikan pemahaman terhadap bahasa, dan setiap kajian terhadap kelompok sosial akan memberikan pemahaman tentang dunia sosial dan budaya. Ahli bahasa dan antropolog berpendapat bahwa pemahaman yang muncul akan lebih bersifat formal daripada substantif sehingga studi banding diperlukan untuk memperoleh beberapa acuan berkenaan dengan rentang kemungkinan bahasa, pikiran, dan kehidupan sosial manusia. Peningkatan signifikan pengkajian bahasa dan gender mulai saat ini harus melibatkan integrasi pada tingkat yang belum tercapai selama ini. Integrasi ini dapat dilakukan secara sederhana melalui kerjasama intensif antara ahli dalam berbagai bidang pekerjaan dan berbagai latar belakang komunitas. Kajian lebih lanjut bahasa dan gender memerlukan sebuah komunitas interdisipliner yang mampu melakukan praktik ilmiah. Kerjasama serupa ini tidak hanya semata-mata di antara ahli yang berbeda bidang pekerjaan dan keilmuan, tetapi juga kerjasama di antara ahli yang melakukan pekerjaan serupa di lebih dari satu komunitas. Upaya kolaboratif ini memungkinkan pandangan yang lebih kaya berkaitan dengan dinamika gender di masyarakat, sehingga memudahkan generalisasi dan menggali hubungan gender dengan dinamika bahasa. Kajian ini tidak akan menjadi studi tentang perempuan atau laki-laki namun lebih menggambarkan konstruksi sosial “perempuan” dan “laki-laki” serta antar “perempuan” dan “laki-laki”. Dengan demikian, kajian gender dan bahasa dapat menjadi sebuah pendekatan terhadap praktik berbahasa dan berkomunikasi di masyarakat. Sehingga kelak dapat dipahami relasi penting interaksi sosial dan kognitif antara bahasa dan gender.
Daftar Pustaka Aitchison, J. (2001). Language Change: Progress or Decay? 3rd edn. Cambridge: Cambridge University Press. Baker, C. (1996). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism. Clevedon: Multilingual Matters. Barrett, Rusty. (1998). “Markedness and Styleswitching in Performances by Drag Queens.” Codes and Consequences: Choosing Linguistic Varieties. Carol Myers-Scotton, ed. New York: Oxford University Press. Bhasin, K. (1990). What is Patriarchy. New Delhi: Kali for Women. Budiman, A. (1981). Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia. Coates, J. (1986). Women, Men and Language: A Sociolinguistic Account of Sex Differences in Language. London: Longman. Crystal, D. (1998). Language Play. Harmondsworth: Penguin. Crystal, D. (2000). Language Death. Cambridge: Cambridge University Press. Crystal, D. (2004). The Stories of English. London: Penguin Books. Drury, R. (2007). Young Bilingual Learners at Home and School. Researching Multilingual Voices. Stoke-on-Trent: Trentham Books. Eckert, Penelope. (1989). “The Whole Woman: Sex and Gender Differences in Variation.” Language Variation and Change 1. Engel, D.M. and Whitehead, M.R. (1996). ‘Which English? Standard English and language variety: some educational perspectives’, English in Education, 30(1): 36–49. Frank, F. dan F. Ashen. (1983). Language and the Sexes. New York: State University of New York Press.
22
Bahasa dan Responsif Gender
23
Gelfer, Marylou Pausewang, and Kevin J. Schofield. (2000). “Comparison of Acoustic and Perceptual Measures of Voice in Male-to-Female Transsexuals Perceived as Female Versus Those Perceived as Male.” Journal of Voice 14.1. Kirk, J. dan M.L. Miller. (1986). Reliability and Validity in Qualitative Research. Beverly Hills: Sage Publication. Kulick, Don. (2000). “Gay and Lesbian Language.” Annual Review of Anthropology 29. Lakoff, Robin. (1975). Language and Woman’s Place. New York: Harper and Row. Siraj-Blatchford, I. and Clarke, P. (2000). Supporting Identity, Diversity and Language in the Early Years. Buckingham: Open University Press. Spender, D. (1985). Man Made Language. London: Routledge & K. Paul. Tannen, Deborah. (1990). You Just Don’t Understand: Women and Men in Conversation. New York: Morrow.
24
Bahasa dan Responsif Gender