BAHASA DAN PENCITRAAN: STRATEGI KEBAHASAAN DALAM WACANA POLITIK Ni Wayan Sartini FIB UNAIR Surabaya
[email protected] Abstrak Politik adalah masalah kekuasaan, yaitu kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain dan sering juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahkan keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang dari sudut politik. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan strategi-strategi kebahasaan yang digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu khususnya pencitraan dalam budaya politik. Para politisi sangat sadar bahwa salah satu strategi yang ampuh untuk menimbulkan pencitraan adalah dengan bahasa. Analisis wacana kritis dapat membongkar maksud, tujuan, motivasi penggunaan bahasa dalam budaya politik seperti slogan politik, reklame politik, ungkapan-ungkapan dalam konteks politik dan sebagainya. Bahasa dalam wacana politik bertujuan untuk membujuk para pendengar atau warga masyarakat agar percaya pada validitas dari klaim-klaim politisi. Dalam hal ini, bahasa digunakan untuk pencitraan politik. Untuk mencapai tujuan ini para politisi menggunakan strategi linguistik (bahasa) agar terkesan wajar dan masuk akal. Strategi tersebut antara lain strategi implikatur. Implikatur adalah strategi linguistik dalam politik agar pendengar dapat memahami sendiri asumsi-asumsi di balik sebuah informasi tanpa harus mengungkapkan asumsi-asumsi itu secara eksplisit. Strategi linguistik yang lainnya adalah penggunaan eufemisme, gaya bahasa (metafora), leksikalisasi, istilah atau jargon-jargon dan struktur gramatika tertentu. Kata kunci : strategi linguistik, politik, pencitraan, wacana kritis. Abstract Politics is about authority, which is an authority of making decisions, controlling resources, controlling people behavior, and controlling people values. In fact, some common decisions in everyday life can be observed from politics view. George Orwell stated that in this age, people are always related to politics, thus all problematic things are always categorized as problems of politics. Moreover in politics, every activity always contains implicit and explicit purposes. Also, language cannot be separated from politics. All intentions and purposes are enfolded in language. The aim of language used in politics is to persuade audience or the society in order to make them trust in the validity of politics claims. Here, language is used as an effort to build politics image. In achieving this purpose, politicians use linguistic strategy to be impressed as plausible. That strategy is known as implicature. Implicature is a linguistic strategy in politics to cause audience understanding assumption behind the information without expressing them explicitly. Another linguistic strategy used is applying euphemism, figurative language (metaphora), lexicon, slogan, and definite grammar structures. Keywords : linguistic strategy, politics, purpose, critical discourse.
1. Pendahuluan Bahasa dan politik bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Hal ini sesuai dengan pepatah lama yaitu bahasa menunjukkan bangsa. Dalam konteks politik, pepatah tersebut bermakna; dengan bahasa yang digunakan dalam kancah politik dapat menunjukkan kepribadian tokoh pengguna bahasa tersebut. Oleh sebab itu, para politisi berusaha menggunakan bahasa sebagai alat pencitraan diri sang tokoh. Citra baik dan buruk seorang tokoh salah satunya ditentukan oleh penggunaan bahasa. 171
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Pencitraan merupakan proses pembentukan citra melalui informasi yang diterima oleh khalayak secara langsung melalui media sosial atau media massa (Arifin, 2011:178). Hal itu berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap pesan yang menyentuhnya. Sebagai bagian dari persuasi, pencitraan dapat dilakukan melalui berbagai strategi, mulai dari cara yang paling sederhana atau tradisional sampai pada cara-cara yang paling modern. Apapun cara yang ditempuh untuk pencitraan, bahasa memegang peranan penting. Dalam dunia politik pencitraan dapat dilakukan melalui bahasa. Bahasa dan politik adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bahasa digunakan untuk tujuan tujuan politik. Politik pada dasarnya ada pada kehidupan sehari-hari. Seperti yang dikatakan oleh Thomas & Shan Wareing (2007:50) politik adalah masalah kekuasaan, yaitu kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya,mengendalikan perilaku orang lain dan sering kali juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahkan keputusankeputusan biasa yang dibuat sehari-hari pun dapat dipandang dari sudut politik. Politik dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu itulah politik mempunyai peran penting. Politik dapat mencakup banyak jenis kegiatan, mulai dari; (a) proses pembuatan kebijakan nasional (politik pemerintahan), (b) kesetaraan gender (politik seksual); (c) persaingan dalam kelompok yang erat jalinannya, seperti persaingan antarrekan sekantor dalam memperebutkan jabatan yang biasanya dilakukan dengan membocorkan atau menyimpan rahasia (politik kantor), (d) cara orang menegosiasikan peran yang harus mereka jalankan dalam kehidupan pribadi mereka; (e) sejarah sistem politik, (f) kegiatan-kegiatan yang terkait dengan transportasi, pemukiman dan konsumsi yang dapat memperngaruhi lingkungan (politik lingkungan). Oleh sebab itu, kita sebenarnya tidak bisa lepas dari masalah politik (Thomas & Shan Wareing, 2007:53). Melihat kenyataan sehari-hari, bahasa memang tidak pernah lepas dari politik, betapa phobia pun sebagian di antara kita akan politik itu. Memilih memakai bahasa atau kata-kata tertentu, menekankan pengertian tertentu atas kata, bahkan memakai dialek tertentu tak lain dari berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas ( Pabottinggi, 1990:23). Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk sesuatu realitas monolitik. Bahasa adalah suatu kegiatan sosial. Secara sosial ia terikat, dikonstruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu, ketimbang tertata menurut yang diatur secara ilmiah dan universal (Heryanto, 1990). Bahasa lewat artikulasi kebahasaan mempengaruhi tindakan-tindakan politik. Oleh sebab itu bahasa memiliki peran penting dalam telaah ilmu sosial (Hikam,1996:77). Selanjutnya dikatakan, dalam telaah politik, akhir-akhir ini pemahaman lewat bahasa (language discourse) semakin diakui pentingnya, terutama setelah muncul pascamodernisme dan pascastrukturalisme dalam kancah filsafat dan epistemologi modern. Bahasa dan praktik kebahasaan tidak lagi dimengerti dalam konteks perspektif konvensional yaitu sebagai alat dan medium netral yang dipakai untuk menjelaskan kenyataan sosial-politik. Namun, semakin disadari bahwa bahasa di dalam dirinya tampil sebagai representasi dari dan ruang bagi penggelaran berbagai macam kuasa. Oleh sebab itu, bahasa kemudian dilihat pula sebagai salah satu ruang tempat konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, kuasa, proses hegemoni dan hegemoni tandingan terjadi. Tulisan ini akan membahas bagaimana bahasa tidak lagi menjadi sekadar alat komunikasi melainkan bahasa digunakan untuk praktik-praktik tertentu seperti pencitraan dalam budaya politik.Untuk itu akan diuraikan strategi-strategi kebahasaan yang digunakan 172
Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
untuk pencitraan politik. 2. Pandangan Bahasa dalam Konsep Wacana Kritis Dalam politik, bahasa digunakan tidak sekadar berkomunikasi, tetapi digunakan untuk maksud dan tujuan-tujuan tertentu. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme- empirisme. Pandangan kedua disebut konstruktivisme sedangkan pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ketiga ini mengoreksi pandangan konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional (Eryanto, 2000:6). Selanjutnya dikatakan bahwa bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagi representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Dalam konteks politik, bahasa digunakan sebagai strategi untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan dan mendapat efek tertentu, pembicara dalam hal ini politisi memaksimalkan bahasa dengan berbagai pirantinya. Hal ini dilakukan karena para politisi sadar bahwa bahasa itu memiliki efek yang sangat dahsyat dalam rangka membentuk opini atau mengubah opini masyarakat dan bahkan membentuk subjek-subjek tertentu dengan kehebatan bahasa. Pengguna bahasa atau pembicara mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa, kalimat, namun juga aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-tujuan pragmatik dalam situasi sosial (Sobur, 2004:49). Bahasa digunakan sebagai suatu strategi guna mencapai tujuan yang diinginkan seperti untuk pencitraan, membuat pernyataan, membuat permohonan, membuat janji-janji politik, membuat argumen-argumen, dan tawaran-tawaran dengan menggunakan kekuatan bahasa. Untuk mengetahui dan membongkar praktik-praktik terselubung dalam bahasa, wacana kritis (Critical Discourse Analysis) telah menyediakan teori-teori wacana seperti yang disampaikan oleh van Dijk (1980), Foowler, Foucoult, Sara Mills, Fairclough dan sebagainya. Kerangka analisis wacana kritis tersebut berlandaskan analisis mikro yaitu analisis pada aspek kebahasaan kemudian menghubungkannya dengan konstruksi budaya tempat bahasa tersebut digunakan. Dengan demikian, akan diketahui apa motivasi dan tujuan-tujuan penggunaan aspek bahasa tertentu dalam suatu masyarakat tidak terkecuali dalam budaya politik. Sebagai contoh van Dijk (1980) menganalisis teks media dengan pendekatan wacana kritis (dengan elemen analisis mikro yang menekankan analisis pada kajian bahasa yaitu semantik, sintaksis, stilistika, dan retoris. Analisis semantik meliputi latar, detil, maksud, pranggapan, dan nominalisasi. Analisis sintaksis meliputi bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Kajian stilistika meliputi penggunaan leksikon, sedangkan analisis retoris meliputi grafis, metafora, ekspresi dan pengingkaran. Seluruh elemen-elemen tersebut merupakan bagian dari analisis bahasa (linguistik) untuk mengetahui maksud dibalik penggunaan strategi kebahasaan tersebut. Pencitraan dalam budaya politik dibentuk dengan menggunakan aspek-aspek bahasa seperti yang telah disebutkan di atas. Para politisi sadar bahwa dengan pembentukan kalimat yang tepat dengan memanfaatkan diksi-diksi tertentu dipastikan dapat memunculkan citra-citra Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
173
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
personal atau kelompok tertentu. 3. Strategi Kebahasaan untuk Pencitraan dalam Wacana Politik Strategi adalah cara yang digunakan atau ditempuh pembicara untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal ini cara yang digunakan oleh para politisi dalam kancah perpolitikan memiliki maksud dan tujuan tertentu pula. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan strategi kebahasaan (linguistik). Wacana tidak pernah lepas dari konteks politik dan bahasa yang digunakan tidak bermakna konvensional melainkan bahasa untuk mempengaruhi atau bahkan membongkar praktikpraktik kekuasaan. Wacana politik dilandaskan pada satu prinsip yaitu bahwa persepsi orang terhadap masalah-masalah atau konsep tertentu bisa dipengaruhi oleh bahasa. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh politisi adalah membujuk para pendengar atau warga masyarakat agar percaya pada validitas dari klaim-klaim seorang politisi. Menurut van Dijk (2004; dalam Mandarani, 2013:20) ada berbagai strategi yang digunakan dalam konteks politik untuk pencitraan baik tokoh maupun partai. Strategi tersebut antara lain (a) strategi actor description; (b) strategi pengajuan argumentati fotoritas, (c) strategi pembebanan; (d) strategi kategorisasi; (e) strategi perbandingan; (f) strategi pengajuan konsesus; (g) strategi pengajuan sanggahan balik; (h) strategi pengajuan sanggahan (disclaimer); (i) strategi mengemukakan eufemisme; (j) strategi pembuktian; (k) strategi pengajuan contoh; (l) strategi generalisasi; (m) strategi hiperbola; (n) strategi implikasi (implikatur); (o) strategi ironi; (p) strategi leksikalisasi; (q) strategi metafora; (r) strategi persangkaan (presupposition); (s) strategi pengajuan contoh; (t) strategi pemuliaan diri; dan beberapa strategi lain yang sifatnya politis. Di antara strategi yang diajukan van Dijk tersebut beberapa di antaranya merupakan strategi linguistik. Strategi itu, antara lain strategi implikasi (implikatur) pengajuan eufemisme, strategi hiperbola, strategi ironi, strategi leksikalisasi, strategi metafora, strategi penggambaran negatif pihak lain, pengajuan ungkapan normatif, dan strategi persangkaan (presuposisi). Strategi-strategi tersebut memaksimalkan penggunaan bahasa untuk tujuan-tujuan tertentu antara lain pencitraan. 3.1 Implikatur Salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan adalah implikatur. Implikatur adalah cara di mana pendengar bisa memahami sendiri asumsi-asumsi di balik sebuah informasi tanpa harus mengungkapkan asumsi-asumsi itu secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah informasi tambahan yang bisa dideduksi dari sebuah informasi tertentu (Jones dan Waering, 1999). Sejalan dengan itu, Grice mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu yang berbeda itu adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dapat dikatakan bahwa implikatur adalah maksud, keinginan atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi (Ahmad dan Abdullah, 2013:37). Van Dijk menyebut strategi ini dengan strategi implikasi (implication) yaitu pembicara tidak selalu harus mengungkapkan apa yang diketahui atau diyakini secara eksplisit. Implikatur berkaitan erat dengan pengupasan makna dalam komunikasi. Wacana harus dikupas untuk memahami maksud dan makna yang ingin disampaikan. Dengan menggunakan strategi linguistik pragmatik ini, perasaan wajar dan masuk akal dapat ditumbuhkan kepada pendengar dengan cara menambahkan pendapat-pendapat dari pembicara atau politisi di balik informasi tanpa harus mengungkapkan secara eksplisit. 174
Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Implikatur dapat digunakan untuk membuat orang secara tidak sadar menerima begitu saja pendapat-pendapat yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan lagi. Dalam komunikasi politik, penggunaan implikatur adalah sesuatu yang wajar karena implikatur dapat menyamarkan maksud,keinginan,motif-motif yang ada di balik wacana yang dilontarkan. Contoh (1); ungkapan seorang politisi dalam berkampanye mengatakan “Mari menuju ke era yang lebih baik” menyiratkan bahwa semua masyarakat sepakat bahwa sistem politik saat ini perlu diperbaiki sehingga pendapat bahwa sistem yang ada saat ini perlu diperbaiki lagi menjadi terasa wajar dan masuk akal bagi orangorang yang sepakat dengan pernyataan tersebut. Penggunaan bahasa dalam slogan-slogan politik berusaha untuk mengubah ideologi masyarakat sehingga dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Ini merupakan salah satu strategi linguistik dalam komunikasi politik. Contoh (2); pernyataan yang mengandung implikatur adalah “Ada kekuatan besar dalam kasus korupsi itu”. Pernyataan tersebut tidak secara jelas menunjuk pada instansi atau sosok tertentu, namun secara implisit bermakna ada suatu kekuasaan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Contoh (3); slogan politik “Membangun negara tanpa korupsi”juga mengandung implikatur yakni mengandung maksud yang tidak diungkapkan secara eksplisit yaitu mengandung implikatur bahwa pemerintahan saat ini sarat dengan korupsi. Oleh sebab itu kalau ingin pemerintahan yang bersih pilihlah tokoh tersebut. Contoh (4); reklame politik dalam pemilu presiden “Jadilah Presiden yang Memimpin, Bukan Dipimpin” merupakan pernyataan yang mengandung implikatur. Reklame tersebut ditujukan kepada lawan politik salah satu calon presiden yang menyiratkan bahwa seorang presiden jangan menjadi boneka dari seseorang yang dianggap lebih berkuasa sehingga seorang presiden tidak bisa tegas dalam mengambil keputusan. Slogan atau reklame politik cenderung mengandung implikatur untuk menyakinkan masyarakat tanpa harus mempertanyakan kebenarannya. Inilah salah satu piranti politik untuk menimbulkan pencitraan untuk tujuan-tujuan tertentu. 3.2 Penggunaan Eufemisme Strategi eufemisme merupakan strategi dalam penggunaan pernyataan yang menghaluskan makna. Bahasa politik sebagian besar terdiri atas eufemisme, pendapat-pendapat yang patut dipertanyakan dan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas. Orwell (dalam Thomas, 1994) mengatakan bahwa bahasa dari kalangan politik dirancang untuk membuat pembunuhan kedengarannya mulia, serta untuk membuat omong kosong kedengarannya menyakinkan. Eufemisme juga terjadi dalam komunikasi politik di Indonesia. Seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. Komunikasi politik saat itu banyak diwarnai oleh kramanisasi bahasa. Anderson mengatakan bahwa bahasa Indonesia sudah kehilangan etos revolusionernya. Ia tertimpa proses penghalusan (eufemisme) sehingga dinamika yang semula menandainya kini tidak ada lagi. Meski wajahnya tetap sama, namun isinya sesungguhnya lain. Selanjutnya dikatakan bahwa terlepas dari kata-kata ngoko bahasa kebangsaan itu telah menjadi semakin elitis, tidak lagi merakyat sebagaimana Melayu revolusioner yang merupakan pokoknya. Singkatnya, ia sudah mengalami proses kramanisasi, ia sudah terperangkap dalam imaji orang-orang Jawa tentang politik dimana topeng punya peranan penting. Pabottinggi (1996) mengatakan kramanisasi yang dimaksudkan oleh Anderson Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
175
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
tidak lain dari penekanan terpadu pada prinsip kehalusan dan anggapan tentang kebutuhan sosiologis akan “topeng”. Di sini kehalusan dan topeng dipandang menyatu, yang satu tidak jadi tanpa yang lain. Bahasa dipakai secara tidak bermuka-muka, secara tidak langsung ke masalah, melainkan ditopang oleh praktik yang menghargai sikap tidak terus terag (indirection). Praktik ethok-ethok seperti yang ditekankan Geertz pada subkultur priyayi agaknya juga memenuhi fungsi yang sama. Beberapa contoh eufemisme dalam wacana politik . (1) Ada dugaan penyalahgunaan wewenang (2) Telah terjadi kesalahan prosedur dalam penggunaan anggaran. (3) Beberapa anggota dewan telah diamankan oleh pihak berwajib. (4) Bahan bakar minyak akan mengalami penyesuaian harga. (5) Ketua umum partai sudah dibebastugaskan. (6) Lembaga pemasyarakatan menjadi tempat bagi para koruptor. Kata-kata yang dicetak miring seperti kesalahan prosedur penghalusan dari korupsi, diamankan penghalusan dari ditangkap, penyesuaian harga penghalusan dari kenaikan harga, dibebastugaskan merupakan bentuk halus dari dipecat,dan lembaga pemasyarakatan istilah halus untuk penjara. Konsekuensi dari penghalusan kata-kata dalam wacana politik tersebut adalah terjadinya kooptasi makna kata-kata itu sendiri sehingga makna harfiah kata itu belum sampai pada masyarakat. Pernyataan (1) dugaan penyalahan wewenang, (2) kesalahan prosedur merupakan pernyataan yang sangat santun walaupun sebenarnya ada tindakan penyuapan yang benarbenar dilakukan. Kata dugaan digunakan sangat hati-hati dalam rangka menjaga stabilitas dan secara pragmatik hal itu dilakukan untuk menyelamatkan muka (face) masing-masing pihak. Kata-kata yang tidak dihaluskan (dikramanisasi) dapat mengancam muka masingmasing pihak (face threatening act) akibatnya ada pihak-pihak yang kehilangan muka (dipermalukan). Untuk menyelamatkan muka orang-orang tertentu, segala penrnyataan itu dihaluskan agar tidak menimbulkan efek secara langsung. 3.3 Penggunaan Diksi (leksikalisasi) Roger Fowler dkk. (dalam Eryanto, 2000) melihat bahasa sebagai sistem klasifikasi. Bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial. Akan tetapi sistem klasifikasi ini berbeda-beda antara seseorang atau satu kelompok dengan kelompok lain karena kelompok yang berbeda mempunyai pengalaman budaya, sosial, dan politik yang berbeda. Fowler melihat bagaimana pengalaman dan politik yang berbeda itu dapat dilihat dari bahasa yang dipakai, yang menggambarkan bagaimana pertarungan sosial terjadi. Sebagi contoh kata campur tangan, tebang pilih, dan sebagainya membawa konsekuensi bahwa ada campur tangan pemerintah dalam sistem hukum kita dan memilih kasus-kasus tertentu untuk diusut dan disidang. Dalam kasus akhir-akhir ini, ketika ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), wacana-wacana politik pun bergulir dengan berbagai diksi untuk kasus tersebut. Pernyataan “Delapan hakim itu sekarang jadi orang tercurigai”. Leksikal tercurigai muncul dalam konteks bahwa hakim-hakim MK dicurigai menerima suap walaupun belum tentu benar. Kata ini muncul setelah ada kata terperiksa yang merujuk pada sosok yang diperiksa dalam proses peradilan. Frase politik dinasti saat ini ditujukan pada kasus suap yang melibatkan adik seorang gubernur. Setelah ditelusuri, diketahui bahwa 176
Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
dinasti politik terjadi karena posisi-posisi strategis dalam pemerintahan gubernur tersebut dipegang oleh anak, keponakan, adik, ibu tiri dan sebagainya. Leksikalisasi ini muncul tentu tidak semata-mata hanya sebagai kata-kata konvensional, tetapi ada muatan-muatan politik dalam leksikol tersebut. Oleh karena itu, kosa kata tertentu bukan hanya tidak netral dan tidak menggambarkan realitas, tetapi juga mengandung penilaian. Linguistik kritis dalam hal ini membedah dan membongkar kemungkinan pemakaian diksi-diksi tertentu untuk melegitimasi seseorang atau suatu gagasan atau marjinalisasi seseorang atau suatu gagasan. Strategi dalam pilihan-pilihan linguistik tersebut menurut Roger Fowler membawa nilai ideologis tertentu. Penggunaan kata,kalimat, susunan, dan bentuk kalimat tertentu, proposisi tidak dipandang semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi ekspresi dari ideologi yaitu upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain (Eryanto,2000:133). Menurut van Dijk (1980) strategi leksikalisasi ini merupakan penyebutan katakata kunci yang menjadi dasar dari konsep dan keyakinan pihak tertentu. Sebagai contoh sebuah partai menyatakan bahwa partai mereka bersih, santun, dan jujur diyakini sebagai kata-kata kunci yang menjadi dasar dari konsep partai tersebut. Dengan kata-kata kunci itu, masyarakat diharapkan memiliki keyakinan yang sama sehingga tingkat elektabilitas partai akan naik. 3.4 Struktur Gramatika Dalam komunikasi politik, persoalan bahasa menjadi sangat penting karena berhubungan dengan penonjolan-penonjolan terhadap suatu objek atau peristiwa. Fowler (dalam Eryanto, 2000) memandang bahasa sebagai satu set kategori dan proses. Secara umum ada tiga model yang diperkenalkan yaitu model transitif yang melihat bagian mana yang dianggap sebagai penyebab suatu tindakan dan bagian mana sebagai akibat dari suatu tindakan. Model kedua adalah intransitif yang menghubungkan seorang aktor dengan proses tanpa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek yang dikenai. Model yang ketiga adalah relasional yakni model yang menggambarkan hubungan antara dia entitas atau benda. Gramatika tidak hanya berhubungan dengan persoalan teknis kebahasaan, juga bukan semata-mata persoalan cara menulis, tetapi berkaitan erat dengan bentuk kalimat karena bentuk kalimat menentukan makna kalimat yang dihasilkan. Ada dua bentuk kalimat yaitu aktif dan pasif. Dalam kalimat aktif yang ditekankan adalah subjek pelaku suatu kegiatan, sedangkan dalam kalimat pasif yang ditekankan adalah sasaran dari suatu pelaku atau tindakan. Orwell (1999) menyarankan jangan menggunakan bentuk pasif kalau bisa gunakan bentuk aktif. Hal ini terkait dengan tata bahasa. Penggunaan bentuk kalimat aktif biasanya memberikan informasi yang lebih jelas dan lebih langsung. Penggunaan bentuk kalimat pasif bersifat lebih formal, lebih rumit dan karena informasi yang diberikan lebih sedikit maka sulit dipahami. 3.5 Penggunaan Hiperbolisme dan Metafora Retorika adalah seni kuno yang mengajarkan tentang berbicara yang elegan dan persuasif. Prinsip-prinsip dasar retorika Yunani Kuno dapat memperkuat dampak yang ditimbulkan oleh ucapan atau tulisan para politisi. Dalam retorika ini sering digunakan gaya-gaya bahasa yang konkret untuk mendapatkan gambaran yang konkret dan bukan sekadar gambaran abstrak tentang sesuatu yang disampaikan. Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
177
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Gaya bahasa yang sering digunakan dalam wacana politik adalah hiperbolisme yakni gaya bahasa yang mengajukan pernyataan yang melebihkan makna. Sebagai contoh pernyataan dari seorang tokoh yang mengatakan “MK bersih seratus persen”tentu sangat melebih-lebihkan makna karena kenyataannya terjadi juga kasus penyuapan dalam tubuh Mahkamah Konstitusi. Di samping itu, dalam wacana politik Indonesia seorang politisi selalu mengajukan pernyataan yang melebihkan-lebihkan makna tentang sosok pemimpinnya, tentang kelebihan-kelebihan partai, dan hal-hal yang berkaitan dengan program-program politik. Di samping gaya bahasa, dalam wacana politik juga digunakan metafora yang merupakan sebuah strategi linguistik yang digunakan untuk mendapatkan efek-efek tertentu. Strategi metafora merupakan strategi yang menggunakan kata-kata kiasan yang mengandung makna lebih kuat dari kata yang sebenarnya. Ketika seorang politisi ditolak menjadi Ketua Komisi III DPR RI alasannya karena dianggap sebagai badut, atau pernyataan Gus Dur tentang anggota DPR RI sebagai taman kanak-kanak, para koruptor sebagai tikus-tikus, dan sebagainya. Frase pintu masuk dalam pernyataan “Kasus tersebut merupakan pintu masuk kasus-kasus yang lainnya”. Frase pintu masuk dianalogikan sebagai pembuka pertama untuk mengusut kasus-kasus lainnya. Begitu juga dengan frase dinasti politik. Frase semacam ini sangat berguna bagi para politisi karena dengan frase ini, sebuah gambaran tentang kondisi politik dapat disajikan dengan sederhana. Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai sebuah kiasan, yakni sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaannya, lebih tepatnya dalam proses denominasi (Ricour, 2002:106). Lebih lanjut dikatakan, metafora merupakan permainan bahasa yang menata penamaan sesuatu. Metafora merepresentasikan perluasan makna dari suatu nama melalui deviasi dari makna literal kata. Dari contoh-contoh yang sering kita temuai dalam wacana politik Indonesia, para politisi cenderung menggunakan metafora untuk tujuan-tujuan dan motivasi-motivasi tertentu. Gaya bahasa memiliki beberapa fungsi penting dalam wacana politik yakni membuat ide-ide yang abstrak menjadi lebih mudah diterima dan selain itu juga memiliki kekuatan ideologis yang besar karena seringkali menghubungkan apa yang disampaikan politisi dengan pengalaman sehari-hari yang punya makna emosional yang besar bagi pendengar. 4. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa untuk tujuan-tujuan politik, salah satunya adalah pencitraan. Strategistrategi linguistik yang digunakan dalam wacana politik adalah implikatur, eufemisme, leksikalisasi, struktur gramatika, metafora, dan hiperbolisme. Penggunaan strategi-strategi ini memiliki tujuan-tujuan tertentu. Dengan strategi linguistik ini, salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh politisi adalah membujuk para pendengar atau warga masyarakat agar percaya pada validitas dari klaim-klaim seorang politis. Penggunaan bahasa dalam wacana politik tidak tidak semata-mata menyampaikan informasi, melainkan ada motivasi dan maksud serta tujuan yang ingin dicapai. Strategi dalam pilihan-pilihan linguistik membawa nilai ideologis tertentu. Penggunaan kata, kalimat, susunan, dan gramatika tertentu, tidak dipandang sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik semata tetapi merupakan ekspresi dari ideologi yaitu upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain. 178
Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
Vol.1, No.2 Agustus 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Daftar Pustaka Anderson, Benedict R.O’G. 1996. “Bahasa Politik Indonesia” dalam Bahasa dan Kekuasaan. ( Ed.) Yudi Latif dan Idy Subandi Ibrahim. Bandung : Mizan Arifin, Anwar. 2011. Komunikasi Politik. Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana. Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta : Kencana
Eryanto. 2001. Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : Lkis
Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Mandarani, Vidya. 2013. “Pencitraan Joko Widodo dan Fauzi Bowo dalam Media Harian Kompas pada Pilkada DKI Jakarta 2012”. Thesis : Magister Program Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya Pabottinggi, Mochtar. 1996. “Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan” dalam Bahasa dan Kekuasaan. 1996. ( Ed.) Yudi Latif dan Idy Subandi Ibrahim. Bandung : Mizan Ricour, Paul. 2002. Filsafat Wacana. Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta : IRCiSod Thomas, Linda dan Shan Wareing.1999. Language, Society, and Power. New York : Routledge Van Dijk, Teun A. 1977. Text and Context. London: Longman
Bahasa dan Pencitraan: Strategi Kebahasaan dalam Wacana Politik Ni Wayan Sartini
179