WUJUD KEBAHASAAN DALAM WACANA HUMOR KAJIAN SEMIOTIKA Iwan Marwan STAIN Kediri;
[email protected]
ABSTRACT Humor can come about because of consciousness or unconsciousness. Unconscious humor is more spontaneous and natural, because it does not mean to be humor. This kind of humor occurs because of the awkwardness or bad-known person in responding the situation, words, and person act. For instance, a child’s response or reaction of the parent’s words is able to be humor. The purpose of this research is to reveal the language used in Alain Le Saux’s book. This book is about picture and text, which describes the child understanding of the man’s utterance. An approach which is used in this study is semiotic. The result of the analysis shows the language used in the form of polysemi, compound word, idiom and metaphor. The narrator tries to create the humor with the use of word or group which has other meaning so emerge meaning deviation. Kata-Kata Kunci: Humor, bahasa, simbol wujud kebahasaan sesuai kemampuan dan pengalaman pencipta humor. Jika pengalamannya sering bergelut di bidang olahraga atau agama maka humor yang dimunculkan pun mengandung tema, gaya bahasa, dan wujud kebahasaan tentang keolahragaan dan keagamaan. Buku karya Alain Le Saux merupakan buku bacaan yang memuat ungkapanungkapan orang dewasa yang ditujukan kepada seorang anak. Ungkapan tersebut disajikan dalam bentuk teks dan tafsiran anak tersaji dalam bentuk gambar. Tafsiran anak dalam bentuk gambar tersebut menimbulkan kelucuan, karena adanya penyimpangan makna. Menurut teori humor Wilson (1979:10) tindakan humor tersebut menunjukkan pada teori ketidakselarasan (cognitive-perceptual). Menurut teori ini humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang kompleks. Ketidaksejajaran atau ketidaksesuaian bagian-bagian itu dipersepsikan secara tiba-
PENDAHULUAN Humor menarik bagi setiap orang dalam kehidupan, karena tersenyum dan tertawa merupakan bagian dari perilaku dan kompetensi manusia (Raskin, 1944:2). Dapat dikatakan humor merupakan salah satu bentuk teknik komunikasi rekreatif atau bersifat menghibur dan menarik perhatian, selain humor juga mampu mengungkapkan pesan dan maksud secara efektif (Rachmat: 2007:23). Setiap orang tersenyum dan tertawa dapat disebabkan oleh adanya kelucuan atau situasi lucu baik secara spontan atau disengaja oleh pencipta humor. Pencipta humor sengaja mengkreasi bentuk humor melalui permainan kata-kata, gambar, gaya bahasa, dan nalar agar maksud yang disampaikan dapat dicerna dan diterima dengan terasa santai dan ‘halus’. Konteks lingkungan dan latar belakang pencipta humor sangat mempengaruhi terhadap humor yang dihasilkan, sebagaimana tercermin pada gaya, tema, dan 1
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
tiba oleh penikmatnya. Sejalan dengan Wilson, Koestler (1964:35) mendefinisikan model bisosiasi kognitif, yaitu sebuah teori yang menafsirkan atau mempersepsikan satu situasi atau satu ide, logika ke dalam kerangka yang tidak sama, di mana peristiwa ini terjadi secara bersamaan dan tidak mengacu pada satu asosiasi konteks. Dalam pandangan Raskin tentang klasifikasi tindakan humor, humor tersebut merujuk pada tipe humor yang tidak disengaja (unintended humor) atau tidak bermaksud untuk melucu. Pemahaman anak dalam gambar sebagai tafsiran yang bersifat natural dan anak tersebut tidak bermaksud untuk melucu atau membuat kejenakaan. Dalam perpektif semiotika humor, Dorfles (1968) menyatakan humor terjadi karena adanya pelepasan atau pergeseran tanda (kata) dari konteksnya. Humor dianggap sebagai ‘jenis pesan’ tertentu yang berlangsung ketika keadaan komunikasi ditentukan dari sebuah perubahan hubungan antara tanda dan referen. Pada kenyataannya, tanda tidak selamanya mengacu pada referen (natural), namun juga pada referen yang bersifat paradoksal (Attardo, 1994:175-176). Jadi, semiotika memandang kejenakaan atau humor terjadi karena adanya signifiant yang tidak menunjukkan relasi makna dengan signifié. Kajian ini memfokuskan pada bentuk atau wujud kebahasaan yang digunakan dalam buku karya Alain Le Saux. Wujud kebahasaan Dapat dikatakan satu tanda mengacu pada referen yang berbeda dari konteks yang dimaksud. yang an ubahan merupakan hal yang tidak ia pada prti ini fenomena Dalam pandangangilustrasi tersebut tidak dalam Ungkapan orang dewasa ditafsirkan oleh anak dalam bentuk gambar. Untuk mengkaji konten humor dalam buku Alin Le Saux tersebut, analisis semiotika dipergunakan juga dalam tulisan ini. Semiotika adalah ilmu yang mengkaji
tanda. Penggagas ilmu ini adalah seorang filsuf Amerika Charles Sanders Pierce (1839-1913) dan seorang linguist atau ahli bahasa Perancis Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang dianggap bapak linguistik modern. Istilah semiotika merupakan cetusan Pierce, sedang Saussure menggunakan istilah semiologi. Dalam semiologi Saussure menegaskan bahwa tanda memiliki tiga aspek, yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (baik berupa suara, huruf, betuk, gambar, maupun gerak) yang dijadikan penunjuk (signifier/penanda), dan aspek mental atau konseptual yang ditunjuk oleh aspek material (signified/petanda) (Sunardi, 2002: 47-48). Hubungan antara penanda dan petanda, menurut Saussure, adalah bersifat arbitrer (semena/bebas). Dengan kata lain, penanda tidak memiliki hubungan alamiah petanda (Berger, 2000: 12). Sebuah tanda akan memiliki nilai (value) menurut Saussure, jika disandingkan (oposisi) atau dihubungkan (relasi) dengan tanda-tanda lain dalam sebuah sistem (sintagma), yang ia sebut dengan difference (perbedaan) ( Chandler, 2002:24). Semiotika Saussure ini kemudian dielaborasi oleh Roland Barthes. Dalam sistem semiologi tingkat kedua, Barthes menggunakan istilah berbeda untuk ketiga aspek tanda, yaitu form (signifier) concept (signified), dan signification (sign) (Sunardi, 2002:104). Peirce dikenal dengan konsep triadik dan trikotominya, yakni representament, objek, dan interpretan. Representamen berfungsi sebagai tanda (Saussure menamakannya signifier). Object adalah sesuatu yang diwakili oleh representamen yang berkaitan dengan acuan. Object dapat berupa representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa sesuatu yang nyata di luar tanda. Interpretant merupakan makna dari tanda. Pada beberapa kesempatan, ia menggunakan istilah significance, signification, atau 2
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
interpretation. Tanda sendiri tidak dapat mengungkapkan sesuatu. Tanda hanya menunjukkan. Tugas penafsir memberi makna berdasarkan pengalamannya (Nöth, 1995:42—43). Melalui penelitian kualitatif, data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode dokumentasi (Arikunto, 1996: 234). Datadata yang terseleksi berupa teks yaitu ungkapan orang dewasa dan gambar sebagai tafsiran pemahaman seorang anak. Data tersebut dianalisis dengan teori semiotika. Proses penganalisisan data-data tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Mencari makna leksikal untuk mencari signified dari kata yang dianalisis (signifier) dengan bantuan kamus (Perancis-Indonesia); b. Mencari makna kontekstual setiap ungkapan yang mengandung kelucuan; c. Mengungkap unsur humor; d. Membuat kesimpulam signifiesignifiant berupa bentuk kebahasaan dari setiap ungkapan.
Secara leksikal, kata porte berarti “membawa, menjinjing, dan memakai. Kata bombe memiliki makna ‘bom peledak’ dan ‘topi’. Ambiguitas ungkapan tersebut karena kata-kata tersebut tidak bermakna tunggal atau polisemi. Penggunaan kelompok kata porte dan bombe dapat berarti ‘membawa bom’ atau ‘memakai topi’. Jadi, ungkapan ‘papa m’a dit que pour faire du cheval, il fallait que je porte une bombe’ mengandung dua makna ‘ayah telah mengatakan kepadaku jika naik kuda hendaknya membawa bom atau memakai topi’. Secara kontekstual ungkapan tersebut bermakna ‘ayah telah mengatakan kepadaku jika naik kuda hendaknya membawa bom memakai topi’. Dalam pandangan semiotika ungkapan tersebut sebagai penanda (signifier) bagi encodage (ayah), sedangkan gambar sebagai petanda (signified) bagi decodage (anak). Humor pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) mengartikan kata bombe dengan ‘bom peledak’, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah ‘topi’. Lawan tutur atau anak beranggapan jika melakukan olah raga berkuda harus membawa bom peledak. Sebagaimana dikatakan Wilson (1979) bahwa penafsiran satu ide ke dalam kerangka yang tidak sama akan menimbulkan kelucuan. Kelucuan tersebut terjadi karena adanya ketidakselarasan pemahaman tuturan antara ayah sebagai penutur dan anak sebagai petutur. Ungkapan porte une bombe pada kalimat di atas ‘memakai topi’, sementara
PEMBAHASAN Milner (1972:16) menyatakan bahwa satu situasi, satu konteks linguistik, dua hal yang bertabrakan akan menciptakan banyak bentuk humor, seperti pun (permainan katakata). 1. Polisemi Polisemi adalah makna lain yang berasal dari kata tersebut, seperti kata ‘bisa’ disamping bermakna ‘racun ular’, dapat juga bermakna ‘mampu’ atau dapat. Polisemi dalam wacana humor adalah penggunaan kata yang menghasilkan makna yang lebih dari satu. Gambar 1
3
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
jika ia menguasai tiga bahasa’. Dalam pandangan semiotika ungkapan qu’il possedait trois langues’ sebagai penanda (signifier) bagi encodage (ayah), sedangkan gambar sebagai petanda (signified) bagi decodage (anak). Kelucuan pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) mengartikan kata langue dengan ‘lidah’, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah ‘bahasa’. Lawan tutur atau anak beranggapan jika ayahnya memiliki tiga lidah. Sebagaimana dikatakan Wilson (1979) bahwa penafsiran satu ide ke dalam kerangka yang tidak sama akan menimbulkan kelucuan. Kelucuan tersebut terjadi karena adanya ketidakselarasan pemahaman tuturan antara ayah sebagai penutur dan anak sebagai petutur. Ungkapan possedait trois langues pada kalimat di atas berarti ‘menguasai tiga bahasa’, sementara pada gambar ditampilkan oleh anak yang melihat ayahnya menjulurkan tiga lidah. Berikut tabel pemaknannya.
pada gambar ditampilkan oleh anak yang membawa bom.
Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifie pour faire du cheval, il fallait que tu portes une bombe
jika naik kuda hendaknya kamu memakai topi
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifie (ucapan) (gambar) papa m’a ayah telah dit que mengatakan pour faire kepadaku du cheval, jika naik il fallait kuda que je hendaknya porte une membawa bombe bom
Contoh polisemi lainnya terdapat pada gambar 2 sebagai berikut. Gambar 2
Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifié
Kata posseder berarti ‘memiliki’ sebagai makna pertama atau makna pusat. Selain itu posseder mengandung makna menguasai sebagai makna sampingan atau makna kedua. Begitupun demikian dengan kata langue berarti ‘lidah’ sebagai makna pusat dan juga bermakna ‘bahasa’ sebagai makna sampingan. Ambiguitas ungkapan tersebut karena kata-kata tersebut mengandung polisemi. Penggunaan kelompok kata posseder dan langue dapat berarti ‘memiliki tiga lidah’ atau ‘menguasai bahasa’. Jadi, ungkapan ‘papa m’a dit qu’il possedait trois langues’ mengandung dua makna ‘ayah telah mengatakan kepadaku jika ia memiliki tiga lidah dan menguasai tiga bahasa’. Secara kontekstual ungkapan tersebut bermakna ‘ayah telah mengatakan kepadaku
il possedait trois langues’
Ia menguasai tiga bahasa
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifié (ucapan) (gambar) papa m’a ayah telah dit qu’il mengatakan possedait kepadaku trois jika ia langues’ memiliki tiga lidah
2. Kata majemuk Kata majemuk adalah kelompok kata yang memiliki makna tertentu, yang dapat diidentifikasi dari makna leksikalnya atau dapat dipahami dengan melihat makna kata secara terpisah. Gambar 3
4
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
merujuk pada makna pertama. Sebagaimana dikatakan Sibarani (2003:356) bahwa dalam memunculkan humor atau kelucuan seringkali pencipta humor memanfaatkan bentuk kelompok kata, baik frase maupun kata majemuk. Selain itu, Marwan (2003) menyatakan penyimpangan makna dengan bentuk kata majemuk dapat menimbulkan kelucuan. Ungkapan faire du lèche-vitrines pada kalimat di atas berarti berjalan-jalan melihat etalase toko, sementara pada gambar ditampilkan oleh anak yang melihat ibunya sedang menjilati kaca atau etalase toko. Berikut tabel pemaknaannya.
Ungkapan ‘faire du lèche-vitrines’ merupakan kelompok kata yang terdiri dari beberapa leksem yang memiliki makna tertentu. Verba faire berarti membuat, lèche yang berasal dari verba lecher bermakna ‘menjilati’, dan vitrines sebagai nomina jamak bermakna ‘etalase’ (toko). Jika mengacu ke makna pertama maka ungkapan tersebut bermakna ‘melakukan atau menjilati etalase toko’. Jadi, secara leksikal makna ungkapan maman m’dit qu’elle adorait faire du lèche-vitrines adalah ibu telah mengatakan kepadaku jika ia suka menjilati etalase toko. Secara kontekstual, ungkapan tersebut mengandung makna ibu telah mengatakan kepadaku jika ia suka berjalan-jalan melihat etalase toko. Makna kontekstual ini ditemukan karena ungkapan tersebut memiliki struktur kelompok kata yang memiliki makna yang berbeda dengan makna leksikalnya. Kelompok kata tersebut merupakan kata majemuk yang mempunyai makna tertentu. Kelucuan pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) memahami ungkapan faire du lèche-vitrines dengan mengacu pada makna pertama yaitu ‘menjilati’ etalase toko, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah berjalan-jalan melihat etalase toko. Lawan tutur atau anak beranggapan jika ibunya suka melakukan atau menjilati etalase toko. Penggunaan kata majemuk pada data di atas menimbulkan kelucuan, karena anak memahami ungkapan dengan mengartikan kata-kata dalam ungkapan secara makna leksikal yang
Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifie elle adorait faire du lèchevitrines
ia suka berjalanjalan melihat etalase toko
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifie (ucapan) (gambar) maman m’a ibu telah dit qu’elle mengatakan adorait faire kepadaku jika du lècheia suka vitrines menjilati etalase toko
Humor pada kalimat majemuk muncul pula dalam kasus seperti pada gambar 4 Gambar 4
Ungkapan ‘tombe sur’ merupakan kelompok kata yang terdiri dari beberapa leksem yang memiliki makna tertentu. Verba tombe berasal dari akar kata tomber berarti ‘jatuh’, sur merupakan preposisi yang bermakna ‘di atas’. Jika mengacu ke makna pertama maka ungkapan tersebut adalah ‘jatuh di atas’. Jadi, secara leksikal makna papa m’a dit que dans la rue il etait tomber sur un copain adalah ayah telah 5
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
mengatakan kepadaku bahwa di jalan raya ia jatuh di atas seorang teman. Secara kontekstual, ungkapan tersebut mengandung makna ayah telah mengatakan kepadaku jika ia di jalan raya bertemu dengan teman. Makna kontekstual ini ditemukan karena ungkapan tersebut memiliki struktur kelompok kata yang memiliki makna yang berbeda dengan makna leksikalnya. Kelompok kata tersebut merupakan kata majemuk yang mempunyai makna tertentu. Kelucuan pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) memahami ungkapan tombe sur un copain dengan mengacu pada makna pertama yaitu jatuh di atas, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah bertemu dengan. Lawan tutur dalam hal ini anak beranggapan jika ayahnya di jalan raya jatuh di atas teman. Penggunaan kata majemuk pada data di atas menimbulkan kelucuan, karena anak memahami ungkapan dengan mengartikan kata-kata dalam ungkapan secara terpisah atau merujuk pada makna pertama. Sebagaimana dikatakan Sibarani (2003:356) bahwa dalam memunculkan humor atau kelucuan seringkali pencipta humor memanfaatkan bentuk kelompok kata, baik frase maupun kata majemuk. Selain itu, Marwan (2003) menyatakan penyimpangan makna dengan bentuk kata majemuk dapat menimbulkan kelucuan. Ungkapan tomber sur un copain pada kalimat di atas berarti ‘bertemu dengan seorang teman’, sementara pada gambar ditampilkan oleh anak yang melihat ayahnya jatuh di atas seorang teman. Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifié tomber sur un copain
bertemu dengan seorang teman
3. Idiom Idiom adalah bentuk kelompok kata yang unik memiliki makna khusus, dan makna yang tidak ada kedekatan dengan makna leksikal secara terpisah. Pada wacana humor makna ini digunakan untuk membentuk penyimpangan makna yang dapat memunculkan kelucuan. Gambar 7
Ungkapan ‘prendre la porter’ merupakan kelompok kata yang terdiri dari beberapa leksem yang memiliki makna tertentu. Verba prendre berasal dari akar kata prendre berarti ‘mengambil’, la porte merupakan nomina yang bermakna ‘sebuah pintu’. Jika mengacu ke makna pertama maka ungkapan tersebut adalah ‘mengambil pintu’. Jadi, secara leksikal makna ungkapan Ma maỉtresse a dit a David de prendre la porte pare qu’il regardait par la fenêtre adalah guruku berkata kepada David untuk mengambil pintu sebab ia melihat lewat jendela. Secara kontekstual, ungkapan tersebut mengandung makna guruku telah mengatakan kepada David supaya pergi karena ia melihat lewat jendela. Makna kontekstual ini ditemukan karena ungkapan tersebut memiliki struktur kelompok kata yang memiliki makna yang berbeda dengan makna leksikalnya. Kelompok kata tersebut merupakan bentuk idiom karena bentuk ini tidak menunjukkan kedekatan makna leksikalnya.
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifié (ucapan) (gambar) papa ma’dit ayahnya di que dans la jalan raya rue il etait jatuh di atas tomber sur un teman. copain
6
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
Kelucuan pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) memahami ungkapan prendre la porte dengan mengacu pada makna pertama yaitu ‘mengambil pintu’, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah ‘pergi’. Lawan tutur dalam hal ini anak beranggapan jika gurunya berkata kepada David untuk mengambil pintu karena ia melihat lewat jendela. Penggunaan kata idiomatis ini menimbulkan kelucuan, karena anak memahami ungkapan dengan mengartikan kata-kata dalam ungkapan secara terpisah atau merujuk pada makna pertama (leksial). Sebagaimana dikatakan Ross (1998:15) bahwa compound word sering dimanfaatkan dalam mengkreasi humor atau kelucuan. Ditegaskan pula oleh Wijana (1982:25) bahwa bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan secara metaforik seperti idiom atau peribahasa sering diubah bentuknya atau sering disejajarkan dengan bentuk lain berdasarkan analogi. Ungkapan prendre la porte pada kalimat di atas berarti ‘pergi’, sementara pada gambar ditampilkan seorang anak yang melihat David membawa pintu ke luar. Dalam tampak perbedaan pemahaman antara penutur dan lawan tutur. Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifie prendre la porte
Pergi
Ungkapan ‘fera le pont’ merupakan kelompok kata yang terdiri dari beberapa leksem yang memiliki makna tertentu. Verba fera berasal dari akar kata faire berarti ‘membuat’ dan ‘melakukan’, le pont merupakan nomina yang bermakna ‘jembatan’. Jika mengacu ke makna pertama maka ungkapan tersebut adalah ‘membuat jembatan’. Jadi, secara leksikal makna ungkapan Ma maỉtresse a dit que Lundi on fera le pont adalah guruku berkata bahwa Senin nanti kita akan membuat jembatan. Secara kontekstual, ungkapan tersebut mengandung makna guruku telah mengatakan bahwa Senin nanti kita akan menyambung liburan. Makna kontekstual ini ditemukan karena ungkapan tersebut memiliki struktur kelompok kata yang memiliki makna yang berbeda dengan makna leksikalnya. Kelompok kata tersebut merupakan bentuk idiom karena bentuk ini tidak menunjukkan kedekatan makna leksikalnya Kelucuan pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) memahami ungkapan fera le pont dengan mengacu pada makna pertama yaitu ‘membuat jembatan’, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah ‘menyambung liburan’. Lawan tutur dalam hal ini anak beranggapan jika gurunya berkata bahwa Senin nanti kita akan membuat jembatan. Penggunaan kata idiomatis ini menimbulkan kelucuan, karena anak memahami ungkapan dengan mengartikan kata-kata dalam ungkapan secara terpisah atau merujuk pada makna
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifie (ucapan) (gambar) Ma maitresse a guruku berkata dit a David de kepada David prendre la untuk porte pare qu’il mengambil regardait par la pintu sebab ia fênetre melihat lewat jendela
Humor pada idiom juga terjadi pada kasus berikut seperti pada gambar 6 Gambar 6
7
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
pertama (leksial). Sebagaimana dikatakan Ross (1998:15) bahwa compound word sering dimanfaatkan dalam mengkreasi humor atau kelucuan. Ditegaskan pula oleh Wijana (1982:25) bahwa bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan secara metaforik seperti idiom atau peribahasa sering diubah bentuknya atau sering disejajarkan dengan bentuk lain berdasarkan analogi. Ungkapan fera le pont pada kalimat di atas berarti ‘menyambung liburan’ sementara gambar menyajikan seorang anak yang melihat teman-temannya menyaksikan gurunya sedang membuat jembtan. Dalam hal ini tampak perbedaan pemahaman antara penutur dan lawan tutur seperti tabel berikut ini.
Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifié fera le pont
Menyambung liburan
Ungkapan ‘un poisson dans l’eau’ merupakan kelompok kata yang memiliki makna tertentu. Nomina un poisson berarti ‘ikan’ dan l’eau’ merupakan nomina yang bermakna ‘air’. Jika mengacu ke makna pertama maka ungkapan tersebut adalah ‘ikan dalam air’. Jadi, secara leksikal makna ungkapan Papa m’a dit qu’il etait heureux comme un poisson dans l’eau’ adalah ayah mengatakan kepadaku bahwa ia merasa bahagia seperti ikan dalam air. Secara leksikal makna ungkapan Papa m’a dit qu’il etait heureux comme un poisson dans l’eau’ adalah ayah mengatakan kepadaku bahwa ia merasa bahagia seperti ikan dalam air. Secara kontekstual, ungkapan tersebut bermakna bahwa ayah telah mengatakan kepadaku kalau ia merasa bahagia sekali. Makna kontekstual ini ditemukan karena ungkapan un poisson dans l’eau merupakan perumpamaan untuk menegaskan atau menguatkan rasa bahagia. Kebahagiaan itu disejajarkan dengan ikan yang hidup di dalam air. Pada kenyataannya telah diketahui tidak ada ikan yang senang dan bahagia hidup selain di dalam air. Penggunaan makna metaforis ini tidak menunjukkan kedekatan makna leksikalnya Kelucuan pada data di atas muncul karena karena lawan tutur (interloucteur) memahami ungkapan comme un poisson dans l’eau dengan mengacu pada makna pertama yaitu ‘bagai ikan dalam air’, sedangkan makna yang dimaksud penutur adalah ‘bahagia sekali’. Lawan tutur dalam
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifié (ucapan) (gambar) Ma maitresse guruku a dit que berkata Lundi on fera bahwa Senin le pont nanti kita akan membuat jembatan
4. Metafora Metafora adalah majas dengan analogi, kontras, persamaan langsung, didalamnya makna kata atau frase tertentu dipindahkan pada domain baru. Penggunaan metafora pada wacana humor adalah pemanfaata bentuk metafora dalam memunculkan humor. Gambar 7:
8
Jurnal Al-Tsaqafa volume 10, No.1, Juli 2013
hal ini anak beranggapan jika ayahnya berkata bahwa ia bahagia bagaikan ikan dalam air. Penggunaan kata metaforis ini menimbulkan kelucuan, karena anak memahami ungkapan dengan mengartikan kata-kata dalam ungkapan secara terpisah atau merujuk pada makna pertama (leksikal). Sebagaimana dikatakan pula oleh Wijana (1982:25) bahwa bentukbentuk kebahasaan yang dipergunakan secara metaforis seperti idiom atau peribahasa sering diubah bentuknya atau sering disejajarkan dengan bentuk lain berdasarkan analogi. Ungkapan comme un poisson dans l’eau pada kalimat di atas berarti ‘bahagia sekali’ sementara gambar menyajikan seorang anak yang melihat ayahnya berenang dalam air seperti ikan. Dalam hal ini tampak perbedaan pemahaman antara penutur dan lawan tutur seperti pada tabel berikut ini.
Kalimat langsung Encodage-Penutur Signifiant Signifié heureux comme un poisson dans l’eau’
Sangat bahagia atau bahagia sekali
Humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk baik teks maupun gambar untuk menarik pembaca humor. Humor tekstual lebih banyak memanfaatkan diksi atau pilihan kata, sementara humor gambar lebih banyak menggunakan tampilan warna dan animasi gambar. Menurut fungsinya, humor digunakan untuk menyampaikan gagasan baik pesan atau kritikan baik individual maupun komunal. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (1996). Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta: Rineka Cipta Attardo, Salvatore. 1994. Lingustics of Humor. New York: Mouton de Gruyter. Berger, Arthur Asa. (2000). Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: The Basics. Canada: Routledge. Le Saux, Alain Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Raskin, V. 1994. Semantics Mechanism of Humor. Holland: D. Reidel Publishing Company. Saussure, F. 1972. Cours de Linguistique Générale. Paris: Payot Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Wilson, C.P. 1979. Jokes: Form, Content, Use and Function. London: Academic Press.
Kalimat tidak langsung Decodage-petutur Signifiant Signifié (ucapan) (gambar) Papa m’a dit ayah qu’il etait mengatakan heureux kepadaku comme un bahwa ia poisson dans merasa bahagia l’eau’ seperti ikan dalam air.
SIMPULAN Wujud kebahasaan dalam buku Alain Le Saux mencakup empat bentuk, yaitu polisemi, kata majemuk, idiom, dan metafora. Wujud kebahasaan ini sering dimanfaatkan pencipta humor untuk menimbulkan penyimpangan makna. Kelucuan akan terjadi karena adanya ketidaksesuaiaan antara pemahaman penutur dan lawan tutur. Perbedaan pemahaman ini biasanya dilatarbelakangi oleh ketidaktepatan pilihan kata yang digunakan, atau bisa juga disebabkan status sosial yang berbeda. 9