Bagian III Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu
Ringkasan Penetapan waktu tanam dan pola tanam yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan panen dan produksi tanaman pangan. Kearifan lokal dan cara konvensional yang digunakan untuk menetapkan pola tanam telah mengalami bias akibat kegalauan dan pergeseran awal musim tanam. Oleh karena itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) menyusun atlas kalender tanam yang didasarkan kepada aktivitas petani serta variabilitas iklim, khususnya tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Pada prinsipnya atlas kalender tanam memberikan gambaran tentang waktu tanam dan rotasi tanaman yang dominan di masing-masing kecamatan untuk setiap musim selama siklus satu tahun. Atlas kalender tanam belum memuat informasi prakiraan sifat hujan sehingga pengguna belum dapat secara langsung menentukan awal waktu tanam musim tanam kedepan. Permasalahan tersebut dipecahkan dengan menggabungkan informasi kalender tanam dari Balitbangtan dengan prakiraan hujan, yang disebut sebagai kalender tanam dinamik. Pada perkembangannya, kalender tanam dinamik dilengkapi menjadi kalender tanam terpadu. Karena, selain membutuhkan informasi awal waktu tanam pada setiap level kecamatan, pengguna membutuhkan informasi wilayah rawan terkena bencana, dan informasi rekomendasi teknologi berupa pupuk, varietas, kebutuhan benih, dan mekanisasi pertanian yang perlu disiapkan pengguna sebelum masuk periode musim tanam berikutnya.
99
Bab 4 Atlas Kalender Tanam
Dasar Pemikiran Salah satu tantangan dalam sistem produksi pertanian, baik pada tingkat nasional, regional, dan lokal adalah dinamika iklim yang tercermin dalam bentuk variabilitas iklim menurut ruang (antar daerah/wilayah, perbedaan topografi) dan waktu (musim, antar musim, tahun, dan antar tahun). Tantangan ini semakin berat karena suhu udara secara global terus meningkat, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim global (Runtunuwu dan Kondoh 2008). Perubahan iklim global ditandai antara lain oleh peningkatan intensitas kejadian anomali iklim, baik iklim ekstrem basah, terutama fenomena , maupun iklim kering seperti fenomena . Kegalauan curah hujan yang seiring dengan terjadinya perubahan iklim, tidak hanya menyebabkan perubahan jumlah curah hujan, tetapi juga menyebabkan pergeseran awal musim hujan dan awal musim kemarau. Fluktuasi, frekuensi, dan intensitas anomali iklim yang makin meningkat, sangat nyata pengaruhnya terhadap produksi padi, sebagai akibat dari penurunan luas tanam, luas panen, dan hasil pada saat terjadi anomali iklim. Anomali iklim berdampak juga terhadap perubahan pola tanam, baik di lahan sawah irigasi maupun lahan tadah hujan. Oleh sebab itu perubahan iklim menjadi tantangan yang serius terhadap kemandirian dan ketahanan pangan nasional, termasuk implementasi Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) melalui upaya peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. 101
Perubahan iklim telah terjadi baik secara lokal (Runtunuwu 2007, Runtunuwu 2011), regional (Syahbuddin 2005) maupun global (Runtunuwu dan Kondoh 2008). Perubahan iklim telah menimbulkan bencana alam dan berdampak terhadap luas panen padi dan tanaman pangan lainnya. Sebagai contoh, kejadian pada tahun 1982/83, 1986/87, 1987/88, 1989/90, 1991, 1992-95, 1997/98, 2002/03, 2004/05, dan kejadian pada tahun 1988/89, 1998/99, 1999/2000, 2000/01 yang berujung pada penurunan produksi padi nasional (Amien 2011). Agar kemandirian dan ketahanan pangan berlanjut, perubahan iklim perlu diantisipasi dengan penyesuaian waktu dan pola tanam pada setiap zona agroekologi (Viet 2001). Budidaya pertanian, baik di lahan kering maupun lahan beririgasi, tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah, intensitas, dan distribusi hujan, tetapi juga ditentukan oleh awal musim hujan (awal waktu tanam setiap musim) dan akhir musim hujan ( ) Perkiraan awal musim hujan menjadi faktor penting dalam menetapkan awal musim tanam, pelaksanaan tanam, penentuan pola tanam, dan perkiraan luas areal tanam, terutama untuk tanaman pangan pada lahan sawah tadah hujan dan kering. Awal musim hujan juga menjadi “penanda” bagi petani tradisional dalam mengawali pengolahan tanah untuk budidaya tanaman pada lahan sawah. Demikian juga halnya dengan lahan sawah irigasi, perkiraan awal musim hujan juga sangat terkait dengan ketersediaan dan pasokan air irigasi dalam kaitannya dengan awal musim tanam. Sebagai salah satu upaya adaptasi yang paling jitu dalam menghadapi perubahan iklim adalah dengan melakukan penetapan pola tanam dan kalender tanam berdasarkan kondisi iklim (FAO 1996). Wiliamson (2001) melaporkan kalender tanam di Kosovo yang dikembangkan oleh (www.fao.org). Kalender ini menginformasikan jenis tanaman yang tumbuh di Kosovo dan pada saat mana tanah diberakan ( ), persiapan lahan, masa vegetatif, masa generatif, serta panen selama setahun. Selain di Kosovo, FAO juga telah mengembangkan kalender tanam di Irak, Tabel 1 (Edirisinghe 2004), dengan komoditas yang biasa tumbuh di daerah tersebut, seperti padi, jagung, kapas, buah-
buahan dan sayuran. Dengan kalender tanam tersebut terlihat bahwa tanaman yang tergantung air hujan ( ) akan tumbuh terutama selama bulan basah dari November sampai April tahun berikutnya. Tabel 1. Komoditas
Kalender tanam beberapa jenis tanaman di Irak J
F
M
A
Gandum
Jagung
B
P
S
P
S
A
J
J
P
U
P
U
P
Beras Buncis
M
B
S
BU
B
B
A
S
O B
B
B
S
BU
K
U
PU
PS
P/
B/
B
Keterangan:
B
D
U
PU
Kacang
Kapas
N
S
B
P P
P
= masa pertumbuhan, B = bajak dan menanam, P = Panen, U = Utara, S = Selatan, A = awal, dan K = akhir (Sumber: Edirisinghe 2004)
FAO (1997) juga telah mengembangkan pola tanam seluruh Afrika (Gambar 1 dan Tabel 2), dengan beberapa komoditas. Pola tanam ini mencakup kalender tanam, intensitas tanam (IP), dan rotasi tanam. The (AMIS) mencermati waktu tanam beberapa jenis tanaman pangan, yaitu padi, gandum, jagung, dan kedelai di setiap negara anggota selama musim tanam, termasuk Indonesia. Tabel 3 menunjukkan dari 12 negara anggota AMIS, hanya Brazil, Argentina, dan Australia yang memiliki waktu tanam padi yang sama dengan Indonesia untuk musim tanam pertama, yaitu Oktober, November, dan Desember. Karena perbedaan kondisi iklim, waktu tanam di negara subtropis seperti Jepang, terjadi pada bulan April dan Mei dan biasanya hanya sekali setahun.
103
1 Mediterranian coastal zone 2 Saharan oases 3a Semi-arid to arid savannas in West-East Africa 3b Semi-arid/arid savanna (Somalia – Kenya - Southern Sudan) 4a Rice: Niger/Senegal rivers 4b Rice: Gulf of Guinea 4c Rice Southern Sudan 4ed Rice: Madagaskar tropical lowland 4e Rice: Madagascar highland 5 Egyptian Nile and delta 6 Ethiopian Nile area 7 Sundanese Nile area 8 Shebelli - Juba river area in Somalia 9 Rwanda – Brundi – Southern Uganda highlands 10 Southern Kenya – Northern Tanzania 11 Malawi – Mozambique – Southern Tanzania 12a West and Central African humid areas above the equator 12b Central African below above the equator 13 River affluents on Angola – Nambia – Botswana border 14 South Africa – Namibia Botswana desert and steppe 15 Zimbabwe highland 16 South Africa – Lesotho – Swaziland 17 Awash river area in Ethiopia 18 All island (Comoros – Mauriius – Seychelles – Cape Verde)
Gambar 1.
(Sumber: Wiliamson 2001) Tabel 2.
Musim panen Utama Sekunder
Tanaman panen utama Beras Beras BM
Intensitas panen
Kalender panen J
F
M
-
-
p
A
M
J
J
A
b
-
-
-
p
S
O
N
D
b
-
Aktual
Potensial
100 30 130
100 100 200
Keterangan: b = bajak dan menanam, b = panen, dan BM = bunga matahari (Sumber: Wiliamson 2001)
Secara tradisional, petani Indonesia memiliki variasi pendekatan di dalam menetapkan pedoman waktu kegiatan pertanian. Wisnubroto (1995, 1998) mencatat adanya istilah perhalaan (Batak), bulan berladang (Dayak), wariga (Bali), pranata mangsa (Sunda), palontara (Sulawesi Selatan), dan pranoto mongso (Jawa, Tabel 4), yang dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan bercocok tanam dan diwariskan secara turun-temurun. Selama ribuan tahun mereka menghafalkan pola musim, iklim, dan fenomena alam lainnya. Akhirnya, nenek moyang kita membuat kalender tahunan berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti tingkah laku binatang dan pertumbuhan tanaman, letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut.
Tabel 3. Negara anggota
J
Riverina
Brazil Cina (Mainland)
Panen awal Panen tengah Panen akhir
Mesir
Panen utama Panen Nili
EU 27 India
Kharif Rabi
Indonesia
Musim (Jawa) Musim (Jawa)
utama Sekunder
Jepang Meksiko
Tahun N
Daerah
Argentina Australia
Kalender tanam negara anggota AMIS
Gugur/ dingin Semi/ panas
Sumber: AMIS (2012)
F
M
A
M
J
J
Tahun N + 1 A
S
O
N
D
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Tabel 4. No
Nama
Pranata mangsa selama setahun Mulai
Akhir
Kegiatan
1.
Kasa (Kahiji)
22/23 Jun
2/3 Ags
Musim tanam palawija.
2.
Karo (Kadua)
2/3 Ags
3.
Katiga (Katilu)
25/26 Ags
25/26 Ags 18/19 Sep
Musim kapok bertunas tanam palawija kedua. Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.
4.
Kapat (Kaopat)
18/19 Sep
13/14 Okt
Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang.
5.
Kalima (Kalima)
13/14 Okt
9/10 Nov
Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6.
Kanem (Kagenep)
9/10 Nov
22/23 Des
Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
7.
Kapitu (Katujuh)
22/23 Des
3/4 Feb
Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.
8.
Kawolu (Kadalapan)
2/3 Feb
28/29 Feb
9.
Kasonga (Kasalapan)
1/2 Mar
26/27 Mar
10.
Kadasa (Kasapuluh)
26/27 Mar
19/20 Apr
Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit. Musim padi berbunga, “turaes” (sebangsa serangga) ramai berbunyi. Musim padi berisi tapi masih hijau, burungburung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11.
Desta (Kasabelas)
19/20 Apr
12/13 Mei
Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12.
Sada (Kaduabelas)
121/13 April-
22/23 Juni.
Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari.
Sumber: Wiriadiwangsa (2005)
Dewasa ini kearifan lokal tidak dapat sepenuhnya dipedomani dalam menetapkan awal musim tanam karena hilangnya sebagian flora dan fauna yang menjadi indikator penanda musim, yang 107
menyebabkan perubahan sistem usaha tani masyarakat. Hal tersebut lebih diperparah karena bumi mengalami perubahan baik iklim, maupun penutupan ataupun penggunaan lahan. Oleh sebab itu, usaha tani tanaman pangan dalam beberapa dekade terakhir seringkali hanya mengandalkan kebiasaan dan insting berdasarkan kejadian hujan sesaat dalam menetapkan pola tanam. Akibatnya petani sering dihadapkan kepada kendala kekurangan air, khususnya pada saat intensitas curah hujan tinggi dalam kurun waktu yang pendek atau periode kering yang berlangsung lebih lama. Kondisi di atas sudah sejak lama kurang mendapat perhatian, sehingga kerugian demi kerugian serta penurunan produksi secara terus-menerus dirasakan petani. Bertitik tolak dari uraian dan pemikiran di atas, maka perlu adanya penyesuaian pola tanam, dalam arti waktu tanam dan rotasi tanaman, yang lebih adaptif dengan variabilitas dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, perlu adanya panduan yang lebih operasional namun didasarkan pada kajian dan analisis yang lebih komprehensif terhadap pola curah hujan dan ketersediaan air. Panduan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk informasi spatial dan tabular kalender tanam (dalam arti waktu dan pola tanam selama siklus satu tahun) dalam bentuk Atlas Kalender Tanam. Penetapan kalender tanam yang dilakukan FAO berbasis zona agroekologi (Wiliamson 2001). Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan berdasarkan jaringan air irigasi. Atlas kalender tanam menggunakan kecamatan sebagai basis terkecil, karena informasi ini diarahkan untuk kebutuhan pengambil kebijakan. Di samping itu, karena data dasar yang tersedia, umumnya pada tingkat kecamatan.
Filosofi Dasar Menurut FAO (1996), pola tanam terdiri atas tiga bagian besar, yaitu kalender tanam, intensitas tanam, dan rotasi tanam. Pola tanam didefinisikan sebagai berikut: Sedangkan kalender tanam didefinisikan sebagai
108
Kalender tanam ( ) merupakan salah satu aspek pertanian yang sering dipetakan orang untuk mengetahui jadwal penanaman jenis tanaman di daerah tertentu selama setahun, mulai dari masa persiapan tanah, penanaman, dan panen. Intensitas tanam didefinisikan sebagai persentase luas areal yang ditanami dari luas areal baku yang dimiliki. Nilai 0% berarti tidak ditanami sama sekali, sedangkan nilai 100% berarti ditanami secara keseluruhan. Intensitas tanam lebih dari 100% dapat diartikan bahwa pada musim yang sama, lahan tersebut ditanami lebih dari satu siklus hidup tanaman (tanam sampai dengan panen). Sebagai contoh, pada musim hujan dari Oktober hingga awal Februari, lahan ditanami kacang hijau dua kali dengan luas areal sama dengan luas bakunya, maka intensitas tanam pada daerah tersebut adalah 200%. Rotasi tanam didefinisikan sebagai pergiliran tanaman dalam satu tahun, yang di sebagian besar wilayah Indonesia, rotasi tanaman ini dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun. Biasanya pada musim tanam pertama adalah padi, dan setelah panen akan dilanjutkan kembali dengan padi, palawija, atau sayuran. Di beberapa lokasi rotasi tanam juga dapat dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun, dengan urutan padi-padi-palawija/sayuran, bahkan beberapa tempat di Jawa dapat ditanami padi sampai tiga kali setahun. Kementerian Pertanian menggunakan istilah Atlas Kalender Tanam yang pada intinya merupakan panduan yang memuat informasi estimasi awal waktu tanam, potensi luas tanam, rotasi tanaman, intensitas tanaman masing-masing kecamatan untuk setiap musim selama siklus satu tahun berdasarkan skenario anomali iklim, yaitu tahun basah ( ), tahun normal, dan tahun kering ( ). Potensi awal dan waktu tanam merupakan estimasi yang mungkin terjadi berdasarkan analisis ketersediaan air. 109
Pendekatan dan Metodologi Atlas kalender tanam disusun berdasarkan kondisi eksisting pola tanam di lapang dan kondisi potensial dengan menggunakan analisis klimatologis. Kondisi eksisting diketahui dari luas tanam dan intensitas penanaman, sedangkan kondisi potensial disimpulkan melalui analisis ketersediaan air berdasarkan curah hujan dan sifat musim (Gambar 2). Selama ini, terdapat perbedaan antara luas baku sawah dengan realisasi tanam tanaman padi. Ini berarti ada peluang atau potensi peningkatan luas tanam. Atlas kalender tanam menunjukkan kapan dan dimana potensi tanam dapat dikembangkan, sehingga dapat meningkatkan daya adaptasi petani.
Gambar 2.
Diagram alir penyusunan peta kalender tanam (a) eksisting dan (b) potensial
Penyusunan kalender tanam eksisting menggambarkan kalender tanam yang umumnya dilakukan petani. Analisis dilakukan dengan menggunakan data luas tanam rata-rata sepuluh harian per kecamatan untuk periode lima sampai sepuluh tahun terakhir tergantung ketersediaan data di setiap provinsi. Awal tanam MT I ditentukan pada saat 8% dari luas baku sawah kecamatan yang bersangkutan telah ditanami padi. Awal tanam MT II ditentukan pada saat 6% dari luas baku sawah telah ditanami padi. Sedangkan 110
awal tanam MT III ditentukan pada saat 2% dari luas baku sawah telah ditanami padi. Angka 8, 6, dan 2% merupakan angka yang diperoleh secara empiris melalui penelitian, pengamatan dan pembelajaran. MT I dimulai dari Sep III sampai dengan Okt I hingga Jan I-II. MT II mulai dari Feb III-Mar I hingga Mei I-II, sedangkan MT III mulai Mei III-Jun I hingga Ags II-III. Penyusunan kalender tanam potensial menggunakan informasi curah hujan sebagai parameter utama di dalam penentuan awal musim tanam. Komponen utama deliniasi kalender tanam adalah curah hujan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap awal adalah menginventarisasi data sumberdaya iklim, terutama curah hujan, yang kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik curah hujan, yaitu variabilitas iklim, zona agroklimat (LGP), intensitas pertanaman (IP), dan potensi awal musim tanam (kalender tanam).
Karakteristik curah hujan yang digunakan sebagai pembeda zonasi utama (Tabel 5) adalah skenario iklim kriteria Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG 2012) yang tercermin dari jumlah curah hujan pada tahun kering (termasuk ), normal, dan tahun basah (termasuk ). Tabel 5. No
Kriteria tahun basah, tahun normal, dan tahun kering
Sifat hujan
Kriteria
1
Tahun basah
>115%
2
Tahun normal
85-115%
3
Tahun kering
<85%
Keterangan Jika nilai perbandingan curah hujan tahunan terhadap rataratanya lebih besar dari 115%. Jika nilai perbandingan curah hujan tahunan terhadap rataratanya antara 85-115%. Jika nilai perbandingan curah hujan tahunan terhadap rataratanya kurang dari 85%.
Sumber: BMKG (2012)
111
Intensitas pertanaman (IP) mencerminkan jumlah rotasi tanaman maksimum yang dapat dilakukan selama setahun berdasarkan informasi sumberdaya iklim. Penentuan ini sangat terkait dengan jumlah dasarian (1 dasarian = 10 hari) selama setahun yang memiliki curah hujan lebih dari 35 mm/dasarian (LGP, ).
Awal waktu tanam mencirikan waktu tanam pada MT I (Tabel 6). Awal waktu tanam dimulai apabila curah hujan telah melebihi 35 mm/dasarian selama tiga dasarian berturut-turut. Dengan kriteria tersebut, sejak September hingga Februari tahun berikutnya terbentuk sembilan belas zona dengan potensi waktu tanam dari MT I sampai MT III. Tabel 6. Zone 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dasarian Sep I-II Sep III-Okt I Okt II-III Nov I-II Nov III-Des I Des II-III Jan I-II Jan III-Feb I Feb II-III Mar I-II
Awal waktu tanam Zone 11 12 13 14 15 16 14 18 19
Dasarian Mar III-Apr I Apr II-III Mei I-II Mei III-Jun I Jun II-III Jul I-II Jul III-Ags I Ags II-III Sepanjang tahun
Karakteristik sumberdaya iklim di atas masih merupakan informasi per stasiun iklim, sehingga perlu dispasialkan untuk mendapatkan informasi utuh di seluruh wilayah. Spasialisasi disusun berdasarkan tiga skenario variabilitas iklim yaitu: tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Spasialisasi terdiri dari dua , yaitu: agroklimat yang terdiri dari data curah hujan tahunan dan kelompok agroklimat (bulan basah dan bulan kering), dan gabungan antara kalender tanam potensial dan IP.
112
Kedua digital selanjutnya ditumpangtepatkan ( ) untuk mendapatkan kombinasi data yang memiliki karakteristik iklim yang relatif homogen. Agar informasi yang diperoleh sesuai dengan target, yaitu mengenai sawah, maka kedua tersebut juga ditumpangtepatkan dengan distribusi sawah dari setiap kecamatan. Hasil merupakan basis data kalender tanam yang kemudian digunakan untuk menentukan awal waktu tanam setiap kecamatan berdasarkan awal waktu tanam dominan.
Verifikasi lapang diperlukan untuk mengevaluasi hasil analisis. Hal ini penting untuk membandingkan awal waktu tanam hasil analisis dengan yang terjadi di lapang. Metode verifikasi dapat dilihat pada Gambar 3 didasarkan atas: (i) luasan areal baku sawah terluas dari provinsi sampai kecamatan untuk kemudian dibedakan tipe irigasi areal sawah (garis hitam), (ii) tipe awal tanam tanpa membedakan luasan dan tipe irigasi (garis merah), dan (iii) data realisasi tanam tingkat kecamatan dari BPS (garis hijau). Provinsi
Kabupaten
Kecamatan BPS Irigasi ½ Teknis
Irigasi Teknis
Tadah Hujan
Luas Tanam per Bulan
Musim Tanam
Indeks Pertanaman
Pengamatan (100 ha)
Onset Katam
Kuisioner
Gambar 3.
Penyuluh
Diagram alir metode verifikasi
Gambar 4 merupakan contoh dari hasil analisis kalender tanam secara spasial untuk satu kabupaten, dan Tabel 7 dengan jelas menginformasikan waktu, luas, IP, dan rotasi tanaman yang memungkinkan setiap kecamatan. 113
114
Gambar 4.
Contoh kalender tanam spasial level kecamatan pada tahun normal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
Status Penyusunan Atlas Kalender Tanam Penyesuaian waktu dan pola tanam merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan iklim yang gejalanya mulai tampak dewasa ini, khususnya untuk tanaman pangan: terutama padi, jagung, dan kedelai. Oleh karena itu, Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan skala 1:250.000 yang dilengkapi dengan rincian waktu dan pola tanam pada tingkat kecamatan telah disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbangtan) Pertanian, sejak tahun 2007 telah membuat atlas kalender tanam secara bertahap untuk seluruh Indonesia. Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Skala 1:250.000 yang telah dibuat adalah Jawa (Las 2007, Runtunuwu 2011a), Sumatera (Las 2008, Runtunuwu 2011b), Kalimantan (Las 2009a, Runtunuwu 2012b), Sulawesi (Las 2009b, Runtunuwu 2012c), dan Bali, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua (Las 2010, Runtunuwu 2013). Beberapa manfaat Atlas Kalender Tanam adalah untuk (a) menentukan pola tanam secara spasial maupun tabular pada tingkat kecamatan, (b) menentukan rotasi tanaman pada setiap kecamatan berdasarkan potensi sumberdaya iklim dan air, (c) mendukung perencanaan tanam, khususnya tanaman pangan semusim, dan (d) mengurangi dampak buruk pergeseran musim tanam terhadap kerugian petani. Agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian, kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola tanam sesuai dengan dinamika iklim, maka peta kalender tanam dalam atlas ini disusun sesederhana mungkin. Keunggulan atlas ini adalah: (a) dinamis, karena disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, (b) operasional pada skala kecamatan, (c) spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya iklim dan air setempat, dan (d) mudah dipahami oleh pengguna karena disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
116
Tabel 7.
Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal untuk Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Indeks kecamatan
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 .... .... 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Anjatan Arahan Balongan Bangodua Bongas Cantigi Cikedung Gabuswetan Gantar Haurgeulis Indramayu Jatibarang
3212210 3212171 3212140 3212060 3212200 3212161 3212040 3212030 3212011 3212010 3212150 5212130
Kroya Lelea Lohbener Losarang Sindang Sliyeg Sukra Terisi Widasari
3212020 3212050 3212170 3212180 3212160 5212120 3212220 3212041 3212070
TOTAL
Luas sawah (ha)
Musim tanam (MT) MT I Waktu tanam (dasarian)
Luas (ha)
MT II Waktu tanam (dasarian)
6.800 2.418 938 4.500 3.930 1.121 3.681 6.100 3.821 3.978 2.601 2.999
Nov III-Des Nov III-Des Des II-III Nov III-Des Nov III-Des Okt II-III Nov III-Des Nov III-Des Nov I-II Nov III-Des Nov III-Des Des II-III
6.086 2.230 825 4.067 3.560 1.088 3.341 5.470 3.464 3.925 2.195 2.741
Apr II-III Apr II-III Mei I-II Apr II-III Apr II-III Mar I-II Apr II-III Apr II-III Mar III-Apr I Apr II-III Apr II-III Mei I-II
4.050 4.800 2.554 7.329 1.813 5.300 6.550 4.199 5.517
Nov I-II Nov III-Des Nov III-Des Nov III-Des Nov III-Des Des II-III Okt II-III Nov I-II Nov III-Des
3.666 4.326 2.458 6.552 1.589 4.766 5.534 3.797 4.962
Mar III-Apr I Apr II-III Apr II-III Apr II-III Apr II-III Mei I-II Mar I-II Mar III-Apr I Apr II-III
109.728
I I I I I I I I
I I I I
I
99.028
Indeks pertanaman (%) MT III Waktu tanam (dasarian)
Luas (ha)
4.708 1.502 718 3.003 2.668 848 2.545 4.680 2.105 3.063 2.002 1.812
Ags II-III Ags II-III Sep I-II Ags II-III Ags II-III Jul I-II Ags II-III Ags II-III Jul III-Ags I Ags II-III Ags II-III Sep I-II
2.997 3.4I8 2.44I 5.066 I.339 2.800 5.125 3.575 3.714
Jul III-Ags I Ags II-III Ags II-III Ags II-III Ags II-III Sep I-II Jul I-II Jul III-Ags I Ags II-III
Luas (ha)
78.373
MT I
MT II
MT III
2.413 556 265 1.782 987 314 942 2.40 779 1.804 741 671
90 92 88 90 91 97 91 90 91 99 84 91
69 62 76 67 68 76 69 77 55 77 77 60
35 23 28 40 25 28 26 39 20 45 28 22
149 177 193 197 184 201 185 206 166 221 190 174
1.780 1.936 903 2.545 495 1.707 2.567 1.994 2.045
91 90 96 89 88 90 84 90 90
74 71 96 69 74 53 78 85 67
44 40 35 35 27 32 39 47 37
208 202 227 193 189 175 202 223 194
38.391
Total
Prakiraan musim dan sifat hujan untuk mengetahui kondisi iklim yang akan datang sangat diperlukan dalam penggunaan atlas kalender tanam ini, sehingga perencanaan waktu tanam dan pola tanam dapat disesuaikan dengan kondisi sumberdaya iklim dan air baik pada tahun basah, tahun normal, maupun tahun kering. Informasi kalender tanam eksisting menggambarkan kegiatan yang umumnya dilakukan petani selama ini digunakan sebagai salah satu pertimbangan di dalam penentuan kalender tanam potensial. Sebagai contoh, menurut analisis curah hujan wilayah pantai utara Jawa Barat (Karawang dan Indramayu) dengan curah hujan sekitar 1.200 mm/tahun, kegiatan penanaman padi paling ideal dilaksanakan pada awal November setiap tahun. Namun dengan memperhatikan kegiatan petani yang ternyata dapat menanam lebih awal pada bulan September atau Oktober menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki sumber air lain selain curah hujan. Hal yang sama juga dapat ditemui di beberapa kecamatan di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara yang dapat menanam padi sepanjang tahun karena sumber air tanah yang cukup baik walaupun curah hujan kurang memungkinkan. Beberapa keterbatasan yang ditemui pada saat penyusunan kalender tanam, terutama berkaitan dengan: (a) administrasi yang sangat dinamik sehingga beberapa kecamatan hasil pemekaran belum termasuk dalam atlas, (b) ketersediaan data luas tanam padi runut waktu sangat bervariasi antar kecamatan, dan (c) ketersediaan data iklim yang terbatas terutama di luar Jawa sehingga mengurangi kualitas informasi iklim secara spasial dan tabular. Tantangan ke depan, informasi lain seperti ketersediaan tenaga kerja, benih, ketersediaan pupuk, sumber air lain selain curah hujan, dan faktor lain yang mempengaruhi penentuan kalender tanam perlu diperhatikan. Selain itu, verifikasi dan validasi terhadap hasil penelitian tetap perlu dilanjutkan, untuk meningkatkan keakuratan perencanaan waktu tanam ke depan. Hasil verifikasi selama ini memang bervariasi dari 60% di beberapa tempat di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, 80% di Jawa dan Papua, dan bahkan ada juga yang masih di bawah 50%. 118
Keragaan Kalender Tanam
Kalender tanam eksisting adalah waktu tanam yang umumnya diterapkan petani. Hasil analisis distribusi awal tanam eksisting di Jawa (Gambar 5) menunjukkan adanya perbedaan puncak tanam antar provinsi, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Perbedaan tersebut menunjukkan tingginya signifikansi awal waktu tanam (awal musim hujan) pada masing-masing daerah. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap jadwal pendistribusian sarana produksi. Dengan demikian perlu dihindari pendistribusian benih, pupuk, dan sarana produksi lainnya jauh dari masa tanam, yang dapat menyebabkan keterlambatan tanam, benih menjadi kadaluarsa, peningkatan biaya penyimpanan, dan penurunan kualitas pupuk.
Distribusi tanggal tanam berdasarkan kejadian iklim menunjukkan intensitas atau frekuensi waktu tanam berdasarkan tiga kejadian iklim, masing-masing untuk tahun basah, kering, dan normal.
Gambar 5.
Pola distribusi puncak tanam eksisting antar provinsi di Pulau Jawa
Puncak waktu tanam Jawa Barat dan Jawa Tengah pada MH tahun basah, mengalami percepatan dua dasarian dibandingkan dengan kondisi eksisting, sedangkan di Jawa Timur tidak mengalami perubahan. Perbedaan puncak tanam yang mencolok antar provinsi terlihat pada MK I dan MK II. Jawa Barat (Mar I-II) lebih cepat 4
119
dan 8 dasarian dibanding Jawa Tengah (Apr II-III), dan Jawa Timur (Mei I-II). Di Jawa Timur pada MK I terdapat dua kali puncak tanam, yang pada akhir musim puncak tanam sama dengan nilai distribusi puncak tanam di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini berarti, peluang tanam sepanjang tahun pada tahun basah lebih besar dibandingkan dengan kondisi eksisting dan kering, tidak hanya di Jawa Timur tetapi juga di provinsi lain (Gambar 6).
Gambar 6.
Pola distribusi puncak tanam tahun basah antar provinsi di Pulau Jawa
Puncak tanam tahun normal sama seperti tahun basah, dimana puncak tanam di Jawa Barat lebih cepat 4-8 dasarian dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik pada MH maupun pada MK I dan MK II. Puncak tanam di Banten hampir sama dengan Jawa Tengah, khususnya pada MK I dan MK II. Pada tahun normal, puncak tanam pada MH lebih cepat 2-4 dasarian untuk Banten dan Jawa Tengah dibandingkan dengan puncak tanam yang diterapkan petani (eksisting), Gambar 7. Pola distribusi kalender tanam yang diterapkan petani pada MH lebih lambat dari awal waktu tanam musim hujan itu sendiri, seperti yang terjadi pada tahun normal. Keterlambatan tersebut disebabkan oleh ketersediaan air dari curah hujan belum mencukupi untuk pelaksanaan pengolahan tanah. Petani umumnya menunggu curah hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi selama tiga hari berturut-turut.
120
Gambar 7.
Pola distribusi puncak tanam tahun normal antar provinsi di Pulau Jawa
Sebaliknya, pada MK I dan II, puncak tanam yang dilakukan petani di Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur lebih cepat 13 dasarian dari tahun normal. Dalam hal ini petani berusaha memanfaatkan air sisa musim hujan atau masa transisi antara MH dan MK untuk penanaman. Percepatan tanam ini terjadi di hampir seluruh wilayah di Jawa.
Tidak sama dengan pola distribusi kalender tanam pada tahun basah dan normal, puncak tanam pada tahun kering di masingmasing provinsi terpusat pada waktu yang sama, baik pada MH maupun MK, yaitu pada bulan Desember I-II. Pergeseran puncak waktu tanam 4-8 dasarian terjadi di seluruh provinsi di Jawa, kecuali Jawa Timur yang berada di zona agroklimat lebih kering (Gambar 8). Pergeseran puncak tanam 6-8 dasarian terjadi serentak di seluruh provinsi pada MK I dan MK II, yaitu dari bulan Maret I-II ke Mei I-II.
Gambar 8.
Pola distribusi puncak tanam tahun kering antar provinsi di Pulau Jawa
Akibat pergeseran puncak tanam tersebut, pada tahun kering berpotensi terjadi kehilangan satu masa tanam pada MK II, yang 121
puncak tanamnya sudah memasuki MH. Jawa Barat dengan zona agroklimat lebih basah memiliki dua puncak tanam yang pada MK II masih berpeluang untuk melakukan penanaman meski dalam luasan yang lebih sempit. Kemunduran masa tanam selama tahun kering juga teramati pada saat melakukan verifikasi lapang di seluruh provinsi di Jawa. Lahan sawah yang lebih jauh dari saluran irigasi atau sumber air mengalami risiko kegagalan tanam atau kehilangan musim tanam.
Verifikasi lapang merupakan kegiatan penting untuk memastikan kalender tanam yang disusun memiliki nilai keabsahan yang tinggi dan mendekati kalender tanam yang diterapkan petani. Verifikasi lapang dilakukan pada MK II (MT III) 2007. Berdasarkan kalender tanam tersebut maka sebagian areal tanam di lapangan telah memasuki tahap penyiapan lahan dan sebagian areal pertanaman telah memasuki fase vegetatif. Akan tetapi, dari 59 lokasi yang diverifikasi, hanya sekitar 10% yang telah memasuki tahap pengolahan tanah pada MK II, yang sebagian besar berada di Jawa Barat. Sekitar 70% areal pertanaman masih berada pada fase vegetatif dan generatif (1-60 Hari Setelah Tanam, HST), dan sekitar 17% berada pada fase generatif dan panen (Tabel 8). Fakta ini menunjukkan bahwa masa tanam di sebagian besar lokasi mengalami kemunduran. Apabila fakta tersebut dihubungkan dengan periode tanam MH, maka puncak tanam MH telah mengalami kemunduran secara berurutan masing-masing pada bulan Desember II-III, Januari I-II, dan Januari III-Februari I (Gambar 9). Tabel 8.
Kondisi pertanaman padi di lapang pada MK II 2007
Kondisi lahan Bera Olah tanah MK II Fase vegetatif Fase generatif Fase reproduktif Panen
Musim tanam
Umur (HST)
Frekuensi (%)
II III II II II II
0 1-35 36-60 61-100 >100
3 10 39 31 15 2
Keterangan: MT II (musim tanam II) = MK I, MT III (musim tanam III) = MK II, dan HST = hari setelah tanam
122
50% Observasi MK II 2007 40%
Aktual TB
30%
TN TK
20%
10%
0% Sep I - II
Sep III - Okt I
Okt II - III
Nov I - II
Nov III - Des I
Des II - III
Jan I - II
Jan III - Feb I
Onset (dasarian)
Gambar 9.
Perbandingan intensitas awal waktu tanam hasil observasi pada MK II 2007 dengan kalender tanam eksisting, tahun basah, tahun normal, dan tahun kering
Apabila hasil pengamatan lapang tersebut dibandingkan dengan hasil analisis untuk eksisting, tahun basah, dan tahun normal, maka kondisi pertanaman di lapang mengalami kemunduran 4-6 dasarian, atau bergeser sekitar 2 dasarian dari tahun kering. Hasil perbandingan ini juga dibuktikan melalui analisis pada Gambar 10. Hasil verifikasi lapang ternyata kedekatannya lebih mendekati pada tahun kering (TK) dibandingkan dengan analisis kejadian iklim untuk tahun basah (TB), tahun normal (TN), serta eksisting. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musim tanam 2006/2007 tergolong periode kering, yang dapat menyebabkan kemunduran jadwal tanam akibat kekurangan ketersediaan air. Apr I-III Mar III-Apr I Mar I-II Feb II-III Jan III-Feb I
Jabar Jateng DIY Jatim
Jan I-II Des II-III Nov III-Des I Nov I-II Okt II-III Sep III-Okt I Sep I-II Sep I-II Okt II-III Nov III-Des I Jan I-II
Feb II-III Mar III-Apr I
Onset Analisis (dasarian)
Gambar 10. Hasil verifikasi lapang awal waktu tanam di Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan Jawa Timur pada kondisi eksisting
123
Kalender tanam eksisting memetakan waktu tanam yang diterapkan oleh petani. Hasil analisis distribusi awal tanam tanaman pangan yang diterapkan oleh petani di Sumatera menunjukkan bahwa di Sumatera terjadi variasi musim tanam antar provinsi. Hal ini terlihat dari Gambar 11 dimana setiap periode waktu ada petani yang menanam padi. Secara keseluruhan, puncak tanam di Sumatera terjadi dua kali yaitu pada periode Mei III-Juni I dan diikuti periode Sep III-Okt I. Hal ini cukup berbeda dengan pola yang ada di Jawa yang terjadi tiga kali setahun, yaitu pada Nov III-Des I, Mar III-Apr I, dan Jul III. Variasi masa tanam di Sumatera selain karena tingginya signifikansi awal musim hujan pada masing-masing daerah juga diduga karena ketersediaan air permukaan yang cukup tinggi. Dari Gambar 11 juga terlihat bahwa banyak kecamatan yang dapat ditanami padi sepanjang tahun atau lima kali dalam dua tahun, misalnya di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. 100
80
Sumut
Aceh
Sumbar
Jambi
Riau
Kepri
Bengkulu
Sumsel
Lampung
Babel
60
40
20
0 Sep I-II -20
Nov I-II
Jan I-II
Mar I-II
Mei I-II
Jul I-II
ST
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 11. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan eksisting tingkat provinsi di Pulau Sumatera
124
Puncak awal tanam tahun basah di Sumatera juga bervariasi antar provinsi (Gambar 12) yang umumnya terjadi pada periode Mei I-II, lebih cepat dua dasarian dari yang dilakukan petani. Secara potensial juga pada tahun basah, petani dapat menanam pada periode September sampai November. Pada tahun basah juga terjadi peningkatan intensitas kecamatan yang dapat melakukan penanaman padi sepanjang tahun. Bila dibandingkan dengan di Jawa, terjadi tiga puncak yang berbeda dengan jelas, sedangkan di Sumatera hanya dua kali tetapi di antara selang waktu tersebut petani juga menanam padi.
Gambar 13 menggambarkan periode awal tanam di Sumatera pada tahun normal hampir sama dengan eksisting yang dilakukan petani. Puncak awal tanam tahun normal (Gambar 11) terjadi pada Mei IJuni I, dan Sep III-Okt III. Setiap wilayah memiliki potensi masa tanam tersendiri, dan menariknya untuk Sumatera variasi tersebut dapat terjadi sepanjang tahun. Berbeda dengan Jawa yang sangat jelas di dalam periode awal tanam setiap tahunnya. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap jadwal pendistribusian sarana produksi. 100
80
Sumut
NAD
Sumbar
Jambi
Riau
Kepri
Bengkulu
Sumsel
Lampung
Babel
60
40
20
0 Sep I-II -20
Nov I-II
Jan I-II
Mar I-II
Mei I-II
Jul I-II
ST
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 12. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun basah tingkat provinsi di Pulau Sumatera
125
100
80
Sumut
NAD
Sumbar
Jambi
Riau
Kepri
Bengkulu
Sumsel
Lampung
Babel
60
40
20
0
Sep I-II
Nov I-II
Jan I-II
Mar I-II
Mei I-II
Jul I-II
ST
Kalender tanam (dasarian)
-20
Gambar 13. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun normal tingkat provinsi di Pulau Sumatera
Pada kondisi tahun kering awal musim tanam umumnya terjadi pada Mei III-Jun I. Bila dibandingkan puncak awal masa tanam antar provinsi di Sumatera umumnya relatif tidak berubah (Gambar 14). Hal yang berbeda adalah intensitas kecamatan yang menanam padi meningkat pada tahun basah dan menurun pada kondisi kering. Kondisi alam di Sumatera yang kaya air menyebabkan variasi awal tanam tidak hanya ditentukan oleh curah hujan seperti kasus di Jawa, tetapi juga ketersediaan air permukaan. 100
80
Sumut
NAD
Sumbar
Jambi
Riau
Kepri
Bengkulu
Sumsel
Lampung
Babel
60
40
20
0 Sep I-II -20
Nov I-II
Jan I-II
Mar I-II
Mei I-II
Jul I-II
ST
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 14. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun kering tingkat provinsi di Pulau Sumatera
126
Awal musim tanam tanaman pangan sangat bervariasi antar tempat dan kondisi iklim. Sebagai contoh, Gambar 15 menggambarkan perbedaan awal musim tanam pada kondisi basah, normal, dan kering di Provinsi Lampung (Gambar 16) menggambarkan distribusi luas tanam yang dilakukan petani periode tahun 2000-2006 di provinsi yang sama.
Verifikasi lapang merupakan kegiatan penting untuk memastikan kalender tanam yang disusun memiliki nilai keabsahan yang tinggi dan mendekati kalender tanam yang diterapkan petani. Verifikasi lapang dilakukan pada bulan Oktober dan November 2008. Sebagian areal tanam di lapangan telah memasuki tahap penyiapan lahan, ada yang baru tanam, ada yang telah memasuki fase vegetatif, dan ada yang baru saja dipanen. Apabila hasil pengamatan lapang tersebut dibandingkan dengan hasil analisis untuk tahun kering, tahun basah, dan tahun normal, maka kondisi pertanaman di lapang mengalami kemunduran dan kemajuan 5-7 dasarian. Hasil perbandingan ini juga dibuktikan melalui analisis seperti yang terlihat pada Gambar 17.
Gambar 15. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan Pulau Sumatera dengan contoh Lampung pada kondisi eksisting, basah, normal, dan kering
127
Gambar 16. Distribusi luas tanam padi yang dilakukan petani Pulau Sumatera dengan contoh Lampung pada kondisi tahun basah, normal, dan kering periode tahun 2000-2006
Gambar 17. Hasil verifikasi lapang awal tanam Pulau Sumatera dengan contoh Aceh pada kondisi tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK)
128
Waktu tanam yang dilakukan petani digambarkan dalam peta kalender tanam eksisting Hasil analisis distribusi awal tanam tanaman pangan MT I yang diterapkan oleh petani di Kalimantan umumnya terjadi pada Sep I-II. Hal ini terlihat dari Gambar 18 dimana intensitas penanaman pada Sep I-II cukup tinggi dibandingkan periode yang lain. Hal yang spesifik adalah puncak tanam yang berbeda antar provinsi. Di lahan sawah tadah hujan atau beririgasi, pola curah hujan sangat menentukan waktu tanam yang diterapkan petani. Pada musim hujan selalu dibarengi dengan awal musim tanam sekaligus puncak tanam yang tertinggi. Agak berbeda dengan lahan rawa yang ada di Kalimantan dan Sumatera dimana justru puncak tanamnya terjadi pada musim kemarau. Petani menghindari tanam pada musim hujan karena lahan sawah sering tergenang air. Di Kalimantan Barat petani mulai melakukan penanaman MT I pada bulan September dan mencapai puncaknya pada bulan November dan penanaman masih berlangsung sampai bulan Desember. Penanaman MT II baru mulai pada bulan April dengan puncak tanam pada bulan Mei. Varietas lokal dengan umur tanam yang lebih panjang mengakibatkan keterlambatan puncak tanam MT II. Waktu tanam Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan mencapai puncaknya lebih lambat dari Kalimantan Barat yang terjadi pada bulan November. Penanaman MT I dimulai pada bulan September dan puncak tanam terjadi pada bulan Desember, sedangkan puncak MT II tidak mengalami kemunduran yaitu pada bulan Februari dan puncaknya pada bulan Maret. Penanaman padi di Kalimantan Timur untuk MT I mulai dilakukan pada bulan Sep I-II dan puncak tanamnya paling lambat yaitu pada bulan Januari. Di daerah ini puncak tanam MT II juga mengalami kemunduran yaitu pada bulan Juni. Bila dibandingkan dengan di Jawa yang terjadi tiga puncak yang berbeda dengan jelas, sedangkan di Kalimantan hanya dua kali tetapi di antara selang waktu tersebut petani juga menanam padi dengan puncak tanam yang berbeda.
129
100 90
Kalimantan Barat
80
Kalimantan Tengah 70
Kalimantan Selatan 60
Kalimantan Timur
50 40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 18. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan eksisting tingkat provinsi di Pulau Kalimantan
Awal tanam tahun basah semua provinsi di Kalimantan (Gambar 19) umumnya terjadi pada periode Sep I-II yang sama dengan yang dilakukan petani. Bila dibandingkan dengan provinsi lain, Kalimantan Barat yang memiliki intensitas tertinggi menanam pada periode tersebut. Penanaman yang lebih awal memberikan peluang meningkatkan indeks pertanaman pada tahun basah di wilayah Kalimantan. Bila dibandingkan dengan tahun normal, petani belum memanfaatkan ketersediaan air pada tahun basah dengan menanam lebih awal. Untuk petani lahan sawah lebak, pasang surut dan rawa akan menunda waktu penanaman padi pada saat kondisi lahan masih tergenang air pada tahun basah.
130
SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 19. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun basah tingkat provinsi di Pulau Kalimantan
Gambar 20 menunjukkan periode awal tanam di Kalimantan pada tahun normal hampir sama dengan eksisting yang dilakukan petani pada tahun basah. Potensi intensitas awal tanam tertinggi pada tahun normal terjadi pada Sep I-II dan juga pada bulan Oktober walau dengan intensitas yang rendah. Kalimantan Barat memiliki intensitas tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain, diikuti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Walaupun intensitas antar provinsi berbeda, namun memiliki tren penanaman yang hampir sama antar provinsi. Petani umumnya menanam pada Sep I-II, menurun dan kemudian mulai menanam lagi pada periode Okt II-III sampai Nov I-II. Periode yang sangat pendek ini memang merupakan upaya petani menyesuaikan dengan kondisi air yang tersedia di lapang.
131
100 90
Kalimantan Barat
80
Kalimantan Tengah
70
Kalimantan Selatan 60
Kalimantan Timur
50 40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 20. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun normal tingkat provinsi dengan contoh Provinsi Kalimanatan Barat di Pulau Kalimantan
Pada kondisi tahun kering awal musim tanam lebih terlambat bila dibandingkan dengan kondisi basah dan normal, dimana intensitas tertinggi terjadi pada Sep III-Okt I, Gambar 21. Kalimantan Barat paling tinggi dan diikuti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Intensitas tanam di Kalimantan Selatan justru terjadi pada Nov III-Des I. Awal musim tanam tanaman pangan sangat bervariasi antar tempat dan kondisi iklim. Sebagai contoh, Gambar 22 menunjukkan perbedaan awal musim tanam pada kondisi basah, normal, dan kering Provinsi Kalimantan Barat. Gambar 23 mengilustrasikan distribusi luas tanam yang dilakukan petani periode tahun 20002007 pada provinsi yang sama. Gambar tersebut menunjukkan variasi tanam antar tahun yang mengilustrasikan petani memang menanam bukan hanya mempertimbangkan awal musim hujan tetapi juga kondisi lahan, baik di sawah lebak maupun pasang surut, yang pada tahun basah justru mengalami keterlambatan waktu tanam. Di sisi lain, intensitas tanam cukup tinggi pada tahun
132
kering, karena pada saat tersebut waktu yang tepat untuk menanam padi karena lahan tidak tergenang air. 100 90
Kalimantan Barat
80
Kalimantan Tengah 70
Kalimantan Selatan 60
Kalimantan Timur
50 40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 21. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun kering tingkat provinsi di Pulau Kalimantan 100 90
Eksisting Tahun Basah
80
Tahun Normal 70
Tahun Kering
60 50 40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 22. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan Kalimantan dengan contoh Kalimantan Barat pada kondisi eksisting, tahun basah, normal, dan kering
133
120000
2007 TN 2006 TN
100000
2005 TK 2004 TB 80000
2003 TN 2002 TN 2001 TK
60000
2000 TN 40000
20000
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 23. Distribusi luas tanam padi yang dilakukan petani di Kalimantan dengan contoh Kalimantan Barat pada kondisi tahun basah, normal, dan kering periode tahun 2000-2007
Uji sensitivitas dan verifikasi lapang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Melalui analisis verifikasi lapang dapat juga dilihat tingkat sensitivitas kalender tanam yang dilakukan oleh petani merespon satu kejadian iklim pada musim tanam tahun 2008 dan 2009. Sensitivitas tersebut dilihat melalui perbandingan antara hasil analisis (periode 2000-2007) dengan hasil pengamatan lapang menggunakan data BPS tahun 2008 dan 2009. Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa, sebagian besar kalender tanam tahun 20082009 (Tabel 9) baik yang ada di Kalimantan Timur maupun Kalimantan Tengah adalah hampir serupa yaitu berkisar antara Nov I-II dan Nov III-Des I. Di Kalimantan Timur kondisi tersebut di atas tidak berbeda dengan kalender tanam yang dilakukan petani pada periode 2000-2007 (Tabel 9 dan Gambar 24). Tabel 9 juga menunjukkan bahwa kalender tanam tahun 2008-2009 untuk beberapa daerah
134
mendekati tahun kering periode 2000-2007, yaitu pada Des II-III, seperti yang terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara. Tabel 9.
Rataan, modus, dan standar deviasi kalender tanam periode pengamatan 2000-2007 yang dibandingkan dengan periode 2008-2009 untuk Pulau Kalimantan
Provinsi Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
Statistik Rataan Std Modus Rataan Std Modus Rataan Std Modus
Eksisting 4 1,8 5 2 1,2 1 5 0,8 4
2000-2007 TN TK 2 1,5 1 2 1,1 1 3 1,4 3
6 2,3 6 3 1,0 2 5 0,9 5
TB
2008-2009 Eksisting
2 3,4 1 8 8,2 1 3 1,1 2
5 1,5 5 4 1,6 4 6 0,9 7
Keterangan: TN = tahun normal, TK = tahun kering, TB = tahun Basah, Std = Standard deviasi. Angka rataan dan modus menunjukkan zone kalender tanam. Jumlah lokasi sampel verifikasi seluruh Kalimantan adalah 90 kecamatan, yang tersebar pada 13 kabupaten/kota.
Gambar 24. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Kalimantan Timur
135
Untuk wilayah Kalimantan Tengah, kalender tanam pada 20082009 sangat berbeda dengan kalender tanam periode 2000-2007, dimana kalender tanam eksisting, tahun normal dan tahun basah adalah sama yaitu pada Sep I-II. Kalander tanam ini mengalami kemunduran 2 dasarian pada tahun kering, yaitu Sep III-Okt I. Pada hakekatnya, kalender tanam tahun 2008-2009 di Kalimantan Tengah sama dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, di mana ketiganya mengalami kemunduran waktu tanam dari biasanya dengan tingkat sensitivitas yang berbeda-beda. Kalimantan Tengah merupakan wilayah dengan tingkat sensitivitas tertinggi dengan kemunduran kalender tanam mencapai 6 dasarian, yaitu menjadi sekitar Des II-III. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa, kalender tanam periode 2008-2009 bukan merupakan kalender tanam yang sering dilakukan oleh petani pada periode sebelumnya. Mundurnya waktu tanam sampai 6 dasarian merupakan wujud respon petani terhadap ketersediaan air yang berkurang akibat kekeringan, ketersediaan saprodi, tenaga kerja, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap kepastian melakukan penanaman (Gambar 25).
Gambar 25. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Kalimantan Tengah
136
Apabila diperhatikan nilai modus kalender tanam yang dilakukan baik eksisting, tahun normal, tahun kering, dan tahun basah, dengan jeda hanya 2 dasarian pada tahun kering di periode 20002007, maka fenomena kemunduran kalender tanam hingga 6 dasarian pada 2008-2009 menunjukkan suatu fenomena ekstra ordiner dan belum pernah terjadi sebelumnya terkait dengan kejadian iklim yang menuju ke arah kekeringan. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki kekukuhan kalender tanam seperti pada periode sebelumnya, baik pada kondisi eksisting, tahun normal, dan tahun kering. Seperti juga halnya Kalimantan Tengah, kalender tanam yang dilakukan petani di Kalimantan Selatan (Gambar 26) pada periode 2008-2009 mengalami kemunduran sekitar 4-6 dasarian dari periode sebelumnya baik pada kondisi eksisting maupun jika dibandingkan dengan tahun kering, yaitu berkisar Jan I-II. Respon ini harus dilakukan untuk mengantisipasi beberapa faktor yang mempengaruhi waktu tanam, seperti yang disebutkan di atas. Kejadian ini juga terlihatpada distribusi kalender tanam di masingmasing kabupaten di Kalimantan Selatan yang tersebar lebih dekat ke sumbu diagonal pada kondisi tahun kering dibandingkan dengan kondisi lainnya.
Gambar 26. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Kalimantan Selatan
137
Dengan demikian dapat disimpulkan, sepanjang tahun 2008-2009 di Kalimantan, waktu tanam yang paling sering dilakukan adalah mundur sekitar 2-6 dasarian dibanding tahun 2000-2007. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai presentase kesamaan awal waktu tanam antara dua periode pengamatan tersebut di atas (Tabel 10). Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan tingkat sensitivitas tertinggi (berdasarkan jumlah dasarian ketika mundur waktu tanam), meskipun dapat melakukan tanam lebih dahulu 2-6 dasarian dari provinsi lainnya pada tahun 2000-2009. Tabel 10. Persentase kesamaan awal waktu tanam periode tahun 20002007 dengan awal waktu tanam periode 2008-2009 pada lokasi sampel yang sama di Kalimantan Provinsi Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
Eksisting
TN
TK
TB
N
7 18 10
36 24 21
4 6 0
28 33 29 90
% 29 24 21
Rataan
24,5
119
27,0
3,2
Std
0,04
0,06
0,08
0,03
Keterangan: TN = tahun normal, TK = tahun kering, TB = tahun basah, N = jumlah sampel, dan Std = standar deviasi
Secara keseluruhan, petani di Sulawesi dapat melakukan penanaman sepanjang tahun secara bergiliran. Bila dianalisis untuk MT I (MH) dapat dilihat bahwa seluruh provinsi telah melakukan penanaman pada Sep I-II (Gambar 27) Intensitas tersebut menurun dan kemudian meningkat kembali pada bulan Nov III-Feb I sampai Juni I-II walau dengan intensitas rendah, yang menunjukkan kalender tanam pada kondisi basah, kering, dan normal pada setiap provinsi di Sulawesi. Pola waktu tanam antar tahun yang agak seragam hanya terlihat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Luas tanam pada MT I dan MT II di Sulawesi Selatan hampir sama luasnya karena pada MT II luas tanam di Sulawesi Selatan bagian barat lebih tinggi. Sedangkan puncak tanam di Sulawesi Tenggara lebih mundur yaitu bulan Maret pada MT I dan bulan Agustus pada MT II. Luas tanam 138
di provinsi lainnya yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tengah sangat tinggi keragamannya. Puncak tanam MT I umumnya pada bulan Januari dan MT II pada bulan Mei-Juni. Penurunan cukup signifikan terlihat pada luas tanam tahun kering di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. 100 90
Sulawesi Utara
80
Gorontalo Sulawesi Tengah
70
Sulawesi Barat 60
Sulawesi Tenggara
50
Sulawesi Selatan
40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian)
Gambar 27. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan eksisting tingkat provinsi di Pulau Sulawesi
Pada tahun basah, pola potensi waktu tanam di Sulawesi mirip dengan yang dilakukan petani, tapi dengan intensitas yang lebih tinggi (Gambar 28). Puncak awal tanam terjadi pada Sep I-II dan Nov I-II.
Di Sulawesi, potensi awal tanam pada tahun normal mirip dengan trend intensitas pada tahun basah dan yang dilakukan petani. Kegiatan tanam pada MT I terfokus pada Sep I-II sampai dengan Jan I-II dengan intensitas yang rendah (Gambar 29).
Distribusi awal masa tanam tanaman pangan MT I tahun kering berbeda dengan skenario iklim yang lain. Bila pada tahun basah dan 139
tahun normal potensi tanamnya kebanyakan dimulai Sep I-II sampai dengan Jan I-II, sedangkan pada tahun kering terjadi sampai dengan Juni II-III (Gambar 30). 100 90
Sulawesi Utara
80
Gorontalo Sulawesi Tengah
70
Sulawesi Barat 60
Sulawesi Tenggara
50
Sulawesi Selatan
40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian) Gambar 28. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun basah tingkat provinsi di Pulau Sulawesi 100 90
Sulawesi Utara
80
Gorontalo Sulawesi Tengah
70
Sulawesi Barat 60
Sulawesi Tenggara
50
Sulawesi Selatan
40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian) Gambar 29. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun normal tingkat provinsi di Pulau Sulawesi
140
100 90
Sulawesi Utara
80
Gorontalo Sulawesi Tengah
70
Sulawesi Barat 60
Sulawesi Tenggara
50
Sulawesi Selatan
40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian) Gambar 30. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan tahun kering tingkat provinsi di Pulau Sulawesi
Awal musim tanam tanaman pangan sangat bervariasi antar tempat dan kondisi iklim. Sebagai contoh, Gambar 31 menggambarkan perbedaan awal musim tanam pada kondisi basah, normal, dan kering di Provinsi Sulawesi Selatan, serta Gambar 32 menggambarkan distribusi luas tanam yang dilakukan petani periode tahun 2000-2007 pada provinsi yang sama.
Hasil analisis sensitivitas dan verifikasi lapang di Sulawesi menunjukkan hal berbeda dengan yang terdapat di Kalimantan. Di Kalimantan waktu tanam yang sering dilakukan oleh petani di masing masing lokasi verifikasi bervariasi, akan tetapi di Sulawesi waktu tanam baik eksisting, tahun normal, maupun pada tahun basah, di seluruh lokasi dengan frekuensi yang lebih besar adalah pada Sep I-II, Tabel 11, dan Gambar 33-38. Sangat berbeda dengan lokasi lainnya, di Sulawesi Barat menunjukkan waktu tanam adalah pada Sep I-II. Kondisi ini memberi gambaran Sulawesi Barat memiliki periode basah sepanjang tahun, yang memungkinkan dilakukannya waktu tanam waktu yang sama meski di tempat lain memasuki periode tahun kering.
141
100 90
Eksisting Tahun Basah
80
Tahun Normal 70
Tahun Kering
60 50 40 30 20 10 0 SEP I-II
NOV I-II
JAN I-II
MAR I-II
MEI I-II
JUL I-II
Kalender tanam (dasarian) Gambar 31. Distribusi awal musim tanam tanaman pangan Pulau Sulawesi dengan contoh Sulawesi Selatan pada kondisi eksisting, tahun basah, normal, dan kering 300.000 2007 TN 2006 TN 2005 TK 2004 TB
250.000 200.000
2003 TN 2002 TN 2001 TK 2000 TN
150.000 100.000 50.000 J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Bulan
Gambar 32. Distribusi luas tanam padi yang dilakukan petani Pulau Sulawesi dengan contoh Sulawesi Selatan pada kondisi tahun basah, normal, dan kering periode tahun 2000-2007
Tabel 11 memberi gambaran, bahwa tahun kering merupakan suatu periode yang sangat tegas dengan menyiasatinya melalui penundaan waktu tanam pada 4 dasarian (Okt II-III) atau 8
142
dasarian (Nov III-Des I) atau bahkan hingga puncak musim hujan berikutnya pada Mei III-Jun I, seperti yang terdapat di lokasi verifikasi di Sulawesi Tenggara. Hal ini terlihat dari terpencarnya hasil analisis antara periode tahun 2008-2009 terhadap periode tanam 2000-2007. Tabel 11. Rataan, modus, dan standar deviasi kalender tanam periode pengamatan 2000-2007 yang dibandingkan dengan periode 2008-2009 untuk Pulau Sulawesi Provinsi
Statistik
2000-2007
2008-2009
Eksisting
TN
TK
TB
Eksisting
Sulawesi Selatan
Rataan Std Modus
3 2,1 1
2 1,4 1
6 3,3 5
2 14 1
3 1,6 1
Sulawesi Barat
Rataan Std Modus
2 2,3 1
2 1,6 1
3 2,3 1
6 7,2 1
4 2,1 7
Sulawesi Tengah
Rataan
2
1
5
4
4
Std Modus
13 1
1,0 1
3,7 3
6,7 1
2,5 1
Sulawesi Tenggara
Rataan
Gorontalo
2
2
8
3
4
2,2
1,8
4,1
4,6
2,4
1 1
1 1
14 5
1 1
1 3
0,0
0,0
2,3
0,0
1,2
Modus
1
1
3
1
3
Rataan Std Modus
1 1,0 1
1 0,4 1
4 2,2 3
2 4,2 1
3 1,5 4
Std Modus Rataan Std
Sulawesi Utara
Keterangan: TN = tahun normal, TK = tahun kering, TB = tahun basah, dan Std = standar deviasi
Khusus awal waktu tanam eksisting yang dilakukan pada periode tanam tahun 2008-2009 hampir sama dengan yang dilakukan oleh petani pada periode sebelumnya, kecuali untuk Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Setiap provinsi pada periode tanam 2008-2009 lebih sering melakukannya secara berturut-turut pada Jan I-II, Okt II-III, dan Nov I-II. Dengan kata lain ketiga provinsi pada periode tersebut, waktu tanam eksisting mundur masingmasing sekitar 12, 4, dan 6 dasarian dari biasanya. Untuk Gorontalo dan Sulawesi Utara pada tahun 2008-2009, petani banyak menunda
143
waktu tanamnya sekitar 4-6 dasarian, mengikuti pola waktu tanam seperti pada periode tahun kering. Satu satunya provinsi di Sulawesi yang menunjukkan perubahan waktu tanam eksisting periode 2008-2009 yang sangat drastis adalah Sulawesi Barat, yaitu dari Sep I-II menjadi Jan I-II. Kondisi demikian jarang terjadi walaupun pada kondisi tahun kering. Itu sebabnya analisis kesamaan awal waktu tanam antara dua periode tersebut juga menunjukkan nilai persentase kesamaan yang kecil pada tahun kering.
Gambar 33. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Sulawesi Selatan
Berdasarkan hasil analisis uji sensitivitas dan verifikasi menggunakan data pengamatan tahun 2008-2009 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar wilayah Sulawesi menerapkan waktu tanam seperti yang dilakukan pada periode sebelumnya, yaitu sesuai dengan yang dilakukan oleh petani pada umumnya (Tabel 12).
144
Gambar 34. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Sulawesi Barat
Gambar 35. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Sulawesi Tengah
145
Gambar 36. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Sulawesi Tenggara
Gambar 37. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Gorontalo
146
Gambar 38. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2008-2009 terhadap kalender tanam eksisting periode 2000-2007 di Sulawesi Utara Tabel 12. Persentase kesamaan awal waktu tanam periode tahun 20002007 dengan periode 2008-2009 pada lokasi sampel yang sama di Sulawesi Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Utara
Eksisting
TN
TK
TB
N
% 25 20 41 29 27 19
22 23 41 32 27 25
6 10 9 4 33 16
28 20 28 21 27 16
36 30 32 28 15 32
Rataan
26,6
28,3
12,9
23,3
173
Std
0,08
0,07
0,11
0,05
Keterangan: TN = tahun normal, TK = tahun kering, TB = tahun basah, N = jumlah sampel, dan Std = standar deviasi
Gorontalo dan Sulawesi Utara yang mengikuti waktu tanam tahun kering, dimana terjadi keterlambatan waktu tanam selama 2 dasarian dari biasanya. Kejadian ekstrem terjadi di Sulawesi Barat dengan penundaan waktu tanam hingga mencapai 12 dasarian dari 147
biasa yang dilakukan oleh petani sebelumnya. Kejadian ini memaknai bahwa telah terjadi periode kering yang sangat signifikan di Sulawesi Barat, yang biasanya selalu memiliki periode basah yang panjang.
Distribusi bulanan kalender tanam eksisting padi sawah sangat bervariasi antar provinsi. NTB mencapai puncak pada bulan Desember dan Januari, NTT pada bulan Januari dan Februari, sedangkan Bali kelihatannya dapat menanam padi sawah sepanjang tahun secara bergantian (Gambar 39).
Gambar 39. Rekapitulasi waktu tanam padi sawah eksisting di Indonesia bagian timur dengan contoh Bali
Bila dikaitkan dengan puncak tanam setiap provinsi, Gambar 40 menggambarkan kecenderungan yang berbeda. Maluku terjadi pada bulan November, Maluku Utara pada bulan April, NTB pada bulan Desember-Januari, Bali pada bulan Desember-Januari, NTT pada bulan Januari, Papua pada bulan Januari-Februari, serta Papua Barat pada bulan Juni.
148
Gambar 40. Puncak tanam padi sawah dominan antar provinsi
Analisis awal waktu tanam padi sawah yang dilakukan petani di wilayah Indonesia bagian timur menggunakan data realisasi waktu tanam level kecamatan. Ternyata bahwa awal waktu tanam padi sawah relatif seragam yaitu pada Okt II-III (Gambar 41), walaupun ada perbedaan satu dua dasarian antar provinsi. Hal ini karena lahan sawah di wilayah Indonesia bagian timur sumber air utamanya bergantung pada curah hujan. Intensitas tanaman juga hanya sekitar satu karena setelah padi sawah pada MT I biasanya ditanami palawija. Berdasarkan data BPS runut waktu 2000-2009, realisasi luas tanam untuk padi sawah, padi ladang, dan jagung cukup bervariasi. Padi sawah terluas terdapat di NTB dengan rata-rata luas tanam setahun seluas 272.913 ha, diikuti Bali dengan 146.981 ha. Padi ladang lebih banyak ditanam di NTT, dengan rata-rata setahun 64.316 ha dan diikuti NTB seluas 46.730 ha. Jagung juga lebih banyak ditanam di NTT dengan rata-rata setahun 217.218 ha dan diikuti NTB seluas 45.500 ha dan Bali seluas 27.485 ha.
149
Gambar 41. Rekapitulasi waktu tanam padi sawah eksisting di Indonesia bagian timur dengan contoh Bali
Awal waktu tanam untuk tahun basah dilakukan dengan menggunakan data curah hujan tahunan lebih besar dari 115%. Awal tanam tahun basah paling cepat terjadi pada bulan Sep IIIOkt I walau dengan intensitas yang rendah (Gambar 42). Bila dibandingkan dengan yang dilakukan petani memang hanya lebih cepat dua dasarian. Awal waktu tanam tanam untuk tahun normal dilakukan dengan menggunakan data curah hujan tahunan antara 85 sampai dengan 115%. Awal tanam tahun normal terjadi pada periode Okt II-III dan Nov I-II (Gambar 43), yang memang hampir bersamaan dengan kondisi eksisting di lapangan. Sedangkan pada tahun kering, awal waktu tanam tanam untuk tahun normal dilakukan dengan menggunakan data curah hujan tahunan kurang dari 85%. Awal waktu tanam tahun kering umumnya terjadi pada Jan I-II (Gambar 44). Luasan sawah yang hanya sekitar 450.000 ha di tujuh provinsi menunjukkan bahwa memang hanya sedikit wilayah yang dapat diusahakan tanaman padi sawah. Padi ladang dan jagung
150
merupakan tanaman pangan yang membutuhkan sedikit air sehingga banyak dikembangkan masyarakat. 100% 80%
MTI MTII
60% 40% 20% 0% SEPI/II
OKTII/III
NOVIII/DESI
JANI/II
FEBII/III
MARIII/APRI
MEI I/II
Onset Gambar 42. Rekapitulasi waktu tanam padi sawah tahun basah pada MT I (biru) dan MT II (merah)
Awal waktu tanam MT I tanaman pangan lahan kering, yakni padi ladang, dan jagung, terjadi pada Oktober II-III yang mirip dengan awal waktu tanam padi sawah. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujanlah yang menjadi penentu utama kegiatan budidaya tanaman pangan. Namun juga dapat dipengaruhi faktor ketersediaan air dan saprodi. 100% 80%
MTI MTII
60% 40% 20% 0% SEPI/II
OKTII/III
NOVIII/DESI
JANI/II
FEBII/III
MARIII/APRI
MEI I/II
Onset Gambar 43. Rekapitulasi waktu tanam padi sawah tahun normal Bali, Muluku, Nusa Tenggara dan Papua pada MT I (biru) dan MT II (merah)
151
100% 80%
MTI MTII
60% 40% 20% 0% SEPI/II
OKTII/III
NOVIII/DESI
JANI/II
FEBII/III
MARIII/APRI
MEI I/II
Onset Gambar 44. Rekapitulasi waktu tanam padi sawah tahun kering tiap provinsi pada MT I
Melalui analisis verifikasi lapang dapat juga dilihat tingkat sensitivitas kalender tanam yang dilakukan oleh petani merespon satu kejadian iklim pada musim tanam tahun 2009 dan 2010. Sensitivitas tersebut dilihat melalui perbandingan antara hasil analisis (periode 2000-2009) dengan hasil pengamatan lapang menggunakan data BPS tahun 2009 dan 2010. Berdasarkan hasil verifikasi awal waktu tanam MT I menggunakan data BPS 2009/2010, beberapa kesimpulan yang dapat dicatat: (a) wilayah timur dapat dikelompokkan menjadi 4 berdasarkan kesesuaian awal waktu tanam MT I tersebut yaitu: provinsi dengan pola kalender tanam tahun 2009/2010 sesuai dengan kondisi eksisting dan tahun basah (Bali, NTB, dan NTT), sesuai dengan kondisi eksisting dan tahun normal (Maluku Utara dan Papua), lebih sesuai mendekati tahun basah (Papua Barat), dan hanya sesuai dengan kondisi eksisting saja (Maluku); (b) melihat angka kuantitatif kesesuaian awal waktu tanam MT I pada masing-masing kondisi yang dibandingkan dengan data BPS 2009/2010 nampak bahwa kesesuaian dengan kondisi eksisting pada semua provinsi adalah tertinggi, artinya terjadinya perubahan pola hujan dari normal ke basah (TB) tidak mempengaruhi waktu tanam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang tegas antara kondisi normal dan basah terhadap perubahan waktu
152
tanam. Nampak jelas pada Provinsi Papua Barat; (c) Maluku Utara, dapat dianggap sebagai provinsi yang terbasah, sebab kondisi 2009/2010 sama dengan kondisi eksistingnya. Tabel 13 mencantumkan total per provinsi sedangkan Gambar 45-51 secara berturut-turut memaparkan hasil verifikasi Bali, Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT, Papua dan Papua Barat. Tabel 13. Persentase kesesuaian awal waktu tanam MT I per skenario iklim dengan data BPS 2009/2010 Provinsi Bali Maluku Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat
Eksisting
TB
TN
TK
N
Persentase (%) 60,4 72,2 50,0 89,0
17,0 0,0 0,0 2,8
0,0 0,0 12,5 0,0
0,0 0,0 0,0 0,0
53 18 8 109
77,7
12,8
0,0
0,0
188
85,7 70,6
0,0 94,1
28,6 35,3
0,0 0,0
7 17
Keterangan: TN = tahun normal, TK = tahun kering, TB = tahun basah, dan N = jumlah sampel
Jembrana Tabanan Badung Gianjar Klungkung Bangli Karang Asem Buleleng Kota Denpasar
Onset Verifikasi (dasarian) Gambar 45. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi Bali
153
Onset Verifikasi (dasarian) Gambar 46. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi Maluku 18 16 14 12 10 8
Halmahera Barat
6
Halmahera Selatan
4
Halmahera Utara
2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Onset Verifikasi (dasarian) Gambar 47. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi Maluku Utara
154
18 16 14 12
Lombok Barat Lombok Tengah
10
Lombok Timur
8
Sumbawa
6
Dompu Bima
4
Sumbawa Barat Kota Mataram
2
Kota Bima
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Onset Verifikasi (dasarian) Gambar 48. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi NTB 18 16 14 Sumba Barat
12
8
Sumba Timur Kab. Kupang TTS TTU
6
Belu Alor
10
Flores Timur Sika Ende Ngada
4 2
Manggarai
0 0
2
4
6 8 10 Onset Verifikasi (dasarian)
12
14
16
18
Gambar 49. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi NTT
155
18 16 14 12
Merauke Jayawijaya
10
Jayapura
8
Nabire Mimika
6
Keerom
4
Waropen
2 0 0
2
4
6 8 10 Onset Verifikasi (dasarian)
12
14
16
18
Gambar 50. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi Papua
18 16 14 12
Fak Fak
10 Teluk Bintuni
8 6
Manokwari
4
Sorong Selatan
2
Sorong
0 0
2
4
6 8 10 12 Onset Verifikasi (dasarian)
14
16
18
Gambar 51. Verifikasi dan sensitivitas kalender tanam tahun 2009-2010 terhadap kalender tanam eksisting di Provinsi Papua Barat
Kesimpulan Setiap atlas kalender tanam memuat informasi estimasi awal waktu tanam dan potensi luas tanam padi setiap musim tanam. Estimasi dilakukan berdasarkan kondisi curah hujan lebih tinggi dari nilai 156
rata-rata (basah), normal, ataupun lebih rendah dari nilai rata-rata (kering), sesuai kriteria sifat hujan BMKG. Syarat utama menggunakan informasi atlas kalender tanam adalah pengguna perlu mengetahui musim tanam (MT) ke depan (apakah MT I, MT II, atau MT III), dan sifat hujan musim tersebut (basah atau normal atau kering). Kelompok musim tanam ke depan dapat ditetapkan dengan mudah dengan menggunakan periode waktu. MT I mulai September III-Oktober I sampai dengan Januari III-Februari I, MT II mulai Februari II-III sampai dengan Mei III-Juni I, dan mulai Juni II-III sampai September I-II. Sifat hujan dapat diperoleh dari prakiraan sifat hujan bulanan dan musiman yang dikeluarkan secara reguler setiap tahun oleh BMKG. Atlas kalender tanam belum memuat informasi prakiraan sifat hujan sehingga pengguna belum dapat secara langsung menentukan awal waktu tanam musim tanam berikutnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut Balitbangtan perlu melengkapi informasi kalender tanam dengan prediksi atau prakiraan musim dari BMKG. Penggabungan kedua informasi ini bertujuan untuk memudahkan petani di dalam menentukan awal waktu tanam tanaman padi untuk musim tanam yang akan datang. Bentuk informasi kalender tanam yang berbentuk atlas dengan ukuran yang cukup besar dan berat, membuat informasi ini sulit disebarkan kepada pengguna. Karena itu, kedepan pengemasan informasi kalender tanam tidak lagi berbentuk atlas, tetapi dalam bentuk sistem informasi yang berbasis web.
Daftar Pustaka Amien, I., E. Runtunuwu, E. Susanti, E. Surmaini. 2011. Goncangan iklim mengancam ketahanan pangan nasional. Majalah Pangan 20(2):121-132. AMIS 2012. AMIS Croping Calendar. Mexican Agri-food and Fishery Information Service. Ministry of Agriculture, Livestock, Rural Development, Fisheries and Food (SAGARPA), in collaboration with The Agricultural Market Information System (AMIS). Mexico. BMKG. 2012. Analisis hujan Desember 2011 dan prakiraan hujan Februari, Maret dan April 2012. Badan Meteorologi Klimatologi dan geofisika (BMKG). Tahun XXIV. No. 4. Januari 2012.
157
Edirisinghe, N. 2004. A Study of Food Grain Market in Iraq. Document of the World Bank & United Nations World Food Program. Reconstructing Iraq. Working Paper No. 3. June 2004. 72p. FAO. 1996. Guidelines: Agro-ecological Zoning. FAO Soils Bulletin 73. FAO, Rome. FAO. 1997. Irrigation potential in Africa: A basin approach. Bulletin 4. FAO. Land and Water Development Division. Rome. Las, I., A. Unadi, K. Subagyono, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Las, I., A. Unadi, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu. 2008. Atlas Kalender Tanam Pulau Sumatera. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Las, I., A. Unadi, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu. 2009a. Atlas Kalender Tanam Pulau Kalimantan. Skala 1:1.000.000 dan I:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Las, I., A. Unadi, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu. 2009b. Atlas Kalender Tanam Pulau Sulawesi. Skala 1:1.000.000 dan I:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Las, I., A. Unadi, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu. 2010. Atlas Kalender Tanam Wilayah Indonesia Bagian Timur. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Runtunuwu, E., A. Kondoh. 2008. Assessing global climate variability and change under coldest and warmest periods at different latitudinal regions. Indonesian Journal of Agricultural Science 9(1):7-18. Runtunuwu, E. 2011. Climate change impact on agro-climatic type and length of growing period of three locations in Java Island. Jurnal Sumberdaya Air 7(2):119-130. Runtunuwu, E., H. Syahbuddin. 2011. Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Nasional untuk Mengurangi Risiko Variabilitas dan Perubahan Iklim. Jurnal Sumberdaya Lahan 5(1):1-10. Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, I. Amien, I. Las. 2011a. New Cropping Calendar Map Development for Paddy Rice Field in Java Island. Ecolab 5(1):1-14. Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, W.T. Nugroho. 2011b. Deliniasi kalender tanam tanaman padi sawah untuk antisipasi anomali iklim mendukung program peningkatan produksi beras nasional. Majalah Pangan 20(4):341-356. Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, F. Ramadhani, A. Pramudia, D. Setyorini, K. Sari, Y. Apriyana, E. Susanti, Haryono, P. Setyanto, I. Las, M. Sarwani. 2012a. Sistem informasi kalender tanam
158
terpadu: status terkini dan tantangan Sumberdaya Lahan 6(2):67-78.
kedepan.
Jurnal
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, F. Ramadhani. 2012b. Dinamika waktu tanam tanaman padi Pulau Kalimantan. Jurnal Agronomi 40(1):8-14. Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, F. Ramadhani, W.T. Nugroho. 2012c. Dinamika kalender tanam padi di Sulawesi. Majalah Pangan 21(2)113-124. Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, F. Ramadhani, Y. Apriyana, K. Sari, W.T. Nugroho. 2013. Tinjauan waktu tanam tanaman pangan di wilayah timur Indonesia. Majalah Pangan 22(1):1-10. Syahbuddin, H., M.D. Yamanaka, E. Runtunuwu. 2005. Impact of climate change to dry land water budget in Indonesia: observation during 1980-2002 and simulation for 2010-2039. Presented in Asia Oceania Geosciences Society 2rd Annual Meeting (AOGS 2005). Singapore. June 2005. Viet, N V., Nguyen Van Liem, Ngo Tien Giang. 2001. Climate Change and Strategies to be Adapted in Agriculture for Sustainable Development in Vietnam. http://sedac.ciesin.org /openmeeting/downloads/1001755129_presentation_baocao_b razin.doc. Diakses pada tanggal 3 September 2013. Wiliamson, D. 2001. Using remotely sensed data for humanitarian relief. Geography Bulletin 33(1):15-18. Wisnubroto, S. 1995. Pengenalan waktu tradisional pranata mangsa menurut jabaran meteorologi dan pemanfaatannya. J. Agromet XI(1&2):15-22. Wisnubroto, S. 1998. Sumbangan pengenalan waktu tradisional "Pranata Mangsa" pada pengelolaan hama terpadu. J. Perlindungan Tanaman Indonesia 4(1):1-15. Wiriadiwangsa, D. 2005. Pranata Mangsa, Masih Penting untuk Pertanian. Tabloid Sinar Tani 9-15 Maret 2005.
159