Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
BAGIAN 1. METODE PEMBELAJARAN PENGEMBANGAN PEMIKIRAN KRITIS DAN KREATIF DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) Anindita Trinura Novitasari
Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
[email protected]
Abstrak Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan yang dahulu berpusat pada guru perlu dilakukan reformasi menjadi berpusat pada siswa. Proses pembelajaran ekspositori yang banyak menekankan pada aspek pengetahuan dan pemahaman kini menuju metode pembelajaran yang inovatif, aktif, dan kreatif. Salah satu model pembelajaran yang mengaktifkan siswa adalah kontekstual teaching and learning (CTL). CTL sebagai model pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme. CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan pengetahuan pelajar dengan situasi kehidupan nyata. CTL menerapkan 7 komponen pembelajaran efektif, yaitu: Konstruktivistik, Inquiry, question, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian nyata. Melalui model pembelajaran CTL siswa diarahkan untuk berpikir kritis dan kreatif. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri materi yang dipelajari dan dihubungkan dengan kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya dan terbentuk pengetahuan baru. Kata Kunci: Konstruktivistik, pemikiran kritis dan kreatif, CTL
PENDAHULUAN Kemampuan berpikir kritis dan kreatif merupakan kemampuan yang sangat esensial dalam kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan, reflektif, dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai dan dilakukan. Sedangkan berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus-menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Kiasan yang digunakan Thomas A. Edison dalam Sudarma (2013) hidup ini ibarat menabuh gendang. Banyak orang yang bisa menabuh gendang, tetapi tidak semua orang mampu memainkannya dengan irama yang merdu. Banyak orang yang menggunakan akal pikirannya, tetapi hanya sedikit orang yang mampu memainkan secara sehat dan kreatif. Maksud dari pernyataan ini bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki nilai kreatif. Namun tidak semua orang dapat mengembangkan kreativitasnya. Semua bergantung pada kemauan manusianya. Ada yang berusaha mengembangkan ada pula yang kurang peduli dengan kreativitasnya sehingga menjadi pribadi yang kurang berkualitas.
Page[1]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kondisi siswa yang ada saat ini bisa dikategorikan sebagai kondisi yang tidak secara maksimal menampakkan adanya tingkat kritis dan kreatif siswa dalam pembelajaran. Jika itu pun ada masih dalam ukuran minoritas (lebih sedikit). Kondisi yang cenderung ada adalah siswa pasif dalam proses pembelajaran di kelas. Mereka cenderung untuk takut dalam menyampaikan pendapat atau pertanyaan kepada guru yang mengajar. Ada anggapan dalam intrinsik mereka bahwa pertanyaan ataupun pendapat mereka bukan seberapa, atau dikhawatirkan mereka salah dan lain sebagainya. Hal ini yang menjadi salah satu penghambat siswa berpikir kreatif. Kondisi siswa yang pasif dalam pembelajaran saat ini menjadi hasil penelitian yang disampaikan oleh Astika, et.al (2013) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya, proses pembelajaran yang ada selama ini belum optimal karena siswa masih belum aktif dalam mengikuti pelajaran siswa hanya duduk diam dan mendengarkan materi dari guru. Pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru adalah pembelajaran ekspositori (expository learning) yang berpusat pada guru. Guru menjadi sumber dan pemberi informasi utama sehingga guru sangat aktif dalam proses pembelajaran tetapi siswa sangat pasif, menerima dan mengikuti penjelasan guru. Pembelajaran yang seperti ini menyebabkan siswa tidak dapat berpikir ilmiah dan ketrampilan berpikir kritis siswa kurang optimal. Berikut ini ada beberapa alasan yang disampaikan oleh Filsaime (2008:27) penulis ini menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang tidak mampu berpikir kritis dan kreatif yaitu: (1). Tidak dapat menghilangkan ketakutan akan salah; (2). Prediksi akan kegagalan; (3). Kurangnya kepercayaan diri; (4). Kesulitan berpikir; (5). Kurangnya motivasi intrinsik dan terlalu banyaknya motivasi ekstrinsik; (6). Toleransi yang rendah pada ambiguitas. Pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam interaksi sosial melalui penerapan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan nyata juga dibenarkan dalam tulisan Costa, et.al (2013) menyatakan bahwa prinsip pengalaman belajar siswa sangat penting untuk memperkenalkan tahap kegiatan yang mendekati realita kehidupan sosial yang dimulai dari sesuatu yang telah mereka ketahui yaitu pemahaman awal, pengetahuan awal yang mereka miliki. Metodologi yang mengembangkan dasar psikologi pendidikan akan meningkatkan interaksi sosial siswa selama proses belajar dan tentunya dengan bimbingan guru. Dengan pembelajaran kontekstual ini, siswa akan memiliki pengetahuan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Akan ada hubungan antara ide dengan aplikasi dalam konteks dunia nyata melalui menemukan, memperkuat, dan menghubungkan antara pemahaman dengan pengalaman sampai munculnya makna yang baru. Melalui penjabaran dari latar belakang penulisan makalah ini di atas, maka dirumuskan permasalahan apakah model pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) dapat mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif siswa dalam pembelajaran ekonomi? [2]Page
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) Nurhadi (2002) dalam Rusman (2014: 190) menyampaikan suatu konsep bahwa Contextual Teaching And Learning (CTL) dapat menjadi konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan apa yang disampaikan dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa untuk berpikir dengan mengaitkan menemukan dan menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan kenyataan di sekitarnya. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri (learning to do) untuk memperkuat pemilikan pengalaman belajar yang aplikatif. Mengenai pembelajaran yang dituntut untuk mengaktifkan siswa disampaikan oleh Sudarma (2013:198) disampaikan bahwa model pembelajaran yang monoton atau doktriner, bukanlah pendekatan yang dapat menyadarkan siswa bahwa memiliki kemampuan dalam dirinya. Pendekatan pembelajaran yang monoton justru akan membunuh potensi siswa. Untuk memperkuat pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri. Melalui pembelajaran kontekstual mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru terhadap siswa tapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari materi kemudian menghubungkannya dengan kehidupan nyata dan menerapkannya dalam keseharian siswa. Interaksi langsung siswa dalam pembelajaran juga dibenarkan dalam penelitian Albers, C (2008) yang menyatakan bahwa ketika siswa memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, mereka berhasil menginterpretasikan solusi dalam pengajaran. Pengalaman dalam berkomunikasi mampu memberikan sumber potensi pengetahuan tentang pengajaran. Interaksi yang terjadi secara konstruktif yang mencakup pengetahuan tentang tujuan dan panduan implementasi dapat membangun peningkatan pemikiran seseorang (memunculkan pengetahuan baru). Belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2014:260) adalah (1). Belajar bukan menghafal, tetapi upaya mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh. (2). Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta tetapi berdasar pengetahuan mengikuti pengalaman yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan seseorang semakin efektif dalam berpikir. (3). Belajar adalah proses pemecahan masalah. Ini akan menjadikan anak berkembang secara utuh bukan hanya intelektual, mental juga emosi. (4). Proses pengalaman sendiri yang akan berkembang bertahap dari yang sederhana menuju kompleks. Karena itu perkembangan setiap anak berbeda mengikuti irama kemampuan masing-masing. (5). Belajar pada hakikatnya menangkap pengetahuan dari kenyataan. Untuk membangun aspek dari sikap ilmiah siswa, Astika (2013) menyatakan paradigma dalam proses pembelajaran diharapkan mengalami perubahan proses pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru (Teacher Centered) berubah menjadi Page[3]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 berpusat pada siswa (Student Centered). Untuk perubahan ini paradigma pembelajaran tersebut diharapkan dapat mendorong siswa agar terlibat aktif dalam membangun pengetahuan, sikap, serta perilaku. Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, Marhaeni (2007) menyatakan pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses pemecahan masalah yang dihadapinya sendiri (Student Centered). Di bawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik Dalam pembelajaran kontekstual dibutuhkan peran guru yang profesional. Guru diharapkan untuk dapat mendesain lingkungan belajar yang betul-betul dapat berhubungan dengan kehidupan nyata. Maksudnya guru dituntut untuk dapat mengatur strategi pembelajaran agar makna dapat diperoleh siswa bukan sekedar memberi informasi. Guru diharapkan dapat mengelola kelas sebagai fasilitator yang bekerjasama dengan siswa dalam menemukan hal yang baru. Profesionalisme guru dan metode penyampaian materi ajar kepada siswa di kelas, sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Dameus, et al (2004) menyatakan bahwa para pengajar tertarik untuk membuat para siswa bisa memahami dan belajar lebih baik. Pengajar akan mengajar lebih baik terkait penyampaian materi. Konsekuensi dari pengajaran yang tidak efektif sangat krusial jika siswa tidak paham yang mereka pelajari. Mereka akan kesulitan saat lulus dan mengaplikasikan ilmu mereka. Berkaitan dengan kinerja guru, Sukidjo, et.al. (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa salah satu indikator pembelajaran dianggap berhasil apabila mahasiswa merasa puas terhadap pelaksanaan pembelajaran. Partner (2009) dalam Sukidjo (2013) menyampaikan bahwa keberhasilan proses pembelajaran sangat terkait dengan minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Kepuasan siswa dalam proses pembelajaran dikaji dalam berbagai aspek yaitu materi, sarana, metode pembelajaran, dan penyampaian materi serta media pembelajaran. Menurut Brown & Saks (1987) dalam Maas & Meijen (1999) menyatakan bahwa guru akan mencoba untuk memberikan siswanya kesempatan untuk mencapai hasil pembelajaran menurut kemampuan mereka, bagaimanapun, tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama dan guru mengatur perannya bagaimana memahami atas siswasiswanya. Pemahaman dan perhatian kepada siswa bagaimanapun, merupakan hal yang butuh kesabaran dan merupakan hal yang tidak mudah bagi guru dalam menghadapi karakter siswa yang beragam. Karenanya prestasi dari siswa-siswanya dapat dijadikan tolak ukur bagi guru dalam memperlakukan siswa dan memahami kemampuannya. Pentingnya metode pengajaran juga disampaikan dalam penelitian Link and Rutledge (1975) dalam Dameus, et al (2004) yang menyatakan bahwa, ketika siswa memiliki pemahaman lebih terhadap materi pelajaran, maka keuntungan akumulatif di masa depan pada pihak individu maupun sosial akan lebih tinggi. Ini adalah tanggung [4]Page
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
jawab lembaga pendidikan serta pendidik untuk mencari metode pengajaran yang lebih efektif untuk memenuhi ekspektasi individu dan masyarakat terhadap pendidikan. Meningkatkan metode pengajaran bisa membantu sebuah lembaga pendidikan mencapai target meraih hasil pembelajaran yang lebih baik. Berdasarkan kajian teori di atas, dapat kita pahami bahwa di dalam CTL tidak hanya siswa yang dituntut memahami materi, tapi guru juga dituntut memiliki kemampuan melaksanakan proses pembelajaran CTL yang baik. Melalui pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, kemampuan guru akan terbekali karena memang sudah dibekali konsep materi pembelajaran yang sudah sangat kuat. BERPIKIR KRITIS Definisi berpikir kritis dikonsepkan oleh Ernis (1986) dalam Filsaime (2008:58) berpikir kritis sebagai hasil interaksi serangkaian dugaan terhadap berpikir kritis, dengan serangkaian kecakapan untuk berpikir kritis. Dugaan-dugaan berpikir kritis yang disampaikan Erni meliputi: (1). mencari pernyataan yang jelas atas pertanyaan. (2). mencari alasan. (3). Mencoba untuk berpengetahuan luas; (4). Berusaha untuk tetap relevan pada point utama. Menurut Dewey dalam Fisher (2009) ia menamakan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya. Berdasarkan definisi Dewey ini, ia menyatakan bahwa berpikir kritis sebagai sebuah proses aktif. Bagi Dewey jika informasi atau gagasan diterima begitu saja maka terjadi proses berpikir yang pasif. Bagi Dewey memaknai proses berpikir kritis secara esensial adalah sebuah proses aktif di mana kita mengajukan pertanyaan untuk diri kita sendiri, menemukan informasi yang relevan untuk diri kita juga, akan lebih baik dari pada menerima informasi mentah dari orang lain sehingga kita akan dikatakan pasif. Kecakapan dalam berpikir kritis juga menjadi dasar dalam konsep berpikir kritis yang disampaikan oleh Molan (2012: 12) yang menyatakan bahwa walaupun penting dalan kehidupan sehari-hari, berpikir kritis menjadi sesuatu yang sangat penting bagi dunia ilmu pengetahuan dan akademik. Karena ilmu pengetahuan selalu berkutat dengan kebenaran-kebenaran ilmiah berupa tesis dan hipotesis yang akan dijadikan dasar pengendalian. Kebenaran ini hanya bisa diuji melalui olah pikir yang kritis. Untuk bisa melakukan pengujian dengan baik, dan akhirnya sampai pada kebenaran sejati, kegiatan berpikir kritis harus berjalan melalui argumen, penalaran, dan penyimpulan. Kecakapan siswa dalam berpikir kritis masih rendah, disampaikan oleh Astika (2013) dalam hasil penelitiannya bahwa rendahnya berpikir kritis ini tampak dari perilaku siswa yaitu rasa ingin tahu dalam mencari informasi masih rendah. Hal ini terbukti dari siswa yang hanya menerima informasi dari guru. Sehingga pemahaman siswa terhadap informasi tersebut masih lemah. Siswa yang cenderung pasif dan guru Page[5]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang hanya memberikan informasi serta model pembelajaran yang masih kurang tepat dalam proses pembelajaran akan mempunyai dampak. Dampak tersebut yaitu siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya terutama kemampuan berpikir kritis. Hal ini akan mengakibatkan ketika siswa dihadapkan pada suatu masalah akan susah untuk menyelesaikannya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kemampuan siswa untuk mencari tahu dan mengembangkan informasi masih rendah sehingga dapat dinyatakan kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah. Ada beberapa penghalang untuk berpikir kritis menurut Browne dan Stuart (1990) dalam Filsaime (2008:94) penghalang tersebut seperti: (1). Tidak mampu menjaga sikap berpikir kritis, sikap berpikir kritis identik dengan mental yang kuat. Seorang pemikir kritis tidak akan meninggalkan sikap: mencari sebab dan jawaban setiap kesempatan (kecerdasan), mencari dan menghargai pandangan perspektif alternatif (bersifat terbuka), aktif dalam bertanya dalam isu apapun (nalar kritis); (2). Pengalaman pribadi yang kuat, semakin seseorang memiliki pengalaman akan terjadi banyak persinggungan dengan fenomena, akan semakin kuat keinginannya untuk bertanya; (3). Terlalu menyederhanakan, kebanyakan orang tidak mau berpikir kompleks lebih memilih berpikir simpel. Hal ini mematikan berpikir kritis ketika terlalu menyederhanakan dengan gagal mempertimbangkan bahwa ada perspektif-perspektif lain, yang cukup potensial. Di sini berpikir kreatif orang tersebut akan mati; (4). Kebutuhan psikologis yang kuat, ditandai dengan karakter seseorang yang tidak terbuka dengan alternatif pendapat orang lain, selalu merasa kesimpulan sendiri yang paling benar padahal sebaliknya, karakter orang yang seperti ini yang juga mematikan ketrampilan berpikir kritis. Penelitian yang dilakukan oleh Nixon-Ponder (1995) dalam Dameus, et al (2004) menyatakan bahwa masalah yang ada merupakan alat untuk membangun dan memperkuat skill berpikir kritis. Menurutnya, pertanyaan jenis induktif mendorong terciptanya dialog dalam ruang kelas. Proses ini mencakup lima langkah termasuk mendeskripsikan konten, mendefinisikan problem, mengenalinya, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahannya. Berpikir kritis dengan jelas menuntut interpretasi dan evaluasi terhadap observasi, komunikasi, dan sumber-sumber informasi lainnya. Ia juga menuntut keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi dalam mengajukan pertanyaanpertanyaan yang relevan, dalam menarik implikasi-implikasi. Lebih lanjut, bahwa berpikir kritis menggunakan jenis berpikir kritis dan reflektif. BERPIKIR KREATIF Torrance (1964) dalam Filsaime (2008: 3) menyatakan berpikir kreatif sebagai salah satu perkembangan puncak dalam tahap pertumbuhan seseorang. Meskipun pertumbuhan budaya mempengaruhi pertumbuhan puncak, namun anak-anak biasanya mengalami pertumbuhan puncak di usia 4,5 tahun.
[6]Page
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
Sudarma (2013) mengklasifikasi definisi kreativitas menjadi empat aspek yaitu: (1). Kreativitas diartikan sebagai sebuah kekuatan atau energi yang ada dalam diri individu. Energi ini menjadi dorongan bagi seseorang untuk melakukan yang terbaik. (2). Kreativitas dimaknai sebagai sebuah proses dalam mengelola informasi, membuat sesuatu, atau melakukan sesuatu. (3). Kreativitas adalah sebuah produk. Penilaian orang lain terhadap kreativitas seseorang dikaitkan dengan kualitas produknya; (4). Kreativitas dimaknai sebagai person, kreativitas dalam hal ini dimaknai pada individunya. Ada 3 dorongan untuk menjadikan orang kreatif menurut Robert Franken (dalam Sudarma (2013) yaitu: (1). Kebutuhan untuk memiliki sesuatu yang baru, bervariasi dan lebih baik; (2). Dorongan untuk mengomunikasi nilai dan ide; (3). Keinginan untuk memecahkan masalah. Dorongan inilah yang membuat seseorang ingin berkreasi. Untuk dapat berpikir kreatif, kita harus menghilangkan penghalang-penghalang berpikir kreatif. Menurut Crutchfield (1973) dalam Filsaime (2008:27) menemukan faktor penghalang berpikir kreatif, yaitu: (1) Takut kegagalan, ketidaksesuaian atau aib, ketakutan untuk merealisasikan pemikiran, ide, gagasan karena khawatir dikritik di depan umum telah tumbuh dalam diri dan ini menghambat kreativitas; (2). Kurang percaya diri : pengaruh negatif dari dalam diri dan dari luar diri; (3). Kesulitan berpikir; (4). Kurangnya motivasi intrinsik (dari dalam diri : motivasi) dan terlalu banyaknya motivasi ekstrinsik (dari luar diri : reinforcement); (5). Toleransi yang rendah pada ambiguitas (terbuka terhadap banyak kemungkinan). PEMBAHASAN Pembelajaran pada umumnya dilaksanakan oleh guru banyak menekankan pada aspek pengetahuan dan pemahaman. Untuk itu diperlukan metode pembelajaran yang inovatif, aktif, dan kreatif salah satunya adalah pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL). Pembelajaran ini dapat membantu siswa dalam menguasai materi pembelajaran melalui pemikiran kritis dan kreatif dalam mengonstruksi pengetahuan mereka melalui pengalaman. Pembelajaran contextual teaching and learning – CTL yang merupakan salah satu pendekatan pembelajaran, mempelajari pelajaran sesuai topik yang dipelajarinya dengan aktif. Siswa dilibatkan langsung dalam pengalaman dan bukan hanya dalam proses mencatat saja. Aplikasi diperkaya dengan pondasi teori yang dimiliki siswa. Diharapkan siswa dapat berkembang secara utuh bukan aspek kognitif saja tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Konsep dan asas dari model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL), ada tujuan ke arah menciptakan siswa yang kritis dan kreatif. Dalam CTL siswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan sendiri materi berdasarkan topik yang sudah ditentukan. Kemudian siswa diharapkan mampu menghubungkan dari pemahaman yang pernah diperoleh di sekolah dengan kejadian di sekitarnya. Pengalaman yang diperoleh siswa sendiri ini akan menjadikan pemahaman siswa terhadap materi yang diperoleh di sekolah dapat melekat kuat di ingatannya Page[7]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (memorinya). Terakhir siswa diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari karena materi yang diperoleh di sekolah bukan hanya untuk dihafal tetapi untuk diaplikasikan. Melalui pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), siswa dapat menggunakan pengetahuan awal yang sudah pernah dimiliki melalui proses konstruktivistik dapat membangun pengetahuan baru yang memiliki makna. Kemudian siswa mengkonstruksi hingga mereka dapat membangun pengetahuan baru bukan sekedar menerima pengetahuan. Dalam proses inquiry, siswa melakukan perpindahan dari pengamatan kondisi nyata disesuaikan dengan pemahaman terhadap suatu konsep hingga muncul pemahaman baru. Di sini proses berpikir kritis siswa mulai bekerja di mana mereka dengan berpikir kritis dapat menemukan solusi pemecahan masalah. Pada komponen questioning menjadi kegiatan guru untuk membimbing, mendorong, dan menilai kemampuan berpikir siswa, sehingga tercapai yang diharapkan siswa dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dalam CTL juga terdapat komponen Learning Community, memiliki makna bahwa dalam CTL terdapat sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar, bertukar pengalaman, berbagi ide, dan bekerjasama dengan orang lain dalam proses pembelajaran. Kemudian ada komponen modelling, merupakan pemberian contoh langsung dalam proses pembelajaran. Pada komponen Reflection, guru mengajak siswa untuk berpikir kembali tentang apa yang telah kita pelajari, mencatat apa yang telah kita pelajari, dan membahas apa yang telah kita lakukan untuk membangun suatu perbaikan. Terakhir komponen penilaian Authentic Assessment memiliki makna pengetahuan dan kemampuan siswa menjadi tolak ukur bagi penilaian guru melalui penilaian produk atau kinerja secara komprehensif. Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses belajar yang bertujuan membantu peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun karakteristik pembelajaran berbasis CTL ini adalah kerjasama, saling menunjang, menyenangkan, tidak membosankan, belajar lebih bergairah, terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, dan membudayakan siswa aktif. Sesuai dari konsep model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL), bahwa pengetahuan terhadap suatu objek diperoleh siswa melalui mengkonstruksi sendiri pengalamannya secara aktif dan bertahap sampai muncul pemahaman baru, maka di sini butuh peran guru yang profesional. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek dalam pendidikan dengan segala keunikannya. Siswa adalah manusia yang aktif dalam menggali potensinya sendiri. Kalaupun guru menyampaikan informasi kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi tersebut untuk lebih bermakna dalam kehidupan mereka. Melalui konsep dan asas pembelajaran TCL ini, dapat kita temui di beberapa bagian pelaksanaannya (implementasinya) adalah mengembangkan ketrampilan berpikir kritis dan kreatif pada siswa. Asumsi atau latar belakang yang mendasari dari konteks CTL adalah: (1). Belajar bukan proses menghafal tapi mengkonstruksi pengetahuan [8]Page
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
berdasarkan pengalaman; (2) belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta, tapi ada keterkaitan antar runtutannya jika siswa dapat menggunakan pola pikir; (3). Belajar adalah proses pemecahan masalah; (4). Belajar adalah proses pengalaman sendiri dari yang sederhana menjadi kompleks; (5). Belajar adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Peningkatan berpikir kritis akan diikuti kecakapan berpikir kritis, satuan pendidikan dapat mulai merumuskan pembelajaran yang tepat untuk mengimplikasikannya. Seperti pendapat Olsen, 1990 (dalam Filsaime, 2008:78) disampaikan dalam tulisannya bahwa dalam tahun-tahun terakhir, telah ada anjuran untuk para pendidik agar memberi perhatian yang lebih pada perkembangan dan evaluasi kecakapan-kecakapan berpikir kritis. Berpikir kritis juga dianggap sebagai tujuan pendidikan atau tujuan utama dari semua usaha pendidikan. Korelasi dari CTL dalam mengembangkan ketrampilan berpikir kreatif siswa, dapat diserap melalui pemahaman empat aspek dalam kreativitas yaitu: (1). Kreativitas dimaknai sebagai kekuatan atau energi; (2). Kreativitas dimaknai sebagai proses; (3). Kreativitas dikenal sebagai sebuah produk; (4). Kreativitas dikenal sebagai person. Berdasarkan informasi ini disimpulkan bahwa kreativitas adalah kecerdasan yang berkembang dalam diri individu, dalam bentuk sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam melahirkan sesuatu yang baru dan orisinil untuk memecahkan masalah. Asas konstruktivisme, inkuiri, dan refleksi sepertinya mencakup dalam kreativitas, bahkan asas-asas yang lainnya. Seperti yang kita tau bahwa kreativitas adalah kecerdasan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam melahirkan sesuatu yang orisinil. Dapat kita temukan juga hal ini dalam konstruktivisme di mana siswa dijadikan aktif dalam mengonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalaman. Dalam proses konstruktivisme ini terdapat ketrampilan kreatif. Siswa dibentuk untuk menjadi pribadi yang memiliki sikap, kebiasaan, dan tindakan melalui proses asimilasi dan akomodasi akomodasi hingga terbentuk pengetahuan atau pemahaman yang baru. Hasil penelitian yang mengajak siswa untuk mulai belajar bertanya dan berpikir kritis di kelas seperti penelitian yang dilakukan oleh Sadia (2008: 4) yang menyatakan Berdasarkan strategi-strategi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan lima kunci dalam menciptakan atau mengkreasi suasana belajar yang interaktif (mulai pembelajaran dengan masalah kontroversi, gunakan keheningan untuk membangkitkan refleksi, atur ruang kelas untuk membangun interaksi, perpanjang waktu pembelajaran, ciptakan lingkungan belajar yang nyaman), maka model pembelajaran yang sesuai dalam upaya mempromosikan keterampilan berpikir kritis siswa yaitu pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kontekstual, siklus belajar, dan model pembelajaran sainsteknologi-masyarakat. Dalam siswa membangun pemikiran kritis dan kreatif mereka melalui mengkonstruksi pemahamannya siswa dapat selalu meminta bimbingan dari guru sebagai fasilitator. Hasil penelitian Qisthy, F, et al (2012) menyatakan bahwa pada proses Page[9]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 perkembangannya, berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan salah satunya ditentukan oleh kompetensi guru. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas untuk mengoptimalkan keaktifan dan kreativitas siswa. Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan teori saja tetapi kemampuan untuk menyampaikan materi pelajaran agar pembelajaran menjadi hal yang menyenangkan bagi siswa sehingga siswa dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru. Selain itu guru juga mengondisikan siswa dalam kelas untuk berada dalam gaya belajar yang aktif. Sebagai tindakan menciptakan daya berpikir kreatif, siswa dipancing untuk bertanya dengan memberi pertanyaan yang bersifat rangsangan dan dapat berupa reinforcement ketika siswa menyampaikan pendapat atau tanggapan. CTL sebagai model pembelajaran yang dapat membantu guru mempermudah pemahaman siswa dengan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka dengan menerapkan tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif (konstruktivistik, inquiry, question, masyarakat belajar, pemodelan, reflection, penilaian yang sebenarnya. Berdasarkan uraian paragraf di atas, bisa kita pahami bahwa pada intinya pengembangan siswa melalui model pembelajaran CTL di situ siswa benar-benar dikembangkan kecerdasan pola pikir untuk menjadi individu yang kritis dan kreatif. Melalui tindakan aktif dalam mengonstruksi pengetahuan yang dimiliki berdasarkan pengalaman untuk melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru melalui bimbingan dan arahan guru sebagai fasilitator. Proses mengonstruksi sebagai wadah untuk berpikir kritis, sedangkan menghasilkan pengetahuan dan pengalaman baru sebagai wujud ketrampilan berpikir kritis dan kreatif siswa. SIMPULAN Berdasarkan penulisan di atas, maka perumusan masalah dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Melalui pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL), dapat melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya secara optimal melalui arahan dan bimbingan guru sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses mencari dan menemukan materi, kemudian menghubungkannya, dan menerapkannya dalam keseharian mereka. 2. Dalam pembelajaran ekonomi yang cenderung didominasi oleh konsep teoretis dan pemahaman tentang kurva, dibutuhkan pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi. CTL sebagai salah satu pembelajaran efektif yang dapat diterapkan untuk siswa secara aktif berdiskusi dan mengaitkan dengan kehidupan nyata sehingga dapat memperdalam pemahaman siswa.
[ 10 ] P a g e
Pengembangan Pemikiran Kritis… (Anindita Trinura Novitasari)
3. Guru sebagai fasilitator dalam penerapan model pembelajaran CTL, diharapkan menguasai materi tentang CTL selain materi pembelajaran yang sudah pasti dimilikinya. DAFTAR PUSTAKA Albers, C. (Januari 2008). Improving Pedagogy Through Action Learning and Scholarship Of Teaching and Learning. Journal of International Teaching Sociology, Page 79-86. Astika, U. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Sikap Ilmiah dan Keterampilan Berpikir Kritis. e-Jurnal Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Vol. 3. Costa, R, et al. (September 2014). Effective Teaching Methods In The Master's Degree: Learning Strategies, Teaching-Learning Processess, Teacher Training. European Scientific Journal, Edition Vol. 1. Dameus, A. (September 2004; 48,3). Effectiveness of Inductive and Deductive Teaching Methods in Learning Agricultural Economics: A Case Study. ProQuest Agriculture Journals, Pg 7. Filsaime, D. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Preatasi Pustaka. Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga. Marhaeni. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik Dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran Yang Efektif dan Produktif. Makalah Lokakarya Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana 8-9 Desember 2007, Denpasar. Maas, C. and Maijen, G. (1999). Problem Student: A Contextual Phenomenon. Social Behaviour and Personality; 1999; 27;4; ProQuest Sociology, Pg 387. Molan, B. (2012). Logika (Ilmu dan seni berpikir kritis). Jakarta: P.T Indeks. Rusman. (2014). Model-model pembelajaran (mengembangkan profesionalisme guru). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sadia, I. (2008, April). Model Pembelajaran Yang Efektif Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis (Suatu Persepsi Guru). Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No.2 Tahun XXXXI. Sanjaya, W. (2014). Strategi Pembelajaran (berorientasi standart proses pendidikan). Jakarta: Kencana. Sudarma, M. (2013). Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA. Sukidjo, et al. (2013). Pengembangan Character Building dengan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Perpajakan di Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan, Vol 22, Nomor 1, Maret 2013. P a g e [ 11 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Qisty, F, et al. (2012). Efektivitas Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pokok Bahasan Permintaan, Penawaran, dan Terbentuknya harga Pasar Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Cilacap Tahun Pelajaran 2011 / 2012. Economic Education Analysis Journal I (2) (2012).
[ 12 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA MATERI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI DAN BISNIS DI SMK Winaika Irawati
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Dengan diterapkannya model pembelajaran CTL siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi perilaku konsumen. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment). Penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh pendidik dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Kata Kunci: Pendekatan kontekstual, perilaku konsumen
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sehingga manusia mampu untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi, menuju arah yang lebih baik. Pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala, 2006: 61). Proses belajar-mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Dalam proses ini siswa membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajarmengajar hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan siswa secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan untuk mengelola kelas yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif, P a g e [ 13 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah. Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar peserta didik dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena dalam proses peserta didik kurang dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat pada pendidik, dan klasikal. Selain itu peserta didik kurang dilatih untuk menganalisis permasalahan, jarang sekali peserta didik menyampaikan ide untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru. Metode mengajar merupakan suatu komponen di dalam kurikulum pemasaran. Agar suatu kurikulum pemasaran dapat tersusun menjadi suatu satuan yang utuh, maka diperlukan cara bagaimana seorang pendidik menyampaikan struktur-struktur dan konsep-konsep pemasaran kepada peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka ikut aktif berpartisipasi di dalam proses belajarnya yang diperoleh baik pengalaman praktis maupun pengetahuan teori. Materi perilaku konsumen dalam sekolah menengah kejuruan merupakan materi yang mampu menjadikan dasar pengetahuan siswa dalam memahami pengertian dari perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen serta perilaku konsumen dalam pembelian. Namun untuk membuat pemahaman siswa terhadap materi prinsip-prinsip bisnis ke dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya pemahaman yang mendalam melalui sebuah model pembelajaran. Dari beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan dapat memicu peningkatan penalaran peserta didik yaitu model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Pada dasarnya, pembelajaran CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik. Dalam pembelajaran ini peserta didik harus dapat mengembangkan ketrampilan dan pemahaman konsep pemasaran untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh pendidik dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Di samping itu juga akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu peserta didik harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berpikir secara kritis dan mandiri. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan perbaikan proses belajar dengan Penerapan Metode Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)Pada Materi Perilaku Konsumen Untuk Meningkatkan Profesionalisme Pendidik Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia2015.
[ 14 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah Untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) pada Materi Perilaku Konsumen dalam pembelajaran ekonomi dan bisnis di SMK. Kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan wacana dalam mempelajari ilmu kependidikan khususnya dalam bidang ekonomi dan juga sebagai bahan referensi dalam menyusun tulisan serupa. Pengertian dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment). Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya (Depdiknas, 2002, dikutip dari buku Trianto). Dalam penerapan model pembelajaran CTL, terdapat tujuh komponen pendekatan CTL yaitu: a) Konstruktivisme Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengalaman itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, pengalaman terbentuk oleh dua faktor penting yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasikan objek tersebut. b) Inkuiri Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Proses inkuiri dilakukan dalam beberapa langkah: Merumuskan masalah, Mengajukan hipotesis, Mengumpulkan data, Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan Membuat kesimpulan. c) Tanya Jawab P a g e [ 15 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
d)
e)
f)
g)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Pertanyaan pendidik digunakan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir peserta didik, sedangkan pertanyaan peserta didik merupakan wujud keingintahuan. Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali informasi dan kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi pelajaran, Membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar, Merangsang keingintahuan peserta didik terhadap sesuatu, Memfokuskan peserta didik pada suatu yang diinginkan dan Membimbing peserta didik untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu. Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep Masyarakat Belajar (Learning Community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas CTL, asas ini dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Pemodelan (Modeling) Yang dimaksud dengan asas pemodelan, adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik. Misalnya pendidik memberikan contoh bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing dan lain sebagainya. Refleksi (Reflection) Yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Penilaian Nyata (Authentic Assessment) Prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Perilaku Konsumen Menurut Philip Kotler dan Keller (2009:166) perilaku konsumen didefinisikan sebagai: Studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan dan bagaimana barang dan jasa, ide atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan keinginan mereka. Menurut Zaltman dan Melanie Wallendorf (dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, 2002:4) Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok dan organisasi dalam mendapatkan, [ 16 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
menggunakan suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan sumber-sumber lainnya. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Kotler dan Amstrong dalam Hurriyati (2009:166) terdiri atas: 1. Faktor kebudayaan Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan paling dalam terhadap perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan oleh budaya, subbudaya, dan kelas sosial pembeli. a) Budaya Budaya merupakan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan tingkah laku yang dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting lainnya. b) Sub budaya Sub budaya termasuk nasionalitas, agama, kelompok ras, dan wilayah geografi. c) Kelas sosial Kelas sosial adalah divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur dengan para anggotanya menganut nilai-nilai dan tingkah laku yang serupa. 2. Faktor sosial Faktor sosial yang mempengaruhi perilaku konsumen seperti kelompok kecil, keluarga serta status sosial dari konsumen. a) Kelompok Kelompok meliputi dua faktor yaitu kelompok keanggotaan dan kelompok acuan. Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung dan seseorang yang menjadi anggotanya adalah kelompok keanggotaan. Kelompok acuan berfungsi sebagai titik perbandingan atau acuan langsung (tatap muka) dan tidak langsung dalam membentuk sikap atau tingkah laku seseorang. b) Keluarga Anggota keluarga sangat mempengaruhi tingkah laku pembeli. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan telah diteliti secara mendalam. c) Peran dan status sosial Peran terdiri dari kegiatan yang diharapkan dapat dilakukan seseorang. Orang memilih produk yang mencerminkan dan mengkomunikasikan peran mereka serta status aktual atau status yang diinginkan dalam masyarakat. d) Faktor pribadi
P a g e [ 17 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
e)
f)
g)
h)
i)
Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti usia dan tahap siklus hidup pembeli, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri. Usia dan tahap siklus hidup Membeli juga dibentuk oleh tahap siklus hidup keluarga, tahap-tahap yang mungkin dilalui oleh keluarga sesuai dengan kedewasaannya. Pemasar seringkali menentukan produk yang sesuai serta rencana pemasaran untuk setiap tahap. Pekerjaan Pekerjaan juga mempengaruhi pola konsumsi. Pemasar berusaha mengenali kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata akan produk dan jasa mereka. Situasi ekonomi Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Pemasar yang peka terhadap pendapatan akan mengamati kecenderungan dalam pendapatan pribadi, tabungan dan tingkat minat. Gaya hidup Gaya hidup adalah pola kehidupan seseorang yang diwujudkan dalam psikografiknya. Gaya hidup mencakup sesuatu yang lebih dari sekedar kelas sosial atau kepribadian seseorang, gaya hidup menampilkan pola bereaksi dan berinteraksi seseorang secara keseluruhan. Kepribadian dan konsep diri Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologi unik yang menyebabkan respons yang relative konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungan dirinya sendiri. Dasar pemikiran konsep diri adalah bahwa apa yang dimiliki seseorang memberi kontribusi dan mencerminkan identitas mereka.
Profesionalisme Guru sebagai pendidik merupakan tenaga professional. Mengacu pada Undangundang Sistem Pendidikan Nasional pasal 42 ayat (1) bahwa “pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006), yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Menurut Rice dan Bishoprik dalam Imam Wahyudi (2012) guru professional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. profesionalisme yang dimaksud oleh
[ 18 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
mereka adalah satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan menjadi tahu, dan ketidakmatangan jadi matang. Kinerja Guru Kinerja guru adalah prestasi yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Menurut Sudarmayanti dalam Imam Wahyudi (2012) kinerja erat hubungannya dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana untuk menentukan produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Kinerja guru merupakan prestasi kerja guru sebagai hasil dorongan atau motivasi yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Kinerja guru adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya yang meliputi menyusun program pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan evaluasi dan analisis evaluasi. PEMBAHASAN Penerapan Model Pembelajaran CTL Pada Materi Perilaku Konsumen Berdasarkan silabus Kurikulum 2013 mata pelajaran ekonomi dan bisnis untuk kelas X semester satu (ganjil) pada kompetensi dasar 3.5 siswa diajak untuk memahami perilaku konsumen dan produsen serta peranannya dalam kegiatan ekonomi. Dalam pembahasan mengenai perilaku konsumen terdapat beberapa materi yang harus disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik yaitu: 1) pengertian perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen serta perilaku konsumen dalam pembelian. Pembelajaran materi perilaku konsumen dengan menggunakan model pembelajaran CTL memiliki 3 kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Untuk mencapai tujuan kompetensi, pendidik menerapkan strategi pembelajaran sebagai berikut: 1. Pendidik menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari 2. Pendidik menjelaskan prosedur pembelajaran CTL. 3. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jumlah peserta didik (tiap kelompok diberikan tugas yang sama). 4. Peserta didik berdiskusi dengan kelompok masing-masing. 5. Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi. 6. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain. 7. Dengan bantuan pendidik, peserta didik menyimpulkan hasil diskusi sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai. 8. Penilaian. Penerapan model pembelajaran CTL dalam kelas yaitu pada kegiatan pendahuluan, guru membimbing peserta didik untuk berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai, selanjutnya guru menginformasikan garis besar tujuan pembelajaran materi perilaku konsumen yaitu: (1) P a g e [ 19 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Guru membuka pelajaran dengan salam. (2) Guru memeriksa kehadiran siswa secara komunikatif, disiplin, dan tanggung jawab. (3) Pendidik menginformasikan tujuan pembelajaran perilaku konsumen yang akan dicapai oleh setiap peserta didik. (4)Pendidik menginformasikan pembelajaran CTL. (5) Pendidik mengelompokkan peserta didik secara heterogen. Pada kegiatan inti pembelajaran materi perilaku konsumen, guru mengajak siswa melaksanakan proses pertama dalam penerapan pembelajaran CTL dengan langkahlangkah dalam kelas sebagai berikut: (1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya tentang perilaku konsumen. Misalnya dengan cara membaca buku teks tentang pengertian perilaku konsumen, selain itu guru juga dapat meminta siswa untuk mengamati sebuah fenomena tentang kondisi perilaku konsumen (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri dalam pembelajaran perilaku konsumen (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, dalam hal ini guru mencoba memancing siswa agar aktif bertanya (4) Setelah itu ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok) untuk mendiskusikan tentang materi perilaku konsumen.(5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran misalnya dengan model diskusi, guru membagi siswa ke dalam kelompok dan diberi tugas untuk mengidentifikasi pengertian perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Pendidik memberikan informasi materi pembelajaran dengan langkah-langkah penemuan terbimbing melalui lembar kerja peserta didik yang telah disiapkan untuk didiskusikan secara berkelompok. Peserta didik berdiskusi dalam kelompok kemudian melakukan presentasi hasil diskusi dengan menunjuk salah satu anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya. Pendidik memberikan kesimpulan, rangkuman dari hasil presentasi kelompok. Pendidik mengecek pemahaman peserta didik dengan tanya jawab. Pendidik memberikan kuis atau tes kepada peserta didik secara individual. Pendidik memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual maupun kelompok. (6) Lakukan penilaian yang sebenarnya pada saat proses belajar maupun pada hasil belajar. Di akhir pelajaran maka guru akan melaksanakan kegiatan penutupan. (7) Dalam kegiatan penutupan ini guru dan siswa bersama-sama melakukan refleksi, (8) kemudian guru melakukan penilaian yang dapat berupa tes lisan dengan beberapa pertanyaan, siswa bersama guru memberikan kesimpulan materi pelajaran hari ini sehingga diperoleh kesimpulan akhir. Siswa menyimak informasi mengenai rencana tindak lanjut pembelajaran. Penilaian dalam Model Pembelajaran CTL Pada Materi Perilaku Konsumen Penilaian yang dipakai dalam model pembelajaran CTL adalah Penilaian Nyata (Authentic Assessment) yaitu prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan dan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik [ 20 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Winaika Irawati)
adalah pada pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Focus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan seperti PR, kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis. SIMPULAN Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya. Dengan diterapkannya model pembelajaran CTL siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi perilaku konsumen. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu faktor yang penting yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi MEA 2015. Proses pembelajaran materi model pembelajaran CTL menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran, siswa diharapkan mampu mengaitkan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, agar peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Guru sebagai fasilitator diharapkan mampu melaksanakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan maksimal agar hasil pembelajaran meningkat secara optimal. DAFTAR PUSTAKA Bandono. 2008. Menyusun Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). http://www. Menyusun Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning P a g e [ 21 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (CTL) — Drs. Bandono, MM.htm diakses tanggal 07 april 2015.Trianto, 2009, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif, Jakarta: Kencana Predana Media Group. Davi, Iwa Umra. 2012. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Materi Aljabar Bagi Siswa Kelas VIII-B Smp Negeri 10 Malang. Malang: Universitas Negeri Malang. Hartini, Nanik. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (Ctl) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar IPA Siswa Kelas II SDN O2 Gambirmanis Pracimantoro Wonogiri. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Kotler, Philip dan Kelvin Lane Keller (diterjemahkan oleh bob sabrana). 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi 13.Jilid 1. Jakarta:Erlangga Permatasari, Indhah. 2013. Penerapan Media Mind Mapping Program pada Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (Ctl) Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Fisika Pada Siswa Kelas Xi.A2 Sma Negeri 4 Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Rostiawati, Tita. 2008. Penerapan Model Pembelajaran Ctl Pada Bahan AjarGeometri Dan Pengukuran Di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI kampus Sumedang. Rusmiati. 2012. Penerapan Model Contextual Teaching And Learning Untuk Meningkatkan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Kelas III Sdn 07 Sungai Soga Bengkayang. Pontianak: Universitas Tanjungpura. Sheva,
Abraham. 2011. Makalah Pendekatan Kontekstual Learning (CTL). http://www.Abraham Sheva MAKALAH PENDEKATAN KONTEKSTUAL LEARNING (CTL).htm diakses tanggal 08 april 2015.
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka. Trianto, 2009, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif, Jakarta: Kencana Predana Media Group. Wahyudi, Imam. 2012, Mengejar Profesionalisme Guru, Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.
[ 22 ] P a g e
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA PEMBELAJARAN AKUNTANSI DI SMK (SUATU KAJIAN TEORI) Yulia Agustina
Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Tujuan nasional pendidikan yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terwujud dalam pengembangan kemampuan, watak serta peradaban bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pendekatan pembelajaran yang mampu memberikan makna dan membangun kebiasaan baik pada siswa. Contextual teaching and learning (CTL) ditawarkan sebagai sebuah pendekatan holistic terhadap pendidikan yang dapat digunakan oleh semua siswa baik yang berbakat maupun siswa yang mengalami kesulitan belajar. CTL ditawarkan sebagai satu strategi yang sangat menarik karena siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran dengan pengalaman sendiri sehingga mereka akan menemukan makna pembelajaran. Selain itu melalui CTL akan membentuk sebuah karakter siswa di antaranya tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian, kejujuran, dermawan, suka menolong, gotong-royong/kerjasama, percaya diri, kreatif, pekerja keras, rela berkorban, toleransi, penegak hukum dan persatuan. Pelaksanaan pendidikan karakter yang diintegrasikan pada pembelajaran perlu menggunakan pendekatan CTL, karena proses pendidikan karakter menjadi lebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-masing. Kata Kunci: pendidikan karakter, Contextual Teaching and Learning, akuntansi
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kehidupan pada abad ke 21 ini begitu cepat dan menimbulkan perubahan pada berbagai bidang kehidupan. Begitu pula di Negara Indonesia, perkembangan IPTEK telah merubah berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Menyikapi hal tersebut maka perlu dipersiapkan kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak tertinggal, mampu bersaing di era global dan mampu mengikuti pesatnya perkembangan zaman. Pada era globalisasi ini persaingan pada dunia kerja juga menjadi semakin ketat. Ditambah lagi masuknya era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang mana akan membuka batas-batas perdagangan di Negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan adanya MEA ini tidak saja perdagangan barang dan jasa yang semakin bebas, melainkan juga pasar tenaga kerja antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Pada era MEA ini Negaranegara di kawasan Asia Tenggara bebas bersaing untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh kawasan Asia Tenggara. Sehingga nantinya akan banyak warga negara asing yang akan masuk di perusahaan-perusahaan Indonesia dan juga sebaliknya masyarakat Indonesia akan dikirim untuk bekerja di perusahaan luar negeri. Oleh karena untuk menjaga eksistensinya dan mampu bersaing di kancah MEA, masyarakat Indonesia harus memiliki kemampuan, kompetensi (hard skill) dan juga P a g e [ 23 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 karakter (soft skill) yang tangguh sehingga mampu bersaing di era global ini. Segala upaya pembangunan sumber daya manusia sangatlah diperlukan untuk mencetak sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan dan berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan bersama. Tujuan pendidikan nasional itu sendiri adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, diperlukan suatu usaha dan kerja keras sedini mungkin, sehingga timbul gagasan untuk memperbaiki dan melakukan pembaharuan dari berbagai pihak terutama dari pihak-pihak yang menggeluti dunia pendidikan. Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dengan adanya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, profesionalisme tenaga pendidik, maupun peningkatan mutu anak didik. Sedangkan untuk mencetak peserta didik yang mempunyai mutu tinggi maka diperlukan adanya sarana yang berupa lembaga yang melaksanakan pendidikan formal atau yang lebih dikenal dengan pendidikan sekolah. Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia karena melalui pendidikan manusia dapat teraktualisasi dengan baik. Dalam wacana pendidikan terdapat dua hal yang sering dipertentangkan yaitu teori dan praktik, akan tetapi teori pada akhirnya akan menjadi sesuatu yang paling praktis. Untuk memahami hubungan teori dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari diperlukan strategi pembelajaran yang seyogyanya difasilitasi oleh staf pengajar (guru/dosen). Strategi pembelajaran yang bertujuan membantu siswa dalam menghubungkan teori dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang perlu dikembangkan di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Faktanya siswa-siswa sekarang tiba di sekolah tanpa persiapan melakukan pembelajaran. Biasanya, mereka dibatasi oleh pemahaman materi yang akan disampaikan sehingga mereka tidak mampu memahami materi yang lebih rumit maupun menemukan hal-hal yang tersembunyi. Mereka seringkali tidak mempunyai kerangka berpikir dalam memahami logika dari suatu pendapat tertulis. Hal ini merupakan akibat dari keterbatasan pendidikan tradisional yaitu biasanya siswa hanya menghabiskan waktu untuk mendengarkan pengajaran dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan dan akhirnya mereka mengikuti ujian yang hanya bisa mengungkapkan pemahaman siswa dan mengukur kemampuan siswa menghafalkan fakta tanpa mereka tahu bahwa sebenarnya bertanya, diskusi, mencari tahu, berpikir kritis atau terlibat dalam proyek kerja nyata dan
[ 24 ] P a g e
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
pemecahan masalah adalah hal yang penting dari suatu proses pembelajaran (Johnson, 2006). Begitu pula pada pembelajaran akuntansi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) akan lebih bermakna apabila peserta didik (siswa) itu mengalami apa yang dipelajarinya bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran akuntansi yang hanya berorientasi pada target pencapaian materi (materi oriented) di mana proses kegiatannya dianggap selesai apabila target bahasan materi dalam kurikulum itu sudah tuntas disajikan kepada peserta didik diakui berhasil untuk kompetensi jangka pendek dan terbukti gagal untuk memecahkan persoalan riil dalam kehidupan jangka panjang. Karakteristik pelajaran akuntansi yang prosedural yaitu satu tahap berhubungan dan menjadi syarat mengerjakan tahap berikutnya. Sebagai contoh materi persamaan dasar akuntansi itu berhubungan dan merupakan syarat dalam mengerjakan materi jurnal umum atau materi laporan keuangan. Oleh karena itu peserta didik dituntut untuk menguasai setiap tahapan dalam materi akuntansi agar bisa mempelajari semua materi pelajaran akuntansi dengan tuntas. Hal ini diperlukan untuk memberi keterampilan atau pengetahuan kepada peserta didik secara komprehensif dan berkesinambungan. Hal ini mengakibatkan peserta didik mengalami kebosanan atas pelajaran akuntansi. Akibatnya prestasi belajar mereka juga mengalami penurunan dan kurang bersaing untuk diterapkan di dunia usaha dan dunia industri. Agar peserta didik dapat belajar akuntansi dengan berhasil dan menyenangkan, maka guru diupayakan harus kreatif dan inovatif untuk memilih metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar akuntansi. Salah satu metode pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru akuntansi dalam proses belajar mengajar adalah metode contextual teaching and learning. Contextual teaching & learning merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memaknai materi pelajaran dengan menghubungkannya pada kehidupan kesehariannya dan guru sebagai fasilitatornya. Sehingga melalui contextual teaching & learning guru akuntansi akan mengaitkan antara materi akuntansi yang diajarkan dengan situasi dunia kerja yaitu dunia usaha dan dunia industri. Serta bisa mendorong peserta didik untuk membuat hubungan antara pembelajaran akuntansi di sekolah dengan penerapannya di dunia usaha dan dunia industri. Proses pembelajaran contextual teaching & learning ini berlangsung secara alamiah antara guru kepada peserta didik, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Dalam konteks ini, peserta didik perlu memahami apa sesungguhnya makna belajar akuntansi bagi dirinya serta bagaimana mencapainya. SMK merupakan lembaga vokasional yang memiliki visi dan misi pendidikan untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil serta siap kerja, lembaga pendidikan ini mengusung suatu program Praktik Kerja Industri (Prakerin) bagi siswanya yang ditempatkan di berbagai industri, perusahaan, instansi pemerintah dan badan usaha. Untuk itu pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching & learning dirasa akan cocok dan mendukung visi-misi Sekolah Menengah Kejuruan ini. P a g e [ 25 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Dilihat dari sisi lain, dampak globalisasi pada kehidupan masyarakat mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku dengan cara meniru perilaku dan budaya barat. Dewasa ini banyak terjadi peristiwa yang menyedihkan antara lain perilaku anarkisme, individualisme, korupsi dan lunturnya nilai moral. Sehingga mengacu pada UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional bahwa pendidikan tidak hanya membangun kemampuan melainkan juga membentuk watak dan peradaban bangsa. Selanjutnya menurut William Burton dalam Hamalik (2008) bahwa belajar merupakan suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh perubahan suatu tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Selain itu Gulo (2002) juga menyebutkan bahwa belajar merupakan proses berlangsung dalam diri seseorang yang mengubah tingkah laku, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap dan berbuat. Berdasarkan dua teori diatas jelas bahwa tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bertambahnya ilmu pengetahuan melainkan juga perubahan tingkah laku dari karakter yang kurang baik menjadi karakter yang baik yang akan tercermin dalam watak dan peradaban. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai upaya pengembangan karakter bangsa melalui pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sehingga pada akhirnya akan mencetak lulusan yang mempunyai karakter dan berdaya saing tinggi sehingga mampu mengikuti era Masyarakat Ekonomi Asia. PEMBAHASAN Peningkatan di bidang pendidikan dirasa perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang dapat memberdayakan siswa. SMK sebagai lembaga vokasional yang tujuannya mempersiapkan tenaga terampil pada bidangnya dirasa sangat membutuhkan suatu strategi pembelajaran yang dekat dengan dunia nyata yaitu dunia usaha dan dunia industri. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar secara mandiri. Maksudnya adalah pada pembelajaran kontekstual ini anak mengalami sendiri, mengkonstruk pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Anak harus mengetahui makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar, artinya tugas guru mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama dan baru, dan memfasilitasi belajar. Lingkungan belajar memegang peranan penting, artinya siswa aktif bekerja dan belajar di panggung, sedangkan guru mengarahkan dari dekat. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau disingkat CTL menurut Johnson (2006) adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, social, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan [ 26 ] P a g e
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik. Dari kutipan di atas menegaskan hakikat CTL yang dapat diringkas dalam tiga hal, yaitu makna, bermakna, dan dibermaknakan. Setiap manusia, tidak terkecuali siswa ataupun mahasiswa memiliki response potentiality yang bersifat kodrati. Keinginan untuk menemukan makna adalah sangat mendasar bagi manusia. Tugas utama pendidik (fasilitator) adalah memberdayakan potensi kodrati ini sehingga siswa/ mahasiswa terlatih menangkap makna dari materi yang diberikan. CTL disebut pendekatan kontekstual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. Dalam kelas kontekstual proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, sebagaimana model pembelajaran konvensional. Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru dating dapat menemukan sendiri, bukan dari ungkapan guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Dengan demikian secara garis besar CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa sekaligus mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran yang efektif yaitu : konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), permodelan (modeling), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini dinilai mampu meningkatkan pemahaman siswa tentang sebuah materi. Peningkatan pemahaman ini diukur melalui peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siga pada tahun 2013. Menurut Siga (2013) dalam penelitiannya tentang penerapan pembelajaran kontekstual yang menyebutkan bahwa pendekatan kontekstual dan metode problem posing layak digunakan dalam meningkatkan hasil belajar penyusunan kertas kerja. Berdasarkan hasil penelitian terdapat peningkatan dari siklus ke siklus. Keunggulannya dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan metode problem posing ini adalah dapat meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Deen dan Smith (2006) yang menyatakan bahwa guru-guru memiliki level pengetahuan yang tinggi mengenai pembelajaran kontekstual dan pembelajaran kontekstual merupakan hal yang serius di Amerika Serikat, karena dianggap dapat meningkatkan kemampuan siswa. P a g e [ 27 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sedangkan Leksono (2010) menyebutkan bahwa penerapan CTL pada pembelajaran Sosiologi kelas X di SMA Negeri Tanjung Kabupaten Brebes mendapat respon positif dan respon negative dari siswa kelas X. Respon positifnya yaitu bahwa model pembelajaran kontekstual yang diterapkan dalam pembelajaran Sosiologi memberikan kemudahan siswa dalam memahami kajian sosiologi. Sedangkan respon negatifnya yaitu banyaknya materi dan kurangnya alat peraga menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual ini. Sesuai dengan hasil penelitian Karniati dkk pembelajaran dengan pendekatan CTL ini juga dapat melatih siswa untuk berpikir kritis. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh penerapan pembelajaran CTL pada kemampuan berpikir kritis matematis (MCTA) pada mahasiswa PGSD. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa peningkatan MCTA mahasiswa yang memperoleh CTL lebih baik daripada mahasiswa yang memperoleh TTL. Jadi pelaksanaan CTL yang dilakukan dengan tujuh komponen yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), permodelan (modeling), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) ini akan membantu siswa untuk dapat berpikir kritis, mengeksplor dan mengaktualisasikan ide-ide kreatif mereka. Selain itu juga akan melatih siswa untuk mandiri dan menumbuhkan sikap social baik antar siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Pada sisi lain, selain kita harus memperhatikan peningkatan kemampuan akademik siswa, kita sebagai pendidik juga harus memperhatikan kemampuan non akademik siswa seperti kematangan emosi, perilaku dan juga keterampilan komunikasi siswa. Namun beberapa orang terkadang masih percaya bahwa keberhasilan pendidikan bagi anak ditentukan oleh kemampuannya membaca dan berhitung atau dalam sisi akademik. Hal tersebut tentu tidak 100% benar. Menurut Ratna Megawangi (2010) bahwa justru kematangan emosi yang terbentuk yang akan menentukan kesuksesan anak. Banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia kerja dan sukses di masyarakat. Sedyaningrum (2006) menggambarkan bahwa prestasi hidup tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual, namun ia membutuhkan pula kecerdasan pendorongnya (kecerdasan emosional). Jika kecerdasan intelektual tidak disertai dengan daya dorong prestasi yang baik, maka kecerdasannya tidak berkembang karena dibalut oleh lemahnya emosi seperti rasa takut berlebihan, minder, kurang tekun, kurang ulet, atau karena kelemahan lainnya. Keberhasilan seorang anak, siswa, mahasiswa, seseorang di sekolah, di tempat kerja dan di masyarakat tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak saja. Bahkan Daniel Goleman dalam Richard A. Bowell (2004) menyatakan bahwa ”IQ paling-paling menyumbang 20% pada faktor-faktor yang menentukan sukses dan 80% ditentukan oleh kecerdasan emosi”. Menurut Robert K. Cooper dan Ayman dalam Ari Ginanjar (2005) dinyatakan bahwa ”kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara [ 28 ] P a g e
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energy, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi”. Oleh karena itu kecerdasan emosi sangat berkaitan erat dengan suara hati meliputi kejujuran, percaya diri, amanah, inisiatif, empati, motivasi, optimis, ketangguhan, dan kemampuan beradaptasi di mana komponen-komponen tersebut dapat dikategorikan sebagai karakter. Selanjutnya Tim Peneliti dan Pengembangan Kemendiknas mengungkapkan dalam buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) bahwa pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Pendidikan karakter sebagai usaha untuk menanamkan kebiasaan baik (habituation) kepada siswa dengan melibatkan pengetahuan yang dimiliki (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga membentuk sebuah kecerdasan emosional sebagai wujud kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik menjadi perhatian khusus bagi bangsa Indonesia dalam rangka membentuk sumber daya manusia yang berkarakter dan berdaya saing ini. Sumber daya manusia yang cerdas namun tidak diikuti dengan karakter yang baik maka sudah pasti tidak akan mampu bersaing apalagi di kancah regional kawasan Asia tenggara. Pada tahap ini sekolah khususnya guru mempunyai peran yang sangat penting untuk membentuk karakter peserta didik. Karena guru menjadi sosok yang bisa ditiru, diteladani dan menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan perilaku seorang guru akan sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar untuk menghasilkan generasi yang berkarakter. Selain dari segi guru, kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat juga mempunyai peran dalam pembentukan karakter siswa. Guru hendaknya melakukan kerja sama dengan masyarakat dan orang tua dengan cara menempatkan orang tua dan masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan pengembangan karakter siswa. Selain itu penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif juga akan menunjang tumbuh dan berkembangnya karakter siswa. Lingkungan terbukti sangat berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (siswa), baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk menyiapkan fasilitasfasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan karakter siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat saja terintegrasi dalam pembelajaran maupun dalam bentuk kegiatan pengembangan karakter tersendiri.
P a g e [ 29 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Namun pembelajaran yang berlangsung selama ini seringkali lebih berfokus untuk mengajarkan sesuatu yang bersifat olah pikir atau kognitif saja yang berarti baru mengolah keterampilan otak kiri saja. Sementara itu yang berkaitan dengan masalah hati dan otak kanan belum banyak disentuh. Dalam pembelajaran yang bermuatan dengan pembangunan karakter (character building) diterapkan secara bersamaan dengan pembangunan atau pembenahan karakter yang dimiliki oleh pendidik selama ini. Artinya guru/dosen mulai membenahi, menata dan mengelola dirinya dengan baik sekaligus berusaha membelajarkan cara membenahi, menata dan mengelola diri kepada siswa/mahasiswa. Menurut Foster dalam Doni Kusuma (2010) menyebutkan ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter yaitu: Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hirarki nilai artinya nilai menjadi pedoman. Kedua, Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombangambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilainilai bagi pribadinya. Hal ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atau komitmen yang dipilih. Selanjutnya Ratna Megawangi (2010) menyakatan tentang penerapan konsep pendidikan holistik berbasis karakter yang mencakup sembilan pilar karakter yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya (2) Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian, (3) kejujuran/amanah dan arif, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama, (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian dan kesatuan. Dalam pelaksanaannya pendidikan karakter ini dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran di sekolah. Di sini guru/pendidik dituntut untuk peduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan karakter dalam mata pelajaran yang diampunya. Menurut Sukidjo dkk (2013) pelaksanaan pengembangan karakter yang diintegrasikan dengan pembelajaran perpajakan mendapatkan respon yang memuaskan dan mampu mengeksplorasi nilai-nilai karakter seperti rela berkorban, disiplin, penegakan aturan/hokum, kesadaran pentingnya pajak, ketertiban, dan berbuat jujur atau tidak berbuat curang dengan menggelapkan pajak. Jadi pendidikan karakter di sini tidak harus dilaksanakan dengan kegiatan tertentu, mata pelajaran tersendiri atau dengan guru/dosen pendidikan agama atau pendidikan moral saja, melainkan dapat dilakukan oleh semua pihak yaitu dengan cara diintegrasikan pada proses pembelajaran. Menurut Dwi (2007) guru berperan dalam membantu membentuk karakter siswa, dengan mengajak siswa di kelas untuk peduli dengan lingkungan atau orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengajak para siswa untuk melakukan penyuluhan [ 30 ] P a g e
Pengembangan Karakter Siswa… (Yulia Agustina)
pembukuan yang baik bagi koperasi-koperasi kecil dan usaha kecil menengah, maka para siswa menjadi lebih memahami makna materi yang diperolehnya dan ungkapan terima kasih dari peserta penyuluhan dapat menumbuhkan rasa bangga bagi para siswa yang mana perasaan tersebut akan memotivasi para siswa untuk lebih giat lagi dalam belajar. Strategi pembelajaran dan pengembangan karakter yang diperkenalkan pada para siswa ini dapat membuat aktivitas belajar mengajar di kelas menjadi mengasyikkan dan bermakna. Pembelajaran seperti yang disebutkan di atas merupakan pembelajaran dengan pendekatan CTL. Sehingga pembelajaran dengan pendekatan CTL ini perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan partisipasi dan prestasi siswa. Hal serupa diungkapkan oleh Sukidjo dkk. Menurut Sukidjo dkk (2013) pembelajaran perpajakan dengan pendekatan CTL dapat meningkatkan aktivitas, partisipasi karakter siswa dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pendidikan karakter yang diintegrasikan pada mata pelajaran juga perlu menggunakan pendekatan CTL sehingga proses pendidikan karakter menjadi lebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebudayaan masing-masing. SIMPULAN Contextual Teaching and Learning sangat bermanfaat sebagai masukan bagi pengajar pada materi Akuntansi agar dapat memacu motivasi siswa dengan memaknai setiap materi yang disampaikan oleh pengajar. Siswa dapat memahami pengembangan pengetahuan akademik akuntansi pada dunia kerja dan usaha, karena pengajar telah memberikan pemahaman pengkaitan teori-teori yang ada pada akuntansi dengan kondisi konteks dunia nyata yang mereka alami sendiri. CTL ini ditawarkan sebagai sebuah pendekatan holistic terhadap pendidikan yang dapat digunakan oleh semua siswa baik yang berbakat maupun siswa yang mengalami kesulitan belajar. CTL ditawarkan sebagai satu strategi yang sangat menarik di antara metode pengajaran lainnya. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik misalnya akuntansi dengan pengalaman sendiri, maka mereka akan menemukan makna dan makna memberikan alasan mereka untuk belajar. Dalam merancang pembelajaran kita juga harus memperhatikan karakter yang akan dibentuk setelah pembelajaran. Melalui CTL dalam pembelajaran mata pelajaran akuntansi ini dipercaya akan membentuk sebuah karakter siswa di antaranya : tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian, kejujuran/amanah, arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong/kerjasama, percaya diri, kreatif, pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, rela berkorban, toleransi, penegak hokum serta kedamaian dan kesatuan. Pelaksanaan pendidikan karakter yang diintegrasikan pada pembelajaran perlu menggunakan pendekatan CTL, karena proses pendidikan karakter menjadi lebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masingmasing.
P a g e [ 31 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 DAFTAR PUSTAKA Ari Ginanjar, Agustin. (2005). ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Jakarta: Arga. Deen, Ifraj Shamsid, Betty P. Smith. (2006). Contextual Teaching and Learning Practices in the Family Consumer Sciences Curriculum. Journal of Family and Consumer Sciences Educatioan Vol 24 No 1, Spring / Summer, 14-27. Dwi K.S, Crhistine dan Lidya Agustina. (2007). Contextual Teaching and Learning: Inovasi dalam Strategi Pembelajaran di Bidang Pendidikan Akuntansi. Jurnal Ilmiah Akuntansi, Vol 6 No. 1, 82-90. Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosional (Terjemahan Hermaya, T.). Jakarta: Gramedia. Gulo, W. (2002). Startegi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo. Leksono, A. B. (2010). Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Proses Belajar Mengajar Mata Pelajaran Sosiologi Kelas X Pada Pokok Bahasan Nilai dan Norma Sosial di SMA Negeri 1 Tanjung Kabupaten Brebes TahunAjaran 2010/2011. Semarang. Sedyaningrum, S. (2006). Tiga Potensi Besar Manusia. Surabaya: CV. Cerdas Inti Media. Siga, R. R. (2013). Peningkatan Hasil Belajar Kertas Kerja Melalui Pendekatan Kontekstual dan Metode Problem Posing di SMA Negeri 3 Tarakan. Surabaya: Program Pasca Sarjana UNESA. Sukidjo, Ali Muhson, Mustofa dan Maimun Sholeh. (2013). Pengembangan Character Building dengan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Perpajakan di Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Volume 22 Nomor 1 , 1-13.
[ 32 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI KONSEP ILMU EKONOMI Ellyza Sri Widyastuti
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Dalam menerapkan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI sangat menyarankan model Discovery Learning untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa. Hal tersebut ditandaskan lagi dalam penguatan proses pembelajaran, siswa diarahkan untuk mencari tahu (discovery) bukan diberi tahu, Guru mata pelajaran ekonomi banyak yang belum memiliki gambaran yang jelas tentang penerapan discovery learning dalam pembelajaran. Padahal ilmu ekonomi adalah studi tentang manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang mempelajari tindakan individu atau kelompok yang berkaitan erat dengan pencapaian atau pemenuhan alat kebutuhan materi bagi kesejahteraan hidup. Dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning, diharapkan bahwa model pembelajaran ini dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan siswa dalam memahami konsep ilmu ekonomi serta meminimalisir tingkat kesulitan belajar ekonomi. Kata Kunci: discovery learning, kesulitan belajar
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan terbelakang. Dalam pendidikan, perkembangan kurikulum menuntut siswa untuk selalu aktif, kreatif, dan inovatif dalam menanggapi setiap mata pelajaran yang diajarkan. Sikap aktif, kreatif, dan inovatif dapat terwujud dengan menempatkan siswa sebagai objek pendidikan. Peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sumber belajar yang paling benar. Seorang guru yang profesional dituntut untuk dapat menampilkan keahlian di depan kelas. Salah satu komponen keahlian itu adalah kemampuan untuk menyampaikan pelajaran kepada siswa. Untuk dapat menyampaikan pelajaran dengan efektif dan efisien, guru perlu mengenal berbagai jenis model pembelajaran sehingga dapat memilih model pembelajaran manakah yang paling tepat untuk suatu bidang pengajaran. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang Pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah disebutkan bahwa pada implementasi Kurikulum 2013 sangat disarankan menggunakan pendekatan saintifik dengan model-model pembelajaran inquiry based learning, discovery learning, project based learning dan problem based learning. (2014 : 638). Selanjutnya pada proses pembelajaran karakteristik penguatannya mencakup: a) menggunakan pendekatan scientific melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan dengan tetap memperhatikan karakteristik siswa, b) menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran, c) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu (discovery learning), P a g e [ 33 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan d) menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif. (Depdikbud, 2014:13). Bertolak dari latar belakang tersebut, jelaslah bahwa dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk mencari tahu, bukan diberitahu. Sehingga model yang relevan adalah Discovery Learning Pada praktiknya sangat sedikit guru yang menerapkan model tersebut di dalam pembelajaran. Begitu juga dalam pembelajaran Ekonomi. Menurut mereka, dalam pembelajaran Ekonomi, model ini masih terasa asing dan jarang sekali digunakan sebelumnya, sehingga sulit mendapatkan konsep yang tepat dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan discovery learning tersebut. Di dalam makalah ini penulis membatasi pembahasan model pembelajaran discovery learning pada materi konsep ilmu ekonomi. PEMBAHASAN Model Pembelajaran Dalam makalah ini, Discovery Learning dipandang sebagai suatu model pembelajaran. Hal ini berangkat dari pernyataan yang ada pada lampiran IV Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 BAB IV tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah disebutkan bahwa pada implementasi Kurikulum 2013 sangat disarankan menggunakan based learning dan problem based learning. Pada setiap model tersebut dapat dikembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. (2014: 554). Selanjutnya pengertian model pembelajaran didapat juga dari Models of Teachinghttp://thesecondprinciple.com/teaching-essentials/ models-teaching oleh Wilson yang menyebutkan bahwa: models of teaching deal with the ways in which learning environments and instructional experiences can be constructed, sequenced, or delivered. They may provide theoretical or instructional frameworks, patterns, or examples for any number of educational components—curricula, teaching techniques, instructional groupings, classroom management plans, content development, sequencing, delivery, the development of support materials, presentation methods, etc. Teaching models may even be discipline or student-population specific. Discovery Learning Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquirybased), konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang diberikan kepada siswa memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata dan mendorong mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam memecahkan masalah mereka; karena ini bersifat konstruktivis, para siswa menggunakan pengalaman mereka terdahulu dalam memecahkan masalah. Kegiatan mereka lakukan dengan berinteraksi untuk menggali, mempertanyakan selama bereksperimen dengan teknik trial and error. (Bruner http://www.lifecircles- inc.com)
[ 34 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
Children love being in charge of their own learning it gives them the sense of self worth. It makes the learning more desirable and attainable. Teachers give a problem to their students and set their students free to solve it on their own, discovering as they go. Often these classroom can look unorganized or chaotic but, a discovery learning classroom in fact is organized. It is set up in away for learning to happen with projects, real-life problems and the learner figuring out. Pernyataan yang terdapat dalam kutipan di atas menyebutkan bahwa para siswa memiliki gairah dalam belajar. Guru memberikan masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh karena seperti tidak terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan yang terorganisasi. Pembelajaran diarahkan sedemikian rupa supaya siswa menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata untuk dipecahkan oleh para siswa sendiri. Model pembelajaran discovery learning menurut Alma dkk (2010:59) yang juga disebut sebagai pendekatan inkuiri bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid secara independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara ilmiah. Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas seperti yang terdapat pada kutipan berikut. “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it himself” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103 dalam Depdikbud 2014). Menurut Borthick dan Jones (2000) menyatakan bahwa dalam pembelajaran discovery, peserta belajar untuk mengenali masalah, solusi, mencari informasi yang relevan, mengembangkan strategi solusi, dan melaksanakan strategi yang dipilih. Dalam kolaborasi pembelajaran penemuan, peserta tenggelam dalam komunitas praktek, memecahkan masalah bersama-sama. Hoffman (2000) Belajar discovery adalah ajaran instruktur strategi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keterlibatan dan relevansi siswa. Ada lima belajar penemuan yang terdiri dari: pembelajaran berbasis kasus; belajar insidental; belajar dengan menjelajahi; belajar dengan refleksi; dan pembelajaran simulasi berbasis sendiri, atau dalam kombinasi, yang dapat diterapkan untuk kegiatan dan pengajaran keterampilan. Selanjutnya Depdikbud (2014: 14) juga menyebutkan bahwa Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian. P a g e [ 35 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Menurut Alma, dkk (2010:61) Model Discovery Learning ini memiliki pola strategi dasar yang dapat diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu penentuan problem, perumusan hipotesis, pengumpulan dan pengolahan data, dan merumuskan kesimpulan. Sedangkan Dedikbud (2014:45) tahapan dalam pembelajaran yang menerapkan Discovery Learning ada 6, yakni: a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) b) Pertama-tama peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi bahan. c) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah) d) Pada tahap ini, guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) e) Data collection (Pengumpulan Data) f) Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. g) Data Processing (Pengolahan Data) h) Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan (Syah, 2004:244). Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. i) Verification (Pembuktian) j) Pada tahap ini peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). k) Verifikasi menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan
[ 36 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. l) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) m) Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Penerapan Discovery Learning pada materi Konsep Ilmu Ekonomi Kompetensi Dasar: 1. Mensyukuri sumberdaya sebagai karunia Tuhan YME dalam rangka pemenuhan kebutuhan 2. Bersikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli,kreatif, mandiri, kritis dan analitis dalam mengatasi permasalahan ekonomi 3. Mendeskripsikan konsep ilmu ekonomi 4. Menyajikan konsep ilmu ekonomi Materi Pokok: Konsep Ilmu Ekonomi Tujuan Pembelajaran: Setelah pelaksanaan pembelajaran ini, siswa dapat: 1. Menjelaskan pengertian ilmu ekonomi melalui mengkaji refernsi 2. Menyebutkan pembagian ilmu ekonomi melalui diskusi dan mengkaji referensi 3. Menjelaskan pengertian ilmu ekonomi deskriptif dan pengertian ilmu ekonomi terapan melalui diskusi dan mengkaji referensi 4. Membedakan teori ekonomi mikro dan ekonomi makro melalui diskusi dan mengkaji referensi 5. Menyusun laporan analisis mengenai konsep ilmu ekonomi secara tertulis melalui diskusi dan kerja kelompok 6. Menyajikan hasil pengamatan konsep ilmu ekonomi secara lisan melalui diskusi dan kerja kelompok Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (2 jp ) Langkah-langkah Pembelajaran Pada awalnya Guru menyampaikan garis besar materi dan penjelasan tentang konsep ilmu ekonomi yang mencakup tentang pengertian ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari perilaku setiap individu atau segolongan masyarakat di dalam memenuhi kebutuhannya dan pembagian ilmu ekonomi yang terdiri dari ekonomi deskriptif, teori ekonomi mikro/makro, dan ekonomi terapan. Sesudah itu Guru meminta siswa untuk belajar dari pengalaman individu perihal jual beli barang melalui tanya jawab dan mengarahkan alur berpikir siswa bahwasannya dalam ilmu ekonomi harus ada yang diprioritaskan dan dikorbankan. Untuk lebih jelasnya Guru mengajak siswa untuk mengamati video upin ipin episode beli, pakai, suka yang berdurasi 5 menit. Dalam video itu digambarkan bagaimana perilaku konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Di mana keputusan P a g e [ 37 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 konsumen untuk membeli barang dapat disebabkan karena kebutuhan atau dapat juga karena keinginan yang timbul dari ketertarikan. Barang yang dibeli biasanya disesuaikan dengan daya beli tetapi tetap dengan mempertimbangkan kualitas barang tersebut. Selanjutnya Guru membimbing siswa untuk: Mengamati: Mengamati video Upin Ipin “Edisi Beli, Pakai, Suka” Menanya : Mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pengertian ilmu ekonomi Mengeksplorasi: Mengumpulkan data/informasi tentang pengertian ilmu ekonomi dari berbagai sumber yang relevan Mengasosiasi : Mengamati video dan mengaitkan dengan informasi/data yang diperoleh dari berbagai sumber Mengomunikasikan: Menyimpulkan tentang pengertian ilmu ekonomi dan memberikan contoh Dengan demikian siswa dapat melakukan berbagai kegiatan dalam proses discovery learning yaitu: menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan tentang konsep ilmu ekonomi dengan mengacu pada tujuan pembelajaran di atas. Kegiatan Guru
Stimulasi Guru memberi stimulasi untuk belajar dari pengalaman individu siswa perihal jual beli barang melalui tanya jawab dan mengarahkan alur berpikir siswa, bahwasannya dalam ilmu ekonomi harus ada yang diprioritaskan atau dikorbankan. Setelah itu mengajukan pertanyaan: Bagaimana perilaku setiap individu dalam mencukupi kebutuhannya? Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah) Guru mengajak siswa membuat problem statement tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga. Data collection (Pengumpulan Data) Guru meminta siswa membuat kelompok terdiri atas 4 orang. Tugasnya adalah mengumpulkan data/informasi tentang halhal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga dari berbagai
[ 38 ] P a g e
Kegiatan Siswa Siswa mendengarkan dan menjawab pertanyaan
Siswa bersama dengan guru merumuskan problem statement tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan rumah tangga Siswa secara berkelompok mengumpulkan data/informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga dari berbagai sumber.
Penerapan Model Pembelajaran… (Ellyza Sri Widyastuti)
Kegiatan Guru sumber yang relevan.
Data Processing (Pengolahan Data) Guru menyuruh siswa dalam kelompok mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa dengan cara mengklasifikasikan sesuai bidangnya.
Verification (Pembuktian) Guru menyuruh siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing dengan cara melakukan verifikasi ke kelompok lain.
Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Guru meminta siswa membuat kesimpulan berdasarkan hasil verifikasi, dan merumuskannya untuk menjawab problem statement tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga.
Kegiatan Siswa
Dalam kelompok, siswa mengklasifikasikan hasil data yang diperoleh berdasarkan bidangnya.
Dalam kelompoknya, siswa memverifikasi data yang telah dikelompokkan sesuai bidangnya dengan cara melakukan verifikasi ke kelompok lain.
Siswa menggeneralisasi hasil verifikasi dan merumuskannya untuk menjawab problem statement tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga.
KESIMPULAN Discovery Learning diterapkan dengan 6 langkah: 1) Stimulasi, guru bisa mengajak siswa untuk mengingat pengalaman pribadi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan berdasarkan skala prioritas dengan mempertimbangkan antara pengorbanan dan kepuasan. 2) Merumuskan masalah (hipotesis), guru memaparkan hipotesis tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga. 3) Collecting information, siswa mengamati video upin dan ipin beli, pakai, suka dan mengaitkannya dengan data/informasi dari berbagai sumber tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga. 4) Data processing. Setelah mengumpulkan informasi, siswa memprosesnya dengan teman sekelompok. 5) Data verification. Setelah memproses data, para siswa melakukan verifikasi ke kelompok lain apakah sesuai dengan pemikiran mereka tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan rumah tangga 6) Generalization. Siswa menggeneralisasi/membuat kesimpulan dan hasilnya dipaparkan di depan kelas. P a g e [ 39 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan Discovery Learning, Guru harus selalu memantau dengan cara : a) Batasi waktu dalam melakukan kegiatan. Supaya siswa benar-benar efektif menggunakan waktu yang ada dan tidak melebar ke mana-mana. b) Catatlah dan beri bimbingan kepada siswa yang pasif dan cenderung tidak mau melakukan apapun. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari, dkk. 2010. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung: Penerbit Alfabeta. Borthick, F. dan Jones, Donald R. (2000) Motivation for Collaborative Online Learning Invention and Its Application in Information Systems Security Course. Issues in Accounting Education, Vol. 15, No. 2, pp. 181-210. Tracy Bicknell-, Paul Seth Hoffman, (2000) "elicit, engage, experience, explore: discovery learning in library instruction", Reference Services Review, Vol. 28 Iss: 4, pp.313 – 322 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
[ 40 ] P a g e
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
PENINGKATAN KEMAMPUAN ANALISIS KONSEP EKONOMI KREATIF MELALUI METODE PEMBELAJARAN RESITASI Nanik Sri Setyani
STKIP PGRI JOMBANG
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan analisis konsep ekonomi kreatif melalui metode pembelajaran resitasi. Penelitian ini termasuk penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian adalah peserta matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi angkatan 2014 B, semester Gasal 2014/2015. Pada saat pra-siklus peneliti menggunakan metode diskusi kelompok, ternyata hasilnya rendah, tidak mencakup kemampuan merinci suatu informasi ke dalam elemenelemen yang lebih kecil dengan maksud untuk memperjelas maknanya. Untuk meningkatkan bobot komentar yang bertanggung jawab, peneliti menerapkan siklus pertama dengan metode pembelajaran resitasi. Hasil penelitian menunjukkan ada 80% mahasiswa sudah menganalisis dengan baik. Saran yang diberikan peneliti adalah sebaiknya pengajar menunjukkan sumber dasar data yang dipilih, agar kualitas jawaban mereka tidak meluas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata Kunci: analisis, ekonomi kreatif, resitasi
PENDAHULUAN Matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi (PIE) adalah matakuliah yang ditempuh mahasiswa pada semester pertama (transisi masa SMA dan PT). Latar belakang pendidikan mereka beraneka ragam (SMA, SMK, MA, D3), sehingga peneliti sebagai pengajar harus mengkondisikan mereka menjadi memiliki dasar pemahaman ekonomi relatif sama. Diawali dengan pemahaman Ekonomi Mikro di kegiatan sebelum dan Ekonomi Makro setelah Ujian Tengah Semester (UTS). Untuk materi makro peneliti mencoba mengkombinasikan pembahasan materi Ekonomi Kreatif melalui analisis sederhana (kombinasi kurikulum dengan materi yang sedang ‘up to date’, agar mahasiswa baru (semester I) sudah mencoba berlatih/peka pada permasalahan ekonomi di masyarakat. Mahasiswa sering kali berpendapat negatif (negative thinking) pada saat mengkritisi kebijakan pemerintah, khususnya di bidang Ekonomi. Hal ini terjadi karena mereka masih menggunakan emosi tanpa menyiapkan sumber data sebagai dasar berpendapat. Berdasarkan masalah tersebut peneliti sebagai dosen matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi memiliki pengalaman pada saat membahas masalah ekonomi melalui media masa/internet. Mahasiswa disuruh berdiskusi kelompok untuk memberi komentar sekaligus alasannya tentang masalah ekonomi kreatif.. Pada saat ditanyakan secara lisan mereka condong berpikir negatif yaitu pemerintah belum melakukan langkah-langkah yang jelas untuk menghadapi masalah P a g e [ 41 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ekonomi. Jika mereka ditanyakan alasannya tidak bisa menjawab/bertanggung jawab atas pernyataannya, hanya sekedar menjawab tidak setuju. Kondisi inilah yang sering terjadi, dalam diri/konsep pengetahuan mereka masih minim. Untuk itu perlu pengembangan diri sendiri terlebih dahulu misalnya dengan metode pembelajaran resitasi, sebelum mereka bertemu secara kelompok untuk menyatukan pendapat . Dengan latar belakang tersebut peneliti berusaha meningkatkan kemampuan menganalisis tentang konsep ekonomi kreatif melalui metode pembelajaran resitasi. Menurut Koesoema (2007:224) Sekolah merupakan tempat istimewa bagi penanaman nilai-nilai dan laboratorium bagi latihan pelaksanaan nilai yang membantu mengembangkan individu menjadi pribadi yang semakin utuh, menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya sebagai individu dan makhluk sosial. Tujuan pendidikan adalah untuk memajukan budi pekerti sehingga seorang individu menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan mampu mencapai kesempurnaan hidup sehingga mampu hidup selaras dengan alam dan masyarakatnya. Menurut Sutoyo (2007:14) sikap mental positif pada intinya mengajarkan kepada kita untuk berpikir sebelum bertindak. Kemampuan mahasiswa dalam proses menganalisis tentunya harus dilakukan berpikir sebelum bertindak. Adapun yang dimaksud kemampuan analisis dalam penelitian adalah berdasarkan revisi taksonomi Bloom oleh Anderson and Krathwohl, 2001, pp. 67–68. Tabel 1. The Cognitive Processes
lower order thinking skills remember Understand
apply
Analyze
higher order thinking skills evaluate create
recognizing
executing
differentiating
checking
• identifying
recalling
• retrieving
interpreting
• clarifying • paraphrasing • representing • translating
exemplifying
• illustrating • instantiating
classifying
• categorizing • subsuming
summarizing
• abstracting • generalizing
• carrying out
implementing • using
• discriminating • distinguishing • focusing • selecting
organizing
• finding coherence • integrating • outlining • parsing • structuring
• coordinating • detecting • monitoring • testing
critiquing
• judging
attributing
• deconstructing
inferring
• concluding • extrapolating • interpolating • predicting
comparing • contrasting • mapping • matching
explaining
• constructing models
(Tabel 2: adapted from Anderson and Krathwohl, 2001, pp. 67–68.) [ 42 ] P a g e
generating
• hypothesizing
planning
• designing
producing
• constructing
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kemampuan analisis terdiri dari tiga: (1) differentiating : discriminating, distinguishing, focusing, selecting; (2) organizing: finding coherence, integrating, outlining, parsing, structuring, (3) attributing: deconstructing. Ketiga kategori tersebut oleh Kawuryan didefinisikan sebagai berikut: (1) membedakan (differentiating), dalam hal ini membedakan antarbagian terutama dalam hal relevansi dan nilai masing-masing. Bentuk penilaiannya, misalnya dengan meminta mahasiswa mengidentifikasi sesuatu yang lebih penting atau relevan dari situasi yang diberikan. (2) mengorganisir (organizing), meliputi proses mengidentifikasi bagian-bagian dari situasi atau komunikasi, dan bagaimana semuanya masuk dalam satu kesatuan struktur. Ketika melakukan kegiatan ini, mahasiswa membangun hubungan yang sistematis dan utuh antara bagian-bagian informasi yang ada. (3) attributing, disebut juga proses dekonstruksi. Proses ini terjadi ketika mahasiswa dapat mengetahui dengan pasti sudut pandang, penyimpanganpenyimpangan, dan tujuan pokok Pada matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi sub pokok bahasan Pendapatan Nasional dan Daerah, perlu diselipkan pembahasan tentang Ekonomi Kreatif. Hal ini dianggap penting karena keberadaan ekonomi kreatif sebagaimana terlihat pada Gambar 1 memerlukan para aktor dan berbagai faktor yang akan mengarahkannya pada titik yang diharapkan oleh semua pihak. Ada tiga aktor utama dalam pengembangan ekonomi kreatif, yaitu: pemerintah, bisnis dan cendekiawan.
Gambar 1. Tiga hal penting dalam Ekonomi Kreatif Sumber: Departemen Perdagangan RI (2008)
P a g e [ 43 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Mahasiswa sebagai sasaran cendekiawan tentunya harus diajak berpikir tentang ekonomi kreatif sejak dini. Minimal mengetahui dasar teori ekonomi kreatif yang ada dalam Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI yaitu penjelasan adanya evaluasi ekonomi kreatif. Menurut Teguh (2014:1) berdasarkan dokumen rencana ini dapat diketahui bahwa adanya pergeseran dari era pertanian ke era industrialisasi lalu ke era informasi yang disertai dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta globalisasi ekonomi. Perkembangan industrialisasi menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan efisien. Agar mahasiswa dapat segera beradaptasi menjadi seorang cendikiawan, maka sejak semester satu mereka harus diajak berpikir, meskipun masih dalam tataran teoretis untuk memahami konsep ekonomi kreatif. Matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi adalah matakuliah dasar yang harus dikuasai mahasiswa dengan baik. Peneliti harus mampu mengkondisikan konsep dasar ekonomi di masing-masing individu dalam bentuk tugas yang tepat yaitu tugas mandiri bukan kelompok. Dalam kegiatan pembelajaran ada istilah metode tugas mandiri atau dapat disamakan dengan metode resitasi untuk menguatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis masalah. Dalam penelitian ini dipilih metode pembelajaran resitasi/tugas mandiri karena model diskusi kelompok tidak akan berhasil dengan baik jika semua anggota kelompok belum memiliki konsep. Seringkali akan terjadi debat ‘kusir’ yang berkepanjangan dengan hasil diskusi yang tidak maksimal. Menurut Djamarah (2002) metode ini memiliki kelebihan: (1) Pengetahuan yang diperoleh peserta didik dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama; (2) Peserta didik memiliki peluang untuk meningkatkan keberanian, inisiatif, bertanggung jawab dan mandiri. Sedangkan kelemahannya: (1) Kadang peserta didik melakukan penipuan, yaitu peserta didik hanya sekedar meniru hasil pekerjaan temannya, tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri; (2) Kadang tugas dikerjakan orang lain tanpa pengawasan; (3) Sukar memberikan tugas yang dapat membedakan hasil secara individual. Berdasarkan kelebihan dan kelemahan tersebut dalam memberikan resitasi/tugas mandiri pada mahasiswa dapat dikontrol ujian lisan untuk mempertanggungjawabkan. Berdasarkan data/kondisi tersebut peneliti melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul Peningkatan Kemampuan Menganalisis Konsep Ekonomi Kreatif melalui Metode Pembelajaran Resitasi. METODE Penelitian ini termasuk Penelitian Tindakan Kelas/PTK individual, yakni guru sebagai peneliti. PTK menurut Arikunto (2011: 3) merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah kelas secara bersama. PTK pada hakikatnya [ 44 ] P a g e
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
merupakan rangkaian yang dilakukan secara siklus dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Masalah kemampuan analisis yang masih rendah dengan metode diskusi kelompok dipecahkan pada Siklus Pertama dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan a. Menyusun Rencana Pelaksanaan Perkuliahan untuk pertemuan 1 dan 2 pada siklus I yang di sesuaikan dengan materi yang dikembangkan yaitu masalah dasar ekonomi makro, sub bahasan peningkatan pendapatan nasional/daerah melalui konsep ekonomi kreatif dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) b. Membuat tugas mandiri berupa tugas mengkritisi kesiapan Indonesia menghadapi MEA melalui ekonomi kreatif. 2. Tahap pelaksanaan tindakan: a. Pertemuan pertama: melakukan pembelajaran sesuai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat yaitu menjelaskan Pendapatan Nasional dan Pendapatan Daerah. b. Pertemuan kedua: melanjutkan pembahasan Pendapatan Nasional/Daerah melalui Ekonomi Kreatif c. Melaksanakan Evaluasi hasil belajar: berupa tugas mandiri dan ujian lisan (secara paralel). 3. Tahap Pengamatan: Tahap pengamatan dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan ketika pelaksanaan pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2014 B (berjumlah 54 mahasiswa), peserta matakuliah Pengantar Ilmu Ekonomi semester Gasal 2014/2015. Teknik pengumpulan data menggunakan tes (berupa tugas) dan wawancara kepada mahasiswa/pada saat ujian lisan. Data yang diperoleh dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dianalisis dengan analisis deskriptif. Analisa deskriptif kualitatif akan dijadikan metode dalam menganalisa data yang sudah terkumpul. Analisis pada siklus pertama hasilnya akan dipakai untuk kegiatan pada siklus selanjutnya. Jenis data yang diperoleh dan dianalisis ialah data kualitatif yang berupa informasi berbentuk kalimat yang terdiri atas hasil observasi, wawancara, dan catatan-catatan di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat pra-siklus peneliti memberi materi, dengan menggunakan metode diskusi kelompok, tentang kebijakan pemerintah dalam menghadapi MEA. Ternyata hasilnya mahasiswa belum mampu menganalisis dengan baik. Belum mampu membedakan, mengorganisasi dan attributing.
P a g e [ 45 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Peneliti melaksanakan siklus pertama untuk menjawab/menyelesaikan masalah tersebut, perlakuan yang diberikan adalah memberikan permasalahan ekonomi yang diberikan sebagai resitasi/tugas mandiri secara tertulis. Permasalahannya adalah bagaimana komentar/pendapat mahasiswa tentang kegiatan pemerintah dalam menghadapi MEA 2015 ini, jika dikaitkan dengan konsep ekonomi kreatif yang sudah dikembangkan? Mahasiswa sudah dijelaskan melalui perkuliahan dan diberi softcopy atau sumber resmi dari departemen perdagangan yang dapat diunduh (‘buku Menuju AEC tahun 2015’ dan buku ‘Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025’). Kedua buku tersebut dapat disinergikan, karena dengan program ekonomi kreatif yang berhasil Negara kita tidak akan merasa ‘was was’ dengan datangnya pasar global. ASEAN Economic Community 2015. Melalui pemahaman kedua buku tersebut diharapkan mahasiswa bisa berpendapat positif dan akan perilaku mendukung program ekonomi kreatif. Metode pembelajaran Retasi/Tugas mandiri diberikan bertujuan untuk memupuk ‘positif thinking” mahasiswa dalam menghadapi/mensikapi permasalahan ekonomi yang ada di masyarakat. Mahasiswa diwajibkan untuk mencari menyelesaikan tugas tersebut minimal dua data/sumber wajib yang sudah diberikan. Seperti dijelaskan sebelumnya mahasiswa diajak untuk berpikir positif, berpikir sebelum bertindak. Dengan fasilitas internet tugas ini tidaklah sulit. Mahasiswa diuji kemampuannya untuk menulis komentar dengan kemampuan komunikasi tulis mereka. Metode Pembelajaran Resitasi/Tugas mandiri tersebut didiskusikan untuk disimpulkan. Kegiatan ini merupakan proses penanaman karakter karena mahasiswa menerima/mencari data persiapan pemerintah baru mengamati proses aktivitas yang terjadi, ada data pendukung komentar mereka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 80 % (43 mahasiswa) mampu menganalisis secara baik (mampu membedakan, mengoranisir dan attributing (proses dekonstruksi). Sedangkan 20 % mahasiswa (11 mahasiswa) masih berkomentar/ berpendapat sangat sederhana terutama proses attributing (proses dekonstruksi). Mahasiswa dilatih melakukan proses analisis masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat, mereka diwajibkan dengan proses berpikir positif yaitu proses berpikir sebelum bertindak. Sering orang sukar untuk berpikir sebelum bertindak. Mereka sering menggunakan otot daripada otak. Kecenderungan ini muncul karena mereka dihadapkan pada masalah yang mendadak harus dijawab lisan (di sisi lain ilmu pengetahuan tentang masalah tersebut terbatas). Mahasiswa sebelum diproses komunikasi lisan hendaknya diproses komunikasi tulisnya. Mengapa demikian? Berdasarkan data dan pengalaman untuk komunikasi lisan tidak ada waktu berpikir untuk mendapatkan data pendukung untuk komentarnya. Mereka masih tergolong memiliki pengetahuan yang terbatas terutama untuk menganalisis masalah ekonomi yang terjadi masyarakat. Pada saat proses komunikasi tertulis kesempatan untuk mendapatkan data relatif lebih lama/cukup untuk berusaha [ 46 ] P a g e
Peningkatan Kemampuan Analisis… (Nanik Sri Setyani)
mencari sumber data yang relevan. Pembiasaan berkomunikasi tertulis berdasarkan data adalah proses berpikir untuk bertindak yang bertanggung jawab. Jika mahasiswa sudah sering dilatih untuk berpikir baru bertindak (bertanggung jawab) melalui tugas mandiri maka kecenderungan muncul selalu/terbiasa berpikir positif. Pikiran positif terhadap pemerintah adalah penting. Berawal dari berpikir positif terhadap pemerintah akan membawa tindakan mereka berupa tindakan/karakter cinta tanah air. Pemerintah secara keilmuan/logika tentunya telah merancang kebijakan mereka melalui proses berpikir sebelum bertindak, sehingga hasil kebijakan pemerintah selalu/condong bertanggung jawab terutama untuk masyarakat. Proses berpikir positif ini akan menghasilkan mahasiswa yang bertanggung jawab dalam bertindak, arogansi, anarkhis tidak akan terjadi. Sebelum menuntut mahasiswa menjadi mahasiswa yang jujur berkualitas, guru harus memilikinya. Bangsa kita akan menjadi besar jika memiliki penerus bangsa yang jujur dan berkualitas, penyakit korupsi yang masih gencar di telinga kita akan hilang dengan masyarakat yang berpikir sebelum bertindak. Semua tindakan mereka dapat dipertanggungjawabkan. Mahasiswa lebih dewasa bersikap/ berkomentar sehubungan dengan kejadian di masyarakat. Pihak perguruan tinggi akan lebih mudah mengendalikan emosi mahasiswa dengan cara positif. Kesiapan mahasiswa (apalagi mahasiswa ekonomi) lebih terbentuk khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 80 % (43 mahasiswa) mampu menganalisis secara baik. Sedangkan 20 % mahasiswa (11 mahasiswa) masih berkomentar/berpendapat sangat sederhana. Implikasi hasil penelitian ini adalah mahasiswa lebih dewasa bersikap/ berkomentar sehubungan dengan kejadian di masyarakat, terutama masalah kebijakan Ekonomi. Pihak Perguruan Tinggi akan lebih mudah mengendalikan emosi mahasiswa dengan cara positif. Kesiapan mahasiswa (apalagi mahasiswa Ekonomi) lebih terbentuk khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini. Penelitian ini masih bersifat kajian teori (kebijakan pemerintah), belum mengarah ke peran mahasiswa secara praktek dalam menghadapi MEA. Saran yang diberikan peneliti adalah sebaiknya pengajar menunjukkan sumber dasar data yang dipilih, agar kualitas jawaban mereka tidak meluas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada sumber data wajib dan tambahan adalah penting, agar kualitas jawaban mereka lebih dalam dan tepat. DAFTAR PUSTAKA Anderson, 2001, A Model of Learning Objectives based on A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives, 2001, diakses dari: http://www.celt.iastate.edu/pdfsdocs/teaching/Revised BloomsHandout.pdf. Tanggal : 12 Oktober 2014 P a g e [ 47 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Arikunto, Suharsimi, dkk. 2011, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: PT. Bumi Aksara Departemen Perdagangan RI, 2008, Pengembangan Industri Kreatif Menuju Ekonomi Kreatif 2025, Rencana Pengembangan14 subsektor industry kreatif 2009 ‐2015. Diakses dari: http://www.karokab.go.id/koperindag/images/stories/BluePrintEkonomiKreatif IndonesiaBuku2.pdf, tanggal 20 September 2014 Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2002, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta. Kawuryan, Sekar Purbarini , Peningkatan Kemampuan Analisis Terhadap Kebijakan Publik Melalui Model Pembelajaran Portofolio Pada Mata Kuliah Konsep Dasar PKN Daiksesdari:http://eprints.uny.ac.id/4500/1/peningkatan_kemampuan_analisis_te rhadap_kebijakan_publik.pdf. tanggal : 12 Oktober 2014 Koesoema, Doni, 2007, Pendidikan Karakter (Strategi mendidik anak di zaman global), PT Grasindo, Jakarta Menuju ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC), tahun 2015’ . diakses pada : http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuj u%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf. tanggal 25 September 2014 Sutoyo, Agus, 2000, Kiat Sukse Prof.Hembing, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta
[ 48 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRY PADA MATA PELAJARAN EKONOMI POKOK BAHASAN PASAR Dewi Fauziyah
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan model pembelajaran inkuiri dengan guru mata pelajaran sebagai pengamat yang menilai pelaksanaan proses pembelajaran. Berdasarkan data hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran ekonomi pokok bahasan pasar di kelas X SMA Negeri 1 Kebomas Gresik. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan kemampuan afektif dan psikomotorik siswa dalam melaksanakan metode pembelajaran inkuiri berdasarkan perbandingan kemampuan afektif dan psikomotorik siswa. Diharapkan metode inkuiri dapat diterapkan sebagai salah satu metode pembelajaran alternatif yang digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Agar pelaksanaan pembelajaran dengan metode inkuiri dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan guru melakukan pembimbingan dalam observasi lapangan yang dilaksanakan oleh siswa secara berkelompok. Kata kunci: Model Pembelajaran inkuiri, Pokok Bahasan Pasar
PENDAHULUAN Globalisasi telah mempengaruhi setiap sendi kehidupan umat manusia. Dampak globalisasi dalam bidang pendidikan adalah dijadikannya pendidikan sebagai komoditas yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik sosial, ekonomi, bahkan politik. Menurut Wahono, (dalam Chotim, 2002:312) pendidikan merupakan wahana untuk mengalami pergeseran orientasi, visi maupun ideologi. Persoalan besar dunia pendidikan di Indonesia adalah: pertama, kesalahan paradigma dan pendekatan, dan yang kedua beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan sosial ekonomi bangsa. Selain sebagai wahana pergeseran orientasi, visi dan ideologi Wahono juga mengatakan bahwa Pendidikan merupakan wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat membentuk watak, alat keterampilan, alat menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran agama, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat menguasai teknologi, dan lain sebagainya. Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kepribadian yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (Munib, 2004:33). Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai diperlukan sebuah sistem pendidikan yang baik. Salah satu faktor yang sangat penting dan menentukan adalah metode P a g e [ 49 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pembelajaran yang diterapkan dalam proses pendidikan. Dengan metode yang tepat diharapkan akan dicapai hasil pembelajaran yang optimal. Proses kegiatan belajar mengajar di SMA seharusnya berlangsung menarik, aktivitas siswa sebagai pembelajar selalu antusias dalam mengikuti pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang seharusnya menarik, penuh aktivitas dan ide-ide cemerlang itu tidak ada, kelas yang ada hanyalah pasif di mana hanya terjadi pemberian informasi dari guru ke siswa. Siswa hanya mendengarkan dan mencatat hal-hal yang dianggap penting. Sutrisno (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi. Dari berbagai metode pembelajaran yang ditawarkan akan diterapkan salah satu komponen pendekatan kontekstual atau sering disebut CTL (Contextual Teaching and Learning). Pendekatan CTL mempunyai tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Dengan ketujuh komponen CTL, salah satu komponen yang akan diujicobakan adalah metode inkuiri. Secara keseluruhan metode inkuiri menekankan pada keterampilan untuk meninjau lingkungannya secara lebih kritis dan melatih siswa untuk dapat mengambil keputusan secara bertanggung jawab. Secara garis besar metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang mengkaitkan materi belajar dengan pengalaman siswa. Pengalaman dari masing-masing siswa nantinya akan dirumuskan dan disimpulkan bersama-sama. Dengan metode seperti ini diharapkan siswa akan menemukan materi secara mandiri sesuai dengan pengalamannya serta siswa mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Pokok bahasan pasar dalam mata pelajaran Ekonomi sangat erat kaitannya dengan pengalaman sehari-hari siswa. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran pada pokok bahasan pasar sangat tepat diterapkan dengan metode inkuiri. Dalam pokok bahasan pasar terdapat beberapa sub pokok bahasan yaitu jenis-jenis pasar, transaksi, dan penentuan harga. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMA, masih banyak guru yang menggunakan metode konvensional sebagai satu-satunya metode yang diterapkan dalam
[ 50 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
berbagai mata pelajaran, terutama mata pelajaran ekonomi, sehingga banyak siswa yang mengalami kejenuhan. Guru masih kesulitan dalam menemukan metode yang tepat, dengan waktu dan sarana yang terbatas, serta pemahaman siswa terhadap materi masih kurang, ini menyebabkan banyak siswa yang mendapatkan hasil belajar di bawah standar dan belum mencapai ketuntasan belajar. Untuk mengatasi hal itu, peran guru sangat penting, ini tergantung pada metode pembelajaran apa yang digunakan oleh guru sehingga dapat menarik dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dari latar belakang yang dipaparkan diatas maka rumusan masalah adalah bagaimana penerapan strategi pembelajaran inkuiri pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar di kelas X SMA N 1 Kebomas Gresik? Adapun tujuan dari penulisan ini adalah: 1) mengubah peranan yang dominan dalam pembelajaran, menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa peran dosen sebagai pembimbing, motivator, fasilitator. 2) Meningkatkan partisipasi siswa dalam membantu mengembangkan potensi intrinsik dalam pembelajaran, 3) Mengetahui bagaimana penerapan strategi pembelajaran inkuiri pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar, dan 4) Mengetahui penerapan strategi pembelajaran inkuiri agar dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran ekonomi. MODEL PEMBELAJARAN Cara guru mengajar menjadi salah satu penentu keberhasilan proses belajarmengajar. Salah satu caranya adalah dengan penerapan model pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, model pembelajaran yang diutamakan dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah model pembelajaran Inkuiri (Inquiry Based Learning), model pembelajaran Discovery (Discovery Learning), model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning), dan model pembelajaran berbasis permasalahan (Problem Based Learning). Untuk menentukan model pembelajaran yang akan dilaksanakan dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kesesuaian model pembelajaran dengan kompetensi sikap pada KI-1 dan KI-2 serta kompetensi pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan KD-3 dan/atau KD-4. 2. Kesesuaian model pembelajaran dengan karakteristik KD-1 (jika ada) dan KD-2 yang dapat mengembangkan kompetensi sikap, dan kesesuaian materi pembelajaran dengan tuntutan KD-3 dan KD-4 untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan. Penggunaan pendekatan saintifik yang mengembangkan pengalaman belajar peserta didik melalui kegiatan mengamati (observing), menanya (questioning),
P a g e [ 51 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mencoba/mengumpulkan informasi (experimenting/collecting information), mengasosiasi/menalar (associating), dan mengomunikasikan (communicating). Inquiry Learning Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran inkuiri menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa dalam pembelajaran ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Pembelajaran ini sering juga dinamakan pembelajaran heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti “saya menemukan”.Wina sanjaya,(2008:194) Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis. Adapun beberapa pengertian mengenai Metode Pembelajaran Inkuiri menurut paha ahli sebagai berikut: 1. Phillips (dalam Arnyana, 2007:39) mengemukakan “inkuiri merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan. Pembelajaran dengan pendekatan ini sangat terintegrasi meliputi penerapan proses sains yang menerapkan proses berpikir logis dan berpikir kritis”. 2. Wina Sanjaya (2008:196) berpendapat bahwa “strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan”. 3. Syaiful Sagala (2011:196), Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanam kan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa yang berperan sebagai subjek belajar, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. 4. Aziz (Ahmad, 2011), Metode inkuiri adalah metode yang menempatkan dan menuntut guru untuk membantu siswa menemukan sendiri data, fakta dan informasi tersebut dari berbagai sumber agar dengan kegiatan itu dapat memberikan [ 52 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
pengalaman kepada siswa. Pengalaman ini akan berguna dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya. Strategi pembelajaran Inkuiri atau strategi pembelajaran inkuiri (SPI) merupakan salah satu dari strategi pembelajaran yang dapat diterapkan di dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Strategi pembelajaran ini menekankan pada proses mencari dan menemukan (Wina Sanjaya, 2012:201). Di dalam proses pembelajaran, materi pembelajaran tidak diberikan secara langsung oleh guru kepada siswa, akan tetapi guru membimbing siswa dan menjadi fasilitator untuk membantu siswa dalam mencari dan menemukan materi pembelajaran, dan peserta didik mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan secara kritis dan analitis. Strategi pembelajaran inkuiri banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini, belajar adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi mental yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar bukan hanya persoalan menghafal materi yang diberikan oleh guru, akan tetapi belajar merupakan proses di mana setiap individu memperoleh pengetahuan tersebut melalui ketrampilan berpikir individu, dengan kata lain bahwa pengetahuan yang diperoleh tidak langsung dari guru, melainkan peserta didik sendiri yang mencari dan menemukannya. Strategi Pembelajaran Inkuiri adalah teori belajar konstruktivistik, di mana peserta didik secara pribadi menyusun dan membangun pemahamannya dan pengetahuannya sendiri, sehingga peserta didik sungguh dituntut untuk aktif dalam mencari dan menemukan pengetahuan. Dalam proses seperti ini guru, berperan sebagai fasilitator yang membantu jalannya proses pembelajaran. Keunggulan dan Kelemahan Metode Pembelajaran Inkuiri Di dalam pembelajaran inkuiri ini, terdapat beberapa keunggulan dan juga kelemahan dalam penerapannya. Adapun keunggulan dan kelemahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Keunggulan Keunggulan metode pembelajaran inkuiri yang diungkap Wina Sanjaya (2012: 208) ialah strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang banyak dianjurkan, oleh karena strategi ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya: a. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna. b. Strategi pembelajaran inkuiri dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. c. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
P a g e [ 53 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 d. Keuntungan lain adalah strategi pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar. 2. Kelemahan Kelemahan metode pembelajaran inkuiri yang diungkap Wina Sanjaya, (2012: 208) menyatakan bahwa di samping memiliki keunggulan, strategi pembelajaran inkuiri mempunyai kelemahan, di antaranya: a. Jika SPI digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa. b. Strategi ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar. c. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan. d. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka strategi pembelajaran inkuiri akan sulit diimplementasikan oleh setiap guru. Secara umum Wina Sanjaya (2012: 201) mengemukakan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1.ORIENTASI 2.MERUMUSKAN MASALAH
3.MERUMUSKAN HIPOTESIS 4.MENGUMPULKA N DATA
5.MENGUJI HIPOTESIS
6.MERUMUSKAN KESIMPULAN [ 54 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
1.
2.
3.
4.
5.
Secara umum, langkah-langkah model pembelajaran inkuiri sebagai berikut: Orientasi Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengkondisikan agar siswa siap melaksanakan proses pembelajaran. Guru merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah yang sangat penting. Keberhasilan strategi ini sangat tergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan masalah, tanpa kemauan dan kemampuan maka proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan lancar. Merumuskan masalah Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu. Dikatakan teka-teki dalam rumusan masalah yang ingin dikaji disebabkan masalah itu tentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam strategi inkuiri, oleh sebab itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir. Merumuskan hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Perkiraan sebagai hipotesis bukan sembarang perkiraan, tetapi harus memiliki landasan berpikir yang kokoh, sehingga hipotesis yang dimunculkan itu bersifat rasional dan logis. Kemampuan berpikir logis itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh kedalaman wawasan yang dimiliki serta keluasan pengalaman. Dengan demikian, setiap individu yang kurang mempunyai wawasan akan sulit mengembangkan hipotesis yang rasional dan logis. Mengumpulkan data Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya Menguji hipotesis Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
P a g e [ 55 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 6. Merumuskan kesimpulan Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan. PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI POKOK BAHASAN PASAR Contoh Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Inquiry Learning) Pada penerapan model pembelajaran penemuan atau inquiry terdapat prosedur yang harus dilakukan yang meliputi tahap 1. Orientasi , 2. merumuskan masalah (identifikasi masalah) , 3. merumuskan hipotesis, 4. mengumpulkan data (Data collection ), 5. menguji hipotesis (pengolahan data), 6. (menarik kesimpulan/generalisasi). Contoh penerapan model pembelajaran inkuiri pada materi Ekonomi tentang pasar. Kompetensi : 3.4 Mendeskripsikan konsep pasar dan terbentuknya Dasar harga pasar dalam perekonomian 4.4 Melakukan penelitian tentang pasar dan terbentuknya harga pasar dalam perekonomian Topik : pasar Sub Topik
:
Penelitian tentang pasar dan terbentuknya harga pasar dalam perekonomian.
Tujuan
:
Alokasi Waktu
:
1) Melalui pengamatan siswa dapat mengidentifikasi jenis pasar. 2) Melalui kegiatan tanya jawab, siswa dapat mengetahui permintaan barang dan jasa dengan tepat. 3) Melalui percobaan, siswa dapat mengetahui harga keseimbangan dengan benar. 4) Melalui kegiatan presentasi, siswa dapat mengetahui penawaran barang dan jasa dengan benar. 1x pertemuan (3 JP)
SINTAK PEMBELAJARAN 1. Orientasi (Pemberian rangsangan)
KEGIATAN PEMBELAJARAN 1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran kemudian dapat memberikan konsep dasar, petunjuk atau referensi yang diperlukan dalam pembelajaran. 2) Melakukan brainstorming dimana peserta didik dihadapkan pada masalah hasil pengamatan tentang terbentuknya harga pasar dalam perekonomian.
[ 56 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
3) Mencatat data hasil pengamatan tentang pasar . - Berdasarkan data pengamatan di lapangan peserta didik akan mengumpulkan informasi tentang konsep pasar dan terbentuknya harga pasar dalam perekonomian 2. Merumuskan masalah Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk (pertanyaan/identifi mengidentifikasi sebanyak mungkin konsep pasar yang kasi masalah) berkaitan dengan terbentuknya harga pasar dalam perekonomian di lingkungan setempat sampai siswa menentukan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab melalui kegiatan belajar, contohnya - Contoh apa saja di lingkungannya yang menjelaskan tentang jenis-jenis pasar? - Contoh apa saja di lingkungannya yang menjelaskan permintaan barang dan jasa dengan tepat ? - Contoh percobaan apa saja di lingkungannya yang dapat mengetahui harga keseimbangan dengan benar? - Bagaimana cara mengetahui kegiatan penawaran barang dan jasa dengan benar ? 3. Data collection Pada tahap ini peserta didik mengumpulkan informasi (pengumpulan data) yang relevan untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi melalui: - Melakukan pengumpulan data tentang jenis-jenis pasar. - Melakukan pengumpulan data tentang permintaan barang dan jasa yang belum diketahui dengan tepat. - Melakukan pengumpulan data tentang permintaan barang dan jasa yang belum diketahui dengan tepat. 4. Data processing Pada tahap ini peserta didik dalam kelompoknya (pengolahan Data) berdiskusi untuk mengolah data hasil pengamatan dengan cara: - Mengolah data pengamatan dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan pada lembar kerja, misalnya mengolah data tentang untuk membantu mencipta hasil karya sesuai materi tentang pasar. 5. Verification Pada tahap verifikasi peserta didik mendiskusikan hasil (pembuktian) pengolahan data dan memverifikasi hasil pengolahan Menguji hipotesis dengan teori pada buku sumber. Misalnya dengan cara: - Mengkonfirmasikan data dengan teori yang berhubungan dengan pasar di lingkungan setempat. - Memverifikasi jawaban kelompok tentang hasil analisis P a g e [ 57 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
6. Generalization (menarik kesimpulan)
data masing-masing individu yang ada dalam kelompok. - Berdiskusi menentukan solusi atau penyelesaian dari konsep pasar dan terbentuknya harga pasar tersebut di atas.. Pada tahap ini peserta didik menyimpulkan hasil observasi dan diskusi misalnya menyimpulkan : - Penelitian tentang pasar dan terbentuknya harga pasar dalam perekonomian.
SIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang disajikan dalam pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa Strategi pembelajaran inkuiri dapat digunakan untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa, dan dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembelajaran pada berbagai mata pelajaran, khususnya ekonomi, yaitu meliputi aspek: kemampuan mengemukakan pendapat, kemampuan menganalisa masalah, kemampuan menuliskan pendapatnya setelah melakukan pengamatan, dan kemampuan menyimpulkan. Pembelajaran inkuiri melibatkan seluruh siswa secara aktif dalam pembelajaran ekonomi dalam kelas sangat penting, karena melibatkan para siswa dalam berbagai kegiatan belajar, dengan demikian siswa memperoleh hasil belajar yang lebih baik dan peningkatan prestasi belajar ekonomi dalam tugas dan ujian. Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Guru Guru hendaknya memberikan pengarahan kepada siswa mengenai sikap belajar yang positif dengan latihan dan pengalaman dari keadaan yang tidak tahu menjadi tahu yang diukur melalui toleransi, kebersamaan, gotong-royong, rasa setia kawan dan kejujuran untuk menciptakan suatu pembelajaran yang efektif. Guru memberikan motivasi, pembelajaran yang bervariasi agar siswa tidak bosan dan merasa senang, tertarik dengan mata pelajaran, sehingga tumbuh minat dalam belajar. Guru lebih mempersiapkan secara matang cara membawa diri untuk menciptakan suatu suasana kelas yang menyenangkan sehingga akan terwujud suatu proses pembelajaran di dalam kelas yang baik sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. 2. Siswa Siswa hendaknya memperbaiki sikap belajarnya baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah yang akan membuat siswa mudah dalam menerima pelajaran dan dapat meningkatkan prestasi. [ 58 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Dewi Fauziyah)
Siswa hendaknya memiliki semangat belajar dengan cara berlatih terus menerus dan berupaya untuk memahami ilmu yang disampaikan. Siswa hendaknya lebih banyak mencari pengetahuan dari pengalaman yang berhubungan dengan matematika agar lebih benar-benar memahami materi dan bisa teringat lama dalam pikiran.
DAFTAR PUSTAKA Chotim, Wahono.(2002). lembaran Ilmu Kependidikan. Semarang : UPT UNNES Press Depdiknas. 2003. Undang-undang Sikdiknas ( UU Ri No 20 tahun 2003). Jakarta. Depdiknas Munib, 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK UNNES Sutrisno, 2008.. Pembelajaran Inkuiri. www.Google.com Sanjaya Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. jakarta: Kencana Perdana Media Group. Gulo, Joyce. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : grasindo Philips, Arnyana, 2007: methode Pebelajaran inkuiri . Tesis Pendidikan
Pascasarjana Teknplogi
Sagala, syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: alfabeta Ahmad, Aziz. 2011. Hakikat Metode Inkuiri. Universitasas Negeri Makasar. Diakses dari http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/.../HAKIKAT METODE INKUIRI rtf. diakses pada tanggal 25 November 2012 Sanjaya Wina. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Rawamangun-jakarta: Kencana Perdana Media Group Kemendikbud, 2014. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan DAN Kebudayaan dan penjamin mutu pendidikan . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
P a g e [ 59 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI Ratna Fitri Astuti
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Dalam menghadapi MEA 2015 dunia dituntut untuk memiliki Sumber Daya Manusia yang mampu bersaing. Hal ini harus didukung dari sektor pendidikan dengan pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang berkualitas. Kualitas dari KBM ini tidak hanya dari lembaga sekolah tetapi diperlukan guru yang profesional dan berkualitas, sehingga mampu memotivasi siswa untuk belajar melalui penerapan model pembelajaran inkuiri. Penerapan model pembelajaran pada penulisan ini difokuskan pada mata pelajaran ekonomi, yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran inkuiri mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Dalam kegiatan belajar mengajar guru harus selalu berinovasi dalam model pembelajaran yang digunakan, hal ini bertujuan agar siswa selalu termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri dapat dijadikan alternatif dari inovasi yang dilakukan guru, di mana inkuiri merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar siswa. Dengan model pembelajaran inkuiri yang menuntut siswa untuk menemukan sendiri permasalahan pada sebuah materi, maka siswa akan termotivasi untuk mempersiapkan diri sebelum KBM. Kata kunci: Profesionalisme guru, motivasi belajar, model pembelajaran
PENDAHULUAN Dunia saat ini sedang dihadapkan pada era globalisasi, di mana batasan suatu Negara semakin tak kentara dengan tingkat dinamika dan mobilitas yang semakin tinggi dari masyarakatnya. Demikian pula globalisasi yang dalam perjalanannya menawarkan sebuah fenomena baru di dalam sejarah perkembangan masyarakat. Saat ini, bukan saja isu perekonomian dan perdagangan dunia yang kian menyatu, namun juga berbagai isu lain seperti pada dunia pendidikan. Perkembangan global menunjukkan semakin dibutuhkannya SDM berkualitas, di mana diharapkan tersedianya tenaga kerja yang kompeten di bidangnya dan memiliki ketangguhan daya saing. Pembentukan SDM yang berkualitas dari dunia pendidikan dapat dilakukan dengan adanya kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berkualitas pula, bukan hanya dari segi siswanya tetapi kualitas guru yang profesional juga sangat diperlukan. Ace Suryadi (1999:298) mengemukakan bahwa untuk mencapai taraf kompetensi, seorang guru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Status kompetensi yang professional tidak diberikan oleh siapapun tetapi harus dicapai oleh masing-masing individu. Semua mata pelajaran yang ada di sekolah harus di proses dengan baik agar siswa dapat memperoleh ilmu secara maksimal, tidak terkecuali untuk mata pelajaran ekonomi. [ 60 ] P a g e
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
Pada mata pelajaran ekonomi terdapat berbagai materi, mulai dari materi mikro yang cukup mudah karena bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa, hingga materi makro yang akan sangat sulit untuk dipahami oleh siswa. Sehingga guru sebagai pemberi informasi di dalam kelas harus mampu memotivasi dan merangsang siswa untuk mampu menerima informasi dalam bentuk materi pelajaran dengan baik. Aqib (2002) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah dan penggerak tingkah laku. Dengan adanya motivasi siswa dapat memiliki dorongan dari dalam diri untuk mencapai tujuan pembelajaran. Usaha yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan memilih model pembelajaran yang tepat, namun tidak sedikit guru yang masih mengabaikan pentingnya penerapan model pembelajaran. Sering kita temui dalam realita kegiatan belajar mengajar sehari-hari, pembelajaran masih bersifat konvensional, guru hanya memberikan penjelasan dan siswa yang mendengarkan, ketika guru mencoba memberikan satu pertanyaan tidak banyak siswa yang mau mengangkat tangan untuk menjawab. Dalam kegiatan pembelajaran siswa memang dibiasakan dalam diskusi kelompok, namun kecenderungan nilai yang diberikan hanya penilaian kelompok tanpa memberikan kesempatan pada masing-masing siswa untuk mengasah kemampuannya, akibatnya pola belajar siswa kurang efektif. Pada pembelajaran ekonomi akan lebih baik apabila guru tidak hanya mengajar dengan satu arah, tidak juga hanya dengan penerapan satu model, tetapi harusnya bervariasi dalam model, metode maupun media pembelajaran. Dengan adanya variasi model maupun metode, maka guru dapat melaksanakan perannya untuk menciptakan suasana pembelajaran yang dapat memotivasi siswa agar senantiasa belajar dengan baik. Salah satu model yang dapat digunakan dalam variasi pembelajaran ekonomi adalah model pembelajaran inquiry. Gulo (2002) menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak dan memberikan kesempatan pada siswa masuk ke dalam proses berpikir ilmiah. Dalam model pembelajaran ini pusat pembelajaran berada pada siswa dan guru berkedudukan sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator, pengarah, manajer, dan rewarder. Siswa harus berperan aktif untuk mencari informasi berupa fakta-fakta yang kemudian dikaitkan dengan materi yang ada. Siswa harus memiliki kepercayaan diri yang penuh untuk menyimpulkan hasil temuannya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik sebuah rumusan masalah, yaitu bagaimana pembelajaran dengan model inkuiri dapat meningkatkan motivasi belajar siswa?
P a g e [ 61 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN Profesionalisme Guru Definisi yang kita kenal sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki wibawa hingga perlu untuk ditiru atau diteladani. Hamzah B. Uno (2008:15) menjelaskan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Pidarta (2007) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik karena yang menjadi penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. Jadi, penyelenggara pendidikan dan pendidik sama-sama punya hak untuk memilih konsep, menentukan kebijakan, dan cara-cara melaksanakan pendidikan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah sedemikian pesat, profesionalisme seorang guru dituntut untuk lebih baik. Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh pesrta didiknya. Untuk itu, apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang maupun pelatihan. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru harus memiliki kompetensi professional, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah: 1) kompetensi pribadi, 2) kompetensi sosial, 3) kompetensi professional mengajar. Selain kompetensi profesional, sebagai pendukung seorang guru juga harus kreatif dalam menyelenggarakan pendidikan, Latuconsina (2014) menjelaskan bahwa guru yang kreatif adalah guru yang mampu menjadi orang kreatif dalam hidupnya (creative teacher) dan guru yang mampu memberikan layanan pembelajaran secara kreatif (creative teaching). Dengan profesionalisme yang dimiliki seorang guru dan didukung kreativitas yang cukup maka output yang dihasilkan pun akan optimal. Terkait dengan pentingnya profesionalisme seorang guru, maka seorang guru memiliki fungsi dan peranan tersendiri. Menurut Damsar (2012:156) fungsi dari guru memiliki dua dimensi, yaitu laten dan manifest. Fungsi laten merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultural yang tidak disengaja atau tidak disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi system. Fugsi laten dari guru trhadap masyarakat pada suatu ruang terdiri dari: 1) Guru sebagai pelabel Secara tidak kita sadari, guru memiliki fungsi sebagai pelabel bagi masa depan anak-anak. Fungsi guru tersebut akan sangat berpengaruhpada pola perilaku peserta didik, label seperti apa yang diberikan oleh [ 62 ] P a g e
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
seorang guru, maka konsekuensinya akan berdampak pada masa depan seorang peserta didik. 2) Guru sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah Atas” Guru mensosialisasikan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, apa yang dianggap baik dan buruk, apa yang dipandang benar dan salah, dan apa yang dilihat tinggi atau rendah merupakan konstruksi sosial tentang nilai dan norma di masyarakat. Guru dalam fungsi ini telah menyebabkan para murid memiliki pandangan yang relative sama satu sama lain, yaitu pandangan dari perspektif kelas menengah ke atas. Pandangan yang sama ini di satu sisi memungkinkan peserta didik bisa bekerja sama satu dan yang lain, namun di sisi lain, pandangan tentang nilai dan norma dipandang sebagai sesuatu yang tidak cocok bagi kehidupan orang yang berpendidikan. Fungsi lain yang dimiliki oleh seorang guru adalah fungsi manifest, yaitu berbagai konskuensi dari praktik kultural yang disengaja atau disadarai, membantu penyesuaian atau adaptasi system. Fungsi guru yang diharapkan, disengaja, dan disadari guru oleh masyarakat pada suatu ruang terdiri dari: 1) Guru sebagai pengajar Pada masyarakat manapun menyadari dan mengharapkan agar guru menjadi pengajar terhadap anak-anak mereka. Masyarakat mengharapkan guru dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik. 2) Guru sebagai pendidik Dalam masyarakat, guru tidak hanya diharapkan untuk sekedar mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi lebih dari itu dengan mndidik segala sesuatu yang diperlukan murid sehingga dalam beradaptasi dengan berbagai persoalan yang ada di tngah masyarakat. Perbedaan mengajar dan mendidik dalam hal ini terletak pada kedalaman dan kualitas dari aktivitas yang dilakukan. Meskipun sebagian guru di Indonesia sudah mengalami sertifikasi, namun masih ada guru yang belum menjadi seorang pendidik dan hanya sebagai pengajar. 3) Guru sebagai teladan Bagi peserta didik guru adalah seorang yang mulia, oleh sebab itu apa saja yang dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh guru dipandang sebagai suatu kebenaran. Jika guru tidak mampu memainkan peran dan memenuhi fungsi seperti yang diharapkan masyarakat, maka akan sangat berdampak pula bagi peserta didik. 4) Guru sebagai motivator Guru diharapkan mampu memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energy yang besar kepada semua peserta didiknya agar mereka mampu meraih cita-cita yang digantung setinggi langit. Model Pembelajaran Inkuiri (Inquiry) Model pembelajaran inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang diterapkan dalam kurikulum 2013, model pembelajaran sendiri dapat didefinisikan secara sempit dan secara luas atau umum. Dalam definisi secara sempit, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Syaiful Sagala, 2005 dalam Indrawati dan Wawan Setiawan 2009: 27). Sedangkan secara luas, Joyce dan Weil (2000: 13) dalam Indrawati dan Wawan Setiawan (2009: 27) mengemukakan bahwa P a g e [ 63 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 model pembelajaran merupakan deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, rancangan unit pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program komputer. Indrawati (1999: 9) dalam Trianto (2007: 134) menyatakan, bahwa suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui modelmodel pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Menurut Downey (1967) dalam Joyce (1992: 107) dalam Trianto (2007: 134) menyatakan: The core of good thinking is the ability to solve problems. The essence of problem solving is the ability to learn in puzzling situations. Thus, in the school of these particular dreams, learning how to learn pervades what is the taught, how it is taught, and the kind of place in which it is taught. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang diajarkan, bagaimana hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh pandangan baru. Salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah model inkuiri. Sund, seperti yang dikutip oleh Suryosubroto (1993: 193) dalam Trianto (2007: 135), menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau inquiry merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquiry, berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Model pembelajaran inkuiri memiliki ciri-ciri yang lebih terpusat pada siswa, Hosnan (2014:341) menjelaskan ciri-ciri pembelajaran inkuiri adalah: 1) Pembelajaran inkuiri menekankan pada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menemukan, 2) Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menimbulkan sikap percaya diri, 3) Tujuan dari penggunaan pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 135) menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam [ 64 ] P a g e
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
proses kegiatan belajar; (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran; dan (3) mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah: 1) Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa berdiskusi; 2) Inkuiri berfokus pada hipotesis; dan 3) Penggunaan fakta sebagai evidensi (informasi, fakta). Trianto (2007:136) menjelaskan bahwa untuk menciptakan kondisi yang mendukung kegiatan inkuiri, peran guru sangatlah penting. Peran guru yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir, 2) Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan, 3) Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat, 4) Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas, 5) Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, 6) Manajer, mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas, 7) Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa. Seorang guru yang kreatif akan mampu melaksanakan model pembelajaran dan melakukan perannya secara maksimal. Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif singkat. Setelah kondisi di dalam kelas sudah tercipta dengan baik, maka proses pembelajaran inkuiri sudah dapat diterapkan. Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 137) menyatakan, bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari perumusan masalah, merumuskan hipotesis, pengumpulan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 137) menyatakan, bahwa kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut: 1) Mengajukan Pertanyaan atau Permasalahan Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. Untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas, pertanyaan tersebut dituliskan di papan tulis, kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesis. 2) Merumuskan Hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang diberikan. 3) Mengumpulkan Data Hipotesis digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa table, matrik, atau grafik. 4) Analisis Data Siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang diperoleh. Faktor penting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran „benar‟ atau „salah‟. Setelah memperoleh kesimpulan, dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri
P a g e [ 65 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang telah dilakukannya. 5) Membuat Kesimpulan Langkah penutup dari pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa. Berdasarkan tahapan-tahapan pembahasan dan menurut para ahli di atas mengenai model pembelajaran inkuiri maka dapat disimpulkan bahwa, model pembelajaran inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Motivasi Belajar Motivasi belajar sangat diperlukan oleh setiap siswa agar tujuan dari kegiatan belajar mengajar dapat tercapai. Aqib (2002) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah dan penggerak tingkah laku. Dengan adanya motivasi siswa dapat memiliki dorongan dari dalam diri untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Prinsip-prinsip untuk mendorong motivasi belajar dapat dilakukan dalam bentuk pemberian pujian, penguatan, penalaran, yang dilakukan kepada siswa dengan menyesuaikan kondisi dalam pembelajaran. Dengan prinsip tersebut maka kebutuhan psikologis siswa dapat terpenuhi dan siswa akan memiliki kesiapan dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Upaya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Penggerakan dengan prinsip kebebasan, di mana guru memberikan suasana belajar yang berpusat pada siswa dan pengajaran yang terprogram, 2) Pemberian harapan dengan merumuskan tujuan yang langsung dan tingkat aspirasi dalam jangka panjang, 3) Pemberian insentif, dengan cara umpan balik pemberian hadiah pada hasil tes, pemberian komentar dan adanya kerja sama, 4) Pengaturan tingkah laku siswa dengan cara restitusi dan ripple effect. Pemberian motivasi secara umum dapat dilakukan secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik motivasi dapat tumbuh dari individu masing-masing siswa, individu harus mampu mengelola kreativitas dan kemampuan yang dimiliki untuk memotivasi dirinya belajar. Sedangkan secara ekstrinsik motivasi belajar dapat dilakukan oleh orang lain, dan salah satunya adalah guru yang sangat berperan dalam pemberian motivasi ini. Namun secara umum, pemberian motivasi secara intrinsik dirasa akan lebih baik karena berkaitan secara langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri. Profesionalisme Guru Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Inkuiri Pada Mata Pelajaran Ekonomi Seorang guru tidak hanya berperan sebagai pemberi informasi yang berupa materi pada suatu mata pelajaran, dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas guru juga bertanggung jawab untuk membimbing siswa. Hamzah B. Uno (2008:15) menjelaskan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab [ 66 ] P a g e
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Seorang guru harus memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Mata pelajaran ekonomi memiliki beberapa materi yang cukup sulit untuk dipahami oleh siswa, misalkan saja materi pembangunan ekonomi. Hanya dengan melihat namanya materi ini dianggap sulit bagi siswa, karena siswa belum pernah menjumpainya di lingkungan sekitar. Namun ada pula materi ekonomi yang cukup mudah untuk dimengerti siswa karena mereka sudah sering menjumpai atau bahkan melakukannya sendiri, misalkan saja materi kebutuhan. Dengan sedikit penjelasan dari guru siswa sudah mampu memahami materi tersebut, karena siswa merasa sudah sering menjumpai contoh nyata dari materi kebutuhan. Terkait banyaknya perbedaan pada tiap materi, dalam setiap pembelajaran guru harus mampu untuk terlebih dulu menarik siswa untuk mau belajar. Guru harus selalu berinovasi dalam model pembelajaran yang diterapkan pada masing-masing materi, hal ini bertujuan agar siswa selalu termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Menurut Damsar (2012:156) fungsi dari guru memiliki dua dimensi, yaitu laten dan manifest. Salah satu fungsi manifest seorang guru adalah sebagai motivator, guru diharapkan mampu memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energy yang besar kepada semua peserta didiknya agar mereka mampu meraih cita-cita yang digantung setinggi langit. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru untuk meningkatkan motivasi siswa adalah model pembelajaran inkuiri, merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar siswa. Memang kebanyakan guru menganggap model pembelajaran inkuiri sebagai model yang sulit untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan budaya pengajaran yang dilakukan di sekolah. Untuk mengubah suatu kebiasaan memang tidak mudah, namun perubahan tersebut perlu dilakukan demi tercapainya tujuan dari penyelenggaraan suatu pendidikan. Perubahan model ini merupakan sebuah inovasi yang dapat dilakukan guru. Model pembelajaran Inkuiri dapat dijadikan alternatif inovasi model pembelajaran, karena inkuiri adalah suatu model yang mengajak siswa untuk menemukan. Menurut Trianto (2007), Inquiry adalah sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Ketika siswa melakukan pembelajaran melalui proses menemukan, daya ingat siswa akan lebih melekat jika dibandingkan dengan belajar yang hanya sekedar mendengarkan informasi dari orang lain yang lebih tau atau hanya sekedar menghafal dari buku saja. Dalam pembelajaran inkuiri siswa bertindak kreatif untuk melakukan pengamatan berbagai fakta atau fenomena, mengajukan pertanyaan tentang fenomena, mengajukan dugaan, mengumpulkan data dan siswa harus mampu menyimpulkan apa yang diperoleh berdasarkan dari data yang telah dianalisis. Dari serangkaian proses pembelajaran inkuiri yang dilakukan di dalam kelas, akhirnya siswa dapat mempresentasikan atau menyajikan hasil temuannya. P a g e [ 67 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Gulo (2002) dalam Trianto (2007: 137) menyatakan, bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari perumusan masalah, merumuskan hipotesis, pengumpulan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Dengan model pembelajaran inkuiri banyak kemampuan siswa yang dapat dikembangakan secara bersamaan, baik kemampuan secara akademik maupun kemampuan pribadi. Dengan model pembelajaran ini siswa akan merasa memiliki tantangan untuk melakukan pemahaman pada sebuah materi, dan adanya tantangan tersebut dapat merangsang minat siswa untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penerapan model pembelajaran inkuiri secara tidak langsung akan memacu siswa untuk siap belajar, setiap pertemuan siswa akan selalu mempersiapkan diri untuk materi yang akan dibahas pada hari itu. Pembelajaran tidak hanya berpusat pada teori atau penjelasan dari guru saja, melainkan siswa diminta untuk mempelajari berbagai fenomena dalam kehidupan di sekitarnya. Hosnan (2014) menjelaskan bahwa salah satu ciri-ciri pembelajaran inkuiri adalah seluruh aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menimbulkan sikap percaya diri. Dalam hal ini siswa akan selalu bertanya dalam diri, fenomena apa saja yang dapat mereka kumpulkan, dan siswa akan memiliki rasa ingin tahu dan berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki. Dengan kegiatan belajar mengajar yang seperti itu dan dilakukan secara terus menerus, maka motivasi belajar siswa akan semakin meningkat. Aqib (2002) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah dan penggerak tingkah laku. Dengan adanya motivasi siswa dapat memiliki dorongan dari dalam diri untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Dengan motivasi atas dasar ingin menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki, maka belajar akan menjadi sebuah kegiatan yang secara rutin dijalani oleh siswa. Model pembelajaran inkuiri sangat cocok diterapkan pada mata pelajaran ekonomi, dengan materi ekonomi yang sebenarnya ada di sekitar siswa maka siswa akan termotivasi untuk mengumpulkan informasi-informasi tersebut. Bahkan contoh nyata dari materi ekonomi bisa siswa temui baik melalui TV, radio, ataupun di sekitar rumah mereka. Meskipun tidak semua materi ekonomi cocok dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri, tapi model ini memiliki tahapan yang bagus dan sangat tepat untuk diterapkan. Keberhasilan dari penerapan model pembelajaran inkuiri selain dari peran aktif siswa, tentunya juga harus diimbangi dengan peran guru dalam pembelajaran, di mana dalam model pembelajaran inkuiri guru berfungsi sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator, pengarah, pengelola kelas dan rewarder. Afrischa dkk (2013) dalam [ 68 ] P a g e
Profesionalisme Guru dalam… (Ratna Fitri Astuti)
penelitiannya menyimpulkan hasil belajar siswa yang menggunakan pendekatan inkuiri sebesar 89,8 lebih tinggi dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional sebesar 80, 82. Dari hasil ini dapat kita lihat bahwa dengan penerapan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa, di mana hasil ini juga sangat ditentukan oleh adanya motivasi belajar yang dimiliki siswa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Haryati & Ahmad (2008) juga memiliki kesimpulan yang sama, bahwa peningkatan prestasi belajar siswa ini dapat dilihat perbandingan rata-rata prestasi belajar siswa sebelum dilaksanakannya metode pembelajaran inkuiri dengan peningkatan rata-rata prestasi belajar siswa setelah dilaksanakannya metode pembelajaran inkuiri. Dengan adanya beberapa penelitian yang menunjukkan hasil positif terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri, hal ini dapat menjadi dorongan bagi para guru agar tidak terlalu takut untuk melakukan perubahan dalam model pembelajaran. SIMPULAN Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan bahwa, seorang guru tidak hanya berperan untuk memberikan informasi berupa materi pelajaran saja, tetapi juga berperan untuk membimbing siswa untuk senantiasa belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar khususnya pada mata pelajaran ekonomi, guru harus selalu berinovasi dalam model pembelajaran yang digunakan, hal ini bertujuan agar siswa selalu termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri dapat dijadikan alternatif dari inovasi yang dilakukan guru, di mana inkuiri merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar siswa. Dengan penerapan model pembelajaran inkuiri siswa akan terpacu untuk belajar sendiri, setiap pertemuan siswa akan selalu mempersiapkan diri untuk materi yang akan dibahas pada hari itu. Dalam penerapan model inkuiri, pembelajaran tidak hanya berpusat pada teori atau penjelasan dari guru saja, melainkan siswa diminta untuk mempelajari berbagai fenomena dalam kehidupan di sekitarnya. Keberhasilan dari penerapan model pembelajaran inkuiri selain dari peran aktif siswa, tentunya juga harus diimbangi dengan peran guru dalam pembelajaran, di mana dalam model pembelajaran inkuiri guru berfungsi sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator, pengarah, pengelola kelas dan rewarder. DAFTAR PUSTAKA Afrischa, Wan Lady dkk. (2013). Perbedaan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Pendekatan Inkuiri Dengan Pembelajaran Konvensional Pada Mata Pelajaran Ekonomi Kelas Xi Ips Sma N 14 Padang. Jurnal Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Vol 2, No 2 (2013). (http://ejournal-s1.stkip-pgri-sumbar.ac.id/index.php/ Ekonomi/issue/view/18, diakses tanggal 8 April 2015). Aqib, Zaenal. (2002). Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan Cendekia. P a g e [ 69 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 B. Uno, Hamzah. (2008). Profesi Kependidikan problema, solusi, dan reformasi di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Damsar. (2012). Pengantar sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Gulo, W. (2002). Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Grasindo. Hamdani. (2011). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia Haryati, Titik dan Ahmad, Fandi K. (2008). Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Pokok Bahasan Pasar Dengan Menerapkan Metode Pembelajaran Inkuiri. (Online). Jurnal Pendidikan Ekonomi Vol 3 No.2 Juli, Tahun 2008. (http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/DP/article/view/390, diakses pada tanggal 8 April 2015). Latuconsina, Hudaya. 2014. Pendidikan Kreatif Menuju Generasi Kreatif dan Kemajuan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama. M. Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia. Pidarta, Made. (2007). Landasan Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suryadi, Ace. (1999). Pendidikan Investasi SDM dan Pembangunan isu Teori dan Aplikasi Jakarta: Balai Pustaka. Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
[ 70 ] P a g e
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SELF DIRECTED LEARNING MAHASISWA Sri Panca Setyawati
Universitas Nusantara PGRI Kediri
[email protected]
Abstrak Mandiri merupakan salah satu tujuan pendidikan di Indonesia, oleh karena itu kemandirian harus terus dikembangkan, khususnya dalam lembaga pendidikan formal tidak terkecuali di perguruan tinggi. Para pendidik belum dapat melaksanakan tugas pembelajarannya secara optimal dan profesional untuk memandirikan mahasiswa. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan masih digunakannya metode pembelajaran yang dicirikan dengan konsep one way information, sehingga mengakibatkan mahasiswa hanya pasif. Oleh karena itu perlu adanya pembelajaran yang bisa memandirikan mahasiswa, terutama dalam belajar, salah satunya adalah dengan menerapkan model Inquiry Based Learning (IBL). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran IBL untuk meningkatkan Self Directed Learning (SDL) mahasiswa. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan desain pretest-posttest. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran IBL efektif untuk meningkatkan SDL mahasiswa. Kata kunci: Model pembelajaran Inquiry Based Learning, Self-Directed Learning
PENDAHULUAN Untuk mewujudkan potensi maksimal peserta didik, penting bagi peserta didik untuk memiliki self directed learning skills yang baik (Williamson, 2007) sebagaimana dikemukakan oleh Galinsky (2010) bahwa salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh individu adalah keterampilan self directed learning, sehingga kata kunci dalam pendidikan adalah kemandirian. Meningkatnya tantangan kehidupan di era globalisasi (termasuk MEA) mengakibatkan pendidikan harus dapat memberi bekal hard skill dan soft skill yang memadai kepada peserta didik agar dapat mengaktualisasi diri secara positif di masyarakat, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Salah satu soft skill yang penting dilatihkan adalah self directed learning. Individu yang memiliki self directed learning yang tinggi, akan membuat mereka dapat secara mandiri menambah pengetahuan dan wawasannya, melengkapi pengetahuannya, memperbarui pengetahuannya, dan mengadaptasi pengetahuannya sesuai dengan tuntutan kehidupan. Dengan dimilikinya wawasan dan pengetahuan yang tinggi, individu akan memiliki kualitas yang lebih baik sehingga mampu bersaing dan bersanding sejajar dengan bangsa lain. Mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika sebuah perguruan tinggi yang sudah dikategorikan dewasa, idealnya sudah menjadi individu yang memiliki kemandirian dalam belajar. Namun faktanya mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar masih rendah, bahkan dikatakan oleh Wey (dalam Dettori & Persico, 2011) bahwa kebanyakan mahasiswa Asian masih dipersepsikan sebagai mahasiswa pasif dan terbiasa P a g e [ 71 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dengan lingkungan teacher-centered learning, sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Hampir semua komponen masukan dan komponen proses dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia kurang mendukung terciptanya pendidikan yang berkualitas, dan hal ini terjadi di sebagian besar sekolah di Indonesia (Astuti, 2007), termasuk di perguruan tinggi. Sekolah adalah lingkungan yang penting untuk mendidik individu menjadi pribadi yang berkarakter. Sekolah seharusnya menanamkan nilai-nilai karakter kepada warga sekolahnya, mengembangkan soft skill atau komponen non akademik/nonkognitif, karena pada kenyataannya sekolah masih memusatkan perhatian pada aspek kognitif dan akademik, baik secara nasional maupun secara lokal. Para pendidik (dosen) belum dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dan profesional. Dalam pembelajaran, mereka masih menggunakan metode pembelajaran yang bercirikan konsep one way information yang menjadikan dosen sebagai sumber utama pengetahuan (teacher centered learning). Pembelajaran yang dilakukan dosen hanya instruksi, bukan konstruksi atau rekonstruksi pengetahuan, bahkan tidak memberi kesempatan pada mahasiswa untuk menentukan arah mana mahasiswa ingin bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya (Purwanto, 2011). Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kemandirian belajar pada mahasiswa sebagaimana dikemukakan oleh Alsa (2005) bahwa kemandirian belajar pelajar Indonesia rendah, dan rendahnya ini disebabkan oleh lingkungan dan setting belajar yang tidak banyak memberikan tantangan kepada pelajar seperti: standar kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah sangat rendah, tidak menuntut pelajar untuk bekerja keras, pelajar yang tidak belajar dengan baik, asal memenuhi syarat partisipasi dan kehadiran di kelas, maka ia dapat naik kelas atau lulus ujian, tidak adanya tekanan agar pelajar belajar dengan tekun dan giat, karena sekolah lebih berorientasi pada kuantitas lulusan. Kemandirian belajar yang rendah juga tampak pada mahasiswa Universitas Nusantara PGRI Kediri yang ditunjukkan dengan gejala berikut: malas mengerjakan tugas, seringnya menunda-nunda dalam menyelesaikan tugas, kurangnya inisiatif dan tanggung jawab untuk belajar, kurangnya rasa keingintahuan mahasiswa terhadap materi ajar, rendahnya inisiatif mahasiswa untuk mempelajari materi perkuliahan terlebih dahulu sebelum dikaji di kelas, minat baca yang rendah, sangat tergantung pada dosen dalam pembelajaran, tidak memahami kebutuhan dan strategi belajarnya, dan jarang mengevaluasi hasil belajarnya sendiri. Dalam proses perkuliahan, jarang mahasiswa yang berinisiatif untuk bertanya atau pun memberikan tanggapan. Self directed learning merupakan faktor penting dalam pembelajaran (Reio, 2004) yang dapat dikembangkan melalui intervensi pendidikan yang terencana (Candy, dalam Williamson, 2007). Hubungan antara fasilitator dan peserta didik, pengaturan di mana pembelajaran terjadi, dan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan dipandang sebagai hal utama dalam proses belajar mandiri bagi peserta didik (Richard, 2007).
[ 72 ] P a g e
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
Pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam memfasilitasi berkembangnya self directed learning peserta didik. Dalam paradigma pembelajaran yang mendidik, pendidik sebagai fasilitator dan sumber belajar tidak hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi juga harus berusaha meningkatkan self directed learning peserta didik. Self directed learning akan membuat peserta didik bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri dan diharapkan untuk bekerja secara mandiri atau dengan orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan pembelajaran (Hiemstra & Brookfield, dalam Williamson, 2007). Upaya meningkatkan Self directed learning tersebut dapat dilakukan melalui penciptaan kondisi pembelajaran yang menyenangkan, yang memberi kebebasan pada peserta didik untuk bertanya, berpikir, dan berpendapat. Salah satu upaya menciptakan kondisi pembelajaran yang mendukung terwujudnya self directed learning adalah dengan menerapkan model Inquiry Based learning (IBL). Penerapan Inquiry Based Learning dalam pembelajaran diharapkan akan mampu meningkatkan self directed learning mahasiswa karena dampak pengiring dari pelaksanaan pembelajaran Inquiry Based Learning adalah terwujudnya kemandirian belajar peserta didik (Joyce & Weil, 1996). Model pembelajaran ini menawarkan pembelajaran yang aktif dan otonom, terutama pada saat peserta didik merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan menguji gagasan yang dihasilkan. Model ini juga bisa meningkatkan keberanian peserta didik untuk mengajukan pertanyaan. Peserta didik akan menjadi lebih terampil dalam ekspresi verbal seperti mendengarkan pendapat orang lain dan mengingat apa yang telah diungkapkan (Joyce & Weil, 1996). Berdasarkan pada latar belakang yang menggambarkan kondisi self directed learning mahasiswa yang rendah, sementara di sisi lain digambarkan tentang pentingnya self directed learning tersebut dikembangkan, maka diperlukan adanya upaya untuk meningkatkannya. Upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan model Inquiry Based learning dalam pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan model Inquiry Based Learning untuk meningkatkan Self Directed Learning mahasiswa. Self Directed Learning adalah sebuah proses mental yang ditujukan secara pribadi disertai dan didukung oleh kegiatan perilaku yang terlibat dalam mengidentifikasi dan mencari informasi (Long, dalam Hoban & Hoban, 2004). Peserta didik memutuskan bagaimana, di mana, dan kapan harus mempelajari konten yang mereka identifikasi penting (Hammonds & Collin, dalam Kennedy, dkk., 2000). Knowles (dalam Hoban & Hoban, 2004) mendefinisikan bahwa self directed learning adalah sebuah proses individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber daya manusia dan material untuk belajar, memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, dan mengevaluasi hasil belajar. Oleh karena itu peserta didik bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajar mereka sendiri dan diharapkan P a g e [ 73 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 untuk bekerja secara mandiri atau dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan belajar (Hiemstra & Brookfield, dalam Williamson, 2007). Kunci dari belajar mandiri adalah inisiatif atau proaktif seseorang untuk mengelola belajarnya (Hiemstra, 1988; Knowles, 1975). Jadi self directed learning adalah kemampuan mahasiswa mengambil inisiatif untuk bertanggung jawab terhadap pelajarannya dengan atau tanpa orang lain yang meliputi aspek: kesadaran, strategi belajar, kegiatan belajar, evaluasi, dan keterampilan interpersonal. Inquiry Based Learning adalah pembelajaran yang mendorong peserta didik belajar melalui investigasi dan dipandu pertanyaan berpusat pada peserta didik (Lee, dkk., dalam Justice, dkk., 2007). Inquiry adalah suatu strategi untuk membuat peserta didik mengeksplorasi pengetahuan. Sebuah model untuk menemukan informasi yang berhubungan dengan suatu topik, lebih khusus inquiry digunakan untuk pengembangan pengetahuan bagi peserta didik (Joseph Schwab, dalam Johnson, 2005). Sebuah metode pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mengenal dan menyatakan permasalahan, untuk mengajukan pertanyaan tentang masalah tersebut dengan cara memberikan mereka kesempatan menjawab dan memberi penghargaan bahwa jawaban tersebut adalah hasil akhir dan awal untuk studi selanjutnya (Herron, dalam Johnson, 2005). Ash & Klein (dalam Johnson, 2005) menggambarkan inquiry learning sebagai proses mempelajari ilmu pengetahuan yang sangat mirip dengan metode dan prosedur pengetahuan yang benar. Metode ini akan membuat peserta didik secara aktif mempelajari materi dan isi pelajaran, melaksanakan gagasan dan meminta pertanyaan lebih lanjut ke dalam area pelajaran. Pendidik menjadi fasilitator, bukan expert (ahli) dari semua materi, sehingga harus aktif dalam proses belajar yang melibatkan peserta didik dalam merencanakan, mengorganisasikan materi, dan menanyakan berbagai pertanyaan untuk mengarahkan. Peran pendidik adalah menyediakan keterbukaan dialog dalam kelas antar peserta didik dan peserta didik diberi kesempatan untuk meneliti pertanyaannya. Richard Suchman (dalam Joyce & Weil, 1996) menjelaskan bahwa model pembelajaran inquiry sangat penting untuk mengembangkan nilai, sikap, dan cara berpikir ilmiah, seperti: (1) keterampilan melakukan pengamatan, pengumpulan dan pengorganisasian data, termasuk merumuskan dan menguji hipotesis serta menjelaskan fenomena, (2) kemandirian belajar, (3) keterampilan mengekspresikan secara verbal, (4) kemampuan berpikir logis, dan (5) kesadaran bahwa ilmu bersifat dinamis dan tentatif. Penerapan model Inquiry based Learning mempunyai dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect). Dampak instruksional yang dihasilkan adalah diperolehnya proses-proses ilmiah dan strategi penyelidikan kreatif, dan dampak pengiringnya adalah: semangat kreativitas, kemandirian dan otonomi dalam pembelajaran, toleran terhadap ambiguitas, dan sifat pengetahuan yang tentatif. Lim (2004) menegaskan bahwa proses penyelidikan adalah faktor yang paling penting yang [ 74 ] P a g e
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
mencirikan inquiry based learning dan telah dianggap bermanfaat dalam menambah pembelajaran bermakna. Dalam pembelajaran inquiry peserta didik lebih banyak terlibat dan mendapat kesempatan untuk berpikir, tidak hanya mendengarkan ceramah dari pendidik. Peserta didik dapat merumuskan jawaban dari masalah yang disajikan dalam diskusi. Self Directed Learning dapat terbentuk melalui empat tahap (Gibbons, 2002). Pertama, siswa berpikir secara mandiri, artinya siswa tidak menggantungkan pemikirannya pada guru, tetapi pada pemikirannya sendiri. Kedua, siswa belajar memanaj diri sendiri. Ketiga, siswa belajar perencanaan diri, bagaimana siswa akan belajar mencapai program dan tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Keempat, terbentuknya self directed learning siswa memutuskan sendiri apa yang akan dipelajari dan bagaimana akan mempelajari. METODE Untuk melihat pengaruh treatment (independent variable) atau perlakuan terhadap perubahan variable lain (dependent variable), metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan rancangan pretest-posttest. Perlakuan yang diterapkan adalah model pembelajaran inquiry based learning dan yang akan terpengaruh adalah self directed learning. Subjek penelitiannya adalah mahasiswa prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri yang sedang menempuh mata kuliah Pengantar Konseling. Subjek dipilih secara purposif yakni mahasiswa yang memiliki skor rendah pada skala Self Directed Learning. Instrumen pengumpul data yang digunakan adaptasi dari SRSSDL (Self Rating Scale of Self Directed Learning) yang memiliki komponen awareness (kesadaran), learning strategies (strategi belajar), learning activities (aktivitas belajar), evaluation (evaluasi), dan Interpersonal skill (keterampilan interpersonal). SRSSDL ini dikembangkan oleh Williamson (2007). Sebelum digunakan, alat ukur ini diujicobakan terlebih dahulu untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitasnya. Untuk menentukan tingkat self directed learning, dilihat dari jumlah skor yang diperoleh subjek. Semakin rendah skor yang diperoleh, semakin rendah tingkat self directed learning yang dimiliki. Kategori skor skalanya dibagi atas tiga tingkatan: rendah (60-140), sedang (141-220), dan tinggi (221300). Perlakuan dengan menerapkan model Inquiry Based Learning dilaksanakan selama satu semester. Proses pemberian perlakuan sebagai berikut: (1) mahasiswa diberi topik perkuliahan yang perlu dikaji, (2) mahasiswa mengembangkan topik tersebut dalam bentuk makalah, (3) mahasiswa menyajikan topik tersebut di kelas, (4) mahasiswa diberi kesempatan untuk bertanya, berdialog, berbagi pengetahuan terkait topik yang sedang dikaji, (5) mahasiswa menyimpulkan hasil diskusinya sehingga terdapat persamaan persepsi tentang topik yang dikaji. Dalam proses pembelajaran ini, dosen berperan sebagai fasilitator. P a g e [ 75 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik nonparametrik. Untuk mengukur perbedaan antara pretest dan posttest dengan teknik analisis Wilcoxon dengan menggunakan bantuan program computer SPSS versi 17.0. Hasil analisis selanjutnya dikonsultasikan dengan indeks table Wilcoxon. Jika statistic hitung (angka z output) > statistic table (table z) atau nilai Sig. < α (0.05), maka H0 ditolak, berarti Inquiry Based Learning dianggap efektif untuk meningkatkan self directed learning mahasiswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasar hasil pengumpulan data pretest tentang self directed learning menunjukkan bahwa skor yang diperoleh mahasiswa termasuk kategori sedang dengan skor terendah 167 dan skor tertinggi 208. Setelah diberi perlakuan dengan inquiry based learning, perolehan skor self directed learning menunjukkan peningkatan. Skor yang dihasilkan tiap mahasiswa bervariasi dalam kisaran skor terendah 232 dan skor tertinggi 267. Semua mahasiswa yang semula memiliki self directed learning sedang, berubah memiliki self directed learning pada kategori tinggi. Untuk mengetahui keefektifan inquiry based learning dalam meningkatkan self directed learning, dilakukan analisis terhadap data yang sudah terkumpul dengan menggunakan uji Wilcoxon. Uji ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat self directed learning mahasiswa sebelum dan sesudah diberi pembelajaran dengan model inquiry based learning. Tabel 1 Uji Wilcoxon terhadap tingkat Self Directed Learning Mahasiswa Posttest-Pretest Ranks
Negative Positive Ranks Ties
N
Mean Rank
Sum of Ranks
0a
.00
.00
20b
6.50
87.00
0c 20
Total a. Posttest < Pretest b. Posttest > Pretest c. Posttest = Pretest Test Statisticsb
Postest-Pretest Z
-3.064a
Asymp. Sig. (2-tailed)
.002
a. Based on negative ranks b. Wilcoxon Signed Ranks Test [ 76 ] P a g e
Keefektifan Model Pembelajaran… (Sri Panca Setyawati)
Berdasar Tabel 1, dapat dilihat output untuk membandingkan dengan nilai tabel. Dalam analisis ini, statistic hitung (angka z output) > statistic table (table z), maka H0 ditolak. Nilai Z table adalah ±1.96 dengan α = 0.05 (2 sisi), jadi 0.05/2. Karena nilai Z hitung bernilai negative maka sebagai pembanding digunakan nilai Z table yang bernilai negative, yaitu –Z hitung < -Z table = -3.064 < -1.96, maka H0 ditolak. Cara lain adalah dengan melihat pada kolom asymp. Sig. (2-tailed)/asymptotic significance atau p-value atau nilai peluang adalah 0.002. Jika nilai Sig. < α, nilai Sig. adalah 0.002 < α 0.05, maka H0 ditolak, artinya Inquiry Based Learning efektif untuk meningkatkan Self Directed Learning mahasiswa. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan konsep yang dikemukakan oleh Joyce & Weil (1996) bahwa penerapan model Inquiry Based Learning dalam pembelajaran mempunyai dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect). Dampak instruksional yang dihasilkan adalah diperolehnya proses-proses ilmiah dan strategi penyelidikan kreatif, dan dampak pengiringnya adalah: semangat kreativitas, kemandirian dan otonomi dalam pembelajaran, toleran terhadap ambiguitas, dan sifat pengetahuan yang tentatif. Hasil penelitian ini juga bersesuaian dengan penelitian Kim (2006) yang menyimpulkan bahwa mengajar berbasis inquiry meningkatkan prestasi matematika dan berpengaruh pada sikap siswa terhadap matematika. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pembelajaran dengan model inquiry based learning dapat meningkatkan self directed learning mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji statistik Wilcoxon yang menunjukkan adanya perbedaan self directed learning sebelum dan sesudah dilakukan pembelajaran dengan model inquiry based learning. Uji hipotesis juga menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model inquiry based learning memberikan efek dalam meningkatkan self directed learning mahasiswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inquiry based learning efektif untuk meningkatkan self directed learning mahasiswa. Mengingat pentingnya peran soft skill dalam menghadapi tantangan kehidupan termasuk dalam menghadapi MEA, maka sudah saatnya lembaga pendidikan formal, khususnya perguruan tinggi lebih meningkatkan pengembangan soft skill tersebut melalui tindak pembelajaran. Salah satu yang harus dikembangkan adalah self directed learning. Berdasar pada hasil penelitian ini, direkomendasikan agar (1) para dosen menggunakan pembelajaran inquiry based learning untuk meningkat self directed learning mahasiswa, (2) para dosen perlu mencoba menerapkan berbagai alternatif model pembelajaran yang memungkinkan berkembangnya self regulated learning mahasiswa, (3) para peneliti untuk mengembangkan penelitian sejenis lebih lanjut.
P a g e [ 77 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 DAFTAR PUSTAKA Alsa, A. (2005). Program Belajar, Jenis Kelamin, Belajar Regulasi Diri, dan Prestasi Belajar Pada Pelajar SMA Negeri di Yogyakarta. Disertasi. Psikologi UGM. Dettori, G., & Persico, D., (201). Fostering Self Regulated Learning through ICT, USA, IGI Global Galinsky, Ellen. (2010). Mind in the Making: The Seven Essential Life Skills Every Child Needs, USA., Harper Collins Publisher Hiemstra, R., (2004). Is the Internet Changing Self Directed Learning Lexicon, International Journal Self Directed Learning, 1 (2), Fall, 1-16. Hoban, J., dkk. (2004).The Self Directed Learning Readiness Scale: A Factor Analysis Study. Blackwell Publishing Ltd Medical Education, 39, 370-379. Johnson, Duanne. (2005). Teaching and Learning Research Exchange: Challenges to Implementing Inquiry: In The Senior Science Classroom, Stirlling Mcdowell. Joyce, Bruce & Weil, Marsha. (1996). Model of Teaching, Boston: Allyn and Bacon. Williamson, S.N. (2007). Development of A Self-Rating Scale of Self Directed Learning. Nurse Researcher, 14 (2), 66-83 Justice, C.dkk., (2007). Inquiry in Higher Education: Reflections and Direction on Course Design an Teaching Methods. Journal Innov High Educ: , 31, 201-21. Kennedy, Gregor, dkk., (2000). The Personal Learning Planner: A Software Support Tool for Self Directed Learning, Australia: The University of Melbourne. Kim, Taik Hee. (2006). Impact of Inquiry Based Teaching on Student Mathematic Achievement and Attitude. Disertasi. The University of Cincinnati. Knowles, M.S. (1975). Self Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers, Engleewood Cliffs: Prentice Hall Regents. Lim, Byung-RO. (2004). Challenges and Issue in Designing Inquiry on The Web, British Journal of Educational Technology, 35 (5), 627-643. Reio, Thomas G., Jr. (2004). Prior Knowledge, Self Directed Learning Readiness, and Curiosity: Antecedent to Classroom Learning Performance, International Journal of Self Directed Learning, 1 (1), Spring, 18-25. Richard, Virginia, B. (2007). Self Directed Learning Revisited: A Process Perspective, International Journal of Self Directed Learning, 4 (1), Spring, 40-49.
[ 78 ] P a g e
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
PENDEKATAN QUANTUM LEARNING PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN JIWA ENTREPRENEUR Dian Anugrah Sanusi
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Perkembangan kurikulum ini difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa panduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajari secara kontekstual di mana proses pembelajarannya menggunakan Pendekatan Quantum Learning. Tugas seorang pendidik dalam pendekatan Quantum Learning adalah menciptakan proses pembelajaran yang nyaman dan mengarahkan. Sehingga dapat mendorong siswa lebih kreatif, inovatif dan menumbuhkan jiwa entrepreneur guna menghadapi masyarakat ekonomi Asia 2015. Kata Kunci: Pendekatan Quantum Learning, entrepreneur.
PENDAHULUAN Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk membantu mengarahkan yang dicapainya sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Interaksi dalam proses pembelajaran dalam diperoleh dari dalam maupun luar individu. Kenyataan yang sering kita hadapi ada sejumlah siswa yang memperoleh hasil belajar di bawah rata-rata, atau dibandingkan dengan nilai rata-rata antara siswa yang satu dengan yang lain di dalam kelas itu secara potensial diharapkan memperoleh hasil yang baik akan tetapi memiliki prestasi dalam diri itu kurang. Sehingga salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan yaitu Quantum Learning, di mana Quantum learning ini merupakan metode yang mengedepankan unsur-unsur kebebasan, santai menyenangkan dan menggairahkan, sedangkan peranan guru adalah bertindak sebagai fasilitator dan moderator yang mengarahkan apa yang menjadi keinginan siswa dalam proses pembelajaran. Selain itu dalam pembelajaran quantum bisa menggunakan media yang lembut supaya mengurangi sedikit beban yang akan siswa hadapi saat belajar. Bobby De Porter dan Mike Hernacki (1999: 16) menjelaskan bahwa: Quantum learning merupakan gabungan dari sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP (Neurolinguistik merupakan suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi) yang disesuaikan dengan teori, keyakinan dan metode tersendiri yang telah disesuaikan. Berdasarkan pendapat tersebut, metode pembelajaran Quantum Learning merupakan metode pembelajaran yang mencakup aspek global atau menyeluruh. Dalam hal ini disebut juga sebagai global learning. Sehingga dalam kurikulum 2013 pendekatan tersebut dapat membantu peserta didik bisa lebih memiliki inisiatif dalam proses pembelajaran yang berlangsung dan mendorong peserta didik untuk lebih kreatif dan memiliki jiwa entrepreneur. P a g e [ 79 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha itu sendiri. Sekarang kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausahawan Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat, sehingga persoalan pembangunan wirausaha Indonesia merupakan persoalan mendesak bagi suksesnya pembangunan. Wirausaha adalah seseorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya system ekonomi perusahaan yang bebas. Karir kewirausahaan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat, menghasilkan imbalan financial yang nyata. Wirausaha di berbagai industry membantu perekonomian dengan menyediakan pekerjaan dan memproduksi barang dan jasa bagi konsumen dalam negeri maupun di luar negeri. Meskipun perusahaan raksasa menarik perhatian banyak publik akan tetapi bisnis kecil dan kegiatan kewirauasahaannya setidaknya memberikan andil nyata bagi kehidupan sosial dan perekonomian dunia, sehingga untuk membangun suasana intrapreneurship, maka sebuah organisasi harus menerapkan procedure yang menunjang. Kadangkala perlu minta bantuan konsultasi untuk menciptakan suasana tersebut. Namun yang penting adalah komitmen dari seluruh jajaran manajemen, dari top, upper dan middle management. Penerapan Quantum learning dalam pembelajaran kewirausahaan itu memiliki hubungan yang saling terkait karena penerapan Quantum learning membantu siswa untuk bisa lebih memiliki motivasi dan minat dalam berwirausaha. Sehingga penulis tertarik untuk mengkaji tentang “Pendekatan Pembelajaran Quantum Learning Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Sebagai Upaya Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur”. Dengan tujuan menumbuhkan jiwa entrepreneur siswa dan menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Quantum learning ini berakar dari upaya Georgi Lozanov (2014; 32), pendidik berkebangsaan Bulgaria, di mana Quantum Learning adalah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Quantum Learning juga suatu hal tentang bagaimana otak mengatur informasi. PENERAPAN QUANTUM LEARNING DALAM PEMBELAJARAN Langkah-langkah yang dapat diterapkan dalam pembelajaran melalui konsep Quantum Learning dengan cara: a) Kekuatan Ambak. b) Ambak adalah motivasi yang didapat dari pemilihan secara mental antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan. Motivasi sangat diperlukan dalam belajar karena dengan adanya motivasi maka keinginan untuk belajar akan selalu ada. Pada langkah ini siswa akan diberi motivasi oleh guru agar siswa dapat mengidentifikasi dan mengetahui manfaat atau makna dari setiap pengalaman atau peristiwa yang dilaluinya dalam hal ini adalah proses belajar. c) Penataan lingkungan belajar.
[ 80 ] P a g e
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
d) Dalam proses belajar dan mengajar diperlukan penataan lingkungan yang dapat membuat siswa merasa aman dan nyaman, dengan perasaan aman dan nyaman ini akan menumbuhkan konsentrasi belajar siswa yang baik. Dengan penataan lingkungan belajar yang tepat juga dapat mencegah kebosanan dalam diri siswa. e) Memupuk sikap juara. f) Memupuk sikap juara perlu dilakukan untuk lebih memacu dalam belajar siswa, seorang guru hendaknya jangan segan-segan untuk memberikan pujian atau hadiah pada siswa yang telah berhasil dalam belajarnya, tetapi jangan pula mencemoh siswa yang belum mampu menguasai materi. Dengan memupuk sikap juara ini siswa akan merasa lebih dihargai. g) Bebaskan gaya belajarnya. h) Ada berbagai macam gaya belajar yang dipunyai oleh siswa, gaya belajar tersebut yaitu: visual, auditorial dan kinestetik. Dalam quantum learning guru hendaknya memberikan kebebasan dalam belajar pada siswanya dan janganlah terpaku pada satu gaya belajar saja. i) Membiasakan mencatat. j) Belajar akan benar-benar dipahami sebagai aktivitas kreasi ketika siswa tidak hanya bisa menerima, melainkan bisa mengungkapkan kembali apa yang didapatkan menggunakan bahasa hidup dengan cara dan ungkapan sesuai gaya belajar siswa itu sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan simbol-simbol atau gambar yang mudah dimengerti oleh siswa itu sendiri, simbol-simbol tersebut dapat berupa tulisan. k) Membiasakan membaca. l) Salah satu aktivitas yang cukup penting adalah membaca. Karena dengan membaca akan menambah perbendaharaan kata, pemahaman, menambah wawasan dan daya ingat akan bertambah. Seorang guru hendaknya membiasakan siswa untuk membaca, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang lain. m) Jadikan anak lebih kreatif. n) Siswa yang kreatif adalah siswa yang ingin tahu, suka mencoba dan senang bermain. Dengan adanya sikap kreatif yang baik siswa akan mampu menghasilkan ide-ide yang segar dalam belajarnya. o) Melatih kekuatan memori. p) Kekuatan memori sangat diperlukan dalam belajar anak, sehingga siswa perlu dilatih untuk mendapatkan kekuatan memori yang baik. Konsep Dasar Kewirausahaan Kewirausahaan adalah nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil (Ahmad Sanusi, 1994).
P a g e [ 81 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Motivasi Berwirausaha Salah satu kunci sukses untuk berhasil menjadi wirausahawan adalah motivasi yang kuat untuk berwirausaha. Motivasi untuk menjadi seseorang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakatnya melalui pencapaian prestasi kerja sebagai seorang wirausahawan. Apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa bisnis yang (akan) digelutinya itu sangat bermakna bagi hidupnya, ia akan berjuang lebih keras untuk sukses. Berkaitan dengan motivasi untuk berwirausaha, setidaknya terdapat enam “tingkat” motivasi berwirausaha yang masing-masing memiliki indikator kesuksesan yang berbeda-beda, yaitu: a) Motivasi material, mencari nafkah untuk memperoleh pendapatan atau kekayaan. b) Motivasi rasional-intelektual, mengenali peluang dan potensialitas pasar, menggagas produk atau jasa untuk meresponnya. c) Motivasi emosional-ekosistemis, menciptakan nilai tambah serta kelestarian sumber daya lingkungan. d) Motivasi emosional-sosial, menjalin hubungan dengan atau melayani kebutuhan sesama manusia. e) Motivasi emosional-intrapersonal (psiko-personal), aktualisasi jati diri dan/atau potensi-potensi diri dalam wujud suatu produk atau jasa yang layak pasar. f) Motivasi spiritual, mewujudkan dan menyebarkan nilai-nilai transcendental, memaknainya sebagai modus beribadah kepada tuhan. Membangun Jiwa Kewirausahaan Menurut Hisrich dan Peters (1992) adalah berbicara mengenai perilaku, yang mencakup pengambilan inisiatif, mengorganisasi dan mereorganisasi mekanisme social dan ekonomi terhadap sumber dan situasi ke dalam praktek, dan penerimaan risiko atau kegagalan. Para ahli ekonomi mengemukakan bahwa wirausaha adalah orang yang dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumber, tenaga kerja, alat, bahan dan asset lain, serta orng yang memperkenalkan perubahan, inovasi dan cara-cara baru. Membangun jiwa kewirausahaan berarti memadukan kepribadian, peluang, keuangan, dan sumber daya yang ada di lingkungan sekolah guna mengambil keuntungan. Kepribadian ini mencakup pengetahuan, keterampilan sikap, dan perilaku. Dari Steinhoff (1993) dapat diidentifikasi karakteristik kepribadian wirausaha sebagai berikut: a) Memiliki kepercayaan diri (self confidence) yang tinggi, terhadap kerja keras, mandiri, dan memahami bahwa risiko yang diambil adalah bagian dari keberhasilan. Dengan modal tersebut mereka bekerja dengan tenang, optimis, dan tidak dihantui oleh rasa takut gagal. b) Memiliki kreativitas diri (self creativity) yang tinggi dan kemampuan mencari jalan untuk merealisasikan berbagai kegiatan melalui kewirausahaan.
[ 82 ] P a g e
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
c) Memiliki pikiran positif (positif thinking), dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian, dan melihat aspek positifnya. Dengan demikian, mereka selalu melihat peluang dan memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan yang dilakukan. d) Memiliki orientasi pada hasil (output oriented), sehingga hambatan tidak membuat mereka menyerah, tetapi justru tertantang untuk mengatasi, sehingga mencapai hasil yang diharapkan. e) Memiliki keberanian untuk mengambil risiko, baik risiko terhadap kecelakaan, kegagalan, maupun kerugian. Dalam melaksanakan tugas, pribadi wirausaha tidak takut gagal atau rugi, sehingga tidak takut melakukan pekerjaan meskipun dalam hal baru. f) Memiliki jiwa pemimpin, yang selalu ingin mendayagunakan orang dan membimbingnya, serta selalu terampil ke depan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan, dan tidak membebankan atau menyalahkan orang lain. g) Memiliki jiwa orisinil, yang selalu punya gagasan baru, baik untuk mendapatkan peluang maupun mengatasi masalah secara kreatif dan inovatif. h) Memiliki orientasi ke depan, dengan tetap menggunakan pengalaman masa lalu sebagai referensi, untuk mencari peluang dalam memajukan pekerjaannya. i) Suka pada tantangan dan menemukan diri dengan merealisasikan ide-idenya. HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pembelajaran merupakan proses belajar mengajar berlangsung antara peserta didik dan pendidik. Sehingga setelah berlangsungnya proses belajar mengajar ini diharapkan tujuan dapat dicapai sesuai dengan harapan yang telah ditentukan, akan tetapi tujuan tersebut dapat dicapai dengan baik jika telah dilaksanakan dengan baik pula. Dalam proses belajar mengajar bukan hanya sekedar pemberian materi untuk peserta didik akan tetapi juga memberikan sesuatu yang lebih meluas baik secara pembentukan karakter maupun hal-hal lain yang dapat mendidik, selain itu juga seorang pendidik harus memiliki strategi dan metode-metode yang pantas digunakan di dalam kelas agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efisien. Metode pembelajaran yang dibahas dalam makalah tersebut yaitu metode pendekatan pembelajaran Quantum Learning. Metode pembelajaran tersebut memiliki tujuan yang sama dengan metode yang lain yaitu pencapaian tujuan belajar yang ingin dicapai. Akan tetapi, sebelum menggunakan metode yang ingin digunakan terlebih dulu seorang peserta didik harus memahami dan mengerti metode tersebut baik secara strategi, prinsip dan juga pelaksanaanya. Dalam suatu pendidikan tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat masalah-masalah yang dihadapi baik pada peserta didik, pendidik, system maupun lembaga pendidikan itu sendiri. Satu masalah yang terjadi pada pendidikan memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan yang ada di Indonesia. Sehingga dalam memecahkan suatu masalah tersebut harus memiliki suatu pengambilan keputusan dalam menanggulangi masalah ini agar tidak dapat terulang lagi. P a g e [ 83 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sebagai seorang pendidik tidak hanya bertugas atau bertanggung jawab atas pemberian materi di dalam kelas akan tetapi juga bertanggung Jawa atas memberikan contoh karakter yang baik, memiliki moral dan akhlak yang baik. Akan tetapi terkadang seorang pendidik lupa akan tanggung jawab itu karena sifat yang egois dan mementingkan diri sendiri (hal pribadinya). Pendidik adalah salah satu fasilitator untuk membantu peserta didik mencapai apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Lanjut bahwa seorang pendidik itu dituntut untuk bisa lebih berkembang dalam proses pembelajaran. Namun masih banyak masalah-masalah yang belum teratasi, di mana metode-metode pembelajaran pada pendidik sekarang ini belum berkembang masih menggunakan metode-metode yang lama atau masih jalan di tempat sehingga peserta didik tidak terbiasa untuk bisa lebih creative dalam mengambil sebuah keputusan atau pemikiran yang kritis. Jadi, seorang pendidik harus bisa lebih berkembang agar memiliki strategi yang baik dalam pembelajaran dan dapat membuat peserta didik terlatih untuk bisa creative dan inovatif. Tindakan-tindakan di atas merupakan sesuatu yang mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pendidik yang tidak sesuai fungsinya yaitu mendidik, memimpin, membaur, dan juga mengawasi. Hal-hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor-faktor yang membuat seorang mendidik kaku dalam melangkah, bertindak dan menggunakan ide-ide yang lebih menunjang dalam mencapai tujuan pembelajaran. Faktor-faktor tersebut karena tuntutan yang siswa harus mencapai nilai standar yang telah ditentukan oleh pemerintah, seseorang pemimpin atau kepala sekolah yang kurang bijak dalam pengolahan lembaga pendidikan itu sendiri dan banyak faktor lainnya yang dapat mempengaruhi hal itu terjadi. Semua hal-hal di atas dapat menyebabkan rendahnya kinerja seorang pendidik dan juga dapat memperburuk citra seorang pendidik. Sehingga mempengaruhi kualitas pendidikan yang ada di suatu Negara, semakin tinggi keberhasilan pendidikan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan suatu Negara. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran tidak efektif dan efesien. Dapat dilihat dari beberapa segi salah satunya yaitu pada sifat moral seorang pendidik, di mana dapat memperburuk citra pendidikan walaupun masih ada pendidik yang menjalankan tanggung jawabnya akan tetapi terkadang orang-orang yang menjadi seorang pendidik hanya memiliki tujuan financial padahal seorang pendidik merupakan profesi yang sangat special dipandangan masyarakat. Mengapa hal tersebut dikatakan special? karena seorang pendidikan merupakan pekerjaan yang sangat mulia, di mana seorang pendidik merupakan orang tua kedua yang dapat membimbing peserta didik untuk lebih baik dalam segi moral maupun akademik nantinya bekal untuk peserta didik ketika menginjak dewasa. Sebagai seorang pendidik tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan untuk memiliki jiwa yang kreatif dan inovatif itu diharuskan, hal ini disebabkan karena zaman semakin berkembang sehingga khususnya pendidikan dituntut untuk bisa lebih maju dan [ 84 ] P a g e
Pendekatan Quantum Learning… (Dian Anugrah Sanusi)
berkembang. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama sekarang bahwa pembelajaran di SD itu pelajaran bahasa Inggris dihapuskan padalah semestinya bahasa Inggris itu dipelajari sejak dini karena memiliki banyak teknik seperti pronunciation jadi pembentukan dan perkenalan pelajaran itu harus dimulai sejak dini bukan pada saat menginjak remaja agar dari menginjak anak-anak sudah memiliki dasar dalam berbahasa Inggris, seperti halnya dengan mata pelajaran kewirausahaan. Mata pelajaran kewirausahaan harus dibentuk sejak dini kenapa demikian agar peserta didik bisa memiliki dasar jiwa entrepreneur. Nah, di sinilah letak dan fungsi seorang pendidik untuk bisa lebih kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran khususnya kewirausahaan, di mana agar peserta didik sekarang ini memiliki peluang, semangat, minat, motivasi untuk dapat lebih bisa dan tahu strategi dalam kewirausahaan upaya untuk menumbuhkan jiwa entrepreneur mereka. Sehingga penulis tertarik menggunakan metode pembelajaran Quantum Learning pada mata pelajaran kewirausahaan upaya menumbuhkan jiwa entrepreneur pada peserta didik sekarang ini. SIMPULAN Quantum Learning merupakan metode pembelajaran yang berbeda pada umumnya, di mana pada metode pembelajaran berfokus pada proses belajar mengajar menyenangkan dan berhasil. Quantum Learning juga memiliki karakter, prinsip-prinsip, konsep, dan pandangan-pandangan yang jauh lebih menyegarkan dibandingkan dengan metodologi pembelajaran yang sudah ada. Pembelajaran manajemen pada mata pelajaran kewirausahaan pada pendekatan Quantum Learning membangkitkan semangat, motivasi, minat, kreativitas dan inovasi terhadap peserta didik. Lanjut bahwa peserta didik lebih nyaman dan menyenangkan dalam proses pembelajaran. Di zaman sekarang semakin meningkat dan berkembang sehingga sebagai seorang pendidik harus bisa lebih creative agar menghasilkan siswa yang creative dan kritis untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asia. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchary. (2011). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Penerbit CV Alfabeta, Bandung. DePorter, B. dan Mike Hernachi. 2009. Quantum Learning: membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. (Terjemahan Alwiyah Abdurrahman). Bandung: Kaifa. DePorter, B.. Reardon, Mark dan Sarah. 2014. Quantum teaching. Bandung: Kaifa. Munir, MIT dan Drs,Enjang Ali Nurdin. Penerapan Model Pembelajaran Quantum Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Dikdik. Jurnal Nasional (Study Quasi Experimental terhadap siswa kelas VII SMP Negeri 4 Cimahi tahun ajaran 2010/2011). Jurnal Nasional. 2014.
P a g e [ 85 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Hisrich, Robert D & Petter, Michael P, (1992), Enterpreneurship, Starting, Developing and Managing A New Entreprise. New York. Richcard D. Irwin, Inc. Muhclisin, Fuat. 2014. Pengaruh metode pembelajaran quantum learning dengan mendekatan peta pikiran (mind mapping) terhadap prestasi siswa pada mata pelajaran teknologi motor diesel di SMK Muhammadiyah 3 Jogya. Jurnal Nasional Mulyasa. 2014. Pengembangan dan implementasi kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Rusdiana. (2014). Kewirausahaan teori dan praktik.Penerbit CV pustaka setia. Bandung. Steinhoff, Dan & John F. Burgess. 1993. Small business management fundamentals. New York : Mcgraw-Hill Susanto, Agung. 2011. Penggunaan metode Quantum Learning untuk meningkatkan pemahaman materi perjuangan kemerdekaan Indonesia pada mata pelajaran IPS siswa kelas V SDN Ngoresan Surakarta tahun 2010/2011. Skripsi: Universitas Sebelah Maret Surakarta. Uman, Cholil. Dan Afkar, Taulikhul. 2011. Modul kewirausahaan. Terbitan perpustakaan nasional.
[ 86 ] P a g e
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING DALAM PERKULIAHAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI UNTUK MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (SUATU KAJIAN TEORETIS) Dumiyati
FKIP Unirow Tuban
[email protected]
Abstrak Dalam upaya memasuki pasar global ASEAN 2015, kebutuhan akan kemampuan SDM yang kompetitif dan daya saing produk (barang dan jasa) tak bisa ditunda lagi. Peran lembaga pendidikan tinggi menjadi sangat penting dalam mencetak SDM yang memiliki kemampuan adaptif, kreatif, inovatif, kritis dan memiliki kemampuan memecahkan masalah melalui Pendidikan kewirausahaan. Kritikan yang sering muncul bahwa kuliah kewirausahaan di Perguruan tinggi cenderung teoretis, belum kontekstual dan kurang memberikan pengalaman nyata berwirausaha. Untuk itu perlu menerapkan pola pembelajaran kewirausahaan yang konkret berdasarkan masukan empiris dan pengalaman langsung (experiential learning) untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan yang bermakna. Kata kunci: experiential learning, pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi
PENDAHULUAN ASEAN Economic Community (AEC) adalah upaya bersama untuk mencipta integrasi ekonomi regional pada tahun 2015, dengan tujuan mewujudkan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi. Kesepakatan pelaksanaan AEC diikuti oleh 10 negara anggota ASEAN yang memiliki total penduduk 600 juta jiwa. Sekitar 43% jumlah penduduk itu berada di Indonesia. Artinya, pelaksanaan AEC ini sebenarnya akan menempatkan Indonesia sebagai pasar utama baik untuk arus barang maupun arus investasi. Tak ada satu pun negara yang bisa menghindar diri dari globalisasi. Konsekuensinya, mau tidak mau setiap negara akan masuk dalam pusaran dinamika dunia, baik dinamika budaya, politik, keamanan, termasuk dalam pusaran ekonomi global. Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia untuk terus bekerja keras dan bersaing dengan negara lain seperti Thailand, Vietnam, Filiphina, Brunei darussalam, dan Malaysia jika ingin bertahan. Upaya memasuki pasar global ini, sebagai faktor utama adalah kemampuan SDM yang berdaya saing dan daya saing produk (barang dan jasa) Indonesia dalam berkompetisi perlu diperkuat. Dalam hal ini peran lembaga pendidikan tinggi menjadi sangat penting. Ketika pendidikan tinggi terlibat menyambut datangnya pasar tunggal ASEAN 2015, sejatinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil, peka dan kritis. Terampil bekerja, peka permasalahan dan kritis dalam berperan. Ketiga kecakapan ini mutlak hadir dalam pasar tunggal ASEAN. Dalam menghadapi tantangan tersebut P a g e [ 87 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pendidikan wirausaha secara formal maupun non formal memiliki peranan yang signifikan. Pendidikan wirausaha mempersiapkan sumberdaya manusia untuk mandiri, melatih keberanian bersaing, dan mempersiapkan keunggulan-keunggulan diri dan produk. Pentingnya peran perguruan tinggi dalam mencetak SDM yang memiliki kemampuan bersaing dan memiliki jiwa wirausaha dikemukakan oleh Zimmerer (2009: 12), menyatakan bahwa faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan di suatu negara terletak pada peranan universitas melalui penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan. Pihak universitas bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan kemampuan wirausaha kepada para lulusannya dan memberikan motivasi untuk berani memilih berwirausaha sebagai karir mereka. Pihak perguruan tinggi perlu menerapkan pola pembelajaran kewirausahaan yang konkret berdasarkan masukan empiris untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan yang bermakna agar dapat mendorong semangat mahasiswa untuk berwirausaha (Yohnson 2003, Wu & Wu, 2008). Persoalannya pendekatan pembelajaran konkret yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan kompetensi lulusan, mampu meningkatkan kesejahteraan hidup dan pengakuan eksistensi diri, menjadi manusia yang berpartisipasi aktif dan siap menghadapi realitas secara kritis. Kecakapan dan kompetensi yang dimiliki akan menjadi pisau analisis sekaligus jalan keluar terhadap problematika yang dihadapi. Pendidikan tinggi memiliki peran penting, dan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyiapkan manusia Indonesia yang qualified dan marketable, sehingga tidak terpinggirkan dalam arus pasar tunggal. Pengembangan kurikulum pendidikan kewirausahaan yang diterapkan pada perguruan tinggi, merupakan salah satu alternatif untuk menghasilkan sarjana yang berjiwa wirausaha. Pentingnya implementasi pendidikan kewirausahaan dan pengalaman kewirausahaan dikemukakan oleh Vesper dkk (Vesper & McMullan, 1988; Kourilsky & Carlson, 1997; Gorman et al., 1997; Rasheed, 2000). Secara teori diyakini bahwa pembekalan pendidikan dan pengalaman kewirausahaan pada seseorang dapat meningkatkan potensi seseorang untuk menjadi wirausahawan. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang mendukung pernyataan tersebut (Kourilsky & Walstad, 1998; Gerry et al., 2008). Sejumlah aktivitas belajar telah dilakukan pada mata kuliah ini yaitu tentang teori-teori kewirausahaan, praktek lapangan kewirausahaan. Dengan melakukan aktivitas itu semua, diharapkan dapat membuat para mahasiswa mendorong untuk menjadi wirausaha yang sesungguhnya setelah mereka lulus. Pada kenyataannya masih banyak kritik yang diberikan pada perkuliahan kewirausahaan di perguruan tinggi, antara lain: penyajian materi yang cenderung teoretis dan menekankan pada aspek kognitif, belum kontekstual, kurangnya kegiatan praktek wirausaha, kurangnya sarana dan prasarana untuk melatih keterampilan wirausaha seperti inkubator bisnis. Hal ini diperkuat oleh penelitian Koesworo dan Triwijayanti (2006), bahwa pelaksanaan kuliah belum efektif. Karena perkuliahan belum [ 88 ] P a g e
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
melibatkan pengalaman pelaku usaha, baik melalui kunjungan lapangan atau kuliah tamu untuk mendekatkan mahasiswa dengan lingkungan riil dunia wirausaha. Meskipun hal tersebut telah diminimalkan dengan penugasan wawancara, secara berkelompok, dengan para pelaku usaha (wirausahawan) Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan model pembelajaran bersifat student centered, proses pembelajaran yang lebih menekankan pada kemampuan penalaran, memberikan pengalaman langsung pada mahasiswa yaitu experiential learning. Experiential Learning adalah suatu model pembelajaran yang mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar mengajar untuk membangun pengetahuan dan ketrampilan melalui pengalamannya secara langsung. Dalam model ini menggunakan pengalaman katalisator untuk menolong mahasiswa mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Makalah ini akan membahas: konsep model Experiential Learning, dasar pemikiran penggunaan experiential learning, mengapa experiential learning sesuai untuk pendidikan kewirausahaan, prosedur dan tahapan penerapannya, faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat penerapan Experiential Learning pada perkuliahan kewirausahaan, serta solusi untuk mengantisipasi hambatannya. PEMBAHASAN Konsep Model Experiential Learning Experiential learning theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Model ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Dalam experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah “experiential” di sini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih daripada afektif. Dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar (Kolb, 1999). Experiential learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri. Tujuan dari model ini adalah untuk mempengaruhi mahasiswa dengan tiga cara, yaitu; 1) mengubah struktur kognitif mahasiswa, 2) mengubah sikap, dan 3) memperluas keterampilan-keterampilan yang telah ada. Ketiga elemen tersebut saling berhubungan dan memengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karena apabila salah satu elemen tidak ada, maka kedua elemen lainnya tidak akan efektif. Experiential learning menekankan pada keinginan kuat dari dalam diri mahasiswa untuk berhasil dalam belajarnya. Motivasi ini didasarkan pula pada tujuan yang ingin dicapai dan model belajar yang dipilih. Keinginan untuk berhasil tersebut dapat meningkatkan tanggung jawab mahasiswa terhadap perilaku belajarnya dan mereka akan merasa dapat mengontrol perilaku tersebut. P a g e [ 89 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, menunjukkan adanya orientasi belajar aktif bagi mahasiswa/student centered. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan cara konvensional dalam perkuliahan yang lebih berorientasi pada teacher centered. Berikut ini disajikan perbedaan antara experiential learning dan content based learning. Tabel 1. Perbedaan mendasar antara experiential learning dengan cara tradisional Experiential Learning Tradisional Content-based Learning. Aktif Pasif Bersandar pada penemuan individu Bersandar pada keahlian mengajar Partisipatif, berbagai arah Otokratis, satu arah Dinamis dan belajar dengan melakukan Terstruktur dan belajar dengan mendengar Bersifat terbuka Cakupan terbatas dengan sesuatu yang baku Mendorong untuk menemukan sesuatu Terfokus pada tujuan belajar yang khusus Sumber: Daryanto (2013:45). Tabel di atas menunjukkan bahwa metode experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata (belajar dengan melakukan) yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Dasar Pemikiran Penggunaan Experiential Learning Pendekatan Experiential Learning didasarkan pada beberapa pendapat sebagai berikut: 1. pembelajar dalam belajar akan lebih baik ketika mereka terlibat secara langsung dalam pengalaman belajar, 2. adanya perbedaan-perbedaan secara individu dalam hal gaya yang disukai, 3. ide-ide dan prinsip-prinsip yang dialami dan ditemukan pembelajar lebih efektif dalam pemerolehan bahan ajar, 4. komitmen peserta dalam belajar akan lebih baik ketika mereka mengambil tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri, dan 5. belajar pada hakikatnya melalui suatu proses. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan mahasiswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup: keterlibatan mahasiswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh mahasiswa sendiri dan adanya efek yang membekas pada mahasiswa. Mengapa Experiential Learning sesuai untuk Pendidikan Kewirausahaan? Ciputra (2009), berpendapat bahwa wirausaha dapat terbentuk karena 3 hal, yaitu: terlahir dalam lingkungan wirausaha; hidup dalam lingkungan wirausaha; dan dididik menjadi wirausaha. Lupiyoadi (2007) mempercayai bahwa sikap kewirausahaan [ 90 ] P a g e
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
pada realitasnya dapat dibentuk melalui proses pembelajaran. Belajar dari pengalaman negara maju dan proyek pembelajaran yang dilakukannya, Cieslik (2004), mengambil kesimpulan bahwa: kewirausahaan tidak saja dapat diajarkan pada jenjang pendidikan sarjana, tetapi juga dapat diajarkan pada jenjang master, dan bahkan pada jenjang doktor dari semua jurusan. Secara khusus dia menyatakan bahwa: …Entrepreneurship not only for business, but is also for non-business students (i.e., engineering, hard sciences, medical, and arts). Dalam hal ini Akbar (2007) juga berpendapat bahwa sifat-sifat kewirausahaan dapat dimiliki oleh siapa saja dan apapun profesinya. Suyono (2009) setuju bahwa wirausaha dapat dibentuk melalui proses pendidikan, namun demikian juga diakui bahwa untuk membentuk budaya wirausaha memang merupakan hal yang tidak mudah. Masalah cukup serius yang dihadapi dalam membentuk budaya wirausaha, atau melahirkan wirausaha baru dari kalangan perguruan tinggi menurut Motik (2007) dalam Siswoyo (2009) adalah: pertama mindset lulusan perguruan tinggi yang masih sebagai pencari kerja bukan pencipta lapangan pekerjaan; kedua lemahnya kurikulum kewirausahaan, dan; ketiga masih minimnya daya dukung pemerintah terhadap kesempatan berwirausaha. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Motik, dalam Siswoyo (2009) mengambil tiga kesimpulan penting terhadap kondisi pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, yaitu: sebagaian besar lulusan perguruan tinggi lebih siap sebagai pencari kerja daripada pencipta lapangan pekerjaan; kurikulum kewirausahaan yang diberikan kurang sesuai dengan bidang keilmuan, dan; perlu dukungan lembaga penyelenggara secara memadai. Aspek kewirausahaan yang menekankan pada Knowledge (pengetahuan), Skills (ketrampilan), dan Attitude (sikap), atau sering disingkat KSA, menurut Albornoz (2008) dapat diajarkan melalui proses pendidikan, namun demikian tidak semua aspek kewirausahaan dapat diajarkan dengan perspektif pembelajaran yang sama. Alasan inilah yang memperkuat pentingnya model experiential learning (pengalaman langsung) dalam perkuliahan kewirausahaan. Hasil penelitian Riyanti (2007) menunjukkan bahwa pemberian praktek langsung yang disesuaikan dengan bidang keahlian mahasiswa memudahkan mahasiswa melakukan transfer of knowledge, oleh karenanya praktek langsung perlu diberikan porsi yang lebih banyak dalam proses pendidikan kewirausahaan. Transfer of knowledge, menurut Kellet (2006) adalah pengembangan latihan-latihan intuitif yang dapat berlangsung dalam situasi yang ditetapkan, yang dapat memberikan ketrampilanketrampilan dan dapat digunakan berkreasi dalam usahanya sendiri. Terkait dengan perlunya praktek langsung, Kellet (2006: 10) berpendapat bahwa: People develop skills, expertise and social contacts from their work, often as Employees gaining experience, understanding and know-how of how an industry works. This learning is social and relational, gained from interpersonal participation through discovery and experience. It is often functional, technical and problem solving in nature, finding out how
P a g e [ 91 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 things are done through the failures and experiences and mentoring of the more experienced. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, menunjukkan bahwa penekananpenekanan pada pentingnya fasilitasi dalam proses pendidikan kewirausahaan yang melibatkan kegiatan praktek langsung yang realistis, direkomendasikan oleh beberapa peneliti. Langkah-Langkah Penerapan Pendekatan Experiential Learning dalam Perkuliahan Prosedur pembelajaran dalam experiential learning terdiri dari 4 tahapan, yaitu; 1) tahapan pengalaman nyata, 2) tahap observasi refleksi, 3) tahap konseptualisasi, dan 4) tahap implementasi. Tahapan ini sering disebut Model Kolb bahwa experiential learning “consists of four elements namely, concrete experience, observation and reflection, the formation of abstract concepts and testing in new situations” (Bhat, 2001), dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Siklus Experiential Learning Sumber: Kolb, A.D. & Boyatzis, R.E. (1999:39) Dalam tahapan di atas, proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar konseptualisasi atau proses pemahaman prinsipprinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta prakiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain (baru). Proses implementasi merupakan situasi atau konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai. Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut. Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertianpengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan (taking action). [ 92 ] P a g e
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
Menurut experiential learning theory, agar proses belajar mengajar efektif, seorang mahasiswa harus memiliki 4 kemampuan (Nasution dalam Baharudin dan Esa, 2010:167). Tabel 2. Kemampuan Mahasiswa Dalam Proses Belajar Experiential Learning Kemampuan Concrete Experience(CE) Reflection Observation(RO)
Uraian Mahasiswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman baru Mahasiswa mengobservasi dan merefleksikan atau memikirkan pengalaman dari berbagai segi Abstract Mahasiswa menciptakan konsepConceptualization(AC) konsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat Active Mahasiswa menggunakan teori untuk Experimentation(AE) memecahkan masalah-masalah dan mengambil keputusan Sumber: (Baharudin dan Esa, 2010:167)
Pengutamaan Feeling (perasaan) Watcing (mengamati) Thinking (berpikir)
Doing (berbuat)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang memperhatikan atau menitikberatkan pada pengalaman yang akan dialami mahasiswa. Mahasiswa terlibat langsung dalam proses belajar dan mahasiswa mengkonstruksi sendiri pengalaman-pengalaman yang didapat sehingga menjadi suatu pengetahuan. Model pembelajaran semacam ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Lebih lanjut, Hamalik menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan pengalaman memberi seperangkat atau serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh dosen (Hamalik,2001). Cara ini mengarahkan para mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman lebih banyak melalui keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingkan bila mereka hanya membaca suatu materi atau konsep. Dengan demikian, belajar berdasarkan pengalaman lebih terpusat pada pengalaman belajar mahasiswa yang bersifat terbuka dan mahasiswa mampu membimbing dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa penerapan model experiential learning dapat membantu mahasiswa dalam membangun pengetahuannya sendiri (Depdiknas, 2002). Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam menerapkan model experiential learning, dosen harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Hamalik (2001), mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential learning adalah sebagai berikut: 1. Dosen merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu. 2. Dosen harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi. P a g e [ 93 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 3. Mahasiswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman. 4. Para mahasiswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya mahasiswa mampu memecahkan masalah dan bukan dalam situsi pengganti. Contohnya, di dalam kelompok kecil, mahasiswa mengungkap teknik dan kendala-kendala pemasaran berdasarkan hasil praktek pemasaran, bukan menceritakan konsep hasil kajian teoretis saja. 5. Mahasiswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusan sendiri, menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut. 6. Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang ada di lingkungan sehubungan dengan mata kuliah tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman mahasiswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman tersebut. Selain beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential learning, dosen juga harus memperhatikan metode belajar melalui pengalaman, yaitu meliputi tiga hal di bawah ini. 1. Strategi belajar melalui pengalaman berpusat pada mahasiswa dan berorientasi pada aktivitas. 2. Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah proses belajar, dan bukan hasil belajar. 3. Dosen dapat menggunakan strategi ini dengan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Faktor-Faktor Pendukung Model Experiential Learning Faktor pendukung merupakan faktor-faktor yang turut mengoptimalkan penerapan model experiential learning antara lain: (a) penyajian masalah yang lebih jelas dan rinci oleh dosen sesuai dengan tujuan perkuliahan, (b) partisipasi mahasiswa yang lebih aktif dalam pembelajaran, dan (c) suasana pembelajaran yang menyenangkan, santai, dan bertanggung jawab dalam bentuk diskusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Raharjo, bahwa metode-metode yang sesuai dengan model experiential learning adalah 1). Demonstrasi, 2). Tanya jawab, 3). Diskusi, 4). Kerja kelompok, 5). Curah pendapat (brain storming), 6). Micro teaching Faktor-Faktor Penghambat Model Experiential Learning Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pembelajaran Experiential Learning adalah (a) waktu yang kurang efektif dan efisien, (b) kesulitan mahasiswa dalam melakukan adaptasi terhadap metode Experiential Learning, (c) Kurangnya kemampuan mahasiswa dalam memahami tugas yang harus dilakukan, dan (d) kurangnya rasa percaya diri mahasiswa dalam melaksanakan aktivitas Feeling (perasaan), Wathcing (mengamati), Thinking (berpikir), Doing (berbuat) untuk memperoleh kemampuan [ 94 ] P a g e
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
Concrete Experience (CE), Reflection Observation (RO), Abstract Conceptualization (AC), Active Experimentation (AE). Untuk mengantisipasi kelemahan tersebut maka: (1) Dosen: Hendaknya menerapkan metode Experiential Learning agar menciptakan suasana belajar yang nyaman, dan disesuaikan dengan perencanaan yang telah disusun dan waktu yang telah disediakan, (2) Bagi Kaprodi hendaknya memotivasi dosen-dosen untuk dapat menggunakan metode-metode pembelajaran yang efektif bagi mahasiswa, merintis suatu wadah inkubator bisnis (3) Mahasiswa hendaknya lebih berani dalam mengemukakan pendapat maupun argumen ketika metode pembelajaran berlangsung, dan meningkatkan kemampuan inkuiri dan bereksplorasi untuk memperoleh pengalaman langsung. SIMPULAN Pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam menyiapkan manusia Indonesia yang berkualitas dan marketable, kreatif, inovatif dan memiliki kemampuan probem solver, sehingga dapat bersaing dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Upaya yang dilakukan perguruan tinggi dengan mengembangkan kurikulum pendidikan kewirausahaan. Namun demikian juga diakui bahwa untuk membentuk budaya wirausaha memang merupakan hal yang tidak mudah. Oleh karenanya penyelenggaraan kurikulum perlu didukung dengan pendekatan experiential learning meliputi tahapan-tahapan Concrete Experience (CE), Reflection Observation (RO), Abstract Conceptualization (AC), Active Experimentation (AE). Tahapan pembelajaran dengan pemberian praktek langsung yang disesuaikan dengan bidang keahlian mahasiswa memudahkan mahasiswa melakukan transfer of knowledge, mengaplikasikan teori wirausaha yang telah dikuasai, memperkuat sikap dan keterampilan wirausaha. Oleh karenanya praktek langsung perlu diberikan porsi yang lebih banyak dalam proses pendidikan kewirausahaan dan pelatihan mahasiswa melalui inkubator bisnis. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. (2007). Pembelajaran Nilai Kewirausahaan dalam Perspektif Pendidikan Umum (Prinsip-prinsip dan Vektor-vektor Percepatan Proses Internalisasi Nilai Kewirausahaan). Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Albornoz, C. A. (2008). Toward A Set of Trainable Content on Entrepreneurship Education: A Review of Entrepreneurship Research From Educational Prespective. J. Technol. Manag. Innov. 2008. Volume 3, Special Issue 1: 86-98. (online)(www.jotmi.org/index.php/GT/article/viewFile/rev5/131-),diakses tanggal 6 April 2014. Baharuddin dan Esa, N W. (20100. Teori Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Cieslik, J. (2004). University Conferences -Level Entrepreneurship Education In Poland. (online) (www.upm.ro/proiecte/EEE/ /papers/S604.pdf), diakses tanggal 20 Maret 2014. P a g e [ 95 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Ciputra. (2009). Ciputra Quantum Leap. Entrepreneurship mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda. Cetakan ke 4. Jakarta: Elex Media Komputindo. Daryanto.(2013). Inovasi Pembelajaran Efektif. Bandung : Yrama Widya Gerry. C.; Susana. C. & Nogueira. F.(2008). Tracking Student Entrepreneurial Potential: Personal Attributesand the Propensity for Business Start-Ups after Graduationin a Portuguese University. International Research Journal Problems and Perspectivesin Management, 6(4): 45-53. Gorman, G., Hanlon, D. & King, W. (1997). Some Research Perspectives on Entrepreneurship Education, Enterprise Education and Education for Small Business Management: A Ten-Year Literature Review. International Small Business Journal, 15(3): 56-77. Kellet, S. (2006). A Picture of Creative Entrepreneurship: Visual Narrativein Creative Entreprise Education. (online) (http://www.ncge.com/files/biblio 1002.pdf), diakses tanggal 4 April 2013. Koesworo, Y., dan Triwijayanti, A. (2006). Penerapan Metode Problem based, Experience dan Experiential Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Kewirausahaan. Jurnal Ekuitas Vol.10 No.2 Juni 2006: 246 – 262, ISSN 1411-0393 Kolb, A.D. & Boyatzis, R.E. (1999). Experiential Learning Theory, Previous Research and New Direction. CaseWestern Reserve University. online pada: [http://www.d.umn.edu/~kgilbert/educ5165-731/Readings/experientiallearning-theory.pdf] Kourilsky, M.L. & Walstad, W.B. (1998). Entrepreneurship and Female Youth: Knowledge, Attitudes, Gender Differences and Educational Practices. Journal of Business Venturing, 13(1): 77-88. Kourilsky, M.L. &Carlson, S.R. (1997). Entrepreneurship Education for Youth: A Curricular Perspective, in Sexton, D.L. & Sanlow, R.W. (Eds.), Entrepreneurship 2000 (page 193-213). Chicago: Upstart Publishing. Lupiyoadi, R. (2007). Entrepreneurship – from mind set to strategy. Edisi 3. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rasheed, H.S. (2000). Developing Entrepreneurial Potential in Youth: The Effects of Entrepreneurial Education and Venture Creation, (http://USASEB2001proceedings063, diakses 3 April 2014). Riyanti, BPD. (2007).Metode Experiential Learning Berbasis Pada Peningkatan Rasa Diri Mampu, Kreatif & Berani Beresiko dalam pembelajaran Kewirausahaan untuk SMK (Online) (www.unesco.or.id/images/pub/89_listofunescointhenewson education.doc), diakses 16 maret 2012. Siswoyo, B B. (2009). Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Dosen dan Mahasiswa. Jurnal ekonomi bisnis | tahun 14 | nomor 2 | juli 2009. Hal. 114-123. (online) (fe.um.ac.id/wp- content/uploads/.../bambang_banu4.pdf), diakses tanggal. 20 Mei 2011. Suyono, H. (2009). Membangun Budaya Kewirausahaan Entrepreneurship. Makalah disampaikan pada Penandatanganan kerjasama antara Yayasan Damandiri dengan Universitas Ciputra Jakarta – 7 Februari 2011 [ 96 ] P a g e
Pendekatan Experiential Learning… (Dumiyati)
Vesper, K.H. & McMullan, W.E. (1988). Entrepreneurship: Today Courses, Tomorrow degrees?. Entrepreneurship Theory and Practice, 13(1): 7-13. Wu, S. & Wu, L. (2008). The Impact of Higher Education on Entrepreneurial Intentions of University Students in China. Journal of Small Business and Enterprise Development, 15(4): 752–774. Yohnson. (2003). Peranan Universitas dalam Memotivasi Sarjana Menjadi Young Entrepreneurs. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 5(2): 97-111. Zimmerer, T.W., & Scarborough, N.M., (2008). Essential of Entrepreneurship and Small Business Management, Edition 5. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
P a g e [ 97 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI Deden
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Menghadapi tantangan ekonomi global pada tahun 2015 Indonesia sudah berbenah diri melakukan berbagai perbaikan infrastruktur sarana dan prasarana termasuk dalam pendidikan. Pergantian kurikulum dengan penyempurnaan yang lebih baik lagi diharapkan mampu mencetak peserta didik yang kreatif, mandiri dan cerdas. Salah satu faktor yang sangat mendukung yaitu dengan penggunaan pendekatan saintifik. Dalam mata pelajaran ekonomi yang memiliki karakteristik materi cukup sulit, model pembelajaran inkuiri dapat dijadikan salah satu alternatif. Artikel berupa hasil pemikiran ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep penerapan pendekatan saintifik. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan saintifik melalui pembelajaran inkuiri akan sangat tepat, di mana tahapan-tahapan pada pendekatan ini akan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa. Dengan pendekatan saintifik yang didukung dengan pembelajaran inkuiri siswa akan lebih tertarik untuk belajar, dengan konsep menemukan sendiri maka siswa juga dapat lebih mengingat materi yang dibahas dalam proses kegiatan belajar mengajar. Kata kunci: pendekatan saintifik, model pembelajaran inkuiri
PENDAHULUAN Saat ini Indonesia dihadapkan pada era perdagangan bebas untuk wilayah ASEAN atau dikenal dengan nama (MEA) Masyarakat Ekonomi Asea, di mana rakyat Indonesia harus siap untuk menghadapi tantangan ekonomi global. Dampak dari ekonomi global terjadi pada beberapa sektor, selain berdampak pada sektor perdagangan ekonomi global juga berdampak pada sektor pendidikan. Sektor pendidikan dituntut untuk mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang brkualitas, bukan hanya dari segi siswanya tetapi juga dibutuhkan tenaga pendidik yang ahli dan profesional. Pendidik atau guru sangat berperan dalam mencetak anak didik yang kreatif, mandiri dan mempunyai jiwa entrepreneur. Hal ini diperlukan agar setelah menmpuh pendidikan siswa dapat menjadi masyarakat berdaya saing tinggi dan mampu menghadapi era perdagangan bebas. Guru di tuntut memberikan materi pelajaran yang mudah dimengerti dan menarik minat siswa untuk senantiasa belajar. Di mana belajar merupakan suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami oleh manusia sejak dari dalam kandungan hingga masuk ke liang lahat sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat. Kualitas hasil belajar siswa akan sangat ditentukan oleh profesionalisme guru yang dimiliki sekolah. Bagaimana cara mengajar seorang guru akan berdampak pada penyerapan materi pelajaran yang disampaikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan [ 98 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia-manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta tanggung jawab.(UU RI No. 20 Tahun 2003) Untuk meningkatkan profsionalisme, seorang guru diharapkan mampu menciptakan dan menrapkan suatu model pembelajaran yang inovatif, sehingga dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) akan terjadi pembelajaran dua arah atau adanya interaksi antara guru, siswa dan lingkungan sekitar. Dalam rangka peningkatan kualitas belajar tersebut, pemerintah selalu melakukan perbaikan pada setiap kurikulum yang diterapkan, dan untuk saat ini kurikulum 2013 menjadi pertimbangan bagi pemerintah, di mana kurikulum 2013 merupakan pembaharuan dari kurikulum sebelumnya. Menurut Hosnan (2013) menjelaskan bahwa kegiatan pembelajaran dalam kurikulum 2013 diarahkan untuk memberdayakan semua potensi yang dimiliki peserta didik agar mereka dapat memiliki kompetensi yang diharapkan melalui upaya menumbuhkan serta mengembangkan sikap/attitude, pengetahuan/knowledge, dan keterampilan/skill. Dalam kurikulum 2013 pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan saintifik (saintifik approach) atau pendekatan berbasis keilmuan, di mana dalam kegiatan inti pembelajaran dngan menggunakan pendekatan ini peserta didik diharapkan mampu melaksanakan 5 tahapan kegiatan. Lima kegiatan inti dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah kegiatan mengamati, menanya, megumpulkan informasi, menalar dan mengkomunikasikan. Pendekatan saintifik dilaksanakan dengan modus pembelajaran langsung dan tidak langsung. Dalam kurikulum 2013 sebagai penerapan dari pendekatan saitifik, maka dibentuklah model pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru yang nantinya akan dissuaikan dengan materi pelajaran. Model pembelajaran dalam kurikulum ini merupakan kerangka konseptual dan operasional pembelajaran yang memiliki nama, ciri, urutan, logis, pengaturan dan budaya. Model pembelajaran dalam kurikulum 2013 antara lain discovery learning, project-based learning, problem-based learning dan inquiry learning (permendikbud tahun 2014 no. 103) Masing-masing model pmbelajaran memiliki tahap penerapan yang berbeda pada masing-masing mata pelajaran. Guru harus mampu menyesuaikan model mana yang akan cocok untuk diterapkan pada setiap mata pelajaran. Mata pelajaran ekonomi merupakan pelajaran yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, dimana siswa dituntut untuk mampu menalar masalah-masalah ekonomi bahkan yang ada di sekitar siswa. Sehingga dibutuhkan model pembelajaran yang menarik, sehingga siswa tidak menganggap Ekonomi sebagai pelajaran yang sulit. Dalam hal ini salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan alternatif oleh guru adalah model pembelajaran inkuiri, dimana inkuiri merupakan model pembelajaran yang berdasar dari fakta-fakta kemudian dirangkai menjadi teori. Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran inkuiri, di mana pada saat kita menemukan sesuatu akan lebih diingat dibandingkan bila ditemukan oleh orang lain dan proses penemuan inilah yang menjadi penting dalam pembelajaran inkuiri. Materi ekonomi mencakup sangat luas yaitu berkenaan dengan ekonomi mikro P a g e [ 99 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan makro. Bila penyampaian materi pembelajaran digunakan dengan metode inkuiri diharapkan para siswa akan lebih tertarik dan memahami makna yang ada dari setiap kegiatan pembelajaran. Saat ini metode yang digunakan oleh para guru dalam pembelajaran khususnya pembelajaran ekonomi sudah beragam dan menggunakan berbagai metode yang ada di pembelajaran kurikulum 2013. Tetapi penerapannya belum maksimal sehingga para siswa masih ada yang tidak aktif di kelas, jadi hanya beberapa anak saja yang terlihat lebih menonjol. Oleh karena itu dalam pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri dan dibarengi dengan menggunakan pendekatan saintifik diharapkan hasil yang dicapai dapat maksimal. Berdasarkan uraian singkat di atas dapat ditarik sebuah perumusan masalah yaitu, Bagaimana Konsep Penerapan Metode Pembelajaran Inkuiri Melalui Pendekatan Saintifik Pada Mata Pelajaran Ekonomi? KONSEP PEMBELAJARAN MELALUI PENDEKATAN SAINTIFIK Konsep pendekatan saintifik diatur dalam kurikulum 2013 dan Implementasi kurikulum 2013 dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruki konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati bentuk, mengidentifikasi atau menemukan masalah, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.(Hosnan:2014:34). Pendekatan mengandung pengertian menurut KBBI atau kamus besar bahasa Indonesia adalah (1) proses, perbuatan, cara mendekati; (2) usaha dalam rangka aktivitas pengamatan untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah pengamatan. Adapun pengertian pendekatan pembelajaran adalah sebagai berikut : (1) perspektif (sudut pandang, pandangan) teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih model, metode dan teknik pembelajaran; (2) suatu proses atau perbuatan yang digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran; (3) sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Pembelajaran pada kurikulum 2013 ini menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan dan dapat menggunakan beberapa strategi seperti pembelajaran kontekstual. Salah satunya adalah dengan menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung (indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran langsung peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan pembelajaran (instructional effect) hal ini seperti yang dikutip dalam [ 100 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
permendikbud no. 103 tahun 2014 lampiran pembelajaran pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Adapun konsep rincian dalam proses pendekatan saintifik dan deskripsi langkah pembelajaran meliputi lima pengalaman belajar yang tertuang dalam table sebagai berikut: Tabel 1. Deskripsi Langkah Pembelajaran Langkah Deskripsi Kegiatan Bentuk Hasil Belajar Pembelajaran Mengamati Mengamati dengan indra Perhatian pada waktu mengamati suatu (observing) (membaca, mendengar, objek/membaca suatu tulisan/ menyimak, melihat, mendengar suatu penjelasan, catatan menonton dan yang dibuat tentang yang diamati, sebagainya) dengan atau kesabaran, waktu (on task) yang tanpa alat digunakan untuk mengamati Menanya Membuat dan Jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaan (questioning) mengajukan pertanyaan, yang diajukan peserta didik Tanya jawab, berdiskusi (pertanyaan factual, konseptual, tentang informasi yang procedural dan hipotetik) belum dipahami, informasi tambahan yang ingin diketahui, atau sebagai klarifikasi Mengumpulkan Mengeksplorasi mencoba Jumlah dan kualitas sumber yang informasi/mencoba berdiskusi dikaji/digunakan, kelengkapan (experimenting) mendemonstrasikan, informasi, validitas informasi yang meniru bentuk/gerak dikumpulkan, dan instrument/ alat yang melakukan eksperimen digunakan untuk mengumpulkan data membaca sumber lain sebagai buku teks, mengumpulkan data dari nara sumber melalui angket, wawancara dan memodifikasi/menamba hi/mengembangkan Menalar / Mengelola informasi Mengembangkan interpretasi, mengasosiasi yang sudah dikumpulkan, argumentasi dan kesimpulan mengenai (associating) menganalisis data dalam keterkaitan informasi dari dua bentuk membuat fakta/konsep, interpretasi kategori, mengasosiasi Argumentasi dan kesimpulan mengenai atau menghubungkan keterkaitan lebih dari dua fenomena/informasi fakta/konsep/teori, menyintesis dan yang terkait dalam argumentasi serta kesimpulan rangka menemukan keterkaitan antar berbagai jenis suatu pola dan fakta/konsep/teori/pendapat; menyimpulkan mengembangkan interpretasi, struktur baru, argumentasi, dan kesimpulan yang menunjukan hubungan fakta/konsep/teori dari dua sumber P a g e [ 101 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 atau lebih yang tidak bertentangan ; mengembangkan interpretasi, struktur baru, argumentasi dan kesimpulan dari konsep/teori/pendapat yang berbeda dari berbagai jenis sumber. Mengkomunikasikan Menyajikan laporan (communicating) dalam bentuk bagan, diagram, atau grafik. Menyusun laporan tertulis dan menyajikan laporan melalui proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan
Menyajikan kajian (dari mengamati sampai menalar) dalam bentuk tulisan, grafis, media elektronik, multi media dan lain-lain
Tabel di atas menjelaskan tentang deskripsi langkah pembelajaran melalui pendekatan saintifik, penerapannya terhadap deskripsi kegiatan dalam pembelajaran dan bentuk hasil yang dicapai dalam proses pembelajaran. Deskripsi langkah pembelajaran saintifik ini ditambahkan oleh Hosnan (2014) bahwa langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam proses pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik), meliputi : menggali informasi observing/ pengamatan, questioning/bertanya, experimenting/percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, associating/menalar, kemudian menyimpulkan dan mencipta serta membentuk jaringan. Dari pembahasan di atas mengenai pendekatan saintifik dapat dilihat bahwa pembelajaran pendekatan saintifik memiliki karateristik sebagai berikut : (1) berpusat pada siswa; (2) melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip; (3) melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berfikir tingkat tinggi siswa; (4) dapat mengembangkan karakter siswa.(Hosnan:2014:37) KONSEP MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI Model pembelajaran inkuiri merupakan model pembelajaran yang diterapkan dalam kurikulum 2013 di mana pembelajaran tersebut menitikberatkan pada penemuan yang dilakukan oleh peserta didik dalam pembelajaran yang selanjutnya dapat dibentuk sebuah teori. Model pembelajaran sendiri dapat diartikan sebagai acuan pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan pola-pola pembelajaran tertentu secara sistematis. Menurut La Iru dan Arihi (2012) dalam Prastowo menyatakan bahwa model pembelajaran tersusun atas beberapa komponen yaitu: fokus, sintak, sistem sosial dan sistem pendukung. Model pembelajaran umumnya memiliki cirri-ciri yaitu : (1) memiliki prosedur yang sistematis, (2) hasil belajar diterapkan secara khusus, (3) penetapan lingkungan secara khusus, (4) memiliki ukuran keberhasilan tertentu, (5) model belajar [ 102 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
mengajar menetapkan cara yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dan bereaksi dengan lingkungan. Indrawati (1999:9) dalam Trianto menyatakan bahwa suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah model pembelajaran inkuiri. Trianto (1997) menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau inquiry merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Inkuiri yang dalam bahasa inggris inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo (2002) dalam Trianto menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar, (2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran, (3) mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Dalam menciptakan model pembelajaran inkuiri menurut Trianto (2007:135) harus dibentuk kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa. Kondisi umum tersebut antara lain: (1) aspek social dan suasana kelas terbuka yang mengundang siswa berdiskusi, (2) inkuiri berfokus pada hipotesis, (3) penggunaan fakta sebagai evidensi (informasi fakta). Kondisi umum di atas dapat diciptakan melalui adanya peran guru. Peran guru di sini adalah sebagai berikut: (1) sebagai motivator yaitu memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah dalam berpikir, (2) sebagai fasilitator, yaitu menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan, (3) sebagai penanya, yaitu menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat, (4) sebagai administrator, yaitu bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas, (5) sebagai pengarah, yaitu memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, (6) sebagai manajer, yaitu mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas, (7) sebagai rewander, yaitu member penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa. Ciri-ciri pembelajaran inkuiri menurut Hosnan (2014:341) adalah : (1) menekankan pada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menemukan, (2) aktivitas yang dilakukan peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat menimbulkan sikap percaya diri, (3) tujuan dari penggunaan pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Setelah melihat ciri-ciri dalam pembelajaran inkuiri di atas maka kita harus mengetahui langkahP a g e [ 103 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 langkah dalam pembelajaran inkuiri di antaranya dengan melakukan orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan kesimpulan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam konsep pembelajaran ekonomi adalah sebagai berikut: (1) Orientasi, membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsive, (2) merumuskan masalah, merupakan langkah membawa peserta didik pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki di mana persoalan yang disajikan menantang peserta didik untuk memecahkan teka-teki tersebut, (3) merumuskan hipotesis, yaitu jawaban sementara dari suatu persoalan yang sedang dikaji, di sini peserta didik diajak untuk berpikir logis dan rasional dalam mengembangkan hipotesis yang ada, (4) mengumpulkan data merupakan aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan, (5) menguji hipotesis, yaitu proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data dan informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data, (6) merumuskan kesimpulan, yaitu proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Dari penjelasan konsep model pembelajaran inkuiri dari beberapa ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran inkuiri dilakukan dengan menekankan pada proses mencari dan menemukan serta menyelidiki yang dilakukan secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga dapat merumuskan sendiri temuannya dengan rasa percaya diri. Dan dari hasil penelitian seperti yang dikutip oleh Trianto (1997) menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi. KONSEP PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN EKONOMI Penerapan kurikulum 2013 merupakan salah satu pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Penerapan kurikulum 2013 ini tidak dapat langsung kita lihat hasilnya dalam jangka pendek, sering kita temui masih banyak guru yang bingung untuk menerapkan kurikulum baru tersebut. Namun guru yang profesional adalah guru yang mau menerima perubahan dan mau melakukan perubahan tersebut. Dalam penerapannya tentu banyak tahapan dan faktor yang mendukung, dan salah satunya adalah pendekatan saintik beserta model pembelajarannya. Pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang dirancang untuk siswa agar mampu belajar scara aktif dalam menyusun konsep teori melalui 5 tahapan yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar dan mengkomunikasikan. Dalam penerapannya pendekatan ini diatur dalam permendikbud No 103 tahun 2014 tentang tahapan pendekatan saintifik. Hosnan (2014) menjelaskan bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses, seperti mengamati mengklasifikasikan, mengukur, meramalkan, menjelaskan dan [ 104 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
menyimpulkan. Dalam pelaksanaan proses tersebut bantuan guru juga diperlukan, namun bantuan tersebut harus berkurang dalam setiap pertemuannya. Tahapan atau proses-proses tersebut bertujuan untuk membantu guru dalam memberikan materi pelajaran yang akan diberikan, dalam hal ini adalah pada mata pelajaran ekonomi. Pembelajaran ekonomi melalui pendekatan saintifik dengan melalui tahapantahapan yaitu: 1) tahap mengamati, kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam tahap ini adalah dengan membaca sumber-sumber tertulis, mendengar informasi lisan, melihat gambar, menonton tayangan dan menyaksikan fenomena alam, social, budaya. Pada tahap ini siswa akan terlatih dalam mencari informasi, menemukan fakta atau suatu persoalan. Dalam tahap mengamati guru juga dapat memberikan model pembelajaran inkuiri di mana para siswa telah menemukan persoalan, fakta dan informasi yang ada. 2) Tahap menanya, pada pendekatan saintifik ini siswa dapat mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak dipahami dari sesuatu yang diamati dari pertanyaan ini terlihat bahwa tahapan ini dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan sikap kritis. 3) Tahap menalar, di mana kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan sejumlah informasi yang ada dan informasi-informasi yang menjawab dari permasalahan yang telah diajukan oleh siswa, cara yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara, melakukan pengamatan lapangan. Hasil yang didapat pada tahap ini adalah siswa dapat mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi dengan berbagai cara. 4) Tahap mengasosiasi, tahap ini menerapkan pemahaman atas suatu persoalan lain yang sejenis, di tahap ini siswa dapat mengembangkan kemampuan bernalar secara sistematis dan logis. 5) Tahap terakhir dalam pendekatan saintifik adalah dengan mengkomunikasikan kegiatan yang dilakukan kepada orang lain secara jelas dan komunikatif, baik lisan ataupun tulisan. Tahapan ini dapat mengembangkan sikap jujur, percaya diri, bertanggung jawab, dan toleran dalam menyampaikan pendapat kepada orang lain dengan memperhatikan kejelasan, kelogisan dan kruntutan sistematikanya. Ke lima tahapan tersebut di atas diterapkan dengan melihat beberapa ranah hasil pembelajaran yang tertuang pada kegiatan pembelajaran di mana proses pembelajaran dalam pendekatan saintifik ini menyentuh kepada tiga ranah yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Ke tiga ranah dalam pembelajaran tersebut juga dibentuk dari model pembelajaran inkuiri di mana model pembelajaran ini di dasarkan pada penemuan atau pengamatan dari peserta didik. Pada model pembelajaran ini para siswa akan terbiasa menjadi seorang saintifis atau ilmuan. Menurut kosasih (2014) bahwa model pembelajaran inkuiri ini merupakan bagian dari kerangka pendekatan saintifik. Siswa tidak hanya disodorkan oleh sejumlah teori (pendekatan deduktif) tetapi mereka pun berhadapan dengan sejumlah fakta (pendekatan induktif) dari teori dan fakta itulah, mereka diharapkan dapat merumuskan tujuan. Model pembelajaran inkuiri menekankan pada kegiatan yang dilakukan oleh siswa dengan menciptakan situasi, pembahasan tugas dan identifikasi masalah, melakukan observasi, pengumpulan data, pengolahan data dan P a g e [ 105 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 analisis, memverifikasi hasil temuannya dan terakhir mengeneralisasi. Pada model pemelajaran inkuiri peran guru sebagai motivator, fasilitator, penanya, administrator, pengarah, manajer, rewarder (Trianto:2007) sehingga pembelajaran inkuiri disini dilakukan mengajak siswa untuk terlibat langsung di dalam proses ilmiah dalam waktu relatif singkat. Penerapan pendekatan saintifik melalui model pembelajaran inkuri pada mata pelajaran ekonomi akan sangat tepat, dengan mempertimbangkan keragaman materi yang ada. Materi ekonomi akan menarik untuk dipahami oleh siswa dengan cara menemukan sendiri dari permasalahan atau pembahasan materi tersebut, yang sebenarnya sudah ada dan terjadi di sekitar siswa. Dengan proses pendekatan saintifik siswa dapat termotivasi untuk belajar agar tidak merasa tertinggal dari teman-temannya. Dari hasil penelitian terdahulu mengenai penerapan pembelajaran inquiri dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang telah di teliti oleh Seran menyatakan bahwa rata-rata siswa yang telah menggunakan metode pembelajaran inkuiri telah berhasil dengan baik ini dilihat dari ketuntasan individu rat-rata mencapai 20,50 dengan ketuntasan klasikal mencapai 95,65% hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan ketika menggunakan model pembelajaran konvensional yaitu yaitu ketuntasan individu sebesar 14 dan ketuntasan klasikal hanya 65,21%. KESIMPULAN Dari pemaparan mengenai pendekatan saintifik dan model pembelajaran inkuiri dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik merupakan pendekatan berbasis ilmiah, di mana dalam pendekatan yang dilakuakan meliputi kegiatan 5 M yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menalar dan mengkomunikasikan. Dengan pendekatan saintifik siswa dilatih untuk membahas sebuah teori melalui proses menemukan dan menyusun sendiri informasi-informasi yang terkait dengan materi. Dalam kegiatan belajar mengajar khususnya pada mata pelajaran ekonomi, penerapan model saintifik akan efektif jika diimbangi dengan penggunaan model pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam melihat atau mengamati suatu informasi sehingga peserta didik dapat berpikir logis, kritis, analitis sehingga terbentuk suatu kepercayaan diri. Diharapkan pembelajaran pada mata pelajaran ekonomi menjadi lebih menyenangkan sehingga timbul ketertarikan dari peserta didik untuk lebih menyukai mata pelajaran ekonomi yang dikemas melalui pendekatan saintifik dan model pembelajaran inkuiri. DAFTAR PUSTAKA Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21 kunci sukses implementasi kurikulum 2013. Jakarta: Ghalia Indonesia. Kosasih. (2014). Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Yrama Widya.
[ 106 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Deden)
Permendikbud No. 103 tahun 2014 tentang lampiran pembelajaran pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah Permendikbud tahun 2014 no. 59 lampiran 1 c mengenai kompetensi dasar pendidikan ekonomi SMA. Prastowo, Andi. (2014). Pembelajaran Konstruktivis-Scientific Untuk Pendidikan Agama Disekolah/Madrasah. Jakarta: Rajawali Grapindo Persada. Setyaningrum, yanur dan Husamah. (2013). Desain pembelajaran berbasis pencapaian kompetensi. Panduan merancang pembelajaran untuk mendukung implementasi kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka. Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisus. Suyono dan Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: Remaja rosdakarya. Seran, Ireine (2014). Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 2 Lamongan. Jurnal Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Manado. Volume 2 Nomor 8 tahun 2014 diakses dari http://ejournal.unima.ac.id/index.php/jpe/article/view/4337 pada 30 April 2015 Trianto. (2011). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
P a g e [ 107 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
METODE PEMBELAJARAN MIND MAPPING SEBAGAI UPAYA MENGEMBANGKAN KREATIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI Nuris Syahidah
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Perkembangan zaman yang semakin modern terutama era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 saat ini mengharuskan dunia pendidikan dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi sehingga mampu berdaya saing. Salah satu syarat agar sumber daya manusia bisa berdaya saing maka hal pokok yang dibutuhkan adalah kreativitas. Guru sebagai salah satu komponen penting yang menentukan keberhasilan proses belajar siswa harus mampu menciptakan situasi dan kondisi belajar yang menarik yaitu menggunakan metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif. Metode yang dapat digunakan yaitu mind mapping. Teknik mind mapping yang menggabungkan gambar, warna, dan simbol dapat mengajak siswa untuk menggali potensi dirinya untuk lebih kreatif. Tujuan artikel kajian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan metode pembelajaran mind mapping yang dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran ekonomi. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode mind mapping dapat menggabungkan kemampuan kedua belah otak sehingga dapat mengembangkan kreativitas siswa. Penggunaan mind mapping juga mendorong siswa berpikir sinergis, mempertajam ingatan dan melakukan imajinasi melalui asosiasi. Kata kunci: mind mapping, kreativitas
PENDAHULUAN Perkembangan zaman yang semakin modern terutama era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 seperti sekarang ini memberikan tantangan dan peluang yang berlaku di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Untuk menyikapi MEA 2015, maka dunia pendidikan harus mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Education systems should contribute towards the development of creativity and creative problem solving Osborn, 1992; Craft, 2003 (dalam Zampetakis dan Tsironis 2007). Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kreativitas, inovasi dan mampu berdaya saing menjadi sangat penting untuk dilakukan. Kreativitas sangat penting bagi perkembangan siswa, karena berpengaruh besar terhadap totalitas kepribadian seseorang dan kesuksesan dalam pembelajarannya. Menurut Andang Ismail (2003: 133) menjelaskan bahwa kreativitas dapat menjadi kekuatan (power) yang menggerakkan manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, bodoh menjadi cerdas, pasif menjadi aktif dan sebagainya. Pentingnya masalah tentang kreativitas tersebut maka guru sebagai salah satu komponen penting yang menentukan keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, harus mempunyai kemampuan mengajar secara profesional dan terampil [ 108 ] P a g e
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
dalam menggunakan model, metode dan media pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar tersebut. Guru selaku pengajar juga harus menguasai materi yang akan disampaikan, pandai menciptakan situasi dan kondisi mengajar yang menarik, serta kreatif dalam menyampaikan materi pembelajaran yaitu salah satunya dengan menggunakan metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif. Salah satu metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa lebih tertarik pada materi pelajaran yang disampaikan guru dan melatih siswa lebih kreatif yaitu mind mapping. Menurut Tony Buzan (2012:4) Mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan memetakan pikiran kita. Mind Mapping merupakan suatu teknik mencatat yang menggunakan kata-kata, warna, garis, simbol serta gambar dengan memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi. Selain itu cara ini juga menenangkan, menyenangkan dan kreatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Zampetakis dan Tsironis (2007) yang mengatakan bahwa mind mapping adalah alat yang bahkan dapat membuat tugas yang membosankan menjadi yang paling menyenangkan dan menarik, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan daya ingat. Dengan menggunakan mind mapping maka kemampuan untuk mengingat dan kreativitas akan meningkat. Dalam pembelajaran ekonomi dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh (holistik) bagi siswa untuk dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa diharapkan dapat memahami keseluruhan konsep dalam satu materi, bukan hanya bagian-bagian kecil dari materi tersebut. Teknik mind mapping ini dapat mengajak siswa untuk menggali potensi diri. Keseluruhan konsep dalam materi tersebut dapat dirangkum menjadi sebuah bentuk peta pikiran yang membantu siswa mengingat dan memahami keseluruhan materi pembelajaran ekonomi. Pembelajaran dengan penggunaan mind mapping sangat menekankan kebermutuan proses pembelajaran. Dengan pembelajaran seperti ini maka siswa dapat mengasah kemampuan kognitifnya juga dapat mendapatkan pengalaman langsung, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Berdasarkan penjabaran di atas maka penulis ingin mengetahui bagaimana metode pembelajaran mind mapping dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran ekonomi? HASIL DAN PEMBAHASAN Mind Mapping Menurut Jensen dan Makowitz (2002) mind mapping merupakan teknik visualisasi verbal ke dalam gambar yang dapat membantu merekam, memperkuat, dan mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. Sedangkan, menurut Andri Saleh (2009:100), mind mapping adalah diagram yang digunakan untuk menggambarkan sebuah tema, ide, atau gagasan utama dalam materi pelajaran. Dari kedua definisi di atas maka dapat
P a g e [ 109 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 disimpulkan bahwa mind mapping adalah sebuah cara efektif untuk menyimpulkan suatu materi pembelajaran dengan mengubah teknik verbal menjadi teknik visualisasi gambar. Mind map adalah sebuah metode penyimpanan, pengaturan informasi berbentuk jaringan yang menggunakan kata kunci dan gambar, dan akan menyimpan ingatan secara spesifik serta mendorong pemikiran dan ide baru. Setiap kata kunci dalam sebuah mind map merupakan fakta, ide dan informasi yang juga dapat membuka dan melepaskan potensi yang sebenarnya dari pikiran seseorang. Mind mapping juga merupakan cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran individu (Buzan, 2007). Mind mapping dapat dibuat dengan menggunakan tulisan tangan dengan mengkombinasikan warna, gambar juga cabang-cabang melengkung sesuai yang diinginkan, sehingga mind mapping menjadi tidak bosan untuk dilihat secara visual. Mind mapping merekam seluruh informasi melalui simbol, gambar, garis, kata, dan warna. Catatan yang dihasilkan menggambarkan pola gagasan yang saling berkaitan dengan topik utama di tengah dan subtopik dengan rinciannya diletakkan pada cabangcabangnya. Oleh karena itu, catatan dalam bentuk mind mapping memungkinkan otak dapat lebih mudah memahami ulang gagasan dalam wacana secara utuh dan menyeluruh. Buzan (2007:5) menyatakan bahwa mind mapping dapat membantu individu dalam banyak hal yaitu, mind mapping dapat memberikan pandangan menyeluruh terhadap suatu pokok permasalahan, mendorong seseorang untuk memecahkan masalah dengan menemukan penyelesaian yang kreatif, dan mind mapping dapat menjelaskan semua informasi yang sudah dipeta-petakan. Sedangkan manfaat mind mapping yang diambil dari (http://ikhs.wordpress.com ) yaitu: 1. Mempercepat pembelajaran karena mampu memahami konsep yang sama dengan kerja otak ketika menerima pelajaran 2. Melihat koneksi antar topik yang satu dengan yang lain yang memiliki keterkaitan 3. Membantu brainstorming, mengasah kemampuan otak bekerja 4. Membantu ide serta gagasan yang mengalir karena tidak selalu ide serta gagasan dapat mudah direkam 5. Melihat gambaran suatu gagasan secara luas dan besar, sehingga membantu otak bekerja secara maksimal dan berpikir besar terhadap suatu gagasan 6. Menyederhanakan struktur ide dan gagasan 7. Memudahkan untuk mengingat ide dan gagasan 8. Meningkatkan daya kreativitas dan inovatif Kreativitas Munandar (2004), kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas memainkan [ 110 ] P a g e
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
peranan penting dan sangat diperlukan dalam pembelajaran, karena kreativitas dapat mengembangkan potensi anak. Kreativitas dapat dipandang sebagai bentuk intelejensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gardner (dalam Beetlestone 2012:28) yang memandang kreativitas sebagai salah satu dari multiple intelejensi yang meliputi berbagai fungsi otak. Setiap anak yang dilahirkan pasti memiliki potensi kreatif. Ketika seorang anak berusaha mengeksplorasi apapun yang ada di sekitarnya maka kita bisa melihat potensi kreatif anak tersebut. Sehingga tidak ada anak yang sama sekali tidak mempunyai kreativitas, tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana potensi kreatif pada anak tersebut dapat dikembangkan dengan baik. Untuk mengembangkan kreativitas, setiap anak perlu diberi kesempatan bersibuk diri secara kreatif. Anak dalam hal ini siswa harus terlibat terlebih dahulu dalam proses pembelajaran, dengan kata lain siswa harus mempunyai motivasi yang cukup untuk memulai kemudian melakukan tugas dengan tekun. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat merangsang siswa untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu mengusahakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini yang penting ialah memberi kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif, tanpa merugikan orang lain atau lingkungan (Munandar, 2004: 46). Untuk menjadikan siswa menjadi kreatif tentunya tidak bisa dilakukan secara instan, tapi membutuhkan sutu proses untuk mengasah potensi kreatif yang dimiliki oleh setiap siswa tersebut. Menurut Lowenfeld dan Brittain (dalam Beetlestone 2012:100) ada empat tahap perkembangan kreativitas yaitu: 1. Scribbling stage (tahap corat coret) 2. Pada tahap ini anak sibuk mengeksplorasi lingkungan melalui semua inderanya dan mengekspresikannya melalui pola-pola yang acak. Eksplorasi warna, ruang dan materi-materi tiga dimensi. 3. Pre-schematic (pra-skematik) 4. Pada tahap ini anak mengekspresikan pengalaman-pengalaman nyata ataupun imajinasi dengan usaha pertamanya untuk mempresentasikan 5. Schematic (skematik) 6. Pada tahap ini anak menginvestigasi cara-cara dan metode baru, berusaha mencari sebuah pola untuk menciptakan hubungan antara dirinya dan lingkungan. Di sini simbol-simbol digunakan untuk pertama kalinya 7. Visual realism (realisme visual) 8. Pada tahap ini anak menyadari peran kelompok atau lingkungan sosial. Metode pembelajaran mind mapping sebagai upaya mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran ekonomi Mind mapping merupakan cara belajar yang efektif karena dapat mengubah teknik verbal ke dalam visualisasi gambar. Gambar dapat membantu menyampaikan pesan secara konkret sehingga memudahkan siswa untuk memperkuat pemahaman terhadap konsep materi pembelajaran. Menurut Sadiman, dkk (2011:29) gambar lebih realistis P a g e [ 111 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menunjukkan pokok masalah dibandingkan dengan media verbal semata. Mind mapping juga dapat dibuat dengan menggunakan warna. Warna merupakan media yang sangat kuat tapi seringkali dipandang remeh. Hasil penelitian Robert Gerard (dalam Jensen 2008) mengemukakan bahwa setiap jenis warna memiliki panjang gelombang, setiap panjang gelombang mulai dari ultraviolet ke inframerah dapat mempengaruhi otak dan tubuh seseorang secara berbeda tergantung pada kepribadian dan kondisi pikiran seseorang. Oleh karena itu penggunaan warna akan membuat mind mapping lebih hidup, lebih merangsang secara visual, dan menambah energi kepada pemikiran kreatif daripada metode pencatatan tradisional yang cenderung linier dan satu warna. Penggunaan mind mapping oleh guru dalam pembelajaran dapat menjadikan pembelajaran menjadi lebih efektif, semua konsep materi dapat disampaikan secara rinci karena satu gambar mind mapping dapat menjelaskan keseluruhan materi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ariana (2012) yang mengatakan bahwa ketika siswa menggunakan mind mapping siswa tidak hanya aktif dalam pembelajaran tapi mereka juga dapat melihat hasil dari usaha mereka sehingga belajar menjadi menyenangkan, penuh arti dan bermakna. Mind mapping juga dapat digunakan sebagai metode untuk pra-pemaparan siswa terhadap suatu topik. Penggunaan warna, gambar, informasi, dan kaitan antar informasi dapat digambarkan dalam peta pikiran siswa. Penelitian yang dilakukan oleh M.O Weil dan J. Murphy (dalam Jensen 2008) menunjukkan bahwa penggunaan pra-pemaparan sangat bermanfaat karena siswa akan mempelajari konsep-konsep atau prinsip-prinsip kunci dari subjek dan fakta-fakta terperinci serta potongan informasi yang ada pada konsep ini. Hasil tinjauan 135 studi dari J. Luiten (dalam Jensen 2008) dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dengan menggunakan mind mapping untuk pra-pemaparan menunjukkan pengaruh positif secara konsisten pada kemajuan siswa. Memetakan ide menjadi sebuah cara bagi siswa untuk mengonseptualisasikan ide, membentuk pikiran mereka, dan menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang mereka ketahui. Oleh karena itu penggunaan mind mapping oleh siswa juga dapat mengasah siswa untuk menghasilkan ide-ide baru. Siswa akan berusaha menggali lebih dalam kemampuannya untuk menghasilkan gambar mind mapping yang lebih bagus lagi dari yang sebelumnya. Mind mapping merupakan sebuah tindakan lanjutan ketika ide dihasilkan dan kemudian disusun untuk dapat digunakan dengan baik. Dalam menghasilkan ide ini dibutuhkan imajinasi siswa untuk menentukan gambar mind mapping yang akan dibuat. Imajinasi ini merupakan suatu hal yang efektif untuk mengembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan yang paling penting yaitu membangun kreativitas siswa. Dengan menggunakan imajinasi maka siswa dapat mengembangkan daya pikir dan daya nalarnya tanpa dibatasi oleh kenyataan sehari-hari. Imajinasi juga merupakan kekuatan atau proses menghasilkan ide. Darwis (dalam Liu, et al, 2014) percaya bahwa tidak ada batasan pada ide dan tidak ada aturan atau struktur ide. Dengan mengasah kemampuan pikiran kita untuk bebas berimajinasi, kita dapat mengeksplorasi kemampuan otak untuk menghasilkan ide dan gagasan cemerlang atau hal-hal kreatif. [ 112 ] P a g e
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
Mengasah imajinasi ternyata dapat membangun kreativitas, tetapi hal ini dapat menjadi tidak produktif apabila tidak disalurkan ke arah yang positif. Kenapa imajinasi ini dapat membangun kreativitas siswa? Jawabannya adalah karena imajinasi itu membuat siswa berpikir secara bebas tanpa adanya suatu batasan dalam berpikir. Dengan demikian siswa akan memiliki daya asosiasi yang tinggi dengan kehidupan sekelilingnya, hal inilah yang membuat anak-anak menjadi kreatif. Penggunaan mind mapping dapat digunakan untuk melatih siswa agar siswa menjadi lebih kreatif, siswa akan berusaha membuat gambar mind mapping sesuai dengan imajinasi mereka yang dihubungkan dengan kehidupannya. Mind mapping merupakan proses alami yang menghubungkan rangkaian koneksi antara gambar dan pengalaman, juga menghubungkan antara ide, logika alami dan alasan yang digunakan oleh otak untuk menafsirkan pengetahuan (Ariana, 2012). Di samping itu penggunaan mind mapping juga memungkinkan siswa mengidentifikasi dengan jelas apa yang telah siswa pelajari atau apa yang tengah siswa rencanakan. Kreativitas tidak bisa muncul secara instan, tapi dibutuhkan proses untuk membangunnya. Begitu juga dengan pembuatan mind mapping yang membutuhkan proses. Ketika siswa membuat mind mapping hal awal yang dilakukan yaitu siswa akan berusaha menggunakan inderanya untuk mengingat sesuatu yang pernah ditemuinya bisa berupa gambar, warna, pola dan lain sebagainya. Melibatkan indera ini akan membantu siswa menciptakan ingatan tiga dimensi dari dalam ingatnnya. Tahap ini sesuai dengan perkembangan kreativitas yaitu scribbling stage. Tahap kedua yaitu preschematic, setelah anak menggunakan inderanya untuk mengingat sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan, maka siswa akan menggunakan imajinasinya untuk menghasilkan ide apa yang akan dibuatmya. Setelah ide sudah didapatkan maka siswa akan membuat mind mapping dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol ini dapat berupa gambar, warna, pola, cabang, lengkungan dan lain sebagainya. Penggunaan gambar dalam mind mapping akan mendorong otak siswa membuat asosiasi dan mendorong pemikiran sinergis, yaitu setiap cabang mengaitkan satu pikiran dengan pikiran lainnya, tahap ini disebut dengan tahap schematic. Tahap yang terakhir yaitu visual realism, pada tahap ini dibutuhkan peran kelompok dan lingkungan sosial. Siswa dapat menggunakan mind mapping sebagai alat komunikasi kreatif misalnya digunakan untuk presentasi, berbicara atau berpidato. Dengan menggunakan mind mapping maka siswa dapat menyusun pikiran dengan cepat, sesuai dengan urutan yang benar, dan memasukkan semua ide atau gambaran kunci yang dapat menyalakan imajinasi siswa ketika siswa presentasi. Sehingga presentasi menjadi lebih menyenangkan. Dari penjelasan di atas maka tahapan dalam membuat mind mapping dapat membangun proses pembentukan kreativitas siswa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zampetakis, et.al., (2007) menunjukkan bahwa teknik mind mapping memberikan kontribusi yang signifikan untuk belajar siswa, terutama dalam bidang pendidikan karena peta pikiran dapat mengajarkan teknik dan menghubungkan peta pikiran dengan pelajaran mereka. Tentunya penggunaan metode P a g e [ 113 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mind mapping ini akan lebih efektif jika dibandingkan dengan metode mencatat biasanya. Dengan menggunakan mind mapping maka keseluruhan konsep materi pelajaran akan terangkum menjadi sebuah bagan yang membantu menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang saling terpisah, memberi gambaran yang jelas pada keseluruhan dan perincian, memungkinkan kita mengelompokkan konsep, membantu kita membandingkannya, dan mensyaratkan kita untuk memusatkan perhatian pada pokok bahasan atau materi yang membantu mengalihkan informasi tentang hal yang ada dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang. Hasil penelitian Saleh (2013) menunjukkan bahwa teknik mind mapping memberikan sumbangan terhadap peningkatan kreativitas yang diukur dari empat faktor yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Peningkatan kreativitas tersebut dapat dilihat dari peningkatan skor dari pre-tes ke skor post-tes di mana peningkatan kreativitas siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelas kontrol. Penelitian Priantini, dkk (2013) menghasilkan bahwa dengan menggunakan metode mind mapping keterampilan berpikir siswa pada rata-rata 66,94 dan prestasi belajar pada rata-rata 82,06, hal ini lebih baik daripada keterampilan berpikir kreatif dengan pembelajaran konvensional yang rataratanya hanya 59,12 dan prestasi belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional sebesar 78,68. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kreatif siswa yang mengikuti metode pembelajaran mind mapping hasilnya lebih baik daripada keterampilan berpikir kreatif siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Dan hasil penelitian Silaban menunjukkan bahwa 95% metode mind mapping dalam advance organizer berpengaruh secara signifikan terhadap kreativitas siswa. Darusman (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hasil analisis data awal (pretest) perbandingan kemampuan awal siswa pada kemampuan berpikir kreatif pada kelas eksperimen yaitu 6.15 dengan standar deviasi 1.83 sedangkan pada kelas kontrol yaitu 6.42 dengan standar deviasi 1.71. hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sedangkan pada data akhir (posttest) perbandingan kemampuan akhir siswa pada kemampuan berpikir kreatif pada kelas eksperimen yaitu 10.9 dengan standar deviasi 2.49 dan pada kelas kontrol yaitu 9.74 dengan standar deviasi 2.06. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan akhir siswa pada kemampuan berpikir kreatif pada kelas eksperimen lebih baik pada kelas kontrol. Berdasarkan penjabaran tentang hasil penelitian di atas, penggunaan mind mapping ternyata dapat membangun kreativitas siswa. Ketika seseorang (siswa) belajar pada umumnya menggunakan otak kiri, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam menggunakan otak sehingga hasil belajar menjadi tidak efektif. Penggunaan mind mapping akan melibatkan kedua sisi otak karena mind mapping menggunakan gambar, warna dan imajinasi (otak kanan) dengan kata, angka dan logika (otak kiri). Dengan menggunakan mind mapping maka akan terjadi keseimbangan kerja dua belahan otak. Dengan cara ini belajar menjadi tidak cepat bosan, [ 114 ] P a g e
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
materi belajar akan lebih mudah diingat, ide-ide akan muncul dan hasil belajar akan bisa memuaskan. Mind mapping juga dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru hasil pemikiran siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Menggunakan mind mapping dalam pembelajaran memiliki banyak manfaat. Ketika guru memberikan tugas kepada siswa membuat mind mapping atau siswa berusaha sendiri untuk membuat mind mapping, maka membuat mind mapping ini akan mendorong siswa untuk berpikir sinergis. Setiap cabang-cabang yang dibuat akan mendorong siswa untuk menciptakan lebih banyak ide dari setiap pikiran yang ditambahkan dalam mind mapping. Mind mapping juga membantu otak melakukan imajinasi melalui asosiasi antar gagasan, karena informasi yang didapatkan akan dikaitkan secara logis dan teratur. Dengan melalui asosiasi dan pengembangan imajinasi, mind mapping dapat membantu siswa untuk memfokuskan perhatian pada apa yang menjadi inti persoalan. Selain itu penggunaan mind mapping akan membantu siswa untuk lebih mempertajam ingatan siswa. Menurut Buzan (2007) manfaat mind mapping yaitu untuk meningkatkan kecepatan berpikir, memberi kelenturan yang tak terbatas, dan membawa pikiran menjelajah jauh untuk menemukan ide-ide orisinil. Mind Map membuat sistem berpikir yang bekerja sesuai dengan cara kerja alami otak manusia dan mampu membuka dan memanfaatkan seluruh potensi dan kapasitasnya. Sistem ini mampu memberdayakan seluruh potensi, kapasitas, dan kemampuan otak manusia sehingga menjamin tingkat kreativitas dan kemampuan berpikir yang lebih tinggi bagi penggunanya. Oleh karena itu mind map merupakan alat berpikir istimewa yang melibatkan seluruh bagian otak sehingga dapat membangun kreativitas anak dan menjadikan pembelajaran menjadi optimal. SIMPULAN Dari pembahasan di atas maka dapat diambil simpulan bahwa guru memiliki peran penting dalam menunjang keberhasilan proses belajar siswa. Dalam pembelajaran ekonomi dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh (holistik) bagi siswa untuk dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat memecahkan permasalahan dibutuhkan adanya kreativitas, sehingga guru harus selalu melakukan inovasi dalam pembelajaran agar dapat membangun kreativitas siswa. Metode mind mapping merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membangun kreativitas siswa. Dengan penggunaan metode mind mapping maka siswa akan terus terpacu mengembangkan imajinasinya untuk dapat menghasilkan ide. Dengan menggunakan imajinasi maka siswa dapat mengembangkan daya pikir dan daya nalarnya tanpa adanya batasan tertentu. Dengan demikian siswa akan memiliki daya asosiasi yang tinggi dengan kehidupan sekelilingnya, hal inilah yang membuat anak-anak menjadi kreatif. Penggunaan metode mind mapping yang menggabungkan kemampuan kedua belah otak yaitu otak kiri yang menggunakan kata, angka, dan logika dan otak kanan yang menggunakan warna, gambar, dan imajinasi juga dapat membangun kreativitas siswa karena metode ini menggunakan seluruh kemampuan otak. P a g e [ 115 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA Ariana, Monica. (2012). Mind Mapping And Brainstorming As Methods Of Teaching Business Concepts In English As A Foreign Language. Academica Science Journal Psychologica Series. No. 1. 2012 Azman, dkk. (2014). “Buzan Mind Mapping: An Efficient Technique for Note-Taking”. International Journal of Social, Education, Economics and Management Engineering. Vol.8 No.1, pp. 28-31. Beetlestone, Florence. (2012). Creative learning: strategi pembelajaran untuk melesatkan kreativitas siswa. Bandung: Nus Media Buzan, Tony. (2012). Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Darusman, Rijal. (2014). Penerapan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa SMP. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika Stikp Siliwangi Bandung. Vol.3 No.2 Ismail, Andang. (2009). Education Games. Yogyakarta: Pro U Media Jensen, Eric & Karen, Makowitz. (2002). Otak Sejuta Gygabite: Buku Pintar Membangun Ingatan Super. Kaifa: Bandung. Jensen, Eric. (2008). Brain-Based Learning. Yogyakarta: pustaka belajar Liu, Ying.,et.al. (2014). The Effect of Mind Mapping on Teaching and Learning:A MetaAnalysis. Journal of Education and Essai. Vol.2 No.1, pp.017-031. Munandar S.C. Utami. (2002). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Munandar, Utami. (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta. Priantini, dkk. (2013). Pengaruh Metode Mind Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif Dan Prestasi Belajar IPS. Jurnal pendidikan dasar. Vol. 3. Tahun 2013 Ramlan, dkk. Pengaruh media mind mapping terhadap kreativitas dan hasil belajar kimia siswa SMA pada pembelajaran menggunakan advance organizer. Ratumanan, Tanwey Gerson. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Unesa university press Sadiman, dkk. (2011). Media Pendidikan: Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Pengertian,
Pengembangan
dan
Saleh, Andi. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif STAND dengan Teknik Mind Mapping terhadap Kreativitas Siswa Kelas XII IPA SMA Se-Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Disajikan pada seminar nasional biologi, Surabaya, tanggal 19 januari 2013 Saleh, Andri. (2009). Kreatif Mengajar dengan Mind Map. Bandung: Tinta Emas Publishing Sanjaya. (2012). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Silaban, Ramlan & Napitupulu, Masita Anggraini. (2011). Pengaruh Media Mind Mapping Terhadap Kreativitas Dan Hasil Belajar Siswa SMA Pada Pembelajaran Menggunakan Advance Organizer. Universitas Negeri Medan. [ 116 ] P a g e
Metode Pembelajaran Mind… (Nuris Syahidah)
Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. (2010). Media Pengajaran. Bandung: Sinar baru algensindo Zampetakis, Leonidas A and Tsironis, Loukas. (2007). “Creativity development in engineering education: the case of mind mapping”. Journal of Management Development. Vol. 26 No. 4, pp. 370-380.
P a g e [ 117 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PBL UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN TATANIAGA Finisica Dwijayati Patrikha Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Pendidikan Pendidikan tinggi merupakan pembelajaran untuk manusia dewasa (andragogy) yang lebih menekankan pada keaktifan mahasiswa. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan yang mampu merangsang mahasiswa untuk dapat aktif dan analitis dalam proses perkuliahan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan rangsangan tersebut adalah dengan menerapkan model Problem Based Learning (PBL). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Pendidikan Ekonomi, program studi Pendidikan Tata Niaga Angkatan 2013 yang mengikuti perkuliahan Manajemen Pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor aktivitas mahasiswa pada siklus I adalah 64,2 persen dan mengalami peningkatan rerata pada siklus II menjadi 69,6 persen, sedangkan untuk hasil belajar mahasiswa pada siklus I memiliki rerata sebesar 78,6 dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 87,9. Kata kunci: PBL, hasil belajar, aktivitas belajar
PENDAHULUAN Model pembelajaran merupakan salah satu metodologi yang diciptakan dunia pendidikan dalam rangka menuju ke tercapainya suatu perubahan. Pelaksanaan model pembelajaran tentunya melibatkan pembelajar dan peserta didik, artinya seorang dosen itu harus berinovasi dan selalu menciptakan perubahan dalam kegiatan pembelajaran. Pendidikan tinggi seharusnya sudah menerapkan model pembelajaran yang diperuntukkan untuk manusia dewasa (andragogy) yang lebih menekankan pada keaktifan mahasiswa, dan menumbuhkan kesempatan bagi mahasiswa untuk bertumbuh dalam proses belajarnya. Itu sebabnya suatu program pembelajaran diperlukan, sebuah program yang tidak hanya meningkatkan keaktifan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran tetapi juga melatih kemampuan mahasiswa untuk bernalar dengan logikanya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Tujuan Program studi Tata Niaga secara umum mengacu pada isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) Pasal 3 mengenai Tujuan Pendidikan Nasional dan penjelasan Pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Dalam penjelasan Pasal 15 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan Program Keahlian Tata Niaga adalah membekali peserta didik dengan keterampilan, pengetahuan dan sikap agar kompeten untuk melakukan pemasaran barang dan jasa, Mampu memilih karier, mampu berkompetisi dan mampu [ 118 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
mengembangkan diri dalam lingkup keahlian Bisnis dan Manajemen, khususnya Penjualan. Materi tentang segmenting, targeting, dan positioning atau lebih dikenal dengan STP dalam matakuliah Manajemen Pemasaran. Secara khusus pembelajaran materi STP berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 bertujuan membekali mahasiswa program studi Pendidikan Tata Niaga dengan kemampuan yang salah satunya adalah melakukan pemasaran barang dan jasa. Pembelajaran STP sendiri membutuhkan analisis dari mahasiswa untuk dapat menemukan strategi yang sesuai dengan permasalahan pemasaran dari target pasar yang dipilih untuk dihadapinya. Selain itu pembelajaran materi STP menuntut mahasiswa untuk aktif dan berpikiran logis serta analitis dalam menelaah materi serta permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan suatu kegiatan yang menstimulus mahasiswa untuk dapat aktif dan analitis, yaitu melalui kegiatan belajar menggunakan metode problem based learning. Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah penerapan metode Problem Based Learning pada matakuliah Manajemen Pemasaran dengan materi STP?; (2) Bagaimanakah aktivitas belajar mahasiswa Pendidikan Ekonomi Tata Niaga dalam mengikuti matakuliah Manajemen Pemasaran dengan materi STP menggunakan metode Problem Based Learning?; (3) Bagaimanakah hasil belajar mahasiswa Pendidikan Ekonomi Tata Niaga dalam mengikuti matakuliah Manajemen Pemasaran dengan materi STP menggunakan metode Problem Based Learning? Pembelajaran yang dikatakan aktif yaitu dengan menciptakan suatu kondisi di mana mahasiswa dapat berperan aktif, sedangkan dosen bertindak sebagai fasilitator. Dalam hal ini pembelajaran dengan Problem Based Learning sebagai salah satu bagian dari pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan suatu model pembelajaran yang dipilih untuk mengatasi masalah dihadapi peneliti untuk meningkatkan aktivitas mahasiswa. Menurut Tan dalam Rusman (2010: 229), Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) merupakan inovasi dalam pembelajaran karena pada model ini kemampuan berpikir siswa (peserta didik) betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar. Alipandie (1984: 18-19) mengemukakan pendapatnya bahwa ada dua aktivitas yang dinilai dalam pembelajaran yaitu aktivitas fisik (jasmaniah) dan aktivitas mental (rohaniah). Aktivitas fisik merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan mahasiswa seperti kesibukan melakukan penelitian, percobaan, membuat konstruksi model dan sebagainya, sedangkan aktivitas mental adalah berbagai kegiatan yang meliputi unsurunsur kejiwaan mahasiswa dalam pengajaran yang tampak jelas pada ketekunan mengikuti pelajaran, mengamati secara cermat, mengingat, berpikir untuk memecahkan persoalan dan mengambil kesimpulan.
P a g e [ 119 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu dosen memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, akan tetapi pembelajaran PBL dikembangkan untuk membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata dan menjadi pembelajaran yang mandiri. Menurut Wijaya (1988: 189) menyebutkan bahwa “hakikat aktivitas belajar adalah keterlibatan intelektual emosional (keterlibatan mental) siswa dalam kegiatan belajar dan bukannya kegiatan fisik saja”. Aktivitas yang timbul dari mahasiswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi dan proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar serta tujuan pembelajaran tercapai. Karena aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara dosen dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, di mana masing-masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Paul B. Diedrich dalam Sardiman (2000: 100) menyatakan bahwa macam-macam aktivitas adalah sebagai berikut: 1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, membaca, melihat gambargambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain; 2. Oral activities, seperti mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi dan interupsi; 3. Listening activities, seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan musik dan mendengarkan pidato; 4. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin, membuat rangkuman, dan mengerjakan tes; 5. Drawing activities, seperti menggambar, membuat grafik, peta diagram dan pola; 6. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi model, mereparasi, bermain, berkebun dan beternak; 7. Mental activities, seperti merenungkan, menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan dan mengambil keputusan; 8. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup. Dengan demikian, aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran memiliki bentuk yang beraneka ragam, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati di antaranya adalah kegiatan dalam bentuk membaca, mendengarkan, menulis, memperagakan, dan mengukur yang telah disebutkan di atas. Benjamin S. Bloom dalam Dimyati (2006: 26-27) menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif, sebagai berikut: (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) [ 120 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
Penerapan, (4) Analisis, (5) Sintesis, dan (6) Evaluasi. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar dan instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada aspek kognitif adalah tes. Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Sudjana (2009: 3) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimyati dan Mudjiono (2006: 3-4) juga menyebutkan hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar.
Gambar 1. Siklus Penelitian (Skema PTK menurut Arikunto dkk, 2009:16) METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Arikunto menegaskan PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh dosen atau dengan arahan dari dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. (Arikunto, dkk, 2009:3). Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti menggunakan strategi dengan model siklus. Setiap siklus memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planning), tindakan P a g e [ 121 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Tahap-tahap tersebut dapat dilanjutkan ke siklus berikutnya secara berulang sampai permasalahan yang dihadapi dapat teratasi/terpecahkan. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi peneliti menentukan 2 (dua) siklus untuk mengatasinya. Jika digambarkan ke dalam sebuah grafik maka rancangan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas ekonomi Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Pendidikan Ekonomi, program studi Pendidikan Tata Niaga Angkatan 2013 A. Kelas tersebut berjumlah 40 orang mahasiswa, yang beranggotakan 16 orang laki-laki dan 24 orang perempuan, di mana mahasiswa tersebut mengikuti perkuliahan Manajemen Pemasaran. Dalam menerapkan Model Pembelajaran PBL, peneliti menggunakan tahapan penerapan berdasarkan sintaks model pembelajaran PBL dari Rusman (2010) dan mengembangkan tingkah laku Dosen untuk disesuaikan dengan keadaan kelas. Sintaks model pembelajaran PBL dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Tahapan Tingkah Laku Dosen - Dosen menjelaskan tentang tujuan pembelajaran Tahap 1: Orientasi mahasiswa - Memberikan pertanyaan apersepsi tentang STP kepada masalah - Memberikan penjelasan tentang STP - Membagi kelas kedalam kelompok yang Tahap 2: beranggotakan 4-5 mahasiswa Mengorganisasi mahasiswa untuk - Memberikan suatu kasus untuk belajar dianalisis dalam kelompok - Mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai Tahap 3: dengan kasus yang dihadapi Membimbing penyelidikan - Membantu mahasiswa menyelesaikan individual dan kasus (masalah) yang dihadapi sesuai kelompok dengan analisis menggunakan materi STP Tahap 4: - Membantu mahasiswa untuk Mengembangkan merencanakan atau menyajikan hasil dan menyajikan diskusi kelompoknya hasil karya - Membantu mahasiswa melakukan Tahap 5: refleksi atau evaluasi terhadap Menganalisis dan penyelidikan mereka dan proses-proses mengevaluasi proses yang mereka gunakan melalui pemecahan masalah rangkuman hasil diskusi (Diolah Peneliti, 2014) Data penelitian yang dikumpulkan berupa informasi tentang aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada pembelajaran khususnya matakuliah manajemen pemasaran [ 122 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
pada materi Segmenting, Targeting, dan Positioning (STP). Data diperoleh dari (1) Hasil observasi keaktifan mahasiswa selama proses perkuliahan; (2) Hasil evaluasi pre test pada awal siklus I dan post test di akhir siklus; (3) Dokumentasi penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kegiatan pra tindakan mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal pre-test yang berjumlah 15 (lima belas) butir soal, yang terdiri dari 5 soal tentang Segmenting, 5 soal tentang Targeting dan 5 soal tentang Positioning. Kriteria keberhasilan yang digunakan adalah penilaian acuan patokan yaitu jika 80 persen mahasiswa memperoleh nilai lebih besar dari 75, maka dikatakan bahwa mahasiswa tersebut berhasil atau tuntas dalam belajar. Berdasarkan hasil penilaian pre-test dapat diketahui bahwa rerata skor mahasiswa adalah 53,7 yang masih berada di bawah skor ketentuan tuntas belajar. Diketahui juga bahwa sebanyak 37 mahasiswa atau 93 persen dari total mahasiswa tidak dapat dinyatakan tuntas belajar, dikarenakan mereka belum mempelajari secara mandiri materi yang diberikan oleh Dosen dalam kelas. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa masih bergantung pada Dosen tentang materi yang akan dipelajari, data tersebut di atas juga menunjukkan bahwa mahasiswa kurang aktif untuk belajar secara mandiri di luar kelas. Hasil yang diperoleh dari kegiatan pre-test ini digunakan sebagai dasar melaksanakan tindakan penerapan model pembelajaran PBL. Siklus I Tahap perencanaan tindakan, peneliti menyiapkan skenario pembelajaran, instrumen penelitian berupa rubrik penilaian aktivitas belajar mahasiswa, dan menyediakan topik untuk diskusi, dalam hal ini adalah contoh kasus yang hendak diamati dan dianalisis oleh kelompok. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan kedalam 5 (lima) tahapan sesuai dengan sintaks model pembelajaran PBL menurut Rusman (2010). Dosen membantu mahasiswa untuk menyajikan hasil diskusinya dengan teman satu kelompoknya di depan kelas, dengan memberikan susunan atau tata cara presentasi di depan kelas. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk membuat suatu rangkuman mengenai hasil dari diskusi yang dilakukan bersama, dan membahasnya untuk membantu mahasiswa merefleksikan atau mengevaluasi hasil analisis kasus yang telah mereka lakukan. Dosen perlu mengarahkan pembahasan agar diskusi yang dilakukan tidak terlalu melebar melainkan terfokus pada materi yang diberikan yaitu STP. Jika dirasa pembahasan tentang kasus 1 dianggap telah cukup maka diskusi dianggap telah selesai. Setelah kegiatan pada siklus I dianggap telah selesai maka mahasiswa diberikan soal post-test yang telah dipersiapkan dosen di akhir siklus I ini. Soal berjumlah 15 butir dan dikerjakan selama 15 menit. Berdasarkan hasil post-test diketahui bahwa sebanyak 13 atau 67 persen orang mahasiswa dikatakan tuntas belajar namun belum mencukupi
P a g e [ 123 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 target keberhasilan yang diberikan oleh peneliti yaitu 80 persen. Oleh sebab itu siklus kedua perlu dilakukan. Siklus II Dalam siklus ini dosen mengambil hasil tindakan pada siklus I sebagai dasar perbaikan pada pelaksanaan siklus II. Berdasarkan hasil observasi pada siklus I diketahui bahwa penilaian aktivitas mahasiswa akan menjadi lebih mudah jika dilakukan dengan memberikan nomor kepada mahasiswa yang hendak bertanya sesuai dengan nomor absennya, untuk itu pada siklus II pemberian nomor absen kepada mahasiswa dilakukan untuk mempermudah observer dan peneliti menilai aktivitas mahasiswa. Dosen perlu mengarahkan pembahasan agar diskusi yang dilakukan tidak terlalu melebar melainkan terfokus pada materi yang diberikan yaitu STP. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk membuat suatu rangkuman mengenai hasil dari diskusi yang dilakukan bersama, dan membahasnya untuk membantu mahasiswa merefleksikan atau mengevaluasi hasil analisis kasus yang telah mereka lakukan. Jika dirasa pembahasan tentang kasus 2 dianggap telah cukup maka diskusi dianggap telah selesai. Setelah kegiatan pada siklus II dianggap telah selesai maka mahasiswa diberikan soal post-test 2 yang telah dipersiapkan dosen di akhir siklus II ini. Soal berjumlah 15 butir dan dikerjakan selama 15 menit. Berdasarkan hasil post-test diketahui bahwa sebanyak 38 atau 95 persen orang mahasiswa dikatakan tuntas belajar, hasil belajar mahasiswa pada siklus II ini telah mencukupi tingkat ketuntasan 80 persen yang telah ditentukan sebelumnya. Tabel 2. Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Model PBL Pada Siklus I dan II Skor (%) No Aspek yang Diamati Siklus I Siklus II 1 Visual activities 69,6 74,2 2 Oral activities 58,8 67,1 3 Listening activities 70,8 72,9 4 Writing activities 50,0 65,0 5 Drawing activities 65,8 67,1 6 Motor activities 65,8 69,2 7 Mental activities 66,7 75,0 8 Emotional activities 65,8 66,3 Rerata 64,2 69,6 Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Model PBL Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, aktivitas belajar Mahasiswa mengalami peningkatan dari siklus I dan II dengan kriteria “baik” dengan skor 3, “cukup” [ 124 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
dengan skor 2, dan “kurang” dengan skor 1. Skor aktivitas pada siklus I dan II dalam disajikan seperti dalam Tabel 2. Berdasarkan hasil penilaian yang digunakan untuk menilai aktivitas mahasiswa, maka dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan aktivitas belajar mahasiswa. Meskipun peningkatan yang terjadi tidak dapat dikatakan besar, namun dapat diketahui bahwa peningkatan paling tinggi pada siklus II berada pada aspek writing activities yaitu meningkat sebanyak 15,0 persen dari Siklus I. Dengan demikian penerapan pembelajaran model PBL dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa terutama writing activities. Tujuan penelitian tindakan penerapan pembelajaran model PBL untuk meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa dapat dikatakan terpenuhi. Hasil Belajar Mahasiswa dengan Model PBL Hasil belajar mahasiswa dalam pembahasan materi STP dengan penerapan model pembelajaran PBL mengalami peningkatan. Rerata kelas pada siklus I yaitu 78,6 meningkat menjadi 87,9 pada siklus II. Meskipun pada siklus I rerata nilai kelas yang diperoleh telah melampaui ketentuan tuntas belajar yaitu 75, namun peneliti merasa perlu untuk melakukan siklus ke II dikarenakan mahasiswa yang dapat dinyatakan tuntas belajar belum mencapai 80 persen, sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tabel 3. Hasil Belajar Mahasiswa Model PBL Pada Siklus I dan II No Kegiatan Rerata 1 Siklus I 78,6 2 Siklus II 87,9 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui pula bahwa pada siklus I mahasiswa yang dapat dikatakan tuntas belajar adalah 27 orang mahasiswa sedangkan 13 orang lainnya dianggap masih belum tuntas belajar. Pada siklus II jumlah mahasiswa yang dapat dikatakan tuntas belajar mengalami peningkatan menjadi 38 orang mahasiswa, atau 95 persen dari kelas telah tuntas belajar. Data ketuntasan belajar mahasiswa dalam penerapan model PBL dapat disajikan dalam Tabel 4.. Tabel 4. Ketuntasan Belajar Mahasiswa Model PBL Pada Siklus I dan II Siklus I Siklus II No Kriteria Jumlah % Jumlah % 1 Tuntas 27 67,5 38 95 2 Tidak Tuntas 13 32,5 2 5 Jumlah mahasiswa yang dapat dianggap tuntas belajar pada siklus II yaitu 38 orang atau 95 persen, jumlah ini telah melampaui kriteria keberhasilan penelitian tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu 80 persen. Untuk itu penelitian P a g e [ 125 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 tindakan ini dirasa cukup pada siklus II dan tidak diperlukan siklus berikutnya. Perbandingan hasil belajar mahasiswa dengan model pembelajaran PBL pada siklus I dan II dapat disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Grafik hasil belajar mahasiswa Berdasarkan gambar grafik tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dalam matakuliah manajemen pemasaran terutama materi Segmenting, targeting dan positioning (STP) dan memahami materi STP dalam menganalisis kasus yang diberikan oleh Dosen sesuai dengan materi. SIMPULAN Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung serta membandingkannya pada setiap siklus dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam matakuliah Manajemen Pemasaran materi Segmenting, Targeting, dan Positioning dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa terutama writing activities. Berdasarkan hasil pre-test, post-tes I dan post-test II yang dilakukan serta membandingkannya pada setiap siklus dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam matakuliah Manajemen Pemasaran materi Segmenting, Targeting, dan Positioning dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor aktivitas mahasiswa pada siklus I adalah 64,2 persen dan mengalami peningkatan rerata pada siklus II menjadi 69,6 persen, sedangkan untuk hasil belajar mahasiswa pada siklus I memiliki rerata sebesar 78,6 dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 87,9. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan untuk menerapkan model problem based learning (PBL) sebagai alternatif pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. [ 126 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Finisica Dwijayati Patrikha)
DAFTAR PUSTAKA Alipandie, I. 1984. Buku Pegangan Guru Didaktik Metodik: Pendidikan Umum. Surabaya: Usaha Nasional Arikunto, S., Suhardjono., Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Dimyati, Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Dosen. Jakarta: Rajawali Pers. Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf (diakses 6 November 2014) Wijaya, C., Djaja, D., Tabarani, R. 1988. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: Remadja Karya
P a g e [ 127 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PADA MATERI SIFAT-SIFAT WIRAUSAHAWAN MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING Jaka Nugraha & Choirul Nikmah
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aktivitas belajar dan hasil belajar mahasiswa kelas B program studi Pendidikan Administrasi Perkantoran (PAP) angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya pada mata kuliah kewirausahaan materi pokok sifat-sifat wirausahawan. Penelitian ini menggunakan penerapan model Problem Based Learning (PBL) dalam pembelajaran kewirausahaan dengan menggunakan desain penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan penerapan model PBL dapat meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP angkatan 2013 UNESA. Penerapan model PBL dengan metode diskusi dapat menjadikan mahasiswa aktif berpartisipasi dalam diskusi dan berpikir kritis. Oleh karena itu pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP angkatan 2013 UNESA dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Kata kunci: Kewirausahaan, Problem Based Learning, Penelitian Tindakan Kelas
PENDAHULUAN Sistem pendidikan di Indonesia ternyata telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi karena telah dilakukan berbagai usaha pembaharuan dalam pendidikan. Akibat pengaruh itu pendidikan semakin mengalami kemajuan. Sejalan dengan kemajuan tersebut, maka dewasa ini pendidikan di universitasuniversitas telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu terjadi karena terdorong adanya pembaharuan tersebut, sehingga di dalam pengajaran pun dosen selalu ingin menemukan metode dan peralatan baru yang dapat memberikan semangat belajar bagi semua mahasiswa. Bahkan secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pembaharuan dalam sistem pendidikan yang mencakup seluruh komponen yang ada. Pembangunan di bidang pendidikan barulah ada artinya apabila dalam pendidikan dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang membangun. Hakikatnya kegiatan belajar mengajar adalah suatu proses interaksi atau hubungan timbal balik antara dosen dan mahasiswa dalam satuan pembelajaran. Dosen sebagai salah satu komponen dalam proses belajar mengajar merupakan pemegang peran yang sangat penting. Dosen bukan hanya sekedar penyampai materi saja, tetapi lebih dari itu dosen dapat dikatakan sebagai sentral pembelajaran. Sebagai pengatur sekaligus pelaku dalam proses belajar mengajar, dosenlah yang mengarahkan bagaimana proses belajar mengajar itu dilaksanakan. Oleh karena itu dosen harus dapat membuat suatu pengajaran menjadi lebih efektif juga menarik sehingga bahan ajar yang [ 128 ] P a g e
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
disampaikan akan membuat mahasiswa merasa senang dan merasa perlu untuk mempelajari bahan ajar tersebut. Menurut definisi dari Depdikbud (1990), seorang guru atau dosen mengemban tugas yang berat untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan dan membangun dirinya sendiri serta bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Berhasilnya tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor di antaranya adalah faktor dosen dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena dosen secara langsung dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan, sikap serta keterampilan mahasiswa. Untuk mengatasi permasalahan di atas dan guna mencapai tujuan pendidikan secara maksimal, peran dosen sangat penting dan diharapkan dosen memiliki cara atau model mengajar yang baik dan mampu memilih model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata kuliah yang akan disampaikan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran, di mana salah satunya adalah dengan memilih strategi atau cara dalam menyampaikan materi mata kuliah agar diperoleh peningkatan prestasi belajar mahasiswa khususnya mata kuliah kewirausahaan. Misalnya dengan membimbing mahasiswa untuk bersama-sama terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan mampu membantu mahasiswa berkembang sesuai dengan taraf intelektualnya akan lebih menguatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan. Berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan, kegagalan dalam belajar rata-rata dihadapi oleh sejumlah mahasiswa yang tidak memiliki dorongan belajar dan pasif dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini disebabkan karena dosen dalam proses belajar mengajar hanya menggunakan metode ceramah, tanpa menggunakan studi kasus yang komperehensif, dan materi perkuliahan tidak disampaikan secara kronologis. Seorang dosen di samping menguasai materi, juga diharapkan dapat menetapkan dan melaksanakan penyajian materi yang sesuai kemampuan dan kesiapan mahasiswa, sehingga menghasilkan penguasaan materi yang optimal bagi peserta didik. Berdasarkan uraian tersebut di atas peneliti mencoba menerapkan salah satu metode pembelajaran, yaitu Problem Based Learning (PBL) untuk mengungkapkan apakah dengan PBL dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dalam menyelesaikan permasalahan di atas adalah model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada mahasiswa dengan menggunakan masalah dalam dunia nyata yang bertujuan untuk menyusun pengetahuan mahasiswa, melatih kemandirian dan rasa percaya diri, dan P a g e [ 129 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengembangkan keterampilan berpikir mahasiswa dalam pemecahan masalah (Arends dalam Trianto, 2007). Metode diskusi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran di mana dosen memberikan kesempatan pada mahasiswa di dalam kelompok (3-7 orang) untuk mengadakan perbincangan secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap suatu masalah. Hasil belajar yang dicapai dengan orientasi pada masalah lebih tinggi nilai kemanfaatannya dibandingkan dengan belajar melalui pembelajaran konvensional (Sumiati dan Asra, 2007). Tujuan peneliti memilih metode pembelajaran ini adalah supaya mahasiswa terbiasa menemukan, mencari, mendiskusikan sesuatu yang berkaitan dengan pengajaran. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini mengenai penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar mahasiswa pada materi sifat-sifat wirausahawan di kelas B program studi pendidikan administrasi perkantoran angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan aktivitas belajar dan hasil belajar mahasiswa kelas B program studi pendidikan administrasi perkantoran angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya pada mata kuliah kewirausahaan materi pokok sifat-sifat wirausahawan. METODE Penelitian tentang penerapan model Problem Based Learning dalam pembelajaran kewirausahaan ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut Arikunto, Suhardjono dan Supardi (2012), “PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama”. PTK dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang yang di dalamnya terdapat empat tahapan, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Keempat tahap penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, yang kembali ke langkah sebelumnya (Arikunto, Suhardjono dan Supardi, 2012). Jangka waktu untuk satu siklus tergantung dari materi yang dilaksanakan dengan cara tertentu. Apabila sudah diketahui letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang telah dilaksanakan dalam satu siklus, maka dosen pelaksana dapat menentukan rancangan untuk siklus kedua. Jika sudah selesai dengan siklus kedua dan dosen belum merasa puas, dapat melanjutkan ke siklus tiga, yang cara dan tahapannya sama dengan siklus sebelumnya. Sumber data diperoleh melalui hasil pengisian angket terhadap minat belajar mahasiswa, pengamatan terhadap aktivitas belajar mahasiswa, Lembar Kerja Mahasiswa, hasil pre test, hasil evaluasi akhir pembelajaran dan hasil tes formatif. Selain itu dilakukan pula pengamatan terhadap perencanaan dan pelaksanaan dalam pembelajaran. Jenis data yang digunakan dalam PTK berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menjelaskan data berupa angka-angka, sedangkan data kualitatif menjelaskan data berupa informasi tentang subjek yang diteliti atau dalam hal ini ialah aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. [ 130 ] P a g e
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik tes dan observasi. Alat pengumpul data yang digunakan peneliti ada dua, yaitu soal tes dan lembar pengamatan. Analisis data dilakukan dengan memperhatikan jenis data yang akan dianalisis. Dalam penelitian ini, jenis data mencakup data kuantitatif dan data kualitatif. Berikut ini merupakan rumus-rumus yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh untuk menilai data kuantitatif dan data kualitatif. Teknik kuantitatif ialah teknik untuk menganalisis data kuantitatif atau data yang berupa angka-angka. Data kuantitatif pada penelitian ini diperoleh dari hasil tes formatif. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus matematis (Sudjana, 2010). 1. Menghitung nilai akhir hasil belajar yang diperoleh oleh masing-masing mahasiswa.
2. Menghitung rata-rata kelas.
3. Menghitung tuntas belajar klasikal
Data kualitatif pada penelitian ini ialah aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Berikut ini akan dipaparkan rumus yang digunakan untuk menganalisis aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Teknik analisis untuk menilai aktivitas belajar mahasiswa
Untuk mengetahui apakah penelitian dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning dengan metode diskusi ini dapat dikatakan berhasil atau tidak, maka diperlukan indikator keberhasilan. Peneliti menetapkan indikator keberhasilan aktivitas belajar mahasiswa, jika rata-rata persentase hasil analisis data aktivitas belajar mahasiswa lebih dari atau sama dengan 61%-80% (kriteria aktif). Hasil belajar mahasiswa dikatakan memenuhi indikator keberhasilan jika: 1. Nilai rata-rata kelas lebih dari atau sama dengan 60 (tuntas KKM). 2. Persentase tuntas belajar klasikal sekurang-kurangnya 85% (minimal 85% mahasiswa yang memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 60). HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data Pra Tindakan Hasil penelitian yang diperoleh berupa hasil tes dan non tes. Hasil tes diperoleh melalui pre test dan tes formatif pada akhir siklus I dan siklus II. Hasil non tes diperoleh
P a g e [ 131 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 melalui pengamatan aktivitas dosen dan lembar pengamatan aktivitas belajar mahasiswa. Hasil penelitian tindakan kelas akan diuraikan secara rinci berikut ini. Hasil Pre-Test Peneliti melaksanakan kegiatan pre test untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki mahasiswa sebelum pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi. Materi yang diujikan yaitu materi sifat-sifat wirausaha dengan kompetensi dasar berani mendemonstrasikan sikap mental wirausaha dan mampu menilai tingkat mental sikap wirausaha. Bentuk soal berupa 15 soal pilihan ganda. Hasil rangkuman pre test dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1 Rangkuman Hasil Pre-Test No 1 2
Kategori Tuntas Tidak Tuntas Jumlah Rata-rata
Rentang Nilai 60 - 100 0 - 53,3
Frekuensi Siswa 10 28 38
Jumlah Persentase Nilai 640 26,32 1.413,3 73,68 2.053,3 100,00 52,6
Pada Tabel 1, hasil pre test menunjukkan bahwa, dari 38 mahasiswa terdapat 10 atau 26,32% mahasiswa mencapai tuntas belajar, sedangkan 28 mahasiswa atau 73,68% lainnya memperoleh nilai di bawah KKM (60) yang ditentukan. Suatu pembelajaran dikatakan berhasil apabila minimal 80% mahasiswa sudah tuntas belajar secara individu. Berdasarkan hasil pre test di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar mahasiswa pada materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP 2013 UNESA tidak tuntas. Sebelum pelaksanaan tindakan belum mencapai tuntas belajar klasikal. Nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar pada hasil pre test yang belum memuaskan dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi pada materi sifat-sifat wirausaha. Deskripsi Data Pelaksanaan Tindakan Siklus I Tindakan pembelajaran pada siklus I dilaksanakan melalui satu pertemuan, yakni pada tanggal 24 Oktober 2014. Data hasil pelaksanaan tindakan pada siklus I diperoleh melalui evaluasi akhir pembelajaran dan tes formatif I dan observasi selama proses pembelajaran. Evaluasi akhir pembelajaran dan tes formatif I dilaksanakan untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa, sedangkan observasi dilakukan untuk mengetahui aktivitas belajar mahasiswa. 1. Hasil Observasi Aktivitas Mahasiswa Observasi aktivitas belajar mahasiswa meliputi tiga belas aspek yang diamati, yaitu: (1) Pembukaan salam, (2) Apersepsi, (3) Pengantar materi, (4) Motivasi awal, (5) Mengorganisasikan mahasiswa kepada masalah, (6) Mengorganisasikan mahasiswa [ 132 ] P a g e
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
untuk belajar, (7) Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok, (8) Mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya serta pameran, (9) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, (10) Simpulan, (11) Motivasi akhir, (12) Salam penutup, (13) Penilaian (postest). Persentase perolehan skor pada lembar observasi diakumulasi untuk menentukan seberapa tinggi aktivitas mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran untuk siklus I. Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2 Hasil Observasi Aktivitas Belajar Mahasiswa pada Siklus I
No.
Aspek yang dinilai
Pembukaan, salam Apersepsi Pengantar materi Motivasi awal Mengorganisasikan siswa kepada masalah 6 Mengorganisasikan siswa untuk belajar 7 Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok 8 Mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya serta pameran 9 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah 10 Simpulan 11 Motivasi akhir 12 Salam penutup 13 Penilaian (posttest) SKOR TOTAL NILAI (%) KRITERIA
1 (tidak aktif)
2 (kurang aktif)
1 2 3 4 5
Skor 3 (cukup aktif) 3 3 3 3 3
4 (aktif)
5 (sangat aktif)
2 3 3 3 2 2 3 3 36,00 55,38 Cukup aktif
Tabel 2 menunjukkan bahwa, hasil observasi aktivitas belajar siswa pada siklus I menunjukkan kriteria cukup aktif pada aktivitas belajar siswa yaitu sebesar 55,38% dalam pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning. 2. Hasil Belajar Mahasiswa Hasil belajar mahasiswa dari pelaksanaan tindakan siklus I diperoleh melalui tes formatif I. Tes formatif I dilaksanakan pada akhir siklus I, yakni pada tanggal 24 Oktober 2014. Berikut ini merupakan tabel nilai hasil evaluasi akhir pembelajaran pada siklus I. P a g e [ 133 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Tabel 3 Rangkuman Hasil Tes Formatif No 1 2
Kategori Tuntas Tidak Tuntas Jumlah Rata-rata
Rentang Nilai 60 - 100 0 - 53,3
Frekuensi Siswa 32 6 38
Jumlah Nilai 2.106,7 273,3 2.380 61
Persentase 84,21 15,79 100,00
Rangkuman hasil tes formatif pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas telah mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 84,21%. Dengan jumlah mahasiswa yang mencapai nilai lebih dari 60 sebanyak 32 mahasiswa, maka persentase tuntas belajar klasikal sudah mencapai indikator keberhasilan, yaitu sebesar 84,21%. 3. Refleksi Penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi pada mata kuliah kewirausahaan sudah menunjukkan keberhasilan. Akan tetapi, keberhasilan yang dicapai pada penelitian siklus I belum memuaskan. Hasil penelitian pada siklus I yang aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa masih dapat ditingkatkan lagi dengan melakukan perbaikan-perbaikan pada beberapa kegiatan. Peneliti belum membiasakan mahasiswa membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu. Namun, terdapat beberapa mahasiswa yang menulis hal-hal yang dianggapnya penting atas dasar inisiatif dari mahasiswa itu sendiri. Selain itu, peneliti dalam menyampaikan materi terkesan terburu-buru. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kedisiplinan waktu, baik oleh peneliti maupun oleh mahasiswa. Dalam proses pembelajaran, aktivitas belajar mahasiswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa. Berdasarkan hasil tes formatif I, hasil belajar mahasiswa telah mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Pada hasil tes formatif I, nilai rata-rata kelas yang diperoleh mahasiswa yaitu 61 dan persentase tuntas belajar klasikal mencapai 84,21%. Namun demikian, hasil belajar mahasiswa belum memuaskan, karena terdapat beberapa mahasiswa yang belum mencapai KKM. Berdasarkan hasil tes formatif I, terdapat 6 mahasiswa yang memperoleh nilai kurang dari 60. Sebagian besar mahasiswa belum dapat membedakan sifat-sifat yang harus dimiliki wirausaha secara menyeluruh Paparan mengenai refleksi aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa, menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan pada beberapa kegiatan selama pelaksanaan siklus I. Hasil refleksi pada siklus I ini akan menjadi landasan untuk melanjutkan penelitian siklus II dengan perbaikan-perbaikan pada perencanaan, pelaksanaan, maupun pengamatan, agar siklus II dapat berjalan lebih baik dari pada siklus I. Beberapa perbaikan yang dilakukan terhadap aktivitas belajar mahasiswa meliputi: [ 134 ] P a g e
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
1. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan untuk dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa yaitu: 2. Peneliti harus dapat mengaitkan permasalahan dengan pengalaman belajar mahasiswa. 3. Peneliti perlu membimbing mahasiswa untuk mengikuti kegiatan peragaan dan mencatat hal-hal yang penting. Adapun perbaikan-perbaikan yang dilakukan untuk dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa yaitu: 1. Peneliti harus senantiasa mengingatkan mahasiswa agar memperhatikan dosen dan mencatat hal-hal yang penting. 2. Peneliti perlu melakukan pendekatan terhadap mahasiswa yang memiliki kemampuan berpikir rendah. Deskripsi Data Pelaksanaan Tindakan Siklus II Hasil penelitian siklus I secara keseluruhan sudah mencapai indikator keberhasilan, namun masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian siklus II. Kegiatan yang dilakukan pada siklus II hampir sama dengan siklus I. 1. Hasil Observasi Aktivitas Mahasiswa Observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa dilakukan pada tiap pertemuan seperti yang dilakukan pada siklus I. Observasi ini dilakukan oleh dosen mitra Prodi PAP UNESA. Hasil observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa pada siklus II dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Hasil Observasi Aktivitas Belajar Mahasiswa pada Siklus II No.
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Pembukaan, salam Apersepsi Pengantar materi Motivasi awal Mengorganisasikan siswa kepada masalah Mengorganisasikan siswa untuk belajar Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok Mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya serta pameran Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
6 7 8 9
1 (tidak aktif)
2 (kurang aktif)
Skor 3 (cukup aktif) 3
4 (aktif)
5 (sangat aktif)
4 4 3 4 4 3 3 4
P a g e [ 135 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
No.
Aspek yang dinilai
1 (tidak aktif)
2 (kurang aktif)
10 Simpulan 11 Motivasi akhir 12 Salam penutup 13 Penilaian (posttest) SKOR TOTAL NILAI (%) KRITERIA
Skor 3 (cukup aktif) 3 3 3
4 (aktif)
5 (sangat aktif)
4 45,00 69,23 Aktif
Tabel 4 menunjukkan bahwa, hasil observasi aktivitas belajar siswa pada siklus II menunjukkan kriteria aktif pada aktivitas belajar siswa yaitu sebesar 69.23% dalam pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning. 2. Hasil Belajar Mahasiswa Seperti halnya pada siklus I, hasil belajar mahasiswa dari pelaksanaan tindakan siklus II juga diperoleh melalui tes formatif II yang dilaksanakan pada akhir siklus, yakni pada tanggal 31 Oktober 2014. Berikut ini merupakan tabel nilai hasil evaluasi akhir pembelajaran pada siklus II. Tabel 5 Rangkuman Hasil Tes Formatif II No 1 2
Kategori Tuntas Tidak Tuntas Jumlah Rata-rata
Rentang Nilai 60 - 100 0 - 53,3
Frekuensi Siswa 34 4 38
Jumlah Nilai 2.433,3 173,3 2.606,6 65,5
Persentase 89,47 10,53 100,00
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil tes formatif II telah mencapai seluruh indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh mencapai 65,5, sedangkan dalam indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu minimal 60. Persentase tuntas belajar klasikal selama siklus II juga telah melebihi indikator keberhasilan, yaitu 89,47%. Artinya, 34 mahasiswa telah dinyatakan tuntas atau mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 60. 3. Refleksi Berdasarkan deskripsi hasil penelitian pada siklus II, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Tabel berikut merupakan perbandingan hasil pembelajaran siklus I dan siklus II. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II dinyatakan berhasil, karena baik dosen maupun mahasiswa telah terbiasa dalam menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi, meskipun hasil yang diperoleh tidak 100% [ 136 ] P a g e
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
4. Revisi Berdasarkan hasil analisis data pelaksanaan tindakan siklus II, dapat diketahui bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Hambatan-hambatan yang ada dapat dikurangi, sehingga pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK) di kelas B PAP UNESA tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Dari penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil penelitian berupa hasil aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa. Pada siklus I, kedua hasil penelitian tersebut belum mencapai hasil yang memuaskan. Setelah melakukan refleksi pada siklus I, peneliti melanjutkan penelitian pada siklus II. Hasil yang dicapai pada siklus II secara keseluruhan telah mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan. Ketercapaian indikator keberhasilan pada kedua hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa, penelitian tindakan kelas dengan menerapkan model Problem Based Learning dalam pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP UNESA. telah mencapai keberhasilan. Selanjutnya, pembahasan mengenai hasil penelitian dilakukan dengan memaparkan pemaknaan temuan penelitian dan implikasi hasil penelitian sebagai berikut. Pembahasan dan Implikasi Juliantara (2010) berpendapat bahwa, aktivitas belajar mahasiswa adalah seluruh aktivitas mahasiswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan fisik sampai kegiatan psikis. Persentase aspek-aspek tersebut mengalami peningkatan dari siklus I dengan 55,38% menjadi 69,23% pada siklus II. Hasil belajar mahasiswa pada penelitian tindakan kelas ini diperoleh melalui pre test, evaluasi akhir pembelajaran dan tes formatif. Nilai rata-rata kelas mengalami peningkatan dari pre test sampai ke siklus II. Peningkatan hasil belajar tersebut dapat dilihat melalui Gambar 1. Perolehan hasil belajar pada pelaksanaan pembelajaran kewirausahaan dengan materi sifat-sifat wirausaha melalui penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Sesuai dengan pendapat Gagne (1984) dalam Dahar (2006), bahwa belajar adalah proses di mana mahasiswa berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Pada pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini, mahasiswa yang sebelumnya kurang memahami sifat-sifat wirausaha menjadi lebih paham dan mampu memecahkan permasalahan dalam kehidupan seharihari setelah model Problem Based Learning dengan metode diskusi diterapkan.
P a g e [ 137 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Gambar 1 Persentase Hasil Belajar Mahasiswa Implikasi pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi pada materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP UNESA adalah meningkatnya aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. Secara garis besar, implikasi hasil penelitian dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: Pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning memberikan pengalaman belajar yang baru bagi mahasiswa kelas B PAP UNESA. Mahasiswa memiliki kesempatan yang luas untuk memecahkan masalah dalam dunia nyata melalui pengetahuan awal mahasiswa. Karakteristik mahasiswa yang aktif, kritis dan senang berpendapat, dapat berkembang dengan optimal melalui kegiatan diskusi kelompok dengan menyajikan suatu permasalahan. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan menantang bagi mahasiswa tentu berimbas pada peningkatan hasil belajar mahasiswa. Kegiatan pembelajaran berbasis masalah juga dapat mendorong mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa dalam menyelesaikan masalah yang sering ia dapati dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi, diperlukan kesiapan mahasiswa yang meliputi kemandirian, rasa tanggung jawab, kerja sama dan sikap kritis saat melakukan pemecahan masalah agar dapat melaksanakan pembelajaran sesuai dengan petunjuk kegiatan. Penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi dalam kegiatan pembelajaran dapat menambah khasanah pengetahuan bagi dosen mengenai inovasi model pembelajaran. Dosen dapat terus mengembangkan kreativitas dan potensinya dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi mahasiswa. Dalam penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi, dosen perlu memahami langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran, yang meliputi: (1) mengorganisasikan mahasiswa kepada masalah; (2) mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar; (3) membantu penyelidikan mandiri dan kelompok; (4) mengembangkan [ 138 ] P a g e
Peningkatan Aktivitas dan… (Jaka Nugraha & Choirul Nikmah)
dan mempresentasikan hasil diskusi kelompok; dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Dengan memahami langkah-langkah tersebut, maka dosen dapat mengkondisikan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning secara baik. Universitas perlu bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Aktivitas belajar mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa juga menjadi tolok ukur kualitas suatu universitas. Untuk dapat menciptakan universitas yang berkualitas, pihak universitas perlu memberikan kesempatan dan dukungan bagi dosen untuk melaksanakan pembelajaran yang inovatif. Sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode diskusi juga dapat dipenuhi pihak universitas sebagai wujud dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran tersebut. SIMPULAN Melalui model Problem Based Learning dengan metode diskusi, dosen lebih aktif dalam memfasilitasi proses pembelajaran, menuntut mahasiswa dalam mendapatkan strategi pemecahan masalah, dan memediasi proses mendapatkan informasi. Dengan demikian, penerapan model Problem Based Learning dapat meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP angkatan 2013 UNESA. Penerapan model Problem Based Learning dengan metode diskusi dapat menjadikan mahasiswa aktif berpartisipasi dalam diskusi dan berpikir kritis. Oleh karena itu pembelajaran kewirausahaan materi sifat-sifat wirausaha di kelas B PAP angkatan 2013 UNESA dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Saran pada penelitian ini merupakan saran dari peneliti berkaitan dengan penerapan model Problem Based Learning dalam pembelajaran. Saran yang dapat peneliti berikan yaitu sebagai berikut: 1. Model Problem Based Learning dengan metode diskusi perlu disosialisasikan agar lebih sering diterapkan dalam pembelajaran di universitas untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa. 2. Media pembelajaran yang digunakan sebaiknya lebih bervariasi, sehingga mahasiswa lebih memahami materi yang disampaikan dosen. 3. Pengelolaan kelas sebaiknya disesuaikan dengan alokasi waktu, serta sarana dan prasarana yang tersedia, agar seluruh rangkaian proses pembelajaran dapat berjalan dengan tertib dan lancar. 4. Praktisi pendidikan atau peneliti lain dapat menggunakan penelitian ini sebagai bahan rujukan untuk melakukan penelitian lain dengan model pembelajaran yang berbeda, sehingga diperoleh berbagai alternatif inovasi model pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suhardjono dan Supardi. (2012). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. P a g e [ 139 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Dahar, Ratna Wilis. (2006). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Erlangga. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Juliantara, Ketut. (2010). Aktivitas Belajar. http://edukasi.kompasiana.com/2010/04 /11/aktivitas-belajar/. (diakses 06/08/2014). Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sumiati dan Asra. (2007). Metode Pembelajaran. Bandung : Wacana Prima. Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Jakarta: Prestasi Pustaka.
[ 140 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KREATIVITAS BERPIKIR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING PADA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN Susanto
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran dalam meningkatkan kreativitas pada pelajaran kewirausahaan dan meningkatkan kemampuan kreativitas dengan penerapan model pembelajaran problem based learning pada pelajaran kewirausahaan. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif pada peserta didik salah satunya adalah dengan model pembelajaran Problem Based Learning. Aspek dalam meningkatkan kreativitas pada model pembelajaran Problem Based Learning adalah adanya upaya mengidentifikasi masalah nyata yang terkait dengan kewirausahaan dan upaya pemecahannya. Pada aspek identifikasi meliputi kegiatan mencermati, mengumpulkan data, mengorganisasikan dan menyusun fakta, sedangkan aspek pemecahan masalah terdapat kegiatan menganalisis dan menyusun argumentasi. Kata kunci: Kewirausahaan, kreativitas, Problem Based Learning
PENDAHULUAN Salah satu visi dan misi penting dalam lembaga pendidikan adalah menciptakan lulusan yang dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah didapat selama studi sebagai salah satu pilihan untuk berprofesi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka lembaga pendidikan sudah semestinya mulai berbenah diri sejak dini guna mengantisipasi perubahan-perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi. Salah satu perkembangan zaman yang dirasakan saat ini adalah dengan adanya pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Tahun 2015. MEA dimaksud merupakan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat Indonesia sehingga lembaga pendidikan harus mampu membentuk masyarakat dalam hal ini generasi muda sebagai manusia yang berkualitas dan mampu memanfaatkan konsep dan pelaksanaan MEA. Pada titik ini sekolah-sekolah di hadapkan dengan upaya membentuk karakter siswa selaku peserta didiknya secara maksimal. Peserta didik sebagai agent of change bukan hanya memanfaatkan intelektual tetapi juga harus mampu merubah watak dan kepribadian yang akan terlihat dari tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Di era globalisasi secara umum dan MEA pada khususnya, persaingan mencari kerja semakin kompetitif sementara lapangan pekerjaan yang ditawarkan juga terbatas, menuntut peserta didik dan para pendidik yaitu harus lebih berpikir kreatif dan inovatif. Semangat entrepreneurship ini sudah menjadi tuntutan zaman. Menurut Indarti dan Roatiani (2008) secara realitas ada tiga pilihan yang kemungkinan akan dialami lulusan Perguruan Tinggi setelah menyelesaikan studinya, antara lain: Menjadi karyawan P a g e [ 141 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 perusahaan swasta , Menjadi pengangguran intelektual karena sulit atau persaingan yang ketat atau semakin berkurangnya lapangan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikan., Membuka usaha sendiri (berwirausaha) di bidang usaha yang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didapat selama studi di lembaga yang telah dijalani. Berdasarkan alternatif pilihan di atas, alternatif ketiga merupakan pilihan yang memungkinkan dan terbuka bagi peserta didik dan masih ada kemungkinan melakukan jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Artinya setelah peserta didik lulus akan mempunyai dua kesempatan yaitu berwirausaha dan melanjutkan studi yang dilakukan bersamaan. Pilihan menjadi wirausaha adalah yang paling tepat. Hal ini disebabkan menjadi pegawai di perusahaan swasta semakin sulit dan kecil peluangnya karena lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Menjadi pengangguran intelektual pasti tidak akan menjadi pilihan para lulusan lembaga pendidikan, sebab risiko psikologis pribadi yang harus ditanggung oleh yang bersangkutan sangat besar. Oleh karena itu, pilihan untuk berwirausaha merupakan pilihan yang tepat dan logis. Pilihan berwirausaha sesuai dengan program pemerintah dalam percepatan penciptaan pengusaha kecil dan menengah yang kuat dan bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi sedang digalakkan (Indarti dan Rostiani, 2008). Penggalakan seperti itu dilakukan oleh pemerintah karena dalam perkembangan dunia global akan selalu muncul gejala-gejala baru dalam persaingan. Apalagi pada tahun 2015 ini akan dimulainya pasar bebas dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah umumnya. Dalam hal itu tidak hanya pemerintah saja yang mempunyai beban tetapi beban itu juga akan dirasakan pada dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan adalah kunci utama dalam pelaksanaan pendidikan untuk membentuk lulusan yang mampu bersaing di era global. Pada kenyataannya belum banyak pula semua lulusan yang memiliki minat yang tinggi untuk menjadi menjadi wirausaha. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kasali (2010), bahwa orientasi masyarakat Indonesia masih pada pencari kerja terutama menjadi pegawai Negeri Sipil (PNS), dari lulusan SLTP, SLTA. Meskipun usaha untuk menjadi PNS juga dilakukan dengan pengabdian kepada lembaga-lembaga pendidikan yang nantinya menyimpan harapan suatu saat nanti akan mendapat tempat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dengan usaha seperti itu kalau kita lakukan pengkajian ulang banyak sekali hal-hal yang terbuang begitu saja, katakanlah dari segi waktu dan tenaga yang dikeluarkan. Tetapi hasil yang didapatkan sementara itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Padahal wirausaha (entrepreneur) memiliki peran penting dalam peningkatan perekonomian suatu bangsa yang sedang berkembang. Menurut Rochbini (2002) kemajuan atau kemunduran suatu negara sangat ditentukan oleh keberadaan peran dari kelompok wirausahawan. Pentingnya peran wirausaha dalam peningkatan perekonomian negara diperkuat oleh pendapat Drucker (1993) menyatakan bahwa seluruh proses perubahan ekonomi pada akhirnya tergantung dari orang yang menyebabkan timbulnya perubahan tersebut yakni sang entrepreneur.
[ 142 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
Dalam hubungannya dengan alasan dan pertimbangan di atas, peserta didik sebagai salah satu golongan elit masyarakat yang diharapkan menjadi pemimpin– pemimpin bangsa masa depan, sudah sepantasnya menjadi pelopor dalam mengembangkan semangat kewirausahaan. Dengan bekal pendidikan tinggi yang diperoleh di bangku pembelajaran dan idealisme yang terbentuk, lulusan diharapkan mampu mengembangkan diri menjadi seorang wirausaha tangguh dan bukan sebaliknya lulusan lembaga pendidikan hanya bisa menunggu lowongan kerja bahkan menjadi pengangguran yang pada hakikatnya merupakan beban pembangunan (Indarti dan Rostiani, 2008). Setelah peserta didik itu sadar akan pentingnya berwirausaha maka dari situ akan muncul sesuatu yang diperlukan yaitu kreativitas dalam berwirausaha. Dengan melihat kondisi tersebut pemerintah mencanangkan bahwa ekonomi kreatif adalah solusi utama dalam menghadapi MEA. Yang menjadi inti pokok dalam berwirausaha adalah lembaga pendidikan mampu memunculkan kreativitas berpikir para peserta didik. Dengan kemampuan berpikir kreatif ada kemungkinan besar peserta didik kita bisa menghadapi persaingan yang semakin pesat tersebut. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan banyak peserta didik yang memiliki sifat malas, kemudian hanya mengandalkan kemampuan yang bersifat sementara. Artinya kemampuan itu hanya muncul ketika peserta didik mendapatkan sesuatu dari guru atau orang yang dianggap mampu, kemudian tanpa diproses sedemikian rupa. Peserta didik hanya menuangkan hasil karyanya dari apa yang didapat tanpa mau memberikan sedikit inovasi atau memberikan sedikit sentuhan kreativitas. Jika melihat dari segi keuntungan jika peserta didik mampu menciptakan kreativitas maka akan memiliki kebanggaan tersendiri. Hasilhasil kreativitas itu yang nantinya dapat memberikan nilai plus pada usaha yang akan dijalankan. Melihat dari fenomena tersebut tidak bisa juga yang menjadi objek kekurangan dalam kreativitas itu hanya dari sisi peserta didik. Kemungkinan besar itu terjadi karena adanya penerapan system pembelajaran di lembaga pendidikan yang kurang bervariatif. Sehingga peserta didik juga mendapatkan apa yang disampaikan oleh pendidik. Mengapa harus bervariatif, Mungkin itu yang menjadi pertanyaan dibenak para pendidik. Melihat dari kenyataan yang ada sekarang adalah apa yang dilakukan peserta didik akan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh pendidik. Hal semacam itu yang nantinya membuat peserta didik tidak berkembang. Semua gerak yang dilakukan peserta didik seakan-akan terbatasi. Sehingga memacu tingkat kreativitas peserta didik juga terbatas. Artinya hasil yang didapatkan peserta didik juga tidak bervariatif.Salah satu yang menjadi kendala adalah penerapan model pembelajaran yang diterapkan tidak sesuai. Karena banyak sekali model pembelajaran yang diterapkan hanya berorientasi penyampaian materi saja. Dan masih bersifat stagnan, jadi pendidik lebih aktif daripada peserta didik. Dengan demikian peserta didik tidak akan pernah mendapatkan pemikiran yang bersifat kreatif. Melihat fakta-fakta seperti itu maka sejak saat ini lembaga pendidikan harus berbenah diri untuk memajukan pendidikan. Salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Karena melihat dari P a g e [ 143 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kurikulum yang diterapkan pemerintah yaitu Kurikulum 2013 maka model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)sangat sesuai untuk diterapkan. Gunanya adalah untuk membuka pola berpikir peserta didik. Yang awalnya peserta didik hanya sebagai pendengar dan nantinya akan menjadi peserta didik yang penuh dengan inisiatif atau lebih biasa dikatakan muncul sifat berpikir kreatif. Dari latar belakang yang sudah dipaparkan dari awal memunculkan ide saya untuk melakukan penelitian yaitu “Meningkatkan Kemampuan Kreativitas dengan Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning pada Pelajaran Kewirausahaan” PEMBAHASAN Kewirausahaan Dalam tulisan Hidayat (2009) Wirausaha adalah kepribadian unggul yang mencerminkan budi yang luhur dan suatu sifat yang patut diteladani, karena atas dasar kemampuannya sendiri dapat melahirkan suatu karya untuk kemajuan kemanusiaan yang berlandaskan kebenaran dan kebaikan. Wirausaha menurut Heijrachman Ranupandoyo (1982) adalah seorang innovator atau individu yang mempunyai kemampuan naluriah untuk melihat benda materi sedemikian rupa yang kemudian terbukti benar. Mempunyai semangat dan kemampuan serta pikiran untuk menaklukkan cara berpikir yang tidak berubah dan mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap posisi sosial. Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil risiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Kasmir, 2007: 18). Menurut Drucker (1996) kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausaha adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Wirausaha mempunyai peranan untuk mencari kombinasi–kombinasi baru yang merupakan gabungan dari proses inovasi (menemukan pasar baru, pengenalan barang baru, metode produksi baru, sumber penyediaan bahan mentah baru dan organisasi industri baru). Wirausaha menurut Ibnu Soedjono (1993) adalah seorang entrepreneurial action yaitu seseorang yang inisiator, innovator, creator dan organisator yang penting dalam suatu kegiatan usaha, yang dicirikan: (a) selalu mengamankan investasi terhadap risiko, (b) mandiri, (c) berkreasi menciptakan nilai tambah, (d) selalu mencari peluang,(e) berorientasi ke masa depan. Seorang yang memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola tingkah laku sebagai berikut: Keinovasian (menciptakan, menemukan dan menerima ide baru), Keberanian menghadapi risiko dalam menghadapi ketidakpastian dan pengambilan [ 144 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
keputusan, Kemampuan manajerial (perencanaan, pengkoordiniran, pengawasan dan pengevaluasian usaha), Kepemimpinan (memotivasi, melaksanakan dan mengarahkan terhadap tujuan usaha). Menghadapi pasar global, era industrialisasi di masa yang akan datang, peranan kewirausahaan dan wirausaha sangat menentukan. Maka semangat, sikap, perilaku dan kemampuan di bidang kewirausahaan dan wirausaha ini perlu ditumbuhkembangkan pada seluruh lapisan masyarakat, organisasi, termasuk pada organisasi mahasiswa di kampus-kampus. Operasionalisasi pelaksanaannya bukan semata-mata dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya akan tetapi untuk memberikan pengalaman dan pelayanan kepada mahasiswa agar semakin baik dan mapan (Sarbiran, 1997). Kreatifitas Berpikir Secara alamiah perkembangan anak berbeda-beda, baik dalam bakat, minat, jasmani, kematangan emosi, kepribadian, keadaan jasmani, dan sosialnya. Selain itu, setiap anak memiliki kemampuan tak terbatas dalam belajar, untuk dapat berpikir kreatif dan produktif.(Ahmad Susanto,2011:111) Kreativitas menurut kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar kreatif, yaitu memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu. (Trisno Yuwono, 2003: 330) Menurut Munandar,(1999) yang dikutip oleh Syafaruddin, kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Kreativitas juga diartikan dengan kemampuan yang berdasarkan data atau informasi yang menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana pendekatannya adalah pada kuantitas dan keragaman jawaban. Secara operasional, kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan kelancaran keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan. (Syafaruddin dan Herdianto, 2011: 87) Salah satu konsep yang amat penting dalam bidang kreativitas adalah hubungan antara kreativitas dan aktualisasi diri. Menurut psikolog humanistik, Abraham Maslow dan Carl Rogers(2004) dikutip oleh Utami Munandar,(1999) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mengaktualisasikan dirinya apabila seseorang menggunakan semua bakat dan talentanya untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mengaktualisasikan, atau mewujudkan potensinya. Menurut Maslow aktualisasi diri merupakan karakteristik yang fundamental, suatu potensialitas yang ada pada semua manusia saat dilahirkan, akan tetapi sering hilang, terhambat atau terpendam dalam proses pembudayaan. Jadi sumber dari kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang (Utami Munandar, 1999: 19). Hamdani (2002) mengemukakan bahwa kreativitas dapat ditinjau dari (3) hal, yaitu: Kreativitas adalah suatu kemampuan, yaitu kemampuan untuk membayangkan atau menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk membangun ide-ide baru dengan mengombinasikan, mengubah, menerapkan ulang ide-ide yang sudah ada. P a g e [ 145 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kreativitas adalah suatu sikap, yaitu kemauan untuk menerima perubahan dan pembaharuan, bermain dengan ide dan memiliki fleksibilitas dalam pandangan. Kreativitas adalah suatu proses, yaitu proses bekerja keras dan terus menerus sedikit demi sedikit untuk membuat perubahan dan perbaikan terhadap pekerjaan yang dilakukan (Hamdani, 2002: 2) Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berpikir tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa serta menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan (Semiawan, 1999: 89). Dari beberapa definisi oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari sebelumnya, baik berupa gagasan atau karya nyata dengan menggabung-gabungkan unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Hal baru di sini adalah sesuatu yang belum diketahui olehnya, meskipun hal itu merupakan hal yang tidak asing lagi bagi orang lain, dan bukan hanya dari yang tidak menjadi ada, tetapi juga kombinasi baru dari sesuatu yang sudah ada. Pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam beberapa istilah, yaitu Pribadi (person), yaitu kreativitas mengacu kepada kemampuan yang merupakan cirri/karakteristik dari orang-orang kreatif. Kreativitas merupakan ungkapan unik dari seluruh pribadi sebagai hasil interaksi individu, perasaan, sikap, dan perilakunya. Proses (process), yaitu kreativitas merupakan proses yang mencerminkan kelancaran dalam berpikir. Pendorong (press), yaitu inisiatif seseorang yang tercermin melalui kemampuannya untuk melepaskan diri dari urutan pikiran yang biasa. Produk, yaitu kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Problem Based Learning Metode ini erat kaitannya dengan metode pembelajaran kontekstual. Banyak ahli yang menyebutnya metode pembelajaran tetapi ada pula sementara ahli yang menyebutnya sebagai model pembelajaran. Konsep model pembelajaran sendiri berasal dari konsep Joyce dan Weil,(2000) namun justru banyak berkembang karena didukung dari Charles I. Arends (1997). Perbedaan pokok antara metode pembelajaran dengan model pembelajaran adalah pada model pembelajaran sintaksnya relatif sudah tertentu langkah-langkahnya, sesuai dengan yang ditetapkan oleh ahli yang mengungkapkannya. Dalam pengertian metode pembelajaran, guru masih diberi keleluasaan dalam bervariasi. Perlu penekanan pada kata relatif tersebut karena ternyata suatu model pembelajaran tertentu akan berbeda sintaksnya jika ahli yang menyampaikanya juga berbeda. Jadi sintaksnya bergantung pada sumber yang dipergunakan. Berdasarkan pendapat Arends (1997) pada esensinya pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme dan mengakomodasikan keterlibatan siswa dalam belajar serta terlibat dalam pemecahan masalah yang kontekstual. Untuk memperoleh informasi dan mengembangkan konsepkonsep sains, siswa belajar tentang bagaimana membangun kerangka masalah ,mencermati, mengumpulkan data dan mengorganisasikan masalah, menyusun fakta, [ 146 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
menganalisis data, dan menyusun argumentasi terkait pemecahan masalah kemudian memecahkan masalah baik secara individual ataupun kelompok. Dalam hal ini Arends (1997) menyimpulkan ada lima gambaran yang umum menjadi identifikasi pembelajaran berbasis masalah, yaitu: Dikembangkan dari pertanyaan atau masalah. Daripada mengorganisasikan pelajaran di seputar prinsipprinsip atau kecakapan akademik tertentu, PBL mengorganisasikan pengajaran pada sejumlah pertanyaan atau masalah yang penting, baik secara social atau personal bermakna bagi siswa. Pendekatan ini mengaitkan pembelajaran dengan situasi kehidupan nyata. Fokusnya antar disiplin, walau PBL dapat diterapkan memusat untuk membahas subjek tertentu (sains, matematika, sejarah atau yang lainnya), tetapi lebih dipilih pembahasan masalah actual yang dapat diinvestigasi dari berbagai sudut disiplin ilmu. Contohnya masalah pencemaran lingkungan yang timbul di laut timur akibat pencemaran oleh perusahaan pengeboran minyak milik Australia dapat diinvestigasi dan dijelaskan dari aspek ekonomi, biologi, sosiologi, kimia, hubungan antar Negara, dan sebagainya. Penyelidikan otentik. Istilah otentik selalu dikaitkan dengan masalah yang timbul di kehidupan nyata, yang langsung dapat diamati. Oleh karena itu, masalah yang timbul juga harus di carikan penyelesaian secara nyata. Para siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, bila perlu melaksanakan eksperimen, membuat inferensi, dan menarik simpulan. Metode investigasinya tentu saja bergantung pada sifat masalah yang dikaji. Menghasilkan artefak, baik berupa laporan, makalah, model fisik sebuah video , suatu program computer, naskah drama dan lain-lain. Ada kolaborasi. Implementasi PBL ditandai oleh adanya kerja sama antar siswa satu sama lain, biasanya dalam pasangan siswa atau kelompok kecil siswa. Bekerja sama akan memberikan motivasi untuk terlibat secara berkelanjutan dalam tugas yang kompleks, meningkatkan kesempatan untuk bertukar pikiran dan mengembangkan inkuiri, serta melakukan dialog untuk mengembangkan kecakapan sosial. Problem Based Learning baru dapat dikembangkan jika terbangun suatu situasi kelas yang efektif. Combs (1976) seperti yang diungkap oleh North Central Regional Library (2006) menyatakan bahwa minimal ada 3 karakteristik yang harus dipenuhi agar terbangun situasi kelas yang efektif dalam PBL, yaitu sebagai berikut. Atmosfer kelas harus dapat memfasilitasi suatu eksplorasi makna. Para pebelajar harus merasa aman dan merasa diterima. Mereka memerlukan pemahaman baik tentang risiko maupun penghargaan yang akan diperolehnya dari pencarian dan pemahaman. Situasi kelas harus mampu menyediakan kesempatan bagi mereka untuk terlibat, saling berinteraksi dan sosialisasi. Pebelajar harus sering diberi kesempatan untuk mengkonfrontasikan informasi baru dengan pengalamannya selama proses pencarian makna. Namun kesempatan semacam itu janganlah timbul dari dominasi guru selama pembelajaran, tetapi harus timbul dari banyaknya kesempatan siswa untuk menghadapi tantangan tantangan baru berdasarkan pengalaman masa lalunya. Makna baru tersebut harus diperoleh melalui proses penemuan secara personal. P a g e [ 147 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Berkaitan dengan filosofi seperti di atas berkembangnya apa yang disebut problem-based learning. Problem-based learning (pembelajaran berbasis masalah) merupakan suatu tipe pengelolaan kelas yang diperlukan untuk mendukung pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran dan belajar Dalam sumber yang sama, Savoie dan Hughes (1994) mengungkap perlunya suatu proses yang dapat digunakan untuk mendesain pengalaman pembelajaran berbasis masalah bagi siswa. Kegiatan tersebut di bawah ini diperlukan untuk menunjang proses tersebut, yaitu sebagai berikut identifikasikan suatu masalah yang cocok bagi para siswa, kaitkan masalah tersebut dengan konteks dunia siswa sehingga mereka dapat menghadirkan suatu kesempatan otentik, organisasikan pokok bahasan di sekitar masalah, jangan berlandaskan bidang studi, berilah para siswa tanggung jawab untuk dapat mendefinisikan sendiri pengalaman belajar mereka serta membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah, dorong timbulnya kolaborasi dengan membentuk kelompok pembelajaran, berikan dukungan kepada semua siswa untuk mendemonstrasikan hasil pembelajaran mereka misalnya dalam bentuk suatu karya atau kinerja tertentu. Sumber lain mengungkapkan bahwa kewajiban guru dalam penerapan PBL antara lain Mendefinisikan, merancang dan mempresentasikan masalah di hadapan seluruh siswa, Membantu siswa memahami masalah serta menentukan bersama siswa bagaimana seharusnya masalah semacam itu diamati dan dicermati, membantu siswa memaknai masalah, cara-cara mereka dalam memecahkan dan membantu menentukan argumen apa yang melandasi pemecahan masalah tersebut, bersama para siswa menyepakati bentuk perorganisasian laporan, mengakomodasikan kegiatan presentasi oleh siswa, melakukan penilaian proses(penilaian otentik) maupun penilaian terhadap produk laporan. Biasanya sintaks dalam PBL meliputi orientasi siswa pada masalah, mendefinisikan masalah dan mengorganisasikan siswa untuk belajar, memadu investigasi mandiri maupun investigasi kelompok. Mengembangkan dan mempresentasikan karya, refleksi dan penilaian. Kekuatan dari penerapan metode BPL ini antara lain. Siswa akan terbiasa menghadapi masalah (Problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada di dalam kehidupan sehari hari (real world). Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan enam teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman sekelasnya. Makin mengakrabkan guru dengan siswa, karena ada kemungkinan ada suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui eksperimen hal ini juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan metode eksperimen. Sementara itu kelemahan dari penerapan model ini antara lain: Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah Seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang panjang. Aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru.
[ 148 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Kreativitas… (Susanto)
Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dengan model PBL pada pelajaran kewirausahaan Penerapan pembelajaran PBL pada pelajaran Kewirausahaan. Dalam kaitannya meningkatkan kreativitas berpikir dengan menggunakan model pembelajaran PBL pada Pelajaran Kewirausahaan, maka untuk meningkatkan kreativitas berpikir perlu adanya kebiasaan dari peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada yaitu dengan mengidentifikasi masalah kemudian memecahkan masalah dengan menggunakan beberapa unsur yaitu: unsur mencermati masalah yang ada dalam kewirausahaan kemudian dengan demikian peserta didik akan mampu menciptakan kreativitas dalam berpikir. Yang kedua yaitu mengumpulkan data, mengumpulkan data berguna untuk mengetahui masalah apa yang dihadapi kemudian dengan mengumpulkan data akan dapat dengan mudah mencari suatu solusi atau kreativitas berpikir yang kritis. Yang ketiga adalah mengorganisasikan masalah, yaitu dengan cara memilah suatu masalah kemudian mengelompokkan masalah dengan rinci dan menggabungkan masalah yang satu dengan yang lainnya sehingga peserta didik mampu berpikir untuk memecahkan masalah secara terorganisir dan diikuti dengan penyusunan fakta. Selanjutnya peserta didik akan menganalisis dari masalah yang ada dan fakta yang ada sehingga akan menemukan titik temu dalam menyusun argumentasi. Dan hal-hal tersebut adalah suatu proses dalam peningkatan kemampuan kreativitas berpikir sesuai dengan model pembelajaran Problem Based Learning. SIMPULAN Lembaga pendidikan merupakan unsur penting dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia. Tidak lepas dari semua itu lembaga pendidikan juga mempunyai arti dalam pengembangan peserta didik. Di samping itu lembaga pendidikan mempunyai kreativitas yang tinggi agar dapat menciptakan lulusan-lulusan yang berkompeten. Satu unsur yang penting dalam memajukan peserta didik yaitu dengan cara penerapan pembelajaran yang berorientasi pada kewirausahaan. Karena itu sesuai dengan tujuan pendidikan yang mempunyai visi dan misi untuk menciptakan lulusan yang mampu bersaing di masa yang akan datang. Wirausaha saja mungkin tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila tidak diikuti dengan kreativitas yang tinggi dari tangan-tangan para wirausaha Kreativitas mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pembelajaran kewirausahaan. Apalagi pada tahun 2015 sudah dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tujuan yang jelas dari kreativitas adalah meningkatkan hasil karya dan kemampuan menciptakan hal baru dalam berwirausaha. Namun untuk menciptakan hal tersebut perlu adanya dukungan dari beberapa pihak yaitu lembaga pendidikan, peserta didik dan guru. Ketiga pihak itu harus saling berkaitan agar nantinya bisa mewujudkan kreativitas dari peserta didik. Salah satunya adalah dengan penerapan model pembelajaran Problem Basic Learning. Dari model itu akan memulai dengan mencari pokok masalah dari kewirausahaan kemudian peserta didik akan mengidentifikasi dan P a g e [ 149 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 melakukan pemecahan masalah. Identifikasi dapat dilakukan dengan cara mencermati, mengumpulkan data, mengorganisasikan dan menyusun fakta. Sedangkan dalam proses pemecahan masalah dapat dilakukan dengan cara menganalisis masalah dan menyusun argumentasi. DAFTAR PUSTAKA Arens, R. I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill Companies,inc. Drucker. (1996). Konsep Kewirausahaan Era Globalisasi, Erlangga, Jakarta, Terjemahan Hamdani, Asep Saepul. (2002). Pengembangan Kreativitas, Jakarta: Pustaka As-Syifa. Isdianto, B., Willy, D. & Mashudi, M.R. (2005). Orientasi Sistem Pendidikan Desain Interior terhadap Motivasi Kewirausahaan Mahasiswa (Mencari Hambatan dan Stimulus). Laporan Penelitian. Bandung: Institut Teknologi Bandung Joyce Bruce, Marsha Weil and Emily Calhoun. (2000). Model Of Thaching. Boston: Alilyn and Bacon. Munandar, Utami (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah , Jakarta: Gramedia Pustaka. Munandar, Utami (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Asdi Mahasatya. Propensity for Business Start-Ups after Graduation in a Portuguese University. International Research Journal Problems and Perspectives in Management, 6(4): 45-53. Semiawan, Conny R, (1999). Perkembangan dan Belajar Peserta Didik, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Susanto, Ahmad. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana. Syafaruddin & Herdianto, (2011). Pendidikan Pra Skolah, Medan: Perdana Publishing. Yuwono, Trisno, (2003). Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Arkola.
[ 150 ] P a g e
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA SUB MATERI INTI MASALAH EKONOMI/KELANGKAAN Bintana Afiati
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Banyak model pembelajaran diterapkan di sekolah-sekolah untuk mengatasi kejenuhan dan meningkatkan kualitas diri siswa. Model pembelajaran Kurikulum 2013 yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya adalah discovery learning, project-based learning, problem-based learning, dan inquiry learning. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan model problem based learning pada sub materi inti masalah ekonomi/kelangkaan. Problem based learning (PBL) memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah, masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah, sementara pendidik lebih banyak memfasilitasi. PBL terdiri atas lima fase, yaitu mengorientasikan peserta didik pada masalah, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, membantu penyelidikan mandiri dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya, dan analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Kata kunci: Problem based learning, kelangkaan, fase
PENDAHULUAN Pada saat ini banyak kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar. Hal ini disebabkan karena proses belajar di dalam kelas yang begitu-begitu saja, sehingga siswa merasa jenuh untuk belajar. Oleh karena itu sekarang banyak digunakan model dalam pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah-sekolah. Hal ini dilakukan mengatasi kejenuhan dalam proses belajar-mengajar dan meningkatkan kualitas diri siswa. Terkait dengan model pembelajaran, menurut Amri (2013:5) guru diharapkan mampu memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Pada pembelajaran kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan yang dapat menggunakan beberapa strategi yang digunakan seperti pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya misalnya discovery learning, project-based learning, problem-based learning, inquiry learning (Permendikbud tahun 2014 no 103 lampiran). Kemudian Fachrurazi (2011:78) menyatakan salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar adalah model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning). Pembelajaran Berbasis masalah memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah, masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, P a g e [ 151 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah. Sementara pendidik lebih banyak memfasilitasi. Kemudian Sari dan Nasikh (2009:68) dari penelitiannya yang berjudul “Efektivitas Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Teknik Peta Konsep Dalam Meningkatkan Proses Belajar Ekonomi Siswa Kelas X6 SMA Negeri 2 Malang Semester Genap Tahun Ajaran 2006-2007” menyatakan bahwa Problem Based Learning dirancang untuk membantu guru memberikan informasi secara mendetail kepada siswa, tetapi dirancang untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir, ketrampilan menemukan dan memecahkan masalah, dan ketrampilan intelektual, sehingga siswa tidak bergantung pada satu sumber (guru) melainkan menjadi siswa dengan belajar yang mandiri dan aktif untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Dengan demikian dalam Problem Based Learning guru tidak menyajikan konsep ekonomi dalam bentuk yang sudah jadi, namun melalui kegiatan pemecahan masalah siswa digiring ke arah menemukan konsep sendiri (reinvention). Paparan di atas tentang pembelajaran berbasis masalah Menurut Fachrurazi (2011:79) menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut berpotensi mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Hal ini senada dinyatakan oleh Sadia dan Subagia dalam Astika, Suma dan Suasrta (2013:4) bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, khususnya untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Pada kenyataannya tidak jarang guru menggunakan model pembelajaran ini, karena dianggap membantu dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran problem based learning membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya serta dapat memecahkan masalah dengan guru mengarahkan siswa untuk dapat menemukan konsep dari materi tersebut dengan sendirinya. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil yaitu bagaimana Penerapan Model Problem Based Learning Pada Sub Materi Inti Masalah Ekonomi/Kelangkaan? Di dalam makalah ini penulis membatasi pembahasan pada sub materi inti masalah ekonomi/kelangkaan. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Penerapan Model Problem Based Learning Pada Sub Materi Inti Masalah Ekonomi/Kelangkaan. PEMBAHASAN Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) Problem Based Learning menurut Maufur (2003:121) adalah model pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersamasama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada muaranya adalah pemecahan masalah. Kemudian menurut Tan dalam Rusman (2012:232) Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia [ 152 ] P a g e
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada. Sedangkan menurut Nurhadi dalam Sari dan Nasikh (2009:54) bahwa problem-based learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian dari Problem Based Learning adalah model pembelajaran dengan memberikan suatu permasalahan dalam dunia nyata untuk diselesaikan secara individu maupun kelompok. Menurut Hamiyah dan Muhammad (2014:134) problem based learning (PBL) terdiri dari lima fase yang dimulai dari guru menghadirkan suatu masalah nyata dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Berikut fase-fase problem based learning (PBL): Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah. Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan (PBL), tahapan ini sangat penting di mana guru harus menjelaskan secara rinci tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik dan juga oleh guru. Apa yang perlu dijelaskan adalah bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar peserta didik dapat memahami pembelajaran yang akan dilakukan. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam proses ini, yaitu: 1. Tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru tetapi lebih mempelajari tentang bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dari bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri. 2. Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”. Sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan sering kali bertentangan. 3. Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), peserta didik didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun peserta didik harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya. 4. Selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman sekelas. Semua peserta didik diberi peluang untuk melakukan penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka. Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar. Di samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong peserta didik untuk belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerja sama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok peserta didik di mana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. P a g e [ 153 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan dalam konteks ini, yakni kelompok heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran. Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar, selanjutnya guru dan peserta didik menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua peserta didik aktif untuk terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok. Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahannya. Tujuannya adalah agar peserta didik dapat mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Guru membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan kepada pserta didik untuk berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan. Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, mereka selanjutnya mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta didik untuk menyampaikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta kualitas informasi yang dikumpulkan. Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya. Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya, kecanggihan “artifak” sangat dipengaruhi oleh tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan beberapa peserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan siapa pun yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan-balik. [ 154 ] P a g e
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini, guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Selain itu terdapat pula keunggulan problem based learning menurut A’la (2012:94) yaitu: 1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan 2. Berpikir dan bertindak kreatif 3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis 4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan 5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan 6. Merangsang bagi perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi secara realistis 7. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan 8. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan 9. Merangsang bagi perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi dengan tepat 10. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja Kemudian terdapat juga kelemahan problem based learning menurut A’la (2012:95) yakni: 1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya, terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut 2. Membutuhkan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain. Hasil Penelitian Terdahulu pada Penerapan Problem Based Learning Pada penelitian yang dilakukan oleh Fachrurazi (2011:85) hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Ketika pemecahan masalah digunakan sebagai konteks dalam matematika, fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa yaitu berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk memahami suatu konsep dan prosedur matematika yang terkandung dalam masalah tersebut. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Nasikh (2009:71) peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dan teknik peta konsep memang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), karena pembelajaran ini berasosiasi pada pembelajaran kontekstual berupa penyajian masalah P a g e [ 155 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 berdasarkan kehidupan nyata, sehingga siswa belajar menjadi lebih bermakna karena siswa dituntut untuk aktif, kreatif dan mampu bekerjasama dengan anggota kelompoknya dalam menyelesaikan tugas. Hal ini juga berlaku untuk kurikulum 2013 yang mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Permendikbud, no 59 tahun 2014a) Penerapan Problem Based Learning Kompetensi Dasar 3.1 Menganalisis masalah ekonomi dan cara mengatasinya 4.2 Melaporkan hasil analisis masalah ekonomi dan cara mengatasinya Menganalisis masalah Ekonomi dan cara mengatasinya Materi : Masalah ekonomi dan cara mengatasinya Tujuan : 1. Mendiskripsiskan inti masalah ekonomi/kelangkaan melalui kajian referensi dan contoh 2. Menganalisis penyebab dan cara mengatasi inti masalah ekonomi/kelangkaan melalui diskusi dan kerja kelompok 3. Melaporkan secara tertulis hasil analisis penyebab dan cara mengatasi inti masalah ekonomi/kelangkaan melalui diskusi dan kerja kelompok 4. Melaporkan secara lisan hasil analisis penyebab dan cara mengatasi inti masalah ekonomi/kelangkaan melalui diskusi dan kerja kelompok Tabel 1. Penerapan Fase Model Problem Based Learning FASE-FASE KEGIATAN PEMBELAJARAN Fase 1 1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran kemudian Orientasi peserta dapat memberikan konsep dasar sub materi inti didik kepada masalah ekonomi/kelangkaan, serta petunjuk atau masalah referensi yang diperlukan dalam pembelajaran. 2) Guru memotivasi siswa supaya terlibat aktif dan berpikir kritis alam aktivitas pemecahan masalah yang nantinya dikerjakan.
Fase 2 Mengorganisasikan peserta didik [ 156 ] P a g e
3) Mencatat data hasil pengamatan tentang inti masalah ekonomi/kelangkaan Peserta didik akan mengumpulkan informasi tentang Inti masalah ekonomi/kelangkaan dari artikel yang diberikan oleh guru. Pada tahap ini guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Peserta didik dikelompokkan secara heterogen dan dibagi menjadi 4
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
FASE-FASE
KEGIATAN PEMBELAJARAN kelompok , yakni kelompok A, B, C, D. Guru menyediakan 2 buah artikel dari media online mengenai permasalahan yang harus diselesaikan oleh masing kelompok dengan rincian sebagai berikut : 1) Kelompok A dan Kelompok C membahas artikel “Di daerah ini, harga elpiji 3 Kg tembus Rp 40.000/tabung” serta mencari penyebab dan cara mengatasi inti masalah kelangkaan barang tersebut. 2) Kelompok B dan D membahas artikel “Stok LPG 3kg Langka di Bangkalan” serta mencari penyebab dan cara mengatasi inti masalah kelangkaan barang tersebut. Peserta didik mendiskusikan hal-hal yang harus dikerjakan dan konsep-konsep yang harus didiskusikan dan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab untuk memecahkan masalah.
Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Peserta didik mengumpulkan informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri dalam memecahkan masalah. Pada kegiatan ini peserta didik mendiskusikan materi tentang inti masalah ekonomi/kelangkaan. Guru membimbing siswa dalam memecahkan masalah tersebut.
Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini peserta didik merencanakan dan menyiapkan hasil diskusi dan kerja kelompok dengan cara berbagi tugas dengan teman
Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pembuatan laporan hasil diskusi melalui kegiatan: - Diskusi masing-masing kelompok untuk mengembangakan konsep inti masalah ekonomi/kelangkaan berdasarkan data hasil diskusi dan kerja kelompok yang dikonfirmasikan dengan buku siswa secara teori. - Membuat laporan secara sistematis dan benar hasil diskusi kelompok tentang inti masalah ekonomi/kelangkaan. Pada tahap ini peserta didik mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari melalui diskusi kelas untuk menganalisis hasil pemecahan masalah tentang permasalahan inti masalah ekonomi/kelangkaan. Peserta diharapkan menggunakan buku sumber untuk bantuan mengevaluasi hasil diskusi. Selanjutnya presentasi hasil diskusi dan penyamaan persepsi.
P a g e [ 157 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Artikel yang digunakan siswa untuk diskusi pada model pembelajaran problem based learning Di daerah ini, harga elpiji 3 Kg tembus Rp 40.000/tabung Senin, 2 Maret 2015 14:28 Merdeka.com - Kelangkaan elpiji ukuran 3 kilogram masih melanda sejumlah daerah di Indonesia, salah satunya di kawasan Tanjung Selor, Kalimantan Utara. Akibat langka, masyarakat di kawasan ini harus merasakan mahalnya elpiji 3 kilogram yang mencapai Rp 40.000 per tabung.Salah satu warga Tanjung Palas, Datuk Taqdir melepaskan kekecewaan di salah satu toko sembako di kecamatan tersebut. "Tadi pagi beli elpiji 3 kilogram, dapat harga Rp 40.000, tapi ini ada penurunan dibanding minggu kemarin mencapai 45 ribu rupiah per tabung," ucap Taqdir seperti dilansir Antara, Jakarta, Senin (2/3). Kondisi tersebut terpaksa diterima oleh Datuk Taqdir dengan pasrah mengingat kebutuhan gas elpiji tersebut penting untuk keperluan dapur rumah tangganya. Harga ini jauh dari harga rata rata yang dijual pemerintah sekitar Rp 18.000 per tabung. "Mau bagaimana lagi kalau tidak dibeli otomatis dapur tidak berasap," lanjutnya. Datuk Taqdir menduga kenaikan harga terjadi akibat pasokan yang terbatas dibanding dengan tingkat kebutuhan dari masyarakat. "Elpiji 3 kilogram saat ini di harga Rp 40.0000, stoknya juga terbatas," jelasnya. Di lain kesempatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said enggan berkomentar panjang mengenai hal ini. Dia hanya menyebut Pertamina sebagai regulator akan segera dapat mengatasi kelangkaan gas elpiji 3 kilogram di beberapa daerah. "Pertamina pasti sedang berusaha keras untuk mengatasi terus," kata Sudirman di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3). Stok LPG 3kg Langka di Bangkalan Selasa, 3 Maret 2015 KBRN, Bangkalan: Sejak hari Jum'at lalu keberadaan gas LPG 3 Kilogram di sejumlah agen dan pengecer di wilayah Kabupaten Bangkalan kehabisan stok. Salah seorang pengecer, Imron, menuturkan, kosongnya stok LPG 3 Kilogram tersebut bukan karena keterlambatan pengiriman, melainkan dirinya menduga meningkatnya konsumsi masyarakat. "Seperti banyaknya hajatan pernikahan, yang biasanya masyarakat menggunakan 2 tabung menjadi 4 tabung, sementara pasokan dari agen tidak ada penambahan," ungkapnya. Selasa (3/3/2015). Ditambahkan Imron, untuk harga tidak ada kenaikan dirinya berharap stok pengiriman untuk bisa ditambah dari sebelumnya agar stok LPG 3 kilo tidak terjadi kelangkaan dipasaran. "Sementara untuk stok LPG 12 Kilogram normal dan ada kenaikan harga dari 140.000 rupiah menjadi 145.000 rupiah, sehingga masyarakat banyak beralih ke LPG 3 Kilogram," tukasnya. (MU/DS) Kesimpulan 1. Problem Based Learning adalah model pembelajaran dengan memberikan suatu permasalahan dalam dunia nyata untuk diselesaikan secara individu maupun kelompok. 2. Problem based learning (PBL) terdiri dari lima fase yang dimulai dari guru menghadirkan suatu masalah nyata dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Berikut fase-fase problem based learning (PBL): a. Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah b. Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar c. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok [ 158 ] P a g e
Penerapan Model Problem… (Bintana Afiati)
d. Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya e. Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah 3. Dalam problem based learning, guru sebaiknya dapat mengatur waktu secara efektif agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Oleh karena itu guru diharapkan mampu melakukan persiapan dengan sebaik-baiknya sebelum melaksanakan pembelajaran. 4. Diharapkan bagi guru yang ingin menggunakan problem based learning supaya dapat merancang masalah yang sesuai dengan kemampuan awal siswa dan masalah yang diisajikan tidak sulit, sehingga akan mencapai hasil yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA A’la, Miftahul. 2012. Quantum Teaching. Jogjakarta: Diva press Amri, Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: PT Prestasi Pustakarya Astika, I. Kd. Urip, I. K. Suma dan I. W. Suastra. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Sikap Ilmiah Dan Keterampilan Berpikir Kritis. eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA (Volume 3 Tahun 2013). http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/ jurnal_ipa/article/view/851/606 . diakses pada 6 April 2015 Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. ISSN 1412-565X Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011. http://jurnal.upi.edu/file/8Fachrurazi.pdf diakses pada 4 April 2015 Hamiyah, Nur dan Muhamad Jauhar. 2014. Strategi Belajar Mengajar Di Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta Maufur, Hasan Fauzi. 2009. Sejuta Jurus Mengajar Mengasyikkan. Semarang: PT Sindur Press Merdeka, (2015) Di daerah ini, harga elpiji 3 Kg tembus Rp 40.000/tabung. Diakses dari http://www.merdeka.com/uang/di-daerah-ini-harga-elpiji-3-kg-tembus-rp40000tabung.html pada tanggal 19April 2015 Peraturan Pemerintah No 59 Tahun 2014 RRI,
(2015) Stok LPG 3kg Langka di Bangkalan. Diakses dari http://www.rri.co.id/post/berita/144573/ekonomi/stok_lpg_3_kg_langka_di_ban gkalan.html pada tanggal 19April 2015
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi Kedua. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Sari, Nur Fatimah dan Nasikh. 2009. Efektivitas Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Teknik Peta Konsep dalam Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Mata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas X6 MAN 2 Malang Semester Genap Tahun Ajaran 2006-2007. JPE-Volume 2, Nomor 1, 2009. http://fe.um.ac.id/wpcontent/uploads/2010/03/Nur-Fatimah-Edit.pdf . diakses pada 4 April 2015 P a g e [ 159 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENERAPAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KETERAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah, siswa diharapkan dapat menggali dan menemukan sendiri dari pemecahan masalah yang diberikan dosen sehingga dapat memancing proses belajar mereka. Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah pada mata kuliah Perilaku Organisasi serta untuk mengetahui respon siswa terhadap proses pembelajaran berbasis masalah. Metode yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis pada siklus I sebesar 79.42% dan siklus II sebesar 82.29% maka peningkatan sebesar 2,87%. Sedangkan pada keterampilan memecahkan masalah pada siklus 1 sebesar 84.99 % dan siklus 2 sebesar 86.86% maka peningkatan sebesar 3,87%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah pada mata kuliah perilaku organisasi. Kata Kunci: PBL, Berpikir Kritis, Memecahkan Masalah
PENDAHULUAN Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran mata kuliah Perilaku Organisasi adalah kurangnya daya pemahaman mahasiswa. Sebagian mahasiswa kesulitan mengaplikasikan teori untuk memecahkan masalah-masalah perilaku organisasi. Hal ini disebabkan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dosen sebatas teoritis. Sedangkan tujuan pembelajaran perilaku organisasi adalah melatih mahasiswa untuk berpikir logis mengkaji tentang bagaimana mengelola manusia dengan segala karakter dan permasalahan-permasalahan yang ada dalam sebuah organisasi sehingga dapat berkembang dan berhasil di masa depan. Perilaku organisasi yaitu suatu bidang studi yang mempelajari tentang pengaruh dari perseorangan, kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan yang dimiliki untuk memperbaiki keefektifan organisasi. Berdasarkan pengamatan di dalam kelas, diperoleh fakta bahwa dosen masih jarang menggunakan pembelajaran kooperatif. Meskipun telah menerapkan diskusi kelas, proses diskusi tersebut masih bersifat konvensional dan biasanya bahan yang digunakan untuk diskusi adalah materi perkuliahan yang bersifat teoritik tanpa disertai contoh penerapan dalam kehidupan nyata sehingga hal tersebut kurang mampu mendorong mahasiswa untuk berpikir secara kritis dalam memecahkan masalah. [ 160 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
Pentingnya mengajarkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis harus dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Penguasaan kemampuan berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental yang memungkinkan mahasiswa untuk mengatasi ketidaktentuan di masa mendatang (Cabrera, 1992). Menurut Elaine (2007:187), Berpikir kritis adalah berpikir untuk menyelidiki secara sistematis proses berpikir itu sendiri, maksudnya tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti, asumsi dan logika. Bepikir kritis memungkinkan mahasiswa untuk menemukan kebenaran dari suatu informasi. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat mahasiswa mengerti maksud di balik ide sehingga mengungkapkan makna di balik suatu kejadian. Perlunya upaya untuk memfasilitasi agar kemampuan berpikir kritis mahasiswa lebih berkembang menjadi sangat penting, mengingat beberapa hasil penelitian masih mengindikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian Suryanto dan Somerset (dalam Fachrurazi, 2011) terhadap 16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan hasil tes mata pelajaran matematika sangat rendah, utamanya pada soal cerita. Dalam kasus di atas menjelaskan bahwa kemampuan aplikasi merupakan bagian dari domain kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketiga kemampuan tersebut digolongkan oleh Bloom (Duron, dkk., 2006) dalam kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis dalam penelitian ini adalah proses terorganisasi yang melibatkan aktivitas mental yang mencakup kemampuan merumuskan masalah, memberikan argumen, menyusun laporan, melakukan deduksi, induksi, evaluasi, memutuskan kemudian melaksanakan, dan berinteraksi dengan yang lain untuk memecahkan suatu masalah. Indikator kemampuan berpikir kritis dapat dijabarkan pada tabel berikut ini: Tabel 1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis No 1
2
Aspek Kemampuan dalam Berpikir Kritis (Indikator) Merumuskan masalah (memformulasikan dalam bentuk pertanyaan yang memberi arah untuk memperoleh jawabannya) Memberikan argumen (Argumen dengan alasan yang sesuai, menunjukkan perbedaan
Deskripsi Pencapaian 1. Mahasiswa tidak merumuskan masalah 2. Mahasiswa merumuskan masalah tetapi tidak tepat 3. Mahasiswa merumuskan masalah tetapi kurang tepat 4. Mahasiswa melakukan rumusan masalah dengan tepat 1. Mahasiswa tidak memberikan argumen 2. Mahasiswa memberikan argumen dengan alasan yang tidak sesuai 3. Mahasiswa memberikan argumen dengan alasan P a g e [ 161 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
No
3
4
5
Aspek Kemampuan dalam Berpikir Kritis (Indikator) dan persamaan, serta argumennya utuh)
Deskripsi Pencapaian
4.
Melakukan deduksi (Mendeduksi secara logis, kondisi logis, serta melakukan intrepetasi terhadap pernyataan)
1. 2. 3.
Melakukan induksi (Melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari data,membuat tabel, dan grafik, membuat kesimpulan terkait hipotesis serta memberikan asumsi yang logis)
1.
Melakukan evaluasi (Evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, serta memberikan alternatif)
1. 2.
4.
2.
3.
4.
3.
4.
6
yang sesuai, tetapi argumennya tidak utuh Mahasiswa memberikan argumen dengan alasan yang sesuai dan argumen yang utuh Mahasiswa tidak melakukan deduksi Mahasiswa melakukan deduksi tetapi tidak logis Mahasiswa melakukan deduksi secara logis, tetapi kurang tepat Mahasiswa melakukan deduksi secara logis dan tepat Mahasiswa tidak melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel, dan grafik Mahasiswa melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, tetapi tidak membuat tabel, dan grafik Mahasiswa melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel, dan grafik, tetapi kurang tepat Mahasiswa melakukan pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel, dan grafik, dengan tepat Mahasiswa tidak melakukan evaluasi Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, tetapi tidak memberikan alternatif Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, serta memberikan alternatif, tetapi kurang tepat Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, serta memberikan alternatif dengan tepat Mahasiswa tidak memberikan solusi Mahasiswa memberikan solusi, tetapi tidak tepat Mahasiswa memberikan kemungkinan solusi, tetapi kurang tepat Mahasiswa memberikan kemungkinan solusi dengan tepat
Memutuskan dan 1. melaksanakan 2. (Memilih kemungkinan 3. solusi,dan menentukan kemungkinan4. kemungkinan yang akan dilaksanakan) Sumber: Etnis dan Marzano (dalam Marpaung, 2005).
Selain mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah bagian yang tidak dapat terpisahkan. Menurut Sutarmo (2012: 94) [ 162 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
“Kemampuan berpikir kritis, otak dipaksa berpikir serius untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu yang berpikir atau memikirkan tindakan yang akan dilakukan nanti”. Setiap orang memiliki masalah yang bukan untuk dihindari melainkan untuk dipecahkan, maka seharusnya mereka juga memiliki kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan sehingga dapat memikirkan langkah apa yang harus ditempuh untuk memecahkan masalah serius yang mereka hadapi. Hal ini mempunyai implikasi dalam pembelajaran Perilaku Organisasi dimana memberikan pemahaman pada mahasiswa bahwa dalam kehidupan berorganisasi manusia tidak akan terlepas dari permasalahan-permasalahan yang ada. Mahasiswa yang terbiasa dihadapkan pada masalah dan berusaha memecahkannya akan cepat tanggap dan kreatif apalagi bila masalah yang diciptakan itu bersentuhan dengan kehidupannya maka mereka akan bersemangat untuk memecahkannya dalam waktu singkat. Jadi keterampilan memecahkan masalah sangat penting artinya bagi anak didik dan masa depannya. Berdasarkan hasil penelitian Ni Wyn (2014), menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar matematika mahasiswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode keterampilan pemecahan masalah lebih baik daripada mahasiswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional. Hal ini tentunya signifikan pada usaha meningkatkan keterampilan memecahkan masalah dengan tujuan pembelajaran Perilaku Organisasi yaitu selain melatih mahasiswa untuk berpikir logis mengkaji tentang bagaimana mengelola manusia dengan segala karakter dan permasalahan-permasalahan yang ada. Selain itu juga keterampilan memecahkan masalah diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar mata kuliah Perilaku Organisasi. Branca (Krulik dan Reys, 1980) mengemukakan bahwa pemecahan masalah memiliki tiga interpretasi yaitu: pemecahan masalah (1) sebagai suatu tujuan utama; (2) sebagai sebuah proses, dan (3) sebagai keterampilan dasar. Ketiga hal itu mempunyai implikasi dalam pembelajaran Perilaku Organisasi. Pertama, jika pemecahan masalah merupakan suatu tujuan maka ia terlepas dari masalah atau prosedur yang spesifik, yang terpenting adalah bagaimana cara memecahkan masalah sampai berhasil. Dalam hal ini pemecahan masalah sebagai alasan utama untuk belajar perilaku dalam lingkungan organisasi. Kedua, jika pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses maka penekanannya bukan semata-mata pada hasil, melainkan bagaimana metode, prosedur, strategi dan langkah-langkah tersebut dikembangkan melalui penalaran dan komunikasi untuk memecahkan masalah. Ketiga, pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar atau kecakapan hidup (life skill), karena setiap manusia harus mampu memecahkan masalahnya sendiri. Jadi pemecahan masalah merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap mahasiswa. Tabel 2. Indikator Memecahkan Masalah Aspek yang dinilai dalam No. keterampilan memecahkan masalah 1. Identifikasi masalah (menunjukkan fenomena
Skor 1
Deskripsi Pencapaian Mahasiswa tidak dapat mengidentifikasi masalah yang diberikan dosen P a g e [ 163 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Aspek yang dinilai dalam No. keterampilan memecahkan masalah yang ada dalam permasalahan dan merangkumnya dalam rumusan masalah) 2.
3.
Skor
Deskripsi Pencapaian
2
Mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah, tetapi tidak tepat Mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah, tetapi kurang tepat Mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah dengan tepat Mahasiswa tidak merumuskan masalah Mahasiswa merumuskan masalah tetapi tidak tepat Mahasiswa merumuskan masalah tetapi kurang tepat Mahasiswa merumusan masalah dengan tepat Mahasiswa tidak dapat memahami dan menganalisis masalah Mahasiswa dapat memahami dan menganalisis masalah, tetapi tidak logis Mahasiswa dapat memahami dan menganalisis masalah, tetapi kurang logis Mahasiswa dapat memahami dan menganalisis masalah dengan logis Mahasiswa tidak dapat menarik kesimpulan dari masalah yang telah dianalisis Mahasiswa dapat menarik kesimpulan dari masalah yang telah dianalisis tetapi tidak tepat Mahasiswa dapat menarik kesimpulan dari masalah yang telah dianalisis tetapi kurang tepat Mahasiswa dapat menarik kesimpulan dari masalah yang telah dianalisis dengan tepat Mahasiswa tidak dapat memberikan alternatif solusi yang mudah dilaksanakan dan tidak dilandasi dengan teori yang sesuai Mahasiswa kurang dapat memberikan alternatif solusi yang mudah dilaksanakan dan tidak dilandasi dengan teori yang sesuai Mahasiswa dapat memberikan alternatif solusi yang mudah dilaksanakan tetapi tidak dilandasi dengan teori yang sesuai Mahasiswa dapat memberikan alternatif solusi yang mudah dilaksanakan dan dilandasi dengan teori yang sesuai Mahasiswa tidak melakukan evaluasi Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau
3 4
Merumuskan masalah (memformulasikan dalam bentuk pertanyaan yang memberi arah untuk memperoleh jawabannya)
1 2
Menganalisis masalah (Menganalisis setiap data yang didapatkan dan kesesuaiannya dengan masalah yang dikaji)
1
3 4
2 3 4
4
Menarik kesimpulan (menyimpulkan berdasarkan pembahasan yang telah dibuat)
1 2 3 4
5
Mencari solusi (mengajukan pemecahan masalah dan merencanakan penyelesaian masalah)
1 2 3 4
6
[ 164 ] P a g e
Melakukan evaluasi (evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau
1 2
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
Aspek yang dinilai dalam No. keterampilan memecahkan masalah pedoman, serta memilih alternative solusi atau pemecahan masalah yang paling tepat)
Skor
3
4
7
Memecahkan dan menyelesaikan masalah (memilih kemungkinan solusi, dan menentukan kemungkinan solusi, serta menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana)
1 2 3 4
Deskripsi Pencapaian pedoman, tetapi tidak memberikan alternative Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, serta memberikan alternative, tetapi kurang tepat Mahasiswa memberikan evaluasi berdasarkan fakta, berdasarkan prinsip atau pedoman, serta memberikan alternative dengan tepat Mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tepat dan tidak sesuai dengan rencana Mahasiswa dapat menyelesaikan masalah, tetapi tidak tepat dan tidak sesuai dengan rencana Mahasiswa dapat menyelesaikan masalah, tetapi kurang tepat dan kurang sesuai dengan rencana Mahasiswa dapat menyelesaikan masalah dengan tepat dan sesuai dengan rencana
Sumber: diolah dari Nurhadi dkk (2004) Melihat permasalahan yang ada dan agar orang-orang terdidik kelak mempunyai kemampuan dan keterampilan seperti yang dikemukakan, diperlukan sistem pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif, sistematis dan logis (Depdiknas, 2003). Oleh sebab itu perlu diterapkan model Problem Based Learning guna untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah. Sesuai dengan tujuan Problem Based Learning yaitu membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan keterampilan intelektual, maka mahasiswa diharapkan dapat menggali dan menemukan sendiri dari pemecahan masalah yang diberikan dosen sehingga dapat memancing proses belajar mereka. Dalam konsepnya mahasiswa bukan lagi obyek namun sebagai subyek belajar. Menurut Punaji Setyosari (2006: 1) menyatakan bahwa Problem Based Learning adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a real-world problems sebagai konteks bagi mahasiswa untuk belajar kritis dan keterampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan. Menurut Ward (dalam I Wayan Dasna dan Sutrisno: 2007) menyatakan bahwa Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan mahasiswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga mahasiswa dapat mempelajari pengetahuan berdasarkan masalah dan memiliki keterampilan untuk memecahkan P a g e [ 165 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 masalah. Dengan Problem Based Learning mahasiswa mampu berfikir kritis dan mengembangkan inisiatif. Dosen mempunyai peran untuk memberikan inspirasi agar potensi dan kemampuan mahasiswa dimaksimalkan. Melalui pengembangan kemampuan tersebut diharapkan mahasiswa akan dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul di lingkungannya dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian Fachrurazi (2011), Terdapat perbedaan peningkatan berpikir kritis antara mahasiswa yang belajar matematika menggunakan model Problem Based Learning dengan mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Mahasiswa pada kelas Problem Based Learning mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi daripada mahasiswa pada kelas konvensional. Senada dengan penelitian Herman (2007), menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBM) terbuka dan PBM terstruktur secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi mahasiswa dibanding pembelajaran konvensional (biasa). Hal ini juga menguatkan pentingnya penerapan Problem Based Learning guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah pada pembelajaran Perilaku Organisasi. Dimana diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman kehidupan berorganisasi dengan cara menggali dan menemukan sendiri dari pemecahan masalah yang diberikan dosen sehingga dapat memancing proses belajar yang aktif dan kreatif. Tabel 3. Tahapan-Tahapan PBL Tahap Tahap-1 Orientasi mahasiswa pada masalah Tahap-2 Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar Tahap-3 Membimbing penyelidikan individual dan kelompok Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan data
Tingkah laku dosen Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi mahasiswa untuk terlibat pada aktifitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Membantu mahasiswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasi dan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Membantu mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan temannya Membantu mahasiswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan prosesproses yang mereka gunakan.
Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Sumber: Nurhadi, dkk (2004:60)
Kegiatan belajar mengajar dikatakan telah terlaksana dengan baik apabila dosen dalam proses belajar mengajar bukan hanya memberi pengetahuan saja melainkan juga menyiapkan situasi yang menggiring mahasiswa untuk berpikir kritis, mampu [ 166 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
bekerjasama dalam sebuah kelompok dan mempunyai ketrampilan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan berkelompok atau berorganisasi. Berdasarkan uraian latar belakang dan kajian pustaka di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1). Bagaimana penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. 2). Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa setelah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. 3). Bagaimana peningkatan keterampilan memecahkan masalah mahasiswa setelah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. 4). Bagaimana respon mahasiswa setelah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah perilaku organisasi. Dan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Problem Based Learning dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah pada mata kuliah perilaku organisasi serta untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap proses Problem Based Learning. METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi UNESA angkatan 2012 kelas A yang berjumlah 32 mahasiswa. Lokasi dalam penelitian ini adalah Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya jalan Kampus Ketintang Surabaya. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan angket. Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahap yaitu pendahuluan dan penelitian tindakan. Pendahuluan meliputi observasi awal pada subjek penelitian. Pada tahap penelitian tindakan terdiri dari beberapa siklus, mengacu pada Arikunto (2002), tiap siklus melalui 4 tahap yaitu perencanaan (Planning), tindakan (Action), pengamatan (Observation), dan refleksi (Reflective). Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan ini dinyatakan berhasil apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1). Data ketercapaian tindakan dosen dalam menerapkan langkah- langkah model Problem Based Learning (problem based learning) mencapai persentase ≥ 75%”. 2). Data ketercapaian mahasiswa dalam keterampilan memecahkan masalah mencapai persentase antara 75% - 91% dengan klasifikasi atau kategori ‘baik’. 3). Data ketercapaian mahasiswa dalam keterampilan berpikir kritis mencapai persentase antara 75% - 91% dengan klasifikasi atau kategori ‘baik’ (Mulyasa, 2003). Indikator untuk penerapan langkah-langkah model Pembelajaran Problem Based Learning dapat dilihat pada Tabel 4.
P a g e [ 167 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Tabel 4. Lembar Observasi Kegiatan Dosen No. 1
2
3
4 5
6 7 8
9 10 11 12
13
Deskriptor Dosen menjelaskan Problem Based Learning terdiri atas standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, dan tujuan pembelajaran pada mata kuliah Perilaku Organisasi. Dosen menginformasikan perlengkapan penting yang diperlukan dalam proses pembelajaran dan memotivasi dan mengarahkan mahasiswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah Dosen mengorganisasikan bahasa yang bersifat umum menjadi sub-sub pokok bahasan yang lebih sempit dan membantu mahasiswa dalam pembentukan kelompok Dosen mengajukan masalah yang bersifat umum, kurang terstruktur, dan aktual Dosen membimbing mahasiswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang diberikan Dosen memberikan pertanyaan yang provokatif untuk meningkatkan kemampuan tingkat tinggi Dosen memberi kesempatan pada mahasiswa untuk bekerjasama dalam kelompok Dosen memastikan mahasiswa mandiri dalam mencari sumber/informasi untuk memecahkan masalah meskipun bekerja secara berkelompok Dosen membimbing mahasiswa dalam menganalisis informasi sesuai dengan masalah yang dipecahkan. Dosen membimbing mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan laporan hasil pemecahan masalah. Dosen menugaskan setiap kelompok menyajikan laporan hasil pemecahan masalahnya dalam diksusi kelas Dosen mengelaborasi pengetahuan mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan Socratik (yaitu pertanyaan yang meminta klarifikasi, menyelidiki asumsi, yang menyelidiki alasan dan bukti, tentang pendapat atau persfektif, menyelidiki implikasi atau akibat) bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Dosen melakukan evaluasi dan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan
Ya
Tidak
Data penerapan langkah-langkah model pembelajaran Problem Based Learning dianalisis secara deskriptif berdasarkan ketercapaian tindakan yang dilakukan oleh dosen. Hal ini akan ditunjukkan dengan banyaknya tanda cek (√) pada kolom “ya” di lembar observasi presentasi ketercapaian tindakan dosen dengan rumus: Persentase ketercapaian tindakan dosen = Jumlah tanda (√) pada kolom “ya” x 100 Jumlah total tanda (√) [ 168 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
Ketercapaian tindakan dosen pada siklus I diukur dari persentase yang dicapai dosen pada siklus I. “Tindakan dikatakan tercapai jika persentase telah mencapai ≥ 75%” (Mulyasa, 2003). Sedangkan ketercapaian tindakan dosen pada siklus II ditentukan berdasarkan refleksi siklus I. Dari sini dapat terlihat apakah terjadi peningkatan antara siklus I dan siklus II. Indikator kemampuan berpikir kritis (lihat tabel 1.1) dianalisis secara deskriptif berdasarkan persentase ketercapaian kemampuan berpikir kritis sesuai dengan pedoman penilaian dengan rumus: Persentase skor tiap mahasiswa = Jumlah skor tiap mahasiswa x 100 % Jumlah skor ideal Persentase skor rata-rata mahasiswa =Jumlah persentase skor seluruh mahasiswa Jumlah mahasiswa Indikator keterampilan memecahkan masalah (lihat tabel 1.2) dianalisis secara deskriptif berdasarkan persentase ketercapaian keterampilan memecahkan masalah dengan pedoman penilaian dengan rumus: Persentase skor tiap mahasiswa = Jumlah skor tiap mahasiswa x 100 % Jumlah skor ideal Persentase skor rata-rata mahasiswa = Jumlah persentase skor seluruh mahasiswa Jumlah mahasiswa Sebagai pedoman dalam mengambil keputusan/kesimpulan dari hasil analisis data dengan menggunakan persentase (%) ditetapkan klasifikasi yang juga mengacu pada pendapat Arikunto (2002) sebagai berikut. Tabel 5. Kriteria Persentase Keterampilan Memecahkan Masalah dan Kemampuan Berpikir Kritis No. Persentase 1. 92% - 100% 2. 75% - 91% 3. 50% - 74% 4. 25% - 49% 5. 0% - 24% Sumber: Arikunto (2002)
Klasifikasi Baik sekali Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Data respon dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil angket yang telah dijawab dan dikumpulkan oleh mahasiswa, serta didukung juga dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa setelah tindakan selesai. Angket yang sudah terisi kemudian diolah untuk mengambil keputusan rumusnya adalah sebagai berikut. P a g e [ 169 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 P = F x 100% N Keterangan: P = Persentase yang menjawab option F = Banyaknya responden yang menjawab option N = Jumlah responden Tabel 5. Kriteria Angket Respon Mahasiswa Terhadap Problem Based Learning Kriteria Persentase Kategori 67 % - 100 % Setuju / Positif 34 % - 66 % Netral / Ragu-ragu 0 % - 33 % Tidak setuju / Negatif Sumber: (adaptasi dari Azwar dalam Anwar, 2006) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil kemampuan berpikir kritis pada siklus I mahasiswa memiliki skor terendah 54.16% dan skor tertinggi 87.5% sehingga diperoleh rerata skor kelas 79.42%. Secara garis besar data kemampuan berpikir kritis siklus I dapat disajikan dalam tabel berikut: Tabel 7. Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Siklus I Skor
Klasifikasi
92%-100% 75% - 91% 50% - 74% 25% - 49% 0% - 24%
Baik sekali Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Jumlah mahasiswa 0 mahasiswa 25 mahasiswa 7 mahasiswa 0 mahasiswa 0 mahasiswa
Persentase 0% 78,12 % 21,88% 0% 0%
Berdasarkan data hasil keterampilan memecahkan masalah pada siklus I dapat diketahui bahwa mahasiswa memiliki skor terendah 57,1% dan skor tertinggi 96,4% sehingga diperoleh rerata skor kelas 84.99% secara garis besar data keterampilan memecahkan masalah siklus I dapat disajikan dalam tabel berikut: Tabel 8. Klasifikasi Keterampilan Memecahkan Masalah Siklus I Skor
Klasifikasi
92% - 100% 75% - 91% 50% - 74% 25% - 49% 0% - 24%
Baik sekali Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Jumlah mahasiswa 13 mahasiswa 13 mahasiswa 6 mahasiswa 0 mahasiswa 0 mahasiswa
Prosentase 40,6 % 40,6 % 18,8 % 0% 0%
Berdasarkan data hasil kemampuan berpikir kritis siklus II dapat diketahui bahwa mahasiswa memiliki skor terendah 62.5% dan skor tertinggi 95.83% sehingga diperoleh [ 170 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
rerata skor kelas. 82.29%. Secara garis besar data kemampuan berpikir kritis siklus II dapat disajikan dalam tabel berikut: Tabel 9. Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Siklus II Skor
Klasifikasi
92%-100% 75% - 91% 50% - 74% 25% - 49% 0% - 24%
Baik sekali Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Jumlah mahasiswa 2 mahasiswa 25 mahasiswa 5 mahasiswa 0 mahasiswa 0 mahasiswa
Persentase 6,25 % 78,12% 15,63 % 0% 0%
Berdasarkan data hasil keterampilan memecahkan masalah mahasiswa pada siklus II dapat diketahui mahasiswa memperoleh skor terendah 64,2% dan skor tertinggi 96,4 % sehingga diperoleh rerata skor 86.86% Hasil data membuktikan bahwa keterampilan memecahkan masalah mahasiswa mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut : Tabel 10. Klasifikasi Keterampilan Memecahkan Masalah Siklus II Skor
Klasifikasi
92%-100% 75% - 91% 50% - 74% 25% - 49% 0% - 24%
Baik sekali Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Jumlah mahasiswa 13 mahasiswa 16 mahasiswa 3 mahasiswa 0 mahasiswa 0 mahasiswa
Persentase 40.62 % 50 % 9,38 % 0% 0%
Kegiatan Problem Based Learning telah berhasil dilaksanakan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran angkatan 2012 kelas A sejumlah 32 mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari angket respon mahasiswa yang sebagian besar pernyataannya menyukai atau mendukung diterapkannya model Problem Based Learning. Tabel 12. Persentase Skor Angket Respon Mahasiswa Terhadap Model Problem Based Learning Jumlah mahasiswa yang menjawab No Pernyataan option SS S TS STS 1 Model Problem Based Learning (MPBM) pada mata kuliah 0 93,8 6.2 0 Perilaku Organisasi dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan baik 2 MPBM sangat tepat untuk memecahkan masalah-masalah 9,7 90.3 0 0 pada mata kuliah Perilaku Organisasi P a g e [ 171 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
No 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pernyataan MPBM memotivasi saya untuk belajar secara aktif dan kreatif MPBM mendorong saya secara aktif mencari sumbersumber informasi dari berbagai sumber MPBM sangat membantu saya bekerja sama dengan mahasiswa lain dalam memecahkan masalah MPBM dapat meningkatkan tanggung jawab saya belajar dalam kelompok MPBM mendorong setiap anggota kelompok saling memberi masukan dalam memecahkan masalah MPBM mendorong saya bertanya dalam kelas PBM membantu saya menyampaikan pendapat dalam kelas MPBM mendorong saya berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya MPBM dapat meningkatkan partisipasi saya dalam kegiatan belajar mengajar MPBM dapat meningkatkan pemahaman saya terhadap materi pada mata kuliah Perilaku Organisasi MPBM dapat membimbing saya belajar secara terstruktur dan bertahap MPBM dapat memotivasi saya belajar mandiri di rumah MPBM mendorong saya menyenangi mata kuliah Perilaku Organisasi MPBM merupakan pembelajaran yang sangat tepat diterapkan untuk mengajarkan mata kuliah Perilaku Organisasi MPBM agar terus diterapkan dalam mata kuliah Perilaku Organisasi MPBM agar diterapkan dalam mata kuliah lainnya Saya mengikuti perkuliahan Perilaku Organisasi dengan perasaan senang Suasana kelas menyenangkan dan kondusif
Jumlah mahasiswa yang menjawab option SS S TS STS 3,1 96, 0 0 9 6.2 75 18,8 0 6,2
87,6
6,2
0
6,2
84.5
9,3
0
0
0
12,5 87,5 6,2 0
90,7 3,1 87,5 12,5
0 0
90,7
9,3
0
84,4 12,5
0
100
0
0
3,1
0
6,2 0
78,2 15,6 96.9 3,1
0 0
9,3
84,4
6,2
0
9,3
84,4
6,2
0
0 100 12.5 78,2
0 9,3
0 0
15,6 78,2
6,2
0
0 3,1 0
18,7 78,2
Berdasarkan hasil observasi Problem Based Learning pada siklus I, diperoleh persentase keberhasilan pembelajaran sebesar 7,7 %. Pada pembelajaran tersebut dosen belum memberdayakan pertanyaan provokatif untuk memancing kemampuan berpikir tingkat tinggi mahasiswa selain itu dosen masih sering membantu mahasiswa dalam pengerjaan tugas sehingga membuat mahasiswa tidak mandiri. Berdasarkan refleksi tindakan pembelajaran bersama dosen dan 2 orang observer, dosen dapat meningkatkan persentase pencapaian pembelajaran siklus berikutnya, Dosen sudah melakukan semua indikator Problem Based Learning sehingga persentase pencapaian hasil sebesar 9,2 %. Dari hasil tersebut diketahui adanya peningkatan sebesar 1,5 %. Hal ini sesuai dengan [ 172 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
tujuan Problem Based Learning adalah membantu mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir kritis, keterampilan intelektual, belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Nurhadi dkk, 2004:58) Berdasarkan data hasil tes keterampilan memecahkan masalah pada siklus I dan siklus II diketahui bahwa rerata skor kelas pada siklus I sebesar 84.99 % dan siklus II sebesar 86.86% sehingga ada peningkatan sebesar 3,87%. Hal ini dipengaruhi oleh kreativitas mahasiswa itu sendiri dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Hal ini berarti mahasiswa sudah sesuai dengan langkah-langkah dalam memecahkan masalah menurut Winkel (1984:93). Langkah-langkah dalam memecahkan masalah yang dihadapi mahasiswa menurut Winkel adalah ketika mahasiswa dihadapkan pada satu masalah, mahasiswa harus merumuskan masalah tersebut, lalu mahasiswa merumuskan hipotesis dari permasalahan tersebut, kemudian mahasiswa mencoba menguji hipotesis tersebut dengan memikirkan berbagai alternative pemecahan masalah yang disajikan, langkah terakhir mahasiswa memilih kemungkinan solusi atau pemecahan masalah yang dipandang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Berdasarkan data hasil kemampuan berpikir kritis pada siklus I dan siklus II diketahui bahwa rerata skor kelas pada siklus I sebesar 79.42% dan siklus II sebesar 82.29% sehingga ada peningkatan sebesar 2,87%. Peningkatan ini disebabkan karena sebelum memasuki siklus II mahasiswa sudah memiliki pengalaman dan kemampuan awal yang diperoleh pada siklus I, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Kronberg dan Griffin (dalam Marpaung, 2005) yang menyatakan bahwa Problem Based Learning diterapkan untuk melatih kemampuan berpikir kritis antara lain analisis masalah atau pemecahan masalah. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tindakan pada proses belajar mengajar mata kuliah Perilaku Organisasi, mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran angkatan 2012 kelas A maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Penerapan model Problem Based Learning diawali dengan siklus 1 yaitu tahap perencanaan tindakan, tahap tindakan, tahap pengamatan, dan tahap refleksi, kemudian hasil refleksi siklus 1 ditindaklanjuti dengan siklus 2 yang tahapannya sama dengan siklus 1. 2. Berdasarkan tahap pengamatan pada keberhasilan pembelajaran pada siklus 1 sebesar 7,7% dan pada siklus 2 sebesar 9,2% maka peningkatan sebesar 1,5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning mampu meningkatkan keberhasilan pembelajaran pada mata kuliah perilaku organisasi 3. Berdasarkan tahap pengamatan pada keterampilan memecahkan masalah pada siklus 1 sebesar 84.99 % dan siklus 2 sebesar 86.86% maka peningkatan sebesar P a g e [ 173 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 3,87%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning mampu meningkatkan keterampilan memecahkan masalah pada mata kuliah perilaku organisasi 4. Berdasarkan tahap pengamatan pada ketrampilan berpikir kritis pada siklus I sebesar 79.42% dan siklus II sebesar 82.29% maka peningkatan sebesar 2,87%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning mampu meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada mata kuliah perilaku organisasi 5. Respon mahasiswa terhadap penerapan Problem Based Learning pada mata kuliah Perilaku Organisasi rata-rata sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan saran bahwa perlu kiranya mencoba menggunakan model pembelajaran lainnya seperti Student Team Learning (STL), TGT (Teams Games Tournament), Problem Posing, Problem Solving dan dalam pelaksanaan model Problem Based Learning guna meningkatkan keterampilan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa hendaknya mempertimbangkan kesesuaian materi, karena dibutuhkan waktu yang relative panjang. DAFTAR PUSTAKA Anwar. (2006). Penggunaan Pete Konsep Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Proses, Hasil belajar dan Respon pada Konsep Ekosistem Mahasiswa Kelas X SMAN 8 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. PPS Biologi. Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi, (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. Cabrera, G.A. (1992). A Framework for Evaluating the Teaching of Critical Thinking. Dalam R.N Cassel (ed). Education. 113 (1). 59-63. Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SD dan MI. Jakarta: Depdiknas. Duron, R., dkk. (2006). Critical Thinking Framework for Any Discipline. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education Vol. 17: 160-166 Elaine, Johnson. (2007). Contextual Teaching & Learning, Bandung: MLC Fachrurazi, (2011). Penerapan Problem Based Learning untuk Kemampuan Berpikir Kritis, dan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Sekolah Dasar. Edisi Khusus No. 1. ISSN 1412-565X. Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Herman, Tatang. (2007). Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Mahasiswa Sekolah Menengah Pertama. EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari. ISSN: 1907 – 8838 I Wayan Dasna & Sutrisno. (2007). Problem Based Learning. Diambil tanggal 24 April 2015, dari http://lubisgrafura.wordpress.com [ 174 ] P a g e
Penerapan Problem Based…( Brillian Rosy & Triesninda Pahlevi)
Krulik, S. dan Reys, R.E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM Marpaung, Rini Rita T. (2005). Penggunaan Lembar kegiatan Berbasis Masalah (LKBM) Sebagai Assesmen Alternatif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Biologi Mahasiswa Kelas VII SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Mulyasa, E. (2009). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ni Wyn. Sriasih, dkk. (2014). Pengaruh Ketrampilan Pemecahan Masalah Terhadap Hasil Belajar Matematika Mahasiswa Kelas III SD Negeri Banyuning. e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1) Nurhadi, dkk. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang: UM Press. Punaji Setyosari (2006). Belajar berbasis masalah (Problem based learning). Makalah disampaikan dalam pelatihan dosen-dosen PGSD FIP UNY di Malang. Ruseffendi, E.T., (1991), Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini, Tarsito, Bandung Setiadji, V. Sutarmo. (2012). Otak dan Beberapa Fungsinya. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta. .
P a g e [ 175 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING (PjBL) UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA MATERI KONSEP MASALAH EKONOMI Maria Anita Titu
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Model pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran. Project based learning (PjBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalah kehidupan sehari-hari yang akrab dengan siswa atau dengan proyek sekolah. Dalam PjBL, peserta didik terdorong lebih aktif dalam belajar. Guru hanya sebagai fasilitator dan evaluator produk hasil kerja peserta didik yang ditampilkan dalam hasil proyek. Adanya produk nyata tersebut dapat mendorong kreativitas siswa. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran PjBL untuk meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep masalah ekonomi. Dengan penerapan model PjBL dapat meningkatkan kreativitas siswa pada pembelajaran materi konsep masalah ekonomi Kata kunci: pembelajaran project based learning, kreativitas siswa.
PENDAHULUAN Pembangunan nasional di Indonesia Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk meningkatkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Berkembangnya dengan sumber daya yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi Masalah ekonomi merupakan ilmu tentang perilaku dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bervariasi. Luasnya ilmu ekonomi dan terbatasnya waktu yang tersedia membuat standar kompetensi dan kompetensi dasar ini dibatasi dan difokuskan kepada fenomena empirik yang ada dis ekitar peserta didik, sehingga peserta didik dapat merekam peristiwa ekonomi, masalah ekonomi yang terjadi di sekitar lingkungannya dan mengambil manfaat untuk kehidupan yang lebih baik. Permasalahan yang timbul adalah siswa tidak mampu menghubungkan apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan. Karena itu perlu adanya suatu formulasi yang membawa siswa pada tingkat kreativitas yang lebih, dengan waktu yang cukup, sesuai dengan waktu yang digunakan untuk satu konsep bahasan, demi tercapainya kurikulum yang sudah ditetapkan di sekolah juga penggunaan media dan model yang tidak terlalu sulit dapat mempermudah siswa dan [ 176 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
guru dalam melaksanakan pembelajaran. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model project based learning. Dalam pokok materi pembahasan masalah ekonomi, harus betul-betul dipahami oleh siswa, tidak hanya tercapainya kurikulum tetapi bagaimana siswa dengan kreativitasnya dapat memahami masalah ekonomi di lingkungan sekitarnya. Pembelajaran berbasis proyek ini lebih memusatkan pada masalah kehidupan yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi siswa dalam merancang sebuah proyek yang mereka lakukan. Dan ini akan menambah kreativitas siswa dalam merancangkan sebuah proyek yang kemudian akan mereka kerjakan dalam waktu yang sudah guru sediakan sesuai dengan konsep yang diajarkan. Pada akhirnya siswa akan memahami konsep tersebut (baca: konsep masalah ekonomi) dengan proyek-proyek yang mereka lakukan dan ini akan menambah kreativitas siswa. Bertitik tolak dari uraian di atas dalam upaya peningkatan kreativitas siswa dan kualitas pembelajaran Ekonomi perlu mengubah paradigma lama bahwa guru adalah pengelola. Kegiatan mengajar menggunakan hal yang tidak berorientasi pada “bagaimana saya belajar (Teacher centered)” tetapi lebih kepada “bagaimana saya membelajarkan siswa “. Model project based learning sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa pada konsep masalah ekonomi. Sehingga penulis menspesifikasikan pada penerapan model pembelajaran project based learning (Pjbl) untuk meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep masalah ekonomi. Dalam meningkatkan kreativitas siswa maka perlu dilihat beberapa hal menyangkut tentang bagaimana penerapan model pembelajaran project based learning (Pjbl) untuk meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep Masalah Ekonomi, sehingga kita dapat mengetahui tujuan dari penerapan model pembelajaran project based learning untuk meningkatkan kreativitas siswa pada konsep masalah ekonomi. PEMBAHASAN Model Pembelajaran Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Sudjana (2004:28) “Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik(warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan”. Trianto (2010:17)“Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan”. Pembelajaran secara simple dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Pembelajaran dalam makna kompleks adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. P a g e [ 177 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pembelajaran bertujuan membantu siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku siswa yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku siswa menjadi bertambah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Pemahaman seseorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan sangat mempengaruhi cara guru itu mengajar. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola atau suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa dalam proses digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial (Trianto, 2011: 51). Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Adapun Soekamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000: 10) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar.” Menurut Khabibah (dalam Trianto, 2006: 27), bahwa untuk melihat tingkat kelayakan suatu model pembelajaran untuk aspek validitas dibutuhkan ahi dan praktisi untuk memvalidasi model pembelajaran yang dikembangkan. Sedangkan untuk aspek kepraktisan dan efektivitas diperlukan suatu perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Sehingga untuk melihat kedua aspek ini perlu dikembangkan suatu perangkat pembelajaran untuk suatu topik tertentu yang sesuai dengan mode pembelajaran yang dikembangkan. Arends (2001: 24), menyelesaikan enam model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru dalam mengajar yaitu presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah, dan diskusi kelas. Dengan menguasai beberapa model pembelajaran, maka seorang guru dan dosen akan merasakan adanya kemudahan di dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang hendak kita capai dalam proses pembelajaran dapat tercapai dan tuntas sesuai yang diharapkan. Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) Pembelajaran berbasis proyek (PjBL ) merupakan penerapan dari pembelajaran aktif. Secara sederhana pembelajaran berbasis proyek didefinisikan sebagai suatu pengajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalah kehidupan sehari-hari yang akrab dengan siswa, atau dengan proyek sekolah. Menurut (Trianto, 2011: 51) model pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat bagi peserta didik [ 178 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
(Santyasa, 2006: 12 ).Dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik terdorong lebih aktif dalam belajar. Guru hanya sebagai fasilitator, mengevaluasi produk hasil kerja peserta didik yang ditampikan dalam hasil proyek yang dikerjakan, sehingga menghasilkan produk nyata yang dapat mendorong kreativitas siswa agar mampu berpikir kritis dalam menganalisa faktor dalam konsep masalah ekonomi. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia “Proyek adalah rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas”. Joel L Klein et. Al dalam Widyantini (2014) menjelaskan bahwa “Pembelajaran berbasis proyek adalah strategi pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru berdasar pengalamannya melalui berbagai presentasi”. Menurut Thomas, dkk (1999) dalam Wena (2010) disebutkan bahwa Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Keuntungan Model Pembelajaran Project Based Learning adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan motivasi belajar siswa. Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu banyak yang mengatakan bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu, berusaha keras dalam mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam kehadiran dan berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam proyek lebih fun daripada komponen kurikulum yang lain. 2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks. 3. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi. Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi online adalah aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif. 4. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks. Pembelajaran Berbasis Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas. Kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek ini antara lain: 1. Kebanyakan permasalahan “dunia nyata” yang tidak terpisahkan dengan masalah kedisiplinan, untuk itu disarankan mengajarkan dengan cara melatih dan memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah. P a g e [ 179 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2. Memerlukan banyak waktu yang harus diselesaikan untuk menyelesaikan masalah. 3. Membutuhkan biaya yang cukup banyak 4. Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas. 5. Banyaknya peralatan yang harus disediakan. Langkah-Langkah Pembelajaran Based learning (Pjbl) Pembelajaran PjBL secara umum memiliki pedoman langkah: planning (perencanaan), creating (mencipta atau implementasi), dan processing (pengolahan), (Munandar, 2009).adalah sebagai berikut: Pertama, Planning, Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan adalah a) merancang seluruh proyek, kegiatan dalam langkah ini adalah: mempersiapkan proyek, secara lebih rinci mencakup: pemberian informasi tujuan pembelajaran, guru menyampaikan fenomena nyata sebagai sumber masalah, pemotivasian dalam memunculkan masalah dan pembuatan proposal, b) mengorganisir pekerjaan, kegiatan dalam langkah ini adalah: merencanakan proyek, secara lebih rinci mencakup: mengorganisir kerjasama, memilih topik, memilih informasi terkait proyek, membuat prediksi, dan membuat desain investigasi. Kedua Creating, Dalam tahapan ini siswa mengembangkan gagasan-gagasan proyek, mengkombinasikan ide yang muncul dalam kelompok, dan membangun proyek. Tahapan kedua ini termasuk aktivitas pengembangan dan dokumentasi. Pada tahapan ini pula siswa menghasilkan suatu produk (artefak) yang nantinya akan dipresentasikan dalam kelas. Ketiga, Processing, Tahapan ini meliputi presentasi proyek dan evaluasi. Pada presentasi proyek akan terjadi komunikasi secara aktual kreasi ataupun temuan dari investigasi kelompok, sedangkan pada tahapan evaluasi akan dilakukan refleksi terhadap hasil proyek, analisis dan evaluasi dari proses-proses belajar. Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning Tantangan masa depan yang selalu berubah sekaligus persaingan yang semakin ketat memerlukan keluaran pendidikan yang tidak hanya terampil dalam suatu bidang tetapi juga kreatif dalam mengembangkan bidang yang ditekuni. Hal tersebut perlu dimanifestasikan dalam setiap mata pelajaran di sekolah, termasuk mata pelajaran ekonomi. Kreatif sangat penting untuk ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran kepada peserta didik, khususnya dalam pembelajaran ekonomi. Dengan suatu model pembelajaran yang tepat kreativitas siswa dapat ditingkatkan. Kegiatan pembelajaran ekonomi, guru kebanyakan menggunakan metode ceramah dan memberi catatan dalam menyampaikan materi pelajaran. Hal ini menyebabkan siswa menjadi cepat jenuh dan kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Jika tidak dilakukan perubahan dalam proses pembelajaran, maka sikap siswa tetap pasif, level berpikirnya pun hanya pada tahap mengingat, hafalan dan jika diberi soal berpikir dan konseptual mereka tidak mampu menyelesaikannya. Akhirnya nilai yang dicapai rendah. Oleh sebab itu, untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih efektif, [ 180 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
meningkatkan interaksi yang terjadi pada siswa, meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, maka perlu ada model pembelajaran yang tepat di dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran memegang peranan sangat penting dalam rangkaian sistem pembelajaran. Maka dari itu diperlukan kecerdasan dan kemahiran guru dalam memilih metode pembelajaran. Pemilihan model yang kurang tepat menjadikan pembelajaran tidak efektif. Kurangnya kecerdasan guru dalam memilih model yang tepat dapat berdampak pada ketidaktercapainnya tujuan pembelajaran baik secara khusus per bidang studi maupun tujuan pendidikan nasional. Upaya yang akan ditempuh untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam mata pelajaran ekonomi terutama pada materi tentang masalah ekonomi yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning). Dalam pembelajaran dengan metode ini siswa akan berkolaborasi dengan guru bidang studi, belajar dalam tim kolaboratif. Ketika siswa belajar dalam tim, siswa akan menemukan keterampilan merencanakan, berorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang hal-hal yang akan dikerjakan. Model pembelajaran proyek (project based learning)dapat menjadi sebuah model alternatif dalam semua mata pelajaran dan memberikan nuansa baru dalam pembelajaran yang cenderung konvensional. Pembelajaran berbasis proyek memfokuskan pada pertanyaan atau masalah yang mendorong menjalani konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Pembelajaran berbasis proyek juga melibatkan siswa dalam investigasi konstruktif. Investigasi ini dapat berupa desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, penemuan atau proses pembangunan model. Dalam Pembelajaran berbasis proyek, aktivitas tersebut harus meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan pada pihak siswa. Pembelajaran ini mendorong siswa mendapatkan pengalaman belajar sampai pada tingkat yang signifikan. Pembelajaran berbasis pada proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat rumit, dan tanggung jawab siswa. Sasaran bagi pembelajaran berbasis proyek adalah produk yang dihasilkan. Wati, Linda (2013) dalam penelitian tentang Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa MAN I Kebumen bahwa hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran fisika melalui pembelajaran project based learning dapat meningkatkan kreativitas siswa kelas X.6 MAN I Kebumen mengungkapkan tentang meningkatnya rerata presentasi hasil observasi angket test essay, dan hasil belajar siswa. Sebelum penggunaan model project based learning observasi kreativitas aspek psikomotorik siswa diperoleh 56,31%, pada siklus I terdapat peningkatan menjadi 63, 40% dan siklus II mengalami peningkatan lagi didapatkan 78,63%. Presentasi angket sikap kreativitas siswa meningkat menjadi 60.78% dan meningkat lagi pada siklus II menjadi 78, 94%. Test kreativitas berpikir siswa sebelum dikenai PTK diperoleh 59,53%, pada siklus I meningkat menjadi 67,78% dan pada siklus II meningkat lagi 80,92 %. Hasil belajar sebelum diterapkan project based learning dengan presentasi rerata ketuntasan 47,36%, pada siklus I mengalami kenaikan 52,63% jumlah siswa yang tuntas adalah 20 siswa, dan pada siklus II meningkat P a g e [ 181 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menjadi 78,94% dengan jumlah siswa yang tuntas adalah 30 siswa. Sehingga pembelajaran berbasis proyek (project based learning) memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk siswa. Di dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur berposisi di belakang dan siswa berinisiatif, instruktur memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknanya maupun penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat siswa selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam pembelajaran. Oleh karena itu, di dalam pembelajaran berbasis proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran siswa. Kreatifitas Kreativitas merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, yaitu kebutuhan akan perwujudan diri (aktualisasi diri) dan merupakan kebutuhan paling tinggi bagi manusia (Maslow, dalam Munandar, 2009). Pada dasarnya, setiap orang dilahirkan di dunia dengan memiliki potensi kreatif. Kreativitas dapat diidentifikasi dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat (Munandar, 2009). Kreativitas meliputi baik ciri-ciri aptitude seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan keaslian (originality) dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude, seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, serta kreativitas adalah kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif (Hurlock, 2004). Jadi kreativitas belajar dapat diartikan sebagai kemampuan siswa menciptakan hal-hal baru dalam belajarnya baik berupa kemampuan mengembangkan kemampuan formasi yang diperoleh dari guru dalam proses belajar mengajar pengetahuan sehingga dapat membuat kombinasi yang baru dalam belajarnya. Adapun ciri-ciri dari kreativitas: (1) Kelancaran berpikir (fluency of thinkin), yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang ditekankan adalah kuantitas, dan bukan kualitas; (2) Keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda, serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikannya dengan cara berpikir yang baru. (3) Elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik; (3) Originalitas (originality), yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
[ 182 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas belajar siswa (Munandar, 2004: 113-114), yaitu: (1) Kebebasan, di mana orang tua yang percaya untuk memberikan kebebasan kepada anak cenderung mempunyai anak kreatif. Mereka tidak otoriter, tidak selalu mau mengawasi dan mereka tidak terlalu membatasi kegiatan anak; (2) Aspek, anak yang kreatif biasanya mempunyai orang tua yang menghormati mereka sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka dan menghargai keunikan anak (3) Kedekatan emosional yang sedang, kreativitas anak dapat dihambat dengan suasana emosional yang mencerminkan rasa permusuhan, penolakan dan terpisah; (4) Prestasi bukan angka, orang tua anak kreatif menghargai prestasi anak, mereka mendorong anak untuk berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya-karya yang baik.; (5) Menghargai kreativitas, anak yang kreatif memperoleh dorongan dari orang tua untuk melakukan hal-hal yang kreatif. Salah satu faktor yang mempengaruhi kreativitas anak, yaitu sikap dari orang tua. Di mana sudah lebih dari tiga puluh tahun pakar psikologis mengemukakan bahwa sikap dan nilai orang tua berkaitan erat dengan kreativitas anak jika kita menggabungkan hasil penelitian di lapangan dengan teori-teori penelitian laboratorium mengenai kreativitas dengan tes psikologis kita memperoleh petunjuk bagaimana sikap orang tua secara langsung mempengaruhi kreativitas anak mereka. Kegiatan mengajar sehari-hari dapat digunakan sejumlah strategi khusus yang dapat meningkatkan kreativitas. Di mana penilaian guru terhadap pekerjaan siswa dapat dilakukan dengan cara memberikan umpan balik berarti daripada evaluasi yang abstrak dan tidak jelas, melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar dari kesalahan mereka dan penekanan terhadap “apa yang telah kamu pelajari” dan bukan pada “bagaimana melakukannya”. Namun ada terkadang anak senang menerima hadiah dan kadang-kadang melakukan segala sesuatu untuk memperolehnya. Hadiah yang terbaik untuk pekerjaan yang baik adalah kesempatan menampilkan dan mempresentasikan pekerjaan sendiri dan pekerjaan tambahan. Sehingga sedapat mungkin berilah kesempatan kepada anak memilih apa yang nyaman bagi dia selama hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada. Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning Pada Konsep Masalah Ekonomi adalah sebagai berikut: 1. Planning, dalam pelaksanaannya meliputi persiapan proyek dan perencanaan proyek. Pada tahap ini menghadapkan siswa pada masalah rill di lapangan, dan mendorong mereka untuk mengidentifikasi masalah tersebut yang selanjutnya siswa diminta menemukan alternatif pemecahan masalah yang siswa temukan di lapangan serta mendesain model pemecahan masalah. Contoh dari masalah ekonomi adalah pengangguran. Pengertian pengangguran, penyebab pengangguran, dampak dari pengangguran. 2. Creating, yaitu pelaksanaan proyek yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk merancang dan melakukan laporan investigasi serta mempresentasikan laporan (produk) baik secara lisan maupun tulisan dimana dalam hal ini penerapan project based learning pada konsep materi masalah ekonomi yaitu P a g e [ 183 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (1) Pengertian pengangguran adalah Pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja; (2) Penyebab pengangguran adalah Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya; (3) Dampak pengangguran adalah Timbulnya masalah kemiskinan, meningkatnya tindakan kriminal, dapat memacu dan meningkatnya jumlah anak jalanan, masyarakat tidak mampu mengoptimalkan kesejahteraan hidupnya, meningkatnya jumlah anak putus sekolah. 3. Processing, aktivitas pada tahap ini meliputi presentasi proyek dan evaluasi proyek. Kelompok yaitu mengkomunikasikan secara aktual kreasi atau temuan dari investigasi kelompok termasuk refleksi dan tindak lanjut proyek-proyek: evaluasi, dilakukan pada tahap ini meliputi evaluasi teman sebaya, evaluasi diri dan portofolio mengacu pada sintaks PjBL tersebut, secara umum dapat disampaikan dalam pembelajaran berbasis proyek siswa dapat belajr secara aktif untuk merumuskan masalah, melakukan penyelidikan, menganalisis dan menginterpretasikan data, serta mengambil keputusan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dampaknya pengangguran pada konsep materi masalah ekonomi pada pengangguran, di mana meningkatnya jumlah pengangguran, perlu diupayakan solusi yang dapat, sekurangkurangnya, menurunkan angka pengangguran dalam suatu negara dan memperbaiki perekonomian negara tersebut. Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah mengadakan atau menyediakan lapangan kerja yang tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan khusus, melainkan keterampilan. Dalam hal ini, pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan pihak-pihak swasta dan dengan investor asing. Pemerintah mengubah sistem pendidikan Indonesia dan kurikulum pendidikan, yaitu menerapkan pendidikan berbasiskan entrepreneurship dan bisnis sejak pendidikan tingkat dasar dan pendidikan menengah. Apalagi di era modern ini dan diterapkannya pasar bebas di beberapa kawasan) serta pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pembinaan dan pelatihan khusus dan gratis. Ini diperlukan terkhusus untuk mereka yang tidak sempat atau tidak mampu menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, sehingga mereka pun dapat memiliki keterampilan khusus yang diperlukan. Dengan demikian, mereka memiliki modal (Human Capital) untuk bekerja. Pemahaman materi pengangguran dengan menggunakan model pembelajaran project based learning menghasilkan pencapaian ketuntasan belajar yang maksimal, karena siswa langsung berhadapan dengan realita permasalahan pengangguran di [ 184 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Maria Anita Titu)
lapangan sehingga siswa mampu memahami masalah ekonomi khususnya permasalahan pengangguran. Oleh sebab itu dengan penerapan model pembelajaran project based learning siswa dapat berpikir kreatif dengan tujuan agar setelah lulus siswa tidak menjadi pengangguran. Dengan penerapan model pembelajaran project based learning siswa mampu mencari dan dapat menemukan langsung tentang masalah ekonomi khususnya pengangguran dan dapat mengerti dan memahami konsep pokok dari masalah ekonomi yaitu pengangguran. SIMPULAN Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran project based learning (PjBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang mampu mendukung pelaksanaan pendidikan pada konsep masalah ekonomi karena PjBL mendukung penerapan pembelajaran kehidupan nyata dan pengalaman (real life and experiential learning) sehingga pendidikan masalah ekonomi bisa berjalan dengan efektif. Model Pembelajaran Project Based Learning merupakan suatu model pembelajaran yang menyangkut pemusatan pertanyaan dan masalah yang bermakna, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, proses pencarian berbagai sumber, pemberian kesempatan kepada anggota untuk bekerja secara kolaborasi, dan menutup dengan presentasi produk nyata”. Penerapan pembelajaran project based learning sangat mendukung kreativitas siswa di mana Kreativitas adalah kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas meliputi baik ciri-ciri aptitude seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan keaslian (originality) dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude, seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman-pengalaman baru. Sehingga penerapan model pembelajaran project based learning dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan kreativitas siswa pada materi konsep masalah ekonomi. Bagi guru selanjutnya dengan menggunakan model pembelajaran project based learning diperlukan kemampuan dalam mengkoordinir kelas dan waktu sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan maksimal. DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard. (2001). Classroom Instructional Management. New York: The Mc GrawHill Company. Hurlock, Elizabeth B. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Munandar . (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka CIpta. Munandar. (2004). Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas Belajar Siswa. Jakarta: Rineka Cipta. Nurulwati. (2000). Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, dan Model Pembelajaran. Dipetik April 18, 2015, dari http://tricepti 4042.blogspot.com P a g e [ 185 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Sekretariat Negara. Santyasa. (2006, April 27). Pembelajaran Inovatif: Model Kolaboratif, Basis, dan Orientasi NOS. Seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, hal. 12. Santyasa. (2006, Februari 23). Pembelajaran Inovatif: Model Pembelajaran Berbasis Proyek dan Orientasi NOS. Seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP NEGERI Singaraja, hal. 12. Sudjana, Nana. (2004). Dasar- Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Thomas, J.W. (1999). Project Based Learning: A Handbook of Middle and high School Teacher. New York: The Buck Institute for Education. Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara. Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara. Wati, Linda. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa MAN I Kebumen. Jurnal Pendidikan Vol 3 No1, 43. Widyantini. (2014). Laporan Penelitian Pengembangan Model Pembelajaran Project Based Learning dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPTK.
[ 186 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA Siti Sri Wulandari
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata nilai keberhasilan dari data aktivitas dosen dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88. Untuk rata-rata nilai keberhasilan dari kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam setiap siklusnya juga mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 58,4 meningkat 21,4 pada siklus II menjadi 80 dari kategori cukup kritis meningkat menjadi kategori kritis. Kata kunci: Pembelajaran, Problem Based Learning, Berpikir kritis.
PENDAHULUAN Setiap manusia memiliki keinginan berhasil di dalam hidupnya, salah satu keberhasilan itu dapat berupa bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Hal ini karena pendidikan merupakan proses budaya yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan itu sendiri berlaku seumur hidup dan dilakukan dalam lingkungan, keluarga, pendidikan formal (sekolah) dan masyarakat. Untuk itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Negara. Menurut Undangundang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pendidikan yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan. Pendidikan juga harus berorientasi pada peserta didik dan peserta didik harus dipandang sebagai seorang yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Tugas pendidik adalah mengembangkan potensi yang dimiliki mahasiswa. Berdasarkan pengamatan, diperoleh fakta bahwa dosen dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa masih menggunakan metode ceramah, cara mengajar yang digunakan dalam menyampaikan informasi tentang suatu pokok permasalahan secara lisan. Meskipun telah menerapkan diskusi kelas yang bersifat tradisional tanpa disertai contoh penerapan dalam kehidupan nyata sehingga mahasiswa di kelas menjadi pasif, P a g e [ 187 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 bahkan ada mahasiswa yang bosan dikarenakan hanya mendengarkan dan terpaku pada apa yang dikatakan oleh dosen dan sesekali mencatat, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud adalah proses belajar mengajar pada mata kuliah ilmu komunikasi. Oleh karena itu, karakteristik pembelajaran standar kompetensi memahami dan mengimplementasikan ilmu komunikasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran mulai dari tahap dasar sampai dengan evaluasi menghendaki pemahaman tidak hanya pada persoalan-persoalan substansi atau muatan akademik semata, akan tetapi juga menuntut adanya kemampuan interaksi sosial dari mahasiswa. Kompetensi dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan cukup erat dengan realitas persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kemampuan berpikir kritis diperlukan dalam pembelajaran pada mata kuliah Ilmu Komunikasi, terutama dalam Kompetensi Dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan. Sesuai dengan tujuan pembelajaran Berbasis Masalah yaitu membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah, dan ketrampilan intelektual, maka siswa dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis. Melalui pembelajaran Ilmu Komunikasi diharapkan mahasiswa mampu menganalisis dan melahirkan alternatif pemecahan masalah. Menurut La Costa dalam Sanjaya (2006:105) mengklasifikasikan berpikir menjadi tiga yaitu teaching of thinking, teaching for thinking, and teaching about thinking. Kemampuan berpikir kritis dapat meningkatkan partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, berpikir kritis, dan mengadakan justifikasi. Oleh karena itu, adanya keterampilan berpikir kritis diharapkan mahasiswa tak hanya memahami fakta sebatas hafalan tetapi juga dapat merasa bahwa fakta-fakta atau masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang disampaikan oleh dosen berada di sekitar kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah Ilmu Komunikasi (2) Pembelajaran Berbasis Masalah mampu membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. METODE Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran angkatan 2012 berjumlah 32. Lokasi dalam penelitian ini di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan instrument non tes. Analisis data menggunakan deskriptif, tabel, persentase. Untuk menganalisis hasil penilaian yang diberikan oleh pengamat terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan cara menghitung rata-rata skor penilaian oleh dua orang pengamat
[ 188 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
menggunakan interval skor 1 sampai dengan 4, dengan ketentuan kriteria sebagai berikut: 1 = tidak baik 3 = baik 2 = kurang baik
4 = sangat baik
Selanjutnya rata-rata di atas akan dikonversi menggunakan ketentuan sebagai berikut: 1.00 − 1.50 = Tidak baik/ tidak terlaksana 1.50 − 2.49 = kurang baik/ terlaksana dengan kurang baik 2.50 – 3.49 = cukup baik/ terlaksana dengan cukup baik 3.50 – 4.49 = baik/ terlaksana dengan baik 4.50 – 5.50 = baik sekali/ terlaksana dengan sangat baik (Kunandar, 2008:235). Untuk menganalisis hasil tes kemampuan berpikir kritis diperiksa dan diberi skor. Pemberian skor disesuaikan dengan skor maksimal per butir soal. Mengubah skor kualitatif menjadi skor kuantitatif, yakni mengubah opsi yang diperoleh dari lembar observasi dalam bentuk angka atau nilai. Penilaian ini menggunakan skala likert yakni dengan menggunakan 4 opsi yaitu: (1) Sangat Kritis: skor 4. (2) Kritis: skor 3 (3) Cukup Kritis: skor 2 (1) Kurang Kritis: skor 1 (Arikunto, 2010:146). Selanjutnya dihitung persentase penguasaan tes kemampuan berpikir kritis dengan rumus: P = n x 100 % N Keterangan: P = persentase kemampuan berpikir kritis n = jumlah skor yang diperoleh N = jumlah skor maksimal yang diharapkan Tabel 1. Kriteria Berpikir Kritis Mahasiswa No 1 2 3 4
Rentang Skor 81-100% 63-80% 43-62% 25-42%
Kriteria Sangat Kritis Kritis Cukup Kritis Kurang Kritis
Pada tahap penelitian tindakan terdiri dari beberapa siklus, tiap siklus melalui 4 tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (Action), pengamatan (Observation), dan refleksi (Reflective). Pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua kali putaran dan tiap putaran pada penelitian ini mengikuti alur rancangan penelitian tindakan. Garis besar penelitian disusun sesuai rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) dalam bentuk bagan seperti yang digambarkan sebagai berikut:
P a g e [ 189 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Perencanaan Revisi
SIKLUS I
Tindakan dan Pengamatan
Refleksi Perencanaan Revisi
SIKLUS I I
Tindakan dan Pengamatan
Refleksi
? Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas (Sumber: Suharsimi Arikunto, 2010) HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus I.
No I
Tabel 1. Aktivitas Dosen Pada Siklus I Pengamat Aspek yang diamati P1 P2 PENGAMATAN KBM A. PENDAHULUAN 1. Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan 4 4 keyakinan masing-masing. 2. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa 4 4 untuk menggali informasi. 3. Mengorientasikan masalah yang akan dicari 3 3 pemecahannya secara berkelompok. 4. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran 3 3 produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social. B. KEGIATAN INTI 5.Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar dengan 4 4 cara memberikan LKM. 6.Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengerti 4 4 dalam LKM serta membantu temannya yang kesulitan 7.Memecahkan masalah yang telah dipilih 3 3
[ 190 ] P a g e
Total Skor
Kategori
4
Baik
4
Baik
3
Cukup Baik
3
Cukup Baik
4
Baik
4
Baik
3
Cukup Baik
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
No
II
Aspek yang diamati 8.Melakukan penyelidikan setahap demi setahap diawali dari perumusan masalah. 9. Merumuskan hipotesis atas rumusan masalah yang telah dibuat 10.Menguji hipotesis yang sudah dirumuskan 11.Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. 12.Menyajikan hasil diskusi dengan penuh tanggung jawab C. KEGIATAN PENUTUP 13. Bersama-sama menganalisis dan evaluasi pemecahan masalah SUASANA KELAS 14. Siswa Antusias 15. Guru Antusias 16. Waktu sesuai dengan alokasi 17. KBM sesuai dengan RPS Jumlah skor yang didapat Nilai
Pengamat P1 P2 4 4
Total Skor 4
Baik
Kategori
4
4
4
Baik
4 3
4 3
4 3
Baik Cukup Baik
4
4
4
Baik
4
4
4
Baik
4 4 3 3
4 4 3 4
4 4 3 3.5 3.68 5.11
Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Sekali
Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan pengamatan menunjukkan jumlah skor yang didapat 3.68. Jumlah skor tersebut diperoleh dari penilaian terhadap 17 komponen pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran dapat dihitung dengan rumus: Nilai = Skor yang didapat X 100 Skor Maksimum Nilai = 3.68 X 100 68 = 5.11 Berdasarkan criteria keberhasilan maka nilai 5.11 pada aktivitas dosen pada siklus I dapat dikategorikan baik. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada siklus I ada 5 indikator yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen yang memiliki nilai cukup baik. Pada kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan sosial. Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Kekurangan-kekurangan dalam aktivitas guru pada siklus ke I diharapkan dapat diperbaiki pada kegiatan siklus ke II.
P a g e [ 191 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Aktivitas Dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus II. Tabel 2. Aktivitas Dosen Pada Siklus II No Aspek yang diamati Pengamat I PENGAMATAN KBM P1 P2 A. PENDAHULUAN 1. Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan 4 4 keyakinan masing-masing. 2. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa 4 4 untuk menggali informasi. 3. Mengorientasikan masalah yang akan dicari 4 4 pemecahannya secara berkelompok. 4. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran 4 4 produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social. B. KEGIATAN INTI 5. Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar 4 4 dengan cara memberikan LKM. 6. Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengerti 4 4 dalam LKM serta membantu temannya yang kesulitan 7. Memecahkan masalah yang telah dipilih 4 4 8. Melakukan penyelidikan setahap demi setahap 4 4 diawali dari perumusan masalah. 9. Merumuskan hipotesis atas rumusan masalah 4 4 yang telah dibuat 10. Menguji hipotesis yang sudah dirumuskan 4 4 11. Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi 4 4 yang telah dibuat. 12. Menyajikan hasil diskusi dengan penuh 4 4 tanggung jawab C. KEGIATAN PENUTUP 13. Bersama-sama menganalisis dan evaluasi 4 4 pemecahan masalah II SUASANA KELAS 14. Siswa Antusias 4 4 15. Guru Antusias 4 4 16. Waktu sesuai dengan alokasi 4 4 17. KBM sesuai dengan RPS 4 4 Jumlah skor yang didapat Persentase
Total Skor
Kategori
4
Baik
4
Baik
4
Baik
4
Baik
4
Baik
4
Baik
4 4
Baik Baik
4
Baik
4 4
Baik Baik
4
Baik
4
Baik
4 4 4 4 4.00 5.88
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Sekali
Pada siklus II pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan pengamatan dari 2 orang pengamat menunjukkan jumlah skor yang didapat 4.00. Jumlah skor tersebut diperoleh dari penilaian terhadap 17 Komponen pelaksanaan kegiatan [ 192 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran dapat dihitung melalui rumus: Nilai = Skor yang didapat X 100 Skor Maksimum Nilai = 4.00 X 100 68 = 5.88 Pada siklus II aktivitas dosen sudah diperbaiki melalui refleksi dari siklus II yaitu pada kegiatan pendahuluan terdapat yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan sosial . Pada kegiatan inti indicator memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Sedangkan pada suasana kelas indicator waktu sesuai dengan alokasi. Pada pelaksanaan pembelajaran siklus II ini mengalami peningkatan dibandingkan siklus I yang memiliki 5 indikator berkategori cukup baik. Dengan demikian aktivitas dosen pada siklus II ini dapat dikategorikan baik sekali pada 17 komponen dengan nilai keberhasilan sangat baik atau pembelajaran terlaksana dengan sangat baik. Rata-rata aktivitas dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus II disajikan dalam tabel 3.3 di bawah ini. Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Dosen KBM Siklus 1 Siklus 2 Rata-rata Skor yang didapat 3.68 4 3.84 Nilai Aktivitas Dosen 5.11 5.88 5.5
Kategori Baik Baik Sekali
Pada tabel 3.3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai keberhasilan dari data aktivitas dosen adalah dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88. Karena data aktivitas dosen telah mengalami kenaikan sampai kategori sangat baik maka RPS yang dibuat pada penelitian ini, sudah terlaksana dengan sangat baik pada siklus ke II. Hasil Ketrampilan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah siklus I. Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 4 dapat diketahui bahwa: 1. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya sesuai materi dalam Ilmu Komunikasi.
P a g e [ 193 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan memperoleh skor sebesar 57% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa mengajukan pertanyaan dan sedikit menyimpang dari topik.
A
B
C
D
E
Tabel 4. Hasil Observasi Berpikir Kritis Mahasiswa Per Indikator dan Per Aspek Jumlah Indikator/Aspek yang diamati Skor Kriteria KETRAMPILAN MENGANALISIS Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi 63% Kritis dengan prinsip yang bersifat umum Menanyakan pertanyaan yang relevan 57% Cukup Kritis Meminta elaborasi 55% Cukup Kritis Rata-rata A 58% Cukup Kritis KETERAMPILAN MENSINTESIS Menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk 56% Cukup Kritis mengembangkan ide-ide baru. Mencari dan menghubungkan antara masalah yang 58% Cukup Kritis didiskusikan dengan masalah lain yang relevan Mendengarkan dengan hati-hati 57% Cukup Kritis Berfikiran terbuka 55% Cukup Kritis Berbicara dengan bebas 65% Cukup Kritis Bersikap sopan 64% Cukup Kritis Rata-rata B 59% Cukup Kritis KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKAN MASALAH Memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang 56% Cukup Kritis sudah ada. Menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh 55% Cukup Kritis Meminta klarifikasi 56% Cukup Kritis Menanyakan sumber informasi5 57% Cukup Kritis Rata-rata C 56% Cukup Kritis KETERAMPILAN MENYIMPULKAN Berusaha untuk memahami 56% Cukup Kritis Memberikan ide dan pilihan yang bervariasi 55% Cukup Kritis Rata-rata D 56% Cukup Kritis KETERAMPILAN MENGEVALUASI Mampu mengerjakan soal evaluasi 65% Kritis Mampu menganalisis soal evaluasi 60% Cukup Kritis Rata-rata E 63% Kritis Rata-rata berfikir kritis 58,4%
3. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta elaborasi memperoleh skor sebesar 55% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya Jika di dalam kelompok yang telah ditunjuk untuk membacakan hasil diskusi, mahasiswa saling melemparkan tanggung jawab untuk maju di depan kelas. 4. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk mengembangkan ide – ide baru memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam [ 194 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya menerima pandangan dari orang lain tanpa berusaha untuk mengembangkannya karena hanya terpaku pada ide yang ada di dalam kasus. 5. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan memperoleh skor sebesar 58% masuk dalam cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghubungkan antar konsep tanpa menjelaskannya. 6. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati memperoleh skor sebesar 57% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa kurang memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dosen dengan sesekali berbicara dengan teman. 7. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berpikiran terbuka memperoleh skor sebesar 55% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa berdebat dengan teman lain karena mempertahankan pendapatnya. 8. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berbicara dengan bebas memperoleh skor sebesar 65% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mau mengungkapkan pendapatnya karena terpaksa ditunjuk oleh dosen. 9. Aspek kemampuan mahasiswa dalam bersikap sopan memperoleh skor sebesar 64% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata sopan baik pada dosen maupun siswa lain. 10. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah ada memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa memberikan solusi pemecahan masalah mengikuti argumentasi yang ada di dalam kasus. 11. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh memperoleh skor sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa salah dalam memberikan alasan dan contoh karena hanya pemikiran mereka sendiri tanpa dikaitkan dengan teori yang ada. 12. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta klarifikasi memperoleh skor sebesar 56% masuk kategori cukup kritis, yang artinya saat diskusi, mahasiswa meminta jawaban kepada dosen tentang solusi pemecahan masalah. 13. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi memperoleh skor sebesar 57% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya sekedar bertanya namun tidak menindaklanjuti apa yang disarankan dosen. 14. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berusaha untuk memahami memperoleh skor sebesar 56% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa bersama kelompok tidak berusaha untuk mengerjakan namun hanya menunggu jawaban dari kelompok lain. 15. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi memperoleh skor sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya hanya memberikan kesimpulan dari apa yang ada di dalam kasus. P a g e [ 195 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 16. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi memperoleh skor sebesar 65% masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu menilai keputusan yang telah diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat. 17. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi memperoleh skor sebesar 60% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa salah dalam memberikan penjelasan atas penilaian yang diberikan. Berdasarkan skor rata-rata pada siklus I ini, penelitian ini masih memerlukan tindakan yang lebih baik lagi karena skor kemampuan berpikir kritis mahasiswa masih jauh dari indicator yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 75% sehingga perlu diadakan penelitian siklus II untuk memperbaiki tingkat berpikir kritis dan mencapai indicator keberhasilan. Rata-rata kriteria berpikir kritis mahasiswa dapat dibuktikan pada table berikut:
A B C D E
Tabel 5. Rata-rata Tingkat Berpikir Kritis Mahasiswa Siklus I Skor rata-rata Indikator Rata-rata (%) Ketrampilan 58 Menganalisis Ketrampilan Mensintesis 59 Ketrampilan Mengenali 56 58,4% dan Memecahkan (Kategori Cukup Masalah Kritis) Ketrampilan 56 Menyimpulkan Ketrampilan 63 Mengevaluasi
Data tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berpikir kritis mahasiswa PAP 2012 pada siklus I tergolong dalam kategori cukup kritis pada pembelajaran Ilmu Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut terbukti pada skor yang dicapai sebesar 58,4 % atau dalam rentang skor 43%-62%. Hasil Ketrampilan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah siklus II. Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 6 rata-rata kriteria berpikir kritis mahasiswa per indikator mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus II. Hal tersebut terbukti dari: 1. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63% meningkat 12% menjadi 75% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya sesuai materi dalam Ilmu Komunikasi. [ 196 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
A
B
C
D
E
Tabel 6. Hasil Observasi Berpikir Kritis Mahasiswa Siklus 2 Jumlah Indikator/Aspek yang diamati Skor Kriteria KETRAMPILAN MENGANALISIS Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek 75% Kritis diskusi dengan prinsip yang bersifat umum Menanyakan pertanyaan yang relevan 83% Sangat Kritis Meminta elaborasi 84% Sangat Kritis Rata-rata A 80% Kritis KETERAMPILAN MENSINTESIS Menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk 73% Kritis mengembangkan ide-ide baru. Mencari dan menghubungkan antara masalah yang 75% Kritis didiskusikan dengan masalah lain yang relevan Mendengarkan dengan hati-hati 78% Kritis Berfikiran terbuka 80% Kritis Berbicara dengan bebas 84% Sangat Kritis Bersikap sopan 88% Sangat Kritis Rata-rata B 80% Kritis KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKAN MASALAH Memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari 80% Sangat Kritis yang sudah ada. Menghadapi tantangan dengan alas an dan contoh 89% Sangat Kritis Meminta klarifikasi 86% Sangat Kritis Menanyakan sumber informasi 77% Kritis Rata-rata C 85% Sangat Kritis KETERAMPILAN MENYIMPULKAN Berusaha untuk memahami 73% Kritis Memberikan ide dan pilihan yang bervariasi 68% Kritis Rata-rata D 71% Kritis KETERAMPILAN MENGEVALUASI ATAU MENILAI Mampu mengerjakan soal evaluasi 85% Sangat Kritis Mampu menganalisis soal evaluasi 81% Kritis Rata-rata E 83% Kritis
Rata-rata berpikir kritis
80%
Kritis
2. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan pada siklus I memperoleh skor sebesar 5% meningkat 26% pada siklus II menjadi 83% masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengajukan pertanyaan sesuai topik yang jawabannya merupakan pengembangan dari apa yang ada di kasus. 3. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta elaborasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 29% pada siklus II menjadi 84% masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu secara sukarela mengajukan diri untuk membacakan hasil diskusi di depan kelas. P a g e [ 197 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 4. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk mengembangkan ide –ide baru pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 17% pada siklus II menjadi 73% masuk dalam kritis, yang artinya mahasiswa mau menerima pandangan dari orang lain serta mengembangkannya dengan konsep yang diperoleh dengan tepat. 5. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan pada siklus I memperoleh skor sebesar 58% meningkat 17% pada siklus II menjadi 75% masuk dalam kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam menjelaskan hubungan antar konsep karena tidak mengetahui konsepnya. 6. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati pada siklus I memperoleh skor sebesar 57% meningkat 21% menjadi 78% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dosen tanpa menulis apapun. 7. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berpikiran terbuka pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 25% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghormati pendapat teman lain yang sama dengan jawabannya. 8. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berbicara dengan bebas pada siklus I memperoleh skor sebesar 65% meningkat 19% menjadi 84% pada siklus II masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa dengan berani mau menyampaikan pendapatnya dan menjawab pertanyaan yang diberikan dosen. 9. Aspek kemampuan mahasiswa dalam bersikap sopan pada siklus I memperoleh skor sebesar 64% meningkat 24% menjadi 88% pada siklus II masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata sopan baik pada dosen maupun mahasiswa lain. 10. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah ada pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 24% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan solusi pemecahan masalah namun pendapatnya berbeda dari apa yang ada di kasus. 11. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 34% menjadi 89% pada siklus II masuk kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa hanya memberikan alasan namun tidak memberikan contoh untuk menguatkan alasan. 12. Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta klarifikasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 30% menjadi 86% pada siklus II masuk kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa meminta penjelasan kepada mahasiswa lain. 13. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 57% meningkat 20% menjadi 77% pada siklus II masuk
[ 198 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang lengkap dalam menanyakan sumber informasi sehingga terkadang menemui kendala dalam pengerjaan. 14. Aspek kemampuan mahasiswa dalam berusaha untuk memahami pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 17% menjadi 73% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa bersama kelompok hanya mencermati kasus yang tersedia dan menanyakan kepada dosen jika menemui kesulitan. 15. Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 13% menjadi 68% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan kesimpulan karena penjelasannya tidak sesuai dengan teori yang ada. 16. Aspek kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 65% meningkat 20% menjadi 85% masuk kategori sangat kritis, yang artinya siswa mampu menilai keputusan yang telah diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat. 17. Aspek kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 60% meningkat 21% menjadi 81% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan penjelasan atas penilaian yang telah diberikan. Rata–rata kriteria kemampuan berpikir kritis mahasiswa pada siklus II meningkat 21,4% menjadi 79,8% yang mengidentifikasikan bahwa rata–rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa mata kuliah Ilmu Komunikasi pada kompetensi dasar factor-faktor komunikasi dalam pendidikan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah termasuk dalam kategori kritis dan sudah memenuhi indicator keberhasilan 75%. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 7.
A B C D E
Tabel 7. Kategori Tingkat Berpikir Kritis Mahasiswa Siklus II Skor rata-rata Indikator Rata-rata (%) Ketrampilan Menganalisis 80 Ketrampilan Mensintesis 80 80% Ketrampilan Mengenali dan 85 (Kategori Memecahkan Masalah Kritis) Ketrampilan Menyimpulkan 71 Ketrampilan Mengevaluasi 83
Data tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berfikir kritis mahasiswa PAP 2012 pada siklus II tergolong dalam kategori kritis pada pembelajaran Ilmu Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut terbukti pada skor yang dicapai sebesar 80 % atau dalam rentang skor 63%-80%.
P a g e [ 199 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 PEMBAHASAN Aktivitas dosen melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Penerapan model pembelajaran berbasis masalah tidak terlepas dari RPS meliputi dua komponen yaitu Pengelolaan KBM yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup dan suasana kelas yang meliputi antusiasme mahasiswa, dan antusiasme dosen, pengelolaan waktu, dan kesesuaian KBM yang telah dirancang. Pada Siklus I pengelolaan dosen dalam menerapkan metode pembelajaran berbasis masalah masih tergolong baik. Namun ada 5 indikator yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen yang memiliki nilai cukup baik. Pada kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan sosial. Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Pada kegiatan pendahuluan indicator mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok memiliki nilai yang cukup baik dikarenakan suasana di dalam kelas menjadi cukup aktif ketika dosen meminta mahasiswa untuk mencari pemecahan kasus yang telah disampaikan. Pada kegiatan pendahuluan, indikator yang memiliki nilai cukup baik berikutnya mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan social kepada mahasiswa. Mahasiswa kurang memahami apa yang sudah dijelaskan dosen tentang tujuan pembelajaran memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan karena dosen kurang memanfaatkan sumber belajar yang terkait dengan materi proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan dan hanya berceramah sehingga mahasiswa sedikit sekali mendapatkan pengetahuan seputar masalah konkret komunikasi dalam pendidikan, sehingga mahasiswa kurang berinteraksi dalam pembelajaran. Pada kegiatan inti, indicator memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat juga memiliki nilai cukup baik dikarenakan dosen masih membimbing mahasiswa dalam memecahkan masalah sekaligus mengembangkan media pembelajaran yang berbeda dengan kelompok lain ketika akan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, dan belum semuanya bisa menyajikan hasil diskusi dengan media inovatif pembelajaran. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Dosen kurang memanfaatkan waktu dengan baik dikarenakan pada saat berdiskusi dosen sering membantu mahasiswa saat asyik berdiskusi dengan kelompoknya sehingga dosen dalam menjelaskan materi terkesan terlalu cepat. Dari kelima kekurangan tersebut maka dosen melakukan refleksi pada siklus II. Di sisi lain, tahap aktivitas dosen yang paling dominan dalam penelitian ini adalah tahap penilaian posttest. Pada tahap ini pengamat memberikan nilai tinggi karena peneliti begitu disiplin dalam mengawasi penilaian posttest. Selain itu dalam mengawasi mahasiswa, peneliti juga dibantu oleh pengamat [ 200 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
yang juga berada di dalam kelas. Jadi mahasiswa menjadi tertib dan mengerjakan soal sendiri ketika menjalani penilaian postest. Pengelolaan dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah ini pada siklus II dapat dikategorikan baik. Karena pada tahap pendahuluan sudah dapat ditangani dengan baik oleh dosen dengan menggunakan sumber belajar berupa video tentang komunikasi dalam pendidikan. Tujuannya untuk menggali wawasan mahasiswa dan pengalaman mereka ketika proses belajar mengajar di kelas. Dan terbukti mahasiswa termotivasi belajar dan terampil dalam mengenal dan memecahkan masalah bahkan bisa menyimpulkan dan mengevaluasi soal kasus yang diberikan oleh dosen dan jika ada materi yang kurang dipahami oleh mahasiswa, mereka berani bertanya jika ada hal-hal yang kurang dimengerti dalam pertanyaan latihan kasus. Hal ini merupakan pertanda bahwa terdapat peningkatan dari siklus I ke siklus II. Refleksi yang dilakukan pada siklus I yaitu dosen harus mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan sosial, memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan, menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir adalah waktu sesuai dengan alokasi. Hal ini membuktikan bahwa hasil penelitian ini mendukung teori dari (M. Taufiq Amir, 2010:21) bahwa PBL mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analistis dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Selanjutnya hasil penelitian ini didukung oleh Norris dan Ennis dalam Bahriah (2011) menyatakan berpikir kritis sebagai berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Nur (1998) yang menyatakan bahwa salah satu factor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang disertai dengan komitmen yang tinggi untuk menggunakannya dalam setiap pembelajaran. Terlaksananya kegiatan belajar mengajar dengan baik karena dosen dalam proses pembelajaran memiliki komitmen yang tinggi untuk menggunakan perangkat pembelajaran. Suatu program pembelajaran akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan apabila direncanakan dengan baik, semua komponen pengajaran harus diperankan secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sagala (2003) yang mengatakan bahwa semua komponen pengajaran harus diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilaksanakan. Agar proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik maka, dosen harus merancang pembelajaran yang akan dilaksanakan terutama untuk menentukan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan dan membuat indicator untuk mengetahui apakah pembelajaran yang telah dirancang dapat berjalan dengan efektif atau tidak. Pembelajaran yang dirancang oleh dosen hendaknya melibatkan mahasiswa secara penuh agar mahasiswa dapat mengembangkan potensinya dengan maksimal. P a g e [ 201 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Dosen dituntut memiliki kemampuan untuk melibatkan peserta didik secara aktif selama pembelajaran dan menciptakan suasana yang menunjang agar tercapai tujuan pembelajaran, yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (Ratumanan, 2004). Hal senada diungkapkan pula oleh Karlimah. (2010) dalam penelitiannya tentang hasil penelitian disarankan supaya guru dalam pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) perlu dikembangkan oleh dosen agar mahasiswa dapat belajar secara kontekstual ke taraf berpikir tingkat tinggi sehingga hasil belajar yang diperoleh meningkat. Hasil Ketrampilan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah Pembahasan dalam penelitian tindakan kelas ini didasarkan atas hasil pengamatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang dilanjutkan dengan kegiatan refleksi atau kegiatan untuk mengemukakan kembali kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran Ilmu Komunikasi pada kompetensi dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah mengalami peningkatan dari segi ketrampilan berpikir kritis. Hasil penelitian dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah mempunyai pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Hal ini terbukti bahwa rata-rat berpikir kritis mahasiswa pada siklus I sebesar 58,4% termasuk dalam kategori cukup kritis. Pada siklus II rata-rata berpikir kritis mahasiswa mengalami peningkatan 79,8% termasuk kategori kritis. PBL mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Permasalahan yang diajukan membutuhkan kemampuan siswa untuk mengeksplorasi berbagai sumber belajar untuk mengumpulkan bukti, fakta, dan data yang berhubungan dengan hipotesis yang diajukan. Pada hakikatnya program pembelajaran bertujuan tidak hanya memahami dan menguasai apa dan bagaimana suatu terjadi tetapi juga memberi pemahaman dan penguasaan tentang mengapa hal itu terjadi. Berpijak pada permasalahan tersebut, maka pembelajaran pemecahan masalah menjadi sangat penting untuk diajarkan (Made Wena, 2009:52). SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah disajikan dalam Bab IV, maka dapat ditarik simpulan bahwa penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (1) Aktivitas dosen melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah kompetensi dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi dalam pendidikan mengalami peningkatan dari siklus 1 [ 202 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Siti Sri Wulandari)
terdapat 5 indikator yang harus diperbaiki yaitu mengorientasi masalah yang akan di cari pemecahannya secara berkelompok, mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan ketrampilan social, memecahkan masalah yang telah dipilih, mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat, waktu sesuai dengan alokasi. Dan meningkat pada siklus 2 dengan kategori semua indicator keberhasilan pelaksanaan aktivitas dosen nilainya baik dengan kategori sangat baik dan pelaksanaannya sesuai dengan rencana pelaksanaan semester. (2) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada mata kuliah Ilmu Komunikasi bagi mahasiswa PAP 2012 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata berpikir kritis mahasiswa pada pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus I sebesar 58,4% Mengalami peningkatan sampai dengan siklus II sebesar 80% sudah mencapai indikator keberhasilan. Beberapa saran sebagai salah satu solusi alternatif yang ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah adalah masalah apersepsi yang kurang sehingga diperlukan kontrol dan persiapan RPS dan LKM yang lebih baik dari dosen, dengan cara mencari dan menggunakan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan.(2) Pembelajaran Ilmu Komunikasi khususnya pada Kompetensi Dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan sebaiknya dosen membuat contoh kasus yang fenomenal terjadi di masyarakat contoh gambar / video proses komunikasi pendidikan yang lebih konkret dengan menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Susanti, S.Ak, M.Pd dan Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd atas arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Amir, M.Taufik.(2009). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta: Kencana. Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta Bahriah
E.P. (2011). Indikator Berpikir Kritis dan Kreatif. On line at http://www.berpikir kritis/internet kritis/indikator berpikir kritis dan kreatif evisapinatulbahriah.htm.10 November 2014.(15:23)
Fisher, Alec. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga Karlimah. (2010). Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran Berbasis P a g e [ 203 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Masalah. Jurnal Pendidikan PGSD FIP Universitas Pendidikan Indonesia. 11(2): 5160 Kunandar. (2008). Langkah Mudah penelitian Tindakan Kelas sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nur,Mohamad.(1998).Teori-teori Perkembangan Kognitif. Surabaya: UNESA-PSMS Ratumanan, G.T. dan Lauren, S. (2004). Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Unesa University Press Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara
[ 204 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKUNTANSI KELAS X SMK DR. SOETOMO SURABAYA BERDASARKAN KURIKULUM 2013 Bagus Permadi Program Pascasarjana, UNESA
[email protected]
Abstrak Keinginan negara agar mempunyai level pendidikan yang sama di tengah era pasar bebas MEA adalah tugas masyarakat bersama. Artikel hasil kajian literatur ini bertujuan untuk memahami salah satu strategi pembelajaran pada Kurikulum 2013, yakni problem based learning, yang dapat meningkatkan prestasi belajar. Sumber kajian literatur menggunakan buku, artikel jurnal ilmiah, maupun laporan hasil penelitian terdahulu. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa diperlukan sebuah strategi pembelajaran, yang harus sesuai dengan Kurikulum 2013, sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan keahlian untuk beradaptasi serta bisa bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah. Kata Kunci: Strategi Pembelajaran, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN Pada era globalisasi hanya bangsa-bangsa yang berkualitas tinggi yang mampu bersaing atau atau berkompetisi pada pasar bebas. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia sudah merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Bidang pendidikan memegang peranan yang sangat strategis karena merupakan salah satu wahana untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia, oleh karena sudah semestinya kalau pembangunan sektor pendidikan menjadi prioritas utama yang harus dilakukan oleh pemerintah. Salah satu indikator pendidikan berkualitas adalah perolehan nilai prestasi belajar siswa. Nilai prestasi belajar siswa dapat lebih ditingkatkan, apabila pembelajaran berlangsung secara efektif dan etisien dengan ditunjang oleh tersedianya sarana dan prasarana pendukung, serta kecakapan guru dalam pengelolaan kelas dan penguasaan materi yang cukup memadai. Hal lainnya terdapat banyak keluhan dari para guru bahwa beban kurikulum KTSP 2006,bagi siswa terlalu berat dibandingkan dengan waktu yang ada, sehingga kualitas hasil belajar tidak memadai. Oleh sebab itu, penerapan Kurikulum 2013 diharapkan mampu mengatasi keterbatasan waktu tersebut. Guru tidak lagi harus secara maraton menjelaskan materi pelajaran kepada siswa, namun siswa akan belajar aktif dan mandiri sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki dengan arahan dan bimbingan guru. Pemberlakuan kurikulum 2013 sempat menuai pro dan kontra. Namun di Kota Surabaya sejumlah sekolah sudah mengadopsinya. Perkembangan terbaru atas penerapan Kurikulum 2013 mulai dievaluasi. Pada tahun pelajaran 2014-2015, adalah P a g e [ 205 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 masa yang luar biasa, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena, pada tahun pelajaran saat ini, terjadi perubahan kurikulum berkali-kali, yakni: sejak awal tahun pelajaran 2013-2014, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 Tahun 2014 Tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013, bahwasanya pada seluruh Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) dan 5 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta sasaran, yang semula kegiatan belajar mengajarnya menggunakan Kurikulum KTSP 2006 diganti dengan Kurikulum 2013, sedangkan selain dari 5 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta sasaran tersebut di atas, masih harus menerapkan Kurikulum KTSP 2006. Pada saat sampai pertengahan tahun pelajaran 2014-2015 (Semester Genap) pada tanggal 6 Januari 2015, Dinas Pendidikan Kota Surabaya menyepakati bahwasanya bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta diberikan kebebasan memilih antara menggunakan KTSP 2006 atau Kurikulum 2013. Bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 pada tahun sebelumnya, diperbolehkan melanjutkan (Harian Jawa Pos, 2015:25). Hal lain terjadi ketika pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dari Bapak Moh. Nuh Dea beralih ke Bapak Anis Baswedan, pada tanggal 27 Februari 2015, melalui Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Surabaya menyatakan bahwa ada 13 SMK yang terdiri dari 8 SMK Negeri dan 5 SMK Swasta, yang diizinkan melanjutkan Kurikulum 2013, sedangkan selain 13 SMK tersebut tidak mendapat izin untuk melanjutkan Kurikulum 2013 (Harian Jawa Pos, 2015 : 29). Terdapat keputusan baru, yakni: Surat Keputusan Badan Penelitian dan pengembangan (Balitbang) pada Tanggal 6 April 2015, bahwasanya Pemerintah pusat memperbolehkan menerapkan Kurikulum 2013 lagi, bagi sekolah yang sebelumnya sudah melaksanakan Kurikulum 2013 minimal selama 3 semester. Penerapan Kurikulum 2013 menekankan pada upaya guru dalam memberikan motivasi dan peningkatan keterampilan di mana dikemukakan juga pada Permendiknas Nomor 71 Tahun 2013 mengenai Struktur Kurikulum, dijelaskan bahwasanya Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Tantangan terhadap peningkatan mutu, relevansi, dan efektivitas pendidikan sebagai tuntutan nasional sejalan dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat, berimplikasi secara nyata dalam program pendidikan dan kurikulum sekolah. Tujuan dari program kurikulum dapat tercapai dengan baik, jika programnya didesain secara jelas dan aplikatif. Dalam hubungan inilah para guru dituntut untuk memiliki kemampuan mendesain programnya dan sekaligus menentukan strategi instruksional yang harus ditempuh. Para guru harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan metode mengajar untuk diterapkan dalam sistem pembelajaran yang efektif (Hamalik, 2001). [ 206 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
Dari beberapa latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang dapat dikaji yakni bagaimana Strategi Pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013, dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa di SMK DR. SOETOMO SURABAYA pada mata pelajaran Akuntansi kelas X?. FUNGSI PENDIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa, yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun, dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya, semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain, potret manusia yang dapat tercermin dari potret guru di masa sekarang, dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di tengah-tengah masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat 5 bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan menurut ayat 6 Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dalam hal ini pengaruh dari peran seorang pendidik sangat besar sekali. Keyakinan seorang pendidik atau pengajar agar dapat mengolah potensi manusia dan kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan berprestasi, merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental pendidik atau pengajar berdampak besar terhadap iklim belajar, dan pemikiran peserta didik yang diciptakan pengajar. Kegiatan belajar mengajar melibatkan fase transformasi pengetahuan dari yang mengajarkan kepada yang diajarkan. Transformasi dalam proses belajar mengajar tersebut tidak terlepas dari peran seorang guru. Menurut Burner (Nasution, 1987), dalam proses belajar pada fase transformasi, informasi harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih konseptual agar dapat digunakan untuk halhal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan. Menurut Arikunto (1988) guru adalah orang yang paling penting statusnya di dalam kegiatan belajarmengajar karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan mengemudikan bahtera kehidupan kelas. Dalam proses belajar mengajar (PBM), posisi guru sangat penting dan strategis, meskipun gaya, dan penampilan mereka bermacammacam. KURIKULUM 2013 Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan P a g e [ 207 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas. Kurikulum mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan keahlian untuk beradaptasi serta bisa bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan menegaskan, perubahan dan pengembangan kurikulum 2013 merupakan persoalan yang penting dan genting. Alasan perubahan kurikulum, bahwasanya kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena zaman berubah, maka kurikulum harus lebih berbasis pada penguatan penalaran, bukan lagi hafalan semata. Perubahan ini diputuskan dengan merujuk hasil survei internasional tentang kemampuan siswa Indonesia. Salah satunya adalah survei "Trends in International Math and Science" oleh Global Institute pada tahun 2007. Menurut survei ini, hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sebagai perbandingan, siswa Korea yang sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang hanya memerlukan hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang bisa mengerjakan soal semacam itu hanya 10 persen. Indikator lain datang dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang di tahun 2009 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar paling buncit dari 65 negara peserta PISA. Kriteria penilaian mencakup kemampuan kognitif dan keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Dan hampir semua siswa Indonesia ternyata cuma menguasai pelajaran sampai level 3 saja. Sementara banyak siswa negara maju maupun berkembang lainnya, menguasai pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Kesimpulan dari dua survei itu adalah: prestasi siswa Indonesia terbelakang. Pengembangan kurikulum 2013 menitikberatkan pada penyederhanaan, pendekatan tematik-integratif dilatarbelakangi oleh masih terdapat beberapa permasalahan pada Kurikulum 2006 (KTSP), yakni: (1) konten kurikulum yang masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak; (2) belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (3) kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (4) belum peka dan tanggap terhadap perubahan [ 208 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (6) standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (7) dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir (Draft Kurikulum 2013). Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud segera mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara bertahap, mulai tahun pembelajaran baru bulan Juli 2013. Kurikulum 2013 merupakan kelanjutan dan pengembangan, dari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004, dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Pengembangan pada Kurikulum 2013 dilakukan seiring dengan tuntutan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, dan melaksanakan amanah Undang-undang Nomor: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. STRATEGI PEMBELAJARAN Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, menyatakan bahwa Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Proses dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
P a g e [ 209 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok, maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (problem based learning), (project based learning). Berdasarkan pada konteks penelitian ini strategi pembelajaran diarahkan pada strategi yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual. Di antaranya: (1) pengajaran berbasis masalah, (2) pengajaran berbasis inquiry, (3) pengajaran berbasis tugas/proyek (Nurhadi & Senduk, 2003). Pengajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) Pengajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pembelajaran (Nurhadi & Senduk, 2003). Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dan Nur (2001) mengatakan bahwa pengajaran berbasis masalah dikenal dengan istilah lain: pembelajaran proyek, pembelajaran berdasarkan pengalaman, pembelajaran autentik, dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata. Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pengajaran Berbasis Penemuan (Discovery/Inquiry-Based Learning) Dalam pembelajaran dengan penemuan (inquiry), siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip sendiri (Nurhadi & Senduk, 2003). Oleh karena Sains merupakan cara berpikir dan bekerja yang setara dengan kumpulan pengetahuan, maka dalam pembelajaran Sains perlu menekankan pada cara berpikir dan aktivitas saintis melalui metode inkuiri. Wayne Welch, telah memberikan [ 210 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
argumentasi, bahwa teknik-teknik yang diperlukan untuk pembelajaran Sains sama dengan teknik-teknik yang digunakan untuk penyelidikan ilmiah. Metode-metode yang digunakan oleh para saintis harus menjadi bagian integral dari metode pembelajaran Sains. Metode ilmiah dapat dianggap sebagai proses inkuiri. Dengan demikian inkuiri seharusnya menjadi “roh” pembelajaran Sains. J. Bruner telah mengembangkan belajar penemuan (discovery learning) yang berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengajaran berbasis inquiry adalah salah satu komponen dari penerapan pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning), di mana proses “penemuan” merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengajaran Berbasis Tugas/Proyek (Project-Based Learning) Thomas (1998) menetapkan lima kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, yaitu: (1) keterpusatan (centrality), (2) berfokus pada pertanyaan atau masalah, (3) investigasi konstruktif atau desain, (4) otonomi pebelajar, dan (5) Realistis. PENILAIAN Menurut Hamalik (2001) belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada hal itu, yaitu mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan pengubahan kelakuan. Selanjutnya Hamalik (2002) mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Masalah pokok yang dihadapi dalam belajar adalah bahwa proses belajar tidak dapat diamati secara langsung dan kesulitan untuk menentukan bagaimana terjadinya perubahan tingkah laku belajarnya, untuk dapat mengamati terjadinya perubahan tingkah laku tersebut hanya dapat diketahui bila telah mengadakan Penilaian. Pendapat lain disampaikan oleh Woodworth (1951) mengatakan bahwa prestasi (achievement) adalah actual ability and can be measured directly by use of test. Artinya prestasi menunjukkan suatu kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan menggunakan tes. Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Penilaian Autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran.(Permendikbud No 66/2013). Penilaian Autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Oleh karena menurut Ormiston, P a g e [ 211 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 belajar autentik mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang diperlukan dalam kenyataannya di luar sekolah. Dasar hukum penilaian berdasarkan Kurikulum 2013, sebagai berikut: 1. PP No 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan 2. Permendikbud No 60Tahun 2014 tentang Kurikulum SMK 3. Permendikbud No 103 Tahun 2014 tentang Standar Proses 4. Permendikbud No 104 Tahun 2014 tentang Standar Penilaian Pada Pemendikbud Nomor 104 Tahun 2014 Bab II, Bagian E poin e nomor 1) dan 2) Menyatakan bahwa laporan hasil penilaian oleh pendidik berbentuk: 1. Nilai dan/atau deskripsi pencapaian kompetensi, untuk hasil penilaian kompetensi pengetahuan, keterampilan termasuk penilaian hasil pembelajaran tematik-terpadu. 2. Deskripsi sikap, untuk hasil penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial Permendikbud No 81A Tahun 2013 Lampiran IV tentang Implementasi Kurikulum bahwa dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Tabel 1. Nilai Ketuntasan Kompetensi Minimal (KKM) SIKAP Modus 4,00
PENGETAHUAN
KETERAMPILAN
Predikat
Skor Rerata
Predikat
Capaian Optimum
Predikat
SB
3.85 – 4.00
A
3.85 – 4.00
A
(Sangat Baik)
3.51 – 3.84
A-
3.51 – 3.84
A-
B
3.18 – 3.50
B+
3.18 – 3.50
B+
2.85 – 3.17
B
2.85 – 3.17
B
2.51 – 2.84
B-
2.51 – 2.84
B-
3,00
(Baik)
Batas Nilai Ketuntasan Kompetensi Minimal (KKM) C 2,00
1,00
2.18 – 2.50
C+
2.18 – 2.50
C+
1.85 – 2.17
C
1.85 – 2.17
C
1.51 – 1.84
C-
1.51 – 1.84
C-
K
1.18 – 1.50
D+
1.18 – 1.50
D+
(Kurang)
1.00 – 1.17
D
1.00 – 1.17
D
(Cukup)
Sumber: (Dispendik Kota Surabaya, 2015) PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013 TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA Bahwasanya Strategi Pembelajaran sangat dibutuhkan baik oleh pendidik maupun siswa dalam proses pembelajaran, karena dengan menggunakan strategi pembelajaran [ 212 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
yang tepat, dapat tercipta keefektifan, dan keefesienan dalam belajar, sehingga dapat meningkatkan Prestasi Belajar. Pada mata pelajaran Akuntansi, Strategi Pembelajaran yang paling tepat digunakan adalah Problem Based Learning. Oleh karena strategi pembelajaran ini, mempunyai beberapa kriteria penilaian, yang sesuai dengan Kompetensi Dasar, yang ada pada mata pelajaran Akuntansi. Hasil pelaksanaan Strategi Pembelajarannya sebagai berikut: Tabel1. Rekapitulasi Penilaian Kriteria pada Problem Based Learning (Semester Gasal 2014-2015) Kompetensi Dasar 3.1. Menjelaskan pengertian, tujuan dan peran akuntansi 4.1 Mengevaluasi peran akuntansi di berbagai usaha 3.2. Menjelaskan pihak-pihak yang membutuhkan informasi akuntansi 4.2 Mengklasifikasi berbagai pihak yang membutuhkan informasi berdasarkan jenis informasinya 3.3. Menjelaskan profesi dan jabatan dalam akuntansi 4.3 Mengklasifikasi berbagai profesi berbagai profesi bidang akuntansi berdasarkan jabatannya 3.4. Menjelaskan bidang-bidang spesialisasi akuntansi 4.4 Menggolongkan berbagai bidang spesialisasi akuntansi 3.5. Menjelaskan jenis dan bentuk badan usaha 4.5 Mengklasifikasi jenis badan usaha berdasarkan bentuk badan usaha 3.6. Menjelaskan prinsip-prinsip dan konsep dasar akuntansi 4.6 Menggunakan prinsipprinsip dan konsep dasar akuntansi dalam kasuskasus keuangan 3.7. Menjelaskan tahapan proses pencatatan transaksi 4.7 Melakukan langkah-langkah pencatatan transaksi
Materi Pokok Hakekat Akuntansi Pengertian akuntansi Tujuan akuntansi Peran akuntansi Pihak-pihak yang membutuhkan informasi akuntansi
Nilai 2,51 –2,84
Predikat B-
Kriteria Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
2,51 –2,84
B-
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
Profesi akuntansi Profesi Jabatan
2,85 –3,17
B
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
Bidang Spesialisasi akuntansi
2,51 –2,84
B-
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
Jenis dan bentuk badan usaha
2,85 –3,17
B
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
Prinsip-prinsip dan konsep dasar akuntansi
3,18 –3,50
B+
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
Tahap-tahap proses pencatatan transaksi Pencatatan transaksi dalam dokumen Dokumen transaksi dicatat dalam jurnal Posting dari jurnal ke buku besar Menyusun neraca saldo
2,85 –3,17
B
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
P a g e [ 213 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kompetensi Dasar
Materi Pokok
Menyusun laporan keuangan 3.8. Menjelaskan transaksi bisnis Transaksi bisnis perusahaan perusahaan 4.8 Mengklasifikasi berbagai Pengertian transaksi transaksi bisnis bisnis Kelompok transaksi bisnis Jenis transaksi bisnis Pengaruh transaksi bisnis pada proses pencatatan 3.9. Menjelaskan persamaan Persamaan dasar dasar akuntansi akuntansi Pengertian persamaan dasar akuntansi Unsur-unsur persamaan dasar akuntansi Bentuk persamaan dasar akuntansi Fungsi persamaan dasar akuntansi Analisis pengaruh transaksi ke persamaan dasar akuntansi Teknik mencatat transaksi ke dalam persamaan dasar akuntansi Menyusun persamaan dasar akuntansi 4.9. Menyusun Persamaan Persamaan Dasar Dasar Akuntansi Akuntansi Pengertian persamaan dasar akuntansi Unsur-unsur persamaan dasar akuntansi Bentuk persamaan dasar Akuntan Fungsi persamaan dasar akuntansi Analisis pengaruh transaksi ke persamaan dasar akuntansi Teknik mencatat transaksi ke dalam persamaan dasar akuntansi Menyusun persamaan dasar akuntansi
Nilai
Predikat
Kriteria
2,51 –2,84
B-
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
2,51 –2,84
B-
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
Ada 2 aspek sesuai dengan kriteria, 1 aspek kurang sesuai
3,18 –3,50
B+
Sumber: (Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013, Pasal 77F ayat (4)) [ 214 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
Berdasarkan hasil Strategi Pembelajaran (Problem Based Learning) di atas, dapat dilihat bahwa terdapat satu aspek yang belum memenuhi kriteria, sehingga aspek tersebut dapat mempengaruhi Prestasi Belajar siswa, yang diukur melalui Hasil Belajar. Kekurangsesuaian aspek, dapat disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah hasil penilaian atas kriteria yang dilaksanakan siswa, belum mencapai standar penilaian pada rancangan strategi pembelajaran, berdasarkan pendekatan Scientific. Oleh karena pada penerapan Kurikulum 2013, sistem penilaian hasil belajar siswa berdasarkan Penilaian Autentik, yang “hasil output”-nya dalam bentuk Raport Online, maka kekurangsesuaian aspek di atas berpengaruh pada hasil belajar sebagai berikut : Tabel 2. Raport Online SMK Semester Gasal 2014-2015 No
PENGETAHUAN
SISWA NILAI
CATATAN
KETRAMPILAN NILAI
CATATAN
1
Terampil dalam seluruh Memahami dan menguasai kompetensi seluruh kompetensi pada dengan sangat tingkat kriteria minimum yang Baik terutama dipersyaratkan dengan Baik, BA- mengklasifikasi Abdul Ajis kecuali kompetensi menjelaskan (2,70) (3,70) berbagai pihak jenis dan bentuk badan usaha yang dan menjelaskan pihak yang membutuhkan membutuhkan informasi informasi akuntansi perlu dikuasai. berdasarkan jenis informasinya
2
Adhe Nourma Yahya
Terampil dalam Memahami dan menguasai seluruh seluruh kompetensi pada kompetensi tingkat kriteria minimum yang dengan sangat dipersyaratkan dengan Baik, BA- Baik terutama kecuali kompetensi menjelaskan (2,68) (3,70) mengklasifikasi prinsip-prinsip dan konsep jenis badan usaha dasar akutansi. dan menjelaskan berdasarkan profesi dan jabatan dalam bentuk badan akuntansi perlu dikuasai. usaha
3
Agustin
Memahami dan menguasai Terampil dalam seluruh kompetensi pada seluruh tingkat kriteria minimum yang kompetensi dipersyaratkan dengan Baik, dengan sangat B- kecuali kompetensi menjelaskan A- Baik terutama (2,69) profesi dan jabatan dalam (3,70) mengklasifikasi akuntansi dan menjelaskan jenis badan usaha pihak yang membutuhkan berdasarkan informasi akuntansi perlu bentuk badan dikuasai. usaha
4
Memahami dan menguasai Terampil dalam seluruh kompetensi pada seluruh Aminatus BAtingkat kriteria minimum yang kompetensi Sofia (2,71) (3,70) dipersyaratkan dengan Baik, dengan sangat kecuali kompetensi menjelaskan Baik terutama
SIKAP SPIRITUAL DAN SOSIAL NILAI
CATATAN
SB
Peserta didik sudah konsisten dalam sikap spiritual dan sosial. Sangat Baik dalam sikap sosial syukur, disiplin, sopansantun
SB
Peserta didik sudah konsisten dalam sikap spiritual dan sosial. Sangat Baik dalam sikap sosial syukur, disiplin, sopansantun
SB
Peserta didik sudah konsisten dalam sikap spiritual dan sosial. Sangat Baik dalam sikap sosial syukur, disiplin, sopansantun
SB
Peserta didik sudah konsisten dalam sikap spiritual dan sosial. Sangat
P a g e [ 215 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
No
PENGETAHUAN
SISWA NILAI
CATATAN pihak yang membutuhkan informasi akuntansi dan menjelaskan pengertian, tujuan dan peran akuntansi perlu dikuasai.
KETRAMPILAN NILAI
CATATAN
Ananda Salsabila Salwa
6
Memahami seluruh kompetensi pada tingkat kriteria minimum yang dipersyaratkan dengan Astrilita B- Baik, kecuali kompetensi Agustin (2,68) menjelaskan profesi, jabatan Anggriany akuntansi, menjelaskan pihak yang membutuhkan informasi akuntansi perlu dikuasai.
NILAI
mengklasifikasi jenis badan usaha berdasarkan bentuk badan usaha
Terampil dalam seluruh Memahami dan menguasai kompetensi seluruh kompetensi pada dengan sangat tingkat kriteria minimum yang Baik terutama dipersyaratkan dengan Baik, BA- mengklasifikasi kecuali kompetensi menjelaskan (2,73) (3,70) berbagai pihak jenis dan bentuk badan usaha yang dan menjelaskan profesi dan membutuhkan jabatan dalam akuntansi perlu informasi dikuasai. berdasarkan jenis informasinya
5
SIKAP SPIRITUAL DAN SOSIAL
Terampil dalam seluruh kompetensi dengan sangat A- Baik terutama (3,60) mengklasifikasi jenis badan usaha berdasarkan bentuk badan usaha
CATATAN Baik dalam sikap sosial syukur, disiplin, sopan santun
SB
Peserta didik sudah konsisten dalam sikap spiritual dan sosial. Sangat Baik dalam sikap sosial syukur, disiplin, sopan santun
SB
Peserta didik sudah konsisten dalam sikap spiritual dan sosial. Sangat Baik dalam sikap sosial syukur, disiplin, sopan santun
Sumber: (Dispendik Kota Surabaya, 2015)
Berdasarkan hasil belajar siswa di atas, menunjukkan bahwa Penerapan Kurikulum dapat meningkatkan Prestasi Belajar. Hal itu disebabkan bahwa, dalam Penilaian Autentik, berdasarkan pada beberapa kriteria, sehingga guru dapat menilai siswa melalui banyak Kriteria Penilaian tersebut, meliputi: Kriteria Spiritual, Sosial, Pengetahuan, serta Keterampilan. Oleh karena, banyaknya kriteria penilaian, dapat meningkatkan Prestasi Belajar, yang tercermin pada hasil belajar siswa. SIMPULAN Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan Pendidik (Guru) sebagai pemegang peranan utama. Oleh karena Proses pembelajaran mengandung serangkaian perbuatan pendidik/guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan Strategi Pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran guru dalam proses belajar-mengajar, bahwasanya guru tidak hanya tampil lagi sebagai [ 216 ] P a g e
Penerapan Strategi Pembelajaran… (Bagus Permadi)
pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manager belajar (learning manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa depan, sebagai pelatih. Seorang guru dapat berperan mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai Prestasi Belajar setinggi-tingginya. Prestasi belajar siswa dapat dijadikan komponen evaluasi, yang bertujuan untuk menilai pencapaian tujuan Penerapan Kurikulum 2013, dan menilai proses implementasi Kurikulum 2103 secara keseluruhan. Hasil evaluasi Kurikulum 2013, dapat dijadikan umpan balik untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan Kurikulum 2013. Selain itu, hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai masukan dalam penentuan kebijakankebijakan pengambilan keputusan tentang Kurikulum 2013. DAFTAR PUSTAKA AI-Girl, Tan (2007) Creativity: A Handbook for Teacher. New Jersey: World Scientific. Arikunto, Suharsini. 1988. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Baker, Ronald J. (2008). Mind Over Matter: Why Intellectual Capital is The Chief Source of Wealth. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Bruner., J., S. 1966. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Havard University. Cohen, Robin; Kennedy, Paul (2000). Global Sociology. New York: Global Sociology. Carnoy, Martin (1999), Globalization and Education Reform: What Planners Need to Know. Paris: UNESCO. Craft, Anna (2005) Creativity in Schools Tensions and Dilemmas. USA, Canada: Routhledge. Cropley, Arthur J. (1997) More Ways Than One: Fostering Creativity. Norwood, New Jersey: ABLEX PUBLISHING CORPORATION. Dunn, Dana S; Halonen, Jane S. & Smith, Randolph A (2008). Teaching Critical Thinking in Psychology: A Handbook of Best Practices. Oxford: Willey-Blackwell. Fisher, Robert (2004) “What is creativity?” in Robert Fisher & Mary William (eds.) Unlocking Creativity: Teaching Across the Curriculum. London: David Fulton Publisher. Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta:PT Bumi Aksara. Hamalik, O. 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara Meredith, Geofrey, G. et.all. 2002. The Practice of Entrepreneurship. International Labour Organization, Geneva. Nurhadi, 2002. Pendekatam Kontekstual. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Nurhadi, & Senduk, G., A., 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. P a g e [ 217 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Nur, Muhammad, 2001. Pengajaran dan pernbelajaran Kontekstual. Makalah pada Pelatihan TOT Guru Mata Pelajaran SMA/SMK/MAN Enam Propinsi. Di Surabaya tanggal 20 Juni s/d 6 Juli 2001. Nasution, S. 1987. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bina Aksara Singgih Trihastuti & Yoko Rimy. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta 2000. Zimerer, Thomas W dan Scarborough, Norman, M, 1998. Essentials Entrepreneurship and Small Business Management, 2nd Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
[ 218 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PADA MATA KULIAH SALESMANSHIP MELALUI METODE PEMBERIAN TUGAS Raya Sulistyowati
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa melalui metode pemberian tugas. Penelitian ini didasari dari output hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah salesmanship yang kurang optimal Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Tata Niaga 2012 kelas A yang berjumlah 40 mahasiswa. Teknik pengumpulan data dilakukan dalam bentuk lembar observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dalam bentuk deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menyimpulkan pada siklus I peningkatan aktivitas dosen sebesar 83 persen, peningkatan penilaian mahasiswa 83 persen dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa 75 persen. Pada siklus II terdapat peningkatan aktivitas dosen mencapai 92 persen, aktivitas mahasiswa 92 persen dan kemampuan berpikir mahasiswa 92 persen. Berdasarkan analisis data siklus maka penelitian tindakan ini berhasil, melalui metode pemberian tugas dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Kata kunci: Kemampuan berpikir kritis, metode pemberian tugas
PENDAHULUAN Setiap seorang pendidik khususnya dosen di sebuah perguruan tinggi pasti mengharapkan para peserta didiknya yaitu mahasiswa mahasiswinya sukses. Arti kata sukses ini merujuk pada para mahasiswa mendapatkan pengetahuan, mampu memahami, menganalisis, mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari serta dapat menciptakan sesuatu dari pengetahuan yang diperolehnya. Sebagai seorang dosen peneliti menyadari bahwa kemampuan mahasiswa dalam menganalisis ataupun dalam menciptakan sesuatu masih kurang peneliti tingkatkan. Sejauh ini peneliti masih lebih terfokus pada mahasiswa mampu memahami materi yang diberikan. Kemampuan mahasiswa memahami materi dilakukan melalui peneliti menjelaskan melalui power point. Mahasiswa membahas/ mendiskusikan mengenai suatu materi tertentu dengan cara mahasiswa membuat makalah dan mempresentasikan power point yang dibuatnya di depan kelas. Kemajuan teknologi membawa dampak bagi dunia pendidikan. Kemajuan teknologi ini khususnya teknologi komputer dan internet dapat berdampak positif atau negatif bagi dunia pendidikan. Dampak positif bagi dosen ataupun mahasiswa pengetahuan yang lebih luas ataupun spesifik akan lebih cepat untuk diperoleh atau didapat. Namun negatifnya adalah banyak individu yang hilang rasa kepercayaan dirinya dan menjadi individu pemalas. Banyak dosen ataupun mahasiswa yang mengcopy-paste hasil karya orang lain tanpa adanya pengembangan/modifikasi lebih lanjut. P a g e [ 219 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Penelitian ini juga didasari dari hasil output hasil belajar mahasiswa setahun sebelumnya pada mata kuliah salesmanship yang kurang optimal. Rata-rata nilai ujian tengah dan ujian akhir semester yang rata-rata masih ≥80. Selain itu kemampuan mahasiswa menjawab soal ujian tengah semester dan akhir semester pada umumnya (75%) masih banyak yang kurang tepat. Banyak pula ditemukan jawaban mahasiswa yang mirip satu dengan yang lainnya ataupun yang persis sama dengan isi buku. Berpikir Kritis Salah satu tujuan dari proses mengajar yang tertinggi adalah agar para anak didik dapat berpikir kritis. Pada prakteknya penerapan proses belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis pada anak didik. Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga staf pengajar lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman staf pengajar tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Anderson et al., 1997; Bloomer, 1998; Kember, 1997 Cit in Pithers RT, Soden R., 2000). Berkaitan dengan hal di atas, pengertian dari berpikir kritis adalah penentuan secara hati-hati dan sengaja apakah menerima, menolak atau menunda keputusan tentang suatu klaim/pernyataan (Moore dan Parker, 1988:4). Sementara itu, Ennis (1996: xvii) mengungkapkan berpikir kritis adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal tentang apa yang dipercayai atau apa yang dilakukan. Berpikir kritis membutuhkan banyak keterampilan, termasuk keterampilan mendengar dan membaca dengan hati-hati, mencari dan mendapatkan asumsi-asumsi yang tersembunyi, dan menjajaki konsekuensi dari suatu pernyataan (Moore dan Parker. 1986: 5). Metode Pemberian Tugas Seorang pendidik yang baik haruslah memahami metode pengajaran yang dilakukannya. Oleh karena dalam interaksi belajar mengajar, metode memegang peranan yang sangat penting. Metode dalam kegiatan pengajaran sangat bervariasi, pemilihannya disesuaikan tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik bila tidak dapat menguasai satu atau beberapa metode mengajar. Olehnya itu guna pencapaian tujuan pengajaran, maka pemilihan metode dalam mengajar harus tepat. Dengan demikian diharapkan kegiatan pengajaran dan berlangsung secara berdaya guna dan bernilai guna. Salah satu dari sekian banyak metode pembelajaran adalah metode pemberian tugas. Metode pemberian tugas adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana guru memberikan tugas tertentu agar murid melakukan kegiatan belajar, kemudian dipertanggungjawabkannya (Djamarah, 2002: 96). Menurut Roestiyah teknik pemberian tugas memiliki tujuan agar siswa menghasilkan hasil belajar yang lebih mantap, karena [ 220 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
siswa melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu menjadi lebih terintegrasi (2012: 132). Sementara itu Sudjana (2010: 81) mengungkapkan bahwa metode tugas belajar dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun secara kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diungkapkan bahwa metode pemberian tugas merupakan salah satu metode dengan bertujuan agar anak didik dapat belajar dari tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Pada penelitian ini tugas-tugas yang diberikan bertujuan untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan hasil akhirnya juga dapat mengembangkan kemampuan mencipta suatu hal. Berdasarkan permasalahan di atas maka pada mata kuliah salesmanship yang saat ini peneliti ampu, peneliti menginginkan agar para mahasiswa lebih meningkat kemampuannya dalam menganalisis atau lebih tepatnya meningkatkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) serta pada akhirnya para mahasiswa mampu menciptakan suatu ide menjual (media pembelajaran) dan produk untuk dipasarkan. Untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menciptakan sesuatu peneliti harus merancang strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran ini meliputi penggunaan metode pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan, dan cara pemberian tugas. Peneliti mengharapkan selain mahasiswa meningkat kemampuan nya dalam berpikir kritis dan menciptakan sesuatu, mahasiswa dapat meningkat kepercayaan diri dan kreativitasnya. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti memberi judul penelitian tindakan kelas ini “meningkatkan berpikir kritis mahasiswa Prodi Pendidikan Tata Niaga pada mata kuliah salesmanship melalui metode pemberian tugas. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian tindakan dengan model dari Kemmis dan Mc Taggart. Rancangan dalam penelitian tindakan menurut Kemmis dan Taggart dalam Arikunto (2006: 106) mencakup tahap-tahap sebagai berikut: (a) Perencanaan (planning), (b) tindakan (acting), (c) observasi (observing), (d) refleksi (reflecting), kemudian berlanjut dengan perencanaan ulang (replanning), tindakan, observasi, dan refleksi untuk siklus berikutnya, begitu seterusnya sehingga membentuk suatu spiral, seperti gambar 1. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Tata Niaga UNESA angkatan 2012 kelas A yang berjumlah 40 mahasiswa yang mengikuti mata kuliah salesmanship. Dosen sejawat berperan sebagai kolaborator dan peneliti sebagai perancang tindakan dan pelaksana tindakan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa kelas 2012 A sebanyak 40 mahasiswa dan teman sejawat (dosen), hasil tugas, lembar observasi, foto, dan video. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua data yang dapat menggambarkan tingkat keberhasilan dan ketidakberhasilan penelitian. P a g e [ 221 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Gambar 1. Penelitian tindakan menurut Kemmis dan Taggart Analisis data pada penelitian ini adalah data kuantitatif yang dideskripsikan melalui statistik deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik. Kriteria keberhasilan tindakan pada siklus I adalah jika nilai rata-rata pada umumnya siswa telah mencapai skor ≥ 85 dengan jumlah mahasiswa mencapai 34 orang (85%) dari total 40 orang. Jika pada siklus II belum tercapai kriteria keberhasilan tindakan yang diinginkan maka penelitian ini akan ditindaklanjuti pada semester selanjutnya dengan subjek peneliti berbeda. Siklus tidak berlanjut pada siklus III oleh karena keterbatasan waktu mata kuliah. Alasan peneliti memilih kriteria keberhasilan tindakan sebesar ≥ 85 oleh karena disesuaikan oleh pendapat Mills (2003:101) yang menyatakan bahwa “the end-of survey revealed that 71% of students agreed. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil refleksi diri peneliti pada proses kegiatan belajar mengajar mata kuliah salesmanship setahun yang lalu (2012), di temukan hasil ujian tengah semester dan ujian akhir semester masih kurang memuaskan. Sejumlah 60 % (24 orang) mahasiswa hasilnya hanya mencapai nilai 75. Pada ujian tengah semester peneliti memberikan soal dalam bentuk setiap mahasiswa membuat rancangan suatu bentuk kegiatan penjualan dan soal pada akhir semester setiap mahasiswa di minta untuk membuat suatu rancangan kegiatan pemasaran produk. Nilai yang diharapkan oleh peneliti pada setiap mahasiswa adalah 81-90. Alasan peneliti memilih mata kuliah ini oleh karena mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah yang penting dan harus dikuasai oleh mahasiswa Pendidikan Tata Niaga Unesa. Anak belajar melalui kegiatan menjual, hendaknya calon pendidik dapat merancang suatu kegiatan menjual produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Hasil refleksi mata kuliah salesmanship, 24 mahasiswa masih kurang kemampuannya dalam merancang kegiatan pemasaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasar. [ 222 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, pembahasan dengan cara mendeskripsikan data per siklus.
peneliti
melakukan
Aktivitas dosen Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dapat tergambarkan seperti gambar grafik di bawah ini:
Gambar 2. Peningkatan Aktivitas Dosen Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan sebesar 8% aktivitas dosen, dari data awal siklus I sebesar 83% dan siklus II sebesar 91%. Target kriteria keberhasilan dari aktivitas dosen sebesar 85%, kriteria baru tercapai melebihi target yang diharapkan pada siklus II. Aktivitas mahasiswa Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dapat tergambarkan seperti gambar grafik di bawah ini:
Gambar 3. Peningkatan Aktivitas Mahasiswa
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan sebesar 8% aktivitas dosen, dari data awal siklus I sebesar 83% dan siklus II sebesar 91%. Target kriteria keberhasilan dari aktivitas dosen sebesar 85%, kriteria baru tercapai melebihi target yang diharapkan pada siklus II. P a g e [ 223 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Kemampuan berpikir kritis mahasiswa Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dapat tergambarkan seperti gambar grafik di bawah ini:
Gambar 4. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan sebesar 16% kemampuan berpikir kritis mahasiswa, dari data awal siklus I sebesar 75% dan siklus II sebesar 91%. Target kriteria keberhasilan dari kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang diharapkan adalah 85%, kriteria ini baru tercapai pada siklus II. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat untuk menjawab hipotesis tindakan sebagai berikut dengan metode pemberian tugas dapat menumbuhkan berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah salesmanship terbukti kebenarannya. Metode pemberian tugas merangsang mahasiswa untuk aktif belajar baik secara individual maupun secara berkelompok. Oleh sebab itu dengan metode pemberian tugas diharapkan dapat meningkatkan aktivitas, minat serta motivasi mahasiswa untuk belajar dan berpikir aktif dan kritis sehingga tercapainya hasil belajar yang diharapkan. Teknik pemberian tugas atau resitasi digunakan dengan tujuan agar mahasiswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena mahasiswa melaksanakan latihanlatihan selama melaksanakan tugas. Sehingga pengalaman mahasiswa dalam mempelajari sesuatu dapat terintegrasi. Hal itu terjadi disebabkan mahasiswa mendalami situasi atau pengalaman yang berbeda dalam menghadapi masalah-masalah baru. Di samping itu untuk memperoleh pengetahuan melaksanakan tugas akan memperluas dan memperkaya pengetahuan serta keterampilan mahasiswa di kampus. Dengan kegiatan melaksanakan tugas mahasiswa aktif belajar dan merasa terangsang untuk meningkatkan belajar yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani bertanggung jawab sendiri. Banyak tugas yang harus dikerjakan mahasiswa, hal itu diharapkan mampu menyadarkan mahasiswa untuk memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang belajarnya dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang berguna dan konstruktif. [ 224 ] P a g e
Meningkatkan Kemampuan Berpikir… (Raya Sulistyowati)
SIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan (1) Adanya peningkatan aktivitas dosen pada siklus II. Peningkatan ini dapat dilihat dari perbandingan data antara siklus I dan II. (2) Terjadinya peningkatan hasil belajar mahasiswa. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh dari siklus I dan siklus II. Penerapan metode pemberian tugas pada mata kuliah salesmanship dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan dua faktor pendukung hingga terjadinya peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa adalah aktivitas dosen dan aktivitas mahasiswa. Aktivitas dosen mempengaruhi kemampuan berpikir mahasiswa. Penerapan metode pemberian tugas dapat meningkatkan berpikir kritis siswa khususnya pada mata kuliah salesmanship. Oleh karena itu penulis menyarankan: (1) Kepada para dosen agar mengembangkan strategi metode pemberian tugas dengan memperhatikan aktivitas dosen dan aktivitas mahasiswa sehingga hasil KBM yang diharapkan dapat berhasil secara optimal. (2) Metode pemberian tugas harus bervariasi dan dipastikan memunculkan ide mahasiswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammmad.2008. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. E. Mills, Geoffrey. 2003. Action Research: A guide For Teacher Research. New Jersey: Pearson Education. Ennis, R.H. 1996. Critical Thinking. University of Illinois. Hamalik, Oemar.2009. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta; Bumi Aksara Moleong, Lexi J. 2004. Metodologi penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.. Moore, B. N., & Parker, R. (1986). Critical thinking. Los Angeles, CA: Mayfield. Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT Lukis Pelangi Aksara Yogyakarta. Robert J, Gregory. 2000. Psychological Testing History, Principles, and Aplications. Boston: Allyn and Bacon. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Proses Mengajar. Bandung; Rosdakarya. Suharsimi Arikunto, dkk,2006. Penelitian Tindakan Kelas .Jakarta: Bumi Aksara. UU RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:CV Medya Jakarta. Wilson, Organ T. (1965). The Art of Critical Thinking. Boston: Houghton Mifflin Company Syaiful Bahri Djamarah 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rinneka Cipta P a g e [ 225 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
STRATEGI PEMBELAJARAN TORSEBA KUIS FAMILI 30-2 UNTUK MENINGKATKAN STANDAR KOMPETENSI INFLASI SISWA Subarkah
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Memasuki Era AFTA 2015, dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki moral kepribadian simpatik. Dalam dunia pendidikan, guru juga dituntut mampu memiliki empat kompetensi. Indikator keberhasilan pembaruan kurikulum ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajarmengajar, memilih media pendidikan, dan menentukan strategi belajar yang merujuk pada hasil evaluasi untuk meningkatkan prestasi. Artikel hasil pemikiran ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 untuk meningkatkan hasil evaluasi belajar. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa guru perlu menerapkan strategi yang mampu meningkatkan prestasi belajar siswa salah satunya melalui implementasi sebuah strategi pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 untuk meningkatkan hasil evaluasi belajar standar kompetensi inflasi. Model evaluasi pembelajaran ini adalah sebuah model yang menekankan pada proses keterlibatan siswa aktif pada pencapaian hasil evaluasi yang menekankan pada komponen kognitif, psikomotorik dan afektif dengan berbagai ragam evaluasi yaitu tes tertulis, performance test, hasil karya, produk dan portofolio. Kata Kunci: Strategi Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2
PENDAHULUAN Memasuki Era AFTA 2015, dibutuhkan Kualitas Sumber Daya Manusia yang Memiliki Moral Kepribadian yang simpatik agar selalu mampu bertahan dalam goncangan sekeras apapun utamanya bidang ekonomi ketika berinteraksi dengan masyarakat. Dalam Dunia Pendidikan, Guru juga dituntut mampu memiliki empat kompetensi kepribadian sehingga lahir generasi muda penerus tongkat estafet perjalanan Bangsa ini menjadi bangsa yang Berkarakter Indikator keberhasilan pembaruan kurikulum ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, dan menentukan strategi belajar yang merujuk pada hasil evaluasi untuk meningkatkan prestasi. Selama ini Guru dalam memberikan evaluasi atau umpan balik selalu memberikan bobot soal yang sama pada siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda. Tentu hal ini tidak adil karena karakteristik, kemampuan dan intelegensi mereka sangatlah beragam. Oleh karena itu, penulis merasa bahwa permasalahan atau fenomena tersebut perlu diatasi dengan tindakan yang mengandung upaya guru untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dengan kemampuan yang berbeda. Upaya ini melalui implementasi sebuah strategi model pembelajaran torseba kuis famili 30-2 untuk meningkatkan hasil evaluasi belajar standar kompetensi inflasi di kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban. [ 226 ] P a g e
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
Kuis Famili 30-2 terinspirasi dari Acara Televisi fenomenal yang awalnya dibawakan presenter kondang Sony Tulung dan kini dibawakan oleh Artis serba bisa Tukul Arwana. Model evaluasi pembelajaran ini adalah sebuah model yang menekankan pada proses keterlibatan siswa aktif pada pencapaian hasil evaluasi yang menekankan pada komponen kognitif, psikomotorik dan afektif dengan berbagai ragam evaluasi yaitu test tertulis, test performance, hasil karya, produk dan portofolio. Atas dasar pemikiran tersebut, di Indonesia mulai tahun 2004 secara serentak telah diimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KTSP). Implementasi KTSP yang merupakan wujud perubahan kurikulum sebelumnya sepatutnya disertai perubahan cara berpikir. Costa menyatakan changing curriculum means changing your mind (1999:26). Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh semua unsur praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir tersebut diperlukan agar para Guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar dengan KTSP. Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan esensi KTSP agar implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah. Beberapa penekanan perubahan pikiran yang diperlukan adalah: (1) dari peran guru sebagai transmiter ke fasilitator, pembimbing dan konsultan, (2) dari peran guru sebagai sumber pengetahuan menjadi kawan belajar, (3) dari belajar diarahkan oleh kurikulum menjadi diarahkan oleh siswa sendiri, (4) dari belajar di jadwal secara ketat menjadi terbuka, fleksibel sesuai keperluan, (5) dari belajar berdasarkan fakta menuju berbasis masalah dan proyek, (6) dari belajar berbasis teori menuju dunia dan tindakan nyata serta refleksi, (7) dari kebiasaan pengulangan dan latihan menuju perancangan dan penyelidikan, (8) dari taat aturan dan prosedur menjadi penemuan dan penciptaan, (9) dari kompetitif menuju kolaboratif, (10) dari fokus kelas menuju fokus masyarakat, (11) dari hasil yang ditentukan sebelumnya menuju hasil yang terbuka, (12) dari belajar mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang kreatif (13) dari penggunaan komputer sebagai objek belajar menuju penggunaan komputer sebagai alat belajar, (14) dari presentasi media statis menuju interaksi multimedia yang dinamis, (15) dari komunikasi sebatas ruang kelas menuju komunikasi yang tidak terbatas, (16) dari penilaian hasil belajar secara normatif menuju pengukuran unjuk kerja yang komprehensif. Pergeseran pola berpikir tersebut berimplikasi pada penetapan tatanan tertentu dalam pembelajaran. Tatanan tertentu yang menjadi fokus pembelajaran mendasarkan diri pada hakikat tuntutan perkembangan iptek. Beberapa kecenderungan tersebut, antara lain: (1) penempatan empat pilar pendidikan UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together sebagai paradigma pembelajaran, (2) kecenderungan bergesernya orientasi pembelajaran dari teacher centered menuju student centered, (3) kecenderungan pergeseran dari content-based curriculum menuju competency-based curriculum, (4) perubahan teori pembelajaran dan asesmen dari model behavioristik menuju model konstruktivistik, dan (5) perubahan pendekatan teoretis menuju kontekstual, (6) perubahan paradigma pembelajaran dari standardization menjadi customization, (7) dari evaluasi dengan paper and pencil test yang hanya P a g e [ 227 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengukur convergent thinking menuju open ended question, performance assessment, dan portfolio assessment, yang dapat mengukur divergent thinking. Kuis Famili 30-2 adalah bentuk sistem evaluasi yang dilakukan guru untuk memberikan rasa gembira kepada siswa sehingga mencapai hasil evaluasi pembelajaran yang menjadi tujuan guru dari beberapa aspek atau komponen penilaian. Langkah awal dalam melaksanakan Kuis Famili 30-2 ini adalah membuat profil prestasi siswa kemudian menggolongkannya menjadi beberapa kategori. Penggolongan ini tidak dimaksudkan sebagai diskriminasi siswa tetapi lebih difokuskan pada rangsangan untuk mencapai level lebih tinggi atau paling tinggi pada standar kompetensi yang diharapkan meningkat dengan proses hasil yang berkesinambungan. Proses analisis data sebagai hasil penelitian meliputi peningkatan aktivitas siswa dan kemunculan sikap kooperatif siswa dari berbagai komponen pembelajaran dan peningkatan life skill. Dengan demikian ada ketercapaian hasil prestasi belajar yang bisa dilanjutkan dengan pesta rujak sebagai manivestasi buah nyata di papan flanel dengan berbagai tujuan dan manfaat. Maka dari itu, berdasarkan pemaparan tersebut, Rumusan masalah yang dikaji dalam artikel ini adalah; (1) Apakah Strategi Model Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 dapat Meningkatkan Hasil Evaluasi Belajar Standar Kompetensi Inflasi Di Kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban?; (2) Apakah Strategi Model Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 dapat Meningkatkan Life Skill Standart Kompetensi Inflasi Di Kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban? (3) Sarana dan Prasarana apa yang dibutuhkan dalam Pencapaian Strategi Model Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 Standart Kompetensi Inflasi Di Kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban? METODE Penelitian ini merupakan penelitian yang terbatas pada ruang lingkup sebagai berikut; (1) Penelitian dilaksanakan pada kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015; (2) Pembelajaran berfokus pada Standar Kompetensi Inflasi Mata Pelajaran Ekonomi kelasX-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Observasi, wawancara, test dan analisa data HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian strategi ada beberapa macam sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dalam buku karya mereka masing-masing. Kata strategi berasal dari kata Strategos dalam bahasa Yunani merupakan gabungan dari Stratos atau tentara dan ego atau pemimpin. Suatu strategi mempunyai dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Menurut Marrus (2002:31) strategi didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. [ 228 ] P a g e
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
Selanjutnya Quinn (1999:10) mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki perusahaan menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan, antisipasi perubahan dalam lingkungan, serta kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh mata-mata musuh. Dari kedua pendapat di atas, maka strategi dapat diartikan sebagai suatu rencana yang disusun oleh manajemen puncak untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Rencana ini meliputi: tujuan, kebijakan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi dalam mempertahankan eksistensi dan menenangkan persaingan, terutama perusahaan atau organisasi harus memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini seperti yang diungkapkan Ohmae (1999:10) bahwa strategi bisnis, dalam suatu kata, adalah mengenai keunggulan kompetitif. Satu-satunya tujuan dari perencanaan strategis adalah memungkinkan perusahaan memperoleh, seefisien mungkin, keunggulan yang dapat mempertahankan atas saingan mereka. Strategi koorporasi dengan demikian mencerminkan usaha untuk mengubah kekuatan perusahaan relatif terhadap saingan dengan seefisien mungkin. Setiap perusahaan atau organisasi, khususnya jasa, bertujuan untuk memberikan pelayanan yang baik bagi pelanggannya. Oleh karena itu, setiap strategi perusahaan atau organisasi harus diarahkan bagi para pelanggan. Hal ini seperti yang dijelaskan Hamel dan Prahalad (1995:31) “bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan”. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Misalnya strategi itu mungkin mengarahkan organisasi itu ke arah pengurangan biaya, perbaikan kualitas, dan memperluas pasar. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies).Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan. Goldworthy dan Ashley (1996:98) mengusulkan tujuh aturan dasar dalam merumuskan suatu strategi sebagai berikut : (a) Ia harus menjelaskan dan menginterpretasikan masa depan, tidak hanya masa sekarang;(b) Arahan strategi harus bisa menentukan rencana dan bukan sebaliknya;(c) Strategi harus berfokus pada keunggulan kompetitif, tidak semata-mata pada pertimbangan keuangan; (d) Ia harus diaplikasikan dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas;(e) Strategi harus mempunyai orientasi eksternal;(f) Fleksibilitas adalah sangat esensial;(g) Strategi harus berpusat pada hasil jangka panjang. Suatu strategi hendaknya mampu memberi informasi kepada pembacanya yang sekaligus berarti mudah diperbaharui oleh setiap anggota manajemen puncak dan setiap P a g e [ 229 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 karyawan organisasi. Maka oleh Donelly (1996:109) dikemukakan enam informasi yang tidak boleh dilupakan dalam suatu strategi, yaitu a) Apa, apa yang akan dilaksanakan; (b) Mengapa demikian, suatu uraian tentang alasan yang akan dipakai dalam menentukan apa di atas; (c) Siapa yang akan bertanggung jawab untuk atau mengoperasionalkan strategi) Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mensukseskan strategi) Berapa lama waktu yang diperlukan untuk operasional strategi tersebut; f) Hasil apa yang akan diperoleh dari strategi tersebut untuk menjamin agar supaya strategi dapat berhasil baik dengan meyakinkan bukan saja dipercaya oleh orang lain, tetapi memang dapat dilaksanakan. Landasan Teori tentang Keberhasilan Proses Pembelajaran Sejak tahun 1980 hingga tahun 2000, Indonesia setidaknya tiga kali telah mengalami perubahan kurikulum. Namun, patut diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Lulusan sekolah di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001). Rendahnya tingkat kompetisi dan relevansi lulusan tersebut dapat digunakan alternative refleksi bahwa tingkat kompetisi dan relevansi pembelajaran juga patut dipikirkan. Kompetensi peserta didik sebagai produk pembelajaran sangat menentukan tingkat kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata. Artinya, kompetensi itu sangat penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi era informasi, AFTA, dan perdagangan bebas di abad pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran manufaktur ke sektor jasa berbasis pengetahuan, kompetensi itu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kehidupan manusia. Artinya, ketika kehidupan telah berubah menjadi semakin maju dan kompleks, masalah kehidupan yang banyak diwarnai oleh fenomena dunia nyata diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan. Berdasarkan pemilikan kompetensi keilmuan tersebut, maka peserta didik diharapkan mampu memecahkan dan mengatasi permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan cara lebih baik, lebih cepat, adaptif, lentur, dan versatile. Atas dasar pemikiran tersebut, di Indonesia mulai tahun 2004 secara serentak telah diimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Implementasi KBK yang merupakan wujud perubahan kurikulum sebelumnya sepatutnya disertai perubahan cara berpikir. Costa menyatakan changing curriculum means changing your mind (1999:26). Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh semua unsur praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir tersebut diperlukan agar para Guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar dengan KBK. Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan esensi KBK agar implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah. Hal inilah yang memunculkan adanya Formula Baru dalam Penerapan Kurikulum yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai 2006 dan Penerapan Kurikulum 2013 di beberapa sekolah model atau percontohan. [ 230 ] P a g e
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
Landasan Teori tentang Model Pembelajaran Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus pada kemampuan metakognitif para siswa. Para siswa diberikan kebebasan dalam mengembangkan keterampilan berpikir. Pembelajaran mencoba memandu para siswa menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar, bahwa siswa sendiri secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004; Santyasa et al., 2003). Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran, tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan. Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga focus belajar, yaitu: (1) proses, (2) transfer belajar, dan (3) bagaimana belajar. Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa melakukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivistik. Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafal, dan pemahaman lebih baik dibandingkan hafalan. Sebagai bukti pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru. Fokus yang ketiga—bagaimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk keterampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003). Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari belajar hafalan menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan. P a g e [ 231 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Belajar hafalan, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan, hanya mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar mengkonstruksi pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan seleksi, mengorganisasi infromasiinformasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses pengorganisasian, dan menggabungkan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu siswa mengkonstruksi tujuan belajar. Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh Guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para Guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para guru diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Secara lebih spesifik, peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa. [ 232 ] P a g e
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
TEMUAN AWAL : SKM STANDART KOMPETENSI INFLASI RENDAH; INDIKASI STRATEGI PEMBELAJARAN BELUM TEPAT
WAWANCARA DENGAN GURU EKONOMI
MEMBUAT PETA KONSEP TENTANG MATERI INFLASI DI PAPAN TULIS
MENUGASKAN KEPADA SISWA UNTUK MEMBUAT PETA KONSEP MATERI INFLASI DI KOMPUTER PROGRAM POWER POINT
MENJELASKAN KONSEP MATERI INFLASI DENGAN MENGUBAH PERAN SISWA MENJADI PERAN GURU / TORSEBA (TUTOR SEBAYA )
GURU MERENCANAKAN MODEL PEMBELAJARAN MODEL KUIS FAMILI 30-2 DENGAN MERANCANG SOAL DAN JAWABAN
PENELITIAN BERHASIL
PEMBELAJARAN BELUM TERASA FUN DAN MENYENANGKAN
MERENCANAKAN STRATEGI PEMBELAJARAN YANG MAMPU MENARIK MINAT SISWA
ACTION MODEL KUIS FAMILI 30-2 DENGAN 6 KELOMPOK
MELAKUKAN EVALUASI HASIL BELAJAR, MENGANALISA DATA DAN MELAKUKAN REFLEKSI
Gambar 1. Alur Model Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 Landasan Teori tentang TORSEBA Model Kuis Famili 30-2 Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan setting pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menyeleksi P a g e [ 233 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternative pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil). Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmitter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving. SIMPULAN Dari apa yang penulis kemukakan dalam paparan di atas, Strategi Model Pembelajaran Torseba Kuis Famili 30-2 dapat digunakan untuk meningkatkan hasil evaluasi belajar standar kompetensi inflasi di kelas X-1 SMA Negeri 1 Singgahan Tuban. DAFTAR PUSTAKA Ardhana, W., Kaluge, L., & Purwanto.(2004). Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam belajar matematika dan sains di SD, SLTP, dan di SMU. Laporan penelitian. Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. (2001). Exploring Teaching: An Introduction to Education. New York: McGraw-Hill Companies. Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. (1993). In Search of Understanding: The Case for Constructivist Classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Burden, P. R., & Byrd, D. M. (1996).Method for Effective Teaching, second edition. Boston: Allyn and Bacon. Costa, A. L.1991.The School As a Home for The Mind. Palatine, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc. Dochy, F. J. R. C. (1996). Prior Knowledge and Learning. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F. (eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. New York: Pergamon Duit, R. (1996). Preconception and Misconception. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F. (eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. New York: Pergamon Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and Other Curriculum Models for The Multiple Intelligences Classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc. [ 234 ] P a g e
Strategi Pembelajaran Torseba… (Subarkah)
Gardner, H. (1991). The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach. New York: Basic Books. Gardner, H. (1999). Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for The 21th century. New York: Basic Books. Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. (1990). Instruction: A Models Approach. Boston: Allyn and Bacon. Hynd, C.R., Whorter, J.Y.V., Phares, V.L., & Suttles, C.W. (1994). The Rule of Instructional Variables in Conceptual Change in High School Physics Topics. Journal of Research In Science Teaching. 31(9), 933-946. Joyce, B., & Weil, M. (1980). Model of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Krulik, S., & Rudnick, J. A. (1996).The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon. Parawansa, P. (2001). Reorientasi Terhadap Strategi Pendidikan Nasional. Makalah. Disajikan dalam Simposium Pendidikan Nasional dan Munas I Alumni PPS UM. di Malang, 13 Oktober 2001. Perkins, D. N., & Unger, C. (1999). Teaching and Learning for Understanding. Dalam Reigeluth,C. M. (Ed.): Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instruction theory, Volume II. New Jersey: Lawrence Erlboum Associates, Publisher. Puskur. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Hasil Belajar Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas. Reigeluth, C. M. (1999). What is Instructional-Design Theory and How Is It Changing? Dalam: Reigeluth, C. M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional Theory, 2. 5-29. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Rivard, L. P. (1994). A Review of Writing to Learn in Science Implications for Practice and Research. Journal of Research in Science Teaching,.31(9), 969-983. Santyasa, I W. (2003). (a).Pendidikan, Pembelajaran, dan Penilaian Berbasis Kompetensi. Makalah. Disajikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja. Santyasa, I W. (2003). (b).Asesmen dan Kriteria Penilaian Hasil Belajar Fisika Berbasis Kompetensi Makalah. Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Bidang Peningkatan Relevansi Program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, Tanggal 15-16 Agustus 2003, di Singaraja Santyasa, I W.(2003).(c).Pembelajaran Fisika Berbasis Keterampilan Berpikir Sebagai Alternatif Implementasi KBK. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, 22-23 Agustus 2003, Di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
P a g e [ 235 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MAHASISWA MELALUI DIRECT INSTRUCTIONAL PADA MATAKULIAH PENGANTAR AKUNTANSI Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Melalui kegiatan lesson study pada pembelajaran pengantar akuntansi diperoleh informasi bahwa tidak semua mahasiswa mencoba untuk mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh dosen terlebih ketika telah terdapat mahasiswa yang bersedia untuk mengerjakan ke depan. Oleh karenanya diperlukan adanya penerapan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi seluruh mahasiswa untuk berlatih yang disertai dengan pembimbingan yaitu model pembelajaran langsung. Penelitian dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran, pencapaian hasil belajar mahasiswa dan respon mahasiswa terhadap penerapan model pembelajaran langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran langsung secara umum dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Beberapa kendala yang ada dapat diperbaiki pada putaran berikutnya. Pendekatan ini mampu meningkatkan aktivitas mahasiswa. Hasil belajar pada materi ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur mengalami peningkatan ketuntasan belajar klasikal dari 24,59 persen pada menjadi 86,89 persen. Respon mahasiswa terhadap pembelajaran tergolong positif. Kata kunci: direct instructional, hasil belajar
PENDAHULUAN Matakuliah Pengantar Akuntansi merupakan matakuliah dasar yang membahas tentang konsep dasar teori akuntansi. Dalam struktur kurikulum Program Studi S1 Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Surabaya, matakuliah Pengantar Akuntansi diselenggarakan di semester satu dan merupakan matakuliah prasyarat untuk beberapa matakuliah lain. Berdasarkan analisis ketuntasan indikator selama dua tahun terakhir, indikator merumuskan ayat jurnal penyesuaian dan menyusun neraca lajur merupakan indikator dengan tingkat ketuntasan yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat ketuntasan indikator yang lain pada pokok bahasan yang sama. Indikator merumuskan ayat jurnal penyesuaian dan menyusun neraca lajur merupakan bagian dari pokok bahasan siklus akuntansi perusahaan dagang. Secara substansi, pokok bahasan siklus akuntansi perusahaan dagang merupakan pokok bahasan yang membutuhkan banyak latihan. Oleh karenanya dalam kegiatan perkuliahan mahasiswa dibekali dengan tugas yang dikerjakan secara mandiri di rumah. Pekerjaan rumah tersebut dikerjakan oleh mahasiswa dengan benar dan dikumpulkan tepat waktu. Kendatipun demikian tingkat ketuntasan kedua indikator tersebut masih rendah. Hasil observasi selama perkuliahan menunjukkan bahwa minat mahasiswa mengikuti perkuliahan cukup tinggi jika dilihat dari presensi kehadiran. Akan tetapi jika dilihat dari aktivitas selama kegiatan pembelajaran di kelas hanya terdapat beberapa [ 236 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
mahasiswa saja yang aktif. Bahkan ketika diminta untuk mengerjakan contoh soal di papan tulis hanya mahasiswa tertentu yang bersedia mengerjakan. Adapun mahasiswa yang bersedia untuk mengerjakan soal di papan tulis merupakan mahasiswa yang sama di setiap pertemuan. Melalui kegiatan lesson study diperoleh informasi bahwa tidak semua mahasiswa mencoba untuk mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh dosen terlebih ketika telah terdapat mahasiswa yang bersedia untuk mengerjakan ke depan. Oleh karenanya diperlukan adanya penerapan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi seluruh mahasiswa untuk berlatih yang disertai dengan pembimbingan. Adapun model pembelajaran yang dirasa sesuai adalah model pembelajaran langsung atau direct instructional. Hal ini dikarenakan model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran yang memiliki karakteristik pembimbingan dan latihan mandiri. Penggunaan model pengajaran langsung dilandasi dari beberapa teori yang mendukung seperti teori belajar perilaku dan teori pembelajaran sosial (Nur, 2005). Teori belajar perilaku menurut Skinner (dalam Nur, 2005), menyatakan bahwa manusia belajar dan bertindak dengan cara spesifik sebagai sebuah hasil dari bagaimana perilaku tertentu itu disemangati melalui penguatan. Sementara teori perilaku sosial menurut Bandura (dalam Nur, 2005) menyatakan bahwa banyak hal yang dipelajari manusia berasal dari pengamatannya terhadap orang lain. Lebih lanjut Bandura (dalam Nur, 2005) menjelaskan bahwa pembelajaran melalui pengamatan atau observational learning merupakan sebuah proses tiga langkah: (a) pebelajar harus menaruh perhatian pada aspek-aspek penting dari apa yang akan dipelajari (atensi); (b) pebelajar harus menyerap atau mengingat perilaku yang dipelajarinya itu (retensi); (c) pebelajar harus dapat mengulang kembali atau melaksanakan perilaku tersebut (produksi). Latihan dan pengulangan mental yang digunakan dalam model pembelajaran langsung merupakan proses yang membantu pebelajar menyerap dan menghasilkan perilaku teramati. Dari pendapat di atas peneliti memberikan definisi bahwa sebagai seorang pengajar kita harus dapat menggunakan strategi agar bisa membangkitkan perhatian mahasiswa, kemudian kita mengkaitkan keterampilan baru dengan pengetahuan mahasiswa sebelumnya (awal) serta kita menggunakan sebuah latihan agar kita bisa memastikan munculnya sebuah sikap positif terhadap keterampilan yang baru sehingga mahasiswa dapat termotivasi untuk mengulang kembali dengan menggunakan perilaku yang baru tersebut. Model pengajaran langsung memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada mahasiswa termasuk prosedur penilaian hasil belajar; (2) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran; dan (3) Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan belajar tertentu dapat berlangsung dengan berhasil (Nur, 2005). Model pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk membelajarkan pengetahuan prosedural yang dibutuhkan untuk melaksanakan keterampilan kompleks dan sederhana serta pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat P a g e [ 237 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 diajarkan dengan cara langkah demi langkah. Model ini paling sesuai untuk pokok bahasan yang berorientasi pada kinerja maupun berkomponen keterampilan daripada pokok bahasan yang berorientasi pada informasi. Adapun sintaks pada model pembelajaran langsung memiliki lima fase sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1. Fase pertama, yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. Pada fase ini kegiatan pembelajaran diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran. Hal ini bertujuan agar siswa mengerti manfaat yang mereka peroleh setelah menempuh kegiatan pembelajaran. Fase kedua adalah mempresentasikan pengetahuan dan/atau mendemonstrasikan keterampilan. Pada fase ini guru mendemonstrasikan secara efektif sebuah konsep atau keterampilan tertentu.
No. 1.
2.
Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Langsung Fase Peran Guru Menyampaikan tujuan Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa memberikan informasi pentingnya pelajaran dan mempersiapkan siswa untuk belajar Mempresentasikan Guru mempresentasikan pengetahuan atau pengetahuan dan/atau mendemonstrasikan keterampilan langkah demi mendemonstrasikan langkah keterampilan
3.
Memberikan latihan terbimbing
Guru merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan awal
4.
Mengecek pemahaman Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan dan memberikan umpan tugas dengan baik, memberikan umpan balik balik
5.
Memberikan latihan lanjutan dan transfer
Guru mempersiapkan kondisi untuk latihan lanjutan memusatkan perhatian pada transfer keterampilan tersebut ke situasi-situasi lebih kompleks
Sumber: Nur (2005) Fase ketiga adalah fase memberi latihan terbimbing. Adapun prinsip-prinsip dalam memberikan latihan terbimbing kepada siswa adalah sebagai berikut: 1. Memberi tugas latihan pendek dan bermakna 2. Memberi latihan untuk meningkatkan pembelajaran lebih 3. Menyadari keuntungan dan kerugian latihan berkelanjutan dan terdistribusi 4. Perhatian terhadap tahap awal latihan Fase keempat adalah mengecek pemahaman dan memberi umpan balik. Fase ini sering ditandai dengan adanya pertanyaan kepada siswa dan siswa diharapkan memberikan jawaban yang mereka yakini benar. Ini merupakan sebuah aspek yang sangat penting dari sebuah pelajaran model pengajaran langsung, karena tanpa mengetahui hasil latihan hanya akan bermanfaat kecil bagi siswa. Untuk memberi umpan balik yang efektif pada kelas besar dapat mengikuti panduan sebagai berikut: [ 238 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
1. Memberi umpan balik segera dan secepat mungkin 2. Mengupayakan agar umpan balik jelas dan spesifik 3. Konsentrasi pada perilaku dan bukan pada keinginan guru yang harus diinterpretasikan siswa 4. Menjaga umpan balik yang cocok dengan tingkat perkembangan siswa 5. Memberikan penghargaan dan umpan balik pada kinerja yang benar 6. Apabila memberi umpan balik negatif, maka harus ditunjukan bagaimana cara melaksanakan yang benar 7. Membantu siswa untuk memfokuskan perhatian pada proses bukan pada hasil 8. Mengajari siswa bagaimana memberikan umpan balik pada diri sendiri dan bagaimana menilai kinerja diri sendiri Fase kelima adalah memberikan latihan lanjutan. Pemberian latihan lanjutan dipusatkan pada transfer keterampilan tersebut ke situasi yang lebih kompleks. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan tugas lanjutan atau penyelesaian kasus-kasus dengan permasalahan yang lebih kompleks. Dengan berakhirnya suatu kegiatan pembelajaran diharapkan siswa dapat memperoleh hasil belajar. Penilaian dalam hasil belajar merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai (Ralph Tyler dalam Arikunto, 2003). Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Horward Kingsley dalam Sudjana (2008) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (1) keterampilan dan kebiasaaan, (2) pengetahuan dan pengertian, (3) sikap dan cita-cita. Menurut Slameto (2003) hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diklasifikasikan dalam faktor intern dan ekstern. Faktor intern yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor intern dibagi menjadi 2 bagian yaitu: 1. Faktor Fisiologis (jasmaniah) yang meliputi kondisi fisik secara keseluruhan, misalnya kesehatan dan cacat tubuh. 2. Faktor Psikologis yaitu meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan. Sementara faktor ekstern merupakan faktor yang berasal dari luar individu. Faktor ekstern dibedakan menjadi 3 bagian yaitu: 1. Faktor keluarga yaitu meliputi cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. 2. Faktor sekolah yaitu meliputi metode mengajar, kurikulum, dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. 3. Faktor Masyarakat yaitu meliputi kegiatan mahasiswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.
P a g e [ 239 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 METODE Penelitian dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran, pencapaian hasil belajar mahasiswa dan respon mahasiswa terhadap penerapan model pembelajaran langsung. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengikuti alur penelitian sebagaimana terlihat pada gambar 1. A. Program Pembelajaran SIKLUS 1
Rencana Penelitian (Siklus 1)
Revisi B. Evaluasi dan Refleksi Kegiatan dan Pengamatan SIKLUS 2
Rencana Penelitian (Siklus 2)
Revisi Evaluasi dan Refleksi
Kegiatan dan Pengamatan Program Gambar 1. Rancangan Penelitian
Penelitian tindakan kelas dilakukan di Jurusan Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi yang berkedudukan di Kampus UNESA Ketintang Surabaya. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2010. Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi angkatan 2010 terbagi dalam 4 kelas. Kelas yang menjadi subjek penelitian adalah Kelas B Reguler dengan jumlah mahasiswa sebanyak 61 orang. Secara umum, penelitian ini menggunakan langkah-langkah model PTK oleh Kemmis dan McTaggart (1998) yang terdiri dari empat tahap, yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi yang bersifat siklis. Keempat tahap tersebut dilakukan dalam dua kali putaran 1. Tahap Perencanaan Tindakan Tahap ini pada dasarnya adalah membuat rencana tindakan, yaitu membuat rencana (persiapan-persiapan) dalam penerapan direct instructional untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi. Adapun jenis kegiatan yang [ 240 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
dilakukan oleh peneliti pada tahap ini antara lain membuat kesepakatan dengan dosen senior dan menyiapkan perangkat pembelajaran, seperti membuat skenario atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), membuat lembar kerja mahasiswa dengan pendekatan direct instructional, membuat media pembelajaran materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur, dan membuat tes hasil belajar (THB). Hal lain yang dilakukan pada tahap persiapan adalah menyiapkan dan mengembangkan instrumen penelitian, yang terdiri dari membuat lembar pengamatan aktivitas mahasiswa selama KBM, membuat angket respon mahasiswa terhadap KBM ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur, mengembangkan tes hasil belajar. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh peneliti sebanyak dua RPP, yaitu untuk dua kali pertemuan efektif. Pengembangan RPP sebanyak dua buah ini didasarkan atas alokasi waktu yang terdapat dalam silabus mata kuliah Pengantar Akuntansi. Dan biasanya untuk menyelesaikan materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur (6 sks, satu pertemuan 3 sks ) 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan Pada tahap pelaksanaan tindakan (action) ini peneliti akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran langsung pada materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur 3. Tahap Observasi Objek yang diamati selama observasi meliputi: mahasiswa dan kelas. Pengamatan terhadap mahasiswa terutama untuk mengetahui perkembangan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran Pengantar Akuntansi. Pengamatan terhadap kelas berkaitan dengan iklim kelas dan proses belajar mengajar. Pengamatan terhadap mahasiswa dilakukan dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan aktivitas mahasiswa. 4. Tahap Evaluasi – Refleksi Refleksi merupakan ulasan dari hasil kegiatan dan pengamatan. Refleksi dilakukan untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang sudah dilaksanakan. Melalui refleksi ini dapat diungkapkan kelebihan, kekurangan, dan masalah-masalah yang terjadi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Selain menggunakan hasil pengamatan, juga akan digunakan angket ”respon mahasiswa” dan tes hasil belajar materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur. Pengukuran keberhasilan tindakan menggunakan rambu-rambu analisis sebagai pedoman untuk menganalisis proses dan hasil pembelajaran. Tindakan dikatakan berhasil apabila mencapai persentase minimal 70% atau pada kualifikasi baik (B) dari sejumlah indikator yang telah dirumuskan dalam lembar observasi. Hasil pembelajaran dilihat dari hasil tes pada setiap siklus pembelajaran Pengantar Akuntansi. Dalam hal ini, hasil belajar mahasiswa dikatakan tuntas atau tidak jika seorang mahasiswa mencapai ketuntasan belajar dengan nilai > 66 atau B. Suatu kelas dikatakan tuntas bila dalam kelas telah mencapai > 70 % mahasiswa yang telah dikatakan tuntas belajar.
P a g e [ 241 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Refleksi dimaksudkan untuk memperbaiki skenario pembelajaran dan cara bertindak yang dilakukan oleh dosen. Hasil dari evaluasi-refleksi digunakan untuk memperbaiki tindakan yang akan diterapkan pada putaran atau pertemuan berikutnya. Penelitian dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas. Instrumen penelitian yang digunakan mencakup lembar pengamatan, tes dan angket respon mahasiswa. Lembar pengamatan merupakan lembar pengamatan yang harus diisi oleh pengamat dengan beberapa poin pengamatan yang telah disusun sebelumnya berupa lembar pengamatan aktivitas Mahasiswa (Penilaian Kinerja). Lembar pengamatan yang digunakan untuk mengamati aktivitas mahasiswa dalam siklus pertama dan kedua menggunakan lembar pengamatan mahasiswa yang dilengkapi dengan indikator kinerja. Instrumen tes didasarkan pada kisi-kisi soal yang telah disusun terlebih dahulu. Tes digunakan untuk mengetahui perkembangan pengetahuan mahasiswa yang diamati. Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretes dan post test. Angket berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang mengungkapkan sikap dan pendapat mahasiswa tentang penerapan model direct Instructional yang berlangsung. Penyebaran angket dilaksanakan pada siklus terakhir. Dalam mengisi angket, mahasiswa hanya diminta untuk memilih salah satu jawaban yang telah disediakan. Analisis data mencakup aktivitas mahasiswa dan dosen, respon mahasiswa dan hasil belajar. Data pengamatan aktivitas mahasiswa dianalisis dengan mendeskripsikan aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran. Pengamatan aktivitas yang dilakukan melalui penilaian kinerja. Kriteria penilaian kinerja yang dimaksud adalah keterampilan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan sesuai dengan langkah kerja yang telah diajarkan sebelumnya. Data hasil respon mahasiswa terhadap proses pembelajaran dianalisis dengan menggunakan persentase. Data hasil tes belajar mahasiswa dianalisis dengan menggunakan kriteria, hasil belajar mahasiswa ditentukan tuntas atau tidak jika seorang mahasiswa mencapai ketuntasan hasil belajar > 70 %. Dan suatu kelas dikatakan tuntas jika di dalam kelas telah mencapai > 70 % mahasiswa yang telah dikatakan tuntas belajar. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dalam siklus pertama, yang dijadikan acuan umum adalah rencana pelaksanaan pembelajaran yang ditunjang oleh instrumen pengamatan dan instrumen pembelajaran. Tahap kegiatan awal dilaksanakan selama 25 menit pertama. Kegiatan pembelajaran diawali melakukan pretes (15 menit). Mengulas kembali pengetahuan siswa tentang materi yang lalu. Pemotivasian mahasiswa dengan memperlihatkan dokumen transaksi perusahaan dan selanjutnya memberikan pertanyaan kepada mahasiswa tentang jurnal yang ada dalam perusahaan dagang. Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menjelaskan tentang Ayat Jurnal Penyesuaian yang terdiri dari konsep jurnal khusus perusahaan dagang dan bentuknya [ 242 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
(15 menit). Dalam penjelasan digunakan contoh- contoh kasus yang ada di perusahaan untuk mempermudah pemahaman mahasiswa. Selanjutnya, didemonstrasikan langkahlangkah kepada mahasiswa bagaimana cara menyusun kolom Jurnal Penyesuaian dan memasukkan akun yang sesuai berdasarkan transaksi yang terjadi (30 menit). Langkah selanjutnya adalah latihan terbimbing bagi mahasiswa untuk menyusun kolom jurnal penyesuaian dan memasukkan transaksi ke dalam jurnal penyesuaian (45 menit). Setelah selesai mengerjakan dosen menunjuk mahasiswa untuk mengerjakan di papan tulis dan memberikan umpan balik dengan tanya jawab (15 menit). Setelah selesai mengerjakan latihan terbimbing dan umpan balik, langkah selanjutnya adalah dosen bersama mahasiswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari dan pemberian post test yang berkaitan dengan materi ayat jurnal penyesuaian.. Pada siklus kedua ini, pembelajaran diramu sedikit berbeda daripada siklus pertama. Pada siklus pertama mahasiswa cenderung kurang mandiri dalam latihan terbimbing karena ketiadaan LKM. Oleh karenanya pada siklus kedua menggunakan LKM yang dilaksanakan dalam dua tatap muka. Pertemuan pertama pada siklus kedua Hal pertama yang dilakukan adalah mengadakan pretes (15 menit). Kemudian membuka apersepsi mahasiswa tentang materi ayat jurnal penyesuaian berdasarkan dokumen transaksi perusahaan. Memotivasi mahasiswa dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menjelaskan tentang pengertian neraca lajur dan tujuan pembuatan neraca lajur. Dalam penjelasan neraca lajur diberikan pemahaman tentang bentuk - bentuk neraca lajur yang sering digunakan perusahaan dagang (15 menit). Selanjutnya, didemonstrasikan kepada mahasiswa bagaimana cara membuat neraca lajur 10 kolom dan memasukkan transaksi dari ayat jurnal penyesuaian (20 menit). Langkah selanjutnya adalah latihan terbimbing bagi mahasiswa dengan membuat neraca lajur 10 kolom dan memasukkan transaksi dari data yang ada (50 menit). Selanjutnya dosen menunjuk mahasiswa secara acak untuk mengerjakan di papan tulis dan memberikan umpan balik dengan tanya jawab (20 menit). Setelah selesai mengerjakan latihan terbimbing dan umpan balik, langkah selanjutnya adalah dosen bersama mahasiswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari dan pemberian post test yang berkaitan dengan materi neraca lajur perusahaan dagang. Pertemuan kedua pada siklus kedua Kegiatan pembelajaran diawali dengan memberikan apersepsi tentang ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur. Kemudian memotivasi mahasiswa dengan memberikan beberapa pertanyaan (20 menit). Tahapan selanjutnya, mahasiswa mengerjakan lembar kerja mahasiswa (LKM). LKM yang digunakan adalah LKM berisi neraca saldo dan penyesuaian yang ada di dalamnya berdasarkan data yang ada (80 menit). Setelah selesai mengerjakan neraca lajur mahasiswa membuat laporan keuangan dengan melihat kolom P a g e [ 243 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 neraca lajur (30 menit). Setelah selesai mengerjakan, dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya tentang beberapa hal yang menjadi masalah mereka dalam mengerjakan LKM (15 menit). Selanjutnya LKM dikumpulkan (5 menit). Aktivitas Mahasiswa Selama proses pembelajaran penerapan model pembelajaran direct Instructional diamati dengan menggunakan instrumen pengamatan keterampilan kinerja dan keterampilan aktivitas mahasiswa. Tabel 2. Persentase Rata-Rata Aktivitas Mahasiswa Dalam Penerapan Pembelajaran Direct Instructional Komponen RataNo Aktivitas Mahasiswa yang diamati Siklus 1 Siklus 2 rata 1 Mendengarkan/memperhatikan penjelasan dosen 77,04 81,96 79,5 2
32,78
29,50
31,14
3 4
Memberikan umpan balik saat proses belajar mengajar. Mengajukan tanya jawab. Mengerjakan latihan soal yang diberikan.
18,03 88,52
21,31 91,80
19,67 90,16
5
Mencatat dan merangkum materi
73,77
78,68
76,22
Respon Mahasiswa terhadap Proses Pembelajaran Berdasarkan angket yang disebarkan kepada mahasiswa pada akhir siklus dapat diperoleh beberapa data tentang respon mahasiswa. Selain penyebaran angket, peneliti juga mewawancarai beberapa mahasiswa untuk mendengar pendapat mereka secara bebas. Data hasil respon pada mahasiswa dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel 3. Persentase Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran Direct Instructional Pemilih Persentase (%) No. Kategori Respon Y T Y T 1. Apakah dosen mempersiapkan mahasiswa sebelum 33 28 54,10 45,90 kuliah dimulai? 2. Apakah dosen memberikan motivasi sebelum kuliah 48 13 78,69 21,31 dimulai? 3. Apakah ada pengaitan materi kuliah dengan materi 60 1 98,36 1,64 kuliah terdahulu? 4. Apakah penyampaian materi kuliah dosen mudah 58 3 95,08 4,92 dipahami? 5. Apakah anda senang dengan model pembelajaran 60 1 98,36 1,64 ini? 6. Apakah anda tertarik dengan bimbingan dosen 56 5 91,80 8,20 terhadap model pembelajaran ini? 7. Apakah materi dengan model pembelajaran ini 58 3 95,08 4,92 [ 244 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
No.
Kategori Respon
mudah dipahami? 8. Apakah aktivitas belajar dengan model ini sangat menarik? 9 Apakah pola evaluasi yang dilakukan dosen mudah dilaksanakan? 10 Apakah dalam pembelajaran ini ada pengakuan/ penghargaan dari dosen? 11 Apakah ada kemungkinan pengembangan model pembelajaran ini pada mata kuliah lain?
Pemilih Y T
Persentase (%) Y T
55
6
90,16
9,84
53
8
86,88
13,12
56
5
91,80
8,20
51
10
83,60
16,40
Hasil Belajar Mahasiswa Dalam penelitian ini ada dua jenis penilaian yang dilakukan yakni pretest dan postest. Tabel 4 menyajikan data tentang persentase jumlah mahasiswa yang tuntas berdasarkan hasil belajar mahasiswa pada pretest dan post test. Tabel 4. Persentase Ketuntasan Belajar Mahasiswa Jumlah Mahasiswa Persentase (%) No Keterangan Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tidak Tuntas 1 Pretes 15 46 24,59% 75,41% 2 Post test 53 8 86,89% 13,11% Pembahasan Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 1 Kendala utama yang dihadapi adalah kesulitan pengamatan kegiatan kinerja mahasiswa. Hal ini disebabkan jumlah mahasiswa yang terlalu banyak. Oleh karena itu, pengamatan hanya ditujukan untuk dua puluh mahasiswa yang dipilih secara acak. Selain itu permasalahan atau kendala lain yang muncul pada siklus I dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Suara peneliti kurang keras 2. Mahasiswa kurang berlatih dengan soal yang berhubungan dengan transaksi dalam perusahaan dagang sehingga masih banyak melihat teman sebangku 3. Saat ditunjuk maju ke depan banyak yang masih gugup 4. Banyak yang masih malu untuk bertanya 5. Mahasiswa kurang mandiri dalam mengerjakan soal Guna mengatasi kendala-kendala tersebut, upaya yang dilakukan antara lain: 1. Memberikan penguatan positif kepada mahasiswa. Diharapkan dengan penguatan positif tersebut mampu meningkatkan percaya diri mahasiswa 2. Dalam siklus selanjutnya, dosen berinisiatif untuk menggunakan wireless agar suara dosen dapat menjangkau ke seluruh kelas dan LKM untuk meningkatkan kemandirian siswa. P a g e [ 245 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 1 Dalam pelaksanaan siklus II, relatif tidak muncul kendala-kendala yang cukup berarti. Sehingga proses belajar mengajar berjalan lebih efektif dan efisien. Kondisi ini lebih disebabkan karena mahasiswa lebih siap dan terkondisikan untuk menerima materi. Selain itu, mahasiswa juga tidak lagi canggung atau lebih berani menunjukkan keberanian mereka untuk maju ke depan. Pengamatan kegiatan kinerja mahasiswa juga dipilih dua puluh mahasiswa secara acak. Kemajuan yang telah dicapai pada pertemuan pertama adalah sebagai berikut: 1. Mahasiswa mampu mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh dosen dengan percaya diri sendiri. 2. Mahasiswa berani untuk mengungkapkan ide dan menyatakan pendapatnya secara individu dan tidak didominasi oleh mahasiswa tertentu. Mahasiswa mengerjakan LKM. Beberapa kemajuan yang dicapai dalam pertemuan kedua ini antara lain: 1. Partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran semakin tinggi. 2. Mahasiswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan dosen dengan rasa percaya diri 3. Mahasiswa mampu mengerjakan materi selanjutnya Aktivitas Mahasiswa Pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa dilakukan dalam setiap pelaksanaan siklus. Aktivitas mahasiswa yang diamati meliputi aktivitas kinerja dan kegiatan dalam pembelajaran. Berdasarkan pada tabel 2, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas mahasiswa secara signifikan. Gambar 2 menunjukkan rata-rata penilaian kinerja mahasiswa untuk Latihan Soal 1 dan 2 terutama pada bagian merumuskan Ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur. Melalui gambar tersebut dapat diketahui bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan nilai kinerja mahasiswa
Gambar 2. Rata-Rata Penilaian Keterampilan Kinerja Merumuskan Ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur Keterangan: 1= menganalisis jenis transaksi 2= menjurnal sesuai dengan transaksi 3= Penghitungan sisi debet dan kredit [ 246 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
Keterampilan Mahasiswa Pengamatan aktivitas mahasiswa di setiap siklusnya dilakukan pada mahasiswa yang berbeda-beda. Pada siklus 1 dan 2 pengamatan keterampilan Aktivitas mahasiswa ditentukan secara acak. Berdasarkan data pada tabel 3, hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada gambar 3. Berdasarkan gambar 3 tersebut, secara keseluruhan keterampilan aktivitas mahasiswa terendah dan cenderung menurun di setiap siklusnya adalah keterampilan tanya jawab. Rendahnya persentase tersebut menunjukkan tingginya aktivitas mahasiswa, sehingga pembelajaran tampak lebih hidup dan aktif.
Gambar 3. Perkembangan Rata-Rata Keterampilan Aktivitas Mahasiswa Keterangan: 1 = Mendengarkan/memperhatikan penjelasan dosen 2 = Memberikan umpan balik saat proses belajar mengajar 3 = Mengajukan tanya jawab 4 = Mengerjakan latihan soal yang diberikan. 5 = Mencatat dan merangkum materi Senada dengan rendahnya keterampilan tanya jawab, keterampilan mengerjakan latihan soal merupakan keterampilan dengan rata-rata tertinggi di setiap siklusnya. Sehingga proses tersebut untuk mengukur tingkat pemahaman mahasiswa akan materi yang disampaikan. Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran Berdasarkan data pada tabel 3 di atas maka rata-rata respon mahasiswa terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan Direct Instructional dapat digambarkan pada gambar 4.
P a g e [ 247 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Gambar 4. Rata-Rata Respon Mahasiswa Terhadap Proses Pembelajaran Keterangan: 1. Apakah dosen mempersiapkan mahasiswa sebelum kuliah dimulai? 2. Apakah dosen memberikan motivasi sebelum kuliah dimulai? 3. Apakah ada pengaitan materi kuliah dengan materi kuliah terdahulu? 4. Apakah penyampaian materi kuliah dosen mudah dipahami? 5. Apakah anda senang dengan model pembelajaran ini? 6. Apakah anda tertarik dengan bimbingan dosen terhadap model pembelajaran ini? 7. Apakah materi dengan model pembelajaran ini mudah dipahami? 8. Apakah aktivitas belajar dengan model ini sangat menarik? 9. Apakah pola evaluasi yang dilakukan dosen mudah dilaksanakan? 10. Apakah dalam pembelajaran ini ada pengakuan/ penghargaan dari dosen? 11. Apakah ada kemungkinan pengembangan model pembelajaran ini pada mata kuliah lain? Gambar 4 menunjukkan bahwa mahasiswa menganggap proses belajar mengajar pada materi ayat jurnal penyesuaian dan neraca lajur dengan menggunakan model pembelajaran Direct Instructional merupakan hal yang baru. Hal ini terbukti dengan sekitar 90,16 % mengatakan ya, sedangkan sisanya 9,84 % menjawab tidak. Hal ini dikarenakan model pembelajaran Direct Instructional dalam mata kuliah Pengantar Akuntansi belum mereka dapatkan. Kendatipun demikian sekitar 98,36 % mahasiswa menyatakan bahwa cara mengajar dosen tergolong baru. Sisanya sebesar 1,64 % mengatakan tidak. Merujuk pada hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa diperoleh data, bahwa proses belajar mengajar dan cara dosen mengajar cenderung baru karena sejauh ini mereka mempelajari mata kuliah Pengantar Akuntansi secara diskusi dan pemberian tugas tanpa dibahas kesalahan mana dalam mengerjakan sehingga banyak yang kurang paham. Perasaan mahasiswa selama mengikuti perkuliahan dan suasana kelas pun menjadi menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran Direct [ 248 ] P a g e
Peningkatan Hasil Belajar… (Suci Rohayati & Dhiah Fitrayati)
Instructional mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk pembelajaran, khususnya pada mata kuliah pengantar akuntansi.. Hasil Belajar Mahasiswa Berdasarkan data pada tabel 4, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan tingkat ketuntasan belajar mahasiswa dari siklus pertama hingga siklus kedua. Di bawah ini disajikan diagram batang hasil belajar mahasiswa:
Gambar 5. Persentase Ketuntasan Belajar Mahasiswa Berdasarkan Gambar 5. tersebut di atas dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan tingkat ketuntasan belajar klasikal dari 24,59 % pada menjadi 86,89 %. Peningkatan ini terjadi karena adanya rasa percaya diri di dalam diri mereka untuk bertanggung jawab atas hasil yang mereka kerjakan. SIMPULAN Berdasarkan analisis data yang berasal dari pengamatan pengelolaan pembelajaran, aktivitas mahasiswa, respon mahasiswa, dan hasil belajar mahasiswa, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penerapan Pembelajaran Direct Instructional dalam mata kuliah pengantar akuntansi, khususnya pada materi ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur secara umum dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Beberapa kendala yang ada dapat diperbaiki pada putaran berikutnya. Di samping itu pendekatan ini mampu meningkatkan aktivitas mahasiswa. 2. Hasil belajar pada materi ayat Jurnal Penyesuaian dan Neraca Lajur mengalami peningkatan ketuntasan belajar klasikal dari 24,59 % pada menjadi 86,89 % 3. Respon mahasiswa terhadap penerapan Pembelajaran Direct Instructional dalam mata kuliah pengantar akuntansi tergolong positif.
P a g e [ 249 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Kemmis, S. dan Mc. Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. 3rd ed. Victoria: Deakin University. Nur, Mohamad dan Kardi, Suparman. 2005. Pengajaran Langsung. Surabaya: University Press. Nur, Mohamad. 2005. Guru yang Berhasil dan Pengajaran Langsung. Surabaya: Departemen Pendidikan Nasional. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
[ 250 ] P a g e
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
MENINGKATKAN KETERAMPILAN SISWA PADA MATA DIKLAT MELAKSANAKAN PELAYANAN PRIMA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING Ike Apriliani
Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui bagaimana upaya meningkatkan keterampilan siswa pada mata diklat Melaksanakan Pelayanan Prima melalui penerapan model pembelajaran role playing. Penggunaan model pembelajaran ini dapat meningkatkan keterampilan siswa. Pada penerapan model pembelajaran role playing, siswa diajak untuk mempraktekkan langsung bagaimana cara memberikan pelayanan prima kepada pelanggan. Dengan cara bermain peran seperti ini, siswa tidak hanya memahami materi tetapi juga mampu mempraktekkan bagaimana menerapkan pelayanan prima kepada pelanggan. Kata kunci: model pembelajaran, role playing, keterampilan siswa, pelayanan prima
PENDAHULUAN Proses pembelajaran saat ini dirancang agar dapat menitikberatkan pada peserta didik. Peserta didik yang menjalani proses pembelajaran diharapkan akan mengalami perubahan perilaku dan dapat memahami pelajaran yang diberikan oleh guru. Perubahan perilaku tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk keterampilan maupun pengalaman peserta didik. Pengertian pembelajaran menurut UU RI No. 20 tahun 2003 bab 1 pasal 1 ayat 20 tentang sistem pendidikan nasional, menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Di dalam struktur kurikulum SMK Pemasaran, terdapat mata pelajaran produktif yang salah satunya berisi mata diklat Melakukan Pelayanan Prima. Mata diklat Melakukan Pelayanan Prima merupakan mata diklat yang membekali siswa bagaimana cara-cara yang harus dilakukan agar pelanggan merasa puas dengan pelayanan yang diberikan (Utami, 2014). Mata diklat ini sangat penting dan dibutuhkan ketika peserta didik menjalani magang atau OJT (On the Job Training). Tidak hanya itu, pada era MEA di mana tingkat persaingan akan semakin ketat, perusahaan diharuskan untuk memiliki karyawan-karyawan yang memiliki kemampuan melayani pelanggan dengan baik. Untuk itulah, siswa dituntut untuk mampu memberikan layanan prima di mana pun dan kapan pun. Hal ini dikarenakan persaingan yang harus dihadapi siswa ketika di dunia kerja menjadi sangat tinggi sebab akan banyak tenaga kerja dari luar negeri yang akan masuk ke Indonesia.
P a g e [ 251 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Di dalam mata diklat Melakukan Pelayanan Prima terdapat beberapa materi, di antaranya: 1) Standar Penampilan Pribadi, 2) Prinsip-Prinsip Pelayanan Prima, 3) Memberikan Bantuan Kepada Pelanggan, 4) Melakukan Komunikasi dengan Pelanggan. Terdapat beberapa materi dalam Pelayanan Prima yang sulit dipahami oleh peserta didik ketika guru menerangkan dengan metode ceramah biasa. Hal ini dikarenakan materimateri tersebut memerlukan contoh praktek nyata seperti bagaimana cara menerapkan konsep-konsep pelayanan prima atau saat memahami bagaimana memberikan bantuan kepada pelanggan. Ketika materi ini hanya diterangkan melalui metode ceramah, hal ini dapat menghambat daya kreativitas dan keterampilan peserta didik karena pembelajarannya hanya berlangsung satu arah, sedangkan materi yang disampaikan adalah materi yang bersifat praktik dan menuntut adanya keterampilan dari siswa. Praktek langsung atau peragaan menjadi hal yang penting dalam mata diklat ini agar dapat memacu daya kreativitas dan imajinatif peserta didik. Peragaan dimaksudkan agar peserta didik dapat berimajinasi dan merasa seolah-olah mereka berada dalam situasi nyata ketika pelayanan prima tersebut dilakukan. Setelah siswa dapat membayangkan, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan guru adalah menuntun peserta didik agar tidak hanya sekedar membayangkan, tetapi dapat melakukan pelayanan prima sesuai dengan situasi yang terdapat di lapangan. Untuk dapat menjalankan proses pembelajaran seperti ini, maka diperlukan sebuah model pembelajaran yang dapat mendukung tujuan pembelajaran tersebut. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas (Utami, 2014). Untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut, maka metode pembelajaran yang cocok adalah model Role Playing. Menurut Komalasari (2001) model pembelajaran Role Playing merupakan suatu tipe model pembelajaran pelayanan (service learning). Melalui model pembelajaran role playing ini peran guru akan menjadi fasilitator dan sumber kegiatan belajar mengajar dalam kelas (Utami, 2014). Model pembelajaran ini adalah suatu model penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan murid. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan murid dengan memerankan permainan sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal ini bergantung kepada apa yang diperankan. Metode role playing ini merupakan sebagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasikan peristiwa - peristiwa aktual atau kejadian - kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang (Sanjaya, 2006). Tujuan dari metode pembelajaran bermain peran ini menurut Oemar Hamalik (2001) disesuaikan dengan jenis belajar, di antaranya: 1) Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reaktif. 2) Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka. 3) [ 252 ] P a g e
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku para pemain atau pemegang peran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan. 4) Belajar melalui pengkajian, penilaian dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya. Model pembelajaran ini memiliki beberapa tahapan. Tahapan pembelajaran Role Playing atau bermain peran meliputi (Mulyasa, 2003) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; memilih peran; menyusun tahap-tahap peran; menyiapkan pengamat; tahap pemeranan; diskusi dan evaluasi tahap I pemeranan ulang; dan diskusi dan evaluasi tahap II membagi pengalaman dan pengambilan keputusan. Pola dalam pembelajaran role playing ini disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi tertentu, yaitu pemain, pengamat dan pengkaji. Tiga pola organisasi yaitu sebagai berikut (Umaroh, 2012) : 1. Bermain peran tunggal (single role-play) mayoritas siswa bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang dipertunjukkan (sosiodrama). Tujuannya adalah untuk membentuk sikap dan nilai. 2. Bermain peran jamak (multiple role-play) para siswa di bagi-bagi menjadi beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan penentunya disesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan. Tiap peserta memegang dan memainkan peran tertentu dalam kelompoknya masing-masing. Tujuannya juga untuk mengembangkan sikap. 3. Peran ulangan (role repetition) peran utama suatu drama atau simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran. Dalam situasi seperti itu setiap siswa belajar melakukan, mengamati dan membandingkan, perilaku yang ditampilkan oleh pemeran sebelumnya. Pendekatan itu banyak dilaksanakan dalam rangka mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif. Dengan menggunakan model pembelajaran tersebut, diharapkan peserta didik dapat ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran serta dapat menguasai materi secara optimal. Berdasarkan uraian di atas, tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui upaya meningkatkan keterampilan siswa pada mata diklat Melaksanakan Pelayanan Prima melalui penerapan model pembelajaran role playing. PEMBAHASAN Mata diklat Melakukan Pelayanan Prima adalah salah satu mata pelajaran produktif SMK Pemasaran yang membutuhkan pendalaman materi berupa praktekpraktek langsung untuk lebih memacu daya kreativitas dan imajinasi siswa. Guru tidak bisa hanya menyampaikan materi dengan cara ceramah biasa karena beberapa materi membutuhkan pemahaman mendalam dan daya imajinasi siswa untuk dapat membayangkan keadaan sesungguhnya di lapangan.
P a g e [ 253 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pembelajaran materi Memberikan Bantuan kepada Pelanggan dengan menggunakan teknik pembelajaran Role Playing Tahap-tahap pembelajaran Role Playing pada makalah ini merupakan modifikasi dari tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Mulyasa (2003), yaitu tahapan pemeranan dilakukan oleh sekelompok pemeran untuk satu sub materi, dan sub materi lainnya diperankan oleh kelompok lain yang telah disusun oleh siswa sendiri. Langkah- langkah Role Playing dalam pembelajaran Memberikan Bantuan kepada Pelanggan: 1. Persiapan a. Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran, yaitu topik “cara mengatasi keluhan pelanggan”. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa dapat memahami dan mempraktekkan cara menghadapi keluhan pelanggan. b. Memotivasi peserta didik dan memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan diperankan, misalnya seorang pelanggan datang ke toko untuk menyampaikan keluhan, maka siswa diberikan gambaran apa yang dilakukan oleh pelayan dan pelanggan dalam situasi tersebut. c. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan d. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari atau beberapa hari sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar) guna mempersiapkan peran yang terdapat dalam skenario tersebut. e. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang atau sesuai dengan kebutuhan. 2. Pelaksanaan a. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan sebelumnya. b. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan. c. Role Playing mulai dimainkan oleh kelompok pemeran. d. Siswa lainnya sebagai pengamat mengikuti dengan penuh perhatian. e. Guru memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan. 3. Penutup. a. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas skenario tersebut. Misalnya menilai peran yang dilakonkan, mencari kelemahan dan kelebihan dari peran tersebut atau pun alur/ jalan ceritanya. b. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil dan kesimpulannya. c. Guru memberikan kesimpulan secara umum atau mengevalusi seluruh kegiatan. d. Evaluasi/ refleksi.
[ 254 ] P a g e
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
Materi Memberikan Bantuan Kepada Pelanggan Sub Bab Cara Mengatasi Keluhan Pelanggan Beberapa cara yang perlu diperhatikan saat mengatasi keluhan pelanggan (Umaroh, 2012): 1. Petugas pelayanan jangan membuat janji-janji hanya demi menyenangkan pelanggan karena berakibat fatal di kemudian hari. 2. Pelanggan adakalanya marah pada saat menyampaikan keluhan. Petugas harus menahan diri jangan sampai terpancing ikut marah. 3. Apabila ada pelanggan yang selalu mengeluh, petugas harus sabar dan melakukan pendekatan secara khusus 4. Dengan membuka dialog secara baik-baik, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan 5. Hadapilah keluhan pelanggan dengan bijaksana, jangan terbawa emosi. 6. Dengarkan dengan penuh perhatian semua keluhan pelanggan, sedapat mungkin hidupkan suasana penuh keakraban. 7. Bertindak secara tenang, hindari amarah dan menyalahkan pelanggan, jangan berdebad dengan pelanggan. 8. Sebisa mungkin bawalah pelanggan yang sedang marah ke suatu tempat agar pelanggan lain tidak mendengar atau mengetahuinya. 9. Jangan menyinggung harga diri pelanggan. 10. Buatlah catatan, tulislah setiap keluhan pelanggan secara rinci. 11. Katakan kepada pelanggan apa yang sedang kita lakukan terhadap mereka, tawaran beberapa pilihan, jangan memuat janji hanya untuk menyenangkan pelanggan padahal janji tersebut di luar kewenangannya. 12. Untuk mengatasi masalah keluhan, tentukan waktunya, usahakan secepatnya dan tepat waktu jangan sampai ingkar waktu. 13. Berikan rasa simpatik dan ikut merasakan kesulitan yang menimpa pelanggan. 14. Tanggapi keluhan pelanggan dengan baik, sertakan ucapan maaf secara tulus dan berjanji akan memperbaiki kekurangan atas pelayanan yang diberikan. 15. Hubungi pelanggan dan tanyakan apakah keluhan sudah ditangani cukup memuaskan belum, kemudian sampaikan ucapan terima kasih. Hasil Penerapan Model Pembelajaran Role Playing dalam Meningkatkan keterampilan Siswa pada Mata Diklat Melakukan Pelayanan Prima. Dengan menerapkan model pembelajaran role playing ini, guru diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa pada Mata Diklat Melakukan Pelayanan Prima. Dari ketiga langkah-langkah role playing yaitu, persiapan, pelaksanaan dan penutup, tahapan yang paling berperan dalam meningkatkan keterampilan siswa terhadap materi “memberikan bantuan kepada pelanggan” adalah pada tahap pelaksanaan. Dalam tahap pelaksanaan ini, siswa dituntut untuk memainkan peran tentang menangani keluhan
P a g e [ 255 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pelanggan dengan baik. Sedangkan siswa yang lain yang tidak terlibat dalam peran menjadi pengamat dan mampu memperhatikan apa yang dilihat dalam role playing. Setelah menerapkan model pembelajaran role playing pada materi “memberikan bantuan kepada pelanggan”, diharapkan siswa mampu : 1. Memahami dengan baik bagaimana cara mengatasi keluhan pelanggan. 2. Mampu membayangkan bagaimana situasi mengatasi keluhan pelanggan di lapangan . 3. Memperagakan bagaimana melakukan pelayanan prima ketika mengatasi keluhan pelanggan Ketika siswa mampu untuk melakukan hal-hal di atas, maka diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Utami (2014) dalam penelitiannya menerapkan model role playing pada mata diklat Melakukan Pelayanan Prima terhadap siswa kelas XI Pemasaran 3 SMK Negeri Semarang dan menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam memberikan bantuan kepada pelanggan. Dengan persentase keterampilan siswa pada pembelajaran siklus I yaitu sebesar 70 % dengan kategori baik dan pada siklus II meningkat menjadi 92,5 % dengan kategori amat baik. Penelitian tersebut sejalan dengan pembahasan ini bahwa model pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam melakukan pelayanan prima. Siska (2011) dalam penelitiannya menerapkan model pembelajaran role playing kepada siswa sehingga diperoleh kesimpulan bahwa penerapan metode bermain peran cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah mereka gunakan dan sangat menarik, sehingga anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang ia pilih untuk diperankan. Penelitian ini juga sejalan dengan pembahasan ini bahwa model pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa. Andriani (2013) menyimpulkan bahwa: Pertama, langkah-langkah model pembelajaran bermain peran (role playing) dalam meningkatkan keterampilan siswa memerankan tokoh sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memerankan tokoh pada pementasan drama. Kedua, peningkatan hasil belajar siswa hingga tercapainya tingkat ketuntasan hasil belajar siswa pada kegiatan memerankan tokoh drama siswa kelas XI IPB SMA Saraswati Singaraja dengan menerapkan model pembelajaran bermain peran, terlihat pada perolehan skor tes memerankan tokoh pada pementasan drama siswa pada siklus 1 dan 2 yang mengalami peningkatan. Penelitian tersebut juga sejalan dengan pembahasan ini bahwa pembelajaran role playing dapat meningkatkan keterampilan siswa. Purwanto (2014) menyimpulkan bahwa Penerapan Metode Role Playing dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada materi aspek kebahasaan berbicara siswa kelas VIII A SMP Negeri 3 Paron tahun 2013/2014. Penelitian ini sesuai dengan pembahasan ini bahwa keterampilan siswa dapat ditingkatkan melalui penerapan model pembelajaran role playing. [ 256 ] P a g e
Meningkatkan Keterampilan Siswa… (Ike Apriliani)
Kerr (2003) menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran role playing dapat membantu siswa untuk memahami penggunaan sistem informasi di dalam bisnis serta merangsang mereka untuk terjun langsung dalam pengintegrasian bisnis. Penelitian ini mendukung pembahasan ini bahwa model role playing dapat membuat siswa untuk memahami materi serta menerapkan materi ke dalam praktek langsung sehingga keterampilan siswa dapat meningkat. Berdasarkan gambaran di atas, dapat dilihat bahwa model pembelajaran role playing dapat diterapkan dalam mata diklat Melakukan Pelayanan Prima karena model tersebut menunjang materi yang terdapat di dalamnya. Menurut beberapa penelitian, sebenarnya tidak hanya pada mata diklat Melakukan Pelayanan Prima saja model pembelajaran ini dapat diterapkan, tetapi bisa pada mata pelajaran lain yang materinya relevan dengan model pembelajaran tersebut. Hanya saja guru harus lebih kreatif untuk memodifikasi dan mengkombinasikan model pembelajaran untuk menyampaikan materi yang lain. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, lancar, menyenangkan, dan yang terpenting yaitu tujuan dari pembelajaran dapat tercapai. SIMPULAN Model pembelajaran role playing ini dapat meningkatkan keterampilan siswa pada mata diklat Melakukan Pelayanan Prima karena model belajar ini mengajak siswa untuk mempraktikkan secara langsung bagaimana cara memberikan pelayanan prima kepada pelanggan. Model pembelajaran role playing merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk senantiasa aktif dan ikut berperan penting dalam proses pembelajaran. Penggunaan model belajar ini bertujuan untuk membuat proses belajar menjadi lebih menyenangkan dan aktif sehingga siswa dapat lebih termotivasi dalam mempelajari materi yang diberikan oleh guru. DAFTAR PUSTAKA Andriani, N. P. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa Memerankan Tokoh dalam Pementasan Drama. Diakses dari http://ejourmal.undhiksha.ac.id/ index.php/JJPB/artcle/view/1155 pada tanggal 20 April 2015. Hamalik, O. (2001). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem .Bandung: Bumi Aksara. Kerr, D. d. (2003). The Use of Role-Playing To Help Students Understand Information Systems Case Studies. Journal of Information, Vol (14) 2. Diakses dari http://jise.org/Volume14/14-2/pdf/14(2)-167-pdf pada tanggal 5 April 2015. Komalasari, K. (2001). Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT. Refika Aditama. Mulyasa. (2003). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya Purwanto. (2014). Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara. Diakses dari http://jurnal-induksi.com/edisi-1/penggunaan-metodeP a g e [ 257 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 role-playing-untuk-meningkatkan-kemampuan-berbicara-siswa-kelas-viii-asmp-negeri-3-paron/ pada tanggal 21 April 2015. Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Media Grup. Siska, Y. (2011). Penerapan Metode Bermain Peran (Role Playing) dalam Meningkatkan Kemampuan Berbicara dan Keterampilan Sosial Anak Usia Dini. Edisi Khusus No. 2. Diakses dari http://jurnal.upi.edu/file/4-Yulia_Siska-edit.pdf pada tanggal 20 April 2015. Umaroh, Y. S. (2012). "Penerapan Metode Pembelajaran Demonstrasi Dan Cooperative Learning Tipe Zig Shaw Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Pada Materi Transformasi Pokok Bahasan Pencerminan”. Diakses dari http://yayuhandayasari92.blogspot.com/2013/05/makalah.role.playing.html pada tanggal 2 April 2015. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depsiknas. Utami, Esti Setyo & Kusumantoro (2014). Peningkatan Keterampilan Siswa Memberikan Bantuan Kepada Pelanggan dengan Metode Role Playing Kelas XI Pemasaran. Economic Education Analysis Journal, EAJ 3(1) (2014). Diakses dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/DP/article/download/352/334 Pada tanggal 4 April 2015.
[ 258 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI SMA KELAS XI MATERI KETENAGAKERJAAN Jenitta Vaulina Puspita Sari Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi MEA melalui pelaksanaan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 dibangun berdasarkan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang proses pembelajarannya menggunakan pendekatan saintifik. Tugas guru dalam pendekatan saintifik adalah mengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap konsep dan prinsip yang didapatkan siswa. Pembelajaran ekonomi sebagai bagian dari Kurikulum 2013 dalam penulisan ini difokuskan pada materi ketenagakerjaan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran ekonomi SMA Kelas XI materi ketenagakerjaan. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran ekonomi pada materi ketenagakerjaan dengan menggunakan pendekatan saintifik membuat peserta didik berpikir dan berbuat diawali dengan mengamati, menanya, menalar, mencoba dan mengkomunikasikan temuannya. Dengan diterapkannya pendekatan saintifik siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi ketenagakerjaan di lingkungan sekitarnya. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu faktor yang penting yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi MEA 2013. Proses pembelajaran materi ketenagakerjaan menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan soft skills dan hard skills dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kata Kunci: Pendekatan Saintifik, Kurikulum 2013, Ketenagakerjaan
PENDAHULUAN Pemerintah telah mengeluarkan sebuah kebijakan baru dalam dunia pendidikan sebagai salah satu bentuk upayanya dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) melalui pelaksanaan Kurikulum 2013. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga dengan adanya pelaksanaan Kurikulum 2013 ini diharapkan tujuan pendidikan yang sangat mulia tersebut dapat tercapai dan dapat menjadi semangat serta optimisme baru pendidikan yang lebih baik.
P a g e [ 259 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kurikulum 2013 dibangun berdasarkan budaya dan karakter bangsa Indonesia di mana proses pembelajaran untuk semua jenjang mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga tingkat Sekolah Menengah Atas menggunakan Pendekatan Saintifik. Istilah Pendekatan Saintifik dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 menjadi pembahasan yang menarik khususnya di kalangan para pendidik, sebab dalam proses pembelajarannya tidak hanya menekankan pada pembentukan kompetensi siswa, namun juga menekankan pada pembentukan karakter para peserta didik yang nantinya menjadi suatu perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahamannya terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual (Mulyasa, 2013). Pendekatan Saintifik memiliki langkah-langkah pembelajaran yang meliputi tindakan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (5M). Dalam melaksanakan proses-proses tersebut bantuan guru sangat diperlukan, karena pembelajarannya menggunakan pendekatan ilmiah dan inkuiri siswa berperan secara langsung baik secara individu maupun kelompok untuk menggali konsep dan prinsip. Selama kegiatan pembelajaran, langkah-langkah Pendekatan Saintifik ini tidak selalu bisa diaplikasikan secara prosedural sehingga dalam hal ini guru dituntut memiliki profesionalisme pendidik sehingga harus bisa mengkondisikan proses pembelajaran tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilainilai atau sifat-sifat yang nonilmiah. Tugas guru dalam Pendekatan Saintifik yaitu mengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap konsep dan prinsip yang didapatkan siswa (Nurul, 2013). Berdasarkan penjelasan mengenai Pendekatan Saintifik pada Kurikulum 2013, maka proses pembelajaran ekonomi yang merupakan bagian dari Kurikulum 2013 di tingkat Sekolah Menengah Atas wajib diajarkan dengan menggunakan Pendekatan Saintifik. Pembelajaran ekonomi dalam penulisan ini akan dikhususkan pada materi Ketenagakerjaan mengingat diselenggarakannya MEA sangat berkaitan erat dengan masalah Ketenagakerjaan dibandingkan materi-materi lain yang diajarkan di kelas XI, materi Ketenagakerjaan yang diajarkan dengan menggunakan Pendekatan Saintifik menekankan pada pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar serta pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk membangun konsep dalam pengetahuannya mengenai Ketenagakerjaan secara mandiri akan membiasakan siswa dalam merumuskan, menghadapi, dan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka temukan. Keterlibatan peserta didik secara langsung dalam menggali dan menemukan konsep berdasarkan fakta mengenai kondisi Ketenagakerjaan yang mereka temukan akan mengakibatkan mereka terbiasa berpikir kritis terhadap lingkungannya. Berpikir kritis merupakan salah satu kunci keberhasilan Sumber Daya Manusia Indonesia menjawab tantangan dan hambatan dalam menghadapi MEA. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut maka permasalahan yang akan dikaji pada makalah ini adalah mengenai bagaimana penerapan Pendekatan [ 260 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
Saintifik dalam Pembelajaran Ekonomi SMA Kelas XI materi Ketenagakerjaan, sehingga dalam pembahasan tersebut dapat tercapai tujuan penulisan dalam makalah ini sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yaitu untuk mendeskripsikan penerapan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Ekonomi SMA Kelas XI materi Ketenagakerjaan sehingga dapat meningkatkan motivasi guru dalam menerapkan proses-proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik, meningkatkan kualitas pembelajaran pada materi ketenagakerjaan, selain itu peserta didik dapat mengetahui variasi pembelajaran yang menarik sehingga secara pedagogis makalah ini dapat memberikan nilai-nilai pendidikan seperti berperilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, responsif dan proaktif, dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial. PEMBAHASAN Konsep Pendekatan Saintifik Metode Saintifik pertama kali diperkenalkan ke ilmu pendidikan Amerika pada akhir abad ke-19, sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang mengarah pada fakta-fakta ilmiah (Rudolph, 2005). Metode ini memudahkan guru atau pengembang kurikulum untuk memperbaiki proses pembelajaran, yaitu dengan memecah proses ke dalam langkah-langkah atau tahapan-tahapan secara terperinci yang memuat instruksi untuk siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran (Varelas, 2009). Hal inilah yang menjadi dasar dari pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran dan untuk memperkuat pendekatan saintifik diperlukan adanya penalaran dan sikap kritis siswa dalam rangka pencarian. Agar dapat disebut ilmiah maka metode pencarian harus berbasis pada buktibukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah atau saintifik dapat membuat proses pembelajaran menjadi lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Oleh karena itu kondisi pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan dan mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu. Tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik didasarkan pada keunggulan pendekatan tersebut. Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah: 1) untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa; 2) untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematis; 3) terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan; 4) diperolehnya hasil belajar yang tinggi; 5) untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah; dan 6) untuk mengembangkan karakter siswa. Beberapa prinsip pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) pembelajaran berpusat pada siswa; 2) pembelajaran membentuk P a g e [ 261 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 students’ self concept; 3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; 4) pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip; 5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa; 6) pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru; 7) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dalam komunikasi; dan 8) adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya. Kegiatan pembelajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Dalam metode saintifik tujuan utama kegiatan pendahuluan adalah memantapkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang telah dikuasai yang berkaitan dengan materi pelajaran baru yang akan dipelajari oleh siswa. Dalam kegiatan ini guru harus mengupayakan agar siswa yang belum paham suatu konsep dapat memahami konsep tersebut, sedangkan siswa yang mengalami kesalahan konsep, kesalahan tersebut dapat dihilangkan. Pada kegiatan pendahuluan, disarankan guru menunjukkan fenomena atau kejadian “aneh” atau “ganjil” (discrepant event) yang dapat menggugah timbulnya pertanyaan pada diri siswa. Kegiatan inti merupakan kegiatan utama dalam proses pembelajaran atau dalam proses penguasaan pengalaman belajar (learning experience) siswa. Kegiatan inti dalam pembelajaran adalah suatu proses pembentukan pengalaman dan kemampuan siswa secara terprogram yang dilaksanakan dalam durasi waktu tertentu. Kegiatan inti dalam metode saintifik ditujukan untuk terkonstruksinya konsep, hukum atau prinsip oleh siswa dengan bantuan dari guru melalui langkah-langkah kegiatan yang diberikan di muka. Kegiatan penutup sebagai kegiatan terakhir ditujukan untuk dua hal pokok, pertama yaitu validasi terhadap konsep, hukum atau prinsip yang telah dikonstruk oleh siswa dan yang kedua yaitu pengayaan materi pelajaran yang dikuasai siswa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan peserta didik akan mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat prasangka, selalu optimis (Kemendikbud, 2013). Pendekatan saintifik menyebabkan adanya perubahan proses pembelajaran dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu dan proses penilaian dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output. Penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh (Permen No.65 Tahun 2013). Konsep Materi Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan memiliki pengertian yang luas, bukan hanya membicarakan tentang tenaga kerja saja, namun juga sistem, persoalan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Masa kerja merupakan kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja, dan penempatan [ 262 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
tenaga kerja. Selama masa kerja merupakan selama hubungan kerja antara tenaga kerja dan perusahaan berlangsung, sedangkan setelah masa kerja adalah masa pensiun (Rusli, 2011). Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Tenaga kerja dibagi atas kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah kelompok penduduk dalam usia kerja yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan (Kuncoro, 2013). Sedangkan kesempatan kerja dapat diartikan sebagai jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan; semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Ketenagakerjaan bukan hanya berkaitan dengan orang-orang yang bekerja saja, melainkan ketenagakerjaan juga memiliki permasalahan pelik dan sulit dihilangkan, bahkan di negara maju sekalipun. Permasalahan rumit dalam ketenagakerjaan tersebut adalah pengangguran. Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Secara umum, pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan (Soekirno, 2004). Pengangguran dapat dikelompokkan menurut penyebab terjadinya dan sifatnya. Berdasarkan penyebabnya, pengangguran dikelompokkan menjadi 6, yaitu: 1) pengangguran struktural yang terjadi karena perubahan struktur perekonomian; 2) pengangguran konjungtur yang diakibatkan oleh naik turunnya kegiatan perekonomian; 3) pengangguran friksional yang terjadi karena adanya kesulitan dalam mempertemukan pencari kerja dengan lowongan pekerjaan; 4) pengangguran musiman yang terjadi karena adanya perubahan musim; 5) pengangguran teknologi yang terjadi karena adanya perubahan tenaga manusia menjadi tenaga mesin; dan 6) pengangguran voluntary yang terjadi karena adanya orang yang sebenarnya masih dapat bekerja, namun orang tersebut dengan sukarela untuk tidak bekerja. Jenis pengangguran berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu: 1) pengangguran terbuka yang terjadi karena kurangnya kesempatan kerja yang ada, tidak mau bekerja atau adanya ketidakcocokan antara lowongan kerja yang ada dengan latar belakang pendidikan; 2) setengah menganggur yaitu orang yang bekerjanya kurang dari 14 jam per minggu; dan 3) pengangguran terselubung terjadi karena adanya tenaga kerja yang bekerja tidak optimum sehingga terdapat kelebihan tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja merupakan faktor utama penentu produktivitas dan peningkatan hasil produksi. UU No. 13 tahun 2003 pun menyebutkan bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan P a g e [ 263 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 martabat kemanusiaan. Semakin tinggi kualitas tenaga kerja maka semakin besar pula permintaan akan tenaga kerja tersebut dan secara otomatis akan meningkatkan pendapatan riilnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya nyata untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja baik dari segi pendidikan maupun keahlian dan keterampilannya (Geminastiti, 2014). Undang-Undang No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Di dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk: 1) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; 2) mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 3) memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan 4) meningkatkan kesejahteraan dan keluarganya. Pertambahan penduduk meningkatkan pertambahan tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional. Pasalnya, tenaga kerja merupakan bagian dari kegiatan ekonomi khususnya dalam proses produksi. Produktivitas diperlukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang akan meningkatkan pendapatan nasional. Pendapatan nasional merupakan indikator dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional. Pendekatan Saintifik Pada Materi Ketenagakerjaan Berdasarkan silabus Kurikulum 2013 mata pelajaran ekonomi (peminatan) untuk kelas XI semester satu (ganjil) pada kompetensi dasar 3.2 siswa diajak untuk menganalisis permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam pembahasan mengenai ketenagakerjaan terdapat beberapa materi yang harus disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik yaitu: 1) pengertian ketenagakerjaan, kesempatan kerja, tenaga kerja dan angkatan kerja; 2) upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja; 3) sistem upah; dan 4) pengangguran. Pembelajaran materi ketenagakerjaan dengan menggunakan pendekatan saintifik memiliki 3 kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup yang di dalamnya terdapat proses mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Pada kegiatan pendahuluan, guru membimbing peserta didik untuk berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai, selanjutnya guru menginformasikan garis besar tujuan pembelajaran materi ketenagakerjaan yaitu: 1) siswa dapat menunjukkan rasa syukur, jujur, tanggung jawab dan disiplin; 2) siswa dapat menunjukkan perilaku kerjasama dan komunikasi lisan; 3) siswa dapat mengidentifikasi pengertian dan perbedaan angkatan kerja, tenaga kerja, kesempatan kerja; 4) siswa dapat mengidentifikasi upaya peningkatan kualitas kerja dan macammacam upah; 5) siswa dapat menyebutkan sistem upah menurut UU No. 13/2003; 6) siswa dapat mendeskripsikan UMR; 7) siswa dapat mengidentifikasi jenis-jenis [ 264 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
pengangguran dan sebab-sebabnya; dan 8) siswa dapat mendeskripsikan cara-cara mengatasi masalah pengangguran. Terakhir dalam kegiatan pendahuluan guru memotivasi siswa untuk selalu berusaha dengan bekerja di berbagai bidang dengan kemampuan masing-masing, baik secara formal maupun non formal untuk memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya pada kegiatan inti pembelajaran materi ketenagakerjaan, guru mengajak siswa melaksanakan proses pertama dalam pendekatan saintifik yaitu mengamati. Guru meminta siswa untuk mengamati sebuah fenomena tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dalam pemutaran video yang telah disiapkan oleh guru sebelumnya. Mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a, hendaklah guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi. Ketika melakukan proses mengamati guru dan siswa harus cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan, memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi. Setelah proses mengamati selesai maka selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok dan diberi tugas untuk mengidentifikasi pengertian dan perbedaan antara angkatan kerja, tenaga kerja, kesempatan kerja. Peserta didik selanjutnya diarahkan untuk melakukan proses kedua dalam pendekatan yaitu menanya, dalam hal ini siswa di dalam masing-masing kelompoknya akan mengajukan pertanyaan dan saling berdiskusi untuk mendapatkan klarifikasi tentang pengertian dan perbedaan ketenagakerjaan, kesempatan kerja, tenaga kerja dan angkatan kerja. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Pada kegiatan pembelajaran ini siswa melakukan pembelajaran bertanya. Siswa yang pandai dan cerdas akan bertanya atau menjawab pertanyaan baik dari guru maupun dari teman. Proses yang ketiga dalam pendekatan saintifik adalah mengeksplorasi, di mana setelah siswa memahami tentang pengertian dan perbedaan tenaga kerja, angkatan kerja, dan kesempatan kerja maka selanjutnya guru mengarahkan siswa untuk mengumpulkan data dan informasi tentang upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja, sistem upah, dan pengangguran melalui buku, makalah, artikel, jurnal penelitian, dan lain sebagainya. Kegiatan belajarnya adalah 1) mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan P a g e [ 265 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kegiatan mengumpulkan informasi; 2) pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. Proses yang keempat adalah mengasosiasi, dalam hal ini peserta didik diharapkan mampu memberikan analisisnya terhadap informasi dan data-data yang diperoleh dari bacaan maupun dari sumber-sumber terkait serta membuat hubungan antar sub pembahasan dalam materi ketenagakerjaan untuk mendapatkan simpulan dan menemukan cara mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia dan di daerah sekitar tempat tinggal peserta didik. Kegiatan pembelajarannya selain membaca sumber lain selain buku teks juga bisa dengan mengamati objek/ kejadian/ aktivitas, wawancara dengan narasumber. Kompetensi yang dikembangkan dalam hal ini yaitu mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. Proses yang terakhir dalam pendekatan saintifik adalah mengkomunikasikan, masing-masing kelompok akan menyampaikan hasil analisis atau hasil observasinya kepada teman-teman tentang cara mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia di depan kelas dengan menggunakan media power point. Kegiatan pembelajaran pada proses mengkomunikasikan ini adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Di akhir pelajaran maka guru akan melaksanakan kegiatan penutupan. Dalam kegiatan penutupan ini guru dan siswa bersama-sama melakukan refleksi, kemudian guru melakukan penilaian yang dapat berupa tes lisan dengan beberapa pertanyaan (kognitif), lembar pengamatan (afektif), dan lembar pengamatan (psikomotorik), terakhir siswa mengerjakan soal-soal evaluasi yang diberikan oleh Guru. Penilaian dalam Pendekatan Saintifik pada Materi Ketenagakerjaan Penilaian yang dipakai dalam Kurikulum 2013 dengan diterapkannya Pendekatan Saintifik adalah Penilaian Otentik. Penilaian otentik memiliki ciri khas sebagai berikut: 1) merupakan penilaian berbasis portofolio; 2) pertanyaan yang diberikan tidak memiliki jawaban tunggal; 3) memberi nilai bagi jawaban nyeleneh; 4) menilai proses pengerjaannya bukan hanya hasilnya; 5) penilaian spontanitas/ekspresif, dan lain sebagainya. Penilaian di dapat dari semua aspek, dan pengambilan nilai siswa bukan [ 266 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Saintifik… (Jenitta Vaulina Puspita Sari)
hanya didapat dari nilai ujianya saja tetapi juga didapat dari nilai kesopanan, religi, praktek, sikap dan lain-lain. Penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assessment) atau penilaian menggunakan portofolio yang menilai kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh yang memiliki skala penilaian 1 sampai 4. Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar peserta didik atau bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran. Hasil penilaian otentik dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian otentik dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian Pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat proses pembelajaran dengan menggunakan alat: tes, angket, observasi, catatan, dan refleksi. Penilaian pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik meliputi penilaian proses, penilaian produk, dan penilaian sikap. Penilaian pada 3 aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) penilaian proses atau keterampilan dilakukan melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, maupun saat presentasi dengan menggunakan lembar observasi kinerja, penilaian proses di dalam pembelajaran dibagi menjadi 3 macam yaitu nilai praktik, nilai proyek, dan nilai portofolio; 2) penilaian produk berupa pemahaman konsep, prinsip, dan hukum dilakukan dengan tes tertulis, dalam pelaksanaannya penilaian produk tidak hanya dilakukan saat tes tertulis saja, namun bisa juga melalui tes lisan, dan penugasan; dan 3) penilaian sikap, melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, maupun saat presentasi dengan menggunakan lembar pengamatan sikap. Penilaian sikap dalam pembelajaran dibagi menjadi 3 yaitu melalui penilaian proses, penilaian antar teman, dan penilaian berdasarkan jurnal guru. Hal yang penting dalam penilaian adalah guru harus memiliki profesionalisme pendidik, guru yang profesional akan dapat mengumpulkan informasi penilaian yang valid dan reliable, mengingat tujuan pembelajaran bukan untuk pemerolehan sejumlah besar pengetahuan deklaratif, sehingga penilaian tidak cukup hanya melalui tes tertulis, secara spesifik penilaian dalam pembelajaran dapat ditujukan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah atau kemampuan berpikir kritis. Penilaian otentik memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan bila dihadapkan pada situasi-situasi masalah nyata, sehingga dapat digunakan untuk mengukur potensi pemecahan masalah peserta didik di samping kemampuan kerja kelompok. SIMPULAN Pembelajaran ekonomi pada materi ketenagakerjaan dengan menggunakan pendekatan saintifik membuat peserta didik berpikir dan berbuat yang diawali dengan P a g e [ 267 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengamati dan menanya sampai kemudian mereka berupaya untuk menalar, mencoba dan mengkomunikasikan temuannya. Dengan diterapkannya pendekatan saintifik siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi ketenagakerjaan di lingkungan sekitarnya. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu faktor yang penting yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi MEA 2013. Proses pembelajaran materi ketenagakerjaan menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Dengan dilaksanakannya Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajaran, guru diharapkan mampu melaksanakan pendekatan saintifik dengan maksimal agar hasil pembelajaran meningkat secara optimal. DAFTAR PUSTAKA Geminastiti, Kinanti. 2014. Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Peminatan IlmuIlmu Sosial. Bandung: Yrama Widya Kemdikbud. 2013. Pendekatan Scientific (Ilmiah) dalam Pembelajaran. Jakarta: Pusbangprodik Kemdikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013. Paparan Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud Kuncoro, Mudrajad. 2013. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi. Yogyakarta: STIM YPKN Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: PT.Remaja Rosdakarya Nurul,
H. 2013. Pengertian dan Langkah-Langkah Saintifik. (Online). (http://www.nurulhidayah.net/879-pengertian-dan-langkah-pembelajaransaintifik.html, diakses tanggal 26 Maret 2015)
Permendikbud. 2013. Jurnal Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta Rudolph, J.L. 2005. Epistemology for the masses: The origins of the scientific method in American schools. History of Education Quarterly, 45, 341-376 Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan. Bogor: Ghalia Indonesia Sisdiknas No 20 Tahun 2013. Sistem Dan Visi Misi Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Soekirno, Sadono. 2004. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Varelas, M and Ford M. 2009. The scientific method and scientific inquiry: Tensions in teaching and learning. USA: Wiley InterScience. [ 268 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI POKOK BAHASAN PASAR Maria Emanuela Ine
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan scientific untuk meningkatkan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Ekonomi pokok bahasan Pasar. Pendekatan scientific merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan sains yaitu mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan dengan materi pembelajaran. Pendekatan scientific lebih menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif. Kualitas pendidikan yang ada di NTT khususnya di Kabupaten Ngada, boleh dikatakan belum terlalu baik. Hal ini dapat diukur dari sarana prasarana yang masih kurang, mutu guru yang belum memadai, dan prestasi belajar siswa yang masih sangat rendah. Mutu guru erat kaitannya dengan kemampuan guru dalam memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan topik yang sedang dipelajari. Kemahiran dan profesionalitas seorang guru dalam memilih dan merancang pendekatan pembelajaran diharapkan akan menghasilkan sebuah pembelajaran yang efektif dan efisien. Pendekatan scientific dinilai sangat cocok untuk diterapkan sebagai pengganti pendekatan tradisional utamanya pada pokok bahasan Pasar. Alasannya karena dalam pendekatan scientific lebih menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif sepanjang kegiatan pembelajaran. Siswa diarahkan agar dapat mencari tahu sendiri faktafakta dan pengetahuan yang terkait dengan materi pelajaran. Dengan cara demikian maka diharapkan prestasi belajar siswa akan dapat ditingkatkan pada akhirnya. Kata kunci: Pendekatan Scientific, Prestasi Belajar, Pasar, Pendidikan Ekonomi
PENDAHULUAN Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi misi dan strategi pembangunan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia untuk menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
P a g e [ 269 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran yang mampu mengembangkan kreativitas siswa. Mulyoto (2013: 103) menyatakan bahwa “selama ini unsur kreativitas memang sering disebut-sebut pakar pendidikan, tapi pembelajaran yang memberi ruang kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas belum mendapat tempat”. Di samping itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan bahwa kurikulum 2013 juga mengamanatkan untuk mendorong peserta didik agar mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, menalar, dan mengkomunikasikan terhadap apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran (Kemendikbud, 2013:3-4). Intinya, yang menjadi ciri khas pembelajaran dalam Kurikulum 2013 adalah pembelajaran berbasis pendekatan scientific yang saat ini tentunya menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut oleh para pendidik maupun pemerhati pendidikan. Pendekatan scientific menjadikan pembelajaran lebih aktif dan tidak membosankan, siswa dapat mengonstruksi pengetahuan dan keterampilannya melalui fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelidikan di lapangan guna pembelajaran. Selain itu, dengan pembelajaran berbasis pendekatan scientific ini, siswa didorong lebih mampu dalam mengobservasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan atau mempresentasikan hal-hal yang dipelajari dari fenomena alam ataupun pengalaman langsung (Kemendikbud, 2013: 203,212). Pada pembelajaran ekonomi misalnya, siswa dapat diajak melihat langsung peristiwa, mengamati kejadian, fenomena, konteks atau situasi yang berkaitan dengan pasar, seperti kegiatan penawaran dan permintaan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan demikian, siswa selalu mengingatnya dan proses pembelajaran terasa lebih berkesan. Kondisi pendidikan yang ada di NTT khususnya di Kabupaten Ngada, boleh dikatakan belum memiliki kualitas yang begitu baik. Hal ini dapat diukur dari hasil prestasi belajar siswa yang sangat rendah. Alasan lainnya adalah karena sarana prasarana yang belum memadai, mutu guru, dan kondisi ekonomi siswa. Berbicara mengenai pemilihan dan pendekatan pembelajaran yang sesuai erat kaitannya dengan mutu seorang guru. Mutu seorang guru dapat diukur melalui kemahiran dan profesionalitas seorang guru dalam merancang sebuah pembelajaran yang efektif dan efisien. Keefektifan dan keefisienan sebuah pembelajaran diukur dari tingkat pemahaman materi oleh siswa yang berujung pada peningkatan prestasi belajar siswa. Untuk itu peran guru adalah memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, yang mampu membawa siswa kepada pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya. Kenyataan di Kabupaten Ngada, guru masih menggunakan model pembelajaran tradisional. Hal ini berdampak kepada pencapaian prestasi siswa yang kurang maksimal. Untuk mencapai tujuan pembelajaran ekonomi secara efektif guru dianjurkan untuk beralih dari pendekatan tradisional dan menerapkan metode pembelajaran yang inovatif. Pembelajaran inovatif berarti bahwa pembelajaran dikemas oleh guru atau instruktur lainnya yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru agar [ 270 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
memfasilitaskan siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dianjurkan yakni, pendekatan scientific. Dalam pendekatan scientific menjadikan siswa yang diberi tahu menjadi siswa yang mencari tahu, dari guru yang merupakan sumber belajar menjadi belajar dari beraneka macam sumber, dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah, dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi, pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pebelajar sepanjang hayat. Makalah ini berupaya untuk melihat penerapan pendekatan pembelajaran scientific terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi. Masalah dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah penerapan pendekatan scientific terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar? (2) Bagaimanakah penilaian scientific dalam pembelajaran ekonomi? Dengan demikian, tujuan dari penulisan makalah ini di antaranya: (1) Untuk mengetahui sejauh mana penerapan pembelajaran pendekatan scientific terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar; (2) Untuk mengetahui penilaian scientific dalam pembelajaran ekonomi. PEMBAHASAN Pendekatan Scientific Metode scientific pertama kali diperkenalkan melalui ilmu pendidikan Amerika pada akhir abad ke-19, sebagai penekanan pada metode laboratorium formalistik yang mengarah pada fakta-fakta ilmiah (Rohandi, 2005:25). Menurut Fauziah (2013) pendekatan saintifik mengajak siswa langsung dalam menginferensi masalah yang ada dalam bentuk rumusan masalah dan hipotesis, rasa peduli terhadap lingkungan, rasa ingin tahu dan gemar membaca. Dalam pelaksanaanya, siswa akan memperoleh kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri serta mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Menurut Nur (dalam putra, 2013:12) Pendekatan scientific merupakan pendekatan pembelajaran di mana peserta didik diajak untuk melakukan proses pencarian pengetahuan berkenaan dengan materi pelajaran melalui berbagai aktivitas proses sains sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan (scientist) dalam melakukan penyelidikan ilmiah yang artinya peserta didik diarahkan untuk menemukan sendiri berbagai fakta, membangun konsep, dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk kehidupannya. Menurut Irwandi (2012) pendekatan saintifik merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta tetapi merupakan hasil menemukan sendiri. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan sains yaitu mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan dengan materi pembelajaran. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran P a g e [ 271 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya “sense of inquiry” dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendekatan scientific lebih menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif. Metode scientific sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner (dalam Carin & Sund, 1975). Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Empat hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode scientific. Teori Piaget, menyatakan bahwa belajar berkaitan dengan pembentukan dan perkembangan skema (jamak skemata). Skema adalah suatu struktur mental atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya (Baldwin, 1967). Skema tidak pernah berhenti berubah, skemata seorang anak akan berkembang menjadi skemata orang dewasa. Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan skemata disebut dengan adaptasi. Proses terbentuknya adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Vygotsky, dalam teorinya menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. (Nur dan Wikandari, 2000:4). Tujuan pembelajaran dengan pendekatan scientific didasarkan pada keunggulan pendekatan tersebut. Beberapa tujuan Pembelajaran dengan pendekatan scientific adalah: 1. Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. 2. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik. 3. Terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan. 4. Diperolehnya hasil belajar yang tinggi. 5. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah. [ 272 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
6. Untuk mengembangkan karakter siswa. Suatu pengetahuan ilmiah hanya dapat diperoleh dari metode ilmiah. Metode ilmiah pada dasarnya memandang fenomena khusus (unik) dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan pada simpulan. Demikian diperlukan adanya penalaran dalam rangka pencarian (penemuan). Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Oleh karena itu, penerapan pendekatan ilmiah memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. 2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. 3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. 4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. 5. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. 6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. (Kemdikbud, 2013: 2-3) Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific). Langkah-langkah dalam pendekatan scientific dikatakan sebagai pembelajaran terhadap pengetahuan ilmiah yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dalam ilmu-ilmu social termasuk juga ilmu ekonomi. Dalam pembelajaran ekonomi yang dikehendaki adalah jawaban mengenai fakta-fakta dalam ekonomi. Menurut Bloom dan Krathwohl dan Bloom dan Maria (dalam Rusman, 2009:24-25) dalam proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa”. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard
P a g e [ 273 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan scientific terdiri atas enam pengalaman belajar pokok, yang terdiri dari: 1. Mengamati: membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat) untuk mengidentifikasi masalah yang ingin diketahui. 2. Menanya mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik) 3. Mencoba/mengumpulkan data (informasi): melakukan eksperimen, membaca sumber lain dan buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas, wawancara dengan narasumber. 4. Mengasosiasikan/mengolah informasi: mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. 5. Mengkomunikasikan: Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya 6. (Dapat dilanjutkan dengan) Mencipta: menginovasi, mencipta, mendisain model, rancangan, produk (karya) berdasarkan pengetahuan yang dipelajari. Kegiatan pembelajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Kegiatan inti merupakan kegiatan utama dalam proses pembelajaran atau dalam proses penguasaan pengalaman belajar (learning experience) siswa. Kegiatan penutup ditujukan untuk dua hal pokok. Pertama, validasi terhadap konsep, hukum atau prinsip yang telah dikonstruk oleh siswa. Kedua, pengayaan materi pelajaran yang dikuasai siswa. Prestasi Belajar Setiap kegiatan yang dilakukan siswa akan menghasilkan suatu perubahan pada dirinya. Perubahan tersebut meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Hasil belajar yang diperoleh siswa diukur berdasarkan perbedaan tingkah laku sebelum dan sesudah belajar dilakukan. Salah satu indicator terjadinya perubahan hasil belajar di sekolah adalah proses belajar yang dapat dilihat melalui angka-angka di dalam rapor atau daftar nilai yang diperoleh siswa pada akhir semester. Winkel (2004:16) mengatakan “prestasi adalah bukti keberhasilan yang telah dicapai”. Sedangkan belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku yang merupakan hasil dari pengalaman. Dengan demikian prestasi belajar adalah bukti keberhasilan yang telah dicapai yang merupakan hasil dari pengalaman. Menurut Tu’u (2004:75) menyatakan prestasi belajar merupakan penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang lazimnya [ 274 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Sedangkan menurut Azwar (2010:87), prestasi belajar merujuk pada apa yang mampu dilakukan oleh seseorang dan seberapa baik ia melakukannya dalam menguasai bahan-bahan dan materi ajar yang telah diajarkan. Sementara Purwanto (2007) mengemukakan pengertian prestasi belajar yaitu “hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam rapor”. Sedangkan Gintings (2010: 87) mengemukakan “prestasi belajar siswa adalah hasil berbagai upaya dan daya yang tercermin dari partisipasi belajar yang dilakukan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang diajarkan oleh guru”. Dalam hubungan dengan pelajaran di sekolah, prestasi belajar yang diperoleh meliputi semua mata pelajaran, misalnya prestasi siswa pada mata pelajaran ekonomi. Prestasi belajar ekonomi adalah hasil yang telah dicapai setelah menguasai pengetahuan atau keterampilan dalam pelajaran ekonomi pokok bahasan pasar yang ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka semakin baik pula prestasi belajar yang didapatkan. Prestasi belajar tersebut dapat diamati dari ketercapaian hasil belajar siswa yang ditentukan oleh kriteria ketuntasan minimum (KKM). Melalui KKM tersebut dapat diketahui tinggi rendahnya nilai siswa yang diperoleh dan menunjukkan tingkat prestasi belajar siswa. Menurut Muhibbin Syah (2005:132), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, antara lain sebagai berikut: 1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa, antara lain tingkat kecerdasan/intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa, dan motivasi siswa. 2. Faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa, yang terdiri dari lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial. 3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Jadi, keberhasilan siswa selain dipengaruhi oleh beberapa faktor di atas namun sangat dipengaruhi juga oleh intelegensi, hal ini dikarenakan intelegensi merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar. Intelegensi merupakan dasar potensial bagi pencapaian hasil belajar, di mana hasil belajar yang akan dicapai tergantung pada tingkat intelegensi. Jika intelegensi tinggi, maka kemungkinan prestasi belajar siswa yang diraih juga tinggi, dan semakin tinggi motivasi yang dimiliki siswa maka prestasi belajar yang akan diraih tinggi. Materi Pelajaran Pokok Bahasan Pasar Pasar adalah tempat pertemuan antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli akan barang dan jasa. Pengertian pasar dapat diperluas lagi, yaitu terjadinya hubungan antara penjual dan pembeli, baik secara langsung tatap muka) maupun tidak langsung (melalui media pesawat telepon, faximile, dan internet) dalam P a g e [ 275 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 melakukan transaksi (jual beli) barang dan jasa. Suatu tempat dapat kita katakan sebagai pasar jika memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Ada calon penjual dan pembeli; 2. Ada barang/jasa yang hendak diperjualbelikan; dan 3. Terjadinya proses tawar menawar. Fungsi pasar 1. Fungsi pembentukan harga Jika kamu amati, di pasar biasanya terjadi proses tawar menawar harga. Penjual menawarkan barang dengan harga tertentu. Di sisi lain, pembeli menginginkan barang dengan harga tertentu pula. Jika terjadi kesepakatan, terbentuklah harga pasar atau harga keseimbangan. 2. Fungsi promosi Bagi produsen yang memproduksi barang-barang baru dapat memperkenalkan barang-barang tersebut di pasar. Kita sering melihat barang dengan kemasan baru dan warna baru. Jadilah, pasar sebagai tempat untuk mempromosikan barang-barang baru. 3. Fungsi penyerapan tenaga kerja Selain pedagang dan pembeli, di pasar juga terdapat banyak orang yang terlibat dalam kegiatan jual beli, seperti: kuli angkut, pelayan toko, tukang sapu, dan tukang parkir. Dengan demikian, jadilah pasar sebagai tempat untuk penyerapan tenaga kerja. Jenis-jenis pasar Berdasarkan Barang yang Diperjualbelikan Berdasarkan barang yang diperjualbelikan, pasar dapat dikelompokkan menjadi: 1. Pasar Barang Konsumsi: Pasar barang konsumsi, yaitu jenis pasar yang menjual atau menyediakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Misalnya, makanan, minuman, dan pakaian. Yang termasuk pasar konsumsi adalah pasar hewan, pasar bunga, pasar sembako, dan pasar hewan. 2. Pasar Barang Produksi: Pasar barang produksi, yaitu jenis pasar yang memperjualbelikan barang faktor-faktor produksi, seperti: bahan baku industri, tenaga kerja, mesin, dan peralatan lain yang semuanya merupakan sumber daya produksi yang digunakan untuk memproduksi barang lain. Berdasarkan luasnya kegiatan atau distribusi Berdasarkan luasnya kegiatan, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pasar Lokal (Setempat): Pasar lokal, yaitu pasar yang memperjualbelikan barang kebutuhan konsumen yang bertempat tinggal di sekitar pasar, dan barang yang diperjualbelikannya biasanya hasil budidaya masyarakat sekitar. 2. Pasar Daerah: Untuk daerah yang cakupannya lebih luas, selain pasar lokal ada juga pasar daerah, yaitu pasar wilayah. Letaknya biasanya di ibukota, kabupaten, pusat kota, atau ibukota provinsi. Pasar ini lebih besar dari pasar lokal karena merupakan
[ 276 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
tempat jual beli konsumen satu daerah atau satu wilayah (kota, kabupaten, atau provinsi). Contohnya: pasar kabupaten, pasar kota, dan pasar provinsi. 3. Pasar Nasional: Di wilayah yang lebih luas, seperti negara, terdapat juga jenis pasar yang lain, yaitu pasar nasional. Pasar ini memperjualbelikan barang kebutuhan konsumen untuk satu negara (tingkat nasional). Contoh pasar nasional, yaitu bursa efek yang memperjualbelikan saham konsumen dalam negeri. 4. Pasar Internasional: Suatu negara tidak terlepas dari perdagangan internasional. Perdagangan tersebut menuntut adanya tempat khusus yang mempertemukan para penjual dan pembeli dari berbagai negara. Tempat khusus tersebut disebut pasar internasional. Contoh pasar internasional, yaitu pasar tembakau di Bremen, Jerman dan pasar karet di New York, Amerika Serikat. Berdasarkan Ketersediaan Barang yang Diperjualbelikan Berdasarkan ketersediaan barang yang diperjualbelikan, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pasar Konkret: Pasar konkret adalah pasar yang memperjualbelikan barang, dan barangnya ada di pasar tersebut. Setelah dibayar, barang bisa langsung dibawa (cash and carry). Contoh pasar konkret, yaitu pasar sehari-hari, pasar burung, pasar hewan, pasar sayur, pasar pakaian jadi, pasar kain, toserba, supermarket, swalayan, dan minimarket. 2. Pasar Abstrak (Pasar Tidak Nyata): Selain pasar konkret, ada jenis pasar lain, yaitu pasar abstrak. Pasar abstrak adalah pasar yang memperjualbelikan barang, tetapi barangnya tidak ada di pasar tersebut. Contoh pasar abstrak adalah pasar tenaga kerja, pasar obat-obatan, pasar tembakau Bremen di Jerman, Bursa Efek Jakarta, dan Bursa Valuta Asing. Berdasarkan Waktu Berdasarkan waktu, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pasar Harian: Pasar yang diadakan sehari-hari disebut pasar harian. Pasar ini buka setiap hari dan menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Contoh pasar harian, yaitu pasar tradisional dan swalayan. 2. Pasar Mingguan: Selain pasar harian, ada juga pasar mingguan. Pasar ini dapat ditemukan aktivitasnya setiap minggu. Contoh pasar mingguan, yaitu Pasar Senin, Pasar Rebo, dan Pasar Minggu. 3. Pasar Bulanan: Setiap pasar bulanan mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu beroperasi sebulan sekali. Pasar ini disebut pasar bulanan. Biasanya, para pedagang menjual barang-barang tertentu, seperti hewan, kerajinan, dan perlengkapan produksi. 4. Pasar Tahunan: Pasar yang melakukan aktivitasnya setahun sekali disebut pasar tahunan. Pasar ini biasanya diadakan karena ada peristiwa-peristiwa tertentu yang diperingati setiap tahun. Contoh pasar tahunan, yaitu Pekan Raya Jakarta, Pasar Agustusan, dan Vancouver Fair di Kanada. P a g e [ 277 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Berdasarkan Bentuk atau Struktur Pasar Berdasarkan bentuk atau struktur pasar, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pasar Sempurna: Di pasar biasanya para penjual dan pembeli mengetahui dengan baik harga barang, jenis barang, dan kualitas barang yang diperjualbelikan. Hal ini merupakan salah satu ciri pasar sempurna. Ciri lain dari pasar sempurna adalah: a) Pembeli dan penjual bebas berinteraksi untuk membeli atau menjual barang kepada siapapun. b) Barang yang diperjualbelikan bersifat homogen (sejenis) yang berarti barang-barang tersebut dapat saling mengganti satu dengan yang lain (terdapat banyak barang subsitusi). 2. Pasar Tidak Sempurna: Selain pasar sempurna, ada juga pasar yang tidak sempurna. Pasar tidak sempurna adalah pasar yang tidak terorganisir secara sempurna. Ciricirinya adalah: a) Pembeli dan penjual tidak mengetahui keadaan pasar dengan baik. b) Pembeli dan penjual tidak bebas berinteraksi. c) Barang yang diperjualbelikan bersifat heterogen (beraneka ragam). Apabila suatu pasar memiliki paling sedikit satu ciri tersebut, pasar tersebut tergolong pasar tidak sempurna. Berdasarkan Sifat Pembentukan Harga Berdasarkan sifat pembentukan harga, pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pasar Persaingan: Pasar yang pembentukan harganya dilakukan oleh persaingan antara permintaan dan penawaran disebut pasar persaingan. Contohnya, jika permintaan naik, sedangkan penawaran tetap, maka harga akan naik. Sebaliknya, jika permintaan turun, sedangkan penawaran naik, maka harga akan turun. 2. Pasar Monopoli: Pasar yang pembentukan harganya dilakukan oleh satu kelompok disebut pasar monopoli. Satu orang atau satu kelompok tersebut menguasai penawaran atau penjualan sehingga mereka bebas menentukan barang dan harga yang dijualnya. Contohnya pembentukan tarif listrik oleh PLN, pembentukan tarif telepon kabel oleh Telkom, dan pembentukan tarif air oleh PDAM. 3. Pasar Duopoli: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh beberapa orang atau beberapa kelompok yang menguasai penawaran atau penjualan disebut pasar duopoli. 4. Pasar Oligopoli: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh beberapa orang atau beberapa kelompok yang menguasai penawaran atau penjualan disebut pasar oligopoli. Contohnya pada pasar lemari es, ada beberapa penjual dengan beberapa merk yang terlibat dalam penentuan harga di pasar. Contoh pasar oligopoli yang lain, yaitu pasar sepeda motor, pasar televisi, dan pasar semen. 5. Pasar Monopsoni: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh satu orang atau sekelompok pembeli disebut pasar monopsoni. Misalnya, di suatu wilayah terdapat perkebunan tembakau yang luas, ternyata ada satu perusahaan yang bersedia membeli tembakau tersebut. Akibatnya, perusahaan tersebut dapat menekan harga tembakau serendah-rendahnya. [ 278 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
6. Pasar Duopsoni: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh dua orang atau dua kelompok pembeli yang menguasai pembelian disebut pasar duopsoni. 7. Pasar Oligopsoni: Pasar yang pembentukan harganya ditentukan oleh beberapa orang atau beberapa kelompok yang menguasai permintaan atau pembelian disebut pasar oligopsoni Penerapan Pendekatan Pembelajaran Scientific Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Karakteristik pembelajaran terkait erat dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai, dan Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang dikembangkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memiliki karakteristik berbeda untuk masing-masing mata pelajaran. Sikap diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Pencapaian kompetensi tersebut berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh sebab itu, guru harus merencanakan pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum dengan menggunakan pendekatan scientific dan model pembelajaran yang mendorong kemampuan peserta didik untuk melakukan penyingkapan/penelitian, serta dapat menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok. Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma: (1) Peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu; (2) Guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar; (3) Pendekatan tekstual menjadi pendekatan proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah; (4) Pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi; (5) Pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu; (6) Pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi; (7) Pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif; (8) Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hard skill) dan keterampilan mental (soft skills); (9) Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat; (10) Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani); (11) Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat; (12) Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas; (13) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk P a g e [ 279 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan (14) Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik. Pembelajaran scientific merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkahlangkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Pembelajaran tersebut tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, tetapi proses pembelajaran dipandang sangat penting. Pendekatan ini menekankan pada proses pencarian pengetahuan, berkenaan dengan materi pembelajaran melalui berbagai kegiatan, yaitu mengamati, menanya, mengeksplor/mengumpulkan informasi/mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. 1. Mengamati: Kegiatan mengamati bertujuan agar pembelajaran berkaitan erat dengan konteks situasi nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Yang diamati adalah materi yang berbentuk fakta, yaitu fenomena atau peristiwa dalam bentuk gambar, video, rekaman suara atau fakta langsung yang bisa dilihat dan disentuh. Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi, melihat, mendengar, membaca, dan atau menyimak. Dalam pembelajaran Ekonomi, kegiatan mengamati dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, siswa diterjunkan langsung untuk mengamati keadaan di pasar, ketika melakukan pengamatan siswa dapat mengumpulkan informasi. Melalui pengamatan dan data yang dikumpulkan maka siswa dapat menjelaskan pengertian, fungsi dari pasar itu sendiri dan jenis-jenis pasar. 2. Menanya: Kegiatan menanya dilakukan sebagai salah satu proses membangun pengetahuan peserta didik dalam bentuk konsep, prinsip, prosedur, hukum dan teori, hingga berpikir metakognitif. Tujuannya agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (critical thinking skill ) secara kritis, logis, dan sistematis. Proses menanya dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan diskusi kelas. Praktik diskusi kelompok memberi ruang kebebasan mengemukakan ide/gagasan dengan bahasa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran ekonomi pokok bahasan pasar siswa dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam kegiatan diskusi, misalnya: menjelaskan contoh apa saja yang dapat menjelaskan tentang jenis-jenis pasar dan bagaimana cara mengetahui kegiatan penawaran barang dan jasa dengan benar. 3. Mengeksplor/mengumpulkan: Kegiatan mengeksplor/mengumpulkan informasi, atau mencoba bermanfaat untuk meningkatkan keingintahuan peserta didik dalam mengembangkan kreativitas, dan keterampilan berkomunikasi. Kegiatan ini mencakup merencanakan, merancang, dan melaksanakan eksperimen, menyajikan data, mengolah data, dan menyusun kesimpulan. Pemanfaatan sumber belajar termasuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sangat disarankan. Kegiatan mengumpulkan informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain buku dan internet. Dalam pembelajaran Ekonomi, kegiatan mengumpulkan informasi/mencoba dapat dilakukan sebagai berikut, mewawancarai pembeli atau penjual tentang bagaimana cara untuk melakukan kegiatan permintaan dan [ 280 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
penawaran yang baik, mencari berbagai sumber baik dari buku pelajaran maupun dari internet yang berhubungan dengan pasar. 4. Mengasosiasi/menalar: Kegiatan mengasosiasi bertujuan untuk membangun kemampuan berpikir dan bersikap ilmiah. Kegiatan ini di dalamnya termasuk memproses informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan bahkan mengambil berbagai kesimpulan dari pola yang ditemukan. Data yang diperoleh diklasifikasi, diolah, dan ditemukan hubungan-hubungan yang spesifik. Dalam hal ini siswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya tentang informasi yang mereka peroleh masing-masing untuk menemukan kesamaan pengertian dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran Ekonomi, kegiatan mengasosiasi dapat dilakukan sebagai berikut, contoh: menerapkan konsep pasar dalam kegiatan simulasi di kelas. 5. Mengkomunikasikan: Kegiatan mengomunikasikan adalah sarana untuk menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, gambar/sketsa, diagram, grafik, atau perilaku. Kegiatan ini dilakukan agar peserta didik mampu mengomunikasikan pengetahuan, keterampilan, dan penerapannya, serta kreasi peserta didik melalui presentasi, membuat laporan, dan/atau unjuk kerja. Dalam pembelajaran Ekonomi, kegiatan mengomunikasikan dapat dilakukan sebagai berikut, contoh: mempresentasikan hasil pengamatan berupa data-data yang diperoleh siswa di lapangan khususnya mengenai pasar dan selain itu siswa dapat memaparkan data-data yang didapatkan dari berbagai sumber mengenai pengertian pasar, fungsi pasar dan jenis-jenis pasar. Dari uraian yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific memiliki kekhasan sendiri karena dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, dengan langkah-langkah yang memacu siswa untuk lebih aktif dalam mengikuti pelajaran, yang mana pelajaran tidak berpusat pada guru tetapi lebih memacu sisswa untuk lebih aktif, inovatif dan kreatif. Penilaian Pendekatan Scientific dalam Mata Pelajaran Ekonomi Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input) , proses , dan keluaran (output) pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian autentik menilai kesiapan peserta didik, serta proses dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen (input – proses – output) tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan hasil belajar peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran. Mata Pelajaran Ekonomi merupakan salah satu mata pelajaran yang ada pada struktur Kurikulum 2013, oleh sebab itu penilaian hasil belajar Ekonomi harus dikembangkan sesuai dengan konsep penilaian Kurikulum 2013, yaitu penilaian autentik yang mencakup domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dicapai P a g e [ 281 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 peserta didik secara terpadu. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Penilaian autentik mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengamati/mengobservasi, menanya, mencoba, menalar, membangun jejaring atau mengomunikasikan. Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian autentik disebut juga penilaian responsif, suatu metode untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik yang memiliki ciri-ciri khusus, mulai dari mereka yang mengalami kelainan tertentu, memiliki bakat dan minat khusus, hingga yang jenius. Penilaian autentik dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu seperti seni atau ilmu pengetahuan pada umumnya, dengan orientasi utamanya pada proses dan hasil pembelajaran. Implementasi penilaian autentik didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut; 1. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran, 2. Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan masalah dunia sekolah, 3.Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metode dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar, 4. Penilaian harus bersifat holistic yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (sikap, keterampilan, dan pengetahuan). Hasil penilaian autentik dapat digunakan oleh pendidik untuk merencanakan program perbaikan, pengayaan, atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian autentik dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran yang memenuhi Standar Penilaian Pendidikan. Penilaian autentik dalam pembelajaran Ekonomi sebagai berikut; Penilaian Kompetensi Sikap Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri (self assessment), penilaian teman sejawat/antarpeserta didik (peer assessment), dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah lembar pengamatan berupa daftar cek (checklist ) atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik. Rubrik adalah daftar kriteria yang menunjukkan kinerja, aspek- aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat yang paling sempurna sampai yang paling rendah dengan kriteria sebagai berikut: Sederhana/mencakup aspek paling esensial untuk dinilai, Praktis/ mudah digunakan, Tidak membebani guru, Menilai dengan efektif aspek yang akan diukur, Dapat digunakan untuk penilaian proses dan tugas sehari-hari . Peserta didik dapat mempelajari rubrik & mengecek hasil penilaiannya Rubrik kunci adalah rubrik sederhana berisi seperangkat kriteria yang menunjukkan indikator esensial paling penting yang dapat menggambarkan capaian kompetensi peserta didik. a) Observasi (pengamatan) merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator [ 282 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
perilaku yang diamati. Kriteria instrumen observasi: Mengukur aspek sikap yang dituntut pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sesuai dengan kompetensi yang akan diukur, memuat indikator sikap yang dapat diobservasi, mudah atau feasible untuk digunakan dapat merekam sikap peserta didik Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri. Penggunaan teknik ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan teknik penilaian diri dalam penilaian di kelas sebagai berikut: dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri; peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya; dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian. Kriteria instrumen penilaian diri: dirumuskan secara sederhana, namun jelas dan tidak bermakna ganda, bahasa lugas dan dapat dipahami peserta didik, menggunakan format sederhana yang mudah dipahami peserta didik, menunjukkan kemampuan peserta didik dalam situasi yang nyata / sebenarnya, mengungkap kekuatan dan kelemahan capaian kompetensi peserta didik bermakna, mengarahkan peserta didik untuk memahami kemampuannya, mengukur target kemampuan yang akan diukur (valid) memuat indikator kunci/indikator esensial yang menunjukkan kemampuan yang akan diukur, memetakan kemampuan peserta didik dari terendah sampai tertinggi. SIMPULAN Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Ngada sebelum menggunakan pendekatan scientific yakni, para guru selalu menggunakan pendekatan pembelajaran tradisional, di mana guru merupakan sumber informasi sedangkan siswa harus mengingat apa yang dikatakan oleh guru. Pendekatan tradisional ini tidak memberikan motivasi keterampilan siswa untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak, menemukan prinsip-prinsip belajar yang baru, dan membangun pengetahuan siswa dan mempraktikkan apa yang telah didapatkan oleh siswa itu sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi yang mana otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu, untuk dihubungkan dengan kehidupan seharihari. Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka hanya pintar secara teoretis, tetapi mereka miskin aplikasi. Dengan adanya pendekatan scientific ini dinilai sangat cocok untuk diterapkan sebagai pengganti dari pendekatan tradisional, karena pendekatan scientific ini lebih menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif, yakni siswa dapat mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan P a g e [ 283 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dengan materi pembelajaran. Berbagai kelebihan-kelebihan dari pendekatan scientific ini adalah menjadikan siswa yang diberi tahu menjadi siswa yang mencari tahu, dari guru yang merupakan sumber belajar menjadi belajar dari beraneka macam sumber, dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah, , dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi, pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pebelajar sepanjang hayat. DAFTAR PUSTAKA Baldwin, A.L. 1967. Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons. Bloom, Benjamin S. 1956. Taxonomy of educational objectives: The Classification Of Educational Goals. London: David McKay Company, Inc. Bloom, Benjamin S. Krathwohl, DR, Maria BB. 1964. Taxonomy of educational objectives: The Classification Of Educational Goals. Handbook II. Affective Domain. New York David McKay Company, Inc. Carin, A.A. & Sund, R.B. 1975. Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company. Depdiknas 2011. Undang-Undang Sisdiknas (UU RI Tahun 2003). Jakarta: Sinar Grafika Fauziah, R. et al. 2013. Pembelajaran Saintifik Elektronika Dasar Berorientasi Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Invotec, 9(2): 165-178. Gintings, Abdorakhman. 2010. Esensi Praktis Belajar Dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora. Huda, Mithaful.2013. Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Irwandi. 2012. Pengaruh Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Biologi melalui Strategi Inkuiri dan Masyarakat Belajar pada Siswa dengan Kemampuan Awal Berbeda terhadap Hasil Belajar kognitif di SMA Negeri Kota Bengkulu. Jurnal Kependidikan Triadik, 12(1): 33-41. Kemendikbud, 2013. Pendekatan scientific (ilmiah) dalam pembelajaran. Jakarta: pusbangprodik. Kemendikbud, 2013. Pengembangan kurikulum 2013. Paparan mendikbud dalam sosialisasi kurikulum. Jakarta: kemendikbud. Komara, Endang. (2013). Pendekatan Scientific dalam Kurikulum 2013 (online). (http://endang komaras blog.blogspot.com/2013/10/pendekatan scientificdalam kurikulum.html diakses pada tanggal 5 Maret 2013) Mulyoto. 2013. Strategi Pembelajaran di era kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Putrakaraya. Nur, M. & Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya University Press. Nur, M. 2011. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: PSMS Unesa. [ 284 ] P a g e
Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Permendikbud nomor 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Rohandi, R. 2005. Pendidikan Sains Yang Humanistik: Memperdayakan Anak Melalui Pendidikan Sains. Yogyakarta: Kanisius. Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum: Seri Manajemen Sekolah Bermutu. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Suhendi, Hendi. 2012. Pendekatan Pembelajaran Scientific di Kurikulum 2013 (online). ( Wordpress. Com/2013 107 /18 / Pendekatan-Pembelajaran-Scientific di Kurikulum-20131 diakses pada tanggal 5 Maret 2A14) Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Syodih, Nana. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Trianto. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Bumi Aksara Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pad Perilaku Dan Prestasi Siswa. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Umi Fadhilah Ismawati & Sri Mulyaningsih. (2014). Pengaruh Penerapan Pembelajaran Dengan Pendekatan Scientific Pada Materi Elastisitas Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika (JIPF). 3(3), 32-35. W.S. Winkel, 1996. Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, cet.,5 Warsono & Hariyanto. 2013. Pembelajaran Aktif Teori dan Assessment. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
P a g e [ 285 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS MELALUI PENDEKATAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, INTELEKTUAL) Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Pembelajaran ekonomi di sekolah menengah dianjurkan untuk menggunakan pendekatan SAVI. Pendekatan Somatis, Auditori, Visual dan Intelektual (SAVI) diimplementasikan dengan harapan dapat memfasilitasi siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar mereka. Pendekatan SAVI merupakan pendekatan yang mengintegrasikan keempat unsur sehingga peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan tidak mengabaikan cara dan gaya belajar peserta didik. Pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan SAVI adalah kooperatif. Karena dalam model ini menekankan adanya kerjasama dalam proses belajar yang juga merupakan salah satu prinsip dasar belajar yang dikemukakan oleh Meier. Kata kunci: Pendekatan SAVI, kerjasama, aktif
PENDAHULUAN Semakin pesatnya teknologi dan ilmu pengetahuan, memberikan dampak tersendiri terhadap berbagai bidang kehidupan salah satu di antaranya adalah bidang pendidikan. Dalam menghadapi pesatnya teknologi dan ilmu pengetahuan, sudah seharusnya disertai dengan meningkatnya sumber daya manusia. Untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas diperlukan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan pendidikan sangat tergantung dari kemampuan guru dalam menyediakan fasilitas yang akan menunjang peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Ada sebagian peserta didik yang membutuhkan penggambaran visual dan fisik dari konsep-konsep yang diajarkan dan ada juga sebagian peserta didik menyukai jawaban secara langsung (Meir, 2002:83-84). Salah satu cara efektif guru adalah dapat memilih suatu pendekatan yang membuat peserta didik terlibat secara aktif sepenuhnya dalam pembelajaran, karena pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indera dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Pendekatan yang dapat menggabungkan gerakan fisik, aktivitas intelektual dan penggunaan semua indera adalah pendekatan SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelektual). Meier (2002:100) menjelaskan bahwa Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam satu peristiwa pembelajaran. Misalnya, seorang peserta didik dapat belajar sedikit dengan menyaksikan presentasi (V), tetapi ia dapat belajar jauh lebih banyak jika dapat melakukan sesuatu ketika presentasi sedang berlangsung (S), membicarakan apa yang mereka pelajari (A), dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut untuk menyelesaikan masalah- masalah yang ada (I). [ 286 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keterampilan… (Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo)
Pendekatan SAVI merupakan pendekatan yang mengintegrasikan keempat unsur sehingga peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan tidak mengabaikan cara dan gaya belajar peserta didik. Pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan SAVI adalah kooperatif. Karena dalam model ini menekankan adanya kerjasama dalam proses belajar yang juga merupakan salah satu prinsip dasar belajar yang dikemukakan oleh Meier. Sebelumnya telah ada peneliti yang meneliti mengenai pendekatan SAVI. Penelitian oleh Sutrisni (2011:40) tentang penerapan pendekatan SAVI yang menyatakan respon peserta didik ketika mengikuti pelajaran matematika adalah positif. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pendekatan SAVI dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. PEMBAHASAN Suharsono. 2011. Upaya Meningkatkan Belajar Hasil Matematika Siswa melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Drilling (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VII SMP Negeri 1 Trowulan Mojokerto). Berdasarkan penelitiannya diperoleh informasi bahwa ada peningkatan terhadap Hasil Belajar siswa jika menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe SNOWBALL DRILING. Rosa, Rina, Dkk. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Probing Promting Untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis dan Hasil Belajar Biologi (PTK Pembelajaran Biologi Kelas VIIISMP Negeri Bangkinang Barat). Berdasarkan penelitihannya, diperoleh informasi bahwa ada peningkatan terhadap Keterampilan Berfikir Kritis dan Hasil Belajar siswa jika menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe PROBING PROMTING. Setu Budiarjo (2010) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe JIGSAW Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Teknik (PTK Pembelajaran Teknik Kendaraan Kelas XIISMK Negeri 5 Semarang). Berdasarkan penelitiannya, diperoleh informasi bahwa ada peningkatan terhadap hasil Belajar siswa jika menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe JIGSAW. Pengertian berpikir kritis Menurut Elaine B. Johnson (2011:183), berpikir kritis adalah sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menganalisis asumsi serta melakukan penelitian ilmiah. Dia juga menyatakan berpikir kritis adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman baru. Tujuan berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam, pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari, pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian. Menurut Elaine B. Johnson ada delapan langkah untuk menjadi pemikir kritis adalah sebagai berikut: 1. menggambarkan isu, masalah yang telah diteliti P a g e [ 287 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Memikirkan sudut pandang (pencarian makna) Menentukan alas an yang masuk akal Membuat ide-ide atau asumsi Menggunakan bahasa yang jelas Menentukan alas an berdasarkan bukti akurat Memberikan kesimpulan sementara yang tepat Melihat efek samping dari kesimpulan sementara
Pembelajaran Kooperatif Proses belajar memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, karena dalam proses belajar inilah dapat diketahui berhasil tidaknya seorang peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa pengertian tentang belajar yang dikemukakan oleh para ahli: Menurut Hintzman (dalam Syah, 2011:65) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Menurut Witting (dalam Syah, 2011:65) dalam bukunya Psychology Of Learning belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Berdasarkan kedua definisi belajar di atas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu perubahan yang relatif yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu individu sebagai hasil pengalaman yang ada di sekitarnya. Seseorang dapat dikatakan belajar bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang tidak dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama. Kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar, sedang tingkah laku sendiri merupakan hasil belajar. Proses belajar mengajar akan berhasil baik, apabila didukung oleh faktor–faktor psikologis dari peserta didik. Faktor–faktor psikologis dalam belajar akan memberikan peranan yang cukup penting yang akan memberikan landasan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tanpa adanya faktor–faktor psikologis dapat memperlambat proses belajar, bahkan dapat menambah kesulitan dalam mengajar. Thomas F. Staton (Sardiman, 2009:41-45) menguraikan enam macam faktor psikologis, antara lain: 1. Motivasi 2. Konsentrasi 3. Reaksi 4. Organisasi 5. Pemahaman 6. Ulangan [ 288 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keterampilan… (Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo)
Pembelajaran kooperatif merupakan konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin dan diarahkan oleh pendidik. Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa peserta didik akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Peserta didik secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar (Lindayani dan Murtadlo, 2011:89). Pendekatan SAVI Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari pendekatan pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. pendekatan pembelajaran merupakan prosedur, urutan, langkah-langkah dan cara yang digunakan pendidik untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Jadi dapat dikatakan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan jabaran dari metode. Menurut Meier (2002:91-92) Pendekatan SAVI adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki peserta didik. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari somatis, auditori, visual dan intelektual. Pembelajaran akan berlangsung optimal jika keempat unsur SAVI terpadu dalam pembelajaran secara simultan. Penjelasan keempat unsur tersebut sebagai berikut: 1. Somatis (s) Somatis berasal dari bahasa Yunani yaitu “soma” yang berarti tubuh. Jadi, belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba. Kinestesis, praktis melibatkan fisik dan menggunakan serta menggerakan tubuh sewaktu belajar,dari penjelasan di atas indikator yang sesuai dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis siswa yaitu mengajukan pertanyaan . Jadi, inti dari belajar somatis adalah belajar yang membuat peserta didik melakukan aktivitas fisik dalam pembelajaran. 2. Auditori (a) Auditori berarti belajar dengan indra pendengaran. Auditori merupakan pemanfaatan media suara (audio) dan mengakses segala jenis bunyi,seperti musik, nada, irama, rima, dialog internal dan suara. Menurut Deporter (2002:85) “pelajar auditorial yaitu palajar yang cara belajarnya dengan cara mendengarkan dan menggerakkan bibir/bersuara saat membaca. Auditorial mengakses segala bunyi dan kata, dari apa yang P a g e [ 289 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mereka dengar maupun yang diingat”. Dari penjelasan tersebut indikator yang sesuai dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis yaitu aktif dalam diskusi. Berdasarkan uraian di atas, penggunaan sarana auditori dalam belajar di kelas dapat dilakukan dengan cara meminta peserta didik mendengarkan hal- hal yang terkait dengan materi pelajaran, mendiskusikan topik yang sedang dipelajari secara berkelompok, mempresentasikan hasilnya di depan kelas dan menyimak presentasi. 3. Visual (v) Visual berarti belajar dengan menggunakan indera penglihatan. Meier (2002:9799) mengemukakan bahwa belajar visual berarti belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Menurut Deporter (2002:168) “pelajar visual belajar melalui apa yang mereka buat dengan banyak simbol dan gambar dalam catatan mereka”. Belajar visual terbaik saat mereka mulai dengan “gambaran keseluruhan”. Dari penjelasan tersebut indikator yang sesuai dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis yaitu memperhatikan penjelasan guru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran visual dapat dilakukan dengan cara menampilkan benda- benda tiga dimensi, media atau dekorasi berwarna- warni dan meminta peserta didik untuk melakukan pengamatan lapangan terkait dengan materi yang sedang dipelajari. 4. Intelektual (i) “Intelektual adalah bagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna” (Meier, 2002:99). Intelektual ini berhubungan erat dengan memecahkan masalah dan merenung. Dari penjelasan tersebut indikator yang sesuai dalam lembar observasi aktivitas berpikir kritis yaitu membuat kesimpulan. Berdasarkan uraian di atas, guru dapat mengoptimalkan kemampuan intelektual peserta didik dengan berbagai cara di antaranya memberi kesempatan peserta didik untuk bertanya, berpendapat atau komentar, meminta peserta didik untuk saling bertukar ide, pengalaman, pengetahuan, menyelesaikan suatu permasalahan dan memberikan tugas. Selain itu, guru juga perlu memberikan waktu pada peserta didik untuk merenung atau memikirkan pemecahan masalah yang terkait dengan materi yang sedang dipelajari. Beberapa kelebihan dari pendekatan SAVI antara lain: 1. Membangkitkan kecerdasan terpadu peserta didik secara penuh melalui penggabungan gerak fisik dengan aktivitas intelektual. Di mana peserta didik dituntut untuk berperan aktif, semua indera harus ikut membantu dalam proses belajar agar kemampuan berpikir peserta didik lebih baik. 2. Memunculkan suasana belajar yang lebih baik, menarik dan efektif. Peserta didik lebih senang karena mereka belajar lebih bebas tetapi tetap ada pengarahan dari guru 3. Mampu membangkitkan kreativitas dan meningkatkan kemampuan psikomotor peserta didik. Peserta didik akan sangat kreatif dalam berpendapat karena mereka
[ 290 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keterampilan… (Wahyu Aris Setyawan & Yoyok Susatyo)
diberi kelonggaran untuk mengembangkan pemikirannya dan tentunya guru juga memberi penguatan dari jawaban peserta didiknya. 4. Memaksimalkan ketajaman konsentrasi peserta didik melalui pembelajaran secara visual, auditori dan intelektual. Ketajaman secara visual peserta didik lebih fokus dalam melihat gambaran yang diberikan guru, dan apa yang dilakukan guru, ketajaman auditori peserta didik lebih peka saat mendengarkan penjelasan dari guru, ketajaman intelektual di mana peserta didik dapat menyimpulkan apa yang telah dijelaskan oleh guru. Walaupun pendekatan SAVI memiliki beberapa kelebihan, namun ada juga kelemahannya, di antaranya: 1. Pendekatan SAVI sangat menuntut adanya guru yang sempurna sehingga dapat memadukan keempat komponen dalam SAVI secara utuh. 2. Pendekatan SAVI membutuhkan kelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran yang menyeluruh dan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga memerlukan biaya pendidikan yang sangat besar. Terutama untuk pengadaan media pembelajaran yang canggih dan menarik. SIMPULAN Pembelajaran ekonomi di sekolah menengah dianjurkan untuk menggunakan pendekatan SAVI. Pendekatan SAVI diimplementasikan dengan harapan dapat memfasiliasi siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar mereka. Pendekatan SAVI merupakan pendekatan yang mengintegrasikan keempat unsur sehingga peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan tidak mengabaikan cara dan gaya belajar peserta didik. Pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan SAVI adalah kooperatif. Karena dalam model ini menekankan adanya kerjasama dalam proses belajar yang juga merupakan salah satu prinsip dasar belajar yang dikemukakan oleh Meier. DAFTAR PUSTAKA B. Johnson, Elaine. 2011. Contextual Teaching dan Learning. Bandung: Kaifa Lindayani dan Murtadlo, A. 2011. Manajemen Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Iranti Mitra Utama Meir, D. 2002. The Accelerated Learning Handbook. Terjemahan oleh Rahmani Astuti. 2002. Bandung: Kaifa Rosa,Rina,Dkk. 2011.Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Probing Promting untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VIIc SMPN 1 Bangkinang Barat Tahun Ajaran 2011/2012. Jurnal PTK. Riau: Universitas Riau. Sardiman, A. M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grafindo Persada P a g e [ 291 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Setu, Budiarjo. 2010. Penerapan Metode Belajar Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XII Teknik Kendaraan Ringan SMKN 5 Semarang Tahun pelajaran 2010/ 2011. Jurnal PTK. Semarang: SMKN 5 Semarang. Suharsono. 2011. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Drilling dikelas VII SMPN 1 Trowulan Mojokerto Tahun pelajaran 2011/ 2012. Skripsi yang Tidak Dipublikasikan. Jombang: STKIP PGRI Jombang. Sutrisni. 2011. Implementasi Pendekatan SAVI pada Materi pokok Sifat- sifat Bangun Segitiga di SDN Pamotan 1 Lamongan Tahun pelajaran 2010/ 2011. Skripsi yang Tidak Dipublikasikan. Jombang: STKIP PGRI Jombang. Syah, M. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[ 292 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA PADA KOMPETENSI DASAR MENANGANI SURAT MASUK DAN SURAT KELUAR DENGAN MENERAPKAN METODE SIMULASI Dodot Arduta
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana upaya meningkatkan keaktifan siswa pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar dengan menerapkan metode simulasi. Kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar merupakan kompetensi dasar yang menuntut guru melakukan banyak latihan dan praktik kepada siswa agar tingkat pemahaman dan penguasaan materi lebih mendalam dibandingkan hanya secara teoritis. Oleh karena itu perlu dirancang pola pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa, yaitu dengan menerapkan metode simulasi. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar dengan menerapkan metode simulasi membuat siswa lebih aktif dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Dengan diterapkannya metode simulasi, siswa lebih memahami alur atau prosedur dari surat masuk dan surat keluar. Hal ini karena peserta didik tidak diajarkan hanya teori saja namun diikuti dengan praktik langsung dalam menangani surat masuk dan surat keluar sehingga berdampak pada meningkatnya keaktifan siswa. Kata kunci: keaktifan siswa, metode simulasi.
PENDAHULUAN Kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan kegiatan utama dalam proses pendidikan. Pada umumnya kegiatan pembelajaran ini bertujuan membawa anak didik atau siswa menuju pada keadaan yang lebih baik. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran di sekolah saat ini yaitu rendahnya daya serap siswa yang dibuktikan dengan rerata hasil belajar siswa yang senantiasa masih sangat memprihatinkan (Suharyanto 2009). Penyebabnya yaitu kondisi pembelajaran yang masih konvensional dan masih bersifat teacher centric sehingga tidak menyentuh dimensi ranah siswa itu sendiri. Metode pembelajaran yang ditampilkan oleh guru lebih banyak didominasi guru, sehingga siswa cenderung pasif dan tidak diberi akses untuk berkembang secara mandiri. Hal tersebut menggambarkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung belum optimal atau berhasil. Keberhasilan suatu proses pembelajaran dilihat dari ketercapaian siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Keberhasilan yang dimaksud dapat diamati dari dua sisi yaitu dari tingkat pemahaman dan penguasaan materi yang diberikan oleh guru (Sudjana, 2001). Salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan belajar siswa, yaitu dengan menggunakan pembelajaran aktif di mana siswa melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan. Siswa menggunakan otak untuk melakukan pekerjaannya, P a g e [ 293 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengeluarkan gagasan, memecahkan masalah dan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari. Menurut Ahmadi & Supriyono (2004) siswa aktif adalah “siswa yang terlibat secara intelektual dan emosional dalam kegiatan belajar”. Keaktifan siswa pada dasarnya merupakan keterlibatan siswa secara langsung baik fisik, mental-emosional dan intelektual dalam kegiatan pembelajaran. Keaktifan belajar siswa dapat kita lihat dari keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar yang beraneka ragam seperti pada saat siswa mendengarkan ceramah, mendiskusikan, membuat suatu alat, membuat laporan pelaksanaan tugas dan sebagainya. Kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar adalah salah satu materi mata diklat menangani surat atau dokumen kantor yang diprogramkan untuk siswa jurusan administrasi perkantoran. Kompetensi dasar ini sangat perlu diajarkan kepada siswa karena mempelajari prosedur penanganan surat baik surat masuk maupun surat keluar dengan sistem tertentu yang digunakan dalam sebuah organisasi. Penanganan surat masuk dan surat keluar dapat ditangani dengan beberapa cara yaitu sistem buku agenda, kartu kendali, perpaduan sistem buku agenda dan kartu kendali. Kompetensi dasar menangani surat masuk dan keluar merupakan kompetensi dasar yang menuntut guru banyak melakukan latihan dan praktek kepada siswa agar tingkat pemahaman lebih dibandingkan dilakukan secara teoretis. Menangani surat masuk dan surat keluar bukan saja sekedar pengetahuan yang dipahami secara teoretis, akan tetapi lebih ditekankan pada kegiatan pengelolaannya. Kompetensi dasar ini akan lebih banyak praktek daripada teori. Menangani surat masuk dan keluar merupakan pengaplikasian dari kegiatan di kantor atau unit kerja. Kegiatan menerima, menyortir, mencatat dan masih banyak kegiatan lainnya. Kegiatan semacam itu tidak hanya bisa disampaikan dengan model ceramah atau mencatat di buku.Siswa butuh latihan praktek langsung bukan hanya sekedar teori sehingga peserta didik dituntut untuk lebih aktif. Maka dari itu perlu dirancang pola pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa. Salah satu metode pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa adalah metode simulasi. Menurut Hasibuan dan Moedjiono (2010) “simulasi berasal dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah; dan simulation yang artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura saja”. Menurut Roestiyah (2008) “simulasi adalah tingkah laku seseorang untuk berlaku seperti orang yang dimaksudkan, dengan tujuan agar orang itu dapat mempelajari lebih mendalam tentang bagaimana orang itu merasa dan berbuat sesuatu”. Sebagai metode mengajar metode simulasi diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau ketrampilan tertentu. Pada penerapan metode simulasi, guru berperan sebagai pengarah dan pemberi kemudahan untuk terjadinya proses belajar siswa, bukan sebagai penyaji materi pembelajaran. Metode ini menyenangkan dan menuntut keaktifan siswa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kejenuhan siswa dalam pembelajaran, karena siswa terlibat langsung di dalamnya.
[ 294 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
Menurut Hyman dalam bukunya Ways of Teaching, simulasi terdiri dari beberapa macam, yaitu adalah sosiodrama, role playing, dan psikodrama. Role Playing; atau bermain peran bertujuan menggambarkan suatu peristiwa masa lampau dan dapat pula cerita yang kemungkinan terjadi baik kini maupun mendatang. Pemeran melakukan perannya sesuai dengan daya khayal tentang pokok yang diperankannya. Sosiodrama; semacam drama social, berguna untuk menanamkan kemampuan menganalisis situasi social tertentu. Cerita yang diangkat dari kehidupan social, misalnya: kenakalan remaja, pengaruh pergaulan bebas, dan sebagainya. Psikodrama; hampir mirip dengan sosiodrama, tapi psikodrama lebih menekankan pada pengaruh psikologinya (Hasibuan & Moedjiono, 2010). Menurut Sanjaya (2011) “proses pembelajaran dengan metode simulasi mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: 1) Persiapan simulasi, yaitu guru menetapkan topik atau masalah simulasi serta tujuan yang hendak dicapai oleh simulasi, guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan, guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peran yang harus dimainkan oleh para pemeran, serta waktu yang tersedia,guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeran simulasi. 2) Pelaksanaan simulasi, yaitu simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran, para siswa lainya mengikuti dengan penuh perhatian, guru hendaknya memberi bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan, simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncakuntuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan. 3) Penutup, yaitu melakukan diskusi baik tentang jalanya simulasi maupun materi cerita yang disimulasikan dan merumuskan kesimpulan”. Berdasarkan paparan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa secara garis besar langkah-langkah pembelajaran dengan metode simulasi dari tiga kegiatan utama yaitu persiapan, pelaksanaan dan penutup. Metode simulasi dipilih karena metode ini lebih menekankan pada keaktifan dan keahlian siswa, sehingga selain aktivitas siswa meningkat, juga dapat meningkatkan ketrampilan siswa. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan permasalahan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya meningkatkan keaktifan siswa pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar dengan menerapkan metode simulasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan silabus kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar siswa diajak untuk memahami pengertian penanganan surat masuk dan surat keluar, mengetahui dan memahami prosedur atau alur penanganan surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan buku agenda, serta mengetahui dan memahami prosedur atau alur penanganan surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan sistem kartu kendali. Dalam pembahasan mengenai penanganan surat masuk dan surat keluar terdapat beberapa materi yang harus disampaikan oleh guru kepada siswa yaitu: P a g e [ 295 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pengertian surat masuk dan surat keluar, alur atau prosedur menangani surat masuk dan surat keluar menggunakan sistem buku agenda, dan alur atau prosedur menangani surat masuk dan surat keluar menggunakan sistem kartu kendali. Pemberian materi menangani surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan metode simulasi memiliki 3 (tiga) bagian yaitu persiapan simulasi, pelaksanaan simulasi, dan penutup. Pada pertemuan pertama,bagian persiapan simulasi, guru membuka pelajaran dengan memberikan salam kepada siswa, dan membimbing peserta didik untuk berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai. Guru memeriksa kehadiran siswa, dan memberikan motivasi dengan menginformasikan tujuan pembelajaran menangani surat masuk dan surat keluar, yaitu siswa dapat mengidentifikasikan pengertian surat masuk dan surat keluar, siswa dapat mendeskripsikan alur penanganan surat masuk dan surat keluar dengan sistem buku agenda dan sistem kartu kendali, dan siswa dapat melakukan prosedur penanganan surat masuk dan surat keluar dengan sistem buku agenda dan sistem kartu kendali. Kemudian guru menyampaikan apersepsi berupa gambaran umum materi yang akan disimulasikan yaitu menangani surat masuk dan surat keluar dengan menggunakan buku agenda dan sistem kartu kendali serta menyampaikan metode pembelajaran. Setelah itu, guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok pemain simulasi yang akan memainkan. Guru mengarahkan agar siswa membuat 4-6 kelompok sesuai jumlah siswa di kelas. Guru menyampaikan batasan waktu dalam memainkan simulasi kepada setiap kelompok bisa antara 15-20 menit, dan guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang materi dan simulasi. Selanjutnya pelaksanaan simulasi pada alur atau prosedur menangani surat masuk dan surat keluar, guru mendisribusikan alat dan bahan simulasi yang dibutuhkan kelompok. Alat dan bahan simulasi yang digunakan bisa berupa buku agenda, paper clip, stempel, lembar disposisi, amplop, contoh-contoh surat, kartu kendali, lembar pengantar surat biasa dan rahasia sesuai dengan materi simulasi. Setelah alat dan bahan simulasi dibagikan guru mempersilahkan siswa melakukan simulasi secara bergantian untuk memainkan simulasi dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan sebelumnya. Guru mempersilakan kelompok pemain simulasi untuk melakukan simulasi, sedangkan kelompok siswa yang lain memperhatikan proses simulasi. Guru membimbing dan mengawasi jalannya proses simulasi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok. Jika dilihat siswa mengalami kesulitan dalam melakukan simulasi maka guru membantu siswa yang kesulitan dalam memainkan simulasi dan selalu mengingatkan kepada siswa lainnya untuk memperhatikan proses simulasi. Guru menghentikan simulasi pada saat puncak untuk mendorong siswa menyelesaikan masalah yang disimulasikan. Setelah pelaksanaan simulasi dianggap berjalan lancar, di mana mayoritas siswa paham dan bisa melaksanakan tugasnya masing-masing, guru mengevaluasi keterampilan mereka dalam bagian penutup. Setelah semua kelompok sudah melakukan simulasi alur atau prosedur menanganisurat masuk dan surat keluar, guru mengajak siswa untuk berdiskusi bersama [ 296 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
tentang proses simulasi dan materi yang sudah disimulasikan. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk menyampaikan kritik dan tanggapan baik pertanyaan, maupun saran tentang jalannya simulasi yang sudah dilakukan. Selanjutnya guru merumuskan kesimpulan tentang materi pembelajaran yang sudah disimulasikan oleh siswa. Tujuan guru merumuskan kesimpulan untuk memberikan satu pemahaman kepada siswa. Setelah guru memberikan rumusan kesimpulan materi, siswa diberi soal evaluasi atau post test. Soal evaluasi ini berisi materi yang sudah dipelajari pada pembelajaran menangani surat masuk dan keluar dengan metode simulasi. Guru mengawasi siswa yang sedang mengerjakan soal evaluasi, agar siswa dapat mengerjakan soal sendiri dan suasana kelas dapat kondusif. Wahyuni & Baroroh (2012) dalam penelitiannya melakukan tiga siklus untuk mengetahui tingkat keaktifan siswanya melalui metode simulasi. Tingkat aktivitas mahasiswa pada siklus I terlihat sebagian mahasiswa masih merasa canggung untuk aktif dalam simulasi. Pada siklus I ini berdasarkan aspek atau indikator yang diamati, terlihat bahwa tingkat aktivitas mahasiswa sebagian besar masih pada kategori sedang yaitu sebanyak 32 mahasiswa (64%), 8 mahasiswa (16%) dalam kategori rendah, 9 mahasiswa(18%) berada dalam kategori tinggi, dan hanya 1 (2%) mahasiswa dalam kategori sangat tinggi. Pada siklus II ini terlihat sebagian mahasiswa sudah kelihatan aktif dalam simulasi. Dengan permainan yang mengaktifkan seluruh mahasiswa, mereka lebih terlihat serius dalam mengerjakan simulasi. Pada siklus II ini berdasarkan aspek atau indikator yang diamati, terlihat bahwa tingkat aktivitas mahasiswa sebagian besar masih pada kategori tinggi yaitu sebanyak 30 siswa (60%). Namun secara keseluruhan masih 78% siswa yang aktif, sehingga belum memenuhi indikator yang diharapkan, yakni 80%. Pada siklus III ini terlihat sebagian mahasiswa sudah aktif dalam simulasi. Dengan permainan yang mengaktifkan seluruh mahasiswa, mereka lebih terlihat serius simulasi. Pada siklus III ini berdasarkan aspek atau indikator yang diamati, terlihat bahwa tingkat aktivitas mahasiswa sebagian besar berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 33 siswa (66%). Sementara itu, 14 (26%) mahasiswa berada kategori sangat tinggi. Sehingga 92% mahasiswa berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Dari siklus ke siklus diketahui terjadi peningkatan aktivitas dan prestasi belajar mahasiswa. Pada siklus III diperoleh data bahwa mahasiswa antusias dalam pembelajaran tersebut, sehingga hasil penelitian ini sudah dianggap cukup karena telah memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu adanya respon yang baik dari mahasiswa, yang ditandai meningkatnya aktivitas mahasiswa minimal 80% mahasiswa aktif dalam proses pembelajaran, dan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Ekonomika Mikro minimal 75% mahasiswa dapat menguasai 70% materi yang ditandai dengan nilai di atas 70. Putra (2013) dalam penelitiannya menggunakan metode simulasi pada kelas eksperimen dengan merancang keadaan yang seolah-olah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan alat simulasi yang dirancang sedemikian rupa. Putra beranggapan apabila siswa telah dapat mensimulasikan surat keluar dengan benar, maka secara otomatis siswa telah dapat membangun sendiri pemahaman tentang materi pelajaran P a g e [ 297 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan terbentuklah keterampilan siswa tentang bagaimana memproses surat keluar dengan benar. Untuk mengetahui keberhasilan siswa dalam mengikuti proses belajar (hasil belajar), Putra melakukan suatu pengujian yang lazim disebut test (posttest). Test (post test) dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan soal objektif sebanyak 25 butir soal. Hasil belajar yang didapat siswa memuaskan, dengan nilai rata-rata kelas 86.31.Kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 80. Jadi disimpulkan bahwa metode simulasi merupakan metode yang efektif digunakan pada materi memproses surat atau dokumen kantor dengan indikator memproses surat keluar penting, rahasia, dan biasa. Menurut Putra kelebihan penggunaan metode simulasi pada pelajaran memproses surat atau dokumen adalah: 1. Metode simulasi cocok digunakan pada pelajaran memproses surat atau dokumen, karena simulasi dapat membentuk keterampilan siswa dalam memproses surat keluar penting, biasa, dan rahasia sehingga dengan sendirinya siswa dapat membangun pemahamannya. 2. Simulasi dapat meningkatkan keaktifan siswa, karena siswa ikut serta dalam mencari pemahamnnya dengan cara melakukan simulasi. 3. Metode simulasi dapat membentuk keterampilan siswa dalam memproses surat keluar penting, biasa, dan rahasia. 4. Metode simulasi dapat menciptakan kekeluargaan kelas yang harmonis. Anam (2013) berdasarkan hasil pre test yang dilakukan sebelum pelaksanaan siklus, bahwa penguasaan siswa terhadap materi menangani surat masuk dan surat keluar masih rendah, hal ini dibuktikan dari pre test nilai rata-rata hasil belajar siswa sebesar 65,3 dengan persentase ketuntasan klasikal hasil belajar siswa sebesar 46%. Hasil tersebut belum mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu 75%. Berdasarkan hasil pengamatan dan tes evaluasi siklus I diketahui bahwa aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran metode simulasi sudah cukup tinggi dengan memperoleh skor persentase sebesar 63,2% dengan kinerja guru sudah cukup baik dengan persentase 60% dan hasil tes evaluasi diperoleh nilai rata-rata siswa mencapai 72,8. Terdapat 19 siswa atau 73% sudah mampu mencapai nilai ketuntasan belajarnya dan sisanya 27% atau 7 siswa masih belum mencapai ketuntasan belajar dengan memperoleh nilai di bawah ketuntasan belajar yang ditentukan yaitu 73. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas belajar siswa dan hasil belajar belum mencapai indikator keberhasilan dalam penelitian ini yaitu 75%, Oleh karena itu, untuk bisa memenuhi indikator keberhasilan dalam penelitian ini perlu perbaikan-perbaikan pada siklus II. Pada siklus II hasil pengamatan dan tes evaluasi siswa mengalami peningkatan. Aktivitas belajar siswa pada siklus II termasuk dalam kategori tinggi dengan persentase sebesar 78,3% yang berarti mengalami peningkatan sebesar 15.1% dan kinerja guru sudah baik dengan persentase 76%. Hasil tes evaluasi yang dilakukan pada siklus II diperoleh nilai rata-rata sebesar 79,2 yang berarti mengalami peningkatan sebesar 6.4 dari siklus I. Banyaknya siswa yang tuntas pada siklus II adalah 23 siswa sedangkan yang belum tuntas 3 siswa. Persentase ketuntasan belajar secara klasikal siswa pada siklus II [ 298 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
sebesar 88%. Hasil pengamatan aktivitas siswa dan hasil belajar tersebut sudah mencapai indikator keberhasilan ketuntasan belajar yaitu 75% sehingga penelitian dihentikan pada siklus II. Coffman (2006) menyimpulkan bahwa dengan menggunakan simulasi untuk melengkapi dan meningkatkan pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran aktif. Mereka dipanggil untuk membuat keputusan dan melalui latihan berbasis tim ini mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika dan proses kelompok. Pada akhirnya, simulasi memungkinkan untuk eksplorasi lebih dalam pada masalah yang kompleks atau konsep dengan keterlibatan siswa yang lebih besar dan kenikmatan dalam pengalaman belajar. Berdasarkan pengalaman Coffman dengan murid-muridnya, Coffman sangat mendorong para guru untuk bereksperimen dengan simulasi di ruang kelas mereka. Sebagai pengalaman mahasiswa Coffman menunjukkan bahwa mengembangkan simulasi dapat menjadi proses yang menantang, tetapi di kelas guru dapat menggunakan kreativitas dan inovasi mereka untuk merencanakan kegiatan simulasi yang menarik dan menyenangkan bagi siswa mereka. Silvia (2010) dalam beranggapan bahwa simulasi ini memungkinkan siswa untuk menerapkan konsep yang telah dipelajari sepanjang semester dengan cara yang tradisional seperti ceramah kuliah, ujian, atau tugas yang tidak bisa dicapai. Mahasiswa berkomentar bahwa simulasi adalah "sangat efektif. Saya belajar banyak lagi di sini daripada di setiap tes "(Student 101); "Membantu untuk menyelesaikan pemahaman konsep dengan memiliki kesempatan mensimulasikan apa yang sebenarnya terjadi dalam pertemuan dewan. “Kamu ditantang untuk berpikir kreatif dan kritis "(Student 413); dan "Saya belajar lebih dari simulasi ini daripada saya menonton sebuah pertemuan dewan kota dan menulis makalah tentang itu "(Student 244). Selanjutnya, simulasi membantu mengilhami beberapa orang untuk memperoleh penghargaan dari perspektif orang lain sementara juga belajar lebih banyak tentang diri sendiri. Untuk tujuan ini, Student 103 berkomentar bahwa "ada banyak poin dari orang lain yang membantu memperluas pikiran saya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa simulasi yang efektif memberikan siswa kesempatan untuk terlibat leih aktif dalam pembelajaran tingkat lebih tinggi. Lebih lanjut lagi Silvia menyimpulkan bahwa simulasi dapat memberikan siswa lingkungan yang realistis di mana mengalami pembelajaran tingkat lebih tinggi. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas penulis menyimpulkan bahwa metode simulasi sangat efektif dalam meningkatkan keaktifan siswa, khususnya pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar. Pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar siswa dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan mengelolah surat masuk dan surat keluar, berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok dengan bermain peran. Mengkondisikan siswa melakukan penanganan surat masuk dan surat keluar mendekati kondisi yang sebenarnya dapat membantu siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak; baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja. Di samping meningkatkan keaktifan siswa, P a g e [ 299 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 metode simulasi juga meningkatkan pemahaman siswa dalam materi kompetensi menangani surat masuk dan surat keluar. Metode simulasi mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap apa yang dipelajarinya karena siswa dapat mempelajari materi dengan melakukan simulasi sehingga siswa lebih mudah mengingat dan mendapatkan pengalaman baru dalam mempelajari materi menangani surat masuk dan surat keluar. SIMPULAN Penggunaan metode simulasi pada kompetensi dasar menangani surat masuk dan surat keluar membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Pada pelaksanaan simulasi aktivitas siswa cukup tinggi dalam pembelajaran sehingga terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan diterapkannya metode simulasi, peserta didik lebih memahami alur atau prosedur dari surat masuk dan surat keluar. Ini karena peserta didik tidak diajarkan pada teori saja namun diikuti dengan praktek langsung dalam menangani surat masuk dan surat keluar sehingga berdampak pada meningkatnya keaktifan siswa. Keaktifan siswa tampak pada keterlibatan siswa dalam unjuk kerja pada simulasi, aktif dalam bertanya, aktif dalam menjawab, dan aktif dalam diskusi. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Anam, Muhimul. 2013. Peningkatan Hasil Belajar Kompetensi Dasar Menangani Surat Masuk Dan Surat Keluar Dengan Menerapkan Metode Simulasi Pada Siswa Kelas Xi Jurusan Administrasi Perkantoran Di Smk Masehi Psak Ambarawa. Jurnal Analisis Pendidikan Ekonomi, 2(2), 88-89. Coffman, Teressa. 2006. Using Simulations to Enhance Teaching and Learning: Encouraging the Creative Process. Journal of Virginia Society For Technology In Education, 21(2), 5. Hasibuan dan Muedjiono. 2009. Proses belajar mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Putra, Asbeni. 2013. Perbedaan Hasil Belajar Siswa Melalui Penggunaan Metode Simulasi dengan Metode Ceramah pada Mata Pelajaran Menangani Surat/ Dokumen Kantor Kelas XI AP SMK N 2 Padang. Jurnal Pendidikan Ekonomi, 2(3), 6-7. Roestiyah, N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka cipta. Sanjaya. 2011. Metode-metode Proses Pembelajaran Modern. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Silvia, Chris. 2012. The Impact of Simulations on Higher-Level Learning. Journal of Public Affairs Education, 18(2), 416-419. Sudjana, Nana. 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. [ 300 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Keaktifan… (Dodot Arduta)
Suharyanto A. 2009. Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Konstruktivistik. Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan 38(1): 68-77. Wahyuni Daru & Kiromim Baroroh. 2012. Penerapan Metode Pembelajaran Simulasi Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Ekonomika Mikro. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 9(1), 120-121.
P a g e [ 301 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEAM GAMES TOURNAMENT UNTUK MENINGKATKAN TINGKAT PEMAHAMAN SISWA DALAM PELAJARAN EKONOMI SMA PADA ERA MEA Widyo Pramono
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, guru harus dapat menciptakan pembelajaran inovatif dengan menerapkan berbagai model pembelajaran. Hal ini ditujukan agar output dari pendidikan dapat memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan dalam MEA tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan tingkat pemahaman siswa dalam pelajaran ekonomi adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT). Adapun tujuan pembahasan ini yaitu mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif TGT untuk meningkatkan tingkat pemahaman siswa dalam pelajaran ekonomi SMA. Dari hasil pembahasan dapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif TGT dapat meningkatkan tingkat pemahaman belajar siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk turut serta secara aktif dalam semua proses pembelajaran. Selain itu permainan akademik dalam TGT dengan suasana kompetitif yang positif dapat membuat siswa merasakan suasana yang lebih menyenangkan, materi yang disajikan akan lebih mudah dipahami sehingga pemahaman siswa terhadap materi ajar dapat dimaksimalkan. Kata kunci: team games tournament, tingkat pemahaman siswa, MEA.
PENDAHULUAN Guru memiliki peran vital dalam proses pembelajaran di kelas. Tugas dan tanggung jawab guru yaitu di antaranya menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut hasil pembelajaran. Guru akan menjadi salah satu penentu keberhasilan siswa dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah, utamanya pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini. Dalam menyongsong MEA untuk meningkatkan pemahaman terhadap mata pelajaran Ekonomi guru perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang dapat menumbuhkan kemandirian, bekerja sama dan kompetitif yang positif pada diri siswa. Syah (2008: 39) menjelaskan bahwa belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Gage dan Berliner (Dimyati dan Mudjiono, 2002: 116) belajar adalah suatu proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya. Oleh karena itu, pemilihan strategi, pendekatan, metode, teknik dan model pembelajaran yang [ 302 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Widyo Pramono)
menarik dan tepat dapat membantu guru dan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Pelajaran ekonomi merupakan mata pelajaran yang membutuhkan analisis dan pemahaman kritis, sehingga adanya kesempatan antar siswa dapat aktif dan berdiskusi dapat mendorong siswa lebih mudah untuk memahami materi. Untuk itu, metode pembelajaran yang digunakan pun haruslah metode pembelajaran yang memungkinkan siswanya untuk dapat berperan aktif di kelas, salah satunya adalah metode pembelajaran kooperatif. Dalam proses pembelajaran kooperatif, para siswa akan dikumpulkan dalam satu kelompok untuk dapat menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Model dalam pembelajaran ini pun beragam. Namun pada intinya, semua model menitikberatkan pada kerja sama dan tanggung jawab siswa dalam belajar terhadap teman satu timnya yang nantinya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Terdapat bermacam-macam model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran, salah satunya adalah cooperatif learning. Menurut Slavin (dalam Isjoni, 2011) cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Menurut Vries dalam Syarifah (2009:40) dalam pembelajaran kooperatif, ada empat prinsip dasar yang harus diperhatikan, antara lain : 1. Interaktif yang simultan. Yang dimaksud dengan interaktif simultan di sini adalah guru dan siswa yang berinteraksi secara terus menerus di mana guru selalu mendorong aktivitas siswanya dengan berbagai cara agar siswa memiliki kemampuan dalam kompetensi yang diajarkan. 2. Interaksi ketergantungan. Dalam interaksi ini, guru dan siswa saling melengkapi, saling memiliki, dan saling mengasihi. 3. Interaksi pertanggungjawaban individual Salah satu tipe model pembelajaran cooperatif learning adalah model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT). Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah model pembelajaran yang melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan. Pencapaian kompetensi yang dapat dicapai adalah pengetahuan, pengertian, dan keterampilan yang dikuasai sebagai hasil pengalaman pendidikan khusus. Pengetahuan sebagai bagian tertentu dari suatu informasi, sedangkan kemampuan adalah mengeksplorasi pengetahuan ke berbagai cara, melihat hubungan dengan pengetahuan lain dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan masalah. Team Games Tournament (TGT) dikembangkan pertama kali oleh David de Vries dan Keath pada tahun 1995 (Syarifah, 2009:43). Model pembelajaran kooperatif yang satu ini memiliki tujuan untuk melatih siswa agar dapat bekerja sama sekaligus memiliki rasa kompetitif yang positif. Kerja sama di sini akan tampak dalam kelompok kecil
P a g e [ 303 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mereka, sedangkan kompetisinya akan terlihat dalam kelompok besar yaitu ketika mereka berkompetisi dengan kelompok lain. Dalam TGT menempatkan siswa dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka. Sehingga, dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam menguasai materi pelajaran. TGT menjadi salah satu solusi dalam bidang pembelajaran pada era MEA, karena TGT memiliki keunggulan yaitu dapat menumbuhkan kemandirian, bekerja sama, rasa saling menghargai dalam kelompok yang heterogen dan persaingan yang positif dalam proses pemahaman materi pelajaran. Hal tersebut sesuai dengan karakter SDM yang dibutuhkan dalam era MEA, di mana dalam era ini di antaranya dibutuhkan SDM yang memiliki daya saing yang positif. Dengan penumbuhan jiwa kompetitif yang positif sejak dini pada diri siswa salah satunya lewat pembelajaran dengan model TGT, diharapkan dapat menjadi dasar sikap yang lebih luas ketika siswa sudah dewasa dan menghadapi dunia kerja. Oleh karena itu, tujuan pembahasan ini yaitu mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif team games tournament untuk meningkatkan tingkat pemahaman siswa dalam pelajaran ekonomi SMA di era MEA. PEMBAHASAN Pada pembelajaran TGT terdapat adanya heterogenitas anggota kelompok, dengan harapan dapat memotivasi siswa untuk saling bekerja sama dan membantu antar siswa berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif itu menyenangkan. Selanjutnya untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai seluruh pelajaran, maka seluruh siswa akan diberi permainan akademik. Hal ini menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan tingkat pemahaman belajar siswa dengan cara menyenangkan dan dapat menumbuhkan jiwa kompetitif yang positif. Selain itu, agar peningkatan tingkat pemahaman belajar lebih baik juga dapat didukung dengan adanya fasilitas, kreativitas, alat dan biaya yang cukup memadai. Peranan guru dalam proses belajar mengajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sangat penting agar kegiatan pembelajaran tetap terkontrol dan berjalan dengan kondusif. Selain itu, guru harus lebih mempersiapkan diri dalam memberikan pengajaran agar siswa dapat lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga seluruh potensi siswa dapat teroptimalkan. Dalam kegiatan pembelajaran dengan model ini nampak kegiatan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan belajar mengajar (student centered). Sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan pendorong siswa belajar lebih [ 304 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Widyo Pramono)
giat, sesuai dengan indikator aktivitas siswa. Mayoritas siswa dapat beraktivitas dalam pembelajaran, sehingga aktivitas pembelajaran dapat didominasi oleh siswa. Oleh karena itu, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru melalui pembelajaran kooperatif. Dengan menerapkan model TGT kondisi kelas menjadi lebih aktif. Siswa menjadi berani tampil dalam mengungkapkan pendapatnya, kegiatan belajar jadi lebih menyenangkan dan dapat terlatih memecahkan contoh permasalahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurvitasari (2012) yang menerangkan bahwa dengan model TGT rata-rata indikator partisipasi aktif siswa telah mengalami peningkatan dan berhasil mencapai kriteria yang ditentukan, Adapun indikator tersebut antara lain siswa terlibat dalam pemecahan masalah saat diskusi, bertanya kepada siswa lain atau guru mengenai hal yang tidak dimengerti, siswa aktif menjawab pertanyaan dari guru, mengerjakan tugas dengan benar, dan datang tepat waktu. Peningkatan kemampuan akedemik yang dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT, tentu tidak terlepas dari keterlibatan peserta didik yang lain dalam kelompok dimana mereka berkumpul. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian tentang pembelajaran kooperatif. Para peserta didik berkumpul dalam sebuah kelompok dengan jumlah anggota antara 4-6 orang dengan karakteristik (tingkat kemampuan, jenis kelamin, suku, ras, dan lain-lain) yang heterogen. Hal ini yang perlu dipahami bahwa dalam pembelajaran kooperatif TGT, terdapat hal-hal positif seperti hubungan saling menguntungkan, semangat kerja kelompok, semangat kompetisi dan komunikasi yang efektif antara anggota kelompok. Dengan hal-hal tersebut, sudah barang tentu para peserta didik akan belajar dengan senang, karena tidak dilakukan di bawah tekanan. Hal ini sesuai dengan beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif, yaitu: (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara peserta didik, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Selain itu, dalam pembelajaran koopertaif, terdapat tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu penghargaan kelompok, pertanggung jawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran yang diikutinya. Tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran dapat tercermin juga dari hasil belajar siswa. Sehingga, pembelajaran dengan menggunakan TGT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Pawestri (2009) yang menerangkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar ekonomi siswa, hasil belajar siswa pada siklus I dan II mengalami peningkatan dengan ketuntasan siswa 100%. Selain itu, hasil penelitian Aminah (2010) menerangkan bahwa penerapan Teams Game Tournament (TGT) dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mendiskripsikan P a g e [ 305 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 materi pelajaran IPS. Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran kooperatif, khususnya dimilikinya kemampuan akademik oleh peserta didik dan sejalan dengan tujuan pembelajaran kooperatif, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan baik dalam aspek akademik, pengakuan terhadap perbedaan individu, dan keterampilan sosial. Nugroho (2012) juga menerangkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari pada siswa kelas kontrol. Respon sebagian besar siswa terhadap model pembelajaran Kooperatif Tipe TGT menunjukkan kategori setuju. Kerja kelompok guru memberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif itu menyenangkan. Untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja turnamen, di mana setiap meja turnamen terdiri dari 4 sampai 6 orang yang merupakan wakil dari kelompoknya masing-masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara. Permainan ini diawali dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah itu, permainan dimulai dengan membagikan kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci ditaruh terbalik di atas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca). Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut. Pertama, setiap pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca soal dan pemain yang pertama dengan cara undian. Kemudian pemain yang menang undian mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain. Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditanggapi oleh penantang searah jarum jam. Skor yang diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor yang diperoleh anggota suatu kelompok. Kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok tersebut. Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat dengan mencantumkan predikat tertentu ataupun penghargaan yang diberikan bisa dalam bentuk yang lain. Dengan cara tersebut diyakini bahwa model TGT mampu meningkatkan tingkat pemahaman siswa dengan cara yang menyenangkan.
[ 306 ] P a g e
Penerapan Model Pembelajaran… (Widyo Pramono)
Menurut pandangan kontruktivisme, otak siswa pada dasarnya tidak seperti gelas kosong yang siap diisi dengan air, atau siap diisi dengan semua informasi yang berasal dari pikiran guru, melainkan otak siswa tidak kosong tetapi telah berisi pengetahuan yang dikonstruksi siswa sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pengetahuan tidak dapat utuh ditransfer dari pikiran guru ke pikiran siswa, tetapi siswalah yang harus aktif secara mental membangun pengetahuan dan pemahaman dalam proses pembelajaran. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Namun, guru sesuai dengan perannya dalam menerapkan model TGT pada kegiatan pembelajaran ekonomi tidak memungkinkan adanya kendala yang dihadapi, di antaranya yaitu pada saat pembelajaran melalui tahapan TGT ada kemungkinan guru dapat merasa kesulitan dalam mengorganisasikan waktu, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak ada mutu strategi mengajar satu-satunya dapat digunakan di mana pun dan dalam situasi apapun. Sehingga, harus ada pengembangan strategi pengajaran secara berkelanjutan yang dilakukan oleh guru. SIMPULAN Penerapan model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan tingkat pemahaman belajar siswa. Pada penerapan model pembelajaran kooperatif TGT, siswa diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental tetapi juga melibatkan fisik. Dengan cara permainan akademik, siswa merasakan suasana yang lebih menyenangkan, materi yang disajikan pun menjadi lebih mudah dipahami sehingga pemahaman siswa terhadap materi ajar dapat dimaksimalkan. Sehingga, TGT menjadi salah satu solusi dalam bidang pembelajaran utamanya pada era MEA, karena TGT memiliki keunggulan yaitu dapat menumbuhkan kemandirian, bekerja sama, rasa saling menghargai dalam kelompok yang heterogen dan persaingan yang positif dalam proses pemahaman materi pelajaran. Hal tersebut sesuai dengan karakter SDM yang dibutuhkan dalam era MEA, di mana dalam era ini di antaranya dibutuhkan SDM yang memiliki daya saing yang positif. Dengan penumbuhan jiwa kompetitif yang positif sejak dini pada diri siswa salah satunya lewat pembelajaran dengan model TGT, diharapkan dapat menjadi dasar sikap yang lebih luas ketika siswa sudah dewasa dan menghadapi dunia kerja. DAFTAR PUSTAKA Aminah, Siti. 2010. Penerapan Metode Pembelajaran Cooperative Learning Tipe TGT (Teams Game Tournament) Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Mendiskripsikan Materi Pelajaran IPS. Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang. Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. P a g e [ 307 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Nugroho, Dian Riski. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe (Teams Game Tournament) terhadap Motivasi Siswa Mengikuti Pembelajaran di Kelas X SMA N Panggul 1 Kabupaten Trenggalek. Jurnal Penerapan Model Pembelajaran: Universitas Negeri Surabaya. Nurvitasari, Sapti. 2012. Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Game Tournament (TGT) untuk Meningkatkan Pastisipasi Aktif Siswa Kelas VII A SMP N 3 Pakem dalam Mata Pelajaran IPS. Universitas Negeri Yogyakarta. Pawestri, Devi Catur. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Game Tournament (TGT) pada Mata Pelajaran Ekonomi Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Muhammaddiyah 3 Surakarta. Universitas Negeri Surakarta. Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Syarifah, Ety. 2009. Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Semarang: Bandungan Institut.
[ 308 ] P a g e
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN RESPON MAHASISWA PADA MATERI KONSEP DIRI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Saat Aktivitas pembelajaran di perguruan tinggi yang didominasi oleh dosen merupakan pembelajaran yang bersifat teacher oriented. Mayoritas mahasiswa cenderung pasif dan hanya mahasiswa tertentu saja yang merespon pertanyaan dosen. Hal ini merupakan indikasi bahwa mahasiswa malas untuk berpikir sebagai wujud dari tidak terbiasanya aktif dalam proses belajar mengajar dan kebiasaan selalu bergantung pada setiap materi yang disampaikan oleh dosen. Dari fenomena tersebut bisa diatasi melalui pembelajaran kooperatif yaitu dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran TPS adalah model pembelajaran di mana mahasiswa dituntut lebih aktif yaitu berpikir mandiri (think), kemudian berpasangan atau berdiskusi dengan satu kelompok (pair) dan berbagi dengan semua kelompok di kelas (share). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran TPS, hasil belajar mahasiswa, dan respon mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran TPS pada materi Konsep Diri mata kuliah Pengembangan Kepribadian. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Kelas B Pendidikan Tata Niaga Angkatan 2013 Universitas Negeri Surabaya yang berjumlah 34 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah penerapan pembelajaran TPS diperoleh hasil belajar mahasiswa meningkat dengan ratarata nilai yang diperoleh pada pre-test 59,41 pada post-test siklus I diperoleh rata-rata 70,88 (belum tuntas) dan pada post-test siklus II meningkat menjadi 78,53 (tuntas). Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitas dosen, aktivitas mahasiswa, serta hasil belajar mahasiswa. Kata kunci: Think Pair Share (TPS), Hasil Belajar, Respon Mahasiswa
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kehidupan bangsa. Salah satu kegiatan pendidikan adalah menyelenggarakan proses belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran perlu adanya suasana yang terbuka, akrab dan saling menghargai. Sebaliknya perlu menghindari suasana belajar yang kaku, penuh ketegangan dan sarat dengan instruksi dan perintah yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah dan mengalami kebosanan (Dasim Budiamansyah, 2002). Akan tetapi kenyataan yang sering terjadi di dunia pendidikan Indonesia masih saja berkembang hingga saat ini adalah teacher oriented. Sebagian besar aktivitas pembelajaran masih didominasi oleh pendidik yaitu dosen, sehingga mahasiswa merasa nyaman dengan apa yang telah disampaikan oleh dosen. Mereka tidak akan pernah mau berusaha untuk mengeksplor kemampuannya secara optimal, sehingga akan berakibat persepsi, minat, dan sikap mahasiswa terhadap mata kuliah tidak akan pernah optimal. Hal ini bisa terjadi bukan sepenuhnya kesalahan mahasiswa, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana seorang P a g e [ 309 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dosen mengelola proses belajar mengajar menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung adanya feedback dari mahasiswa terhadap proses belajar mengajar yang dilakukan dapat dirasakan perbedaannya. Pengembangan kepribadian adalah mata kuliah yang termasuk dalam program adaptif yang mana berlaku bagi semua program keahlian. Dalam mata kuliah pengembangan kepribadian, mahasiswa tidak hanya diharapkan untuk menguasai konsep tentang kepribadian saja tetapi mereka juga harus memiliki kemampuan untuk mengenal diri mereka sehingga mereka memiliki jiwa, sikap, perilaku, karakter, intelegensi yang nantinya berguna untuk bisa menjadi guru yang profesional. Hal tersebut bisa terwujud jika mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengelola dirinya sendiri, kepribadiannya, serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi, dan sikap saling menghargai dan menghormati. Pembelajaran mata kuliah Pengembangan Kepribadian ini bisa dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual dengan metode kooperatif. Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan Think Pair Share (TPS) merupakan suatu cara dosen untuk memotivasi mahasiswa agar lebih aktif berpikir mandiri (think), kemudian berpasangan atau berdiskusi dengan satu kelompok yang telah ditentukan (pair) dan berbagi dengan semua kelompok di kelas (share). Dengan penerapan pembelajaran tersebut di dalam kelas akan tercipta suasana kooperatif dimana mahasiswa akan saling berkomunikasi, saling mendengarkan, saling berbagi, saling memberi dan menerima, yang mana keadaan tersebut akan memupuk jiwa, sikap, dan perilaku yang memungkinkan adanya ketergantungan yang positif (interdependensi positif). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS), 2) hasil belajar mahasiswa setelah penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS), 3) respon mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) pada materi Konsep Diri mata kuliah Pengembangan Kepribadian Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin (dalam Risnawati, 2005:18) pembelajaran kooperatif mengandung pengertian siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggungjawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Terdapat beberapa variasi dari model pembelajaran kooperatif yang merupakan bagian dari pendekatan dari kumpulan strategi mengajar bagi pendidik. Pendekatan itu ada empat yaitu (1) Student Teams Achievement Division (STAD), tim-tim heterogen saling membantu satu sama lain, belajar dengan mengunakan berbagai metode pembelajaran kooperatif dan prosedur kuis; (2) Jigsaw, setiap anggota tim bertanggung jawab untuk menentukan materi pembelajaran yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan materi tersebut kepada teman sekelompok lain, kemudian mengajarkan materi tersebut kepada teman sekelompok lain; (3) Investigasi kelompok (IK), mahasiswa tidak hanya [ 310 ] P a g e
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
bekerjasama namun terlibat merencanakan topik untuk dipelajari dan prosedur penyelidikan yang digunakan; (4) Pendekatan struktural, anggota tim bervariasi dari 2-6 dan struktur tugas mungkin ditekankan pada tujuan-tujuan sosial atau akademik. Dua struktur yang terkenal adalah Think Pair Share (TPS) dan Numbered Head Together (NHT), pendekatan struktur tersebut digunakan oleh pendidik (dosen) untuk mengajarkan isi akademik atau mengecek pemahaman mahasiswa terhadap materi tertentu, sedangkan active listening dan time token merupakan contoh struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan ketrampilan sosial (Ibrahim, 2005). Think Pair Share (TPS) Menurut Ibrahim, dkk (2005,) langkah-langkah Think Pair Share (TPS) seperti berikut ini: 1. Tahap 1: Berfikir (Thinking) Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. 2. Tahap 2: Berpasangan (Pairing) Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan. 3. Tahap 3: Berbagi (Sharing) Pada tahap akhir guru meminta pada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Berfikir(Think)
Berpasangan( Pair)
Berbagi ( share)
Gambar 1. Sintaks Think-Pair-Share
P a g e [ 311 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Hasil Belajar Hasil belajar siswa adalah nilai yang diperoleh siswa selama kegiatan belajar mengajar. Hasil belajar mahasiswa diartikan sebagai penguasaan (daya serap) mahasiswa setelah penerapan pembelajaran kooperatif dengan model Think Pair Share (TPS) pada mata kuliah Pengembangan Kepribadian kompetensi memahami dan memiliki kemampuan mengenal diri materi konsep diri yang ditunjukkan dengan nilai atau angka dari tes yang diberikan oleh dosen. Test tersebut adalah pre test, diskusi kelompok melalui mini case dan post test. Kerangka Berfikir
Latar belakang: Metode ceramah yang membosankan (teacher center) Dominasi dosen tinggi dalam pengajaran Mahasiswa cenderung pasif dalam pengajaran Tidak banyak mahasiswa yang bertanya apalagi menyampaikan pendapatnya secara spontan Mahasiswa mempunyai kebiasaan untuk selalu bergantung pada setiap materi yang disampaikan oleh dosen
Ceramah dosen
Pre test
Berfikir individu (Think) Berpasangan (Pair)
Berbagi (share)
Post test
Hasil belajar meningkat
Gambar 2. Kerangka Berfikir Think-Pair-Share (TPS)
METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Tata Niaga kelas B angkatan 2013 yang berjumlah 34 mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, tes, angket, dan catatan lapangan. Indikator keberhasilan pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini dinilai dari 1) kesesuaian proses pembelajaran dengan langkah-langkah model pembelajaran Think Pair Share (TPS), 2) mahasiswa dikatakan tuntas belajar jika mendapatkan skor minimal ≥ 75 dan skor tertinggi 100 atau memperoleh ketercapaian pembelajaran minimal 75% pada penilaian hasil rata-rata jawaban pertanyaan pada post test selama dua siklus dan terdapat peningkatan nilai ratarata antara pre test dan post test. Sedangkan keberhasilan kelas dinilai dari minimal 85% mahasiswa di kelas tersebut tuntas belajar 4) kegiatan aktivitas dosen dan mahasiswa dikatakan berhasil bila mencapai keberhasilan 80%, 5) peneliti dapat mengidentifikasi [ 312 ] P a g e
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
kendala selama pembelajaran dan menemukan solusi pemecahannya. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahap penelitian, yaitu 1) rencana tindakan (planning), 2) pelaksanaan tindakan (action), 3) pengamatan (observation), dan 4) refleksi (reflecting). Persiapan tindakan dan pelaksanaan tindakan selama pembelajaran sebagai berikut:
Gambar 3. Desain PTK Kemmis & Mc. Taggart (1990) yang dikutip oleh Susilo (2009:13) HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I, meliputi beberapa tahapan, yaitu: 1. Tahap Perencanaan Tindakan Tahap ini meliputi menyiapkan skenario pembelajaran berupa Satuan Acara Perkuliahan (SAP), menyiapkan bahan ajar berupa modul materi Konsep Diri, menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi, format wawancara dan catatan lapangan, menyiapkan soal pre test dan post test I, menyiapkan topik diskusi untuk siklus I berupa mini case yang digunakan dalam fase think, menyiapkan lembar jawaban yang digunakan dalam fase pair, menyiapkan kamera 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan dalam pembelajaran ini terbagi dalam tiga kegiatan yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Pada tahap awal pelaksanaan kegiatan yang dilakukan peneliti yaitu kegiatan rutin di awal tatap muka (memberi salam dan dilanjutkan mempresensi mahasiswa), kemudian menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai, selanjutnya menyiapkan kelas untuk memulai pemberian materi konsep diri dengan setting awal model klasikal yang dilanjutkan dengan penjelasan aturan main model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Pada tahap inti sebelum pelaksanaan pembelajaran Think Pair Share (TPS), mahasiswa di minta untuk P a g e [ 313 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 mengerjakan soal pre test yang terdiri dari 20 soal pilihan. Selanjutnya mahasiswa secara individu diminta untuk berpikir tentang mini case yang sudah diberikan (fase think), kemudian mereka mulai berdiskusi dengan teman sebelahnya (tiap kelompok terdiri dari 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing (fase pair). Setelah waktu untuk berdiskusi secara berkelompok di rasa cukup selanjutnya peneliti memimpin diskusi pleno kecil, di mana setiap kelompok akan mengutarakan atau mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share), sementara mahasiswa yang lain menyimak dan mengemukakan pendapat, memberikan solusi, atau bahkan menyanggah mengenai pendapat baik yang disampaikan penyaji maupun kelompok lain. Di dalam fase share ini peneliti selalu mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para mahasiswa. Evaluasi hasil belajar pada siklus I ini di evaluasi melalui post test I. Post test I ini berlangsung selama 20 menit, dengan jumlah soal terdiri dari 20 soal pilihan ganda. Tahap akhir pelaksanaan kegiatan, peneliti bersama-sama dengan mahasiswa membuat kesimpulan dan penguatan dari materi Konsep Diri. Selain itu peneliti juga memberikan penghargaan pada pasangan kelompok yang sudah mengemukakan hasil diskusinya. 3. Tahap Observasi Tindakan Hasil observasi kedua dosen pengamat (observer) meliputi aktivitas peneliti sebagai dosen dan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran. Hasil observasi terhadap kegiatan peneliti (dosen) pada siklus I diperoleh persentase nilai rata-rata 75%, yang dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan peneliti termasuk dalam kategori B. Hal ini akan dijadikan catatan peneliti untuk memperbaiki proses pembelajaran pada siklus berikutnya yaitu siklus II materi Konsep Diri. Sedangkan hasil observasi terhadap kegiatan mahasiswa pada Siklus I diperoleh persentase nilai rata-rata 78,13%, yang dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan mahasiswa termasuk dalam kategori B+. Hal ini akan dijadikan catatan peneliti untuk memperbaiki proses pembelajaran pada siklus berikutnya yaitu siklus II materi Konsep Diri. Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti juga mengambil data melalui 1) wawancara yaitu untuk mengetahui respon dan pemahaman mahasiswa terhadap materi Konsep diri. Berdasarkan respon, hasil wawancara menunjukkan mahasiswa merasa senang belajar secara kelompok daripada belajar secara individu, mereka tidak bosan dan menikmati pelajaran yang diajarkan, mereka juga bisa bertukar pendapat dengan temannya tanpa takut ditegur oleh dosen karena membuat suasana kelas sedikit gaduh. 2) Hasil Catatan Lapangan, diperoleh suasana kelas agak gaduh ketika peneliti menjelaskan aturan main metode pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan ketika berdiskusi dengan kelompoknya (fase pair) ataupun ketika kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share), selain itu didapatkan catatan bahwa kepercayaan diri mahasiswa yang masih sangat rendah ketika mengungapkan ide-idenya. [ 314 ] P a g e
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
4. Tahap Analisis dan Refleksi Tindakan Berdasarkan analisis data pengamatan yang dilakukan oleh dua orang pengamat terhadap aktivitas peneliti dan mahasiswa menunjukkan taraf keberhasilan dalam kategori B dan B+. Hasil tes akhir (post test I) tindakan pembelajaran materi Konsep Diri pada siklus I didapat rata-rata skor kelas adalah 70,88 hal ini meningkat jika dibandingkan dengan pre test didapat rata-rata skor kelas adalah 59,41. Siklus II, meliputi beberapa tahapan, yaitu: 1. Tahap Perencanaan Tindakan Tahap ini meliputi menyiapkan skenario pembelajaran berupa Satuan Acara Perkuliahan (SAP), menyiapkan bahan ajar berupa modul materi Konsep Diri, menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi, format wawancara dan catatan lapangan, menyiapkan soal post test II, menyiapkan topik diskusi untuk siklus II berupa mini case yang digunakan dalam fase think, menyiapkan lembar jawaban yang digunakan dalam fase pair, menyiapkan kamera 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan dalam pembelajaran ini terbagi dalam tiga kegiatan yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Pada tahap awal pelaksanaan kegiatan yang dilakukan peneliti yaitu kegiatan rutin di awal tatap muka (memberi salam dan dilanjutkan mempresensi mahasiswa), kemudian menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai, rutin di awal tatap muka (memberi salam dan mempresensi mahasiswa), kemudian peneliti menjelaskan kompetensi dan indikator pencapaian hasil belajar, menjelaskan secara umum topik materi yang akan di diskusikan, dan dilanjutkan dengan mengingatkan kembali aturan main pembelajaran Think Pair Share (TPS). Peneliti juga memberikan motivasi dan reinforcement kepada mahasiswa. Setelah itu, tahap inti pelaksanaan kegiatan seperti pada siklus I untuk siklus II ini mahasiswa secara individu diminta untuk berpikir tentang mini case yang sudah diberikan (fase think), kemudian mereka mulai berdiskusi dengan teman sebelahnya dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing (fase pair). Selanjutnya peneliti memimpin diskusi pleno kecil, di mana setiap kelompok akan mengutarakan atau mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share). Di dalam fase share ini peneliti selalu mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para mahasiswa. Tahap akhir pelaksanaan kegiatan, peneliti bersama-sama dengan mahasiswa membuat kesimpulan dan penguatan dari materi Konsep Diri. Selain itu peneliti juga memberikan penghargaan pada pasangan kelompok yang sudah mengemukakan hasil diskusinya. Evaluasi hasil belajar pada siklus II ini di evaluasi melalui post test II. Post test II ini berlangsung selama 20 menit, dengan jumlah soal terdiri dari 20 soal pilihan ganda 3. Tahap Observasi Tindakan
P a g e [ 315 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Hasil observasi kedua dosen pengamat (observer) meliputi aktivitas peneliti sebagai dosen dan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran. Hasil observasi terhadap kegiatan peneliti (dosen) pada siklus II diperoleh persentase nilai rata-rata 92,86%, yang dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan peneliti termasuk dalam ketegori A. Sedangkan hasil observasi terhadap kegiatan mahasiswa pada Siklus II diperoleh persentase nilai rata-rata 90,63%, yang dapat diartikan bahwa taraf keberhasilan kegiatan mahasiswa termasuk dalam kategori A-. Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti juga mengambil data melalui wawancara dan catatan lapangan. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa sudah mulai beradaptasi dengan pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS), mereka lebih memahami materi yang dibahas karena mendapat informasi dari dosen, mereka juga saling memberi dan menerima informasi dengan teman yang lain, saling belajar dengan santai, menikmati pelajaran dan juga tidak mengantuk. Sedangkan dari hasil catatan lapangan, didapatkan bahwa mahasiswa sudah mampu mengatur diri untuk duduk sesuai dengan kelompok seperti pada siklus I, mahasiswa juga sudah memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk mengungkapkan pendapatnya secara lisan serta ketika diskusi berlangsung tidak ditemukan mahasiswa yang mendominasi kelompoknya 4. Tahap Analisis dan Refleksi Tindakan Berdasarkan analisis data pengamatan yang dilakukan oleh dua orang pengamat terhadap aktivitas peneliti dan mahasiswa menunjukkan taraf keberhasilan dalam kategori A dan A-. Hasil tes akhir (post test II) siklus II didapatkan nilai rata-rata kelas adalah 78,53 Respon Mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS), di dapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Analisis Angket Respon Mahasiswa Skor ratarata 3,44
Kriteria respon
No.
Penilaian
1
4(15) 3(19) 2(0) l(0) 34
2
4(11) 3(20) 2(3) l(0) 34
3,23
sangat positif
3
4(10) 3(23) 2(1) l(0) 34
3,32
sangat positif
[ 316 ] P a g e
sangat positif
Intepretasi Mahasiswa senang dengan pembelajaran ini, karena harus aktif sehingga tidak terjadi kebosanan. Mahasiswa senang apabila dosen sebelum memulai pembelajaran terlebih dahulu menyampaikan tujuan dan manfaat mempelajari materi tersebut. Mahasiswa senang dengan pembelajaran ini, karena membuat mahasiswa saling menghargai dan berinteraksi satu dengan yang
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
Skor ratarata
Kriteria respon
No.
Penilaian
4
4(13) 3(21) 2(0) l(0) 34
3,25
sangat positif
5
4(8) 3(24) 2(2) l(0) 34
3,38
siswa positif
6
4(6) 3(12) 2(12) l(4) 34
2,58
positif
7
4(12) 3(18) 2(4) l(0) 34
3,23
8
4(7) 3(20) 2(7) l(0) 34
3,00
sangat positif positif
9
4(10) 3(21) 2(3) l(0) 34
3,20
sangat positif
10
4(18) 3(16) 2(0) l(0) 34
3,53
sangat positif
11
4(8) 3(10) 2(14) l(2) 34
2,70
positif
12
4(7) 3(19) 2(8) l(0) 34
2,96
positif
13
4(8) 3(19) 2(7) l(0) 34
3,02
sangat positif
14
4(0) 3(14) 2(15) l(5) 34
2,26
positif
Intepretasi lain. Mahasiswa senang dengan pembelajaran ini, karena dapat meningkatkan rasa saling percaya antar mahasiswa Mahasiswa dapat mengemukakan pendapat dengan baik setelah mahasiswa belajar dengan menggunakan metode Think Pair Share (TPS) Pembelajaran ini dapat menghilangkan sifat egois, mendominasi kelompok, dan ingin menang sendiri Mahasiswa mau menerima ide atau pendapat orang lain. Penghargaan yang diberikan kepada kelompok yang berprestasi semakin memacu semangat mahasiswa untuk belajar Dengan metode belajar seperti ini mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa merasa senang bekerja dalam kelompok, karena merasa bagian dari kelompok yang mempunyai andil dalam sukses tidaknya kelompok. Mahasiswa suka bekerja sama dengan kelompok karena memupuk rasa saling membutuhkan. Mahasiswa menyukai pembelajaran ini karena mahasiswa merasa mempunyai keahlian dan tidak kalah dengan teman-teman yang lain. Mahasiswa senang dengan pembelajaran ini, akan melatih mahasiswa untuk berbagi pengetahuan dengan temantemannya. Mahasiswa senang dengan pembelajaran ini, karena akan P a g e [ 317 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
No.
15
Penilaian
4(14) 3(17) 2(3) l(0) 34
Skor ratarata
3,32
Kriteria respon
sangat positif
Intepretasi bertanggung jawab terhadap materi yang dikuasainya untuk diajarkan kepada temantemannya. Mahasiswa senang dengan pembelajaran ini, karena tidak merasa kesulitan dalam menyampaikan materi yang telah dikuasainya.
PEMBAHASAN Penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) Dalam proses pembelajaran model Think Pair Share (TPS), di awal pembelajaran mahasiswa sudah di setting untuk aktif menggali informasi sebanyak-banyaknya atas informasi yang akan dipelajari di kelas. Dosen (peneliti) memberi pengantar materi secara sekilas sehingga mahasiswa pun harus sudah mulai mencari pemecahan sendiri jika ingin mengetahui materi secara lebih komprehensif. Pada saat pelaksanaan pembelajaran mahasiswa akan distimulus untuk semakin lebih aktif lagi dalam proses pembelajaran di mana mahasiswa berdiskusi dengan kelompoknya (pairing) ketika sebuah persoalan (mini case) diberikan, mahasiswa harus saling membantu dan berkomunikasi dengan kelompoknya. Selanjutnya di akhir pelaksanaan pembelajaran mahasiswa juga masih tetap harus aktif yaitu dengan cara sharing atau melaporkan hasil diskusi kepada seluruh kelas. Pada tahap ini mahasiswa memberi masukan terhadap proses refleksi maupun proses pembuatan kesimpulan akhir atas materi yang telah dipelajari Secara garis besar aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran model TPS adalah memberikan tanggapan atas persoalan yang diajukan dosen. Dilanjutkan dengan proses berpikir secara individu (thinking), kemudian dari proses berpikir secara individu tersebut ditindaklanjuti dengan melakukan proses diskusi dengan rekan atau pasangannya (pairing), dan diakhiri dengan tahap (sharing) atau melaporkan hasil diskusi kepada seluruh kelas. Sedangkan mengkaji peran dosen dalam pembelajaran Think Pair Share (TPS) dibedakan menjadi 1) peran dosen pada tahap awal pembelajaran meliputi mempersiapkan rencana pembelajaran yang meliputi skenario pembelajaran, menyiapkan bahan ajar yang akan disampaikan serta topik diskusi yang juga harus dipersiapkan, 2) Peran dosen pada saat tahap pembelajaran meliputi melakukan review atas materi yang akan diajarkan, menjelaskan pencapaian hasil belajar yang harus dimiliki mahasiswa, menyampaikan aturan main model pembelajaran Think Pair Share (TPS), menggali pengetahuan awal mahasiswa, pada saat proses diskusi dosen adalah membimbing proses pemecahan masalah dengan memberi kesempatan kepada [ 318 ] P a g e
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
mahasiswa untuk berpikir secara individu (thinking), kemudian dilanjutkan dengan proses pairing dan sharing. Pada saat proses diskusi berlangsung dosen memberi pengarahan jika mahasiswa mengalami kesulitan. 3) Pada akhir proses pembelajaran dosen memberikan tes (post test) untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa atas materi yang telah dipelajari, dan melakukan refleksi bersama-sama dengan mahasiswa terkait dengan hal-hal yang masih memerlukan tindakan perbaikan atau tidak. Dalam proses pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini meliputi beberapa aktivitas yaitu 1) pembentukan kelompok, di mana peneliti membagi kelas menjadi 17 kelompok di mana masing-masing kelompok terdiri dari dua orang, 2) pembagian topik diskusi, 3) diskusi kelompok, 4) pembahasan hasil diskusi kelompok, dan 5) Tes untuk melihat sampai sejauh mana tingkat pemahaman yang diperoleh mahasiswa dan untuk melihat sampai sejauh mana tingkat efektivitas penggunaan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Pada siklus I taraf keberhasilan mahasiswa termasuk dalam kategori B+, sedangkan taraf keberhasilan pada siklus II telah mengalami peningkatan kategori menjadi A. Hasil Belajar setelah penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) Pada pre test hasil belajar mahasiswa diperoleh rata-rata 59,41 sedangkan pada post test siklus I diperoleh rata-rata 70,88. Selanjutnya untuk siklus II, peneliti meminta mahasiswa untuk terlebih dahulu membaca dan mencoba mengerjakan tes yang kisikisinya telah diberikan maka diperoleh peningkatan skor rata-rata kelas yang cukup tinggi pada post test siklus II yaitu 78,53. Hasil post test siklus II tersebut menyatakan bahwa terdapat 29 orang mahasiswa telah mencapai nilai di atas 75 (tuntas) dan 5 orang mahasiswa masih mendapatkan nilai di bawah 75 (belum tuntas). Dapat dilihat dalam grafik peningkatan hasil belajar yang diperoleh berikut ini:
Gambar 3 Grafik Peningkatan Hasil Belajar Respon Mahasiswa Terhadap Penerapan Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Respon yang diberikan mahasiswa terhadap pembelajaran Think Pair Share (TPS) sangat positif, karena mahasiswa dituntut aktif sehingga tidak jenuh dalam proses belajar mengajar. Mahasiswa lebih senang apabila sebelum memulai pembelajaran, dosen P a g e [ 319 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menyampaikan tujuan dan manfaat mempelajari materi yang akan dibahas. Mahasiswa senang dengan pembelajaran Think Pair Share (TPS) karena dapat membuat mahasiswa berinteraksi dan bisa lebih menghargai pendapat orang lain, meningkatkan rasa saling percaya sesama mahasiswa, melatih untuk dapat mengemukakan ide dengan lebih baik, dapat menghilangkan sifat egois, mendominasi kelompok, dan menang sendiri serta mau menerima ide atau pendapat orang lain. Selain itu dengan pembelajaran Think Pair Share (TPS) terdapatmya adanya ketergantungan positif antara lain penghargaan yang diberikan kelompok yang berprestasi semakin memacu semangat mahasiswa yang lain untuk belajar, melatih ketrampilan social, mahasiswa merasa menjadi bagian dari berhasil tidaknya kelompok, memupuk rasa saling membutuhkan, dan dapat melatih mahasiswa untuk berbagi pengetahuan, serta bertanggung jawab terhadap materi yang dikuasainya dan mampu menyampaikannya kepada rekan yang lain. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu (1) penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) meliputi beberapa aktivitas yaitu mahasiswa secara individu diminta untuk berpikir tentang mini case (fase think), mahasiswa berpasangan (fase pair) dengan teman sebelahnya dan mengutarakan hasil pemikirannya, dosen memimpin diskusi pleno kecil di mana setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (fase share). (2) hasil belajar mahasiswa meningkat dengan rata-rata nilai yang diperoleh pada pre test 59,41 pada post test siklus I diperoleh ratarata 70,88 (belum tuntas) dan pada post test siklus II meningkat menjadi 78,53 (tuntas). (3) Respon yang diberikan mahasiswa terhadap pembelajaran Think Pair Share (TPS) sangat positif. Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) perlu adanya 1) persiapan yang baik meliputi kesiapan mahasiswa dan sarana prasarana yang mendukung kegiatan pembelajaran, 2) Dosen harus selalu memberi arahan dan motivasi kepada seluruh mahasiswa, terutama mahasiswa yang memiliki kemampuan lebih rendah, 3) membutuhkan media pembelajaran yang bervariasi, 4) untuk mengembangkan penerapan pembelajaran model Think Pair Share (TPS) diperlukan penelitian lebih lanjut pada pengajaran mata kuliah yang sama atau mata kuliah yang lain di tempat yang berbeda DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Budiningsih, C, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono.1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta Hamalik, Oemar. 2004. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara [ 320 ] P a g e
Penerapan Pembelajaran Think… (Novi Marlena, Renny Dwijayanti & Retno Mustika Dewi)
Heri Purwanto. 2007. Implementasi Pembelajaran Kooperatif Dengan Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Diklat Kewirausahaan (Studi Pada Siswa Kelas 1 Penjualan Smk Ardjuna I Malang) Ibrahim, Muslimin, dkk. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press. UNESA Laura, C. 2001. Strategis For Reading To Learn. (Online), (http://olc.spsd.sk. Ca /DE/PD/instr/Strats/Think.html Lie, A. 2005. Cooperatif Learning. Jakarta: PT Gramedia Lince, Ranak. 2001. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Struktural Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Di Kelas II SLTP Listiawati, Indah. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share Pada Mata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas X-C MAN I Gresik Masidjo, I. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah. Jakarta: Kanisius Nurhadi dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang Oemar, H. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Pujianto, Sentot. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share Dalam Upaya Peningkatan Hasil Belajar Dan Ketrampilan Siswa Pada Pokok Bahasan Alkana, Alkena, Alkuna Di Kelas 1 SMU Negeri Kedungpring Risnawati. 2005. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Melalui Metode Belajar Kooperatif Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas 1 SMA Negeri 9 Malang Sudjana, Nana. 2005. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Susilo. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher Wiriatmadja, Rochiati. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya Witjaksono,Mit. 1985. Konsep-Strategi-Pendekatan Pengelolaan Kelas. Malang: IKIP Malang
P a g e [ 321 ]