Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
BAGIAN 4. PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Dini Amaliah
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
[email protected]
Abstrak Pelaksanaan muatan lokal harus benar-benar memperhatikan karakteristik lingkungan daerah dan juga kebutuhan daerah tersebut. Hal ini bertujuan sebagai usaha pengenalan pemahaman dan pewarisan nilai karakteristik daerah kepada peserta didik. Peserta didik juga diharapkan tidak saja memiliki pengetahuan secara akademis berupa pengetahuan global seperti yang diharapkan, tetapi juga mempunyai kepedulian terhadap nilai-nilai sosiokultural yang melingkupi peserta didik. Konsep muatan lokal tersebut sesuai dengan konsep trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu salah satunya konsentris, yang berarti setelah bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, jangan kehilangan kepribadian sendiri. Muatan lokal berarti penguat sumber daya manusia Indonesia akan kecintaan dan nilai lokal daerah sebagai bentuk pertahanan diri dalam menerima arus global. Sehingga muatan lokal menjadi salah satu strategi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kekuatan informasi, pengetahuan dan budaya luar akan menjadi tambahan kekuatan bangsa tanpa mengurangi, mengaburkan bahkan menghilangkan kecintaan peserta didik akan nilai sosiokultural bangsa dan juga daerahnya. Makalah ini berupaya menjelaskan peranan penting muatan lokal dalam menghadapi MEA dengan metode conceptual paper, yaitu melalui kajian bersifat kualitatif melalui pengumpulan jurnal deskriptif dan literatur. Kata kunci: Muatan lokal, Strategi, MEA
PENDAHULUAN Indonesia termasuk salah satu negara dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) yang akan bergulir mulai akhir tahun 2015 ini. MEA merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah disebut dalam Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation pada tahun 1992. Dengan adanya MEA terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Konsekuensi atas kesepakatan MEA yakni dampak aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal. Menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan langkah strategis, khususnya di bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang menjadi jawaban terhadap kebutuhan sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu meningkatkan standar mutu sekolah agar lulusannya siap menghadapi persaingan. Salah P a g e [ 419 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 satu caranya dengan menguatkan kepala sekolah, guru dan orang tua. Karena kepemimpinan kepala sekolah menjadi kunci tumbuhnya ekosistem pendidikan yang lain. Selain itu peningkatan kemampuan peserta didik dalam bidang kewirausahaan juga merupakan bekal dalam menghadapi persaingan MEA. Langkah strategis lain dalam bidang pendidikan adalah menerapkan pendidikan berkarakter sebagai daya tahan dalam menghadapi MEA melalui pengembangan kurikulum baik intra maupun ekstra kurikuler. Pengembangan kurikulum diperlukan juga dalam menghadapi dampak negatif dari MEA. Melalui kurikulum yang tidak hanya bersifat global namun lokal maka dampak negatif MEA dapat dibendung. Salah satu upayanya dengan pengembangan kurikulum muatan lokal (MULOK) yang sudah dilakukan dalam pendidikan di Indonesia. Pengembangan MULOK merupakan pengembangan konsep pendidikan yang sesuai dengan konsep dari Ki Hajar Dewantara yaitu Trikon. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu kontinuitas berarti bahwa garis hidup sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain; konvergensi berarti harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju ke arah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masingmasing; dan konsentris berarti setelah bersatu dan berkomunikasi dengan bangsabangsa lain di dunia, jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara kita dengan Negara lain. Konsep konsentris yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan dasar pengembangan kurikulum melalui muatan lokal. Muatan lokal diberikan dalam rangka usaha pengenalan pemahaman dan pewarisan nilai karakteristik daerah kepada peserta didik. Kedudukan muatan lokal dalam kurikulum bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi merupakan mata pelajaran terpadu, yaitu bagian dari mata pelajaran yang sudah ada. Melalui muatan lokal yang diterapkan di sekolah, diharapkan peserta didik dapat meningkatkan kecintaannya terhadap budaya daerahnya dan menanamkan nilai sosio kultural yang melingkupi peserta didik. Pemahaman nilai karakteristik daerah kepada peserta didik diharapkan dapat menjadi benteng yang tangguh dalam menghadapi dampak negatif dari arus global yaitu MEA. Dengan begitu peserta didik akan menjadikan arus global menjadi tambahan kekayaan nilai sosio kultural tanpa menghilangkan nilai budaya daerah.
[ 420 ] P a g e
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
Berdasarkan hal tersebut, tujuan MULOK secara filosofis merupakan pengembangan dari konsep primordial yaitu menumbuhkan dan meningkatkan rasa nasionalisme sebagai wujud rasa cinta terhadap bangsa Indonesia. Nasionalisme yang ada pada diri setiap peserta didik dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat, kokoh dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan peluang baik yang muncul dalam diri bangsa maupun dari luar seperti MEA. Selain itu, MULOK bertujuan dalam pengembangan edukatif dan psikologis peserta didik. Dengan MULOK pembelajaran aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM) dapat terwujud, karena dengan PAIKEM materi pembelajaran dapat mudah diserap peserta didik dan dapat mewujudkan pembelajaran sejati yang merupakan bagian dari pembelajaran holistik yang dikemukakan oleh Prof. Dr. M. Surya yaitu bahwa pembelajaran sejati bersifat nyata, dekat, dikenal, alami dan natural, yang merupakan kesatuan dari konsep MULOK. Pembelajaran sejati inilah yang akan mewujudkan SDM berkualitas dan siap menghadapi tantangan dan peluang bangsa. Penulisan paper ini bertujuan untuk menelaah pengembangan konsep kurikulum muatan lokal di sekolah dan menginternalisasi peran pengembangan konsep muatan lokal dalam diri peserta didik sebagai upaya dalam menghadapi MEA. KONSEP KURIKULUM MUATAN LOKAL Dalam hal ini, beragam pandangan telah dikemukakan sejumlah pakar. Namun, dalam bagian ini hanya akan dikemukakan beberapa definisi yang telah diajukan. Tirtarahardja dan La Sula mengungkapkan bahwa kurikulum muatan lokal adalah …suatu program pendidikan yang isi dan media dan strategi penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah (Iim Wasliman, 2007: 209). Yang dimaksud dengan isi adalah materi pelajaran yang dipilih dan lingkungan dan dijadikan program untuk dipelajari oleh murid di bawah bimbingan guru guna mencapai tujuan muatan lokal. Media penyampaian ialah metode dan berbagai alat bantu pembelajaran yang digunakan dalam menyajikan isi muatan lokal. Jadi isi program dan media penyampaian materi lokal diambil dan menggunakan sumber lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik. Menurut Mulyasa kurikulum muatan lokal adalah kegiatan kurikuler yang mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. (Mulyasa, 2009: 256) Substansi Muatan lokal ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan. Pendapat ini tampaknya menganggap bahwa kurikulum muatan lokal hanya bisa diakomodasi melalui kegiatan yang terpisah dengan mata pelajaran. Muatan lokal diorientasikan untuk menjembatani kebutuhan keluarga dan masyarakat dengan tujuan pendidikan nasional. Dapat pula dikemukakan, mata pelajaran ini juga memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, mata pelajaran muatan P a g e [ 421 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 lokal harus memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali siswa dengan keterampilan dasar sebagai bekal dalam kehidupan (life skill). Dengan demikian, kurikulum muatan lokal adalah seperangkat rencana dan dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Muatan lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada standar isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Tujuan penyelenggaraan dan pelaksanaan muatan lokal dalam kurikulum yaitu terdiri dari tujuan langsung dan tak langsung. (Abdullah Idi, 1999: 180) Tujuan langsung meliputi bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh murid, sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, murid dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, dan murid lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya. Sedangkan tujuan tak langsung meliputi: murid dapat meningkatkan pengetahuan mengenal daerahnya, murid diharapkan dapat menolong orangtuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dan murid menjadi akrab dengan lingkungan dan terhindar dari keterasingan terhadap lingkungan sendiri. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan di mana bahan muatan lokal sifatnya mandiri dan tidak terikat oleh pusat, maka peranan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dalam muatan lokal ini sangat menentukan. Untuk melaksanakan pengembangan, langkah-langkah yang ditempuh yaitu menyusun perencanaan muatan lokal, melaksanakan pembinaan, dan merencanakan pengembangan. (Dakir, 2010: 119) Dalam menyusun perencanaan muatan lokal juga akan menyangkut berbagai sumber seperti pengajar, metode, media, dana dan evaluasinya. Merencanakan bahan muatan lokal yang akan diajarkan, langkah-langkahnya dapat ditempuh yaitu mengaidentifikasi segala sesuatu yang mungkin dapat dijadikan bahan muatan lokal, menyeleksi bahan muatan lokal, menyusun silabus yang bersangkutan, mencari sumber bahan tertulis maupun tidak tertulis, dan mengusahakan sarana/ prasarana yang relevan dan terjangkau. Meskipun kurikulum muatan lokal telah direncanakan dengan rapi, tetapi dalam pelaksanaannya tentu akan mengalami berbagai hambatan. Atas dasar berbagai pengalaman bagi si pelaksana dan berbagai saran, kritik dan tanggapan yang merupakan bahan masukan yang sangat berguna bagi revisi bahan muatan lokal selanjutnya. Selain itu pembinaan perlu ditangani oleh tenaga-tenaga yang profesional yang dilakukan secara berkelanjutan guna tercapainya tujuan muatan lokal secara optimal. [ 422 ] P a g e
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
Pada pengembangan muatan lokal ada yang bersifat untuk jangka jauh dan untuk jangka pendek. Pengembangan jangka jauh dilaksanakan secara berurutan dan berkesinambungan dari berbagai muatan lokal yang pernah ada di sekolah-sekolah bawahnya. Sedangkan di perguruan tinggi akan lebih tepat diistilahkan dengan “program khusus”, yang akan menjadi ciri khas bagi setiap perguruan tinggi yang bersangkutan. Perkembangan muatan lokal dalam jangka jauh yaitu melatih keahlian dan keterampilan para siswa yang sesuai dengan harapan nantinya. Dapat membantu dirinya sendiri, keluarga, masyarakat yang akhirnya dapat membantu pembangunan nusa dan bangsanya. Oleh karenanya, perkembangan muatan lokal dalam jangka panjang harus direncanakan secara sistematik oleh keluarga, sekolah dan masyarakat setempat dengan perantara pakar-pakar pada intansi terkait, baik negeri maupun swasta. Perkembangan tersebut dapat dilaksanakan dengan pola Trikon teori oleh Ki Hajar Dewantara yaitu muatan lokal diambilkan dari bahan setempat (Konsentris), kemudian berjalan terus makin meningkat sesuai dengan perkembangan peserta didik menuju ke daerah-daerah yang lain (Kontinyu) akhirnya meskipun setiap sekolah memulai dari sentrisnya masingmasing tetapi kalau semua sekolah melaksanakan secara kontinyu akibatnya akan terjadi kesamaan bahan yang dipelajari oleh semua peserta didik di Indonesia (Konvergensi). Jadi dengan kata lain untuk muatan lokal di sekolah dasar bersifat konsentris kemudian dilaksanakan secara kontinyu di sekolah menengah pertama dan akan terjadi konvergensi di sekolah menengah atas. Sedangkan pengembangan muatan lokal dalam jangka pendek dapat dilakukan oleh sekolah setempat dengan cara menyusun kurikulum muatan lokal kemudian menyusun silabusnya dan direvisi setiap saat. Dalam pengembangan selanjutnya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu perluasan muatan lokal dan pendalaman muatan lokal. (Dakir, 2010:123) Perluasan muatan lokal pada dasarnya ialah bahan muatan lokal yang ada di daerahnya itu yang terdiri dari berbagai jenis muatan lokal. Sedangkan pendalaman muatan lokal adalah bahan muatan lokal yang sudah ada kemudian diperdalam sampai lanjutan. Oleh karena itu pelajaran ini diberikan pada siswa yang sudah dewasa. Landasan pengembangan muatan lokal adalah keberadaannya sebagai salah satu isi dan struktur kurikulum yang harus diberikan pada tingkat dasar dan menengah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa Sekolah Dasar dan Menengah terdiri dari mata pelajaran pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan, bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; Ilmu Pengetahuan Sosial; Seni dan Budaya; Pendidikan Jasmani dan Olahraga; Keterampilan/Kejuruan; dan muatan lokal (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 ayat 1). Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi menyatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) selain memuat beberapa mata pelajaran, juga terdapat mata pelajaran muatan lokal yang wajib diberikan pada semua tingkat satuan pendidikan. Kebijakan P a g e [ 423 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang berkaitan dengan dimasukkannya mata pelajaran muatan lokal dalam standar isi dilandasi kenyataan bahwa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah) merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Adapun landasan pengembangan muatan lokal tercantum pula pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. (Rusman, 2009:404). KONSEP MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN Pembentukan MEA berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan ini bertujuan meningkatkan daya saing ASEAN serta bisa menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing. Modal asing dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan warga ASEAN. Saat itu, ASEAN meluncurkan inisiatif pembentukan integrasi kawasan ASEAN atau komunitas masyarakat ASEAN melalui ASEAN Vision 2020 saat berlangsungnya ASEAN Second Informal Summit. Inisiatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk roadmap jangka panjang yang bernama Hanoi Plan of Action yang disepakati pada 1998. Tujuan dibentuknya MEA untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah di bidang ekonomi antar negara ASEAN. Selama hampir dua dekade, ASEAN terdiri dari hanya lima negara - Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang pendiriannya pada tahun 1967. Negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tergabung dalam waktu yang berbeda yaitu Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan langkah strategis dalam sektor tenaga kerja, sektor infrastruktur, dan sektor industri. Dalam menghadapi MEA, Pemerintah Indonesia menyiapkan respon kebijakan yang berkaitan dengan Pengembangan Industri Nasional, Pengembangan Infrastruktur, Pengembangan Logistik, Pengembangan Investasi, dan Pengembangan Perdagangan (www.fiskal.depkeu.go.id). Selain hal tersebut masing-masing Kementerian dan Lembaga berusaha mengantisipasi MEA dengan langkah-langkah strategis. Menurut Suroso (2015) dalam bidang pendidikan, Pemerintah juga dapat melakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan MEA. Pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas menjadi jawaban terhadap kebutuhan sumber daya manusia. Oleh karena itu meningkatkan standar mutu sekolah menjadi keharusan agar lulusannya siap menghadapi persaingan. Kegiatan sosialisasi pada masyarakat juga harus ditingkatkan misalnya dengan Iklan Layanan Masyarakat tentang MEA yang berusaha menambah kesiapan masyarakat menghadapinya.
[ 424 ] P a g e
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, meningkatkan standar mutu pendidikan salah satunya dengan menguatkan aktor pendidikan, yaitu kepala sekolah, guru, dan orang tua. Menurutnya, kepemimpinan kepala sekolah menjadi kunci tumbuhnya ekosistem pendidikan yang baik. Guru juga perlu dilatih dengan metode yang tepat, yaitu mengubah pola pikir guru. Menurut Julipah dalam makalahnya mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 pendekatan yang mampu dioptimalkan untuk menghadapi tantangan MEA 2015 ke depan khususnya di bidang pendidikan yaitu: pendidikan merupakan hal yang terpenting untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat khususnya di kawasan Indonesia Timur. Sebagai usaha untuk meningkatkan daya saing dengan penduduk dari asal negara asing lainnya, penting untuk pemerintah daerah maupun pusat untuk lebih memberikan perhatian kepada masalah pendidikan. Penyuluhan sebagai langkah untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat setempat pun perlu dilakukan untuk memberikan kemudahan mengelola kekayaan alam kawasan Indonesia Timur. PERAN MUATAN LOKAL DALAM MENGHADAPI MEA Pemerintah melakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan MEA. Salah satu aspek yang dilakukan dalam strategi menghadapi MEA dengan pengembangan kurikulum adalah pengembangan kurikulum muatan lokal. Pengembangan kurikulum muatan lokal ada yang bersifat untuk jangka jauh dan untuk jangka pendek. Pengembangan jangka jauh dilaksanakan secara berurutan dan berkesinambungan dari berbagai muatan lokal yang pernah ada di jenjang sekolah dasar sampai menengah, seperti yang dilakukan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat, dengan berupaya menerapkan kurikulum muatan lokal melalui peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Menurut H Wildan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) republika.co.id (April, 2015) menilai masih lemahnya penguasaan bahasa Inggris akan menjadi kendala dalam menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). "Penguasaan bahasa Inggris menjadi kendala dalam menghadapi persaingan MEA yang akan diberlakukan mulai akhir 2015.” Penguasaan bahasa Inggris, menurutnya menjadi salah satu persyaratan utama dalam perekrutan tenaga kerja di setiap perusahaan, baik milik pemerintah maupun swasta, terutama perusahaan asing. Hal ini senada yang dilakukan di DKI Jakarta, bahwa pengembangan kurikulum 2013 semakin menambah sarat pentingnya muatan lokal di sekolah, seperti yang diungkapkan dalam replubika.co.id (Desember, 2013) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto menekankan bahwa bahasa Inggris akan dijadikan muatan lokal dalam kurikulum baru. “Jadi, di Jakarta, bahasa Inggris justru akan menjadi mata pelajaran wajib sebagai tambahan dari desain minimal yang ditawarkan Pusat. Begitu juga dengan Penjaskes.” Pada perguruan tinggi akan lebih tepat diistilahkan dengan “program khusus”, yang akan menjadi ciri khas bagi setiap perguruan tinggi yang bersangkutan. Hal ini P a g e [ 425 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sesuai dengan yang dilakukan Universitas Indraprasta PGRI dalam mengembangkan budaya daerah dengan melaksanakan pagelaran wayang orang dan kulit sebagai bentuk pelestarian budaya di mana mahasiswa dan dosen ikut aktif baik sebagai penari, pemain dan pelakon. Perkembangan muatan lokal dalam jangka jauh dapat dilaksanakan dengan pola Trikon teori oleh Ki Hajar Dewantara yaitu konsentris, kontinyu dan konvergensi dalam muatan lokal seperti yang diuraikan dalam jurnal humaniora oleh Nunung Sri Wahyuni (2013) menjelaskan pengembangan muatan lokal melalui membatik di SMA Situbondo, hasil penelitiannya menyatakan bahwa penetapan muatan lokal membatik merupakan keputusan sekolah dengan tujuan mensukseskan program pemerintah kabupaten Situbondo melestarikan dan mengembangkan budaya lokal khususnya batik situbondo, memberikan bekal keterampilan, dan peluang usaha. Selain itu implementasi muatan lokal membatik terlaksana secara optimal serta minat wirausaha siswa tinggi setelah mengikuti mulok membatik. Muhammad Nur Farid dalam jurnal komunitas Unnes (2012) mengkaji bagaimana pelaksanaan muatan lokal batik tulis Lasem pada tingkat sekolah dasar di Kecamatan Lasem sebagai bentuk pelestarian budaya lokal. Hasil penelitian ini menunjukkan pelaksanaan muatan lokal batik tulis Lasem pada kelas empat dan kelas lima. Muatan lokal tersebut berhasil menanamkan kepedulian dan kecintaan anak-anak pada batik tulis Lasem. Contoh lain dalam pengembangan muatan lokal jangka jauh adalah penetapan keluasan waktu belajar dalam pelaksanaan muatan lokal di Surabaya dengan menetapkan Jumat Jawa (JJ). DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia juga telah menerapkan muatan lokal dengan menetapkan pakaian daerah untuk dipakai guru sebagai langkah memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan pada budaya daerah. Berbagai upaya yang dilakukan dalam dunia pendidikan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan dalam menghadapi MEA dengan pengembangan kurikulum muatan lokal baik melalui penerapan bahasa Inggris untuk mengadaptasi tuntutan MEA, maupun dengan menguatkan budaya daerah sebagai pondasi budaya nasional seperti penerapan muatan lokal Jumat Jawa, membatik, bahasa Sunda dan lain sebagainya. Hal ini penting sehingga kecintaan peserta didik akan daerahnya menjadi penguat dalam menghadapi MEA, yaitu peserta didik menjadi think globally act locally. Sedangkan pengembangan muatan lokal dalam jangka pendek dapat dilakukan oleh sekolah setempat dengan cara menyusun kurikulum muatan lokal kemudian menyusun silabusnya dan direvisi setiap saat. Pihak yang memegang peranan cukup penting baik di dalam perencanaan dan pelaksanaan kurikulum adalah guru. Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid-murid dalam kelas, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas. Hasil-hasil penilaian demikian akan sangat membantu pengembangan kurikulum, untuk memahami hambatan-hambatan dalam implementasi kurikulum dan juga dapat membantu mencari cara untuk mengoptimalkan kegiatan guru (Nana Syaodih S., 2009:157). [ 426 ] P a g e
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
Kreativitas guru dalam pelaksanaan pembelajaran menjadi dasar pengembangan muatan lokal yang terinternalisasi tidak hanya untuk peserta didik namun juga bagi pendidiknya. Guru dituntut untuk dapat menggunakan sumber daya ada (lingkungan) dalam pelaksanaan pembelajaran agar pembelajaran menjadi optimal dan kontekstual. Pembelajaran yang kontekstual merupakan salah satu strategi dalam menerapkan muatan lokal di dalam semua materi pembelajaran. Pembelajaran kontekstual dapat menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) dengan menggunakan berbagai variasi metode, sumber dan alat/ media pembelajaran. Dalam pengembangan selanjutnya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu perluasan muatan lokal dan pendalaman muatan lokal. Perluasan muatan lokal pada dasarnya ialah bahan muatan lokal yang ada di daerahnya itu yang terdiri dari berbagai jenis muatan lokal. Sedangkan pendalaman muatan lokal adalah bahan muatan lokal yang sudah ada kemudian diperdalam sampai lanjutan. Perluasan dan pendalaman muatan lokal yang dimaksud salah satunya dengan penguasaan bahasa daerah selain bahasa asing. Melalui muatan lokal seperti yang diungkapkan Kompas (26 Maret 2015) adalah sebagian bahasa daerah di Nusantara semakin terancam punah, terutama akibat minimnya tradisi pengajaran lintas generasi. Hal ini merugikan bangsa Indonesia karena keanekaragaman bahasa, sebagai salah satu unsur penting pembentuk kebudayaan, menjadi semakin berkurang. Ini merupakan tantangan besar khususnya dalam menghadapi MEA. Salah satu cara yang wajib ditempuh adalah dengan mengembangkan muatan lokal bahasa daerah sebagai wujud penanaman nilai budaya daerah. Penerapan muatan lokal bahasa daerah di sekolah yang dilakukan selama ini perlu dipertahankan untuk menjaga bahasa daerah agar tidak punah karena bahasa daerah merupakan identitas suatu bangsa. Dalam pelaksanaannya perlu dibuat sebagai mata pelajaran mandiri mengingat karakteristiknya yang tidak dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran strategi belajar dan pembelajaran, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Adapun landasannya, sebagaimana surat edaran Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret 2013 perihal Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dengan demikian pembelajaraan muatan lokal Bahasa Daerah tetap diakomodir dalam Kurikulum 2013 di Jawa Barat dengan pilihan bahasa yaitu Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon dan Bahasa Melayu Betawi. (Bambang Sugiharto, 2013) SIMPULAN Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 bisa jadi merupakan momok yang menakutkan bagi beberapa kalangan, salah satunya di bidang pendidikan. Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki integritas dan jati diri yang kuat sebagai bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya. Budaya tersebut harus terus dilestarikan dan diperkuat melalui pengembangan kurikulum. Salah satu caranya pengembangan P a g e [ 427 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kurikulum yang dilakukan adalah dengan pengembangan kurikulum muatan lokal di mana karakteristik dan ciri daerah ditingkatkan dan penguasaan akan pengetahuan global juga dioptimalkan. Muatan lokal dapat menumbuhkan kecintaan peserta didik sebagai penerus bangsa akan nilai-nilai sosio kultural daerahnya dan negerinya. Selain itu nilai moral yang terkandung pada setiap daerah dapat ditumbuhkan dalam diri peserta didik maupun pendidik. Nilai moral inilah yang menjadi ciri dan bekal bangsa dalam menghadapi tuntutan dan tantangan masa depan. Pengembangan muatan lokal yang telah dilaksanakan di Indonesia merupakan salah satu strategi jitu dalam menghadapi MEA. Dengan pelaksanaan MEA, melalui muatan lokal bangsa Indonesia dapat merubah tantangan menjadi peluang. Dampak negatif MEA dapat diubah menjadi positif yaitu semakin menjadikan bangsa Indonesia kuat, kokoh dan tegar. Adapun pelaksanaan muatan lokal yang sudah berlangsung sekian lama di Indonesia sebagai salah satu langkah strategis menghadapi MEA, masih perlu untuk terus diperbaiki dan dikembangkan. Minimnya evaluasi pelaksanaan muatan lokal menjadi hal yang harus dipikirkan. Evaluasi muatan lokal penting untuk pengembangan kurikulum yang adaptif dengan perkembangan global. Oleh karena itu, penelitian ini pun perlu dikembangkan sampai tahap evaluasi pelaksanaan muatan lokal, untuk mengetahui seberapa jauh muatan lokal sudah dilaksanakan. Dengan begitu, pelaksanaan muatan lokal menjadi optimal dan tepat sasaran serta dapat menginternalisasi ke dalam diri bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Dakir, Haji. (2010). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Idi, Abdullah. (1999). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Jakarta: Gaya Media Pratama. Iim Wasliman. (2007). Modul Problematika Pendidikan Dasar. Bandung: Pps Pendidikan Dasar UPI. Kompas. (2012). Bahasa Daerah Terancam: Sebagian dari 749 Bahasa di Nusantara kian Kehilangan Penutur. Maret 2015, halaman 12. Jakarta. Mulyasa, E. (2009). Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kemandirian guru dan Kepala Sekolah, Cetakan Ketiga, Jakarta: PT Bumi Aksara. Munawaroh, Julipah Al. (2015). Makalah: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. http://www.academia.edu/9060383/masyarakat_ekonomi_ASEAN_2015_MEA_20 15_ diakses 23 Mei 2015. Nasir, Muhammad. (2013). Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Dalam Konteks Pendidikan Islam di Madrasah. Jurnal Studi Islamika, 10(1), 1-18. http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/12, diakses 23 Mei 2015. Nur Farid, Muhammad. (2012). Peranan Muatan Lokal Materi Batik Tulis Lasem Sebagai Bentuk Pelestarian Budaya Lokal. Jurnal Komunitas (Research And Learning In [ 428 ] P a g e
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
Sociology And Anthropologhy), 4(1) Http://Journal.Unnes.Ac.Id/Nju/Index.Php/ Komunitas/Article/View/2400 Putra, Yudha Manggala P. (2015). Penguasaan Bahasa Inggris Dinilai Kendala Hadapi MEA. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/04/14/nmsfq9penguasaan-bahasa-inggris-dinilai-kendala-hadapi-mea, diakses pada 14 April 2015 Rachman Taufik. (2012). Pengamat: Bahasa Inggris Jadi Muatan Lokal Saja. http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/10/22/ mca72n pengamat-bahasa-inggris-jadi-muatan-lokal-saja, diakses 23 Mei 2015. Rusman. (2009). Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers. Sugiharto, Bambang. (2013). Penerapan Bahasa Daerah pada Kurikulum 2013 di Jawa Barat. http://bahasa.kompasiana.com/2013/11/28/penerapan-bahasa-daerahpada-kurikulum-2013-di-jawa-barat-613871.html, diakses 24 Mei 2015. Suroso, G.T. (2015). Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan umum/20545-masyarakat-ekonomi-asean-mea-dan-perekonomian-indonesia, diakses 24 Mei 2015.
P a g e [ 429 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
MEMBANGUN KEPERCAYAAN DIRI SISWA MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER Bernadus Gapi
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Artikel bertujuan untuk mengetahui cara dalam membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Artikel ini berupa hasil pemikiran penulis, analisis ilmiah, dan kajian teori. Dari hasil pemikiran, analisis ilmiah dan kajian teori, disimpulkan bahwa cara membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler adalah dengan menggunakan strategi berupa tekanan dan apresiasi pada setiap pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler. Tekanan dapat berupa aturan dan sanksi sebagai salah satu aspek pendorong dalam motivasi yakni “mencoba dengan keras”, sedangkan apresiasi dapat berupa pujian dan pemberian simbol penghargaan. Penggunaan strategi membangun kepercayaan diri siswa berupa tekanan dan apresiasi terhadap siswa sangat tergantung dari waktu dan kondisi siswa pada saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, antara lain; pada saat siswa dengan kondisi sangat pasif sampai pada kondisi pasif menggunakan unsur tekanan, pada saat siswa aktif menggunakan unsur apresiasi, dan pada saat siswa hiper aktif dapat menggunakan unsur tekanan. Kata kunci: Kepercayaan diri, Kegiatan ekstrakurikuler, strategi, tekanan, apresiasi
PENDAHULUAN Sasaran penerapan Kurikulum 2013 adalah untuk mewujudkan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa sebagai peserta didik. Ketiga kompetensi dasar tersebut selanjutnya diharapkan dapat membangun kesiapan bagi generasi muda dalam menghadapi MEA. Untuk mendukung terwujudnya pencapaian ketiga kompetensi tersebut, khususnya sikap dan keterampilan siswa serta dalam menyikapi MEA Tahun 2015, maka salah satu hal yang teramat penting untuk diperhatikan oleh lembaga sekolah dalam mendukung program kurikuler adalah kepercayaan diri siswa. Membangun kepercayaan diri siswa bertujuan agar siswa memiliki keberanian dalam mengekspresikan ide, pemikiran, serta gagasan baik secara abstrak maupun mewujudnyatakan dalam ranah konkret yang selanjutnya dapat membantu berkembangnya prestasi belajar siswa. Hal ini senada dengan pendapat Soesarsono Wijandi (1999:33) bahwa Kepercayaan diri merupakan paduan sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan. Kemampuan menyampaikan ide, pemikiran dan gagasan secara baik dan benar, serta sistematis dan objektif dapat dipandang siswa sebagai tantangan dan di sisi lain sebagai masalah dalam mengambil keputusan apakah ide, pemikiran serta gagasannya dieksplorasikan dan diekspresikan atau tidak. Seorang siswa yang percaya diri, tentu akan mengambil keputusan untuk segera berpendapat ataupun bertindak terhadap ide, pemikiran dan gagasan yang dimiliki karena memiliki “keyakinan” terhadap kemampuan [ 430 ] P a g e
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
dirinya dan “optimis” terhadap konsekuensi tindakannya serta “siap menerima” respon dan penilaian pihak lain. Sejalan dengan itu, Angelis (2007:10) mengenai percaya diri berawal dari tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segalanya yang kita inginkan dan butuhkan dalam hidup. Percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri, sehingga kita mampu menghadapi tantangan hidup apapun dengan berbuat sesuatu. Membangun kepercayaan diri siswa amatlah penting. Siswa sejatinya merupakan sosok anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap proses untuk mendapatkan kematangan dan kemajuan dirinya sehingga proses yang dimaksud adalah proses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa akan menemukan kekurangan dan kelebihan dirinya demi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kompetensi diri. Untuk itu penting bagi siswa untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya untuk dapat menemukan kekurangan dan kelebihan tersebut. Siswa yang aktif dan percaya diri akan mudah menemukan dua hal tersebut dibandingkan dengan siswa yang cenderung pasif dan minder dalam proses pembelajaran. Membangun kepercayaan diri siswa dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan di luar mata pelajaran wajib yang bertujuan untuk pengembangan diri siswa. Hakim (2002:122) menjelaskan bahwa rasa percaya diri siswa di sekolah bisa dibangun melalui berbagai macam bentuk kegiatan, yang salah satunya adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler. Selanjutnya Pengertian ekstrakurikuler menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002:291) yaitu:” suatu kegiatan yang berada di luar program yang tertulis di dalam kurikulum seperti latihan kepemimpinan dan pembinaan siswa. Terdapat banyak kegiatan ekstrakurikuler yang jika diprogramkan dan dijalankan dengan baik dan benar maka kepercayaan diri siswa akan terbentuk dan dapat mendukung kemajuan prestasi belajar serta perkembangan kepribadian siswa lainnya. Berdasarkan uraian di atas, maka ditarik rumusan masalah, yakni “bagaimana cara membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler?”, dan bertujuan untuk mengetahui cara membangun kepercayaan diri siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Kepercayaan Diri dan Pengertian Percaya Diri Menurut Lauster (2012:4) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya (Hakim, 2002:6). Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri. P a g e [ 431 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut di mana ia merasa memiliki kompetensi, yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan (Dimyati dan Mudjiono, 2009). Menurut (Aunurrahma 2009) Percaya diri adalah salah satu kondisi psikologi seseorang yang berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Rasa percaya diri pada umumnya muncul ketika seseorang akan melakukan atau terlibat di dalam suatu aktivitas tertentu di mana pikirannya terarah untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkan. Dari dimensi perkembangan, rasa percaya diri dapat tumbuh dengan sehat bilamana ada pengakuan dari lingkungan. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa percaya diri adalah sikap positif yang dimiliki seorang individu yang membiasakan dan memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri, mapun lingkungan serta situasi yang dihadapi untuk meraih apa yang diinginkan. Konsep Kegiatan Ekstrakurikuler Pengertian ekstrakurikuler menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002:291) yaitu;” suatu kegiatan yang berada di luar program yang tertulis di dalam kurikulum seperti latihan kepemimpinan dan pembinaan siswa”. Kegiatan ekstrakurikuler sendiri dilaksanakan di luar jam pelajaran wajib. Kegiatan ini memberi keleluasaan waktu dan memberikan kebebasan pada siswa, terutama dalam menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan bakat serta minat mereka. Menurut Oemar Hamalik (2004: 181), kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar ketentuan kurikulum yang berlaku, akan tetapi bersifat pedagogis dan menunjang pendidikan dalam menunjang ketercapaian tujuan sekolah. Kegiatan Ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/ madrasah (Anifral Hendri, 2008: 1-2).Pengertian di atas menekankan bahwa kegiatan ekstrakurikuler untuk membantu pengembangan peserta didik dan pemantapan pengembangan kepribadian siswa yang salah satunya adalah membangun kepercayaan diri. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 A Tahun 2013, Ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kurikulum standar sebagai perluasan dari kegiatan kurikulum dan dilakukan di bawah bimbingan sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan [ 432 ] P a g e
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik yang lebih luas atau di luar minat yang dikembangkan oleh kurikulum. Berdasarkan definisi tersebut, maka kegiatan di sekolah atau pun di luar sekolah yang terkait dengan tugas belajar suatu mata pelajaran bukanlah kegiatan ekstrakurikuler. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang menekankan kepada kebutuhan siswa agar menambah wawasan, sikap dan kepribadian siswa khususnya kepercayaan diri siswa baik di luar jam pelajaran wajib serta kegiatannya dilakukan di dalam dan di luar sekolah Tujuan kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan yang tercantum dalam Permendiknas No. 81A Tahun 2013, yaitu sebagai berikut: 1. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik. 2. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat mengembangkan bakat dan minat peserta didik dalam upaya pembinaan pribadi menuju pembinaan manusia seutuhnya. Fungsi Kegiatan Ekstrakurikuler Ada empat fungsi yang melekat dalam kegiatan ekstrakurikuler: pertama, pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas siswa sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka. Kedua, sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung-jawab sosial peserta didik. Ketiga, rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, menggembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan. Keempat, persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik Dari tujuan dan manfaat kegiatan ekstrakurikuler dapat terlihat sangat jelas arahnya yakni untuk meningkatkan kemampuan dan pengembangan pribadi siswa sehingga kepercayaan diri siswa dimaksud menjadi salah satu aspek penting yang akan timbul dalam diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Untuk itu dalam implementasinya perlu memperhatikan cara-cara dalam membangun kepercayaan diri siswa. Jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia kegiatan ekstrakurikuler terdiri dari ekstrakurikuler wajib dan ekstrakurikuler pilihan. Terkait dengan kegiatan ekstrakurikuler pilihan, maka menurut Anifral Hendri (2008: 2–3), mengemukakan pendapat umumnya mengenai beberapa jenis kegiatan ekstrakurikuler dalam beberapa bentuk yaitu: 1. Krida, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), organisasi siswa (OSIS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA).
P a g e [ 433 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2. Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan dan kemampuan akademik, penelitian. 3. Latihan/lomba keberbakatan/ prestasi, meliputi pengembangan bakat olah raga, seni dan budaya, cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan. 4. Seminar, lokakarya, dan pameran/ bazar, dengan substansi antara lain karir, pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya. 5. Olahraga, yang meliputi beberapa cabang olahraga yang diminati tergantung sekolah tersebut, misalnya: Basket, Karate, Taekwondo, Silat, Softball, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip Kegiatan Ekstrakurikuler 1. Individual, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat, minat peserta didik masing-masing. 2. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta didik. 3. Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara penuh. 4. Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler dalam suasana yang disukai dan menggembirakan peserta didik. 5. Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil. 6. Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Format kegiatan ekstrakurikuler 1. Individual, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti peserta didik secara perorangan. 2. Kelompok, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh kelompokkelompok peserta didik. 3. Klasikal, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh peserta didik dalam satu kelas. 4. Gabungan, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh pesert didik antar kelas atau antar sekolah. 5. Lapangan, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau kegiatan lapangan Penguatan Paradigma dan Membangun Model Kegiatan Ekstrakurikuler Oleh karena peran kegiatan ekstrakurikuler yang sangat penting bagi pengembangan anak dan kontribusinya terhadap prestasi anak dalam ranah intrakurikuler maka pandangan tentang kegiatan ekstrakurikuler dalam dunia pendidikan dewasa kini sudah semestinya dikuatkan melalui sistem yang terpadu dan terarah. Sistem yang terpadu dan terarah berarti kegiatan ekstrakurikuler tidak bisa lagi [ 434 ] P a g e
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
dipandang hanya sekedar kegiatan sampingan yang sifatnya rutinitas dan tidak terkontrol dengan baik melainkan sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kegiatan intrakurikuler. Hadirnya Permendiknas No. 39 Tahun 2008 tentang pembinaan kesiswaan dan Permendiknas No. 81A Tahun 2013 tentang implementasi kurikulum, menegaskan bahwa kegiatan ekstrakurikuler menjadi salah satu inti kurikulum dan layanan pendidikan sekolah yang tidak boleh ditinggalkan. Untuk dapat membangun kepercayaan diri siswa dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler maka sangatlah penting kegiatan ekstrakurikuler dimaksud dilaksanakan secara sistematis, terarah, dan pada tahap perencanaan serta pelaksanaannya dapat memperhatikan strategi membangun kepercayaan diri siswa. Model skema kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan disajikan pada Gambar 1. Prinsip
KEGIATAN EKSTAKURIKU LER
Analisis: Kebutuhan, bakat, minat, dan kesesuaian dengan K 13
Format
Program Kegiatan: Menyusun program kegiatan
Disertakan dalam tahap perencanaan
Perencana an
Pelaksana: Terdiri dari; Kepala Sekolah, Wakasek Kurikulm dan Kesiswaan, guru dan pelatih
Pelaksana an
Tanggung jawab kerja: Setiap pihak melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang berbeda, dan siswa dituntut untuk terlibat secara penuh berdasarkan minatnya
STRATEGI MEMBANGUN KEPERCAYAN DIRI
HASIL
Jenis kegiatan: Terdapat kegiatan sifatnya wajib dan pilihan. Untuk kegiatan pilihan, jenis kegiatan ekstrakurikuler bervariasi berdasarkan pada kebutuhan anak dan kesesuaian dengan kondisi kurikulum 2013
Diimplementasikan dalam tahap pelaksanaan
KEPERCAYAAN DIRI SISWA SEBAGAI HASIL Gambar 1. Skema Model Rancangan Kegiatan Ekstrakurikuler dan Strategi Membangun Kepercayaan Diri Siswa
P a g e [ 435 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Dari Gambar 1 sebelum dapat terlihat skema model rancangan kegiatan ekstrakurikuler dan strategi meningkatkan kepercayaan diri siswa yang dalam implementasi merupakan suatu system yang terdiri dari perencanaan dan pelaksanaan untuk mencapai hasil “kepercayaan diri siswa”. Dalam kaitannya dengan tahap perencanaan, maka prinsip dan format kegiatan ekstrakurikuler merupakan acuan penting agar perencanaan dimaksud memperhatikan hal-hal yang menjadi prinsip kegiatan ekstrakurikuler dan hal-hal yang menjadi format kegiatan ekstrakurikuler. Tahap Perencanaan terdiri dari; analisis, penyusunan program kegiatan, dan unsur pelaksana kegiatan. Proses analisis memperhatikan kebutuhan siswa dan kesesuaian dengan kondisi kurikulum 2013. Dengan memperhatikan kebutuhan, bakat dan minat siswa dimaksud bertujuan agar pihak lembaga merancang kegiatan ekstrakurikuler yang menjawab kebutuhan, bakat, potensi, serta hobi pada setiap siswa. Dengan bakat serta potensi yang berbeda-beda, maka jenis kegiatan menjadi bervariasi dalam mengakomodir kebutuhan siswa. Selanjutnya kesesuaian dengan kondisi kurikulum 2013 bermaksud agar kegiatan ekstrakurikuler memperhatikan pula keadaan dan aturan main K 13. Hal-hal yang perlu disesuaikan adalah terkait dengan waktu, sarana-prasarana pendukung, dan kesiapan kemampuan guru. Unsure pelaksana melibatkan semua komponen dalam lembaga sekolah. Selanjutnya dalam tahap pelaksanaannya, setiap komponen dari lembaga sekolah, mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru serta pelatih memperhatikan dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka membangun kepercayaan diri siswa menjadi tugas dan tanggung jawab bersama. Masing-masing pihak memiliki peran yang berbeda-beda. Selanjutnya jenis kegiatan yang dikembangkan menjadi bervariasi tergantung kebutuhan anak. Terkait dengan tujuan “membangun kepercayaan diri siswa” melalui kegiatan ekstrakurikuler, maka yang dilakukan adalah dengan memasukkan strategi membangun kepercayaan diri siswa pada tahap perencanaan dan diaplikasikan pada tahap pelaksanaan yang pada akhirnya dapat mendukung tercapainya tujuan yakni meningkatnya kepercayaan diri siswa. Unsur Yang Terlibat dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Permendiknas Tahun 2008 dan Juknis penyusunan program pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler untuk SMA oleh Direktorat Pembina Sekolah Menengah Atas mengemukakan tentang unsur pelaksana kegiatan ekstrakurikuler, sebagai berikut: Kepala Sekolah Kepala sekolah memperhatikan referensi atau acuan yang menjadi input dalam melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Referensi atau acuan tersebut antara lain: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 19 Tahun 2005, Permendiknas Nomor 27 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 59 tahun 2014, Panduan Pelaksanaan Kurikulum 2013, Panduan Pengembangan diri, Panduan tentang membangun kepercayaan diri. Selanjutnya Kepala sekolah memiliki peran dalam hal, yakni; [ 436 ] P a g e
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
1. Menyusun rencana pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler yang di dalamnya memuat unsure-unsur dan strategi membangun kepercayaan diri siswa, dan penugasan kepada wakasek bidang kesiswaan dan kurikulum. 2. Memberi arahan teknis tentang program pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler yang menekankan pada maksimalisasi unsure-unsur cara implementasi strategi membangun kepercayaan diri siswa, Sementara itu Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik dan Kurikulum memiliki tugas untuk menyusun rencana kegiatan untuk menyusun program pengembangan diri yang bertujuan membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Menyusun aturan teknis dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan guru, pembina, dan pelatih melakukan analisis kebutuhan dan kesesuaian yang meliputi analisis kebutuhan, bakat dan minat peserta didik, dan analisis program kegiatan ekstrakurikuler dengan kondisi kurikulum 2013. Memasukkan Strategi Membangun Kepercayaan Diri Siswa dalam Berbagai Jenis Kegiatan Ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler sangat bervariasi tergantung pada kebutuhan, bakat, minat siswa dan kesesuaian dengan kondisi kurikulum 2013.. Untuk menjawab berbagai kebutuhan, bakat dan minat siswa, maka jenis kegiatan ekstrakurikuler haruslah bervariasi. Berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler tersebut, antara lain; 1. Krida, meliputi Kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA). 2. Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan dan kemampuan akademik, penelitian. 3. Latihan/lomba keberbakatan/ prestasi, meliputi pengembangan bakat olah raga, seni dan budaya, cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan. 4. Seminar, lokakarya, dan pameran/ bazar, dengan substansi antara lain karir, pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya. 5. Olahraga, yang meliputi beberapa cabang olahraga yang diminati tergantung sekolah tersebut, misalnya: Basket, Karate, Taekwondo, Silat, Softball, dan lain sebagainya. Setelah model kegiatan ekstrakurikuler telah dibentuk seperti yang termuat pada Gambar 1 sebelumnya, maka langkah selanjutnya yang paling penting adalah memasukkan unsur-unsur dalam strategi untuk membangun kepercayaan diri siswa. Strategi membangun kepercayaan diri siswa sangatlah penting untuk didesain dan disertakan dalam berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler. Strategi yang digunakan dalam membangun kepercayaan diri siswa adalah dengan menggunakan pendekatan berupa tekanan (pressure) dan apresiasi. Siswa akan terdorong oleh pressure dan apresiasi yang diberikan oleh pelatih atau Pembina kegiatan ekstrakurikuler. Pressure merupakan tekanan yang bertujuan untuk mendorong keaktifan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pressure dibuat dalam bentuk aturan dan sanksi yang mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang dijalankan. P a g e [ 437 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Menurut Kahler (1975) yang termuat dalam Motivasi-mativator.blogspot.com, mengemukakan tentang beberapa faktor pendorong dalam motivasi sehingga membuat orang dapat bertindak. Salah satu faktor tersebut yaitu mencoba dengan keras. Sedangkan Achmad (2007), mengemukakan bahwa motivasi eksternal sebagai dorongan yang muncul dari luar diri pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan kelas, kampus, adanya ganjaran berupa hadiah (reward) bahkan karena merasa takut oleh hukuman atau sanksi (punishment). Dengan pandangan Kihler dan Achmad tersebut maka unsur pressure atau tekanan dapat dijadikan cara yang menjadi stategi guru atau Pembina dalam mendorong siswa untuk tidak pasif dan kaku dalam kegiatan ekstrakurikuler atau dengan kata lain dapat menjadi aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pada titik inilah kepercayaan diri siswa akan terbentuk bersama keaktifannnya Selain dalam bentuk pressure, apresiasi juga merupakan faktor pendorong yang sangat penting dalam memotivasi siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Apresiasi sendiri oleh para ahli mendefenisikannya sebagai bentuk penghargaan, penilaian, pengertian, bentuk itu berasal dari kata kedua “to appreciate” yang berarti menghargai, menilai, mengerti. Apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. (Aminuddin, 1987). Dari pengertian yang dikemukakan oleh Aminudin tersebut dapat disimpulkan bahwa apresiasi dapat dijadikan guru atau Pembina kegiatan ekstrakurikuler sebagai salah satu cara lain dalam mendorong keaktifan siswa yang pada akhirnya dapat membangun kepercayaan dirinya. Pembina atau pelatih kegiatan ekstrakurikuler harus mengetahui waktu dan kondisi yang tepat dalam memberikan tekanan (pressure) dan apresiasi. Dengan kata lain Pembina atau pelatih mengetahui secara baik pada saat mana apresiasi diberikan dan tekanan seperti apa yang diterapkan pada setiap kondisinya. Aturan secara sederhana mengandung unsur disiplin dan sanksi. Untuk itu, penting bagi pelatih menyadari disiplin yang dimaksud bertujuan untuk mendorong keterlibatan aktif bagi siswa dalam berlangsungnya kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan sanksi diberlakukan hanya untuk meluruskan kembali ketidakpatuhan terhadap aturan disiplin yang sudah dibangun bukan kepada hal-hal lainnya yang justru menjadikan siswa atau peserta merasa terpojok, dan merasa takut berekspresi. Tekanan (pressure) dan apresiasi sebagai strategi membangun kepercayaan diri siswa dapat dibuat dalam skema pada Gambar 2. Oleh karena yang menjadi tujuannya adalah membangun kepercayaan diri siswa, maka perlu dipahami bahwa “kepercayaan diri” tersebut mengandung dua makna yakni; 1. Tidak ragu-ragu, yang artinya siswa tidak lagi berada dalam keadaan penuh keraguraguan, pesimis, bimbang dan tidak memiliki keberanian berekspresi dan mengeksplorasi tentang ide, pikiran dan gagasannya melalui penyampaian pendapat dan tindakan inisiatif.
[ 438 ] P a g e
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
2. Tidak berlebihan (over confidence), artinya siswa memiliki keberanian dan inisiatif dalam mengekspresikan atau mengeksplorasikan ide, gagasan, dan pemikiran secara arif, bijakasana, dan bertanggung jawab serta secara santun, baik dan benar.
Strategi Membangun Keprcayaan diri Siswa
Jenis Kegiatan Ekstrakurikuler
Krida
Disiplin
Aturan
Keterlibatan
Pressure
Teguran
Sanksi
Karya ilmiah
Edukasi Kritik
Latihan/Lomba Seminar, Lokakarya, dan Pameran Olahraga
Apresiasi
Pujian Simbol Penghargaan
Gambar 2. Skema Strategi Membangun Kepercayaan Diri Siswa dalam Berbagai Jenis Kegiatan Ekstrakurikuler Terhadap dua hal tersebut, maka strategi membangun kepercayaan diri siswa melalui tekanan (pressure), dan apresiasi perlu diberikan pada saat-saat yang dibutuhkan. Berikut adalah empat kondisi berbeda yang dipertimbangkan dalam menggunakan strategi membangun kepercayaan diri siswa: 1. Siswa super pasif dalam kegiatan ekstrakurikuler Siswa dengan kondisi super pasif dalam kegiatan ekstrakurikuler terlihat dengan sifat acuh tak acuh, dan cenderung melanggar aturan baik kedisiplinan maupun keterlibatannya. Siswa ditandai dengan perilaku tidak taat terhadap aturan dan terlihat tidak tertarik sama sekali dengan jenis kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan. Persoalan seperti ini semakin erat kaitannya dengan rendahnya nilai kepribadian dan di sisi lain bisa karena ketidaktertarikan terhadap jenis kegiatan ekstrakurikuler yang dijalani. Sanksi yang diberikan adalah dapat berupa sanksi dengan pendekatan edukasi dan teguran. Sanksi dengan pendekatan edukasi dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya memberi teguran yang memotivasi dan mendorong perubahan sikap ikut ambil bagian dalam kegiatan ekstrakurikuler. 2. Siswa Pasif dalam kegiatan ekstrakurikuler Kondisi ini terlihat di mana siswa menyukai kegiatan ekstrakurikuler dan ikut ambil bagian secara utuh, tetapi tidak memiliki keberanian dan berpendapat dan berkreatif dalam bentuk tindakan, atau dengan kata lain hanya sekedar mengikuti pelaksanaan kegiatan dimaksud tapi takut mengambil peran tertentu. Dengan kondisi ini maka P a g e [ 439 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 strategi yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan pressure berupa sanksi edukasi, misalnya sanksi melakoni gaya orang pidato bagi yang tidak menyampaikan pendapat saat diberi kesempatan, atau dengan cara lainnya. Selain hal tersebut bisa dengan kata-kata motivasi akan mendorong semangat siswa untuk percaya akan dirinya. 3. Siswa Aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler Siswa dalam kelompok ini memiliki semangat dalam kegiatan ekstrakurikuler dan selalu mengambil inisiatif dan aktif dalam berbagai kesempatan serta selalu siap menjalani tugas dan perannya dalam berlangsungnya kegiatan dimaksud. Dengan keadaan seperti ini menunjukkan rasa kepercayaan diri yang sudah baik dan efektif dalam kegiatan. Untuk itu bentuk strategi yang diberikan adalah untuk mempertahankan semangat dan kepercayaan dirinya dengan cara memberi apresiasi baik dalam bentuk pujian maupun dalam bentuk pemberian penghargaan berupa simbol dan bentuk apresiasi lainnya. 4. Siswa hyper aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler Siswa dengan kondisi hiper aktif dan mulai menunjukkan adanya gejala over confidence ditunjukan dengan tingkat ego yang tinggi dalam kegiatan ekstrakurikuler yang cenderung mengakibatkan siswa lainnya sulit mendapatkan kesempatan dalam mengekspersikan ide, pikiran, serta gagasannya. Untuk itu perlu strategi dengan pendekatan teguran halus maupun kritik ringan. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan diri siswa tersebut ke dalam keadaan yang sesungguhnya yakni kepercayaan diri yang bertanggung jawab, santun, dan bijaksana. Beberapa ahli dalam uraian di atas telah mengemukakan konsep teori dari kegiatan ekstrakurikuler, yang pada dasarnya bertujuan untuk pengembangan kepribadian siswa. Hal tersebut diperkuat melalui hadirnya Permendiknas Nomor 81 A Tahun 2013 yang menegaskan bahwa tujuan pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler adalah untuk mengembangkan kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Salah satu hal penting yang turut terbentuk dalam pengembangan kepribadian diri tersebut adalah kepercayaan diri siswa. Bersandarkan pada teori para ahli sebelumnya, maka dalam upaya membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler, seorang guru atau pembina dapat menggunakan cara atau metode membangun kepercayaan diri siswa. Penulis menyebutkan cara tersebut sebagai strategi membangun kepercayaan diri siswa melalui tekanan (pressure) dan apresiasi. SIMPULAN Membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler sangat penting agar siswa memiliki kepercayaan atas kemampuan dirinya, meyakini dirinya, menghargai apa yang ada dalam dirinya dan selanjutnya dapat membuatnya mengambil keputusan untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan pikirannya baik dalam ranah abstrak maupun ranah konkret. Kegiatan ekstrakurikuler haruslah bervariasi [ 440 ] P a g e
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
berdasarkan kebutuhan, bakat, minat, dan kesesuaian dengan kondisi kurikulum sehingga mendapatkan keterlibatan siswa secara menyeluruh dalam kegiatan dimaksud. Cara membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler adalah dengan menggunakan strategi membangun kepercayaan diri siswa. Di dalam strategi tersebut terdapat unsur tekanan (pressure) dan apresiasi. Penggunaan tekanan dan apresiasi sangat tergantung dari waktu dan kondisi siswa, antara lain; 1. pada saat siswa dalam kondisi sangat pasif, menggunakan strategi tekanan (pressure) berupa aturan dan sanksi 2. pada saat siswa dalam kondisi pasif, menggunakan strategi tekanan (pressure) berupa aturan dan sanksi serta dimungkinkan untuk menggunakan cara apresiasi melalui pujian motivasi 3. pada saat siswa dalam kondisi aktif, menggunakan strategi apresiasi berupa pujian dan pemberian symbol penghargaan 4. dalam kondisi siswa hiper aktif, menggunakan strategi tekanan (pressure) berupa teguran dan kritik ringan. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, maka disarankan beberapa hal kepada guru, dan pembina kegiatan ekstrakurikuler untuk dapat menggunakan strategi membangun kepercayaan diri siswa berupa tekanan (pressure) dan apresiasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sehingga dapat membangun kepercayaan diri siswa. Selanjutnya, kepada pembaca yang hendak melakukan penelitian di bidang yang sama agar dapat menjadikan artikel ini sebagai salah satu kajian untuk menghasilkan temuan empiris dalam membuktikan keefektifan cara tekanan dan apresiasi pada kegiatan ekstrakurikuler dalam membangun kepercayaan diri siswa. DAFTAR PUSTAKA Angelis. 2007. Confidence (Percaya Diri). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Anifral, Hendri. (2008). Ekskul Olahraga Upaya Membangun karakter Siswa Arianto, S. 2010. Aspek-aspek Kepercayaan Diri. Tersedia //Kepercayaan_diri.html. Diakses tanggal 01 Mey 2012
dalam
http:
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Alfabeta: Bandung. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dimyati dan Mudjiono.2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta Hakim, T. 2002. Mengatasi Rasa Tidak percaya Diri. Jakarta: Purwa Suara. Kahler. 10975. http://motivasi-motivator.blogspot.com/ 2009/09/04/faktor-pendorong/ diakses tanggal 02 Mey 2015 Kementrian Pendidikan RI. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan tentang Pembinaan Kesiswaan. Tersedia dalam: http//kementerianpendidikan.ac.id/peraturan/ ekstrakurikuler/ diakses tanggal 02 Mey 2015
P a g e [ 441 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kementrian Pendidikan RI. 2008. Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen. Tersedia dalam http//kementerianpendidikan.ac.id/SK/dirjendikdasmen/ diakses tanggal 01 Mey Tahun 2015 Lauster, P. 2012. Test Kepribadian (terjemahan Cecili, G. Sumekto). Yogyakarta, Kansius Oemar Hamalik. 2004. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Oemar Hamalik. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Permendiknas No. 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan. Permendinas No. 81 Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum. Soesarsono Wijandi. 1999. Pengantar Kewiraswastaan. Bandung: Sinar Baru Thantaway. 2005. Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling .http://ilmupsikologi.com
[ 442 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
PENDIDIKAN ETIKA BAGI PESERTA DIDIK MATA DIKLAT AKUNTANSI KEUANGAN DI SMK SEBAGAI MODAL BERKOMPETISI DI ERA MEA Iin Marlyn Laoere
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Sekolah Menengah Kejuruan mempunyai program keahlian akuntansi sebagai pencetak peserta didik yang menghasilkan calon teknisi akuntansi junior diharapkan dapat menyiapkan lulusan berkarakter, handal, dan profesional menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga ketika mereka bekerja dalam bidangnya tidak terjerat tindak korupsi dan bentuk kecurangan lainnya. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui: (1) pendidikan karakter kerja seperti apa yang perlu diberikan pada peserta didik kejuruan akuntansi, (2) seberapa penting pendidikan etika pada mata diklat akuntansi keuangan sebagai modal dasar berkompetisi di era MEA. Kesimpulannya, melalui pendidikan etika bagi peserta didik diharapkan mampu untuk meningkatkan karakter jujur, dapat dipercaya, bertanggung jawab, rasional, objektivitas, dan relevan yang harus dimiliki oleh seorang Akuntan, sehingga dapat menepis isu moral (misal; korupsi, cuci uang, dan penggelapan) yang seringkali melekat pada seorang Akuntan. Pendidikan etika pada mata diklat akuntansi telah dapat dilakukan namun perlu dilakukan pemantapan karakter melalui pendidikan etika dalam pendidikan kejuruan sebagai langkah strategis untuk menghasilkan tenaga kerja kejuruan yang beretika dan mampu bersaing. Kata Kunci: Pendidikan, Etika, Akuntansi, SMK, MEA
PENDAHULUAN Perkembangan zaman yang terjadi saat ini membuat setiap negara harus mampu menghadapi berbagai macam hal dari perkembangan tersebut. Dimana saat ini memasuki masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan salah satu peluang sekaligus hambatan bagi setiap negara termasuk Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dianut dari visi 2020, yang didasari pada konvergerensi kepentingan negara-negara ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang ada dan baru dengan batas waktu yang jelas. Pembentukan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) berawal dari kesepakatan pimpinan ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, serta diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan ekonomi di negara-negara ASEAN. Menghadapi perkembangan tersebut maka melalui pendidikan diharapkan mampu untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan kualitas sumber daya manusia serta mengembangkan karakteristik yang dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam menentukan strategi pembangunan karakter bangsa. Strategi pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan, pembelajaran dan fasilitas. Penyelenggaraan pendidikan karakter P a g e [ 443 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 melalui pengembangan etika mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian mutu yang melibatkan seluruh unit utama di lingkungan pemangku kepentingan pendidikan nasional. Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Pengembangan etika yang merupakan perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang terjadi saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayati nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025). Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional memainkan peran yang sangat penting bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja nasional yang terampil. Pendidikan kejuruan diperuntukkan bagi anak yang ingin memperoleh keterampilan untuk dapat bekerja setelah menamatkannya. Terdapat dua indikator keberhasilan SMK di mata masyarakat. Salah satu indikator tersebut adalah tingkat kelulusan sedang lainnya adalah terserapnya lulusan ke dunia kerja. Intinya peserta didik yang nanti menjadi lulusan SMK diharapkan mempunyai sumber daya yang berkemampuan keahlian khusus yang diharapkan menjadi tenaga siap kerja yang berkemampuan di bidangnya. Namun menurut Suryamin sebagai Kepala Badan Pusat Statistika menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka paling banyak diperoleh lulusan SMK, diploma dan sarjana. Jumlah tenaga kerja per Agustus 2014 mencapai 182,99juta, di mana 7,24 juta di antaranya berstatus pengangguran terbuka. Menurut Suryamin, jumlah pengangguran lulusan SMK adalah 11,24 % dari jumlah pengangguran terbuka. Pengangguran lulusan SMK per Agustus 2014 ini naik sebesar 0,03% dibandingkan jumlah pengangguran lulusan SMK per Agustus 2013 yang mencapai 11,21% (Tempo, 2014). Keluaran Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan dapat mampu menghasilkan lulusan yang terampil dan siap menghadapi pasar kerja. Menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN tidak hanya dilihat kemampuan intelektualnya saja tetapi karakteristik yang ada pada diri setiap individu baik itu tanggung jawab, etika, moral juga menjadi beberapa faktor yang dipertimbangankan. Namun pada kenyataannya tamatan SMK hanya diakui oleh sekolah sendiri dan masih minimnya kepercayaan dunia usaha dan industri. Pendidikan kejuruan model lama memiliki kelemahan yaitu, penyelenggaraan pendidikan secara sepihak sehingga siswa tertinggal oleh kemajuan dunia usaha atau industri, tidak jelas kompetensi yang dicapai, dan tidak mengakui keahlian yang diperoleh di luar sekolah (Tri, dkk., 2013). Di mana ketika SMK mencapai tingkat kelulusan 100 % tetapi jumlah lulusan yang kesulitan memperoleh pekerjaan lebih dari 50% (LPMP JATENG, 2015). Hal itu disebabkan karena sebagian besar lulusannya tidak berdaya dalam pertarungan di bursa kerja atau pada saat seleksi banyak peserta didik [ 444 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
harus didiskualifikasi karena tindakan indisipliner serta gagal saat wawancara karena tidak menguasai budaya kerja. Sehingga SMK perlu membenahi pola pembinaan mental peserta didiknya agar dapat diterima di dunia kerja. Sekolah Menengah Kejuruan harus memfokuskan pada pendidikan etika, kerja sama, komunikasi, inisiatif, kreatif dan pemikiran analitis. Sekolah Menengah Kejuruan harus menyiapkan peserta didik dengan berbekal kompetensi dan kemampuan yang handal sesuai dengan keahliannya sehingga berdaya saing tinggi dalam dunia kerja dan industri nantinya. Dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi saat ini baik itu di bidang ekonomi, teknologi, sosial dan perindustrian membuat dunia kerja semakin kompetitif dengan peningkatan kualitas tenaga kerja yang dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Peserta didik yang nantinya menjadi lulusan SMK yang lulusannya sebagian besar langsung ke dunia kerja diharapkan dapat mempunyai kemampuan yang handal sesuai dengan keahliannya dan dapat bersaing dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi, seperti diploma dan sarjana. Sehingga penulis menspesifikasikan pendidikan etika bagi peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di Sekolah Menengah Kejuruan sebagai modal berkompetisi di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Sekolah Menengah Kejuruan memiliki beberapa program keahlian yang salah satunya adalah program keahlian akuntansi yang mempunyai tujuan untuk menyiapkan peserta didiknya menjadi calon teknisi akuntansi junior yang berkarakter dan beretika sehingga ketika mereka bekerja dalam bidangnya tidak terjerat dengan tindak korupsi dan beberapa bentuk kecurangan lainnya. Badan Standar Nasional Pusat (BSNP, 2006) menyatakan bahwa tujuan pendidikan SMK adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. SMK merupakan sekolah yang menciptakan siswanya, bukan hanya siap melanjutkan ke perguruan tinggi melainkan kepada kesiapan mereka memasuki dunia kerja yang mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi dan kepribadian yang baik. Dalam menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual dan kualitas yang tinggi maka perlu dilihat beberapa hal menyangkut, 1) Pendidikan karakter kerja seperti apa yang perlu diberikan kepada peserta didik dalam mata diklat akuntansi keuangan, dan 2) Seberapa penting pendidikan etika bagi peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di SMK sebagai modal berkompetisi di era MEA. Sehingga diharapkan agar peserta didik yang nantinya menjadi lulusan yang memiliki karakter dan etika kerja yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari fungsi pendidikan kejuruan sebagai pelestari nilai-nilai dan norma di masyarakat sekaligus sebagai agen perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
PEMBAHASAN Pendidikan Etika P a g e [ 445 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno di mana bentuk tunggal kata etika adalah ethos sedangkan bentuk jamaknya adalah ta etha. Ethos mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, akhlak, watak, sikap, cara berpikir, dan perasaan. Sedangkan arti ta etha adalah adat kebiasaan (Suryabrata, 2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan etika memiliki arti: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) asas perilaku yang menjadi pedoman. Dalam kehidupan sehari-hari istilah etika dan moral memiliki arti yang serupa dan sulit untuk dibedakan. Moral merupakan suatu aturan atau prinsip hidup yang membedakan mana yang baik dan mana yang buruk di mana moral dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut masyarakat baik nilai agama, adat istiadat, ideologi dan sebagainya. Sehingga pengertian moral lebih kepada penilaian perbuatan yang dilakukan, baik dan buruk. Sedangkan etika lebih mengarah kepada sistem nilai yang berlaku dan mempelajari bagaimana hakikat dan kaidah moral tersebut. Etika berfungsi untuk memberikan penilaian kritis dan rasional atas nilai-nilai moral yang ada. Etika dalam suatu organisasi merupakan suatu sistem nilai. Sistem ini berisi rentang nilai yang dianggap penting serta menjadi standar dan panduan yang mengarahkan sikap atau perilaku seseorang. Perilaku personal yang dianggap menyalahi nilai yang dianut akan menjadi perhatian bagi orang-orang yang berada di lingkungan sekitar (Suryabrata, 2012). Dalam pendidikan etika terdapat nilai-nilai moral yang menjadi dasar perilaku dalam praktik pendidikan, baik itu di dalam dan di luar lingkungan pendidikan. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai panduan yang mengarahkan sikap atau perilaku seseorang dalam praktik pendidikan. Pendidikan etika tidak lepas dari pembahasan tentang integrasi akademik. Integrasi akademik merupakan nilai fundamental dalam pengajaran, pembelajaran, dan ilmu pengetahuan. Adanya integrasi akademik menunjukkan adanya sebuah komitmen untuk melaksanakan nilainilai fundamental tersebut meskipun menghadapi situasi yang buruk. nilai-nilai fundamental tersebut, meliputi: (1) kejujuran; (2) kepercayaan, (3) keadilan; (4) rasa hormat; dan (5) tanggung jawab. Pendidikan etika merupakan salah satu aspek dari penerapan pendidikan berkarakter. Karakter menurut F.W. Foerster (dalam Hamalik, 2009) adalah suatu yang mengualifikasikan seorang pribadi di mana karakter menjadi identitas, ciri dan sifat yang tetap. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika bisa memiliki banyak arti dan tentu saja arti tersebut saling berkaitan (Hamalik, 2009), yaitu: etika bisa dijelaskan sebagai cara pandang manusia atau sekelompok manusia terhadap dua hal yaitu baik dan buruk; etika merupakan ilmu dalam mempertimbangkan perbuatan manusia, sehingga bisa dinilai baik atau buruknya; etika adalah ilmu untuk mengkaji berbagai norma yang ada dalam masyarakat; dan etika merupakan pegangan nilai yang universal atau umum bagi suatu masyarakat di mana karakter itulah yang menunjukkan kualitas seorang pribadi dapat [ 446 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
diukur. Sehingga tujuan dari pendidikan etika adalah mewujudkan kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap atau nilai hidup yang dimiliki. Ada empat ciri dasar pendidikan karakter melalui pendidikan etika (Adisusilo, 2014). Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan seperangkat nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, yang membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain, tanpa koherensi maka kredibilitas seseorang akan runtuh. Ketiga, otonomi maksudnya seseorang menginternalisasikan nilai-nilai dari luar sehingga nilainilai pribadi menjadi sifat yang melekat, melalui keputusan bebas tanpa paksaan dari orang lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Pendidikan Etika bagi Peserta Didik pada Mata Diklat Akuntansi Keuangan di Sekolah Menengah Kejuruan Kehidupan pendidikan merupakan pengalaman proses belajar yang dihayati sepanjang hidupnya, baik di dalam jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Berkaitan dengan perkembangan peserta didik, kehidupan pendidikan yang dimaksud baik yang dialami oleh remaja di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan kehidupan masyarakat. Hakikatnya kehidupan anak di dalam pendidikan merupakan awal kehidupan kariernya di mana kehidupan karier merupakan pengalaman seseorang di dalam dunia kerja. Perkembangan peserta didik menyangkut perkembangan berbagai aspek, yang akan menunjukkan perilaku seseorang yang salah satunya adalah etika. Perilaku seseorang yang menggambarkan perpaduan berbagai aspek itu terbentuk di dalam lingkungan. Lingkungan tempat anak berkembang itu sangat kompleks. Seorang individu, pertama bertumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga. Sesuai dengan tugas keluarga dalam melaksanakan misinya sebagai penyelenggaraan pendidikan yang bertanggung jawab mengutamakan pembentukan pribadi anak. Sedangkan sekolah merupakan tempat untuk mengembangkan karakter yang ada dalam diri peserta didik. Pendidikan karakter melalui pendidikan etika yang diajarkan di SMK yang nantinya diharapkan peserta didik yang lulusannya siap untuk bekerja mampu untuk mengembangkan segala kemampuannya dalam dunia kerja baik itu kemampuan intelektualnya maupun kemampuan beretika. Perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang (Sunarto & Hartono, 2013). Faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada jangkauan masyarakat dan individu. Jadi usaha P a g e [ 447 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pengembangan pendidikan etika bagi peserta didik dapat dilakukan guru atau setiap komponen yang terkait sebagai bagian dari lingkungan. Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan peserta didik agar kompeten dalam satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan atas bidang-bidang pekerjaan lainnya. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu, atau mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja (Kunandar, 2007). Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa SMK memfokuskan pada suatu program keahlian atau program-program pendidikan tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan seperti yang telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dialaminya mencakup dasar dan tujuan, penyelenggaraan pendidikan tersebut wajib belajar, penjamin kualitas pendidikan serta peran masyarakat dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan tersebut dibuat untuk menghasilkan pendidikan Indonesia yang baik dan lulusan berkualitas dalam semua jenjang pendidikan. Sekolah menengah kejuruan adalah sekolah yang dibangun atau didirikan untuk menciptakan lulusan agar siap untuk kerja sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Bab 1 Pasal 1 ayat 3, bahwa pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Berdasarkan pernyataan tersebut, sekolah menengah kejuruan memfokuskan pada suatu program keahlian atau programprogram pendidikan tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Kejuruan Pasal 3 ayat 2, bahwa sekolah menengah kejuruan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional, di mana hasil akhir dari sekolah menengah kejuruan yaitu lulusan siap bekerja dengan sikap profesional sebagai bekal dalam mengaplikasikan keahliannya pada lapangan pekerjaan tertentu. Menurut Kepmendikbud RI No. 0490/U/1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan Pasal 2 ayat 1 tujuan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan adalah: (1) mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan meluaskan pendidikan dasar; (2) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar; (3) meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian; dan (4) menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap professional. Akuntansi merupakan salah satu program keahlian dalam SMK. Kebutuhan akan tenaga kerja di bidang ekonomi dan akuntansi sangat banyak dibutuhkan. Program keahlian akuntansi diharapkan menghasilkan tamatan yang memiliki pengetahuan, [ 448 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
keterampilan dan nilai serta sikap yang terintegrasi dan kecakapan kerja dalam bidang akuntansi dengan menerapkan nilai-nilai etika serta mampu mengadaptasi perkembangan masyarakat yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta dapat memenuhi tuntutan dunia kerja masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikulum SMK harus lebih mengutamakan mata diklat yang berkaitan dengan pekerjaan dan lapangan pekerjaan atau seiring disebut dengan model Link and Match, yaitu memilih mata diklat dan jurusan yang menunjang pekerjaan. Namun pada kenyataannya, lembaga pendidikan lebih sering terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif sehingga minimnya kompetensi yang dimiliki (Kunandar, 2007). Untuk menghasilkan peserta didik yang nantinya menjadi tamatan SMK yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, yang secara nyata terus berkembang dari waktu ke waktu, maka kurikulum SMK harus dirancang dan dilaksanakan untuk menyesuaikan perkembangan ilmu dan teknologi. Keluaran satuan pendidikan adalah tingkat penguasaan suatu pengetahuan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti program pembelajaran sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Pendidikan etika bagi peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di Sekolah Menengah Kejuruan merupakan salah satu modal dasar untuk berkompetisi di era masyarakat ekonomi ASEAN. Karena melalui pendidikan etika diharapkan peserta didik mampu untuk meningkatkan nilai-nilai karakter yang ada pada diri mereka. Pendidikan karakter dari sisi yuridis mempunyai landasan yang kuat, di mana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dari delapan tujuan yang ingin dicapai lima di antaranya mengarah kepada pendidikan karakter. Menurut Syaifullah Yusuf dalam Penganugerahan Widya Pakerti Nugraha tanggal 20 Oktober 2014 mengatakan bahwa masyarakat ekonomi ASEAN menuntut semua yang berkecimpungan di dalamnya agar mempunyai mental yang luar biasa karena menghadapi masyarakat dari luar Indonesia. Di dalam pendidikan etika diajarkan menjadi manusia yang bermartabat, cerdas, tangguh, jujur, dan peduli. Keempat hal tersebut beralasan untuk menjadi kunci sukses. Apabila mempunyai kecerdasan maka akan bisa memilah mana yang baik dan salah. Kecerdasan, harus diimbangi dengan kejujuran dan etika yang baik pula untuk mendapatkan kepercayaan orang lain. Sedangkan tangguh diperlukan karena menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN bukan hanya masyarakat Indonesia saja tetapi juga negara lain di ASEAN. Sikap peduli tidak kalah pentingnya dengan ketiga hal tadi, karena dengan sikap peduli dengan orang lain, maka akan mudah untuk menjaga hubungan baik dengan pihak lain. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutannya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2010 menekankan bahwa pembangunan karakter dan pendidikan etika merupakan suatu keharusan, karena pendidikan tidak P a g e [ 449 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas juga mempunyai etika dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika dan karakter yang kuat dan unggul akan dapat membawa suatu bangsa mempunyai kemandirian dan berdaya saing tinggi dengan negara-negara maju lainnya. Beberapa negara dapat menjaga eksistensi negaranya terutama dalam bidang ekonomi dan perindustrian didasari oleh karakter bangsa yang kuat dan tangguh yang dimiliki oleh masyarakatnya. Ghaffari, dkk (2008: 183-198) dalam penelitiannya Exploring Implementation of Ethics in U.K. Accounting Programs mengungkapkan pentingnya pendidikan etika dalam kurikulum khususnya pembelajaran akuntansi bagi peserta didik dalam akuntansi keuangan dan audit. Hasil survei menunjukkan bahwa melihat beberapa penyimpangan yang terjadi di dalam akuntansi dan audit maka beberapa sekolah menengah dan universitas di Inggris memasukkan pendidikan etika di dalam kurikulum sebagai dasar pembelajaran akuntansi. Dellaportas, dkk (2011: 63-82) dalam penelitiannya Developing an Ethics Education Framework for Accounting mengusulkan agar pendidikan etika dapat diterapkan dalam pembelajaran terstruktur pada disiplin akuntansi. Pendidikan etika mempunyai tiga komponen yang saling terkait, meliputi: pembuatan keputusan etis dan perilaku; tujuan kognitif dan perilaku kunci pendidikan etika; dan pendekatan diskrit dan meresap untuk memberikan konten. termasuk diskusi tentang bagaimana membandingkan dengan model pendidikan etika dan analisis dukungan melalui tanggapan oleh organisasi profesi (didasarkan pada Exposure Draft yang dikeluarkan oleh Federasi Internasional Akuntan (IFAC), sebagai awal International Education Practice Statement). Bean, dkk (2007: 59-75) dalam penelitiannya Ethics Education in our Colleges and Universities: A Positive Role for Accounting Practitioners yaitu meninjau kembali tingkat pendidikan etika sebelum ke perguruan tinggi dan penekanan dari Asosiasi untuk Meningkatkan Collegiate Schools of Business (AACSB) untuk pendidikan etika bisnis di perguruan tinggi menggunakan pendekatan kurikulum. Menurut Bean, dkk bahwa sekolah bisnis dan praktisi akuntansi dapat menjalin kemitraan yang lebih berarti daripada apa yang saat ini ada melalui dewan penasehat bisnis tradisional di sebagian besar sekolah bisnis, di mana etika melekat dalam praktik akuntan publik dan ciri khas profesi akuntansi. Praktisi akuntansi dapat memainkan peran penting dan positif dalam membantu sekolah bisnis untuk memeriksa kembali kewajiban mereka kepada masyarakat dan siswa mereka dengan aktif terlibat dalam pertukaran pandangan oleh para akademisi tentang perlunya pendidikan etika serta orang-orang dari badan akuntansi profesional.
[ 450 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
Pendidikan Etika bagi Peserta Didik Mata Diklat Akuntansi Keuangan di Sekolah Menengah Kejuruan sebagai Modal Berkompetisi di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Kunci pembangunan masa depan bangsa Indonesia adalah pendidikan, sebab dengan pendidikan diharapkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas keberadaanya dan mampu berpartisipasi dalam gerak pembangunan. Dengan pesatnya perkembangan dunia dan dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) ini, pendidikan nasional juga harus melakukan perkembangan secara terus-menerus seirama dengan perkembangan zaman. Semua orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita bagaimana memiliki kehidupan yang baik. Perkembangan yang terjadi saat ini membuat setiap satuan pendidikan harus mampu untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta karakteristik dari setiap peserta didik. Berbagai fenomena dan fakta saat ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa penyimpangan yang terjadi pada peserta didik yang tidak hanya dalam lingkup lokal, nasional, regional, bahkan dalam lingkup internasional. Beberapa penyimpangan yang terjadi pada peserta didik, antara lain: narkoba, pergaulan bebas, kekerasan antar sesame pelajar, dan tawuran antar sekolah, di mana menunjukkan bahwa nilai-nilai etika yang ada dalam diri peserta didik mulai luntur akibat perubahan atas perkembangan yang terjadi saat ini. Sehingga hal tersebut menjadi pengingat bagi kita tentang seberapa pentingnya ditanamkan penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan etika bagi peserta didik sejak dini agar dapat menyiapkan generasi muda yang siap untuk berkompetisi serta memiliki etika dan sikap yang baik sebagai sumber daya aktif penentu kejayaan dan eksistensi suatu bangsa. Peserta didik tidak hanya memiliki kemampuan intelektual yang tinggi saja tetapi juga memiliki akhlak dan etika yang baik pula. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tertulis bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mencapai potensi belajar yang baik dan turut menyatakan keberhasilan dan berlangsungnya proses pembelajaran adalah guru, siswa, orang tua, masyarakat, sarana dan prasarana sebagai pendukung dalam proses pembelajaran. Tidak cukup sampai pada pendidikan dalam hal ini materi ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswa saja, tetapi bagaimana membentuk dan menerapkan pendidikan etika dalam pendidikan berkarakter, sehingga melalui pendidikan karakter, etika, akhlak, sifat seseorang manusia yang berpendidikan dapat mengaplikasikan segala apa yang diperoleh baik itu di pendidikan formal maupun pendidikan non formal dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Pendidikan etika adalah salah satu cara yang dilakukan untuk membangun manusia-manusia yang berkarakter di mana hal-hal buruk atau negatif bisa diminimalisasi, diantisipasi, dan dihilangkan. Sehingga diperlukan kerjasama dan P a g e [ 451 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kekompakan dari berbagai pihak yaitu, pemerintah, masyarakat, guru, orang tua dalam menyukseskan pendidikan etika melalui pendidikan karakter. Pendidikan etika dalam lingkup pendidikan kejuruan tidak lepas dari aspek kurikulum, pembelajaran, dan iklim atau budaya di sekolah. Jika tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan potensinya agar mampu untuk menghadapi problema kehidupan dan kemudian memecahkan secara arif dan kreatif, berarti pembelajaran pada semua mata diklat seharusnya diorientasikan ke tujuan itu dan hasil belajar juga diukur berdasarkan kemampuan yang bersangkutan dalam memecahkan problema kehidupan. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang ditetapkan maka diperlukan pengembangan aspek-aspek karakter dalam hal ini etika yang dihubungkan dengan subtansi mata diklat atau sebagai metode pembelajarannya. Salah satu contoh pentingnya pendidikan karakter melalui pendidikan etika bagi peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di SMK melalui penerapan pembelajaran pendidikan etika pada kompetensi dasar (KD) siklus pengikhtisaran dengan materi pokok menyusun laporan keuangan. Dalam kompetensi dasar (KD) siklus pengikhtisaran dengan materi pokok penyusunan laporan keuangan dibutuhkan ketelitian dalam penyusunanya, tanggung jawab, etika dan relevan. Hal tersebut didasarkan pada karakteristik kualitas penyusunan laporan keuangan menurut Panduan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang di dalamnya terkandung karakter-karakter yang penting untuk ditanamkan dan dikembangkan dalam kurikulum. Karena kurikulum berorientasi kompetensi maka karakter dapat disertakan sebagai kompetensi dasar yang dikembangkan bersama mata diklat lainnya. Karakteristik kualitas laporan keuangan menurut Panduan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) adalah: (1) Dipahami, kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk dipahami oleh pemakainya; (2) Relevan, agar laporan keuangan bermanfaat, informasi didalamnya harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan; (3) Materialitas, relevansi informasi dipengaruhi oleh hakekat dan materialitas laporan keuangan, imformasi dipandang material apabila kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil dasar laporan keuangan; (4) Keandalan, supaya laporan keuangan bermanfaat, informasi juga harus handal; (5) Penyajian jujur, informasi keuangan di laporan keuangan harus jujur dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ada atau memanipulasi data pada laporan keuangan; (6) Substansi mengungguli bentuk, jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan transaksi serta peristiwa lain yang harusnya disajikan, peristiwa tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan subtansinya dan realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum; (7) Netralisasi, informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, tidak tergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu; (8) Pertimbangan sehat, penyusunan laporan keuangan adakalanya menghadapi ketidakpastian suatu peristiwa dan keadaan tertentu, namun [ 452 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
demikian penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan; (9) Kelengkapan, agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan materialitas dan biaya. Sehingga dari materi pokok laporan keuangan disusun indikator dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, misalnya tujuan pembelajaran agar dapat melatih keterampilan berpikir, ketepatan, dan ketelitian peserta didik dalam penyusunan laporan keuangan. Tujuan laporan keuangan tersebut adalah peserta didik diharapkan dapat melaporkan laporan keuangan dengan jumlah yang benar dan akurat sesuai dengan data transaksi yang ada. Tujuan tersebut mengandung nilai-nilai karakter, yaitu kejujuran, karena peserta didik harus menyusun jumlah saldo yang benar sesuai dengan jumlah saldo pada pencatatan transaksi sebelumnya. Karakter beretika, karena peserta didik diharuskan untuk menyajikan saldo dalam penyusunan laporan keuangan sesuai dengan kode etik yang ada di dalam panduan standar akuntansi keuangan (PSAK). Karakter rasional, karena peserta didik diharuskan menyajikan jumlah saldo dalam sebuah laporan yang dapat diterima oleh nalar banyak orang dan tidak mengada-mengada. Karakter bertanggung jawab, karena bila ada kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan maka akan dapat menyalahi informasi keuangan suatu perusahaan dan dapat pula mengakibatkan kerugian bagi perusahaan tersebut. Sehingga dapat juga muncul penanaman karakter dapat dipercaya, karena laporan keuangan yang disusun harus benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan sekecil mungkin terjadi kesalahan. Karakter kerja yang perlu ditanamkan pada peserta didik kejuruan akuntansi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Pertumbuhan ekonomi suatu Negara merupakan hal yang sangat penting dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan perekonomian yang lebih baik dan ini akan menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Percepatan tersebut, mulai dari melakukan pembenahan internal kondisi perekonomian di suatu negara bahkan sampai melakukan kerjasama internasional dalam bidang untuk dapat memberikan kontribusi positif demi percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor budaya dan faktor daya modal. Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi pencari kerja karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu. Masyarakat ekonomi ASEAN juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasa dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia P a g e [ 453 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN. Selain itu dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan intelektual setiap individu saja tetapi dibutuhkan kualitas atau karakteristik dari setiap individu. Sehingga perlu ditanamkan karakter kerja bagi peserta didik kejuruan akuntansi sebelum memasuki dunia kerja. Hal ini dilakukan agar pada saat peserta didik sudah memasuki dunia kerja diharapkan bekerja dengan penuh tanggung jawab yang ditunjukkan dengan prestasi yang tinggi, baik itu dari kemampuan intelektualnya maupun etika kerjanya. Karakter perlu ditanamkan kepada peserta didik. Menurut Gaa dan Throne (2014) dalam penelitian An Introduction to the Special Issue on Professionalism and Ethics in Accounting Eduction menyatakan bahwa perlu dilakukan pembelajaran mengenai etika sehingga nantinnya peserta didik mempunyai etika kerja yang tinggi sebagai calon akuntan dan auditor. Kode etik akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktek sebagai auditor, bekerja di lingkungan usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan. etika profesional bagi praktek auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan akuntansi Indonesia (Sihwajoni dan Gudono, 2000). Prinsip etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah: (1) Tanggung jawab profesi, dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional dalam semua kegiatan yang dilakukan; (2) Kepentingan publik, setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam rangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme; (4) Objektivitas, setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka, serta bebas dari benturan kepentingan sendiri atau dari kepentingan pihak lain; (5) Kompetensi dan kehati-hatian profesionalisme, setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya; (6) Kerahasiaan, setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa ada persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya; (7) Perilaku Profesional, setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Kementerian tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia telah menetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan keahlian, serta [ 454 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
sikap kerja yang relevan dalam pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sebagai kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai struktur pekerjaan di berbagai sektor. Beberapa pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa karakter yang perlu ditanamkan dan dikembangkan bagi peserta didik pada mata diklat akuntansi keuangan di SMK yang nantinya menjadi calon akuntan dan auditor, antara lain: mempunyai etika, jujur, dapat dipercaya, bertanggung jawab, rasional, objektivitas, konsisten, dan relevan. SIMPULAN Secara garis besar dapat disimpulkan pendidikan etika dibutuhkan pada dunia kerja atau industri bagi seorang tenaga teknisi akuntansi junior telah dapat diimplementasikan pada pembelajaran mata diklat akuntansi keuangan di SMK. Hal tersebut dapat dilihat khususnya pada beberapa prinsip etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia, hampir sama dengan karakter-karakter yang terkandung dalam proses pembelajaran siklus akuntansi proses pengihtisaran untuk penyusunan laporan keuangan (yang sesuai dengan karakteristik kualitas penyusunan laporan keuangan menurut PSAK). Akan tetapi pengimplementasian pendidikan etika masih secara umum, belum terdapat fokus pengembangan karakter teknisi akuntansi junior berupa tindakan khusus yang diperintahkan dan diteladani oleh guru kepada peserta didik. Dalam perkembangannya dibutuhkan pengembangan pola implementasi pendidikan etika yang lebih dalam pembelajaran ataupun iklim di sekolah. Dengan membudayakan nilai karakter melalui pendidikan etika di sekolah, kerjasama dengan pihak terkait (guru, siswa, wali kelas, kepala sekolah, orang tua peserta didik, komite sekolah), pendekatan secara personal dengan peserta didik, menjelaskan pentingnya pendidikan etika dan memberi keteladanan kepada peserta didik. Sehingga pemantapan etika dalam pendidikan kejuruan merupakan langkah strategis untuk menghasilkan tenaga kerja kejuruan yang berkarakter agar mampu bersaing di era masyarakat ekonomi ASEAN. Langkah ini merupakan upaya meningkatkan relevansi kompetensi lulusan dengan kebutuhan dunia kerja atau industri. Pendidikan etika pada mata diklat akuntansi keuangan telah dapat dilakukan. Namun perlu dilakukan lagi pemantapan karakter melalui pendidikan etika dalam pendidikan kejuruan sebagai langkah strategis untuk menghasilkan tenaga kerja kejuruan yang beretika dan mempunyai modal dasar untuk mampu bersaing dan berkompetisi di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Sehingga diharapkan agar setiap komponen, baik guru, siswa, orang tua dan masyarakat dapat saling membantu dalam meningkatkan pendidikan etika tersebut.
P a g e [ 455 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 DAFTAR PUSTAKA Adisusilo, Sutarjo. (2014). Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: Rajawali Press. Badan Standar Nasional. (2006). Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Bean, David F; Bernardi, Richard A. (2007). Ethics Education in our Colleges and Universities: A Positive Role for Accounting Practitioners. Journal of Academic Ethics , 59-75. Dellaportas, Steven; Jackling, Beverley; Leung, Philomena; Cooper, Barry J. (2011). Developing an Ethics Education Framework for Accounting. Journal of Business Ethics Education , 63-82. Eklund, Mona; Bejerholm, Ulrika. (2007). Temperament, Charakter, and Self-Esteem in Relation to Occupational Performance in Individual wwith Sczihophrenia. OTJR , 57-58. Gaa, James C; Throne, Linda. (2004). An Introduction to the Special Issue on Professionalism and Ethics in Accounting Eduction. Issues in Accounting , 1-6. Ghaffari, F., Kyriacou, O., & Brennan, R. (2008). Exploring the Implementation of Ethics in U.K. Accounting Programs. Issues in Accounting Education , 183-198. Hamalik, Oemar. (2009). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset. Ikatan Akuntansi Indonesia. (2009). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1 Revisi 2009: Laporan Keuangan. Kamisa. ( 1997). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (1992). Keputusan Menteri Pendidikan dan Budaya Republik Indonesia Nomor 0490/U/1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan Pasal 2 Ayat 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional . Retrieved Mei 2, 2010, from www. kemdiknas.go.id Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Killian, Laita J; Huber, Marsha M; Brandon, Christopher. (Issue in Accounting Eduction). The Financial Statement Interview: Intentional Learning in the First Accounting. Issue in Accounting , 337-360. Kunandar. (2007). Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. LPMP Provinsi Jawa Tengah. (2014). Antara Lulus dan Bekerja. Retrieved April 16, 2015, from http;//www.lpmpjateng.go.id Republik Indonesia. (1990). Peraturan Pemeintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Bab 1 Pasal 1. Jakarta: Sekretariat Negara.
[ 456 ] P a g e
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Tahun 2012. Jakarta: Sekretariat Negara. Sihwajoni; Gudono, M. (2000). Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia , 168-190. Sunarto,H; Hartono, Agung B. (2013). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. Suryabrata, Sumadi. (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press. Suryamin. (2014). Lulusan SMK Mendominasi Jumlah Pengangguran Terbuka. Retrieved April 16, 2015, from http://www.tempo.co Tri, Septiani, dkk. (2013). Implementasi Pendidikan Karakter pada Mata Pelajaran Produktif Akuntansi di SMK Negeri 3 Surakarta. Jurnal Vol 1 No. 2, Hal 1-14 Yusuf, Syaifullah. (2014). Anugerah Widya Pakerti Nugraha 2014. Retrieved April 14, 2015, from Layanan Informasi Publik Pendidikan Provinsi Jawa Timur: www.google.com
P a g e [ 457 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PEMBELAJARAN EKONOMI BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Kehidupan bangsa yang banyak dipengaruhi oleh budaya asing baik melalui media cetak maupun elektronik serta kebiasaan remaja saat ini yang menginginkan hidup yang serba instan. Sehingga dalam pembelajaran ekonomi perlu diikuti oleh pendidikan karakter agar mereka mampu mengaplikasikan semua ilmu pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan falsafah dan pola hidup yang merujuk pada semua aturan dan kebiasaan bangsa Indonesia. Proses pembelajaran ekonomi hendaknya lebih memperhatikan teori-teori yang sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia dan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam kurikulum baik di tingkat sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pembelajaran Ekonomi
PENDAHULUAN Fenomena yang terjadi saat ini di lingkungan masyarakat menggambarkan bahwa hasil pendidikan nasional belum mengarah dan mampu mewujudkan figur manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan falsafah Pancasila seperti yang tersurat dan tersirat dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003. Kehidupan masyarakat di Indonesia sering mengalami krisis, antara lain: identitas karakter bangsa semakin tidak jelas, dan dapat dikatakan kehilangan jati diri sebagai warga negara Indonesia, kepastian hukum yang tidak jelas, hilangnya sikap saling menghormati/menghargai, komunikasi yang tidak didasari sopan santun di forum publik, unggah-ungguh dan gotong-royong serta saling membantu sesama umat manusia jarang kita temui. Bahkan, akhir-akhir ini sering diberitakan di media publik, kondisi kehidupan masyarakat semakin memprihatinkan dengan adanya penyimpangan perilaku yaitu ; terjadinya aneka kesenjangan sosial yang semakin tinggi, korupsi merajalela di semua lembaga baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif, beban kehidupan masyarakat bertambah berat karena perkembangan budaya dan kemajuan teknologi serta pengaruh globalisasi yang tidak bisa dihindari, berkembangnya fragmentasi kehidupan, tidak mengindahkan lagi norma-norma agama/rusaknya komunitas moral, perilaku provokatif dan emosional baik di golongan pemuda, mahasiswa, dan masyarakat tidak dapat terkendali, marak dan meluasnya aneka konflik/pertikaian antar etnis/ golongan/pelajar/mahasiswa termasuk kalangan elit politik yang memperebutkan keinginan mereka masing-masing dan memaksakan kehendaknya, menguatnya egoisme pribadi dan kolektif, banyaknya praktek tanpa dasar teori dan teori tanpa implementasi, apalagi pada tahun 2014 yang disebut tahun politik ini banyak menguntungkan kelompok elit politik melalui berbagai kebijakan mengabaikan/melupakan moralitas dan lebih focus pada mencari uang, materi, jabatan dan kekuasaan. [ 458 ] P a g e
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
Faktanya kehidupan masyarakat yang terjadi saat ini khususnya yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat merupakan tantangan bagi para tenaga pendidik bidang studi pendidikan ekonomi khususnya Pembelajaran Ekonomi agar mampu menyumbangkan alumni yang berbasis pendidikan karakter bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan fenomena di atas dapat dirumuskan sebagai berikut “Bagaimana Pembelajaran Ekonomi Berbasis Pendidikan Karakter?”. Dengan tujuan untuk “Menganalisis Pembelajaran Ekonomi Berbasis Pendidikan Karakter”. Pembelajaran Ekonomi hendaknya mampu memberikan pengetahuan, pemahaman, pengalaman, dan dapat memecahkan permasalahan ekonomi yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan individual maupun kelompoknya sesuai dengan kapasitas jasmaninya sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi orang lain dan masyarakat dalam arti yang luas. Di samping itu perlu adanya konseptualisasi karakter sebagai warga negara dan bangsa yang dimasukkan dalam setiap butir-butir pemahaman materi sehingga peserta didik dapat evaluasi diri, menggunakan akal pikiran rasional, yuridis formal, procedural, moralitas, kesantunan dan kepatutan terhadap setiap pemenuhan kebutuhan pribadi dan menghadapi fenomena/kasus di lingkungannya maupun yang terjadi di masyarakat. Pembelajaran ekonomi berbasis pendidikan karakter merupakan salah satu jalan keluar/solusi menghadapi krisis yang terjadi di masyarakat diikuti dengan peningkatan moralitas dan spriritualitas yang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, nilai-nilai, kearifan, etika, akhlak baik, jujur, bertanggung jawab, keteladanan, berjiwa besar untuk kepentingan masyarakat lebih diutamakan dibandingkan untuk kepentingan pribadi/individual. Siapapun orang yang memiliki kemampuan secara individual, kelompok maupun karena jabatannya di bidang ekonomi ataupun bidang lain akan selalu berusaha melaksanakan setiap kegiatannya sesuai aturan yang berlaku, etika moral, kepatutan, kejujuran, mandiri, toleran, empati, sabar, saling membantu dan menghormati, respek, produktif, mempunyai komitmen sosial dan semangat kebangsaan, serta kemanfaatannya untuk masyarakat. Tidak lagi terpikirkan model pencitraan dan seolah-olah baik namun dibalik itu semua penuh dan sarat dengan permasalahan baru yang sangat merugikan orang lain dan masyarakat, anti korupsi, manipulasi, dan sikap lainnya yang sangat merugikan orang banyak serta bertentangan dengan nilai-nilai, etika moral dan hukum yang berlaku dalam agama manapun. Atas dasar tersebut di atas diharapkan dapat terwujudnya kehidupan bangsa yang utuh, bersatu, sejahtera, adil dan makmur, saling menghormati dan membantu, harmonis, rasa kepedulian dan kesetiakawanan, toleransi, cinta tanah air, rasa kebangsaan, hidup hemat dan sehat, mengenal skala prioritas dalam kehidupannya, berani mengambil risiko, memanfaatkan peluang usaha, membentuk jiwa kewirausahaan, demokratis dan tidak ada diskriminasi.
P a g e [ 459 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 PEMBAHASAN Pendidikan karakter bangsa Indonesia yaitu berkarakter moral Pancasila sudah dilakukan sejak masa revolusi fisik masa Orde Lama, masa Orde Baru sampai pada Era Reformasi. Tujuan tersebut terkait dengan upaya mewujudkan manusia susila yang cakap sebagai perwujudan manusia Indonesia dan pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki karakteristik berbudi luhur, jujur, bekerja keras,disiplin, mandiri, inovatif, kreatif, bertangung jawab, cerdas, kritis, professional dan memiliki semangat untuk maju. Menurut Ki Hajar Dewantara memberikan penjelasan tentang susila yaitu kesusilaan sebagai orang berbudi halus dan ini dikaitkan dengan adab dan peradaban yang memiliki arti berbudi luhur. Dimensi kemanusiaan dan ketuhanan hadir dalam penggambaran pribadi susila dan beradab. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU No. 20 Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3).
Gambar 1. Pembangunan Karakter Bangsa (Sumber: Diknas tentang Pendidikan Karakter Nasional) Pada tahun 2025, Sistem Pendidikan Nasional mencanangkan untuk menghasilkan “Insan Indonesia cerdas dan kompetitif, yang berkeadilan, bermutu dan yang berkaitan dengan keperluan masyarakat Indonesia maupun dunia/global. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan (a) Peningkatan iman dan takwa, (b) Peningkatan akhlak mulia, [ 460 ] P a g e
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
(c) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (d) Keragaman potensi daerah dan lingkungan, (e) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (f) Tuntutan dunia kerja. Grand design pendidikan karakter yang telah dibuat pemerintah menetapkan empat nilai utama yang harus ditanamkan di lembaga pendidikan yaitu; 1) jujur dan bertanggung jawab (cerminan dari olah hati), 2) cerdas (cerminan dari olah pikir), 3) sehat dan bersih (cerminan dari olah raga), dan 4) peduli dan kreatif (cerminan dari olah rasa). Pendidikan karakter yang saat ini diterapkan merupakan perwujudan dari berbagai pendapat beberapa filosuf antara lain Imam Al-Ghozali (Hujjatul Islam) mengatakan bahwa Karakter lebih dekat dengan Akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakanlah akhlak yang baik. Dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji dinamakanlah akhlak yang buruk Tingkah laku seseorang itu adalah lukisan batinnya. Menurut Gordon Willard Allport (Psikolog Amerika), Karakter sebagai penentu bahwa seseorang sebagai pribadi, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik” (moral knowing), tetapi juga “merasakan dengan baik” atau “loving the good” (moral feeling), dan “perilaku yang baik” (moral action). Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.
Gambar 2. Nilai-nilai Pendidikan Karakter (Sumber: Diknas tentang Pendidikan Karakter Nasional) Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik adalah nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya pasti menjunjung tinggi nilaiP a g e [ 461 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku dan agama. Untuk menggambarkan nilai-nilai pendidikan karakter dapat dilihat pada Gambar 2. Karena pendidikan karakter merupakan suatu habit atau kebiasaan, maka pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character yang terdiri dari keluarga, lembaga pendidikan, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan berbagai pihak yang mempengaruhi nilai-nilai generasi muda. Semua communities of character tersebut hendaknya memberikan suatu keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan. Dengan perkataan lain, pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan.
Gambar 3. Tiga Pendekatan dan Implementasi Pendidikan Karakter (Sumber: Diknas tentang Pendidikan Karakter Nasional) Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dalam rangka mencanangkan gerakan nasional pendidikan karakter pada tanggal 11 Mei 2010 berusaha mengembalikan pendidikan pada khitahnya yang meliputi ketiga aspek yaitu: kognetif, afektif dan psikomotorik secara konsisten serta prestasi dalam sikap dan perilakunya melalui pembudayaan karakter di lingkungannya. Menurut Komarudin Hidayat (2010), tanpa budaya lembaga pendidikan yang bagus akan mengalami kesulitan melakukan pendidikan karakter, jika budaya lembaga pendidikan sudah mapan, siapapun yang masuk dalam komunitas tersebut secara otomatis akan mengikuti tradisi/budaya yang sudah ada. Pembangunan lembaga pendidikan terberat justru terletak pada upaya membangun budaya/kultur, karena selain membutuhkan dana juga daya tahan kesabaran, keuletan, presistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan lembaga pendidikan/civitas akademika, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan karakter diharapkan mampu membangun manusia Indonesia seutuhnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke Indonesiaan yaitu ; nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI yang sudah digariskan oleh para pendiri [ 462 ] P a g e
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
bangsa dan Negara Indonesia, sekaligus menjawab tantangan dan pengaruh yang ada di masyarakat karena perkembangan budaya, teknologi, informasi yang begitu cepat dan tidak mungkin dibendung. Pengaruh yang sangat luar biasa ini bila tidak segera ditangani akan dapat menghancurkan kualitas manusia Indonesia dan derajat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), jika perkembangan dan pengaruh teknologi informasi yang sangat luar biasa dimanfaatkan secara positif misalnya; penyebaran informasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas, baik informasi factual, konseptual maupun procedural akan dapat menunjang terwujudnya peningkatan kualitas manusia Indonesia dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mc.Gaughey (2005), menyatakan bahwa pemanfaatan negative teknologi informasi dan komunikasi telah melampui pemanfaatan positif dan patut diduga telah memberi kontribusi melemahnya karakter bangsa, menurunkan kualitas manusia, dan menurunkan derajat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera, makmur berkeadilan dan memiliki karakter, maka perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis, untuk mengimplementasikan pendidikan karakter secara integrasi dan dilandasi kerangka berpikir yang komprehensif dalam upaya menanamkan karakter alumninya untuk memasuki dunia kerja dan kembali ke lingkungan masyarakat sebagai insan terdidik, teladan, jujur, cara berpikir memecahkan permasalahan berdasarkan nilai-nilai moral, kepatutan, santun, akhlak mulia, cepat dan tepat, bermartabat, bermakna, cerdas dan tuntas serta sesuai ketentuan yang digariskan oleh Tuhan YME. Menurut Lickona (2004), untuk mewujudkan nilai-nilai karakter yang dicita-citakan maka implementasinya dapat melalui rancangan kurikulum yang ada sehingga terintegrasi dengan bidang studinya masing-masing. Tim Sprod (2001), menyatakan peranan pendidik dan metode membangun suatu kelas, sebagai suatu masyarakat untuk melakukan inkuiri etis dalam upaya mewujudkan pribadi dan masyarakat madani. Menurut pendapat Wren (2008) pendidikan Karakter perlu adanya upaya untuk dikembangkan sesuai perkembangan budaya dan teknologi/informasi agar setiap individu berbuat baik pada dirinya sendiri dan terhadap orang lain serta terhadap Tuhan-Nya. Identifikasi tentang pendidikan karakter secara terperinci, teliti, dan benar akan diketahui nilai-nilai apa saja yang perlu diberikan baik secara bersama-sama oleh kelompok ataupun setiap bidang studi, baik tataran konseptual, penerapan dalam kegiatan nyata yang didasari nilai-nilai etika, moral, kepatutan, kejujuran, akhlak mulia, cepat, tepat, cerdas dan tuntas sesuai budaya bangsa dan negara Indonesia. Nilai-nilai karakter yang dimiliki oleh para civitas akademika khususnya alumni perguruan tinggi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 6. Suwarsih Madya (2010), menyatakan bahwa : Kehidupan bangsa yang cerdas adalah kehidupan yang dibangun oleh warga negara Indonesia yang berpola pikir dan sikap cerdas, yang keduanya terwujud dalam perilaku yang sarat dengan kebajikan dan jauh dari hal-hal yang merugikan /destruktif bagi diri, masyarakat maupun bangsa, baik P a g e [ 463 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dalam jangka pendek maupun panjang sehingga mampu memecahkan masalah yang dihadapi secara efektif (tanpa menimbulkan masalah baru) dengan pandangan ke masa depan yang makin membaik kualitasnya.
NILAI-NILAI KARAKTER DASAR/ UNIVERSAL
Gambar 4. Nilai- nilai karakter alumni (Sumber: Suwarsih Madya, 2010) Bila pendidikan karakter dikaitkan dengan pembelajaran Ekonomi, maka diperlukan beberapa strategi dan model. Strategi pertama antara lain, pemahaman secara jelas, tegas dan tepat tentang sistem Ekonomi didasarkan pada landasan ideal Pancasila, landasan konstitusional; UUD 1945, Peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, Perda dan aturan lainnya, landasan operational; perencanaan secara nasional, meliputi kepentingan propinsi dan Kota/Kabupaten, landasan perencanaan dan pelaksanaannya; meliputi perencanaan yang dilakukan kelembagaan/departemen dan daerah (propinsi dan Kota/Kabupaten). Tujuan, sasaran dan target yang akan dicapai harus bertumpu pada Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) dengan karakteristik mencerminkan budaya Indonesia; (1) Peranan negara masih diperlukan dan usaha swasta dikembangkan secara berdampingan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (2) Hubungan kerja antar lembaga ekonomi didasarkan pada azas kekeluargaan dan keakraban hubungan antar manusia, (3) Masyarakat sebagai suatu kesatuan memegang peranan sentral dalam SEP artinya bukan mengabaikan individu tetapi langkahnya harus sesuai dan serasi dengan kepentingan masyarakat, (4) Negara menguasai bumi air dan kekayaan alam lainnya untuk kemakmuran masyarakat (5) Sistem nilai SEP mempengaruhi tingkah laku pelaku ekonomi dan selalu mengikuti dinamika pertumbuhan masyarakat. Kedua, tenaga kependidikan memiliki peran yang penting dan bertanggung jawab dalam keberhasilan mencapai tujuan dan melaksanakan pendidikan ekonomi Indonesia yang berbasis karakter, melalui berbagai kegiatan dan media yang digunakan agar mahasiswa berusaha mencari referensi dari berbagai media, mampu melakukan introspeksi dan menyiapkan diri untuk menjadi manusia Indonesia yang bermakna. [ 464 ] P a g e
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
Di samping itu perlunya “hidden Curriculum”, dan merupakan instrument yang amat penting dalam pengembangan karakter mahasiswa. Ketiga, dalam proses pembelajaran ekonomi Indonesia diberikan gambaran tentang bagaimana kondisi ekonomi Indonesia secara micro dan macro, memberikan berbagi informasi tentang kemampuan sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia serta mengetahui bagaimana sebenarnya posisi ekonomi Indonesia secara global. Keempat, budaya organisasi di perguruan tinggi harus dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan karakter serta menekankan pada daya piker yang kritis dan kreatif (critical and creative thinking), kemampuan bekerja sama, dan belajar membuat perencanaan, program, kebijakan dan keputusan/pernyataan atas dasar falsafat bangsa Indonesia untuk menata ekonomi Indonesia mencapai kemakmuran yang berkeadilan. Kelima, pada hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan kampus, keluarga, masyarakat. Hal ini perlu keteladan dan pembinaan secara bertahap antara lain; sikap selama dalam kegiatan pembelajaran (kegiatan PBM, penyelesaian tugas, UTS dan UAS) dan pergaulannya dengan civitas akademika. Keenam, pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien kalau dikerjakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan berbagai institusi, mass media, lembaga swasta dan tokoh masyarakat memberikan contoh/keteladanan kehidupan yang bermakna, amanah, produktif, kreatif, inovatif, jujur, bertanggung jawab, tidak mudah putus asa, tidak konsumtif dan tidak korupsi, tidak berpikir dan bersikap instant karena untuk mencapai cita-cita dan tujuan haruslah melalui proses dan ujian. Model yang digunakan antara lain : Pertama, diberikan informasi yang rasional dan benar tentang bagaimana ekonomi Indonesia ditinjau secara micro dan macro sejak awal kemerdekaan sampai era reformasi, termasuk apa yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh Pemerintahan pada saat itu, bagaimana kondisi internal dan eksternal, bagaimana kondisi politik dalam negeri dan luar negeri, sehingga akan dipahami secara benar tentang apa konsekuensi dari kebijakan yang sudah ditetapkan, mengapa kondisi bangsa, negara dan masyarakat Indonesia masih memprihatinkan di mana salahnya dan apa yang harus dimiliki agar mampu mencapai tujuan seperti keberhasilan yang telah dicapai oleh negara Cina, Singapura, Jepang dll. Yaitu karakter bangsa. Kedua, perlu dirumuskan kebijakan atau peraturan, budaya organisasi serta standar perilaku yang dirumuskan bersama-sama untuk ditaati oleh semua civitas akademika agar dapat/mampu mewujudkan kondisi yang kondusif dan mencerminkan kampus sebagai wadah mencetak calon pemimpin bangsa yang berkarakter dan cinta tanah air Indonesia. Ketiga, perlu diciptakan komunikasi dengan berbagai pihak yang dapat mempererat hubungan dan kerjasama, mensosialisasikan secara terus menerus visi dan misi universitas, isi dan target pendidikan karakter kepada seluruh civitas akademika agar mampu merubah pola piker, sikap, tingkah laku, jiwa wirausaha yang professional, P a g e [ 465 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 percaya diri, dan menjadi pribadi yang memiliki kepribadian dan harga diri sebagi warga Negara Indonesia. Keempat, proses pengembangan karakter memerlukan model keteladanan dan kejujuran, pola kehidupan yang bernuansa realistis dan relegius serta contoh konkret yang konsisten, bukan kesejahteraan dan kemakmuran yang duniawi sesaat tapi yang bermakna dan sepanjang hayat. Sistem Ekonomi Nasional Indonesia (SENI), mengedepankan karakteristik kebhinekaan dari masyarakat Indonesia yang beranekaragam ciri-ciri kehidupannya, berinteraksi dalam semangat kekeluargaan, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menuju terwujudnya keadilan sosial. Tujuan ini dapat tercapai bila seluruh rakyat tanpa kecuali memiliki rasa nasionalisme/karakter dan patuh terhadap aturan main keadilan ekonomi. Keadilan ekonomi bersumber pada setiap isi dari 5 sila Pancasila yaitu ; 1) setiap roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, social dan moral, 2) seluruh masyarakat bertekad mewujudkan pemerataan social, tidak membiarkan timbulnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan social. 3) seluruh pelaku ekonomi harus selalu bersemangat nasionalistik, menomorsatukan terwujudnya perekonomian nasional yang kuat dan tangguh. 4) koperasi dan bekerja secara kooperatif menjiwai para pelaku ekonomi, demokrasi ekonomi dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5) perekonomian nasional diupayakan terdapat keseimbangan antara perencanaan ekonomi nasional dengan rencana yang bernuansa desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada 7 (tujuh) butir paradigma, prinsip-prinsip etik dalam system ekonomi Pancasila yaitu ; 1) harus menyumbangkan terciptanya ketahanan ekonomi nasional yang kokoh dan tangguh, 2) harus mengandung sikap dan tekad kemandirian dalam diri manusia, keluarga dan masyarakat Indonesia, 3) perekonomian nasional harus dikembangkan kearah perekonomian yang berkeadilan dan berdaya saing tinggi, 4) demokrasi ekonomi harus mewujudkan untuk memperkokoh struktur usaha nasional, 5) koperasi sokoguru perekonomian nasional sebagai gerakan dan wadah kegiatan ekonomi rakyat dan sebagai badan usaha ditujukan pada penguatan dan perluasan basis usaha. 6) kemitraan usaha dijiwai semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang saling menguntungkan harus ditumbuhkembangkan. 7) usaha nasional harus dikembangkan sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan dalam system ekonomi pasar terkelola dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan nasionalisme tinggi. Pendekatan dalam pembelajaran ekonomi yang berbasis karakter lebih tepat dengan menggunakan Student Centered, karena lebih ditekankan pada aktivitas dan sikap peserta didik. Pendekatan ini diharapkan perkembangan karakter akan muncul atas dasar kesadaran hati dari peserta didik sendiri, mereka asyik untuk mendiskusikan fenomena dan mengkreasikan pikirannya serta mencari solusi pemecahannya. [ 466 ] P a g e
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
Menurut Hasan (2010), prinsip-prinsip pendidikan karakter harus berpijak pada prinsip keberlanjutan melalui pembelajaran semua bidang studi, bukan kegiatan mengajarkan nilai tetapi mengembangkan nilai, proses pembelajaran tidak membuat peserta didik mengantuk dan harus menyenangkan bagi peserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan karakter merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai. Menurut Zuchdi (2009) program pendidikan karakter secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pengintergrasian kesadaran dan habit dalam setiap mata kuliah. Atas dasar beberapa pendapat di atas, pendekatan pembelajaran ekonomi dapat dilakukan antara lain: tercermin dari metode pembelajaran yang meliputi inkulkasi nilai, keteladanan, fasilitas dan pengembangan ketrampilan. Untuk dapat lebih mempercepat dan mendukung tercapainya tujuan diperlukan buku ajar ekonomi yang berbasis pendidikan karakter, karena buku ajar tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter. Ki Hajar Dewantara mengemukakan teori Patrap Tri Loka yang berisi Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Berdasarkan teori tersebut tenaga pendidik harus dapat member contoh, memberi semangat, dan memberi dorongan kepada peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai karakter. Bila merujuk kedudukan dan tanggung jawab pendidik dalam agam Islam sangat dihargai (sabda Rasullah SAW) artinya; Tinta para ulama/ ilmuan lebih tinggi/berharga dari pada darah para syuhada “ (HR.Abu Daud & Tarmidzi). Jadi didalam Islam kedudukan pendidik adalah amat tinggi, jika tidak ada pendidik maka manusia akan menjadi hewan karena tidak ada pembelajaran dan bimbingan. Siapa yang memuliakan pendidik berarti secara tidak langsung telah memuliakan Rasul, siapa yang memuliakan Rasul berarti memuliakan Allah, dan siapa yang memuliakan Allah syurgalah tempat kediamannya. Pada gambar 5 dibawah ini merupakan konseptual pendidikan karakter pada pembelajaran ekonomi.
Gambar 5. Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Ekonomi P a g e [ 467 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Menurut Sudarsono (2002:11) dalam ekonomi Islam, kebutuhan manusia terbatas karena pemenuhan kebutuhan tersebut disesuaikan dengan kemampuan jasmani manusia. Pada dasarnya sumber daya yang diberikan Allah SWT tidak terbatas. Oleh karena itu, manusia dituntut berupaya memberdayakan kekayaan alam sebagai mana mestinya dan disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhannya, sehingga diharapkan muncul kreativitas dan inovasi untuk menemukan hal-hal yang baru, dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Tujuan akhir ekonomi Islam yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui suatu tatanan kehidupan yang baik serta bermartabat sesuai dengan norma-norma kehidupan yang ada. terhormat dan bermakna itulah yang merupakan kebahagiaan hakiki yang sangat dicita-citakan oleh setiap manusia dan bukan kebahagiaan yang semu/sesaat yang akhirnya justru menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi dirinya maupun orang lain. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran ekonomi berbasis pendidikan karakter perlu ditumbuhkembangkan agar peserta didik mampu mengaplikasikan materi ekonomi yang diperoleh sesuai dengan falsafah dan kehidupan bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Saran untuk kita semua sebagai civitas akademika perguruan tinggi sepatutnya menulis buku ajar sesuai bidang studi masingmasing dalam rangka pendidikan karakter. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W. dan Krath Wohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing. New York : Addison Weskey Logman, Inc. Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Biro Hukum Sekjen Diknas. Dewantara, Ki Hajar. 1997. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Balitbang Puskur. Lickona, Thomas.2004. Character matters: How to help our children develop good judgement, integrity ,and other essential virtues. New York: Toughstone. Sprod, Tim. 2001. Philosophical Discussion in Moral Education. London: Routledge Sudarsono, Heri.2002. Konsep Ekonomi Islam suatu Pengantar. Jogyakarta : Ekonisia Wren, Thomas.2008. Philosophical Moorings. In Nucci, Larry P & Narvaez, Darcia.Eds. Handbook of Moral and Character Education, pp. 11-29. New York and London: Routledge Taylon & Francis Group. Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter, Grand Design, dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.
[ 468 ] P a g e
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
INDONESIAN QUALIFICATIONS FRAMEWORK: SEBUAH UPAYA INTERNALISASI GENERIC SKILLS PADA MAHASISWA Sri Sumaryati
Universitas Sebelas Maret
[email protected]
Abstrak Nilai generic skills sangat penting untuk dimiliki oleh mahasiswa dalam usahanya meningkatkan kemampuannya untuk bersaing di pasar global. Untuk itu Perguruan Tinggi, dalam hal ini Program Studi hendaknya mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa ini melalui kegiatan pembelajaran beserta perangkatnya, yang akhirnya terjabar pada sebuah kurikulum. Tujuan penulisan artikel ini adalah menawarkan suatu strategi yang mampu mengintegrasikan nilai generic skills dalam kurikulum pendidikan ekonomi. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil review literature yang relevan serta laporan hibah pengembangan kurikulum Prodi Pendidikan Ekonomi. Artikel ini menyimpulkan bahwa nilai generic skills dapat dikembangkan melalui pengalaman belajar secara berkelanjutan sejak mahasiswa baru masuk perguruan tinggi sampai mereka lulus. Kata kunci: Generic skills, kurikulum
PENDAHULUAN Peningkatan ranking Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI) negara Indonesia dari ranking 121 pada tahun 2012 menjadi ranking 108 pada tahun 2013 merupakan kabar menggembirakan bagi bangsa. Namun, jika mencermati posisi ranking negaranegara terdekat seperti Malaysia yang mengalami kenaikan dari ranking 64 ke ranking 62, Singapura dari ranking 18 ke ranking 9, Brunei Darussalam pada ranking yang sama yaitu 30, dan China dari ranking 101 ke ranking 91 (UNDP 2013, UNDP 2014), maka posisi HDI Indonesia masih perlu ditingkatkan agar posisinya tidak terlalu jauh dari posisi negara-negara tetangga. Agar dapat menduduki posisi yang lebih baik diperlukan kerja keras untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia, meningkatkan daya saing bangsa, di tengah-tengah persaingan dengan masyarakat dunia lainnya. Ini semua merupakan pekerjaan rumah seluruh rakyat Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Mengingat bahwa salah satu indikator dari IPM adalah sektor pendidikan, maka para pelaku pendidikan, khususnya pendidikan ekonomi, mempunyai tugas yang tidaklah ringan untuk dapat mengembangkan pendidikan ekonomi yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pendidikan ekonomi dapat memfasilitasi kebutuhan masyarakat terhadap pengetahuan ekonomi dan keuangan yang P a g e [ 469 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sangat diperlukan pada masa ekonomi global yang sedang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Untuk menghadapi era globalisasi, SDM yang mampu bersaing mutlak diperlukan. (Salladien, 1996) Hampir semua pakar ketenagakerjaan setuju bahwa kunci sukses suatu organisasi adalah SDM yang memiliki kompetensi kerja (Karami dkk, 2004). Oleh karenanya, sebagai upaya peningkatan kualitas SDM yang berasal dari lulusan pendidikan tinggi, sangatlah berhubungan dengan pengembangan berbagai ketrampilan yang relevan (generic skills), sehingga dengan semakin meningkatnya kompetensi lulusan diharapkan dapat memenuhi keragaman permintaan pasar kerja era globalisasi. Sebagai institusi di bawah LPTK, pendidikan ekonomi mendapat mandat untuk menghasilkan guru yang memiliki kompetensi spesifik yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan, yang beragam sesuai dengan keragaman aktivitas dan dapat dikembangkan selama proses pembelajaran berlangsung (Robbins, 2003:465; Vecchio, 1992: 78; Nelson & Quick, 1994:21 dalam T. Watts, 2008) Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana cara melaksanakan pendidikan ekonomi yang mampu meningkatkan generic skills mahasiswa pendidikan ekonomi? Chapple & Tolley, 2000; Fallows & Steven, 2000 dalam Robley, 2005 mengemukakan bahwa hal yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan materi-materi pembelajaran yang dapat mengakomodasi peningkatan generic skills, atau melalui internalisasi nilai-nilai generic skills pada setiap program yang dilakukan secara kontinyu yang terjabar dalam kurikulum. Kurikulum merupakan “… seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU RI Nomor 20 Tahun 2013). Agar dapat mencapai tujuan pendidikan menghasilkan guru yang mampu melaksanakan pendidikan ekonomi, maka kurikulum pendidikan ekonomi dapat didesain dengan muatan mata kuliah, pengalaman belajar dan perencanaan pembelajaran ekonomi sedemikian rupa. Perlu diperhatikan juga bahwa generic skills sangat penting untuk dimiliki oleh lulusan Pendidikan Ekonomi pada khususnya, dan semua mahasiswa pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Satoshi (2010) bahwa “Generic skills are important for higher education graduates in their employment, successful competition in labor market, development of career in organization and bringing individual input in the successful development of democratic society. Developed generic skills ensure broader person’s social security and possibilities for selfrealization.” Dengan demikian, ketika suatu negara menginginkan kualitas sumber daya manusia, khususnya calon pendidik, yang mampu bersaing maka negara tersebut dapat mengawalinya melalui pembangunan generic skills bagi bangsanya. Oleh karena itu, peran LPTK sangatlah besar. Artikel ini bertujuan untuk menawarkan suatu strategi integrasi pengembangan generic skills dalam kurikulum pendidikan ekonomi. ‘Kurikulum merupakan cetak biru dari keseluruhan proses pembelajaran pada sistem pendidikan......’ (Dikti, 2012: ii). Melalui kurikulum dapat diketahui arah semua aktivitas pendidikan [ 470 ] P a g e
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
dalam mencapai tujuan pendidikan yaitu pengembangan manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, teknologi serta karakter sesuai dengan falsafah hidup bangsa dan penciri institusi pendidikan di mana mereka belajar. Oleh karena itu, suatu institusi pendidikan dituntut mampu mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan olah raga (IPTEKSO). Kurikulum pendidikan tinggi saat ini mengalami pembaharuan dalam konsep kurikulum, sebagaimana dalam buku pedoman penyusunan kurikulum berbasis kompetensi dari Dirjen Pendidikan Tinggi. Beberapa pembaharuan konsep kurikulum antara lain: 1) Luaran hasil pendidikan tinggi yang semula berupa kemampuan minimal penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai dengan sasaran kurikulum suatu Program studi, diganti dengan kompetensi seseorang untuk dapat melakukan seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Luaran hasil pendidikan tinggi ini yang semula penilaiannya dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi sendiri, dalam konsep yang baru penilaian selain oleh perguruan tinggi juga dilakukan oleh masyarakat pemangku kepentingan. 2) Kurikulum program studi yang semula disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah lewat sebuah Konsorsium (Kurikulum Nasional), diubah, yakni kurikulum inti disusun oleh perguruan tinggi bersama-sama dengan pemangku kepentingan dan kalangan profesi, dan ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. 3) Berdasarkan Kepmendikbud No. 056/U/1994 komponen kurikulum tersusun atas Kurikulum Nasional (Kurnas) dan Kurikulum Lokal (Kurlok) yang disusun dengan tujuan untuk menguasai isi ilmu pengetahuan dan penerapannya (content based), sedangkan dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000 disebutkan bahwa kurikulum terdiri atas Kurikulum Inti dan kurikulum Institusional. 4) Dalam Kepmendiknas no 232/U/2000, hasil belajar ditekankan pada keutuhan kompetensi berkarya, sehingga matakuliah dikelompokkan ke dalam Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB), Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB), dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Melalui kurikulum tersebut, suatu program studi mengantar mahasiswanya memiliki kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Setiap kompetensi dapat mengandung 5 elemen kompetensi yaitu landasan kepribadian, penguasaan IPTEKSO, kemampuan berkarya, sikap dan perilaku dalam berkarya, dan pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangannya, setelah terbit Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), maka kompetensi lulusan atau capaian pembelajaran setiap program studi harus mengacu pada rumusan deskripsi pada KKNI sesuai dengan jenjang/levelnya. Lulusan S1 harus memiliki kualifikasi level 6, di mana lulusan setara S1 dituntut memiliki kemampuan di bidang kerja yaitu mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam P a g e [ 471 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi, memiliki penguasaan pengetahuan yaitu menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural, memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat dengan mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok, serta mempunyai sikap dan perilaku dalam berkarya berupa bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi (Dikti, 2012). Kurikulum berbasis kompetensi menuju KKNI yang didesain oleh suatu program studi tetap harus bermuatan pendidikan karakter. Apabila dicermati, maka setiap elemen kompetensi mengandung unsur karakter yang akan dihasilkan. Sebagai contoh, elemen kompetensi landasan kepribadian akan menghasilkan karakter lulusan yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia; elemen sikap dan perilaku berkarya akan menghasilkan karakter lulusan yang profesional. Kesemua unsur karakter tersebut menuju pada pembangunan manusia sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Rumusan kompetensi atau capaian pembelajaran lulusan dari suatu program studi seharusnya dirumuskan oleh suatu forum komunikasi atau asosiasi program studi sejenis misalnya rumusan kompetensi pendidikan ekonomi ditetapkan oleh Asosiasi Pendidikan Ekonomi. Dengan demikian semua program studi sejenis akan memiliki kemampuan minimal yang relatif sama, sehingga rumusan kompetensi tersebut dapat menjadi penyetara kualifikasi lulusan program studi. Walaupun rumusan kompetensi ditetapkan secara bersama, namun suatu program studi dapat mengembangkannya sendiri kompetensi lain sebagai penciri dari program studinya. Dengan demikian, jika suatu program studi memiliki kehendak untuk menanamkan generic skills pada mahasiswa, maka hal ini bukanlah hal yang mustahil. PEMBAHASAN Pembelajaran di Perguruan Tinggi Saat Ini Kondisi pembelajaran di program studi/ perguruan tinggi masih cukup beragam. Perguruan tinggi yang telah menjalankan sistem penjaminan mutu dengan baik dari jenjang institusi sampai program studi umumnya telah melaksanakan pembelajaran yang berbasiskan capaian. Namun permasalahan utama yang dihadapi Perguruan Tinggi dalam mengembangkan kurikulumnya yaitu: 1. Kurangnya persiapan dosen di dalam menyiapkan perangkat pembelajaran sebelum melakukan pembelajaran; 2. Ketidakjelasan rumusan capaian pembelajaran; 3. Ketidakjelasan strategi dan metode pembelajaran; 4. Pemilihan strategi dan metode pembelajaran yang belum tentu tepat untuk memunculkan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan;
[ 472 ] P a g e
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
5. Aktivitas asesmen cenderung pada pemberian skor/nilai kepada mahasiswa daripada memberikan tuntunan untuk membuka potensinya; dan 6. Instrumen untuk melakukan asesmen cenderung mencirikan asesmen sumatif dari pada asesmen formatif. Hal di atas dapat mengindikasikan bahwa pemahaman dosen dalam melaksanakan pembelajaran yang baik masih lemah atau dosen kurang peduli terhadap capaian pembelajaran, strategi, dan metode pembelajaran serta cara asesmen yang tepat. Ada anggapan bahwa dengan tatap muka sekali dalam satu minggu telah dilakukan pembelajaran sesuai dengan tuntutan aturan yang ada dengan ukuran pembelajaran yang baik adalah jumlah tatap muka di kelas. Di samping itu, sistem jaminan mutu pendidikan sering tidak berfungsi dengan baik, seperti sistem pendukung terkait dengan tata kelola sumber daya manusia, sarana prasarana dan lingkungan pembelajaran, sistem pelayanan, pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari hasil evaluasi. Sering yang menjadi alasan tidak berkembangnya sistem pembelajaran dengan baik adalah kurangnya pendanaan. Walaupun pendanaan merupakan bagian dari perencanaan yang krusial dalam mendirikan atau mengembangkan program studi, nilai-nilai dalam pembelajaran semestinya tetap menjadi prioritas. Di sisi lain, tidak sedikit perguruan tinggi yang telah menerapkan sistem penjaminan mutu pendidikan dengan baik, mampu mengembangkan nilai-nilai internalnya untuk memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan yang dinamis. Perguruan tinggi seperti itu dengan mudah mendapatkan pengakuan dari masyarakat lokal sekitarnya, nasional, dan bahkan internasional. Sistem pembelajaran merupakan bagian penting untuk mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Sistem pembelajaran yang baik mampu memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk membuka potensi dirinya dalam menginternalisasikan pengetahuan, keahlian, dan perilaku serta pengalaman belajar sebelumnya. Sistem pembelajaran seperti itu mampu mengembangkan elemen-elemen kompetensi yang diamanatkan oleh Kepmendiknas No. 045/2002. Dengan dikeluarkannya Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), program studi dituntut untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kualifikasi KKNI. Dengan demikian bagi Perguruan Tinggi yang masih bermasalah di dalam sistem pembelajarannya mesti segera melakukan pembenahan atau perbaikan untuk mampu menghasilkan lulusan paling tidak memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Demikian pula sistem penjaminan mutu pendidikannya mesti mampu mengendalikan proses pendidikan dengan baik merujuk pada jenjang kualifikasi KKNI. Mahasiswa dihadapkan pada masalah nyata di bidang sains dan diberi tugas untuk menyelesaikannya sebagai suatu cara pembelajaran. Dosen diharapkan dapat menerima kesalahan dalam proses pembelajaran sebagai hal yang wajar dan memotivasi untuk memperbaiki secara terus-menerus. Proses pembelajaran yang diterapkan benar-benar menyatu dengan materi pembelajaran yang diformat sesuai dengan dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif secara benar menurut empat pilar pembelajaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan di Indonesia di dalam proses dan materi P a g e [ 473 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pembelajaran dari KBK di perguruan tinggi tidak lagi berbentuk pembelajaran terpusat dosen (teacher-centered learning/TCL), tetapi diganti dengan menggunakan prinsip pembelajaran terpusat mahasiswa (student-centered learning/SCL) yang diramu untuk dapat diterapkan, serasi dengan keadaan Perguruan Tinggi di Indonesia. Qualifications Framework Concept Menganalisis kualifikasi kerangka kerja dan pengalaman perkembangan mereka di negara-negara Eropa dan negara-negara lain dunia yang berbeda-beda, hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan mereka dan konteks aplikasi. Secara umum, kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai "Deskripsi sistematis kualifikasi yang sistem pendidikan “(Adam 2003). Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka kualifikasi nasional, meskipun belum tentu bernama cara ini. Namun persyaratan tertentu yang ditetapkan untuk deskripsi kualifikasi disebabkan tingkat kualifikasi tertentu dalam kualifikasi kerangka. Menurut Irma (2010) dasar dari setiap Kerangka kualifikasi adalah deskripsi umum dari kualifikasi dan / atau gelar kualifikasi disediakan dalam tertentu wilayah atau negara menunjukkan kondisi yang diperlukan dan kesempatan untuk memperoleh kualifikasi pada tingkat lain. Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Sosial dan Pembangunan (OECD) menyajikan definisi berikut dari kerangka kualifikasi adalah “alat untuk pengembangan dan klasifikasi kualifikasi menurut seperangkat kriteria untuk tingkat pembelajaran tercapai. Ini seperangkat kriteria mungkin tersirat dalam kualifikasi deskriptor sendiri atau dibuat eksplisit dalam bentuk satu set tingkat deskriptor "(Kuriant; 2005 dalam Karseth & Solbrekke, 2010). Untuk membuat jelas perlu dicatat bahwa kualifikasi Kerangka dapat dilihat dari berbagai jenis dan dibuat di berbagai tingkat. M. Young (2005) dalam Karseth (2010) telah menjelaskan perbedaan antara yang komprehensif dan kerangka kualifikasi parsial dilihat dari ruang lingkupnya. Kerangka kualifikasi yang komprehensif dipahami sebagai kerangka kerja terpadu, termasuk kualifikasi dari semua jenis, diperoleh dengan cara formal, non-formal dan informal dan diperlukan untuk bekerja di berbagai bidang ekonomi. kualifikasi parsial kerangka meliputi kualifikasi yang merupakan ciri khas dari lingkup tertentu. Kualifikasi parsial dapat kualifikasi tersebut kerangka yang sistematis menggambarkan berikut: 1. kualifikasi yang diperoleh di sektor konkret dari sistem pendidikan dan diperlukan untuk pekerjaan di berbagai sektor ekonomi (misalnya, kerangka kualifikasi yang membatasi dirinya untuk kualifikasi disediakan dalam sistem pendidikan tinggi); 2. kualifikasi yang dari jenis tertentu yang dapat diperoleh di berbagai sektor dari sistem pendidikan dan diperlukan untuk pekerjaan di berbagai sektor ekonomi (misalnya, kualifikasi Kerangka yang hanya mencakup kualifikasi kejuruan); 3. kualifikasi berorientasi pada sektor konkret ekonomi yang dapat diperoleh di berbagai sektor dari sistem pendidikan (untuk Misalnya, kerangka kualifikasi yang sistematis menggambarkan kualifikasi khusus untuk sektor konstruksi).
[ 474 ] P a g e
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
Generic skills dan atributnya Generic skills sendiri diartikan sebagai Skills or abilities pertaining to genes, thus as mater of heredity are transferred through genes from one generation to another (Sumsion, 2007) Dengan kata lain generic skills adalah ketrampilan yang dapat dibutuhkan di tempat kerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Dari semua ketrampilan yang dimiliki oleh seseorang generic skills merupakan ketrampilan utama yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja, sebab generic skills ini merupakan portable skills yang dimiliki seseorang dan siap dimanfaatkan di tempat kerja (University of Cambridge, 2003; Smith, 2003; Gilbert, 2007). Keterampilan tersebut sebenarnya bisa dialihkan atau hanya dapat dipelajari dalam konteks mereka digunakan; keterampilan yang dipelajari secara otomatis dalam program studi dan tidak boleh disarikan dari itu; fokus pada keterampilan akan mempersempit tujuan kurikulum untuk reduksionis dan supercial hasil-hasil pada biaya belajar lebih dalam dan lebih banyak gol reflektif atau kritis (Gilbert, 2007) Menurut hasil survey ketenagakerjaan di Inggris (2003), ada empat personal transferable skills yang dipandang sangat dibutuhkan oleh pasar kerja era globalisasi. empat ketrampilan ini diinformasikan sebagai atribut yang sangat penting, di mana employers sudah merasa cukup jika tenaga kerja yang dikelolanya memiliki ketrampilan tersebut, yaitu kemampuan mendapatkan informasi, komunikasi dan presentasi, merencanakan dan problem solving, dan kemampuan bersosialisasi (Atlay, 2000). Jewish (2009) mengidentifikasi atribut penting transferable skills yang digunakan dalam dunia kerja, yaitu sebagai berikut: 1) komunikasi verbal, 2) komunikasi non-verbal, 3) menulis laporan, 4) bekerja dengan orang lain, 5) bekerja dengan teknologi dan informasi, 6) menganalisis masalah, 7) memecahkan masalah, dan 8) berorganisasi. Terkait dengan hal ini adalah Job Characteristics Model ( JCM), setiap pekerjaan dapat diuraikan sesuai dengan lima dimensi inti kerja yaitu: 1) Keragaman ketrampilan, yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan membutuhkan aktivitas yang beragam sehingga pekerja harus dapat memanfaatkan beberapa ketrampilan dan bakat yang berbeda; 2) Identitas tugas, yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan membutuhkan penyelesaian dari keseluruhan atau sebagian tugas yang dapat diidentifikasi; 3) Signifikansi tugas, yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan menyediakan dampak substansial pada kehidupan atau pekerjaan orang lain; 4) Otonomi, yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan menyediakan kebebasan substansial dan kebebasan berkreasi kepada setiap individu dalam menjadwalkan kerja dan menentukan prosedur yang akan digunakan untuk melaksanakannya. 5) Umpan balik, yaitu tingkat di mana pelaksanaan kegiatan suatu pekerjaan menuntut hasil kerja secara langsung dan informasi yang jelas tentang keefektifan pekerja (Karami, 2000). Cara Meningkatkan Generic Skills Generic skills dapat dikembangkan melalui peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan pembelajaran dan peningkatan kualitas lulusan ini dilakukan agar lulusan P a g e [ 475 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 memiliki nilai pasar yang lebih baik dari waktu ke waktu. Peningkatan ini pada gilirannya akan meningkatkan competitive advantage mereka, sehingga lebih mudah memenangkan persaingan pada dunia kerja. Berubahnya kurikulum menyebabkan isu-isu tentang proses belajar-mengajar yang dilaksanakan saat ini juga menarik perhatian. Fokus pembelajaran berbasis kompetensi telah mendorong adanya kaji ulang terkait praktek-praktek penilaian yang saat ini berlangsung. Saat ini penilaian telah bergeser ke arah penilaian personal generic skill daripada penilaian hanya dari isi akademik dari apa yang dipelajari mahasiswa (T. Watts and C. J. McNair , 2008) Teori pengembangan generic skills yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yang mengemukakan bahwa generic skills dapat dikembangkan melalui peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran dapat diartikan ke dalam peningkatan tiga tahap proses pembelajaran yaitu: (1) tahap perencanaan atau perancangan pembelajaran, (2) tahap pelaksanaan pembelajaran dan (3) tahap pengukuran. Melalui teori tersebut pengembangan generic skills mahasiswa dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pembelajaran secara terpadu, yaitu 1) keterampilan tersebut sebenarnya bisa dialihkan atau hanya bisa dipelajari dalam konteks mereka digunakan; 2) keterampilan dipelajari secara otomatis dalam program studi; 3) Fokus pada keterampilan yang dituju; 4) mahasiswa tersebut dimotivasi oleh tujuan atau kemanfaatan dari generic skills 5) mengembangkan beberapa kualitas intrapersonal dan interpersonal yang skills. Robley (2005) mempunyai alternatif dengan melakukan internalisasi nilai-nilai generic skills pada setiap program yang dilakukan pada sebuah kegiatan pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran untuk mata kuliah dapat digunakan sebagai sarana peningkatan generic skills, mahasiswa sebaiknya dimonitor dan dievaluasi dari waktu ke waktu. Hal ini bertujuan agar kualitas pembelajaran, kognisi, prestasi, generic skills mahasiswa, yang dapat diamati dan terukur dari waktu ke waktu. Adalah fakta, bahwa banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap di dunia kerja yang bisa jadi disebabkan karena kurikulum yang kurang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau dengan kata lain tidak ada link and match antara sistem pendidikan nasional dengan sistem ketenagakerjaan, atau karena kurikulum pendidikan yang kurang mampu menghasilkan lulusan mandiri dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu wajar jika posisi IPM negara Indonesia berada pada medium human development, karena dari satu indikator yaitu standar hidup yang dilihat dari pendapatan per kapita sudah tereduksi oleh pengangguran yang ada. Upaya peningkatan generic skills telah banyak dilakukan, yang semua itu bertujuan agar lulusan perguruan tinggi memiliki kemampuan memahami dan berorientasi pada orang lain, kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan dan mengatur informasi baru, kemampuan berpikir yang memungkinkan orang-orang untuk memproses ide, serta kemampuan seseorang yang terkait dengan kemampuan mengambil tindakan dan keputusan. apabila kemampuan ini telah melekat pada semua lulusan PT, maka berkurangnya pengangguran dan kejahatan bukanlah suatu [ 476 ] P a g e
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
keniscayaan. Mencermati hal tersebut, maka tidaklah mengherankan jika saat ini banyak program studi, tidak terkecuali pendidikan ekonomi, menetapkan nilai plus mahasiswa dalam usahanya mempersiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh pengguna. Namun pada kenyataannya banyak program studi yang belum mendesain pembelajaran yang mampu menginternalisasi nilai-nilai ini. dalam pembelajaran, seringkali lebih banyak menekankan pada aspek kognitif. Padahal, agar seseorang berperilaku baik, maka diperlukan pengetahuan, keterampilan, sifat, motivasi, dan peran sosial yang pada akhirnya muncul dalam bentuk perilaku. Dengan demikian ketika program studi menetapkan internalisasi generic skills ini, maka yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak mungkin perguruan tinggi mengharapkan semua mahasiswa dan lulusannya disiapkan menjadi pribadi-pribadi yang handal, yang mampu bersaing pada era modern ini. Jadi, pendidikan di Perguruan Tinggi bukan berarti pendidikan sekedar transfer of knowledge tapi sudah berkembang pada transfer of value. Untuk mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan ekonomi maka strategi yang dapat dilakukan adalah: Penetapan profil lulusan. Profil lulusan merupakan luaran pendidikan yang akan dihasilkan. Ketika menetapkan profil lulusan, program studi telah mempertimbangkan kebijakan universitas dan program studi yang antara lain tercermin dalam visi dan misi. Dalam profil lulusan sudah terkandung nilai-nilai dan keyakinan yang dikembangkan universitas dan program studi. Dari sini dapat diketahui bagaimana komitmen perguruan tinggi terhadap proses internalisasi nilai generic skills yang akan diberikan kepada mahasiswa. Penetapan kompetensi lulusan Program studi menetapkan kompetensi apa saja yang harus dimiliki lulusannya, sekaligus menetapkan kompetensi apa saja yang harus mampu dilakukan oleh lulusan serta dimilikinya generic skills misalnya memanfaatkan dan mengatur informasi baru, kemampuan berpikir yang memungkinkan orang-orang untuk memproses ide, serta kemampuan seseorang yang terkait dengan kemampuan mengambil tindakan dan keputusan, dan kemampuan lainnya sesuai dengan kondisi program studi. Jika kompetensi yang bersifat umum ditetapkan bersama oleh asosiasi program studi sejenis, maka kompetensi ini dapat menjadi kompetensi sebagai penciri program studi. Penetapan kompetensi lulusan/capaian pembelajaran Setelah menetapkan profil lulusan sebagai outcome program studi, maka langkah selanjutnya adalah menentukan kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh lulusan program studi sebagai output pembelajarannya. Untuk menetapkan kompetensi lulusan, dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: “Untuk menjadi profil ……. lulusan harus mampu melakukan apa saja?” Pertanyaan ini diulang untuk setiap profil, sehingga diperoleh daftar kompetensi lulusan yang lengkap. Kompetensi lulusan ini minimal harus mengandung 4 unsur deskripsi KKNI, yakni: 1. Deskripsi umum, sebagai ciri lulusan pendidikan di Indonesia; P a g e [ 477 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 2. Rumusan kemampuan di bidang kerja; 3. Rumusan lingkup keilmuan yang harus dikuasai; dan 4. Rumusan hak dan kewenangan manajerialnya Pengkajian Kandungan Elemen Kompetensi Pada tahap ini dilakukan pengkajian terhadap rumusan kompetensi lulusan yang telah terumuskan, dengan lima elemen kompetensi yang terdapat pada SK Mendiknas 045/U/2002, yaitu (a) landasan kepribadian; (b) penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan olah raga; (c) kemampuan berkarya; (d) sikap dan perilaku dalam berkarya; serta (e) kaidah pemahaman berkehidupan bermasyarakat. Setiap kompetensi yang dirumuskan dianalisis untuk melihat adanya kandungan elemen kompetensi tersebut di atas. Ada kemungkinan sebuah kompetensi mengandung lebih dari satu elemen kompetensi. Analisis adanya kandungan elemen kompetensi dilakukan dengan cara mengecek kemungkinan strategi pembelajaran untuk dapat mencapai kompetensi tersebut. Jika suatu kompetensi dapat dicapai dengan diselipkan ke dalam bentuk kurikulum terselubung, tidak diajarkan dalam sebagai topik bahasan, maka kompetensi tersebut dapat dinyatakan bermuatan elemen (a) landasan kepribadian yang lebih bersifat soft skills. Penentuan bahan kajian atau materi ajar Setelah menganalisis elemen kompetensi, langkah selanjutnya adalah menentukan bahan kajian yang akan harus dikuasai untuk mencapai kompetensi lulusan yang telah ditetapkan. Bahan kajian adalah suatu bangunan ilmu, teknologi, ataupun seni yang menunjukkan ciri dari rumpun atau cabang ilmu tertentu, atau bidang kajian yang merupakan inti keilmuan suatu program studi. Bahan kajian dapat pula merupakan pengetahuan/bidang kajian yang akan dikembangkan yang dibutuhkan bagi masyarakat atau pemangku kepentingan pada masa yang akan datang. Pilihan bahan kajian itu sangat dipengaruhi oleh visi keilmuan program studi yang bersangkutan, yang biasanya dapat diambil dari program pengembangan program studi (misalnya, diambil dari pohon penelitian program studi). Tingkat keluasan, kedalaman, dan kerincian bahan kajian merupakan hak otonom masyarakat akademik di program studi tersebut. Agar lulusan menguasai kompetensi yang ditetapkan maka kajian apa saja yang perlu dikuasai. Bahan kajian terkait dengan kompetensi yang akan dikembangkan yang dibutuhkan masyarakat dan pemangku kepentingan. Program studi dapat menentukan bahan kajian yang mendukung kompetensi yang diharapkan dapat dicapai bagi mahasiswa. Pembentukan Mata Kuliah/Kegiatan Berdasarkan bahan kajian kemudian dibentuk matakuliah dan atau kegiatan yang terprogram dan terintegrasi. Perlu diingat bahwa generic skills secara utuh tidak dapat dibentuk dalam satu atau beberapa matakuliah secara terpisah. Dengan demikian pembentukan mata kuliah dan kegiatan dapat dijabarkan dalam tahapan misalnya tahap pengenalan.
[ 478 ] P a g e
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
Pembentukan Program dengan mengintegrasikan nilai generic skills Setelah penentuan profil lulusan sampai dengan pembentukan mata kuliah dan kegiatan, selanjutnya program studi sebaiknya menata secara terstruktur pelaksanaan program pendidikan yang mengintegrasikan nilai generic skills dalam kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Di sini bentuk dari program akan menunjukkan nama kegiatan, tujuan kegiatan, pelaksana kegiatan, indikator ketercapaian, sarana prasarana yang diperlukan. Dengan melaksanakan program yang terjadwal dengan baik sejak mahasiswa pertama kali masuk kampus sampai mereka lulus maka secara tidak langsung akan membentuk iklim kewirausahaan di lingkungan kampus. Walaupun sangat dimungkinkan bahwa sarana prasarana menjadi kendala pelaksanaan, namun dengan berbekal komitmen yang tinggi maka kendala akan menjadi tantangan yang jika didekati dengan perilaku yang mengintegrasikan nilai generic skills dalam kegiatan pembelajaran maka akan menghasilkan prestasi yang luar biasa. SIMPULAN Nilai generic skills sangat diperlukan dalam bidang pekerjaan apapun, termasuk guru. Pengintegrasian nilai ini dapat dikembangkan melalui pengalaman belajar secara berkelanjutan dan terprogram sejak mahasiswa baru masuk perguruan tinggi sampai mereka lulus. Proses yang panjang tersebut dapat dilakukan melalui mata kuliah dalam aktual kurikulum, dalam hidden curriculum, kegiatan pengenalan, pelatihan, penguatan, pengembangan dan praktik. Agar dapat melaksanakannya maka perlu ada komitmen dari institusi, ada pernyataan yang jelas nilai-nilai dan keyakinan apa yang dikembangkan, ada kegiatan yang dilakukan agar dapat memfasilitasi kebutuhan mahasiswa yang bervariasi. DAFTAR PUSTAKA Anne Daly, Lynne Leveson, Peter Dixon. (2011). Separate or Integrate? The contribution of the Workshop Model to Effectively Embedding Generic Skills, Asian Social Science Vol. 7, No. 4; April 2011, Published by Canadian Center of Science and Education. Atlay, M. & Harris, R. (2000). An Institutional Approach To Developing Students' 'Transferable' Skills, Innovations in Education and Training International, 37(1), 76-84. Dikti. 2012. Panduan Pengembangan dan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi (KPT) Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Berbasis Capaian. Jakarta: Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran Dan Kemahasiswaan. Irma Spudyte, Saulius Vengris, Mindaugas Misiunas, 2010, QUALIFACATIONS OF HIGHER EDUCATION IN THE NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK, 2010 Jewish C. 2009. Functional Transferable Skills, Manitoba: Child and Family Service.
P a g e [ 479 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Karami, Azhdar;Analoui, Farhad; Cusworth, John (2004). Strategic Human Resource Management and Resource-based Approach: The Evidence From the British Manufacturing, Management Research News; 2004; 27, 6 Karseth, B. & Solbrekke, T.D. (2010) Qualifications Frameworks: The Avenue Towards The Convergence of European Higher Education?, European Journal of Education, Vol. 45, No. 4, 2010 Rob Gilbert, Jo Balatti, Phil Turner and Hilary Whitehouse, 2004, The Generic Skills Debate In Research Higher Degrees, Higher Education Research & Development Vol. 23, No. 3, August 2004 Robley, W., Whittle, S. & Murdoch-Eaton, D. (2005). Mapping Generic Skills Curricula: A Recommended Methodology, Journal of Further and Higher Education Vol. 29, No. 3, August 2005, pp. 221–231 Salladien. 1996. Pendidikan Berorientasi pada Profesi Merupakan Upaya Menghadirkan Tenaga Kerja yang Profesional di Era Tinggal Landas yang Penuh Dinamika. Makalah yang Disampaikan pada Acara Wisuda Program Diploma. IKIP Malang Satoshi Sugahara, Perceived Importance of CPA’s Generic Skills: A Japanese Study, Asian Journal of Finance & Accounting ISSN 1946-052X 2010, Vol. 2, No. 1: E1 Smith, Rosita. 2003. Transferable Skills. On http://www.placement-mannual.online T. Watts and C. J. McNair, Trigger Points: Enhancing generic skills in accounting Education through changes to teaching practices, The Australasian Accounting Business & Finance Journal, June, 2008. Vol. 2, No.2. Page 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2013. http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf, diunduh tanggal 10 Januari 2015 jam 20.05 UNDP. 2014. Human Development Report 2014. Http://hdr.undp.org/en. Diunduh pada tanggal 13 April 2015, jam 20.55. University of Cambridge. 2003. Transferable Skills. On http://www.webmaster@ phil.cam.ac.uk
[ 480 ] P a g e
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
PERANAN KURIKULUM DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI LULUSAN AKUNTANSI DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN W. Diana Puspita N.
Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Kebijakan pemerintah membuka program Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Warga Negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN bebas menjadi tenaga kerja di negara-negara yang menjadi anggota ASEAN. Pendidikan menghadapi tantangan yang signifikan. Tantangan tersebut berhubungan dengan bagaimana menghasilkan lulusan akuntansi yang memiliki kompetensi sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh orang-orang yang mempekerjakan mereka (Frederickson, 1995). Oleh sebab itu, kompetensi lulusan warga Negara Indonesia menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan para penyelenggara pendidikan khususnya bidang akuntansi. Di bawah pengaruh globalisasi dan ekspansi teknologi yang sedang berjalan, banyak sarjana percaya bahwa ada perbedaan yang jelas antara penyedia pendidikan akuntansi (guru dan siswa) dan demanders (akuntansi perusahaan yaitu perusahaan bisnis) (Cheng, 2007). Dalam kenyataan di lapangan telah terjadi perbedaan harapan antara penyedia pendidikan akuntansi dan demanders pendidikan yaitu perusahaan. Penyedia akuntansi mempersiapkan alumni agar memiliki kompetensi yang diharapkan demanders, namun kenyataannya tidak sesuai dengan harapan demanders. Langkah yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan akuntansi adalah dengan mendesain kurikulum yang sesuai dengan harapan perusahaan. Kata kunci: desain kurikulum, kompetensi mahasiswa akuntansi, masyarakat ekonomi ASEAN
PENDAHULUAN Pendidikan akuntansi menghadapi tantangan yang signifikan. Tantangan tersebut berhubungan dengan bagaimana menghasilkan lulusan akuntansi yang memiliki kompetensi sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh orang-orang yang mempekerjakan mereka (Frederickson, 1995). Setiap lulusan mendambakan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, tidak terkecuali mahasiswa akuntansi. Kompetensi lulusan mahasiswa merupakan modal utama bagi mahasiswa dalam memperoleh pekerjaan sesuai dengan program studi yang ditempuh pada masa studi program sarjana. Kompetensi lulusan menjadi pertimbangan di kalangan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja melalui seleksi. Kurikulum penyedia pendidikan akuntansi mempengaruhi kompetensi mahasiswa sehingga kurikulum merupakan faktor utama penentu kompetensi lulusan mahasiswa akuntansi. Kompetensi lulusan juga berpengaruh pada kualitas alumni. Semakin tinggi kompetensi yang dimiliki oleh alumni semakin bagus kualitas pada alumni tersebut. Selain itu semakin tinggi kompetensi alumni maka akan meningkatkan kualitas P a g e [ 481 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 universitas tempat alumni menempuh pendidikan. Menurut Faturrahman (2012) kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Dari data tersebut jelas bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah dengan Negara-negara di benua Asia. Indonesia tertinggal karena sumber daya manusia yang tidak kompeten. Menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN, pendidikan tinggi di Indonesia mendapat tantangan dalam menghasilkan lulusan yang kompeten. Alumni pendidikan tinggi khususnya mahasiswa akuntansi akan bersaing dengan masyarakat luar negeri yang datang ke Indonesia untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga persaingan tidak hanya terjadi antar alumni pendidikan tinggi tetapi persaingan juga terjadi dengan masyarakat luar negeri. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengungkap bagaimana peran kurikulum dalam peningkatan kompetensi lulusan akuntansi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. PEMBAHASAN Di bawah pengaruh globalisasi dan ekspansi tehnologi yang sedang berjalan, banyak sarjana percaya bahwa ada perbedaan yang jelas antara penyedia pendidikan akuntansi (guru dan siswa) dan demander pendidikan (akuntansi perusahaan yaitu perusahaan bisnis).(Cheng, 2007). Hal ini merupakan tantangan bagi pihak penyedia pendidikan akuntansi agar meningkatkan kompetensi lulusan. Peningkatan kompetensi lulusan akan berpengaruh pada kepercayaan perusahaan untuk menerima alumni mahasiswa akuntansi. Hasil penelitian Frederickson (1995) menunjukkan bahwa pendidik akuntansi harus mendidik siswa, tidak melatih siswa, karena perusahaan menuntut bahwa lulusan memiliki kompetensi yang “lebih luas”. Lebih luas dalam hal ini adalah menyangkut tentang pemahaman materi dan penyesuaian dengan dunia kerja atau professional. Menurut Watty, Kim (2005) bahwa akuntan akademisi memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang atribut kualitas dalam pendidikan akuntansi saat ini digambarkan (keyakinan) di sekolah mereka / departemen dan apa yang mereka anggap seharusnya menjadi atribut kualitas dalam pendidikan akuntansi (sikap). Berdasarkan penelitian ini, pandangan keseluruhan dalam pendidikan akuntansi yaitu keyakinan dan sikap. Penelitian ini mengidentifikasi keyakinan dan sikap responden tentang pandangan keseluruhan kualitas dalam pendidikan akuntansi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang atribut kualitas dalam pendidikan akuntansi (sikap dan keyakinan) antara penyedia pendidikan akuntansi dan akuntan akademisi. Perbedaan pandangan dari beberapa penelitian di atas merupakan bukti bahwa output yang dihasilkan penyedia pendidikan akuntansi tidak sama dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan. Upaya yang dilakukan oleh penyedia pendidikan akuntansi adalah bagaimana membangun mahasiswa akuntansi yang kompeten dan dapat bersaing [ 482 ] P a g e
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
dengan mahasiswa luar negeri. Membangun mahasiswa yang memiliki kompetensi lulusan yang baik salah satunya adalah dengan desain kurikulum pada universitas. Kurikulum merupakan faktor utama yang menentukan kompetensi mahasiswa. Menurut Alber Shack (dalam Kai Wen, Cheng, 2007) ada banyak masalah dalam pendidikan akuntansi saat ini, dan masalah utama terletak pada desain kurikulum. Mereka menunjukkan bahwa tidak cukup untuk mengubah kurikulum hanya dengan menambahkan lebih banyak PR atau beberapa mata kuliah “baru” sebaliknya kurikulum memerlukan reformasi drastis. Penelitian yang dilakukan oleh Kai-When, Cheng (2007) tentang desain kurikulum dalam pandangan penyedia akuntansi pendidikan dengan memberikan kuesioner pada penyedia akuntansi pendidikan untuk mengeksplorasi arah masa depan “desain kurikulum” pada akuntansi pendidikan di tingkat universitas untuk memperoleh saran tentang cara mengurangi kesenjangan harapan antara bisnis dan praktisi akademis di bidang ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas harapan antara penyedia pendidikan akuntansi (guru dan siswa) dengan demander pendidikan (akuntansi perusahaan dan perusahaan bisnis). Penelitian yang dilakukan oleh Kai-When, Cheng (2007) menghasilkan 5 arahan yang dapat digunakan universitas untuk meningkatkan akuntansi pendidikan yaitu: Pertama, mata kuliah dasar akuntansi, akuntansi menengah, akuntansi lanjutan, akuntansi biaya, akuntansi manajemen dan audit harus diintegrasikan. Hal ini menjelaskan bahwa keenam mata kuliah yaitu dasar akuntansi, akuntansi menengah, akuntansi lanjutan, akuntansi biaya, akuntansi manajemen dan audit harus dihubungkan dalam program praktek pendidikan professional. Dalam hal ini mata kuliah dasar akuntansi merupakan mata kuliah yang menjadi prasyarat untuk mengambil mata kuliah berikutnya. Oleh sebab itu pada mata kuliah dasar akuntansi, mahasiswa akuntansi benar-benar menguasainya. Pengintegrasian keseluruhan mata kuliah akuntansi dapat dilakukan dengan program kursus praktek pendidikan professional bidang akuntansi dengan memberikan sertifikat bagi mahasiswa yang dinyatakan lulus dalam program tersebut. Kedua, beberapa program studi seperti bahasa Inggris, percakapan bahasa Inggris, keterampilan dan kemampuan komunikasi bisnis, e-commerce, manajemen biaya strategis, dan perencanaan sumber daya perusahaan, harus dilengkapi. Mahasiswa harus menguasai bahasa Inggris karena merupakan bahasa Internasional. Kemampuan bahasa Inggris dapat diperoleh mahasiswa melalui kegiatan kursus pendidikan profesional bahasa Inggris dengan memberikan sertifikat bagi mahasiswa yang menguasai bahasa Inggris. Ketiga, mahasiswa harus dibagi ke dalam pekerjaan dan kelompok studi lanjutan sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini menjelaskan bahwa mahasiswa dikelompokkan dalam studi lanjutan sesuai dengan minat mahasiswa. Dalam hal ini mahasiswa diminta untuk memilih konsentrasi bidang studi agar dapat menguasai ilmu akuntansi dengan lebih mendalam. Penguasaan pada satu bidang akuntansi dapat
P a g e [ 483 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 meningkatkan kompetensi lulusan akuntansi karena para lulusan akuntansi akan memperdalam satu bidang akuntansi yang akan menjadi keahliannya. Keempat, pendekatan studi kasus harus lebih ditekankan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini pemberian kursus dengan kegiatan praktek yang mengarah pada dunia kerja sebenarnya harus lebih ditingkatkan oleh penyedia pendidikan akuntansi. Hal ini dikarenakan teori yang berkembang pada dunia bisnis semakin pesat, Oleh sebab itu pemahaman mahasiswa tentang dunia kerja bidang akuntansi harus disempurnakan dengan memberikan lebih banyak studi kasus lapangan. Kelima, kurikulum sekolah harus lebih fleksibel terhadap perkembangan dunia bisnis. Hal ini menjelaskan bahwa sebuah system kurikulum sekolah harus menyesuaikan dengan kondisi lapangan atau dunia kerja. Dalam hal ini kurikulum harus lebih fleksibel dalam menerima fakta di lapangan sehingga kurikulum dapat menyesuaikan kondisi nyata dunia usaha. Selanjutnya menurut Ma, Ma & Ko (Kermis, George, 2010) dibandingkan dengan lingkungan pendidikan, kursus bisnis harus lebih menekankan pada pengetahuan keuangan, hukum dagang, pengetahuan pajak, matematika dan statistic, kemampuan kerjasama tim, etika bisnis, dan kemampuan ekspansi bisnis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kursus bisnis merupakan penerapan dari teori yang diperoleh pada saat menempuh pendidikan seperti teori hukum dagang, pajak, matematika dan statistik, kerjasama tim, etika bisnis dan kemampuan ekspansi bisnis. Dari penerapan teori tersebut diharapkan lulusan akuntansi mampu menjalankan bisnis. Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa kurikulum sangat penting untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dalam bidang akuntansi. Desain kurikulum dirancang oleh penyedia akuntansi pendidikan dengan memahami pandangan dari para praktisi bisnis, sehingga harapan antara penyedia pendidikan akuntansi dan perusahaan memiliki kesamaan. Pemahaman pada mata kuliah dasar-dasar akuntansi, akuntansi keuangan, akuntansi keuangan lanjutan, akuntansi manajemen dan audit harus ditingkatkan dengan mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti pendidikan professional yang diprogramkan oleh universitas. Perencanaan kurikulum menjadi isu yang sangat penting bagi penyedia pendidikan akuntansi. Kurikulum tradisional hanya fokus pada pengembangan akuntan yang baik tanpa memperhatikan kemampuan dari alumni. Peran pendidik dalam menghasilkan lulusan yang kompeten sangat penting dari sebelumnya. Hal ini dikarenakan perubahan lingkungan bisnis yang sangat pesat, sehingga masing-masing universitas harus mempersiapkan mahasiswa agar memenuhi persyaratan memasuki persaingan dunia kerja. Selain pengembangan kurikulum, universitas memperhatikan kriteria calon mahasiswa yang akan diterima. Universitas harus memperketat perekrutan mahasiswa dan persyaratan kelulusan bagi mahasiswa untuk menjamin kualitas lulusan. Kualitas lulusan menjadi kompeten apabila universitas mampu membentuk mahasiswa menjadi
[ 484 ] P a g e
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
manusia yang cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan Permendikbud No. 73 tahun 2013 tentang penerapan kerangka kualifikasi nasional Indonesia bidang pendidikan tinggi, kurikulum yang berlaku pada pendidikan tinggi adalah kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) merupakan kerangka perpanjangan kualifikasi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan capaian pembelajaran dari jalur pendidikan nonformal, pendidikan informal, dan/atau pengalaman kerja ke dalam jenis dan jenjang pendidikan tinggi”. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia bertujuan untuk menyelaraskan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Penyedia pendidikan akuntansi melaksanakan kurikulum berbasis KKNI dengan harapan bahwa mahasiswa akuntansi memperoleh pengalaman kerja yang dapat dijadikan bekal setelah lulus dari program sarjana. Pengalaman kerja pada saat menempuh pendidikan dilakukan dengan magang pada perusahaan. Dengan kegiatan magang tersebut diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi yang sesuai dengan harapan perusahaan. Menurut Kermis, George; Kermis, Marguerite (2010) tugas akuntan pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk menjadi kompetitif di masa depan. Tujuan dari kegiatan magang tersebut adalah agar lulusan akuntansi dapat bersaing baik dengan sesama lulusan dalam negeri maupun masyarakat internasional. Pengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan memperkuat kompetensi mahasiswa akuntansi pada mata kuliah dasar-dasar akuntansi, akuntansi keuangan menengah, akuntansi keuangan lanjutan, akuntansi biaya, akuntansi manajemen dan audit. Dasar-dasar akuntansi merupakan fondasi pada mata kuliah semester berikutnya sehingga pada mata kuliah ini mahasiswa harus benar-benar memahami tentang konsep dasar-dasar akuntansi. Mata kuliah akuntansi keuangan menengah merupakan mata kuliah yang membahas tentang konsep dan prinsip laporan keuangan suatu perusahaan serta perlakuannya dalam akuntansi. Dalam mata kuliah ini mahasiswa diharapkan dapat menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi. Selanjutnya mata kuliah akuntansi keuangan lanjutan, mata kuliah ini membahas berbagai aspek akuntansi keuangan untuk situasi yang bersifat khusus yang terjadi pada suatu entitas bisnis. Pemberian mata kuliah akuntansi keuangan lanjutan pada mahasiswa bertujuan untuk memberikan kerangka dasar bagi mahasiswa yang ingin berkarir sebagai praktisi akuntansi keuangan maupun akademisi dalam mengembangkan ilmu akuntansi keuangan. Mata kuliah akuntansi biaya merupakan bidang akuntansi yang membahas tentang biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa. Mata kuliah akuntansi manajemen adalah sistem akuntansi yang berkaitan dengan ketentuan dan penggunaan informasi akuntansi untuk manajemen dalam suatu perusahaan. Mata kuliah ini bertujuan untuk memberikan dasar kepada mahasiswa untuk memahami pembuatan keputusan bisnis pada saat berkarir. P a g e [ 485 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Mata kuliah audit merupakan mata kuliah yang memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pemeriksaan laporan keuangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, keenam mata kuliah di atas merupakan mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa akuntansi agar mereka memiliki kompetensi dalam bidang akuntansi. Oleh karena itu, agar keenam mata kuliah tersebut dapat dipahami secara keseluruhan oleh mahasiswa maka perlu ditambah dengan program kursus dari penyedia pendidikan akuntansi. Program kursus yang diberikan oleh penyedia pendidikan akuntansi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dengan lebih banyak praktek pendidikan professional bidang akuntansi. Pemberian program kursus diharapkan dapat memenuhi harapan dari perusahaan. Mahasiswa lebih ditekankan pada konsep pekerjaan dan studi lanjutan sesuai dengan kepentingan mereka agar mereka dapat memutuskan perencanaan karir. Dalam memenuhi harapan perusahaan, universitas menggunakan pendekatan studi kasus agar mahasiswa memahami kondisi dunia kerja yang sesungguhnya. Fleksibilitas program universitas diusulkan agar mahasiswa dapat memutuskan berapa lama mereka akan menempuh program studi sarjana. Kebijakan pemerintah dengan membuka pasar bebas tenaga kerja antar Negara ASEAN yang terprogram dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 berdampak pada warga negara Indonesia secara keseluruhan karena mereka akan menghadapi pasar bebas tenaga kerja antar wilayah ASEAN. Pembukaan pasar bebas bagi tenaga kerja berdampak pada penyerapan tenaga kerja, karena selain bersaing dengan masyarakat Indonesia, tenaga kerja Indonesia juga akan bersaing dengan masyarakat dari Negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN. Oleh karena itu kompetensi lulusan sangat berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Agar dapat berkompetisi dengan warga Negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN, masyarakat Indonesia harus menunjukkan karakter bangsa Indonesia. Menurut Muslich (2014) karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumberdaya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Keunggulan yang dimiliki bangsa Indonesia adalah karakter yang mencerminkan Pancasila. Menurut Endraswara (2013) sekolah adalah ruang untuk membentuk budi pekerti bangsa. Budi pekerti dibangun atas dasar watak (karakter). Budi pekerti merupakan upaya pengendalian diri, agar menjadi insan masa depan.. Pendidikan nilai moral (karakter) adalah penanaman dan pengembangan nilainilai dalam diri peserta didik yang tidak harus merupakan satu program atau pelajaran secara khusus (Maksudin, 2013). Hal ini menjelaskan bahwa setiap mata kuliah atau mata pelajaran harus mencantumkan pendidikan karakter dengan tujuan agar aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dapat tercapai. Menurut Mu’in (2011) yang merupakan pendidikan karakter di antaranya adalah sikap demokrasi, pendidikan multikultural, budaya baca tulis (literer) dan pendidikan antikorupsi. Indonesia adalah Negara yang mencerminkan sikap demokrasi. Sikap demokrasi adalah sikap yang menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan mendorong manusia [ 486 ] P a g e
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
untuk menyalurkan aspirasi dan memahami makna kesetaraan di antara sesama manusia. Dengan bersikap demokrasi masyarakat ekonomi ASEAN akan menghargai kita sebagai bangsa yang memiliki sopan santun dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memacu kesadaran akan perbedaan yang membuat bangsa plural bisa bertahan (Mu’in, 2011). Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, ras dan agama. Oleh karena itu sikap multikultural merupakan modal dalam mempersatukan bangsa sehingga tidak mudah digoyahkan oleh bangsa lain pada saat Indonesia menghadapi pasar bebas tenaga kerja dalam program masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Budaya membaca dan menulis (literer) akan memberikan tambahan pengetahuan. Kondisi riil di Indonesia, budaya membaca dan menulis di kalangan generasi muda sangat rendah. Oleh sebab itu membudayakan membaca dan menulis merupakan konsep yang harus diterapkan dalam kurikulum. Selain menambah pengetahuan, budaya membaca dan menulis dapat memperkaya kosakata yang dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi. Dengan membudayakan membaca dan menulis, masyarakat Indonesia dapat memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai modal untuk memperkuat kompetensi. Korupsi merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Korupsi adalah tindakan yang tidak jujur dan merugikan negara, sehingga dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik. Sedangkan profesi akuntan harus menekankan pada kejujuran. Dengan mendidik mahasiswa melalui pendidikan antikorupsi diharapkan lulusan memiliki sikap jujur yang menjadi modal dalam bersaing dengan masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. SIMPULAN Pertama, perencanaan kurikulum menjadi isu yang sangat penting dan diperlukan oleh universitas untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dalam menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kedua, agar menghasilkan lulusan akuntansi yang kompeten, kurikulum pendidikan akuntansi perlu menambah kursus atau kegiatan di luar kurikulum (SKS) misalnya (1) pelaksanaan program pendidikan professional pada enam mata kuliah yaitu dasar-dasar akuntansi, akuntansi keuangan mencegah, akuntansi keuangan lanjutan, akuntansi biaya, manajemen keuangan dan audit harus diintegrasikan dengan baik. (2) Senior memberikan kursus kepada juniornya dalam kelompok himpunan mahasiswa akuntansi, (3) Meminta kalangan bisnis memberikan kuliah. Hal ini dimaksudkan agar membuat mahasiswa lebih sadar akan masalah yang mungkin mereka hadapi dalam bisnis dan memungkinkan mereka menerapkan teori pada urusan praktis. Ketiga, melengkapi program di antaranya kemampuan bahasa Inggris (bisnis dan percakapan bahasa Inggris), kemampuan komunikasi dan kemampuan; mengelola keterampilan (manajemen biaya strategis, manajemen informasi, perencanaan sumber
P a g e [ 487 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 daya perusahaan, sistem informasi keuangan, dan bisnis perangkat lunak aplikasi); serta pengetahuan hukum (undang-undang pajak). Keempat, menghapus program yang tidak relevan dengan perkembangan dunia bisnis dan teknologi. Misalnya keuangan publik, ekonomi mikro, ekonomi makro, perdagangan internasional dan valuta asing. Hal ini dikarenakan program keuangan public, ekonomi mikro, ekonomi makro, perdagangan internasional dan valuta asing berfokus pada teori dengan demikian sangat tidak berguna dalam bisnis praktis yang berhubungan dengan bidang akuntansi. Kelima, mahasiswa melaksanakan program magang pada perusahaan sehingga memiliki pengalaman bekerja dan studi lanjutan, sehingga mereka dapat membuat persiapan yang tepat untuk pemilihan karir mereka. Pemberian studi kasus menjadi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang dunia bisnis yang sebenarnya. Keenam, memperketat perekrutan mahasiswa dan persyaratan kelulusan bagi mahasiswa sehingga memungkinkan mahasiswa memutuskan berapa lama mereka akan menempuh studi didasarkan pada kemampuan individu mahasiswa. Selain itu pihak universitas dapat memfasilitasi perencanaan karir bagi alumni. Hal ini berpengaruh pada kualitas penyedia pendidikan akuntansi. Dengan memfasilitasi karir bagi alumni maka dapat menimbulkan kepercayaan pada masyarakat akan kualitas penyedia pendidikan akuntansi. Penyedia pendidikan akuntansi yang berkualitas akan mudah merekrut siswasiswi yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi sehingga memudahkan pada proses pendidikan pada universitas. Selain kompetensi hard skill di atas kurikulum harus menekankan pada soft skill yaitu sikap yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia di antaranya sikap demokrasi, pemahaman tentang multikultural, membudayakan baca tulis (literer) dan menanamkan jiwa anti korupsi. Hal itu dikarenakan Indonesia akan menghadapi pasar bebas tenaga kerja sehingga dengan sikap demokrasi, memahami multikultural, membudayakan baca tulis (literer) dan jiwa anti korupsi dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Endraswara, S. (2013). Pendidikan Karakter Dalam Folklor. Yogyakarta: Pustaka Rumah Suluh. Faturrahman, I. K. (2012). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka. Frederickson, J. R., & Pratt, J. (1995). A Model of Accounting Education. Issues in Accounting Education, 229. Kai Wen, C. (2007). The Curriculum Design in Universities from the Perspective of Providers in Accounting. Education, 581-590. Kermis, G. M. (2010). Professional Presence and Soft Skill: A Role for Accounting Education. Education, 1-10. Maksudin. (2013). Pendidikan Karakter Non-Dikotomik. Yogyakarta: Pustaka Belajar. [ 488 ] P a g e
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
Mu'in, F. (2011). Pendidikan Karakter. Jogjakarta: AR-Ruzz Media. Muslich, M. (2014). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2013 Tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi Watty, K. (2005). Quality in Accounting Education: What Say The Academics. Quality Assurance in Education, 120-131.
P a g e [ 489 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN PUBLIKASI ILMIAH BERBASIS PERMENEG PAN DAN RB NO. 16 TAHUN 2009 PADA GURU IPS KOTA SEMARANG Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso IKIP Veteran Semarang
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan mengembangkan model pelatihan publikasi ilmiah guru IPS SMP Kota Semarang. Pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah berbasis Permeneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009 dilaksanakan dalam 3 tahap, yaitu tahap pendahuluan, pengembangan model dan tahap evaluasi. Tahap pendahuluan merupakan kegiatan pengumpulan data, menggunakan natural setting dengan teknik pengumpulan data In-depth Interview, observasi, dokumentasi dan angket. Analisis deskriptif untuk menemukan model faktual. Tahap pengembangan, dengan menganalisis model factual untuk merencanakan pengembangan model pelatihan yang ideal dengan expert judgment. Tahap evaluasi digunakan untuk menguji kelayakan implementasi pengembangan model hipotetik menjadi model final melalui Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan publikasi ilmiah dilaksanakan berbasis kebijakan dan ketersediaan anggaran pemerintah. Sebanyak 51,85% responden belum pernah mengikuti pelatihan publikasi ilmiah. Kebutuhan guru IPS adalah kesempatan untuk mengikuti pelatihan, kepakaran nara sumber, dukungan dana dan fasilitas dari pemangku kepentingan, dan pendampingan secara berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga dibutuhkan pola kerja sama berbentuk lembaga kemitraan. Kata kunci: model pelatihan, publikasi ilmiah
PENDAHULUAN Pasal 1 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2008 Tentang Guru, menjelaskan bahwa “Guru wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi Guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, profesionalisasi guru merupakan suatu keharusan, terlebih lagi jika melihat kondisi objektif saat ini dalam pelaksanaan pendidikan, di antaranya: (1) perkembangan Iptek, (2) persaingan global bagi lulusan pendidikan, (3) otonomi daerah, dan (4) implementasi Kurikulum2013, (4) tuntutan masyarakat akan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian yang menjadi ciri kehidupan masyarakat modern. [ 490 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
Guru sebagai tenaga profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan 2025, menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Guru Profesional tidak cukup hanya berkonsentrasi pada tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik seperti tersebut pada Undang-Undang Guru dan Dosen, tetapi harus melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Peraturan Menteri Negara Pedayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permennegpan dan RB) Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, menyebutkan PKB merupakan salah satu komponen pada unsur utama yang diberikan angka kredit selain (a) pendidikan; (b) pembelajaran/bimbingan dan (c) penunjang. Ada 3 (tiga) unsur kegiatan dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan, yaitu: Pengembangan Diri, meliputi: (a) mengikuti diklat fungsional; (b) melaksanakan kegiatan kolektif guru. Publikasi Ilmiah, meliputi: (a) membuat publikasi ilmiah hasil penelitian; dan (b) membuat publikasi buku. Karya Inovatif, meliputi: (a) menemukan teknologi tepat guna, (b) menemukan/menciptakan karya seni; (c) membuat/memodifikasi alat pelajaran; (d) mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya. Definisi tugas utama guru tidak menyebutkan adanya tugas penelitian dan pembuatan karya ilmiah. Ini menunjukkan bahwa dari awal guru tidak dipersiapkan untuk memiliki kemampuan meneliti, menulis dan mempublikasikan karya ilmiahnya, sehingga dengan diberlakukannya Permenneg PAN dan Reformasi Birokrasi nomor 16 tahun 2009 diperlukan model pelatihan yang sesuai untuk meningkatkan kompetensi menulis publikasi ilmiah dengan menganalisis pelatihan dan pengembangan yang selama ini telah dilaksanakan dan persoalan yang ada, yang menyebabkan belum terpenuhinya kompetensi Guru IPS dalam melaksanakan publikasi ilmiah untuk pengembangan profesinya. Berdasarkan pada identifikasi masalah dalam pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS di Kota Semarang dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: 1). Bagaimana bentuk dan kebutuhan pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS Kota Semarang saat ini 2). Bagaimana rancangan pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS di Kota Semarang? Tujuan penelitian pengembangan ini 1). Mendeskripsikan bentuk dan kebutuhan pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS Kota Semarang, 2). Mendeskripsikan rancangan pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS Kota Semarang. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar pelaksanaan pelatihan publikasi ilmiah bagi guru IPS dan bagi Kepala Sekolah dapat menjadi acuan dalam pembinaan dan pengembangan kompetensi guru dalam publikasi ilmiah. Menurut Sikula (1981) pelatihan adalah proses pendidikan jangka pendek dengan menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir, sehingga karyawan operasional belajar pengetahuan, teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Pendidikan P a g e [ 491 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan pelatihan merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka pengembangan kualitas sumber daya manusia, yang substansinya menyangkut aspek proses perencanaan, penempatan, dan pengembangan tenaga kerja manusia. Menurut Sudjana (2004) pelatihan dapat dikaji dari aspek pengembangan sistem, model, dan pengelolaan pelatihan. Dari segi pengembangan sistem, pelatihan memiliki komponen input (masukan), process (proses), output (keluaran). Unsur masukan meliputi masukan lingkungan (environmental input), masukan sarana (instrumental input), masukan bahan mentah (raw input), dan masukan lainnya (others input). Unsur proses (processes) merupakan interaksi semua komponen input dalam pelatihan, unsur output dan outcome yang terdiri dari keluaran berupa kognisi, ketrampilan, dan sikap serta nilai. Kebijakan peningkatan mutu guru dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (preservice education), pendidikan dan pelatihan (in-service training), dan pendidikan dalam jabatan (on the job training) (Suparlan, 2006: 118). Menurut Handoko (2003: 243) tujuan latihan dan pengembangan adalah untuk memperbaiki efektivitas kerja dalam mencapai hasil kerja yang telah ditetapkan. Latihan dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan ketrampilan dan teknik pelaksanaan pekerjaan tertentu, terperinci dan rutin. Pengembangan mempunyai lingkup lebih luas dalam peningkatan kemampuan, sikap dan sifat kepribadian. Tujuan pelatihan menurut McKenna (2000:145) menambah pengetahuan, ketrampilan, mengubah sikap, Berdasarkan pendapat di atas dapat dirumuskan tujuan pelatihan adalah untuk memberikan pengetahuan, pemahaman, mengembangkan bakat dan keahlian, serta sikap anggota organisasi atau karyawan dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif.
Analyze
Design
Evaluate
Conduct
Develop
Gambar 1. Siklus Pelatihan Menurut Goad dalam Nedler (1982:11) Pelatihan sebagai sebuah konsep bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang (sasaran didik). Perkembangan model pelatihan (capacity building, empowering, training dll) saat ini tidak hanya terjadi pada dunia usaha, akan tetapi pada lembaga-lembaga profesional tertentu model pelatihan berkembang pesat [ 492 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
sesuai dengan kebutuhan belajar, proses belajar (proses edukatif), assessment, sasaran, dan tantangan lainnya dalam dunia global (Kamil, 2010: 1) . Model pelatihan yang dikemukakan Goad dalam Nedler (1982:11) memiliki lima (5) langkah pokok yang terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa model pelatihan ini menggunakan siklus dengan 5 langkah yaitu: 1) analisis kebutuhan pelatihan (analyze to determine training requirement); 2) desain pendekatan pelatihan (design the training approach); 3) pengembangan materi pelatihan (develop the training materials); 4) pelaksanaan pelatihan (conduct the training); 5) evaluasi dan perbaikan pelatihan (evaluate and update the training). Model Pelatihan lain dikemukakan Nedler (1982:12) yaitu: “The Critical Event Model (CEM). Model ini memiliki langkah (1) menentukan kebutuhan organisasi (Identify the needs of the organization); (2) menentukan spesifikasi tugas (specify job performance); (3) menentukan kebutuhan peserta pelatihan (Identify Leaner need); (4) merumuskan tujuan (determine objective); (5) menentukan kurikulum pelatihan(Build curriculum); (6) memilih strategi pembelajaran(Select Instructional Strategis); (7) memilih dan menentukan sumber belajar (obtain Instructional Resources); (8) melaksanakan pelatihan (Conduct Training); dan selanjutnya kembali pada tahap awal untuk disempurnakan dengan memperhatikan hasil evaluasi dan masukan pada setiap tahapan.
Identify the needs of The organization Conduct Trainning
Evaluation
Obtain Instructioanal Resources The organization
And
Select Instructional Strategis
Feedback
Specify job performance
Identify
Leaner
Determine
Build curriculum Gambar 2. Model Critical Even Nedler (1982:12) Pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah dalam penelitian ini mengacu pada fungsi manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaksanaan tindakan, pengembangan dan pengendalian. Menurut Amrullah (2004:12-13) perencanaan meliputi aktivitas untuk menentukan tujuan, dan sasaran yang akan dicapai, serta langkah strategis yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mengacu pada konsepsi ini maka kegiatan pelatihan didahului dengan penetapan tujuan yang akan dicapai, penyusunan langkah strategis, meliputi rancangan kriteria peserta, pelatih, materi dan strategi P a g e [ 493 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pembelajaran. Dalam perencanaan kinerja diperlukan eksplorasi bersama tentang apa yang perlu diketahui dan dilakukan para Guru untuk memperbaiki kinerjanya dan mengembangkan keterampilan dan kompetensinya, dan bagaimana manajer (dalam hal ini penyelenggara pelatihan) dapat memberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan. 1. Pengorganisasian dan Pengarahan Pengorganisasian merupakan proses pemberian perintah, pengalokasian sumber daya, pembagian tugas dan wewenang setiap komponen dalam rangka melaksanakan rencana yang telah ditetapkan dan melalui pengarahan seorang manajer menciptakan komitmen agar karyawan bekerja dengan semangat tinggi dan mencari alternatif untuk mendorong kembali apabila semangat kerja mereka menurun. Tahapan pengorganisasian pelatihan menurut McKenna (2000:115), 1) melakukan penelitian tentang objek/aspek yang akan dilatihkan, 2) menentukan materi, 3) menentukan metode pelatihan, 4) memilih pelatih yang sesuai kebutuhan, 5) mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan, 6) menentukan peserta, 7) melaksanakan program, 8) melakukan evaluasi program. 2. Pelaksanaan (Tindakan Kerja) dan Pengembangan. Manajemen pelatihan berbasis kinerja membantu orang untuk siap bertindak sehingga mereka dapat mencapai hasil seperti direncanakan. Dengan demikian, pelatihan berbasis kinerja merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas orang (guru) dalam menjalankan pekerjaan dan bagaimana cara yang dipakai untuk mencapainya. 3. Pengendalian (Monitoring dan Umpan Balik Berkelanjutan) Pengendalian adalah proses untuk melihat ketercapaian rencana yang dilaksanakan Pengendalian memiliki fungsi: 1) mengukur pencapaian prestasi kerja, 2) menganalisis hasil pengukuran, 3) menentukan strategi perbaikan apabila ada kelemahan, 4) melakukan perbaikan jika ada kekurangan dalam proses pelaksanaan rencana. Konsekuensi guru sebagai jabatan profesi dituntut untuk mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan agar dapat memiliki daya saing untuk memenangkan seleksi alam sumber daya yang berkualitas. Pelaksanaan PKB akan lebih efektif jika dilakukan secara sinergis oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini Dinas Pendidikan, LPTK sebagai penghasil calon guru, dan sekolah sebagai wahana kinerja guru. PKB harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan guru untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya, yang akan berimplikasi pada perolehan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru. Permeneg PAN dan RB No. 16/ 2009 menyebutkan salah satu unsur PKB yang diberikan penilaian angka kredit adalah publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah adalah karya tulis ilmiah yang dipublikasikan kepada masyarakat sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran dan pengembangan dunia pendidikan. Macam-macam karya tulis ilmiah
[ 494 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
yang diperhitungkan angka kreditnya dalam Permeneg PAN& RB Nomor 16 Tahun 2009, dapat dilihat pada tabel 1.
1
2
Tabel 1. Publikasi Ilmiah dan Penghitungan Angka Kreditnya PRESENTASI PADA FORUM ILMIAH a Menjadi pemrasaran/nara sumber pada Surat seminar atau lokakarya ilmiah keterangan dan makalah pemrasaran b Menjadi pemrasaran/nara sumber pada Surat kologiunm atau diskusi ilmiah keterangan dan makalah pemrasaran MELAKSANAKAN PUBLIKASI ILMIAH HASIL PENELITIAN ATAU GAGASAN ILMU PADA BIDANG PENDIDIKAN FORMAL a Membuat karya tulis berupa laporan hasil penelitian pada bidang pendidikan di sekolahnya 1) Diterbitkan/dipublikasikan dalam Buku bentuk buku ber ISBN dan diedarkan secara nasional atau telah lulus dari penilaian BNSP 2) Diterbitkan/dipublikasikan dalam Karya ilmiah majalah/jurnal ilmiah tingkat nasional dalam yang terakreditasi majalah/jurnal ilmiah 3) Diterbitkan/dipublikasikan dalam Karya ilmiah majalah/jurnal ilmiah tingkat Provinsi dalam majalah/jurnal ilmiah 4) Diterbitkan/dipublikasikan dalam Karya ilmiah majalah/jurnal ilmiah tingkat dalam kabupaten/kota majalah/jurnal ilmiah 5) Diseminarkan di sekolahnya, disimpan di Laporan perpustakaan 6) Membuat makalah berupa tinjauan Makalah ilmiah dalam bidang pendidikan, tidak diterbitkan, disimpan diperpustakaan 7) Membuat tulisan ilmiah populer di bidang pendidikan formal dan pembelajaran pada satuan pendidikannya a) Dimuat di media masa tingkat Artikel Ilmiah nasional b) Dimuat di media masa tingkat Artikel Ilmiah Provinsi (koran daerah) 8) Membuat artikel ilmiah dalam bidang pendidikan formal dan pembelajaran pada satuan pendidikannya
0,2
0,2
4
3
2
1
4 2
2 1,5
P a g e [ 495 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 a) Dimuat di jurnal tingkat nasional Artikel Ilmiah yang terakreditasi b) Dimuat di jurnal tingkat nasional Artikel Ilmiah yang tidak terakreditasi/tingkat provinsi c) Dimuat di jurnal tingkat lokal Artikel Ilmiah (kabupaten/kota/sekolah/madrasah dstnya. 3 a
b
c
d
e
2 1,5 1
MELAKSANAKAN PUBLIKASI BUKU TEKS PELAJARAN , BUKU PENGAYAAN DAN PEDOMAN GURU Membuat buku pelajaran per tingkat/buku pendidikan per judul 1) Buku pelajaran yang lolos penilaian Buku 6 oleh BSNP 2) Buku pelajaran yang dicetak oleh Buku 3 penerbit dan ber ISBN 3) Buku pelajaran dicetak oleh penerbit Buku 1 tetapi belum ber ISBN Membuat modul/diklat pembelajaran per semester 1) Digunakan di tingkat provinsi dengan Modul/diklat 1,5 pengesahan dari Dinas Pendidikan Provinsi 2) Digunakan di tingkat Kota/Kabupaten Modul/diklat 1 dengan pengesahan dari dinas pendidikan Kota/Kabupaten 3) Digunakan di tingkat Modul/diklat 0,5 sekolah/madrasah setempat Membuat buku dalam bidang pendidikan 1) Buku dalam bidang pendidikan Buku 3 dicetak oleh penerbit dan ber ISBN 2) Buku dalam bidang pendidikan Buku 1,5 dicetak oleh penerbit tetapi tidak ber ISBN Membuat karya hasil terjemahan yang Karya hasil 1 dinyatakan oleh kepala sekolah /madrasah terjemahan tiap karya Membuat buku pedoman guru Buku 1,5 Sumber: Lampiran 1 Permeneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009
METODE Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada analisis kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dan refleksi untuk mendapatkan model pelatihan yang efektif, dengan subjek penelitian Guru IPS SMP di Kota Semarang. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai pengumpul data, serta instrumen pedoman wawancara, lembar observasi dan angket, untuk [ 496 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
memperoleh data tentang pemahaman secara operasional, potensi, permasalahan dan kebutuhan guru IPS dalam melaksanakan publikasi ilmiah. Langkah pengumpulan data: 1). diawali dengan pemberian informasi tentang implementasi publikasi ilmiah dalam usulan jabatan fungsional dan perolehan angka kredit. 2). Guru diminta untuk mengisi angket yang sudah disiapkan peneliti. 3).melakukan analisis SWOT terhadap isian angket, 4). Peneliti menggali informasi melalui wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Kepala Sekolah, Ketua MGMP dan Guru IPS. Analisis data deskriptif dengan uji credibility, transferability, dependability dan conformability untuk mendapatkan fakta empirik tentang 1). Pemahaman operasional implementasi publikasi ilmiah berbasis Permeneg PAN & RB No. 16 Tahun 2009. 2). Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan publikasi ilmiah selama ini. 3). Permasalahan yang dihadapi dan kebutuhan guru dalam melaksanakan publikasi ilmiah. 4) menemukan model factual model pelatihan publikasi ilmiah 5) merancang model pelatihan yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Pengujian rancangan model yang dikembangkan dilakukan dengan expert judgment. Pengujian kelayakan model melalui implementasi model pelatihan dengan melibatkan guru, Kepala Sekolah, pengurus MGMP, tim penilai angka kredit , Perguruan tinggi dan hasilnya dikaji dalam forum diskusi terfokus (focus group discution) Penelitian ini dirancang dengan pendekatan penelitian dan pengembangan, menurut Borg & Gall (1983:772-773) penelitian dan pengembangan pendidikan adalah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Pengembangan suatu model dilakukan melalui 10 (sepuluh) tahapan yang terdiri dari (1) Research and information collecting, (2) Planning, (3) Develop preliminary from of product, (4) Preliminary field testing; (5) Main produk revision; (6) Main field testing; (7) Operational product revision,(8) Operational field testing. (9) Final product revision, (10) Dissemination and implementation. Kesepuluh langkah di atas diimplementasikan dalam tiga langkah utama penelitian ini: Pertama, tahap pendahuluan ini merupakan kegiatan research and information/ data collecting tentang pendidikan dan pelatihan publikasi ilmiah yang selama ini dilaksanakan, sumber pembiayaan, ketercukupan dana dan fasilitas, permasalahan dan kebutuhan guru IPS dalam publikasi ilmiah. Hasil penelitian ini dianalisis dengan pendekatan kualitatif untuk menemukan model factual dan merancang model pelatihan publikasi ilmiah yang ideal. Kedua, tahap pengembangan mencakup langkah-langkah 1) penyusunan model konseptual dengan memadukan hasil kajian teori dengan hasil studi pendahuluan. 2) konsultasi dan uji ahli (expert judgment), terdiri pakar manajemen, Kepala Dinas Pendidikan, Guru IPS SMP Pascasertifikasi di Kota Semarang. Ketiga, tahap validasi mencakup langkah menguji kelayakan rancangan model melalui implementasi model pelatihan serta melakukan perbaikan dalam rangka finalisasi model akhir, yaitu menyimpulkan apakah model yang dikembangkan layak P a g e [ 497 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 untuk diterapkan. Validasi model ini menggunakan Focus Group Discussion (FGD). Secara keseluruhan alur penelitian pengembangan ini dapat digambarkan pada gambar 3. STUDI PENDAHULUAN STUDI LITERATUR
Studi lapangan tentang pelatihan publikasi ilmiah Guru IPS SMP Pascasertifikasi di Kota Semarang
TAHAP PENGEMBANGAN
UJI AHLI
Evaluasi dan Perbaikan
Deskripsi dan analisis temuan (Model Faktual)
Temuan Draf Model PKB dan Penyusunan Perangkat Model
Model Hipotetik
TAHAP
FGD
MODEL FINAL
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN PUBLIKASI ILMIAH GURU IPS SMP PASCASERTIFIKASI DI KOTA SEMARANG Gambar 3. Prosedur Penelitian pengembangan (Samsudi: 2009) Diadopsi dari Borg & Gall HASIL DAN PEMBAHASAN Fakta Empirik Bentuk Pelatihan Publikasi Ilmiah Permeneg PAN& RB Nomor 16 Tahun 2009 mengamanatkan kepada semua guru untuk memenuhi kebutuhan angka kredit publikasi ilmiah dalam usulan kenaikan pangkat dan jabatan fungsional. Pemerintah telah melaksanakan sosialisasi/diklat/workshop tentang pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) termasuk sub unsur publikasi ilmiah dengan harapan guru memiliki kemampuan dam kesiapan melaksanakan publikasi ilmiah sebagai salah satu cara meningkatkan profesionalitasnya. Perencanaan kegiatan sosialisasi/diklat/workshop publikasi ilmiah yang selama ini dilaksanakan, meliputi kejelasan legalitas penyelenggara, persyaratan peserta, tujuan, materi, nara sumber, tempat dan waktu pelaksanaan, fasilitas yang diterima peserta, serta system evaluasi untuk peserta. Nara sumber Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Drs. Bunyamin, M.Pd dan Ketua MPGP IPS Sub Rayon 02 Slamet, S.Pd mengatakan bahwa sosialisasi/ workshop/diklat telah dilaksanakan dengan baik walaupun belum mampu menjangkau [ 498 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
dan merata untuk semua guru. Hal ini terjadi karena kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada kebijakan pemerintah dan berbasis anggaran yang tersedia. Terkait dengan kejelasan nara sumber, materi, waktu dan tempat pelaksanaan, persyaratan peserta sudah tercantum dalam leaflet/brosur undangan. Pendapat Guru IPS SMP Di Kota Semarang melalui angket, menunjukkan: perencanaan sosialisasi/ workshop/diklat publikasi ilmiah sebanyak 34,4% menyatakan sangat baik, 58,4% menyatakan baik , 4,66% menyatakan cukup dan 0,5% sedang dan 0,25 menyatakan kurang Pelaksanaan/penyelenggaraan sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah melibatkan semua pemangku kepentingan antara lain: LPMP, MGMP, Kepala Sekolah, Perguruan Tinggi dan Guru. Dalam penetapan peserta, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang telah bekerjasama dengan Kepala Sekolah, untuk penetapan peserta harus memperhatikan kesiapan peserta, kompetensi, masa kerja, dan tugas di sekolah, untuk mengikuti sosialisasi/workshop/diklat diberikan undangan dan surat tugas dari Dinas Pendidikan Kota Semarang dan berkoordinasi dengan Kepala sekolah. Materi menjadi harapan tertinggi bagi peserta , dengan mengikuti pelatihan tingkat sekolah, MGMP, tingkat kota maupun tingkat nasional, guru berharap memperoleh materi dan pengetahuan dalam pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian, penulisan laporan dan artikel, makalah, buku ajar, modul dan buku pedoman guru, sehingga mampu melaksanakan penulisan karya ilmiah dan publikasi ilmiah. Secara keseluruhan hasil angket tentang materi yang selama ini diterima peserta diperoleh data 17.6% responden menyatakan sangat baik, 56,3% menyatakan baik, dan 14,5% menyatakan cukup dan sedang 1,3% kurang dan selebihnya tidak berpendapat. Waktu pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah, sebaiknya kegiatan dilakukan pada waktu liburan sekolah atau pada waktu luang guru/di luar jam pelajaran, sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran. 25,2% responden berpendapat bahwa penetapan waktu pelaksanaan sangat baik, 44% baik, 9,2 cukup dan 5,5% menyatakan kurang baik serta selebihnya tidak berpendapat. Selanjutnya terkait dengan kesempatan mengikuti sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Drs. Bunyamin, M.Pd mengatakan bahwa pelatihan belum mampu menjangkau seluruh guru. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran. Hal senada disampaikan ibu Endang Hadi Wahyuningsih, guru SMPN 33 Semarang, Dra. Lucy guru SMPN 20 Semarang, Erna Hadi Nurhidayawati guru SMPN 36, Istifaiyah guru SMPN 24 Semarang, belum pernah mengikuti sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah. Hasil angket menunjukkan sebanyak 10% guru memiliki kesempatan mengikuti sangat baik, 32% memiliki kesempatan baik, 18% cukup, 11% sedang dan 21% kurang memiliki kesempatan serta selebihnya tidak berpendapat. Kepakaran menjadi focus pemilihan pemateri/nara sumber, yaitu penguasaan konten, kemampuan berkomunikasi, kesesuaian materi dengan kebutuhan penulisan karya ilmiah dan publikasi ilmiah, serta kemampuan instruktur dalam memotivasi dan mengembangkan potensi guru, nara sumber perlu memilih bahasa yang mudah dipahami, P a g e [ 499 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sistematis, simple dan tidak bertele-tele dalam penyampaian materi serta implementatif, nara sumber harus dipilih menguasai materi pelatihan, dapat berasal dari LPMP, Diknas dan Perguruan Tinggi. Sebagian responden berpendapat bahwa kualitas pelatihan ditentukan oleh nara sumber. Hasil angket tentang kualitas nara sumber pelatihan publikasi ilmiah selama ini menunjukkan: 24,4% menyatakan kepakaran nara sumber sangat baik, 61,6% baik, 10,4% cukup dan selebihnya tidak berpendapat . Fasilitas yang diterima peserta sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah, seperli kelengkapan fasilitas, kelayakan gedung, tempat tidur, pelayanan kesehatan dan konsumsi, foto copy dan lain sebagainya. Sebanyak 9% guru mengatakan bahwa fasilitas yang diterima sangat baik, 52% mengatakan baik, 20% cukup , 2% sedang dan 4% mengatakan kurang sedangkan selebihnya tidak berpendapat. Evaluasi dalam penyelenggaraan sosialisasi/workshop/diklat penulisan dan publikasi ilmiah meliputi kesesuaian tes dengan kompetensi yang akan dikembangkan, evaluasi dalam proses , formatif dan sumatif dengan materi yang dikembangkan dalam pelatihan/ workshop, objektivitas dalam melaksanakan penilaian dan kesesuaian rencana dengan pelaksanaan, pendapat para guru menunjukkan: sebanyak 14% mengatakan baik sekali, 46% mengatakan baik, 20% dalam kategori cukup, 4% sedang , 6% kurang dan selebihnya tidak berpendapat. Kegiatan penulisan dan publikasi ilmiah yang telah dilakukan Guru IPS Kota Semarang T-3 sebagian besar berupa makalah, LKS, modul tingkat sekolah, buku pedoman guru, dan sebagian kecil telah membuat buku ber ISBN dan melakukan penulisan dan publikasi ilmiah hasil penelitian. Hasil wawancara menunjukkan kurangnya motivasi melakukan penelitian, publikasi ilmiah dan penulisan buku. Hal ini didorong oleh pemikiran guru yang menganalogkan beratnya beban penelitian dan publikasi ilmiah dan kurangnya kompetensi dan budaya ilmiah. Hasil angket tentang hasil penulisan dan publikasi ilmiah yang telah dilaksanakan pada T-3 diperoleh data seperti dalam tabel 2.
NO 1 2
3
Tabel 2. Hasil Publikasi Ilmiah Guru IPS SMP Pascasertifikasi T-3 URAIAN Frekwensi >4X 4X 3X 2X 1X 0 Presentasi pada forum ilmiah 2% 9,6% 70,4% Melaksanakan publikasi 18,5% ilmiah hasil penelitian atau gagasan ilmu pada pendidikan formal Melakukan publikasi buku 7,4% 40,75% 51,85% teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman guru
[ 500 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
Analisis Kebutuhan Publikasi Ilmiah. Analisis kebutuhan guru IPS SMP Pascasertifikasi di Kota Semarang, dilakukan melalui wawancara dengan berbagai pihak antara lain Dinas pendidikan Kota Semarang, Ketua MGMP, Kepala Sekolah dan guru menunjukkan 1. Kemampuan guru dalam melaksanakan penulisan ilmiah perlu pelatihan dan pendampingan secara berkesinambungan. 2. Kebutuhan materi sosialisasi/workshop/diklat meliputi materi: penulisan bahan ajar, modul, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) mulai dari cara menganalisis masalah pembelajaran, penyusunan proposal, pelaksanaan PTK, dan penyusunan laporan penelitian, serta penulisan makalah/artikel. 3. Belum merata kesempatan untuk mengikuti diklat/workshop publikasi ilmiah kepada semua guru, karena keterbatasan anggaran pemerintah, oleh karena itu diperlukan komitmen dan dukungan dari para guru untuk menyelenggarakan diklat/workshop secara mandiri maupun melalui MGMP. 4. Dukungan dana dari Sekolah, Yayasan dan pemerintah sangat diperlukan untuk pemerataan kesempatan mengikuti pelatihan bagi semua guru. 5. Kepakaran instruktur/narasumber dalam penyesuaian materi dengan kebutuhan guru, kemampuan berkomunikasi, pemilihan metode dan pengelolaan kelas sangat penting, metode pelatihan dengan praktik langsung sangat dibutuhkan guru dan bukan hanya teori. Hasil angket dari responden sebanyak 67,6% menyatakan kepakaran nara sumber sangat penting dan 27,8% menyatakan penting, dan selebihnya tidak berpendapat. Responden yang tidak berpendapat merupakan guru yang belum pernah memiliki kesempatan mengikuti sosialisasi/workshop/diklat tentang publikasi ilmiah 6. Terkait dukungan dan kesempatan untuk melaksanakan PTK, hasil wawancara menunjukkan bahwa pelaksanaan PTK memerlukan waktu yang lama dengan persiapan yang tidak sederhana dan membutuhkan biaya cukup banyak, tidak sebanding dengan nilai angka kredit dan reward kenaikan gaji yang diperoleh. Berdasarkan temuan tersebut, guru perlu merubah pola pandang, bahwa PTK sebenarnya telah dilaksanakan guru dalam keseharian tetapi masih dalam bentuk tindakan yang belum sistematis, sehingga perlu dilaksanakan dan dilaporkan secara tertulis. Hasil angket menunjukkan sebanyak 64,2% responden menyatakan sangat penting dukungan untuk melaksanakan PTK baik dari guru sendiri, Kepala Sekolah, budaya sekolah, apresiasi dari teman sejawat maupun Dinas Pendidikan, 18,5 % responden menyatakan penting. Kepala Sekolah perlu melakukan tagihan setiap tahun kepada guru dan melakukan pembinaan dalam pelaksanaan PTK untuk peningkatan kualitas pembelajaran. 7. Dukungan dana dan fasilitas untuk guru dalam melaksanakan PTK dari Dinas Pendidikan Kota berupa: alokasi anggaran untuk diklat/workshop, kompetisi penyusunan PTK, perijinan dan kesempatan pelaksanaan PTK. Dukungan Kepala Sekolah berupa perijinan, kesempatan dan kolaborasi dalam pelaksanaan PTK. Hasil P a g e [ 501 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 angket menunjukkan sebanyak 61,22% responden menyatakan sangat penting dukungan dana dan fasilitas dari sekolah, yayasan, Dinas Pendidikan untuk melaksanakan PTK, 22,2% menyatakan penting dan 8,3% menyatakan cukup penting dan selebihnya tidak berpendapat. Berdasarkan hasil angket terbuka diperoleh data bahwa kurangnya guru melakukan PTK selain faktor dana juga disebabkan guru belum dimilikinya kompetensi melaksanakan PTK. 8. Kebutuhan mendasar bagi guru adalah peningkatan kompetensi dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi ilmiah baik, sehingga diperlukan pelatihan berbasis kinerja dan pendampingan secara berkesinambungan oleh instruktur/nara sumber/pembimbing PTK. Diperlukan peningkatan kualitas pelatihan dan dilanjutkan dengan pendampingan secara periodik dan berkesinambungan dengan membangun kemitraan antara sekolah, Disdik, tim Penilai Angka Kredit dengan Perguruan Tinggi maupun LPMP dan Guru agar guru dapat memaknai fungsi pelaksanaan publikasi ilmiah dan PTK dari sudut pandang pengembangan kualitas tugas profesinya. Fakta Empiris Bentuk Pelatihan Pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat penulisan dan publikasi ilmiah secara umum telah dilaksanakan dengan baik, utamanya pada perencanaan yaitu kejelasan legalitas penyelenggara, persyaratan peserta, waktu dan tempat, nara sumber dan fasilitas yang akan diterima peserta serta ketentuan tentang pembiayaan telah disajikan dalam liflet/brosur, namun pelaksanaan workshop/diklat cenderung teoretis dan belum mampu mengaktifkan seluruh peserta, serta tidak adanya sanksi yang jelas bagi peserta yang tidak memenuhi kewajiban Hasil angket dan dokumen menunjukkan 51,85% responden belum melaksanakan penulisan dan publikasi ilmiah selama T-3, 40,75% telah melaksanakan rata-rata 2x dalam T-3 dan 7.4% telah melaksanakan 3x dalam T-3. Kurangnya motivasi diri guru menjadi factor dasar rendahnya penulisan dan publikasi ilmiah para guru Motivasi eksternal sangat mendominasi aktivitas publikasi ilmiah, dengan menganalogkan kebijakan PLPG yang hasilnya dapat memberikan kontribusi kesejahteraan bagi guru, sedangkan penulisan karya ilmiah, adalah aktivitas yang membutuhkan waktu lama, tidak mudah dan hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai angka kredit dan kenaikan gaji/ tunjangan yang diperolehnya. Untuk itu para pemangku kepentingan perlu menanamkan kesadaran, komitmen dan konsistensi bersama melalui pembinaan, dan kemitraan untuk melaksanakan pelatihan dan pendampingan. Analisis Kebutuhan Materi sosialisasi/workshop/diklat harus memperhatikan relevansinya dengan kebutuhan guru untuk menghasilkan publikasi ilmiah, baik berupa hasil penelitian, gagasan ilmiah, kajian pustaka, penulisan buku ajar, modul, makalah dan artikel ilmiah.
[ 502 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
Relevansi materi dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dan motivasi guru dalam melaksanakan penulisan dan publikasi ilmiah. Penetapan waktu pelaksanaan dinilai baik oleh peserta sosialisasi/workshop/ diklat publikasi ilmiah, 58% responden menyatakan bahwa penetapan waktu kegiatan dapat menentukan keikutsertaan dan keberhasilan pelatihan. Hasil wawancara dengan MGMP maupun guru merekomendasikan agar pelatihan dilaksanakan pada waktu liburan sekolah atau waktu luang guru seperti hari sabtu dan minggu. Kesempatan untuk mengikuti pelatihan sangat dibutuhkan oleh guru IPS, 66,67% responden menyatakan bahwa kesempatan untuk mengikuti sosialisasi/workshop/diklat penulisan dan publikasi ilmiah sangat penting. Fakta empiric menunjukkan 51,85% responden belum pernah mengikuti sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah.
UU Nomor 20 Tahun 2003 Permenegpan& RB Nomor 16 Tahun 2009
PKB Publikasi Ilmiah
Anggaran Pemerintah Dinas Pendidikan Kota Semarang Dinas Pendidikan Kota Semarang, LPMP, MGMP IPS, Sekolah dan LPTK
TUTOR
ADDCE Goad (1982:11)
PelatihanPenulisan dan Publikasi Ilmiah Guru IPS SMP Pascasertifikasi di Kota Semarang
Pertemuan Sekolah, MGMP, Individu
MODEL FAKTUAL PELATIHAN PUBLIKASI ILMIAH
Gambar 4. Model Faktual Pelatihan Publikasi Ilmiah Kebutuhan akan kepakaran narasumber/instruktur dalam workshop/diklat penulisan karya ilmiah dan pubikasi ilmiah sangat penting dikemukakan oleh 67,6 % responden. Kepakaran nara sumber dalam berkomunikasi dan memilih metode yang tepat akan sangat membantu peningkatan kompetensi guru dalam menulis karya ilmiah P a g e [ 503 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dan mempublikasikan lewat seminar maupun jurnal ilmiah. Nara sumber yang direkomendasikan oleh responden adalah 1) dari LPMP, 2) dari Dinas Pendidikan dan 3) dari Perguruan Tinggi, yang memiliki kepakaran dalam pelatihan publikasi ilmiah. Pengembangan Model Tahap pengembangan merupakan tindak lanjut dari fakta empiris hasil studi pendahuluan model pelatihan publikasi ilmiah berbasis Permeneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009 pada Guru IPS di Kota Semarang yang telah dilaksanakan. Kegiatan pelatihan yang selama ini dilaksanakan digambarkan pada model factual Gambar 4. Pengembangan kompetensi guru IPS Kota Semarang dalam penulisan dan publikasi ilmiah dilakukan melalui workshop/diklat berbasis kebijakan pemerintah dan anggaran belanja pengembangan profesi guru. Pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat dilakukan melalui kerjasama Dinas Pendidikan, LPMP, MGMP dan Sekolah serta Perguruan Tinggi. Pelatihan masih sebatas dimanfaatkan oleh guru yang memiliki dedikasi, komitmen dan konsistensi serta prestasi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Karena berbasis pada kewajiban yang bernaung di bawah kebijakan dan anggaran pemerintah maka kelemahan model ini adalah 1) motivasi internal lemah, 2) tidak merata memberikan kesempatan pelatihan pada semua guru, 3) informasi dari pihak ke 2 belum tentu sama dengan pihak 1, 4) kerjasama dengan LPTK masih sebatas sebagai nara sumber, sehingga bentuk tanggung jawab sebatas pada waktu pelaksanaan kegiatan terjadwal, 5) keterbatasan anggaran menyebabkan hasil pelatihan belum ditindaklanjuti sehingga hasilnya tidak optimal, 6) sistem evaluasi unjuk kerja tidak tuntas. Validasi rancangan model final dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) antara peneliti, Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Ketua MGMP, Kepala Sekolah dan Guru IPS yang ditugasi dan unsur Perguruan Tinggi. Pengembangan model pelatihan ini menggabungkan antara model pelatihan Goad (ADDCE) dengan model CEM dari Nedler dengan memperhatikan siklus fungsi manajemen, seperti dalam gambar 4.4. Langkah kerja pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah adalah : 1. Kepala Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan LPMP, MGMP dan Kepala Sekolah, Tim PAK serta LPTK, membentuk Lembaga Pengembangan Profesi Guru. 2. Lembaga pengembang profesi guru bertanggungjawab merancang pengembangan profesi guru IPS melalui pemetaan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pelatihan di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kota Semarang . 3. Perencanaan, meliputi a) penetapan tujuan, AD/ART lembaga pengembang, b) penyusunan renstra, c) perencanaan kegiatan sesuai tujuan dan renstra, d) penetapan kegiatan, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan, syarat peserta, system evaluasi, nara sumber dan metode pelatihan, e) merancang sumber dana. 4. Pelaksanaan kegiatan di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kota Semarang agar tidak mengganggu tugas utama guru, meliputi: pembentukan panitia pelaksana, [ 504 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
penetapan waktu, biaya, peserta, tempat, fasilitas, system evaluasi, nara sumber, dan penjaminan mutu pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan melalui pelatihan kelompok, lesson study, MGMP, praktek penulisan/penelitian maupun pendampingan pakar.
UU Nomer 20 Tahun 2003 Permenegpan & RB Nomer 16 Tahun 2009
PKB Publikasi Ilmiah
Dinas Pendidikan Kota Semarang, Pemerintah Daerah, LPMP, PGRI Kota Semarang, MGMP, Universitas/LPTK
KEMITRAAN (dilembagakan) Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi dan Pengembangan Perencanaan
Pelaksanaan
1. Tujuan 2. Struktur Organisasi 3. Pedoman Pelatihan 4. Standar Biaya 5. Jurnal IPS
1. Pembinaan 2. Diklat/workshop 3. Pendampingan pakar 4. Uji coba penelitian
Evaluasi 1. Kognitif 2. Proses pelatihan 3. Unjuk kerja 4. Supervise 5. Penilaian kinerja
Pengembangan 1. Leson Study 2. Implementasi dalam pembelajaran di kelas 3. Kompetisi
GURU IPS SMP PASCASERTIFIKASI KOMPETEN DALAM PUBLIKASI ILMIAH KUALITAS PEMBELAJARAN DAN KINERJA GURU Gambar 5. Model Pelatihan Berbasis Need Assesment Kolaborasi model ADDCE Goad (1982:11) dengan Model Critical Even Nedler (1982:12) 5. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi guru baik pengetahuan maupun unjuk kerja selama pelatihan maupun di luar pelatihan. Teknik evaluasi yang digunakan adalah portofolio, unjuk kerja dan penilaian kinerja selama dan setelah pelatihan, melalui supervisi dan hasil karya ilmiah peserta dengan kontribusi penetapan angka kredit (PAK). Hasil evaluasi digunakan sebagai masukan untuk melanjutkan pembinaan dan peningkatan profesionalitas guru di bidang lainnya. P a g e [ 505 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 6. Melembagakan kerjasama Dinas Pendidikan Kota Semarang, LPMP, MGMP dan Perguruan Tinggi dalam bentuk: nara sumber, fasilitas tempat, efisiensi dana. 7. Membangun kesadaran, komitmen dan konsistensi guru akan tugas profesinya, dan pengembangan profesi menjadi kewajiban guru dan tanggung jawab bersama pemangku kepentingan di bidang pendidikan. 8. Mengembangkan budaya penulisan dan publikasi karya ilmiah, memanfaatkan anggaran dari Dinas Pendidikan Kota/Propinsi, Perguruan Tinggi, LPMP, dsb. Kelebihan pengembangan model pelatihan ini ada pada 1. Adanya lembaga pengembangan profesi guru, sehingga perencanaan, koordinasi, pelaksanaan pengembangan serta evaluasi dapat dilaksanakan secara simultan. 2. Terdapat kejelasan sumber dana dan partisipasi peserta/ guru dalam PKB. 3. Pengembangan kompetensi dan profesionalitas guru dilaksanakan secara berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga terbentuk budaya penulisan ilmiah. SIMPULAN. Secara umum kegiatan PKB Guru IPS di Kota Semarang masih perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak utamanya bagi pemangku kepentingan. Hasil penelitian menunjukkan 70,4% responden belum melaksanakan presentasi pada forum ilmiah, 18,5% yang telah melakukan publikasi ilmiah hasil penelitian maupun gagasan ilmiah sekali dalam T-3, 7,4% telah melakukan publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru tiga kali dalam T-3, 40,75% telah melakukan publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru 2 kali dalam T-3, dan 51,85% belum pernah melakukan publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru dalam T-3. 1. Perencanaan, sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah masih didasarkan pada issue-isue terhangat dari kebijakan pemerintah dan berbasis ketersediaan anggaran pemerintah. Oleh karena itu perencanaan yang dilakukan bersifat parsial dan belum mengakomodasi seluruh kebutuhan guru. Penetapan peserta, waktu dan tempat, materi, nara sumber, kejelasan penyelenggara, dan system evaluasi telah dijelaskan dalam leaflet/brosur sebelum pendaftaran peserta dimulai. Perencanaan dapat dikategorikan baik. Hal ini dibuktikan oleh hasil wawancara dan angket sebanyak 34,4% menyatakan baik sekali dan 58,4% menyatakan baik 2. Pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat dari aspek fasilitas dan pelayanan kesehatan, konsumsi, dinilai baik. Kepakaran nara sumber dalam penguasaan materi, kemampuan berkomunikasi dan penguasaan kelas serta metode pelatihan yang digunakan, direkomendasikan oleh guru perlu dipilih nara sumber yang benar-benar pakar dalam bidang ilmu yang dilatihkan dan memiliki pengalaman langsung dalam praktek sehingga mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi guru. Penetapan waktu sosialisasi/workshop/diklat belum sesuai dengan waktu luang guru sehingga guru belum dapat memanfaatkan kesempatan sepenuhnya mengikuti kegiatan. Keterbatasan anggaran yang dialokasikan belum mampu menjangkau [ 506 ] P a g e
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
3.
4. 5.
6.
1. 2. 3.
secara merata kepada semua guru. Oleh karena itu guru yang telah berkesempatan mengikuti pelatihan diberi tugas menjadi tutor, menularkan ilmunya kepada teman sejawat melalui MGMP maupun secara personal. Sistem evaluasi yang diterapkan dalam sosialisasi/workshop/diklat dilakukan dengan pre tes, penilaian proses dan post tes serta tagihan portofolio utamanya pada penulisan proposal PTK, namun belum mampu mengukur keberhasilannya, karena belum ada tindak lanjutnya . Metode pelatihan yang diterapkan masih cenderung bersifat teoritis dan masih kurang memberikan ruang untuk praktek dan pembahasan. Pembimbingan dilakukan sebatas kebijakan anggaran dan proyek, sehingga pembimbingan masih berlangsung dalam posisi pelatihan/diklat dan guru merasa kurang nyaman untuk konsultasi/pembimbingan setelah pelatihan/workshop selesai. Akibatnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam membuat karya ilmiah maupun PTK tidak tuntas. Pelatihan PTK yang telah diterima guru masih bersifat parsial, hal ini dapat disebabkan kurang matangnya perencanaan, penugasan yang tidak berkesinambungan maupun kurangnya kesesuaian waktu dengan kesempatan guru, sehingga guru belum memiliki pengetahuan dan keterampilan melaksanakan PTK secara utuh, baik mulai penulisan proposal, pelaksanaan penelitian maupun penulisan laporan dan penulisan artikel hasil penelitian. Berdasarkan simpulan di atas, saran yang disampaikan antara lain: Perencanaan sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah dilakukan berdasarkan kebutuhan guru, dan kesesuaian waktu guru agar tidak mengganggu waktu mengajar Kepakaran nara sumber/instruktur disesuaikan dengan tujuan pelatihan dan dipilih sesuai profesionalitasnya. Agar sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah berjalan berkelanjutan dan berkesinambungan, diperlukan kerjasama berupa kemitraan yang dilembagakan antara Dinas Pendidikan Kota Semarang, LPMP, Organisasi PGRI Kota Semarang, MGMP dan Perguruan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Amrullah. (2004). Pengantar Manajemen, Yogyakarta: Graha Ilmu. Borg, Welter R. Dan Meredith D. Gall. (1983). Education Research: An Introduction. New York dan London: Logman Handoko, Hani. (2003). Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Hasibuan, Malayu. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara Kamil. Mustofa. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan. Bandung: Alfabeta Kemendiknas. (2010). Pedoman Pengelolaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
P a g e [ 507 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 MacKenna. Eugeendan Nic Beech.(2000) . The Essence of Human Resouces Management. Terjemahan.Yogyakarta: Andi Offset Nedler, L .(1982). Designing Training Programs: The Critical Events Model. Philiphines: Addison-Wisley Publishing Company, Inc Permeneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Samsudi . (2009). Disain Penelitian Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS Sikula, Andrew F. (1981). Personnel Administration and Human Resources Management. New York: A Wiley Trans edition, by John Wiley & Sons Inc Sudjana, D. (2004). Sistem dan Manajemen Pelatihan: Teori dan Aplikasi. Bandung: Fallah Production Suparlan. (2006). Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Pulishing Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[ 508 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
KESIAPAN PERANGKAT PEMBELAJARAN PENGANTAR AKUNTANSI DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan model evaluasi kesenjangan. Objek penelitian ini adalah kesiapan silabus, RPP, rancangan penilaian, buku guru, buku siswa, dan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran. Instrumen pengumpulan data adalah lembar penilaian, angket, dan pedoman wawancara. Validitas lembar penilaian dihitung dengan formula Aiken’s V dan reliabilitasnya dengan intra-class correlation coefficient. Validitas angket dihitung dengan analisis faktor eksploratori dan reliabilitasnya dengan rumus Alpha. Analisis data menggunakan teknik deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif, dan analisis multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) silabus pengantar akuntansi cukup siap, (2) RPP siap, (3) rancangan penilaian kurang siap, (4) buku guru belum siap, (5) buku siswa belum siap, dan (6) persepsi siswa mengindikasikan bahwa perangkat pembelajaran belum siap. Ada perbedaan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Perangkat pembelajaran pengantar akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kata Kunci: evaluasi, perangkat pembelajaran, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN Pendidikan di Indonesia masih membutuhkan perbaikan. Fenomena negatif yang mengemuka yaitu perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, dan kecurangan dalam ujian (Kemdikbud, 2013a: 8). Kondisi peserta didik tersebut disinyalir terjadi karena kurikulumnya tidak pas. Kurikulum sebelum ini, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara konseptual memiliki struktur dan kerangka kurikulum yang bagus, namun pada prakteknya kurikulum tersebut masih memiliki beberapa kelemahan. Masyarakat memiliki persepsi bahwa kurikulum tersebut terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban belajar siswa terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter (Kemdikbud, 2013a: 8). Sumiyati (2013: 1) menyatakan bahwa proses pembelajaran selama ini lebih berpusat pada guru (teacher centered), kurang memperhatikan situasi, keadaan, dan kebutuhan siswa. Solusi dari kelemahan KTSP di atas yaitu pengembangan Kurikulum 2013. Sumiyati (2013: 1) menjelaskan bahwa urgensi mengembangkan kurikulum baru karena ada sesuatu yang diperlukan dan belum ada pada kurikulum sekarang (KTSP). Perbaikan kurikulum diharapkan dapat menciptakan generasi yang kompeten sebagai modal pembangunan, jika tidak maka kemungkinan besar generasi yang akan datang hanya akan menjadi beban pembangunan. P a g e [ 509 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pemerintah resmi menetapkan kebijakan Kurikulum 2013 pada tanggal 15 Juli 2013. Keunggulan Kurikulum 2013 yaitu: (1) menekankan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara proporsional, (2) materi pembelajaran merupakan materi esensial dan relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan, (3) menekankan pada pendidikan karakter, (4) menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan sesuai kebutuhan masyarakat, (5) berpusat pada peserta didik dan proses pembelajarannya kontekstual, dan (6) mengkombinasikan penilaian proses dan penilaian hasil pembelajaran. Kurikulum 2013 diberlakukan secara bertahap mulai tahun 2013. Pada tahun 2013, kurikulum tersebut dilaksanakan pada kelas I, IV, VII, dan X. Implementasi kurikulum tersebut tidak ke semua sekolah, namun hanya terbatas pada sekolah yang ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Implementasi Kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas sudah berjalan satu semester untuk tahun ajaran 2013/2014 (Widdiharto, 2014: 10). Pemerintah melakukan tiga persiapan untuk implementasi Kurikulum 2013 yaitu berkait dengan buku pegangan dan buku siswa, pelatihan guru, dan tata kelola khususnya administrasi buku raport. Tema pengembangan Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi (Isniati, 2014: 12). Pembelajaran pada Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pendidikan karakter agar mampu menghasilkan lulusan yang berkarakter mulia. Penelitian Richardson, et.al (2009: 71) menunjukkan bahwa dengan adanya pendidikan karakter dapat menumbuhkan keterampilan sosial siswa dan mereka mampu berinteraksi positif dengan teman sebayanya. Pengembangan Kurikulum 2013 bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan, apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Hal tersebut dilandasi oleh konsep pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah. Isniati (2014: 12) menyatakan bahwa melalui pendekatan tersebut diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih baik serta mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan produktif. Dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan Kurikulum 2013, maka diperlukan kesiapan perangkat pembelajaran untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Perangkat pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Dalam hal ini perangkat pembelajaran dikatakan siap apabila perangkat pembelajarannya sudah ada dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah. Apabila perangkat pembelajarannya sudah siap maka implementasi Kurikulum 2013 dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, apabila perangkat pembelajarannya belum siap maka implementasi Kurikulum 2013 tidak dapat berjalan dengan baik. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah menengah yang memiliki beberapa bidang studi keahlian yang salah satunya adalah bidang studi keahlian bisnis [ 510 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
dan manajemen. Permendiknas Nomor 28 Tahun 2009 tentang Standar Kompetensi Kejuruan SMK/MAK (Kemdiknas, 2009: 501-512) menjelaskan bahwa SMK bisnis dan manajemen memiliki tiga program studi keahlian, yaitu administrasi, keuangan, dan tata niaga. Program studi keahlian keuangan sendiri terdiri dari dua kompetensi keahlian, yaitu akuntansi dan perbankan. Implementasi Kurikulum 2013 pada SMK ke semua bidang studi keahlian termasuk bidang studi keahlian bisnis dan manajemen, khususnya pada program studi keahlian keuangan kompetensi keahlian akuntansi. Berdasarkan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK (Kemdikbud, 2013c), terdapat perubahan dalam pembelajaran akuntansi di SMK. Implementasi Kurikulum 2013 dalam pembelajaran akuntansi di SMK dibatasi pada kompetensi dasar pengantar akuntansi. Menurut Permendikbud tersebut, kompetensi dasar ini diberikan di kelas X dan XI. Perubahan ini tentu saja berdampak langsung pada pembelajaran pengantar akuntansi terutama dalam penyusunan perangkat pembelajarannya. Guru akuntansi dituntut mampu untuk menyiapkan dan menyusun perangkat pembelajaran yang sudah disesuaikan dengan perubahan struktur kurikulum tersebut. Pemerintah sudah melakukan beberapa persiapan untuk implementasi Kurikulum 2013, salah satunya dengan mengadakan pelatihan bagi guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Jamin – Guru akuntansi SMK Negeri 1 Pengasih – pada tangal 30 Januari 2014 dapat diketahui bahwa pelatihan bagi guru SMK hanya terbatas pada guru mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dan sejarah. Sebagian besar guru akuntansi belum mendapatkan pelatihan langsung dari pemerintah. Idealnya guru-guru kompetensi keahlian akuntansi juga mendapatkan pelatihan Kurikulum 2013 secara langsung dari pemerintah, terutama dalam penyusunan perangkat pembelajaran. Widdiharto (2014: 10) menyatakan bahwa Kemdikbud tetap berkomitmen dan berbenah dalam menggagas Kurikulum 2013 meskipun masih ada pro-kontra, sikap skeptis, bahkan apriori terhadap kebijakan baru tersebut. Lebih lanjut lagi, Widdiharto (2014: 10) menegaskan bahwa Lembaga Perguruan Tinggi Kependidikan (LPTK), Dewan Pendidikan, wakil rakyat, dan masyarakat luas harus senantiasa terus mengawal jalannya Kurikulum 2013 dengan kritis, konstruktif, dan kooperatif. Salah satu cara efektif yang dapat dilakukan untuk mengawal jalannya Kurikulum 2013 yaitu melalui kegiatan penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dra. Isti Triasih – Kepala Seksi SMK Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DIY - pada tanggal 7 Februari 2014, sejauh ini pihak pemerintah belum pernah melakukan evaluasi tentang kesiapan SMK dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Artinya selama ini belum pernah dilakukan penelitian untuk mengevaluasi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Adanya tekad untuk ikut mengawal jalannya Kurikulum 2013 dan belum adanya penelitian yang mengevaluasi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi SMK bisnis dan
P a g e [ 511 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 manajemen merupakan dua hal pokok yang melatarbelakangi diselenggarakannya penelitian ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Perangkat pembelajaran yang diteliti dibatasi pada silabus, RPP, rancangan penilaian, buku teks pelajaran, dan buku panduan guru. Hal ini dikarenakan perangkat pembelajaran tersebut yang menjadi perangkat pembelajaran utama dalam proses pembelajaran METODE Penelitian ini adalah penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survey. Model evaluasi yang dipilih adalah model evaluasi kesenjangan (discrepancy evaluation model). Model evaluasi ini dipilih karena untuk mengidentifikasi apakah ada kesenjangan antara perangkat pembelajaran yang ideal sesuai dengan Kurikulum 2013 dengan kondisi yang ada di lapangan. Apabila tidak ada kesenjangan maka perangkat pembelajarannya sudah siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Apabila masih terdapat kesenjangan maka informasi kesenjangan tersebut digunakan sebagai dasar dalam merumuskan rekomendasi untuk memperbaiki perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Waktu penelitian dilakukan selama tujuh bulan dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di SMK bisnis dan manajemen di DIY yang sudah mengimplementasikan Kurikulum 2013 yaitu SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1 Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari. Objek penelitian ini adalah kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi yang terdiri atas silabus, RPP, rancangan penilaian, buku guru, buku siswa, dan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Sumber informasi penelitian ini adalah guru dan siswa. Guru yang menjadi sumber informasi adalah guru mata pelajaran pengantar akuntansi. Siswa yang menjadi sumber informasi adalah siswa kompetensi keahlian akuntansi kelas X dengan jumlah sampel sebanyak 166 siswa. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling. Prosedur penelitian evaluasi ini yaitu: pertama, menentukan kriteria evaluasi kesiapan perangkat pembelajaran akuntansi; kedua mengumpulkan data terkait dengan kondisi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi; ketiga, mengidentifikasi kesenjangan yang terjadi antara kriteria evaluasi dengan kondisi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi di lapangan; keempat, menentukan penyebab terjadinya kesenjangan; dan terakhir menyusun rekomendasi untuk memperbaiki kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi Data penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dokumentasi, wawancara, dan angket. Instrumen penelitiannya yaitu lembar penilaian, pedoman wawancara, dan angket. Dokumentasi digunakan untuk mendokumentasikan perangkat pembelajaran yang terdiri atas silabus, [ 512 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
RPP, rancangan penilaian, buku guru, dan buku siswa. Wawancara digunakan untuk menggali informasi lebih dalam dari guru tentang perangkat pembelajaran. Angket digunakan untuk memperoleh data persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Uji validitas instrumen lembar penilaian dengan expert judgment dan rumus Aiken’s V, sedangkan uji reliabilitasnya dengan intraclass correlation coefficient (ICC). Instrumen pedoman wawancara diuji validitas isi dengan expert judgment. Instrumen angket diuji validitasnya dengan analisis faktor eksploratori dan uji reliabilitasnya dengan rumus Alpha. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif, dan analisis multivariat. Teknik deskriptif kuantitatif digunakan untuk mengetahui kesiapan silabus, RPP, rancangan penilaian dan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Teknik deskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui kesiapan buku guru dan buku siswa. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Penilaian kesiapan perangkat pembelajaran dilakukan oleh tiga orang penilai (rater) dengan menggunakan lembar penilaian dan rubrik penilaian. Hasil penilaian ketiga rater tersebut dirata-rata untuk mencari besarnya skor rata-rata kesiapan perangkat pembelajaran dan skor tersebut digunakan untuk mencari skor akhir. Selanjutnya skor akhir tersebut dikategorisasikan untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Kategorisasinya yaitu skor 91-100= sangat siap, 81-90= siap, 71-80= cukup siap, 61-70= kurang siap, dan kurang dari 60= tidak siap. Masing-masing perangkat pembelajaran dikatakan siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 apabila minimal sudah mencapai skor 81 atau dalam kategori siap. HASIL DAN PEMBAHASAN Kesiapan Silabus Kesiapan silabus dinilai dari tujuh aspek yaitu kepemilikan silabus, identitas mata pelajaran, perumusan materi pokok, perumusan kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, dan pemilihan sumber belajar. Hasil penelitian tentang kesiapan silabus dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan silabus memiliki rata-rata skor sebesar 77,25, yang berarti dalam kategori cukup siap. Artinya, silabus pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY cukup siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Aspek kepemilikan silabus masuk dalam kategori sangat siap. Semua sekolah yang menjadi tempat penelitian sudah memiliki silabus pengantar akuntansi Kurikulum 2013. Silabus tersebut ada yang diperoleh langsung dari pusat, download dari internet, dan ada yang meng-copy dari sekolah lain. Hal ini didukung oleh pendapat Widdiharto (2014: 10) yang menyatakan bahwa bahan rujukan untuk menyusun silabus sudah relatif baku dan
P a g e [ 513 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 up to date serta bisa diakses publik (termasuk guru) karena di-publish secara terbuka di berbagai laman Kemdikbud maupun lainnya. Tabel 1. Kesiapan Silabus No 1 2 3 4 5 6 7
Aspek Kepemilikan silabus Identitas mata pelajaran Perumusan materi pokok Perumusan kegiatan pembelajaran Penilaian Alokasi waktu Pemilihan sumber belajar Rata-rata
Skor 100,00 51,85 77,78 85,19 92,59 88,89 29,63 75,13
Ket Sangat siap Tidak siap Cukup siap Siap Sangat siap Siap Tidak siap Cukup siap
Aspek identitas mata pelajaran masuk dalam kategori tidak siap. Sebagian besar guru tidak menuliskan indentitas mata pelajaran dan identitas sekolah dengan lengkap. Guru sebaiknya menuliskan identitas mata pelajaran pada silabus dengan jelas dan lengkap. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Majid (2011: 42) yang menyatakan bahwa pada bagian identitas mata pelajaran perlu dituliskan dengan jelas nama mata pelajaran, jenjang sekolah, kelas, dan semester. Aspek perumusan materi pokok masuk dalam kategori cukup siap. Perumusan materi pokok dalam silabus harus disesuaikan dengan SKL dan KD. Setiap silabus sudah memuat materi pokok yang sesuai dengan SKL. Ada silabus yang sudah merumuskan materi pokok sesuai dengan KD pengantar akuntansi Kurikulum 2103, namun ada juga yang belum. KD pengantar akuntansi Kurikulum 2103 sesuai dengan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK yaitu tentang uang dan keuangan perusahaan. Silabus yang belum merumuskan materi pokok sesuai dengan KD tersebut, perumusan materi pokoknya tentang akuntansi. Hal ini dapat terjadi karena guru hanya men-download silabus dari internet tanpa memperhatikan KD yang ada dalam Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK. Aspek perumusan kegiatan pembelajaran masuk dalam kategori siap. Semua silabus sudah memuat perumusan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan konsep Kurikulum 2013, yang meliputi tahap mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan komunikasi. Dalam setiap tahap tersebut juga sudah dijelaskan secara rinci aktivitas kegiatan pembelajarannnya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sumiyati (2013: 2) yang menyatakan bahwa pembelajaran Kurikulum 2013 sudah mengedepankan pengalaman personal melalui pengamatan, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikannya. Aspek penilaian masuk dalam kategori sangat siap. Penilaian yang terdapat dalam silabus meliputi tes, tugas, observasi, dan portofolio. Jenis penilaian tersebut mampu mengungkap aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perumusan aspek penilaian dalam silabus tersebut sudah sesuai dengan prinsip penilaian otentik. Aspek alokasi [ 514 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
waktu masuk dalam kategori siap. Aspek alokasi waktu yang ada dalam silabus sudah sesuai dengan struktur kurikulum dan cakupan materinya. Alokasi waktu untuk mata pelajaran pengantar akuntansi adalah 2 jam pelajaran per minggu. Aspek pemilihan sumber belajar masuk dalam kategori tidak siap. Hal ini disebabkan karena dalam silabus tersebut tidak menyebutkan secara jelas dan lengkap sumber belajar yang dipakai, bahkan ada yang tidak menyebutkan sumber belajar sama sekali. Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa sumber belajar dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan. Apabila sumber belajar berupa buku maka minimal harus menyebutkan judul buku, nama pengarang, tahun terbit, dan penerbitnya. Sebaiknya guru menuliskan sumber belajar dengan jelas dan lengkap pada silabus. Hal ini didukung oleh pendapat Majid (2011: 59) yang menyatakan bahwa sumber belajar diperlukan agar dalam menyusun silabus terhindar dari kesalahan konsep. Selain itu dengan mencantumkan sumber belajar kita akan terhindar dari perbuatan menjiplak karya orang lain (plagiat). Kesiapan RPP Kesiapan RPP dinilai dari sepuluh aspek yaitu kepemilikan RPP, identitas mata pelajaran, perumusan indikator, perumusan tujuan pembelajaran, pemilihan materi ajar, pemilihan sumber belajar, pemilihan media belajar, model pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian. Hasil penelitian tentang kesiapan RPP dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kesiapan RPP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aspek Kepemilikan RPP Identitas mata pelajaran Perumusan indikator Perumusan tujuan pembelajaran Pemilihan materi ajar Pemilihan sumber belajar Pemilihan media belajar Model pembelajaran Skenario pembelajaran Penilaian Rata-rata
Skor 100,00 94,44 85,19 85,19 81,48 74,07 44,44 88,89 88,89 74,07 81,67
Ket Sangat siap Sangat siap Siap Siap Siap Cukup siap Tidak siap Siap Siap Cukup siap Siap
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan RPP memiliki rata-rata skor sebesar 81,67, yang berarti dalam kategori siap. Artinya, RPP pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Aspek kepemilikan RPP masuk dalam kategori sangat siap. Hal ini dikarenakan semua sekolah yang menjadi tempat penelitian sudah memiliki RPP pengantar akuntansi Kurikulum 2013. Berdasarkan hasil wawancara, Sebagian besar RPP tersebut disusun oleh guru secara bersama-sama atau tim di sekolah, meskipun ada juga guru yang P a g e [ 515 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menyusunnya sendiri. Sebanyak 67% guru sudah memiliki RPP lengkap selama satu semester yaitu minimal sebanyak 6 buah RPP. Aspek identitas mata pelajaran masuk dalam kategori sangat siap. Sebagian besar guru sudah menuliskan identitas mata pelajaran dengan lengkap meliputi nama satuan pendidikan, kelas/semester, program keahlian, mata pelajaran, materi pokok, alokasi waktu, dan jumlah pertemuan. Sebanyak 33% guru belum menyebutkan nama satuan pendidikan dengan lengkap. Sebaiknya guru menuliskan identitas mata pelajaran dengan lengkap. Hal ini sejalan dengan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang menjelaskan bahwa dalam RPP harus memuat identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan, mata pelajaran atau tema, kelas/semester, materi pokok, alokasi waktu (Kemdikbud, 2013b: 6). Aspek perumusan indikator masuk dalam kategori siap. Penulisan indikator harus sesuai dengan KI, KD, dan menggunakan kata kerja operasional. Semua guru sudah menuliskan indikator pencapaian kompetensi dengan menggunakan kata kerja operasional. Sebanyak 33% guru sudah menuliskan indikator lengkap sesuai dengan KI dan KD, namun sisanya belum menuliskannya dengan lengkap. Sebanyak 67% guru hanya menuliskan indikator yang berkaitan dengan KI-3 dan KI-4. Aspek perumusan tujuan pembelajaran masuk dalam kategori siap. Semua guru sudah merumuskan tujuan pembelajaran sesuai dengan indikator atau tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Seperti halnya dalam merumuskan indikator, sebanyak 33% guru sudah merumuskan tujuan pembelajaran lengkap sesuai dengan KI dan KD, namun ada juga yang belum lengkap. Sebanyak 67% guru hanya merumuskan tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan KI-3 dan KI-4. Aspek pemilihan materi ajar masuk dalam kategori siap. Semua guru sudah memilih materi ajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Sebanyak 33% guru sudah menyertakan materi pembelajaran di dalam RPP dan sisanya hanya menyebutkan garis besar materi pembelajarannya saja. Materi pembelajaran yang direncanakan di dalam RPP sudah sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Aspek pemilihan sumber belajar masuk dalam kategori cukup siap. Sebagian besar guru sudah menuliskan sumber belajar yang sesuai dengan materi pembelajaran dan karakteristik peserta didik. Sumber belajar yang digunakan berupa buku, majalah, dan materi hasil download dari internet. Sebanyak 83% guru sudah menuliskan sumber belajar dengan lengkap meliputi judul buku, pengarang, tahun terbit, dan penerbit, namun ada yang belum lengkap yaitu sebanyak 17%. Sumber belajar yang digunakan guru belum sesuai dengan Kurikulum 2013, bahkan masih ada guru yang masih menggunakan sumber belajar yang didesain untuk Kurikulum 2004. Aspek pemilihan media belajar masuk dalam kategori tidak siap. Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa media pembelajaran berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Guru harus memilih dan merencanakan media pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran pengantar akuntansi. [ 516 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Mulyasa (2013: 100) yang menyatakan bahwa guru harus mampu melakukan pemilihan dan penggunaan media pembelajaran. Lebih lanjut lagi, Sanjaya (2013: 23) menyatakan bahwa guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media pembelajaran dan perkembangan teknologi informasi memungkinkan setiap guru untuk menggunakan berbagai pilihan media yang dianggap cocok. Aspek model pembelajaran masuk dalam kategori siap. Sebanyak 83% guru sudah merencanakan penggunaan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan pendekatan scientific. Model pembelajaran tersebut seperti model discovery learning dan model problem based learning. Hal ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 yang menjelaskan bahwa untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan (discovery learning) dan untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual sangat disarankan menggunakan pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning). Aspek skenario pembelajaran masuk dalam kategori siap. Semua RPP sudah menampilkan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup dengan jelas. Kegiatan inti pembelajaran sudah sesuai dengan pendekatan scientific yang meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan. Alokasi waktu dalam skenario pembelajaran juga sudah sesuai dengan cakupan materi pembelajaran. Aspek penilaian masuk dalam kategori cukup siap. Sebanyak 83% guru sudah menyebutkan rencana penilaian yang akan digunakan dengan lengkap, namun sebanyak 17% guru belum menuliskannya dengan lengkap. Teknik penilaian yang digunakan antara lain pengamatan, tes lisan, tes tertulis, dan tugas. Sebagian guru sudah menuliskan teknik penilaian beserta instrumen penilaiannya, namun ada juga yang belum menyertakan instrumen penilaiannya. Kesiapan Rancangan Penilaian Kesiapan rancangan penilaian dinilai dari delapan aspek yaitu adanya rancangan penilaian dalam RPP, kesesuaian dengan KI, kesesuaian dengan KD, kesesuaian dengan indikator, menggunakan penilaian otentik, kesesuaian dengan pendekatan scientific, kesesuaian dengan materi pembelajaran, dan kesesuaian waktu. Hasil penelitian tentang kesiapan rancangan penilaian dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan rancangan penilaian memiliki ratarata skor sebesar 64,58, yang berarti dalam kategori kurang siap. Artinya, rancangan penilaian pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY kurang siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Aspek adanya rancangan penilaian dalam RPP masuk dalam kategori sangat siap. Hal ini dikarenakan semua guru sudah menuliskan rancangan penilaian dalam RPP mereka. Hasil penelitian Hamid, Hassan, & Ismail (20012: 85) menunjukkan bahwa P a g e [ 517 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 kemampuan guru dalam melakukan penilaian dan evaluasi merupakan indikator yang valid untuk menilai kinerja guru. Dengan demikian guru harus mampu merancang penilaian sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku agar mampu menilai proses dan hasil pembelajaran secara komprehensif. Tabel 3. Kesiapan Rancangan Penilaian No 1 2 3 4 5 6 7 8
Aspek Adanya rancangan penilaian dalam RPP Kesesuaian dengan KI Kesesuaian dengan KD Kesesuaian dengan indikator Menggunakan penilaian otentik Kesesuaian dengan pendekatan scientific Kesesuaian dengan materi pembelajaran Kesesuaian waktu Rata-rata
Skor 100,00 81,48 62,96 42,59 75,93 50,00 55,56 48,15 64,58
Ket Sangat siap Siap Kurang siap Tidak siap Cukup siap Tidak siap Tidak siap Tidak siap Kurang siap
Aspek kesesuaian dengan KI masuk dalam kategori siap. Para guru sudah merencanakan penilaian yang menilai empat ranah KI, yaitu kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Sebanyak 83% rancangan penilaian sudah lengkap menilai keempat ranah KI tersebut dan sisanya sebanyak 17% belum lengkap keempat ranah KI tersebut. Kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial dinilai dengan menggunakan lembar pengamatan, lembar penilaian sikap, lembar penilaian sikap jujur, dan lembar penilaian sikap toleransi. Kompetensi pengetahuan dinilai dengan menggunakan tes dan kompetensi keterampilan dinilai dengan lembar pengamatan diskusi dan tugas. Aspek kesesuaian dengan KD masuk dalam kategori kurang siap. Sebanyak 83% guru sudah menuliskan rancangan penilaian yang sesuai dengan KD dan sisanya belum menuliskan rancangan penilaian yang sesuai dengan KD. Sebanyak 50% rancangan penilaian belum menilai KD kelompok kompetensi pengetahuan yang sudah dituliskan di dalam RPP. Setelah dianalisis lebih lanjut, ada RPP yang menuliskan KD kelompok kompetensi pengetahuan namun dalam rancangan penilaiannya belum menyertakan soal atau instrumen penilaiannya. Aspek kesesuaian dengan indikator masuk dalam kategori tidak siap. Sebanyak 33% guru sudah menuliskan indikator dengan lengkap dan menuliskan soal yang sesuai dengan indikator tersebut, namun sebanyak 50% guru menuliskan rancangan penilaian tetapi tidak sesuai indikator. Setelah dianalisis lebih lanjut, ada rancangan penilaiannya tetapi tidak ada indikatornya. Selain itu, ada guru yang menuliskan indikatornya tetapi di dalam rancangan penilaian tidak menyertakan teknik dan instrumen penilaiannya. Aspek menggunakan penilaian otentik masuk dalam kategori cukup siap. Para guru merencanakan penilaiannya dengan menggunakan teknik penilaian otentik seperti tes lisan, tes tertulis, tugas, penilaian keterampilan, penilaian diskusi, dan penilaian sikap. [ 518 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
Teknik penilaian otentik tersebut dapat mengukur kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Aspek kesesuaian dengan pendekatan scientific masuk dalam kategori tidak siap. Pendekatan scientific berkaitan erat dengan proses pembelajaran sehingga membutuhkan instrumen penilaian seperti lembar pengamatan untuk mengamati siswa ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Guru sudah menuliskan teknik penilaian dengan menggunakan pengamatan, namun sebanyak 50% guru belum menyertakan instrumen lembar pengamatannya. Aspek kesesuaian dengan materi pembelajaran masuk dalam kategori tidak siap. Setelah dianalisis lebih lanjut, sebanyak 33% guru sudah menyertakan materi pembelajaran dan menuliskan rancangan penilaian sesuai dengan materi pembelajaran tersebut. Sebanyak 17% guru belum menyertakan materi pembelajaran dengan lengkap tetapi ada soalnya di rancangan penilaian. Sebanyak 50% guru belum menyertakan materi pembelajaran dan juga instrumen penilaiannya. Aspek kesesuaian waktu masuk dalam kategori tidak siap. Setelah dianalisis lebih lanjut, ada beberapa soal-soal yang pengerjaannya membutuhkan banyak waktu sehingga tidak mungkin selesai dalam satu pertemuan. Kesiapan Buku Guru Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku guru mata pelajaran pengantar akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 karena sekolah belum memperoleh kiriman buku guru dari pemerintah. Hal ini tentu saja akan menghambat proses implementasi Kurikulum 2013. Sebagaimana diungkapkan oleh Suyanto (2013: 2) yang menyatakan bahwa apabila buku-buku itu datang tidak tepat waktu, maka para guru akan panik dan tidak percaya diri dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Selama ini proses pembelajaran pengantar akuntansi menggunakan buku paket yang biasa digunakan guru pada semester atau kurikulum sebelumnya. Ada tiga buku paket yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran pengantar akuntansi. Nama pengarang, tahun terbit, dan nama penerbit ketiga buku tersebut ada pada peneliti untuk menjaga kerahasiaannya. Dalam penelitian ini, ketiga buku tersebut tetap dianalisis untuk menilai kualitas buku tersebut. Analisis dilakukan oleh tiga orang penilai (rater). Analisis buku dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Aspek penilaian analisis buku tersebut yaitu kesesuaian materi pembelajaran dengan KI dan KD pengantar akuntansi Kurikulum 2013, cakupan materi, kedalaman pembahasan materi, kontekstual, kualitas tulisan dan gambar, serta keberadaan soal latihan dan pembahasan/kunci jawaban. Hasil analisis menunjukkan bahwa materi pembelajaran yang terdapat dalam buku tidak sesuai dengan KI dan KD Kurikulum 2013 karena bukunya memang tidak didesain untuk itu. Sebagian besar buku masih mengacu pada kurikulum KTSP, bahkan
P a g e [ 519 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ada yang masih berdasarkan kurikulum 2004. Hal ini tentu akan berdampak langsung pada materi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Cakupan materi pembelajaran yang ada dalam buku tersebut cukup luas dan memadai, terutama terkait materi akuntansi perusahaan jasa dan perusahaan dagang. Ada buku yang menjelaskan sampai pada materi akuntansi perusahaan manufaktur dan analisis laporan keuangan. Kedalaman pembahasan materinya cukup dalam dan cukup detail, ada satu buku yang sudah disesuaikan dengan IFRS (standar akuntansi yang berlaku internasional). Materi pembelajaran dan contoh-contoh yang diberikan kontekstual dengan kehidupan sehari-hari, selain itu contoh-contohnya juga kekinian (up to date). Kualitas tulisan dan gambar cukup bagus dan jelas, hanya saja masih ada yang hitam putih, apabila berwarna akan lebih menarik. Semua buku sudah ada soal latihannya, namun belum ada pembahasan ataupun kunci jawabannya. Pada dasarnya buku-buku tersebut sudah layak untuk dijadikan referensi dalam pembelajaran pengantar akuntansi, hanya saja belum sesuai dengan Kurikulum 2013. Kesiapan Buku Siswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku siswa mata pelajaran pengantar akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Hal ini dikarenakan sekolah belum memperoleh kiriman buku siswa dari pemerintah. Proses pembelajaran pengantar akuntansi selama ini hanya menggunakan buku paket yang dipakai guru dan ditambah materi dari internet. Hasil penelitian ini sejalan dengan artikel yang ditulis oleh Sulianita (2014: 4) yang menjelaskan bahwa implementasi Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran kelompok paket keahlian masih banyak keluhan dari guru karena mereka belum mendapatkan buku guru, buku siswa, dan juga ada yang belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan. Hasil penelitian ini juga didukung dengan berita yang ditulis oleh Amirullah yang menyatakan bahwa penerapan Kurikulum 2013 membuat guru dan siswa bingung karena buku-buku pelajaran yang akan digunakan belum didistribusikan ke sekolah (Amirullah, 14 Agustus 2014). Idealnya para siswa sudah memperoleh buku siswa Kurikulum 2013. Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan bahwa perkembangan buku Kurikulum 2013 sudah selesai untuk sampai ke sekolah masing-masing (Harahap, 5 Agustus 2014). Masih adanya sekolah yang belum menerima buku disebabkan karena belum semua perusahaan pemenang tender selesai mencetak buku tersebut dan tidak semua perusahaan memiliki modal yang cukup untuk mencetak sesuai kontrak buku yang dimenangkan (Alfiyah, 13 Agustus 2014). Persepsi Siswa tentang Kesiapan Perangkat Pembelajaran Pengantar Akuntansi Data persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi memiliki skor tertinggi sebesar 36, skor terendah sebesar 17, mean sebesar [ 520 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
27,45, median sebesar 27,00, modusnya adalah 27, dan standar deviasi sebesar 3,65. Kategorisasi persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Batang Persepsi Siswa tentang Kesiapan Perangkat Pembelajaran Pengantar Akuntansi Persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi pada kategori sangat positif frekuensinya 20 (12,05%), kategori positif frekuensinya 57 (34,34%), kategori negatif frekuensinya 68 (40,96%), dan kategori sangat negatif frekuensinya 21 (12,65%). Data tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi berpusat pada kategori negatif. Persepsi siswa yang cenderung negatif tersebut selaras dengan kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi yang belum sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Sugihartono, et.al. (2007: 8) menjelaskan bahwa persepsi yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi bagaimana perilaku orang tersebut. Persepsi yang positif akan menghasilkan hal yang positif, begitu juga sebaliknya. Apabila siswa memiliki persepsi yang positif tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi, maka siswa tersebut akan lebih siap dalam mengikuti pembelajaran pengantar akuntansi. Analisis lebih lanjut untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi dilakukan dengan menggunakan analisis multivariat. Rangkuman hasil analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa nilai uji F Wilks’ Lamda sebesar 4,951 dengan sig. = 0,000, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa P a g e [ 521 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 terdapat perbedaan yang signifikan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran akuntansi antara siswa SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1 Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari. Tabel 5. Rangkuman Hasil Analisis Uji Beda dengan Analisis Multivariat Effect
Uji
F
Sig.
Xa
Wilks' Lambda
4.951a
.000
Hasil penelitian ini memperkuat teori yang dikemukakan Slameto (2010: 103105) yang menyatakan bahwa persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Senada dengan hal tersebut, Elfiky (2014: 132) menyatakan bahwa setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang kenyataan hidup yang mereka jalani. Hasil analisis post hoc menunjukkan bahwa aspek yang memberikan perbedaan signifikan yaitu persepsi siswa tentang kesiapan RPP dan persepsi siswa tentang kesiapan rancangan penilaian. Sementara itu tidak ada perbedaan signifikan persepsi siswa tentang kesiapan silabus antara siswa SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1 Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh secara keseluruhan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) silabus pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY cukup siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (2) RPP siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (3) rancangan penilaian kurang siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (4) buku guru belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (5) buku siswa belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (6) persepsi siswa mengindikasikan bahwa perangkat pembelajaran pengantar akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (7) terdapat perbedaan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi antara siswa SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1 Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari, dan (8) perangkat pembelajaran pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. DAFTAR PUSTAKA Alfiyah, N. (2014, Agustus 13). Alasan buku Kurikulum 2013 terlambat dicetak. Tempo, p. 1. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 dari http://www.tempo.co/read/news/2014/ 08/13/079599273/Alasan-BukuKurikulum-2013-Terlambat-dicetak. Amirullah. (2014, Agustus 14). Kurikulum 2013 murid belum terima buku pelajaran. Tempo, p. 1. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 dari [ 522 ] P a g e
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
http://www.tempo.co/read/news/2014/ 08/14/083599455/Kurikulum-2013Murid-Belum-Terima-Buku-Pelajaran. Elfiky, I. (2014). Terapi berpikir positif. (Terjemahan Khalifurrahman Fath & M. Taufik Dimas). Jakarta: Zaman. (Buku asli diterbitkan tahun 2008). Hamid, S.R.A, Hassan, S.S.S., & Ismail, N.A.H. (2012). Teaching quality and performance among experienced teachers in Malaysia. Australian Journal of Teacher Education, Volume 37, Issue 11, November 2012, 85-103. Harahap, R.F. (2014, Agustus 5). Buku Kurikulum 2013 ditargetkan tiba di sekolah 15 agustus. Okezone, p. 1. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 dari http://kampus. okezone.com/read/2014/08/05/560/1020396/bukukurikulum-2013-ditargetkan-tiba-di-sekolah-15-agustus. Isniati, S. (2014, Januari 7). Resolusi bidang pendidikan tahun 2014. Kedaulatan Rakyat, p. 12. Kemdikbud. (2013a). Rasional Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud. Kemdikbud. (2013b). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 65 Tahun 2013, tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemdikbud. (2013c). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 70 Tahun 2013, tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK. Kemdiknas. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2009, tentang Standar Kompetensi Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Majid, A. (2011). Perencanaan pembelajaran: Mengembangkan standar kompetensi guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Richardson, R.C., et.al. (2009). Character education: Lessons for teaching social and emotional competence. Children & Schools, Number 2, April 2009, 71-78. Sanjaya, W. (2013). Strategi pembelajaran berorientasi pada proses pendidikan. Jakarta: Kencana. Slameto. (2010). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sugihartono, et.al. (2007). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Sulianita, L. (2014, Februari). Dikeluhkan!! Implementasi Kurikulum 2013 di SMK. Kompasiana. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 dari http://edukasi.kompasiana.com/2014/02/11/di-keluhkan-implementasikurikulum-2013-di-smk-634286.html. Sumiyati. (2013, November). Implementasi Kurikulum 2013 menuju indonesia maju. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Sains, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret pada tanggal 9 November 2013 di Surakarta.
P a g e [ 523 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Suyanto. (2013). Katup pengaman Kurikulum 2013. Artikel dalam rubrik tokoh di web UNY. Diambil pada tanggal 20 November 2014 dari http://www.uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-suyanto-phd.html-0. Widdiharto, R. (2014, Januari 7). Belajar dari implementasi Kurikulum 2013. Kedaulatan Rakyat, p. 10.
[ 524 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
UPAYA MENINGKATKAN MUTU PROSES PEMBELAJARAN PRODI PENDIDIKAN EKONOMI PADA MATA KULIAH STATISTIKA Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak Artikel hasil kajian pemikiran ini bertujuan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran prodi pendidikan ekonomi pada mata kuliah statistika. Permasalahan yang terjadi yaitu mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengolah data primer. Indikator yang menunjukkan mutu proses pembelajaran pada mata kuliah statistika yaitu mahasiswa mampu menyusun instrumen pada satu maupun dua variabel bebas serta menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Hasil pembahasan menunjukkan perlunya perbaikan yang dilakukan yaitu mulai dari perbaikan silabus hingga penerapannya di kelas. Adanya penambahan materi tentang membuat angket, cara mengolah data angket dan memasukkannya ke dalam excel dengan metode simulasi sehingga mahasiswa paham tentang analisis data primer. Dengan demikian akan memudahkan mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Kata kunci: Mutu Proses Pembelajaran, Statistika
PENDAHULUAN Mata kuliah statistika merupakan salah satu mata kuliah prasyarat sebelum mahasiswa mengerjakan skripsi. Jika mahasiswa belum lulus mata kuliah ini, maka mahasiswa tidak diperbolehkan memprogram skripsi dan sifatnya wajib lulus tentunya. Selain menjadi mata kuliah prasyarat memprogram skripsi, di sisi lain mata kuliah ini menjadi momok bagi mahasiswa. Dari hasil wawancara yang dilakukan, sebagian responden yaitu mahasiswa yang sedang memprogram skripsi, sebesar +80% mereka mengaku terpacu pada penelitian yang berasal dari data sekunder. Sedangkan mereka yang mendapati judul penelitian yang menggunakan data primer mengaku kurang pengetahuan tentang pembuatan angket serta tabulasi data angket ke dalam excel. Sebagian besar mahasiswa yang mendapati skripsinya menggunakan data sekunder, mereka memilih untuk belajar membuat angket dan tabulasi data melalui internet, dan juga membaca penelitian terdahulu. Hal tersebut terjadi karena pada saat mereka memprogram mata kuliah statistika mereka tidak mendapatkan materi tentang pengolahan data primer. Sebelum mahasiswa mengolah data primer, mahasiswa tentunya juga harus memahami bagaimana cara membuat angket. Dalam membuat angket, mahasiswa harus benar-benar paham tentang variabel yang mereka teliti, sub variabel jika ada serta indikator pada masing-masing variabel atau sub variabel. Setelah mereka paham bagaimana caranya menyusun angket, maka dilanjutkan dengan melakukan uji coba instrumen yang bertujuan untuk mengetahui Validitas dan Reliabilitas instrumen. Uji ini dilakukan karena merupakan syarat dari instrumen sebelum digunakan dalam penelitian. P a g e [ 525 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Jika instrumen sudah diuji validitas dan reliabilitas dan memenuhi persyaratan ujinya maka baru instrumen dapat digunakan untuk mengambil data primer. Dari beberapa fenomena di atas maka saran yang dapat diberikan yaitu mahasiswa harusnya juga mendapatkan materi tentang bagaimana cara membuat angket, cara pengolahannya, serta uji validitas dan reliabilitas instrumen. Penyampaian materi tersebut harusnya dilakukan melalui metode simulasi agar mahasiswa benar-benar mengalaminya. “Model simulasi pada dasarnya adalah salah satu dari sekian strategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih nyata melalui penciptaan tiruan atau imitasi bentuk pengalaman yang mendekati suasana sebenarnya serta terjadi dalam suasana yang tanpa risiko”. (Rusman, 2011). Penerapan metode simulasi akan mencapai tujuan yang maksimal jika menerapkan prinsip-prinsip berikut: 1.) Simulasi tersebut dilakukan oleh kelompok mahasiswa, pada tiap kelompok mendapatkan giliran untuk melakukan simulasi yang sama atau dapat juga berbeda; 2.) Semua mahasiswa harus terlibat secara langsung sesuai dengan peran masing-masing; 3.) Penentuan tema disesuaikan dengan level kemampuan kelas, dibicarakan oleh mahasiswa dan dosen; 4.) Petunjuk harus simulasi diberikan terlebih dahulu sebelum dilaksanakan; 5.) Dalam proses simulasi hendaknya diilustrasikan situasi atau kondisi yang lengkap; 6.) Hendaknya terintegrasi dengan beberapa ilmu (Hasibuan, 2010). Sedangkan beberapa tujuan simulasi adalah sebagai berikut: 1.) Untuk meningkatkan kegiatan belajar mahasiswa dengan melibatkan mahasiswa dalam mempelajari kondisi yang hampir sama dengan kejadian yang sebenarnya terjadi; 2.) Untuk melatih mahasiswa agar dapat menguasai keterampilan tertentu, baik yang bersifat professional maupun yang penting di kehidupan nyata; 3.) sebagai bahan latihan untuk memecahkan masalah; 4.) Untuk memberikan suatu rangsangan belajar bagi mahasiswa; 5.) Untuk memahami berbagai tingkah laku manusia dan kondisi masyarakat di lingkungan sekitar; 6.) Untuk melatih serta membantu mahasiswa dalam memimpin, bergaul maupun memahami hubungan antar sesama manusia, bekerja sama secara kelompok, menghargai dan memahami perasaan dan juga argumen orang lain, dan meningkatkan kreativitas mahasiswa (Ahmadi, 2005). Simulasi pada mata kuliah statistika ini harus dilakukan. Hal ini disebabkan karena jika tidak maka mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan skripsi dan ditakutkan mahasiswa mengalami kelulusan yang tidak tepat waktu. Pendapat ini didukung oleh teori dari Johnson (2006) yang mengatakan bahwa waktu mahasiswa hanya dihabiskan untuk mengerjakan tugas, mendengarkan dosen, dan menyelesaikan soal-soal latihan yang membosankan, dengan dalih mengikuti ujian yang bisa mengukur pemahaman mahasiswa, mereka hanya mengikuti ujian yang mengukur kemampuan menghafalkan materi atau fakta-fakta. Kalau otak hanya belajar, mengutip, dan berlatih, sistem kebut semalam (SKS) sebelum ujian, maka dalam waktu 14 hingga 18 jam, otak akan lupa sebagian besar informasi tersebut, terkecuali kalau informasi itu mengandung makna. [ 526 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
Dengan adanya penambahan materi tentang membuat angket, cara mengolah data angket dan memasukkannya ke dalam excel dengan metode simulasi, maka diharapkan mahasiswa benar-benar paham tentang analisis data primer. Sehingga akan membantu mahasiswa dalam mengerjakan skripsi dan mainset mereka yang semula berfikiran tentang skripsi itu susah maka dengan sendirinya akan berubah menjadi skripsi itu menyenangkan dan mudah tentunya. PEMBAHASAN Untuk melakukan peningkatan mutu proses pembelajaran pada mata kuliah statistika, maka indikator peningkatan mutu proses pembelajaran statistika yaitu mahasiswa mampu menyusun instrumen pada satu maupun dua variabel bebas serta menguji validitas dan reliabilitas Instrumen yang digunakan untuk mengambil data primer haruslah tercapai. Sehingga yang harus dilakukan pertama kali adalah menambah kompetensi dasar pada silabus mata kuliah statistika. Titik penambahan kompetensi dasar terdapat pada sebelum kompetensi dasar persamaan regresi linear yang ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 1. Bagian Silabus Mata Kuliah Statistika No
Kompetensi Dasar
5. 5.1 Menyusun persamaan Regresi Linear Satu Prediktor 5.2 Menyusun persamaan Regresi Linear Dua Prediktor 5.3 Menyusun persamaan Regresi Linear Tiga Prediktor
Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 5. Teknik Regresi Linear 5.1 Regresi Linear Satu Prediktor 5.2 Regresi Linear Dua Prediktor 5.3 Regresi Linear Tiga Prediktor
Pengalaman Belajar Mendiskusikan : 1. Regresi Linear Satu Prediktor 2. Regresi Linear Dua Prediktor 3. Regresi Linear Tiga Prediktor
Indikator Pencapaian Dapat menyusun persamaan : 1. Regresi Linear satu Prediktor 2. Regresi Linear dua Prediktor 3. Regresi Linear Tiga Prediktor
Pada silabus di atas diketahui bahwa sebelum melakukan analisis regresi, tidak terdapat cara menyusun instrumen. Hal ini terjadi karena pada silabus ini terfokus pada analisis data sekunder. Sehingga yang terjadi adalah mahasiswa langsung diajarkan menganalisis regresi linear. Setelah ditelaah dari fenomena yang terjadi yaitu mahasiswa hanya memahami cara pengolahan data sekunder dan belum memahami pengolahan data primer maka perlu diberikan penambahan kompetensi dasar tentang penyusunan instrumen. Penyusunan instrumen yang diajarkan mulanya satu variabel dan dilanjutkan dengan dua P a g e [ 527 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 variabel dan diakhiri dengan uji validitas dan reliabilitas instrumen seperti yang dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 2. Penambahan Kompetensi Dasar Materi Pokok dan Pengalaman Indikator Sub Materi Pokok Belajar Pencapaian 4. 4.1 Menyusun 4. Instrumen Mendiskusikan : Dapat : Instrumen pada penelitian 1. Instrumen 1. Menyusun satu variabel 4.1 Instrumen Penelitian satu instrumen pada bebas, sub Penelitian satu variabel bebas satu variabel variabel dan variabel bebas 2 Instrumen bebas, sub indikatornya 4.2 Instrumen Penelitian dua variabel dan 4.2 Menyusun Penelitian dua variabel bebas indikatornya Instrumen pada variabel bebas 3 Uji Validitas dan 2. Menyusun dua variabel 4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen pada bebas, sub Reliabilitas dua variabel variabel dan bebas, sub indikatornya variabel dan 4.3 Menguji Validitas indikatornya dan Reliabilitas 3. Menguji Validitas Instrumen dan Reliabilitas Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data primer
No
Kompetensi Dasar
Dari perbaikan isi silabus di atas yaitu penambahan kompetensi dasar tentang penyusunan instrumen penelitian, maka terdapat urutan kegiatan yang jelas mulai persiapan pembuatan instrumen hingga analisis hasil data. Jika sudah terdapat penambahan tersebut maka metode simulasi sudah siap dilakukan pada proses pembelajaran. Pada pertemuan pertama, mahasiswa bisa diberikan beberapa teori mengenai variabel penelitian. Karena masih awal dan menyesuaikan dengan urutan kompetensi dasar, maka mahasiswa diberi contoh satu variabel. Variabel yang dibahas di dalam perkuliahan merupakan variabel yang berhubungan dengan penelitian pendidikan. Contoh variabel sederhana yang diberikan dalam bidang pendidikan yaitu motivasi sebagai variabel bebas, dan hasil belajar sebagai variabel terikat. Misalkan pada variabel motivasi terdapat sub variabel yaitu Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik. Dari kedua sub variabel tersebut terdapat indikatornya masing-masing. Dari setiap indikator tersebut dibuatlah instrumen pertanyaan atau pernyataan yang biasa disebut dengan angket. Angket yang telah dibuat dapat diisi sesuai dengan skala likert 5 pilihan jawaban yang terdiri dari Sangat Setuju (5), setuju (4), Cukup Setuju (3), Tidak Setuju (2), dan Sangat tidak Setuju (1). Sedangkan apabila skala likert terdiri atas 4 pilihan jawaban [ 528 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
maka pilihan ketiga yaitu cukup setuju dihilangkan yaitu menjadi Sangat Setuju (4), setuju (3), Tidak Setuju (2), dan Sangat tidak Setuju (1). Tetapi adakalanya angket merupakan suatu pertanyaan atau pernyataan bersifat negatif. Jika sifatnya negatif maka harus menyesuaikan nilai skala likertnya yaitu untuk 5 pilihan jawaban maka akan didapati nilai Sangat Setuju (1), setuju (2), Cukup Setuju (3), Tidak Setuju (4), dan Sangat tidak Setuju (5). Sedangkan apabila skala likert terdiri atas 4 pilihan jawaban maka pilihan ketiga yaitu cukup setuju dihilangkan yaitu menjadi Sangat Setuju (1), setuju (2), Tidak Setuju (3), dan Sangat tidak Setuju (4). Setelah angket tersusun dari indikator yang ada pada setiap sub variabel, maka angket dapat diujicobakan kepada teman sejawat. Teman sejawat dalam hal ini adalah teman mahasiswa yang ada dalam satu kelas. Setelah didapatkan angket yang telah terisi maka langkah selanjutnya adalah merekapitulasi hasil isian angket ke dalam excel. Setelah mengetahui bagaimana karakteristik yang ada pada variabel dan merekapitulasi data angket ke dalam angket, maka langkah berikutnya dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya. Namun perlu diketahui, pada akhir pertemuan pertama mahasiswa terlebih dahulu diberikan tugas untuk mencari satu variabel yang akan dibuat simulasi. Variabel tersebut harus berhubungan dengan penelitian pendidikan dan tentunya masing-masing mahasiswa diwajibkan membawa laptop yang telah terinstal software untuk menganalisis data. Dalam hal ini software yang digunakan adalah SPSS, karena software ini terdapat fasilitas untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Jika dirasa perlu diadakan tutorial untuk instalasi maka bisa dilakukan instalasi software secara bersama-sama di kelas. Pada pertemuan berikutnya mahasiswa telah siap dengan variabel dan indikator yang menjadi tugas mereka pada pertemuan sebelumnya. Langkah pertama yaitu melakukan instalasi software secara bersama-sama dengan dipandu oleh dosen yang mana laptopnya telah terhubung dengan LCD sehingga mahasiswa bisa dengan mudah mengikuti langkah-langkah instalasi. Setelah software telah terinstal, langkah berikutnya yaitu menugaskan mahasiswa untuk merencanakan berapa jumlah item pertanyaan atau pernyataan yang akan mereka buat pada setiap indikatornya, entah itu bersifat positif maupun negatif. Jika sudah terdapat jumlah item pertanyaan atau pernyataan yang direncanakan, barulah mahasiswa diminta untuk membuat angketnya berdasarkan jumlah yang telah mereka rencanakan. Perlu diketahui dalam setiap indikator minimal terdapat satu item pertanyaan atau pernyataan, namun mahasiswa disarankan untuk membuat lebih dari satu angket pada masing-masing indikator agar bisa mencakup indikator yang lebih detail atau terperinci. Untuk menghemat kertas (Paperless) maka mahasiswa dalam membuat angket disarankan langsung membuatnya ke dalam bentuk soft file. Selain jumlah item yang dibuat, kalimat dalam angket juga perlu dikonsultasikan kepada dosen. Jika angket bersifat negatif, maka tidak boleh mengandung kata-kata seperti tidak, agak, atau kata-kata penguat lainnya karena hal ini bisa membuat P a g e [ 529 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 responden bingung. Sehingga peran dosen di sini adalah mengecek angket setiap mahasiswa agar angket yang mereka buat bisa mudah dipahami oleh responden. Dalam membuat angket yang bersifat negatif, hendaknya menggunakan lawan kata sifat dari kalimat positif. Sebagai contoh “saya adalah mahasiswa yang rajin dalam mencatat” yang merupakan kalimat positif, jika mahasiswa ingin membuat angket tersebut ke dalam kalimat negatif maka kalimat tersebut tidak boleh berbunyi “Saya adalah mahasiswa yang tidak rajin dalam mencatat” melainkan “Saya adalah mahasiswa yang malas dalam mencatat”. Kata rajin yang bersifat positif jika mau diganti dengan kalimat negatif tidak boleh diberi kata keterangan, penguat, maupun penjelasan seperti tidak, sangat, agak dan lain sebagainya, tetapi harus menggunakan lawan kata dari rajin itu sendiri yaitu malas. Dengan demikian tidak terjadi kerancuan antara angket dengan pilihan jawaban yang telah disediakan. Dosen mengecek satu per satu angket yang telah dibuat oleh mahasiswa sampai benar-benar mendekati sempurna. Jika waktu memungkinkan, mahasiswa diminta untuk membuat format tabulasi data hasil angket, namun jika membutuhkan waktu yang lebih panjang maka dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya. Pada pertemuan berikutnya, mahasiswa telah memiliki variabel, indikator maupun angket. Langkah selanjutnya yaitu membuat tabulasi data angket dengan software excel. Tentunya mahasiswa harus memperhatikan apakah variabel yang mereka gunakan mengandung sub variabel, sub indikator atau tidak. Jika variabel langsung diturunkan ke dalam indikator maka formatnya dicontohkan sebagai berikut Tabel 3. Simulasi Tabulasi data Angket Variabel X No.resp
Indikator 1
Indikator 2
Indikator 3
Indikator 4
∑ Var X
Item 1 Item 2 ∑ Ind1 Item 3 Item 4 ∑ Ind2 Item 5 Item 6 ∑ Ind3 Item 7 Item 8 ∑ Ind4
1
4
3
7
2
5
7
3
4
7
4
3
7
2
3
3
6
2
3
5
4
3
4
2
6
3
5
8
5
4
8
1
2
3
5
10
5
4
9
n
5
1
6
4
5
9
5
5
10
5
4
9
28 22 33 34
Tabel di atas merupakan simulasi bagi mahasiswa yang ketepatan variabelnya tidak memiliki sub variabel. Dari variabel langsung diturunkan menjadi beberapa indikator. Dari masing-masing indikator dijabarkan menjadi 2 item. Dalam hal ini dosen harus mengklarifikasi bahwa dalam setiap indikator tidak harus dijabarkan menjadi 2 item, melainkan boleh bervariasi, bisa menjadi 3 ataupun lebih item. Sedangkan apabila variabel yang digunakan mahasiswa terdapat sub variabelnya, misalnya variabel motivasi belajar yang terdiri dari motivasi belajar intrinsik dan ekstrinsik, maka format tabelnya adalah sebagai berikut: Tabel 4. Tabulasi data Angket Variabel Motivasi Belajar
[ 530 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
Sub Variabel (Motivasi Intrinsik) No.resp
Indikator 1
Sub Variabel (Motivasi Ekstrinsik)
Indikator 2
Indikator 1
Item 1 Item 2 ∑ Ind1 Item 3 Item 4 ∑ Ind2
Indikator 2 ∑ sub Var 1 Item 5 Item 6 ∑ Ind1 Item 7 Item 8 ∑ Ind2
∑ sub Var 2
∑ Var X
1
4
3
7
2
5
7
14
3
4
7
4
3
7
14
28
2
3
3
6
2
3
5
11
4
4
8
1
2
3
11
22
3
4
2
6
3
5
8
14
5
5
10
5
4
9
19
33
n
5
1
6
4
5
9
15
5
5
10
5
4
9
19
34
Tabel di atas merupakan contoh simulasi input data hasil angket yang telah diisi oleh responden. Tentunya pada setiap variabel berbeda-beda komponennya baik dari sisi sub variabel, indikator, maupun jumlah item pertanyaan atau pernyataan pada setiap indikator. Yang jelas pada satu indikator minimal dapat dijadikan satu item pertanyaan atau pernyataan baik itu berupa kalimat positif maupun negatif seperti halnya yang telah dibahas sebelumnya. Baik pada tabel 3 maupun pada bab 4 terdapat jumlah hasil data angket pada setiap sub variabel, indikator. Walaupun sebenarnya ketika melakukan uji regresi yang dipakai hanyalah jumlah keseluruhan total jawaban pada setiap angket, tetapi jumlah jawaban pada setiap indikator dan setiap sub indikator juga harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk membantu mahasiswa agar lebih mudah dalam melakukan pembahasan pada penelitian atau skripsi mereka. Jika yang dianalisis mahasiswa hanyalah jumlah total per variabel, maka mahasiswa akan kesulitan dalam melakukan pembahasan atau menginterpretasikan data pada setiap sub variabel maupun pada setiap indikator. Hal ini juga dapat membantu mahasiswa agar mereka tidak kehabisan kata-kata ketika mereka menyusun pembahasan. Jika pembahasan data yang dilakukan secara jumlah total variabel maka pembahasan tersebut hanyalah secara umum. Sedangkan jika mereka membahas interpretasi data pada setiap sub variabel maupun pada setiap indikator maka mahasiswa dapat melakukan pembahasan lebih khusus dan lebih terperinci, sehingga mereka menjadi kaya akan kata-kata pada pembahasan di penelitian mereka. Pada pertemuan berikutnya, tepatnya yaitu pada kompetensi dasar berikutnya tentang menyusun instrumen dengan dua variabel bebas. Pada kompetensi dasar ini langkahnya hampir sama dengan pertemuan sebelumnya, hanya saja mahasiswa perlu membuat tabulasi hasil data angket pada variabel bebas pertama pada excel diletakkan ke dalam sheet 1, sedangkan variabel bebas berikutnya diletakkan pada sheet 2 seperti pada Gambar 1. Pada gambar 1 dapat diketahui bahwa tabulasi tersebut terdapat 2 variabel. Jika ingin menambahkan variabel lagi misal menjadi 3 atau lebih variabel maka cukup menambahkannya ke dalam sheet baru.
P a g e [ 531 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
Gambar 1. Contoh Tabulasi 2 Variabel Bebas Setelah semua tabulasi telah terbuat, maka pada pertemuan selanjutnya adalah menguji validitas dan reliabilitas. Namun, sebelum menguji validitas dan reliabilitas, maka mahasiswa diminta untuk melakukan sedikit perubahan pada kolomnya seperti pada tabel berikut: Tabel 5. Tabulasi Data untuk Uji Validitas & Reliabilitas Sub Variabel (Motivasi Intrinsik) No.resp Indikator 1
Sub Variabel (Motivasi ∑ subEkstrinsik)
Indikator 2
Indikator 1
Var 2
Indikator 2
Item 1 Item 2 Item 3 Item 4 Item 5 Item 6 Item 7 Item 8 Item 9 Item 10
1
4
3
2
5
3
4
4
3
2
5
2
3
3
2
3
4
4
1
2
2
3
3
4
2
3
5
5
5
5
4
3
5
n
5
1
4
5
5
5
5
4
4
5
∑ 35 27 41 43
Perubahan yang harus dilakukan mahasiswa adalah menghilangkan kolom jumlah pada setiap sub variabel maupun jumlah pada setiap indikator dan tinggal jumlah secara keseluruhan seperti pada tabel 5 di atas. Setelah itu mahasiswa diminta mengisi hasil angket secara acak, dimisalkan hasil angket tersebut adalah jawaban responden yang direkapitulasi dan dimasukkan ke dalam tabel. Namun jumlah responden diusahakan lebih dari 30 responden agar seolah-olah mahasiswa telah mengambil data responden dari satu kelas di suatu sekolah, dengan catatan responden untuk uji coba angket bukanlah sampel dalam penelitian melainkan responden lain yang setipikal dengan sampel seperti siswa kelas yang sederajat tetapi lokasi sekolahnya berbeda. Langkah berikutnya yaitu dosen menyimulasikan uji validitas dengan laptop yang telah terhubung dengan LCD dan tentunya mahasiswa mengikuti langkah-langkah pengujian validitas yang dilakukan oleh dosen. Contoh output uji validitas dengan SPSS dapat dilihat pada Tabel 6. Dari output tersebut, mahasiswa diminta untuk menganalisisnya. Untuk mengetahui apakah angket itu valid atau tidak bisa dilihat melalui nilai signifikansinya seperti yang ditandai warna oranye. Jika nilai signifikasnsi lebih kecil daripada alpha (0,05) maka angket dinyatakan valid, dan sebaliknya jika nilai signifikansi lebih besar dari alpha (0,05) maka angket tersebut tidak valid (Priyatno, 2010). [ 532 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
Tabel 6. Contoh Output Uji Validitas ITEM1 ITEM1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
ITEM2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
ITEM3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
JUMLA H
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
ITEM2
ITEM 3
ITEM4
ITEM5
ITEM6
ITEM7
0.395
0.311
-0.221
0.864
0.254
0.292
-0.416
0.046
0.123
0.278
0.000
0.211
0.148
0.035
26
26
26
26
26
26
26
0.424
0.307
-0.312
0.619
-0.078
0.125
-0.384
0.031
0.127
0.121
0.001
0.705
0.543
0.053
26
26
26
26
26
26
26
0.521
0.381
-0.285
0.964
0.183
0.267
-0.406
0.006
0.055
0.158
0.000
0.371
0.188
0.039
26
26
26
26
26
26
26
0.688
0.650
-0.542
0.711
0.139
0.578
-0.438
0.000
0.000
0.004
0.000
0.498
0.002
0.025
26
26
26
26
26
26
26
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Dari tabel 6 dapat dianalisis bahwa angket nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7 adalah valid karena nilai signifikansinya lebih besar dari alpha. Sedangkan angket nomor 5 tidak valid karena nilai signifikansiya lebih besar dari alpha yaitu sebesar 0,498. Sehingga, angket nomor 5 tidak dapat digunakan untuk mengambil data penelitian dan angket nomor 5 harus dihapus dari daftar angket. Setelah menguji validitas, selanjutnya yaitu mahasiswa menyimulasikan uji reliabilitas. Suatu instrumen dikatakan reliabel apabila nilai Cronbach alpha atau Reliability Coefficientsnya lebih besar dari sama dengan 0,7. Sedangkan jika nilai Reliability Coefficientsnya 0,6 maka instrumen dikatakan kurang baik (Priyatno, 2010). Contoh output uji reliabilitas dengan SPSS adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Contoh Output Uji Reliabilitas Dari gambar di atas diketahui bahwa nilai Reliability Coefficientsnya sebesar 0,8590 yang lebih besar daripada 0,7 sehingga angket dikatakan reliabel dan layak digunakan untuk mengambil data penelitian. Setelah dilakukannya uji validitas dan reliabilitas maka instrumen dapat digunakan untuk mengambil data penelitian pada responden yang sebenarnya yaitu sampel penelitian. Langkah yang terakhir adalah mengakumulasi data angket dari variabel bebas dengan variabel terikat. Pada simulasi ini mahasiswa mula-mula hanya diminta untuk menggunakan variabel bebas sebagai bahan simulasi menyusun instrumen, sehingga mahasiswa perlu menambahkan variabel terikat. Untuk memudahkan proses simulasi P a g e [ 533 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 maka variabel terikat yang digunakan untuk simulasi adalah hasil belajar siswa yang juga dimasukkan ke dalam excel seperti pada gambar berikut:
Gambar 2. Contoh Penambahan variabel hasil belajar Pada tahap ini mahasiswa diminta menyimulasikan untuk memasukkan nilai hasil belajar siswa ke dalam excel sebagai variabel terikat. Nilai hasil belajar berskala 0-100 dimisalkan mahasiswa agar mendekati situasi nyata. Setelah itu langkah yang terakhir adalah mengakumulasikan masing-masing skor pada setiap variabel seperti pada gambar berikut:
Gambar 3. Contoh Akumulasi Data pada Semua Variabel Dengan demikian terkumpullah semua data baik data dari variabel bebas maupun yang terikat. Setelah terkumpul barulah mahasiswa diajarkan tentang analisis regresi yang ada pada Kompetensi Dasar berikutnya seperti yang ada pada silabus sebelum diberikan penambahan kompetensi dasar tentang menyusun instrumen. Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa hasil pemikiran ini sesuai dengan teori dari Johnson (2006) yang mengatakan bahwa otak mahasiswa tidak akan lupa tentang informasi yang mereka dapatkan setelah 14 hingga 18 jam. Hal ini dikarenakan mereka menerima informasi dengan penuh makna yaitu mereka melakukan simulasi. Selain itu, hasil penelitian Klassen dan Willoughby (2003) juga mengatakan demikian, mereka menunjukkan bahwa simulasi game telah merupakan pelajaran yang baik. Mahasiswa mengalami suatu keputusan imitasi yang mereka lakukan sendiri, [ 534 ] P a g e
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
kemudian mahasiswa juga mengalami semua keputusan itu sendiri dan mahasiswa juga harus membuat suatu keputusan yaitu menyusun instrumen dan mengolah datanya ke dalam excel sebagai follow up dari hasil tersebut. Dengan mengalami keputusan yang mereka buat, maka keputusan itu menjadikan situasi yang seolah-olah nyata mereka alami. Pendapat juga ini dipertegas oleh Salemi (2005) dalam penelitiannya yang berbunyi “kami mengubah instruktur dosen dan mahasiswa yang pada awalnya menghafal menjadi menerapkan ilmu ekonomi untuk memecahkan berbagai masalah yang berarti dan dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Dengan menghafal saja maka mahasiswa pasti akan cepat lupa, sedangkan dengan mengaplikasikan ilmu ekonomi untuk memecahkan permasalahan akan menjadikan mahasiswa “melek ekonomi”. Dengan menjadikan mereka “melek ekonomi, maka mahasiswa akan mencapai tingkat pemahaman yang abadi dan selanjutnya membuat hasil belajar mereka menjadi meningkat. Hal ini sesuai dengan simulasi yang telah dilakukan yaitu bukannya menghafal, tetapi mahasiswa mengaplikasikan teori tentang penyusunan instrumen dan juga uji validitas serta reliabilitas instrumen penelitian yang akan dijadikan sebagai bekal mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Demikian juga pada teori John Dewey (dalam Prakoso, 2013) yang mengatakan bahwa mahasiswa pasti akan belajar dengan baik jika semua yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah diketahui dan dengan suatu kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Kejadian maupun peristiwa yang akan mereka alami adalah ketika mereka mengerjakan skripsi. Mereka akan teringat kembali tentang simulasi yang telah mereka lakukan ketika mereka memprogram mata kuliah statistika. Selain itu, pemikiran ini juga didukung oleh beberapa hasil penelitian lainnya seperti penelitian dari Wisnungkoro (2014), Parnayathi (2013), Wati (2011), dan Wahyuningsih (2012) yang mengatakan bahwa dengan diterapkannya simulasi kepada peserta didik atau dalam hal pemikiran ini adalah mahasiswa, maka hasil belajar maupun pemahaman konsep mereka meningkat. Interpretasi temuan dari hasil pemikiran ini adalah mahasiswa menjadi lebih antusias dalam menerima materi statistika jika mereka melakukan simulasi secara individu. Simulasi ini sangat bermanfaat bagi mereka ketika mereka mengerjakan skripsi, sehingga dapat dikatakan ketika mahasiswa mengikuti mata kuliah ini mereka akan lupa dengan nilai mata kuliah yang mereka targetkan seperti halnya pada mata kuliah lainnya. Mereka lupa mindset mereka tentang apakah nantinya nilai mereka A atau, B maupun C, tetapi yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya supaya saya benar-benar bisa menyusun instrumen, mengolah dan menganalisisnya agar saya tidak kesulitan dalam mengerjakan skripsi saya kelak. SIMPULAN Simpulan yang dapat diberikan dari hasil pemikiran ini adalah perlu ditambahkannya Kompetensi dasar tentang penyusunan instrumen dan menyimulasikannya hingga interpretasi data regresi dengan Software. Dengan P a g e [ 535 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 ditambahkannya kompetensi dasar tersebut maka indikator peningkatan mutu proses pembelajaran statistika yaitu mahasiswa mampu menyusun instrumen pada satu maupun dua variabel bebas serta menguji validitas dan reliabilitas Instrumen yang digunakan untuk mengambil data primer akan tercapai. Sedangkan keterbatasan hasil pemikiran ini adalah memerlukan waktu yang sangat panjang ketika melakukan simulasi dan perubahan silabus harus dilakukan secara matang agar tidak terjadi tumpang tindih antar materi. Saran yang dapat diberikan yaitu hendaknya hasil pemikiran ini dijadikan sebagai sebuah penelitian dan mencoba diterapkan simulasi dengan Software pada semua kompetensi dasar yang ada pada mata kuliah statistika. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia Hasibuan, J.J. (2010). Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Johnson, Elaine B. (2006). Contextual Teaching Learning. Bandung : MLC Klassen, Kenneth J. and Keith A. Willoughby. (2003). In-Class Simulation Game : Assessing Student Learning. Journal of Information Technology Education, 2(1), 13-59 Parnayathi, I Gusti Agung Sri. (2013). Papan Flanel Simulasi Rangkaian Listrik sebagai Media untuk Meningkatkan Kinerja Ilmiah dan Pemahaman Konsep Siswa. Jurnal Ilmiah Disdikpora Kabupaten Klungkung, 1 (1), 1-17 Prakoso, Albrian Fiky. (2013). Penerapan Model CTL dengan Metode Problem Solving dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMK. Jurnal Pendidikan Ekonomi, 6 (1), 27-47 Priyatno, Duwi. (2010). Paham Analisa Statistik Data dengan SPSS. Jakarta: Media Kom Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawaali Pers Salemi, Michael K. (2005). Teaching Economic Literacy : Why, What and How. International Review of Economics Education, 4(2), 46-57 Wahyuningsih, Maria Estri. (2012). Peningkatan Kemampuan Menulis Surat Kesekretariatan dalam Bahasa Indonesia melalui Teknik Simulasi. Jurnal Administrasi dan Kesekretarisan, 4(2), 101-120 Wati, Anastasia Widya. (2011). Penerapan Algoritma Genetika dalam Optimasi Model dan Simulasi. Jurnal TI, 1(2), 161-167 Wisnungkoro, Dimas. (2014). Pengaruh Metode Simulasi terhadap Hasil Belajar Dribble Sepakbola Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3. Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. 2(3), 667-670
[ 536 ] P a g e
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
IMPLIKASI KURIKULUM PENDIDIKAN EKONOMI PADA PEMBELAJARAN JARAK JAUH DALAM MENYAMBUT ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Suripto & Rhini Fatmasari
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka Jakarta
[email protected]
Abstrak Perubahan yang terjadi secara global secara tidak langsung mempengaruhi sektor pendidikan berkaitan dengan output yang dihasilkan berupa Sumber Daya Manusia (SDM). Tuntutan dan persaingan kerja membutuhkan SDM handal dan kompeten. Berlakunya Era Masyarakat Ekonomi ASEAN perlu dicermati secara baik, karena berimplikasi pada peningkatan mutu SDM Nasional. Sebagai Lembaga Pendidikan Jarak Jauh yang menghasilkan lulusan guru-guru di seluruh Indonesia, peningkatan kualitas lulusan Program Studi Pendidikan Ekonomi PIPS Universitas Terbuka patut menjadi perhatian dan kajian yang sangat khusus. Agar proses peningkatan kualitas lulusan yang dapat bersaing di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN diperlukan satu potret secara umum bagaimana kualitas dan kompetensi lulusan di lapangan. Dari hasil survey yang dilakukan ditemukan bahwa para lulusan Program Studi Pendidikan Ekonomi telah merasakan peningkatan kompetensi yang sangat baik serta dapat diterapkan di tempat mereka bekerja. Namun pandangan jauh ke depan sangat diperlukan agar kompetensi lulusan sanggup bersaing sesuai dengan kualifikasinya. Kata kunci: Kurikulum, pembelajaran jarak jauh, MEA
PENDAHULUAN Komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) rencananya diimplementasikan pada akhir tahun 2015. Ketika MEA berjalan, maka pada saat itu arus barang dan jasa di antara negara-negara ASEAN akan bebas dapat melintasi batas – batas Negara secara fisik dan administrasi, tanpa hambatan. Pelaksanaan MEA menghilangkan hambatan aliran barang, investasi dan jasa di antara negara ASEAN. Tujuan utamanya adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang ada di negara ASEAN. Akan tetapi jika Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia tidak siap maka ditengarai akan membawa dampak yang merugikan. Kompetisi SDM antarnegara ASEAN merupakan hal yang pasti terjadi sehingga bila pekerja Indonesia tidak siap menghadapi persaingan terbuka ini, MEA akan menjadi satu rintangan besar bagi SDM Indonesia karena akan kalah bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Selain itu penguasaan teknologi juga merupakan satu keharusan karena perkembangannya yang sangat cepat. Sehingga diperlukan pula pelatihan dan pendidikan yang menggunakan aplikasi teknologi dalam proses pembelajarannya. Kunci utama dalam menghadapi MEA adalah peningkatan kompetensi sumberdaya manusia agar dapat memanfaatkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, dengan upaya peningkatan daya saing SDM nasional. Sehingga salah satu “pekerjaan rumah” Indonesia adalah meningkatkan kompetensi SDM. P a g e [ 537 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Kompetensi yang tinggi dalam profesi yang ditekuni merupakan satu syarat tak terbantahkan dalam dunia kerja. Tuntutan pekerjaan yang lebih besar serta daya saing dengan Sumber Daya Manusia (SDM) lainnya menyebabkan kompetensi menjadi senjata agar tetap eksis. Keterbukaan informasi dan era pelayanan prima menjadikan stakeholders memilih SDM dengan kompetensi tinggi untuk menjalankan satu profesi. Kompetensi yang tinggi akhirnya akan bermuara pada mutu dan kualitas. Hal ini merupakan salah satu jalan keluar bagi para stakeholders agar target dan tuntutan konsumen terpenuhi. Secara ideal kompetensi mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Pada dunia kerja, profesi guru merupakan satu pekerjaan profesional dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan (Karsidi, 2005). Agar dapat disebut sebagai jabatan profesional, guru seyogyanya harus didukung oleh kompetensi standar. Kompetensi tersebut berupa pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasyarat untuk menjadi guru profesional. Surya (2003) menyatakan bahwa guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru. Profesionalisme tentu saja tidak akan tercipta dengan sendirinya, diperlukan sejumlah pendidikan dan pelatihan sehingga melahirkan sikap tersebut. Lembaga Pendidikan selama ini dipandang mampu melahirkan sikap profesionalisme. Namun terkadang materi-materi dan kompetensi yang diberikan selama menjalani pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Atau sering terjadi lulusan dari satu lembaga pendidikan belum dianggap cakap dan profesional ketika dihadapkan pada realitas di lapangan kerja. Universitas Terbuka (UT) sebagai salah satu Lembaga Pendidikan jarak jauh mengemban amanat melahirkan SDM yang kompeten dan profesional. Melalui layanan pendidikan UT telah lahir lulusan yang berprofesi di segala bidang. Program Studi Pendidikan Ekonomi (PEKO) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UT secara khusus mendidik dan mencetak guru-guru di seluruh tanah air. Adanya KKNI memberikan satu tantangan bagi Program Studi PEKO untuk mengkaji kembali struktur kurikulum serta layanan belajar yang diberikan kepada mahasiswa. Kajian ini didasarkan pada realita di lapangan mengenai kompetensi yang telah diterima oleh para mahasiswa dan kebergunaan kompetensi tersebut di tempat mereka bekerja. Tulisan ini akan membahas sekilas mengenai proses pembelajaran dan layanan yang diberikan oleh UT. Selanjutnya akan dianalisis pendapat mahasiswa UT khususnya Program Studi PEKO mengenai layanan belajar dan kompetensi yang mereka peroleh [ 538 ] P a g e
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
selama menjalani pendidikan serta bagaimana penerapan kompetensi tersebut di dunia kerja. MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (AEC=ASEAN ECONOMIC COMMUNITY) Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC=ASEAN Economic Community) bertujuan agar terjadi integrasi ekonomi regional di Negara-negara ASEAN. MEA memiliki karakteristik: (a) pasar dan basis produksi tunggal, (b) wilayah ekonomi yang sangat kompetitif, (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan (d) kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global. MEA bekerjasama dalam pengembangan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; pengakuan kualifikasi profesional; konsultasi lebih dekat terhadap kebijakan makro ekonomi dan keuangan; langkahlangkah pembiayaan perdagangan; peningkatan infrastruktur dan konektivitas komunikasi; pengembangan transaksi elektronik melalui e-ASEAN; mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daerah; dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangun AEC. Dalam hal MEA mengembangkan pasar dan basis produksi tunggal, terdapat lima elemen inti: (a) arus bebas barang; (b) arus bebas jasa; (c) arus bebas investasi; (d) arus modal yang lebih bebas; dan (d) arus bebas tenaga kerja terampil. Salah satu isu yang mengemuka terkait dengan implementasi MEA adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM). SDM ini tidak hanya mereka yang bekerja di pemerintahan melainkan juga yang bergelut di dunia usaha, khususnya yang bekerja di sektor usaha kecil menengah (UKM) dan informal. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya. Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para pencari kerja karena tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan keahlian yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi ke luar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan usaha peningkatan kualitas SDM bisa ditempuh dengan upaya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi untuk menetapkan standar kompetensi profesionalisme di masing-masing sektor. Indonesia sudah cukup menyiapkan diri sejak awal akan diberlakukannya MEA, terutama beberapa kebijakan pengembangan SDM berbasis Kompetensi, sistem pendidikan berbasis kompetensi (UU20/2004 tentang SISDIKNAS), sistem pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi berbasis kompetensi (UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, dan PP 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional), serta kebijakan pengembangan SDM berbasis kompetensi secara sektoral. Dalam sertifikasi melalui Undang-undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan dan PP 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, telah menyiapkan secara sistem, struktur, kelembagaan dan pedoman sertifikasi kompetensi. Bagi SDM Indonesia yang kompeten, MEA membuka peluang peningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam pasar tenaga kerja global, meningkatkan harmonisasi sistem pendidikan, pelatihan dengan
P a g e [ 539 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sistem internasional, serta meningkatkan rekognisi tenaga kerja bersertifikat kompetensi Indonesia di pasar kerja internasional. Pada pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala dalam pengembangan SDM, yakni terbatasnya SKKNI dan paket kualifikasinya, terbatasnya lembaga pendidikan dan pelatihan yang menerapkan sistem pembelajarannya yang berbasis kompetensi. Sehingga agar tercapai target kesiapan Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN maka diperlukan langkah-langkah strategis terpadu dari hilir hingga hulu pada proses pengembangan SDM. PENGALAMAN DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI UNIVERSITAS TERBUKA Universitas Terbuka merupakan satu Perguruan Tinggi yang menerapkan model Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Pendidikan Jarak Jauh ditandai dengan karakteristik sebagai berikut. Pertama, jauhnya jarak antara peserta didik dengan pengajar dan pengelola pendidikan. Kedua karena jauhnya jarak tersebut, sistem ini mengandalkan pemanfaatan berbagai media cetak maupun non-cetak. Ketiga, peserta didik belajar secara mandiri dan dapat memanfaatkan berbagai bantuan belajar. Keempat, peserta didik belajar di mana saja, kapan saja dan dapat memilih program pendidikan menurut kebutuhannya. Kelima, PJJ menawarkan program pendidikan dengan standar kualitas yang sama bagi seluruh peserta didik (Asandhimitra, dkk , 2004). Adanya keterpisahan antara pengajar dan mahasiswa ini memunculkan konsekuensi tingginya peran teknologi informasi dan komunikasi guna menjembatani interaksi antara pengajar dan mahasiswa. UT menyediakan beragam layanan bantuan belajar serta media pembelajaran agar terjadi interaksi dengan mahasiswa. Layanan belajar dan media pembelajaran dikemas dalam bentuk modul sebagai bahan belajar utama. Modul dirancang secara khusus agar dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa tanpa kehadiran bantuan tutor atau dosen (Belawati, 2003). Selain itu diberikan juga ragam layanan belajar lainnya seperti tutorial on line (layanan tutorial berbasis internet), Web Supplement, Video interaktif, Computer Assisted Instruction (CAI), Dry Lab (praktikum yang dilakukan secara virtual dengan simulasi melalui komputer), latihan mandiri online, dan perpustakaan digital. Struktur Kurikulum Hilda Taba (1962) menyatakan “A curriculum is a plan for learning therefore, what is know about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of the curriculum”. Sedangkan J. Galen Saylor dan William M. Alexander (1956), menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut” The curriculum is the sum totals of schools efforts to influence learning, whether in the class room, on the play ground, or out of school”. Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra kulikuler.
[ 540 ] P a g e
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
Hal ini sesuai dengan rumusan pengertian kurikulum seperti yang tertera dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Menyimak dari pengertian kurikulum di atas, dapat kita simpulkan bahwa kurikulum merupakan suatu rencana tertulis yang disusun guna memperlancar proses pembelajaran. Kurikulum disusun dan diimplementasikan dalam proses pendidikan agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai. Penyusunan satu kurikulum tidak dapat berdiri sendiri, banyak faktor yang harus diperhatikan ketika kurikulum disusun, di antaranya adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan Visi-Misi satu lembaga pendidikan. Sebagai bagian dari UT secara keseluruhan, Program Studi Pendidikan Ekonomi dan Koperasi PIPS UT mempunyai Misi penyelenggaraan pendidikan guru Pendidikan Ekonomi dalam jabatan (in-service training) melalui pendidikan jarak jauh. Latar belakang mahasiswa yang masuk ke program ini berasal dari lulusan SLTA, DI, DII, DIII Kependidikan dan DIII Non Kependidikan. Kurikulum yang diberlakukan pada setiap latar pendidikan mahasiswa tidak sama. Ada pengakuan terhadap jumlah sks yang sebelumnya telah ditempuh oleh mahasiswa pada jenjang studi sebelumnya. Mahasiswa yang sebelumnya telah menempuh pendidikan DI, DII dan DIII (selanjutnya akan disebut dengan istilah “masukan”) akan dihargai jumlah SKS yang telah mereka tempuh dengan cara membebaskan beberapa Mata Kuliah. Sedangkan untuk masukan SLTA diwajibkan menempuh semua beban sks yang dipersyaratkan. Implikasi dari kebijakan ini adalah perbedaan lamanya masa studi pada setiap masukan.
Gambar 1. Jenjang Pendidikan Awal Mahasiswa Masukan S1 PEKO UT (Sumber: Data Exit Survey PEKO) Sesuai dengan misi yang diemban UT untuk penyelenggaraan pendidikan guru dalam jabatan (in service training) 89,58% mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi UT P a g e [ 541 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 sebelumnya telah menempuh jenjang pendidikan Diploma dan sedang bekerja sebagai guru. Mahasiswa dengan latar belakang pendidikan SLTA berjumlah 9,38%. Mahasiswa dengan latar belakang sarjana sebanyak 1,04% merupakan lulusan Perguruan Tinggi non kependidikan yang ingin melanjutkan pendidikan profesi guru. Dengan latar belakang jenjang pendidikan awal yang berbeda, maka kurikulum yang diberlakukan pada setiap masukan juga berbeda. Struktur kurikulum yang diberlakukan pada setiap masukan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Struktur Kurikulum S1 Pendidikan Ekonomi PIPS UT No 1
Nama Mata Kuliah
Mata Kuliah Kompetensi Utama 2 Mata kuliah Kompetensi Pendukung 3 TAP Jumlah Sumber : Katalog UT
SLTA
DI
100
80
Masukan DIII Kependidikan 59 29
40
24
19
9
11
4 144
4 108
4 82
4 42
4 60
DII
DIII Non Kependidikan 45
Pada Tabel 1 terlihat mahasiswa dengan masukan SLTA diwajibkan menempuh 144 sks, karena mereka baru menempuh jalur pendidikan tinggi di Program Studi PEKO. Sedangkan masukan DI diwajibkan menempuh 108 sks dengan adanya pengurangan pada Mata Kuliah Kompetensi Utama dan Mata Kuliah Kompetensi Pendukung. Masukan DIII Kependidikan mengambil lebih sedikit MK dengan jumlah 42 sks sementara mahasiswa dengan latar belakang pendidikan DIII non Kependidikan mengambil 60 sks. Kompetensi Lulusan Menurut Glossary Our Workforce Matters (Sinnott. et.al: 2002 dalam wikipedia.org), kompetensi adalah karakteristik dari karyawan yang mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif dan kontrol diri. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.045/U/2002 tentang kurikulum inti pendidikan tinggi menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas di bidang pekerjaan tertentu. Pengertian kompetensi tersebut merujuk pada kemampuan seseorang sehingga dianggap cakap dalam satu bidang pekerjaan. Berpegang pada Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 tentang KKNI , dinyatakan bahwa sarjana (S1) dikategorikan sebagai jabatan teknisi atau analis (bukan dikategorikan sebagai ahli) yang berada pada level (jenjang) 6 (enam). Kualifikasi ini tentu saja mensyaratkan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang lulusan Lembaga Pendidikan. [ 542 ] P a g e
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
Sebagai lulusan S1 kompetensi utama mahasiswa PEKO adalah memiliki penguasaan bidang studi pendidikan ekonomi secara utuh dan mantap, baik yang berkenaan dengan substansi maupun metodologi keilmuan bidang studi. Sedangkan kompetensi pendukung lulusan (1) memiliki pemahaman tentang peserta didik, (2) memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan memutakhirkan kemampuan diri serta memanfaatkan kemampuannya bagi pengembangan pendidikan di sekolah khususnya, serta (3) memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan layanan ahli yang diberikan secara moral, sosial, dan ilmiah (Borang Program Studi PEKO, 2009).
Gambar 2. Masa Tunggu memperoleh Pekerjaan (Sumber: Data Exit Survey PEKO) Apakah kompetensi yang disusun Program Studi PEKO telah sesuai dengan harapan stakeholder? Praktik kompetensi lulusan yang disusun oleh program Studi PEKO dengan harapan stakeholder dapat dirasakan sendiri oleh para lulusan. Exit Survey program studi PEKO menunjukkan dengan kompetensi yang mereka miliki lulusan PEKO tidak menunggu lama untuk memperoleh pekerjaan (lihat Gambar 2). Sebagian besar lulusan (86,5%) telah bekerja ketika menempuh pendidikan di Program Studi PEKO. Lulusan lainnya sebanyak 10,4% menunggu kurang dari 3 (tiga) bulan untuk memperoleh pekerjaan dan hanya segian kecil lulusan (1%) yang memerlukan waktu yang agak panjang 1-2 tahun untuk memperoleh pekerjaan. Sedangkan bidang pekerjaan yang ditekuni lulusan S1 PEKO UT berdasarkan kompetensi yang mereka miliki, sebanyak 76% lulusan bekerja penuh waktu sesuai bidang studi (lihat Gambar 3). Mereka saat ini bekerja sebagai guru di tingkat SLTP dan SMA mata pelajaran IPS, Ekonomi, dan Akuntansi. 17% lulusan bekerja paruh waktu sesuai dengan bidang studi, lulusan ini bekerja sebagai guru honor. Sebanyak 4% lulusan yang bekerja penuh waktu tidak sesuai bidang studi bekerja di perusahaan swasta atau P a g e [ 543 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 BUMN yang tidak bergerak di bidang pendidikan. Selanjutnya 2% lulusan yang memiliki lebih dari satu pekerjaan bekerja sebagai guru tetap pada pagi hari, sedangkan sore hari mereka mengajar di sekolah lain.
Gambar 3. Status Pekerjaan Lulusan (Sumber: Data Exit Survey PEKO)
Tabel 2. Persepsi Kualitas Kinerja Lulusan Menurut Lulusan Komponen Kualitas Kinerja Lulusan Kemampuan untuk Pengembangan Diri a. Minat untuk mengikuti studi lanjut b. Minat Anda untuk mengikuti pelatihan c. Minat untuk pengembangan diri 2. Kepemimpinan a. Perencanaan b. Pengelolaan c. Monitoring dan Evaluasi 3. Kemampuan Mengajar (Khusus untuk Guru) a. Keterampilan dasar mengajar b. Merancang pembelajaran c. Menggunakan media dan alat peraga d. Menggunakan strategi pembelajaran yang tepat e. Melaksanakan penelitian tindakan kelas f. Menguasai materi g. Melaksanakan evaluasi h. Membimbing/memotivasi siswa
Sangat Baik
Baik
Kurang
Sangat Kurang
18,8 24,0 17,7
52,1 70,8 43,8
25,0 3,1 33,3
9,4 7,3 7,3
69,8 70,8 61,5
5,2 7,3 12,5
15,6 14,6 18,8
25,0 14,6 8,3 12,5
66,7 75,0 71,9 71,9
3,1 11,5 7,3
8,3 7,3 8,3 8,3
8,3 27,1 18,8 18,8
40,6 63,5 68,8 71,9
39,6 1,0 4,2 1,0
N/A
1.
1,0 3,1
3,1
3,1 2,1 2,1
8,3 8,3 8,3 8,3
Sumber: Data Exit Survey PEKO Selama menjalani profesinya, lulusan S1 Peko merasakan kompetensi yang terbentuk selama menjalani pendidikan sudah cukup memadai. Hal ini terlihat dari persepsi Kinerja lulusan, yang menyatakan sebagian besar komponen Kualitas Kinerja Lulusan baik. Ada beberapa kemampuan yang dianggap sangat baik oleh lulusan (1) [ 544 ] P a g e
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
minat untuk mengikuti pelatihan, minat untuk mengikuti studi lanjut dan kemampuan mengajar terkait dengan kemampuan dasar mengajar. Data ini menunjukkan stimulus yang diberikan program studi direspon dengan baik oleh para lulusan dalam bentuk keinginan pengembangan diri lebih lanjut. Sedangkan kompetensi mengajar, khususnya Keterampilan Dasar Mengajar dirasakan berkembang sangat baik oleh lulusan selama mengikuti pendidikan di UT. Tabel 3, Persepsi Kompetensi Lulusan Menurut Lulusan Kompetensi dalam Bidang Pekerjaan No
Kompetensi Lulusan
1
Penguasaan atas bidang ilmu yang ditempuh di UT Pengetahuan tentang bidang ilmu lain Berpikir analitis Kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan baru secara cepat Kemampuan untuk bernegosiasi secara efektif Kemampuan untuk berkinerja di bawah tekanan Kepekaan terhadap kesempatankesempatan baru Kemampuan untuk mengkoordinasikan kegiatan Kemampuan mengelola waktu secara efisien Kemampuan untuk bekerjasama produktif dengan orang lain Kemampuan untuk memberdayakan orang lain Kemampuan menggunakan komputer atau internet Kemampuan memecahkan masalah Memiliki ide baru Kemampuan menilai ide sendiri atau orang lain Kemampuan mempresentasikan ide, hasil, atau laporan Kemampuan menulis laporan kegiatan (penelitian, proyek, dsb) Kemampuan menulis dan berbicara dalam bahasa asing Sumber : Data Exit Survey PEKO
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Sangat Baik
Baik
Kurang
Sangat Kurang
26,0 14,6 29,2
65,6 74,0 60,4
3,1 7,3 2,1
5,2 4,2 8,3
33,3
57,3
2,1
7,3
19,8
65,6
5,2
1,0
8,3
9,4
41,7
21,9
9,4
17,7
22,9
60,4
7,3
9,4
22,9 42,7
67,7 50,0
2,1
7,3 7,3
31,3
58,3
3,1
7,3
19,8
56,3
13,5
39,6 38,5 31,3
47,9 54,2 57,3
4,2 4,2
8,3 7,3 7,3
15,6
69,8
7,3
7,3
26,0
61,5
5,2
7,3
17,7
65,6
8,3
8,3
16,7
49,0
25,0
1,0
1,0
N/A
9,4
8,3
Sistem perkuliahan yang diberlakukan oleh UT mengembangkan beberapa kompetensi unggulan yang akhirnya dimiliki oleh para lulusan. Kompetensi tersebut dinilai sangat baik oleh para lulusan berkaitan dengan kemampuan (1) mengelola waktu secara efisien (42,7%). Hal ini didasarkan kebiasaan yang harus dilakukan oleh para lulusan selama mengikuti perkuliahan di UT. Tanpa adanya kuliah tatap muka dengan dosen/ tutor mempunyai konsekuensi mahasiswa harus mampu memahami materimateri dalam perkuliahan secara baik dan mandiri. Begitu juga harus mampu mengatur P a g e [ 545 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 waktu antara bekerja dan kuliah. Tuntutan yang sangat tinggi terhadap kemampuan mahasiswa menggunakan teknologi dalam pembelajaran berujung pada tingginya kemampuan mahasiswa dalam (2) menggunakan komputer dan internet (39,6%). Kompetensi selanjutnya yang juga berkembang sangat baik karena adanya tuntutan belajar mandiri berupa (3) Kemampuan memecahkan masalah (38,5%) dan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan baru secara cepat (33,3%). Sedangkan kompetensi yang dirasakan masih kurang bagi para lulusan berkaitan dengan kemampuan menulis dan berbicara dalam bahasa asing (25%). SIMPULAN Menyimak data exit survey dan penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Program Studi PEKO terlihat bahwa lulusan yang dihasilkan telah memiliki kompetensi yang sangat memadai dalam bidang pekerjaan mereka sebagai guru. Namun demikian dalam menghadapi Era MEA perlu dicermati lebih lanjut agar Kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Hal ini diperlukan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia pada masa depan. Peningkatan kompetensi guru juga berarti peningkatan kualitas pendidikan dan generasi penerus bangsa. DAFTAR PUSTAKA Badan Nasional Sertifikasi Profesi, Edisi Pertama 2014 Bagus Prasetyo, Menilik Kesiapan Dunia Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi MEA Jurnal RechtsVinding Online,ISSN 2089-9009 Borang Program Studi Pendidikan Ekonomi dan Koperasi FKIP Universitas Terbuka 2009. Dewi Wuryandani, Peluang Dan Tantangan SDM Indonesia Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi ASEAN, Ekonomi Dan Kebijakan Publik Vol. VI, No. 17/I/P3DI/September/2014 Hilda Taba (1962) Curriculum development: theory and practice , New York : Harcourt, Brace & World. Karsidi, Ravik, Prof. Dr.M.S. (2005) Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah, Makalah: Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dewan Pendidikan Kabupaten Wonogiri, 23 Juli 2005 Santoso, Megawati (2011), Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti Kemendiknas. Saylor, J Galen (1956), Curriculum Planning For Better Teaching and Learning, New York: Rinehart & Company, Inc. Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu. Tim Exit Survey Universitas Terbuka (2014), Exit Survey Program Studi Pendidikan Ekonomi dan Koperasi.
[ 546 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
PROGRAM PENDIDIKAN MENENGAH UNIVERSAL (PMU) DALAM KONSEP INOVASI PENDIDIKAN Lili Marliyah
IKIP Veteran Semarang
[email protected]
Abstrak Target pembangunan pendidikan yang diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas. Indeks ketercapaian sektor pendidikan memprihatinkan, sehingga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk menetapkan sebuah lompatan kebijakan bidang pendidikan yang dapat meningkatkan nation dignity melalui program PMU. Esensi program PMU adalah merupakan program keberlanjutan dari wajar 9 tahun menjadi 12 tahun dan merupakan upaya strategis dalam konsep pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam kerangka makro kebijakan pendidikan nasional, PMU merupakan suatu lompatan kebijakan yang signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, daya saing bangsa, peningkatan kehidupan sosial politik serta kesejahteraan masyarakat. Nilai keinovatifan program PMU terletak pada kekhasan dan kebaruan serta keinovatifan program PMU dapat dilihat dari unsur kualitatif, bersifat diusahakan dan memiliki unsur meningkatkan kemampuan. Karakteristik keinovatifan PMU dilihat dari unsur kompleksitas, trialability dan observabilty relatif rendah. Proses difusi dan peran agen pembaharuan program PMU masih terbatas. Dampak dari inovasi PMU adalah perubahan sosial positif maupun negatif. Kata Kunci: Pendidikan Menengah Universal (PMU), Inovasi Pendidikan
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Pendidikan mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan dan menjadi titik sentral pembangunan. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yaitu pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan memajukan kebudayaan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang -undang. Indikator keberhasilan sektor pendidikan senantiasa dikaitkan dengan naik turunnya indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia, dibandingkan dengan indeks yang sama dari berbagai bangsa lain di dunia. Kondisi indeks ini sangat P a g e [ 547 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 memprihatinkan, sehingga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk dapat menetapkan sebuah lompatan kebijakan bidang pendidikan yang dapat meningkatkan nation dignity dan indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Dalam hal ini penekanan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing SDM. Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks ini peran PMU adalah memberikan kepastian kepada semua siswa bahwa siswa tidak usah lagi khawatir dengan masalah pembiayaan, akses masuk ke sekolah menengah (SMA//SMK/MA//MAK,) karena negara telah menjamin. Selain bonus demografi yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu menjaga konsekuensi logis keberlanjutan dari keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Setelah keberhasilan program wajib belajar sembilan yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM sudah dinyatakan berhasil karena APK untuk SMP/MI sudah tercapai yaitu 98,20 %, harus ada keberlanjutan program pendidikan. Wajib belajar sampai 12 tahun, mengingat APK SMA/MA/SMK masih rendah yaitu 70,53 %. Dengan demikian program PMU dapat meminimalisir angka putus sekolah dan agar seluruh warga usia sekolah berkesempatan untuk menikmati pendidikan. Argumen lain yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama sekolah atau lama belajar dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, derajat kesehatan, daya saing dan pendapatan. Laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 2010-2011menyebutkan bahwa, lama sekolah (baca: PMU) berkorelasi positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI). Upaya pemberdayaan manusia seutuhnya dilaksanakan dengan cara memperlakukan manusia yang seutuhnya sebagai subjek dalam upaya pemberdayaan melalui bidang pendidikan dan kebudayaan. Manusia Indonesia memiliki hak untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, serta mewarisi dan mengekspresikan nilai-nilai budaya. Paradigma ini merupakan fondasi dari pendidikan dan kebudayaan untuk menyiapkan manusia Indonesia sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berinteraksi, mendukung satu sama lain (makhluk sosial) dan toleransi dalam keragaman budaya dalam keragaman budaya serta sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa program pendidikan menengah universal (PMU) merupakan salah satu pengembangan kebijakan bidang pendidikan di Indonesia.
[ 548 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
PEMBAHASAN Esensi Program Pendidikan Menengah Universal Kebijakan pemerintah tentang Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah merupakan upaya strategis dalam program pendidikan yang memberikan layanan seluas-luasnya pada seluruh warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu. Hal ini mengandung pengertian konsep pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Program Pendidikan Menengah Universal merupakan keberlanjutan dari program wajib belajar 9 tahun. Wajib belajar 9 tahun telah dinilai berhasil dan tuntas oleh pemerintah dengan tercapainya APK (Angka Partisipasi Kasar) SD/MI secara nasional 115,33 % dan APK SMP/MTs sebesar 98,20 % pada tahun 2010 (Sumber: Kemdikbud 2011). Pada tahun yang sama, angka partisipasi kasar (APK) SMA/SMK/MA secara nasional baru mencapai 70,53 %, dan masih ada disparitas antara APK SMP/MTs dengan APK SMA/SMK/MA sebesar 27,67 %. Artinya masih ada 27,67 % jumlah penduduk usia SM yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Inilah salah satu hal yang menjadi pertimbangan pemerintah meluncurkan program pendidikan menengah universal. Tujuan penyelenggaraan PMU adalah untuk memberikan layanan, pelaksanaan dan pemerataan memperoleh pendidikan menengah yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia. Penyelenggaraan PMU mempunyai sasaran yaitu setiap warga negara Indonesia usia 16 (enam belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah dan mempercepat APK pendidikan menengah menjadi 97% pada tahun 2020. Perbedaan antara wajib belajar dengan pendidikan menengah universal (PMU) terletak pada prinsip dan filosofi pelaksanaan. Jika wajib belajar diamanatkan oleh undang-undang, wajib diikuti oleh semua penduduk usia sekolah, dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ada sanksi bagi yang tidak mengikuti. Pendidikan Menengah Universal (PMU) meliputi SMA/SMK/MA, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga negara RI untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu, difasilitasi oleh pemerintah untuk menampung penduduk usia sekolah, pembiayaan ditanggung oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, sanksi longgar bagi yang tidak mengikuti. Adapun beberapa prinsip dasar pelaksanaan PMU meliputi: (a) mutu yang terjaga, tidak berkurang karena adanya penambahan daya tampung; (b) perimbangan SMA-SMK sesuai potensi dan kebutuhan daerah; (c) pemerataan distribusi layanan pendidikan menengah untuk menjangkau yang tidak terjangkau; (d) peningkatan kebekerjaan (employability) lulusan (khususnya SMK); dan (e) pencapaian target APK di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara bertahap. Dengan demikian pendidikan yang bermutu bukanlah milik suatu kelompok atau perseorangan, akan tetapi pendidikan adalah hak semua warga negara tanpa membedakan suku, agama, ataupun golongan..
P a g e [ 549 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sasaran Pendidikan Menengah Universal (PMU) tentunya tidak asal saja tetapi juga mempunyai sasaran yang ingin dicapai atau tujuan dari pelaksanaanya. Dalam pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal (PMU) ada tiga sasaran yang ingin dicapai, yaitu: 1. Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah. Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Misal, APK SMA sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SMA dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 16 sampai 18 tahun. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. 2. Memperkecil disparitas antar daerah. Disparitas dapat diartikan dengan perbedaan. Jadi, memperkecil disparitas antar daerah dapat diartikan dengan memperkecil perbedaan antar daerah khususnya dalam bidang pendidikan. 3. Memperkuat pelayanan pendidikan vokasi. Istilah vokasi digunakan untuk program pendidikan menggantikan istilah profesional atau profesi. Istilah vokasi diturunkan dari bahasa Inggris, vocation, yang sama artinya dengan profession. Di Amerika Serikat, vokasi digunakan untuk menyebut pengelompokan sekolah kejuruan seperti di Indonesia. Program pendidikan menengah universal (PMU) yang bermutu implementasinya menggunakan strategi tersedianya dan terjangkaunya Layanan Pendidikan Menengah yang Bermutu, Relevan dan Berkesetaraan, dicapai dengan menggunakan strategi sebagai berikut:. 1. Penyediaan tenaga pendidik pendidikan menengah berkompeten yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota; 2. Penyediaan manajemen satuan pendidikan menengah berkompeten yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota; 3. Penyediaan dan pengembangan sistem pembelajaran, informasi berbasis riset, dan standar pendidikan menengah, dan keterlaksanaan akreditasi serta pengembangan dan pembinaan bahasa untuk pendidikan menengah; 4. Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran SMA/Paket C bermutu yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota; 5. Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran SMK/Paket C Kejuruan bermutu yang berbasis keunggulan lokal dan relevan dengan kebutuhan daerah yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota;
[ 550 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
6. Penyediaan subsidi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan SMA/SMLB/SMK/Paket C bermutu yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Pendanaan PMU meliputi biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal. Pendanaan penyelenggaraan PMU menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Sumber pendanaan PMU bersumber dari APBN, APBD, masyarakat dan/atau sumber lain yang sah. Salah satu program utama yang mendukung PMU adalah penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Sekolah Menengah (SM). Sebagai hal paling inti dari BOS SM ini adalah agar beban masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat pendidikan menengah tidak terlalu berat. Karenanya, BOS SM yang akan disalurkan mulai awal tahun ajaran 2013/2014 mengalami kenaikan signifikan, yaitu mencapai Rp 1 juta per siswa per tahunnya. Selain itu, siswa juga berkesempatan mendapatkan Bantuan Siswa Miskin, Beasiswa, BOP Paket C, dan pengembangan bakat dan minat. Berkaitan dengan itu, Kemdikbud meminta kepada sekolah untuk menyampaikan daftar siswa yang tidak mampu berdasarkan urutan, karena yang tahu kondisi siswa yaitu sekolah. Nanti, dari daftar yang banyak itu disesuaikan dengan alokasi per kabupaten. Evaluasi dan penjaminan mutu PMU dilakukan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Evaluasi meliputi evaluasi masukan, proses dan keluaran yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. Penjaminan mutu dilakukan mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan standar nasional pendidikan (SNP). Hubungan PMU dengan kerangka kebijakan makro pendidikan di Indonesia. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Hal ini sesuai degan amanat konstitusi yaitu pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan memajukan kebudayaan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang -undang. Indikator keberhasilan sektor pendidikan senantiasa dikaitkan dengan naik turunnya indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia, dibandingkan dengan indeks yang sama dari berbagai bangsa lain di dunia. Posisi Indonesia yang kini berada dalam urutan 107 sangat jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan di bawah Vietnam serta Palestina. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sehingga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk dapat menetapkan sebuah lompatan kebijakan bidang pendidikan yang dapat meningkatkan nation dignity dan indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Dalam hal ini penekanan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing SDM.
P a g e [ 551 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Hubungan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dengan kerangka kebijakan makro pendidikan di Indonesia dapat dijelaskan dalam konteks program pecapaian tahun emas bagi bangsa Indonesia. Pemerintah menetapkan target tahun 2045 adalah tahun emas bagi bangsa Indonesia yaitu ulang tahun kemerdekaan yang ke 100. Momentum inilah yang akan dijadikan tujuan utama pembangunan pendidikan menengah universal. Pemerintah bersama masyarakat Indonesia harus berkomitmen untuk menyiapkan generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin berat. Dalam konteks ini program PMU berupaya untuk menjaring usia produktif sehingga memiliki daya saing dalam kancah pergaulan dan persaingan global. Sehubungan dengan pencapaian kebijakan makro pendidikan melalui program pendidikan menengah universal (PMU), ada beberapa faktor pendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal di antaranya adalah manfaat bonus demografi. Bonus demografi yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia merupakan sumber daya manusia yang potensial karena jumlah penduduknya lebih banyak pada angkatan kerja. Jika bonus demografi tidak dimanfaatkan dan dikelola dengan baik maka akan menjadi bencana demografi atau demographic disaster seperti pengangguran, kriminalitas, narkoba dan lain-lain. Apabila bonus demografi dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka hal ini merupakan potensi dan kekuatan yang besar untuk meningkatkan dan mempertahankan kesinambungan pembangunan nasional dan keberlangsungan kehidupan berbangsa. Selain bonus demografi yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu menjaga konsekuensi logis keberlanjutan dari keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Setelah keberhasilan program wajib belajar sembilan yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM sudah dinyatakan berhasil karena APK untuk SMP/MI sudah tercapai yaitu 98,20 %, harus ada keberlanjutan program pendidikan. Wajib belajar sampai 12 tahun, mengingat APK SMA/MA/SMK masih rendah yaitu 70,53 %. Dengan demikian program PMU dapat meminimalisir angka putus sekolah dan agar seluruh warga usia sekolah berkesempatan untuk menikmati pendidikan. Argumen lain yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara program PMU dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, derajat kesehatan, daya saing dan pendapatan. Laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 2010-2011menyebutkan bahwa, lama sekolah (baca: PMU) berkorelasi positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI). Lama sekolah pada laporan itu memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai PDB per kapita (koefisien korelasi 0,93). Demikian juga lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai Global Competitiveness Indeks GCI (0,96). Program pendidikan menengah universal (PMU) merupakan lompatan yang sangat signifikan dalam pelayanan pendidikan dilihat dari kerangka kebijakan makro pendidikan di Indonesia.
[ 552 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
Nilai inovatif dan karakteristik keinovatifan Program Pendidikan Menengah Inovasi (innovation) adalah ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invensi maupun diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Pengertian inovasi dari beberapa ahli yaitu suatu ide, praktik, atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. (Everett M. Rogers, 2003). Inovasi adalah suatu perubahan yang sifatnya khusus, memiliki nuansa kebaruan, dan di sengaja melalui suatu program yang jelas dan direncanakan terlebih dahulu, serta dirancang untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari suatu sistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi suatu inovasi, diperlukan suatu pemahaman yang baik tentang substansi inovasinya itu sendiri, hal ini dimaksudkan agar inovasi dapat benar-benar memberi nilai tambah bagi kehidupan. Mengingat hal tersebut, maka dunia pendidikan sebagai suatu sub sistem kehidupan masyarakat perlu menyikapi dengan terbuka berbagai inovasi yang ada dalam dunia pendidikan, maupun yang terjadi dalam bidang kehidupan lainnya untuk berupaya mengintegrasikannya agar dapat dicapai suatu kondisi pendidikan yang tidak tertinggal dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat akumulasi inovasi. Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) merupakan suatu bentuk inovasi di bidang pendidikan karena mengandung beberapa ciri sebuah inovasi yaitu : 1. Memiliki kekhasan atau khusus artinya suatu inovasi memiliki ciri yang khas dalam arti ide, program, tatanan, sistem termasuk kemungkinan hasil yang diharapkan. Pendidikan Menengah Universal memiliki ciri yang khas dalam bentuk program pendidikan di tingkat menengah yang memberikan layanan seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu. Selain itu PMU mengandung kemungkinan hasil yang diharapkan yaitu mempercepat pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan menengah menjadi 97% pada tahun 2020. 2. Kebaruan, dalam pengertian baru atau dalam arti belum dipahami, belum diterima, atau belum dilakukan oleh pengadopsi. Program pendidikan menengah universal (PMU) memiliki ciri kebaruan, karena program ini pada saat diluncurkan belum dipahami dan belum diterima atau belum dilakukan oleh pengadopsi. Letak kebaruan PMU pada program pendidikan yang memberikan akses seluas-luasnya dalam memperoleh pendidikan bermutu pada tingkat pendidikan menengah. 3. Bersifat “kualitatif” artinya program PMU memungkinkan adanya reorganisasi atau restrukturisasi komponen/unsur yang sudah ada, bukan pada penambahan unsur atau komponen yang sudah ada. Program PMU dapat dimaknai merupakan kelanjutan dari program pendidikan dasar 9 tahun menjadi 12 tahun, sehingga program PMU ini merupakan restrukturisasi komponen atau unsur yang sudah ada sebelum program PMU ini diluncurkan.
P a g e [ 553 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 4. Bersifat “diusahakan”, berarti Program PMU dilakukan dengan sengaja dan direncanakan. Program PMU direncanakan, dipertimbangkan dan dirancang untuk menjadi sebuah program dalam bidang pendidikan yang dianggap merupakan lompatan yang signifikan untuk pencapaian APK pendidikan menengah yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. 5. Meningkatkan kemampuan”, artinya tujuan utama dari inovasi adalah kapasitas subjek yang diperbarui. Program PMU memiliki tujuan untuk memberikan layanan, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan menengah yang bermutu bagi setiap warga negara. Dengan demikian program PMU dapat menjaring usia produktif untuk ditingkatkan kemampuannya sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dalam berpartisipasi dan menyongsong Tahun Emas 2045. Adapun beberapa prinsip dasar pelaksanaan PMU meliputi (a) mutu yang terjaga, tidak berkurang karena adanya penambahan daya tampung; (b) perimbangan SMA-SMK sesuai potensi dan kebutuhan daerah; (c) pemerataan distribusi layanan pendidikan menengah untuk menjangkau yang tidak terjangkau; (d) peningkatan kebekerjaan (employability) lulusan (khususnya SMK); dan (e) pencapaian target APK di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara bertahap. Selain itu nilai inovasi program pendidikan menengah universal (PMU) sebagai suatu konsep inovasi seperti di atas ditunjang oleh beberapa hal yang tersirat pada kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yakni pada pergeseran paradigma pendidikan dan kebudayaan yang meliputi: 1. Perubahan wajib belajar menjadi hak belajar Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh karena itu paradigma wajib belajar usia 7 sampai 15 tahun digeser menjadi hak belajar yang menjamin kepastian bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar dan menengah sampai usia 16-18 tahun. Dengan pergeseran paradigma tersebut, pemerintah wajib menyediakan sarana prasarana dan pendanaan demi terselenggaranya pendidikan bagi warga negaranya. 2. Kesetaraan dalam pendidikan Selanjutnya juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus dan/atau layanan khusus. 3. Pendidikan komprehensif melalui penyelarasan pendidikan dan pembudayaan. Pendidikan komprehensif merupakan pendidikan yang mampu mengeksplorasi seluruh potensi peserta didik yang berupa potensi kekuatan batin, karakter, [ 554 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
intelektual dan fisik. Di samping itu potensi tersebut dapat diintegrasikan menjadi kekuatan peserta didik melalui pendidikan Perubahan dasar perencanaan pendidikan yang berdasarkan suplai menjadi berdasarkan kebutuhan; terkandung penyelarasan pendidikan dan pembudayaan serta pendidikan karakter khususnya pendidikan karakter bangsa yang harus ditanamkan sejak pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi. 4. Perubahan fungsi sekolah negeri menjadi sekolah publik. Sekolah-sekolah negeri ke depan harus bergeser menjadi sekolah publik. Bila sebelumnya sekolah negeri hanya dipakai siswa untuk aktivitas belajar dari siswa sekolah tersebut, ke depan fungsi dan pemanfaatan sekolah negeri harus ditingkatkan, tidak hanya untuk siswa dari sekolah itu, tetapi pada saat tidak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan anggota masyarakat. dengan ketentuan yang terkendali. Dengan demikian sekolahsekolah negeri dapat dimanfaatkan seluas-luasnya. 20110 5. Pengintegrasian kebudayaan dalam pendidikan ; Untuk memperkuat integrasi fungsi kebudayaan dalam pendidikan perlu penguatan budaya di masyarakat melalui pemberian fasilitasi sarana untuk sanggar/komunitas adat/sasana sarasehan, pemberdayaan lembaga kepercayaan dan komunitas adat sebagai upaya untuk menguatkan kantong-kantong budaya di daerah, kegiatan berupa pemberian fasilitasi dahulu belum mempunyai standar dan kriteria yang jelas, untuk itu diperlukan pembuatan POS dan akreditasi dari lembaga kepercayaan dan komunitas adat yang akan difasilitasi 6. Pergeseran fungsi kebudayaan dari tontonan menjadi tuntunan Semestinya kebudayaan untuk membangun manusia Indonesia yang berjati diri dan berkarakter sehingga fungsi kebudayaan mengarah pada kemandirian, gotong royong, toleransi sebagai wujud tuntunan dalam berbangsa dan bernegara. Untuk mengembalikan kebudayaan sebagai tuntunan dilakukan dengan upaya melalui penggalian, penanaman dan penguatan nilai/filosofi/makna kearifan lokal dalam masyarakat sehingga dapat dipetik manfaatnya. 7. Pengelolaan kebudayaan secara integratif multi sektor. Pengelolaan kebudayaan tidak lagi menjadi domain sektor kebudayaan saja, tetapi perlu melibatkan sektor yang lain. Lingkup pengelolaan kebudayaan yang semula hanya dalam ruang yang sempit seperti candi, masjid atau bangunan kuno dan lainnya tetapi lingkupnya meluas dalam satu kawasan yang di dalamnya termasuk manusia, lingkungan, nilai dan tinggalan budaya itu sendiri. Atribut sebuah inovasi adalah karakteristik yang dimiliki oleh suatu inovasi yang merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan laju atau kecepatan adopsi inovasi oleh suatu sistem sosial. Faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pihak adopter (pengguna inovasi) dalam membuat keputusan untuk menerima atau menolak produk suatu inovasi jika dikaitkan dengan pemikiran Everett M. Rogers (1983) dalam diffusion of innovation dipengaruhi oleh 5 (lima) karakteristik inovasi yaitu : 1) Relative advantage P a g e [ 555 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (Keunggulan relatif) ; 2) Compatibility (Kompatibilitas atau konsisten); 3) Complexity (Kompleksitas/kerumitan); 4) Trialability (Kemampuan untuk dapat diuji); 5) Observable (Kemampuan untuk dapat diamati). Esensi karakteristik inovasi program Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah : 1. Keunggulan relatif adalah derajat di mana suatu inovasi dianggap lebih baik dan unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi, sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Program PMU memiliki keunggulan relatif terutama dilihat dari paradigma kebijakan yang mendasarinya. Program PMU jika dimaknai sebagai wajib belajar 12 tahun, di mana pemerintah menjamin lulusan pendidikan dasar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah yang bermutu, maka di sinilah letak keunggulan relatifnya. Hal ini disebabkan program PMU belum pernah ada sebelumnya. Dari segi sosial, program ini memiliki keunggulan relatif karena PMU merefleksikan pergeseran paradigma dalam pendidikan (seperti telah disebutkan di atas). Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, maka semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. 2. Kompatibilitas adalah derajat di mana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Pengguna inovasi (adopter) juga akan mempertimbangkan pemanfaatan inovasi berdasarkan konsistensinya pada nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhannya. Dilihat dari karakteristik ini PMU memiliki kompatibilitas yang tinggi, karena program ini konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, terutama PMU memiliki prisnsip kesetaraan dalam pendidikan. Prinsip ini mengandung arti bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan ang bermutu dan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan peningkatkan pendidikan sepanjang hayat. 3. Kompleksitas adalah derajat di mana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. PMU memiliki kompleksitas yang relatif rendah, karena program ini mudah dipahami dan digunakan oleh pengadopsi. Mengingat progam PMU merupakan lanjutan dari program wajar 9 tahun. 4. Trialability adalah derajat di mana suatu inovasi dapat diuji-coba pada batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Dilihat dari karakteristik ini program PMU derajatnya trialabilitinya relatif rendah karena untuk melihat keberhasilan suatu program pendidikan yang baru saja diluncurkan memerlukan waktu yang lama, sehingga pengadopsi akan relatif memerlukan waktu yang lama pula untuk dapat melihat hasil uji coba program pendidikan menengah universal (PMU). Selain itu juga derajat ini akan terlihat jika dihubungkan dengan masalah pendanaan program PMU. 5. Observability adalah derajat di mana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar [ 556 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Dilihat dari karakteristik ini, PMU relatif rendah derajatnya. Keberhasilan program PMU sulit atau memerlukan waktu yang lama untuk dapat dilihat atau diamati oleh pengadopsi Program PMU. Selain itu kendala-kendala yang mungkin dihadapi pada proses implementasi PMU, terutama masalah pendanaan yang harus dipikul baik oleh pemerintah pusat, daerah maupun masyarakat. Proses Difusi dan Keteradopsian Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) Difusi didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus di mana pesannya adalah ide baru. Di samping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Dapat dikatakan bahwa difusi inovasi merupakan satu bentuk komunikasi yang berhubungan dengan suatu pemikiran baru. Tujuan utama difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem sosial tertentu. Anggota sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Selain itu tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai kesetimbangan dinamis dalam sistem sosial. Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama, meliputi: a) inovasi; b) saluran komunikasi; c) kurun waktu tertentu; dan d) sistem sosial. Proses difusi pendidikan menengah universal (PMU) dapat dijelaskan bahwa PMU merupakan suatu inovasi pendidikan, karena kebijakan ini esensinya adalah kelanjutan wajar 9 tahun yaitu menjadi wajar 12 tahun. Program PMU ini adalah kebijakan yang baru diluncurkan pada tahun 2013. Penggunaan istilah PMU dipilih Kemdikbud dengan berbagai alasan. Istilah Wajib Belajar atau Wajar harus berlandaskan dasar hukum yang kuat. Sementara dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya disebutkan Wajar 9 Tahun, sedangkan untuk Wajar 12 Tahun tidak dikenal Istilah pendidikan universal pertama kali diperkenalkan UNESCO. Untuk menyebut Wajar 9 tahun, UNESCO tidak menggunakan istilah "compulsory basic education", melainkan "universal basic education". Selain itu, istilah Wajar juga mengandung unsur pemaksaan dan konsekuensinya ada sanksi bagi yang tidak melakukannya. Sementara PMU esensinya seperti Wajar, tetapi tanpa sanksi, dan tidak mengenal istilah memaksa. Kata yang digunakan justru "mendorong" agar seluruh lulusan SMP/sederajat dapat menempuh pendidikan ke jenjang menengah. Komunikasi adalah proses di mana partisipan menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Dalam hal ini difusi dapat dipandang sebagai suatu tipe komunikasi khusus di mana informasi yang dipertukarkannya adalah ide baru (PMU). Dengan demikian, esensi dari proses difusi adalah pertukaran informasi di mana seorang individu mengkomunikasikan suatu ide baru ke seseorang atau beberapa orang lain.
P a g e [ 557 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Komunikasi yang dimaksudkan dalam proses difusi Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah upaya mempertukarkan gagasan PMU oleh seseorang atau unit tertentu yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan menengah universal kepada seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai program PMU (potential adopter melalui saluran komunikasi tertentu) dalam hal ini semua pemangku kepentingan bidang pendidikan, khususnya yang terkait dengan program pendidikan menengah universal. Saluran komunikasi yang digunakan dalam proses difusi PMU menggunakan dua kategori saluran yaitu : 1. Saluran Media massa (mass media channel), media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, web, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. 2. Saluran antar pribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu. Unsur ketiga dalam proses difusi PMU adalah waktu. Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses difusi, berpengaruh dalam proses keputusan inovasi, yaitu tahapan proses sejak seseorang menerima informasi pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi, keinovativan individu atau unit adopsi lain, dan rata-rata adopsi dalam suatu sistem, yaitu seberapa banyak jumlah anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu. Waktu yang sudah berjalan dalam proses difusi program PMU selama 10 bulan dari mulai diundangkannya Permen No 80 tahun 2013 tentang Pendidikan Menengah Universal (PMU). Unsur selanjutnya dari proses difusi PMU adalah sistem sosial. Sistem sosial adalah satu set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu upaya pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Anggota dari suatu sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Proses difusi PMU dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh struktur sosial, norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan konsekuensi inovasi. Proses difusi program PMU berjalan masih relatif lamban dalam mencapai sasaran yang diharapkan. Kondisi ini terjadi disebabkan program ini masih relatif baru yaitu 10 bulan dari diundangkannya kebijakan PMU. Selain itu keterjangkauan proses difusi melalui saluran komunikasi media masa masih terbatas baik secara kuantitatif dan kualitatif. Proses difusi PMU efektif dilakukan terbatas pada tingkat kelembagaan atau organisasi di lingkungan pemerintahan, terutama jajaran terkait lembaga kependidikan. Masyarakat yang terkait dengan program PMU dalam hal ini masyarakat luas terutama masyarakat middle low yang relatif tidak terjangkau media masa dan teknologi informasi lainnya cenderung belum mengetahui bahkan belum dapat menerima program PMU yang baru dirintis implementasinya oleh pemerintah tersebut. Jika digambarkan dalam kurve S
[ 558 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
tentang kecepatan relatif dari diadopsinya program PMU sejauh ini akan berbentuk kurva “S tegak”. Jejaring Difusi Inovasi Program PMU Difusi adalah proses komunikasi inovasi antara warga masyarakat (anggota sistem sosial) dengan menggunakan saluran tertentu dalam waktu tertentu. Proses komunikasi ditekankan dalam arti terjadinya saling tukar informasi (hubungan timbal balik) antar beberapa individu baik secara memusat (convergent) maupun memencar (divergent) yang berlangsung secara spontan. Dengan adanya komunikasi ni akan terjadi kesamaan pendapat antar warga masyarakat tentang inovasi. dalam sistem difusi desentralisasi penentuan itu dilakukan oleh klien (warga masyarakat) bekerja sama dengan beberapa orang yang telah menerima inovasi. Jaringan difusi adalah jaringan sosial yang ada di masyarakat yang dimanfaatkan dalam proses difusi inovasi. Jaringan sosial adalah keterkaitan hubungan dan komunikasi antar individu dalam masyarakat yang disebabkan oleh berbagai kepentingan dan sebab. Jaringan difusi program pendidikan menengah universal (PMU) adalah jaringan sosial yang dimanfaatkan dalam proses mendisfusikan program pendidikan menengah universal (PMU). Proses penyebaran informasi tentang program PMU sangat efektif jika didifusikan melalui saluran media massa. Namun untuk membujuk calon adopter agar segera membuat keputusan adopsi, peran media interpersonal menjadi lebih penting. Dalam tahapan yang disebut tahap persuasi itulah jaringan sosial yang ada dalam masyarakat sangat berguna bagi proses difusi program PMU. Proses penyebaran informasi tentang program PMU yang sedang dan sudah dilakukan adalah dalam bentuk sosialisasi yang lebih bersifat model arus komunikasi dilakukan one-step flow models dan two-step flow models. Dalam proses one-step flow models pesan yang disampaikan mengenai program PMU disampaikan mengalir tanpa ada perantara (audience bisa langsung mengaskes langsung media). Model ini memiliki beberapa kelemahan karena bukan all powerful, karena tidak semua media mempunyai kekuatan yang sama dalam menyampaikan program PMU. Kelemahan lainnya adalah kemungkinan timbulnya reaksi yang berbeda dari masyarakat tentang program PMU walaupun menerima dari media masa yang sama. Dalam proses two-step flow models pesan yang disampaikan mengenai program PMU dari media massa tidak seluruhnya langsung mengenai masyarakat sasaran, tetapi pesan tersebut disampaikan oleh pihak tertentu artinya pihak tertentu tersebut dikenal dengan opinion leaders (para birokrat di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, utamanya di lingkungan dinas pendidikan). Melalui sosialisasi program PMU di tingkat propinsi dan Kota/kabupaten serta organisasi di bawah birokarasi pemerintahan misalnya Dharmawanita, PKK, dan organisasi lainnya. Tahap pertama sumber media untuk pemimpin opini (transfer informasi), lalu tahap ke-dua pemimpin opini kepada khalayak/pengikut. P a g e [ 559 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Proses dalam jejaring difusi program PMU mengalir secara alami sepanjang hubungan interpersonal yang ditingkatkan melalui konsep homophily dan heterophily. Konsep komunikasi homophily dalam program PMU sering terjadi namun secara terbatas di kalangan para agen pembaharu. Jika komunikasi konsep homophily sering terjadi maka komunikasi menjadi lebih efektif ketika sumber dan penerima adalah homophilous. Komunikasi efektif memberi kemudahan bagi yang terlibat di dalam sistem dan difusi program PMU akan semakin menyebar. Proses yang terjadi dalam jejaring difusi program PMU sebenarnya diawali juga dalam pengertian model alur komunikasi heterophily, ketika para kerator menetapkan keputusan suatu program pendidikan menengah universal yang digagas dan ditetapkan melalui Permen NO 80 tahun 2013, maka jejaring difusi PMU menggunakan konsep alur komunikasi heterophily. Arus informasi mengallir dari para penggagas kepada para agen pembaharu yang relatif heterophily. Heterophily sering menghubungkan dua kelompok dan membagi perbedaan individu secara sosial. Mata rantai hubungan antar pribadi ini penting terutama untuk membawa informasi tentang program PMU. Adapun jaringan kemitraan dalam proses difusi program pendidikan menengah universal (PMU), sedikitnya melibatkan 12 lembaga di lingkungan dinas pendidikan, dan lembaga lainnya yaitu: 1) .Kemendiknas; 2) Dewan Pendidikan Provinsi/Kabupaten/ Kota; 3) PMP; 4) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota; 5) Komite Sekolah /Satuan Pendidikan di Kabupaten/Kota; 6) Media cetak, radio dan televise; 7) Perguruan Tinggi Negeri/Swasta; 8) Dunia usaha/industri/kerja; 9) Profesional; 10) Asosiasi profesi; 11) Lembaga Bantuan Hukum; 12) Pengamat pendidikan/ pakar pendidikan Sistem difusi sentralistik PMU dipadu dengan sistem difusi desentralistik PMU dan/atau penerapan kedua sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistem difusi sentralistik program PMU, difusi dilakukan oleh pemerintah dan/atau ahli; sementara itu, dalam sistem difusi desentralistik, program PMU datang dari ekperimentasi lokal yang sering dilakukan oleh pengguna itu sendiri dan atau atas dasar saling tukar informasi untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Difusi lewat network horizontal dilakukan unit lokal dengan tingkat kemungkinan reinvensi yang tinggi tentang Program PMU. Peran Agen Perubahan (change agent) dan Opinion Leader Dalam difusi program PMU diperlukan orang-orang yang berperan sebagai agen perubahan. Agen perubahan ini menjadi penghubung antara calon adopter dengan inovator. Agen perubahan atau change agent adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain agar sependapat dengan tujuan yang diinginkan oleh suatu institusi yang mengadakan perubahan. Agen perubahan adalah salah satu unsur penting dalam proses difusi program PMU. Agen pembaharu program PMU adalah sekelompok kecil orang tertentu sebagai penentu tentang berbagai hal tentang program PMU, seperti; kapan dimulainya difusi PMU, dengan saluran apa, siapa yang akan menilai hasilnya, dan melakukan koreksi, menjadi penghubung antara kreator dengan adopter, dan sebagainya [ 560 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
dalam suatu sistem sosial. Agen perubahan PMU memiliki akses banyak kepada institusi penggagas PMU dalam ini Kemendiknas, terutama memiliki akses terhadap ide PMU yang akan atau sedang didifusikan. Agen perubahan PMU diperlukan terutama dalam: 1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, 2) mengadakan pertukaran informasi dan menjalin hubungan, 3) mendiagnosa masalah, 4) menciptakan minat pada khalayak sasaran untuk berubah, 5) mengubah minat menjadi tindakan, 6) memantapkan adopsi dan mencegah diskontinyu, dan 7) mencapai suatu hubungan baik Apabila ditinjau lebih lanjut ada beberapa peran yang harus dilaksanakan oleh agen perubahan PMU yaitu peran agen perubahan sebagai penghubung atau linker terutama untuk menyampaikan berbagai pesan atau informasi tentang PMU. Sebagai penghubung, agen perubahan melakukan kegiatan-kegiatan: 1) mendifusikan PMU kepada khalayak sasaran, 2) menyalurkan kebutuhan dan masalah khalayak sasaran kepada institusi perancang perubahan dalam hal ini pemerintah (Kemendiknas) atau change agency, 3) menyalurkan masukan atau balikan mengenai PMU kepada Kemendiknas, dan 4) membuat evaluasi atas kesuksesan atau kegagalan difusi yang dilakukannya. Kesuksesan agen perubahan PMU tergantung pada : (a) upayanya menghubungi khalayak sasaran, (b) orientasinya yang lebih kepada khalayak sasaran, bukan pada Kemendiknas, (c) tingkat kesesuaian program PMU dengan kebutuhan khalayak sasaran, (d) empatinya kepada khalayak sasaran, (e) homofilitasnya dengan khalayak (f) kredibilitasnya di mata khalayak, (g) tingkat kesejalanannya dengan pemimpin opini dan (h) kemampuan khalayak sasaran mengevaluasi program PMU. Tugas Agen Perubahan di Bidang Pendidikan Menengah Universal (PMU) secara umum adalah : a) Mensosialisasikan program pendidikan menengah universal (PMU) kepada kepala birokrasi pemerintah daerah, dan kepala dinas dengan jajaran terkait di seluruh daerah masing-masing dan cara implementasi penyelenggaraan pendidikan menengah universal (PMU); b) Mendiagnosa masalah yang dihadapi khalayak sasaran sehingga diketahui mengapa pelaksanaan program PMU yang digunakan itu tidak sesuai dengan kebutuhan atau sasaran; c) Membangkitkan kebutuhan untuk berubah, agen pembaharu harus membantu khalayak sasaran, agar mereka sadar akan perlunya pendidikan menengah universal (PMU). Hubungan agen perubahan program PMU secara positif tergantung pada lebih tingginya khalayak sasaran dibandingkan agen pembaharu dalam hal (a) status sosial, (b) partisipasi sosial, (c) pendidikan dan (d) kekosmoplitannya. Dari beberapa kondisi agen perubahan program PMU di atas dapat dijelaskan bahwa peran agen pembaharu program PMU masih relatif terbatas pada khalayak sasaran pada tingkat lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan serta organisasi terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu peran agen perubahan PMU jika dilihat dari tugasnya sebagai linker, masih relatif terbatas pada kegiatan difusi program PMU, sedangkan kegiatan lain terutama dengan tugas melakukan evaluasi tentang keberhasilan atau kegagalan P a g e [ 561 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 program PMU dan menyalurkan balikan atau masukan kepada Kemendiknas, belum dilakukan. Hal ini mengingat waktu peluncuran dan proses difusi program PMU relatif belum lama dan proses difusi belum secara keseluruhan mencapai target khalayak sasaran. Opinion leaders atau pemimpin opini adalah individu yang memimpin dalam mempengaruhi pendapat orang lain tentang program PMU.. Opinion leaders adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Opinion leaders lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Opinion leaders lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Jadi, Opinion leaders dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Perilaku pemimpin opini penting dalam menentukan tingkat adopsi program PMU dalam suatu system sosial. Bahkan bentuk kurva S difusi terjadi karena pemimpin opini sekali mengadopsi kemudian memberitahu orang lain tentang program PMU yang diadopsinya. Kemampuan dirinya memelihara norma menjadi salah satu konsekuensi logis bentuk pelayanan atau suri teladan yang diberikan atau ditunjukkan kepada masyarakatnya. Dalam kenyataannya, sejauh ini orang-orang yang berpengaruh serta berperan dalam tingkat adopsi program PMU, masih relatif terbatas pada level jajaran birokrasi pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Para opinion leader di tingkat khalayak sasaran program PMU belum intensif dilakukan, disebabkan tingkat keteradopsian program PMU masih relatif rendah. Dampak program PMU terhadap perubahan sosial dalam dinamika pembangunan pendidikan di Indonesia Tujuan utama Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah meningkatkan kualitas penduduk Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, peningkatan kehidupan sosial politik serta kesejahteraan masyarakat. Tecapainya tujuan program PMU dapat diartikan merupakan dampak positif diimplementasikannya program pendidikan menengah universal (PMU). Setiap program kebijakan pendidikan, termasuk program pendidikan universal (PMU) akan memiliki dampak pada sistem sosial masyarakat di mana program tersebut diimplementasikan. Dampak yang ditimbulkan merupakan bentuk perubahan yang terjadi, termasuk tatanan sosial dan tatanan sistem pendidikan yang diharapkan oleh tujuan program yang diimplementasikan. Dampak tersebut dapat meliputi dampak perubahan positif yang diharapkan dan kemungkinan dampak negatif pelaksanaan suatu program. Adapun kemungkinan dampak positif dan negatif meliputi: 1. Beberapa dampak positif dari perubahan yang diharapkan dari program PMU meliputi: 1) Terjadi peningkatan akses publik ke tingkat sekolah menengah (SMA/sederajat); 2) Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMA/sederajat akan makin [ 562 ] P a g e
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
tinggi, Hingga 2012 ini, APK SMA/sederajat secara nasional masih berada di bawah 70%. Dengan adanya PMU, APK ini akan naik menjadi sekitar 97% pada tahun 2020. Hal ini sekaligus merupakan percepatan APK pendidikan menengah. Tanpa PMU atau “Wajar 12 Tahun”, APK sebesar itu baru bisa tercapai pada tahun 2040. Dengan adanya PMU, peluang masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA/sederajat semakin besar.; 3) Terjadi penambahan jumlah peserta didik yang berpeluang melanjutkan ke perguruan tinggi, Hal ini sejalan dengan ditingkatkannya layanan pendidikan tinggi, termasuk akan dibangunnya akademi komunitas (community college) di setiap kabupaten/kota menyusul disahkannya UU Pendidikan Tinggi; 4) Penyeimbangan antara SMA dan SMK. Hal ini, akan mengurangi perbedaan jumlah kedua jenis sekolah menengah ini; dan sekaligus menambah jumlah lulusan yang siap kerja terutama dari SMK tanpa mengurangi jumlah yang siap melanjutkan ke perguruan tinggi baik dari SMA maupun SMK; 5) Meningkat dan menguatnya pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi yang dimaksud disini adalah pendidikan kejuruan di tingkat menengah, bukan pendidikan kejuruan di tingkat perguruan tinggi. PMU akan memperbaiki kualitas angkatan kerja. Pengetahuan dan keterampilan lulusan SMA/SMK lebih memadai ketimbang lulusan SD/SMP. sedangkan berdasarkan usia, lulusan SMA/SMK lebih siap memasuki dunia kerja; 6) Mobilitas vertikal para lulusan SMA/SMK juga akan cenderung lebih mudah ketimbang lulusan SD/SMP. Dalam hal ini kehadiran PMU ini boleh dikatakan berada satu langkah di depan (one step ahead) di tengah-tengah dunia pendidikan kita. Menjadi terobosan dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia; sekaligus memperbaiki kinerja dalam kehidupan sosial dan ekonomi. 2. Beberapa dampak negatif yang akan terjadi dari pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal (PMU), di antaranya adalah masalah anggaran. Dengan diberlakukannya sistem baru, pastilah ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Jika dahulu, pemerintah hanya mencanangkan Wajar 9 tahun, maka pemerintah hanya wajib menganggarkan dana pendidikan khususnya untuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bagi pendidikan selama 9 tahun yaitu SD dan SMP. Namun, dengan rencana Pendidikan Menengah Universal (PMU), maka pemerintah juga harus menganggarkan dana yang jauh lebih besar, karena jenjang yang dicakup kini lebih lama yaitu 12 tahun dari SD, SMP sampai SMA/SMK. 3. Dampak negatif lain yang harus diwaspadai adalah masalah transparansi dan akuntabilitas pendanaan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Penerapan PMU tanpa diimbangi oleh perbaikan taraf ekonomi dengan signifikan, maka target PMU tidak akan tercapai dengan maksimal. Begitu pula tanpa transparansi dan perubahan cara pandang komunitas sekolah, penerapan PMU hanya akan menjadi ladang baru dan melanggengkan potensi serta modus korupsi yang lama disinyalir telah terjadi. Dengan demikian, penerapan PMU tidak hanya layak untuk kita sambut dengan gembira, tetapi juga harus diwaspadai agar tidak terjebak oleh masalah ekonomi serta budaya korupsi akut yang berkembang di masyarakat. P a g e [ 563 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
SIMPULAN 1. Esensi program Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah merupakan program keberlanjutan dari wajar 9 tahun menjadi wajar 12 tahun. Program PMU merupakan upaya strategis dalam program pendidikan yang memberikan layanan seluas-luasnya pada seluruh warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu. Hal ini mengandung pengertian konsep pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. 2. Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dalam kerangka makro kebijakan pendidikan nasional merupakan suatu lompatan kebijakan yang signifikan. Pengembangan kebijakan ini dalam upaya meningkatkan kualitas penduduk Indonesia guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, peningkatan kehidupan social politik serta kesejahteraan masyarakat. 3. Nilai keinovatifan program PMU terletak pada kekhasan program PMU, kebaruan Program PMU yaitu wajar 12 tahun yang merupakan keberlanjutan dari wajar 9 tahun yang belum pernah ada sebelumnya. Selain itu keinovatifan program PMU dapat dilihat dari unsur kualitatif, bersifat diusahakan dan dilihat dari program PMU memiliki unsur meningkatkan kemampuan. Unsur lain keinovatifan PMU dapat dilihat dari pergeseran paradigma kebijakan pendidikan dan kebudayaan yang mendasari pelaksanaan program PMU. 4. Karakteristik keinovatifan PMU dapat dilihat dari unsur-unsur keuntungan relatif dan kompatibilitas yang relatif tinggi. Karakteristik keinovatifan PMU jika dilihat dari unsur kompleksitas, triability dan obsevability relatif rendah. 5. Proses difusi program PMU yang sudah berjalan relative masih terbatas belum menyeluruh mencapai khalayak sasaran yang menjadi target sebagai system sosial tempat diimplementasikannya program PMU. Sehubungan dengan hal itu maka tingkat keteradopsiannya masih relatif belum tinggi yang diukur dengan jumlah khalayak sasaran yang telah mengadopsi program PMU. 6. Peran agen pembaharu dan opinion leader dalam proses difusi PMU masih terbatas dan relatif belum maksimal. 7. Perubahan sosial yang mungkin akan terjadi sebagai dampak dari inovasi program PMU dapat berupa dampak positif dan dampak negatif. DAFTAR PUSTAKA Kemendiknas, 2013, Kebijakan Permendiknas No 80 Tahun 2013 tentang Pendidikan Menengah Universal, Jakarta,.Lemabran Negara Kemendikbud, 2010, Renstra Kemendikbud 2010-2014, Jakarta Rogers, Everet M, 1983. Diffusion of Innovations, The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. New York, N. Y. 10022
[ 564 ] P a g e
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MATA KULIAH PENGANTAR AKUNTANSI (STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA AKUNTANSI DI JAWA TENGAH) Dewi Amaliah Nafiati
FKIP-Universitas Pancasakti Tegal
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ability and effort (kemampuan dan usaha), intellectual skill, high school grades, college grades, emotional skill, dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar mahasiswa S1 Akuntansi dalam Mata Kuliah Pengantar Akuntansi. Penelitian ini dilaksanakan pada perguruan tinggi di Jawa Tengah yang memiliki Jurusan Akuntansi. Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa dari perguruan tinggi (universitas) yang telah mengambil Mata Kuliah Pengantar Akuntansi. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Dari populasi sebanyak 28 universitas baik negeri maupun swasta terpilih 22 universitas sebagai anggota sampel. Data penelitian diperoleh melalui angket dan studi pustaka. Data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi linier berganda. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi dipengaruhi secara signifikan oleh semua variabel penelitian (ability and effort, intellectual skill, high school grades, college grades, emotional skill, dan lingkungan belajar). Kata Kunci: Prestasi Belajar, Pengantar Akuntansi, dan Mahasiswa Akuntansi
PENDAHULUAN Perkembangan dan perubahan yang melanda bangsa Indonesia menjadikan pendidikan nasional kita dihadapkan pada beberapa masalah. Permasalahan tersebut antara lain peningkatan kualitas dan hasil, terbatasnya dana yang tersedia dan belum tergalinya sumber dana masyarakat secara proporsional sesuai dengan prinsip pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua. Untuk mengantisipasi segala perubahan tersebut maka kita harus menempatkan pendidikan sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Pendidikan akuntansi yang dilaksanakan di perguruan tinggi pada jenjang S1 menjadi salah satu bekal dalam memasuki dunia profesi akuntan publik bertujuan menghasilkan lulusan yang beretika dan bermoral tinggi. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkenalkan nilai-nilai profesi dan etika akuntan kepada mahasiswa. Dalam upaya pengembangan pendidikan akuntansi yang berlandaskan etika ini dibutuhkan adanya umpan balik (feedback) mengenai kondisi yang ada sekarang, yaitu apakah pendidikan akuntansi di Indonesia telah cukup membentuk nilai-nilai positif mahasiswa akuntansi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi, perkembangan pasar modal dan teknologi informasi, serta perubahan lain mengakibatkan perubahan peran dan tanggung jawab akuntan. P a g e [ 565 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Prestasi belajar pada mata kuliah pengantar akuntansi dipilih dalam penelitian ini karena mata kuliah ini merupakan dasar sebelum menempuh mata kuliah akuntansi yang lebih kompleks. Prestasi belajar merupakan hasil belajar berupa kemampuan setelah mahasiswa mengalami proses belajar dalam waktu tertentu dan telah dicapai di luar diri manusia setelah melakukan proses untuk memperoleh perubahan tingkah laku kognitif, afektif, psikomotorik. (Sudjana, 2008) Begitu pentingnya prestasi belajar pengantar akuntansi karena mengantarkan mahasiswa pada pemahaman awal konsep akuntansi. Untuk mencapai prestasi belajar pengantar akuntansi diperlukan beberapa faktor, di antaranya ability and effort (kemampuan dan usaha), Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan lingkungan belajar. Falley dan Eskew (1988) menyatakan bahwa ability and effort merupakan kemampuan dan usaha untuk memperoleh pemahaman secara konkret terhadap pengantar akuntansi, sehingga kemampuan yang diperoleh tidak hanya sekedar menghafal materi tetapi benar-benar mampu dimengerti. Menurut Gagne (2010), intellectual skill (kemampuan intelektual) merupakan kemampuan yang ditunjukkan oleh mahasiswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Untuk menunjang mahasiswa agar memiliki ability and effort, serta intellectual skill yang baik terhadap pengantar akuntansi dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa sejak high school grades atau prestasi mahasiswa sejak belajar di SMU dan tentu saja kualifikasi perguruan tinggi atau college grades yang bersangkutan. high school grades atau prestasi mahasiswa sejak belajar di SMU seperti yang dikemukakan oleh Ausubel (1968) tentang teori bermaknanya yang menjelaskan bahwa belajar merupakan proses mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diterima sebelumnya pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel, manusia tidak tahu bagaimana mekanisme memori penyimpanan pengetahuan, yang jelas informasi-informasi yang diperoleh oleh mahasiswa dapat tersimpan dalam otak. Dengan berlangsungnya pembelajaran, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel otak, terutama sel yang menyimpan informasi. Pencapaian prestasi belajar pengantar akuntansi dapat diperoleh secara maksimal juga dipengaruhi oleh emotional skill dan lingkungan belajar. Goleman (2000), mendefinisikan kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Semua faktor-faktor tersebut sebaiknya berlangsung dalam lingkungan belajar yang kondusif. Walgito (2004) menyatakan bahwa dalam proses belajar, faktor lingkungan memegang peranan penting karena faktor lingkungan ini berhubungan dengan tempat, alat-alat belajar, suasana, waktu, dan pergaulan. Penelitian ini merupakan perluasan dari penelitian Robert Eskew dan Robert Falley (1988) yang berjudul “Some Determinant of Student Performance in The First College-Level Financial Accounting”. Dalam penelitian ini terdapat perubahan dua variabel independen yaitu variabel lingkungan belajar, dan kecerdasan emosional. Oleh karena itu [ 566 ] P a g e
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
penelitian ini akan menguji pengaruh ability and effort (kemampuan dan usaha), Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan lingkungan belajar, juga berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa khususnya dalam mata kuliah pengantar akuntansi. METODE Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa S1 Jurusan Akuntansi dari Perguruan Tinggi di Jawa Tengah. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling, sehingga diperoleh sampel sebanyak 22 perguruan tinggi dari 28 perguruan tinggi yang berbentuk universitas. Nama dan alamat perguruan tinggi didapat dari Katalog Perguruan Tinggi. Data penelitian diperoleh melalui pengiriman kuesioner dan wawancara dengan responden penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang didapat dari jawaban responden terhadap serangkaian pertanyaan yang diajukan peneliti. Variabel sebagai titik perhatian adalah variabel terikat/dependent variable yaitu prestasi belajar mata kuliah pengantar akuntansi dan variabel bebas/independent variable yaitu Ability and Effort (kemampuan dan usaha), Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill dan Lingkungan Belajar. Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap variabel penelitian ini maka variabel-variabel tersebut didefinisikan secara operasional. Prestasi belajar diukur dengan nilai yang diperoleh mahasiswa. Ability and Effort (kemampuan dan usaha) diukur dengan pertanyaan tentang upaya serta kemampuan mahasiswa memperoleh pemahaman secara konkret terhadap pengantar akuntansi. Intellectual skill diukur dengan pertanyaan yang berisi kemampuan membaca, memahami dan menginterpretasikan informasi pengantar akuntansi. High School Grades diukur dengan prestasi mahasiswa selama mahasiswa belajar di SMU/SMK. College Grades diukur dengan melihat kualifikasi perguruan tinggi. Kecerdasan emosional diukur dengan pertanyaan tentang kemampuan mahasiswa dalam pengendalian diri dan motivasi dalam mempelajari pengantar akuntansi. Lingkungan belajar diukur dengan pertanyaan tentang tempat belajar, alat belajar, waktu, disiplin dan metode belajar. Analisis data yang meliputi pengujian instrumen (uji validitas dan reliabilitas), pengujian data (uji asumsi klasik), dan pengujian hipotesis dilakukan dengan program SPSS for Windows. Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan analisis regresi berganda dengan model sebagai berikut: Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + e HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji validitas dengan analisis faktor menunjukkan validitas pada skor masingmasing butir dengan skor total. Untuk pengujian reliabilitas dengan menggunakan teknik P a g e [ 567 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Cronbach alpha. Hasil pengujian menunjukkan data kuesioner adalah reliabel. Dengan kata lain, data kuesioner reliabel dan valid. Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Data Variabel Ability and Effort Intellectual Skill High School Grades College Grades Emotional Skill Lingkungan Belajar
Hasil Reliabilitas Alpha Cronbach 0. 6397 0. 6261 0. 7087 0. 8047 0. 7033 0. 6735
Hasil Analisis Variabel Indikator Faktor Kaiser MSA > 0,50 X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X6, X7, X8, X9, X8, X9, X10 X10 X11, X12, X13, X14, X15, X16, X17, X18, X16, X17, X18, X19, X20 X19, X20 X21, X22, X23, X24, X25, X26, X27 X26, X27 X28, X29, X30, X31, X32, X33, X34, X35 X33, X34, X35 X36, X37, X38, X39, X40, X41, X42, X43, X41, X42, X43, X44, X45 X44, X45 X46, X47, X48, X49, X50, X51, X52, X53, X51, X52, X53, X54, X55 X54, X55
Berdasarkan hasil uji reliabilitas dengan menggunakan alpha Cronbach diketahui bahwa variabel Ability and Effort memiliki alpha sebesar 0,6397. Intellectual Skill memiliki alpha sebesar 0,6261. Variabel High School Grades memiliki alpha sebesar 0,7087. Sedangkan variabel College Grades memiliki alpha sebesar 0,8047. Untuk variabel Emotional Skill memiliki alpha sebesar 0,7033. Begitu pula untuk variabel Lingkungan Belajar memiliki nilai alpha sebesar 0,6735. Menurut Sekaran (2006) sebuah variabel dikatakan reliabel apabila alpha 0,6. Dengan demikian semua variabel dalam penelitian ini reliabel. Hasil uji validitas dengan menggunakan analisis faktor diketahui bahwa tidak semua item pada masing-masing variabel valid. Pada variabel Ability and Effort item yang valid yaitu item 6,7,8,9, dan 10. Sedangkan variabel Intellectual Skill, item yang valid adalah item nomor 16, 17, 18, 19, dan 20. Variabel High School Grades, item yang valid adalah nomor 26 dan 27, sedangkan untuk variabel College Grades, item yang dikatakan valid berdasarkan analisis faktor adalah item nomor 33, 34, dan 35. Variabel Emotional Skill, item yang valid adalah nomor 41, 42, 43, 44, dan 45. Item yang valid untuk variabel Lingkungan Belajar adalah item nomor 51, 52, 53, 54, dan 55. Berdasarkan perhitungan analisis faktor tersebut, maka dalam penelitian ini item yang tidak valid tidak digunakan atau dibuang. Hasil uji asumsi klasik meliputi normalitas, multikolinearitas, dan heterosedastisitas. Hasil pengujian normalitas menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,99. Nilai ini jauh di atas 0,01 yang menunjukkan bahwa data dalam penelitian ini adalah normal. Untuk pengujian multikolinearitas dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan tolerance value. Hasil pengujian menunjukkan nilai VIF di sekitar 1, demikian [ 568 ] P a g e
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
juga dengan nilai tolerance mendekati 1. Dengan demikian keenam variabel independen tidak memiliki multikolinearitas antar variabel independen satu dengan lain. Deteksi ada tidak heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik Scatterplot antara SRESID dan ZPRES di mana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi - Y sesungguhnya) yang telah distandardized. Dari grafik Scatterplot terlihat titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak dipakai untuk memprediksi prestasi belajar berdasarkan masukan variabel independennya. Hasil pengujian regresi linear menunjukkan nilai R sebesar 0,560 menunjukkan korelasi ganda (Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan Lingkungan Belajar) dengan Prestasi Belajar dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Nilai Adjusted R Square sebesar 0,294 menunjukkan besarnya peran atau kontribusi variabel Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan Lingkungan Belajar mampu menjelaskan variabel Prestasi Belajar dalam mata kuliah pengantar akuntansi sebesar 29,4%. Tabel 2. Ringkasan Analisis Regresi Linear Berganda Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate 1 ,560(a) ,314 ,294 53,465 Berdasarkan beberapa hasil analisis diperoleh bahwa enam variabel bebas yaitu Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, Lingkungan Belajar secara simultan berpengaruh terhadap prestasi belajar. Hal ini terbukti dari hasil uji ANOVA atau F test, didapat F hitung sebesar 16,835 dengan tingkat probabilitas 0.000 (signifikansi). Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi prestasi belajar. Adapun hasil output SPSS menunjukkan bahwa Ability and Effort berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil ini konsisten dengan teori yang dikemukakan oleh Simanjuntak (2005) yang menyatakan bahwa Ability and Effort individu dipengaruhi oleh kebugaran fisik dan kesehatan jiwa individu yang bersangkutan, pendidikan, akumulasi pelatihan, dan pengalamannya. Hasil tersebut juga konsistensi dengan penelitian yang disampaikan oleh Robert Eskew dan Robert Faley (1988), Frederickson dan Part (1995), dan Faridah (2003) yang menyatakan bahwa Ability and Effort berpengaruh positif terhadap prestasi akademik mahasiswa. Hasil output SPSS menunjukkan bahwa Intellectual Skill berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil pengujian ini relevan dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne (2010) yang menyatakan bahwa intellectual skill merupakan penampilan yang ditunjukkan oleh mahasiswa untuk memecahkan masalah dengan P a g e [ 569 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 menentukan aturan-aturan tingkat tinggi yang kompleks. Aturan tersebut berisi aturan dan konsep terdefinisi yang diperoleh melalui pembelajaran beberapa konsep konkret dan penguasaan diskriminasi-diskriminasi. Pengujian ini juga konsisten dengan temuan Stone dan Shelly (1997) membedakan Intellectual Skill menjadi empat bagian yaitu pertama, cognitive complexity, kedua, ability to identify accounting related information resources, ketiga, problem structuring dan empat, written communication skill yang berpengaruh terhadap prestasi belajar akuntansi. Analisis output SPSS menunjukkan bahwa High School Grades berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ausubel (1968) tentang teori bermaknanya yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses mengaitkan informasi baru dengan informasi yang lama (telah dipelajari sebelumnya) tentang konsep-konsep yang relevan dalam struktur kognitif seseorang. Hasil pengujian ini juga sesuai dengan temuan Smith (1968) yang mengungkapkan bahwa akuntansi/bookkeeping yang diperoleh di sekolah lanjutan (highschool) secara positif akan mempengaruhi prestasi mahasiswa di perguruan tinggi dalam akuntansi dasar. Output SPSS yang menunjukkan bahwa College Grades berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil pengujian ini sesuai dengan pendapat Tu’u (2003) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, di mana salah satunya kualifikasi dari lembaga pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi. Hasil ini sesuai dengan salah satu temuan Eskew dan Faley (1988) yang menyatakan bahwa kualifikasi perguruan tinggi (College Grades) berpengaruh positif dan signifikansi terhadap prestasi belajar. Variabel Emotional Skill berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar juga terbukti dari hasil Output SPSS. Hasil ini sesuai dengan pendapat Goleman (2000) tentang kecerdasan emosional yaitu kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Hasil pengujian ini berhasil mendukung temuan Melandi dan Aziza (2006) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional berupa pengendalian diri dan empati berpengaruh positif terhadap pemahaman akuntansi. Begitu pula dengan variabel Lingkungan Belajar. Hasil output SPSS menunjukkan bahwa Lingkungan Belajar berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil tersebut sesuai dengan Walgito (2004) yang menyatakan bahwa dalam proses belajar, faktor lingkungan memegang peranan penting karena faktor lingkungan ini berhubungan dengan tempat, alat-alat belajar, suasana, waktu, dan pergaulan. Hasil pengujian ini berhasil mendukung temuan Ulfah (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar akuntansi. SIMPULAN 1. Pengujian secara bersama-sama menunjukkan hasil yang signifikan. Dengan demikian Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, [ 570 ] P a g e
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Lingkungan Belajar secara simultan berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Ability and Effort (kemampuan dan usaha) berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Hasil temuan ini konsisten dengan temuan Eskew dan Faley (1988), Frederickson dan Part (1995), dan Faridah (2003) yang menyatakan bahwa Ability and Effort (kemampuan dan usaha) adalah suatu variabel yang berpengaruh terhadap pendidikan akuntansi apabila mahasiswa mempunyai kemampuan dalam bidang akuntansi serta upaya untuk mendukung kemampuan tersebut maka prestasi mahasiswa akan meningkat dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Keahlian intelektual (Intellectual Skill) berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Hasil ini sesuai dengan temuan Stone dan Shelley (1997) membedakan Intellectual Skill menjadi empat bagian yaitu pertama, cognitive complexity, kedua, ability to identifiy accounting related information resources, ketiga, problem structuring dan empat, written communication skills yang berpengaruh terhadap prestasi belajar akuntansi. Prestasi di SMU (High School Grades) berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi menghasilkan yang signifikan. Hasil temuan ini mendukung Smith (1968) mengungkapkan bahwa akuntansi/book keeping yang diperoleh di sekolah lanjutan (high-school) secara positif akan mempengaruhi prestasi mahasiswa diperguruan tinggi dalam akuntansi dasar. Kualifikasi perguruan tinggi (College Grades) berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar Akuntansi, menghasilkan temuan yang mendukung hipotesis. Hasil temuan ini konsisten dengan Eskew dan Faley (1988) menyatakan bahwa scholastic aptitude test (SAT) dan effort menunjukkan kontribusi terbesar dalam prestasi mahasiswa diikuti kemudian dengan previous accounting experience, previous related experience, college-grades serta high school grades. Emotional Skill berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Pengujian ini menunjukkan hasil yang signifikan berarti dapat disimpulkan prestasi belajar mahasiswa selain pengantar akuntansi berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar Akuntansi. Hasil temuan ini konsisten dengan Melandy dan Aziza (2006) menyatakan bahwa Kecerdasan emosional yaitu pengendalian diri dan empati berpengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Lingkungan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Pengujian ini menunjukkan hasil yang signifikan berarti dapat disimpulkan prestasi belajar mahasiswa selain pengantar akuntansi berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar Akuntansi. Hasil pengujian ini sesuai dengan pendapat Walgito (2004) bahwa dalam proses belajar, faktor lingkungan memegang peranan penting karena faktor P a g e [ 571 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 lingkungan ini berhubungan dengan tempat, alat-alat belajar, suasana, waktu, dan pergaulan. Hasil temuan ini konsisten dengan Ulfah (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar akuntansi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi dunia pendidikan umumnya dan khususnya pendidikan akuntansi terutama yang berkaitan dengan cara untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan proses belajar mengajar. Temuan penelitian ini juga mengindikasikan bahwa faktor-faktor Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan Lingkungan Belajar secara sinergis berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar mata kuliah Pengantar Akuntansi. Jika keenam faktor ini dapat dibangun dan lebih dikembangkan selama perkuliahan Pengantar Akuntansi, maka besar kemungkinan dapat mengoptimalkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah tersebut dan mata kuliah lain yang terkait. Berdasarkan temuan hasil penelitian, peneliti mengajukan saran kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengantar Akuntansi hendaknya sebelum memberikan perkuliahan perlu diketahui dan dipertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa dengan mengungkapkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap prestasi belajar pada mata kuliah yang diampu. Demikian juga hendaknya dapat mensinergikan faktor-faktor yang telah terbukti berpengaruh positif dan signifikan (Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan Lingkungan Belajar) terhadap proses dan hasil proses dan hasil belajar dalam perkuliahan. Kepada para akademisi dan peneliti, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan populasi yang lebih luas dan melibatkan faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa, misalnya latar belakang ekonomi orang tua dan fasilitas yang ada di perguruan tinggi setempat. DAFTAR PUSTAKA Ausubel, David P. (1968). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York. Grune and Stratton. Eskew, R. and Faley, R. (1988). “Some Determinant of Student Performance in the First College-Level Financial Accounting”, Issue in Accounting Education Volume 15. Faridah. (2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Dalam Mata Kuliah Akuntansi Keuangan Menengah, Jurnal MAKSI, Vol 3/Agustus/2003. ISSN 14106680, UNDIP, Semarang. Frederickson, J.R. and Pratt, J. 1995. A Model of The Accounting Education Process. Issue in Accounting Education. Gagne,
R. (2010). Teori Belajar Robert Gagne (1916-2002). Diakses dari http://www.trianawuri.blogspot.com/2010/10/teori-belajar-robert-gagne-19162002.html
[ 572 ] P a g e
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
Goleman, D. (2000). Working With Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Melandy, R. dan Aziza, N. (2006). Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi, Kepercayaan Diri Sebagai Variabel Pemoderasi. SNA 9, Padang. Sekaran, Uma. (2006). Research Methods for Business (Metodologi Penelitian untuk Bisnis). Jakarta: Salemba Emapat. Simanjuntak, Payaman. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kerja. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Smith, J. (1968). Articulation of High School Bookkeeping College Elementary accounting, Ph. D. Dissertation, University of Oklahoma. Stone, D. N. and Shelley, M. K. (1997). Educating for Accounting Expertise: A Field Study. Journal of Accounting Research. Sudjana, Nana. (2005). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Algesindo.
Sinar Baru
Tu’u, T. (2004). Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Ulfa, T. M. (2008). Pengaruh Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mata Diklat Akuntansi Pada Siswa Kelas XI Jurusan Akuntansi SMK Bhakti Praja Talang Tahun Pelajaran 2007/2008. Skripsi FKIP Universitas Pancasakti Tegal (tidak dipublikasikan) Walgito, Bimo. (2004). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
P a g e [ 573 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENGARUH PRAKTIK KERJA INDUSTRI DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP KETERAMPILAN AKUNTANSI SISWA PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI (PENELITIAN PADA SISWA KELAS XII DI SMK KOTA CIREBON) Enceng Yana Pendidikan Ekonomi Unswagati Cirebon
[email protected]
Abstrak Program pelatihan praktik kerja industri (prakerin) merupakan salah satu perwujudan link and match antara sekolah dengan Dunia Usaha/Dunia Industri. Praktik kerja industri merupakan upaya untuk memberikan kecakapan kerja dan pengalaman siswa untuk bekerja pada Dunia Usaha/Dunia Industri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMK kelas XII Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon Tahun Ajaran 2014/2015 sebanyak 324 siswa. Dengan rumus Yamane yang digunakan dalam pengambilan sampel, ditetapkan jumlah sampel sebanyak 76 sampel. Selanjutnya sekolah yang menjadi lokasi pengambilan data ditentukan dengan Cluster Proporsional Random Sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan soal tes. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh nilai F=7,928, dengan nilai sig. 0,001 sehingga dapat disimpulkan bahwa X1 dan X2 secara bersama-sama berpengaruh secara positif terhadap Y. Sedangkan nilai R2=0,178 menunjukkan bahwa variasi variabel keterampilan akuntansi siswa (Y) dapat dijelaskan oleh praktik kerja industri (X1) dan variabel motivasi berprestasi (X2) sebesar 17,8%. Kata Kunci: Praktik Kerja Industri, Motivasi Berprestasi, Keterampilan Akuntansi
PENDAHULUAN Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga formal yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, dan SMK diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan khusus SMK menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah: Pertama, mempersiapkan siswa agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lowongan pekerjaan yang ada, sebagai tempat kerja tingkat menengah, sesuai dengan keahliannya; Kedua, membekali siswa agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetisi, dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminati; dan Ketiga, membekali siswa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu mengembangkan diri di kemudian hari melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mata pelajaran kejuruan terdiri dari beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan [ 574 ] P a g e
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
atau keterampilan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya. Para siswa mengikuti pembelajaran normatif, adaptif, dan produktif di sekolah selama 3 tahun, yaitu kelas X, XI, dan XII. Selain mengikuti pembelajaran di sekolah, dalam upaya menciptakan siswa yang kompeten dan siap kerja di dunia industri, siswa kelas XI diwajibkan mengikuti praktik kerja industri. Terdapat faktor internal dan eksternal yang mampu menunjang keberhasilan para siswa di SMK. Yang termasuk ke dalam faktor internal yang dapat memberikan kontribusi positif yaitu keterampilan akuntansi dan motivasi berprestasi yang terdapat dari diri siswa itu sendiri. Kemampuan atau keterampilan dalam pendidikan kejuruan yang dimiliki siswa sangat membantu siswa dalam dunia pekerjaan yang selalu dituntut dapat bekerja secara profesional. Keterampilan akuntansi adalah suatu hubungan konsep yang ditunjukkan dengan perbuatan dan berbentuk praktik untuk memperkuat ingatan. Keterampilan akuntansi sangat dibutuhkan oleh siswa SMK Program Keahlian Akuntansi. Keterampilan yang dimiliki oleh siswa dapat membantu mereka dalam mengelola jurnal, mengelola buku besar, menyelesaikan siklus akuntansi perusahaan jasa dan dagang, mengelola administrasi kas bank, mengelola administrasi dana kas kecil (petty cash), menyelesaikan siklus akuntansi perusahaan manufaktur, dan lain-lain. Faktor eksternal yang menunjang keberhasilan penguasaan keterampilan di SMK salah satunya adalah dengan diperolehnya pengalaman siswa melalui program praktik kerja industri. Program ini mampu mengantarkan siswa mengenal jenis pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Praktik kerja industri dilaksanakan oleh siswa kelas XI di dunia industri selama 4 bulan. Salah satu tujuan praktik kerja industri adalah untuk mengenalkan dan memberi pengalaman kepada siswa tentang dunia kerja sebenarnya di bawah pengawasan dari pihak sekolah, industri/perusahaan untuk nanti setelah siswa lulus dari pendidikan SMK. Selain program praktik kerja industri, ada faktor lain yang berkontribusi pada keterampilan siswa yaitu faktor motivasi untuk berprestasi. Menurut Sri Rumini (Muhamad Irham dkk, 2013:56), motivasi merupakan keadaan atau kondisi pribadi pada siswa yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dengan tujuan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan siswa yang bersangkutan. Dalam pembelajaran peran motivasi berprestasi dapat menunjang keberhasilan siswa. siswa yang memiliki motivasi berprestasi selalu berupaya untuk menguasai pelajaran yang dipelajarinya, sehingga motivasi berprestasi ini sangat penting dimiliki oleh siswa agar siswa mampu menjalani seluruh proses kegiatan yang dilaksanakan disekolah maupun dilaksanakan di dunia usaha/dunia indutri dengan baik, dan yang terpenting keberhasilan disekolah dapat berimlikasi terhadap kompetensi yang dimiliki siswa sebagai bekal memasuki dunia kerja. Kenyataannya tidak semua siswa mampu melaksanakan sesuai dengan ketentuan di atas. Kondisi-kondisi tersebut bisa dilihat dari beberapa fakta terkait dengan keterampilan yang sedikit dimiliki oleh siswa yang telah melaksanakan praktik kerja industri dalam ketercapaian kompetensi keterampilan akuntansi dalam mata pelajaran P a g e [ 575 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 akuntansi. Rendahnya keterampilan siswa tersebut disebabkan juga masih rendahnya motivasi berprestasi siswa sehingga pada saat siswa melaksanakan tes kompetensi keterampilan akuntansi cenderung asal mengerjakan, hal ini terungkap pada saat wawancara dan observasi awal dengan beberapa guru dan beberapa sekolah SMK di Kota Cirebon terkait dengan pelaksanaan praktik kerja industri dan motivasi berprestasi yang berimplikasi terhadap keterampilan akuntansi siswa. METODE Penelitian ini menggunakan penelitian survei dengan menggunakan analisis regresi berganda. Metode survei dilakukan untuk pengujian konstruk yang sudah ada sebelumnya. Menurut Morissan (2012: 166), “Penelitian survei adalah salah satu metode terbaik yang tersedia bagi para peneliti sosial yang tertarik untuk mengumpulkan data guna menjelaskan suatu populasi yang terlalu besar untuk diamati secara langsung. survei merupakan metode yang sangat baik untuk mengukur sikap, dan orientasi suatu masyarakat melalui berbagai kegiatan jajak pendapat (public opinion poll)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif kontribusi, menurut Musianto (2002:125) “Pendekatan kuantitatif ialah pendekatan yang di dalam usulan penelitian, proses, hipotesis, turun ke lapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai dengan penulisannya mempergunakan aspek pengukuran, perhitungan, rumus dan kepastian data numerik”. Penelitian ini akan menggunakan analisis regresi linear berganda sebagai alat analisis data penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMK Program Keahlian Akuntansi Kelas XII di Kota Cirebon. SMK di kota Cirebon yang Program Keahliannya Akuntansi sebanyak 8 sekolah dan semuanya berstatus swasta, sedangkan SMKN 2 Kota Cirebon baru menyelenggarakan Program Keahlian Akuntansi sehingga belum ada kelas XII. Tabel 1. Data Sampel Siswa Kelas XII SMK Program Keahlian Akuntansi No. Nama Sekolah Jumlah Siswa 1. SMK Wahidin 41 siswa 2. SMK Budiarti 21 siswa 3. SMK Widya Utama 14 siswa TOTAL 76 siswa Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon dengan jumlah 324 siswa dengan jumlah sekolah 8 sekolah. Sedangkan pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan rumus yang diambil dari Taro Yamane (Riduan, 2011;65). Setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus tersebut, dari jumlah populasi sebesar 324 siswa, didaptkan sampel 76 siswa dengan tingkat kepercyaan 90%. Selanjutnya penentuan pengambilan sampel dilakukan dengan membagi sekolah menjadi tiga kluster yang dilihat dari passing grade dan letak sekolah. Setelah dibagi menjadi tiga kluster maka dipilih satu sekolah dari masing-masing kluster untuk dijadikan sampel. Sampel dari tiga kluster tersebut akan ditentukan dengan proporsional sampling sesuai dengan jumlah [ 576 ] P a g e
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
siswa yang ada di sekolah tersebut. Tabel 1 menunjukan jumlah sampel sesuai dengan proposional sampling. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (X1) adalah praktik kerja industri. Praktik kerja industri (On The Job Training) adalah modal pelatihan yang diselenggarakan di lapangan, bertujuan untuk memberikan kecakapan yang diperlukan dalam pekerjaan tertentu sesuai dengan tuntutan kemampuan bagi pekerjaan (Hamalik, 2007:21). Variabel X2 adalah Motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi adalah tampakdari usaha yang gigih untuk mencapai keberhasilan dalam segala aktivitas kehidupan. McClelland (Mubiar Agustian, 2012;20). Sedangkan variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dari pengertian tersebut maka yang menjadi variabel dependen adalah keterampilan akuntansi siswa. Keterampilan akuntansi adalah suatu hubungan konsep yang ditunjukkan dengan perbuatan praktik untuk memperkuat ingatan. Adapun indikator keterampilan tersebut ditunjukkan dengan: menganalisa data-data transaksi pada jurnal umum dengan cepat dan benar, menggolongkan data-data akuntansi dengan cepat dan benar, mencatat data-data transaksi dengan cepat dan benar, dan memasukkan data-data transaksi dengan tanpa melihat modul dan tanpa bertanya kepada teman maupun guru Djamarah (Falakhudin, 2012). Pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian ini adalah kuesioner. Intrumen kuesioner dipakai untuk megukur veriabel praktik kerja industri (variabel X1) dan motivasi berprestasi (variabel X2). Sedangkan soal tes digunakan untuk mengukur keterampilan akuntansi siswa. Teknik analisis data yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan bantuan software SPSS. V.16.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di tiga sekolah yang terdapat di Kota Cirebon yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Wahidin, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Budiarti, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Widya Utama, dengan populasi seluruh siswa kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ada di Kota Cirebon. Populasi ini yang akan menentukan sampel sebagai responden yang akan diteliti, pengambilan sampel Proportionate Random Sampling dan Simple Random Sampling yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Sehingga dapat diperoleh responden sebesar 76 siswa. Berdasarkan pernyataan respon siswa tentang kegiatan prakerin rata-rata menunjukkan respon yang sangat setuju. Beberapa pernyataan berdasarkan tabel di atas menunjukkan siswa menjawab sangat setuju sebesar 81,6%, setuju sebesar 17,1%, dan yang menjawab netral sebesar 1,3%. Ini berarti pernyataan hadir tepat waktu di tempat kerja mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju karena siswa harus menjaga etika-norma-tata cara bertingkah laku dengan peraturan yang harus diikuti. P a g e [ 577 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Pernyataan mengikuti kegiatan Dunia Usaha/Dunia Industri sampai jam kerja berakhir mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju sebesar 89,5% karena siswa harus menjaga etika-norma-tata cara bertingkah laku dengan peraturan yang harus di ikuti. pernyataan selalu menandatangani daftar hadir mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju sebesar 67,1 % karena sikap rajin, kegiatan, kegetolan membuat siswa selalu hadir dalam setiap kegiatan praktik kerja industri di Dunia Usaha/Dunia Industri. Tabel 2. Gambaran Motivasi Berprestasi Sangat Sering Pernyataan % ∑ 1 11,8 9 2 22,4 17 3 6,6 5 4 32,9 25 5 19,7 15 6 40,8 31 7 6,6 5 8 11,8 9 9 6,6 5 10 39,5 30 11 55,3 42 12 26,3 20 13 7,9 6 14 89,5 68 15 2,6 2 16 75 57 17 46,1 35 18 78,9 60 19 43,4 33 20 55,3 42 21 25,0 19 22 35,5 27 23 26,3 20 24 6,6 5 25 32,9 25
Sering Sekali % ∑ 34,2 26 30,3 23 13,2 10 32,9 25 15,8 12 18,4 14 13,2 10 19,7 15 18,4 14 23,7 18 13,2 10 22,4 17 19,7 15 5,3 4 5,3 4 21,1 16 26,3 20 10,5 8 46,1 35 15,8 12 27,6 21 34,2 26 11,8 9 9,2 7 27,6 21
Sering % 48,7 36,8 48,7 28,9 40,8 28,9 42,1 28,9 38,2 28,9 27,6 38,2 56,6 2,6 42,1 1,3 26,3 2,6 1,3 2,6 38,2 27,6 43,4 46,1 19,7
∑ 37 28 37 22 31 22 32 22 29 22 21 29 43 2 32 1 20 2 1 2 29 21 33 35 15
Kurang Sering % ∑ 3,9 3 10,5 8 23,7 18 5,3 4 19,7 15 9,2 7 38,2 29 34,2 26 30,3 23 5,3 4 3,9 3 13,2 10 9,2 7 1,3 1 47,4 36 2,6 2 1,3 1 7,9 6 7,9 6 19,7 15 9,2 7 2,6 2 14,5 11 34,2 26 13,2 10
Tidak Sering % ∑ 1,3 1 0 7,9 6 3,9 3 2,6 2 5,3 4 6,6 5 2,6 2 6,6 5 1,3 1 2,6 2 1,3 1 6,6 5 3,9 3 3,9 3 6,6 5
Pernyataan selalu menyelesaikan tugas/pekerjaan tepat waktu mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju 60,5% karena menyelesaikan tugas/pekerjaan tepat waktu merupakan sikap rajin, kegiatan, kegetolan. Pernyataan memperhatikan penjelasan yang diberikan pimpinan dengan baik mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju karena kerjasama yang baik dapat membuat atmosfer tempat Dunia Usaha /Dunia [ 578 ] P a g e
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
Industri menjadi nyaman untuk siswa dan pimpinan. Pernyataan dapat bekerja sama dengan rekan kerja lain tanpa terjadi konflik mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju karena kerjasama yang baik dapat mempererat hubungan tidak hanya antar siswa dengan Dunia Usaha/Dunia Industri tetapi juga mempererat hubungan antara sekolah dengan Institusi Pasangan (IP). Sedangkan gambaran motivasi berprestasi dapat dijabarkan dalam Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, pernyataan angket tentang motivasi berprestasi relatif siswa manjawab pada kriteria “Sering” yaitu dari 25 pernyataan 14 pernyataan yang dijawab sering, misalnya pernyataan “apakah anda sering berdiskusi dengan teman anda bila ada materi pelajaran yang tidak dimengerti. Tabel 3. Gambaran Hasil Tes N Pres_1 Pres_2 Pres_3 Valid N (listwise)
Minimum Maximum 76 76 76
79.00 65.00 70.00
Mean
100.00 93.7368 100.00 86.0132 96.00 82.9474
Std. Deviation 6.56733 9.44386 6.36217
76
Keterangan: Pres_1 = Mengelola Jurnal Pres_2 = Mengelola Buku Besar Pres_3 = Menyelesaikan Siklus Akuntansi Gambaran untuk keterampilan Akuntansi pada Mata Pelajaran Akuntansi di tiga SMK Kota Cirebon dapat dilihat dalam Tabel 3. Berdasarkan hasil tes akuntansi untuk nilai tes mengelola jurnal nilai terkecil yang diperoleh siswa sebesar 79 dan nilai terbesar 100. Nilai tes kedua adalah nilai tes mengelola buku besar nilai terkecil yang diperoleh 65 dan nilai terbesar 100. Nilai tes terakhir adalah tes menyelesaikan siklus akuntansi, diperoleh nilai terkecil sebesar 70 dan nilai terbesar 96. Sedangkan untuk mengetahui persentase dan frekuensi nilai yang diperoleh siswa pada tiga bagian soal yang dikerjakan, dapat terlihat pada Tabel 4. Pengujian Regresi Berganda X1, X2 terhadap Y Formulasi rancangan analisis Y= a + bx1 + cx2, dengan uji dua pihak, taraf siginifikan 5%. Persamaan regresi berdasarkan pada output Coefficients di atas diperoleh nilai a= 49,120; b= 0,122; c= 0,338, jadi persamaan regresinya: y= 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2. Untuk menerima atau menolak hipotesis dapat dilihat pada tabel perhitungan distribusi F. Hasil pengujian diperoleh nilai F= 7,928, dan sig. 0,001 sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai sig. 0,001 = 1% ˂ 5% berarti tolak H0 dan terima H1. Jadi
P a g e [ 579 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 persamaan adalah linear atau X1 dan X2 secara berasama-sama berpengaruh secara positif terhadap y (tanda positif diambilkan dari tanda koefisien regresi). Tabel 4. Daftar frekuensi dan persentase nilai Nilai 79 80 83 85 87 89 90 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Total
Pres_1 Frequen cy 1 8 1 1 1 4 7 2 4 3 6 3 5 8 1 21 76
Percen t 1,32 10,53 1,32 1,32 1,32 5,26 9,21 2,63 5,26 3,95 7,89 3,95 6,58 10,53 1,32 27,63 100
Nilai 65 70 75 79 80 82 83 84 85 86 87 89 90 91 92 93 94 95 96 97 100 Total
Pres_2 Freque ncy 1 8 5 1 10 1 1 6 6 1 2 2 8 1 2 1 3 3 2 2 10 76
Percent
Nilai
1,32 10,53 6,58 1,32 13,16 1,32 1,32 7,89 7,89 1,32 2,63 2,63 10,53 1,32 2,63 1,32 3,95 3,95 2,63 2,63 13,16 100
70 75 79 80 81 82 83 85 86 87 88 89 90 91 93 95 96 Total
Pres_3 Freque ncy 6 5 1 21 5 2 4 8 1 1 1 6 8 2 2 2 1 76
Percent 7,89 6,58 1,32 27,63 6,58 2,63 5,26 10,53 1,32 1,32 1,32 7,89 10,53 2,63 2,63 2,63 1,32 100
Hasil analisis juga diperoleh nilai R Square atau R2 = 0,178 = 17,8%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variasi variabel keterampilan akuntansi siswa (Y) dapat dijelaskan oleh praktik kerja industri (X1) dan variabel motivasi berprestasi (X2) secara bersamasama sebesar 17,8. Artinya variabel X1 dan X2 mempengaruhi variabel Y hanya sebesar 17,8% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain selain praktik kerja industri. Dengan menerimanya persamaan regresi y = 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2, maka dengan persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar memprediksi variabel dependen Y jika diketahui nilai variabel independen X1 dan X2. Sehingga dapat disimpulkan dari uji hipotesis dari hasil perhitungan adalah Terdapat pengaruh yang signifikan antara praktik kerja industri, dan motivasi berprestasi terhadap tingkat keterampilan akuntansi siswa pokok bahasan laporan keuangan pada mata pelajaran akuntansi SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon”. Pembahasan Respon siswa SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon pada pelaksanaan praktik kerja industri dapat diketahui melalui instrumen angket (questionnaire) yang peneliti buat, dengan sub variabel dan indikator. Indikator-indikator tersebut mengarah pada kegiatan siswa selama melaksanakan praktik kerja industri, kemudian angket [ 580 ] P a g e
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
tersebut disebarkan kepada responden. Dari angket yang disebarkan meliputi 10 indikator terdiri dari pernyataan sebanyak 20 item. Sub variabel pertama yaitu meliputi kecakapan kerja. Yang termasuk indikator dari kecakapan kerja yaitu: 1. Disiplin. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya hadir tepat waktu di tempat kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 81,6% dan Saya mengikuti kegiatan Dunia Usaha/Dunia Industri sampai jam kerja berakhir menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase 89,5%. Menurut Mulianto (2006: 171), “Disiplin yang berasal dari kata discipline dapat berarti peraturan yang harus di ikuti, bidang ilmu yang dipelajari, ajaran, hukuman atau etika-norma-tata cara bertingkah laku”. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan menurut ahli, disiplin siswa dalam melaksanakan praktik kerja industri siswa harus memiliki sikap disiplin karena dari sikap tersebut, siswa dapat mematuhi peraturan yang berlaku sesuai dengan etika-norma-tata cara. 2. Kerajinan. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya selalu menandatangani daftar hadir menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 67,1% dan Saya selalu menyelesaikan tugas/pekerjaan tepat waktu menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 60,5%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan menurut ahli, kerajinan siswa harus dibentuk seperti dapat ditunjukkan dengan kehadiran di tempat kerja dan tugas-tugas/pekerjaan-pekerjaan yang diselesaikan tepat waktu. 3. Kerjasama. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya memperhatikan penjelasan yang diberikan pimpinan dengan baik menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 68,4% dan Saya dapat bekerja sama dengan rekan kerja lain tanpa terjadi konflik menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 64,5%. “Kerjasama adalah kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat” (Tim Guru Eduka, 2010: 114). Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan menurut ahli, sikap kerjasama yang dapat dilakukan siswa dapat mempererat hubungan tidak hanya antar siswa dengan Dunia Usaha/Dunia Industri tetapi juga mempererat hubungan antara sekolah dengan Institusi Pasangan (IP). 4. Inisiatif. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya mencari informasi tentang apa saja yang akan saya kerjakan di tempat kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 53,9% dan Saya mengisi jam kerja yang kosong dengan mengerjakan tugas/pekerjaan yang belum selesai menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 53,9%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, sikap inisiatif adalah usaha yang memprakarsai atau tindakan yang mengerjakan segala tugas / pekerjaan tanpa mendapatkan perintah dari pimpinan. 5. Tanggung jawab. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya dapat menyelesaikan tugas/pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan menunjukkan siswa lebih banyak P a g e [ 581 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 73,7% dan Saya selalu melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 77,6%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, ini berarti siswa dapat mempertanggungjawabkan tugas/pekerjaan dari pimpinan untuk dirinya. 6. Kejujuran. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya berusaha mengerjakan tugas / pekerjaan dengan usaha sendiri menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 77,6% dan Saya mengakui kelebihan pekerjaan / tugas yang dikerjakan rekan kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih setuju dengan persentase sebesar 46,1%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, sikap jujur dapat menjalin hubungan yang baik antar-individu yang menunjukkan siswa berusaha untuk selalu mengerjakan tugas / pekerjaannya dengan usaha sendiri, mampu mengakui kelebihan pekerjaan yang dilakukan rekan kerjanya, dan selalu berkata yang sebenarnya. 7. Kebersihan. Di mana terdapat dua indikator yaitu saya selalu menjaga kebersihan tempat kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 32,9% dan Saya selalu membersihkan terlebih dahulu tempat kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 75,0%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, siswa harus bisa membersihkan dan menjaga tempat kerjanya agar nyaman untuk ditempati karena kebersihan merupakan sebagian daripada iman. Sub variabel kedua yaitu meliputi tuntutan kemampuan bagi pekerjaan. Yang termasuk indikator dari tuntutan kemampuan bagi pekerjaan yaitu: 1. Pencatatan segala transaksi keuangan Perusahaan atau Badan lain ke dokumen yang diperlukan. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya mengerjakan pencatatan segala transaksi ke dokumen yang diperlukan menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 69,7% dan Saya melakukan input dokumen ke dalam pembukuan menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 43,3%. Menurut Bastian (2006: 58), “Transaksi adalah suatu pertemuan antara 2 (dua) pihak (penjual dan pembeli) yang saling menguntungkan, yang berdasarkan data/bukti/dokumen pendukung lalu dimasukkan ke jurnal setelah melalui pencatatan". Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan menurut ahli, siswa melakukan pencatatan segala transaksi dalam kegiatan praktik kerja industri dan semua siswa memilih sangat setuju karena sebagian siswa sudah memahami dan mengimplementasikan materi yang selama ini dipelajari di sekolah dan siswa dapat mengerjakan pencatatan transaksi ke dokumen yang diperlukan. 2. Menggolongkan dan mencatat dokumen transaksi di dalam jurnal atau buku lain yang sejenis dan memposting ke dalam buku besar/buku pembantu. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya memposting setiap terjadi transaksi dengan angka jumlah menunjukkan siswa lebih banyak memilih setuju dengan persentase sebesar 36,8% [ 582 ] P a g e
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
dan Saya melakukan pencatatan angka jumlah saat memposting ke dalam buku besar / buku pembantu menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dan setuju dengan persentase sebesar 32,9%. Menurut Waluyo (2008: 43), "Buku besar adalah kumpulan dari akun-akun yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan. Banyaknya akun tidak ada pembatasannya, tetapi sangat bergantung pada volume kegiatan dan informasi akuntansi yang diperlukan". Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan menurut ahli, penggolongan dan pencatatan dokumen transaksi sebagian besar dapat dikerjakan oleh siswa karena siswa sudah memahami dan dapat mengimplementasikan materi yang selama ini dipelajari di sekolah. Sedangkan gambaran motivasi berprestasi siswa SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon dapat terlihat instrumen angket yang disebarkan kepada siswa SMK di Kota Cirebon dari 25 pernyataan angket. Hakikat motivasi berprestasi adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung (Hamzah, 2011:23). Berdasarkan hasil angket yang telah diteliti, dapat dilihat bahwa kontribusi motivasi berprestasi pada keterampilan akuntansi siswa SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon sebesar 15,8 %. Sedangkan berdasarkan pernyataan angket rata-rata siswa menjawab pada kriteria “sangat sering sekali”, misalnya saja dari pernyataan yaitu; anda sering merasa bahwa optimis dapat meraih keberhasilan, anda sering merasa anda sering merasa persaingan yang sehat dapat meningkatkan motivasi belajar, dan lain-lain. Motivasi berprestasi dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik (Hamzah, 2011:23). Banyak faktor yang menyebabkan motivasi berprestasi pada siswa SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon sangat tinggi, di antaranya adanya keinginan siswa untuk bisa berprestasi sehingga terdorong untuk bisa memahami materi pelajaran, persaingan atau kompetisi sehingga siswa termotivasi untuk belajar, lingkungan belajar yang kondusif sehingga siswa merasa nyaman dan tidak cepat merasa bosan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah, serta harapan orang tua kepada anaknya agar bisa sukses untuk masa depannya. Selanjutnya berdasarkan teknik analisis data yang digunakan diketahui bahwa persamaan regresi linear berganda diperoleh formulasi rancangan analisis Y= a + bx1 + cx2, dengan uji dua pihak, taraf signifikansi 5%. Persamaan regresi berdasarkan pada output Coefficients di atas diperoleh nilai a= 49,120; b= 0,122; c= 0,338, jadi persamaan regresinya: y= 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2. Untuk menerima atau menolak hipotesis dapat dilihat pada tabel perhitungan distribusi F (Tabel ANOVA) yaitu diperoleh nilai F= 7,928, dan sig. 0,001, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai sig. 0,001 = 1% ˂ 5% berarti tolak H0 dan terima H1. Jadi persamaan adalah linear atau X1 dan X2 secara bersama-sama berpengaruh secara positif terhadap y (tanda positif diambilkan dari tanda koefisien regresi). Sedangkan untuk dapat melakukan interpretasi hasil dapat P a g e [ 583 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dilihat pada tabel R Square yaitu: nilai R Square atau R2 = 0,178 = 17,8%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variasi variabel keterampilan akuntansi siswa (Y) dapat dijelaskan oleh praktik kerja industri (X1) dan variabel motivasi berprestasi (X2) secara bersamasama sebesar 17,8. Artinya variabel X1 dan X2 mempengaruhi variabel Y sebesar 17,8%. Dengan menerimanya persamaan regresi y = 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2, maka dengan persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar memprediksi variabel dependen Y jika diketahui nilai variabel independen X1 dan X2. Sehingga dapat disimpulkan dari uji hipotesis dari hasil perhitungan adalah Terdapat pengaruh yang signifikan antara praktik kerja industri, dan motivasi berprestasi terhadap tingkat keterampilan akuntansi siswa pokok bahasan laporan keuangan pada mata pelajaran akuntansi SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon”. SIMPULAN Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga formal yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, dan SMK diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Mata pelajaran kejuruan terdiri dari beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan atau keterampilan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya. Para siswa mengikuti pembelajaran normatif, adaptif, dan produktif di sekolah selama 3 tahun, yaitu kelas X, XI, dan XII. Selain mengikuti pembelajaran di sekolah, dalam upaya menciptakan siswa yang kompeten dan siap kerja di dunia industri, siswa kelas XI diwajibkan mengikuti praktik kerja industri. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kegiatan prakerin tidak memiliki pengaruh langsung terhadap keterampilan akuntans siswa hal ini di sebabkan oleh penempatan yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan yang telah dipelajari di sekolah oleh siswa, pengalaman yang di dapat oleh siswa pada saat praktik kerja industri belum dapat meningkatkan keterampilan siswa sesuai ahlinya, Faktor-faktor penghambat praktik kerja industri siswa yang masih belum dibenahi oleh pihak sekolah yang dapat mengakibatkan pengalaman praktik kerja industri yang di dapat oleh siswa tidak optimal, Motivasi berprestasi siswa dalam mengikuti kegiatan yang diselenggarakan sekolah belum merata dimiliki siswa Berikut adalah saran peneliti berdasarkan hasil penelitian: pertama; Sekolah atau lembaga pendidikan dapat meningkatkan kerjasama dengan Institusi Pasangan (IP) yaitu lembaga Dunia Usaha/Dunia Industri, khususnya pada peningkatan fungsi siswa prakerin diberikan peran yang terkait dengan Program Keahliannya. Kedua; sekolah atau lembaga [ 584 ] P a g e
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
pendidikan memberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan mata pelajaran akuntansi yang dapat meningkatkan keterampilan akuntansi siswa serta pihak sekolah memilih model praktik kerja industri/instansi yang sesuai dengan karakteristik dari program keahlian masing-masing. Ketiga; Diharapkan siswa mampu meningkatkan kompetensi yang dimilikinya yaitu akuntansi sehingga dapat bermanfaat baik pada saat mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pihak sekolah maupun sebagai modal pada saat bekerja atau berperan di dunia kerja. DAFTAR PUSTAKA Agustian, Mubiar. (2011). Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama B. Uno, Hamzah. (2011). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta. PT Bumi Aksara. Bastian, Indra. (2006). Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Erlangga Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan SMK. (2006). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, 24, dan 34 Tahun 2006. Falakhudin, An’im. (2012). Peningkatan Keterampilan dan Kemandirian Belajar Siswa melalui Penggunaan Media Aplikasi Komputer Accorate Accounting (Studi Pada Siswa Kelas XI IPS 2 MAN Jember). Jember: Tidak diterbitkan. Hamalik, Umar. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya. Irham, M. dan Novan Ardy W. (2013). Psikologi Pendidikan Teori dan Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Morissan. (2012). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana. Musianto, L.S. (2002).Perbedaan Pendekatan Kuantitaif dan Pendekatan Kualitatif dalam Metode Penelitian. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. Vol. 4.2. Riduwan. (2012). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Waluyo. (2010). Akuntansi Pajak (Edisi 1). Jakarta: Salemba Empat.
P a g e [ 585 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
PENGARUH GAYA BELAJAR DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN Munawaroh
STKIP PGRI Jombang
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi SMK Negeri 1 Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan observasi, dokumentasi dan kuesioner (angket). Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen penelitian diuji terlebih dahulu baik validitas maupun reliabilitasnya. Analisis data untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda yang meliputi Uji Determinasi (R2), Uji F, dan Uji t, dengan tingkat signifikansi 0,05. Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda diketahui skor prestasi belajar sebesar 33,947, koefisien regresi variabel gaya belajar (X1) sebesar 0,320 dan koefisien regresi variabel lingkungan belajar (X2) sebesar 0,342. Gaya belajar dan lingkungan belajar secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap prestasi belajar kewirausahaan yang dibuktikan dengan nilai F hitung sebesar 90,250>nilai F tabel sebesar 3,267. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa nilai R2 (R Square) adalah sebesar 0,838 atau 83,8% yang artinya variasi variabel gaya belajar dan lingkungan belajar menyumbang sebesar 83.8% terhadap variasi variabel prestasi belajar sebesar Kata kunci: gaya belajar, lingkungan belajar, prestasi belajar
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks menuntut penanganan untuk meningkatkan kualitas baik semua komponen atau beberapa komponen. Gerakan baru dalam pendidikan yakni upaya peningkatan mutu pendidikan yang akan mempengaruhi pola komponen lainnya. Komponen tersebut adalah tentang kualitas gaya guru mengajar dan gaya belajar siswa. Setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda beda dan hal itu yang menjadi pelancar dan penghambat proses penyerapan ilmu yang diajarkan oleh guru. Sehingga guru diharapkan untuk mengajar sesuai dengan karakteristik siswa, agar memudahkan siswa untuk menyerap pelajaran yang disampaikan. Berhasil tidaknya siswa dalam belajar dapat dilihat dari gaya belajar dan lingkungan belajar yang terdapat di sekolah. Gaya belajar merupakan proses penyerapan dan mengatur serta mengelola informasi yang ditangkap. Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika melakukan belajar atau menghadapi informasi, melihat, mendengar, menulis, dan berkata tetapi juga aspek pemrosesan otak kiri-otak kanan. Bobbi DePorter (2010) mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Ketika menyadari bagaimana diri pribadi dan orang lain menyerap dan mengolah [ 586 ] P a g e
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
informasi, karena setiap orang dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi dengan gayanya sendiri Hamzah Uno (2009) mengungkapkan bahwa apapun cara belajar yang dipilih, perbedaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu untuk bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. DePorter, mendefinisikan gaya belajar sebagai bentuk kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Dalam prosesnya, murid, tidaklah selalu sama dalam gaya belajarnya Gaya belajar antara satu orang dengan orang lainnya berbeda, ada yang dengan gaya visual (belajar dengan melihat), gaya auditorial (belajar dengan mendengarkan), gaya kinestetik (belajar dengan bergerak). Ketika seorang guru menyadari bagaimana siswa menyerap dan mengolah informasi, peserta didik dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi lebih mudah dengan gaya belajarnya sendiri. Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap informasi dan kemudian mengatur serta mengolahnya. Sehingga guru enggan mengenali gaya belajar masing-masing siswa, guru dapat mengambil langkah penting untuk membantu diri siswa untuk belajar lebih cepat dan mudah. Tidak hanya untuk diri siswa itu sendiri namun bagi para guru, dengan mengetahui gaya belajar siswa, guru dapat mengemas strategi pembelajaran lebih variatif dan menciptakan komunikasi yang efektif antara guru dan siswa, sehingga prestasi belajar pun akan meningkat. Karena guru adalah manusia pembelajar, yang mempunyai keikhlasan dalam mengajar dan belajar, dan senantiasa berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami pelajaran. Maka setiap guru harus berupaya untuk mengajar dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Sehingga siswa akan dengan mudah menyerap pelajaran di kelas, memahami, dan mengingatnya dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, jika mengajar yang kita pahami adalah sebagai proses membantu siswa belajar, maka kita berusaha membantu mereka memahami “Style of Learning”-nya, dengan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi lemah daripadanya. Aspek lain adalah ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar. Lingkungan belajar merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat yang digunakan dalam proses belajar dan pembelajaran (Insiyana, 2012). Kedua aspek tersebut yaitu gaya belajar dan lingkungan belajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang dicapai oleh siswa, karena prestasi belajar yang baik mencerminkan gaya belajar dan lingkungan belajar yang baik Lingkungan sekolah menurut Insiyana (2012) memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruh besar sekali pada jiwa anak. Keadaan gedung sekolah yang kurang memenuhi syarat juga menghambat proses belajar mengajar misalnya tempat sekeliling sekolah ramai karena dekat pasar atau pabrik maka akan mengganggu konsentrasi siswa. Berdasarkan kutipan di atas maka dapat dikatakan bahwa lingkungan belajar menyangkut lingkungan personal, lingkungan kultural, lingkungan fisik maupun lingkungn sosial. Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikian rupa, sehingga mampu P a g e [ 587 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 memfasilitasi siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar. Lingkungan belajar merupakan faktor yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, di mana lingkungan belajar merupakan suatu tempat atau suasana (keadaan) yang mempengaruhi proses perubahan tingkah laku manusia atau tempat bagi anak untuk bereksplorasi, bereksperimen dan mengekspresikan diri untuk mendapatkan konsep dan informasi baru sebagai wujud dari prestasi belajar. Sementara itu yang dimaksud dengan lingkungan alam atau luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini yang bukan manusia, seperti rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, dan hewan. Lebih lanjut yang dimaksud dengan lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang telah termasuk ke dalam diri kita, ia berada di antara lingkungan dalam dan lingkungan luar kita. Di samping itu lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh karena dengan adanya lingkungan sekolah yang kurang mendukung akan berpengaruh terhadap proses belajar siswa. Belajar adalah suatu aktivitas mental (psikis) yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang bersifat relatif konstan. Belajar merupakan sebuah proses yang dapat merubah tingkah laku seseorang. Belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa pengetahuan sehingga tercipta kemampuan untuk mengkaitkan antara makna pengetahuan dengan realitas yang ada. Menurut temuan hasil penelitian dari Nila Nadhiroh Solichatun (2009), mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Jurusan Ekonomi Pembangunan Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi dengan judul “Pengaruh Gaya Belajar (Learning Style) dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh Gaya Belajar (Learning Style) dan Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Ekonomi Hasil survey di SMK Negeri 1 Jombang menunjukkan bahwa gaya belajar dan lingkungan belajar di SMK Negeri 1 Jombang dapat dikatakan belum begitu mendukung dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena kondisi siswa yang heterogen artinya ada yang konsentrasi dan ada yang kurang konsentrasi pada saat guru sedang menjelaskan materi, sehingga gaya belajar siswa belum efektif. Selain itu, dalam lingkungan belajar seperti sarana dan prasarana sudah dapat dikatakan lengkap akan tetapi masih belum tersusun rapi Penelitian tentang gaya dan lingkungan belajar yang dilakukan di SMK Negeri 1 Jombang pada siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan. Pemilihan kelas XI Akuntansi dikarenakan siswa kelas XI adalah siswa yang umumnya sudah memasuki usia remaja di mana pola pikir mereka sudah berkembang dan dalam kenyataannya usia remaja adalah usia yang rentan terjadi kenakalan remaja dan cenderung emosional. Peneliti sengaja mengambil kelas XI Akuntansi karena untuk mengetahui bagaimana gaya belajar siswa dengan adanya perubahan pola pikir dari peralihan masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek / [ 588 ] P a g e
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
fungsi untuk memasuki masa dewasa. Dan juga ditetapkan pada mata pelajaran kewirausahaan karena mata pelajaran kewirausahaan merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di sekolah SMK Negeri 1 Jombang. Mata pelajaran Kewirausahaan merupakan satu di antara pelajaran wajib yang harus diikuti oleh siswa karena bermuara pada dua hal yaitu pertama, pemberian semangat dan motivasi dan kedua pemberian gambaran strategi yang digunakan. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: Apakah ada pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan uji regresi linier berganda tujuannya untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh antara variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y. Dengan desain penelitian sebagai berikut. Gaya Belajar (X1)
Lingkungan Belajar (X2)
Prestasi Belajar (Y)
Gambar 1. Desain Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah Siswa kelas XI Akuntansi SMK Negeri 1 Jombang tahun pelajaran 2014/.2015 sebanyak 114 Siswa, karena jumlah populasi lebih dari 100, maka peneliti mengambil sampel sebesar 38 siswa dengan cara random sampling acak sederhana. Penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Variabel bebas (X1) adalah Gaya Belajar dengan indikator: 1) melihat (visual), 2) Belajar dengan mendengarkan (auditorial), 3) Belajar dengan bekerja (kinestetik). dan Lingkungan Belajar (X2): 1) lingkungan dan suasana disekolah,2) Hubungan sosial peserta didik dengan peserta didik. Sedangkan Variabel terikat: (Y) adalah Prestasi Belajar Siswa Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)observasi:Peneliti mengadakan pengamatan awal terhadap aktivitas-aktivitas secara langsung mengenai proses belajar, gaya belajar dan lingkungan belajar di SMK Negeri 1 Jombang untuk mencari data yang terdapat dalam objek penelitian. 2) kuesioner (angket): Peneliti menyebarkan angket kepada siswa SMK Negeri 1 Jombang yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi P a g e [ 589 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 belajar siswa kelas XI Akuntansi SMK Negeri 1 Jombang. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup dengan hasil uji validitas dan reliabilitas yang menunjukkan hasil bahwa variabel gaya belajar (X1) dan lingkungan belajar (X2), adalah valid karena memiliki rhitung > rtabel (0,320). Sedangkan Uji reliabilitas Hasil analisis di atas didapat nilai Alpha Cronbanch variabel gaya belajar (X1) sebesar 0,878 dan lingkungan belajar (X2) sebesar 0,887. Jadi secara keseluruhan butir-butir yang ada dalam masing-masing variabel adalah reliabel karena lebih besar dari 0,320. Teknik analisis data yang digunakan adalah: Analisis Regresi Linier Berganda tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar peserta didik. Dirumuskan sebagai berikut: Y = a + b1 X1 + b2X2 Di mana Y = Variabel dependen (prestasi belajar), X1 dan X2=Variabel independen (gaya belajar dan lingkungan belajar) dan a = Konstanta (nilai Y apabila X1 dan X2 = 0) Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen (X1,X2) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y), (Priyanto, 2009:79). Uji asumsi klasik juga dilakukan untuk melihat pemenuhan persyaratan analisis. Uji asumsi klasik yang dilakukan meliputi uji normalitas, multikolinearitas, heterosedastisitas, dan autokorelasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Hasil Angket Gaya Belajar dan Lingkungan Belajar Hasil angket merupakan data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar peserta didik di SMK Negeri 1 Jombang. Dengan hasil sebagai berikut: 1)Variabel gaya belajar (X1): berdasarkan hasil angket gaya belajar menunjukkan bahwa tanggapan responden tentang gaya belajar visual sebesar 29% menyatakan sangat setuju, untuk gaya belajar auditorial, sebesar 30% menyatakan sangat setuju sedangkan gaya belajar kinestetik responden juga memberikan tanggapan sangat setuju sebesar 27%. Hal ini menunjukkan bahwa baik gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik pada siswa sangat diperlukan guna menunjang prestasi belajar siswa. 2) Variabel Lingkungan belajar (X2): hasil angket tentang lingkungan belajar menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebesar 30% memberikan tanggapan sangat setuju. Selain itu, tanggapan responden mengenai hubungan sosial siswa dengan siswa sebesar 27% sangat setuju. Hal ini menunjukkkan bahwa lingkungan belajar sangat diperlukan guna menunjang prestasi belajar siswa 3).variabel Prestasi belajar (Y): hasil belajar peserta didik setelah melakukan proses belajar. Indikator prestasi belajar peserta didik kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan diambil dari nilai rapor semester gasal tahun pelajaran 2014/2015 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal sebesar 70. Hasil penelitian didapatkan nilai rapor peserta didik mata pelajaran kewirausahaan variabel prestasi belajar (Y) diperoleh skor tertinggi 93 dan skor terendah adalah 71. Dari skor tersebut diperoleh rata-rata sebesar 81. [ 590 ] P a g e
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas: digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal. Pengujian dalam penelitian ini menggunakan One Sample kolmogorof-Smirnov dengan menggunakan taraf signifikan 0,05. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05. Berdasarkan hasil Uji Normalitas dengan menggunakan bantuan program SPSS. 16.0. for windows diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Kolmogorov-Smirnova Statistic Prestasi belajar Gaya belajar Lingkungan belajar
.138 .095 .082
Df
Sig. 38 38 38
.065 .200 .200
Hasil di atas kita lihat pada kolom Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk prestasi belajar sebesar 0,065, untuk gaya belajar sebesar 0,200 dan untuk lingkungan belajar sebesar 0,200. Karena signifikansi untuk seluruh variabel lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel prestasi belajar, gaya belajar dan lingkungan belajar berdistribusi normal. Angka statistik menunjukkan semakin kecil nilainya maka distribusi data semakin normal. Sedangkan df menunjukkan jumlah data. Uji Multikolinearitas: digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linier antar variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Pada pembahasan ini akan dilakukan uji multikolinearitas dengan melihat nilai inflation factor (VIF) pada model regresi. Pada umumnya jika VIF lebih besar dari 5, maka variabel tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya (Priyatno, 2009:39). Hasil analisis ditemukan nilai variance inflation factor (VIF) kedua variabel, yaitu gaya belajar dan lingkungan belajar adalah 1,445 lebih kecil dari 5, sehingga bisa diduga bahwa antar variabel independen tidak terjadi persoalan multikolinieritas. Sehingga dapat digunakan dalam penelitian. Uji Heteroskedastisitas: digunakan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas, yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Pada pembahasan ini akan dilakukan uji heteroskedastisitas dengan menggunakan uji park, yaitu meregresikan nilai residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1 dan LnX2). Hasil analisis ditemukan bahwa nilai t hitung adalah -0,154 dan -0,378. Sedangkan nilai t tabel dapat dicari pada tabel t dengan df = n-2 atau 38-2 = 36 pada pengujian 2 sisi P a g e [ 591 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 (signifikansi 0,025), didapat t tabel sebesar 2,028. Karena nilai t hitung berada pada –t tabel ≤ t hitung ≤ t tabel, maka Ho diterima artinya pengujian antara Lnei2 dengan LnX1 dan Lnei2 dengan LnX2 tidak ada gejala heteroskedaktisitas. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukannya masalah heteroskedaktisitas pada model regresi. Uji Autokorelasi: digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik autokorelasi, yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode Pengujian yang digunakan adalah dengan Uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagai berikut: 1) jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi; 2)jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi; 3)jika d terletak antara dL dan dU atau di antara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti. Hasil analisis ditemukan nilai DW yang dihasilkan dari model regresi adalah 1,643. Sedangkan dari tabel DW dengan signifikansi 0,05 dan jumlah data (n)=38, seta k=2 (k adalah jumlah variabel independen) diperoleh nilai dL 1,373 dan dU sebesar 1,594. Karena nilai DW 1,643 lebih besar dari nilai dU, maka menghasilkan kesimpulan tidak ada autokorelasi. Analisis Regresi Linier Berganda Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa. Dimana gaya belajar (X1) dan lingkungan belajar (X2) sebagai variabel bebas (independent) sedangkan prestasi belajar (Y) sebagai variabel terikat (dependent). Tabel 2. Hasil Perhitungan Uji Regresi Linier Berganda Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B 1
Prestasi Belajar (Y)
Std. Error
33.947
3.579
Gaya belajar (X1)
.320
.051
Lingkungan belajar(X2)
.342
.053
t
Sig.
Beta 9.486
.000
.512
6.258
.000
.526
6.418
.000
Berdasarkan Tabel 2 diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: 1) prestasi belajar sebesar 33,947; artinya jika gaya belajar (X1) dan lingkungan belajar (X2) nilainya adalah 0, maka prestasi belajar (Y) nilainya adalah 33,947. Artinya jika tidak ada gaya belajar dan lingkungan belajar maka pencapaian peserta didik atas prestasi belajar sebesar 33,947. 2) koefisien regresi variabel gaya belajar (X1) sebesar 0,320 artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan gaya belajar mengalami kenaikan 1 satuan, maka prestasi belajar (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,320. Koefisien bernilai positif sebesar 0,320. Koefisien bernilai positif sebesar 0,320, artinya terjadi hubungan [ 592 ] P a g e
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
positif antara gaya belajar dengan prestasi belajar, semakin meningkat gaya belajar maka semakin meningkat pula prestasi belajar pada peserta didik. 3) koefisien regresi variabel lingkungan belajar (X2) sebesar 0,342 artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan lingkungan belajar mengalami peningkatan 1 satuan, maka prestasi (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,342. Koefisien bernilai positif sebesar 0,342 artinya terjadi hubungan positif antara lingkungan belajar dengan prestasi belajar, semakin meningkat lingkungan belajar maka semakin meningkat pula prestasi belajar. Uji Determinasi (R2): digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel independen (X1 dan X2) secara serentak terhadap variabel dependen (Y). R2 sama dengan 0, maka tidak ada sedikit pun persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen, sebaliknya R2 sama dengan 1, maka persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen adalah sempurna. Hasil analisis diperoleh angka R2 (R Square) sebesar 0,838 atau 83,8%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (gaya belajar dan lingkungan belajar) terhadap variabel dependen (prestasi belajar) sebesar 83,8% sedangkan sisanya sebesar 16,2% dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini di antaranya adalah lingkungan alam (fisik), lingkungan kultural, dan faktor-faktor belajar yaitu faktor intern yang terdiri dari faktor jasmani, faktor psikologis, dan faktor kelelahan, dan pada faktor ekstern terdiri dari faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Berdasarkan hasil analisis regresi ganda dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) merumuskan Hipotesis Ho: tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya belajar dan lingkungan belajar secara bersama-sama terhadap prestasi belajar. Ha: ada pengaruh secara signifikan antara gaya belajar dan lingkungan belajar secara bersama-sama terhadap prestasi belajar. 2) menentukan tingkat signifikan Tingkat signifikan menggunakan a=5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering digunakan dalam penelitian). a) menentukan F hitung, berdasarkan tabel diatas diperoleh F hitung sebesar 90,250. b) Menentukan F tabel, dengan menggunakan tingkat keyakinan 95%, a=5%, df 1 (jumlah variabel-1)=2, dan df 2 (n-k-1) atau 38-2-1=35, hasil diperoleh untuk F Tabel sebesar 3,267. a) Kriteria pengujian Ho diterima bila F hitung < F tabel Ho ditolak bila F hitung > F tabel. b) membandingkan F hitung dengan F tabel. c) Nilai F hitung > F tabel (90,250>3,267), maka Ho ditolak. Kesimpulan: karena F hitung > F tabel (90,250>3,267), maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada pengaruh secara signifikan antara gaya belajar (X1) dan lingkungan belajar (X2) secara bersama-sama terhadap prestasi belajar (Y). Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya belajar dan lingkungan belajar secara bersama-sama berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang. Berdasarkan hasil analisis data di peroleh interpretasi bahwa hasil prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh gaya belajar dan lingkungan belajar hal ini dibuktikan dengan P a g e [ 593 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 adanya hasil analisis data statistik melalui SPSS 16.0 for windows diperoleh hasil perhitungan konstanta koefisien regresi dari masing-masing variabel independen yaitu gaya belajar (X1) sebesar 0,320, dan lingkungan belajar (X2) sebesar 0,342 yang berarti terjadi hubungan positif antara gaya belajar dan lingkungan belajar dengan prestasi belajar. Semakin meningkat gaya belajar dan lingkungan belajar maka semakin meningkat pula prestasi belajar peserta didik. Berdasarkan hasil analisis juga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh secara simultan antara gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi di SMK Negeri 1 Jombang yang di peroleh dari hasil F hitung sebesar 90,250 > F tabel sebesar 3,267, dengan nilai determinasi (R Square) sebesar 0,838 atau 83,8% yang artinya persentase sumbangan pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar peserta didik sebesar 83,8% sedangkan sisanya 16,2% dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini diantaranya adalah lingkungan alam (fisik), lingkungan kultural, dan faktor-faktor belajar lainnya. Pembahasan Prestasi merupakan hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap peserta didik dalam periode tertentu (Sari, 2009). Prestasi tidak akan dihasilkan selama orang atau siswa tidak melakukan kegiatan. Dalam kenyataan, untuk mendapatkan prestasi tidak semudah yang dibayangkan, tetapi penuh perjuangan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapainya. Gaya belajar dan lingkungan belajar menjadi faktor yang bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara simultan terdapat pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji F hitung menghasilkan angka sebesar 90,250 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 di mana 0,000 < 0,05 maka dapat dikatakan Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar ditolak dan Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar diterima. Sedangkan hasil pengujian koefisien determinasi diperoleh bahwa ada pengaruh antara gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa dengan koefisien korelasi ganda sebesar 0,915 dengan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,838 atau 83,8%. Dari angka tersebut yaitu 83,8% prestasi belajar dapat dijelaskan dengan menggunakan variabel gaya belajar dan lingkungan belajar. Sedangkan sisanya yaitu 16,2% dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini di antaranya adalah lingkungan alam (fisik), lingkungan kultural, dan faktor-faktor belajar yaitu faktor intern yang terdiri dari faktor jasmani, faktor psikologis, [ 594 ] P a g e
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
dan faktor kelelahan, dan pada faktor ekstern terdiri dari faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Hasil penelitian ini mendukung penelitian dari Nila Nadhiroh Solichatun (2009), bahwa Ada pengaruh antara gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang Tahun pelajaran 2009/2010 secara simultan. Sedangkan , dilihat dari nilai t tabel dengan taraf signifikan pada tabel coefficient, variabel yang paling dominan mempengaruhi prestasi belajar adalah lingkungan belajar dengan nilai t hitung 6,418 dengan taraf signifikan 0,000 dan t tabel 2,030 dengan pengujian 2 sisi (taraf signifikan 0,025). SIMPULAN Ada pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang. Variabel gaya belajar dan lingkungan belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar pada mata pelajaran kewirausahaan. Pengkajian faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi belajar perlu dilakukan, karena dengan mengetahui faktor lain akan lebih mudah melakukan identifikasi faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran kewirausahaan dan mencari solusi pemecahan masalah yang mungkin timbul dari faktor tersebut. Setelah melihat hasil penelitian, guru sebagai pendidik diharapkan untuk lebih bijak dalam menyikapi berbagai faktor yang bisa mempengaruhi prestasi belajar khususnya mata pelajaran kewirausahaan. Memberikan perhatian dan kontrol, yang nantinya akan menciptakan lingkungan belajar yang akan memberikan dampak pada prestasi belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA B. Uno, Hamzah. (2009). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Media, Yogyakarta. Deporter, Bobbi & Hernacki, Mike. (2011). Quantum Learning: Belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: Kaifa Duwi Priyatno. 2009. SPSS Untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multivariate. Penerbit Gava Insiyana, Lulun Nur.(2012 ) “Pengaruh Gaya dan Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Kelas VII Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di MTs. Al Ihsan Tembelang Kabupaten Jombang Tahun Ajaran 2011/2012.” Purwanto, N. (2006) Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung:PT Remaja Rosdakarya Rahayu, Minarti.(2013). Pengertian Gaya Belajar dan Macam-macam Gaya Belajar. http://minartirahayu.blogspot.com/2013/03/pengertian-gaya-belajar-berbagaimacam.html,
P a g e [ 595 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Sari, Masruroh Kusuma. (2009). Peningkatan Prestasi Belajar Ekonomi Melalui Metode Pembelajaran Student Teams Achievement Division (Penelitian Pada Siswa Kelas VIII SMPN 2 Kartasura”. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Siregar, E & H.Nara. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Slameto. (2010). Belajarodanofaktor-faktor0yang0mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Solichatun, Nila Nadhiroh. (2009). Pengaruh Gaya Belajar (Learning Style) Dan Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang Tahun Ajaran 2009/2010. Malang: Universitas Negeri Malang. Sugiyono.(2011). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
[ 596 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
PENGGUNAAN MODEL PROBIT UNTUK MELAKUKAN PERAMALAN PENCAPAIAN HASIL BELAJAR MATA KULIAH KUANTITATIF Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini ditujukan untuk meramal probabilitas keberhasilan pencapaian hasil belajar siswa yang mempunyai latar belakang sosial ekonomi dan jenis kelamin tertentu. Parameter yang dihasilkan dapat digunakan untuk membentuk model peramalan terhadap pencapaian hasil belajar. Metode yang digunakan adalah ekonometrika dengan model probit atau sebagai salah satu model probabilitas nonlinier. Data yang dipakai adalah memakai data cross section dari siswa yang mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi dan Statistika Ekonomi. Semua variabel yang dimasukkan dalam model berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mahasiswa dalam menjalani PBM mata kuliah kuantitatif. Banyaknya buku dan pekerjaan ibu berpengaruh terhadap keberhasilan tersebut namun untuk pengaruh banyaknya buku bertanda sebaliknya dengan yang diharapkan. Mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih besar. Kemampuan dasar siswa sangatlah penting sebagai substansi yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa. Model peramalan dengan model non linier model probit terbukti mendapatkan hasil yang lebih baik daripada model LPM karena model ini menghasilkan peramalan yang sesuai dengan batasan yang diinginkan. Kata Kunci: Peramalan, Probit, Hasil Belajar
PENDAHULUAN Ada kalanya latar belakang sosial tidak memberikan pengaruh positif dalam menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Terkadang siswa yang berasal dari golongan tidak mampu, anak petani, serta berasal dari kalangan masyarakat yang minim informasi memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibanding siswa yang berasal dari golongan yang sebaliknya yaitu dari kelas sosial menengah ke atas, status pekerjaan orang tua yang mendukung, dan dari masyarakat yang melek informasi. Berdasarkan kondisi seperti itu timbul pertanyaan sejauh mana signifikansi ketersediaan adanya sarana dan prasarana yang diindikasikan dari latar belakang sosial siswa terhadap keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Dalam masyarakat Indonesia, masih banyak dijumpai pandangan-pandangan yang bias gender. Lelaki dikenal sebagai pencari nafkah sedangkan wanita dikenal sebagai pengasuh anak. Norma ini sudah tercipta dalam masyarakat dengan sendirinya dan diturunkan dari generasi ke generasi. Seiring dengan perkembangan zaman termasuk di dalamnya perkembangan kultur yang ada dalam masyarakat sendiri, pola ini sedikit banyak akan tereliminasi sebagaimana adanya kedinamisan dalam tradisi dan persepsi kultural. Meskipun demikian, bias gender dalam kehidupan sosial dapat mempengaruhi pilihan siswa terhadap disiplin ilmu dan motivasinya dalam belajar. Ada sebagian siswa P a g e [ 597 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 wanita merasa tidak percaya diri dalam matematika atau ilmu-ilmu eksak (terutama yang berkaitan dengan kajian kuantitatif) karena ada persepsi mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran laki-laki. Sesungguhnya, laki-laki dan wanita apabila diberikan kesempatan yang sama akan berkembang sama baiknya. Menurut Eka (2003), stereotipe peran jenis kelamin mengatakan bahwa pria lebih kompetitif dibandingkan wanita. Karakteristik pribadi yang dimiliki wanita lebih mengarahkan mereka menghindari konflik dan persaingan. Wanita lebih bersifat kooperatif dan kurang kompetitif. Keadaan ini disebabkan adanya perasaan takut akan sukses yang dimiliki wanita serta konsekuensi sosial yang negatif yang akan diterimanya. Bila wanita sukses bersaing dengan pria, mungkin akan merasa kehilangan feminimitas, popularitas, takut tidak layak untuk menjadi teman kencan atau pasangan hidup bagi pria, dan takut dikucilkan. Anggapan tersebut sebelumnya diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahlgren tahun 1983 yang mengatakan bahwa sikap kooperatif lebih tinggi pada wanita dan sikap kompetitif lebih tinggi pada pria. Dari sisi dosen, peramalan hasil belajar juga diperlukan sebagai bahan masukan terhadap hasil belajar nantinya. Dengan mengetahui perkiraan hasil belajar nantinya maka dosen dapat membuat langkah alternatif yang sekiranya bisa dilakukan ketika hasil belajar yang diperoleh dari hasil peramalan kurang memuaskan. Walaupun hasil belajar bukanlah tujuan satu-satunya dalam PBM namun ketika hasil belajar kurang baik maka hal ini juga bisa menurunkan motivasi dari dosen yang bersangkutan. Dengan mengetahui perkiraan hasil belajar sebelum waktu PBM berakhir, dosen bisa membuat langkah yang kreatif yang bisa meningkatkan hasil belajar dari yang diperkirakan. Peramalan bisa dilakukan pada pertengahan waktu PBM. Dengan diketahuinya perkiraan hasil belajar pada masa pertengahan itu maka dosen mempunyai cukup waktu untuk membuat langkah alternatif dalam mengkoreksi metode pembelajarannya, membuat komunikasi yang lebih baik dengan siswanya, atau membuat langkah strategis lainnya dalam pembelajaran. Beranjak dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian untuk meramal keberhasilan pencapaian hasil belajar ketika siswa tersebut mempunyai latar belakang sosial ekonomi tertentu dengan perbedaan jenis kelamin. Dalam penelitian ini nantinya dilakukan pembentukan model untuk melakukan peramalan terhadap pencapaian hasil belajar. Model yang dimaksud adalah model peramalan dengan model probit. Model ini belum pernah dilakukan terhadap konteks peramalan hasil belajar di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik sosial pada keberhasilan siswa dalam PBM. Selain itu untuk mengetahui apakah jenis kelamin ikut berpengaruh dalam keberhasilan siswa dalam PBM. Selanjutnya hasil parameter dapat digunakan untuk melakukan peramalan yang baik dalam memperkirakan tingkat keberhasilan siswa dalam PBM. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada siswa yang diteliti adalah mahasiswa FISE UNY. Karakteristik siswa adalah jenis kelamin, cita-cita ke depan, dan bagaimana [ 598 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
responnya terhadap suasana pembelajaran serta dan karakteristik sosialnya, jenis kelamin yang dimaksud adalah perempuan atau laki-laki. Mata kuliah yang diteliti adalah mata kuliah kuantitatif seperti Matematika Ekonomi dan Statistika. Ukuran pencapaian siswa dalam PBM diindikasikan dengan nilai akhir yang diperoleh siswa. Nilai akhir tentunya mencakup berbagai komponen seperti tugas, partisipasi, ujian tengah semester (UTS), ujian akhir semester (UAS) Hasil Belajar dan Faktor Penentu Keberhasilan Pembelajaran Sebagaimana dikutip dari Widyastuti (2007), menurut kurikulum menengah umum Depdikbud tahun 1987, prestasi belajar adalah hasil yang dapat dicapai pada suatu saat. Pengertian prestasi belajar adalah keberhasilan belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam mengikuti program pengajaran pada waktu tertentu yang diwujudkan dalam bentuk nilai. Suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil ketika daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok dan perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran / instruksional khusus (TIK) telah dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok. Menurut Bloom (dikutip dari Depdiknas, 2009), prestasi akademik atau prestasi belajar adalah proses belajar yang dialami siswa dan menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, penerapan, daya analisis, sintetis dan evaluasi. Faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik yaitu bersifat internal seperti intelegensi, motivasi belajar, minat, bakat, sikap, persepsi dan kondisi fisik, sedangkan yang bersifat eksternal adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Diungkapkan oleh Farley dan Gordon pada tahun 1981 (Tarmidi, 2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan dalam pembelajaran dipengaruhi oleh sikap, perlakuan dalam pembelajaran, dan lingkungan. Oleh karenanya selain faktor internal dari mahasiswa dan akademis dari pembelajaran itu sendiri maka faktor eksternal dari mahasiswa sangat penting dalam mempengaruhi belajar mahasiswa tersebut. Secara definisi dan secara umum (Anonim, 2007), sukses dalam perguruan tinggi tergantung dari kebutuhan keterpenuhan dari sisi akademisnya. Semua faktor harus dipertimbangkan, catatan akademis sebelumnya dan kemampuan kognitif yang lebih luas bisa mempengaruhi kinerja siswa dan persistensi di perguruan tinggi tersebut. Semua faktor non akademis juga harus dipertimbangkan khususnya yang mempengaruhi kinerja siswa dalam pembelajaran. Faktor non akademis yang relevan yang mesti dipertimbangkan adalah faktor-faktor psikis dari individu seperti motivasi, faktor-faktor keluarga seperti sikap terhadap pendidikan, tingkat keterlibatan dalam aktivitas kampus, dan perencanaan karir setelah usai kuliah. Selain itu, ada berbagai faktor yang diungkapkan oleh kepala lembaga penelitian di Universitas Indiana Blomington (Anonim, 2002) yang bisa mempengaruhi tingkat ketahanan kompetensi yang diajarkan dalam perkuliahan yaitu antara lain faktor demografi, status sosial ekonomi, kemampuan akademis, tingkat kesiapan sebelum masuk ke universitas, Uang saku yang diterima dari orang tua, Komitmen siswa terhadap P a g e [ 599 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 pembelajaran sebelumnya, Integrasi Sosial, dan Integrasi Akademis. Berbagai faktor tersebut dianggap sebagai faktor yang sangat penting dalam tingkat ketahanan hasil belajar sebagaimana juga diungkapkan oleh peneliti lainnya di berbagai belahan dunia lainnya. Johnson (2000) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang bisa dianalisis mempengaruhi pencapaian akademis ada berbagai faktor antara lain ukuran kelas, ras/etnis, tingkat pendidikan orang tua, jumlah materi bacaan di rumah, tingkat keringanan biaya dalam makan siang, dan jenis kelamin. Pada dasarnya yang diungkapkan oleh Johnson ini tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh peneliti lainnya di mana pada umumnya faktor yang mempengaruhi adalah faktor internal, eksternal, dan faktor dari sisi akademis atau pembelajaran itu sendiri. Proses Belajar Mengajar dan Latar Belakang Siswa Pembelajaran adalah suatu proses pemahaman yang membimbing perubahan tingkah laku seseorang (peserta didik). Perubahan tingkah laku tersebut meliputi 3 ranah yaitu: pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan nilai-nilai (afektif). Perubahan tingkah hasil pembelajaran sifatnya relatif tetap, dapat diukur, terkonstruksi dalam struktur pengetahuan peserta didik dan merupakan hasil latihan atau pengalaman. Pembelajaran pada dasarnya meliputi dua hal yaitu aktivitas belajar dan aktivitas mengajar. Menurut Sardiman (2007) pembelajaran merupakan suatu proses yang mempunyai fungsi membimbing siswa di dalam kehidupan, yaitu membimbing siswa dalam mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangan. Tugas perkembangan tersebut mencakup kebutuhan hidup baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pembelajaran merupakan suatu proses pendidikan. Proses pendidikan terdiri dari beberapa komponen, yaitu interaksi pendidikan, tujuan pendidikan, lingkungan pendidikan, dan pergaulan pendidikan (Sukmadinata, 2008: 24-29). Interaksi pendidikan adalah interaksi antara peserta didik, pendidik, dan berbagai sumber pendidikan. Tujuan proses pendidikan diarahkan pada peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan diri peserta didik. Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, politis, keagamaan, intelektual, dan nilai-nilai. Pergaulan pendidikan mencakup pergaulan antara peserta didik dengan pendidik, orang tua dan masyarakat. Proses belajar mengajar tidak dapat terlepas dari pengaruh keluarga. Keluarga termasuk dalam lingkungan sosial budaya. Pada keluarga, pola pengasuhan mempunyai peran penting dalam pengembangan kepribadian siswa. Jika dalam keluarga, seorang siswa dididik terlalu keras maka siswa tersebut akan “mutung” sebaliknya jika dididik dengan manja maka akan menjadi orang manja, lembek, tidak ada daya survive dalam perjalanan hidupnya. Lewat disertasinya, Dr. M. Enoch Markum membuktikan, pola asuh otoritatif sangat efektif untuk menunjang anak berprestasi tinggi (Anglingsari dan Sujayanto, 2007). Sedikit banyak ini dipengaruhi oleh pola pendidikan dalam [ 600 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
keluarganya. Pola pendidikan dalam keluarga juga tergantung dari tingkat wawasan orang tua yang terdekat terutama ibu. Agaknya, bila pola asuh otoritatif ini dilakukan, peranan ibu sangatlah besar dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Bukannya ayah tidak berperanan tetapi peran ibu lebih nyata demikian menurut Dr. M. Enoch Markum. Selain itu yang terpenting dalam pencapaian prestasi adalah kedisiplinan diri dalam hidupnya. Kedisiplinan bisa ditanamkan sebagai produk kebiasaan. Misalnya, kebiasaan menyeberang jalan pada tempatnya, tepat waktu dalam berjanji, atau antre ketika membeli karcis di loket. Kondisi sosial ekonomi keluarga mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam PBM. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktorat Pendidikan Kanada (Anonim, 2004), Peranan tingkat ekonomi keluarga yang sangat penting bagi keberhasilan siswa juga diungkapkan dalam studi yang dilakukan oleh Pyryt dan Lytton pada tahun 1998. Mereka mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga memberikan pengaruh positif dalam keberhasilan siswa. Lebih lanjut data mengungkapkan bahwa setiap peningkatan US$ 1000 pendapatan keluarga mengakibatkan peningkatan pencapaian skor sebesar seperempat persen. Direktorat pendidikan Kanada (2006) juga mengungkapkan bahwa studi yang dilakukan oleh Dooley dan Stewart pada tahun 2004 menyatakan bahwa semakin meningkatnya pendapatan maka semakin meningkat pula pencapaian siswa dalam pembelajaran Matematika. Kondisi didukung oleh data empiris yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan hasil tes yang mencolok antara siswa yang berasal dari golongan bawah dan siswa dari golongan atas. Secara lebih spesifik data menyebutkan bahwa setelah melalui analisis bivariate diungkapkan bahwa rata-rata skor siswa meningkat 30 persen dari siswa dari keluarga dengan penghasilan di bawah 20.000 $ Kanada dengan siswa dari keluarga dengan penghasilan 40.000 $ Kanada. Data empiris lainnya juga diungkapkan oleh Schiller, Khmelkov dan Wang pada tahun 2002 . Mereka menyatakan bahwa faktor pendidikan keluarga dan tingkat ekonomi mereka juga menjadi variabel yang penting dalam memperoleh pencapaian hasil belajar yang diinginkan. Dari sejumlah 200.000 sampel yang diperoleh dari 34 negara diungkapkan bahwa siswa mempunyai keunggulan dalam pencapaian hasil belajar seiring dengan semakin tingginya taraf ekonomi keluarganya. Hal lain yang patut untuk dijadikan perhatian bahwa siswa yang mempunyai kedua orang tua yang tinggal dalam satu negara mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan bagi mereka yang tidak senegara dengan orang tuanya. Data ini menguatkan hipotesa “marginalized family” yang menyatakan bahwa pentingnya bagi keluarga untuk meluangkan waktu dan perhatiannya bagi anaknya. Gender dalam Proses Belajar Mengajar Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya (Anonim, 2004: 1). Gender mempunyai sifat sosial yang diperoleh dari pembiasaan atau pembelajaran masyarakat sehingga terpengaruh oleh P a g e [ 601 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 waktu, tempat, dan kondisi sosial. Seringkali pengertian gender disamakan dengan pengertian sex atau jenis kelamin, sehingga muncul pembedaan-pembedaan peran lakilaki dan perempuan dalam bidang sosial ke masyarakat. Padahal perbedaan yang bersifat kodrati antara perempuan dan laki-laki adalah jenis kelamin yang berhubungan dengan alat dan fungsi reproduksi. Gender berpengaruh juga dalam proses belajar mengajar. Pandangan yang bersifat bias gender seringkali mempengaruhi interaksi dan motivasi siswa laki-laki dan perempuan. Berbagai studi telah dilakukan terkait dengan perbedaan jenis kelamin. Pada studi yang dilakukan oleh Cavanagh tahun 2005, di Amerika Serikat. Cavanagh menyebutkan bahwa sekolah-sekolah yang dikhususkan untuk perempuan mempunyai data bahwa siswa-siswa tersebut lemah dalam bidang ilmu komputer dan teknik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lemah di dua bidang tersebut yang merupakan pengembangan dari Matematika dan ilmu eksak pada umumnya. Cavanagh menyatakan bahwa kondisi ini bisa terjadi karena perempuan mempunyai kelemahan berupa kurangnya kepercayaan diri dan kurangnya konsen mereka terhadap ilmu tersebut (Dee, 2005). Hal tersebut menguatkan temuan dalam studi sebelumnya yang dilakukan oleh Freeman pada tahun 2004. Dia menyatakan bahwa ada perbedaan pencapaian yang diperoleh antara siswa laki-laki dan perempuan. Siswa laki-laki lebih menonjol dalam bidang eksak yaitu matematika sebaliknya siswa perempuan lebih menonjol pada bidang ilmu non eksak yaitu membaca. Freeman juga menyatakan bahwa kondisi ini semakin meningkat ketika usia siswa semakin meningkat. Setelah menginjak usia remaja ke atas, kesenjangan gender ini tetap terus meningkat walaupun peningkatan kesenjangan gap menurun Dee (2007). Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Machin dan McNelly (2006). Pada umumnya wanita lebih unggul dari pria pada mata pelajaran bahasa. Namun kondisi empiris di Swedia mengungkapkan hal yang sedikit berbeda. Hal ini dikemukakan oleh Helena Holmlund and Krister Sund (2005) dalam studinya. Siswa perempuan pada umumnya memperoleh pencapaian yang melebihi laki-laki dalam bidak non eksak seperti dalam bidang Bahasa Swedia dan Inggris. Sebaliknya untuk bidang Matematika, di Swedia tidak ditemukan perbedaan yang nyata yang mengungkapkan adanya kesenjangan gender dalam hal ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode ekonometrika. Karena regresi yang dilakukan adalah regresi probabilitas maka metode regresinya menggunakan Maximum Likelihood (MLH) dengan model regresi non linier yaitu model probit. Sedangkan data yang akan diolah dalam penelitian ini adalah data primer dari populasi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah kuantitatif Matematika dan Statistik Ekonomi yang diikuti oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi, Akuntansi, dan Manajemen yang mengikuti PBM yang dilaksanakan dalam kurun waktu tahun ajar 2008-2009 dan semester pendek 2009.
[ 602 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
Perlakuan dalam Pengajaran
Permasalahan: -Adakah pengaruh perbedaan jenis kelamin dan latar belakang sosial ekonomi siswa terhadap pencapaian hasil belajar?
Internal : Perilaku Siswa
Eksternal: Lingkungan
Pencapaian Hasil Belajar
Regresi non Linier Probability Model:
Pengukuran : -regresi non linier probability model: Probit
Uji Statistik
Artikulasi Hasil Pengukuran
Pembentukan Model Peramalan Hasil Belajar Mahasiswa
Hasil
Luaran: Publikasi Ilmiah Hasil Penelitian
Laporan Penelitian: Rekomendasi Kebijakan dan Saran
Kajian pustaka: -kajian teori -penggalian penelitian yang telah dilakukan
Kajian pustaka: -kajian teori -penggalian penelitian yang telah dilakukan Koleksi data sekunder Koleksi data primer: wawancara sample dengan kuisioner
Analisis Dampak karakteristik social ekonomi dan jenis kelamin terhadap hasil belajar. Koleksi data kualitatif
Publikasi Ilmiah Diseminasi hasil
Masukan bagi subyek dalam proses belajar mengajar
Gambar 1. Kerangka Pikir Dalam Pembentukan Model
P a g e [ 603 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 METODE Sebagaimana yang telah dilakukan dalam penelitian Davies dkk (2004) yang akan dijadikan rujukan bagi penulis untuk meneliti hal ini, maka akan dilakukan metode ekonometrika dengan model probit. Melalui penggunaan model ini, nantinya akan diketahui signifikansi dari variabel-variabel yang diteliti terhadap probabilitas kesuksesan siswa dalam mengikuti PBM. Sedangkan data yang dipakai adalah data cross section dari objek yang diteliti dari seluruh populasi siswa yang mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi dan Statistika Ekonomi. Melalui estimasi data memakai model probit akan diketahui pengaruh masingmasing variabel terhadap probabilitas keberhasilan siswa dalam PBM. Selain itu, dengan didapatkannya paramater yang diperoleh dari hasil estimasi, kita bisa memakainya untuk meramal apakah siswa yang bersangkutan secara individu bisa mencapai keberhasilan dalam PBM dengan memasukkan data sesuai dengan variabel-variabel yang dimilikinya. Model probit adalah pengembangan dari model yang memakai variabel bergantung berupa dummy variabel yaitu variabel boneka yang hanya bernilai 0 dan 1. Nilai 0 dan 1 ini untuk mewakili variabel kualitatif sebagai perwakilan atau notasi dari berhasil (nilai 1) atau tidak berhasilnya (nilai 0) siswa dalam pembelajaran. Jika suatu model memakai variabel dummy sebagai variabel bergantungnya maka akan banyak kelemahan jika diestimasi dengan memakai pendekatan Ordinary Least Square (OLS). Model dengan variabel dummy sebagai variabel bergantung yang diestimasi dengan OLS itu dinamakan Linier Probability Model (LPM) model ini mensyaratkan bahwa variabel yang diestimasi harus mempunyai nilai antara 0 sampai 1 (Gujarati, 2004). Karena model LPM mempunyai beberapa kelemahan maka diperlukan solusi untuk mendapatkan estimasi yang terbaik. Lalu dikembangkan Cumulative Distribution Function (CDF) yaitu Logit model dan disempurnakan kembali menjadi Probit. Probit ini adalah usaha untuk menormalkan CDF sehingga juga disebut Normit model. Dengan model ini maka kita mengestimasi model yang akan dipakai untuk mencapai tujuan penelitian (3.6). Model estimasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagaimana model yang dipakai oleh Davies dkk (2004) yaitu: S=β0 + β1A + β2iXi + β3iFi +ε Di mana, S adalah dummy variabel yang mewakili pencapaian hasil belajar siswa, di mana S=1 pada saat siswa mendapat nilai baik (B ke atas) dalam mata kuliah yang bersangkutan dan S=0 untuk kondisi lainnya. A adalah tingkat kemampuan siswa dalam hal ini diwakili dengan IPK terakhir sebelum dia mengambil mata kuliah yang bersangkutan. Xi adalah seperangkat variabel dari karakteristik siswa seperti gender dalam hal ini jenis kelamin (X1), cita-cita akan pekerjaan ke depannya nanti (X2), dan penilaian siswa terhadap dosen yang mengampu mata kuliah yang bersangkutan (X3). X3 diindikasikan dengan nyaman tidaknya siswa yang bersangkutan terhadap dosen yang mengampu mata kuliah tersebut. Fi adalah seperangkat variabel yang menggambarkan [ 604 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
latar belakang sosial keluarga siswa seperti pekerjaan ibu (F1) dan seberapa banyak buku yang dipunyai di rumah (F2). Sedangkan ε adalah komponen error dalam estimasi model. Pengkategorian cita-cita dan pekerjaan ibu sebagaimana dalam rujukan utama penelitian ini yaitu oleh Davies (2004). Kategorinya berdasarkan tingkat kebebasan ekonomi dari kemungkinan cita-cita siswa dan pekerjaan ibu siswa yaitu 1). Buruh, 2).. Pekerja, 3). Pekerja terampil, 4). Pekerja dengan Keahlian, 5). Manager, dan 6). Pengusaha. Kategori berhasil (variabel dummy bernilai 1) atau tidak (variabel dummy bernilai 0) apakah nilainya B atau berapa sifatnya opsional tergantung dari mata kuliah yang bersangkutan. Sehingga nantinya bisa nilai B ke atas atau kategori yang lainnya tergantung bagaimana implementasinya nanti. Hal ini terjadi mengingat kesulitan antara mata kuliah satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Penyebaran kuesioner sebaiknya dilakukan pada pertengahan waktu PBM. Sebab tentunya kurang baik kuesioner disebarkan pada waktu awal PBM, hal ini dikarenakan belum cukup waktu digali informasi dari siswa terutama untuk mendapatkan data tentang nyaman atau tidaknya siswa terhadap dosen yang bersangkutan sebab nyaman atau tidaknya siswa terhadap dosen tergantung dari interaksi dalam PBM dan bagaimana dosen tersebut menjalankan strategi pengajarannya. Selain itu, pada awal semester atau awal waktu PBM tidak semua nilai mata kuliah pada semester sebelumnya sudah keluar sehingga ketika kuesioner dikeluarkan pada awal kuliah maka akan beresiko tidak mendapatkan data IPK yang valid. Penyebaran kuesioner juga sebaiknya jangan terlalu mendekati akhir PBM. Ketika penyebaran kuesioner mendekati akhir PBM maka dikhawatirkan siswa akan mengisi data tentang nyaman atau tidaknya terhadap dosen yang bersangkutan kurang objektif karena bisa jadi diisi dengan berusaha menyenangkan dosen yang bersangkutan (ketika sekiranya nilai yang didapatkan nanti tidak aman) atau sebaliknya. Padahal diperlukan objektivitas dalam mengisi kuesioner sehingga nanti didapatkan hubungan yang sebenarnya antara variabel kenyamanan dengan pencapaian hasil belajar. Pada akhir PBM atau tepatnya setelah nilai dikeluarkan oleh dosen yang bersangkutan maka semua data yang diperlukan variabel dalam penelitian ini didapatkan semua. Dengan data yang ada maka bisa dilakukan estimasi untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan pencapaian hasil belajar. Dari parameter hasil estimasi ini maka dapat dibentuk model peramalan untuk memperkirakan hasil belajar bagi mahasiswa mata kuliah tersebut pada periode selanjutnya. Untuk melihat apakah secara bersama-sama variabel yang digunakan dalam model mempengaruhi variabel bergantungnya maka digunakan LR stat atau besarnya Likelihood Ratio. Jika LRstat > LRtabel-nya maka mengindikasikan bahwa secara bersamasama variabel yang digunakan dalam model berpengaruh signifikan terhadap variabel bergantungnya. Namun untuk mudahnya maka bisa melihat prob yang menunjukkan besarnya probabilitas kesalahan, kesalahan yang dianulir bisa 1%, 5%, 10% tergantung dari toleransi kita. H0 yang digunakan adalah secara bersama-sama variabel digunakan P a g e [ 605 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 dalam model tidak mempengaruhi variabel bergantungnya, jika prob kurang dari tingkat signifikansi tersebut maka H0 bisa ditolak. Untuk menentukan apakah masing-masing variabel yang digunakan dalam model secara individual mempengaruhi variabel bergantungnya maka digunakan Z test. Jika Zstat > Ztabel maka H0 yang menyatakan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel bergantungnya bisa ditolak. Namun untuk mudahnya maka bisa melihat prob yang menunjukkan besarnya probabilitas kesalahan, kesalahan yang dianulir bisa 1%, 5%, 10% tergantung dari toleransi kita. H0 yang digunakan adalah secara individual tersebut tidak mempengaruhi variabel bergantungnya, jika prob kurang dari tingkat signifikansi tersebut maka H0 bisa ditolak. Karena metode ini merupakan metode regresi MLH maka asumsi klasik sebagaimana pada metode regresi LS tidak diperlukan. Dengan demikian pengujian asumsi klasik tidak diperlukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengantisipasi tidak bisa diolahnya data karena adanya kemungkinan munculnya singular matriks dalam pengolahan data maka data untuk enjoy atau tidaknya siswa terhadap PBM yang diampu oleh dosen yang bersangkutan selain digali variabel binomial untuk X3 (1 untuk enjoy dan 0 untuk tidak enjoy) juga dimasukkan nilai keenjoy-annya tersebut yang berupa variabel dengan skala interval 0-100. Begitu pula untuk data banyaknya buku yang dipunyai siswa selain kategori 1-3 juga digali berapa banyaknya buku secara kontinue. Dari 329 siswa yang terobservasi populasi dalam penelitian maka terdapat 316 sampel yang mempunyai data yang lengkap (common sample). Dari sejumlah tersebut bisa diuraikan deskripsi data yang terobservasi sebagaimana berikut: Deskripsi Statistik Data Observasi Keberhasilan siswa yang diperoleh dari nilai akhir siswa dapat diperoleh deskripsi menurut nilai akhir yang diperolehnya. Jika dikategorikan bahwa siswa yang bernilai minimal B dikatakan berhasil maka dari 316 siswa terdiri atas 158 siswa berhasil dan 158 tidak berhasil (kurang dari B).
Gambar 2. Distribusi Mahasiswa Berdasar IPK [ 606 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
Secara persentase, sebagian besar mahasiswa mempunyai cita-cita sebagai Pekerja dengan Keahlian sebesar 64% hal ini sejalan dengan jurusan yang diikuti yang nantinya diharapkan menjadi guru, pegawai bank, dan dosen. Selain itu cukup besar juga yang nantinya berharap menjadi pengusaha yaitu 29%.
Gambar 3. Distribusi Mahasiswa Berdasar Cita-Cita Dari sejumlah 316 mahasiswa terdiri atas 216 siswa perempuan dan sisanya adalah laki-laki. Selain itu dari mahasiswa yang diteliti ditemukan bahwa sebagian besar di antaranya yaitu sebanyak 285 siswa atau 90% dari total siswa yang diteliti merasa enjoy terhadap dosen yang mengampu mata kuliah kuantitatif tersebut. Sebagian besar ibu siswa mempunyai pekerjaan sebagai pekerja dengan keahlian sebanyak 48% dan pengusaha sebesar 21%. Dengan kondisi seperti ini tentunya sedikit banyak memberikan motivasi bagi siswa untuk meniru paling tidak dia akan mencapai tingkat keberhasilan yang lebih baik dalam ke depannya. Dengan demikian sedikit banyak akan memotivasi siswa dalam proses pembelajarannya.
Gambar 4. Distribusi Mahasiswa Berdasar Pekerjaan Ibu Latar belakang social di sini diwakili dengan latar belakang pekerjaan ibu dan seberapa banyak buku yang dipunyai di rumah. Buku yang dipunyai yang dimaksudkan P a g e [ 607 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 adalah buku yang diperlukan dan berkaitan dengan kepentingannya sebagai mahasiswa jurusan masing-masing. Sebagian besar buku yang dimiliki oleh mahasiswa sangatlah sedikit. Di mana yang mempunyai buku di atas 100 buku hanyalah dimiliki oleh 4% dari siswa yang diteliti. Dari tabel terlihat bahwa setengah dari siswa yang diobservasi mempunyai buku 35 ke bawah bahkan ironisnya ada yang mempunyai buku hanya sebesar 3 buah.
Gambar 5. Distribusi Jumlah Buku yang Dimiliki Hasil Estimasi Model Dari hasil estimasi terlihat semua variable yang ada dalam model signifikan. Hanya variabel IBU (pekerjaan ibu) dan ENJY (nyaman atau tidaknya siswa dalam PBM) yang signifikan pada tingkat 10%, sedangkan variabel lainnya yaitu GDR dan CITA signifikan kurang dari 5%, IPK dan BUKU signifikan kurang dari 1%. Tabel 1. Hasil Estimasi Probit LPM Koefisien Estimasi Marginal Effect Coefficient Prob. dy/dx Prob. Coefficient Prob. C -4.3681 ***0.0001 -1.0354 ***0.0095 IPK 1.0502 ***0.0005 0.3835 ***0.000 0.3678 ***0.0006 GDR 0.3377 **0.0459 0.1233 **0.042 0.1228 **0.0472 CITA 0.1711 **0.039 0.0625 **0.035 0.061 **0.0437 IBU 0.1090 *0.0612 0.0398 *0.057 0.1589 *0.0842 ENJY 0.4638 *0.0727 0.1694 *0.068 0.0404 *0.0641 BUKU -0.4794 ***0.0006 -0.1751 ***0.000 -0.1716 ***0.0006 LR statistic (6 df) 33.9007 F-statistic 5.7297 Probability (LR stat) 7.03E-06 Prob 0 ***, **, *: berturut-turut adalah signifikan dalam taraf 1%, 5%, dan 10%. Independen Variabel: Berhasil
[ 608 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
Simulasi Model Probit Peramalan Hasil Belajar Parameter yang dihasilkan sebagaimana yang ditampilkan dalam table 1 bisa dipakai untuk melakukan peramalan hasil belajar untuk mata kuliah kuantitatif matematik dan statistika ekonomi selanjutnya. Dengan berbekal parameter yang dihasilkan maka dosen yang bersangkutan bisa melakukan peramalan dengan memasukkan data dalam variabel-variabel tersebut sehingga mendapatkan probabilitas keberhasilan mahasiswa dalam mata kuliah kuantitatif. Jika probabilitas hasil peramalan menunjukkkan hasil yang kurang memuaskan maka dosen bisa menerapkan strategi yang berbeda dari yang sebelumnya. Berikut simulasi peramalan hasil belajar: Tabel 2. Simulasi Peramalan Hasil Belajar obs IPK GDR CITA BUKU 1 3 0 3 3 2 3.5 0 4 3 3 3.6 0 5 2 4 3.3 0 6 2 5 2.7 1 6 1 6 3 0 4 1 7 3.4 1 4 1 8 3.6 0 3 3 9 2.9 1 5 1 10 3.2 0 6 2 11 3 1 5 2 12 2.8 1 5 1 13 3.5 1 6 1 14 3.8 1 4 2 15 2.9 0 3 3 16 3.2 0 6 1 17 3.3 0 4 1 18 3.1 1 3 3 19 2.98 1 4 2 20 3.5 1 3 3
ENJY IBU Zi CDF Zi 1 3 -1.35161 0.08825 0 6 -0.79223 0.21411 1 6 0.427093 0.66534 1 3 -0.0439 0.48249 0 4 -0.21175 0.41615 0 5 -0.46756 0.32005 1 4 0.645012 0.74054 1 6 -0.39447 0.34662 1 2 0.072994 0.52909 1 6 0.178115 0.57068 1 4 -0.08335 0.46679 1 4 0.185999 0.57378 0 6 0.846408 0.80134 0 6 0.339893 0.63303 1 5 -1.23861 0.10775 1 3 0.330466 0.62948 0 3 -0.37053 0.35549 1 2 -1.01792 0.15436 1 3 -0.38446 0.35032 0 3 -0.95267 0.17038
Interpretasi (kemungkinan) Gagal Gagal Sukses Gagal Gagal Gagal Sukses Gagal Sukses Sukses Gagal Sukses Sukses Sukses Gagal Sukses Gagal Gagal Gagal Gagal
Sebagai contoh, katakanlah didapatkan 20 observasi dari mahasiswa yang sedang ikut dalam PBM sebagaimana ditunjukkan dalam table 2. Keduapuluh siswa tersebut mempunyai data sebagaimana dalam variabel di atas maka akan dihasilkan hasil estimasi sebesar dalam kolom prob dan akumulasi dari probabilitas tersebut setelah dinormalkan adalah sebagaimana dalam CDF prob. P a g e [ 609 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 Misalkan untuk observasi 7 maka probabilitas keberhasilannya adalah 0.74054 atau probabilitas terjadi berhasilnya p(Y=1) mahasiswa tersebut adalah 74%. Dengan demikian siswa yang terobservasi dalam no 7 tersebut menurut model peramalan ini kemungkinan besar adalah sukses dengan asumsi bahwa siswa dikatakan akan berhasil jika probabilitas keberhasilannya lebih besar dari 50%. Secara keseluruhan dari 20 siswa tersebut hanya 8 yang sukses sedangkan sisanya dianggap akan gagal. Sebagai tambahan informasi, rata-rata tingkat probabilitas keberhasilan siswa dari peramalan tersebut adalah 0.4308. Dengan demikian perlu kiranya dosen membuat atau mengubah strategi pembelajaran sehingga bisa mendapatkan hasil PBM yang memuaskan nilainya. Perbandingan dengan Metode Least Square atau Linear Probability Model (LPM) Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa pengukuran probabilitas bisa dilakukan juga dengan model linier hanya saja dengan metode ini maka hasil yang didapatkan akan keluar dari apa yang kita harapkan. Dengan model LPM maka hasil fitted value-nya bisa jadi akan di luar dari yang semestinya, misalkan 110% atau 10% padahal nilai dari probabilitas tentunya hanya sebatas 0-1 atau 0% sampai dengan 100%. Jika hasil estimasi model LPM dilakukan maka dihasilkan parameter estimasi sebagaimana dalam table 2. Jika parameter tersebut diterapkan maka bisa dilakukan peramalan pada hasil belajar juga. Hanya saja model ini tidak dapat mengakomodasi kondisi yang ekstrem, akibatnya ketika variabel yang dimasukkan sangat mendukung kemungkinan hasil belajar maka probabilitas yang dihasilkan bisa lebih dari 100% sebaliknya ketika variabel yang dimasukkan sangat tidak mendukung maka hasil yang didapatkan bisa mencapai kurang dari 0%. Ini terjadi karena marginal yang didapatkan bersifat tetap atau konstan akibatnya ketika ia mencapai titik yang mendekati maksimum dan terus ditambah maka probabilitasnya akan melebihi 100% atau sebaliknya pada kondisi yang minimum probabilitasnya akan menjadi kurang dari 0%. Sekali lagi sebagaimana kita ketahui bahwa probabilitas semestinya nilainya 0%100%. Dengan demikian model peramalan probabilitas ini tidak baik untuk diterapkan. Untuk lebih jelasnya model ini disimulasikan sebagaimana dalam tabel 3 di bawah. Dari tabel 3 terlihat bahwa untuk observasi 1 nilai prediksinya adalah 1.154246 sedangkan untuk observasi 2 nilai prediksinya adalah -0.26865. Tentunya kedua hasil peramalan ini tidak mungkin terjadi sebab batasan nilainya adalah 0-1. Model probit menerapkan marginal yang fleksibel atau berubah-ubah tergantung dari besarnya nilai variabel yang dimasukkan sedangkan LPM menerapkan marginal konstan. Hasil dari probit model menjamin nilainya antara 0-100% atau 0-1, karena hal itu maka peramalan dengan model probit tidak akan menghasilkan probabilitas di luar yang dipersyaratkan. Dengan mengetahui perbandingan kedua metode di atas maka dapat kita pastikan bahwa peramalan dengan model non linier model probit akan mendapatkan hasil yang lebih baik daripada model yang sebelumnya yaitu model LPM.
[ 610 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
Tabel 3. Perbandingan Kondisi Ekstrem Peramalan LPM dengan Model Probit Peramalan dengan LPM Obs IPK GDR CITA BUKU ENJY IBU Fitted NB 1 4 1 6 1 1 6 1.154246 2 2 0 2 1 0 2 -0.26865 Peramalan dengan Model Probit Obs IPK GDR CITA BUKU ENJY IBU Zi CDF Zi 1 4 1 6 1 1 6 1.835323 0.96677 2 2 0 2 1 0 2 -2.18695 0.01437 SIMPULAN Sesuai dengan analisis hasil estimasi maka didapatkan bahwa semua hasil menunjukkan bahwa variabel penjelasnya yaitu kemampuan dasar, cita-cita, pekerjaan ibu, banyaknya buku, nyaman atau tidaknya siswa terhadap dosen yang bersangkutan, serta jenis kelamin perempuan dari mahasiswa berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mahasiswa dalam menjalani PBM mata kuliah kuantitatif. Untuk variabel karakteristik siswa yang diwakili oleh banyaknya buku dan pekerjaan ibu berpengaruh positif terhadap keberhasilan tersebut namun untuk pengaruh banyaknya buku bertanda sebaliknya dengan yang diharapkan. Artinya semakin banyak buku semakin rendah tingkat keberhasilan siswa dalam mata kuliah kuantitatif, hal ini bisa terjadi karena data yang dimasukkan sebagai variabel BUKU adalah bukannya buku spesifik matematika dan statistika sebagai mata kuliah kuantitatif yang diteliti. Sedangkan untuk variabel IBU yang berpengaruh signifikan positif menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pekerjaan ibu maka semakin tinggi tingkat keberhasilan siswa dalam mata kuliah kuantitatif. Sedangkan jenis kelamin perempuan berpengaruh positif terhadap keberhasilannya dalam mata kuliah kuantitatif artinya bahwa mahasiswa FISE UNY yang berjenis kelamin perempuan mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih besar daripada laki-laki dalam menempuh mata kuliah kuantitatif. Berdasarkan hasil estimasi ditemukan bahwa kemampuan dasar siswa sangatlah penting sebagai substansi yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam mata kuliah kuantitatif. IPK terbukti berpengaruh positif terhadap hasil belajar dengan demikian anak-anak yang mempunyai IPK yang tinggi cukup kuat dasarnya dalam menempuh mata kuliah kuantitatif. Model peramalan dengan model non linier model probit terbukti mendapatkan hasil yang lebih baik daripada model LPM. Dengan demikian untuk mendapatkan peramalan yang baik maka lebih baik kita menggunakan model probit. Dari penelitian ini maka ada beberapa masukan bagi penelitian yang serupa ke depannya. Untuk penelitian yang sifatnya probabilitas maka sebaiknya memakai non linier probability sebab tidak mungkin fungsi probabilitas mempunyai marginal konstan dengan demikian maka nilai fitted-nya tidak akan melebihi dari yang seharusnya. Untuk P a g e [ 611 ]
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015 yang memakai variabel buku maka sebaiknya jumlah buku yang dipakai sebagai data harus spesifik sesuai dengan bidang yang diteliti sehingga mendapatkan parameter yang semestinya. Dalam penelitian yang sifatnya probabilitas maka semakin besar observasi yang dipakai dalam estimasi maka semakin baik hasil estimasi yang didapatkan. Hal ini selain untuk mendapatkan parameter yang sesuai dengan sesungguhnya juga untuk menghindari non singular matrix dalam pengolahan datanya. Hasil penelitian bisa dijadikan masukan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pendidikan. Dari hasil penelitian yang didapatkan terlihat bahwa peran ibu sangatlah penting baik dalam memberi inspirasi kepada mahasiswa, motivasi, serta dukungan dalam proses belajar mahasiswa. Oleh karenanya penting sekiranya ibu meluangkan lebih banyak waktunya untuk memberikan arahan terhadap anaknya dan memberikan dukungan yang lebih berkualitas demi keberhasilan anaknya. Mahasiswa dengan jenis kelamin laki-laki perlu mendapatkan perhatian lebih dalam menempuh mata kuliah kuantitatif sebab laki-laki seringkali mudah putus asa dalam proses pembelajarannya sehingga perlu perlakuan khusus agar bisa menyelesaikan PBM dengan lebih baik khususnya dalam mata kuliah kuantitatif. Peramalan terhadap hasil belajar mahasiswa perlu dilakukan dalam rangka mendapatkan indikator keberhasilan dari PBM itu sendiri. Dengan mengetahui perkiraan hasil belajar sebelum masa PBM selesai maka pihak dosen sebagai manager di kelas bisa menerapkan strategi yang lebih tepat dalam pembelajaran setelah dilakukan peramalan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anglingsari SI SK dan G. Sujayanto (2007). ”Membangun Anak berprestasi”, Intisari Online, 14 September 2007. Anonim (2002),”Factors Influencing Retention Behavior at IUB: The Role of Ability, Financial Aid, and Academic and Social Integration”, Dean of the Faculties, Office of Institutional Research, Indiana University Bloomington, October, 2002. Anonim (2004). Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa. Anonim (2006).,“The Social Consequences of Economic Inequality for Canadian Children A Review of the Canadian Literature”, First Call BC Child and Youth Advocacy Coalition, The Research and Knowledge Mobilization Directorate of the Canadian Council on Learning, March 3, 2006. Anonim (2007),”The Role of Nonacademic Factors in College Readiness and Success”, ©2007 by ACT. Davies, Peter, Shqiponje Telhaj, David Hutton, Nick Adnet, and Robert Coe. (2004). “Social Background, gender, and subject choice in secondary schooling”. Working Paper 25. Economic & Social Research Council. Dee, Thomas S. (2005).”Theachers and The Gender Gaps in Student Achievement” Working Paper 11660, National Bureau of Economic Research, September 2005. Depdiknas, (2009), “Akselerasi”, diunduh 07 Desember 2009. pusdiklatdepdiknas.net/ dmdocuments/Akselerasi-Hartati.pdf. [ 612 ] P a g e
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
Eka Danta Jaya Ginting., (2003). ”Hubungan Persepsi Terhadap Program Pengembangan Karir dengan Kompetisi Kerja”. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. © 2003 Digitized by USU digital library. Gujarati, Damodar N. (2004).Basic Econometrics, 4rd Edition, International Edition, Mc. Graw Hill, Singapore. Holmlund, Helena and Krister Sund (2005). ”Is the Gender Gap in School Performance Affected by the Sex of the Teacher?”, Working Paper 5/2005, Swedish Institute for Social Research (SOFI) Stockholm University November 4, 2005. Johnson, Kirk A. (2000),”Do Small Classes Influence Academic Achievement? What the National Assessment of Educational Progress Shows”, June 9, 2000 the Heritage Foundation, USA (www.heritage.org) Machin, Stephen dan Sandra McNally (2006).”Gender and Student Achievement in English Schools”. London: Centre for the Economics of Education London School of Economics. Sardiman A.M. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Tarmidi (2006),”Iklim Kelas dan Prestasi Belajar”, USU Repository 2006. Widyastuti, Tirani (2007), “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Sejarah Melalui Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 15 Semarang Tahun Pelajaran 2007/2008”. Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang.
P a g e [ 613 ]