Decentralized Basic Education 1: Management and Governance
Pendidikan Dasar dan Rintangan Pembelajaran Pembuat Kebijakan
Sekolah
Anak
November 2007 Laporan ini adalah salah satu dari laporan khusus yang dikeluarkan oleh Research Triangle Institute (RTI), Pelaksana Proyek Improved Quality of Decentralized Basic Education (IQDBE) yang didanai oleh USAID/Indonesia.
DRAFT PENDIDIKAN DASAR dan RINTANGAN PEMBELAJARAN I. PENDAHULUAN ..................................................................................................1 II. PENGGUNA LAYANAN PENDIDIKAN DASAR ..........................................6 2. 1. Ketergantungan Penduduk ...........................................................................6 2.2 Ketergantungan Penduduk Usia Sekolah .....................................................8 2. 3. Rintangan Belajar ............................................................................................9 2.3.1 Rintangan Dari Anak.................................................................................9 2.3.2 Rintangan dari Lingkungan ...................................................................16 III. PENYEDIA LAYANAN PENDIDIKAN .........................................................22 3.1 Kompleksitas Penyediaan Layanan .............................................................22 3.2 Kelebihan SD/MI dan Kekurangan SMP/MTs ........................................24 3.3 Kompleksitas Di Sekolah dan Madrasah.....................................................25 3.3.1 Produktivitas Sekolah dan Madrasah...................................................27 3.3.2 Mengukur Arus dan Keluaran Murid ..................................................29 3.3.3 Jumlah dan Distribusi Buku ...................................................................33 3.3.4 Rintangan Belajar Karena Kekerasan di Sekolah ................................33 3.3.5 Jumlah dan Distribusi Guru ...................................................................34 3.3.6 Guru Absen...............................................................................................36 IV. REGULASI PENDIDIKAN................................................................................38 4.1 Undang-Undang Dasar 1945 .........................................................................38 4.2 UU Sistim Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional .............................................................................39 4.3 Peraturan Pemerintah Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas ........................................................................................................41
I. PENDAHULUAN ”Mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah visi pendidikan bangsa Indonesia. Visi ini ditulis dengan kata kerja oleh para pendiri bangsa 62 tahun lalu. Masih tetap dan bahkan semakin kontekstual bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kata kehidupan berasal dari kata kerja ”hidup”. Hidup berarti selalu dinamis, dan senantiasa mengalami perubahan. Letak pernyataan ”mencerdaskan kehidupan bangsa” di halaman pertama UUD 1945. Limapuluh tujuh tahun kemudian ada amandemen keempat UUD 1945 (10 Agustus 2002). Visi pendidikan diperjelas lagi dalam misi pendidikan seperti yang tertulis pada bab tentang ”Pendidikan dan Kebudayaan” (Bab XIII, UUD 1945), yang memuat tentang hak dan kewajiban warga negara, negara, dan pemerintah RI. Secara konstitusi (de jure) setiap warga negara harus cerdas; sedikitnya bisa membaca, menulis dan berhitung; serta dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun mengamanatkan semua warga negara harus cerdas. Termasuk di dalamnya adalah penduduk kaya, miskin, yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Juga anak normal serta anak yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Penduduk dan/atau masyarakat adat di daerah terpencil, di perbatasan, di daerah konflik, yang terkena bencana, dan fakir miskin. Semuanya sudah tertera di Pasal 5 UU Sisdiknas (No. 20/2003). Setelah 62 tahun, amat banyak yang kita Amanat konstitusi UUD 1945 peroleh berkat kontribusi pendidikan. tercapai ketika guru siap Meski demikian, karena berbagai mengajar, murid siap belajar, rintangan, masih ada jutaan penduduk dan orangtua siap yang seharusnya bersekolah tapi tidak melindungi guru dan murid. bersekolah. Diperkirakan sekitar 80% penduduk telah cerdas; dan 20% dari hampir 225 juta jiwa penduduk Indonesia (2007) belum cerdas karena sulit sekali mendapatkan layanan pendidikan dasar. Ada jurang yang lebar antara amanat konstitusi dengan harapan 20% warga negara. Ada yang berhasil namun ada yang terpaksa putus di tengah jalan. Ada yang lulus atau tamat tepat waktu namun ada pula yang menghabiskan waktu lebih lama untuk jenjang yang sama. Selama proses pembelajaran, setiap murid pasti melewati banyak rintangan atau hambatan. Ke depan, rintangan pendidikan semakin sulit untuk dilewati. Rintangan perangkat lunak seperti teknologi informasi dan komunikasi akan dirasakan lebih berat ketimbang perangkat keras. Ada tiga kelompok besar rintangan (major barriers) bagi suksesnya pembelajaran atau pencerdasan bangsa : rintangan belajar, mengajar, dan kebijakan (learning, teaching, and policy barriers).
1
Pertama, dari pihak murid, rumahtangga, dan penduduk atau kita sebut sebagai kelompok ”penggunan jasa layanan pendidikan”. Jumlah, komposisi, dan distribusi usia penduduk, lokasi geografis, pendidikan, pekerjaan dan tingkat penghasilan rumahtangga berperan penting dalam mudah-sulitnya seorang warga negara untuk menjadi cerdas. Kedua, rintangan dari pihak sekolah. Sekolah sebagai ”penyedia jasa layanan pendidikan”. Di Indonesia, penyedia mencakup mulai dari pra sekolah, sekolah/madrasah, sampai dengan perguruan tinggi. Ketiga, rintangan atau kompleksitas kebijakan publik. Kebijakan nasional untuk sektor pendidikan umumnya dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bappenas. Secara konstitusional, semua kebijakan di tingkat nasional harus sepengetahuan dan persetujuan DPR. Sesuai dengan namanya, DPR mewakili aspirasi, kehendak, dan kebutuhan rakyat. Di antara dua ujung spektrum yakni rakyat versus pusat, terdapat berbagai lembaga publik yakni sekolah/madrasah, dinas pendidikan (kabupaten/kota dan provinsi), kantor wilayah Departemen Agama di provinsi, Kantor Departemen Agama kabupaten/kota, dan yayasan persekolahan. Meski berbeda-beda, lembaga-lembaga ini berperan sebagai pengambil dan/atau pelaksana kebijakan. Guna lebih memahami kemudahan maupun rintangan bagi murid yang belajar dan guru yang mengajar, laporan ini membahasnya dari sudut pandang pengguna (users/demand) dan sudut pandang penyedia jasa pendidikan (providers/supply). Dengan memandang dari dua sudut pandang yang berbeda diharapkan dapat membantu kita untuk mengetahui interaksi atau relasi antara pengguna dengan penyedia jasa layanan pendidikan. Meski secara tidak langsung, departemen, dinas, kantor agama, dan yayasan persekolahan adalah bagian dari mata rantai penyedia jasa layanan pendidikan. Tiga rintangan bagi pencerdasan bangsa : 1. Rintangan belajar 2. Rintangan mengajar 3. Rintangan kebijakan
Tujuan penyusunan laporan ini adalah agar pembaca (khusus buat anggota Tim DBE1) mempunyai referensi yang lebih luas tentang pendidikan dasar dan rintangan pembelajaran. Dengan ruang yang lebih luas dan kontekstual, maka percakapan tentang ”education management and governance” baik dengan sesama anggota tim maupun dengan para pemangku kepentingan pendidikan menjadi lebih konkrit dan konstruktif. Laporan ini disajikan dalam alur seperti yang diilustrasikan pada Bagan 1.1. Bab II tentang anak sebagai pengguna layanan pendidikan. Bab ini dimulai dengan membuka beratnya ”beban ketergantungan” baik untuk seluruh penduduk (Sub2
bab 2.1) maupun untuk penduduk usia sekolah (Sub-bab 2.2). Sebagian besar Bab II bertutur tentang rintangan belajar untuk peserta didik; baik dari diri anak (2.3.1) maupun dari lingkungannya (2.3.2). Meski secara statistik sudah masuk usia sekolah, ternyata karena begitu banyak dan sulitnya rintangan, sang anak tidak siap untuk belajar (lack of readiness to learn). Karena hambatan tumbuh-kembang anak, kemiskinan, penyakit, kurang gizi, kendala Bahasa Indonesia, tidak pernah masuk TK/RA, dan berbagai bencana baik oleh alam maupun oleh ulah manusia (konflik, penggundulan hutan, korupsi, dsbnya); akibatnya jutaan anak tak mendapatkan hak primernya untuk membaca, menulis dan menghitung. Untuk ke sekolah sang anak sudah menghadapi banyak rintangan. Di Bagan 1.1 kita menyebutnya sebagai Rintangan 1. Semuanya kita sajikan di Bab I. Bab ini diperkuat dengan kisah tentang ratusan ribu anak NTT yang tidak sekolah (Kotak 2.1), kisah memilukan tentang kemiskinan kronis dari Ponorogo (Kotak 2.2), kisah sukses Ramsad Rangkuty (cerpenis dan pemimpin redaksi majalah sastra Horison), dan kisah sukses pak Warsiman tentang pahitnya hidup di masa kecil. Ketika sukses karena berani bertarung risiko di Jakarta, beliau merasa kini ada momentum untuk berbagi karena hidupnya berputar 180 derajat. Bab III adalah tentang berbagai rintangan ketika jutaan anak berada di sekolah (Rintangan 2). Rintangan itu terjadi baik oleh karena kompleksnya penyediaan layanan dan banyaknya aktor dengan kepentingan masing-masing (Sub-bab 3.1), terlalu banyak SD/MI dan kurangya SMP/MTs (Sub-bab 3.2), dan kompleksnya lembaga yang namanya sekolah atau madrasah (3.3). Semua saling terkait dan langsung berpengaruh pada produktivitas sekolah dan madrasah (3.3.1). Lalu bagaimana kita mengukur produktivitas dan mengevaluasi kinerja sekolah? Meski tidak rinci, jawabannya ada di Sub-bab 3.3.1 termasuk komentar tentang kelemahan konsep menghitung biaya per murid dan alternatifnya. Membahas arus dan keluaran murid (3.3.2) nyaris wajib kita lakukan. Perlakuan ini akan sangat membantu sekolah dalam memperbaiki efisiensi manajemen dan perencanaan pendidikan. Rintangan lain di sekolah adalah jumlah dan distribusi buku (3.3.4). Jeritan orangtua murid sangat keras ketika mereka merasakan himpitan buku. Anak tidak dapat menggunakan semua talentanya ketika merasa takut di sekolah dan di rumah. Ini adalah rintangan belajar yang tidak kasat mata tapi sungguh menakutkan dan membahayakan anak (3.3.5). Mungkin anda setuju kalau rintangan terbesar secara nasional adalah timpangnya jumlah dan distribusi guru (3.3.6). 19% guru di Indonesia absen pada jam pelajaran (3.3.7). Lampiran A menyajikan untuk pembaca hasil pengamatan singkat tapi tajam oleh seorang pakar. Thony Somerset risau tentang jumlah dan distribusi guru di Kabupaten Sukabumi; persis sepuluh tahun yang lalu. Tapi ternyata masih sangat relevan. Hingga hari ini. Secara nasional. Bab IV bercerita tentang rumit dan panjangnya proses politik pendidikan yang terwujud dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan kita perlukan. Tapi kerumitan birokrasi dan bentangan spektrum yang begitu panjang menjadi rintangan atau ketidakpastian dalam pembelajaran. Ini yang kita golongkan 3
sebagai Rintangan 3. Bentangan itu kita lihat mulai dari UUD 1945 (Sub-bab 4.1), UU Sisdiknas dengan peraturan turunannya (Sub-bab 4.2). UU Sisdiknas mewajibkan pemerintah untuk mengeluarkan 38 PP dan 30 permendiknas. Kapan semua produk politik pendidikan ini selesai? Tampaknya langkah perjalanan panjang kebijakan pendidikan kita baru saja dimulai. Dengan selesai menyimak, kami berharap pembaca dapat menarik benang merah mengapa judulnya seperti yang tercantum di halaman depan yaitu ”Pendidikan Dasar dan Rintangan Pembelajaran”. Sekali lagi tujuan primernya semata untuk memperluas luas ruang percakapan antara kita; di DBE1.
4
Bagan 1.1 Rintangan Pembelajaran Rintangan 2 Di Sekolah
Rintangan 1 Ke Sekolah
Kemiskinan (prima causa)
Kurang Gizi dan Penyakit
Rintangan 3 Kompleksitas Kebijakan Pendidikan
Pusat: Banyak regulasi Proses yang panjang APBN
Banyak kepentingan Sekolah [Penyedia jasa pendidikan]
Inefisiensi manajemen
Anak Bahasa
[Pengguna Jasa pendidikan]
Tidak masuk TK/RA
Bencana alam, konflik, dsb.
Bab II
Guru: jumlah, distribusi, absen
Sarana dan prasarana
Kelebihan SD Kekurangan SMP MTs
Bab III
Pembuat Kebijakan
Provinsi: Kapasitas terbatas Proses yg panjang APBD
Kabupaten/Kota: Kapasitas terbatas Proses yg panjang APBD Renstra Perda
Bab IV
5
II. PENGGUNA LAYANAN PENDIDIKAN DASAR Indonesia sudah mencapai banyak kemajuan di bidang pendidikan. Meski mayoritas lulusan SD/MI, 80% penduduk bisa baca, menulis dan menghitung. 20% penduduk usia sekolah dan orang dewasa belum dapat membaca, menulis dan menghitung. Karena berbagai rintangan, belum menggunakan jasa layanan pendidikan dasar. Secara makro, penyebabnya adalah karena beratnya beban ketergantungan hidup (Sub-bab 2.1 dan 2.2). Kedua, karena rintangan belajar baik dari dalam diri anak (2.3.1) seperti tidak normalnya tumbuh-kembang otak anak, masalah kurang gizi dan penyakit, dan difable. Ketiga, rintangan dari lingkungan anak (2.3.2) khususnya karena kemiskinan, tidak mampu berbahasa Indonesia, korban bencana alam dan konflik. Bab ini adalah tentang rintangan yang menghalangi cita-cita anak untuk menjadi cerdas. 2. 1. Ketergantungan Penduduk Dalam kehidupannya, ada penduduk yang hidupnya masih ”bergantung” karena non-produktif dan penduduk yang menjadi ”gantungan” hidup karena mereka tergolong mampu mencari nafkah atau produktif. Biro Pusat Statistik Indonesia membagi kelompok usia penduduk produktif menjadi kelompok penduduk berusia 15 – 64 tahun. Secara matematis, usia 15 – 64 ini disebut sebagai kelompok bilangan penyebut. Sedangkan kelompok non-produktif (kelompok pembilang) adalah kelompok anak-anak (0 – 14 tahun) dan kelompok penduduk lanjut usia (64 tahun ke atas). Selain untuk dirinya sendiri, penduduk usia produktif harus menanggung beban untuk penduduk non-produktif (usia tua dan kelompok usia muda)1. Ketergantungan penduduk dapat dirinci menjadi beberapa kelompok umur termasuk : • Angka ketergantungan total : jumlah penduduk non-produktif/jumlah penduduk produktif X 100. • Angka ketergantungan anak adalah presentase anak umur kurang dari 15 tahun per 100 penduduk umur produktif (15 – 64 tahun). • Angka ketergantungan usia tua adalah presentase penduduk umur 64 tahun ke atas per 100 penduduk umur produktif (15 – 64 tahun). • Angka ketergantungan pendidikan: persentase penduduk usia 15 – 24 tahun yang masih mengikuti pendidikan per 100 penduduk umur produktif (15 – 64 tahun). (Lihat penduduk usia sekolah di bawah)
1Rumus
untuk menghitung beban atau tingkat ketergantungan adalah jumlah penduduk nonproduktif/jumlah penduduk produktif x100. Dalam menghitung penduduk non-produktif dan produktif haruslah pada tahun yang sama. Intinya adalah untuk mengetahui setiap orang yang produktif harus menanggung berapa orang lain yang tidak produktif.
6
Contoh: Untuk 2005, beban ketergantungan total penduduk Indonesia = 49,81. Beban ketergantungan usia muda = 42,34 dan beban ketergantungan usia tua = 7,47. Artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung beban untuk 49,81 orang non-produktif yang terdiri dari 42,34 orang muda dan 7,47 penduduk lanjut usia.
Anak usia 13 – 15 tahun dan 16 – 18 tahun memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi di bidang pendidikan.
Menghitung beban ketergantungan yang hanya mendasarkan pada usia belaka mempunyai kelemahan. Metode ini belum menggambarkan beratnya beban riil rumahtangga dan masyarakat. Ada jauh lebih banyak penduduk yang karena alasan tertentu masih menggantungkan hidupnya pada pihak lain. Mereka termasuk kelompok penduduk yang sakit, cacat dan tidak dapat bekerja, pecandu narkoba, narapidana, dan penganggur. Juga para pengungsi yang kehilangan mata pencaharian karena bencana (kelaparan, bencana alam atau akibat kesalahan manusia seperti deforestrasi, rusaknya lingkungan karena pertambangan, kebakaran, kemarau panjang, dan banjir). Juga akibat dari berbagai konflik. Dalam kelompok penduduk usia sekolah terdapat anak yang tergolong rentan karena kendala fisik dan/atau emosional. Semuanya ini berkaitan langsung dengan rintangan anak untuk ke sekolah dan selama mereka di sekolah atau madrasah. Beratnya ketergantungan akan berbeda menurut kelompok umur misalnya anak usia dini (0 – 6 tahun) mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Anak usia 7 – 12 tahun meski sudah dapat mandiri dalam hal-hal tertentu namun secara ekonomis, emosional, dan sosial masih bergantung pada orangtua dan anggota keluarga yang lain. Untuk beban pendidikan, anak usia 13 – 15 dan usia 16 – 18 tahun mempunyai kebergantungan yang sangat tinggi. Karenanya, UU tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa warga yang berusia 0 – 18 tahun masih termasuk dalam kelompok usia anak dan wajib mendapatkan perlindungan. Tabel 1.2 memberikan ilustrasi tentang 102.5 juta penduduk menurut kelompok usia 0 – 24 tahun yang kalau hidup di dunia utopia tanpa beban semuanya seharusnya berada di berbagai satuan pendidikan.
7
Tabel 1.2: Penduduk Indonesia menurut Kelompok Umur dan Satuan Pendidikan, 2006 Kelompok Satuan Pendidikan Penduduk 2006 Umur Jumlah (juta % jiwa) 0–4 Taman Penitipan Anak 18,1 8,0 5-6 TK; RA; Kelompok Bermain 8,7 3,7 26,8 11,7 Sub-total 7 - 12 SD; MI; Paket A 27,1 11,3 13 - 15 SMP; MTs; Paket B 13,0 5,5 40,1 16,8 Sub-total 16 - 18 SMA; SMK; Paket C 12,9 5,8 19 - 24
Perguruan Tinggi
25 - 39 ---40+ ----Sub-total Total
22,7
11,4
54,0 64,8
25,9 28,2
221,3
100
Sumber : BPS, Statistik Pendidikan 2006, SUSENAS, 2007
Dalam dunia nyata penuh beban, ketergantungan ini adalah perintang utama bagi orangtua dan masyarakat selama menyekolahkan anaknya (major barriers for learners). Per Juni 2007 misalnya, angka buta aksara di Indonesia adalah 12,24 juta orang. Semakin tinggi tingkat ketergantungan semakin tinggi pula perintang yang menghalangi seseorang untuk menjadi cerdas. 2.2 Ketergantungan Penduduk Usia Sekolah Berdasarkan data tahun 2005, penduduk Indonesia berjumlah hampir 220 juta jiwa. Lebih dari 62 juta jiwa (28%) berada dalam kelompok penduduk usia sekolah (mulai dari TK, SD/MI, SMP/MTs). Yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah hampir juta jiwa. Sisanya 147 juta jiwa adalah penduduk yang tergolong produktif atau penduduk yang dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan (usia 15 – 64 tahun). Ketergantungan penduduk usia sekolah tinggi karena : 1. berusia produktif namun tidak bekerja. 2. berpenghasilan rendah karena rendahnya tingkat pendidikan. 3. rendahnya daya beli yang mempengaruhi keputusan orang tua untuk menyekolahkan anak.
Dibandingkan dengan perhitungan BPS, beban ketergantungan penduduk usia sekolah ternyata jauh lebih tinggi karena :
8
•
•
•
Ada penduduk yang berusia produktif tetapi tidak bekerja karena masih berstatus murid SMP/MTs kelas III yang mengulang kelas, murid SMA/MA/SMK atau yang sederajat dan status mahasiswa/i. Usia mereka berada di antara 16 – 24 tahun; Penduduk usia produktif tidak mempunyai mata pencaharian atau meski bekerja penghasilannya rendah. Rendahnya penghasilan, terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan. Pada tahun 2004, 54% penduduk usia produktif berpendidikan SD atau tidak tamat. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan rendah atau tidak menentu; dan Rendahnya daya beli karena naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Ini adalah faktor utama penghambat ”arus” penduduk untuk masuk dalam pendidikan. Terdapat banyak anak usia sekolah namun tidak dapat bersekolah2.
2. 3. Rintangan Belajar Pembelajaran berkaitan langsung dengan usia peserta didik. Inilah mengapa dalam berbagai statistik pendidikan, kebijakan, kurikulum, dan metode pembelajaran kita mengenal pengelompokan penduduk menurut usia sekolah. Tumbuh-kembang badan khususnya otak serta tumbuh-kembang indra dan pribadi seseorang akan menentukan kesiapan atau ketidaksiapan seseorang sebagai pembelajar. Ketidaksiapan merupakan rintangan atas kemajuan belajar murid. Rintangan belajar ada yang berasal dari anak itu sendiri; ada pula yang berasal dari lingkungan keluarga atau masyarakatnya. 2.3.1 Rintangan Dari Anak Tumbuh-kembang otak anak usia balita mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, pembelajaran, serta tingkahlakunya sepanjang hayat. Apa, bagaimana, dan berapa banyak anak menyerap informasi di sekolah sebagian besar bergantung pada kompetensi sosial, emosi, dan keterampilan kognitif yang dimiliki pada usia di bawah lima tahun (balita). Tumbuh-kembang otak anak kecil bergantung pada stimulasi lingkungan, khususnya pada mutu perawatan atau pemeliharaan (gizi, kesehatan, dan interaksi yang diterima anak). Ketika kebutuhan dasar ini terpenuhi, kemampuan anak dalam hal berpikir, bertanya, bermain, dan kegiatan motorik lainnya meningkat. Anak pun mampu bekerjasama dengan orang lain di sekitarnya. Ini adalah keterampilan dasar sebagai modal yang sangat menentukan kesiapan anak dan potensinya untuk belajar. Rintangan belajar anak akan meningkat ketika kebutuhan tumbuh-kembang pribadinya tidak terpenuhi. Tidak cukup pangan dan kesehatan mengakibatkan rendahnya status gizi keluarga terutama anak (khususnya balita) dan ibu. Status
2Kelak,
anak menjadi dewasa dan membangun rumahtangga dengan beban kehidupan yang sama beratnya. Anaknya pun akan terancam tidak sekolah atau juga putus sekolah. Siklus kemiskinan kronis akan terulang dan arus penduduk usia sekolah akan secara kronis tertahan pada jenjang pertama yakni SD dan MI.
9
gizi anak seringkali dapat diketahui dengan mengamati ciri tinggi badan, berat badan, dan status gizi3. Rintangan Belajar Karena Masalah Gizi : Biro Pusat Statistik dan Nusa Tenggara Timur Primary Education Partnership (NTT-PEP4) bertutur banyak tentang hal ini. Berikut ini adalah hasil penelitian survei BPS dan NTT-PEP tentang gizi anak. Biro Pusat Statistik (BPS) 20055 mencatat penduduk berusia 0 – 4 tahun berjumlah 21 juta jiwa dengan status gizi sebagai berikut : • 68,5% balita berstatus gizi normal. • Sisanya berstatus gizi buruk (8,8%); gizi kurang (19,20%), dan bergizi lebih (3,5%). • Pada tahun 2005, ada 6 juta anak yang tergolong kekurangan dan kelebihan gizi. Setahun kemudian, anak-anak ini, meski dari segi usia (enam tahun) sudah boleh masuk kelas I SD/MI, namun dari segi kesehatan dan gizi, mereka belum siap sebagai murid. Biro Pusat Statistik (2006) menggambarkan empat provinsi dengan balita berstatus ”gizi paling buruk dan kurang” yakni: • Gorontalo (15,41%), Maluku (15,19%), Papua (13,75%) dan Nusa Tenggara Timur (13,04%). • Provinsi memiliki status ”gizi kurang” di atas 20% adalah Nusa Tenggara Timur (28,03%), Gorontalo (26,07%), Nusa Tenggara Barat (24,95%), Kalimantan Selatan (24,48%), Sulawesi Selatan (21, 51%), Kalimantan Barat (21,16%) dan Sulawesi Tengah (20,96%).
Definisi: Status gizi balita adalah tingkat kecukupan gizi yang diukur melalui indeks Berat Badan dibandingkan dengan Umur BB/U (weight for age). WHO-NCHS menggunakan klasifikasi empat kelas berdasarkan Z-score : gizi lebih (Z-score ≥ +2; gizi normal (-2 < Z-score < +2); gizi kurang (-3 < Z-score < -2); dan gizi buruk (Z-score ≤ -3). 3
Antropometri adalah alat yang lazim digunakan untuk memantau berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas menurut usia atau kelompok usia tertentu. Meski hanya memberikan gambaran tentang status gizi sesaat, berat badan dapat dipakai untuk menilai pertumbuhan tubuh terutama pada bayi dan anak-anak. Lingkar lengan atas digunakan untuk mengukur kecukupan kalori protein sesaat; tidak untuk pertumbuhan. Tinggi badan mungkin merupakan indikator terbaik untuk mengukur status gizi. Para penderita ”kurang kalori protein” (KKP) menderita gangguan pertumbuhan, karena tinggi badan merupakan hasil akumulasi status kalori dan protein dalam jangka waktu yang lama. Tinggi badan anak usia sekolah mempunyai korelasi dengan keadaan sosial ekonomi penduduk dan sekaligus memberikan gambaran umum tentang keadaan kesehatan dan gizi masyarakat. Dan tinggi badan anak usia sekolah sangat ditentukan oleh akumulasi gizi pada masa balita dan kondisi kesehatan ibunya. Distribusi tinggi badan anak baru masuk kelas I SD/MI misalnya dapat dibandingkan dengan baku antropometri menurut umur. Hasilnya dapat memberikan indikasi tentang prevalensi atau tingkat keparahan gangguan pertumbuhan fisik penduduk di suatu daerah. Ada yang daerahnya mungkin kaya tapi pertumbuhan tinggi fisik anak terganggu.
Nusa Tenggara Timur Primary Education Partnership (NTT-PEP) atau Kemitraan Pendidikan Dasar Nusa Tenggara Timur adalah kerjasama bilateral antara Pemerintah RI dan Australia. Kemitraaan ini berjalan selama 2004 – 2008 di Kabupaten Ngada, Ende, dan Sikka, Flores, NTT. Informasi lebih lanjut lihat www.nttpep.web.id 5 BPS, 2006, Profil kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006 4
10
Aku ingin sekolah …
Ya. Banyak teman lho…
Aku juga mau.......
NTT-PEP (2002) melakukan survei data dasar (baseline) termasuk tentang gizi anak dan hasilnya menunjukkan bahwa status gizi anak di Kabupaten Ngada, Flores sangat memprihatinkan. Studi ini menggunakan Kurvan Z-score standar WHO dengan cara membandingkan berat badan dengan umur anak atau BB/U (weight for age); membandingkan tinggi badan dengan umur atau TB/U (height for weight); dan indeks massa tubuh (IMT) membandingkan dengan umur (body mass index). Tabel 2.2 : Prevalensi BB/U, TB/U dan IM/T Murid di Kabupaten Ngada, Flores Indikator Anthropometrik BB/U rendah TB/U rendah IMT rendah
Indeks Kekayaan Rumah Tangga Miskin Menengah Kaya % n % n % 66,9 221 64,3 215 55,2 62,5 206 58,2 195 53,5 22,8 75 21,7 75 15,6
n 178 170 49
Sumber: Survei Baseline NTT-PEP Kabupaten Ngada, Oktober – November 2002.
Tabel 2.2 memberikan ilustrasi bahwa : • Pada hampir 70% anak, meski usia bertambah tapi berat dan tinggi badan mereka tidak bertambah. Bahkan ada yang masuk kategori kerdil karena kurang gizi kronis sejak usia 4 – 5 tahun; khususnya pada anak dari keluarga miskin. • Akibatnya, karena rentan, anak membutuhkan waktu lebih lama untuk tamat sekolah enam tahun karena risiko mengulang kelas. • Prevalensi pada anak laki-laki adalah 61,2% kerdil dan 18,6% kerdil sekali. Pada anak perempuan sedikit lebih rendah yakni 55,8% kerdil dan 14,1% kerdil sekali. • Anak laki-laki yang sangat kurus ada 21,3% dan anak perempuan ada 19%. IMT digunakan untuk mengetahui keadaan anak yang sangat kurus karena menderita gizi akut. Tanpa asupan tambahan, anak-anak ini sangat rentan terhadap penyakit.
11
Karena rintangan penyakit dan kurang gizi, anak yang berusia 8 atau 9 tahun (usia regular untuk murid Kelas 4 SD) mempunyai nilai lebih tinggi daripada murid yang berusia lebih tua di kelas yang sama. Mereka adalah anak yang mengalami hambatan serius atau sering ulang kelas karena menghadapi rintingan ekstra dalam menangkap belajar. Rintangan Belajar Karena Penyakit: Berikut ini statistik tentang penyakit dan bahayanya terhadap anak-anak termasuk gangguan jiwa: • Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa 30,000 anak meninggal dalam setahun karena penyakit campak. Rata-rata satu anak meninggal setiap 20 menit karena serangan virus yang mematikan tersebut. • Hasil survei Departemen Kesehatan (2006) di empat provinsi di Indonesia menunjukkan 18,6% - 32,6% anak sekolah mempunyai antibodi di bawah batas aman. Meski tidak menjadi penyebab langsung kematian, campak dapat menimbulkan komplikasi serius berupa radang otak, diare hebat, infeksi telinga, dan infeksi saluran pernapasan berat. Termasuk dalam kelompok rawan adalah anak-anak dengan gizi buruk, atau yang kekebalan tubuhnya rendah karena berada dalam pengungsian, daerah konflik, dan bencana. • Surjo Dharmono, Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan bahwa penelitian pada beberapa puskesmas di Jawa Barat menunjukan, 20-24% pasien yang datang dengan keluhan fisik memperlihatkan gangguan jiwa ringan, seperti kecemasan dan depresi6. Keluhan mereka umumnya sakit kepala, gangguan lambung, jantung berdebar-debar, dan tekanan darah tinggi. • Hasil penelitian pada 20 puskesmas di 11 kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2002 memperlihatkan adanya depresi Dalam setahun, 30.000 anak 25,7%, depresi berulang 10,9%, meninggal karena campak. Meski gangguan panik 18,4%, gangguan tidak menjadi penyebab langsung kematian, cemas menyeluruh 7,7%, campak menimbulkan komplikasi penyalahgunaan napza 16%, stress serius berupa radang otak, diare pasca trauma 8,8%, hebat, infeksi telinga, dan infeksi ketergantungan alkohol 1,3%, dan saluran pernapasan berat. gangguan psikiatrik keseluruhan 51,1%. Situasi konflik saat itu sangat berpengaruh dan menjadi pemicu munculnya gangguan jiwa”. • Adapun penelitian setelah tsunami di lima kabupaten di Aceh (Banda Aceh, Aceh Besar, Meulaboh, Calang, dan Lhok Seumauwe) serta Nias menunjukan 70% mengalami gejala stres pasca bencana yang terwujud dalam tiga bentuk: (i) reksperiensi, seolah-olah mengalami kembali bencana dalam bentuk mimpi Masalah kejiwaan tidak hanya psikotik yang salah satu bentuknya adalah skizofrenia yaitu gangguan pada proses pikir, emosi dan perilaku dengan gejala kemunduran di bidang sosial, pekerjaan, dan hubungan interpersonal. Tetapi juga dengan bentuk yang lebih ringan seperti depresi, kecemasan, ketagihan narkotika, psikotropika, zat adiktif (napza), rokok dan alkohol, serta kepikunan. 6
12
•
sehingga orang yang bersangkutan tiba-tiba bangun, atau waktu duduk tibatiba berdiri; (ii) penghindaran, yaitu kecenderungan menghindari hal-hal yang mengingatkan situasi saat bencana, misalnya menghindari air, kerumunan orang; dan (iii) kewaspadaan berlebihan sehingga orang yang bersangkutan mudah kaget, mudah curiga, tidak bisa tidur, dan selalu dalam keadaan awas. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa per 2007 Sulawesi Selatan berada pada urutan keenam se-Indonesia dengan 7600 kasus HIV/AIDS. Pada beberapa tahun terakhir penyebarannya meningkat pesat terutama melalui penggunaan jarum suntik (12.110 kasus). Yang mengkhawatirkan, pengguna jarum suntik kebanyakan berusia muda, bahkan murid SMP dan SMA. Kasus terbanyak HIV/AIDS ada di Kota Makassar (1,398 kasus). Daerah lain yang tergolong tinggi adalah Pare-pare, Bulukumba, Palopo, Wajo, dan Maros.
NTT-PEP melakukan survei terhadap 1,006 anak SD di Kabupaten Ngada, NTT (Oktober – November 2002). Berikut ini adalah hasilnya termasuk hasil pemeriksaan fisik di Tabel 2.3: • Persentase anak yang ditemukan menderita gondok masih tinggi. Dengan menggunakan standar WHO, terindikasi adanya masalah defisiensi yodium. Proporsi gondok jauh lebih besar ditemukan pada anak perempuan. • Ditemukan juga bahwa prevalensi gondok di sekolah yang berlokasi di daerah pedalaman (18.1%) hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah pesisir (9.7%). • Prevalensi telinga bernanah, conjunctiavitis akut (radang pada conjungtiva atau bagian dalam kelopak mata, orang awam menyebutnya mata merah/belekan), dan mata juling masih hampir sama antara anak perempuan dan lelaki. • Kira-kira 7,5% anak mempunyai ganggunan penglihatannya. Ini sangat menggangu karena tidak memakai Jumlah penderita HIV/AIDS kaca mata. meningkat pesat melalui • Telapak tangan yang pucat lebih penggunaan jarum suntik, banyak ditemukan pada anak laki-laki sebagian besar penggunanya dibandingkan anak perempuan. Ada adalah kaum muda, bahkan indikasi sekitar 7% anak-anak anak usia SMP dan SMA. menderita anemia yang berat. • Sekitar 30% - 40% anak-anak menderita kekurangan darah dari ringan sampai sedang. Defisiensi zat besi menjadi masalah penting karena mempengaruhi/mengganggu fungsi kognitif anak-anak usia sekolah. • Pengamatan kasus pembengkakan limpa berkaitan dengan dugaan adanya malaria kronis pada beberapa kelompok penduduk di mana anak-anak ini tinggal. Kekurangan darah dan pembesaran limpa merupakan kasus yang tersebar di sekolah-sekolah walaupun tidak merata. • Tabel 2.4 menunjukkan persentase telapak tangan yang pucat dan pembesaran limpa/ splenomegaly, 2 sampai 3 kali lebih tinggi terjadi di daerah pantai dibandingkan dengan anak-anak yang bersekolah di daerah pedalaman.
13
Malaria memang lebih terkonsentrasi di daerah dataran rendah ketimbang di dataran tinggi.
Item
Tabel 2.3: Hasil Pemeriksaan Fisik Anak Anak Anak LakiPerempuan laki % n % n
Gondok Kelihatan / tampak Dapat diraba Tidak ada Telapak Tangan Pucat Pucat Tidak pucat Tidak diteliti Kondisi Limpa Bengkak Tidak bengkak Tidak diteliti Telinga Bernanah Konjunctiviti Akut (radang mata) Kornea Kabur Mata Juling Ketajaman Penglihatan* Kedua mata normal Salah satu mata terganggu Kedua mata terganggu
Total (n=1006) %
n
6.0 17.1 76.9
34 84 382
0.3 9.4 90.2
2 47 457
3.1 13.2 83.6
36 131 839
4.2 95.4 0.4
19 479 2
9.7 90.1 0.3
47 458 1
6.9 92.7 0.4
66 937 3
2.0 93.8 4.2 1.9 1.3
10 472 18 10 6
3.6 92.6 3.8 2.5 2.7
18 472 16 13 11
2.8 93.2 4.0 2.2 2.0
28 944 34 23 17
0.5 1.5
1 4
0.4 2.3
2 11
0.5 1.9
3 15
94.1 4.4 1.5
474 18 8
91.2 6.9 1.9
465 31 9
92.7 5.7 1.7
939 49 17
* 1 data yang hilang Sumber: Survei Baseline NTT-PEP Kabupaten Ngada, Oktober – November 2002
14
Tabel 2.4: Telapak Tangan yang Pucat dan Pembengkakan Limpa Berdasarkan Lokasi Geografis Sekolah, Item Daerah Daerah Total Pesisir Pedalaman (n =1006) % n % n % N Telapak Tangan yang Pucat 5.6 6.9 Pucat 12.0 24 42 66 94.3 92.7 Tidak pucat 86.8 170 767 937 0.1 0.3 Tidak diteliti 1.2 2 1 3 Kondisi Limpa 2.8 1.9 Bengkak 6.3 13 15 28 94.6 93.2 Tidak bengkak 87.5 172 772 944 3.5 4.0 Tidak diteliti 6.2 11 23 34 Sumber: Survei Baseline NTT-PEP Kabupaten Ngada, Oktober – November 2002.
Rintangan Belajar Karena Difable: Difable adalah singkatan dari different abilities. Kata yang bermakna lebih manusiawi, lebih ramah, dan setara untuk saudara/i kita yang mempunyai hambatan khusus ketimbang menggunakan kata cacat. Memanggil atau menyebut cacat berkonotasi merendahkan atau mengolok-olok dan berdampak sebagai suatu hambatan besar bagi warga difable. Juga menghambat keluarganya untuk mengakui, bersekolah atau secara leluasa tampil di depan umum. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS 2003 mengindikasikan bahwa: • •
Sekitar 1,48 juta jiwa (0,7%) penduduk Indonesia tergolong difable atau mempunyai kebutuhan khusus7. Dan sekitar 317,016 orang atau 22,42% dari seluruh penduduk difable tergolong dalam usia sekolah.
Helen Keller International menyatakan bahwa mayoritas anak yang tidak masuk dalam data persekolahan adalah anak yang secara sosial kurang beruntung, khususnya anak dengan kesulitan khusus (children with disabilities/CWD). Sathi Alur LC, World Bank (2007) menganalisis dan menemukan bahwa di sistem persekolahan umum tidak ada data tentang anak dengan kesulitan khusus. Departemen Agama juga tidak mempunyai data tentang anak dengan kesulitan khusus. Secara statistik pun mereka tidak masuk hitungan. Ini adalah rintangan institusional bagi penduduk difable.
Untuk kepentingan pendidikan inklusi, Depdiknas mengembangkan 9 jenis anak berkebutuhan khusus: tunanetra/gangguan penglihatan; tunarungu/gangguan pendengaran; tunadaksa/gangguan gerakan karena kelainan anggota tubuh; tunagrahita/keterbelakangan mental; anak lamban belajar; anak berkesulitan belajar; anak berbakat karena memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa; tunalaras/kelainan tingkah laku dan sosial; dan anak dengan gangguan komunikasi 7
15
Rintangan Belajar Karena Difable di DKI Jakarta8: Keadaan anak difable mengagetkan kita. Meski tinggal di ibu kota negara, peluang yang mereka dapatkan tergolong kecil. Berikut ini gambarannya per 2006/2007: • 79% anak difable di ibukota tidak bersekolah karena miskin. Mereka ini tergolong rentan karena difable dan miskin; • Per Tahun Ajaran 2006/07 ada 39% anak yang difabel tidak pernah sekolah, hampir 21% putus sekolah, 17,6% berusia di bawah usia sekolah, dan 22,5% mendaftar masuk sekolah; dan • Alasan tidak menyekolahkan adalah karena orangtua kurang sadar (5%), anak sakit kronis (1%), lain-lain (13%), dan 73% karena kombinasi beratnya biaya yang orangtua pikul + letak geografis + tidak ada kemudahan + orangtua menyangkal kalau anaknya difable. 2.3.2 Rintangan dari Lingkungan Rintangan Belajar Karena Kemiskinan : Kemiskinan (kronis dan sementara) adalah tembok perintang utama (prima causa) bagi warga yang ingin cerdas (major learning barriers). Ini adalah rintangan belajar terbesar yang sangat sulit disingkirkan. Kemiskinan berwujud multi-dimensi, ibarat benang basah dan kusut yang begitu sulit diuraikan. Kompas mengangkat dua berita miris tentang kemiskinan dari NTT dan Ponorogo Jawa Timur (lihat Kotak 2.1 dan 2.2). Dan dua cerita sukses karena si miskin berani mengambil risiko. Kompas berbagi cerita dari Kisaran, Sumatera Utara (Kotak 2.3) dan dari Gunung Kidul, Yogyakarta (Kotak 2.4).
Kotak 2.1 : Ratusan Ribu Anak NTT Tidak Sekolah Saat ini diperkirakan 723.840 anak usia sekolah – 7 hingga 18 tahun – atau 17% dari 4,3 juta jiwa penduduk di Nusa Tenggara Timur tidak mendapatkan pendidikan. BPS NTT mengungkapkan bahwa pada 2006, ada 361.920 atau hampir 60% dari total 624 rumahtangga di NTT hidup miskin dan tinggal di desa-desa terpencil dengan kondisi perekonomian keluarga sangat memprihatinkan. Hampir setiap tahun terjadi gagal panen. Kondisi itu semakin mengancam kesehatan anak, seperti kurang gizi dan gizi buruk yang selama ini terjadi. Sumber: Kompas, 1 Oktober 2007.
Data Collection, Findings and Policy Development, Opportunities for Vulnerable Children, Helen Keller International/USAID, 2007
8
16
Kotak 2..2: Kemiskinan: Lingkaran Setan Dusun Sidowayah, Kabupaten Ponorogo, Boimin (42) sepenuhnya bergantung pada orangtuanya, Mbah Saimun (70) dan Mbah Katir (70).
Jawa Timur
Ia tidak bisa berkomunikasi
dengan orang lain. Suara yang keluar dari mulutnya hanyalah erangan. Boimin merangkak dengan tangan dan kakinya, tanpa mengenakan pakaian. Saat berhenti merangkak, kedua kakinya dilipat menyamping. Wajahnya dimiringkan seperti ingin tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Ia sehari-hari berdiam di rumahnya di Dusun Sidowayah, Desa Sidoharjo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Sesekali ia merangkak di sekitar rumahnya yang berdinding gedek. Boimin dan 100-an warga dusun itu mengalami berbagai gangguan kesehatan, dari gondok, kerdil, idiot, hingga lumpuh. Ini karena warga dusun itu tidak mengkonsumsi garam beryodium. Kemiskinan yang membelit membuat mereka tdak memikirkan masalah kesehatan. Di keluarga pasangan Saimun-Katir, bukan hanya Boimin yang menggantungkan hidup sepenuhnya kepada orangtua yang sepuh. Dari tujuh putra pasangan Saimun-Katir, tiga diantaranya idiot dan satu “bodoh”. Soeran (50an), putra tertua, bisa berdiri dan berjalan normal tetapi tampak memelas. Orangtuanya menyebutnya mendo. Kendati demikian, Soeran yang tingginya Cuma 140 cm itu masih bisa diminta membersihkan rumput menggunakan arit. Putra kedua pasangan itu diberi nama Kampret. Lelaki 40-an tahun ini duduk dengan tangan terkulai. Kadang kepalanya dimiringkan saat memerhatikan sesuatu. Ketika tersenyum, terlihat gigi-giginya yang kecil-kecil dengan jarak yang merenggang. Sehari – hari Kampret duduk di kursi dari balok kayu kasar di depan rumah berukuran 14 meter x 6 meter itu. Saat ditemui, Senin (24/9), Kampret yang mengenakan kaus lusuh berkerah warna merah dan celana panjang biru yang tidak kalah lusuh juga tidak dapat berkomunikasi atau bekerja. Begitu juga anak ketiga Saimun-Katir, Sainem. Sainem tidak dapat berkomunikasi. Namun, ia dapat berdiri dan berjalan seperti biasa. Boimin yang putra keempat praktis hanya dapat bergerak dengan kedua tangan dan kakinya. Menurut Katir, bukan sekali-dua kali dirinya mencari pengobatan kepada paranormal. Bahkan ia pernah mengunjungi paranormal di Pacitan. Namun, semuanya tiada hasil. Saimun pasrah dengan kondisi keluarga mereka. “niku kersane sing Kuoso (ini kehendak Yang Mahakuasa)”, ujarnya. Yang membuatnya getir, ia tidak dapat menikahkan empat anaknya itu. Untungnya, di balik kepahitan tersebut, tiga putra terkecilnya, yaitu Soerah, Wiji, dan Yaiman, tumbuh normal. Dari ketiganya, pasangan ini mendapatkan lima cucu. Dusun Sidowayah yang berada di kaki Gunung Rajekwesi sangatlah tandus. Wilayah ini berbatasan dengan Pegunungan Kapur Selatan yang tampak gundul. Hamparan tanah di kawasan itu tidak mengandung yodium, bahkan sayur yang ditanampun rendah kandungan mineralnya. Umumnya warga menanam ketela, yang hanya bisa dipanen sekali setahun. Tiwul dari gaplek (Ketela yang dikeringkan), makanan utama warga di dusun itu. Di halaman atau atap warga, terdapat onggokan ketela yang dijemur. Ketela jadi makanan pokok dan bisa ditukar bumbu dapur dan beras. Warga menanam padi gogo di musim hujan, tetapi tidak berarti. Menuru Tukijan (21), padi gogo tidak cukup untuk makan sehari-hari. Saat memerlukan beras untuk campuran tiwul atau gaplek, gaplek dijual seharga Rp. 800 - Rp. 900 per kg. Menurut Kepala Puskesmas Jambon dr Pretty Briliant, pada 1998 terdapat 190 warga kekurangan yodium di Desa Krebet. Di Dusun Sidowayah, menurut Kepala Dusun (Kamituo) Sulyono, penduduknya ada 2.727 jiwa. Namun, diakuinya, jumlah warga yang kekurangan yodium tidak terdata. Dalam catatan instansi itu, selain Dusun Sidowayah, daerah endemis kekurangan yodium terletak di Desa Dayakan, Kecamatan Badegan. Dua kecamatan lain, yaitu Bungkal dan Sampung, juga termasuk daerah endemis karena berbatasan dengan pegunungan kapur. Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo mencatat ada jumlah penderita kekurangan yodium (total goiter rate) 11,05 persen dari seluruh penduduk di Kecamatan Jambon. Di Kecamtan Badegan malah 31,4 persen dari seluruh penduduknya menderita kekurangan yodium. Jumlah ini merupakan hasil sampling terhadap siswa SD.
Nina Susilo Kompas, Rabu 3 Oktober 2007
17
Kotak 2.3 Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran Kemiskinan adalah bencana. Ia bukan sekadar persoalan kebutuhan pangan, tetapi meniadakan harapan dan cita-cita manusia. Maka amarah dan dendam kerap muncul ketika orang berjalan terbongkok-bongkok dan ringsek memikul beban kemiskinan. Cerpenis Hamsad Rangkuty (64) merasakan bencana itu sebagai hal nyata saat ayahnya, Muhammad Saleh Rangkuty, mengatakan tidak punya uang untuk membeli buku. Hamsad yang baru duduk di bangku kelas I SMAdi Tanjung-balai Sumatera Utara, pada awal 1960, akhirnya harus berhenti sekolah. Ia kembali ke kehidupan yang dia lakoni selama ini yakni menemani ayahnya sebagai penjaga malam di pasar kota kecil, Kisaran, sekitar 150 km dari Medan, Sumut. ”Setiap kali saya berpapasan dengan pelajar SMA yang berangkat atau pulang sekolah, muncul dalam diri saya gejolak amarah dan dendam kepada ayah,” ujar Hamsad. Cuplikan dari : Maruli Tobing, Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran, Kompas, 21 Oktober, 2007
Kotak 2..4: Sebuah Momentum untuk Berbagi Warisman (59) masih ingat berapa pahit perasaannya pada tahun 1964. Kala itu ia tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMA karena orangtuanya tidak mampu membayar uang pendaftaran. Padahal, ia selalu juara kelas ketika SD dan SMP. Ia ingin merintis masa depannya lewat pendidikan. “Saat itu orangtua saya tidak punya uang sama sekali,” kata Warisman yang ditemui di Gunung Kidul, Selasa (16/10). Warisman menceritakan, sekalipun ia dan kakak-kakaknya sudah banting tulang membantu orangtua di ladang – bangun pukul 04.00 untuk memikul air ke ladang, lalu mencangkul sepulang sekolah – penghasilan keluarga mereka tidak pernah mencukupi. Tanah yang mereka garap, seperti yang diolah warga Gunung Kidul lainnya, tandus, kerap gagal panen, atu hanya memberikan hasil yang minim. Kondisi itu mendorong Warisman merantau ke Jakarta. Berbagai pekerjaan kasar ia lakoni. Kini, Warisman memiliki sejumlah perusahaan di Jakarta yang membuat hidupnya berputar 180 derajat dibandingkan dengan saat ia kecil. Cuplikan dari artikel Reinhard N., ”Sebuah Momentum untuk Berbagi”, Kompas, Rabu, 17 Oktober 2007
18
BPS menyoroti sebagian dari sisi-gelap multi-dimensi kemiskinan berikut ini: • Terdapat 37,17 juta jiwa (2007) orang miskin; atau hampir 17% dari penduduk Indonesia. • Jumlah murid dari keluarga miskin hampir 7 juta orang • Penduduk miskin ini hidup di 190 kabupaten/kota atau 43% dari 440 kabupaten/kota di Indonesia. • Rendahnya pendidikan, terutama tingkat pendidikan orangtua. Ada 12,24 juta jiwa penduduk Indonesia (Juni 2007) yang masih buta aksara. Usia mereka tergolong produktif (15 tahun ke atas). Buta aksara adalah penghambat utama pembelajaran dan tumbuh-kembang anak. Buta aksara kronis atau lintas generasi mulai dari kakek-nenek, orangtua dan menurun kepada anak-cucu. ILO (2006) melakukan survei tentang sikap orangtua terhadap pendidikan di Indonesia9. Ringkasan studi tersebut menunjukkan bahwa: • orangtua yang dulu berpendidikan rendah atau putus sekolah juga cenderung memutuskan agar anaknya bekerja dan membiarkan anaknya putus sekolah. • 84% orangtua yang tidak berkomitmen (atau tertutup) pada umumnya berpendidikan SD atau tidak sekolah. Ketika orangtua berpendidikan rendah, anak mereka mengikuti jejak ketertinggalan serupa. • Di antara anak-anak usia 12 – 15 tahun, 78% bersekolah. • Di antara anak yang tidak bersekolah, 59% membantu orangtua di rumah dan 30% bekerja mencari uang. • 31% keluarga mempunyai anak yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah • 71% keluarga mengatakan perintang utama putus sekolah atau bahkan anak tak pernah sekolah karena biaya sekolah yang tak terjangkau. • 12% mengatakan bahwa tidak apa-apa kalau anaknya tidak menyelesaikan sekolahnya. • 26% beranggapan bahwa pendidikan tidak menjamin mendapatkan pekerjaan. Rintangan Belajar Karena Bahasa : NTT-PEP (2007) melakukan test literasi dengan melihat seberapa jauh penggunaan bahasa utama (Bahasa Indonesia dan bahasa daerah) mempunyai pengaruh terhadap kemampuan literasi anak SD. Murid yang berbicara Bahasa Indonesia di rumah ternyata mempunyai hasil yang lebih baik (rata-rata 69%) ketimbang murid yang sehari-hari berbicara bahasa daerah di rumah (rata-rata 60%). Juga ada kaitan erat antara bahasa murid dan lokasi sekolah di desa versus kota. Jelas bahwa mayoritas murid yang berbicara Bahasa Indonesia (73%) hidup dan bersekolah di kota versus 11% murid di desa.
9Lokasi
survey di Bogor, Sukabumi, Samarinda, Asahan, Makassar. Responden: 12.012 orang
19
Tabel 2.4: Hasil Test Literasi Murid Kelas 4 Berdasarkan Bahasa yang Mereka Gunakan di Rumah dan Lokasi Geografis Sekolah Bahasa yang digunakan di rumah Lokasi geografis Total % siswa yang % siswa yang sekolah menggunakan menggunakan bahasa lokal Bahasa Indonesia Perkotaan 27% 73% 100% Pedesaan 79% 21% 100% Pedalaman 89% 11% 100% Jumlah Total
55%
45%
100%
Sumber: Survei Baseline NTT-PEP Kabupaten Ngada, Oktober – November 2002.
Tabel 2.5 : Persentase Kelulusan Literasi Berdasarkan Bahasa yang Digunakan dan Lokasi Geografis Sekolah Rata-rata nilai berdasarkan bahasa yang digunakan di rumah Lokasi geografi sekolah Perkotaan Pedesaan Pedalaman Jumlah
Siswa yang menggunakan bahasa lokal 62% 62% 56% 60%
Siswa yang menggunakan Bahasa Indonesia 70% 67% 59% 69%
Semua siswa
68% 63% 56% 64%
Sumber: Survei Baseline NTT-PEP Kabupaten Ngada, Oktober – November 2002.
Rintangan Belajar Karena Pengrusakaan Hutan: Habitat hutan yang rusak merupakan rintangan terbesar untuk golongan penduduk termasuk suku-suku minoritas yang hidupnya sangat bergantung pada hutan dan alam sekitar. Deforestrasi terbesar terjadi di darerah hutan tropis di Kalimantan, Papua, Maluku, Sulawesi, dan Sumatra. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan menjadi rintangan belajar untuk murid karena turunnya mutu hidup keluarga. Deforestrasi periode 1997 – 2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektar per tahun untuk lima pulau besar termasuk Maluku dan Papua. Deforestrasi tahun 2001 – 2003 turun menjadi di bawah 1,5 juta hektar per tahun. Rintangan Belajar Karena Bencana: Kasus nyata dan berskala luas terdapat di berbagai wilayah Indonesia. Beberapa di antaranya dan sedang terjadi adalah Aceh (pasca tsunami, banjir, pasca konflik politik), Jawa Timur (letusan Gunung api dan semburan lumpur), dan Bengkulu (gempa bumi), Sulawesi Tengah (pasca konflik kepentingan politik). Berikut ini adalah contoh begitu masifnya rintangan terhadap akses pendidikan di Kabupaten Sidoarjo karena semburan lumpur (per 22 Oktober 2007):
20
•
•
•
•
Bencana ini pertama kali terjadi tgl 26 Mei 2006. Semburan ini telah melebar dan menggenangi 10 desa di masing di Kecamatan Tanggulangin (5 desa), Porong (3 desa) dan Jabon (2 desa). Melumpuhkan hampir semua harapan 38,627 penduduk atau sekitar 10,430 rumahtangga. Sistim kekerabatan dan unit komunitas mereka kini terancam hilang. Ada 32 institusi pendidikan tidak dapat berfungsi. Ada 9 RA/TK, 10 SD, 4 MI, 2 SMP, 3 MTs, 3 MA, 3SMA, dan 1 SMK. 4,932 murid terganggu atau tidak belajar. Ada 393 guru dan 45 tenaga tata-usaha dan penjaga sekolah tidak dapat melakukan tugasnya dengan normal.
21
III. PENYEDIA LAYANAN PENDIDIKAN Layanan apa saja selalu mempunyai dua sisi: pengguna dan penyedia. Proses penyediaan layanan pendidikan sangat kompleks. Mengapa? Jawabannya akan kita temukan di Sub-bab 3.1. Juga rintangan penyediaan layanan terjadi karena terlalu banyak atau terlalu kurangnya jumlah dan distribusi sekolah (Sub-bab 3.2). Ternyata di satu sekolah ada banyak organisasi dengan berbagai kepentingan (3.3). Lalu kalau kompleks, bagaimana kita mengetahui apakah sekolah itu produktif atau tidak? Bagaimana kita mengevaluasi kinerja sekolah sebagai penyedia layanan (3.3.1)? Rencana pendidikan dikatakan strategis dan bermanfaat untuk anak ketika perencana paham akan bagaimana mengukur arus dan keluaran murid (3.32). Buku adalah soal krusial untuk guru dan murid. Ketika ada masalah dengan jumlah dan distribusi buku (3.3.3) maka pembelajaran terganggu. Semakin sering kita saksikan kekerasan yang terjadi di sekolah dan di rumah. Anak tidak dapat belajar bila ada kekerasan yang menimpa mereka (3.3.4). Guru adalah aktor utama dalam proses pembelajaran. Pembelajaran terhalang ketika jumlah dan distribusi guru di sekolah terlalu kurang atau terlalu banyak (3.3.5). Lampiran A bertutur tentang masalah jumlah dan distribusi guru di Sukabumi. Cerita 10 tahun yang lalu tapi masih relevan; entah sampai kapan. Meski guru lengkap, tetap merintangi pembelajaran anak ketika guru absen (3.3.6). Di Indonesia, 9% guru absen. 3.1 Kompleksitas Penyediaan Layanan Penyediaan jasa pendidikan di Indonesia sangat rumit dan kompleks. Tabel 3.1 menggambarkan begitu banyaknya pemangku kepentingan dan dengan peran yang berbeda-beda di semua tingkat. Kompleksitas layanan antara lain karena : • pendidikan adalah sektor jasa yang sangat banyak menyerap tenaga kerja terdidik maupun yang tidak terdidik. Di Indonesia jumlah guru ada lebih dari 1,6 juta orang dan mendominasi jumlah pegawai negeri sipil di setiap kabupaten dan kota. • aktor pendidikan sangat banyak dan beragam. Mereka berada di semua tingkat penyelenggaraan dan memangku kepentingan masing-masing. Sebagai ilustrasi, lihat Tabel 3.1. • peran dunia usaha lokal, nasional, dan multinasional sangat dominan dalam pendidikan dan syarat dengan berbagai kepentingan. • desentralisasi pendidikan merubah peran pusat berkurang menjadi pembuat kebijakan nasional. Bagan 3.1 berikut ini memberikan ilustrasi sederhana tentang relasi desentralisasi pendidikan di Indonesia. Kaitan utama adalah sekolah sebagai penyedia pembelajaran yang sehari-hari berhubungan denganÆ murid dan orangtua sebagai pengguna jasaÆ; dan kabupaten/kota sebagai pengambil kebijakan di tingkat kabupaten. Sisanya adalah kebijakan provinsi yang berasal dari pusat sebagai pembuat kebiajakan nasional.
22
Bagan 3.1 Relasi Desentralisasi Pendidikan Dasar di Indonesia Kebijakan Nasional
Kebijakan Provinsi Kebijakan Kabupaten/Kota
Pengguna:
Penyedia:
• Murid • Orang tua • Pemerintah • Dunia usaha • Masyarakat
• Sekolah • Madrasah • Pesantren • PKBM
Tabel 3.1 : Pemangku Kepentingan Pendidikan Dasar Pengguna Layanan Tingkat Penyedia Layanan (public service users) (pubic service providers) Warga negara, murid, orang tua dan wali murid . Murid • Orangtua murid menyekolahkan anak agar cerdas. • Komite sekolah dan madrasah bersuara atas nama orangtua dan murid. Guru dan kepala sekolah menggunakan gugus sebagai fokus pertukaran pengalaman dan ide-ide. Sekolah dan madrasah mendapat mandat untuk mengelola. Sekolah dan gugus mendapatkan akses informasi, pelatihan, dan lain sebagainya ke kabupaten.
1. Keluarga 2. Kelas 3. Sekolah dan Madrasah
4. Gugus
5. Yayasan
6. Kecamatan.
Negara bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru mengajar Guru, pegawai tata-usaha, penjaga sekolah, kepala sekolah/madrasah mengelola sekolah/madrasah.
Sekolah/madrasah inti mengelola gugus. Yayasan Persekolahan dan Madrasah memiliki sekolah dan madrasah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) mengkoordinir sekolah dan menjadi penghubung antara sekolah di kecamatan dan dinas pendidikan di kabupaten/kota.
23
Pengguna Layanan (public service users) • Sekolah mendapatkan berbagai kemudahan dari dinas dan institusi lain di kabupaten/kota agar dapat mengelola sekolah.
Tingkat
Penyedia Layanan (pubic service providers)
7. Kabupaten dan Kota
• Dinas pendidikan adalah pemilik sekolah negeri dan mengeluarkan ijin mendirikan sekolah swasta. • Kandepag memiliki madrasah negeri dan mengeluarkan ijin pendirian madrasah swasta.
• DPRD secara tidak langsung mewakili kepentingan pendidikan untuk semua warga di kabupaten / kota.
• Baik Dinas Pendidikan maupun Kandepag memberikan berbagai kemudahan pelatihan, dana, promosi, perlindungan, dan sebagainya kepada sekolah / madrasah dan stafnya.
• Dewan Pendidikan mewakili kepentingan masyarakat.
• Dewan Pendidikan menyuarakan kepentingan pengguna jasa pendidikan.
8. Provinsi
• DPRD mewakili suara rakyat sedikitnya dalam hal anggaran, legislasi, dan pengawasan.
DPR mewakili suara rakyat sedikitnya dalam hal anggaran, legislasi, dan pengawasan. Dunia usaha swasta dan pemerintah mempekerjakan lulusan perguruan tinggi.
Anak, guru, orangtua, sekolah, perguruan tinggi, DPR, dan pemerintah di semua tingkat.
• Dinas pendidikan tingkat provinsi mengkoordinir urusan pendidikan lintas kabupaten/kota di dalam provinsi tersebut. • Kanwil Agama mengkoordinir urusan madrasah lintas kantor agama di kabupaten/kota dalam wilayah kantor agama di provinsi tersebut.
9. Pusat
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama membuat berbagai kebijakan pendidikan.
10. Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi menghasilkan lulusan yang akan masuk pasar kerja termasuk menjadi guru, PNS, dan mereka yang bekerja di sektor lainnya.
11. Dunia usaha
Dunia usaha menyediakan berbagai barang dan jasa perangkat lunak dan keras.
3.2 Kelebihan SD/MI dan Kekurangan SMP/MTs Kelebihan SD/MI • Secara nasional, khususnya di perkotaan dan pinggiran kota, Indonesia mempunyai kelebihan jumlah SD/MI, yang mengakibatkan pemborosan luar biasa. Sebaliknya, jumlah SMP/MTs sangat kurang di daerah pedesaan dan daerah terpencil (lihat di poin kekurangan SMP/MTs). • Metode praktis dan ampuh yang digunakan untuk menanggulangi hal tersebut adalah pemetaan sekolah. • Selain perampingan jumlah lembaga, juga ada kelebihan guru yang dapat 24
•
ditugaskan ke sekolah lain di mana terdapat kekurangan guru. Meski secara nasional ada kelebihan SD/MI, ternyata di daerah pedesaan dan terpencil masih mengalami kekurangan. Ini terutama terjadi di luar Jawa dan Bali serta di pulau-pulau di daerah perbatasan RI. Dengan kondisi pemukiman penduduk yang terpencar-pencar dan isolasi komunikasi, penduduk di daerah ini masih memerlukan sekolah-sekolah dengan unit kecil yang dapat dijangkau anak dengan berjalan kaki.
Kekurangan SMP/MTs • Kekurangan SMP/MTs mengakibatkan orangtua keberatan menyekolahkan anaknya karena jarah yang terlalu jauh dan mahal. Anak pun enggan bersekolah karena melelahkan dan kadang kurang aman. Akibatnya angka melanjutkan ke SMP/MTs rendah. • Metode pemetaan sekolah (yang sama dengan pemetaan SD/MI) dapat mengidentifikasikan jumlah lulusan dan prediksi kebutuhan akan unit baru SMP/MTs yang perlu dibangun serta lokasinya. 3.3 Kompleksitas Di Sekolah dan Madrasah Ketika masuk gerbang sekolah atau madrasah misalnya, segera kita berhadapan dengan berbagai simbol. Simbol-simbol itu mencerminkan bahwa di sekolah atau madrasah tersebut ada banyak nilai, termasuk nilai pencerdasan, komersiil, politik, budi pekerti, moral, kultural, dan agama. Penerapan nilai-nilai itu sering tidak sejalan dengan visi sekolah. Keluaran pendidikan bersifat multidimensi. Karenanya amatlah sulit untuk mengetahui apakah masukan atau sumberdaya yang tersedia telah kita pakai dan kombinasikan secara optimum karena tiap satuan pendidikan pada umumnya mempunyai lebih dari satu tujuan. Yang sering kita baca adalah tujuan untuk berkualitas dan unggul, menguasai iptek dan imtaq, berahlak dan berbudi pekerti luhur, populer dalam bidang ekstra kurikuler, dan banyak lagi. Kotak 3.1 memberikan ilustrasi bahwa di dalam satu sekolah ada lebih dari satu oragnisasi. Misalnya SMPN I Cilacap mempunyai 11 organisasi selain SMPN tersebut. Tujuan dan kepentingan dari tiap organisasi belum tentu sama. Terkadang kontradiktif dengan kepentingan pencerdasan anak. Belum jelas apakah lembaga lain yang menumpang atau bertengger di sekolah itu memiliki sumberdaya sendiri. Atau malah membebankan atau bergantung pada sekolah sebagai induk termasuk sumberdaya? Tidak jauh dari situ, masih di Kota Cilacap, dalam satu kompleks terdapat tiga lembaga, yaitu SD Taman Hidayah, SMP Taman Hidayah, dan SMK Bina Bhakti. Meski berada di bawah satu yayasan, manajemen penggunaan dan pemeliharaan sarana prasarananya tidaklah sederhana dan mungkin tidak selalu sejalan serta menunjang pencerdasan anak.
25
Kotak 3.1 Berbagai Organisasi di SMPN 1 Cilacap
26
3.3.1 Produktivitas Sekolah dan Madrasah Selain mutu pembelajaran, ada banyak kepentingan lain di sekolah. Karena begitu kompleksnya, lalu bagaimana kita mengukur keluaran sekolah atau madarasah sebagai lokus penyedia layanan? Bagaimana mengukur kinerjanya, khususnya mengukur produktivitas sekolah? Menghitung produktivitas •
•
•
Karena begitu rumit dan kompleks, tidaklah mudah untuk secara lengkap menghitung efisiensi operasi dari satu atau sejumlah sekolah. Ada pakar yang mengkaji dan menemukan beberapa kekeliruan tentang konsep produktivitas pendidikan. Kekeliruan pertama, tidak dibedakannya total-factors productivity dengan labor productivity. Yang sering digunakan adalah labor producitivity dengan menggunakan konsep rasio murid-guru di sekolah ataupun universitas. Misalnya kebijakan rasio murid-guru 40:1 yang diterapkan di SD dan SMP dipandang cukup produktif dan angka patokan kapasitas maksimal seorang guru dapat mengajar 40 murid. Secara umum ada yang percaya bahwa jumlah murid di atas 40 akan menyebabkan merosotnya mutu pembelajaran. Rasio ”terbaik” ternyata sangat berbeda-beda dan sangat dipengaruhi baik oleh mata pelajaran yang diajarkan, kompetensi guru sebagai pengajar, strategi atau metode mengajar dan belajar, alat bantu yang digunakan, serta kesiapan murid dalam menerima pelajaran (dari segi bahasa, kesehatan dan gizi, rasa tertarik pada pelajaran, dan rasa senang kepada guru yang mengajarnya). Sayangnya, dalam menghitung produktivitas, lima faktor di atas tidak turut diperhitungkan. Kekeliruan kedua, kekeliruan tentang biaya per murid. Secara ekonomis, semakin rendah biaya berarti semakin produktif atau efisien. Di negara manapun yang terjadi adalah biaya per murid atau per mahasiswa menunjukkan perkembangan yang terus meningkat, bukan hanya dikarenakan naiknya harga-harga. Dan mungkin yang terpenting adalah tuntutan akan perlunya peningkatan mutu. Ambisi sekolah unggul tercapai bila anggaran meningkat.
Mengevaluasi Kinerja Sekolah Tabel 3. 2 berikut ini memberikan berbagai gambaran singkat tentang apa dan bagaimana mengevaluasi sekolah secara kualitatif dan kuantitatif. Tabel 3.2 Evaluasi Kualitatif dan Kuantitatif Internal Kinerja Sekolah Evaluasi Manajemen Sekolah Evaluasi Kualitatif Efisiensi penyelenggaraan pendidikan atau efisiensi operasi
Evaluasi Kuantitatif Efisiensi internal pendidikan lazim diukur dengan menggunakan enam komponen 27
Evaluasi Manajemen Sekolah Evaluasi Kualitatif lazim disebut efisiensi internal sistem pendidikan. Efisensi internal adalah penggunaan sumberdaya secara optimal untuk menghasilkan keluaran tertentu. Sumber daya penyelenggaraan sekolah amat beragam termasuk : •
•
•
isi dan relevansi kurikulum dan silabus, metode mengajar, kompetensi atau mutu guru dan tenaga kependidikan, ruang yang diperlukan, dan penggunaannya.
Metode untuk evaluasi kualitatif atau ”jajak kinerja” adalah :
•
---------------------
2. Indeks Efisiensi: a. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk menghasilkan seorang lulusan -----b. Rasio lulusan terhjadap total murid 3. Beban Guru: a. Rasio guru : murid
Tersedianya sarana dan b. Rasio guru : kelas (rombongan belajar) prasarana, kemampuan c. Rata-rata beban kerja guru (xxx jam per penggunaan berbagai alat, minggu) kinerja manajemen, organisasi 5. Kapasitas Fasilitas : jadwal dan dan manajemen, struktur organisasi, dan sistem informasi. penggunaannya a. Rata-rata ruang kerja per murid (dalam Hubungan antara guru dan m2) : untuk ruang kelas, laboratorium, murid, gaya kepemimpinan komputer, dan sebagainya. kepala sekolah, hubungan antara guru dan kepala sekolah, dan efektivitas lulusan atau relevansinya dengan dunia pasar kerja (efisiensi eksternal).
•
Evaluasi Kuantitatif evaluasi kuantitatif berikut ini: 1. Arus Murid (student flow rates): a. Angka Partisipasi b. Angka Mengulang c. Angka Putus Sekolah d. Angka Lulus dan Tidak Lulus
dengan sistem skala penilaian yang berkisar dari ”sangat puas” sampai dengan ”sangat tidak puas” (skala 1 s/d 4). Peringkat 3 – 4 misalnya karena tidak/sangat tidak puas menunjukkan perlunya perbaikan; dan Metode lain adalah dengan jawaban Ya atau Tidak.
b. Runga pendukunga per murid (dalam m2) : perpustakaan, ruang serba guna, dan ruang olahraga. 6. Biaya a. Biaya total dan per unit : • biaya total; • jumlah murid; • jumlah lulusan; • biaya per murid per tahun; • biaya per lulusan per tahun. b. Analisis biaya (per kategori sebagai persentase dari biaya total) • Gaji/upah staf • Bahan habis pakai • Perawatan • Lain-lain
28
Menghitung biaya murid: •
Konsep biaya per murid biasanya didasarkan pada jumlah murid yang mendaftar di awal tahun ajaran. Di negara sedang berkembang cara ini mudah menimbulkan estimasi berlebihan terhadap jumlah murid yang benar-benar hadir di sekolah.
•
Sering kali perhitungan ini meleset karena selama tahun ajaran berlangsung banyak murid yang absen (secara musiman pada daerah tertentu). Jumlah murid yang benar-benar hadir untuk belajar teratur sepanjang tahun ajaran ternyata jauh lebih rendah. Akibatnya biaya per murid menjadi lebih rendah daripada seharusnya. Di daerah tertentu secara musiman anak harus berpindah jauh dari sekolah untuk mengikuti orangtua untuk menangkap ikan atau harus membantu ketika musim panen raya. Banyak kelas lalu kosong kekurangan murid. Akibatnya seorang guru hanya mengajar beberapa murid untuk musim panen misalnya.
Kehadiran rata-rata murid per hari •
Pendekatan lain didasarkan pada jumlah murid rata-rata yang hadir pada misalnya bulan, semester atau tahun ajaran tertentu. Caranya adalah dengan menghitung persentase dari rata-rata murid yang hadir per hari (average daily attendance = ADA)
ADA = Jumlah murid yang hadir dibagi dengan jumlah hari wajib hadir (class days). ADA dapat menunjukkan bahwa, pada waktu angka absen tinggi, ada kelebihan guru karena seorang guru hanya mengajar murid yang jumlahnya kecil. Kedua, ADA dapat memperlihatkan fluktuasi kehadiran murid dalam kaitannya dengan kalender sekolah. Biaya per lulusan Konsep biaya per unit yang lain adalah biaya per lulusan. Ketika dibandingkan dengan biaya per murid maka keadaan efisiensi internal pendidikan menjadi lebih jelas karena telah memperhitungkan faktor mengulang kelas dan putus sekolah. 3.3.2 Mengukur Arus dan Keluaran Murid •
Air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sebaliknya arus murid melawan hukum gravitasi. Mengalir ke jenjang atau tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi. Semakin tinggi, rintangannya semakin berat. Ada kemiripan dengan karakteristik ikan salmon. Bersusah payah dari hilir menuju ke tempat asal di hulu. Banyak yang tidak berhasil dan walaupun ada yang berhasil, akhirnya mati juga. Lihat Bagan 3.2!
•
Dengan menggunakan analisis murid yang bertahan dalam kohor tertentu (cohort-survival analysis), perencana atau pembuat kebijakan dapat mengukur efisiensi manajemen. Caranya adalah dengan menghitung jumlah lulusan yang tamat dengan jumlah yang mendaftar pada tahun-tahun sebelumnya.
29
Kelompok murid diikuti terus kemajuannya selama pendidikannya semenjak dari kelas I hingga statusnya pada kelas terakhir (apakah mereka naik kelas, mengulang kelas, putus sekolah, meninggal, atau migrasi). •
Bagan 3.2 berikut ini memberikan gambaran tentang arus, keluaran, dan inefisiensi pendidikan Indonesia tahun ajaran 2004/2005, suatu potret tentang keadaan satu tahun ajaran.
•
Selanjutnya, Tabel 3.3 memberikan gambaran tentang (in)efisiensi arus murid SD selama enam tahun ajaran (satu siklus) untuk murid perempuan, laki-laki, dan total.
Angka Partisipasi •
•
Bagan 3.2 memperlihatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) menurut jenjang pendidikan pada tahun ajaran 2004/2005. Semakin tinggi jenjang pendidikan, APK dan APMnya semakin rendah. Pada jenjang SD, APK tertinggi mencapai lebih dari 100 karena jumlah murid yang terdaftar SD/MI lebih banyak dibanding jumlah penduduk berumur 7 – 12 tahun (usia masuk SD/MI). Sebagian murid masuk SD ketika berumur kurang dari 7 tahun dan masih terdapat murid yang terlambat masuk SD atau tinggal kelas di SD. Akibatnya meski telah berumur lebih dari 12 tahun, mereka masih bersekolah di SD/MI. Tingginya APK di SD juga mencerminkan, sebagian besar orangtua relatif mampu menyekolahkan anaknya. APK tertinggi adalah SD/MI (113,85%), lalu disusul oleh SMP/MTs, SMA/MA, SMK, dan yang terendah adalah APK di jenjang PT (14,26%). Semakin rendahnya APK pada jenjang yang lebih tinggi mungkin disebabkan karena beratnya biaya sekolah yang harus dipikul oleh orangtua/wali. Karena kesulitan ekonomi dan kemiskinan, banyak murid tamatan SD tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Angka Mengulang Kelas (AMK) •
Mengulang kelas adalah pemborosan. AMK dan APTS khususnya sebelum kelas IV belum memberikan gambaran yang akurat tentang tingkat pemborosan apabila tidak dilengkapi dengan angka kehadiran murid. Mengharuskan anak mengulang kelas dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya putus sekolah di kelas awal.
•
Selanjutnya, mengulang kelas mempunyai efek yang memberatkan karena akan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan seorang lulusan. Untuk lulusan yang sama biayanya lebih tinggi karena menghabiskan waktu lebih lama daripada yang seharusnya. Untuk perencanaan pendidikan dapat juga ditentukan dengan cara menghitung biaya per lulusan menurut lamanya tahun yang benar-benar dihabiskan oleh lulusan itu.
30
Angka Putus sekolah (APTS) •
Sangatlah penting untuk diketahui jika ternyata di SD/MI misalnya yang putus sekolah adalah murid kelas I, II, dan III. Mereka belum mempunyai literasi fungsional, atau dengan kata lain dapat membaca namun belum mengerti arti bacaannya. Beberapa tahun kemudian mereka akan mundur ke titik nol alias buta aksara. Karena sudah kembali menjadi buta huruf maka investasi untuk mereka mubazir dan sia-sia, suatu pemborosan total.
31
Bagan 3.2 Alur Pendidikan Mulai Sekolah Dasar s/d Perguruan Tinggi, 2004/2005 PT
Angka Transisi 976.88 ribu (53.34%)
SMA + MA Lulus
SMP + MTs
SD + MI
Angka Transisi 3.21 juta (80.50%)
Peserta Didik 29.15 juta Peserta Didik Baru 4.02 juta
APK 113.85%
Lulus
Peserta Didik 9.68 juta APK 74.25%
Lulus
APM 26.59%
2.97 juta
Lulus
SMK
640.90 ribu
Peserta Didik 2.16 juta
Transisi 779.59 ribu (26.27%)
Putus Sekolah 2.47% (239.07 ribu)
APK 14.26%
APK 32.76%
4.06 juta
Tidak Melanjutkan SMP 16.91% (686.57 ribu)
1.19 juta
Peserta Didik 4.15 juta
APM 58.21%
APM 95.95%
Putus Sekolah 2.74% (799.49 ribu)
Angka Transisi 1.45 juta (48.85%)
Peserta Didik 3.59 juta
Tidak Melanjutkan SMA 26.37% (783.31 ribu)
Putus Sekolah 1,47% (61.20 ribu)
Lulus
APK 17.69%
660.31 ribu
APM 13.25%
Putus Sekolah 5.37% (116.20 ribu)
Tidak Melanjutkan PT 46.66% (854.45 ribu)
Putus Sekolah 7.85% (281.93 ribu)
Sumber data : Pusat Statistik Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional, 2007.
32
Tabel 3.3: SD di Indonesia: Masuk Sekolah, Putus di Jalan, dan Yang Berhasil, Tahun Ajaran 1999/2000 – 2004/2005 Tahun Ajaran
Jenis Kelamin
2004/05 2004/05 2003/04 2003/04 2002/03 2002/03 2001/02 2001/02 2000/01 2000/01 1999/00 1999/00
P L P L P L P L P L P L
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
1,966,120 2,036,302 2,054,125 2,166,913 2,107,373 2,256,024 2,148,465 2,320,084 2,327,289 2,570,072
Kelas 6
Yang bertahan
1,868,391 1,910,957
80% 74% 85% 79% 88% 84% 90% 88% 92% 90% 100% 100%
Sumber: Data Pendidikan, Balitbang, Depdiknas, 2006.
3.3.3 Jumlah dan Distribusi Buku Buku (dan kurikulum) kerap mengundang keluhan orangtua murid di setiap menjelang tahun ajaran. Peran dunia usaha dan asosiasi sangatlah dominan dalam menentukan jumlah, jenis, dan distribusi buku. Pengaruh penjual buku sangat kuat melalui guru dan sekolah. Sebaliknya, orangtua dan murid (khususnya kaum miskin) berada di pihak yang lemah dan terpojok. Rintangan utama bagi murid dan guru adalah rendahnya mutu buku dan jumlahnya yang sangat tidak cukup di sekolah. Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan tentang buku teks pelajaran melalui Permendiknas No. 11/2005. Secara tegas dinyatakan bahwa guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik (pasal 9). Pemerintah juga menetapkan masa pakai buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun. Namun dalam kenyataannya, kebijakan ini sulit diikuti oleh pemangku kepentingan di lapangan. Secara anekdotal kita menyaksikan atau mengalami bahwa ketimbang membela kepentingan murid untuk memilih buku bermutu, guru dan kepala sekolah memihak penjual buku karena tersedianya berbagai insentif. Pasal 5 Permendiknas No. 11/2005 menyatakan bahwa rapat guru untuk menetapkan buku-buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh satuan pendidikan tidak boleh berasal dari satu penerbit. 3.3.4 Rintangan Belajar Karena Kekerasan di Sekolah Yang paling menakutkan bagi anak adalah kekerasan dalam segala bentuk. Ketika merasa takut, anak tidak dapat belajar. Akibatnya mereka seringkali absen dan kadang terancam putus sekolah. Kekerasan terjadi baik oleh guru, sesama murid, dan lingkungan sekitar, khususnya di rumah. Berikut ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang umum dialami oleh anak :
33
•
• •
Disindir atau diusir dari sekolah karena tidak mampu membayar berbagai pungutan seperti uang sekolah, seragam, ekstra kurikuler, atau tidak mempunyai buku; Masuknya berbagai obat terlarang dan bacaan porno di lingkungan sekolah; Dipersulitnya akses masuk karena alasan syak wasangka suku minoritas, agama, etnis, jender, tidak mempunyai akte kelahiran, status sosial rendah, difabel, atau alasan politis orangtua mereka.
NTT-PEP (2006) melakukan survei tentang kekerasan di sekolah baik oleh guru maupun oleh sesama murid. Grafik 3.xxx menggambarkan tentang frekwensi peristiwa kekerasan oleh guru, yaitu 45% kadang-kadang dan 4% sering. Sementara kejadian antar murid ternyata lebih sering, 49% murid menjawab kadang-kadang, 19% sering dan 2% sangat sering. Survei serupa menanyakan tingkat keramahan guru kepada murid dan antar para murid. Meski tidak kosisten dengan angka tentang kekerasan di atas, beritanya cukup menggembirakan karena 95% mengatakan bahwa guru sangat ramah (41%) dan ramah (54%). Demikian pula, sesama murid pun 92% saling ramah (30% sangat ramah dan 62% ramah). Dalam hal keberanian mengungkapkan pendapat, 80% mengatakan bahwa murid berani menyampaikan pikiran dan 18% berani mengungkapkan perasaaannya di dalam kelas. Sebaliknya 9% takut untuk berpendapat atau memilih diam saja. 3.3.5 Jumlah dan Distribusi Guru Bank Dunia, Bappenas, dan Kedutaan Besar Belanda (November 2006) melakukan studi tentang persoalan guru10. Berikut ini cuplikan studi tersebut: • Kebijakan tentang alokasi guru mendorong terjadinya kelebihan jumlah guru di banyak sekolah dan memakan 10% anggaran pendidikan secara nasional. Kebijakan yang selama ini dijalankan adalah sekolah mengajukan kebutuhan guru ke dinas pendidikan kabupaten, lalu kabupaten mengajukan permintaan kepada Depdiknas. Kemudian Depdiknas mengalokasikan tambahan guru ke kabupaten sekaligus dengan tambahan gaji melalui DAU. Cara ini membuat sekolah dan kabupaten tergiur untuk mengajukan kebutuhannya akan guru lebih dari jumlah yang dibutuhkan. Karena pemerintah pusat yang membayar gaji guru, maka kabupaten dan sekolah cenderung untuk tidak menggunakan pelayanan guru dengan efisien. •
Distribusi guru :
Kelebihan guru Kekurangan guru
Total (nasional) 55% 34%
Daerah Perkotaan 68% 21%
Daerah Pedesaan 52% 37%
Daerah Terpencil 17% 66%
10
Investing in Indonesia’s Education, the World Bank, Bappenas, and the Royal Netherlands Embassy, November 2006.
34
Sumber: Investing in Indonesia’s Education, Allocation, Equity, and Efficiency of Public expenditures, The World Bank, Bappenas and The Royal Netherlands Embassy, 2006 •
•
• •
•
•
•
•
Upaya perbaikan untuk mengurangi ketimpangan distribusi yang sekarang terjadi adalah dengan melatih dan mengalihkan menjadi guru TK. TK adalah jenjang yang strategis untuk mengurangi inefisiensi pengulangan kelas dan putus sekolah di kelas awal. Upaya perubahan kebijakan distribusi guru ke depan adalah dengan cara mengubah rumus alokasi, bukan berdasarkan pada jumlah kelas, tapi misalnya berdasarkan jumlah murid dan sekolah terpencil. Guru yang memenuhi kualifikasi di tingkat TK sebanyak 30%, di tingkat SD 56%, di tingkat SMP 73%, dan di tingkat SMA 61%. Sertifikasi akan meningkatkan gaji dan otomatis menambah biaya pengeluaran untuk gaji guru. Hal ini harus diimbangi dengan tindakan mengurangi jumlah guru yang berlebihan dan mengurangi jumlah guru tidak tetap. Tanpa itu, ongkos meningkat begitu besar tanpa dapat menjamin kenaikan mutu pembelajaran murid. Selain jumlah yang berlebihan dan distribusi yang timpang, 19% guru SDN di Indonesia seringkali absen, tidak mengajar di kelas. Hal ini merupakan salah satu alasan pihak sekolah merasa kekurangan guru dan, ketimbang menegakkan disiplin, sekolah dan kabupaten meminta tambahan guru ke pemerintah pusat. Jumlah murid per guru di SD = 20, artinya satu guru mengajar 20 murid. Namun jumlah murid per kelas di SD adalah 25 orang, sedangkan nyatanya hanya ada 20 murid per guru. Dibandingkan dengan jumlah murid per kelas, berarti setiap 20 murid diajar oleh 25/20 = 1,25 guru yang berarti setiap kelas kelebihan 0,25 guru. Karena ada enam kelas, berarti satu sekolah ada kelebihan (6 kelas X 0,25 guru) = 1.5 guru. Jumlah murid per guru di SMP = 14; sementara jumlah murid per kelas = 36— satu kelas di ajar oleh 36/14 = 2,6 guru. Jumlah murid per guru di SMA = 12; sementara jumlah murid per kelas = 36. Berarti satu kelas diajar oleh 36/12 = 3 orang guru. Kemampuan yang ada amat terbatas namun manajemennya tidak efisien. Ini karena kombinasi persoalan : 1. tingginya jumlah guru yang bekerja paruh waktu, 2. adanya guru yang terdaftar bekerja penuh waktu namun hanya mengajar mata pelajarannya saja sehingga secara total tidak mengajar penuh waktu, 3. tingginya jumlah guru yang absen. Dari segi pembiayaan, kelebihan jumlah guru membawa beban biaya yang sangat besar. Dibandingkan dengan negara lain, RI mempunyai kelebihan guru 21% = memakan 8% total anggaran pendidikan nasional (Rp 5 triliun untuk anggaran SD dan SMP). Dengan pemberlakukan UU Guru dan Dosen, jumlah ini akan melambung tinggi dan kalau tidak terbayar, guru mungkin menghabiskan waktu untuk meneriakan protes ketimbang tenang bersama muridnya di kelas. Dengan adanya berbagai organisasi profesi guru, tidak mustahil akan terjadi tekanan
35
•
yang luar biasa karena guru akan menuntut hak-haknya; meski sebagian kewajiban sang guru tidak dipenuhi. Rekomendasi studi ini adalah memberikan DAU langsung sebagai anggaran sekolah berdasarkan jumlah murid dan memberikan wewenang pada sekolah untuk mengangkat guru sesuai kebutuhan. Kalau ada guru yang ingin pindah silakan, tetapi alokasi dana untuk guru tersebut tetap di sekolah itu supaya dapat mengangkat dan membayar guru lain.
A. Somerset (1997) melakukan pengamatan singkat namun saksama tentang jumlah, distribusi, dan penempatan guru di empat kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Sonmerset juga mengusulkan cara untuk memperbaiki efisiensi guru SD dengan merubah kebijakan ”guru mengikuti kelas” menjadi guru mengikuti jumlah murid”. Meski diamati sepuluh tahun silam, temuan-temuan dan implikasinya tetap relevan. Lihat Lampiran A. 3.3.6 Guru Absen Akhmadi, Daniel Suryadarma, dan Syakhu Usman, the SMERU Research Institute, 2004 bertanya demikian : kalau guru absen, ke mana mereka pergi dan apakah ada dampaknya terhadap pembelajaran murid? Jawaban-jawabannya diperoleh dari survei mereka di 147 SD (terutama sampel SDN) khusus mewawancarai guru yang berstatus bekerja penuh waktu. Studi dilakukan pada Oktober 2002 dan Maret 2003. Berikut ini bagian dari temuan-temuan survei tersebut : • 19% guru di Indonesia absen. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga setelah Uganda (39%) dan India (25%); • Daftar hadir guru tidak dapat diandalkan karena hanya 59% guru hadir yang mengisi daftar hadir; • Yang absen cenderung guru pria dan berpendidikan relatif tinggi serta berstatus guru kontrak atau guru tidak tetap; • Faktor pemicu lain adalah sulitnya transportasi, tidak ada fasilitas kamar kecil, kepala sekolah juga absen, dan buruknya mutu fasilitas sekolah secara umum; • Tidak ada kaitan antara besarnya anggaran dengan tingkat kehadiran guru. Tingkat absensi terendah di Kabupaten Magelang (7,4%) yang mempunyai APBD Rp 2,1 milyar sangat kontras dengan Kota Pekanbaru yang mempunyai tingkat absensi tertinggi (33,5%) dengan APBD Rp 5,3 milyar; • Tingkat absensi tidak berbeda apakah sekolah itu baru saja dikunjungi oleh pengawas dibandingkan dengan sekolah lain yang tidak dikunjungi; Tingginya angka absen guru ini berdampak negatif terhadap prestasi pembelajaran murid khususnya mata pelajaran matematika dan bahasa karena : • Sulitnya mendapatkan guru pengganti, terutama pada sekolah-sekolah di desa; • Guru yang ada harus mengajar lebih dari satu kelas. Pilihan lainnya adalah murid yang lebih tua diminta membantu guru; • Karena tidak ada guru, murid-murid disuruh pulang. Alasan guru absen adalah : karena sakit (13%); absen karena ada ijin (23,6%); melakukan tugas resmi lainnya yang berkaitan dengan pengajaran (16%); melakukan tugas lain tetapi tidak berkaitan dengan pengajaran (2,6%); terlambat
36
tiba di sekolah (6,1%); pulang lebih awal (6,6%); absen tanpa ijin (2,9%); sebab lain (3,7%), dan absen tanpa memberikan alasan (18,4%).
37
IV. REGULASI PENDIDIKAN Pendidikan adalah salah satu urusan publik. Karenanya berada di tengah ranah dan perdebatan politik. Inilah mengapa visi ”mencedaskan kehidupan bangsa” berada di Pembukaan UUD 1945 (Sub-bab 4.1). UU tentang Perlindugnan Anak dan UU Sisdiknas adalah turunan dari UUD 1945. Selanjutnya ada 38 PP dan 30 Permendiknas yang harus dikeluarkan untuk memenuhi tuntutan UU Sisdiknas (Sub-bab 4.2). Hingga kini sudah ada 8 Permendiknas yang sudah dikeluarkan. Masih ada 22 lagi yang sedang dalam proses.
4.1 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 adalah hirarki konstitusi tertinggi bangsa dalam menata Negara Republik Indonesia. Pendidikan mendapat tempat dalam Pembukaan UUD 1945. Sejak amandemen keempat yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, Pendidikan dan Kebudayaan terdapat pada Bab XIII.
{
Pembukaan (Preambule) UUD 1945 alinea ketiga
“ Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Selain pada Pembukaan UUD 1945, pendidikan dan kebudayaan mendapat tempat khusus dalam UUD 1945 yakni pada Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan: Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
38
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
}
Dan UU Sistem Pendidikan Nasional (No. 20/2003) adalah amanat konstitusional dari Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Diagram 2 memberikan ilustrasi singkat tentang hirarki UU Sistim Pendidikan Nasional. Bagan 4.1 Hirarki Regulasi Pendidikan di Indonesia
Undang Undang Dasar tahun 1945 (UU 1945) Preambule (pembukaan); dan Bab XIII, Pasal 31
UU No. 23 tahun 2002
UU No. 20 tahun 2003
Perlindungan Terhadap Anak
Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah: Total 38 PP PP No. 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (16 Mei 2005)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional: Total 30 PERMENDIKNAS Tahun 2006
Tahun 2007
No. 22 Tentang Standar Isi No. 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan No. 24 Tentang Pelakasanaan PERMENDIKNAS No. 22/2006 dan 23/2006
No. 12 Tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah No. 13 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah No. 16 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru No. 18 Tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan No. 19 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
4.2 UU Sistim Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 39
Tabel 4.1 memberikan ilustrasi bahwa kaitan antara UU No. 20/2003, PP dan Permendiknas. UU Sisdiknas menwajibkan pemerintah mengeluarkan 38 PP dan 30 Permendiknas. Hingga saat ini sebagian besar PP sedang dalam proses. Yang pertama keluar adalah PP tentang Standar Nasional Pendidikan (No. 19/2005). Tabel 4.1: Hirarki UU Sistim Pendidikan Nasional Bab dan Bagian Bab I, Ketentuan Umum Bab II, Dasar, Fungsi, dan Tujuan Bab III, Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Bab IV, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah. Bagian Satu : Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara Bagian Dua : Hak dan Kewajiban Orang Tua Bagian Tiga : Hak dan Kewajiban Masyarakat Bagian Empat : Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Bab V, Peserta Didik Bab VI, Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan Bagian Satu : Umum Bagian Dua : Pendidikan Dasar Bagian Tiga : Pendidikan Menengah Bagian Empat : Pendidikan Tinggi
Bagian Lima : Pendidikan Nonformal Bagian Enam : Pendidikan Informal Bagian Tujuh : Pendidikan Anak Usia Dini Bagian Delapan : Pendidikan Kedinasan Bagian Sembilan : Pendidikan Keagamaan Bagian Sepuluh : Pendidikan Jarak Jauh Bagian Sebelas : Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Bab VII, Bahasa Pengantar Bab VIII, Wajib Belajar Bab IX, Standar Nasional Pendidikan
Pasal
Peraturan Pemerintah (PP)
Pasal 1 Pasal 2 dan 3 Pasal 4
Pasal 5 dan 6. Pasal 7. Pasal 8 dan 9. Pasal 10 – 11. Pasal 12
1
Pasal 13, 14, 15, dan 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19, 20, 21, 22, 23, 24, dan 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32
1 1 1 1 1 1 1
Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35
1 1
1 1 4
(PP 19/2005)
Bab X, Kurikulum
Pasal 36, 37, dan 38
2
40
Bab dan Bagian
Peraturan Pemerintah (PP) 3
Pasal
Bab XI, Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bab XII, Sarana dan Prasarana Pendidikan Bab XIII, Pendanaan Pendidikan Bagian Satu : Tanggung Jawab Pendanaan Bagian Dua : Sumber Pendanaan Pendidikan Bagian Tiga : Pengelolaan Dana Pendidikan Bagian Empat : Pengalokasian Dana Pendidikan Bab XIV, Pengelolaan Pendidikan Bagian Satu : Umum Bagian Dua : Badan Hukum Pendidikan Bab XV, Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Bagian Satu : Umum Bagian Dua : Pendidikan Berbasis Masyarakat Bagian Tiga : Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah / Madrasah Bab XVI, Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi Bagian Satu : Evaluasi Bagian Dua : Akreditasi Bagian Tiga : Sertifikasi Bab XVII, Pendirian Satuan Pendidikan Bab XVIII, Penyelenggaraan Pendidikan oleh Lembaga Negara Lain Bab XIX, Pengawasan Bab XX, Ketentuan Pidana
Bab XXI, Ketentuan Peralihan Bab XXII, Ketentuan Penutup
Pasal 39, 40, 41, 42, 43, dan 44 Pasal 45
1
Pasal 46 Pasal 47 Pasal 48 Pasal 49
1 1 1 1
Pasal 50, 51, dan 52 Pasal 53
3 UU tersendiri
Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56
1 1 1
Pasal 57, 58, dan 59 Pasal 60 Pasal 61 Pasal 62 dan 63 Pasal 64 dan 65 Pasal 66 Pasal 67, 68, 69, 70, dan 71 Pasal 72, 73, dan 74 Pasal 75, 76, dan 77
1 1 1 1 1 1
Jumlah PP 38 Sumber: The Management of National Education at Glance, Center for Educational Statistics, Office of Research & Development, Ministry of National Education. 4.3 Peraturan Permendiknas
Pemerintah
Tentang
Standar
Nasional
Pendidikan
dan
41
Sesuai tuntutan UU No. 23/2002, PP tentang Standar Nasional Pendidikan (No. 19/2005) adalah peraturan pertama yang ditetapkan pemerintah. Presiden RI menetapkannya pada tanggal 16 Mei 2005. Tabel 4.2: Hirarki PP tentang Standar Nasional Pendidikan (No. 19/2005) PerMenDikNas Bagian dan Bab Pasal BAB II : LINGKUP, FUNGSI, DAN TUJUAN Pasal 2; 3; 4 BAB III: STANDAR ISI Pasal 5 Bagian Kesatu Umum Bagian Kedua : Kerangka Dasar dan Pasal 6; 7; 8; 1 Struktur Kurikulum 9 Bagian Ketiga: Beban Belajar Pasal 10; 11; 2 12; 13; 14; 15 Bagian Keempat : Kurikulum Tingkat Pasal 16; 17 Satuan Pendidikan Bagian Kelima : Kalender Pendidikan / Pasal 18 1 Akademik BAB IV: STANDAR PROSES Pasal 19; 20; 1 21; 22; 23; 24 BAB V: STANDAR KOMPETENSI LULUSAN Pasal 25; 26; 27 1 Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendiknas No. 24/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
BAB VI : STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Bagian Kesatu: Pendidik Bagian Kedua: Tenaga Kependidikan
BAB VII : STANDAR SARANA DAN PRASARANA BAB VIII : STANDAR PENGELOLAAN Bagian Kesatu : Standar Pengelolaan oleh Satuan Pendidikan Bagian Kedua : Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah
Pasal 28; 29; 30; 31; 32; 33; 34 Pasal 35; 36; 37; 38; 39; 40; 41 Pasal 42; 43; 44; 45; 46; 47; 48 Pasal 49; 50; 51; 52; 53; 54; 55; 56; 57; 58 Pasal 59;
3
6
6
42
Bagian dan Bab Bagian Ketiga : Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah BAB IX : STANDAR PEMBIAYAAN BAB X : STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu: Umum Bagian Kedua : Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Bagian Ketiga : Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan Bagian Keempat : Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah Bagian Kelima : Kelulusan BAB XI : BADAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (BSNP) BAB XII : EVALUASI BAB XIII : AKREDITASI BAB XIV : SERTIFIKASI BAB XV : PENJAMINAN MUTU Total Permendiknas
Pasal Pasal 60;
PerMenDikNas
Pasal 62 Pasal 63
1
Pasal 64 Pasal 65
1
Pasal 66; 67; 71 2 Pasal 72 1 Pasal 73; 73; 77 1 Pasal 78; 85 Pasal 86; 87; 88 2 Pasal 89; 90 Pasal 91; 92; 93 1 30
Sumber: Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, No. 19/2005.
43
LAMPIRAN A Jumlah dan Distribusi Guru : Kabupaten Sukabumi 1997 Anthony Somerset (1997) melakukan pengamatan singkat namun saksama tentang keadaan di empat kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Meski diamati sepuluh tahun silam, temuan-temuan dan implikasinya tetap relevan. Bagian dari temuan-temuannya selama kunjungan di Kecamatan Cikidang, Pabuaran, Sagaranten, dan Kecamatan Sukabumi dipaparkan berikut ini: • Rasio guru murid : jumlah guru ternyata sangat bervariasi baik antara kecamatan maupun di dalam kecamatan. Rasio murid dan guru di Kec. Cidahu 51,88 dan di Kec. Sukabumi 20,19. Lihat rincian di Tabel 3.xxx. Informasi yang lebih baik dan mudah diperoleh •
Pengenalan sistem tunggal oleh Pusat Informatika, Balitbang Depdiknas telah jauh merampingkan pengumpulan data statistik pendidikan di kab. Sukabumi. Namun demikian, belum semua pengambil keputusan di tingkat lokal memahaminya. Banyak informasi yang tersedia namun tidak selalu disajikan dalam bentuk atau cara yang mempermudah implikasi tindakan kebijakan.
•
Data seringkali tidak akurat. Ada yang disebabkan karena salah hitung belaka dan ada kesalahan yang sifatnya sistematik. Contoh salah hitung misalnya kepala sekolah tidak ikut dihitung sebagai guru. Dengan menghitung kepala sekolah sebagai guru, rasio murid guru di Kec. Pabuaran turun dari 54, 97 menjadi 38, 24.
•
Di tingkat Kabupaten Sukabumi, jumlah guru SD turun dari 8.556 orang (1995/96) menjadi 7.249 orang (1996/97). Padahal selama 5 tahun terakhir jumlah guru naik terus. Tidak ada yang dapat menjelaskan hal ini.
•
Alasan utama mengapa salah hitung terus berulang atau tidak terdeteksi adalah karena di tingkat lokal informasi tersebut jarang digunakan. Alasan utama mengumpulkan data adalah karena diminta oleh pemerintah pusat dan provinsi ketimbang untuk kepentingan pengambil keputusan di kabupaten dan sekolah.
•
Meski data tidak akurat, tidak ada konsekuensi apapun. Karenanya tidak ada dorongan atau minat untuk memperbaiki mutu data. Penggunaan dan akurasi data jelas sangat berkaitan. Semakin pengambil keputusan menggunakan data untuk urusan lokal dapat dipastikan mereka membutuhkan data yang lebih akurat.
Distribusi Guru •
Distribusi yang tidak merata antara kabupaten/kota di Jawa Barat pun sangat bervariasi seperti halnya variasi di antara kecamatan di kabupaten Sukabumi. Rasio guru murid untuk kabupaten Sumedang dan Ciamis adalah 16,95 dan
44
19,21, sangat rendah dibandingkan dengan rasio guru murid di kabupaten Tangerang dan Bekasi yaitu 43,49 dan 45,82. •
Variasi rasio guru murid di kecamatan Sukabumi dan Sagaranten adalah 20,19 dan 20,90; jauh lebih rendah dibandingkan kecamatan Kabandungan dan Cidahu yaitu 49,47 dan 51,88. Di tingkat kabupaten variasi rasio guru murid tentu jauh lebih besar lagi.
•
Agar akurat dan penggunaannya dapat ditingkatkan, persoalan jumlah dan distribusi guru memerlukan analisis di empat tingkat, yaitu pusat (antar provinsi), provinsi (antar kabupaten/kota), kabupaten/kota (antar kecamatan), dan kecamatan (antar sekolah).
Konsolidasi Sekolah-Sekolah Kecil •
Sekolah dapat dikatakan berunit kecil karena dua faktor, (i) sekolah melayani penduduk yang berjumlah kecil sehingga jumlah anak usia sekolahpun sedikit; atau (ii) terlalu banyak sekolah di lingkungan yang sama. Konsolidasi jelas perlu dilakukan jika terdapat alasan yang kedua tersebut. Kalau penduduk bermukim terpencar-pencar, cara untuk meningkatkan mutu dan efisiensi antara lain dengan menggunakan metode dimana guru mengajar lebih dari satu kelas (multi-grade teaching methods).
•
Manfaat konsolidasi sekolah: 1. Pada sekolah dengan jumlah guru banyak, konsolidasi dapat melepaskan sebagian guru ke daerah lain yang kekurangan guru. 2. Pada sekolah dengan jumlah guru terbatas, konsolidasi dapat memenuhi kekurangan guru, sehingga setiap kelas mempunyai guru.
Tabel 1: Ukuran Sekolah dan Jumlah Guru di Empat Kecamatan Sukabumi Kecamatan
di
Jumlah Sekolah
Jumlah Murid
Jumlah Sekolah dengan murid <100
Rasio Guru Murid
Cikidang
36
163
6 (17%)
42,93
Pabuaran
24
146
5 (21%)
38,24
Sagaranten
59
104
30 (51%)
21,90
Sukabumi
21
149
6 (29%)
20,19
Sumber: Anthony Somerset, Teacher Supply and Distribution Issues in Kabupaten Sukabumi, second draft, 1997
Kecamatan Cikidang : • Hampir tidak ada kemungkinan konsolidasi karena rata-rata jumlah murid tergolong besar dan setiap sekolah kekurangan guru. • Ada 3 SD di ibukota kecamatan yaitu SDN Cikidang 2 ( 235 murid), SDN Parungindangan (180 murid), dan SDN Cikidang 3 (144 murid) yang satu sama lain hanya berjarak beberapa ratus meter. Konsolidasi sekolah tidak
45
•
memungkinkan karena jumlah murid yang cukup banyak. SD sisanya masing-masing berjauhan meski jumlah muridnya sedikit. Karenanya penggabungan bukanlah pemecahan masalah, yang paling mungkin adalah menggabungkan SD Pasirlangkap 2 (128 murid) dan SD Cipura (64 murid). Tetapi orangtua tidak setuju karena jarak tempuhnya 30 menit dan berada di desa yang berlainan.
Kecamatan Pabuaran : • Ada banyak SD kecil namun letaknya terpencar-pencar sehingga tidak mungkin digabungkan. • SD Bantasari I (75 murid) dan Bantasari II (75 murid) letaknya berseberangan jalan. Kalau digabungkan, jumlah murid menjadi 150 anak dengan jumlah murid rata-rata 25 orang per kelas dengan total 7 guru. Tidak ada kelebihan guru tapi setiap kelas mempunyai guru sendiri sehingga ada peluang untuk meningkatkan mutu. Kecamatan Sagaranten : • Ada lebih banyak SD kecil yang letaknya cukup berdekatan dan memiliki kelebihan guru. • SD Sagaranten I (122 murid, 9 guru) dan SD Cigadog (66 murid, 6 guru) letaknya berdekatan. Demikian pula dengan SD Cimanggu (62 murid, 2 guru) dan SD Dwidarma (78 murid, 5 guru). Jika SD Sagaranten dan SD Cigadog digabungkan (menjadi 188 murid), kelebihan 6 guru dapat dipindahkan ke SD yang memerlukan. • Rasio guru murid masih sangat normal (rata-rata guru mengajar 31 murid atau lebih rendah lagi). Meskipun tidak ada kelebihan guru, kalau digabungkan (murid menjadi 138), metode mengajar kelas rangkap tidak perlu dilanjutkan karena tiap kelas mempunyai guru sendiri. Kecamatan Sukabumi : • Terletak di pinggir kota Sukabumi dan memiliki kasus yang paling kompleks. • Jika SD Selabintana I (177 murid, 7 guru) dan SD Selabintana II (93 murid, 7 guru) digabung, maka akan ada penghematan guru dalam jumlah besar. • Ada pula SD Parungsea II yang memiliki 89 murid dan 7 guru. • Terdapat 3 SD dengan jarah yang tidak berjauhan, yaitu SD Reuma (66 murid, 7 guru), SD Babakansitu (51 murid, 7 guru), dan SD Tenjolaya (119 murid, 7 guru). Kalau digabungkan, maka jumlah murid menjadi 236 orang. Jika 8 guru tetap mengajar di sekolah gabungan, maka ada penghematan 13 guru atau hampir setara dengan kebutuhan guru untuk 2 SD kecil. Kabupaten Sukabumi : • Tergolong kabupaten dengan angka kekurangan guru yang serius. Rasio guru murid adalah 31,25; lebih tinggi daripada Jawa Barat (28,53) secara keseluruhan. Jauh lebih tinggi daripada rasio guru murid di Kabupaten Sumedang (16,95), Ciamis (19,21), Majalengka (21,85) dan Kuningan (21,97). • Penggabungan SDN jelas akan mengurangi pemborosan penempatan guru.
46
Perubahan Perhitungan Kebutuhan Guru: Kabupaten Sukabumi •
•
•
•
•
Kebijakan tentang alokasi guru sepenuhnya menggunakan rumus jumlah kelas di SD, tidak peduli jumlah muridnya sedikit atau banyak. Karena SD terdiri dari enam kelas, maka tiap SD memerlukan 6 guru kelas ditambah 1 guru olahraga dan 1 guru agama sehingga berjumlah 8 orang. Pengaruh rumus ini sangat kuat di tingkat pengambil keputusan di tingkat kabupaten dan SD. Misalnya SD Yogarega di Kec. Sagaranten yang mempunyai 62 murid dan 5 guru, namun masih mencatat kekurangan 3 guru. Jika terpenuhi jumlah 8 guru, maka rata-rata satu guru hanya mengajar 7,75 murid. Satu SDN mempunyai 51 murid dan 5 guru lalu mendapat seorang guru baru lulusan S1. Dengan total 6 guru, masing-masing hanya mengajar 8,5 murid. Dampaknya terhadap mutu akan jauh berbeda ketika seorang guru mengajar 30 murid di 2-3 kelas yang berbeda dibandingkan dengan guru yang sama mengajar 30 murid di satu kelas. Oleh karenanya kebijakan guru mengikuti kelas perlu ditinjau kembali dan diganti dengan guru mengikuti jumlah murid. Semakin sedikit jumlah murid, semakin sedikit pula jumlah guru yang ditempatkan di sekolah yang bersangkutan dan sebaliknya dengan tetap memperhatikan rasio (minimum – maksimum) guru terhadap murid per kelas. Dengan rumus ini, sekolah dapat menentukan jumlah guru yang mereka butuhkan. Lihat Tabel 2. Masalah tiap sekolah berbeda-beda sehingga sulit bagi kabupaten untuk memecahkannya. Sesuai kebijakan desentralisasi manajemen berbasis sekolah, delegasikan keputusan tentang kebutuhan guru kepada sekolah! Rumus ini memberi keleluasaan untuk mengatasi masalah lokal dan keputusan lokal juga. Kenyataan bahwa tiap sekolah begitu berbeda satu dengan yang lainnya sehingga aturan baku yang dikeluarkan oleh pusat tidaklah efektif. Yang efektif adalah informasi lokal dan keputusan lokal agar sumberdaya dapat digunakan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada pemborosan. Cara ini sekaligus mewujudkan manajemen berbasis sekolah dan meninggalkan pola manajemen berbasis pusat.
Kebutuhan Guru Mengikuti Kelompok Jumlah Murid : •
Terlalu berat kalau menggunakan rumus ”jumlah guru ditentukan oleh jumlah murid”. Karena ada SD kecil yang mempunyai 30 murid tapi tersebar di tiga kelas. Meski rasio guru murid tidak tinggi, jauh lebih berat kalau diajar oleh seorang guru saja ketimbang mengajar 30 murid di satu kelas saja.
•
Pilihan lain yang Somerset usulkan adalah alokasi guru berdasarkan kelompok jumlah murid seperti yang tertera di Tabel 2. Mengajar kelas rangkap sudah berlaku lama di banyak negara berkembang karena mempunyai banyak sekolah berunit kecil. Praktek serupa sudah lama berlaku di negara maju seperti Selandia Baru.
•
Pola ini lebih lentur mengikuti dinamika demografi. Kalau ada sekolah yang
47
unitnya membesar maka gurunya ditambah. Sebaliknya kalau jumlah murid menurun maka jumlah gurunya akan dikurangi. •
Kegunaan kedua, sekolah unit kecil dapat tetap dipertahankan tanpa harus menjadi sekolah mahal karena gurunya sesuai rasio murid. Tidak perlu konsolidasi dengan SD lain. Banyak masyarakat yang menolak penggabungan karena meski berdekatan, budaya dan citra sekolah tidak selalu sama. Tabel 2: Kalkulasi Kebutuhan Guru SD Kalau Menggunakan Rumus ”Guru Mengikuti Jumlah Murid”
Jumlah Murid s/d 39
Rasio Guru : Murid
Tambahan murid
Kebutuhan guru
Minimum
Maksimum
-
2
-
19.5
40
-
69
30
3
13.3
23.0
70
-
99
30
4
17.5
24.7
100
-
129
30
5
20.0
25.8
130
-
164
35
6
21.6
27.3
165
-
199
35
7
23.6
28.4
200
-
239
40
8
25.0
29.9
240
-
279
40
9
26.7
31.0
280
-
319
40
10
28.0
31.9
320
-
359
40
11
29.1
32.6
360
-
399
40
12
30.0
33.2
400
-
439
40
13
30.8
33.8
440 s/d 479
40
14
31.4
34.2
(etc) Sumber: Anthony Somerset, Teacher Supply and Distribution Issues in Kabupaten Sukabumi, second draft, 1997
48
Formula ”Guru Mengikuti Kelas” Vs ”Guru Mengikuti Jumlah Murid”: Dampaknya Terhadap Kebutuhan Guru •
Pola ini tidak memperhitungkan dampak kebutuhan kalau ada konsolidasi atau penggabungan SD. Kalau dihitung, maka potensi penghematan meningkat.
•
Tabel 3 berikut ini menunjukkan adanya perubahan yang dramatik ketika menggunakan kebijakan penempatan guru berdasarkan jumlah murid per sekolah. Kalau menggunakan kebijakan penempatan ”guru mengikuti sekolah”, hasilnya ternyata empat kecamatan masih mengalami masalah serius kekurangan guru SD. Di Kecamatan Sagaranten, terdapat kekurangan hampir 200 guru (-71%) dari jumlah guru yang ditempatkan di kecamatan tersebut. Di Kecamatan Cikidang dan Pabuaran terdapat kekurangan guru masing-masing 126% dan 114%. Di Kecamatan Sukabumi yang sudah mempunyai rasio guru murid 20,19, masih memerlukan 11 guru lagi (7%).
Tabel 3: Perbedaan Jumlah Kebutuhan Guru Kalau Menggunakan Dua Formula Kec. Kec. Kec. Kec. Sukabumi Sagaranten Cikidang Pabuaran Jumlah guru yang tersebar saat ini
155
282
136
92
Jumlah Guru yang dibutuhkan (a) Formula yang berlaku (GMK)
166
481
308
197
(b) Formula yang disarankan (GMJM)
119
269
228
142
Jumlah Bersih Kelebihan/Kekurangan (a) Formula saat ini
- 11 orang (-7%)
- 199 orang (-71%)
- 172 orang (-126%)
- 105 orang (-114%)
(b) Formula yang disarankan
+36 orang (+23%)
+13 orang (+5%)
-92 orang (-68%)
-50 orang (-54%)
Catatan : GMK : Guru Mengikuti Kelas. GMJM : Guru Mengikuti Jumlah Murid. Sumber: Anthony Somerset, Teacher Supply and Distribution Issues in Kabupaten Sukabumi, second draft, 1997
•
Gambaran yang amat kontras muncul ketika menggunakan rumus penempatan ”guru mengikuti jumlah murid” dengan plafon rasio maksimum guru-murid. Meski masih kekurangan, kebutuhan akan tambahan guru di Kecamatan Cikidang dan Pabuaran tinggal separuh; masing-masing kekurangan 92 guru (68%) dan 50 guru (-54%). Sebaliknya, ada kelebihan 13 guru (+5%) di Kecamatan Sagaranten dan 36 guru (+23%) di Kecamatan Sukabumi.
49
•
•
Untuk empat kecamatan, total kekurangan adalah 487 guru apabila menggunakan formula ”guru mengikuti kelas” atau 73% dari guru yang sudah ditempatkan. Kekurangan menurun menjadi 93 orang (14%) kalau perhitungan menggunakan formula ”guru mengikuti jumlah murid”. Bila dirinci per sekolah, gambaran tentang kelebihan dan kekurangan guru adalah seperti yang tertera di Tabel 4. Gambaran yang paling kontras terlihat di Kecamatan Sukabumi. Kalau gunakan rumus guru mengikuti kelas, seperti yang tertera pada kolom dua, ada 16 (9+2+4+1) atau 76% dari 21 SD kekurangan guru. Sementara jika menggunakan rumus guru mengikuti jumlah murid, ada 15 (2+4+5+4) SD atau 71% dari 21 SD kelebihan guru. Tabel 4: Pola Kelebihan dan Kekurangan Guru SD Berdasarkan Formula ”Guru Mengikuti Kelas” dan ”Guru Mengikuti Jumlah Murid”
Guru : kelebihan (+) dan kekurangan (-) +kelebihan -kekurangan
Kec. Sukabumi
Kec. Sagaranten
Kec. Cikidang
Kec. Pabuaran
(n = 21 sekolah)
(n = 58 sekolah)
( n= 36 sekolah)
(n = 24 sekolah)
Guru Ikut kelas
Guru Ikut kelas
Guru Ikut kelas
Guru Ikut kelas
Guru Ikut Murid
Guru Ikut Murid
+4
2
2
+3
4
2
+2
5
8
Guru Ikut Murid
Guru Ikut Murid 1
+1
1
4
1
11
1
0
4
4
2
17
1
5
-1
9
1
3
11
1
4
1
3
-2
2
1
12
4
2
10
1
9
-3
4
14
2
6
5
1
4
-4
1
11
1
3
6
6
3 2
1
-5
11
11
4
10
-6
3
6
2
3
-7
1
5
1
1
1
-8
Sumber: Anthony Somerset, Teacher Supply and Distribution Issues in Kabupaten Sukabumi, second draft, 1997
50
•
•
Hasil perhitungan Kecamatan Cikidang dan Pabuaran tidak jauh berbeda bila menggunakan kedua rumus tersebut. Meski demikian jumlah guru yang diperlukan jauh berkurang atau lebih efisien ketika menggunakan rumus guru mengikuti jumlah murid. Kecamatan Sagaranten mempunyai gambaran yang berbeda. Ketika menggunakan rumus guru mengikuti jumlah murid, 17 SD jumlah gurunya cukup, 11 SD masing-masing kelebihan seorang guru, dan 12 SD mempunyai kelebihan guru antara 2 - 4 orang. Sebaliknya, jika menggunakan rumus guru mengikuti kelas, maka 52 SD atau 90% dari 58 SD kekurangan guru antara 2 - 7 orang. 3 SD kekurangan masing-masing 1 guru, 2 SD jumlah gurunya cukup, dan hanya 1 SD yang mengalami kelebihan 1 guru.
Konsisten dengan kenyataan di sekolah •
Ketika mengunjungi sejumlah SD, kajian tentang kebutuhan guru per sekolah lebih cocok dengan rumus guru mengikuti jumlah murid ketimbang guru mengikuti kelas. Sebuah SD di Kecamatan Sukabumi mempunyai 51 murid. Rata-rata kurang dari 9 murid per kelas. Jelas ini suatu pemborosan karena memang ada 6 guru di SD ini. Kalau menerapkan alokasi guru mengikuti jumlah murid, sekolah ini cukup dengan 3 guru dan masing-masing bisa memegang lebih dari satu kelas. Rata-rata seorang guru mengajar 17 murid. Namun demikian dalam statistik di dinas kabupaten, SD ini masih tercatat sebagai sekolah yang memerlukan 2 guru lagi.
Kebijakan Pemindahan dan Penempatan Guru : Kasus Kabupaten Sukabumi •
Kabupaten menggunakan dua kebijakan operasional yang mempengaruhi distribusi guru-guru SD di dalam kabupaten. Yakni dengan memindahkan guru aktif dari satu SD ke SD lain dan menempatkan guru baru.
Penugasan Guru •
Ada dua jenis penugasan guru: (1). Dinas pendidikan yang menugaskan (penugasan) dan (2). guru yang minta untuk ditugaskan di SD yang diinginkan karena alasan tertentu. Wilayah penugasan guru berkisar dari antar sekolah di dalam kecamatan, antar kecamatan di dalam kabupaten, hingga antar kabupaten atau provinsi seperti yang diilustrasikan pada Bagan 3 berikut ini.
51
Tabel 5: Jenis Penugasan Guru SD di Kabupaten Sukabumi, 1997 Wilayah penugasan guru A. Penugasan atas inisiatif B. Permintaan guru SD dinas pendidikan kabupaten untuk ditempatkan 1. Penugasan di dalam kecamatan 2. Penugasan antar kecamatan, dalam kabupaten 3. Penugasan antar kabupaten (atau provinsi)
A.1
B.1
A.2
B.2
A.3
B.3
Sumber: Anthony Somerset, Teacher Supply and Distribution Issues in Kabupaten Sukabumi, second draft, 1997
•
•
•
•
Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi menyimpan data tentang penugasan guru. Sayangnya, Dinas Pendidikan tidak memisahkan data guru yang dipindahkan olehnya dengan data guru yang pindah atas permintaan sendiri. Dari wawancara, staf Dinas Pendidikan Kab Sukabumi menjawab bahwa semua penugasan guru berada di dalam kecamatan Tabel 5 (Kotak A.1). Dengan kata lain, Kotak A.2 dan A.3 kosong. Sebabnya adalah semua kecamatan kekurangan guru. Kedua, guru menolak penugasan antar kecamatan. Sebaliknya, guru yang minta pindah atas inisiatif sendiri terjadi di tiga tingkat wilayah B.1, B.2, dan B.3. Dua proses penugasan ini mempunyai efek yang bertolak belakang : 1. Proses penugasan bertujuan untuk lebih memeratakan distribusi guru. Berarti memindahkan guru ke sekolah yang kurang favorit seperti di pedesaan dan daerah terpencil sehingga ada cukup guru di tiap sekolah. 2. Kebalikannya, guru (meski tidak semua) atas permintaan sendiri berupaya (dengan berbagai cara) untuk tidak ditempatkan di sekolah yang penuh rintangan seperti di desa dan terpencil. Upaya kebijakan kabupaten tentang alokasi pemerataan guru tampaknya lemah. Kembali ke Tabel 5. Pola penugasan membuat guru bertumpuk dan berputar-putar di Kotak A.1. Sementara guru lebih cocok dengan pilihan pola permintaan sehingga terjadi aliran di Kotak B.1; B.2; dan B.3. Dengan menggunakan berbagai koneksi dan persuasi, guru sering berhasil mempengaruhi pengambil keputusan di dinas pendidikan kabupaten untuk meluluskan permintaan pindah ke sekolah yang mereka inginkan.
DRAFT
52