BAGAIMANA PERLAKUAN PAJAK DARI TRANSAKSI E -COMMERCE DI INDONESIA?
Oleh: Agung Budilaksono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai
A. Latar Belakang Masalah Menarik untuk mencermati perkembangan e-commerce di Amerika yang telah berkembang dengan saat pesatnya. Pemerintah Federal Amerika dengan alasan deficit anggaran belanja Negara, mulai untuk memberlakukan pajak atas e-commerce atau e-trading. Proyek ini dikenal dengan nama Streamlined Sales Tax Project (SSTP). Menurut Alisa Shelton, SSTP ini berbenturan dengan keputusan Mahkamah Agung Amerika yang menyebutkan secara jelas bahwa internet dan catalogue merchants tidak dapat dipungut pajak penjualannya, karena keduanya tidak memenuhi syarat kehadiran fisik (Nexus) dalam setiap negara bagian para pelanggannya. SSTP diselenggarakan pada bulan Maret 2000, dimana tujuannya adalah untuk menyederhanakan dan modernisasi sistem penjualan, penggunaan pengumpulan pajak dan administrasi di Amerika Serikat. SSTP diharapkan dapat mengeliminasi terjadinya perbedaan di antara tingkatan pajak Negara, dan juga dapat menghapus hambatan utama dalam pengumpulan pajak pada penjualan online, sekaligus berusaha meyakinkan Kongres dan pengadilan, dalam upaya memperoleh dukungan untuk dapat mengumpulkan pajak secara teratur. Hal ini muncul sebagai tanggapan terhadap upaya Kongres Amerika yang melarang secara permanen Negara melakukan pengumpulan pajak penjualan pada perdagangan online. Larangan tersebut dianggap oleh pemerintah akan memiliki konsekuensi keuangan yang serius bagi Negara. Oleh karena itu kemudian SSTP diluncurkan sebagai upaya untuk mencoba meminimalkan banyaknya perbedaan di antara tingkatan pajak Negara. Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memutuskan pada tahun 1992 (dalam kasus Quill Corpay North Dakota) bahwa mail-order pengecer (retailer) tidak membayar pajak untuk negara, karena kompleksitas untuk melakukannya. Tentu saja hal ini membuat para pedagang internet dan katalog bersemangat, karena daya saingnya kian menguat. Itu juga sebabnya, mengapa perdagangan dengan kedua moda tersebut kini semakin marak dilakukan di Amerika. Hal ini terutama didukung oleh pernyataan Mahkamah Agung Amerika yang tertuang dalam 1
Internet Tax Freedom Act yang ternyata sangat di setujui oleh Senat Amerika Serikat. Dimana Undang-undang ini melarang semua negara bagian dan lokal di Amerika untuk memajaki informasi & perdagangan melalui Internet. Meningkatnya penggunaan internet khususnya di Indonesia juga memberikan dampak yang besar bagi dunia bisnis. Jika dahulu, orang-orang berdagang hanya di tingkat lokal di suatu negara, dan ketika hendak mengembangkan usahanya di luar negara tersebut, maka pedagang itu harus memiliki modal yang sangat besar, untuk mengurus berbagai hal, mulai dari perizinan, sewa gedung, upah para pekerjanya. Saat ini jika seorang ingin berdagang atau ingin mempromosikan barang dagangannya sampai ke luar negeri, pedagang itu cukup membuat situs dan menampilkan barang dagangannya di halaman situsnya, para calon pembeli yang ada di luar negeri dapat melihat barang yang ditawarkannya dan jika si calon pembeli tertarik, maka dia dapat memesan barang tersebut cukup hanya dengan beberapa klik pada mouse dan ketikan nomor kartu kredit pada tombol keyboard. Tidak lagi diperlukan biaya yang besar untuk mengurus perizinan, biaya untuk mendirikan toko di luar negeri, tidak perlu sewa gedung, dan juga membayar upah pekerja. Para pihak dalam transaksi tidak perlu bertemu face to face cukup melalui peralatan komputer dan telekomunikasi. Hubungan antara pemajakan dengan masalah yurisdiksi ini adalah mengenai siapa yang berhak mengenakan pajak atas transaksi e-commerce. Seperti yang kita ketahui bahwa pada transaksi e- commerce, para pihak (pihak penjual maupun pihak pembeli) tidak semuanya berada di satu negara, kadang penjual dan pembeli berasal dari Negara yang berbeda dan tunduk pada sistem hukum yang berbeda pula. Hal inilah yang menimbulkan kerumitan dalam pemungutan pajak pada transaksi e- commerce karena dapat menimbulkan double taxation (pengenaan pajak ganda) dan merugikan para pihak baik pihak penjual maupun pihak pembeli. Jika kita memperbandingkan hal ini dengan negara-negara lain, banyak negara yang juga mengenakan pajak pada transaksi e-commerce seperti Kanada, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Jepang bahkan membentuk Cyber Tax Office dan tim yang dinamakan Professional Team for E-Commerce Taxation (PROTECT) khusus untuk mengatasi masalah perpajakan pada transaksi e-commerce. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? B. Gambaran Umum E-Commerce Kondisi e-commerce di AS ternyata jauh berbeda dengan Indonesia. Transformasi belanja konvensional menjadi e-commerce justru diprediksi baru dimulai tahun 2011 di Tanah Air. Pasalnya, masyarakat di Indonesia masih belum siap. Nilai penjualan ritel e-commerce di Amerika Serikat, pada kuartal I 2010 diperkirakan menyentuh angka USD 34 miliar. Nilai itu 2
naik 10 persen dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya. Demikian laporan seputar pengeluaran warga Amerika Serikat untuk berbelanja di dunia maya atau e-commerce, yang dikeluarkan ComScore Inc, lembaga riset global khusus dunia digital. E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga kolaborasi di antara mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan,
E-commerce juga
memerlukan teknologi basis-data atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk E-commerce ini. E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-electronic dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, e-commerce dunia telah menghasilkan penjualan sampai senilai AS$12,2 milyar pada tahun 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diperkirakan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011. Istilah e-commerce telah berubah sejalan dengan waktu. Awalnya, e-commerce berarti pemanfaatan transaksi komersial, seperti penggunaan EDI untuk mengirim dokumen komersial seperti pesanan pembelian atau invoice secara elektronik. Kemudian dalam perjalanannya berkembang menjadi suatu aktivitas yang mempunyai istilah “web perdagangan” — pembelian barang dan jasa melalui World Wide Web atau melalui server (HTTPS), yaitu protokol server khusus yang menggunakan enkripsi untuk merahasiakan data penting pelanggan. Pada awalnya ketika web mulai terkenal di masyarakat pada 1994, banyak jurnalis memperkirakan bahwa e-commerce akan menjadi sebuah sektor ekonomi baru. Namun, baru sekitar empat tahun kemudian, protokol seperti HTTPS telah banyak digunakan. Antara 1998 dan 2000 banyak bisnis di AS dan Eropa mengembangkan situs web perdagangan ini. E-commerce merupakan proses pengelolaan transaksi keuangan secara online oleh individu atau perusahaan. Yang termasuk dalam e-commerce adalah transaksi-transaksi dari perusahaan ke perusahaan bisnis (business-to-business/B2B), perusahaan ke konsumen (business-to-consumer/B2C) dan perusahaan perusahaan ke pemerintah (business-togovernment/ B2G). Hal pokok dari e-commerce adalah pada sistem dan prosedur dimana segala tipe dokumen keuangan dan informasi dihubungkan. Hal ini termasuk transaksi kartu kredit online, e-cash (kas elektronik), e-billing (tagihan elektronik), e-cheque (cek elektronik), faktur elektronik, pesanan pembelian dan laporan keuangan. E-commere sangat terkait dengan teknologi yang menunjang fungsi EDI—salah satu fungsi dalam internet. 3
Ada tiga hal yang diperlukan untuk membangun definisi e-commerce yang diterima masyarakat internasional. Tiga hali tersebut berkaitan dengan: jaringan yang lebih relevan dengan kegiatan yang dilaksanakan; proses yang patut dimasukkan ke dalam domain umum ecommerce; dan pelaku yang terlibat dalam transaksi. Definisi jaringan terdiri dari definisi secara luas dan secara sempit. Definisi secara luas yaitu menganggap e-commerce sebagai transaksi elektronik untuk menjual dan membeli barang atau jasa, baik antara perusahaan, rumah tangga, individu, pemerintah dan organisasi publik maupun swasta, yang dilakukan melalui komuter dengan menggunakan jaringan. Barang dan jasa dipesan melalui jaringan tersebut, tetapi pembayaran dan pengiriman barang atau jasa tersebut dapat dilakukan secara online maupun offline. Definisi secara sempit yaitu menganggap e-commerce sebagai transaksi internet untuk menjual atau membeli barang atau jasa, baik antara perusahaan, rumah tangga, individu, pemerintah dan organisasi publik maupun swasta, yang dilakukan melalui internet. Barang dan jasa di pesan melalui internet, tetapi pembayaran dan pengiriman barang dan jasa tersebut dapat dilakukan secara online atau offline. Mengenai istilah dan hal-hal yang akan dimasukkan, banyak negara yang ingin membatasi definisi untuk aspek pembelian dan penjualan yang tergabung dalam definisi di atas, dan masih banyak hal lain yang akan dimasukkan ke jenis proses bisnis, seperti pemasaran dan periklanan. Negara-negara berkembang juga akan ikut terlibat dalam pembentukn definisi tersebut, yaitu meliputi kegiatan usaha yang terkait dengan pembelian dan penjualan, mengingat beberapa batasan yang dihadapi negara-negara tersebut dalam melakukan pembayaran online. E-commerce seringkali digambarkan sebagai satu dari tiga jenis: perusahaan ke perusahaan
(business-to-business/B2B),
perusahaan
ke
konsumen
(business-to-
consumer/B2C) dan perusahaan ke pemerintah (business-to-government/ B2G). Sebagian besar minat dan literatur berfokus pada e-commerce B2B dan B2C. Sekitar 80 persen dari nilai total e-commerce di dunia saat ini memilih e-commerce B2B. E-commerce B2B memberikan potensi keuntungan yang paling besar dalam hal laba produktivitas. E-commerce B2C memiliki potensi efek substansial pada cara hidup dan interaksi dalam masyarakat dan hal-hal tersebut merupakan aspek pokok untuk pengukuran statistiknya. Hanya sebagian kecil negara yang sejauh ini telah ikut berpartisipasi dalam pengukuran e-commerce B2G. Kegiatan usaha e-commerce dapat dilakukan melalui apa yang disebut "Application Service Provider (ASP) yang biasanya menjadi sarana utama bagi pelaku usaha di bidang ini. ASP menyediakan disk space untuk disewa pengusaha untuk menawarkan produksinya. 4
C. Tinjauan Aspek Pajak Penghasilan Implikasi pajak atas kegiatan usaha dengan e-commerce timbul dalam hal penyewa atas space di ISP (penyedia jasa Internet) adalah perusahaan yang berdomisili di luar negeri. Pertama-tama adalah apakah dengan hadirnya perusahaan luar negeri melalui suatu situs web, perusahaan tersebut dapat dianggap mempunyai "bentuk usaha tetap" di Indonesia. Definisi "bentuk usaha tetap" yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh,
mengindikasikan bahwa keberadaan di Indonesia ditunjukkan melalui harta berwujud, disamping kegiatan pemberian jasa di Indonesia. Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui website, sesuai dengan definisi, kegiatan ini tidak menimbulkan "bentuk usaha tetap". Hal yang sama juga dapat dikatakan bila perusahaan luar negeri tersebut adalah perusahaan yang berdomisili di negara yang mempunyai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia1. Namun, bila kegiatan dari perusahaan tersebut memberikan jasa melalui website-nya maka pembayaran yang diterima dari Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26, dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut berdomisili di negara-negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Undang-undang Pajak Penghasilan belum mencakup masalah definisi "bentuk usaha tetap" dari ISP, dengan demikian Pasal 2 ayat (5) UU PPh idealnya perlu diubah dan ditambah. Jika situasi tersebut dikaitkan dengan P3B maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu pertama, dalam UU domestik dari negara-negara yang terlibat mempunyai aturan tersebut, dan kedua, sesuai dengan commentary dari OECD, keberadaan ISP memenuhi ketentuan Pasal 5 dari OECD Model. Pasal 5 dari OECD Model mensyaratkan bahwa peralatan apapun yang digunakan sebagai server, sifatnya harus tetap. Artinya server tersebut harus mempunyai lokasi yang tetap dan pasti.2 Secara garis besar, semua transaksi dalam kaitannya dengan persiapan untuk mengoperasikan website, dalam hal server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri, maka perlakuannya sama dengan apa yang dikemukakan sebelumnya. Misalkan salah satu dari penyewa website, yaitu wajib pajak luar negeri, menggunakan website-nya untuk menyimpan informasi yang menyangkut industri tertentu, yang kemudian ditawarkan kepada pihak ketiga untuk menjadi pelanggannya (subscriber). Pelanggan tersebut membayar iuran untuk dapat mengakses informasi dimaksud. Implikasi pajak penghasilan dari transaksi tersebut adalah
1 2
Surahmat, Rachmanto, PartnerPrasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult, dalam Bisnis Indonesia edisi Senin, 11 & 18 April 2005 Surahmat, idem
5
perlakuan pajaknya terhadap pembayaran yang di lakukan oleh pelanggan. Yang prtama-tama dilakukan adalah menentukan masuk dalam kategori penghasilan apa pembayaran tersebut?. Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, pembayaran untuk informasi yang belum diungkapkan ke publik atau yang tidak dapat diperoleh melalui sarana yang tersedia di publik, maka hal tersebut dimasukkan dalam kategori "royalti", sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh. Jadi kalau pelanggannya adalah wajib pajak Indonesia maka yang bersangkutan harus memotong PPh Pasal 26, dengan catatan bahwa tarifnya tergantung domisili dari wajib pajak yang menerimanya. Pemotongan PPh pasal 26 ini bisa tidak final jika server tersebut dianggap sebagai "bentuk usaha tetap". D. Tinjauan Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Peluang untuk mengenakan pajak atas transaksi ini sangat besar terutama Pajak Konsumsi yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun sampai dengan saat ini, ketentuan perpajakan yang berlaku, yaitu UU PPN Tahun 2000, belum mengatur secara jelas tentang bagaimana sistem dan prosedur pengenaan PPN atas transaksi ini Jenis-jenis transaksi e-commerce dibagi menjadi dua, yaitu transaksi yang berhubungan dengan pembuatan (design) website, dan transaksi yang dilakukan melalui sebuah website. D.1.
Transaksi yang berhubungan dengan pembuatan website Design dan pembuatan homepage adalah termasuk jasa periklanan, yang menurut
pasal 4A ayat 3 UU PPN dan pasal 5 dari PP-144/2000 bukan termasuk jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Oleh karena itu penyerahan jasa design website dan pembuatan homepage adalah terutang PPN berdasarkan UU PPN. Indonesia masih dimungkinkan melakukan pengenaan PPN atas transaksi e-commerce berdasarkan ketentuan Undang-undang perpajakan terutama UU PPN Tahun 2000 dan UU KUP Tahun 2007. Ketentuan pengenaan PPN diperkuat juga dengan dikeluarkannya aturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang intinya mengatur masalah penggunaan dokumen elektronik, tanda tangan elektronik dan pengaturan pelaku transaksi ecommerce. Untuk itu diharapkan Direktorat Jenderal Pajak agar membuat aturan yang jelas mengenai transaksi e-commerce terutama dalam membuat sistem dan prosedur pengenaan PPN atas transaksi e-commerce yang didasarkan atas asas kepastian hukum, asas kemudahan dan berbiaya rendah dengan menggunakan bantuan teknologi.
6
D.2.
Transaksi yang dilakukan melalui website Sesuai dengan OECD Characterization terdapat 28 jenis transaksi e-commerce yang
dilakukan melalui sebuah website3 dan berpeluang dikenakan pajak PPN, yaitu: 1) Electronic order processing of intangible product Transaksi ini adalah pembelian melalui online catalog. Apabila produk yang diperdagangkan bukan termasuk barang dan atau jasa sebagaimana diatur pasal 4A UU PPN dan PP24/2002 (pengganti PP-144/2000), maka transaksi tersebut merupakan penyerahan kena pajak dan terutang PPN sesuai dengan pasal 4 UU PPN. 2) Electronic ordering and downloading of digital product. Transaksi ini adalah pembelian produk melalui “online catalog of software” secara digital. Dalam hal ini software adalah Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UU PPN 3) Electronic ordering and downloading of digital product for purpose of commercial exploitation of the copyright Transaksi ini adalah pemesanan secara online atas digital product dari online catalog. Pemanfaatan produk digital untuk keperluan komersil (contoh; penggunaan merek dagang, lisensi, dan lain-lain) berdasarkan ketentuan pasal 4 huruf (d) UU PPN adalah termasuk pemanfaatan BKP tidak berwujud yang dinekan PPN. 4) Updates and adds on Merupakan kegiatan update dan penambahan kelengkapan atas suatu software. Software adalah BKP (tidak berwujud) sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UU PPN dan pasal 4 A UU PPN serta PP-144/2000, sehingga kegiatan update dan/atau penambahan fasilitas atas software tersebut adalah penyerahan yang terutang PPN sesuai dengan pasal 4 UU PPN. 5) Limited duration software and other digital information licenses Merupakan pemberian ijin secara Cuma-Cuma untuk memanfaatkan suatu software dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan promosi penjualan. Transaksi ini masuk kategori terutang PPN 6) Single use software or other digital product Transaksi ni pembeli mendapatkan hak untuk memakai software atau produk digital lainnya satu kali. Software atau produk digital lainnya adalah BKP tidak berwujud, dengan demikian masuk kategori terutang PPN. 7) Application hosting separate license
3
Winardi, Wahyu, 2002, Tesis: Aspek Pajak Pertambahan Nilai Atas Transaksi E-commerce Berdasarkan UU No.18 Tahun 2000, FISIP UI
7
Di dalam transaksi ini pmakai mempunyai hak tetap untuk memakai produk software melalui perjanjian dengan “host entity” dengan menempatkan”software copy” pada server dan pemakai menerima bantuan teknik. Fasilitas atau hak untuk menempatkan software dan bantuan teknik merupakan jasa kena pajak sesuai pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000, dengan demikian kegiatan ini masuk kategori terutang PPN. 8) Application hosting bundled contract Merupakan perjanjian dengan provider pemilik hak cipta untuk mengakses software. Kegiatan masuk kategori terutang PPN 9) Transaksi ASP (Aplication Service Provider) Pada transaksi ini ASP memperoleh lisensi untuk memakai suatu aplikasi software , dan memberikan akses kepada pelanggan untuk aplikasi software , dan memberikan akses kepada pelanggan untuk aplikasi software tersebut. Hal ini termasuk barang kena pajak tidak terwujud sesuai dengan pasal 1 ayat 3 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000 dari software vendor kepada ASP yangberupa lisensi. Oleh karena itu transaksi ini masuk kategori terutang PPN. 10) ASP License fees Application provider membayar provider aplikasi software sejumlah fee , yaitu sejumlah persen dari penerimaan dari pelanggan ASP. Fee yang dibayar merupakan pemanfaatan atas barang kena pajak tidak berwujud sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UU PPN, sehingga terkena ajak PPN. 11) Website hosting provider Transaksi ini adalah pemberian tempat pada server untuk ditempati website. Hal ini masuk kategori jasa kena pajak yang berdasarkan pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP144/2000 dikategorikan sebagai jasa kena pajak sehingga kegiatan ini terutang PPN 12) Software maintenance Transaksi ini merupakan penggabungan antara software maintenance contract dengan software updates dengan bantuan teknik. Hal ini dikategorikan sebagai jasa kena pajak berdasarkan pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000 sehingga kegiatan ini terutang PPN 13) Data warehousing Penempatan data computer pelanggan dalam server yang dimiliki dan dioperasikan oleh provider yang merupakan jasa pemanfaatan space/tempat untuk menyimpan database yang dikategorikan sebagai penyerahan jasa kena pajak berdasarkan pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000 sehingga kegiatan ini terutang PPN 14) Customer support over computer network 8
Bantuan teknik termasuk saran-saran untuk instalasi, informasi untuk memecahkan masalah yang berupa technical support, trouble shooting database, yang dilakukan secara online, termasuk jasa kena pajak yang terutang PPN. 15) Data retrieval Merupakan penyerahan informasi kepada pelanggan yang menurut pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000 dikategorikan sebagai jasa kena pajak sehingga kegiatan ini terutang PPN 16) Delivery of exclusive or other high value data Produk yang diserahkan dalam bentuk informasi dengan tambahan analisis atas data pelanggan, yang menurut pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000 dikategorikan sebagai jasa kena pajak sehingga kegiatan ini terutang PPN. 17) Advertising atau banner adds Merupakan transaksi pembayaran atas fee iklan yang muncul setiap user meng-klik web site tertentu. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat 6 dan pasal 4A UU PPN serta PP-144/2000 juga dikategorikan sebagai jasa kena pajak yang terkena PPN. 18) Electronic access to professional advice Merupakan konsultasi jasa professional (konsultan, pengacara, dan dokter), juga merupakan jasa kena pajak yang terkena PPN 19) Technical information Informasi teknis yang bersifat rahasia, merupakan jasa kena pajak yang terkena PPN 20) Information delivery Informasi yang dikirim kepada pelanggan, juga masuk kategori kegiatan terkena PPN berdasarkan pasal 1 ayat 6 dan pasal 1A ayat 1 dan pasal 4 UU PPN. 21) Access to an interactive website Akses terhadap website tertentu termasuk informasi , music, video, game, dan kegiatan lainnya. 22) Online shopping portals Space yang dimanfaatkan oleh para merchant untuk menempatkan katalognya, merupakan Jasa Kena Pajak (JKP) , sehingga terkena pajak PPN. 23) Online auctions Hak untuk mendisplay barang yang diterima oleh merchant merupakan jasa kena pajak, sehingga terkena pajak PPN. 24) Sales referral program Sales referral program yang diterima oleh online provider dari operator website. 25) Content acquisition transaction 9
Operator website membayar content provider atas cerita-cerita baru, informasi dan content online lainnya. 26) Streamed (real time) web based broadcasting. Pengguna mengakses database copyrighted audio dan/atau materi visual lainnya dan broadcaster enerima langganan atau penghasilan iklan. 27) Carriage fees Content provider membayar web site operator agar content-nya didisplay pada website/network. 28) Subscription to web site allowing the downloading of digital products Pelanggan membayar secara periodic biaya untuk mengakses website yang berisi “digital copyrighted content” seperti music. Kegiatan ini masuk kategori terutang PPN
Kesimpulan 1. Peluang perolehan pajak dari transaksi e-commerce masih sangat besar di Indonesia mengingat belum ada fatwa yang menghambat bagi pemerintah dalam mengumpulkan pajak dari transaksi ini seperti yang terjadi di Amerika; 2. Trend kecenderungan nilai transaksi e-commerce di masa–masa mendatang di Indonesia akan semakin besar. Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pajak perlu secara jeli melihat kelemahan-kelemahan aturan yang berkaitan dengan UU PPh dan PPN seperti yang diuraikan dalam pembahasan PPh dan PPN, untuk menjadi payung hukum pemungutan pajak-pajak dari transaksi ini; 3. Terdapat 28 jenis transaksi e-commerce yang berpeluang untuk dipungut pajaknya. 4. Diperlukan penyempurnaan aturan pajak yang berkaitan dengan pajak PPN dan PPh dalm upaya mencari terobosan penerimaan pajak PPN dan PPh dari sector e-commerce yang ada saat ini.
10