Bacaan MATERI
INTEGRITY ACTION - 2012
MATERI BACAAN INTEGRITAS
Materi Bacaan Modul Integrity Officer
DAFTAR ISI
KERANGKA TEORI .......................................... 3 INTEGRITAS PERSONAL ............................... 38 MANAJEMEN INTEGRITAS LEMBAGA ......... 53 SISTEM INTEGRITAS NASIONAL .................. 63
Baharuddin Lopa
Page 2
MANAJEMEN INTEGRITAS LEMBAGA Dr. Sintaningrum, Drs. Kartini, Rusfi
BUDAYA DAN INTEGRITAS ORGANISASI Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan keyakinan-‐ keyakinan para anggotanya dalam menjalankan aktivitas kerja sehari-‐hari mengenai hal-‐hal dan cara-‐cara mana yang benar dan yang mana yang salah. Keyakinan-‐ keyakinan ini tidak permanen sepanjang masa, walaupun bisa pula berumur panjang; tetapi keyakinan-‐ keyakinan ini juga dapat berubah perlahan tanpa disadari oleh para anggotanya tergeser dalam praktek-‐ praktek keseharian serta praktek keputusan dan kebijakan-‐kebijakan organisasi dalam menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi. Dari pemahaman ini maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
53
adalah bersifat mempengaruhi aktivitas kerja organisasi, tetapi sebaliknya juga budaya organisasi secara perlahan tanpa disadari dipengaruhi oleh proses-‐proses diskursif aktivitas dan keputusan-‐keputusan kerja organisasi itu sendiri. Dualitas pengaruh perubahan budaya organisasi ini persis seperti premis dari teori dualitas strukturasi (Giddens, 1984). Budaya organisasi bersifat sangat dinamis berubah-‐ubah mengikuti dinamika dan kebutuhan organisasi, bahkan dapat berubah tidak terkendali ke arah yang konter-‐produktif jika tidak dikelola dengan arah dan cara yang seharusnya. Anatomi budaya organisasi yang bisa dijabarkan dalam 3 lapisan budaya: artefak, perilaku, dan asumsi-‐asumsi (Schein, 1995) ini saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Budaya organisasi yang paling nampak adalah simbol-‐simbol, tata-‐letak, bentuk dan warna ruang kerja, dan berbagai karya atau produk organisasi. Perilaku-‐perilaku para pekerja dan pemimpinnya juga merupakan bagian dari budaya dari suatu organisasi atau lembaga. Demikian pula dengan cara pikir dan cara berperasaan dari para anggota suatu lembaga yang berdasarkan keyakinan-‐keyakinan dan asumsi-‐asumsi tertentu adalah merupakan budaya organisasi yang paling laten dan sulit ‘dilihat’ oleh pihak-‐pihak lain, bahkan oleh para anggota organisasi itu sendiri. Interaksi dari ketiga unsur budaya organisasi ini saling menunjang untuk membentuk suatu bentuk budaya yang bisa akhirnya bermanfaat mendorong produktiQitas organisasi, atau justru sebaliknya bisa akhirnya menjadi budaya yang konter-‐produktif. Untuk itulah maka diperlukan cara-‐cara untuk mengelola budaya organisasi. a. Integritas Organisasi Menurut panduan Integritas dari Organisasi Bea-‐cukai Dunia (World Customs Organization, WCO, 2007), arti integritas adalah sikap-‐sikap positif yang memelihara kejujuran dan tindakan etis serta praktek-‐praktek kerja. Dalam prinsip administrasi pemerintahan, integritas tidak saja dimaksudkan untuk memerangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga termasuk untuk memastikan terwujudnya standar pelayanan dan kesesuaian pelaksanaannya. Dengan kata lain, untuk mencapai 54
tahapan integritas organisasi perlu membangun budaya integritas melalui pengembangan dan pemeliharaan sikap-‐sikap dan nilai-‐nilai anti-‐korupsi dalam arti seutuhnya (WCO, 2007). Budaya integritas dapat membangun kepercayaan (trust). Dengan Integritas akan terbangun kepercayaan masyarakat terhadap organisasi. (Creed, W. E. D., & Miles, R. E. (1996). Integritas dapat membangun pengaruh. Dengan kepercayaan kebijakan akan mudah diterima dan dilaksanakan dengan secara sukarela. Integritas dapat membangun keteladanan; sebelum kita mengajarkan atau mengajak orang lain untuk melakukannya, kita harus terlebih dulu menjadi teladan. Integritas dapat menghasilkan reputasi yang kuat, bukan hanya citra; karena citra adalah gambaran sesaat pihak lain atas organisasi kita, sedangakan integritas sebuah bukti kesejarahan atas komitment, konsistensi, kedisiplinan diri, keyakinan diri, yang disertai hasil yang sesuai dengan keinginan masyarakat (prestasi organisasi). Dan Integritas menghasilkan eQisiensi kerja yang tinggi; dengan kepercayaan dan tanggungjawab antar-‐ individua yang tinggi akan cepat diselesaikan setiap masalah dengan lebih cepat. Membangun budaya integritas adalah sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan setiap lembaga ke depan.
55
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Melahirkan Budaya Integritas a.
Strategi Budaya Integritas Dengan mengacu pada rencana strategis organisasi, maka perlu ada strategi insani (people
strategi) mengenai bagaimana membangun insan pekerja yang berintegritas. Hal penting yang harus diperhatikan dalam merumuskan strategi insani ini adalah dengan 5 aspek VISAR: Vision, Incentive, Skills, Action Plan, dan Resources (Topchik, 2001). Adanya kekurangan dari salah satu unsur di atas akan sulit bagi lembaga mewujudkan integritas dalam organisasi tersebut. Yang dimaksudkan dengan Visi on disini adalah bahwa strategi integritas perlu secara jelas dinyatakan alasan-‐alasan perlunya integritas dalam organisasi atau lembaga dan perlunya pernyataan secara eksplisit dan mudah dipahaminya suatu bentuk iklim kerja seperti apa yang akan dibentuk di kemudian hari. Tanpa visi integritas organisasi, pekerja akan kebingungan menuju arah manakah dirinya seharusnya bergerak menuju integritas organisasi. Incentive disini adalah kesadaran atas kemanfaatan integritas bagi setiap pribadi insan pekerja selain kemanfaatan bagi organisasinya. Tanpa insentif atau kesadaran manfaat untuk diri pribadi, integritas diri akan sangat lambat berkembang dan tanpa antusiasme. Skills adalah ketrampilan dalam berintegritas baik itu berupa ketrampilan berpikir, berkomunikasi, beremosi yang dibutuhkan dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang bertentangan dengan keadaan yang tidak kondusif bagi perkembangan integritas lembaga. Untuk itulah maka perlu dirumuskan Kode Etik Lembaga dan Petunjuk Pelaksanaannnya. Tampa ketrampilan ini akan terjadi kegamangan dan keraguan bertindak (anxiety) yang menghambat kepercayaan diri.
56
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Action Plan merupakan rencana langkah-‐langkah spesiQik bagi setiap individu untuk membangun integritas dirinya sesuai dengan visi integritas organisasi. Tanpa rencana tahapan langkah yang benar akan terjadi kesalahan prioritas dan awalan tindakan yang konter-‐produktif. Dan yang terkahir , dan yang banyak dilupakan, adalah resources yang berupa waktu, alat, dana untuk mendukung proses pengembangan integritas ini. Sumberdaya perlu dialokasikan secara tepat waktu dan tepat jumlah. Tanpa dukungan sumberdaya ini insan pekerja akan frustasi karena semua hal yang sudah jelas dan benar, ternyata tidak bisa dilaksanakan disebabkan oleh sumberdaya yang tidak memadai .
VISAR VISION
INSENTIVES
SKILLS
ACTION
RESOURCES
=
CHANGE
INSENTIVES
SKILLS
PLAN ACTION
RESOURCES
=
CONFUSION
SKILLS
PLAN ACTION
RESOURCES
=
CHANGE TOO
PLAN ACTION
RESOURCES
=
GRADUAL ANXIETY
RESOURCES
=
FALSE START
=
FRUSTATION
VISION VISION
INSENTIVES
VISION
INSENTIVES
SKILLS
VISION
INSENTIVES
SKILLS
PLAN
ACTION PLAN
Sumber: Topchick, 2001: 97-‐100.
a. Pengenalan dan Sosialisasi Budaya Integritas Langkah awal dari setiap rencana perubahan adalah pengenalan dan sosialisasi perubahan. Demikian pula dengan Budaya Integritas yang belum secara jelas dan pasti bagi masyarakat pegawai perlu kiranya dilakukan program pengenalan dan sosialisasi terlebih dahulu. Pencanangan budaya integritas sebagai budaya lembaga perlu memberikan ruang waktu dan ruang pikir yang cukup bagi seluruh pegawai yang nantinya menerima konsekuensi kerjanya. Buah konsekuensi-‐konsekuensi positif yang biasanya masih akan diperoleh di kemudian hari mungkin belum cukup bisa diterima karena konsekuensi-‐konsekuensi awal perubahan lebih sering dirasakan membebani. Oleh karena itu pengenalan perubahan yang baik harus selalu menyampaikan pesan manfaat dan beban secara sepadan.
57
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Dikatakan suatu organisasi atau lembaga telah siap untuk berubah (readiness to change), jika para individu dalam organisasi tersebut telah menerima secara sepadan arti dari manfaat perubahan tersebut untuk jangka panjang dan memahami konsekuensi beban jangka pendek perubahan (Haid M., et al, 2009). Pengukuran kesiapan yang sering salah dilakukan adalah mengukur pemahaman manfaat perubahan untuk jangka panjang (pemahaman visi) saja, tetapi sering lupa mengenai pemahaman konsekuensi ‘beban’ jangka pendek. Penerimaan maksud dan manfaat jangka panjang tidak serta merta menjadi penerimaan konsekuensi beban perubahan jangka pendek para pegawai. Adalah sangat penting bagi para pegawai untuk menerima keadaan yang ‘bersakit-‐sakit dahulu, bersenang-‐senang kemudian’ dengan jangka waktu yang pasti. Terutama periode bersakit-‐sakit harus dipastikan kapan berakhir, dan tidak seharusnya terlalu lama. Manfaat budaya integritas bagi organisasi sudah jelas seperti dijelaskan di atas, namun manfaat integritas bagi pegawai sering-‐sering dilupakan. Dalam situasi lingkungan yang serba tidak jujur, sering menjadi hambatan bagi individu untuk berbuat jujur seorang diri. Ia akan dikucilkan; ia akan bekerja sendiri; ia akan dihambat dan dipersulit. Oleh karena itu lebih ringan bagi individu jujur untuk ikut bertindak tidak jujur, bahkan ada rasa nyaman dan aman jika bertindak tidak jujur secara bersama. Sehingga untuk membangun budaya integritas adalah sangat penting disadarkan manfaat budaya integritas bagi setiap pribadi atas perilaku integritas dan support-‐support atasan dan lembaga untuk perilaku integritas tersebut. Manfaat untuk pribadi atas integritas akan kembali pada nilai-‐nilai religius dan kedamaian hati. Integritas akan dekat dengan arti religius dan pahala akhirat. Namun arti dan manfaat integritas untuk kehidupan sosial-‐psikologis yang: damai, tidak merasa dicurigai, tentram, bebas dari keberpihakkan, dan bisa bergaul kemana saja tanpa beban adalah manfaat yang pada hakikatnya merupakan kebahagiaan duniawi yang selalu dicari manusia. Untuk hal ini perlu terbangunnya kesadaran bathin seluruh pegawai pada tahap sosialisasi budaya integritas. Jika diperlukan untuk hal yang satu ini akan dibutuhkan dukungan dari para ulama dan pakar agama. Secara simultan dukungan kebijakan lembaga untuk perilaku integritas adalah penting diwujudkan dalam suatu ketetapan baku dan bukan dalam bentuk janji-‐janji belaka. Dengan pendekatan sosialisasi seperti ini maka integrasi antara artefak integritas, perilaku integritas, dan nilai-‐nilai integritas dapat secara konsisten telah diwujudkan dalam langkah pertama lembaga. Artefak integritas diwujudkan dalam program sosialisasi ini sendiri. Perilaku integritas dicontohkan dengan kebijakan lembaga yang baku dalam bentuk ketetapan untuk dukungan-‐ dukungan perilaku pegawai. Sikap dan nilai-‐nilai integritas dicontohkan dan dipercayakan oleh lembaga kepada para ulama dan para pakar agama yang lain. Sesuai dengan teori budaya organisasi dan konsistensi budaya Schein (1995) maka pendekatan sosialisasi ini sangat serupa. 58
S
ARTEFAK
PERILAKU
NILAI
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Program Sosialisasi Integritas
Kebijakan Baku Perilaku Integritas
Kebijakan Baku Perilaku Integritas
PROGRAM SOSIALISASI YANG TERINTEGRASI SEBAGAI AWAL PEMBENTUKAN INTEGRITAS LEMBAGA
59
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Mempertahankan Budaya Integritas
a. Keteladanan Keteladanan adalah hal yang paling utama untuk budaya integritas. Keteladanan integritas tidak saja dibutuhkan dari atasan setiap pegawai tetapi juga yang sangat penting adalah keteladanan dari mereka yang dianggap senior atau ‘yang di-‐tua-‐kan.’ Peranan moral dari seorang pimpinan dalam: berkomitmen dan berdisiplin yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu perilaku etis dalam organisasi karena komitmen 60
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
dan disiplin atasan akan dijadikan model perilaku bagi seluruh pegawai. Atasan harus memberikan teladan dan kemauan yang kuat untuk membangun suatu budaya yang kuat dalam organisasi. Transparansi dan Keadilan dalam perekrutan dan promosi pegawai merupakan bukti kuat integritas internal yang harus dijaga. Ketidakpercayaan pegawai yang terbesar dari pegawai berasal dari dua hal ini. Transparasi promosi juga sangat terkait dengan manajemen kinerja organisasi b. Ritual Ritual adalah acara rutin untuk penegakan suatu budaya integritas yang perlu diciptakan dan diselenggarakan secara aktif setiap hari. Pembiasaan perlu dilakukan sehingga terjadi pembelajaran eksperensial (Burch, 1970) dari: Tidak Sadar-‐Tidak Mampu (Unconscious-‐Incompetence), menjadi Sadar-‐Tidak Mampu (Conscious – Incompetence), menjadi Sadar-‐Mampu (Conscious-‐Competence), hingga Tidak Sadar-‐ Mampu (Unconscious-‐Competence). Setiap individu pegawai yang telah benar-‐benar berintegritas biasanya tumbuh dari tahapan individu yang tidak sadar bahwa ia tidak mampu, kemudian sadar bahwa ia tidak mampu. Pada tahap ini muncullah tahap keinginan untuk memulai belajar. Hasil pembelajaran tahap berikutnya setelah berulang kali belajar maka tumbuhlah kesadaran bahwa memang ia telah mampu. Namun tahap yang lebih purna dari pembelajaran yang terus menerus adalah sebuah kebiasaan. Dengan kebiasaan berintegritas, pegawai akan tidak sadar atau secara reQlektif menjalankan kemampuan berintegritas. Ritual harian atas arti dan perilaku integritas perlu dirumuskan dan diritualisasi setiap hari.
61
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
c. Pelatihan Pelatihan dimaksudkan untuk pengembangan lebih jauh dari praktek-‐praktek ketrampilan berintegritas yang tidak akan pernah berhenti pada tahapan dan pemahaman yang selalu baru untuk lingkungan lembaga yang terus berubah, selain juga untuk dilatihkan untuk meningkatkan ketrampilan yang masih dirasakan kurang untuk individu-‐individu tertentu. Melakukan pelatihan secara periodik bagi seluruh pegawai tentang nilai-‐nilai organisasi atau entitas dan standar-‐standar pelaksanaan (code of conduct). Penilaian yang objektif dan terus menerus atas ketaatan terhadap nilai-‐nilai entitas dan standar pelaksanaan, dengan pengungkapan penyimpangan-‐ penyimpangan sesegera mungkin. d. Reward and Punishment Reward dan Punishment yang dimaksudkan dalam konteks integritas adalah penghargaan atas perilaku integritas yang terkait dengan penilaian kinerja pegawai dan konsekuensinya. Pegawai harus diberi kesempatan untuk melaporkan perbuatan tidak baik yang dilakukan pegawai, manajer atau kliennya. Sistem ini harus menjamin dan menjaga kerahasiaan pegawai agar tidak diketahui namanya dan kelangsungan pekerjannya. Sistem hendaknya juga dapat meningkatkan rasa percaya diri pegawai 62
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Integritas Sosial dan Sistem Integritas Nasional
1.
Negara sebagai Sebuah Sistem
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang CIO perlu memahami secara jelas bahwa negara merupakan sebuah sistem, yang bekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh masing-‐masing negara. Secara umum, sistem itu bekerja untuk mensejahterahkan dan membahagiakan masyarakatnya, dengan indikator umum yaitu meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, meningkatnya derajat pendidikan, dan meningkatnya kualitas kesehatan. Tentu saja indikator-‐indikator ini tidak berhenti sampai di sini saja, melainkan terus berkembang mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat dalam negara itu. Sebenarnya deQinsi tentang sistem tentu banyak sekali. Akan tetapi untuk kebutuhan praktis, kita perlu merujuk pada deQinsi yang bersifat umum dan komprehensif. Menurut Aminullah (2001: 3), sistem merupakan keseluruhan inter-‐aksi 63
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
antar unsur dari sebuah aksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Sedangkan menurut Peter Checkland dan Jim Scholes (1990: 34), sistem juga dapat dilihat sebagai sebuah instrumen transformasi, yang mengubah input dari sistem itu untuk menghasilkan output. Kedua pengertian sistem di atas cukup menegaskan bahwa negara adalah sebuah sistem karena negara memiliki tujuan, dan tujuan itu dicapai melalui interaksi antara elemen-‐elemen negara, dimana dalam interaksi itu merupakan upaya negara untuk mentranformasi input yang berupa sumber daya untuk menghasilkan output yang dapat mensejahterakan keseluruhan rakyatnya. Bukan mensejahterahkan sekelompok elit tertentu saja. Sebagai sebuah sistem, seorang CIO haruslah yakin bahwa sesungguhnya tidaklah sulit mewujudkan tujuan negara itu. Terlebih jika negara tersebut memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan potensi sumber daya manusia yang besar baik kualitas maupun kuantitas. Kenapa demikian? Karena setiap negara memiliki power atau kekuasaan. Dengan kekuasaan inilah, negara tadi memiliki hak mutlak dan penuh untuk memproses segala jenis inputnya untuk mengubahnya menjadi output yang kemudian berfungsi untuk mensejahterahkan dan membahagiakan keseluruhan rakyatnya. Gambar berikut ini mengilustrasikan bagaimana kekuasaan negara dapat dipergunakan untuk mensejahterahkan keseluruhan rakyat:
INPUT: Sumberdaya yang dimiliki oleh Negara
PROSES: Kekuasaan Negara
OUTPUT: Produk yang dapat mensejahterakan rakyat
Gambar Proses Transformasi Oleh Kekuasaan Negara
64
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Mudahnya suatu negara mencapai tujuannya bukanlah suatu pendapat baru, melainkan telah diiden?fikasi jauh tahun yang lalu oleh Plato yang hidup pada tahun 429 – 347 SM. Akan tetapi, Plato mengajukan persyaratan mutlak yaitu penyelenggaraan negara dalam hal ini pemegang kekuasaan haruslah berada di tangan orang-‐orang yang arif dan budiman yang memerintah sesuai dengan pikiran keadilan (Soehino, 1986: 18). Singkatnya, kekuasaan negara tersebut haruslah berada ditangan orang yang berintegritas. Menemukan penguasa yang memiliki integritas tentulah ?dak mudah, terutama kalau negara itu sangat plural. Bahkan, Plato sendiri mengakui kualitas pribadi seper? itu ?dak dapat dijamin stabil karena pada hakekatnya manusia itu cenderung berubah-‐ubah. Oleh karena itu, seorang CIO wajib memahami bahwa para penyelenggara negara adalah manusia biasa yang ?dak terlepas dari keinginan (want), kebutuhan (need) dan keserakahan (greed) yang bersifat subyek?f, yakni menempatkan kepen?ngan pribadi atau golongan di atas kepen?ngan masyarakat. Lambat laun penyelenggara negara yang sudah memegang kekuasaan tersebut akan terperosok ke jurang penyalahgunaan kekuasaan.
Lantas mengapa penyelenggara negara memiliki kecendrungan nega?f seper? itu? Tentu
jawaban terhadap pertanyaan ini ?daklah satu, melainkan sangat beragam. Perilaku nega?f seper? itu dapat dikupas dari berbagai sudut pandang, mulai dari agama, psikologi, manajemen sampai pada sudut pandang poli?k. Oleh karena itu, seorang CIO perlu memahami sejumlah sudut pandang yang dapat menjelaskan perilaku nega?f seper? itu agar dapat memilih penjelasan yang tepat sesuai dengan audiens dan konteks tempatnya bekerja nan?. Pertama, dari sudut pandang psikologi dapat dijelaskan bahwa berperilaku nega?f seper? itu adalah hal yang manusiawi. Se?ap manusia memiliki potensi untuk berperilaku nega?f karena dalam otaknya terdapat apa yang disebut korteks prefrontalis yang mengontrol perilaku rasional dan amigdala yang mengontrol emosi (Taufik Pasiak, dalam Kompas 8 Maret 2012). Jika korteks prefrontalis mengalami gangguan, sehingga yang dominan bekerja adalah amgidala, maka perilaku orang tersebut ?dak lagi dikendalikan oleh akal sehat melainkan oleh emosi, yang pada gilirannya menjauhkannya dari perilaku berintegritas.
Kedua, dari sudut pandang manajemen dan organisasi, Douglas Mc Gregor mengemukan adanya
?pe X dan ?pe Y yang melekat pada diri pegawai atau karyawan kantor. Jika seorang pegawai ber?pe X, maka pegawai tersebut pada dasarnya ?dak suka bekerja, ?dak mau berinisia?f dan lebih suka diperintah, ?dak krea?f, dan hanya dimo?vasi oleh fisiologis dan keamanan, serta maunya diawasai secara ketat (Michael Losey, Sue Meisinger, and Dave Ulrich, 2005:263). Senada dengan ini, Frederic W Taylor (1967) menemukan fenomena soldiering pada para pegawai, yaitu suatu sikap yang bertentangan dengan perilaku produk?f, seper? ?dak mau bekerja keras karena takut kalau kinerjanya yang ?nggi itu akan dijadikan standar baru, takut kalau pekerjaan sudah habis dan dia ?dak dipekerjakan lagi, dan lain-‐lain
65
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Ke?ga dari sudut pandang poli?k, James Madison berpendapat bahwa pada dasarnya semua manusia bersifat egois, dan selalu berupaya mendapatkan kekuasaan yang op?mal untuk mewujudkan keinginan pribadinya (Dunleavy dan O’Leary, 1987: 14). Keinginan pribadi ini merupakan hal yang bersifat universal dan selalu hadir dalam penyelenggaraan negara. Pada negara bentuk apapun, dari aristokrat sampai pada demokrasi liberal, keinginan pribadi selalu hadir. Berangkat dari kecendrungan perilaku penyelenggara negara yang selalu berubah-‐ubah dan cenderung nega?f seper? yang diuraikan di atas, maka muncul upaya untuk membangun suatu sistem penyelenggaraan negara yang membatasi perilaku nega?f dan kekuasaan para penyelenggara negara agar mereka ?dak berlaku sewenang-‐wenang dan menyalahgunakan kekuasaan. Kehidupan bersama harus diatur agar bisa hidup bersama dan bersama-‐sama hidup, bukan hanya kelompok mayoritas saja tetapi juga kelompok minoritas. Semuanya dapat hidup secara berdampingan dengan harmonis. Dari sinilah seorang CIO perlu memahami dengan baik mengapa sistem penyelenggaraan negara dalam suatu negara selalu berubah-‐ubah? Mengapa sistem kekuasaan yang dimiliki oleh penyelenggara itu diatur sedemikian rupa agar penyelenggara negara dapat berada di tangan manusia yang berintegritas. Hingga sekarang paling ?dak terdapat ?ga cara yang dapat diiden?fikasi untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara itu, yaitu dengan pemilihan para penguasa melalui pemilihan umum, dengan pembagian kekuasaan melalui pelebaran kekuasaan atas rakyat, dan dengan kontrol yurisdiksionil melalui peraturan perundangan yang mengontrol kekuasaan tersebut (Soehino, 1988: 269). Pencarian manusia untuk mendapatkan sistem penyelenggaraan negara yang sempurna itu dikenal dengan is?lah administra1ve reform, atau reformasi yang isinya ?dak jauh dari ?ga cara seper? yang diuraikan di atas. Hampir dapat dipas?kan bahwa se?ap negara telah melakukan reformasi terhadap ke?ga cara di atas sesuai konteks dan kebutuhannya, termasuk di Indonesia. Sejak Indonesia didirikan, pemilihan penguasa, pembagian kekuasaan negara, dan peraturan perundangan di Indonesia telah mengalami reformasi. Di era reformasi yang berjalan lebih dari satu dekade ini, reformasi terhadap ke?ga cara tersebut bahkan semakin intensif dan dinamis. Reformasi terhadap pembagian kekuasaan negara secara teori?s dapat ditelusuri pada pemikiran Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu (1688 – 1755), seorang pemikir Perancis yang berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi menjadi ?ga bagian yaitu kekuasaan perundang-‐undangan atau legisla?f, kekuasaan melaksanakan pemerintahan atau ekseku?f, kekuasaan kehakiman atau yudika?f. Pembagian kekuasaan seper? ini dikenal luas dengan is?lah trias poli1ka (Soehino, 1988: 117). Se?ap kekuasaan dipegang oleh badan tersendiri sehingga kekuasaan negara ?dak berada pada satu badan saja. Dengan demikian, negara dapat terhindar dari kekuasaan absolu?sme yang berpotensi memunculkan ?ndakan sewenang-‐wenang.
66
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Dalam perkembangannya, reformasi kekuasaan negara terus melebarkan kekuasaan negara tersebut secara horizontal, dan satu per satu kekuasaan negara mulai muncul dan teriden?fikasi berbeda dengan ?ga kekuasaan yang telah diiden?fikasi oleh Montesquieau sebelumnya. Pembagian kekuasaan perlu dilakukan sebagai upaya membangun sistem check and balance atau sistem saling mengontrol dalam kekuasaan negara. Kekuasaan-‐kekuasaan negara tersebut antara lain adalah kekuasaan audi?f atau kekuasaan untuk mengaudit lembaga-‐lembaga negara lainnya, kekuasaan kons?tu?f atau kekuasaan untuk menilai legalitas suatu peraturan perundangan, termasuk kekuasaan moneter atau kekuasaan untuk mengatur keuangan pada suatu negara. Meskipun reformasi kekuasaan negara telah dilebarkan secara horizontal, namun belum ada jaminan masing-‐masing lembaga yang memegang kekuasaan tersebut menjalankan kekuasaannya secara berintegritas. Bagaimanapun panjang dan banyaknya kekuasaan negara tersebut dilebarkan secara horizontal untuk saling mengontrol, praktek kesewenang-‐wenangan belum bisa dijamin hilang. Dalam perkembangannya, masing-‐masing badan berpotensi mengembangkan perilaku ego-‐sektoral yakni berkuasa pada bidangnya dan mengembangkan perilaku sewenang-‐wenang ber?ndak egois memen?ngkan kepen?ngannya sendiri meskipun harus berlaku ?dak adil terhadap rakyat. Kekuasaan-‐kekuasaan negara tersebut cenderung berperilaku kolu?f apabila berhadapan dengan tekanan dan ancaman dari luar kekuasaan negara, bahkan termasuk rakyat sekalipun. Meskipun dalam kenyataannya kekuasaan negara tersebut telah terpisah-‐pisah dan memiliki bidang keuasaan masing-‐ masing, tetapi mereka masih memiliki kesamaan yaitu sama-‐sama merupakan bagian dari kekuasaan negara. Kesamaan inilah membuat mereka cenderung berperilaku kolu?f yang dikenal luas dengan is?lah mafia. Mafia pengadilan, mafia anggaran, mafia pajak merupakan contoh-‐contoh penyalahgunaan kekuasaan negara yang terjadi karena berkolusinya pemegang kekuasaan negara. Reformasi administrasi yang melebarkan kekuasaan negara hanya dalam lingkup negara melahirkan fenomena negara eta?sme atau serba negara. Semuanya dikerjakan oleh negara. Praktek serba atau sarwa negara dalam perkembangannya dinilai menjadi ?dak efek?f mengontrol kekuasaan negara, karena mekanisme check and balance di antara pemegang kekuasaan negara ?dak berjalan. Bahkan yang muncul adalah praktek kolusi di antara mereka dalam bentuk mafia. Selain itu, praktek bernegara juga mengalami perkembangan. Kehadiran sebuah negara ?dak lagi sekedar melayani (to serve) dengan melakukan tugas-‐tugas ru?n, melainkan negara juga dituntut untuk mengkreasi nilai bagi masyarakat di mana ia berada (Riant Nugroho, 2003: 11). Kebutuhan masyarakat akan kreasi nilai semakin pen?ng dalam konteks globalisasi. Dengan nilai yang telah dikresi tersebut, ja? diri negara dapat muncul untuk kemudian dapat disejajarkan dengan negara-‐negara maju. Untuk memenuhi semua tuntutan tersebut, reformasi kekuasaan negara pun terus berlanjut. Kali ini kekuasaan perlu dilebarkan lebih lebar lagi secara horizontal bukan hanya dalam kekuasaan negara, tetapi 67
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
keluar dari kekuasaan negara merangkul kekuatan-‐kekuatan yang ada pada rakyat, seper? sektor swasta, dan masyarakat madani. Pelebaran kekuasaan negara jenis ini juga dipacu oleh berkembangnya doktrin New Public Management (NPM) di era tahun 80-‐an, yang esensinya mendorong pelibatan swasta dan juga masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (Robert B. Denhardt, 2008: 113). Fenomena priva?sasi, outsourcing dan sejenisnya adalah produk doktrin NPM ini. Dengan demikian kekuasaan negara tertentu ?dak lagi menjadi dominasi elemen negara melainkan telah dapat melibatkan elemen non-‐pemerintah untuk mengelolanya. Jeremy Pope (2003: 68) misalnya, mengiden?fikasi adanya empat elemen-‐elemen di luar negara yaitu media, pelaku internasional, masyarakat sipil dan sektor swasa. Meskipun reformasi administrasi telah berupaya melebarkan kekuasaan negara selebar-‐lebarnya guna mengontrol kekuasaan negara itu sendiri, ?dak ada jaminan bahwa perilaku ?dak berintegritas penyelenggara negara itu hilang. Pada awalnya elemen-‐elemen kekuasaan tersebut mungkin akan berkembang dengan baik. Namun sejalan dengan berjalannya waktu, kecendrungan untuk berperilaku berkuasa, sewenang-‐wenang dan menyalahgunakan kekuasaan akan muncul, sebagaimana yang telah dikhawa?rkan oleh Plato jauh tahun yang lalu. Untuk menstabilkannya, sistem penyelenggaraan negara perlu direformasi lagi. Begitulah seterusnya sehingga reformasi administrasi negara itu merupakan a neverending process, sebuah proses yang ?dak pernah berakhir. 2. Integritas Pilar-‐Pilar Pembangunan dalam suatu Negara Berapa jumlah pilar kekuasaan negara dan apa saja pilar-‐pilar itu dalam suatu negara? Seorang CIO perlu memahami dan mampu menjawab pertanyaan ini secara komprehensif, karena berkaitan dengan pilar-‐ pilar dalam Sistem Integritas Nasional. Tentu saja jumlah dan jenis pilar-‐pilar kekuasaan negara ditentukan oleh cara se?ap negara dalam mereformasi kekuasaan negaranya, baik secara horizontal maupun. Sesuai konteks dan kebutuhannya, masing-‐masing negara memiliki per?mbangan sendiri dalam mereformasi kekuasaannya. Akibatnya, lembaga-‐lembaga negara dan organisasi publik lainnya yang dimiliki oleh suatu negara ?daklah seragam. Ke?dakseragaman ini akan memengaruhi kuan?tas pilar-‐pilar pembangunan dalam suatu negara, yang kemudian memengaruhi jumlah pilar dan sistem integritas nasional yang dimilikinya. Di samping itu, di luar ranah negara, para pakar di bidang administrasi publik juga belum memiliki pandangan yang sama tentang bagaimana mengelompokkan aktor atau pelaku pembangunan. Pengelompokkan yang bersifat sederhana misalnya, hanya menggabungkan seluruh pelaku pembangunan diluar negara menjadi satu dan disebutnya masyarakat (Riant Nugroho, 2003: 15-‐16). Menurutnya, dalam masyarakat terdapat pelaku bisnis (private) dan masyarakat (civil society), sehingga perusahaan formal seper? CV, UD, Koperasi dan organisasi masyarakat, kelompok penekan, kesenian, semuanya termasuk dalam ranah masyarakat. 68
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Spesifiknya kegiatan pelaku pembangunan dalam ranah swasta dan ranah masyarakat sipil menuntut adanya pengelompokkan tersendiri. Dalam konsepsi Good Governance atau kepemerintahan yang baik, kedua ranah tersebut dipisahkan secara jelas (LAN, 2008), sehingga secara keseluruhan terdapat ?ga ranah yaitu negara, swasta dan masyarakat, seper? pada gambar berikug:
Gambar 2: Pilar-‐Pilar Pembangunan dalam Suatu Negara Dalam konteks globalisasi, pengelompokkan ranah pelaku pembangunan pada suatu negara tentu semakin lebih kompleks. Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi semakin menghilangkan batas-‐batas negara. Organisasi internasional dapat saja berada pada suatu negara dan melakukan pembangunan. Organisasi internasional dapat berada pada ranah masyarakat seper? LSM internasional, pada swasta seper? perusahanan internasional. Bahkan Badan Usaha Milik Negara lain dapat saja menjadi pelaku pembangunan pada suatu negara lain (Riant Nugroho, 2003: 23) Berikut ini akan diuraikan fungsi masing-‐masing ranah dalam sistem bernegara guna pencapaian tujuan bernegara. a. Negara Untuk mencapai tujuan bernegara, suatu negara paling ?dak menjalankan enam fungsi sebagai suatu sistem, yaitu fungsi kons?tu?f, legisla?f, ekseku?f, audi?f, yudika?f dan moneter, dengan uraian fungsi masing-‐masing sebagai berikut. Dengan menggunakan menggunakan Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN, 2008), masing-‐masing fungsi di atas diuraikan sebagai berikut:
69
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
a. Fungsi Kons?tu?f Dalam fungsi ini, negara membentuk badan tersendiri dan memberi kekuasaan penuh kepada badan ini untuk mengawal kons?tusi suatu negara. Tugas utama badan ini adalah mengubah dan menetapkan kons?tusi. Perubahan dan penetapan dan kons?tusi tentu ?dak mudah. Dibutuhkan penyelenggara negara yang berintegritas dalam menjalankan fungsi ini dengan baik agar kualitas ins?tusi sangat op?mal. Di Indonesia, fungsi ini dijalankan oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR). Jika penyelenggara negara yang bekerja pada badan ini ?dak berintegritas, maka kualitas kons?tusi atau Undang-‐Undang Dasar yang dihasilkan tentulah memiliki paling ?dak dua kelemahan. Pertama, kelemahan pada substansi kons?tusi itu sendiri. Konten substansi kons?tusi ?dak komprehensif dan sistema?s. Kedua, penegakan kons?tusi yang ?dak tegas. Tentu saja kedua kelemahan ini dapat mewujud dalam berbagai bentuk mulai dari pasal-‐pasal pada Undang-‐Undang Dasar yang ?dak komprehensif, mul?tafsir, ?dak sistema?s sampai pada pembiaran pelanggaran kons?tusi. b. Fungsi Legisla?f Untuk menjalankan fungsi ini, negara membentuk sutau badan tersendiri. Badan ini berfungsi menyusun kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundangan yang mengatur halayak hidup orang banyak. Produk badan ini adalah suatu bangunan sistem terhadap pengelolaan sektor dan atau daerah tertentu. Di Indonesia, fungsi ini dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jika terkait dengan kebijakan pemerintah daerah. Untuk menjalankan fungsi legisla?f dengan baik, tentu dibutuhkan legislator-‐legislator yang berintegritas. Menghasilkan suatu kebijakan publik yang berkualitas, tentulah harus melalui serangkaian tantangan. Banyaknya pihak-‐pihak yang berkepen?ngan yang dalam banyak kasus bersedia melakukan apa saja untuk dipenuhi kepen?ngannya, merupakan tantangan utama bagi legislator dalam menjalankan fungsi ini. Perilaku opportunis?s dari semua stakeholder suatu kebijakan publik mutlak harus dikalahkannya, karena hanya dengan begitu kepen?ngan bersama dapat dijunjung?nggi sehingga semua kebutuhan stakeholder dapat dipenuhi secara proporsional. Di samping itu, penguasaan substansi terhadap suatu kebijakan publik memang harus dimiliki oleh legislator yang menjalankan fungsi ini. c. Fungsi Ekseku?f Kebijakan publik yang dihasilkan oleh lembaga legisla?f harus cepat diimplementasikan agar masyarakat dapat cepat menerima pelayanan publik yang prima dari pemerintahnya sehingga mereka dapat membangun kesejahteraannya dengan mudah. Di Indonesia, fungsi ini dijalankan oleh pemerintah dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintah. Dalam menjalankan fungsi, lembaga ekseku?f perlu didukung oleh
70
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Pegawai Negeri (sipil, militer, polisi, pegawai BUMN, BUMD) yang berintegritas, karena kebijakan publik yang sudah baik ?dak selalu berar? implementasinya baik juga. Fungsi ekseku?f ini sangat luas dan beragam sehingga anggaran negara banyak teralokasikan untuk penyelenggaraan fungsi ini. Pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan, keamanan, keter?ban dan seterusnya merupakan sektor yang menjadi obyek pelaksanaan fungsi ini. Singkatnya, fungsi ini melayani rakyat sejak dari lahir, bersekolah, sakit, mencari pekerjaan, nikah, melahirkan, pensiun sampai meninggal dunia. Terkadang struktur lembaga pemerintahan yang telah dibentuk untuk menjalankan sektor tertentu dianggap ?dak cukup atau ?dak fair, maka negara membentuk lembaga non struktural, seper? komisi-‐ komsisi, untuk melengkapinya. Untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, suatu negara juga terkadang mereformasi fungsi ini secara ver?kal dengan membentuk pemerintah pusat, pemerintah daerah. Dalam pemerintah daerah, reformasi ver?kal pun terus berlanjut, membentuk pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan dan seterusnya. Di samping itu, reformasi juga dilakukan agar fungsi pelayanan publik yang sifat dasarnya membelanjakan anggaran negara (spending) terpisah dari fungsi mencari profit atau keuntungan (earning). Dalam melakukan ini, pemerintah di ?ngkat pusat membentuk Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), sedangkan di ?ngkat pemerintah daerah, dibentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Jika ?dak berintegritas, pelaksanaan fungsi ekseku?f ini ?dak berjalan op?mal. Bentuk-‐bentuk pelanggaran integritas dalam pelaksanaan fungsi ini dapat berupa pungutan liar, korupsi, kolusi, suap sampai pada pelaksanaan tugas yang ?dak profesional. Pelanggaran ini dapat terjadi mulai dari kegiatan dan program tersebut direncanakan, diorganisir, dilaksanakan, dimonitor hingga evaluasi dan pelaporannya. d. Fungsi Audi?f Dalam menjalankan fungsi negara, negara mengalokasikan anggaran kepada masing-‐masing badan yang menjalankan fungsi tersebut. Untuk menilai ketepatan penggunaannya, negara membentuk suatu badan untuk menjalankan fungsi audi?f. Di samping anggaran, pengelolaan dan substansi program dan kegiatan juga menjadi obyek dari pelaksanaan fungsi audi?f ini. Hasil pelaksanaan fungsi ini disampaikan kepada badan legisla?f dan yudika?f untuk melakukan ?ndaklanjut seperlunya. Di Indonesia, pelaksanaan fungsi ini dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk menjalankan fungsi ini secara efek?f, diperlukan auditor-‐auditor yang berintegritas, yaitu yang dapat memahami pengelolaan, substansi, dan pembiayaan suatu program dan kegiatan. Bahkan lebih dari itu, para auditor ini juga dituntut untuk mendalami mo?f atau mo?vasi yang berada dibalik pelaksanaan suatu program dan kegiatan. Apakah program dan kegiatan ini merupakan kebutuhan 71
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
masyarakat atau keinginan oknum-‐oknum tertentu. Lebih dari itu, para auditor ini juga ?dak melakukan korupsi dan ?dak dapat disuap. e. Fungsi Yudika?f Interaksi antar warga dan antar lembaga dalam kehidupan bermasyarakat kerapkali memunculkan perselisihan-‐perselisihan. Perselisihan dapat terjadi antara individu dalam masyarakat, antara perusahaan, antara organisasi masyarakat, antara individu dengan lembaga pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat, antara lembaga pemerintah. Untuk memutuskan perselisihan tersebut secara adil, negara membentuk lembaga negara yang untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman atau yudika?f. Di Indonesia, fungsi yudika?f ini dijalankan oleh dua lembaga negara yaitu Mahkamah Agung dengan badan peradilan dibawahnya dan Mahkamah Kons?tusi, yang khusus untuk menguji undang-‐undang terhadap Undang-‐Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai, dan memutus perselisihan pemilu. Untuk menjalankan fungsi ini secara efek?f, diperlukan hakim-‐hakim yang berintegritas. Kuatnya keinginan pihak-‐pihak yang bersengketa untuk menang dan bersedia menempuh semua cara, menuntut dibutuhkannya hakim-‐hakim yang berintegritas kuat untuk menjalankan fungsi yudika?f ini. Sungguh ?dak mudah menjalankan fungsi yudika?f ini. Praktek suap-‐menyuap hakim, mafia peradilan, dan jual beli perkara adalah fenomena yang mengitari kebanyakan proses peradilan. Tidak jarang hakim yang dikenal berintegritas akhirnya ‘jatuh’, karena ?dak konsisten mempertahankan integritasnya ke?ka bertemu dengan godaan-‐godaan tadi. f. Fungsi Moneter Se?ap negara memiliki mata uang sendiri yang dipergunakan sebagai nilai tukar dalam se?ap transaksi. Se?ap warga negara sangat berkepen?ngan dengan kestabilan nilai tukar ini, karena secara langsung dapat mempengaruhi ?ngkat kesejahteraannya. Seseorang tentu ?dak mau jumlah nilai tukar uang ditabungannya terus menerus merosot karena nilai tukar mata uangnya terus mengalami devaluasi. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar uang ini, negara menjalankan fungsi moneter. Selain tugas ini, fungsi moneter dalam suatu negara juga bertanggungjawab dalam mengawasi lembaga-‐lembaga keuangan seper? bank dalam menjalankan bisnisnya. Di Indonesia, fungsi ini dijalankan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Untuk menjalankan fungsi ini dengan baik, dibutuhkan penyelenggara moneter dalam hal ini pegawai bank sentral yang berintegritas. Krisis moneter yang terjadi di berbagai negara pada dasarnya terjadi karena fungsi moneter ?dak dijalankan secara berintegritas, seper? pengawasan Bank yang lemah, pencetakan uang yang ?dak terkontrol. 72
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
b. Masyarakat Sipil Sebagai akibat dari reformasi administrasi negara secara horizontal, dalam masyarakat terbentuk lembaga yang selain bekerja membantu pemerintah dalam melakukan pembangunan, juga ?dak sedikit di antara mereka berperan untuk mengontrol kegiatan-‐kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat mendirikan lembaga ini ?dak dengan maksud mencari profit melainkan bergerak untuk tujuan tujuan poli?k dan sosial. Partai poli?k, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat adalah bentuk-‐bentuk organisasi ini. Dalam bekerja, ?dak sedikit di antara mereka juga menggunakan anggaran negara.
Dalam prakteknya, lembaga-‐lembaga tadi ?dak hanya lembaga-‐lembaga yang bersifat lokal,
melainkan juga ada yang bersifat internasional. Globalisasi yang terus berkembang dan yang terus dipicu oleh semakin mudahnya melakukan kerjasama internasional baik antar lembaga maupun individu, menjadikan lembaga-‐lembaga swadaya internasional mudah masuk dalam suatu negara.
Agar program-‐program pemerintahan dan pembangunan dalam suatu negara berjalan secara
sinergis dan produk?f, maka anggota atau pengurus partai poli?k, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat harus dijalankan oleh individu yang berintegritas. Dalam suatu negara yang ?ngkat pluralisme sangat ?nggi, kepen?ngan-‐kepen?ngan suatu partai, kelompok masyarakat, dan atau kepen?ngan lembaga swadaya masyarakat tertentu dapat diusung secara berlebihan oleh anggotanya, sehingga jika diakomodir oleh negara dapat mengorbankan kepen?ngan nasional atau masyarakat lainnya. Bentuk pelanggaran integritas melipu? pemberian suap kepada penyelenggara negara untuk mendapat fasilitas atau anggaran untuk kepen?ngan partai atau organisasinya, kolusi dengan penyelenggara negara untuk melawan kepen?ngan umum.
Tuntutan integritas ini ?dak hanya ditujukan bagi anggota partai poli?k karena kader-‐kadernya akan
masuk dalam mengelola kekuasaan negara, tetapi juga bagi organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Tuntutan integritas yang kuat tentu juga dibutuhkan oleh anggota lembaga swadaya masyarakat yang bersifat internasional. Tidak sedikit kepen?ngan lembaga swadaya internasional yang berseberangan dengan kepen?ngan nasional suatu negara. c. Private Sektor Perusahaan-‐perusahan swasta baik yang dikelola secara formal maupun informal pada dasarnya juga pelaku pembangunan dalam suatu negara. Bahkan ?dak sedikit di antara mereka yang bergerak karena ditopang oleh anggaran yang bersumber dari negara. Perusahaan-‐perusahaan besar yang bergerak di bidang infrastruktur misalnya, pada umumnya membantu pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur seper? jalan, jembatan, rumah sakit, dan lain-‐lain yang dibiayai oleh negara. Di samping itu, di
73
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
sektor swasta, juga terdapat pengusaha informal yang berbasis industri rumah. Karena jumlah mereka cukup signifikan, maka secara akumula?f kontribusinya pajaknya terhadap negara juga cukup signifikan.
Selain perusahaan yang bersifat nasional, negara juga mengundang perusahaan-‐perusahaan
internasional atau investor-‐investor asing untuk menanamkan modalnya. Kedatangan mereka dibutuhkan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di suatu negara, meningkatkan penerimaan pajak, dan tentu saja membuka lapangan pekerjaan. Di samping itu, juga terdapat perusahaan internasional yang datang bukan karena di undang, melainkan karena inisia?f sendiri sebab melihat peluang pasar atau berbisnis yang besar pada suatu negara.
Pelaku-‐pelaku usaha baik disektor formal maupun informal, nasional maupun ingternasional,
semuanya dituntut untuk berintegritas. Kuatnya keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-‐ banyaknya dengan usaha yang seminimal mungkin, menjadikan mereka rentan untuk ?dak berintegritas. Sejumlah fakta telah menunjukkan bahwa di dalam sektor swasta ini, terdapat sejumlah pengusaha yang ?dak berintegritas. Menyuap penyelenggara negara, melakukan pengrusakan lingkugan karena ?ndakan ekploitasi alam, melarikan uang negara, bersekongkol dengan pejabat publik untuk melakukan mark up, mengemplang pajak, dan sebagainya merupakan contoh-‐contoh perilaku ?dak berintegritas mereka. 3. Sistem Integritas Nasional Suatu Negara Se?ap negara pada dasarnya telah memiliki sistem integritas nasionalnya masing-‐masing, betapapun sederhananya, kurang komprehensifnya, dan kurang efek?fnya. Untuk sebuah model yang standar, Jeremy Pope telah memberikan preskripsi tentang model Sistem Integritas Nasional yang menurutnya rela?f komprehensif karena bermaksud mencakup seluruh aktor pembangunan yang umum terdapat pada suatu negara (2000: 67-‐69). Model tersebut dapat terlihat pada gambar berikut:
74
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Dalam gambar di atas, terlihat bahwa dalam suatu negara terdapat ?ga prasyarat keberhasilan suatu negara sehingga ke?ganya sangat pen?ng untuk dijunjung ?nggi (ditempatkan di atap kuil) yaitu sustainable development atau pembangunan berkelanjutan, rule of law atau tatanan hukum, dan mutu kehidupan. Ke?ga en?tas itu digambarkan seper? bola yang sewaktu-‐waktu dapat menggelinding dan jatuh ke tanah apabila salah satu pilar-‐pilar penopangnya ?dak berintegritas. Oleh karena itu, ?dak ada pilihan lain bagi negara kecuali mengupayakan agar se?ap pilar penopang ke?ga prasyarat tadi tetap berintegritas sehingga ?dak patah atau miring. Meskipun Jeremy Pope telah menyediakan model Sistem Integritas Nasional seper? pada Gambar di atas, namun seorang CIO perlu memahami bahwa model tersebut ?dak berlaku universal. Se?ap negara dapat saja mengembangkan model Sistem Integritas Nasionalnya masing-‐masing, sesuai dengan kebutuhannya. Acuan utama dalam membangun model Sistem Integritas Nasional adalah bagaimana cara suatu negara mereformasi kekuasaan negara yang dimilikinya. Berapa jumlah lembaga negara?, Apakah sektor swasta dan masyarakat sipil dianggap sebagai mitra dalam pembangunan?, Apakah ada investor atau perusahaan asing atau organisasi internasional?, adalah pertanyaan-‐pertanyaan yang perlu diper?mbangkan dalam menentukan pilar-‐pilar yang akan mengisi Sistem Integritas Nasional. Sesuai pembahasan tentang negara sebagai sebuah sistem seper? yang diuraikan pada bagian terdepan, secara sederhana pilar penopang Sistem Integritas Nasional terbatas pada ?ga pilar saja, yaitu negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Hanya saja, pilar dalam negara dapat dibagi lagi ke dalam enam pilar lagi yakni pilar yang menjalankan fungsi kons?tu?f, legisla?f, yudika?f, ekseku?f, audi?f, dan fungsi moneter. Sementara itu, dalam fungsi ekseku?f yang begitu luas, pilarnya dapat dibagi lagi menjadi pilar pemerintah pusat, pemerintah daerah, komisi-‐komisi (lembaga non struktural), Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Miliki Daerah. Sementara itu, dalam masyarakat sipil, pilarnya terdiri atas partai poli?k, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional. Pada sektor swasta juga terdapat beberapa pilar antara lain perusahaan swasta, koperasi, perusahaan internasional, dan pengusaha informal baik perorangan, rumah tangga, maupun yang berkelompok. Lantas pilar media, ditempatkan di mana? Sebenarnya media dapat menempa? sektor swasta atau masyarakat sipil. Jika mo?f pendirian suatu media adalah mencari profit, maka media tersebut dapat dikategorikan sebagai perusahaan. Namun, jika mo?fnya adalah tujuan sosial, maka media dapat ditempatkan di pilar masyarakat sipil. Menempatkan media sebagai pilar tersendiri, terpisah dari negara, masyarakat sipil dan sektor swasta, sulit dijus?fikasi secara substan?f. Pada dasarnya se?ap media ada pemiliknya, dan pemiliknya tentu memiliki maksud tertentu mendirikan media tersebut. Pun, media publik tetap sulit untuk independen karena masih menggunakan anggaran negara sehingga cenderung berpihak kepada negara. 75
S
E
Q
U
O
I
A
C
L
U
B
Meskipun se?ap negara berupaya untuk komprehensif dalam membangun Sistem Integritas Nasionalnya, namun jenis dan jumlah pilar-‐pilar penopang sistem tersebut ?daklah seragam. Dengan mengacu pada pilar-‐pilar pembangunan sebagai hasil reformasi administrasi negara yang telah dilakukannya, se?ap negara kemudian menentukan jenis dan jumlah pilar tersebut. Di Australia misalnya, Sistem Integritas Nasionalnya ditopang oleh 11 pilar, yaitu legisla?f, ekseku?f, yudika?f, auditor, ombudsman, lembaga pengawas, pegawai negeri, media, masyarakat sipil,sektor swasta, dan pelaku internasional. Sedangkan di Malaysia, terdapat 9 pilar yaitu parlemen, yudika?f, auditor, sektor swasta, pegawai negeri, lembaga pengawas, media massa, dan masyarakat sipil. Di Indonesia, berapa pilar seharusnya?
76