Babad pasanggrahan dalem ngeksipurna (suatu tinjauan filologis)
Oleh : Darmaji C.0101014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam suku dengan keanekaragaman budayanya. Hal tersebut yang menjadikan warna tersendiri sekaligus sebagai ciri khas dari bangsa yang berbudaya. Budaya itu masih tersimpan sampai sekarang, karena diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakatnya. Salah satu peninggalan masa lampau yang kita miliki adalah artefak yang berwujud material seperti bangunan candi, masjid, keraton, dan lainlain. Selain itu, terdapat peninggalan yang berupa tulisan yang terdapat pada naskah dan prasasti. Sebagai salah satu peninggalan tertulis naskah kuna banyak memberikan informasi. Naskah lama merupakan rekaman khasanah kebudayaan yang mencerminkan kehidupan masa lampau. Naskah lama banyak menyimpan buah pikiran, perasaan, serta informasi masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1994 : 55). Naskah lama dari segi isi lebih banyak manjelaskan kejadian-kejadian masa lampau secara lengkap jika dibandingkan dengan peninggalan yang berupa fisik. Naskah juga akan lebih memudahkan dalam menerjemahkan informasi kegiatan kegiatan
kebudayaan masa lampau. Namun demikian, keberadaan naskah
sekarang ini menjadi barang yang langka, hal tersebut disebabkan semakin banyaknya orang yang tidak bisa membaca dan mempelajari naskah. Naskah lama menggunakan bahasa lampau yang sekarang ini jarang ditemui atau bahkan mungkin tidak dijumpai lagi di masyarakat, ini yang menyebabkan kesulitan dalam memahami isi naskah. Bahan atau media yang digunakan untuk menulis naskah ada beberapa yaitu kertas, dluwang, nipah, kulit kayu, kulit binatang, bambu, dan daun lontar. Melihat dari bahan yang digunakan, maka naskah akan cepat rusak bila tidak dirawat dengan baik, juga karena faktor cuaca tropis yang makin membuat bahanbahan tersebut mudah rusak. Naskah-naskah lama yang seharusnya jumlahnya melimpah menjadi semakin langka, hal ini juga disebabkan oleh bencana alam, perang dan juga pemusnahan naskah yang disengaja. Hal-hal tersebut yang menjadikan naskah menjadi barang yang langka dimasa sekarang ini, ditambah lagi masyarakat sekarang yang menjadikan naskah sebagai barang koleksi pribadi, sehingga keberadaanya sulit dilacak . Keberadaan naskah lama tidak terlepas dari tradisi penyalinan naskah. Tradisi ini terjadi dikarenakan penyalin ingin memiliki naskah tersebut atau naskah yang asli sudah rusak, sehingga perlu dibuatkan salinan. Tradisi penyalinan naskah yang menyebabkan adanya varian-varian, sehingga diperlukan penanganan terhadap naskah-naskah tersebut. Hal itu merupakan tugas pokok filologi untuk menemukan naskah yang bersih dari kesalahan untuk disajikan kepada pembaca.
Penulis dalam penelitian ini berusaha mengkaji salah satu khasanah naskah nusantara yaitu, naskah Jawa. Naskah Jawa secara spesifik berdasarkan isinya oleh Girardet-Sutanto (1983) diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu : 1. Kronik, legende dan mite Dalam hal ini termasuk naskah Babad, pakem wayang purwa, Menak, Panji,
Pustakaraja, dan silsilah.
2. Agama, filsafat , dan etika Termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur Islam, mistik Jawa, Hindhuisme-Budhisme, Kristen, magis dan ramalan, sastra wulang. 3. Peristiwa keraton, risalah, dan peraturan-peraturan 4. Buku teks dan penuntun, kamus dan ensiklopedia tentang linguistik, obatobatan, masak-memasak dan sebagainya. Berdasarkan penjenisan naskah di atas, penulis mengkaji naskah Jawa yang mengandung nilai sejarah atau disebut Babad. Dalam hal ini peneliti mencoba untuk mengkaji naskah lama yang berhubungan dengan pesanggrahan. Banyak naskah naskah yang bercerita tentang pesanggrahan, antara lain: a. Babad Pesanggrahan Dalem Ngeksipurna, no katalog 258 Ca. b. Babad Pesanggrahan Madusita (Ngampel), no katalog 260 Ca, pernah dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu proyek penerbitan buku sastra Indonesia dan daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1981. c. Babad Pesanggrahan Pracimaharja, no katalog 259 Ca ( penelitian oleh Eko Rupadi, skripsi FSRR UNS 2006)
d. Babad Langenharja, no katalog 180 Na, 253 Ha, 219Ca, 187Ra, 390 Ha, 391 Ha, 262 Ha, 313Ha, 294Ha, 241Ra, 392Ra, 29Ka, 295 Ha, 296 Ha, 297Ha ,dan 277Ha . e. Babad Sampeyan Dalem Ingkang Kaping VII Tedhak Dhumateng Pasanggrahan Ing Tegalganda, Babad Pasanggrahan Wanagiri, no katalog 263 Ha, dan lain-lain.(Skripsi oleh Hendri Setyorini, 2003. FSSR UNS) Dalam hal ini peneliti memutuskan untuk memilih salah satu naskah yang dijadikan objek penelitian yaitu Serat Babad Pasanggrahan Dalem Ngeksipurna yang selanjutnya disebut BPDN. Babad dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa karangan S.A Mangunsuwita adalah riwayat, sejarah atau cerita lelakon sing wis kelakon (2002 : 20).
Pasanggrahan menurut S. Prawiroatmojo berarti
‘pesanggrahan, rumah (tempat) peristirahatan’ (1957 : 481), dan menurut Poerwadarminta, pesanggrahan mempunyai dua arti, yaitu (1) omah sajabaning nêgara (kanggo palêrêban panjênênganing nata utawa para agung) ‘ rumah di luar negara ( untuk beristirahat raja atau para pembesar )’ , (2) omah panginêpan sadhiyan para priyayi kang lagi nindakaké ayahan papriksa ‘ rumah penginapan untuk menyediakan para bangsawan yang
sedang
melaksanakan tugas
mengadakan peninjauan’ (1937 : 474). Ngèksi dalam Kamus Kawi Jawa karangan Winter dan
Ranggawarsita adalah ningali , sedangkan Purna adalah pulih,
rampung, wêtah, purnama, sampurna, mepeki. Jadi dalam hal ini BPDN juga dapat diartikan sebagai buku cerita tentang rumah di luar negara sang raja yang bernama Ngèksipurna.
BPDN tersebut ditemukan di perpustakaan Sasana Pustaka Kraton Surakarta dengan nomer 258 Ca. Babad tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa berbentuk tembang macapat. Naskah ini ditulis pada masa Pakubuwana X oleh Ki Swamlaya, sedangkan yang membuat iluminasi gambar wayang pada naskah adalah Sunarjo dan yang menggubah ke dalam bentuk tembang macapat adalah Tumenggung Arungbinang yang merupakan Bupati di Dhusun Gagatan. Hal tersebut terdapat pada manggala depan naskah BPDN sebagai berikut; Punika kagungan Dalêm sêrat babadipun Pasanggrahan Dalêm ing Ngèksipurna ingkang nyêrat namapun Ki Swamlaya, ingkang damêl rêrênggan gambar wayang sapanunggilanipun nama pun Sunarjo, ingkang nyêkarakên Tumênggung Arungbinang Terjemahan : Ini adalah milik Sang Raja Serat Babad Pasanggrahan Dalem Ngeksipurna, yang menulis serat ini adalah Ki Swamlaya, yang membuat hiasan gambar wayang dan sejenisnya adalah Sunarjo, yang menggubah dalam bentuk tembang adalah Tumenggung Arungbinang.
Naskah ini ditulis oleh Ki Swamlaya pada 21 Mulud 1845 atau 23 Februari 1914 (Nancy K Florida : 2000)
seperti yang terdapat dalam Pupuh
I
Dhandhanggula bait ke 11; Ari Dite Paing tanggal kaping / sêlikur ing Mulud wuku Maktal / Guru Wrukung pringkêlane/ gigis pandangunipun / awasesa sagara tuwin / Kawolu mangsa surya / mangsa wuku Tumbuk / Kawolu mangsa Jimawal / tata dadi hangèsthi sri narapati / dene ta kang tut wuntat// Terjemahan: Hari Minggu Paing tanggal yang ke 21 Mulud, wuku Maktal, guru wrukung pringkelannya selesai perintahnya, dengan penuh kesabaran pada musim ke delapan wuku bertepatan pada musim 8 taun Jimawal tata dadi hangesthi sri narapati (1845) dan yang ikut serta Terdapat sengakalan yang berbunyi tata dadi hangesthi srinarapati bila dijabarkan sebagai berikut,
a) tata mempunyai watak bilangan lima. Tata = darah, urat, aturan, pengaturan, duduk berhias ( Jawa Kuna = tata), angin ( Sansekerta). b) Dadi mempunyai watak bilangan empat. Karena dadi singkatan dari waudadi, yang merupakan kelompok bilangan berwatak empat. c) Hangesthi mempunyai watak bilangan delapan. Gajah dipelanai, sungguh, gajah (Sansekerta, hasti / asthi), renungan, niat rasa (Sansekerta Isthi). d) Srinarapati mempunyai watak bilangan satu. Karena diambilkan dari persamaannya dengan kata nabi yang juga berarti orang. Pembacaan sengkalan dimulai dari belakang, maka
sengkalan di atas
mempunyai angka bilangan tahun 1854 Jawa atau 1915 Masehi (Empeh Wong Kamfu) Naskah BPDN ini terdiri dari 24 Pupuh tembang macapat yaitu; Dhandhanggula 34 bait, Asmaradana 42 bait, Kinanthi 48 bait, Sinom 37 bait,Maskumambang 55
bait, Mijil 26
bait, Asmaradana 30
bait,
Dhandhanggula 31 bait, Kinanthi 41 bait , Sinom 29 bait, Asmaradana 36 bait, Gambuh 41 bait, Dhandhanggula 32 bait, Megatruh 26 bait, Kinanthi 42 bait, Sinom 33 bait, Asmaradana 43 bait, Mijil 30 bait, Dhandhanggula 50 bait, Pangkur 33 bait, Megatruh 28 bait, Kinanthi 38 bait, Asmaradana 42 bait, Pocung 26 bait, Penulis memilih BPDN untuk dijadikan objek penelitian, karena pertama naskah ini adalah naskah tunggal . Naskah ini hanya ditemukan di
perpustakaan Sasana Pustaka Karaton Surakarta, dengan nomor katalog lokal 258 Ca. Sebelumnya telah dilakukan penelusuran untuk naskah ini dari berbagai katalog yang memuat tentang naskah-naskah Jawa yaitu : Katalog Induk Naskah- Naskah Nusantara Jilid III A dan B, oleh T. E Behrend & Titik Pujiastuti, Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid
I Museum
Sanabudaya Yogyakarta, oleh T.E. Behrend, Khasanah Naskah Panduan Koleksi Naskah- naskah Indonesia Sedunia, oleh Henry Chambert (1999), Direktori Edisi Naskah Nusantara, oleh Edi S. Ekajati (2000), serta pencarian ke beberapa koleksi pribadi yang tidak terdapat dalam katalog naskah dan hasilnya tidak ditemukan naskah yang sejenis. Naskah ini hanya ditemukan dalam katalog Nancy K. Florida dengan judul Javanese language Manuscript of Surakarta Central Java a Preliminary Descriptive Catalogus, bernomor KS 144 dan katalog karangan Nikolaus Girardet yang berjudul Desciptive Katalogus of Javanese Manuscript and Printed Books in The Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta dengan nomor katalog 14560, keduanya mengacu pada naskah yang terdapat di Perpustakaaan Sasanapustaka Karaton Surakarta. Sehingga dapat disimpulkan naskah BPDN adalah naskah tunggal. Oleh karena itu isinya yang merupakan satu-satunya dokumen sejarah ini, dikhawatirkan akan rusak atau hilang apabila tidak segera mendapatkan penanganan secara filologis. Kedua, naskah BPDN banyak dihiasi dengan iluminasi yang berupa gambar wayang pada setiap pergantian pupuh, dan di halaman-halaman depan terdapat sketsa tentang bangunan pesanggrahan yang menambah nilai estetik naskah tersebut, disamping itu penulisan yang rapi dan jelas menjadikan
naskah ini mempunyai nilai keindahan yang lebih.
Disamping itu semua
naskah BPDN juga mempunyai kelemahan yaitu masih dijumpai kesalahankesalahan dalam penulisannya. Kesalahan-kesalahan ini berupa konvensi tembang macapat yang terdiri dari guru wilangan, guru lagu, guru gatra yang kesemuanyan harus dipenuhi dalam penulisan tembang macapat. Hal ini tampak pada Pupuh I Dhandhanggula, bait I, baris ke 3, dalam kalimat taman warna-warna kèh ( guru wilangan dan guru lagunya 7e, yang seharusnya 8e), pada Pupuh I bait ke 16, baris ke 2 pada kalimat yèn jinglêng umiyat mangkana (guru wilangan dan guru lagunya 9a, seharusnya 10a). Kesalahan yang lain adalah penulisan yang tidak sesuai dengan tata bahasa baku Bahasa Jawa, misalnya seperti yang terdapat dalam kalimat kang lagya bêbêdhak yang seharusnya kang lagya bêbêdhag (Pupuh V Maskumambang bait ke14 baris ke 2), nambut karya arnèng wêdari, yang seharusnya nambut karya anèng wêdari (Pupuh 1 Dhandhanggula, bait 3, baris ke 5). Dari beberapa kesalahan di atas dapat disimpulkan bahwa naskah ini perlu diteliti secara filologis agar mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan. Ketiga, naskah BPDN ini menarik untuk diteliti karena isinya berkaitan dengan sejarah masa lampau. Secara garis besar BPDN menceritakan tentang bangunan pasanggrahan yang terletak di Desa Dhukuh, Banyudana, Boyolali walaupun pesanggrahan itu kini sudah tidak ada. BPDN sebagai dokumen tertulis yang menceritakan Pesanggrahan Ngeksipurna perlu diinformasikan kepada masyarakat. Diceritakan bahwa bentuk pandhapa pesanggrahan adalah limasan dengan panjang tujuhbelas meter lebih dan luas bangunan sembilan meter, seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut ini dalam Pupuh II Asmaradana bait ke 2930; Salebeting Sriwêdari / lawan miranti ukuran / dalancang miwah potelot / kang dhihin manjing pandhapa / mangetan ajêngira / wanguning pandapa wau / limasan watara panjang// Angêngrêng sêmune wingit / pitulas mètêr panjangnya / nêm dhèsi mètêr langkunge/ sangang mètêr wiyarira / katon sêdhêt pidêksa / pasikoning saka patut / pinantês pasagènira/ Terjemahan Dalam taman Sriwedari, dengan menggunakan pengukur kertas dengan segala ukuran, yang pertama masuk ke dalam pandapa yang menghadap ke arah timur bangunan pandapa tadi limasan yang panjang. Terlihat gagah dan bentuk agak angker, tujuh belas meter panjangnya enam dhesi lebihnya, sembilan meter luasnya terlihat gagah perkasa. Siku tiyang terlihat pantas, dan juga yang berbentuk segi empat.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa bangunan pasanggrahan berbentuk limasan yang besar menghadap ke timur. Selain menceritakan tentang bangunan pesanggrahan naskah ini juga menceritakan tentang adanya
mitos
mengenai Umbul Gana Welang yang diceritakan dalam naskah seperti dalam kutipan pupuh 22 Pocung bait ke 12-15 berikut ini; Matêngipun lêmêng myang pangliwêtanipun / Jeng Sunan gya dhahar / nulya lele kang satunggil / ingkang taksih wêtah ri layan êndhasnya// lawan gupuh Jêng Sunan pangastanipun /lele gya binucal / mring umbul lele gya nglangi / sagêt gêsang tanpa daging badanira // asilulup lenggok-lenggok mring jro umbul / silêm tan katingal / angêrong jro umbul wêning / praptèng mangke lele wau sring katingal// Terjemahan Memasak dengan menggunakan lemeng Jeng Sunan segera makan dengan lele yang satunya yang masih utuh duri dan kepalanya.
Dengan segera Jeng Sunan memegang lele dan dibuang ke dalam umbul, lele terus berenang dapat hidup tanpa ada daging. Tengelam dengan lenggak-lenggok ke dalam umbul menyelam dan tak terlihat masuk ke dalam umbul yang sepi dan sampai sekarang lele tadi sering kelihatan.
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa masih adanya mitos yang sangat melekat di dalam masyarakat yang ada di sekitar umbul. Ada juga Umbul Sungsang yang dapat menyembuhkan orang yang sakit, jika orang itu percaya dan menjalankan dengan sungguh-sungguh, seperti yang terdapat dalam kutipan Pupuh Kinanthi 21 bait 37 berikut ini; Sakit ingkang bangsa tatu / yèn têmên dèntalatèni / adus wontên Umbul Sungsang/ nirmala waluya jati/ sampun kèh tuladhanira/ ingkang dahat ngasmarani// Terjemahan Sakit sebangsa luka apabila sungguh- sungguh dan tekun mandi di Umbul Sungsang akan sembuh tanpa cacat. Sudah banyak contohnya yang sungguh-sungguh menyenangkan dan membahagiakan.
Berdasarkan kutipan di atas bahwa masyarakat percaya bahwa umbul itu dapat menyembuhkan orang yang sakit akibat luka. Sampai pada saat ini masyarakat Pengging masih percaya tentang adanya mitos yang terdapat di dalam umbul tersebut, sehingga pada hari tertentu masih banyak masyarakat sekitar yang mengadakan tirakat dengan jalan berendam di dalam Umbul Sungsang. Dalam naskah ini juga terdapat cerita yang menarik yaitu cerita seorang pengawal raja yang ikut berburu kedalam hutan tetapi dia tertidur sampai beberapa ratus taun, hingga suatu saat dia bangun dan mau membeli makanan tetapi uang yang digunakan sudah tidak berlaku lagi pada masa itu. Cerita ini
terdapat dalam pupuh V Maskumambang, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut bait 39-42 ; sampun santun kintên sadasa narpati / myang tri wlas turunan / Sunarja sumambung angling / dhuh saré tritus warsa // apa niyat wus datan mawa ngalisik / ngêpus tritus warsa / bêtah têmên tan ngalilir / nganti salin jamanira // tri wlas ratu nggoné turu lagi nglilir / tangi salin jaman /iba kèh ênggoné ngimpi / luwih tangi sanking séda // Terjemahan Sudah berganti sepuluh raja dengan tiga belas turunan. Sunarja menyambung pembicaraan “Dhuh tidur seratus tahun, apa sudah niyat apa tidak merasa risi, tidur ratusan tahun nyenyak sekali sampai tidak bangun sampai berganti jaman, tiga belas raja dia tidur baru bangun, bangun sudah berganti jaman pasti banyak sekali mimpinya lebih sedih dari orang meninggal”.
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa naskah tersebut layak untuk diteliti, hal ini dikarenakan banyak unsur kesusastraan yang menjadikan naskah BPDN menjadi menarik, antara lain mitos dan unsur sugesti yang menjadi isi dari BPDN yang dijadikan objek penelitian Keempat, naskah BPDN belum pernah dilakukan penelitian secara filologis. Penelitian yang pernah dilakukkan hanya sebatas deskripsi naskah dalam beberapa katalog. Oleh karena itu naskah BPDN pantas untuk dijadiakan objek penelitian agar isi yang terkandung dalam naskah tersebut dapat diketahui dan diselamatkan. B. Pembatasan Masalah Masalah yang dibahas dalam penelitian ini dititikberatkan pada kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis dalam naskah BPDN adalah untuk mengungkap permasalahan dalam naskah yang berhubungan dengan filologis
yang meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, singkatan naskah, kritik teks, transliterasi naskah, aparat kritik, dan terjemahan. Kajian isi bermaksud mengungkap teks BPDN .
C. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini rumusan masalah ada dua hal yaitu; 1. Bagaimana suntingan teks BPDN yang bersih dari kesalahan yang sesuai dengan cara kerja filologi? 2. Bagaimana isi yang terdapat dalam teks BPDN ?
D.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian terhadap BPDN adalah untuk; 1. Menyajikan suntingan teks BPDN yang dipandang bersih dari kesalahan yang sesuai dengan cara filologi. 2. Mengungkapkan isi yang terkandung dalam BPDN.
E. Manfaat penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis ataupun secara praktis kepada masyarakat; 1.
Manfaat Teoretis a. Dapat menambah pengetahuan tentang sejarah yang ada di Keraton Surakarta beserta dengan pesanggrahan yang keberadaanya sudah tidak ditemukan lagi.
b. Dengan
penelitian
ini
diharapkan
agar
peneliti
lain
mau
menindaklanjuti dan menggali lebih lanjut untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis a. Memudahan masyarakat untuk mengerti tentang sejarah BPDN yang telah ditransliterasi. b. Memberikan gambaran-gambaran tentang budaya lama yang pernah ada di Keraton Surakarta. c. Mendapatkan naskah teks BPDN yang
dipandang bersih dari
kesalahan. d. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memperbanyak koleksi hasil penelitian secara filologis.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut BAB I
Pendahuluan Diuraikan tentang latar belakang, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Kajian Teoretik Dijabarkan masalah pengertian filologi, objek penelitian, kerja penelitian, kritik teks, aparat kritiks dan terjemahan.
BAB III
Metode penelitian
Membicarakan bentuk dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. BAB IV
Pembahasan Menjelaskan
tentang
deskripsi
naskah,
transliterasi, terjemahan dan kajian isi BAB V
Penutup Meliputi kesimpulan dan saran.
singkatan
naskah,
BAB II KAJIAN TEORETIK A. Pengertian dan Objek Filologi Filologi berasal dari bahasa Yunani kata philologia dengan kata logos dan philos. Logos berarti pembicaraan atau ilmu sedangkan philos berarti teman, kemudian berkembang menjadi senag belajar, senang belajar ilmu, senang kepada karya-karya sastra. (Siti Baroroh Bariet, 1994 : 4). Berdasarkan dari kutipan itu maka pengertian filologi adalah ilmu yang mempelajari karya sastra lama yang berupa teks dan naskah-naskah lama. Menurut Panuti Sudjiman (1986 ; 29), filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa khususnya menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan karya sastranya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa filologi adalah ilmu yang menyelidiki kebudayaan perkembangan kerohanian suatu bangsa yang meneliti teks dan naskah-naskah lama. Objek penelitian filologi adalah naskah-naskah kuna yang masih dalam tulisan tangan sebagai alat untuk menyimpan ungkapan dan perasaan manusia sebagai hasil kebudayaan. Sedangkan kandungan yang terdapat dalam naskah adalah gagasan, ide, perasaan, ungkapan pikiran yang dinamakan teks. Dengan demikian objek dari filologi adalah naskah dan teks kuna.
B. Kritik Teks Kritik teks adalah menempatkan teks sebagai mana mestinya, memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah, lembaran bacaan naskah yang mengandung kalimat atau kata-kata tertentu (Paul Maas dalam Darusuprapta, 1984 : 4) Tujuan dari kritik teks adalah untuk menyajikan sebuah teks dalam bentuk asli yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti- bukti yang terdapat dalam masalah yang dikritik. Dalam hal ini peneliti dituntut memiliki landasan yang ilmiah yang dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran. Metode kritik teks dibedakan mejadi dua berdasarkan pada jumlah naskah yang diteliti, pertama adalah metode kritik teks naskah tunggal, dan kedua adalah metode kritik naskah jamak. Metode naskah jamak biasa menggunakan metode perbandingan. Sedangkan metode dalam naskah tunggal ada dua, pertama edisi diplomatis yaitu menyajikan teks secara aslinya. Kedua, edisi kritis yaitu menyajikan teks dengan cara memberikan kritik terhadap naskah yang diteliti baik dalam pembetulan kata, pemakaian huruf besar, ketidakajegan dalam penulisan dan lain sebagainya. Dalam hal ini metode apa yang digunakan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan teks yang bersih dari kesalahan atau ketidak sempurnaan teks. Langkah kerja yang digunakan dalam penelitian naskah tunggal adalah meliputi inventarisasi naskah, dekripsi naskah, sigkatan naskah, suntingan teks yang disertai dengan aparat kritik dan terjemahan. Inventarisasi naskah adalah langkah ini bertujuan untuk mendapatkan naskah yang akan diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencatat mengenai
jumlah naskah, nomer naskah, tempat penyimpanan naskah, ukuran naskah, dan sebagainya melalui katalog- katalog yang terdapat di perpustakaan, musium atau yang didapat dari koleksi pribadi. Langkah kedua adalah mendeskripsikan naskah, hal ini dilakukan untuk memberikan petunjuk atau gambaran mengenai naskah yang diteliti. Emuch Hermansoemantri berpendapat bahwa hal-hal yang perlu dilakukan dalam mendeskripsikan naskah adalah judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris perhalaman, huruf, penulisan, bahan yang digunakan, bahasa naskah , umur naskah, pengarang, asal usul naskah, fungsi sosial naskah, dan juga ikhtiar teks (1986 : 2). Singkatan naskah adalah pengenalan isi naskah secara garis besar. Singkatan naskah bertujuan untuk memberikan gambaran tentang isi naskah secara garis besar. Dalam hal penulisan dicantumkan halaman naskah secara cermat halini dilakukan untuk mempermudah mengetahui satu episode dimulai dari halaman berapa dan sampai halaman berapa dan juga disertai ihktiarnya (Edwar Jamaris, 1977 : 29). Suntingan teks atau edisi teks adalah menyajikan teks yang siap cetak dalam penyajiannya disertai dangan aparat kritik sebagai pertanggungjawaban ilmiah dan juga memungkinkan pembaca memberikan intepretasi yang lain terhadap karya tersebut. Suntingan dapat berupa alih aksara atau transliterasi kedalam huruf yang berlaku sekarang. Dalam
suntingan perlu diberikan
terjemahan yang bertujuan agar pembaca lebih mudah memahami isi dari teks. Larson membagi terjemahan menjadi dua bagian, yaitu pertama adalah terjemahan makna, artinya
terjemahan yang lebih mementingkan makna dalam bahasa
sumber dapat tersampaikan secara tepat ke dalam bahasa sasaran. Kedua adalah terjemahan bentuk, yaitu tejemahan lebih mementingkan bentuk yang ada dalam bahasa sasaran dapat tersampaikan ke dalam bahasa sumber (dalam Maurits, 2000 : 39) Dalam penelitian ini peneliti menggunakan terjemahan makna. Hal ini dimaksutkan agar isi yang terdapat dalam teks dapat dimengerti secara mudah oleh pembaca.
C. Pengertian Babad Babad dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa
berarti sejarah, riwayat,
cerita bab lêlakon sing wis kêlakon, negorilan ngresiki ( Mangunsuwito, 2002 : 20). Sedangkan
menurut Poerwadarminta babad
berarti
riwayat, sejarah,
tambo.(1976 :70). Babad menurut Sumarsih dalam Marsono dan Hendrosaputra adalah karya sastra klasik yang isinya mengandung sejarah. Dia juga membagi naskah berdasar isinya menjadi tiga yaitu; 1. Babad yang memuat sejarah suatu tempat /lokasi, contohnya: Babad Tanah Jawi, Babad Kartasura, Babad Banten, dan sebagainya. 2. Babad yang memuat perjuangan seseorang, contohnya : Babad Ajisaka, Babad Arungbinang, Babad Dipanagara, dan sebagainya 3. Babad yang memuat suatu peristiwa, contohnya : Babad Bedhah Ngayogyakarta, Babad Giyanti, Babad Pacina, dan sebagainya (1999, : 45)
Naskah babad pada umumnya ditulis di dalam lingkungan keraton, kadipaten, dan tanah perdikan. Pembuat naskah babad adalah pujangga keraton atau juru tulis dari tanah perdikan tersebut. Dalam hal ini, yang ditulis dalam babad biasanya berupa diri raja, adipati setempat, para bangsawan, kerabat dekat masing masing, para tokoh tanah perdikan, beserta hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan peristiwa yang terjadi di tempat tersebut ( Darusuprapta,1975 : 20). Sumber penulisan babad adalah bahan sejarah tertulis, lisan, seperti naskah lama, nama tempat dan lain-lain. Terdapat cerita rakyat yang mengandung unsur mite dan legenda yang dianggap benar benar terjadi oleh masyarakat pemilik juga merupakan sumber penulisan babad. Sehingga banyak mengandung unsur mite, legenda, simbolis, sugesti, hagiografi. 1. Mite, yaitu cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau. 2. Legenda, yaitu cerita prosa rakyat yang dianggap pernah benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci dan ditokohi oleh manusia biasa yang kadang-kadang mempunyai sifat luar biasa dan sering dibantu makhluk-makhluk gaib. 3. Simbolisme, yaitu berupa lambang-lambang misalnya sinar, cahaya, pusaka-pusaka bertuah, kata-kata berkias, bilangan-bilangan keramat. 4. Sugesti, yaitu ramalan atau firasat suara gaib, tabir mimpi, dan pamali. 5. Hagiografi, yaitu lukisan kemukjizatan seseorang yang banyak diperlihatkan oleh tokoh-tokoh keramat. (Darusuprapta, 1992 : 8) D. Mitos Mitos menurut pendapat Mircea Eliade dalam Hari Sutanto dalah “suatu cerita yang benar dan menjadi milik mereka yang sangat berharga, karena merupakan suatu yang suci, bermakna dan manjadi contoh model dalam tindakan manusia” (1987 : 19). Bascom dalam James Danandjaja mengatakan mitos adalah
cerita prosa yang dianggap suci oleh yang punya cerita, dan ditokohi oleh para dewa atau makhluk gaib (1982 : 50) Mitos adalah suatu cerita rakyat yang dianggap suci oleh yang punya cerita dan juga ditokohi oleh dewa-dewa atau mahluk setengah dewa yang mereka sangat percaya akan hal tersebut dan dianggap benar-benar terjadi. Dalam hal ini masyarakat menjadikan tokoh mitos sebagai model bagi kehidupanya. Kebenaran mitos belum tentu menjadikan jaminan pertanggungjawaban karena kebenaran tersebut didapat tanpa penelitian tetapi hanya berdasar anggapan masyarakat. Sartono Kartodirdjo dalam Dwi Retna Prihatiningsih mengemukakan bahwa salah satu ciri dari mitos adalah berorientasi kepada masa lampau dan masa lampau itu sendiri tidak perlu dijelaskan, namun justru masa lampau yang tak jelas itu digunakan untuk memahami masa depan (1982 : 195). Dari pendapat diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mitos merupakan suatu cerita rakyat yang dianggap suci oleh yang punya cerita dan juga ditokohi oleh mahluk gaib yang mereka sangat percaya akan kejadian tersebut. Kebenaran dari mitos tersebut masih berbau dongeng.
tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bentuk dan Jenis Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian filologi, yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu pandangan peneliti bahwa semua sistem tanda tidak ada yang diragukan , semuanya dianggap penting dan memiliki kaitan antara satu dengan yang lain. Dengan mandeskripsikan segala sistem tanda mungkin akan dapat memberikan pemahaman yang lebih konprehensif mengenai apa yang sedang dikaji (Bogdan dan Biklen dalam Attar Semi,1993 : 24). Jenis penelitian
dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka, karena
sumber data dan data yang deigunakan dalam
penelitian diperoleh di
perpustakaan yang berupa naskah. Kartini Kartono dalam skripsi Dwi Retna Prihatiningsih dijelaskan bahwa : “Penelitian pustaka adalah bertujuan untuk mengumpulkan data , informasi dengan bantuan buku-buku, majalah, naskah-naskah cetakan, kisah sejarah, dokumen, dan lain sebagainya” (1999 : 23)
B. Lokasi Pencarian Data Lokasi pencarian data meliputi tempat-tempat penyimpanan naskah, seperti musium, perpustakaan dan koleksi pribadi. Pencarian data juga dilakukan dengan membaca katalog-katalog yang memuat data dan tempat penyimpanan naskah. Penelitian
difokuskan di Perpustakaan Sasana Pustaka Kasunanan
Surakarta karena, naskah ditemukan dan merupakan naskah tunggal yang tidak ditemukan di tempat lain. C. Sumber Data dan Data Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah BPDN yang
terdiri
dari 24 pupuh dan berada di perpustakaan Sasanapustaka Keraton Kasunanan Surakarta dengan nomer katalog 258 Ca. Data penelitian ini adalah teks BPDN yang merupakan koleksi dari perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta. Naskah ini terdiri dari 24 pupuh dengan bentuk tembang yaitu Dhandhanggula
34 bait;
Asmaradana 42 bait; Kinanthi 48 bait; Sinom 37 bait; Maskumambang 55 bait; Mijil 26 bait; Asmaradana 30 bait; Dhandhanggula 31 bait; Kinanthi 41 bait; Sinom 29 bait; Asmaradana 36 bait; Gambuh 41 bait; Dhandhanggula 32 bait; Megatruh 26 bait; Kinanthi 42 bait; Sinom 33 bait; Asmaradana 43 bait; Mijil 30 bait; Dhandhanggula 50 bait; Pangkur 33 bait; Megatruh 28 bait; Kinanthi 38 bait; Asmaradana 42 bait; Pocung 26 bait. Penelitian ini juga didukung oleh data sekunder yang berupa buku, artikel, makalah, dan juga data yang lain yang ada hubungannya dengan penelitian.
D.Teknik Pengumpulan Data Dalam tahap ini peneliti menggunakan katalog-katalog yang ada, sebagai dasar dalam mengumpulkan data. Teknik
ini diawali dengan membaca dan
mencatat semua informasi tentang naskah naskah tersebut. Katalog-katalog yang digunakan adalah katalog Javanese Literature in Surakarta Manuscrip, Vol 1 Manuscrip of the Kasunanan Surakarta oleh Nancy K Florida (2000), Javanese
Literature in Surakarta Manuscrip, vol 2 manuscrip of the Mangkunagaran Surakarta oleh Nancy K Florida (2000), Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1, Museum Sanabudaya Yogyakarta oleh T.E Behrend (1990), Katalog Induk Naskah Naskah Nusantara Jilid 2, Keraton Yogyakarta oleh Jennifer Lindsay dkk (1994), Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A&3B, Fakultas Sastra Universitas Indonesia oleh T E Behrend (1998), Descriptive Katalogus of Javanese Manuscript and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta, oleh Nikolaus Girardet dan Sutanto (1983), Direktori Edisi Naskah Nusantara, oleh Edi S Ekajati (2000), Katalog Lokal Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Kasunan an Surakarta Peneliti mendapat informasi dari katalog tentang deskripsi singkat naskah yang akan diteliti, kemudian diadakan pengecekan secara langsung dengan bersumber data yang didapat dari katalog di atas. Dalam hal ini peneliti juga mencari naskah-naskah yang sejenis yang bisa dijadikan sebagai data penunjang dalam penelitian. Dalam pencarian data dalam katalog peneliti menemukan naskah dengan judul BPDN dengan nomer katalog 258 Ca. Langkah yang ditempuh dalam memperoleh data naskah BPDN adalah dengan jalan teknik transliterasi yang dilakukan oleh peneliti karena naskah yang bersangkutan tidak dapat dibawa ke luar dari keraton Surakarta tempat naskah berada dan juga tidak di perbolehkan untuk difoto copy karena dikawatirkan naskah akan rusak hal ini dikarenakan naskah berasal dari kertas yang sudah tua. E. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan setelah data diperoleh atau dikumpulkan dengan teknik analisis filologis dan teknik analisis isi. Analisis secara filologis meliputi
deskripsi naskah, kritik teks, singkatan naskah, suntingan teks yang disertai dengan aparat kritik, dan terjemahan. Pengolahan
data
dalam
suntingan
teks
dalam
penelitian
ini
menggunakan metode edisi standar atau edisi kritis, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidak sengajaan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang masih berlaku. Diadakan pengelompokan kata, pembagian kalimat, penggunaan huruf besar, dan komentar tentang kesalahan teks. ( Siti Baroroh B, 1994 : 67-68), metode ini dipilih dan diterapkan mengingat naskah yang diteliti berupa naskah tunggal dan banyak variannya. Dalam menyajikan suntingan teks yang bersih dari kesalahan dan kekeliruan yang ada, pembetulan dan perubahan-perubahan yang dilakukan penyunting ditempatkan yang khusus serta dicatat dalam aparat kritik. Maksud dari aparat kritik adalah untuk memudahkan pembaca mengecek naskah langsung agar dapat memberikan interpretasi yang berkaitan teks. Dalam membuat suntingan teks haruslah memperhatikan dari segi lingustik, maupun dari segi sastra. Hasil dari suntingan teks diterjemahkan kedalam bahasa yang mudah dipahami, yaitu bahasa Indonesia. Tujuan terjemahan adalah untuk memudahkan pembaca yang tidak menguasai bahasa Jawa dapat mengerti dan memahami isi yang terkandung dalam naskah BPDN. Tahap akhir dari analisis data adalah mengungkap isi yang terdapat dalam BPDN menggunakan metode diskriptif, data dalam penelitian ini perlu
dijabarkan, karena penelitian masih berbentuk tembang macapat, maka perlu ditafsirkan dan dijabarkan ke dalam bentuk prosa agar lebih mudah dipahami.
BAB IV ANALISIS DATA A. Kajian Filologis 1. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah merupakan uraian singkat tentang seluk-beluk naskah atau biasa disebut dengan pendahuluan naskah. Langkah ini bertujuan untuk menyajikan dan menguraikan keadaan naskah secara lengkap yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini deskripsi naskah diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada orang lain agar lebih mudah dalam memahami isi naskah. Dalam
penelitian ini, deskripsi naskah BPDN mengacu pada deskripsi
naskah menurut Manassa dan dilengkapi deskripsi naskah menurut Emuch Hermansoemantri, (1986: 2). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsi atau mengidentifikasi naskah antara lain; (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat penyimpanan naskah; (4) asal naskah; (5) keadaan naskah; (6) ukuran naskah; (7) tebal naskah; (8) jumlah baris tiap halaman naskah; (9) aksara; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (13) bentuk teks; (14) umur naskah; (15) identitas pengarang atau penyalin; (16) fungsi sosial naskah: (17) kolofon; (18) singkatan naskah; (19) catatan lain. Adapun deskripsi naskah SBPDN adalah sebagai berikut:
a. Judul
: Serat Babad Pasanggrahan Dalem Ngeksipurna (Pengging). Judul tedapat pada kover naskah.
b. Nomor Naskah
: 258 Ca ( katalog lokal), KS 144 ( Nancy K. Florida), dan 14560 (Nikolaus Girardet)
c. Tempat Penyimpanan Naskah
: Pepustakaan Sasana Pustaka
d. Asal-usul Naskah
:
e. Keadaan Naskah
: Baik , tulisan masih bisa dibaca dengan jelas.
f. Ukuran Naskah
: 34,8 x 21 cm
g. Ukuran teks
: 27 x14,5 cm
Margin atas
: 3,8 cm
Margin bawah
: 3 cm
Margin kanan (halaman ganjil)
: 2,5 cm
Margin kiri
: 4 cm
Margin kanan (halaman genap)
: 4 cm
Margin kiri
: 2,5 cm
h. Tebal Naskah
: 270 halaman. Terdapat satu halaman kosong di belakang dan satu halaman kosong di depan.
i. Jumlah Baris Tiap Halaman
: Pada halaman 1-22 jumlah baris ada 6, karena pada halaman ini terdapat iluminasi sketsa pesanggrahan dan
gambar wayang. Halaman selanjutnya terdapat 22 baris pada tiap halaman kecuali pada pergantian pupuh karena ada iluminasi wayang. j. Bentuk Huruf
: Jawa carik, penulisan tegak, ukuran hurufnya besar. Jarak antar huruf renggang dan rapi, ditulis dengan tinta hitam
k. Cara Penulisan
: Lembaran naskah ditulis secara bolak – balik (recto dan verso), dengan penempatan tulisan ke arah melebarnya. Penomoran halaman dengan huruf Jawa di atas halaman. Pada setiap akhir bait diberi nomor dengan huruf Arab.
l. Bahan Naskah
: Kertas HVS polos menggunakan garis yang pensil.
sengaja
dibuat
menggunakan
Warna
kertas
agak
coklat,
sedangkan sampul berwarna coklat tua. m. Bahasa Naskah
: Menggunakan ragam bahasa Jawa Baru, ragam krama, disisipi kata-kata Kawi, Melayu dan Arab.
n. Umur naskah
: Naskah ini ditulis pada 21 Mulud 1845 atau pada 7 Februari 1915 M ( Empeh Wong Kamfu, 1979: 50), seperti yang
terdapat pada Pupuh I Dhandhanggula bait ke 11 o. Bentuk Teks
: Teks BPDN berbentuk tembang macapat yang terdiri dari 24 pupuh, yaitu; Dhandhanggula
34 bait, Asmaradana
42 bait, Kinanthi 48 bait, Sinom 37 bait, Maskumambang 55 bait, Mijil 26 bait, Asmaradana 30 bait, Dhandhanggula 31 bait, Kinanthi 41 bait, Sinom 29 bait, Asmaradana 36 bait, Gambuh 41 bait, Dhandhanggula 32 bait, Megatruh 26 bait, Kinanthi 42 bait, Sinom 33 bait, Asmaradana 43 bait, Mijil 30 bait, Dhandhanggula
50 bait, Pangkur 33
bait, Megatruh 28 bait, Kinanthi 38 bait, Asmaradanai 42 bait, Pocung 26 bait. p. Identitas Pengarang
: Naskah ditulis oleh Ki Swamlaya, sedangkan yang menggubahnya ke dalam bentuk tembang macapat adalah Tumenggung Arungbinang, seperti yang terdapat pada manggala berikut ini: Punika
kagungan
Dalêm
sêrat
babadipun Pasanggrahan Dalêm ing Ngèksipurna ingkang nyêrat namapun Ki
Swamlaya, ingkang damêl rêrênggan gambar
wayang
sapanunggilanipun
nama pun Sunarjo, ingkang nyêkarakên Tumênggung Arungbinang Terjemahan : Ini adalah milik Sang Raja Serat Babad Pasanggrahan
Dalem
yang menulis
serat ini adalah
Swamlaya,
yang
Ngeksipurna,
membuat
Ki
hiasan
gambar wayang dan sejenisnya adalah Sunarjo, yang menggubah dalam bentuk tembang
adalah
Tumenggung
Arungbinang.
q. Fungsi Sosial Naskah
:
r. Kolofon
: Terdapat pada pupuh 1 Dhandhanggula bait 11yang berbunyi: Ari Dite Paing tanggal kaping / sêlikur ing Mulud wuku Maktal / Guru Wrukung pringkêlane/ gigis pandangunipun / awasesa sagara tuwin / kawolu mangsa surya /mangsa wuku tumbuk / kawolu warsa Jimawal / tata dadi hangèsthi Sri Narapati /dene ta kang tut wuntat// Terjemahan:
Hari Minggu Paing tanggal 21 Mulud wuku Maktal guru wrukung pringkelannya lama membuatnya dengan penuh kesabaran, pada musim ke delapan wuku bertepatan dengan musim 8 taun Jimawal tata dadi hangesthi Sri Narapati (1845) dan yang ikut serta. Naskah dimulai ditulis pada Minggu Paing 21 Mulud 1845 J atau pada 7 Februari 1915 M selesai pada 8 Jimawal 1845 J atau Kamis Pon 25 Maret 1915 M (Empeh Wong Kamfu, 1979 : 50).
s. Singkatan Naskah
: Naskah ini menceritakan seluk-beluk pasanggrahan peninggalan Pakubuwana X yang
diberi nama Pasanggrahan
Ngeksipurna . Cerita ini diawali ketika raja memerintahkan kepada Ngabèhi Atma Sukatga sesuatu
yang
Ngeksipurna. dengan
agar mencatat segala ada
di
Pasangrahan
Kemudian
perjalanan
dilanjutkan
Ngabèhi
Atma
Sukatga, Ngabehi Esmutani, Ngabehi Taliwanda,
Suwarja,
Marsana,
dan
Sunarja ke Pesanggrahan Ngeksipurna dengan
menggunakan
setum
Tram.
Perjalanan
melewati
beberapa
desa
diantaranya Gladak, Kauman Kartasura, Banyudono,
dan
juga
Randusari.
Perjalana akhirnya sampai di pasar yang berada tepat di depan Pesanggrahan Ngeksipurna.
Dilanjutkan
bangunan-bangunan Pesanggrahan
yang
cerita ada
Ngeksipurna
di
beserta
fungsinya juga hiasan yang ada di dalam pesanggrahan. Taman
Pesanggrahan
Ngeksipurna sangat indah karena banyak tanaman bunga yang ada di halaman pesanggrahan seperti argulo, melati, ceplok piring, menur, dan berbagai tanaman
lain
yang
menjadikan
pesanggrahan lebih indah. Dalam naskah ini
ada beberapa sisipan cerita, di
antaranya cerita
pengawal raja yang
tertidur di gua, karena mengikuti sang raja yang sedang berburu di hutan, tetapi setelah terbangun dia merasa aneh karena
melihat
sekelilingnya
telah
berubah bahkan uang yang dibawa sebagai bekal sudah tidak laku lagi saat
akan dibelikan makanan, ternyata dia telah tertidur selama tiga ratus tahun. Cerita lain tentang bangunan Masjid Cipta Mulya, mitos pasar di depan Pasanggrahan Ngeksipurna, dan juga cerita
tentang
Umbul
Tirtamaya,
Sungsang, Dhahar, dan Ganawelang yang ada di sekitar pesanggrahan serta mitos
yang
ada
dalam
masyarakat
mengenai umbul tersebut.
t. Catatan Lain
: Pada setiap pergantian pupuh terdapat sasmita
tembang
(
tanda
yang
menunjukkan pergantian tembang melalui kata-kata
atau
kalimat
secara
tersembunyi). Letak sasmita tembang bisa di awal pupuh untuk menyebutkan nama tembang dalam pupuh pertama, atau di akhir pupuh untuk menyebutkan nama tembang pada pupuh selanjutnya. Adapun sasmita tembang dalam teks BPDN adalah sebagai berikut: a) Dhandhanggula
dengan
sasmita
têmbang, mèdêm maduné pinuh
"kuncup bunga yang penuh madu" (PI / B1 / b4), manisé sakèh tatanan "semua terlihat indah" (P VII / B30 / b7),
mawèh
"menjadikan
manising raut
wajah
pasêmon terliha
manis" (PXII / B41 / b5), manis sri dinulu "terlihat indah" (PXVIII
/
B30 / b 6). b) Asmaradana têmbang,
dengan
sasmita
mawèh asmarèng driya
"hati menjadi jatuh cinta"(PI / B34 / b10), marmer asmara rum "marmer yang indah" (PVI / B26 / b6), sapta aran mawèh asmaraning prana "jutuh nama yang membuat cinta" (PX / B29 / b9), cêlak pojok lèr kilèn karya asmara "pojok barat laut menjadi indah" (PXVI /B33/ b9), ingkang dahat ngasmaran "yang sangat dicintai" (P XXIII / B38 / b6) c) Kinanthi dengan sasmita têmbang, kanthi sêngsêmé kang miyat "dengan rasa senang semua yang melihat"
(PII / B42 / b7), kanthi nyênêngkên ing tyas "dengan menyenangkan hati" (PVIII / B31 / b10), laléyan kanthi sri tinon " dengan pagar yang terlihat indah"(PXIV / B26 / b5), winangun kanthining carios " dibuat dengan cerita" (PXXI / B28 / b5). d) Sinom
dengan sasmita têmbang,
méga bang katon angrawit "awan merah terlihat asri" (PIII / B48 / b6), sêsinomé angrêmên "pucuk daun yang menyenangkan" (PXIX / B41 / b6), tinon lir sinom pangrawit "terlihat seperti pucuk daun yang indah" (PXV / B 42 / b6). e) Maskumambang
dengan sasmita
têmbang, maring wana mêt kidang wulung kencana "ke hutan berburu kijang emas hitam kebiru-biruan" (PIV / B37/ b9), f) Mijil dengan sasmita têmbang, yeku wijilan
Eropah
"yaitu
keluaran
Eropa" (PV / 55 / b4), yèn manjing mijil udalan "bila menuju kesuatu
tempat
melalui
pembuangan"
(PXVII / B43 / b7) g) Gambuh dengan sasmita têmbang, jinumbuh wangunanira " sesuai dengan bangunannya" (PXI / B36 / b7) h) Mêgatruh dengan sasmita têmbang, têrus tan pêgat-pêgat " terus tidak putus-putus" (PXIII / B32 / b10), mangka panulaking riris "sebagai penolak hujan" (PXX / B33 / b6) i) Pangkur dengan sasmita têmbang, kang wus kapungkur kocap " yang sudah pernah diceritakan" (PXIX / B50 / b10) j) Pocung dengan sasmita têmbang ,gêgadhangan dadya pindhang
"
diharapkan menjadi lauk" (PXXIII / B42 / b7). Naskah ini memiliki keunikan karena adanya gambar ilustrasi dan iluminasi. Adapun gambar ilustrasi (gambar atau hiasan yang berkaitan dengan teks) terdapat pada bagian depan sebelum
masuk teks. Gambar ini menampilkan sketsa
bangunan
pasanggrahan.
Iluminasi (gambar atau hiasan yang tidak berkaitan dengan teks) berupa tokohtokoh
pewayangan
terdapat
pada
pergantian pupuh tembang macapat juga terdapat gambar gunungan wayang pada halaman terakhir. 2. Kritik Teks Kritik teks adalah menempatkan teks sebagaimana mestinya, memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah, lembaran bacaan naskah
yang
mengandung
kalimat
atau
rangkaian
kata-kata
tertentu
(Darusuprapta, 1984 : 4) Kritik teks bertujuan untuk menyajikan sebuah teks dalam bentuk asli dan bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritik. Dalam kritik teks peneliti haruslah mempunyai alasan yang ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Kritik teks akan menghasilkan suntingan teks. Kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam evaluasi teks ditempatkan di bawah teks (footnote) sebagai bagian dari aparat kritik. Dalam penelitian ini suntingan teks dan aparat kritik dilakukan secara bersamaan, sehingga suntingan teks yang dihasilkan sudah melalui tahapan kritik teks. Metode yang digunakan dalam edisi teks adalah metode standar. Edisi standar atau edisi kritik yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan
kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedang ejaan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Dalam mengkritik sebuah teks biasanya ditemukan kesalahan-kesalahan, dan kesalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, di antaranya sebagai berikut : a) Hiperkorek
: yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal.
b) Subtitusi
: yaitu pergantian kata, kelompok kata, yang memiliki kesamaan makna
c) Tranposisi
: yaitu pertukaran letak suku kata, kata, dan kelompok kata
d) Lakuna
: yaitu bagian yang terlewati atau terlampaui baik suku kata, kata, dan kelompok kata.
e) Adisi
: yaitu bagian yang kelebihan atau terjadi penambahan baik suku kata, kata, dan kelompok kata
f) Perubahan kesalahan penyalin yang mengakibatkan perubahan makna. Berikut merupakan tabel kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam BPDN: (1) Hiperkorek kata dan kelompok kata No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
P I
III
IV
B/b 1/2 2/5 3/9 5/5 6/10 14/4 23/6 6/5 17/4 33/3 10/5
Penulisan w[in[T[{`` b[in[icÍt[ b[b[t[/ BÝe g[qÍÎ l[n[/ mÍ lÍ t[/ ]Õ c[" Õ] c["g[/ BeÝ g[T{in[i` jk[etÍt[/ ]Õ T{ 1I[s[/ kÍ l[il[i`
Naskah wintang binicuta babat bêgya ngulan mulut cocog bêgtining jakêtut Tènis kuliling
Edisi lintang # binacuta # babad @ bêgja # wulan # mulud # cocok # bêktining # jêkêtut # Dènis# kêliling#
12 13 14 15 16
IX XII
34/1 12/1 25/4 2/6 10/4
mÍk[ m[M d[/ S[m[þs[n[ s[iq[ep[P[ipÍn[/ C m[ex[i d×i yÍ m[/
mukammad samarsana singêpipun camêthi driyum
Muhammad $ sumarsana # singêbipun # cêmêthi # triyum #
XVII
33/5 36/2
]Õp[" Õ]j"g[/ s[h[Is[X
pojog saistha
pojok # saisthi *
Ce pÍm[/ ]Õv["g[T{eþ Wĵ jÛt[T{ip[Ûn[/ k[Ûþan[ip[Ûn[/
cêpum dhogtêr wujutipun kuranipun
sêpon $ doktêr $ wujudipun # Quranipun $
]Õd[n[S[Ûv[iy[n[i dènsudhiyani dènsêdhiyani # p[q[im[n[Nn[/ pangimanan pangimaman# t[Ûl[d[Dn[iNr[ tuladanira tuladhanira # kÏ n[T{ek[iK{` krêntêking krêntêging #
VIII
17 18 19 20 21 22
XIX XX XXI
44/5 13/1 20/5 24/3
23
XXII
6/4
XXIII
11/1 38/5 15/1
24 25 26
(2) Subtitusi No P
B/b
penulisan
2
II
40/4
W
3
III
47/1
b[ê[þ
byar
byur *
4
XV
25/6
z[ t[Û~ g[ l[/
nyatunggal
nyatunggil *
5
XVI
28/9
w[iy[þz[
wiyarnya
wiyarira *
6
XVII
37/4
m[in[T{
mêntasé
7
XX
3/7
w[þn[
mêntas[ipun] * warni*
q]Û]
Naskah ]n[N
Õ] s[S[
wanguné
warna
Edisi wangunnya *
(3) Adisi No 1 2 3 4 5 6
P I
II
B/b 3/5 19/2 23/2 27/7 22/5 38/3
Penulisan h[þ ]n[N]]~ S[Er[t[nê[ h[~s[×i`÷ h[g[Û` k[Wq[Ûn[/ as[iy[!
Naskah arnèng sêratannya angsring agung kwangun Asiyah
Edisi anèng # sêratan* asring # gung # wangun # Asia #
7 8 9 10 11 12 13
IV
14 15 16 17 18 19
XV
20 21 22 23
VII VIII XI XIII XIV
XVI XVII XVIII XIX
XX XXI
8/4 29/8 6/5 9/9 26/3 17/3 16/2
h[Ûs[Wr[ m[n[NÛ`s[W c[ix[c[ix[ s[`g[n[Ni`p[Ûn[/ mê`b[>k[Es[/ t[ l[Ûr[Û ]n[N p[>k[ S[s[Û`g[t[
8/6 32/6 22/3 30/3 6/3 7/8
h[i`k[` _[Ûs[Xi s[þt[e q[! b ]Õn[X`" Õ]s[W t[ev[n[i`N
40/4 13/5 24/2 28/1
p[ Õ]y[" Õ]k[s[Ûk[/ Mi` ji l[/ k[n[n[Nip[Ûn[/
payo késuk mingjil kananipun
usara # manungsa # cita-cita # sanganipun # Ikês * taruné #* Rêksa Sugata # kang * Gusti # satêngahé # andong @ wé # têdhaniréng # ayo # ésuk # mijil # kaananipun #
Penulisan d[em[en[Nk[ H[ Õ]k[ w[it[/ k[I Õ]l[n[/ ]Õp["t[P[e Õ]l["t[/ )[Ïi 1[þ=([i ]Õg[" Õ]n[N ]Õh[ Õ] g[" Õ]n[N S[is[i! ]Õb[n[S[i r[n[/ pÏn[! m[g[en[Ni` n[Ût[ / q[em[BÚy[Û` p[t[r[n[/ k[l[i! ]Õj" Õ]q["k[/ h[i` Wi gê[ k[in[eNp[Û` S[Ûs[`
Naskah dêmênakaké
Edisi dhêmênakaké #
wit kilèn potpêlot
awit* [ingkang]kilèn* potêlot #
Srinarpati goné êgoné
Srinarapati* nggoné # ênggoné #
sisih bènsi ran prênah magêning nut ngêmbuyung pataran kalih jongok ing wigya kinêpung susang
[ing] sisih* bènsin $ rana * [ka]prênah * manggèning # manut * ngrêmbuyung # plataran # kêkalih * jongkok # ting @ wignya # kinêpungan * Sungsang #
Õ]h[
]Õr[`
uswara manungswa citha-citha sangganingpun myang Ikês taluruné Rêksa Sunggata ingkang gusthi sartêngahé andhong swé têdhaningrèng
(4) lakuna No 1
P I
B/b 32/3
2 3 4
II
12/6 28/3 29/3
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
V
XI XVI
XVII
XVIII XIX XXII
37/8 41/1 41/3 2/1 2/8 6/5 15/9 20/6 23/2 23/7 30/4 24/1 29/3 31/1 37/1 29/2 37/3
(5) Perubahan kesalahan penyalin yang mengakibatkan kesalahan makna No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
P I
II
IV V
XI XIV XV
XVI XVII
XVIII
XIX
XX XXI
XXII XXIII
B/b 22/9
penulisan ]Õd[nW[þ Õ]d[n[Ni P[t[Û` 24/7 15/5 k[e 1[V` S[be[t[ 30/5 ]Õ h[ qÎ w[Û 35/5 43/2 ]Õt[" Õ]r[`" S[m[n[/ 37/8 b[e b[ev[k[/ 2/3 23/1 c[jÛg[ 24/6 c[Ûk[Û Õ]n[N 29/7 PB z[ 10/5 k[×iv[ w[y[ t[e2t[T{n[/ 3/6 33/3 r[Ûn[ 35/6 k[k[S[i 32/4 c[c[`h[ip[Ûn[/ 17/6 w[iw[itT{[n[/ 22/3 ]Õk["þ ]Õt[" n[/ 16/2 d[I Õ]n[" Õ]k["t[/ p[×jÛm[s[/ 23 P[q[nín[/ 1/2 r[r[mB{[s[n[/ 5/5 35/2 Ce p[Ûm[/ 44/10 h[q[Ûm[i` LÝĵ m[g[S[n[ 7/1 31/6 s[w[t[w[ ]Õh[ ]Õs[B{ k[/ 2/5 21/1 s[Ût[× 23/3 jel[d[×i 15/6 8Ð Õ]m[ )[Mr[i 28/6 s[m[i 10/7 h[g[S[r[ 41/6 l[Ûn[T{Úr[n[S[i`
Keterangan No : No Urut : Terdapat aksara yang dimatikan
Naskah dènwardèni
Edisi dènwêrdèni #
patung kêndhang sêbêt anguwu torong saman bêbêdhak cajuga cukuné PBnya Kridha waya têlêtan rundha kaksi cacangipun wiwitan korton
pétung @ kênthang@ sêdhêt # angupu # térong @ jaman # bêbêdhag @ sajuga # sukuné @ PBira * Kridha Maya # kêlêtan # rondha # kèksi # cacahipun # wit-witan @ kroton #
dinokot
cinokot #
prajumas panganwrèn rarambasan cêpum anguming lumagsana sawatawa èsbèk sutra jêladri pramèsmari sami agsara lunturansing
trajumas # pangantèn # rêrêmbêsan # cêmplung # aruming # lumaksana # sawatara # asbès # Sukra# jaladri # pramèswari # nami @ aksara # lunturaning #
B/b
: Bait/ baris naskah
P
: Pupuh
#
: Pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik
*
: Pembetulan berdasarkan konvensi tembang
$
: Pembetulan berdasarkan kebakuan kata atau kelompok kata
@
: Pembetulan berdasar konteks dalam kalimat
Penulisan
: Penulisan aksara Jawa disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan, bukan seperti yang tertulis pada teks, sehingga tidak terikat dengan kata di depan atau di belakangnya.
Proses penulisan aksara Jawa ke aksara latin, berpatokan pada pedoman umum ejaan bahasa Jawa yang di sempurnakan (Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa). Perbedaan yang sifatnya ajeg dianggap wajar selama tidak mempengaruhi konteks kalimat. Adapun beberapa perbedaan perlu mendapat perhatian antara lain: 1. Kata dasar yang berakiran /h/ dan mendapat akiran /-a/, /-an/. /ane/, serta /-anira/ sering ditulis dengan fonem /y/. Tetapi dalam suntingan teks fonem /y/ ditulis dengan /h/ seperti dalam kata titiyan ditulis titihan. 2. Penulisan sumongga, jongga ditransliterasi sumangga, jangga 3. Penulisan dengan aksara murda, misalnya "Sri NaraPaTi",, ditransliterasi "Sri Narapati" 4. Semua kata Allah, Alah, ' Tuhan' secara konsisten ditulis Allah 5. Semua kata sènti, cènti 'ukuran', secara konsisten ditulis cènti
6. Semua kata cêrmin, cirmin, carmin, 'kaca' secara konsistemn ditulis cêrmin 7.
Penulisan kata Muhamad, secara konsisten diganti Muhammad
8. Penulisan kata mètêr yang ditulis dengan matêr, menjadi mètêr 9. penulisan kata cêndhéla, jandhéla, secara konsisiten diganti candhéla 10. penulisan kata guramèh, garamèh ' ikan gurami' secara konsisiten menjadi guramèh
3. Penyajian Suntingan Teks Suntingan teks yang disertai dengan aparat kritik ini disajikan perpupuh. Setiap pupuh diberi nomor dengan menggunakan angka Romawi. Penomoran bait dengan menggunakan angka Arab. Penyajian transliterasi ini setiap baris disusun ke bawah agar memudahkan pembaca untuk mengembalikan pada konvensi pola persajakan macapat yang berlaku. Hal ini juga memberi kemudahan dalam pemahaman isi naskah. Aparat kritik dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan yang artinya kata atau kelompok kata yang dianggap salah langsung dibenarkan dalam edisi teksnya. Sedangkan kata atau kelompok kata yang terdapat kritik teks dan dianggap salah ditulis di bagian bawah teksnya, semacam catatan kaki ( footnote). Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman makna suntingan teks BPDNP maka digunakan tanda: 1. angka arab 1, 2, 3…… dan seterusnya, yang terletak disebelah kiri dipakai untuk penomoran bait
2. angka arab [1], [2], [3],…….dan seterusnya,
menunjukkan
penomeran halaman naskah 3. angka arab 1, 2, 3….dan seterusnya yang terletak di bawah dipakai untuk nomor kritik teks untuk satu suku kata dan kata , sedangkan angka arab 1..), 2..) ….dan seterusnya menunjukkan nomor untuk kelompok kata 4. tanda / ( garis miring satu), menunjukkan pergantian baris tiap bait, atau pemisah antar baris 5. tanda // (garis miring dua), menunjukkan pergantian bait tiap bait 6. tanda #, menunjukkan pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik 7. Tanda @, menunjukkan pembetulan berdasarkan konteks dalam kalimat 8. Tanda $, merupakan pembetulan berdasarkan kebakuan kata dan kelompok kata 9. tanda *, menunjukkan pembetulan berdasar pertimbangan konvensi tembang, penyesuaian dengan jumlah suku kata tiap baris atau guru wilangan dan dhong dhing atau guru lagu 10. tanda ê menunjukkan vokal e dibaca [∂] seperti dalam bahasa Indonesia kata pedang dan pelangi. 11. tanda è menunjukkan vokal e seperti dalam bahasa Indonesia kata benteng, kelengkeng. 12. tanda é menunjukkan vokal e seperti dalam bahasa Indonesia kata lele, sate
Berikut penyajian suntingan teks beserta dengan aparat kritik:
PUPUH 1 DHANDHANGGULA 1. Kadyangganing kang brêmara anglih / myat panjrah ning puspita lir lintang1 / nèng taman warna-warna kèh / mèdêm maduné pinuh / pindha[..]-nipun trusthaning kapti /2/ ngalami jaman arja / jumênênging prabu / Jêng Srinata Surakarta / ping sadasa kang ambêg ngumala manik / paramarta[..] mardéwa /3 // 2.
makanèki tyasing para dasih / dahat agung lumintu dananya / mring bala balabur ambèr / ngêbêri sanggyanipun / bina [..]-cuta2 praptaning batih /4/ tan kirang sandhang boga / bagéyané agung / janma lit samya kawratan / déning kèhé pakaryan sajro[..]-ning nagri /5/ yasan Dalêm Srinata //
3.
jroning pura lan jawining puri / janma dhusun tan kurang pakaryan / kajawi ingkang têtanèn / sa[..]-bên ari lumintu /6/ nambut karya anèng3 wêdari / iyasan pasanggrahan / ayêm tyasing wadu / marma jro praja sayarja / pantês wino[..]-ting babad4 linuting gêndhing /7/ maring pramardi basa //
4.
yèku para nimpunèng kakawin/ sanggyaning kang risang kawi rêja/ kang sami[..] tinulat ing kèh /8/ awit anggitanipun/ 1
wintang# binicuta# 3 arnèng# 4 babat# 2
dahat sae nêngsêmkên kapti/ mring kang maos myang myarsa/ wondéné ta ulun[..] /9/ pun Tumênggung Arungbinang/ abdi dalêm bupati pamaosaning/ siti dhusun Gagatan// 5.
datan pisan cipta angakèni/ pra manggita lir [..]Sang Widayaka/10/ yêkti sambawa èmpêré/ praewon kewala wus/ dahat bêgja5 déné ta maksih/ sinungan kêcècè[..]-ran/ 11/ rêmên tyas mangapus/ ing apês budi tan mênga/ putêg-mêtêg pêpêting saloka dyanir/ syuh brastha tanpa sésa//
6.
nu[..]-grahantuk parmaning suksma di/12/ nulya wonten katon lêtul kadar/ dahat gumêbyar cahyané/ cumalorot sumunu/ mijil saking [..]sajroning puri/13/ wahyu dyatmika byakta/ mrabawa ngunguwung/ hangawêng sorote wiyar/ dadya saya gênging wahyu kang kaèksi [..] / 14/ kadi wulan6 purnama//
7.
dumipèng rat wèh martèng sakalir/ sasirnaning cahya kang gumêbyar/ kèksi ngaléla praptané/ duta dalê[..]-m Sang Prabu/ 15/ sing jro pura yeku Ngabèi/ Atma Sukatga nama/ ordênas panèwu/ tinampi kalawan suka/ pinanggihan wontên ma[..]-dyaning pandhapi/16/ sawusing tata lénggah//
8.
datan dangu wau Mas Ngabèi/ pratéla ywan dinuta naréndra/ mundhi sabda andhawuhké [..]17/ mrih nyathêt ananipun/ sinawunga ing témbang/ sakala jro kalbu/ 5 6
bêgya# ngulan#
byar padhang trawangan jinglang[..]18 / sabda nata narabas mengakkên budi/ kèh tembung katon wijang// 9.
Ngèksipurna janggêrênge kèksi/ kasok ing tyas karéna[..]-n kataman/ 19/ Kangjêng Srinata dhawuhé/ anglonging jiwa sêmbuh/ kasawaban sabdèng narpati/ tumancêp cipta maya/ nirmala sumunu[..]/ 20/ andhêku matur sandika/ sanès ari ywan tumuli nglaksanani/ dhawuh Dalêm Srinata/
10.
ing sawusé rampung Mas Nga[..]-bèi/21/ dènya dhawuhkén sabdaning nata/ gya wangsul malêbêt manèh/ maring jroning pura rum/ sapêngkêring dutèng narpati[..] /22/ lyan ari pêpikiran/ samaptaning laku/ sêsampating tata-tata/ énjang budhal ngéstokkên dhawuhing Gusti/ kangjêng Sri [..]-naranata//23/
11.
Ari Dite Paing tanggal kaping/ sêlikur ing Mulud wuku Maktal/ guru wrukung pringkêlané/ gigis pandangonipun/ awasêsa sagara tuwin/ kawolu mangsa surya/ mangsa wuku tumbuk/ kawolu warsa Jimawal/ tata dadi hangèsti Srinarapati/ dené ta kang tut wuntat//
12.
pun Ngabèi Esmutani dadi/ têtaringan pangrakiting basa/ bab rimbag-rimbag kang kanggé/ nèng jroning têmbung kidung/ angka kalih ingkang tut wuri/ Ngabèi Taliwanda/ ngraos jumbuhipun/ suraos sêming carita/ tri Suwarja catur Marsana baoni/ sêdayaning ukuran//
13.
gangsalipun Sunarja kang nami/ karya gambar ananing sanggrahan/ myang kang sami dèncritakké/ dipungambar sadarum/ mung mrih ladhang dènira [..] nganggit/24/ yèn wontên supènira/ kang sampun dinulu/ cumithak jroning ngèngêtan/ yata wau lampahé sadaya sami/ praptèng altèh sêtom tram//
14.
ing kantor kang birawa ing kapti/ myat kathahing jamna kang ywan numpak/ déning nyarêngi mangsané/ bakdaning Grêbêg Mulud7/ bau dhusun kèh sami mulih/ saking wismaning lurah/ sarta bêkêlipun/ kang wingi mêntas pasokan/ ambayarkên landasané wong pulisi/ ulêg nèng altèh tom tram//
15.
ngalèr ngidul janma kang lumaris/ pating sliwêr bakul sambiwara/ angrêmbuyung géndhongané/ kang saking pêkên agung/ kêkulakan yun didol malih/ wontên ing wêwarungan/ bango kampung-kampung/ priyayi kèh numpak rata/ ngalèr ngidul mrih pasowanané sami/ gumrudhug tanpa [..] kêndhat//25/
16.
sêlanané motor kalawan pit/ yèn jingglênga umiyat mangkana/ baya ta mumêt panoné/ wit saking kathahipun/ rata dhokar motor tuwin pit/ lan janma ingkang dharat/ tanna pêdotipun/ yata lokèt tram binuka/ kumarubut dhêsêkan kang tumbas karcis/ watawis pukul astha//
17.
namung kirang sawatawis mênit/ tram kang arsa pangkat wus samapta/ 7
mulut #
kang ayun numpaki agé/ minggah maring tram wau/ datan dangu gya munya pluit/ sêtum tram sigra ébah/ tan dangu budhal wus/ trus mangidul klonthang-klonthang/ lèr Galadhag mangilèn dènya lumaris/ kèndêl ngajêng Kauman/ 18.
anampani8 kang yun numpak sami/ miwah mudhun saking jroning ngêtram/ Kampung Kauman wastu yèn/ gyan panggao[..]-tan agung/26/ sapangétan mangulon sami/ jalwèstri kuwadéyan / wastra kasar alus/ binêbar pating balébat/ abyor kadi pambabaring obar-abir/ ingkang babaran anyar//
19.
wênèh kadi pinarada rukmi/ rênyêp-rênyêp parêmit sêratan9/ yèku ingkang bangsa sêmèn/ agêming para luhur/ satria di ing tanah Jawi/ dasanan rêginira/ tan kirang ing ngriku/ kang pating balédhak kathah/ myang tinata tinumpuk amarik-marik/ wontên kang binuntêlan//
20.
lan kèhing kang dinèkèk lêmari/ para tumbas bayar pating krompyang/ sawênèh lagi ambèbèr/ wastra wiyar lan ciyut/ pun Marsana alon dènya ngling/ ingkang sampun kawarta/ para bakul jalu/ saking tanah praja ing lyan/ ran kadhéyuk punika ta [..] kadi pundi/27/ Suwarja wangsulannya//
21.
mbok manawi kaliru pangêrti/ awit têmbung kadhéyuk punika/ têmbung ing Bandung wartiné/ saking caritanipun/ 8 9
anampèni # sêratannya*
têgêsipun ingkang sayêkti/ punika : marenéa/ wasana kalantur/ dinadyakên têmbung aran/ ingkang têgês bakul myang namaning nagri/ nanging janma Pasundan// 22.
ingkang prapta tumbas wastra sami/ dipunsêbut kadhéyuk punika/ mung nut tan suwala tyasé/ angêmong mring kang nyêbut/ pun Marsana alon dènya ngling/ inggih lamun mangkana/ têtéla satuhu/ bangsa kita janma Jawa/ rêmên ngalih têmbung manca dènwêrdèni10/ sakajêng-kajêngira//
23.
têmbung manca dènjarwasutani/ asring11 jumbuh lawan ananira/ punika anggumunaké/ Januari sinêbut/ Jarwa Suta uja[..]-n sabên ri/28/ cocok12 lan aranira/ yèn wulane nuju/ ing Januari punika/ têka inggih jawahipun tansah ngriwis/ kadi mangsa samangkya//
24.
Januari udan sabên ari/ sampun adat nguni praptêng mangkya/ tansah makatên wontêné/ raré dwi dahat gupyuk/ gya anggagas para pawèstri/ kang sami kuwadéyan/ baut têmên pétung13/ dol tinuku mawétangan/ tuna bathi minggah bok sabên ari/ arta malêbêt maring kas//
25.
lawan para kwadéyan kaèksi / ayu-ayu ing nêtya sumringah/ tuna bathi rêmbugané/ sakêjabipun rungu/ 10
dènwardèni # angsring # 12 cocog # 13 patung @ 11
déné bangsa Jawi pawèstri/ têgês manambut karya/ lawan bangkit untung/ wis magêng-magêng jênggarang/ sami dèncèt mawa loténgan lir loji/ patang ariné pradan [..]//29/ 26.
klonthang-klonthang sêtum tram lumaris/ mêngkêrakên unggyan kuwadéyan / ing Dirpoyudan praptané/ kèndêl malih sapangu/ sabên kèndêl ngudhunkên janmi/ ngampiri kang yun numpak/ déné altèh wau/ amung palang sinêratan/ sastra Wlandi agêng-agêng mungêl nami/ kampung kang kinendêlan//
27.
pangkat malih sêtum tram wus prapti/ sêtatsiun kang agung priyangga/ ing Purwasari nampané/ jajar lan sêtatsiun/ sêpur agêng matsêkapèi/ ngriku gyan pêpêthukan/ lir sêtasiun gung14 / sêpur kang sami pêthukan/ ing Balapan lawan sing Ngayogya nagri/ déné rata sêtum tram/
28.
pêpêthukan saking Bayalali/ lan sing kitha nagri Surakarta/ dadya sarêngan têmpuké/ wus golong têmbangipun/ bangkit tampa ti[..]-numpa janmi/30/ ingkang sami yun numpak/ dalah karcisipun/ ugi sagêd têtêrusan/ numpak sêpur pindah tram tan tumbas malih/ marma gung lêng-ulêngan//
29.
janma ingkang minggah tumurun mring/ tram myang sêpur lir uggyan tumpakan/ yata wau ri sampuné/ wancine pangkatipun/ sêpur kalih pangkat rumiyin/ pengkêran andum lampah/ 14
agung *
gênti tram lumaku/ ugi pêngkêran lampahnya/ pating sêthit sêmpritaning pra kondèktur/ dé lampahé sêtum tram// 30.
kang mangilèn sampun wiwit ngancik/ ing padésan sajawining kitha / ngawis-awisi raméné/ ngrêmya janma lumaku/ nulya katon ing kanan kering/ pasabinan awiyar/ subur parinipun/ tanêm gadhu kathah tirta/ bawah pabrik gémbongan kinêmbong warih/ tur ngêsat datan kéwran//
31.
marma léma [..] tandurané pari/31/ riyu-riyu suka kang angolah/ glêbagan kathah wêtuné/ yèku pituwasipun/ dènya nanêm têbuning pabrik/ ping kalih ing sawarsa/ kadi bisa sumbut/ lawan gyaning nambut karya/ ngolah têbu angêblêng jroning sawarsi/ lawan tumêmêning tyas//
32.
marma têbu tandurané pabrik/ lêdhung-lêdhung kawuryan marajak/ tuwuhé dhêmênakaké15/ tuwané pabrik untung/ unggyanira majêki siti/ kagungan Dalêm nata/ adate sabahu/ yèn mêrit têbu mangkana/ dadya gula mêtu satus sèkêt dhacin/ sadhacin apês rêga//
33.
wolung rupyah sring langkung sakêdhik/ dadya sêwu kalih atus rupyah/ mangka pajêk laladèné/ sèkêt sabahunipun/ wang Pulisi sadasa rispis/ déné ta wragad-wragad [..]/32/ kintên gangsal atus/ cêkak wontên panggunggungan/ 15
dêmênakake #
kalongipun kintên nênêmatus rispis/ kantun nêmatus rupyah/ 34.
yèku dadya bêbathiné pabrik/ kèh labêté para kuli désa/ mring pabrik kang bawahaké/ dening bangkit wèh untung/ têtikêlan lan wragading wit/ tram lampahé wis prapta/ anèng sêtatsiun/ kadistrikan Kartasura/ cêlak pêkên Kartaharjo kèh sujanmi/ mawèh asmarèng driya// PUPUH II ASMARADANA
1.
kanan kéring urut margi/ sampun wontên toko Cina/ lawan sawatawis kèhé/ bango Jawi ugi kathah/ dalidir janma [..] liwat/33/ ngétan ngilèn lampahipun/ ingkang limrah sami dharat//
2.
kadhistrikan ngriku awis/ karéta tanapi dhokar / dadya datan wontên andhong/ janma kang mandhap saking tram/ kathah kang panglingukan/ mulat ngiwa nêngên ngèsmu/ tan ana andhong kawuryan//
3.
datan wontên nyantosani/ ngandhong kêh karéta dhokar/ dadya kau katinggalé/ mangka agêng pêkênira/ Pêkên Pulisèn nama/ sanandyan ing nagri wau/ datan pinuju pasaran//
4.
ananging kathah sujanmi/ ingkang sami sêsadéyan/ Sunarja pitakèn alon/ kadhistrikan Kartasura/ têka dahat raharja/ kathah wisma agung-agung/ lan kathah raré sêkolah/
5.
Suwarja lan amangsuli/ kadhistrikan Kartasura/ iki biyèn kabupatèn/ pulisi [..] ing Kartasura/34/ kèh priyayiné garap/ nging nyarêngi bêgjanipun/ lawan kang dadi bupatya//
6.
ana pranataning nagri/ nyuda kèhing kabupatèn/ dadi Kabupatèn Ngampèl/ kalawan ing Kartasura/ dwi iku dipunrêmbag/ bupatiné pinansiun/ dalah para garap samya//
7.
panggêdhéné kari dhistrik/ Kliwon mèlu dipunrêmbag/ lah ta iku kabupatèn/ kono tilas kadhistrikan/ nanging mung wartanira/ awit aku datan wêruh/ déning nalika samana//
8.
aku isih bangêt cilik/ dadi myarsaning pawarta/ amung ing samêngko baé/ yata sêtum tram gya pangkat/ ngambah kabudidayan/ Bangak ugi pabrik têbu/ déné tanêmane rosan//
9.
lêma lêdhung-lêdhung sami[..]/35/ nêdhêngé sumawi lagya/ amung ingkang iring kilèn/ sami pari tandurannya/ gumadhu wancinira/ wênèh mlêncuti kadulu/ salong lagi inguritan//
10.
praptèng Banyudana nuli/ kèndêl malih kang sêtum tram/ pun Suwarja langkung kagèt/ myat sêtatsiun ing ngêtram/ gumêbyar warnanira/ kadi pinarada mancur/ paréanom pulasira//
11.
saka blandare ingêlis/ Sunarja lan wuwusira/ punapa amawi kagèt/ wit statsiun Kartasura/ tan béda êcètira/ sami paréanomipun/ gêng alité ugi sami//
12
malah yèn arjaning dhistrik/ taksih arja Kartasura/ sampun agêng pacinané/ Suwarja gumuyu latah/ wuwusé mêsthi béda/ awit16 ana losmènipun/ anganggrang karétanira/
13
yata praptèng [..] Randhusari /36/ sêtum tram wau lampahnya/ wontên altèh kèndêl manèh/ kathah bakul sambiwara/ ingkang nyumunu samya/ lampahé ngènèng mangidul/ kang kèh bangsa kuwadéyan//
14
wadene dipungéndhongi/ amung para bakul priya/ ingkang sami bêkta wadé/ ingindhit pambêktanira/ wontên ingkang pinundhak/ lan anyunggi wênèh manggul/ nèng ngriku wau sarêngan//
15
janma dhusun jalu èstri/ sami bêkta dêdagangan/ kang kathah bangsaning krowot/ jagung katéla lan kacang/ pohung kênthang17 myang lyannya/ brambang bawang bumbu-bumbu/ déné bangsané ratêngan//
16
kétan thiwul dèngéndhongi/ wontên ingkang nuntun ménda/ kang sawênèh mikul bèbèk/ dipunsanda [..] kadi barang /37/ lan pitik ginèndhokan/ nèng sênik utawi tumbu/ 16 17
wit * kêndhang @
wênèh cinangking kéwala// 17
sami ngidul andalidir/ warni-warni sadéyannya/ saking wétan saking kilèn/ Randhusari énggokira/ têmpuk ngidul lampahnya/ praptèng pêkên kèndêlipun/ praptèng Pêkên Ngèksipurna//
18
nuju pêkênan ing Pahing/ kathah janma sêsadéyan/ sawatawis gêng pêkêné/ kèhing krowotan ratêngan/ éwoné sampun pêpak/ bangsa sinjang wiyar ciyut/ lurik lan bathik cap-capan//
19
lawan wontên pandhé mranggi/ lawan sakèh mêmanukan/ lan bangsaning pitik iwak/ yata gênti kacarita/ ingkang naming gitaya/ wontên ing sangarsaning pun/ Pasanggrahan Ngèksipurna//
20
lêng-lêng dèni[..] -ra ninggali/38/ wiwaraning pasanggrahan/ kalangkung mararas tinon/ tosan gilig cinèt séta/ malangkung nginggilira/ rinêngga-rênga dadya krun/ sinungan sastra Walanda//
21
PeBe ikês têtah mawi/ sinêlanan wangun panah/ angadêg mangka pucuké/ nyênyêp katingal nèng ngandhap/ nyamlêng pindha gandêwa/ kang lagi pinêndang asru/ pangruwating kala murka//
22
wiwara inêbé kalih/ déné kanan kéringira/ pancak siji tosan dèncèt/ ugi séta warnanira/
pucuké wangun18 tumbak/ pinulas ing warna biru/ mung sastra nginggil wiwara// 23
pulasipun warni abrit/ cêtha tinon sring mandrawa/ déné wiwara wiyaré/ gangsal mètêr winatara/ dwi dhèsi mètêr kira/ hèk kanan keringing pintu [..]/39/ mawa lungguh pagêr bata//
24
dalurug ing pancak siji/ nginggil ngandhap miwah têngah/ binunder mor kawat waté/ sinungan lan kadi rodha/ sarta lamun ginagèn/ lir cakra agêming pupuh/ Sri Krêsna ing Dwarawastya//
25
yata kang naming kakawin/ gya mangidul lampahira/ dalah kang tut wuntat kabèh/ nêkuk mangilèn gya prapta/ wiwaraning sanggrahan/ pintu butulan kang kidul/ gya manjing jro pasanggrahan//
26
mangalèr dènya lumaris/ anglangkungi palataran/ anjujug ing lojèn kang lèr/ ngriku sampun sinudiyan/ bangku lampit gêlaran/ para rêsan sami mêtuk/ ngancani mrih sami lênggah//
27
lawan pratéla manawi/ Mas Bèi Ahmad Sudarsa/ pamit datan mêthukaké/ wit anak roga nèng [..] praja/40/ anamung sanès dina/ ywan wus saras sakitipun/ yun nusul mring Ngèksipurna//
28
déné kang ngriptèng kakawin/ pinaringan ing pondhokan/ 18
kwangun #
wontên kamar 19[ingkang] kilèn)/ kamar wayah Dalèm nata/ wétaning gêdhong puspan/ wusing arsa datan dangu/ papriksa kaananira// 29
salêbêting Sriwêdari/ lawan miranti ukuran/ dalancang miwah potêlot20/ kang dhihin manjing pandhapa/ mangétan ajêngira/ wanguning pandhapa wau/ limasan watara panjang//
30
angêngrêng sêmuné wingit/ pitulas mètêr panjangnya/ nêm dhèsi mètêr langkungé/ sangang mètêr wiyarira/ katon sêdhêt21 pidêksa/ pasikoning saka patut/ pinantês pasagènira/
31
usuk sêsêg paniyung sri/ rêmpêg rampat sipatannya/ rinakit rêng [..]- kêt lan rèngé/41/ samuwaning bêbalungan/ sami ing ngêcèt séta/ linaleyan lèr lan kidul/ lawan sinungan wiwara/
32
pangrakite rèki pèni/ rangkêp kalih wrêksa lan ram/ ngangrêngan séta klambuné/ têngah pinêkaking pita/ têbèng wrêksa krawangan/ pinindha waru lawan lung/ wêh lêng-lêng lam-laming pamyat//
33
têngahing wukir ngêthawit/ pêthuk krun karajan Jawa/ sastra Walandi ngandhapé/ (PB X) PêBê ikês ungêlira/ lire Pakubuwana/ kang jumênêng ping sapuluh/ 19
20 21
kilèn* potpêlot # sêbêt #
dé èmpèr gajah kang wétan// 34
gathuk paringgitan Jawi/ mawèh wewahing polatan/ pringgitan wau wiyaré/ sakawan mètêring Englan/ tri dhèsi langkungira/ wungkastêr kalawan kidul/ laléyan sambêt kalawan//
35
laleyannirèng pan[..]-dhapi/42/ sarta sinungan wiwara/ angupu22 tarung inêbé / kinêmbar lan wiwaranya/ kanan kering pandhapa/ sajroning pandhapa wau/ nginggil têngah pinasangan//
36
sêtroli gantung rêspati/ krun pang gangsal sêdhèng gêngnya/ iring kidul tuwin ing lèr/ sêtroli krun pang nyakawan/ èmpèr kilèn lan wétan/ pinasangan dilah triyum/ jèjèr ngilèn sami niga//
37
laleyan lèr dènpasangi/ gambar Dalêm Jêng Srinata/ busana adi kinaot/ amakuthan kanigaran/ anyamping parang rusak/ rasukan Dalêm sang prabu/ rinêngga ing bintang kathah//
38
pisungsung ing pra narpati/ karajan tanah Eropah/ myang Asia23 sêsaminé/ yéku tandha sih katrêsnan/ déné plangkaning gambar/ ing nginggil rinêngga ing krun/ kruning krajan ta[..]- nah Jawa //43/
39
ingukir-ukir ngarawit/ pangêlise lus mararas/ pindha taru lung salolor/ pinarada mas gumêbyar/ 22 23
anguwu # Asiyah #
panjang wiyaring plangkan/ samètêr ing wiyaripun/ de ukuring inggilira// 40
sêmètêr langkung dwi dhèsi/ kawuryan agung birawa/ amêwahi prabawané/ pandhapi tepas wangunya24/ gambar Dalêm punika/ sêsanggane marmêr pingul/ mawa sinung suku wrêksa//
41
ugi ingukir ngarawit/ pinarada ing kêncana/ sakalangkung amancorong/ ing sakanan kéringira/ gambar Dalêm Srinata/ dènapit-apit bil prunggu/ sami pinarada mubyar//
42
wanguning prajurit Turki/ kang arsa umangsah yuda/ asikêp pêdhang lan tamèng/ ngandhaping bil pinasangan/ kênap kongsulnya tunggal/ mawèh asri [..]-ning pandulu/44/ kanthi sêngsêmé kang miyat// PUPUH III KINANTHI
1.
kongsul bengkok marmêr pingul/ piningul pinggir galigir/ lir gilingan kang sinigar/ linêgokan kinarya lis/ angalèn alus mararas/ ing nginggil dipuntumpangi//
2
gupala banthèng parunggu/ mung nyajuga alit-alit/ nyatêngah kaki inggilnya/ acêmêng mêlês kang ku[..]- lit/45/ lugasan datan pinulas/ winangun anèng wanadri//
3
banthèng kalih banthuk-banthuk/ ingkang kilèn banthèng èstri/ 24
wanguné*
banthèng jalêr ingkang wétan/ punuké agêng galigir/ ngandhapan dam kang untara/ sinung rêsban kênap kursi/ 4
samising dêling sadarum/ tinutup baludru sari/ wêdalan patrik ing Jêpang/ tinata turut rêspati/ cakêt sawetaning rêsban/ gambaring nyonyah kêkalih//
5
ngadêg ing sakalihipun/ katon pasêmoné lami/ sulaya awawas sabda/ dèning kang têngên kaèksi/ jêkutrut bêndu wangunnya/ nyonyah kang nèng kiwa kèksi//
6
tyasé mandhêlong asuntrut/ ing nétya katon tyas ajrih/ wit wanguné kalih tuwa/ nalare[..] anggung kalindhih/46/ landhêsan bêktining25 wrêda/ dé rêsban ing kanan kering//
7
sinung kênap marmêr pingul/ alit-alit tinon asri/ lan cakêt ngriku sinungan/ pot-potaning tarurêsmi/ ingkang mawi kaplangkanan/ ing warna kalangkung adi//
8
saking Jêpang asalipun/ dalah tanêmané sami/ samadyaning kang laléyan/ kang kidul dipunpasangi/ gambar Dalêm Sang Dayita/ palangkan kêmbaring warni//
9
akalawan plangkanipun/ gambar Dalêm Jêng Sang Aji/ kanan kéringipun gambar/ sinung bil prajurit Turki/ ngandhap bil sinungan kênap/ kongsul marmêr ugi sami// 25
bêgtining #
10
kang wontên sangandhapipun/ bil prunggu kanan kéringing/ gambar Dalêm Sri Naréndra/ sanginggiling kongsul kalih/ sinung [..] wadhah sêsêkaran /47/ saking bêling warnanya sri//
11
nagri Cina asalipun/ ngandhap gambar sinungan bil/ pindha nonah dêdolanan/ pungkas èmpèring pandhapi/ lèr kidul dipunhèk tosan/ mung saèmpèr kang dènhèki//
12
sacêthik inggilé mungguh/ hèk tosan sêkaran adi/ rêmpêké wangun cinithak/ godhak hèk saka pandhapi/ lèr kidul sinung gupala/ janma Eropah lit-alit//
13
ingkang lèr majêng mangidul/ angadêg nyêpêng piranti/ kinarya ngrêsiki kisma/ myang rumputan taman sari/ wangun mêntas nambut karya/ kèndêl angasokkên dhiri//
14
marma adêgipun wau/ piranti kang dèncêpêngi/ kinarya sambén sanggawang/ déné gupala kang munggung/ nèng kidu[..] -l ngalèr ajêngnya/48/ ugi nyêpêngi piranti//
15
cêngkèh warni kadi garu/ kinarya kang garu siti/ ngrêsiki wuh rêrumputan/ ingkang mêntas dènpaculi/ gupala kalih punika/ dêdêgé mung ngalih-kalih//
16
brengosé nyopros kalawu/ anutupi lambé kalih/ brewok kèh ngêbaki dhadha/ ugi kalawu kang warni/ agal-agal kadi kawat/
ambar kiyèng kiyat sami// 17
mathokol okol kadulu/ lir raksasa Pringgandani/ maringis untune séta/ jêkêtut26 bathuké sami/ ragi ngêthèk sawatara/ nanging luwês mêrak ati//
18
miyat kawujudènipun/ pancèn Wlandi alit-alit/ nuli kang kasébut crita/ lêlipêt utawi kadi/ klinendhipya têgêsira/ janma ingkang [..] cilik mênthik//49/
19
wanguné gupala wau/ nagarinê dahat dhingin/ cêlak bul matandhanira/ topinya nutupi kuping/ angrangkêp lir karukupan/ guwayané katon lutih//
20
akandêl sandhanganipun/ kulambi cara prajurit/ nanging singsêt binênikan/ saking jrih sruning hawa tis/ wit narathêg wangunira/ paring isa ngantarani//
21
nginggiling hèk tosan ngriku/ kang mèpèt pilar pandhapi/ wontên bilipun katingal/ kang lèr majêng ngidul êncik/ kang kidul ngalèr ajêngnya/ punika nyonyah Walandi//
22
déné ta pandhapi wau/ èmpèr kang kilèn winarni/ gathuk lawan paringgitan/ pringgitan ngriku watawis/ wolung mètêr wiyarira/ langkung saking katri dhèsi[..]//50/
23
ingkang lèr kalawan kidul/ sininggêt kinamar sami/ 26
jakêtut #
ngawan mètêr panjangira/ langkungipun ngawan dhèsi/ lan ngawan mètêr wiyarnya/ namung langkung gangsal dhèsi// 24
jroning paringgitan ngriku/ kang têngah dipunranani/ laleyan wetan wiwara/ kang manjang dalêm wedari/ sinung kaca krun goraya/ ngandhap cêndhelaning puri//
25
prênah kanan keringipun/ wiwara purèng wadari/ sinung kursi modhèl anyar/ pasagèn warnané pèni/ tinata sêsisih tiga/ mèpèt pintu kanan kéring//
26
dadya cakêt dhêmpêl pintu/ ragi nginggil dènpasangi/ gupala alitnya tunggal/ katingal kadi Walandi/ saking bêling kang kinarya/ winulat nêngsêmkên kapti//
27
kamar kidul mawi pintu/ saking paringgitan tuwin/ mangidul anjog plataran/ kamar [..] dènpyan cète putih/51/ nginggil têngah sinung pandam/ sêtroli triyum rêspati//
28
laléyan kang kilèn sinung/ dhipan kasuré dèncuki/ sinasapan wastra séta/ sêsêkaran plênik kuning/ biru kudhuping puspita/ riyêp-riyêp angrêmêni//
29
têtarune ijo pupus/ nginggil dhipan dènpasangi/ gambar Dalêm duk papara/ mring Madusita wadari/ busana cara Walanda/ mardikak lawu rêspati//
30
kang dhèrèk ginambar ngriku/
mantu Dalêm Jêng Sang Aji/ Jêng Pangran Arya Mataram/ myang raka Dalêm wêwangi/ Jêng Pangeran Prabu ing rat/ lawan raka Dalêm malih// 31
Jêng Pangran ingkang jêjuluk/ Purbadiningrat pra sami/ busana cara Walanda/ kêkêmbangan sêtap putih/ lan rayi Dalêm jêng pangran/ Arya Cakraningrat tuwin//
32
rayi Dalêm kang jêjuluk/ Jêng Sonwé[..]- kusumo tuwin/52/ Jêng Pangran Prabu Mijaya/ lan wangsa Pangran Bibisil/ Dipakusuma kalawan/ Pangran Puspa Kusumadi//
33
prajurit tan agêmipun/ sumiwi ngarsèng narpati/ Tuwan Dènis27 Déssèncé lan/ Tuwan Sul andhèrèk ugi/ kamar lèr mawi wiwara/ kang mangalèr anjog maring//
34
palataran sartanipun/ ngriku wontên pintu malih/ kang mangilèn manjing marang/ sajroning kamar wêdari/ kamar dwi wau sinungan/ candhéla nyatunggal iji//
35
sami nèng wétan sadarum/ déné ta kamar lèr ugi/ ingêpyan kaêcèt seta/ pojok kidul wétan mawi/ lêmari krus palitusan/ pojok kang lèr wétan mawi//
36
sinungan ugi kaplitur/ pojok kidul kilèn mawi/ sinungan rak saking rampal/ tutul ting balêntong pèni/ luwês dhèmêsing [..] pakaryan/53/ 27
Tènis #
akarya sêngsêming kapti// 37
pucuking dêling mawangkup/ pojok lèr kilèn kaèksi/ sinung bipèt krun mararas/ winangun dèn marêspati/ déné ta gupit punika/ kagêm dandos Jêng Sang Aji//
38
ywan nuju pêparèng iku/ mangsuli pandhapi malih/ kamar lèr kanan kéringnya/ pinasangan bil prajurit/ sami angrênggêp gêgaman/ kiduling bil kidul mawi//
39
sinungan jam kang kasêbut/ têmbung manca rêgula tir/ déné ngandhaping candhéla/ kapasangan kênap putih/ ginambar kagêm kasukan/ ingkang anama bil gêring//
40
ingapit kursi baludru/ palênggahan Dalêm Sang Sri/ kursi kang kidul têngênnya/ sinung kênap marmêr alit/ saka guru kang untara/ sisih kilèn dènpasangi//
41
pasrèn kênap marmêr pingul/ déné ngandhaping sétro[..]- li/54/ triyun ing ngèmpèr pandhapa/ kilèn têngah dènpasangi/ palêngahan Dalêm rêsban/ majêng mangétan rêspati//
42
kapit kênap marmêr pingul/ ngajêng kênap dèntatani/ kursi ngalih jêng-ajêngan/ angayunkên kênap sami/ kênap marmêr kang nèng têngah/ lan nginggilé dèntumpangi//
43
bokèt bêling èstinipun/ sêkaring térong28 rêspati/ 28
torong @
wungu sêmburaté séta/ ron ngêmpêl ngandhaping sari/ abyor pinarada ing mas/ dinulu nyênêngkên kapti// 44
déné sisihipun kidul/ sinungan wrêgêl sawarni/ bênèt pinêtha suyasa/ ingukir-ukir ngarawit/ kanan kéringing cêndhéla/ pinasangan bil prajurit//
45
kang umangsah munah satru/ nèng sêtya prêmpêng ngêkèksi/ ing sangandhaping candhéla [..]/55/ sinung palênggahan kursi/ yèn Kangjêng Srinata têdhak/ sring lênggah nèng wau kursi//
46
salèr palênggahan ngriku/ wontên kasuran pasagi/ katri kandêl ngalih têbah/ dhasar saking dhamas wilis/ sêsêkaran lir sinulam/ têpiné dipungombyoki//
47
songa baludru ijêm byur29/ sinungsun inggil sakursi/ malang-mégung pamasangnya/ winangun datan tiniti/ mégas-mégosing pamasang/ nyata baskara angancik//
48
ancala arsa sumurup/ ngaso kang sami nyathêti/ maring pamondhokanira/ lawan myat langèn ing langit/ kang nglangutan pawangénan/ méga bang katon angrawit [..]/56/ PUPUH IV SINOM
1
Kasorot sunaring surya/ ngêmu mêndhung sawatawis/ wungu jênar ramyang-ramyang/ biru dadu sulak abrit/ 29
byar*
jênar nom sêmu wilis/ wênèh ana biru laut/ lir kêmbangan binabar/ katiyup samirana ris/ salin sêta ngrêgêmêng ing jaladara// 2
kadya arga gêgandhèngan/ kang tipi[..]-s têngahé kèksi/57/ bolong lir cangkêming guwa/ duk kang sisih kênèng angin/ sêbit katon jalirih/ lir pêthit ingkang sarpa gung/ pucuking pêtha arga/ katon lir jamang ting cringih/ ngandhap pucuk bolong lir nétraning naga//
3
ting salébro ngarsèng Naga/ himalaya ingkang tipis/ kadi sumêmburing wisa/ katon kêntar katut ngangin/ ambyar ing mêndhung ngarsi/ kadi syah brêsthaning mungsuh/ solan-salining rupa/ lir gambar idhup mranani/ angslupipun Hyang Arka soroté sirna//
4
pêpêtêng nglimputi donya/ samantara sunya ruri/ sirêp ocèhing kukila/ tidhêm swara kang kapyarsi/ ganti swaraning jangkrik/ angêcêg wèh ngrêsing kalbu/ ambuka [..] tyas sakala/58/ lir kataman ing prihatin/ kadya murih mangsah amêsu sarira//
5
sarana mét cipta tamannya/ umiyat kahanan jati/ kajatènirèng dumadya/ dadi dêdalan kang sidi/ kasidan kang kaèksi/ pangèsthine dimèn jumbuh/ yata ing ngantariksa/ pêpêtêng nggamêng nglimputi/ mya sumilak sing kênyaring taranggana//
6
abyor ting gêbyaring wiyat/ mawèh énggaring dumadi/
andipani madyapada/ katon kyèhning taru rêsmi/ sêsêkaran wêdari/ argula mêlati menur/ kèsisan wraning ngima/ arum mêmênuhi puri/ tan winarna lêlangên ing ratri kala// 7
énjang banguning basanta/ nirnakên pêtênging wêngi/ madhangi sêsining jagat/ kukila munang ngumuni/ tandha[..] wus bangun énjing/59/ jalu èstri janma dhusun/ wus sami nambut karya/ wiwit lumaku dalidir/ maring pêkên sami bêkta sêsadéyan//
8
bang-bang sumirat Hyang Arka/ amadhangi ing sabumi/ jro taman pating galébyar/ usara30 ing wanci ratri/ kasoroting Hyang Rawi/ ting glébyar cahyané gumyar/ kadi intên sumêbar/ tètèsé katiup angin/ lir sêsotya kang wiwal saking ngêmbanan//
9
Mas Bèi Ahmad Sunarja/ wus prapta saking nagari/ manggihi nèng pamondhokan/ gya ngirit mriksèng wadari/ sangayuning pandhapi/ maligé mujur mangidul/ ujuré sapta wêlas/ mètêr langkungé sadhèsi/ ngétan ngilèn gangsal mètêr winatara//
10
wolung dhèsi langkungira/ wangune mali [..]–gé kadi/60/ taratag nanging dènêplas/ payoné sèng tosan putih/ èmpèr mubêng kêliling31/ katoné pidêksa bagus/ samètêr wiyarira/ langkungipun gangsal dhèsi/ 30 31
uswara # kuliling #
taritisé tinalang ing tosan séta// 11
sinung grojogan sakawan/ ngajêng kalih pojok kalih/ sêsanggané uwang tosan/ saka sami kajêng jati/ kang gathuk lan pandhapi/ saka tosan ingkang catur/ pangapit saka pilar/ tumut laléyan pandhapi/ sami dèncèt séta biru êlisira//
12
lèr kidul pandam pang tiga/ jrambah plèstêr lir pandhapi/ minggahipun mring pandhapa/ mawa talundhak kêkalih/ mudhuné maring siti/ ugi kalih tlundhakipun/ saka-saka ngajéngan/ samya sinungan po[..]-t bêling/61/ nêstha astha sami saking nagri Cina//
13
sajuga saka pot tiga/ mujur ngétan marit-marit/ tinanêman sêsêkaran/ patis mênjangan sêpilir/ ilèr sabrang kêtanggi/ wontên kang ron pinda garut/ wungu amaya-maya/ sisih kilèn dèndèkèki/ cêcanthelan topi kalih cacahira//
14
lawan ngriku cinawisan/ ing palangkan modhèl antik/ dé dalêm tépas wangunan/ wangun limasan réspati/ linotèng cinèt putih/ lir langit katon ngalangut/ sininggêt kéring kanan/ pininta-pinta ginupih/ ingkang têngah kagêm Dalêm wiyarira//
15
wolung mètêr winatara/ panjang sangang mètêr dadi/ méh pasagi ukurannya/ nginggi[..]-l sinungan sêtroli/62/ triyum krun pangé katri/ sajuga wiwara ngayun/
kang saking paringgitan/ wingking wiwara kêkalih/ dhêmpêlipun lèr kidul cêlak pojokan// 16
dadya mubêng tembokira/ longkangé mung kori-kori/ salèr kiduling laléyan/ mèpèt wétan sinung kori/ godhaging kori wingking/ yèku kilèn prênahipun/ madyaning kang laléyan/ wontên gambar Dalêm Sang Sri/ jéndral mayor pangagêman Dalêm Nata//
17
plangkan krun ukir-ukiran/ pinrada kêncana murni/ ing sakanan keringira/ ragi ngandhap sawatawis/ sinungan bil Walandi/ prunggu pinarada gumyar/ sami ngadêg sadaya/ kang kanan anyêpêng bêdhil/ déné ingkang kéring [..] anyêpêng sêtandar// 63/
18
ngandhap gambar Dalêm Nata/ sinungan rêsban sawiji/ kêkacuranipun dhamas/ ginardhé baludru wilis/ palisir pita kuning/ ginombyok lit-alit mungguh/ gêdhêbyok sri kawuryan/ yèn Kangjêng Sri Narapati/ lênggah ngriku siniwi para biyada//
19
sakanan kéring rêsban/ dipuntatani ing kursi/ sukunya sinungan rodha/ kasurané prêlag wilis/ sêkaran jéné asri/ sêndhènan krun pinrada byar/ gumêbyar ngandakara/ karénan ingkang umêksi/ témbok kidul ugi wontên wiwaranya//
20
mangènèng kilèn lan wétan/ inggil myang wiyaré sami/ inggil tigang mètêr lawan/ satunggal sêtêngah dhèsi/
wiyar pat mètêr tuwin/ satêngah [..] dhèsi mètêr mung/64/ inêbe kalih pisan/ ngupu tarung saking cêrmin/ wêngku dènlis angalèn alus mararas// 21
pulasé séta sumilak/ gumilap-gilaping sing wit/ sumorot agilar-gilar/ yèn dinulu balérèngi/ têmpuh lan sorot cêrmin/ lan gilaping pulas pingul/ inêb rinangkêp krépyak/ kang dumunung anèng jawi/ yèn karépyak inginggahkên lèr talundhak//
22
asri cêrminé katingal/ sahantaranirèng kori/ sinung kaca gêng paradan/ wêngku nginggil krun rêspati/ lêmêsing lung mulêt wit/ ngêthawit pakirtyanipun/ pakaryaning Eropah/ wéwah wingiting wêdari/ kanan keringipun krun sinung pêpindhan//
23
kukila bêbêr swiwi[..]-nya/65/ kadi yun ngayuh wiyati/ wanguné kagaro tarda/ netranya kalih angêlik/ ingkang pinêtha kadi/ garudha winantéya gung/ yèn ta tanah Eropah garudha kêkalih sami/ kêkêripun kadya kukila adhêlar//
24
kang agung dibya purusa/ kêkês buron gung wanadri/ kukila kalih punika/ sing dhêmpul pinrida rukmi/ kanan kéringing cêrmin/ sinungan pandélar triyum/ angandhapipun kaca/ kênap kongsul tinon asri/ tinumpangan wadhah bukèt saking gêdhah//
25
kadya ingukir mararas/ warnané jênar rêspati/
angrêsêpakên paningal/ kanan kéring kênap mawi/ sinungan kursi antik/ kang kilèn pipining pintu/ dahat sri pinasangan/ gambar Dalêm Sri Bupati/ kaping sapta ma [..] -busana prajuritan//66/ 26
kaèksi singgêt sarigak/ asingêr sêrêng rêspati/ pigura langking lis-lisan/ lung-lungan pinrida rukmi/ wèh rêsmining wêdari/ kang kilèn pipining pintu/ asrèn sami lan wétan/ sadaya kinêmbar warni/ mung gambaré gambar Dalêm Sri Naréndra//
27
Pakubuwana ping astha/ pangagêman Dalêm Sang Sri/ grêbêgan dahat mrabawa/ pasémon Dalêm awingit/ gambar Dalêm kêkalih/ ing sangandhapipun sinung/ kursi antik sadaya/ déné laléyan lèr kori/ jumbuh lawan kang kidul uparênggannya//
28
pipi pintu lèr kilènnya/ punika dipunpasangi/ gambar Dalêm Sri Naréndra/ kaping sanga kang mandhiri/ busana Dalêm Sang Sri/ cara Landi jéndral mayor/ tajêm jatmikèng nétya/ angêngrêng singir rêspati/ kang lèr wétan gambar [..] Dalêm Jêng Srinata// 67/
29
kang jumênêng ing samangkya/ kaping sadasa mandhiri / pangagêman prajuritan/ songkokan singir rêspati/ wingité ngantawisi/ para marta sih budyayu/ amot mêngku aksama/ pangayom manungsa32 Jawi/ 32
manungswa #
ngandhap gambar Dalêm Sang Sri sêkaliyan// 30
pinasangan kursi Jêpang/ pintu gung wétan kang ngapit/ ing candhéla di rinêngga/ ing saluhurirèng kori/ wontên ing balabag asri/ baligon wangunanipun/ pinulas warni séta/ sinungan sastra Ngarabi/ panyêratê tinatah pinulas krêsna//
31
dahat bagusing aksara/ tinatah turutan rêmpit/ rampak ramping panatahnya/ pun Sunarja tanya maring/ Ngabèi Esmutani/ bapak puniku kadulu/ sastra Ngarab barêgas/ punapa rajah puniki[..]/68/ kang sinêbut nênggih rajah kalacakra//
32
ah dudu wangsulanira/ apa ta sira tan bangkit/ amaca aksara Ngarab/ wangsulané datan bangkit/ ing nguni botên ngaji/ Esmutani wuwusipun/ aku iya tan bisa/ awit biyèn gonku ngaji/ lagya tutug ing lambya konil kéwala//
33
kasêlak salin sêkolah/ ngingi yèn aku uga wis/ winulang aksara Ngarab/ ingkang aran gêndhil gêdrig/ ana bédané thithik/ lamun Arab rada bingung/ ribut byat jabar jérnya/ nging coba ingéja dhisik/ lah cathêtên manawa bisa kacandhak//
34
ing luhur munya Muhammad33/ ing sangisorira nuli/ muni ngasaror lohhula / nyulpubak sambungané malih/ 33
mukammad $
wanguné iku muni/ ladina kaparullohu / baksa iwa[..] uninya /69/ asabdu bangkil nuli/ sangisore uniné kuli ladina// 35
kaparu sabuh labuna/ patuh saruna anuli/ muni ilahajanama/ pabiksalmihad sor malih/ maksal mina lan malih/ muni yakosinubunus/ naenunus kalawan/ sarabunus lawan malih/ dunuwanus palyata tuyunus lawan//
36
kotmir nuli ngisorira/ yarokibu banjur muni/ yamuktadiru kalawaan/ yakoliku nuli muni/ yangali muwus titi/ têgêse tan ngêrti aku/ mung wanguné kéwala/ mangka panulak bilahi/ ing sakèhé pangrêncana panca baya//
37
lan iku mung kapèngêtan/ kinarya pangéling-éling/ carita duk jaman kuna/ jumênêngirèng narpati/ élingku abibisik/ yèku Sang Nata Duk Yanus/ kapir agamanira[..]/70/ duk jaman34 Srinarapati35/ maring wana mêt kidang wulung kêncana//
PUPUH V MASKUMAMBANG 1.
Pun Suwarja alon dènira mangsuli/ paran caritanya/ kula kapéngin miyarsi/ gya Dyan Bèi Taliwanda//
2
anambungi lamun caritané nguni/ Duk Yunus Srinata/ 34 35
saman # Srinarpati*
bêbêdhag36 anèng wanadri/ dhinèrèkkên wadya bala// 3
dahat agung [..] gumêrah munggèng wanadri/ 71/ nênumpa myang mikat/ mikut sato gung lan alit/ dadya trusthaning pra wadya//
4
awit akèh punggawa kang sangu anjing/ ingajagkên samya/ bêbujung kidang lan kancil/ kathah buron kang kacandhak//
5
nèng wanadri srinata nyaré ing wêngi/ rinaksa pra wadya/ ana pungawèng narpati/ gajêge nênêm cacahnya//
6
goné sami anéndra mamêt gyan dhêlik/ anèng jroning guwa/ lawan srênggala kêkalih/ nèng kono sak éwa néndra//
7
kacarita srinata kondur mring puri/ lawan para wadya/ sadaya tan ana kari/ mung punggawa kang nèng guwa//
8
ingkang kantun tan dhèrèk konduring Gusti/ panyana ing kathah/ sampun mantuk ngrumiyini/ nalika ing ratrinira [..]//72/
9
sakondure wau Duk Yanus narpati/ lan wus dahat lama/ kang jumênêng narapati/ wus salin têrah-tumêrah//
10
datan ana pawarta barang punapi/ yata kacarita/ mung guwa ingkang aguling/ nèng jro guwa wana pringga//
11
ngling lir kagyat kancané sampun ngêmasi/ lan srénggalanira/ kêkalih ugi wus mati/ 36
bêbêdhak @
dahat gêgêtuning driya// 12
wit sonané paringé Sri Narapati/ lawan dahat jilma/ lan gêtun kancané mati/ mangka dadi mitra darma//
13
wêwanguné gyaning palastra wus lami/ dahat pangungunnya/ nging ingkang karasèng ati/ mung dènya kari anggana//
14
nulya mêdal yun madosi gyaning Gusti/ kang lagya bêbêdhag/ ngupaya ngantos gyan têbih/ nanging datan lêbda karya//
15
nulya mantun maring sa[..]- jroning nagari/73/ lan anglong ing raga/ nalika prapta ing nagri/ ngungun tyas déné jro praja//
16
margi-margi lan kèh wisma sampun salin/ tan wruh prênahira/ wisma kang dèngyani nguni/ jro praja saya raharja//
17
lawan kyèhning pra janma jroning nagari/ tan ana kawuryan/ sanak kadang mitra tuwin/ sagung para kuwanuhan//
18
lan badané pribadi dipungumuni/ kuku wéwah panjang/ rambut salin mabluk putih/ jénggot wus panjang sajaja//
19
lêgêg ing tyas légog-légog anèng margi/ sapinggiring rolak/ kang tinanggul angrêmêni/ ngèyup ngisoring mandira//
20
lan anggagas déné panduluné salin/ lawan winginira/ sadèrèngé mring wanadri/ andhèrèkkên Srinarendra//
21
cipta[..] lamun akalap salin pangèksi/ 74/
gya dugèkkên lampah/ ngênêr gyan wismané nguni/ nèng ngriku dahat kalapan// 22
nulya maring bango yun tuku rijêki/ Sunarja angucap/ punapa ta janma nguni/ dèrèng ana saréstoran//
23
Dyan Ngabèi Taliwanda amangsuli/ yèn têmbung Réstoran/ iku dudu têmbung Jawi/ jarene têmbung ing prasman//
24
pun Marsana kèndêl dènya amètêri/ sadaya ukuran/ anambungi wacana ris/ kados pundi lajêngira//
25
criyos wau kula kapèngin miyarsi/ Radyan Taliwanda/ alon dènya mangsuli/ andugèkkên dènya crita//
26
sabanjuré punggawa mau praptaning/ bango pajajanan/ kalawan angrogoh dhuwit/ kang kinandhut nèng gembo[..]-lan// 75/
27
nêmbung tuku panganan ngulungkên picis/ arta tinampanan/ lawan kang sadé rijêki/ arta dangu tiningalan//
28
nulya muwus tan pajêng punika picis/ kang yun tuku tanya/ tan payu paran kang wêrdi/ janma sadé wangsulannya//
29
punikarta wus datan pajêng samangkin/ awit arta lama/ Suwarja gumuyu ngikik/ punapa arta dhuwitan//
30
tuwin katé upami jaman samangkin/ wus dadya tampikan/ Dyan Taliwanda mangsuli/ ya mangkono upamanya//
31
pun Suwarja gumuyu punika picis/ dadya sampun kina/ pancèn manjing Sriwadari/ nèng musiyum sumimpênnya//
32
kang nèng ngriku angacêmut mèsêm sami/ karénan miyarsa/ critaning Duk Yunus aji/ dongèng dinugèkkên si[..]-gra//76/
33
marma ngungun kang arsa tuku rijêki/ tanya sêbabira/ téka dhuwité tinampik/ wuwusé janma sadéyan//
34
wit punika arta jaman tritus warsi/ duk jumênêngira/ Duk Yunus Sri Narapati/ kang darbé arta wuwusnya//
35
êlo iki dhuwit sanguku dhèk wingi/ paringe Srinata/ pasangon dhèrèk sang aji/ ambêbêrèg buron wana//
36
kang sadéyan gumuyu datan mangêrti/ alon wangsulannya/ Srinata duk wingi-wingi/ tan têdhakan maring wana//
37
salaminé jumênêng mêngku nagari/ dèrèng naté têdhak/ ambêbujung mring wanadri/ kang darbé arta wuwusnya//
38
lo saiki sapa kang jumênêng aji/ janma sêsadéyan/ mangsuli lamun samangkin/ kang jumênêng Sri [..]-narêndra//77/
39
sampun santun kintên sadasa narpati/ myang tri wlas turunan/ Sunarja sumambung angling/ dhuh saré tri atus warsa//
40
apa niyat wus datan mawa ngalisik/ nglêpus tritus warsa/
bêtah têmên tan ngalilir/ nganti salin jamanira// 41
tri wlas ratu nggoné37 turu lagi ngilir/ tangi salin jaman/ iba kèh ênggoné38 ngimpi/ luwih tangi saking séda//
42
dadi iku aran janma Budakari/ kang myarsa sukêr tyas/ myang Ngabêi Esmutani/ wuwusé Marsana mangkya//
43
ana donga apa diarani puji/ Yanus namanira/ uniné sampun mèh sami/ lan kang nèng luhur wiwara//
44
dé uniné; maksalaminna watamli/ kawamar kunuswa/ [..]nainunus sawasari/ 78/ kunus wadunu wanuspal//
45
yastatyunus kitmir yèku yèn tinulis/ ing aksara Arab/ tinèmpèlkên nginggil kori/ dadi tumbal kèh sawabnya//
46
bisa nulak marang sagunging bilahi/ nanging panulisnya/ aksara ingkang muni mir/ aksarané ingkang pêjah//
47
binuwèngkên ing têmbung dadi ngubêngi/ mring têmbung sadaya/ ingkang kasêbut ing nginggil/ lawan lamun ana bocah//
48
nangis bêngi tanpa sabab saking sakit/ iku rinapalna/ nulya sinêbutkên maring/ bun-bunan myang githokira//
49
Esa Allah gya marèng ingkang anangis/ lan yèn ana bocah/ cêmpuritan kêrêp sakit/ 37 38
goné # êgoné #
tinulisnya iku rapal// 50
gya binuntêl cinathêt sajro[..]-ning mori/79/ gya kinalungêna/ ngadohkên sawan sayêkti/ mangkono pamyarsaning wang//
51
dadi iku rapal pancèn anyawabi/ kandhêging pangripta/ myarsakkên kang kojah sami/ Marsana ngukur wiwara//
52
inggilipun tri mètêr lawan tri dhèsi/ langkungé satêngah/ wiyar kalih mètêr tuwin/ kalih têngah dhèsinira//
53
inêbipun ngupu tarung wrêksa jati/ alus pangêlisnya/ cinitra ing pulas putih/ rinangkêp wiwara gêdhah//
54
carmin kandhêl pilihan gumrining wêning/ jrambah ginêlaran/ babut adhasar kêtanggi/ nyawo matêng sêsêkaran//
55
lir puspita pinulêt ing lung rêspati/ mêwahi asrinya/ ing sajronirèng wêdari/ yèku-[..]wijilan Eropah//80/ PUPUH VI MIJIL
1
ing sajroning pura Sriwêdari/ ingkang sisih êlor/ sing wiwara ing ngriku wêdalé/ praptèng kamar kang rinêngga asri/ ingkang kilèn kèksi/ sininggêt raras rum//
2
ingram wêngku pinarada rukmi/ gumêbyar sumorot/ dahat singit prasada sê-[..]muné/81/ sisih kilèn sinung kanthil wêsi/ kinalambu pèni/ ingangrangan pingul//
3
yèku kagêm nyarèkên Jêng Kyai/ wingkingan kinaot/ agêm Dalêm ywan têdhak anyaré/ iring kilèn lêmari krun antik/ sinung sastra Landi/ PéBé ping sapuluh//
4
kidul bênèt wontên raké pèni/ saking kajêng jatos/ palituran dahat sri warnané/ kiduling rak dadya kilèn kori/ plangkan Jêng Kyai Cis/ ugi pinalitur//
5
lan palangkanipun Kangjêng Kyai/ gèn waos nèng pojok/ ing lèr kilèn cakêt lan pipiné/ ing candhéla jroning prasada di/ dé singgêtan cêrmin/ wontên pintunipun//
6
singgêtan kang[..] wétan dènpasangi/ 82/ ing kaca pangilon/ dahat agung wangunané tolèt/ wêngku mawi lung-lungan ingukir/ sung ascaryèng kapti/ ngarêsan pinlitur//
7
tembok ingkang lèr wontên lêmari/ saking kajêng jatos/ inggilipun sinungan pêpasrèn/ ing lung-lungan têngahipun mawi/ sinung sastra Wlandi/ PéBé ping sapuluh//
8
témbok ingkang iring wêtan mawi/ bênèt kèhé loro/ warna kêmbar ajêjêr manggoné/ laléyan kang kidul dèndèkèki/ êrak mung sasiki/ pamasangé runtut//
9
kamar wau kang wétan manawi/ Kangjêng Sang Akatong/ abusana nèng ngriku lênggahé/ jroning kamar ingkang wétan mawi/ wiwara sasi[..]-ki/83/ kilèn candhéla gung//
10
mawi inêb dipunrangkêp kalih/ ram kang wétan ing jro/ jawi krépyak aséta êcète/ pintu kamar kang lèr anjog gadri/ wiyaripun gadri/ ngalèr ngidulipun//
11
kawan mètêr kalih têngah dhèsi/ panjang ngétan ngulon/ gangsal wêlas mètêr langkungané/ sangang dhèsi mètêr winitawis/ wétan kilèn mawi/ singgêt laléyan gung//
12
lawan mawi wiwaranya tunggil/ singgêtan kang kulon/ pasiraman Dalêm Jêng Pamasé/ ingkang wontên gupit Mandragini/ ingkang têngah nami/ ing Madusuka nung//
13
pasiraman Dalêm Jêng Sang Aji/ panjangnya kacriyos/ kawan mètêr tan ana langkungé/ ingkang kidul si[..]- nungan lêmari/84/ pèni wrêksa jati/ gilap pinalitur//
14
yèn binuka makbyak dadya kori/ mring kamar kinaot/ pasaréyan Dalêm Jêng Pamasé/ laléyan lèr candhéla satunggal/ inêb rangkêp kalih/ sami ngupu tarung//
15
ing nglêbêt ram karépyak kang jawi/ cinèt jaba jêro/ sami pêthak tan ana bédané/ jamban bubak ing témbok warna sri/ malangkung ing nginggil/ bundêr dhapuripun//
16
naming ngandhap pinalih ing tambir/ dadya bundhêr paron/ kimplah-kimplah awêning tirtané/ jog-joganing jamban saking têlih/ swarané kumricik/
lir wêsaking gulung// 17
angoncori maring jurang trêbis/ myang papados gronggor/ nginggil jamban wontên pancurané[..]/85/ tumancêp ing laléyan pra sami/ lawan warni-warni/ wontên ingkang manthur//
18
wontên ingkang kêpyar kadi riris/ wontên kang gumrojog/ cakêt kori kang wétan prênahé/ sinung pandam pandélar sawiji/ tinémplokkên mungging/ laléyan pinatut//
19
ngandhap sinung cuci mukak manci/ biru kêndhit praos/ lèr wiwara wontên pispot mèpèt/ ing jarambah dahat lus waradin/ déning marmêr putih/ sêmburaté biru//
20
parèk jamban pasiraman mawi/ gawangan pirantos/ anyampirkên agêm Dalêm srêbèt/ ing pasuryan yèn siram Sang Aji/ dê longkang ing gadri/ têngah-têngahipun//
21
yèku Madusuka ingkang nami/ inggil pyan sri [..] tinon/86/ alung-lungan acêplok pasagèn/ dèncèt seta nêngsèmkên pangèksi/ têngahing pyan mawi/ pandam triyum gantung//
22
kanan kéring wiwara kang maring/ siraman Sang Katong/ sinung gambardalêm Sang Pamase/ kang sajuga duk têdhak mring srambi/ garêbêg Dal warsi/ ing satunggalingpun//
23
gambardalêm duk nindhihi baris/ nèng plataran krason/ pangagêmandalêm Jêng Pamase/ cara Landi Jêndral Mayor pêkik/
pantêsé napati/ nindhihi wira nung// 24
ngandhap gambar kidul pipi kori/ ingkang lajêng anjog/ pasiraman sinungan rak mèpèt/ iring kilèn candhelaning gupit/ ing pasaréyaning/ Kangjêng Kyai Agung//
25
gambardalêm Sang Sri cara Landi/ yè[..]-ku jêndral mayor/87 lan Owrêspé myang para militèr/ awahana turangga Ostrali/ duk miyos ing nguni/ nèng lun-alun kidul//
26
ngandhap candhéla dipunpasangi/ ing dhipan sawiyos/ dhipan wau kaprênah wétané/ sinung palênggahan Dalêm kursi/ myang kênap sawiji/ marmêr asmara rum[..]//88/ PUPUH VII ASMARADANA
1
Sawétan candhéla dadi/ sakilènirèng wiwara/ ingkang saking kamar gêdhé/ ing laléyan pinasangan/ gambardalêm Srinata/ duk têdhak ing samudra gung/ ing maos pasisirira//
2
nalika ari Rêspati/ ping astha Jumadilawal/ Jimakir angka warsané/ Sèwu wolung atus lawan/ kawan dasa kalihnya/ déné kanan kirinipun/ wiwara ingkang mangétan//
3
anjog gupit Mandragini/ ngriku ugi pinasangan/ gambardalêm Jêng Sang Katong/ kang lèr gambardalêm Nata/ marêngi miyos bakda/ duk wiyos Dalêm Sang Prabu/
lagya praptèng Kamandhungan// 4
ing ngriku cêtha kaèksi/ Kangjêng Sri Naréndra lawan/ kang bapa lawan Rêsidhèn/ jajar kanthèn sinongsongan [..]/89/ ginarbêg para tuwan/ pra biyada munggèng ngayun/ miwah pra Kangjêng Pangéran//
5
kang nèng ngarsa turut inggil/ pra abdi Dalêm Ordênas/ ugi sami cêtha kabèh/ Suwarja myat sajak kagyat/ gumuyu lan ingira/ lah puniku kang kadulu/ Pak Bèi Atma Supaya//
6
cêtha gyanira lumaris/ wontên ing wétan priyangga/ wangune miyat kang motrèt/ Sunarja lon wangsulan/ pancèn nggih cita-cita39/ lah puniku wangunipun/ Dyan Bèi Asma Suwita//
7
kidul gambardalêm Sang Sri/ duk têdhak mring Manisarja/ cara Jawi busanané/ mangagêm rasukan pêthak/ sumunu kang ujwala/ agung prabawaning prabu/ prabané nuksmèng sasangka//
8
jatmika ing solah liring/ déné ing sangandha[..]pira/90/ gambardalêm prênah pojok/ kaca tolèt winèng kanan/ wrêksa kaplitur krêsna/ jamangan nginggil pêthalung/ pêpulêtan amarambat//
9
jrambah plèstêr rêsik wêning/ alus matêng pangusiknya/ atosing porêt lan sêmên/ layarnya drill lorèk tiga/ 39
citha-citha #
sangandhaping tritisnya/ sinung pot puspita arum/ tluki sruni sumarsana// 10
argulo rus mawar Pêrsi/ dé singgêtan gadri wétan/ gathuk kamar kagêm dandos/ Mas Bèi Amad Sudarsa/ nêrangkên kahanannya/ kalamun kamar puniku/ arsa Dalêm sinung asma//
11
nênggih gupit Mandragini/ katri mètêr panjangira/ kawan dhèsi langkungané/ ing ngêpyan lir Madusuka/ kagêm lênggah Srinata/ ing sawungu Dalêm Prabu/ wanci sontê[..]-n tuwin énjang//91/
12
ngunjuk wédang myang siniwi/ abdi Dalêm kang kapérak/ dé lèr kori ingkang anjog/ dhumatêng ing Madusuka/ ing ngriku kapasangan/ palênggahan Dalêm Prabu/ kursi mawa pir myang rodha//
13
kasuran dhamas puspa di/ kinara wistha sang kaya/ ginardhé baludru ijo/ pinalisir pita jênar/ dumêling warnanira/ mawa sèkudèr gung-agung/ miwah lit-alit rêspatnya//
14
songa jênar kang kinardi/ ginudha alus mararas/ déné kursi satêngêné/ ngriku pinasangan kênap/ marmêr bundêr sajuga/ sanginggiling kênap wau/ kang tumèmplèk nèng laléyan//
15
grat têngêran hawa atis/ thèrmomètêr namanira/ kidul pintu ingkang pojok/ kapasanga[..]n ing bil nonah/92/
dipunparada jénar/ banciké wrêksa binubut/ warna sri langking cètira// 16
têngahé sinêlang-sêling/ sêkaran èdi kang warna/ kèksi riyêm-riyêm ijo/ laléyan kang sisih wétan/ dipunpasangi kaca/ déning kanan kéringipun/ pinasangan ing bil tosan//
17
raré wangunané kadi/ mèsêm déning manggih suka/ kalêgan kang dadya tyasé/ ngandhap kaca sinung dhipan/ pinlèstêr jarambahnya/ tinalundhak ngalèripun/ ngêncêng ngandhap margayasa//
18
kamaring Dalêm kang sisih/ kidul kilèn dipunêpyan/ lothêngan têrus saking lèr/ mawa wiwara têtiga/ pintu ingkang untara/ anjog maring Dalêm agung/ kang sajuga nèng pracima//93/
19
anjog kamaring prajurit/ putra Dalêm Jêng Srinata/ pintu kang sajuga mangèn/ kaprênah kidul anjognya/ sring gadri paninisan/ laléyan kang iring kidul/ ing griku sinung candhéla//
20
majêng ngidul cinèt putih/ inêb ram ing jawi krépyak/ inêb jro kinlambu ijo/ jro kamar wontên kandhilnya/ wrêksa jati kinarya/ nginggil lung-lungan raras rum/ ingukir kinara wistha//
21
lawan pakirtyan kang awig/ kinlambu ngangrangan séta/ pinalisir saubêngé/ kêsting bang pêkakanira/
winangun sêsamiran/ pyan mangka tadhah jisipun/ yèku lakèn ijêm wrêda// 22
katrangan sing Mas Ngabèi/ Amad Sudarsa punika/ kang kagêm pasaréya[..]né/94/ Kangjêng Ratu Pakubana/ déné pojok lèr wétan/ sinung bênèt majêng ngidul/ nginggil jamangan lung-lungan//
23
sakilènipun lêmari/ mêja marmêr sung sajuga/ ingukir-ukir sukuné/ iring lèr wétan sinung rak/ sukunipun bubutan/ ngandhaping candhéla sinung/ ing bangku andhap sajuga//
24
mawa kaca tolèt êdi/ sakilènipun candhéla/ sampiran sing kajêng jatos/ sampiran andhuk pasuryan/ dé kamar ingkang wétan/ ing ngêpyan lan taksih têrus/ lajuran saking untara//
25
têngah sinungan sêtroli/ gantung triyum gung alamba/ jro kamar tri wiwarané/ kang mangalèr anjog marang/ Dalêm têpas wangunan/ dèn wiwara[..] kang mangidul/ 95/ anjog gadri paninisan/
26
inêb sami rangkêp kalih/ ing jro ram jawi karépyak/ lawan sami seta cèté/ kang magilèn anjog marang/ kamar pasaréyannya/ nênggih Gusti Kangjêng Ratu/ kang sampun kasêbut ngarsa//
27
inêb lamba wrêksa jati/ déné témbok iring wétan/ ing ngriku sinungan bênèt/ sing kajèng ukir-ukiran/
sung asring ning jro kamar/ lêmari sanginggilipun/ prênah kanan kéringira// 28
sinungan gambar satunggil/ ingkang têngên gambarira/ Kangjêng Pramèswari Katong/ kang mandiri kaping sanga/ kang kiwa Jêng Dayita/ pramèswari Dalêm Prabu/ kang jumênêng ping sadasa//
29
sangandhaping gambar sami/ pinantês sinungan kê[..]-nap/96/ marmêr andhapur pasagèn/ mawa rak miwah lorogan/ lan sinung sêsêratan/ sastra Landi ungêlipun/ PéBé lan angka sadasa (X)//
30
ngandhaping panjuta mawi/ sinung bangku pathothitan/ déné laléyan kang kilèn/ dipunpasangi ing dhipan/ wrêksa jati plituran/ sadaya sungsêming kalbu/ manisé sakèh tatanan [..]//97/ PUPUH VIII DHANDHANGGULA
1
Gadri ingkang kidul dènpasangi/ nama gadri ing Pakubuwana/ dwi wêlas mètêr panjangé/ wontên langkunganipun/ mung sakawan satêngah dhèsi/ kilèn singgêt laléyan/ déné panjangipun/ kawan mètêr dé wiyarnya/ katri mètêr myang sapta satêngah dhèsi/ yèku kaagêm jamban//
2
pasiramandalêm Jêng Mahisi/ wiwara nèng kilèn manjang ngétan/ inêb rangkêp ram lêbêté/ ing jawi inêbipun/ ambalêbêg balabag dènlis/ kinalèn lus tan ngalap/ pinulasing pingul/
pingulé katingal mungal/ mawèh lèng-lèngé lam-lamining pangèksi/ kinalambu ramira// 3
dahat ngêngrêng ngêngrêngané putih/ lir sinongkèt pinêtha puspita/ mawa lung lawan ga[..]-rabêg/98/ mulêt ing taru-taru/ turut gagang wiwah ing sari/ ing têngah pinêkakan/ lus pamingkisipun/ pita sutra sing sêtanya/ ingkang kidul sinung candhéla satunggil/ inêb kajêng rangkêp ram//
4
inêbipun kajêng wau mawi/ dipunbolong pinindha kocokan/ kocok sêtutêr èsthiné/ kori ram kinalambu/ ing ngangngrèngan sêkaran putih/ déné ta pasiraman/ mapané pinatut/ ambubak témbok gyan jamban/ jumbuh lawan pasiramandalêm Sang Sri/ dalah pancuranira//
5
ugi sami tan gèsèh sawiji/ amung wontên kaoté samatra/ prênah pojok kidul kilèn/ wontên pangilonipun/ kaca tolèt wêngkuné [..] mawi/99/ kapêtha ing lung-lungan/ déné luhuripun / kalih mètêr winatara/ langkungipun kintên-kintên gangsal dhèsi/ ing sajawining jamban//
6
kanan kéring kori ragi nginggil/ kapasangan ing gambar nyatunggal/ gambar kang mangèn iring lèr/ gambardalêm Sang Prabu/ nuju grêbêg miyos sitinggil/ déné sisihanira/ ingkang iring kidul/ gambardalem jêng Srinata/ cara Landi Jendral Mayor lan pra Wlandi/ kalawan para nyonyah//
7
nèng maligé salêbêting puri/ gadri wau têngah sinung dilah/ triyum gantung dé témbok lèr/ ing saantaranipun/ ing candhéla kalawan kori/ pilaré pinasangan/ gambardalêm Prabu/ jumênêng cara Walanda/ Je[..]ndral Mayor kalawan tuwan Rèsidhin/100/ nèng kiwan Dalêm Nata//
8
kang nèng têngên Dalêm Sri Bupati/ bok manawi Kangjêng Raja Siyam/ nèng panti wêwangunané/ mungging sitinggil kidul/ sangandhaping gambar Jêng Sang Sri/ pinasangan rak wrêksa/ jati pinalitur/ ing sangayuning candhéla/ rana lêmpit gêbêripun dhamas wilis/ laléyan ingkang wétan//
9
kaca agung wêngkuné ingukir/ saking dhêmpul pinarada ing mas/ déné nginggiling wêngkuné/ wontên kukilanipun/ kalih mencok ing tarurêsmi/ sing dhêmpul pinarada/ ing kêncana gumyur/ karoron loloh-lolohan/ sangganipun40 ing kaca kajêng ing ngukir/ ugi pinrada jênar//
10`
kiwa têngên kaca sinungan bil/ landi kalih sing prunggu sadaya/ tangané angawé-awé/ sangganipun bil wau/ prunggu sari ingukir-ukir/ ngandhaping sêsanggan/ kiwa têngênipun/ sinung cis datan pagaran/ ngandhap lêrês wontên mèbêlipun kèksi[..]/101/ mlugu tangan kéwala//
11
saking tosan pinindha sêtaksi/ ngandhap kaca wontên dhipanira/ 40
sangganingpun #
ngrawit ukir-ukirané/ jrambah pinlèstêr alus/ ngidulipun mangandhap mawi/ batu kandha sakawan/ lan wontên potipun/ ing bêling bligon wangunnya/ tinanêman pêthetan jadhêm lan pakis/ sêplir lan argulobang// 12
baku tuwin sumarsana41 sruni/ tluki miwah sanès-sanèsira/ arum amulêg gandané/ gadri ba[..]-landaripun/102/ sinung layar cacahé katri/ déné ta palataran/ gadri kidul wau/ iring wétan linaléyan/ mujur ngidul yêku minangka capuri/ lawan mawa wiwara//
13
ingkang anjog palataran ngarsi/ kalih mètêr sadhèsi inggilnya/ samètêr kira wiyaré/ wontên langkunganipun/ mèh sakawan étanging dhèsi/ sajroning palataran/ kèh pêthetanipun/ sawo manila marajak/ angrêmbuyung lagya sadêdêg kang inggil/ ngajêng candhéla jamban//
14
katanêman palêm taksih alit/ kilènipun akathah pot kisma/ sêsêkaran tandurané/ argulo gandanya rum/ sruni asri tluki rêspati/ sumarsana kalawan/ sundêlmalê[..]-m arum/103/ lawan sanès-sanèsira/ kilèning pot sipat laléyan ing nguni/ wontên palatarannya/
15
namung ciyut lan minggah manginggil/ kintên satêngah mètêr inggilnya/ saking wetan wêwatêsé/ latar wau binangun/ 41
Samarsana #
nginggil sinung pot-pot asri/ isiné sêsêkaran/ abyor sêkaripun/ tluki mlati sumarsana/ lawan wontên kanthil pêthak taksih alit/ ywan nuju Jêng Srinata// 16
têdhak nyaré wontên ing wadari/ lan yèn nuju pajaring basanta/ ing palataran wau akèh/ pra nyai majang santun/ ting karompol pra sami linggih/ lan sami dêdolanan/ ing sasukanipun/ Gulaganthi jêng ngênjêngan/ Cubla[..]k Suwêng aramé kèh para nyai/104/ kang sami kêkidungan//
17
pangidungé ingkang ragi isin/ dipununthêt lirih swaranira/ sok sriguntingên dadiné/ kang kèndêl dènya ngidung/ mêlang mêling angelak elik/ swara rênyah kapenak/ kasok balikipun/ ana kang bléro swaranya/ yèn wus saya dalu sakèh para nyai/ wontên ingkang kowokan//
18
myang jamuran ramé ngadêg sami/ ananging kang namung sasêndhonan/ nithowokan sindhènané/ barêngan dènya barung/ wontên sêndhon cinengkok muji/ sakeca kapiyarsa/ binarung raras rum/ lirih lêlah amêmêla/ para kênya sami suka amêmuji/ jor-joran rêbut bisa//
19
tanpa kêmba sa[..]-keca kapyarsi/105/ pambarungé runtut rampêg rampak/ modhèl anyar lêlagoné/ déné ta têmbangipun/ ngalêmbana manising putri/ kang daya ing tyasira/ dé surasanipun/ wiwitané ala umma/
wasaliwa salingala ya sayidin/ Maulana Muhammad// 20
wasésa wasésa tuhu yêkti/ ya wasésa ya sagara wétan/ kumbala gêni pujiné/ latar kumbala latu/ pacét agung sun rasa Gusti/ tan bêtah adhuh sêmbah/ paran wayahipun/ sakit wuyung ngantos sayah/ witing klapa jawata ngarcapada di/ luguné wong wanita//
21
dhuh sanyata kula adhuh Gusti/ sampun jajah praja ing Ngayugya/ lan Surakarta yêkti yèn/ wanita kang warna yu/ nging ta[..]-n ana kalêbèng ngati/106/ ingsun réwangi lawan/ luwé pati latu/ pitung latri pitung dina/ sêkar Sawit cinampur kêmbang Malathi/ irêng manis mêrak tyas//
22
adhuh sapa ingkang liwat gusti/ brajanala nyamping parang rusak/ ima krêndha sumêkané/ lan gusti singêbipun42/ yèku kuda tilarsa Gusti/ sun kudang-kudang benjang/ ngungkuli Gustiku/ ing surya kalawan wulan/ lan makatên sêndhonané para cêthi/ ingkang sami kapyarsa//
23
sabên raré jalu miwah èstri/ kèh kang sênêng sêndhon kasbut ngarsa/ dalah rat ywa lit kang isèh/ andadi pêlonipun/ ugi sami sêndhon pêpuji/ nanging lagunipun/ sadaya bangkit kacandhak[..]/ 107/ saking sabên êbyar raré jalu èstri/ wus sami sêsêndhonan//
42
singêpipun #
24
kadi ingkang kasêbut ing inggil/ ngantos nricis raré apalannya/ panjang yèn winarna ing rèh/ pra raré sêndhonipun/ déné èmpèr dalêm kang wingking/ kang kilèn panjangira/ mangalèr mangidul/ pitulas mètêr kalawannya/ gangsal dhèsi ngétan ngidulé winarni/ kawan mètêr kalawannya//
25
katri dhèsi mètêr gangsal cènti/ ing lèr kidul sininggêt laléyan/ kagêm kamar kidul lan lèr/ kamar kang lèr puniku/ ajêngipun ngidul kang kori/ kalih mètêr inggilnya/ nêm dhèsi kang langkung/ wiyar samètêr kalawan/ kalih dhèsi kawan cènti cinèt putih/ ngupu tarung inêbnya[..]//108/
26
datan rangkêp alus dènnya ngêlis/ ngriku wontên wiwara butulan/ ingkang kapêthal ing bênèt/ kalamun dèrèng mlêbu/ datan nyana manawi kori/ déné ta warnanira/ lir bênèt sawastu/ kalawan pinlitur gilap/ inggilipun samètêr lan sangang dhèsi/ pitung dhèsi wiyarnya//
27
winatara kirang kalih cènti/ pintu wau anjog maring jamban/ pasiraman Jêng Pamasé/ déné laléyanipun/ ingkang kilèn punika mawi/ candhéla rinangkêp ram/ inêb ngupu tarung/ cinitra ing pulas seta/ kinalambu ngangrêngan séta rêspati/ pinêkak madyanira//
28
déning satin sutra warni abrit/ ngriku wontên Kanthil sri rinêngga/ pasaréan Jêng Pamase/ sing wrêksa jati lurus[..]/109/
pinilihan sadaya galih/ rêntêt runtuting sêrat/ gilap pinalitur/ mêlêng-mêlêng mêlas kêlang/ mèbêl pabrik ing Cina ingkang akardi/ ulon-ulon lan dagan// 29
dipunruji ugi kajêng jati/ lan binubut agêgêl-gêlgêlan/ satigan ayam plênthuké/ rampak gêng ngalitipun/ ingkang êlèr lon-ulon mawi/ lung-lungan lus mararas/ ingukir dadya krus/ kinlambu ngangrêngan séta/ sêsongkétan sêkaran tinon rêspati/ tinêpi rénda sêkar//
30
têtangkêpé kanan miwah kéring/ wiwingkisan pinêkaking madya/ satin sutra brit pêkaké/ ngandhap pêkakanipun/ kang gêdhèdhèr nyêprok rêspati/ kadi buntuting mêrak/ angigêl dinulu/ ing nginggil tadhah [..] jisira/110/ laken ijêm angêngrêng sêmuné wingit/ ragi kèh singidira//
31
kidul pasaréyandalêm Sang Sri/ mèpèt tembok ingkang iring wétan/ pasuryan sapirantosé/ mejane marmêr pingul/ gêng cêkapan dhapur pasagi/ mawa rak marmêr séta/ wrêksa angsangipun/ sukuné kajêng bubutan/ dahat pèni tinom asri mring pangèksi/ kanthi nyênêngkên ing tyas [..]//111/ PUPUH IX KINANTHI
1
ngandhaping candhéla sinung/ sêsampiran wrêksa jati/ sampiran srêbèt pasuryan/ agém Dalêm Jêng Sang Aji/ kidul candhéla wontên rak/ mujur mangidul angsang tri//
2
suku bubutan sadarum/ plituran alus waradin/ laléyan iring untara/ kaprênah wontên kilèning/ pasaréyan Dalêm Nata/ kagungan Dalêm cêmêthi43//
3
saking karèt mêmês mêlur/ cumanthèl laléyan asri/ jarambah plèstêré gilap/ kadi kaca rêsik wêning/ kawan mètêr panjangira/ kirangé amung sadhèsi//
4
katri mètêr wiyaripun/ langkungipun nênêm dhèsi/ kamar kidul winursita/ pasaréyaning Prabu Tri/ putra Dalêm Jêng Srinata/ mangalèr ajênging kori//
5
déné jroning kamar [..] wau/112/ wontên pintuné sasiki/ manggèn nèng laléyan wétan/ yèn binuka anjog maring/ jro kamar Pakubuwanan/ inêbé muhung satunggil//
6
kajêng jati dèncèt pingul/ pyan kamar ugi cèt putih/ déné ing sajroning kamar/ sinung pasaréyan dèsi/ kinlambu ngangrèngan séta/ sasêkaran pinalisir//
7
ing sakilènipun pintu/ kang iring lèr mèpèt maring/ laléyan kang mujur ngétan/ ing ngriku dipuntatani/ pasuryan saprantinira/ méjanya marmêr pasagi//
8
ing têngah mawi balêndhuk/ inggil rak sing marmêr ugi/ sukunya wrêksa bubutan/ 43
camehti #
ingukir lir taru trèni/ ngandhap mawi angsang wrêksa/ déné sawétaning kori// 9
pispot mèh mèpèt ing pintu/ kidul pispo[..]t dèn tatani /113/ ing bangku pasagi andhap/ yèku kagêm mirantèni/ panataning padandosan/ ing kamar wau pasagi//
10
ngalèr tuwin ngidulipun/ ingukur plêk sangang dhèsi/ ngétan ngilèn datan béda/ ugi sami ugi sangang dhèsi/ dé godhagan têngah kamar/ ukuranira winilis//
11
mangalèr mangidulipun/ sapta wêlas mètêr tuwin/ gangsal dhèsi winatara/ déné mangilèné tuwin/ mangétan wontên ukuran/ kawan mètêr lan tri dhèsi//
12
usuk rèng balandaripun/ sami saking kajêng jati/ mung saka dwi saking tosan/ gilig-gilig nyantosani/ sami dipunêcèt séta/ sinungan panjuta katri//
13
gantung lan triyum sadarum/ kang wontê[..]n têngah pang katri/114/ kang nèng kanan kéring lamba/ déné témbok ingkang sisih/ wétan antarèng wiwara/ sinungan bipèt sawiji//
14
mangilèn ing ngajêngipun/ sing wrêksa ingukir-ukir/ pinêthak kêkandhaning plat/ sinungsun sap-sapan asri/ rinêngga gambar pinêtha/ sirahing léo ngajrihi//
15
rêmbyak-rêmbyak wulunipun/ ing gulu piyak byak palih/
panjang angêbaki jaja/ bundhêt bumamparan sami/ ingkang nèng nginggil sakawan/ nèng ngandhap sakawan ugi// 16
samyar dangkara winangun/ rupa ngantarani kêsit/ singsêt balungan santosa/ mêngku wêwéka mikani/ kanan kéringing kahanan/ kang tinon namung linirik//
17
larapé lumarap têrus/ ta[..]-npa lirip mring sêsami/115/ samuwaning buron wana/ tan ana wani tumandhing/ gambar katon sami mangap/ siyung kéngis mingis-mingis//
18
kalawan ing ngriku sinung/ mèbêl kalih sami bêling/ lir lodhong gêng dhasar pêthak/ corak ron sari mawarni/ pirantos wadhah sêkaran/ babuté tan warni-warni//
19
ing sakanan kéringipun/ ing bipèt dipuntatani/ kursi lit-alit nyatunggal/ sing wrêksa sami pasagi/ mring pracima ajêngira/ dé têngah ngandhap sêtroli//
20
sinung kênap marmêr agung/ bubutan sukuné sami/ inggilipun kapasangan/ mèbêl candhi prunggu sari/ mawi jam ngilèn anjognya/ déné ing kanan myang kéring//
21
ing ngriku wontên kadulu/ rêca Wlandi kang nyèndhèni/ nyatung[..]-gal kursi inggilnya/116/ ungkur-ungkuran norulih/ winangun sami rêmbagan/ kadadèhané pêrgadring//
22
angajêngkên bangsanipun/
kang yun dèn purdrèhkên sami/ anèng jroning pakumpulan/ myang ajêngé dènya grimi/ sakanan keringing kênap/ kursi tiga sami antik// 23
kang sajuga44 majêng ngidul/ majêng mangalèr satunggil/ dadya trapé jêng-ajêngan/ nèng klilèning kang sawiji/ tinata majêng mangétan/ déné sawétané pipi//
24
pintu kamar lèr ing ngriku/ kapasangan kursi alit/ pasagèn ugi sing wrêksa/ mangidul ajêngi kursi/ kilèn wiwara kapara/ nginggil kapasangan cêrmin//
25
agêng lan wêning kadulu/ wêngku sing wrêksa ingêlis/ dèndhêmpul pinulas krêsna/ têngahing [..] wêngku kaukir/ 117/ ron sêkar muyêg ngrêmbaka/ pinarada kêncana di//
26
têpung mèh ngubêngi wêngku/ déné wêngku ingkang nginggil/ taru rêsmi kang ngrêmbaka/ wontên kukilané kalih/ ingkang sajuga katingal/ nèng têngah méncok pang alit//
27
angêgarkên swiwinipun/ lir mêntas saking wiyati/ sumiyut yun ngabruk mêngsah/ dé pêksi ingkang satunggil/ méncok wontên ing lung-lungan/ andhangak ningali nginggil//
28
wanguné kagèt andulu/ mring praptaning satru sèkti/ pasêmoné pacipuhan/ gyané arsa sangulangi/ déning kaslêpêg praptanya/ 44
cajuga #
ing mêngsah tan bêja dhihin// 29
dadya kirang ambèripun/ déning arsa magut burit/ cipta praptaning antaka/ nanging kikisaning nga[..]-nti/118/ tinêmbang ngêsrahkên jiwa/ yogya brêgagahing pati//
30
sigra bèbèr swiwinipun/ yun ngabruk mring satru sèkti/ wus jinjit suku kalihnya/ angadêg ngrosakên dhiri/ lung mantêlung kang kéncokan/ déning pandêdêling sikil//
31
pamancadé yun sumêbut/ lan matêk45 wikrama wêrdi/ anggêgêt pêpatukira/ saking asruning anggêni/ kantun kabruké kéwala/ dénya taladhungan gênti//
32
ron-ronan myang puspita rum/ kalawan pêksi kêkalih/ sami dhêmpul pinarada/ sangganing kaca ingukir/ cèt cêmêng namung lung-lungan/ ingkang pinarada rukmi//
33
sangandhaping kaca wau/ sinungan bangku pasagi/ kajêng jati sarta andhap/ sukuné bangku mung katri/ alus lisé lung-ê[..]-lungan /119/ ing pilar sakilèn carmin//
34
manggèn kapara ing luhur/ dadya ngandhap blandar sidi/ ngriku kapasangan gambar/ wêngku jênê tan ingukir/ bundêr dhapuré mararas/ isiné gambar satunggil//
35
nyonyah listya warnanipun/ rinêngga busana adi/ 45
matêg #
anumpak turangga pêlag/ wanguné wêton Ostrali/ janjam biru wulunira/ pakéyan komplit sarwa di// 36
ngayam-ayam lampahipun/ katara sukuné kèksi/ ambêbêr jêngkêr gulunya/ arémbyak kathah kang suri/ kuncungé mawur apanjang/ sakojur badaning wasik//
37
katutup busananipun/ nyonyah kang lir widadari/ ting karêmyak ngalêmbranya/ mung buntut ingkang kaèksi/ lir umbul-umbul anjênthar[..]/120/ wangun krap nglêpèh kêndhali//
38
sangandhaping gambar wau/ kapasangan kursi alit/ pasagi namung sajuga/ majêng ngidul tinon asri/ iring kidul kang laléyan/ kanan kéring dènpasangi//
39
rêrênggan sarwa raras rum/ lan laléyan lèr sinami/ muhung gambar kang nèng pilar/ punika gambar Walandi/ anumpak turongga pêthak/ mung suriné sêmu kuning//
40
suri kèh kawuryan mawur/ bun-bun ngawêt klangsrah siki/ wangunèng têngahing marga/ wontên ing parêdèn alit/ sakilèning saka tosan/ kêkalih dipuntatani//
41
ing pot bêling dhapuripun/ bligon nêstha nêm warna sri/ apêthak mawa sêkaran/ myang taru lawan lung sami/ biru wêrda pulasira/ sêsinomé angrêmêni [..]//121/ PUPUH X SINOM
1
Pandhapa wuri winarna/ wangguné sinom rêspati/ linotèng cinitra séta/ sakèh saka kajêng jati/ usuk rèng kajêng jati/ sami ingêcètan pingul/ payon sirap sadaya/ saka-saka dènumpaki/ mung saka ing èmpèr wétan tan ing ngumpak//
2
kidul kilèn myang [..] untara/ 122/ sadaya dipunèmpèri/ wrêksa jati balungannya/ sami dipuncèti putih/ payon sèng tosan putih/ jarambah kaplèstêr alus/ mangidul mangalèrnya/ wiwit titising sèng sami/ astha wêlas mètêr wontên langkungira//
3
dwi têngah dhèsi ukuripun/ wiyare sing étan prapti/ taritis ingkang pracima/ kalih wêlas mètêr tuwin/ sapta dhèsi winilis/ jarambah ing èmpèr wau/ ingkang sisih untara/ kaplèrèt tumurus maring/ ingkang lèr mamrih tuntas lamun wontên tirta//
4
mung tirta tampu yèn jawah/ sanès tirta kali banjir/ lamun kalih banjir têbah/ saking papan manggul inggil/ éwon sukuning wukir/ yèku ing mahéndra gunung/ sanès lan pa[..]-kampungan /123/ sabên rêndhêng andhakan rinêndhêm tirta//
5
têngah mawi dhak-undhakan/ mangandhap ngalèr sap katri/ tritis kang lèr katatanan/ pot mujur ngilèn salarik/ wontên kiwa têngêning/ undhak-undhakan puniku/ sasisihipun tiga/ asri tinanêman sari/
adhaliyah nyêprok salayah gungira// 6
déné èmpèr ingkang wetan/ tinalang aldén cèt putih/ gathuk lawan èmpèrira/ ing dalêmirèng wêdari/ gajah pandhapi wingking/ kapasangan dilah triyum/ gantung tiga kèhira/ kang mangèn têngah pang katri/ ingkang wontên lèr kidul lamba sadaya//
7
sangandhaping dilah têngah/ ing ngriku dipuntatani/ méja kajêng jati panjang/ sukuné bubutan sami/ panjang nêm mètêr [..] tuwin/ 124/ kawan dhèsi ukuripun/ samètêr wiyarira/ lawan tiga têngah dhèsi/ sawétaning méja kang kalêrês têngah//
8
kênap lit marmêr rêspatya/ kanan kéring sinung kursi/ kêkalih ngilèn ajêngnya/ kénap marmér ngapit-apit/ dadya kênap kêkalih/ méja wau kilènipun/ sinungan kursi wrêksa/ kênap majêng ngétan sami/ ing sakanan miwah kéringipun méja//
9
wontên kursiné nyatunggal/ ajêng-ajêngan pra sami/ déné ta méja punika/ yèn Kangjêng Srinarapati/ têdhak ngriku kanardi/ lênggah dhahar Jêng Sang Prabu/ dé sakaguru sarta/ saka kang pajokan sami/ sinung mèbêl bêling bundêr jèng-ajèngan//
10
kagambar ing sari warna/ lawan sakèh loji-loji/ wisma ing tanah Eropah/ lawan sagung bangsa pêksi/ kang sabèng rawa [..] sami/125/ lawan kèksi bagus-bagus/
myang kathah sanèsira/ èmpèr wau dènpasangi/ pandam triyum sami gantung kèh nyatiga/ 11
èmpèr kilèn ugi tiga/ èmpèr wau sangandhaping/ balandar kang iring wétan/ sangajêngé candhélaning/ kamar lèr kidul mawi/ katatanan kursi bagus/ sasisihipun niga/ jèjèr majêng ngilèn sami/ pilar kiwa têngêning candhéla kamar//
12
lèr kidul kasêbut ngarsa/ ing ngriku dipunpasangi/ gambar ngalih sasisihnya/ pinggir sami gambar piring/ déné ta ingkang kalih/ gambar Dalêm Sang Aprabu/ kang sajuga busana/ jéndral mayor lênggah kursi/ lan kang Bapa Rèsidhèn ing Surakarta//
13
wontên ing panti wangunan/ kang binuntal-buntal asri/ ing ron-ronan manca warna/ dinulu dahat rêspa[..]ti/126/ yèku nèng sangayuning/ sitinggil lun-alun kidul/ duk arsa têdhakira/ ing Siyam Sri Narpati/ kang sajuga gambar Dalêm miyos bakda//
14
kaprênah pojok lèr wétan/ saking pandhapi ing wingking/ mèpèt têmbok pasiraman/ Dalém Kangjeng Sribupati/ wontên talundhak inggil/ kapétang sap-sap pitu/ pirantiné kinarya/ mubèr gêng ngalih ing warih/ kang nèng ngurug-urug tosan anjogira/
15
pasiraman Dalêm Nata/ dadya mutêr anjogi/ pojok ingkang kidul wetan/ wontên talundhaké ugi/
wiyar inggilé sami/ dalah sapé ugi pitu/ piranti yèn kinarya/ mutêr arsa angêjogi/ pasiraman Dalêm Kangjêng Sang Duhita// 16
pojok lèr kilèn pandhapa/ wontên suyasané alit/ mangidul ing ajêng[..]-ira/127/ praju mas wanguné panti/ èmpèr sajuga ngarsi/ balungan usuk rèng kayu/ payon gêndhèng kaêpyan/ déning kajêng jati Wlandi/ wuwungipun kinarêpus sri kawuryan//
17
temboké mubêng santosa/ wisma datan pati inggil/ saka èmpèré sakawan/ kajêng jati dèncèt putih/ panjangé winatawis/ pitung mètêr ukuripun/ pitung mètêr wiyarnya/ nêm dhèsi lan gangsal cènti/ wiwaranya sajuga ngidul ajêngnya//
18
kalih mètêr inggilira/ langkungipun nênêm dhèsi/ sajuga mètêr wiyarnya/ langkungé namung sadhèsi/ inêbé kajêng jati/ kangkêban angupu tarung/ alus lis-lisanira/ têbêng ugi kajêng jati/ winitra sri kapêtha kadi limaran//
19
kaapit-apit candhela/ dwi têngah mètêr kang inggil/ sangang dhè[..]-si wiyarira/128/ langkungipun kawan cènti/ wau candhéla kalih/ inêb sami ngupu tarung/ rinangkêp ing nglêbêt ram/ karépyak kang wontên jawi/ gilar-gilar sumêblak êcète séta//
20
Mas Bèhi Amad Sudarsa/ suka katrangan manawi/
wisma punika kinarya/ têngganing garwa paminggir/ ingkang pinudyèng krami/ inggih punika Dyan Ayu/ Retna Purnama dadya/ punika kang bibi gusti/ Jêng Pangeran Ariya Kusumayuda// 21
suyasa di jarambahnya/ kapalèstêr lus sru asri/ kanan kéringing wiwara/ ingkang kaprênah ing jawi/ sinung bil nonah alit/ èmpèr mawa dilah gantung/ kalêrês ingkang têngah/ ngandhapan dam dèntatani/ rana lêmpit tri dhapurnya gêgunungan//
22
gêbêr wungu saking dhamas/ suku sêkawan rêspati/ têngah lêrês jro suyasa/ wontên balé-ba[..]-lé pèni/129/ rinêngga ing sarwa sri/ ginggil sinung dilah gantung/ balé-balé kidulnya/ nginggil sinung rana lêmpit/ dhapuripun ugi winangun gunungan//
23
kaprênah sawetanira/ balé-balé wontên malih/ pasarêyan kanthin kosan/ kinlambu ngangrêngan putih/ pinêkak pita asri/ winiru wironé turut/ kiduling pasaréyan/ wontên bênètipun cêrmin/ mawa sastra PéBé angka rum sadasa//
24
sri pracima ajêngira/ kidul bênèt dèntatani/ cuci mukak apirantya/ mejanipun marmêr komplit/ mawa angsang miranti/ sukuné46 wrêksa binubut/ sangandhaping candhéla/ wétan kilèn sami mawi/ 46
cukuné @
méja andhap kagêm nata padandosan// 25
ingkang kilèn kapasangan/ ing kaca tolèt rêspa[..]-ti /130/ salèr méja padandosan/ ingkang kilèn dèndèkèki/ êrak kajêng satunggil/ sukunya alus binubut/ déné salèripun rak/ ngriku wontên bênèt malih/ inggilipun kalih mètêr namung kirang//
26
gangsal cènti winatara/ wiyaripun sapta dhèsi/ dipunpalitur agilap/ inêbé muhung satunggil/ dhapur kapara nginggil/ lan mawi lis-lisan alus/ déning datan panyana/ duk bênèt binuka nuli/ tanpa angsal wasana dadya wiwara//
27
anjog jamban pasiraman/ jro jamban ngriku miranti/ kakus sarta sêsampiran/ jarambah plèstêr gumrining/ laléyan rêsik putih/ kang wétan bolong ing luhur/ karya pajaring jamban/ ing salèring bênèt kori/ pinasangan lêmari ngidul ajêngnya //
28
mèpè[..]-t laléyan untara/131/ nginggil lung-lungan ngarawit/ sawétan lêmari dadya/ ngandhap pangrêt madya sidi/ ing ngriku dènpasangi/ kaca gêng majêng mangidul/ wêngku inggil sêkaran/ plataraning suyasa di/ wétan kilèn tinanêman ing pot kisma//
29
ngênêm sisih petangira/ tinanêman sari-sari/ saruni lan sumarsana/ argulo séta lan abrit/ ijo wungu myang tluki/ adhaliyah myang lyanipun/
puspita kang sung ganda/ anggadag rum mêratani/ sapta aran mawèh asmaraning prana [..]//132/ PUPUH XI ASMARADANA
1
ing têngah kinarya margi/ ngidul mring pandhapi wuntat/ déné sawétaning êpot/ kang wétan binatur tata/ mangidul ujurira/ sasêlaning ngêpot wau/ sêtêr apêl tanêmannya//
2
taksih nyatunggal [ing] sisih47/ sakilènirèng suyasa/ ngriku wontên griya gêdhong/ salirang ngidul ajêngnya/ korinira sajuga/ candhélané ruji kayu/ yèku kanggé jamban para//
3
panjang kawan mètêr tuwin/ katri têngah dhèsinira/ namung dwi mètêr wiyaré/ kirang sadhèsi étangnya/ balungan usuk rèngnya/ sing kajêng jati sadarum/ lan gêndhèng pêpayunira//
4
jamban para ingkang ngarsi/ wontên wit sawo manila/ lagi nêdhêngipun awoh/ kinubêng ing pot sêkaran/ sakawan kathahira/ wingking jamban para wau/ wo[..]-ntên sumurnya sajuga//133/
5
mawa usus-usus wêsi/ binagé dadya sêkawan/ ingkang sabagéyan kanggé/ angêjogi pasiraman/ kang kagêm Jêng Srinata/ ingkang sabagéyanipun/ kinarya ngêjogi jamban// 47
sisih*
6
kang kaanggé para putri/ priyantun Dalêm Srinata/ ingkang sabagéyan manèh/ kanggé angêjogi marang/ jamban Rêtna Purnaman/ ingkang sabagéyanipun/ angêjogi jamban para//
7
lèr Madusuka minarni/ wontên lojèning pun pajang/ majêng ngidul mujur ngilèn/ tridasa dwi mètêr panjang/ sadhèsi langkungira/ tri cènti dé wiyaripun/ ing gajah kang kanggé kamar//
8
kawan mètêr wolung dhèsi/ tigang cènti langkungira/ déné wiyaripun èmpèr/ tri mètêr tanpa langkungan/ lojèn wau kinamar/ dadya [..] nênêm kathahipun/134/ déné kang wétan priyangga//
9
têngganing pra kênya mawi/ ing jro sinungan panjuta/ triyum gantung mung sawiyos/ lêmari agêng sajuga/ majêng ngilèn nèng wétan/ bangku andhap kidulipun/ gya lêmari kidulira//
10
ing nginggil dènukir-ukir/ kang iring kidul laléyan/ dadya wontên antawisé/ wiwara lawan candhéla/ dipunpasangi kaca/ kajêng surèn wêngkunipun/ cinitra ing pulas jênar//
11
ngandhapipun dèntatani/ kênap kajèng suku papat/ sakilèné kamar dados/ angka kalih saking wétan/ punika têngganira/ priyantun Dalêm Sang Prabu/ ing jro isi kaca kênap//
12
pasaréyan tuwin kursi/ balé-balé anyatunggal/ lêmari agêng sawiyos/ kang alit kalih [..] cacahnya/135/ ana rak anyatunggal/ kanthil sapirantinipun/ lan kêkalih bangku andhap//
13
kamar ingkang angka katri/ ugi têngganing ampéyan/ sadayaning isèn-isèn/ tan béda kahananira/ lan nomêr dwi ing ngarsa/ kamar ingkang angka catur/ sami ugi ananira//
14
kamar angka gangsal tuwin/ angka nêm kaagêm jamban/ amung jamban kang sawiyos/ piranti lan kakusira/ sadaya kamar-kamar/ myang èmpèr kaplèstêr alus/ tritising èmpèr tinalang//
15
déning hal dipuncèt putih/ grojogan cakêt lan saka/ ngandhaping tritis mawi got/ sangayuning kori kamar/ angka kalih sing wétan/ wontên marga yasanipun/ mantuk lawan Madusuka//
16
déné minggahipun maring/ Madusuka mawa tlundhak [..]/ 136/ kadi kang wus kacariyos/ wangunipun marga yasa/ kampung sèng payonira/ sakané tosan adarum/ dening ngalèr ngidulira//
17
tri wêlas mètêr nêm dhèsi/ kalih mètêr wiyarira/ sangang dhèsi langkungané/ pinalèstêr jarambahnya/ dé kanan keringira/ dadya palataranipun/ ing sasana Madusuka//
18
kagêm patanaman asri/ sasêkaran warna-warna/ sami tinanêman nèng pot/ sakrompol-krompol pêpanthan/ mangilènipun prapta/ salèring pandhapa pungkur/ déné warnining sêkaran//
19
adhaliyah argulo brit/ mawar pèrsi wungu tuwa/ putih dadu miwah ijo/ cêplok piring lan cêpaka/ taluki warna-warna/ sundêlmalêm ganda arum/ saruni lan sumarsana//
20
wo[..]-ra-wari bang lan putih/137/ kuning nom amaya-maya/ mlati mênur lan liyané/ pêpak bangsaning puspita/ kang arum gandanira/ déné ing sawétanipun/ marga yasa linaléyan//
21
mujur ngalèr ngidul dadi/ minangka wêwatêsira/ capurinirèng kaputrèn/ ing têngah mawi wiwara/ ajog ing natarira/ gupit Mandragini têrus/ ing mangétanipun prapta//
22
palataran ingkang ngarsa/ mangsuli kidul plataran/ ing Pakubuwanan gêntos/ ngriku wontên lojènira / mangilèn ujurira/ majêng ngalèr sri dinulu/ tri dasa mètêr panjangnya//
23
langkung katri têngah dhèsi/ dêdêg pidêgsa sêbêtan/ balungan saka usuk rèng/ kajêng jati dèncèt seta/ pagêr mubêng laléyan/ winêdalkên è[..]-mpèripun/138/ watês gajah linaléyan//
24
gajah lawan èmpèr sami/ payoné gêndhèng sadaya/ sininggêt ginêdhong-gêdhong/ dumadya gêdhong sakawan/ sagêdhong-gêdhogira/ nyatunggal wiwaranipun/ candhéla ugi nyatunggal//
25
sami saking kajêng jati/ ingêcèt pêthak sadaya/ dwi mètêr wiyaring èmpèr/ wolung dhèsi langkungira/ dé wiyarnya ing gajah / gangsal mètêr langkungipun/ kalih dhèsi ukurannya//
26
sadaya ing kori-kori/ têbêngnya mawa lung-lungan/ mawa krun lan sastra (PB) ikês48 / sadasa (X ) pinrada ing mas/ de pintuning candhéla/ rinangkêp ram lêbêtipun/ gêdhong kang wétan priyangga//
27
têngganing mêtêngan èstri/ sinungan dilah bèthètan/ kang lawan satunggal ambèn/ gêdhong ing sakilènira/ pu[..]nika têngganira/139/ sadayaning abdi dipun/ Jêng Ratu Pakubuwana//
28
sinung sêtroli satunggil/ lan lêmari kir-ukiran/ cacahé muhung sawiyos/ lan kêkalih bangku andhap/ dé gêdhong kilènira/ punika da tanpa pintu/ lan datan mawa candhéla//
29
namung pinalêngkung adi/ winarnéndah pangêlisnya/ pindha gapura wanguné/ binulêt alus mararas/ cinitra ing cèt jênar/ 48
myang Ikes *
saluhurirèng palêngkung/ aksara PB X ira49// 30
pulasipun sastra langking/ langkung ngêngrêng tiningalan/ sinung bèthètan dilahé/ jro mèsi méja apanjang/ kêkalih cacahira/ sarta sami inggilipun/ yèku gêdhong pangruktiyar//
31
dahar Dalêm Jêng Sang Aji/ dé gêdhog sakilènira/ isi kalih bale-bale/ lawan lêmari satunggal/ kêkalih bangku andhap/ yèku gê[..]-dhong têngganipun/140/ sagunging para bêdhaya//
32
gêdhong kilènipun malih/ ugi têngganing bêdhaya/ sami ugi sèn-isèné/ lan wau gêdhong bêdhaya/ ingkang kasêbut ngarsa/ èmpèr sinung dilah gantung/ triyum lamba tri cacahnya//
33
ing sangayunipun kori/ palangkung kasêbut ngarsa/ wisma kampung mujur ngalèr/ gathuk lawan taritisnnya/ èmpèr pandhapi wuntat / kang payon sèng iring kidul/ balungan usuk rèng saka//
34
sadayanya kajêng jati/ yèku dadya marga yasa/ sri tinon pinayu ing sèng/ pinlisir blêbêg balabag/ lir ombak bêbanyakan/ ingêlis dènêcèt pingul/ pinalèstêr jarambahnya//
35
wiyaripun winatawis/ tigang mètêr dé panjangnya/ wolu satêngah mètêré/ 49
PB Xnya *
tutup keyong dèncèt séta/ déné ta gathukira/ lan èmpèr pandhapi pung[..]-kur/141/ sarta sring lojèn èmpèrnya// 36
mawi tinalang hal putih/ lawan sami dèncèt séta/ manglung ing garojogané/ sami angilèn sadaya/ yèku yèn nuju jawah/ mung mangilèn mancuripun/ jinumbuh wangunanira// PUPUH XII GAMBUH
1
Latar pandhapi pungkur/ yèku dadya kilèn prênahipun/ sing pandhapa ing têngah sinungan margi[..]/142/ ingkang mangilèné laju/ ing Sêdhah Mirahan anjog//
2
ing kanan kéringipun/ margi cakêt ing pandhapi wau/ ngriku wontên uwitipun kanthil putih/ sakêlangkung agungipun/ sarta ngantos dahat ayom//
3
kathah puspitanipun/ amalêtuk arum gandanipun/ angêbaki jroning pura Sriwêdari/ kilen wit kanthil kang kidul/ akèh wit-witan kang katon//
4
palêm talijiwa gung/ mangadhêpe kapèring mangidul/ katatanan ing pot kisma marik-marik/ pot pitu binundêr têpung/ kupêng lir kêpungan ngrompol//
5
pêthetan isinipun/ sasêkaran amrik gandanipun/ warni-warni kadi pêpadhingan wêngi/ linêbêtkên ing jronipun/ pura pacangkraman katong/
6
kidul pot wontên sumur/ mawi pipa binagé têtêlu/ kang mangé[..]-tan pandumané angsal kalih/ 143/
mangilèn sajuganipun/ kang ngétan sawiji anjog// 7
jamban Dalêm Jêng Ratu/ sabagéyan malih anjogipun/ jamban abdi ing Pakubuwanan sami/ kang ngilèn mring jamban agung/ ing sêdhah mirahan anjog//
8
sakidulipun sumur/ sinungan got ngétan ilinipun/ tirta wêning ilèné dahat gumlindhing/ anjog ing sangayunipun/ Rêksa Sugata kang gêdhong//
9
sakiduling got wau/ tinanêman sêkaran rum-arum/ godhagané rumputan tinata pèni/ guntingan rêmpêg dinulu/ kadya prangwadani ijo//
10
sagodhag-godhagipun/ sanès-sanèsing panatanipun/ wonten ingkang bundêr wontên kang pasagi/ wènèh triyum50 pojok telu/ ingkang sawènèh baligon//
11
déné sasêlanipun/ ing witipu[..]-n sêsêkaran wau/ 144/ gumarining gasik tansah dènrêsiki/ déning para tukang nyapu/ binubut thukulan krokot//
12
marma tan nganti jêmbrung/ tumêmên pra bau tukang nyapu/ myang pangrèhé Amad Sunarsa Ngabèi/ ginugu datan pamingkur/ satata tinut sapakon//
13
juru taman puniki/ kalih wêlas kathahé sadarum/ klêbét bêkêl ingkang minangka têtindhih/ ing sahari-harinipun/ pasabané loro-loro//
14
pakaryanipun nyapu/ 50
drihum #
lan rêrêsik satamanan ngriku/ lan ananêm sêsêkaran jro wêdari/ nyalini kang thukulipun/ kang wus sêpuh tuwin awon// 15
dé juru taman wau/ lamun têdhak Kangjêng Sang Aprabu/ majêng byakan dwi wêlas kalêbêt tindhih/ déné ta bokonganipun/ wêdari wau kacriyos//
16
siti téras nê[..]-nêmbung/145/ nyanggi bahu ing saharinipun/ kalih wêlas nyaponi natar wêdari/ lamun têdhak Jêng Sang Prabu/ bahu majêng byakan dados//
17
tri dasa kathahipun/ ing sahari-harinipun nyapu/ arêrêsik miwah dipunpancak maring/ ing sagêdhong-gêdhongipun/ dé kyèhing rêsan kacriyos//
18
sawêlas kathahipun/ pasébané ing saharinipun/ kalih-kalih rêrêsik jroning wêdari/ ywan têdhak Jêng Sang Aprabu/ byakan sadaya kémawon//
19
rêsan wanita catur/ Sênèn Kamis maju têlu-têlu/ atêtêbah pasaréyan jro wêdari/ ngisis gêlaran lan babut/ pinasthi tan kêna lowong//
20
binanjêl yèn tan malbu/ dadya têtêp katri kang malêbu/ namung ingkang sajuga séba sabên ri/ Jumungah utawanipun/ Anggara Kasih kémawon//
21
dêdupa ratu[..]-s arum/146/ bêbucali sêkar borèhipun/ kamar-kamar sadaya jroning wêdari/ myang sadaya pintu-pintu/ déné lamun Jêng Sang Katong//
22
têdhak wêdari ngriku/
para rêsan wanita pat wau/ samya mlêbêt bukan sadaya sabên ri/ ngantos kondur Dalêm prabu/ mring nagri jroning kadhaton// 23
kilèn tamanan wau/ wontên got gêng ngalèr ujuripun/ wénya wêning mangalèr dènira mili/ yèku pambucalanipun/ sakyèhning kang kotor-kotor//
24
margi kang têngah wau/ mangilèn ing ngriku malêbu/ markis tosan dhapur kampung warna pèni/ dé tutuping keyongipun/ wontên wétan lan sri katon//
25
sastra (PB X) PéBé kês iku/ pintunipun ing sêsisih nêlu/ wétan tiga ingkang kilèn ugi katri/ sinung candhéla lêr kidul/ sadaya dipuncè[..]-t ijo//147/
26
mangalèr ngidulipun/ sangang mètêr wontên langkungipun/ kawan dhèsi dé ngétan ngilèn winilis/ tiga têngah mètêr agung/ topènganing tutup kéyong//
27
panjang lan wiyaripun/ gangsal têngah mètêr ukuripun/ inggilipun ing pintu nyangalas dhèsi/ wiyarénya mètêr langkung/ dwi dhèsi sêbêtan tinon//
28
candhéla inggilipun/ nyangang dhèsi déné wiyaripun/ mung samètêr dé candhéla tuwin kori/ ing nginggil sami malêngkung/ pagêr ngruji timun tinon//
29
têngahing markis wau/ sinung dilah wasiyat abagus/ yèn sinumêt padhangé bangkit ngêbaki/ jroning kaputrèn sadarum/ lir padhang bulan kang sorot//
30
jarambah markis ngriku/
sinarasah baron sri dinulu/ déné markis kiwa têngên dèntanêmi/ wit klêmor bangsaning ngêlung/ ana[..]-lolor dadya payon//148/ 31
ayom asri ngrêmbuyung/ sing mandrawa grêmbêl lir garumbul/ tloloring wit bundhêtan sami tumali/ wènèh tumapan kadulu/ lèr kidul katingal bundhot//
32
mung wétan kilènipun/ kang nalolor tinatas pinutus/ asri tinon têtaruné warna wilis/ puspitadi adi wungu/ dinulu pating parélok//
33
sing markis ngilènipun/ anarajang got agung kang mujur/ ngalèr wau mawa krêtêg kajêng jati/ lan mawi hèk dèncèt pingul/ déné ta kaprênah pojok51//
34
lèr wetan sartanipun/ kidul wétan wontên êtingipun/ anyatunggal tumancêp ing tugu sami/ mawa tlundhak inggahipun/ punika mangka pirantos//
35
lamun nyumêt ting wau/ dé ing markis têtopènganipun/ dipunapit wit bêdrèk nyatunggal sisih/ lèr kathah tanêmanipun[..]/149/ sêkaran warna-warna byor//
36
sakiwa têngênipun/ markis wau tamanan kadulu/ sakêmbaran tinanêm sari-sari/ saruni angsara mênur/ malathi tluki argulo//
37
sing markis ngilènipun/ yèku anjog maring têngganipun/ pyantun Dalêm Radèn Ayu Adipati/ Sêdhah Mirah papatya nung/ salêbêting kradèn nayon// 51
pojog #
38
wisma watawis agung / mujur ngalèr ngétan ajêngipun/ dhapuripun limasan èmpèr mung ngarsi/ kagêm daya jaga satru/ bêbalungan kajêng jatos//
39
cinitra ingcèt pingul/ pagêr tembok dadya saka ngayun/ cacah kalih ugi sami dèncèt putih/ jumbuh lan laléyanipun/ gajah numpang pagêr tembok//
40
payon gêndhèng lan kinrêpus/ tiga wêlas mètêr panjangipun/ wontên langkungipun namung gangsal dhèsi/ déné ta ing wiyari[..]-pun/ 150/ yèku ngétan lawan ngulon//
41
sawêlas mètêr langkung/ kawan dhèsi pidêgsa dinulu/ jarambahnya kaplèstêr rêsik gumrining/ wisma wau singgêt têlu/ mawèh manising pasêmon// PUPUH XIII DHANDHANGGULA
1
Lèr myang kidul lawan têngah sidi/ lèr lan kidul wau dadya kamar/ têngah mangka godhagané/ singgêtan lèr puniku/ dipunsinggêt dadya [..] kêkalih/ 151/ sami kinarya kamar/ déné ingkang kidul/ ugi dadya kalih kamar/ mawa pintu kang lèr majêng ngidul sami/ kang kidul ajêngira//
2
sami ngalèr wiwarané sami/ inêb kajèng ngupu tarung lamba/ lis-lisan séta êcèté/ têbang ingukir têmbus/ sêsêkaran pindha lung pakis/ ing têngah krun karajan/ sinung sastra bagus/ PéBé X ikês dèncèt jênar/ inggilipun wiwara patlikur dhèsi/ déné ta wiyarira//
3
kalih wêlas dhèsi tigang cènti/ sakèh kamar sinungan candhéla/ ingkang lèr manggèn témbok lèr/ kang kidul manggèn kidul/ inggilipun mitulas dhèsi/ samètêr wiyarira/ inêb ngupu tarung/ ing jawi kajêng nglêbêt ram/ dèncèt séta katonton amilangêni/ dé kamar lèr kang wétan//
4
saréyannya Dyan Ayudipati/ Sêdhah Mirah [..] yèn ndhèrèk cangkrama/ 152/ ing jro isi balé-balé/ mangilèn ujuripun/ témbok wétan dipunpasangi/ kaca agêng satunggal/ ngilèn ajêngipun/ sakanan kéringing kaca/ lêmari lit-alit anyatunggal sisih/ déné ngandhaping kaca//
5
kapasangan bangku andhap kalih/ yèku kagêm wadhah padandosan/ sétali dwi dhudhuk kabèh/ kamar sakilènipun/ isi balé-balé satunggil/ dilah dhudhuk sajuga/ dé kamar kang kidul/ kang nèng wétan isinira/ balé-balé lan dilah dhudhuk nyatunggil/ kang kilèn kagêm jamban//
6
godhaganing têngah dènpasangi/ dilah triyum agantung sajuga/ mèpèt témbok kang iring lèr/ pinasangan lêmantun/ agung-agung cacah kêkalih/ sangandhapipun dilah/ katatanan bangku/ kêkalih samyandhap-andhap[..]/ 153/ èmperipun jaga satru dènpasangi/ kalih dilah bèthètan//
7
lèr sajuga kang kidul sawiji/ ing ngajêngan punika katratag/ lajuran mujur mangalèr/
kajêng balunganipun/ payon képang katoné asri/ dadya panulak panas/ lamun wanci ésuk/ ayomé prapta godhagan/ satêngahé plataran saantawising/ krètèg lan tritis tratag// 8
wontên punthuk bundêran kaèksi/ mung samètêr inggile watara/ rumput rinampak thukulé/ ijo ariyu-riyu/ èsthinipun ancala alit/ nginggil sinungan rêca/ nyonyah ngadêg mungguh/ mangétaning ajengira/ suku punthuk katamping ing bata miring/ têpung atêmu gêlang//
9
palataran wau sapraptaning/ kiwa têngênipun ing suyasa/ kagêm patamanan sriné/ kathah sê[..]karan arum / 154/ warna-warna sinêlang-sêling/ sisih lèr ragi wétan/ patalunan agung/ tinanêman térong kacang/ lombok agêng utawané lombok jêmprit/ sami kèh uwohira//
10
kèh wit-witan ingkang agung sami/ angayomi palataran wiyar/ jêram gulung lan pêcêlé/ pêlêm kêpêl lan dhuku/ rambutané katon brit-abrit/ lan kathah sanèsira/ bangsa kitri tahun/ tan wus lamun ginuwita/ saking kèhé sring kècèr dènya nyathêti/ mung kèri ing ngèlingan //
11
ingèlingan datan angêplêki/ déné datan lama pangèksinya/ dadya sring takèn-tinakèn/ déné panyathêtipun/ sampun prapta salèr pandhapi/ wontên lojèn lajuran/ ngilèn ujuripun/
mangidul ing ngajêngira/ ingkang kilèn gathuk lawa[..]-n pagêr bumi/ 155/ kaputrèn watêsira// 12
panjangipun slawé mètêr tuwin/ tigang dhèsi dé wiyaring gajah/ ingkang kinarya kamaré/ nêm mètêr kirangipun/ mung sadhèsi tan mawi luwih/ èmpèré wiyarira/ tri mètêr tan langkung/ pagêring lojèn laléyan/ bêbalungan sadayanya kajêng jati/ sami dènêcèt séta//
13
lojèn wau dipunsinggêt dadi/ kawan kamar kang angka sajuga/ ingkang kaprênah nèng kilèn/ punika gêdhongipun/ abdi Dalêm puspan pra sami/ angka dwi kamarira/ wayah Dalêm Prabu/ gêdhong ingkang angka tiga/ gêdhong panakawan Drawisana sami/ kamar angka sakawan//
14
gêdhong Marduyadya ingkang nami/ yèku gêdhongipun panakawan/ sèkrêtaris ingkang ndhèrèk/ kalamung Jêng Sang Prabu/ apapara maring [..] wêdari /156/ ngriku wontên tilpunnya/ sakèh kamar wau/ mawi kori lan candhéla/ namung Marduyadya candhélané kalih/ lan laléyan kang wétan//
15
mawi pintu bêbutulan prapti/ palataran kang iring untara/ lawan kalih candhélané/ ngapit ing pintu ngayun/ singgêtannya kang kilèn mawi/ butulan ingkang marang/ nênggih gêdhongipun/ panakawan Drawisana/ bêbutulan pinalêngkung tanpa kori/ déné ta gêdhong puspan//
16
tuwin kamar wayah Dalêm mawi/ bêbutulan wimba maring jaba/ bubak témbok kang iring lèr/ ngajênging lojèn ngriku/ godhagannya lawan pandhapi/ wontên witipun pala/ sampun agung-agung/ ngrêmbuyung ngayomi latar/ taruwilis kêtêl lir tinata tartip/ ambiyêt uwohira//
17
ting garandhul katon kuning-kuning[..]/157/ angêmohi paribasanira/ tarune52 datan nyalèbrèh/ êpangé turut-turut/ datan ana nyalandhang siji/ sami anêngêng tawang/ lir tinata runtut/ marma èdhum ngandhapira/ mung latar kang cakêt gupit mandragini/ tinanêman rambutan//
18
angayomi saluhuring gupit/ nulak hawa pêpanasing surya/ yèn nuju lèrèg mangalèr/ déné saêlèripun/ pintunipun butulan saking/ kaputrèn kang untara/ wontên wismanipun/ sing kajêng wangun monyètan/ pajagène pra abdi Dalêm prajurit/ inpantri kang sêkil wah//
19
lèr wit pala wau dèntatani/ ing pot kathah tinata bundêran/ sari-sari tanêmané/ ingkang ganda rum/ argulobang ijo myang putih/ saruni sumarsana/ malathi lan mênur/ taluki [..] lan adhaliyah/158/ wétanipun Marduyadya dèndèkèki/ kulah mèpèt laleyan//
20
pagêr tembok capuri wêdari/ wctanipun cakêt sinung wisma/ 52
talurune*
ugi wismaning pajagèn/ kinêmbar warnanipun/ lan pajagèn wira kang mungging/ lèr kori bêbutulan/ sing kaputrèn wau/ wit-witaning palataran/ uwit pêlêm sêngir kuwèlêm kuwèni/ apêl lan kanthil pêthak// 21
imba pala mayang jambé manggis/ myang trêmbêsi ngayomi plataran/ dé kanan kering maligé/ ing ngayun prênahipun/ lawan ragi kapara têbih/ sinungan cagak dilah/ ijêm êcètipun/ satêngahing palataran/ wontên bangsal mujur ngalèr tinon asri/ ingukur panjangira//
22
kawan wêlas mètêr wolung dhèsi/ sawêlas têngah mètêr wiyarnya/ suyasa sinom dhapuré/ saka [..] balandar usuk/159/ pangrêt lawan rèng kajêng jati/ pêpayonipun sirap/ amung èmpèripun/ sakané mubêng wolulas/ sami tosan gilig-gilig nyantosani/ kaplèstêr jarambahnya//
23
wetan kilèn lan lèr kidul mawi/ batu kandhas nèng batur kang têngah/ talundhak kang wétan kilèn/ sami kalih kèhipun/ êlèr kidul sami nyatunggil/ kang kidul lan untara/ wontên êpotipun/ turut ing talundhak samya/ dahat asri pot bêling ijo dumêling/ tanêmané sêkaran//
24
warni-warni sumarsana sruni/ myang taluki argulobang séta/ adhaliyah lan gramiyèn / kalamun Jêng Sang Prabu/ têdhak maring ngriku wêdari/ yèku bangsal kinarya/
pasowananipun/ pra abdi Dalêm Ordenas/ pojok kidu[..]-l wétan amèpèt capuri/ ugi wontên bangsalnya// 25
dhapuripun watara rêspati/ kajêng jati sakèh balungannya/ saka kêkalih têngahé/ kajêng jati sadarum/ sakanipun ing ngèmpèr wêsi/ sirap siti payonnya/ ngalèr ngidulipun/ sadasa mètêr kalawan/ nênêm dhèsi ngétan ngilèné pinanggih/ sangang mètêr kalawan//
26
tigang dhèsi langkung gangsal cènti/ ingkang sisih wétan linaléyan/ dadya anyinggêt saèmpèr/ kaanggé gêdhongipun/ abdi Dalêm wira inpantri/ wiwaranya satunggal/ inêb ngupu tarung/ candhela ngapit wiwara/ inêb rangkêp jawi kajêng nglêbêt cêrmin/ gêdhong wau wiyarnya/
27
kalih mètêr langkung gangsal dhèsi/ ing jaba jro plèstêr jarambahnya/ déné pojok kang wétan lèr[..]/161/ ing ngriku ugi sinung / bangsalipun pra kapalèri/ wêwangunaning bangsal/ myang ukuranipun/ lan kidul datan pra béda/ saantaranirèng bangsal kalih kadi/ dumunung têngahira//
28
yèku régol kang wus kocap ngarsi/ antaraning régol lawan bangsal/ ing têngah palatarane/ wontên cêcagakipun/ yèku tiyang bandéra nami/ têtiyang puniku / kinarya ngèrèk bandéra/ mangka tandha lamun Jêng Sri Narapati/ têdhak mring pasanggrahan//
160/
29
dahat suka janma kanan kéring/ sêsadéyan bangsaning ratêngan/ trusthèng tyas antuk bathi kèh/ tan ana ingkang bubruk/ barang-barang binorong laris/ saking kèh para wadya/ kang dhèrèk Sang Prabu/ lan sukaning janma desa/ lyaning [..] miyat ingkang Sri Narapati/162/ myat kèh ing tingalan//
30
abédhayan utawi sarimpi/ kadhang wirèng utawi ringgitan/ purwa gêdhog lan madyané/ pra kadang gambar hidhup/ main api nyênêngkên kapti/ kathah kang dadya suka/ maring janma dhusun/ nadyan kang gêgriya têbéh/ dhusun Kajèntala wong Thithan prapta ing/ dhusun ing Têgalgonda//
31
sami miyat Kangjêng Sri Bupati/ dènya têdhak maring Ngèksipurna/ déning kathah tinggalané/ wit ning kalamun nuju/ Ongkawiyu kathah ing janmi/ wus datan kira-kira/ lir Jatinom tuhu/ janma manca kathah prapta/ panjang lamun winarna jroning palupi/ yata kidul pandhapa//
32
ngriku wontên bangsalé sawiji/ dhapur sinom sadaya balungan/ saka pangrêt lan usuk rèng/ lawan balandaripun/ sadayané akajêng [..] jati/163/ samya ingêcèt seta/ gêndhèng payonipun/ pinalèstêr jarambahnya/ lalundhaké kalih lajuran ngubêngi/ têrus tan pêgat-pêgat// PUPUH XIV MEGATRUH
1
Têngahipun sinunganing dilah gantung/ triyum lamba mung satunggil/
bangsal wau panjangipun/ nênêm bêlas mètêr luwih/ kanêm têngah dhèsi manggon// 2
pantês lawa[..]-n ukuraning wiyaripun/164/ kalih wêlas mètêr tuwin/ sangang dhèsi pétangira/ bangsal punika manawi/ têdhak Kangjêng Sang Akatong//
3
dipunanggé bujana sagung ing mayur/ kaptin hupsir myang Bupati/ Kaliwon sêsaminipun/ godhagganipun pandhapi/ lan bangsal sinungan ing pot//
4
panatané binundêr wangunanipun/ tinanêman sari-sari/ argulo malathi mênur/ kang sarwa anganda wangi/ wèh rêsêp kang dhahar kono//
5
kasiliring maruta gandané arum/ kidulnya mèpèt capuri/ wonten lojèné salajur/ mujur mangétan rêspati/ ajêngé lojèn mangalor//
6
kawan dasa kawan mètêr panjangipun/ langkungipun gangsal dhèsi/ sadaya balunganipun/ kajêng jati dèncèt putih/ sirap siti ingkang payon[..]//165/
7
linaléyan wêwatêsing gajahipun/ sininggêt ginèndhong pèni/ jroning gêdhong wiyaripun/ gangsal mètêr sangang dhèsi/ wiyaring èmpèr kawartos//
8
tigang mètêr nanging wontên langkungipun/ anamung sajuga dhèsi/ lojèn wau gêdhongipun/ dadya cacah gangsal iji/ pintu lan candhéla gêdhong//
9
inêbipun sami rinangkêp sadarum/ jawi kajêng nglêbêt cêrmin/
têbèngé sadaya pintu/ pêtha cakra saking wêsi/ candhéla lan kori gêdhong// 10
sami dipunêcèt ing séta sadarum/ gèdhong kang wétan pribadi/ yèku dadya gêdhongipun/ para panakawan sami/ Kridha Maya53 nèng ngriku gon//
11
kilènipun Rêksa Panjuta ranipun/ déné kilènipun malih/ Kridha Ardana ranipun/ gya gêdhong kilèné nuli[..]/ 166/ jaga karya nanging gêdhong//
12
kilènipun malih yèku gêdhongipun/ para abdi Dalêm nami/ Rêksa Sugata sadarum/ gêdhong-gêdhong kasbut ngarsi/ ing langkung wiyaring nggon//
13
namung gêdhong Rêksa sajuga ta puniku/ kori lan candhéla ngalih/ ragi malak éwonipun/ myang mawi butulan alit/ kang mring jawi dèniranjog//
14
gêdhong Kridha Maya ngriku ugi butul/ kinori dhumatêng jawi/ supadi parigêlipun/ bêkakas kang manjing mijil/ lawan malih wau témbok //
15
kidul prênah balandar sangandhapipun/ wontên candhéla rinuji/ ing tosan inggil puniku/ kaanggé minangka margi/ kang maring kakus dènyanjog//
16
èmpèr wau ing sangajêngipun pintu/ Rêksa Sugata54 kang sisih/ kilèn mèpèt témbokipun/ capurinirèng wêdari/ kang katinga[..]-lipun nglojen// 167/ 53 54
KridhaWaya # Sungata #
17
wontên marga yasa ngalèr ujuripun/ ingkang anjogipun prapti/ gêdhong kang kanggé ngrarantun/ dhahar Dalêm Jêng Sang Aji/ dhapur limasan kinaot//
18
kajêng jati balunganipun sadarum/ sami dipunêcèt putih/ tigang mètêr wiyaripun/ panjang nêmblas mètêr tuwin/ nêm dhèsi payon sèng wiron//
19
têngah dipunsinungan sêtroli gantung/ kidul kulah ing parabdi/ ing Pakubuwanan ngriku/ wontên sumurnya sawiji/ ingkang winindhu ing témbok//
20
agung lawan kèrèkan animbanipun/ gampang katon gumalindhing/ pinlèstêr lataring sumur/ pasagi mlèrèt tinambir/ satêbah inggiling banon//
21
pojokipun palataranirèng sumur/ kang kilèn dipunsukani/ bolongan bucalan ranu/ anjog got alit ing tri[..]-tis/ 168/ turut marga yasa kono//
22
tirta wau dènira mili mangidul/ gya mangétan anjog ngarsi/ turut pagêr bata agung/ malipir wontên ing pinggir/ praptèng wétan pisan dèngot//
23
ingkang iring lèr wétan pêpojokipun/ sinungan bolongan ugi/ mangka pambucalé ranu/ mangalèr dènira mili/ anjogipun dhumatêng got//
24
ilèn-ilèn ingkang saking kulahipun/ abdi Pakubanan nuli/ mangétan lalu mangidul/ déné ing ngayun èmpèring/ jaga karya ingkang gêdhong//
25
kaparingan marga yasa panjangipun/ katri wêlas mètêr tuwin/ kawan mètêr wiyaripun/ kagathukkên lan èmpèring/ wisma bangsal ingkang manggon//
26
sakiduling pandhapi kasêbut luhur/ balungané kajêng jati/ gêndhèng mangka sirapipun/ ing têngah si[..]ninggêt déning/169/ laléyan kanthi sri tinon// PUPUH XV KINANTHI
1
Saujuré ngalèr ngidul/ singgêtan têngah kinori/ tanpa inêb mung plêngkungan/ mlêbêté ngalèr sakêdhik/ anjog maring paturasan/ ilèning singgêtan dadi//
2
dumunung plataranipun/ gêdhong Rêksa Sunggata di/ pasagi dhapuring latar/ tinanêman ing trêmbêsi/ ayo[..]-m sakêmbaran jajar/170/ têngahé dipuntanêmi//
3
apêl taksih lit ngrêmbuyung/ dé ngayun régol wêdari/ ngriku dipundêgi pasar/ kadi kang kasêbut ngarsi/ ing régol kalawan pasar/ pan namung kêlêtan55 margi//
4
kathah bango bagus-bagus/ awit pancèn dènyasani/ dipunêlos lêlarikan/ wisma los têngah pribadi/ ngalèr ngidul ujurira/ majêngé mangilèn asri//
5
ing sakanan kéringipun/ sinung los anggangsal sisih/ mujur mangilèn mangétan/ bêbalungan kajêng jati/ 55
têlêtan #
payoné gêndhèng sadaya/ tutup kéyong mawi plisir// 6
balabag tinata patut/ mawa tinatah ingukir/ biru laut êcètira/ tinonton arintik-rintik/ gajogan kasrasah bata/ baturé kaplèstêr putih//
7
gangsal dhèsi luhuripun/ wétan ing los dènsa[..]-mbêti/ ing los-los kalangkung kathah/ mujur ngalèr marik-marik/ sarta los mujur mangétan/ sadaya mung cagak dêling//
171/
8
kambêngan pêpayonipun/ sadaya los dènsinggêti/ ing dêling pinêtak-pêtak/ têngêran ingkang kinardi/ sêsadéyan para janma/ kang56 manggèn satunggil-tunggil//
9
kathah sêsadéyan ngriku / sinjang bathik tuwin lurik/ mêri kipêr jingga loka/ sêmbagi awarni-warni/ setagèn êmpêk katimang/ klithikan jêneyan wêsi//
10
bangsa krowot cangkêm karut/ wêdalan lalunan rêdi/ pohung wi kêtela kênthang/ kacang kimpul lawan linjik/ otèk canthèlan dhêkêman/ durèn kêpêl jêruk manggis//
11
kêtan bang irêng lan thiwul/ sêga pulên iwak têrik/ sininjong pêcêl lan gudhêg/ gudhêg pélas warni-warni/ canggarèng ka[..]rag rêngginang/ 172/ kué57 lapis gandhos rangin//
12
cucur ondhé-ondhé gandum/ 56 57
ingkang* kuwih $
gêmbukan lan untir-untir/ limpang-limpung sarta ampyang/ kathah pintên-pintên warni/ pitik iwèn dahat kathah/ ménda gèmbèl ménda Jawi// 13
dhang-dhèng pandhé mupuk pacul/ utawi mupuki arit/ dadya salajur pandhéyan/ sambêt lawan gyaning mranggi/ éwon wus agêng kang pasar/ sêsadéyan warni-warni//
14
satêngahing pasar ngriku/ wontên gumuk isi cêndhi/ sinêngkêran dipunkrapyak/ saking kilèn ingkang margi/ rêca sajuga nèng pucak/ myang ngandhap samya lit-alit//
15
majêng mangilèn sadarum/ katon wêwanguné wingit/ kiwa têngên tinanêman/ bangsa kroton tuwin puring/ aspari miwah sêmboja/ cariyosé Mas Ngabèi//
16
Sindumarta mantri ranu/ puni[..]ku kuburan nguni/ 173/ jaman Pêngging witaradya/ gawaté prapta ing mangkin/ taksih dèrèng sagêt tawar/ kala dèrèng dènbêthèki//
17
kalawan ing pasar ngriku/ nguni taksih dados sabin/ sintên ingkang purun garap/ sabin kang aparèk maring/ panggénan wau kuburan/ wus tamtu tiwas sayêkti//
18
yèn datan mahésanipun/ inggih badané pribadi/ roga tur asring antaka/ marma sabin kanan kéring/ panamung bêra kéwala/ wit kang garap sami ajrih//
19
lami-laminipun tahun/ kaparèng Dalêm Sang Aji/ ngriku kaêdêgan pasar/ taksih bango alit-alit/ kang cêlak ngriku bangonya/ mung sapisan laju kanji//
20
déning wikan anèhipun/ kêrêp kaheca[..]-lan picis/ 174/ myang kalong sadéyanira/ ing dalu dipunprimpèni/ kadi dipunoyak macan/ myang sanèsé kang mêdosi//
21
jro wêdari ingkang kidul/ wontên butulaning kori/ inggil tri mètêr langkungnya/ tigang dhèsi gangsal cènti/ kalih mètêr wiyarira/ langkung sanga têngah dhèsi//
22
kajêng jati pintunipun / lis-lisan kaêcèt putih/ saluhuring inêbira/ mawi krun karajan Jawi/ ngandhap sinung sastra Landa/ (PB) PéBé gya ngandhapé malih//
23
angka (X) sadasa sastra rum/ laléyan luhuring kori/ têngah larês sinung sastra/ (PB) PéBé lawan (X) ikês malih/ ing jawi sacêlakira/ nênggih pipinirèng kori//
24
kang sisih kilèn gyanipun/ sinung pajagèn prajurit/ mangétan ing ngajêngira/ inggil kalih mètêr tuwin/ kalih têngah dhèsi[..]nira / 175/ wiyaré samètêr luwih//
25
kalih têngah dhèsi patut/ sing kajêng ingukir-ukir/ kalawan ingêcèt séta/ tanpa inêb tinon asri/ lèr kidul miwah pracima/
mawi bolongan nyatunggil58// 26
binundêr wêwangunipun/ mawi lung-lungan rêspati/ déné wiwara punika/ raharja amangku margi/ mangilèn tuwin mangétan/ kang terus mangétan prapti//
27
margi gêng sangajêngipun/ gapuraning Sriwêdari/ kang ngilèn mring padhusunan/ sawingkingipun wêdari/ kang térus mangidul prapta/ pasiraman Umbul Pêngging//
28
déné nama Pêngging wau/ wit dhusuné nama Pêngging/ dadya umbul tumut karan/ laju nama Umbul Pêngging/ déné umbul ing samangkya/ salong sinalinan nami//
29
Umbul Dhahar sarta[..]nipun/ 176/ Umbul Tirtamaya nami/ lan Umbul Pangantèn nama/ kori butulan wadari/ wontên wisma los ngayunnya/ blak-blakan tan dènpagêri//
30
mangalèr ing ujuripun/ bêbalungan kajêng jati/ mung saka astha kang têngah/ pilar agêng-agêng sami/ payon gêndhèng wêton kuna/ kinarêpus wêdhi gamping//
31
sinarasah jrambahipun/ panjang pitung mètêr tuwin/ kalih dhèsi langkungira/ apa namung gangsal cènti/ pitung mètêr wiyarira/ kalêbêt dhapur pasagi//
32
mênawi Jêng Sang Aprabu/ pêpara maring wêdari/ 58
nyatunggal*
wisma los wau kinarya/ pasowananing pulisi/ Ondêr saandhahanira/ kang samya rumêksang gusti59// 33
anganglong jagi pakéwuh/ mubêng jawining wêdari/ sikêp dêdamêling rondha60/ mring rahayuning wêdari/ têngah los ki[..]narya marga/ 177/ mring ngumbul kasêbut nginggil//
34
wiyaring margi puniku/ kawan mètêr kalih dhèsi/ sakiwa têngêning marga/ wit-witan gang-ngagang sami/ tharik-tharik lêlajuran/ ngrêmbuyung ngayomi margi//
35
pang tumêlung sami gathuk/ kêpêl wau lan trêmbêsi/ wit asêm kalawan gayam turut pinggir ngapit margi/ longkangngané pinêpêtan / ing landêp naranthèng kèksi61//
36
mung sacêthik inggilipun/ yun kalajêng Sribupati/ miyos mring umbul yun siram/ para janma kang ningali/ ndhèrèk ndhodhok jroning marga/ atémbak uruting pinggir//
37
kaprênah sakilènipun/ wisma losêban pulisi/ ngriku ugi wontên griya/ los agêng kampung kaèksi/ mujur ngidul lèr ajêngnya/ bêbalungan kajêng jati//
38
payon gêndhèng kina[..]-rêpus/178/ watês gajah kanan kering/ dipunsinggêt ing laléyan/ wiyar ingukur kapanggih/ sawêlas mètêr kalawan/ 59
gusthi # rundha # 61 kaksi # 60
langkungipun sangang dhèsi// 39
déné panjangé kaukur/ wolulas mètêr tan luwih/ wétan kilèn ing èmpèran/ wiyaring èmpèr sêsisih/ samètêr nyamlêng tan kirang/ agêng jênggarang kaèksi//
40
singgêtan têngah lèr kidul/ mawi kori dènrujèni/ ing kajêng déné wiyarnya/ kalih mètêr wolung dhèsi/ lan kalih mètêr inggilnya/ langkungipun kawan dhèsi//
41
ngriku kanggé gêdhongipun/ kréta kagungan Sang Aji/ ing sakanan kéringira/ kori kang lèr wontên malih/ kori gêdhong lit manawa/ gêdhong pakéyan turanggi//
42
wiyaring wiwaranipun/ pitung dhèsi gangsal cènti[..]/ 179/ samètêr inggilé lawan/ langkungipun wolung dhèsi/ wétan kilèning singgêtan/ tinon lir sinom pangrawit// PUPUH XVI SINOM
1
Kang têngah kanggé kêstalan/ kathahipun ngênêm sisih/ sangajéngipun kêstalan/ kang wétan dumunung mungging/ satêngahipun sidi/ ngriku wontên sumur[..]-ipun/ 180/ inggiling windunira/ sacênthik langkung sakêdhik/ platarané bundêr kang palastêrira//
2
éyub déning kahayoman/ ing wit-witan randhu inggil/ kidul kêstal iring wétan/ wontên wisma laléyan lit/ dhapur plat lir mêsagi/ bolong kalih inggilipun/
kanggé lampahing hawa/ yèku gêdhong lisah bènsin62/ ingkang kanggé motor lan sagung dilah gas// 3
sakiduling gêdhong kréta/ wontên wismané los malih/ mangièlen ujurira/ lajêngé mangalèr asri/ panjangipun winilis/ ukuran mètêr kêpangguh/ sadasa mètêr lawan/ langkungipun kawan dhèsi/ mung sakawan mètêr wiyaripun gajah//
4
rêspati kampung dhapurnya/ bêbalungan kajêng jati/ ginêndhèng pêpayonira/ nèng gajah [..] témbokira sri/ 181/ èmpèr sajuga ngarsi/ kalih mètêr wiyaripun/ saka sakawan tosan/ jro gajah sininggêt dadi/ gêdhong kalih kinêmbar wiwaranira//
5
sami dipunêcèt seta/ gêdhong inggil wétan mawi/ candhéla dumunung wétan/ ingkang kilèn ugi mawi/ sinung candhéla siji/ wontên kilèn manggènipun/ sami rinangkêping ram/ sarta dipunêcèt putih/ dipunplèstêr jrambah jro lan èmpèrira//
6
jro gêdhong sami sinungan/ ambèn wiyar kajêng jati/ yèku kanggé pagulingan/ lan bangku inggilnya tunggil/ lanwan rana63 satunggil/ sinung kèh candhêlanipun/ tan ana gêbêrira/ ing ngèmpèr dipuntatani/ kursi tosan lêmpitan sakawan kèhnya//
7
lan kênap ka[..]-jêng satunggal /182/ yèku gêdhong kapalèri/ 62 63
bensi $ ran *
kang dhèrèk Jêng Sri Narêndra/ yèn têdhak maring wêdari/ wétané êlêt margi/ ingkang têrus maring umbul/ wontén wisma lit pêlag/ mangalèr ajénging panti/ tinon asri dhapuripun dara gêpak// 8
balungan saka balandar/ pangrêt usuk kajêng jati/ pagêr gêbyog payon sirap/ lèr kidul sinungan kori/ sami dènapit-apit/ candhéla rinujèn kayu/ gêbyog kilèn lan wétan/ mawa candhéla dwi sisih/ èmpèr wisma lèr kidul mêdal sadaya//
9
ingkang lèr mangka pandhapa/ kang kidul kinarya ninis/ pinalèstêr jarambahnya/ wetan wontên wisma alit/ ngilèn angajêngé asri/ dhapuripun ugi kampung/ pagêr gêdhèg kéwala/ payonipun sirap siti/ pojokipu[..]-n capuri kang kidul wétan// 183/
10
ngriku wontên kakusira/ alit lir wisma pasagi/ rinambatan ing ron-ronan/ rowé-rowé tinon asri/ kilèn mawa got alit/ lêbêt ilèné lumuntur/ lumintu mili ngétan/ palataranirèng ngarsi/ tinanêman palêm kalih warna kêmbar//
11
palataran ingkang wuntat/ kèh tanêman warni-warni/ kang sami sarwa marambat/ plataran alit waradin/ gasik rêsik gumrining/ pakarangan pagêripun/ kawat ri rinangkêpan/ wit landhêp sêkaré kuning/ ingkang biru lir têlêng kanang puspita//
12
wontên ing lèr régolira/ sinungan krun kajêng jati/ cinitra ing pulas krêsna/ tèbèng sinung sastra Jawi/ wangun gêdrig mungêlipun/ sanggrahan gêdhah sinawung/ yèku pakuwonira/ putra Dalêm Jèng [..] Sang Aji/ 184/ Kangjêng Pangran Ariya Kusumayuda//
13
mangsuli ing marga ingkang/ anjog ing ngumbul watawis/ kintên wontên wolung dasa/ pitu mètêr saking kori/ butulan ing wêdari/ mangidul ngriku wontên krun/ ngalèr ngidul ajêngnya/ kajêng jati dèncèt putih/ katon bênggang déné sakané sakawan//
14
dadya kalih sasisihnya/ bêngganganing saka kalih/ mawa untu kadi andha/ inggil angaluncup lincip/ lir tutup kéyong panti/ kalêrêsing têngahipun/ sinêrat sastra Landa/ PéBé gya ngandhap sakêdhik/ sinêratan ing angka ngêlum sadasa//
15
yèku ikês (X) wujudira/ sami pinulas warna brit/ ngandhap malih sinêratan/ sastra Jawi pinulas brit/ rêmpêg sastra lir gêdrig/ de ungê[..]-lipun ing Umbul/ 185/ Pangantèn sarta Dhahar/ tutup keyong kanan kéring/ [ka]prênah64 wontên nginggil saka sakawan//
16
ing ngriku sami sinungan/ ing palênthon alit-alit/ ngaluncup sanginggilira/ dadya lir tumpêng kang wêrni/ ugi ingêcèt abrit/ dé krun wau wiyaripun/ 64
prênah *
tri mètêr langkungira/ tigalas satêngah dhèsi/ katri mètêr sajuga dhèsi inggilnya// 17
mawa pintu dèncèt séta/ pipining wiwara sami/ dèndèkèki arca séla/ wêwangunan kadi janmi/ majêng mangalèr sami/ dé kanan kéringing pintu/ mangétan ngilènira/ dipunpagêri kawat ri/ pagêr wau minangka capurinira//
18
Umbul Pangantèn myang Dhahar/ déné ngajêngipun kori/ dadya salèring wiwara/ wontên marginipun alit/ rêsik gasik gumrining/ ngétan ngilèn têrusipun[..]/186/ kang ngétan anjogira/ wiwara krun ingkang warni/ jumbuh kadi ingkang kasêbut ing ngarsa//
19
amung inêbé tan mawa/ lan rêca ugi tan mawi/ pintu krun wau kajêngnya/ mangilèn dinulu asri/ tutupé kéyong mawi/ sastra PéBé ping sapuluh/ lan sinung sastra Jawa/ jêjêg wêwangunan gêdrig/ ungêlipun ya ing Umbul Tirtamaya//
20
déné margi kang pracima/ mring kagungan dalêm siti/ ing cêmbuyung namanira/ dahat adhumé kang margi/ kayoman sakyèning wit/ déné ta manggèning65 Ngumbul/ Pangantèn kacarita/ wétan sipataning margi/ têtêrusan ing butulan pasanggrahan//
21
anjog ngumbul capurinya/ dipunpagêr bata asri/ 65
magèning#
ambata wangunanira/ ing sajawining capuri/ lan laléyan watawis/ sadhêpa godhaganipun/ tinanggul ing bata bang/ go[..]dhagané dèntanêmi/187/ rêrumputan rêmpêk ywan moncol pinapak// 22
rineka-reka bundêran/ lonjong pojok tri pasagi/ satêngahe66 ing rêrékan/ tinanêman bangsa puring/ kroton kang warna adi/ tumbakraja myang mêngkudhu/ mangkokan lan potrètan/ ngrêmbuyung taruné asri/ wit kang agung trêmbêsi manglung laléyan//
23
témbok kang iring pracima/ wontên butulaning kori/ mring umbul lumêbêtira/ saking nglêbêt dénya ngunci/ undhak-undhakan siji/ déné pipinipun pintu/ ngriku wontên rêcanya/ kêkalih sami lit-alit/ majéng ngilèn lir janma têngga wiwara//
24
kaapit ing taru trêna/ wangun tansah èlik-èlik/ yèn wiwara datan mênga/ ngidul kéwala prayo[..]-gi/188/ anggêr wus angsal idi/ datan ana sababipun/ siram sasuka-suka/ wus tan ana kang malangi/ juru kunci mêngakkên lawan lêgawa//
25
myang têngga jawi wiwara/ nanging mawi dènwancini/ wolung mênut siramira/ datan kénging lami-lami/ mangké yèn kanggé gênti/ yata pungkas kidul nêkuk/ mangilèn praptèng têngah/ wontên wismanipun alit/ 66
sartêngahé#
dhapur kampung balungan kajêng sadaya// 26
sri tinon payoné sirap/ mèpèt témbok ing capuri/ saubêngé linaléyan/ katoné kadi pasagi/ panjangipun winilis/ kawan mètêr langkungipun/ pitung dhèsi kalawan/ wolung cènti datan luwih/ wiyaripun kawan mètêr akalawan//
27
tigang dhèsi langkungira/ satêngahipun ing panti/ sininggêt mujur mangé[..]-tan/189/ kang kidul sininggêt malih/ dadya gêdhong kêkalih/ majeng ngalèr pintunipun/ sami dinèkèkan kori/ lawan sami dipuncèt séta sadaya//
28
mung samètêr inggilira/ langkungipun wolung dhèsi/ wiyaripun wontên sanga/ kalawan satêngah dhèsi/ pintu mlêbêting pintu / kêkalih kang iring kidul/ samètêr inggilira/ langkungipun sangang dhèsi lawan wolu satengah dhesi wiyarira67//
29
singgêtan ingkang untara/ kinarya èmpèr sri kèksi/ kalih mètêr wiyarira/ mung kirang satunggal dhèsi/ laléyan ingkang iring/ lèr têngah wontên palêngkung/ mring umbul anjogira/ ngriku wontên èmpèr malih/ sarta mawi talundhak nênêm kathahnya//
30
yèku kinarya tu[..]-mêdhak/190/ maring umbul ing botrawi/ dé botrawi pinggirira/ saubêngé dipuntambir/ pinlèstêr kanggé margi/ 67
wiyarnya*
sing kidul mangalèripun/ kalamun arsa bukak/ pintuning aér botrawi/ ingkang manggèn wontên pojokan lèr wétan// 31
tambir wau wiyarira/ mung sanga satêngah dhèsi/ cêlak plêngkung prênah wétan/ ugi wontên pintu air/ kanggé angêsat warih/ iring kilèn témbok wau/ wontên kori butulan/ kang sampun kasêbut nginggil/ inêb kajéng jati dipunêcèt pêthak//
32
mawi èmpèr sèng sangkaya/ sinonggawang kajêng jati/ ngriku wontên dhak-undhakan/ cacahipun68 gangsal iji/ tumurun mring botrawi/ déné wiyaripun pintu/ amung samètêr lawan/ satunggal satêngah dhèsi/ tiga têngah mètêr ing[..]-giling wiwara//191/
33
botrawi umbul panjangnya/ tri dasa tri mètêr tuwin/ tigang dhèsi langkungira/ wiyaring ngukur pinanggih/ tri likur mètêr tuwin/ nênêm dhèsi langkungipun/ gangsal cènti étangnya/ umbulnya ngriku kêkalih/ cêlak pojok lèr kilèn karya asmara// ASMARADANA PUPUH XVII
1
Jajar mung êlêt sakêdhik/ wiyaring umbul dwi sama/ langkung sa[..]-tampah wiyaré/ 192/ marma karsa Dalêm Nata/ dipunparingi nama/ Umbul Pangantèn ranipun/ sumilak wêning kang tirta//
2
kinclong-kinclong kadi cêrmin/ 68
cacangipun#
lumintu udalanira/ sami mangétan iliné/ ambèring ngumbul kablumbang/ kalamun binêbêga/ lêbêtipun sapênggayuh/ miturut pintuning tirta// 3
kinarya gung miwah alit/ nèng pintu wé pranatanya/ jro botrawi kèh wadêré/ katut ing udalan mêdal/ akathah rak-arakan/ urut lir wontên kang tinut/ gya ambyar ngêbaki blumbang//
4
saparan-paran ting sliri/ sami andum mamêt pangan/ wênèh wangsul sami ngêrong/ mring jro umbul rak-arakan/ manêmpuh ing udalan/ yèn kadêdêl salong kumbul/ ngambali amblêsing tir[..]-ta//193/
5
tinon anyênêngkên kapti/ wangsulipun wadêr mêdal/ ambrol kadi arêratos/ tumuturing ratunira/ mangkana salaminya/ lawan wontên ulamipun/ garamèh kalawan tambra//
6
abrit pêthak miwah langking/ mawèh asrining paningal/ déné ta Umbul Pangantèn/ yèn Kangjêng Srinaranata / datan nuju têdhakan/ kaparêng Dalêm Sang Prabu/ kabarkên kaagêm limrah//
7
maring abdi Dalêm tuwin/ samungging para kawula/ myang pra bangsa sabrang kabèh/ nèng ngumbul kênging lêlumban/ anamung winatêsan/ sapadusan wolung mênut/ kalawan mawi pituwas/
8
satunggal tunggaling janmi/
wolung mênut adusira/ pituwasé sadasa sèn/ arta linêbêtkên ing kas[..]/ kinarya balanjanya/ para juru kunci umbul/ kang rêrêsik sabên dina//
194/
9
marma kathah para janmi/ salêbêtirèng nagara/ priya wanita mêrloké/ praptèng umbul alêlumban/ lan para janma manca/ Jawi Wlandi Cina Mlayu/ miwah para bangsa Ngarab//
10
praptèng umbul adus sami/ lêlumban sasênêngira/ déning wus pinarêngaké/ marma pra juru kuncinya/ sabên enjang wanci byar/ wus ngrêsiki sakèh umbul/ ron kaléyang kang nèng blumbang//
11
winidalkên maring jawi/ mêdal saking pintu tirta/ lawan tambir saubêngé/ sadayané sinaponan/ ngrêsêpkên ingkang siram/ kilèning capuri umbul/ ngriku kinarya tamanan//
12
wangun ambata tinon sri/ rumputan rineka warna/ wontên bundêr wontên lonjong/ amung kang [..] têngah priyangga/195/ bundêr gêng tinanduran/ sêsêkaran kang ganda rum/ sinêling lan rêca séla//
13
ingkang pinêtha sujanmi/ sadasa iji cacahnya/ ungkur-ungkuran patrapé/ wanguné rumêksèng taman/ sami jaga priyangga/ rèh nyangga pakaryan parlu/ dadya tan arêrêmbagan//
14
budi yèn ing taman sari/
aywana sambékalanya/ bundêran wau têngahé/ wontên têtanêmanira/ kang inggil roné kathah/ subur kayon angrêmbuyung/ angayomi kéring kanan// 15
bêbundêran kanan kéring/ ing ngarsa miwah ing wuntat/ sinung margi ting sarèwèh/ ngalèr ngidul ngilèn ngétan/ satêpinirèng marga/ bata miring tampingipun/ runtut rèntèt panatanya//
16
turut sipataning garis/ dé ki[..]-wa têngêning marga/ 196/ rumputan ron ijo-ijo/ ing sagodhag-godhagira/ akathah bêbundêran/ lit-alit winangun patut/ katanêman sêsêkaran//
17
argulo taluki sruni/ cêplok piring adhaliyah/ mondhakaki miwah kroton/ langkung kathah warna-warna/ wontên kang katanêman/ wit-witan69 ingkang ronipun/ warna ijo wiyar-wiyar//
18
têpiné pating caringah/ lawan palêm nunggil bangsa/ kalawan sanès-sanèsé/ sasêlaning bêbundêran/ katanêman wit-witan/ rinampak gêng inggilipun/ tinata lawan prayoga//
19
saya ngidul kèh mawarni/ wangunaning pêputêran/ bundêr pasagi lan lonjong/ lincip nêstha gangsal astha/ pasagên dipunpênthang/ wontên ingkang pojok têlu/ sêkarané warna-war[..]-na // 197/ 69
wiwitan @
20
lir tutluka sêkar tluki/ sumarma kang sumarsana/ anyaru sruni sranané/ adhaliyah gung salayah/ cêpak cêpaka gyannya/ prabu sêt mrabawa prabu/ nyêprok gung purba nagara//
21
cêplok piring kapêring/ andongé lir undang-undang/ dinulu rêgu argulo/ kathah lamun winursita/ sêkar ing patamanan/ kang samya asri dinulu/ lan kang mawa ganda ngambar//
22
tan kacakêp ingkang nganggit/ nyandra ananing puspita/ bangsa kroton70 lir rêraton/ kinumpulkên sabundêran/ warnané sêsêlingan/ anêngsêmakên pandulu/ margi lit ting srèwèh kathah//
23
lêkak-lêkuk pating gluthik/ manut71 sêlaning pêtakan/ jro taman dahat asriné/ satêpining patamanan/ amubêng tinanêman/ wit-witan kang agung-agung/ ngrêmbuyung72 nga[..]nyomi taman/198/
24
sap-sapan ngantos sap katri/ bangsa palêm sabanjêngan/ gya trêmbêsi salajuré/ kalapa salarikira/ yèku iring pracima/ kang wétan wit-witanipun/ jambé panjalin lan gêbang//
25
sinêlan palêm lit-alit/ ingkang iring kidul wétan/ wontên umbul dèrèng kopèn/ maksih lit pindha balumbang/ 70
korton# nut* 72 ngembuyung# 71
samètêr gunging blumbang/ mung sakilan lêbêtipun/ ngêblak tanpa pinagêran// 26
satêpining umbul mawi/ kinupêng ing arca séla/ lir angrubung panatané/ winangun kadi rumêksa/ lan têdhuh kahanannya/ yèn ing ngriku uwuh umbul/ nging taksih alit-alitan//
27
mangkya dèrèng dènopèni/ aywana kang ganggu samya/ makatên rêca ciptané/ umbul alit tirtanira/ tansah ambèr balabar/ nglêbi kanan kéringipun[..]/ 199/ marma kyèhning rêrumputan//
28
lêma lêdhung-lêdhung sami/ pojok umbul lit kang wétan/ ragi kidul watarané/ sinung pambucalan tirta/ kinalèn lit ilinya/ mangidul wêdalé têrus/ mring têpining patamanan//
29
kidul laléyan botrawi/ kathah têtanêmanira/ gung-agung ngrêmbuyung ayom/ ngandhapipun rêrumputan/ rinéka bêbundêran/ pasagèn lan pojok têlu/ têngah rekan tinanêman//
30
31
ing kroton puring asparin/ lawan bangsa sêsêkaran/ cêpaka gondhak myang andong73/ sakiduling plataran74/ ngriku wontên umbulnya/ ugi binalumbang agung/ lawan mawi linaléyan// mêndhak-mêndhukul kang warni/ mêndhaké ukuranira/ 73 74
andhong @ pataran#
sanga satêngah dhèsiné/ samètêr mandhukulira/ nêm dhèsi langkungira/ déné kang sami mêndhukul/ nginggil si[..]-nungan pot gêdhah//200/ 32
tinanêman ing ron pakis/ kênikir utawi girang/ lawan sêkaran argulo/ lir garadhèn warninira/ sawanganing laléyan/ dé mangétan ngilènipun/ pitulas mètêr kalawan//
33
tigang dhèsi nênêm cènti/ mangalèr mangidulira/ sadasa mètêr langkungé/ gangsal satêngah dhèsi lan/ dwi cènti wewahira/ wontên kilèn pintunipun/ tanpa inêb mung blak-blakan//
34
winangun gapura asri/ sajuga mètêr wiyarnya/ kalih mètêr ing nginggilé/ jawi lêbêt mawa tlundhak/ ing jawi mung satunggal/ ing nglêbêt cacahe catur/ tumurun maring balumbang//
35
botrawi ingkang tinambir/ mung kang cakêt lan wiwara/ yèku ingkang iring kilèn/ sangang dhèsi wiyarira/ tri cènti langkungira/ sajawining pipi pintu/ kanan kéring sinung rêca//
36
nyatunggal [..] awarni janmi/ 201/ têngga wiwara saistha75/ angemutkên mring pra raré/ kang nèng ngumbul adus samya/ aywana kang kalêpyan/ lamun wontên bêgjanipun/ ana kang ngluwari ujar//
75
saisthi*
37
anèng ngumbul undhik-undhik/ anyêbarkên artanira/ raré kang angrayah kabèh/ mêntasipun76 angujuran/ sapira murwatira/ déné ta umbul puniku/ Umbul Dhahar namanira//
38
marma Dhahar ingkang nami/ nguni kagêm pangunjukan/ panjênêngan Dalêm Katong/ kang jumênêng Surakarta/ lan nguni wartanira/ anangkok mring jro kêdhatun/ mawi buh lan alèmpèngan//
39
nanging praptaning samangkin/ margining tirta wus risak/ kalawan malih toyané/ wus tan kagêm pangunjukan/ kang kagêm pangunjukan/ sapunika kang kapundhut/ tirta Umbul Ganawêlang//
40
déné ta wau botrawi/ Umbul Dhahar lêbêtira/ mung sadhêngku[..]l jêroning wé/ 202/ awit tirta binucalan/ mêdal sing pintu toya/ kang nèng wétan dunungipun/ nging yèn pintu tinutupan//
41
toya sagêd praptèng nginggil/ sainggiling pintu toya/ kintên sadêdêg pangawé/ témbok lèr wonten pintunya/ pambucalaning tirta/ sing Umbul Pangantèn wau/ dadya ilinipun tirta //
42
angêjogi botrawi ning/ Umbul Dhahar gya mangétan/ mili maring pintu aér/ angoncori pasabinan/ ngantos prapta ing Krapyak/ dene Umbul Dhahar wau/ 76
mentase*
nèng pojok kilèn unggyannya// 43
ngluwêng bundêr kang warni/ wiyare wontên satampah/ tirta wêning kinclong-kinclong/ wêdaling tirta udalan/ ajêg kadi brol-brolan/ mina lit-aliting clurut/ yèn manjing mijil udalan[..]// 203/ PUPUH XVIII MIJIL
1
Gumarêdêg andalêdêg mili/ lir mina rêraton / langkung rikat nalika wijilé/ wit kasêntor santêrirèng warih/ mung kalamun bali/ malêbèng jro umbul//
2
ragi angèl dènira ngêlangi/ sajak égag-égog/ wontên ingkang wangsul panglanginé/ déning têrus wus datan kuwawi/ dinêdêl ing warih/ dadya wangsu[..]-l kombul//204/
3
lêbêtipun mina alit-alit/ maring rong kang ngronggong/ yèku ingkang minangka étuké/ wangun pating srèwèh kanan kéring/ lamun dènjagani/ têngah sipat gantung//
4
kintên namung dwi dêdêging janmi/ kapetang tan jêro/ umbul wau dadya padusané/ para janma ngriku kanan kéring/ lawan dènangsoni/ pra janma sadhusun//
5
dipunanggé ngratêngi rijeki/ pikantun sayêktos/ awit langkung wêningipun ing wé/ datan mawi rêrêgêt sakêdhik/ kinarya wédang tih/ antêp raosipun//
6
kitab kasarasan wus sung warti/
wêwulang kang yêktos/ pra kawi wé77 kinarya pangombèn/ lan kinarya ngratêngi rijêki/ kang dahat prayogi/ kudu miwah ranu// 7
kang tan ganda lawan kang arêsik/ lyan écaning raos/ maring [..] badan akarya sêgêré/205/ béda lamun tirta kang tan rêsik/ asring karya sakit/ wit wé wor lan ladhu//
8
lamun dipunanggé angratêngi/ kêlan myang gêgodhog/ datan sagêt matêng sayêktiné/ marma asring akarya sêsakit/ kêplantrangi nganggit/ kandha kaya dhukun//
9
nging tan kadi dhukun kurang tindhih/ omongé nyalémong/ dinohéna muga saêjêgé/ Umbul Dhahar wau sabên ari/ kathah raré alit/ ingkang sami adus//
10
lamun ana janma anyêmplungi/ dhuwit sèn myang bénggol/ mring jro umbul sinlulupan agé/ salulupe kalawan anjungkir/ dêdêl udalaning/ umbul lir anungsung//
11
mung sakêdhap raré nulya bali/ kang dhisik dhas katon/ égog-égog anggawa dhuwité[..]/206/ lamun umbul cinêmplungan malih/ sanadyanna kêthip/ ugi yèn kapikut//
12
wit criyosé anèng jroning warih/ lan mêlèk kémawon/ dadya katon kang tinon barangé/ nadyan wêdhi maléla kaèksi/ mangka sakèh picis/ 77
swe #
cinêmplungkên ngumbul// 13
égog-égog kasêntor ing warih/ prandéné cinathok/ lawan gampang bisa kacêkêlé/ saking raré wus kulina sami/ anylulupi dhuwit/ dadi untungipun//
14
saya suka salah ing rarya lit/ lamun Jèng Sang Katong/ karsa nyêbar nèng ngriku arta kèh/ sèn sakampil kèh sadasa rispis/ raré kang nyululupi/ gênti gêntèn slulup//
15
sakèh picis sêbaran sakampil/ wus tan ana brojol/ saking tangan-tanganing pra raré/ tangan kalih [..] kêbak gêgêm dhuwit/207/ cangkêm kêbak picis/ kathah raré bingung//
16
uggyanipun anyèlèhkên picis/ kalamun cinokot78/ nèng botrawi dhaharing pawédhan/ tuwin wontên tambiring botrawi/ sumêlang manawi/ dènpèk kancanipun//
17
ingkang darbé sadulur nèng pinggir/ datan mèlu gogo/ sinung ngantêr murih gawataké/ kang mung ijèn kèh antuking picis/ kêbak tangan kalih/ cangkêmé mêcucu//
18
mulat nganan miwah mulat ngiring/ gya angambil kathok/ trima mêntas lan mulih gé-agé/ tutur bapa lan biyung manawi/ ngrayah udhik-udhik/ paring Dalêm Prabu//
19
antuk kathah luwih tigang tali/ bapa lawan êmbok/ 78
dinokot #
sami suka muji rahayuné/ Jêng Srinata lan sagarwa siwi/ pinanjangna mugi[..]/208/ yuswa Dalêm Prabu// 20
lawan bikut yun nanjakkên picis/ dananing Sang Katong/ wus tinampan sadaya dhuwité/ dipunétang anèng ngambèn crak-crik/ anak dènambungi/ kinudang nak anung//
21
gêlis gêdhe bisa golèk dhuwit/ bêgjané angombol/ bisa tompa Jêng Sang Sri bêrkahé/ lanang tênan bisa angayani/ pangudangé nricis/ saking sukanipun//
22
Umbul Dhahar sakilèning kori/ bangsal mujur ngulon/ pitung mètêr dwi dhèsi panjangé/ wiyaripun kawan mètêr luwih/ gangsal dhèsi tuwin/ kalih cèntinipun//
23
dhapuripun trajumas79 kawarti/ blak-blakan kémawon/ kajêng jati balungané kabèh/ payon gêndhèng santosa kaèksi/ jarambah ing panti/ kapalèstêr alus//
24
mawa undhak-undhakan kêkalih80/ kidul bangsal ko[..]no/209/ wontên kirkop yèku kuburané/ Tuwan Wiran ingkang duk ing nguni/ nguwasani Pêngging/ amajêgi dhusun//
25
siti kagungan Dalêm Sang Aji/ cacah jung kacriyos/ satus kawan wêlas tri prapaté/ pajêg arta lan tapsiranira/ satahuné dadi/ kawan likur èwu// 79 80
prajumas # kalih*
26
wolung ngatus swidak rupyah putih/ lawan kalih kêton/ kang majêgi sapunika mangké/ kabudidayan ing Bangak pabrik/ ré atministraktir/ rané tuwanipun//
27
Yésébruk isèn mangsuli malih/ katuran kacriyos/ dahat asri jro pakuburané/ kirkop wau panjanging capuri/ ngétan ngilèn sami/ lan capuri umbul//
28
témbok mubêng karawangan sami/ wiwaraning kirkop/ wontên ing lèr limasan dhapuré/ saka catur nglêbê[..]-t lan ing jawi/210/ wujud pilar sami/ ing sangajêngipun//
29
mila ingkang nèng jawi kêkalih/ sinung rêca léyo/ sami jongkok81 mangalèr ajêngé/ mripatipun sami bêling langking/ warnane mêdosi/ déné kirkop wau//
30
nèng kidulé ing pagêr kawat ri/ sapinggiring kirkop/ urut témbok kang anèng sisih lèr/ tinanêman kêpêl watu sami/ jèjèr urut pinggir/ manis sri dinulu [..]// 211/ PUPUH XIX DHANDHANGGULA
1
Sawétaning laléyan botrawi/ Umbul Pangantèn82 wontên marginya/ alit kawat ri pagêré/ radyén ring wétan kidul/ sinungan krun ing kajêng jati/ mawi pintu wiyarnya/ tigang mètêr langkung/ kalih dhèsi dé inggilnya/ 81 82
jongok # Panganwrèn @
kalih mètêr lawan nêm satêngah dhèsi/ ngétan mandhap talundhak// 2
mung kêkalih prapta capurining/ umbul ingkang nama Tirtamaya/ wiwit saking sangajêngé/ wiwaraning krun wau/ ingkang prapta palataraning/ umbul ing Tirtamaya/ ngriku marginipun/ kaapit-apit wit-witan/ ingkang agêng-agêng anggênggêng ngayomi/ ing palataran wiyar//
3
ingkang prênah sakiduling margi/ kados déné ara-ara wiyar/ datan wontên tanêmané/ kajawi namung rumput/ siti lêgok pating caluwik/ la[.]n kathah séla-séla/212/ mêndhosol kadulu/ iring kilèn sacêlaknya/ pagêr kawat dadya sakiduling kori/ wontên kalénanira//
4
kang katawing séla alit-alit/ yèku kalèn kalêmpaking toya/ sakathahing ilèn-nilèn/ kang saking jroning ngumbul/ kang Pangantèn lan umbul alit/ kalawan Umbul Dhahar/ ing sawétanipun/ ing ngriku kanggé padusan/ umbah-umbah mring janma ing dhusun sami/ kalénan wau mawa//
5
sêsidhatan maring kalèn alit/ mila ngalèr tan éwah tirtanya/ taksih kinclong ing wêningé/ lan wontên rêmbêsipun/ rêrêmbêsan83 kang mijil saking/ sêla-sêlaning séla/ ting srèwèh kadulu/ iline santêr mangétan/ lèring kori kapara ngajêng sakédhik/ wontên balumbangira// 83
rarambasan #
6
mujur ngidu[..]-l pinagêr kawat ri/213/ kawan wélas mètêr wiyarira/ gangsal satêngah dhèsiné/ déné ta panjangipun/ tri dasa nêm mètêr pat dhèsi/ tinambir mangka marga/ ing saubêngipun/ satunggal mètêr wiyarnya/ lawan wontên langkungipun wolung dhèsi/ wiwarané nèng wétan//
7
toyanipun saking jro botrawi/ Umbul Pangantèn mongka bucalan/ dipuningoni garamèh/ alit-alit gung-agung/ pêthak abrit pating calumik/ ngriku kèh ganggêngira/ kalawan lêlumut/ mangka têdhanireng84 mina/ lan yalangi yèn koyok kanggé ngrumati/ sakathahipun tigan//
8
wétan blumbang êlête watawis/ pitung mètêr notog pagêr bata/ kang bundêr yèku témboké/ botrawinipun Umbul/ Tirtamaya ingkang a[..]-nami/ 214/ inggil ingkang laléyan/ samètêr ing ngukur/ bundêré mung kang untara/ wétan kilèn kidul sêmuné pasagi/ sajawining laléyan//
9
katanêman ing uwit trémbési/ lawan gayam gung inggil sadaya/ ngayomi umbul rêsminé/ témbok kang iring kidul/ têngah lêrês dipunparingi/ wisma mèpèt laléyan/ ngilèn ujuripun/ dhapuring wisma limasan/ bêbalungan sadayané kajêng jati/ sarta ingngêcet pêthak//
10
pagêr témbok payon sirap siti/ 84
têdhaningrèng #
panjangipun sangang mètêr lawan/ gagsal cènti dé wiyaré/ sakawan mètêr langkung/ wolung dhèsi kori kêkalih/ nèng lêbêt lèr satunggal/ sajuga nèng kidul/ ugi kalih candhélanya/ wontên wétan satunggal kilèn satunggal/ inêbé rinangkê[..]-p ram//215/ 11
ukuraning candhéla kang inggil/ mung samètêr pitung dhèsi lawan/ gangsal cènti dé wiyaré/ samètêr datan langkung/ nginggilipun candhéla kalih/ kang jawi sinêratan/ ing PB sastra gung/ pintu kidul saking jaba/ wiyaripun samètêr tri têngah dhèsi/ samètêr inggilira//
12
langkung wolung dhèsi pitung cènti/ dahat asri tinon sing mandrawa/ samya putih pêpulasé/ sanginggilipun pintu/ sinung blabak sinêrat Landi/ munya Pêrbodhên tugang/ ing sangandhapipun/ rinangkêpan têmbung Jawa/ ungêlipun larangan dé têngah pintu/ wontên sêtralinira//
13
triyum gantungnya lamba satunggil/ lawan wontên dhipané satunggal/ lan sakawan pojokané/ sinungan wadhah sabun/ saking kajêng kaplitur pèni/ wiyaring èmper[..]-ira/216/ kang anjog mring ngumbul/ tri têngah mètêr tan kurang/ saka wrêksa giligan santosa adi/ pinlèstêr jarambahnya//
14
mandhapipun maring jro botrawi/ mawa tlundhak pêpitu kathahnya/ tinampingan sadayané/ mawi cêmplongan bagus/ amalèrèt dinulu asri/
déné blumbang punika/ yèku balumbangipun/ toya Umbul Tirtamaya/ warna bundêr anyênêngkên ing pangèksi/ tinambir pinggirira// 15
katon asri pan kinarya margi/ angubêngi umbul balumbangnya/ kang kidul wiyar tambiré/ mangalèr saya ciyut/ amung wontên sadasa dhèsi/ pojok pracimantara/ wontên uwitipun/ gayam gêng kalih kathahnya/ têngah-têngahipun ngriku dèndèkèki/ undhak-undhak wrêksa//
16
kanggé mandhap mring sajroning warih/ iring wétan wontên bangsalira/ ali[..]t pèni majêng ngilèn/217/ dhapuring bangsal kampung/ mawa dipunèmpèri kalih/ kilèn dadya ngajêngan/ winêdalkên manglung/ angongkang ngungkuli blumbang/ ingkang kilèn mèpèt temboking capuri/ balungan sami wrêksa//
17
tutup kéyong jarambahé tuwin/ gêbyok ugi sing kajêng sadaya/ winangun pêthak êcèté/ ing nglêbêt wiyaripun/ kawan mètêr lan gangsal cènti/ tri mètêr panjangira/ wontên langkungipun/ kawan dhèsi lan satêngah/ pintu gangsal ingkang wontên kidul kalih/ kang kalih nèng untara//
18
ingkang wontên ing kilèn satunggil/ pintu kidul kalawan untara/ sami ingkang sisih kilèn/ sadaya pintunipun/ sami namung inêbnya tunggil/ dwi mètêr inggilira/ déné wiyaripun/ nêm dhèsi langkung satêngah/ pintu kang lèr kidul sisih wéta[..]-n sami/218/
dwi mètêr inggilira// 19
wyar sajuga mètêr gangsal cènti/ sami ngupu tarung inêbira/ déné wiwara kang kilèn/ inggil myang wiyaripun/ sami ugi lawan ing ngarsi/ balandar gajah wétan/ sinung dilah triyum/ gantung lamba gêng sajuga/ èmpèripun samètêr lan wolung dhèsi/ gangsal cènti wiyarnya//
20
saka catur sami kajêng jati/ mawi sangga uwang kanggé tratag/ manglung botrawi mangilèn/ dipunhèk sri dinulu/ kajêng jati bubutan sami/ cinitra pulas séta/ mung mangilènipun/ ing têngah cakêt ing tratag/ godhak tanpa dipunhek kagêm tumrun mring/ botrawi lawan siram//
21
ngandhapipun ing taratag mawi/ batu kandha pêpitu kathahnya/ kagêm tumurun maring wé/ kanan kèring mawa buh/ amalèrèt praptaning warih/ dadya [..] bangsal punika /219/ lir kambanging ranu/ déné têtalundhak sapta/ ingkang nênêm sadaya kacêp ing warih/ dadya ingkang katingal//
22
amung kantun satunggal kang nginggil/ dé botrawi ukuring ubêngnya/ wolung dasa dwi mètêré/ sakawan dhèsi langkung/ gangsal cènti dé jroning warih/ apa namung sajangga/ ananging kalamun/ kabêbêg nut dêdêgira/ pintu aér sayêkti sadêdêg luwih/ umbulé mung sajuga//
23
manggèn wontên ing lèr kilèn dadi/ parêk bangsal kang lir yasa kambang/
satampah agung wiyaré/ wé ijêm sêmu biru/ déning dahat wêning lan rêsik/ jro umbul dhasarira/ katon padhas pingul/ sabotrawi tirtanira/ kinclong-kinclong wêning rêsik kadi cêrmin/ wêdhi katon sadaya// 24
barêbêling [..] umbul angêbêkki/220/ ing botrawi santêr wêdalira/ yèn binêbêg panotogé/ ing témbok ombakipun/ bola-bali ngombal jaladri/ kaléyang ing ron-ronan/ kang kacêmplung ngriku/ tansah kolèk mawalikan/ wola-wali ron kasêntor molak-malik/ kapêlak ingudalan//
25
wêning ngumbul wêdalipun saking/ padhas gronggong ilènnya tan kêndhat/ nanging ing pundi sirahé/ kang mangka étukipun/ datan kêna cinakrèng ati/ ki dhalang bêbanyolan/ bah étuking umbul/ yêku saking jro samudra/ marma tirta brol-brolan tanpa ngêndhani/ lan ajêg ilinira//
26
kang tan ngandêl dènira mangsuli/ yêkti asin yèn saking samudra/ dadi éwuh pamikiré/ ingkang dlélah ing kalbu/ wangsulané iku [..] wus takdir/221/ saking karsaning Allah/ saya dahat éwuh/ mikir wêdaling udalan/ yèn kawruhé bangsa Eropah ngarani/ mung saka pagunungan//
27
jroning gunung kèh séla gêng alit/ tumpang tindhih garonggong ananya/ kang mangka jro bumi kiyé/ isiné kathah ranu/ marmanipun yèn antuk margi/ lan datan kapalangan/
sayêkti gya mêtu/ kang banyoli wangsulannya/ têka datan ana êntèkké salami/ bubar kang bêbanyolan// 28
jro botrawi kèh mina lit alit/ pating sriwêt lir dhawêt kéwala/ tutut-tutut wangunané/ jinumput amalurut/ dipundêkêp-dêkêp ngêndhani/ lah kathah mina tambra/ garamèh gung-agung/ bêlang-bêlang kok lan séta/ cêmêng tutul wênèh lorèk lirik-lirik/ rémwrétan kèh lir sêpat [..]//222/
29
bundêr-bundêr lirik kira langking/ wadêr cakul lir badhèr apanjang/ wadêr garut cêmêng lorèk/ lan panjang agung-agung/ mina mangut rupané langking/ mung urang rada arang/ kang kèh wadêr pantun/ ucêng sliri wadêr jawa/ pating sliri alit-alit sisik langking/ mawèh sengsêming driya//
30
lamun têdhak siram Jêng Sang Aji/ lawan sagung kang para biyada/ nèng Tirtamaya sukané/ para putri sadarum/ non agungé kang tirta wêning/ kinclong-kinclong lir kaca/ dhasaré kadulu/ wêdhi maléla ngaléla/ gilar-gilar kasorot surya wancènjing/ abyor kadi bêrliyan//
31
mina alit katingal ting85 sliri/ lirap-lirap katon rak-arakan/ kadya angarak pangantèn/ angayap lan angrubyug/ abrol-brolan sing umbul sami [..]/223/ ambyaré gya sumêbar/ golangan gumulung/ ulêng ngêbaki balumbang/ 85
ing @
tambra abang ting karêmbyah kadi ngibing/ sisiké lir kêncana// 32
gêbyar-gêbyar abyor balérêngi/ angêdhébyah saombyok buntutnya/ kopat-kapit kêkêpêté/ lir wêlah ing palwa gung/ sakèh putri suka ningali/ nèng blumbang lan lêlumban/ anyakêti umbul/ brêbêling wé ambrol kadya/ kukus kawah kang agya jêbrol sing kardi/ ngêbaki antariksa//
33
udalan gung wêdaling kang warih/ saubêngé botrawi mèh kêbak/ kabêbêg pintune aér/ jro blumbang saya agung/ nging tan suda wêninging warih/ para dyah saya nêngah / sajangga jronipun/ biyada kang ragi andhap/ sajanggané mawa linawanan jinjit/ dadya sajangga nyêngka//
34
malah ingkang sawatawis inggil/ lêbêtipun panamun sajaja/ ramé [..] suka alêlangèn /224/ nanging rèhning para rum/ datan ajar kridhaning nglangi/ marma panglanginira/ kang kèh sukunipun/ misih kambahkên kisma/ awit taksih angèl kambangé nèng warih/ para dyah kang jirèhan//
35
anyêpêngi ingkang ragi inggil/ lan cêmplung86 blung binêkta mring têngah/ sapantha-pantha kêkanthèn/ para dyah sukèng kalbu/ myat mina gung lan mina alit/ gya ngêncup nyathok nêbak/ mina ting calurut/ cinandhak éndha amilar/ wadêr cakul cinêkêl cikat ngoncati/ ucêng alit lir ngrêncan// 86
cêpum#
36
slira-sliri wor lan wadêr Jawi/ wadêr pari kapara kapérak/ lawan para putri akèh/ mangut gung mingut-mingut/ wangun galak sêmuné wani/ urang abang brangkangan/ nèng tembok tinumbul/ tumbra kèh kang katut ngombak/ nulya kupêng ngêpang tambra yun dènambil/ arapêt pangêpangnya//
37
mamrih [..] mina datan wignya87 mijil/225/ gya anêsêg mlêmpah lon-alonan/ mina tambra lan garamèh/ ngétan ngalor mangidul/ datan wontên sêla sawiji/ maju mundur angiwa/ mênggok mubêng bingung/ pra biyada gilak-gilak/ sêsarêngan rêbutan dènira ngambil/ nanging sawusé pénak//
38
tambra milar lir mibur sumripit/ anglangkahi sagunging para dyah/ cumlorot kêsit milaré/ ramé ingkang para rum/ samya ngragèh sarêngan sami/ klèru candhak-cinandhak/ sami asthanipun/ ing rowangira angêpang/ gêr gumuyu lan manabda êndi-êndi/ êndi mau minanya//
39
ramé sagungipun para putri/ dènya ngranggèh pamilaring mina/ sumripit langkung inggilé/ ginayuh gayuh luput/ kang cêlak mèh dipundhawahi/ kagyat dhêg-dhêgganing tyas/ pra putri kang ngêpung/ dugèkkên pangêpungira/ ing guramèh [..] nèng têngah kantun sawiji/ 126/ bingung ngupaya marga/
40
para putri angangsêg angrampit/ 87
wigya#
saya rapêt gêlaré lumbungan/ lawan alok-alok ramé/ ayo88 cêgatên kidul/ aywa nganti gagal dèn bêcik/ obakên tirtanira/ dimèn saya bingung/ ing kéné ingsung kang nyadhang/ sami suka lir ciblon angobak warih/ tirta angobak-obak// 41
para putri anêsêg lumaris/ lir anggrêmêt dènira lon-lonan/ ywa nganti bênggang adêgé/ sami pèpètan pupu/ gramèh bingung ngrasa kacêpit/ anèng jro kêkêpungan/ kanan astanipun/ pra putri anyandhak ngandhap/ ingkang kéring ngacung angayuh ing nginggil/ lamun guramèh milar//
42
gramèh milar blebêr tan katawis/ para putri gêr gumujêng latah/ guyup kasrèmpèt astané/ luput pangayuhipun/ nyandhak asta[..]-né rowang sami/ 227/ dadya candhak-cinandhak/ cacêngkahan kukuh/ kinêncêngkên panyêngkahnya/ lir dolanan ênya tali ênya êmping/ guramèh mêlar nglumba//
43
kalubukan guyupkên pra putri/ gramèh gagal pangêpungé bênggang/ nanging taksih pangêpungé/ wola-wali tan antuk/ wadêr cilik kéwala kêsit/ cinathok tan kêcandhak/ ingêncup marucut/ ramé ingkang sami siram/ alêlangèn langèn wontên ing botrawi/ sawênèh cêciblonan//
44
blang-blung blang-blung dhinawahkên gêndhing/ ingkang ajrih saking gunging tirta/ mung wontên talundhak baé/ 88
payo#
lawan kosokan sabun/ mawi sepon89 pangingsêp warih/ sawênèh mawi gambas/ gambasipun bêstru/ énggal nyirnakkên kalalar/ wontên ingkang gêntèn angosoki gigir/ nulya aruming90 tirta// 45
kêkosoka[..]-n asta slulup warih / 228/ nanging amung suryané kéwala/ lan wontên pinggir manggèné/ da tansah cilam-cilum/ ingkang rada wani sathithik/ angajak rowangira/ kang kêndêl mring ranu/ pinurih ragi manêngah/ gya nyalorot kang nèng têngah anadhahi/ cêpêng-cinêpêng asta//
46
nulya wangsul anyalorot malih/ mring talundhak lamun sampun mapan/ sigra dèn nyalorot manèh/ makatên wongsal wangsul/ duk wus ngraos mèh sagêd nglangi/ panyloroté sarana / mawi cêpumblung/ wus tan mawi linawanan/ dèrèng prapta gyaré ingkang anadhahi/ kasilak kèlêm tirta//
47
gêlagêpan dipuncandhak aglis/ mring rowangnya binakta mring tlundhak/ kanji gya tan purun langèn/ jroning botrawi wau/ dèndèkèki palwa satunggil/ pra sami tinumpakan/ lampahe tinuntu[..]-n /229/ saking tan ana kang mélah/ para putri tan naté ajar mélahi/ dé jawi pagêr bata//
48
kèh tanêman gêng-agêng lan inggil/ uwit bogêm wohira lir dlima/ sarta wontên paédahé/ kacarita kalamun/ janma èstri ingkang garbini/ 89 90
cêpun# anguming#
yèn nêdha rêrujakan/ wohing bogêm wau/ jabang bayi lairira/ lamun mijil wanudya ayu ing warni/ lamun jalu sulistya// 49
uwit wimba balêndhoké kèni/ dipunanggé usadaning roga/ bêbucal rah lan umbêlé/ pala palêm-palêm gung/ dhuwêt abrit jambé lan manggis/ rambutan prana jiwa/ panjalin lan tanjung/ Jambu ijêm lan drêsana/ garut sabrang uwité dhuku kumuning/ lan gêbang ing Eropah//
50
Jawi prênah salèring capuri/ laléyan ing Umbul Tirtamaya/ wontên margi lit mangalèr/ mangilèn èncèngipu[..]-n/230/ mawi dipunpit-apit déning/ wit-witan gayam kathah/ éyom angrêmbuyung/ margi wau praptèng pasar/ yèku pasar sangajêngirèng wêdari/ kang wus kapungkur kocap// PUPUH XX PANGKUR
1
Sawétanipun laléyan/ kang kalêrês wurining wisma alit/ kang lir balékambang wau/ ngriku wontên kulahnya/ pinalèstêr sadêdêg ing [..] lêbêtipun/231/ nginggil mubêng kapagêran/ kawat têpung mawi êri/
2
ing prênah kilèn lan wétan/ sami mawi pintu aér prayogi/ pintu kang nèng kilèn wau/ pintu lèn-ilènira/ pambucalan saking Tirtamaya Umbul/ dé pintu aér kang wétan/ kinarya ambucal gênti//
3
yèn nuju agêng kang tirta/ ing mangilèn mangétan praptèng sabin/
sawêtawis têbihipun/ lan pambucalan tirta/ prênah wétan ngriku wontên kakusipun/ kêkalih kajêng sadaya/ jèjèr kinêmbar ing warni91// 4
ugi kailènan tirta/ sing bucalan kang têrus maring sabin/ kacrita kulahan wau/ dadya padusan para/ janma dhusun sakiwa têngêning ngriku/ lawan wontên dayanira/ kathah para janma sakit//
5
tatu kêsliyo saminya/ lamun adus nèng ngriku énggal mari[..]/ 232/ wus kèh kêtatalanipun/ pra abdi Dalêm rêksan/ sampun sami nyipati kahananipun/ malah abdi Dalêm rêksan/ Rêksa Suwirya kang nami//
6
kintên wus sadasa warsa/ kênèng sakit angkêp-angkêpan nami/ jaja mêkar amêcucu/ karaos mêngkap-mêngkap/ gêgêr dhêkok ngêndhêlong la-ulanipun/ lawan napasipun cêkak/ lumpuh tan bangkit lumaris//
7
gumêtêr yèn lumaksana92/ kalih wulan dènira ajêjampi/ nanging datan wontên tulung/ dahat duhkitaning tyas/ nulya darbé osiking nalaé gya dus/ kulah Umbul Tirtamaya/ sabên ing jam gangsal énjing//
8
ping kalih tiga sêkawan/ wus angrasa ènthèng dènira sakit/ kaping gangsal kaping pitu/ saya kèh mayarira/ kaping [..] wolu ping sanga kaping sêpuluh/ 233/ saya wéwah mayar-mayar/ kintên laminé sêsasi// 91 92
warna* lumangsana #
9
wus saras dènira roga/ sarta pulih kadi ing nguni-uni/ lawan wontên critanipun/ rêksan Reksa Suharja/ salêbête pêkên Ngèksipurna wau/ ingêdêgkên nyar-anyaran/ pun Reksa Suharja sakit//
10
panas kadaré sadaya/ wêtêng mrongkol langkung dènira sakit/ sêsarasé mrongkolipun/ bêntèr misih kéwala/ nulya krasa dahat jimpé raganipun/ lawan sadaya ros-rosan/ lamun kinarya lumaris//
11
ngarsa tanpa kêkiyatan/ pinijitkên ing dhukun lan jêjampi/ ngantos sawulan tan tulung/ anulya adus marang/ jambanipun Umbul Tirtamaya wau/ ing sabên énjing jam gangsal/ kalawan dêntalatèni//
12
kintên ta[..]-n nganti sawulan/ 234/ sakitipun sadaya sampun mari/ wontên malih wartanipun/ Upsindêr Lêri Bangak/ Tuwan Rasli nandhang roga garêsipun/ kaplindês ing lèri pêcah/ kapêrban dènusadani/
13
mring doktêr93 sawusé réncang/ nanging taksih rêkaos yèn lumaris/ nulya dèntlatèni adus/ nèng jamban Tirtamaya/ sabên énjang kintên kawan dasa ésuk94/ dênya pincang saha réncang/ nadyan pincang wus tan sakit//
14
tuntum balung sungsumira/ sanèsipun puniku wontên malih/ ing bab sakit bangsa tatu/ kathah kang sami crita/ ing samantên kéwala pan sampun cukup/ kinarya tundha paédah/ 93 94
dhogtêr $ kêsuk #
Tirtamaya ingkang warih// 15
dé plataran Tirtamaya/ kidul têmbok kang kidul wontên margi/ ngidul ngilèn èncèngipun/ kan[..]-an kéring ing marga/ 235/ tinanêman trêmbêsi ayom ngrêmbuyung/ anjog prapta ing blumbang/ ambata tinêmbok inggil//
16
wolung dhèsi inggilnya/ panjangipun dwi dasa mètêr tuwin/ sangang dhèsi langkungipun/ nêm cènti dé wiyarnya/ mèh sawêlas mètêr wontên kirangipun/ sadhèsi mètêr kalawan/ pétangipun kawan cènti//
17
ingkang iring lèr kilènnya/ ngriku wontên pintu margining warih/ bêbucalan saking umbul/ têmpuran myang rêmbêsan/ ing lèr wétan ugi wontên pintunipun/ mangka kanggé têtêrusan/ lawan kinêmbaring warni//
18
yèku bucalaning tirta/ pintu aér sinungan ruji wêsi/ dadya jro balumbang ngriku/ tan lêbêt toyanipun/ kintên-kintên lêbêté kirang sadhêngkul/ samadyanirèng balumbang/ wontên wit gaya[..]-m gung inggil//236/
19
ngrêmbuyung ngayomi blumbang/ jro botrawi wontên bajulnya siji/ sanadyana dèrèng agung/ wus mêdèni rupanya/ rèhning tirta cêthèk dadya bajul wau/ sabên ariné katingal/ raré dhusun kèh ningali//
20
sabên dina tanpa towang/ pinggir blumbang arèntèp kang ningali/ yêkti dadya sukanipun/ pra raré padhusunan/
déné sagêd wikan wujudipun95 bajul/ ragi mèmpêr kawuk kawak/ dadya éwon nunggil jênis96// 21
namung bajul sisikira/ dahat kaku kasaré anglangkungi/ langkung malih buntutipun/ lir graji wangunira/ yèku ingkang minangka gêgamanipun/ kanggé nyabêt ngéring nganan/ lêmês parigêl ambabit//
22
yèn wus agung nama baya/ saya rosa lawan angkarèng budi/ kawarti yèn anèng kêdhung/ asring turun bêbégal/ ing narmada Surabaya bawahipun/ kêrêp kasêbu[..]-t pawarta/ 237/ kalamun wontên sujanmi/
23
nèng lèpèn binégal baya/ wétan Sragèn wontên lèpèn kawarti/ ugi kathah bajulipun/ yèn nuju mangsa galak/ janma numpak giyota ugi sinaut/ wus tan mawa parah-parah/ dènira yun nguntal janmi//
24
marma balumbang gyan baya/ sinantosan ywa nganti bangkit mijil97/ lan yèn wontên janma dulu/ kang datan mawa duga/ aywa nganti kajalungup mring gyan bajul/ inggiling blumbang cakêpan/ anyirnakakên kuwatir//
25
mêkani janma sêmbrana/ kèhning dhusun awis kang ngati-ati/ amangsuli ananipun/ iring lèr pasanggrahan/ wontên pintu butulan kêmbar lan kidul/ ngriku wontên marginira/ pratigan sami marga lit//
26
mangalèr ngilèn lan ngetan/ 95
wujutipun # jinis $ 97 mingjil # 96
kang mangétan anjog pêkên utawi/ ngayun pasanggrahan wau/ kang mangilè[..]-n anjog marang/238/ sawingkinging pasanggrahan mubêng têpung/ kang mangalèr anjog marang/ Cipta Mulya raning masjid// 27
sèkêt nêm mètêr têbihnya/ langkungipun pan namung pitung dhèsi/ saking wêdari kang pintu/ ing masjid ngayunira/ sinungan krun kawan mètêr wiyaripun/ lawan nêm dhèsi langkungnya/ inggilnya tri mètêr tuwin//
28
wolung dhèsi langkungira/ dé krun wau sadaya kajêng jati/ kalih sisih sakanipun/ sadaya dèncèt pêthak/ tutup kéyong sinung sasêratan bagus/ PéBé lan angka (X) sadasa/ rinêngga krun krajan Jawi/
29
dipunêcèt abrit wrêda/ tutup kéyong kang nginggil kanan kéring/ sinung plênthon sri dinulu/ lincip pêpucukira/ ugi mawi dipunêcèt abrit sêpuh/ saking krun ngilèn têbihnya/ tri dasa mètêr watawis//
30
praptèng masjid Cipta Mulya/ anglangkungi [..] karêtêg lèpèn alit/ 239/ kalih mètêr wiyaripun/ gangsal dhèsi langkungnya/ panjangipun kalih wêlas mètêr langkung/ wolung dhèsi lan satêngah/ krêtêg wau kajêng jati//
31
mawi dènhèk kering kanan/ ugi kajeng jati dipunêcèt putih/ sapuputing krêtêg wau/ gya prapta platarannya/ masjid Cipta Mulya déné wiyaripun/ apa namung sawatara98/ gya minggah talundhak prapti// 98
sawatawa #
32
plataran malih wiyarnya/ tigang mètêr wangunipun pasagi/ pinalèstêr lumèr alus/ gya minggah ing talundhak/ taksih anjog plataran kang kaping têlu/ ugi plèstêr lan wangunnya/ sinami dhapur pasagi//
33
minggah malih mring talundhak/ anjog natar ping pat pinlèstêr ugi/ minggah tlundhak praptanipun/ surambi Cipta Mulya/ dé plataran kang kaping tiga puniku/ mangka panulaking riris [..]//240/ PUPUH XXI MEGATRUH
1
Saka rampal rampak agêng inggilipun/ kanan kéring saka kalih/ sinung pot asri dinulu/ sami tinanêman sari/ srambining masjid katonton//
2
majêng ngétan anganggrang jênggarang bagus/ dhapur klabang nyandêr adi/ balungan balandar usuk/ myang pangêrêt kajêng jati/ cèt pêthak asbès99 kang payon[..]// 241/
3
pagêripun tembok jéné usukipun/ laléyan lèr kidul mawi/ bêbutulan amalêngkung/ lan tan mawa inêb sami/ namung tinalundhak anjog//
4
mring plataranipun êlèr tuwin kidul/ talundhak lundhaké sami/ nyakawan sasisihipun/ jarambahira ing srambi/ pinalèstêr sri katonton//
5
cêlak tlundhak butulan palêngkung wau/ sinungan kulah lit-alit/ dé butulan kang mangidul/ mandhap sing talundhak mawi/ 99
èsbèk $
sinungan margi sri tinon// 6
pinalèstêr mangiduling ujuripun/ notog capurining masjid/ ngriku praptèng pintunipun/ butulan prapta ing kali/ mandhap tinalundhak anjog//
7
mring narmada gangsal wêlas tundhanipun/ dé témbok pipining kori/ bêbutulan kang mlêngkung wau/ mangétan sak gangé sami/ kasambêtan hèk kinaot//
8
to[..]-san mawa lung-lungan kaêcèt pingul/242/ laléyan kilèn kinori/ gangsal sami ajêngipun/ mangétan rêgêng kaèksi/ ingkang têngah kacariyos//
9
samètêr lan pitung dhèsi wiyaripun/ inggil dwi mètêr nêm dhèsi/ pintu kanan kéringipun/ wiyar samètêr pat dhèsi/ inggilé sami kémawon//
10
lan wiwara kang wontên ing têngah wau/ inêb ngupu tarung sami/ dipunram lan mawi klambu/ ing ngangrangan dhasar putih/ yèku wiwara samya njog//
11
jroning masjid dé pintu kékalihipun/ kang pungkasan kanan kéring/ sinami ing wiyaripun/ amung ngalih têngah dhèsi/ inggil sami tan kinaot//
12
niga têngah mètêr inêb ngupu tarung/ êcète sadaya putih/ yèku kang samyanjogipun/ pawèstrèn lèr kidul sami/ pasalataning wong wadon//
13
srambi ingkang [..] iring wétan sakanipun/ 243/ kathahipun nênêm iji/ ingkang sakawan gang sinung/ hèk ruji ing tosan gilig/
lit-alit santosa tinon// 14
wêngku kajêng jati dipunêcèt pingul/ kang têngah sak gang kang prapti/ plataran mawa pyan wau/ blak-blakan tanpa ling-aling/ nginggil sinung panjuta byor//
15
triyum gantung sakawan ing ngêpangipun/ manggèn wontên têngah asri/ déné ta manggèning bêdhug/ nèng pojok lèr wétan mawi/ cinitra ing pulas ijo//
16
sêsawitan kalawan palangkangipun/ pojok kidul kilèn mawi/ lêmari lit dèncèt jamus/ isi kêbak warni-warni/ myang piring cangkir lan porong//
17
jroning srambi punika padinanipun/ yen énjing kinarya ngaji/ raré kiwa têngên dhusun/ kèh kang majêng para murid/ tumémén ajaré ngaos [..]// 244/
18
kèndêlipun pangajining murid wau/ acaké winulang malih/ gya salin ajaranipun/ sastra Malayu lan Jawi/ lir sakolah angka loro//
19
bêgya mangké para raré dhusun ngriku/ déné sagêd maca nulis/ sastra Jawi lan Malayu/ ngaji tuwin sastra Gondhil/ saha sagêd maca Pégon//
20
yèku tarlyan saking pamarsudinipun/ kang mangka uluning masjid/ pradikanipun ing ngriku/ Amad Sudarsa Ngabèhi/ ngajêngkên tyasé para nom/
21
lamun nuju ari Sukra100 liburipun/ anut pranatan agami/ 100
sutra #
Islam Sukra liburipun/ dé kathah ing para murid/ sawidakan priya wadon// 22
ing pawèstrèn kapyarsa suwaranipun/ èstri sajuga angaji / Sêmarangan lagunipun/ dahat ari kapiyarsi/ kadi ingkang kacariyos//
23
crita sèwu [..] ing nalika lampahipun/245/ amine duk mêntas saking/ jaladri101 mring pulo suwung/ jroning nagri sunya ruri/ ingkang taksih namung kraton//
24
lawan wontên mung sajuga narpa sunu/ nèng kamar da tansah ngaji/ andêrêsing Qur’anipun102/ awit agama Islami/ inêbing wiwara gêdhong//
25
kang kinarya angaji sang narpa sunu/ nuju mênga mung sasisih/ kapyarsa cêtha swara rum/ nging swara nawung prihatin/ déning nagriné kabêndon//
26
dyah aminé dahat kagyat ing tyasipun/ myarsa swara rum kapyarsi/ datan pada ranèng kalbu/ nyabêti nèng pipi kori/ angingukkên lagi maos//
27
lawan alon angucap asalamlékum/ kang nèng kamar amangsuli/ ngalaékum salam laju/ angêngakkên ing kori/ nulya sami apatémon//
28
lawa[..]n tanya tinanya kaananipun103/ 246/ pratéla jalu lan èstri/ kang dadya lêlakunipun/ gênti sajroné ing masjid/ winangun kanthining criyos// 101
jêladri # kuranipun$ 103 kanananipun # 102
PUPUH XXII KINANTHI 1
Sadasa mètêr mangidul/ langkungipun wolung dhèsi/ mangétan ugi sadasa/ mètêr datan mawi luwih/ dadya pasagi namanya/ pan amung kirang sakédhik//
2
pangimaman ngilè[..]-nipun / 247/ amung wontên kalih dhesi/ mangidul samètêr lawan/ langkungipun pitung dhèsi/ lèr wétaning pangimaman/ wontên imbarnya kinardi//
3
kudbahipun ing pangulu/ kinalambu kadi kanthil/ lawan mawa palinggihan/ minggahipun imbar mawi/ talundhak tundha sakawan/ lèr lan kidul dènhèk asri//
4
sing kajêng jati sadarum/ panjang sapta têngah dhèsi/ sangang dhèsi wiyarira/ katingalan alit prêkis/ kidul wétan pangimaman/ kasinggêt ing gêbyok prapti//
5
saka guru kilèn kidul/ déné ngidulipun prapti/ laléyan ing kidulira/ ingkang wétan mawi kori/ satunggal manggèn ing têngah/ singgêtan wau kinardi//
6
palênggahan Dalêm Prabu/ kalamun nuju Sukra ri/ karya miyos jumungahan/ jro ngriku dènsêdiyani104/ dhamparipun pa[..]-salatan /248/ agêm Dalem Jêng Sang Aji//
7
sing singgêtan ngétanipun/ 104
dènsudiyani #
ukuranipun pinanggih/ katri mètêr langkungira/ panamung sakawan dhèsi/ sakawan mètêr ngidulnya/ langkungipun kawan dhèsi// 8
saka têngah masjid wau/ sakawan gung-agung sami/ jubunganipun kaêpyan/ têbêngnya sinungsun asri/ ngandhap kaca nginggil wrêksa/ kêrawangan kinaruwing//
9
balandar pangêrêt usuk/ kèh balungan kajêng jati/ payoné sadaya sirap/ mubêng linaléyan sami/ ing ngarsa tri wiwaranya/ inêb ngupu tarung sami//
10
lamba kacanipun wutuh/ témbok kidul pintu kalih/ majêng mangalèr sadaya/ témbok ingkang kilèn mawi/ candhéla kalih mratistha/ wontên sakanan kéringing//
11
pangimaman105 sartanipun/ rinangkêp jro tuwin jawi/ jawi kajêng ing nglêbêt ram/ témbok lèr pintuné kalih[..]/ 249/ majêng mangidul sadaya/ inêbipun kajêng jati//
12
sadaya wiwara wau/ têbêngé wrêksa ingukir/ lung-lungan asri kawuryan/ têngah sinung sastra Landi/ PéBé lan angka (X) sadasa/ sarta dipunêcèt putih//
13
têngah ing jubunganipun/ mawi sinungan sêtroli/ triyum gantung agêng lamba/ wiwara kang kidul prapti/ èmpèring mubêng laleyan/ 105
pangimanan #
èmpèr wau ingkang iring// 14
prênah ingkang kilèn sinung/ candhéla satunggal iji/ manggènipun wontên têngah/ iring wétan sinung kori/ maring srambi anjogira/ iring kidul dènparingi//
15
wiwara sajuga mungguh/ kaapit candhéla kalih/ manggèn wontên kéring kanan/ katingal dahat rêspati/ ngriku kagêm pangimaman/ Dalêm Kangjêng Pramèswari106//
16
déné ta wiwara wau/ ajog maring èmpèr malih/ gya [..] mandhap katri talundhak/ 250/ praptèng palataran alit/ ingkang megos wangunira/ cakêting talundhak mawi//
17
kolah sajuga pinatut/ mapan pinèpètkên tambir/ bêbaturirèng paningrat/ plataran wau kang iring/ kilèn wontên èmpèrira/ mujur mangidul rêspati//
18
ugi mégos wangunipun/ kang kidul sininggêt déning/ laléyan lawan sinungan/ nênggih wiwara satunggil/ mangalèr ing ajêngira/ ing nglêbêt ngriku kinardi//
19
minangka jêjambanipun/ nataré dipuntanêmi/ wit trêmbêsi sakêmbaran/ iring wétan wontên kori/ sajuga anjog ing jaba/ déné ta pêpojokaning//
20
èmpèr ingkang kilèn kidul/ kang têmpuk lawan pojoking/ 106
pramèsmari #
èmpèr jamban lèr wétannya/ wontên marginipun alit/ ingkang anjogira prapta/ sawurining pun ing masjid// 21
ragi wiyar papanipun/ kinarya tamanan asri/ rêrumputa[..]-nnya rineka/ 251/ mégas-mégos lonjong lincip/ baligon tuwin bundêran/ lan sanèsé warni-warni//
22
têngahing putêran wau/ sinungan wit-witan alit/ nêdhêngé taru tumruna/ kang agêng namung trêmbêsi/ ngrêmbuyung ngayomi papan/ déné ta laléyan masjid//
23
kang sisih lèr pintunipun/ ugi anjog ing ngèmpèring/ pangimaman kasbut ngarsa/ de pasang rakiting kori/ kalawan candhélanira/ kinêmbar lawan kang mungging//
24
ing sasisihipun kidul/ lawan mawi èmpèr malih/ ingkang anjogipun marang/ plataran alit gumrining/ lan cakêt ting dhak-undhakan/ sami mawi kulah alit//
25
déné palataran ngriku/ tinanêman wit trêmbêsi/ gêng-ngagêng cacah sakawan/ mujur ngétan ngilèn sami/ témbok capuri ngayunnya/ èmpèr wontên wiwara lit//
26
bêbutulan anjogipun/ mring sabinan salèr [..] masjid/252/ wontên pintunipun alit/ anjog palataran ngarsa/ déné ta plataran ngarsi//
27
wontên ing tanêmanipun/ anamung uwit trêmbêsi/
ngrêmbuyung ayom ngrêmbaka/ déné capurining masjid/ saubêngé linaléyan/ mung ngarsa pinancak suji// 28
ing tosan kawuyan bagus/ anjinglang katon sing têbih/ masjid wau kacarita/ yèn nuju Sapar kang sasi/ kanggé papan wilujêngan/ yahkawiyu ingkang nami107//
29
apêm kèh ambênganipun/ kinêpungan108 pang ngulami/ lawan kathah para janma/ kang prapta mêt bêrkah sami/ minta apêming ambêngan/ saking kathahing pra janmi/
30
pangêduming apêm wau/ ngantos sinêbarkên sami/ sinawatan maring têbah/ janma kèh ngrayah nadhahi/ trakadhang panyêbarira/ saking payoning surambi//
31
saking éwon kathahipun/ para janma ingkang prapti/ kang angêdum kuwalahan/ ramé [..] janma kang nadhahi/ 253/ suk-sukan arêbut papan/ gyan pèpèt pipit pinipit//
32
lan yèn Siyam wulanipun/ malêm ping salikur tuwin/ trilikur salawé lawan/ malêm pitulikur tuwin/ sangalikur malêm Bakda/ ngriku kathah raré alit//
33
kang long-longan lir prang pupuh/ lèr lan kidul dènya baris/ long sinumêt kanggé sawat/ dhang dhèng mring mungsuh nibani/ surak sona bal-ambalan/ gênti-gêntèn anguncali// 107 108
sami @ kinepung*
34
soré surup ngantos bêdhug/ trakadhang ngantos jam siji/ pra raré lagya bubaran/ mantuk mring wismané sami/ dé para raré punika/ tan ngêmungkên raré Pêngging//
35
nging saking sanèsing dhusun/ ingkang sami têbih-têbih/ déné salèr wétanira/ ingêkrun ngayoming masjid/ ngriku wontên umbulira/ tirtanya sumilak wêning//
36
déné wiyaripun umbul/ kintên samètêr pasagi[..]/ 254/ pinagêran bêthèk rampal/ cêlak umbul wontên wringin/ agêng ngayomi udalan/ mawèh martaning tirta di//
37
wit waringin agung wau/ sinung papan dènsêrati/ ungêlipun Umbul Sungsang109/ anjog ing kadhaton tuwin/ wé umbul kèni kinarya/ padusaning janma sakit//
38
sakèh ingkang bangsa tatu/ yèn têmên dentalatèni/ adus wontên Umbul Sungsang/ nirmala waluya jati/ sampun kèh tuladhanira110/ ingkang dahat ngasmarani// PUPUH XXIII ASMARADANA
1
Kalanturirèng panganggit/ praptèng kanan kéringira/ Ngèksipurna kaha[..]-nané/255/ déné kèh caritanira/ saking duk kinanira/ ing Pêngging kadhaton agung/ duk Srinata Dayaningrat// 109 110
susang # tuladanira #
2.
marmanya ing dhusun Pêngging/ kathah patilasanira/ kacariyos pojok kilèn/ ing Sanggrahan Ngèksipurna/ antawis têbihira/ satus mètêr wontên dhusun/ ing ngriku wontên astana//
3
gotèking pra manca kaki/ ingkang sumaré punika/ namung kalih pangagêngé/ Kiyai Amat Katêgan/ pangulu ing Mataram/ lan Arya Klipah Kacripu/ dahat wingit astananya//
4
datan purun dipunkijing/ nguni sampun kanyatahan/ kinijing para warisé/ sanès ari kijingira/ bosah basih bêlasah/ dadya pra janma ing ngriku/ amastani yèn tan karsa//
5
saréyané dipunkijing/ taksih andugèkkên tapa/ rumêksa ayuning kraton/ déné wétan pasanggrahan/ têbahnya dwi téngah pal/ ing sakidulipun dhu[..]-sun/ 256/ ing gêdhong pasaréyannya//
6
Nyai Agêng Pêngging tuwin/ Dyan Mênggung Padmanagara/ Tolak Bodin sêbutané/ ing sabên malêm Jumungah/ murup kang pasaréyan/ déné ta Radèn Tumênggung/ Padmanagara punika//
7
ingkang nama Ki Ngabèi/ Yasadipura namanya/ ugi dahat ing ngangkêré/ déné Ki Ngèbei Yasa-/ dipura astananya/ nèng Ngaliyan raning dhusun/ ugi cêlak Ngèksipurna//
8
agung karamaté yêkti/ wus kathah kêtatalannya/ kathah para janma takèn/ nênêpi nèng pasaréyan/ déné sarananira/ mawa anyanggarkên janur/ sinèlèh nèng kijingira//
9
nging kêdah malêm Sukra ri/ nèng ngriku mawi dêdupa/ juru kunci kang nglapurké/ punapa panuwunira/ winêdhar jro wardaya/ ènjangipun janur wau/ ingambil tiniti priksa//
10
kang têmtu janur wus isi/ sêsêratan sastra [..] Ngarab/ 257/ mangka jawabing pitakèn/ kang mêrdèni jawabira/ yèku juru kuncinya/ karana sêratan wau/ mung sajuga dwi aksara111//
11
upami kang anênêpi/ anyanggarkên janur jênar/ pamintanipun pitakèn/ punapa ta unggyanira/ sampun magang punika/ sagêd gya dadya priyantun/ punapa ta taksih lama//
12
sêratan ing janur kuning/ punapa ta aksaranya/ ingkang minangka jawabé/ upami bé aksaranya/ têgêsé bé rubéda/ kathah sêsandhunganipun/ misih lama dadinira//
13
dèrèng lami wontên Landi/ Litwê dhêkamêr Nèdêrlan/ apêparap Tuwan Pankol/ anjajah ing tanah Jawa/ ngupaya katêrangan/ bab siti lan ananipun/ 111
angsara #
janma lit panggêsangnya// 14
nèng Ngèksipurna miyarsi/ mring aturé jongosira/ dêning sa[..]-king pamyarsané/ 258/ lamun ing Dhusun Ngaliyan/ wontên pasaréyannya/ ing wali janma rumuhun/ kénging lamun tinakènan//
15
kang dadya krêntêging112 ati/ anyanggarkên sarananya/ janur ingkang taksih jéné/ pitakènan gya jinawab/ wontên ing janur jênar/ sastra Ngarab jawabipun/ Tuwan Kol nalika myarsa//
16
maring aturipun abdi/ gya takèn kahananira/ dhumatêng juru kunciné/ sawusé antuk katrangan/ anyanggarakên sigra/ nèng saréyan nyèlèh janur/ lan sajuga karcisira//
17
ingkang sampun dènsêrati/ kalawan têmbung Walanda/ suraosipun pitakèn/ ingkang dadya sêdyanira/ sêdaya sakawan bab/ dèrèng ngantos wanci dalu/ karcis lawan janur jênar//
18
wus kasêsa dipunambil/ sêlak wrin kanyatahannya/ tuwan Kol langkung [..] sukané/ 259/ dé janur wus sinêratan/ isi kawan aksara/ mangka ta pitakènipun/ tuwan Kol ugi kawan bab//
19
gya andangu juru kunci/ paranta ing wardinira/ aksara Ngarab jawabé/ ingkang munggèng janur jênar/ 112
krêntêking #
juru kunci turira/ aksara anu punika/ makatên ing wardinira// 20
Tuwan Kol kagyatan sipi/ dé cocok lan pitanyanya/ gya angka kalih wardiné/ ingaturakên sadaya/ praptaning sakawan bab/ Tuwan Pankol langkung ngungun/ déné cocok sadayanya//
21
mung sêlang katrangan benjing/ sagêd dipunkalampahan/ Tuwan Patkol sakonduré/ janur pinandhut binêkta/ maring Nagri Nèdêrlan/ malah saking criyosipun/ Mas Ngabèi Sindumarta//
22
Tuwan Pankol duk wus prapti/ wontên ing Nagri Nèdêrlan/ kaca[..]-riyos sampun naté /260/ kintun sêrat mring Rahadyan/ Bèi Wigyadipura/ patéla jawabing janur/ saréyan Yasadipuran//
23
sadaya sampun nocoki/ datan wontên doranira/ makatên ingkang cariyos/ satamating panyathêtnya/ Wêdari Ngèksipurna/ lawan kanan kéringipun/ ariné Kêmis gya budhal//
24
wangsul maring jro nagari/ nanging mampir Ganawêlang/ dadya dharat lumarisé/ kadarpêng tyas dènirarsa/ myat Umbul Ganawêlang/ panasing surya tinêmpuh/ linakèn lawan rêkasa//
25
jam sadasa winêtawis/ lagya gumantêl ing surya/ gatêl saya gatêl gêdhé/ dadya angêt saya panas/
katênggêl ing Hyang Surya/ kang laléyan ngêmu mêndhung/ sumuk sumingkêp mring badan// 26
nanging suka aningali/ kahananing pasabinan/ tanah Pêngging kathah ing wé[..]/261/ saking Umbul Tirtamaya/ Pangantèn Dhahar Sungsang/ ngantos pintên-pintên éjung/ sabin ingkang kaoncoran//
27
sabin-sabin ingkang sami/ tumut Ondêr Nêmêng Bangak/ sagêd kawêratan kabèh/ ngantos prapta lawan Krapyak/ marma ngriku parinya/ sami lêma lêdhung-lêdhung/ bêgja kang darbé gadhahan//
28
kaparingan ngampil siti/ tanah Bangak lan ing Krapyak/ Pêngging lawan sasaminé/ déné datan kirang tirta/ tur saé tirtanira/ datan kawoworan ladhu/ subur maring têtanêman//
29
satahun panèn ping kalih/ trakadhangan kaping tiga/ dadya cêkakké yèn panèn/ kalih tahun kaping gangsal/ wus mêsthi salaminya/ déné kabèh sabin gadhu/ pancèn gêng pamêdalira//
30
para tuwan kang majêgi/ ajêg ping sabahu cêngkal/ sèkêt rupyah sawarsané/ tuwan taksih untung kathah[..]/ 262/ lamun pinirit lawan/ Esmutani criyosipun/ duk komisi anèng Krapyak//
31
wus kêrêp nindakken ngobin/ yen sabin angka sajuga/ kapundhung utawa nglunggé/ saprapating bahu cêngkal/
panèné bisa mêdal/ pitulas dhacin kèhipun/ dadya yèn sabahu pisan// 32
sapta wêlas dhacin kaping/ sakawan dadya suwidak/ astha dhacin gunggungané/ kalih warsa kaping gangsal/ dadya ping tiga têngah/ gunggung satus pitung puluh/ dhacin ing Dalêm sawarsa//
33
sadhaciné apês regi/ tigang rupiyah salaka/ dadya sadaya rêgané/ panca tus sadasa rupyah/ punika malakira/ lan tan ngétang wragadipun/ upami dènpalihêna//
34
taksih kalih atus tuwin/ sèkêt gangsal rupyah slaka/ dumadya kathah untungngé/ para bêkêl désa-désa/ marma pra bêkêl Krapyak/ griya[..] -griyané gung-agung/ 263/ gêng-gêng pakaranganira//
35
kêboné akèh kêbiri/ lumbungé gung-agung kêbak/ nanging béda ing samangké/ wus salin komplèk jamannya/ lampahé sampun prapta/ wontên Ganawêlang umbul/ parèk Dhusun Banyudana//
36
umbul wau kanan kéring/ kêbêran ambêring tirta/ dadya balumbang wujudé/ anamung cêthèk kéwala/ sijine kèh kang padhas/ déné wiyaripun umbul/ punika langkung satampah//
37
angaluwêng ugi kadi/ umbul gêng ing Tirtamaya/ kalawan wêningira wé/ wus tan ana bédanira/
wêdaling we udalan/ datan pati santêripun/ wêning Umbul Ganawêlang// 38
sabên ri konjuk mring puri/ kagêm pangunjukan nata/ dipunsêngkêr salaminé/ marma saubêngé blumbang/ ing ngriku binêthèkan/ ing sacakêtipun umbul[..]/264/ sinungan wisma los panjang//
39
mangétan praptèng capuri/ botrawi pêpagêrira/ ingkang namung wujud bêthèk/ ing ngriku mawi wiwara/ déné wiyaring wisma/ tinindakan namung têlu/ panjangé pitulas tindak//
40
balungané kajêng jati/ kambêngan pêpayonira/ mung blak-blakan tanpa gêdhèg/ kinrêtêg jêjoganira/ saking dêling sadaya/ parluning wisma los wau/ kinarêtêg joganira//
41
murih pangambiling warih/ datan mawa ngambah tirta/ dadya datan ngrêgêti wé/ kilèning bêthèk udalan/ dadya ngandhap udalan/ antuk lunturaning113 umbul/ binalumbang sawatara//
42
kinarya padusan janmi/ ing padesan Ganawêlang/ amangsuli kang cariyos/ jroning Ngumbul Ganawêlang/ ngriku kèh minanira/ nging alit-alit sadarum/ gê[..]gadhangan dadya pindhang//265/ PUPUH XXIV POCUNG
113
lunturansing #
1
Lamun mêtu saking jroning umbul ngriku/ brol-brolan kéwala/ urut rak-arakan sami/ aning jawi ambyar andum mamêt pangan//
2
wangsulipun grudugan golong kadyalun/ tansah lêng-ulêngan/ lumêbeting umbul sami/ lele kathah mêdal samya ngombé hawa//
3
ing pa[..]-lupug gênti-gênti denya minum/266/ kombulipun rikat/ kasêntor santêring warih/ wangsulipun amblês kadêdêl udalan//
4
kêpêtipun ing buntut gumêtêr katut/ kasêntoring tirta/ kadya lang-alang kumitir/ kang katêmpuh ingagunging samirana//
5
sing srunipun parigêl panyolahipun/ tan wangsul kabuncang/ widada praptèng rong malih/ lêmêsipun badaning lélé yèn nyolah//
6
buntutipun mèh gathuk lan êndhasipun/ juru kunci crita/ dongènganing nguni-uni/ marma ngriku dènarani Ganawêlang//
7
duk sinuwun Sunan Kalijaga nuju/ têdhak mring udalan/ lawan karsanipun apti/ nlêmêng lélé lan karya pawon dadakan//
8
Jêng Sinuwun Sunan Kali ngambil bambu/ kinarya lêmêngan/ duk pinê[..]-cok ingkang dêling/267/ ing jronipun isi gana sawur wêlang//
9
gyan abdarum yèn mangkana kabèh bambu/ jro désa punika/ sadaya tan anakèni/ dipunanggo dandanan balungan wisma//
10
nulya sampun mecok dêling sanèsipun/ kinarya lêmêngan/ rampunging panglêmêng nuli/
arsa ngliwêt sarta ngupaya sambutan// 11
praptinipun mring janma ing dusun ngriku/ nanging datan angsal/ gya pados sanès piranti/ lawan namung sawontenipun kéwala//
12
matêngipun lêmêng myang pangliwêtipun/ jêng sunan gya dhahar/ nulya lélé kang satunggil/ ingkang taksih wêtah rilayan êndhasnya//
13
lawan gupuh jêng sunan pangastanipun/ lele gya binucal/ mring umbul lélé gya nglangi/ sagêt gêsang tanpa daging badanira//
14
asilulup lénggok-lénggok mring jro umbul/ silêm tan katingal/ angêrong jro u[..]-mbul wêning/268/ praptèng mangké lélé wau sring katinggal//
15
lamun mêtu kèh lélé ingkang anggrupyuk/ ting grupyuk saparan/ êwon lélé kang umirang/ gumaradêg tut wuri sapurungira//
16
mubêng têpung botrawi saubêngipun/ nulya wangsul marang/ jro umbul angêrong sami/ lah makatên dêdongèngan purwanira//
17
umbul wau dipunsebut namanipun/ Umbul Ganawêlang/ sing sabdaning Sunan Kali/ lêres lêpas sumangga ingkang miyarsa//
18
déning namung gothèkipun janma dhusun/ tanpa waton sêrat/ mung nut ujaré si kaki/ tur si kaki asalé mung gêthok tular//
19
sampatipun nyathêti ananing umbul/ mring altèh sêtum tram/ jam kalih langkung sakêdhik/ tom tram prapta wontên Altèh Banyu[..]-dana//269/
20
numpak guwuh tan dangu antaranipun/
setum tram gya pangkat/ tan kacarita praptèng nagri/ sami arja datan wontên sambékala// 21
saking antuk bêrkah Dalêm Jêng Sang Prabu/ kang tansah angambar/ ngayomi ayuning dasih/ lan lumintu sadina-dina dananya//
22
kadya umbul ambêr angêbêri sagung/ para kawulanya/ gung têngah ancang pra alit/ ngantos prapta sadaya kukubanira//
23
marmanipun kang mangripta ing tyasipun/ tansah amêmudya/ kasugêngan Dalêm Sang Sri/ sakaliyan Jêng Ratu Pakubuwana//
24
myang pra sunu miwah pra garwa sawêgung/ ywana sambékala / lawan dinirgakna mugi/ yuswa Dalêm Gusti Kangjêng Srinaréndra//
25
sartanipun wéwaha kamulyanipun/ Nagri Surakarta[..]/270/ myang luhurnya Jêng Sang Aji/ mugi Allah anganjara wéwahira//
26
titis sampun sadaya panyathêtipun/ kagungan Dalêm Srinata/ ing Ngeksipurna Wêdari/ kang mangripta114 pun Tumênggung Arungbinang//
3. Sinopsis Untuk mempermudah dalam pemahaman BPDNP, maka terlebih dahulu membaca sinopsis cerita yang bertujuan untuk mempermudah dalam memahami cerita yang terkandung dalam BPDNP , berikut ini adalah sinopsisnya;
114
mangkripta
Pupuh pertama diawali dengan tembang Dhandhanggula. Cerita dimulai ketika Pakubuwana X meminta mencatat segala sesuatu yang ada di Pesanggrahan Ngeksipurna. Pada hari Minggu Paing 21 Mulud 1845 rombongan Ngabèi Atma Sukatga berangkat ke Pesanggrahan Ngeksipurna diikuti oleh Ngabei Esmutani, Ngabei Taliwanda, Suwarja, Marsana, dan
Sunarja yang masing-masing
mempunyai tugas sendiri-sendiri .Selanjutnya rombongan berangkat dengan menggunakan kereta yang pada saat itu sedang ramai karena bertepatan dengan Bakdaning Mulud jadi banyak kuli desa yang pulang ke kampung masing-masing. Kereta berangkat dari Galadhag melewati kampung Kauman. Kereta berhenti sebentar untuk memberi waktu kepada penumpang yang akan naik dan turun. Banyak pedagang kain yang menawarkan barang daganganya di kereta. Pedagang
wanita
terlihat cantik-cantik. Kereta sampai di Dirpoyudan dan
berhenti sejenak untuk menurunkan penumpang dan menunggu penumpang yang akan naik. Kereta berangkat lagi dan sampai di Purwasari di sini sebagai tempat pertemuan antara kereta yang dari Balapan dan yang dari Yogyakarta, dan juga yang dari Boyolali dan Surakarta. Suasana sangat ramai karena banyak penumpangnya, tetapi pembelian karcis dapat digunakan untuk kereta selanjutnya sehingga tidak perlu membeli karcis lagi. Kereta berangkat menuju ke pinggiran kota. Terlihat orang yang berjalan dan juga di kanan dan kiri terlihat hamparan sawah yang luas. Terlihat subur tanaman padinya, karena daerah tersebut sangat mudah untyuk mendapatkan air. Juga terlihat tanaman tebu yang dipanen dua kali dalam setahun, sehingga lebih menguntungkan yang mengolah tanaman dan pabrik. Bila sedang panen tebu sabahu dapat menghasilkan gula 150 dhacin, sedangkan satu dhacin adalah
delapan rupiah. Sehingga jumlahnya menjadi Rp1200, untuk pajak polisi Rp10, untuk biaya lainnya Rp500, dan yang lainya adalah untung dari pabrik sekitar Rp 600. Kereta sudah sampai di Kartasura, dekat dengan Pasar Kertaharjo yang banyak terlihat orang-orang (Pupuh I Dhandhanggula bait 1-34) Di Kartasura sudah banyak toko Cina dan juga warung-warung yang berdiri di sekitar setasiun. Terlihat ramai dan banyak orang yang baru turun dari kereta terlihat bingung karena tidak adanya andong, sedangkan pasar di Kartasura terbilang ramai . Diceritakan bahwa dahulu kadistrikan Kartasura merupakan Kabupaten Pulisi tetapi karena adanya perubahan maka Kabupaten Kartasura dan Ngampel ditiadakan dan pejabat yang ada semua dipensiunkan. Kereta sampai di daerah Bangak yang juga banyak tanaman tebu. Terlihat subur tanamannya, sebelah barat ditanami padi yang jug subur. Kereta sampai di Banyudana, rombongan merasa kaget melihat setasiun yang ada sama dengan di Kartasura baik dari bentuk dan warnanya, tetapi lebih ramai Setasiun Kartasura. Selanjutnya kereta sampai di Randusari dan berhenti sebentar, terlihat banyak pedagang yang berjalan ke selatan, mereka banyak yang berdagang kain. Orang kampung baik laki-laki ataupun wanita membawa dagangannya, ada yang berupa jagung, ketela, kenthang, kacang, pohung dan yang lainnya. Juga ada yang membawa bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, juga ada makanan jadi seperti thiwul, ketan, dan yang lainnya. Mereka berjalan ke selatan semua menuju ke Pasar Ngeksipurna. Bila pada hari pasaran Paing banyak orang yang berjualan di pasar tersebut. Di depan Pasanggrahan Ngeksipurna terlihat pintu pasanggrahan yang terlihat indah, besi bulat putih melengkung yang di atasnya dihias dijadikan krun,
terdapat tulisan PB. Pintu dengan lebar 5,2 m (5m 2dm) dan disamping pintu terdapat tempat duduk yang terbuat dari bata. Ke arah selatan terus belok ke barat sampai pada pintu belakang (butulan) pasanggrahan. Berjalan ke utara melewati plataran menuju ke rumah sebelah utara, disini sudah tersedia tempat duduk, sedangkan yang menulis cerita diterima di kamar sebelah barat yaitu kamar putra raja sebelah timur kamar puspan. Masuk ke pesanggrahan yang pertama adalah bangunan pandhapa yang berbentuk limasan. Pandhapa terlihat gagah dengan panjang 17,6m dan lebar 9m menjadikan pandhapa ini terlihat angker. Semua kerangka bangunan terbuat dari kayu jati dan diberi warna putih. Pagar sebelah utara dan selatan terdapat pintu yang diatasnya terdapat tulisan PB X. Plataran gajah sebelah timur berdampingan dengan paringgitan menjadikan lebih indah dilihat. Paringitan sendiri lebarnya 4,3m. Tembok pendhapa terdapat dua pintu yaitu di kanan dan kiri. Di dalam pendhapa terdapat setroli gantung, setroli dengan cabang empat dan yang di tembok sebelah utara terdapat gambar Dalem yang memakai busana kenegaraan, kerangka gambar dihiasi dengan ukiran. Plangkan tersebut panjangnya 1m dan lebar 1,2m, gambar tersebut diletakkan di atas mermer putih dengan kaki-kaki empat yang dihiasi dengan ukiran yang indah. Disamping gambar Dalem terdapat bil perunggu (Pupuh II Asmaradana bait 1-42) Di bawah bil tedapat meja kecil yang di atasnya terdapat arca bantheng perunggu yang tingginya 15cm (1/2 kaki). Bantheng tadi berwarna hitam, sebelah barat bantheng betina dan sebelah timur bantheng jantan. Di sebelah utara di bawah dam terdapat kursi bambu yang dilapisi dengan karpet bunga-bungaan yang berasal dari Jepang. Tepat di timurnya terdapat gambar dua wanita yang
kesemuanya sedang berdiri terlihat sedih. Begitu juga dengan tembok yang di sebelah selatan terdapat gambar putri raja yang plangkannya sama dengan gambar sang raja. Kanan dan kiri gambar terdapat bil prajurit Turki. Plataran pandhapa sebelah utara selatan diberi pagar besi, dan di sampingnya terdapat arca orang Eropa yang kecil. Arca yang utara menghadap ke selatan berdiri memegang alat untuk membersihkan rumput, ditaman terlihat sedang beristirahat. Arca yang sebelah selatan mmenghadap ke utara juga sedang memegang alat untuk membersihkan taman. Di atas pagar besi tadi yang berdampingan dengan pilar pandhapa terdapat bil. Pandhapa tadi sebelah selatan berdampingan dengan paringgitan. Paringgitan dengan lebar 8,3m. Sebelah utara dan selatan dibuat kamar dengan panjang 4,4m dan lebar 4,5m. Paringgitan tadi di dalamnya terdapat kaca, kursi pesagi, dan juga terdapat arca orang Belanda yang terbuat dari kaca yang sungguh indah dilihat. Kamar sebelah selatan terdapat pintu dari paringgitan ke selatan menuju kamar yang di plafon putih dan di tengahnya terdapat lampu gantung. Tembok sebelah barat terdapat tempat tidur, dan di atasnya terdapat gambar sang raja ketika berkunjung ke Madusita dengan mengunkan busana cara Belanda. Kamar sebelah utara dengan pintu mengarah ke utara langsung menuju ke pelataran, di situ terdapat pintu lagi ke arah barat masuk ke dalam kamar pesanggrahan. Kedua kamar tersebut terdapat jendhela yang masing-masing satu yang terdapat di sebelah timur. Kamar tersebut biasa digunakan sebagai kamar berhias ketika sang raja berkunjung ke pasanggrahan. Terdapat kursi di bawah jendhela yang sering digunakan raja. Sebelah utara kursi tersebut terdapat kasur baludru bewarna hijau yang disusun setinggi kursi. Hari sudah mulai sore penulis
beristirahat ke pemondhokannya. Memandang langit yang sudah mulai memerah terlihat asri (Pupuh III Kinanthi bait 1-25) Terkena sinar matahari terlihat mendung sebentar, ungu kekuningkuningan, biru dadu, merah, kuning muda agak kehitaman, juga ada biru laut seperti bunga mekar tertiup angin, awan berganti putih. Awan seperti terlihat bergandengan yang tengahnya tipis terlihat seperti berlubang seperti mulut gua. Gelap yang menyelimuti dunia, sementara menjadi sunyi, berhenti burung berkicau, berganti suara jangkrik yang menambah sunyi. Bila malam telah berlalu burung-burung mulai berkicau sebagai tanda hari sudah pagi. Orang kampung laki-laki perempuan semua berangkat bekerja berjalan ke pasar dengan membawa barang dagangannya. Matahari menyinari bumi, di dalam taman terlihat embun bersinar seperti berlian karena terkena sinar matahari. Mas Ngabehi Ahmad Sunarja sudah datang dari keraton dan bertemu di pondokan. Berlanjut ke penulisan, di depan pandhapa terdapat malige menghadap ke selatan dengan panjang 18,1m dan lebar 5,8m bentuk malige seperti taratag yang diamplas halus payon terbuat dari seng putih terlihat bagus. Lantai yang diplester seperti dalam pandhapa. Terdapat bale dengan bentuk bangunan limasan, di buat kamar kanan dan kiri. Pintu sebelah timur di atasnya terdapat papan merah bertuliskan Arab dengan warna putih merupakan doa untuk menolak segala bencana, itu juga sebagai pengingat cerita jaman dahulu ketika Duk Yunus menjadi raja, pergi ke hutan untuk berburu (Pupuh IV Sinom bait 1-37) Suwarja pelan menjawab saya ingin mengetahui ceritanya, Dyan Behi Taliwanda mulai bercerita, dahulu Raja Duk Yunus berburu ke hutan dan diikuti
oleh prajuritnya, sungguh sangat ramai menuju hutan berburu hewan hutan, memburu hewan besar dan kecil, menjadi penerus para prajurit karena banyak yang membawa anjing yang dibawa semua, berburu kijang dan kancil. Dalam hutan rimba sang raja menginap karena gelap, dikawal oleh para prajurit dan punggawa raja, sepertinya enam-enam jumlahnya. Diceritakan sang raja pulang ke puri bersama dengan tentaranya semua tanpa ada yang tertinggal, hanya punggawa yang di gua yang tinggal tidak ikut pulang bersama sang raja menganggap banyak yang sudah lebih dulu pulang bersama sang raja ketika malam hari. Setelah kepulangan Raja Duk Yunus dan sudah beberapa lama dan yang menjadi raja sudah berganti ganti. Tidak ada kabar tentang prajurit yang hilang. Cerita tentang yang tertidur di gua dalam hutan lebat, kaget melihat temannya sudah tidak ada dan kedua anjing sudah mati, sangat menyesal dalam hati, Sebab anjing tersebut pemberian sang raja, dengan rasa menyesal dan kecewa temanya meninggal sebab telah menjadi sahabat. Terlihat meninggalnya sudah lama, dengan rasa penasaran maka langsung keluar dan mencari sang raja yang sedang berburu, sampai beberapa jauh tetapi tidak mendapatkan hasil, maka langsung pulang ke kerajaan dan sesampainya di kerajaan dia kaget sebab dalam keraton jalan-jalan dan rumah sudah berubah tidak mengerti sebabnya, rumah yang ditempati dahulu di dalam keraton menjadi lebih ramai. Semakin banyak orang yang ada di keraton, tidak ada yang dikenal saudara teman juga tidak kenal dan badannya sendiri ia kaget karena kuku panjang, rambut sudah berganti putih dan jenggot panjang sampai ke dada. Sambil duduk melihat ke atas di jalan dekat tanggul yang terlihat menyenangkan berteduh di bawah pohon beringin. Dengan
berpikir mengapa penglihatanya berbeda dengan kemarin sebelum ke hutan bersama sang raja. Penasaran di hati dengan apa yang dilihat segera berjalan menuju rumahnya, kemarin di sana rumahnya sekarang tempatnya menjadi angker, maka pergi ke warung untuk membeli makan. Sesampainya prajurit tadi di warung dengan mengambil uang di kantong, meminta untuk membeli makanan dengan menyerahkan uang, uang diterima oleh penjual, uang lama dilihatnya, lalu bicara bahwa uang ini sudak tidak laku lagi, yang membeli bertanya kenapa tidak laku, penjual menjawab bahwa uang tersebut sudah tidak laku lagi sekarang sebab itu uang lama, sebab itu uang tiga ratus tahun yang lalu ketika Raja Duk Yunus berkuasa, yang punya uang menjawab ini uang bekalku kemarin pemberian raja ketika akan berburu di hutan.
Penjual
tertawa tidak mengerti, pelan
menjawabnya sang raja kemarin tidak berburu di hutan, bahkan ketika menjadi raja belum pernah berburu, yang punya uang berkata
sekarang siapa yang
menjadi raja, penjual makanan menjawab sekarang yang menjadi raja sudah berganti sepuluh raja dengan tiga belas turunan. Itu yang dinamakan jaman Budakari. (Pupuh V Maskumambang bait 1-55) Di dalam pura Sriwedari yang sebelah utara terdapat pintu yang menuju ke kamar yang terlihat asri, yang sebelah barat disekat dengan ram terdapat tempat tidur dari besi dengan selambu putih yang indah. Kamar tadi sebagai tempat tidur untuk Jeng Kyai. Sebelah barat terdapat almari krun yang antik bertuliskan PB X di sebelahnya terdapat rak dari kayu jati yang diplitur terlihat asri warnanya. Sebelah selatan rak terdapat plangkan Jeng Kyai Cis yang juga diplitur. Sekat sebelah timur terdapat kaca hias yang dihiasi dengan ornamen ukir-ukiran. Tembok sebelah utara terdapat lemari dari kayu jati yang di atasnya dihiasi daun
yang merambat dan di tengahnya bertuliskan PB X. Tembok sebelah timur terdapat dua lemari kecil dengan warna yang sama dan tempatnya juga berjajar. Tembok sebelah selatan terdapat satu rak. Kamar tadi yang sebelah timur digunakan untuk berbusana sang raja ketika berkunjung ke pasanggrahan. Di dalam kamar sebelah timur tedapat jendela dengan tutup yang dirangkap dengan ram dengan warna putih. Lebar rumah tersebut adalah 4,25m dan panjangnya 15,9m, sebelah barat dan timur di sekat dengan pintu masing masing satu. Sekat sebelah barat sebagai kamar mandi Sang Permaisuri yang terdapat dalam kamar Mandragini, yang tengah bernama Madusuka merupakan kamar mandi sang raja. Madusuka panjangnya 4m, sebelah selatan terdapat lemari hitam yang terbuat dari kayu jati. Lemari tadi bila dibuka menjadi pintu yang langsung menuju ke kamar tidur sang permaisuri. Tembok utara terdapat jendela dan jamban yang airnya bening. Di atas jamban ada pancuran yang menempel ke tembok, ada yang mancur ada juga yang menyebar seperti hujan. Sebelah barat jendela kamar terdapat gambar sang raja dengan pakaian Belanda. Di bawah jandela terdapat tempat tidur dan sebelah timurnya terdapat kursi dan meja kecil (Pupuh VI Mijil 1-26). Sebelah timur jendela
tembok terdapat gambar sang raja ketika
berkunjung ke pantai, ketika hari Kamis 8 Jumadilawal Jimakir (tahun ke 8 dalam satu windu) tahunnya 1842 (Kamis Wage, 25 April 1912). Pintu sebelah timur menuju ke Mandragini, di situ juga terdapat gambar raja ketika berkunjung ke kamandhungan terlihat jelas sang raja dengan bapa Residhen beserta bawahannya. Lantai diplester terlihat bersih, di bagian pagar terdapat pot bunga-bungaan seperti tluki, sruni, sumarsana, argulo, dan mawar persi.
Kamar Mandragini dengan panjang 4,3m, langit-langit dipyan seperti Madusuka. Terdapat tempat duduk beroda dan juga kursi kecil dari marmer yang di atasnya menempel ke tembok, terdapat alat pengukur suhu yaitu termometer. Sebelah selatan pintu yang di pojok terdapat bil nonah berwarna kuning. Tembok sebelah timur dipasangi kaca, kanan kirinya terdapat bil besi berbentuk anak kecil yang kelihatan senang. Di bawah kaca terdapat tempat tidur. Lantai yang diplester menjadikannya kelihatan bersih. Kamar raja sebelah barat terdapat tiga pintu, pintu sebelah utara menuju ke rumah besar, pintu sebelah barat menuju ke kamar prajurit dan putra raja, dan pintu sebelah selatan menuju ke plataran paninisan.(Pupuh VII Asmaradana bait 1-30) Plataran pakubuwana dengan panjang 12,45m, sebelah barat di sekat tembok yang panjangnya 4,3m lebar 3,75m sebagai jamban kamar mandi sang permaisuri. Pintu berwarna putih di sebelah barat memanjang ke timur dengan dua lapisan pintu yang pertama papan yang di hiasi dengan ukiran daun yang merambat, lapisan yang kedua adalah ram dari besi. Di dalam jamban terdapat kaca yang besar dihiasi dengan daun yang merambat, tinggi kaca tersebut adalah 2,5m. Di luar jamban terdapat gambar sang raja ketika menuju grebeg di sitinggil, gambar tersebut berada di sebelah utara. Gambar yang ada di sebelah selatan adalah gambar sang raja dengan busana cara Belanda jendral mayor bersama dengan beberapa orang Belanda dan istri. Plataran sebelah selatan itu yang sebelah timur tembok memanjang ke selatan yaitu sebagai capuri dengan pintu yang menuju ke plataran depan. Pintu dengan tinggi 2,1m dan lebar 1,4m. Di plataran terdapat pohon sawo manila yang masih kecil, depan jandela jamban ditanami palem, di sebelah baratnya terdapat
pot dari tanah dan tanamannya adalah argulo, sruni, tluki, sumarsana, sundel malem, dan lain lain. Ketika sang raja berkunjung ke pasanggrahan dan menuju pagi hari di plataran banyak gadis-gadis yang bergerombol sedang bermain dengan gembira. Permainan seperti gula genthi, cublak suweng, jamuran, sri gunting yang menjadikan suasana menjadi ramai. Ada juga yang bernyanyi lagu puji-pujian yang sangat enak didengarkan. Plataran belakang yang sebelah barat panjangnya 17,5m dan lebarnya 4,35m. Sebelah selatan kamar tidur raja, mepet dengan tembok yang sebelah timur ada meja kecil dari marmer putih yang kakinya terbuat dari kayu yang dibubut halus sangat indah untuk dilihat (Pupuh XIII Dhandhanggula bait 1-31) Di bawah jendela terdapat sampiran srebet muka yang terbuat dari kayu jati. Selatan jendhela terdapat rak menghadap ke selatan dengan angsang tiga, kakinya di bubut semua dan diplitur halus. Tembok sebelah utara terdapat cemethi dari karet yang menempel di tembok. Lantai diplester halus bagai cermin, dengan panjang 3,9m dan lebar 3,6m . Kamar sebelah selatan sebagai tempat tidur Prabu Tri putra sang raja. Ke utara menghadapanya pintu kamar tersebut. Di dalamnya terdapat pintu yang ada di tembok sebelah timur bila dibuka langsung menuju ke kamar pakubuwanan. Pintu dari kayu jati dan diberi warna putih. Di dalamnya terdapat tempat tidur lengkap dengan selambu putih. Di sebelah utara mepet dengan tembok yang ke timur disitu terdapat tempat berhias lengkap dengan meja marmer pesagi yang di tengahnya terdapat gundukan, marmer kaki-kakinya juga terbuat dari kayu yang dibubut dan di ukir seperti daun yang merambat. Sebelah timur pintu terdapat pispot dan di sebelah selatannya terdapat meja kecil yaitu sebagai tempat menata peralatan berhias.
Pintu kamar utara itu juga dipasangi kursi kecil pesagi dari kayu menghadap ke selatan. Sebelah barat pintu agak ke atas terdapat cemin besar dan bening di bingkai oleh kayu yang diukir dan di warnai putih. Di bawah kaca tersebut terdapat meja pendek pesagi dari kayu jati yang kakinya hanya ada tiga. Di sebelah barat cermin terdapat gambar nyonya yang sedang naik kuda Ostrali. Di bawah gambar tadi terdapat kursi kecil pasagi hanya ada satu menghadap ke selatan. Tembok bagian selatan terdapat gambar orang Belanda yang sedang naik kuda. Sebelah barat tiyang besi kedua terdapat pot kaca dengan bunga warna putih yang indah. (Pupuh IX Kinanthi bait 1-41) Bentuk bangunan pendhapa belakang adalah sinom, bagian atas dicet putih semua tiyang, reng, usuk dari kayu jati yang kesemuanya juga berwarna putih. Atap sirap semua , tiyang diberi landasan (umpak) hanya satu yang tidak ada yaitu tiyang emper yang sebelah timur. Semua dibuat emper, semua kerangka terbuat dari kayu jati dan diberi warna putih. Atap seng putih dan lantai diplester halus selatan ke utara panjangnya 18,2m dan lebarnya dari timur sampai pagar barat 12,7m. Lantai emper tadi yang sebelah utara diberi jalan air untuk membuang air pada musim hujan. Di tengah terdapat anak tangga menghadap ke utara dan di sampingnya terdapat pot bunga adhaliyah. Gajah pandhapa belakang terdapat lampu triyum gantung jumlahnya tiga. Di bawah lampu yang tengah terdapat meja jati panjang yang lakinya bubutan semua. Panjang meja tersebut adalah 6,4m dan lebar 1,35m. Di sebelah timur meja tadi terdapat meja kecil dari marmer yang di kanan dan kirinya terdapat kursi keduanya menghadap ke barat. Meja tadi sebelah baratnya terdapat kursi kayu dan meja kecil yang di kanan dan kiri terdapat kursi
yang aling berhadapan. Meja tersebut digunakan ketika sang raja berkunjung ke pesanggrahan di gunakan untuk makan. Tiyang yang tengah dan yang pojok terdapat mebel kaca bundar yang saling berhadapan yang digambari banyak bunga dan rumah di Eropa, dan juga berbagai burung yang ada di rawa sangat bagus dilihat. Emper tadi juga dipasangi lampu triyum gantung masing-masing tiga. Emper tadi di bawahnya balandar yang sebelah timur, di depannya jendhela kamar utara dan selatan ditatani kursi bagus di sampingnya tiga yang kesemuanya menghadap ke barat. Pilar kanan kiri jendhela utara selatan yang telah disebut di depan di situ di pasangi dua dalam sisihnya. Pinggir semua gambar piring sedangkan yang kedua gambar sang prabu yang berbusana jendral mayor dan bapa Residhen Surakarta. Pojok timur laut dari pandhapa di belakang mepet dengan tembok kamar mandi Kangjeng Sribupati ada anak tangga berjumlah tujuh. Pojok barat laut ada rumah kecil menghadap ke selatan prajumas bangunannya. Kerangka dari kayu Belanda dan atap dari genthing, wuwungnya di semen terlihat indah. Tembok melingkar indah, rumah tidak terlalu tinggi. Tiyang ada empat dari kayu jati dan diberi warna putih. Panjang bangunan tersebut 7m dan lebar 7,65m, ada satu pintu yang menghadap ke selatan. Pintu tersebut tingginya 2,6m lebar1,1m menutupnya ngupu tarung dan terbuat dari kayu jati. Pintu diapit jendhela dengan tinggi 2,5m dan lebar 0,9m, kedua jendhela tadi tutupnya ngupu tarung dan di rangkap ram pada bagian dalamnya. Rumah tadi biasa digunakan oleh Dyan Ayu Retna Purnama yaitu bibi dari Pangeran Ariya Kusumayuda. Lantai diplester halus di bagian emper terdapat lampu gantung dan di tengah tengah rumah terdapat bale-
bale dan juga tempat tidur. Plataran rumah terdapat berbagai tanaman seperti saruni, sumarsana, argulo, tluki, adhaliyah yang menjadikan aroma yang segar di sekitar rumah tersebut (Pupuh X Sinom bait 1-29) Di tengah sebagai jalan ke selatan menuju ke belakang pendhapa, sela-sela pot di tanami pohon apel. Sebelah barat rumah tadi terdapat bangunan rumah gedhong menghadap ke selatan, pintunya satu dan jendhelanya ruji dari kayu. Rumah tersebut digunakan sebagai jamban umum. Panjang jamban tersebut 4,35 m dan lebar 1,9 m kerangka dari kayu jati dan atap dari genthing. Jamban tersebut di depannya terdapat pohon sawo manila yang sedang berbuah dan di sekitarnya terdapat pot bunga-bungaan. Belakang jamban terdapat sumur dengan pipa-pipa besi yang di bagi menjadi empat bagian. Pertama untuk mengisi kamar mandi sang raja, kedua untuk jamban para putri raja, ketiga untuk mengisi jamban Retno Purnaman, dan yang terakhir untuk mengisi jamban umum. Di sebalah utara Madusuka
terdapat rumah panjang menghadap ke
selatan memanjang ke barat, panjangnya 32,13m dan lebar yang menjadi kamar 4,8m dan lebar emperannya 3m. Rumah tersebut di bagi menjadi enam kamar, pertama kamar sebelah timur merupakan kamar tunggu para gadis, kedua kamar tunggu pria, ketiga juga kamar tunggu, kamar ke empat, kelima dan keenam sebagai jamban yang ada hanya kakus dan perlengkapannya. Semua kamar diplester halus. Di depan kamar ke dua terdapat jalan menuju ke Madusuka. Bentuk bangunan untuk jalan tersebut adalah kampung dengan seng sebagai atapnya, panjang bangunan tersebut 13,6m dan lebar 2,9m dengan lantai diplester halus. Kanan dan kiri jalan sebagai plataran sasana Madusuka yang dihiasi dengan tanaman bunga-bungaan.
Sebelah selatan Pakubuwanan terdapat rumah menghadap ke utara memanjang ke barat. Panjang bangunan tersebut adalah 30,35m, kerangka usuk reng terbuat dari kayu jati dan di beri warna putih. Bangunan tersebut di buat kamar menjadi empat bagian yang masing-masing mempunyai satu pintu. Kamar sebelah selatan merupakan tempat tunggu koki wanita, kamar kedua sebagai tempat semua abdi dalem, ketiga tampat masak untuk sang raja, dan yang terakhir sebagai tempat para bedaya (Pupuh XI Asmaradana bait 1-36) Latar pendhapa belakang yaitu barat tepatnya, pendhapa tengan terdapat jalan yang mengarah ke barat menuju sedah mirah. Di kanan dan kiri jalan yang dekat dengan pendhapa tadi terdapat pohon kanthil putih yang lumayan besar, banyak bunganya menjadikan udara sekitarnya menjadi harum. Barat pohon kanthil terdapat pohon palem talijiwa besar dan berbagai macam bunga-bungaan. Sebelah selatan pot terdapat sumur dengan pipa yang di bagi menjadi tiga, pertama ke arah timur untuk jamban jeng ratu, kedua mengarah ke timur untuk jamban abdi pakubuwanan, dan yang ketiga ke arah barat untuk jamban sedah mirahan. Sebelah selatan sumur terdapat got yang mengalir ke arah timur, airnya terlihat bening menuju ke depan rumah Reksa Sugata. Sebelah selatan got tadi terdapat tanaman bunga dan rumput yang ditata baik seperti karpet hijau. Tanaman terlihat indah karena adanya tukang nyapu yang dipimpin Ngabehi Ahmad Sunarsa. Juru taman jumlahnya 12 orang sudah termasuk bekel, setiap hari dua oarng yang bertugas menyapu dan membersihkan taman. Bila sang raja datang berkunjung semua juru taman masuk. Sedangkan pembantu ada 12 oarng setiap hari tetapi bila raja sedang berkunjung semua masuk menjadi 30 orang yang
bertugas membersihkan rumah. Jumlah resan ada 11orang, yang setiap hari masuk dua-dua, tetapi bila raja berkunjung semua masuk. Resan wanita ada 4 orang senin-kamis maju tiga-tiga bertugas membersihkan tempat tidur dan menjemur karpet, semua sudah pasti tidak boleh kurang bila ada yang sakit di gantikan oleh temannya. Rumah lumayan besar menghadap ke timur bentuknya limasan, emper depan untuk latian penjaga. Kerangka dari kayu jatu diberi warna putih. Pagar tembok menjadi tiyang dan di warnai putih. Atap dari genthing dan dikrepus, panjang bangunan tersebut adalah 13,5m dan lebar timur- barat 11,4m terlihat gagah. Lantai diplester halus, rumah tadi di sekat tiga (Pupuh XII Gambuh bait 141). Utara dan selatan menjadi kamar sedang yang tengah menjadi ruangan kosong. Sekat sebelah utara itu dibuat dua kamar begitu juga dengan yang sebelah selatan menjadi dua kamar. Semua dengan pintu di sebelah utara menghadap ke selatan, sedangkan yang selatan menghadap ke utara semua. Tutupnya ngupu tarung dari kayu dan dihiasi dengan ukiran daun pakis dan tulisan PB X dengan warna kuning. Tinggi pintu 2,4m sedang lebarnya1,23m, semua kamar terdapat jendhela yang utara berada di tembok sebelah utara beitu juga dengan yang sebalah selatan berada di tembok selatan. Tinggi jendhela 1,7m dan lebar 1m, bentuk penutupnya ngupu tarung dari kayu yang dirangkap dengan ram di bagian dalam. Kamar utara yang sebelah timur merupakan kamar tidur Dyan Ayudipati Sedah Mirah bila ikut sang raja. Di dalam kamar terdapat bale-bale menghadap ke barat. Tembok bagian timur dipasangi kaca besar menghadap ke barat dan di
kanan kiri kaca terdapat lemari kecil masing masing satu. Di depan kaca terdapat meja kecil dua yaitu sebagai tempat perlengkapan hias. Kamar sebelah baratnya terdapat bale-bale dan lampu duduk. Kamar sebelah selatan terdapat bale-bale dan lampu duduk dan sebelah baratnya sebagai jamban. Ruang tengah dipasangi lampu triyum gantung, dekat dengan tembok yang utara terdapat dua lemari besar. Di depan lampu tertata dua meja kecil dan pendek. Emper depan terdapat tratag memanjang ke utara dari kayu kerangkanya. Plataran di depan dan samping kanan kiri sebagai taman yang banyak bungabungaan sebelah timur laut terdapat tanaman terong, kacang, cabai besar, dan juga cabai kriting yang sedang banyak buahnya. Banyak tanaman yang besar untuk membuat teduh taman seperti jeruk gulung, jeruk pecel, pelem, dhuku, rambutan dan banyak yang lainnya tanaman tahunan. Sampai sebelah utara pendhapa terdapat rumah memanjang ke barat dan menghadap ke selatan, yang sebalah barat mepet dengan pagarnya kaputren. Panjang bangunan tadi 25,3m lebar 8,9m. Dengan mengunakan kayu jati sebagai tembok dan di beri warna putih. Rumah tersebut di sekat menjadi empat kamar, pertama dari barat adalah kamar abdi dalem puspan, kedua adalah kamar putra dalem prabu, ketiga kamar panakawan drawisana, dan yang keempat adalah kamar marduyadya yaitu kamar untuk sekretaris yang ikut raja berkunjung ke pesanggrahan. Di kamar marduyadya terdapat telfon. Sebelah utara pintu belakang dari kaputren yang utara terdapat rumah penjaga abdi dalem.sebelah timur marduyadya terdapat bak yang mepet dengan tembok capuri. Sebelah timurnya terdapat rumah yang juga sebagai tempat jaga. Utara pintu belakang kaputren tadi terdapat pohon pelem sengir, kuwelem,
kuweni, apel, kanthil putih, pala, jambe manggis, termbesi yang membuat teduh plataran.
Di
tengah
plataran
terdapat
bangsal
memanjang
ke
utara,
panjanganya14,8m dan lebar 11,5m, bentuk bangunan sinom. Kerangka bangunan dari usuk reng balandar dari kayu jati sedangkan atap dari sirap hanya empernya tiyang yang berjumlah 18 dari besi. Lantai diplester sehingga kelihatan bersih. Dekat dengan taman terdapat bangsal sebagai tempat tamu abdi dalem Ordenas. Pojok tenggara juga ada bangsal bentuk bangunan yang pantas, kerangka dari kayu jati tiyang tengah dari kayu jati dan tiyang emper dari besi, bentuk atap sirap. Panjang utara-selatan 10,6m dan lebar barat-timur 9,35m. Pada bagian timur mepet tembok disekat untuk kamar inpantri. Pojok timur laut juga disekat untuk kamar kapaleri. Diantara kedua kamar tersebut merupkan regol yang lurus ke depan terdapat tiyang bendera yang d gunakan bila raja datang berkunjung ke pasanggrahan. Bila raja datang ke pasanggrahan masyarakat sekitar menjadi senang baik untuk para pedagang yang dagangannya laris di borong oleh para pengikut raja, dan juga masyarakat sekitar yang hanya ingin melihat rajanya. Bila sedang berkunjung akan banyak hiburan seperti abedayan, saripi, wayangan, dan juga film yang membuat masyarakat senang ke pesanggrahan bukan hanya masyarakat sekitar pesanggrahan tetapi juga warga dari kampung lain yang agak jauh seperti Dhusun Kajentala, thithan, dan Dhusun Tegalganda. Ketika sedang Yahkowiyu banyak warga yang datang, baik warga sekitar dan pra turis. Sebelah selatan pendhapa terdapat bangsal bentuk banguan sinom dan kerangka dari kayu jati dengan warna putih. Atap dari genthing dan lantai diplester halus.(Pupuh XIII Dhandhanggula bait 1-32)
Tengahnya terdapat lampu gantung triyum yang hanya satu. Bangsal tadi panjangnya 16,65m dan lebarnya 12,9m bangsal tersebut digunakan untuk makan semua Mayor Kaptin Hupsir sampai Bupati Kaliwon. Di sela-sela dan bangsal terdapat pot bunga tanaman argulo, malathi, menur yang semuanya beraroma wangi. Selatan gandheng dengan capuri terdapat loji memanjang ke timur menghadap ke utara, dengan panjang 44,5m. Semua kerangka dari kayu jati dan berwarna putih, bentuk atap sirap dari tanah. Pagar batas gajah di sekat di buat kamar, di dalam kamar lebarnya 5,9m, sedangkan lebar emperan adalah 3,1m. Sekatan tersebut menjadi lima bagian, pertama kamar dari sebelah timur yaitu kamar panakawan Kridha Maya, kedua Reksa Panjuta, ketiga Kridha Ardana, keempat kamar penjaga, dan yang terakhir kamar abdi dalem Reksa Sugata. Barat dekat dengan tembok capuri terdapat jalan ke utara yang menuju ke rumah untuk membuat makanan sang raja, bentuk bangunan limasan kerangka dari kayu jati dan berwarna putih, lebarnya 3m dan panjang 16,6m, atap dari seng. Selatan bak para abdi di pakubuwanan terdapat sumur, banyak airnya, untuk mengambinya digunakan kerekan, lantai sumur diplester halus. Pojok plataran sumur yang sebelah barat diberi lubang air yang menuju got kecil di pagar mengikuti jalan besar tersebut. Di depan emper kamar penjaga terdapat jalan yang panjangnya 13m dan lebar 4m, yang terhubung dengan emper bangsal yang ada di selatan pandhapa yang telah disebut diatas. Kerangka dari kayu jati dan atapnya dari genting, ditengah di sekat oleh pagar bata dengan indah (Pupuh XIV Megatruh bait 1-26). Dari barat ke utara sekat tengah di buat pintu tanpa tutup hanya melengkung (seperti krun) masuk ke utara sebentar menuju ke terusan, barat sekat
jadi plataran tempat Reksa Sugata, pesagi bentuk latarnya. Plataran ditanami dua pohon trembesi yang sejajar dan di sela-selanya di tanami pohon apel yang masih kecil. Di depan regol pasanggrahan terdapat pasar seperti yang telah disebutkan di depan. Dari regol dengan pasar hanya terpisah oleh jalan. Banyak warungwarung bagus karena sudah di buat los panjang. Rumah los tengah memanjang utara-selatan menghadap ke barat dan di kanan kiri trdapat los memanjang timurbarat. Kerangka dari kayu jati dan atapdari genthing semua. Papan ditata bagus dihiasi dengan ukiran dan diberi warna biru laut, terlihat rapi lantai ditatani bata dan pondasi diplester putih dengan tinggi 0,5m. Timur los disambung dengan los yang banyak menghadap ke timur yang hanya dari tiyang bambu. Semua los di sekat dengan bambu di buat petakan merupan tanda yang punya warung yang menempati petakan tersebut. Banyak yang berjualan di situ dari mulai pedagang kain, klitikan (besi kuning), pohung, kenthang, kacang, linjik, juga duren jeruk manggis, dan yang lain lain. Di tengah pasar tersebut terdapat gundhukan tanah berisi kendhi yang diberi pagar rantai, terdapat arca di puncaknya dan di bawahnya juga ada kecil kecil yang menghadap ke barat semua. Terlihat banguannya agker, di kanan dan kiri terdapat tanaman kroton, puring, aspari dan samboja. Menurut cerita Mas Ngabehi Sindhumarta mantri air, itu dulu adalah makam ketika Pengging masih berjaya, gawatnya sampai sekarang tidak berubah, ketika belum di pagar dan pasar tersebut dahulu masih sawah tidak ada yang mau mengerjakan sawah tersebut karena bila tidak bertemu dengan makam pasti dengan tulang kepala, jadi sawah tersebut hanya di biarkan terbengkalai saja sebab yang mau menggarap takut. Lama-kelamaan dengan ijin sang raja di situ
didirikan pasar, dahulu masih warung kecil. Warung yang dekat dengan makam tersebut hanya berdagang sekali lalu tidak mau lagi, hal ini dikarenakan sering kehilangan uang dan juga barang dagangan, pada malam hari juga mimpi di kejar macan dan yang lainnya. Di dalam taman yang sebelah selatan terdapat pintu belakang yang tingginya 3,34m dan lebarnya 2,95m, pintunya dari kayu jati dengan lis yang dicet warna putih. Di atas pintu terdapat krun kerajaan Jawa di bawahnya terdapat Sastra Belanda PB dan di bawahnya angka X. Di sebelah barat terdapat tempat jaga prajurit yang tinggi 2,25m lebarnya1,2m dari kayu dan diwarnai putih tanpa tutup pintu. Utara selatan dan barat terdapat lubang yang bentuknya lingkaran dengan hiasan rambatan daun yang indah. Pintu tersebut sangat setrategis dekat dengan jalan dari barat ke timur. Ke arah timur sampai di gapura Pesanggrahan, dan ke barat sampai di desa belakang pesanggrahan. Bila masuk ke arah selatan sampai pada pemandian Umbul Pengging. Umbul sekarang sudah berganti nama Umbul Dhahar, Umbul Penganten dan umbul Tirtamaya. Pintu belakang pesanggrahan terdapat rumah los yang depannya terbuka menghadap ke utara. Kerangka dari kayu jati, atapnya genthing dan dikrepus bagian atasnya. Tempat tersebut digunakan ketika sang raja berkunjung ke pesanggrahan untuk menerima tamu pulisi onder dan bawahanya yang berkunjung. Tengah los terdapat jalan yang menuju ke umbul lebarnya 4,2m di kanan dan kiri jalan terdapat pohon yang berjejer yang membuat teduh jalan tersebut. Sebelah barat los pulisi terdapat rumah panjang
bentuk bangunan kampung
menghadap ke utara dan kerangka terbuat dari kayu jati. Atap dari genthing dan dikrepus. Batas dengan gajah kanan dan kiri disekat oleh pagar dengan lebar
11,9m dan panjangnya 18m. Timur dan barat terdapat emper yang lebarnya 1m. Sekatan tengah utara dan selatan dengan pintu yang diberi ruji dengan tinggi 2,4 dan lebar 2,8m. Tempat tersebut digunakan sebagai tempat kereta sang raja. Di kanan dan kiri pintu yang sebelah utara terdapat pintu kamar untuk pakaian kuda. Lebar pintu 0,73 dan lebarnya1,8m timur barat sekata terlihat indah (Pupuh XV Kinanthi bait 1-42) Tengah untuk tempat kuda yang banyaknya enam sisih. Di depan tempat kuda sebelah timur terdapat sumur yang platarannya bulat dengan plester yang halus. Sejuk karena pohon randhu yang tinggi. Di sebelah timur tempat kuda terdapat rumah kecil bentuknya pesagi yang di atasnya terdapat dua lubang sebagai saluran sanitasi untuk angin, itu adalah tempat menyimpan bensin untuk motor dan lampu. Di sebelah barat tempat kereta terdapat rumah lagi menghadap ke utara yang panjangnya 10,4m dan 4m lebar bagian dalamnya (gajah). Bentuk bangunan kampung kerangka dari kayu jati dan atapnya dari genhing. Dari tembok gajah ke bagian emper 2m. Di dalamnya terdapat sekat yang membagi dua ruangan yang sama bentuk pintunya dan juga dengan warna yang sama yaitu putih. Masingmasing kamar terdapat satu jendhela, lantai diplester baik di dalam dan empernya. Di dalamnya terdapat tempat tidur, rak dan meja. Di bagian emper terdapat kursi lipat dari besi berjumlah empat dan juga meja kecil. Tempat terebut merupakan ruangan kapaleri yang ikut raja berkunjung ke pasanggrahan Sebelah selatan jalan yang menuju ke umbul terdapat rumah yang indah menghadap ke utara bentuk bangunan dara gepak. Kerangngka dari kayu jati
semua dan atapnya dari sirap di sebelah timurnya juga ada rumah menghadap ke barat dengan bentuk bangunan kampung, dari papan semua.. Pojok capuri yang tenggara terdapat kakus yang bentuk bangunannya seperti rumah pesagi. Di depan kakus tersebut terdapat dua pohon palem dan plataran belakang terdapat berbagai tanaman bunga. Di sebelah utara regol terdapat krun dengan waran putih yang bertuliskan "Sanggrahan Gêdhah Sinawung" yaitu tepat peristirahatan putra dalem yaitu Kangjeng Pangran Ariya Kusumayuda. Kembali ke jalan yang menuju ke umbul, panjang jalan tersebut kira-kira 87m dari pintu belakang. Di sebelah selatan terdapat krun, terdapat tulisan di atasnya dengan warna merah yang berbunyi 'Umbul Penganten sarta Dhahar'. Krun tersebut lebarnya 3,135m dengan tinggi 3,1m, dengan pintu yang berwarna putih. Di depan pintu terdapat arca batu yang mirip dengan orang menghadap ke utara.di depan pintu terdapat jalan masuk ke arah barat-timur, yang ke timur menuju ke Umbul Tirtamaya dan yang ke barat menuju Umbul Panganten. Kolam umbul panjangnya 33,3m dan lebar 23,65, terdapat dua umbul di tempat tersebut (Pupuh XVI Sinom bait 1-33) Berdekatan dan berjejer kedua umbul tersebut. Lebar umbul hampir sama yaitu sekitara satu tampah, maka kedua umbul tersebut di beri nama Umbul Panganten. Air umbul yang jernih keluar dari pebuangan menuju ke timur, lebihnya air di buat kolam. Di dekat pintu air bayak ikan wader yang berenang bergerombol, juga ada ikan gurameh dan tombra merah, putih dan juga hitam yang membuat senang yang melihat.
Ketika sang raja tidak berkunjung maka umbul tersebut boleh digunakan untuk umum bahkan banyak orang manca yang datang baik dari Arab, Cina, Melayu, dan Belanda kesemuanya boleh berenang di Umbul Penganten, tetapi semua hanya boleh mandi selama delapan menit dengan biaya 10 sen. Hasil dari pengunjung yang berenang di masukkan ke dalam kas dan digunkan untuk menggaji para juru kunci umbul tersebut. Setiap pagi juru kunci bertugas membersihkan daun yang jatuh di dalam kolam dan menyapu daerah sekitarnya untuk membuat nyaman yang akan mandi. Di sebelah barat capuri umbul digunakan sebagai taman, terdapat berbagai macam bunga dan juga ada beberapa arca di sela-sela tanaman bunga tersebut. Di sebelah tenggara terdapat umbul yang tidak terawat, masih seperti kolam yang lebarnya hanya 1m. Di sekitar umbul terdap arca batu yang melingkari umbul tersebut.pojok umbul kecil yang timur terdapat pembuangan air, di buat got ke arahselatan mngalirnya menuju ke tepi taman. Pagar barat-timur panjangnya 17,36m, pagar utara-selatan panjangnya 10,52m, terdapat pintu di sebelah barat tetapi tanpa tutup. Di dalam umbul ada yang ngluwari ujar (menepati janji dengan syukur karena telah terkabul yang dicita-citakan) di dalam umbul sembunyi-sembunyi menyebarkan
uang,
banyak
anak
kecil
yang
berebut
uang
tersebut
kejadiantersebut terdapat di dalam umbul Dhahar. Umbul tersebut dinamakan Dhahar di karenakan dahulu sebagai air minum raja di Surakarta pada jaman dulu, sekarang air minum yang digunakan di keraton diambil dari Umbul Ganawelang. Umbul Dhahar tersebut dalamnya hanya sadengkul karena air dikeluarkan melalui
pembuangan, bila pembuangan ditutup air bisa setinggi dada. Air dari Umbul Dhahar dan Umbul Panganten mengalir sampai di Krapyak untuk mengairi sawah. Di baratdaya Umbul Dhahar tersebut terdapat kolam yang airnya jernih, lebarnya hanya satampah, terus menerus mengeluarkan air, banyak ikan kecil yang keluar masuk pembuangan (Pupuh XVII Asmaradana bait 1-43) Banyak ikan dalam umbul tersebut. Umbul tadi sebagai tempat mandi masyarakat desa dan juga diambil dan dibawa pulang untuk masak dan keperluan lain karena air yang bersih. Air tanpa kotoran sedikitpun sehingga rasanya mantap seperti teh. Dalam buku kesehatan air yang baik untuk diminum atau untuk masak adalah air yang tidak berbau dan bersih, juga yang rasanya enak yang dapat membuat segar badan. Berbeda dengan air yang tidak bersih atau sudah tercampur lumpur yang bila digunakan untuk masak tidak dapat masak dengan sempurna bahkan bisa membuat sakit. Umbul Dhahar tadi setiap hari banyak anak-anak yang mandi, bila ada orang yang menyebarkan uang baik sen atau benggol ke dalam umbul maka akan menjadi rebutan anak-anak tersebut. Bila sang raja berkunjung banyak uang yang disebarkan ke dalam umbul, anak-anak menjadi makin senang karena banyak uang yang dapat mereka bawa pulang. Sampai di rumah orang tua mereka memuji anak tersebut karena banyak uang yang didapat. Umbul Dhahar sebelah barat pintu ada bangsal memanjang ke barat, panjangnya 7,2m dan lebar 4,52m. Bentuk bangunan trajumas terbuka saja, kerangka dari kayujati, atap dari genthing yang bagus dilihat. Lantai dalam ruangan di plester halus. Sebelah barat bangsal terdapat kirkop makam yaitu Tuwan Wiran yang dahulu menguasai Pengging. Pintu kirkop terdapat di utara. Bentuk banguan limasan, tiyang ada empat di
dalam dan di luar, di luar terdapat arca singa sedang duduk menghadap ke utara, matanya dari kaca. Kirkop tadi terdapat di selatan pagar kawat, di pinggir kirkop mengikuti tembok yang ada di sebelah utara di tanami jambu batu berjajar di pinggir (Pupuh XVIII Mijil bait 1-30) Sebelah timur pagar kolam Umbul Panganten ada jalan kecil yang di pagari kawat berduri. Sebelah tenggara terdapat krun dari kayu jati dengan pintu yang lebarnya 3,2m dan tingginya 2,64m ke timurturun tangga hanya dua sampai pada capuri umbul yang bernama Umbul Tirtamaya. Mulai dari depan pintu krun menuju plataran UmbulTirtamaya terdapat jalan yang di kanan dan kiri terdapat pohon-pohon yang besar yang membuat jalan menjadi teduh. Banyak aliran air yang keluar dari Umbul Penganten dan beberapa umbul kecil juga Umbul Dhahar. Di sebelah timurnya di gunakan sebagai tempat mandi dan juga mencuci bagi warga sekitar. Semua air menuju ke kolam yang ada di selatan dan di pagari kawat berduri, lebarnya 14,55m dan panjangnya 36,4m ditembok di pinggirnya dan dikelilingi oleh jalan yang lebarnya 1,8m. Buangan air dari dalam kolam Umbul Panganten di beri ikan garamah. Ikan ada yang besar dan juga kecil di tempat tersebut banyak gangangnya dan lumut sebagai makanan dan juga sebagai tempat bertelur ikan. Timur kolam jaraknya sekitar 7m sampai pada pager bata yang bentuknya bulat itu merupan pagar kolam Umbul Tirtamaya. Tinggi tembok tersebut 1m yang bulat hanya sebelah utara sedangkan yang lainya bentuknya pesagi. Di luar pagar di tanami gayam yang tinggi yang meneduhi umbul tersebut. Tembok yang sebelah selatan di tengah-tengah di beri rumah mepet tembok memanjang ke barat. Bentuk banguan limasan, kerangka dari kayu jati dan di beri warna putih.
Di tembok, panjang bangunan 9,5m dan lebar 4,8m. Terdapat dua pinti yang ada di utara dan selatan. Bila sang raja datang bersama para putri keraton kolam tersebut sering digunakan oleh para putri untuk berenang. Paraputri merasa senang dengan air Umbul Tirtamaya yang jernih dan juga dalam kolam banyak ikannya seperti garameh, mina, tombro. Di sekitar Umbul Tirtamaya terdapat bayak pohon-pohon besar di antaranya palem, gayam, jambe,jambu, dresana, manggis dan juga pohon bogem. Buah pohon bogem yang seperti delima sering di buat rujak karena menurut cerita bila ada wanita yang makan buah bogem pada saat dia mengandung, maka anak yang lahir akan berwajah cantik atau tampan. Di luar capuri tembok umbul tirtamaya terdapat jalan kecil ke utara terus ke barat yang diapait oleh banyak pohon gayam, jalan tersebut sampai pada pasar depan pasanggrahan yang pernah diceritakan diatas (Pupuh XIX Dhandhanggula 1-50) Sebelah timur pagar yang ada di belakang rumah kecil seperti balekambang itu terdapat bak diplester. Di atasnya di batasi dengan pagar kawat berduri, di sebelah barat dan timur terdapat pintu air dari pembuangan Umbu Tirtamaya menuju sawah yang lumayan jauh. Dekat dengan tempat tersebut juga ada 2 kakus yang sama warnanya dan terbuat dari kayu, yang juga mendapat air dari buangan yang menuju ke sawah. Air kolam Umbul Tirtamaya digunakan masyarakat sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit dengan cara berendam. Sakit kesleyo bila berendam dalam umbul tersebut akan cepat sembuh. Sudah banyak yang membuktikan seperti abdi dalem Reksa Suwirya yang sakit sudah sepuluh tahun terkena
penyakit sesak napasnya, dada terasa sakit, lumpuh dan tidak bisa berjalan, dua bula mencari obat tetapi tidak sembuh-sembuh maka segera mandi dalam kolam tersebut setip hari jam lima pagi, ke dua, ketiga, keempat sudah merasa ada kemajuan, kelima ketujuh sudah banyak kemajuan dan seterusnya sampai sebulan dia merasa sudah sembuh seperti sedia kala. Cerita reksa Suharjo yang sakit perutnya, pegal pada sendi-sendinya dan badan terasa panas, setelah mandi di Umbul Tirtamaya tidak sampai sebulan sudah sembuh. Cerita Tuan Rasli yang sakit karena kakinya patah tergencet leri (sepur tebu) dan tidak bisa berjalan setelah mandi di umbul tersebut sebulan sudah dapat berjalan meski pincang tetapi tidak sakit lagi. Sebelah utara pesanggrahan terdapat pertigaan jalan yaitu ke timur, barat dan utara. ke timur sampai pada pasar di depan pasanggrahan, ke sebelah barat sampai pada belakang pesanggrahan dan bertemu dengan yang jalan sebelah utara di depan masjid Cipta Mulya. Jarak masjid dengan pintu pesanggrahan adalah 56,7m ke pintu masjid. Krun masjid dari kayu jati berwarna putih dengan tinggi 3,8m dan lebar 4,6m di atasnya terdapat tulisan PB X. Sampai pada plataran masjid yang terdiri dari 5 bagian (tlundhakan) baru sampai pada surambi masjid (Pupuh XX Pangkur bait 1-33) Tiyang dengan copotan semua besar atasnya. Kanan kiri tiyang kedua terdapat pot bunga yang enak dilihat. Plataran masjid menghadap ke timur terlihat berdiri kokoh. Bentuk bangunan klabang nyander yang indah, kerangka semua dari kayu jati dengan warna putih, atap menggunakan asbes. Kuning usuknya pager tembok utara dan selatan terdapat pintu belakang yang tanpa tutup hanya berbentuk anak tangga ke plataran utara dan selatan. Jumlah anak tangga untuk
turunan tersebut ada empat. Lantai di plester halus dan enak dilihat. Dekat dengan anak tangga pintu belakang terdapat bak kecil. Pintu kanan dan kiri lebarnya 1,4m dan tinggi 2,6m. Pintu tengah dengan bentuk ngupu tarung di beri ram dan dengan selambu putih pintu tersebut menuju ke dua pintu yang terakhir yaitu di kanan dan kiri dengan lebar1,7m dan tinggi 3,5m, bentuk pintu ngupu tarung dengan warna putih yang menuju ke tempat sholat wanita. srambi yang sebelah timur jumlah tiyang ada enam, yang empat terdapat pagar ruji besi bulat kecil-kecil yang indah. Plataran masjid di biarkan saja tanpa ada tutup dan diatasnya terdapat lampu. Triyum gantung empat jumlah cabangnya yang etrdapat di tengah-tengah. Bedhug di letakkan di pojok timur laut dengan cet warna hijau. Pojok tenggara terdapat lemari kecil dengan warna hitam isinya piring, cangkir dan porong Pada setiap pagi masjid rame oleh anak yang sedang mengaji. Bila sudah selesai belajar mengaji di lanjutkan lagi dengan belajar sastra Melayu dan Jawa. Sungguh beruntung anak di sekitar masjid selain bisa belajar mengaji juga di ajarai sastra Jawa, sastra Melayu, sastra Pegon dan sastra Gondil seperti sekolah kelas dua. Semua kegiatan tersebut karena gagasan dari Ngabehi Ahmad Sudarsa. Pada hari Jum'at semua kegiatan belajar libur ini sesuai dengan aturan islam. Jumlah murid yang belajar mengaji ada 60 orang baik laki-laki atau perempuan. (Pupuh XXI Megatruh bait 1-28). Ke selatan 10,8m ke timur 10m seperti pesagi bentuknya hanya kurang sedikit, pangimaman ke baratnya hanya ada 2dm ke selatan 1,7m, sebelah timur pangimaman terdapat mimbar. Mimbar dari kayu jati, semua dan di beri selambu kelihatan indah. Panjang mimbar 0,55m lebarnya 0,9m. Pojok tenggara dari
pangimaman terdapat sekat dan terdapat pintu di sebelah timur yang berada di tengah. Ruangan tadi di gunakan untuk tempat duduk raja ketika hari Jum'at untuk melaksanakan Jum'atan. Sekat tersebut ke arah timurnya 3,4m dan ke arah selatan 4,4m. Sebelah selatan terdapat sekatan yang merupakan jamban, di platarannya ditanami pohon trembesi kembar. Sebelah selatan terdapat pintu yang menuju keluar, pojokan emper sebelah baratdaya terdapat jalan yang menuju ke belakang masjid. Diceritakan bahwa pada bulan Sapar masjid tersebut digunaka sebagai tempat perayaan yaitu Yahkowiyu. Apem dan banyak nasi beserta lauk yang digunakan dalam upacara. Banyak yang datang untuk mendapat berkah dengan cara meminta apem dan nasi tersebut. Pembagaian apem di lakukan diatas dari atap surambi masjid hal ini di karenakan banyaknya orang yang ingin berebut apem tersebut.Bila menuju bulan Siyam malam ke 21,23,25,27,29 dan pada malam lebaran bayak anak yang membuat petasan bambu. Sebelah timur laut dari krun masjid terdapat umbul yang airnya bening. Lebar umbul tersebut kira-kira satu meter pesagi dan di beri pagar bambu. Dekat dengan umbul terdapat pohon beringin yang meneduhi umbul, pohon beringin itu terdapat papan yang bertuliskan Umbul Sungsang. Umbul Sungsang di percaya masyarakat dapat menyembuhkan penyakit yang sebangsa luka dengan cara berendam dalam umbul tersebut, sudah banyak yang membuktikan sungguh menyenangkan hati. (Pupuh XII Kinanthi bait1-38) Kanan dan kiri Ngeksipurna banyak cerita, jaman dahulu Pengging merupakan kerajaan besar ketika Raja Dayaningrat. Oleh sebab itu di Pengging bayak ditemukan banyak petilasan. Di sebelah pojok barat pesanggrahan kira-kira
100m terdapat makam Kyai Ahmat Kategan dan Arya Klipah Kacripu yang makamnya sangat angker karena tidak mau di kijing. Cerita ini dimulai ketika makam tersebut di beri kijing oleh saudaranya tetapi pada esokan hari makam sudah berserakan sehingga masyarakat menganggap makam tersebut tidak mau di kijing. Ada cerita lagi yaitu makam Nyai Ageng Pengging dan Dyan Menggung Padmanagara
sebutannya Tolak Bodin, yang pada malam jum'at makamnya
bersinar. Makam Ki Ngabehi Yasadipura juga terkenal angker, makam tersebut sering digunakan untuk bertanya dengan cara menyanggarkan janur kuning pada malam Jum'at dan sambil membakar dupa. Juru kunci yang akan membantu apa yang akan ditanyakan. Bila janur sudah disanggarkan maka terdapat tulisan Arab yang akan di terangkan maksudnya oleh juru kunci. Tuwan Patkol juga pernah mencoba dengan jalan mnyanggarkan janur kuning di makam tersebut, belum sampai malam hari janur sudah diambil tetapi janur sudah ada tulisannya dengan huruf Arab sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut. Setelah selesai mencatat semua yang da di Ngeksipurna dan di sekitarnya maka rombongan pulang ke keraton pada hari kamis tetapi mampir dahulu di Umbul Ganawelang. Umbul ganawelang dekat dengan Banyudana, kanan kiri umbul penuh dengan air dan menjadi kolam hanya tidak dalam. Lebar umbul tersebut kira-kira satu meter (satampah). Disekitar umbul di beri pagar, di dekat umbul terdapat bangunan rumah panjang, pagar hanya dari bambu saja. Panjang rumah tersebut 17 langkah (tindak)dan lebar 3 langkah. Kerangka dari kayu jati hanya terbuka, lantai seperti jembatan dari bambu, jembatan tersebut digunakan untuk mengambil air agar tidak mengotori umbul. Umbul Ganawelang digunakan
sebagai pemandian oleh masyarakat Ganawelang. Di dalam umbul banyak ikan tetapi masih kecil semua (Pupuh XIII Asmaradana bait 1-42) Ketika keluar dari umbul bergerombol sampai di luar menyebar mencari makan dan masuknya kembali bergerombol. Lele banyak yang keluar mencari angin. Juru kunci cerita dongeng jaman dulu ketika Sunan Kalijaga datang ke umbul, dengan keinginan hati nglemeng lele dan membuat dapur sementara. Jeng Sunan mengambil bambu untuk lemengan, tetapi setelah di potong di dalamnya terdapat ular welang, kemudian berkata bahwa bambu di dalam desa tersebut tidak bisa digunakan sebagai bahan bangunan rumah, maka segera mencari bambu yang lain yang bisa digunaka sebagai alat nlemeng. Masaknya lele dengan mengunakan lemeng dan segera makan, Jeng Sunan mengambil lele yang masih utuh duri dan dagingnya, dengan kaget lele terlepas dari tangan Jeng Sunan. Lele segera berenang ke dalam umbul dapat hidup meski tanpa daging. Lele masuk ke dalam umbul dan tak terlihat, masuk ke dalam umbul yang bening. Sampai sekarang lele tersebut sering terlihat, ketika keluar lele tersebut di ikuti oleh ribuan lele di belakangnya. Oleh karena itu umbul tersebut bernama Ganawelang karena sabda dari Jeng Sunan Kalijaga. Menuju ke alteh kereta jam dua lebih sedikit, kereta sampai di Banyudana, dengan segera naik, tidak beberapa lama kereta berangkat ke keraton. Semua pulang dengan selamat tanpa kurang apapun, karena berkah dari sang prabu. Akhirnya penulis dalam hatinya selalu berdoa agar Sang Sri Pakubuwana beserta keluarga selalu sehat tanpa ada halangan dan mendapat umur yang panjang, serta memberi kemuliyaan bagi Negara Surakarta semoga Allah memberikan lebih.
Selesai sudah semua penulisan Pasanggrahan Ngeksipurna yang menulis Tumenggung Arungbinang. (Pupuh XXIV Pocung bait 1-26)
B. Kajian isi Karya sastra Jawa biasanya ditulis dalam bentuk puisi dan prosa. Karya sastra Jawa modern yang berbentuk puisi dibedakan menjadi dua yaitu macapat dan geguritan. Karya sastra yang berbentuk macapat banyak dijumpai dalam lingkungan keraton.
Bentuk tembang macapat yang penuh dengan metrum-
metrum atau aturan-aturan yaitu guru gatra (jumlah baris dalam tiap bait), guru lagu atau dhongdhing (jatuhnya sura vokal pada akhir baris), dan guru wilangan (jumlah suku kata pada tiap baris). Demikian pula dengan naskah BPDN yang menjadi objek dalam penelitian ini, merupakan karya sastra Jawa yang ditulis dalam bentuk tembang macapat. BPDN sebagai karya sastra Jawa klasik, BPDN mengandung aspek-aspek kesastraan yang menambah nilai keindahan dalam BPDN tersebut. Aspek-aspek kesastraan dalam naskah BPDN antara lain unsur-unsur yang terdapat dalam sastra babad, yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini. Karya sastra babad dapat ditinjau menjadi dua pandangan, pertama babad sebagai karya sastra yang isinya banyak mengandung unsur pemujaan dan pembenaran atas segala tindakan tokoh yang dijadikan figur sentral isi babad. Kedua, babad sebagai karya penulisan sejarah yang biasanya berisi tentang suatu peristiwa maupun kejadian keadaan masyarakat tertentu, ada juga unsur cerita rakyat yang bersifat legenda, mitologi dan unsur lainnya.
1. Letak, Kaadaan, dan Pembagian Ruangan
Pesanggrahan
Ngeksipurna a. letak Pasanggrahan Ngeksipurna Pesanggrahan Banyudono,
Ngeksipurna
Kabupaten
Boyolali
terletak
di
seperti
yang
Desa
Dukuh,
terdapat
Kecamatan
dalam
proyek
pengembangan objek wisata pemandian Umbul Pengging 1994, tetapi tidak diceritakan dalam naskah tepatnya pesanggrahan itu berada dan hanya menyebutkan ke selatan Desa Randusari dan berada depan Pasar Ngeksipurna, dan sebelah timur Desa Ngaliyan yaitu tempat Masjid Cipta Mulya yang ada di belakang pesanggrahan. Seperti dalam kutipan pupuh II Asmaradana bait 17 dan 19 berikut ……./ Randhusari énggokira / têmpuk ngidul lampahnya / praptèng pêkên kèndhêlipun / praptèng Pêkên Ngeksipurna// …../ wontên ing sangarsaning pun / Pasanggrahan Ngèksipurna// terjemahan …. tikungan ke Randusari bertemu ke selatan arahnya sampai pasar berhentinya, sampai Pasar Ngeksipurna. ….. berada di depan Pesanggrahan Ngeksipuna
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa letak pesanggrahan tepat berada di depan Pasar Ngeksipurna, yaitu ke arah selatan dari Desa Randusari. Kutipan berikut juga akan memberikan gambaran tentang letak pesanggrahan yaitu pupuh XX Pangkur bait 25-26 : ……../ ngriku wontên marginira / pratigan sami marga lit // mangalèr ngilèn lan ngétan / kang mangétan anjog pêkên utawi / ngayun pasanggrahan wau / kang mangilen anjog marang / sawingkinging
pasanggrahan mubêng têpung / kang mangalèr anjog marang / Cipta Mulya raning masjid // terjemahan disitu ada jalan pertigaan yang sama sama jalan kecil. Ke utara, ke barat, dan ke timur. Yang ke timur sampai pada pasar atau depan pesanggrahan tadi, yang ke barat sampai pada belakang pesanggrahan memutar bertemu dengan yang ke utara sampai pada Masjid Cipta Mulya.
Dari kutipan tersebut dapat diketahui dengan pasti letak Pasanggrahan Ngeksipurna yaitu di sebelah selatan Masjid Cipta Mulya dan di depan pasar yang terletak di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. b. Keadaan Pasanggrahan Ngeksipurna Sebagai tempat peristirahatan raja dan juga sebagai pusat pemerintahan kedua setelah keraton, keadaan Pesanggrahan Ngeksipurna sangat megah dari segi bangunan dan juga indah, dikarenakan banyak dihiasi dengan
berbagai
tanaman bunga yang menambah keindahan pesanggrahan tersebut, hal ini dapat terlihat dari kutipan pupuh II Asmaradana bait 29 dan 30: ……/kang dhihin manjing pandhapa/mangetan ajêngira/wanguning pandhapa wau/ limasan watara panjang// angêngrêng sêmune wingit/pitulas mètêr panjangnya/nêm dhèsi mètêr langkungé / sangang mètêr wiyarira / katon sêdhêt pidêksa / pasikoning saka patut / pinantês pasagènira / Terjemahan ……yang pertama masuk ke pendhapa ke timur menghadapnya dan bentuk bangunan pandhapa adalah limasan yang panjang kokoh dan terlihat angker, tujuhbelas meter panjangnya lebih enam dhesi meter, dengan luas sembilan meter terlihat gagah perkasa. Siku tiang terlihat pantas dan juga yang berbentuk segi empat.
Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa bentuk Pendhapa Pesanggrahan Ngeksipurna adalah limasan yang sangatlah besar, dengan panjang 17,6 m dan lebar 9 m. sebagai tempat peristirahatan raja Pesanggrahan Ngeksipurna sangatlah cocok di samping dengan bangunan yang megah juga terdapat bunga-bungaan yang akan menambah indah pesanggrahan tersebut, diantaranya adalah bunga melati, menur, argulo, ceplok piring, mangkokan, sumarsana, sruni dan juga yang lainnya. Pada sore hari banyak gadis yang bermain di taman Pasangrahan Ngeksipurna, mereka bergerombol sambil bermain dengan gembira. Gulaganthi atau Cublak Suweng itu adalah permainan yang biasa dilakukan oleh para gadis. Ada juga yang sambil bernyanyi dengan gembira, seperti dalam kutipan pupuh VIII Dhandhanggula bait 16-18; têdhak nyare wontên ing wadari/ lan yèn nuju pajaring basanta/ ing palataran wau akèh/ pra nyai majang santun/ ting karompol pra sami linggih/ lan sami dêdolanan /ing sasukanipun/ Gulaganthi jêng ngênjêngan/ Cublak Suwêng arame kèh para nyai/ kang sami kêkidungan// pangidunge ingkang ragi isin/ dipununthêt lirih swaranira/ sok sriguntingên dadine/ kang kèndêl dènya ngidung/ mêlang mêling angelak elik/ swara rênyah kapenak/ kasok balikipun/ ana kang blero swaranya/ yèn wus saya dalu sakèh para nyai/ wontên ingkang kowokan// myang jamuran rame ngadêg sami/ ananging kang namung sasêndhonan/ nithowokan sindhènane/ barêngan dènya barung/ wontên sêndhon cinengkok muji/ sakeca kapiyarsa/ binarung raras rum/ lirih lêlah amêmêla/ para kênya sami suka amêmuji/ jor-joran rêbut bisa// Terjemahan mengginap di tamen dan bila datang pagi hari di halaman banyak gadis ramai bergerombol duduk dan bermain sesukanya, gulaganthi saling mendahului, cublak suweng ramai banyak gadis yang sedang bernyanyi bernyanyi dengan agak malu, disembunyikan suaranya menjadi srigunting jadinya, yang berani bernyanyinya keras dan enak didengarkan, tetpi ada
juga yang mblero(kurang bagus), bila sudah semakin malam banyak gadis yang kowokan dsn jamuran rame semua berdiri, tetapi yang bernyanyi nithowokan lagunya, bersama dalam bernyanyi, ada yang seperti memuji enak sekali di dengarkan, bernyanyi dengan pelan enak didengarkan. Para gadis yang senang memuja saling berebut kebisaan. Bila raja datang banyak hiburan yang di gelar di sekitar pasanggrahan seperti tari sarimpi, bedayan, kadhangwireng atau ringgitan, dan purwa gedhong. Di pesanggrahan juga digelar gambar hidup (film), banyak masyarakat yang datang bukan hanya warga sekitar melainkan dari beberapa desa yang ada di sekitar pesanggrahan. Di sekitar pesanggrahan terdapat mata air (umbul) yang jernih yang biasanya digunakan sebagai tempat mandi sang raja dan juga masyarakat yang ada di sekitar pesanggrahan. Memang daerah di sekitar pesanggrahan terkenal akan banyaknya air yang melimpah. Air yang yang keluar dari umbul di sekitar pesanggrahan digunakan masyarakat untuk mengaliri sawah mereka dan juga beberapa lahan tebu yang di lewati aliran air tesebut. c. Pembagian Ruangan Pasanggrahan Ngeksipurna Pesanggrahan Ngeksipurna mempunyai beberapa ruangan yang masingmasing mempunyai fungsi yang berbeda. Pandhapa berbentuk limasan dengan panjang 17,6m dan lebar 9m, terlihat gagah dan angker. Kamandhungan terdapat gambar PBX dan Residen yang diiringgi oleh beberapa abdi Dalem, di pojok bawah gambar terdapat cermin. Lantai ruangan yang diplester menjadikanya tampak bersih, disamping juga
terdapat pot bunga-bunga diataranya tluki,
argulo,sruni, sumarsana dan mawar persi. Kamar di sebelah timur adalah Mandragini dengan panjang 3,4m, langit-langit kamar berwarna putih. Mandragini merupakan tempat tidur sang permaisuri, juga sebagai kamar mandi.
Terdapat pintu yang langsung menghubung ke Madusuka, Madusuka merupakan kamar sang raja di sini terdapat tempat tidur, kursi roda dan kamar mandi. Pada dinding Madusuka terdapat termometer yang merupakan alat untuk mengetahui suhu ruangan tersebut. Lantai Madusuka juga diplester sehingga terlihat bersih, seperti pada kutipan pupuh IV Mijil bait 12-14 berikut: ………/singgêtan kang kulon/pasiraman dalêm Jêng Pamase/ingkang wontên gupit Mandragini/ingkang têngah nami/ing Madusuka nung// pasiraman dalêm Jêng Sang Aji/panjangnya kacriyos/kawan mètêr tan ana langkunge/ ingkang kidul sinungan lêmari/ pèni wrêksa jati/ gilap pinalitur// yèn binuka makbyak dadya kori/ mring kamar kinaot/ pasareyandalêm Jêng Pamase/ ……… Terjemahan kamar yang sebelah barat adalah kamar mandi sang permaisuri yang ada di ruangan Mandragini, yang tengah tengah bernama ruangan madusuka kamar mandi sang raja dengan panjang 4m tidak ada lebihnya, yang sebelah selatan terdapat lemari indah dari kayu jati dan berwarna gelap bila dibuka langsung menjadi pintu yang menuju tempat tidur permaisuri….. Di dekat kaputren terdapat rumah los yang panjang 25,3m dan lebar 5,9m, dengan plataran yang jaraknya dari tembok adalah 3m, semua terbuat dari kayu jati. Bangunan yang panjang tadi di bagi menjadi 4 ruangan yaitu: pertama, sebelah barat kamar abdi dalem puspan, kedua adalah kamar putra raja, ketiga adalah kamar panakawan drawisana, dan keempat adalah marduyadya yaitu kamar yang digunakan oleh sekretaris yang ikut raja berkunjung ke pesanggrahan, seperti yang ada dalam kutipan pupuh XIII Dhandhanggula bait 11-14
……sampun prapta salèr pandhapi/ wontên lojèn lajuran/ ngilèn ujuripun/ mangidul ing ngajêngira/ ingkang kilèn gathuk lawan pagêr bumi/ kaputrèn watêsira//
panjangipun slawe mètêr tuwin/ tigang dhèsi de wiyaring gajah/ ingkang kinarya kamare/ nêm mètêr kirangipun/ mung sadhèsi tan mawi luwih/ èmpère wiyarira/ tri mètêr tan langkung/ pagêring lojèn laleyan/ bêbalungan sadayanya kajêng jati/ sami dènêcèt seta// lojèn wau dipunsinggêt dadi/ kawan kamar kang angka sajuga/ ingkang kaprênah nèng kilèn/ punika gêdhongipun/ abdi Dalêm puspan pra sami/ angka dwi kamarira/ wayah Dalêm Prabu/ gêdhong ingkang angka tiga/ gêdhong panakawan Drawisana sami/ kamar angka sakawan// gêdhong Marduyadya ingkang nami/ yèku gêdhongipun panakawan/ sèkrêtaris ingkang ndhèrèk/ kalamung Jêng Sang Prabu/ apapara maring wêdari /….. terjemahan …. sudah sampai di utara pandhapa ada rumah lajuran ke barat yang bagian depan adalah sebelah selatan, yang barat terhubung dengan pagar batas kaputren panjang 25m lebih 3 dm dengan lebar bangunan yang menjadi kamar 6m kurang 1dm dan tidak ada lebihnya. Plataran dengan lebar 3m tidak lebih dengan pagar.kerangka bangunan dari kayu jati dan di cet putih. Rumah tadi dibagi menjadi 4 kamar, yang pertama dari barat ini adalah kamar abdi dalem puspan, yang kedua adalah kamar putra raja, yang ketiga merupakan kamar panakawan drawisana, yang keempat bernama kamar marduyadya yaitu kamar untuk panakawan sekretaris yang ikut raja melihat taman( Pasanggrahan Ngeksipurna)…….. Di tengah kamar kaputren terdapat bangsal menghadap ke timur dengan bentuk bangunan sinom. Bangunan dengan panjang 14,8m dan lebar11,5m kerangka dari kayu jati, merupakan tempat untuk menerima tamu Ordenas. Sebelah utara dan selatan terdapat pot bunga yang terlihat asri seperti argulo merah dan putih, sumarsana, sruni, taluki, adhaliyah dan garmiyen. Ruangan yang lain adalah kamar , kamar untuk kapaleri, kamar minyak (gedhong bensin). .
2. Unsur Mite, Sugesti dan Hagiografi dalam BPDN BPDN sebagai karya sastra jawa klasik mengandung aspek kesusastraan yang menambah nilai estetik dari naskah itu sendiri. Adapun aspek kesusatraan yang terdapat dalam BPDN antara lain mite, hagiografi dan sugesti. Mitos adalah suatu cerita rakyat yang dianggap suci oleh yang punya cerita dan juga ditokohi oleh dewa-dewa atau mahluk setengah dewa yang mereka sangat percaya akan hal tersebut dan dianggap benar-benar terjadi . Seperti cerita dalam naskah BPDN keampuhan Umbul Tirtamaya yang dapat menyembuhkan orang yang sakit patah tulang, Umbul Sungsang yang dapat menyembuhkan luka, dan Umbul Gana Welang yang ada ikan yang dapat hidup tanpa daging. Sugesti adalah ramalan, filsafat, pamali, dan tabir mimpi. Hagiografi adalah lukisan tentang kemukjizatan seseorang yang banyak diperlihatkan oleh tokoh-tokoh berkeramat. a. Unsur Mitos dalam BPDN Masyarakat Jawa akrab dengan alam sekitarnya malalui kepercayaan yang telah diwarisi oleh nenek moyang mereka. Mereka tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan yang telah turun temurun mereka percayai. Walaupuhn banyak yang telah berfikir secata rasional tetapi banyak juga yang tidak dapat menghindarkan diri untuk datang ke tempat yang dianggap angker yang mereka pikir dapat memberikan petuah. Sejalan dengan kebiasaan orang jawa yang senang dan percaya akan tempat-tempat suci atau keramat yang dapat mendatangkan petuah dan juga untuk memohon berkah kapada tuhan dengan perantara roh nenek moyang mereka. Masyarakat Jawa senang akan hal-hal yang bersifat gaib yang tidak bisa diterima akal rasional, dengan demikian terciptalah berbagai tempat yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat mengabulkan permintaan
mereka dengan jalan yang bermacam-macam, berikut merupakan contoh mitos dalam masyarakat jawa yang ada dalam naskah BPDN. 1) Mitos Umbul Tirtamaya. Umbul Tirtamaya merupakan salah satu umbul yang terletak di sebelah selatan
pesanggrahan.
Umbul
Tirtamaya
dipercaya
masyarakat
dapat
menyembuhkan berbagai penyakit di antaranya kesleyo, patah tulang dan sebagainya. Seperti dalam kutipan pupuh XX Pangkur bait 4-14 berikut ini …..dadya padusan para /janma dhusun sakiwa têngêning ngriku / lawan wontên dayanira / kathah para janma sakit // tatu kesliyo saminya / lamun adus nèng ngriku enggal mari / wus kèh kêtatalanipun / pra abdi Dalêm rêksan / sampun sami nyipati kahananipun / malah abdi Dalêm rêksan / Rêksa Suwirya kang nami // kintên wus sadasa warsa / kênèng sakit angkêp-angkêpan nami / jaja mêkar amêcucu / karaos mêngkap-mêngkap / gêgêr dhêkok ngêndhêlong laulanipun / lawan napasipun cêkak / lumpuh tan bangkit lumaris// gumêtêr yèn lumaksana / kalih wulan dènira ajêjampi / nanging datan wontên tulung / dahat duhkitaning tyas / nulya darbe osiking nala ebyadus / kulah Umbul Tirtamaya/ sabên ing jam gangsal enjing// ping kalih tiga sêkawan / wus angrasa ènthèng dènira sakit / kaping gangsal kaping pitu / saya kèh mayarira / kaping wolu ping sanga kaping sêpuluh / saya wewah mayar-mayar / kintên lamine sêsasi // wus saras dènira roga / sarta pulih kadi ing nguni-uni / lawan wontên critanipun / rêksan Reksa Suharja / salêbête pêkên Ngèksipurna wau / ingngêdêgkên nyar-anyaran / pun Reksa Suharja sakit // panas kadare sadaya / wêtêng mrongkol langkung dènira sakit / sêsarase mrongkolipun / bêntèr misih kewala / nulya krasa dahat jimpe raganipun / lawan sadaya ros rosan / lamun kinarya lumaris // ngarsa tanpa kêkiyatan / pinijitkên ing dhukun lan jêjampi / ngantos sawulan tan tulung / anulya adus marang / jambanipun Umbul Tirtamaya wau / ing sabên enjing jam gangsal / kalawan dên talatèni // kintên tan nganti sawulan / sakitipun sadaya sampun mari / wontên malih wartanipun / upsindêr lêri Bangak / tuwan Rasli nandhang roga garèsipun / kaplindês ing lèri pêcah / kapêrban dènusadani //
mring doktêr sawuse rencang / nanging taksih rêkaos yèn lumaris / nulya dèn tlatèni adus / nèng jamban Tirtamaya / sabên enjang kintên kawan dasa êsuk / dênya pincang saha rencang / nadyan pincang wus tan sakit // tun-tum balung sungsumira / sanèsipun puniku wontên malih / ing bab sakit bangsa tatu / kathah kang sami crita / ing samantên kewala pan sampun cukup /kinarya tundha paedah / Tirtamaya ingkang warih// Terjemahan ……… menjadi pemandian orang desa sekitar karena ada kasiatnya, banyak orang sakit luka, kesliyo dengan mandi disitu akan cepat sembuh, sudah ada buktinya abdi dalem reksan sudah banyak yang mengetahui, bahkan abdi dalem reksan yang bernama Reksa Suwirya, yang sudah sepuluh tahun menderita sakit angkep-angkepan dadanya membesar terasa mengembang dan punggungnya seperti masuk ke dalam dan napasnya pendek, lumpuh dan tidak dapat berjalan gemetar bila berjalan, dua bulan dia berobat namun tidak sembuh, sungguh memilukan hati, kemudian segera saja mandi dalam kulah Umbul Tirtamaya setiap jam lima pagi. Kedua tiga empat, sudah merasa tidak terlalu sakit, kelima ketuju semakin mudah, kedelapan sembilan sepuluh, semakin terlihat mudah, kira-kira lamanya sebulan, Sudah sembuh dari sakitnya, serta sudah pulih seperti semula, ada juga cerita yang lain Reksan Reksa Suharja, pada awal berdirinya pasar Ngeksipurna, Reksa Suharja sakit karena panas semua, perutnya terdapat benjolan dan terasa sakit sekali, setelah sembuh dari benjolan tersebut masih terasa jimpe badannya, pada semua sendi-sendi tetapi masih bisa berjalan, merasa tanpa kekuatan, lalu dipijatkan ke dukun dan berobat sampai sebulan tetapi tidak sembuh, kemudian mandi dalam kolah Umbul Tirtamaya, setiap hari pada jam lima pagi, dan secara terus-menerus tidak sampai sebulan sakitnya semua sudah sembuh, ada lagi berita upsinder leri Bangak Tuwan Rasli yang sakit pada tulang kering (gares) karena tertabrak oleh leri, pecah dan diperban dan diobati oleh dokter. Setelah baikan, tetapi masih terasa sakit bila berjalan, maka dengan telaten mandi dalam kolah Tirtamaya setiap pagi selama empatpuluh
hari, dan pincang dan sakitnya sudah sembuh walaupun pincang tetapi tidak terasa sakit lagi tuntum tulang sungsumnya, selain itu masih banyak lagi dalam hal sakit sebangsa luka, banyak yang bercerita, dan sampai ini saja sudah cukup sebagai tanda bahwa air Tirtamaya berkasiat. Dari kutipan di atas dapat diketahui banyak masyarakat yang memang percaya bahwa air Umbul Tirtamaya berkhasiat untuk penyembuhan. Seperti yang dilakukan Tuan rasli yang sakit karena tulang keringnya sakit tertabrak leri (kereta tebu) hingga pecah, sudah berobat ke dokter tetapi belum sembuh. Setelah beberapa kali berendam di umbul ternyata sembuh walaupun jalannya pincang tetapi sudah tidak sakit lagi. Cerita di atas merupakan salah satu dari keajaiban Umbul Tirtamaya yang airnya dapat digunakan untuk penyembuhan. Walaupun hal itu tidak bisa diterima oleh akal rasional, tetapi masyarakat menganggap bahwa itu merupakan berkah bagi warga sekitar yang percaya akan keampuhan air Tirtamaya. 2) Mitos Umbul Sungsang Umbul Sungsang yang terletak di sebelah utara pesanggrahan juga mempunyai kasiat untuk menyembuhkan orang sakit yang disebabkan karena luka, seperti yang terdapat dalam kutipan pupuh XXII Kinanthi bait 37-38 wit waringin agung wau / sinung papan dèn sêrati / ungêlipun Umbul Sungsang / anjog ing kadhaton tuwin / we umbul kèni kinarya / padusaning janma sakit // sakèh ingkang bangsa tatu / yèn têmên dentalatèni / adus wontên Umbul Sungsang / nirmala waluya jati / sampun kèh tuladhanira / ingkang dahat ngasmarani// Terjemahan: Pohon beringin besar itu terdapat papan yang bertuliskan Umbul Sungsang yang juga mengalir ke Kedhaton, air umbul bisa juga untuik mandi orang sakit
Sakit sebangsa luka apabila sungguh-sungguh dan tekun mandi di Umbul Sungsang akan sembuh tanpa cacat. Sudah banyak contohnya yang sungguh-sungguh menyenangkan dan membahagiakan. Berdasarkan kutipan di atas bahwa masyarakat percaya bahwa umbul itu dapat menyembuhkan orang yang sakit akibat luka. Sampai pada saat ini masyarakat Pengging masih percaya tentang adanya mitos yang terdapat di dalam umbul tersebut, sehingga pada hari tertentu masih banyak masyarakat sekitar yang mengadakan tirakat dengan jalan berendam di dalam Umbul Sungsang untuk mendapatkan berkah. Pelaku tradisi kungkum mempunyai tujuan untuk mendapatkan kekayaan, posisi yang baik dalam bekerja, kesuksesan, kedamaian mencara wahyu Allah, atau sekedar memekakan diri untuk berkomunikasi dan sensifitas pada roh halus. Dengan berbagai tujuan yang inggin dicapai, masyarakat Jawa cenderung menghubungkannya dengan berbagai cara termasuk yang berhubungan dengan alam gaib dan berbagai cara tirakat yang salah satunya dengan berendam (kungkum) dalam Umbul Sungsang c. Mitos Umbul Gana Welang Umbul Gana Welang terletak di Desa Gemuling, Banyudono, Boyolali. Perjalanan dari pesanggran ke Umbul Gana Welang sekitar tigapuluh menit. Ada mitos yang dipercaya olah masyarakat yang ada di sekitar Umbul Gana Welang yaitu terdapat ikan lele yang hidup tanpa ada daging dalam badannya, hal ini terjadi ketika Sunan Kalijaga pernah memasak lele di dekat umbul tersebut setelah dimakan tiba-tiba lele tersebut terlepas dan masuk ke dalam umbul dan berenang, hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat percaya bila melihat ikan lele tersebut akan mendapat anugrah yang besar, sehingga banyak masyarakat yang
tirakat di umbul tersebut dengan jalan berendam dalam Umbul Gana Welang. Seperti yang ada dalam kutipan pupuh XXIV Pocung bait 6-17 berikut ini ……juru kunci crita / dongènganing nguni uni / marma ngriku dènarani Gono Wêlang// duk sinuwun Sunan Kalijaga nuju / têdak mring udalan / lawan karsanipun kapti/nlêmêng lele lan karya pawon dadakan// jêng sinuwun Sunan Kali ngambil bambu / kinarya lêmêngan / duk pinêcok ingkang dêling / ing jronipun isi gana sawur wêlang// gyan abdarum yèn mangkana kabèh bambu / jro desa punika / sadaya tan anakèni/dipunanggo dandhanan balungan wisma// nulya sampun mecok dêling sanèsipun / kinarya lêmêngan / rampunging panglêmêng nuli / arsa ngliwêt sarta ngupaya sambutan// praptinipun mring janma ing dusun ngriku / nanging datan angsal / gya pados sanès piranthi / lawan namung sawontenipun kewala// matêngipun lêmêng myang pangliwêtipun / jêng sunan gya dahar / nulya lele kang satunggil / ingkang taksih wêtah rilayan êndhasnya// lawan gupuh jêng sunan pangastanipun / lele gya binucal / mring umbul lele gya nglangi / sagêt gêsang tanpa daging badanira// asilulup lenggok-lenggok mring jro umbul / silêm tan katingal / angêrong jro umbul wêning / praptèng mangke lele wau sring katinggal// lamun mêtu kèh lele ingkang anggrupyuk / ting grupyuk saparan / êwon lele kang umirang / gumaradêg tut wuri sapurungira // mubêng têpung botrawi saubêngipun / nulya wangsul marang / jro umbul angêrong sami / lah makatên dêdongèngan purwanira// umbul wau dipunsebut namanipun / umbul Gana Wêlang …….. Terjemahan …..juru kunci cerita, ceritanya dulu sampai itu disebut Gana Welang. Ketika Sunan Kalijaga menghampiri umbul, dengan keinginan hati nlemeng lele dan membuat dapur dadakan.
Jeng Sinuwun Sunan Kalijaga mengambil bambu yang akan digunakan untuk nlemeng, ditebanglah bambu tersebut tetapi di dalam bambu terdapat ular welang. jadi kalau begitu semua dalam desa tersebut semua tidak dapat digunakan untuk bahan bangunan rumah setelah menebang pohon bambu yang lain sebagai alat nlemeng, selesai nlemeng ingin memasak nasi dan berusaha meminjam alat. ke rumah orang yang ada di sekitar, tetapi tidak diperbolehkan, segera mencari alat yang lain namun hanya seadanya saja memasak dengan menggunakan lemeng Jeng Sunan segera makan dengan lele yang satunya yang masih utuh duri dan kepalanya. dengan segera Jeng Sunan memegang lele, dengan kaget lele terlepas dan masuk ke dalam umbul, lele terus berenang dapat hidup tanpa ada daging. tengelam dengan lenggak-lenggok ke dalam umbul menyelam dan tak terlihat masuk ke dalam umbul yang sepi dan sampai sekarang lele tadi sering kelihatan. Ketika lele tersebut keluar banyak yang mengiringi bergerombol semua, ribuan lele yang mengikuti dari belakang berenang di umbul kemudian kembali masuk ke dalam umbul semua, itulah akhir ceritanya umbul tadi disebut Gana Welang karena sebutan dari Sunan Kalijaga, benar tidak dipesilahkan kepada yang mendengar. Umbul Gana Welang terletak sebelah utara pesanggrahan sekitar 1 km dari Pesanggrahan Ngeksipurna. Masyarakat menganggap Umbul Gana Welang sebagai salah satu tempat keramat yang sering dijadikan tempat untuk ngalap berkah ( mencari berkah), hal tersebut mungkin banyak dikarenakan cerita mitos yang melatarbelakangi pemikiran masyarakat tentang umbul tersebut. Cerita mitos memang erat dengam masyarakat Jawa yang dalam kehidupan keseharianya tidak terlepas dari berbagai macam kegiatan yang berbau
magis. Hal tersebut yang menjadikan banyaknya mitos yang berkembang dalam masyarakat Jawa. d. Mitos Buah Bogem Pohon bogem yang terdapat di sekitar Umbul Tirtamaya menurut cerita dapat membuat orang yang sedang hamil nantinya anak yang lahir akan berwajah cantik dan tampan. Seperti yang terdapat dalam kutipan pupuh XIX Dhandhanggula bait 48 berikut ini kèh tanêman gêng-ngagêng lan inggil / uwit Bogêm wohira lir dlima / sarta wontên paedahe / kacarita kalamun / janma èstri ingkang garbini / yèn nêdha rêrujakan / wohing bogêm wau / jabang bayi lairira / lamun mijil warudya ayu ing warni / lamun jalu sulistya// Terjemahan banyak tanaman yang besar dan tinggi, pohon bogem yang buahnya seperti delima yang banyak kegunaanya, ceritannya bila wanita yang sedang hamil kalau makan rujak buah bogem nantinya bayi yang lahir, bila wanita akan berwajah cantik dan biloa yang lahir laki laki akan tampan. Dari beberapa kutipan di atas menejaskan bahwa masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari hal-hal gaib, yang benar-benar dipercayai oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang penuh dengan mitos dan bersifat religius serta masih kuatnya kepercayaan terhadap kekuatan magis yang menyebabkan masyarakat menjadi takut untuk meninggalkan hal-hal yang berbau mitos. Seperti buah bogem yang membuat anak dalam kandungan dapat lahir dengan wajah cantik atau tampan, hal tersebut merupakan mitos yang kebenarannya sendiri masih diragukan. Dengan adanya unsur mite ini menunjukkan bahwa masyarakat jawa berhubungan erat dengan hal-hal gaib. Budiono Harusatoto mengatakan bahwa : Dalam tradisinya atau tindakannya orang Jawa selalu berpegangan kepada dua hal. Pertama, kepada pandangan hidupnya yang religius dan mistis.
Dan kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnyayang selkalu menghubungkan segala sesuatu dengan tuhan yang serba rohaniah atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyangatau leluhurnya serta kekuatankekuatan yang tidak nampak oleh indra manusia, maka dipakailah simbolsimbol untuk mengungkapnya (1991 : 87) Dari pendapat di atas jelas bahwa orang Jawa menganggap segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka selalu berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang tidak nampak atau hal gaib. Masyarakat Jawa percaya kepada hal-hal gaib yang membuatnya takut kepada kekuatan magis yang di luar kekuasaan hidupnya, dan sangat menghormati hal-hal yang bersifat religi. Pandangan masyarakat jawa yang serba magis dan mitologi ini seperti yang yang diungkapkan oleh Purwadi sebagai berikut; Pandangan dunia yang serba magis dan mitologis adalah sendi kepustakaan dan kebudayaan Jawa. Hal ini tercermin hampir dalam segala aspek kesenian tradisional. Karena inti daripada kepustakaan dan kebudayaan Jawa adalah mistik (2004 :58).
Dari kutipan diatas menegaskan bahwa masyarakat Jawa berkaitan erat dengan nilai magis atau mistik yang melatarbelakangi mereka dalam setiap apa yang mereka lakukan baik dari kesenian dan juga kebudayaan. b. Unsur Sugesti Dalam BPDN Sugesti adalah firasat, ramalan, pamali, dan takbir mimpi. Unsur sugesti dalam naskah BPDN ini terdapat dalam pupuh XXIII Asmaradana bait 6-23 …../dene ta Radèn Tumênggung / Padmanagara punika// ingkang nama Ki Ngabèhi / Yasadipura namanya / ugi dahat ing ngangkêre / dene Ki Ngèbehi Yasa / dipura astananya / nèng Ngaliyan raning dhusun / ugi cêlak Ngèksipurna // agung karamate yêkti / wus kathah kêtatalanya / kathah para janma takèn / nênêpi nèng pasareyan / dene sarananira / mawa anyanggarkên janur / sinèlèh nèng kijingira //
nging kêdah malêm Sukra ri / nèng ngriku mawi dêdupa / juru kunci kang nglapurke / punapa panuwunira / winêdhar jro wardaya / ènjangipun janur wau / ingambil tiniti priksa // kang têmtu janur wus isi / sêsêratan sastra Ngarab / mangka jawabing pitakèn / kang mêrdèni jawabira / yèku juru kuncinya / karana sêratan wau / mung sajuga dwi aksara // upami kang anênêpi / anyanggarkên janur jênar / pamintanipun pitakèn / punapa ta unggyanira / sampun magang punika / sagêd gya dadya priyantun / punapa ta taksih lama // sêratan ing janur kuning / punapa ta aksaranya / ingkang minangka jawabe / upami be ;aksaranya / têgêse be rubeda / kathah sêsandhunganipun / misih lama dadinira// dèrèng lami wontên landi / Litwê dhêkamêr Nederlan / apêparap tuwan Pankol / anjajah ing tanah Jawa / ngupaya katêrangan / bab siti lan ananipun / janma lit panggêsangnya // nèng Ngèksipurna miyarsi / mring ature jongosira / dêning saking pamyarsane / lamun ing dhusun Ngaliyan / wontên pasareyannya / ing wali janma rumuhun / kenging lamun tinakènan // kang dadya krêntêking ngati / anyanggarkên sarananya / janur ingkang taksih jene pitakènan gya jinawab / wontên ing janur jênar / sastra Ngarab jawabipun / tuwan Kol nalika myarsa // maring aturipun abdi / gya takèn kahananira / dhumatêng juru kuncine / sawuse antuk katrangan / anyanggarakên sigra / neng sareyan nyeloh janur / lan sajuga karcisira // ingkang sampun dèn sêrati / kalawan têmbung Walanda / suraosipun pitakèn / ingkang dadya sêdyanira / sêdaya sakawan bab / dèrèng ngantos wanci dalu / karcis lawan janur jênar// wus kasêsa dipunambil / sêlak wrin kanyatahannya / tuwan Kol langkung sukane / de janur wus sinêratan / isi kawan aksara / mangka ta pitakènipun / tuwan Kol ugi kawan bab // gya andangu juru kunci / paranta ing wardinira / aksara Ngarab jawabe / ingkang munggèng janur jênar / juru kunci turira / aksara anu punika /makatên ing wardinira //
tuwan Kol kagyatan sipi / de cocok lan pitanyanya / gya angka kalih wardine / ing ngaturakên sadaya / praptaning sakawan bab / tuwan Pankol langkung ngungun / dene cocok sadayanya // mung sêlang katrangan benjing /sagêd dipun kalampahan / tuwan Patkol sakondure / janur pinandhut binêkta / maring nagri Nederlan / malah saking criyosipun / mas Ngabei Sindumarta // tuwan Pankol duk wus prapti / wontên ing nagri Nederlan / kacariyos sampun nate / kintun sêrat mring Rahadyan / Bei Wigyadipura / patela jawabing janur / sareyan Yasadipuran // sadaya sampun nocoki / datan wontên doranira / makatên ingkang cariyos /……
Terjemahan ….dan yang Tumenggung Padmanagara itu yang bernama Ki Ngabei Yasadipura juga sangat angker, Ki Ngabei Yasadipura makamnya ada di Dhusun Ngaliyan yang dekat dengan Ngeksipurna. sangat keramat sekali, sudah banyak yang membuktikannya, banyak orang yang bertanya dengan cara menyepi di makam dengan cara menyanggarkan januryang diletakkan di makam tersebut. tetapi harus malam Jumat, makam dengan membakar dupa dan juru kunci yang menyampaikan apa yang menjadi keinginannya, sampaikan dalam hati, pagi janur tadi diambil dan diperiksa. Yang pasti janur tadi sudah berisi tulisan Arab sebagai jawaban dari pertanyaan, dan yang menjelaskan adalah juru kuncinya karena tulisan tadi hanya ada dua aksara. Sebagai contoh yang menyepi menyanggarkan janur kuning, permintaanya apakah sudah bisa saya menjadi orang besar, apakah msih lama. Tulisan dalam janur kuning, apa jawaban dari pertannyaan. Seupama jawabnya aksara be yang artinya halangan, maka banyak halangannya jadi keinginan tadi masih lama. Belum lama ada orang Belanda Litwe Dhekamer Nederland Tuan Pankol namanya, menjajah tanah Jawa, untuk mendapat keterangan tentang tanah dan kehidupan orang kecil.
di Ngeksipurna mendengar perkataan dari pembantunya, bahwa di Dhusun Ngaliyan ada makam wali jaman dulu yang dapat ditanyai yang menjadi keinginan hati dengan sarana menyanggarkan janur yang masih kuning, pertanyan akan dijawab dalam janur kuning dengan bahasa Arab, Tuwan Kol ketika mendengar perkataan dari pembantunya, segera bertanya kepada juru kuncinya. Setelah mendapat keterangan segera menyanggarkan. Pergi ke makam mengambil janur dan karcisnya yang sudah ada tulisannya dengan kata Belanda, isinya prtanyaannya ada empat bab, belum sampai larut malam karcis dengan janur kuning Tergesa-gesa segera diambil, kepingin segera mengetahui isinya Tuwan Kol gembira sekali karena janur sudah ada tulisannya, yang berisi empat aksara sedangkan yang menjadi pertannyaan tuwan kol juga empat bab. Segera memerintahkan juru kunci, merasa tidak mengerti karena dalam bahasa Arab yang ada dalam janur kuning tersebut, juru kunci mangatakan begini artinya Tuwan Kol terkejut karena sesuai dengan apa yang ditanyakan, yang kedua artinya, dikatakan semua sampai empat bab, tuwan pankol heran karena semuanya cocok hanya beberapa keterangan yang nanti dapat terlaksana, tuwan Pankol pulang dengan membawa janur kuning tersebut ke negara Belanda, bahkan dari ceritannya Mas Ngabehi Sindumarta Tuwan pankol sudah sampai di belanda pernah mengirim surat untuk Raden Behi Wigyadipura keterangan dari jawaban di janur yang ada di makam Yasadipura. Semua sudah cocok tidak ada kebohongan begitulah ceritannya…..
Kutipan di atas bercerita tentang keajaiban dari makam Yasadipura yang dapat memberikan petunjuk kepada seseorang dengan cara menyanggarkan janur kuning dalam makam tersebut. seperti yang dilakukan Tuan Pankol dia menyanggarkan janur kuning ke makam Yasadipura. Menyanggarkan janur kuning harus dilakukan pada pada malam Jumat dari sore hari sampaipada pagi hari. Setelah mendengar cerita tersebut Tuan Pankol berkeingginan untuk
mencoba,
segeralah dia
meminta
juru
kunci untuk
membantu
dalam
menyanggarkan janur kuning. Karena tergesa-gesa sebelum tengah malam janur sudah diambil, tetapi sudah ada tulisannya dengan gembira Tuan Pankol segera meminta kepada juru kunci untuk membacakan apa arti dari tulisan yang ada dalam janur tersebut. Tuan Pankol merasa senang karena semua sesuai dengan apa yang ditanyakan. Dari cerita tersebut jelas bahwa makam Yasadipura mempunyai kekuatan magis yang dapat meramalkan sesuatu. Cara berpikir orang Jawa tidak terlepas dari simbol-simbol yang diterima lewat firasat, tabir mimpi, ataupun ramalan. Menurut Niels Mulder masyarakat Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai sauatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Cara berpikir orang jawa juga menyatukan dan menyelaraskan semua gejala.perumusan ataupun simbol dianggap menyebabkan keadaan keadaan yang diinginkan dn juga ramalan akan membenarkan diri (1981 :52). Masyarakat Jawa percaya bahwa ada alam lain yang berada disekitar mereka, tetapi mereka mempunyai alam yang berbeda. Dengan demikian jelas bahwa orang Jawa menyesuaikan dengan waktu, dengan jaman, dan tidak menguasai waktu sebagai alat untuk membentuk situasi yang diinginkan. Dengan pemikiran tersebut oarng jawa sangat tertarik dengan ramalan-ramalan, karena ramalan adalah suatu bentuk yang sudah ada, sudah dapat diketahui, dan akan menjadi nyata, akan turun. Gaya hidup kebatinan akan meliputi pelaksanaan dari semua bentuk kebudayaaan Jawa yang mempunyai makna mengatasi alam materiil belaka, seperti misalnya kepercayaan akan ramalan, akan kemungkinan akan kemungkinan mempengaruhi kejadian-kejadian yang akan datang, akan penafsiran dari lambang-lambang dan akan kesaktian barang-barang keramat dan makam-makam. Ini juga meliputi macam-macam upacara untuik mengadakan kontak dengan alam gaib dengan segala aspeknya dan
dengan segala hirarki roh-rohnya, malaikat-malaikat, setan-setan, dewadewa dan leluhur-leluhur (Neils Mulder, 1981 : 13) Cara berfikir orang Jawa yang demikian, terbukti dalam pupuh XXIII tembang Asmaradana, pada bait-bait yang telah disebutkan, bahwa Tuwan Pankol percaya akan ramalan yang didapatkan dari menyanggarkan janur kuning yang ditaruh di makam Yasadipura. Mereka percaya bahwa makam tersebut mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal ini jelas bahwa masyarakat Jawa menggantungkan hidupnya pada gejala-gejala yang bersifat magis yang mungkin kebenaran ramalan itu sendiri belum pasti cocok dengan apa yang akan terjadi. c. Hagiografi dalam BPDN Hagiografi adalah lukisan tentang kemukjizatan seseorang yang banyak diperlihatkan oleh tokoh-tokoh berkeramat. Unsur hagiografi pada naskah BPDN ini terdapat pada pupuh V Maskumambang bait 33-42:
wit punika arta jaman tritus warsi / duk jumênêngira / Duk Yunus Srinarapati / kang darbe arta wuwusnya // êlo iki dhuwit sanguku dhèk wingi / paringe Srinata / pasangon dhèrèk Sang Aji / ambêbêrèg buron wana // kang sadeyan gumuyu datan mangêrti / alon wangsulannya / srinata duk wingi-wingi / tan têdhakan maring wana// salamine jumênêng mêngku nagari / dèrèng nate têdhak / ambêbujung mring wanadri / kang darbe arta wuwusnya// lo saiki sapa kang jumênêng aji / janma sêsadeyan / mangsuli lamun samangkin / kang jumênêng Srinarêndra // sampun santun kintên sadasa narpati / myang tri wlas turunan / Sunarja sumambung angling / dhuh sare tri atus warsa // apa niyat wus datan mawa ngalisik / nglêpus tritus warsa / bêtah têmên tan ngalilir / nganti salin jamanira //
triwlas ratu gone turu lagi ngilir / tangi salin jaman / iba kèh ênggone ngimpi /luwih tangi saking seda // dadi iku aran janma Budakari……… Terjemahan sebab itu uang tiga ratus tahun yang lalu ketika raja Duk Yunus berkuasa, yang punya uang menjawab elo, ini uang bekalku kemarin pemberian raja ketika akan berburu di hutan yang menjual tertawa tidak mengerti, pelan menjawabnya sang raja kemarin tidak berburu di hutan bahkan ketika menjadi raja belum pernah berburu, yang punya uang berkata lo, sekarang siapa yang menjadi raja, penjual makanan menjawab sekarang yang menjadi raja sudah berganti sepuluh raja dengan tiga belas turunan, Sunarja menyambung pembicaraan, tidur tigaratus tahun apa niat sudah tidak bangun lagi tidur tiga ratus tahun lelap sekali apa tidak terbangun sebentar sampai berganti jamanya tigabelas raja dia tertidur baru bangun, ketika bangun sudah berganti jamannya pasti banyak ia bermimpi, terbangun dari kematian jadi itu jaman Budakari…….. Cerita tersebut dimulai ketika raja Duk Yunus berburu ke hutan bersama dengan para prajuritnya. Dalam hutan rombongan bermalam pada sebuah gua, sampai pada suatu pagi semua pengawal pulang ke kerajaan, tetapi ada pengawal yang tertinggal di dalam gua. Pengawal tadi binggung setelah terbangun karena sudah tidak ada teman dan raja yang di kawalnya juga sudah tidak ada, dengan penasaran pengawal tersebut pulang ke kerajaan, dia kaget melihat banyak bangunan yang megah dan juga banyak toko di sekitar keraton. Pengawaltadi
mencari rumahnya tetapi sudah tidak ada yang dikenali, begitu juga dengan orangorang tidak ada satupun yang kenal. Dalam keadaan lapar pengawal tadi berjalan ke sebuah warung untuk membeli beberapa makanan, dengan menyerahkan beberapa keping uang ke penjual makanan tersebut, penjual makanan kaget dengan uang yang di berikan pengawal kepadanya. Uang lama dilihatnya kemudian dia berbicara kepada pengawal bahwa uang tersebut sudah tidak berlaku lagi sebab itu uang tigaratus tahun yang lalu ketika raja Duk Yunus. Pengawal tersebut menjawab bahwa uang tersebut merupakan bekal yang di berikan raja kemarin ketika akan berangkat berburu ke hutan. Pembeli kaget dengan cerita pengawal tadi yang dia ketahui bahwa raja tidak pernah berburu ke hutan kemarin bahkan dari dia menjadi raja. Ternyata pengawal tadi telah tertidur di dalam gua selama tigaratus tahun dan telah melewati tiga belas raja, cerita tersebut yang dinamakan jaman Budakari. Kisah Duk Yanus ini sama dengan cerita yang ada di Al Qur'an yaitu QS Al Kahfi ayat 11: "Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua (Allah menidurkan mereka selama 309 tahun qamariah dalam guai tu)" kejadian tersebut merupakan akibat dari kesombongan dari Raja Dik Yanus. Cerita tersebut mungkin menjadi acuan pada pembuatan tulisan yang ada di atas salah satu pintu Pesanggrahan Ngeksipurna.. Dari semua kutipan di atas dapat disimpulkan kandungan isi cerita BPDN tidak hanya sebatas unsur sejarah, melainkan terdapat unsur mitos, sugesti dan hagiografi yang menjadikan BPDN menjadi lebih menarik. Banyak hal-hal baik yang dapat kita ambil dan dijadikan pegangan hidup agar hidup ini lebih berarti tanpa harus melupakan sejarah yang melatarbelakangi kita.
BAB V PENUTUP
Pada akhir penulisan skripsi ini dapat ditarik kesimpulan berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya dan juga saran. A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan peneliti tinjauan filologis dan analisis isi teks
berkaitan dengan
BPDN dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut : 1. Naskah BPDN merupakan naskah tunggal, dan setelah dikaji secara filologis dalam naskah ini banyak dijumpai kesalahan. Kesalahankesalahan itu adalah, kelainan bacaan, perubahan-perubahan karena adanya pengurangan atau penambahan, kesalahan oleh penyalin yang menyebabkan perubahan makna, dan kesalahan yang berkaitan dengan konvensi tembang macapat. Melalui kajian secara filologi dalam penelitian ini edisi teks atau suntingan teks dianggap bersih dari kesalahan dan dekat dengan aslinya. Naskah BPDN yang bersih dari kesalahan dalam penelitian ini adalah yang disajikan dalam skripsi ini, yang dilakukan melalui proses inventarisasi, deskripsi, transliterasi, aparat kritik, dan sinopsis untuk memudahkan pemahaman para pembaca. 2. BPDN berisi tentang seluk-beluk keadaan salah satu pasanggrahan peninggalan Pakubuwana X yang bernama Ngeksipurna. Keadaan yang digambarkan dalam naskah ini meliputi, bentuk bangunan,
ukuran-ukuran, pembagian ruangan, tujuan, dan keindahan alam di sekitar pasanggrahan. Selain itu dalam naskah ini juga terdapat unsur mitos, hagiografi, dan sugesti B. Saran 1. Penelitian terhadap karya sastra Jawa yang berjudul BPDN ini baru terbatas pada pengkajian filologis dan isi, sehingga peneliti lain bisa memanfaatkannya untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dengan sudut pandang berbeda. 2. Para peminat khasanah budaya Jawa diharapkan dapat memahami dan mengambil sisi baik penelitian karya sastra Jawa ini, sehingga ajaranajaran yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan tuntunan maupun inspirasi bagi pengembangan budaya bangsa. 3. Naskah-naskah
lama
harus
terus
digali
dan
diteliti
karena
keberadaannya semakin terlupakan. Melalui usaha ini diharapkan dapat mengetahui berbagai ide, gagasan, dan pola pikir, dan peristiwa bersejarah pada masa lampau yang terekam wujud naskah, sekaligus sebagai upaya pelestarian peninggalan budaya bangsa yang adi luhung. Pelestarian budaya ini sangat diperlukan untuk tetap menjaga eksistensi dan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya serta cara untuk menghindari terjadinya penurunan moral bangsa.
DAFTAR PUSTAKA Achadiati Ikram. 1983. “Beberapa Metode Kritik dan Edisi Naskah”. Penataran Tenaga Ahli Kesusastraan Jawa dan Nusantara. 18 Mei 1983. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Attar Semi. 1976. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Babad Pasanggrahan Dalem Ngeksipurna (Pengging) naskah tulisan tangan koleksi perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, nomor katalog 258 Ca. Behrend, T. E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sanabudaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan. Behrend, T. E. dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid III A dan B. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. Chambert, Henry-Loir. 1990. Khasanah Naskah Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor. _______, dkk. 1990. Ajaran Moral Dalam Susastra Suluk. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dwi Retno Prihatiningsih.1999. Babad Mekah (skripsi). FSSR.UNS Edi S. Ekadjati.1980. “Cara Kerja Penelitian Filologi” Bahan Penataran di Universitas Negeri Jember. 23 Maret 1980. Edwar Djamaris. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi.” Bahasa dan Sastra Tahun III no. 1. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Eko Rupadi.2006. Babad Pracimaharja Kaparingan Nama Sêrat Sri Udyana (skripsi). FSSR UNS. Emuch Hermansoemantri. 1986. Identifikasi Naskah. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran. G. Moedjanto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Girardet, Nicolaus dan Sutanto. 1983. Decriptive Catalogus of Javanese Manuscripts and Printed Books in The Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Weisbaden: Franz Steiner Verslag GMPH. Hadisoeprapto-Bratakesawa, 1980. Sengkalan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka. Jakarta.
K. Florida, Nancy. 2000. Javanese Litrature in Surakarta Manuscripts Volume 1, Manuscripts of The Kasunanan Palace. _______. 2001. Javanese Litrature in Surakarta Manuscripts Volume 2, Manuscripts of The Mangkunegaran Palace. Kartini-Kartono. 1983. Pengantar Metodologi Research. Bandung: Alumni Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Manassa. tt. “Langkah Kerja Penelitian Filologi.” Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Mangunsuwito. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa: Jawa-Jawa; JawaIndonesia; Indonesia-Jawa. Bandung: Yramawida. Mulder, Niels, 1986. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Gajah Mada University Press .Yogyakarta. Panuti Sujiman. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta . P T Gramedia Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Jawa. Batavia Groningen: J. B. Walter’s Uitgevers Maatschaappij. Prijotomo, Josef. 1995. Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Purwadi, 2004. Ramalan Zaman Edan Ranggawarsito. Media Abadi. Yogyakarta Robson, S. O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL. Rukmana, Hardiyanti,1990. Butir-Butir Budaya Jawa. Yayasan Purna Bhakti Pertiwi. Jakarta S. Prawiroatmodjo. 1998. Bausastra Jawa. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo Siti Baroroh Baried, et. al. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Siti Chamamah Soeratno. 2003. “Filologi Sebagai Pengungkap Orisinalitas dan Transformasi Produk Budaya” disampaikan dalam Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 1 September 2003. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Sudaryanto. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana.
Sukarni. 1997. Serat Wasitarja Pupuh I-X, Suatu Tinjauan Filologis (skripsi). FSSR UNS. Sulastin-Sutrisno. 1991. Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suseno, Frans Magnis. 1999. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafatai Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Tim Penyusun. 2002. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius Tim Penyusun. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembianaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wahyu. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional. Winarno Surachmad. 1975. Dasar-dasar Teknik Research. Bandung: Transito. Winter C.F dan Ranggawarsita, 2003. Kamus Kawi-Jawa. Gajah Mada University Press .Yogyakarta.