BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari hasil analisis PAM multi period jambu mete selama 18 tahun, menunjukkan bahwa secara privat (finansial) rata-rata total penerimaan (total revenue) petani adalah sebesar Rp 105.108.724,11 /ha dengan total biaya (total cost) sebesar Rp 29.615.806,96 /ha maka keuntungan finansial yang diperoleh sebesar Rp 75.492.917,15 /ha, dengan nilai PBCR sebesar 3,55. Sedangkan, secara sosial (ekonomi) menunjukkan bahwa rata-rata total penerimaan (total revenue) adalah sebesar Rp 97.506.794,88 /ha dengan total biaya (total cost) sebesar Rp 88.874.519,12 /ha maka keuntungan ekonomi petani dari usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah sebesar Rp 8.632.275,76 /ha.dengan nilai SBCR sebesar 1,10. 2. Usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem memiliki daya saing secara internasional, yang di tunjukkan oleh besarnya rasio sumberdaya domestik (DRC) yang ditimbulkan lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,91. Disamping itu juga memiliki daya saing secara finansial, yang tercermin dari rasio biaya privat yang ditimbulkan lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,24. 3. Dampak kebijakan pemerintah terhadap sistim komoditas jambu mete di 136 Kabupaten Karangasem adalah sebagai berikut:
137
a. Divergensi dalam penerimaan (revenue) sebesar Rp 7.601.929,23 /ha (bernilai positif) disebabkan oleh perbedaan harga privat yang diterima petani dengan harga sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat transfer penerimaan dari konsumen kepada produsen (petani) atau konsumen membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dari analisis tingkat proteksi terhadap output, nilai NPCO yang dihasilkan adalah 1,08 atau petani menerima harga output (privat) lebih tinggi sebesar 8% dibanding harga paritas impor. Dapat dikatakan bahwa petani jambu mete di Kabupaten Karangasem dalam melakukan usahataninya telah menikmati proteksi atau perlindungan output dari pemerintah. b. Divergensi input yang diperdagangkan (tradable) sebesar – Rp 419.039,08 /ha. Itu berarti terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih rendah atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih murah daripada harga sosialnya (pasar internasional). Dapat dikatakan nilai negatif pada divergensi input tradabel menunjukkan adanya kebijakan subsidi. c. Divergensi faktor domestik pada usahatani komoditas jambu mete menunjukkan nilai negatif, atau sebesar – Rp 58.839.673,09 /ha. Nilai divergensi faktor domestik yang negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi dari pemerintah. d. Divergensi keuntungan bersih (net profit) usahatani jambu mete sebesar Rp 66.860.641,39 /ha. Nilai divergensi keuntungan bersih (net profit) yang
138
positif, berarti bahwa terdapat kebijakan insentif pada usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem, membuat surplus pada produsen (petani) bertambah atau kebijakan insentif membuat usahatani jambu mete menjadi efisien. e. Analisis Effective Protection Coefficient (EPC) bernilai 1,09 atau lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial, atau terdapat insentif positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut. Besarnya proteksi yang diterima petani dan sistem komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah sebesar 9%. Itu berarti adanya kebijakan terhadap output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas. f. Nilai PC usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah 8,75. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat (finansial) yang jauh lebih besar, yaitu lebih dari 8,75 kali lipat dari keuntungan sosial (ekonomis). Berdasarkan nilai PC ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan pemerintah yang diterapkan pada usahatani jambu mete mengakibatkan keuntungan bertambah. g. Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer effects yang terjadi. Hasil analisis diperoleh nilai SRP sebesar 0,69. Itu berarti divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usahatani jambu mete sekitar 69% dari pendapatan kotor (gross profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada
139
memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani jambu mete, karena petani jambu mete menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah. 7.2 Implikasi Kebijakan 1. Usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem akan mencapai titik impas, ketika harga mete gelondongan kering internasional sebesar Rp 4.902,28 /kg. Sedangkan, harga mete gelondongan kering internasional yang diterima petani pada periode penelitian adalah sebesar Rp 10.204,43 /kg lebih tinggi dari titik impas. Tingginya harga mete gelondongan kering internasional ini, mencerminkan risk premium yang ditanggung oleh importir jauh di atas titik impas dan menunjukkan tingginya keuntungan ekonomi yang diterima petani. 2. Jika harga bayangan output turun sebesar 20 % sehingga harga bayangan menjadi Rp 8.103,54 /kg mete gelondongan kering. Pada kondisi ini usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomi), karena nilai DRC meningkat menjadi 1,16. 3. Jika biaya transportasi naik sebesar 25 % sebagai dampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menyebabkan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatani jambu mete masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomi (keunggulan komparatif). Namun tingkat daya saing pada nilai
140
ekonomi
(keunggulan
komparatif)
semakin
melemah
dibandingkan
sebelumnya, karena nilai DRC meningkat menjadi 0,95. 4. Jika produktivitas mete gelondongan kering turun sebesar 20 % akan meningkatkan nilai PCR, DRC dan SRP. Itu berarti bahwa usahatani jambu mete masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) karena nilai PCR masih < 1. Namun tingkat daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) tersebut semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai PCR meningkat menjadi 0,30. Sebaliknya penurunan produktivitas mete gelondongan kering sebesar 20 % menyebabkan hilangnya tingkat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif), karena nilai DRC meningkat menjadi 1,15. 5. Perubahan nilai tukar rupiah pada interval Rp 8.500,00 per $ US sampai dengan Rp 10.000,00 /$ US, menyebabkan sistim usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem tetap memiliki daya saing secara finansial dan daya saing secara ekonomi. Ada kecenderungan semakin menguatnya nilai tukar rupiah (apresiasi) semakin kuat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif). 7.3 Saran 1. Oleh karena hasil analisis menunjukkan bahwa nilai PCR (0,24 ) lebih kecil dari nilai DRC (0,91), maka usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem sebenarnya masih tetap memerlukan campur tangan pemerintah untuk menunjang daya saing pada nilai ekonomi (internasional). Kebijakan
141
pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem layak untuk terus dikembangkan, namun penurunan produktivitas mete gelondongan kering hingga 20 % akan menyebabkan melemahnya daya saing pada nilai finansial dan hilangnya daya saing pada nilai ekonomi, oleh karena itu diperlukan adanya pemeliharaan tanaman jambu mete secara baik dan upaya perbaikan teknologi budidaya tanaman jambu mete.