BAB VII MAKNA WACANA OTORITARIAN AYAH PADA ANAK DALAM CERITA WANDIUDIU
Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi, baik sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Untuk memahami makna dalam komunikasi, pemeran harus memahami pula empat aspek atau konteks makna, yakni pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan amanat (intension). Makna bersifat lebih dari satu (polisemi). Ketaksaan ini bergantung pada kepentingan pembaca. Oleh karena itu, menelusuri makna lebih bersifat pragmatis dan jauh dari semangat idealisme. Bab ini menguraikan makna wacana otoritarian ayah pada anak ke dalam beberapa bagian. Adapun makna yang dimaksud adalah (1)
makna kelestarian
budaya lisan dan tradisi lisan, (2) makna kekuasaan, (3) makna harmonisasi, dan (4) makna pendisiplinan.
7.1 Makna Kelestarian Budaya Lisan dan Tradisi Lisan Makna kelestarian budaya lisan dan tradisi lisan itu dapat dilihat dari segi pemaknaan, kata dasarnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998; 520 ), yaitu berarti tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal. Hal ini menandakan bahwa kelestarian budaya lisan dan tradisi lisan itu dimaknai “ menjadikan tetap tidak
99
100 berubah,
membiarkan
tetap
seperti
keadaannya
semula,
mempertahankan
kelangsungannya”. Perkembangan informasi yang pesat dan masuknya budaya asing telah banyak menggeser tradisi masyarakat asli ke pinggiran. Beberapa di antaranya bahkan sudah menghilang. Cerita rakyat, sebagai warisan tradisi asli masyarakat dikhawatirkan juga akan mengalami hal yang sama. Keberadaan folklore atau cerita rakyat seperti cerita Wandiudiu mulai kehilangan masyarakat pembaca, terutama dari kalangan generasi muda. Bila tidak disikapi, cerita Wandiudiu kemungkinan akan pupus dari ingatan masyarakat Buton selamanya. Menurut Laode Muhammad Arsal, generasi muda sekarang lebih menaruh perhatian pada tontonan televisi dan media sosial di dunia maya. ”Masih banyak masyarakat yang mengetahui cerita ini. Hanya saja di kalangan generasi muda saja yang mulai tidak memahami atau tidak lagi mendengar cerita dikarenakan kesibukan orang tua. Saat ini dengan berbagai perkembangan zaman saat ini mungkin terputus untuk menceritakan hal itu, sehingga ada sekte mungkin di kalangan orang tua masih terlalu banyak memahami itu tapi di generasi ke bawah yang masih muda dan anak-anak sudah tidak lagi memahami cerita itu. Tidak bisa dipungkiri dengan ceritacerita yang ditayangkan di berbagai media elektronik seperti televisi, banyak kalangan masyarakat sudah melupakan cerita rakyat dan mulai beralih pada cerita yang ditayangan, misalnya Sinchan, Marsha and the Bear, dan sebagainya dan itu tidak bisa disangkal bahwa pemikiran mereka sudah terfokus ke arah sana sementara cerita rakyat sudah mulai dilupakan.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Laode Muhammad Arsal dalam hal ini melihat minat kaum muda kian memudar karena kemajuan zaman. Sastrawan Damiri Mahmud menduga bahwa kaum muda kehilangan ketertarikan pada cerita rakyat karena merasa tidak relevan
101 dengan kehidupan mereka (www.antaranews.com diakses 28 Januari 2015). Ayu Sutarto dalam Seminar Nasional Dongeng yang diadakan oleh YIM (Yayasan Indonesia Membaca) berargumentasi bahwa mental ekstasi yang dibawa oleh teknologi rupanya membentuk kepribadian terbalik pada diri anak-anak sehingga tidak lagi menyukai pesan-pesan moral dalam cerita rakyat dan cenderung mencari idola mereka sendiri (www.kla.or.id, diakses 28 Januari 2015). Dalam penelitian “Perancangan Visual Buku Seri Cerita Rakyat Indonesia dari Jawa Barat Lutung Kasarung dan Putri Purbasari ” yang ditulis oleh Febrianus Hartadi (2011) dinyatakan bahwa orang tua ikut andil karena tidak lagi berminat membelikan anak-anaknya cerita rakyat dan memilih komik karena visualisasinya yang lebih baik. Selain itu, menurut Almujazi, para orang tua sendiri di Lakudo Buton juga sudah tidak menceritakan kisah Wandiudiu kepada anaknya, bahkan banyak yang sudah melupakannya: ”Sampai hari ini para orang tua telah banyak melupakan cerita Wandiudiu paling tinggal beberapa orang yang masih ingat atau tahu tentang cerita ini. Seiring dengan perkembangan zaman serta pengaruh modernisasi hari ini dan juga pengaruh elektronik semacam, televisi, hape, laptop, dan lain-lain sebagainya. Namun, cerita ini tidak putus selalu berkesinambungan oleh orang tua tertentu masih menceritakan hal ini kepada anak-anak mereka, hanya saja ketika hal ini diceritakan perhatian serta penjiwaan terhadap cerita ini sudah kurang sekali sehingga dalam pengaplikasiannya tentu saja sudah berbeda dengan zaman dahulu kala di mana ketika siapapun yang mendengarkan cerita ini sekedar terkesan. Namun, lebih dari itu setelah mendengarkan cerita ini terlihat ada penjiwaan dan pengaplikasian dalam akhlak, moral dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga jarang terjadi yang namanya perkelahian maupun permusuhan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.” (Wawancara, 12 November 2014)
102 Kealpaan orang tua bercerita menurut Almujazi karena antusias orang tua terhadap cerita Wandiudiu sudah pudar selain kesibukan sehari-hari yang sudah menyita waktu mereka. Kebiasan baru masyarakat setelah melek teknologi informasi, menjadi penyebab utama masyarakat Lakudo Buton berpaling dari warisan klasik mereka. Bagi masyarakat Buton cerita Wandiudiu merefleksikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dahulu, sekaligus juga mengantarkan nilai-nilai itu kepada masyarakat sekarang. Cerita ini sampai pada satu generasi diwariskan dari cerita masyarakat sebelumnya. Dengan memahami dan menceritakan kembali cerita Wandiudiu kepada anak-anak, maka proses pewarisan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap hidup serta menumbuhkan kecintaan pada budaya sendiri kepada setiap generasi. Dalam hal ini Laode Muhammad Arsal mengatakan bahwa cerita Wandiudiu merupakan salah satu warisan budaya yang memperkuat identitas masyarakat Buton: ”Telah kita ketahui bahwa sebuah suku itu sudah tidak memahami lagi ceritanya maka hilanglah identitas dari daerah tersebut. Ketika orang Buton merasa diri orang Buton lalu ia tidak memahami cerita leluhurnya, tidak lagi memahami tanah-tanah leluhurnya dan tidak lagi memahami seluk-beluk Buton, ia dikatakan orang Buton, tapi sesungguhnya bukan orang Buton. Jati dirinya sebagai orang Buton sudah hilang.” (Wawancara 26 Oktober 2014) Dari penuturan Laode Muhammad Arsal di atas dapat disimpulkan bahwa cerita Wandiudiu juga berfungsi sebagai sarana komunikasi antargenerasi. Dengan demikian akan terjagalah budaya dan identititas masyarakat Buton. Dari kacamata
103 teoretis, cerita rakyat merupakan bagian dari kekayaaan sastra lisan (Danandjaja, 1984: 21) yang mengandung informasi kebudayaan (Putra, 2006: 99--180). Sebagai suatu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, cerita rakyat tidak hanya mengandung unsur keindahan (estetik), tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai
kebudayaan
tradisi
yang
bersangkutan. Cerita
rakyat
mampu
mengkomunikasikan tradisi, pengetahuan, dan adat istiadat etnis tertentu, atau menguraikan pengalaman-pengalaman manusia. Sebagai salah satu data budaya, cerita rakyat dapat dianggap sebagai pintu masuk untuk memahami salah satu atau mungkin keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Cerita Wandiudiu adalah kebanggaan kolektif masyarakat Buton. Menurut Tolken (1979: 32), folklor bersifat komunal menjadi milik bersama masyarakat sekaligus lokal atau hanya muncul di tempat tertentu serta bersifat informal atau diturunkan melalui pendidikan informal. Nilai-nilai hidup leluhur masyarakat Buton tercermin dalam cerita Wandiudiu. Nilai-nilai tersebut mengilhami generasi selanjutnya sehingga terjaga sebagai identitas masyarakat Buton. Kecintaan terhadap nilai-nilai tradisional menurut Laode Inggi menghasilkan kebanggaan dan menjadi modal utama untuk melestarikan nilai-nilai tersebut: ”Cerita ini jangan pernah dilupakan karena cerita ikan duyung ini sangat penting untuk dilestarikan dan menjadi pembelajaran atau dijadikan sebagai sebuah perbandingan antara kehidupan masa silam dan kehidupan masa sekarang. Pada zaman dahulu kala cerita ini sangat mengesankan dan mengharukan. Hal tersebut dibuktikan para penutur selalu menangis saat bercerita dengan penuh penjiwaan dan tak mampu menahan kesedihan ketika
104 mengingat kekejaman / kerasnya hati sang suami yang sampai tega memukul istri dikarenakan telah memberi ikan kehidupan dalam rumah tangganya.” (Wawancara, 20 Oktober 2014) Laode Inggi mengharapkan cerita yang mengandung muatan local genious atau kearifan lokal dapat tetap terjaga dalam sanubari masyarakat Buton. Dengan demikian, melestarikan cerita Wandiudiu juga berarti sekaligus menjaga kearifan lokal masyarakat. Terkait dengan hal ini bapak Khairuddin mengatakan bahwa cerita Wandiudiu merupakan sumber kearifan lokal. ”Moral kurang lebih terkandung dalam cerita Wandiudiu itu,kan tinggal dikembangkan saja. Nanti dihubungkan dengan kearifan-kearifan lokal orang Buton. Bagaimana orang Buton itu mengelola rumah tangganya.” (Wawancara, 5 November2014) Masyarakat Lakudo Buton pada umumnya berharap agar cerita Wandiudiu tidak hilang dari hati dan benak masyarakat. Hal ini disampaikan juga oleh Laode Inggi. ”Harapan bapak agar cerita ini sebisa mungkin dapat dipertahankan jangan sampai punah. Ikan duyung ini dipahami bahwa sekalipun ikan, tapi semestinya harus dikembangkan kehidupannya, dan nilai-nilai hidup apa yang bermakna dalam masyarakat.” (Wawancara 20 Oktober 2014) Apresisasi terhadap cerita Wandiudiu sebenarnya sudah meluas. Dalam hal ini penggiat budaya Buton ikut andil dalam kegiatan pelestarian aset budaya intangible Buton. Cerita Wandiudiu menjadi inspirasi beberapa seniman theater untuk mengemasnya dalam format seni panggung. Perkembangan seni panggung menurut Laode Muhammad Arsal sangat menggembirakan karena ikut melestarikan naskah tradisional asli masyarakat Buton. ”Untuk saat ini sangat susah dideteksi sehubungan dengan kondisi dan situasi yang ada di rumah itu, apakah masih mau bercerita atau tidak. Akan tetapi
105 intinya ini adalah niat baik dengan adanya sanggar yang kita miliki ini dengan tujuan mengungkap kembali cerita- cerita rakyat yang sudah mulai tenggelam dan sudah mulai dilupakan oleh komunitas masyarakat Buton dan kemudian kita menunjukkan kecintaan agar dapat memahami dan dapat menceritakannya kepada anak-anaknya. Dengan adanya teater yang kita kembangkan sanggar tari yang menggugah hati orang-orang yang menonton ketika dibayangkan bahwasanya cerita di Buton ini bukan hanya menilai dengan pendidikan saja, tapi ternyata dapat dikembangkan seperti halnya dikemas menjadi sebuah drama. Mulai dari sejarah cerita rakyat sampai cerita nyata Buton dan itu yang dikemas dalam film yang berjudul ”Barakati” yang mengungkapkan sejarah tentang kemuliaan dan ketinggian dari pada kesultanan Buton dan penutur termasuk juga yang menjadi pelaku di film itu sebagai bagian dari pemain ”Barakati” itu sendiri.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Berbagai kegiatan yang digagas oleh sebagian masyarakat terutama penggiat budaya bertujuan merevitalisasi seni budaya lokal. Cerita Wandiudiu pun menjadi objek seni yang sering ditampilkan dalam peristiwa-peristiwa budaya, seperti seminar budaya, pentas budaya, atau pekan budaya di Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Buton. Menurut Laode Muhammad Arsal munculnya kesadaran elemen masyarakat terhadap upaya pelestarian nilai-nilai budaya secara langsung dan tidak langsung mengangkat cerita Wandiudiu lagi dalam ingatan masyarakat. ”Cerita Wandiudiu hanya spesifik dari orang-orang tertentu saja yang memahaminya dan bisa dibilang sudah bergeser atau terputus cerita itu, lalu kemudian kami generasi muda yang tergabung dalam sanggar takwa yang masih mempunyai beberapa referensi masih dari cerita tersebut, kami hadirkan kembali untuk menumbuhkan kecintaan daripada seluruh elemen masyarakat bahwa sesungguhnya banyak cerita-cerita rakyat itu yang perlu kita pahami yang bisa kita memaknai secara filosofi yang bisa kita ambil, pendidikan dan pembelajaran yang termaksud atau yang terkandung di dalam cerita rakyat itu.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Melalui kegiatan berkesenian yang digagas Laode Muhammad Arsal secara khusus melalui kegiatan teater dan seni panggung revitalisasi warisan seni budaya tradisi
106 berjalan. Tidak hanya melestarikan cerita Wandiudiu itu sendiri, tetapi meluas menjangkau pelestarian nilai-nilai tradisional lainnya temasuk bahasa Buton. Salah satu dampak langsung terhadap pelestarian cerita rakyat adalah terawat nya bahasa daerah. Upaya mengangkat kembali cerita-cerita rakyat menurut Djoko Pitono akan mempromosikan bahasa-bahasa etnis dan sekaligus menyelamatkan bahasa-bahasa yang hampir punah (www.ceritarakyatnusantara.com diakses 30 Januari 2015). Hari-hari ini menurut L.M. Budi Wahidin kecenderungan masyarakat Lakudo Buton mulai kurang menghargai bahasa ibunya dan lebih bangga berbahasa Indonesia. ”Hari ini orang sudah mulai membonafitkan dirinya, sederhananya seperti Bapak pulang dari Jawa kuliah lalu saya bertanya dengan bahasa Buton ipiamo takawa (kapan kita tiba) dia menjawab kemarin, dia merespons saya dengan bahasa Indonesia. Itu satu bukti seharusnya ditanya pakai bahasa Buton dijawab pula dengan bahasa yang sama. Karena mungkin sebagai anggota dewan di Jakarta. Dia akan jawab bapak bukan dengan bahasa Butonnya, tetapi dia jawab dengan bahasa Indonesia, datang kemarin. Sering terjadi hal itu, saya hari ini berdialog dengan pimpinan saya di kantor dengan menggunakan bahasa daerah lokal seizin wali kota. Sepuluh tahun lalu wali kota mencanangkan supaya hari Jumat tidak hanya menggunakan pakaian sentuhan Buton, tapi jadikan sebagai hari budaya tidak perlu memukul gong, lakukan langsung, tapi saya pahami beliau tidak pahami bahasa Buton wali kota yang lama karena dia besar di luar daerah, tetapi dia mengerti sepotong, secara lisan dia tidak mengerti tapi secara tulisan ia paham sedikit-sedikit. Satu Muharam kemarin saya dipanggil oleh wali kota dengan fokus untuk kelembagaan adat dia pakai bahasa adat (bahasa Wolio) ia langsung sapa saya, kenapa tidak sering muncul di sini, malahan tradisinya di rujab sering menggunakan bahasa Wolio tapi protokoler jabatannya itu yang menjadikan tanda tanya sehingga masyarakat umum timbul kekesalan lalu di lempar kepada beliau sudah berubah, padahal itu adalah kerjaan protokoler.” (Wawancara, 13 November 2014) Kekhawatiran L.M. Budi Wahidin terhadap keadaan kebertahanan bahasa Buton yang
menurut Stewart (dalam Fishman, 1968: 536) berkorelasi pada
107 pengurangan jumlah penutur asli: use of the linguistic system by an unisolated community of native speakers. Atau dalam pengertian lain kalau suatu bahasa secara terus-menerus mengalami pengurangan jumlah penutur sehingga pada akhirnya kehilangan atau kehabisan jumlah penutur asli. Oleh karena itu, menurut informan medium bercerita dapat menjadi sarana mempertahankan bahasa Buton. Melalui medium-medium pelestarian, pendidikan formal di sekolah, seni panggung, pesta budaya dan seterusnya, cerita rakyat Wandiudiu berkesesuaian dengan teori Survival Andrew Lang (www.ceritarakyatnusantara.com diakses 30 Januari 2015) bahwa peninggalan berharga seperti cerita Wandiudiu dapat hidup terus dalam kebudayaan masyarakat Buton Lakudo. Laode Muhammad Arsal yang juga seorang penutur cerita Wandiudiu berharap agar terus ada upaya pelestarian cerita Wandiudiu dalam berbagai even yang akan terus menyadarkan masyarakat tentang keberadaan cerita ini: ”Harapan saya tidak cukup hanya wawancara saja, tidak cukup hanya ditayangkan melalui sanggar tari saja, tidak cukup hanya diajarkan di sekolah, tetapi dalam berbagai momen itu harus disuarakan kepada semua elemen bahwa inilah cerita rakyat kita, inilah kandungan maksud yang bisa kita ambil intisarinya dan kita jadikan sebuah kerangka acuan kita dalam kehidupan yang mana nilai nilai yang terkandung di dalamnya sangat bermanfaat dan terakhir kita harus turut berpartisipasi bersama untuk menyukseskan di berbagai momen, termaksud di bangku-bangku sekolah kita harus menjadikan ini pelajaran yang berharga bagi anak-anak asuh kita.” (Wawancara, 26 Oktober 2014)
108 7.2 Makna Kekuasaan Untuk melakukan penafsiran teks cerita Wandiudiu, merujuk pada penggunaan analisis semiotika Pierce dengan
konsep Ground (latar dari tanda),
denotatum (unsur kenyataan tanda) dan interpretant (interpretasi terhadap kenyataan dalam tanda). Dalam teks Wandiudiu ditemukan wacana kekuasaan yang menurut Roland Barthes disebut dengan istilah ’ideologi’. Tanda-tanda kekuasaan dalam teks Wandiudiu dihadirkan, baik secara eksplisit melalui kekerasan verbal dan kekerasan fisik maupun secara implisit melalui struktur wacana dan latar belakang cerita yang mengedepankan budaya patriarki. Kekuasan (power) dan keluarga (family) merupakan dua hal yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kekuasaan, kontrol dan otoritas serta merta terus menerus ada dalam keluarga. Dalam hal ini kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan (potensial dan aktual) individu untuk mengubah perilaku orang lain dalam satu sistem sosial (Friedman, 1988: 132). Dalam konteks keluarga, kekuasaan dalam keluarga dimaksudkan sebagai kemampuan anggota keluarga untuk mengubah perilaku anggota keluarga lainnya.
Sebelumnya telah
dibahas bentuk-bentuk wacana kekuasaan orang tua terhadap anak dalam cerita Wandiudiu. Laode Muhammad Arsal menggambarkan relasi kekuasaan yang terefleksi dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton: ”Makna dari cerita Wandiudiu ini secara filosofi yang penutur uraikan bahwa ada dua dimensi antara watak dan karakter seorang ibu dengan bapak, artinya antara arogansi seorang bapak yang menginginkan bahwa ini milik saya tidak boleh diambil atau diberikan oleh siapa pun. Sementara ini hanya menyangkut persoalan masalah ikan di mana sang bapak memberikan amanah kepada sang
109 ibu bahwa setelah ikan ini saya belah dan saya garami, dan menjadi ikan kering jangan sekali-kali menyerahkan kepada siapa pun tanpa terkecuali kamu dan anak-anakmu, ini adalah milik saya. Ini menunjukkan betapa arogannya sang bapak, di sisi yang lain seorang ibu yang merasa terharu dengan tangisan anaknya yang sangat mengiginkan ikan itu, sang ibu pun merasa iba, maka ia mencampakkan amanah dari suaminya itu, ia pun mematahkan ekor ikan itu dan memberikan kepada anaknya. Ketika diketahui oleh suaminya sang bapak pun membentak, memarahi, bahkan sampai memukul sang istri hingga pingsan. dan ini menandakan begitu tinggi egoisme sang bapak yang mana anaknya yang meminta yang notabenenya hasil tangkapan dia, tapi saking egonya yang begitu tinggi tidak mau memberikan walaupun itu kepada istri dan anak-anaknya”. (Wawancara 26 Oktober 2014) Penggambaran di atas sejalan dengan pemahaman Foucault (dalam Seno 2008: 113) bahwa dalam setiap institusi sosial terdapat relasi kekuasaan. Kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Hal itu terjadi karena kekuasaan tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan, aturanaturan, hubungan-hubungan itu dari dalam. Dapat disebutkan bahwa hubungan keluarga yang menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah sementara istri hanya bertugas mengurusi rumah tangga dan merawat anakanaknya. Foucault meluruskan bahwa kuasa tak bersifat destruktif tetapi bersifat produktif yaitu ”Kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan cara negatif seolah-olah kuasa meniadakan, merepresi, mensensor, mengabstraksikan, menyelubungi, dan menyembunyikan”. Pada kenyataannya kuasa memproduksi. Kuasa memproduksi realitas. Kuasa memproduksi lingkup objek dan ritus-ritus kebenaran. Baik manusia perorangan maupun pengetahuan yang dapat diperoleh daripadanya, termasuk produksi ini”. Dalam teks Wandiudiu terungkap hubungan kekuasaan yang dimaksudkan oleh Foucault bahwa sang suami membangun struktur
110 diskursif sebagai kepala rumah tangga yang perintahnya harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga. ”Yindapo alingka pejari iytawo, posamea yimancuana bawine bolingdangia moemanina ikane kagarai motoloenaiy papana rapu” ” Sebelum pergi ke laut untuk memasang jaring, dia berpesan kepada istrinya agar jangan sekali-kali ada yang meminta ikan garam yang tergantung di perapian dapur.” Titah suami layaknya sebagai sabda raja atau ketetapan kepala negara yang memiliki konsekuensi hukuman terhadap pelanggaran. Tujuan sang suami agar keluarga menjadi stabil dan kuat harus dilengkapi dengan peraturan dan larangan. Seperti pernyataan Foucault bahwa kekuasaan ada di mana saja dalam semua institusi terdapat relasi kuasa. Kekuasaan yang dibicarakan di sini berimplikasi lebih luas dalam seluruh jaring-jaring sosial. Secara khusus di sini yang dibicarakan adalah kekuasaan dalam keluarga pada masyarakat Buton. Sama halnya dengan profil keluarga pada umumnya komponen kekuasaan keluarga berasal dari pengaruh atau tingkat penggunaan baik tekanan formal maupun informal oleh seorang anggota keluarga terhadap orang lain dan berhasil dalam memaksakan pandangan orang tersebut dan pengambilan keputusan. Proses pencapaian persetujuan dan komitmen anggota keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan/ status quo dengan kata lain sebagai alat untuk menyelesaikan segala sesuatu (Handayani, 2008: 76). Diskursus kekuasaan yang dibangun dalam cerita Wandiudiu adalah sebuah konsensus masyarakat Buton yang menginginkan struktur keluarga menempatkan laki-laki atau suami sebagai pemegang kekuasaan di rumah tangganya. Diskursus ini
111 tidak hanya dibangun melalui wacana-wacana kekuasaan pada teks-teks cerita rakyat, tetapi disokong sepenuhnya oleh pranata-pranata sosial masyarakat Buton. Masyarakat Buton adalah penganut asas pewarisan patrilineal, dengan kata lain pewarisan kekuasaan atas hak-hak material dan imaterial harus melalui garis keturunan laki-laki. Masyarakat Lakudo Buton menempatkan sosok laki-laki di tempat yang paling tinggi posisinya setelah Allah SWT dalam seluruh dimensi sosial budaya Buton. Hal ini diperkuat oleh keterangan Laode Muhammad Arsal berikut. ”Pembelajaran bagi ibunya untuk tidak membangkang dan melanggar perintah daripada suaminya, yang notabene bahwa seorang istri masuk surga karena patuh pada suaminya.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Kekuasan pria yang bersifat ideologis diterima oleh masyarakat tanpa resistensi. Budaya patriarki dalam masyarakat Buton adalah representatif ideologi dari agama Islam yang dipeluk sebagian besar masyarakat Lakudo Buton. Dalam ajaran agama Islam, laki-laki adalah pemimpin terhadap kaum wanita, laki-laki telah diciptakan lebih tinggi derajatnya. Ada cukup banyak ayat dalam Alquran yang mendukung bahwa laki -laki mempunyai peranan yang lebih dominan dibandingkan dengan wanita. Akan tetapi dalam praktik kekuasaan, interpretasi dominasi pria ternyata banyak menghasilkan kekerasan. Oleh karena itu, menurut Fakih (1997: 8-13) diperlukan rekonstruksi pemahaman terhadap gender khususnya perihal konstruksi sosial masyarakat terhadap kodrat perempuan dan laki-laki.
112 7.3 Makna Harmonisasi Secara eksplisit tema yang dikedepankan pada cerita Wandiudiu adalah setiap perbuatan pasti mendapat balasannya, baik ataupun buruk. Tujuannya adalah melalui cerita ini pembaca menyadari konsekuensi sebuah tindakan dan selalu menjaga hubungan baik dengan semua orang. Di balik makna kekuasaan dalam teks cerita Wandiudiu ada makna harmonisasi yang menjadi cita-cita atau harapan dari kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat Buton menurut L.M. Budi Wahidin selalu ada impian sebuah kehidupan yang harmoni. ”Pobinci binciki kuli artinya cubitlah dirimu sebelum engkau cubit orang lain. Kalau merasa sakit, jangan sakiti orang lain karena ternyata sangat tidak baik, selalu kembalikan pada diri kita. Ada juga istilah yang lain yinda-yindamo harta sumanamo lipu, yinda-yindamo lipu sumanamo sarah ,yinda- yindamo sara sumana agama, artinya biar kita korbankan, biar hancur lebur benda ini asalkan untuk keselamatan diri, biar kita korbankan diri ini asalkan untuk keselamatan orang banyak, kepentingan negeri ini dan agama, biar kita korbankan negeri ini asalkan pemerintahannya masih berdiri kokoh.” (Wawancara, 13 November 2014) L.M. Budi Wahidin mengatakan bahwa pesan dari cerita Wandiudiu adalah menjalin harmoni dengan sesama manusia dan manusia dengan alam. Sebagai masyarakat pelaut, masyarakat Buton menyatu dengan alam khususnya lautan. Wujud cinta kepada alam dinyatakan dengan memberikan penghormatan tertentu pada hewan laut khususnya duyung. Masyarakat Buton memiliki kepercayaan bahwa duyung adalah sahabat manusia. Hal ini muncul karena kekhawatiran akan mara bahaya yang setiap saat mungkin muncul selama mereka berlayar. Dalam angan-angan mereka muncullah tokoh Diu atau duyung yang digambarkan fisiknya setengah ikan setengah manusia.
113 Sebagai pelaut, mereka mendambakan sang penolong Diu akan segera datang menyelamatkan mereka apabila suatu kelak mendapatkan kesulitan atau mara bahaya di laut. Oleh karena itu, menurut Laode Inggi duyung mendapatkan tempat di hati masyarakat Buton. ”Kita tidak boleh saling menyakiti, di samping itu, kita harus menghargai bahwa ikan duyung ini hidupnya di laut sehingga bila nanti terjadi sesuatu di laut kita akan berharap ikan duyung tersebut dapat menjadi penolong atau penyelamat kita. Para nelayan bila mana suatu ketika melaut dan mendapatkan ikan duyung ini sebaiknya dilepaskan kembali di laut karena filosofi dari kehidupan ikan tidak pernah lelah /capek dalam kehidupannya dalam air laut. Ikan duyung tersebut patut dilestarikan dan dijaga jangan sampai punah hanya karena kebutuhan dan kepentingan sesaat yang bersifat pribadi tanpa memikirkan pelestarian hewan tersebut pada masa yang akan datang. Sesungguhnya manusia pada dasarnya tidak boleh semena-mena dalam bertindak kepada makhluk ciptaan Tuhan selain manusia karena sama-sama diciptakan Tuhan Yang Maha Esa ”. (Wawancara, 20 Oktober 2014) Masyarakat Buton memandang sebuah keluarga harmoni adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang menerapkan ajaran agama Islam. Menurut Laode Muhammad Arsal, teks cerita Wandiudiu sendiri secara ideologis mengharapkan masyarakat Buton menjalankan kehidupan yang harmonis di dalam keluarga dan hubugan dengan masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut masyarakat Lakudo Buton memiliki kearifan lokal yang sering dikenal masyarakat dengan beberapa istilah, seperti Po Mae Maeka artinya sesama manusia harus tenggang rasa. Po ma ma siaka artinya tiap manusia harus saling menyayangi, Po angka angka taka artinya tiap manusia harus saling menghargai, dan Po pia piara artinya tiap manusia harus saling memelihara. Menurut informan dengan memegang
114 falsafah tersebut maka pasangan suami istri di Buton terjaga awet dan takut sekali bercerai Wacana harmonisasi di dalam teks Wandiudiu adalah cita-cita, baik pengarang maupun penutur. Foucault (1980: 132 ) memandang kekuasaan sebuah wilayah strategis, tempat terjadinya hubungan yang tidak setara. Ada hubungan yang asimetris antara penghasil teks dan konsumen teks. Dengan demikian, pemilik kuasa dari teks Wandiudiu melakukan hegemoni terhadap pendengar dan pembaca. Pembacaan terhadap cerita Wandiudiu dapat terus berkembang dalam perbagai pemaknaan. Menurut Laode Inggi cerita Wandiudiu juga mengisyaratkan hubungan ayah dan anak teruji saat sang ayah bereaksi buruk karena ikan kesukaannya dimakan. ”Sang anak ketika merengek /menangis walaupun diberikan ikan apa saja ia tidak mau karena yang pertama itu ujian buat orang tuanya, artinya apakah dengan memakan ekor ikan tersebut sang ayah menerima apa tidak. Yang kedua ada makna yang terkandung ketika sang anak memakan ikan ayahnya karena dia (anak) tersebut sebagai pewaris orangtuanya. Ketiga jika anak tersebu makan ikan yang diberikan selain dari hasil tangkapan orangtuanya.” (Wawancara 20 Oktober 2014) Penuturan Laode Inggi menguatkan ada banyak pesan yang tersisip dari berbagai peristiwa yang terjadi di dalam teks cerita Wandiudiu. Namun, setiap pertentangan dalam cerita bermuara pada sebuah tujuan harmonisasi.
115 7.4 Makna Pendisiplinan Wacana otoritarian ayah terhadap anak pada cerita Wandiudiu berimplikasi pada makna pendisiplinan. Premis bahwa pendisiplinan berhubungan erat dengan kekerasan sudah mengemuka sejak lama. Bahkan, dalam kamus The New Oxford American Dictionary, kata dicipline (disiplin) didefinisikan sebagai “praktik melatih orang untuk mematuhi aturan dengan menggunakan hukuman untuk memperbaiki ketidakpatuhan”. Pendisiplinan sering kali dikaitkan dengan alat-alat yang dipakai untuk membuat para pelaku kejahatan jera yaitu penyalahan, membuat malu, bahkan hukuman fisik. Masyarakat Buton sebagai bagian masyarakat Indonesia Timur dipersiapkan sebagai masyarakat yang keras dalam adat dan kebiasaan hidup sehari-hari. Karakter keras ini juga diperkirakan sebagai bentuk adaptasi terhadap alam Buton yang tandus dan kondisi lautan yang tidak dapat diprediksi. Dalam menghadapi tantangan alam yang tidak ramah ini, orang-orang Buton menunjukkan dirinya sebagai orang-orang yang tangguh, keras, penakluk, dan seterusnya, baik dalam pergaulan masyarakat maupun terekspresikan dalam keluarga. Kekerasan dalam pengasuhan anak sering bertujuan sebagai upaya pendisiplinan. Menurut Khairuddin, nilai-nilai tersebut tersirat dalam cerita Wandiudiu. ”Nilai yang harus kita pahamkan kepada masyarakat adalah kepatuhan, ketaatan, atau disiplin di dalam rumah. Bila ditambah lagi sudah bergeser dari nilai-nilai yang memang dibuat oleh masyarakat pendahulu kita di balik cerita itu. Oleh karenanya memang harus dikemas.” (Wawacara, 5 November2014)
116 Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi, pendisiplinan secara umum adalah usaha-usaha untuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Pendisiplinan bisa jadi menjadi istilah pengganti untuk hukuman ataupun instrumen hukuman. Hal ini bisa dilakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain. Dengan demikian, pendisiplinan dipersepsi dengan tindak kekerasan dengan tujuan penegakan aturan dan kepatuhan. Penerapan disiplin dimulai dengan regulasi atau aturan, Kemudian diikuti oleh penegakan aturan melalui penghukuman (punishment) dan apresiasi (rewarding). Dalam teks Wandiudiu dapat ditemukan dua siklus pendisiplinan (regulasi dan pendisiplinan) yaitu sebagai berikut. REGULASI
:“Jangan sekali-kali ada yang mengambil ikan itu atau memberikan kepada orang lain, siapapun yang memintanya.”
PENDISIPLINAN :”Diambilnya perkakas tenun lalu dipukulkannya kepada istrinya sampai patah-patah.” Regulasi dan pendisiplinan menurut Foucault (dalam Bertens, 1996:96) merupakan bagian dari strategi kuasa atau dengan kata lain Foucault menyebutkannya ”kuasa bekerja melalui regulasi, pembatasan (constraint), dan pendisiplinan”. Dalam menjelaskan bekerjanya pendisiplinan Foucault mengguatkan ide ’panopticon’. Panopticon adalah konsep atau rencana pembangunan sekolah militer di Perancis, yang dirancang untuk memudahkan pengawasan. Struktur panoptikon kemudian diadopsi sebagai desain penjara (lihat Gambar 7.1).
117
Gambar 7.1 Ilustrasi Desain Panopticon Sumber: http://juanitafrances.com diakses 2 Februari 2015 Desain panopticon ini disebut oleh Michel Foucault dalam bukunya Surveiller et punir: Naissance de la Prison (1975) yang terbit di Perancis dan diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977). Desain panopticon ini menjadi metafora bagi masyarakat “disiplin” modern dan kecenderungannya yang menyebar untuk mengawasi dan menormalisasi. Argumen Foucault adalah bahwa disiplin menciptakan “tubuh-tubuh yang tenang dan mudah dikelola” (docile bodies), yang ideal bagi kontrol dan pendisiplinan. Pendisiplinan adalah bagian dari strategi kuasa (Foucault, 1997: 74--85). Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Foucault kekuasaan tidaklah melulu atau tidak boleh selalu dianggap sebagai sarana negatif, sesuatu yang menolak, sesuatu yang menekan, sesuatu yang menegasikan. Sebaliknya, kekuasaan adalah sesuatu yang produktif. Foucault memaparkan sebagai berikut
“Kita harus menghentikan
penggambaran kekuasaan dan pengaruhnya sebagai sesuatu yang negatif: membuang,
118 menekan, memberangus, menyensor, dan abstrak: menutupi dan menyembunyikan. Kita harus mulai menggambarkan bahwa kekuasaan itu produktif: menciptakan, menghasilkan, dan melahirkan realitas, wilayah objek, dan ritual kebenaran”. Pendisiplinan melalui kekerasan ternyata dalam realitas tidak terbukti. Kekerasan hanya mereproduksi kekerasan lain. Cita-cita pendisiplinan menurut Laode Inggi tampaknya ’jauh panggang dari api’ dalam masyarakat Buton. ”Dampak negatif dari cerita ini dapat menginspirasi para pendengar bersikap egois seperti keegoisan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya hanya karena memakan ikan yang telah disimpan sang ayah di dapur.” (Wawancara, 20 Oktober 2014) Sebuah contoh lain yang telah menjadi tradisi masyarakat adalah keinginan berbohong. Menurut Almujazi, budaya kita membungkusnya dengan istilah ’berbohong putih’. ”Kata orang tua dulu bohong itu ada dua, yaitu bohong untuk kebaikan dan bohong untuk keburukan. Berbohong dalam kebaikan kata orang tua dahulu itu boleh, contohnya ketika Arupalaka dikejar oleh orang Goa dan menanyakan kepada orang tua di Buton, di mana kalian sembunyikan Arupalaka ? Jawab orang Buton tidak ada Arupalaka di Buton, jika ada Arupalaka di atas tanah Buton, maka hancur binasalah negeri kami ini dan memang kenyataannya Arupalaka tidak ada di atas tanah Buton melainkan ia disembunyikan di bawah tanah Buton. Hal ini menandakan bahwa orang tua dulu pernah berbohong tetapi untuk kebaikan dan untuk tindakan penyelamatan seseorang, sedangkan berbohong dalam kejahatan itu tidak boleh sama sekali. Olehnya itu raja tersebut luput dari sumpah karena memang benar Arupalaka tidak ada di Buton, melainkan di bawah tanah.” (Wawancara, 12 November 2014) Reproduksi kekerasan menurut Khairuddin juga terjadi dalam masyarakat. Cerita Wandiudiu dapat saja menginspirasi kekerasan tersebut. ”Misalnya, jika kita mau kurangi, kita mau sampaikan pesan moral bahwa orang Buton itu tidak mengenal kekerasan. Hal itu sudah terbukti dalam cerita
119 Wandiudiu bahwa sudah ada itu, artinya kalau kita mau potong, tapi kan tidak boleh karena itulah pesannya.” (Wawancara, 5 November2014 ) Apa yang disampaikan oleh Khairuddin merupakan bias dari teks Wandiudiu. Akan tetapi, satu yang pasti adalah kekerasan baik bersifat simbolik maupun fisik masih tetap terjadi dalam masyarakat Lakudo Buton.